kinescope indonesia edisi 9, 2014

88
1 2014 l Edisi 9 l Kinescope l Edisi 9 | 2014 | Rp. 25.000 ABBAS KIAROSTAMI KILAS BALIK PERKEMBANGAN FILM ANAK DI INDONESIA Beri Satu Lagu Diane Warren The 1st Jogja Miniprint Biennale (JMB) 2014 SEMANGAT MEMBATU YANG KETU7UH CAHAYA DARI TIMUR: BETA MALUKU NEGERI TANPA TELINGA RINDU KAMI PADAMU Review Opini Garuda 19 Tokoh Dunia Interview ANDIBACHTIAR YUSUF Rilis Single Baru Sandhy Sondoro Film - Seni & Edukasi

Upload: pt-kinescope-indonesia

Post on 25-Jun-2015

1.358 views

Category:

Entertainment & Humor


5 download

DESCRIPTION

Majalah Kinescope Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

12014 l Edisi 9 l Kinescope l

Edisi 9 | 2014 | Rp. 25.000

ABBAS KIAROSTAMI

KILAS BALIK PERKEMBANGAN

FILM ANAK DI INDONESIA

Beri Satu Lagu Diane Warren

The 1st Jogja Miniprint Biennale (JMB) 2014

SEMANGAT MEMBATU

YANG KETU7UH

CAHAYA DARI TIMUR: BETA MALUKU

NEGERI TANPA TELINGARINDU KAMI PADAMU

Review

Opini

Garuda 19

Tokoh Dunia

InterviewANDIBACHTIAR

YUSUF

Rilis Single Baru Sandhy Sondoro

Film - Seni & Edukasi

Page 2: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

2 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 3: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

32014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 4: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

4 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

COVER STORY

14

20

18

222428

30

32

10

INTERVIEW

REVIEW

GARUDA 19:SEMANGAT MEMBATU

ANDIBACHTIAR YUSUF:Indonesia Tidak Punya Pembinaan Sepakbola

CAHAYA DARI TIMUR: BETA MALUKUNEGERI TANPA TELINGARINDU KAMI PADAMUYANG KETU7UHRUROUNI KENSHIN: KYOTO INFERNO

FESTIVALFESTIVAL EURASIA Rutinitas Yang Tidak Biasa

Daftar isi

BEHIND THE SCENE14

52

34

36

38

THE 1ST JOGJA MINIPRINT BIENNALE (JMB) 2014

ARKIPEL 2014:Electoral Risk

FESTIVAL FILM MEDAN

XXI SHORT FILM FESTIVAL 2014

MERAYAKAN KEBISINGAN

MUSIK ROCK 46

SANDHYSONDORO

Abbas KiarostamiBERSINAR DI TENGAH REVOLUSI*

8042TIPSTIPS & TRIK LOLOS CASTING

44

48

LIPUTANNGOBROL BARENGEKA & ROMANACE CAFÉ LONDONMARKAS BIKERS KLASIK

50KOMUNITASRUFI COMMUNITYADA UNTUK SUMATERA UTARA DAN INDONESIA

Page 5: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

52014 l Edisi 9 l Kinescope l

Daftar isi

Page 6: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

6 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Salam Redaksi

GARUDA 19Semangat MembatuFilm Garuda 19 adalah film tentang perjuangan pembentukan timnas U-19. Para pelatih, pemain dan masyarakat Indonesia sama-sama bermimpi memiliki tim sepakbola yang tangguh yang memberikan harapan untuk meraih kemenangan.

PENASEHAT REDAKSIFarid GabanAndi Bachtiar YusufWanda HamidahSwastika NoharaDandhy Laksono

PEMIMPIN UMUMHasreiza

PEMIMPIN REDAKSIReiza Patters

REDAKTUR Abdi KurniawanRian Samin

KONTRIBUTORDaniel IrawanShandy GasellaDaniel Rudi HaryantoPejred BanderasRohman SulistionoNovita RiniThea Fathanah ArbarSuluh Pamuji

ARTISTIKal Fian adha

FOTOGRAFERKinescope Tim

DISTRIBUSI & SIRKULASIFaisal Fadhly

DISTRIBUSI JOGJAKARTAAthonk Sapto Raharjo

MARKETING & EVENT PROMOOllivia Selagusta

COMMUNITY DEVELOPMENTJusuf Alin Lubis

SUBSCRIPTIONSPT. Kinescope Indonesia Jakarta Level 3A, World Trade Centre 5Jl. Jendral Sudirman Kav. 29-31Jakarta 12920Phone : +62 21 2598 5194 Fax : +62 21 2598 5001

www.kinescopeindonesia.com

[email protected]@[email protected]@kinescopeindonesia.com @KinescopeMagz

Tantangan dunia perfilman nasional semakin besar, seiring dengan trend positif terhadapnya, baik dari sisi produksi, konten dan isi, serta apresiasi dari publiknya sendiri.

Ini memungkinkan seluruh stake holder perfilman nasional untuk terus mengasah dan mengembangkan kemampuan kreatif serta inovatifnya agar bisa bertahan dan berkembang di tengah gempuran budaya dan hantaman modal dari luar negeri sebagai akibat dari semakin gencarnya globalisasi.

Inipun turut dirasakan oleh Kinescope, sebagai sebuah wadah berkreasi, suara-suara kritis sekaligus apresiatif terhadap kehidupan perfilman nasional. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang dihadapi, kami terus berupaya untuk tetap sekedar hidup dan mempertahankan keberadaan kami sebagai bagian dari duia perfilman nasional, seni dan budaya bangsa ini.

Untuk itu, segala daya upaya terus kami curahkan agar wadah ini bisa terus ada dan berupaya mengawal kebangkitan budaya bangsa ini untuk mencapai kegemilangannya di kancah internasional. Dengan menitikberatkan perhatian pada dunia film, musik dan seni lainnya, ini hanya setitik debu dari upaya besar yang juga telah dilakukan oleh pihak-pihak yang lain, yang mungkin sudah lebih mapan dan terorganisir rapi.

Namun begitu, sekecil apapun yang mampu kami berikan pada negeri ini, merupakan kontribusi kami untuk kemajuan dan kemaslahatan bangsa ini, yang kami berikan dari dan dengan sepenuh hati. Tanpa keraguan dan dengan terus menyalakan asa serta harapan, kami persembahkan edisi ke 9 yang sempat tertunda beberapa saat. Semoga bermanfaat.

Cover Story

Page 7: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

72014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 8: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

8 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

PREVIEW

Nita, 60 tahun, harus menghidupi lima orang

anaknya, setelah sang suami meninggal dunia pada tahun 2003. Sebagai buruh cuci dan asisten rumah tangga di Tangerang, Banten, Ada dua prioritas dalam hidupnya: memenuhi kebutuhan sembako keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya. Untuk itu tak jarang ia harus berutang demi memenuhi kebutuhan.

Amin Jalalen, seorang petani penggarap tanah milik negara yang berdomisili di Indramayu,

Jawa Barat. Sudah beberapa tahun belakangan ini ia terpaksa menggarap tanah milik negara untuk menyambung hidup. Tapi ia harus membayar sewa tanah. Menurutnya sistem sewa tanah tak sesuai dengan Undang-undang Dasar yang mengamanatkan kekayaan alam harus sebesar-besarnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat.

Di Jakarta, Suparno dan Sutara Bekerja serabutan sebagai buruh bangunan dan tukang ojek. Bersama keluarganya masing-

Yang Ketu7uh

FILM TAYANG 25 September 2014 SUTRADARA Adriyanto DewoPRODUSER Sheila Timothy CAST Dewi Irawan, Jimmy Kobogau, Yayu Unru, Ozzol Ramdan

Hans (Jimmy Kobogau), pemuda asal Serui, Papua,

bercita-cita menjadi pesepakbola profesional. Namun nasib berkata lain. Pada saat Hans hampir kehilangan semangat hidupnya, ia bertemu dengan Mak (Dewi Irawan), seorang pemilik rumah makan Minang sederhana. Di

tengah perbedaan mereka, Hans dan Mak menemukan persamaan. Mimpi dan semangat hidup terbentuk kembali lewat makanan dan masakan.

Hans juga mendapat penolakan dari Parmanto (Yayu Unru), juru masak dan Natsir (Ozzol Ramdan), juru senduak

Tabula Rasa(pelayan). Keadaan menjadi semakin memburuk ketika mereka mendapat saingan sebuah rumah makan baru yang lebih besar persis di depan lapau. Hans, Mak, Natsir dan Parmanto harus menyelesaikan perselisihan di antara mereka untuk menyelamatkan lapau mereka.

masing, mereka harus tinggal di rumah yang jauh dari layak. Suparno dan Sutara hanya mampu mendiami rumah dengan ukuran 6,65 meter persegi. Tak ada kamar mandi atau WC di rumah mereka. Hanya tersedia satu bangunan MCK umum di sana. Situasi semakin pelik ketika satu-satunya MCK umum di wilayah itu terancam digusur.

Keempat tokoh ini akhirnya bertemu di ajang pemilu legislatif dan pemilu presiden. Mereka dipertemukan melalui kesamaan status sebagai pemilih yang membawa harapan ke bilik suara. Mereka mempercayakan masa depan melalui hak pilih yang mereka miliki, dengan harapan anggota dewan dan presiden yang ketujuh yang dipilihnya bisa membawa perubahan.

Dikerjakan oleh 19 videografer, film ini mengikuti keseharian para tokoh jauh-jauh hari sebelum gelaran Pemilu. Lantas siapa presiden pilihan Nita, Amin Jalalen, Suparno, dan Sutara? Apa harapan dan pesan dari mereka untuk Presiden Yang Ketujuh Indonesia?

Page 9: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

92014 l Edisi 9 l Kinescope l

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Extended

FILM TAYANG 11 September 2014 GENRE Romance Historical DramaSUTRADARA Sunil Soraya PRODUSER Ram Soraya, Sunil SorayaCAST Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian, Randy NidjiGesya Shandy, Arzeti Bilbina, Kevin Andrean, Ninik L. Karim, Jajang C. Noer

FILM TAYANG 18 September 2014 GENRE Action Martial Art SUTRADARA Willy DozanPRODUSER Willy Dozan, Oswin BonifanzCAST Willy Dozan, Leon Dozan, Regina Wulandari, Chintya Ramlan, Fendy PradanaRio Desta Rengga, Rohim

Nusantara 1930. Dari tanah kelahirannya, Makasar, Zainuddin berlayar menuju tanah kelahiran

ayahnya di Batipuh, Padang Panjang. Di sana ia bertemu Hayati. Kedua muda-mudi itu jatuh cinta. Tapi, adat menghalangi. Zainuddin hanya seorang melarat tak berbangsa, sementara Hayati perempuan Minang keturunan bangsawan.

 Lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati. Hayati dipaksa menikah dengan Aziz (Reza Rahadian), laki-laki kaya bangsawan yang ingin menyuntingnya. Perkawinan harta dan kecantikan mematahkan cinta suci anak manusia. Zainuddin pun memutuskan untuk berjuang, pergi dari ranah minang dan merantau ke tanah Jawa demi bangkit melawan keterpurukan cintanya. Zainudin bekerja keras membuka lembaran baru hidupnya. Sampai akhirnya ia menjadi penulis terkenal dengan karya-karya mashyur dan diterima masyarakat seluruh Nusantara.

 Tetapi sebuah kenyataan kembali datang kepada diri seorang Zainuddin, di tengah gelimang harta dan kemashyurannya. Dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu Hayati, kali ini bersama Aziz, yang sudah menjadi suaminya.

 Perkawinan harta dan kecantikan bertemu dengan cinta suci yang tak lekang waktu. Pada akhirnya kisah cinta Zainuddin dan Hayati menemui ujian terberatnya, dalam sebuah tragedi pelayaran kapal Van Der Wijck.

Duel: The Last ChoiceIgo mantan preman yang sudah meninggalkan masa

lalunya berjualan telor di pasar Cinere, Joe Bandit Preman teman lama Igo datang membuat masalah di pasar itu, sehingga membuat mereka bertarung sengit sampai akhirnya kaki Joe Bandit dipatahkan oleh Igo dan Joe Bandit ditangkap oleh Komandan Herman.

 Tiga Tahun kemudian.... Suasana pasar Cinere seperti sedia kala, Nampak

para preman Generasi baru menguasai wilayah ini. Yang ternyata dikuasai oleh Rocky, Dimas, dan Jack. Igo yang masih berjualan telor kini sikap dan pribadinya telah berubah. Suatu ketika Salah satu Preman bernama Jack menagih setoran dengan kasar dilapak Igo. Igo hanya diam saja tidak melawan, walaupun ia telah dianiaya oleh Jack. Dimas yang juga preman anak buah Rocky mencoba menghentikan aksi Jack.

Disitu nampak hubungan Dimas dan Igo ada sesuatu yang tersembunyi. Igo yang dibela Dimas tetapi juga dibenci Dimas. Ternyata masa lalu yang membuat Dimas sangat membenci Igo, karena Dimas merasa Igo telah lalai melindungi isterinya sendiri yang merupakan Ibu kandung Dimas sehingga tewas ditangan Joe Bandit yang ingin membalas dendam kepada Igo.

 Disisi lain Rocky Bos Dimas yang memiliki pacar bernama Vina. Ternyata diam-diam Vina menaruh hati kepada Dimas karena sikap Dimas yang Simpatik tidak seperti teman-teman preman lainnya. Hubungan gelap asmara antara Vina dan Dimas menyulut kemarahan Rocky sehingga mereka yang awalnya kawan kini menjadi lawan.

Page 10: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

10 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

COVER STORY

REIZA PATTERS

Garuda 19Semangat Membatu Sebuah Epos Kontemporer Inspiratif

10 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 11: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

112014 l Edisi 9 l Kinescope l

Film Garuda 19 adalah film tentang perjuangan pembentukan timnas

U-19. Para pelatih, pemain dan masyarakat Indonesia sama-sama

bermimpi memiliki tim sepakbola yang tangguh yang memberikan

harapan untuk meraih kemenangan.

Garuda 19

112014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 12: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

12 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

COVER STORY

Oleh karenanya, Film ini menjadi penyemangat untuk terus mendukung Timnas U-19. Cerita

ini dikembangkan dari dua buku terbitan Bentang Pustaka, yaitu “Semangat Membatu”, karya FX Rudi Gunawan bersama Guntur Cahyo Utomo, serta buku “Menolak Menyerah” karya FX Rudi Gunawan. Namun dalam pelaksanaan produksi filmnya, dilakukan banyak sekali pengembangan skenario sehingga berbeda dari cerita dalam bukunya. “Cerita Timnas U19 itu potensial menjadi kisah yang menarik, bukan karena ini cerita sepak bola tapi karena ini cerita tentang orang-orang biasa di pelosok Indonesia yang tidak pernah dilihat oleh orang pusat (Jakarta),” jelas Andibachtiar Yusuf, sutradara film ini (sebelumnya membuat film Hari Ini Pasti Menang, The Conductors, Romeo Juliet dan The Jak). Ditambahkan Yusuf bahwa bukunya lebih bercerita tentang Timnas junior setelah mereka menjadi juara AFF dan pasti lolos ke Piala Asia U19. Tapi filmnya bercerita tentang bagaimana tim ini terbentuk, bagaimana Indra Sjafrie mencari

mereka, dan kisah nyata awal perjuangan anak-anak itu. Kemudian setelah menjadi tim, tentang bagaimana mereka bekerja keras untuk kemudian menjadi juara. Film Garuda 19 menjadi sebuah catatan harian tentang pembelajaran hidup bagi siapapun. Karena sesungguhnya sepabola banyak mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Ada kegetiran, memang. Tapi lebih banyak lagi perjuangan, karena segetir apapun jika disikapi dengan kesungguhan, menjadi sebuah semangat yang membatu untuk meraih kemenangan.

SINOPSISFilm ini bercerita tentang gelaran

Piala AFF U-19 2013 di Sidoarjo. Timnas U-19 berhasil menekuk Vietnam lewat adu penalti (7-6) di partai puncak dan berhak membawa pulang piala resmi pertama yang didapatkan timnas Indonesia sejak 22 tahun yang lalu.

Terbayang kembali jejak-jejak para punggawa Timnas U-19 ketika mulai direkrut Indra Sjafri dan kawan kawan. Semuanya serba apa adanya, dengan fasilitas dan dana yang minim. Namun hal ini tidak membuat gentar Indra Sjafri dkk. Mereka yakin ada bibit hebat pesepakbola tersebar di Nusantara. Perjalanan ini pun dirasakan oleh Yazid Randaula, seorang anak muda dari sebuah kampung nelayan yang miskin di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang sempat bergabung dalam pelatihan Timnas 19. Walau perjalanan Yazid di lapangan hijau pada akhirnya berkata lain, tapi turut merasakan kebanggan terhadap Timnas 19 ini.

Maka kemenangan AFF U-19 itu memberikan pelajaran penting akan apa arti perjuangan itu. Para pemain belumlah mencapai separuh perjalanan dalam meraih impian. Namun mereka merasakan kebahagiaan, setelah hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Misalnya

“Cerita Timnas U19 itu potensial menjadi kisah yang menarik, bukan karena ini cerita sepak

bola tapi karena ini cerita tentangorang-orang biasa di pelosok Indonesia

yang tidak pernah dilihat oleh orang pusat (Jakarta).” - Andibachtiar Yusuf -

Page 13: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

132014 l Edisi 9 l Kinescope l

bagaimana Evan Dimas sudah mulai bisa membantu kehidupan orang tuanya, Sahrul yang tidak lagi kesulitan membeli sepatu, dan Yabes yang membanggakan warga Alor.

Mereka sudah harus bersiap lagi untuk kualifikasi Piala Asia U-19. Indonesia berada di grup G bersama dengan Laos, Filipina, dan juara Piala Asia 12 kali, Korea Selatan. Negara terakhir inilah yang selalu disebut dalam setiap pertanyaan wartawan pada Coach Indra. Apakah timnas U-19 mampu mengalahkan Korsel?

Di tengah persiapan itu, berbagai tantangan tidak berhenti menghampiri. Mulai soal tawaran iklan kepada para pemain, status klub Evan Dimas yang tidak diakui, perpindahan stadion ke GBK dll. Namun, melalui perjuangan ini mental pemain ditantang kembali, apakah mereka berhasil mengatasi semuanya sebagai satu tim yang solid. Lalu bagaimana coach Indra Sjafri CS menaikan mental dengan menyuntikkan semangat membatu bagi seluruh tim. Termasuk bagaimana situasi perang urat syaraf ketika melawan Korea Selatan untuk menentukan nasib mengikuti PIALA ASIA Oktober 2014 di Myanmar.

TANTANGAN CASTING & SHOOTING

Film ini didukung aktor kawakan Mathias Muchus, Ibnu Jamil, Mandala Shoji, Puadin Redi, Reza Aditya, dan Verdi Solaiman. Selain itu, Film Garuda 19 juga melibatkan pemain muda berbakat seperti Rendy Ahmad yang pernah berperan sebagai Arai di film Sang Pemimpi dan Laskar Pelangi sekuel 2 Edensor.

Gazza Zubizareta salah satu aktor muda yang bermain di film Negeri 5 Menara dan Yusuf Mahardhika yang dikenal dalam serial TV Tendangan Si Madun, serta Agri Firdaus salah satu pemain dalam Film Mestakung. Film ini juga menjadi debut pertama dari Amanda Ayunda, adik dari Maudy Ayunda, serta pendatang baru, Bilqis Utari dan Beta Freestyle. Selain itu, Garuda 19 banyak melibatkan pemain dari berbagai daerah (sesuai lokasi shooting) untuk mendukung film nuansa lokal di setiap lokasi shooting film ini.

Lokasi shooting yang berpindah-pindah di beberapa daerah, seperti Konawe Selatan, Pulau Alor, Jogjakarta, Solo dan Jakarta tentunya, juga menjadi tantangan tersendiri. Salah satu kejadian menarik adalah saat tim produksi seharusnya shooting di Pulau Buton, karena alasan non-teknis mendadak harus pindah ke Konawe Selatan di

Sulawesi Tenggara. Sutradara dan seluruh kru sama sekali tidak tahu seperti apa Konawe Selatan pada waktu datang ke sana.

“Kejadian itu cukup membuat pusing, karena skenario yang ada sudah ditulis untuk shooting di Buton, dengan setting yang disesuaikan dengan kondisi alam dan budaya Buton. Nah, berarti perlu mengubah skenario on-the-spot agar sesuai untuk shooting di Konawe Selatan. Untung penulis skenarionya, Swastika Nohara, ikut shooting. Jadi begitu sampai di Konawe Selatan dia bisa langsung membuat beberapa penyesuaian di skenarionya,” jelas Andibachtiar Yusuf.

Menurut Yusuf sesungguhnya film ini menyentuh berbagai aspek dalam sepak bola Indonesia. Misalnya bahwa Indonesia tidak punya pembinaan sepak bola untuk usia muda, dan dalam film tergambarkan dari apa yang terjadi di tahun 2012, waktu Timnas U19 akan dibentuk.

Film Garuda 19 merupakan produksi film ke 14 Mizan Productions. Andibachtiar Yusuf dalam produksi film ini bertindak sebagai Sutradarasekaligus penulis skenario bersama dengan Swastika Nohara. Kemampuan Yusuf dalam menyutradarai film sepakbola tidak lagi diragukan, sebut saja film Hari Ini Pasti Menang, Romeo dan Juliet dan lain-lain.

Film yang akan ditayangkan Oktober 2014 ini, semoga bisa mendapatkan apresiasi dan sambutan luas dari para penonton film di Indonesia dan penggemar sepakbola Indonesia. Mari kita tonton kisah inspiratif karya anak negeri!

Page 14: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

14 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

BEHIND THE SCENE

Catatan Shooting Film GARUDA 19

Saat mendengar kata ‘GARUDA19 apa yang pertama kali terlintas di benakmu?

Kami baru saja menyelesaikan etape pertama shooting film GARUDA19, sebuah sport-drama yang mengisahkan

perjuangan anak-anak muda dari berbagai penjuru Indonesia untuk masuk Timnas U19, serta blusukannya Indra Sjafrie yang meyakini negeri ini terlalu luas untuk tidak dijelajahi guna menemukan bakat-bakat sepak bola tersembunyi. Shooting tahap pertama berakhir hari Minggu kemarin, ditutup dengan adegan tarkam yang panas dan ganas di lapangan Bangunjiwo, Bantul, Jogjakarta. Tentu tak ketinggalkan seorang komentator sepak bola yang sering muncul di TV menjadi cameo sebagai komentator pertandingan ini. Lihatlah fotonya yang pakai peci ini, dan tebak, siapakah komentator yang saya maksud?

Timans Indonesia U19 saat ini memang tengah mencorong

pamornya. Beberapa judul buku telah diterbitkan mengangkat kisah Indra Sjafrie, salah satunya berjudul Semangat Membatu karya FX Rudy Gunawan dan Coach Jarot. Buku inilah cikal bakal ide film GARUDA19 meski cerita film yang skenarionya saya tulis bersama Andibachtiar Yusuf ini sama sekali berbeda dari bukunya. Selain Evan Dimas, coach Indra Sjafri dan para pelatih lain, film ini juga mengulik lebih dalam sisi personal Yabes Roni Malaifani, pemain U19 asal Pulau Alor, NTT. Keputusan ini diambil karena kisahnya unik, seperti yang pernah saya tulis sebelumnya.

