kimia_jurnal_januari_2015.pdf
TRANSCRIPT
![Page 1: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/1.jpg)
Jurnal Ilmiah
Kimia
(Komunikasi Kimika)
Dengan memanjat puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wata’allah, maka Jurnal Komunikasi Kimika
dapat hadir dihadapan para pembaca. Jurnal Komunikasi Kimika Universitas Airlangga merupakan sarana
untuk memfasilitasi komunikasi ilmiah sivitas akademika Program Studi Kimia yang dapat diunduh
secara online. Jurnal ini memuat hasil penelitian dari Skripsi atau hasil penelitian lainnya yang dilakukan
oleh sivitas akademika. Edisi ini memuat berbagai bidang kajian biologi meliputi bidang Biokimia, Kimia
Organik, Kimia Analitik, Kimia Fisik, dan Kimia Anorganik . Dalam satu tahun, penerbitan dilakukan
sebanyak tiga kali.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada sivitas akademika yang berperan serta baik sebagai
penulis maupun pembaca, Tim Redaksi Jurnal Komunikasi Kimia, dan Pimpinan Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Airlangga yang telah memfasilitasi penerbitan secara online. Semoga Jurnal
Komunikasi Kimika ini dapat bermanfaat sebagai media komunikasi ilmiah untuk menambah wawasan
pengetahuan ilmiah dan untuk kemajuan Program Studi Sarjana Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga.
Surabaya,
Redaktur
![Page 2: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/2.jpg)
DEWAN REDAKSI
Ketua : Dr. Alfinda Novi Kristanti, DEA
Anggota : Dr. Muji Harsini, M.Si
Siti Wafiroh, S.Si, M.Si
Fendi Kristanto
PENYUNTING AHLI
1. Prof. Dr. Ami Soewandi, J.S
2. Dr. Pratiwi Pudjiastuti, M.Si
3. Dra. Tjitjik Srie Tjahjandarie, Ph.D
4. Dr. Mulyadi Tanjung, M.S
5. Dr. Nanik Siti Aminah, M.Si
6. Dra. Usreg Sri Handajani, M.Si
7. Drs. Imam Siswanto, M.Si
8. Drs. Hamami, M.Si
ALAMAT REDAKSI
Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
Kampus C, Universitas Airlangga
Jl. Mulyorejo, Surabaya
Telp. (031) 5926804
Fax. (031) 5926804
Email : [email protected]
![Page 3: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/3.jpg)
3
DAFTAR ISI
Pembuatan dan Karakterisasi Katalis Asam Fosfomolibdat Terimpregnasi pada Bentonit untuk
Transformasi Anetol
A’yunil Hisbiyah , Alfinda Novi Kristanti, Alfa Akustia Widati .....................................................4-18
Aktivitas Katalitik Dolomit Gresik Sebagai Katalis Heterogen Dalam Produksi Biodiessel dari Minyak
Jarak Pagar
Afian Kristiono, Abdulloh, Alfa Akustia Widati .............................................................................19-29
Amplifikasi Gen Penyandi Endo-1,4-B-Xilinase Asal Isolat 7 Bakteri Xilanolitik Sistem Abdominal
Rayap Tanah
Amalia Labiqah, Ni Nyoman Tri Puspaningsih, Sri Sumarsih ........................................................30-39
Analisis Nitrosodietilamin (NDEA) Dengan Teknik Kromatografi Gas Melalui Headspace Single
Drop Microextraction (HS-SDME)
Any Shofiyah, Miratul Khasanah, Yanuardi Rahardjo ....................................................................40-46
Penentuan Cemaran Melamin Dalam Susu Secara Potensiometri Menggunakan Elektroda Pasta
Karbon Nanopori/ Moleculary Imprinted Polymer
Asri Zulchana Sari, Muji Harsini, Suyanto .....................................................................................47-57
Impregnasi Zeolit Alam Dengan TiO2 Untuk Mendegradasi Zat Warna Metilen Biru Secara
Fotokatalitik
Ayu Eprilita Fitri Ika Cahyani, Yusuf Syah, Alfa Akustia Widati ..................................................58-69
Aplikasi Asam Perasetat Untuk Menghilangkan Zat Warna Pada Kain Jeans
Debby Heruwati, Ganden Suproyanto, Aning Purwaningsih ..........................................................70-80
Pembuatan dan Karakterisasi Membran Fotokatalitik Komposit Kitosan Selulosa Diasetat-TiO2, Untuk
Pengolahan Limbah Zat Warna Kain Tekstil Congo Red
Della Ratna Febriana, Siti Wafiroh, Harsasi Setyawati ...................................................................81-93
Purifikasi Parsial dan Karakterisasi Enzim Kitinase Dari Cairan Digestive Gland (Achatina Fulica)
Dewi Resti Ningrum, Afaf Baktir, Purkan .....................................................................................94-107
Pemanfaatan Abu Layang Batubara(Fly Ash) Teraktivasi Sebagai Adsorben Ion Logam Pb2+
Faradina Choria Suci, Handoko Darmokusumo, Aning Purwaningsih ........................................108-124
![Page 4: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/4.jpg)
4
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KATALIS ASAM FOSFOMOLIBDAT
TERIMPREGNASI PADA BENTONIT UNTUK TRANSFORMASI ANETOL
A’yunil Hisbiyah, Alfinda Novi Kristanti, dan Alfa Akustia Widati
Program S1 Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga
*E-mail : [email protected]
ABSTRACT
Anetol is the anise oil main content and can be transformed into their derivatives with a
higher level of benefits. The objective of this research are use and to find out the catalytic
activity of impregnated phosphomolybdic acid on bentonite (H3PMo12O40/bentonite) in
anethole transformation. This research was started by making H3PMo12O40 catalyst which was
impregnated into activated bentonite. Furthermore, H3PMo12O40/bentonite was characterized
by XRD and FT-IR. Then, H3PMo12O40/bentonite was applied in anethole transformation at
60oC with reaction time variation were 1,2,3,4,5, and 6 hours. Reaction products were
analyzed by TLC, UV-Vis spectrophotometer, and GC-MS. The XRD characterization results
showed typical peak of H3PMo12O40 at 26o with a very high intensity. Acidity test analysis
showed the Bronsted acid site moles number of 0.3340 mmol/g, while the Lewis acid site
moles number of 7.45 x 10-3
mmol/g. From the results test of TLC and UV-Vis
spectrophotometer, the H3PMo12O40/bentonit catalytic activity began to look at anethole
transformation since the first one hour, the optimum reaction time of 3 hours with %anethole
conversion of 61.54%, and was obtained anethole’s λmaks at 258.5 nm and product’s λmaks
of 207 nm. From the analysis by GC-MS, was obtained the product molekol weight of 208
g/mole and 210 g/mole.
Keywords : Anethole, Transformation, phosphomolybdic acid/bentonite
ABSTRAK
Anetol adalah kandungan utama minyak anis dan dapat ditransformasi menjadi derivat-
derivatnya dengan tingkat kemanfaatan yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk
memanfaatkan dan mengetahui aktivitas katalitik dari asam fosfomolibdat terimpregnasi pada
bentonit (H3PMo12O40/bentonit) dalam transformasi anetol. Penelitian dimulai dengan
pembuatan katalis H3PMo12O40 terimpregnasi bentonit (H3PMo12O40/bentonit). Selanjutnya
H3PMo12O40/bentonit dikarakterisasi dengan XRD dan FT-IR serta diaplikasikan dalam
transfomasi anetol pada 60oC selama 1,2,3,4,5, dan 6 jam. Hasil reaksi dianalisis
![Page 5: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/5.jpg)
5
menggunakan KLT, spektrofotometer UV-Vis, dan GC-MS. Hasil Karakterisasi XRD
menunjukkan adanya puncak khas H3PMo12O40 pada 2θ sebesar 26o dengan intesitas yang
sangat tinggi. Analisis uji keasaman menunjukkan jumlah mol sisi asam Bronsted sebesar
0,3340 mmol/g sedangkan jumlah mol sisi asam Lewis sebesar 7,45 x 10-3
mmol/g. Dari hasil
uji KLT dan spektrofotometer UV-Vis, aktivitas katalitik H3PMo12O40/bentonit mulai terlihat
pada hasil transformasi anetol selama 1 jam, waktu optimum reaksi sebesar 3 jam dengan %
konversi anetol sebesar 61,54%, serta didapatkan λmaks anetol sebesar 258,5 nm dan λmaks
produk sebesar 207 nm. Dari analisis dengan GC-MS, didapatkan berat molekol produk
sebesar 208 g/mol dan 210 g/mol.
Kata kunci: Anetol, transformasi, asam fosfomolibdat/bentonit
PENDAHULUAN
Anetol dapat diisolasi dari minyak adas dan minyak anis serta dikonversi menjadi
derivat-derivatnya dengan tingkat kemanfaatan yang lebih tinggi (Satrohamidjojo, 2004).
Gugus alil pada anetol dapat mengalami transformas membentuk metanetol menggunakan
katalis asam Brønsted berupa H2SO4 atau menggunakan katalis asam Lewis seperti TiCl4
(Torviso et al., 2006; MacMillan et al., 1951 ; MÜller et al., 1951). Dalam beberapa penelitian
terakhir asam fosfomolibdat (H3PMo12O40) banyak digunakan sebagai katalis asam Brønsted
pengganti H2SO4.
Dalam penelitian Torviso et al. (2006), asam fosfomolibdat diimpregnasikan ke dalam
silika gel (H3PMo12O40/silika gel) dan digunakan sebagai katalis dalam reaksi siklodimerisasi
anetol membentuk metanetol. Dalam penelitian tersebut metanetol yang dihasilkan sebesar
60-70 % dengan konversi anetol sebesar 99% dalam waktu kurang dari 40 menit, pada suhu
60oC. Pada percobaan tersebut, pendukung katalis yang digunakan hanya berfungsi untuk
memperbesar luas permukaan. Dalam penelitian ini, H3PMo12O40 akan diimpregnasikan pada
bentonit, yang mana bentonit memiliki aktivitas katalitik sebagai situs asam Brønsted dan luas
permukaan hampir sama dengan silika gel (Yahiaoui et al., 2003), sehingga diharapkan bisa
meningkatkan aktivitas katalitik asam fosfomolibdat pada reaksi siklodimerisasi anetol
METODE PENELITIAN
Alat
Seperangkat alat refluks, hot plate, oven, furnace, alat centrifuge, stirrer, ayakan
dengan ukuran 140 mesh, mortar, termometer, alat gelas yang lazim digunakan di
![Page 6: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/6.jpg)
6
laboratorium kimia, FT-IR Shimadzu, Difraktometer sinar-X Philips Experts,
spektrofotometer UV-Vis Shimadzu, dan Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (GC-MS).
Bahan
(NH4)6Mo7O24, H3PO4 85%, HCl pekat, HNO3 pekat, bentonit alam yang berasal dari
Turen-Malang, CH3OH, akuades, n-heksana, CHCl3, dan p-TLC.
Langkah kerja
Pembuatan asam fosfomolibdat (H3PMo12O40)
Sebanyak 2-3 mL (NH4)6Mo7O24 dalam HNO3 pekat direaksikan dengan 0,5 mL larutan
H3PO4 85% hingga terbentuk endapan. Selanjutnya endapan yang terbentuk disaring, dicuci,
dan dididihkan dengan air raja dan diuapkan sampai kering dalam penangas air pada suhu 373
K hingga diperoleh serbuk padatan berwarna kuning. H3PMo12O40 yang diperoleh diuji titik
leleh dan dikarakterisasi menggunakan FT-IR.
Preparasi Bentonit Sebagai Pendukung Katalis
Pencucian bentonit alam Turen-Malang
Lempung dicampur dengan akuades, diaduk sampai homogen, dan dibiarkan selama
beberapa hari sampai terjadi pemisahan. Campuran akan terpisah menjadi tiga lapisan, lapisan
tengah adalah bentonit. Perlakuan ini diulang beberapa kali untuk memastikan pengotor sudah
hilang. Selanjutnya benonit dikeringkan, ditumbuk, dan diayak 140 Mesh (Konta, 1995).
Aktivasi bentonit dengan pengasaman
Sebanyak 20 g bentonit diaduk dalam 100 mL HCl 4 M selama 1 jam. Campuran
didinginkan, disaring, dan dicuci dengan akuadem serta dikeringkan dalam oven pada suhu
120 oC selama 12 jam (Bhorodwaj dan Dutta, 2011).
Impregnasi Asam Fosfomolibdat (H3PMo12O40) pada Bentonit (H3PMo12O40/Bentonit)
Sebanyak 3 g asam fosfomolibdat dilarutkan dalam CH3OH dan diaduk sampai
homogen. Setelah itu, sebanyak 10 g bentonit dimasukkan ke dalam gelas beker kosong.
Larutan asam fosfomolibdat ditambahkan secara perlahan-lahan ke gelas beker yang berisi
bentonit disertai pengadukan kostan selama 4 jam. Bentonit yang pada awalnya berbentuk
serbuk, setelah diimpregnasi dengan asam fosfomolibdat akan berubah menjadi bentuk
pasta. Selanjutnya, pasta dikeringkan dalam oven pada suhu 120 oC selama 6 jam (Bokade
dan Yadav, 2007). Padatan yang telah kering dikalsinasi pada suhu 300oC selama 3 jam dan
![Page 7: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/7.jpg)
7
disimpan dalam botol tertutup (Torviso et al.,2006). Padatan yang disimpan dalam botol
dikeringkan kembali selama 1 jam pada suhu 373 K untuk menghilangkan kelembaban.
Karakterisasi Katalis H3PMo12O40/Bentonit
Analisis X-ray diffraction (XRD)
Sebanyak 0,5 g H3PMo12O40/bentonit dihaluskan, dimasukkan, dan dipadatkan dalam
holder yang telah disediakan. Kemudian holder diletakkan pada pusat goniometer dan
diradiasi dengan sinar-X yang dipancarkan dari tabung sinar-X. Data hasil penyinaran Sinar
X berupa spektrum difraksi Sinar X dideteksi oleh detektor kemudian data difraksi tersebut
direkam dan dicatat oleh komputer dalam bentuk grafik 2θ vs intensitas (Sudarningsih dan
Fahruddin, 2008).
Penentuan sisi asam katalis H3PMo12O40/bentonit dengan spektroskopi infrared (IR)
Sebanyak 0,5 g katalis H3PMo12O40/bentonit diletakkan pada kaca arloji kering dan
telah diketahui berat konstannya. Kemudian, katalis dimasukkan dalam desikator dan
divakumkan. Sebanyak 5 mL piridin dalam gelas beker diuapkan dalam labu desikator dan
dibiarkan selama 3 hari. Selanjutnya katalis asam fosfomolibdat/bentonit dikeringkan pada
suhu 110ºC selama 30 menit untuk menghilangkan gas piridin yang terserap secara fisik.
Katalis H3PMo12O40/bentonit yang telah dikeringkan, ditimbang, dan dianalisis dengan
spektroskopi Transformasi Fourier Inframerah (FT-IR).
Transformasi anetol menggunakan katalis H3PMo12O40/bentonit
Sebanyak 1,5 mL minyak anis (87% anetol) dilarutkan dalam CHCl3 dan dimasukkan ke
dalam labu alas bulat leher tiga kemudian ditambahkan 1 g H3PMo12O40/bentonit.
Campuran tersebut direfluks pada suhu 60oC dengan variasi waktu 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 jam.
Senyawa hasil reaksi ini diuji dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) serta dianalisis
menggunakan spektrofometer UV-Vis dan Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (GC-MS)
(Torviso et al., 2006).
Analisis Produk
Kromatografi lapis tipis (KLT)
Hasil reaksi siklodimerisasi anetol dianalisis menggunakan kromatografi lapis tipis
dengan fasa diam silika gel dan fasa gerak berupa kloroform dan n-heksana (4:6). Setelah itu,
hasil uji KLT diletakkan di bawah sinar UV untuk melihat noda (Torviso et al., 2006).
![Page 8: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/8.jpg)
8
Spektrofometer UV-Vis
Produk reaksi siklodimerisasi anetol diukur panjang gelombang maksimumnya
menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Blangko yang digunakan adalah campuran metanol
dengan akuades .
Analisis hasil transformasi anetol dengan GC-MS
Analisis hasil transformasi anetol dilakukan menggunakan GC-MS. Dari analisis ini
diperoleh kromatogram GC dan spektra MS, sehingga dapat diketahui produk yang terbentuk.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Asam Fosfomolibdat (H3PMo12O40)
Asam fosfomolibdat (H3PMo12O40) disintesis melalui dua tahapan. Tahap pertama
yaitu pembentukan ammonium fosfomolibdat dilakukan dengan cara mereaksikan ammonium
molibdat dengan asam fosfat dalam suasana asam nitrat pekat. Pada reaksi tersebut, terjadi
penggantian atom oksigen dalam fosfat oleh Mo3O10. Tahap kedua yaitu penguapan
ammonium fosfomolibdat dilakukan dengan mendidihkannya dalam air raja dan
menguapkannya dalam lemari asam sehingga diperoleh serbuk H3PMo12O40.
HPO42-
+ 3NH4+ + 12MoO4
2- + 23H
+ (NH4)3[P(Mo3O10)4] ↓ + 12H2O
(NH4)3[P(Mo3O10)4] H3PMo12O40 + NH3 ↑
Dari analisis sifat fisik H3PMo12O40 didapatkan bahwa H3PMo12O40 hasil sintesis
berbentuk serbuk, berwarna kuning, dan memiliki titik leleh 100-120oC. Hasil analisis
tersebut memiliki beberapa kecocokan dengan sifat fisik H3PMo12O40 dalam MSDS
H3PMo12O40 yaitu berbentuk serbuk dan berwarna kuning, dan titik leleh H3PMo12O40 sebesar
78-90oC (Merck, 2001). Perbedaan titik leleh H3PMo12O40 hasil sintesis dengan MSDS
H3PMo12O40 mengindikasikan bahwa H3PMo12O40 yang terbentuk belum murni 100 %.
![Page 9: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/9.jpg)
9
Karakterisasi Asam Fosfomolibdat (H3PMo12O40)
1200 1000 800 600 400
0
5
10
15
20
25
30
35
347.18688
594.07533
786.95693
864.10957
964.408
1064.70643
1411.89331
%T
1/cm
Gambar 1.
Spektrum FT-IR H3PMo12O40 hasil sintesis
Pada spektrum H3PMo12O40, terdapat pita serapan pada 1064,71 cm-1
yang
menunjukkan vibrasi stretching asimetris dari tetrahedron pusat PO4. Pita pada 964,41 cm-1
menunjukkan vibrasi stretching dari Mo=O dimana O adalah oksigen terminal, sedangkan dua
pita lainnya pada 864,11 cm-1
dan 786,9 cm-1
menunjukkan jembatan Mo-O-Mo antara
struktur oktahedral MoO6. Keempat pita ini adalah ciri khas untuk struktur asam
fosfomolibdat (Chen et al., 2003).
Impregnasi Asam Fosfomolibdat pada Bentonit (H3PMo12O40/bentonit)
Impregnasi H3PMo12O40 pada bentonit dilakukan dengan cara merendam bentonit
alam teraktivasi dalam H3PMo12O40 menggunakan pelarut metanol sambil diaduk secara
konstan selama 4 jam. Pemilihan metanol sebagai pelarut dalam proses impregnasi karena
metanol dapat membuat bentonit mengalami swelling sehingga ukuran pori-pori bentonit
membesar. Pori-pori bentonit yang besar memudahkan H3PMo12O40 masuk ke dalam pori-pori
bentonit. Kemudian katalis hasil impregnasi disaring dan dicuci dengan akuadem untuk
menghilangkan metanol dan H3PMo12O40 yang tidak terimpregnasi kemudian dikeringkan
dalam oven pada suhu 120°C yang bertujuan untuk menghilangkan air pada interlayer.
Katalis diayak menggunakan ayakan 100 Mesh untuk memperoleh ukuran partikel katalis
yang seragam. Selanjutnya dilakukan proses kalsinasi pada suhu 200°C selama 3 jam untuk
menghilangkan serbuk H3PMo12O40 yang tidak terimpregnasi.
![Page 10: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/10.jpg)
10
Karakterisasi Katalis H3PMo12O40/bentonit
Analisis X-ray diffraction (XRD)
Karakterisasi bentonit dengan X-ray diffraction bertujuan untuk mengetahui pola
difraksi H3PMo12O40, bentonit aktif, dan H3PMo12O40/bentonit. Perbandingan pola difraksi
kedua katalis dapat diamati pada Gambar 2.
Gambar 2. Spektrum XRD (a) H3PMo12O40 (Chen et al., 2003) (b) Bentonit alam teraktivasi
(c) H3PMo12O40/bentonit
Kandungan utama bentonit alam yaitu montmorilonit. Pada hasil XRD ini,
montmorilonit direfleksikan oleh d001 13,04080 Å pada 2θ sebesar 6,77251°. Menurut
Goenadi (1982) dalam Sekewael (2008), montmorilonit yang telah mengalami pemanasan
memberikan ciri khas pada jarak dasar d001 sebesar 12,0-15,0 Å. Pada H3PMo12O40/bentonit,
terjadi perubahan d001 menjadi lebih besar yaitu 15,03788 Å pada 2θ sebesar 5,87225º.
Pergeseran d001 ini mengindikasikan bahwa terjadi perubahan struktur kisi karena adanya
H3PMo12O40 yang menempel pada permukaan pori-pori katalis. Selain itu, nilai d001
H3PMo12O40/bentonit yang lebih tinggi daripada bentonit aktif mengindikasikan bahwa
derajat kristalinitas H3PMo12O40/bentonit lebih rendah daripada bentonit aktif. Keberhasilan
impregnasi H3PMo12O40 pada bentonit juga ditunjukkan dengan adanya penambahan
intensitas spektrum (c) pada 2θ sebesar 26o. Pada penelitian Chen et al. (2003), difraktogram
H3PMo12O40 memiliki puncak khas pada 2θ sebesar 25o-26
o. Dari grafik kedua XRD tersebut
dapat dikatakan bahwa asam fosfomolibdat telah terimpregnasi cukup baik pada bentonit alam
teraktivasi.
20 10 30 40
(a)
10 20 30 40
10 20 30 40
10.72
15.18
21.52
24.1
26.42
30.636.06
39.343.82
9.2 25.6 29.3 38.52
9.84
19.82 22.34
26.6
29.98 35.3242.36
24.74 32.96 39.74
5.87
6
6.7 (b)
(c)
![Page 11: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/11.jpg)
11
Analisis sisi asam Bronsted-Lewis dengan spektroskopi transformasi fourier inframerah
(FT-IR)
Gambar 3. Spektrum FT-IR serapan piridin H3PMo12O40/bentonit
Dari spektrum FT-IR H3PMo12O40/bentonit terdapat pita serapan di 1548 cm-1
dengan
absorbansi sebesar 1,52 yang mengindikasikan adanya regangan ion piridinium. Ion
piridinium membuktikan adanya gugus hidroksil yang bersifat asam Bronsted, sedangkan pita
serapan pada 1441 cm-1
dengan absorbansi sebesar 1,33 mengindikasikan adanya spesi
piridin-asam Lewis, misalnya Al3+
. Hasil spektra ini sesuai dengan penelitian Parry (1963)
dan Tyagi et al. (2006) dalam Fatimah et al. (2008)
Nilai absorbansi pita serapan pada 1548 cm-1
lebih tinggi daripada absorbansi pita
serapan pada 1441 cm-1
menunjukkan bahwa sisi asam Bronsted pada H3PMo12O40/bentonit
lebih banyak daripada sisi asam Lewis. Melalui perhitungan jumlah sisi asam, didapatkan
jumlah mol sisi asam Bronsted pada H3PMo12O40/bentonit sebesar 0,3340 mmol/g sedangkan
jumlah mol sisi asam Lewis sebesar 7,45 x 10-3
mmol/g.
Transformasi Anetol
Siklodimerisasi anetol dilakukan menggunakan katalis H3PMo12O40/bentonit. Produk
reaksi lebih kental daripada senyawa awal dan berwarna kecoklatan. Peningkatan kekentalan
produk diduga disebabkan massa molekul relatif (Mr) dari senyawa target (metanetol) cukup
besar yaitu 296 g/mol.
Analisis Produk
Kromatografi lapis tipis (KLT)
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui waktu terbentuknya produk yang dikatalisis
oleh H3PMo12O40/bentonit. Berikut adalah tabel Rf dan gambar hasil uji KLT dari minyak anis
(Anetol) sebelum dan setelah bereaksi selama 1-6 jam.
Tabel 1. Nilai Rf Hasil Komatografi Lapis Tipis
1634 cm-1
1548 cm-1
1490 cm-1
1441 cm-1
![Page 12: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/12.jpg)
12
Reaksi (jam) Rf-1 Rf-2 (Anetol) Rf-3 (Noda baru) Rf-4 (Noda baru)
0 0,28 0,69 - -
1 0,21 0,625 0,39 -
2 0,24 0,64 0,39 -
3 0,22 0,625 0,42 -
4 0,19 0,625 0,43 -
5 0,24 0,65 0,47 -
6 0,28 0,68 0,51 0,35
Gambar 5. Hasil Uji KLT Produk Siklodimerisasi Anetol
Dari hasil uji KLT, pada minyak anis (0 jam) terdapat 2 noda besar. Noda pertama
(Rf-1) diduga sebagai pengotor dalam minyak anis, sedangkan noda kedua (Rf-2) diduga
sebagai anetol karena menunjukkan ciri khas noda yang sangat besar dimana anetol
merupakan 90,50 % komponen utama minyak anis (Lawless, 2002). Noda baru (Rf-3) mulai
terbentuk saat reaksi berlangsung selama 1 jam dan noda baru terlihat semakin jelas pada
sampel di jam-jam berikutnya. Noda baru (Rf-3) ini diduga sebagai produk reaksi (metanetol)
karena letak noda baru yang cukup dekat berada dibawah noda anetol. Jika dilihat dari
struktur senyawa kimianya, metanetol merupakan senyawa dimer yang lebih polar daripada
anetol, sehingga saat diuji KLT dengan eluen n-heksana:klorofom (6:4), maka noda metanetol
akan terletak di bawah noda anetol karena metanetol yang bersifat lebih polar daripada anetol
akan lebih terikat pada silika. Tidak seperti hasil uji KLT sampel reaksi 1 sampai 5 jam yang
hanya menunjukkan 1 noda baru, pada hasil uji KLT untuk sampel reaksi 6 jam terdapat 2
noda baru (Rf-3 dan Rf-4). Noda baru (Rf-4) ini diduga sebagai hasil samping karena bila
dilihat dari intesitas noda dapat dikatakan bahwa konsentrasi noda Rf-4 ini sangat rendah.
Produk samping dari reaksi ini diduga adalah bentuk lain dari dimer anetol yang dikatalisis
oleh asam Lewis dari bentonit. Hal tersebut dapat terjadi karena katalis yang digunakan dalam
reaksi ini memiliki dua sisi asam, yaitu asam Bronsted dan Lewis.
Intensitas kepekatan noda Rf-3 semakin meningkat pada sampel hasil reaksi di jam-
jam berikutnya yang mengindikasikan bahwa konsentrasi produk yang terbentuk semakin
bertambah banyak. Hal tersebut juga didukung dengan intensitas kepekatan dan diameter
Rf-3 (Noda baru)
Waktu reaksi
Rf-2 (Anetol)
Rf-4 (Noda baru)
Rf-1
![Page 13: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/13.jpg)
13
noda anetol yang semakin berkurang pada sampel hasil reaksi di jam-jam berikutnya.
Berkurangnya diameter dan intensitas kepekatan noda anetol menunjukkan berkurangnya
konsentrasi anetol dalam minyak yang mengindikasikan bahwa anetol telah bereaksi.
Berdasarkan analisa kuantitatif. Nilai konversi total anetol dapat diperoleh melalui
persamaan berikut.
% 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖 = 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑛𝑜𝑑𝑎 𝑎𝑛𝑒𝑡𝑜𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑛𝑜𝑑𝑎 𝑎𝑛𝑒𝑡𝑜𝑙 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑒𝑎𝑘𝑠𝑖
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑛𝑜𝑑𝑎 𝑎𝑛𝑒𝑡𝑜𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑥 100%
Tabel 4.2. Data konversi total anetol
Waktu reaksi (Jam) Konversi (%)
0 0
1 23.08
2 46.15
3 61.54
4 61.54
5 61.54
6 73.08
Gambar 4.9. Kurva konversi anetol (%) terhadap waktu reaksi
Dari Tabel 4.2 dan Gambar 4.9, nilai konversi transformasi anetol menggunakan
katalis H3PMo12O40/bentonit selama 0 sampai 3 jam mengalami peningkatan yang cukup
signifikan yaitu 0%; 23,08%; 46,15%; dan 61,54%. Namun saat reaksi berlangsung selama 3
sampai 5 jam, nilai konversi transformasi anetol tidak mengalami peningkatan. Setelah 6 jam
reaksi terdapat peningkatan konversi anetol sebesar 73,8%, peningkatan ini diikuti dengan
terbentuknya noda baru (Rf-4) yang mengindikasikan adanya produk samping. Hal tersebut
mengindikasikan terjadinya penurunan selektivitas katalis H3PMo12O40/bentonit.
Sebagaimana diketahui bahwa mekanisme reaksi dengan katalis heterogen seperti
bentonit, zeolit dan monmorilonit terdiri dari beberapa tahap yaitu difusi reaktan pada
permukaan katalis, adsorpsi reaktan pada permukaan katalis, transformasi kimia, desorpsi
produk dari permukaan (Upadhyay, 2006). Pada penelitian ini, diduga proses desorpsi
menjadi salah satu penyebab penurunan selektivitas katalis. Produk yang dihasilkan tidak
0
50
100
0 2 4 6 8
% K
on
ver
si a
net
ol
Waktu reaksi (Jam)
Kurva Konversi Anetol (%) terhadap Waktu
Reaksi (jam)
Konversi …
![Page 14: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/14.jpg)
14
dapat terdesorpsi dengan baik dari permukaan katalis sehingga sisi aktif katalis (asam
Bronsted) akan tertutupi oleh produk. Tertutupnya sisi aktif katalis oleh produk
mengakibatkan sisi asam Bronsted tidak dapat lagi mengadsorpsi reaktan (anetol) dan
mengakibatkan transformasi tidak bisa terjadi lagi. Dari hasil analisis perhitungan noda KLT,
dapat dikatakan bahwa aktivitas katalitik H3PMo12O40/bentonit mulai terlihat pada hasil reaksi
siklodimerisasi anetol selama 1 jam dengan waktu optimum reaksi adalah 3 jam.
Spektrofotometer UV-Vis
Hasil analisis spektrofotometer UV-Vis minyak anis sebelum dan setelah reaksi
ditampilkan dalam Gambar 7.
Gambar 7. Spektrum UV-Vis minyak anis (a) sebelum (b) sesudah bereaksi 3 jam
Dari spektrum (a), didapatkan 1 puncak karakteristik pada λmaks sebesar 258,5 nm
dengan absorbansi sebesar 0,274. λmaks tersebut menunjukkan adanya anetol dalam minyak
anis. Sedangkan dari spektrum (b), didapatkan λmaks sebesar 207 nm dengan absorbansi 0,324
yang mengindikasikan λmaks Produk reaksi. λmaks hasil pengukuran ini sesuai dengan penelitian
Shimoni et al. (2002) dan Torviso et al. (2006) yang sebelumnya meneliti tentang biosintesis
anetol dan sintesis metanetol.
GC-MS (Kromatografi gas-Spektroskopi Massa)
Larutan standar yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1,5 mL minyak anis
dalam 10 ml kloroform. Pada kromatogram pada Gambar 8, terlihat 5 puncak dimana anetol
muncul pada puncak 2 dan 3. Puncak 2 memiliki waktu retensi sebesar 18,507 menit dengan
luas area sebesar 1,84%, sedangkan puncak 3 miliki waktu retensi sebesar 18,960 menit
dengan luas area sebesar 65,71%. Puncak 4 merupakan p-anisaldehid yang memilik waktu
retensi sebesar 21,372 menit dengan luas area sebesar 12,73% sedangkan puncak 5
merupakan pengotor dalam minyak anis. Puncak 1 merupakan pelarut kloroform.
258,5 nm 207,0 nm
(b) (a)
![Page 15: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/15.jpg)
15
Gambar 8. Kromatogram GC-MS standar anetol
Gambar 9 merupakan kromatogram GC-MS hasil transformasi anetol selama 3 jam.
Kromatogram tersebut memiliki 8 puncak, puncak anetol ditunjukkan oleh puncak 4 dengan
waktu retensi sebesar 18,957 menit dan luas area sebesar 32,27%. Pada kromatogram ini
terdapat 3 puncak baru, yaitu pada waktu retensi 16,913; 23,313; dan 24,048 menit dengan
luas area masing-masing yaitu 0,23%; 0,38%; dan 0,86%. Dari ketiga puncak baru tersebut,
puncak 7 dan 8 diduga produk transformasi anetol dengan luas area sebesar 0,38%; 0,86%
dan berat molekul 208; 210.
Gambar 9. Kromatogram GC-MS hasil transformasi anetol selama 3 jam
Gambar 10. Spektrum massa produk transformasi anetol (puncak 7)
1
2
3
4
5
1
2 3
4
5
7
6
8
C12H16O3
![Page 16: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/16.jpg)
16
Gambar 11. Spektrum massa produk transformasi anetol (puncak 8)
Dari analisis GC-MS produk transformasi anetol diatas, dapat dikatakan bahwa
transformasi anetol yang terjadi berupa reaksi oksidasi anetol. Hal tersebut dapat terjadi
karena katalis H3PMo12O40 memiliki dua kemampuan, yaitu sebagai katalis asam Bronsted
dan sebagai oksidator pada reaksi reduksi-oksidasi (Obali, 2003). Dalam hal ini, H3PMo12O40
berperan sebagai oksidator yang ditandai dengan perubahan warna katalis dari kuning menjadi
biru tua selama reaksi transformasi berlangsung. Perubahan warna tersebut megindikasikan
terjadinya perubahan bilangan oksidasi Mo dari Mo+6
menjadi Mo+5
(Chen et al., 2003).
KESIMPULAN
1. Hasil Karakterisasi katalis H3PMo12O40/bentonit menggunakan XRD menunjukkan
adanya puncak khas H3PMo12O40 pada 2θ sebesar 26o dengan intesitas yang sangat tinggi.
