kiprah perjuangan solichah a. wahid hasyim 1950...
TRANSCRIPT
KIPRAH PERJUANGAN SOLICHAH A. WAHID
HASYIM (1950-1994) DALAM PEMBERDAYAAN
ORMAS MUSLIMAT NAHDLATUL ULAMA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
DISUSUN OLEH:
NUUR HAIRRY PURWANTI
103022027518
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDATULLAH
JAKARTA
1429 H. / 2008 M.
KIPRAH PERJUANGAN SOLICHAH A. WAHID
HASYIM (1950-1994) DALAM PEMBERDAYAAN
ORMAS MUSLIMAT NAHDLATUL ULAMA
DISUSUN OLEH:
NUUR HAIRRY PURWANTI
NIM : 103022027518
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDATULLAH
JAKARTA
1429 H. / 2008 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Mei 2008
Nuur Hairry Purwanti
“Ketahuilah, Aku wasiatkan kalian untuk memperlakukan
perempuan dengan sebaik-baiknya. Kamu tidak memiliki mereka
sedikitpun, mereka pun tidak memiliki kamu sedikitpun.” (Diriwatkan oleh
Bukhari, Muslim, dan Ahmad. Berasal dari pesan Nabi Muhammad SAW
di depan jamaah haji pertama.)
KIPRAH PERJUANGAN SOLICHAH A. WAHID HASYIM
(1950-1994) DALAM PEMBERDAYAAN ORMAS MUSLIMAT
NAHDATUL ULAMA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh
Nuur Hairry Purwanti NIM: 103022027518
Di bawah bimbingan
Prof. Dr. H. Budi Sulistiono, M.Hum NIP. 150 236 276
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H. / 2008 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KIPRAH PERJUANGAN SOLICHAH A. WAHID HASYIM
(1950-1994) DALAM PEMBERDAYAAN ORMAS MUSLIMAT
NAHDATUL ULAMA telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Juni 2008. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora
(S.Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 6 Juni 2008
Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap Anggota, Sekertaris Merangkap Anggota,
Drs. Ma’ruf Misbah, MA Drs. Usep Abdul Matin, M.A, M.A NIP. 150 247 010 NIP. 150 288 304
Anggota,
Pembimbing, Penguji,
Prof. Dr. H. Budi Sulistiono, M. Hum Imas Emalia, M. Hum NIP. 150 236 276 NIP. 150 286 391
ABSTRAK
Nuur Hairry Purwanti
Kiprah Perjuangan Solichah A. Wahid Hasyim dalam Pemberdayaan
Ormas Muslimat Nahdlatul Ulama
Solichah A. Wahid Hasyim (11 Oktober 1922-29 Juli 1994), semasa
hidupnya lebih banyak dikenal sebagai seorang aktifis perempuan dan pejuang
persamaan gender juga pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Lebih dari
setengah abad kiprahnya terlihat dalam berbagai organisasi kemasyarakatan juga
dalam kursi pemerintahan yang terlihat sebagai sosok humanis. Setelah
kepergiannya, beliau meninggalkan nama dan kenangan yang patut dipuji bagi
anak dan cucu-cucunya. Perjuangnnya dalam membesarkan Muslimat NU serta
ranting-rantingnya adalah sebuah perjalanan panjang untuk sampai seperti hari ini.
Dengan tetap menyadari beberapa kekurangan sebagai mahluk Allah
SWT, perempuan yang tangguh ini dan memiliki hati lembut, dikenal sebagai
single parent yang telah berhasil dalam mendidik anak-anaknya. Hal ini terlihat
dalam keberhasilan yang telah dicapai oleh putra-putrinya. Dikenang sebagai
politisi yang kukuh pendirian dan memiliki pengabdian dan pergaluan yang cukup
luas serta memiliki pemikiran yang modern, semua terlihat dari aktifitasnya dalam
berbagai macam kalangan. Tentunya hal ini tak lepas dari didikan orang tuanya,
K. H. Bisri Sansuri dan suaminya, K. H. Wahid Hasyim. Atas segala jasa-jasanya,
pemerintah memberikan tanda penghargaan sebagai veteran pejuang
kemerdekaan.
KATA PENGANTAR
Bismillahhirahmanirrahim.
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
senantiasa mencurahkan kasih sayang-Nya kepada setiap makhluk ciptaan-Nya.
Hanya dengan ridho dan inayah-Nya-lah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada junjungan
kita baginda Nabi Muhammad SAW dan seluruh utusannya.
Selama dalam proses pembuatan skripsi ini banyak hambatan dan
kesulitan yang dialami penulis, baik yang mengenai pengaturan waktu,
pengumpulan data, pembiayaan, dan proses penyusunan. Namun berkat limpahan
rahmat-Nya dan kerja keras disertai dorongan dan bantuan dari berbagai pihak,
maka kesulitan dan hambatan ini dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Oleh
karena itu, sudah sepantasnya-lah penulis memanjatkan puji syukur kehadirat
Illahi Rabbi dan mengucapkan terimakasih serta menyampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Abdul Chair, MA, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Dosen Pembimbing Akademik
Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam tahun angkatan 2003.
2. Bapak Drs. Ma’ruf Misbah, MA dan Bapak Usep Abdul Matin, MA, MA,
Ketua dan Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.
3. Bapak Prof. Dr. H. Budi Sulistiono, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang selalu bersahabat dalam memberikan pengarahan dan
bimbingan.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bekal ilmu
pengetahuan, semoga penulis dapat memanfaatkan dan mengamalkan
dengan baik sesuai dengan syariat Islam serta berguna bagi agama, nusa
dan bangsa.
5. Rasa Ta’dzim dan bakti penulis yang tertinggi dan setulus-tulusnya kepada
Ibu dan Bapak-ku tercinta dan tersayang yang selalu memberikan
limpahan kasih sayang dan mengasuh hingga penulis dapat menempuh
pendidikan dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah selalu melindungi dan
memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada keduanya.
Kepada keluargaku tercinta (mas Nuur, mba’ Nur, de Imah, de Fathur,
“kura-kura kecilku”, dan aziz “bawel”). Keberadaan kalian memberikan
motivasi kepadaku untuk terus maju. I always love you all forever.
6. Ibu Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Ibu Hj. Asmah Syachroni, Ibu Hj. Latifah
Hasyim, yang telah memberikan banyak informasi, saran-saran, dan data-
data yang dibutuhkan penulis dalam penulisan ini. “Perjuanganmu selalu
membawaku untuk terus melangkah ke arah yang lebih baik!.”
7. Kepada Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas
Adab dan Humaniora, Perpustakaan PBNU (Terimakasih kepada Pak
Syatiri, yang selalu senang direpotkan….), Perpustakaan Wahid Institute,
Perpustakaan DPR RI, Data-data dari Muslimat NU Pusat dan sebagainya.
Yang telah banyak memberikan bantuan dalam pustaka penulis.
8. Untuk teman-temanku di SPI (bu shinta, mpo’ aci, nenenoe, nuril, hamid,
agus, bu riza, babay, deni, mas willy, mpo’ dena dll), teman-teman UKM
(bang jebil/ Muzbi, dynamoet, tante genjreng, k’ abi, bang ar, dll), teman-
teman SAHID (elah, ita, nur, nunik, dhika, acha, teh yayah, the ikah, dll)
yang selalu memberi kesan tersendiri di hati penulis dan yang tak bisa
sebutkan satu persatu.
9. Seluruh staf akademik di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta yang
telah banyak membantu memberikan pelayanan bagi penulis. (Mohon
tingkatkan lagi ya manajemen pelayanan dan SDM-nya).
Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah turut
membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, semoga apa yang telah diberikan
kepada penulis diterima sebagai amal saleh dan mendapatkan pahala dari Allah
SWT. Amien.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karenanya penulis sangat saran dan kritik pembaca sehingga memotivasi penulis
untuk dapat berkarya lebih baik lagi di masa mendatang. Insya Allah.
Jakarta, 17 Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………………......i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………......v
DAFTAR ISTILAH…………………………………………………………….vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………………...7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan…………………………………………….7
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan………………………………….8
E. Survey Pustaka…………………………………………………………...10
F. Sistematika Penulisan…………………………………………………….12
BAB II SEJARAH PEREMPUAN INDONESIA
A. Perempuan dan Isu Gender…………………………………….……...…13
B. Sejarah Pergerakan Perempuan…………………………………………..18
C. Pergerakan Perempuan Islam…………………………………………….25
D. Kedudukan Perempuan dalam Agama, Sosial, dan Politik……………....28
BAB III SOSOK SOLICHAH A. WAHID HASYIM
A. Riwayat Hidup…………………………...………………………………33
B. Aktifitas…………………………………………………………………..40
BAB IV SOLICHAH A. WAHID HASYIM DALAM MEMBERDAYAKAN
MUSLIMAT NAHDATUL ULAMA
A. Solichah sebagai Motor Penggerak dan Pembangun Muslimat NU……..45
B. Pejuang Peningkatan Status, Hak, dan Peran Perempuan...……………...49
C. Solichah Membangun Image Organisasi Perempuan di Mata
Umum……………………………………………………………………55
D. Memberdayakan Perempuan Muslimat melalui Kursi DPR………...…..59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………...……………….62
B. Saran-saran……………………………………………………………….63
DAFTAR SUMBER..…………………………………………………………...65
DAFTAR ISTILAH
Ahlus Sunnah wal Jamaah : Biasa disingkat dengan Aswaja, aliran dalam islam
yang sudah dikenal sejak masa Rasulullah tetapi baru
muncul pada abad ke-3 Hijriyah. Ajaran ini
bersumber dari al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-
Qiyas. Secara harfiah adalah penganut sunnah Nabi
Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya.
BPS : Biro Pusat Statistik.
Comenda : Sebuah ketentuan yang mengatur tata cara pelayaran
dan perniagaan serta pembelian, penjualan, dan sistem
sewa, juga perjanjian bagi hasil yang dilakukan di
abad ke XVIII dan XIX di Nusantara. Dalam hukum
kelautan dipakai untuk menggambarkan adanya
perjuangan, perebutan, dan perdebatan ketika
penguasa melakukan intervensi dalam perdagangan
melalui kebijakan dan regulasi.
Comrade in arms : Teman seperjuangan.
Dibaan : Pembacaan Kitab Diba’ yaitu sebuah kitab
berbahasa Arab yang berisi riwayat hidup Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya.
Endogamus : Perkawinan yang didasarkan pada kesamaan derajat
seseorang dalam masyarakat, misal: anak seorang
kiyai akan menikah dengan anak kiyai pula. Saling
menjodohkan antar sesama keluarga pesantren sudah
menjadi tradisi masyarakat Jombang. Intensitas
komunikasi antar pesantren, ditradisikan dalam forum
Mudzakaroh. Dalam forum inilah masing-masing
pihak dapat saling mengenal.
Fujinkai : Organisasi perempuan di bawah kekuasaan Jepang
yang diizinkan hidup. Kegiatan organisasi ini adalah
di bidang pemberantasan buta huruf dan berbagai
pekerjaan sosial. Perkumpulan wanita yang dibentuk
oleh Jepang. Organisasi ini merupakan kelanjutan dari
impian Jepang akan pembentukan Asia Timur Raya
dengan gerakan AAA (Nippon Pelindung Asia,
Nippon Pemimpin Asia, Nippon Cahaya Asia).
Gerakan Genjer-Genjer : Menurut dokumen-dokumen rahasia PKI yang telah
jatuh ke tangan ABRI pada masa Gestapu, gerakan ini
adalah gerakan yang direncanakan oleh PKI untuk
melakukan tindakan penganiayaan-penganiayaan,
penculikan-penculikan, serta pembunuhan-
pembunuhan terhadap komunitas yang kontra
terhadap keberadaan PKI. Selain itu, ada pula rencana
lain dari gerakan ini untuk menaburkan bubuk DDT
di setiap sumur penduduk yang bukan dari
golongannya.
Godhong Jarak : Daun jarak muda yang dipanaskan diatas api lampu
minyak kemudian dipilin-pilin. Setelah halus
ditempelkan pada bagian pusar dan punggung.
Gupuh : Ramah menerima tamu.
Gus : Panggilan untuk anak laki-laki yang berasal dari
keturunan bangsawan atau kiayi di daerah Jawa
Timur.
Kadam : Santri yang merangkap sebagai pembantu rumah
tangga di rumah kiyai. Pada umumnya mereka lebih
banyak mengabdi pada keluarga kiyai karena
dipercaya mendapat barokah.
Kongres : Mukatamar, Rapat, Pertemuan, Perundingan.
Kothekan : Seni lagu dengan diiringi irama musik yang berasal
dari pukulan kayu, kentongan, bangku, atau ala-alat
lain yang dipandang bisa mengeluarkan bunyi ketika
dipukul.
Hadrah : Seni melatunkan baca shalawat yang dilagukan
dengan irama musik rebana.
Jamu Toga : Jamu yang diminumkan pada anak-anak kecil di
pedesaan. Biasanya terbuat dari kunci, kencur, sinom,
temulawak, temuireng yang dihaluskan kemudian
dibungkus dengan kain. Lalu dimasukkan kedalam
mulut anak kecil sambil diperas agar tetesan sarinya
tertelan oleh si anak. Rakyat pedesaan biasanya selalu
melakukan hal tersebut yang sudah dilakukan secara
turun-temurun.
Lungguh : Mendudukkan di tempat terhormat.
Macak : Pandai berpakaian, berdandan dan bersolek sebagai
pendamping suami.
Majruron : Seni melantunkan bacaan shalawat atau lagu-lagu
irama gambus dengan musik rebana.
Makarti : Seorang perempuan harus memiliki kemampuan
dan keterampilan.
Manak : Melahirkan dan membesarkan anak-anak dengan
kasih sayang.
Manakkiban : Selamatan sebagai ungkapan rasa syukur atas suatu
keberhasilan, atau biasa disebut selamatan nazar.
Dengan dilengkapi sajian sega gurih (nasi kuning),
engkung (ayam utuh dibumbu kare) yang ditempatkan
dalam maron (kuali tanah).
NGO UN Coorperation Forum : Didirikan pada 1988. PDF menggabungkan
berbagai LSM berinteraksi dengan Pemerintah, dunia
usaha dan badan-badan Internasional dalam suatu
forum untuk mengembangkan peran serta berbagai
aktor dalam pembangunan. Kemudian berganti nama
menjadi PDF.
Ning : Panggilan untuk anak perempuan yang berasal dari
keturunan bangsawan atau kiayi di daerah Jawa
Timur.
Nonik : Gadis untuk bangsa Eropa pada masa Hindia
Belanda (Indonesia).
NUM/ NOM : Nahdlatul Ulama Muslimat/ Nahdlatul Oelama
Muslimat. Nama yang dipakai Muslimat sebelum
menjadi badan otonom Nahdlatul Ulama
Nyonya Londo : Panggilan untuk keturunan Eropa yang sudah
berumah tangga pada masa Hindia. Belanda
(Indonesia).
Ortodoks : Sebuah pemahaman keagamaan yang didasarkan
pada semangat untuk menjaga warisan klasik semata
tanpa melakukan kritik terhadap “warisan kultural”
itu. Pemahaman yang demikian, dalam Nahdlatul
Ulama, adalah kehidupan ideal seorang muslim yang
elah dipraktikan dari generasi pendahulu, al-Sabiqun
al-Awwalun, Salfiyyun dan para sahabat Nabi
Muhammad SAW merupakan praktek keagamaan
yang ideal dan sempurna.
PDF (Participatory Development Forum) : Biasa dikenal dengan Forum
Pengembangan Kewaspadaan merupakan federasi
dari Forum kerjasama LSM. Diresmikan tahun 1991.
Pujian : Syair berirama dalam bahasa Arab atau Jawa yang
didendangkan pada waktu setelah azan dan iqomat.
Samroh : Seni musik perpaduan antara musik gambus dan
hadrah.
Suguh : Melayani dengan baik.
Transfer of learning : Pengalaman yang turun-termurun.
Qonun : Peraturan-peraturan yang dibuat dalam suatu daerah
dengan memegang teguh ajaran al-Quran dan as-
Sunnah.
Wewaler : Aturan baku yang disakralkan. Dalam budaya santri
tradisional di Jawa Timur aturan tersebut sudah
melekat dalam masyarakat, seperti contoh pakaian
tradisional pedesaan merupakan peraturan yang telah
terbingkai dalam sistem budaya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam seperti halnya Barat, menganggap status perempuan adalah sama
dengan laki-laki. Perintah yang berkenaan dengan kehormatan dan penghormatan
yang diberikan kepada satu jenis kelamin juga diberikan kepada jenis kelamin
lainnya. Keduanya merupakan partisipan dan partner yang sejajar. Karenanya
perempuan harus menerima perlakuan yang sejajar dengan laki-laki dalam bidang
pendidikan, kesempatan kerja, dan politik. Walaupun dalam prakteknya,
perempuan belum berhasil sepenuhnya dalam usaha mendapatkan status yang
sama dengan laki-laki.
