kimia_jurnal_januari_2015.pdf

124
Jurnal Ilmiah Kimia (Komunikasi Kimika) Dengan memanjat puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wata’allah, maka Jurnal Komunikasi Kimika dapat hadir dihadapan para pembaca. Jurnal Komunikasi Kimika Universitas Airlangga merupakan sarana untuk memfasilitasi komunikasi ilmiah sivitas akademika Program Studi Kimia yang dapat diunduh secara online. Jurnal ini memuat hasil penelitian dari Skripsi atau hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh sivitas akademika. Edisi ini memuat berbagai bidang kajian biologi meliputi bidang Biokimia, Kimia Organik, Kimia Analitik, Kimia Fisik, dan Kimia Anorganik . Dalam satu tahun, penerbitan dilakukan sebanyak tiga kali. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada sivitas akademika yang berperan serta baik sebagai penulis maupun pembaca, Tim Redaksi Jurnal Komunikasi Kimia, dan Pimpinan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga yang telah memfasilitasi penerbitan secara online. Semoga Jurnal Komunikasi Kimika ini dapat bermanfaat sebagai media komunikasi ilmiah untuk menambah wawasan pengetahuan ilmiah dan untuk kemajuan Program Studi Sarjana Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga. Surabaya, Redaktur

Upload: magfiranurul

Post on 13-Feb-2016

28 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

Jurnal Ilmiah

Kimia

(Komunikasi Kimika)

Dengan memanjat puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wata’allah, maka Jurnal Komunikasi Kimika

dapat hadir dihadapan para pembaca. Jurnal Komunikasi Kimika Universitas Airlangga merupakan sarana

untuk memfasilitasi komunikasi ilmiah sivitas akademika Program Studi Kimia yang dapat diunduh

secara online. Jurnal ini memuat hasil penelitian dari Skripsi atau hasil penelitian lainnya yang dilakukan

oleh sivitas akademika. Edisi ini memuat berbagai bidang kajian biologi meliputi bidang Biokimia, Kimia

Organik, Kimia Analitik, Kimia Fisik, dan Kimia Anorganik . Dalam satu tahun, penerbitan dilakukan

sebanyak tiga kali.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada sivitas akademika yang berperan serta baik sebagai

penulis maupun pembaca, Tim Redaksi Jurnal Komunikasi Kimia, dan Pimpinan Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Airlangga yang telah memfasilitasi penerbitan secara online. Semoga Jurnal

Komunikasi Kimika ini dapat bermanfaat sebagai media komunikasi ilmiah untuk menambah wawasan

pengetahuan ilmiah dan untuk kemajuan Program Studi Sarjana Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Airlangga.

Surabaya,

Redaktur

Page 2: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

DEWAN REDAKSI

Ketua : Dr. Alfinda Novi Kristanti, DEA

Anggota : Dr. Muji Harsini, M.Si

Siti Wafiroh, S.Si, M.Si

Fendi Kristanto

PENYUNTING AHLI

1. Prof. Dr. Ami Soewandi, J.S

2. Dr. Pratiwi Pudjiastuti, M.Si

3. Dra. Tjitjik Srie Tjahjandarie, Ph.D

4. Dr. Mulyadi Tanjung, M.S

5. Dr. Nanik Siti Aminah, M.Si

6. Dra. Usreg Sri Handajani, M.Si

7. Drs. Imam Siswanto, M.Si

8. Drs. Hamami, M.Si

ALAMAT REDAKSI

Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

Kampus C, Universitas Airlangga

Jl. Mulyorejo, Surabaya

Telp. (031) 5926804

Fax. (031) 5926804

Email : [email protected]

Page 3: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

3

DAFTAR ISI

Pembuatan dan Karakterisasi Katalis Asam Fosfomolibdat Terimpregnasi pada Bentonit untuk

Transformasi Anetol

A’yunil Hisbiyah , Alfinda Novi Kristanti, Alfa Akustia Widati .....................................................4-18

Aktivitas Katalitik Dolomit Gresik Sebagai Katalis Heterogen Dalam Produksi Biodiessel dari Minyak

Jarak Pagar

Afian Kristiono, Abdulloh, Alfa Akustia Widati .............................................................................19-29

Amplifikasi Gen Penyandi Endo-1,4-B-Xilinase Asal Isolat 7 Bakteri Xilanolitik Sistem Abdominal

Rayap Tanah

Amalia Labiqah, Ni Nyoman Tri Puspaningsih, Sri Sumarsih ........................................................30-39

Analisis Nitrosodietilamin (NDEA) Dengan Teknik Kromatografi Gas Melalui Headspace Single

Drop Microextraction (HS-SDME)

Any Shofiyah, Miratul Khasanah, Yanuardi Rahardjo ....................................................................40-46

Penentuan Cemaran Melamin Dalam Susu Secara Potensiometri Menggunakan Elektroda Pasta

Karbon Nanopori/ Moleculary Imprinted Polymer

Asri Zulchana Sari, Muji Harsini, Suyanto .....................................................................................47-57

Impregnasi Zeolit Alam Dengan TiO2 Untuk Mendegradasi Zat Warna Metilen Biru Secara

Fotokatalitik

Ayu Eprilita Fitri Ika Cahyani, Yusuf Syah, Alfa Akustia Widati ..................................................58-69

Aplikasi Asam Perasetat Untuk Menghilangkan Zat Warna Pada Kain Jeans

Debby Heruwati, Ganden Suproyanto, Aning Purwaningsih ..........................................................70-80

Pembuatan dan Karakterisasi Membran Fotokatalitik Komposit Kitosan Selulosa Diasetat-TiO2, Untuk

Pengolahan Limbah Zat Warna Kain Tekstil Congo Red

Della Ratna Febriana, Siti Wafiroh, Harsasi Setyawati ...................................................................81-93

Purifikasi Parsial dan Karakterisasi Enzim Kitinase Dari Cairan Digestive Gland (Achatina Fulica)

Dewi Resti Ningrum, Afaf Baktir, Purkan .....................................................................................94-107

Pemanfaatan Abu Layang Batubara(Fly Ash) Teraktivasi Sebagai Adsorben Ion Logam Pb2+

Faradina Choria Suci, Handoko Darmokusumo, Aning Purwaningsih ........................................108-124

Page 4: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

4

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KATALIS ASAM FOSFOMOLIBDAT

TERIMPREGNASI PADA BENTONIT UNTUK TRANSFORMASI ANETOL

A’yunil Hisbiyah, Alfinda Novi Kristanti, dan Alfa Akustia Widati

Program S1 Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga

*E-mail : [email protected]

ABSTRACT

Anetol is the anise oil main content and can be transformed into their derivatives with a

higher level of benefits. The objective of this research are use and to find out the catalytic

activity of impregnated phosphomolybdic acid on bentonite (H3PMo12O40/bentonite) in

anethole transformation. This research was started by making H3PMo12O40 catalyst which was

impregnated into activated bentonite. Furthermore, H3PMo12O40/bentonite was characterized

by XRD and FT-IR. Then, H3PMo12O40/bentonite was applied in anethole transformation at

60oC with reaction time variation were 1,2,3,4,5, and 6 hours. Reaction products were

analyzed by TLC, UV-Vis spectrophotometer, and GC-MS. The XRD characterization results

showed typical peak of H3PMo12O40 at 26o with a very high intensity. Acidity test analysis

showed the Bronsted acid site moles number of 0.3340 mmol/g, while the Lewis acid site

moles number of 7.45 x 10-3

mmol/g. From the results test of TLC and UV-Vis

spectrophotometer, the H3PMo12O40/bentonit catalytic activity began to look at anethole

transformation since the first one hour, the optimum reaction time of 3 hours with %anethole

conversion of 61.54%, and was obtained anethole’s λmaks at 258.5 nm and product’s λmaks

of 207 nm. From the analysis by GC-MS, was obtained the product molekol weight of 208

g/mole and 210 g/mole.

Keywords : Anethole, Transformation, phosphomolybdic acid/bentonite

ABSTRAK

Anetol adalah kandungan utama minyak anis dan dapat ditransformasi menjadi derivat-

derivatnya dengan tingkat kemanfaatan yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk

memanfaatkan dan mengetahui aktivitas katalitik dari asam fosfomolibdat terimpregnasi pada

bentonit (H3PMo12O40/bentonit) dalam transformasi anetol. Penelitian dimulai dengan

pembuatan katalis H3PMo12O40 terimpregnasi bentonit (H3PMo12O40/bentonit). Selanjutnya

H3PMo12O40/bentonit dikarakterisasi dengan XRD dan FT-IR serta diaplikasikan dalam

transfomasi anetol pada 60oC selama 1,2,3,4,5, dan 6 jam. Hasil reaksi dianalisis

Page 5: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

5

menggunakan KLT, spektrofotometer UV-Vis, dan GC-MS. Hasil Karakterisasi XRD

menunjukkan adanya puncak khas H3PMo12O40 pada 2θ sebesar 26o dengan intesitas yang

sangat tinggi. Analisis uji keasaman menunjukkan jumlah mol sisi asam Bronsted sebesar

0,3340 mmol/g sedangkan jumlah mol sisi asam Lewis sebesar 7,45 x 10-3

mmol/g. Dari hasil

uji KLT dan spektrofotometer UV-Vis, aktivitas katalitik H3PMo12O40/bentonit mulai terlihat

pada hasil transformasi anetol selama 1 jam, waktu optimum reaksi sebesar 3 jam dengan %

konversi anetol sebesar 61,54%, serta didapatkan λmaks anetol sebesar 258,5 nm dan λmaks

produk sebesar 207 nm. Dari analisis dengan GC-MS, didapatkan berat molekol produk

sebesar 208 g/mol dan 210 g/mol.

Kata kunci: Anetol, transformasi, asam fosfomolibdat/bentonit

PENDAHULUAN

Anetol dapat diisolasi dari minyak adas dan minyak anis serta dikonversi menjadi

derivat-derivatnya dengan tingkat kemanfaatan yang lebih tinggi (Satrohamidjojo, 2004).

Gugus alil pada anetol dapat mengalami transformas membentuk metanetol menggunakan

katalis asam Brønsted berupa H2SO4 atau menggunakan katalis asam Lewis seperti TiCl4

(Torviso et al., 2006; MacMillan et al., 1951 ; MÜller et al., 1951). Dalam beberapa penelitian

terakhir asam fosfomolibdat (H3PMo12O40) banyak digunakan sebagai katalis asam Brønsted

pengganti H2SO4.

Dalam penelitian Torviso et al. (2006), asam fosfomolibdat diimpregnasikan ke dalam

silika gel (H3PMo12O40/silika gel) dan digunakan sebagai katalis dalam reaksi siklodimerisasi

anetol membentuk metanetol. Dalam penelitian tersebut metanetol yang dihasilkan sebesar

60-70 % dengan konversi anetol sebesar 99% dalam waktu kurang dari 40 menit, pada suhu

60oC. Pada percobaan tersebut, pendukung katalis yang digunakan hanya berfungsi untuk

memperbesar luas permukaan. Dalam penelitian ini, H3PMo12O40 akan diimpregnasikan pada

bentonit, yang mana bentonit memiliki aktivitas katalitik sebagai situs asam Brønsted dan luas

permukaan hampir sama dengan silika gel (Yahiaoui et al., 2003), sehingga diharapkan bisa

meningkatkan aktivitas katalitik asam fosfomolibdat pada reaksi siklodimerisasi anetol

METODE PENELITIAN

Alat

Seperangkat alat refluks, hot plate, oven, furnace, alat centrifuge, stirrer, ayakan

dengan ukuran 140 mesh, mortar, termometer, alat gelas yang lazim digunakan di

Page 6: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

6

laboratorium kimia, FT-IR Shimadzu, Difraktometer sinar-X Philips Experts,

spektrofotometer UV-Vis Shimadzu, dan Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (GC-MS).

Bahan

(NH4)6Mo7O24, H3PO4 85%, HCl pekat, HNO3 pekat, bentonit alam yang berasal dari

Turen-Malang, CH3OH, akuades, n-heksana, CHCl3, dan p-TLC.

Langkah kerja

Pembuatan asam fosfomolibdat (H3PMo12O40)

Sebanyak 2-3 mL (NH4)6Mo7O24 dalam HNO3 pekat direaksikan dengan 0,5 mL larutan

H3PO4 85% hingga terbentuk endapan. Selanjutnya endapan yang terbentuk disaring, dicuci,

dan dididihkan dengan air raja dan diuapkan sampai kering dalam penangas air pada suhu 373

K hingga diperoleh serbuk padatan berwarna kuning. H3PMo12O40 yang diperoleh diuji titik

leleh dan dikarakterisasi menggunakan FT-IR.

Preparasi Bentonit Sebagai Pendukung Katalis

Pencucian bentonit alam Turen-Malang

Lempung dicampur dengan akuades, diaduk sampai homogen, dan dibiarkan selama

beberapa hari sampai terjadi pemisahan. Campuran akan terpisah menjadi tiga lapisan, lapisan

tengah adalah bentonit. Perlakuan ini diulang beberapa kali untuk memastikan pengotor sudah

hilang. Selanjutnya benonit dikeringkan, ditumbuk, dan diayak 140 Mesh (Konta, 1995).

Aktivasi bentonit dengan pengasaman

Sebanyak 20 g bentonit diaduk dalam 100 mL HCl 4 M selama 1 jam. Campuran

didinginkan, disaring, dan dicuci dengan akuadem serta dikeringkan dalam oven pada suhu

120 oC selama 12 jam (Bhorodwaj dan Dutta, 2011).

Impregnasi Asam Fosfomolibdat (H3PMo12O40) pada Bentonit (H3PMo12O40/Bentonit)

Sebanyak 3 g asam fosfomolibdat dilarutkan dalam CH3OH dan diaduk sampai

homogen. Setelah itu, sebanyak 10 g bentonit dimasukkan ke dalam gelas beker kosong.

Larutan asam fosfomolibdat ditambahkan secara perlahan-lahan ke gelas beker yang berisi

bentonit disertai pengadukan kostan selama 4 jam. Bentonit yang pada awalnya berbentuk

serbuk, setelah diimpregnasi dengan asam fosfomolibdat akan berubah menjadi bentuk

pasta. Selanjutnya, pasta dikeringkan dalam oven pada suhu 120 oC selama 6 jam (Bokade

dan Yadav, 2007). Padatan yang telah kering dikalsinasi pada suhu 300oC selama 3 jam dan

Page 7: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

7

disimpan dalam botol tertutup (Torviso et al.,2006). Padatan yang disimpan dalam botol

dikeringkan kembali selama 1 jam pada suhu 373 K untuk menghilangkan kelembaban.

Karakterisasi Katalis H3PMo12O40/Bentonit

Analisis X-ray diffraction (XRD)

Sebanyak 0,5 g H3PMo12O40/bentonit dihaluskan, dimasukkan, dan dipadatkan dalam

holder yang telah disediakan. Kemudian holder diletakkan pada pusat goniometer dan

diradiasi dengan sinar-X yang dipancarkan dari tabung sinar-X. Data hasil penyinaran Sinar

X berupa spektrum difraksi Sinar X dideteksi oleh detektor kemudian data difraksi tersebut

direkam dan dicatat oleh komputer dalam bentuk grafik 2θ vs intensitas (Sudarningsih dan

Fahruddin, 2008).

Penentuan sisi asam katalis H3PMo12O40/bentonit dengan spektroskopi infrared (IR)

Sebanyak 0,5 g katalis H3PMo12O40/bentonit diletakkan pada kaca arloji kering dan

telah diketahui berat konstannya. Kemudian, katalis dimasukkan dalam desikator dan

divakumkan. Sebanyak 5 mL piridin dalam gelas beker diuapkan dalam labu desikator dan

dibiarkan selama 3 hari. Selanjutnya katalis asam fosfomolibdat/bentonit dikeringkan pada

suhu 110ºC selama 30 menit untuk menghilangkan gas piridin yang terserap secara fisik.

Katalis H3PMo12O40/bentonit yang telah dikeringkan, ditimbang, dan dianalisis dengan

spektroskopi Transformasi Fourier Inframerah (FT-IR).

Transformasi anetol menggunakan katalis H3PMo12O40/bentonit

Sebanyak 1,5 mL minyak anis (87% anetol) dilarutkan dalam CHCl3 dan dimasukkan ke

dalam labu alas bulat leher tiga kemudian ditambahkan 1 g H3PMo12O40/bentonit.

Campuran tersebut direfluks pada suhu 60oC dengan variasi waktu 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 jam.

Senyawa hasil reaksi ini diuji dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) serta dianalisis

menggunakan spektrofometer UV-Vis dan Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (GC-MS)

(Torviso et al., 2006).

Analisis Produk

Kromatografi lapis tipis (KLT)

Hasil reaksi siklodimerisasi anetol dianalisis menggunakan kromatografi lapis tipis

dengan fasa diam silika gel dan fasa gerak berupa kloroform dan n-heksana (4:6). Setelah itu,

hasil uji KLT diletakkan di bawah sinar UV untuk melihat noda (Torviso et al., 2006).

Page 8: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

8

Spektrofometer UV-Vis

Produk reaksi siklodimerisasi anetol diukur panjang gelombang maksimumnya

menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Blangko yang digunakan adalah campuran metanol

dengan akuades .

Analisis hasil transformasi anetol dengan GC-MS

Analisis hasil transformasi anetol dilakukan menggunakan GC-MS. Dari analisis ini

diperoleh kromatogram GC dan spektra MS, sehingga dapat diketahui produk yang terbentuk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Asam Fosfomolibdat (H3PMo12O40)

Asam fosfomolibdat (H3PMo12O40) disintesis melalui dua tahapan. Tahap pertama

yaitu pembentukan ammonium fosfomolibdat dilakukan dengan cara mereaksikan ammonium

molibdat dengan asam fosfat dalam suasana asam nitrat pekat. Pada reaksi tersebut, terjadi

penggantian atom oksigen dalam fosfat oleh Mo3O10. Tahap kedua yaitu penguapan

ammonium fosfomolibdat dilakukan dengan mendidihkannya dalam air raja dan

menguapkannya dalam lemari asam sehingga diperoleh serbuk H3PMo12O40.

HPO42-

+ 3NH4+ + 12MoO4

2- + 23H

+ (NH4)3[P(Mo3O10)4] ↓ + 12H2O

(NH4)3[P(Mo3O10)4] H3PMo12O40 + NH3 ↑

Dari analisis sifat fisik H3PMo12O40 didapatkan bahwa H3PMo12O40 hasil sintesis

berbentuk serbuk, berwarna kuning, dan memiliki titik leleh 100-120oC. Hasil analisis

tersebut memiliki beberapa kecocokan dengan sifat fisik H3PMo12O40 dalam MSDS

H3PMo12O40 yaitu berbentuk serbuk dan berwarna kuning, dan titik leleh H3PMo12O40 sebesar

78-90oC (Merck, 2001). Perbedaan titik leleh H3PMo12O40 hasil sintesis dengan MSDS

H3PMo12O40 mengindikasikan bahwa H3PMo12O40 yang terbentuk belum murni 100 %.

Page 9: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

9

Karakterisasi Asam Fosfomolibdat (H3PMo12O40)

1200 1000 800 600 400

0

5

10

15

20

25

30

35

347.18688

594.07533

786.95693

864.10957

964.408

1064.70643

1411.89331

%T

1/cm

Gambar 1.

Spektrum FT-IR H3PMo12O40 hasil sintesis

Pada spektrum H3PMo12O40, terdapat pita serapan pada 1064,71 cm-1

yang

menunjukkan vibrasi stretching asimetris dari tetrahedron pusat PO4. Pita pada 964,41 cm-1

menunjukkan vibrasi stretching dari Mo=O dimana O adalah oksigen terminal, sedangkan dua

pita lainnya pada 864,11 cm-1

dan 786,9 cm-1

menunjukkan jembatan Mo-O-Mo antara

struktur oktahedral MoO6. Keempat pita ini adalah ciri khas untuk struktur asam

fosfomolibdat (Chen et al., 2003).

Impregnasi Asam Fosfomolibdat pada Bentonit (H3PMo12O40/bentonit)

Impregnasi H3PMo12O40 pada bentonit dilakukan dengan cara merendam bentonit

alam teraktivasi dalam H3PMo12O40 menggunakan pelarut metanol sambil diaduk secara

konstan selama 4 jam. Pemilihan metanol sebagai pelarut dalam proses impregnasi karena

metanol dapat membuat bentonit mengalami swelling sehingga ukuran pori-pori bentonit

membesar. Pori-pori bentonit yang besar memudahkan H3PMo12O40 masuk ke dalam pori-pori

bentonit. Kemudian katalis hasil impregnasi disaring dan dicuci dengan akuadem untuk

menghilangkan metanol dan H3PMo12O40 yang tidak terimpregnasi kemudian dikeringkan

dalam oven pada suhu 120°C yang bertujuan untuk menghilangkan air pada interlayer.

Katalis diayak menggunakan ayakan 100 Mesh untuk memperoleh ukuran partikel katalis

yang seragam. Selanjutnya dilakukan proses kalsinasi pada suhu 200°C selama 3 jam untuk

menghilangkan serbuk H3PMo12O40 yang tidak terimpregnasi.

Page 10: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

10

Karakterisasi Katalis H3PMo12O40/bentonit

Analisis X-ray diffraction (XRD)

Karakterisasi bentonit dengan X-ray diffraction bertujuan untuk mengetahui pola

difraksi H3PMo12O40, bentonit aktif, dan H3PMo12O40/bentonit. Perbandingan pola difraksi

kedua katalis dapat diamati pada Gambar 2.

Gambar 2. Spektrum XRD (a) H3PMo12O40 (Chen et al., 2003) (b) Bentonit alam teraktivasi

(c) H3PMo12O40/bentonit

Kandungan utama bentonit alam yaitu montmorilonit. Pada hasil XRD ini,

montmorilonit direfleksikan oleh d001 13,04080 Å pada 2θ sebesar 6,77251°. Menurut

Goenadi (1982) dalam Sekewael (2008), montmorilonit yang telah mengalami pemanasan

memberikan ciri khas pada jarak dasar d001 sebesar 12,0-15,0 Å. Pada H3PMo12O40/bentonit,

terjadi perubahan d001 menjadi lebih besar yaitu 15,03788 Å pada 2θ sebesar 5,87225º.

Pergeseran d001 ini mengindikasikan bahwa terjadi perubahan struktur kisi karena adanya

H3PMo12O40 yang menempel pada permukaan pori-pori katalis. Selain itu, nilai d001

H3PMo12O40/bentonit yang lebih tinggi daripada bentonit aktif mengindikasikan bahwa

derajat kristalinitas H3PMo12O40/bentonit lebih rendah daripada bentonit aktif. Keberhasilan

impregnasi H3PMo12O40 pada bentonit juga ditunjukkan dengan adanya penambahan

intensitas spektrum (c) pada 2θ sebesar 26o. Pada penelitian Chen et al. (2003), difraktogram

H3PMo12O40 memiliki puncak khas pada 2θ sebesar 25o-26

o. Dari grafik kedua XRD tersebut

dapat dikatakan bahwa asam fosfomolibdat telah terimpregnasi cukup baik pada bentonit alam

teraktivasi.

20 10 30 40

(a)

10 20 30 40

10 20 30 40

10.72

15.18

21.52

24.1

26.42

30.636.06

39.343.82

9.2 25.6 29.3 38.52

9.84

19.82 22.34

26.6

29.98 35.3242.36

24.74 32.96 39.74

5.87

6

6.7 (b)

(c)

Page 11: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

11

Analisis sisi asam Bronsted-Lewis dengan spektroskopi transformasi fourier inframerah

(FT-IR)

Gambar 3. Spektrum FT-IR serapan piridin H3PMo12O40/bentonit

Dari spektrum FT-IR H3PMo12O40/bentonit terdapat pita serapan di 1548 cm-1

dengan

absorbansi sebesar 1,52 yang mengindikasikan adanya regangan ion piridinium. Ion

piridinium membuktikan adanya gugus hidroksil yang bersifat asam Bronsted, sedangkan pita

serapan pada 1441 cm-1

dengan absorbansi sebesar 1,33 mengindikasikan adanya spesi

piridin-asam Lewis, misalnya Al3+

. Hasil spektra ini sesuai dengan penelitian Parry (1963)

dan Tyagi et al. (2006) dalam Fatimah et al. (2008)

Nilai absorbansi pita serapan pada 1548 cm-1

lebih tinggi daripada absorbansi pita

serapan pada 1441 cm-1

menunjukkan bahwa sisi asam Bronsted pada H3PMo12O40/bentonit

lebih banyak daripada sisi asam Lewis. Melalui perhitungan jumlah sisi asam, didapatkan

jumlah mol sisi asam Bronsted pada H3PMo12O40/bentonit sebesar 0,3340 mmol/g sedangkan

jumlah mol sisi asam Lewis sebesar 7,45 x 10-3

mmol/g.

Transformasi Anetol

Siklodimerisasi anetol dilakukan menggunakan katalis H3PMo12O40/bentonit. Produk

reaksi lebih kental daripada senyawa awal dan berwarna kecoklatan. Peningkatan kekentalan

produk diduga disebabkan massa molekul relatif (Mr) dari senyawa target (metanetol) cukup

besar yaitu 296 g/mol.

Analisis Produk

Kromatografi lapis tipis (KLT)

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui waktu terbentuknya produk yang dikatalisis

oleh H3PMo12O40/bentonit. Berikut adalah tabel Rf dan gambar hasil uji KLT dari minyak anis

(Anetol) sebelum dan setelah bereaksi selama 1-6 jam.

Tabel 1. Nilai Rf Hasil Komatografi Lapis Tipis

1634 cm-1

1548 cm-1

1490 cm-1

1441 cm-1

Page 12: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

12

Reaksi (jam) Rf-1 Rf-2 (Anetol) Rf-3 (Noda baru) Rf-4 (Noda baru)

0 0,28 0,69 - -

1 0,21 0,625 0,39 -

2 0,24 0,64 0,39 -

3 0,22 0,625 0,42 -

4 0,19 0,625 0,43 -

5 0,24 0,65 0,47 -

6 0,28 0,68 0,51 0,35

Gambar 5. Hasil Uji KLT Produk Siklodimerisasi Anetol

Dari hasil uji KLT, pada minyak anis (0 jam) terdapat 2 noda besar. Noda pertama

(Rf-1) diduga sebagai pengotor dalam minyak anis, sedangkan noda kedua (Rf-2) diduga

sebagai anetol karena menunjukkan ciri khas noda yang sangat besar dimana anetol

merupakan 90,50 % komponen utama minyak anis (Lawless, 2002). Noda baru (Rf-3) mulai

terbentuk saat reaksi berlangsung selama 1 jam dan noda baru terlihat semakin jelas pada

sampel di jam-jam berikutnya. Noda baru (Rf-3) ini diduga sebagai produk reaksi (metanetol)

karena letak noda baru yang cukup dekat berada dibawah noda anetol. Jika dilihat dari

struktur senyawa kimianya, metanetol merupakan senyawa dimer yang lebih polar daripada

anetol, sehingga saat diuji KLT dengan eluen n-heksana:klorofom (6:4), maka noda metanetol

akan terletak di bawah noda anetol karena metanetol yang bersifat lebih polar daripada anetol

akan lebih terikat pada silika. Tidak seperti hasil uji KLT sampel reaksi 1 sampai 5 jam yang

hanya menunjukkan 1 noda baru, pada hasil uji KLT untuk sampel reaksi 6 jam terdapat 2

noda baru (Rf-3 dan Rf-4). Noda baru (Rf-4) ini diduga sebagai hasil samping karena bila

dilihat dari intesitas noda dapat dikatakan bahwa konsentrasi noda Rf-4 ini sangat rendah.

Produk samping dari reaksi ini diduga adalah bentuk lain dari dimer anetol yang dikatalisis

oleh asam Lewis dari bentonit. Hal tersebut dapat terjadi karena katalis yang digunakan dalam

reaksi ini memiliki dua sisi asam, yaitu asam Bronsted dan Lewis.

Intensitas kepekatan noda Rf-3 semakin meningkat pada sampel hasil reaksi di jam-

jam berikutnya yang mengindikasikan bahwa konsentrasi produk yang terbentuk semakin

bertambah banyak. Hal tersebut juga didukung dengan intensitas kepekatan dan diameter

Rf-3 (Noda baru)

Waktu reaksi

Rf-2 (Anetol)

Rf-4 (Noda baru)

Rf-1

Page 13: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

13

noda anetol yang semakin berkurang pada sampel hasil reaksi di jam-jam berikutnya.

Berkurangnya diameter dan intensitas kepekatan noda anetol menunjukkan berkurangnya

konsentrasi anetol dalam minyak yang mengindikasikan bahwa anetol telah bereaksi.

Berdasarkan analisa kuantitatif. Nilai konversi total anetol dapat diperoleh melalui

persamaan berikut.

% 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖 = 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑛𝑜𝑑𝑎 𝑎𝑛𝑒𝑡𝑜𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑛𝑜𝑑𝑎 𝑎𝑛𝑒𝑡𝑜𝑙 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑒𝑎𝑘𝑠𝑖

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑛𝑜𝑑𝑎 𝑎𝑛𝑒𝑡𝑜𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑥 100%

Tabel 4.2. Data konversi total anetol

Waktu reaksi (Jam) Konversi (%)

0 0

1 23.08

2 46.15

3 61.54

4 61.54

5 61.54

6 73.08

Gambar 4.9. Kurva konversi anetol (%) terhadap waktu reaksi

Dari Tabel 4.2 dan Gambar 4.9, nilai konversi transformasi anetol menggunakan

katalis H3PMo12O40/bentonit selama 0 sampai 3 jam mengalami peningkatan yang cukup

signifikan yaitu 0%; 23,08%; 46,15%; dan 61,54%. Namun saat reaksi berlangsung selama 3

sampai 5 jam, nilai konversi transformasi anetol tidak mengalami peningkatan. Setelah 6 jam

reaksi terdapat peningkatan konversi anetol sebesar 73,8%, peningkatan ini diikuti dengan

terbentuknya noda baru (Rf-4) yang mengindikasikan adanya produk samping. Hal tersebut

mengindikasikan terjadinya penurunan selektivitas katalis H3PMo12O40/bentonit.

Sebagaimana diketahui bahwa mekanisme reaksi dengan katalis heterogen seperti

bentonit, zeolit dan monmorilonit terdiri dari beberapa tahap yaitu difusi reaktan pada

permukaan katalis, adsorpsi reaktan pada permukaan katalis, transformasi kimia, desorpsi

produk dari permukaan (Upadhyay, 2006). Pada penelitian ini, diduga proses desorpsi

menjadi salah satu penyebab penurunan selektivitas katalis. Produk yang dihasilkan tidak

0

50

100

0 2 4 6 8

% K

on

ver

si a

net

ol

Waktu reaksi (Jam)

Kurva Konversi Anetol (%) terhadap Waktu

Reaksi (jam)

Konversi …

Page 14: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

14

dapat terdesorpsi dengan baik dari permukaan katalis sehingga sisi aktif katalis (asam

Bronsted) akan tertutupi oleh produk. Tertutupnya sisi aktif katalis oleh produk

mengakibatkan sisi asam Bronsted tidak dapat lagi mengadsorpsi reaktan (anetol) dan

mengakibatkan transformasi tidak bisa terjadi lagi. Dari hasil analisis perhitungan noda KLT,

dapat dikatakan bahwa aktivitas katalitik H3PMo12O40/bentonit mulai terlihat pada hasil reaksi

siklodimerisasi anetol selama 1 jam dengan waktu optimum reaksi adalah 3 jam.

Spektrofotometer UV-Vis

Hasil analisis spektrofotometer UV-Vis minyak anis sebelum dan setelah reaksi

ditampilkan dalam Gambar 7.

Gambar 7. Spektrum UV-Vis minyak anis (a) sebelum (b) sesudah bereaksi 3 jam

Dari spektrum (a), didapatkan 1 puncak karakteristik pada λmaks sebesar 258,5 nm

dengan absorbansi sebesar 0,274. λmaks tersebut menunjukkan adanya anetol dalam minyak

anis. Sedangkan dari spektrum (b), didapatkan λmaks sebesar 207 nm dengan absorbansi 0,324

yang mengindikasikan λmaks Produk reaksi. λmaks hasil pengukuran ini sesuai dengan penelitian

Shimoni et al. (2002) dan Torviso et al. (2006) yang sebelumnya meneliti tentang biosintesis

anetol dan sintesis metanetol.

GC-MS (Kromatografi gas-Spektroskopi Massa)

Larutan standar yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1,5 mL minyak anis

dalam 10 ml kloroform. Pada kromatogram pada Gambar 8, terlihat 5 puncak dimana anetol

muncul pada puncak 2 dan 3. Puncak 2 memiliki waktu retensi sebesar 18,507 menit dengan

luas area sebesar 1,84%, sedangkan puncak 3 miliki waktu retensi sebesar 18,960 menit

dengan luas area sebesar 65,71%. Puncak 4 merupakan p-anisaldehid yang memilik waktu

retensi sebesar 21,372 menit dengan luas area sebesar 12,73% sedangkan puncak 5

merupakan pengotor dalam minyak anis. Puncak 1 merupakan pelarut kloroform.

258,5 nm 207,0 nm

(b) (a)

Page 15: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

15

Gambar 8. Kromatogram GC-MS standar anetol

Gambar 9 merupakan kromatogram GC-MS hasil transformasi anetol selama 3 jam.

Kromatogram tersebut memiliki 8 puncak, puncak anetol ditunjukkan oleh puncak 4 dengan

waktu retensi sebesar 18,957 menit dan luas area sebesar 32,27%. Pada kromatogram ini

terdapat 3 puncak baru, yaitu pada waktu retensi 16,913; 23,313; dan 24,048 menit dengan

luas area masing-masing yaitu 0,23%; 0,38%; dan 0,86%. Dari ketiga puncak baru tersebut,

puncak 7 dan 8 diduga produk transformasi anetol dengan luas area sebesar 0,38%; 0,86%

dan berat molekul 208; 210.

