kiprah dan perjuangan kh. ali ma shum dalam...
TRANSCRIPT
KIPRAH DAN PERJUANGAN KH. ALI MA’SHUM
DALAM TUBUH NU 198I-1989
Skripsi :
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperolah
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Universitas Islam Negeri SAYRIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Oleh
Willy Ahmadi
103022027528
JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYTULLAH
JAKARTA
2010
KIPRAH DAN PERJUANGAN KH. ALI MA’SHUM
DALAM TUBUH NU 198I-1989
Skripsi :
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh
Willy Ahmadi
NIM: 103022027528
Pembimbing
Drs. H.M. Ma’ruf Misbah, M.A.
NIP: 19591222 199103 1 003
JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYTULLAH
JAKARTA
2010
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi dengan judul KIPRAH DAN PERJUANGAN KH. ALI MA’SHUM
DALAM TUBUH NU 1981 – 1989 telah di ujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari selasa, 8
Desamber 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat meperoleh gelar
sarjana Humaniora pada program studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta,21 Desember 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Sekretaris
Drs.H.M. Ma’ruf Misbah, MA Drs.Usep Abdul Matin,MA,MA.S.Ag.
NIP :19591222 199103 1 003 NIP : 19680807 199803 1 002
Penguji Pembimbing
Dr.H.M.Muslih Idris. Le. MA Drs.H.M. Ma’ruf Misbah, MA
NIP : 19520603 198603 1 001 NIP : 19591222 199103 1 003
ABSTRAKS
KH Ali Ma’shum merupakan seorang ulama sekaligus intelektual kaliber
nasional bahkan internasional. Kiprah puncak beliau adalah sebagai Rois Aam NU.
Keaktifan dalam berkiprah ini tidak terlepas dari kepribadian beliau sebagai seorang
organisatoris dan juga sebagai spiritualis. Sehingga wajar ketika keberadaan KH Ali
Ma’shum di tengah-tengah masyarakat menjadi figur yang dituakan, baik karena
kekharismaan beliau, maupun keilmuan beliau yang mumpuni. Lebih jauh KH Ali
Ma’shum adalah sosok yang sangat berperan aktif dalam masarakat. Bukan saja
dalam bidang keagamaan saja tetapi lebih dari itu beliau juga aktif dalam pergerakan
politik nasional.
Untuk menjadi pembahasan yang lebih terarah dan fokus, penelitian ini lebih
ditekankan pada kiprah beliau pada NU 1981-1989 dan corak pemikirannya.
Sebagaimana diketahiu bahwa keterlibatan KH Ali Ma’shum dalam dinamika
kehidupan NU baik NU sebagai organisasi keagamaan maupun NU sebagai oganisasi
politik sedikit banyak telah diwarnai oleh corak pemikiran beliau.
Kajian penelitian ini sengaja penulis angkat untuk memperkaya khazanah
keilmuan, khususnya biografi sosok dan corak pemikiran KH Ali Ma’shum. Untuk
mengenal seorang tokoh maka tidah cukup dengan mengungkap sejarah
perjuangannya saja, tetapi corak pemikirannya pun harus diketahui, dengan begitu
kita dapat mengetahiu sosok tokoh secara komprehensif.
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang patut penulis lafazkan selain puji serta syukur kehadirat Illahi
Rabbi yang telah memberi berbagai macam nikmat, kesempatan serta kekuatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada nabi Muhammad SAW. yang telah membawa perubahan bagi
peradaban manusia. Perubahan dari zaman kegelapan menjadi zaman yang terang
benderang dengan adanya cahaya Islam.
Penulisan skripsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh penulis untuk
dapat menyelesaikan program Sarjana dalam Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan segala daya
dan upaya penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun sebuah karya
skripsi yang terbaik. Namun, sudah menjadi kelaziman bahwa “tak ada gading yang
tak retak”, dan begitulah pada akhirnya skripsi ini dihasilkan dengan segala
kekurangannya. Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sisi idealnya.
Oleh karenanya, penulis berharap akan muncul kritik, saran, maupun komentar dari
berbagai pihak untuk lebih menyempurnakan segala kekurangan dari karya ini.
Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak yang
telah memberi petunjuk serta motivasi dalam penulisan karya ini. Oleh karenanya
sudah pada tempatnyalah penulis menghaturkan rasa hormat yang setinggi-tingginya
serta ucapan terimakasih tak terhingga kepada :
1. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Dr. Abdul Chair, M.A dan ketua
Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Drs. H.M. Ma’ruf Misbah, M.A serta
sekretaris Jurusan Sejarah dan peradaban Islam, Drs. Usep Abdul Matin, M.A
yang telah membantu kelancaran saya dalam mengurus segala prosedur yang
terkait dengan pelaksanaan penyusunan hingga sidang skripsi ini.
2. Drs. H.M Ma’ruf Misbah, M.A. selaku pembimbing skripsi yang telah banyak
meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk memberikan
pengarahan serta perhatian kepada penulis terkait dengan penulisan skripsi ini
hingga skripsi ini dapat diselesaikan.
3. Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Drs. Usep Abdul Matin,
S.Ag., M.A., M.A.
4. Drs. H.M. Ma’ruf isbah, M.A., selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan motivasi awal bagi terciptanya karya ini.
5. Pemimpin dan seluruh staf pegawai Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Umum
yang telah memberikan pelayanan dan kemudahan bagi penulis dalam
memperoleh data-data yang penulis butuhkan.
6. Pimpinan dan seluruh staff PBNU, perpustakaan PBNU yang telah membantu
penulis dalam memberikan data-data dan informasi terkait dengan skripsi ini.
7. Kedua orang tua, Ayahanda H. Shofwan dan Ibunda Hj. Afiyah yang telah
banyak berkorban untuk memberikan motivasi, doa, cinta dan kasih sayang
yang tulus ikhlas serta apapun yang terbaik bagi penulis.
8. Kakaku, Ibnu Nizar, SH dan adik-adikku tercinta Ulin Nuha, Yusuf Tegar
Prabowo dan si bungsu yang imut Lazma Akhlisia. Kakak-kakak sepupuku
yang tercinta Mba Dewi dan Mas Hadi, Serta Nurjanah dengan penuh
kesabaran dan kasih sayang serta keluarganya dan kasih sayang yang telah
memberikan motivasi untuk menyelesaikan studi ini.
9. Spesial motivator Agus pujuharto, S.Hum yang telah banyak memberikan
bimbingan dan saran-saranya tanpa bosan juga Mas Haris, Mas Zaki terima
kasih atas spiritnya.
10. Seluruh kawan-kawan SPI angkatan 2003 Sulis, Rara, Achi, Nuril, Babay,
Biah dan seluruh kawan-kawan yang tidak mungkin penulis sebutkan satu
persatu, yang selama ini telah bersama menorehkan kenangan terindah yang
tak akan terlupakan oleh penulis, khususnya My Heart Nur Jannah yang selalu
setia mendampingi penulis dalam menyusun skripsi ini.
Semoga segala kebaikan-kebaikan yang telah mereka berikan dapat
bermanfaat dan mendapat balasan limpahan pahala dari Allah SWT. Amien.
11. Keluarga besar Alaska, Kang Imam, Haji Noto, Kang Saiful, mas Ompong dan
sebagianya
Akhir kata, penulis berharap kritik dan saran terhadap karya tulis ini yang
tetntumua jauh dari sempurna. Semoga apa yang penulis lakukan dapat bermanfaat
bagi orang banyak. Terima kasih.
Jakarta, 5 Maret 2009
Willy Ahmadi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................ iii
DAFTAR ISI .............................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ .1
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................... 7
C. Tujuan Penelitian............................................................. .7
D. Manfaat Penulisan ........................................................... .8
E. Metode Penelitian............................................................ .8
F. Metode Penulisan ............................................................ 10
G. Sistematika Penulisan ...................................................... 10
BAB II BIOGRAFI KH. ALI MA’SHUM ................................................ .12
A. Silsilah Keluarga ............................................................. .12
B. Latar Belakang Pendidikan .............................................. .13
C. Corak Pemikiran KH. Ali Ma’shum................................. .16
BAB III KH. ALI MA’SHUM DAN NU.................................................... 25
A. Latar Belakang Berdirinya NU ........................................ 25
B. Perkembangan NU Pasca Kelahirannya ........................... 27
C. Awal Keterlibatan KH. Ali Ma’shum dalam Tubuh NU... 32
BAB IV PERAN KH. ALI MA’SHUM DALAM TUBUH NU
1981-1989 .............................................................................................. 37
A. Percaturan Politik NU dari 1981 Hingga Kembalinya ke
Khittah NU (1926)........................................................... 37
B. Kiprah KH. Ali Ma’shum dalam Percaturan Politik NU... .44
C. Peran KH. Ali Ma’shum Sebagai Rois ‘Am NU .............. .49
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 55
A. Kesimpulan ..................................................................... 55
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama telah menjadi entitas yang sangat penting dalam proses transmutasi
nilai-nilai ke dalam wilayah Republik Indonesia. Secara historis kenyataan itu sulit
dielakkan. Semenjak kehadiran agama Hindu dan Budha, bangsa Indonesia
sesunnguhnya sudah berada pada wilayah kehidupan religius. Banyaknya peninggalan
agama Hindu dan Budha seperti candi adalah bukti bahwa agama telah menancap
sebagai sistem ritual sekaligus sistem sosial dan budaya. Karena itu esensi bangsa
Indonesia sejak dulu tidak mengenal sekularisasi.
Validitas sejarah telah mendukung Islam sebagai bagian terbesar dalam
pergulatan keindonesiaan, karena Islam telah memberikan andil yang signifikan
dalam transformasi bangsa. Sejarah Wali Songo di Jawa menunjukkan dengan kuat
bagaimana transfer aksiologi keislaman telah mampu merubah wajah lokalitas budaya
menjadi tata nilai yang mampu menginjeksi masyarakat menuju pada bentuk yang
dinamis.1
Dalam sejarah gerakan bangsa-bangsa di dunia dan komunitas pemeluk
agama, selalu lahir pemimpin dan orang-orang yang ditokohkan serta menjadi panutan
dalam banyak persoalan kehidupan. Pemimpim atau tokoh-tokoh itu lahir di masa dan
komunitas tertentu sesuai kebutuhan sejarah yang memanggilnya serta komitmen diri
yang dimilikinya. Terlepas apakah pemimpin dan tokoh itu yang mengubah sejarah
atau boleh jadi sebaliknya, kekuatan sejarah yang tak gampang dipahami itu sendiri
yang secara sengaja sesuai dengan logika sejarah yang melahirkan sang pemimpin dan
1 Hilmi Muhammadiyah, Sulthan Fatoni, NU : Identitas Islam Indonesia, ELSAS, Jakarta,
2004, h. viii
sang tokoh. Tetapi sesuatu yang sulit diingkari adalah bahwa ketokohan seseorang
atau sekelompok orang hanya ada di dalam dan dari sebuah komunitas.
Pada awal abad XX fenomena paling mencolok yang menunjukkan
kebangkitan “bumiputra” untuk melawan penjajahan Belanda adalah adanya gerakan
rakyat yang tampil dalam bentuk-bentuk seperti surat kabar dan jurnal, rapat dan
pertemuan, organisasi dan partai. Fenomena tersebut menyandang sebutan
“pergerakan”, di mana bumiputra bergerak mencari bentuk untuk menampilkan
kesadaran politik mereka yang baru, menggerakkan pikiran dan gagasan.
Pada awal abad XX ulama menyandang simbol utama perlawanan terhadap
penjajah.2 Seiring jalannya waktu, para ulama akhirnya membentuk suatu wadah
sebagai media perjuangannya dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Bagi kalangan
NU, berdirinya organisasi keagamaan ini tidak jarang dipandang sebagai pelembagaan
tradisi kegamaan yang sudah mengakar sebelumnya. Para Ulama yang sudah memiliki
kesamaan wawasan keagamaan pada 31 Januari 1926 sepakat membentuk organisasi
ini. Meski begitu, proses kelahiran NU tidak bisa dilepaskan dari konteks waktu yang
mengitarinya. Perkembangan dunia Islam dan situasi kolonialisme Belanda tidak kecil
andilnya dalam membidani kelahirannya.3
Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU memiliki perjalanan panjang dalam
ranah perjuangannya. Gagasan yang dikedepankan pertama kali ketika NU dibentuk,
bukanlah dari wawasan politik, melainkan dari wawasan keagamaan. Walau
demikian, tidak berarti wawasan tersebut lantas menjadikan NU mengabaikan
persoalan poltik.4 Hal ini dapat dilihat dari manifestasi gerakan ini dalam kancah
2 Aceng Abdul Azis Dy Dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejarah,
Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Pustaka Ma’arif NU, Jakarta, 2006, h. 206. 3 Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, ERLANGGA, Jakarta, h. 1
4 Aceng, Islam Ahlussunnah, h. 209.
perjuangan bangsa pada masa pra-kemerdekaan yang dikenal dengan gerakan Islam
kulutural.
Walaupun aktivitas yang dilakukan NU dalam gerakannya pada awal
berdirinya organisasi ini adalah gerakan keagamaan, tapi tidak berarti hal-hal yang
bersifat politik diabaikan. Pada muktamar ke-3 tahun 1928, NU tidak menyebutkan
secara eksplisit mengenai perhatiannya dalam masalah politik. Yang disebutkan
adalah mengenai tujuan-tujuan sosial keagamaan. Di situ disebutkan bahwa yang
ingin dipertahankan NU adalah ajaran Islam yang terikat pada empat madzhab dan
mengerjakan bersama apa yang menjadi kemaslahatan bersama. Di bidang sosial yang
menjadi perhatian adalah memajukan pertanian, perdagangan dan perusahaan.5
Namun seiring jalannya waktu, NU secara tidak langsung memainkan
perannya berkaitan dengan soal politik. Ini bisa dilihat dari sikap NU terhadap
penjajah Belanda, di mana NU bersikap kooperatif terbatas atau akomodatif, yaitu
bersedia bekerjasama dengan penjajah Belanda ketika berkaitan dengan keselamatan
umat Islam dan menentangnya jika berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Belanda
yang merugikan atau bahkan mengancam umat Islam.