Selama dua belas hari shooting di Jogja dan sekitarnya, semesta telah mendukung. Cuaca cerah, malah kadang panas sekali, membuat shooting adegan outdoor berjalan lancar. Aktor senior yang memerankan Coach Indra Sjafrie tidak hanya tampil optimal

SWASTIKA NOHARAmembawakan perannya, tapi juga menularkan kinerja baiknya bagi aktor-aktor muda yang berperan sebagai pesepak bola Timnas U19. Mereka antara lain Yusuf Mahardika, Rendy Ahmad, Gazza Zubizareta. Rendy (sebelumnya main film di Sang Pemimpi, Mestakung dll) mengaku tidak terlalu sulit

Page 15: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

152014 l Edisi 9 l Kinescope l

memerankan Syahrul Kurniawan, karena seperti Syahrul, Rendy juga tumbuh di kota kecil di Belitong, jauh dari hingar-bingar ibu kota. Namun, Rendy melakukan persiapan khusus untuk melatih kekuatan fisiknya dan footwork-nya demi tampil prima dalam adegan bermain sepak bola.

“Shootingnya seru, timnya asik! Aktor-aktor yang udah pengalaman ngangkat yang muda-muda dan masih baru, kombinasinya mantep lha!” kata sutradara Andibachtiar Yusuf (Hari Ini Pasti Menang, The Conductors, Romeo Juliet) setelah selesai mengambil adegan yang paling mengharukan dalam film ini.

Menurut Yusuf tantangan terbesar justru karena shooting berbarengan dengan piala dunia. Yusuf yang biasanya tak pernah melewatkan satu partai pun selama World Cup digelar, kalau hari sudah sore berkali-kali memotivasi timnya dengan kalimat, “Yuk yuk yuk… set-nya udah belum? Australia-Belanda nih!” Maksudnya, jangan sampai shooting-nya ngaret dan mereka ketinggalan nonton pertandingan Australia lawan Belanda jam 23.00 wib. Untung tim artistik pimpinan Rico bekerja cekatan, bersaing ketat dengan camera department dipimpin Gunung. Andu, sang astrada, tak kenal lelah menggalang koordinasi dengan departemen-departemen lain agar shooting berjalan efisien. Memang tak gampang bekerja sama dengan 90-an kru dengan kondisi berpindah tempat berkali-kali sepanjang hari sesuai keperluan adegan. Kadang, sambil menunggu persiapan

pengambilan adegan, aktor dan kru menggeletak di tempat seadanya karena di lokasi di kampung terpencil yang cuma ada pepohonan dan tanah lapang.

Seperti yang sering kami jumpai pada saat shooting, warga berkerumun menonton kegiatan kami, kadang minta foto bareng para aktor di sela-sela pengambilan adegan. Ada dua aktor yang paling laris mendapat ajakan foto bareng. Dengan melihat foto ini, kalian pasti bisa langsung menebak, siapakah aktor laris itu? Dan coba tebak, siapa saja aktor yang memerankan Coach Indra Sjafrie, Coach Guntur, Coach Jarot, Coach Nur Saelan dan Adit sang kit man timnas U19?

Kerja keras di Jogja dan Solo kemarin baru langkah awal. Berikutnya shooting dianjutkan di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara dan Pulau Alor, NTT. Film di bawah bendera Mizan Productions ini akan tayang di bioskop bulan ini.

Page 16: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

16 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Indonesia Tidak Punya Pembinaan Sepakbola

Andibachtiar Yusuf:

REIZA PATTERS

INTERVIEW

Page 17: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

172014 l Edisi 9 l Kinescope l

Apa latar belakang ide pembuatan film ini?

 Pada dasarnya saya merasa perlu mendokumentasikan berbagai kejadian penting di Indonesia. Bangsa indonesia itu punya masalah dengan dokumentasi. Maksud saya, begitu berita bahwa kisah Timnas U19 diangkat ke layar lebar banyak orang berkomentar bahwa tim ini belum layak difilmkan karena prestasinya baru Asia Tenggara. Tapi di Indonesia ini orang mudah lupa, dan sangat kurang dokumentasi. Ini masalah umum.

Misalnya nama-nama yang pernah besar seperti Nanda Telambanua, Nico Tomas, Ellyas Pical bahkan Icuk Sugiarto, atau Nur Fitriana dan Lilis Handayani yang pernah menyabet mendali perak Olimpiade, anak-anak muda jaman sekarang mana ada yang kenal dan tahu prestasi mereka? Jadi harus ada orang yang mendokumentasikan kisah mereka dalam film, baik film fiksi maupun dokumenter. Tujuannya agar 50 tahun lagi orang Indonesia ingat bahwa Timnas sepak bola kita pernah menjadi juara Asia Tenggara meskipung di level junior dan ketika peristiwa itu terjadi, sambutan masyarakat begitu luar biasa.

 Lalu suatu hari tim Mizan menghubungi saya dan menawarkan sebuah project. Waktu itu saya kira Mizan menawarkan membuat film tentang Sudirman karena saya dengar mereka sedang menggarap kisah ini. Ternyata saya diajak kerja sama membuat

film Garuda 19. Tetap saya sambut dengan gembira.

 Kisah Garuda 19 ini ide dasarnya diangkat dari buku Semangat Membatu, meskipun untuk skenarionya kami melakukan banyak sekali pengembangan sehingga berbeda dari bukunya. Cerita Timnas U19 itu potensial menjadi kisah yang menarik, bukan karena ini cerita sepak bola tapi karena ini cerita tentang orang-

orang biasa di pelosok Indonesia yang tidak pernah dilihat oleh orang pusat (Jakarta).

 Apakah ide ceritanya sama dengan novel yang berjudul sama? Kalau beda, di mana letak bedanya?

 Beda, bukunya lebih bercerita tentang Timnas junior setelah mereka menjadi juara AFF dan pasti lolos ke Piala Asia U19. Tapi di filmnya kita bercerita tentang bagaimana tim ini terbentuk, bagaimana Indra Sjafrie mencari mereka, kisah nyata awal perjuangan anak-anak itu dan setelah menjadi tim tentang bagaimana mereka bekerja keras untuk kemudian menjadi juara.

 Bagaimana proses castingnya? Dan apa alasan akhirnya memilih mereka sebagai pemeran-pemeran di film ini?

 Proses casting berjalan sebagaimana biasa. Pemeran coach Indra Sjafrie kami tentukan dengan berdiskusi antara saya, tim Mizan dan penulis skenario, sehingga muncul nama Mathias Muchus. Pemeran coach Jarot, Guntur, Nur Saelan, Eko dan kitman Adit kami casting beberapa nama yang kami rasa sesuai.

 Nah, tantangan muncul ketika casting untuk empat tokoh utama pemain muda di Timnas U19. Sangat sulit menemukan aktor muda Indonesia yang aktingnya bagus dan jago main bola. Setelah melalui proses panjang, termasuk casting anak-anak SSB (Sekolah Sepak Bola), akhirnya kami menemukan nama-nama yang sesuai. Hasilnya terbentuklah ensembel pemain seperti yang akan anda lihat dalam film Garuda 19 sekarang ini. Mereka memiliki kemampuan acting dan skill bermain sepak bola yang sesuai dengan kebutuhan film ini.

 Shootingnya di mana zaja? Ada gak kejadian atau pengalaman menarik selama shooting? Kendala-kendalanya apa zaja?

 Lokasi shooting di Konawe Selatan, Pulau Alor, Jogjakarta, Solo dan Jakarta tentunya. Salah satu kejadian menarik adalah saat kita seharusnya shooting di Pulau Buton, mendadak harus pindah ke Konawe Selatan di Sulawesi Tenggara. Saya dan seluruh kru sama sekali tigak tahu seperti apa Konawe Selatan pada waktu datang ke sana. Padahal skenario sudah ditulis untuk shooting di Buton, dengan setting yang disesuaikan dengan kondisi alam dan budaya Buton. Nah, berarti perlu mengubah skenario agar sesuai untuk shooting di Konawe Selatan. Untung penulis skenarionya, Swastika Nohara, ikut shooting. Jadi begitu sampai di Konawe Selatan dia bisa langsung membuat beberapa penyesuaian di skenarionya.

 Secara teknis tidak ada kendala berarti. Saya shooting bersama tim yang solid dan kita semua bekerja keras bersama. Kendala yang paling terasa adalah saat shooting bersamaan dengan berlangsungnya Piala Dunia. Saya perlu mengatur kerja sama tim dan membuat 90-an orang kru bekerja seefisien mungkin agar shooting selesai tepat waktu sehingga kami semua bisa menonton pertandingan Piala Dunia 2014. Bukan hanya saya, kru dan pemain juga ingin nonton Piala Dunia!

 Apa sih yang target dari pembuatan film ini? Dari sisi komersial maupun dari sisi edukasi?

Saya ingin film Garuda 19 dibicarakan dan ditonton oleh masyarakat Indonesia sebanyak-banyaknya, dari berbagai sudut pandang. Sesungguhnya film ini menyentuh berbagai aspek dalam sepak bola Indonesia. Misalnya bahwa Indonesia tidak punya pembinaan sepak bola untuk usia muda, dan dalam film tergambarkan dari apa yang terjadi di tahun 2012, waktu Timnas U19 mau dibentuk.

Page 18: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

18 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Setelah 4 tahun selepas merilis “Hari Untuk Amanda” pada tahun 2010, sutradara Angga Dwimas Sasongko kini kembali hadir dengan film terbarunya yang berjudul “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku”. Ni Beta Maluku merupakan film pertama dari rangkaian seri Cahaya Dari Timur yang mengangkat kisah-kisah inspiratif dari Indonesia Timur

Aspirasi Lokal, Inspirasi Nasional

CAHAYA DARI TIMUR: BETA MALUKU

Cahaya Dari Timur: Beta Maluku mengangkat kisah nyata dari kehidupan Sani Tawainella (Chicco Jericho) seorang mantan

pemain sepak bola asal Tulehu, Ambon yang sempat mewakili Indonesia pada Piala Pelajar Asia tahun 2016 namun gagal dalam seleksi PSSI Baretti. Kegagalan menjadi pemain sepakbola professional membuatnya pulang kampung dan menjadi tukang ojek untuk menghidupi keluarganya. Pada saat konflik Maluku pecah awal tahun

ROHMAN SULISTIONOREVIEW

2000-an, Sani mengumpulkan anak-anak Tulehu untuk berlatih sepak bola dengan tujuan menghindari anak-anak tersebut dari konflik. Ditengah segala kekurangan serta problematika ekonomi dan keluarga yang dialami Sani, Sani berhasil membangun tim yang menjadi kebanggan Tulehu dengan mampu mewakili Maluku dalam kejuaran Nasional U-15 2006 di Jakarta.

Cahaya Dari Timur: Beta Maluku, sepintas memang film bertemakan sepakbola, namun ditelisik lebih kedalam, film ini mengangkat isu

sosial dan budaya yang terjadi di negeri Maluku. Seperti halnya sisa-sisa konflik Maluku yang secara tidak langsung mempengaruhi psikologi anak Tulehu yang menjadi Rasis terhadap agama lain hingga akhirnya dipersatukan dengan sepakbola. Film ini melampirkan pesan perdamaian antar umat beragama, tidak hanya untuk di Tulehu, tapi untuk semua manusia.

Cahaya Dari Timur: Beta Maluku tidak terperangkap pada kebiasaan film-film sejenis yang pemeran utamanya datang bak pahlawan lalu mengubah nasib beberapa orang dan ditampilkan sempurna tanpa cacat layaknya dewa. Dalam film ini penonton akan disuguhkan sosok Sani Tawainella yang seperti manusia biasa yang sesekali mengalami kegagalan. Penonton akan ikut merasakan kegetiran Sani yang telah sayang terhadap anak-anak didiknya namun terus ditekan oleh himpitan ekonomi dan keluarganya. Sosok Sani tidak terjebak dalam heroisme berlebihan. Penuturan tahap demi tahap perjuangan Sani mengajarkan penonton bahwa siapapun bisa membawa perubahan baik bagi lingkungannya.

Pengalaman adalah guru terbaik, pepatah tersebut tepat disematkan

Page 19: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

192014 l Edisi 9 l Kinescope l

kepada M. Irfan Ramli, scriptwriter dari Cahaya Dari Timur. Merasakan sendiri masa-masa konflik Maluku membuat naskah skenario yang dibuat bersama Swastika Nohara begitu dekat dengan kejadian nyata serta setting tempatnya. Detail-detail adegan seperti kebiasaan-kebiasaan orang Tulehu serta logat aslinya terasa sepanjang film. Yang paling terasa adalah sepanjang film hampir mayoritas menggunakan bahasa Melayu Tulehu asli beserta logat khasnya. Tentu saja hal ini merupakan nilai plus untuk film ini. Lebih baik menggunakan bahasa asli dan menggunakan subtitle agar terasa lebih natural dibanding harus meninggalkan bahasa setting tempatnya dengan menggunakan bahasa Indonesia agar (niatnya) menambah nilai komersial yang malah menurunkan kualitas dari film tersebut.

Penampilan seluruh pemain dalam film ini patut diberikan apresiasi baik. Baik artis ibukota yang diboyong dari Jakarta sampai “Rising Star” anak-anak asli Maluku melakukan penampilan yang baik sehingga terasa seperti orang Tulehu sesungguhnya. Penampilan Chicco Jericho sebagai Sani Tawainella mampu menarik perhatian penonton. Lupakan Chicco yang selalu terlihat mulus dan selalu bersih dengan pakaian necis wara-wiri di televisi, melalui debut pertamanya didunia film, Chicco mampu menunjukan bahwa dia memang aktor yang layak untuk bermain film. Penonton tidak akan merasa melihat Chicco, namun Sani. Chicco mampu memberikan kenangan manis didebut nya didunia film. Penampilan pemain lain seperti Shafira Umn, Jajang C. Noer, Glenn

Fredly, Serta Ridho “Slank” semuanya bermain baik sesuai dengan posisinya. Terlebih Ridho “Slank” yang aktingnya mampu diatas rata-rata, aktingnya sama baiknya seperti saat sedang bermain gitar di Slank, terasa hidup dan menjiwai. Dan jangan lupakan penampilan anak-anak asli Maluku yang mampu mencuri perhatian dalam debut mereka. Berpenampilan baik sebagai anak-anak Tulehu dengan tidak merasa minder dengan actor-aktor senior yang beradu acting dengan mereka.

Melalui Cahaya Dari Timur, Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara menjadikan sebagai batu loncatan ke level baru dalam pengalaman berkaryanya. Apabila dalam “Hari Untuk Amanda” hanya men-direct dengan cast yang tak begitu banyak, dalam film ini Angga harus menangani film yang lebih besar dan tentu saja lebih complex. Menangani film ini sebagai sutradara dan produser tentu saja membuat Angga harus menangani film ini dari A sampai Z sehingga film ini lebih emosional untuknya. Hasilnya, sebuah sajian yang terasa

sepenuhnya dari hati untuk para penonton. Sinematografi yang patut diacungi jempol terutama moment-moment penting saat pertandingan sepak bola yang begitu menarik dan begitu dramatisir. Serta tak lupa untuk meng-capture pemandangan indah Tulehu. Apabila “Laskar Pelangi” mampu mempromosikan Belitong dan “5cm” dengan Mahameru-nya, Cahaya dari Timur mampu menampilkan pesona Tulehu dengan bauk. Terutama Pantai-nya yang bersih dan begitu biru.

Secara keseluruhan, Cahaya Dari Timur merupakan tontonan bergizi bagi masyarakat Indonesia yang selama ini “terpaksa” disuguhkan oleh film dengan muatan “polusi”. Memberikan kisah inspiratif yang dengan membumi serta didukung dengan sisi teknis seperti directing, penampilan para cast, serta cerita yang mumpuni membuat Cahay Dari Timur seperti film dengan komposisi yang hampir sempurna. Tidak melebihkan, namun saat menonton film ini banyak moment yang begitu menggetarkan bahkan membuat campur aduk perasaan. Tak percaya? Rasakan moment-moment akhir dalam film ini. Bisa saya katakan bahwa moment terakhir dalam film ini adalah salah satu moment terakhir terbaik selama saya menonton film dibioskop. Film yang begitu berkesan dan inspiratif. Dengan harga tiket bioskop yang dibeli penonton mendapat tontonan menghibur sekaligus inspiratif. Menandakan awal dari seri Cahay Dari Timur, sangat diharapkan agar seri selanjutnya memiliki kualitas yang sama atau bahkan lebih baik. Indonesia butuh film seperti ini, yang memiliki muatan Edukatif.

Page 20: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

20 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Realitas kehidupan dunia politik sebuah bangsa memang penuh liku-liku. Dari mulai hal-hal baik yang bermanfaat untuk banyak orang, hingga hal-hal pribadi yang seringkali menghubungan antara politik, uang dan urusan ranjang. Ide ini

diangkat oleh Lola Amaria dalam film Negeri Tanpa Telinga.

REVIEW

Film ini menceritakan kisah seorang bapak bernama Naga (T. Rifnu Wikana) yang berprofesi sebagai pemijat

refleksi panggilan. Kehebatannya dalam menyembuhkan penyakit dengan pijat refleksi membuatnya banyak memiliki klien dari berbagai kalangan. Mulai dari artis, para petinggi partai politik, pemerintahan hingga kelompok jurnalis.

Sebagai tukang pijat ia seringkali menjadi pendengar semua perbincangan orang-orang penting itu. Bahkan tidak sedikit yang memang sengaja mengajak Naga berdiskusi sambil dipijat. Tanpa diminta, ia mendengarkan bagaimana Partai Martobat yang dipimpin oleh

Piton Wangsalaba (Ray Sahetapy) berusaha mengumpulkan dana untuk konvensi. Caranya adalah dengan menggolkan proyek wisma Khayangan. Ia juga tahu persis peran Mentri Joko Ringkik (Rukman Rosardi), Marmood (Tanta Ginting)sang bendahara partai, dan Tikis Queenta (Kelly Tandiono) anggota legislatif sang pelobi ulung. Sejumlah kader petinggi partai itu memang pasien Pak Naga.

Sementara itu di sisi lain Partai Amal Syurga yang dipimpin Ustad Etawa (Lukman Sardi) sedang mengatur tender Impor Daging Domba. Naga mendengar dengan jelas ketika memijat kader-kader partai ini, bagaimana simbol-simbol keagamaan digunakan

sebagai kedok memperkaya diri sendiri. Tak hanya soal uang, Naga pun jadi saksi ketika transaksi urusan ranjang dilakukan oleh para penguasa tersebut. Ia bahkan memijat Tikis Queenta yang kelelahan setelah melakukan “lobi-lobi” dengan sejumlah rekan anggota dewannya.

Dengan plot tersebut, kita dengan mudah menangkap apa gerangan yang ingin digambarkan dalam film tersebut. Film yang skenarionya ditulis oleh Indra Tranggono dan Lola Amaria ini memang sengaja memotret realitas kehidupan politik kontemporer di Indonesia. Mereka membawanya secara satir untuk menyindir dan

Komedi Satir Yang Terantisipasi Namun

Sarat Nilai

Page 21: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

212014 l Edisi 9 l Kinescope l

memvisualisasikannya dalam adegan-adegan film ini.

“Ide cerita ini saya dapatkan karena selama 5 tahun ke belakang media begitu gamblang menceritakan soal skandal-skandal korupsi dan politik di negeri ini. Bahkan sidangnya pun disiarkan secara langsung,” ujar Lola Amaria yang juga berperan sebagai sutradara.

Agak disayangkan bahwa film ini digulirkan dalam plot genre komedi. Dengan dengan tipenya yang satir, sulit untuk bisa menjadikan film ini menjadi sebuah tontonan komedia yang bisa membuat kita tertawa dan melupakan sejenak beban hidup dan malah justru membuat dahi berkerut walaupun mungkin masih bisa tertawa kecil, di dalam hati atau hanya sekedar tersenyum.

Aline Jusira yang menjadi editor di film ini pun mengakui kesulitan mempertahankan komedi ini. “Plot aslinya peran Ustad Etawa sudah selesai di 20 menit awal. Namun jika plot dibiarkan seperti itu, film ini akan menjadi membosankan. Karena itu plot cerita kita bongkar ulang untuk memperpanjang kehadiran Etawa yang terbukti lucu,” papar Aline.

Pembelokan premis yang tak terantisipasi penonton adalah hal penting untuk membangun sebuah alur komedi. Semakin jauh sebuah hasil akhir (punch line) dengan premis akan makin tercipta kelucuannya. Dan dalam film ini memang sudah berusaha dibangun punchline yang baik, seperti contoh dialog seorang kader partai Amal Surga pada pimpinan partainya, “Saya sudah ikhtiar dan tawakal

Ustad, supaya korupsi kita tidak ketahuan.”

Persoalannya, hal inipun sudah terantisipasi oleh penonton, karena film Negeri Tanpa Telinga memang mengambil ide satir dari kasus-kasus yang sudah sering kita simak pemberitaannya di televisi. Meski Lola Amaria dan Indra Tranggono mengaku telah lepas dari fakta dan mencoba membuat realitas baru, tetap saja hal ini dengan mudah dicerna oleh penonton dan mengasosiasikannya dengan tokoh yang ada di dunia nyata sehari-hari. Ini mugkin sebab yang menjadikan hanya sedikitnya terdapat kejutan untuk membuat penonton tertawa karena jalannya scene sudah terantisipasi.

Namun begitu, patut diakui bahwa film ini telah berusaha dengan berani memotret kisah-kisah buruk negeri ini secara gamblang. Aksi-aksi pemerannya yang diatas rata-rata juga bisa membuat nilai tambah. Film yang menampilkan Gery Iskak sebagai sosok paling vokal dalam pemberantasan korupsi,

Lukman Sardi sebagai seorang ustad dan Kelly Tandiono sebagai pelobi ulung yang tidak kenal halal dan haram. Hadir juga Ray Sahetapy, Tanta Ginting, dan Jenny Zhang yang punya peran tidak kalah menarik.

Salah satu adegan yang layak diperhatikan adalah antara Ray Sahetapy dan Jenny Zhang yang dilakukan dalam mobil. Adegan ini terasa begitu natural dan menguras emosi. Bahkan sebagai pemeran Ray juga mengaku melatih adegan ini berkali-kali. Kemudian jangan lepaskan mata dari tokoh Tikis Queenta sang pelobi ulung. Killer body-nya Kelly Tandiono yang memerankan tokoh ini dijamin bikin meleleh. Di awal ia sudah tampil dengan perut rata cenderung sixpack-nya sambil olah raga lari. Di beberapa adegan ia muncul hanya mengenakan pakaian dalam seksi two pieces warna merah. Dan tercatat sekurangnya ia beradengan cinta dengan tiga laki-laki berbeda di film ini.

Sayang sekali, setelah film ini rilis, terdengar kabar bahwa Lola Amaria harus mendapatkan teror. Penyebabnya tak lain adalah karena alur cerita film ini yang mengangkat banyak skandal di kehidupan politik elit Republik Indonesia. Mulai dari cerita seks, kisah para pelobi yang menghalalkan banyak cara sampai koruptor yang divisualisasikan lewat akting di film ini. Semoga film ini bisa terdokumentasikan dengan baik dan bisa menjadi pelajaran bagi generasi penerus tentang satu masa gelap kehidupan politik elit di negeri ini.

