kewenangan arbitrase, meydora cahya nugrahenti, fh ui,...

126
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Upload: doandung

Post on 02-Mar-2019

241 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 2: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 3: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 4: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 5: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 6: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 7: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 8: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 9: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 10: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 11: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

1

Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Adanya suatu perikatan dalam kehidupan bermasyarakat, disebabkan

adanya suatu persetujuan atau lahir karena undang-undang. Hal ini dinyatakan

dalam Pasal 1233 KUHPerdata.1 Selanjutnya, Pasal 1234 KUHPerdata

menyatakan bahwa perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat

sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Di samping itu menurut R. Subekti,

perikatan adalah suatu hubungan hukum di antara dua pihak, yang isinya adalah

hak dan kewajiban di mana terdapat suatu hak untuk menuntut sesuatu dan di

sebelah lain suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.2

Dalam suatu perikatan yang lahir dari persetujuan dua pihak atau lebih,

perikatan tersebut lazim dituangkan dalam suatu perjanjian. Dalam perjanjian,

terdapat kebebasan untuk membuat sebuah perjanjian atau yang biasa disebut asas

kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak tersebut diatur dalam Pasal 1338

KUHPerdata, di mana setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian

dengan siapa saja dan meliputi apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan

ketertiban umum. Para pihak yang memiliki niat untuk membuat perjanjian akan

bebas memilih jenis perjanjian dan isi dari perjanjian tersebut. Isi dari suatu

perjanjian biasanya mengandung cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih

oleh para pihak. Hal ini dinamakan choice of forum atau pilihan forum untuk

penyelesaian sengketa.

Pilihan forum dimaksudkan agar para pihak dapat menentukan bagaimana

sengketa yang timbul dari perjanjian dapat diselesaikan. Pilihan forum adalah

1 Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan

oleh Soedharyo Soimin. Cetakan Kedelapan. Jakarta : Sinar Grafika, 2008. hlm.313.

2 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Cetakan Kelima, Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 1988, hlm.2.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 12: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

2

Universitas Indonesia

pilihan mengenai lembaga apa yang akan digunakan sebagai badan penyelesaian

sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut.

Penyelesaian sengketa biasa ditempuh melalui proses litigasi dan non

litigasi. Litigasi adalah mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur

pengadilan, sedangkan non litigasi adalah mekanisme penyelesaian sengketa di

luar pengadilan.3

Salah satu badan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat

dipilih oleh para pihak dalam suatu perjanjian adalah arbitrase. Arbitrase menjadi

sistem penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang cukup populer di dalam

dunia perdagangan karena arbitrase dipandang lebih singkat prosesnya dan lebih

bersifat rahasia daripada peradilan umum.

Arbitrase adalah sebuah lembaga penyelesaian sengketa di luar peradilan

formal. Hukum memberikan kekuatan yang sama untuk putusan badan arbitrase

sebagaimana hukum memberikan kekuatan yang sama pada putusan pengadilan

tingkat akhir, dan keputusan dapat dijalankan atau dieksekusi atas perintah Kepala

Pengadilan Negeri.4

Yurisdiksi arbitrase muncul ketika ada klausul mengenai pilihan yurisdiksi

atau pilihan forum di dalam perjanjian, yang menyebutkan bahwa arbitrase

merupakan badan penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak untuk

menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka. Klausul tersebut disebut

sebagai klausul arbitrase. Dengan adanya klausul arbitrase di dalam perjanjian,

arbitrase akan memiliki kompetensi absolut. Hal ini sesuai dengan yang

dinyatakan dalam Pasal 11 ayat 1 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

3 Eko Marwanto. (2011). “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Aspek

Hukum Indonesia”. 17 Februari 2012

<http://www.ekomarwanto.com/2011/05/arbitrase-dan-alternatif-penyelesaian.html>.

4 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

1995, hlm.182.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 13: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

3

Universitas Indonesia

Alternatif Penyelesaian Sengketa5 yaitu bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase

tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau

beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.

Pemerintah di Indonesia memberlakukan undang-undang mengenai

arbitrase pada tahun 1999 untuk lebih memberikan kepastian hukum dalam

praktek arbitrase di negara ini. Peraturan mengenai arbitrase tersebut adalah UU

Arbitrase dan APS. Peraturan ini adalah pengganti peraturan arbitrase yang

terdapat dalam Rv yang sudah tidak berlaku lagi.

Huala Adolf dalam jurnal elektroniknya menyebutkan sebelum UU

Arbitrase dan APS, arbitrase di Indonesia diatur dalam Rv. Disebut oleh Huala

Adolf bahwa :

The government in Indonesia enacted a law related to the arbitration in

year 1999 to give more legal certainty in arbitration practices in the

country. It was Law No.30 of 1999 on Alternative Dispute Resolution and

Arbitration. Before this regulation, Indonesia has adopted Dutch

arbitration procedural law, the Rv (Reglement op de Rechtsverordering or

the Dutch Code of Civil Procedure). The other Dutch legislation that

recognizes arbitration as a dispute settlement procedure is Het Herziene

Indonesisch Reglement, State Gazette (Staatsblad) 1941 No.44, and

Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement

Buitengewesten, or the Civil Procedure for the Islands outside Java and

Madura), State Gazette 1927 No.227.

The Rv laid down basic arbitration regulations. Among other things, it

recognized arbitration as a means of resolution of disputes that parties

could elect to solve their trade problem. It also laid down the subject

matter capable of arbitration (arbitrability and non-arbitrability), the

requirements relating to arbitrators, the arbitration clause and the

arbitration agreement, etc.6

Di dalam peraturan terbaru mengenai arbitrase yaitu UU Arbitrase dan

APS, arbitrase telah didefinisikan sebagai cara penyelesaian sengketa dagang di

5 Indonesia. Undang-Undang Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

UU No. 30 Tahun 1999. LN No. 138. Tahun 1999. Selanjutnya disebut UU Arbitrase dan APS.

6 Huala Adolf. (2008). “Indonesia: Arbitration under the Indonesian Investment Law-

Enactment of A Revised Investment Law in Indonesia”. 17 September 2008

<http://www.westlaw.com/>.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 14: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

4

Universitas Indonesia

luar pengadilan berdasarkan perjanjian arbitrase tertulis yang dibuat oleh para

pihak yang berselisih. Sebuah perjanjian arbitrase adalah perjanjian dalam bentuk

klausula arbitrase yang termasuk dalam perjanjian tertulis yang dibuat oleh para

pihak sebelum para pihak memiliki sengketa. Perjanjian arbitrase juga dapat

berupa perjanjian arbitrase terpisah yang dibuat oleh para pihak setelah sengketa

di antara mereka muncul.

Keberadaan UU Arbitrase dan APS memperkuat yurisdiksi arbitrase dan

lebih memberikan kepastian hukum kepada pengadilan negeri untuk tidak

memiliki yurisdiksi atas sengketa yang terjadi dari suatu perjanjian yang

mengandung klausul arbitrase. Pasal 11 ayat 1 UU Arbitrase dan APS menyatakan

bahwa “Perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak-hak pihak untuk mengajukan

penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang dinyatakan dalam perjanjian ke

pengadilan negeri”.

Seperti yang telah jelas diketahui bahwa arbitrase adalah sebuah lembaga

penyelesaian yang terpisah dari pengadilan negeri, yaitu suatu lembaga yang

bukan merupakan bagian dari badan peradilan. Sehingga, ketika para pihak setuju

untuk memilih arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa dagang, maka

pengadilan harus menolak untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut. 7

Arbitrase memiliki yurisdiksi sendiri, yaitu suatu kewenangan untuk

memeriksa dan memutus suatu sengketa secara mandiri. Oleh karena itu, tidak ada

alasan bagi pengadilan negeri untuk terlibat dalam proses arbitrase yang sudah

berjalan sesuai prosedur yang ditentukan oleh undang-undang. Hal ini karena para

pihak sendiri tidak memiliki niat untuk menyerahkan kasus tersebut untuk

diselesaikan di pengadilan.

7 Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta: Chandra Pratama,

2000, hlm.13.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 15: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

5

Universitas Indonesia

Ketentuan yurisdiksi arbitrase mengikat pada pihak-pihak yang

bersengketa yang telah menandatangani perjanjian arbitrase.8 Sebagaimana

ketentuan Pasal 3 UU Arbitrase dan APS yang menyatakan “Pengadilan negeri

tidak memiliki yurisdiksi untuk menyidangkan perselisihan antara para pihak

yang sudah terikat pada perjanjian arbitrase”.

Pengadilan sendiri memiliki kewajiban untuk menolak pengajuan gugatan

dan menyatakan tidak akan terlibat dalam penyelesaian sengketa, kecuali dalam

beberapa keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam UU Arbitrase dan

APS, di mana Pasal 11 ayat 2 UU Arbitrase dan APS menyatakan “Pengadilan

Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian

sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang

ditetapkan dalam Undang-undang ini”.

Selanjutnya Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase dan APS menyebutkan bahwa

“Sengketa yang dapat diperiksa oleh arbitrase adalah hanya sengketa di bidang

perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-

undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.9 Kemudian dalam

Pasal 5 ayat 2 UU Arbitrase dan APS disebutkan bahwa sengketa yang tidak dapat

diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan

perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Dalam hukum perdata materiil sengketa hukum dapat berasal baik dari

wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum.10

Akan tetapi pada umumnya,

sengketa hukum yang sering menjadi perhatian hingga kejenjang proses peradilan

8 Andrew L. Sriro, Sriro‟s Desk Reference of Indonesian Law, Jakarta : Equinox

Publishing Jakarta Singapore, 2005, hlm.73.

9 Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase dan APS menyatakan: “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum

dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”

10 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat,

Yogyakarta : Liberty, 1993 , hlm.2 .

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 16: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

6

Universitas Indonesia

adalah sengketa yang dikualifikasi sebagai sengketa perbuatan melawan hukum

dan wanprestasi.

Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366

KUHPerdata. Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa “Tiap perbuatan

melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan

orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian

tersebut”. Dan Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan bahwa “Setiap orang

bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena

perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau

kurang hati-hatinya.” Dari kedua pasal di atas, tidak dijelaskan mengenai

pengertian perbuatan melawan hukum.

Menurut para ahli, perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak

berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau

melanggar hak subyektif orang lain. Dalam hal ini, Pasal 1365 KUHPerdata.

diartikan sebagai perbuatan/tindakan melawan hukum (culpa in committendo)

sedangkan Pasal 1366 KUHPerdata difahami sebagai perbuatan melawan hukum

dengan cara melalaikan (culpa in ommittendo), meskipun juga diakui dalam Pasal

1365 terdapat pengertian culpa in ommittendo.11

Berdasarkan pengertian tentang perbuatan melawan hukum di atas, maka

terdapat empat unsur dari perbuatan melawan hukum itu, yakni :

a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

b. Melanggar hak subyektif orang lain;

c. Melanggar kaidah kesusilaan;

d. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta kehati-hatian.12

11 H.A.Mukhsin Asyrof. “Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi

(Sebuah Kajian Elementer Hukum Normatif”). 17 Februari 2012

<http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/VARIA%20MEMBEDAH%20PMH%20DAN%20WAN

PRESTASI.pdf>.

12 Ibid.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 17: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

7

Universitas Indonesia

Sedangkan wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat

waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama

sekali.13

Dengan demikian wanprestasi dapat berbentuk :

a. Debitur tidak memenuhi prestasi pada waktunya (terlambat);

b. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;

c. Debitur memenuhi prestasi dengan tidak baik (tidak sesuai dengan yang

diperjanjikan.14

Di Indonesia terdapat beberapa putusan pengadilan yang menyatakan

bahwa pengadilan negeri berwenang memeriksa dan memutus sengketa yang

timbul dari perjanjian yang mengandung klausul arbitrase karena sengketa yang

diperiksa masuk dalam kategori sengketa perbuatan melawan hukum. Padahal

dalam banyak putusan arbitrase intemasional dapat dilihat bahwa arbitrase juga

mencakup perbuatan melawan hukum (tort). Perusahaan farmasi internasional,

Roche, pernah sangat marah dengan pengadilan Indonesia karena tidak

menghormati klausula arbitrase. Diterimanya perkara yang memuat klausula

arbitrase di pengadilan telah menjadi iklan yang buruk bagi iklim investasi di

Indonesia.15

Dalam Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

No.454/Pdt.G/1999/PN.Jak.Sel, Majelis Hakim menyatakan bahwa Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan berwenang mengadili gugatan perdata yang diajukan oleh

PT. Perusahaan Dagang Tempo terhadap PT. Roche Indonesia meskipun di antara

kedua pihak telah terikat perjanjian distribusi yang mengandung klausul arbitrase.

Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan tersebut masuk yurisdiksi Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan karena sengketa yang timbul adalah perbuatan melawan

13 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua, Bandung : Alumni,

1986, hlm.6.

14 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kesatu, Bandung : Bina Cipta,

1977, hlm.13.

15 Todung Mulya Lubis, “Tantangan Global Penegakan Hukum, disampaikan pada

Seminar Visi 2020 Penegakan Hukum yang diadakan oleh SCTV dan Jakarta Lawyers Club di

Jakarta,”, 26 Mei 2005. 17 Januari 2012 <http://www.lsmlaw.co.id/article_detail.php?id=6>.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 18: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

8

Universitas Indonesia

hukum. Sengketa perbuatan melawan hukum di antara kedua belah pihak tersebut

dipandang oleh Majelis Hakim perlu diselesaikan secara hukum di depan

pengadilan dan arbitrase tidak berwenang untuk memeriksa serta mengadilinya.

Dalam perkara lain, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali bersikap

sama. Dalam Putusan Sela No.534/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel, Majelis Hakim

memutuskan berwenang mengadili perkara gugatan perbuatan melawan hukum

yang diajukan oleh PT. Prima Citra Perdana melawan PT. Asuransi AXA

Indonesia. PT. Prima Citra Perdana mengajukan gugatan perbuatan melawan

hukum atas pemutusan perjanjian asuransi secara sepihak oleh PT. Asuransi AXA

Indonesia. Majelis Hakim berpendapat bahwa klausul arbitrase dalam perjanjian

asuransi di antara para pihak tidak mencakup perbuatan melawan hukum dan

hanya menyangkut perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah yang harus

dibayar dalam polis perjanjian asuransi.

Selanjutnya dalam Putusan Sela No.535/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel,

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memiliki sikap dan pendapat yang sama.

Hampir serupa dengan perkara di atas, Majelis Hakim memutuskan berwenang

mengadili perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh PT.

Prima Laksana Mandiri melawan PT. Asuransi AXA Indonesia. Senada dengan

PT. Prima Citra Perdana di atas, PT. Prima Laksana Mandiri mengajukan gugatan

perbuatan melawan hukum atas pemutusan perjanjian asuransi secara sepihak oleh

PT. Asuransi AXA Indonesia. Kembali Majelis Hakim berpendapat bahwa

klausul arbitrase dalam perjanjian asuransi di antara para pihak tidak mencakup

perbuatan melawan hukum dan hanya menyangkut perselisihan yang timbul

terhadap suatu jumlah yang harus dibayar dalam polis perjanjian asuransi.

Dalam suatu berita elektronik hukumonline.com yang memberitakan

mengenai perkara PT. Plaza Indonesia Tbk melawan PT. Istana Noodle House,

disebutkan gugatan perbuatan melawan hukum dinilai sebagai kewenangan

pengadilan. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa pihak PT. Plaza Indonesia

Tbk berpendapat :

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 19: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

9

Universitas Indonesia

“Gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang diajukan ke BANI

dinilai sebagai rekayasa. Sebab jika mengacu pada klausul perjanjian

tersebut, PT Istana Noodle tak bisa menuntut ganti rugi. Gugatan

perbuatan melawan hukum dinilai sebagai kewenangan absolut pengadilan

umum, bukan badan arbitrase.”16

Namun sesungguhnya terkait pendapat tersebut, UU Arbitrase dan APS sendiri

tidak menyebutkan secara khusus bahwa majelis arbitrase hanya berwenang untuk

memeriksa sengketa wanprestasi.