Gambar 9. Kromatogram GC-MS hasil transformasi anetol selama 3 jam

Gambar 10. Spektrum massa produk transformasi anetol (puncak 7)

1

2

3

4

5

1

2 3

4

5

7

6

8

C12H16O3

Page 16: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

16

Gambar 11. Spektrum massa produk transformasi anetol (puncak 8)

Dari analisis GC-MS produk transformasi anetol diatas, dapat dikatakan bahwa

transformasi anetol yang terjadi berupa reaksi oksidasi anetol. Hal tersebut dapat terjadi

karena katalis H3PMo12O40 memiliki dua kemampuan, yaitu sebagai katalis asam Bronsted

dan sebagai oksidator pada reaksi reduksi-oksidasi (Obali, 2003). Dalam hal ini, H3PMo12O40

berperan sebagai oksidator yang ditandai dengan perubahan warna katalis dari kuning menjadi

biru tua selama reaksi transformasi berlangsung. Perubahan warna tersebut megindikasikan

terjadinya perubahan bilangan oksidasi Mo dari Mo+6

menjadi Mo+5

(Chen et al., 2003).

KESIMPULAN

1. Hasil Karakterisasi katalis H3PMo12O40/bentonit menggunakan XRD menunjukkan

adanya puncak khas H3PMo12O40 pada 2θ sebesar 26o dengan intesitas yang sangat tinggi.

Dari uji keasaman H3PMo12O40/bentonit menggunakan FT-IR didapatkan jumlah mol

sisi asam Bronsted pada H3PMo12O40/bentonit sebesar 0,3340 mmol/g sedangkan jumlah

mol sisi asam Lewis sebesar 7,45 x 10-3

mmol/g.

2. Aktivitas katalitik H3PMo12O40/bentonit mulai terlihat pada hasil transformasi anetol

selama 1 jam dengan waktu optimum reaksi adalah 3 jam dengan % konversi anetol

sebesar 61,54%. Produk yang didapatkan memiliki berat molekul sebesar 208 g/mol dan

210 g/mol.

C11H14O4

Page 17: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

17

DAFTAR PUSTAKA

Bhorodwaj, K.S. and Dutta, K.D., 2011, Activated Clay Supported Heteropoly Acid

Catalysts for Esterification of Acetic Acid with Butanol, Applied clay science, 53(2) :

347-352.

Bokade, V.V. and Yadav, G.,D., 2007, Synthesis of Pharmaceutical Intermediates by

Toluene Benzylation over Heteropoly Acids on Different Support, Journal of

Natural Gas Chemistry, 16 : 186-192.

Chen, D., Xue, Z., and Su, Z., 2003, A New Catalyst of 12-Molybdophosphoric Acid for

Cationic Polymerization of Styrene: Activity and Mechanism Studies, Journal of

Molecular Catalysis, 203 : 307-312.

Fatimah, I., 2009, Zirconium Dioxide Dispersed in SiO2-Montmorilonit : Heterogeneous

Catalyst for Citronellal Conversion to Isopulegol, J. Appl. Sci. Res., 5 (10) : 1277-

1284.

Konta, J., 1995, Clay and Man : Clay Raw Material in The Service of Man, Applied Clay

Science, 10 : 275-335.

Lawless, J., 2002, Encyclopedia of Essential Oils, Thorson, London, page : 226.

MacMillan, J., Martin, I.L., and Morris, D.J., 1969, Tricyclic dimers of propenylphenyl

ethers-I: NMR and stereochemistry, Tetrahedron, 25 : 905.

Merck, E., 2001, Merck Index:13th

Edition, Merck & Co., Inc., White House station, New

Jersey, USA.

MÜller, A., Meszaros, M., Lempert-Sreter, M., and Szara, I., 1951, Dimeric Propenyl Phenol

Ethers. XIII. on Metanethole and its Teralin Isomers, Journal of Organik Chemistry,

16 : 1003.

Nagendrappa, G., 2002, Organic Synthesis Using Clay Catalysts Clays for ‘Green

Chemistry’, Resonance, Vol. 6, Department of Chemistry Bangalore University,

Bangalore, 66-68.

Obali, Zeynep, 2003, Heteropoly Acid Catalysts for Etherifications of Isoolefins, Thesis,

The Middle East Technical University, Turkey, 22-28.

Parry, E.P., 1963, An Infrared Study of Pyridine Adsorbed on Acidic Solids

Characterization of Surface Acidity, Journal of Catalysts 2, 371-379

Reddy, C.R., Iyengar, P., Nagendrappa, G., Prakash, B.S.J., 2009, Esterification of Succinic

Anhydride to Di-(p-Cresyl) Succinate over Mn+

-Montmorillonite Clay Catalysts, J.

of Molecular Catalysis A: Chemical 229 (2005) 31-37

Sastrohamidjojo, 2004. Kimia Minyak Atsiri. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta,

203-238.

Sekewael, S.J., 2008, Karakterisasi Sifat Fisikokimia Komposit Besi Oksida-Montmorilonit

Hasil Interkalasi Silikat Lempung Montmorilonit, Indonesia Chinica Acta Vol. 1. No. 1

Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, Universitas Pattimura

Kampus Poka, Ambon, Hal: 26

Sudarningsih dan Fahruddin, 2008, Penggunaan Metode Difraksi Sinar-X dalam

Menganalisa Kandungan Mineral pada Batuan Ultra Basa Kalimantan Selatan,

Jurnal Fisika FLUX, 5 (2) : 165-173.

Page 18: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

18

Upadhyay, Santosh K., 2006, Chemical Kinetics and Reaction Dynamics, Anamaya Publisher,

New Delhi, Page: 156, 159.

Torviso, del Rosario, M., Alesso, N.E., Moltrasio, Y.G., Vázquez, G.P., Pizzio, R.L., Caceres,

V.C., and Blanco, M.N., 2006, Effect of the support on new metanethole synthesis

heterogeneously catalyzed by Keggin Heteropolyacids, Applied catalysis, 301 : 25-

31.

Vijayakumar, B., Nagendrappa, G., Prakash, B.S.J, 2009, Acid Activated Indian Bentonite,

an Efficient Catalyst for Esterification of Carboxylic Acids, Catal Lett, 128 : 183-

189.

Yahiaoui, A., Belbachir, M., and Hachemaoui, A., 2003, An Acid Exchanged

Montmorillonite Clay-Catalyzed Synthesis of Polyepichlorhydrin, International

journal of molecular science, 4 : 548-561.

Page 19: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

19

Aktivitas Katalitik Dolomit Gresik Sebagai Katalis Heterogen Dalam Produksi Biodiesel Dari

Minyak Jarak Pagar

Afiyan Kristiono, Abdulloh, Alfa Akustia Widati

Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRACT

In this study, CaO solid base catalysts derived from Gresik dolomite are calcined at 850C.

The results of characterization by X-ray diffraction (XRD) showed the formation of CaO in

the presence of characteristic peaks of CaO catalyst is at 2θ = 32,2; 37,3; 53,8; and 64,1.

The basic site tests of catalyst were obtained number of basic sites of 109,9 mmol/g and the

range of the basic strength sites of 7,2 <H_<18,4. The catalyst activity was tested in the

transesterification of Jatropha curcas oil and methanol with a molar ratio of methanol/oil

30:1, catalyst amount of 1% by weight the amount of oil, reaction temperature 65C, and

reaction time for 1, 2, 3, 4, and 5 hours. Methyl ester obtained the highest results on reaction

time 5 hours with a yield of 18,0%.

Keywords: CaO, Gresik dolomite, catalytic activity

ABSTRAK

Pada penelitian ini, katalis basa padat CaO diperoleh dari dolomit Gresik yang dikalsinasi

pada suhu 850C. Hasil karakterisasi dengan difraksi sinar-X (XRD) menunjukkan

terbentuknya CaO dengan adanya puncak yang khas dari katalis CaO yaitu pada 2θ = 32,2;

37,3; 53,8; dan 64,1. Uji situs basa katalis diperoleh jumlah situs basa sebesar 109,9

mmol/g dan rentang kekuatan basa pada 7,2< H_<18,4. Aktivitas katalis diuji pada reaksi

transesterifikasi minyak jarak pagar dan metanol dengan rasio molar metanol/minyak 30:1,

jumlah katalis 1% berat jumlah minyak, suhu reaksi 65˚C, dan waktu reaksi selama 1, 2, 3, 4,

dan 5 jam. Hasil metil ester tertinggi diperoleh pada waktu reaksi 5 jam dengan hasil sebesar

18,0%.

Kata kunci: CaO, dolomit Gresik, aktivitas katalitik

Page 20: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

20

PENDAHULUAN

Energi memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Standar hidup dan tingkat

kemakmuran dari sebuah negara dapat dilihat dari tingkat penggunaan energi. Berdasarkan

data energi dunia, 80% energi yang kita gunakan berasal dari bahan bakar fosil seperti minyak

(36%), gas alam (21%), dan batu bara (23%). Sumber-sumber energi tersebut merupakan

sumber energi non renewable yang dalam waktu tidak lama akan habis [1]. Tuntutan

kebutuhan energi, penipisan jumlah sumber bahan bakar fosil dan peningkatan polusi

lingkungan mengharuskan dunia berpikir serius dalam menemukan sumber energi alternatif.

Bahan bakar berbasis nabati juga dapat mengatasi terjadinya kelangkaan BBM sehingga

kebutuhan akan bahan bakar dapat terpenuhi.

Salah satu contoh bahan bakar nabati adalah biodiesel. Biodiesel adalah sebuah

komponen mono alkil ester yang dapat diproduksi melalui proses transesterifikasi antara

minyak dan alkohol. Reaksi transesterifikasi dapat dikatalis baik dengan katalis homogen

maupun katalis heterogen [2].

Katalis homogen menyediakan kecepatan suatu reaksi berjalan lebih cepat daripada

katalis heterogen. Namun, biaya untuk memisahkan katalis homogen dari campuran reaksi

sangat tinggi. Selain itu, katalis homogen hanya dapat digunakan untuk sekali reaksi,

memerlukan proses loading-unloading serta harus dinetralisir terlebih dahulu sebelum sisa

hasil reaksi dibuang ke lingkungan. Berbeda dengan katalis homogen, katalis heterogen lebih

mudah dipisahkan dari produk cair serta dapat didesain untuk memberikan aktivitas yang

lebih tinggi, selektif, dan lifetime yang lebih lama [3].

Sejumlah solid base telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai reaksi seperti

potassium-alumina, solid K2CO3-alumina, dan strontium oksida. Beberapa publikasi juga

telah mematenkan aktivitas transesterifikasi dari magnesium oksida, dan magnesia-alumina

yang dikombinasi dengan oksida [4]. Dalam penelitian Zhu et al.,[5] memperoleh konversi

93% dari jatropha curcas oil yang menggunakan CaO sebagai katalis.

Namun, katalis-katalis heterogen yang telah dilaporkan diatas seperti CaO ataupun

lainnya merupakan katalis heterogen sintesis yang memiliki kekurangan dari segi ekonomis

sehingga perlu dilakukan terobosan baru untuk menemukan atau memanfaatkan mineral-

mineral alam yang mampu berfungsi sebagaimana katalis-katalis sintesis tersebut. Salah satu

mineral alam yang mengandung CaO namun belum banyak dimanfaatkan sebagai katalis

heterogen adalah dolomit.

Page 21: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

21

Dolomit adalah mineral yang berasal dari alam yang mengandung unsur hara

magnesium dan kalsium berbentuk tepung dengan rumus kimia CaMg(CO3)2 [6]. Dolomit

banyak ditemukan di daerah pegunungan atau perbukitan dan kelimpahannya di Indonesia

pun sangat besar. Salah satu kota yang memiliki mineral dolomit yang cukup melimpah

adalah kota Gresik, Jawa timur. Keberadaan mineral alam di daerah ini masih belum banyak

dimanfaatkan secara optimal terutama sebagai bahan katalis.

METODE PENELITIAN

Bahan

Sampel yang digunakan adalah minyak jarak pagar yang diperoleh dari PTPN XII

Jember dan mineral dolomit dari Gresik Jawa Timur. Bahan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah n-heksana 95% (Ajax Finechem Pty Ltd), methanol 99,9% (Merck), toluena 99,5%

(Merck), asam oksalat 99,5% (Merck), bromothymol blue, phenolphthalein, 2,4-dinitro-

aniline 98% (Aldrich), 4-nitroaniline 99% (Aldrich), metil heptadekanoat (Aldrich), n-

heptana 99% (Merck), akuades, dan minyak goreng.

Alat

Seperangkat alat refluks, ember alumunium, labu alas bulat leher tiga, labu evaporasi,

termometer, sentrifuge, pengaduk magnet, dan alat-alat gelas yang biasa dipakai di

laboratorium.

Prosedur Penelitian

Preparasi dolomit sebagai katalis

Sebanyak 5,0 g dolomit yang telah dihaluskan ditimbang dalam cawan porselin.

Selanjutnya dikalsinasi selama 2 jam pada suhu 850 C.

Analisis Flurescence sinar-X (XRF)

Analisis ini digunakan untuk mengetahui kandungan unsur yang terdapat dalam dolomit

Gresik.

Analisis difraksi sinar-X (XRD)

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral dolomit Gresik berdasarkan

basal spacing (pergeseran sudut θ).

Analisis situs basa

Jumlah situs basa

Sebanyak 0,05 g katalis dolomit dimasukkan kedalam labu titrasi. Kemudian ditambahkan 5,0

mL toluena dan 3 tetes indikator phenolphthalein. Larutan ini selanjutnya dititrasi dengan

Page 22: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

22

larutan asam oksalat 0,1 N sampai terjadi perubahan warna dari merah muda menjadi tidak

berwarna.

Kekuatan situs basa

Sebanyak 0,05 g katalis dolomit dimasukkan kedalam labu titrasi. Kemudian ditambahkan 5,0

mL toluena dan 2-3 tetes indikator Hammett.

Penurunan bilangan asam minyak jarak pagar

Sebanyak 57,6 g metanol dimasukkan kedalam labu alas bulat leher tiga. Kemudian

ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 0,516 g dan direfluks selama 15 menit. Setelah itu

ditambahkan 51,6 g minyak jarak pagar dan direfluks selama 1 jam pada suhu 50C.

Analis bilangan asam

Sebanyak 1,0 g minyak jarak pagar yang telah diturunkan bilangan asamnya dimasukkan

kedalam labu titrasi. Kemudian ditambahkan 5,0 mL etanol, 5,0 mL n-heksana dan 3 tetes

indikator penolptalein. Larutan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan KOH 0,1 N sampai

terjadi perubahan warna dari merah muda menjadi tidak berwarna. Titrasi dilakukan 3 kali

pengulangan atau lebih.

Reaksi transesterifikasi minyak jarak pagar dengan katalis dolomit

Sebanyak 0,086 g katalis dolomit dimasukkan kedalam labu alas bulat leher tiga. Kemudian

ditambahkan metanol sebanyak 9,61 g dan direfluks selama 15 menit. Setelah itu

ditambahkan 8,6 g minyak jarak pagar dan direfluks dengan variasi waktu 1; 2; 3; 4; 5 jam

pada suhu 65C.

Penentuan kadar biodiesel

Kadar atau konversi biodiesel di dalam produk dihitung dengan analisis GC-MS metode test

EN 14103.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Preparasi Dolomit Gresik Sebagai Katalis

Sejumlah sampel dolomit yang diperoleh dari daerah Sekapuk Sidayu Gresik dihaluskan

menggunakan mortar dan diayak dengan ukuran 200 mesh. Ukuran katalis dibuat lebih kecil

menggunakan ayakan 200 mesh agar luas permukaan sentuh katalis lebih besar sehingga laju

reaksinya akan semakin cepat [7]. Analisis komponen unsur penyusun dolomit Gresik

dilakukan dengan uji flourescene sinar-X (XRF) dengan hasil yang tertera pada tabel berikut:

Page 23: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

23

Dolomit

Unsur Mg Ca Mn Fe Ni Cu Yb

Unit

Konsentrasi

7.0

%

91.72

%

0.079

%

0.62

%

0.19

%

0.081

%

0.366

%

Dari tabel diatas diketahui komponen utama penyusun dolomit Gresik adalah unsur kalsium

(Ca) sebesar 91,72%. Kandungan kalsium yang besar dalam dolomit Gresik diharapkan dapat

bertindak sebagai pengganti katalis CaO sintesis yang memiliki kekurangan dari segi

ekonomis.

Untuk mendapatkan CaO, dolomit Gresik kalsinasi pada suhu 850C . Beberapa proses

yang terjadi selama kalsinasi antara lain hilangnya ikatan kimia dari molekul air atau CO2.

Kalsinasi bertujuan untuk menghilangkan permukaan karbonat dan gugus hidroksil [8].

Dekomposisi termal dari dolomit Gresik mengubah CaMg(CO3)2 menjadi CaO dan MgO serta

hilangnya gas CO2. Reaksi dekomposisi termal yang terjadi adalah [9]:

CaMg(CO3)2 CaO.MgO + CO2

Dalam hal ini, CaO bertindak sebagai sisi aktif karena sifatnya yang lebih reaktif

dibandingkan MgO. Kereaktifan suatu unsur dipengaruhi oleh harga energi ionisasi. Energi

ionisasi adalah energi yang dibutuhkan untuk melepas elektron yang terletak pada orbital atau

kulit terluar. Semakin besar energi ionisasi, semakin sulit elektron terluar untuk dilepas

sehingga kereaktifannya berkurang. Kalsium memilki energi ionisasi pertama sebesar 589 kJ

mol-1

sedangkan magnesium memiliki energi ionisasi pertama sebesar 736 kJ mol-1

. Dari

harga energi ionisasi pertama tersebut, kalsium memiliki energi ionisasi yang lebih rendah

dibandingkan magnesium sehingga kalsium lebih mudah melepas elektron terluarnya untuk

bereaksi dengan unsur atau senyawa yang lain dibandingkan magnesium. Selain itu dalam

logam alkali tanah kereaktifan suatu unsur bertambah sebanding dengan massa yang

bertambah dalam satu golongan tersebut [10]. Kalsium memiliki berat molekul 40,08 g/mol

sedangkan magnesium hanya 24,31 g/mol sehingga dapat disimpulkan kalsium (CaO) lebih

reaktif dibandingkan unsur magnesium (MgO).

Karakterisasi dolomit Gresik sebagai katalis meliputi uji difraksi sinar-X (XRD) dan uji

situs basa. Karakterisasi menggunakan XRD bertujuan untuk mengetahui perubahan

CaMg(CO3)2 yang ada dalam sampel dolomit Gresik menjadi CaO.MgO. Berdasarkan analisis

XRD diperoleh difraktogram sampel dolomit Gresik sebelum dikalsinasi dan setelah

dikalsinasi yang disajikan pada gambar dibawah ini:

Page 24: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

24

Dari gambar diatas diketahui puncak-puncak pada dolomit Gresik sebelum dikalsinasi

ditemukan pada 2θ = 30,9; 41,1; 44,9; 50,5; 51,0; 63,4; 64,4; 65,1; 66,1; 67,3;

72,8; 76,9; 84,6 yang merupakan karakteristik puncak kristal CaMg(CO3)2 sesuai dengan

data JCPDS. Puncak lain masih didapatkan dengan intensitas rendah yaitu pada 2θ = 29,4

yang teridentifikasi sebagai puncak karakteristik dari kristal CaCO3.

Puncak-puncak pada sampel dolomit Gresik setelah dikalsinasi ditemukan pada 2θ =

32,2; 37,3; 53,8; 64,1; yang merupakan karakteristik puncak kristal CaO [11]. Puncak

lain masih didapatkan dengan intensitas yang lebih rendah dari puncak CaO yaitu pada 2θ =

64,4; 67,3; 74,7 yang teridentifikasi sebagai puncak karakteristik dari kristal CaMg(CO3)2.

Selain itu, ditemukan puncak dengan intensitas sangat rendah pada 2θ = 28,6; 34,1; 47,1;

50,8 yang merupakan puncak karakteristik dari Ca(OH)2 [12].

Berdasarkan difraktogram diatas diketahui dolomit Gresik sebelum dikalsinasi

mengalami pergeseran puncak 2θ dibandingkan dolomit yang telah dikalsinasi. Sampel

dolomit Gresik yang telah dikalsinasi pada suhu 850C menunjukkan adanya puncak

karakteristik dari CaO sesuai dengan data JCPDS . Namun, sampel yang diperkirakan

mengandung CaO-MgO murni ternyata masih terdapat puncak dari fasa lain yang muncul

pada karakterisasi ini yaitu CaMg(CO3)2 dan Ca(OH)2.

Dekarbonasi adalah suatu reaksi reversibel yang bergantung pada konsentrasi CO2

dalam atmosfer, tekanan parsial, komposisi dasar, dan ukuran partikel senyawa karbonat [13].

Disosiasi CO2 berjalan tahap demi tahap dari permukaan luar menuju kedalam. Pembentukan

lapisan CO2 dipermukaan luar dapat terjadi ketika disosiasi dari dalam partikel berlangsung,

memudahkan rekarbonasi dari CaO menjadi CaCO3 [8].

Karakterisasi kedua sampel dolomit Gresik adalah uji situs basa. Uji situs basa meliputi

penentuan jumlah dan kekuatan situs basa. Uji situs basa dilakukan dengan metode titrasi.

Dari titrasi yang dilakukan diperoleh volume asam oksalat 0,1001 N sebanyak 54,95 mL

dengan jumlah situs basa sebesar 109,9 mmol/g.

Page 25: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

25

Kekuatan situs basa katalis dolomit Gresik diuji menggunakan indikator Hammett [14].

Indikator Hammett yang digunakan dalam penelitian ini adalah bromothymol blue (pKBH =

7.2), phenolphthalein (pKBH = 9.3), 2,4-dinitro-aniline (pKBH = 15.0), and 4-nitroaniline

(pKBH = 18.4). Dari uji yang dilakukan katalis dolomit Gresik memberikan perubahan warna

pada indikator bromothymol blue dari kuning menjadi biru, phenolphthalein dari tidak

berwarna menjadi rosa, 2,4-dinitroaniline dari kuning menjadi lembayung muda dan tidak

memberikan perubahan warna pada 4-nitroaniline. Oleh karena itu kekuatan basa katalis

dolomit Gresik berada pada rentang 7,2 < H_ < 18,4. Menurut Tanabe et al., 1989 [15], nilai

jumlah dan rentang kekuatan situs basa 7,2 < H_ < 18,4 termasuk basa kuat untuk reaksi

transesterifikasi.

Reaksi Bertahap Produksi Biodiesel

Langkah awal sebelum mereaksikan minyak jarak pagar (Crude Jatropha Curcas Oil)

dengan katalis dolomit Gresik adalah esterifikasi asam. Tahap ini merupakan proses

pretreatment utama untuk mengurangi kadar FFA (Free Fatty Acids) dalam minyak jarak

pagar. FFA adalah asam-asam lemak bebas dalam minyak jarak pagar yang dapat

menghalangi jalannya reaksi transesterifikasi dengan katalis dolomit Gresik.

Minyak jarak pagar direfluks menggunakan metanol dan katalis H2SO4 dalam labu alas

bulat leher tiga yang telah dilengkapi dengan kondensor. Reaksi dijalankan selama 1 jam pada

suhu 50C dalam penangas minyak. Penangas minyak dipilih karena dapat menjaga suhu

sistem lebih stabil dibandingkan penangas air. Biodiesel yang diperoleh dari reaksi esterifikasi

dengan asam ini kemudian ditentukan penurunan bilangan asamnya.

Dalam produksi biodiesel dari minyak jarak pagar (Crude Jatropha Curcas Oil)

menggunakan katalis dolomit Gresik, interferensi yang disebabkan oleh asam-asam lemak

bebas yang bereaksi dengan katalis harus dicegah. Masalah yang akan ditimbulkan dari

minyak jarak pagar yang memiliki kandungan FFA (free fatty acids) yang tinggi adalah FFA

tidak dapat dikonversi menjadi FAME (fatty acid methyl esters) menggunakan katalis basa

karena akan membentuk garam asam lemak (sabun). Adanya sabun dapat mencegah

pemisahan lapisan metil ester dari fraksi gliserin yang dihasilkan pada saat reaksi

transesterifikasi [16]. Untuk menyelesaikan masalah ini, asam-asam lemak bebas harus

dihilangkan dari minyak jarak pagar sebelum dilakukan reaksi transesterifikasi. Metode yang

paling umum untuk mengkonversi asam-asam lemak bebas menjadi FAME adalah dengan

melakukan reaksi esterifikasi menggunakan asam sulfat, asam p-toluena sulfonik, atau asam

alkil benzena sulfonik [17].

Page 26: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

26

Berdasarkan penentuan bilangan asam menggunakan metode ASTM D 974 [18]

diperoleh data bilangan asam minyak jarak pagar yang telah dilakukan reaksi esterifikasi

dengan H2SO4 mengalami penurunan bilangan asam dari 23,3157 mgKOH/g menjadi 0,7217

mgKOH/g.

Langkah berikutnya adalah transesterifikasi minyak jarak pagar yang telah diturunkan

bilangan asamnya dengan katalis dolomit Gresik dengan perbandingan mol antara minyak

jarak pagar (trigliserida) dan metanol sebesar 1:30 [19]. Sejumlah metanol direfluks dalam

labu alas bulat leher tiga dengan katalis dolomit Gresik selama 15 menit pada suhu 65C.

Selanjutnya minyak jarak pagar dimasukkan dalam sistem dan direfluks kembali dengan

variasi waktu 1; 2; 3; 4; 5 jam.

Dalam reaksi transesterifikasi minyak nabati, suatu trigliserida bereaksi dengan suatu

alkohol dengan adanya asam atau basa kuat sebagai katalis, membentuk suatu campuran alkil

ester asam-asam lemak. Keseluruhan proses adalah rangkaian dari tiga reaksi reversibel

berurutan, yang mana terbentuk monogliserida dan digliserida sebagai intermediet. Secara

stoikiometri, reaksi transesterifikasi membutuhkan 1 mol trigliserida (minyak jarak pagar) dan

3 mol alkohol (metanol). Alkohol berlebih diperlukan karena sifat alkohol yang mudah

menguap [20]. Selain itu, alkohol berlebih juga dibutuhkan untuk menambah hasil alkil ester

dan untuk memberikan fase pemisahan dari gliserol yang terbentuk. Beberapa faktor yang

berpengaruh dalam reaksi transesterifikasi adalah rasio molar minyak dan alkohol,

temperatur, dan kemurnian reaktan (terutama kandungan air) juga berpengaruh dalam reaksi

transesterifikasi [21].

Aktivitas Katalitik Dolomit Gresik

Kadar atau konversi biodiesel produk reaksi transesterifikasi minyak jarak pagar

dihitung dengan analisis GC-MS metode test EN 14103 [22]. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan diketahui konversi biodiesel bertambah sebanding dengan waktu reaksi sehingga

konversi biodiesel terbesar berada pada waktu reaksi 5 jam dengan nilai konversi sebesar

18,0%. Besarnya konversi biodiesel hasil reaksi transesterifikasi minyak jarak pagar

menggunakan katalis dolomit Gresik relatif kecil jika dibandingkan dengan menggunakan

CaO sintesis yang mampu mencapai konversi biodiesel sebesar 93% dengan waktu reaksi 1

jam [17].

Data karakterisasi XRD sampel dolomit Gresik setelah dikalsinasi dapat dikaitkan

dengan hasil komposisi analisa GC-MS [23]. Sampel dolomit Gresik setelah dikalsinasi tidak

hanya mengandung fasa kristal CaO, tetapi juga mengandung kristal CaMg(CO3)2 yang tidak

Page 27: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

27

aktif sebagai katalis dan Ca(OH)2 yang merupakan katalis yang aktif dalam reaksi

transesterifikasi. Pada penelitian Kouzu et al., 2007 [16], aktivitas katalitik menunjukkan

CaO>Ca(OH)2. CaCO3 dalam dolomit Gresik masih belum terkonversi semua menjadi CaO

dan CaO yang sudah dihasilkan dapat berinteraksi dengan udara membentuk Ca(OH)2 dan

CaCO3 seperti semula sehingga mengakibatkan aktivitas katalitik dolomit Gresik menjadi

berkurang.

KESIMPULAN

1. Dolomit Gresik dapat dimanfaatkan sebagai sumber katalis CaO melalui kalsinasi pada

suhu 850C. Karakterisasi XRD menunjukkan terbentuknya CaO dengan adanya puncak

yang khas dari katalis CaO yaitu pada 2θ = 32,2; 37,3; 53,8; dan 64,1.

2. Aktivitas katalitik dolomit Gresik sebagai katalis heterogen dalam produksi biodiesel

dari minyak jarak pagar memberikan konversi biodiesel sebesar 18,0% dengan waktu

reaksi 5 jam.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Alias, A., 2005, Alternative Energy for Sustainable Development, Two Days

National Seminar on Alternative Energy Sources, August 27-28, 2005, V.P.M.’s

Polytechnic, Thane

[2] Moser, R. B., 2009, Biodiesel Production, Properties, And Feedstocks, Plant

45:229–266

[3] Liu, X., Xianglan P., Yujun W., Shenlin Z., and Huayang H., 2007, Calcium

Methoxide As A Solid Base Catalyst for The Transesterification of Soybean Oil to

Biodiesel with Methanol, Fuel, 87: 1076-1082

[4] Martyanov, I. N. and Abdelhamid S, 2008, Comparative Study of Triglyceride

Transesterification in The Presence of Catalytic Amounts of Sodium, Magnesium,

and Calcium Methoxides, Applied Catalysis, 339: 455-52

[5] Zhu H., Wu Z., Chen Y., Zhang P., Duan S., Liu X., Mao Z., 2006, Preparation of

Biodiesel Catalyzed by Solid Super Base of Calcium Oxide and Its Refining

Process, Catalysis, 27: 391–6

[6] Warren, J., 2000, Dolomite: Occurrence, Evolution and Economically Important

Associations, Earth Science, 52: 1-81

Page 28: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

28

[7] Silberberg, Martin S. 2007. Principles of General Chemistry. New York: McGraw Hill

[8] Granados, M.L., Poves, M.D.Z., Alonso, D.M., Mariscal, R., Galisteo, F.C., Moreno-

Tost, R., Santamaría, J., Fierro, J.L.G., 2007, Biodiesel from Sunflower Oil by Using

Activated Calcium Oxide, Applied Catalysis B: Environmental 73: 317–326.

[9] Ngamcharussrivichai, Chawalit, Wipawee W., and Sarinyarak W., 2007, Modified

Dolomites As Catalysts for Palm Kernel Oil Transesterification, Journal of

Molecular Catalysis A: Chemical, 276: 24–33

[10] Canham, Geoff R and Tina Overton. 2006. Descriptive Inorganic Chemistry Fourth

Edition. New York: W. H Freeman and Company

[11] Nakatani, N., Takamori, H.,Takeda, K.,Sakugawa, H., 2009, Transesterification of

Soybean Oil using Combusted Oyster Shell Waste as a Catalyst. Bioresource

Technology, 100: 1510-1513

[12] Ngamcharussrivichai, Chawalit, Nunthasanti, P., Tanachai, S., Bunyakiat, K., 2010,

Biodiesel Production Through Transesterfication Over Natural Calciums. Fuel

Processing Technology, 91: 1409-1415

[13] Boynton, R.S., 1980, Chemistry and Technology of Lime and Limestone 2nd edition,

John Wiley & Sons, New York

[14] Lim, Boey P., Gaanty Pragas M., and Shafida Abd H., 2009, Biodiesel from

Adsorbed Waste Oil on Spent Bleaching Clay using CaO as a Heterogeneous

Catalyst, European Journal of Scientific Research, 33: 347-357

[15] Tanabe, K., Makoto M., Yoshio O., and Hideshi H., 1989, New Solid Acids and Bases

Their Catalytic Properties, Amsterdam: ELSEVIER SCIENCE PUBLISHERS B.V.

[16] Berchmans, Hanny J. and Shikoku H., 2007, Biodiesel production from crude

Jatropha curcas L. seed oil with a high content of free fatty acids, Bioresource

Technology, 99: 1716–1721

[17] Kouzu, M., Takekazu K., Masahiko T., Yoshikazu S., Shinya Y., and Jusuke H., 2007,

Calcium Oxide As A Solid Base Catalyst for Transesterification of Soybean Oil

and Its Application to Biodiesel Production, Fuel, 87: 2798-2806

[18] Mahajan, S., Samir K. Konar, and David G. B. B., 2006, Determining the Acid

Number of Biodiesel, JAOCS, 83: 567–570

[19] Tanaka, Y., Okabe, A., and Ando, S., 1981, Method for The Preparation of a Lower

Alkyl Ester of Fatty Acids, US Patent 4: 303±590.

Page 29: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

29

[20] Veljkovic, V. B., Olivera S. S., Zoran B. T., Miodrag L. L., and Dejan S. S., 2009,

Kinetics of Sunflower Oil Methanolysis Catalyzed by Calcium Oxide, Fuel, 10:

1016

[21] Schuchardt, U., Ricardo S., and Rogério M. V., 1998, Transesterification of

Vegetable Oils: A Review, J. Braz. Chem. Soc., 9: 199-210

[22] Ruppel, T. and Timon H., 2008, Fatty Acid Methyl Esters in B100 Biodiesel by Gas

Chromatography (Modified EN 14103), PerkinElmer, Inc, USA

[23] Qoniah, I., 2011, Penggunaan Cangkang Bekicot Sebagai Katalis Untuk Reaksi

Transesterifikasi Refined Palm Oil, Skripsi, Jurusan Kimia, FMIPA, ITS, Surabaya

Page 30: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

30

AMPLIFIKASI GEN PENYANDI ENDO-1,4-β-XILANASE ASAL ISOLAT 7

BAKTERI XILANOLITIK SISTEM ABDOMINAL RAYAP TANAH

Amaliah Labiqah, Ni Nyoman Tri Puspaningsih dan Sri Sumarsih

Program Studi S1 Kimia,Departemen Kimia, Fakultas Sains Teknologi Universitas

Airlangga

ABSTRAK

Enzim-enzim xilanolitik berperan penting dalam mengolah limbah-limbah pertanian yang

sebagian besar mengandung hemiselulosa dengan xilan sebagai komponen utamanya. Salah

satu enzim xilanolitik yang mampu mendegradasi xilan adalah enzim endo-1,4-β-xilanase.