Sikap NU yang bekerjasama dengan Belanda dapat dilihat pada
keikutsertaannya dalam sidang Kontoor voor Inslansche Zaken (Kantor Urusan dalam
Negeri) di Jakarta pada 1929 yang membicarakan soal perkawinan umat Islam dan
perbaikan organisasi penghulu atas prakarsa C. Gobee, adviseur pada kantor tersebut.
Pemerintah Hindia Belanda ingin memperbaiki peraturan tentang perkawinan umat
Islam. Peraturan yang direncanakan pada pokoknya mengatur tentang nikah, talak,
rujuk dan sebagainya.6
5 Ibid, h. 209.
6 Ibid, h. 211.
Sikap-sikap yang menunjukkan keengganan bekerjasama dengan pemerintah
Hindia Belanda di antaranya sebagai berikut: Pada tahun 1930, NU menolak peraturan
pemerintah Hindia Belanda mengenai ordonansi guru (guru ordonnantie) yang
memberlakukan administrasi yang lebih ketat terhadap sekolah-sekolah, termasuk
pesantren. Pada tahun 1931, NU juga memprotes penarikan masalah-masalah waris
dari wewenang peradilan agama.7
Selama masa kolonialisme, NU selalu melakukan langkah-langkah politik,
walalupun tidak secara langsung. Klimaks dari perjuagan NU adalah pada masa
datangnya Jepang ke Tanah Air hingga masa revolusi kemerdekaan, di mana NU
terlibat langsung gerakan politik massa dalam mempertahankan meraih kemerdekaan.
Nampaknya apa yang telah dilakukan NU dalam langkah-langkah
perjuangannya pada masa pra-kemerdekaan hingga pasca revolusi kemerdekaan
membawa dampak besar terhadap kalangan NU untuk terlibat langsung dalam
gelanggang politik di republik ini seiring dengan kepincangan-kepincangan politik
yang terjadi pada masa itu, dan ditambah dengan instabilitas politik yang tercermin
dalam berbagai gejolak partai dan saling mencurigai antara satu partai dengan partai
lainnya.8
Ini terlihat pula pada pertengahan 1950-an, di mana NU menghadapi krisis
baru dalam hubungannya dengan Masyumi mengenai posisi dalam kabinet.
Berakhirnya Kabinet Wilopo pada bulan Juni menggiring pembicaraan tentang
kabinet baru berlarut-larut. NU mengusulkan front persatuan di mana koalisi
Masyumi-PNI akan dijadikan sandaran pembentukan kabinet baru. Bergabungnya NU
dengan Masyumi sendiri terjadi ketika NU meminta jatah untuk kementerian agama.
Ketika negosiasi mengenai kabinet baru antara Masyumi-NU gagal, NU melakukan
7 Ibid, h. 213.
8 Barbara Sillars Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakka, dari Tradisi ke DI/TII, Grafiti
Press, Jakarta, 1989, h. 189
manuver dengan melakukan hubungan langsung dengan formatur mengenai posisi
kabinet non-Masyumi.9
Pergolakan politik NU dalam negeri ini terus berlanjut hingga akhirnya NU
mengalami perubahan pada awal tahun 1980-an didasarkan atas keinginan untuk
mengembalikan NU sebagai gerakan keagamaan dan gerakan kemasyarakatan
sebagaimana khittah jam’iyyah NU tahun 1926. Keinginan ini dilandasi pada suatu
kondisi politik saat itu yang membuat orientasi dan interest politik praktis di kalangan
pengurus. Hal ini telah mengakibatkan rapuhnya jam’iyyah, terutama terabaikannya
basis jama’ah pada masyarakat bawah serta kewenangan para ulama.10
Kenyataannya
hal itu tidak bisa diwujudkan oleh para pengurusnya. Wafatnya Rois ‘Am KH. M.
Bisri Syansuri 25 April 1981, membuka peluang bagi kedua sayap politik dan sayap
Khittah untuk saling memperkuat posisinya. Pembicaraan pengisian jabatan Rois ‘Am
dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama kan Konferesi Besar NU di Kaliurang
Yogyakarta 1981 menjadi sangat penting. Ternyata Munas dan Konbes itu berhasil
memilih KH. Ali Ma’shum sebagai Rois ‘Am PBNU menggantikan KH. M. Bisri
Syansuri.
Meskipun bagi pribadinya terasa berat, terpilihnya KH. Ali Ma’shum ini
menandai kemenangan sayap khittah yang didukung para ulama pesantren dan
generasi muda. Dalam Khutbah Iftitah Munas dan Konbes itu dia menyinggung
perlunya diberikan peluang generasi muda serta pemulihan kedudukan ulama sebagai
pemegang kendali dalam NU. Kepemimpinan Kiai Ali beserta terjadinya proses
menuju Muktamar ke-27 merupakan babak sejarah yang menarik dalam tubuh NU.
Meski dengan kondisi yang penuh ketegangan, roda organisasi NU terus berjalan
menuju perubahan yang lebih pasti. Pada 1983 dilaksanakan Munas Alim Ulama di
9 Acing Abdul Azis Dy, Islam Ahlussunnah, h. 231.
10 Mustafa Bisri, Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas Biografi 26 Tokoh NU, Yayasan
Syaifudun Zuhri, Jakarta, 1994, h. 363.
Situbondo yang menghasilkan konsep kembali ke Khittah 1926. Setahun kemudian
dilaksanakan Muktamar ke-27 yang bersejarah itu.11
Inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menulis kiprah dan perjuangan
KH. Ali Ma’shum dalam tubuh NU. Penulis ingin mengkaji bagaimana peranan KH.
Ali Ma’shum dalam tubuh NU pada suatu periode tertentu.
Oleh karenanya penulis memutuskan untuk memilih peristiwa sejarah ini
sebagai objek kajian dengan judul, “Kiprah dan Perjuangan KH. Ali Ma’shum
dalam Tubuh NU 198I-1989”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
a. Pembatasan Masalah
Pada dasarnya, dengan menentukan judul “Kiprah dan Perjuangan KH. Ali
Ma’shum di Tubuh NU 1981-1989”, pembatasan kajian sejarah telah ditentukan.
Dalam kajian sejarah, pembatasan masalah minimal terdiri dari pembatasan waktu,
ruang, pelaku, dan objek penelitian. “Kiprah dan Perjuangan” adalah objek
penelitian, “KH. Ali Ma’shum” adalah pelaku, “NU” adalah ruang dan “tahun 1981-
1989” merupakan pembatasan waktu.
b. Perumusan Masalah
Dengan pembatasan masalah di atas itulah kemudian penulis membuat
rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana biografi KH Ali Ma’shum dan corak pemikirannya.
2. Sejauh mana keterlibatan KH Ali Ma’shum di dalam NU
3. Bagaimana peranan dan perjuangan KH. Ali Ma’shum pada periode 1981-
1989?
11
Syaifullah Ma’sum, Karisma Ulama; kehdupan Ringkas 26 Tokoh NU, Mizan, Bandung, 1998, h. 344-345
C. Tujuan Penelitian
Ada beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui biografi dan latar belakang sosok seorang KH Ali
Ma’shum
2. Mengetahui pandangan dan gagasan KH. Ali Ma’shum sebagai tokoh NU
3. Mengetahui peranan dan perjuangan KH. Ali Ma’shum berupa aktivitas dan
pemikiran yang telah disumbangkannya di tubuh NU
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah :
1. menambah wawasan keilmuan bagi penulis khususnya dan para pembaca
umumnya yang berkaitan dengan profil hingga peranan KH. Ali Ma’shum
dalam tubuh NU.
2. Sebagai syarat untuk mendapat gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
E. Metode Penelitian
Oleh karena tulisan ini mencoba untuk menganalisis peristiwa masa lampau,
maka metode yang digunakan dalam penelitiannya adalah metode penelitian sejarah.
Metode penelitian sejarah ini melalui empat tahapan, sebagai berikut :
1. Heuristik: proses pencarian dan pengumpulan sumber, yaitu sumber tulisan dan
sumber lisan. Sumber-sumber sejarah terdiri atas sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber primer dalam penelitian sejarah ini adalah sumber yang
disampaikan oleh saksi mata. Dalam hal ini penulis memakai sumber dari buku
yang ditulis oleh orang yang mengalami peristiwa tersebut dan media massa yang
memuat informasi ketika peristiwa itu terjadi (yang dijadikan sebagai sumber
primer), seperti; Khittah Nahdliyah (Ahmad Shiddiq), Ajakan Suci (KH. Ali
Ma’shum), Riwayat Singkat Nahdlatul Ulama (Berita Nahdlatul Ulama), NU
Menuju Islam Indonesia, Tempo, 8 Desember 1984, Margana, A. Siklus Retak,
Tempo, 16 November 1991, Nasuha, A. Chozin, NU Setelah Konbes Cilacap,
Pelita, Jakarta, 1989.
Adapun sumber sekunder adalah tulisan-tulisan interpretator (sejarahwan)
yang melakukan rekonstruksi atau analisis terhadap peristiwa gerakan tersebut
baik dalam bentuk buku, laporan-laporan hasil penelitian, makalah-makalah, dan
sebagainya, seperti; Islam Ahlussunnah Waljamaah (Aceng Abdul Azas Dkk.),
Lima Bekal dari KH. Ali Ma’shum (Masduki Attamani), Quo Vadis NU setelah
kembali ke Khittah 1926 (Kacung Marijan)
2. Kritik sumber: dilakukan setelah sumber sejarah terkumpul. tahapan ini dilakukan
untuk memperoleh keabsahan sumber. Dalam hal ini yang diuji adalah keabsahan
tentang keaslian sumber (otensitas) yang dilakukan melalui kritik intern dan
ekstern. Melalui kritik intern akan diuji keabsahan tentang kesahihan sumber
(kredibilitas), apakah isinya sebuah pernyataan; fakta-fakta; dan apakah kejadian
atau peristiwanya dapat dipercaya. Untuk kritik ekstern, perlu diidentifikasi
penulisnya, beserta sifat dan wataknya, daya ingatannya, jaraknya dari peristiwa
dalam waktu, dan sebagainya.
3. Interpretasi atau penafsiran sejarah atau disebut juga analisis sejarah. Analisis
sejarah ini bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari
sumber-sumber sejarah.
4. Historiografi: merupakan fase terakhir dalam metode sejarah yang meliputi cara
penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.
F. Metode Penulisan
Metode penulisan skripsi ini mengacu pada penulisan skripsi Jurusan Sejarah
dan Peradaban Islam Fakultas Adab dab Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2008.
G. Sistematika Penulisan
Untuk menjaga terfokusnya penelitian ini, diperlukan satu sistematika agar
tidak terjadi kerancuan dalam penguraian. Karenanya peneliti membaginya menjadi
lima bab. Bab pertama, didahului dengan akar persoalan yang melatarbelakangi
peneliti mengangkat tema ini. Permasalahan yang ingin dijawab dan dijelaskan
tertuang dalam pembatasan dan perumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan
tujuan dan kegunaan penelitian yang mencakup orientasi dan arah penelitian ini.
Berikutnya sebagai pedoman dan arahan yang akan menjadi parameter dan sekaligus
acuan dalam penelitian ini diperlukan satu tinjauan metodologis dan pendekatan yang
digunakan.
Pada bab kedua, diuraikan secara khusus biografi Ali Ma’shum, dari mulai
silsilah keluarga sampai latar belakang pendidikan hingga corak pemikirannya.
Analisa ini diharapkan dapat membantu memberikan gambaran secara tepat mengenai
profil dan pemikiran tokoh yang satu ini.
Dalam bab ketiga, diuraikan mengenai kehidupan KH. Ali Ma’shum terkait
dengan aktivitasnya sebagai seorang ulama sekaligus sebagai tokoh NU. Peranan KH.
Ali Ma’shum dalam perkembangan NU pada satu periode tertentu juga akan dibahas
dalam bab ini.
Bab keempat, mencoba menguraikan mengenai kiprah KH. Ali Ma’shum
dalam percaturan politik NU dan perannya dalam pengembalian Khittah NU 1926
yang pertama.
Sebagai penutup dalam penulisan ini, yang merupakan jawaban eksplisit atas
apa yang dipersoalkan dalam pembatasan dan perumusan masalah, dan sekaligus
menyampaikan beberapa harapan peneliti dengan tulisan (laporan dalam wujud skripsi
ini), tertuang dalam bab V; yaitu kesimpulan dan saran.
BAB II
BIOGRAFI KH. ALI MA’SHUM
A. Silsilah Keluarga
Lasem, sebagai kota kelahiran KH. Ali Ma’shum adalah sebuah kota kecil di
pesisir utara pulau Jawa, termasuk wilayah kabupaten Rembang yang merupakan
daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di propinsi Jawa Tengah,
nama Lasem sebagai kota yang mempunyai pesantren termasyhur, dikenal luas oleh
masyarakat. Sebagian besar penduduk Lasem adalah petani, tetapi tidak sedikit juga
yang menjadi nelayan.
Seperti banyak keluarga lain, keluarga KH. Ma’shum sudah turun-temurun
hidup di Lasem. Dia sendiri adalah salah seorang pengasuh pondok pesantren Al-
Hidayah yang cukup terkenal di daerah itu. Sebagai seorang kiai yang alim, KH.
Ma’shum selalu mendambakan ilmunya dapat bermanfaat bagi yang lain. Sejak masih
muda ia sudah didatangi orang-orang yang bermaksud menimba ilmu darinya.
Rumahnya yang sederhana itu dijadikan penampungan para santri.12 Di tengah-tengah
kesibukannya mengurus para santrinya, ia akhirnya dikaruniai seorang putra pertama
yang kelak melanjutkan perjuangannya. Dia adalah Ali Ma’shum yang di kemudian
hari dikenal sebagai salah satu tokoh besar NU dengan sebutan KH. Ali Ma’shum
(Mbah Ali).