Berbeda dengan putusan sengketa antara PT. Perusahaan Dagang Tempo

terhadap PT. Roche Indonesia di atas, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki

sikap dan pendapat yang berbeda. Perbuatan melawan hukum dipandang

merupakan kewenangan arbitrase. Hal ini terlihat dalam Putusan

No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST tertanggal 27 Mei 2010.

Dalam perkara Putusan No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST tertanggal 27

Mei 2010, PT. Istana Noodle House mengajukan permohonan arbitrase kepada

Badan Arbitrase Nasional Indonesia karena adanya perbuatan melawan hukum

yang dilakukan oleh PT. Plaza Indonesia Realty Tbk. Di antara kedua pihak telah

terikat dalam Perjanjian Sewa No.LAR-1241/25/07/07/L1113 tertanggal 25 Juli

2007 di mana PT Istana Noodle House menyewa tempat pada PT. Plaza Indonesia

Realty Tbk untuk digunakan menjalankan usaha restoran Imperial Treasure.

Terhadap permohonan arbitrase tersebut, majelis arbiter BANI dalam Putusan

No.296/II/ARB-BANI/2009 memutuskan bahwa PT. Plaza Indonesia Realty Tbk

telah melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar ganti rugi

kepada PT Istana Noodle House.

PT. Plaza Indonesia Realty Tbk kemudian tidak menerima dan

mengajukan permohonan pembatalan Putusan BANI No.296/II/ARB-BANI/2009

tersebut pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam salah satu alasannya, PT.

Plaza Indonesia Realty Tbk sebagai Pemohon mendalilkan bahwa majelis

16 “Putusan BANI „Digugat” Plaza Indonesia”, Senin, 22 Maret 2010. 18 Januari 2011

<http://hukumonline.com/berita/baca/lt4ba6dad8a30e2/putusan-bani-digugat-plaza-

indonesia>.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 20: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

10

Universitas Indonesia

arbitrase BANI tidak berwenang memeriksa sengketa perbuatan melawan hukum

dan kewenangan untuk memeriksa sengketa demikian adalah kewenangan absolut

dari peradilan umum. Atas permohonan ini, Majelis Hakim pada Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat dalam Putusan No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST

memutuskan bahwa alasan Pemohon telah menyimpang dari aturan hukum karena

tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tentang

permohonan pembatalan putusan arbitrase. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak

sepakat dengan dalil PT. Plaza Indonesia Realty Tbk yang menyatakan bahwa

oleh karena sengketa di antara para pihak adalah sengketa perbuatan melawan

hukum maka menjadikan pengadilan menjadi berwenang untuk membatalkan

Putusan BANI No.296/II/ARB-BANI/2009 dan memeriksa sendiri sengketa

tersebut.

Sikap dan pendapat serupa juga dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam

Putusan No.182PK/Pdt/2006 tertanggal 26 Juni 2009 dan Putusan

No.182PK/Pdt/2011 tertanggal 28 September 2011. Dalam kedua putusan

tersebut, Majelis Hakim memutuskan untuk menguatkan putusan Judex Factie

yang mengabulkan eksepsi mengenai kompetensi absolut dan menyatakan tidak

berwenang memeriksa dan mengadili gugatan perbuatan melawan hukum yang

diajukan oleh para penggugat.

Dalam Putusan No.182PK/Pdt/2006 tertanggal 26 Juni 2009, Mahkamah

Agung memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan

oleh PT. Armada Eka Lloyd melawan Samsung Shipping Corporation, Capt.

Elosoo M. Pusyo, Master Ocean Shipping (TD) Monrobia Liberia. Putusan ini

menguatkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No.1246K/Pdt/2000 jo Putusan

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.292/Pdt/1997/PT.DKI jo Putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat No.497/Pdt.G/1995/PN.Jkt.Pst. Dalam putusan tingkat

pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan tidak berwenang

memeriksa dan mengadili gugatan perbuatan melawan hukum yang timbul dari

perjanjian sewa-menyewa kapal M.V. Master Pioneer. Dalam perjanjian sewa-

menyewa kapal M.V. Master Pioneer tersebut terdapat klausul arbitrase yang

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 21: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

11

Universitas Indonesia

menentukan bahwa perselisihan yang timbul di antara para pihak harus diajukan

pada tiga arbiter di London, di mana masing-masing pihak menunjuk satu arbiter

dan arbiter ketiga ditunjuk oleh dua arbiter yang dipilih tersebut.

Sedangkan dalam Putusan No.182PK/Pdt/2011 tertanggal 28 September

2011, Mahkamah Agung juga memutuskan menolak permohonan peninjauan

kembali yang diajukan oleh Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co

melawan PT. Landmark dan Henry Onggo. Putusan ini menguatkan Putusan

Kasasi Mahkamah Agung No.1034K/Pdt/2009 jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI

Jakarta No.64/Pdt/2008/PT.DKI jo Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan No.751/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Sel. Dalam putusan tingkat pertama,

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan tidak berwenang memeriksa dan

mengadili gugatan perbuatan melawan hukum yang timbul dari perjanjian sewa-

menyewa yang mengandung klausula arbitrase.

Mengingat adanya perbedaan sikap dan pendapat pengadilan mengenai

kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa perbuatan

melawan hukum dan tidak disebutkannya atau diatur secara jelas ketentuan

tersebut dalam UU Arbitrase dan APS, maka apakah arbitrase berwenang untuk

memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum atau tidak? Oleh

karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis dan menelaah beberapa putusan

pengadilan di Indonesia sehubungan dengan sengketa perbuatan melawan hukum,

dengan memfokuskan kasus-kasus tersebut di atas dalam penulisan tesis yang

berjudul KEWENANGAN ARBITRASE DALAM MEMERIKSA DAN

MEMUTUS SENGKETA PERBUATAN MELAWAN HUKUM : STUDI

PUTUSAN-PUTUSAN PENGADILAN.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, perbedaan

sikap dan pendapat pengadilan mengenai kewenangan arbitrase dalam memeriksa

dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum, menimbulkan suatu

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 22: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

12

Universitas Indonesia

pertanyaan apakah arbitrase berwenang memeriksa dan memutus sengketa

perbuatan melawan hukum atau apakah arbitrase hanya berwenang memeriksa

dan memutus sengketa wanprestasi, sepanjang UU Arbitrase dan APS sendiri

tidak mengatur dan menentukan secara jelas apakah arbitrase berwenang

memeriksa sengketa perbuatan melawan hukum atau hanya sengketa wanprestasi,

sehingga perdebatan di atas tentu akan dapat menimbulkan kebingungan dan

ketidakpastian hukum terkait sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul

dari perjanjian yang mengandung klausul arbitrase.

Oleh karena itu, permasalahan hukum yang akan menjadi fokus penelitian

dalam penulisan tesis ini adalah :

1. Apakah arbitrase berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa

perbuatan melawan hukum?

2. Bagaimana sikap dan pendapat pengadilan terhadap sengketa perbuatan

melawan hukum yang timbul dari suatu transaksi atau kontrak yang di

dalamnya terdapat klausul arbitrase?

1.3. Kerangka Teoritis dan Konseptual

Dalam membuat suatu penulisan diperlukan kerangka berfikir secara

ilmiah, yang dilandasi dengan pola fikir yang mengarah pada suatu pemahaman

yang sama. Hal ini diperlukan supaya pembaca memahami apa yang dimaksud

oleh penulis.

Dalam penulisan tesis ini, teori yang digunakan adalah teori dalam hukum

kontrak. Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasari pemikirannya

pada ajaran hukum alam, hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy

Bentham yang dikenal dengan utilitarianisme. Utilatarianism dan teori klasik

ekonomi laissez faire, dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan

pemikiran liberalis individualistis.17

17 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia (IBI),

1993, hlm.17.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 23: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

13

Universitas Indonesia

Jeremy Bentham berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan

semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Menurut Teory Utilitis, tujuan

hukum ialah menjamin adanya kebahagian sebesar-besarnya pada orang

sebanyak-banyaknya. Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan

tujuan utama dari pada hukum.18

Dalam hal ini pendapat Bentham dititik beratkan

pada hal-hal yang berfaedah dan bersifat umum.19

Undang-undang adalah

keputusan kehendak dari satu pihak yaitu negara sementara perjanjian adalah

keputusan kehendak dari dua pihak. Dengan kata lain, orang terikat pada

perjanjian berdasarkan atas kehendaknya sendiri, berbeda dengan undang-undang

di mana keterikatan pihak adalah terlepas dari kehendaknya.20

Teori selanjutnya adalah milik Krabbe yang menyatakan kekuasaan

hukum itu tidak terletak di luar manusia tetapi di dalam manusia. Hukum

berdaulat yaitu di atas segala sesuatu, termasuk Negara. Menurut Krabbe, negara

yang baik adalah negara hukum (rechtstaat), di mana tiap tindakan negara harus

dapat dipertanggungjawabkan kepada hukum.21

Hugo Grotius berpendapat bahwa hak untuk membuat kontrak adalah hak

asasi manusia yang dilindungi oleh suatu badan hukum tertinggi yang dilandasi

oleh nalar manusia yang disebutnya sebagai hukum alam. Kontrak adalah

perbuatan sukarela dari seseorang yang membuat janji tentang sesuatu kepada

orang lainnya dengan menekankan bahwa masing-masing akan menerima dan

melaksanakan sesuai dengan yang diperjanjikan.22

18 L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1981, hlm.168.

19 C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : PN Balai

Pustaka, 1983, hlm.42.

20 L.J.van Apeldoorn. Loc.Cit.

21 Ibid.

22 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif

Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Bandung :

CV. Mandar Maju, 2012, hlm.18-19.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 24: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

14

Universitas Indonesia

Azas kebebasan berkontrak dalam melakukan suatu perjanjian merupakan

bentuk dari adanya suatu kedaulatan hukum yang dimiliki oleh setiap individu

dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Setiap individu menurut

kepentingannya secara otonom, berhak untuk melakukan perjanjian dengan

individu atau kelompok masyarakat lainnya.

Asas-asas hukum kontrak yang terdapat di dalam KUHPerdata meliputi

Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Mengikat Sebagai Undang-undang, Asas

Konsensualitas, dan Asas Itikad Baik. Asas-asas tersebut secara normatif

disebutkan dalam pasal-pasal KUHPerdata khususnya pada buku ketiga.

Asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan dalam membuat perjanjian

di mana para pihak dapat dengan bebas mengatur hak dan kewajiban dalam

perjanjian yang disepakati. Menurut Subekti dalam bukunya yang berjudul

Hukum Perjanjian, asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan

bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi

dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan

dan ketertiban umum.23

Asas mengikat sebagai undang-undang disebut juga Pacta Sun Servanda,

yang berarti bahwa perjanjian yang sah mengikat pihak-pihak yang

mengadakannya selayaknya undang-undang atau setiap perjanjian harus ditaati

dan ditepati seperti undang-undang.24

Asas ini terdapat pada Pasal 1338

KUHPerdata, yang menyatakan bahwa “Semua kontrak yang dibuat secara sah

akan mengikat sebagai undang undang bagi para pihak dalam kontrak tersebut”.

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya dan perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik

23 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Keenam, Jakarta : Intermasa, Jakarta, 1979,

hlm.13.

24 C.S.T. Kansil, Op.Cit, hlm.48.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 25: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

15

Universitas Indonesia

kembali selain dengan kesepakatan para pihak atau karena alasan-alasan yang

telah ditetapkan oleh undang-undang. Terikatnya para pihak pada perjanjian tidak

semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap

beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara

moral.25

Oleh karenanya, para pihak yang terikat dalam perjanjian, harus tunduk

pada ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian tersebut selayaknya tunduk pada

undang-undang.

Sebuah kontrak sudah lahir dan mengikat para pihak sejak terjadinya kata

sepakat tentang unsur pokok dari kontrak tersebut. Hal ini sebagaimana yang

tersirat dalam pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut :

“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat yaitu

kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat

suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak

terlarang”.

Dengan kata lain, kontrak sudah sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai

unsur pokok kontrak. Kekuatan mengikat dari suatu kontrak lahir ketika adanya

kata sepakat, atau dikenal dengan asas konsensualitas, di mana para pihak yang

berjanji telah sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian hukum.

Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam Pasal 1338

KUHPerdata. Akan tetapi dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara ekplisit

apa yang dimaksud dengan “itikad baik”. Pasal ini hanya menguraikan sebagai

berikut :

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pesetujuan itu

tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,

atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Dalam praktek pelaksanan perjanjian, itikad baik sering ditafsirkan

sebagai hal yang berhubungan dengan kepatuhan dan kepantasan dalam

25 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT.Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2001. hlm.88.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 26: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

16

Universitas Indonesia

melaksanakan suatu kontrak. Menurut Wirjono Prodjodikoro dan Subekti, itikad

baik (te goeder trouw) yang sering diterjemahkan sebagai kejujuran, dibedakan

menjadi dua macam, yaitu;

1. Itikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum atau

perjanjian, dan

2. Itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-

kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut.26

Konsep-konsep yang digunakan di dalam penulisan tesis ini meliputi

perikatan, perjanjian, perjanjian arbitrase, arbitrase, wanprestasi dan perbuatan

melawan hukum.

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya

adalah hak dan kewajiban di mana suatu hak untuk menuntut sesuatu dan

disebelah lain suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.27

Menurut hukum perdata yang berlaku di Indonesia, perikatan yang lahir

dari perjanjian atau persetujuan, dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1313

KUHPerdata, yang menyatakan bahwa “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih.”

Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata.

Ketentuan mengenai Perjanjian diatur di dalam Buku III KUHPerdata.

Didalamnya diterangkan mengenai perjanjian, termasuk perjanjian khusus yang

dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,

dan perjanjian pinjam-meminjam.

26 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Bandung : Alumni,

2000, hlm.260.

27 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Loc.Cit.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 27: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

17

Universitas Indonesia

Perjanjian menurut R Subekti adalah salah satu sumber perikatan yang

menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian.

Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian memberikan hak pada

pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam

perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut.28

Sedangkan definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menurut

Handri Raharjo, S.H. adalah :

Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata

sepakat antara subyek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara

mereka (para pihak/subyek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga

subyek hukum satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum

yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan

kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan

akibat hukum.29

Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata. Demikian pula Pasal 1339

KUHPerdata menentukan suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal

yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang

menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-

undang.30

Akibat hukum dari suatu perjanjian yang sah menurut Pasal 1338

KUHPerdata,yaitu:31

1. Perjanjian mengikat para pihak.

28 Ibid. hlm.91.

29 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Cetakan Kesatu, Yogyakarta:

Pustaka Yustisia, 2009, hlm.41-42.

30 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum

Perikatan, Cetakan Kesatu, Bandung: Nuansa Aulia, 2007, hlm.98.

31 Handri Raharjo, Op.Cit., hlm.58-59.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 28: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

18

Universitas Indonesia

2. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena

merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak dan alasan-alasan

yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah sah, apabila

memenuhi empat syarat sebagai berikut:32

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal;

Keempat syarat tersebut dijelaskan dan dibatasi oleh pasal-pasal berikutnya dalam

KUHPerdata, yaitu dari Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1337.

Seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang

dikehendakinya. Para pihak juga bebas menentukan isi perjanjian yang akan

disepakati, termasuk pilihan forum dan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap

penyelesaian sengketa yang mungkin akan timbul atau telah timbul di antara para

pihak. Pilihan forum tersebut dapat berupa perjanjian arbitrase.

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat 3 UU Arbitrase dan APS, perjanjian

arbitrase adalah:

Suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu

perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau

suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul

sengketa.33

32 Ibid, hlm.91.

33 Pasal 1 ayat (1) UU Arbitrase dan APS :

“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang

tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul

sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah

timbul sengketa.”

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 29: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

19

Universitas Indonesia

Perjanjian arbitrase terdiri atas dua jenis, yaitu pactum de compromittendo

dan akta kompromis. Perbedaan keduanya adalah waktu dibuatnya perjanjian

arbitrase. Jika pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak sebelum

perselisihan terjadi, maka akta kompromis dibuat setelah timbul perselisihan di

antara para pihak.34

Perjanjian arbitrase (pactum de compromittendo) adalah

perjanjian dalam bentuk klausula arbitrase yang termasuk dalam perjanjian tertulis

yang dibuat oleh pihak sebelum para pihak memiliki sengketa. Perjanjian arbitrase

(akta kompromis) adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak setelah sengketa

muncul.

Arbitrase telah didefinisikan sebagai cara penyelesaian sengketa dagang di

luar pengadilan. Arbitrase dipilih berdasarkan perjanjian arbitrase tertulis yang

dibuat oleh para pihak yang berselisih. Pasal 1 ayat 1 UU Arbitrase dan APS

menentukan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di

luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara

tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Subekti menjabarkan arbitrase sebagai suatu lembaga penyelesaian

sengketa di luar peradilan formal pada pengadilan, di mana hukum memberikan

kekuatan yang sama untuk putusan badan arbitrase sebagaiman hukum

memberikan kekuatan yang sama pada putusan pengadilan tingkat akhir, dan

keputusan dapat dijalankan atau dieksekusi atas perintah Kepala Pengadilan

Negeri.35

Yurisdiksi arbitrase muncul ketika ada perjanjian arbitrase atau kontrak

yang mengandung klausul arbitrase yang menyebutkan bahwa arbitrase

merupakan badan penyelesaian sengketa di antara para pihak. Arbitrase akan

memiliki kompetensi absolut jika dalam perjanjian mencantumkan kesepakatan

34 Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Cetakan

Kedua, Bogor : Ghalia Indonesia, 2004, hlm.117.

35 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Loc.Cit.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 30: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

20

Universitas Indonesia

para pihak untuk memilih arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa bagi

para pihak.

UU Arbitrase dan APS memperkuat yurisdiksi arbitrase dan lebih

memberikan kepastian hukum ke pengadilan negeri untuk tidak memiliki

yurisdiksi atas sengketa yang terjadi dari suatu perjanjian dengan klausul arbitrase

atau kasus yang telah dibuat perjanjian arbitrasenya. Hal ini mengikat pada pihak-

pihak yang bersengketa yang telah menandatangani perjanjian arbitrase atau

kontrak dengan klausul arbitrase.36

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 UU

Arbitrase dan APS, peradilan umum tidak memiliki yurisdiksi untuk

menyidangkan perselisihan antara para pihak yang sudah terikat pada perjanjian

arbitrase.

Selain itu, pasal dalam UU Arbitrase dan APS menyatakan bahwa

perjanjian arbitrase tertulis menghapuskan hak-hak para pihak untuk mengajukan

penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang dinyatakan dalam perjanjian ke

pengadilan negeri.37

Pengadilan negeri sendiri memiliki kewajiban untuk menolak

pengajuan gugatan dan menyatakan tidak akan terlibat dalam penyelesaian

sengketa, kecuali dalam beberapa keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan

dalam UU No.30 Tahun 1999.38

Dalam UU Arbitrase dan APS pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa yang

menjadi obyek arbitrase adalah hanya sengketa di bidang perdagangan dan

mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

36 Andrew L. Sriro, Loc.Cit.

37 Pasal 11 ayat (1) UU Arbitrase dan APS menyebutkan bahwa “Adanya suatu

perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa

atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.”

38 Pasal 11 ayat (2) UU Arbitrase dan APS menyebutkan bahwa “Pengadilan Negeri

wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah

ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang

ini.”

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 31: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

21

Universitas Indonesia

sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.39

Sehingga yang menjadi obyek dari

arbitrase adalah sengketa perdata. Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat 2 Arbitrase dan

APS, ditentukan selanjutnya bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan

melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan

tidak dapat diadakan perdamaian.

Dalam hukum perdata materiil sengketa hukum dapat berupa wanprestasi,

perbuatan melawan hukum atau perbuatan yang menimbulkan kerugian pada

orang laintapi tidak termasuk perbuatan melawan hukum, yaitu yang berupa

penyalahgunaan keadaan.40

Perbuatan melawan hukum dan wanprestasi sering

menjadi sebab terjadinya sengketa yang timbul dari adanya suatu perjanjian.

Wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau

dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali.41

Dengan demikian wanprestasi dapat berbentuk:

a. Debitur tidak memenuhi prestasi pada waktunya (terlambat);

b. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;

c. Debitur memenuhi prestasi dengan tidak baik (tidak sesuai dengan

yang diperjanjikan42

Sedangkan perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal

1366 KUHPerdata. Pasal 1365 berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang

mem-bawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dan Pasal 1366

menyatakan “Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang

39 Pasal 5 ayat (1) UU Arbitrase dan APS menyebutkan bahwa “Sengketa yang dapat

diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang

menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

bersengketa.”

40 Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.

41 Yahya Harahap, Loc.Cit.

42 Setiawan, Loc.Cit.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 32: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

22

Universitas Indonesia

disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan

karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.” Dari kedua pasal di atas, tidak

dijelaskan mengenai pengertian perbuatan melawan hukum.

Menurut para ahli, perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak

berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak

subyektifsubyektif orang lain. Dalam hal ini, Pasal 1365 KUHPerdata, diartikan

sebagai perbuatan/tindakan melawan hukum (culpa in committendo) sedangkan

Pasal 1366 difahami sebagai perbuatan melawan hukum dengan cara melalaikan

(culpa in ommittendo), meskipun juga diakui dalam Pasal 1365 juga terdapat

pengertian culpa in ommittendo.43

Berdasarkan pengertian tentang perbuatan melawan hukum di atas, maka

terdapat empat kriteria dari perbuatan melawan hukum itu, yakni:

a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

b. Melanggar hak subyektif orang lain;

c. Melanggar kaidah kesusilaan;

d. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta kehati-hatian.44

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang akan menjadi obyek

pembahasan dalam penulisan tesis ini, maka tujuan penulisan tesis berikut ini

adalah sebagai berikut :

1. Untuk menganalisis apakah arbitrase berwenang dalam memeriksa

sengketa perbuatan melawan hukum;dan

2. Untuk mengetahui bagaimanakah sikap dan pendapat pengadilan terhadap

sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari perjanjian arbitrase

atau kontrak dengan klausul arbitrase.

43 H.A.Mukhsin Asyrof, Loc.Cit.

44 Ibid.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 33: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

23

Universitas Indonesia

1.5. Manfaat Penelitian

Permasalahan yang diangkat di dalam penulisan tesis ini dan dihubungkan

dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada diharapkan dapat

membawa sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis. Sehubungan

dengan itu, penulisan tesis ini bermanfaat untuk :

1. Secara teoritis, penulisan tesis ini diharapkan dapat membuka wawasan

dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan

hukum khususnya pemahaman tentang apakah arbitrase berwenang dalam

memeriksa perbuatan melawan hukum dan bagaimana sikap serta

pendapat pengadilan terhadap sengketa perbuatan melawan hukum yang

timbul dari perjanjian arbitrase atau kontrak dengan klausul arbitrase.

Selain itu, penulisan tesis ini diharapkan dapat menjadi bahan

perbandingan dan referensi bagi penulis lanjutan serta dapat memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan. Penulisan tesis ini juga diharapkan dapat

memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan

perundang-undangan mengenai kewenangan arbitrase di Indonesia.

2. Secara praktis penulisan tesis ini ditujukan kepada kalangan aparat

penegak hukum dalam hal ini kewenangan arbitrase yang memeriksa dan

memutus sengketa berupa perbuatan melawan hukum.

1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah

penelitian dengan pendekatan hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau

kepustakaan adalah penelitian yang mencakup penelitian atas asas-asas hukum,

sistematik hukum, sinkronisasi hukum vertical dan horizontal45

, perbandingan

45 Sinkronisasi hukum ditelaah dengan mengkaji perundang-undangan suatu bidang

kehidupan tertentu, sesuai dengan pemeringkatan undang-undang.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 34: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

24

Universitas Indonesia

hukum serta sejarah hukum.46

Dengan metode penelitian hukum normatif, dapat

diketahui apakah dan bagaimanakah hukum positifnya suatu masalah tertentu, dan

dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apa dan bagaimana

hukumnya mengenai peristiwa atau masalah tertentu.47

Dalam penulisan tesis ini metode penelitian dengan pendekatan hukum

normatif dilakukan dengan pendekatan kasus (case approach). Dalam

menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio

decindeli, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai

kepada putusannya.48

Pada penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang

digolongkan sebagai data sekunder yang ada dalam keadaan siap terbit, bentuk

dan isinya telah disusun peneliti-peneliti terdahulu, dan dapat diperoleh tanpa

terikat waktu dan tempat.49

Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

atau data sekunder, ataupun peraturan perundang-undangan dan perjanjian-

perjanjian internasional. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup :50

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.

Contohnya peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Dalam

penulisan tesis ini bahan hukum primer yang digunakan adalah

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Penyelesaian Sengketa Alternatif, putusan-putusan pengadilan yang

berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

46 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan

Singkat, Cetakan VI, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, hlm.14.

47 Topo Santoso, “Putusan BANI „Digugat” Plaza Indonesia”, Senin, 22 Maret 2010. 18

Januari 2011 <http://hukumonline.com/berita/baca/lt4ba6dad8a30e2/putusan-bani-digugat-plaza-

indonesia>.

48 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, Jakarta : Kencana, 2010,

hlm.119.

49 Ibid, hlm.37.

50 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan III, Jakarta : UI Press, 1985,

hlm.52.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 35: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

25

Universitas Indonesia

2. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer. Contohnya doktrin, hasil penelitian akademisi,

karya-karya ilmiah para sarjana, jurnal, dan tulisan-tulisan lainnya

yang bersifat ilmiah.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya

kamus umum, kamus istilah hukum, ensiklopedia, dan sebagainya.

Metode pemaparan data yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini

adalah metode analisis deskriptif,51

yaitu penelitian dengan tujuan memberikan

data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.

Metode pemaparan secara analitis deskriptif di dalam penulisan tesis ini dilakukan

dengan memaparkan data yang tersedia di dalam putusan –putusan pengadilan

yang relevan, dan menganalisisnya dengan mengacu pada dasar-dasar

pengetahuan yuridis.

Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini

adalah penelitian kepustakaan52

, yaitu dengan menelusuri dan melakukan analisis

bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

1.7. Alasan Memilih Judul

Dalam penulisan tesis ini, penulis memilih judul Kewenangan Arbitrase

Dalam Memeriksa Dan Memutus Sengketa Perbuatan Melawan Hukum : Studi

Putusan-Putusan Pengadilan, karena beberapa alasan sebagai berikut :

1. Adanya perbedaan pendapat mengenai apakah arbitrase memiliki

wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan

hukum atau hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa

wanprestasi saja;

2. Adanya sikap dan pendapat yang berbeda dari putusan pengadilan

terhadap sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari suatu

transaksi atau kontrak yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase;

51 Ibid, hlm.10.

52 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hlm.23.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 36: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

26

Universitas Indonesia

3. Ingin mengetahui dan mendalami apakah arbitrase berwenang dalam

memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul

dari suatu transaksi atau kontrak yang di dalamnya terdapat klausul

arbitrase;

4. Belum adanya penelitian dan penulisan secara khusus dan mendalam

mengenai kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa

perbuatan melawan hukum yang timbul dari suatu transaksi atau kontrak

yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase;

5. Ingin membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan

mendalami permasalahan hukum mengenai pemahaman tentang

kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa perbuatan

melawan hukum yang timbul dari suatu transaksi atau kontrak yang di

dalamnya terdapat klausul arbitrase;

6. Ingin menambah bahan perbandingan dan referensi untuk memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum, baik secara

teoritis maupun praktis.

7. Ingin memberikan masukan bagi penyempurnaan penerapan perangkat

peraturan perundang-undangan terkait dengan kewenangan arbitrase di

Indonesia dalam memeriksa sengketa perbuatan melawan hukum yang

timbul dari suatu transaksi atau kontrak yang di dalamnya terdapat klausul

arbitrase bagi terciptanya kepastian hukum khususnya hukum arbitase

sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan di

Indonesia.

1.8. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan tesis ini terdiri dari lima bab. Untuk

mempermudah pembahasan dalam penelitian dan penulisan ini, perlu disusun

secara sistematik sebagai berikut :

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 37: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

27

Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN

Bab pendahuluan akan menguraikan hal-hal umum yang ada dalam

sebuah karya tulis ilmiah berisi latar belakang masalah, perumusan

masalah, kerangka teoritis dan konseptual, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metode penelitian, alasan memilih judul, dan

sistematika penulisan.

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Bab ini menggambarkan mengenai tinjauan secara umum tentang

pengertian perbuatan melawan hukum, unsur perbuatan melawan

hukum, ukuran ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum dan

sengketa perbuatan melawan hukum.

BAB III KEWENANGAN ARBITRASE DALAM MEMERIKSA DAN

MEMUTUS SENGKETA PERBUATAN MELAWAN

HUKUM

Bab ini menggambarkan mengenai tinjauan secara umum dalam

peraturan perundang-undangan di Indonesia, UNCITRAL Model

Law dan UNICTRAL Arbitration Rules dan pendapat para ahli

tentang arbitrase dan kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan

memutus sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari

perjanjian dengan klausul arbitrase.

BAB IV SIKAP DAN PENDAPAT PENGADILAN TERHADAP

SENGKETA PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG

DIPERIKSA DAN DIPUTUS OLEH ARBITRASE

Bab ini menguraikan putusan-putusan pengadilan terkait dengan

sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari perjanjian

dengan klausul arbitrase, menggambarkan mengenai sikap dan

pendapat pengadilan terhadap sengketa perbuatan melawan hukum

yang timbul dari perjanjian dengan klausul arbitrase, dan analisa

terhadap putusan-putusan pengadilan tersebut.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 38: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

28

Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP

Bab penutup tulisan ini adalah kesimpulan yang menjawab

permasalahan dalam Bab I bahwa secara yuridis arbitrase

berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa perbuatan

melawan hukum yang timbul dari suatu transaksi atau kontrak

yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase berikut saran bagi

praktisi hukum untuk kembali berpegang pada ketentuan Pasal 5

Undang-Undang Arbitrase dan APS dalam memeriksa dan

menutus sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari

perjanjian arbitrase atau kontrak dengan klausul arbitrase.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 39: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

29

Universitas Indonesia

BAB 2

PERBUATAN MELAWAN HUKUM

2.1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum di Indonesia diatur hanya dalam beberapa

pasal saja di dalam KUHPerdata, sebagaimana juga yang terjadi di negara-negara

yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental lainnya. Namun faktanya dalam

praktik, di samping gugatan wanprestasi, banyak gugatan perdata yang diajukan

berupa gugatan perbuatan melawan hukum.53

Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366

KUHPerdata. Pasal 1365 menyatakan “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang

membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dan Pasal 1366

menyatakan “Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang

disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan

karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.” Dari kedua pasal di atas, tidak

dijelaskan mengenai pengertian perbuatan melawan hukum.