Pada penelitian ini dilakukan amplifikasi gen penyandi endo-1,4-β-xilanase asal isolat 7

bakteri xilanolitik sistem abdominal rayap tanah. Amplifikasi dilakukan dengan metode PCR

menggunakan sepasang primer forward dan primer reverse yang didesain masing-masing

dengan nama endoF dan endoR. Hasil elektroforesis produk PCR menunjukkan gen penyandi

endo-1,4-β-xilanase dapat teramplifikasi dengan ukuran ±0,5bp.

Kata kunci : bakteri xilanolitik, rayap tanah, endo-1,4-β-xilanase, amplifikasi, PCR,

sekuensing

ABSTRACT

Xylanolyticenzymesplay an important rolein the processingof agriculturalwasteswhichcontain

most ofthehemicellulose with xylanasits maincomponent. One of enzymethat is able

todegradexylanisendo-1 ,4-β-xylanase enzyme. In this researchthe amplification ofthe gene

encodingendo-1 ,4-β-xylanase was isolated from xylanolytic bacterialisolates7 of

soiltermiteabdominalsystem. Performedby PCRamplificationusing theprimerpair

offorwardandreverseprimersdesignedrespectivelyby nameendoFandEndoR.

PCRproductelectrophoresisshowedgenes encodingendo-1 ,4-β-xylanase can beamplifiedin

sizeabout0,5bp.

Keywords : xilanolitic bacteria, soil termite, endo-1,4-β-xilanase, amplification, PCR,

sequencing

PENDAHULUAN

Limbah-limbah pertanian memiliki kandungan hemiselulosa yang terdiri atasxilan sebagai

komponen utama penyusun hemiselulosa. Xilandapat dihidrolisis menjadi xilosa dan

xilooligosakarida. Hidrolisis xilan dilakukan dengan bantuan biokatalis enzim yaitu enzim

Page 31: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

31

xilanase salah satunya enzim endo-1,4-β-xilanase. Pemanfaatan enzim endo-xilanase dalam

dunia industri diantaranya adalah untuk industri makanan, farmasi, kertas, prebiotik serta

bahan bakar yang dapat diperbaharui (Sriyapai et al, 2010). Salah satu jenis organisme di

alam yang melakukan aktivitas pendegradasi endo-xilanase adalah rayap (Purwadaria et al,

2004; Faulet et al, 2006).

Ratnadewi dkk. (2007), telah melakukan penelitian tentang isolasi, purifikasi serta

karakterisasi untuk mendapatkan enzim endo-xilanase dari bakteri xilanolitik sistem

abdominal rayap tanah yang disebut sebagai isolat 7 dan telah diidentifikasi secara

mikrobiologis memiliki homologi dengan Bacillus subtillisGH 11. Pokok riset saat ini telah

mengarah pada kebutuhan akan suatu isolat dan identifikasi organisme yang merupakan

penghasil utama (hyper-producer) sebagai produsen enzim xilanolitik baru.

Pada penelitian ini dilakukan amplifikasi gen penyandi endo-1,4-β-xilanase yang

berasal dari bakteri xilanolitik sistem abdominal rayap tanah isolat 7. Gen endo-1,4-β-xilanase

diamplifikasi dengan teknik PCR menggunakan sepasang primer yang akan didesain

berdasarkan urutan basa nukleotida gen penyandi endo-1,4-β-xilanase asal Bacillus subtilis

GH 11 dari Genbank. Primer untuk mengamplifikasi gen penyandi enzim endoxilanase yaitu

endoF untuk primer forward dan endoR untuk primer reverse. Hasil amplifikasi PCR ini

kemudian dianalisis urutan basa nukleotida penyusunnya dengan sekuensing.

METODE PENELITIAN

Sampel Penelitian

Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian yaitu bakteri sistem abdominal

rayap tanah isolat 7 dari penelitian Ratnadewi dkk. (2007).

Bahan penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu primer forward(endoF),

primer reverse (endoR), DNA Taq Polimerase, dNTP, Buffer Taq, dNTP, MgSO4, TrisCl,

TrisHCl, MgCl2, (NH4)2SO4, ddH2O, KIT QIAGEN (QI Aquick Gel Extraction Kit 50), media

Luria Bertani (LB) padat dengan komposisi: tripton 1%, NaCl 1%, yeast ekstrak 0.5% dan

bacto agar 2%. LB cair yaitu LB tanpa penambahan bacto agar, buffer TE (50 mM tris HCl

pH 8 dan 50 mM EDTA), larutan lisosim, larutan STEP (SDS 1%, Tris Cl, EDTA pH 8,

proteinase K ), fenol jenuh, Na-asetat,etanolabsolut, etanol 70%, TBE (Tris borat, Asam

Borat, EDTA pH 8), agarosa, Buffer Loading (Bromofenolbiru, sukrosa).

Page 32: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

32

Alat penelitian

pH meter, autoklaf, (OSK 6508 Steam pressure apparatus Ogawa Seiki Co., LTD),

laminair air flow cabinet (Kottermann 8580), sentrifuga Beckman (tipe TJ-6), timbangan

analitik (Mettler Toledo), oven (Memmert, Jerman), rotary shaker, lemari pendingin -20 0C

(Royal Chest Freezer BD195), eppendorf, mikro pipet, waterbath, shaker incubator

(Heidolph Polymax 1040), thermocycler, UV transluminator dan alat-alat gelas yang biasa

digunakan di laboratorium.

LANGKAH KERJA

Isolasi DNA kromosom

Sebanyak 10 mL suspensi sel bakteri xilanolitik sistem abdominal rayap tanah

diisolasi menggunakan metode Sambrook et al(1989).

Amplifikasi gen penyandi endo-1,4-β-xilanase dengan teknologi PCR

Primer didesain dengan menggunakan program komputer clone manager. Urutan basa

nukleotida penyandi gen endo-1,4-β-xilanase didapat dari Genbank, www.ncbi.nlm.nih.gov.

Kemudian dicari homologinya. Daerah yang sudah homolog diambil bagian ujung depan

sebagai primer forward endoF dengan penambahan restriksi SacI, dan ujung belakang sebagai

primer reverse endoR dengan penambahan restriksi XhoI.

Komposisi PCR terdiri DNA kromosom 10 μl, primer forward 2 μl, primer reverse 2

μl, MgSO4 1 μl, Taq polimerase 2 μl, buffer Taq 2 μl dan dNTP 1 μl. Komposisi DNA total

sebanyak 20 μl. Kondisi denaturasi pada suhu 94oC selama1 menit, 58

oC selama 1 menit dan

elongasi pada suhu 72 oC selama 1 menit dengan jumlah siklus 30 kali. pra-denaturasi pada

suhu 94oC selama 5 menit dan diakhiri dengan pasca elongasi yang dilakukan pada suhu 72

oC selama 10 menit.

Purifikasi Produk PCR

Purifikasi produk PCR dilakukan dengan menggunakan QI Aquick Gel Extraction KIT

50

Sekuensing amplikon dengan metode Sanger

Sekuensing dilakukan dengan alat Applied Biosystem di Laboratorium Macrogen

Singapore.

Page 33: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

33

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi DNA Kromosom Bakteri Xilanolitik Sistem Abdominal Rayap Tanah Isolat 7

Isolasi DNA kromosom bakteri xilanolitik sistem abdominal rayap tanah isolat 7 dilakukan

dengan metode Sambrook et al (1989) dan diperoleh hasil sebagai berikut (Gambar 1)

Gambar 1 Hasil elektroforesis DNA kromosom

Amplifikasi Gen Penyandi Endo-1,4-β-xilanase dengan teknik PCR

Untuk melakukan PCR didesain sepasang primer forward (endo F) dan primer reverse

(endoR) dengan menggunakan bantuan software clone manager. Primer didesain berdasarkan

pada urutan basa nukleotida gen penyandi endo-1,4-β-xilanase yang diambil dari Genbank.

Urutan basa nukleotida gen penyandi endo-1,4-β-xilanase yang diambil berasal dari kelompok

hidrolase famili 11 Bacillus Subtillis disebabkan karena bakteri xilanolitik dari sistem

abdominal rayap isolat 7 telah diidentifikasi secara mikrobiologis memiliki homologi dengan

Bacillus subtilis. Primer yang digunakan untuk amplifikasi gen penyandi endo-1,4-β-xilanase

asal isoalt 7 bakteri xilanolitik sistem abdominal rayap tanah didesain berdasarkan gen

penyandi endo-1,4-β-xilanase dari beberapa GH famili 11 yaitu Bacillus subtilis galur BD403

endo1,4beta-xyl (DQ100306.1), Bacillus subtilis galur G1 xylanase gene (EU848308.1),

Bacillus subtilis galur MW10 endo-1,4-beta-xyl (DQ100307.1), dan Bacillus subtilis galur R5

xyl (AB457186.1)

Page 34: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

34

Gambar 2 Hasil aligmentBacillus subtilis galur BD403 endo1,4beta-xyl (DQ100306.1),

Bacillus subtilis galur G1 xylanase gene (EU848308.1), Bacillus subtilis galur

MW10 endo-1,4-beta-xyl (DQ100307.1), dan Bacillus subtilis galur R5 xyl

(AB457186.1)

Panjang basa Primer forward endoF 39bp dengan urutan basa 5’

GGGGAGCTCTCCATGTTAAGTTTAAAAAGAATTTCTTAGTT 3’, memiliki Tm sebesar

67°C, 30% GC, tidak terjadi dimers dan harpains serta serta pada ujung 3’ tidak lebih dari 3

nukleotida dari primer forward komplemen dengan primer reverse ataupun

sebaliknya.Panjang primer reverse endoR adalah 23bp dengan urutan basa 5’

GCCTCGAGTTACCACACTGTTAC 3’, memiliki Tm sebesar 64°C, 52% GC, tidak terjadi

dimers dan harpains serta serta pada ujung 3’ tidak lebih dari 3 nukleotida dari primer

forward komplemen dengan primer reverse ataupun sebaliknya. Gambar 3 dan Gambar 4

menunujukkan hasil analisis desain primer forward endoF dan reverse endoR.

Page 35: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

35

Gambar 3 Analisis Primer Forward (endoF)

Gambar 4 Analisis Primer Reverse (endoR)

Analisis primer oleh program Clone manager pada Gambar 3 dan 4 menunjukkan

primer reverse memenuhi kriteria primer PCR yang disarankan oleh program Clone manager.

Sedangkan primer forward memiliki beberapa kriteria yang disarankan oleh program Clone

manager yang tidak terpenuhi. Primer forward memiliki panjang primer sepanjang 39 dan

30% GC. Dalam teorinya, jika suatu primer terlalu panjang maka dapat menyebabkan

kegagalan replikasi (Irawan, 2008 ; Yuwono, 2006). Namun, dalam penelitian (Paice, et al.,

1986) dan (Huang et al., 2005) pernah melakukan amplifikasi gen penyandi xilanase dengan

panjang basa 39 basa nukleotida. Urutan primer forward yang digunakan yaitu

Page 36: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

36

5’ CGAATTCCATGTTTAAGTTTAAAAAGAATTTCTTAGTT 3’ sama seperti urutan

primer forward endoF yang didesain dengan penambahan GC dan sisi restriksi yang berbeda.

Gambar 5Hasil alignment gen endo-1,4-β-xilanase GH 11 dari Bacillus subtillis

dengan primer forward endoF (F3 ENDO ORI) dan primer reverse

endoR (R ENDO INVERS)

PCR dijalankan dengan kondisi denaturasi awal 94ᵒC 1 menit; annealing 58ᵒC selama

1 menit; dan elongasi 72ᵒC selama 1 menit. Amplikon PCR yang berhasil diamplifikasi pada

penelitian ini yaitu sebesar ±500 bp

A B

Page 37: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

37

Gambar 6 Hasil elektroforesis PCR menggunakan primer endoF dan endoR

A. GeneRulerTM

1 kb DNA ladder

B. Amplikon gen penyandi endo-1,4-β-xilanase asal isolat 7 bakteri xilanolitik

sistem abdominal rayap tanah hasil PCR

Purifikasi atau pemurnian DNA Produk PCR

Purifikasi produk PCR dilakukan melalui purifikasi gel menggunakan reagen KIT (QI

Aquick Gel Extraction KIT 50

Gambar 7 Hasil elektroforesis amplikon PCR yang telah dimurnikan dengan reagen KIT

(QI Aquick Gel Extraction KIT 50

A. GeneRulerTM

1 kb DNA ladder

B. Amplikon gen penyandi endo-1,4-β-xilanase asal isolat 7 bakteri xilanolitik

sistem abdominal rayap tanah

Analisis urutan basa nukleotida dan homologi fragmen gen penyandi endo-1,4-β-

xilanase asal isolat 7 Bakteri Xilanolitik Sistem Abdominal Rayap Tanah

Sekuensing dilakukan dengan alat Applied Biosystems 3730XL squenser. Data hasil

sekuensing adalah sebagai berikut :

a) Sekuensing dengan primer forward endoF dengan Applied Biosystems 3730XL

squenser :

TCTCCCTGTACTAGGAGATCGTCAGCTTCCCACCTCTCAACTAGATGT

A B

3000bp

1000bp

500bp

250bp

±500bp

3000bp

1000bp

500bp

250bp

±500bp

Page 38: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

38

b) Sekuensing dengan primer reverse endoR dengan Applied Biosystems 3730XL

squenser :

TACATCAGCCTACGTCTGTATCTTTCCGGGGCCCCACAACCAGAGA

. Kedua hasil sekuensing tidak berhasil membaca urutan basa nukleotida gen penyandi endo-

1,4-β-xilanase asal isolat 7 bakteri xilanolitik sitem abdominal rayap tanah secara

keseluruhan. Hal ini diindikasikan karena faktor kemurnian DNA hasil produk PCR yang

kurang baik.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwagen penyandi endo-1,4-β-xilanase dengan ukuran

0,5bp asal isolat 7 bakteri xilanolitik sistem abdonminal rayap tanah dapat diamplifikasi

dengan metode PCR menggunakan desain primer endoF dan endoR.

SARAN

1. Dilakukan pemurnian dan sekuensing ulang terhadap DNA gen penyandi endo-1,4-β-

xilanase asal isolat 7 bakteri xilanolitik sistem abdonminal rayap tanah

2. Dilakukan amplifikasi ulang dengan primer yang berbeda atau melakukan desain primer

baru untuk urutan gen penyandi endo-1,4-β-xilanase.

DAFTAR PUSTAKA

Beg Q. K., Kapoor M., Mahajan L., Hoondal G. S., 2001, Microbial Xylanases and their

Industrial Applications : a Review, Applied Microbiology and

Biotechnology, Vol. 56, p. 326-338.

Brown T.A., 2010, Gene Cloning an Introduction, 3rd

edition, Chapman & Hall, United

Kingdoom.

Erlich H. A., 1992, PCR Technology : Principles and Application for DNA Amplification,

W. H. Freeman and company, USA.

Faulet B. M., Niamke S., Gonnety J. T., Kouame, L. P., 2006. Purification and Biochemical

Properties of a New Thermostable Xylanase from Symbiotic Fungus,

Termitomyces sp.,African Journal of Biotechnology, Vol. 5, p. 273-282.

Huang J., Whang G., Xiao L., 2006, Cloning, sequencing and expression of the xylanase

gene from a Bacillus subtilis strain B10 in Escherichia coli,Bioresource

Technology, Vol. 97, p. 802-808.

Page 39: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

39

Innis M. A., Gelfan D. H., John S., PCR Protocols : A Guide to Methode Application,

1990, Academic Press, New York.

Irawan B., 2008, Genetika Molekuler, Airlangga University Press, Surabaya.

Poorna C. Asha., Prema P., 2006, Production and partial characterization of

endoxylanase by Bacillus pumilus using agro industrial residues,

Biochemical Engineering, Vol. 36, p. 106-112.

Purwadaria T., Ardiningsih P., Ketaren P. P., dan Sinurat A. P., 2004. Isolasi dan Penapisan

Bakteri Xilanolitik Mesofil dari Rayap. Jurnal Mikrobiologi Indonesia 9.

Radek R., 1999, Flagellates, Bacteria, and Fungi Associated with Termites : Diversity

and Function in Nutrition-A Review,Ecotropica, Vol.5 (2), p. 183-196.

Ratnadewi A. A. I., Handayani W., Hadi A. F., Sa’diyah H., Budi L., 2007,

Isolasi,Pemurnian dan Karakterisasi Enzim Xilanolitik Asal Mikrob

Dalam Sistem Intestin Rayap Untuk Memproduksi Xilooligosakarida

Sebagai Pereduksi Resiko Kanker, Uneversitas Jember, Jember.

Sambrook J., Fritsch E. F., Maniatis T., 1989, Molecular Cloning, 2nd

Edition, Cold Spring

Harbor Laboratory Press, New York.

Subramaniyan S., Prema P., 2002, Biotecnology of Microbial Xylanases : Enzymology,

Molecular Biology, and Application, Critical Rev Biotechnol, Vol. 22, p. 33-

64.

Tarumingkeng R. C., 2001, Biologi dan Perilaku Rayap, Program Studi Ilmu Hayati Institut

Pertanian Bogor, Bogor (diakses online dari

www.rudyct.com/biologi_perilaku_rayap.htm).

White B. A., 1997, PCR Cloning Protocols, Humana Press, New Jersey.

Yuwono T., 2006, Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction : Panduan Eksperimen

PCR untuk memecahkan masalah Biologi Terkini, Penerbit Adi,

Yogyakarta.

Page 40: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

40

ANALISIS NITROSODIETILAMIN (NDEA) DENGAN TEKNIK KROMATOGRAFI

GAS MELALUI HEADSPACE SINGLE DROP MICROEXTRACTION (HS-SDME)

Any Shofiyah, Miratul Khasanah dan Yanuardi Raharjo

Departeman Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

Jl. Mulyorejo, Surabaya

[email protected]

ABSTRACT

Headspace single drop microextraction is a sample preparation technique belongs to

a rapid, simple, selective, sensitive and efficient. In this research studied of HS-SDME

method was used to analyze nitrosodiethylamine (NDEA) in salted fish using gas

chromatography flame inonization detector. The optimized analytical parameter is volume of

extraction 30 mL using microextraction solvent ethyl acetate and the temperature 30 °C. The

curve of linear calibration generated for NDEA’s concentration of 10-50 ppm obtained values

of r = 0.999, limit of detection is 0.53 ppm, accuracy is 100.15%, precision between 0.05 to

1,07 and enrichment factor 10,015. From the analysis performed, this method was

successfully applied to determine NDEA in salted fish. The analyze result of salted fish is

3,34 ppm.

Keyword: HS-SDME, gas chromatography flame ionization detector (GC-FID),

nitrosodiethylamine (NDEA)

ABSTRAK

Headspace single drop microextraction (HS-SDME) merupakan teknik preparasi

sampel yang tergolong cepat, sederhana, murah, selektif, sensitif dan efisien. Pada penelitian

ini dipelajari penggunaan metode HS-SDME untuk analisis senyawa nitrosodietilamin

(NDEA) dalam ikan asin menggunakan instrumentasi kromatografi gas dengan menggunakan

detektor FID (flame inonization detector). Hasil optimasi parameter analitik volume larutan

umpan 30 mL dengan menggunakan etil asetat sebagai pelarut organik dan temperatur 30°C

dihasilkan kurva kalibrasi linier untuk larutan standar NDEA konsentrasi 10-50 ppm. Nilai

Page 41: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

41

koefisien korelasi (r) kurva kalibrasi yang diperoleh = 0,999, limit deteksi 0,53 ppm, akurasi

sebesar 100,15%, presisi antara 0,05-1,07 dan faktor pemekatannya sebesar 10.015. Dari hasil

analisis yang dilakukan, metode ini berhasil diterapkan dalam penentuan NDEA yang

merupakan senyawa karsinogen yang terdapat dalam ikan asin. Hasil analisis penentuan kadar

NDEA yang ditemukan dalam ikan asin adalah 3,34 ppm.

Kata kunci : HS-SDME, kromatografi gas flame ionization detector (GC-FID),

nitrosodietilamin (NDEA)

PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemajuan ilmu

kimia analitik juga semakin bertambah pesat. Perkembangan yang terjadi dalam bidang ilmu

kimia analitik tidak hanya pada metode analisis saja, akan tetapi juga pada prosedur

pemisahan, penanganan dan penghilangan interferensi pada sampel yang biasanya dikenal

dengan teknik preparasi sampel. Hal ini dikarenakan teknik preparasi sampel memegang

peranan penting dalam proses analisis suatu senyawa kimia. Adapun tujuan dari preparasi

sampel yaitu untuk mengisolasi analit dari matrik sampel dan memekatkannya agar bisa

terdeteksi oleh instrumen yang ada.

Teknik preparasi sampel yang berkembang pesat pada saat ini adalah ekstraksi. Salah

satu teknik ekstraksi yang dikembangkan adalah teknik mikro ekstraksi. Ekstraksi mikro

tetesan tunggal (EMTT) atau yang biasa disebut single drop micro extraction (SDME)

merupakan jenis mikroekstraksi cair-cair dengan menggunakan pelarut organik dalam jumlah

sangat sedikit (dalam kisaran mikroliter) yang dibiarkan menggantung di ujung jarum syring

dan diletakkan di dalam larutan sampel.

Ekstraksi dengan menggunakan teknik SDME ini sangat efektif jika digunakan untuk

menganalisis senyawa golongan nitrosamin. Kelebihan metode SDME dibandingkan dengan

metode yang lain yaitu tidak dibutuhkannya pelarut organik dalam jumlah banyak sehingga

menunjang prinsip dari green chemistry, kesetimbangan distribusinya saat ekstraksi cepat

tercapai, pemisahan fasanya sempurna, waktu ekstraksinya relatif singkat dan ekstraknya

langsung dapat diinjeksikan ke instrumen seperti kromatografi gas atau GC (gas

chromatography). SDME meliputi dua bentuk ekstraksi, yaitu direct-SDME dan HS-SDME

(headspace-single drop microextraction)[1]

.Teknik HS-SDME sangatlah cocok jika digunakan

untuk analisis senyawa golongan nitrosamin yang sifatnya mudah menguap. Teknik ekstraksi

ini tergolong cepat, sederhana dan relatif murah[2]

.

Page 42: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

42

Teknik SDME merupakan teknik preparasi sampel yang tepat digunakan pada analisis

senyawa nitrosamin. Senyawa nitrosamin banyak dijumpai dalam makanan seperti ikan

asin dan kornet. Ikan asin dan kornet tergolong makanan yang sangat mudah rusak karena

kandungan gizi dan kadar airnya yang cukup tinggi[3]

. Oleh karena itu untuk

memperpanjang umur bahan makanan tersebut digunakan suatu bahan pengawet.

Penggunaan nitrit sebagai pengawet ikan asin dan daging (kornet) dapat menimbulkan efek

yang berbahaya pada tubuh. Kadar nitrit yang tinggi dalam tubuh manusia akan

mengakibatkan resiko alergi dan dapat bereaksi dengan senyawa amina dan asam amino

dalam tubuh sehingga menghasilkan senyawa nitrosamin yang bersifat karsinogen[4,5]

.

Berdasarkan sifat nitrosamin yang karsinogenik dan keberadaanya di lingkungan

sangat kecil (ppb dan ppm) maka diperlukan suatu metode analisis yang mempunyai

sensitivitas dan selektivitas tinggi. Pada penelitian ini dilakukan analisis nitrosamin pada ikan

asin secara kromatografi gas (GC) melalui ekstraksi secara HS-SDME. Parameter yang

dipelajari adalah volume larutan umpan dengan menggunakan temperatur 30°C dan etil asetat

sebagai pelarut organiknya. Dari hasil optimasi volume larutan umpan tersebut dicari kondisi

optimumnya yang selanjutnya ditentukan parameter validasi meliputi limit deteksi, akurasi,

presisi dan faktor pemekatan.

METODE PENELITIAN

Bahan penelitian

Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini antara lain nitrosodietilamin (NDEA)

99,99% (supelco), pelarut organik (metanol dan etil asetat) (pa) dari merch dan sampel yang

digunakan adalah ikan asin yang diperoleh dari salah satu pasar di wilayah Mulyorejo,

Surabaya.

Alat-alat penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kromatografi gas (gas

chromatography-flame ionization detector/GC-FID) tipe Hewlett Packard series II 5890,

dengan menggunakan kolom HP-5 (panjang 30 m; diameter 0,250 mm; dan film 10,10 µm),

microsyringe, mikropipet, pengaduk magnetik (stirrer), batang pengaduk, corong buchner

dan peralatan gelas yang lazim digunakan di laboratorium.

Page 43: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

43

Kondisi kromatografi gas yang digunakan

Kromatografi gas yang digunakan yaitu GC Hewlett Packerd series II 5890, USA dan

untuk tipe kolomnya digunakan HP-5 (5% fenil tersubstitusi methylpolysiloxane) 30 m - 0.250

mm; 10,10 µm yang sifatnya non polar[6]

. Detektor yang digunakan adalah detektor FID

(flame ionization detector) dan sebagai gas pembawanya digunakan gas hidrogen dan nitrogen

dengan laju alir 68 mL/menit.

Pengaturan kondisi gas yang diguanakan dalam analisis NDEA sebagai berikut,

Injector A 250 °C, Detector A 300 °C, Initial temperature 40 °C, Initial time 3 menit, Rate

10,0 °C/menit, Final temperature 120 °C dan Final time 1,00 menit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Optimasi Volume Larutan Umpan

Optimasi volume larutan sampel atau larutan umpan dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui efisiensi ekstraksi. Optimasi volume larutan dilakukan dengan menggunakan etil

asetat sebagai pelarut organik dan temperatur sebesar 30°C. Hasil analisis NDEA pada

optimasi volume larutan umpan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kurva hubungan antara luas area kromatogram NDEA 30 ppm dengan volume

larutan umpan

Dari kurva tersebut terlihat luasan area kromatogram pada optimasi volume larutan

ekstrak mengalami kenaikan sampai pada volume 30 mL dan kemudian pada volume 40 mL

mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa tetesannya telah jenuh dengan NDEA

dari larutan umpan dengan volume 30 mL. Maka dari itu volume larutan umpan 30 mL dipilih

sebagai volume optimum dalam analisis NDEA dengan HS-SDME.

10000

12000

14000

16000

0 10 20 30 40 50

Luas

are

a kro

mat

ogra

m

(sat

uan

)

Volume larutan ekstrak (mL)

Page 44: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

44

Penentuan Validitas Metode

Penentuan validitas metode pada analisis NDEA secara kromatografi gas didasarkan

pada persamaan regresi linier kurva kalibrasi NDEA dengan ekstraksi HS-SDME.

Dari hasil perhitungan diperoleh limit deteksi pada analisis NDEA tanpa HS-SDME

secara kromatografi gas sebesar 1,41 ppm sedangkan bila menggunakan HS-SDME diperoleh

limit deteksi sebesar 0,53 ppm. Perbedaan limit deteksi pengukuran NDEA secara

kromatografi gas tanpa dan dengan HS-SDME dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kurva standar NDEA tanpa dan dengan HS-SDME

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode HS-SDME dapat meningkatkan

sensitivitas alat dalam merespon analit.

Nilai akurasi dari penelitian berkisar antara 98,80% sampai 101,8% dengan akurasi

rata-ratanya 100,15%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis NDEA dengan

menggunakan metode HS-SDME dengan menggunakan kromatografi gas mempunyai akurasi

yang baik. Akurasi dikatakan baik apabila rentang nilainya berkisar 90%-110%[7]

. Presisi

analisis NDEA dengan menggunakan metode HS-SDME sangat baik karena nilai presisinya

berkisar antara 0,05%-1,07%. Suatu metode dikatakan mempunyai presisi yang baik jika nilai

koefiisien variasi yang kurang dari 3%[8]

.

Pemekatan secara teoritis pada analisis NDEA dengan HS-SDME sebesar 10.000 kali.

Sedangkan pada pemekatan yang sebenarnya sebesar 10.015 sehingga dapat disimpulkan

bahwa faktor pemekatan pada metode HS-SDME sangat baik karena tidak ada beda yang

terlalu jauh antara faktor pemekatan teori dengan faktor pemekatan yang sebenarnya.

0

5000

10000

15000

20000

25000

0 10 20 30 40 50

Konsentrasi (ppm)

Tanpa HS-SDME

Dengan HS-SDME

Luas

area

kro

mat

ogra

m

(sat

uan

)

Page 45: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

45

Aplikasi Metode HS-SDME-GC-FID

Konsentrasi NDEA dalam sampel dihitung dengan cara memasukkan luas area hasil

pengukuran sampel ke persamaan regresi linear dari kurva kalibrasi NDEA dengan HS-

SDME. Besarnya konsentrasi NDEA dalam sampel ikan asin dinyatakan dalam ppm. Hasil

dari perhitungan tersebut diperoleh besarnya konsentrasi NDEA dalam sampel ikan asin

sebesar 3,34 ppm. Dengan menggunakan teknik standar adisi diperoleh konsentrasi NDEA

sebesar 7,46 ppm dengan recovery sebesar 89,44%.

Dari hasil penambahan standar adisi tersebut dikatakan bahwasanya matrik yang

terdapat dalam sampel kemungkinkan masih berpengaruh pada proses analisis. Adanya

senyawa organik dalam sampel dapat menurunkan efisiensi ekstraksi dikarenakan senyawa

organik yang terdapat dalam sampel memiliki kesamaan sifat misal dalam hal kepolaran,

sehingga apabila diekstraksi dengan pelarut pengekstrak senyawa tersebut ikut terekstrak,

akibatnya NDEA yang terserap ke dalam pelarut pengekstrak (etil asetat) menjadi berkurang.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai

berikut :

1. Kondisi optimum yang digunakan dalam analisis NDEA secara kromatografi gas melalui

teknik HS-SDME dapat dicapai dengan menggunakan parameter optimasi volume larutan

umpan sebanyak 30 mL.

2. Berdasarkan kondisi parameter yang telah optimum, diperoleh nilai limit deteksi dengan

menggunakan metode HS-SDME sebesar 0,53 ppm, akurasi sebesar 100,15%, presisi

antara 0,05-1,07 dan faktor pemekatannya sebesar 10.015. Hasil recovery dari

penambahan standar adisi sampel ikan asin adalah 89,44%

3. Metode HS-SDME sangat efektif digunakan untuk analisis NDEA dalam sampel ikan

asin secara kromatografi gas. Konsentrasi NDEA pada sampel ikan asin adalah 3,34 ppm.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Pena-Pereira, F., Lavilla, I., Bendicho, C., 2010, Colorimetric Assay for

Determination of Trimethylamine-Nitrogen (TMA-N) in Fish by Combining

Headspace-Single-Drop Microextraction and Microvolume UV-Vis

Spectrophotometry, Food Chemistry, Vol.119: 402-407

[2] Hashemi, M., Habibi, A., Jahanshahi, N., 2011, Determination of Cyclamate in

Artificial Sweeteners and Beverages Using Headspace Single-Drop

Microextraction and Gas Chromatography Flame-Ionisation Detection, Food

Chemistry, Vol.124: 1258-1263

Page 46: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

46

[3] Muchtadi, T.R., 2008, Teknologi Pengolahan Pangan (Food Processing Technology)

Direktorat jenderal tinggi pusat antar universitas pangan dan gizi. Institute Pertanian

Bogor, Bogor.

[4] Marco, A., Navarro, J, S., and Flores, M., 2006, The Influence of Nitrite and Nitrate

on Microbal, Chemical and Sensory Parameters of Slow Dry Fermented Sausage, Meat Science, Vol.73:660-673

[5] Ozel, M, Z., Gogus, F., Yagci, S., Hamilton, J, F., Lewis, A, C., 2010, Determination

of Volatile Nitrosamines in Various meat Products Using Comprehensive Gas

Chromatography-Nitrogen Chemiluminescence Detection, Food and Chemical

Technology, Vol.48: 3268-3273

[6] Rouessac, F., dan Rouessac, A., 2007, Chemical Analysis Modern Instrumentation

Methods and Techniques 2nd

Edition, Wiley, England.

[7] Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya,

majalah ilmu kefarmasian vol. 1 no. 3 hal. 117-135

[8] Miller, J.C., dan Miller, J.N., 1988, Statistics for Analytical Chemistry Second Edition,

Elllis Horwood Limited, England

Page 47: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

47

PENENTUAN CEMARAN MELAMIN DALAM SUSU SECARA POTENSIOMETRI

MENGGUNAKAN ELEKTRODA PASTA KARBON NANOPORI / MOLECULARLY

IMPRINTED POLYMER

Asri Zulchana Sari, Muji Harsini, Suyanto

Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga

[email protected]

ABSTRACT

Research on determination of melamine contaminant in milk by potentiometric using

nanoporous carbon paste / Molecularly Imprinted Polymer electrode has been done. The

purpose of research are to know the accuracy (%recovery) of the analysis of melamine

contaminant in milk. Synthesis of Molecularly Imprinted Polymer is performed by mixing 0,2

mmol of melamine as template, 0,8 mmol of methacrylicacid as monomer, and 2,4 mmol of

ethylene glycol dimethacrylic as crosslinker. The optimum electrode result in ratio at 45:20:35

of nanoporous carbon, MIP, and paraffin with the optimum pH from 3,0 to 4,0. The range of

measurement is 10-6

-10-2

M, limit of detection is 9,51 x 10-7

M, and the Nernst factor is 54,4

mV/decade. The value of precision for concentration 10-4

M and 10-3

M are 1,17 and 1,98

and accuracy for the measurement of concentration 10-4

M and 10-3

M are 106,1% and

104,3%. The selectivity coefficient values for ion Ca2+

, K+, Mg

2+, Na

+ are 6,77x10

-3, 1,02x10

-

4, 1,47x10

-3, and 3,21x10

-4 which means that the ions do not interference with the

measurement of electrode in analysis. The value of accuracy (%recovery) measurement in

milk that are spiked with melamine at a certain concentration as measured by nanoporous

carbon paste electrode/MIP is 86,6%.