Bila dilihat dari jumlah penduduk secara keseluruhan, maka jumlah
perempuan Indonesia saat ini telah melebihi separuh (50,3 %) penduduk
Indonesia.1 Dengan jumlah sebesar itu, jika didukung oleh kualitas yang tinggi
maka perempuan Indonesia merupakan potensi produktif dan modal bagi
pembangunan. Tetapi, sangat disayangkan, lingkungan budaya bangsa Indonesia
yang masih memposisikan perempuan lebih rendah dalam hal pekerjaan
dibandingkan laki-laki. Oleh karenanya perempuan harus dapat memanfaatkan
peluang yang ada untuk menunjukkan peran terbaiknya dalam berbagai kegiatan
pembangunan nasional.
1 Triyuni Soemartono, Pemberdayaan Perempuan Masih Retoriksa, artikel diakses pada
Februari 2008 dari http://www.suarakarya-online.com.
Al-Quran secara jelas menegaskan prinsip kesetaraan di antara umat
manusia, laki-laki ataupun perempuan. Dan menjelaskan perbedaan yang
meninggikan dan merendahkan seseorang bukanlah dari jenis kelamin melainkan
ketaqwaan umat manusia kepada Allah. Sebagaimana dalam al-Quran Surat al-
Hujurat ayat 13 yang artinya sebagai berikut:2
Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q. S. al-Hujurat: 13).
Organisasi masyarakat berbasis keagamaan, Nahdlatul Ulama menyambut
baik mengenai pembelaan perempuan dengan kesetaraan antar umat manusia.
Dalam Munas-nya Nahdlatul Ulama (Musyawarah Nasional) yang digelar di Nusa
Tenggara Timur pada November 1997, mengenai peran perempuan, memutuskan
bahwa a. untuk pertama kalinya isu-isu perempuan diangkat dan dipertimbangkan
secara serius, b. perempuan dinilai positif keluar dari lingkup domestik. Diakui
bahwa kebudayaan patrilineal yang selama ini dianut oleh kebanyakan masyarakat
Indonesia telah mengalami distorsi sehingga menimbulkan anggapan yang
merendahkan perempuan, hal ini perlu untuk ditinjau ulang. Keputusan ini
menjelaskan bahwa perbedaan fungsi antara laki-laki dan perempuan merupakan
kodrat dimana, “peran domestik perempuan merupakan ‘kesejatian’, akan tetapi
2 Trisno S. Susanto, “ Tulang Rusuk Adam: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Optik
Perempuan, Taswirul Afkar: Jurnal Refleksi dan Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 5, (Tahun 1999), h. 12.
peran publik perempuan, dimana ia sebagai anggota masyarakat harus
melakukan peranannya lebih tegas. Dengan kata lain, kedudukan perempuan
dalam negara dan bangsa telah terbuka lebar, tanpa melupakan fungsi kodrati
perempuan.”3 Oleh karenanya peran perempuan sangat dibutuhkan bukan untuk
dibandingkan, baik hanya dalam lingkup Nahdlatul Ulama dan juga dalam
pembangunan. Perempuan dan laki-laki memiliki fungsi yang sama, saling
menciptakan dan memajukan peradaban.
Di awal abad ke XX, adalah merupakan moment yang cukup penting dan
menentukan sejarah bangsa ini. Karena dalam kurun waktu tersebut merupakan
titik balik kebangkitan bangsa Indonesia. Bangsa ini, mengalami kesadaran baru
yakni ingin bebas dari cengkraman penjajah. Mulai dari yang bersifat tradisional
sampai pada kharisma mulai bangun bahu-membahu untuk perjuangan Indonesia
dengan cara yang terorganisir. Kelahiran gerakan feminis di Indonesia, beriringan
dengan perjuang kemerdekaan, yang telah menyatu dalam kebangkitan nasional.
Emansipasi individual adalah perkembangan yang paling khas dari evolusi
modern masyarakat Indonesia, sudah seharusnyalah kondisi perempuan Indonesia
diperbaharui secara lebih menyeluruh.4
Dinamika politik kebangsaan sangat diwarnai dengan keterlibatan kaum
perempuan. Hal ini tidak hanya terlihat di dalam sekolah-sekolah yang bersifat
agama tetapi juga pada kegiatan perempuan yang bersifat radikal, seperti
Perhimpunan Muslimin Indonesia (Permi). Pada masa pendudukan Jepang di
3 Robin L. Bush, “Wacana Perempuan di Lingkungan Nahdlatul Ulama”, Taswirul Afkar:
Jurnal Refleksi dan Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 5, (Tahun 1999), h. 28. 4 Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian,
(Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 1.
Tanah Air, semua organisasi atau kegiatan yang memiliki hubungan dengan Asia
Timur Raya, dibekukan, dilarang, termasuk pula dengan organisasi perempuan.
Adanya pergerakan yang dilakukan perempuan Indonesia merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dalam sejarah bangsa ini. Pergerakan ini dilandasi juga
dengan ajaran agama tentang kesederajatan antara sesama manusia. Pergerakan
kemajuan perempuan dimulai melalui pendidikan. Walaupun perkembangan
perempuan sangat lambat, tidak memungkinkan perempuan untuk terus maju dan
ikut dalam pembangunan negara. Banyaknya faham-faham baru yang berkembang
di Eropa juga amat berpengaruh di belahan dunia lainnya, misalnya Indonesia.
Seperti lahirnya Budi Utomo (1908) dan Syarikat Islam (1912), menggugah
kesadaran kaum pria dan elit-elit tradisional lainnya untuk untuk meningkatkan
kemajuan rakyat, terutama kaum perempuan.5 Seiring dengan perkembangan
zaman dan ilmu pengetahuan, muncul kesadaran kaum perempuan untuk
memperoleh kedudukan dan kebebasan yang sama seperti halnya perempuan di
Barat yang mendapatkan kesempatan pendidikan untuk mengembangkan diri.6
Banyaknya organisasi yang bermunculan di kalangan elit terpelajar,
sebagian didasarkan atas identitas-identitas kesukuan, dan suatu tanda yang lebih
mencolok adalah lahirnya gerakan pembaharuan Islam, misalnya Nahdatul Ulama
(NU),7 “kebangkitan para ulama”. Organisasi ini didirikan oleh ulama pesantren
dengan kesamaan sikap, tatacara, dan pemahaman, serta penghayatan Islam
5 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk
Agama, Negara dan Bangsa,(Jakarta: PP Muslimat NU, 1996), h. 5-13. 6 A. K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat,
1984), h. 111. 7 M. C. Rickles, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2005), cet. Ke-3, h. 369.
dengan berpegang teguh pada ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Didirikan pada
31 Januari 1926, salah satunya oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Organisasi
kemasyarakatan ini didirikan atas basis keagamaan yang tergabung dari para kiayi
di Jawa Timur untuk membela kaum tradisional.8
Adanya Muslimat Nahdlatul Ulama yang semula adalah bagian
perempuan dari organisasi Nahdlatul Ulama dengan nama Nahdlatul Ulama
Muslimat (NUM). Muslimat berdiri atas prakarsa kaum perempuan Nahdlatul
Ulama yang ingin memajukan perempuan dalam berbagai bidang dengan tetap
berprinsip pada ajaran Islam. Misalnya, Solichah Wahid Hasyim memiliki
peranan dalam membangun dan mengembangkan Muslimat NU yang merupakan
bagian dari NU. NU juga berkembang didaerah-daerah lain, sama halnya dengan
Muslimat NU yang memiliki cabang di berbagai daerah. Organisasi ini sangat
mendukung kemajuan pendidikan Islam tradisional, pemeliharaan fakir miskin,
dan usaha-usaha ekonomi.
Bersuamikan pejuang menjadikan Solichah memiliki jiwa pejuang.
Semasa mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), ia ikut ambil bagian sebagai
kurir yang bertugas untuk mengirimkan bahan makanan atau pesan-pesan ke garis
depan di Mojokerto, Krian dan Jombang. Solichah pintar menyusup kedalam
pertempuran yang berbahaya. Tak heran sampai pada hari tuanya pun masih
bersemangat dalam melakukan berbagai aktivitas dan untuk mengenang jasanya,
8 Kacung Marijan, Quo Vadis NU: Setelah Kembali Ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga,
1992), h. 1.
pemerintah menganugerahkan tanda penghargaan sebagai veteran pejuang
kemerdekaan.9
Solichah aktif dalam pengajian-pengajian masyarakat, membuka ranting-
ranting Muslimat NU baru, dan terlibat di Fujinkai yang membuatnya terlibat di
banyak kalangan. Beliau juga aktif dalam perpolitikan Indonesia yakni aktif dari
Nahdatul Ulama yang kemudian berfusi dengan Partai Persatuan Pembangunan
juga sebagai anggota DPRD mewakili NU. Menurut Mahmudah Mawardi,10
Solichah adalah wanita yang berfikiran maju, ia juga menjadi salah satu motor
penggerak Muslimat NU serta dicintai para anggotanya. Beliau juga sebagai
penyelamat organisasi pada situasi sulit. Pemikirannya banyak memberikan
kemajuan dan perkembangan dalam Muslimat NU. Beliau juga banyak
mendirikan yayasan sosial bersama teman-temannya. Banyak tindakan-tindakan
beliau yang humanis yang dilakukan untuk memberdayakan masyarakat
Indonesia, khususnya perempuan melalui Muslimat NU dan kedudukannya dalam
anggota DPRGR.11
Solichah juga sebagai seorang ibu. Beliau sering berhadapan dengan
situasi zaman yang tidak nyaman. Beliau mengalami zaman yang berbahaya baik
secara fisik, politis dan ideologi. Situasi zaman yang sudah dirasakannya adalah
represi kolonial yang berkelanjutan. Perannya tak lepas bahkan setelah ditinggal
oleh suami tercinta, beliau tetap berusaha membesarkan anak-anaknya sebagai
9 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk
Agama, Negara dan Bangsa, (Jakarta: PP Muslimat NU, 1996), h. 126. 10 Sahabat Solichah semasa di Muslimat. Almarhumah adalah mantan Ketua Umum
Muslimat Pusat periode 1950-1979. Keduanya sering disebut dengan “Dua Serangkai yang Tak Terpisahkan.”
11 Syaifullah Amin, Sosok Hj. Nyai Sholichah Munawwarah, artikel diakses pada 20 Maret 2008 dari http://jalantrabas.blogspot.com.
pelindung utama. Kesanggupannya sebagai pemimpin domestik telah menjadi
teladan generasi berikutnya sampai menghantarkannya pada kursi pemerintahan.
Solichah mewariskan semangat humanis, kesederhanaan, dan kehangatan sebagai
dasar pembentukan emosional. Tentunya ini tidak terlepas dari pendidikannya
sedari kecil.12
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk lebih memudahkan dalam penulisan ini, penulis hanya membatasi
dan lebih memfokuskan penulisan pada kiprah perjuangan Solichah A. Wahid
Hasyim dalam membangun dan mengembangkan perempuan melalui ormas
Muslimat NU. Berkaitan dengan hal tersebut, maka masalah-masalah yang harus
dirumuskan dalam sebuah pertanyaan riset (major research question) ialah:
1. Bagaimana kiprah perjuangan Solichah A. Wahid Hasyim dalam
pemberdayaan ormas Muslimat NU?
2. Apa yang dilakukan Solichah A. Wahid Hasyim dalam upaya peningkatan
status dan peran perempuan melalui organisasi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang ingin penulis capai adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui eksistensi Solichah A. Wahid Hasyim dalam Muslimat
2. Untuk memacu lahirnya penulis-penulis lain untuk menambah khazanah
penulisan sejarah
12 Nurinwa Ki. S. Hendrowinoto, dkk, Ibu Indonesia dalam Kenangan, (Jakarta: Bank
Naskah Gramedia dan Yayasan Biografi Indonesia, 2004), h. 5-9.
3. Memberikan informasi yang terkait tentang berbagai aspek peranan
Solichah A. Wahid Hasyim dalam memajukan kaum perempuan
Tentunya manfaat yang dapat penulis berikan dan harapkan dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut.
1. Menambah koleksi perpustakaan agar bermanfaat, mengenai sejarah tokoh
Indonesia
2. Sebagai bahan penelitian awal untuk dapat dilakukan penelitian lebih
lanjut bagi yang ingin mengetahui sejarah Solichah lebih mendalam baik
kalangan akademika ataupun umum
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Tujuan studi ini adalah untuk mencapai penulisan mengenai kajian sejarah
pergerakan perempuan Islam Indonesia. Oleh karenanya penulis akan
menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan sejarah
feminisme, sehingga dapat menggambarkan dan menganalisa kiprah Solichah
A. Wahid Hasyim dalam ruang publik, yakni kiprahnya dalam perkembangan
Muslimat NU. Maka hal inilah yang dapat penulis lakukan untuk mencari dan
meneliti data-data yang akan dijadikan sumber, baik primer atau sekunder.
Dalam mengkaji permasalahan di atas penulis akan mengambil langkah
dalam menggali data yaitu sebagai berikut.
1. Sumber Primer, yang dapat penulis lakukan dengan mengadakan
kunjungan dan penelitian. Dalam hal ini, yang berupa informasi lisan yaitu
dari tokoh yang terkait. Metode sejarah ini dipergunakan sebagai metode
pelengkap terhadap bahan documenter.13 Misalnya Ibu Asmah Syahroni
selaku teman seperjuangan semasa di mengembangkan Muslimat Pusat
dan mantan Ketua Umum periode 1984-1995. Selain itu Aisyah Hamid
Baidlowi yang merupakan putri kedua dari Solichah, aktif dalam Muslimat
dan mantan Ketua Umum Muslimat Pusat periode 1995-2004.
2. Sumber Sekunder, berupa bahan pustaka yang diperlukan, yakni berisi
informasi yang bersangkutan dengan sumber primer yakni dengan
menggali data-data dalam bentuk tertulis yakni informasi dari berbagai
perpustakaan. Seperti perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah,
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan PBNU,
Perpustakaan Wahid Institute, Perpustakaan DPR RI, Data-data dari
Muslimat NU Pusat dan sebagainya.
Dari data yang telah terkumpul dari berbagai sumber, kemudian
ditelaah kembali dan diklasifikasikan serta disusun sesuai jenisnya.
Selanjutnya, di dalam metodologi sejarah bahwa sumber-sumber yang
telah didapat tersebut akan diverifikasi keabsahannya melalui kritik intern
dan kritik ekstern.14 Langkah berikutnya adalah menginterpretasikan data-
data yang sudah dianalisa sehingga menjadi suatu karya yang utuh,
sistematis dan kronologis berdasarkan tema dari objek penelitian.
Dalam teknik penulisan ini, penulis berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang
diterbitkan oleh UIN Jakarta Tahun 2007, sehingga dalam penyajianya
13 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994), h. 23. 14 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Pamulang: Logos Wacana Ilmu,
1999), cet. Ke. 1, h. 58.
akan mendapatkan suatu karya tulis yang bernilai ilmiah baik dari segi isi
maupun cara penulisannya.
E. Survey Pustaka
Sejauh yang penulis ketahui, kajian yang dilakukan mengenai
Solichah A. Wahid Hasyim secara umum dalam buku 50 Tahun Muslimat
Nahdatul Ulama Berkhidmat untuk Agama Negara dan Bangsa.15 Di sini
dijelaskan sedikit, mengenai biografi Sholichah A. Wahid Hasyim,
keluarganya sampai pada kiprah beliau dalam organisasi Nahdlatul Ulama
hingga sampai di panggung perpolitikan. Beliau lebih dikenal dengan
‘Penyelamat Organisasi pada Situasi Sulit.’ Tetapi dalam buku ini tidak
digambarkan mengenai biografi Solichah secara jelas.
Dalam buku lain, “Wanita, Martabat, dan Pembangunan,” oleh
Kardinas Soepardjo Roestam yang diterbitkan oleh Forum Pengembangan
Kewaspadaan (Participatory Development Forum) tahun 1993. Dijelaskan
tentang perempuan secara menyeluruh mengenai peranan perempuan
untuk mensejahterakan lingkungan dan pembangunan masyarakat
terutama dalam pemberdayaan perempuan melalui berbagai kegiatan.
Seperti halnya Solichah, dalam buku ini ditekankan bahwa kesejahteraan
perempuan harus dimulai dan dilakukan oleh kaum perempuan itu sendiri,
baik dengan gerakan perorangan maupun terorganisir. Buku ini merupakan
15 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk
Agama, Negara dan Bangsa,(Jakarta: PP Muslimat NU, 1996),h. 123-129.
landasan teori untuk melakukan penulisan yang terkait dengan pendekatan
sejarah feminisme.
Diketahui dalam tulisan lainnya dalam buku “Ibu Indonesia dalam
Kenangan”,16 yang diterbitkan oleh Bank naskah Gramedia dan Yayasan
Biografi Indonesia tahun 2004. Dijelaskan tentang sisi kehidupan Solichah
Wahid Hasyim dimasa kanak-kanak yang lebih dikenal dengan ‘Neng
Waroh’ sampai beliau dinikahkan oleh Wahid Hasyim yang tak lain adalah
putra salah satu dari pendiri Nahdlatul Ulama. Sampai kemudian menjadi
’Ibu bagi Banyak Orang’.