Page 22: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

22 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

“Teman-teman, hari ini aku ingin bercerita tentang tempat tinggalku, sebuah pasar kecil ditengah kota Jakarta.Aku mau bercerita tentang sajadah dan telur ayam sahabatku”. - Rindu

ROHMAN SULISTIONO

REVIEW

Masih ingatkah dengan sesosok gadis kecil yang selalu menghalau setiap orang untuk

mengisi sejadah kosong di samping kanannya untuk memberi ruang kepada ibunya yang entah kemana bernama Asih (Putri Mulia)? Lalu ada Bimo (Sakurta Ginting), adik dari seorang penjual telur yang “terobsesi” dengan wanita cantik yang tinggal di dekat rumahnya. Dan Rindu (Raisha Pramesi) gadis kecil Tunarungu yang selalu menggambar masjid tanpa kubah. Melalui ketiga anak inilah, penonton dibawa ke dalam karya ketujuh dari sutradara Garin Nugroho,

Rindu Kami Padamu. Karya yang mempesona dan penuh inspirasi.

Rindu Kami Padamu memvisualisasikan sebuah interaksi sosial di pasar tradisional secara apa adanya dan natural. Mengangkat kisah hidup rakyat kelas bawah yang “terkurung” dalam sebuah tempat mencari nafkah dengan treatment yang sederhana dan terasa membumi. Film ini mencoba menggambarkan situasi serta kehidupan masyarakat pasar tradisional di mana mereka tinggal dan bekerja di dalamnya dengan beberapa polemik yang menyertai, yang digambarkan dengan fokus persoalan yang

dialami oleh tiga tokoh anak di dalamnya.

Penggambaran situasi pasar oleh Garin Nugroho terlihat begitu nyata dan penuh detail. Penggunaan kamera statis namun mampu menangkap kerumunan serta kesibukan pasar tradisional dapat tertangkap dengan baik dan sederhana. Detil-detil kehidupan para karakter di pasar juga mampu disuguhkan dengan baik seperti proses pengecapan telor, anak-anak pengajian yang mengaji di Musholla, permainan badminton seadanya, serta anak-anak yang bermain di tengah hiruk pikuk pasar. Garin terlihat ingin menggambarkan

Potret Interaksi Sosial RINDU KAMI PADAMU:

Page 23: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

232014 l Edisi 9 l Kinescope l

suasana pasar tradisional secara menyeluruh dan mendalam sehingga tidak hanya apa yang tampak di permukaannya saja. Dan hasilnya bisa dibilang Garin dengan piawai mampu menggunakan setting utama pada film ini dengan baik dan memberi sudut pandang lain kepada

penonton terhadap pasar tradisional. Penampilan tiga tokoh sentral

yang ketiganya merupakan anak kecil, mampu menghasilkan karakter yang cukup kuat dalam Rindu Kami Padamu. Ketiganya (Asih, Bimo, dan Rindu) mampu memainkan karakternya masing-masing dengan apik dan terlihat natural, polos, dan jujur khas anak-anak. Namun yang paling menonjol tentu penampilan Sakurta Ginting sebagai Bimo. Penampilan “Kipli” (peran populer Sakurta Ginting dalam seri Kiamat Sudah Dekat) sungguh menawan dan mencuri perhatian sejak film dimulai. Mampu menampilkan karakter bocah yang haus kasih sayang ibu serta “terobsesi” akan gadis cantik yang tinggal dekat rumahnya yang membuatnya menjadi posesif. Penampilan perdana Sakurta Ginting dalam film ini merupakan awal yang sangat baik dan membawanya cukup laris mondar mandir di televisi, baik sebagai bintang iklan atau aktor serial televisi Indonesia.

Penampilan menawan juga ditampilkan oleh dua aktor senior,

Didi Petet dan Jaja Miharja. Menjadi duo “penghuni musholla”, mereka menunjukkan kelasnya dalam memerankan tokoh Bagja dan Sabeni. Bagja, seorang ustad yang menghabiskan kehidupannya untuk memakmurkan musholla sederhana tak berkubah di tengah pasar,

dengan mengajar mengaji anak-anak yang tinggal di pasar. Karakter Bagja tidak terjebak kedalam sosok Ustad yang selalu benar dan sebagai solusi setiap masalah dan digambarkan secara manusiawi namun namun tetap idealis.

Begitupun dengan Sabeni, ayah dari Asih yang merupakan “Soulmate” dari Bagja yang dibawakan begitu natural dan bersahabat oleh Jaja Miharja. Pola tingkahnya menjadi “penyegar” dalam film ini. Apabila Bimo terobsesi dengan gadis cantik, Sabeni juga terobsesi, namun dengan mikrofon dan pengeras suara musholla.

Setiap momen dalam Rindu Kami Padamu diiringi ilustrasi musik yang tak kalah menggugah dari filmnya. Musisi Dwiki Dharmawan mampu meracik nada demi nada yang mendampingi setiap adegan dalam film ini sehingga Rindu Kami Padamu terasa begitu syahdu namun tetap membumi dan sederhana. Lagu Rindu Rasul yang dibawakan Bimbo terasa menggetarkan Hati. Beberapa Scene

yang diiringi lagu ini begitu menggugah dan membuat pesan yang ingin disampaikan melalui Rindu Kami Padamu semakin menguat. Wajar apabila ilustrasi musik dalam Rindu Kami Padamu mendapat Musik Terpuji pada Festival Film Bandung 2005.

Melalui film yang mendapat penghargaan Best Film Cinefan – Festival of Asian and Arab Cinema pada tahun 2005, Garin Nugroho mampu memadukan kisah kehidupan di pasar tradisional yang terlihat natural dan apa adanya dengan interaksi dan pendekatan yang terasa intim dibalut dengan ilustrasi musik yang menawan dan penampilan para karakter dalam film ini yang memikat. Hasilnya, sebuah

tontonan yang menarik dengan cerita yang mendalam. Bisa dibilang Rindu Kami Padamu merupakan film Garin Nugroho lebih mudah dicerna penonton dibanding film beliau yang lain. Sebuah persembahan yang cukup megah yang ditawarkan dengan berbagai kesederhanaan.

Page 24: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

24 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Film Dokumenter Yang Ketu7uh, karya WatchDoc, sebuah lembaga kreatif yang mengkhususkan diri pada pembuatan film-film dokumenter, adalah sebuah film yang berusaha memvisualisasikan eforia politik di Indonesia dalam pemilihan umum yang digelar pada tahun 2014 ini. Film ini mendokumentasikan proses pemilihan umum dan bentuk kontradiksinya dengan situasi dan kondisi rakyat Indonesia kebanyakan.

Yang Ketu7uhPotret Kontradiksi Ironis Negeri

Film dimulai dengan dokumentasi kedatangan Soekarno dari Jogja setelah penyerahan kedaulatan 29 Desember

1949 di Jakarta, yang disambut oleh ribuan rakyat yang terlihat sangat mencintainya. Saat itu, Soekarno sekaligus memindahkan kembali Ibukota Negara ke Jakarta dan untuk pertamakalinya Presiden menggunakan Rijwick sebagai Istana Negara. Potongan dokumentasi ini terlihat seperti ingin membandingkan Soekarno

dengan calon-calon pemimpin yang sedang bertarung dalam pemilihan umum pada potongan-potongan dokumentasi yang terjahit selanjutnya dalam film tersebut.

Kemudian film berlanjut dengan penggambaran tentang proses politik pemilihan umum dari tahun 2009, di mana saat itu, Prabowo Subianto justru berpasangan dengan Megawati, Calon Presiden dari PDIP. Sedangkan pada tahun 2014 ini, kita tahu bahwa Prabowo maju menjadi calon Presiden berhadapan dengan Joko Widodo,

calon Presiden dari PDIP, partai politik yang dipimpin oleh Megawati. Penggambaran ini seolah ingin mengingatkan pada publik bahwa dalam politik, para pelakunya tidak selamanya berada dalam satu barisan yang sama.

Dokumentasi dari kedua kubu calon Presiden yang bertarungjuga tersaji dengan apik, seperti saat Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK mengambil nomor urut di KPU. Kemudian dilanjutkan dengan pidato capres nomor urut 1, Prabowo Subianto yang disambut

REIZA PATTERS

REVIEW

24 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 25: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

252014 l Edisi 9 l Kinescope l

dengan penuh semangat oleh para pendukungnya. Kemudian, mendokumentasikan konser ‘Salam 2 Jari ‘yang diikuti ribuan pendukung Jokowi-JK di Gelora Bung Karno. Momen pencoblosan pilpres yang dilakukan pada 9 Juli 2014 hingga pengumuman KPU pada 22 Juli 2014 juga tersaji apik di film dokumenter Yang Ketujuh ini. Hingga kemudian pidato kemenangan presiden Joko Widodo (Jokowi) yang didampingi Jusuf Kalla (JK) di atas kapal pinisi, di pelabuhan Sunda Kelapa.

Lalu gambar demi gambar berjalan dengan tampilan kontradiktif dan penuh ironis di dalamnya. Bagaimana peggambaran tentang gegap gempita, kemewahan dalam kegiatan politik di tingkat elit, dengan situasi, kondisi dan keadaan yang lebih nyata di tingkat

rakyat bawah. Misalnya ada adegan dokumentasi kampanye capres, di mana menampilkan Rhoma Irama dan Titik Soeharto yang menyanyikan lagu “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” ini seolah memberikan ironi bahwa yang menyanyikan iu adalah orang yang lebih dari separuh umur hidupnya berada di tengah situasi bergelimang harta dan pusaran kekuasaan. Ini ironi yang sangat nyata ditampilkan dalam film tersebut.

Yang Ketu7uh bukan melulu bercerita soal capres atau relawannya, melainkan tentang empat profil pemilih pada momen Pemilu 2014 lalu. Seperti layaknya konsep statistik, mereka menjadi sampling dari tiga kelompok di masyarakat, yakni urban, sub urban dan rural. Pun dengan faktor

domisilinya, ada tukang ojek dan kuli bangunan di ibukota, buruh cuci di Tangerang Selatan, serta petani penggarap di Indramayu. Bagaimana pergulatan hidup mereka sehari-hari dikupas lebih dalam. Di sini mereka berkisah seputar isu-isu yang fundamental di masyarakat.Tampilan kontrakdisi ironis dalam keriuhan dan kemewahan kampanye partai-partai politik beserta elit-elitnya versus kehidupan berat rakyat dan kekumuhan, menjadikan film ini menarik untuk diperbincangkan.

Namun, adegan demi adegan yang terkesan berulang, karena tidak ditampilkan secara utuh melainkan ditampilkan secara bergantian, sedikit menghilangkan sisi emosional atas situasi kontradiktif yang ada di dalam film tersebut dan membuat kita tidak merasakan titik klimaks dari film itu.

252014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 26: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

26 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Ya mungkin karena itu film dokumenter yang ber sekitar 1 jam 15 menit. Namun bagaimanapun, sebuah film yang memiliki pesan tertentu sebaiknya ditampilkan dengan tetap memperhitungkan sisi emosional penonton agar pesan tersebut dpat terinternalisasikan dengan baik di benak penontonnya.

Dan yang paling penting, jangan terkecoh dengan judulnya yang terkesan dramatis. Judul itu hanya menguatkan isi film saja bahwa pemilihan umum 2014 yang bermuara pada pemilihan Presiden itu adalah untuk memilih Presiden Republik Indonesia yang ke 7. Dan pesan bahwa siapapun yang menjadi Presiden Yang Ketu7uh, akan menghadapi tantangan dari situasi dan kondisi kehidupan rakyat yang cukup berat, yang memang tergambarkan cukup baik dalam dokumentasi 17 videografer yang

terlibat dalam pembuatan film tersebut.

Dan yang bisa direnungkan setelah menonton film ini adalah dialog berbentuk diskusi di sebuah gubuk di tengah sawah yang dilakukan oleh 4 orang petani. Dialog dan body language dari orang-orang dalam adegan tersebut seperti penyimpulan dari keseluruhan film ini, yaitu tentang perbedaan pemahaman dan keberpihakan politik, kedewasaan untuk menerima kemenangan dan kekalahan politik, ketidakpedulian rakyat bawah atas gegap gempita pemilu yang dirasakan tidak berpengaruh apa-apa pada kehidupan mereka sehari-hari. Ya, secara keseluruhan film ini memberikan gambaran tentang kompetisi perebutan kekuasaan, situasi kehidupan rakyat yang semakin hari semakin berat dan

harapan atas kualitas hidup yang lebih baik. Jadi, tonton film versi boskopnya yang akan rilis tanggal 18 September 2014 ini dan siap-siap berkerut dahi dan banyak tersenyum menyaksikan sedikit dari ironi bangsa ini.

APA KATA MEREKAProduser Yang Ketu7uh, Hellena

Yoranita Souisa, menerangkan bahwa pandangan orang biasa lebih penting dibanding pandangan para anggota tim sukses yang dijejalkan ke khalayak selama ini. Pemilu terlihat berbeda dari sisi orang-orang yang umumnya tinggal di wilayah pinggiran. Misalnya, pemilu itu ternyata tidak “rusuh”, tidak “hiruk-pikuk”, seperti yang dibayangkan orang selama ini. Mereka yang tampil dalam Ketu7uh dipilih secara acak dan tersebar di berbagai wilayah, mulai Indramayu,

Page 27: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

272014 l Edisi 9 l Kinescope l

Tangerang, Jakarta, Ende, hingga Samarinda. Karena tokoh-tokoh utama dokumenter ini berasal dari berbagai wilayah.

Menurut Dandhy Laksono, Sutradara film ini, tokoh dalam filmnya dipilih dengan basis riset atas masalah (issue driven). “Kami memilih 3 isu fundamental yang ada di masyarakat: masalah domestik (harga sembako), pekerjaan/pengangguran, dan kepemilikan tanah serta ketahanan pangan,” ujar Dhandy.

Dandhy sendiri dikenal sebagai sutradara film dokumenter yang kerap mengambil tema sosial, politik dan hak asasi manusia. Salah satu film terakhirnya adalah “Kiri Hijau Kanan Merah” yang mengangkat soal sosok Munir serta “Alkinemokiye” yang bercerita soal kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada karyawan

Freeport pada 2012.Andhy Panca Kurniawan, Direktur

Watchdoc menyebutkan bahwa mereka memang ingin memotret bagaimana antusiasme masyarakat dalam menyikapi pemilu sebagai salah satu aspek dalam mengubah kehidupan mereka sehari-hari. Pemilihan wajah-wajah rakyat kecil yang mereka dokumentasikan, yang kontras dengan segala gegap-gempita dan kemeriahan pemilu adalah sarana untuk menunjukkan realitas ini dan sekaligus sebagai pendidikan politik bagi masyarakat.

“Ini berawal dari gagasan kami untuk menyederhanakan sesuatu yang kelihatannya sangat susah, sangat tinggi, dan mahal,” ujar pria yang akrab dipanggil Panca ini. “Kita ingin merekam anomali ini, rasa sakit yang mendera masyarakat setiap hari. Supaya masyarakat tahu ini loh siklusnya. Film ini juga sebagai booster, yang mendorong dan mengingatkan pemerintah supaya lebih fokus memperhatikan rakyat. Yang mana itu adalah janji dari kedua capres,” pungkas Panca.

Farid Gaban, wartawan senior yang juga hadir dalam acara pemutaran film “Yang Ketujuh” ini juga sangat mengapresiasi film tersebut.

“Film ini bagus pertama karena merupakan karya dokumentasi dari beberapa videografer. Ini menunjukkan sudut pandang yang lebih beragam. Yang kedua, dari sisi konten memperlihatkan dinamika dari pemilu. Tak sekadar fokus memotret soal kampanye, tapi beberapa juga men-shoot wajah rakyat kebanyakan,” ujar Farid.

Menurut Farid, film yang tidak mainstream namun bersentuhan langsung dan menampakkan potret masyarakat, justru merupakan film yang paling dibutuhkan masyarakat.

“Film seperti ini bagus untuk pendidikan politik bagi masyarakat. Titik pentingnya di situ. Menurut saya ini harus diperbanyak. Ini baru

eksperimen dari Katadata dan Watchdoc. Apalagi sekarang banyak orang yang bisa bikin video. Bikin tema-tema lebih beragam tentang pertanian, perburuhan, transportasi dan layanan publik lain yang sebenarnya sangat berhubungan erat dengan politik tapi kurang diliput oleh wartawan,” ujar Farid Gaban.

Ade Wahyudi, Managing Director Kata data pun mengakui film-film dokumentasi publik yang memotret kehidupan masyarakat kecil merupakan hadiah untuk masyarakat atas terselenggaranya pemilu yang berlangsung damai.

“Film ini ingin menyampaikan bahwa ada masyarakat yang jauh dari sorotan media. Mereka bukan aktivis atau tim sukses. Tapi mereka antusias sekali ikut pemilu. Kita coba melihat pemilu dari kacamata mereka,” terang Ade yang berharap agar pemerintahan mendatang tidak

mengkhianati harapan

rakyat ini.

Farid Gaban

Page 28: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

28 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

REVIEW

VITAMORGANA & KARINA

Upaya Mengembalikan Masa Lalu

RUROUNI KENSHIN: KYOTO INFERNO

Kenshin didekati oleh pemerintah untuk menghentikan kelompok pemberontak yang ingin

merebut kendali negara. Kelompok pemberontak tersebut dipimpin oleh salah satu rekan sang pembantai Batosai Himura bernama Shishio Makoto. Batosai Himura adalah masa lalu Kenshin sebelum ia memutuskan untuk menjadi pengembara dan

tidak ingin membunuh lagi.Shishio menaruh dendam

pada pemerintah Meiji kerena dianggap pernah mengkhianatinya dan membakarnya hidup-hidup. Kenshin diminta oleh Menteri Okubo untuk melawan Shishio. Untuk itu, Kenshin diminta untuk melakukan perjalanan

Melanjutkan cerita dari film live action pertamanya yaitu Rurouni Kenshin: Meiji Kenkaku Roman Tan, di sekuel kedua ini bercerita tentang Pemerintahan Jepang yang meminta bantuan dari sang pengembara (Rurouni) Kenshin yang sekarang menjadi penghuni tetap dojo Kamiya.

Page 29: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

292014 l Edisi 9 l Kinescope l

ke Kyoto yang merupakan inti dari era Bakumatsu berdarah dan menghentikan Shishio serta para pengikutnya. Permintaan tersebut bertentangan dengan keinginan Kenshin untuk tidak membunuh lagi secara langsung. Namun demi menyelamatkan Negerinya serta orang-orang tercintanya, akankah Kenshin menghapuskan keinginan tersebut dan bersedian melawan Shishio yang merupakan musuh yang memiliki ketangguhan sama dengannya?

Sutradara Keishi Otomo dan koreografer Kenji Tanigaki berusaha memaksimalkan film ini dengan adegan pertarungan yang apik, diiringi pula dengan musik latar yang terdengar pas dan tidak berlebihan. Selain menampilkan action yang memukau, kisah drama percintaan juga mewarnai film

ini serta konflik-konflik menarik yang terjadi sepanjang 139 menit. Gimmick tersebut membuat film ini tak terasa membosankan penonton untuk mengikuti alur cerita film ini. Penonton tak hanya dibuat tegang dengan pertarungan, namun juga bisa merasakan manisnya romantisme bahkan sesekali menertawakan tingkah polah lucu para pemain di film yang diangkat dari Anime Samurai X ini.

Didukung para pemain berwajah tampan dan cantik yang menampilkan akting yang memukau, nenambah gereget dan menambah gimmick tersendiri bagi para penonton. Film ini tak hanya bisa dinikmati oleh para pecinta anime saja, karena film ini menyajikan kisah menarik yang akan mengantarkan rasa penasaran penonton untuk menantikan kelanjutan kisah film ini.

292014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 30: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

30 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

FESTIVAL

Tong Tong Fair kembali digelar di Belanda

Festival Eurasia terbesar di dunia

RIAN SAMIN

Yang menarik pada tahun ini, menginjak usianya yang ke 56, festival yang selalu dihelat di lapangan

Malieveld, Den Haag ini menggelar diskusi dan pemutaran fragmen film Indonesia di Tong Tong Teater. Pemutaran tersebut dilaksanakan pada 6, 8, dan 9 Juni 2014. Satu di antara film yang diputar adalah Soegija, pemeran utama wanita film tersebut, Annisa Hertami hadir sebagai perwakilan. Pada diskusi dan tanya jawab setelah pemutaran fragmen, Annisa mengungkapkan bahwa betapapun pada masa lalu hubungan Belanda dan Indonesia

Page 31: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

312014 l Edisi 9 l Kinescope l

Hingga 9 Juni 2014 kemarin, festival ini sudah diselenggarakan sejak tahun 1959 di kota Den Haag. Di sanalah berbagai pekerja seni, penulis, dosen hingga juru masak baik dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, Kamboja, Srilanka dan Amerika berkumpul untuk berpartisipasi dalam acara ini. Pengunjung dapat nenikmati pertunjukan musik, tari, seni, workshop hingga aneka panganan khas negara-negara partisipan.

tidak baik, namun kita semua harus belajar dari sejarah, entah itu baik maupun buruk untuk menjadi lebih baik lagi.

Annisa juga mengemukakan bahwa keterlibatannya dalam film ini juga sebagai perayaan terhadap multikulturalisme yang ada di Indonesia. Di sela sela diskusi, pemeran Mariyem ini memberikan kejutan dengan menyanyikan sebuah lagu yang ada dalam film tersebut yaitu ‘Ajoen Ajoen’, spontan para penonton yang memiliki nostalgia terhadap lagu tersebut ikut bernyanyi bersamanya.

 Pada 8 Juni 2014, film Laura

Marsha yang diwakili oleh produser film Leni Lolang dan sutradara film tersebut Dina Jasanti diputar pada pukul 19.00. Film ini juga mengambil salah satu lokasi di Belanda, yaitu kota Amsterdam. Yang terakhir, sekaligus bersamaan dengan penutupan Tong Tong Fair pada 9 Juni 2014, diputar fragmen film Ainun Habibie dan dilanjutkan dengan diskusi serta tanya jawab

oleh supporting talent film tersebut, Vita Mariana Barazza.

Sebelumnya pada penyelenggaraan ke 55 tahun 2013 lalu juga diputar satu film Indonesia yang disutradarai Ifa Isfansyah. Pada pemutaran Film Sang Penari ini juga mendatangkan penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari yang menjadi inspirasi film ini.

Page 32: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

32 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Sebanyak 140 karya mini print dari 72 seniman yang berasal dari 23 negara dipamerkan di Museum Bank Indonesia, Jl. Panembahan Senopati 2, Yogyakarta. Pameran The 1st Jogja Miniprint Biennale (JMB) 2014 yang berlangsung 6 – 13 Juni ini dibuka dengan demo intaglio I oleh pegrafis Yogyakarta.