Key Word : melamine, milk, potentiometric, nanoporous carbon, molecularly imprinted

polymer

Page 48: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

48

ABSTRAK

Penelitian tentang penentuan cemaran melamin dalam susu secara potensiometri

menggunakan elektroda pasta karbon nanopori/Molecularly Imprinted Polymer telah

dilakukan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui besarnya akurasi (%R) terhadap analisis

kontaminan melamin dalam susu. Pembuatan Molecularly Imprinted Polymer (MIP)

dilakukan dengan mereaksikan sebanyak 0,2 mmol melamin sebagai template, 0,8 mmol asam

metaklirat sebagai monomer, dan 2,4 mmol etilen glikol dimetaklirat sebagai crosslinker.

Elektroda yang optimum dihasilkan pada kompisisi karbon nanopori, MIP, dan parafin

sebesar 45:20:35 dengan pH optimum yaitu 3,0-4,0. Dari hasil analisis diperoleh jangkauan

pengukuran 10-6

-10-2

M, hasil batas terkecil pengukuran sebesar 9,51 x 10-7

M, dan faktor

Nernst 54,4 mV/dekade. Besarnya presisi untuk konsentrasi 10-4

M dan 10-3

M sebesar 1,17

dan 1,98 dan akurasi untuk pengukuran konsentrasi 10-4

M dan 10-3

M sebesar 106,1% dan

104,3%. Nilai koefisien selektivitas untuk ion Ca2+

, K+, Mg

2+, Na

+ sebesar 6,77x10

-3,

1,02x10-4

, 1,47x10-3

, dan 3,21x10-4

yang artinya ion-ion tersebut tidak mengganggu

pengukuran elektroda pada analisis. Nilai akurasi (%perolehan kembali : %recovery)

pengukuran melamin dalam susu yang di-spiked dengan melamin pada konsentrasi tertentu

yang diukur dengan elektroda pasta karbon nanopori/MIP adalah sebesar 86,6%.

Kata Kunci : melamin, susu, potensiometri, karbon nanopori, molecularly imprinted polymer

PENDAHULUAN

Melamin (2, 4, 6-triamino-1, 3, 5-triazina) adalah senyawa kimia antara (intermediate)

yang digunakan dalam pembuatan resin amino dan plastik (IARC, 1999). Pada tahun 2008

terjadi insiden pencampuran melamin pada susu bubuk di China yang menimbulkan

kekhawatiran serius tentang melamin untuk keamanan pangan (Turnipseed, 2008).

Melamin adalah senyawa yang kaya akan nitrogen (66% melamin adalah nitrogen).

Melamin yang ditambahkan ke dalam susu selama pengolahan dimaksudkan untuk seolah-

olah dapat meningkatkan kandungan proteinnya, karena selama ini kandungan protein dinilai

berdasarkan analisis kandungan nitrogen total (Nshisso, 2010).

Telah dilakukan penelitian mengenai analisis melamin, diantaranya analisis melamin

dalam susu dengan metode potensiometri dengan sensor Molecularly Imprinted Polymer

(MIP) oleh Qin dkk (2009) dan penelitian mengenai pembuatan sensor potensiometri

melamin berbasis karbon nanopori Molecularly Imprinted Polymer (MIP) dengan monomer

Page 49: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

49

asam metaklirat, menggunakan kawat tembaga (Cu) sebagai penghantar (Mandasari, 2011).

Namun, dalam metode ini belum diaplikasikan dalam pengukuran susu yang mengandung

kontaminan melamin.

Pemilihan karbon nanopori tersebut dikarenakan karbon merupakan material yang

inert, memiliki luas permukaan yang besar, dan memiliki konduktivitas yang tinggi (Pyun dan

Lee). Sedangkan Molecularly Imprinted Polymer (MIP) dikenal sebagai teknik polimerisasi

yang dibentuk dengan mereaksikan suatu monomer fungsional, crosslinker, dan inisiator yang

mengelilingi molekul template (analit). Kemudian template dihilangkan melalui proses

ekstraksi, sehingga terbentuk polimer yang telah tercetak sesuai dengan molekul analit.

Polimer tercetak ini yang spesifik terhadap analit dalam sampel (Brüggemann, 2007).

Pada penelitian ini, digunakan metode potensiometri yang berbasis pada modifikasi

MIP dengan elektrode pasta karbon nanopori dan logam perak (Ag) sebagai penghantar.

METODE PENELITIAN

Bahan penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melamin, asam metaklirat

(MAA), etilen glikol dimetaklirat (EGDMA), benzoil peroksida, kloroform, akuadem,

metanol, asam asetat, natrium asetat trihidrat, kalium hidrogenfosfat trihidrat, kalium

dihidrogenfosfat, natrium klorida, kalium klorida, kalsium klorida dihidrat, magnesium

klorida heksahidrat, asam trikloro asetat (TCA), kawat perak (Ag), parafin padat, dan karbon

nanopori. Karbon nanopori diperoleh dari Puslitbang Hasil Hutan Bogor. Semua bahan kimia

berderajat kemurnian pro analisis.

Alat penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat potensiometer

Cyberscan 510, pH-meter tipe 744, instrumen FTIR, hotplate magnetic stirrer, tube

mikropipet 1000 µL, serta alat-alat gelas yang umum dipakai untuk penelitian di

laboratorium.

Pembuatan Molecularly Imprinted Polymer (MIP)

Molecularly Imprinted Polymer (MIP) dibuat dengan cara mereaksikan 0,2 mmol

melamin dalam 5 mL kloroform dengan 0,8 mmol asam metaklirat dalam 5 mL kloroform.

Kemudian, larutan tersebut didiamkan selama 1 jam.

Page 50: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

50

Ke dalam gelas piala yang berbeda, direaksikan sebanyak 2,4 mmol etilen glikol

dimetaklirat (EGDMA) dengan 1 mmol benzoil peroksida yang sebelumnya telah dilarutkan

dalam 1 mL kloroform. Campuran ini dimasukkan ke dalam campuran larutan melamin dan

asam metaklirat dan dipanaskan pada suhu 600C selama kurang lebih 2 jam tanpa adanya

pengadukan. Hasil akan terbentuk padatan, kemudian dihaluskan dan diayak dengan ukuran

200 mesh. Selnjutnya MIP yang terbentuk dicuci dengan asam asetat dan metanol dengan

perbandingan 2:8(v/v), kemudian dicuci dengan air 700C (Qin dkk, 2009). Polimer MIP telah

terbentuk pada reaksi ini. Kemudian, pembuatan polimer kontrol dengan cara yang sama

namun tanpa penambahan melamin ke dalamnya.

Pembuatan badan elektroda pasta karbon nanopori/MIP

Elektroda dibuat dengan mengisi sebanyak ¾ tube mikropipet dengan parafin yang

sebelumnya telah dimasukkan kawat logam Perak (Ag) sebagai penghantar. Kemudian

sisanya diisi dengan padatan karbon nanopori yang telah dicampur dengan parafin padat dan

MIP yang telah dibuat pasta dengan pemanasan dan dimasukkan dengan penekanan sehingga

tube akan padat penuh berisi. Ujung permukaan elektroda kemudian digosok dengan kertas.

Pembuatan sampel susu ber-spiked melamin

Pembuatan sampel susu ber-spiked dengan melamin dibuat dengan cara melarutkan

satu gram susu bubuk dan di tambahkan 5 mL larutan melamin 10-2

M dan 1,5 mL Asam

Trikloro Asetat (TCA) 5%. Campuran tersebut di sentrifugasi selama 20 menit dengan skala

8. Filtrat kemudian dipisahkan dengan endapan untuk diuji dengan elektroda yang telah dibuat

(Kusumaningputri, 2010).

Pengukuran cemaran melamin dalam susu

Penelitian diawali dengan melakukan optimasi elektroda pasta karbon naopori/MIP

yang telah dibuat dengan berbagai komposisi. Kemudian, dilakukan pengukuran kedalam

larutan melamin yang telah dibuat pada konsentrasi 10-8

M hingga 10-2

M. Pengukuran

dilakukan dengan menggunakan potensiometri dengan elektroda pembanding Ag/AgCl.

Setelah dihasilkan elektroda yang optimum, kemudian dilakukan optimasi pH pada rentang

pH 2-8 dan dilakukan pengukuran besarnya validasi metode meliputi jangkauan pengukuran,

faktor Nernst, batas deteksi, presisi, akurasi, dan sektifitas terhadap ion pengganggu.

Selanjutnya dilakukan pengukuran cemaran melamin dalam susu.

Page 51: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

51

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pembuatan Molecularly Imprinted Polymer (MIP) dan polimer kontrol

Campuran awal berupa melamin dan asam metaklirat memiliki perbandingan mol

asam metaklirat yang ditambahkan lebih besar dibandingkan melamin, dengan tujuan agar

ketika direaksikan, maka akan terbentuk cetakan melamin yang dikelilingi oleh asam

metaklirat, karena pada keadaan yang sama, melamin dapat pula bertindak sebagai

monomernya. Proses polimerisasi yang terjadi adalah polimerisasi adisi. Polimerisasi adisi

dibantu dengan penambahan inisiator yaitu benzoil peroksida yang berfungsi mengubah asam

metaklirat menjadi suatu molekul radikal yang nantinya akan dengan mudah mengalami tahap

propagasi atau pemanjangan rantai (Odian, 1991).

Proses polimerisasi selesai adalah ketika cairan bening yang dipanaskan berubah

menjadi padatan putih kekuningan menyerupai keramik yang menempel pada gelas beker.

Hasil padatan halus kemudian dicuci dengan campuran asam asetat dan metanol dengan

perbandingan 2:8 (v/v) untuk menghilangkan sisa-sisa reaktan pada proses polimerisasi yang

tidak bereaksi (Mandasari, 2011). Pencucian dilanjutkan dengan menggunakan air panas 700C

yang dimaksudkan untuk mengekstraksi template yang ada pada MIP. Pada akhir pencucian,

diharapkan mampu menghasilkan MIP dengan cetakan molekul melamin yang spesifik seperti

yang ditunjukkan pada Gambar 1.

Pembuatan polimer kontrol dilakukan tanpa ditambahkan template melamin.

Sehingga, nantinya polimer kontrol tidak memiliki sisi pengenal aktif melamin.

N

N

N

NH2

NH2H2N

O

C

OH

N

N

N

NH

NH

HN

H

H

O

O

C

H

H

O

O

C

C

HH

O O

C

+

kloroform

(melamin) (asam metaklirat)

N

N

N

NH

NH

HN

H

H

O

OH

H

O

O

C

HH

O O

H

O

OH

O

O

C

H

O O

EGDMA

Benzoil

peroksida

air ∆700C

Page 52: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

52

Gambar 1 Polimerisasi Molecularly Imprinted Polymer (MIP)

Karakterisasi Molecularly Imprinted Polymer (MIP) dan polimer kontrol

Polimerisasi yang terjadi pada MIP ditunjukkan dengan adanya pergeseran peak gugus

C=O terkonjugsi pada asam metaklirat yaitu pada bilangan gelombang 1697 cm-1

menjadi

gugus C=O pada bilangan gelombang 1731,25 cm-1

. Hal ini disebabkan karena adanya

perubahan ikatan C=O terkonjugasi pada spektra asam metaklirat bergeser menjadi ikatan

C=O tanpa konjugasi setelah terjadi polimerisasi yang ditunjukkan oleh Gambar 2 spektra 1.

Melamin yang telah berhasil diekstrak ditunjukkan dengan hilangnya peak N-H

disekitar 3564,40 cm-1

yang terlihat pada spektra 1 dan hilang pada spektra 2. Selain itu,

melamin yang berhasil terekstrak memiliki peak O-H karboksil dari asam metaklirat yang

melebar pada bilangan gelombang 3433,23 cm-1

.

Terjadinya polimerisasi pada polimer kontrol ditunjukkan dengan pergeseran peak

gugus C=O yang terkonjugasi pada asam metaklirat yang ditunjukkan pada bilangan

gelombang 1697 cm-1

menjadi gugus C=C pada bilangan gelombang 1731,14 cm-1

. Hal ini

disebabkan karena perubahan ikatan C=O terkonjugasi menjadi C=O tanpa konjugasi pada

MIP.

Gambar 2 Spektra FTIR 1) MIP, 2)MIP terekstrak, 3)Polimer kontrol

Page 53: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

53

Optimasi komposisi elektroda

Pengukuran yang dilakukan pada masing-masing elektroda dapat menunjukkan

besarnya faktor Nernst, jangkauan pengukuran, dan linearitas yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Suatu potensiometri dikatakan telah memenuhi persamaan Nernst apabila faktor Nernstnya

bernilai 0,0592/n (± 1-2 mV) (Cattrall, 1997). Melamin merupakan molekul monovalen,

dimana faktor Nernstnya adalah 59 mV/dekade, sehingga elektroda yang baik adalah faktor

Nernst mendekati 59 mV/dekade. Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan pada

beberapa komposisi elektroda, didapatkan elektroda E7 yang memiliki faktor Nernst yang

baik yaitu 50,3 mV/dekade.

Tabel 1 Optimasi komposisi elektroda pasta karbon nanopori/MIP

Elektroda Karbon

nanopori

(%wt)

MIP

(%wt)

Parafin

(%wt)

Faktor

Nernst

(mV/dekade)

Jangkauan

pengukuran

(M)

R

E1 65 0 35 5,51 10-3

- 10-6

0,9695

E2 50 Polimer

kontrol 35 15,4 10

-2- 10

-6 0,9063

E3 60 5 35 20,31 10-2

- 10-5

0,9626

E4 58 7 35 8,8 10-3

- 10-6

0,9826

E5 55 10 35 18,3 10-2

- 10-5

0,9691

E6 50 15 35 12,51 10-3

- 10-6

0,9203

E7 45 20 35 50,3 10-2

- 10-6

0,9973

E8 40 25 35 6,38 10-2

- 10-6

0,9863

Gambar 3 Kurva optimasi komposisi elektroda pasta karbon napori/MIP

Suatu elektroda juga dikatakan baik apabila memiliki jangkauan pengukuran yang

luas, dimana dapat dilihat ketika grafik yang masih memberikan suatu garis lurus dan

linearitas mendekati satu. Berdasarkan grafik pada Gambar 3 terlihat bahwa elektroda E7

memiliki jangkauan pengukuran pada rentang 10-6

M hingga 10-2

M, dan memiliki linearitas

sebesar r=0,9973.

0

100

200

300

400

500

600

700

-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0

Po

ten

sia

l (m

V)

Log C [melamin]

E1

E2

E3

E4

E5

E6

E7

E8

Page 54: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

54

Untuk peningkatan faktor Nersnt, dilakukan dengan cara melapisi kawat perak (Ag)

yang digunakan sebagai penghantar dengan AgCl melalui proses elektrolisis sederhana yaitu

dengan mengalirkan suatu potensial listrik pada kawat perak yang direndam dalam larutan

NaCl 0,1 M selama satu jam.

Kawat perak yang telah dielektrolisis dan terlapisi AgCl kemudian digunakan kembali

untuk dilakukan pengukuran terhadap larutan kerja melamin dan didapatkan besarnya faktor

Nernst elektroda E7 terlapis AgCl sebesar 54,4 mV/dekade, dengan jangkauan pengukuran

10-6

M – 10-2

M, dan linearitas r=0,9994. Sehingga selanjutnya elektroda E7 terlapis AgCl

digunakan sebagai elektroda kerja pada analisis cemaran melamin dalam susu.

Tabel 2 Perbandingan elektroda E7 dengan elektroda E7 dengan pelapisan AgCl

Elektroda Faktor Nernst

(mV/dekade)

Jangkauan

Pengukuran (M)

R

E7 50,3 10-6

- 10-2

0,9973

E7 dengan pelapisan AgCl 54,4 10-6

- 10-2

0,9994

Elektroda E7 memiliki komposisi karbon nanopori dan MIP sebesar 45:20(%wt). Pada

pengukuran, MIP akan menangkap analit dalam cetakan molekul melamin. Selanjutnya,

karbon nanopori akan menyampaikan respon tersebut melalui kawat perak (Ag) yang

terlapisi AgCl, sehingga akan terukur pada alat potensiometer. Besarnya gangguan antara

melamin yang berada di dalam elektroda (hasil penjenuhan awal elektroda) dengan melamin

dalam larutan akan menimbulkan potensial yang dapat diukur dengan besar potensial yang

sebanding dengan konsentrasi larutan.

Elektroda E7 mampu memberikan respon selektif terhadap melamin. Sedangkan

elektroda E2 yang mengandung polimer kontrol (15%wt) dan elektroda E1 yang mengandung

karbon nanopori saja (65%) akan memberikan respon yang kurang baik terhadap melamin,

dikarenakan tidak adanya cetakan melamin yang terbentuk.

Optimasi pH elektoda

Optimasi pH elektroda dilakukan pada rentang pH 2-8 yang dilakukan hanya pada

konsentrasi 10-3

M dengan harapan pada konsentrasi lain akan memberikan respon potensial

yang sama. Kurva hubungan antara pH dan potensial yang dihasilkan ditunjukkan pada

gambar 4.

0

50

100

150

200

250

300

1 2 3 4 5 6 7 8

Po

ten

sial

(m

V)

pH

Page 55: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

55

Gambar 4 Kurva optimasi pH elektroda pasta karbon nanopori/MIP

Keadaan pH optimum melamin berada pada rentang asam yaitu pH 3 dan pH 4 yang

ditunjukkan oleh potensial yang konstan. Pada renang pH<3, melamin akan terhidrolisis dan

berubah menjadi menjadi senyawa lain seperti amelina, amelida, dan asam sianurat.

Sedangkan pada keadaan pH>4 akan mengakibatkan melamin bermuatan netral dan

meningkatkan potensial (Bozzi, 2004).

Kurva kalibrasi melamin

Kurva kalibrasi melamin dibuat dengan mengukur besarnya potensial pada larutan

kerja melamin 10-8

- 10-2

M dengan elektroda optimum yaitu elektroda E7 yang terlapis AgCl

pada pH optimum. Hasil pengukuran didapatkan persamaan regresi y=54,4x+559,2 dan nilai

slopenya adalah nilai faktor Nernst yaitu 54,4 mV/dekade.

Tabel 3 Data pengukuran melamin dengan elektroda pasta karbon nanopori E7 terlapis AgCl

pada pH 4 secara potensiometri

Konsentrasi melamin (M) Potensial (mV)

10-8

249

10-7

272

10-6

230

10-5

288

10-4

345

10-3

398

10-2

447

Gambar 5 Kurva standar melamin yang diukur menggunakan elektroda pasta karbon

nanopori/MIP secara potensiometri

Parameter validasi metode

Parameter validasi metode yang dilakukan antaralain yaitu jangkauan pengukuran,

faktor Nernst, batas deteksi, presisi, akurasi, dan koefisien selektifitas yang diukur

menggunakan elektroda optimum E7. Hasil pengukuran validasi ditunjukkan oleh Tabel 4.

y = 54,4x + 559,2R = 0,9994

0

100

200

300

400

500

600

-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1

Po

ten

sial

(m

V)

Log C

Page 56: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

56

Validasi metode Hasil

Jangkauan pengukuran 10-6

M - 10-2

M

Faktor Nernst 54,4 mV/dekade

Linearitas r=0,9994

Batas deteksi 9,51 x 10-7

M

Presisi 10-4

M KV = 1,17 %

10-3

M

KV = 1,98%

Akurasi 10-4

M %R = 106,1%

10-3

M

%R = 104,3%

Koefisien selektifias Ca2+

6,77 x 10-3

K+ 1,02 x 10

-4

Mg2+

1,47 x 10-3

Na+ 3,21 x 10

-4

Penentuan cemaran melamin dalam sampel susu

Pengukuran dilakukan pada konsentrasi 10-2

M, 10-3

M, dan 10-4

M. Penambahan TCA

pada preparasi sampel ini berguna untuk memisahkan melamin dari protein susu. Protein susu

(kasein) akan mengendap pada pH isoelektriknya yaitu pada pH 4,8 (Kusumaningputri, 2010).

Besarnya potensial yang ditunjukkan sebanding dengan besarnya konsentrasi larutan melamin

yang ditambahkan, seperti terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil analisa cemaran melamin dalam susu menggunakan elektroda pasta karbon

nanopori/MIP secara potensiometri

Melamin yang ditambahkan

(M)

Konsentrasi melamin

terukur (M)

Akurasi (%R)

10-4

0,586 x 10-4

58,6

10-3

0,775 x 10-3

77,5

10-2

0,866 x 10-2

86,6

Berdasarkan besarnya persen akurasi yang ditunjukkan pada Tabel 4.9, maka elektroda

pasta karbon nanopori secara potensiometri dapat digunakan sebagai alternatif pilihan metode

yang baik dalam penentuan cemaran melamin dalam susu menggunakan metode spiked

dengan memperbaiki preparasi sampel susu yang akan dianalisis.

KESIMPULAN

Telah dilakukan penelitian tentang penetuan cemaran melamin dalam susu secara

potensiometri menggunakan elektroda pasta karbon nanopori/MIP dengan nilai faktor Nernst

54,4 mV/dekade dan batas deteksi hingga 9,51 x 10-7

M. Pada pengukuran sampel susu yang

dispiked dengan melamin 10-2

M memiliki persen kedapatan kembai (%Recovery) sebesar

86,6% sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pilihan metode yang baik dalam penentuan

cemaran melamin dalam susu.

Page 57: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

57

UCAPAN TERIMAKASIH

Prof. Ris. Gustan Pari, M.Si. dari PUSLITBANG hasil hutan Bogor yang telah

membantu menyediakan bahan penelitian khususnya karbon nanopori.

DAFTAR PUSTAKA

Bozzi, A., Dhananjeyan, M., Guasaquillo, I., Parra, S., Pulgarin, C., Weins, C., Kiwi, J., 2004,

Evolution of Toxicity during Melamine Photocatalysis with TiO2 suspensions,

Journal of Photochemistry and Photobiology A:Chemistry162 (179-185)

Brüggemann, O., 2002, Molecularly Imprinted Materials-Receptors More Durable than

Nature Can Provide, Springer-Verlag Heidelberg, Berlin, Germany

Cattral, R.W., 1997, Chempical Sensors, Oxford University Press, New York

IARC (International Agency for Research on Cancer), 1999, Some Chemicals that Cause

Tumours of The Kidney or Urinary Bladder in Rodents and Some other

substances, IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans,

World Health Organization

Kusumaningputri, H. A., 2010, Penentuan Kadar Protein pada Susu Bermelamin melalui

Pengendapan dengan Asam Trikloroasetat secara Kjeldahl yang Dimodifikasi,

Skripsi, Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

Mandasari, E., 2011, Sensor Potensiometri Berbasis Karbon Nanopori/Molecularly

Imprinted Polymer dengan monomer Asam Metaklirat, Skripsi, Departemen Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

Nshisso, L. D., 2010, Melamine Contamination of Infant Formula, Case Western Reserve

University

Odian, G., 1991, Principles of Polymeryzation, Third Edition, The City of University of New

York, Staten Island, New York

Pyun, S., Lee, G., 2007, Synthesis and Characterization of Nanoporous Carbon and Its

Electrochemical Application to Electrode Material for Supercapasitors, Modern

Aspect of Electrochemistry, No 41, Springer, New York

Qin, W., Liang, R., Zhang, R., 2009, Potentiometric Sensor based on Molecularly

Imprinted Polymer for Determination of Melamine in Milk, Sensor and Actuators

B, 141: 544-550

Turnipseed, S., Casey, C., Nochetto, C., Heller, D., 2008, Determination of Melamine and

Cyanuric Acid Residues in Infant Formula Using LC-MS/MS. Retrieved March 21,

2010, from U.S. Food and Drug Administration

Page 58: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

58

IMPREGNASI ZEOLIT ALAM DENGAN TiO2

UNTUK MENDEGRADASI ZAT WARNA METILEN BIRU

SECARA FOTOKATALITIK

Ayu Eprilita Fitri Ika Cahyani, Yusuf Syah, Alfa Akustia Widati

Program Studi S–1 Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga

Email : [email protected]

ABSTRACT

Methylene blue dye degradation in photocatalytic by TiO2/zeolit has been studied.

Degradation process carried out in a closed reactor is irradiated with 3 pieces 8 watt UV

lamp. Methylene blue solution was irradiated with UV light for 45 minutes with the optimum

use the TiO2/zeolit. The result showed that the presence of UV light, methylene blue dye

solution can be degraded but very slow with the percent degradation of 4,68 %. The

degradation percent increase in the amount of 13,05 % when added by H2O2. When given the

addition of TiO2 and zeolit is more effective degradation processes, namely the percentage

degradation of each – respectively 14,53 % and 96,84 %. When done adding TiO2/zeolit as

catalyst, resulting in degradation of 98,08 %. Optimum conditions the degradation of

methylene blue with TiO2/zeolit obtained at the time of 45 minutes and the pH at 5 by the

percent degradation of each respectively 98,16 % and 98,20 %. TiO2/zeolit have a higher

effectiveness than TiO2, but no higher than the zeolite in methylene blue dye adsorbed at time

and pH optimum. In this case zeolite acts as absorbent, and TiO2 degrade methylene blue in

photocatalytic.

Key words : methylene blue, photodegradation, TiO2, natural zeolite and impregnation

ABSTRAK

Telah dilakukan degradasi zat warna metilen biru secara fotokatalitik oleh TiO2/zeolit.

Proses degradasi dilakukan dalam suatu reaktor tertutup yang diiradiasi dengan 3 buah lampu

UV 8 watt. Larutan metilen biru diiradiasi dengan lampu UV selama waktu optimum 45 menit

Page 59: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

59

dengan menggunakan TiO2/zeolit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan hanya

menggunakan sinar UV, larutan metilen biru dapat didegradasi namun sangat lambat dengan

persen degradasi sebesar 4,68 %. Ketika menggunakan H2O2, persen degradasi meningkat

yaitu sebesar 13,05 %. Saat diberi penambahan TiO2 dan zeolit proses degradasi lebih efektif,

yaitu diperoleh persen degradasi masing – masing 14,53 % dan 96,84 %. Ketika

menggunakan TiO2/zeolit, menghasilkan persen degradasi sebesar 98,08 %. Kondisi optimum

degradasi metilen biru dengan TiO2/zeolit diperoleh pada waktu 45 menit dan pH larutan

sebesar 5 dengan persen degradasi masing – masing 98,16 % dan 98,20 %. TiO2/zeolit

memiliki efektivitas lebih tinggi dibandingkan TiO2, tetapi tidak lebih tinggi dibandingkan

dengan zeolit dalam mengadsorpsi zat warna metilen biru pada waktu dan pH optimum.

Dalam hal ini zeolit berperan sebagai adsorben, dan TiO2 mendegradasi metilen biru secara

fotokatalitik.

Kata kunci: metilen biru, fotodegradasi, TiO2, zeolit alam dan impregnasi.

PENDAHULUAN

Keberadaan zeolit alam cukup melimpah di Indonesia namun pemanfaatannya masih

belum banyak dilakukan. Mineral zeolit didefinisikan sebagai suatu aluminosilikat yang

mempunyai struktur berongga dan biasanya rongga ini diisi oleh air dan kation yang dapat

dipertukarkan, serta memiliki ukuran pori tertentu1. Berdasarkan potensi yang dimiliki zeolit,

maka cukup banyak aplikasi yang sebenarnya dapat digunakan, antara lain kemampuannya

sebagai katalis, senyawa pengemban ataupun adsorben.

Dewasa ini perkembangan industri tekstil di Indonesia telah maju pesat, namun

kemajuan dalam bidang industri ini tidak diiringi oleh kesadaran yang baik dalam pengelolaan

lingkungan. Industri tekstil mengambil peranan penting dalam pencemaran lingkungan,

khususnya lingkungan perairan. Apabila air limbah industri yang umumnya mengandung zat

pewarna dibuang ke selokan atau sungai tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu, dapat

merubah air selokan atau air sungai menjadi tidak sesuai dengan peruntukannya2. Metilen biru

merupakan salah satu dari zat pewarna. Metilen biru paling sering digunakan untuk zat

pewarna kapas, kayu, dan kain sutra3. Zat pewarna metilen biru dapat menyebabkan efek yang

berbahaya seperti peningkatan detak jantung, mual, muntah, dan shock4.

Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh zat pewarna sangat memprihatinkan

sehingga diperlukan penanganan serius untuk mengatasi masalah tersebut. Berbagai upaya

Page 60: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

60

dan metode untuk mengatasi pencemaran zat pewarna telah dilakukan, antara lain dengan

metode koagulasi, oksidasi, fotokatalisis, dan elektrokimia5. Di antara metode moderen

penanggulangan limbah, metode fotokatalisis merupakan metode yang relatif murah serta

mudah diterapkan6.

Dalam rangka mengatasi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh metilen biru,

pada penelitian ini digunakan zeolit alam yang akan diimpregnasi dengan TiO2. Impregnasi

adalah proses pemasukan prekursor logam dengan sejumlah penyangga dan dibiarkan

bereaksi, di mana prekursor TiO2 dimasukkan ke dalam zeolit alam sebagai penyangga.

Selanjutnya zeolit yang telah diimpregnasi dengan TiO2 diaplikasikan untuk degradasi zat

pewarna tekstil metilen biru secara fotokatalisis.

METODE PENELITIAN

Bahan

Bahan – bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah zeolit alam dari Turen

Malang – Jawa Timur, TiO2, HCl 37 % (Merck), NaOH p.a (Merck), H2O2 30% (Merck),

etanol absolut 98 % (Merck), metilen biru, akuadem, kertas aluminium, kertas saring.

Alat

Alat – alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pengaduk magnet, pH

meter, centrifuge (Fisher Scientific), tabung centrifuge, oven, furnace, pipet mikro, timbangan

analit (Mettler), difraktometer sinar – X (Philips), spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu),

spektrofotometer inframerah (Shimadzu), reaktor fotokatalitik yang terdiri dari kotak

pelindung reaktor yang terbuat dari kayu berukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm ; sumber sinar

UV (lampu UV 3 x 8 Watt) ; wadah berupa gelas piala 1000 mL, dan beberapa peralatan gelas

yang biasanya dipakai di laboratorium.

Prosedur Kerja

Preparasi zeolit

Zeolit alam digerus sampai halus kemudian ditimbang sebanyak 100 g, setelah itu

ditambahkan dengan 400 ml akuadem, sambil diaduk selama 5 jam, kemudian dipisahkan

antara zeolit dan akuadem dengan cara dekantasi. Padatan yang didapatkan dikeringkan dalam

oven dengan temperatur 120 ⁰C selama 5 jam. Setelah kering, padatan dikalsinasi dalam

furnace pada temperatur 400 ⁰C selama 5 jam. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis

menggunakan difraktometer sinar – X.

Page 61: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

61

Preparasi TiO2 terimpregnasi zeolit alam

Mencampurkan 20 g zeolit yang telah dilakukan preparasi sebelumnya dengan 1 g

TiO2 dan ditambah dengan 20 mL etanol absolut sambil diaduk dengan pengaduk magnet

selama 5 jam. Hasil perlakuan tersebut dipisahkan dengan cara dekantasi. Padatan yang

didapatkan dikeringkan dalam oven dan dikalsinasi pada temperatur 400 ⁰C selama 5 jam.

Hasil dari perlakuan tersebut dianalisis dengan alat difraktometer sinar – X dan

spektrofotometer inframerah.

Penentuan waktu optimum degradasi metilen biru

Larutan metilen biru 25 ppm sebanyak 500 mL ditambahkan 0,5 g TiO2/zeolit dan

larutan H2O2 15 % sebanyak 100 µL. Campuran dihomogenkan selama 15 menit dan

diiradiasi menggunakan sinar UV (3x8 watt) selama 3 jam. Pada menit ke- 5, 10, 20, 30, 45,

60, 120, dan 180 dilakukan pengambilan larutan hasil degradasi untuk dianalisis dengan

spektrofotometer UV – Vis pada panjang gelombang maksimum, dengan akuadem sebagai

blangko.

Penentuan pH optimum degradasi metilen biru

Larutan sampel metilen biru 25 ppm sebanyak 500 mL ditambahkan 0,50 g

TiO2/zeolit dan larutan H2O2 15 % sebanyak 100 µL kemudian diatur pH-nya. Pengaturan pH

dilakukan pada pH 4, 5, 6 dengan ditambah HCl 0,10 M dan pH 7, 8, 9 dengan ditambah

NaOH 0,1 M. Setelah pengaturan pH, campuran dihomogenkan selama 15 menit. Setiap

campuran diiradiasi menggunakan sinar UV (3x8 watt) dalam reaktor selama waktu optimum

sambil dihomogenkan. Hasil degradasi diambil untuk dianalisis dengan spektrofotometer UV

– Vis pada panjang gelombang maksimum, dengan akuadem yang telah ditambahkan

HCl/NaOH sebagai larutan blangko.

Degradasi metilen biru dengan TiO2/zeolit, zeolit, TiO2, dan tanpa katalis pada kondisi

optimum

Larutan metilen biru 25 ppm ditambahkan dengan katalis dan H2O2 15 % sebanyak

100 µL pada kondisi pH optimum. Campuran dihomogenkan dan diiradiasi dengan sinar UV

3x8 watt selama waktu optimum. Hasil degradasi diambil untuk dianalisis dengan

spektrofotometer UV – Vis pada panjang gelombang maksimum.

Page 62: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

62

HASIL DAN PEMBAHASAN

Preparasi TiO2 terimpregnasi zeolit alam (TiO2/zeolit)

TiO2 terimpregnasi zeolit alam dibuat dari zeolit yang telah dipreparasi, TiO2, dan

etanol absolut yang kemudian diaduk untuk menghomogenkan campuran. Setelah diaduk,

dikeringkan dengan oven pada temperatur 120 ⁰C selama 5 jam. Hal ini bertujuan untuk

menguapkan etanol absolut dan membersihkan pori – pori zeolit dari partikel TiO2 yang tidak

terikat dengan baik pada permukaan zeolit5. Padatan yang diperoleh dikalsinasi dalam furnace

pada temperatur 400 ⁰C.

Pada penelitian ini, TiO2/zeolit dibuat untuk meningkatkan aktivitas degradasi zat

warna metilen biru. Zeolit berperan sebagai material pendukung TiO2, sehingga dengan

adanya penempelan tersebut luas permukaan dari TiO2 menjadi lebih besar. Dengan luas

permukaan lebih besar, diharapkan proses degradasi dapat berlangsung efektif.