Istilah perbuatan melawan hukum di dalam bahasa Belanda disebut

dengan istilah “onrechmatige daad”. Sedangkan di dalam bahasa Inggris disebut

dengan istilah “tort”. Istilah “tort” memiliki makna salah (wrong).54

Menurut Black’s Law Dictionary, tort secara harafiah memiliki definisi

sebagai “A civil wrong for which a remedy may be obtained, usually in the form

53 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Cetakan

Kedua, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hlm.1.

54 Ibid. hlm.2.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 40: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

30

Universitas Indonesia

of damages; a breach of a duty that the law imposes on everyone in the same

relation to one another as those involved in a given transaction”.55

Sejarah penafsiran pengertian perbuatan melawan hukum di Belanda

dibagi menjadi 3 waktu, yaitu antara tahun 1838 hingga 1883, tahun 1883 hingga

1919, dan sesudah tahun 1919 sebagai berikut:56

- Kodifikasi KUH Perdata pada tahun 1838 membawa perubahan besar

tentang makna dan ruang lingkup dari pengertian perbuatan melawan

hukum (onrechtmatigedaad). Pada waktu itu dianut pendirian bahwa

onrechmatig adalah onwetmatig yang berarti bahwa suatu perbuatan baru

dianggap melawan hukum, apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan

undang-undang yang bersangkutan.

- Selanjutnya pada tahun 1883, Hooge Raad menerapkan ajaran yang

sebelumnya dipertahankan oleh Opzoomer, yaitu bahwa pasal 1366

KUHPerdata yang merupakan pelengkap pasal 1365 KUHPerdata, adalah

ketentuan lanjutan daripada istilah “daad” (perbuatan), yang digunakan

dalam pasal 1365 KUHPerdata, sehingga untuk kedua pasal tersebut harus

dipenuhi syarat sifat melawan hukum (onrechtmatig heid). Pengertian

“onrechtmatig” diperluas, yaitu bahwa tidak hanya pelanggaran suatu

kewajiban menurut undang-undang (wettelijke plicht) saja, melainkan juga

dalam hal terjadi pelanggaran atas suatu hak (subjektief recht) dapat

diterapkan pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata.

- Sesudah tahun 1919, penafsiran perbuatan melawan hukum dapat dilihat

melalui Putusan Hooge Raad pada kasus Lindebaum Vs. Cohen tanggal 21

Januari 1919, di mana putusan ini menjadi putusan yang terpenting dalam

bidang hukum perdata. Sengketa berawal dari perbuatan pengusaha

percetakan bernama Cohen yang membujuk karyawan percetakan

Lindebaum untuk membocorkan daftar nama pelanggan dan daftar harga

55 Bryan A. Garner, Black‟s Law Dictionary, Edisi Ketujuh, Minnesota : West Group,

1999, hlm.1496.

56 M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta:

Pradnya Paramita, 1982, hlm.28-30.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 41: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

31

Universitas Indonesia

pada perusahaan milik Lindenbaum. Cohen menggunakan daftar tersebut

untuk kemajuan usahanya sendiri. Akibatnya usaha Lindebaum mengalami

kerugian, karena para langganannya berpindah ke perusahaan Cohen.

Lindenbaum kemudian menuntut Cohen di pengadilan untuk membayar

ganti rugi. Namun Cohen membantah gugatan itu dengan alasan bahwa dia

tidak melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak ada undang-

undang melarang berbuat demikian.

Pengadilan tingkat pertama (rechtbank) memenangkan gugatan

Lindenbaum, akan tetapi di tingkat banding dia dikalahkan oleh

Pengadilan Tinggi (Hof). Hingga akhirnya di tingkat kasasi Lindenbaum

dimenangkan Hoge Raad. Dalam pertimbangan hukumnya, Hooge Raad

menyatakan Pengadilan Tinggi telah menafsirkan pengertian perbuatan

melawan hukum dalam arti yang sempit, di mana Pengadilan Tinggi (Hof)

hanya mengartikan perbuatan melawan hukum sekedar melawan undang-

undang.

Menurut Hooge Raad, pengertian perbuatan melawan hukum

(onrechtmatigedaad) harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat

sesuatu, yang perbuatan tersebut merugikan hak orang lain, atau

bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan baik

dengan kesusilaan maupun dengan keharusan yang harus diindahkan

dalam pergaulan hidup. Oleh karenanya barang siapa karena salahnya

mendatangkan kerugian pada orang lain, maka ia berkewajiban membayar

ganti kerugian.

Pengertian perbuatan melawan hukum di Indonesia diterjemahkan dari

istilah Belanda yaitu “Onrechtmatige daad”. Menurut M.A. Moegni Djojodirdjo,

dalam istilah “melawan” melekat sifat aktif dan pasif, sifat aktif dapat dilihat

apabila dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian

pada orang lain, jadi sengaja melakukan gerakan sehingga nampak dengan jelas

sifat aktifnya dari istilah “melawan” tersebut. Sebaliknya apabila ia dengan

sengaja diam saja atau dengan lain perkataan apabila ia dengan sikap pasif saja

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 42: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

32

Universitas Indonesia

sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain, maka ia telah “melawan” tanpa

harus menggerakkan badannya.57

Pasal 1365 KUHPerdata melahirkan pengertian yang luas dari perbuatan

melanggar hukum, yaitu tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi juga

norma-norma yang hidup dalam masyarakat.58

Rosa Agustina menjabarkan

perbuatan melawan hukum sebagai berikut :

Perbuatan melawan hukum diartikan sebagai suatu perbuatan atau

kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan

dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan

kesusilaan baik, maupun dengan keharusan yang harus diindahkan dalam

pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda. Perbuatan Melawan

Hukum sebagai suatu konsep tidak hanya perbuatan yang bertentangan

dengan undang-undang saja, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang

melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum,

bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana

patutnya dalam lalu lintas masyarakat.59

Sedangkan menurut Wirjono Projodikoro, perbuatan melawan hukum

diartikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Perbuatan tersebut mengakibatkan

kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat. Istilah

“onrechtmatigedaad” ditafsirkan secara luas meliputi juga suatu hubungan yang

bertentangan dengan kesusilaan atau dengan yang dianggap pantas dalam

pergaulan hidup masyarakat.

2.2. Unsur-unsur Dalam Perbuatan Melawan Hukum

Terdapat kriteria-kriteria perbuatan melawan hukum yang meliputi empat

hal sebagai berikut, yaitu:

a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

b. Melanggar hak subyektif orang atau badan hukum lain;

57 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kesatu, Depok:Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm.36.

58 Ibid, hlm.xiii.

59 Ibid, hlm.21.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 43: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

33

Universitas Indonesia

c. Melanggar kaidah kesusilaan;dan

d. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta kehati-hatian.60

Dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, dapat ditarik kesimpulan

bahwa perbuatan melawan hukum harus mempunyai unsur-unsur kumulatif

sebagai berikut:61

a. Adanya suatu perbuatan;

b. Perbuatan tersebut melawan hukum;

c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku;

d. Adanya kerugian bagi korban; dan

e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

Berikut adalah penjelasan masing-masing dari kelima unsur perbuatan

melawan hukum di atas :

2.2.1. Adanya Suatu Perbuatan

Suatu perbuatan melawan hukum diawali dengan adanya perbuatan

oleh si pelaku. Perbuatan diartikan berbuat sesuatu dalam arti kata aktif

maupun tidak berbuat sesuatu dalam arti kata pasif. Misalnya tidak berbuat

sesuatu dalam arti kata pasif adalah seharusnya seseorang berbuat sesuatu

sebagaimana yang diharuskan oleh undang-undang, namun orang tersebut

tidak melaksanakannya.62

2.2.2. Perbuatan Yang Melawan Hukum

Perbuatan yang dilakukan oleh di pelaku haruslah perbuatan yang

melawan undang-undang. Meskipun demikian, sejak tahun 1919 yaitu

60 H.A.Mukhsin Asyrof, Loc.Cit.

61 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Op.Cit. hlm.10.

62 Ibid. hlm.10-11.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 44: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

34

Universitas Indonesia

sebgaimana dalam Putusan Hooge Raad pada kasus Lindebaum Vs. Cohen

tanggal 21 Januari 1919, unsur melawan hukum menjadi lebih luas yaitu

meliputi perbuatan yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum,

atau perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau

perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden), atau perbuatan

yang bertentangan dengan sikap baik dalam bermasyarakat.63

2.2.3. Adanya Kesalahan Dari Pihak Pelaku

Undang-undang dan yurisprudensi menyaratkan dapat dikenakannya

Pasal 1365 KUHPerdata adalah terdapatnya unsur kesalahan (schuld) pada

pelaku dalam melaksakanan perbuatannya. Suatu tindakan dianggap oleh

hukum mengandung unsur kesalahan jika ada unsur kesengajaan, atau ada

unsur kelalaian, atau tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf.64

Syarat unsur kesalahan disamping unsur melawan hukum dalam suatu

perbuatan melawan hukum berkembang menjadi 3 aliran sebagai berikut :

a. Aliran yang menyatakan cukup unsur melawan hukum saja;

Unsur “melawan hukum” dalam aliran ini adalah melawan hukum yang

memiliki arti yang luas, sehingga unsur “kesalahan” sudah termasuk

didalamnya. Oleh karenanya tidak diperlukan lagi unsur “kesalahan”

terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Aliran ini dianut oleh Van

Oven di Belanda.65

b. Aliran yang menyatakan cukup unsur kesalahan saja;

Dalam aliran ini, unsur “kesalahan” sudah mencakup unsur “melawan

hukum”, sehingga tidak diperlukan lagi unsur “melawan hukum”

63 Ibid. hlm.11.

64 Ibid. hlm.11-12.

65 Ibid. hlm.12.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 45: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

35

Universitas Indonesia

terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Aliran ini dianut oleh Van

Goudever di Belanda.66

c. Aliran unsur melawan hukum dan kesalahan.

Perbuatan melawan hukum dalam aliran ini harus menyaratkan unsur

“melawan hukum” dan unsur “kesalahan” sekaligus, karena dalam

unsur “melawan hukum” saja belum tentu mencakup unsur kesalahan.

Kesalahan yang disyaratkan oleh hukum dalam perbuatan melawan

hukum meliputi kesalahan dalam arti “kesalahan hukum’ maupun

“kesalahan sosial”. Kesalahan dipandang sebagai kegagalan seseorang

untuk hidup dengan sikap ideal dalam pergaulan masyarakat. Di

Belanda aliran ini dianut oleh Meyers.67

2.2.4. Adanya Kerugian Bagi Korban

Adanya kerugian (schade) bagi korban menjadi syarat diajukannya

gugatan dengan Pasal 1365 KUHPerdata. Kerugian dalam perbuatan melawan

hukum meliputi kerugian materiil, yaitu kerugian yang nyata-nyata diderita

dan keuntungan yang seharusnya diperoleh, dan kerugian immateriil, yang

dinilai dengan uang. Kerugian yang bersifat immaterial meliputi ketakutan,

sakit dan kehilangan kesenangan hidup.68

2.2.5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian

Hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian adalah syarat suatu

perbuatan untuk dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Dalam

hubungan sebab akibat terdapat 2 teori yaitu teori hubungan faktual dan

hubungan penyebab kira-kira.69

66 Ibid.

67 Ibid. hlm.13.

68 Ibid.

69 Ibid.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 46: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

36

Universitas Indonesia

Dalam teori hubungan sebab akibat secara faktual atau causation in

fact adalah masalah fakta atau yang faktual terjadi. Setiap penyebab yang

mengakibatkan kerugian dapat merupakan penyebab yang faktual, selama

kerugian tersebut tidak akan pernah terjadi tanpa penyebabnya. Sebab akibat

jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai sine qua non atau but for.

Yang mendukung ajaran ini adalah ahli hukum kontinental Von Buri.70

Teori hubungan penyebab kira-kira atau proximate cause diciptakan

agar lebih praktis dan tercapai elemen kepastian hukum. Proximate cause

terdapat banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan

melawan hokum. Kadang-kadang untuk penyebab jenis ini disebut dengan

istilah legal cause.71

2.3. Ganti Rugi Akibat Perbuatan Melawan Hukum

Ganti rugi dalam hukum dikenal terbagi menjadi 2 bidang hukum, yaitu

konsep ganti rugi karena wanprestasi kontrak dan konsep ganti rugi karena

perikatan berdasarkan undang-undang, termasuk ganti rugi karena perbuatan

melawan hukum. Bentuk dari ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum

adalah sebagai berikut :72

a. Ganti rugi nominal, yaitu ganti rugi sejumlah nominal uang sesuai rasa

keadilan yang diberikan kepada korban tanpa menghitung berapa

sebenarnya kerugian yang diderita, sebagai akibat ganti rugi terhadap

perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan tetapi

tidak menimbulkan kerugian yang nyata bagi korban.

b. Ganti rugi kompensasi, atau ganti rugi aktual, yaitu ganti rugi pembayaran

kepada korban atas kerugian yang benar-benar dialami dari suatu

70 Ibid. hlm.13-14.

71 Ibid. hlm.14.

72 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Op.Cit.

hlm.134-135.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 47: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

37

Universitas Indonesia

perbuatan melawan hukum. Misalnya ganti rugi atas semua biaya yang

dikeluarkan korban, kehilangan keuntungan, sakit dan penderitaan.

c. Ganti rugi penghukuman, yaitu ganti rugi dalam jumlah besar yang

melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya, sebagai maksud

penghukuman bagi pelaku.

Dalam KUHPerdata, kewajiban ganti rugi dari adanya perbuatan melawan

hukum dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1365, 1366 dan 1367. Ketiganya

jelas menentukan bahwa konsekuensi akibat perbuatan melawan hukum

diwujudkan dalam bentuk ganti rugi yang diberikan kepada orang yang dirugikan.

Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal-pasal tersebut yang menyatakan

sebagai berikut :

Pasal 1365

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut.

Pasal 1366

Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan

karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena

kelalaian atau kurang hati-hatinya.

Pasal 1367

Seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan

karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan

karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau

disebabkan oleh orang-orang yang berada dibawah pengawasannya.

Orangtua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh

anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap

siapa mereka melakukan kekuasaan orangtua atau wali. Majikan dan orang

yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka,

bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau

bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada

orang-orang itu.

Guru sekolah atau kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang

disebabkan oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu

orang-orang itu berada di bawah pengawasannya.

Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orangtua, guru

sekolah atau kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka masing-

masing tidak dapat mencegah perbuatan itu atas mana meneka seharusnya

bertanggung jawab.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 48: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

38

Universitas Indonesia

Akibat dari suatu perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian

bagi korban. Kerugian tersebut harus diganti oleh orang yang dibebankan oleh

hukum untuk mengganti kerugian. Kerugian dalam beberapa bahasa dikenal

dengan istilah damages (Bahasa Inggris), nadeel (Bahasa Belanda), schaden

(Bahasa Jerman), dommage (Bahasa Perancis), dan dano (Bahasa Spanyol).73

Pasal 1365 KUHPerdata di atas menentukan kewajiban pelaku perbuatan

melawan hukum untuk membayar ganti rugi namun tidak mengatur lebih lanjut

mengenai ganti kerugian. Meskipun demikian, Pasal 1371 ayat (2) KUHPerdata

memberikan sedikit pedoman untuk menentukan besarnya ganti rugi dengan

menyatakan “Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan

kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan”. Selanjutnya, pedoman

berikutnya dapat dilihat pada Pasal 1372 ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan

“Dalam menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya

penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak,

dan pada keadaan”.74

KUHPerdata mengatur kerugian dan ganti rugi menjadi 2 yaitu ganti rugi

umum dan ganti rugi khusus. Ganti rugi umum adalah ganti rugi yang berlaku

untuk semua kasus, baik untuk kasus wanprestasi kontrak, maupun kasus-kasus

yang berhubungan dengan perikatan lainnya, termasuk karena perbuatan melawan

hukum.75

Ganti rugi khusus adalah ganti rugi terhadap kerugian yang timbul dari

perikatan-perikatan tertentu.76

Penggantian kerugian karena perbuatan melawan hukum tidak diatur

secara terperinci dalam undang-undang. Sehingga aturan yang dipakai untuk ganti

73 Ibid. hlm.133.

74 Rosa Agustina, Op.Cit, hlm.51.

75 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Op.Cit.

hlm.136.