Cora Vreede-De Stuers, menulis dalam buku, “Sejarah Perempuan
Indonesia: Gerakan dan Pencapaian.” Menjelaskan mengenai peran
perempuan Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh suasana pergerakan
nasional bangsa ini yang ditinjau dari beberapa aspek, a. mengenai
identitas perempuan Indonesia dilihat dari sosio-kultur melawan
perkawinan dan pembodohan, b. merekonstruksi kesadaran personal,
kesadaran organisasi hingga menciptakan suatu gerakan perempuan
nasional dalam ‘Perikatan Perempuan Indonesia’. Pustaka ini dijadikan
acuan bagi penulis sebagai dasar dan konsep dalam penulisan skripsi ini
karena keterkaitan antara variabel-variabel yang diteliti.
16 Nurinwa Ki. S. Hendrowinoto, dkk, Ibu Indonesia dalam Kenangan, (Jakarta: Bank
Naskah Gramedia dan Yayasan Biografi Indonesia, 2004), h. 59-237
F. Sistematika Penulisan
Bab I, Pendahuluan yang berisi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian
dan Teknik Penulisan, Survey Pustaka dan Sistematika Penulisan.
Bab II, Sejarah Perempuan Indonesia yang berisi: Perempuan dan Isu Gender,
Sejarah Pergerakan Perempuan, Pergerakan Perempuan Islam dan
Kedudukan Perempuan dalam Agama, Sosial dan Politik.
Bab III, Sosok Solichah A. Wahid Hasyim yang berisi: Riwayat Hidup dan
Aktifitas.
Bab IV, Solichah A. Wahid Hasyim dalam Memberdayakan Muslimat Nahdatul
Ulama berisi: Solichah sebagai Motor Penggerak dan Pembangun
Muslimat NU, Pejuang Peningkatan Status, Hak dan Peran Perempuan,
Solichah Membangun Image Organisasi Perempuan di Mata Umum, dan
Muslimat NU dengan Organisasi lainnya.
Bab V, Penutup yakni berisikan: Kesimpulan dan Saran-saran.
BAB II
SEJARAH PEREMPUAN INDONESIA
E. Perempuan dan Isu Gender
Kata seks berasal dari sex, bahasa Inggris, berarti jenis kelamin.
Pemahaman ini kemudian diperjelas dengan ciri-ciri yang membedakan antara
jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Sedangkan gender
adalah kelompok kata yang mempunyai sifat maskulin, feminis, atau tanpa
keduanya, netral.17
Perjalanan sejarah perspektif perempuan, memperlihatkan fakta bahwa
perempuan masih hidup dalam dominasi kekuasaan maskulin di sekitar
kehidupannya, baik secara keluarga dan bermasyarakat. Tetapi hal itu tidak
membuat perempuan hanya menjadi sosok sekunder yang hanya menerima
keadaan apa adanya. Baik secara individual atau kekuatan kolektif, seorang
perempuan harus mampu menyerap nilai-nilai dari dunia maskulin secara lebih
baik. Sehingga mampu mendeklarasikan dirinya menjadi rekan sejajar di hadapan
suami maupun laki-laki.18 Isu yang berkembang jika perempuan selalu
ditempatkan pada sektor domestik, perempuan akan lebih dominan tumbuh dalam
aspek emosional ketimbang rasional. Namun jika perempuan berkiprah di sektor
publik dan mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki maka perempuan akan
dapat mengembangkan diri. Dari sinilah perempuan akan dapat memanfaatkan
17 Fadilah Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan McGill-ICIHEP, 2003), h. 54. 18 Nurinwa Ki. S Hendrowinoto, dkk, Ibu Indonesia dalam Kenangan, (Jakarta: Bank
Naskah Gramedia dan Yayasan Biografi Indonesia, 2004), h. 4.
kesempatan yang ada dengan jalan atau akses-akses yang telah tersedia untuk
dapat mengembangkan diri lebih maksimal dalam memanfaatkan akses-akses
pembangunan.
Perbedaan antar jenis kelamin yang diungkapkan secara ilmiah oleh
Charles Darwin dalam bukunya The Desent of Man. Uraian Darwin mengenai
perbedaan cukup membuat kontroversial. Ia menyatakan bahwa, “laki-laki dan
perempuan berbeda dalam ukuran, kekuatan tubuh, dan yang lainnya juga dalam
hal pemikiran.” Setelah diteliti lebih lanjut oleh seorang ilmuwan perempuan, M.
A. Hardaker, yang menulis majalah Popular Science Monthly (1822) menjelaskan,
bahwa perempuan mempunyai kemampuan berfikir dan kreatifitas yang lebih
rendah dibanding laki-laki akan tetapi perempuan mempunyai kemampuan intuisi
dan persepsi yang lebih unggul dari laki-laki. Perkembangan selanjutnya, banyak
yang mennyangkal teori Darwin mengenai perbedan kemampuan intelejensia laki-
laki dan perempuan. Secara mendasar biologis perempuan memang berbeda
dengan laki-laki tetapi perbedaan tersebut tidak membuat perempuan memiliki
intelejensia dibawah laki-laki. Kemampuan intelejensia manusia diukur secara
keseluruhan kehidupan, dimana perempuan mampu memasuki dunia pendidikan
yang tadinya dipercaya hanya laki-laki yang mampu. Hal ini mempengaruhi
kebijakan diseluruh negara-negara di dunia, perempuan diberikan hak yang sama
untuk pendidikan dalam Undang-Undang Negara. Bahkan di beberapa negara
maju, perempuan lebih tinggi pendidikannya dibanding laki-laki. Penemuan
terakhir membuktikan bahwa perempuan lebih menggunakan kedua belah otaknya
dalam berfikir sedang laki-laki terkonsentrasi pada otak bagian kiri. Oleh
karenanya cara berfikir perempuan lebih naratif dan kontekstual, laki-laki lebih
formal, linear dan abstrak.19
Kultur masyarakat Indonesia yang menempatkan perempuan dalam rumah
tangga, menyebabkan perempuan adalah gambaran orang yang bodoh, buta huruf,
dan sebagainya. Terlebih lagi tidak diberikannya kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan karena tanggung jawabnya sebagai istri. Jika dilihat dari faktor
ekonomi perempuan tidak bisa berkembang karena bergantung pada laki-laki.
Kaum perempuan tak memiliki power, atau kontrol terhadap apapun, sehingga
dalam pengambilan keputusan akan cenderung bergantung pada laki-laki. Wacana
yang berkembang bahwa pihak perempuan merasa di diskriminasikan
kedudukannya oleh laki-laki. Perkembangan selanjutnya, banyak perempuan
berusaha untuk menjadi lebih mandiri untuk mendapatkan kedudukan dan partner
yang sejajar dengan laki-laki baik dalam lingkup domestik maupun publik.
Karena mereka memahami tanggung jawabnya akan mendidik calon generasi
masa depan. Kaum perempuan menyadari bahwa pentingnya pendidikan agar
dapat menjadi ibu dan istri yang baik.
Masa sultanat Aceh, perempuan banyak memegang tampuk kekuasaan
untuk kesejahteraan rakyatnya. Perempuan turut duduk dalam pemerintahan untuk
bersama dengan laki-laki mengatur negara demi tegaknya keadilan dan
kemakmuran rakyat. Pemerintah Aceh mengambil Islam sebagai dasar negara dan
Qonun serta Hadist sebagai sumber hukum, bahwa kedudukan perempuan sejajar
dengan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satunya
19 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi
Gender, (Bandung: Mizan, 1999), cet ke-1, h. 87-95.
adalah Ratu Nihrasiyah (1400-1428), dengan peranannya yang sangat menonjol
dalam bidang politik dan militer sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai.
Setelah kepergian Sultan Iskandar Muda, tampuk kekuasaan Kerajaan
Aceh berturut-turut beralih pada perempuan. Sri Ratu Safiatuddin Syah (1641-
1675), anak dari Sultan Iskandar Muda dan mantan permaisuri Sultan Iskandar
Muda Sani Alauddin Muahyatsyah. Kemudian digantikan oleh Ratu Safiatuddin
dengan gelar Sri Ratu Nurul Alam Nakiatuddin (1675-1678). Namun hanya
menjabat selama 2 tahun. Kemudian digantikan oleh Sri Ratu Nakiatuddin Inayat
Syah. Seorang yang bijaksana dengan pengetahuan yang luas dalam berbagai
bidang. Setelah mangkat digantikan oleh Ratu Kemalat Syah (1678-1688).
Berturut-turut kerajaan Aceh dipimpin oleh seorang perempuan, hal ini
membuktikan perempuan mampu berdiri sebagai pemimpin seperti yang
dilakukan oleh laki-laki yang berani menghadapi berbagai masalah seperti
perjuangan melawan Belanda, Inggris, Portugis, dan lainnya. Masih banyak pula
perempuan Aceh yang turut berjuang untuk kepentingan bersama seperti Cut
Nyak Dien, Cut Mutia, Teuku Fakinah, dan Pocut Baren.20
Di panggung sejarah Kerajaan Demak abad ke-16, Ratu Kalimanyat
mempunyai peranan yang menonjol sebagai penguasa Jepara, ketika kerajaan
Demak mengalami masa-masa suram. Dalam Babad Demak Jilid 2 dimuat silsilah
yang menempatkan Ratu Kalimanyat sebagai putri sulung Sultan Trenggana.
Daerah Kalimanyat yang luas meliputi empat kota pelabuhan di pantai Utara Jawa
Tengah. Oleh karena itu, selain dikenal sebagai penguasa yang kaya raya, yakni
20 Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1980), h.
291-295.
dengan diberlakukanya sistem comenda dalam pelayaran dan perdagangan. Ratu
Kalimanyat juga seorang penguasa politik dan pedagang.
Di bawah pemerintahan Ratu Kalimanyat, Jepara lebih diarahkan kepada
sektor perdagangan dan angkatan laut. Keduanya berkembang dengan baik,
melalui dukungan dan kerjasama dengan beberapa daerah kerajaan maritim
lainnya, seperti: Johor, Maluku, Banten, dan Cirebon. Walaupun telah mengalami
kekalahan dalam pertempuran melawan Portugis, Ratu Kalimanyat tetap berkuasa
dan terus melakukan perlawanan kepada Portugis di Malaka. Orang Portugis
mengakui akan kebesaran Ratu Kalimanyat, dalam bukunya De Couto
menyebutnya sebagai Rainha de Japara, Sembora Pedoresa e rica (Ratu Jepara:
seorang wanita yang kaya dan berkuasa).21
Dalam abad ke-19, selama tahun-tahun menjelang Perang Jawa (1825-
1830) terdapat bukti tentang peranan perempuan dalam perdagangan, militer
politik dan kehidupan sosial di kalangan Istana di Jawa Tengah oleh Nyi Ageng
Serang. Terdapat pula di daerah Timur Indonesia, banyak pula perempuan-
perempuan yang berjuang untuk kepentingan bangsanya. Misalnya, Christina
Tiahahu yang berjuang melawan Belanda di Maluku (1817-1819), perempuan
berperan dalam bidang kesejahteraan masyarakat.22
Di samping suami, perempuan bergerak dengan semangat kepahlawanan
dan kesatriaan untuk melawan imperealisme, kolonialisme, dan kapitalisme yang
hendak menghancurkan Tanah Air. Perempuan berani tampil ke depan medan
21 Chusnul Hayati, dkk, Peranan Ratu Kalimanyat di Jepara pada Abad XVI, (Jakarta:
CV. Putra Prima, 2000), h. 55-67. 22 Restu Gunawan, Seminar Kebangkitan Pergerakan Nasional: 25- 27 Mei 1988,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h. 209-212.
perang untuk pemerintahan, pendidikan, dan agama. Hal tersebut membuktikan
bahwa perempuan pun dapat menjadi pemimpin, baik bagi dirinya maupun bagi
kalangan masyarakat.
F. Sejarah Pergerakan Perempuan
Dalam teori umum sosiologi, organisasi dalam suatu perkumpulan
seringkali dimasukkan dalam pengertian kelompok formal pada umumnya, yaitu
suatu kelompok manusia yang sengaja dibentuk karena adanya kepentingan
bersama. Mengapa ada organisasi yang anggota-anggotanya hanya terdiri dari
kaum Hawa saja? Jika dikaitkan, tentunya hal tersebut akan berhubungan dengan
peranan antara laki-laki dan perempuan (sex role differentiation) yang terdapat
dalam masyarakat. Peranan yang diberikan pada kaum perempuan berbeda-beda
dan ditentukan berdasarkan kebudayaan masing-masing. Maka terdapat
perbedaan-perbedaan antara lapangan pekerjaan laki-laki dan perempuan. Akan
tetapi perbedaan tersebut bukan hanya dalam masalah pekerjaan saja, dalam
perihal status, peranan, hak, dan kewajiban, serta fungsi, ditentukan oleh
kebudayaan masing-masing. Dengan berkembangnya masyarakat, maka akan
timbul gejala diferensiasi antara peranan laki-laki dan perempuan akan menjadi
lebih komplek. Misalnya dengan pekerjaan yang dulunya dikerjakan oleh laki-
laki, sekarang dapat dikerjakan oleh perempuan. Diferensiasi berdasarkan jenis
kelamin ialah suatu yang pokok jika dibandingkan dengan diferensiasi
berdasarkan bangsa, golongan dan sebagainya. Adanya perbedaan tersebut tetap
akan ada perbedaan mendasar yakni faktor biologis.
Lahirnya paham-paham baru dalam dunia seperti sosialime, nasionalisme,
demokrasi juga emansipasi di negara-negara Eropa berpegaruh pada negara-
negara lain, misalnya Asia. Hal ini memicu lahirnya keinginan kaum perempuan
khususnya di Indonesia untuk sama dengan perempuan Eropa dan melahirkan
perubahan-perubahan besar dalam sejarah. Karena sejarah bukan hanya milik laki-
laki semata.
Gerakan sosial yang dimotori oleh kaum perempuan dirumuskan sebagai
suatu kolektivitas yang berlangsung dalam waktu yang panjang dan mempunyai
tujuan untuk mengadakan perubahan atau menentang terjadinya suatu perubahan
dalam masyarakat. Pendirian suatu gerakan dari suatu kelompok tertentu
mempunyai kegiatan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama.23
Masyarakat Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan
sanggup berkompetisi dengan kekuatan-keuatan kolonial, penetrasi Kristen dan
perjuangan-perjuangan untuk maju di Asia apabila mereka terus menggunakan
cara-cara yang masih bersifat tradisional dalam menegakkan Islam. Mereka mulai
menyadari perlu adanya perubahan-perubahan, baik dalam bidang pendidikan,
sosial, ataupun gerakan. Mereka mulai memerlukan perubahan-perubahan, baik
dimulai dengan menggali mutiara-mutiara Islam dari masa lalu atau dengan
meningkatkan ilmu pengetahuan atau dengan mempergunakan metode-metode
baru yang telah dibawa ke Indonesia oleh pihak kolinial untuk bangkit dari
keterpurukan dan penjajahan.24 Kesadaran baru yang muncul sebagai
23 Sukanti Suryonchondro, Potret Pergerakan Wanita Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,
1984), h. 31 24 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1988),
cet ke- 4, h. 37.
reinterpretasi terhadap pengalaman sejarah yang sebelumnya mengalami
kegagalan demi kegagalan, dengan tumbangnya berbagai kekuatan tradisional.
Perjalanan sejarah sebelumnya memberikan pelajaran berharga bagi
perkembangan bangsa ini. Tanpa adanya persatuan dan kesatuan dari semangat
historis pada akhirnya akan mengalami kerugian.
Dalam masa-masa kolonial, perempuan ikut ambil bagian dalam
pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka bangkit dengan pribadi
yang mandiri dan tampil di depan publik. Gerakan perempuan pada umumnya
dirumuskan oleh kaum laki-laki seperti dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada real-nya gerakan mereka bertumpu pada aktualisasi diri sebagai warga
negara yang tersubordinasi, untuk bangkit dari dominasi sosial yang
membelenggu eksistensi dirinya. Kebangkitan gerakan ini dipengaruhi oleh situasi
politik nasional bangsa dibawah jajahan kolonial.