Gambar 1. Difraktogram (A) zeolit setelah kalsinasi, (B) zeolit alam

Page 63: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

63

Gambar 2. Difraktogram (A) TiO2, (B) TiO2/zeolit, (C) zeolit setelah kalsinasi

Karakterisasi TiO2/zeolit

Pada difraktogram zeolit alam (Gambar 2) terdapat refleksi dengan intensitas yang

tajam pada daerah 2θ = 9,83⁰; 13,52⁰; 19,70⁰; 22,40⁰; 23,71⁰; 25,72⁰; 26,33⁰; 27,77⁰. Refleksi

ini merupakan karakteristik mordenit7. Dengan demikian dapat diketahui bahwa zeolit yang

digunakan pada penelitian ini dapat digolongkan jenis mordenit. Dari difraktogram zeolit

sesudah kalsinasi (Gambar 2) terlihat bahwa puncak karakteristik mordenit dari zeolit alam

masih terlihat, maka dapat disimpulkan bahwa struktur zeolit alam tidak berubah setelah

adanya perlakuan kalsinasi.

Pada Gambar 2 tampak bahwa difraktogram zeolit sebelum perlakuan impregnasi

tidak jauh berbeda dengan difraktogram zeolit setelah perlakuan impregnasi. Hal ini

mengindikasikan bahwa adanya proses impregnasi tidak mengubah struktur zeolit. Perubahan

struktur zeolit akan ditandai dengan perbedaan yang jelas pada profil difraktogram sinar – X8.

Dengan demikian dapat dapat dikatakan bahwa perlakuan impregnasi tidak memberikan

perubahan struktur zeolit secara bermakna.

Dari difraktogram TiO2/zeolit (Gambar 2), tidak muncul puncak – puncak TiO2

sehingga belum diketahui secara pasti apakah TiO2 telah menempel pada permukaan zeolit.

Tidak munculnya puncak TiO2 pada difraktogram TiO2/zeolit disebabkan karena banyaknya

TiO2 yang diimpregnasi pada zeolit hanya 5 % dari jumlah zeolit. Sedangkan untuk dapat

muncul pada difraktogram, TiO2 yang digunakan harus lebih dari 10 %. Hasil karakterisasi

difraksi sinar – X belum dapat mengetahui secara pasti apakah TiO2 telah menempel pada

Page 64: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

64

permukaan zeolit, sehingga dibutuhkan karakterisasi menggunakan spektrofotometer

inframerah.

Karakterisasi gugus – gugus fungsional secara kualitatif dipelajari dengan

spektrofotometri inframerah. Pada Gambar 3, untuk spektra IR zeolit terlihat bahwa serapan

pada bilangan gelombang 3417,86 cm-1

karakterisitik untuk rentangan O – H oktahedral (O –

H regang) dari H2O yang diperkuat oleh serapan pada bilangan gelombang 1635,64 cm-1

yang

merupakan serapan deformasi dari H2O (O – H tekuk). Serapan pada bilangan gelombang

1049,28 cm-1

dan 786,96 cm-1

merupakan serapan regangan asimetris internal dan asimetris

eksternal O – Si – O / O – Al – O. Serapan pada bilangan gelombang 478,35 cm-1

adalah

karakteristik ikatan Al – O dan Si – O bonding.

Gambar 3. Spektra IR (A) zeolit sesudah kalsinasi, (B) TiO2/zeolit

Spektra IR TiO2/zeolit menunjukkan adanya pergeseran serapan bilangan gelombang

pada 3448,72 cm-1

yang merupakan serapan ikatan O – H regang yang menunjukkan

terjadinya dehidrasi akibat proses pemanasan dengan furnace. Pada spektra IR TiO2/zeolit

muncul kembali bilangan gelombang 1635,64 cm-1

yang berasal dari ikatan O – H9. Pada

spektra IR TiO2/zeolit muncul serapan pada daerah bilangan gelombang 428,12 cm-1

, 668,21

cm-1

, 2337,72 cm-1

yang merupakan karakter dari TiO2. Sebelumnya pada spektra IR zeolit

juga muncul serapan pada bilangan gelombang 2337,72 cm-1

yang merupakan karakter dari

TiO2, hal ini disebabkan zeolit sendiri memiliki kandungan Ti dalam unsur penyusunnya.

Bertambahnya intensitas serapan daerah bilangan gelombang 2337,72 cm-1

pada spektra IR

TiO2/zeolit, menunjukkan bahwa jumlah Ti bertambah dengan adanya impregnasi.

Page 65: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

65

Optimasi Waktu

Waktu optimum ditentukan dari hubungan antara waktu saat degradasi metilen biru

dengan absorbansi metilen biru sisa. Waktu yang memberikan sisa konsentrasi metilen biru

paling kecil dinyatakan sebagai waktu optimum.

Gambar 4. Grafik hubungan antara persen degradasi terhadap waktu degradasi

Dari Gambar 4 menunjukkan bahwa TiO2/zeolit dan H2O2 mampu mendegradasi

metilen biru lebih dari 97 %. Pada menit ke – 5 menunjukkan % degradasi metilen biru

sebesar 96,88 %, persen degradasi yang tinggi diduga adanya radikal •OH dari TiO2 yang

dapat mendegradasi metilen biru dan fungsi zeolit sebagai adsorben. Semikonduktor TiO2

dalam air yang diiradiasi oleh sinar UV akan membentuk hole positif pada pita valensi (vb)

dan elektron pada pita konduksi (cb), yang dapat menginisiasi reaksi redoks bahan kimia yang

kontak dengan semikonduktor tersebut. Proses fotokatalitik terjadi ketika TiO2 diiradiasi

menggunakan sinar UV, sehingga elektron pada TiO2 tereksitasi dari pita valensi ke pita

konduksi bereaksi dengan oksigen membentuk ion superoksida, sedangkan hole pada pita

valensi bereaksi dengan ion hidroksi membentuk radikal •OH10

.

Adanya H2O2 berfungsi untuk mempercepat proses degradasi metilen biru dengan

kemampuannya yang juga dapat menghasilkan radikal •OH pada saat diiradiasi oleh sinar

UV. Hasil analisis waktu optimum berada pada menit ke – 45 dengan persen degradasi

sebesar 98,08 %.

Optimasi pH

Penentuan pH optimum dengan tujuan untuk mengetahui besarnya pH pada efektivitas

degradasi zat warna metilen biru. Dilakukan variasi pH antara lain 4, 5, 6, 7, 8, dan 9.

80

85

90

95

100

0 50 100 150 200 250

% d

egr

adas

i

waktu (menit)

Page 66: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

66

Pengaturan pH 4, 5, dan 6 dengan penambahan HCl 0,1M sedangkan untuk pH 7, 8, dan 9

dengan penambahan NaOH 0,1 M.

Gambar 5. Grafik hubungan antara pH dengan persen degradasi

Dari Gambar 5 menunjukkan bahwa persen degradasi metilen biru semakin menurun

dengan bertambahnya nilai pH. Pada pH 4 dan 5, persen degradasi metilen biru hampir sama

ditandai dengan selisih nilai persen degradasi yang kecil. Kemudian persen degradasi metilen

biru menjadi turun pada pH 6 yaitu sebesar 98,08 %. Selanjutnya kenaikan pH larutan metilen

biru sampai pada pH 9 menyebabkan persen degradasi menurun. Hal ini disebabkan karena

metilen biru bermuatan negatif dalam medium asam11

, sedangkan TiO2 bermuatan positif

dalam larutan asam dan bermuatan negatif dalam larutan basa12

. Oleh karena itu pada proses

pendegradasian metilen biru dalam suasana asam, metilen biru lebih mudah terdegradasi

karena molekul metilen biru tertarik pada TiO2 yang bemuatan positif sehingga terjadi

interaksi elektrostatis yang kuat antara metilen biru dengan permukaan TiO2 yang bermuatan

positif. Adanya interaksi elektrostatis tersebut mengakibatkan adsorpsi yang kuat dari

pendukung TiO2 dalam hal ini zeolit.

Pada pH kurang dari 5, ion metilen biru dapat masuk dalam struktur pori. Sedangkan

pada pH lebih tinggi dari 7, metilen biru membentuk zwitterion yang dapat meningkatkan

agregasi metilen biru untuk membentuk suatu molekul yang lebih besar sehingga tidak dapat

masuk dalam struktur permukaan zeolit13

. Hasil analisis pH optimum pada penelitian ini

berada pada pH 5 yang ditandai dengan hasil persen degradasi metilen biru terbesar.

Degradasi metilen biru dengan TiO2/zeolit, zeolit, TiO2, dan tanpa katalis pada kondisi

optimum

Larutan sampel metilen biru 25 ppm didegradasi dengan menggunakan TiO2/zeolit

selama 45 menit, volume H2O2 100 µL, dan kondisi pH 5. Hasil persen degradasi zat warna

metilen biru dengan TiO2/zeolit dibandingkan dengan persen degradasi menggunakan zeolit,

97.6

97.8

98

98.2

98.4

4 5 6 7 8 9

% d

egr

adas

i

pH

Page 67: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

67

TiO2, H2O2, dan sinar UV saja. Perbandingan ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana

efektivitas TiO2/zeolit dalam proses degradasi fotokatalitik zat warna metilen biru.

Gambar 6. Diagram batang perbandingan persen degradasi metilen biru pada kondisi

optimum

Dari Gambar 6 menunjukkan bahwa degradasi metilen biru lebih efektif menggunakan

TiO2/zeolit dibandingkan dengan TiO2 saja. TiO2/zeolit dapat mendegradasi metilen biru

sebesar 98,16 % sedangkan dengan zeolit sebesar 96,84 % serta TiO2 sebesar 14,53 %. Akan

tetapi metilen biru sendiri dapat terdegradasi dengan H2O2 saja sebesar 13,05 % dan dengan

sinar UV saja sebesar 4,68 %. Dari data yang diperoleh, persen degradasi metilen biru

menggunakan TiO2/zeolit tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan

dengan persen degradasi metilen biru menggunakan zeolit. Sehingga proses pendegradasian

metilen biru kurang efektif apabila menggunakan TiO2/zeolit. Pada awalnya diinginkan

dengan adanya proses impregnasi ini, zeolit sebagai adsorben dan TiO2 memiliki kemampuan

fotokatalitik akan menambah aktifitas degradasi metilen biru. Tetapi pada kenyataannya peran

zeolit sebagai absorben lebih dominan daripada TiO2, hal ini ditunjukkan dengan hampir

samanya persen degradasi menggunakan zeolit dan TiO2/zeolit. Dari data yang diperoleh,

diduga distribusi TiO2 tidak menyebar rata pada pori – pori zeolit pada saat proses

impregnasi. Pada saat pori zeolit diduga terisi oleh beberapa molekul TiO2, kontak antara

molekul metilen biru dengan TiO2 menjadi lebih sedikit. Sehingga mekanisme degradasi yang

terjadi lebih didominasi oleh adsorpsi dari zeolit daripada sifat fotokatalitik dari TiO2.

KESIMPULAN

Kondisi optimum proses degradasi zat warna metilen biru menggunakan zeolit

terimpregnasi TiO2 (TiO2/zeolit) diperoleh pada waktu 45 menit dan pH larutan sebesar 5

0

20

40

60

80

100

% d

egr

adas

i

Page 68: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

68

dengan persen degradasi masing – masing 98,16 % dan 98,20 %. TiO2/zeolit memiliki

efektivitas lebih tinggi dibandingkan TiO2, tetapi tidak lebih tinggi dibandingkan dengan

zeolit dalam mengadsorpsi zat warna metilen biru pada waktu dan pH optimum. Dalam hal ini

zeolit berperan sebagai adsorben dan TiO2 mendegradasi zat warna metilen biru secara

fotokatalitik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mumpton, F.A., Fishman, P.H., 1977, The Application of Natural Zeolites in

Animal Science and Aquaculture, Journal of Animal Science, Vol. 45, No. 5, 1188 –

1203.

2. Suwarsa, S., 1998, Penyerapan Zat Warna Tekstil BR Red HE 7B Oleh Jerami

Padi, Jurnal Matematika dan Sains, Vol. 3, No. 1, 32 – 40.

3. Wang, L., Zhang, J., Wang, A., 2011, Fast Removal of Methylene Blue From

Aqueous Solution by Adsorption onto Chitosan-g-poly (Acrylic Acid) /

Attapulgite Composite, Journal of Desalination, 33 – 39.

4. Zendehdel, M., Kalateh, Z., Alikhani, H., 2011, Efficiency Evaluation of NaY

Zeolite and TiO2/NaY Zeolite in Removal of Methylene Blue Dye From Aqueous

Solutions, Iranian Journal of Environment Health Science and Engineering, Vol. 8,

No. 3, 265-272.

5. Fatimah, I., Sugiharto, E., Wijaya, K., Tahir, I., Kamalia, 2006, Titan Dioksida

Terdispersi Pada Zeolit Alam (TiO2/zeolit) dan Aplikasinya untuk Fotodegradasi

Congo Red, Indonesian Journal of Chemistry, Vol. 6 No. 1, 38 – 42.

6. Nogueira, R.F.P., Jardim, W.F., 1993. Photodegradation of Methylene Blue Using

Solar Light and Semiconductor (TiO2), Journal of Chemical Education, Vol. 70, No.

10, 861 – 862.

7. Wijaya, K., Sugiharto, E., Fatimah, I., Tahir, I., Rudatiningsih, 2006, Fotodegradasi

Zat Warna Alizarin S Menggunakan TiO2-Zeolit dan Sinar UV, Indonesian

Journal of Chemistry, Vol. 6 No. 1, 32 – 37.

8. Kok, T., 2008, Modifikasi Zeolit Alam Dan Pemanfaatannya Untuk Menurunkan

Kadar Pencemaran Tembaga Dari Limbah Air Buangan, Artocarpus Journal, Vol.

8, No. 2, 74 – 84.

Page 69: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

69

9. Utubira, Y., Wijaya, K., Triyono, Sugiharto, E., 2006, Preparasi dan Karakterisasi

TiO2-Zeolit Serta Pengujiannya pada Degradasi Limbah Industri Tekstil secara

Fotokatalitik, Indonesian Journal of Chemistry, Vol. 6, No. 3, 231 – 237.

10. Hoffman, M.R., Martin, S.T., Choi, W., Bahnemann, D.W., 1995, Environmental

Applications of Semiconductor Photocatalysis, Chem.Rev, 69 – 96.

11. Mohamed, R.M., Mkhalid, I.A., Baeissa, E.S., Al-Rayyani, M.A., 2012,

Photocatalytic Degradation of Methylene Blue by Fe/ZnO/SiO2 Nanoparticles

under Visiblelight, Journal of Nanotechnology, Vol. 2012, No. 2012.

12. Barka, N., Assabbane, A., Nounah, A., Dussaud, J., Ichou, A.Y., 2008, Photocatalytic

Degradation of Methyl Orange with Immobilized TiO2 Nanoparticles: Effect of

pH and Some Inorganic Anions, Physics Chemistry News, Vol 41, 85 – 88.

13. Arivoli, S., Hema, M., Parshtasarathy, S., Manju, N., Adsorption Dynamics of

Methylene Blue by Acid Activated Carbon, Journal of Chemical and

Pharmaceutical Research, Vol. 2, No. 5, 626 – 641.

Page 70: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

70

APLIKASI ASAM PERASETAT UNTUK MENGHILANGKAN ZAT WARNA PADA KAIN JEANS

Deby Heruwati Maharani, Ganden Supriyanto, Aning Purwaningsih

Program Studi S-1 Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRACT

The process of bleaching textile usually uses oxidator compound such as hypochlorite, chlorine

and peroxide. Bleaching method using peracetic acid has not been developed yet. In this research,

bleaching process using peracetic acid had been done. The purpose of this research was to develop

an environmentally and friendly bleaching agent and change another bleaching agent such as

chlorine which gives bad impact of environment pollution. In this research peracetic acid was

prepared by reacting hydrogen peroxide and glacial acetic acid. Some factors which influenced the

formation of peracetic acid, such as optimum mole ratio [H2O2 30%:CH3COOH 100%] with 100 ml

total volume, temperature and reaction time were determined in this research. Peracetic acid which

had been formed acted as a nucleophile. This ion eliminated chromophore group which gave colour

to jeans fabric. The optimum results in bleaching process was under condition of mole ratio

[H2O2:CH3COOH] of 1:10 at 85˚C for 60 minutes.

Key words : jeans, bleaching, peracetic acid.

ABSTRAK

Proses bleaching pada kain biasanya menggunakan senyawa golongan oksidator seperti

hipoklorit, gas klor dan asam peroksida. Metode bleaching menggunakan asam perasetat belum

banyak dikembangkan. Pada penelitian ini dilakukan proses bleaching menggunakan asam perasetat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan bleaching agent yang ramah lingkungan dan

mengganti bleaching agent seperti klor yang memberikan dampak pencemaran lingkungan. Dalam

penelitian ini asam perasetat dibuat dengan mereaksikan hidrogen peroksida dan asam asetat glasial.

Faktor yang mempengaruhi pembentukan asam perasetat seperti perbandingan mol [H2O2

Page 71: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

71

30%:CH3COOH 100%] dengan volume total 100 ml, suhu dan waktu reaksi dicari kondisi optimumnya

dalam penelitian ini. Asam perasetat yang terbentuk bertindak sebagai nukleofil yang akan

menghilangkan gugus kromofor yang memberikan warna pada kain jeans. Hasil optimum proses

bleaching menggunakan asam perasetat adalah pada perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] sebesar

*1:10+ pada suhu 85˚C selama 60 menit.

Kata kunci: kain jeans, bleaching, asam perasetat.

PENDAHULUAN

Industri tekstil dan produk tekstil merupakan salah satu bidang yang sangat berkembang

di Indonesia. Dalam proses produksinya, industri tekstil menghasilkan limbah baik berupa

limbah padat, cair maupun gas yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan.

Terlepas dari itu, limbah dari pabrik tekstil seperti potongan kain jeans, grey, cotton tidak

perlu ditimbun di dalam tanah atau bahkan dibakar sehingga asapnya menimbulkan polusi.

Limbah kain yang berwarna itu dapat diolah menjadi produk yang lebih berkualitas dan

bernilai ekonomis. Limbah kain yang berwarna tersebut dapat dilunturkan menjadi putih

dengan proses bleaching, kemudian diubah lagi menjadi kapas dan dipintal kembali menjadi

benang, kain dan produk-produk lain misalnya sarung tangan dan lain sebagainya.

Bleaching adalah proses penghilangan warna yang ada pada bahan yang disebabkan

adanya pigmen-pigmen atau zat-zat lain sehingga warna bahan menjadi putih (1). Pada serat

kain, pigmen-pigmen ini merupakan senyawa organik yang mempunyai ikatan rangkap yang

dapat dioksidasi atau direduksi menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana sehingga

warna menjadi putih (2). Proses bleaching dapat digunakan untuk pemanfaatan kain bekas

menjadi benang, kain dan dapat dikembangkan menjadi produk lainnya yang lebih

berkualitas.

Proses bleaching dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa klor seperti klorin

(Cl2) atau klor dioksida (3). Akan tetapi, penggunaan klor dalam proses bleaching ini

menimbulkan persoalan lingkungan yang serius (4). Dampak negatif yang ditimbulkan adalah

pada buangannya yang mengandung senyawa klorin organik yang berbahaya bagi lingkungan

hidup (5). Mengingat betapa bahayanya senyawa yang mengandung klor, maka saat ini

Page 72: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

72

banyak dikembangkan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan proses bleaching dengan

prinsip total chlor free dengan menggunakan hidrogen peroksida. Namun, pada bleaching

kain menggunakan hidrogen peroksida membutuhkan larutan alkali yang berfungsi untuk

mengatur pH, penstabil dan suhu yang digunakan relatif tinggi serta membutuhkan waktu

yang lama. Setelah proses bleaching, membutuhkan jumlah air yang besar untuk

menghilangkan sisa hidrogen peroksida dan sisa alkali (6).

Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu metode untuk proses bleaching yang bisa

dilakukan dengan baik pada suhu rendah, waktu reaksi yang lebih singkat dan menggunakan

biaya yang lebih murah, tanpa menyebabkan kerusakan pada serat kain. Untuk itu pada

penelitian ini dicoba melakukan proses bleaching kain menggunakan asam perasetat.

Asam perasetat dapat dibuat dengan mereaksikan hidrogen peroksida dan asam asetat

dengan adanya asam mineral yang kuat seperti asam sulfat (7). Asam perasetat merupakan

alternatif bleaching agent yang aman lingkungan. Pabrik tekstil di Eropa sekarang ini telah

banyak menggunakan asam perasetat sebagai bleaching agent (6). Asam perasetat yang paling

efektif digunakan sebagai bleaching agent untuk kapas adalah pada kondisi pH 6-7 dan pada

suhu 50-80˚C dengan waktu bleaching 20-60 menit tergantung pada suhu saat proses

bleaching berlangsung (6). Kondisi ini memerlukan energi dan jumlah air yang lebih rendah

baik selama bleaching kain atau pada pembilasan kain, netralisasi serat setelah bleaching pun

tidak diperlukan, tidak seperti bleaching dengan hidrogen peroksida, dimana memerlukan

jumlah air yang besar untuk menghilangkan sisa alkali.

Asam perasetat ini mejadi salah satu alternatif dalam upaya meminimalkan masalah

yang disebabkan oleh bleaching agent seperti klor ataupun hidrogen peroksida. Penelitian ini

bertujuan untuk meningkatkan derajat kecerahan dari kain menggunakan asam perasetat

sebagai pemutih yang ramah lingkungan.

METODE PENELITIAN

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah asam asetat glasial, hidrogen

peroksida, akuades, sampel kain jeans berwarna biru yang diperoleh dari pabrik tekstil di

Gresik.

Page 73: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

73

Alat-alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah buret, timbangan analitik, stirer,

hotplate, termometer, gelas beaker, kaca arloji dan peralatan gelas lain yang biasa digunakan

di laboratorium kimia.

Proses Bleaching

Pengaruh perbandingan mol [H2O2:CH3COOH]

Dimasukkan dengan menggunakan buret larutan H2O2 30% dan CH3COOH 100% ke

dalam gelas beker 250 ml dengan perbandingan mol 1:34 ; 1:20 ; 1:15 ; 1:10 ; 1:5 ; 1:3

sehingga volume total larutan menjadi 100 ml. Kemudian dimasukkan sampel kain jeans

bekas dengan ukuran 2x2 cm dan dipanaskan pada suhu tetap 85˚C selama 60 menit tanpa

proses pengadukan. Setelah proses selesai kemudian diamati kecerahan kainnya secara visual

dan diukur derajat kecerahannya menggunakan chromameter. Kemudian didapatkan hasil

perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] optimum yang akan digunakan untuk uji selanjutnya.

Pengaruh suhu

Dimasukkan dengan menggunakan buret larutan H2O2 30% dan CH3COOH 100%

dengan perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] optimum (Cx) ke dalam gelas beker 250 ml

sehingga volume total larutan menjadi 100 ml. Kemudian dimasukkan sampel kain jeans

bekas dengan ukuran 2x2 cm dan dipanaskan pada variabel suhu 55, 65, 75 dan 85˚C selama

60 menit tanpa pengadukan. Setelah proses selesai kemudian diamati kecerahan kainnya

secara visual dan diukur derajat kecerahannya menggunakan chromameter. Kemudian

didapatkan hasil suhu optimum dan akan digunakan untuk uji selanjutnya.

Pengaruh waktu

Dimasukkan dengan menggunakan buret larutan H2O2 30% dan CH3COOH 100%

dengan perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] optimum (Cx) ke dalam gelas beker 250 ml

sehingga volume total larutan menjadi 100 ml. Kemudian dimasukkan sampel kain jeans

bekas dengan ukuran 2x2 cm dan dipanaskan pada suhu optimum (Topt) dengan variabel

waktu selama 45, 60, 75 dan 90 menit tanpa pengadukan. Setelah proses selesai kemudian

diamati kecerahan kainnya secara visual dan diukur derajat kecerahannya menggunakan

chromameter. Kemudian didapatkan hasil waktu optimum.

Page 74: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

74

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] terhadap derajat kecerahan kain jeans

Proses bleaching dengan asam perasetat dilakukan dengan volume total 100 ml. Dengan

variasi perbandingan mol [H2O2:CH3COOH dalam kondisi operasi yang tetap yaitu proses waktu

bleaching 60 menit dan suhu 85˚C. Hasil dari masing-masing kain jeans setelah perlakuan proses

bleaching kemudian di analisa derajat kecerahannya menggunakan alat Chromameter CR-400 Konika

Minolta. Berikut ini adalah grafik hubungan antara perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] dalam proses

bleaching terhadap derajat kecerahan.

Gambar 1. Grafik hubungan perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] dengan derajat kecerahan pada

suhu 85˚C dan waktu 60 menit.

Gambar 1 menunjukkan bahwa hasil optimum bleaching terjadi pada perbandingan mol

[H2O2:CH3COOH] sebesar 1:10. Hal ini dibuktikan dengan nilai derajat kecerahan yang dihasilkan

adalah yang paling besar. Pada kondisi ini asam perasetat yang dihasilkan maksimal. Konsentrasi H+

dapat mengurangi dekomposisi asam perasetat (7) sehingga pada kondisi dimana jumlah asam asetat

glasial lebih banyak maka asam perasetat yang terbentuk akan maksimal. Walaupun hasil optimum

tidak terjadi pada perbandingan mol 1:34 yaitu perbandingan dimana jumlah larutan asam asetat

glasial terbanyak, tetapi dengan tiga perbandingan mol 1:20 ; 1:15 dan 1:10 menunjukkan bahwa

semakin banyak jumlah larutan asam asetat glasial maka derajat kecerahan semakin meningkat.

Asam perasetat merupakan oksidator kuat dan memiliki bilangan oksidasi yang lebih tinggi dan

kuat dibandingkan dengan bilangan oksidasi dari hidrogen peroksida (8). Sampel kain jeans bekas

70

75

80

85

90

95

0 1 2 3 4 5 6 7

De

raja

t K

ece

rah

an (

%)

Perbandingan mol H2O2 dan CH3COOH

Page 75: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

75

didapatkan dari pabrik tekstil di Gresik dimana sampel kain jeans bekas tersebut tidak diketahui

secara pasti zat warna yang mengikatnya. Mekanisme reaksi bleaching tidak dapat dijelaskan secara

pasti karena tidak diketahuinya zat warna yang mengikat sampel kain jeans tersebut.

Pada penelitian ini, setelah proses bleaching sampel kain jeans tidak mengalami perubahan

bentuk dan sisa larutan proses bleaching tidak berwarna. Terdapat dua kemungkinan pada proses

hilangnya warna pada kain jeans. Kemungkinan yang pertama yaitu zat warna terlepas dari kain

jeans. Terdapat 2 tipe ikatan ionik antara zat warna dan serat yaitu antara zat warna bermuatan

negatif (anion) dengan serat yang bermuatan positif (kation) dan antara zat warna bermuatan positif

(kation) dengan serat yang bermuatan negatif (anion).

Kemungkinan apabila zat warna pada kain jeans adalah zat warna yang bermuatan negatif

(anion) dan serat pada jeans adalah bermuatan positif (kation), maka mekanisme yang terjadi adalah

sebagai berikut:

Pada mekanisme diatas zat warna berwarna biru yang digunakan adalah Alizarin Sky Blue

dengan strukturnya yaitu sebagai berikut:

CO2H

NH3+ A-

CO2H

NH3+ O3S- -Dye

Dye-SO3-

O

O

NH2

NH

Br

NaO3S

CH3

Page 76: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

76

Serat kain jeans diduga adalah campuran selulosa dan nylon. Polimer dari selulosa dan nilon

adalah sebagai berikut:

Selulosa Nylon

Kemungkinan apabila zat warna pada kain jeans adalah zat warna yang bermuatan bermuatan

positif (kation) dan serat pada jeans adalah negatif (anion), maka mekanisme yang terjadi adalah

sebagai berikut:

Pada mekanisme diatas zat warna berwarna biru yang digunakan adalah Cyanine Blue dengan

strukturnya yaitu sebagai berikut:

Serat kain jeans diduga dari golongan acrylic. Polimer dari acrylic adalah sebagai berikut:

+M -O3SDye-X+ -O3S

Dye-X+

NC2H5 CH N C2H5

+

I-

Page 77: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

77

Kemungkinan yang kedua yaitu zat warna diserang oleh nukleofil asam perasetat sehingga

struktur zat warna terpecah menjadi senyawa lain. Diduga mekanisme pemecahan zat warna oleh

nukleofil asam perasetat adalah sebagai berikut.

O

C

O

O O-

O

O O

O

O

O

-

+

+

O

O

O O

O

C

O O-

O

O

O

-

O +

O+

O

O

O+

- O

O +

O

O

O

Asam perasetat berperan sebagai nukleofil yang menyerang sistem aromatis yang kaya akan

elektron. Keberadaan asam perasetat dan alkena menyebabkan terbentuknya epoksida. Nukleofil

asam perasetat menyebabkan terbukanya cincin epoksida dan membentuk senyawa yang stabil yaitu

asam mukonat.

Pengaruh suhu terhadap derajat kecerahan kain jeans

Suhu dalam proses bleaching mempengaruhi derajat kecerahan dari kain. Hal ini berhubungan

dengan peningkatan kecepatan reaksi, dimana semakin tinggi suhu maka reaksi akan berlangsung

lebih cepat (3). Pada proses bleaching, semakin tinggi suhu maka proses pembentukan nukleofil ion

perasetat (CH3COOO-) akan semakin cepat sehingga hal ini akan berpengaruh pada proses

Page 78: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

78

penghilangan gugus kromofor (9). Grafik hubungan antara suhu dalam proses bleaching terhadap

derajat kecerahan ditunjukkan pada gambar 4.

Gambar 4. Grafik hubungan suhu dengan derajat kecerahan pada perbandingan mol

[H2O2:CH3COOH] sebesar 1:10 dan waktu 60 menit

Pengaruh waktu terhadap derajat kecerahan kain jeans

Waktu dalam proses bleaching mempengaruhi derajat kecerahan pada kain. Pada penelitian ini

dilakukan bleaching dengan variasi waktu 45, 60, 75 dan 90 menit. Semakin lama waktu reaksi maka

derajat kecerahan yang dihasilkan akan semakin besar pula (3). Grafik hubungan antara waktu dalam

proses bleaching terhadap derajat kecerahan ditunjukkan pada Gambar 5.

20

30

40

50

60

70

80

90

100

50 60 70 80 90

Der

ajat

kec

era

han

(%

)

Suhu (˚C)

80

82

84

86

88

90

92

40 50 60 70 80 90 100

Der

ajat

kec

era

han

(%

)

Waktu (menit)

Page 79: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

79

Gambar 5. Grafik hubungan waktu dengan derajat kecerahan pada perbandingan mol

[H2O2:CH3COOH+ sebesar 1:10 pada suhu 85˚C

Dari data diatas dapat diketahui bahwa waktu optimum pada proses bleaching adalah selama

60 menit walaupun pada waktu bleaching selama 90 menit tetap mengalami kenaikan. Melalui grafik

tersebut dapat dilihat bahwa pada waktu bleaching selama 45 menit ke 60 menit memberikan hasil

derajat kecerahan dengan selisih yang besar sedangkan pada waktu bleaching 60 menit ke 75 menit

hanya mengalami kenaikan yang sedikit begitu pula dari waktu bleaching 75 menit ke 90 menit juga

mengalami kenaikan yang sedikit.

KESIMPULAN

Perbandingan mol [H2O2 30% : CH3COOH 100%] optimum pada proses bleaching dengan asam

perasetat adalah 1:10, suhu optimum 85˚C dan waktu optimum adalah 60 menit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Moertinah, S., 2008, Peluang-peluang Produksi Bersih Pada Industri Tekstil

Finishing Bleaching (Studi Kasus Pabrik Tekstil Finishing Bleaching PT.

Damaitex, Thesis Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro

2. Suess, H. U., 2010, Pulp Bleaching Today, De Gruyter, Berlin/New York

3. Van Dam, J., E., G., 2002, Coir Processing Technologies: Improvement of Drying,

Softening, Belaching and Dyeing Coir Fibre/Yarn and Printing Coir Floor

Coverings. Technical Paper, 6, Department of Fibres and Cellulose

Agrotechnological Research Institute (ATO bv) Wageningen, Netherlands

4. Batubara, R., 2006, Teknologi Bleaching Ramah Lingkungan, Skripsi Kimia

Universitas Sumatra Utara

5. Ulia, H., 2007, Alternatif Penggunaan Hidrogen Peroksida Pada Tahap Akhir

Proses Pemutihan Pulp, Thesis Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara

6. Abdel-Halim, E., S., Al-Deyab, S., S., 2011, Low temperature bleaching of cotton

cellulose using peracetic acid, Carbohidrat Polymers, 86 : 988-994

7. Zhao, X., Cheng, K., Hao, J., Liu, D., 2008, Preparation of peracetic acid from

hydrogen peroxide, part II: Kinetics for spontaneous decomposition of peracetic

acid in the liquid phase, Journal of Molecular Catalysis A: Chemical, 284 : 58-68

Page 80: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

80

8. Muladi, Kusuma, S., I., W., Orsadchia, O., K., Pratt, R., 2000, The Elementary

Chlorine Free Bleacing (ECF) of Some Indonesia Timber Estate Wood Spesies,

Proceeding of The Third Wood Science Symposium : 335-340

9. Dence, C. W dan Reeve, D. W., 1996. Pulp Bleaching: Principle and Practice.

Atlanta, san Diego, California. TAPPI Press

Page 81: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

81

Pembuatan dan Karakterisasi Membran Fotokatalitik Komposit Kitosan-Selulosa

Diasetat-TiO2 Untuk Pengolahan Limbah Zat Warna Tekstil Congo Red

Della Ratna Febriana1, Siti Wafiroh

2, dan Harsasi Setyawati

3

1,2,3Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

Surabaya, Indonesia

Email : [email protected]

ABSTRAK

Membran banyak diaplikasikan dalam kehidupan manusia, salah satu contohnya dalam

pengolahan limbah zat warna tekstil. Penelitian ini bertujuan untuk membuat dan

mengkarakterisasi membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2 untuk mengolah limbah zat warna

tekstil congo red. Kitin diisolasi dari cangkang rajungan lalu disintesis menjadi kitosan

melalui 4 tahap yaitu deproteinasi, demineralisasi, depigmentasi dan deasetilasi. Selulosa

diisolasi dari batang pisang kepok lalu disintesis menjadi selulosa diasetat melalui 3 tahap

yaitu penggembungan, asetilasi dan hidrolisis. Membran dibuat dengan metode inversi fasa.