76 Ibid. hlm.137.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 49: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

39

Universitas Indonesia

kerugian adalah dengan secara analogis mempergunakan peraturan ganti kerugian

akibat wanprestasi yang diatur Pasal 1243-1252 KUHPerdata.77

Untuk ganti rugi umum, Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252

KUHPerdata secara konsisten menggunakan istilah-istilah sebagai berikut :78

a. Biaya

Yang dimaksud dengan biaya adalah setiap cost atau uang, atau apa pun

yang dapat dinilai dengan uang yang telah dikeluarkan oleh pihak yang

dirugikan, sebagai akibat dari wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat

dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena

adanya perbuatan melawan hukum. Misalnya, biaya perjalanan, konsumsi,

biaya akta notaris, dan lain-lain.

b. Rugi, dan

Yang dimaksud dengan “rugi” atau “kerugian (dalam arti sempit) adalah

keadaan berkurang (merosotnya) nilai kekayaan korban sebagai akibat dari

adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak

dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya

perbuatan melawan hukum.

c. Bunga

Yang dimaksud dengan “bunga” adalah suatu penerimaan keuntungan

yang seharusnya diperoleh oleh korban, tetapi tidak jadi diperoleh karena

adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak

dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya

perbuatan melawan hukum. Sehingga dalam hal ini, pengertian bunga

lebih luas dari pengertian “bunga uang” (interest), yang hanya ditentukan

dengan presentase dari hutang pokok.

77 Rosa Agustina, Op.Cit, hlm.61.

78 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Op.Cit.

hlm.136-137.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 50: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

40

Universitas Indonesia

Dalam ganti rugi khusus terhadap kerugian yang timbul dari perikatan-

perikatan tertentu, KUHPerdata menyebutkan pemberian ganti rugi terhadap hal-

hal sebagai berikut :79

a. Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365);

b. Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1367);

c. Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368);

d. Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369);

e. Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh

(Pasal 1370);

f. Ganti rugi karena telah luka atau cacat anggota badan (Pasal 1371);

g. Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372).

Ganti rugi materiil atau kekayaan berupa penggantian kerugian yang

diderita oleh korban dan juga berupa keuntungan yang sekiranya dapat diterima

oleh korban. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1246 KUHPerdata, di

mana kerugian yang disebabkan karena tidak dipenuhinya perikatan pada

umumnya harus diganti dengan kerugian yang dialami oleh penderita dan juga

dengan keuntungan yang diharapkan.

Ganti rugi immateriil atau non kekayaan juga diperbolehkan dalam suatu

gugatan perbuatan melawan hukum. Hal ini dikarenakan bahwa perbuatan

melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian kekayaan saja bagi korban,

tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan

kehilangan kesenangan hidup.

KUHPerdata menentukan ganti rugi karena akibat perbuatan melawan

hukum tidak jauh berbeda dengan ganti rugi karena wanprestasi terhadap kontrak.

Syarat-syarat ganti rugi perbuatan melawan hukum antara lain adalah sebagai

berikut :80

79 Ibid. hlm.137.

80 Ibid. hlm.138-139.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 51: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

41

Universitas Indonesia

a. Komponen kerugian;

b. Komponen kerugian dalam hal ini terdiri dari biaya, rugi dan bunga.

c. Starting point dari ganti rugi;

d. Starting point adalah saat dimulainya penghitungan ganti rugi, yaitu sejak

terjadinya perbuatan melawan hukum.

e. Bukan karena alasan force majeure;

f. Ganti rugi dapat diberikan kepada korban jika kejadian yang menimbulkan

kerugian adalah bukan tindakan force majeure.

g. Saat terjadinya kerugian;

h. Ganti rugi dapat diberikan terhadap kerugian yang telah benar-benar

diderita dan terhadap kerugian karena kehilangan keuntungan atau

pendapatan yang seharusnya dapat dinikmati oleh korban.

i. Kerugiannya dapat diduga.

Kerugian ini harus berupa kerugian yang diharapkan akan terjadi, atau

patut diduga akan terjadi, di mana dugaan tersebut sudah ada sejak

perbuatan melawan hukum dilakukan.

2.4. Sengketa Perbuatan Melawan Hukum

Dalam hal orang yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak

memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita oleh korban, maka

timbulah suatu sengketa. Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan

antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu

kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi

keduanya.81

Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang

merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan

apabila terjadi conflict of interest atau konflik kepentingan. Pihak yang merasa

dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua, dan apabila

81 Yuarta, Definisi Sengketa, 2011. 13 November 2012

<http://yuarta.blogspot.com/2011/03/definisi-sengketa.html>.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 52: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

42

Universitas Indonesia

pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, maka selesailah

konflik tersebut. Namun sebaliknya, jika reaksi pihak kedua menunjukkan

perbedaan pendapat atau memiliki nilai – nilai yang berbeda, maka akan terjadilah

apa yang dinamakan sengketa di antara para pihak.82

Sengketa dapat timbul karena perbedaan penafsiran baik mengenai

bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian maupun tentang apa isi

dari ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian, ataupun disebabkan perbuatan

melawan hukum.

Masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dapat ditempuh melalui cara–

cara formal maupun informal. Penyelesaian sengketa secara formal berkembang

menjadi proses yang terdiri atas proses melalui pengadilan dan arbitrase serta

proses penyelesaian–penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada

kesepakatan pihak–pihak yang bersengketa melalui konsultasi, negosiasi, mediasi

dan konsiliasi.

Sengketa perbuatan melawan hukum timbul dapat di antara pihak yang

mengalami kerugian sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh pihak lainnya. Terhadap sengketa ini, korban yang tidak menerima

perbuatan melawan hukum pelaku tersebut dapat mengajukan gugatan perbuatan

melawan hukum di pengadilan negeri atau pada lembaga arbitrase sebagai

penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan.

Korban dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum harus

menjelaskan dalam gugatannya bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum

yang dilakukan oleh orang lain, yang telah menimbulkan kerugian padanya.

Dalam gugatannya, korban dapat mengajukan ganti rugi guna mengembalikan

keadaan si korban seperti semula sebelum perbuatan melawan hukum dilakukan

terhadapnya.

82 Elsi Kartika Sari & Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta :

Grasindo, 2005, hlm.154.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 53: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

43

Universitas Indonesia

Gugatan pengganti kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat

berupa :83

a. Uang dan dapat dengan uang pemaksa;

b. Pemulihan pada keadaan semula (dapat dengan uang pemaksa);

c. Larangan untuk mengulangi perbuatan itu lagi (dengan uang pemaksa);

d. Dapat minta putusan hakim bahwa perbuatannya adalah bersifat melawan

hukum.

Meskipun dalam KUHPerdata tidak diatur mengenai bagaimana cara

menentukan jumlah ganti rugi dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum,

korban dalam gugatannya dapat membuktikan di persidangan berapa besar

kerugian yang dialaminya sebagai akibat perbuatan dari pelaku. Ada beberapa

yurisprudensi Mahkamah Agung yang dapat dijadikan pedoman, bagaimana

korban harus merinci dan membuktikan kerugian yang dialaminya.

Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang mensyaratkan untuk

merinci suatu tuntutan ganti rugi dalam gugatan, antara lain:

a. Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 16 Desember 1970, No.

492.K/SIP/1070 yang menyatakan sebagai berikut :

”Ganti kerugian sejumlah uang tuntutan tanpa perincian kerugian-kerugian

dalam bentuk apa yang menjadi dasar tuntutan itu harus dinyatakan tidak

dapat diterima, karena tuntutan-tuntutan tersebut adalah tidak jelas atau

tidak sempurna”.

b. Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 28 Mei 1984, No. 558.K/SIP/1983

yang menyatakan:

“Tuntutan PENGGUGAT mengenai ganti rugi, karena tidak disertai

dengan bukti, harus ditolak”.

c. Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 18 September 1975 No.

459.K/SIP/1973 yang menyatakan:

83 Rosa Agustina, Op.Cit., hlm.62.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 54: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

44

Universitas Indonesia

“Penuntutan ganti kerugian baru dapat dikabulkan apabila si penuntut

dapat membuktikan secara terinci adanya kerugian dan besarnya kerugian

tersebut”.

d. Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 550.K/SIP/1979 yang menyatakan:

“Petitum tentang ganti rugi harus dinyatakan tidak dapat diterima karena

tidak diadakan perincian mengenai kerugian-kerugian yang dituntut”.

Gugatan ganti rugi dapat diajukan meliputi tuntutan ganti rugi materiil

(kerugian dan keuntungan yang diharapkan) maupun ganti rugi immateriil.

Meskipun demikian, pada akhirnya hakim yang akan memiliki kekuasaan untuk

menetapkan besaran kerugian berdasarkan alat bukti dan atau fakta hukum yang

terungkap di muka persidangan dengan memperhatikan masalah-masalah

subyektif yang ada pada korban.

Hal ini dapat dilihat dalam putusan Hoge Raad tanggal 21 Maret 1943

dalam perkara W.P Kreuningen v. Van Bessum cs., yang mempertimbangkan

antara lain sebagai berikut: 84

“Dalam menilai kerugian yang dimaksudkan oleh Pasal 1371 KUHPerdata

harus juga dipertimbangkan kerugian yang bersifat idiil, sehingga hakim

adalah bebas untuk menentukan penggantian untuk kesedihan (smart) dan

kesenangan hidup, yang sesungguhnya dapat diharapkan dinikmatinya

(gederfdelevensvreugde)”

84 Ibid, hlm.55.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 55: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

45

Universitas Indonesia

BAB 3

KEWENANGAN ARBITRASE DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS

SENGKETA PERBUATAN MELAWAN HUKUM

3.1. Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia

Sebelum UU Arbitrase dan APS diberlakukan, peraturan yang digunakan

sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan

Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad

1847:-52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene

Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara

Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,

Staatsblad 1927:227).85

Kemudian pada tahun 1970, dasar pemeriksaan arbitrase kembali

mendapat pengaturan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada penjelasan Pasal 3 ayat

(1) disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar

perdamaian atau melalui arbitrase diperbolehkan, namun putusan arbiter hanya

mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk

dieksekusi (executoir) dari pengadilan.86

Dengan persetujuan DPR, Presiden Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf

Habibie mengesahkan UU Arbitrase dan APS pada tanggal 12 Agustus 1999

85 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana diundangkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872, selanjutnya disebut Penjelasan UU Arbitrase

dan APS.

86 Ibid.

Lihat juga penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diundangkan dalam Tambahan

Lembaran Negara Nomor 2951 menyebutkan :

Pasal ini mengandung arti, bahwa di samping peradilan Negara, tidak diperkenankan lagi

adanya peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara.

Penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit

(arbitrage) tetap diperbolehkan.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 56: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

46

Universitas Indonesia

sebagai dasar pengaturan arbitrase di Indonesia. Sejak saat itu, peraturan-

peraturan di atas menjadi tidak berlaku lagi bagi dasar pemeriksaan arbitrase.

Sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 UU Arbitrase dan APS, Undang-

undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak

dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase

yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang

timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan

diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.

UU Arbitrase dan APS adalah dasar keberadaan arbitrase sebagai lembaga

penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum Indonesia.

Dalam Penjelasan Umum UU Arbitrase dan APS, dijelaskan terdapat

beberapa keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan

melalui proses peradilan, yaitu :

a. kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;

b. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif

dapat dihindari;

c. para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar

belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur

dan adil;

d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian

masalahnya;

e. para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase;

f. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui

prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.

Arbitrase dalam UU Arbitrase dan APS didefinisikan sebagai cara

penyelesaian sengketa dagang di luar pengadilan. Arbitrase dipilih berdasarkan

perjanjian arbitrase tertulis yang dibuat oleh para pihak yang berselisih. Pasal 1

ayat 1 UU Arbitrase dan APS menentukan bahwa arbitrase adalah cara

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 57: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

47

Universitas Indonesia

penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Dari pengertian Pasal 1 ayat 1 UU Arbitrase dan APS tersebut jelas bahwa

yang menjadi dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak sendiri,

yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan

dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah

diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang–undang.

Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat 8 UU Arbitrase dan APS, disebutkan

bahwa Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang

bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, di mana

lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu

hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Arbitrase dan APS, yang dapat

diselesaikan melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah

sengketa atau perbedaan pendapat yang timbul atau mungkin timbul antar para

pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah diperjanjikan sebelumnya

bahwa penyelesaiannya akan ditentukan dengan cara arbitrase atau Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

Yurisdiksi arbitrase muncul ketika ada klausul mengenai pilihan yurisdiksi

atau pilihan forum di dalam perjanjian, yang menyebutkan bahwa arbitrase

merupakan badan penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak untuk

menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka. Klausul tersebut disebut

sebagai klausul arbitrase.

Pasal 1 ayat 3 UU Arbitrase dan APS mengartikan perjanjian arbitrase

adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu

perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu

perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Dari

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 58: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

48

Universitas Indonesia

rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena

adanya kesepakatan berupa :

a. klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang

dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau

b. suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah

timbul sengketa.

Kesepakatan mengenai arbitrase sebagai lembaga yang dipilih oleh para

pihak untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka harus dibuat secara tertulis.

Klausul atau perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis dalam suatu dokumen

yang ditandatangani oleh para pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat

(1) UU Arbitrase dan APS.87

Dalam hal perjanjian arbitrase dibuat oleh para pihak di mana kesepakatan

mengenai arbitrase dibuat setelah sengketa terjadi, Pasal 9 UU Arbitrase dan APS

mengatur ketentuan-ketentuannya. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa tidak

hanya tertulis dan ditandatangani para pihak, perjanjian arbitrase memiliki syarat-

syarat materiil yang harus dipenuhi. Jika syarat-syarat materiil yang ditentukan

tersebut tidak dipenuhi, akan berakibat perjanjian yang dibuat oleh para pihak

menjadi batal. Hal tersebut sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 9 UU

Arbitrase dan APS sebagai berikut :

(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase

setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat

dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.

(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus

dibuat dalam bentuk akta notaris.

(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :

a. masalah yang dipersengketakan;

87 Pasal 4 ayat 2 UU Arbitrase dan APS menyatakan : Persetujuan untuk menyelesaikan

sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen

yang ditandatangani oleh para pihak.

Lihat Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan :

Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan

diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter

berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika

hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 59: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

49

Universitas Indonesia

b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;

d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;

e. nama lengkap sekretaris;

f. jangka waktu penyelesaian sengketa;

g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan

h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk

menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesalan

sengketa melalui arbitrase.

(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam

ayat (3) batal demi hukum.

Dengan adanya klausul arbitrase di dalam perjanjian atau kontrak yang

dibuat oleh para pihak yang bersengketa, arbitrase akan memiliki kompetensi

absolut. Arbitrase menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang memeriksa dan

mengadili sengketa yang timbul dari perjanjian atau kontrak dengan klausul

arbitrase atau sengketa yang dibuatkan perjanjian arbitrase setelahnya.