Secara faktual, politik penjajahan mempunyai pengaruh yang nyata
terhadap perempuan Indonesia, terutama pada masalah poligami, pergundikan,
perkawinan dengan anak-anak perempuan. Perempuan Indonesia menanggung
dari hubungan-hubungan sosial yang tidak sederajat. Pada waktu itu juga,
pemerintah kolonial membiarkan saja seksual dan adat yang tak bermoral terus
berlaku, baik di kalangan biasa maupun bangsawan. Dari sinilah kemudian
bermunculan sosok-sosok seperti Kartini sebagai orang pertama yang mengecam
praktek hubungan sosial yang tak sederajat.25
25 Fadilah Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan McGill-ICIHEP, 2003), h. 16.
Melihat perbedaan jalan kebebasan di Eropa adalah tuntutan persamaan
hak dan kedudukan sosial antara kaum pria dan wanita. Sedang di Indonesia
dalam perkembangan perempuan lebih mengedepankan pembebasan kaum
perempuan dari ketergantungannya dengan orang lain, khususnya laki-laki, yakni
dengan emansipasi yang juga berkembang di Indonesia, perempuan Indonesia
mengaharapkan peluang untuk turut dalam pengambilan keputusan sehubungan
dengan peletakan dasar-dasar kenegaraan yang akan menciptakan iklim guna
menguntungkan kaum perempuan mendapatkan kesempatan untuk menentukan
jalan hidupnya sendiri agar dapat tampil sebagai individu yang mandiri. Demikian
pula dengan bekal ilmu dan kecerdasan tinggi, kaum perempuan dapat
mengembangkan diri secara optimal dengan potensi yang ada dalam dirinya,
sehingga akan lebih mampu dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting
bagi dirinya agar dapat tampil sebagai individu yang terhormat.26
Jauh sebelum gerakan feminis terorganisir, Dewi Sartika27 telah banyak
berbicara mengenai ketidakadilan pembagian upah buruh antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan mendapatkan upah lebih rendah dibandingkan laki-laki
padahal mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Tahun 1912, mengemukankan
dalam esainya tentang perbaikan derajat perempuan:
Seharusnya kaum kuno juga mempertimbangkan pentingnya
pendidikan bagi kaum perempuan, dan saya seringkali menyinggung hal
26 Syamsudin Arif, Menyikapi Feminisme dan Isu Gender, artikel ini diakses pada 25
Februari 2008 dari http: //www.mulyplay.com. 27 Tokoh nasional Indonesia, salah satu pejuang perempuan setelah Kartini. Kelahiran
Sunda pada 1 Desember 1884, wafat 11 September 1947. Seorang janda muda yang mendirikan sekolah perempuan di Bandung tahun 1904, dikenal dengan Keutamaan Istri. Sekolahnya dibantu dengan beberapa gadis dari keluarga terhormat. Setelah menikah tahun 1906, Dewi Sartika mendapat dukungan dari suaminya, Achmad Djajadiningrat.
ini... Masalahnya karena kurangnya pengajaran di sekolah-sekolah
kita…Maka sangat penting memberikan pelatihan kepada bidan,
perempuan yang bekerja di kantor, juru ketik, pembantu rumah tangga,
pekerja perkebunan, dan lain-lain, singkatnya semua pekerjaan yang
sebenarnya diperuntukkan untuk perempuan sekarang telah dikerjakan
oleh laki-laki. Kita tidak boleh lupa bahwa di luar sana masih banyak
perempuan yang harus mengisi ‘bakul nasi’ mereka dengan bekerja di
pabrik atau perkebunan, padahal mereka belum diberikan pelatihan yang
memadai.28
Awalnya gerakan tersebut dilakukan secara perorangan tapi lama
kelamaan berkembang menjadi suatu gerakan yang terorganisir yang dimulai oleh
kalangan perempuan atas dan menengah. Diantaranya adalah organisasi
perempuan pertama, Putri Mardika yang didirikan di Jakarta pada 1912.29
Organisasi ini memperjuangkan pendidikan perempuan, untuk mendorong
perempuan di depan publik dan mengangkat perempuan ke tingkat yang sama
dengan laki-laki. Organisasi yang berdiri atas prakarsa Boedi Oetomo bertujuan
untuk memberikan bantuan, bimbingan, dan penerangan kepada gadis-gadis
pribumi dalam pelajaran.30 Pada 1913 organisasi ini menerbitkan surat kabar
mingguan dengan semboyan: surat kabat memperhatikan perempuan bumi putra
di Indonesia.31 Hadirnya Muslimat NU adalah bagian dari organisasi perempuan
dari golongan keagamaan, yang memberikan kontribusinya dalam tumbuhnya
pergerakan perempuan Indonesia.
28 Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian,
(Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 75. 29 Fadilah Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan McGill-ICIHEP, 2003), h. 20. 30 Sukanti Suryonchondro, Potret Pergerakan Wanita Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,
1984), h. 85. 31 Cora Vreede-De Stuers, loc. cit., h. 84.
Gerakan organisasi kebangsaan dengan berbagai corak kegiatannya,
sebenarnya telah terbingkai dalam kesatuan visi dan orientasi yang sama, yaitu
berjuang untuk kemerdekaan. Ada yang melakukannya secara radikal
revolusioner dan tidak sedikit yang melakukan pendekatan kultural dengan
memanfaatkan pendidikan sebagai basis perjuangannya. Pada tanggal 22-25
Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan Indonesia untuk pertama kalinya
yang dijiwai oleh Sumpah Pemuda. Berlangsungnya kongres ini merupakan
tonggak sejarah penting dimulainya kesatuan pergerakan perempuan.32 Kongres
ini berhasil membentuk ‘Perserikatan Perkoempoelan Perempuan’, yang menjadi
historis badan federasi yang dinamakan KOWANI (Kongres Wanita Indonesia)
sekarang. Berbagai organisasi perempuan kemudian bergabung. Sebagai federasi,
KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) diakui dapat mengakomodir dan
mempersatukan kepentingan anggotanya. Tetapi dalam hal-hal tertentu KOWANI
(Kongres Wanita Indonesia) dianggap lamban dan tidak berkutik dalam
mengambil keputusan.33 Banyak anggotanya menyatakan ke luar dari KOWANI
karena KOWANI karena dianggap KOWANI tidak setia pada bangsa dan
negaranya dan hanya mementingkan kepentingan golongan dengan bergabung
dengan Partai Komunis Indonesia untuk melakukan Gestapu.
Kesadaran baru yang diwujudkan dalam gerakan pendidikan kemudian
berkembang dalam bidang yang lebih luas. Lahirnya generasi baru dengan
seperangkat pengetahuan dan wawasan baru membawa kemajuan bagi pergerakan
32 Restu Gunawan, Seminar Kebangkitan Pergerakan Pergerakan Nasional: 25- 27 Mei
1988, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h. 215. 33 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk
Agama, Negara dan Bangsa, (Jakarta: Pucuk Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama, 1996), h. 6.
perempuan. Pergerakan dan berbagai macam perserikatan bermunculan, termasuk
yang dipimpin oleh kaum perempuan. Akan tetapi pada masa pendudukan Jepang,
organisasi-organisasi ini tidak mengalami perkembangan karena dibatasi oleh
pemerintahan Jepang.
Pada saat itu, politik kolonial Jepang membentuk organisasi perempuan
bernama Fujinkai (sejenis Dharma Wanita), Solichah adalah salah satu
anggotanya. Organisasi ini banyak memberikan keterampilan pada kaum
perempuan juga perempuan pribumi. Setelah kemerdekaan Fujinkai berubah
menjadi Persatuan Wanita Indonesia (PERWANI) pada bulan Desember 1945.34
Dalam kurun waktu 1945-1949 kaum perempuan ikut ambil bagian dalam
membela negara dengan membentuk organisasi-organisasi. Di kalangan Muslimah
pun tumbuh berkembang organisasi-organisasi kelaskaran bernama Laskar
Muslimat yang berpusat di Bukittinggi dan Laskar Sabil Muslimat yang ada di
Padang Panjang.
Di tahun yang sama, 1949 kaum perempuan berkumpul untuk meyatukan
kembali organisasi-organisasi perempuan. Tujuannya adalah memperlihatkan
tekad mereka untuk mendapatkan kemerdekaan nasional sepenuhnya. Konferensi
ini juga merumuskan pernyataan lengkap untuk menetapkan kepentingan-
kepentingan organisasi perempuan Indonesia.
34 Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 206.
G. Pergerakan Perempuan Islam
Jika ditelusuri, gerakan perempuan dan pembangunan dimulai dari
kepedulian orang tentang bagaimana proses pembangunan bukan saja telah
meninggalkan perempuan tetapi juga banyak hal yang telah merugikan, terutama
pada negara-negara yang sedang berkembang. Pada kenyataannya
memperlihatkan adanya akibat dari penjajahan yang sedang berkepanjangan,
keadaan ini sangat memprihatinkan. Sampai pada pembangunan untuk
memulihkan ekonomi negara banyak tak mengindahkan peran perempuan dalam
sektor pembangunan yang menjadi korban dalam pembangunan. Banyak
perempuan yang kehilangan pekerjaan di sektor pertanian sehingga menjadi
pengangguran yang tak berketerampilan. Kebijakan dan keputusan yang diambil
pemerintah tidak mengindahkan kepentingan perempuan.
Pergerakan perempuan Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam pergerakan nasional Indonesia. Pergerakan ini didorong oleh lahirnya
keinginan perempuan Indonesia tentang ajaran kesamaan manusia antara sesama
manusia dan yang membedakan hanyalah amal shaleh di sisi Allah SWT.
Organisasi-organisasi perempuan yang ada, semula dibangun dengan basis
pendidikan. Kesadaran untuk mendapatkan pendidikan di kalangan perempuan
muncul seiring dengan keinginan mereka untuk berkembang dan hampir muncul
di setiap daerah di Indonesia.35 Remaja perempuan mulai banyak yang memasuki
pendidikan umum yang didirikan oleh Belanda maupun yang didirikan kalangan
35 Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian,
(Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 92.
ulama. Banyak sekolah agama awalnya hanya menerima murid laki-laki saja,
sampai akhirnya tak sedikit pula sekolah yang menerima murid perempuan.
Organisasi perempuan selalu hadir belakangan, itupun setelah prakarsa
historis kaum laki-laki. Gerakan-gerakan perempuan hadir sebagai bagian dari
organisasi laki-laki, misalnya Aisyiyah yang didirikan tahun 1917 di Yogyakarta
sebagai bagian dari Muhammadiyah. Tahun 1923, barulah menjadi otonom.
Demikian juga dengan kalangan Nahdlatul Ulama. Organisasi ini dibangun untuk
memurnikan ajaran agama dengan Ahlus Sunnah wa Jamaah (1926), yang juga
membina organisasi perempuan dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM)
tahun 1946 kemudian menjadi otonom tahun 1952. Sama halnya dengan
Perempuan Syarikat Islam Indonesia tahun 1928 (perempuan PSII), Perempuan
Perti (Perti) lahir 1928, dan Persistri (Persis) lahir tahun 1923.36
Muslimat Nahdlatul Ulama merupakan bagian perempuan dan Nahdlatul
Ulama dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat. Organisasi ini berdiri 12 tahun
sejak berdirinya NU, oleh tokoh-tokoh perempuan Nahdlatul Ulama, seperti:
Chadijah Dahlan, pada Kongres Nahdlatul Ulama ke-16 di Purwokerto, Jawa
Tengah. Mereka tergerak untuk mengikutsertakan perempuan dalam organisasi
guna “meningkatkan derajat kaum perempuan”. Karena pada tahun-tahun pasca
kemerdekaan keadaan perempuan masih memprihatinkan. Setelah NU menjadi
partai politik tahun 1952, kedudukan organisasi ini meningkat menjadi badan
otonomi dari Partai NU, dengan nama Muslimat NU. Dengan status tersebut
36 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., loc. Cit., h. 13.
Muslimat dapat meningkatkan kinerjanya dalam federasi organisasi perempuan
yang mengabdi pada negara yaitu, KOWANI (Kongres Wanita Indonesia).37
Keinginan perempuan Islam Indonesia untuk ikut maju dalam
pembangunan diwujudkan melalui gerakan pendidikan dan perserikatan yang
tetap berkobar untuk merdeka. Sebab idealitas itu merupakan pemahaman
akumulatif terhadap zaman gelap bangsa Indonesia terutama yang mendera kaum
perempuan. Waktu berganti, abad ke-20 adalah kebangkitan bangsa Timur yang
berpengaruh pada perempuan Islam. Berduyun-duyun anak perempuan masuk
sekolah, mulai dari kalangan atas anak priyayi, pamong praja, orang berpangkat,
diiringi oleh kalangan anak-anak menengah, sampai kemudian anak-anak dari
rakyat jelata. Sekolah bukan hanya untuk anak laki-laki tapi juga untuk anak
perempuan. Surau-surau dan pesantren banyak dibanjiri oleh anak-anak
perempuan yang pada awalnya mereka hanya diajar oleh seorang guru dan
berkelompok kemudian memiliki kelas.
Sekolah-sekolah agama timbul bagai jamur dimusim hujan di Jawa,
Sumatra, dan pulau-pulau lainnya. Gerak kemajuan ini berjalan terus. Sekolah-
sekolah menghasilkan perempuan-perempuan terpelajar, guru-guru dan
pemimpin-pemimpin perempuan. Guru-guru agama perempuan pun tak kalah dari
laki-laki. Beriringan dengan itu lahir pula gerakan-gerakan yang dipimpin oleh
perempuan baik yang kebangsaan maupun yang keagamaan.
Dari berbagai macam organisasi perempuan Islam, Muslimat Nahdlatul
Ulama lebih mengacu pada pemikiran lama dalam acuan ibadahnya, Ahlus
37 Sulastri, Perempuan Indonesia Dulu dan Kini, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996), h. 337.
Sunnah wal Jamaah. Dalam bidang hukum-hukum Islam menganut Mazhab
Syafi’I, dalam soal tauhid menganut ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan
Imam Abu Mansyur al-Maturidi, sedangkan dalam bidang tasawuf, lebih
menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim al-Junaidi.38 Organisasi-organisasi
Islam yang berdiri pada zaman perjuangan adalah untuk bahu-membahu dalam
memperjuangkan kemerdekaan. Kegiatan dan program-program yang ada lebih
mengacu pada pendidikan, dakwah, dan kegiatan sosial yang bernafaskan Islam,
atas dasar kebutuhan anggota.39 Salah satu wadah yang paling efektif dalam
melaksanakan agenda kegiatan tersebut, misalnya Muslimat adalah dengan
mengadakan Majelis Taklim al-Islah yang sampai sekarang masih berjalan dengan
baik di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat atau yang biasa dikenal dengan
Majelis Taklim Masjid Jamie Matraman.40
H. Kedudukan Perempuan dalam Agama, Sosial, dan Politik
Al-Quran dijelaskan secara implisit, dilarang mencela orang-orang yang
mengeluh karena dikarunai anak-anak perempuan. Alasannya cukup jelas, karena
semua anak baik laki-laki atau perempuan adalah pemberian Allah. Dalam Islam,
perempuan dan laki-laki adalah partner yang sejajar dalam mengendalikan
peradaban ini, keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing serta
memiliki peran tersendiri.
38 Kacung Marijan, Quo Vadis NU: Setelah Kembali Ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga,
1992), h. 21-22. 39 Sulastri, op. cit., h. 338 40 Wawancara Pribadi dengan Ny. Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Jakarta, 4 April 2008.
Sejauh hukum syariat tidak mengingkari peran perempuan dalam
masyarakat dan medelegasikan mereka dalam posisi yang netral sejauh al-Quran
dan sunnah menyuarakan kesetaraan gender dalam ruang sosial, perempuan
memiliki hak untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Setiap perempuan bebas
mengekspresikan pandangannya dan memberikan persetujuan atau kritik terhadap
berbagai kebijakan pemerintah. Termaktub dalam al-Quran at-Taubah ayat 71
yang artinya sebagai berikut.
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q. S. at-Taubah: 71)
Dalam ayat tersebut jelas terlihat bahwa perempuan dan laki-laki memang
sudah seharusnya untuk mengerjakan apa yang sudah diperintahkan bersama-
sama. Sehingga manusia tidak individual untuk melakukan segala sesuatunya
untuk selalu bekerjasama. Karena perempuan adalah penolong bagi laki-laki dan
sebaliknya.
Kedudukan mulia dan peranan terhormat kaum perempuan itu terdapat
dalam al-Quran sebagai perlindungan hukum hak-hak kaum perempuan
disamping kewajiban-kewajiban mereka yang wajib dijunjung tinggi. Kedudukan
perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama serta kewajiban dan
hak yang sama. Masing-masing mempunyai tugas yang akan
dipertanggungjawabkan. Perlindungan hukum kaum perempuan termaktub dalam
al-Quran Surat an-Nahl ayat 16 yang artinya sebagai berikut.
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan. (Q. S. an-Nahl: 16)
Dalam ayat tersebut ditekankan bahwa kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam agama mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang
nantinya akan dipertanggungjawabkan masing-masing manusia. Dan ditekankan
pula laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama sesuai
dengan apa yang dikerjakan dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
Kedudukan perempuan dalam negara, pada hakikatnya adalah
pembangunan manusia Indonesia dan pembangunan seluruh masyarakat, agar
tercipta masyarakat yang adil dan makmur serta dapat mengikutsertakan laki-laki
dan perempuan sebagai kemitraan yang sejajar. Keharusan perempuan dalam
pertisipasi pembangunan adalah perlu dan merupakan realisasi dari Undang-
Undang Keormasan No. 8 tahun 1985 yang menyatakan bahwa “Ormas-ormas
yang terbentuk adalah berdasarkan sukarela atas dasar visi dan misi yang sama
untuk mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.”