The 1st Jogja Miniprint Biennale (JMB) 2014

Selain itu pada malam pembukaan tersebut juga diumumkan tiga karya terbaik pemenang JMB

Award 2014, dan Special Perfor-mance Ade Aryana Uli Pandjaitan. Negara yang berpartisipasi dalam pameran ini adalah Indonesia, Ar-gentina, Australia, Belgia, Bulgaria, Brazilia, Estonia, Finlandia, Hun-garia, India, Italia, Inggris, Irlandia, Jepang, Kanada, Montenegro, Malaysia, Norwegia, Perancis, Po-

landia, Serbia, Turki dan Ukraina.Jogja Miniprint Biennale (JMB)

yang pertama ini digelar untuk menyebarluaskan seni cetak grafis ke tengah masyarakat, dan upaya meningkatkan mutu sajiannya. Menurut Syahrizal Pahlevi selaku penggagas JMB, even adalah bagian dari beberapa program yang telah, dan sedang jalankan selain workshop, program ‘mini residensi’ yang baru dimulai awal tahun ini, dan berbagai kegiatan

propaganda dan rencana pameran. Sebelum even ini, pada 2013 lalu telah digelar Jogja International Mini Print Festival (JIMPF) yang diikuti 167 peserta dan 460 karya.

Syahrizal menjelaskan bahwa sudah sejak lama pihaknya menyimpan hasrat agar Yogyakarta memiliki sebuah even seni cetak grafis berkala setiap 2 atau 3 tahun sekali. Even tersebut selain berfungsi sebagai pertemuan karya-karya bermutu, sekaligus juga sebagai ajang pergaulan  para pegrafis dari berbagai belahan dunia- tengah terbentang saat ini. 

Minimnya infrastruktur, seretnya dukungan di dalam negeri seba-gaimana banyak dikeluhkan oleh pegrafis. Hal ini menurut pengelo-la Teras Print Studio, Yogyakarta ini membuat even semacam JMB menjadi sebuah keharusan untuk diselenggarakan secara rutin agar para pegrafis tumbuh rasa per-caya dirinya dan tetap bergairah berkarya.

Sebelumnya, peserta pameran ini dijaring lewat pendaftaran terbuka kepada seniman Indonesia dan luar negeri yang dilakukan sejak 1 Januari  hingga 20 April lalu. Awalnya tercatat ada 169 calon peserta dari 27 negara yang mengikuti seleksi, namun dalam perjalanannya ada peserta yang mundur, tidak memberi kabar, dan terlambat mengirim karya.

Karya-karya yang datang

RIAN SAMIN

FESTIVAL

Page 33: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

332014 l Edisi 9 l Kinescope l

tepat waktu kemudian diseleksi ada 142 seniman dengan jumlah sebanyak 465 karya. Pada tanggal 26 April 2014 bertempat di Kedai Kebun Forum, Jalan Tirtodipuran 3 Yogyakarta, Indonesia, dewan juri yang terdiri dari Hendro Wiyanto (ketua), Devy Ferdianto (anggota) dan Agung Kurniawan (anggota) telah menyeleksi 140 karya dari 72 seniman berasal dari 23 negara untuk mengikuti pameran JMB 2014.

Selain digelar di gedung Heritage Museum Bank Indonesia, pameran ini akan dilanjutkan di Mien Gallery, Jl Cendana 13, Yogyakarta mulai 17 – 23 Juni mendatang. Rencananya pameran ini masih akan dibawa ke berbagai tempat, baik di Yogyakarta maupun luar kota hingga Desember 2014.

Syahrizal menerangkan bahwa dalam JMB yang pertama ini sengaja dipasang tiga juri  yang merupakan kombinasi  dari karakter yang ber-beda: “pengusung tema”, “penjaga teknik” dan “pengawal teknik & tema”. “Dalam hemat kami seni cetak grafis sebagaimana seni-seni lainnya memerlukan unsur-unsur tersebut untuk menjadi menarik, mampu bersaing dan diminati penonton,” jelasnya.

Melalui perhelatan JMB pertama ini, pihak penyelenggara ingin mem-bangun sebuah bienal yang profe-

sional, kuat, serta dapat bersanding dengan bienal-bienal miniprint yang telah lebih dahulu hadir di berbagai belahan dunia. “Kami berharap apa yang dilakukan ini dapat bermanfaat baik bagi pelaku seni cetak grafis itu sendiri maupun pelaku seni dari disiplin yang berbeda, para pencinta seni dan masyarakat pada umumn-ya,” tandas Syahrizal.

Page 34: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

34 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Hangatnya berbagai peristiwa sosial-politik yang memperlihatkan kecenderungan ‘kekuatan

sipil’ yang terjadi akhir-akhir ini di negara-negara Timur Tengah, Asia, Eropa, dan Amerika Latin menjadi tema festival Arkipel tahun ini.

Konsep negara demokrasi yang diadopsi dari ‘Barat’, yang berarti, kekuasaan berada di tangan rakyat dalam menentukan segala hal yang berhubungan dengan arah hidup mereka, dalam prakteknya tidaklah berjalan dengan baik. Di sisi lain, perkembangan teknologi, terutama teknologi media informasi—sinema sebagai salah satu bagiannya, telah memperlihatkan bagaimana kekuatan sipil ‘mengkritisi’ kebijakan-kebijakan negara, sebagaimana yang dilansir dari arkipel.org

Pada tahun kedua ini, ARKIPEL International Documentary & Experimental

Film Festival akan mengangkat tema Electoral Risk, yang mencoba melihat bagaimana sinema membaca demokrasi, aktivisme, politik, dan kekuatan sipil dewasa ini, baik di Indonesia, Asia, dan masyarakat global. Perubahan geo-ekonomi dan geo-politik global telah merubah begitu banyak sudut pandang kita terhadap kenyataan sehari-hari, yang juga telah menggeser tatanan kehidupan bermasyarakat.

Berbagai peristiwa sosial-politik yang memperlihatkan kecenderungan ‘kekuatan sipil’ yang terjadi akhir-akhir ini di negara-negara Timur Tengah, Asia, Eropa, dan Amerika Latin, telah mempertanyakan kembali makna dari demokrasi. Konsep negara demokrasi yang diadopsi dari ‘Barat’, yang berarti, kekuasaan berada di tangan rakyat dalam menentukan segala hal yang berhubungan dengan arah hidup

mereka, dalam prakteknya tidaklah berjalan dengan baik. Di sisi lain, perkembangan teknologi, terutama teknologi media informasi—sinema sebagai salah satu bagiannya, telah memperlihatkan bagaimana kekuatan sipil ‘mengkritisi’ kebijakan-kebijakan negara.

Tema Electoral Risk dipandang sangat penting untuk merespon situasi global saat ini. Tema ini mencoba membaca bagaimana sinema menerjemahkan, memetakan, memaknai dan membaca ulang demokrasi melalui kemungkinan-kemungkinan eksperimentasi visualnya yang sangat terbuka lebar untuk dieksplorasi, baik bentuk (esterika, form), moda produksi, distribusi, atau bahkan perannya dalam menangkap ‘yang nyata’, membeberkan persoalan, mendekatkan ‘yang tak terlihat’ menjadi ‘terlihat’.

Setelah melakukan seleksi

Electoral RiskARKIPEL 2014:

FESTIVAL

Page 35: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

352014 l Edisi 9 l Kinescope l

Pada perhelatan pertama tahun lalu, festival filem ARKIPEL menghadirkan film-film eksperimental dan dokumenter dari seluruh dunia dengan berbagai macam pendekatan estetika bahasa sinema, proses pembuatan, ataupun isu-isu sosial yang diangkatnya.

29 FILM YANG LOLOS ARKIPEL 2014:1. Gli Immacolati Ronny Trocker, France/Italy (2013, 14 min)2. Post Scriptum Santiago Parres, Spain (2013, 8 min)3. Genre Sub Genre Yosep Anggi Noen, Indonesia (2013, 12 min)4. Une Histoire Seule Xurxo Chirro & Aguinaldo Fructuoso, Spain (2013,

66 min)5. Lembusura Wregas Bhanuteja, Indonesia (2014, 10 min)6. Bois d’Arcy Mehdi Benallal, France (2013, 24 min)7. Uyuni Andrés Denegri, Argentina/USA (2005, 8 min)8. Sun Song Joel Wanek, USA (2013, 15 min)9. Tabato Joāo Viana, Portugal/Guiné (2013, 16 min)10. Au Monde AKA Into the World Christophe Bisson, France (2013, 41

min)11. Gundah Gundala Wimar Herdanto, Indonesia (2013, 8 min)12. 5 – 9 Ulf Lundi Sweden (2013, 8 min)13. The Park Monica Proba, Turkey/Poland (2014, 34 min)14. Historias de Balcones AKA Balcony Tales Helle Windeløv-Lidzéllius,

Denmark/Cuba (2013, 36 min)15. Grito AKA Scream Andrés Denegri, Argentina (2008, 20 min)16. Avō Cortiço AKA Grandfather Cortiço  Ricardo Batalheiro, Portugal

(2012, 21 min)17. The Shadow of Your Smile Alexei Dmitriev, Russia (2014, 3 min)18. Playing with Fire Anneta Papathanassiou, Greece (2013, 58 min)19. Asier ETA Biok AKA Asier AND I  Amaia Merino, Spain/Ecuador (2013,

94 min)20. Ioann & Marfa Nikolay Volkov, Russia (2013, 39 min)21. Ocho Décadas Sin Luz AKA Eight Decades Without Light Gonzalo

Egurza, Argentina (2014, 8 min)22. Diario de Pamplona AKA Diary of Pamplona Gonzalo Egurza,

Argentina (2011, 17 min)23. Alles Was Irgendwie Nutzt AKA All What Is Somewhat Useful Pim

Zwier, Germany/Netherlands (2013, 8 min)24. Emak Bakia Baita AKA The Search For Emak Bakia Oskar Alegria,

Spain (2012, 83 min)25. Renai No Daikyouen AKA Banquet of Love Haruka Mitani & Michael

Lyons, Japan (2014, 7 min)26. Lúa AKA Moon Miguel Mariño, Spain (2014, 10 min)27. Today’s Walk – Concrete Aluminum - Paul Agusta, Indonesia (2013, 6

min)28. Broken Tongue Mónica Savirón, USA (2013, 3 min)29. Codes of… Senses Roser Teresa Gerona Ribas, Spain (2013, 5 min)

terhadap 320 film, tahun ini ARKIPEL meloloskan 29 film dalam kompetisi Internasional. Event internasional ini akan dilangsungkan dalam dua segmen, yakni segmen Festival pada tanggal 11-18 September 2014 dan sekmen Eksibisi pada 14-21 September 2014. Arkipel 2014 akan digelar di beberapa titik lokasi yaitu di Kineforum, Goethehouse, Graha Bhakti Budaya, Gedung Produksi Film Negara (PFN) dan Cinema XX1 TIM.

Pembukaan Festival film ini akan digelar pada 11 September 2014 di GoetheHaus, Jl Dr Sam Ratulangi No. 9 – 15 Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, DKI Jakarta.

ARKIPEL International Documentary and Experimental Film Festival digagas oleh Forum Lenteng untuk membaca fenomena global dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya melalui sinema. Melalu media film diharapkan dapat melihat, bagaimana sinema berperan

dalam menangkap fenomena masyarakat global, baik dalam konteks estetika maupun konteks sosial-politiknya melalui bahasa dokumenter dan ekperimental.

Perhelatan festival filem ARKIPEL kali kedua ini sebagai wadah pembuat filem untuk menuangkan pemikiran tema Electoral Risk.

Pendaftaran karya filem akan dibuka selama tiga bulan untuk membuka peluang interpretasi terhadap tema yang terbuka luas, dari yang lingkupnya domestik sampai yang publik, karena eksperimentasi terhadap konten dan estetika adalah pilihan yang politis. Mari suarakan karya anda.

Page 36: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

36 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

RANGKAIAN KEGIATANKegiatan Festival Film Medan 2014 akan dimulai dengan rangkaian roadshow ke sekolah, kampus, serta tempat berkumpulnya anak-anak muda (kafe dan sebagainya) di Medan dan sekitarnya, untuk mensosialisasikan kegiatan dan acara yang kontennya berupa screening dan sharing session. Kegiatan ini dimulai dari 11 Mei 2014 hingga 31 September 2014 dilaksanakan setiap akhir pekan.

FESTIVAL FILM

MEDAN

Festival ini digagas oleh beberapa sineas muda Medan yang bersatu

dalam wadah Medan Cinema Foundation.

Untuk tahun pertama, Festival Film Medan 2014 akan diselenggarakan dengan mengusung tema Medan Inspirasi dan baru mencakup peserta dengan wilayah Sumatera Utara, dengn menaruh harapan bahwa pada penyelenggaraan tahun-tahun berikutnya sudah bisa menjadi sebuah event apresiasi film berskala Nasional. Adapun materi karya yang diperlombakan adalah karya Film Pendek dan Panjang Fiksi serta Film Dokumenter.

Sebuah wadah apresiasi film Indonesia, yang lahir atas dasar pemikiran tentang pentingnya karya sineas-sineas di Sumatera Utara untuk

diapresiasi dan untuk menambah gairah pertumbuhan sineas-sineas dengan karya-karya yang spektakuler serta demi kemajuan industri

perfilman nasional secara umum dan Sumatera Utara secara khusus.

FESTIVAL

Page 37: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

372014 l Edisi 9 l Kinescope l

PADA FESTIVAL TAHUN INI, BEBERAPA KATEGORI JUARA SUDAH DISIAPKAN ANTARA LAIN,

1. Film Fiksi Termantap2. Film Dokumenter Termantap3. Aktor Termantap4. Aktris Termantap5. Aktor Pendukung Termantap6. Aktris Pendukung Termantap7. DOP/ Cameraman Termantap8. Editor Termantap9. Ide Cerita Termantap10. Sutradara Termantap11. Rumah Produksi Termantap12. Video Klip Medan Termantap13. Tokoh Film Lokal (Khusus)14. Media Support (Khusus)

Selain kategori juara dengan penilaian juri, pada Festival Film Medan 2014 ini juga akan diperebutkan kategori juara dengan polling SMS dan Internet, yaitu:

1. Film Fiksi Terfavorit2. Film Dokumenter Terfavorit3. Aktor Terfavorit4. Aktris Terfavorit5. Aktor Pendukung Terfavorit6. Aktris Pendukung Terfavorit

Film-film yang sudah masuk dan terdaftar di meja panitia akan diverifikasi sesuai dengan syarat dan ketentuan. Jika sudah dinyatakan lolos verifikasi awal, selanjutnya tim kurator dari panitia akan menentukan film mana saja yang layak masuk nominasi sesuai kategori yang diperlombakan. Selanjutnya film-film yang sudah terpilih sebagai nominator akan diserahkan kepada dewan juri yang terdiri dari berbgai komponen, yaitu pembuat film, penikat film serta jurnalis.

KETENTUAN LAIN1. Karya yang dikirim akan menjadi database panitia Festival Film Medan

20142. Hasil Karya dikumpulkan paling lambat 30 September 2014 cap pos.3. Film yang tidak memenuhi persyaratan tidak akan dikompetisikan.4. Proses seleksi dilakukan oleh beberapa kurator terpilih sebelum proses

penjurian berlangsung. Keputusan kurator bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

5. Film peserta yang lulus seleksi akan diumumkan melalui website.6. Keputusan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.7. Panitia memegang hak sepenuhnya atas penggunaan hasil karya

pemenang kompetisi.8. Semua kelengkapan pendaftaran dikemas dalam 1 amplop dikirim ke:

Up. Agung Pratama Jl Wiroto No. 13 Kecamatan Medan Timur 20234

CP. 081265345691 (Ersad)

BERIKUT BEBERAPA PERSYARATAN PADA AJANG FESTIVAL FILM MEDAN 2014:1. Keikutsertaan Kompetisi tidak dipungut biaya (Gratis).2. Tema Film Bebas.3. Peserta Umum, boleh terdiri dari Individu atau kelompok film peserta

adalah Film Pendek dan Panjang Fiksi serta Film Dokumenter.4. Peserta boleh mengirimkan maksimal 3 karya dengan catatan dikirim

dalam amplop terpisah dan masing-masing film melengkapi semua persyaratan

5. Tahun produksi adalah tahun 2010 keatas.6. Karya tidak mengandung unsur sara, pornografi, pornoaksi.

Pelanggaran dan gugatan atas hak cipta terhadap karya yang diikutkan dalam kompetisi ada diluar tanggung jawab panitia.

7. Film tidak berupa profil lembaga/ perusahaan, iklan layanan masyarakat dan trailer .

8. Wajib memahami dan menyepakati seluruh syarat lomba yang tercantum.

Kemudian, pada tanggal 1 hingga 31 oktober 2014 adalah masa penjurian oleh dewan juri bagi film-film yang sudah dinyatakan lolos sebagai nominator. Ada juga beberapa kategori khusus akan dibuka polling via sms center dan line internet.1 bulan sebelum malam puncak penganugerahan Festival Film Medan 2014, akan dimumkan film-film dan materi apa saja yang dinyatakan lolos sebagai nominator secara terbuka kepada khalayak umum pada sebuah acara khusus serta mencantumkan informasinya secara akurat di official media social Festival Film Medan 2014 yakni twitter @MedanCinemaFo dan www.medancinemafoundation.comKemudian sebelum malam puncak penganugerahan Festival Film Medan 2014, setiap perwakilan dari film-film yang terdaftar di festival ini akan dihubungi untuk mengikuti kegiatan workshop film yang dilaksanakan panitia. Film-film yang terpilih sebagai nominator ataupun film pilihan panitia akan di putar pada acara, tempat dan waktu khusus dan terbuka untuk umum.Malam puncak penganugerahan Festival Film Medan 2014, akan dilaksanakan pada 1 November 2014 dengan urutan acara Red Carpet serta Gala Dinner yang diisi oleh tamu undangan, tokoh film lokal, media, peserta serta masyarakat umum secara gratis.

Page 38: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

38 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

FESTIVAL

Sejak tahun lalu, XXI Short Film Festival mencoba untuk mempublikasikan para pemenang festival ini

kekhalayak umum dengan diputar dibioskop.

Pada tahun keduanya, XXI Short Film Festival 2014 menayangkan 7 film pendek dari 3 kategori yang berlangsung pada bulan Maret lalu. Ketiga kategori tersebut adalah Film pendek fiksi naratif, film pendek dokumenter, dan film pendek animasi. Pada kategori film pendek fiksi naratif ada Horison (Film pendek favorit), Lembar Jawaban Kita (Film pendek fiksi naratif pilihan IMPAS), dan Sepatu Baru (Film pendek fiksi

Naratif Terbaik dan Pilihan Media). Pada kategori Film pendek animasi ada Asiaraya (Special Mention Official Jury untuk Film Pendek Animasi), dan Kitik (Film pendek animasi tebaik dan Pilihan Media). Dan dalam kategori Film pendek documenter ada Akar (Film Pendek dokumenter terbaik dan special mention pilihan media), dan Selamat Tinggal Sekolahku (Film pendek dokumenter pilihan media).

Kompilasi XXI Short Film Festival 2014 dibuka dengan film pendek beraroma thriller yang terasa dingin serta dibalut dengan kata-kata filosofis. Horison berkisah mengenai Genda, gadis yang sedang menghadapi suatu

masalah secara tidak sengaja bertemu dengan pria misterius bernama Handi. Merasa nyambung, Genda perlahan menceritakan masalahnya dan membuka diri kepada Handi yang mendengarkan seraya memberikan jawaban menggunakan rangkaian kata-kata kiasan. Hingga perlahan rahasia demi rahasia mulai terungkap.

Dengan sinematografi baik yang menampilkan landscape indah serta didukung tone warna agak pucat semakin menguatkan atmosfer dalam Horison layaknya suasana hati Genda, dingin dan terasa galau. Samuel Ruby yang merupakan peserta asal Singapura mampu menuntun penonton ke

XXI Short Film Festival 2014

Menayangkan film pendek hasil perlombaan atau festival kedalam medium layar lebar dan didistribusikan secara luas dibioskop memang sesuatu yang bisa dianggap jarang

di Indonesia. Adapun film-film pendek yang disertakan dalam festival hanya ditayangkan selama festival itu berlangsung atau di ajak keliling dari festival ke festival lain untuk

menemui penontonnya.

ROHMAN SULISTIONO

Page 39: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

392014 l Edisi 9 l Kinescope l

terdekatnya. Amelia berusaha menceritakan lingkungan dimana dia lahir dan besar, suasana keluarga yang digambarkan senyata mungkin, serta disisipi dampak dari segala keputusan yang diambil Amelia seperti keputusannya untuk kuliah diluar negeri yang membuatnya tidak bisa menemui neneknya saat wafat. Dengan durasi 22menit dan berputar dikehidupan Amelia, jelas untuk beberapa penonton ini terlalu membosankan dan agak panjang, kecuali kalian keluarga dari Amelia itu sendiri, mungkin anda bisa sangat menikmatinya. Film yang dimerupakan gabungan dari potongan-potongan kejadian ini seperti ingin menceritakan banyak hal, namun terasa berlalu begitu saja. Karya ini memang sangat terasa personal, bila ditelisik maksud awal dalam pembuatan film ini tadinya untuk diputar dalam pernikahan Amelia, jadi terlihat wajar bila filmnya berbentuk seperti ini.

Setelah disuguhkan film pendek dokumenter Akar, film keempat dalam kompilasi XXI Short Film Festival 2014 juga bergaya dokumenter. Kali ini menyorot seorang anak laki-laki bernama Lintang dalam film “Selamat Tinggal, Sekolahku”. Lintang, anak berusia 11 tahun salah satu murid dari Rawinala, sekolah untuk anak-anak dengan beragam masalah penglihatan di Jakarta. Setelah 7 tahun bersekolah disana, Lintang dianggap sudah mandiri dan harus pergi dari sekolah. Lintang harus meninggalkan hal-hal yang disukainya seperti teman-temannya, Band Junior, dan Drum.

Sederhana namun mengena, mungkin itu gambaran sederhana dari dokumenter karya Ucu Agustin ini. Dengan durasi yang hanya 13 menit, penonton sudah bisa merasakan apa-apa saja yang disukai oleh Lintang seperti hobi dan moment bersama sahabatnya dan penonton turut merasakan kegundahan hati Lintang ketika harus meninggalkan itu semua.

akar permasalahan Genda dengan perlahan dengan menghadirkan twist di akhir film, walau tidak dipungkiri twist seperti ini sudah sering digunakan. Script dalam Horison terlihat matang dimana sepanjang durasi film selama 17 menit yang mayoritas diisi dialog antara Genda dan Handi tidak terasa membosankan, malah terkesan misterius dan membuat penasaran, terlebih diperkuat dengan kata-kata kiasan yang penuh makna mendalam yang dilontarkan Handi untuk menjawab permasalahan Genda.

Setelah Horison, penonton disuguhkan dengan film animasi yang agak berat berjudul Asiaraya. Asiaraya berkisah mengenai seorang

tentara Jepang yang menuntunnya menemukan arti nasionalisme karena pertemanannya dengan Yusuf, orang Indonesia yang pernah bekerja untuknya. Sebagai bentuk penebusan janji Negara Jepang mengenai kemerdekaan Indonesia, dia melakukan pengorbanan bersama Yusuf untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari gangguan bangsa barat. Bisa dibilang, Asiaraya karya Anka Atmawijaya Adinegara merupakan film animasi realis dimana mengangkat kisah yang jarang terekspos dari perjuangan Indonesia. Dengan durasi 10 menit, Asiaraya mengangkat fenomena beberapa tentara Jepang yang ikut membantu Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Film ini terasa datar dalam mengangkat kisah seorang tentara Jepang dan maksud film ini diperkuat dengan teks yang berada di akhir film ini. Namun animasi diawal film yang mengilustrasikan mengenai salah satu ramalan Jayabaya menarik perhatian.