KH. Ali Ma’shum dilahirkan pada tanggal 2 Maret 1915 di Lasem, kabupaten
Rembang Jawa Tengah dari pasangan KH. Ma’shum dengan Nuriyah. Pasangan ini
dikaruniai tigabelas putera-puteri, delapan di antaranya meninggal dunia dalam usia
12
A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum; Perjuangan dan Pemikiran-pemikirannya, Multi Karya Grafika, Yogyakarta, 1989, h. 1.
dini.13 Ia adalah anak pertama dari pasangan tersebut. Nuriyah merupakan istri kedua
KH. Ma’shum. Istri pertamanya adalah Maftuchah yang meninggal dunia di Makkah
sebelum mempunyai keturunan. Dengan demikian Ali kecil merupakan putera
pertama dari istri kedua KH. Ma’shum. Ayahnya yang dikenal dengan sebutan Mbah
Ma’shum adalah pengasuh pondok pesantren di Lasem. Dari ketigabelas putera-puteri
Mbah Ma’shum yang masih hidup ialah Ali Ma’shum, Fatimah, Ahmad Syakir,
Azizah dan Chamnah.
Ali sendiri menikah pada tahun 1938 dengan puteri salah seorang kiai ternama
di Yogyakarta. Gadis itu bernama Hasyimah, puteri dari KH. Munawir Krapyak
Yogyakarta. Pernikahan mereka dilaksanakan setelah kepulangan Ali dari pondok
pesantren Tremas.
B. Latar Belakang Pendidikan
KH. Ma’shum menghendaki Ali kelak menjadi seorang ahli fiqih. Oleh karena
itu, sejak kecil Ali telah diberi pelajaran kitab-kitab fiqih olehnya.14
Walaupun
sebagian sumber menyatakan bahwa pada saat itu KH. Ma’shum telah memberikan
pengajaran kitab-kitab non-fiqih kepada para santrinya.
Namun pada akhirnya kecenderungan Ali kecil sendiri berbeda dengan yang
diharapkan orang tuanya karena dia lebih suka mempelajari kitab-kitab nahwu dan
sharaf. Bahkan dia sendiri pada saat itu mengajak adik-adiknya untuk menyukai
kitab-kitab tersebut. Pada tahun 1927 Ali yang sudah memasuki masa remaja dikirim
ke pondok pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Ketika itu pengasuhnya adalah
KH. Dimyati.15 Pada saat itu berkembang tradisi di pondok setempat bahwa santri
13
Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ‘Am NU; KH. Hasyim Asy’ari,
KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ali Ma’shum dan KH. Achmad Siddiq, LTN NU,
Yogyakarta, 1995, h. 107, 110. 14
A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara II; Riwayat, Perjuangan dan Doa,
KUTUB, Yogyakarta, 2006, h. 308. 15
Ibid, h. 309.
yang selama tiga tahun pertama sejak kedatangannya tidak pulang kampung,
merupakan petanda yang bersangkutan akan sukses menyerap ilmu dan kelak akan
menjadi seorang ‘alim atau kiai. Ali yang mulai menambah nama ayahnya di belakang
namanya menjadi Ali Ma’shum termasuk santri yang mampu tidak pulang kampung
pada awal pendidikannya.
Ketekunan Ali Ma’shum kemudian menjadikan ia cukup menonjol di antara
santri-santri lainnya, maka ia pun langsung dijadikan nara sumber dalam hal membaca
kitab kuning. Oleh KH. Dimyati, Ali Ma’shum lalu dipercaya untuk mengajar. Ilmu
Tafsir al-Qur’an dan ilmu bahasa Arab sangat menarik hatinya. Ali Ma’shum seolah
telah menentukan sendiri spesialisasinya yang kelak akan mengangkatnya sebagai
salah satu kiai hafidh Qur’an yang ahli tafsir terkenal di Indonesia serta seorang pakar
bahasa Arab yang terkemuka sehingga banyak kalangan menyebutnya sebagai munjid
berjalan. Munjid adalah kamus yang disusun Louis Ma’luf, seorang warga Lebanon.
Di Tremas Ali Ma’shum juga memperoleh pendidikan kepemimpinan dengan
mengikuti kegiatan kepanduan. Di kepanduan inilah bakat kepemimpinannya diasah.
Ia bahkan diangkat sebagai kepala kepanduan di Tremas.16
Kepercayaan yang diberikan kepada Ali Ma’shum, membuatnya berani
melakukan improvisasi, di antaranya yang terkenal adalah mendirikan madrasah di
pesantren, membaca kitab-kitab yang ada gambarnya seperti Qira’atur Rasyidah dan
mengajarkan kitab-kitab baru dari Mesir sebagai kitab rujukannya.17 Sepulangnya dari
Tremas dan beberapa hari setelah pernikahannya dengan Hasyimah, Ali Ma’shum
mendapat tawaran untuk menunaikan ibadah haji secara gratis. Sebulan setelah
pernikahan, Ali Ma’shum bertolak ke Makkah dan bermukim di sana selama dua
tahun. Selama itu pula ia menunaikan ibadah haji dua kali, memperdalam ilmu
16
Abdul Halim dkk., Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas 26 Tokoh NU, Yayasan
Suaifuddin Zuhri, 1994, h. 351. 17
Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ‘Am NU, h. 110.
khususnya ilmu tafsir dan bahasa Arab. Ketika di Makkah ia berguru kepada Sayyid
Alwi dan Syaikh Umar Khamdan.18
Kekuatan Ali Ma’shum sebelum berguru ke Makkah adalah keuletannya
dalam mempelajari kitab-kitab karangan para ulama pembaharu seperti Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha, Ibnu Taimiyah, Al-Maroghi dan Sayyid Sabiq yang pada saat
itu tidak lazim dipelajari di pesantren.
Sepulangnya dari Makkah Ali Ma’shum mulai mengabdikan diri di pesantren
orang tuanya. Pembenahan dilakukan olehnya dalam rangka meningkatkan kualitas
pondok pesantren Al-Hidayah. Pembenahan itu berhasil dilakukan di dalam pesantren
itu, sehingga Mbah Ma’shum mengandalkan puteranya itu untuk terus
mengembangkan pesantren tersebut. Namun sejarah berkata lain. Hal ini dikarenakan
wafatnya KH. Munawir mertua Ali Ma’shum dan pengasuh pondok pesantren
Krapyak Yogyakarta belum menemukan pengasuh yang cocok serta layak sebagai
penggantinya. Untuk itu Ali Ma’shum diminta untuk mengelola pesantren tersebut.
Tepatnya pada tahun 1942 Ali Ma’shum mulai mengabdikan dirinya di pondok
pesantren Krapyak Yogyakarta.19
C. Corak Pemikiran KH. Ali Ma’shum
Beberapa hal yang dikeluarkan KH. Ali Ma’shum terkait dengan corak
pemikiran yang dimunculkannya, antara lain mengenai Ahlussunnah Wa al-jama’ah,
Madzhab, Ukhuwah Islamiyah hingga ilustrasi kemodernannya.
Dari segi keagamaan, KH. Ali Ma’shum termasuk ulama yang berpandangan
luas tentang ahlussunnah wa al-jamaah. Terkait dengan itu, ia tidak beranggapan
bahwa ahlussunnah wa al-jamaah hanya milik NU. Sesuai dengan hadis Nabi ma
18
A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren, h. 311. 19
Ibid, h. 312.
ana’alaihi wa ashhabi da’a al-sawad al-a’zham,20 maka semua golongan yang tidak
menyalahi Al-Qur’an dan As-sunnah serta pendapat ulama adalah termasuk
ahlussunnah wa al-jamaah.21 Hadits Nabi yang mengatakan bahwa seseunguhnya
ummatku akan bercerai berai menjadi 73 firqoh. Satu masuk syurga dan yang 72
masuk neraka. Nabi di Tanya; siapakah yang masuk syurga itu ya Rasul? Nabi
menjawab : Ahussunnah Wa al-jamaah. Ini juga tidak membuat KH. Ali Ma’shum
terjebak pada klaim bahwa orang-orang NU sajalah yang termasuk golongan itu,
mengingat demikian umum batasan yang diberikan oleh Nabi. Sosok yang
dimaksudkan dalam hadits itu tidak dapat disekat-sekat oleh pengelompokkan
organisatoris. Itulah sebabnya, karena sangat sulit untuk menarik garis tegas, maka
KH. Ali Ma’shum menafsirkan sebagai orang atau kelompok yang memegang teguh
Al-Qur’an dan As-sunnah serta memahami dan mengamalkannya dengan benar dan
melalui cara-cara yang benar. Karena itu, faktor para sabahat Nabi serta para ulama
salaf sangat besar pengaruhnya dalam mengantarkan seseorang menjadi Muslim yang
sesungguhnya. Nabi Muhammad menegaskan orang sunni adalah maa anaa ‘alaihi
al-yauma wa ashhabi, yakni orang atau kelompok yang dalam posisi ikut berpegang
pada apa yang Nabi dan para sahabat memeganginya.
Para sahabat Nabi adalah generasi terbaik yang pernah dimiliki Islam.22
Ini
bukan berarti para sahabat beliau mempunyai sifat ishmah (terlepas dari dosa besar
dan kecil), melainkan mereka berada pada posisi sebagai orang yang pernah bertemu
langsung dan terlibat penuh dalam setiap perjuangan Nabi.23
20
Maksud hadits di atas yaitu bahwa ahlussunnah wa al-jamaah adalah mengakui apa-apa
yang telah dilakukan rasul, keluarga dan para sahabatnya, juga mengakui pendapat mayoritas kaum
Muslim. 21
Ibid, h. 327. 22
A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum, h. 44. 23
Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS., Biografi 5 Rais ‘Am NU, h. 119.
Namun demikian, KH Ali Ma’shum melihat faktor pemahaman teologis paling
tepat untuk dijadikan kriteria dalam menilai apakah suatu kelompok itu sunni atau
bukan. Hal ini dapat dilihat misalnya, dari perdebatan besar yang pernah terjadi di
kalangan umat Islam masa lalu dalam mamahami eksistensi Tuhan. Mereka lebih
mendahulukan rasio dari pada wahyu, suatu hal yang juga diperbuat oleh orang-orang
Qadariyah. Sementara kaum Mujassimin mempersonifikasikan Allah dan kaum
Jabariyah menghilangkan sama sekali anugerah Allah berupa ikhtiyar. Kaum Syi’ah
sendiri telah berani menghujat para sahabat Nabi. Juga pendapat kaum Syiah bahwa
imam mereka adalah orang-orang ma’shum, padahal hanya Nabi dan Rasul yang
mempunyai sifat Ishmah. Bagi KH. Ali Ma’shum, pendapat-pendapat kaum Syiah ini
tidak dapat dimaafkan lagi, karena merusak sendi-sendi akidah Islam.
Namun, terlepas dari kesalahan-kesalahan di atas, KH. Ali Ma’shum tetap
menaruh simpati yang sangat tinggi kepada pemimpin spiritual Syi’ah Iran Ayatullah
Khumainy al-Musawi ketika ia berhasil memimpin rakyatnya menumbangkan
arogansi Syah Iran tahun 1979. Dia berkata; andaikata di dunia Islam ini ada sepuluh
Khumainy, wibawa umat Islam di mata internasional sangat hebat.24
Melihat masalah agama secara luas dan mendalam, tampaknya menjadi pola
pandangan KH. Ali Ma’shum. Dengan tidak harus menutup pintu ijtihad dan dengan
memahami prosedur secara objektif, persoalan bermadzhab misalnya, oleh KH. Ali
Ma’shum dipandang sebagai kenyataan yang harus (pasti) dilakukan oleh setiap
Muslim pada umumnya. “Kalau Imam Ghazali dan Ibn Alqayyim al-Jauziyyah saja
bermadzhab Hambali, mengapa kita harus malu mengikuti para Imam Madzhab”
demikian dia mengatakan dalam sebuah kesempatan.25
24
A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum, h. 44, 45. 25
A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren, h. 327.
Masalah madzhab bagi KH. Ali Ma’shum merupakan masalah klasik. Sejak
zaman Nabi Muhammad saw. sudah ada indikasi diperbolehkan bermadzhab atau
setidak-tidaknya diisyaratkan akan keabsahan bermadzhab. Karena memang
bermadzhab ada dasar-dasarnya dalam ajaran Islam. Dasar-dasar tersebut antara lain
dapat dilihat dari :
1. Firman Allah yang memerintahkan kepada orang yang belum berilmu agar
belajar atau bertanya kepada orang yang berilmu. Allah berfirman yang artinya
“maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui” (Q.S An-Nahl: 43).
Para ulama pada umumnya menempatkan ayat yang artinya telah disebutkan
di atas sebagai dalil bagi wajibnya orang awam mengikuti petunjuk mujtahid
atau ulama madzhab.
2. Kenyataan historis yang menunjukkan bahwa kebanyakan sahabat Nabi
mengikuti petunjuk sahabat yang lebih pandai. Ini berarti di masa Nabi telah
terjadi kondisi mengikuti kepada sesama sahabat, dan Nabi tidak melarangnya.
3. Ada isyarat hadits yang memerintahkan agar kita mengikuti golongan yang
terbesar, sebagaimana hadits yang artinya “Jika kamu sekalian melihat
perbedaan pendapat, maka wajib atasmu mengikuti golongan yang
terbanyak” (HR. Ibnu Majah).
Menurut KH. Ali Ma’shum, madzhab empat (Maliki, Hanafi, Syafi’I dan
Hambali) adalah yang paling banyak diikuti oleh umat Islam di dunia sampai saat ini,
dan bahkan paling lama bertahan. Sudah sepantasnya kalau kita bergabung ke
dalamnya, karena banyak tokoh-tokoh besar Islam pun masih mengaku bermadzhab
terhadap mereka seperti yang disebutkan di atas.
Meskipun KH. Ali Ma’shum mencirikan sunni salah satunya mengikuti
madzhab, bukan berarti lalu menyebut orang atau kelompok tidak bermadzhab
sebagai bukan sunni. Karena pada dasarnya orang yang mengaku tidak bermadzhab
secara diam-diam atau tanpa disadari juga bermadzhab. Hanya saja ia menghimbau
kepada kaum ini, tidak bermadzhab boleh saja (meskipun itu berarti membuat
madzhab sendiri yakni madzhab orang yang tidak bermadzhab), tetapi jangan mencela
dan melecehkan orang yang mengikuti madzhab.26
Selain persoalan Ahlussunnah Wa al-jama’ah dan masalah madzhab, yang tak
henti-hentinya pula dibicarakan oleh umat Islam adalah persoalan Ukhuwah
Islamiyah. KH. Ali Ma’shum sendiri berpendapat bahwa sebenarnya ajaran ukhuwah
telah diajarkan dalam AL-Qur’an. Ayat 10 s/d 13 surat Al-Hujurat memberi
pengajaran yang cukup jelas bagi umat Islam. Dalam ayat-ayat tersebut Allah tidak
hanya menandaskan bahwa sesama orang mu’min itu bersaudara, melainkan juga
memberi petunjuk pelaksanaan bagaimana persaudaraan itu harus dibina.
