kista nodul dan isthmus anestesi

17
LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI UMUM PADA PASIEN DENGAN KISTA ISTHMUS & NODUL PADA LOBUS DEXTRA ABSTRAK Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah banyak, sedangkan isthmolobektomi dekstra adalah pengangkatan satu sisi lobus tiroid dekstra sekaligus dengan isthmusnya. LAPORAN KASUS Identitas Pasien Nama : Ny. L Usia : 44 th Jenis Kelamin : Perempuan Rekam Medis : 0118 **** Berat Badan : 50 kg

Upload: lunapeach

Post on 06-Nov-2015

45 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

laopran kasus anestesi

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN ANESTESI UMUM PADA PASIEN DENGAN KISTA ISTHMUS & NODUL PADA LOBUS DEXTRAABSTRAKAnestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah banyak, sedangkan isthmolobektomi dekstra adalah pengangkatan satu sisi lobus tiroid dekstra sekaligus dengan isthmusnya.

LAPORAN KASUSIdentitas PasienNama : Ny. LUsia : 44 thJenis Kelamin : PerempuanRekam Medis : 0118 ****Berat Badan : 50 kgJenis Pembedahan : Isthmolobektomi dextra dengan Kista Isthmus dan nodul pada lobus dextraRencana Anestesi : General Anesthesia Intubasi Persiapan Pre OperasiAnamnesis Pasien wanita 45 tahun datang dengan keluhan 2 tahun yang lalu muncul benjolan pada leher, namun tidak sakit atau nyeri. 1 bulan terakhir pasien mengeluh nyeri pada benjolan tersebut disertai rasa pusing. Pasien juga menderita anemia kronis. Pada keluarga tidak terdapat keluhan serupa. Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 120 x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu 37,6oC. Status Lokalis Regio Coliinya adalah pada inspeksi terdapat benjolan di leher dengan ukuran 8x5x5 cm tidak terdapat eritem, darah, luka, pus. Pada palpasi didapatkan benjolan di leher dengan ukuran 8x5x5 cm dengan konsistensi kenyal batas tegas dan mobile. Pada pemeriksaan lab tanggal 17 Juni 2014 didapatkan Hb 10,2 g/dl; Ht 26,9%; Eritrosit 3,5 juta/ul; Leukosit 7,900/mm3 ; Trombosit 573,000/mm3 ; immunoserolgi T4 91,59 nmol/lDIAGNOSISStatus fisik ASA 2 pada pasien Struma nodosa dengan tindakan isthmolobektomi dekstra

Pemeriksaan Fisik Pre-operasi Airway Paten, nafas spontan, RR 18x/mnt, Rh (-), Wh (-), mallampati 1, leher bebas, buka mulut 3jari, gigi goyang (-), gigi palsu (-), Akral hangat, kering, merah, nadi 84 x /mnt, TD 120/80.Jenis pembedahan : isthmolobektomi dextra

Laporan Anesthesi Durante OperasiJenis anestesi : GA IntubasiTeknik anesthesia : Intubasi Oral Sleep Apneu, ETT size 7, cuff (+), oropharyngeal airway (+)Lama anestesi 10.20 15.15 WIBLama operasi : 10.45 15.00 WIB

Tindakan Anestesi Umum Dengan IntubasiPasien diposisikan pada posisi supineMemastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normalObat fentanyl dosis 100mcg diberi intravena untuk tujuan premedikasiObat berikut dimasukkan secara intravena:Propofol 1600mgPemberian oksigen (preoksigenasi) 100% 10 liter dilanjutkan dengan metode face mask selama 2-5 menitDipastikan apakah airway pasien patenDimasukkan muscle relaxant atracurium 40mg intravenous dan diberi bantuan nafas dengan ventilasi mekanikDipastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan stabil untuk dilakukan intubasi ETTDilakukan intubasi ETT dilakukan ventilasi dengan oksigenasiCuff dikembangkan, lalu cek suara nafas pada semua lapang paru dan lambung dengan stetoskop, dipastikan suara nafas dan dada mengembang secara simetris ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan ventilatorMaintenance dengan inhalasi oksigen 2 lpm, N2O 2 lpm, dan sevofluran 1%Monitor tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi oksigen, tanda-tanda komplikasi (pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas, nyeri)Dilakukan ekstubasi apabila pasien mulai sadar, nafas spontan dan ada reflek-reflek jalan napas atas, dan dapat menuruti perintah sederhana.