Dalam GBHN, pembangunan yang menyeluruh adalah mengikutsertakan
laki-laki dan perempuan secara maksimal di segala bidang. Perempuan
mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk
ikut serta dalam pembangunan. Menurut sensus 1990 jumlah penduduk Indonesia
179 juta orang, dengan jumlah perempuan 90 juta orang (50,1%) dan perempuan
Islam merupakan 87 % (BPS 1992). Jumlah yang demikian besar tentunya
terdapat potensi yang dapat diandalkan dalam pembangunan.41
Dalam sejarah pembangunan nasional Indonesia, selama tiga dasawarsa
ini, pasca kemerdekaan memang sedikit banyak telah memberikan manfaat yang
cukup besar terhadap pemberdayaan perempuan. Negara mengakui secara jelas
mengenai status perempuan dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi hal ini baru
dapat dinikmati oleh sebagian kecil perempuan Indonesia. Dalam gambaran
umum mengenai posisi dan kedudukan perempuan dalam negara, terdapat dalam
UUD 1945 diantaranya:42
Pasal 27 ayat 2:
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 30 ayat 1:
Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pembelaan Negara.
Bukan hanya agama saja yang memberikan kesempatan kepada
perempuan untuk maju terutama dalam pendidikan, dalam Undang-Undang Dasar
41 Sulastri, op. cit, h. 334. 42 Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral Republik Indonesia, 2003).
Negara Republik Indonesia pun ditekankan demikian. Karena kaum perempuan
harus dipersiapkan agar dapat membimbing diri sendiri dan calon-calon pemimpin
bangsa.
Perempuan sekarang, mulai mengalami peningkatan dari berbagai segi
dibandingkan dengan peranan perempuan dahulu. Walaupun tidak disangkal pula
masih banyak perempuan yang buta huruf, yang menunjukkan tingkatan sosial
dalam masyarakat masih dalam taraf rendah. Sejak beberapa tahun ini, pemerintah
menjadikan program tersebut sebagai program unggulan pemerintahan dengan
nama ‘keaksaraan fungsional’.43 Walaupun sudah digalakkan namun masih
terdapat kendala-kendala yang serius karena kondisi masyarakat yang masih
miskin. Dalam hal ini pemerintah banyak melibatkan ormas-ormas perempuan
seperti: KOWANI, PKK Pertiwi dan sebagainya sebanyak 80 ormas perempuan
untuk menyukseskan program tersebut. Dengan basic Islam, agama mayoritas
dalam bangsa Indonesia menjadikan Aisyiah dan Muslimat sebagai ormas khusus
dalam penyelenggaraan program tersebut. Karena ini akan lebih mudah terlaksana
dengan pemahaman Islam mayoritas Indonesia adalah Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama.
43 Wawancara Pribadi dengan Ny. Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Jakarta, 4 April 2008.
BAB III
SOSOK SOLICHAH A. WAHID HASYIM
C. Riwayat Hidup
Solichah Wahid Hasyim atau yang biasa disapa dengan Bu Wahid,
dilahirkan pada 11 oktober 1922, di Desa Denanyar. Semula namanya adalah
Munawwarah. Biasa dipanggil dengan Neng Waroh.44 Ibunya, bernama Noer
Khadijah adalah keturunan seorang ulama besar dari pesantren Tambakberas,
Jombang di wilayah pedalaman Jawa Timur. Ayahnya adalah Kyai Bisri Syansuri
yang juga keturunan Kyai dari Pesantren Lasem di pesisir Utara Jawa Tengah.45
Kyai Bisri mendirikan pesantren di Denanyar dengan tanah pemberian dari
mertuanya. Pesantren ini kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren
Denanyar.
Solichah lahir dari sebuah keluarga terhormat, tetapi ia adalah bagian dari
pribumi. Perlakuan pemerintah kolonial yang semena-mena dan diskriminatif di
lingkungan kesehatan atau layanan publik kurang memadai, sehingga mereka
menciptakan petugas medis alternative sendiri dengan spesialisasi persalinan,
yakni dukun bayi. Solichah lahir lancar dan baik dengan dibantu oleh “paramedis
hasil didikan rakyat pribumi pedesaan” tersebut.
Pengasuhan Solichah tidak berbeda dengan anak-anak pada masanya. Ia
meminum ASI (Air Susu Ibu) dan juga makanan tambahan berupa pisang raja
44 Syaifullah Amin, Sosok Hj. Nyai Sholichah Munawwarah, artikel ini diakses pada Maret 2008 dari http://jalantrabas.blogspot.com.
45 Nurinwa Ki. S. Hendrowinoto, dkk, Ibu Indonesia dalam Kenangan, (Jakarta: Bank Naskah Gramedia dan Yayasan Biografi Indonesia, 2004), h. 60.
yang dilumat dengan nasi. Sebagai tradisi beliau juga diberikan jamu Toga seperti
anak-anak desa lainnya. Bahkan ketika masuk angin pun beliau diberi godhong
jarak yang telah diolesi minyak tanah di badannya. Karena Solichah anak seorang
ulama desa, tentu saja pengobatan yang diberikan juga dengan supelement berupa
jampi-jampi berupa permohonan doa kepada Allah SWT. Ibunda Gus Dur ini
dilahirkan dalam keluarga pesantren dan putri seorang kyai besar, nuansa yang
berkembang dalam kehidupan pesantren tak jauh seperti tradisi yang berkembang
di keraton. Kyai sepuh disesejajarkan seperti seorang sultan dan anggota keluarga
terdekat terlibat dalam proses jalinan “pembangsawanan” dengan menyandang
gelar Raden atau Rara. Solichah menyandang gelar penghormatan “Ning”. Hal
ini diyakini sebagai sesuatu yang memancarkan keberkahan. Dalam pandangan
mereka, menghormati putra-putri kyai sama dengan menghormati orangtuanya.46
Sebagai anak seorang Kyai, Solichah kecil lebih banyak berinteraksi
dengan warga pesantren dan orangtuanya. Pada umumnya masyarakat
beranggapan bahwa menghormati dan mematuhi Kyai dan keluarganya diyakini
akan memperoleh barokah, sedangkan mengecewakannya dipercaya tidak
mendapat barokah, khususnya bagi para santri yang sedang menuntut ilmu.
Aktifitas dan pergaulannya sehari-hari memberikan pengalaman hidup dalam
nuansa kepemimpinan. Solichah telah banyak belajar makna status sosial dari
dimensi prestige yang melekat dan diwarisi sejak lahir.
Solichah kecil banyak memiliki pengalaman, pertama, dari orangtuanya,
ia belajar mematuhi dan menghormati orangtua sekaligus gurunya. Ia menjadi
46 Nurinwa Ki. S. Hendrowinoto, dkk, ibid., h. 63.
anak dan santri yang memiliki hubungan emosional dengan gurunya.
Penghormatan tersebut memberikan pembelajaran tentang posisi sebagai
“bangsawan pesantren” dan sebagai santri. Kedua, terhadap saudara-saudara
kandungnya, ia belajar saling menghargai satu sama lain. Mereka adalah para
“Gus” dan “Ning” yang sejak awal menyadari hak-hak istimewa yang tidak
dimiliki oleh orang lain. Dalam hal ini ia belajar bagaimana seharusnya
memperlakukan gelar yang istimewa itu. Ketiga, terhadap para santri dan kadam,
yang setiap hari bergaul dengannya. Perlakuan tersebut memberikan pengertian
akan makna sosial terhadap hak-hak istimewa yang diwarisinya. Ia belajar
menjaga nama baik gelarnya warisan yang dihargai tinggi oleh masyarakat
lingkungannya.
Pengalaman dalam hidupnya mengajarkannya untuk memposisikan dirinya
pada budaya masyarakat yang telah terbentuk, yakni lebih khusus dunia pesantren
yang didirikan orangtuanya. Menginjak usia remaja, Solichah menghadapi dua
pandangan hidup yang saling bertentangan. Di satu sisi, dunia kolonial yang
hanya mementingkan keduniawian dengan memanfaatkan sumber-sumber
kekayaan material. Sedang di sisi lain, masyarakat pribumi yang tertindas dan
tidak memiliki kemampuan atau kesempatan untuk mencapai kehidupan yang
lebih baik dalam segi kekayaan, martabat, pekerjaan dan kekuasaan politik.
Solichah remaja memiliki interaksi sosial yang luas hingga mencapai luar
pesantren, Solichah mengalami transfer of learning pandangan hidup yang
ditransmisikan oleh generasi pendahulunya. Hampir semua masyarakat dari
generasi tua selalu menekankan pada generasi mudanya terutama kaum
perempuan agar dijauhkan dari gaya hidup kaum kolonial kafir. Bukan hanya
dalam tata cara pakaian dan budaya tetapi juga dalam bidang pendidikan. Mereka
tidak diperkenankan memakai pakaian ala Nonik atau Nyonya Londo. Mereka
harus mematuhi wewaler yang telah terbentuk dalam sistem budaya santri.
Lingkungan tempat Solichah tinggal juga memiliki kesenian yang digemari para
priyayi. Alunan musik keroncong dan musik gamelan serta karawitan tidak masuk
dalan kultur pesantren. Mereka lebih akrab dengan hadrah, majruron, samroh,
dan irama musik kothekan. Begitu halnya dengan seni suara tidak jauh berbeda.
Mereka lebih akrab dengan lantunan lagu-lagu dalam dibaan, shalawat, pujian,
menunggu iqomat dan shalawat manakiban. Dalam bidang pendidikan, Solichah
mengalami transmisi nilai-nilai budaya dalam dua sudut pandang berbeda. Tetapi
dengan kondisi sosial lingkungannya, ia lebih banyak disibukkan dengan belajar
ilmu-ilmu agama. Ia berguru pada ayah kandungnya sendiri.
Solichah dinikahkan pada usia empat belas tahun dengan Abdurrohim,
putra Kyai Cholil dari Singosari, Malang. Akan tetapi usia perkawinannya tidak
sampai satu tahun. Hanya beberapa bulan mereka membangun rumah tangga,
Abdurrohim telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Dengan kepergian suaminya,
Solichah diboyong kembali ke Denanyar untuk menjalani masa pingitannya yang
kedua selama hampir tiga tahun. Tradisi perkawinan yang bersifat endagomus ini
pun diberlakukan oleh Kyai Bisri ketika mencarikan suami untuk putrinya yang
telah menjanda. Calon suami yang kedua pun berasal dari keluarga pondok
pesantren. Calon suaminya adalah putra dari Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari
(Pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang)47, Wahid Hasyim yang pernah
bertemu sebelumnya. Yang istimewa adalah Wahid Hasyim datang sendiri
melamar Solichah tanpa didampingi oleh orangtuanya. Akan tetapi pernikahannya
ditunda karena akan menjelang Bulan Ramadhan. Ketika usianya dua puluh lima
tahun, namanya diganti menjadi Solichah.
Sejak pernikahannya tahun 1939, ia dan suaminya tinggal di Tebuireng,
dengan sebuah pesantren yang besar dan maju. Berkat bimbingan suaminya,
Solichah mengalami kemajuan di berbagai bidang. Ia menjadi gemar membaca
dan bisa membaca huruf latin. Ia tergolong otodidak dalam belajar menguasai
bidang sosial, politik dan ekonomi. Ia juga menyempatkan diri belajar Bahasa
Belanda dan Inggris.
Sebagai istri seorang tokoh nasional, aktifitas Solichah sangat membantu
para pejuang dengan mendirikan dapur umum di dekat Pabrik Gula Tjoekir,48
Jombang, Jatim. Solichah juga menyelamatkan dokumen-dokumen penting ketika
suaminya dikejar-kejar Belanda, termasuk juga menyamar menjadi pembantu
rumah tangga.49
Di tahun 1944 Solichah beserta keluarga pindah ke Jakarta. Tahun 1953,
suaminya mengalami kecelakaan pada usia Solichah menginjak tiga puluh tahun.
47 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk
Agama, Negara dan Bangsa, (Jakarta: Pucuk Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama, 1996), h. 123. 48 Pabrik Gula Tjoekir yang terletak di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten
Jombang. Berseberangan dengan Pondok Pesantren Tebuireng, milik Hadratusyekh Hasyim Asy’ari, mertua Solichah. Sampai saat ini pabrik gula tersebut masih beroperasi.
49 Firdaus, Pembaharu Citra Diri Perempuan Indonesia, Khalifah, Edisi 86, (24 April- 07 Mei 2008), h. 5.
Ketika itu ia sedang mengandung anak keenamnya. Sejak itu ia berperan menjadi
single parent50, dengan enam orang anak:
1. Abdurrahman ad-Dachil (1939)
2. Siti Aisyah (1940)
3. Salahuddin al-Ayyubi (1942)
4. Umar al-Faruq (1944)
5. Lilik Khadijah (1948)
6. Muhammad Hasyim (1953)51
Satu tahun kemudian kembali ke Jombang. Pada 1955 kembali ke Jakarta.
Di Jakarta, Solichah tetap memegang teguh ajaran ibundanya. Misalnya bila ada
tamu datang ke rumah, ia selalu gupuh, lungguh, dan suguh. Kebiasaan ini selalu
dilakukannya, tak heran rumahnya tak pernah sepi tamu.52
Hal ini juga disebabkan kediaman Solichah dijadikan Kantor Pucuk
Pimpinan Muslimat NU yang sebelumnya bertempat di Surabaya. Selanjutnya
selama berkedudukan di Jakarta, Kantor Pucuk Pimpinan Muslimat NU
berpindah-pindah dari rumah Solichah Wahid Hasyim, di Jalan Taman Amir
Hamzah No. 8, Jakarta Pusat. Pindah ke Jalan Kebon Sirih Barat Dalam No. 90
pada November 1954. Lalu pindah lagi ke Jalan Menteng Raya No. 24 pada
Agustus 1957. Dari Menteng pindah lagi ke Jalan Kramat Raya No. 164 Jakarta
50 Tahun 1950, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda, Wahid Hasyim diangkat
sebagai Menteri Agama RIS. Oleh karena itu, tak lama kemudian Solichah dan keluarga pindah ke Jakarta. Sepeninggal suaminya, ayahnya, Kyai Bisri meminta agar anak-anaknya dirawat oleh pamannya, Solichah tidak mengizinkan.
51 Ibunda Gus Dur Dimakamkan di Tebuireng, Suara Pembaruan, (Jombang, 31 Juli 1994).
52 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama, Negara dan Bangsa, (Jakarta: Pucuk Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama, 1996), h. 125.
Pusat. Terakhir pindah ke Jalan Pengadengan Timur Raya, Pancoran Jakarta
Selatan setelah sebelumnya di Jalan Tebet Timur Dalam No. VII.53
Tanggal 30 September 1965, terjadinya G30SPKI. Dua hari setelah
peristiwa berdarah itu, tanggal 2 Oktober 1965, Muslimat NU menyatakan sikap
politiknya mengutuk para pelaku gerakan tersebut sebagai penghianat bangsa dan
meminta pemerintah menindak tegas pelakunya. Tanggal 5 Oktober 1965,
Muslimat NU turut serta dalam menandatangani pernyataan PBNU tentang
pengutukan G30SPKI dan menuntut pembubaran PKI. Termasuk di dalamnya
adalah Solichah Wahid Hasyim dan Ny. Hj. Asmah Syachruni adalah tokoh
Muslimat NU yang sangat berperan pada masa itu.54
Pimpinan NU banyak yang menghindar ke luar Jakarta untuk berjaga-jaga.
Dalam kondisi tersebut, Solichah mengambil sikap tegas. Rumahnya di Jalan
Taman Amir Hamzah Jakarta Pusat, dibuka lebar-lebar sebagai markas untuk
pertemuan para tokoh NU dan tokoh Nasionalis lainnya. Ketika beberapa tokoh
NU ragu-ragu dalam menentukan tindakan terhadap peristiwa tersebut, Ny.
Solichah Wahid Hasyim ini tampil mendesakkan tekadnya untuk membubarkan
PKI. Atas tindakan beliau kemudian dicatat dalam sejarah, bahwa NU termasuk
ormas yang paling awal dalam mengibarkan tuntutan agar PKI dibubarkan.55
Pucuk Pimpinan Muslimat juga membuat pernyataan agar Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan membubarkan Taman Kanak-kanak Melati sebuah
Taman Kanak-kanak yang dikelola oleh Gerwani dan mengambil alih Taman
53 Ny. Saefuddin Zuhri, dkk, Sejarah Muslimat NahdlatulUlama, (Jakarta: PP. Muslimat
NU Jakarta, 1979), h. 154. 54 Mustofa Helmi dan Syaifullah Ma’sum, ed., Asmah Syachruni: Muslimat Pejuang
Lintas Zaman dari Kalangan NU, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002), h. 52-54. 55 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., loc. Cit., h. 127.
Kanak-kanak tersebut tanggal 19 Oktober 1965. Sejak saat itu perburuan,
pemilikan, dan penjarahan harta para anggota yang diduga golongan PKI,
simpatisan, dan keturunannya semakin mendapatkan legitimasi karena negara
mengeluarkan TAP MPRS No. 25 tahun 1966 yang berisi kepentingan untuk
melakukan hal tersebut.56
Solichah meninggal dunia pada hari Jumat, tanggal 29 Juli 1994 sekitar jam
23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta dalam usia 72 tahun.