Mengapa perselisihan kerap terjadi, menurut KH. Ali Ma’shum sumbernya
adalah perbedaan di dalam memahami sebagian ajaran agama Islam. Katakanlah,
perbedaan yang muncul sebagai akibat dari perbedaannya memahami syariat.
Perbedaan ini seolah menjadi mata air bagi munculnya perbedaan-perbedaan yang
lain yang tak terhitung jumlahnya. Perbedaan dalam pemahaman syariat memang
telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Tidak perlu saling menyalahkan, selama
sama-sama mempunyai dasar pijakan syariat. Islam, menurut KH. Ali Ma’shum tidak
sekedar memerlukan kesemarakan atau syi’ar, tetapi sekaligus kedalaman dalam
pengamalan ajaran agamanya. Karena hanya dengan inilah ibadah-ibadah agama
26
Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS., Biografi 5 Rais ‘Am NU, h. 121.
dapat dilaksanakan dengan penuh kekhusyu’an dan kenikmatan. Namun tidak perlu
saling menyalahkan, lebih-lebih dalam membina Ukhuwah Islamiyah.27
Dalam kesempatan lain, KH. Ali Ma’shum menjelaskan pandangannya
tentang Ukhuwah Islamiyah. Untuk menciptakan ukhuwah, ia menekankan
pentingnya berpegang pada syariat Islam dan tidak memperuncing masalah khilafiah.
Untuk itu umat Islam perlu berpandangan luas serta bersikap ilmiah dengan
mempelajari dan membandingkan berbagai madzhab yang ada sehingga tidak saling
menyalahkan. Prinsip dan cara itu hendaknya menjadi perhatian khusus para tokoh
dan mubaligh. Sikap para tokoh dan mubaligh itulah menurut KH. Ali Ma’shum yang
secara tidak langsung terkadang membuat perpecahan dan perselisihan umat
(Almuslimin Fii Khair; Wa Al-Dhufuu Fi Al-Qiyadhah).28
Lebih jelasnya hal itu dapat dilihat dari ajakannya, pertama, umat Islam tidak
memperuncing masalah khilafiah. Kedua, umat Islam khususnya para tokoh dan
mubaligh untuk meninggalkan ucapan dan perbuatan yang menyinggung perasaan
umat Islam secara luas. Ketiga, umat Islam yang memang sudah sunnatullah
berkelompok-kelompok ini berjiwa besar, yakni sanggup mengakui kebenaran pihak
lain, menghormati pendapatnya dan tetap memperlakukannya sebagai saudara.
Keempat, umat Islam memperluas cakrawala ilmiah dengan mengkaji kitab-kitab
modern untuk ditemukan dan dihadapkan dengan realitas yang selalu berubah.
Dalam memahami pengertian Ukhuwah Islamiyah, KH. Ali Ma’shum
termasuk salah seorang yang berpendapat bahwa di dalam Ukhuwah Islamiyah
terkandung ukhuwah terhadap agama atau kerlpmpok lain. Hanya saja ukhuwah yang
terkandung itu perlu dirumuskan terperinci secara eksplisit, jangan dibiarkan saja
tersirat. Ia setuju dengan rumusan KH. Ahmad Siddiq yang merumuskan Ukhuwah
27
A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum, h. 62, 63, 64. 28
A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren, h. 324.
Islamiyah manjadi Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seakidah), Ukhuwah
Wathaniyah (persaudaraan sebangsa), Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama
manusia). Perincian ini penting, karena antara ketiga ukhuwah itu menurut KH. Ali
Ma’shum memiliki perbedaan sifat, kadar, intensitas dan kualitasnya. Namun bukan
berarti ketiga ukhuwah itu bisa dipisahkan sama sekali. Ketiganya tetap dalam
kesatuan yang utuh dan saling membutuhkan satu sama lain dengan Ukhuwah
Islamiyah dijadikan sebagai jiwa atau ruh dari ukhuwah-ukhuwah yang lain. Mungkin
itu sebabnya, selama akidah Islam tidak terganggu, menurut KH. Ali Ma’shum umat
Islam tidak perlu bersikap kaku untuk berkompromi atau berakomodasi dengan pihak
lain. Namun jika akidah terganggu, umat Islam harus menunjukkan jati dirinya utnuk
mempertahankan keyakinannya.29
Dalam perjalanan sejarahnya bisa dicermati bahwa KH Ali Ma’shum selalu
terlibat dalam lembaga dan organisasi tradisional (pesantren dan NU), namun ia
adalah seorang yang brilian otaknya dan di mana saja ia berada selalu
menghembuskan nafas pembaharuan. Ia telah berhasil merubah sistem pondok
pesantren menjadi sistem yang lebih modern. Cita-cita yang dikeluarkan dari idenya
adalah ia ingin sekali melahirkan duplikat (pengganti) semacam Imam Hanafi, Imam
Maliki, Imam Syafii, Imam Hambali, Al-Ghazali, Nawawi, Suyuti, Asqalani,
Miskawaih, Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu Khaldun dan
sebagainya. Untuk itu dalam memahami ilmu, KH. Ali Ma’shum tidak terlampau
tajam memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Menurutnya, ditinjau dari segi
adanya hukum fardhu ‘ain pada batas tertentu, memang ilmu agama menjadi lebih
mulia. Tetapi dalam hal yang lebih jauh dari itu sesungguhnya adalah relatif. Suatu
29
Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS., Biografi 5 Rais ‘Am NU, h. 135, 136.
ilmu lebih mulia, jika ternyata buahnya lebih terasa bermanfaat bagi kehidupan
beragama. Ini merupakan salah satu ilustrasi kemodernannya.30
Tentang kesadaran bernegara dan berpolitik, KH Ali Ma’shum sering
mengutip tulisan Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al-Sulthaniyah atau dalam adab al-
dun-ya al-dien tentang beberapa aspek yang menjadi dasar kemaslahatan dunia
misalnya; 1) agama yang menjadi pedoman (al-dien al-munthaha), 2) penguasa yang
berwibawa (al-sulthan al-kabir), 3) keadilan yang merata (al-‘adl al-syamil), 4)
keamanan semesta (al-amn al-‘am), kemakmuran sandang pangan (al-khishb al-
darry), 6) harapan masa depan dan cita-cita yang tinggi (al-‘amal al-fasih).
Sebagai orang yang menyadari arti pentingnya politik, KH. Ali Ma’shum
sangat menganjurkan ditegakkannya prinsip musyawarah. Seperti yang dikatakan Al-
Mawardi, KH Ali Ma’shum mengatakan bahwa dalam musyawarah diperlukan
beberapa syarat; pertama, pikiran yang dikemukakan hendaknya adalah hasil
pemikiran yang matang. Kedua, dalam bermusyawarah hendaklah beritikad baik dan
berhati tulus, bersikap terbuka dan tidak angkuh.31
Dengan kecairannya memahami Ahlussunnah Wa al- Jama’ah (Sunni)
membuat KH. Ali Ma’shum juga sedemikian cair dalam mendudukkan Pancasila
dengan agama. Menurutnya, sila-sila yang ada dalam Pancasila pada dasarnya tidak
bertentangan dengan Islam.32
30
Ibid, h. 115. 31
A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren, h. 326. 32
Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS., Biografi 5 Rais ‘Am NU, h. 126.
BAB III
KH. ALI MA’SHUM DAN NU
A. Latar Belakang Berdirinya NU
Ormas besar yang muncul pada masa pra-kemerdekaan di Jawa adalah
Nahdlatul Ulama (NU), sebuah perkumpulan besar yang dianut mayoritas umat Islam
di Jawa dari kalangan tradisional. NU didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari
1926. Dua tokoh yang berpengaruh dalam pendirian perkumpulan ini adalah KH.
Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah.33
Ada beberapa interpretasi dari para sejarahwan mengenai latar belakang
berdirinya Nahdlatul Ulama. Sebagian sejarahwan menulis bahwa latar belakang
berdirinya NU adalah; 1) sebagai benteng perlawanan terhadap golongan pembaharu
Islam, 2) akibat perluasan dari Komite Hijaz34
yang merupakan tandingan Komite
Khilafat35 yang didominasi kaum modernis, 3) akibat kekecewaan kalangan
tradisionalis yang tersingkir dari Komite Khilafat yang akan mewakili umat Islam
33
Aceng Abdul Azis Dy dkk. Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejarah,
Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Pustaka Maarif NU, Jakarta, 2007, h. 112. 3434
Komite Hijaz yang didirikan oleh kalangan tradisional ini didasari atas perkembangan di
Hijaz di mana Ibnu Saud berhasil mengusir Syarif Husein dari Mekah tahun 1924. Atas dukungannya,
kaum Wahabi melakukan pembersihan praktek-praktek beragama sesuai dengan faham mereka.
Tindakan ini mendapat sambutan baik dari kalangan Islam modernis di Indonesia dan mendapat
penolakan dari kalangan kaum tradisionalis. Lih. Aceng Abdul Azis Dy dkk. Islam AhlussunnaH Waljama’ah di Indonesia; Sejarah, Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Pustaka Maarif NU,
2007, h. 108. 35
Kemunculan Komite Khilafat didasari atas perkembangan politik di Turki, di mana pada
tahun 1922 Majelis Ulama Turki menghapuskan kekuasaan Sultan dengan menjadikan negeri itu
sebagai Republik dan menjadikan Khalifah Abdul Majid tidak memiliki kekuasaan duniawi. Dua tahun
kemudian Majelis itu menghapuskan sama sekali khilafat. Perkembangan ini menimbulkan
kebingungan pada dunia Islam umumnya, yang mulai berfikir untuk membentuk suatu khilafat baru.
Masyarakat Islam Indonesia juga merasa ikut bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Secara kebetulan Mesir ingin mengadakan kongres tentang khilafat pada tahun 1924. Sebagai
sambutan atas acara tersebut, umat Islam Indonesia yang diwakili organisasi Islam membentuk Komite
Khilafat di Surabaya pada tanggal 4 Oktober tahun 1924. Lih. Aceng Abdul Azis, Islam Ahlussunnah
Waljama’ah di Indonesia; Sejarah, Pemikir dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Pustaka Ma’arif NU, Jakarta, 2007, h. 108.
Indonesia pada kongres Islam di Mekah tahun 1926.36 Sebagian yang lain menulis
bahwa latar belakang lahirnya NU akibat telah adanya perkumpulan-perkumpulan
yang dibentuk oleh kalangan tradisi pada masa jauh sebelum NU lahir. Ini terlihat dari
sejumlah perkumpulan seperti Nahdlatul Wathan yang didirikan pada tahun 1916,
koperasi pedagang yang bernama Nahdlatut Tujjar yang didirikan pada tahun 1918
dan Taswirul Afkar yang didirikan menjelang tahun 1918.37
Interpretasi yang terakhir nampaknya bisa dipahami bahwa, seiring perjalanan
waktu selalu ada usaha-usaha dari kalangan tradisioal untuk membentuk suatu
perkumpulan, dan NU merupakan mata rantai apa yang disebut sebagai dampak dari
usaha-usaha yang telah diupayakan pada waktu organisasi ini belum terbentuk.
Hal yang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang berdirinya NU adalah
situasi kolonialisme pada saat itu. Ketidaksukaan rakyat terhadap kolonial Belanda
masih sangat nampak, terutama dalam kaitannya dengan soal-soal agama,38 apalagi
kebanyakan masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam dan kental dengan nilai
tradisionalnya. Ditambah pula dengan latar belakang aktivitas salah satu tokoh
pendirinya yaitu KH. Wahab Hasbullah yang dinilai selalu memiliki semangat untuk
menumbuhkan rasa nasionalisme. Ini tercermin dalam semangatnya mendririkan
beberapa perkumpulan seperti disebutkan di atas. Secara tidak langsung upaya
membangkitkan rasa nasionalisme ini dimaksudkan untuk melawan Belanda.39
Dalam
gelanggang sejarah perjuangan bangsa, keterlibatan pemimpin agama (Ulama, Kiai)
36
Ibid, h. 107, 109. 37
Ibid, h. 1910. 38
Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke khittah 1926, ERLANGGA, Jakarta,
1926, h. 17 39
Ibid, h. 17.
sebagai pilar perjuangan dalam melawan kolonialisme memang tidak bisa
dipungkiri.40
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh KH. M Dachlan dikatakan bahwa:
Sebagaimana diketahui oleh umum bahwa sejak Belanda datang dan menguasai Indonesia, maka para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam selalu
menentang kekuasaan Belanda itu dengan mengadakan perlawanan di mana-mana. Seiring jalannya waktu, suasana telah berubah, di mana perkembangan dunia juga
telah berubah. Maka taktik perjuangan bangsa Indonesia-pun mengalami perubahan pula. Kegiatan mereka yang dulunya mengadakan perlawanan secara kekerasan
bersenjata terhadap penjajah dirubah melalui saluran kepartaian dan organisasi yang teratur untuk mewujudkan cita-cita berbangsa Indonesia dari penjajahan itu. Sehingga
muncullah bermacam-macam organisasi seperti Boedi Oetomo, Sarikat Islam dan
lain-lain. Kesempatan baik ini akhirnya dimanfaatkan oleh para ulama untuk
menyusun barisan dengan membentuk “Nahdlatul Ulama (NU)” pada tahun 1926.
Kegiatan NU pada waktu itu ditujukan kepada pengembangan agama Islam dengan
memperbanyak tabligh-tabligh, pengajian-pengajian agar umat Islam Indonesia sadar
akan kewajibannya terhadap agama, bangsa dan tanah airnya, sehingga mereka dapat
beramal sebagaimana mestinya.41
Dilihat dari beberapa interpretasi mengenai latar belakang berdirinya NU di
atas, bisa dipahami bahwa berdirinya organisasi ini dilatarbelakangi oleh situasi atau
keadaan sosial yang sangat kompleks.