Dari uji keasaman H3PMo12O40/bentonit menggunakan FT-IR didapatkan jumlah mol
sisi asam Bronsted pada H3PMo12O40/bentonit sebesar 0,3340 mmol/g sedangkan jumlah
mol sisi asam Lewis sebesar 7,45 x 10-3
mmol/g.
2. Aktivitas katalitik H3PMo12O40/bentonit mulai terlihat pada hasil transformasi anetol
selama 1 jam dengan waktu optimum reaksi adalah 3 jam dengan % konversi anetol
sebesar 61,54%. Produk yang didapatkan memiliki berat molekul sebesar 208 g/mol dan
210 g/mol.
C11H14O4
![Page 17: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/17.jpg)
17
DAFTAR PUSTAKA
Bhorodwaj, K.S. and Dutta, K.D., 2011, Activated Clay Supported Heteropoly Acid
Catalysts for Esterification of Acetic Acid with Butanol, Applied clay science, 53(2) :
347-352.
Bokade, V.V. and Yadav, G.,D., 2007, Synthesis of Pharmaceutical Intermediates by
Toluene Benzylation over Heteropoly Acids on Different Support, Journal of
Natural Gas Chemistry, 16 : 186-192.
Chen, D., Xue, Z., and Su, Z., 2003, A New Catalyst of 12-Molybdophosphoric Acid for
Cationic Polymerization of Styrene: Activity and Mechanism Studies, Journal of
Molecular Catalysis, 203 : 307-312.
Fatimah, I., 2009, Zirconium Dioxide Dispersed in SiO2-Montmorilonit : Heterogeneous
Catalyst for Citronellal Conversion to Isopulegol, J. Appl. Sci. Res., 5 (10) : 1277-
1284.
Konta, J., 1995, Clay and Man : Clay Raw Material in The Service of Man, Applied Clay
Science, 10 : 275-335.
Lawless, J., 2002, Encyclopedia of Essential Oils, Thorson, London, page : 226.
MacMillan, J., Martin, I.L., and Morris, D.J., 1969, Tricyclic dimers of propenylphenyl
ethers-I: NMR and stereochemistry, Tetrahedron, 25 : 905.
Merck, E., 2001, Merck Index:13th
Edition, Merck & Co., Inc., White House station, New
Jersey, USA.
MÜller, A., Meszaros, M., Lempert-Sreter, M., and Szara, I., 1951, Dimeric Propenyl Phenol
Ethers. XIII. on Metanethole and its Teralin Isomers, Journal of Organik Chemistry,
16 : 1003.
Nagendrappa, G., 2002, Organic Synthesis Using Clay Catalysts Clays for ‘Green
Chemistry’, Resonance, Vol. 6, Department of Chemistry Bangalore University,
Bangalore, 66-68.
Obali, Zeynep, 2003, Heteropoly Acid Catalysts for Etherifications of Isoolefins, Thesis,
The Middle East Technical University, Turkey, 22-28.
Parry, E.P., 1963, An Infrared Study of Pyridine Adsorbed on Acidic Solids
Characterization of Surface Acidity, Journal of Catalysts 2, 371-379
Reddy, C.R., Iyengar, P., Nagendrappa, G., Prakash, B.S.J., 2009, Esterification of Succinic
Anhydride to Di-(p-Cresyl) Succinate over Mn+
-Montmorillonite Clay Catalysts, J.
of Molecular Catalysis A: Chemical 229 (2005) 31-37
Sastrohamidjojo, 2004. Kimia Minyak Atsiri. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta,
203-238.
Sekewael, S.J., 2008, Karakterisasi Sifat Fisikokimia Komposit Besi Oksida-Montmorilonit
Hasil Interkalasi Silikat Lempung Montmorilonit, Indonesia Chinica Acta Vol. 1. No. 1
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, Universitas Pattimura
Kampus Poka, Ambon, Hal: 26
Sudarningsih dan Fahruddin, 2008, Penggunaan Metode Difraksi Sinar-X dalam
Menganalisa Kandungan Mineral pada Batuan Ultra Basa Kalimantan Selatan,
Jurnal Fisika FLUX, 5 (2) : 165-173.
![Page 18: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/18.jpg)
18
Upadhyay, Santosh K., 2006, Chemical Kinetics and Reaction Dynamics, Anamaya Publisher,
New Delhi, Page: 156, 159.
Torviso, del Rosario, M., Alesso, N.E., Moltrasio, Y.G., Vázquez, G.P., Pizzio, R.L., Caceres,
V.C., and Blanco, M.N., 2006, Effect of the support on new metanethole synthesis
heterogeneously catalyzed by Keggin Heteropolyacids, Applied catalysis, 301 : 25-
31.
Vijayakumar, B., Nagendrappa, G., Prakash, B.S.J, 2009, Acid Activated Indian Bentonite,
an Efficient Catalyst for Esterification of Carboxylic Acids, Catal Lett, 128 : 183-
189.
Yahiaoui, A., Belbachir, M., and Hachemaoui, A., 2003, An Acid Exchanged
Montmorillonite Clay-Catalyzed Synthesis of Polyepichlorhydrin, International
journal of molecular science, 4 : 548-561.
![Page 19: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/19.jpg)
19
Aktivitas Katalitik Dolomit Gresik Sebagai Katalis Heterogen Dalam Produksi Biodiesel Dari
Minyak Jarak Pagar
Afiyan Kristiono, Abdulloh, Alfa Akustia Widati
Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRACT
In this study, CaO solid base catalysts derived from Gresik dolomite are calcined at 850C.
The results of characterization by X-ray diffraction (XRD) showed the formation of CaO in
the presence of characteristic peaks of CaO catalyst is at 2θ = 32,2; 37,3; 53,8; and 64,1.
The basic site tests of catalyst were obtained number of basic sites of 109,9 mmol/g and the
range of the basic strength sites of 7,2 <H_<18,4. The catalyst activity was tested in the
transesterification of Jatropha curcas oil and methanol with a molar ratio of methanol/oil
30:1, catalyst amount of 1% by weight the amount of oil, reaction temperature 65C, and
reaction time for 1, 2, 3, 4, and 5 hours. Methyl ester obtained the highest results on reaction
time 5 hours with a yield of 18,0%.
Keywords: CaO, Gresik dolomite, catalytic activity
ABSTRAK
Pada penelitian ini, katalis basa padat CaO diperoleh dari dolomit Gresik yang dikalsinasi
pada suhu 850C. Hasil karakterisasi dengan difraksi sinar-X (XRD) menunjukkan
terbentuknya CaO dengan adanya puncak yang khas dari katalis CaO yaitu pada 2θ = 32,2;
37,3; 53,8; dan 64,1. Uji situs basa katalis diperoleh jumlah situs basa sebesar 109,9
mmol/g dan rentang kekuatan basa pada 7,2< H_<18,4. Aktivitas katalis diuji pada reaksi
transesterifikasi minyak jarak pagar dan metanol dengan rasio molar metanol/minyak 30:1,
jumlah katalis 1% berat jumlah minyak, suhu reaksi 65˚C, dan waktu reaksi selama 1, 2, 3, 4,
dan 5 jam. Hasil metil ester tertinggi diperoleh pada waktu reaksi 5 jam dengan hasil sebesar
18,0%.
Kata kunci: CaO, dolomit Gresik, aktivitas katalitik
![Page 20: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/20.jpg)
20
PENDAHULUAN
Energi memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Standar hidup dan tingkat
kemakmuran dari sebuah negara dapat dilihat dari tingkat penggunaan energi. Berdasarkan
data energi dunia, 80% energi yang kita gunakan berasal dari bahan bakar fosil seperti minyak
(36%), gas alam (21%), dan batu bara (23%). Sumber-sumber energi tersebut merupakan
sumber energi non renewable yang dalam waktu tidak lama akan habis [1]. Tuntutan
kebutuhan energi, penipisan jumlah sumber bahan bakar fosil dan peningkatan polusi
lingkungan mengharuskan dunia berpikir serius dalam menemukan sumber energi alternatif.
Bahan bakar berbasis nabati juga dapat mengatasi terjadinya kelangkaan BBM sehingga
kebutuhan akan bahan bakar dapat terpenuhi.
Salah satu contoh bahan bakar nabati adalah biodiesel. Biodiesel adalah sebuah
komponen mono alkil ester yang dapat diproduksi melalui proses transesterifikasi antara
minyak dan alkohol. Reaksi transesterifikasi dapat dikatalis baik dengan katalis homogen
maupun katalis heterogen [2].
Katalis homogen menyediakan kecepatan suatu reaksi berjalan lebih cepat daripada
katalis heterogen. Namun, biaya untuk memisahkan katalis homogen dari campuran reaksi
sangat tinggi. Selain itu, katalis homogen hanya dapat digunakan untuk sekali reaksi,
memerlukan proses loading-unloading serta harus dinetralisir terlebih dahulu sebelum sisa
hasil reaksi dibuang ke lingkungan. Berbeda dengan katalis homogen, katalis heterogen lebih
mudah dipisahkan dari produk cair serta dapat didesain untuk memberikan aktivitas yang
lebih tinggi, selektif, dan lifetime yang lebih lama [3].
Sejumlah solid base telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai reaksi seperti
potassium-alumina, solid K2CO3-alumina, dan strontium oksida. Beberapa publikasi juga
telah mematenkan aktivitas transesterifikasi dari magnesium oksida, dan magnesia-alumina
yang dikombinasi dengan oksida [4]. Dalam penelitian Zhu et al.,[5] memperoleh konversi
93% dari jatropha curcas oil yang menggunakan CaO sebagai katalis.
Namun, katalis-katalis heterogen yang telah dilaporkan diatas seperti CaO ataupun
lainnya merupakan katalis heterogen sintesis yang memiliki kekurangan dari segi ekonomis
sehingga perlu dilakukan terobosan baru untuk menemukan atau memanfaatkan mineral-
mineral alam yang mampu berfungsi sebagaimana katalis-katalis sintesis tersebut. Salah satu
mineral alam yang mengandung CaO namun belum banyak dimanfaatkan sebagai katalis
heterogen adalah dolomit.
![Page 21: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/21.jpg)
21
Dolomit adalah mineral yang berasal dari alam yang mengandung unsur hara
magnesium dan kalsium berbentuk tepung dengan rumus kimia CaMg(CO3)2 [6]. Dolomit
banyak ditemukan di daerah pegunungan atau perbukitan dan kelimpahannya di Indonesia
pun sangat besar. Salah satu kota yang memiliki mineral dolomit yang cukup melimpah
adalah kota Gresik, Jawa timur. Keberadaan mineral alam di daerah ini masih belum banyak
dimanfaatkan secara optimal terutama sebagai bahan katalis.
METODE PENELITIAN
Bahan
Sampel yang digunakan adalah minyak jarak pagar yang diperoleh dari PTPN XII
Jember dan mineral dolomit dari Gresik Jawa Timur. Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah n-heksana 95% (Ajax Finechem Pty Ltd), methanol 99,9% (Merck), toluena 99,5%
(Merck), asam oksalat 99,5% (Merck), bromothymol blue, phenolphthalein, 2,4-dinitro-
aniline 98% (Aldrich), 4-nitroaniline 99% (Aldrich), metil heptadekanoat (Aldrich), n-
heptana 99% (Merck), akuades, dan minyak goreng.
Alat
Seperangkat alat refluks, ember alumunium, labu alas bulat leher tiga, labu evaporasi,
termometer, sentrifuge, pengaduk magnet, dan alat-alat gelas yang biasa dipakai di
laboratorium.
Prosedur Penelitian
Preparasi dolomit sebagai katalis
Sebanyak 5,0 g dolomit yang telah dihaluskan ditimbang dalam cawan porselin.
Selanjutnya dikalsinasi selama 2 jam pada suhu 850 C.
Analisis Flurescence sinar-X (XRF)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui kandungan unsur yang terdapat dalam dolomit
Gresik.
Analisis difraksi sinar-X (XRD)
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral dolomit Gresik berdasarkan
basal spacing (pergeseran sudut θ).
Analisis situs basa
Jumlah situs basa
Sebanyak 0,05 g katalis dolomit dimasukkan kedalam labu titrasi. Kemudian ditambahkan 5,0
mL toluena dan 3 tetes indikator phenolphthalein. Larutan ini selanjutnya dititrasi dengan
![Page 22: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/22.jpg)
22
larutan asam oksalat 0,1 N sampai terjadi perubahan warna dari merah muda menjadi tidak
berwarna.
Kekuatan situs basa
Sebanyak 0,05 g katalis dolomit dimasukkan kedalam labu titrasi. Kemudian ditambahkan 5,0
mL toluena dan 2-3 tetes indikator Hammett.
Penurunan bilangan asam minyak jarak pagar
Sebanyak 57,6 g metanol dimasukkan kedalam labu alas bulat leher tiga. Kemudian
ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 0,516 g dan direfluks selama 15 menit. Setelah itu
ditambahkan 51,6 g minyak jarak pagar dan direfluks selama 1 jam pada suhu 50C.
Analis bilangan asam
Sebanyak 1,0 g minyak jarak pagar yang telah diturunkan bilangan asamnya dimasukkan
kedalam labu titrasi. Kemudian ditambahkan 5,0 mL etanol, 5,0 mL n-heksana dan 3 tetes
indikator penolptalein. Larutan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan KOH 0,1 N sampai
terjadi perubahan warna dari merah muda menjadi tidak berwarna. Titrasi dilakukan 3 kali
pengulangan atau lebih.
Reaksi transesterifikasi minyak jarak pagar dengan katalis dolomit
Sebanyak 0,086 g katalis dolomit dimasukkan kedalam labu alas bulat leher tiga. Kemudian
ditambahkan metanol sebanyak 9,61 g dan direfluks selama 15 menit. Setelah itu
ditambahkan 8,6 g minyak jarak pagar dan direfluks dengan variasi waktu 1; 2; 3; 4; 5 jam
pada suhu 65C.
Penentuan kadar biodiesel
Kadar atau konversi biodiesel di dalam produk dihitung dengan analisis GC-MS metode test
EN 14103.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Preparasi Dolomit Gresik Sebagai Katalis
Sejumlah sampel dolomit yang diperoleh dari daerah Sekapuk Sidayu Gresik dihaluskan
menggunakan mortar dan diayak dengan ukuran 200 mesh. Ukuran katalis dibuat lebih kecil
menggunakan ayakan 200 mesh agar luas permukaan sentuh katalis lebih besar sehingga laju
reaksinya akan semakin cepat [7]. Analisis komponen unsur penyusun dolomit Gresik
dilakukan dengan uji flourescene sinar-X (XRF) dengan hasil yang tertera pada tabel berikut:
![Page 23: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/23.jpg)
23
Dolomit
Unsur Mg Ca Mn Fe Ni Cu Yb
Unit
Konsentrasi
7.0
%
91.72
%
0.079
%
0.62
%
0.19
%
0.081
%
0.366
%
Dari tabel diatas diketahui komponen utama penyusun dolomit Gresik adalah unsur kalsium
(Ca) sebesar 91,72%. Kandungan kalsium yang besar dalam dolomit Gresik diharapkan dapat
bertindak sebagai pengganti katalis CaO sintesis yang memiliki kekurangan dari segi
ekonomis.
Untuk mendapatkan CaO, dolomit Gresik kalsinasi pada suhu 850C . Beberapa proses
yang terjadi selama kalsinasi antara lain hilangnya ikatan kimia dari molekul air atau CO2.
Kalsinasi bertujuan untuk menghilangkan permukaan karbonat dan gugus hidroksil [8].
Dekomposisi termal dari dolomit Gresik mengubah CaMg(CO3)2 menjadi CaO dan MgO serta
hilangnya gas CO2. Reaksi dekomposisi termal yang terjadi adalah [9]:
CaMg(CO3)2 CaO.MgO + CO2
Dalam hal ini, CaO bertindak sebagai sisi aktif karena sifatnya yang lebih reaktif
dibandingkan MgO. Kereaktifan suatu unsur dipengaruhi oleh harga energi ionisasi. Energi
ionisasi adalah energi yang dibutuhkan untuk melepas elektron yang terletak pada orbital atau
kulit terluar. Semakin besar energi ionisasi, semakin sulit elektron terluar untuk dilepas
sehingga kereaktifannya berkurang. Kalsium memilki energi ionisasi pertama sebesar 589 kJ
mol-1
sedangkan magnesium memiliki energi ionisasi pertama sebesar 736 kJ mol-1
. Dari
harga energi ionisasi pertama tersebut, kalsium memiliki energi ionisasi yang lebih rendah
dibandingkan magnesium sehingga kalsium lebih mudah melepas elektron terluarnya untuk
bereaksi dengan unsur atau senyawa yang lain dibandingkan magnesium. Selain itu dalam
logam alkali tanah kereaktifan suatu unsur bertambah sebanding dengan massa yang
bertambah dalam satu golongan tersebut [10]. Kalsium memiliki berat molekul 40,08 g/mol
sedangkan magnesium hanya 24,31 g/mol sehingga dapat disimpulkan kalsium (CaO) lebih
reaktif dibandingkan unsur magnesium (MgO).
Karakterisasi dolomit Gresik sebagai katalis meliputi uji difraksi sinar-X (XRD) dan uji
situs basa. Karakterisasi menggunakan XRD bertujuan untuk mengetahui perubahan
CaMg(CO3)2 yang ada dalam sampel dolomit Gresik menjadi CaO.MgO. Berdasarkan analisis
XRD diperoleh difraktogram sampel dolomit Gresik sebelum dikalsinasi dan setelah
dikalsinasi yang disajikan pada gambar dibawah ini:
∆
![Page 24: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/24.jpg)
24
Dari gambar diatas diketahui puncak-puncak pada dolomit Gresik sebelum dikalsinasi
ditemukan pada 2θ = 30,9; 41,1; 44,9; 50,5; 51,0; 63,4; 64,4; 65,1; 66,1; 67,3;
72,8; 76,9; 84,6 yang merupakan karakteristik puncak kristal CaMg(CO3)2 sesuai dengan
data JCPDS. Puncak lain masih didapatkan dengan intensitas rendah yaitu pada 2θ = 29,4
yang teridentifikasi sebagai puncak karakteristik dari kristal CaCO3.
Puncak-puncak pada sampel dolomit Gresik setelah dikalsinasi ditemukan pada 2θ =
32,2; 37,3; 53,8; 64,1; yang merupakan karakteristik puncak kristal CaO [11]. Puncak
lain masih didapatkan dengan intensitas yang lebih rendah dari puncak CaO yaitu pada 2θ =
64,4; 67,3; 74,7 yang teridentifikasi sebagai puncak karakteristik dari kristal CaMg(CO3)2.
Selain itu, ditemukan puncak dengan intensitas sangat rendah pada 2θ = 28,6; 34,1; 47,1;
50,8 yang merupakan puncak karakteristik dari Ca(OH)2 [12].
Berdasarkan difraktogram diatas diketahui dolomit Gresik sebelum dikalsinasi
mengalami pergeseran puncak 2θ dibandingkan dolomit yang telah dikalsinasi. Sampel
dolomit Gresik yang telah dikalsinasi pada suhu 850C menunjukkan adanya puncak
karakteristik dari CaO sesuai dengan data JCPDS . Namun, sampel yang diperkirakan
mengandung CaO-MgO murni ternyata masih terdapat puncak dari fasa lain yang muncul
pada karakterisasi ini yaitu CaMg(CO3)2 dan Ca(OH)2.
Dekarbonasi adalah suatu reaksi reversibel yang bergantung pada konsentrasi CO2
dalam atmosfer, tekanan parsial, komposisi dasar, dan ukuran partikel senyawa karbonat [13].
Disosiasi CO2 berjalan tahap demi tahap dari permukaan luar menuju kedalam. Pembentukan
lapisan CO2 dipermukaan luar dapat terjadi ketika disosiasi dari dalam partikel berlangsung,
memudahkan rekarbonasi dari CaO menjadi CaCO3 [8].
Karakterisasi kedua sampel dolomit Gresik adalah uji situs basa. Uji situs basa meliputi
penentuan jumlah dan kekuatan situs basa. Uji situs basa dilakukan dengan metode titrasi.
Dari titrasi yang dilakukan diperoleh volume asam oksalat 0,1001 N sebanyak 54,95 mL
dengan jumlah situs basa sebesar 109,9 mmol/g.
![Page 25: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/25.jpg)
25
Kekuatan situs basa katalis dolomit Gresik diuji menggunakan indikator Hammett [14].
Indikator Hammett yang digunakan dalam penelitian ini adalah bromothymol blue (pKBH =
7.2), phenolphthalein (pKBH = 9.3), 2,4-dinitro-aniline (pKBH = 15.0), and 4-nitroaniline
(pKBH = 18.4). Dari uji yang dilakukan katalis dolomit Gresik memberikan perubahan warna
pada indikator bromothymol blue dari kuning menjadi biru, phenolphthalein dari tidak
berwarna menjadi rosa, 2,4-dinitroaniline dari kuning menjadi lembayung muda dan tidak
memberikan perubahan warna pada 4-nitroaniline. Oleh karena itu kekuatan basa katalis
dolomit Gresik berada pada rentang 7,2 < H_ < 18,4. Menurut Tanabe et al., 1989 [15], nilai
jumlah dan rentang kekuatan situs basa 7,2 < H_ < 18,4 termasuk basa kuat untuk reaksi
transesterifikasi.
Reaksi Bertahap Produksi Biodiesel
Langkah awal sebelum mereaksikan minyak jarak pagar (Crude Jatropha Curcas Oil)
dengan katalis dolomit Gresik adalah esterifikasi asam. Tahap ini merupakan proses
pretreatment utama untuk mengurangi kadar FFA (Free Fatty Acids) dalam minyak jarak
pagar. FFA adalah asam-asam lemak bebas dalam minyak jarak pagar yang dapat
menghalangi jalannya reaksi transesterifikasi dengan katalis dolomit Gresik.
Minyak jarak pagar direfluks menggunakan metanol dan katalis H2SO4 dalam labu alas
bulat leher tiga yang telah dilengkapi dengan kondensor. Reaksi dijalankan selama 1 jam pada
suhu 50C dalam penangas minyak. Penangas minyak dipilih karena dapat menjaga suhu
sistem lebih stabil dibandingkan penangas air. Biodiesel yang diperoleh dari reaksi esterifikasi
dengan asam ini kemudian ditentukan penurunan bilangan asamnya.
Dalam produksi biodiesel dari minyak jarak pagar (Crude Jatropha Curcas Oil)
menggunakan katalis dolomit Gresik, interferensi yang disebabkan oleh asam-asam lemak
bebas yang bereaksi dengan katalis harus dicegah. Masalah yang akan ditimbulkan dari
minyak jarak pagar yang memiliki kandungan FFA (free fatty acids) yang tinggi adalah FFA
tidak dapat dikonversi menjadi FAME (fatty acid methyl esters) menggunakan katalis basa
karena akan membentuk garam asam lemak (sabun). Adanya sabun dapat mencegah
pemisahan lapisan metil ester dari fraksi gliserin yang dihasilkan pada saat reaksi
transesterifikasi [16]. Untuk menyelesaikan masalah ini, asam-asam lemak bebas harus
dihilangkan dari minyak jarak pagar sebelum dilakukan reaksi transesterifikasi. Metode yang
paling umum untuk mengkonversi asam-asam lemak bebas menjadi FAME adalah dengan
melakukan reaksi esterifikasi menggunakan asam sulfat, asam p-toluena sulfonik, atau asam
alkil benzena sulfonik [17].
![Page 26: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/26.jpg)
26
Berdasarkan penentuan bilangan asam menggunakan metode ASTM D 974 [18]
diperoleh data bilangan asam minyak jarak pagar yang telah dilakukan reaksi esterifikasi
dengan H2SO4 mengalami penurunan bilangan asam dari 23,3157 mgKOH/g menjadi 0,7217
mgKOH/g.
Langkah berikutnya adalah transesterifikasi minyak jarak pagar yang telah diturunkan
bilangan asamnya dengan katalis dolomit Gresik dengan perbandingan mol antara minyak
jarak pagar (trigliserida) dan metanol sebesar 1:30 [19]. Sejumlah metanol direfluks dalam
labu alas bulat leher tiga dengan katalis dolomit Gresik selama 15 menit pada suhu 65C.
Selanjutnya minyak jarak pagar dimasukkan dalam sistem dan direfluks kembali dengan
variasi waktu 1; 2; 3; 4; 5 jam.
Dalam reaksi transesterifikasi minyak nabati, suatu trigliserida bereaksi dengan suatu
alkohol dengan adanya asam atau basa kuat sebagai katalis, membentuk suatu campuran alkil
ester asam-asam lemak. Keseluruhan proses adalah rangkaian dari tiga reaksi reversibel
berurutan, yang mana terbentuk monogliserida dan digliserida sebagai intermediet. Secara
stoikiometri, reaksi transesterifikasi membutuhkan 1 mol trigliserida (minyak jarak pagar) dan
3 mol alkohol (metanol). Alkohol berlebih diperlukan karena sifat alkohol yang mudah
menguap [20]. Selain itu, alkohol berlebih juga dibutuhkan untuk menambah hasil alkil ester
dan untuk memberikan fase pemisahan dari gliserol yang terbentuk. Beberapa faktor yang
berpengaruh dalam reaksi transesterifikasi adalah rasio molar minyak dan alkohol,
temperatur, dan kemurnian reaktan (terutama kandungan air) juga berpengaruh dalam reaksi
transesterifikasi [21].
Aktivitas Katalitik Dolomit Gresik
Kadar atau konversi biodiesel produk reaksi transesterifikasi minyak jarak pagar
dihitung dengan analisis GC-MS metode test EN 14103 [22]. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan diketahui konversi biodiesel bertambah sebanding dengan waktu reaksi sehingga
konversi biodiesel terbesar berada pada waktu reaksi 5 jam dengan nilai konversi sebesar
18,0%. Besarnya konversi biodiesel hasil reaksi transesterifikasi minyak jarak pagar
menggunakan katalis dolomit Gresik relatif kecil jika dibandingkan dengan menggunakan
CaO sintesis yang mampu mencapai konversi biodiesel sebesar 93% dengan waktu reaksi 1
jam [17].
Data karakterisasi XRD sampel dolomit Gresik setelah dikalsinasi dapat dikaitkan
dengan hasil komposisi analisa GC-MS [23]. Sampel dolomit Gresik setelah dikalsinasi tidak
hanya mengandung fasa kristal CaO, tetapi juga mengandung kristal CaMg(CO3)2 yang tidak
![Page 27: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/27.jpg)
27
aktif sebagai katalis dan Ca(OH)2 yang merupakan katalis yang aktif dalam reaksi
transesterifikasi. Pada penelitian Kouzu et al., 2007 [16], aktivitas katalitik menunjukkan
CaO>Ca(OH)2. CaCO3 dalam dolomit Gresik masih belum terkonversi semua menjadi CaO
dan CaO yang sudah dihasilkan dapat berinteraksi dengan udara membentuk Ca(OH)2 dan
CaCO3 seperti semula sehingga mengakibatkan aktivitas katalitik dolomit Gresik menjadi
berkurang.
KESIMPULAN
1. Dolomit Gresik dapat dimanfaatkan sebagai sumber katalis CaO melalui kalsinasi pada
suhu 850C. Karakterisasi XRD menunjukkan terbentuknya CaO dengan adanya puncak
yang khas dari katalis CaO yaitu pada 2θ = 32,2; 37,3; 53,8; dan 64,1.
2. Aktivitas katalitik dolomit Gresik sebagai katalis heterogen dalam produksi biodiesel
dari minyak jarak pagar memberikan konversi biodiesel sebesar 18,0% dengan waktu
reaksi 5 jam.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Alias, A., 2005, Alternative Energy for Sustainable Development, Two Days
National Seminar on Alternative Energy Sources, August 27-28, 2005, V.P.M.’s
Polytechnic, Thane
[2] Moser, R. B., 2009, Biodiesel Production, Properties, And Feedstocks, Plant
45:229–266
[3] Liu, X., Xianglan P., Yujun W., Shenlin Z., and Huayang H., 2007, Calcium
Methoxide As A Solid Base Catalyst for The Transesterification of Soybean Oil to
Biodiesel with Methanol, Fuel, 87: 1076-1082
[4] Martyanov, I. N. and Abdelhamid S, 2008, Comparative Study of Triglyceride
Transesterification in The Presence of Catalytic Amounts of Sodium, Magnesium,
and Calcium Methoxides, Applied Catalysis, 339: 455-52
[5] Zhu H., Wu Z., Chen Y., Zhang P., Duan S., Liu X., Mao Z., 2006, Preparation of
Biodiesel Catalyzed by Solid Super Base of Calcium Oxide and Its Refining
Process, Catalysis, 27: 391–6
[6] Warren, J., 2000, Dolomite: Occurrence, Evolution and Economically Important
Associations, Earth Science, 52: 1-81
![Page 28: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/28.jpg)
28
[7] Silberberg, Martin S. 2007. Principles of General Chemistry. New York: McGraw Hill
[8] Granados, M.L., Poves, M.D.Z., Alonso, D.M., Mariscal, R., Galisteo, F.C., Moreno-
Tost, R., Santamaría, J., Fierro, J.L.G., 2007, Biodiesel from Sunflower Oil by Using
Activated Calcium Oxide, Applied Catalysis B: Environmental 73: 317–326.
[9] Ngamcharussrivichai, Chawalit, Wipawee W., and Sarinyarak W., 2007, Modified
Dolomites As Catalysts for Palm Kernel Oil Transesterification, Journal of
Molecular Catalysis A: Chemical, 276: 24–33
[10] Canham, Geoff R and Tina Overton. 2006. Descriptive Inorganic Chemistry Fourth
Edition. New York: W. H Freeman and Company
[11] Nakatani, N., Takamori, H.,Takeda, K.,Sakugawa, H., 2009, Transesterification of
Soybean Oil using Combusted Oyster Shell Waste as a Catalyst. Bioresource
Technology, 100: 1510-1513
[12] Ngamcharussrivichai, Chawalit, Nunthasanti, P., Tanachai, S., Bunyakiat, K., 2010,
Biodiesel Production Through Transesterfication Over Natural Calciums. Fuel
Processing Technology, 91: 1409-1415
[13] Boynton, R.S., 1980, Chemistry and Technology of Lime and Limestone 2nd edition,
John Wiley & Sons, New York
[14] Lim, Boey P., Gaanty Pragas M., and Shafida Abd H., 2009, Biodiesel from
Adsorbed Waste Oil on Spent Bleaching Clay using CaO as a Heterogeneous
Catalyst, European Journal of Scientific Research, 33: 347-357
[15] Tanabe, K., Makoto M., Yoshio O., and Hideshi H., 1989, New Solid Acids and Bases
Their Catalytic Properties, Amsterdam: ELSEVIER SCIENCE PUBLISHERS B.V.
[16] Berchmans, Hanny J. and Shikoku H., 2007, Biodiesel production from crude
Jatropha curcas L. seed oil with a high content of free fatty acids, Bioresource
Technology, 99: 1716–1721
[17] Kouzu, M., Takekazu K., Masahiko T., Yoshikazu S., Shinya Y., and Jusuke H., 2007,
Calcium Oxide As A Solid Base Catalyst for Transesterification of Soybean Oil
and Its Application to Biodiesel Production, Fuel, 87: 2798-2806
[18] Mahajan, S., Samir K. Konar, and David G. B. B., 2006, Determining the Acid
Number of Biodiesel, JAOCS, 83: 567–570
[19] Tanaka, Y., Okabe, A., and Ando, S., 1981, Method for The Preparation of a Lower
Alkyl Ester of Fatty Acids, US Patent 4: 303±590.
![Page 29: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/29.jpg)
29
[20] Veljkovic, V. B., Olivera S. S., Zoran B. T., Miodrag L. L., and Dejan S. S., 2009,
Kinetics of Sunflower Oil Methanolysis Catalyzed by Calcium Oxide, Fuel, 10:
1016
[21] Schuchardt, U., Ricardo S., and Rogério M. V., 1998, Transesterification of
Vegetable Oils: A Review, J. Braz. Chem. Soc., 9: 199-210
[22] Ruppel, T. and Timon H., 2008, Fatty Acid Methyl Esters in B100 Biodiesel by Gas
Chromatography (Modified EN 14103), PerkinElmer, Inc, USA
[23] Qoniah, I., 2011, Penggunaan Cangkang Bekicot Sebagai Katalis Untuk Reaksi
Transesterifikasi Refined Palm Oil, Skripsi, Jurusan Kimia, FMIPA, ITS, Surabaya
![Page 30: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/30.jpg)
30
AMPLIFIKASI GEN PENYANDI ENDO-1,4-β-XILANASE ASAL ISOLAT 7
BAKTERI XILANOLITIK SISTEM ABDOMINAL RAYAP TANAH
Amaliah Labiqah, Ni Nyoman Tri Puspaningsih dan Sri Sumarsih
Program Studi S1 Kimia,Departemen Kimia, Fakultas Sains Teknologi Universitas
Airlangga
ABSTRAK
Enzim-enzim xilanolitik berperan penting dalam mengolah limbah-limbah pertanian yang
sebagian besar mengandung hemiselulosa dengan xilan sebagai komponen utamanya. Salah
satu enzim xilanolitik yang mampu mendegradasi xilan adalah enzim endo-1,4-β-xilanase.
Pada penelitian ini dilakukan amplifikasi gen penyandi endo-1,4-β-xilanase asal isolat 7
bakteri xilanolitik sistem abdominal rayap tanah. Amplifikasi dilakukan dengan metode PCR
menggunakan sepasang primer forward dan primer reverse yang didesain masing-masing
dengan nama endoF dan endoR. Hasil elektroforesis produk PCR menunjukkan gen penyandi
endo-1,4-β-xilanase dapat teramplifikasi dengan ukuran ±0,5bp.
Kata kunci : bakteri xilanolitik, rayap tanah, endo-1,4-β-xilanase, amplifikasi, PCR,
sekuensing
ABSTRACT
Xylanolyticenzymesplay an important rolein the processingof agriculturalwasteswhichcontain
most ofthehemicellulose with xylanasits maincomponent. One of enzymethat is able
todegradexylanisendo-1 ,4-β-xylanase enzyme. In this researchthe amplification ofthe gene
encodingendo-1 ,4-β-xylanase was isolated from xylanolytic bacterialisolates7 of
soiltermiteabdominalsystem. Performedby PCRamplificationusing theprimerpair
offorwardandreverseprimersdesignedrespectivelyby nameendoFandEndoR.