Pasca Bedah di Ruang Pilih SadarKeluhan pasien: Mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)Pemeriksaan fisikB1: Airway Paten, nafas spontan, RR 20 x/mnt, B2: Akral hangat, kering, merah, nadi 92 x /mnt, TD 130/75B3: sadar penuh, GCS 15, Pupil isokor, reflek cahaya +/+

Terapi Pasca BedahInfus : RL 90cc/jamInj. Ketolorac 3 x 30 mg iv bila nyeriMakan/minum dapat dimulai bila pasien sadar penuh, mual (-), muntah (-)

PEMBAHASAN1. Pre OperatifSebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan di gunakan, melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi.Evaluasi pre operasi meliputi history taking, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent.History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa. Hasil lab :13 maret 2014Hemoglobin 5,7g/dl11~16,5

Hematokrit 17,9%35~45

Eritrosit2,36Juta/ul4~5

Leukosit12170/mm34000~10000

Trombosit513600/mm3150000~450000

21 maret 2014Hemoglobin 6,7g/dl11~16,5

Hematokrit 19,3%35~45

Eritrosit2,60Juta/ul4~5

Leukosit12170/mm34000~10000

Trombosit481900/mm3150000~450000

13 juni 2014Hemoglobin 7,1g/dl11~16,5

Hematokrit 21,8%35~45

Eritrosit2,62Juta/ul4~5

Leukosit5280/mm34000~10000

Trombosit477600/mm3150000~450000

17 juni 2014Hemoglobin 10,2g/dl11~16,5

Hematokrit 26,9%35~45

Eritrosit3,50Juta/ul4~5

Leukosit7900/mm34000~10000

Trombosit573000/mm3150000~450000

Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history taking, sedangkan history taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.Kelas II: Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.Kelas III: Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.Kelas IV: Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan memerlukan terapi intensif, dengan limitasi serius pada aktivitas sehari-hari.Kelas V: Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan atau tanpa pembedahan.Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah inform consent. Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya.Tujuan kunjungan pre operasi bukan hanya untuk mengumpulkan informasi yang penting dan inform consent, tetapi juga membantu membentuk hubungan dokter-pasien. Bahkan pada interview yang dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan penting serta membiarkan pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal tersebut setidaknya dapat membantu mengurangi kecemasan yang efektivitasnya sama dengan regimen obat premedikasi.Pada pasien ini, dari history taking didapatkan pasien menhidapa anemia kronis.tidak didapatkan riwayat alergi terhadap makanan atau obat-obatan, tidak mengkonsumsi obat-obatan rutin, tidak didapatkan riwayat operasi sebelumnya, tidak didapatkan riwayat penyakit jantung, hipertensi, diabetes melitus. Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses anestesi, pasien digolongkan dalam kategori Malampati 1. Dan dari hasil laboratorium tidak didapatkan kelainan. Dari seluruh hasil pemeriksaan, pasien dikategorikan sebagai ASA 2.Masukan OralReflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam.PremedikasiPremedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:Meredakan kecemasan dan ketakutanMemperlancar induksi anesthesiaMengurangi sekresi kelenjar ludan dan bronkusMeminimalkan jumlah obat anestetikMengurangi mual muntah pasca bedahMenciptakan amnesiaMengurangi isi cairan lambungMengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat premedikasi; fentanyl secara intravena 100 mcg (1-3 mcg/kgbb)Durante OperasiPemakaian Obat AnestesiPada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol. Mekanisme induksi general anestesi dengan propofol melibatkan fasilitasi dari inhibisi neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA. Propofol bisa mempotensiasi Nondepolarizing neuromuscular blocking agents (NMBA) yang juga digunakan pada kasus ini (atracurium). Penggunaan propofol bersamaan dengan fentanyl dapat meningkatkan konsentrasi fentanyl. Pada kasus ini analgetik yang digunakan adalah fentanyl. PropofolInductionIV12.5 mg/kgMaintenance infusionIV50200 g/kg/minSedation infusionIV25100 g/kg/min