Setelah menjalani rawat inap selama 17 hari akibat sakit jantung dan gula.57
Sampai menjelang akhir hayatnya, Solichah tetap aktif dalam kegiatan Muslimat
dan aktivitas lainnya di masyarakat. Beliau tetap segar dan semangat walaupun
harus menggunakan tongkat dan dikawal seorang perawat, beliau tetap
menghadiri rapat-rapat organisasi. Sekitar 20.000 pelayat memadati komplek
pemakaman Tebuireng, Jombang. Tidak hanya warga Nahdliyin dan Muslimat
NU saja, tampak pula para petinggi pemerintahan yang menjadi teman kerja
semasa karir politiknya mengantar ‘ibu umat’ ini ke tempat peristirahatan terakhir
pada keesokan harinya jam 17.20.58
D. Aktifitas
Setelah kepergian suaminya, Solichah bertekad akan membesarkan anak-
anaknya di Jakarta. Untuk menyambung hidup, ia banyak menjual barang-barang
56 Ala’i Najib, “Rekonsiliasi Perempuan Islam dan Komunis”, Taswirul Afkar: Jurnal
Refleksi dan Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 15, (Tahun 2003), h. 48. 57 Firdaus, “Pembaharu Citra Diri Perempuan Indonesia”, Khalifah, Edisi 86, (24 April-
07 Mei 2008), h. 5. 58 Nurinwa Ki. S. Hendrowinoto, dkk,, Ibu Indonesia dalam Kenangan, (Jakarta: Bank
Naskah Gramedia dan Yayasan Biografi Indonesia, 2004), h. 77.
miliknya sebelum memperoleh penghasilan. Kemudian Solichah mencoba
berjualan dengan memasok kebutuhan beras untuk pegawai Kementrian Agama.
Selain itu juga menjual barang-barang material di Pelabuhan Tanjung Priok, yang
pada waktu itu pelabuhan sedang dibangun. Sebagai single parent, beliau juga
sangat disiplin dalam mendidik putra-putrinya. Bahkan tidak segan untuk
memukul anak-anaknya dengan sisir atau penggaris, jika mereka mengabaikan
shalat dan membaca al-Quran.
Kedudukan Solichah dalam silsilah Nahdlatul Ulama, menantu Rais ‘Am
Hadratusyekh Hasyim Asy’ari dan anak dari KH. Bisri Sansuri, merupakan
kedudukan yang cukup menguntungkan untuk dapat mengembangkan
Muslimat.59 Di samping itu beliau juga memiliki talenta yang besar dalam
kepemimpinan walaupun beliau hidup dan besar dalam keluarga Islam yang
‘ortodoks’60 namun pemikirannya bersifat modern yang membangun peran
perempuan. Di lingkungan elit wanita, Solichah sangat berperan karena cara dan
tindakannya dalam berargumentasi untuk mengembangkan diri dan organisasi.
Solichah selalu dipercaya sebagai pimpinan diluar Muslimat dan dipercaya
sebagai figur utama. Kemampuannya dalam beradaptasi membuatnya tidak
menjadi orang yang ‘fanatik’, malah beliau lebih ‘merakyat.’61
Solichah berusaha keras memperluas pergaulannya di bidang sosial dan
politik. Dalam organisasi Muslimat NU, keterlibatannya sebagai pengurus sudah
dijalaninya sebelum Kongres XIX NU di Palembang, tahun 1952, ketika itu
59 Muhammad Dahlan dkk, ed., Sholichah A. Wahid Hasyim, Muslimah di Garis Depan,
(Jakarta: Yayasan K. H. A. Wahid Hasyim, 2001), h. 44. 60 Sumanto al-Qurtuby, “NU Gila, Gila NU”, Taswirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran
Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi 17, (Jakarta: 2004), h. 54. 61 Wawancara Pribadi dengan Ny. Asmah Syachroni, Jakarta, 15 April 2008.
Muslimat mulai menjadi organisasi yang otonom dari NU.62 Berbagai aktifitas
yang dijalaninya, mulai dari Anggota Pimpinan Muslimat NU Gambir (1950),
Ketua Muslimat NU Matraman (1954), Ketua Muslimat NU DKI Jaya (1956),
hingga Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU (1959). Tahun 1956 beliau masuk
sebagai anggota Palang Merah Indonesia (PMI). Ketika NU menjadi partai,
Solichah aktif dalam berbagai kegiatan NU ataupun Muslimat NU sampai
kemudian berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan.63 Karena keaktifan dan
prestasinya dalam berorganisasinya, beliau mulai karirnya dalam politik sebagai
anggota DPRD Jakarta Raya tahun 1957-1960. Pada 1960-1971, beliau menjadi
anggota dalam DPRGR/ MPR dan anggota DPR/ MPR periode 1972-1987,
mewakili Muslimat NU dari Pemilu 1955. Inilah untuk pertama kalinya beliau
terlibat secara praktis sampai dengan Pemilu 1982. Beliau juga aktif dalam
berbagai kegiatan sosial dengan dasar pendidikan keagamaan dan kursus
kemasyarakatan. Sebelumnya beliau aktif dalam Gerakan Hisbullah dan Anggota
Dewan Pembelaan Djawa Timur, pergerakan wanita, dan ikut serta dalam
pengganyangan PKI.64
Sejak tahun 1968-an Solichah sudah memberikan kontribusi nyata terhadap
masalah kependudukan. Solichah menjadi anggota dari LKBN (Lembaga
Keluarga Berencana Nasional) yang dibentuk oleh pemerintah sebagai gerakan
nasional. Fungsinya untuk menekan pertumbuhan penduduk.
62 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk
Agama, Negara dan Bangsa, (Jakarta: Pucuk Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama, 1996), h. 126. 63 Syaifullah Amin, Sosok Hj. Nyai Sholichah Munawwarah, artikel ini diakses pada
Maret 2008 dari http://jalantrabas.blogspot.com. 64 Memperkenalkan Anggota-anggota DPR Hasil Pemilu 1971, (Jakarta: Lembaga
Pemilihan Umum, 1971), h. 29 dan 90.
Tahun 1972, orientasi Keluarga Berencana oleh Muslimat tersebut telah
menyebar ke Jawa dan Madura. Jika pertumbuhan penduduk Indonesia tidak
ditekan dan dikendalikan akan akan berakibat kurang baik dengan kondisi rakyat
pada waktu itu.65
Selama menjabat sebagai wakil DPR, Solichah tidak pernah menunjukkan
keangkuhan, walau ia adalah janda mendiang Menteri Agama. Beliau selalu
berbaur bersama masyarakat tanpa pernah menunjukkan rasa ingin dihormati.
Tanpa mengalami perubahan, selama beliau menjadi istri maupun setelah
berstatus menjadi janda pejabat tinggi.66
Beliau adalah seorang perempuan yang mampu menjadi pejuang teladan
yang ulet, sabar, dan tegas dalam bertindak dan menyelesaikan kewajibannya
sebagai seorang muslimah, istri yang setia dan ibu yang bijaksana. Seorang yang
banyak memperjuangkan peningkatan demi kemajuan perempuan. Solichah pula
yang banyak memberikan ide-ide untuk kemajuan Nahdatul Ulama dan Muslimat
NU. Serta rela untuk menyumbangkan pemikiran, waktu dan tenaga juga materi
untuk mewujudkan kemajuan perempuan, bangsa dan negara.
Solichah selalu mengikuti kemajuan dan kemunduran Muslimat NU dan
turut berjuang didalamnya. Beliau menginginkan perempuan Indonesia menjadi
comrade in arms kaum laki-laki. Mereka harus dididik dan dibina agar mampu
melaksanakan keterampilannya dalam pembangunan secara mandiri. Semua itu
65 Wawancara Pribadi dengan Ny. Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Jakarta, 4 April 2008.
Aisyah Hamid Baidlowi adalah putri ke-2 dari Solichah, masih aktif sebagai anggota DPR sampai saat ini, sejak kecil selalu menemani ibunya dalam Muslimat sampai akhirnya menjadi anggota dan pernah diangkat menjadi Ketua Umum PP Muslimat Nahdlatul Ulama periode 1995-2004.
66 Muhammad Dahlan dkk, ed., Sholichah A. Wahid Hasyim, Muslimah di Garis Depan, (Jakarta: Yayasan K. H. A. Wahid Hasyim, 2001), h. 131.
diperlukan pendidikan yang bermutu dan pengalaman yang diperlukan dalam
pencaturan politik, ekonomi, social, budaya agar perempuan tidak ketinggalan.
Untuk tetap mengacu pada norma-norma yang berlaku juga diperlukan pendidikan
agama dan pengetahuan tentang Islam.67
67 Muhammad Dahlan dkk, ed., ibid., h. 195.
BAB IV
SOLICHAH A. WAHID HASYIM DALAM MEMBERDAYAKAN
MUSLIMAT NAHDLATUL ULAMA
E. Solichah sebagai Motor Penggerak dan Pembangun Muslimat NU
Di akhir abad ke XIX dan XX, pergerakan kebangsaan mencapai tahap yang
menentukan. Semangat ini mulai dialami bangsa Indonesia sampai bergema ke
pesantren yang dikobarkan oleh alim ulama yang semacam perlawanan langsung
dari rakyat yang menolak bekerjasama dengan penjajah. Salah satunya adalah
menolak subsidi dari pemerintah Belanda. Kehidupan masyarakat santri di
Jombang, Nahdlatul Ulama dipahami sebagai sebuah agama. Mereka
beranggapan, Islam adalah Nahdlatul Ulama dan Nahdlatul Ulama adalah Islam.
Tentunya kiprah keluarga besar santri di Jombang tidak dapat dilepaskan dari
Nahdlatul Ulama. Organisasi yang dibangun oleh para Kyai ini tidak terlepas dari
peran utama ayah dan mertua Solichah, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan Kyai
Bisri Sansuri. Dalam kehidupan masyarakat Jombang bahwa makna kebahagian
hidup tidaklah diukur dari kesejahteraan material duniawi. Karena kebahagian itu
bersifat semu. Donya iku ngono kanggo sangu ibadah68. Pepatah ini diteruskan
kepada generasi selanjutnya sebagai pijakan untuk kepentingan agama dan umat
beragama juga bangsa dan negara Indonesia.
68 Harta kekayaan duniawi sebagai bekal menyempurnakan ibadah. Pepatah bijak yang
sering disampaikan dari generasi tua kepada generasi selanjutnya dalam tradisi masyarakat pedesaan di Jawa Timur, agar para pemuda Islam lebih memikirkan dan berjuang demi kepentingan agama. Lihat, Nurinwa Ki. S. Hendrowinoto, dkk, Ibu Indonesia dalam Kenangan, (Jakarta: Bank Naskah Gramedia dan Yayasan Biografi Indonesia, 2004), h. 185.
Proses historis berdirinya Muslimat Nahdlatul Ulama tidak dapat dilepaskan
dari perkembangan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi keulamaan yang ingin
memurnikan ajaran agama ini, terdapat suatu kecenderungan tertentu dan
memerlukan hadirnya peranan yang dimainkan oleh perempuan NU atau nyai-
nyai (istri-istri para kiai yang ikut muktamar) untuk menangani masalah
‘kewanitaan’. Kaum perempuan Nahdlatul Ulama menganggap bahwa kemajuan
perempuan harus dimulai oleh perempuan itu sendiri kaum laki-laki hanya
memfasilitasi dan memberikan dukungannya.69 Diadakannya Muktamar Nahdlatul
Ulama, istri-istri dari para anggota NU sudah mengadakan pengajian-pengajian,
diskusi-diskusi kecil, dan rapat-rapat, kesemuanya itu dimasukkan dalam agenda
Muktamar.70
Setelah perjalanan panjang dari Kongres Nahdlatul Ulama yang ke-13,
Muslimat yang ikut aktif dalam Kongres Nahdlatul Ulama yang ke-16 yang
diselenggarakan pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto, Banyumas, Muslimat
Nahdlatul Ulama resmi menjadi badan otonom NU. Setelah menjadi badan
otonom dari Nahdlatul Ulama, Muslimat masuk menjadi anggota KOWANI
(Kongres Wanita Indonesia), yang merupakan federasi organisasi perempuan
ditingkat nasional. Tujuan yang sama yakni, memperjuangkan kemajuan
perempuan.
Kemajuan Muslimat dalam KOWANI terbilang baik karena beberapa kali
anggota Muslimat menjabat sebagai dewan pimpinan. Tahun 1956-1965 oleh
69 Wawancara Pribadi dengan Ny. Asmah Syachroni, Jakarta, 15 April 2008. 70 Wawancara Pribadi dengan Ny. Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Jakarta, 4 April 2008.
Mahmudah Mawardi sebagai Anggota Presidium mewakili Muslimat. Solichah
menjabat sebagai Anggota Dewan Pimpinan KOWANI tahun 1968-1973.71
Aktifitas Solichah dalam Muslimat mulai terlihat setelah masa pendudukan
Jepang. Di awali dengan mengisi ceramah dalam berbagai pengajian Muslimat,
yang waktu itu masih bernama NUM, organisasi otonom di bawah Nahdlatul
Ulama.72 Selain aktif dalam membuka ranting-ranting baru Muslimat, Solichah
dan teman-temannya juga aktif menjadi penceramah dalam pengajian ibu-ibu
Muslimat. Adapun yang sering dijadikan tema dalam ceramahnya adalah
bagaimana seorang perempuan bisa menjadi ibu yang shalihatun khamilatun,
antara lain dengan menjelaskan tentang kandungan makna al-Quran, perintah
Tuhan untuk mengerjakan ibadah shalat, pentingnya membina kerukunan antar
umat beragama, dan ketauhidan. Dari tema tersebut ia menjabarkan secara
konteks pada sosial kultural yang dihadapi saat itu.73 Solichah selalu
mengingatkan kepada ibu-ibu, khususnya generasi muda perempuan agar tidak
melupakan pentingnya belajar, untuk meningkatkan derajat perempuan di
kemudian hari.
Tahun 1946-1950, Solichah menjabat sebagai Ketua Muslimat NU MWC
(Majelis Wakil Cabang) Kecamatan Diwek, Jombang. Dari sinilah karirnya mulai
melejit hingga ia bersama dengan teman-temannya ikut aktif menyuburkan benih-
benih Muslimat NU di Jakarta, setelah ikut suaminya untuk tinggal di Jakarta.
71 Ny. Saifuddin Zuhri, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, (Jakarta: PP Muslimat NU
Jakarta, 1979), h. 65. 72 “Ibunda Gus Dur Dimakamkan di Tebuireng”, Suara Pembaruan, 31 Juli, (Jombang:
1994). 73 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk
Agama, Negara dan Bangsa,(Jakarta: PP Muslimat NU, 1996), h. 47.
Solichah duduk dalam jajaran Pengurus Pucuk Pimpinan (PP) Muslimat NU sejak
Kongres Ke-4 di Palembang pada 1952, bertepatan dengan Muktamar Ke-19 NU.
Dalam kongres selanjutnya pada 1954 di Surabaya, bertepatan dengan Muktamar
Ke-20 NU, posisinya naik menjadi bendahara. Posisinya tidak berubah hingga
Kongres Ke-6 Muslimat yang diselenggarakan di Medan pada 1959, bertepatan
dengan Muktamar ke-21 NU. Kemudian posisinya naik menjadi Ketua I, pada
Kongres Ke-7 Muslimat NU yang diadakan di Jakarta bertepatan dengan
Muktamar Ke-22 NU. Selama kurang lebih 20 tahun, Solichah menjabat sebagai
Ketua I sampai tahun 1972. Pengabdiannya dalam Muslimat NU terus
berlangsung sampai pada Kongres Ke-12 Muslimat NU di Yogyakarta, Solichah
duduk dalam Penasehat Pucuk Pimpinan Muslimat NU.74
Sebagai pemimpin beliau bukan hanya menganjurkan saja tetapi juga
memberikan contoh nyata terhadap apa yang dianjurkannya itu. Banyak
pengorbanan yang telah beliau lakukan demi kepentingan organisasi. Menurut Ibu
Asmah Syachroni, beliau mempunyai kharisma dan beliau berhasil dalam
memimpin. Keberhasilannya tersebut tak lepas dari didikan almarhum Pak Wahid
Hasyim semasa hidupnya.75 Selama dalam Muslimat banyak prestasi yang telah
dicapai diantaranya: aktifitasnya dalam penumpasan pemberontakan PKI, ia
duduk sebagai muslimah terdepan yang menginginkan pembubaran PKI setelah
peristiwa Gestapu. Kemudian keberhasilannya dalam sosialisasi Program KB
(Keluarga Berencana) kepada masyarakat yang banyak ditentang oleh masyarakat.
74 Muhammad Dahlan dkk, ed., Sholichah A. Wahid Hasyim, Muslimah di Garis Depan,
(Jakarta: Yayasan K. H. A. Wahid Hasyim, 2001), h. 56-58 75 Chatibul Umam, “Sosiawan Muslimah”, Risalah Islamiyah, No. 7 (September 1977), h.