B. Perkembangan NU Pasca Kelahirannya
Pada perkembangannya, NU bukanlah suatu perkumpulan yang berorientasi
pada kegiatan politik praktis (politic oriented). Walau demikian, bukan berarti
organisasi sosial keagamaan ini lepas sama sekali terhadap isu-isu kebangsaan,
apalagi organisasi ini didirikan sebelum kemerdekaan. Sejak kelahirannya, perhatian
NU tidak terbatas pada persoalan-persoalan dalam negeri saja, melainkan persoalan-
persoalan luar negeri yang menyangkut atau mempunyai hubungan dengan persoalan
umat Islam Indonesia.42
40
Sejak awal, Belanda selalu memperoleh perlawanan rakyat. Dalam perlawanan ini, para
pemimpin agama (Ulama, Kiai) cukup besar, seperti, Perang diponegoro, Perang Paderi,
Pemberontakan di Banten dan lain-lain. 41
M. Dachlan, Riwayat Singkat Nahdlatul Ulama, Berita Nahdlatoel Oelama, Surabaja, 1931,
h. 30. 42
Ibid, h. 30
Untuk memudahkan penulis dalam menginterpretasikan perkembangan NU
pasca kelahirannya, maka penulis mencoba membagi dua periode perjalanan
organisasi ini, yaitu periode sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Sebelum kemerdekaan, yang menjadi perhatian NU bukan hanya persoalan-
persoalan sosial keagamaan, lebih dari itu, persoalan-persoalan yang menyangkut
perjuangan untuk menuntut kemerdekaan juga dilakukan, walaupun dengan melalui
tindakan kooperatif terhadap Belanda. Dalam surat kabar NU yang diterbitkan pada
kisaran tahun 1929 hingga 1934 ditulis bahwa; walaupun NU tidak
memprokalamirkan diri sebagai partai politik, bukan berarti dalam usaha
perjuangannya terbatas pada soal-soal ubudiyah, tetapi juga persoalan-persoalan yang
langsung berhubungan dengan peri-kehidupan Umat Islam khsususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya, misalnya penolakan NU terhadap diadakannya
kerja rodi, ordonansi guru, ordonansi perkawinan, pemindahan hak dalam pembagian
waris, persoalan milisi dan lain-lain.43
Hilmy Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni dalam bukunya menyatakan bahwa
pada masa awal berdirinya, NU menitikberatkan perjuangannya di bidang pendidikan,
social dan perekonomian. Para ulama berbasis pesantren mulai berfikir
mengupayakan terwujudnya sarana dan prasarana mendasar masyarakat agar dapat
menjalankan aktivitas ritualnya dengan baik. NU berupaya mendirikan lembaga-
lembaga sosial sebagai solusi atas problem kemasyarakatan. Sedangkan di bidang
pendidikan, NU berupaya memperbanyak pendirian lembaga-lembaga pendidikan
yang berbasis Islam. Pada praktiknya, NU mendorong terjadinya pembaruan
pendidikan dan kerja-kerja kreatif. Sistem madrasah/sekolah diperkenalkan dengan
tetap melestarikan sistem pendidikan ala pesantren. Di bidang perekonomian, NU
43
Ibid, h. 31
berusaha melakukan modernisasi di bidang pertanian, perdagangan dan industri. Salah
satu cara yang ditempuh adalah dengan mendirikan badan-badan usaha; misalnya
koperasi atau badan usaha lainnya. Realisasi program kerja hasil muktamar NU II
yang cukup besar adalah keberhasilannya mengirimkan delegasi khusus ke Saudi
Arabia yang sempat tertunda selama dua tahun.44
Pada masa sebelum kemerdekaan, NU telah berkali-kali mengadakan
kongresnya dengan mengambil beberapa keputusan untuk perbaikan bangsa Indonesia
umumnya dan umat Islam khususnya. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah
perpolitikan juga tidak lepas dari kegiatan NU. Memang, NU didirikan bukan sebagai
partai politik seperti yang telah disebutkan di atas, namun bukan berarti NU sama
sekali tidak respek terhadap hal-hal yang berbau politik, apalagi kalau sudah
menyangkut kepentingan rakyat. Salah satu sikap NU yang menyangkut persoalan
politik ialah ketika NU bersama-sama dengan GAPI menuntut kepada Pemerintah
Hindia Belanda,agar Indonesia Berperlement.45
Termasuk penolakannya terhadap
ordonansi perkawinan, ordonansi guru, masalah waris dan lain-lain seperti yang telah
disebutkan di atas.
Sebelum kemerdekaan, persinggungan NU dengan kekuasaan sering terjadi
dalam konteks social keagamaan dibanding kepentingan politik. Beberapa kasus
menunjukkan bahwa NU terkadang bersikap akomodatif terhadap penguasa tetapi
terkadang juga bersikap konfrontatif terhadapa kolonial Hindia Belanda. Meskipun
sikap tersebut terkesan oportunistik, namun NU selalu berupaya meletakkan sikapnya
di atas landasan argumen-argumen agama. Sehingga langkah-langkah NU dalam
kenyataannya mempunyai ekses sosial yang luas akibat dilegitimasi oleh agama.46
44
Hilmy Muhammadiyah, Sulthan Fatoni, NU; Identitas Islam Indonesia, Elsas, Jakarta, 2004,
h. 122. 45
KH. M. Dachlan, Riwayat Singkat Nahdlatul Ulama, h. 31. 46
Hilmy Muhammadiyah, Sulthan Fatoni, NU; Identitas Islam Indonesia, h. 127.
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa NU sejak kelahirannya pada
masa sebelum kemerdekaan telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Dari
mulai banyaknya pengikut, banyaknya madrasah yang didirikan dalam setiap cabang
dan rantingnya,47
beberapa koperasi dan badan usaha hingga pengaruhnya dalam
wilayah sosial dan politik. Sebagai organisasi yang terbesar semenjak didirikannya,
NU tidak bisa dipandang sebelah mata baik oleh tokoh-tokoh dari kalangan Indonesia
maupun dari pemerintah Hindia Belanda.
Adapun perkembangan NU pada masa setelah kemerdekaan ditandai oleh
keterlibatannya dalam kancah politik yang lebih besar. Keutuhan Masyumi sebagai
satu-satunya partai Islam tidak berlangsung lama. Perbedaan kepentingan berbagai
pihak yang terdapat di dalamnya segera menyeruak dan mengabaikan kesatuan. Maka,
sebutan bagi Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam segera tidak berlaku lagi.
Retaknya Masyumi yang menyeruak ke permukaan bermula dari pergantian cabinet,
dari Sutan Sjahrir ke Amir Syarifuddin pada tanggal 3 Juli 1947. Akhirnya pada
tanggal 28 April 1952 NU mendirikan partai sendiri, yaitu lima tahun setelah Sarikat
Islam memutuskan untuk mendirikan partai sendiri.48
Pada pemilu tahun 1955, NU mendapat sukses yang luar biasa. Dari 8 kursi di
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara meningkat menjadi 45 kursi dengan 18,4%
suara, tepat di belakang Masyumi (20,9%), Partai Nasional Indonesia (22,3%) dan
berada di depan Partai Komunis Indonesia (16,4%. Partai-partai lainnya hanya
mendapat kurang dari 3% suara. Keenam partai Islam bersama, termasuk NU,
mencapai 43,9% suara.
Pada tanggal 11 Maret, NU menyatakan bersedia menerima sebuah cabinet
yang dipimpin Hatta seperti diusulkan oleh Masyumi dan PSI. Pada akhir Juni Sidang
47
KH. M. Dachlan, Riwayat Singkat Nahdlatul Ulama, h. 31. 48
Kacung Marijan, Quo Vadis NU seteleh kembali ke Khittah 1926, h. 60, 61, 62.
Partai NU memutuskan keikutsertaan warga NU dalam Kabinet dipandang sebagai
mendahulukan usaha mencegah datangnya madlarat yang lebih besar, hal mana sesuai
dengan kaidah dar’ al-mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil masalih.49
Pada saat kehidupan perpolitikan di Indonesia secara umum mengalami
tantangan, presiden Suharto sebagai pemegang amanat Orde Baru melakukan
restrukturisasi parpol50
menuju penyederhanaan pada 7 Februari 1970. Seruan ini
dilanjutkan pada 27 Februari 1970 lewat dialog, konsultasi dengan partai-partai politik
yang membahas gagasan tentang pengelompokan partai-partai.
Seiring jalannya waktu, akhirnya sebuah fusi disepakati, karena ini hal yang
tak mungkin dihindari. Berbagai macam pertemuan dilangsungkan, sebagai langkah
membidani lahirnya partai baru. Pada hari Jumat, 5 Januari 1973, pimpinan keempat
parpol yang berkonfederasi dalam rapat Presidium Badan Pekerja dan Pimpinan
Fraksi telah sepakat untuk memfusikan diri ke dalam satu parpol “Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).51
Secara keseluruhan, NU merupakan salah satu organisasi yang sepanjang
perjalanan sejarahnya senantiasa mengalami perubahan orientasi dan bentuk. Ia lahir
sebagai organisasi sosial keagamaan, namun tumbuh, berkembang dan menjadi besar
setelah terlibat aktif dalam gelanggang politik praktis. Perubahan-perubahan yang
dilakukan itu, di satu sisi menunjukkan bahwa NU ternyata mampu beradaptasi
dengan perubahan situasional, namun di sisi lain, perubahan seperti itu justru semakin
memperkuat asumsi bahwa NU dipandang tidak mempunyai pendirian, tidak
konsisten dan berwatak dualistik.
49
Andree Feilard, NU vis-avis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, LKIS, Yogyakarta,
1999, h. 49, 52. 50
A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum; Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, Multi
Karya Grafika, Yogyakarta, 1989, h. 86. 51
Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, h. 104.
Jika dicermati secara seksama, perubahan-perubahan yang dilakukan itu
ternyata bukan hanya menyangkut persoalan “identitas” organisasi. Akan tetapi,
perubahan-perubahan itu juga bisa ditemukan pada sejumlah kasus yang berhubungan
dengan kebijakan-kebijakan yang diambil, terutama sekali yang berkaitan dengan
masalah politik. Pada satu saat, NU tampak sebagai organisasi yang begitu
akomodatif dan bahkan kompromistik dengan kekuasaan. Namun pada saat yang
berlainan, ia justru memperlihatkan sosok yang begitu kritis dan militan. Pada tahun
70-an barangkali NU-lah satu-satunya ormas Islam dan sebagai salah satu unsur
terpenting Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang relatif kritis dan vokal dalam
melihat kebijakan-kebijakan pemerintah..52
Di atas merupakan gambaran singkat mengenai perkembangan NU pasca
kelahirannya. Kiprah dan perjalanan NU pada masa sesudahnya akan dibahas pada
sub-bab berikutnya, yaitu mengenai percaturan politik NU dari 1981 hingga
kembalinya ke Khittah NU (1926).
C. Awal Keterlibatan KH. Ali Ma’shum dalam Tubuh NU
Pendudukan Jepang di Indonesia, meskipun berlangsung hanya tiga tahun,
ternyata tidak kalah merusak dibanding pendudukan Belanda yang 350 tahun. Salah
satu kerusakan itu adalah sepinya kehidupan pesantren di seluruh tanah air. Pondok
pesantren yang termasuk mengalami kondisi semacam ini adalah pondok pesantren al-
Hidayah Lasem. Segala upaya dilakukan KH. Ali Ma’shum untuk mengembalikan
para santri ke meja belajar. Dengan kerja keras serta mengerahkan segala kemampuan
yang dimilikinya, akhirnya membuahkan hasil yang memuaskan. Namun disaat-saat
KH. Ali Ma’shum mulai mengembangkan pesantrennya itu, ia dipanggil untuk
mengabdi di Krapyak. Kondisi pondok pesantren Krapyak bisa dikatakan lebih parah
52
Badrun Alaena, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000, h. 65, 66.
dari Lasem sebelum ditangani KH. Ali Ma’shum. Sejak ia memimpin pesantren
Krapyak, kondisi pesantren semakin membaik.53
Berbicara mengenai awal keterlibatan KH. Ali Ma’shum dalam tubuh NU,
tidak bisa dilepaskan dengan pengabdian dirinya di pondok pesantren Krapyak.
Karena di situlah ia secara resmi menerjunkan diri dalam jam’iyah NU. Sejak
kehadirannya di Krapyak pada tahun 1943, KH Ali Ma’shum secara resmi terjun
dalam jam’iyah NU. Namun secara formal, ia aktif dalam jam’iyah itu tepatnya pada
tahun 1950-an, yaitu ketika kondisi sosial politik sedang memanas akibat banyaknya
tokoh dari kalangan NU yang meninggalkan Masyumi. Dalam menghadapi suasana
pemilu pertama tahun 1955, KH. Ali Ma’shum mulai aktif melakukan kampanye
untuk memenangkan NU dalam pemilu. Akan tetapi ia tidak secara langsung turun ke
lapangan. Ia melakukannya melalui pendidikan kader kepada para santri Krapyak. Di
samping itu juga, melalui pembicaraan non-formal dengan para tamu yang datang ke
rumahnya.
Penampilan politik KH. Ali Ma’shum yang “intelek” ini pada akhirnya mampu
mencuatkan dirinya ke panggung politik yang cukup bergengsi atau berwibawa. Hal
ini terbukti bahwa setelah pemilu tahun 1955 (pemilu pertama), ia terpilih sebagai
anggota Konstituante mewakili NU.54
Sebagian sumber menyebutkan bahwa awal keterlibatan KH. Ali Ma’shum
secara formal di NU sebenarnya dimulai di Yogyakarta, yakni setelah melihat kondisi
NU di yogyakarta memerlukan pembenahan, terutama juga kepemimpinan yang
berwibawa. Di mana saat itu Indonesia telah berhasil menumpas penghianatan G 30 S
53
Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ‘Am NU; KH. Hasyim Asy’ari,
KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ali Ma’shum dan KH. Ahmad Siddiq, LTN NU,
Yogyakarta, 1995, h. 113. 54
A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Ma’shum; Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, Multi Karya Grafika, Yogyakarta, 1989, h. 85.
PKI, saat itu sekaligus dibarengi dengan penataan (penyederhanaan) kehidupan politik
oleh pemerintah. NU-pun pada saat itu memerlukan penanganan lebih serius lagi.