FentanylIntraoperative anesthesiaIV2150 g/kgPostoperative analgesiaIV0.51.5 g/kg

Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat yang bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada anestesi yang dicapai dengan anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya.Pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat anestesi inhalasi yang dipakai adalah sevoflurane. sevoflurane tidak memiliki kontraindikasi khusus. sevofluran juga dapat mempotensiasi NMBA (pada pasien ini dipakai atracurium).Pada kasus ini jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi dengan intubasi. Sebelum dilakukan intubasi diperlukan muscle relaxant sehingga proses intubasi lebih mudah dilakukan.Secara teoritis, pemberian 1015% dosis intubasi muscle relaksan 5 menit sebelum induksi akan menempati cukup reseptor sehingga paralisis akan cepat mengikuti ketika keseimbangan relaxant sudah diberikan. Penggunaan priming dosis bisa menghasilkan kondisi yang sesuai untuk intubasi segera setelah 60 detik bila menggunakan rocuronium dan 90 detik menggunakan agen intermediate-acting nondepolarizers seperti atracurium.MonitoringSalah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi selama operasi. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:-Frekuensi nafas-Heart rate, nadi, dan kualitasnya, tekanan darah-Warna membran mukosa, dan capillary refill time-Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflekpalpebra)-Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi-Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien tidak pernah < 95%, tekanan darah pasien dalam batas normal (S 100-140, D 60-80)Post operasiIdealnya, pasien di-discharge bila aldrete skor > 8, VAS < 4 Sebelum di-discharge, pasien seharusnya diobservasi apakah ada depresi nafas selama minimal 20-30 menit setelah pemberian dosis perenteral narkotik terakhir. Kriteria minimal lain untuk discharge pasien yang telah recovery dari general anestesi biasanya meliputi hal-hal berikut ini:Mudah dirangsangOrientasi penuhMampu mempertahankan dan melindungi airwayTanda vital stabil selama paling tidak 1530 menitMampu untuk meminta bantuan bila ia membutuhkanTidak ada komplikasi operasi yang bermakna (seperti perdarahan aktif).Kontrol nyeri postoperative, mual dan muntah, dan mempertahankan normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem scoring ( alderete score )untuk discharge digunakan secara luas. Kebanyakan criteria yang dinilai adalah SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik. Kebanykan pasien memenuhi criteria discharge dalam waktu 60 menit di PACU.

Pada kasus ini, setelah 1 jam di PACU pasien di-assess dengan Aldrete Score 10 karena pasien sudah sadar penuh, tekanan darah relatif tetap dibanding preoperatif, pasien mampu bernafas dalam dan batuk, SpO2 96% dengan udara ruangan, dan pasien mampu menggerakkan keempat ekstrimitasnya. Oleh karena itu, pasien kemudian dipindah ke ruangan biasa.Kesimpulan Dari pemeriksaan fisik dan penunjang, diperoleh gambaran mengenai status pasien. Status fisik pra anestesi masuk dalam kategori ASA II. Berdasarkan status fisik pasien tersebut, jenis anestesi yang paling baik digunakan dalam operasi isthmolobektomy adalah general anestesi. Teknik anestesi umum yang dipilih pada pasien ini adalah teknik balance anesthesia, respirasi terkontrol dengan endotracheal tube nomor 7,5. Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah Fentanyl 100 mg. Induksi yang diberikan adalah propofol 160 mg dan Atracurium 40mg. Pemeliharaan yang diberikan adalah sevofluran3%, oksigen 2% lpm, N2O 2%lpm, sedangkan obat-obatan lain yang diberikan adalah ondansentron 8 mg dan ketorolac 30mg

Lampiran sGambaran USG kelenjar tiroid pada Ny LDaftar pustaka Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, R. 2002.Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. FKUI. Jakarta.Mangku, Gde dan Senapathi, Tjokorda GA. 2010.Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.Indeks Jakarta. JakartaPramono, Ardi, Sp.An, dr. 2008. StudyGuide Anestesiologidan Reanimasi. FK UMY. Saputro, Uud, Sp.An, dr. 2011.Anestesi Umum. RSUD Djojonegoro. Temanggung

4