Membran kitosan ditambahkan dengan variasi konsentrasi selulosa diasetat 2%, 4%, 6%, 8%

dan 10%. Membran tersebut diuji sifat mekaniknya. Membran kitosan-selulosa diasetat yang

memiliki sifat mekanik optimum kemudian ditambahkan dengan variasi konsentrasi TiO2

sebesar 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25% dan 0,3%. Membran ini dikarakterisasi meliputi ketebalan,

sifat mekanik, kinerja, SEM dan FT-IR. Kemudian membran yang optimum diaplikasikan

untuk mengolah limbah zat warna tekstil congo red. Hasil penelitian ini membran optimum

untuk mengolah limbah zat warna tekstil congo red yaitu dengan konsentrasi kitosan 3%,

selulosa diasetat 4% dan TiO2 0,3%. Hasil karakterisasi membran optimum ini meliputi

ketebalan 0,01 mm, stress 0,02250 kN/mm2, strain 0,05767, modulus young 0,39015

kN/mm2, fluks 1061, 54 L/m

2 hari, dan rejeksi 99,60 %. Hasil aplikasi membran kitosan-

selulosa diasetat-TiO2 dalam mengolah limbah zat warna tekstil congo red dengan fluks

715,529 L/m2 hari dan rejeksi 92,19 %.

Kata kunci: membran, kitosan, selulosa diasetat, TiO2, congo red

ABSTRACT

Membrane was applied in many people's lives, one example in the textile dye wastewater

treatment. The purpose of this study is to create and characterize chitosan membrane with the

addition of cellulose diacetate and TiO2 to treat textile dyes waste congo red. Chitin was

isolated from crab shells and then synthesized into chitosan through the 4 stages are

deproteination, demineralization, depigmentation and deacetylation. Cellulose was isolated

from kepok banana stem then synthesized into a cellulose diacetate through 3 stages such as

the swelling stage, the acetylation stage and hydrolysis. Membranes prepared by phase

inversion method. Chitosan membrane added with variation of cellulose diacetate

concentration 2%, 4%, 6%, 8% and 10%. The membranes are tested about mechanical

properties. Chitosan-cellulose diacetate membrane which have optimum mechanical

properties then added with variation of TiO2 concentration 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25% and

0,3%. The membranes are characterized include thickness, mechanical properties,

performance membrane, SEM and FT-IR. The optimum membranes applied for wastewater

treatment of textile dye congo red. So, the optimum membrane for wastewater treatment of

textile dye congo red is concentration of chitosan 3%, cellulose diacetate 4% and TiO2 0,3%.

The characterization results of optimum membrane include thickness of 0,01 mm, stress

0,02250 kN/mm2, strain 0,05767, modulus young 0,39015 kN/mm

2, flux 1061, 54 L/m

2 days,

dan rejection 99,60 %. The result of application membrane in wastewater treatment of textile

dye congo red with flux 715,529 L/m2 days and rejection 92,19 %.

Key words: membrane, chitosan, cellulose diacetate, TiO2, congo red

Page 82: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

82

PENDAHULUAN

Industri tekstil merupakan industri yang perkembangannya cukup pesat di Indonesia.

Industri tekstil merupakan kontributor penting dalam pencemaran lingkungan, khususnya

lingkungan perairan karena limbah zat warna yang dihasilkannya. Pembuangan air limbah ke

sungai dari industri yang menggunakan pewarna akan menimbulkan masalah lingkungan yang

serius. Selain itu, sebagian besar pewarna bersifat mutagenik dan karsinogenik (Gong et al.,

2005). Pewarna yang paling banyak terdapat dalam limbah tekstil adalah zat warna azo. Zat

warna azo yang terdapat dalam limbah tekstil yaitu sekitar 60 %-70 %. Salah satu contoh

senyawa azo adalah congo red. Apabila congo red termetabolisasi akan menghasilkan

benzidine yang diketahui bersifat karsinogen bagi manusia dan dapat menyebabkan respon

alergi (Han et al., 2008).

Upaya pengolahan limbah tekstil telah banyak dilakukan seperti adsorpsi (Alkan et

al.,2005), biodegradasi, khlorinasi, dan ozonisasi (Muthukumar et al., 2004). Namun metode

tersebut memiliki kelemahan seperti kapasitasnya rendah, dibutuhkan material bahan yang

banyak, biaya operasional cukup mahal sehingga diperlukan suatu inovasi untuk mengatasi

kelemahan tersebut.

Teknologi membran merupakan salah satu inovasi dalam pengolahan limbah tekstil.

Keunggulan teknologi membran antara lain yaitu pemisahan dengan membran tidak

membutuhkan zat kimia tambahan, kebutuhan energinya rendah, pemisahan berdasarkan

ukuran molekul sehingga dapat dioperasikan pada temperatur rendah, dan juga membran

dapat digabungkan dengan metode lainnya. Material yang banyak dijadikan bahan membran

adalah kitosan dan selulosa diasetat. Bahan-bahan tersebut memiliki keunggulan seperti sifat

mekanik yang kuat, biodegradable, tidak beracun, murah dan mudah di dapatkan (Khor et al.,

2002). Selain menggunakan metode membran, metode fotodegradasi juga merupakan metode

yang relatif murah serta mudah diterapkan. Metode fotodegradasi ini membutuhkan katalis

biasanya TiO2 untuk degradasi atau oksidasi zat pewarna organik (Libanori et al., 2008)

karena aktivitas katalitik yang kuat dan keberadaannya di alam cukup melimpah (Drioli et al.,

2009).

Penelitian sebelumnya Sofiana (2011) membuat membran selulosa diasetat komposit

TiO2 yang diaplikasikan untuk degradasi congo red murni. Hasilnya congo red yang

terdegradasi sebesar 83,23%. Membran tersebut memiliki nilai fluks sebesar 11251,1

L/m2hari , rejeksi sebesar 95,34%, stress sebesar 63,83 N/cm

2, strain sebesar 0,03 dan

modulus young sebesar 1926,45 N/cm2. Peneliti menggunakan selulosa diasetat untuk

memperbesar nilai fluks dan TiO2 untuk material anti fouling. Sedangkan Ernasuryaningtyas

Page 83: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

83

(2011) membuat membran komposit kitosan-PEG-TiO2 untuk pengolahan air sumur.

Membran tersebut memiliki nilai fluks sebesar 1445,37 L/m2hari, rejeksi sebesar 98,89%,

stress sebesar 5,8594x10-3

kN/mm2, strain sebesar 0,1015 dan modulus young sebesar 0,0577

kN/mm2. Peneliti menggunakan PEG untuk memperbesar pori karena kitosan memiliki pori

yang kecil. Fungsi TiO2 dalam penelitiannya yaitu sebagai material anti bakteri. Oleh sebab

itu perlu penelitian lebih lanjut tentang membran variasi komposit lain yaitu kitosan-selulosa

diasetat-TiO2 untuk memperoleh membran dengan sifat optimum baik dari kinerja maupun

mekaniknya.

Dalam penelitian ini selulosa diasetat dari kulit batang pisang kepok dengan kitosan

dari cangkang rajungan Portunus pelagicus yang keberadaannya cukup melimpah di

Indonesia, akan dikompositkan sebagai material pembuatan membran. Membran kitosan yang

memiliki pori yang kecil tidak efektif untuk proses pemisahan sehingga perlu ditambahkan

selulosa diasetat untuk memperbesar pori. Konsentrasi selulosa diasetat yang ditambahkan

bervariasi yaitu 2%, 4%, 6%, 8% dan 10% (b/v). Membran yang dihasilkan diuji sifat

mekaniknya. Membran yang mempunyai sifat mekanik optimum kemudian dicampur dengan

suspensi TiO2 dalam metanol dengan variasi 0,1%; 0,15%; 0,2%; 0,25%; 0,3% (b/v).

Pencetakan membran menggunakan metode inversi fasa. Membran yang diperoleh

selanjutnya dikarakterisasi meliputi uji kinerja, uji tarik (stress, strain, Modulus Young),

FTIR, dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Membran yang dihasilkan akan

diaplikasikan untuk mengolah limbah zat warna tekstil congo red. Uji efektifitas membran

untuk mengolah limbah zat warna tekstil congo red dengan menggunakan spektrofotometer

UV-Vis.

METODE PENELITIAN

Alat penelitian

Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pipet tetes, gelas beker,

hotplate, penyaring, buret, gelas ukur, termometer, cawan petri, labu erlenmeyer bertutup,

pengaduk, mikrometer sekrup, pengaduk magnetik, seperangkat alat refluks, neraca analitik,

bak koagulasi, sel filtrasi dead end, mortar, oven, FTIR Bruker Tensor, Spektrofotometer UV-

Vis Mapada UV-6100PCS , autograph AG-10 TE Shimadzu, SEM, dan reaktor fotokatalitik.

Bahan penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuades, NaOH teknis, aseton

pro analisis, Ca(OH)2 teknis, formamida pro analisis, suspensi TiO2 dalam metanol, congo red

pro analisis, asam asetat glasial pro analisis, anhidrida asetat pro analisis, NaOCl teknis, HCl

teknis, kitosan dari cangkang rajungan, selulosa diasetat dari kulit batang pisang kepok.

Page 84: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

84

Prosedur Kerja

Pada penelitian ini dilakukan sintesis selulosa diasetat, kitosan dan membran

fotokatalitik. Tahap pertama yaitu sintesis selulosa diasetat. Kulit batang pisang dipotong

dengan ukuran 1-2 cm kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah kering, kulit

batang pisang direndam dengan larutan Ca(OH)2 2,5% selama 7 hari. Kemudian dicuci

hingga netral lalu dimasukkan ke dalam labu alas bulat yang telah diisi dengan 150 mL

larutan NaOH 17,5% lalu campuran tersebut direfluks selama 4 jam. Kemudian campuran

tersebut dicuci dengan akuades hingga bebas basa dan di oven pada suhu 600C hingga kering.

Sebanyak 10 gram pulp kering dari kulit batang pisang ditambahkan 88 mL akuades

dalam gelas beker yang telah dipanaskan pada suhu 60ºC, kemudian campuran tersebut

diaduk hingga bertekstur seperti bubur. Kemudian bubur didinginkan lalu ditambahkan

dengan 100 mL NaOCl 5% dan didiamkan selama 30 menit sambil terus diaduk. Kemudian

pulp dibilas dengan akuades dan direndam kembali dengan NaOH 2% dan dibiarkan selama

30 menit kemudian dicuci dengan akuades hingga bebas basa yang diuji dengan

menggunakan kertas lakmus kemudian dikeringkan di udara terbuka.

Pulp kulit batang pisang yang telah dibleaching sebanyak 10 gram ditambahkan asam

asetat glasial 24 mL, dan diaduk menggunakan magnetic stirer pada suhu 40ºC dalam waktu

1 jam. Setelah itu ditambahkan lagi campuran 60 mL asam asetat glasial dan 0,5 mL H2SO4,

kemudian diaduk lagi dengan magnetic stirer selama 45 menit pada suhu 400C. Campuran

didinginkan dan setelah itu ditambahkan anhidrida asetat sebanyak 27 mL yang telah

didinginkan pada suhu 180C dan diaduk selama 3 jam pada temperatur 40

0C. Tahap

selanjutnya ditambahkan asam asetat glasial 67% sebanyak 30 mL dilakukan tetes demi tetes

selama 3 jam pada temperatur 40ºC dan diaduk lagi selama waktu hidrolisis 15 jam. Setelah

itu larutan diendapkan dengan menambahkan akuades tetes demi tetes dan diaduk hingga

diperoleh endapan berbentuk serbuk. Endapan yang terbentuk disaring dan dicuci dengan

akuades sampai netral kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 60-70ºC. Selulosa yang

terbentuk kemudian dikarakterisasi meliputi uji kelarutan selulosa diasetat dalam aseton,

penentuan berat molekul rata-rata dengan viskometer Ostwald dan analisis FT-IR.

Tahap kedua yaitu sintesis kitosan diawali dengan cangkang rajungan dicuci sampai

bersih kemudian direbus dalam air mendidih selama 15 menit. Lalu cangkang rajungan

dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah benar-benar kering, cangkang rajungan tersebut

diblender hingga halus kemudian diayak.

Proses transformasi kitin menjadi kitosan melalui beberapa tahap yaitu deproteinasi,

demineralisasi, depigmentasi dan deasetilasi. Tahap deproteinasi yaitu serbuk cangkang

Page 85: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

85

rajungan ditambahkan larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan antara serbuk cangkang

rajungan dengan larutan NaOH 1:10 (w/v). Proses ini dilakukan pada temperatur 65oC dengan

pengadukan selama + 2 jam. Kemudian serbuk ini disaring lalu dicuci menggunakan akuades

hingga netral kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 65oC sehingga diperoleh crude

kitin. Tahap selanjutnya yaitu demineralisasi yaitu crude kitin ditambahkan larutan HCl 2N

dengan perbandingan antara kitin kasar dan larutan HCl 1:15 (w/v). Kemudian dilakukan

pengadukan pada suhu kamar selama 30 menit. Kemudian kitin kasar disaring dan dicuci

dengan akuades hingga netral kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sehingga

diperoleh kitin. Pada tahap depigmentasi yaitu penghilangan warna, kitin diputihkan dengan

menggunakan aseton dan diaduk terus selama + 2 jam. Hasil perendaman lalu dikeringkan

dalam oven pada suhu 1100C sampai kering.

Tahap akhir yaitu deasetilasi di mana kitin hasil depigmentasi ditambahkan larutan

NaOH 50% dengan perbandingan antara kitin dan larutan NaOH 1:10 (w/v). Campuran

direbus selama 2 jam pada temperatur + 120oC, lalu disaring dan dicuci dengan akuades

hingga netral lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 65oC sampai kering dan diperoleh

kitosan. Kitosan yang terbentuk kemudian dikarakterisasi meliputi uji kelarutan kitosan dalam

asam asetat 2 %, penentuan berat molekul rata-rata dengan viskometer ostwald, analisis

derajat deasetilasi dan analisis FT-IR.

Tahap ketiga yaitu sintesis membran fotokatalitik diawali dengan selulosa diasetat

dengan variasi konsentrasi 2%, 4%, 6%, 8% dan 10% (% b/v) direaksikan dengan kitosan 3%

(% b/v) dan formamida 8% (%v/v) yang diletakkan dalam labu erlenmeyer bertutup dan

diaduk dengan magnetic stirer sampai larutan homogen dan didiamkan semalam. Larutan

dope membran yang bebas gelembung kemudian dicetak dalam cawan petri. Kemudian

membran dikeringkan dalam oven dengan suhu penguapan 800C sampai diperoleh lapisan

kering. Setelah itu cawan petri dituangi dengan NaOH 4% untuk membantu melepaskan

membran dari cetakan. Membran yang diperoleh lalu dicuci dengan air mengalir untuk

menghilangkan sisa-sisa pelarut. Kemudian membran dikeringkan di udara terbuka, membran

yang telah kering lalu diuji sifat mekaniknya untuk mengetahui membran yang mempunyai

komposisi selulosa diasetat yang optimum. Setelah diperoleh komposisi yang optimum,

mengulangi prosedur diatas dengan menambahkan suspensi TiO2 dalam metanol dengan

variasi 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25%, dan 0,3% ke dalam membran. Kemudian dilakukan uji

kinerja dan efektivitas membran fotokatalitik kitosan-selulosa diasetat-TiO2 uji sifat mekanik

dengan autograph, uji kinerja dengan alat sel filtrasi dead end, analisis FT-IR dan SEM.

Page 86: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

86

Setelah membran optimum dikarakterisasi, kemudian ditentukan waktu optimum

dalam mendegradasi congo red. Larutan congo red diambil 100 mL diletakkan pada gelas

beaker diukur absorbansinya lalu dikontakkan dengan membran yang memiliki sifat optimum

kemudian disinari UV dalam reaktor fotokatalitik dengan berbagai variasi waktu yaitu 5, 10,

20, 30, 45, 60, 90, 120, dan 180 menit. Setelah itu, diukur absorbansinya menggunakan

spektrofotometer UV-Vis untuk mengetahui konsentrasi congo red sisa.

Langkah terakhir yaitu aplikasi membran untuk pengolahan limbah zat warna tekstil.

Larutan limbah tekstil congo red disaring dengan menggunakan kertas saring What mann

ukuran 42. Kemudian larutan limbah tekstil congo red yang telah disaring, diambil 150 mL

yang diletakkan pada gelas beaker lalu diukur absorbansi awalnya pada panjang gelombang

maksimum. Selanjutnya larutan limbah tekstil congo red tersebut dikontakkan secara

langsung dengan membran fotokatalitik optimum dalam reaktor fotokatalitik disinari UV

selama waktu optimumnya. Kemudian, limbah tekstil congo red yang telah dikontakkan

dengan membran diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Tahap

selanjutnya penentuan kinerja membran dengan mengukur nilai fluks dan rejeksi

menggunakan alat sel filtrasi dead end.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kulit batang pisang kering direndam dengan larutan Ca(OH)2 2,5% sebanyak 200 mL

selama 7 hari dengan tujuan untuk mereaktifkan serat. Kemudian batang pisang dicuci dengan

akuades lalu batang pisang direaksikan dengan larutan NaOH 17,5% lalu campuran tersebut

direfluks selama 4 jam. Tujuan dari proses refluks ini adalah untuk menghilangkan lignin dan

hemiselulosa yang terdapat dalam kulit batang pisang. Setelah proses refluks selesai,

campuran dicuci dengan akuades lalu kulit batang pisang dioven pada suhu 600C hingga

kering. Pulp hasil penelitian ini sebesar 80,75 gram dengan rendemen 22,43%. Pulp kering

dari kulit batang pisang direndam dengan akuades lalu dipanaskan hingga berbentuk bubur.

Kemudian bubur didinginkan lalu ditambahkan dengan 100 mL NaOCl 5% dan didiamkan

selama 30 menit sambil terus diaduk. Bleaching bertujuan untuk menghilangkan lignin yang

masih tersisa setelah proses refluks. Untuk menyempurnakan proses degradasi lignin, maka

pulp direndam kembali dengan NaOH 2% dan dibiarkan selama 30 menit kemudian pulp

dikeringkan di udara terbuka. Bleaching pulp pada penelitian ini menghasilkan pulp sebesar

29,35 gram dengan rendemen 36,35%.

Sintesis selulosa diasetat meliputi 3 tahap yaitu tahap penggembungan, tahap asetilasi dan

tahap hidrolisis. Tahap penggembungan dimana pulp direaksikan dengan asam asetat glasial. Asam

asetat glasial di sini berperan sebagai sweeling agent. Sweeling agent bertujuan untuk

Page 87: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

87

menggembungkan serat-serat selulosa dan mereaktifkan selulosa agar dapat bereaksi dengan anhidrida

asetat. Kemudian ditambahkan asam asetat glasial lagi dan H2SO4. Tahap asetilasi dimana campuran

ditambahkan dengan anhidrida asetat yang telah didinginkan dan diaduk selama 3 jam pada suhu 400C.

Anhidrida asetat berperan sebagai sumber gugus asetil. Pada tahap ini terjadi reaksi subtitusi antara

gugus asetil dari anhidrida asetat dengan gugus -OH pada selulosa, yang mengakibatkan selulosa

memiliki 3 gugus asetil disebut selulosa triasetat yang berbentuk larutan coklat tua yang sangat kental.

Tahap selanjutnya yaitu hidrolisis, dimana ditambahkan asam asetat glasial 67% sebanyak 30 mL

dilakukan tetes demi tetes selama 3 jam pada temperatur 40ºC. Asam asetat glasial 67% berperan

dalam menghidrolisis gugus asetil pada selulosa triasetat sehingga menjadi selulosa diasetat. Larutan

diendapkan dengan menambahkan akuades tetes demi tetes dan diaduk hingga diperoleh endapan

berbentuk serbuk berwarna putih. Kemudian serbuk tersebut dioven hingga kering. Massa selulosa

diasetat yang diperoleh sebesar 32,16 gram dengan rendemen 109,57%.

Hasil Karakterisasi Selulosa Diasetat

Karakterisasi awal yaitu uji kelarutan. Selulosa diasetat hasil sintesis larut dalam

aseton. Karakterisasi kedua yaitu penentuan berat molekul. BM selulosa diasetat hasil sintesis

sebesar 49.742,03 g/mol. Karakterisasi terakhir yaitu FT-IR. Hasil FT-IR selulosa dan

selulosa diasetat ditunjukkan pada Gambar 1

Gambar 1. Spektra FT-IR selulosa dan selulosa diasetat

Pada spektra FT-IR selulosa diasetat masih terlihat puncak serapan unit glukopiranosa

pada bilangan gelombang 1049,28 cm-1

, begitu pula dengan puncak serapan -OH tetap muncul

namun puncak serapan gugus fungsi -OH pada spektrum selulosa diasetat mempunyai

intensitas yang lebih rendah dibandingkan dengan selulosa. Munculnya spektra puncak

serapan baru yaitu pada bilangan gelombang 1751,36 cm-1

yang merupakan pita serapan

gugus karbonil ester. Terbentuk ester ini didukung dengan munculnya pita serapan pada

daerah bilangan gelombang 1234,44 cm-1

yang merupakan pita serapan yang khas C-O ester

dari asetat. Dengan adanya spektra baru ini, menunjukkan bahwa selulosa telah terasetilasi

menjadi selulosa diasetat.

Page 88: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

88

Hasil Proses Transformasi Kitin ke Kitosan dari Cangkang Rajungan

Cangkang yang telah kering kemudian diblender dan diayak lalu siap dilakukan

transformasi kitin menjadi kitosan melalui beberapa tahap yaitu deproteinasi, demineralisasi,

depigmentasi dan deasetilasi. Tahap deproteinasi dimana mereaksikan serbuk cangkang

rajungan dengan NaOH 3,5% ,di aduk dengan magnetic stirer selama 2 jam, dicuci dengan

akuades hingga bebas basa kemudian di oven hingga kering sehingga diperoleh crude kitin.

Massa crude kitin yang diperoleh sebesar 613 gram. Tahap demineralisasi dimana

mereaksikan crude kitin dengan HCl 2N tetes demi tetes, diaduk selama 30 menit, dicuci

hingga bebas basa kemudian dioven hingga kering. Massa kitin yang diperoleh pada

penelitian ini sebesar 91,8 gram. Tahap depigmentasi dimana kitin direndam dengan aseton

selama 2 jam kemudian dicuci dengan akuades dan dioven hingga kering. Tahap deasetilasi

dimana kitin direaksikan dengan NaOH 50%, direbus selama 2 jam kemudian dicuci dan di

oven sehingga diperoleh kitosan. Penggunaan NaOH dengan konsentrasi tinggi pada tahap ini

dikarenakan gugus asetil yang sulit lepas. Kitosan yang diperoleh dalam penelitian ini sebesar

66,8 gram.

Kitosan yang terbentuk kemudian dikarakterisasi. Uji kelarutan merupakan karakterisasi yang

paling sederhana. Kitosan larut sempurna dalam asam asetat 2% sedangkan kitin tidak larut

(Khor, 2001). Hal ini disebabkan oleh pembentukan ikatan hidrogen antara N dari gugus

amina pada kitosan dengan H+ dari asam asetat. Uji kedua yaitu penentuan BM. BM kitosan

hasil sintesis sebesar 580.744,47 Dalton. Uji ketiga yaitu penentuan derajat deasetilasi. DD

kitin hasil isolasi sebesar 43,54% sedangkan DD kitosan hasil sintesis sebesar 84,43%. Uji

terakhir yaitu penentuan gugus fungsi menggunakan FT-IR. Hasil FT-IR kitin dan kitosan

ditunjukkan pada Gambar 2

Gambar 2. Hasil spektra FT-IR kitin (a) dan kitosan (b)

Pada spektra FT-IR kitin, munculnya serapan pada bilangan gelombang 2931,80 cm-1

merupakan vibrasi ulur simetri CH3 dan 2885,51 cm-1

merupakan vibrasi ulur C-H,

menunjukkan keberadaan gugus asetil. Serapan pada bilangan gelombang 1627,92 cm-1

a) b)

Page 89: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

89

menunjukkan pita amida I (ulur C=O), bilangan gelombang 1550,77 cm-1

merupakan serapan

dari amida II (tekuk –NH) dan 1381,03 cm-1

menunjukkan serapan amida III (ulur C-N) juga

menandakan keberadaan gugus asetil. Pada spektra FT-IR kitosan, muncul puncak serapan

pada bilangan gelombang 2924,09 cm-1

mempunyai intensitas lebih lemah daripada 2931,80

cm-1

pada spektra FT-IR kitin, hal ini menunjukkan telah hilangnya sebagian gugus asetil

akibat proses deasetilasi dengan basa kuat konsentrasi tinggi. Adanya serapan pada bilangan

gelombang 1658,78 cm-1

yang merupakan serapan amina primer ditandai dengan munculnya

2 puncak bersebelahan.

Hasil Pembuatan Membran Fotokatalitik Komposit Kitosan-Selulosa Diasetat-TiO2

Larutan kitosan 3% (%b/v) dengan berbagai variasi larutan selulosa diasetat

2%,4%,6%,8% dan 10% (%b/v) direaksikan dengan formamida 8% (%v/v) dalam erlenmeyer

bertutup. Formamida berperan sebagai zat aditif untuk membran. Campuran larutan diaduk

hingga homogen kemudian didiamkan semalam untuk menghilangkan gelembung udara pada

larutan dope membran. Kemudian larutan dope yang bebas gelembung udara diambil 5 mL,

dicetak pada cawan petri lalu dioven hingga kering. Setelah membran kering, cawan petri

dituangi dengan NaOH 4% sebagai koagulan untuk membantu melepaskan membran dari cawan petri.

Membran yang diperoleh lalu dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa-sisa pelarut.

Kemudian membran ditempatkan pada plastik mika dan dikeringkan di udara terbuka. Hal ini

bertujuan untuk meminimalisir mengerutnya membran setelah kering.

Membran yang telah kering lalu diuji sifat mekaniknya dengan alat autograph untuk

mengetahui membran yang mempunyai komposisi selulosa diasetat yang optimum. Pada penelitian ini

diperoleh komposisi selulosa diasetat optimum yaitu 4% dengan stress sebesar 0,02321 kN/mm2.

Setelah diperoleh komposisi selulosa diasetat yang optimum, mengulangi prosedur diatas dengan

menambahkan suspensi TiO2 dalam metanol dengan variasi konsentrasi 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25%,

dan 0,3% ke dalam larutan dope membran. Kemudian dilakukan uji mekanik dan kinerja membran

untuk mengetahui membran yang optimum dalam mengolah limbah zat warna tekstil congo red.

Membran fotokatalitik komposit kitosan-selulosa diasetat-TiO2 hasil sintesis ditunjukkan pada Gambar

3

Gambar 3. Membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2

Hasil Karakterisasi Membran Kitosan-Selulosa diasetat-TiO2

Parameter uji sifat mekanik adalah dari nilai stress. Membran yang memiliki sifat

mekanik tertinggi adalah membran kitosan-selulosa diasetat dengan konsentrasi TiO2 0,3%

Page 90: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

90

yang dapat dilihat dari nilai stress yang tinggi. Semakin banyak komposisi TiO2 maka

semakin tinggi nilai stress karena struktur membran yang semakin rapat sehingga kekuatan

membran meningkat dan gaya yang diberikan pada membran juga semakin besar.

Gambar 4. Perbandingan nilai stress dengan konsentrasi TiO2 pada membran

kitosan-selulosa diasetat-TiO2

Uji kinerja membran meliputi nilai fluks dan rejeksi. Nilai fluks dipengaruhi oleh

komposisi TiO2 dalam membran. Membran dengan komposisi TiO2 0,1%, 0,15% dan 0,2%

mengalami kenaikan fluks karena semakin besar konsentrasi TiO2 yang aktif dalam membran

maka semakin besar pula kemampuan TiO2 dalam mendegradasi congo red menjadi struktur

yang lebih kecil sehingga laju aliran umpan semakin besar. Namun ketika konsentrasi TiO2

0,25% dan 0,3% nilai fluks mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan adanya proses filtrasi

oleh membran. Proses filtrasi ini menyebabkan membran menjadi berwarna merah dan terjadi

penumpukan solut pada pori-pori membran (fouling) sehingga menyebabkan penyempitan

yang menghalangi laju umpan (Baker, 2004).

Gambar 5. Perbandingan nilai fluks (a) dan rejeksi (b) dengan konsentrasi TiO2

pada membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2

Membran yang memiliki nilai rejeksi tertinggi yaitu dengan konsentrasi TiO2 0,3%.

Nilai rejeksi meningkat sebanding dengan meningkatnya konsentrasi TiO2. Semakin tinggi

konsentrasi TiO2 maka semakin rapat ukuran dan distribusi pori yang dihasilkan oleh

membran sehingga kemampuan membran dalam menahan umpan semakin besar.

Membran optimum adalah membran yang memiliki sifat mekanik yang kuat ditandai

dengan nilai stress yang tinggi, kinerja yang baik dilihat dari nilai rejeksi tinggi dan fluks

yang cukup tinggi pula. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka membran

0

0.005

0.01

0.015

0.02

0.025

0 0.1 0.2 0.3 0.4

Stre

ss (

kN/m

m2)

Konsentrasi TiO2 (%)

0

500

1000

1500

0.1 0.15 0.2 0.25 0.3

Flu

ks (

L/m

2 h

ari)

Konsentrasi TiO2 (%)

94

96

98

100

0.1 0.15 0.2 0.25 0.3

Re

jeks

i (%

)

Konsentrasi TiO2 (%)

a) b)

Page 91: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

91

optimum adalah membran dengan komposisi kitosan 3%, selulosa diasetat 4% dan TiO2 0,3%

dimana nilai stress yang diperoleh sebesar 0,02250 kN/mm2, fluks 1061,54 L/m

2 hari dan

rejeksi 99,60%.

Uji SEM pada permukaan membran komposit optimum ditunjukkan pada Gambar 6

Gambar 6. Hasil permukaan SEM membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2

optimum

Dari gambar tersebut diketahui bahwa membran ini memiliki pori dan persebaran porinya

cukup merata. Pada gambar tersebut terlihat butiran-butiran putih TiO2 yang tidak larut

sempurna pada pembuatan larutan dope membran, hal ini dikarenakan TiO2 yang digunakan

dalam bentuk suspensi.

Hasil uji FT-IR membran kitosan-selulosa diasetat (a) dan membran kitosan-selulosa diasetat-

TiO2 (b) ditujukkan pada Gambar 7

Gambar 7. FT-IR membran kitosan-selulosa diasetat (a) dan

membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2 (b)

Dari spektra Gambar 7 dapat dilihat bahwa tidak terdapat banyak perbedaan pita serapan yang

muncul pada membran kitosan-selulosa diasetat dan membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2.

Munculnya pita serapan pada spektra FT-IR membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2 pada

bilangan gelombang 370,33 cm-1

dan 339,47 cm-1

menunjukkan adanya ikatan Ti-N. Oleh

karena itu terjadi ikatan kimia antara TiO2 dengan kitosan pada membran fotokatalitik ini

yang ditandai dengan perubahan gugus fungsi.

Hasil pengaruh variasi waktu kontak antara membran fotokatalitik komposit kitosan-

selulosa diasetat-TiO2 dengan lampu UV terhadap konsentrasi congo red yang tersisa

Hubungan antara waktu penyinaran dengan absorbansi congo red ditunjukkan pada Gambar 8

Page 92: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

92

Gambar 8. Grafik hubungan antara waktu penyinaran dengan absorbansi

congo red

Waktu optimum dalam mendegradasi congo red adalah 180 menit, hal ini dilihat dari

penurunan absorbansi congo red yang paling signifikan. Semakin lama waktu penyinaran

maka absorbansi dari larutan congo red semakin menurun. Menurunnya absorbansi

menandakan konsentrasi congo red sisa juga menurun. Hal ini disebabkan oleh semakin

lamanya waktu kontak antara TiO2 dalam membran dengan sinar UV dalam reaktor sehingga

kemampuan TiO2 semakin aktif dalam mendegradasi congo red.

Hasil Aplikasi Membran Kitosan-Selulosa Diasetat-TiO2 untuk Pengolahan Limbah Zat

Warna Tekstil Congo Red

Pada penelitian ini diperoleh absorbansi limbah tekstil sebesar 1,094 dengan konsentrasi

sebesar 4300 ppm. Selanjutnya, limbah tekstil dikontakkan dengan membran dalam reaktor

fotokatalitik selama 3 jam lalu diukur absorbansinya, sehingga didapat absorbansi sebesar 0,528

dengan konsentrasi sebesar 2036 ppm maka diperoleh % degradasi sebesar 52,65%. Kemudian

dilanjutkan dengan proses dead end yang menghasilkan nilai fluks dan % rejeksi masing-masing

sebesar 715,529 L/m2.hari dan 92,19 %. Nilai rejeksi dan fluks yang dihasilkan dari pengolahan

limbah zat warna tekstil congo red lebih rendah dibandingkan dengan kinerja membran terhadap

sampel congo red murni 100 ppm dengan fluks 1061,540 L/m2.hari dan rejeksi 99,60%. Hal ini

disebabkan oleh terlalu banyaknya komponen yang terkandung dalam limbah tekstil tersebut sehingga

dapat mengganggu kinerja dari membran yang seharusnya spesifik terhadap zat tertentu. Hasil

pengolahan limbah zat warna tekstil congo red ditunjukkan pada gambar 8

Kesimpulan

1. Kinerja dan sifat mekanik membran fotokatalitik komposit kitosan-selulosa diasetat-

TiO2 yang optimum memiliki komposisi kitosan 3%, selulosa diasetat 4% dan TiO2

0,3% dengan fluks 1061,540 L/m2 hari, rejeksi 99,60%, stress 0,02250 kN/mm

2, strain

0,05767, dan modulus young 0,39015 kN/mm2.