Di awal tahun 1970-an, KH. Ali Ma’shum mulai melihat beberapa kader yang
akan dipercaya untuk menangani NU. Pada saat itu kehidupan perpolitikan di
Indonesia pada umumnya mengalami suatu tantangan. Presiden Suharto sebagai
pemegang amanat Orde Baru melakukan rekstrukturisasi terhadap parpol-parpol yang
ada yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok
spiritual material, yakni kelompok politik yang dalam perjuangannya menekankan
soal-soal spiritual tanpa meninggalkan kepentingan material. Kedua, kelompok
material spiritual, yakni kebalikan dari kelompok pertama. Ketiga, kelompok
komplementer.
Pada kelompok pertama, partai-partai Islam bergabung, dan NU termasuk
salah satunya yang kemudian menjelma sebagai Partai Persatuan Pembangunan
(PPP). Deklarasi fusi ditanda tangani tahun 1973. Pada kelompok kedua bergabung
partai-partai nasionalis dan nasrani menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI),
sedangkan kelompok ketiga bergabung organisasi-organisasi kekaryaan yang
kemudian menjadi Golongan Karya.
Pada tahun-tahun berikutnya di tubuh NU muncul perpecahan terbuka yang
sangat tajam, di samping juga muncul semakin senter suara untuk meninggalkan PPP.
Dalam kondisi yang memperihatinkan itu, Rais ‘Am NU KH. Bisri Syansuri wafat,
sehingga NU berjalan tanpa pemimpin puncak dalam jajaran Syuriah.
Hampir bisa dipastikan, kondisi inilah yang menyebabkan diselenggarakannya
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama yang pertama di
Kaliurang Yogyakarta pada tanggal 30 Agustus 1981. Banyak yang dibahas dalam
munas ini, tetapi hal yang terpenting dalam munas ini adalah upaya mengembalikan
wibawa ulama NU, di samping alasan penggantian Rais ‘am NU.55
Memang, arus perubahan melanda NU di awal tahun 1980-an didasarkan pada
keinginan mengembalikan NU sebagai gerakan keagamaan dan gerakan
kemasyarakatan sebagaimana Khittah Jam’iyah NU tahun 1926. Kondisi politik saat
itu, di samping orientasi dan interes politik praktis di kalangan pengurus telah
mengakibatkan rapuhnya organisasi, terutama terabaikannya basis jamaah pada
masyarakat bawah serta kewenangan para ulama. Meskipun tekad mempertegas batas
antara NU sebagai organisasi dan PPP sebagai partai politik sudah dinyatakan dalam
Muktamar NU ke-26 di Semarang tahun 1979, kenyataannya hal ini tidak bisa
diwujudkan oleh para pengurusnya. Wafatnya Rois ‘Am Bisri Syansuri tanggal 25
April 1981 membuka peluang bagi kedua sayap politik dan sayap khittah untuk saling
memperkuat posisinya. Pembicaraan pengisian jabatan rois ‘am dalam munas alim
ulama dan konferensi besar NU di Kaliurang Yogyakarta tanggal 30 Agustus hingga 3
September 1981 menjadi sangat penting, dan ternyata munas dan konbes itu berhasil
memilih KH. Ali Ma’shum sebagai Rais ‘am NU menggantikan KH Bisri Syansuri.56
Inilah sekilas mengenai awal keterlibatan KH. Ali Ma’shum dalam tubuh NU
hingga diangkatnya ia menjadi Rais ‘Am NU. Bagaimana kiprah KH. Ali Ma’shum
dalam percaturan politik NU dan peranannya sebagai Rois ‘Am NU? Ini akan dibahas
pada sub-bab berikutnya.
55
Ibid, h. 85, 86, 87. 56
A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara II; Riwayat, Perjuangan dan Doa, KUTUB, Yogyakarta, 2006, h. 330.
BAB IV
PERAN KH. ALI MA’SHUM DALAM TUBUH NU 1981-1989
Berbicara mengenai peranan KH. Ali Ma’shum dalam tubuh NU, dalam
penulisan skripsi ini akan ditekankan pada kisaran tahun 1981 hingga tahun 1989, di
mana dalam kisaran tahun ini peranan yang dimainkannya dapat dibagi menjadi dua
periode, yaitu periode saat ia menjabat sebagai Rais ‘Am dan ketika ia menjabat
sebagai Mustasyar. Walaupun tentunya dalam perjalanannya sebagai tokoh dalam
organisasi ini kerap melibatkan dirinya dalam kancah perpolitikan, namun justeru
kedua jabatan penting yang diembannya itulah yang menjadikan dirinya sebagai tokoh
yang dikenal khususnya oleh kalangan NU.
Adapun pembicaraan mengenai KH. Ali Ma’shum sebagai Rais ‘Am dan
sebagai Mustasyar akan penulis deskripsikan dalam sub-bab di bawah yaitu “Peran
KH. Ali Ma’shum Sebagai Rais ‘Am NU).
A. Percaturan Politik NU dari 1981 Hingga Kembalinya ke Khittah NU (1926)
Pergulatan NU di dunia politik telah membawa organisasi ini ke dalam
perjuangan-perjuangan kepentingan dan upaya memperoleh dan mempertahankan
kekuasaan secara terbuka. Pergulatan semacam ini bukan hanya sebatas pada
hubungan dengan kekuatan lain, melainkan pula terjadi di dalam organisasi NU
sendiri. Sebenarnya, setelah berfungsinya NU dalam Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) bersama tiga kekuatan politik Islam lainnya, NU telah kembali sebagai
jam’iyah dinniyah sebagaimana semula. Tetapi organisasi ini tetap saja bergulat di
dunia politik praktis.57
Dalam buku “NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja” Badrun Alaena
mengatakan bahwa NU merupakan salah satu organisasi yang sepanjang
perjalanannya mengalami perubahan orientasi dan bentuk. Ia lahir sebagai organisasi
sosial-keagamaan. Namun tumbuh, berkembang dan menjadi besar setelah terlibat
aktif dalam gelanggang politik praktis. Perubahan-perubahan yang dilakukan itu di
satu sisi menunjukkan bahwa NU ternyata mampu beradaptasi dengan perubahan
situasional, namun di sisi lain, perubahan seperti itu justru semakin memperkuat
asumsi bahwa NU dipandang berwatak dualistik.
Jika dicermati secara seksama, perubahan-perubahan yang dilakukan itu
ternyata bukan hanya menyangkut persoalan “identitas” organisasi. Akan tetapi,
perubahan-perubahan itu juga bisa kita temukan pada sejumlah kasus yang
berhubungan dengan kebijakan-kebijakan yang diambil, terutama sekali yang
berhubungan dengan masalah politik. Pada satu saat NU tampak sebagai organisasi
yang begitu akomodatif dan bahkan kompromistik dengan kekuasaan. Namun pada
saat yang berlainan ia justru memperlihatkan sosok yang begitu kritis dan militan.58
Keterlibatan NU dalam proses perjuangan kepentingan dan memperoleh serta
mempertahankan kekuasaan di dunia politik nampak nyata. Nampak jelas pula ketika
NU berfusi di PPP. Harapan terciptanya kepaduan perjuangan politik bagi kekuatan
Islam di PPP rupanya tinggallah harapan. Tidak lama setelah berfusi di organisasi ini
dilanda gejolak internal. Gejala seperti ini memang bukan hanya di PPP. PDI pun
dilanda gejolak internal yang cukup panjang. Di PPP, konflik mulai menyeruak ke
57
Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah Kembali ke Khittah 1926, ERLANGGA, Jakarta,
1992, h. 110. 58
Badrun Alaena, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2000, h. 65.
permukaan setelah pemilu 1977.59 Begitu juga ketika NU gagal memperjuangkan
kepentingannya di PPP dalam daftar calon di DPR pada pemilu 1982, organisasi ini
merasa perlu untuk merumuskan kembali hubungannya dengan pemerintah secara
lebih akrab.60
Pemilu 1982 ditandai oleh putusnya hubungan antara para ulama dengan PPP
yang dipimpin oleh John Naro. Menjelang pemilu, Naro mengusulkan agar
pembagian kursi dihitung berdasarkan hasil pemilu 1955. NU meminta agar
pembagian kursi didasarkan pada hasil pemilu tahun 1977, saat Parmusi tampak
sangat lemah dibanding Masyumi.
Pertikaian menjadi semakin seru ketika pada tanggal 27 Oktober 1981, Naro
menyerahkan daftar caleg PPP kepada pemerintah dengan 29 caleg NU ditempatkan
pada urutan terbawah hingga kemungkinan untuk terpilih bisa dikatakan tidak ada.
Rasa tidak puas itu masih ditambah lagi oleh kepahitan yang disebabkan oleh
dominasi kaum pembaharu, dalam hal ini MI.61
NU ingin mempertahankan status-quo, sementara MI dan unsur-unsur lainnya
ingin memperoleh tambahan jatah kursi. Komposisi distribusi di DPR NU: 56, SI: 14
dan Perti: 4, hendak dipertahankan NU. Menggambarkan suasana saling ngotot,
Saifuddin Zuhri mengatakan:
Dalam kesempatan bermusyawarah berkali-kali antara NU, MI, SI dan Perti,
meja musyawarah itu tidak dipergunakan untuk forum mengadu hujjah
menggelar argumentasi. Forum itu Cuma gebrak-gebrakkan untuk menuntut
NU tidak menjadi kekuatan mayoritas terhadap ketiga rekannya MI, SI dan
Perti bila yang tiga itu bersatu.
Mengomentari terjadinya gejolak di PPP, Mahrus Irsyam melihatnya karena
kian terbatas dan kecilnya ruang gerak distribusi kekuatan di PPP. Bahkan, pola
59
Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, h. 111. 60
Badrun Alaena, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, h. 68. 61
Andree Feillard, NU Via-a-vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, LKIS, Yogyakarta, 1999, h. 221, 222, 223.
gejolak pun tercermin di dalam ruang gerak distribusi kekuatan lain. Lebih jauh ia
mengatakan:
Setelah parpol-parpol Islam berfusi di dalam PPP, maka alokasi kekuatan
wilayahnya meliputi jalur: unsur-PPP-Fraksi/DPR. Di dalam jalur itulah
didistribusikan dan diaktualisasikan kekuatan. Proses distribusi dan aktualisasi kekuatan membentuk rangkaian mata rantai yang berawal dari
pengolelolaan/eksploitasi potensi unsur, guna mendapatkan distribusi kekuasaan di PPP, kemudian berlanjut untuk memperoleh distribusi kekuasaan
di fraksi serta pada akhirnya berusaha memasuki mekanisme kelengkapan DPR. Rangkaian mata rantai itu membentuk ruang gerak yang terbatas dan
distribusi kekuatan yang kecil.
Model ruang gerak distribusi kekuatan itu pula yang dipakai oleh Mahrus
Irsyam untuk menganalisis gejolak internal NU, selain melihat pilar-pilar kekuatan di
NU sendiri.62
Pergolakan politik yang dihadapi NU pada saat itu sebenarnya bukan hanya
dari kalangan intern kelompok Islam sendiri, melainkan ada suatu kelompok lain di
luar ormas Islam yang menyebabkan kalangan NU mengalami percaturan politik yang
lebih rumit. Bagaimana tidak, di satu sisi NU harus menghadapi persaingan politik
sesama kelompok Islam di PPP, di sisi lain NU harus menghadapi kebijakan orde baru
yang terkesan memojokkan NU. Andree Feillard mengatakan bahwa kendala-kendala
baru di bidang politik bagi NU pada saat itu bertambah. Lurah di desa terkadang
melarang pemasangan papan nama yang bertuliskan Nahdlatul Ulama di depan
kantornya atau di muka sekolah, atau menghalangi pertemuan-pertemuan rutin.
Interogasi kepolisian yang kadang-kadang menyusul pertemuan NU membuat anggota
yang tidak begitu bersemangat menjadi kehilangan keberanian.63
Atas persoalan ini maka sebagian dari beberapa tokoh NU mengambil sikap
dengan berusaha mempergiat usaha-usaha di bidang sosial sambil menyesuaikan diri
dengan identitas baru organisasi keagamaan (jam’iyah). Setidaknya salah satu hal
62
Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah Kembali ke Khittah 1925, h. 116, 117. 63
Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, h. 188.
inilah yang pada akhirnya mendorong kalangan NU untuk mengembalikan NU pada
Khittahnya tahun 1926.
Ketika perebutan antara MI dan NU semakin gencar, Rais ‘Am KH. Bisri
Syansuri meninggal dunia tanggal 25 April 1980. Setelah KH. Bisri Syansuri wafat,
muncul upaya-upaya yang tidak terorganisir dari NU untuk mempertahankan
posisinya di tubuh PPP. Oposisi NU kembali jatuh ke tangan orang-orang politik dari
kubu radikal. Kepergian KH. Bisri Syansuri juga berakibat pada rusaknya
keseimbangan antara kelompok sosial-keagamaan dan kelompok politik. Sebagai Rais
‘Am dan juga sekaligus sebagai anggota DPR dan anggota Majelis Pertimbangan
Partai, KH. Bisri Syansuri merupakan jembatan antara kedua dunia tersebut. Melalui
Kiai ini, dunia pasantren terus menguasai atau berusaha menguasai dunia orang-orang
politik.
Pada tahun yang sama, KH. Achmad Siddiq, seorang kiai cendekia dari
Jember Jawa Timur dan berasal dari keluarga besar NU menerbitkan gagasan
pertamanya mengenai pentingnya pengembalian kekuasaan organisasi ke tangan para
ulama. Ia menganjurkan “kembali ke khittah para pendiri NU tahun 1926”.64
Dalam
sebuah buku kecil yang berjudul Khittah Nahdliyah, ia menjelaskan betapa
pentingnya mendefinisikan kembali khittah atau semangat ini dengan beberapa
pertimbangan:
1. makin jaunya jarak waktu antara generasi pendiri dengan generasi penerus.
2. makin luasnya medan perjuangan dan banyaknya jumlah serta macam bidang
yang ditangani.
64
Ibid, h. 218.
3. makin banyaknya jumlah dan macam ragam mereka yang menggabungkan diri
pada Nahdlatul Ulama, dengan latar belakang pendidikan dan subkultur yang
berbeda-beda.