Film dokumenter pertama yang muncul di Kompilasi ini, Akar karya Amelia Hapsari yang sebelumnya membuat “Jadi Jagoan Ala Ahok” yang juga merupakan finalis XXI Short Film Festival tahun lalu. Berbeda dengan yang sebelumnya, dimana Amelia berfokus kepada salah satu tokoh yaitu Ahok dan “membuntuti” beliau berkampanye di Bangka Belitung, melalui Akar Amelia mengangkat hal yang lebih personal dan dekat dengannya dengan mendokumentasikan dia dan keluarganya sendiri. Seperti judulnya, Akar mengangkat kisah pribadi Amelia dan darimana dia berasal. Mengekspos ayah, ibu dan neneknya serta kehidupan sehari-hari mereka mulai dari mencari nafkah melalui took bangunan hingga hal-hal kecil seperti senam di pelataran sebuah pusat perbelanjaan dan makan bersama.

Akar seperti dokumenter yang berisi curhatan dari pembuatnya yang melibatkan orang-orang

Page 40: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

40 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Beberapa dialog serta adegan yang terlihat sangat lugu serta natural dari Lintang dan teman-temannya membuat film ini mengalir begitu nyaman untuk penonton. Tentu saja set tempat dalam film ini mengingatkan pada film “What They Don’t Talk About When They Talk About Love” karya Mouly Surya. Ya karena kedua-dua-nya sama-sama syuting di Rawinala.

Lembar Jawaban Kita, karya Sofyan Ali Bindiar menjadi film kelima dalam kompilasi XXI Short Film Festival 2014. Film pendek fiksi naratif ini berkisah mengenai Ali, seorang murid SD yang mengikuti Ujian Nasional yang harus menghadapi ujian lain ketika sebuah kertas contekan diberikan ke salah satu siswa yang kemudian kertas itu digilir dari satu siswa ke siswa lain. Menonton Lembar Jawaban Kita terasa mendapatkan pukulan kecil namun mengena dan menohok. Menyindir salah satu problematika bangsa ini perihal kejujuran (lebih akrab disebut KKN) dari skala yang kecil dan sederhana. Lembar Jawaban Kita menyindir bahwa tempat yang seharusnya mendidik pribadi muda yang baik malah menjadi ladang subur untuk menanam sifat buruk ke anak-anak. Sistem pendidikan yang buruk namun sudah dianggap biasa oleh beberapa pihak guru maupun siswa. Film ini berhasil mengangkat kejadian yang bahkan sudah dianggap lumrah namun tentu saja mencederai kejujuran sejak dini.

Kitik, film animasi karya Ardhira Anugerah Putra berkisah mengenai seorang anak kecil dan segala ketakutannya saat menghadapi khitan (sunat) yang akhirnya menjadi kejar-kejaran seru dengan sang mantri sunat. Temanya sederhana dan juga dekat dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Film dengan durasi 6 menit ini memiliki latar setting di suku Karo, Sumetera Utara. Berbeda dengan AsiaRaya yang terkesan realis dan gelap, Kitik lebih berwarna dengan karakter yang lucu. Mengingatkan kita dengan gaya animasi “Keripik Sukun Mbok Darmi” di kompilasi yang pertama.

What They Don’t Talk About When They Talk About Love

Page 41: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

412014 l Edisi 9 l Kinescope l

Film terakhir dalam kompilasi XXI Short Film Festival 2014 adalah film asal Makassar “Sepatu Baru”. Sepatu Baru mengisahkan seorang anak perempuan yang hidup didaerah kumuh merasa gelisah karena hujan yang tak kunjung reda menghentikan hasratnya untuk menggunakan sepatu baru. Ia-pun menggunakan cara tradisional untuk menghentikan hujan berkepanjangan tersebut.

“Save the best for last”, mungkin pepatah tersebut pantas disematkan kepada Sepatu baru yang dipercaya menjadi film pamungkas dan klimaks dari kompilasi XXI Short Film Festival 2014. Sutradara muda asal Makassar, Aditya Ahmad dengan piawai meramu tata sinematografi yang

cantik, script yang baik, serta akting yang menawan didukung dengan gesture penuh arti menjadi satu kesatuan yang utuh membuat film dengan durasi 14 menit ini begitu ciamik. Usaha mengangkat sebuah mitos tradisional dengan konflik yang membumi dan sederhana kedalam film patut diberi apresiasi .

Tentu saja perhelatan festival ini merupakan ajang untuk menemukan bibit-bibit baru dalam perfilman Indonesia. Sebut saja Aditya Ahmad yang merupakan sutradara “Sepatu Baru” yang juga menggunakan karyanya ini sebagai Tugas Akhir perkuliahnya di jurusan perfilman di sebuah Universitas di Makassar. “Wajah lama”pun terdapat pada kompilasi XXI Short Film Festival 2014, Amelia Hapsari yang sebelumnya menyuguhkan lika liku kampanye Ahok dalam “Jadi Jagoan Ala Ahok” pada kompilasi yang

Selamat Tinggal Sekolahku

pertama, kali ini tetap menyuguhkan film dokumenter pendek dengan judul “Akar”. Adapula yang telah mengikuti festival film lain sebelum XXI Short Film Festival 2014, “Selamat Tinggal Sekolahku” sempat mampir di salah satu festival film besar di Indonesia, JIFFEST 2013 yang masuk dalam program Pop Up Cinema Short Doc is Doc.

Secara keseluruhan kompilasi XXI Short Film Festival 2014 ini merupakan tontonan alternatif ditengah film bioskop didominasi film-film panjang. Tema yang beragam serta terasa tak jauuh dari sekitar kita membuat penonton merasakan beragam rasa dan pengalaman sinematis saat keluar dari studio bioskop. Kompilasi film pendek pemenang XXI Short Film Festival 2014 ini akan ditayangkan di 11 bioskop di 9 kota mulai tanggal 3 Juli 2014.

Page 42: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

42 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

TIPS

Tips & Trik Lolos Casting

Untuk terjun ke dunia entertainment atau hiburan, pada umumnya calon artis harus melewati proses casting atau audisi, baik untuk iklan, sinetron, FTV, film ataupun foto model dan presenter. Untuk orang yang baru memulai karier di

bidang ini, tentu membutuhkan tips-tips atau cara agar bisa lolos casting iklan, sinetron dan film dengan sukses dan diterima oleh PH (production house) atau

yang mengadakan casting sesuai karakter kita.

Casting memiliki arti dan definisi umum, yaitu keg-iatan mencari pemeran atau talent yang sesuai dengan karakter seperti

yang diinginkan dalam sebuah ce-rita. Contohnya saat ada info casting

iklan, maka karakter yang diminta atau diperlukan tentu saja harus bisa mewakili produk yang diiklan-kan. Misalnya, casting iklan rokok atau iklan provider telekomunikasi, pasti yang akan dicari adalah karak-ter wajah dan tubuh yang sesuai

dengan cerita dalam iklan tersebut. Casting biasanya diawali dengan

undangan bagi talent-talent yang dianggap sesuai kriteria yang di-inginkan dalam sebuah proyek, baik untuk iklan TV, photoshoot, fashion show, sinetron atau film layar lebar.

42 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 43: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

432014 l Edisi 9 l Kinescope l

Tips & Trik Lolos Casting

Berikut ini adalah tips-tips umum dan khusus agar bisa sukses dan lolos casting iklan, film, sinetron, ftv dan masuk TV.

SIAPKAN MENTAL Sebisa mungkin gali informasi

sebanyak mungkin tentang casting yang kamu lakukan agar menguasai medan.

BISA KARENA BIASA

Mencari referensi untuk latihan berjalan di atas catwalk, berpose, berakting atau berbicara di depan kamera penting dilakukan. Selain membantu kamu lebih percaya diri juga dapat membantu memberikan penampilan yang terbaik pada saat casting.

PILIH KOSTUM YANG TEPATSetelah mengetahui detail

casting yang akan dijalani, sesuaikan kostum. Jangan pernah berdandan atau bergaya berlebihan untuk menarik perhatian, tapi bergayalah sesuai karakter yang dibutuhkan oleh user. Salah kostum pada saat casting selain mengurangi rasa percaya diri juga bikin tidak fokus karena salah tingkah.

DATANG TEPAT WAKTU (ON TIME)Kalo casting-nya sudah buat

perjanjian atau diundang, usahakan untuk datang tepat waktu. Ini akan menggambarkan profesionalisme kamu.

SESUAIKAN SYARAT KARAKTER CASTING: Ini sangat penting, yaitu menyesuakan dengan karakter yang di cari, misal muka kamu pas-pasan maka jangan datangi casting yang mencari model kelas A (super tampan dan ganteng banget) sudah pasti cuma bikin buang-buang ongkos dan waktu saja.

ATTITUDEBersikaplah ramah dan rendah hati, jangan sombong seolah-olah yang mau mengcasting itu di bawah kamu yang siap menerima hinaan dan protes.

PENGALAMAN SYUTINGKarena banyak orang berbakat

namun tidak lolos hanya karena saat ditanya pengalaman syuting, dia bilang belum ada. Karena itu cobalah syuting-syuting dulu minimal satu

kali syuting, setidaknya jadi figuran ekstras juga tidak apa.

JANGAN MELAKUKAN HAL BODOH: Hal ini memang sepele

namun banyak orang tidak lolos casting karena melakukan hal-hal bodoh, misal saat akting atau memperkenalkan diri dia salah ucap kemudian mengeluarkan lidah. Itu tandanya tidak profesional.

HATI-HATI DAN TETAP WASPADA: Mengingat kasus yang pernah

terjadi, kamu juga harus waspada terhadap pihak-pihak nakal. Tidak pernah ada produk atau program yang memungut biaya untuk casting.

JADILAH DIRI SENDIRIWalaupun harus menyesuaikan

tampilan dengan karakter yang diminta bukan berarti kamu harus menjadi orang lain. Tetap jadilah diri sendiri, karena dengan berpura-pura menjadi orang lain akan terlihat berlebihan.

PERCAYA DIRITanamkan rasa percaya diri,

sehingga kamu dapat menunjukkan kemampuan semaksimal mungkin. Rasa rendah diri atau malah terlalu percaya diri tidak akan berguna, karena keduanya justru bisa menghambat kamu untuk mengerahkan segala kemampuan.

BERIKAN YANG TERBAIKSetelah semua doa dan usaha

udah dipersiapkan dan lakukan sebaik mungkin, tinggal menunggu

dengan positif akan hasilnya. Kalo setelah seminggu belum ada kabar dan Kamu penasaran, tidak ada salahnya menghubungi pihak klien untuk menanyakan hasilnya. Dan jangan lupa, kalau bukan kamu yang terpilih, berusahalah untuk tetap bersikap sportif dan introspeksi diri.

JANGAN MENYERAHGagal casting bukan alasan untuk

menyerah. Perasaan kesal pasti ada, karena banyak juga yang pernah merasa berkecil hati karena tidak lolos casting. Kembalilah menjalani casting lain yang ada.

Tetap ingat bahwa jumlah waktu yang seringkali dianggap terbuang percuma saat menjalani proses kegagalan dalam casting, justru bisa menjadi bekal berharga di kemudian hari. Berbagai ilmu tentang bagaimana berkompetisi di dunia hiburan bisa didapat secara gratis. Dan secara tak langsung mengasah kemampuan kita. 

Yang penting untuk diingat adalah: tidak lolos casting tak selalu berarti tidak berbakat. Bisa saja karena karakternya belum cocok dengan apa yang dicari klien. Tak perlu berkecil hati, selalu jadikan kegagalan sebagai kesuksesan yang tertunda. 

Itulah beberapa tips dan trik agar sukses dan lolos casting yang bisa kamu lakukan. Semoga kamu bisa melewati casting dengan sukses, dan yang terpenting dalam setiap melakukan berbagai hal adalah, niat, persiapan, sopan, percaya diri dan jangan menyerah. Sukses ya!

Page 44: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

44 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

LIPUTANLIPUTAN

RIAN SAMIN

Pertemuan mereka berawal di tahun 2009, saat itu sedang ada persiapan teater karya Toni Boer “Butoh Dance Theater”, dan kebetulan mereka ikut bermain di pertunjukannya. Di sela-sela latihan Butoh itu, mereka pun terlibat cinta lokasi, hingga akhirnya menjalin hubungan asmara.

EKA

& R

OMAN

Ngo

brol

Bar

eng

44 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 45: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

452014 l Edisi 9 l Kinescope l

Pasangan Kedung Dharma Romansa dan Eka Nusa Pertiwi ini jadian tepat di hari buruh sedunia 1 Mei

2009, dan menikah 7 Desember 2013, tepat Hari Pers Nasional, yang melekat sekali dengan sosok Tirto Adhi Soeryo alias Sang Pemula. Mereka berdua mengaku tidak merancang semua itu, tapi seolah seperti ada yang merancangnya. Pasangan ini tinggal di kawasan selatan Yogyakarta, dan aktif di berbagai kegiatan seni, baik film, teater, hingga sastra.

Cukup banyak proyek seni yang mereka kerjakan bersama, namun uniknya mereka belum pernah di casting menjadi sepasang suami istri atau pacar, dalam proyek teater maupun film. Saat bermain “The Lover” naskah “Harold Pinter mereka menjadi sepasang suami istri yang sudah hidup 10 tahun, namun belum punya anak. Untuk mengatasi kejenuhan mereka mereka menjadi orang lain saat bercinta di sore hari, dan menganggap mereka adalah sepasang muda-mudi yang sedang berpacaran di taman saat sore hari, padahal sebenarnya itu didalam rumah mereka”. Eka berujar bahwa setelah pentas tersebut banyak penonton yang bilang, “kalian pasangan Gila ya?” ada juga yang berkata “keluarga kalian itu harus di rukiah”.

Eka mengganggap cerita yang ia perankan bersama sang suami adalah sebagai sebuah refleksi. “Kalau jadi partner di panggung, kami bisa lebih detail menggali diri kami masing-masing. Agar nasib kami gak sama seperti tokoh-tokoh yang kami perankan diatas panggung. Heheehe,” kata Eka.

Di sisi lain, Roman mengaku bahwa sejak pertama kali bertemu dengan Eka, ia membaca gelagat bahwa Eka adalah tipe perempuan yang pantang menyerah, itu terlihat ketika dia bersemangat latihan teater Toni Broer. “Kedekatan kami memang bisa dibilang berlangsung cepat, sebab saya dapat membaca masing-masing di antara kami saling membuka, sehingga kita dapat saling bertukar pikiran dan mengenal satu sama lain,” ungkapnya.

Roman pernah menghadiahi novel “Bumi Manusia” untuk kado ulang tahun Eka, selain karena ia suka dengan Pramoedya. Roman berpikir bahwa Eka pasti suka, dan

hal itu benar sekali, karena sejak itulah Eka semakin penasaran dengan sosok Pram, dan dia mulai membaca beberapa karya Pram yang lainnya. Sejak mulai dekat, keduanya sering berdiskusi mengenai teater, sastra, dan film. Tidak jarang diskusi mereka berlangsung dengan pertengkaran, “Tapi justru itulah romantisnya, karena jujur saja saya bukan tipe laki-laki romantic menurut persepsi orang kebanyakan atau dalam film-film romantic pada umumnya,” ungkap Roman.

Romantisisme dalam kepalanya bukanlah semata yang kebanyakan orang bilang. Nah, di sinilah hubungan mereka semakin lengket.

Bicara soal perfilman Indonesia, Eka merindukan film seperti Tjoet Nja Dien (1986), jika boleh berharap ia ingin sekali bermain di film tersebut. Karena tinggal dan bekerja di Yogyakarta, malah perkembangan film komunitas sangat dekat dengan pasangan ini. Eka berpendapat bahwa komunitas film di Yogyakarta sangat berkembang dengan pesatnya. Hal-hal terkait dengan produksi film, pemutaran, dan diskusi banyak dilakukan oleh komunitas film di kota ini. “Semangatnya sangat baik, tapi aku pikir, kita masih kekurangan penonton. Contoh Ketika ada pemutaran film dari beberapa komunitas, penontonnya ya temen-teman mereka aja,” keluhnya.

Hal inilah yang kemudian selalu menjadi pertanyaan apakah film tersebut tidak cocok di tonton oleh masyarakat umum? Jika cocok, bagaimana masyarakat umum bisa menikmatinya? Jika tidak cocok, apa penyebabnya?

Di sisi lain, Roman kini merasa bersyukur bahwa film hantu yang dibumbui dengan sex itu kini sudah lumayan berkurang. Setidaknya ini akan mengurangi selera pasar dengan film semacam itu. Ia menegaskan bahwa bicara film Indonesia, maka kita akan bicara tentang (pasar) Indonesia. Sampai sekarang ia masih meyakini kalau yang menentukan pasar itu

bukan penonton, tapi masyarakat film yang tahu bagaimana penonton ini hendak diarahkan. “Tapi saya tahu ini tidak mudah, soalnya ini berhubungan dengan ‘pemesan’ selaku yang punya kocek untuk membiayai film yang akan diproduksinya,” ucapnya.

Roman berpendapat bahwa aktor dan aktris kita sangat potensial, tinggal bagaimana sutradara mampu mengarahkan. Tinggal bagaimana cara kita berpikir yang tidak biasa. Tidak umum. Sebab film, menurutnya adalah karya sastra yang divisualkan. Karya sastra itu sesuatu yang tidak umum, tidak lumrah, tidak stereotype. Jadi ketika dilihat ada kesegaran, ada sesuatu yang baru.

Di film komunitas, Roman melihat bahwa saat ini film-film yang bermunculan masih mempunyai kelemahan dari segi teks. Entah itu eksperimental, realis, realism magis, atau apapun, menurutnya teks naskah itu penting. Namun beberapakali ia menyaksikan film komunitas, ia melihat banyak yang sangat potensial dan bagus, bahkan mampu bersaing dengan karya-karya dari luar negeri. “Saya kira ini mempunyai peningkatan yang signifikan. Dan mestinya, tema-tema yang diusung harus beragam, tidak seragam. Bicara tentang pasar, jelas film komunitas mempunyai pasar sendiri. Kita tahu itu,” tutupnya.

452014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 46: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

46 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

LIPUTANLIPUTAN

Bagi pemerhati ranah musik cutting edge di era awal 2000an nama Seek Six Sick (SSS) bukanlah sesuatu yang asing. Kini, di tengah maraknya percaturan musik lokal, band asal Yogyakarta ini masih menunjukan raungannya. Jimmy Mahardhika berujar bahwa setiap masa punya musiknya sendiri, dan saat ini adalah sama saja dengan yang dulu namun dengan bentuk yang berbeda, “Hanya sekarang lebih mudah memperkenalkan dan mencari musik yang kita senangi karena perkembangan teknologi informasi,” tandas gitaris Seek Six Sick ini.

Merayakan Kebisingan

RIAN SAMIN

MUSIK ROCK

Page 47: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

472014 l Edisi 9 l Kinescope l

Seolah tak mau kehilangan eksistensinya, saat ini SSS sedang mengumpulkan materi-materi lama, baik

yang pernah direkam oleh SSS maupun rekaman kolaborasi. Personel lainnya Sony Irawan menjelaskan bahwa bakal album terbaru tersebut sedang tahap mixing. Di album ini SSS berkolaborasi dengan Jesse, seorang seniman sound art dari Seattle, Amerika Serikat. Rencananya album ini kembali akan dirilis di yesnowave, sebuah netlabel yang merilis album mereka sebelumnya. “Mudah-mudahan album Seek Six Sick yang kita tunggu-tunggu bersama bisa segera kelar,” pungkas Jimmy.

 Sejak awal berdiri, SSS menyebut musik yang mereka mainkan dengan istilah Asia noise rock. Jimmy menjelaskan bahwa noise rock pada dasarnya adalah musik rock yang menggunakan instrumen tradisional rock, seperti gitar, drum, bass dan lainnya. Hanya saja memainkannya lebih liar, bebas, kotor, penuh derau, dan eksperimental. Dengan kata lain noise rock adalah memaksimalkan potensi musik rock secara maksimal dengan cara radikal dan tetap menampilkan keagungan sebagai rocker. “ini yang membedakan noise rock dengan musisi eksperimental,” tegasnya.

 Pada perkembangannya, sound yang mereka hasilkan banyak terpengaruh genre musik no wave, psychedelic rock  60an, alternatif rock 90an, krautrock, hingga avant garde. Nama-nama seperti Sonic Youth, Velvet Underground, Can, Pink Floyd (di era Syd Barret) pun bertanggung jawab atas karakter yang dihasilkan SSS.

Seek Six Sick pada awalnya adalah bentuk kejenuhan Jimmy Mahardhika dan Soni Irawan dengan musik-musik yang sudah mereka dengarkan dan mainkan pada waktu itu. Sebelumnya

Jimmy bermain untuk sebuah band Root Reggae bernama Kowena, sedangkan Soni adalah personel grup alternatif BOOR. “Waktu itu kami berada dalam sebuah komunitas di studio Lexrost, di sela-sela jadwal latihan band, kami menyempatkan untuk jamming, dan lalu tercetuslah ide untuk membuat sebuah band yang konsepnya adalah merayakan kebisingan,” jelas Jimmy.

 Tepat pada 28 Oktober 1999, bertepatan hari Sumpah Pemuda, terbentuklah Seek Six Sick. Sejak awal konsep SSS adalah duo, dengan beberapa pemain lain yang mengisi kekosongan posisi. Beberapa nama yang pernah bergabung dengan SSS adalah Suparyanto GS aka Bofag (Barbar), Handoyo aka Bagong (Pribumi), Bhakti (Zoo) dan masih banyak yang lainnya. Sejak berdirinya hingga saat ini proyek Seek Six Sick adalah untuk merayakan kebisingan sebuah musik rock.

 Ketika awal 2000an, mereka tampil di sebuah event kampus di utara Yogyakarta, saat itu bisa dikatakan hanya SSS yang memainkan konsep musik noise rock ini. Jimmy bercerita bahwa saat mereka memainkan jamming gitar dengan delay yang berulang-ulang sampai hampir 15 menit di akhir sebuah lagu, penonton tampak resah berteriak dan mulai melempar sesuatu, “Tapi anehnya, bagi saya pada waktu itu suara tersebut seolah sebuah koor yang justru menambah keindahan musik yang kami mainkan, semacam jamming bersama penonton,” ujar

Jimmy. Hal tersebut membuat Jimmy

semakin lama memainkan gitarnya hingga tak terasa sampai 15 menit. “Saat itu saya puas sekali, dan di akhir pertunjukan kita dapat applause, nggak tau applause karena lega sudah selesai atau takjub hahahaha,” kenangnya.