37
Kemudian ikut ambil bagian dalam perdamaian antara ‘Kubu Cipete’ dan ‘Kubu
Situbondo’. Dan idenya dalam pembangunan Yayasan Kesejahteraan Muslimat
NU tahun 1963 dan Yayasan Kemaslahatan Keluarga NU tahun1978. Sehingga
beliau dipercaya sebagai pemimpin dari yayasan berdiri hingga beliau wafat tahun
1994. 76
Perhatiannya kepada generasi muda cukup besar. Bahkan, menjelang akhir
hayatnya, beliau masih memikirkan angkatan muda NU, khususnya kalangan
Fatayat77 dan Muslimat NU. Beliau selalu berpesan kepada putrinya, Aisyah
Hamid, agar selalu melestarikan kedekatan dengan angkatan muda, sehingga
merasa terayomi.78
F. Pejuang Peningkatan Status, Hak dan Peran Perempuan Melalui
Muslimat NU
Hampir semua organisasi perempuan di Indonesia memiliki program kerja
yang sama karena disusun berdasarkan kebijakan tentang peranan perempuan di
sektor publik. Pada umumnya, organisasi perempuan memiliki visi dan misi yang
sama, yakni ingin memperjuangkan peran dan kesejahteraan perempuan di
berbagai lingkungan baik domestik maupun publik. Tetapi peranan organisasi
76 Muhammad Dahlan dkk, ed., op. cit., h. 60. 77 Organisasi dari federasi Nahdlatul Ulama. Di awali dengan keaktifan tiga pemudi
Nahdlatul Ulama dalam mengorganisir kegiatan-kegiatan kaum pemudi Nahdlatul Ulama. Kemudian mendirikan Fatayat, dengan SK PBNU No. 574/ U/ Peb pada 26 Rabiu‘stani 1369 atau 14 Februari 1950. Pengakuan resmi DEWAN Pimpinan Fatayat NU sementara adalah Tiga Serangkai itu. Pada Muktamar ke-XVIII di Jakarta mengesahkan Fatayat NU menjadi badan otonom dari NU.
78 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama, Negara dan Bangsa,(Jakarta: PP Muslimat NU, 1996), h. 128.
perempuan tergantung pada masing-masing organisasi dalam mengantisipasi
berbagai bidang dalam pembangunan.
Dalam rumusan tentang peranan perempuan dalam pembangunan sesuai
dengan Keputusan Presiden RI No. 25 tahun 1983 dirumuskan, direncanakan serta
dikoordinasikan dengan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Sesuai dengan
analisis Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dalam ‘Analisa Situasi
Wanita Indonesia’ meliputi bidang ekonomi, sosial budaya dan dalam bidang-
bidang politik.79
Hadirnya Muslimat NU dengan sederetan program kerja dan aksinya,
menciptakan semacam pembagian tugas dan peran bidang sosial-agama dan
sosial politik dalam pengertian mikro di kalangan masyarakat Nahdliyat yang
dilakukan secara lebih spesifik di kalangan perempuan sedangkan Nahdlatul
Ulama berkonsentrasi dalam bidang yang lebih luas. Hal ini terbukti setelah
mendapat sentuhan dari kaum ibu Muslimat, bidang sosial ternyata dalam lebih
terurusi dan lebih maju. Nahdlatul Ulama merupakan organisasi besar yang
menghimpun jutaan umat dibidang sosial memiliki keterbatasan. Muslimat lahir
dengan fungsi sebagai suplementer dalam menangani bidang sosial.80 Dalam hal
ini Muslimat sebagai warga Nahdlatul Ulama berkewajiban untuk melaksanakan
program Nahdlatul Ulama di bidang ‘perempuan’. Muslimat hadir dengan tiga
program utamanya yakni sosial, dakwah dan pendidikan. Bertujuan mengangkat
harkat dan derajat kaum perempuan. Muslimat memberdayakan perempuan dalam
79 Sulastri, et al, Perempuan Indonesia Dulu dan Kini, (Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka
Utama, 1996), h. 341. 80 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., loc. cit., h. 45.
masyarakat misalnya bidang pendidikan, salah satunya adalah dengan
memberikan keterampilan, agar kaum perempuan lebih mandiri.81
Rasa sosial dan kedermawanan yang tinggi yang dimilikinya, membuatnya
lebih mengedepankan kepentingan orang banyak, terutama kepada mereka yang
tergolong kurang mampu secara ekonomi. Bersama dengan teman-temannya,
seperti Mahmudah Mawardi dan Asmah Syachroni, Muslimat banyak mencapai
kemajuan khususnya bidang sosial. Beliau sangat bersemangat sekali
memperjuangkan hal-hal yang berhubungan dengan masalah sosial, dan
kesejahteraan warga Muslimat. Selain itu, Solichah dipercaya untuk memegang
jabatan sebagai Ketua I sekaligus Ketua Bidang Sosial.82 Solichah mudah
tersentuh oleh persoalan-persoalan sosial, sehingga ide-idenya banyak mengenai
masalah sosial. Oleh karenanya, warga Nahdliyat terus mempercayainya sebagai
ketua dari Bidang Sosial Muslimat semasa hidupnya, yakni mulai dari berdirinya
YKM NU tahun 1963 sampai akhir hayatnya tahun 1994.
Susunan kepengurusan YKM NU Pusat terdiri atas: Badan Pendiri, Badan
Pengawas dan Badan Pengurus. Yang termasuk Badan Pendiri , Ny. HSA Wahid
Hasyim, Ny. H. Soeparman, Ny. HS Rachmat Mulyomuseno, Ny. Aisyah Hamid
Baidlowi, Ny. Asmah Syahroni, dan Ny. H. Farida Salahuddin. Sedang Badan
Pengawas terdiri dari tiga orang: Ny. H. Musyrifah Ali Masyhar, Ny. H. Moh.
Ilyas dan Ny. H. Latifah Hasyim.83
81 Wawancara Pribadi dengan Ny. Asmah Syachroni, Jakarta, 15 April 2008. 82 Chatibul Umam, “Melalui Berbagai Kesulitan Ibu Wahid Hasyim”, Risalah Islamiyah,
No. 7 (Spetember 1977), h. 38-39. 83 Asyrofuddin Nur Widodo, “YKM Wujudkan Kesehatan Warga NU”, Yasmin Bulletin
Khidmat NU, no. 4, (Oktober, 1992), h. 27.
Berkat keuletan Solichah dan usaha teman-teman yang lain, badan sosial
tersebut berhasil dikukuhkan menjadi suatu yayasan yang bernama “Yayasan
Kesejahteraan Muslimat” atau disingkat dengan YKM NU. Yayasan yang
didirikan pada 11 Juni 1963 ini khusus dibentuk oleh Muslimat untuk menangani
amal sosial di kalangan Muslimat dan perempuan Indonesia pada umumnya dan
perempuan Muslimat pada khususnya. Yayasan ini dimaksudkan agar lebih
mengefektifkan pelaksanaan kegiatan sosial yang dilakukan oleh Muslimat. Bu
Wahid adalah pemimpin dari yayasan tersebut. YKM NU juga menjadi anggota
dari DNIKS (Dewan Nasional Indonesia Kesejahteraan Sosial dan tercatat sebagai
anggota NGO UN Coorperation Forum pada 6 Desember 1987 yang kemudian
menjadi PDF (Participatory Development Forum).
Untuk melaksanakan program-program Muslimat dalam bidang sosial,
dalam hal ini Yayasan Kesejahteraan Muslimat melakukan hubungan kerjasama
untuk memperoleh dan dukungan dengan badan-badan sosial lainnya. Misalnya ke
pantiasuhan BKSPA (Badan Kerjasama Panti-Panti Asuhan), Dinas Sosial, Dinas
Kesehatan, juga menjadi anggota BPRB (Badan Perhimpunan Rumah Sakit
Bersalin) tingkat DKI. Disamping itu mengadakan kerjasama dengan salah satu
badan sosial di Amerika, khususnya mengenai Keluarga Berencana. Di samping
itu, aktif mengadakan berbagai seminar mengenai masalah sosial. Beliau pernah
menjadi utusan Yayasan Kesejahteraan Muslimat untuk seminar Keluarga
Berencana di India. Selain itu juga mengadakan pembinaan yang bersifat ekstern
seperti kursus-kursus, penataran-penataran pada karyawan, guna meningkatkan
mutu pelayanan.84
Sejak awal didirikannya, Muslimat sudah terlibat aktif dalam kegiatan-
kegiatan sosial. Setelah berdiri dan berkembangnya YKM NU, kegiatan sosial
makin diperluas hingga meliputi sub bidang perlindungan dan kesejahteraan
keluarga seperti yang sekarang dikenal dengan BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan
Anak), dan sub bidang bantuan, serta sub bidang kesehatan. Selain itu juga
mengusahakan penyatunan dan pemeliharaan orang lanjut usia atau jompo yang
terlantar, mengusahakan perbaikan lingkungan hidup bagi perempuan pedesaaan
dan menyelenggarakan penelitian, seminar dan pelatihan bagi kaum perempuan.
Kemudian dibentuk pula Ikatan Haji Muslimat (IHM) NU, yang kemudian
menjadi Yayasan Haji Muslimat NU. Di beberapa daerah keberadaanya telah
menjadi sumber pendanaan yang potensial untuk keperluan organisasi dalam
melakukan pelayanan sosial dan kesehatan.
Kegiatan sub bidang sosial kemasyarakatan lainnya dalam YKM NU yang
pernah diketuai oleh Bu Wahid telah memiliki wujud konkrit dengan didirikannya
Rumah Bersalin Muslimat, Panti Asuhan Muslimat, Klinik KB dan juga
memberikan beasiswa kepada putra-putri yang terlantar serta kunjungan yang
kontinyu ke panti-panti sosial. Hal ini diilhami dari Hadits Nabi Muhammad
SAW:
“Barang siapa memelihara anak yatim Islam di rumahnya, yakni
diberikannya minuman dan makanan untuknya, Allah SWT pasti akan
84 Chatibul Umam, “Melalui Berbagai Kesulitan Ibu Wahid Hasyim”, Risalah Islamiyah,
No. 7 (Spetember 1977), h. 39.
memasukkan mereka ke dalam syurga, kecuali kalau mereka itu
mengerjakan dosa yang tidak dapat diampuni.” (Hadist Riwayat Imam at-
Turmudzi).
Pada saat yang sama pula, beliau juga aktif dalam perkumpulan “Bunga
Kemboja”, sebuah organisasi sosial yang khusus menangani masalah jenazah dan
penguburan di Jakarta. Bersama-sama dengan teman-temannya, Ny. Lasmidjah
Hardi dari kalangan Nasionalis, Ny. Anie Walandaoe dari golongan Kristen, dan
Mr. Hamid Algadri dari wakil golongan Sosialis, beliau mendirikan Yayasan
tersebut sebagai bukti sosial.
Dalam berorganisasi pun beliau merakyat, bukan hanya di tingkat pusat saja,
akan tetapi beliau juga aktif membimbing beberapa organisasi di tingkat yang
terendah seperti PKK di kelurahan tempat tinggalnya. Beliau juga sering
mengadakan kegiatan sosial dan penyantunan orang-orang jompo di kelurahan
Pegangsaan, Jakarta Pusat. Solichah-lah yang mempunyai prakarsa tentang
penyantunan orang-orang jompo ini, yang kemudian didukung oleh lurah dan
masyarakat setempat, yaitu semacam rumah singgah orang-orang yang telah
berusia 60 tahun ke atas. Prosedur pelaksaan di panti jompo ini dengan
mendirikan dapur umum untuk 40 orang tiap hari. Biayanya setiap hari untuk tiap
orang adalah Rp. 100,-.85
85 Chatibul Umam, “Sosiawan Muslimah”, Risalah Islamiyah, No. 7 (Spetember 1977),
h. 42-43.
Tahun 1963, beliau juga mendirikan Pengajian al-Islah. Pengajian ini
bermula dari perkumpulan ibu-ibu Majelis Ta’lim di lingkungan Pegangsaan,
Jakarta Pusat. Kegiatannya antara lain sebagai berikut:86
• Pengajian: Pengajian yang dilakukan dalam bentuk Majelis
Taklim, dengan kegiatan: ceramah-ceramah, pengajian rutin (ibu-
ibu, remaja dan anak-anak) yang diadakan seminggu sekali, dan
taraweh.
• Home Care II/ Pusaka II yakni salah satu bentuk santunan untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial bagi orang lanjut usia di daerah
Pegangsaan. Mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam
kegiatan sosial. Adapun pembinaannya di bawah BKKS, tanggal
17 November 1976.
• Anak Yatim/ Non Panti: dengan menyantuni keluarga miskin.
• Santi Asih: berupa bimbingan rohani kepada orang-orang yang
sedang mendapat musibah di Rumah Sakit dan yang sedang dalam
Lembaga Pemasyarakatan.
G. Solichah membangun Image Organisasi Perempuan di Mata Umum
Semangat perlawanan yang bersumber dari agama yang kemudian berpadu
dengan semangat kebangsaan yang berkobar adalah disebabkan kesadaran akan
adanya hak kemerdekaan bagi seluruh Hindia Belanda (Indonesia). Hal ini telah
menyulut api revolusi dan mengobarkannya dalam berbagai bentuk kegiatan,
86 Yayasan Kesejahteraan Muslimat, Musyawarah Kerja Nasional, (Jakarta: 17-19
September 1988), h. 4-7.
tempat pikiran, dan berbagai kegiatan pengembang kejiwaan. Segala bentuk
kolonialisme yang telah dirasakan oleh rakyat bertahun-tahun dengan bentuk-
bentuk feodalisme telah memisahkan rakyat dengan priyayi pribumi, kerja paksa,
kemiskinan, kemelaratan dan politik memecah belah penjajah menjadi pendorong
pergerakan kebangsaan sampai pada bentuk kegamaan.
Fakta historis membuktikan, dahulu perempuan telah berhasil membongkar
mitos-mitos negatif sekaligus menunjukkan peran penting perempuan di mata
umum, yakni sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Misalnya para pahlawan
perempuan seperti: Cut Nyak Dien, Martha Tiahahu, Rasuna Said, Nyi Ahmad
Dahlan, Kartini dan lainnya. Dalam lingkungan, perempuan memiliki hak untuk
mengambil keputusan ataupun memimpin, dengan catatan, perempuan harus dapat
memiliki kapasitas, kemampuan serta profesionalisme tertentu dia berada. Dari
sini dapat terlihat perempuan memiliki kekayaan peran, karena ia dapat peran
domestik juga peran di sektor publik.87
Solichah selalu berkata, “Bersatulah Muslimat jangan sampai bercerai berai,
apapun perbedaan yang terdapat dalam organisasi.” Kita harus tetap membangun
organisasi, dari organisasi biasa, dianggap organisasi orang kampung sampai kita
berhasil mengangkat pamor organisasi menjadi diperhitungkan.88 Beliau
mempunyai cita-cita yang tinggi. Visi beliau adalah perempuan Islam harus
mengangkat derajatnya. Hal itu tidak hanya dikembangkan dalam Anggaran Dasar
tetapi juga dalam program organisasi. Bagaimana mengangkat derajat perempuan
87 Chatibul Umam, “Wanita dan Kepemimpinan”, Yasmin Bulletin Khidmat NU, ibid, h.
7-8. 88 Muhammad Dahlan, dkk, ed., Sholichah A. Wahid Hasyim, Muslimah di Garis Depan,
(Jakarta: Yayasan K. H. A. Wahid Hasyim, 2001), h. 155-157.
Islam, tidak hanya perempuan Islam yang berkualitas. Kunci utama yang
diperlukan dalam organisasi adalah ketulus-ikhlasan. Sebagai dasar dalam
membangun suatu organisasi, tujuan apapun, pastinya akan menemukan jalan.
Salah satu bukti kenangan atas kiprahnya dalam organisasi keIslaman di
tingkat lokal adalah masjid peninggalannya di Ciganjur. Yang yang diambil dari
nama kecilnya, “Munawwarah”, diambil dari nama kecilnya. Masjid ini didirikan
pada mulanya dengan swadaya dan bantuan masyarakat sekitar. Dalam hal ini
rupanya Solichah telah berhasil menepis stigma-stigma yang berkembang di
masyarakat tentang isu miring mengenai peran perempuan, khususnya perempuan
pesantren, melalui aktifitasnya tersebut kepada masyarakat, “ini lho bukti bahwa
perempuan pesantren tak kalah bersaing dengan perempuan kota atau laki-laki
sebagai pemimpin dan aktifis masyarakat.”89 Solichah telah membuktikan bahwa
sebagai ibu sekaligus ayah, beliau dapat memberikan kontribusi yang besar
terhadap masyarakat di berbagai lingkungan organisasi. Beliau dapat membagi
waktu antara hak dan kewajiban sebagai seorang istri, ibu, juga ayah. Dengan
berorganisasi akan membuat perempuan lebih maju dan ditunjang dengan
pendidikan, kaum perempuan tidak hanya bergerak dalam sektor domestik saja
juga dalam ruang publik sehingga dapat menjadi partner sejajar dengan laki-laki.
Organisasi Muslimat dianggap kurang modis di awal berdirinya. Oleh
karenanya Solichah selalu mengajarkan berpakaian kebaya dengan menyesuaikan
keserasian karena itu merupakan identitas Muslimat. Orang selalu berpikiran
bahwa memakai kebaya akan sulit melangkah padahal tidak. Muslimat bahkan
89 Firdaus, “Pembaharu Citra Diri Perempuan Indonesia”, Khalifah, Edisi 86, (24 April-
07 Mei 2008), h. 5.
mengadakan latihan baris-berbaris sebagai sukarelawati dalam peristiwa Gestapu.