Kewenangan absolut arbitrase yang timbul dari adanya suatu klausul atau

perjanjian arbitrase dipertegas dengan yang dinyatakan selanjutnya dalam Pasal 3

UU Arbitrase dan APS, yaitu bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk

mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Selanjutnya yurisdiksi tersebut dikuatkan dalam Pasal 11 ayat 1 UU Arbitrase dan

APS yang menentukan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis

meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda

pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.88

Dalam ayat 2

disebutkan bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur

tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui

arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam UU Arbitrase dan

APS.89

88 Pasal 11 ayat (1) UU Arbitrase dan APS : Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis

meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang

termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.

89 Pasal 11 ayat (2) UU Arbitrase dan APS : Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak

akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase,

kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 60: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

50

Universitas Indonesia

Obyek sengketa yang menjadi kewenangan arbitrase ditentukan dalam

Pasal 5 UU Arbitrase dan APS. Di dalam pasal ini disebutkan sebagai berikut :

(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di

bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan

peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

bersengketa.

(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa

yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan

perdamaian.

Sesuai dengan ketentuan pasal 5 UU Arbitrase dan APS di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa sengketa yang menjadi obyek pemeriksaan arbitrase

adalah sengketa di bidang perdagangan dan sengketa mengenai hak yang menurut

hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

bersengketa.

Dalam UU Arbitrase dan APS ini tidak diberikan penjelasan mengenai apa

yang termasuk dalam bidang perdagangan tersebut. Namun jika menghubungkan

dengan Penjelasan pasal 66, maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan

ruang lingkup perdagangan tersebut adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang

perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan

intelektual.

Ketentuan sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa tidak

dijelaskan secara lanjut di dalam penjelasan UU Arbitrase dan APS. Menurut

kamus besar bahasa Indonesia, hak adalah “milik, kepunyaan, kewenangan,

kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang

atau aturan), dan wewenang menurut hukum”.90

Jika melihat dari pengertian hak

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hak yang menurut hukum dan

peraturan perundang-undangan tidak dikuasai sepenuhnya oleh seseorang karena

90 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2008.

28 December 2012

<http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?keyword=hak&varbidang=all&vardialek=all&varragam=

all&varkelas=all&submit=kamus>.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 61: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

51

Universitas Indonesia

hak adalah sesuatu yang melekat pada diri seseorang dan dimiliki oleh orang

tersebut. Sehingga sepanjang sengketa yang dimohonkan pada arbitrase adalah

sengketa hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa, maka sengketa tersebut dapat

menjadi obyek pemeriksaan arbitrase.

Selanjutnya Pasal 5 ayat 2 UU Arbitrase dan APS menentukan bahwa

sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang

menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Menurut sistem hukum perdata Indonesia, semua hubungan hukum dapat

diadakan perdamaian. Sehingga dapat dilihat bahwa yang menjadi obyek dari

arbitrase adalah sengketa keperdataan secara luas, meliputi bidang perdagangan,

mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta sengketa yang menurut peraturan

perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.

Sepanjang terdapat klausula arbitrase dalam kontrak di antara para pihak,

maka penyelesaian sengketa perdagangan dan hak dapat diserahkan kepada

arbitrase. Sehingga tidak terdapat batas mengenai sengketa perdata jenis apa yang

dapat diperiksa dan diputus melalui arbitrase kecuali dibatasi atau diatur sendiri

oleh undang-undang.

Seluruh sengketa perdata masuk sebagai obyek kewenangan arbitrase.

sengketa perdagangan masuk dalam ruang lingkup keperdataan. Sengketa

mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa juga merupakan sengketa perdata. Dan

selanjutnya, seluruh sengketa perdata menurut peraturan perundang-undangan

dapat diadakan perdamaian.

Mengenai prosedur pelaksanaan arbitrase, UU Arbitrase dan APS

mengatur tentang cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase pada Bab IV

tentang Acara yang Berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase. Pada bab ini terdapat

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 62: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

52

Universitas Indonesia

dua bagian yaitu Bagian Pertama yang mengatur tentang Acara Arbitrase dan

Bagian Kedua yang mengatur tentang Saksi dan Saksi Ahli. Bagian Pertama

terdiri dari 22 (dua puluh dua) pasal yaitu Pasal 27 sampai dengan Pasal 48 yang

secara keseluruhan mengatur tentang Acara Arbitrase sedangkan Bagian Kedua

terdiri dari tiga pasal yang mengatur tentang Saksi dan Saksi Ahli yaitu pada Pasal

49, Pasal 50 dan Pasal 51.

Pada Pasal 27 UU Arbitrase dan APS disebutkan bahwa ”Semua

pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara

tertutup”. Pasal ini memberikan perlindungan kepada para pihak yang berusaha

menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase dari teraksesnya segala hal yang

berkaitan dengan sengketa ke pihak luar yang tidak mempunyai kepentingan atau

keterkaitan di dalamnya. Hal ini menjadi keuntungan yang tidak bisa didapatkan

jika menyelesaikan sengketa melalui pengadilan karena adanya asas persidangan

yang terbuka pada hukum acara perdata yang dimaksudkan agar ada kontrol sosial

dari masyarakat atas jalannya sidang peradilan sehingga diperoleh keputusan

hakim yang obyektif, tidak berat sebelah dan tidak memihak. Hal tersebut diatur

dalam Pasal 17 dan 18 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah oleh Undang-

Undang No.35 Tahun 1999.91

Sebelum dimulai proses arbitrase, para pihak dan arbiter atau majelis

arbitrase harus menetapkan bahasa yang digunakan dalam pelaksanaan proses

arbitrase. Pasal 28 UU Arbitrase dan APS menentukan bahwa bahasa yang

91 Pasal 17 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No.35 Tahun 1999 menyatakan

bahwa :

(1)Sidang pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain.

(2)Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) mengakibatkan batalnya putusan menurut

hukum.

(3)Rapat permusyawaratan Hakim, bersifat rahasia.

Pasal 18 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No.35 Tahun 1999 menyatakan

bahwa :

Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan

dalam sidang terbuka untuk umum.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 63: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

53

Universitas Indonesia

digunakan dalam semua proses arbitrase adalah Bahasa Indonesia. Namun pasal

ini juga memberikan perkecualian untuk penggunaan bahasa yang lain apabila

para pihak dan arbiter menyetujuinya. Begitu pula dengan tempat pelaksanaan

acara arbitrase. Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase,

kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak.

Para pihak harus menentukan secara tegas, tertulis dan bebas mengenai

acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan dengan syarat tidak boleh

bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU Arbitrase dan APS. Hal ini

diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Arbitrase dan APS. Jika para pihak dan arbiter

tidak menentukan sendiri acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan,

maka sengketa tersebut akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan dalam UU

Arbitrase dan APS.

Putusan arbitrase diberikan oleh arbiter setelah selesainya proses

pemeriksaan sengketa. Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup. Pasal 54 UU Arbitrase dan AOS

menentukan bahwa putusan harus memuat hal-hal sebagai beriktu :

a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. nama lengkap dan alamat para pihak;

c. uraian singkat sengketa;

d. pendirian para pihak;

e. nama lengkap dan alamat arbiter;

f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai

keseluruhan sengketa;

g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam

majelis arbitrase;

h. amar putusan;

i. tempat dan tanggal putusan; dan

j. tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.

Meskipun tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase wajib, namun tidak

ditandatanganinya putusan arbitrase oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit

atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan. Akan

tetapi alasan tentang tidak adanya tanda tersebut harus dicantumkan dalam

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 64: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

54

Universitas Indonesia

putusan. Kemudian, dalam putusan harus ditetapkan suatu jangka waktu putusan

tersebut harus dilaksanakan.

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 sampai

dengan Pasal 64 UU Arbitrase dan APS. Pada dasarnya para pihak harus

melaksanakan putusan secara sukarela. Apabila ada pihak yang tidak bersedia

melaksanakan Putusan Arbitrase secara sukarela, maka putusan arbitrase akan

dilaksanakan berdasarkan perintah eksekusi Ketua Pengadilan Negeri setempat

atas permohonan salah satu pihak yang berkepentingan.

Menurut Pasal 61 UU Arbitrase dan APS, agar putusan arbitrase dapat

dipaksakan pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan

oleh salah satu pihak pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan

dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh

arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh)

hari setelah putusan arbitase diucapkan.

Setelah didaftarkan kepada kepaniteraan pengadilan negeri, putusan

arbitrase akan dimohonkan pelaksanan eksekusinya kepada Ketua Pengadilan

Negeri. Pasal 64 UU Arbitrase dan APS menyatakan bahwa putusan arbitrase

yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai

ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Di dalam penjelasan UU Arbitrase dan APS, tidak disebutkan pendaftaran

putusan arbitrase dilakukan di kepaniteraan pengadilan mana. Namun Yahya

Harahap dalam bukunya berjudul Arbitrase menjelaskan sebagai berikut :92

Pengadilan negeri yang berwenang untuk mengeksekusi adalah

berpedoman pada ketentuan kewenangan relatif. Patokan untuk

menentukan kewenangan relatif didasarkan pada tempat putusan diambil.

Pengadilan yang berwenang untuk mengeksekusinya ialah Pengadilan

yang daerah hukumnya meliputi tempat di mana putusan diambil. Patokan

92 Yahya Harahap, Arbitrase. Jakarta: Pustaka Kartini, 1991, hlm.392.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 65: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

55

Universitas Indonesia

penentuan kewenangan relatif ini dalam hal ini, sama dengan penggarisan

yang berlaku terhadap eksekusi putusan Pengadilan.

Namun ketentuan ini tidak mengurangi kemungkinan untuk

mendelegasikan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri yang

lain. Misalnya putusan arbitrase diambil di Bandung, karena para pihak

atau mahkamah arbitrase yang ditunjuk menetapkan kota Bandung sebagai

tempat kedudukan arbitrase (place of arbitration). Dari segi tempat

pengambilan putusan, pelaksanaan eksekusi jatuh menjadi kewenangan

relatip Pengadilan Negeri Bandung. Akan tetapi ternyata semua atau

sebagian barang yang akan dieksekusi, terletak di daerah hukum

Pengadilan Negeri Semarang. Dalam kasus ini, yang menjalankan

eksekusi ialah Pengadilan Negeri Semarang berdasar pendelegasian dari

Pengadilan Negeri Bandung.

Selanjutnya menurut Yahya Harahap, pelaksanaan eksekusi putusan

arbitrase dilakukan oleh Pengadilan Negeri dimaksudkan bahwa pada hakekatnya

badan atau mahkamah arbitrase adalah badan swasta dan bukan badan kekuasaan

resmi. Selain itu, arbitrase tidak memiliki perangkat jurusita yang khusus

berfungsi melaksanakan perintah eksekusi.93

Menurut Pasal 60 UU Arbitrase dan APS, putusan Arbitrase nasional

bersifat mandiri, final dan mengikat. Dengan kata lain seperti putusan yang

mempunyai kekekuatan hukum tetap. Sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak

diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase

nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan

Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase

nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Pasal 62 UU Arbitrase dan APS menentukan sebelum memberi perintah

pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase

memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak

memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase

dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.

93 Ibid. hlm.391.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 66: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

56

Universitas Indonesia

Pasal 70 UU Arbitrase dan APS menentukan, terhadap putusan arbitrase

para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut

diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.

2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,

yang disembunyikan oleh pihak lawan.

3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu

pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Sesungguhnya UU Arbitrase dan APS telah jelas memberikan kompetensi

absolut bagi arbitrase untuk memeriksa sengketa yang timbul dari perjanjian

dengan klausul arbitrase didalamnya. Putusan arbitrase juga diberikan kekuatan

untuk dapat dieksekusi kecuali dalam proses pengambilan putusan arbitrase

tersebut terdapat perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini

adalah terdapatnya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh arbiter dalam

proses pemeriksaan dan pengambilan putusan suatu sengketa di arbitrase, bukan

sengketa perbuatan melawan hukum di antara para pihak.

UU Arbitrase APS tidak membatasi sengketa perdata dalam jenis apa yang

dapat diperiksa dan diputus oleh arbitrase. Semua sengketa perdata dapat menjadi

kewenangan arbitrase sepanjang di antara para pihak terdapat klausul arbitrase

dalam perjanjian mereka atau mereka sepakat membuat perjanjian arbitrase.

3.2. UNCITRAL Model Law Dan UNCITRAL Arbitration Rules

Peranan lembaga arbitrase komersial internasional cukup penting dalam

menyelesaikan sengketa-sengketa komersial internasional. Hampir setiap hari

arbitrase komersial berlangsung di berbagai tempat di dunia.94

Peranan yang semakin penting ini ditandai pula dengan banyaknya

lembaga arbitrase yang didirikan, baik dalam ruang lingkup nasional maupun

94 Huala Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Edisi 1 Cetakan 1, Jakarta :

PT. RajaGrafindo Persada, 1994, hlm.1.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 67: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

57

Universitas Indonesia

internasional. Lembaga arbitrase internasional yang didirikan di antaranya adalah

International Chamber of Commerce, United Nations Commission on

International Trade Law (Komisi PBB mengenai Hukum Perdagangan

Internasional), Bank Dunia, Asian – African Legal Consultative Committee, dan

the Cotton Exchange of Bremen.95

Lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi arbitrase masing-masing

membentuk peraturan, hukum acara dan ketentuan-ketentuan yang sifatnya umum

maupun khusus. Hal ini menimbulkan masalah yang cukup mengganggu dalam

mempelajari hukum arbitrase karena tidak adanya satu instrumen hukum atau

perjanjian mengenai arbitrase yang dapat dijadikan patokan. Hal ini dikarenakan

tidak adanya harmonisasi hukum mengenai arbitrase.96

United Nations Commission on International Trade Law atau

UNCITRAL97

merupakan organisasi yang didirikan oleh PBB98

. Badan ini

memiliki peranan penting dalam meningkatkan kerangka hukum (legal

framework) untuk perdagangan internasional dengan mempersiapkan peraturan-

peraturan legislatif internasional untuk digunakan oleh negara-negara dalam

modernisasi hukum dan peraturan perdagangan internasional untuk digunakan

oleh pihak komersial pada negosiasi transaksi.99

UNCITRAL didirikan oleh Komisi PBB sebagai badan yang

berkonsentrasi mengenai Hukum Perdagangan Internasional untuk menyelaraskan

dan menyatukan hukum bisnis dan perdagangan internasional di seluruh dunia.

Penyeragaman praktik dan prosedur dilakukan dengan membuat peraturan-

95 Ibid, hlm.3.

96 Ibid, hlm.4.

97 Selanjutnya disebut UNCITRAL.

98 Perserikatan Bangsa-Bangsa, “FAQ - UNCITRAL and Private Disputes / Litigation”,

United Nations Commission on International Trade Law. 3 Desember 2012

<http://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration_faq.html>.

99 Ibid.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 68: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

58

Universitas Indonesia

peraturan bisnis dan perdagangan internasional. Akan tetapi, UNCITRAL tidak

menjadikan dirinya sebagai lembaga adminitratif atau terlibat dalam arbitrase

individual.100

UNCITRAL sendiri tidak mendirikan suatu lembaga arbitrase.

Komisi PBB ini adalah pihak yang pertama kali melakukan upaya untuk

menciptakan harmonisasi dan unifikasi hukum arbitrase internasional.101

Harmonisasi dan unifikasi peraturan perundang-undangan arbitrase

internasional yang dibuat oleh UNCITRAL adalah UNCITRAL Model Law102

.