PCRproductelectrophoresisshowedgenes encodingendo-1 ,4-β-xylanase can beamplifiedin
sizeabout0,5bp.
Keywords : xilanolitic bacteria, soil termite, endo-1,4-β-xilanase, amplification, PCR,
sequencing
PENDAHULUAN
Limbah-limbah pertanian memiliki kandungan hemiselulosa yang terdiri atasxilan sebagai
komponen utama penyusun hemiselulosa. Xilandapat dihidrolisis menjadi xilosa dan
xilooligosakarida. Hidrolisis xilan dilakukan dengan bantuan biokatalis enzim yaitu enzim
![Page 31: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/31.jpg)
31
xilanase salah satunya enzim endo-1,4-β-xilanase. Pemanfaatan enzim endo-xilanase dalam
dunia industri diantaranya adalah untuk industri makanan, farmasi, kertas, prebiotik serta
bahan bakar yang dapat diperbaharui (Sriyapai et al, 2010). Salah satu jenis organisme di
alam yang melakukan aktivitas pendegradasi endo-xilanase adalah rayap (Purwadaria et al,
2004; Faulet et al, 2006).
Ratnadewi dkk. (2007), telah melakukan penelitian tentang isolasi, purifikasi serta
karakterisasi untuk mendapatkan enzim endo-xilanase dari bakteri xilanolitik sistem
abdominal rayap tanah yang disebut sebagai isolat 7 dan telah diidentifikasi secara
mikrobiologis memiliki homologi dengan Bacillus subtillisGH 11. Pokok riset saat ini telah
mengarah pada kebutuhan akan suatu isolat dan identifikasi organisme yang merupakan
penghasil utama (hyper-producer) sebagai produsen enzim xilanolitik baru.
Pada penelitian ini dilakukan amplifikasi gen penyandi endo-1,4-β-xilanase yang
berasal dari bakteri xilanolitik sistem abdominal rayap tanah isolat 7. Gen endo-1,4-β-xilanase
diamplifikasi dengan teknik PCR menggunakan sepasang primer yang akan didesain
berdasarkan urutan basa nukleotida gen penyandi endo-1,4-β-xilanase asal Bacillus subtilis
GH 11 dari Genbank. Primer untuk mengamplifikasi gen penyandi enzim endoxilanase yaitu
endoF untuk primer forward dan endoR untuk primer reverse. Hasil amplifikasi PCR ini
kemudian dianalisis urutan basa nukleotida penyusunnya dengan sekuensing.
METODE PENELITIAN
Sampel Penelitian
Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian yaitu bakteri sistem abdominal
rayap tanah isolat 7 dari penelitian Ratnadewi dkk. (2007).
Bahan penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu primer forward(endoF),
primer reverse (endoR), DNA Taq Polimerase, dNTP, Buffer Taq, dNTP, MgSO4, TrisCl,
TrisHCl, MgCl2, (NH4)2SO4, ddH2O, KIT QIAGEN (QI Aquick Gel Extraction Kit 50), media
Luria Bertani (LB) padat dengan komposisi: tripton 1%, NaCl 1%, yeast ekstrak 0.5% dan
bacto agar 2%. LB cair yaitu LB tanpa penambahan bacto agar, buffer TE (50 mM tris HCl
pH 8 dan 50 mM EDTA), larutan lisosim, larutan STEP (SDS 1%, Tris Cl, EDTA pH 8,
proteinase K ), fenol jenuh, Na-asetat,etanolabsolut, etanol 70%, TBE (Tris borat, Asam
Borat, EDTA pH 8), agarosa, Buffer Loading (Bromofenolbiru, sukrosa).
![Page 32: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/32.jpg)
32
Alat penelitian
pH meter, autoklaf, (OSK 6508 Steam pressure apparatus Ogawa Seiki Co., LTD),
laminair air flow cabinet (Kottermann 8580), sentrifuga Beckman (tipe TJ-6), timbangan
analitik (Mettler Toledo), oven (Memmert, Jerman), rotary shaker, lemari pendingin -20 0C
(Royal Chest Freezer BD195), eppendorf, mikro pipet, waterbath, shaker incubator
(Heidolph Polymax 1040), thermocycler, UV transluminator dan alat-alat gelas yang biasa
digunakan di laboratorium.
LANGKAH KERJA
Isolasi DNA kromosom
Sebanyak 10 mL suspensi sel bakteri xilanolitik sistem abdominal rayap tanah
diisolasi menggunakan metode Sambrook et al(1989).
Amplifikasi gen penyandi endo-1,4-β-xilanase dengan teknologi PCR
Primer didesain dengan menggunakan program komputer clone manager. Urutan basa
nukleotida penyandi gen endo-1,4-β-xilanase didapat dari Genbank, www.ncbi.nlm.nih.gov.
Kemudian dicari homologinya. Daerah yang sudah homolog diambil bagian ujung depan
sebagai primer forward endoF dengan penambahan restriksi SacI, dan ujung belakang sebagai
primer reverse endoR dengan penambahan restriksi XhoI.
Komposisi PCR terdiri DNA kromosom 10 μl, primer forward 2 μl, primer reverse 2
μl, MgSO4 1 μl, Taq polimerase 2 μl, buffer Taq 2 μl dan dNTP 1 μl. Komposisi DNA total
sebanyak 20 μl. Kondisi denaturasi pada suhu 94oC selama1 menit, 58
oC selama 1 menit dan
elongasi pada suhu 72 oC selama 1 menit dengan jumlah siklus 30 kali. pra-denaturasi pada
suhu 94oC selama 5 menit dan diakhiri dengan pasca elongasi yang dilakukan pada suhu 72
oC selama 10 menit.
Purifikasi Produk PCR
Purifikasi produk PCR dilakukan dengan menggunakan QI Aquick Gel Extraction KIT
50
Sekuensing amplikon dengan metode Sanger
Sekuensing dilakukan dengan alat Applied Biosystem di Laboratorium Macrogen
Singapore.
![Page 33: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/33.jpg)
33
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi DNA Kromosom Bakteri Xilanolitik Sistem Abdominal Rayap Tanah Isolat 7
Isolasi DNA kromosom bakteri xilanolitik sistem abdominal rayap tanah isolat 7 dilakukan
dengan metode Sambrook et al (1989) dan diperoleh hasil sebagai berikut (Gambar 1)
Gambar 1 Hasil elektroforesis DNA kromosom
Amplifikasi Gen Penyandi Endo-1,4-β-xilanase dengan teknik PCR
Untuk melakukan PCR didesain sepasang primer forward (endo F) dan primer reverse
(endoR) dengan menggunakan bantuan software clone manager. Primer didesain berdasarkan
pada urutan basa nukleotida gen penyandi endo-1,4-β-xilanase yang diambil dari Genbank.
Urutan basa nukleotida gen penyandi endo-1,4-β-xilanase yang diambil berasal dari kelompok
hidrolase famili 11 Bacillus Subtillis disebabkan karena bakteri xilanolitik dari sistem
abdominal rayap isolat 7 telah diidentifikasi secara mikrobiologis memiliki homologi dengan
Bacillus subtilis. Primer yang digunakan untuk amplifikasi gen penyandi endo-1,4-β-xilanase
asal isoalt 7 bakteri xilanolitik sistem abdominal rayap tanah didesain berdasarkan gen
penyandi endo-1,4-β-xilanase dari beberapa GH famili 11 yaitu Bacillus subtilis galur BD403
endo1,4beta-xyl (DQ100306.1), Bacillus subtilis galur G1 xylanase gene (EU848308.1),
Bacillus subtilis galur MW10 endo-1,4-beta-xyl (DQ100307.1), dan Bacillus subtilis galur R5
xyl (AB457186.1)
![Page 34: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/34.jpg)
34
Gambar 2 Hasil aligmentBacillus subtilis galur BD403 endo1,4beta-xyl (DQ100306.1),
Bacillus subtilis galur G1 xylanase gene (EU848308.1), Bacillus subtilis galur
MW10 endo-1,4-beta-xyl (DQ100307.1), dan Bacillus subtilis galur R5 xyl
(AB457186.1)
Panjang basa Primer forward endoF 39bp dengan urutan basa 5’
GGGGAGCTCTCCATGTTAAGTTTAAAAAGAATTTCTTAGTT 3’, memiliki Tm sebesar
67°C, 30% GC, tidak terjadi dimers dan harpains serta serta pada ujung 3’ tidak lebih dari 3
nukleotida dari primer forward komplemen dengan primer reverse ataupun
sebaliknya.Panjang primer reverse endoR adalah 23bp dengan urutan basa 5’
GCCTCGAGTTACCACACTGTTAC 3’, memiliki Tm sebesar 64°C, 52% GC, tidak terjadi
dimers dan harpains serta serta pada ujung 3’ tidak lebih dari 3 nukleotida dari primer
forward komplemen dengan primer reverse ataupun sebaliknya. Gambar 3 dan Gambar 4
menunujukkan hasil analisis desain primer forward endoF dan reverse endoR.
![Page 35: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/35.jpg)
35
Gambar 3 Analisis Primer Forward (endoF)
Gambar 4 Analisis Primer Reverse (endoR)
Analisis primer oleh program Clone manager pada Gambar 3 dan 4 menunjukkan
primer reverse memenuhi kriteria primer PCR yang disarankan oleh program Clone manager.
Sedangkan primer forward memiliki beberapa kriteria yang disarankan oleh program Clone
manager yang tidak terpenuhi. Primer forward memiliki panjang primer sepanjang 39 dan
30% GC. Dalam teorinya, jika suatu primer terlalu panjang maka dapat menyebabkan
kegagalan replikasi (Irawan, 2008 ; Yuwono, 2006). Namun, dalam penelitian (Paice, et al.,
1986) dan (Huang et al., 2005) pernah melakukan amplifikasi gen penyandi xilanase dengan
panjang basa 39 basa nukleotida. Urutan primer forward yang digunakan yaitu
![Page 36: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/36.jpg)
36
5’ CGAATTCCATGTTTAAGTTTAAAAAGAATTTCTTAGTT 3’ sama seperti urutan
primer forward endoF yang didesain dengan penambahan GC dan sisi restriksi yang berbeda.
Gambar 5Hasil alignment gen endo-1,4-β-xilanase GH 11 dari Bacillus subtillis
dengan primer forward endoF (F3 ENDO ORI) dan primer reverse
endoR (R ENDO INVERS)
PCR dijalankan dengan kondisi denaturasi awal 94ᵒC 1 menit; annealing 58ᵒC selama
1 menit; dan elongasi 72ᵒC selama 1 menit. Amplikon PCR yang berhasil diamplifikasi pada
penelitian ini yaitu sebesar ±500 bp
A B
![Page 37: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/37.jpg)
37
Gambar 6 Hasil elektroforesis PCR menggunakan primer endoF dan endoR
A. GeneRulerTM
1 kb DNA ladder
B. Amplikon gen penyandi endo-1,4-β-xilanase asal isolat 7 bakteri xilanolitik
sistem abdominal rayap tanah hasil PCR
Purifikasi atau pemurnian DNA Produk PCR
Purifikasi produk PCR dilakukan melalui purifikasi gel menggunakan reagen KIT (QI
Aquick Gel Extraction KIT 50
Gambar 7 Hasil elektroforesis amplikon PCR yang telah dimurnikan dengan reagen KIT
(QI Aquick Gel Extraction KIT 50
A. GeneRulerTM
1 kb DNA ladder
B. Amplikon gen penyandi endo-1,4-β-xilanase asal isolat 7 bakteri xilanolitik
sistem abdominal rayap tanah
Analisis urutan basa nukleotida dan homologi fragmen gen penyandi endo-1,4-β-
xilanase asal isolat 7 Bakteri Xilanolitik Sistem Abdominal Rayap Tanah
Sekuensing dilakukan dengan alat Applied Biosystems 3730XL squenser. Data hasil
sekuensing adalah sebagai berikut :
a) Sekuensing dengan primer forward endoF dengan Applied Biosystems 3730XL
squenser :
TCTCCCTGTACTAGGAGATCGTCAGCTTCCCACCTCTCAACTAGATGT
A B
3000bp
1000bp
500bp
250bp
±500bp
3000bp
1000bp
500bp
250bp
±500bp
![Page 38: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/38.jpg)
38
b) Sekuensing dengan primer reverse endoR dengan Applied Biosystems 3730XL
squenser :
TACATCAGCCTACGTCTGTATCTTTCCGGGGCCCCACAACCAGAGA
. Kedua hasil sekuensing tidak berhasil membaca urutan basa nukleotida gen penyandi endo-
1,4-β-xilanase asal isolat 7 bakteri xilanolitik sitem abdominal rayap tanah secara
keseluruhan. Hal ini diindikasikan karena faktor kemurnian DNA hasil produk PCR yang
kurang baik.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwagen penyandi endo-1,4-β-xilanase dengan ukuran
0,5bp asal isolat 7 bakteri xilanolitik sistem abdonminal rayap tanah dapat diamplifikasi
dengan metode PCR menggunakan desain primer endoF dan endoR.
SARAN
1. Dilakukan pemurnian dan sekuensing ulang terhadap DNA gen penyandi endo-1,4-β-
xilanase asal isolat 7 bakteri xilanolitik sistem abdonminal rayap tanah
2. Dilakukan amplifikasi ulang dengan primer yang berbeda atau melakukan desain primer
baru untuk urutan gen penyandi endo-1,4-β-xilanase.
DAFTAR PUSTAKA
Beg Q. K., Kapoor M., Mahajan L., Hoondal G. S., 2001, Microbial Xylanases and their
Industrial Applications : a Review, Applied Microbiology and
Biotechnology, Vol. 56, p. 326-338.
Brown T.A., 2010, Gene Cloning an Introduction, 3rd
edition, Chapman & Hall, United
Kingdoom.
Erlich H. A., 1992, PCR Technology : Principles and Application for DNA Amplification,
W. H. Freeman and company, USA.
Faulet B. M., Niamke S., Gonnety J. T., Kouame, L. P., 2006. Purification and Biochemical
Properties of a New Thermostable Xylanase from Symbiotic Fungus,
Termitomyces sp.,African Journal of Biotechnology, Vol. 5, p. 273-282.
Huang J., Whang G., Xiao L., 2006, Cloning, sequencing and expression of the xylanase
gene from a Bacillus subtilis strain B10 in Escherichia coli,Bioresource
Technology, Vol. 97, p. 802-808.
![Page 39: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/39.jpg)
39
Innis M. A., Gelfan D. H., John S., PCR Protocols : A Guide to Methode Application,
1990, Academic Press, New York.
Irawan B., 2008, Genetika Molekuler, Airlangga University Press, Surabaya.
Poorna C. Asha., Prema P., 2006, Production and partial characterization of
endoxylanase by Bacillus pumilus using agro industrial residues,
Biochemical Engineering, Vol. 36, p. 106-112.
Purwadaria T., Ardiningsih P., Ketaren P. P., dan Sinurat A. P., 2004. Isolasi dan Penapisan
Bakteri Xilanolitik Mesofil dari Rayap. Jurnal Mikrobiologi Indonesia 9.
Radek R., 1999, Flagellates, Bacteria, and Fungi Associated with Termites : Diversity
and Function in Nutrition-A Review,Ecotropica, Vol.5 (2), p. 183-196.
Ratnadewi A. A. I., Handayani W., Hadi A. F., Sa’diyah H., Budi L., 2007,
Isolasi,Pemurnian dan Karakterisasi Enzim Xilanolitik Asal Mikrob
Dalam Sistem Intestin Rayap Untuk Memproduksi Xilooligosakarida
Sebagai Pereduksi Resiko Kanker, Uneversitas Jember, Jember.
Sambrook J., Fritsch E. F., Maniatis T., 1989, Molecular Cloning, 2nd
Edition, Cold Spring
Harbor Laboratory Press, New York.
Subramaniyan S., Prema P., 2002, Biotecnology of Microbial Xylanases : Enzymology,
Molecular Biology, and Application, Critical Rev Biotechnol, Vol. 22, p. 33-
64.
Tarumingkeng R. C., 2001, Biologi dan Perilaku Rayap, Program Studi Ilmu Hayati Institut
Pertanian Bogor, Bogor (diakses online dari
www.rudyct.com/biologi_perilaku_rayap.htm).
White B. A., 1997, PCR Cloning Protocols, Humana Press, New Jersey.
Yuwono T., 2006, Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction : Panduan Eksperimen
PCR untuk memecahkan masalah Biologi Terkini, Penerbit Adi,
Yogyakarta.
![Page 40: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/40.jpg)
40
ANALISIS NITROSODIETILAMIN (NDEA) DENGAN TEKNIK KROMATOGRAFI
GAS MELALUI HEADSPACE SINGLE DROP MICROEXTRACTION (HS-SDME)
Any Shofiyah, Miratul Khasanah dan Yanuardi Raharjo
Departeman Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
Jl. Mulyorejo, Surabaya
ABSTRACT
Headspace single drop microextraction is a sample preparation technique belongs to
a rapid, simple, selective, sensitive and efficient. In this research studied of HS-SDME
method was used to analyze nitrosodiethylamine (NDEA) in salted fish using gas
chromatography flame inonization detector. The optimized analytical parameter is volume of
extraction 30 mL using microextraction solvent ethyl acetate and the temperature 30 °C. The
curve of linear calibration generated for NDEA’s concentration of 10-50 ppm obtained values
of r = 0.999, limit of detection is 0.53 ppm, accuracy is 100.15%, precision between 0.05 to
1,07 and enrichment factor 10,015. From the analysis performed, this method was
successfully applied to determine NDEA in salted fish. The analyze result of salted fish is
3,34 ppm.
Keyword: HS-SDME, gas chromatography flame ionization detector (GC-FID),
nitrosodiethylamine (NDEA)
ABSTRAK
Headspace single drop microextraction (HS-SDME) merupakan teknik preparasi
sampel yang tergolong cepat, sederhana, murah, selektif, sensitif dan efisien. Pada penelitian
ini dipelajari penggunaan metode HS-SDME untuk analisis senyawa nitrosodietilamin
(NDEA) dalam ikan asin menggunakan instrumentasi kromatografi gas dengan menggunakan
detektor FID (flame inonization detector). Hasil optimasi parameter analitik volume larutan
umpan 30 mL dengan menggunakan etil asetat sebagai pelarut organik dan temperatur 30°C
dihasilkan kurva kalibrasi linier untuk larutan standar NDEA konsentrasi 10-50 ppm. Nilai
![Page 41: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/41.jpg)
41
koefisien korelasi (r) kurva kalibrasi yang diperoleh = 0,999, limit deteksi 0,53 ppm, akurasi
sebesar 100,15%, presisi antara 0,05-1,07 dan faktor pemekatannya sebesar 10.015. Dari hasil
analisis yang dilakukan, metode ini berhasil diterapkan dalam penentuan NDEA yang
merupakan senyawa karsinogen yang terdapat dalam ikan asin. Hasil analisis penentuan kadar
NDEA yang ditemukan dalam ikan asin adalah 3,34 ppm.
Kata kunci : HS-SDME, kromatografi gas flame ionization detector (GC-FID),
nitrosodietilamin (NDEA)
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemajuan ilmu
kimia analitik juga semakin bertambah pesat. Perkembangan yang terjadi dalam bidang ilmu
kimia analitik tidak hanya pada metode analisis saja, akan tetapi juga pada prosedur
pemisahan, penanganan dan penghilangan interferensi pada sampel yang biasanya dikenal
dengan teknik preparasi sampel. Hal ini dikarenakan teknik preparasi sampel memegang
peranan penting dalam proses analisis suatu senyawa kimia. Adapun tujuan dari preparasi
sampel yaitu untuk mengisolasi analit dari matrik sampel dan memekatkannya agar bisa
terdeteksi oleh instrumen yang ada.
Teknik preparasi sampel yang berkembang pesat pada saat ini adalah ekstraksi. Salah
satu teknik ekstraksi yang dikembangkan adalah teknik mikro ekstraksi. Ekstraksi mikro
tetesan tunggal (EMTT) atau yang biasa disebut single drop micro extraction (SDME)
merupakan jenis mikroekstraksi cair-cair dengan menggunakan pelarut organik dalam jumlah
sangat sedikit (dalam kisaran mikroliter) yang dibiarkan menggantung di ujung jarum syring
dan diletakkan di dalam larutan sampel.
Ekstraksi dengan menggunakan teknik SDME ini sangat efektif jika digunakan untuk
menganalisis senyawa golongan nitrosamin. Kelebihan metode SDME dibandingkan dengan
metode yang lain yaitu tidak dibutuhkannya pelarut organik dalam jumlah banyak sehingga
menunjang prinsip dari green chemistry, kesetimbangan distribusinya saat ekstraksi cepat
tercapai, pemisahan fasanya sempurna, waktu ekstraksinya relatif singkat dan ekstraknya
langsung dapat diinjeksikan ke instrumen seperti kromatografi gas atau GC (gas
chromatography). SDME meliputi dua bentuk ekstraksi, yaitu direct-SDME dan HS-SDME
(headspace-single drop microextraction)[1]
.Teknik HS-SDME sangatlah cocok jika digunakan
untuk analisis senyawa golongan nitrosamin yang sifatnya mudah menguap. Teknik ekstraksi
ini tergolong cepat, sederhana dan relatif murah[2]
.
![Page 42: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/42.jpg)
42
Teknik SDME merupakan teknik preparasi sampel yang tepat digunakan pada analisis
senyawa nitrosamin. Senyawa nitrosamin banyak dijumpai dalam makanan seperti ikan
asin dan kornet. Ikan asin dan kornet tergolong makanan yang sangat mudah rusak karena
kandungan gizi dan kadar airnya yang cukup tinggi[3]
. Oleh karena itu untuk
memperpanjang umur bahan makanan tersebut digunakan suatu bahan pengawet.
Penggunaan nitrit sebagai pengawet ikan asin dan daging (kornet) dapat menimbulkan efek
yang berbahaya pada tubuh. Kadar nitrit yang tinggi dalam tubuh manusia akan
mengakibatkan resiko alergi dan dapat bereaksi dengan senyawa amina dan asam amino
dalam tubuh sehingga menghasilkan senyawa nitrosamin yang bersifat karsinogen[4,5]
.
Berdasarkan sifat nitrosamin yang karsinogenik dan keberadaanya di lingkungan
sangat kecil (ppb dan ppm) maka diperlukan suatu metode analisis yang mempunyai
sensitivitas dan selektivitas tinggi. Pada penelitian ini dilakukan analisis nitrosamin pada ikan
asin secara kromatografi gas (GC) melalui ekstraksi secara HS-SDME. Parameter yang
dipelajari adalah volume larutan umpan dengan menggunakan temperatur 30°C dan etil asetat
sebagai pelarut organiknya. Dari hasil optimasi volume larutan umpan tersebut dicari kondisi
optimumnya yang selanjutnya ditentukan parameter validasi meliputi limit deteksi, akurasi,
presisi dan faktor pemekatan.
METODE PENELITIAN
Bahan penelitian
Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini antara lain nitrosodietilamin (NDEA)
99,99% (supelco), pelarut organik (metanol dan etil asetat) (pa) dari merch dan sampel yang
digunakan adalah ikan asin yang diperoleh dari salah satu pasar di wilayah Mulyorejo,
Surabaya.
Alat-alat penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kromatografi gas (gas
chromatography-flame ionization detector/GC-FID) tipe Hewlett Packard series II 5890,
dengan menggunakan kolom HP-5 (panjang 30 m; diameter 0,250 mm; dan film 10,10 µm),
microsyringe, mikropipet, pengaduk magnetik (stirrer), batang pengaduk, corong buchner
dan peralatan gelas yang lazim digunakan di laboratorium.
![Page 43: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/43.jpg)
43
Kondisi kromatografi gas yang digunakan
Kromatografi gas yang digunakan yaitu GC Hewlett Packerd series II 5890, USA dan
untuk tipe kolomnya digunakan HP-5 (5% fenil tersubstitusi methylpolysiloxane) 30 m - 0.250
mm; 10,10 µm yang sifatnya non polar[6]
. Detektor yang digunakan adalah detektor FID
(flame ionization detector) dan sebagai gas pembawanya digunakan gas hidrogen dan nitrogen
dengan laju alir 68 mL/menit.
Pengaturan kondisi gas yang diguanakan dalam analisis NDEA sebagai berikut,
Injector A 250 °C, Detector A 300 °C, Initial temperature 40 °C, Initial time 3 menit, Rate
10,0 °C/menit, Final temperature 120 °C dan Final time 1,00 menit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Optimasi Volume Larutan Umpan
Optimasi volume larutan sampel atau larutan umpan dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui efisiensi ekstraksi. Optimasi volume larutan dilakukan dengan menggunakan etil
asetat sebagai pelarut organik dan temperatur sebesar 30°C. Hasil analisis NDEA pada
optimasi volume larutan umpan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kurva hubungan antara luas area kromatogram NDEA 30 ppm dengan volume
larutan umpan
Dari kurva tersebut terlihat luasan area kromatogram pada optimasi volume larutan
ekstrak mengalami kenaikan sampai pada volume 30 mL dan kemudian pada volume 40 mL
mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa tetesannya telah jenuh dengan NDEA
dari larutan umpan dengan volume 30 mL. Maka dari itu volume larutan umpan 30 mL dipilih
sebagai volume optimum dalam analisis NDEA dengan HS-SDME.
10000
12000
14000
16000
0 10 20 30 40 50
Luas
are
a kro
mat
ogra
m
(sat
uan
)
Volume larutan ekstrak (mL)
![Page 44: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/44.jpg)
44
Penentuan Validitas Metode
Penentuan validitas metode pada analisis NDEA secara kromatografi gas didasarkan
pada persamaan regresi linier kurva kalibrasi NDEA dengan ekstraksi HS-SDME.
Dari hasil perhitungan diperoleh limit deteksi pada analisis NDEA tanpa HS-SDME
secara kromatografi gas sebesar 1,41 ppm sedangkan bila menggunakan HS-SDME diperoleh
limit deteksi sebesar 0,53 ppm. Perbedaan limit deteksi pengukuran NDEA secara
kromatografi gas tanpa dan dengan HS-SDME dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kurva standar NDEA tanpa dan dengan HS-SDME
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode HS-SDME dapat meningkatkan
sensitivitas alat dalam merespon analit.
Nilai akurasi dari penelitian berkisar antara 98,80% sampai 101,8% dengan akurasi
rata-ratanya 100,15%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis NDEA dengan
menggunakan metode HS-SDME dengan menggunakan kromatografi gas mempunyai akurasi
yang baik. Akurasi dikatakan baik apabila rentang nilainya berkisar 90%-110%[7]
. Presisi
analisis NDEA dengan menggunakan metode HS-SDME sangat baik karena nilai presisinya
berkisar antara 0,05%-1,07%. Suatu metode dikatakan mempunyai presisi yang baik jika nilai
koefiisien variasi yang kurang dari 3%[8]
.
Pemekatan secara teoritis pada analisis NDEA dengan HS-SDME sebesar 10.000 kali.
Sedangkan pada pemekatan yang sebenarnya sebesar 10.015 sehingga dapat disimpulkan
bahwa faktor pemekatan pada metode HS-SDME sangat baik karena tidak ada beda yang
terlalu jauh antara faktor pemekatan teori dengan faktor pemekatan yang sebenarnya.
0
5000
10000
15000
20000
25000
0 10 20 30 40 50
Konsentrasi (ppm)
Tanpa HS-SDME
Dengan HS-SDME
Luas
area
kro
mat
ogra
m
(sat
uan
)
![Page 45: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/45.jpg)
45
Aplikasi Metode HS-SDME-GC-FID
Konsentrasi NDEA dalam sampel dihitung dengan cara memasukkan luas area hasil
pengukuran sampel ke persamaan regresi linear dari kurva kalibrasi NDEA dengan HS-
SDME. Besarnya konsentrasi NDEA dalam sampel ikan asin dinyatakan dalam ppm. Hasil
dari perhitungan tersebut diperoleh besarnya konsentrasi NDEA dalam sampel ikan asin
sebesar 3,34 ppm. Dengan menggunakan teknik standar adisi diperoleh konsentrasi NDEA
sebesar 7,46 ppm dengan recovery sebesar 89,44%.
Dari hasil penambahan standar adisi tersebut dikatakan bahwasanya matrik yang
terdapat dalam sampel kemungkinkan masih berpengaruh pada proses analisis. Adanya
senyawa organik dalam sampel dapat menurunkan efisiensi ekstraksi dikarenakan senyawa
organik yang terdapat dalam sampel memiliki kesamaan sifat misal dalam hal kepolaran,
sehingga apabila diekstraksi dengan pelarut pengekstrak senyawa tersebut ikut terekstrak,
akibatnya NDEA yang terserap ke dalam pelarut pengekstrak (etil asetat) menjadi berkurang.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
1. Kondisi optimum yang digunakan dalam analisis NDEA secara kromatografi gas melalui
teknik HS-SDME dapat dicapai dengan menggunakan parameter optimasi volume larutan
umpan sebanyak 30 mL.
2. Berdasarkan kondisi parameter yang telah optimum, diperoleh nilai limit deteksi dengan
menggunakan metode HS-SDME sebesar 0,53 ppm, akurasi sebesar 100,15%, presisi
antara 0,05-1,07 dan faktor pemekatannya sebesar 10.015. Hasil recovery dari
penambahan standar adisi sampel ikan asin adalah 89,44%
3. Metode HS-SDME sangat efektif digunakan untuk analisis NDEA dalam sampel ikan
asin secara kromatografi gas. Konsentrasi NDEA pada sampel ikan asin adalah 3,34 ppm.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Pena-Pereira, F., Lavilla, I., Bendicho, C., 2010, Colorimetric Assay for
Determination of Trimethylamine-Nitrogen (TMA-N) in Fish by Combining
Headspace-Single-Drop Microextraction and Microvolume UV-Vis
Spectrophotometry, Food Chemistry, Vol.119: 402-407
[2] Hashemi, M., Habibi, A., Jahanshahi, N., 2011, Determination of Cyclamate in
Artificial Sweeteners and Beverages Using Headspace Single-Drop
Microextraction and Gas Chromatography Flame-Ionisation Detection, Food
Chemistry, Vol.124: 1258-1263
![Page 46: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/46.jpg)
46
[3] Muchtadi, T.R., 2008, Teknologi Pengolahan Pangan (Food Processing Technology)
Direktorat jenderal tinggi pusat antar universitas pangan dan gizi. Institute Pertanian
Bogor, Bogor.
[4] Marco, A., Navarro, J, S., and Flores, M., 2006, The Influence of Nitrite and Nitrate
on Microbal, Chemical and Sensory Parameters of Slow Dry Fermented Sausage, Meat Science, Vol.73:660-673
[5] Ozel, M, Z., Gogus, F., Yagci, S., Hamilton, J, F., Lewis, A, C., 2010, Determination
of Volatile Nitrosamines in Various meat Products Using Comprehensive Gas
Chromatography-Nitrogen Chemiluminescence Detection, Food and Chemical
Technology, Vol.48: 3268-3273
[6] Rouessac, F., dan Rouessac, A., 2007, Chemical Analysis Modern Instrumentation
Methods and Techniques 2nd
Edition, Wiley, England.
[7] Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya,
majalah ilmu kefarmasian vol. 1 no. 3 hal. 117-135
[8] Miller, J.C., dan Miller, J.N., 1988, Statistics for Analytical Chemistry Second Edition,
Elllis Horwood Limited, England
![Page 47: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/47.jpg)
47
PENENTUAN CEMARAN MELAMIN DALAM SUSU SECARA POTENSIOMETRI
MENGGUNAKAN ELEKTRODA PASTA KARBON NANOPORI / MOLECULARLY
IMPRINTED POLYMER
Asri Zulchana Sari, Muji Harsini, Suyanto
Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga
ABSTRACT
Research on determination of melamine contaminant in milk by potentiometric using
nanoporous carbon paste / Molecularly Imprinted Polymer electrode has been done. The
purpose of research are to know the accuracy (%recovery) of the analysis of melamine
contaminant in milk. Synthesis of Molecularly Imprinted Polymer is performed by mixing 0,2
mmol of melamine as template, 0,8 mmol of methacrylicacid as monomer, and 2,4 mmol of
ethylene glycol dimethacrylic as crosslinker. The optimum electrode result in ratio at 45:20:35
of nanoporous carbon, MIP, and paraffin with the optimum pH from 3,0 to 4,0. The range of
measurement is 10-6
-10-2
M, limit of detection is 9,51 x 10-7
M, and the Nernst factor is 54,4
mV/decade. The value of precision for concentration 10-4
M and 10-3
M are 1,17 and 1,98
and accuracy for the measurement of concentration 10-4
M and 10-3
M are 106,1% and
104,3%. The selectivity coefficient values for ion Ca2+
, K+, Mg
2+, Na
+ are 6,77x10
-3, 1,02x10
-
4, 1,47x10
-3, and 3,21x10
-4 which means that the ions do not interference with the
measurement of electrode in analysis. The value of accuracy (%recovery) measurement in
milk that are spiked with melamine at a certain concentration as measured by nanoporous
carbon paste electrode/MIP is 86,6%.
Key Word : melamine, milk, potentiometric, nanoporous carbon, molecularly imprinted
polymer
![Page 48: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/48.jpg)
48
ABSTRAK
Penelitian tentang penentuan cemaran melamin dalam susu secara potensiometri
menggunakan elektroda pasta karbon nanopori/Molecularly Imprinted Polymer telah
dilakukan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui besarnya akurasi (%R) terhadap analisis
kontaminan melamin dalam susu. Pembuatan Molecularly Imprinted Polymer (MIP)
dilakukan dengan mereaksikan sebanyak 0,2 mmol melamin sebagai template, 0,8 mmol asam
metaklirat sebagai monomer, dan 2,4 mmol etilen glikol dimetaklirat sebagai crosslinker.