4. makin berkurangnya peranan dan jumlah ulama generasi pendiri dalam
pimpinan Nahdlatul Ulama.65
Retrospeksi terhadap pergulatan politik NU sebenarnya telah lama dilakukan
oleh orang-orang NU sendiri. Secara resmi, ini terungkap pada Muktamar ke-22 di
Jakarta pada 13-18 Desember 1959. Pada saat pemandangan umum memasuki hari
ketiga yang dipimpin oleh H. Ahmad Syaichu, ada gagasan yang ketika itu dinilai
aneh. Gagasan ini datang dari KH. Achyat Chalimi, selaku juru bicara Cabang
Mojokerto yang kebetulan memperoleh kesempatan pertama dari 68 cabang yang
hadir. KH. Achyat Chalimi antara lain mengatakan “Peranan politik oleh Partai NU
telah hilang dan peranan dipegang oleh perorangan, hingga partai sebagai alat sudah
hilang. Oleh karena itu, diusulkan agar NU kembali pada tahun 1926. Tidak berbeda
dengan penilaian para ulama lain di kemudian hari, gagasan ini didasari oleh
pertimbangan bahwa selama ini NU terlampau mengedepankan urusan politik yang
kenyataannya bukan semata-mata bagi kepentingan organisasi melainkan pola untuk
kepentingan pribadi daripada urusan sosial keagamaan yang justru pernah menjadi
urusan dominan pada awal berdirinya.66
Seiring jalannya waktu, ide kembalinya khittah NU 1926 sering didengungkan
dari satu Muktamar ke Muktamar lain, dalam satu periode ke periode lain. Namun
gagasan itu nampak begitu santer terdengar pada akhir tahun 70-an. Klimaksnya pada
tahun 1982, di mana gagasan untuk kembali ke khittah 1926 memperoleh dukungan
dari kelompok idealis yang kecewa terhadap PPP. Pada tanggal 21 Desember 1983
65
Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyah, LTN NU, Surabaya, 2005, h. 7. 66
Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah Kembali ke Khittah 1926, h. 132.
saat Munas Alim Ulama di Podok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo,
Situbondo, kembali ke khittah 1926 justru menjadi salah satu agenda utama. Bahkan,
salah satu di antara tiga komisi bernama Komisi Khittah (Komisi II) yang membahas
landasan perjuangan NU, termasuk di dalamnya persoalan asas tunggal dan struktur
organisasi NU.
Materi pemulihan khittah sebenarnya telah lama digodog dan yang terakhir
dirumuskan oleh Tim Tujuh. Semua orang yang terlibat dalam Tim Tujuh ini
merupakan “Generasi Ketiga”. Ini merupakan intelektual muda NU, yang tidak hanya
bersentuhan dengan nilai-nilai pesantren, melainkan pula nilai-nilai lain yang
kosmopolit sifatnya. Kelompok inilah yang secara konsepsional, merumuskan khittah
1926. Para ulama (nonpolitisi) mendukung para intelektual muda NU ini, karena dasar
pemikiran kembali ke khittah 1926 berarti pula mengembalikan posisi ulama ke peran
yang lebih besar lagi.67 Kembalinya khittah NU akan berakibat pada makin luasnya
ulama NU dalam memainkan peranannya di tubuh NU, hingga NU akan kembali
menjadi suatu organisasi yang concern mengurusi empat hal penting yaitu; persoalan
keagamaan, sosial kemasyarakatan, pendidikan dan ekonomi. Kembalinya khittah NU
juga akan berpengaruh pada makin kuatnya ikatan sesama warga NU secara intern.
Lebih dari itu, dengan kembalinya NU pada khittahnya, berarti secara kelembagaan
organisasi NU tidak lagi melibatkan diri dalam kancah politik. Walau demikian NU
tetap memberikan kebebasan kepada setiap warganya untuk ikut berpartisipasi dalam
politik. Ini berarti setiap warga NU bebas memilih partai sebagai media politiknya dan
tidak lagi terikat dalam satu pertai yaitu PPP an-sich. Ini bisa dikatakan bahwa
walaupun NU kembali ke khittahnya, NU tetap ada di mana-mana dan tetap terjaga
eksistensinya.
67
Ibid, h 140.
B. Kiprah KH. Ali Ma’shum dalam Percaturan Politik NU
Arus perubahan yang melanda NU menjelang dan di awal tahun 1980-an
didasarkan pada keinginan untuk mengembalikan NU sebagai gerakan keagamaan dan
gerakan kemasyarakatan sebagaimana Khittah Jam’iyah NU tahun 1926. Kondisi
politik saat itu, di samping orientasi dan interest politik praktis di kalangan pengurus
telah mengakibatkan rapuhnya jam’iyah, terutama terabaikannya basis jama’ah pada
masyarakat bawah serta kewenangan para ulama. Meskipun tekad mempertegas batas
antara NU sebagai jam’iyah dan PPP sebagai partai politik sudah dinyatakan dalam
Muktamar NU ke-26 di Semarang tahun 1979, kenyataannya hal itu tidak bisa
diwujudkan oleh para pengurusnya. Wafatnya Rais ‘Am KH. Bisri Syansuri, 25 April
1981, membuka peluang bagi kedua sayap politik dan sayap khittah untuk saling
memperkuat posisinya. Pembicaraan pengisian jabatan Rais ‘Am dalam Munas Alim
Ulama dan Konferensi Besar NU di Kaliurang, Yogyakarta tanggal 30 Agustus – 3
September 1981 menjadi sangat penting, dan ternyata Munas dan Konbes itu berhasil
memilih KA. Ali Ma’shum sebagai Rais ‘Am PBNU menggantikan KH. Bisri
Syansuri.68
Secara eksplisit Humaidy dalam bukunya (Biografi 5 Rais ‘Am NU)
mengatakan bahwa keterlibatan secara mendalam KH. Ali Ma’shum terhadap NU
dimulai sekitar tahun 1980-an.69
Ini mungkin dimaksudkan bahwa pada kisaran tahun
tersebut KH. Ali Ma’shum mulai terlibat dalam percaturan politik NU. Mengingat
jauh sebelumnya ia sudah aktif dalam organisasi tradisional ini.
Pada sekitar tahun 1980-an memang bisa dikatakan bahwa NU sedang
mengalami proses pengunduran yang amat tajam setelah meninggalnya KH. Bisri
68
Mustafa Bisri, Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas Biografi 26 Tokoh NU, Yayasan
Saifudin Zuhri, Jakarta, 1994, h. 361, 362. 69
Humaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ‘Am NU, KH. Hasyim Asy’ari,
KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ali Ma’shum dan KH. Achmad Siddiq, LTN NU, Yogyakarta, 1995, h. 128.
Syansuri selaku Rais ‘Am waktu itu.70 Tahun berikutnya dalam sebuah Munas di
Kaliurang, Yogyakarta akhirnya KH. Ali Ma’shum terpilih sebagai Rais ‘Am seperti
yang telah disebutkan di atas. Kepemimpinan KH. Ali Ma’shum dengan terjadinya
proses menuju Muktamar ke-27 merupakan babak sejarah yang menarik dalam tubuh
NU. Pertama, dalam pemilu 1982 dengan disingkirkannya sebagian tokoh NU dalam
PPP, muncul keinginan untuk meninggalkan PPP dalam pemilu. KH. Ali Ma’shum
bertindak sigap melarang keinginan keluar dari PPP yang dianggap sangat emosional,
sehingga NU tetap membela PPP. Kedua, KH. Ali Ma’shum bersama ulama yang lain
yaitu KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Machrus Ali dan KH. Masykur pada tanggal 2
Mei 1982 mendatangi Dr. KH. Idham Chalid selaku Ketua Umum PBNU dan
meminta kesediaannya untuk mengundurkan diri.71 Ini dilakukan semata-mata karena
kekecewaan para tokoh serta kader NU terhadap kepemimpinan Dr. Idham Chalid
selaku ketua PBNU sekaligus Presiden PPP yang dianggap tidak mampu
mengendalikan tindakan John Naro dan kawan-kawannya.72
Dr. Idham Chalid saat itu bersedia menyatakan pengunduran dirinya, Tetapi
beberapa hari setelah itu, yaitu pada 14 Mei 1982 dia mencabut kembali pengunduran
dirinya. Sejak itulah terjadi perpecahan dalam kepengurusan NU. Ada kelompok
Idham (sayap politik) yang disebut kelompok Cipete dan kelompok utama (sayap
khittah) yang disebut kelompok Situbondo. Bagi KH. Ali Ma’shum, pencabutan
pengunduran diri Dr. Idham Chalid dianggap tidak berlaku dan Ketua Tanfidziyah
sekaligus dijabat oleh Rais ‘Am.73
Pada saat menjelang pemilu 1982 posisi NU di PPP memang terus dipereteli
oleh John Naro dan kelompoknya. Kekecewaan itu semakin menguat aspirasi
70
Ibid, h. 128. 71
Mustafa Bisri, Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas 26 Biografi Tokoh NU, h. 363. 72
Humaidy dan Ridwan, Biografi 5 Rais ‘Am NU, h. 128. 73
Mustafa Bisri, Menapak Jejak mengenal Watak Sekilas 5 Biografi 26 Tokoh NU, h. 331.
sebagian besar warga NU untuk meninggalkan gelanggang politik. Masalah ini tentu
saja menjadi beban pemikiran berat bagi KH. Ali Ma’shum. Namun demikian, dia
tetap berusaha menenangkan suasana dengan menegaskan bahwa NU masih
mendukung PPP. Akan sikapnya itu, KH. Ali Ma’shum mendasarkannya pada dua
hal. Pertama, jika saat itu NU keluar dari PPP justeru suasana di lingkungan NU akan
semakin keruh, karena saatnya belum tepat. Gagasan kembali ke khittah belum lagi
dimasyarakatkan secara merata. Kedua, walaupun NU harus meninggalkan PPP,
jangan didasarkan pada sikap emosional, tetapi harus dengan pemikiran yang jernih
dengan mempertimbangkan untung ruginya di masa yang akan datang.74
Meski dengan kondisi penuh ketegangan, roda organisasi NU terus berjalan
menuju perubahan yang lebih pasti. Pada tahun 1983 dilaksanakan Munas Alim
Ulama di Situbondo yang menghasilkan konsep kembali ke khittah 1926. Setahun
kemudian dilaksanakan Muktamar ke-27 yang bersejarah itu. Melalui persiapan yang
matang dan proses pembahasan yang seru, akhirnya ditetapkanlah konsepsi Kembali
ke Khittah 1926 dan penerimaan asas tunggal Pancasila. Dengan keputusan itu, secara
konseptual NU menyatakan independen, tidak ada hubungan secara formal maupun
informal dengan kekuatan politik tertentu.75
Muktamar Situbondo memang merupakan sejarah momentum perubahan bagi
NU, dan itu tak lepas dari peran KH. Ali Ma’shum sebagai rais ‘am. Dengan peran
tersebut bukan saja tampak karisma KH Ali Ma’shum, melainkan juga sikap dan cara
berfikirnya yang terbuka dan maju untuk melakukan perubahan.76 Memang, persoalan
utama yang menjadi sorotan dalam muktamar itu ialah masalah kejayaan dan pamor
74
A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum; Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, Multi
Karya Grafika, Yogyakarta, 1989, h. 92. 75
Syaifullah Ma’shum, Karisma Ulama; Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Mizan, Bandung,
1998, h. 345. 76
Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara II; Riwayat Perjuanagn dan Doa, KUTUB, Yogyakarta, 2006, h. 333.
NU yang semakin meredup, terutama selama bergulat dalam politik praktis. Salah
satunya dikemukakan oleh KH. Ali Ma’shum dalam khutbah iftitahnya :
“Kita tahu, sejak NU berdiri pada sekitar tahun 1926 adalah masa
perkembangan NU yang ber-klimaks pada kejayaan pamornya di sekitar 1967-
1969. Kemudian pada tahun 1970-1982, NU hidup dalam keadaan tidak menentu. Jika kenyataan itu kita teliti, maka kejayaan NU terjadi di saat-saat
NU berhubungan erat dan kerjasama bantu membantu dengan pemerintah. Periode di mana NU tak menentu adalah di saat-saat NU renggang dengan
pemerintah karena satu dan lain-lain”.77
Pada tahun-tahun berikutnya KH. Ali Ma’shum lebih mengarahkan
organisasinya untuk intens dalam menekuni kegiatan di bidang pendidikan, sosial dan
keagamaan. KH Ali Ma’shum sendiri meninggalkan urusan politik praktis dan
menyerahkan kepada masing-masing pribadi warga NU untuk menentukan sendiri
saluran politik yang disukai, sepanjang tidak merusak akidah Islam serta dengan
dilandasi akhlak mulia.78 Di samping itu, KH. Ali Ma’shum juga sangat intens dalam
pengembangan dunia pesantren. Dari dulu, pesantren dan KH. Ali Ma’shum memang
tidak dapat dipisahkan. Pesantren dan KH. Ali Ma’shum secara substansial dan formal
merupakan representasi dari seseorang yang hidup dan mati di dunia pesantren.79
C. Peran KH. Ali Ma’shum Sebagai Rais ‘Am NU
Keretakan NU nampak terlihat setelah Rais ‘Am NU KH. Bisri Syansuri
wafat. Para pemimpinnya terlibat gejolak. Ada selisih faham tentang perlu tidaknya
jabatan Rais ‘Am yang kosong agar segera diisi. Ada yang ingin membiarkan kursi itu
kosong sampai Muktamar berikutnya. Seiring jalannya waktu, maka pada tanggal 30
Agustus – 3 September 1981 dilangsungkan Munas Alim Ulama NU di Kaliurang,
Yogyakarta. Di mana dalam munas tersebut KH. Ali Ma’shum terpilih sebagai Rais
77
Dikutip dari “Khittah Iftitah Rais ‘Am pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo”, dalam
Laporan Penyelenggaraan Munas Alim Ulama, Panitia Munas PBNU, Jakarta, 1984, h. 80. 78
Masduki Attamami, Lima Bekal dari KH Ali Ma’shum untuk NU, Suara Karya, 1989, h. 4. 79
Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara II, H 333.