UML ini dirancang untuk membantu negara-negara dalam mereformasi dan

memodernisasi hukum tentang prosedur arbitrase sehingga dapat mengakomodir

beberapa ketentuan sesuai dengan kebutuhan arbitrase komersial internasional.

Peraturan ini mencakup semua tahap dalam proses arbitrase, mulai dari perjanjian

arbitrase, komposisi dan yurisdiksi dari majelis arbitrase dan sejauh mana

intervensi pengadilan atas pengakuan dan penegakan putusan arbitrase. Peraturan

ini mencerminkan suatu kesepakatan pada aspek-aspek kunci dari praktik arbitrase

internasional yang telah diterima oleh semua negara-negara di dunia dengan

wilayah dan sistem hukum atau ekonomi yang berbeda.103

UML yang diciptakan untuk harmonisasi peraturan mengenai arbitrase

berfungsi sebagai panduan dan pedoman bagi negara-negara yang membuat

peraturan perundang-undangan tentang arbitrase. Negara-negara yang mengadopsi

UML kemudian sering memasukkan pasal-pasal tambahan (additional provisions)

ke dalam hukum nasional masing-masing. UML memang dapat dimodifikasi oleh

negara-negara anggota dan menerapkannya ke dalam hukum nasional.104

100 Ibid.

101 Huala Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Op.Cit. hlm.5.

102 Selanjutnya disebut UML.

103 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Commission on International Trade Law,

Loc.Cit.

104 Farah Huda, Arbitrase Internasional, 2012. 30 November 2012

<http://www.scribd.com/doc/45306921/Arbitrase-Internasional>.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 69: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

59

Universitas Indonesia

Tujuan dari UML adalah untuk mempromosikan penyatuan prosedur

arbitrase guna memenuhi kebutuhan mendasar dari arbitrase perdagangan

internasional. Prinsip dasar dari peraturan ini adalah pengakuan terhadap

kebebasan para pihak untuk melaksanakan arbitrase dengan batasan atau

larangan seminimal mungkin.

Yang menjadi ruang lingkup utama dari UML adalah sebagai berikut:105

a. Ketentuan umum meliputi ruang lingkup, definisi dan penafsiran

peraturan, tanda terima dari komunikasi tertulis, penghapusan hak

keberatan, batas intervensipengadilan, kewenangan pengadilan untuk

fungsi tertentu arbitrase dan pengawasan;

b. Perjanjian arbitrase;

c. Komposisi persidangan arbitrase;

d. Kewenangan persidangan arbitrase;

e. Pelaksanaan prosedur arbitrase;

f. Pembuatan putusan dan pengakhiran proses;

g. Upaya terhadap putusan;

h. Pengakuan dan pelaksanaan putusan.

UML menentukan bahwa kewenangan arbitrase bertitik tolak dari adanya

suatu perjanjian arbitrase atau kontrak yang mengandung klausul arbirase yang

disepakati oleh para pihak. Pasal 7 UML menjelaskan definisi dan bentuk

perjanjian arbitrase, sebagai berikut:106

“Arbitration agreement is an agreement by the parties to submit to

arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise

between them in respect of a defined legal relationship, whether

contractual or not. An arbitration agreement may be in the form of an

arbitration clause in a contract or in the form of a separate agreement.

The arbitration agreement shall be in writing. An agreement is in writing

if it is contained in a document signed by the parties or in an exchange of

letters, telex, telegrams or other means of telecommunications which

105 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar,

Cetakan Kesatu, PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan BANI, 2002, hlm.513.

106 Ibid. hlm.516.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 70: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

60

Universitas Indonesia

provide a record of the agreement, or in an exchange of statements of

claim and defence in which the existence of an agreement is alleged by

one party and not denied by another. The reference in a contract to a

document containing an arbitration clause constitutes an arbitration

agreement provided that the contract is in writing and the reference is

such as to make that clause part of the contract.”

UML mengakui kedua bentuk perjanjian arbitrase baik dalam konteks

kemungkinan lahirnya sengketa di masa datang maupun sengketa yang terjadi saat

ini. Hal yang penting adalah bahwa bentuk perjanjian arbitrase harus dalam

bentuk tertulis.

UML mengatur bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa dan

memutus sengketa yang timbul dari kontrak yang mengandung klausul arbitrase

atau perjanjian arbitrase. Dalam Pasal 5 UML107

disebutkan bahwa “In matters

governend by this Law, no court shall intervene except where so provided in this

Law.”

Arbitrase memiliki kewenangan sendiri dalam memeriksa dan memutus

sengketa yang timbul dari kontrak yang mengandung klausul arbitrase atau

perjanjian arbitrase. Pasal 16 ayat 1 UML menentukan bahwa :108

“The arbitral tribunal may rule on its own jurisdiction, including any

objections with respect to the existence or validity of the arbitration

agreement. For that purpose, an arbitration clause which forms part of a

contract shall be treated as an agreement independent of the other terms

of the contract. A decision by the arbitral tribunal that the contract is null

and void shall not entail ipso jure the invalidity of the arbitration clause.”

Untuk sengketa jenis apa yang menjadi kewenangan dari arbitrase, UML

menyebutkan bahwa sengketa dalam istilah “perdagangan” diartikan secara luas.

Sengketa yang dapat diperiksa dan diputus oleh arbitrase adalah seluruh sengketa

yang timbul dari hubungan perdagangan baik yang tertuang dalam kontrak

107 Ibid.

108 Ibid. hlm.520.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 71: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

61

Universitas Indonesia

maupun tidak. Dalam penjelasan Pasal 1 UML Scope of Application, dinyatakan

bahwa :

“the term “commercial” should be given a wide interpretation so as to

cover matters arising from all relationship of a commercial nature,

whether contractual or not. Relationships of a commercial nature include,

but are not limited to, the following transaction : any trade transaction for

the supply or exchange of goods or services; distribution agreement;

commercial representation or agency; factoring; leasing; construction of

works; consulting engineering; licensing; investment; financing; banking;

insurance; exploitation agreement of concession; joint venture and other

forms of industrial or business co-operation; carriage of goods or

passengers by air, sea, rail or road.”

Jika melihat dari ketentuan penjelasan Pasal 1 UML di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa arbitrase memiliki kewenangan untuk memeriksa dan

memutus sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari transaksi

perdagangan antara para pihak yang terikat dalam kontrak yang mengandung

klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase. Tidak ada pembatasan mengenai

sengketa wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, melainkan sengketa dalam

bidang perdagangan secara luas.

UNCITRAL memiliki peraturan arbitrase yang dapat dipilih oleh para

pihak yang ingin menggunakan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa

di luar pengadilan yaitu UNCITRAL Arbitration Rules109

. Peraturan ini berisi

ketentuan yang mencakup segala aspek proses arbitrase, di mana para pihak boleh

setuju untuk tunduk pada sebagian atau seluruh ketentuan, dengan tujuan untuk

membantu menyelesaikan sengketa internasional mereka. UAR mengatur hal-hal

sebagai berikut :110

a. Model klausul arbitrase untuk kontrak/perjanjian;

b. Prosedur penunjukan arbiter;

c. Prosedur untuk melaksanakan proses arbitrase;

109 Selanjutnya disebut UAR.

110 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Commission on International Trade Law,

Loc.Cit.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 72: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

62

Universitas Indonesia

d. Syarat-syarat mengenai bentuk, akibat dan penafsiran dari putusan

arbitrase.

Jika UML adalah panduan dan pedoman bagi negara-negara yang

membuat peraturan perundang-undangan tentang arbitrase, maka UAR adalah

peraturan arbitrase yang dapat dipilih oleh para pihak dalam kontrak mereka. Hal-

hal yang diatur dalam UAR meliputi :111

1. Asas tertulisnya klausul atau perjanjian arbitrase;

2. Tata cara penghitungan batas tenggang waktu mengenai pemberitahuan

yaitu sejak disampaikan secara fisik atau in person;

3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan

arbitrase;

4. Penunjukan kuasa atau asisten yang dapat mewakili para pihak;

5. Jumlah arbiter;

6. Tata cara penunjukkan dan pengangkatan arbiter;

7. Upaya mengajukan perlawanan atas penunjukan arbiter;

8. Tata cara penggantian arbiter;

9. Proses pemeriksaan mahkamah arbitrase meliputi asas-asas pemeriksaan,

tempat arbitrase, bahasa yang digunakan, tata cara dan bentuk tuntutan dan

bantahan, tuntutan balik, perlawanan terhadap yurisdiksi arbitrase,

pembuktian, mendengar keterangan, tindakan sementara, pengangkatan

ahli, kelainan menyampaikan jawaban atau bantahan serta pembuktian,

pembukaan kembali pemeriksaan;

10. Putusan; dan

11. Biaya.

Dalam Pasal 1 UAR menyatakan bahwa ketika para pihak sepakat secara

tertulis untuk menggunakan UAR, maka sengketa yang timbul di antara mereka

diselesaikan melalui arbitrase dengan mengikuti ketentuan di dalam UAR.

Disebutkan bahwa :

“(1) Where the parties to a contract have agreed in writing that disputes in

relation to that contract shall be referred to arbitraton under the

UNCITRAL Arbitration Rules, then such disputes shall be settled ini

accordance with these rules subject to such modifications as the parties

may agree in writing.

(2) These rules shall govern the arbitration except where any of these

rules is in conflict with a provision of the law applicable to the arbitration

from which the parties cannot derogate, that provision shall prevail”

111 Yahya Harahap, Arbitrase. Op. Cit, hlm.70-93.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 73: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

63

Universitas Indonesia

Para pihak yang ingin menggunakan UAR dapat memasukkan suatu

klausul arbitrase di dalam kontrak mereka. Klausul arbitrase ini menyatakan

secara tegas bahwa sengketa yang akan timbul dari atau berkenaan dengan

kontrak mereka akan diselesaikan secara final dan mengikat dengan cara arbitrase

sesuai dengan ketentuan-ketentuan UAR.112

Karena UNCITRAL tidak memiliki

lembaga arbitrase sendiri, para pihak dapat memilih salah satu lembaga arbitrase

yang ada untuk membantu mereka dalam menyelenggarakan arbitrase tersebut.

Lembaga arbitrase yang dipilih akan menjalankan proses arbitrase dengan

memakai ketentuan-ketentuan UAR.113

Meskipun demikian, aturan dapat

dimodifikasi oleh para pihak.

Kewenangan arbitrase dengan menggunakan UAR bersumber dari

kesepakatan para pihak dalam memilih UAR pada klausul arbitrase di kontrak

mereka sebagai penyelesaian sengketa. Kesepakatan berupa klausul arbitrase atau

perjanjian arbitrase juga ditentukan UAR sebagai sumber yuridiksi bagi arbitrase

untuk memeriksa dan memutus suatu sengketa.

Contoh klausul arbitrase dengan menggunakan ketentuan UAR dapat

dirumuskan sebagai berikut :114

“Any dispute controversy or claim arising out of or relating to this

contract, of the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled

by arbitration in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as at

present in force”

3.3. Pendapat Para Ahli

Dalam Black’s Law Dictionary, arbitrase berarti “A method of dispute

resolution involving one or more neutral third parties who are usually agreed to

by the disputing parties and whose decisions is binding.”115

112 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Cetakan Kedua, Bandung :

Alumni, 1986, hlm.19.

113Ibid. hlm.20.

114 Ibid.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 74: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

64

Universitas Indonesia

Subekti menjabarkan arbitrase sebagai suatu lembaga penyelesaian

sengketa di luar peradilan formal pada pengadilan, di mana hukum memberikan

kekuatan yang sama untuk putusan badan arbitrase sebagaimana hukum

memberikan kekuatan yang sama pada putusan pengadilan tingkat akhir, dan

keputusan dapat dijalankan atau dieksekusi atas perintah Kepala Pengadilan

Negeri.116

Dalam bukunya yang lain, Arbitrase Perdagangan, Subekti menjelaskan

bahwa kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya kekuasaan

untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan“. Dikaitkannya istilah

arbitrase dengan kebijaksanaan seperti memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase

tidak perlu memperhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak,

akan tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan saja. Pandangan ini keliru

karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di

pengadilan.117

Menurut Sudikno Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur

penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang

berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau

arbiter.118

Arbitrase menurut Rene David adalah :119

Arbitration is a devise whereby the settlement of a question, which is of

interest for two or more persons, is entrusted to one or more other persons

– the arbitrator or arbitrators – who derive their powers from a private

115 Bryan A. Garner, Op.Cit, hlm.100.

116 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Loc.Cit.

117 R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bandung : Bina Cipta, 1981, hlm.1-3.

118 Sudikno Mertokusumo,1999, Mengenal Hukum : Suatu pengantar, Yogyakarta :

Penerbit Liberty, hlm.144.

119 Rene David, Arbitration in International Trade, Deventer/Netherlands : Kluwer Law

and Taxation Publishers, 1985, hlm.5.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 75: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

65

Universitas Indonesia

agreement, not from the authorities of a state, and who are to proceed and

decide the case on the basis of such an agreement.

Maka dapat disimpulkan bahwa secara umum arbitrase adalah suatu proses

di mana dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang

atau lebih yang tidak memihak/imparsial yang disebut arbiter, untuk memperoleh

suatu putusan yang final dan mengikat. Dari pengertian itu terdapat tiga hal yang

utama, yaitu :

a. adanya suatu sengketa;

b. kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga; dan

c. putusan final dan mengikat akan dijatuhkan.

Arbitase memiliki tiga karakteristik. Menurut Gary B. Born ketiga

karakteristik tersebut sebagai berikut :120

First, arbitration is consensual – the parties must agree to arbitrate their

differences. Second, arbitrations are resolved by non-governmental

decision-makers – arbitrators do not act as government agents, but are

private persons selected by parties. Third, arbitration produces a

definitive and binding award, which is capable of enforcement through

national courts.

Dalam perdagangan dunia, banyak pihak takut untuk menyelesaikan

perselisihan di lembaga peradilan dan lebih memilih arbitrase sebagai salah satu

alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.121

Hal ini telah diterapkan

dalam setiap sistem beberapa negara, baik di negara maju atau berkembang.122

Biasanya, orang memilih arbitrase daripada peradilan formal sebagai

pilihan hukum penyelesaian sengketa dalam pembuatan perjanjian. Hal ini karena

120 Gary B. Born, International Commercial Arbitration in the United States Commentary

and Materials, Deventer The Netherland : Kluwer Law and Taxation Publishers, 1994, hlm.1.

121 Erman Rajagukguk, Op.Cit, hlm.1.

122 Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1999, hlm.2.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 76: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

66

Universitas Indonesia

arbitrase memiliki beberapa keuntungan. Menurut R. Gaitskeel, arbitrase memiliki

sejumlah keunggulan dibandingkan litigasi meliputi :123

1. Privacy and confidentiality – arbitration allows the parties to keep their

disputes private and confidential. This is of course in contrast to the very

public nature of litigation before the courts. However, confidentiality can

be lost if one of the parties attempts to appeal an award before the court.

2. Enforceability – internationally, arbitration awards are readily

enforceable in many countries under the 1958 New York Convention on

The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards.

3. Flexibility and formality – the fact that the parties have agreed to resolve

disputes privately allows them control over the procedure, including the

manner in which evidence is provided and witnessed examined.

4. Technical expertise – the parties are free to decide and agree upon the

arbitrator (or arbitrators) to decide the dispute.

5. Speed in cost – for many small construction disputes arbitration is

significantly quicker and cheaper than litigation.

6. Neutrality – arbitration is politically neutral means of dispute resolution.

Internationally, parties are often reluctant to rely upon the local courts for

resolving disputes if one of the parties is a state entity, and therefore

arbitration at a neutral venue is the general compromise.