Elektroda yang optimum dihasilkan pada kompisisi karbon nanopori, MIP, dan parafin
sebesar 45:20:35 dengan pH optimum yaitu 3,0-4,0. Dari hasil analisis diperoleh jangkauan
pengukuran 10-6
-10-2
M, hasil batas terkecil pengukuran sebesar 9,51 x 10-7
M, dan faktor
Nernst 54,4 mV/dekade. Besarnya presisi untuk konsentrasi 10-4
M dan 10-3
M sebesar 1,17
dan 1,98 dan akurasi untuk pengukuran konsentrasi 10-4
M dan 10-3
M sebesar 106,1% dan
104,3%. Nilai koefisien selektivitas untuk ion Ca2+
, K+, Mg
2+, Na
+ sebesar 6,77x10
-3,
1,02x10-4
, 1,47x10-3
, dan 3,21x10-4
yang artinya ion-ion tersebut tidak mengganggu
pengukuran elektroda pada analisis. Nilai akurasi (%perolehan kembali : %recovery)
pengukuran melamin dalam susu yang di-spiked dengan melamin pada konsentrasi tertentu
yang diukur dengan elektroda pasta karbon nanopori/MIP adalah sebesar 86,6%.
Kata Kunci : melamin, susu, potensiometri, karbon nanopori, molecularly imprinted polymer
PENDAHULUAN
Melamin (2, 4, 6-triamino-1, 3, 5-triazina) adalah senyawa kimia antara (intermediate)
yang digunakan dalam pembuatan resin amino dan plastik (IARC, 1999). Pada tahun 2008
terjadi insiden pencampuran melamin pada susu bubuk di China yang menimbulkan
kekhawatiran serius tentang melamin untuk keamanan pangan (Turnipseed, 2008).
Melamin adalah senyawa yang kaya akan nitrogen (66% melamin adalah nitrogen).
Melamin yang ditambahkan ke dalam susu selama pengolahan dimaksudkan untuk seolah-
olah dapat meningkatkan kandungan proteinnya, karena selama ini kandungan protein dinilai
berdasarkan analisis kandungan nitrogen total (Nshisso, 2010).
Telah dilakukan penelitian mengenai analisis melamin, diantaranya analisis melamin
dalam susu dengan metode potensiometri dengan sensor Molecularly Imprinted Polymer
(MIP) oleh Qin dkk (2009) dan penelitian mengenai pembuatan sensor potensiometri
melamin berbasis karbon nanopori Molecularly Imprinted Polymer (MIP) dengan monomer
![Page 49: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/49.jpg)
49
asam metaklirat, menggunakan kawat tembaga (Cu) sebagai penghantar (Mandasari, 2011).
Namun, dalam metode ini belum diaplikasikan dalam pengukuran susu yang mengandung
kontaminan melamin.
Pemilihan karbon nanopori tersebut dikarenakan karbon merupakan material yang
inert, memiliki luas permukaan yang besar, dan memiliki konduktivitas yang tinggi (Pyun dan
Lee). Sedangkan Molecularly Imprinted Polymer (MIP) dikenal sebagai teknik polimerisasi
yang dibentuk dengan mereaksikan suatu monomer fungsional, crosslinker, dan inisiator yang
mengelilingi molekul template (analit). Kemudian template dihilangkan melalui proses
ekstraksi, sehingga terbentuk polimer yang telah tercetak sesuai dengan molekul analit.
Polimer tercetak ini yang spesifik terhadap analit dalam sampel (Brüggemann, 2007).
Pada penelitian ini, digunakan metode potensiometri yang berbasis pada modifikasi
MIP dengan elektrode pasta karbon nanopori dan logam perak (Ag) sebagai penghantar.
METODE PENELITIAN
Bahan penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melamin, asam metaklirat
(MAA), etilen glikol dimetaklirat (EGDMA), benzoil peroksida, kloroform, akuadem,
metanol, asam asetat, natrium asetat trihidrat, kalium hidrogenfosfat trihidrat, kalium
dihidrogenfosfat, natrium klorida, kalium klorida, kalsium klorida dihidrat, magnesium
klorida heksahidrat, asam trikloro asetat (TCA), kawat perak (Ag), parafin padat, dan karbon
nanopori. Karbon nanopori diperoleh dari Puslitbang Hasil Hutan Bogor. Semua bahan kimia
berderajat kemurnian pro analisis.
Alat penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat potensiometer
Cyberscan 510, pH-meter tipe 744, instrumen FTIR, hotplate magnetic stirrer, tube
mikropipet 1000 µL, serta alat-alat gelas yang umum dipakai untuk penelitian di
laboratorium.
Pembuatan Molecularly Imprinted Polymer (MIP)
Molecularly Imprinted Polymer (MIP) dibuat dengan cara mereaksikan 0,2 mmol
melamin dalam 5 mL kloroform dengan 0,8 mmol asam metaklirat dalam 5 mL kloroform.
Kemudian, larutan tersebut didiamkan selama 1 jam.
![Page 50: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/50.jpg)
50
Ke dalam gelas piala yang berbeda, direaksikan sebanyak 2,4 mmol etilen glikol
dimetaklirat (EGDMA) dengan 1 mmol benzoil peroksida yang sebelumnya telah dilarutkan
dalam 1 mL kloroform. Campuran ini dimasukkan ke dalam campuran larutan melamin dan
asam metaklirat dan dipanaskan pada suhu 600C selama kurang lebih 2 jam tanpa adanya
pengadukan. Hasil akan terbentuk padatan, kemudian dihaluskan dan diayak dengan ukuran
200 mesh. Selnjutnya MIP yang terbentuk dicuci dengan asam asetat dan metanol dengan
perbandingan 2:8(v/v), kemudian dicuci dengan air 700C (Qin dkk, 2009). Polimer MIP telah
terbentuk pada reaksi ini. Kemudian, pembuatan polimer kontrol dengan cara yang sama
namun tanpa penambahan melamin ke dalamnya.
Pembuatan badan elektroda pasta karbon nanopori/MIP
Elektroda dibuat dengan mengisi sebanyak ¾ tube mikropipet dengan parafin yang
sebelumnya telah dimasukkan kawat logam Perak (Ag) sebagai penghantar. Kemudian
sisanya diisi dengan padatan karbon nanopori yang telah dicampur dengan parafin padat dan
MIP yang telah dibuat pasta dengan pemanasan dan dimasukkan dengan penekanan sehingga
tube akan padat penuh berisi. Ujung permukaan elektroda kemudian digosok dengan kertas.
Pembuatan sampel susu ber-spiked melamin
Pembuatan sampel susu ber-spiked dengan melamin dibuat dengan cara melarutkan
satu gram susu bubuk dan di tambahkan 5 mL larutan melamin 10-2
M dan 1,5 mL Asam
Trikloro Asetat (TCA) 5%. Campuran tersebut di sentrifugasi selama 20 menit dengan skala
8. Filtrat kemudian dipisahkan dengan endapan untuk diuji dengan elektroda yang telah dibuat
(Kusumaningputri, 2010).
Pengukuran cemaran melamin dalam susu
Penelitian diawali dengan melakukan optimasi elektroda pasta karbon naopori/MIP
yang telah dibuat dengan berbagai komposisi. Kemudian, dilakukan pengukuran kedalam
larutan melamin yang telah dibuat pada konsentrasi 10-8
M hingga 10-2
M. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan potensiometri dengan elektroda pembanding Ag/AgCl.
Setelah dihasilkan elektroda yang optimum, kemudian dilakukan optimasi pH pada rentang
pH 2-8 dan dilakukan pengukuran besarnya validasi metode meliputi jangkauan pengukuran,
faktor Nernst, batas deteksi, presisi, akurasi, dan sektifitas terhadap ion pengganggu.
Selanjutnya dilakukan pengukuran cemaran melamin dalam susu.
![Page 51: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/51.jpg)
51
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pembuatan Molecularly Imprinted Polymer (MIP) dan polimer kontrol
Campuran awal berupa melamin dan asam metaklirat memiliki perbandingan mol
asam metaklirat yang ditambahkan lebih besar dibandingkan melamin, dengan tujuan agar
ketika direaksikan, maka akan terbentuk cetakan melamin yang dikelilingi oleh asam
metaklirat, karena pada keadaan yang sama, melamin dapat pula bertindak sebagai
monomernya. Proses polimerisasi yang terjadi adalah polimerisasi adisi. Polimerisasi adisi
dibantu dengan penambahan inisiator yaitu benzoil peroksida yang berfungsi mengubah asam
metaklirat menjadi suatu molekul radikal yang nantinya akan dengan mudah mengalami tahap
propagasi atau pemanjangan rantai (Odian, 1991).
Proses polimerisasi selesai adalah ketika cairan bening yang dipanaskan berubah
menjadi padatan putih kekuningan menyerupai keramik yang menempel pada gelas beker.
Hasil padatan halus kemudian dicuci dengan campuran asam asetat dan metanol dengan
perbandingan 2:8 (v/v) untuk menghilangkan sisa-sisa reaktan pada proses polimerisasi yang
tidak bereaksi (Mandasari, 2011). Pencucian dilanjutkan dengan menggunakan air panas 700C
yang dimaksudkan untuk mengekstraksi template yang ada pada MIP. Pada akhir pencucian,
diharapkan mampu menghasilkan MIP dengan cetakan molekul melamin yang spesifik seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Pembuatan polimer kontrol dilakukan tanpa ditambahkan template melamin.
Sehingga, nantinya polimer kontrol tidak memiliki sisi pengenal aktif melamin.
N
N
N
NH2
NH2H2N
O
C
OH
N
N
N
NH
NH
HN
H
H
O
O
C
H
H
O
O
C
C
HH
O O
C
+
kloroform
(melamin) (asam metaklirat)
N
N
N
NH
NH
HN
H
H
O
OH
H
O
O
C
HH
O O
H
O
OH
O
O
C
H
O O
EGDMA
Benzoil
peroksida
air ∆700C
![Page 52: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/52.jpg)
52
Gambar 1 Polimerisasi Molecularly Imprinted Polymer (MIP)
Karakterisasi Molecularly Imprinted Polymer (MIP) dan polimer kontrol
Polimerisasi yang terjadi pada MIP ditunjukkan dengan adanya pergeseran peak gugus
C=O terkonjugsi pada asam metaklirat yaitu pada bilangan gelombang 1697 cm-1
menjadi
gugus C=O pada bilangan gelombang 1731,25 cm-1
. Hal ini disebabkan karena adanya
perubahan ikatan C=O terkonjugasi pada spektra asam metaklirat bergeser menjadi ikatan
C=O tanpa konjugasi setelah terjadi polimerisasi yang ditunjukkan oleh Gambar 2 spektra 1.
Melamin yang telah berhasil diekstrak ditunjukkan dengan hilangnya peak N-H
disekitar 3564,40 cm-1
yang terlihat pada spektra 1 dan hilang pada spektra 2. Selain itu,
melamin yang berhasil terekstrak memiliki peak O-H karboksil dari asam metaklirat yang
melebar pada bilangan gelombang 3433,23 cm-1
.
Terjadinya polimerisasi pada polimer kontrol ditunjukkan dengan pergeseran peak
gugus C=O yang terkonjugasi pada asam metaklirat yang ditunjukkan pada bilangan
gelombang 1697 cm-1
menjadi gugus C=C pada bilangan gelombang 1731,14 cm-1
. Hal ini
disebabkan karena perubahan ikatan C=O terkonjugasi menjadi C=O tanpa konjugasi pada
MIP.
Gambar 2 Spektra FTIR 1) MIP, 2)MIP terekstrak, 3)Polimer kontrol
![Page 53: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/53.jpg)
53
Optimasi komposisi elektroda
Pengukuran yang dilakukan pada masing-masing elektroda dapat menunjukkan
besarnya faktor Nernst, jangkauan pengukuran, dan linearitas yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Suatu potensiometri dikatakan telah memenuhi persamaan Nernst apabila faktor Nernstnya
bernilai 0,0592/n (± 1-2 mV) (Cattrall, 1997). Melamin merupakan molekul monovalen,
dimana faktor Nernstnya adalah 59 mV/dekade, sehingga elektroda yang baik adalah faktor
Nernst mendekati 59 mV/dekade. Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan pada
beberapa komposisi elektroda, didapatkan elektroda E7 yang memiliki faktor Nernst yang
baik yaitu 50,3 mV/dekade.
Tabel 1 Optimasi komposisi elektroda pasta karbon nanopori/MIP
Elektroda Karbon
nanopori
(%wt)
MIP
(%wt)
Parafin
(%wt)
Faktor
Nernst
(mV/dekade)
Jangkauan
pengukuran
(M)
R
E1 65 0 35 5,51 10-3
- 10-6
0,9695
E2 50 Polimer
kontrol 35 15,4 10
-2- 10
-6 0,9063
E3 60 5 35 20,31 10-2
- 10-5
0,9626
E4 58 7 35 8,8 10-3
- 10-6
0,9826
E5 55 10 35 18,3 10-2
- 10-5
0,9691
E6 50 15 35 12,51 10-3
- 10-6
0,9203
E7 45 20 35 50,3 10-2
- 10-6
0,9973
E8 40 25 35 6,38 10-2
- 10-6
0,9863
Gambar 3 Kurva optimasi komposisi elektroda pasta karbon napori/MIP
Suatu elektroda juga dikatakan baik apabila memiliki jangkauan pengukuran yang
luas, dimana dapat dilihat ketika grafik yang masih memberikan suatu garis lurus dan
linearitas mendekati satu. Berdasarkan grafik pada Gambar 3 terlihat bahwa elektroda E7
memiliki jangkauan pengukuran pada rentang 10-6
M hingga 10-2
M, dan memiliki linearitas
sebesar r=0,9973.
0
100
200
300
400
500
600
700
-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0
Po
ten
sia
l (m
V)
Log C [melamin]
E1
E2
E3
E4
E5
E6
E7
E8
![Page 54: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/54.jpg)
54
Untuk peningkatan faktor Nersnt, dilakukan dengan cara melapisi kawat perak (Ag)
yang digunakan sebagai penghantar dengan AgCl melalui proses elektrolisis sederhana yaitu
dengan mengalirkan suatu potensial listrik pada kawat perak yang direndam dalam larutan
NaCl 0,1 M selama satu jam.
Kawat perak yang telah dielektrolisis dan terlapisi AgCl kemudian digunakan kembali
untuk dilakukan pengukuran terhadap larutan kerja melamin dan didapatkan besarnya faktor
Nernst elektroda E7 terlapis AgCl sebesar 54,4 mV/dekade, dengan jangkauan pengukuran
10-6
M – 10-2
M, dan linearitas r=0,9994. Sehingga selanjutnya elektroda E7 terlapis AgCl
digunakan sebagai elektroda kerja pada analisis cemaran melamin dalam susu.
Tabel 2 Perbandingan elektroda E7 dengan elektroda E7 dengan pelapisan AgCl
Elektroda Faktor Nernst
(mV/dekade)
Jangkauan
Pengukuran (M)
R
E7 50,3 10-6
- 10-2
0,9973
E7 dengan pelapisan AgCl 54,4 10-6
- 10-2
0,9994
Elektroda E7 memiliki komposisi karbon nanopori dan MIP sebesar 45:20(%wt). Pada
pengukuran, MIP akan menangkap analit dalam cetakan molekul melamin. Selanjutnya,
karbon nanopori akan menyampaikan respon tersebut melalui kawat perak (Ag) yang
terlapisi AgCl, sehingga akan terukur pada alat potensiometer. Besarnya gangguan antara
melamin yang berada di dalam elektroda (hasil penjenuhan awal elektroda) dengan melamin
dalam larutan akan menimbulkan potensial yang dapat diukur dengan besar potensial yang
sebanding dengan konsentrasi larutan.
Elektroda E7 mampu memberikan respon selektif terhadap melamin. Sedangkan
elektroda E2 yang mengandung polimer kontrol (15%wt) dan elektroda E1 yang mengandung
karbon nanopori saja (65%) akan memberikan respon yang kurang baik terhadap melamin,
dikarenakan tidak adanya cetakan melamin yang terbentuk.
Optimasi pH elektoda
Optimasi pH elektroda dilakukan pada rentang pH 2-8 yang dilakukan hanya pada
konsentrasi 10-3
M dengan harapan pada konsentrasi lain akan memberikan respon potensial
yang sama. Kurva hubungan antara pH dan potensial yang dihasilkan ditunjukkan pada
gambar 4.
0
50
100
150
200
250
300
1 2 3 4 5 6 7 8
Po
ten
sial
(m
V)
pH
![Page 55: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/55.jpg)
55
Gambar 4 Kurva optimasi pH elektroda pasta karbon nanopori/MIP
Keadaan pH optimum melamin berada pada rentang asam yaitu pH 3 dan pH 4 yang
ditunjukkan oleh potensial yang konstan. Pada renang pH<3, melamin akan terhidrolisis dan
berubah menjadi menjadi senyawa lain seperti amelina, amelida, dan asam sianurat.
Sedangkan pada keadaan pH>4 akan mengakibatkan melamin bermuatan netral dan
meningkatkan potensial (Bozzi, 2004).
Kurva kalibrasi melamin
Kurva kalibrasi melamin dibuat dengan mengukur besarnya potensial pada larutan
kerja melamin 10-8
- 10-2
M dengan elektroda optimum yaitu elektroda E7 yang terlapis AgCl
pada pH optimum. Hasil pengukuran didapatkan persamaan regresi y=54,4x+559,2 dan nilai
slopenya adalah nilai faktor Nernst yaitu 54,4 mV/dekade.
Tabel 3 Data pengukuran melamin dengan elektroda pasta karbon nanopori E7 terlapis AgCl
pada pH 4 secara potensiometri
Konsentrasi melamin (M) Potensial (mV)
10-8
249
10-7
272
10-6
230
10-5
288
10-4
345
10-3
398
10-2
447
Gambar 5 Kurva standar melamin yang diukur menggunakan elektroda pasta karbon
nanopori/MIP secara potensiometri
Parameter validasi metode
Parameter validasi metode yang dilakukan antaralain yaitu jangkauan pengukuran,
faktor Nernst, batas deteksi, presisi, akurasi, dan koefisien selektifitas yang diukur
menggunakan elektroda optimum E7. Hasil pengukuran validasi ditunjukkan oleh Tabel 4.
y = 54,4x + 559,2R = 0,9994
0
100
200
300
400
500
600
-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1
Po
ten
sial
(m
V)
Log C
![Page 56: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/56.jpg)
56
Validasi metode Hasil
Jangkauan pengukuran 10-6
M - 10-2
M
Faktor Nernst 54,4 mV/dekade
Linearitas r=0,9994
Batas deteksi 9,51 x 10-7
M
Presisi 10-4
M KV = 1,17 %
10-3
M
KV = 1,98%
Akurasi 10-4
M %R = 106,1%
10-3
M
%R = 104,3%
Koefisien selektifias Ca2+
6,77 x 10-3
K+ 1,02 x 10
-4
Mg2+
1,47 x 10-3
Na+ 3,21 x 10
-4
Penentuan cemaran melamin dalam sampel susu
Pengukuran dilakukan pada konsentrasi 10-2
M, 10-3
M, dan 10-4
M. Penambahan TCA
pada preparasi sampel ini berguna untuk memisahkan melamin dari protein susu. Protein susu
(kasein) akan mengendap pada pH isoelektriknya yaitu pada pH 4,8 (Kusumaningputri, 2010).
Besarnya potensial yang ditunjukkan sebanding dengan besarnya konsentrasi larutan melamin
yang ditambahkan, seperti terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil analisa cemaran melamin dalam susu menggunakan elektroda pasta karbon
nanopori/MIP secara potensiometri
Melamin yang ditambahkan
(M)
Konsentrasi melamin
terukur (M)
Akurasi (%R)
10-4
0,586 x 10-4
58,6
10-3
0,775 x 10-3
77,5
10-2
0,866 x 10-2
86,6
Berdasarkan besarnya persen akurasi yang ditunjukkan pada Tabel 4.9, maka elektroda
pasta karbon nanopori secara potensiometri dapat digunakan sebagai alternatif pilihan metode
yang baik dalam penentuan cemaran melamin dalam susu menggunakan metode spiked
dengan memperbaiki preparasi sampel susu yang akan dianalisis.
KESIMPULAN
Telah dilakukan penelitian tentang penetuan cemaran melamin dalam susu secara
potensiometri menggunakan elektroda pasta karbon nanopori/MIP dengan nilai faktor Nernst
54,4 mV/dekade dan batas deteksi hingga 9,51 x 10-7
M. Pada pengukuran sampel susu yang
dispiked dengan melamin 10-2
M memiliki persen kedapatan kembai (%Recovery) sebesar
86,6% sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pilihan metode yang baik dalam penentuan
cemaran melamin dalam susu.
![Page 57: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/57.jpg)
57
UCAPAN TERIMAKASIH
Prof. Ris. Gustan Pari, M.Si. dari PUSLITBANG hasil hutan Bogor yang telah
membantu menyediakan bahan penelitian khususnya karbon nanopori.
DAFTAR PUSTAKA
Bozzi, A., Dhananjeyan, M., Guasaquillo, I., Parra, S., Pulgarin, C., Weins, C., Kiwi, J., 2004,
Evolution of Toxicity during Melamine Photocatalysis with TiO2 suspensions,
Journal of Photochemistry and Photobiology A:Chemistry162 (179-185)
Brüggemann, O., 2002, Molecularly Imprinted Materials-Receptors More Durable than
Nature Can Provide, Springer-Verlag Heidelberg, Berlin, Germany
Cattral, R.W., 1997, Chempical Sensors, Oxford University Press, New York
IARC (International Agency for Research on Cancer), 1999, Some Chemicals that Cause
Tumours of The Kidney or Urinary Bladder in Rodents and Some other
substances, IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans,
World Health Organization
Kusumaningputri, H. A., 2010, Penentuan Kadar Protein pada Susu Bermelamin melalui
Pengendapan dengan Asam Trikloroasetat secara Kjeldahl yang Dimodifikasi,
Skripsi, Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
Mandasari, E., 2011, Sensor Potensiometri Berbasis Karbon Nanopori/Molecularly
Imprinted Polymer dengan monomer Asam Metaklirat, Skripsi, Departemen Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
Nshisso, L. D., 2010, Melamine Contamination of Infant Formula, Case Western Reserve
University
Odian, G., 1991, Principles of Polymeryzation, Third Edition, The City of University of New
York, Staten Island, New York
Pyun, S., Lee, G., 2007, Synthesis and Characterization of Nanoporous Carbon and Its
Electrochemical Application to Electrode Material for Supercapasitors, Modern
Aspect of Electrochemistry, No 41, Springer, New York
Qin, W., Liang, R., Zhang, R., 2009, Potentiometric Sensor based on Molecularly
Imprinted Polymer for Determination of Melamine in Milk, Sensor and Actuators
B, 141: 544-550
Turnipseed, S., Casey, C., Nochetto, C., Heller, D., 2008, Determination of Melamine and
Cyanuric Acid Residues in Infant Formula Using LC-MS/MS. Retrieved March 21,
2010, from U.S. Food and Drug Administration
![Page 58: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/58.jpg)
58
IMPREGNASI ZEOLIT ALAM DENGAN TiO2
UNTUK MENDEGRADASI ZAT WARNA METILEN BIRU
SECARA FOTOKATALITIK
Ayu Eprilita Fitri Ika Cahyani, Yusuf Syah, Alfa Akustia Widati
Program Studi S–1 Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga
Email : [email protected]
ABSTRACT
Methylene blue dye degradation in photocatalytic by TiO2/zeolit has been studied.
Degradation process carried out in a closed reactor is irradiated with 3 pieces 8 watt UV
lamp. Methylene blue solution was irradiated with UV light for 45 minutes with the optimum
use the TiO2/zeolit. The result showed that the presence of UV light, methylene blue dye
solution can be degraded but very slow with the percent degradation of 4,68 %. The
degradation percent increase in the amount of 13,05 % when added by H2O2. When given the
addition of TiO2 and zeolit is more effective degradation processes, namely the percentage
degradation of each – respectively 14,53 % and 96,84 %. When done adding TiO2/zeolit as
catalyst, resulting in degradation of 98,08 %. Optimum conditions the degradation of
methylene blue with TiO2/zeolit obtained at the time of 45 minutes and the pH at 5 by the
percent degradation of each respectively 98,16 % and 98,20 %. TiO2/zeolit have a higher
effectiveness than TiO2, but no higher than the zeolite in methylene blue dye adsorbed at time
and pH optimum. In this case zeolite acts as absorbent, and TiO2 degrade methylene blue in
photocatalytic.
Key words : methylene blue, photodegradation, TiO2, natural zeolite and impregnation
ABSTRAK
Telah dilakukan degradasi zat warna metilen biru secara fotokatalitik oleh TiO2/zeolit.
Proses degradasi dilakukan dalam suatu reaktor tertutup yang diiradiasi dengan 3 buah lampu
UV 8 watt. Larutan metilen biru diiradiasi dengan lampu UV selama waktu optimum 45 menit
![Page 59: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/59.jpg)
59
dengan menggunakan TiO2/zeolit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan hanya
menggunakan sinar UV, larutan metilen biru dapat didegradasi namun sangat lambat dengan
persen degradasi sebesar 4,68 %. Ketika menggunakan H2O2, persen degradasi meningkat
yaitu sebesar 13,05 %. Saat diberi penambahan TiO2 dan zeolit proses degradasi lebih efektif,
yaitu diperoleh persen degradasi masing – masing 14,53 % dan 96,84 %. Ketika
menggunakan TiO2/zeolit, menghasilkan persen degradasi sebesar 98,08 %. Kondisi optimum
degradasi metilen biru dengan TiO2/zeolit diperoleh pada waktu 45 menit dan pH larutan
sebesar 5 dengan persen degradasi masing – masing 98,16 % dan 98,20 %. TiO2/zeolit
memiliki efektivitas lebih tinggi dibandingkan TiO2, tetapi tidak lebih tinggi dibandingkan
dengan zeolit dalam mengadsorpsi zat warna metilen biru pada waktu dan pH optimum.
Dalam hal ini zeolit berperan sebagai adsorben, dan TiO2 mendegradasi metilen biru secara
fotokatalitik.
Kata kunci: metilen biru, fotodegradasi, TiO2, zeolit alam dan impregnasi.
PENDAHULUAN
Keberadaan zeolit alam cukup melimpah di Indonesia namun pemanfaatannya masih
belum banyak dilakukan. Mineral zeolit didefinisikan sebagai suatu aluminosilikat yang
mempunyai struktur berongga dan biasanya rongga ini diisi oleh air dan kation yang dapat
dipertukarkan, serta memiliki ukuran pori tertentu1. Berdasarkan potensi yang dimiliki zeolit,
maka cukup banyak aplikasi yang sebenarnya dapat digunakan, antara lain kemampuannya
sebagai katalis, senyawa pengemban ataupun adsorben.
Dewasa ini perkembangan industri tekstil di Indonesia telah maju pesat, namun
kemajuan dalam bidang industri ini tidak diiringi oleh kesadaran yang baik dalam pengelolaan
lingkungan. Industri tekstil mengambil peranan penting dalam pencemaran lingkungan,
khususnya lingkungan perairan. Apabila air limbah industri yang umumnya mengandung zat
pewarna dibuang ke selokan atau sungai tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu, dapat
merubah air selokan atau air sungai menjadi tidak sesuai dengan peruntukannya2. Metilen biru
merupakan salah satu dari zat pewarna. Metilen biru paling sering digunakan untuk zat
pewarna kapas, kayu, dan kain sutra3. Zat pewarna metilen biru dapat menyebabkan efek yang
berbahaya seperti peningkatan detak jantung, mual, muntah, dan shock4.
Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh zat pewarna sangat memprihatinkan
sehingga diperlukan penanganan serius untuk mengatasi masalah tersebut. Berbagai upaya
![Page 60: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/60.jpg)
60
dan metode untuk mengatasi pencemaran zat pewarna telah dilakukan, antara lain dengan
metode koagulasi, oksidasi, fotokatalisis, dan elektrokimia5. Di antara metode moderen
penanggulangan limbah, metode fotokatalisis merupakan metode yang relatif murah serta
mudah diterapkan6.
Dalam rangka mengatasi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh metilen biru,
pada penelitian ini digunakan zeolit alam yang akan diimpregnasi dengan TiO2. Impregnasi
adalah proses pemasukan prekursor logam dengan sejumlah penyangga dan dibiarkan
bereaksi, di mana prekursor TiO2 dimasukkan ke dalam zeolit alam sebagai penyangga.
Selanjutnya zeolit yang telah diimpregnasi dengan TiO2 diaplikasikan untuk degradasi zat
pewarna tekstil metilen biru secara fotokatalisis.
METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan – bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah zeolit alam dari Turen
Malang – Jawa Timur, TiO2, HCl 37 % (Merck), NaOH p.a (Merck), H2O2 30% (Merck),
etanol absolut 98 % (Merck), metilen biru, akuadem, kertas aluminium, kertas saring.
Alat
Alat – alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pengaduk magnet, pH
meter, centrifuge (Fisher Scientific), tabung centrifuge, oven, furnace, pipet mikro, timbangan
analit (Mettler), difraktometer sinar – X (Philips), spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu),
spektrofotometer inframerah (Shimadzu), reaktor fotokatalitik yang terdiri dari kotak
pelindung reaktor yang terbuat dari kayu berukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm ; sumber sinar
UV (lampu UV 3 x 8 Watt) ; wadah berupa gelas piala 1000 mL, dan beberapa peralatan gelas
yang biasanya dipakai di laboratorium.
Prosedur Kerja
Preparasi zeolit
Zeolit alam digerus sampai halus kemudian ditimbang sebanyak 100 g, setelah itu
ditambahkan dengan 400 ml akuadem, sambil diaduk selama 5 jam, kemudian dipisahkan
antara zeolit dan akuadem dengan cara dekantasi. Padatan yang didapatkan dikeringkan dalam
oven dengan temperatur 120 ⁰C selama 5 jam. Setelah kering, padatan dikalsinasi dalam
furnace pada temperatur 400 ⁰C selama 5 jam. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis
menggunakan difraktometer sinar – X.
![Page 61: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/61.jpg)
61
Preparasi TiO2 terimpregnasi zeolit alam
Mencampurkan 20 g zeolit yang telah dilakukan preparasi sebelumnya dengan 1 g
TiO2 dan ditambah dengan 20 mL etanol absolut sambil diaduk dengan pengaduk magnet
selama 5 jam. Hasil perlakuan tersebut dipisahkan dengan cara dekantasi. Padatan yang
didapatkan dikeringkan dalam oven dan dikalsinasi pada temperatur 400 ⁰C selama 5 jam.
Hasil dari perlakuan tersebut dianalisis dengan alat difraktometer sinar – X dan
spektrofotometer inframerah.
Penentuan waktu optimum degradasi metilen biru
Larutan metilen biru 25 ppm sebanyak 500 mL ditambahkan 0,5 g TiO2/zeolit dan
larutan H2O2 15 % sebanyak 100 µL. Campuran dihomogenkan selama 15 menit dan
diiradiasi menggunakan sinar UV (3x8 watt) selama 3 jam. Pada menit ke- 5, 10, 20, 30, 45,
60, 120, dan 180 dilakukan pengambilan larutan hasil degradasi untuk dianalisis dengan
spektrofotometer UV – Vis pada panjang gelombang maksimum, dengan akuadem sebagai
blangko.
Penentuan pH optimum degradasi metilen biru
Larutan sampel metilen biru 25 ppm sebanyak 500 mL ditambahkan 0,50 g
TiO2/zeolit dan larutan H2O2 15 % sebanyak 100 µL kemudian diatur pH-nya. Pengaturan pH
dilakukan pada pH 4, 5, 6 dengan ditambah HCl 0,10 M dan pH 7, 8, 9 dengan ditambah
NaOH 0,1 M. Setelah pengaturan pH, campuran dihomogenkan selama 15 menit. Setiap
campuran diiradiasi menggunakan sinar UV (3x8 watt) dalam reaktor selama waktu optimum
sambil dihomogenkan. Hasil degradasi diambil untuk dianalisis dengan spektrofotometer UV
– Vis pada panjang gelombang maksimum, dengan akuadem yang telah ditambahkan
HCl/NaOH sebagai larutan blangko.
Degradasi metilen biru dengan TiO2/zeolit, zeolit, TiO2, dan tanpa katalis pada kondisi
optimum
Larutan metilen biru 25 ppm ditambahkan dengan katalis dan H2O2 15 % sebanyak
100 µL pada kondisi pH optimum. Campuran dihomogenkan dan diiradiasi dengan sinar UV
3x8 watt selama waktu optimum. Hasil degradasi diambil untuk dianalisis dengan
spektrofotometer UV – Vis pada panjang gelombang maksimum.
![Page 62: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/62.jpg)
62
HASIL DAN PEMBAHASAN
Preparasi TiO2 terimpregnasi zeolit alam (TiO2/zeolit)
TiO2 terimpregnasi zeolit alam dibuat dari zeolit yang telah dipreparasi, TiO2, dan
etanol absolut yang kemudian diaduk untuk menghomogenkan campuran. Setelah diaduk,
dikeringkan dengan oven pada temperatur 120 ⁰C selama 5 jam. Hal ini bertujuan untuk
menguapkan etanol absolut dan membersihkan pori – pori zeolit dari partikel TiO2 yang tidak
terikat dengan baik pada permukaan zeolit5. Padatan yang diperoleh dikalsinasi dalam furnace
pada temperatur 400 ⁰C.
Pada penelitian ini, TiO2/zeolit dibuat untuk meningkatkan aktivitas degradasi zat
warna metilen biru. Zeolit berperan sebagai material pendukung TiO2, sehingga dengan
adanya penempelan tersebut luas permukaan dari TiO2 menjadi lebih besar. Dengan luas
permukaan lebih besar, diharapkan proses degradasi dapat berlangsung efektif.
Gambar 1. Difraktogram (A) zeolit setelah kalsinasi, (B) zeolit alam
![Page 63: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/63.jpg)
63
Gambar 2. Difraktogram (A) TiO2, (B) TiO2/zeolit, (C) zeolit setelah kalsinasi
Karakterisasi TiO2/zeolit
Pada difraktogram zeolit alam (Gambar 2) terdapat refleksi dengan intensitas yang
tajam pada daerah 2θ = 9,83⁰; 13,52⁰; 19,70⁰; 22,40⁰; 23,71⁰; 25,72⁰; 26,33⁰; 27,77⁰. Refleksi
ini merupakan karakteristik mordenit7. Dengan demikian dapat diketahui bahwa zeolit yang
digunakan pada penelitian ini dapat digolongkan jenis mordenit. Dari difraktogram zeolit
sesudah kalsinasi (Gambar 2) terlihat bahwa puncak karakteristik mordenit dari zeolit alam
masih terlihat, maka dapat disimpulkan bahwa struktur zeolit alam tidak berubah setelah
adanya perlakuan kalsinasi.