Seek Six Sick telah merilis beberapa album di antaranya Volume 1 (2001), Volume 3 (era digital/ 2004), volume 2 (era analog/2005), dan Volume 4 (2008). Jika berbicara setahun ke depan, rencananya SSS ingin merampungkan album ke lima mereka, “Setelah itu kami pingin main lagi sebanyak-banyaknya, baik di dalam atau luar negeri, 10 tahun ke depan kami berharap masih bisa memberikan karya kami,” ucap Jimmy. 

Selain berkarya bersama Seek Six Sick, Soni Irawan juga membuat beberapa proyek band kolaborasi. Proyek tersebut di antaranya Seroja yang memainkan musik Melayu era 60 an, Mantra music dengan Rully Shabara, Pribumi sebuah proyek spoken music, musikalisasi puisi dengan Handoyo P, The Fathers proyek accoustic folk, balada bersama Andreas Oki Gembus, dan  Prodjek Babi #9 (experimental music) dengan konsep personil yang selalu berganti. Menurut pria kelahiran Yogyakarta 1975 yang bekerja sebagai pelukis ini karena sudah bermain musik bersama yang cukup lama, soul dan karakter Seek Six Sick semakin kuat.

Page 48: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

48 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

LIPUTANLIPUTANBagi para penyuka motor klasik dan kustom, nama Ace Café London tentunya sudah akrab di telinga. Tempat berkumpulnya berbagai generasi bikers ini sudah eksis sejak 1938. Bisa dikatakan bahwa Ace Cafe menjadi rumah kedua para bikers tersebut. Setelah sempat tutup, café ini kemudian dibuka kembali oleh Mark Wilsmore. Setiap bulannya di tempat ini diadakan berbagai eksibisi motor klasik bertaraf internasional.

Markas Bikers KlasikAce Café London

RIAN SAMIN

48 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 49: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

492014 l Edisi 9 l Kinescope l

Hingga kini para bikers yang ‘berziarah’ di tempat suci bagi bikers di London ini bukan hanya dari Inggris

dan Eropa, tetapi juga berbagai belahan dunia. Satu di antara gaya aliran motor yang dipopulerkan di London pada tahun 50-an adalah café racer. Gaya ini berawal dari para biker yang mengiginkan

motor cepat dan digunakan untuk berkendara,s dan balapan dari café-ke café. Mereka menggunakan cafe sebagai titik start dan finishnya.

 Sewaktu perang dunia II berkecamuk, kegiatan sub kultur ini sempat terhenti, satu di antaranya karena adanya wajib militer di kalangan pemuda. Usai perang dunia II, banyak hal yang terjadi terutama pada awal 50-an dimana para pemuda di Inggris kembali bekerja dan mempunyai uang lebih, hal tersebut kemudian mempengaruhi bangkitnya era Cafe Racer.

 Satu di antara faktor utama terbentuknya kultur Cafe racer atau Rocker adalah booming-nya budaya anak muda dan ‘anti-heros’ yang baru pada tahun ‘50-an. Saat itu adalah gencarnya raungan musik yang dipopulerkan penyanyi seperti, Eddie Cochran, Elvis Presley, dan Gene Vincent di radio-radio. Selanjutnya, Rock & Roll menjadi

ancaman baru bagi masyarakat. Di dunia sinema Marlon Brando, James Dean dan ikon ‘rebel’ lainnya menyemarakkan layar perak dengan gaya jaket kulitnya. Tentunya ini membuat sepeda motor dengan lifestyle-nya yang khas dipandang ‘cool’.

 Era 50an memang sudah berlalu, namun di Ace Café London ini sub kultur tersebut masih bisa dinikmati eksistensinya. Bukan hanya ajang eksebisi sepeda motor, namun kemeriahan acara tersebut juga diramaikan oleh hiburan musik dari berbagai generasi bikers di masa lalu. Irama rockabilly, doo wop, swing, hingga surfrock telah menjadi soundtrack para bikers sejak masa lalu, dan hingga kini bersamaan dengan event otomotif, jenis musik yang populer di era 40an hingga 60an itu tetap membuat para bikers bergoyang.

492014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 50: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

50 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Ada Untuk Sumatera Utara Dan Indonesia

RuFi Community KOMUNITAS

BERIKUT BEBERAPA PRSTASI YANG TELAH DIRAIH OLEH KOMUNITAS INI:1. Nominasi MOST FAVORITE LOCAL COMMUNITY 2011 versi Aplaus Medan Award (2011).2. Exclusive Talkshow di TVRI SUMUT (2011) dan DAAITV (2012).3. Terpilih mewakili SUMUT mengikuti Jambore Film Pendek 2012 oleh Kementrian Pendidikan

dan Kebudayaan di Jakarta.4. Terpilih mengikuti Training Of Training Ekonomi Kreatif oleh Kementrian Pariwisata dan

Ekonomi Kreatif (2012).5. Film berjudul SERIBU masuk dalam nominasi Festival Film KEMENPORA 2013.6. Hadir mengisi acara di Stasiun TV Lokal maupun nasional dan media lainnya seperti radio-radio

dan majalah/surat kabar.

RuFI Community merupakan komunitas yang bergerak di bidang produksi film/videography secara Independent yang berada di Medan. Komunitas ini memproduksi film-film berdurasi panjang maupun berdurasi pendek yang dibut untuk menghibur dan digandrungi oleh masyarakat terutama anak-anak muda.

Komunitas yang berdiri sejak tanggal 1 September 2010 ini, saat ini beranggotakan

sekitar 80 orang yang terdiri atas anak-anak muda di Sumatera Utara dengan berbagai macam latar

belakang dan kreatifitas.Visi RuFi Community adalah

Mahir, Kreatif, Semangat dan Cerdas (MKSC) yang mempunyai beberapa indikator, seperti professional dengan tugas dan

tanggung jawab masing-masing, mahir mengoperasionalkan

tugas dan tanggung jawab masing-

masing, mampu memanfaatkan apa saja yang ada selagi masih berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab masing, berusaha menciptakan

hasil produksi yang baik serta

berprestasi dalam sebuah produksi

Film. Selain itu,

komunitas ini memiliki misi-misi dlam keberadaannya, seperti mengefektifkan proses produksi sebuah Film, menjadi wadah untuk membina dan mengembangkan ide-ide kreatif anak muda, menjdi wadah untuk membina dan mengembangkan bakat perfiliman anak muda secara khusus, mengembangkan pemanfaatan tekhnologi tepat guna serta menjadi wadah untuk membina dan mengembangkan bakat kesenian anak muda secara umum.

Salah satu film hasil karya dari anggota komunitas ini adalah film dengan Judul The End, yang disutradari oleh Muhammad Abrar. Film ini bercerita tentang seorang gadis yang bernama Andini, yang memutuskan untuk keluar dari kelompok gang narkoba dibawah kepemimpinan Raul. Namun dia harus menerima kenyataan pahit, bahwa keputusan itu memiliki resiko yang sangat sulit sehinga adik dan sahabatnya ikut menjadi korban.

Page 51: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

512014 l Edisi 9 l Kinescope l

UNTUK INFORMASI TERKAIT DENGAN KOMUITAS INI, SILAHKAN MENGHUBUNGI: Muhammad Abrar : 081370336559, Mifta : 085261110841, Mikradi: 085297282789FB : Komunitas RuFi Twitter : @RuFICommunity @RuFITV @RuFICoorporate Blog : ruficommunity.wordpress.com Email : [email protected]

Page 52: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

52 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

TOKOH DUNIA

BERSINAR DI TENGAH REVOLUSI*

Abbas Kiarostami

Dirinya juga salah satu sutradara terhormat di ajang perfilman internasional pada dekade terakhir. Pada masa 1980-an dan 1990-an, ketika Iran masih dipandang buruk

oleh Barat, karya filmnya sudah mengenalkan isu hak asasi manusia dan seni.

Kiarostami belajar di Universitas Tehran Fakultas Seni Rupa. Pada 1970, dia mendirikan departemen film di Institut Pengembangan Intelektual Anak dan Remaja (dikenal sebagai Kanun), dimana ia menjadi figur utama pembuat film Iran kontemporer. Dia memimpin departemen itu selama lima tahun kemudian, dan bersamaan itu keluar film pertamanya Nan va Koutcheh (1970). Di Kanun, ia juga membuat film pendidikan, organisasi non-profit, dan membentuk dasar kiprahnya di perfilman

Meskipun Kiarostami telah membuat banyak film yang memenangkan penghargaan, adalah Revolusi Iran yang ikut melambungkan namanya di panggung perfilman internasional. 20 tahun setelah film

pertamanya, Gozaresh (1977), dia mendapat penghargaan penting Palem Emas di Festival Film Cannes untuk film Ta’m-e gīlās pada 1997.

Karya emasnya Nema-ye Nazdik (1990) dan, kemudian, karya puitiknya Zendegi va digar hich (1991) mengukuhkan perjalanan karya Kiarostami di mata Barat, terutama Perancis. Dia memenangi penghargaan Un Certain Regard di Cannes.

Kiarostami digolongkan sebagai pembuat film generasi “New Wave”, sebuah pergerakan dalam perfilman Iran yang dimulai pada 1960-an, sebelum revolusi 1979 dan memuncak pada 1970-an. Sutradara seperti Forough Farrokhzad, Sohrab Shahid Saless,Bahram Beizai, dan Parviz Kimiavi adalah perintis

pergerakan ini. Mereka membuat karya film inovatif yang bersuara politis dan filosofis, dan berbahasa puitik. Beberapa, seperti Saless (yang disandingkan dengan Robert Bresson, mengenalkan gaya realis (plot sedikit, tidak dramatis),

sedangkan lainnya, seperti Kimiavi (dikenal sebagai Godardnya Iran, mencampur antara fantasi dan realitas, menghasilkan

sebuah film yang penuh metafor. Dia juga menulis puisi dan

menerbitkan koleksinya pada 1999.

*Dari berbgai sumber

52 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 53: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

532014 l Edisi 9 l Kinescope l

BERSINAR DI TENGAH REVOLUSI*

Abbas Kiarostami, yang lahir di Teheran, Iran, 22 Juli 1940, adalah seorang sutradara berbakat sekaligus kontroversial pasca-revolusi pembuat film Iran.

532014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 54: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

54 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

FILMOGRAFI[SUNTING | SUNTING SUMBER

• Nān o Kūcheh (1970 - film pendek)• Zang-e Tafrih (1972 - film pendek)• Tajrobeh (1973)• Mosafer (1974)• Man ham Mitounam (1975 - short)• Do Rahehal Baraye yek Masaleh (1975 - film pendek)• Rang-ha (1976 - film pendek)• Lebasi Baraye Arossi (1976)• Az Oghat-e Faraghat-e Khod Chegouneh Estefadeh Konim:

Naghashi (1977 - film pendek)• Gozāresh (1977)• Bozorgdasht-e Moalemha (1977 - film pendek)• Rah-e Hal (1978 - film pendek)• Ghazieh-e Shekl-e Aval, Ghazieh-e Shekl-e Dovom (1979)• Dental Hygiene (1980 - film pendek)• Orderly or Disorderly (1981 - film pendek)• The Chorus (1982 - film pendek)• Fellow Citizen (1983)• Toothache (1983 - film pendek)• First Graders (1984)• Where Is the Friend’s House (1987)• The Key (1987 - skenario dan editing saja)• Homework (1989)• Nema-ye Nazdik (1990)

ABBAS KIAROSTAMI

Page 55: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

552014 l Edisi 9 l Kinescope l

ABBAS KIAROSTAMI• Zendegi va digar hich (1991)• Journey to the Land of the Traveller (1993 - produser)• Through the Olive Trees (1994)• The Journey (1994 - skenario)• The White Balloon (1995 - skenario)• A propos de Nice, la suite (1995 - segmen “Reperages”)• Lumiere and Company (1996 - segmen “Dinner for One”)• Ta’m-e gīlās (1997)• The Birth of Light (1997 - film pendek)• The Wind Will Carry Us (1999)• Willow and Wind (1999 - skenario)• ABC Africa (2001)• Ten (2002)• The Deserted Station (2002 - skenario)• Crimson Gold (2003 - skenario)• Film (2003)• Ten Minutes Older (2003 - tidak termasuk Ten Minutes Older:

The Trumpet atau Ten Minutes Older: The Cello)• 10 on Ten (2004)• Tickets (2005 - bagian tengah)

552014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 56: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

56 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Masuk di Viewster Film Festival secara personal sangat berkesan karena film-film pendek lain yang masuk disana tidak cuma bagus atau unik tapi juga jenis-jenisnya sangat beragam sesuai

dengan selera, referensi & kreativitas para pembuatnya masing-masing.

Thieves dibuat dengan budget sekitar Rp.40 juta. Shooting dilakukan selama 2 hari di Asemka, Kota Tua dan rumah di Manggarai, menggunakan kamera Canon 5D mk3 (un-hacked), pada akhir tahun 2013.

Tiga orang hendak melakukan pencurian kecil, namun pikiran mereka masih terganggu dengan apa yang terjadi di hari sebelumnya, yang akan menjelaskan hubungan di antara ketiganya.

Latar belakang kita membuat film pendek ini, selain karena kecintaan kita kepada film, juga sebagai salam kenal dari kita kepada para seniman, komunitas, pelaku industri perfilman, baik di dalam maupun luar negeri. Berinteraksi dengan sesama pecinta film merupakan hal yang menyenangkan bagi kita.

R DOKUMENTER

Thieves

Page 57: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

572014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 58: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

58 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

POJOK KREATIF

58 l Kinescope l Edisi 6 l 2014

Page 59: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

592014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 60: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

60 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Nya Abbas AkupTOKOH FILM NASIONAL

60 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 61: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

612014 l Edisi 9 l Kinescope l

Namun begitu, skenario Nyak Abbas dalam Cintaku di Rumah Su-sun itu terpilih sebagai

yang terbaik pada Festival Asia Pasifik 1988 dan pada 1989 di-anugrahi Hadiah “Usmar Ismail” oleh Dewan Film Nasional.

Meski piala untuk Akup adalah penghargaan khusus pada FFI 1991 sebagai sutra-dara yang konsekuen mem-buat film-film komedi --mirip sineas Alfred Hitchcock yang sepanjang kariernya juga tak pernah mendapat Piala Oscar--anak didik Usmar Ismail  ini seperti kurang diakui juri Piala Citra lantaran penghargaan ini kebanyakan diraih oleh film-film drama. Walau filmnya berbobot dan sukses menghasilkan laba, sosok pendiam yang jauh dari kesan lucu ini seperti tenggelam dibandingkan nama besar Usmar Ismail,Syuman Djaya, Teguh Karya, Wim Um-boh, Arifin C. Noer dan Asrul Sani.

Dia lulus ujian “masuk” sebagai asisten sutradara dalam film Kafedo (1952), yang diselenggarakan PER-FINI pimpinan Usmar Ismail (1921-1971). Ditugasi langsung mendampingi D. Djajakusuma

(1918-1987) dalam pembikinan film Harimau Tjampa (1953). Se-tahun kemudian dipercaya me-nyutradarai Heboh (1954). Film yang ditulis sendiri skenarionya itu cukup sukses di pasaran. Tapi, baru dengan Tiga Buronan (1957) namanya dikenal secara luas. Hingga Boneka dari Indi-ana (1990), Nyak Abbas terlibat dalam pembuatan 34 film. Cuma 4 buah diantaranya yang bukan komedi.

Salim Said, pengamat politik yang juga kritikus film, men-julukinya “tukang ejek nomor wahid” atas kiprahnya “me-nampilkan sesuatu yang baru di tengah sejumlah komedi konyol gaya sandiwara” (Pantulan Layar Putih, Pustaka Sinar Harapan, 1991). Bila untuk “Bapak Film Nasional” kita dapat menyebut Usmar Ismail, maka Nya Ab-bas Akup, pria berdarah Aceh kelahiran Malang, 1932, dan wafat pada 14 Februari 1991 ini menyandang julukan “Bapak Film Komedi Indonesia”.

Laki-laki yang pernah menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum UI dan UNPAD, walau-pun tak lulus ini memang pantas menyandangnya, lantaran gen-erasi film komedi yang dipelop-ori pelawak kondang Bing Slamet, Benyamin S., Jalal, At-eng, sampai duet Kadir-Doyok--yang pertama kali diperte-

mukan dalam film Cintaku di Rumah Susun (1987)--lahir dari tangannya. Akup juga dinilai menyegarkan aspek bertutur film komedi di tengah komedi konyol slapstick.

Hampir semua sub genre film komedi juga disentuh Akup. Sebutlah Drakula Mantu (1974, a.ka. Benyamin Kontra Drakula) yang menyajikan horor komedi. Dalam Tiga Buronan (1957) ada black comedy dan komedi aksi. Sedangkan di Bing Slamet Koboi Cen-geng (1974) ada parodi ketika di masa itu Indonesia sedang tergila-gila pada popularitas film koboi Django, Lone Ranger dan Bonanza. Lalu ada komedi musikal Dunia Belum Ki-amat (1971) sampai kritik sosial dalam Inem Pelayan Sexy (1976) yang menjadi masterpiece-nya.

Tak hanya itu, Akup pun punya penerus. Ia adalah Ucik Supra, sutradara film Rebo dan Roby dan Badut-Badut Kota yang dapat disebut sebagai penerus film komedi kritik sosial. Sayang Ucik muncul pada zaman terpuruknya perfilman nasional sehingga ia kurang produktif. Film terba-runya, Panggung Pinggir Kali (2004), yang meski bukan komedi, masih sedikit menyim-pan greget dengan kritiknya.

*Dari berbagai sumber

Bapak Film Komedi Indonesia*Nama Nya Abbas Akup tak bisa dilupakan dalam dunia perfilman nasional, walaupun sineas kelahiran Malang, berdarah Aceh ini tak pernah mendapatkan Piala Citra. Satu-satunya penghargaan yang pernah diraihnya adalah Piala Antemas untuk film terlaris 1978, Inem Pelayan Sexy dan Piala Bing Slamet untuk film komedi terbaik 1991, Boneka dari Indiana.

612014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 62: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

62 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

FILMOGRAFI

• Heboh (1954)• Djuara 1960 (1956)• Tiga Buronan (1957)• Jendral Kancil (1958)• Langkah-Langkah di Persimpangan (1965)• Tikungan Maut (1966)• Nenny (1968)• Mat Dower (1969)• Dunia Belum Kiamat (1971)• Catatan Harian Seorang Gadis (1972)• Ambisi (1973)• Bing Slamet Koboi Cengeng (1974)• Ateng Minta Kawin (1974)• Drakula Mantu (1974)• Tiga Cewek Badung (1975)• Inem Pelayan Sexy (1976)• Karminem• Inem Pelayan Sexy II• Inem Pelayan Sexy III (1977)• Kisah Cinta Rojali dan Zuleha (1979)• Gadis (1980)• Koboi Sutra Ungu (1981)• Apanya Dong (1983)• Semua Karena Ginah (1985)• Cintaku di Rumah Susun (1987)• Kipas-Kipas Cari Angin (1989)

Nya Abbas Akup

62 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 63: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

632014 l Edisi 9 l Kinescope l 632014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 64: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

64 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

OPINI

KILAS BALIK PERKEMBANGAN FILM ANAK DI INDONESIAPercaya atau tidak, salah satu genre yang hampir tak pernah berhenti diproduksi di Indonesia selain melodrama dan horor adalah film anak.

DANIEL IRAWAN

64 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 65: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

652014 l Edisi 9 l Kinescope l

Secara definitif, film anak yang berdasar sasaran pasarnya juga sering disamakan dengan tontonan atau film

keluarga memang merupakan genre yang mengandung anak-anak dalam konteks rumah atau keluarga sebagai elemennya. Walau begitu, sebenarnya film anak secara khusus lebih diperuntukkan untuk anak sementara tak semua film dengan rating segala umur sebagai tontonan keluarga selalu ditujukan khusus untuk mereka.

Dalam subgenre-nya, film anak sebenarnya juga punya banyak pendekatan genre yang sama seperti film-film lainnya, dan begitu pula dalam perfilman kita ada yang disajikan sebagai melodrama, komedi, fantasi, musikal bahkan perang, sementara berbeda dengan film-film luar, film anak dalam bentuk animasi justru jarang-jarang bisa ditemukan dalam sejarah perfilman kita. Dari pandangan edukatif, ini memang sebuah genre yang sangat perlu mendapat dukungan karena anak-anak juga butuh tontonan yang mendidik daripada terus terpaksa mengikuti arus trend yang ada bersama film-film remaja atau dewasa. Masalahnya juga, ketimbang film-film yang ditujukan sebagai tontonan keluarga, terkadang film anak yang benar-benar murni diperuntukkan untuk anak, terbentur dengan segmentasi penonton kita kebanyakan. Banyak film anak dalam sejarah film kita sebenarnya bukanlah film yang dibuat murni untuk anak namun lebih dalam wujudnya sebagai film keluarga.

Yang menjadi pertanyaan tentu saja mengapa genre ini masih terus dibuat hingga sekarang. Sasaran

keluarga sebagai pemirsa, terutama

di masa-masa liburan yang selalu jadi standar emas

waktu perilisan film kita, memang masih sulit untuk dilepaskan, dan mungkin saja trend yang

berkembang hingga saat ini sedikit banyaknya memberi ruang

cukup luas untuk membuatnya terus diproduksi. Tema-tema inspiratif yang masih terus diikuti banyak produser sejak kesuksesan ‘Laskar Pelangi’, misalnya, kadang juga tak jauh dari keterlibatan elemennya.

ERA AWAL PERFILMAN INDONESIA KE TAHUN ‘70AN

Tak banyak mungkin catatan apa film anak Indonesia pertama yang diproduksi, namun dari era-era awal film kita, tercantum judul seperti ‘Aladin Dengan Lampoe Wasiat’ (1940) yang legendanya sangat dekat dengan anak-anak. Di era Usmar Ismail, dimana film nasional benar-benar diproduksi oleh orang Indonesia, genre ini juga masih tergolong cukup jarang. Judul-judul yang cukup dikenal diantaranya adalah ‘Ratapan Ibu’ (1950), ‘Si Pintjang’ (1951), ‘Bawang Merah dan Bawang Putih’ (1953), ‘Djuara Sepatu Roda’ (1958) atau ‘Sri Asih’ (1954), adaptasi komik superhero lokal yang pangsa pembacanya memang dari kalangan segala umur. Sementara yang paling menonjol adalah ‘Djendral Kantjil’ (1958) yang melejitkan nama Achmad Albar sebagai bintang cilik . Era ’60-an pun tak banyak mencatat film anak di tengah tema-tema sosial bersama gejolak politik di zamannya, namun ada satu yang cukup dikenal, ‘Bintang Ketjil’ (1963).

652014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 66: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

66 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Begitupun, film anak kita baru berkembang lebih baik di era ’70-an, setelah diwarnai dengan trend komedi yang mencatat nama Benyamin S. Atau Bing Slamet dan Ateng-Iskak-Eddy Sud dalam Kwartet Jaya. Dengan kesuksesan ‘Si Doel Anak Betawi’ di tahun 1973 yang sekaligus mengangkat nama Rano Karno sebagai bintang cilik berbakat, selain Rano yang jadi banyak berperan di film-film anak antara lain ‘Si Rano’, ‘Yatim’ atau ‘Dimana Kau Ibu’ di tahun yang sama, produser mulai mencari bintang cilik lain untuk diangkat.