‘Am NU menggantikan KH. Bisri Syansuri yang wafat pada hari Jum’at, 25 April
1980.80
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa suksesi kepemimpinan KH. Ali
Ma’shum dalam tubuh NU itu seiring dengan menumpuknya persoalan yang dihadapi
NU. Hal ini tentunya membuat KH. Ali Ma’shum sebagai Pimpinan Tertinggi yang
baru di tubuh NU harus sigap dan jeli dalam mengeluarkan kebijakan terkait dengan
kondisi NU saat itu.
Hal pertama yang diputuskan KH. Ali Ma’shum dalam kepemimpinannya
yaitu persoalan yang terkait dengan isu banyaknya kalangan NU yang akan keluar
dari PPP. Dalam kaitan ini KH. Ali Ma’shum menghimbau kepada kalangan NU agar
tidak terjebak dalam keputusan yang sifatnya emosional. Ia juga menghimbau agar
para kader NU jangan tergesa-gesa meninggalkan PPP.
Hal kedua yang dikeluarkan KH. Ali Ma’shum sebagai sebuah kebijakan
adalah adanya kemungkinan dan bahkan keharusan bagi kalangan NU untuk
membawa NU kembali pada khittahnya tahun 1926. Kedua hal di atas merupakan
keputusan penting dan bersejarah bagi kalangan NU yang memahami akan perjalanan
karir KH. Ali Ma’shum di tubuh NU.
Sebagai Rais ‘Am, KH Ali Ma’shum mengemukakan pendapatnya terkait
dengan isu-isu politik saat itu. Menurutnya, “NU harus berperan menetralisasikan
mekanisme kehidupan berpolitik agar berjalan secara adil”. Untuk itu perlu adanya
kekompakkan dan ketaatan seluruh warganya yang diimbangi konsistensi pada
pemimpinnya.81
80
A. Margana, Siklus Retak, Tempo, 16 November 1991, h. 21. 81
Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986, Grafiti Pers, Jakarta, 1986, h. 484.
Berkenaan dengan hal ini, maka PB. Syuriah, pengendali tertinggi organisasi
NU mengadakan Sidang Pleno di Jakarta yang langsung dipimpin oleh KH. Ali
Ma’shum. Keputusan yang dihasilkan adalah:
(1) PB. Syuriah akan mempertimbangkan kedudukan jam’iyah Nahdlatul Ulama dalam lingkungan PPP pada saatnya yang tepat, apabila azas
musyawarah, solideritas intern dan prinsip-prinsip organisasi lainnya tidak dapat ditegakkan di dalamnya. (2) PB. Syuriah menyerukan kepada seluruh
warga NU untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum tahun 1982 dan menjunjung tinggi asas “luber” (langsung-umum-bebas-rahasia) sesuai dengan
keputusan Munas Alim Ulama NU yang diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta pada awal September 1981.82
Peranan kepemimpinan KH. Ali Ma’shum ini menampakkan hasil yang besar
dan monumental, yaitu dengan berhasil diselenggarakannya Munas Alim Ulama NU
kedua di pondok pesantren Salafiyah Sukorejo pada tahun 1983. Seperti yang telah
disebutkan di atas bahwa pada Munas ini dihasilkan keputusan penting, yaitu
penerimaan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Juga
dirumuskannya kembali otoritas Syuriah atau ulama dalam kepemimpinan Nahdlatul
Ulama.83
Pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur NU
memutuskan kembali ke Khittah 1926.
Setelah membenahi beberapa persoalan terkait dengan organisasi yang
dipimpinnya, maka KH. Ali Ma’shum mengarahkan organisasi itu pada suatu tujuan
yang lebih bersifat sosial keagamaan. Sebagai Rais ‘Am, ia memiliki kewenangan
untuk terus membina organisasi sosial ini menjadi organisasi keagamaan yang
memiliki tujuan utama dalam bidang pendidikan dan dakwah. Segala hal yang terkait
dengan persoalan politik, ia serahkan kepada masing-masing individu. Kondisi seperti
ini terus ia jaga hingga masa kepemimpinannya berakhir.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa peran yang dimainkan KH. Ali Ma’shum
sebagai Rais ‘Am adalah mengeluarkan beberapa kebijakan baru yang kesemuanya
82
Slamet Effendy Yusuf dkk. Dinamika Kaum Santri, Rajawali Pers, Jakarta, 1982, h. 209. 83
A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Ma’shum; Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, h. 93.
demi terpeliharanya kekuatan organisasi tadisional ini dalam kancah perjuangan
dalam rangka memajukan sebuah bangsa, sekaligus menjadi pemeran dalam menjaga
apa yang telah diputuskan bersama.
Bagaimana dengan jabatannya sebagai Mustsyar. Pada awal 1985, KH. Ali
Ma’shum tidak lagi menjabat sebagai Rais ‘Am, namun ia diminta untuk berperan
dalam jajaran Mustasyar PBNU84
bersama KH. As’ad Syamsul Arifin, Dr. Idham
Chalid, KH. Masykur, KH. Imron Rosyidi, Porf. KH. Anwar Musaddad dan Yusuf
Hasyim.85
Pada Munas Alim Ulama NU di Kasugihan Cilacap tahun 1987, KH. Ali
Ma’shum berperan sebagai tokoh yang berhasil meredam gejolak dari sebagian aktifis
NU untuk membelokkan NU ke arah partai politik lagi. Pada waktu itu tercermin dari
adanya gagasan khittah plus yang dikemukakan oleh Mahbub Djunaidi. Dasar
pemikiran Mahbub tersebut yaitu bahwa dengan kembalinya NU ke khittah tidak
mesti meninggalkan politik praktis. Di pihak lain, sayap politik masih pula
mempengaruhi agar NU tetap berpolitik praktis, terutama dalam menyalurkan
politiknya ke PPP. Dalam hal ini KH. Ali Ma’shum menegaskan dengan
menggunakan kaidah yang berbunyi “ Dar’ al mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbil
mashoolih” (meninggalkan kerusakan itu didahulukan dari pada menarik kebaikan).
Dengan berpedoman “meninggalkan hal-hal yang diperhitungkan akan
merusak”, maka daya preventif NU akan efektif. Sikap preventif itu dalam kesehatan,
termasuk memotong anggota tubuh yang busuk dari pada akan membusukkan seluruh
tubuh.86
84
Mustasyar berfungsi sebagai penasihat. 85
NU Menuju Islam Indonesia, Tempo, 8 Desember 1984. 86
A. Chozin Nasuha, NU Setelah Konbes Cilacap, Pelita, Jakarta, 1989, h. 6.
Begitu intens keterlibatan KH. Ali Ma’shum dalam NU, sepertinya ia telah
menyatu dengan jiwanya. Bahkan ia punya resep untuk bekal para pengurus dan
warga NU dalam upaya mencapai setiap cita-cita organisasinya.
Menurut KH. Ali Ma’shum ada lima bekal untuk itu, yaitu :
1. Setiap warga NU harus yakin dan percaya sepenuhnya terhadap NU.
2. Setiap warga NU hendaknya mempelajari organisasinya dengan sungguh-
sungguh. Hal ini penting, karena cara itu bisa memperkokoh keyakinan
terhadap NU, sehingga tidak mudah digoyahkan.
3. Setiap warga NU harus mempraktekkan ajaran serta tuntunan NU. Hal ini
penting karena ajaran dan tuntunan NU adalah tuntunan Islam yang murni
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.
4. Memperjuangkan agar NU tetap lestari dan berkembang. Jika telah menyatu
dengan NU, maka harus berjuang pantang mundur.
5. Hendaknya sabar dalam ber-NU, artinya sabar dalam melakukan atau
melaksanakan tugas organisasi, menghadapi segala rintangan, termasuk ketika
menghadapi kemungkinan ada pihak-pihak yang mengajak keluar dari NU
serta besar kemungkinan menghadapi pihak yang memusuhi ajaran Nabi.87
KH. Ali Ma’shum adalah salah seorang tokoh NU yang memiliki popularitas
secara nasional bahkan internasional. Walau hidup sebagai orang yang selalu sibuk
mengurusi organisasi NU, KH Ali Ma’shum dalam kehidupannya tidak pernah lepas
atau jauh dari dunia pesantren. Dari sejak lahir hingga wafatnya, ia selalu berada
dalam lingkungan pesantren. KH. Ali Ma’shum juga sebenarnya aktif dalam dunia
politik. Akan tetapi aktivitas politiknya tidak didasarkan pada teori-teori politik
87
Masduki Attamami, Lima Bekal dari KH. Ali Ma’shum untuk NU, H. 4.
sebagaimana biasanya orang akademis, akan tetapi didasarkan pada bisikan hati
nurani.
Muktamar yang dilaksanakan di kediamannya merupakan mata rantai kegiatan
yang dapat dialami untuk terakhir kalinya. Saat itu ia sakit dan hanya bisa mengikuti
acara besar itu dari pembaringan, dan itu merupakan khidmah terakhir kepada
jam’iyah yang dicintainya. Hanya dua minggu setelah perhelatan besar di pesantren
Al-Munawir Krapyak itu, KH. Ali Ma’shum dipanggil ke hadirat-Nya. Usai adzan
maghrib, tepatnya pada tanggal 7 Desember 1989, di RSU Sarjito Yogyakarta. KH.
Ali Ma’shum wafat dalam usia 74 tahun.88
88
Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara II, h. 338.
BAB V
A. KESIMPULAN
Dalam pembahasan skripsi ini dapat diambil kesimpulan bahwa KH. Ali
Ma’shum dilahirkan pada tnggal 2 Maret 1915 di Lasem, kabupaten Rembang Jawa
Tengah. Ali merupakan keturunan dari keluarga pesantren. Sejak kecil ia sudah
dikirim untuk dididik di pondok pesantren Tremas jawa Timur oleh orang tuanya.
Sepulangnya dari Tremas Ali menikah dan tidak lama kemudian ia menyempatkan
diri memperdalam ilmu di Makah. Di sana Ali Ma’shum memperdalam ilmu bahasa
Arab dan tafsir.
KH. Ali Ma’shum memiliki beberapa corak pemikiran yang pernah
dimunculkannya antara lain mengenai Ahlussunnah Waljamaah, Madzhab, Ukhuwah
Islamiyah hingga ilustrasi kemordenannya. Dari segi keagamaan, KH. Ali Ma’shum
termasuk ulama yang memiliki pandangan luas tentang Ahlussunnah Waljamaah,
namun ia tidak pernah beranggapan bahwa Ahlussunnah Waljamaah adalah hanya
milik orang NU.
Terkait dengan peran dan perjuangan KH. Ali Ma’shum di tubuh NU, lebih
awal bisa dilihat dari keterlibatannya. Jabatan yang pernah diembannya di tubuh NU
adalah sebagai Rais ‘Am dan Mustasyar. Peranan dan perjuangan yang dimainkan
KH. Ali Ma’shum di tubuh NU meliputi hal-hal baik yang terkait dengan persoalan
intern NU sampai persoalan yang ekstern (di luar NU), seperti memunculkan suatu
kebijakan yang membuat kuatnya suatu organisasi terkait dengan warga Nahdliyin
hingga persoalan-persoalan politik yang ruang lingkupnya lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Azis , Aceng, Dy Dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia;
Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Pustaka Ma’arif NU, Jakarta,
2006.
Marijan, Kacung, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926,
ERLANGGA, Jakarta.
Abdussami, Humaidy, Fakla AS, Ridwan, Biografi 5 Rais ‘Am NU; KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ali Ma’shum dan
KH. Achmad Siddiq, LTN NU, Yogyakarta, 1995.
Alaena, Badrun. NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Tiara
Wacana, Yogyakarta, 2000.
Bisri, Mustafa, Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas Biografi 26 Tokoh
NU, Yayasan Syaifudun Zuhri, Jakarta, 1994
Dachlan, M. Riwayat Singkat Nahdlatul Ulama, Berita Nahdlatoel Oelama,
Surabaja, 1931.
Ma’shum, Ali, Ajakan Suci, Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN) NU, Yogyakarta,
1998.
Muhammadiyah, Hilmi, Fatoni, Sulthon, NU : Identitas Islam Indonesia,
ELSAS, Jakarta, 2004.
Sillars Harvey, Barbara, Pemberontakan Kahar Muzakka, dari Tradisi ke
DI/TII, Grafiti Press, Jakarta, 1989.
Effendy, Yusuf, Slamet; Ikhwan, Syam, Mohammad; Farid, Mas,udi, Masdar,
Dinamika Kaum Santri; Menelusuri jejak & pergolakan internal NU, RAJAWALI,
Jakarta, 1983.
Effendy, Yusuf; Selamet, Ikhwan, Syam,Mohammad; Farid, Mas’ udi,
Masdar, Dinamika kaum santri;Menelusuri jejak & pergolakan internal NU,
RAJAWALI, Jakarta , 1983.
Feilard, Andree, NU vis-avis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna,
LKIS, Yogyakarta, 1999
Halim, Abdul, dkk., Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas 26 Tokoh NU,
Yayasan Suaifuddin Zuhri, 1994.
------------- Apa da Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986, Grafiti Pers,
Jakarta, 1986.
Marijan, Kacung, Quo Vadis NU setelah kembali ke khittah 1926,
ERLANGGA, Jakarta.
Ma’sum, Ali, Ajakan Suci, Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN)
NU,Yogyakarta,1998.
Ma’sum, Syaifullah, Karisma Ulama; kehdupan Ringkas 26 Tokoh NU,
Mizan, Bandung, 1998.
Masyhuri, A Aziz, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara II; Riwayat dan Doa,
KUTUB, Yogyakarta, 2006.
Masyhuri, A. Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara II; Riwayat,
Perjuangan dan Doa, KUTUB, Yogyakarta, 2006.
Muhammadiyah, Hilmi, Fatoni, Sulthon, NU.Identitas Islam Indonesia,
ELSAS, Jakarta, 2004,
Mukhdlor, A. Zuhdi, KH. Ali Ma’shum; Perjuangan dan Pemikiran-
Pemikirannya, Multi Karya Grafika, Yogyakarta, 1989.
Nasuha, A, Chozin, NU Setelah konbes Cilacap, Pelita, Jakarta, 1989
Siddiq, Achmad, Khittah Nahdliyah, LTN NU, Surabaya, 2005.
Al-Tamami, Masduki, Lima Bekal dari KH Ali Ma’shum untuk NU, Suara
Karya, 1989.