Pada Gambar 2 tampak bahwa difraktogram zeolit sebelum perlakuan impregnasi
tidak jauh berbeda dengan difraktogram zeolit setelah perlakuan impregnasi. Hal ini
mengindikasikan bahwa adanya proses impregnasi tidak mengubah struktur zeolit. Perubahan
struktur zeolit akan ditandai dengan perbedaan yang jelas pada profil difraktogram sinar – X8.
Dengan demikian dapat dapat dikatakan bahwa perlakuan impregnasi tidak memberikan
perubahan struktur zeolit secara bermakna.
Dari difraktogram TiO2/zeolit (Gambar 2), tidak muncul puncak – puncak TiO2
sehingga belum diketahui secara pasti apakah TiO2 telah menempel pada permukaan zeolit.
Tidak munculnya puncak TiO2 pada difraktogram TiO2/zeolit disebabkan karena banyaknya
TiO2 yang diimpregnasi pada zeolit hanya 5 % dari jumlah zeolit. Sedangkan untuk dapat
muncul pada difraktogram, TiO2 yang digunakan harus lebih dari 10 %. Hasil karakterisasi
difraksi sinar – X belum dapat mengetahui secara pasti apakah TiO2 telah menempel pada
![Page 64: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/64.jpg)
64
permukaan zeolit, sehingga dibutuhkan karakterisasi menggunakan spektrofotometer
inframerah.
Karakterisasi gugus – gugus fungsional secara kualitatif dipelajari dengan
spektrofotometri inframerah. Pada Gambar 3, untuk spektra IR zeolit terlihat bahwa serapan
pada bilangan gelombang 3417,86 cm-1
karakterisitik untuk rentangan O – H oktahedral (O –
H regang) dari H2O yang diperkuat oleh serapan pada bilangan gelombang 1635,64 cm-1
yang
merupakan serapan deformasi dari H2O (O – H tekuk). Serapan pada bilangan gelombang
1049,28 cm-1
dan 786,96 cm-1
merupakan serapan regangan asimetris internal dan asimetris
eksternal O – Si – O / O – Al – O. Serapan pada bilangan gelombang 478,35 cm-1
adalah
karakteristik ikatan Al – O dan Si – O bonding.
Gambar 3. Spektra IR (A) zeolit sesudah kalsinasi, (B) TiO2/zeolit
Spektra IR TiO2/zeolit menunjukkan adanya pergeseran serapan bilangan gelombang
pada 3448,72 cm-1
yang merupakan serapan ikatan O – H regang yang menunjukkan
terjadinya dehidrasi akibat proses pemanasan dengan furnace. Pada spektra IR TiO2/zeolit
muncul kembali bilangan gelombang 1635,64 cm-1
yang berasal dari ikatan O – H9. Pada
spektra IR TiO2/zeolit muncul serapan pada daerah bilangan gelombang 428,12 cm-1
, 668,21
cm-1
, 2337,72 cm-1
yang merupakan karakter dari TiO2. Sebelumnya pada spektra IR zeolit
juga muncul serapan pada bilangan gelombang 2337,72 cm-1
yang merupakan karakter dari
TiO2, hal ini disebabkan zeolit sendiri memiliki kandungan Ti dalam unsur penyusunnya.
Bertambahnya intensitas serapan daerah bilangan gelombang 2337,72 cm-1
pada spektra IR
TiO2/zeolit, menunjukkan bahwa jumlah Ti bertambah dengan adanya impregnasi.
![Page 65: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/65.jpg)
65
Optimasi Waktu
Waktu optimum ditentukan dari hubungan antara waktu saat degradasi metilen biru
dengan absorbansi metilen biru sisa. Waktu yang memberikan sisa konsentrasi metilen biru
paling kecil dinyatakan sebagai waktu optimum.
Gambar 4. Grafik hubungan antara persen degradasi terhadap waktu degradasi
Dari Gambar 4 menunjukkan bahwa TiO2/zeolit dan H2O2 mampu mendegradasi
metilen biru lebih dari 97 %. Pada menit ke – 5 menunjukkan % degradasi metilen biru
sebesar 96,88 %, persen degradasi yang tinggi diduga adanya radikal •OH dari TiO2 yang
dapat mendegradasi metilen biru dan fungsi zeolit sebagai adsorben. Semikonduktor TiO2
dalam air yang diiradiasi oleh sinar UV akan membentuk hole positif pada pita valensi (vb)
dan elektron pada pita konduksi (cb), yang dapat menginisiasi reaksi redoks bahan kimia yang
kontak dengan semikonduktor tersebut. Proses fotokatalitik terjadi ketika TiO2 diiradiasi
menggunakan sinar UV, sehingga elektron pada TiO2 tereksitasi dari pita valensi ke pita
konduksi bereaksi dengan oksigen membentuk ion superoksida, sedangkan hole pada pita
valensi bereaksi dengan ion hidroksi membentuk radikal •OH10
.
Adanya H2O2 berfungsi untuk mempercepat proses degradasi metilen biru dengan
kemampuannya yang juga dapat menghasilkan radikal •OH pada saat diiradiasi oleh sinar
UV. Hasil analisis waktu optimum berada pada menit ke – 45 dengan persen degradasi
sebesar 98,08 %.
Optimasi pH
Penentuan pH optimum dengan tujuan untuk mengetahui besarnya pH pada efektivitas
degradasi zat warna metilen biru. Dilakukan variasi pH antara lain 4, 5, 6, 7, 8, dan 9.
80
85
90
95
100
0 50 100 150 200 250
% d
egr
adas
i
waktu (menit)
![Page 66: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/66.jpg)
66
Pengaturan pH 4, 5, dan 6 dengan penambahan HCl 0,1M sedangkan untuk pH 7, 8, dan 9
dengan penambahan NaOH 0,1 M.
Gambar 5. Grafik hubungan antara pH dengan persen degradasi
Dari Gambar 5 menunjukkan bahwa persen degradasi metilen biru semakin menurun
dengan bertambahnya nilai pH. Pada pH 4 dan 5, persen degradasi metilen biru hampir sama
ditandai dengan selisih nilai persen degradasi yang kecil. Kemudian persen degradasi metilen
biru menjadi turun pada pH 6 yaitu sebesar 98,08 %. Selanjutnya kenaikan pH larutan metilen
biru sampai pada pH 9 menyebabkan persen degradasi menurun. Hal ini disebabkan karena
metilen biru bermuatan negatif dalam medium asam11
, sedangkan TiO2 bermuatan positif
dalam larutan asam dan bermuatan negatif dalam larutan basa12
. Oleh karena itu pada proses
pendegradasian metilen biru dalam suasana asam, metilen biru lebih mudah terdegradasi
karena molekul metilen biru tertarik pada TiO2 yang bemuatan positif sehingga terjadi
interaksi elektrostatis yang kuat antara metilen biru dengan permukaan TiO2 yang bermuatan
positif. Adanya interaksi elektrostatis tersebut mengakibatkan adsorpsi yang kuat dari
pendukung TiO2 dalam hal ini zeolit.
Pada pH kurang dari 5, ion metilen biru dapat masuk dalam struktur pori. Sedangkan
pada pH lebih tinggi dari 7, metilen biru membentuk zwitterion yang dapat meningkatkan
agregasi metilen biru untuk membentuk suatu molekul yang lebih besar sehingga tidak dapat
masuk dalam struktur permukaan zeolit13
. Hasil analisis pH optimum pada penelitian ini
berada pada pH 5 yang ditandai dengan hasil persen degradasi metilen biru terbesar.
Degradasi metilen biru dengan TiO2/zeolit, zeolit, TiO2, dan tanpa katalis pada kondisi
optimum
Larutan sampel metilen biru 25 ppm didegradasi dengan menggunakan TiO2/zeolit
selama 45 menit, volume H2O2 100 µL, dan kondisi pH 5. Hasil persen degradasi zat warna
metilen biru dengan TiO2/zeolit dibandingkan dengan persen degradasi menggunakan zeolit,
97.6
97.8
98
98.2
98.4
4 5 6 7 8 9
% d
egr
adas
i
pH
![Page 67: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/67.jpg)
67
TiO2, H2O2, dan sinar UV saja. Perbandingan ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
efektivitas TiO2/zeolit dalam proses degradasi fotokatalitik zat warna metilen biru.
Gambar 6. Diagram batang perbandingan persen degradasi metilen biru pada kondisi
optimum
Dari Gambar 6 menunjukkan bahwa degradasi metilen biru lebih efektif menggunakan
TiO2/zeolit dibandingkan dengan TiO2 saja. TiO2/zeolit dapat mendegradasi metilen biru
sebesar 98,16 % sedangkan dengan zeolit sebesar 96,84 % serta TiO2 sebesar 14,53 %. Akan
tetapi metilen biru sendiri dapat terdegradasi dengan H2O2 saja sebesar 13,05 % dan dengan
sinar UV saja sebesar 4,68 %. Dari data yang diperoleh, persen degradasi metilen biru
menggunakan TiO2/zeolit tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan
dengan persen degradasi metilen biru menggunakan zeolit. Sehingga proses pendegradasian
metilen biru kurang efektif apabila menggunakan TiO2/zeolit. Pada awalnya diinginkan
dengan adanya proses impregnasi ini, zeolit sebagai adsorben dan TiO2 memiliki kemampuan
fotokatalitik akan menambah aktifitas degradasi metilen biru. Tetapi pada kenyataannya peran
zeolit sebagai absorben lebih dominan daripada TiO2, hal ini ditunjukkan dengan hampir
samanya persen degradasi menggunakan zeolit dan TiO2/zeolit. Dari data yang diperoleh,
diduga distribusi TiO2 tidak menyebar rata pada pori – pori zeolit pada saat proses
impregnasi. Pada saat pori zeolit diduga terisi oleh beberapa molekul TiO2, kontak antara
molekul metilen biru dengan TiO2 menjadi lebih sedikit. Sehingga mekanisme degradasi yang
terjadi lebih didominasi oleh adsorpsi dari zeolit daripada sifat fotokatalitik dari TiO2.
KESIMPULAN
Kondisi optimum proses degradasi zat warna metilen biru menggunakan zeolit
terimpregnasi TiO2 (TiO2/zeolit) diperoleh pada waktu 45 menit dan pH larutan sebesar 5
0
20
40
60
80
100
% d
egr
adas
i
![Page 68: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/68.jpg)
68
dengan persen degradasi masing – masing 98,16 % dan 98,20 %. TiO2/zeolit memiliki
efektivitas lebih tinggi dibandingkan TiO2, tetapi tidak lebih tinggi dibandingkan dengan
zeolit dalam mengadsorpsi zat warna metilen biru pada waktu dan pH optimum. Dalam hal ini
zeolit berperan sebagai adsorben dan TiO2 mendegradasi zat warna metilen biru secara
fotokatalitik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mumpton, F.A., Fishman, P.H., 1977, The Application of Natural Zeolites in
Animal Science and Aquaculture, Journal of Animal Science, Vol. 45, No. 5, 1188 –
1203.
2. Suwarsa, S., 1998, Penyerapan Zat Warna Tekstil BR Red HE 7B Oleh Jerami
Padi, Jurnal Matematika dan Sains, Vol. 3, No. 1, 32 – 40.
3. Wang, L., Zhang, J., Wang, A., 2011, Fast Removal of Methylene Blue From
Aqueous Solution by Adsorption onto Chitosan-g-poly (Acrylic Acid) /
Attapulgite Composite, Journal of Desalination, 33 – 39.
4. Zendehdel, M., Kalateh, Z., Alikhani, H., 2011, Efficiency Evaluation of NaY
Zeolite and TiO2/NaY Zeolite in Removal of Methylene Blue Dye From Aqueous
Solutions, Iranian Journal of Environment Health Science and Engineering, Vol. 8,
No. 3, 265-272.
5. Fatimah, I., Sugiharto, E., Wijaya, K., Tahir, I., Kamalia, 2006, Titan Dioksida
Terdispersi Pada Zeolit Alam (TiO2/zeolit) dan Aplikasinya untuk Fotodegradasi
Congo Red, Indonesian Journal of Chemistry, Vol. 6 No. 1, 38 – 42.
6. Nogueira, R.F.P., Jardim, W.F., 1993. Photodegradation of Methylene Blue Using
Solar Light and Semiconductor (TiO2), Journal of Chemical Education, Vol. 70, No.
10, 861 – 862.
7. Wijaya, K., Sugiharto, E., Fatimah, I., Tahir, I., Rudatiningsih, 2006, Fotodegradasi
Zat Warna Alizarin S Menggunakan TiO2-Zeolit dan Sinar UV, Indonesian
Journal of Chemistry, Vol. 6 No. 1, 32 – 37.
8. Kok, T., 2008, Modifikasi Zeolit Alam Dan Pemanfaatannya Untuk Menurunkan
Kadar Pencemaran Tembaga Dari Limbah Air Buangan, Artocarpus Journal, Vol.
8, No. 2, 74 – 84.
![Page 69: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/69.jpg)
69
9. Utubira, Y., Wijaya, K., Triyono, Sugiharto, E., 2006, Preparasi dan Karakterisasi
TiO2-Zeolit Serta Pengujiannya pada Degradasi Limbah Industri Tekstil secara
Fotokatalitik, Indonesian Journal of Chemistry, Vol. 6, No. 3, 231 – 237.
10. Hoffman, M.R., Martin, S.T., Choi, W., Bahnemann, D.W., 1995, Environmental
Applications of Semiconductor Photocatalysis, Chem.Rev, 69 – 96.
11. Mohamed, R.M., Mkhalid, I.A., Baeissa, E.S., Al-Rayyani, M.A., 2012,
Photocatalytic Degradation of Methylene Blue by Fe/ZnO/SiO2 Nanoparticles
under Visiblelight, Journal of Nanotechnology, Vol. 2012, No. 2012.
12. Barka, N., Assabbane, A., Nounah, A., Dussaud, J., Ichou, A.Y., 2008, Photocatalytic
Degradation of Methyl Orange with Immobilized TiO2 Nanoparticles: Effect of
pH and Some Inorganic Anions, Physics Chemistry News, Vol 41, 85 – 88.
13. Arivoli, S., Hema, M., Parshtasarathy, S., Manju, N., Adsorption Dynamics of
Methylene Blue by Acid Activated Carbon, Journal of Chemical and
Pharmaceutical Research, Vol. 2, No. 5, 626 – 641.
![Page 70: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/70.jpg)
70
APLIKASI ASAM PERASETAT UNTUK MENGHILANGKAN ZAT WARNA PADA KAIN JEANS
Deby Heruwati Maharani, Ganden Supriyanto, Aning Purwaningsih
Program Studi S-1 Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRACT
The process of bleaching textile usually uses oxidator compound such as hypochlorite, chlorine
and peroxide. Bleaching method using peracetic acid has not been developed yet. In this research,
bleaching process using peracetic acid had been done. The purpose of this research was to develop
an environmentally and friendly bleaching agent and change another bleaching agent such as
chlorine which gives bad impact of environment pollution. In this research peracetic acid was
prepared by reacting hydrogen peroxide and glacial acetic acid. Some factors which influenced the
formation of peracetic acid, such as optimum mole ratio [H2O2 30%:CH3COOH 100%] with 100 ml
total volume, temperature and reaction time were determined in this research. Peracetic acid which
had been formed acted as a nucleophile. This ion eliminated chromophore group which gave colour
to jeans fabric. The optimum results in bleaching process was under condition of mole ratio
[H2O2:CH3COOH] of 1:10 at 85˚C for 60 minutes.
Key words : jeans, bleaching, peracetic acid.
ABSTRAK
Proses bleaching pada kain biasanya menggunakan senyawa golongan oksidator seperti
hipoklorit, gas klor dan asam peroksida. Metode bleaching menggunakan asam perasetat belum
banyak dikembangkan. Pada penelitian ini dilakukan proses bleaching menggunakan asam perasetat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan bleaching agent yang ramah lingkungan dan
mengganti bleaching agent seperti klor yang memberikan dampak pencemaran lingkungan. Dalam
penelitian ini asam perasetat dibuat dengan mereaksikan hidrogen peroksida dan asam asetat glasial.
Faktor yang mempengaruhi pembentukan asam perasetat seperti perbandingan mol [H2O2
![Page 71: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/71.jpg)
71
30%:CH3COOH 100%] dengan volume total 100 ml, suhu dan waktu reaksi dicari kondisi optimumnya
dalam penelitian ini. Asam perasetat yang terbentuk bertindak sebagai nukleofil yang akan
menghilangkan gugus kromofor yang memberikan warna pada kain jeans. Hasil optimum proses
bleaching menggunakan asam perasetat adalah pada perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] sebesar
*1:10+ pada suhu 85˚C selama 60 menit.
Kata kunci: kain jeans, bleaching, asam perasetat.
PENDAHULUAN
Industri tekstil dan produk tekstil merupakan salah satu bidang yang sangat berkembang
di Indonesia. Dalam proses produksinya, industri tekstil menghasilkan limbah baik berupa
limbah padat, cair maupun gas yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan.
Terlepas dari itu, limbah dari pabrik tekstil seperti potongan kain jeans, grey, cotton tidak
perlu ditimbun di dalam tanah atau bahkan dibakar sehingga asapnya menimbulkan polusi.
Limbah kain yang berwarna itu dapat diolah menjadi produk yang lebih berkualitas dan
bernilai ekonomis. Limbah kain yang berwarna tersebut dapat dilunturkan menjadi putih
dengan proses bleaching, kemudian diubah lagi menjadi kapas dan dipintal kembali menjadi
benang, kain dan produk-produk lain misalnya sarung tangan dan lain sebagainya.
Bleaching adalah proses penghilangan warna yang ada pada bahan yang disebabkan
adanya pigmen-pigmen atau zat-zat lain sehingga warna bahan menjadi putih (1). Pada serat
kain, pigmen-pigmen ini merupakan senyawa organik yang mempunyai ikatan rangkap yang
dapat dioksidasi atau direduksi menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana sehingga
warna menjadi putih (2). Proses bleaching dapat digunakan untuk pemanfaatan kain bekas
menjadi benang, kain dan dapat dikembangkan menjadi produk lainnya yang lebih
berkualitas.
Proses bleaching dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa klor seperti klorin
(Cl2) atau klor dioksida (3). Akan tetapi, penggunaan klor dalam proses bleaching ini
menimbulkan persoalan lingkungan yang serius (4). Dampak negatif yang ditimbulkan adalah
pada buangannya yang mengandung senyawa klorin organik yang berbahaya bagi lingkungan
hidup (5). Mengingat betapa bahayanya senyawa yang mengandung klor, maka saat ini
![Page 72: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/72.jpg)
72
banyak dikembangkan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan proses bleaching dengan
prinsip total chlor free dengan menggunakan hidrogen peroksida. Namun, pada bleaching
kain menggunakan hidrogen peroksida membutuhkan larutan alkali yang berfungsi untuk
mengatur pH, penstabil dan suhu yang digunakan relatif tinggi serta membutuhkan waktu
yang lama. Setelah proses bleaching, membutuhkan jumlah air yang besar untuk
menghilangkan sisa hidrogen peroksida dan sisa alkali (6).
Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu metode untuk proses bleaching yang bisa
dilakukan dengan baik pada suhu rendah, waktu reaksi yang lebih singkat dan menggunakan
biaya yang lebih murah, tanpa menyebabkan kerusakan pada serat kain. Untuk itu pada
penelitian ini dicoba melakukan proses bleaching kain menggunakan asam perasetat.
Asam perasetat dapat dibuat dengan mereaksikan hidrogen peroksida dan asam asetat
dengan adanya asam mineral yang kuat seperti asam sulfat (7). Asam perasetat merupakan
alternatif bleaching agent yang aman lingkungan. Pabrik tekstil di Eropa sekarang ini telah
banyak menggunakan asam perasetat sebagai bleaching agent (6). Asam perasetat yang paling
efektif digunakan sebagai bleaching agent untuk kapas adalah pada kondisi pH 6-7 dan pada
suhu 50-80˚C dengan waktu bleaching 20-60 menit tergantung pada suhu saat proses
bleaching berlangsung (6). Kondisi ini memerlukan energi dan jumlah air yang lebih rendah
baik selama bleaching kain atau pada pembilasan kain, netralisasi serat setelah bleaching pun
tidak diperlukan, tidak seperti bleaching dengan hidrogen peroksida, dimana memerlukan
jumlah air yang besar untuk menghilangkan sisa alkali.
Asam perasetat ini mejadi salah satu alternatif dalam upaya meminimalkan masalah
yang disebabkan oleh bleaching agent seperti klor ataupun hidrogen peroksida. Penelitian ini
bertujuan untuk meningkatkan derajat kecerahan dari kain menggunakan asam perasetat
sebagai pemutih yang ramah lingkungan.
METODE PENELITIAN
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah asam asetat glasial, hidrogen
peroksida, akuades, sampel kain jeans berwarna biru yang diperoleh dari pabrik tekstil di
Gresik.
![Page 73: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/73.jpg)
73
Alat-alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah buret, timbangan analitik, stirer,
hotplate, termometer, gelas beaker, kaca arloji dan peralatan gelas lain yang biasa digunakan
di laboratorium kimia.
Proses Bleaching
Pengaruh perbandingan mol [H2O2:CH3COOH]
Dimasukkan dengan menggunakan buret larutan H2O2 30% dan CH3COOH 100% ke
dalam gelas beker 250 ml dengan perbandingan mol 1:34 ; 1:20 ; 1:15 ; 1:10 ; 1:5 ; 1:3
sehingga volume total larutan menjadi 100 ml. Kemudian dimasukkan sampel kain jeans
bekas dengan ukuran 2x2 cm dan dipanaskan pada suhu tetap 85˚C selama 60 menit tanpa
proses pengadukan. Setelah proses selesai kemudian diamati kecerahan kainnya secara visual
dan diukur derajat kecerahannya menggunakan chromameter. Kemudian didapatkan hasil
perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] optimum yang akan digunakan untuk uji selanjutnya.
Pengaruh suhu
Dimasukkan dengan menggunakan buret larutan H2O2 30% dan CH3COOH 100%
dengan perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] optimum (Cx) ke dalam gelas beker 250 ml
sehingga volume total larutan menjadi 100 ml. Kemudian dimasukkan sampel kain jeans
bekas dengan ukuran 2x2 cm dan dipanaskan pada variabel suhu 55, 65, 75 dan 85˚C selama
60 menit tanpa pengadukan. Setelah proses selesai kemudian diamati kecerahan kainnya
secara visual dan diukur derajat kecerahannya menggunakan chromameter. Kemudian
didapatkan hasil suhu optimum dan akan digunakan untuk uji selanjutnya.
Pengaruh waktu
Dimasukkan dengan menggunakan buret larutan H2O2 30% dan CH3COOH 100%
dengan perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] optimum (Cx) ke dalam gelas beker 250 ml
sehingga volume total larutan menjadi 100 ml. Kemudian dimasukkan sampel kain jeans
bekas dengan ukuran 2x2 cm dan dipanaskan pada suhu optimum (Topt) dengan variabel
waktu selama 45, 60, 75 dan 90 menit tanpa pengadukan. Setelah proses selesai kemudian
diamati kecerahan kainnya secara visual dan diukur derajat kecerahannya menggunakan
chromameter. Kemudian didapatkan hasil waktu optimum.
![Page 74: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/74.jpg)
74
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] terhadap derajat kecerahan kain jeans
Proses bleaching dengan asam perasetat dilakukan dengan volume total 100 ml. Dengan
variasi perbandingan mol [H2O2:CH3COOH dalam kondisi operasi yang tetap yaitu proses waktu
bleaching 60 menit dan suhu 85˚C. Hasil dari masing-masing kain jeans setelah perlakuan proses
bleaching kemudian di analisa derajat kecerahannya menggunakan alat Chromameter CR-400 Konika
Minolta. Berikut ini adalah grafik hubungan antara perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] dalam proses
bleaching terhadap derajat kecerahan.
Gambar 1. Grafik hubungan perbandingan mol [H2O2:CH3COOH] dengan derajat kecerahan pada
suhu 85˚C dan waktu 60 menit.
Gambar 1 menunjukkan bahwa hasil optimum bleaching terjadi pada perbandingan mol
[H2O2:CH3COOH] sebesar 1:10. Hal ini dibuktikan dengan nilai derajat kecerahan yang dihasilkan
adalah yang paling besar. Pada kondisi ini asam perasetat yang dihasilkan maksimal. Konsentrasi H+
dapat mengurangi dekomposisi asam perasetat (7) sehingga pada kondisi dimana jumlah asam asetat
glasial lebih banyak maka asam perasetat yang terbentuk akan maksimal. Walaupun hasil optimum
tidak terjadi pada perbandingan mol 1:34 yaitu perbandingan dimana jumlah larutan asam asetat
glasial terbanyak, tetapi dengan tiga perbandingan mol 1:20 ; 1:15 dan 1:10 menunjukkan bahwa
semakin banyak jumlah larutan asam asetat glasial maka derajat kecerahan semakin meningkat.
Asam perasetat merupakan oksidator kuat dan memiliki bilangan oksidasi yang lebih tinggi dan
kuat dibandingkan dengan bilangan oksidasi dari hidrogen peroksida (8). Sampel kain jeans bekas
70
75
80
85
90
95
0 1 2 3 4 5 6 7
De
raja
t K
ece
rah
an (
%)
Perbandingan mol H2O2 dan CH3COOH
![Page 75: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/75.jpg)
75
didapatkan dari pabrik tekstil di Gresik dimana sampel kain jeans bekas tersebut tidak diketahui
secara pasti zat warna yang mengikatnya. Mekanisme reaksi bleaching tidak dapat dijelaskan secara
pasti karena tidak diketahuinya zat warna yang mengikat sampel kain jeans tersebut.
Pada penelitian ini, setelah proses bleaching sampel kain jeans tidak mengalami perubahan
bentuk dan sisa larutan proses bleaching tidak berwarna. Terdapat dua kemungkinan pada proses
hilangnya warna pada kain jeans. Kemungkinan yang pertama yaitu zat warna terlepas dari kain
jeans. Terdapat 2 tipe ikatan ionik antara zat warna dan serat yaitu antara zat warna bermuatan
negatif (anion) dengan serat yang bermuatan positif (kation) dan antara zat warna bermuatan positif
(kation) dengan serat yang bermuatan negatif (anion).
Kemungkinan apabila zat warna pada kain jeans adalah zat warna yang bermuatan negatif
(anion) dan serat pada jeans adalah bermuatan positif (kation), maka mekanisme yang terjadi adalah
sebagai berikut:
Pada mekanisme diatas zat warna berwarna biru yang digunakan adalah Alizarin Sky Blue
dengan strukturnya yaitu sebagai berikut:
CO2H
NH3+ A-
CO2H
NH3+ O3S- -Dye
Dye-SO3-
O
O
NH2
NH
Br
NaO3S
CH3
![Page 76: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/76.jpg)
76
Serat kain jeans diduga adalah campuran selulosa dan nylon. Polimer dari selulosa dan nilon
adalah sebagai berikut:
Selulosa Nylon
Kemungkinan apabila zat warna pada kain jeans adalah zat warna yang bermuatan bermuatan
positif (kation) dan serat pada jeans adalah negatif (anion), maka mekanisme yang terjadi adalah
sebagai berikut:
Pada mekanisme diatas zat warna berwarna biru yang digunakan adalah Cyanine Blue dengan
strukturnya yaitu sebagai berikut:
Serat kain jeans diduga dari golongan acrylic. Polimer dari acrylic adalah sebagai berikut:
+M -O3SDye-X+ -O3S
Dye-X+
NC2H5 CH N C2H5
+
I-
![Page 77: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/77.jpg)
77
Kemungkinan yang kedua yaitu zat warna diserang oleh nukleofil asam perasetat sehingga
struktur zat warna terpecah menjadi senyawa lain. Diduga mekanisme pemecahan zat warna oleh
nukleofil asam perasetat adalah sebagai berikut.
O
C
O
O O-
O
O O
O
O
O
-
+
+
O
O
O O
O
C
O O-
O
O
O
-
O +
O+
O
O
O+
- O
O +
O
O
O
Asam perasetat berperan sebagai nukleofil yang menyerang sistem aromatis yang kaya akan
elektron. Keberadaan asam perasetat dan alkena menyebabkan terbentuknya epoksida. Nukleofil
asam perasetat menyebabkan terbukanya cincin epoksida dan membentuk senyawa yang stabil yaitu
asam mukonat.
Pengaruh suhu terhadap derajat kecerahan kain jeans
Suhu dalam proses bleaching mempengaruhi derajat kecerahan dari kain. Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kecepatan reaksi, dimana semakin tinggi suhu maka reaksi akan berlangsung
lebih cepat (3). Pada proses bleaching, semakin tinggi suhu maka proses pembentukan nukleofil ion
perasetat (CH3COOO-) akan semakin cepat sehingga hal ini akan berpengaruh pada proses
![Page 78: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/78.jpg)
78
penghilangan gugus kromofor (9). Grafik hubungan antara suhu dalam proses bleaching terhadap
derajat kecerahan ditunjukkan pada gambar 4.
Gambar 4. Grafik hubungan suhu dengan derajat kecerahan pada perbandingan mol
[H2O2:CH3COOH] sebesar 1:10 dan waktu 60 menit
Pengaruh waktu terhadap derajat kecerahan kain jeans
Waktu dalam proses bleaching mempengaruhi derajat kecerahan pada kain. Pada penelitian ini
dilakukan bleaching dengan variasi waktu 45, 60, 75 dan 90 menit. Semakin lama waktu reaksi maka
derajat kecerahan yang dihasilkan akan semakin besar pula (3). Grafik hubungan antara waktu dalam
proses bleaching terhadap derajat kecerahan ditunjukkan pada Gambar 5.
20
30
40
50
60
70
80
90
100
50 60 70 80 90
Der
ajat
kec
era
han
(%
)
Suhu (˚C)
80
82
84
86
88
90
92
40 50 60 70 80 90 100
Der
ajat
kec
era
han
(%
)
Waktu (menit)
![Page 79: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/79.jpg)
79
Gambar 5. Grafik hubungan waktu dengan derajat kecerahan pada perbandingan mol
[H2O2:CH3COOH+ sebesar 1:10 pada suhu 85˚C
Dari data diatas dapat diketahui bahwa waktu optimum pada proses bleaching adalah selama
60 menit walaupun pada waktu bleaching selama 90 menit tetap mengalami kenaikan. Melalui grafik
tersebut dapat dilihat bahwa pada waktu bleaching selama 45 menit ke 60 menit memberikan hasil
derajat kecerahan dengan selisih yang besar sedangkan pada waktu bleaching 60 menit ke 75 menit
hanya mengalami kenaikan yang sedikit begitu pula dari waktu bleaching 75 menit ke 90 menit juga
mengalami kenaikan yang sedikit.
KESIMPULAN
Perbandingan mol [H2O2 30% : CH3COOH 100%] optimum pada proses bleaching dengan asam
perasetat adalah 1:10, suhu optimum 85˚C dan waktu optimum adalah 60 menit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Moertinah, S., 2008, Peluang-peluang Produksi Bersih Pada Industri Tekstil
Finishing Bleaching (Studi Kasus Pabrik Tekstil Finishing Bleaching PT.
Damaitex, Thesis Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro
2. Suess, H. U., 2010, Pulp Bleaching Today, De Gruyter, Berlin/New York
3. Van Dam, J., E., G., 2002, Coir Processing Technologies: Improvement of Drying,
Softening, Belaching and Dyeing Coir Fibre/Yarn and Printing Coir Floor
Coverings. Technical Paper, 6, Department of Fibres and Cellulose
Agrotechnological Research Institute (ATO bv) Wageningen, Netherlands
4. Batubara, R., 2006, Teknologi Bleaching Ramah Lingkungan, Skripsi Kimia
Universitas Sumatra Utara
5. Ulia, H., 2007, Alternatif Penggunaan Hidrogen Peroksida Pada Tahap Akhir
Proses Pemutihan Pulp, Thesis Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara
6. Abdel-Halim, E., S., Al-Deyab, S., S., 2011, Low temperature bleaching of cotton
cellulose using peracetic acid, Carbohidrat Polymers, 86 : 988-994
7. Zhao, X., Cheng, K., Hao, J., Liu, D., 2008, Preparation of peracetic acid from
hydrogen peroxide, part II: Kinetics for spontaneous decomposition of peracetic
acid in the liquid phase, Journal of Molecular Catalysis A: Chemical, 284 : 58-68
![Page 80: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/80.jpg)
80
8. Muladi, Kusuma, S., I., W., Orsadchia, O., K., Pratt, R., 2000, The Elementary
Chlorine Free Bleacing (ECF) of Some Indonesia Timber Estate Wood Spesies,
Proceeding of The Third Wood Science Symposium : 335-340
9. Dence, C. W dan Reeve, D. W., 1996. Pulp Bleaching: Principle and Practice.
Atlanta, san Diego, California. TAPPI Press
![Page 81: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/81.jpg)
81
Pembuatan dan Karakterisasi Membran Fotokatalitik Komposit Kitosan-Selulosa
Diasetat-TiO2 Untuk Pengolahan Limbah Zat Warna Tekstil Congo Red
Della Ratna Febriana1, Siti Wafiroh
2, dan Harsasi Setyawati
3
1,2,3Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
Surabaya, Indonesia
Email : [email protected]
ABSTRAK
Membran banyak diaplikasikan dalam kehidupan manusia, salah satu contohnya dalam
pengolahan limbah zat warna tekstil. Penelitian ini bertujuan untuk membuat dan
mengkarakterisasi membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2 untuk mengolah limbah zat warna
tekstil congo red. Kitin diisolasi dari cangkang rajungan lalu disintesis menjadi kitosan
melalui 4 tahap yaitu deproteinasi, demineralisasi, depigmentasi dan deasetilasi. Selulosa
diisolasi dari batang pisang kepok lalu disintesis menjadi selulosa diasetat melalui 3 tahap
yaitu penggembungan, asetilasi dan hidrolisis. Membran dibuat dengan metode inversi fasa.