Ditambah dengan sukses besarnya ‘Ratapan Anak Tiri’ yang memperkenalkan Faradilla Sandy dan Dewi Rosaria Indah, tahun itu seolah menjadi tonggak kebangkitan genre ini. Ada juga film-film lain seperti ‘Ita Si Anak Pungut’, Bing Slamet juga membuat komedi musikal ‘Bing Slamet Sibuk’ (disutradarai alm. Hasmanan) dengan inspirasi dari ‘The Sound Of Music’ dan memperkenalkan grup The Kids.

Trend ini masih terus berjalan ke tahun 1974 dimana genre komedi yang diusung grup-grup komedian seperti Kwartet Jaya dan Benyamin S. masih mewarnai pangsanya sebagai tontonan keluarga. Semakin banyak produser yang mencari bakat-bakat cilik baru dari ranah musik. Rano Karno masih terus tampil dalam ‘Anak Bintang’ yang bergenre drama

fantasi, ‘Jangan Biarkan Mereka Lapar’, ‘Rio Anakku’

dimana Rano meraih Pemain Cilik Terbaik FFI hingga ‘Ratapan Si Miskin’ yang mempertemukannya dengan Faradilla Sandy dan tentu saja ‘Romi dan Juli’ yang meskipun lebih ke genre remaja namun mencatat salah satu penampilan Rano sebagai bintang cilik dengan pasangan legendarisnya Yessy Gusman. Selain itu ada debut Astri Ivo dalam ‘Boni dan Nancy’, Erwin Gutawa (credited as Erwin Gautama) di ‘Permata Bunda’, ‘Raja Jin Penjaga Pintu Kereta’ yang punya tema sangat unik, bahkan ‘Rama Superman Indonesia’ yang diilhami Superman dan peraih film terbaik Piala Citra 1975, ‘Senyum Pagi di Bulan Desember’ yang memperkenalkan Santi Sardi (hadiah khusus FFI 1975 untuk pemeran cilik terbaik).

Meski Rano Karno sudah mulai beranjak menjadi seorang remaja sejak perannya di ‘Romi dan Juli’, trend ini masih berkembang di tahun-tahun setelahnya dengan masuknya Adi Bing Slamet sepeninggal sang ayah sebagai bintang cilik baru di tahun 1976. Tak hanya tampil dalam melodrama anak seperti ‘Anak Emas’ dan ‘Cinta Kasih Mama’, Adi juga bergabung dengan grup ayahnya di ‘Ateng Sok Tahu’. Bersama popularitas Adi Bing Slamet, muncul pula Chicha dari keluarga Koeswoyo yang melejit lewat lagu ‘Helly’. Mengusung judul berdasar namanya sendiri, film ini bahkan berhasil memenangkan piala di Festival Film Kairo tahun

itu. Menyusul Chicha, ada juga Yoan Tanamal, putri Tanty Yosepha lewat ‘Yoan’. Adi Bing Slamet sendiri masih terus bertahan ke tahun 1976 lewat ‘Bandit Pungli’ bersama Eddy Sud yang berpisah dari Kwartet Jaya dan ‘Koboi Cilik’ di tahun 1977, dimana Eddy Sud berkolaborasi dengan

Bagio dkk. Sementara Santi Sardi bermain dalam ‘Jangan Menangis Mama’ (1977), sementara saudaranya, Lukman Sardi dan Ajeng Triani Sardi tampil di ‘Pengemis dan Tukang Becak’ yang mendapat unggulan film terbaik FFI, dan ada pula Bagus Santoso di ‘Jeritan Si Buyung’, ‘Petualang Cilik’

dan ‘Nasib Si Miskin’ di tahun yang sama.

Tahun 1979 mencatat debut Ira Maya Sopha dan Dina Mariana, keduanya juga penyanyi cilik untuk semakin meramaikan genre ini lewat ‘Ira Maya Si Anak Tiri’ dan ‘Ira Maya dan Kakek Ateng’. Selain itu juga ada Liza Tanzil dari Sangar Sanggrila yang sebelumnya muncul di ‘Kisah Cinderella’ (1978) lewat ‘Pinokio Si Boneka Kayu’ dan ‘Tuyul Perempuan’ (keduanya bersama Ateng-Iskak). Di tahun 1980 ada ‘Abizars Pahlawan Kecil’ yang sayangnya gagal melejitkan bintang ciliknya, Santi Sardi dengan ‘Senyum Untuk Mama’ dan ‘Anak-Anak Tak Beribu’ yang juga diperani Lukman dan Ajeng Triani, ‘Buah Hati Mama’ (Puput Novel dan Ryan Hidayat), dan ‘Nakalnya Anak-Anak’ yang mempertemukan Ira Maya Sopha, Dina Mariana, Ryan Hidayat bersama Ria Irawan dan Kiki Amelia, lagi-lagi diinspirasi ‘The Sound Of Music’. ‘Harmonikaku’ karya Arifin C. Noer yang mendapat nominasi FFI juga muncul di tahun ini. Seakan tak mau kalah, momen ini juga dimanfaatkan sutradara Sandy Suwardi Hassan untuk membesut sekuel ke film legendarisnya, ‘Ratapan Anak Tiri II’, tetap dengan Faradilla Sandy plus adiknya, Faraumaina Sandy. Berkolaborasi dengan Liza Tanzil, Ira Maya sendiri masih melanjutkan perannya dalam sekuel ‘Kisah Cinderella’, ‘Ira Maya Putri Cinderella’ di tahun 1981, sementara Dina Mariana dan Kiki Amelia masih tampil di ‘Tangan-Tangan Mungil’ bersama Kak Seto.

ERA ’80 KE ‘90ANGenre ini menurun drastis di

tahun-tahun selanjutnya dengan maraknya tema-tema legenda, percintaan remaja dan exploitation genre, namun masih menyisakan beberapa judul seperti ‘Lima Sahabat’ (1981) yang diperankan Septian Dwicahyo, ‘Merindukan Kasih Sayang’ (1984) yang kembali diperankan Abizars namun tetap tak bisa melejitkan karirnya, walau Abizars mendapat Piala Kartini untuk Pemain Cilik Terbaik FFI dan masih berlanjut ke action Barry Prima ‘Kesan Pertama’ (1985)

Page 67: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

672014 l Edisi 9 l Kinescope l

yang sebenarnya merupakan tontonan keluarga rip-off dari film India ‘Jhutha Sach’, ‘Untukmu Kuserahkan Segalanya’ (1984), drama musikal dengan tema panti asuhan yang diperankan Rano Karno dan Lydia Kandou, sementara ‘Arie Hanggara’ (1985) dan ‘Tragedi Bintaro’ (1989) walaupun masing-masing mencatat penampilan bintang cilik Yan Cherry Budiono dan Ferry Octora namun lebih berupa kisah nyata tragedi yang sama sekali bukan untuk konsumsi anak, dan ‘Musang Berjanggut’ yang meski menyatukan banyak komedian legendaris tanpa elemen dewasa tapi lebih kental di genre legenda. Beberapa melodrama keluarga tipikal lain seperti ‘Bila Saatnya Tiba’ (1985) dan ‘Tak Seindah Kasih Mama’ (1986) pun agak jauh untuk dikategorikan sebagai film anak. Ada sebuah usaha bagus dari Pitrajaya Burnama untuk mengadaptasi atmosfer ‘Bugsy Malone’, operet anak-anak dalam ‘Don Aufar’, namun sayangnya gagal total di pasaran, membuat genre ini semakin ditinggalkan.

Baru di tahun 1989 kemudian Slamet Rahardjo muncul dengan ‘Langitku Rumahku’. Mendapat banyak nominasi FFI 1990, dua Citra untuk artistik dan fotografi sekaligus Piala Kartini untuk Banyubiru, sayangnya tak sukses karena dituding tak mendapat perlakuan wajar dalam peredarannya. Di tahun yang sama juga ada ‘Si Badung’ yang juga mendapat nominasi FFI untuk film terbaik dan meraih Piala Kartini untuk aktris cilik Sheren Regina Dau, serta ‘Nyoman dan Merah Putih’ yang sempat mendapat penolakan judul awal ‘Nyoman dan Presiden’. Di tengah gempuran film-film erotis tahun ‘90an masih ada pula ‘Amrin Membolos’ karya Yonky Souhoka yang diperani aktor cilik Don Bograd dan Mandra yang tengah melejit, namun sayangnya juga gagal bersaing dengan film-film erotis itu.

ERA KEBANGKITAN FILM INDONESIA – SEKARANG

Meski genre-nya seakan tertinggal semasa dua dekade itu,

salah satu film yang menandakan awal-awal kebangkitan film kita, ‘Petualangan Sherina’ (1999) juga ada di genre film anak. Serupa seperti resep yang banyak dipakai produser saat masa keemasan genre ini di tahun ’70-an, film dari duo produser-sutradara Mira Lesmana-Riri Riza ini juga menjual popularitas Sherina yang merupakan seorang penyanyi cilik.

Resep ini juga digunakan oleh dua film yang diperankan Joshua Suherman, ‘Joshua Oh, Joshua’ (2000) dan ‘Petualangan 100 Jam’ (2004), begitu juga Tina Toon dengan ‘Lenong Bocah The Movie’ (2004) namun sayangnya tak mampu menyaingi kesuksesan ‘Petualangan Sherina’.

Dari era awal kebangkitan film kita, sebenarnya masih cukup banyak film anak yang diproduksi. Walau terkadang lebih berupa film keluarga, sebagian

diantaranya, bukan hanya baik secara kualitas, namun juga cukup mendapat sambutan. Film-film seperti ‘Denias :

Senandung Di Atas Awan’ dan ‘King’ dari Alenia Pictures yang memang mengkhususkan produksinya ke arah tontonan anak, ‘Rumah Tanpa Jendela’ dari Aditya Gumay dan Sanggar Ananda, ‘Bendera’ dari Nan T. Achnas, ‘Ambilkan Bulan’ dari Mizan, ‘Untuk Rena’, ‘Garuda Di Dadaku 1-2’ dan ‘Tendangan Dari Langit’ yang punya tema sepakbola, hingga ‘Cita-Citaku Setinggi Tanah’ dan ‘Jendral Kancil The Movie’ yang menyambung serial teve sekaligus film klasik 1958-nya merupakan film-film anak yang sangat patut untuk

Page 68: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

68 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

diapresiasi lebih.Sayangnya sebagian lagi tak

seperti itu. Dipenuhi kekurangan ini dan itu, ada yang sangat lemah dalam penggarapan seperti banyak judul yang bahkan sulit kita ingat sampai saat ini, ada yang gagal menangkap kepolosan dan pola pikir anak-anak seperti segmen terakhir Upi di ‘Princess, Bajak Laut dan Alien’, tanggung-tanggung seperti ‘Semesta Mendukung’ atau sebenarnya punya tujuan baik namun memberikan pesan misguided seperti ‘Leher Angsa’, ‘Rindu Purnama’ dan ‘Serdadu Kumbang’ atau malah cenderung berisi isu realisme yang terlalu berat dan malah tak pantas disaksikan anak-anak seperti halnya ‘Rumah Di Seribu Ombak’ dan ‘Di Timur Matahari’, bahkan dikotori kepentingan-kepentingan lain seperti ‘Sayap Kecil Garuda’. Selain itu, sebagian besar juga masih harus berurusan dengan sepinya sambutan penonton.

Sementara genre animasi agaknya masih cukup jauh tertinggal di belakang. Selagi perkembangannya di ranah independen sebenarnya sangat menjanjikan dengan kualitas-kualitas teknis yang mumpuni, dua yang hadir masih di masa-masa

awal bangkitnya film Indonesia, ‘Homeland’ dan ‘Janus : Prajurit Terakhir’ sayangnya diedarkan cukup terbatas, sementara ‘Meraih Mimpi’ walau dikerjakan oleh animator-animator lokal namun hanyalah produk sulih suara dari ‘Sing To The Dawn’ yang aslinya merupakan film negara tetangga Singapura. Masih ada ‘Petualangan Si Adi’ dalam format 3D tahun lalu yang sebenarnya secara teknis cukup baik namun gagal total di pasaran. Yang cukup mendapat sambutan hanyalah sekuel ‘Petualangan Singa Pemberani’ yang dirilis sebagai afiliasi sebuah produk yang memang sudah sangat dikenal dari animasi-animasi homevideo-nya.

Begitupun, film anak tetaplah merupakan genre yang seharusnya tetap diproduksi karena anak-anak juga memerlukan tontonan berkualitas yang sekaligus bisa memberikan edukasi serta pemahaman sosial yang baik untuk

perkembangannya. Adalah sebuah harapan agar produser dan sineas kita tak berhenti untuk memproduksi genre ini, bukan hanya sekedar niat, tapi juga dengan kualitas yang semakin baik nantinya.

Page 69: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

692014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 70: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

70 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Sejarah Singkat Film Animasi di Indonesia*Familiar dengan Mickey Mouse? Toy Story? Ice Age? Madagascar? Atau yang terbaru Minion dari Despicable Me? Well, kalau kamu mengenal semuanya, tahu apalagi suka, tidak dipungkiri lagi kamu pencinta animasi a.k.a kartun.

70 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 71: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

712014 l Edisi 9 l Kinescope l

Animasi boleh dibilang men-jadi salah satu tambang emas di dunia hiburan. Film jenis ini selalu mampu

meraih jumlah penonton yang besar sekaligus menyedot keuntungan yang tak sedikit. Bahkan, kini film animasi tidak lagi diproduksi hanya untuk anak-anak. Sudah ada animasi untuk remaja, bahkan dewasa. Film animasi “The Simpson” dan “Crayon Shinchan” contohnya. Meskipun tokoh utamanya juga ada anak-anak, mereka bukanlah tontonan yang ‘pas’ untuk anak-anak.

Film animasi yang dibahas di atas kebanyakan buatan Amerika. Meski demikian, bukan berarti gaung film animasi di Asia tidak mem-bahana. Jepang, misalnya, telah mengembangkan film animasi sejak tahun 1913. Dalam perkembangan selanjutnya, Amerika dan Jepang banyak bersaing dalam pembuatan film animasi. Amerika dikenal den-gan animasinya yang mengguna-kan teknologi canggih dan kadang simpel. Sedangkan animasi Jepang (anime) mempunyai jalan cerita yang menarik dan gaya yang khas.

Perkembangan industri kreatif pada bidang animasi sudah se-makin meluas dan semakin banyak animator-animator dari Indonesia yang semakin handal dalam mem-buat film animasi, tetapi sebenarnya perkembangan animasi di Indonesia sekarang itu seperti apa sih. Jadi Animasi Indonesia telah berkem-bang sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Kebutuhan animasi untuk kepentingan kebutuhan iklan

sudah cukup terpenuhi.

Demikian juga kebutuhan animasi untuk kebutuhan trik dalam film live juga sudah terpenuhi. Bahkan untuk kebutuhan film live mancane-gara pun trik melalui animasinya dilakukan oleh animator Indonesia. Film animasi asing, termasuk yang sedang beredar di Indonesia, juga dibuat oleh animator Indonesia. Be-berapa animator Indonesia bekerja untuk membuat film animasi negara lain. Usaha animasi yang terkemas dalam bentuk industri, masih sangat sedikit.

Ada beberapa yang mengemas usahanya dalam bentuk industri tetapi belum banyak yang mem-produksi film (serial maupun layar lebar) untuk kepentingan film ani-masi dalam negeri. Usaha terbanyak adalah mendudukkan animatornya sebagai tenaga outsourcing untuk membuat film animasi luar negeri. Bila perhitungan kebutuhan film (se-rial) animasi di Indonesia didasarkan pada jumlah stasiun televisi nasional dan lokal dikalikan dengan frekuensi penayangan film (serial) animasi setiap minggunya, akan meng-hasilkan angka yang mengejutkan. Sayangnya hampir seluruh angkanya dipenuhi oleh film (serial) animasi asing.

Bagi animator Indonesia, kesala-han kondisi ini dilemparkan kepada ketiadaan dukungan para peman-gku kepentingan pada film animasi nasional, dan murahnya harga beli film (serial) animasi oleh sebuah stasiun televisi. Murahnya harga beli film animasi sangat jauh dari mimpi animator Indonesia yang mengingin-kan keuntungan dengan sekali jual karyanya ke satu stasiun televisi.

Yang menjadi akar permasala-hannya adalah Kondisi belum terstrukturnya industri animasi di In-

donesia, produk ani-masi diselesaikan oleh satu kelompok

animator serabutan yang berarti semua bisa dan

bisa semua. Kondisi ini me-lupakan prinsip

kerja pembua-tan film: Film adalah karya kolektif dan masing-mas-ing personal

membidangi dan bertanggung jawab sesuai profesinya.

Kondisi belum terstrukturnya industri animasi di Indonesia juga berakibat pada daya tahan hidup kelompok ‘industri’ animasi. Profesi animator disandang hanya beberapa lama ketika mengerjakan ‘project’ dan sesudahnya berprofesi sebagai pedagang, pramuniaga dan profesi lain, sambil menunggu pangilan bek-erja bila ada project dari pemerintah atau donasi swasta.

Kondisi ini dikaitkan dengan besarnya biaya produksi mengaki-batkan daya dukung finansial anima-tor menurun, bahkan sedikit sekali animator yang mampu membangun animasi sebagai industri. Kondisi ini diperparah karena belum adanya investor yang bergerak di bidang industri animasi, serta kalangan per-bankan yang belum percaya pada industri animasi mengingat banyak perbankan yang belum dapat melihat prospek ke depan industri animasi yang mampu menggerakkan kelompok industri lain.

Kemandirian produksi yang be-lum terjadi pada film animasi Indo-nesia, menjadikan profesi animator ‘belum dipercaya’ sebagai media be-rekspresi sekaligus sebagai profesi. Animator menjadi pekerjaan masa senggang. Banyak animator yang lebih suka bekerja sendiri sehingga tidak terjadi resiko kesalahan karena orang lain. Artinya banyak animator yang berlaku sebagai aktor (anima-tor adalah aktor yang mewakilkan dirinya melalui karya animasi yang dibuatnya), sekaligus penulis cerita, penulis skrip, sutradara, editor, kalau perlu pengisi musik, dialog, dan sederet pekerjaan kreatif lainnya. Dalam konteks ini, animator lebih senang membuat karya animasi pendek dalam rangka lomba ani-masi, atau membuat filler.

Lalu bagaimana dengan sejarah film animasi di Indonesia? Pada tahun 1955 Indonesia sudah mampu membuat film animasi seiring dengan munculnya film berjudul “Si Doel Memilih” karya Dukut Hen-dronoto. Namun, saat itu animasi hanya dipergunakan untuk kepent-ingan politik saja. Film animasi 2 dimensi tentang kampanye pemili-han umum pertama di Indonesia itu menjadi tonggak dimulainya animasi

712014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 72: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

72 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

modern di negeri ini.Awal 70-an, terdapat studio animasi di

Jakarta bernama Anima Indah yang didirikan oleh seorang warga Amerika. Anima Indah termasuk yang mempelopori animasi di Indonesia karena menyekolahkan krunya di Inggris, Jepang,Amerika dan lain-lain. Anima berkembang dengan baik namun

hanya berkembang di bidang periklanan. Di tahun 70-an banyak film yang menggunakan kamera seluloid 8mm, maraknya penggunaan kamera un-tuk membuat film tersebut, akhirnya menjadi penggagas adanya festival film. Di sana terdapat beberapa film animasi seperti Batu Setahun, Trondolo, Timun Mas yang dis-utradarai Suryadi alias Pak Raden

(animator Indonesia Pertama).Era 80-an ini anggap sebagai

72 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 73: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

732014 l Edisi 9 l Kinescope l

kebangkitan animasi Indonesia. Hal ini terbukti dengan maraknya film animasi diantaranya rimba si anak angkasa, yang disutradarai Wagiono Sunarto,  “Si Huma” yang merupa-kan animasi untuk serial TV, dan animasi PetEra.

Berlanjut ke tahun ’90-an, di ta-hun ini bertaburan dengan berbagai film animasi diantaranya Legenda Buriswara, Nariswandi Piliang, Satria Nusantara (kala itu masih menggu-nakan kamera film seluloid 35mm), kemudian ada serial Hela,Heli,Helo yang merupakan film animasi 3D pertama yang di buat di Surabaya. Tahun 1998 mulai bermunculan film-film animasi yang berbasis cerita rakyat seperti Bawang Merah dan Bawang Putih, Timun Mas dan petu-

alangan si Kancil. Di era 90-an ini banyak terdapat animator lokal yang menggarap animasi terkenal dari jepang sep-erti Doraemon dan Pocket Monster.

Pada era 2000-an, diantara sekian banyak studio animasi di Indonesia, Red Rocket Animation termasuk yang paling produktif. Pada tahun 2000 Red Rocket mem-produksi beberapa serial animasi TV seperti Dongeng Aku dan Kau, Klilip dan Puteri Rembulan, Mengapa Domba Bertanduk dan Berbuntut Pendek, Si Kurus dan Si Macan, pada masa ini serial animasi cukup populer karena menggabungkan 2D animasi dengan 3D animasi. Pada tahun 2003, serial 3D animasi merambah layar lebar diantaranya Janus Perajurit Terakhir, menyusul kemudian bulan Mei 2004 terda-pat film layar lebar 3D animasi berdurasi panjang yaitu Homeland. Film animasi berdurasi 30 menit itu

dianggap sebagai film animasi 3 dimensi yang pertama di Indonesia dan menjadi babak baru bagi dunia peranimasian di bumi Nusantara.

Melihat persoalan dan sejarah singkat tentang dunia

animasi di Indonesia, walaupun sudah terlihat berkembang dan membaik, ternyata masih banyak masalah dan kendala-kendala yang dihadapi oleh para animator Indo-nesia. Selain tenaga pembuatnya, alat terknologi kita juga kurang mendukung. Intinya belum banyak yang mensupport animasi di Indo-nesia. Jadi buat kamu para calon animator ayo semakin kreatif dan berkembang. Karena tidak sedikit orang Indonesia yang bekerja bah-kan membuat film animasi-animasi di luar negeri dan semoga bisa mengembangkan film animasi untuk negeri sendiri.

*Sumber: http://www.idseduca-tion.com

732014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 74: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

74 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

R EDUKASI

Bentuk film berfungsi sebagai ‘anatomi’ dari cerita film mudah dipahami oleh penontonnya.

Bentuk Film:

Bagian II : Prinsip-PrinsipKonsep Penceritaan

KUSEN DONY HERMANSYAH

74 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 75: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

752014 l Edisi 9 l Kinescope l

Dikarenakan yang hendak disampaikan kepada penontonnya adalah pesan atau informasi, maka fungsi lain dari

bentuk adalah sebagai tempat bergulirnya cerita, artinya dengan adanya bentuk maka cerita dapat berjalan dan diharapkan pesan sam-pai di benak penontonnya.