2. Efektifitas membran fotokatalitik komposit kitosan-selulosa diasetat-TiO2 untuk

mengolah limbah zat warna tekstil congo red dilihat dari nilai fluks sebesar 715,529

L/m2 hari dan rejeksi 92,19%.

Page 93: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

93

3. Waktu kontak optimum antara membran fotokatalitik komposit kitosan-selulosa

diasetat-TiO2 dengan lampu UV untuk mendegradasi limbah zat warna tekstil congo

red adalah 180 menit.

Daftar Pustaka

Alkan, M., Celikcapa, S., Demirbas, O., and Dogan, M., 2005, Removal of reactive blue 221

and acid blue 62 anionic dyes from aqueous solutions by sepiolite, Dyes Pigments, 65,

251–259

Drioli, Enrico and Giorno, Lidietta, 2009, Membrane Operations Innovative Separations and

Transformations, WILEY-VCH, Republik of Germany

Ernasuryaningtyas, Ike, 2011, Pembuatan dan Karakterisasi Membran Fotokatalitik Kitosan-

TiO2 dengan Penambahan Polietilen Glikol (PEG) untuk Pengolahan Air Sumur,

Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya

Gong, R., Ding, Y., Li, M., Yang, C., Liu, H., Sun, Y., 2005, Utilization of powdered peanut

hull as biosorbent for removal of anionic dyes from aqueous solution, Dyes Pigments,

64, 187–192

Han, R., Ding, D., Xu, Y., Zou, W., Wang, Y., Li, Y., Zou, L., 2008. Use of rice husk for

adsorption of congo red from aqueous solution in column mode Bioresource Technol,

99, 2938–2946

Khor, Eugene, 2001, Chitin: Fulfilling a Biomaterial Promise, (ed) Chitin Handbook,

Singapore

Khor, E., 2002, Chitin: a biomaterial in waiting, Curr Opin Solid State Mater, Vol 6, 3137

Libanori, Rafael, 2008, Effect of TiO2 surface modification in Rhodamine B

Photodegradation, Springer Science+Business Media, 95

Muthukumar, M, Selvakumar, N., 2004, Studies on the effect of inorganic salts on

decoloration of acid dye effluents by ozonation, Dyes Pigments, 62, 221–228

Rao, K.V.S., Srivinas, B., Prasad, A.R., and Subrahmanyam, M., 2000, Chem.Commun, 1553-

1534

Sofiana, Nani Dian, 2011, Pembuatan Membran Fotokatalitik dari Selulosa Diasetat Serat

Daun Nanas (Ananas cemosus) dan TiO2 untuk Mendegradasi Congo Red, Skripsi,

Universitas Airlangga, Surabaya

Velde, K.V. and Kiekens, P., 2004, Structure Analysis and Degree of Substitution of Chitin,

Chitosan and Dibuthyrylchitin by FT-IR spectroscopy and solid state 13C NMR,

Carbohydr. Polym., 58, 409-416

Page 94: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

94

PURIFIKASI PARSIAL DAN KARAKTERISASI ENZIM KITINASE DARI CAIRAN

DIGESTIVE GLAND Achatina fulica

Partial Purificaton And Characterization Chitinase Enzyme From Digestive Gland Fluids

Of Achatina fulica

Dwi Resti Ningrum, Dr. Afaf Baktir, MS, Dr. Purkan, M.Si

Departeman Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

Jl. Mulyorejo, Surabaya

ABSTRACT

The Enzyme from the digestive gland extracts of Achatina fulica is known contain

various types of hydrolase enzymes, one of them is chitinase. Chitinase has many benefit for

various industries, they are including food, medicine and agriculture. The objective of reseach

to perform a partial purification chitinase enzyme of digestive gland extract of Achatina fulica

using acetone. Optimization of the percentage acetone carried out to obtain the highest

specific activity from each fraction. Chitinase specific activity after fractination is compared

to extracts without fractionation. Specific activity of the most collected there in 45-70

fraction. There is an increase of 6.45 times the specific activity of without fractionation. This

fraction has a temperature optimum at 37oC and optimum pH 7.

Keyword : Achatina fulica, chitinase, acetone fractionation, purification enzyme

ABSTRAK

Ekstrak enzim dari digestive gland Achatina fulica diketahui mengandung berbagai

jenis enzim hidrolase, salah satunya kitinase. Kitinase memiliki banyak kegunaan dalam

berbagai bidang industri, diantaranya makanan, medis dan pertanian. Penelitian ini bertujuan

untuk melakukan pemurnian parsial ekstrak enzim kitinase dari digestive gland Achatina

fulica menggunakan aseton. Optimasi prosentase aseton dilakukan untuk mendapatkan fraksi

dengan aktivitas spesifik tertinggi. Aktivitas spesifik kitinase sesudah fraksinasi dibandingkan

Page 95: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

95

dengan ekstrak tanpa fraksinasi. Aktivitas spesifik yang paling banyak terkumpul ada pada

fraksi 45-70. Terdapat peningkatan aktivitas spesifik sebesar 6,45 kali dari ekstrak sebelum

difraksinasi. Fraksi ini memiliki suhu optimum pada 37o C dan pH optimum 7.

Kata kunci: Achatina fulica, kitinase, fraksinasi aseton, pemurnian enzim

PENDAHULUAN

Achatina fulica dianggap sebagai hama yang dapat menurunkan kualitas produk

panen. Meskipun demikian, Achatina fulica dapat dimanfaatkan untuk makanan dan obat

tradisional karena khasiatnya. Namun belum banyak penelitian yang memanfaatkan cairan

kelenjar saluran pencernaan (digestive gland) Achatina fulica. Wheel 1 menyatakan bahwa

ekstrak kelenjar saluran pencernaan (digestive gland) Achatina fulica memiliki campuran

enzim karbohidrase, meliputi enzim kitinase, xilanase, selulase, hemiselulase, amilase,

maltase, dan sukrase. Namun sejauh ini, informasi tentang karakteristik tiap enzim tersebut

masih belum dilaporkan, termasuk karakteristik kitinase.

Kitinase adalah salah satu enzim yang menarik untuk dikaji, karena memilki

kemampuan untuk menghidrolisis kitin menjadi oligomernya yang selama ini dimanfaatkan

dalam berbagai bidang. Senyawa oligomer tersebut banyak dimanfaatkan untuk bidang medis

dan makanan.2 Kitinase menghidrolisis kitin menjadi senyawa oligomer kitin, seperti

karboksimetil kitin, hidroksietil kitin dan etil kitin. Dalam bidang medis, senyawa-senyawa

tersebut dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan benang operasi, yang mempunyai

keunggulan dapat diserap dalam jaringan tubuh, tidak toksik dan dapat disimpan dengan

waktu yang lama. Monomer lain dari kitin yaitu N-asetil-D-glukosamin, dapat dimanfaatkan

dalam bidang farmasi, obat pengontrol kadar gula dalam darah, suplemen, anti inflamasi dan

sebagainya.3

Dalam bidang lingkungan, kitinase dimanfaatkan untuk penanganan limbah yang

mengandung kitin, seperti pabrik pembekuan udang. Apabila limbah udang dibiarkan

mencemari perairan dapat meningkatkan BOD dan COD yang menyebabkan pencemaran

lingkungan yang lebih luas. Kitinase menjadi perhatian besar, terutama karena peranannya

dalam hidrolisis jamur patogen. Enzim kitinase banyak digunakan untuk penendalian hayati.4

Kitinase sering dimanfaatkan sebagai agen biokontrol, terutama tanaman yang terserang

jamur patogen. Jamur memiliki komponen utama penyusun dinding sel, salah satunya adalah

Page 96: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

96

kitin yang dapat dihidrolisis oleh kitinase. Dalam dua dekade terahir banyak dikaji mengenai

enzim kitinase sebagai antifungi. Sebagai contoh, kitinase dari Tricodema banyak digunakan

sebagai antifungi yang efektif terhadap serangan Rhizoctonia solani pada tanaman kapas dan

Fusarium pada tanaman strawberi.5

Kitinase juga berperan dalam lisisnya biofilm jamur patogen Candida albicans.

Biofilm adalah matriks polimer ekstraseluler yang terbentuk dari suatu komunitas mikroba

terstruktur dan memiliki fenotip yang berbeda dari plantonik dan sel bebasnya.6 Dinding sel

Candida albicans mengandung β-1,3-glukan, β-1,6-glukan dan kitin.7 Berdasarkan penelitian

yang sudah dilakukan Kamiliyah 8, crude enzim Achatina fulica memiliki daya hambat yang

lebih tinggi terhadap biofilm Candida albicans jika dibandingkan dengan perlakuan ekstrak

kayu manis dengan yaitu sebesar 22,81%.

Pemurnian dilakukan untuk meningkatkan aktivitas spesifik dari suatu enzim. Aseton

merupakan salah satu pelarut organik yang biasa digunakan dalam pemurnian enzim. Di

samping pelarut organik, pemurnian juga dapat dilakukan dengan fraksinasi dengan amonium

sulfat. Kelebihan fraksinasi aseton disbanding dengan fraksinasi amonium sulfat adalah tidak

perlu adanya perlakuan yang rumit untuk menghilangkan garam yang tersisa. Dalam hal ini,

fraksinasi aseton dilakukan pada suhu -20oC.

9

Enzim industri biasanya digunakan dalam keadaan kemurnian parsial. Enzim kitinase

pada penelitian ini akan dimurnikan secara parsial dari ekstrak enzim Achatina fulica. Enzim

ini akan diuji aktivitasnya dan ditentukan suhu dan pH optimumnya dalam keadaan murni

parsial untuk tujuan aplikasi dalam kondisi kemurnian parsial.

METODE PENELITIAN

Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Achatina fulica, kitin,

akuades, aseton, HCl 10N, NaOH 10N, NaH2PO4, asam sitrat, Na2HPO4.2H2O.

Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat gelas yang biasa

digunakan di laboratorium kimia, pHmeter dan termometer. Sedangkan instrumen yang

digunakan adalah timbangan sentrifuga (Universal 320R Zentrifugen), dan spektrofotometer

UV-VIS (Pharmaspec UV-1700 Shimadzu).

Page 97: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

97

Optimasi fraksinasi aseton ekstrak kasar enzim kitinase

Fraksinasi aseton dilakukan pada kisaran prosentase 40 hingga 80. Fraksinasi pertama,

ekstrak enzim kitinase sebanyak 20 ml ditambahkan 40% aseton, kemudian disentrifugasi,

sehingga didapatkan residu fraksi 0-40% dan supernatan. Fraksinasi ke-dua, supernatan

diambil dan ditambahkan aseton hingga 60%, kemudian disentrifugasi, sehingga didapatkan

residu fraksi 40-60% dan supernatan. Fraksinasi ke-tiga dan ke-empat dilakukan prosedur

seperti fraksinasi ke-satu dan dua.

Setiap endapan yang terbentuk pada masing-masing fraksi selanjutnya dilakukan

pengukuran aktivitas unit dan aktivitas spesifik kitinase

Uji aktivitas enzim kitinase setiap fraksi hasil fraksinasi aseton

Sejumlah 200 μl enzim kitinase ditambah dengan 800 μl substrat kitin (0,25% kolodial kitin

b/v dalam 50 mM bufer fosfat pH 7). Campuran diinkubasi pada suhu 37oC selama 20 menit,

kemudian dilakukan pengukuran aktivitas kitinase. Satu unit aktivitas adalah jumlah enzim yang

menghidrolisis kitin 0,001% (b/v) permenit permili dalam kondisi percobaan. Aktifitas kitinase diukur

berdasarkan pengukuran substrat yang dihidrolisis dari substrat awal oleh enzim kitinase.

Pengukuran aktivitas menggunakan metode turbidimetri yang menggunakan alat spektrofotometer

UV-Vis. OD setiap sampel diukur pada λ 660 nm dan suhu kamar selama 20 menit. OD yang diperoleh

dikonversi menjadi konsentrasi. Adapun perhitungannya adalah,

Sisa koloidal kitin = koloidal kitin awal – sisa koloidal kitin terhidrolisis

Karakterisasi enzim kitinase

Penentuan suhu optimum, enzim dan substrat diinkubasi pada suhu 30oC, 37

oC, 45

oC,

dan 50oC selama 20 menit. Rentang suhu yang digunakan dalam pengukuran suhu optimum

didasarkan pada penelitian dari Yong dkk.10

, bahwa kitinase stabil pada suhu 25-50oC

Untuk penentuan pH optimum yaitu 4, 5, 6, 7 dan 8 selama 30 menit. Rentang pH

yang digunakan dalam pengukuran pH optimum didasarkan pada penelitian dari Yong dkk.10

,

bahwa kitinase stabil pada pH 3-8.

Page 98: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

98

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Kurva Progres

Kurva progres kitinase dibuat dengan tujuan untuk mengetahui waktu inkubasi yang

sesuai untuk uji aktivitas enzim kitinase ekstrak dari dari digestive gland Achatina fulica.

Gambar 4.1 Kurva progres ekstrak kitinase dari digestive gland

Achatina fulica

Kurva progres merupakan kurva perubahan substrat kitin terhadap waktu. Kurva pada

Gambar 4.4 merupakan profil kurva progres dari enzim kitinase. Perubahan substrat terhadap

waktu pada awalnya menunjukkan slope yang tinggi (garis a), kemudian slope menurun

dimulai dari menit ke-22 dan menjadi nol hingga menit ke-60 yang berarti memiliki kecepatan

orde 0. Berdasarkan kurva progres, maka uji aktivitas enzim dilakukan selama 20 menit

karena reaksi enzimatis bekerja secara optimum.

Optimasi Fraksinasi Aseton Ekstrak Enzim Kitinase

Pelarut organik untuk fraksinasi protein dipilih berdasarkan pertimbangan water-

miscibe dan memilki efek presipitasi yang bagus. Pelarut organik yang biasa digunakan

adalah etanol dan aseton.13

Dalam penelitian ini dipilih aseton sebagai pelarut organik untuk

fraksinasi, karena aseton lebih mudah untuk dipisahkan dari protein. Selain itu aseton tidak

memiliki efek azeotrop sepeti etanol. Azeotrop adalah kesetimbangan uap-cair campuran

y = 0.017x + 0.242

R² = 0.991

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

0 20 40 60 80

kad

ar

kit

in t

erh

idro

lisi

s (%

b/v

)

waktu (menit)

a

22

Page 99: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

99

etanol dengan air, sehingga etanol sulit dipisahkan sempurna, atau hanya dapat dipisahkan

melalui destilasi dengan perlakuan tertentu.

Sebanyak 20 ml ekstrak enzim kitinase digestive gland dari Achatina fulica

ditambahkan ke dalam aseton yang sudah bersuhu -20oC diaduk menggunakan pengaduk

magnet selama 8 menit. Volume aseton yang ditambahkan bergantung pada prosentase

fraksinasi yang diinginkan, sesuai dengan tabel fraksinasi Scopes. Suhu harus tetap dijaga

selama proses fraksinasi agar tidak di atas 0oC. Hal tersebut dilakukan dengan cara selama

proses frakasinasi gelas harus tetap berada di dalam penangas es. Adapun dry es digunakan

sebagai penangas es karena dapat menjaga suhu hingga -20oC daripada es batu biasa yang

hanya dapat menjaga suhu hingga 0oC dan tidak stabil.

Kemudian campuran ekstrak dan aseton disentrifugasi pada suhu -10oC selama 20

menit untuk memisahkan endapan dari supernatannya. Sebelum digunakan, alat sentrifuga di-

treatment terlebih dahulu dengan mengeset suhu di dalam alat menjadi -10oC selama 20

menit. Hal tersebut dilakukan agar alat dapat menyesuaikan suhu, sebelum dilakukan proses

sentrifugasi. Karena pengondisian suhu alat butuh waktu cukup lama. Apabila pengondisisan

suhu terjadi pada saat campuran ekstrak enzim dan aseton sudah dimasukkan, maka sudah

dipastikan enzim akan rusak. Endapan dan supernatan kemudian dipisahkan. Pada saat aseton

diaduk bersama dengan enzim, molekul air yang berada di sekitar area hidrofob pada

permukaan enzim didesak oleh aseton, sehingga tetapan dielektrik air menurun. Hal tersebut

menyebabkan muatan-muatan molekul enzim berada mendekati permukaan enzim sehingga

terjadi gaya tarik-menarik elektrostatik muatan yang berlawanan pada permukaan enzim satu

dan yang lain. Tarik-menarik muatan yang berbeda tersebut menyebabkan terjadinya agregasi

molekul-molekul enzim. Molekul-molekul enzim yang mengendap merupakan enzim yang

sudah dimurnikan secara parsial.

Supernatan digunakan untuk fraksinasi selanjutnya. Sedangkan endapan digunakan

untuk uji aktivitas kitinase. Sebelum diuji aktivitasnya, endapan harus benar-benar terbebas

dari aseton yang tersisa. Aseton yang tersisa dihilangkan dengan cara mengangin-anginkan di

suhu ruangan, tetapi masih dalam lingkungan yang steril. Pada permukaan endapan masih

terdapat aseton sisa. Untuk menghilangkannya, diserap dengan kertas saring yang sudah

disterilkan. Penghilangan aseton dimaksudkan untuk meminimalisasi denaturasi enzim pada

permukaan endapan. Endapan yang terbentuk dilarutkan dengan akuades hingga tepat larut.

Page 100: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

100

Uji Aktivitas Enzim Kitinase Aseton Setiap Fraksi Hasil Fraksinasi

Kitinase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis kitin menjadi monomernya

yaitu N-asetilglukosamin. Untuk perhitungan aktivitas kitinase, satu unit aktivitas

didefinisikan sebagai jumlah enzim yang menghidrolisis kitin 0,01% (b/v) per menit per ml

dalam kondisi percobaan.

Metode pengukuran yang digunakan adalah menghitung jumlah susbtrat yang

terhidrolisis berdasarkan substrat sisa. Hasil OD kontrol dikurangi dengan OD kitin yang

tersisa menghasilkan OD yang kemudian dikonversi ke dalam persamaan garis y= 1.422x +

0.060 untuk menghitung kadar kitin.

Jumlah kitin yang terhidrolisis berbanding lurus dengan aktivitas enzim kitinase.

Semakin tinggi aktivitas enzim kitinase, maka semakin banyak jumlah kitin yang terhidrolisis.

Sejumlah 200 μl enzim ditambah 800 μl koloidal kitin, diinkubasi selama 20 menit pada suhu

37oC. Setelah diinkubasi, enzim dipanaskan. Tujuan pemanasan adalah untuk menghentikan

reaksi enzim. Selama proses inkubasi tersebut, terjadi reaksi pengikatan sisi katalitik kitinase

terhadap kitin sehingga kitin terhidrolisis. Uji aktivitas kitinase berhubungan erat dengan

setiap fraksinasi karena dapat memberikan informasi seberapa murni enzim yang dihasilkan.

Ekstrak enzim terlebih dahulu diuji aktivitas spesifiknya. Data ini digunakan untuk

mengetahui peningkatan aktivitas spesifik kitinase sebelum dan sesudah dimurnikan. Untuk

mendapatkan fraksi aseton yang dapat terkumpul sebanyak mungkin aktivitas spesifik

kitinase, dilakukan beberapa percobaan fraksinasi. Percobaan pertama, fraksinasi dilakukan

pada prosentase aseton 0-50 dan 50-70. Dipilih prosentase aseton 0-50 dan 50-70 untuk

N-asetil-β-glukoamidase Kitibiosidase

Endokitinase dan

lisosim

Gambar 4.3 Mekanisme kerja enzim kitinase terhadap

polimer N-asetilglukosamin

Page 101: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

101

fraksinasi karena pada umumnya protein sitoplasma mengendap pada kisaran prosentase

aseton tersebut.

Tabel 4.1 Uji aktivitas kitinase hasil fraksinasi percobaan 1

Aktivitas spesifik banyak terkumpul di fraksi 50-70, yaitu sebesar 6,68. Namun pada

percobaan 1 (Tabel 4.1) aktivitas spesifik kitinase masih menyebar pada fraksi 0-50, yaitu

sebesar 5,37. Dengan harapan aktivitas kitinase dapat dikumpulkan lebih banyak lagi dalam

satu fraksi, Percobaan pertama aktivitas spesifik pada fraksi 0-50 ditarik ke fraksi ke-dua,

yaitu dengan menambahkan aseton hingga fraksi kedua menjadi 40-75 (sesuai dengan tabel

Scopes). Data percobaan fraksinasi pertama digunakan sebagai acuan fraksinasi ke-dua.

Tabel 4.2 Uji aktivitas hasil fraksinasi percobaan 2

Fraksi ∆ OD λ660

Kadar kitin

terhidrolisis

(%b/v)

Aktivitas

(U/ml)

Kadar protein

(mg/ml)

Aktivitas spesifik

(U/mg)

0

0,0989 0,02735 2,47 4,12675x10-1

5,985

0-50 0,0999 0,0281 1,53 2,8485 x10-1

5,37

50-70 0,2079 0,1041 1,17 1,75129x10-1

6,68

Fraksi ∆ OD λ660

Kadar kitin

terhidrolisis

(%b/v)

Aktivitas

(U/ml)

Kadar protein

(mg/ml)

Aktivitas spesifik

(U/mg)

0

0,0989 0,02735 2,47 4,12675x10-1

5,985

0-40 0,0958 0,0252 1,82 2,9435 x10-1

6,1

40-75 0,2558 0,1377 4,13 4,2918 x10-1

9,6

Page 102: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

102

Pada percobaan ke-dua, fraksinasi dimulai pada prosentase aseton 0-40 dan

dilanjutkan prosentase aseton 40-75. Pada percobaan ini diperoleh aktivitas spesifik kitinase

paling banyak berada pada fraksi 40-75, yaitu sebesar 9,6. Namun masih tampak ada

penyebaran aktivitas spesifik pada fraksi lain. Maka perlu dilakukan percobaan selanjutnya

untuk mencari fraksi terbaik yang dapat mengumpulkan aktivitas spesifik kitinase.

Tabel 4.3 Uji aktivitas hasil fraksinasi percobaan 3

Pada percobaan ke-tiga dimulai dari fraksi 0-40, didapatkan aktivitas spesifik, yaitu

sebesar 8,8. Fraksinasi dilanjutkan pada fraksi 40-60, didapatkan aktivitas spesifik, yaitu

sebesar 22. Kemudian, fraksinasi berakhir pada fraksi 60-80, didapatkan aktiitas spesifik,

yaitu sebesar 10. Pada percobaan ini, aktivitas spesifik kitinase terkumpul paling banyak pada

fraksi 40-60. Namun, masih tampak aktivitas spesifik kitinase yang tersebar pada fraksi 0-40

dan 60-80. Maka perlu dilakukan percobaan selanjutnya untuk mencari prosentase aseton

untuk fraksi terbaik yang dapat mengumpulkan aktivitas spesifik kitinase.

Fraksi ∆ OD λ660

Kadar kitin

terhidrolisis

(%b/v)

Aktivitas

(U/ml)

Kadar protein

(mg/ml)

Aktivitas spesifik

(U/mg)

0

0,0989 0,02735 2,47 4,12675x10-1

5,985

0-40 0,2773 0,1528 2,865 3,2642 x10-1

8,8

40-60 0,4872 0,3004 9,39 4,2594 x10-1

22

60-80 0,2926 0,1636 0,818 8,0200 x10-1

10

Page 103: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

103

Tabel 4.4 Uji aktivitas hasil fraksinasi percobaan 4

Percobaan ke-empat dilakukan berdasarkan hasil dari percobaan ke-tiga dengan

menaikkan prosentase aseton untuk fraksi ke-dua pada percobaan ini, yaitu 45-70. Diperoleh

aktivitas spesifik kitinase paling banyak terkumpul pada fraksi 45-70, yaitu sebesar 38,6. Pada

fraksi 70-80 aktivitas spesifik kitinase sangat rendah.. Namun begitu, masih terdapat aktivitas

spesifik yang menyebar di fraksi 0-45.

Pada percobaan ke-empat didapat fraksinasi terbaik, akan tetapi aktivitas spesifik tersebar

pada fraksi lain. Hasil ini diduga pada ekstrak enzim kitinase dari Achatina fulica terdapat

isozim. Isozim adalah enzim yang berbeda dalam sifat fisika, transpot ion dan transpot asam

basa dan sejumlah proses metabolisme.14

Karakterisasi Enzim Kitinase

Suhu optimum

Salah satu faktor yang mempengaruhi enzim, dalam hal ini enzim kitinase, adalah

suhu. Pada penelitian, aktivitas enzim kitinase terhadap pengaruh suhu diamati pada suhu

30oC, 37

oC, 45

oC, dan 50

oC. Suhu mempengaruhi energi yang diperlukan oleh enzim untuk

melakukan reaksi. Peningkatan suhu, akan meningkatan energi kinetik enzim. Jika suhu

rendah, maka enzim tidak memiliki cukup energi untuk melakukan reaksi, sehingga tidak

dapat bekerja secara optimal. Sedangkan jika pada suhu tinggi, enzim akan terdenaturasi.

Pada suhu optimumnya energi yang diperoleh untuk enzim bereaksi dengan optimal tanpa

denaturasi.15

Fraksi ∆ OD λ660

Kadar kitin

terhidrolisis

(%b/v)

Aktivitas

(U/ml)

Kadar protein

(mg/ml)

Aktivitas spesifik

(U/mg)

0

0,0989 0,02735 2,47 4,12675x10-1

5,985

0-45 0,3114 0,1999 1,8785 1,3634 x10-1

13,7

45-70 0,5275 0,3288 9,864 2,6706x10-1

38,6

70-80 0,0970 0,0260 0,09375 1,0407 x10-1

0,9

Page 104: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

104

Gambar 4.3 Suhu optimum fraksi 45-70

Kadar kitin terhidrolisis bertamabah dimulai dari suhu 30 o

C dan 37oC. Kemudian

terjadi penurunan di suhu 45, 50oC.. Hal ini berarti terjadi penurunan aktivitas dari enzim

kitinase. Terjadi penurunan aktivitas karena atom-atom dalam molekul enzim memiliki energi

yang besar untuk bergerak yang disebabkan oleh perubahan bentuk struktur enzim akibat

meningkatnya getaran termal komponen atom-atomnya, sehingga enzim terdenaturasi.16

Diperoleh suhu optimum enzim kitinase hasil pemurnian parsial fraksi 45-70 yaitu

pada suhu 37oC. Pada suhu ini, konformasi enzim dalam keadaan paling sesuai untuk

berikatan dengan substrat, sehingga enzim lebih aktif dalam mengkatalisis reaksi.

pH optimum

Faktor lain yang penting mempengaruhi aktivitas enzim kitinase adalah pH. Setiap

enzim memiliki pH optimum, karena pH berhubungan dengan struktur enzim yang berupa

asam amino. Profil aktivitas pH enzim menunjukkan pH pada saat gugus fungsi yang penting

pada sisi katalitik berada pada tingkat ionisasi yang diinginkan.

-0.02

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0.14

0.16

0.18

20 30 40 50 60

Kad

ar k

itin

te

rhid

rolis

is (

%b

/v)

Suhu

Page 105: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

105

Gambar 4.4 pH optimum enzim kitinase fraksi 45-70

Nilai pH optimum pada fraksi 45-70 adalah pH 7. Sesuai dengan kurva pada Gambar

4.4, jumlah kitin terhidrolisis meningkat dari pH 5 hingga pH7. jumlah kitin terhidrolisis

menurun secara signifikan dari pH7 ke pH 8. Dengan adanya perubahan pH maka akan

mempengaruhi perubahan ionisasi gugus fungsi asam amino enzim ataupun substrat.

Sehingga konformasi enzim dapat berubah dan dapat mengakibatkan penurunan aktivitas

enzim yang disebabkan konformasi enzim tidak sama dengan konformasi substrat.16

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan.

1. Fraksi aseton 45-70 merupakan fraksi optimum dari fraksinasi aseton, yang

memiliki aktivitas spesifik sebesar 38,6.

2. Peningkatan kemurnian enzim kitinase setelah fraksinasi aseton sebesar 6,45 kali

3. Enzim kitinase dalam keadaan murni parsial memiliki pH optimum 7 dan suhu optimum

37 oC.

0.150.160.170.180.19

0.20.210.220.230.24

5 6 7 8 9

Kit

in t

erh

idro

lisis

(%

b/v

)

pH

Page 106: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

106

DAFTAR PUSTAKA

1. Wheel, B.P. Van, 1961, The Comparative Physiologi of Digestion in Molluscs, AM.

Zoologis, Department of Zoology and Entomology, University of Hawaii, USA

2. Flach, J., Pilet, P. E., dan Jolles, P., 1992, What’s New in Chitinase Research?,

(Reviews) Experientia, 48, 701-716

3. Herdyastuti, Nuniek., Raharjo, Tri Joko dan Mudasir, Matsjeh., Sabirin, 2009,

Chitinase and Chitinolytic Microorganism : Isolation, Characterization and

Potential, Indo. J.Chem, 9 (1), 37-47

4. Sahai , A. S. dan M. S. Manocha, 1993, Chitinases of Fungi and Plants : Their

Involvement in Morphogenesis and Host-Parasite Interaction. FEMS Microbiol.,

Rev. 11 : 317 – 338

5. Wang, Y., Kausch, A.P., Chandlee, J.M., Luo, H., dan Ruemmele, B.A., 2003, Plant

Sci., 165, 497-506

6. Douglas, L.J., dan M.A. Al-fattani, 2006, Biofilm Matrix of Candida albicans and

Candida tropicalis: Chemical Composition and Role in Drug Resistance, Journal

of Medical Microbiology, Glasgow

7. Marti´nez, Jose, P. M. Luisa Gil, Jose´ L. Lo´ Pez-Ribot, dan W. Lajean Chaffin3.,

1998, Serologic Response to Cell Wall Mannoproteins and Proteins of Candida

albicans, Clinical Microbiology Reviews, American Society for Microbiology

8. Kamiliyah, Hikmatul, 2011, Peningkatan Daya Antifungi Ekstrak Kayu Manis

(Cinnamomum Burmannii L.) Terhadap Candida albicans dengan Konsorsium

Enzim Siput (Achatina Fulica), Skripsi, Program S-1 Kimia, Universitas Airlangga,

Surabaya

9. Thermo Fisher Scientific, 2009, Pierce Biotechnology, www.thermo.com/pierce, 12

November 2011

10. Yong, Tao et al .2005. Purification and Characterization Extracellular Chitinase

Produced by Bacterium C4. Annals of Microbiology, 55 (3)

11. Yurnaliza, 2002, Senyawa Khitin dan Kajian Aktivitas Enzim Mikrobial

Pendegradasinya. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Program Studi

Biologi Universitas Sumatera Utara

12. Chernin, L., Z. Ismailo, S. Haran dan I. Chet, 1995, Chitinolytic Enterobacter

Agglomerans Antagonistic to Fungal Plant Pathogens. Appl. Environ. Microbiol.,

61 :1720 – 1726

Page 107: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

107

13. Scopes, R. K. 1994. Protein Purification, Principles and Practice, Third edition,

Springer-Verlag, New York.

14. A.J. Esbaugh , B.L. Tufts, 2006, The Structure And Function of Carbonic

Anhydrase Isozymes In The Respiratory System Of Vertebrate,Respiratory,

Physiology & Neurobiology, 154, 185–198

15. Champe, P.C and Ricard, A. Harvey, 1994, Biochemistry, Second edition, Lippicott

Company, Piladelphia

16. Lehninger, Albert, 1998, Dasar-dasar biokimia, jilid 1, Airlangga, Jakarta

Page 108: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

108

PEMANFAATAN ABU LAYANG BATUBARA (FLY ASH) TERAKTIVASI SEBAGAI ADSORBEN ION LOGAM

Pb2+

Farradina Choria Suci*+, Handoko Darmokoesoemo*, dan Aning Purwaningsih*++

*Departeman Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

Jl. Mulyorejo, Surabaya

+e-mail : [email protected] atau [email protected]

++e-mail : [email protected]

ABSTRACT

This research has been conducted on the utilization of coal fly ash activated as Pb2+ metal

ion adsorbent. The purpose of this study was to determine the ability of NaOH activated coal fly ash,

to determine the adsorption equation models, and determine the adsorption capacity of activated

coal fly ash in a solution of ions Pb2+. The analysis of the type of adsorption, adsorption kinetics, and

thermodynamics are used to characterize the adsorption of Pb2+ metal ions on fly ash. In the

adsorption process, activated coal fly ash using 3M NaOH, is able to reduce the degree of crystallinity

SiO2 so that it increase the adsorption capacity of coal fly ash. Adsorption capacity of activated fly ash

increased compared to prior activation from 73.5860% to 94.5931%. The results obtained indicate

that the optimum contact time occurred is on 75th minute and the optimum concentration is 600

ppm. This type of metal ion adsorption of Pb2+ solution by coal fly ash is the adsorption of Langmuir

isotherm. The kinetics of the reaction order corresponding to two order reaction with a value of k at

2x10-5 L.mg-1.min-1. Process adsorption of Pb2+ metal ions by activated fly ash having an exothermic

reaction with the value of ΔHads of -1.6098 kJ.mol-1. The adsorption is classified to physical

adsorption since the enthalpy of adsorption rates (ΔHads) is less than the 20.92 kJ.mol-1. Free energy

of adsorption (ΔGads) is increasing with the increase of temperature. While energy entropy of

adsorption (ΔSads) is negative and decreasing with an increase of temperature.

Keywords : activation of fly ash, adsorption, adsorption kinetics

Page 109: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

109

ABSTRAK

Pada penelitian ini telah dilakukan pemanfaatan abu layang batubara (fly ash) teraktivasi

sebagai adsorben ion logam Pb2+. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan

NaOH dalam mengaktivasi abu layang batubara, menentukan model persamaan adsorpsi, serta

menentukan kapasitas adsorpsi abu layang batubara teraktivasi dalam mengadsorpsi larutan ion

logam Pb2+. Adapun analisa jenis adsorpsi, kinetika adsorpsi, dan termodinamika adsorpsi digunakan

untuk mengkarakteristik adsorpsi ion logam Pb2+ pada abu layang. Dalam proses adsorpsinya, abu

layang batubara diaktivasi dengan menggunakan NaOH 3M, adanya penambahan NaOH ini mampu

menurunkan derajat kristalinitas SiO2 dan meningkatkan kemampuan adsorpsi abu layang batubara.