Membran kitosan ditambahkan dengan variasi konsentrasi selulosa diasetat 2%, 4%, 6%, 8%
dan 10%. Membran tersebut diuji sifat mekaniknya. Membran kitosan-selulosa diasetat yang
memiliki sifat mekanik optimum kemudian ditambahkan dengan variasi konsentrasi TiO2
sebesar 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25% dan 0,3%. Membran ini dikarakterisasi meliputi ketebalan,
sifat mekanik, kinerja, SEM dan FT-IR. Kemudian membran yang optimum diaplikasikan
untuk mengolah limbah zat warna tekstil congo red. Hasil penelitian ini membran optimum
untuk mengolah limbah zat warna tekstil congo red yaitu dengan konsentrasi kitosan 3%,
selulosa diasetat 4% dan TiO2 0,3%. Hasil karakterisasi membran optimum ini meliputi
ketebalan 0,01 mm, stress 0,02250 kN/mm2, strain 0,05767, modulus young 0,39015
kN/mm2, fluks 1061, 54 L/m
2 hari, dan rejeksi 99,60 %. Hasil aplikasi membran kitosan-
selulosa diasetat-TiO2 dalam mengolah limbah zat warna tekstil congo red dengan fluks
715,529 L/m2 hari dan rejeksi 92,19 %.
Kata kunci: membran, kitosan, selulosa diasetat, TiO2, congo red
ABSTRACT
Membrane was applied in many people's lives, one example in the textile dye wastewater
treatment. The purpose of this study is to create and characterize chitosan membrane with the
addition of cellulose diacetate and TiO2 to treat textile dyes waste congo red. Chitin was
isolated from crab shells and then synthesized into chitosan through the 4 stages are
deproteination, demineralization, depigmentation and deacetylation. Cellulose was isolated
from kepok banana stem then synthesized into a cellulose diacetate through 3 stages such as
the swelling stage, the acetylation stage and hydrolysis. Membranes prepared by phase
inversion method. Chitosan membrane added with variation of cellulose diacetate
concentration 2%, 4%, 6%, 8% and 10%. The membranes are tested about mechanical
properties. Chitosan-cellulose diacetate membrane which have optimum mechanical
properties then added with variation of TiO2 concentration 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25% and
0,3%. The membranes are characterized include thickness, mechanical properties,
performance membrane, SEM and FT-IR. The optimum membranes applied for wastewater
treatment of textile dye congo red. So, the optimum membrane for wastewater treatment of
textile dye congo red is concentration of chitosan 3%, cellulose diacetate 4% and TiO2 0,3%.
The characterization results of optimum membrane include thickness of 0,01 mm, stress
0,02250 kN/mm2, strain 0,05767, modulus young 0,39015 kN/mm
2, flux 1061, 54 L/m
2 days,
dan rejection 99,60 %. The result of application membrane in wastewater treatment of textile
dye congo red with flux 715,529 L/m2 days and rejection 92,19 %.
Key words: membrane, chitosan, cellulose diacetate, TiO2, congo red
![Page 82: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/82.jpg)
82
PENDAHULUAN
Industri tekstil merupakan industri yang perkembangannya cukup pesat di Indonesia.
Industri tekstil merupakan kontributor penting dalam pencemaran lingkungan, khususnya
lingkungan perairan karena limbah zat warna yang dihasilkannya. Pembuangan air limbah ke
sungai dari industri yang menggunakan pewarna akan menimbulkan masalah lingkungan yang
serius. Selain itu, sebagian besar pewarna bersifat mutagenik dan karsinogenik (Gong et al.,
2005). Pewarna yang paling banyak terdapat dalam limbah tekstil adalah zat warna azo. Zat
warna azo yang terdapat dalam limbah tekstil yaitu sekitar 60 %-70 %. Salah satu contoh
senyawa azo adalah congo red. Apabila congo red termetabolisasi akan menghasilkan
benzidine yang diketahui bersifat karsinogen bagi manusia dan dapat menyebabkan respon
alergi (Han et al., 2008).
Upaya pengolahan limbah tekstil telah banyak dilakukan seperti adsorpsi (Alkan et
al.,2005), biodegradasi, khlorinasi, dan ozonisasi (Muthukumar et al., 2004). Namun metode
tersebut memiliki kelemahan seperti kapasitasnya rendah, dibutuhkan material bahan yang
banyak, biaya operasional cukup mahal sehingga diperlukan suatu inovasi untuk mengatasi
kelemahan tersebut.
Teknologi membran merupakan salah satu inovasi dalam pengolahan limbah tekstil.
Keunggulan teknologi membran antara lain yaitu pemisahan dengan membran tidak
membutuhkan zat kimia tambahan, kebutuhan energinya rendah, pemisahan berdasarkan
ukuran molekul sehingga dapat dioperasikan pada temperatur rendah, dan juga membran
dapat digabungkan dengan metode lainnya. Material yang banyak dijadikan bahan membran
adalah kitosan dan selulosa diasetat. Bahan-bahan tersebut memiliki keunggulan seperti sifat
mekanik yang kuat, biodegradable, tidak beracun, murah dan mudah di dapatkan (Khor et al.,
2002). Selain menggunakan metode membran, metode fotodegradasi juga merupakan metode
yang relatif murah serta mudah diterapkan. Metode fotodegradasi ini membutuhkan katalis
biasanya TiO2 untuk degradasi atau oksidasi zat pewarna organik (Libanori et al., 2008)
karena aktivitas katalitik yang kuat dan keberadaannya di alam cukup melimpah (Drioli et al.,
2009).
Penelitian sebelumnya Sofiana (2011) membuat membran selulosa diasetat komposit
TiO2 yang diaplikasikan untuk degradasi congo red murni. Hasilnya congo red yang
terdegradasi sebesar 83,23%. Membran tersebut memiliki nilai fluks sebesar 11251,1
L/m2hari , rejeksi sebesar 95,34%, stress sebesar 63,83 N/cm
2, strain sebesar 0,03 dan
modulus young sebesar 1926,45 N/cm2. Peneliti menggunakan selulosa diasetat untuk
memperbesar nilai fluks dan TiO2 untuk material anti fouling. Sedangkan Ernasuryaningtyas
![Page 83: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/83.jpg)
83
(2011) membuat membran komposit kitosan-PEG-TiO2 untuk pengolahan air sumur.
Membran tersebut memiliki nilai fluks sebesar 1445,37 L/m2hari, rejeksi sebesar 98,89%,
stress sebesar 5,8594x10-3
kN/mm2, strain sebesar 0,1015 dan modulus young sebesar 0,0577
kN/mm2. Peneliti menggunakan PEG untuk memperbesar pori karena kitosan memiliki pori
yang kecil. Fungsi TiO2 dalam penelitiannya yaitu sebagai material anti bakteri. Oleh sebab
itu perlu penelitian lebih lanjut tentang membran variasi komposit lain yaitu kitosan-selulosa
diasetat-TiO2 untuk memperoleh membran dengan sifat optimum baik dari kinerja maupun
mekaniknya.
Dalam penelitian ini selulosa diasetat dari kulit batang pisang kepok dengan kitosan
dari cangkang rajungan Portunus pelagicus yang keberadaannya cukup melimpah di
Indonesia, akan dikompositkan sebagai material pembuatan membran. Membran kitosan yang
memiliki pori yang kecil tidak efektif untuk proses pemisahan sehingga perlu ditambahkan
selulosa diasetat untuk memperbesar pori. Konsentrasi selulosa diasetat yang ditambahkan
bervariasi yaitu 2%, 4%, 6%, 8% dan 10% (b/v). Membran yang dihasilkan diuji sifat
mekaniknya. Membran yang mempunyai sifat mekanik optimum kemudian dicampur dengan
suspensi TiO2 dalam metanol dengan variasi 0,1%; 0,15%; 0,2%; 0,25%; 0,3% (b/v).
Pencetakan membran menggunakan metode inversi fasa. Membran yang diperoleh
selanjutnya dikarakterisasi meliputi uji kinerja, uji tarik (stress, strain, Modulus Young),
FTIR, dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Membran yang dihasilkan akan
diaplikasikan untuk mengolah limbah zat warna tekstil congo red. Uji efektifitas membran
untuk mengolah limbah zat warna tekstil congo red dengan menggunakan spektrofotometer
UV-Vis.
METODE PENELITIAN
Alat penelitian
Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pipet tetes, gelas beker,
hotplate, penyaring, buret, gelas ukur, termometer, cawan petri, labu erlenmeyer bertutup,
pengaduk, mikrometer sekrup, pengaduk magnetik, seperangkat alat refluks, neraca analitik,
bak koagulasi, sel filtrasi dead end, mortar, oven, FTIR Bruker Tensor, Spektrofotometer UV-
Vis Mapada UV-6100PCS , autograph AG-10 TE Shimadzu, SEM, dan reaktor fotokatalitik.
Bahan penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuades, NaOH teknis, aseton
pro analisis, Ca(OH)2 teknis, formamida pro analisis, suspensi TiO2 dalam metanol, congo red
pro analisis, asam asetat glasial pro analisis, anhidrida asetat pro analisis, NaOCl teknis, HCl
teknis, kitosan dari cangkang rajungan, selulosa diasetat dari kulit batang pisang kepok.
![Page 84: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/84.jpg)
84
Prosedur Kerja
Pada penelitian ini dilakukan sintesis selulosa diasetat, kitosan dan membran
fotokatalitik. Tahap pertama yaitu sintesis selulosa diasetat. Kulit batang pisang dipotong
dengan ukuran 1-2 cm kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah kering, kulit
batang pisang direndam dengan larutan Ca(OH)2 2,5% selama 7 hari. Kemudian dicuci
hingga netral lalu dimasukkan ke dalam labu alas bulat yang telah diisi dengan 150 mL
larutan NaOH 17,5% lalu campuran tersebut direfluks selama 4 jam. Kemudian campuran
tersebut dicuci dengan akuades hingga bebas basa dan di oven pada suhu 600C hingga kering.
Sebanyak 10 gram pulp kering dari kulit batang pisang ditambahkan 88 mL akuades
dalam gelas beker yang telah dipanaskan pada suhu 60ºC, kemudian campuran tersebut
diaduk hingga bertekstur seperti bubur. Kemudian bubur didinginkan lalu ditambahkan
dengan 100 mL NaOCl 5% dan didiamkan selama 30 menit sambil terus diaduk. Kemudian
pulp dibilas dengan akuades dan direndam kembali dengan NaOH 2% dan dibiarkan selama
30 menit kemudian dicuci dengan akuades hingga bebas basa yang diuji dengan
menggunakan kertas lakmus kemudian dikeringkan di udara terbuka.
Pulp kulit batang pisang yang telah dibleaching sebanyak 10 gram ditambahkan asam
asetat glasial 24 mL, dan diaduk menggunakan magnetic stirer pada suhu 40ºC dalam waktu
1 jam. Setelah itu ditambahkan lagi campuran 60 mL asam asetat glasial dan 0,5 mL H2SO4,
kemudian diaduk lagi dengan magnetic stirer selama 45 menit pada suhu 400C. Campuran
didinginkan dan setelah itu ditambahkan anhidrida asetat sebanyak 27 mL yang telah
didinginkan pada suhu 180C dan diaduk selama 3 jam pada temperatur 40
0C. Tahap
selanjutnya ditambahkan asam asetat glasial 67% sebanyak 30 mL dilakukan tetes demi tetes
selama 3 jam pada temperatur 40ºC dan diaduk lagi selama waktu hidrolisis 15 jam. Setelah
itu larutan diendapkan dengan menambahkan akuades tetes demi tetes dan diaduk hingga
diperoleh endapan berbentuk serbuk. Endapan yang terbentuk disaring dan dicuci dengan
akuades sampai netral kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 60-70ºC. Selulosa yang
terbentuk kemudian dikarakterisasi meliputi uji kelarutan selulosa diasetat dalam aseton,
penentuan berat molekul rata-rata dengan viskometer Ostwald dan analisis FT-IR.
Tahap kedua yaitu sintesis kitosan diawali dengan cangkang rajungan dicuci sampai
bersih kemudian direbus dalam air mendidih selama 15 menit. Lalu cangkang rajungan
dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah benar-benar kering, cangkang rajungan tersebut
diblender hingga halus kemudian diayak.
Proses transformasi kitin menjadi kitosan melalui beberapa tahap yaitu deproteinasi,
demineralisasi, depigmentasi dan deasetilasi. Tahap deproteinasi yaitu serbuk cangkang
![Page 85: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/85.jpg)
85
rajungan ditambahkan larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan antara serbuk cangkang
rajungan dengan larutan NaOH 1:10 (w/v). Proses ini dilakukan pada temperatur 65oC dengan
pengadukan selama + 2 jam. Kemudian serbuk ini disaring lalu dicuci menggunakan akuades
hingga netral kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 65oC sehingga diperoleh crude
kitin. Tahap selanjutnya yaitu demineralisasi yaitu crude kitin ditambahkan larutan HCl 2N
dengan perbandingan antara kitin kasar dan larutan HCl 1:15 (w/v). Kemudian dilakukan
pengadukan pada suhu kamar selama 30 menit. Kemudian kitin kasar disaring dan dicuci
dengan akuades hingga netral kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sehingga
diperoleh kitin. Pada tahap depigmentasi yaitu penghilangan warna, kitin diputihkan dengan
menggunakan aseton dan diaduk terus selama + 2 jam. Hasil perendaman lalu dikeringkan
dalam oven pada suhu 1100C sampai kering.
Tahap akhir yaitu deasetilasi di mana kitin hasil depigmentasi ditambahkan larutan
NaOH 50% dengan perbandingan antara kitin dan larutan NaOH 1:10 (w/v). Campuran
direbus selama 2 jam pada temperatur + 120oC, lalu disaring dan dicuci dengan akuades
hingga netral lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 65oC sampai kering dan diperoleh
kitosan. Kitosan yang terbentuk kemudian dikarakterisasi meliputi uji kelarutan kitosan dalam
asam asetat 2 %, penentuan berat molekul rata-rata dengan viskometer ostwald, analisis
derajat deasetilasi dan analisis FT-IR.
Tahap ketiga yaitu sintesis membran fotokatalitik diawali dengan selulosa diasetat
dengan variasi konsentrasi 2%, 4%, 6%, 8% dan 10% (% b/v) direaksikan dengan kitosan 3%
(% b/v) dan formamida 8% (%v/v) yang diletakkan dalam labu erlenmeyer bertutup dan
diaduk dengan magnetic stirer sampai larutan homogen dan didiamkan semalam. Larutan
dope membran yang bebas gelembung kemudian dicetak dalam cawan petri. Kemudian
membran dikeringkan dalam oven dengan suhu penguapan 800C sampai diperoleh lapisan
kering. Setelah itu cawan petri dituangi dengan NaOH 4% untuk membantu melepaskan
membran dari cetakan. Membran yang diperoleh lalu dicuci dengan air mengalir untuk
menghilangkan sisa-sisa pelarut. Kemudian membran dikeringkan di udara terbuka, membran
yang telah kering lalu diuji sifat mekaniknya untuk mengetahui membran yang mempunyai
komposisi selulosa diasetat yang optimum. Setelah diperoleh komposisi yang optimum,
mengulangi prosedur diatas dengan menambahkan suspensi TiO2 dalam metanol dengan
variasi 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25%, dan 0,3% ke dalam membran. Kemudian dilakukan uji
kinerja dan efektivitas membran fotokatalitik kitosan-selulosa diasetat-TiO2 uji sifat mekanik
dengan autograph, uji kinerja dengan alat sel filtrasi dead end, analisis FT-IR dan SEM.
![Page 86: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/86.jpg)
86
Setelah membran optimum dikarakterisasi, kemudian ditentukan waktu optimum
dalam mendegradasi congo red. Larutan congo red diambil 100 mL diletakkan pada gelas
beaker diukur absorbansinya lalu dikontakkan dengan membran yang memiliki sifat optimum
kemudian disinari UV dalam reaktor fotokatalitik dengan berbagai variasi waktu yaitu 5, 10,
20, 30, 45, 60, 90, 120, dan 180 menit. Setelah itu, diukur absorbansinya menggunakan
spektrofotometer UV-Vis untuk mengetahui konsentrasi congo red sisa.
Langkah terakhir yaitu aplikasi membran untuk pengolahan limbah zat warna tekstil.
Larutan limbah tekstil congo red disaring dengan menggunakan kertas saring What mann
ukuran 42. Kemudian larutan limbah tekstil congo red yang telah disaring, diambil 150 mL
yang diletakkan pada gelas beaker lalu diukur absorbansi awalnya pada panjang gelombang
maksimum. Selanjutnya larutan limbah tekstil congo red tersebut dikontakkan secara
langsung dengan membran fotokatalitik optimum dalam reaktor fotokatalitik disinari UV
selama waktu optimumnya. Kemudian, limbah tekstil congo red yang telah dikontakkan
dengan membran diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Tahap
selanjutnya penentuan kinerja membran dengan mengukur nilai fluks dan rejeksi
menggunakan alat sel filtrasi dead end.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kulit batang pisang kering direndam dengan larutan Ca(OH)2 2,5% sebanyak 200 mL
selama 7 hari dengan tujuan untuk mereaktifkan serat. Kemudian batang pisang dicuci dengan
akuades lalu batang pisang direaksikan dengan larutan NaOH 17,5% lalu campuran tersebut
direfluks selama 4 jam. Tujuan dari proses refluks ini adalah untuk menghilangkan lignin dan
hemiselulosa yang terdapat dalam kulit batang pisang. Setelah proses refluks selesai,
campuran dicuci dengan akuades lalu kulit batang pisang dioven pada suhu 600C hingga
kering. Pulp hasil penelitian ini sebesar 80,75 gram dengan rendemen 22,43%. Pulp kering
dari kulit batang pisang direndam dengan akuades lalu dipanaskan hingga berbentuk bubur.
Kemudian bubur didinginkan lalu ditambahkan dengan 100 mL NaOCl 5% dan didiamkan
selama 30 menit sambil terus diaduk. Bleaching bertujuan untuk menghilangkan lignin yang
masih tersisa setelah proses refluks. Untuk menyempurnakan proses degradasi lignin, maka
pulp direndam kembali dengan NaOH 2% dan dibiarkan selama 30 menit kemudian pulp
dikeringkan di udara terbuka. Bleaching pulp pada penelitian ini menghasilkan pulp sebesar
29,35 gram dengan rendemen 36,35%.
Sintesis selulosa diasetat meliputi 3 tahap yaitu tahap penggembungan, tahap asetilasi dan
tahap hidrolisis. Tahap penggembungan dimana pulp direaksikan dengan asam asetat glasial. Asam
asetat glasial di sini berperan sebagai sweeling agent. Sweeling agent bertujuan untuk
![Page 87: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/87.jpg)
87
menggembungkan serat-serat selulosa dan mereaktifkan selulosa agar dapat bereaksi dengan anhidrida
asetat. Kemudian ditambahkan asam asetat glasial lagi dan H2SO4. Tahap asetilasi dimana campuran
ditambahkan dengan anhidrida asetat yang telah didinginkan dan diaduk selama 3 jam pada suhu 400C.
Anhidrida asetat berperan sebagai sumber gugus asetil. Pada tahap ini terjadi reaksi subtitusi antara
gugus asetil dari anhidrida asetat dengan gugus -OH pada selulosa, yang mengakibatkan selulosa
memiliki 3 gugus asetil disebut selulosa triasetat yang berbentuk larutan coklat tua yang sangat kental.
Tahap selanjutnya yaitu hidrolisis, dimana ditambahkan asam asetat glasial 67% sebanyak 30 mL
dilakukan tetes demi tetes selama 3 jam pada temperatur 40ºC. Asam asetat glasial 67% berperan
dalam menghidrolisis gugus asetil pada selulosa triasetat sehingga menjadi selulosa diasetat. Larutan
diendapkan dengan menambahkan akuades tetes demi tetes dan diaduk hingga diperoleh endapan
berbentuk serbuk berwarna putih. Kemudian serbuk tersebut dioven hingga kering. Massa selulosa
diasetat yang diperoleh sebesar 32,16 gram dengan rendemen 109,57%.
Hasil Karakterisasi Selulosa Diasetat
Karakterisasi awal yaitu uji kelarutan. Selulosa diasetat hasil sintesis larut dalam
aseton. Karakterisasi kedua yaitu penentuan berat molekul. BM selulosa diasetat hasil sintesis
sebesar 49.742,03 g/mol. Karakterisasi terakhir yaitu FT-IR. Hasil FT-IR selulosa dan
selulosa diasetat ditunjukkan pada Gambar 1
Gambar 1. Spektra FT-IR selulosa dan selulosa diasetat
Pada spektra FT-IR selulosa diasetat masih terlihat puncak serapan unit glukopiranosa
pada bilangan gelombang 1049,28 cm-1
, begitu pula dengan puncak serapan -OH tetap muncul
namun puncak serapan gugus fungsi -OH pada spektrum selulosa diasetat mempunyai
intensitas yang lebih rendah dibandingkan dengan selulosa. Munculnya spektra puncak
serapan baru yaitu pada bilangan gelombang 1751,36 cm-1
yang merupakan pita serapan
gugus karbonil ester. Terbentuk ester ini didukung dengan munculnya pita serapan pada
daerah bilangan gelombang 1234,44 cm-1
yang merupakan pita serapan yang khas C-O ester
dari asetat. Dengan adanya spektra baru ini, menunjukkan bahwa selulosa telah terasetilasi
menjadi selulosa diasetat.
![Page 88: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/88.jpg)
88
Hasil Proses Transformasi Kitin ke Kitosan dari Cangkang Rajungan
Cangkang yang telah kering kemudian diblender dan diayak lalu siap dilakukan
transformasi kitin menjadi kitosan melalui beberapa tahap yaitu deproteinasi, demineralisasi,
depigmentasi dan deasetilasi. Tahap deproteinasi dimana mereaksikan serbuk cangkang
rajungan dengan NaOH 3,5% ,di aduk dengan magnetic stirer selama 2 jam, dicuci dengan
akuades hingga bebas basa kemudian di oven hingga kering sehingga diperoleh crude kitin.
Massa crude kitin yang diperoleh sebesar 613 gram. Tahap demineralisasi dimana
mereaksikan crude kitin dengan HCl 2N tetes demi tetes, diaduk selama 30 menit, dicuci
hingga bebas basa kemudian dioven hingga kering. Massa kitin yang diperoleh pada
penelitian ini sebesar 91,8 gram. Tahap depigmentasi dimana kitin direndam dengan aseton
selama 2 jam kemudian dicuci dengan akuades dan dioven hingga kering. Tahap deasetilasi
dimana kitin direaksikan dengan NaOH 50%, direbus selama 2 jam kemudian dicuci dan di
oven sehingga diperoleh kitosan. Penggunaan NaOH dengan konsentrasi tinggi pada tahap ini
dikarenakan gugus asetil yang sulit lepas. Kitosan yang diperoleh dalam penelitian ini sebesar
66,8 gram.
Kitosan yang terbentuk kemudian dikarakterisasi. Uji kelarutan merupakan karakterisasi yang
paling sederhana. Kitosan larut sempurna dalam asam asetat 2% sedangkan kitin tidak larut
(Khor, 2001). Hal ini disebabkan oleh pembentukan ikatan hidrogen antara N dari gugus
amina pada kitosan dengan H+ dari asam asetat. Uji kedua yaitu penentuan BM. BM kitosan
hasil sintesis sebesar 580.744,47 Dalton. Uji ketiga yaitu penentuan derajat deasetilasi. DD
kitin hasil isolasi sebesar 43,54% sedangkan DD kitosan hasil sintesis sebesar 84,43%. Uji
terakhir yaitu penentuan gugus fungsi menggunakan FT-IR. Hasil FT-IR kitin dan kitosan
ditunjukkan pada Gambar 2
Gambar 2. Hasil spektra FT-IR kitin (a) dan kitosan (b)
Pada spektra FT-IR kitin, munculnya serapan pada bilangan gelombang 2931,80 cm-1
merupakan vibrasi ulur simetri CH3 dan 2885,51 cm-1
merupakan vibrasi ulur C-H,
menunjukkan keberadaan gugus asetil. Serapan pada bilangan gelombang 1627,92 cm-1
a) b)
![Page 89: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/89.jpg)
89
menunjukkan pita amida I (ulur C=O), bilangan gelombang 1550,77 cm-1
merupakan serapan
dari amida II (tekuk –NH) dan 1381,03 cm-1
menunjukkan serapan amida III (ulur C-N) juga
menandakan keberadaan gugus asetil. Pada spektra FT-IR kitosan, muncul puncak serapan
pada bilangan gelombang 2924,09 cm-1
mempunyai intensitas lebih lemah daripada 2931,80
cm-1
pada spektra FT-IR kitin, hal ini menunjukkan telah hilangnya sebagian gugus asetil
akibat proses deasetilasi dengan basa kuat konsentrasi tinggi. Adanya serapan pada bilangan
gelombang 1658,78 cm-1
yang merupakan serapan amina primer ditandai dengan munculnya
2 puncak bersebelahan.
Hasil Pembuatan Membran Fotokatalitik Komposit Kitosan-Selulosa Diasetat-TiO2
Larutan kitosan 3% (%b/v) dengan berbagai variasi larutan selulosa diasetat
2%,4%,6%,8% dan 10% (%b/v) direaksikan dengan formamida 8% (%v/v) dalam erlenmeyer
bertutup. Formamida berperan sebagai zat aditif untuk membran. Campuran larutan diaduk
hingga homogen kemudian didiamkan semalam untuk menghilangkan gelembung udara pada
larutan dope membran. Kemudian larutan dope yang bebas gelembung udara diambil 5 mL,
dicetak pada cawan petri lalu dioven hingga kering. Setelah membran kering, cawan petri
dituangi dengan NaOH 4% sebagai koagulan untuk membantu melepaskan membran dari cawan petri.
Membran yang diperoleh lalu dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa-sisa pelarut.
Kemudian membran ditempatkan pada plastik mika dan dikeringkan di udara terbuka. Hal ini
bertujuan untuk meminimalisir mengerutnya membran setelah kering.
Membran yang telah kering lalu diuji sifat mekaniknya dengan alat autograph untuk
mengetahui membran yang mempunyai komposisi selulosa diasetat yang optimum. Pada penelitian ini
diperoleh komposisi selulosa diasetat optimum yaitu 4% dengan stress sebesar 0,02321 kN/mm2.
Setelah diperoleh komposisi selulosa diasetat yang optimum, mengulangi prosedur diatas dengan
menambahkan suspensi TiO2 dalam metanol dengan variasi konsentrasi 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25%,
dan 0,3% ke dalam larutan dope membran. Kemudian dilakukan uji mekanik dan kinerja membran
untuk mengetahui membran yang optimum dalam mengolah limbah zat warna tekstil congo red.
Membran fotokatalitik komposit kitosan-selulosa diasetat-TiO2 hasil sintesis ditunjukkan pada Gambar
3
Gambar 3. Membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2
Hasil Karakterisasi Membran Kitosan-Selulosa diasetat-TiO2
Parameter uji sifat mekanik adalah dari nilai stress. Membran yang memiliki sifat
mekanik tertinggi adalah membran kitosan-selulosa diasetat dengan konsentrasi TiO2 0,3%
![Page 90: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/90.jpg)
90
yang dapat dilihat dari nilai stress yang tinggi. Semakin banyak komposisi TiO2 maka
semakin tinggi nilai stress karena struktur membran yang semakin rapat sehingga kekuatan
membran meningkat dan gaya yang diberikan pada membran juga semakin besar.
Gambar 4. Perbandingan nilai stress dengan konsentrasi TiO2 pada membran
kitosan-selulosa diasetat-TiO2
Uji kinerja membran meliputi nilai fluks dan rejeksi. Nilai fluks dipengaruhi oleh
komposisi TiO2 dalam membran. Membran dengan komposisi TiO2 0,1%, 0,15% dan 0,2%
mengalami kenaikan fluks karena semakin besar konsentrasi TiO2 yang aktif dalam membran
maka semakin besar pula kemampuan TiO2 dalam mendegradasi congo red menjadi struktur
yang lebih kecil sehingga laju aliran umpan semakin besar. Namun ketika konsentrasi TiO2
0,25% dan 0,3% nilai fluks mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan adanya proses filtrasi
oleh membran. Proses filtrasi ini menyebabkan membran menjadi berwarna merah dan terjadi
penumpukan solut pada pori-pori membran (fouling) sehingga menyebabkan penyempitan
yang menghalangi laju umpan (Baker, 2004).
Gambar 5. Perbandingan nilai fluks (a) dan rejeksi (b) dengan konsentrasi TiO2
pada membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2
Membran yang memiliki nilai rejeksi tertinggi yaitu dengan konsentrasi TiO2 0,3%.
Nilai rejeksi meningkat sebanding dengan meningkatnya konsentrasi TiO2. Semakin tinggi
konsentrasi TiO2 maka semakin rapat ukuran dan distribusi pori yang dihasilkan oleh
membran sehingga kemampuan membran dalam menahan umpan semakin besar.
Membran optimum adalah membran yang memiliki sifat mekanik yang kuat ditandai
dengan nilai stress yang tinggi, kinerja yang baik dilihat dari nilai rejeksi tinggi dan fluks
yang cukup tinggi pula. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka membran
0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0 0.1 0.2 0.3 0.4
Stre
ss (
kN/m
m2)
Konsentrasi TiO2 (%)
0
500
1000
1500
0.1 0.15 0.2 0.25 0.3
Flu
ks (
L/m
2 h
ari)
Konsentrasi TiO2 (%)
94
96
98
100
0.1 0.15 0.2 0.25 0.3
Re
jeks
i (%
)
Konsentrasi TiO2 (%)
a) b)
![Page 91: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/91.jpg)
91
optimum adalah membran dengan komposisi kitosan 3%, selulosa diasetat 4% dan TiO2 0,3%
dimana nilai stress yang diperoleh sebesar 0,02250 kN/mm2, fluks 1061,54 L/m
2 hari dan
rejeksi 99,60%.
Uji SEM pada permukaan membran komposit optimum ditunjukkan pada Gambar 6
Gambar 6. Hasil permukaan SEM membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2
optimum
Dari gambar tersebut diketahui bahwa membran ini memiliki pori dan persebaran porinya
cukup merata. Pada gambar tersebut terlihat butiran-butiran putih TiO2 yang tidak larut
sempurna pada pembuatan larutan dope membran, hal ini dikarenakan TiO2 yang digunakan
dalam bentuk suspensi.
Hasil uji FT-IR membran kitosan-selulosa diasetat (a) dan membran kitosan-selulosa diasetat-
TiO2 (b) ditujukkan pada Gambar 7
Gambar 7. FT-IR membran kitosan-selulosa diasetat (a) dan
membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2 (b)
Dari spektra Gambar 7 dapat dilihat bahwa tidak terdapat banyak perbedaan pita serapan yang
muncul pada membran kitosan-selulosa diasetat dan membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2.
Munculnya pita serapan pada spektra FT-IR membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2 pada
bilangan gelombang 370,33 cm-1
dan 339,47 cm-1
menunjukkan adanya ikatan Ti-N. Oleh
karena itu terjadi ikatan kimia antara TiO2 dengan kitosan pada membran fotokatalitik ini
yang ditandai dengan perubahan gugus fungsi.
Hasil pengaruh variasi waktu kontak antara membran fotokatalitik komposit kitosan-
selulosa diasetat-TiO2 dengan lampu UV terhadap konsentrasi congo red yang tersisa
Hubungan antara waktu penyinaran dengan absorbansi congo red ditunjukkan pada Gambar 8
![Page 92: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/92.jpg)
92
Gambar 8. Grafik hubungan antara waktu penyinaran dengan absorbansi
congo red
Waktu optimum dalam mendegradasi congo red adalah 180 menit, hal ini dilihat dari
penurunan absorbansi congo red yang paling signifikan. Semakin lama waktu penyinaran
maka absorbansi dari larutan congo red semakin menurun. Menurunnya absorbansi
menandakan konsentrasi congo red sisa juga menurun. Hal ini disebabkan oleh semakin
lamanya waktu kontak antara TiO2 dalam membran dengan sinar UV dalam reaktor sehingga
kemampuan TiO2 semakin aktif dalam mendegradasi congo red.
Hasil Aplikasi Membran Kitosan-Selulosa Diasetat-TiO2 untuk Pengolahan Limbah Zat
Warna Tekstil Congo Red
Pada penelitian ini diperoleh absorbansi limbah tekstil sebesar 1,094 dengan konsentrasi
sebesar 4300 ppm. Selanjutnya, limbah tekstil dikontakkan dengan membran dalam reaktor
fotokatalitik selama 3 jam lalu diukur absorbansinya, sehingga didapat absorbansi sebesar 0,528
dengan konsentrasi sebesar 2036 ppm maka diperoleh % degradasi sebesar 52,65%. Kemudian
dilanjutkan dengan proses dead end yang menghasilkan nilai fluks dan % rejeksi masing-masing
sebesar 715,529 L/m2.hari dan 92,19 %. Nilai rejeksi dan fluks yang dihasilkan dari pengolahan
limbah zat warna tekstil congo red lebih rendah dibandingkan dengan kinerja membran terhadap
sampel congo red murni 100 ppm dengan fluks 1061,540 L/m2.hari dan rejeksi 99,60%. Hal ini
disebabkan oleh terlalu banyaknya komponen yang terkandung dalam limbah tekstil tersebut sehingga
dapat mengganggu kinerja dari membran yang seharusnya spesifik terhadap zat tertentu. Hasil
pengolahan limbah zat warna tekstil congo red ditunjukkan pada gambar 8
Kesimpulan
1. Kinerja dan sifat mekanik membran fotokatalitik komposit kitosan-selulosa diasetat-
TiO2 yang optimum memiliki komposisi kitosan 3%, selulosa diasetat 4% dan TiO2
0,3% dengan fluks 1061,540 L/m2 hari, rejeksi 99,60%, stress 0,02250 kN/mm
2, strain
0,05767, dan modulus young 0,39015 kN/mm2.
2. Efektifitas membran fotokatalitik komposit kitosan-selulosa diasetat-TiO2 untuk
mengolah limbah zat warna tekstil congo red dilihat dari nilai fluks sebesar 715,529
L/m2 hari dan rejeksi 92,19%.
![Page 93: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/93.jpg)
93
3. Waktu kontak optimum antara membran fotokatalitik komposit kitosan-selulosa
diasetat-TiO2 dengan lampu UV untuk mendegradasi limbah zat warna tekstil congo
red adalah 180 menit.