Waktu itu, Muslimat melakukan demonstrasi dengan menaiki tank memakai
kebaya. Seragam Muslimat adalah kebaya. Kalau Gerwani menyanyi “Genjer-
genjer”90, Muslimat menyanyikan Salawat Badar. Muslimat NU bisa membuat
dapur umum sampai mengangkat senjata dengan memakai kebaya. Tidaklah sulit
melakukan hal itu dengan menggunakan kebaya. Sampai dengan mata tertutup
juga melakukan tembak.
Dengan adanya organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama juga
melahirkan organisasi perempuan, kaum perempuan dididik mendapatkan
dididikan yang sesuai dengan kehendak dan tuntutan agama. Dan tentunya
disesesuaikan dengan asas dan tujuan Nahdlatul Ulama, suatu perkumpulan yang
sengaja dibentuk untuk mendidik umat Islam ke jalan agama yang seluas-luasnya.
Wahab Hasbullah91 mengatakan bahwa dari kalangan umat Islam, bukan
hanya kaum ‘bapak’ saja yang harus dididik mempelajari dan menjalankan
kewajiban-kewajiban sebagai hamba Allah tetapi kaum ibu juga harus mengikuti
langkah dan gerakan kaum laki-laki. Mereka harus menjalankan segala yang telah
diwajibkan agama Islam.92 Organisasi Muslimat kemudian bergandengan dengan
kaum muda Fatayat NU agar dapat megnubah citranya yang ‘ortodok’ menjadi
organisasi perempuan Islam yang modern, gigih dan cakap dalam melaksanakan
90 Ant, “Gerakan Genjer-Genjer”, Duta Masyarakat: Pembawa Amanat Penderitaan
Rakyat, Tahun ke- XXII, (20 November 1965), h. 1. 91 K. H. Wahab Hasbullah adalah wakil PBNU dari Surabaya pada saat beliau
menyampaikan pidatonya dalam Kongres Nahdlatul Ulama ke XIII, Rapat Umum di Pandeglang, Jawa Barat. Beliaulah yang memberikan petunjuk, nasehat sehingga Muslimat dapat berkembang lebih maju. Dan orang yang pertama kali memberikan kursus kepemimpinan kepada Muslimat di Madiun 1948.
92 Asyrofuddin Nur Widodo, YKM Wujudkan Kesehatan Warga NU, Yasmin Bulletin Khidmat NU, no. 4, (Oktober, 1992), h. 12-14.
tugasnya untuk meningkatkan status perempuan dengan berbagai macam
pendidikan.93 Solichah selalu mengikuti perkembangan Muslimat selalu
menjalankan kewajiban sebagai seorang Muslimat dengan 5 M yakni: Macak,
masak, manak, makarti dan mandiri.
H. Memberdayakan Perempuan Muslimat Nahdlatul Ulama melalui Kursi
DPR
Meskipun Solichah adalah orang politik yang merupakan kader PPP dan
duduk di DPR mewakili PPP, namun permainannya dalam politik hampir tidak
tampak. Di awali dengan niatnya bahwa politik adalah untuk ibadah, dan
berpolitik bukan untuk mencapai kekuasaan. Dalam banyak hal Solichah memang
bukan ‘petualang politik’ justru beliau lebih memperlihatkan dirinya sebagai
muslimat, yang memegang teguh komitmen moral keagamaan. Faktor dominan
yang membawanya dalam dunia politik disebabkan ia memang dibutuhkan dalam
PPP. Sebagai tokoh perempuan yang berpengaruh, PPP sengaja dijadikannya
organisasi untuk mendaptkan massa dari kalangan muslim tradisional untuk
mendukung PPP yang akan duduk dalam pemerintahan.94
Pada PEMILU pertama tahun 1955, khususnya buat Nahdlatul Ulama
merupakan surprise yang besar mengingat hasil yang dicapai mencapai hampir
enam kali lipat dibandingkan perwakilannya pada DPRS. Setelah terbentuknya
93 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk
Agama, Negara dan Bangsa,(Jakarta: PP Muslimat NU, 1996), h. 196. 94 Muhammad Dahlan dkk, ed., Sholichah A. Wahid Hasyim, Muslimah di Garis Depan,
(Jakarta: Yayasan K. H. A. Wahid Hasyim, 2001), h. 49
DPRGR tahun 1960, keanggotan Muslimat dalam DPRGR menjadi: Ny.
Machmudah Mawardi, Ny. H. Solichah A. Wahid Hasyim, Ny. Mariyama
Djunaidi, Ny. Hadiniah Hadi, Ny. Maryam Kantasumpena, Ny. Munir Munawwar
dan Ny. Asmah Syahroni. Dalam PEMILU II, Bu Wahid kembali terpilih sebagai
anggota DPRRI yang merupakan wakil dari Djawa Timur. Kemudian dalam
PEMILU III tahun 1977, Nahdlatul Ulama berfusi dengan PPP dan empat orang
dari Muslimat diantaranya adalah Bu Wahid.
Sebagai anggota legislative di tingkat pusat, Solichah punya banyak waktu
utuk berkunjung ke daerah-daerah jika DPR sedang reses. Dalam hal ini, beliau
lebih sering pergi bersama Ibu Asmah Syachroni. Mereka berdua sering
mengunjungi daerah secara bersamaan walaupun beda komisi. Di tempat yang
telah dijanjikan, Solichah dan Asmah tidak hanya melakukan tugas-tugas
legislative saja. Mereka juga mengerjakan banyak hal yang berkaitan dengan
persoalan Muslimat. Sebelum berkunjung Asmah dan Solichah biasanya telah
menyiapkan banyak acara. Misalnya Musyawarah antar pimpinan cabang
Muslimat NU, konferensi dan sebagainya. Hal ini merupakan kesempatan untuk
mengetahui secara langsung persoalan yang dihadapi Muslimat di tingkat bawah.
Sedangkan bagi mereka ini adalah suatu kehormatan dan kebahagian tersendiri
jika acaranya dihadiri oleh “orang pusat.”95 Hal ini meninggalkan kesan yang
mendalam bagi daerah yang kunjungi karena perhatian yang diberikan Bu Wahid
dan Bu Asmah. Beliau selalu memanfaatkan suasana untuk menjamin tali
silaturahmi.
95 Muhammad Dahlan dkk, edit, ibid., h.46-47.
Dari beberapa perempuan yang duduk dalam DPR, termasuk Solichah,
juga ada Bu Walandouw, yang pernah menjabat sebagai sekertaris Bunga
Kemboja, mengenal Bu Wahid dengan baik. Beliau mengatakan sifat positif
Solichah yang menarik adalah kemampuannya untuk dapat berdiri sendiri. Beliau
mudah bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan agama. Waktu masih
bersama-sama di KOWANI dan DPR, sama-sama menginginkan agar kaum
perempuan menjadi warga Negara yang baik sesuai dengan tuntutan zaman. Bu
Walandouw dan Solichah bekerjasama dengan masyarakat dalam kegiatan social,
kesehatan dan kesejahteraan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di akhir skripsi ini, penulis menarik beberapa kesimpulan dari bab-bab
terdahulu, yakni sebagai berikut.
Kesetaraan dan keadilan gender yang selama ini diperjuangkan oleh
berbagai kalangan baik dalam organisasi masyarakat, maupun organisasi
pemerintahan atau dengan individual sesungguhnya telah banyak
dilakukan dan diperjuangkan oleh Muslimat Nahdlatul Ulama walaupun
dengan istilah yang berbeda. Meskipun Nahdlatul Ulama memberikan
peluang kepada kaum Nadliyyat untuk berorganisasi akan tetapi Muslimat
harus membangun image organisasi dan mengembangkan sendiri
organisasinya agar bermanfaat bagi banyak perempuan dan anak-anak.
Tujuan dari perjuangan Muslimat Nahdlatul Ulama telah terlihat dalam
agenda-agenda kegiatan yang telah berjalan yakni dengan membawa kaum
perempuan Indonesia khususnya jamaah Nadliyat ke arah yang lebih maju
dengan tetap memegang pedoman pada ajaran al-Quran dan Hadits yakni
dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Keterlibatan Ny. Solichah A. Wahid Hasyim atau yang biasa dikenal
dengan Bu Wahid dalam perkembangan dan kemajuan Muslimat NU dan
berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya merupakan suatu hal yang
membanggakan. Kegigihannya dalam memperjuangkan kaum perempuan
dapat dijadikan figure utama bagi perempuan lainnya agar dapat berkarya
seperti dirinya. Dengan lebih dari setengah abad Solichah berkiprah dalam
organisasi, membuatnya memiliki talenta yang besar serta kecakapan
dalam bertindak. Banyak ide-idenya yang membawa Muslimat pada
kemajuan untuk perbedayaan kaum perempuan. Salah satunya dengan
terselenggaranya program Keluarga Berencana dengan kerjasama pihak
luar dan lainnya.
Dalam upaya peningkatan status dan peran perempuan melalui organisasi
Solichah A. Wahid Hasyim banyak menyumbangkan seluruh tenaganya,
imateril maupun materi. Salah satunya adalah Bidang Sosial yang diketuai
semasa hidupnya dalam Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU yang
merupakan ide dari beliau sendiri kemudian dirintis bersama-sama
membuatnya lebih dikenal sebagai sosok yang humanis dengan tetap teguh
memegang ajaran agama. Dalam hal perpolitikan pun beliau bukanlah
dikenal sebagai ‘petualang politik’ tetapi lebih dikenal sebagai seorang
perempuan muslimat, politik adalah merupakan akses untuk
memperjuangkan kaum perempuan Islam Indonesia.
B. Saran-saran
Meneliti lebih jauh tentang perkembangan Muslimat NU memang telah
banyak mengalami kemajuan tetapi dalam kepengurusan Muslimat NU
perkembangan tersebut masih kurangnya memaksimalkan fungsi dan
peranan masing-masing anggota. Kendala utama dalam tubuh oraganisasi
ini adalah manajemen organisasi. Hal ini merupakan masalah yang cukup
urgent yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Data BASE anggota maupun
data-data yang berupa arsip organisasi kurang terorganisir dengan baik
maka perlu diadakannya suatu perbaikan. Sehingga data-data tersebut
dapat dijadikan bermanfaat bagi khalayak ramai khususnya Nadliyyin.
Tulisan atau buku mengenai Bu Wahid dirasa masih terbilang minim,
perlu digali dan diteliti lebih mendalam lagi mengenai ‘sepak terjang’
beliau dalam berbagai kalangan organisasi. Agar sikap dan wawasannya
dapat membuka kesadaran berorganisasi bagi kalangan muda.
Bagi sejarawan atau pecinta sejarah diharapkan penulisan ini dapat
memberikan manfaat yang berarti. Dan tentunya agar tetap semangat
dalam mengembangkan penulisan mengenai sejarah perempuan Indonesia,
agar dapat dibaca dan dimengerti oleh masyarakat luas.
DAFTAR SUMBER
A. Sumber Tertulis
1. Koran
Ant, “Gerakan Genjer-genjer”, Duta Masyarakat: Pembawa Amanat
Penderitaan Umat, (Sabtu, 20 November 1965).
Ibunda Gus Dur Dimakamkan di Tebuireng, Suara Pembaruan, 31 Juli
(Jombang, 1994).
2. Majalah, Tabloid, Jurnal
al-Qurtuby, Sumanto, “NU Gila, Gila NU”, Taswirul Afkar: Jurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 17 (tahun
2004).
Firdaus, Pembaharu Citra Diri Perempuan Indonesia, Khalifah, Edisi 86,
(24 April- 07 Mei 2008).
L. Bush, Robin, “Wacana Perempuan di Lingkungan Nahdlatul Ulama”,
Taswirul Afkar: Jurnal Refleksi dan Pemikiran Keagamaan dan
Kebudayaan, No. 5, (Tahun 1999).
Najib, Ala’I, “Rekonsiliasi Perempuan Islam dan Komunis”, Taswirul
Afkar: Jurnal Refleksi dan Pemikiran Keagamaan dan
Kebudayaan, No. 15, (Tahun 2003).
Nur Widodo, Asyrofuddin, YKM Wujudkan Kesehatan Warga NU,
Yasmin Bulletin Khidmat NU, No. 4, (Oktober, 1992).
PP Muslimat NU Jakarta, “ Laporan Yayasan Kesejahteraan Muslimat
Pusat”, Pada Musyawarah Kerja Nasional di Jakarta: 17-19
September 1988.
PP Muslimat NU, Laporan Petanggungjawaban PP. Muslimat NU Kongres
XI Periode 1979-1984 di Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa
Timur, 8-12 Desember 1984.
PP Muslimat NU, Laporan Pertanggungjawaban PP Muslimat NU
Kongres XII Periode 1984-1989 di Kaliurang, Yogyakarta, 25-28
November 1989.
PP Muslimat NU, Laporan Pertanggungjawaban PP Muslimat NU
Kongres XIII Periode 1989-1994 di Jakarta, 31 Juli- 4 Agustus
1995.
S. Susanto, Trisno, “ Tulang Rusuk Adam: Membaca Kembali Kitab Suci
dengan Optik Perempuan, Taswirul Afkar: Jurnal Refleksi dan
Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 5, (Tahun 1999).
Umam, Chatibul, Wanita dan Kepemimpinan, Yasmin Bulletin Khidmat
NU, No. 4, (Oktober, 1992).
--------------------, Sosiawan Muslimah, Risalah Islamiyah, No. 7
(September 1977).
--------------------, “Melalui Berbagai Kesulitan Ibu Wahid Hasyim:
Berhasil Mendidik Putra Putrinya, Risalah Islamiyah, No. 7
(September 1977).
3. Buku
Abdurrahman, Dudung, Metode Penelitian Sejarah, (Pamulang: Logos
Wacana Ilmu, 1999), Cet ke. 1.
A. K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta:
Dian Rakyat, 1984).
Dahlan, Muhammad, ed., dkk, Sholichah A. Wahid Hasyim, Muslimah di
Garis Depan, (Jakarta: Yayasan K. H. A. Wahid Hasyim, 2001).
Fayumi, Badriyah, et all, Keadilan dan Kesetaraan Gender: Perspektif
Islam, (Jakarta: Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Dept.
Agama RI, 2001), Cet ke-1.
Gunawan, Restu, dkk, Seminar Kebangkitan Pergerakan Nasional: 25- 27
Mei 1988, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1988).
Hayati, Chusnul, dkk, Peranan Ratu Kalimanyat di Jepara pada Abad ke
XVI, (Jakarta: CV. Putra Prima, 2000).
Helmi, Mustofa dan Ma’sum, Syaifullah, ed., Asmah Syachruni: Muslimat
Pejuang Lintas Zaman dari Kalangan NU, (Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu, 2002).
Hendrowinoto, Nurinwa Ki. S., dkk, Ibu Indonesia dalam Kenangan,
(Jakarta: Bank Naskah Gramedia dan Yayasan Biografi Indonesia,
2004).
Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Sekretariat Jendral Republik Indonesia, 2003).
Marijan, Kacung, Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah 1926,
(Jakarta: Erlangga, 1992).
Ma’sum, Saifullah dan Zawawi, Ali, 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat
untuk Agama, Negara dan Bangsa,(Jakarta: PP Muslimat NU,
1996).
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2001), Cet. Ke. 3.
Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang
Relasi Gender, (Bandung: Mizan, 1999), Cet ke-1.
Memperkenalkan Anggota-anggota DPR Hasil Pemilu 1971, (Jakarta:
Lembaga Pemilihan Umum, 1971).
Nasuhi, Hamid, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan
Disertasi), (Jakarta: CeQDA UIN Jakarta, 2007), Cet ke-1.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:
LP3ES, 1988), Cet ke- 4.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana,
1994).
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1995), Cet. Ke 1.
Soewondo, Nani, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan
Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984).
Sulastri, Perempuan Indonesia Dulu dan Kini, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1996).
Suralaga, Fadilah, dkk, Pengantar Kajian Gender, (Jakarta: Pusat Studi
Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan McGill-ICIHEP,
2003).
Suny, Ismail, Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bharata Karya
Aksara, 1980).
Suryonchondro, Sukanti, Potret Pergerakan Wanita Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Press, 1984)
Vreede-De Stuers, Cora, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan
Pencapaian, (Depok: Komunitas Bambu, 2008).
Zuhri, Ny. Saifuddin, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, (Jakarta: PP
Muslimat NU Jakarta, 1979)
4. Media Elektronik
Sosok Hj. Nyai Sholichah Munawwarah, artikel diakses pada 20 Maret
2008 dari http://jalantrabas.blogspot.com.
Syamsudin Arif, Menyikapi Feminisme dan Isu Gender, artikel ini diakses
pada 25 February 2008 dari http: //www.mulyplay.com.
Triyuni Soemartono, Pemberdayaan Perempuan Masih Retoriksa, artikel
diakses pada Februari 2008 dari http://www.suarakarya-online.com
B. Sumber Lisan
Wawancara Pribadi dengan Ny. Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Jakarta, 4
April 2008
Wawancara Pribadi dengan Ny. Asmah Syachroni, Jakarta, 15 April 2008.