Kemampuan adsorpsi abu layang teraktivasi terjadi peningkatan dibanding sebelum aktivasi yaitu

73,5860% menjadi 94,5931%. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa waktu kontak optimum

terjadi pada menit ke-75 dan konsentrasi optimum sebesar 600 ppm. Jenis adsorpsi larutan ion

logam Pb2+ oleh abu layang batubara adalah adsorpsi isoterm Langmuir. Kinetika yang sesuai yakni

orde reaksi dua, dengan harga k sebesar 2x10-5 L.mg-1.menit-1. Proses adsorpsi antara larutan ion

logam Pb2+ oleh abu layang teraktivasi mengalami reaksi eksoterm dengan harga ∆Hads sebesar -

1,6098 kJ.mol-1. Adsorpsi ini tergolong adsorpsi fisika dengan adanya harga entalpi adsorpsi (∆Hads)

yang kurang dari 20,92 kJ.mol-1. Harga energi bebas adsorpsi (∆Gads) bernilai semakin besar dengan

meningkatnya temperatur. Sedangkan harga energi entropi adsorpsi (∆Sads) bernilai negatif dan

semakin kecil dengan adanya peningkatan temperatur

Kata kunci : aktivasi abu layang, adsorpsi, kinetika adsorpsi

PENDAHULUAN

Persediaan bahan bakar minyak dunia semakin lama semakin menipis, sehingga diperlukan

suatu upaya untuk mencari energi alternatif pengganti bahan bakar minyak. Batubara merupakan

salah satu sumber energi alternatif yang dinilai ekonomis dan melimpah dibandingkan minyak bumi.

Disamping potensinya sebagai sumber energi alternatif, pemanfaatan batubara ini mampu

menimbulkan masalah baru terhadap lingkungan sekitar. Sebagai akibat dari pembakaran batubara,

antara lain pada PLTU menghasilkan residu berupa gas dan padatan. Residu berupa gas antara lain

seperti CO2, NOX, CO, dan SO2. Sedangkan residu padatan yakni berupa abu bawah (bottom ash) dan

abu layang (fly ash), dimana kandungan abu layang sekitar 80% yang akan keluar melalui cerobong

asap dan abu bawah sekitar 20% yang terkumpul di dasar tungku (Sukandarrumidi, 2009).

Page 110: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

110

Salah satu kendala pemanfaatan secara luas dari limbah abu layang ini dikarenakan

kandungan dan sifat-sifat kimia dari limbah tersebut. Besarnya kandungan oksida logam dalam abu

layang, seperti SiO2, Al2O3, dan oksida lainnya, menjadikan limbah ini relatif kurang reaktif terhadap

beberapa reagen kimia, sehingga usaha-usaha pemanfaatan limbah ini hanya terbatas pada bidang-

bidang tertentu. Lapisan permukaan partikel abu layang yang tidak termodifikasi berbentuk glassy,

sangat rapat dan stabil. Lapisan ini melindungi susunan ruang di dalamnya yang berpori dan amorf,

oleh karenanya mempunyai aktifitas yang tinggi. Rantai glassy silika-alumina tersebut mengandung Si

dan Al yang tinggi. Rantai ini harus dihancurkan untuk meningkatkan aktifitas kimia (Irani, 2009).

Di sisi lain sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, kebutuhan air

untuk berbagai keperluan semakin meningkat. Pemenuhan kebutuhan air bersih saat ini sudah

menjadi masalah yang cukup serius. Hal ini diperburuk dengan meningkatnya limbah industri

yang dibuang ke lingkungan. Limbah yang berbahaya dan memiliki daya racun tinggi

umumnya berasal dari buangan industri, termasuk industri kimia dan industri pelapisan

logam. Salah satu diantaranya adalah limbah logam berat, diantara unsur logam berat non-

esensial yang tersebar luas dan memiliki tingkat racun sedikit lebih tinggi adalah timbal (Pb)

atau timah hitam.

Berbagai upaya dalam mengatasi limbah logam berat telah dilakukan, antara lain dengan

metode presipitasi menggunakan bahan kimia, sistem membran, ekstraksi menggunakan pelarut

tertentu, dan adsorpsi. Metode adsorpsi yang telah dilakukan oleh Polowczyk dkk. (2010), telah

mencoba memanfaatkan limbah abu layang sebagai adsorben ion logam arsen melalui aktivasi

oksida-oksida logam dalam abu layang, yang dilakukan melalui hidrasi oksida logam tersebut dalam

air selama 168 jam. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa ion logam arsen mampu

teradsorpsi dalam abu layang sebesar 5,4 mg.g-1 adsorben, dimana konsentrasi adsorbat sebesar 0,1

g.mL-1 yang diencerkan dari larutan standar As(III) 1000 mg.L-1. Selain itu Fahmi dkk.(2009), telah

menunjukkan peningkatan gugus ikatan –OH dan –ONa pada geopolimer berbahan dasar abu

layang dengan penambahan NaOH. Dimana pemberian alkali hidroksida pada abu layang menjadikan

terbentuknya spesi –OH pada oksida-oksida logam, bahkan pada konsentrasi tinggi atom hidrogen

dari spesi-spesi–OH tersebut ter-exchange dengan atom alkali. Hal ini memungkinkan spesi-spesi

aktif tersebut untuk mengikat ion-ion logam yang lebih besar seperti ion logam timbal.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat dilakukan upaya untuk memanfaatkan

limbah abu layang batubara yang diaktivasi dengan larutan NaOH sebagai adsorben ion logam timbal

(Pb). Penggunaan abu layang sebagai adsorben logam berat diharapkan selain dapat mengatasi

masalah pencemaran lingkungan akibat penimbunan limbah abu layang, juga dapat menangani

masalah pencemaran akibat adanya logam berat.

Page 111: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

111

METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini bahan yang digunakan antara lain aqua demineralisasi, NaOH p.a, HNO3

1%, Pb(NO3)2, dan abu layang batubara yang diperoleh dari power plant PT. Wilmar Nabati Indonesia

yang terletak di Kec.Kebomas, Gresik. Alat yang digunakan antara lain gelas beker, erlenmeyer, labu

ukur, gelas ukur, pipet volum, pipet skala, ball pipet, pengaduk, tabung reaksi, cawan porselen,

ayakan, kertas saring whatman ukuran 42, pengaduk magnetik, corong buchner, neraca analitik,

hotplate, oven, shaker, sentrifuge, dan termometer

Tahap awal yang dilakukan yakni dengan mempersiapkan dan mengkarakterisasi abu layang

batubara, dengan cara dipanaskan pada temperatur 105°C dalam oven selama 12 jam untuk

menghilangkan kandungan air di dalamnya. Selanjutnya abu layang diayak dengan ayakan berukuran

200 mesh. Kemudian dikarakterisasi dengan menggunakan XRF untuk mengetahui komposisi

kimianya dan SEM untuk mengetahui morfologi abu layang batubara.

Tahap kedua yakni dengan aktivasi abu layang batubara dimana 31,25 gram abu layang

dicampurkan dengan 250 mL larutan NaOH 3M. Campuran tersebut kemudian dipanaskan dan

diaduk dengan pengaduk magnet pada temperatur 85-90°C selama 5 jam. Hasil perlakuan tersebut

disaring dengan kertas whatman ukuran 42 menggunakan corong buchner. Residu yang dihasilkan

dikeringkan dalam oven pada temperatur 105oC selama 12 jam (Irani, 2009). Setelah kering, abu

layang yang telah diaktivasi dihaluskan dan diayak dengan ayakan berukuran 200 mesh untuk

menghomogenkan ukuran partikel. Abu layang yang telah teraktivasi dengan NaOH tersebut, diamati

perubahan fasanya dengan XRF dan perubahan morfologinya dengan SEM. Hasil analisa kemudian

dibandingkan dengan abu layang sebelum diaktivasi oleh NaOH.

Tahap ketiga yakni menentukan kurva standar ion logam Pb2+ menggunakan konsentrasi

larutan ion logam Pb2+ sebesar 1,2,4,6, dan 8 ppm. Larutan diukur absorbansinya dengan

menggunakan instrumen AAS pada panjang gelombang 217,03 nm. Dari kurva didapatkan persamaan

regresi linier y = bx + a.

Tahap ke empat yakni adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang batubara teraktivasi,

dimana 2 gram abu layang teraktivasi dicampurkan dengan 100 mL larutan adsorbat Pb2+ 200 ppm.

Campuran tersebut diaduk menggunakan shaker selama 5 menit dengan laju 150 rpm. Kemudian

larutan didiamkan dan dilakukan pengambilan larutan adsorbat Pb2+ pada variasi waktu kontak 15,

30, 45, 60, 75, 90, 105, 120, 135, dan 150. Selanjutnya, larutan dipindahkan dalam tabung sentrifuge

dan dipusingkan sehingga diperoleh larutan yang jernih. Larutan yang diperoleh selanjutnya diukur

menggunakan instrumen AAS pada panjang gelombang 217,03 nm. Perlakuan yang sama dilakukan

juga untuk larutan adsorbat Pb2+ dengan variasi konsentrasi 300, 400, 500, 600, 700, dan 800 ppm.

Data yang diperoleh, ditentukan waktu kontak optimum dan konsentrasi optimum

Page 112: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

112

Setelah mendapatkan waktu optimum dan konsentrasi optimum, kemudian ditentukan

jenis adsorpsi dengan menggunakan data konsentrsi akhir waktu optimum pada berbagai

konsentrasi. Adapun penentuan kinetika adsorpsi menggunakan data konsentrasi optimum terhadap

variasi waktu kontak adsorbat dengan adsorben. Penentuan termodinamika adsorpsi larutan ion

logam Pb2+ menggunakan data waktu kontak optimum dan konsentrasi optimum dengan

menggunakan variasi temperatur, sebesar 30°C, 40°C, 50°C, 60°C, dan 70°C. Dari hasil absorbansi

yang diperoleh, selanjutnya dapat dihitung nilai Kads dengan membagi antara (x/m)/Ceq. Kemudian

dibuat grafik hubungan antara ln Kads terhadap 1/T, sehingga dapat diketahui harga entalpi adsorpsi

(∆Hads), energi bebas adsorpsi (∆Gads), dan entropi adsorpsi (∆Sads).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persiapan dan Karkterisasi Abu Layang Batubara

Pada tahap persiapan, abu layang yang telah diperoleh di oven untuk menghilangkan

kandungan air dalam abu layang (Irani, 2009). Selanjutnya abu layang diayak untuk mendapatkan

ukuran partikel yang lebih kecil dan homogen. Ukuran partikel abu layang yang lebih kecil dapat

memperbesar luas permukaan abu layang, sehingga semakin banyak abu yang dapat bereaksi dengan

aktivator (NaOH). Komposisi kimia abu layang PT.Wilmar Nabati Indonesia sebelum aktivasi terdapat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia abu layang PT. Wilmar Nabati Indonesia sebelum aktivasi

Komponen Kadar (% b/b)

Komponen Kadar (% b/b)

Al 4,3 Ni 0,20

Si 10,6 Cu 0,089

S 2,6 Zn 0,09

K 1,7 Sr 0,95

Ca 29,7 Mo 4,5

Ti 1,0 In 1,0

V 0,06 Ba 0,63

Cr 0,11 Eu 0,3

Mn 0,47 Re 0,3

Fe 41,1 Hg 0,2

Berdasarkan American Nasional Standards yang diterbitkan oleh the American

Society for Testing and Materials (ASTM) C 618, maka abu layang PT. Wilmar Nabati

Indonesia tergolong tipe C. Hal ini sesuai dengan Sukandarrumidi (2009), yang menjelaskan

bahwa abu layang tipe C mengandung CaO lebih dari 10% dengan total senyawa SiO2, Al2O3,

dan Fe2O3 kurang dari 70%. Abu layang tipe C dihasilkan dari pembakaran batubara lignite

dan subbituminous.

Page 113: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

113

Gambar 1.Morfologi abu layang batubara sebelum aktivasi (perbesaran 20.000 kali)

Berdasarkan gambar 1 diketahui bahwa abu layang memiliki permukaan yang terlihat halus

dan berbentuk bulatan. Partikel berbentuk bulatan menujukkan adanya kandungan aluminosilikat (Si-

Al) dalam abu layang.

Proses Aktivasi Abu Layang Batubara

Pada penelitian ini, aktivasi abu layang batubara dilakukan dengan aktivasi secara kimia,

dimana digunakan larutan basa kuat seperti NaOH. Penambahan larutan NaOH yang bersifat basa

kuat ini, dapat mengubah komposisi abu layang dengan cara merusak lapisan luar abu layang

batubara. Dengan rusaknya lapisan luar abu layang, maka gugus-gugus aktif yang ada didalamnya,

seperti silika dan alumina, keluar ke permukaan abu layang. Silika dan alumina ini bereaksi dengan

larutan NaOH yang akan membentuk produk garam silikat dan aluminat. Garam yang terbentuk ini

mempunyai sifat mudah larut. Dengan melarutnya garam-garam tersebut dalam air, maka akan

menyebabkan jumlah kelarutan Si dan Al semakin tinggi, sehingga dapat menurunkan derajat

kristalinitas silika oksida (SiO2) yang ada dalam abu layang. Berkurangnya derajat kristalinitas SiO2

ternyata mampu menurunkan kadar Pb dalam sampel limbah lebih banyak (Indrawati, 2008). Hal ini

dikarenakan silika telah bereaksi dan larut dalam NaOH, yang membentuk fasa amorf. Dalam hal ini,

abu layang dengan fase amorf, lebih efektif sebagai adsorben. Sementara itu menurut Mahatmanti

(2010), perlakuan dengan NaOH dapat menurunkan derajat kristalinitas dan meningkatkan kapasitas

adsorpsi hingga hampir 100%.

Page 114: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

114

Tabel 2. Komposisi kimia abu layang PT. Wilmar Nabati Indonesia sesudah aktivasi

Komponen Kadar (% b/b)

Komponen Kadar (% b/b)

Al 4,4 Fe 47,3

Si 9,72 Ni 0,30

P 0,2 Cu 0,14

K 1,1 Zn 0,05

Ca 27,6 Sr 1,2

Ti 1,0 Mo 4,5

V 0,06 Ba 0,75

Cr 0,15 Eu 0,4

Mn 0,52 Re 0,61

Berdasarkan tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa komposisi kimia abu layang

mengalami perubahan sesudah dilakukan aktivasi. Tabel 2 menunjukkan bahwa komposisi

SiO2 dan Al2O3 hasil aktivasi pada abu layang semakin menurun, meskipun tidak signifikan

untuk Al. Penurunan kandungan SiO2 dan Al2O3 sebelum dan sesudah aktivasi disebabkan

oleh sebagian Si terlarut hilang ketika proses aktivasi berlangsung. Adapun SiO2 dan Al2O3

dari abu layang tidak semua dapat larut sempurna dalam larutan alkali, hanya Si dan Al

berfasa amorf yang lebih mudah larut dalam larutan alkali.

Selain penurunan kandungan SiO2 dan Al2O3, yang menjadi perhatian adalah

kandungan Fe2O3 yang semakin meningkat. Hal ini dikarenakan, Fe bereaksi dengan OH-

dalam larutan basa alkali membentuk endapan Fe(OH)3.

Morfologi abu layang batubara sesudah aktivasi terdapat pada Gambar 2.

(a) (b)

Gambar 2.(a) Morfologi abu layang batubara sesudah aktivasi (perbesaran 20.000 kali) dan (b)

Morfologi abu layang batubara sesudah aktivasi (perbesaran 2.000 kali)

Gambar 2 (a) menunjukkan morfologi yang tampak lebih kasar dan pecah-pecah.

Gambar 2 (b), teramati keretakan yang terjadi pada abu layang. Selain itu tampak bahwa abu

layang dikelilingi oleh kristal, walaupun tidak dilakukan analisis khusus untuk kristal pada

Page 115: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

115

penelitian ini, namun kemungkinan besar kristal ini adalah zeolite. Kristal tersebut mampu

meningkatkan kapasitas adsorpsi,sebab mengandung silika dan alumina (Irani, 2009).

Penentuan Kurva Standar Larutan Ion Logam Pb2+

Penentuan kurva standar ion logam Pb2+ dilakukan dengan cara mengukur absorbansi

larutan standar ion logam Pb2+ pada konsentrasi 1, 2, 4, 6, dan 8 ppm, dengan menggunakan AAS.

Gambar 3. Kurva standar larutan ion logam Pb2+

Adsorpsi Larutan Ion Logam Pb2+ oleh Abu Layang Batubara Teraktivasi

Penentuan waktu kontak optimum adsorpsi larutan ion logam Pb2+

Penentuan waktu kontak optimum adsorpsi larutan ion logam Pb2+ dilakukan dengan

mereaksikan larutan ion logam Pb2+ dengan tujuh variasi konsentrasi yakni 200, 300, 400, 500, 600,

700, dan 800 ppm terhadap abu layang teraktivasi, serta dilakukan pengambilan adsorbat pada

variasi waktu kontak. Adapun grafik hubungan antara kapasitas adsorpsi

larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang teraktivasi (x/m) terhadap waktu kontak (t), ditunjukkan pada

Gambar 4 berikut.

(a) (b)

y = 0,013335x - 0.0039860

R² = 0.9994

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0 2 4 6 8 10

Ab

sorb

an

si (

A)

Konsentrasi larutan ion logam Pb2+ (ppm)

9.4000

9.5000

9.6000

9.7000

9.8000

9.9000

10.0000

0 50 100 150

x/m

(mg

.g-1

)

Waktu Kontak (menit)

200 ppm

14.2000

14.3000

14.4000

14.5000

14.6000

14.7000

0 50 100 150

x/m

(mg

.g-1

)

Waktu Kontak (menit)

300 ppm

Page 116: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

116

(c) (d)

(e) (f)

(g)

Gambar 4.Grafik hubungan antara kapasitas adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang

teraktivasi (x/m) terhadap waktu kontak (t); dimana (a) konsentrasi 200 ppm; (b)

konsentrasi 300 ppm; (c) konsentrasi 400 ppm; (d) konsentrasi 500 ppm; (e) konsentrasi

600 ppm; (f) konsentrasi 700 ppm; dan (g) konsentrasi 800 ppm

18.2000

18.3000

18.4000

18.5000

18.6000

18.7000

18.8000

0 50 100 150

x/m

(mg

.g-1

)

Waktu Kontak (menit)

400 ppm

19.5000

20.0000

20.5000

21.0000

21.5000

0 50 100 150

x/m

(mg

.g-1

)

Waktu Kontak (menit)

500 ppm

21.0000

21.5000

22.0000

22.5000

23.0000

0 50 100 150

x/m

(mg

.g-1

)

Waktu Kontak (menit)

600 ppm

22.2000

22.4000

22.6000

22.8000

23.0000

23.2000

0 50 100 150

x/m

(mg

.g-1

)

Waktu Kontak (menit)

700 ppm

22.0000

22.2000

22.4000

22.6000

22.8000

23.0000

0 50 100 150

x/m

(mg

.g-1

)

Waktu Kontak (menit)

800 ppm

Page 117: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

117

Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa pada waktu kontak 15 sampai 75

menit terjadi kenaikan adsorpsi yang cukup besar. Waktu kontak optimum larutan ion

logam Pb2+ terjadi pada waktu 75 menit, dimana pada waktu tersebut terjadi

penyerapan larutan ion logam Pb2+ paling banyak. Sedangkan pada waktu diatas 75

menit mulai terjadi penjenuhan, dimana kemampuan adsorben mulai menurun.

Semakin jenuh abu layang untuk menyerap adsorbat, maka proses desorpsi sangat

dimungkinkan untuk terjadi, akibatnya adsorbat yang sudah teradsorp oleh adsorben

mampu untuk terlepas kembali.

Penentuan konsentrasi optimum adsorpsi larutan ion logam Pb2+

Penentuan konsentrasi optimum dilakukan dengan cara mereaksikan abu

layang teraktivasi dengan larutan ion logam Pb2+ pada variasi konsentrasi 200, 300, 400,

500, 600, 700, dan 800 ppm. Larutan adsorbat sisa diambil pada waktu kontak optimum

yaitu 75 menit, dan ditentukan absorbansinya dengan AAS.

Gambar 5. Grafik hubungan antara kapasitas adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu

layang teraktivasi terhadap konsentrasi larutan ion logam Pb2+

Berdasarkan grafik optimasi konsentrasi larutan ion logam Pb2+ diketahui

bahwa pada konsentrasi 200 ppm hingga 600 ppm terjadi kenaikan adsorpsi.

Konsentrasi larutan ion logam Pb2+ optimum terjadi pada konsentrasi 600 ppm dengan

kapasitas adsorpsi sebesar 22,4196 mg.g-1. Sedangkan pada konsentrasi di atas 600 ppm,

praktis kapasitas adsorpsinya tetap. Hal ini dikarenakan gugus aktif pada permukaan

adsorben telah jenuh oleh larutan ion logam Pb2+, sehingga terdapat larutan ion logam

Pb2+ yang tidak bisa terserap oleh abu layang batubara.

Penentuan perbandingan kapasitas adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang

sebelum dan sesudah aktivasi

Perbandingan kapasitas adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang

sebelum dan sesudah aktivasi ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Data perbandingan kapasitas adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu

layang sebelum dan sesudah aktivasi

Jenis Waktu Kons. Ceq x/m Efisiensi

8.0000

10.0000

12.0000

14.0000

16.0000

18.0000

20.0000

22.0000

24.0000

200 400 600 800

x/m

(mg

.g-1

)

Konsentrasi (ppm)

Page 118: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

118

Abu Kontak

(menit)

Awal

(ppm)

(ppm) (mg.g-1) Penghilangan

(%)

Sebelum

aktivasi 75 300

66,9561 11,7602 77,8408

Sesudah

aktivasi 9,6633 14,6248 96,8019

Penentuan adsorpsi isoterm larutan ion logam Pb2+

Penentuan adsorpsi isoterm dilakukan dengan membuat grafik persamaan

adsorpsi isoterm Langmuir dan adsorpsi isoterm Freundlich. Data yang digunakan untuk

menentukan adsorpsi isoterm Langmuir ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Adsorpsi isoterm

Kons.

Awal

(ppm)

Ceq (ppm)

x/m

(mg.g-1)

Ceq /(x/m)

(g.L-1)

Log Ceq

(ppm)

Log x/m

(mg.g-1)

200 2,9311 9,9361 0,2950 0,4670 0,9972

300 9,6633 14,6248 0,6607 0,9851 1,1651

400 28,9359 18,6829 1,5488 1,4614 1,2714

500 82,4372 20,9573 3,9336 1,9161 1,3213

600 153,6783 22,4196 6,8546 2,1866 1,3506

700 244,4169 22,8695 10,6875 2,3881 1,3593

800 348,6539 22,6742 15,3767 2,5424 1,3555

Page 119: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

119

Pada persamaan adsorpsi isoterm Langmuir ditentukan dengan membuat

grafik hubungan Ceq /(x/m) terhadap Ceq (Gambar 6 a). Sedangkan untuk adsorpsi

isoterm Freundlich ditentukan dengan membuat grafik hubungan antara Log (x/m)

terhadap Log Ceq (Gambar 6 b).

(a) (b)

Gambar 6. (a) Grafik adsorpsi isoterm Langmuir dan gambar (b) Grafik adsorpsi

isoterm Freundlich

Dengan melihat harga koefisien determinasi (R2), maka dapat disimpulkan

bahwa jenis adsorpsi yang sesuai untuk adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang

mendekati persamaan adsorpsi isoterm Langmuir, dengan R = 0.9998.

Dari grafik adsorpsi isoterm Langmuir diperoleh persamaan sebagai berikut, y =

0,0432x + 0,249. Dengan memasukkan persamaan regresi tersebut ke dalam persamaan

adsorpsi isoterm Langmuir, yakni :

𝐶𝑒𝑞

(𝑥 𝑚) =

1

𝑎 .𝑏+

1

𝑏. 𝐶𝑒𝑞 (1)

maka dapat diketahui harga konstanta adsorpsi (a) sebesar 0,1735 dan konstanta

empiris (b) sebesar 23,1481. Adsorpsi isoterm Langmuir ini menunjukkan bahwa

adsorben abu layang batubara memiliki permukaan yang homogen dan hanya dapat

mengadsorpsi molekul larutan ion logam Pb2+ pada tempat tertentu, sehingga lapisan

teradsorpsi hanya dapat membentuk satu lapisan, sedangkan jumlah molekul yang

maksimal dapat diadsorpsi tidak dapat lebih dari jumlah tempat yang tersedia.Adsorpsi

ini valid untuk adsorpsi lapisan tunggal pada permukaan dengan jumlah terbatas pada

tempat yang sama (Lando dan Maron, 1974).

y = 0.043x + 0.249

R² = 0.999

0.0000

2.0000

4.0000

6.0000

8.0000

10.0000

12.0000

14.0000

16.0000

-50 50 150 250 350

Ceq

/ (x

/m)

Ceq

y = 0.167x + 0.974

R² = 0.913

0.9000

1.0000

1.1000

1.2000

1.3000

1.4000

1.5000

0.5 0.8 1.1 1.4 1.7 2.0 2.3 2.6

Lo

g (

x/m

)

Log Ceq

Page 120: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

120

Penentuan kinetika adsorpsi larutan ion logam Pb2+

Penentuan kinetika adsorpsi dapat ditentukan dengan menggunakan

persamaan di bawah ini :

1

A n−1 = n − 1 akt +1

A on−1 (2)

Perhitungan orde reaksi 0, 1/2, 1, 3/2, dan 2, dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan diatas, namun hal ini tidak berlaku untuk orde reaksi (n) = 1.

Tabel 5. Data penentuan orde reaksi

Kons.

Awal

(ppm)

Waktu

(menit)

Kons Sisa

(ppm)

[A]

(ppm)

√[A]

(ppm1/2)

Ln [A]

(ppm)

1/√[A]

(ppm-1/2)

1/[A]

(ppm-1)

600 15 177,6753 177,6753 13,3295 5,1800 0,0750 0,0056

600 30 170,9261 170,9261 13,0739 5,1412 0,0765 0,0059

600 45 163,8020 163,8020 12,7985 5,0987 0,0781 0,0061

600 60 157,4278 157,4278 12,5470 5,0590 0,0797 0,0064

600 75 153,6783 153,6783 12,3967 5,0349 0,0807 0,0065

y = -0.409x + 183.1

R² = 0.989

150.0000

155.0000

160.0000

165.0000

170.0000

175.0000

180.0000

0 15 30 45 60 75

[A]

(pp

m)

Waktu Kontak (menit)

y = -0.015x + 13.54

R² = 0.990

12.2000

12.4000

12.6000

12.8000

13.0000

13.2000

13.4000

0 15 30 45 60 75

√[A

] (p

pm

1/2

)

Waktu Kontak (menit)

Page 121: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

121

(a) (b)

(c) (d)

(e)

Gambar 7. (a) Grafik orde reaksi 0 pada ion logam Pb2+; (b) Grafik orde reaksi 1/2 pada

ion logam Pb2+; (c) Grafik orde reaksi 1 pada ion logam Pb2+; (d) Grafik orde

reaksi 3/2 pada ion logam Pb2+; dan (e) Grafik orde reaksi 2 pada ion logam

Pb2+

Berdasarkan hasil analisa grafik diatas, dapat disimpulkan bahwa orde reaksi

yang sesuai untuk adsorpsi larutan ion logam Pb2+ pada abu layang teraktivasi, adalah

orde reaksi dua. Hal ini dikarenakan harga koefisien determinasi (R2) yang paling besar

dan mendekati 1 yakni 0,9941.

y = -0.002x + 5.214

R² = 0.992

5.0200

5.0400

5.0600

5.0800

5.1000

5.1200

5.1400

5.1600

5.1800

5.2000

0 15 30 45 60 75L

n [

A]

(pp

m)

Waktu Kontak (menit)

y = 1E-04x + 0.073

R² = 0.993

0.0740

0.0750

0.0760

0.0770

0.0780

0.0790

0.0800

0.0810

0.0820

0 15 30 45 60 75

1/√

[A]

(pp

m-1

/2)

Waktu Kontak (menit)

y = 2E-05x + 0.005

R² = 0.994

0.0054

0.0056

0.0058

0.0060

0.0062

0.0064

0.0066

0 15 30 45 60 75

1/[

A]

(pp

m-1

)

Waktu Kontak (menit)

Page 122: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

122

Pada gambar 7 didapatkan persamaan regresi y = 0,00002x + 0,0054. Dengan

menggunakan persamaan kinetika orde dua yakni :

1

[𝐴]= a. k. t +

1

[A]0 (3)

maka dapat diketahui tetapan laju reaksi adsorpsi ion logam Pb2+ oleh abu layang

teraktivasi (k) sebesar 0,00002 L.mg-1.menit-1.

Penentuan termodinamika adsorpsi larutan ion logam Pb2+

Penentuan entalpi adsorpsi (∆Hads), ditentukan dengan grafik hubungan antara

Ln Kads terhadap 1/T. Data penentuan ΔHads tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Data penentuan entalpi adsorpsi (ΔHads)

Suhu (K)

Konsentrasi awal (ppm)

Konsentrasi sisa (ppm)

x/m (mg.g

-1)

Kads (gr.L

-1)

Ln Kads (gr.L

-1)

1/T (K

-1)

303 600 156,6779 22,2696 0,1421 -1,9510 0,0033

313 600 157,8028 22,2133 0,1408 -1,9607 0,0032

323 600 159,3026 22,1384 0,1390 -1,9735 0,0031

333 600 162,6771 21,9696 0,1351 -2,0021 0,0030

343 600 165,3018 21,8384 0,1321 -2,0241 0,0029

Didapatkan harga regresi y = 193,63 x – 2,5829. Harga slope dari grafik diatas

digunakan untuk menetukan entalpi adsorpsi (∆Hads), dimana harga slope = -∆H/R

dengan harga R = 8,314 J.mol-1.K-1. Berdasarkan perhitungan diketahui bahwa entalpi

adsorpsi (∆Hads) sebesar -1,6098 kJ.mol-1. Dapat diketahui bahwa proses adsorpsi

berjalan secara eksoterm, yakni melepaskan kalor ke lingkungan. Selain itu proses

adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang teraktivasi ini, merupakan fisisorpsi atau

adsorpsi fisika. Hal ini dibuktikan dengan adanya harga entalpi adsorpsi (∆Hads) yang

kurang dari 20,92 kJ.mol-1 (Atkins, 1996). Secara umum waktu tercapainya

kesetimbangan adsorpsi melalui mekanisme fisika atau fisisorpsi lebih cepat

dibandingkan dengan mekanisme kimia atau kemisorpsi (Castellan, 1983).

Page 123: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

123

Tabel 7. Data parameter termodinamika adsorpsi

Parameter termodinamika adsorpsi

Temperatur (K)

303 313 323 333 343

∆G (kJ.mol-1

) 4,9148 5,1022 5,2997 5,5430 5,7721

∆S (kJ.mol-1

.K-1

) -2,1533x10-2

-2,1444x10-2

-2,1392x10-2

-2,1480x10-2

-2,1522x10-2

Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa, harga energi bebas adsorpsi

(∆Gads) bernilai semakin besar dengan meningkatnya temperatur. Hal tersebut

menjelaskan bahwa reaksi berjalan secara tidak spontan jika ada energi. Sedangkan

harga energi entropi adsorpsi (∆Sads) bernilai negatif dan semakin kecil dengan adanya

peningkatan temperatur. Hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya penurunan derajat

ketidakteraturan (∆Sads) pada sistem adsorben dengan adsorbat, menyebabkan ion-ion

logam yang terjerap pada adsorben semakin teratur, dan begitu pula sebaliknya.

KESIMPULAN

NaOH mampu mengaktivasi abu layang batubara, hal ini ditunjukkan dengan

adanya peningkatan kemampuan adsorpsi abu layang batubara dalam menyerap larutan

ion logam Pb2+, dimana pada abu layang batubara sebelum aktivasi sebesar 73,5860%

sedangkan pada abu layang batubara sesudah aktivasi sebesar 94,5931%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Atkins, P.W., 1996, Kimia Fisik, Terjemahan Irma I. Kartohadiprodjo,

Jilid 2, Edisi keempat, Erlangga, Jakarta.

2. Castellan, G. W.,1983, Physical Chemistry,3rd ed, University of Maryland

TheBenjamin Cumings Publishing Company. Inc, Menlo Park. California.

3. Fahmi M.Z., Fansuri H. dan Atmaja L., 2009, Pola Hubungan antara

Rasio SiO2/Na2O dengan Mikrostruktur Geopolimer berbahan Dasar

Abu Layang, Tesis Magister, Jurusan Kimia, FMIPA ITS, Surabaya.

4. Indrawati, Lina., 2008, Aktivasi Abu Layang Batubara dan Aplikasinya

pada Proses Adsorpsi Ion Logam Cr dalam Limbah Elektroplating,

Tugas Akhir II, Jurusan Kimia, FMIPA UNNES, Semarang.

Page 124: kimia_jurnal_januari_2015.pdf

124

5. Irani K., Fansuri H. dan Atmaja L.,2009, Modifikasi Permukaan Abu

Layang Menggunakan NaOH dan Aplikasinya untuk Geopolimer:

Sifat Fisik dan Mekanik, Tesis,Jurusan Kimia,FMIPA ITS, Surabaya.

6. Lando, J.B., and Marron, S.H., 1974, Fundamental of Physical Chemistry,

Macmilan Co. Inc., New York.

7. Mahatmanti, Widhi., dan Widi Astuti., 2010, Aktivasi Abu Layang

Batubara dan Aplikasinya sebagai Adsorben Timbal dalam

Pengolahan Limbah Elektroplating, Jurusan Kimia, FMIPA, UNNES,

Semarang.

8. Polowczyk I., Drag E., Bastrzyk A. and Sadowski Z., 2010, Use of fly ash

agglomerates for removal of arsenic, Environ Geochem Health, Vol.32,

Page : 361–366.

9. Sukandarrumidi, 2009, Batubara dan Pemanfaatannya, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.