KEMIRIPAN / PENGULANGAN DAN PERBEDAAN / VARIASI

Permasalahannya, informasi atau pesan yang disampaikan kepada penonton sangat banyak, sehingga penonton akan mudah lupa pesan

apa saja yang sudah disampaikan dan apa tujuan tokoh dalam cerita film. Supaya penonton selalu ingat dengan selalu tujuan tokoh, maka pesan yang disampaikan haruslah selalu diulang, namun tentu saja ada caranya yaitu dengan menggunakan metode duplikasi dan bukan repetisi. Metode repetisi adalah pengulan-gan atau informasi adegan dalam sebuah film yang cara penyajian-nya dibuat sama persis. Sedangkan metode duplikasi adalah pengulan-gan adegan atau informasi dalam sebuah film yang cara penyajian-nya dibuat berbeda atau bisa juga menggunakan repetisi namun kand-ungan dramatiknya ditingkatkan.

Untuk lebih jelasnya ada contoh sederhana, yaitu bila dalam sebuah film ada tokoh yang ingin ditun-jukkan kebaikkannya sehingga penonton bisa bersimpati, maka pembuat filmnya harus memperli-hatkan beberapa adegan yang dapat menguatkan karakter tokoh terse-but, misalnya pada adegan 1 dia menolong orang tua, pada adegan 3 dia tidak marah ketika ada seorang yang menghinanya, pada adegan ke 7 dia ikut memberikan sedekah ke-pada anak jalanan dan seterusnya. Adegan–adegan di atas merupakan metode duplikasi di mana inti dari penyajiannya adalah menunjukkan kebaikan hati tokohnya.

Tetapi mengapa metode duplikasi lebih disarankan dibanding repetisi, sebab selain penonton bisa melihat perbedaan dari tiap adegan juga untuk memberikan variasi adegan agar penonton tidak merasa jenuh. Penonton bisa jadi merasa dibodohi bila apa yang sudah disampaikan sebelumnya, diperlihatkan lagi pada adegan–adegan selanjutnya.

PENGEMBANGAN CERITAPengembangan cerita wajib di-

lakukan oleh pembuat film, gunanya agar penonton tidak merasa alurnya berputar disitu-situ saja yang bisa membuat mereka meninggalkan bioskop. Terutama pada bagian eksposisi di mana permasalahan sang tokoh dipaparkan sehingga penontonnya bisa mengetahui lebih detil apa saja yang membuat tujuannya berubah.

KESATUAN / KETIDAKSATUANSekali lagi bahwa bentuk film

(cerita) adalah sebuah sistem, se-hingga harus diingatkan lagi bahwa bentuk film tampak sebagai kesat-uan yang utuh sehingga hubungan antar unsurnya jelas. Dikarenakan ketidaksatuan menyebabkan penon-ton akan kecewa ataupun bingung dengan penceritaannya. Misalnya, film Pink Floyd : The Wall (1981) karya Alan Parker, di mana untuk bisa memahami ceritanya harus membaca lirik lagu dari album The Wall (1979) karya band Pink Floyd, sehingga penonton yang tidak membaca lirik lagu sebelumnya maka akan sangat bingung dengan cerita film tersebut, sebab alurnya maju– mundur tanpa panduan yang jelas.

752014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 76: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

76 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Tidak pahlawan, tokoh kartun, tokoh dalam film, atau-pun pemimpin negeri. Hal ini sebetulnya bisa men-

jadi pelecut para pekerja seni di Indonesia untuk bisa memberikan inspirasi kepada anak-anak melalui hasil karya mereka. Seharsnya bisa memberikan dorongan semangat bagi para pemimpin bangsa untuk bisa menjadi tauladan dan panutan dalam bersikap dn bertingkah laku.

Yang paling populer dan paling mudah untuk membuat sebuah inspirasi bagi anak-anak adalah melalui film. Bagaimana sebuah film dibuat dengan sungguh-sungguh yang ditujukan untuk melakukan edukasi kepada anak dari banyak segi dan nilai, seperti moral, kejujuran, persahabatan dan lain sbagainya. Tak hanya sekedar menawarkan film yang menghibur, namun dalam setiap jalan ceritanya disisipkan nilai moral yang tentu saja sangat penting dalam pendidikan dan perkembangan anak.

Inilah 10 film anak inspiratif yang

patut masuk dalam daftar menonton putra-putri Anda di rumah.

JAYDEN’S CHOIR (SIMFONI LUAR BIASA)

Film berdurasi 100 menit ini mer-upakan garapan Awi Suryadi yang diproduseri oleh Delon Tio dan Nita Triyana. Keistimewaan film ini tak hanya karena dibintangi oleh sosok Christian Bautista, pelantun tembang

Since I Found You, namun juga meli-batkan artis senior lain seperti Ira Wibowo dan Ira Maya Sopha.

Film ini menyentuh setiap hati, dengan menghadirkan anak-anak berkebutuhan khusus yang ternyata piawai dalam bermusik. Christian Bautista, memerankan tokoh Jayden Valarao, sosok musisi yang mendam-bakan menjadi seorang bintang rock, dan hidup bebas tanpa tujuan yang

10 Film Anak Indonesia Inspiratif

Dunia anak-anak di Indonesia seolah kekurangan inspirasi. Hampir bisa dipastikan bahwa anak-anak Indonesia dewasa ini tidak mengenal siapapun dari negerinya yang bisa dijadikan idola.

Page 77: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

772014 l Edisi 9 l Kinescope l

pasti. Di dalam perjalanan hidupnya, ia bertemu dengan anak-anak berke-butuhan khusus yang tak hanya punya mimpi, namun juga punya semangat hidup tinggi serta tahu ke mana mereka harus melangkah. Lantas bagaimana anak-anak berke-butuhan khusus tersebut mengubah hidup Jayden? Temukan inspirasi luar biasa pada penayangan perdana bulan September 2011 ini.

RINDU PURNAMAFilm ini disutradarai oleh aktor

senior Mathias Muchus, yang men-gangkat sekelumit cerita kehidupan anak-anak jalanan. Dalam scene-nya, digambarkan bagaimana mereka hidup dalam sebuah komunitas di tempat yang kumuh dan tak layak huni. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, tempat tinggal mereka yang kumuh tersebut hendak digusur dan digantikan dengan gedung-gedung pencakar langit sebuah perusahaan. Film ini dibintangi Tengku Firman-syah, Titi Sjuman, dan bintang-bintang baru lainnya. Dalam alur

cerita film, disisipkan sebuah drama kasih sayang seorang pengusaha kaya terhadap seorang anak jalanan bernama Rindu. Tak hanya membuka mata terhadap keadaan sekitar, film ini sarat dengan adegan kasih say-ang orang tua kepada anak-anak.

KINGLiem Swie King, salah satu leg-

enda pebulutangkis yang meng-harumkan nama Indonesia hingga ke seluruh penjuru dunia. Kehebatan-nya dikagumi oleh seorang pen-gumpul bulu angsa yang memiliki anak bernama Guntur. Kecintaan dan semangat pada bulutangkis ditularkan kepada anaknya, hingga Guntur berusaha keras menjadi juara bulutangkis sejati. Film yang disutradarai oleh Ari Sihasale ini penuh semangat di setiap scenenya. Adegan-adegan lucu disisipkan tanpa mengurangi esensi cerita. Di sini, anak-anak dipacu untuk lebih percaya diri dan bersemangat dalam menggapai cita-cita.

LASKAR PELANGIDiadaptasi dari buku berjudul

LASKAR PELANGI, film garapan sutradara Riri Riza ini bersetting kehidupan kalangan pinggiran, di salah satu pulau terkaya Indonesia, Belitung. Film ini mengisahkan per-juangan dua orang guru yang ber-juang agar sekolahnya tidak ditutup. Berjuang bersama 10 murid yang memiliki keistimewaan dan keunikan masing-masing, mereka menemui beraneka tantangan yang menekan dan hampir mematahkan semangat. Cobaan demi cobaanpun datang menguji semangat mereka. Kisah tentang perjuangan, persahabatan, semangat menggapai mimpi dikemas menjadi kisah mengharukan yang sangat inspirasional.

DENIAS, SENANDUNG DI ATAS AWAN

Diceritakan dalam film bersetting pedalaman Papua, seorang anak bernama Denias berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Film yang diproduseri sekaligus dibintangi oleh Ari Sihasale dan Nia Sihasale Zulkarnaen ini, sarat akan kepedulian pendidikan di Indonesia. Cerita film diadaptasi dari kisah nyata seorang anak Papua ber-nama Janias, yang harus berjuang untuk bisa bersekolah. Tentunya ini menjadi film yang penuh inspirasi terutama bagi anak-anak agar tetap bersemangat dalam pendidikan

Page 78: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

78 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

di kota yang lebih mudah. Film ini sekaligus menjadi sindiran bagi pemerintah yang perlu membenahi pendidikan di Indonesia, agar merata dan tidak ada diskriminasi-diskrimi-nasi tak masuk akal.

PETUALANGAN SHERINAFilm berdurasi 123 menit ini

bercerita tentang Sherina (She-rina Munaf) yang terkenal sebagai penyanyi anak-anak, tapi den-gan lagu yang bukan anak-anak, dimanfaatkan dalam film musikal ini. Karena ayahnya, Darmawan (Mathias Muchus), insinyur pertanian, mendapatkan kerja pertanian sesuai dengan impiannya, Sherina ikut pindah ke Bandung Utara. Di sekolah baru, ia mendapat “musuh”, Sadam (Derby Romero), yang ternyata anak dari “majikan” Darmawan, Ardiwilaga (Didi Petet). Hal ini diketahui Sherina saat berliburan ke rumah Ardiwilaga. Dalam kesempatan ini permusuhan kedua anak tadi berubah menjadi persahabatan, karena keduanya diculik oleh Pak Raden (Butet Kertaradjasa), suruhan Ker-tarajasa (Djaduk Ferianto), yang ingin menguasai tanah pertanian Ardiwilaga, untuk proyek propertinya. Film yang mengajarkan nilai keluarga, persahabatan, dan memberi-kan pesan bagi anak-anak agar lebih cerdas dan hati-hati kepada orang-orang jahat/asing.

GARUDA DI DADAKUBerdurasi 96 menit, GARUDA

DI DADAKU menceritakan impian seorang anak SD bernama Bayu, menjadi pemain sepak bola yang hebat. Setiap hari ia menggiring bola menyusuri gang-gang di sekitar rumahnya dan berlatih sendirian di sana. Berbekal motivasi dari sa-habatnya Heri, ia meyakinkan Bayu masuk seleksi untuk masuk Tim Nasional U-13 yang akan mewakili Indonesia berlaga di arena Interna-sional. Sayangnya, jalan Bayu tidak mulus. Kakek Bayu menentang im-pian yang dianggap tak punya masa

depan itu. Film ini sarat dengan cerita persahabatan dan semangat mengejar impian dengan setting dunia sepak bola.

TANAH AIR BETASatu lagi film yang disutradarai

Ari Sihasale, mengisahkan perjuan-gan seorang anak di daerah per-batasan Indonesia dan Timor Leste, dengan didukung penampilan Al-exandra Gottardo, Thessa Kaunang, Robby Tumewu dan Lukman Sardi. Film ini mengisahkan bagaimana beratnya kehidupan di kamp pen-gungsian, di mana banyak hal berat harus dihadapi. Sebuah perjuangan seorang ibu untuk bertemu dengan anak laki-laki yang terpisah darinya. Menyentuh setiap hati anak-anak dan orang tua, agar bisa saling menghargai di tengah kemudahan teknologi yang saat ini dinikmati.

Page 79: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

792014 l Edisi 9 l Kinescope l

RUMAH TANPA JENDELAFilm ini diangkat dari cerita

pendek karya Asma Naida berjudul Jendela Rara. Dibintangi Inggrid Widjanarko, Dwi Tasya, Raffi Ahmad, Tuni Shara, Indra Bekti, mencerita-kan kisah seorang anak bernama Rara yang tinggal di perkampungan kumuh, dan sangat ingin memiliki jendela di rumahnya. Padahal, ru-mah yang ia tinggali adalah sebuah rumah berukuran kecil berdinding

tripleks bekas. Rara ber-

sahabat dengan Aldo, seorang anak berkebutuhan khusus yang tinggal di rumah mewah namun kurang perha-tian dan kasih sayang. Sebuah pesan tentang kesenjangan sosial yang besar dikemas apik dalam film ini.

MERAIH MIMPIFilm ini merupakan film animasi

3_D musikal pertama dari studio animasi di Indonesia. Dirilis oleh Kalyana Shira Films, dengan Nia Dinata sebagai penulis naskahnya. Bintang-bintang besar seperti Jajang C. Nor, Cut Mini, Surya Saputra, Indra Bekti, dan Gita Gutawa terlibat sebagai pengisi suara peran-peran utama film ini. Menceritakan tentang tuan tanah yang kejam dan usaha seorang gadis cilik membebaskan penduduk desa dari kekejaman tuan tanahnya. Kisah ini dipermanis dengan cerita tentang cinta sebuah keluarga, terhadap binatang dan lingkungannya, di mana seseorang diajarkan untuk punya mimpi dan berjuang meraih apa yang diingin-kannya.

Sumber: http://www.vemale.com

Page 80: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

80 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

MUSIK

SAN

DHY

SON

DORO

Sandhy Sondoro kembali merilis karya terbarunya. Sebuah single berjudul “Kaulah” yang ditulis dan diproduseri sendiri olehnya kini dirilis di seluruh radio tanah air. Sebelumnya Sandhy telah lebih dulu merilis album terbarunya yang bertitel “Vulnerability” yang juga memuat lagu “Kaulah” secara digital di iTunes.

80 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Page 81: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

812014 l Edisi 9 l Kinescope l

Rilis Single Baru, Beri Satu Lagu Diane Warren

Belum genap sebulan dirilis album ini sudah berada dalam Top 10 Album Seller di iTunes untuk kategori worldwide. Single “Kaulah” sendiri menduduki peringkat 9 untuk penjualan terlaris selama 3 minggu

pertama pasca rilis.Lirik lagu “Kaulah” bercerita tentang

perasaan seseorang yang lelah dengan percintaan tanpa arah pasti dan akhirnya memilih berlabuh pada satu hati begitu rasa nyaman ditemukan. Secara keseluruhan single “Kaulah” kali ini menunjukan kedewasaan Sandhy Sondoro baik secara musikal maupun dari segi penulisan lirik. Konsep aransemen sederhana namun tetap tidak meninggalkan pakem musik modern yang dikedepankan membuat syair dan notasi lagu “Kaulah” terasa begitu ringan dan nyaman saat didengarkan.

Ada yang berbeda pada peluncuran single

terbaru Sandhy Sondoro kali ini. Sebuah lagu yang berisi ajakan untuk menghentikan peperangan dan menciptakan perdamaian di seluruh dunia berjudul “Divine Intervention” karya Diane Warren –komposer dan pencipta lagu berkebangsaan Amerika yang namanya tercatat dalam daftar Songwriters Hall of Fame- ikut disertakan pada peluncuran single “Kaulah” kali ini sebagai bonus single. Diane Warren yang diakui oleh banyak kritikus musik internasional sebagai salah satu penulis lagu terpenting di dunia ini memberikan lagu “Divine Intervention” kepada Sandhy setelah kerjasama mereka dalam sebuah pertunjukan special di Java Jazz Festival pada tahun 2010. Penulis lagu “I Don’t Wanna Miss a Thing” yang dipopulerkan oleh Aerosmith yang juga telah banyak bekerjasama dengan musisi-musisi dunia lainnya seperti; Jennifer Lopez, Beyonce Knowless, Bryan Adams, Whitney Houston, dan Celine Dion ini

mempercayakan karyanya untuk dinyanyikan oleh Sandhy Sondoro serta memberikan izin untuk memasukkan lagu tersebut sebagai salah satu materi dalam album “Vulnerability”. Penyertaan bonus single ini dimaksudkan agar dapat diputar sesuai dengan program siaran yang ada di masing-masing radio dan untuk menambah keragaman playlist teman-teman MD Radio seluruh Indonesia.

Dua single yang terdapat di dalam album terbaru Sandhy Sondoro yang bertajuk “Vulnerability” ini telah rilis secara digital di iTunes dan CD nya baru akan dirilis September mendatang melalui online maupun outlet-outlet penjualan rekanan Demajors di seluruh Indonesia.

Demajors Independent Music Industry (DIMI)

www.demajors.com

Page 82: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

82 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

INDIE

MATARI

Page 83: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

832014 l Edisi 9 l Kinescope l

Mengemas musik menjadi suatu komposisi sound yang menyegarkan telinga dan menyayat hati menjadi karakter dari MATARI , band asal Jakarta yang terbentuk tanggal 30 Maret 2013 ini beranggotakan Rendi Ferdinal (Vocal), Inrda Birowo (Drum), dan Roby Tremonty (Gitar) merilis lagu yang ber-title “ Karma Yang Sama”.

MATARI, bermakna fight against all odds for what is right, purely, deeply, passionately, lovely. Terinspirasi dari “ The Greatest Woman Spy” seorang wanita yang pernah tinggal di Indonesia, berprofesi sebagai Agen Rahasia Jerman berwarnegara Belanda bernama Mata hari

(dipanggil Matari) yang mempunyai kehebatan menjadi mata-mata pada Perang Dunia I.

“ Kita memang sedang di karma yang sama dan terluka...” demikian salah satu penggalan lirik dari single pertama MATARI yang berjudul KARMA YANG SAMA, diciptakan oleh ketiga personel MATARI. Di single baru ini, MATARI mengangkat tema sosial yang dikemas dalam sebuah cerita tentang cinta, menggambarkan tentang sebuah sikap pria dan wanita yang berusaha sekuatnya untuk bersatu tetapi tidak akan pernah bisa, dikarenakan pengalaman pahit seorang wanita yang belum bisa menghapus kenangan tentang mantannya, membuat dia selalu menyakiti pria yang juga sedang dalam karma buruknya karena pengalamannya dulu menyakiti mantannya, dan akhirnya mereka sadar kalau ini adalah karma yang sama.

Dengan mengusung genre Power Pop yang Kental sound vintage dengan raungan distorsi guitar, cabikan bass, vocal yang unik serta gebukan drum yang menghentak, menjadi kekuatan dan karakter tersendiri untuk musik MATARI.Tentu ini adalah sebuah pemunculan yang berbeda.

Melalui single pertama mereka yang berjudul KARMA YANG SAMA, dibawah naungan label KANAKA , KANAKA berharap mampu mengisi ruang yang kosong di hati pencinta musik Indonesia.

Semoga di single ini KANAKA mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Dan semua itu bisa tercapai tentu juga karena dukungan teman teman Radio, Media Cetak, Media Online, TV, Event Organizer dan pihak pihak lainnya. Oleh Karena itu mohon doa restunya untuk karya kami ini dan terimalah persembahan ini.

T!: @kanakainc_ @official_matari

F! k:http://www.facebook.com/matari.matari.9

Page 84: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

84 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

Film Benteng Budayakesadaran individu sebagai makhluk sosial adalah sangat penting

dalam menjalani kehidupan sehari-hari manusia. Keluarga haruslah menjadi tempat interaksi paling nyaman dalam mengimplementasikan kesadaran individual tersebut.B

VOICE OVER

HASREIZA

agaimana pengalaman individual menjadi penting saat kesadarannya memiliki keterbatasan dan ketersinggungan dengan kesadaran individu lain di dalam sebuah keluarga yang notabene dekat secara naluri, perasaan, waktu dan ruang. Tak pelak, ini menjadi penting dalam menjalin dan menjahit kesadaran sebuah komunitas sosial dan pada akhirnya kesadaran sebuah bangsa.

Kesadaran sosial sebagai sebuah bangsa ini yang perlahan namun pasti, seiring waktu dan perkembangan manusia, menjadi sebuah budaya dan peradaban. Ini menyangkut tentang persoalan bagaimana kebiasaan hidup sehari-hari, berevolusi menjadi sebuah pola kehidupan yang berjalan terus menerus, membentuk pola besar budaya dan peradaban sebuah bangsa.

Konflik, ketersinggungan, perasaan akan rasa aman, nyaman dan keteraturan, kemudian menjadi penyebab munculnya sebuah kebutuhan akan norma, aturan, nilai, hukum yang disepakati bersama sebagai acuan di tengah-tengah ketersinggungan kesadaran sosial individual di dalam sebuah komunitas manusia. Ini menjadi penting untuk dipahami bahwa justru hal inilah yang kadang menjadi alasan untuk kembali menciptakan konflik, ketersinggungan, ketakteraturan dan sebagainya yang bertujuan menciptakan rasa aman dan keteraturan itu sendiri. Sebuah lingkaran filosofis yang tak ada habisnya.

Namun begitu, sebuah budaya membutuhkan benteng. Benteng yang tak hanya melindungi namun juga memberikan

pemahaman yang positif terhadap pola pemikiran dan kebiasaan manusia yang hidup dalam sebuah komunitas sosial. Benteng tersebut bisa dibangun secara abstrak dengan memperkuat pola budaya yang ingin dilindungi secara terus menerus, mengikuti arus ruang dan waktu.

Film, adalah alat yang paling memiliki kekuatan untuk itu. Bagaimana film memiliki kekuatan untuk membentuk realitas di dalam benak penontonnya. Bagaimana film mampu menjadi sebuah realitas yang bisa dipercaya dan pada akhirnya mampu mempengaruhi perilaku para penontonnya. Ini menjadi penting untuk diketahui dan keniscayaan itu seharusnya menjadi dasar pemikiran para pengambil kebijakan, pelaku dan penggiat dunia kebudayaan, khususnya di bidang perfilman untuk terus menerus memproduksi film-film yang berkualitas yang memang memiliki konten untuk memperkuat budaya nasional, menularkan sikap positif, menjadi inspirasi kebaikan bagi semua yang menontonnya.

Pada akhirnya, tinggal kita yang memilih, apakah akan mengikuti arus trend untuk terus terbius oleh mimpi duniawi yang ditawarkan oleh film-film asing, ataukah kita ingin untuk lebih mengenal bangsa kita sendiri, khususnya dari sisi budaya. Apakah kita menyerah kalah oleh serbuan budaya bagsa asing lewat film-film merka, ataukah kita justru berhasrat untuk lebih menghargai hasil karya anak negeri sendiri. Pilihan ada di kita dan mari gunakan dengan bijaksana. Maju terus perfilman nasional!

84 l Kinescope l Edisi 6 l 2014

Page 85: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

852014 l Edisi 9 l Kinescope l

Page 86: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

86 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

DISTRIBUTIONS

Page 87: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

872014 l Edisi 9 l Kinescope lPENGUNGKAPAN DAN SANGGAHAN: INVESTASI MELALUI REKSA DANA MENGANDUNG RISIKO. CALON INVESTOR WAJIB MEMBACA DAN MEMAHAMI PROSPEKTUS SEBELUM MEMUTUSKAN UNTUK BERINVESTASI MELALUI REKSA DANA. KINERJA MASA LALU TIDAK MENCERMINKAN KINERJA MASA DATANG.

Pensiun itu mirip weekend, penghasilan nol biaya tinggi.

Bedanya weekend 2 hari, pensiun selamanya.

Sudah siap dananya?

Investasi.Reksa Dana Manulife.

(021) 2555 2255reksadana-manulife.com

Page 88: Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014

88 l Kinescope l Edisi 9 l 2014

PT. KINESCOPE INDONESIAJakarta Level 3A, World Trade Centre 5

Jl. Jendral Sudirman Kav. 29-31 Jakarta 12920Phone : +62 21 2598 5194 Fax : +62 21 2598 5001

life is short, use you’re time to watch a movie