Daftar Pustaka
Alkan, M., Celikcapa, S., Demirbas, O., and Dogan, M., 2005, Removal of reactive blue 221
and acid blue 62 anionic dyes from aqueous solutions by sepiolite, Dyes Pigments, 65,
251–259
Drioli, Enrico and Giorno, Lidietta, 2009, Membrane Operations Innovative Separations and
Transformations, WILEY-VCH, Republik of Germany
Ernasuryaningtyas, Ike, 2011, Pembuatan dan Karakterisasi Membran Fotokatalitik Kitosan-
TiO2 dengan Penambahan Polietilen Glikol (PEG) untuk Pengolahan Air Sumur,
Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya
Gong, R., Ding, Y., Li, M., Yang, C., Liu, H., Sun, Y., 2005, Utilization of powdered peanut
hull as biosorbent for removal of anionic dyes from aqueous solution, Dyes Pigments,
64, 187–192
Han, R., Ding, D., Xu, Y., Zou, W., Wang, Y., Li, Y., Zou, L., 2008. Use of rice husk for
adsorption of congo red from aqueous solution in column mode Bioresource Technol,
99, 2938–2946
Khor, Eugene, 2001, Chitin: Fulfilling a Biomaterial Promise, (ed) Chitin Handbook,
Singapore
Khor, E., 2002, Chitin: a biomaterial in waiting, Curr Opin Solid State Mater, Vol 6, 3137
Libanori, Rafael, 2008, Effect of TiO2 surface modification in Rhodamine B
Photodegradation, Springer Science+Business Media, 95
Muthukumar, M, Selvakumar, N., 2004, Studies on the effect of inorganic salts on
decoloration of acid dye effluents by ozonation, Dyes Pigments, 62, 221–228
Rao, K.V.S., Srivinas, B., Prasad, A.R., and Subrahmanyam, M., 2000, Chem.Commun, 1553-
1534
Sofiana, Nani Dian, 2011, Pembuatan Membran Fotokatalitik dari Selulosa Diasetat Serat
Daun Nanas (Ananas cemosus) dan TiO2 untuk Mendegradasi Congo Red, Skripsi,
Universitas Airlangga, Surabaya
Velde, K.V. and Kiekens, P., 2004, Structure Analysis and Degree of Substitution of Chitin,
Chitosan and Dibuthyrylchitin by FT-IR spectroscopy and solid state 13C NMR,
Carbohydr. Polym., 58, 409-416
![Page 94: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/94.jpg)
94
PURIFIKASI PARSIAL DAN KARAKTERISASI ENZIM KITINASE DARI CAIRAN
DIGESTIVE GLAND Achatina fulica
Partial Purificaton And Characterization Chitinase Enzyme From Digestive Gland Fluids
Of Achatina fulica
Dwi Resti Ningrum, Dr. Afaf Baktir, MS, Dr. Purkan, M.Si
Departeman Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
Jl. Mulyorejo, Surabaya
ABSTRACT
The Enzyme from the digestive gland extracts of Achatina fulica is known contain
various types of hydrolase enzymes, one of them is chitinase. Chitinase has many benefit for
various industries, they are including food, medicine and agriculture. The objective of reseach
to perform a partial purification chitinase enzyme of digestive gland extract of Achatina fulica
using acetone. Optimization of the percentage acetone carried out to obtain the highest
specific activity from each fraction. Chitinase specific activity after fractination is compared
to extracts without fractionation. Specific activity of the most collected there in 45-70
fraction. There is an increase of 6.45 times the specific activity of without fractionation. This
fraction has a temperature optimum at 37oC and optimum pH 7.
Keyword : Achatina fulica, chitinase, acetone fractionation, purification enzyme
ABSTRAK
Ekstrak enzim dari digestive gland Achatina fulica diketahui mengandung berbagai
jenis enzim hidrolase, salah satunya kitinase. Kitinase memiliki banyak kegunaan dalam
berbagai bidang industri, diantaranya makanan, medis dan pertanian. Penelitian ini bertujuan
untuk melakukan pemurnian parsial ekstrak enzim kitinase dari digestive gland Achatina
fulica menggunakan aseton. Optimasi prosentase aseton dilakukan untuk mendapatkan fraksi
dengan aktivitas spesifik tertinggi. Aktivitas spesifik kitinase sesudah fraksinasi dibandingkan
![Page 95: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/95.jpg)
95
dengan ekstrak tanpa fraksinasi. Aktivitas spesifik yang paling banyak terkumpul ada pada
fraksi 45-70. Terdapat peningkatan aktivitas spesifik sebesar 6,45 kali dari ekstrak sebelum
difraksinasi. Fraksi ini memiliki suhu optimum pada 37o C dan pH optimum 7.
Kata kunci: Achatina fulica, kitinase, fraksinasi aseton, pemurnian enzim
PENDAHULUAN
Achatina fulica dianggap sebagai hama yang dapat menurunkan kualitas produk
panen. Meskipun demikian, Achatina fulica dapat dimanfaatkan untuk makanan dan obat
tradisional karena khasiatnya. Namun belum banyak penelitian yang memanfaatkan cairan
kelenjar saluran pencernaan (digestive gland) Achatina fulica. Wheel 1 menyatakan bahwa
ekstrak kelenjar saluran pencernaan (digestive gland) Achatina fulica memiliki campuran
enzim karbohidrase, meliputi enzim kitinase, xilanase, selulase, hemiselulase, amilase,
maltase, dan sukrase. Namun sejauh ini, informasi tentang karakteristik tiap enzim tersebut
masih belum dilaporkan, termasuk karakteristik kitinase.
Kitinase adalah salah satu enzim yang menarik untuk dikaji, karena memilki
kemampuan untuk menghidrolisis kitin menjadi oligomernya yang selama ini dimanfaatkan
dalam berbagai bidang. Senyawa oligomer tersebut banyak dimanfaatkan untuk bidang medis
dan makanan.2 Kitinase menghidrolisis kitin menjadi senyawa oligomer kitin, seperti
karboksimetil kitin, hidroksietil kitin dan etil kitin. Dalam bidang medis, senyawa-senyawa
tersebut dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan benang operasi, yang mempunyai
keunggulan dapat diserap dalam jaringan tubuh, tidak toksik dan dapat disimpan dengan
waktu yang lama. Monomer lain dari kitin yaitu N-asetil-D-glukosamin, dapat dimanfaatkan
dalam bidang farmasi, obat pengontrol kadar gula dalam darah, suplemen, anti inflamasi dan
sebagainya.3
Dalam bidang lingkungan, kitinase dimanfaatkan untuk penanganan limbah yang
mengandung kitin, seperti pabrik pembekuan udang. Apabila limbah udang dibiarkan
mencemari perairan dapat meningkatkan BOD dan COD yang menyebabkan pencemaran
lingkungan yang lebih luas. Kitinase menjadi perhatian besar, terutama karena peranannya
dalam hidrolisis jamur patogen. Enzim kitinase banyak digunakan untuk penendalian hayati.4
Kitinase sering dimanfaatkan sebagai agen biokontrol, terutama tanaman yang terserang
jamur patogen. Jamur memiliki komponen utama penyusun dinding sel, salah satunya adalah
![Page 96: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/96.jpg)
96
kitin yang dapat dihidrolisis oleh kitinase. Dalam dua dekade terahir banyak dikaji mengenai
enzim kitinase sebagai antifungi. Sebagai contoh, kitinase dari Tricodema banyak digunakan
sebagai antifungi yang efektif terhadap serangan Rhizoctonia solani pada tanaman kapas dan
Fusarium pada tanaman strawberi.5
Kitinase juga berperan dalam lisisnya biofilm jamur patogen Candida albicans.
Biofilm adalah matriks polimer ekstraseluler yang terbentuk dari suatu komunitas mikroba
terstruktur dan memiliki fenotip yang berbeda dari plantonik dan sel bebasnya.6 Dinding sel
Candida albicans mengandung β-1,3-glukan, β-1,6-glukan dan kitin.7 Berdasarkan penelitian
yang sudah dilakukan Kamiliyah 8, crude enzim Achatina fulica memiliki daya hambat yang
lebih tinggi terhadap biofilm Candida albicans jika dibandingkan dengan perlakuan ekstrak
kayu manis dengan yaitu sebesar 22,81%.
Pemurnian dilakukan untuk meningkatkan aktivitas spesifik dari suatu enzim. Aseton
merupakan salah satu pelarut organik yang biasa digunakan dalam pemurnian enzim. Di
samping pelarut organik, pemurnian juga dapat dilakukan dengan fraksinasi dengan amonium
sulfat. Kelebihan fraksinasi aseton disbanding dengan fraksinasi amonium sulfat adalah tidak
perlu adanya perlakuan yang rumit untuk menghilangkan garam yang tersisa. Dalam hal ini,
fraksinasi aseton dilakukan pada suhu -20oC.
9
Enzim industri biasanya digunakan dalam keadaan kemurnian parsial. Enzim kitinase
pada penelitian ini akan dimurnikan secara parsial dari ekstrak enzim Achatina fulica. Enzim
ini akan diuji aktivitasnya dan ditentukan suhu dan pH optimumnya dalam keadaan murni
parsial untuk tujuan aplikasi dalam kondisi kemurnian parsial.
METODE PENELITIAN
Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Achatina fulica, kitin,
akuades, aseton, HCl 10N, NaOH 10N, NaH2PO4, asam sitrat, Na2HPO4.2H2O.
Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat gelas yang biasa
digunakan di laboratorium kimia, pHmeter dan termometer. Sedangkan instrumen yang
digunakan adalah timbangan sentrifuga (Universal 320R Zentrifugen), dan spektrofotometer
UV-VIS (Pharmaspec UV-1700 Shimadzu).
![Page 97: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/97.jpg)
97
Optimasi fraksinasi aseton ekstrak kasar enzim kitinase
Fraksinasi aseton dilakukan pada kisaran prosentase 40 hingga 80. Fraksinasi pertama,
ekstrak enzim kitinase sebanyak 20 ml ditambahkan 40% aseton, kemudian disentrifugasi,
sehingga didapatkan residu fraksi 0-40% dan supernatan. Fraksinasi ke-dua, supernatan
diambil dan ditambahkan aseton hingga 60%, kemudian disentrifugasi, sehingga didapatkan
residu fraksi 40-60% dan supernatan. Fraksinasi ke-tiga dan ke-empat dilakukan prosedur
seperti fraksinasi ke-satu dan dua.
Setiap endapan yang terbentuk pada masing-masing fraksi selanjutnya dilakukan
pengukuran aktivitas unit dan aktivitas spesifik kitinase
Uji aktivitas enzim kitinase setiap fraksi hasil fraksinasi aseton
Sejumlah 200 μl enzim kitinase ditambah dengan 800 μl substrat kitin (0,25% kolodial kitin
b/v dalam 50 mM bufer fosfat pH 7). Campuran diinkubasi pada suhu 37oC selama 20 menit,
kemudian dilakukan pengukuran aktivitas kitinase. Satu unit aktivitas adalah jumlah enzim yang
menghidrolisis kitin 0,001% (b/v) permenit permili dalam kondisi percobaan. Aktifitas kitinase diukur
berdasarkan pengukuran substrat yang dihidrolisis dari substrat awal oleh enzim kitinase.
Pengukuran aktivitas menggunakan metode turbidimetri yang menggunakan alat spektrofotometer
UV-Vis. OD setiap sampel diukur pada λ 660 nm dan suhu kamar selama 20 menit. OD yang diperoleh
dikonversi menjadi konsentrasi. Adapun perhitungannya adalah,
Sisa koloidal kitin = koloidal kitin awal – sisa koloidal kitin terhidrolisis
Karakterisasi enzim kitinase
Penentuan suhu optimum, enzim dan substrat diinkubasi pada suhu 30oC, 37
oC, 45
oC,
dan 50oC selama 20 menit. Rentang suhu yang digunakan dalam pengukuran suhu optimum
didasarkan pada penelitian dari Yong dkk.10
, bahwa kitinase stabil pada suhu 25-50oC
Untuk penentuan pH optimum yaitu 4, 5, 6, 7 dan 8 selama 30 menit. Rentang pH
yang digunakan dalam pengukuran pH optimum didasarkan pada penelitian dari Yong dkk.10
,
bahwa kitinase stabil pada pH 3-8.
![Page 98: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/98.jpg)
98
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Kurva Progres
Kurva progres kitinase dibuat dengan tujuan untuk mengetahui waktu inkubasi yang
sesuai untuk uji aktivitas enzim kitinase ekstrak dari dari digestive gland Achatina fulica.
Gambar 4.1 Kurva progres ekstrak kitinase dari digestive gland
Achatina fulica
Kurva progres merupakan kurva perubahan substrat kitin terhadap waktu. Kurva pada
Gambar 4.4 merupakan profil kurva progres dari enzim kitinase. Perubahan substrat terhadap
waktu pada awalnya menunjukkan slope yang tinggi (garis a), kemudian slope menurun
dimulai dari menit ke-22 dan menjadi nol hingga menit ke-60 yang berarti memiliki kecepatan
orde 0. Berdasarkan kurva progres, maka uji aktivitas enzim dilakukan selama 20 menit
karena reaksi enzimatis bekerja secara optimum.
Optimasi Fraksinasi Aseton Ekstrak Enzim Kitinase
Pelarut organik untuk fraksinasi protein dipilih berdasarkan pertimbangan water-
miscibe dan memilki efek presipitasi yang bagus. Pelarut organik yang biasa digunakan
adalah etanol dan aseton.13
Dalam penelitian ini dipilih aseton sebagai pelarut organik untuk
fraksinasi, karena aseton lebih mudah untuk dipisahkan dari protein. Selain itu aseton tidak
memiliki efek azeotrop sepeti etanol. Azeotrop adalah kesetimbangan uap-cair campuran
y = 0.017x + 0.242
R² = 0.991
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0 20 40 60 80
kad
ar
kit
in t
erh
idro
lisi
s (%
b/v
)
waktu (menit)
a
22
![Page 99: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/99.jpg)
99
etanol dengan air, sehingga etanol sulit dipisahkan sempurna, atau hanya dapat dipisahkan
melalui destilasi dengan perlakuan tertentu.
Sebanyak 20 ml ekstrak enzim kitinase digestive gland dari Achatina fulica
ditambahkan ke dalam aseton yang sudah bersuhu -20oC diaduk menggunakan pengaduk
magnet selama 8 menit. Volume aseton yang ditambahkan bergantung pada prosentase
fraksinasi yang diinginkan, sesuai dengan tabel fraksinasi Scopes. Suhu harus tetap dijaga
selama proses fraksinasi agar tidak di atas 0oC. Hal tersebut dilakukan dengan cara selama
proses frakasinasi gelas harus tetap berada di dalam penangas es. Adapun dry es digunakan
sebagai penangas es karena dapat menjaga suhu hingga -20oC daripada es batu biasa yang
hanya dapat menjaga suhu hingga 0oC dan tidak stabil.
Kemudian campuran ekstrak dan aseton disentrifugasi pada suhu -10oC selama 20
menit untuk memisahkan endapan dari supernatannya. Sebelum digunakan, alat sentrifuga di-
treatment terlebih dahulu dengan mengeset suhu di dalam alat menjadi -10oC selama 20
menit. Hal tersebut dilakukan agar alat dapat menyesuaikan suhu, sebelum dilakukan proses
sentrifugasi. Karena pengondisian suhu alat butuh waktu cukup lama. Apabila pengondisisan
suhu terjadi pada saat campuran ekstrak enzim dan aseton sudah dimasukkan, maka sudah
dipastikan enzim akan rusak. Endapan dan supernatan kemudian dipisahkan. Pada saat aseton
diaduk bersama dengan enzim, molekul air yang berada di sekitar area hidrofob pada
permukaan enzim didesak oleh aseton, sehingga tetapan dielektrik air menurun. Hal tersebut
menyebabkan muatan-muatan molekul enzim berada mendekati permukaan enzim sehingga
terjadi gaya tarik-menarik elektrostatik muatan yang berlawanan pada permukaan enzim satu
dan yang lain. Tarik-menarik muatan yang berbeda tersebut menyebabkan terjadinya agregasi
molekul-molekul enzim. Molekul-molekul enzim yang mengendap merupakan enzim yang
sudah dimurnikan secara parsial.
Supernatan digunakan untuk fraksinasi selanjutnya. Sedangkan endapan digunakan
untuk uji aktivitas kitinase. Sebelum diuji aktivitasnya, endapan harus benar-benar terbebas
dari aseton yang tersisa. Aseton yang tersisa dihilangkan dengan cara mengangin-anginkan di
suhu ruangan, tetapi masih dalam lingkungan yang steril. Pada permukaan endapan masih
terdapat aseton sisa. Untuk menghilangkannya, diserap dengan kertas saring yang sudah
disterilkan. Penghilangan aseton dimaksudkan untuk meminimalisasi denaturasi enzim pada
permukaan endapan. Endapan yang terbentuk dilarutkan dengan akuades hingga tepat larut.
![Page 100: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/100.jpg)
100
Uji Aktivitas Enzim Kitinase Aseton Setiap Fraksi Hasil Fraksinasi
Kitinase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis kitin menjadi monomernya
yaitu N-asetilglukosamin. Untuk perhitungan aktivitas kitinase, satu unit aktivitas
didefinisikan sebagai jumlah enzim yang menghidrolisis kitin 0,01% (b/v) per menit per ml
dalam kondisi percobaan.
Metode pengukuran yang digunakan adalah menghitung jumlah susbtrat yang
terhidrolisis berdasarkan substrat sisa. Hasil OD kontrol dikurangi dengan OD kitin yang
tersisa menghasilkan OD yang kemudian dikonversi ke dalam persamaan garis y= 1.422x +
0.060 untuk menghitung kadar kitin.
Jumlah kitin yang terhidrolisis berbanding lurus dengan aktivitas enzim kitinase.
Semakin tinggi aktivitas enzim kitinase, maka semakin banyak jumlah kitin yang terhidrolisis.
Sejumlah 200 μl enzim ditambah 800 μl koloidal kitin, diinkubasi selama 20 menit pada suhu
37oC. Setelah diinkubasi, enzim dipanaskan. Tujuan pemanasan adalah untuk menghentikan
reaksi enzim. Selama proses inkubasi tersebut, terjadi reaksi pengikatan sisi katalitik kitinase
terhadap kitin sehingga kitin terhidrolisis. Uji aktivitas kitinase berhubungan erat dengan
setiap fraksinasi karena dapat memberikan informasi seberapa murni enzim yang dihasilkan.
Ekstrak enzim terlebih dahulu diuji aktivitas spesifiknya. Data ini digunakan untuk
mengetahui peningkatan aktivitas spesifik kitinase sebelum dan sesudah dimurnikan. Untuk
mendapatkan fraksi aseton yang dapat terkumpul sebanyak mungkin aktivitas spesifik
kitinase, dilakukan beberapa percobaan fraksinasi. Percobaan pertama, fraksinasi dilakukan
pada prosentase aseton 0-50 dan 50-70. Dipilih prosentase aseton 0-50 dan 50-70 untuk
N-asetil-β-glukoamidase Kitibiosidase
Endokitinase dan
lisosim
Gambar 4.3 Mekanisme kerja enzim kitinase terhadap
polimer N-asetilglukosamin
![Page 101: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/101.jpg)
101
fraksinasi karena pada umumnya protein sitoplasma mengendap pada kisaran prosentase
aseton tersebut.
Tabel 4.1 Uji aktivitas kitinase hasil fraksinasi percobaan 1
Aktivitas spesifik banyak terkumpul di fraksi 50-70, yaitu sebesar 6,68. Namun pada
percobaan 1 (Tabel 4.1) aktivitas spesifik kitinase masih menyebar pada fraksi 0-50, yaitu
sebesar 5,37. Dengan harapan aktivitas kitinase dapat dikumpulkan lebih banyak lagi dalam
satu fraksi, Percobaan pertama aktivitas spesifik pada fraksi 0-50 ditarik ke fraksi ke-dua,
yaitu dengan menambahkan aseton hingga fraksi kedua menjadi 40-75 (sesuai dengan tabel
Scopes). Data percobaan fraksinasi pertama digunakan sebagai acuan fraksinasi ke-dua.
Tabel 4.2 Uji aktivitas hasil fraksinasi percobaan 2
Fraksi ∆ OD λ660
Kadar kitin
terhidrolisis
(%b/v)
Aktivitas
(U/ml)
Kadar protein
(mg/ml)
Aktivitas spesifik
(U/mg)
0
0,0989 0,02735 2,47 4,12675x10-1
5,985
0-50 0,0999 0,0281 1,53 2,8485 x10-1
5,37
50-70 0,2079 0,1041 1,17 1,75129x10-1
6,68
Fraksi ∆ OD λ660
Kadar kitin
terhidrolisis
(%b/v)
Aktivitas
(U/ml)
Kadar protein
(mg/ml)
Aktivitas spesifik
(U/mg)
0
0,0989 0,02735 2,47 4,12675x10-1
5,985
0-40 0,0958 0,0252 1,82 2,9435 x10-1
6,1
40-75 0,2558 0,1377 4,13 4,2918 x10-1
9,6
![Page 102: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/102.jpg)
102
Pada percobaan ke-dua, fraksinasi dimulai pada prosentase aseton 0-40 dan
dilanjutkan prosentase aseton 40-75. Pada percobaan ini diperoleh aktivitas spesifik kitinase
paling banyak berada pada fraksi 40-75, yaitu sebesar 9,6. Namun masih tampak ada
penyebaran aktivitas spesifik pada fraksi lain. Maka perlu dilakukan percobaan selanjutnya
untuk mencari fraksi terbaik yang dapat mengumpulkan aktivitas spesifik kitinase.
Tabel 4.3 Uji aktivitas hasil fraksinasi percobaan 3
Pada percobaan ke-tiga dimulai dari fraksi 0-40, didapatkan aktivitas spesifik, yaitu
sebesar 8,8. Fraksinasi dilanjutkan pada fraksi 40-60, didapatkan aktivitas spesifik, yaitu
sebesar 22. Kemudian, fraksinasi berakhir pada fraksi 60-80, didapatkan aktiitas spesifik,
yaitu sebesar 10. Pada percobaan ini, aktivitas spesifik kitinase terkumpul paling banyak pada
fraksi 40-60. Namun, masih tampak aktivitas spesifik kitinase yang tersebar pada fraksi 0-40
dan 60-80. Maka perlu dilakukan percobaan selanjutnya untuk mencari prosentase aseton
untuk fraksi terbaik yang dapat mengumpulkan aktivitas spesifik kitinase.
Fraksi ∆ OD λ660
Kadar kitin
terhidrolisis
(%b/v)
Aktivitas
(U/ml)
Kadar protein
(mg/ml)
Aktivitas spesifik
(U/mg)
0
0,0989 0,02735 2,47 4,12675x10-1
5,985
0-40 0,2773 0,1528 2,865 3,2642 x10-1
8,8
40-60 0,4872 0,3004 9,39 4,2594 x10-1
22
60-80 0,2926 0,1636 0,818 8,0200 x10-1
10
![Page 103: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/103.jpg)
103
Tabel 4.4 Uji aktivitas hasil fraksinasi percobaan 4
Percobaan ke-empat dilakukan berdasarkan hasil dari percobaan ke-tiga dengan
menaikkan prosentase aseton untuk fraksi ke-dua pada percobaan ini, yaitu 45-70. Diperoleh
aktivitas spesifik kitinase paling banyak terkumpul pada fraksi 45-70, yaitu sebesar 38,6. Pada
fraksi 70-80 aktivitas spesifik kitinase sangat rendah.. Namun begitu, masih terdapat aktivitas
spesifik yang menyebar di fraksi 0-45.
Pada percobaan ke-empat didapat fraksinasi terbaik, akan tetapi aktivitas spesifik tersebar
pada fraksi lain. Hasil ini diduga pada ekstrak enzim kitinase dari Achatina fulica terdapat
isozim. Isozim adalah enzim yang berbeda dalam sifat fisika, transpot ion dan transpot asam
basa dan sejumlah proses metabolisme.14
Karakterisasi Enzim Kitinase
Suhu optimum
Salah satu faktor yang mempengaruhi enzim, dalam hal ini enzim kitinase, adalah
suhu. Pada penelitian, aktivitas enzim kitinase terhadap pengaruh suhu diamati pada suhu
30oC, 37
oC, 45
oC, dan 50
oC. Suhu mempengaruhi energi yang diperlukan oleh enzim untuk
melakukan reaksi. Peningkatan suhu, akan meningkatan energi kinetik enzim. Jika suhu
rendah, maka enzim tidak memiliki cukup energi untuk melakukan reaksi, sehingga tidak
dapat bekerja secara optimal. Sedangkan jika pada suhu tinggi, enzim akan terdenaturasi.
Pada suhu optimumnya energi yang diperoleh untuk enzim bereaksi dengan optimal tanpa
denaturasi.15
Fraksi ∆ OD λ660
Kadar kitin
terhidrolisis
(%b/v)
Aktivitas
(U/ml)
Kadar protein
(mg/ml)
Aktivitas spesifik
(U/mg)
0
0,0989 0,02735 2,47 4,12675x10-1
5,985
0-45 0,3114 0,1999 1,8785 1,3634 x10-1
13,7
45-70 0,5275 0,3288 9,864 2,6706x10-1
38,6
70-80 0,0970 0,0260 0,09375 1,0407 x10-1
0,9
![Page 104: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/104.jpg)
104
Gambar 4.3 Suhu optimum fraksi 45-70
Kadar kitin terhidrolisis bertamabah dimulai dari suhu 30 o
C dan 37oC. Kemudian
terjadi penurunan di suhu 45, 50oC.. Hal ini berarti terjadi penurunan aktivitas dari enzim
kitinase. Terjadi penurunan aktivitas karena atom-atom dalam molekul enzim memiliki energi
yang besar untuk bergerak yang disebabkan oleh perubahan bentuk struktur enzim akibat
meningkatnya getaran termal komponen atom-atomnya, sehingga enzim terdenaturasi.16
Diperoleh suhu optimum enzim kitinase hasil pemurnian parsial fraksi 45-70 yaitu
pada suhu 37oC. Pada suhu ini, konformasi enzim dalam keadaan paling sesuai untuk
berikatan dengan substrat, sehingga enzim lebih aktif dalam mengkatalisis reaksi.
pH optimum
Faktor lain yang penting mempengaruhi aktivitas enzim kitinase adalah pH. Setiap
enzim memiliki pH optimum, karena pH berhubungan dengan struktur enzim yang berupa
asam amino. Profil aktivitas pH enzim menunjukkan pH pada saat gugus fungsi yang penting
pada sisi katalitik berada pada tingkat ionisasi yang diinginkan.
-0.02
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0.18
20 30 40 50 60
Kad
ar k
itin
te
rhid
rolis
is (
%b
/v)
Suhu
![Page 105: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/105.jpg)
105
Gambar 4.4 pH optimum enzim kitinase fraksi 45-70
Nilai pH optimum pada fraksi 45-70 adalah pH 7. Sesuai dengan kurva pada Gambar
4.4, jumlah kitin terhidrolisis meningkat dari pH 5 hingga pH7. jumlah kitin terhidrolisis
menurun secara signifikan dari pH7 ke pH 8. Dengan adanya perubahan pH maka akan
mempengaruhi perubahan ionisasi gugus fungsi asam amino enzim ataupun substrat.
Sehingga konformasi enzim dapat berubah dan dapat mengakibatkan penurunan aktivitas
enzim yang disebabkan konformasi enzim tidak sama dengan konformasi substrat.16
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan.
1. Fraksi aseton 45-70 merupakan fraksi optimum dari fraksinasi aseton, yang
memiliki aktivitas spesifik sebesar 38,6.
2. Peningkatan kemurnian enzim kitinase setelah fraksinasi aseton sebesar 6,45 kali
3. Enzim kitinase dalam keadaan murni parsial memiliki pH optimum 7 dan suhu optimum
37 oC.
0.150.160.170.180.19
0.20.210.220.230.24
5 6 7 8 9
Kit
in t
erh
idro
lisis
(%
b/v
)
pH
![Page 106: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/106.jpg)
106
DAFTAR PUSTAKA
1. Wheel, B.P. Van, 1961, The Comparative Physiologi of Digestion in Molluscs, AM.
Zoologis, Department of Zoology and Entomology, University of Hawaii, USA
2. Flach, J., Pilet, P. E., dan Jolles, P., 1992, What’s New in Chitinase Research?,
(Reviews) Experientia, 48, 701-716
3. Herdyastuti, Nuniek., Raharjo, Tri Joko dan Mudasir, Matsjeh., Sabirin, 2009,
Chitinase and Chitinolytic Microorganism : Isolation, Characterization and
Potential, Indo. J.Chem, 9 (1), 37-47
4. Sahai , A. S. dan M. S. Manocha, 1993, Chitinases of Fungi and Plants : Their
Involvement in Morphogenesis and Host-Parasite Interaction. FEMS Microbiol.,
Rev. 11 : 317 – 338
5. Wang, Y., Kausch, A.P., Chandlee, J.M., Luo, H., dan Ruemmele, B.A., 2003, Plant
Sci., 165, 497-506
6. Douglas, L.J., dan M.A. Al-fattani, 2006, Biofilm Matrix of Candida albicans and
Candida tropicalis: Chemical Composition and Role in Drug Resistance, Journal
of Medical Microbiology, Glasgow
7. Marti´nez, Jose, P. M. Luisa Gil, Jose´ L. Lo´ Pez-Ribot, dan W. Lajean Chaffin3.,
1998, Serologic Response to Cell Wall Mannoproteins and Proteins of Candida
albicans, Clinical Microbiology Reviews, American Society for Microbiology
8. Kamiliyah, Hikmatul, 2011, Peningkatan Daya Antifungi Ekstrak Kayu Manis
(Cinnamomum Burmannii L.) Terhadap Candida albicans dengan Konsorsium
Enzim Siput (Achatina Fulica), Skripsi, Program S-1 Kimia, Universitas Airlangga,
Surabaya
9. Thermo Fisher Scientific, 2009, Pierce Biotechnology, www.thermo.com/pierce, 12
November 2011
10. Yong, Tao et al .2005. Purification and Characterization Extracellular Chitinase
Produced by Bacterium C4. Annals of Microbiology, 55 (3)
11. Yurnaliza, 2002, Senyawa Khitin dan Kajian Aktivitas Enzim Mikrobial
Pendegradasinya. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Program Studi
Biologi Universitas Sumatera Utara
12. Chernin, L., Z. Ismailo, S. Haran dan I. Chet, 1995, Chitinolytic Enterobacter
Agglomerans Antagonistic to Fungal Plant Pathogens. Appl. Environ. Microbiol.,
61 :1720 – 1726
![Page 107: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/107.jpg)
107
13. Scopes, R. K. 1994. Protein Purification, Principles and Practice, Third edition,
Springer-Verlag, New York.
14. A.J. Esbaugh , B.L. Tufts, 2006, The Structure And Function of Carbonic
Anhydrase Isozymes In The Respiratory System Of Vertebrate,Respiratory,
Physiology & Neurobiology, 154, 185–198
15. Champe, P.C and Ricard, A. Harvey, 1994, Biochemistry, Second edition, Lippicott
Company, Piladelphia
16. Lehninger, Albert, 1998, Dasar-dasar biokimia, jilid 1, Airlangga, Jakarta
![Page 108: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/108.jpg)
108
PEMANFAATAN ABU LAYANG BATUBARA (FLY ASH) TERAKTIVASI SEBAGAI ADSORBEN ION LOGAM
Pb2+
Farradina Choria Suci*+, Handoko Darmokoesoemo*, dan Aning Purwaningsih*++
*Departeman Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
Jl. Mulyorejo, Surabaya
+e-mail : [email protected] atau [email protected]
++e-mail : [email protected]
ABSTRACT
This research has been conducted on the utilization of coal fly ash activated as Pb2+ metal
ion adsorbent. The purpose of this study was to determine the ability of NaOH activated coal fly ash,
to determine the adsorption equation models, and determine the adsorption capacity of activated
coal fly ash in a solution of ions Pb2+. The analysis of the type of adsorption, adsorption kinetics, and
thermodynamics are used to characterize the adsorption of Pb2+ metal ions on fly ash. In the
adsorption process, activated coal fly ash using 3M NaOH, is able to reduce the degree of crystallinity
SiO2 so that it increase the adsorption capacity of coal fly ash. Adsorption capacity of activated fly ash
increased compared to prior activation from 73.5860% to 94.5931%. The results obtained indicate
that the optimum contact time occurred is on 75th minute and the optimum concentration is 600
ppm. This type of metal ion adsorption of Pb2+ solution by coal fly ash is the adsorption of Langmuir
isotherm. The kinetics of the reaction order corresponding to two order reaction with a value of k at
2x10-5 L.mg-1.min-1. Process adsorption of Pb2+ metal ions by activated fly ash having an exothermic
reaction with the value of ΔHads of -1.6098 kJ.mol-1. The adsorption is classified to physical
adsorption since the enthalpy of adsorption rates (ΔHads) is less than the 20.92 kJ.mol-1. Free energy
of adsorption (ΔGads) is increasing with the increase of temperature. While energy entropy of
adsorption (ΔSads) is negative and decreasing with an increase of temperature.
Keywords : activation of fly ash, adsorption, adsorption kinetics
![Page 109: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/109.jpg)
109
ABSTRAK
Pada penelitian ini telah dilakukan pemanfaatan abu layang batubara (fly ash) teraktivasi
sebagai adsorben ion logam Pb2+. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan
NaOH dalam mengaktivasi abu layang batubara, menentukan model persamaan adsorpsi, serta
menentukan kapasitas adsorpsi abu layang batubara teraktivasi dalam mengadsorpsi larutan ion
logam Pb2+. Adapun analisa jenis adsorpsi, kinetika adsorpsi, dan termodinamika adsorpsi digunakan
untuk mengkarakteristik adsorpsi ion logam Pb2+ pada abu layang. Dalam proses adsorpsinya, abu
layang batubara diaktivasi dengan menggunakan NaOH 3M, adanya penambahan NaOH ini mampu
menurunkan derajat kristalinitas SiO2 dan meningkatkan kemampuan adsorpsi abu layang batubara.
Kemampuan adsorpsi abu layang teraktivasi terjadi peningkatan dibanding sebelum aktivasi yaitu
73,5860% menjadi 94,5931%. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa waktu kontak optimum
terjadi pada menit ke-75 dan konsentrasi optimum sebesar 600 ppm. Jenis adsorpsi larutan ion
logam Pb2+ oleh abu layang batubara adalah adsorpsi isoterm Langmuir. Kinetika yang sesuai yakni
orde reaksi dua, dengan harga k sebesar 2x10-5 L.mg-1.menit-1. Proses adsorpsi antara larutan ion
logam Pb2+ oleh abu layang teraktivasi mengalami reaksi eksoterm dengan harga ∆Hads sebesar -
1,6098 kJ.mol-1. Adsorpsi ini tergolong adsorpsi fisika dengan adanya harga entalpi adsorpsi (∆Hads)
yang kurang dari 20,92 kJ.mol-1. Harga energi bebas adsorpsi (∆Gads) bernilai semakin besar dengan
meningkatnya temperatur. Sedangkan harga energi entropi adsorpsi (∆Sads) bernilai negatif dan
semakin kecil dengan adanya peningkatan temperatur
Kata kunci : aktivasi abu layang, adsorpsi, kinetika adsorpsi
PENDAHULUAN
Persediaan bahan bakar minyak dunia semakin lama semakin menipis, sehingga diperlukan
suatu upaya untuk mencari energi alternatif pengganti bahan bakar minyak. Batubara merupakan
salah satu sumber energi alternatif yang dinilai ekonomis dan melimpah dibandingkan minyak bumi.
Disamping potensinya sebagai sumber energi alternatif, pemanfaatan batubara ini mampu
menimbulkan masalah baru terhadap lingkungan sekitar. Sebagai akibat dari pembakaran batubara,
antara lain pada PLTU menghasilkan residu berupa gas dan padatan. Residu berupa gas antara lain
seperti CO2, NOX, CO, dan SO2. Sedangkan residu padatan yakni berupa abu bawah (bottom ash) dan
abu layang (fly ash), dimana kandungan abu layang sekitar 80% yang akan keluar melalui cerobong
asap dan abu bawah sekitar 20% yang terkumpul di dasar tungku (Sukandarrumidi, 2009).
![Page 110: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/110.jpg)
110
Salah satu kendala pemanfaatan secara luas dari limbah abu layang ini dikarenakan
kandungan dan sifat-sifat kimia dari limbah tersebut. Besarnya kandungan oksida logam dalam abu
layang, seperti SiO2, Al2O3, dan oksida lainnya, menjadikan limbah ini relatif kurang reaktif terhadap
beberapa reagen kimia, sehingga usaha-usaha pemanfaatan limbah ini hanya terbatas pada bidang-
bidang tertentu. Lapisan permukaan partikel abu layang yang tidak termodifikasi berbentuk glassy,
sangat rapat dan stabil. Lapisan ini melindungi susunan ruang di dalamnya yang berpori dan amorf,
oleh karenanya mempunyai aktifitas yang tinggi. Rantai glassy silika-alumina tersebut mengandung Si
dan Al yang tinggi. Rantai ini harus dihancurkan untuk meningkatkan aktifitas kimia (Irani, 2009).
Di sisi lain sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, kebutuhan air
untuk berbagai keperluan semakin meningkat. Pemenuhan kebutuhan air bersih saat ini sudah
menjadi masalah yang cukup serius. Hal ini diperburuk dengan meningkatnya limbah industri
yang dibuang ke lingkungan. Limbah yang berbahaya dan memiliki daya racun tinggi
umumnya berasal dari buangan industri, termasuk industri kimia dan industri pelapisan
logam. Salah satu diantaranya adalah limbah logam berat, diantara unsur logam berat non-
esensial yang tersebar luas dan memiliki tingkat racun sedikit lebih tinggi adalah timbal (Pb)
atau timah hitam.
Berbagai upaya dalam mengatasi limbah logam berat telah dilakukan, antara lain dengan
metode presipitasi menggunakan bahan kimia, sistem membran, ekstraksi menggunakan pelarut
tertentu, dan adsorpsi. Metode adsorpsi yang telah dilakukan oleh Polowczyk dkk. (2010), telah
mencoba memanfaatkan limbah abu layang sebagai adsorben ion logam arsen melalui aktivasi
oksida-oksida logam dalam abu layang, yang dilakukan melalui hidrasi oksida logam tersebut dalam
air selama 168 jam. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa ion logam arsen mampu
teradsorpsi dalam abu layang sebesar 5,4 mg.g-1 adsorben, dimana konsentrasi adsorbat sebesar 0,1
g.mL-1 yang diencerkan dari larutan standar As(III) 1000 mg.L-1. Selain itu Fahmi dkk.(2009), telah
menunjukkan peningkatan gugus ikatan –OH dan –ONa pada geopolimer berbahan dasar abu
layang dengan penambahan NaOH. Dimana pemberian alkali hidroksida pada abu layang menjadikan
terbentuknya spesi –OH pada oksida-oksida logam, bahkan pada konsentrasi tinggi atom hidrogen
dari spesi-spesi–OH tersebut ter-exchange dengan atom alkali. Hal ini memungkinkan spesi-spesi
aktif tersebut untuk mengikat ion-ion logam yang lebih besar seperti ion logam timbal.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat dilakukan upaya untuk memanfaatkan
limbah abu layang batubara yang diaktivasi dengan larutan NaOH sebagai adsorben ion logam timbal
(Pb). Penggunaan abu layang sebagai adsorben logam berat diharapkan selain dapat mengatasi
masalah pencemaran lingkungan akibat penimbunan limbah abu layang, juga dapat menangani
masalah pencemaran akibat adanya logam berat.
![Page 111: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/111.jpg)
111
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini bahan yang digunakan antara lain aqua demineralisasi, NaOH p.a, HNO3
1%, Pb(NO3)2, dan abu layang batubara yang diperoleh dari power plant PT. Wilmar Nabati Indonesia
yang terletak di Kec.Kebomas, Gresik. Alat yang digunakan antara lain gelas beker, erlenmeyer, labu
ukur, gelas ukur, pipet volum, pipet skala, ball pipet, pengaduk, tabung reaksi, cawan porselen,
ayakan, kertas saring whatman ukuran 42, pengaduk magnetik, corong buchner, neraca analitik,
hotplate, oven, shaker, sentrifuge, dan termometer
Tahap awal yang dilakukan yakni dengan mempersiapkan dan mengkarakterisasi abu layang
batubara, dengan cara dipanaskan pada temperatur 105°C dalam oven selama 12 jam untuk
menghilangkan kandungan air di dalamnya. Selanjutnya abu layang diayak dengan ayakan berukuran
200 mesh. Kemudian dikarakterisasi dengan menggunakan XRF untuk mengetahui komposisi
kimianya dan SEM untuk mengetahui morfologi abu layang batubara.
Tahap kedua yakni dengan aktivasi abu layang batubara dimana 31,25 gram abu layang
dicampurkan dengan 250 mL larutan NaOH 3M. Campuran tersebut kemudian dipanaskan dan
diaduk dengan pengaduk magnet pada temperatur 85-90°C selama 5 jam. Hasil perlakuan tersebut
disaring dengan kertas whatman ukuran 42 menggunakan corong buchner. Residu yang dihasilkan
dikeringkan dalam oven pada temperatur 105oC selama 12 jam (Irani, 2009). Setelah kering, abu
layang yang telah diaktivasi dihaluskan dan diayak dengan ayakan berukuran 200 mesh untuk
menghomogenkan ukuran partikel. Abu layang yang telah teraktivasi dengan NaOH tersebut, diamati
perubahan fasanya dengan XRF dan perubahan morfologinya dengan SEM. Hasil analisa kemudian
dibandingkan dengan abu layang sebelum diaktivasi oleh NaOH.
Tahap ketiga yakni menentukan kurva standar ion logam Pb2+ menggunakan konsentrasi
larutan ion logam Pb2+ sebesar 1,2,4,6, dan 8 ppm. Larutan diukur absorbansinya dengan
menggunakan instrumen AAS pada panjang gelombang 217,03 nm. Dari kurva didapatkan persamaan
regresi linier y = bx + a.
Tahap ke empat yakni adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang batubara teraktivasi,
dimana 2 gram abu layang teraktivasi dicampurkan dengan 100 mL larutan adsorbat Pb2+ 200 ppm.
Campuran tersebut diaduk menggunakan shaker selama 5 menit dengan laju 150 rpm. Kemudian
larutan didiamkan dan dilakukan pengambilan larutan adsorbat Pb2+ pada variasi waktu kontak 15,
30, 45, 60, 75, 90, 105, 120, 135, dan 150. Selanjutnya, larutan dipindahkan dalam tabung sentrifuge
dan dipusingkan sehingga diperoleh larutan yang jernih. Larutan yang diperoleh selanjutnya diukur
menggunakan instrumen AAS pada panjang gelombang 217,03 nm. Perlakuan yang sama dilakukan
juga untuk larutan adsorbat Pb2+ dengan variasi konsentrasi 300, 400, 500, 600, 700, dan 800 ppm.
Data yang diperoleh, ditentukan waktu kontak optimum dan konsentrasi optimum
![Page 112: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/112.jpg)
112
Setelah mendapatkan waktu optimum dan konsentrasi optimum, kemudian ditentukan
jenis adsorpsi dengan menggunakan data konsentrsi akhir waktu optimum pada berbagai
konsentrasi. Adapun penentuan kinetika adsorpsi menggunakan data konsentrasi optimum terhadap
variasi waktu kontak adsorbat dengan adsorben. Penentuan termodinamika adsorpsi larutan ion
logam Pb2+ menggunakan data waktu kontak optimum dan konsentrasi optimum dengan
menggunakan variasi temperatur, sebesar 30°C, 40°C, 50°C, 60°C, dan 70°C. Dari hasil absorbansi
yang diperoleh, selanjutnya dapat dihitung nilai Kads dengan membagi antara (x/m)/Ceq. Kemudian
dibuat grafik hubungan antara ln Kads terhadap 1/T, sehingga dapat diketahui harga entalpi adsorpsi
(∆Hads), energi bebas adsorpsi (∆Gads), dan entropi adsorpsi (∆Sads).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan dan Karkterisasi Abu Layang Batubara
Pada tahap persiapan, abu layang yang telah diperoleh di oven untuk menghilangkan
kandungan air dalam abu layang (Irani, 2009). Selanjutnya abu layang diayak untuk mendapatkan
ukuran partikel yang lebih kecil dan homogen. Ukuran partikel abu layang yang lebih kecil dapat
memperbesar luas permukaan abu layang, sehingga semakin banyak abu yang dapat bereaksi dengan
aktivator (NaOH). Komposisi kimia abu layang PT.Wilmar Nabati Indonesia sebelum aktivasi terdapat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia abu layang PT. Wilmar Nabati Indonesia sebelum aktivasi
Komponen Kadar (% b/b)
Komponen Kadar (% b/b)
Al 4,3 Ni 0,20
Si 10,6 Cu 0,089
S 2,6 Zn 0,09
K 1,7 Sr 0,95
Ca 29,7 Mo 4,5
Ti 1,0 In 1,0
V 0,06 Ba 0,63
Cr 0,11 Eu 0,3
Mn 0,47 Re 0,3
Fe 41,1 Hg 0,2
Berdasarkan American Nasional Standards yang diterbitkan oleh the American
Society for Testing and Materials (ASTM) C 618, maka abu layang PT. Wilmar Nabati
Indonesia tergolong tipe C. Hal ini sesuai dengan Sukandarrumidi (2009), yang menjelaskan
bahwa abu layang tipe C mengandung CaO lebih dari 10% dengan total senyawa SiO2, Al2O3,
dan Fe2O3 kurang dari 70%. Abu layang tipe C dihasilkan dari pembakaran batubara lignite
dan subbituminous.
![Page 113: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/113.jpg)
113
Gambar 1.Morfologi abu layang batubara sebelum aktivasi (perbesaran 20.000 kali)
Berdasarkan gambar 1 diketahui bahwa abu layang memiliki permukaan yang terlihat halus
dan berbentuk bulatan. Partikel berbentuk bulatan menujukkan adanya kandungan aluminosilikat (Si-
Al) dalam abu layang.
Proses Aktivasi Abu Layang Batubara
Pada penelitian ini, aktivasi abu layang batubara dilakukan dengan aktivasi secara kimia,
dimana digunakan larutan basa kuat seperti NaOH. Penambahan larutan NaOH yang bersifat basa
kuat ini, dapat mengubah komposisi abu layang dengan cara merusak lapisan luar abu layang
batubara. Dengan rusaknya lapisan luar abu layang, maka gugus-gugus aktif yang ada didalamnya,
seperti silika dan alumina, keluar ke permukaan abu layang. Silika dan alumina ini bereaksi dengan
larutan NaOH yang akan membentuk produk garam silikat dan aluminat. Garam yang terbentuk ini
mempunyai sifat mudah larut. Dengan melarutnya garam-garam tersebut dalam air, maka akan
menyebabkan jumlah kelarutan Si dan Al semakin tinggi, sehingga dapat menurunkan derajat
kristalinitas silika oksida (SiO2) yang ada dalam abu layang. Berkurangnya derajat kristalinitas SiO2
ternyata mampu menurunkan kadar Pb dalam sampel limbah lebih banyak (Indrawati, 2008). Hal ini
dikarenakan silika telah bereaksi dan larut dalam NaOH, yang membentuk fasa amorf. Dalam hal ini,
abu layang dengan fase amorf, lebih efektif sebagai adsorben. Sementara itu menurut Mahatmanti
(2010), perlakuan dengan NaOH dapat menurunkan derajat kristalinitas dan meningkatkan kapasitas
adsorpsi hingga hampir 100%.
![Page 114: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/114.jpg)
114
Tabel 2. Komposisi kimia abu layang PT. Wilmar Nabati Indonesia sesudah aktivasi
Komponen Kadar (% b/b)
Komponen Kadar (% b/b)
Al 4,4 Fe 47,3
Si 9,72 Ni 0,30
P 0,2 Cu 0,14
K 1,1 Zn 0,05
Ca 27,6 Sr 1,2
Ti 1,0 Mo 4,5
V 0,06 Ba 0,75
Cr 0,15 Eu 0,4
Mn 0,52 Re 0,61
Berdasarkan tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa komposisi kimia abu layang
mengalami perubahan sesudah dilakukan aktivasi. Tabel 2 menunjukkan bahwa komposisi
SiO2 dan Al2O3 hasil aktivasi pada abu layang semakin menurun, meskipun tidak signifikan
untuk Al. Penurunan kandungan SiO2 dan Al2O3 sebelum dan sesudah aktivasi disebabkan
oleh sebagian Si terlarut hilang ketika proses aktivasi berlangsung. Adapun SiO2 dan Al2O3
dari abu layang tidak semua dapat larut sempurna dalam larutan alkali, hanya Si dan Al
berfasa amorf yang lebih mudah larut dalam larutan alkali.
Selain penurunan kandungan SiO2 dan Al2O3, yang menjadi perhatian adalah
kandungan Fe2O3 yang semakin meningkat. Hal ini dikarenakan, Fe bereaksi dengan OH-
dalam larutan basa alkali membentuk endapan Fe(OH)3.
Morfologi abu layang batubara sesudah aktivasi terdapat pada Gambar 2.
(a) (b)
Gambar 2.(a) Morfologi abu layang batubara sesudah aktivasi (perbesaran 20.000 kali) dan (b)
Morfologi abu layang batubara sesudah aktivasi (perbesaran 2.000 kali)
Gambar 2 (a) menunjukkan morfologi yang tampak lebih kasar dan pecah-pecah.
Gambar 2 (b), teramati keretakan yang terjadi pada abu layang. Selain itu tampak bahwa abu
layang dikelilingi oleh kristal, walaupun tidak dilakukan analisis khusus untuk kristal pada
![Page 115: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/115.jpg)
115
penelitian ini, namun kemungkinan besar kristal ini adalah zeolite. Kristal tersebut mampu
meningkatkan kapasitas adsorpsi,sebab mengandung silika dan alumina (Irani, 2009).
Penentuan Kurva Standar Larutan Ion Logam Pb2+
Penentuan kurva standar ion logam Pb2+ dilakukan dengan cara mengukur absorbansi
larutan standar ion logam Pb2+ pada konsentrasi 1, 2, 4, 6, dan 8 ppm, dengan menggunakan AAS.
Gambar 3. Kurva standar larutan ion logam Pb2+
Adsorpsi Larutan Ion Logam Pb2+ oleh Abu Layang Batubara Teraktivasi
Penentuan waktu kontak optimum adsorpsi larutan ion logam Pb2+
Penentuan waktu kontak optimum adsorpsi larutan ion logam Pb2+ dilakukan dengan
mereaksikan larutan ion logam Pb2+ dengan tujuh variasi konsentrasi yakni 200, 300, 400, 500, 600,
700, dan 800 ppm terhadap abu layang teraktivasi, serta dilakukan pengambilan adsorbat pada
variasi waktu kontak. Adapun grafik hubungan antara kapasitas adsorpsi
larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang teraktivasi (x/m) terhadap waktu kontak (t), ditunjukkan pada
Gambar 4 berikut.
(a) (b)
y = 0,013335x - 0.0039860
R² = 0.9994
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0 2 4 6 8 10
Ab
sorb
an
si (
A)
Konsentrasi larutan ion logam Pb2+ (ppm)
9.4000
9.5000
9.6000
9.7000
9.8000
9.9000
10.0000
0 50 100 150
x/m
(mg
.g-1
)
Waktu Kontak (menit)
200 ppm
14.2000
14.3000
14.4000
14.5000
14.6000
14.7000
0 50 100 150
x/m
(mg
.g-1
)
Waktu Kontak (menit)
300 ppm
![Page 116: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/116.jpg)
116
(c) (d)
(e) (f)
(g)
Gambar 4.Grafik hubungan antara kapasitas adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang
teraktivasi (x/m) terhadap waktu kontak (t); dimana (a) konsentrasi 200 ppm; (b)
konsentrasi 300 ppm; (c) konsentrasi 400 ppm; (d) konsentrasi 500 ppm; (e) konsentrasi
600 ppm; (f) konsentrasi 700 ppm; dan (g) konsentrasi 800 ppm
18.2000
18.3000
18.4000
18.5000
18.6000
18.7000
18.8000
0 50 100 150
x/m
(mg
.g-1
)
Waktu Kontak (menit)
400 ppm
19.5000
20.0000
20.5000
21.0000
21.5000
0 50 100 150
x/m
(mg
.g-1
)
Waktu Kontak (menit)
500 ppm
21.0000
21.5000
22.0000
22.5000
23.0000
0 50 100 150
x/m
(mg
.g-1
)
Waktu Kontak (menit)
600 ppm
22.2000
22.4000
22.6000
22.8000
23.0000
23.2000
0 50 100 150
x/m
(mg
.g-1
)
Waktu Kontak (menit)
700 ppm
22.0000
22.2000
22.4000
22.6000
22.8000
23.0000
0 50 100 150
x/m
(mg
.g-1
)
Waktu Kontak (menit)
800 ppm
![Page 117: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/117.jpg)
117
Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa pada waktu kontak 15 sampai 75
menit terjadi kenaikan adsorpsi yang cukup besar. Waktu kontak optimum larutan ion
logam Pb2+ terjadi pada waktu 75 menit, dimana pada waktu tersebut terjadi
penyerapan larutan ion logam Pb2+ paling banyak. Sedangkan pada waktu diatas 75
menit mulai terjadi penjenuhan, dimana kemampuan adsorben mulai menurun.
Semakin jenuh abu layang untuk menyerap adsorbat, maka proses desorpsi sangat
dimungkinkan untuk terjadi, akibatnya adsorbat yang sudah teradsorp oleh adsorben
mampu untuk terlepas kembali.
Penentuan konsentrasi optimum adsorpsi larutan ion logam Pb2+
Penentuan konsentrasi optimum dilakukan dengan cara mereaksikan abu
layang teraktivasi dengan larutan ion logam Pb2+ pada variasi konsentrasi 200, 300, 400,
500, 600, 700, dan 800 ppm. Larutan adsorbat sisa diambil pada waktu kontak optimum
yaitu 75 menit, dan ditentukan absorbansinya dengan AAS.
Gambar 5. Grafik hubungan antara kapasitas adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu
layang teraktivasi terhadap konsentrasi larutan ion logam Pb2+
Berdasarkan grafik optimasi konsentrasi larutan ion logam Pb2+ diketahui
bahwa pada konsentrasi 200 ppm hingga 600 ppm terjadi kenaikan adsorpsi.
Konsentrasi larutan ion logam Pb2+ optimum terjadi pada konsentrasi 600 ppm dengan
kapasitas adsorpsi sebesar 22,4196 mg.g-1. Sedangkan pada konsentrasi di atas 600 ppm,
praktis kapasitas adsorpsinya tetap. Hal ini dikarenakan gugus aktif pada permukaan
adsorben telah jenuh oleh larutan ion logam Pb2+, sehingga terdapat larutan ion logam
Pb2+ yang tidak bisa terserap oleh abu layang batubara.
Penentuan perbandingan kapasitas adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang
sebelum dan sesudah aktivasi
Perbandingan kapasitas adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang
sebelum dan sesudah aktivasi ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Data perbandingan kapasitas adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu
layang sebelum dan sesudah aktivasi
Jenis Waktu Kons. Ceq x/m Efisiensi
8.0000
10.0000
12.0000
14.0000
16.0000
18.0000
20.0000
22.0000
24.0000
200 400 600 800
x/m
(mg
.g-1
)
Konsentrasi (ppm)
![Page 118: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/118.jpg)
118
Abu Kontak
(menit)
Awal
(ppm)
(ppm) (mg.g-1) Penghilangan
(%)
Sebelum
aktivasi 75 300
66,9561 11,7602 77,8408
Sesudah
aktivasi 9,6633 14,6248 96,8019
Penentuan adsorpsi isoterm larutan ion logam Pb2+
Penentuan adsorpsi isoterm dilakukan dengan membuat grafik persamaan
adsorpsi isoterm Langmuir dan adsorpsi isoterm Freundlich. Data yang digunakan untuk
menentukan adsorpsi isoterm Langmuir ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Adsorpsi isoterm
Kons.
Awal
(ppm)
Ceq (ppm)
x/m
(mg.g-1)
Ceq /(x/m)
(g.L-1)
Log Ceq
(ppm)
Log x/m
(mg.g-1)
200 2,9311 9,9361 0,2950 0,4670 0,9972
300 9,6633 14,6248 0,6607 0,9851 1,1651
400 28,9359 18,6829 1,5488 1,4614 1,2714
500 82,4372 20,9573 3,9336 1,9161 1,3213
600 153,6783 22,4196 6,8546 2,1866 1,3506
700 244,4169 22,8695 10,6875 2,3881 1,3593
800 348,6539 22,6742 15,3767 2,5424 1,3555
![Page 119: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/119.jpg)
119
Pada persamaan adsorpsi isoterm Langmuir ditentukan dengan membuat
grafik hubungan Ceq /(x/m) terhadap Ceq (Gambar 6 a). Sedangkan untuk adsorpsi
isoterm Freundlich ditentukan dengan membuat grafik hubungan antara Log (x/m)
terhadap Log Ceq (Gambar 6 b).
(a) (b)
Gambar 6. (a) Grafik adsorpsi isoterm Langmuir dan gambar (b) Grafik adsorpsi
isoterm Freundlich
Dengan melihat harga koefisien determinasi (R2), maka dapat disimpulkan
bahwa jenis adsorpsi yang sesuai untuk adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang
mendekati persamaan adsorpsi isoterm Langmuir, dengan R = 0.9998.
Dari grafik adsorpsi isoterm Langmuir diperoleh persamaan sebagai berikut, y =
0,0432x + 0,249. Dengan memasukkan persamaan regresi tersebut ke dalam persamaan
adsorpsi isoterm Langmuir, yakni :
𝐶𝑒𝑞
(𝑥 𝑚) =
1
𝑎 .𝑏+
1
𝑏. 𝐶𝑒𝑞 (1)
maka dapat diketahui harga konstanta adsorpsi (a) sebesar 0,1735 dan konstanta
empiris (b) sebesar 23,1481. Adsorpsi isoterm Langmuir ini menunjukkan bahwa
adsorben abu layang batubara memiliki permukaan yang homogen dan hanya dapat
mengadsorpsi molekul larutan ion logam Pb2+ pada tempat tertentu, sehingga lapisan
teradsorpsi hanya dapat membentuk satu lapisan, sedangkan jumlah molekul yang
maksimal dapat diadsorpsi tidak dapat lebih dari jumlah tempat yang tersedia.Adsorpsi
ini valid untuk adsorpsi lapisan tunggal pada permukaan dengan jumlah terbatas pada
tempat yang sama (Lando dan Maron, 1974).
y = 0.043x + 0.249
R² = 0.999
0.0000
2.0000
4.0000
6.0000
8.0000
10.0000
12.0000
14.0000
16.0000
-50 50 150 250 350
Ceq
/ (x
/m)
Ceq
y = 0.167x + 0.974
R² = 0.913
0.9000
1.0000
1.1000
1.2000
1.3000
1.4000
1.5000
0.5 0.8 1.1 1.4 1.7 2.0 2.3 2.6
Lo
g (
x/m
)
Log Ceq
![Page 120: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/120.jpg)
120
Penentuan kinetika adsorpsi larutan ion logam Pb2+
Penentuan kinetika adsorpsi dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan di bawah ini :
1
A n−1 = n − 1 akt +1
A on−1 (2)
Perhitungan orde reaksi 0, 1/2, 1, 3/2, dan 2, dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan diatas, namun hal ini tidak berlaku untuk orde reaksi (n) = 1.
Tabel 5. Data penentuan orde reaksi
Kons.
Awal
(ppm)
Waktu
(menit)
Kons Sisa
(ppm)
[A]
(ppm)
√[A]
(ppm1/2)
Ln [A]
(ppm)
1/√[A]
(ppm-1/2)
1/[A]
(ppm-1)
600 15 177,6753 177,6753 13,3295 5,1800 0,0750 0,0056
600 30 170,9261 170,9261 13,0739 5,1412 0,0765 0,0059
600 45 163,8020 163,8020 12,7985 5,0987 0,0781 0,0061
600 60 157,4278 157,4278 12,5470 5,0590 0,0797 0,0064
600 75 153,6783 153,6783 12,3967 5,0349 0,0807 0,0065
y = -0.409x + 183.1
R² = 0.989
150.0000
155.0000
160.0000
165.0000
170.0000
175.0000
180.0000
0 15 30 45 60 75
[A]
(pp
m)
Waktu Kontak (menit)
y = -0.015x + 13.54
R² = 0.990
12.2000
12.4000
12.6000
12.8000
13.0000
13.2000
13.4000
0 15 30 45 60 75
√[A
] (p
pm
1/2
)
Waktu Kontak (menit)
![Page 121: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/121.jpg)
121
(a) (b)
(c) (d)
(e)
Gambar 7. (a) Grafik orde reaksi 0 pada ion logam Pb2+; (b) Grafik orde reaksi 1/2 pada
ion logam Pb2+; (c) Grafik orde reaksi 1 pada ion logam Pb2+; (d) Grafik orde
reaksi 3/2 pada ion logam Pb2+; dan (e) Grafik orde reaksi 2 pada ion logam
Pb2+
Berdasarkan hasil analisa grafik diatas, dapat disimpulkan bahwa orde reaksi
yang sesuai untuk adsorpsi larutan ion logam Pb2+ pada abu layang teraktivasi, adalah
orde reaksi dua. Hal ini dikarenakan harga koefisien determinasi (R2) yang paling besar
dan mendekati 1 yakni 0,9941.
y = -0.002x + 5.214
R² = 0.992
5.0200
5.0400
5.0600
5.0800
5.1000
5.1200
5.1400
5.1600
5.1800
5.2000
0 15 30 45 60 75L
n [
A]
(pp
m)
Waktu Kontak (menit)
y = 1E-04x + 0.073
R² = 0.993
0.0740
0.0750
0.0760
0.0770
0.0780
0.0790
0.0800
0.0810
0.0820
0 15 30 45 60 75
1/√
[A]
(pp
m-1
/2)
Waktu Kontak (menit)
y = 2E-05x + 0.005
R² = 0.994
0.0054
0.0056
0.0058
0.0060
0.0062
0.0064
0.0066
0 15 30 45 60 75
1/[
A]
(pp
m-1
)
Waktu Kontak (menit)
![Page 122: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/122.jpg)
122
Pada gambar 7 didapatkan persamaan regresi y = 0,00002x + 0,0054. Dengan
menggunakan persamaan kinetika orde dua yakni :
1
[𝐴]= a. k. t +
1
[A]0 (3)
maka dapat diketahui tetapan laju reaksi adsorpsi ion logam Pb2+ oleh abu layang
teraktivasi (k) sebesar 0,00002 L.mg-1.menit-1.
Penentuan termodinamika adsorpsi larutan ion logam Pb2+
Penentuan entalpi adsorpsi (∆Hads), ditentukan dengan grafik hubungan antara
Ln Kads terhadap 1/T. Data penentuan ΔHads tertera pada Tabel 6.
Tabel 6. Data penentuan entalpi adsorpsi (ΔHads)
Suhu (K)
Konsentrasi awal (ppm)
Konsentrasi sisa (ppm)
x/m (mg.g
-1)
Kads (gr.L
-1)
Ln Kads (gr.L
-1)
1/T (K
-1)
303 600 156,6779 22,2696 0,1421 -1,9510 0,0033
313 600 157,8028 22,2133 0,1408 -1,9607 0,0032
323 600 159,3026 22,1384 0,1390 -1,9735 0,0031
333 600 162,6771 21,9696 0,1351 -2,0021 0,0030
343 600 165,3018 21,8384 0,1321 -2,0241 0,0029
Didapatkan harga regresi y = 193,63 x – 2,5829. Harga slope dari grafik diatas
digunakan untuk menetukan entalpi adsorpsi (∆Hads), dimana harga slope = -∆H/R
dengan harga R = 8,314 J.mol-1.K-1. Berdasarkan perhitungan diketahui bahwa entalpi
adsorpsi (∆Hads) sebesar -1,6098 kJ.mol-1. Dapat diketahui bahwa proses adsorpsi
berjalan secara eksoterm, yakni melepaskan kalor ke lingkungan. Selain itu proses
adsorpsi larutan ion logam Pb2+ oleh abu layang teraktivasi ini, merupakan fisisorpsi atau
adsorpsi fisika. Hal ini dibuktikan dengan adanya harga entalpi adsorpsi (∆Hads) yang
kurang dari 20,92 kJ.mol-1 (Atkins, 1996). Secara umum waktu tercapainya
kesetimbangan adsorpsi melalui mekanisme fisika atau fisisorpsi lebih cepat
dibandingkan dengan mekanisme kimia atau kemisorpsi (Castellan, 1983).
![Page 123: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/123.jpg)
123
Tabel 7. Data parameter termodinamika adsorpsi
Parameter termodinamika adsorpsi
Temperatur (K)
303 313 323 333 343
∆G (kJ.mol-1
) 4,9148 5,1022 5,2997 5,5430 5,7721
∆S (kJ.mol-1
.K-1
) -2,1533x10-2
-2,1444x10-2
-2,1392x10-2
-2,1480x10-2
-2,1522x10-2
Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa, harga energi bebas adsorpsi
(∆Gads) bernilai semakin besar dengan meningkatnya temperatur. Hal tersebut
menjelaskan bahwa reaksi berjalan secara tidak spontan jika ada energi. Sedangkan
harga energi entropi adsorpsi (∆Sads) bernilai negatif dan semakin kecil dengan adanya
peningkatan temperatur. Hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya penurunan derajat
ketidakteraturan (∆Sads) pada sistem adsorben dengan adsorbat, menyebabkan ion-ion
logam yang terjerap pada adsorben semakin teratur, dan begitu pula sebaliknya.
KESIMPULAN
NaOH mampu mengaktivasi abu layang batubara, hal ini ditunjukkan dengan
adanya peningkatan kemampuan adsorpsi abu layang batubara dalam menyerap larutan
ion logam Pb2+, dimana pada abu layang batubara sebelum aktivasi sebesar 73,5860%
sedangkan pada abu layang batubara sesudah aktivasi sebesar 94,5931%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Atkins, P.W., 1996, Kimia Fisik, Terjemahan Irma I. Kartohadiprodjo,
Jilid 2, Edisi keempat, Erlangga, Jakarta.
2. Castellan, G. W.,1983, Physical Chemistry,3rd ed, University of Maryland
TheBenjamin Cumings Publishing Company. Inc, Menlo Park. California.
3. Fahmi M.Z., Fansuri H. dan Atmaja L., 2009, Pola Hubungan antara
Rasio SiO2/Na2O dengan Mikrostruktur Geopolimer berbahan Dasar
Abu Layang, Tesis Magister, Jurusan Kimia, FMIPA ITS, Surabaya.
4. Indrawati, Lina., 2008, Aktivasi Abu Layang Batubara dan Aplikasinya
pada Proses Adsorpsi Ion Logam Cr dalam Limbah Elektroplating,
Tugas Akhir II, Jurusan Kimia, FMIPA UNNES, Semarang.
![Page 124: kimia_jurnal_januari_2015.pdf](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081419/5695cfac1a28ab9b028f0a7d/html5/thumbnails/124.jpg)
124
5. Irani K., Fansuri H. dan Atmaja L.,2009, Modifikasi Permukaan Abu
Layang Menggunakan NaOH dan Aplikasinya untuk Geopolimer:
Sifat Fisik dan Mekanik, Tesis,Jurusan Kimia,FMIPA ITS, Surabaya.
6. Lando, J.B., and Marron, S.H., 1974, Fundamental of Physical Chemistry,
Macmilan Co. Inc., New York.
7. Mahatmanti, Widhi., dan Widi Astuti., 2010, Aktivasi Abu Layang
Batubara dan Aplikasinya sebagai Adsorben Timbal dalam
Pengolahan Limbah Elektroplating, Jurusan Kimia, FMIPA, UNNES,
Semarang.
8. Polowczyk I., Drag E., Bastrzyk A. and Sadowski Z., 2010, Use of fly ash
agglomerates for removal of arsenic, Environ Geochem Health, Vol.32,
Page : 361–366.
9. Sukandarrumidi, 2009, Batubara dan Pemanfaatannya, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.