7. Finality – arbitration is a final form of dispute resolution, with only very

limited grounds for challenge. These generally relate to improper

procedure or conduct by the tribunals, such as, for example, bias on the

part of one of the arbitrators.

Arbitrase dilaksanakan berdasarkan kesepakatan para pihak dalam bentuk

perjanjian arbitrase. Munir Fuady menulis dalam bukunya bahwa dalam

pengetahuan hukum mengenai arbitrase terdapat dua jenis perjanjian arbitrase.

Keduanya adalah sebagai berikut :

a. Pactum De Compromitendo

Meskipun secara harafiah Pactum De Compromitendo memiliki makna

“acta compromis”, namun keduanya berbeda. Perbedaannya adalah dalam

penerapannya. Pactum De Compromitendo merupakan perjanjian di antara

para pihak untuk memilih arbitrase yang dibuat sebelum sengketa terjadi.

Sehingga para pihak menyatakan bahwa mereka akan memilih arbitrase

123 Robert Gaitskell, Engineers‟ Dispute Resolution Handbook, London : Thomas Telford

Publishing, 2006, hlm.57.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 77: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

67

Universitas Indonesia

ketika ada sengketa yang timbul di antara para pihak dari suatu perjanjian

tertentu atau transkasi bisnis di kemudian hari.124

b. Actum de Compromitendo

“Pactum De Compromitendo” secara harafiah memiliki makna yang sama

dengan Actum de Compromitendo. Tetapi, banyak ahli membedakannya

terutama dalam hal penerapannya. Yang dimaksud dengan acta

compromis adalah suatu perjanjian penyelesaian sengketa melalui

arbitrase. Perjanjian dibuat setelah adanya sengketa di antara para pihak.125

Klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase adalah salah satu aspek penting

dalam arbitrase. Klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para

pihak untuk menyerahkan setiap sengketa kepada arbitrase merupakan dasar

hukum bagi eksistensi arbitrase. Badan atau majelis arbitrase akan berfungsi

hanya dengan adanya perjanjian ini.126

Fungsi utama dari klausul atau perjanjian arbitrase adalah sebagai sumber

kewenangan dari peradilan arbitrase, karena peradilan arbitrase hanya dapat

melaksanakan kekuasaan memeriksa dan mengadili suatu sengketa karena para

pihak sepakat memberikan kekuasaan demikian. Kesepakatan yang dibuat para

pihak melahirkan hukum.127

Klausula arbitrase disebutkan oleh Gabrielle Kaufmann-Kohler and

Thomas Schults harus memenuhi persyaratan formal dan material sebagai

berikut: 128

124 Munir Fuady, Arbitrase Nasional:Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hlm.118.

125 Ibid, hlm.119.

126 Huala Adolf, Syarat Tertulis Dan Independensi Klausul Arbitrase, Indonesia

Arbitration Quarterly Newsletter Number 6/2009, hlm.24.

127 Ibid.

128 Gabrielle Kaufmann-Kohler and Thomas Schults, Online Dispute Resolution:

Challenges for Contemporary Justice, Kluwer Law International, The Hague, 2004, hlm.138.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 78: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

68

Universitas Indonesia

An arbitration clause must generally meet formal and substantive validity

requirements, including written form, arbitrability (in the sense that the

subject matter of the dispute must be capable of settlement by way of

arbitration), and consent.

Karakteristik penting mengenai klausul atau perjanjian arbitrase adalah

keharusan syarat tertulis. UU Arbitrase dan APS mensyaratkan para pihak untuk

mengadakan perjanjian tertulis dalam Pasal 1 ayat 1. Begitu juga dalam instrumen

internasional. Persyaratan tertulis terdapat dalam Pasal 25 (1) Konvensi ICSID

1965129

, Pasal II ayat 1 Konvensi New York 130

, dan Pasal 7 ayat 2 UML.131

Syarat tertulisnya suatu klausul atau perjanjian arbitrase memiliki

beberapa tujuan, di antaranya adalah sebagai berikut :132

a. Mengikuti apa yang diharuskan oleh undang-undang atau hukum; dan

b. Untuk kepastian hukum bagi kompetensi badan arbitrase.

Karakteristik penting lain dari klausul arbitrase adalah sifat otonom atau

independensi. Istilah yang juga digunakan adalah doktrin separabilitas dari klausul

arbitrase. Menurut doktrin ini, meskipun klausul arbitrase adalah salah satu

klausul dalam suatu kontrak, namun klausul ini tidaklah merupakan bagian atau

tambahan dari kontrak tersebut. Sehingga, batal atau berakhirnya kontrak tidak

serta merta membatalkan klausul arbitrase.133

Dalam perjanjian arbitrase, terdapat dua kontrak yang terpisah. Kontrak

pertama adalah kontrak yang memuat hak dan kewajiban para pihak terkait bidang

129 Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of

Other States. Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID ini dengan UU Nomor 5 Tahun 1968.

130 Pasal II, 1Konvensi New York berbunyi sebagai berikut :

”The contracting state shall recognize an agreement in writing under which the parties

undertake to submit to arbitration all or any differences which have arisen or which may

arise between them in respect of a defined legal relationship, whether contractual or not,

concerning a subject matter capable of settlement by arbitration.”

131 Huala Adolf, Syarat Tertulis Dan Independensi Klausul Arbitrase, Op.Cit. hlm.25-26.

132 Ibid, hlm.26-27.

133 Ibid, hlm.28-29.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 79: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

69

Universitas Indonesia

perdagangan yang mereka sepakati. Selanjutnya, kontrak kedua adalah kontrak

yang berisi kewajiban bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul

dari kontrak berisi hak dan kewajiban tadi melalui arbitrase.134

Sengketa-sengketa yang dapat diserahkan untuk diselesaikan oleh

arbitrase, dalam ruang lingkup arbitrase komersial internasional pada umumnya

adalah masalah-masaah komersial. Sengketa-sengketa yang umumnya tidak dapat

diselesaikan oleh arbitrase adalah competitive law, antitrust law, status

perkawinan, kepailitan dan hak-hak milik intelektual tertentu.135

Sengketa yang menjadi kewenangan arbitrase untuk memeriksa dan

mengadili di Indonesia menurut UU Arbitrase dan APS adalah sengketa perdata.

Sesuai Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase dan APS, arbitrase memiliki kewenangan

untuk memeriksa dan mengadili sengketa perdagangan dan mengenai hak yang

dikuasai sepenuhnya oleh para pihak sesuai hukum dan peraturan perundang-

undangan. Dengan kata lain, sengketa yang diselesaikan di arbitrase adalah

sengketa keperdataan, baik berbentuk wanprestasi maupun perbuatan melawan

hukum.136

Sedangkan menurut Pasal 5 ayat 2 UU Arbitrase dan APS, sengketa yang

tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan

perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Menurut sistem hukum

perdata di Indonesia, semua hubungan hukum dapat diadakan perdamaian. Oleh

karenanya, semua sengketa yang timbul dari hubungan hukum dalam bidang

perdata dapat diselesaikan melalui arbitrase.137

134 Ibid, hlm.29.

135 Huala Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Op.Cit. hlm.25.

136 Dirangkum dari buku “Asas Kepatutan Dalam Arbitrase” yang ditulis oleh Otto

Cornelis Kaligis, Bandung : Cetakan Kesatu, PT. Alumni, 2009.

137 Sutan Remy Sjahdeni, Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Arbitrase, Indonesia

Arbitration Quarterly Newsletter Number 6/2009, hlm.3-4.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 80: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

70

Universitas Indonesia

Priyatna Abdurrasyid menyatakan dalam bukunya berjudul Arbitrase &

Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar mengenai kompetensi dan

wewenang BANI sebagai berikut :138

Di dalam pasal 1 Anggaran Dasar BANI dirumuskan bahwa BANI diberi

wewenang oleh para pihak yang bersengketa untuk memeriksa dan

mengadili semua sengketa perdata yang timbul dalam bidang

perdagangan, industri, keuangan, dan lain-lain yang bersifat nasional

maupun internasional. Ketentuan mengenai wewenang BANI tersebut

sesuai dengan pengertian yang berkembang di luar negeri, yang tercakup

dalam kata-kata “Commercial Arbitration”.

Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa sengketa yang menjadi

kewenangan arbitrase di Indonesia untuk memeriksa dan mengadili adalah

sengketa perdata yang timbul dalam bidang perdagangan. Sengketa perdata dalam

praktik yang terjadi di masyarakat meliputi sengketa wanprestasi dan sengketa

perbuatan melawan hukum. Sehingga sengketa perbuatan melawan hukum yang

timbul dari para pihak yang terikat dengan klausula arbitrase, dapat diperiksa dan

diputus oleh arbitrase.

Sengketa atau perkara yang sudah memiliki klausula arbitrase tidak dapat

diajukan ke Pengadilan Negeri. Dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan

arbitrasenya tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan Negeri, kecuali apabila ada

perbuatan melawan hukum dalam proses pemeriksaan dan pengambilan putusan

arbitrase. Dalam hal ada perbuatan melawan hukum dalam proses pengambilan

putusan demikian yang mengakibatkan kerugian pada pihak yang dikalahkan,

maka pihak yang dirugikan dapat menggugat ke Pengadilan Negeri atas dasar

perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak

berdasar itikad baik, melanggar ketertiban umum (public policy), bertentangan

dengan hukum dan kepatutan serta Pasal 70 UU Arbitrase dan APS.139

Menurut

Pasal 21 UU Arbitrase dan APS dinyatakan bahwa :Arbiter atau majelis arbitrase

138 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar,

Cetakan Kesatu, PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan BANI, 2002, hlm.228.

139 Feby Wisana, Sukarno Aburaera dan M. Said Karim, Kewenangan Badan Peradilan

Memeriksa Sengketa Dengan Klausula. 18 Januari 2011

<http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/85987e0a735579aa1c407c750129c985.pdf>.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 81: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

71

Universitas Indonesia

tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang

diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya

sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak

baik dari tindakan tersebut.

Terhadap persetujuan para pihak dalam memuat perjanjian arbitrase baik

dalam bentuk pactum de compromittendo maupun akta kompromis yang

mengesampingkan kompetensi pengadilan, terdapat dua aliran sebagai berikut :140

1. Klausul arbitrase : bukan publik orde

Aliran ini berpendapat bahwa arbitrase tidak bersifat absolut. Klausul

tersebut harus dipertahankan para pihak sehingga akan tetap mengikat.

Apabila sengketa yang timbul dari perjanjian yang mengandung klausul

arbitrase diajukan salah satu pihak ke pengadilan, pengadilan berwenang

mengadili. Kewenangan baru gugur apabila pihak tergugat mengajukan

eksepsi akan adanya klausul arbitrase.

2. Klausul arbitrase : pacta sunt servanda

Aliran ini bertitik tolak dari doktrin hukum yang mengajarkan

bahwa semua persetujuan yang sah akan mengikat dan menjadi undang-

undang bagi para pihak. Oleh karena itu, setiap persetujuan hanya dapat

gugur (ditarik kembali) atas kesepakatan bersama para pihak.

Asas pacta sunt servanda secara positif telah dituangkan dalam

Pasal 1338 KUHPerdata yang berintikan :

a. Setiap perjanjian mengikat kepada para pihak;

b. Kekuatan mengikatnya serupa dengan ketentuan undang-undang;

c. Hanya dapat ditarik kembali atas persetujuan bersama para pihak;

Bertitik tolak dari prinsip pacta sunt servanda, aliran klausul

arbitrase : pacta sunt servanda berpendapat bahwa setiap perjanjian yang

memuat klausul arbitrase :

a. Mengikat secara mutlak kepada para pihak;

b. Kewenangan memeriksa dan memutus sengketa yang timbul menjadi

kewenangan absolut.

Menurut Yahya Harahap, klausula atau perjanjian arbitrase merupakan

pacta sunt servanda, bukan publik orde. Karena klausula atau perjanjian arbitrase

adalah kesepakatan yang dituangkan oleh para pihak dalam perjanjian, maka asas-

asas yang terkandung dalam pacta sunt servanda dan Pasal 1338 KUHPerdata

140 Suyud Margono, Op.Cit. hlm.126-127.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 82: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

72

Universitas Indonesia

berlaku sepenuhnya terhadap klausula atau perjanjian arbitrase. Adapun acuan

penerapannya adalah sebagai berikut : 141

- persetujuan arbitrase mengikat secara mutlak kepada para pihak;

- oleh karena itu, apabila timbul persengketaan dari apa yang telah

mereka perjanjikan, kewenangan untuk menyelesaikan dan memutus

sengketa “mutlak” menjadi kewenangan arbitrase;

- dengan demikian, pengadilan tidak berwenang memeriksa dan

mengadili sengketa secara mutlak;

- dan gugurnya klausula arbitrase hanya terjadi apabila secara tegas

ditarik kembali atas kesepakatan para pihak;

- serta tidak dapat dibenarkan hukum penarikan secara diam-diam,

apalagi penarikan secara sepihak atau secara “unilateral”

Sejak para pihak menyepakati klausul atau perjanjian arbitrase, para pihak

secara otomatis dan mutlak telah terikat. Kemutlakan keterikatan kepada klausul

atau perjanjian arbitrase memberikan kewenangan absolut bagi arbitrase untuk

memeriksa dan memutus penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian di

antara para pihak tersebut. Oleh karenanya, ada atau tidak adanya eksepsi yang

diajukan, Pengadilan harus tunduk kepada ketentuan UU Arbitrase dan APS dan

menyatakan diri tidak berwenang mengadili.142

Sehingga adanya klausul atau perjanjian abitrase di antara para pihak

untuk menyelesaikan sengketa keperdataan yang akan timbul atau yang timbul di

dari perjanjian antara mereka, memberikan kewenangan absolut bagi arbitrase

untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut. Dan sepanjang sengketa di

antara para pihak adalah sengketa perdata dan dapat diadakan perdamaian,

arbitrase menjadi lembaga penyelesaian sengketa yang berwenang. Sengketa

perdata yang dapat diperiksa tidak hanya sengketa wanprestasi yang timbul dari

perjanjian para pihak, akan tetapi juga sengketa perbuatan melawan hukum yang

timbul dari hubungan hukum keperdataan di antara para pihak.

141 Yahya Harahap, Arbitrase, Op,Cit, hlm.129.

142 Ibid. hlm.130.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 83: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

73

Universitas Indonesia

BAB 4

PERNYATAAN DAN PENDAPAT PENGADILAN TERHADAP

SENGKETA PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG TIMBUL DARI

PERJANJIAN DENGAN KLAUSULA ARBITRASE

Keberadaan UU Arbitrase dan APS yang memperkuat yurisdiksi arbitrase

dan lebih memberikan kepastian hukum kepada pengadilan negeri untuk tidak

memiliki yurisdiksi atas sengketa yang terjadi dari suatu kontrak yang

mengandung klausul arbitrase ternyata masih disikapi berbeda oleh hakim-hakim

pengadilan. Dalam beberapa kasus, pengadilan negeri menyatakan berwenang

untuk memeriksa dan memutus sengketa di antara para pihak yang telah terikat

dengan klausul arbitrase. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus lainnya

pengadilan negeri tunduk pada ketentuan Pasal 11 UU Arbitrase dan APS dan

menyatakan tidak berwenang memeriksa dan memutus sengketa yang timbul dari

kontrak yang mengandung klausul arbitrase.

Salah satu alasan yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim pada

pengadilan negeri dalam menyatakan dirinya berwenang memeriksa dan memutus

sengketa di antara para pihak yang telah terikat dengan klausul arbitrase adalah

bahwa sengketa yang terjadi di antara para pihak tersebut merupakan sengketa

perbuatan melawan hukum. Hakim berpendapat bahwa arbitrase hanya berwenang

memeriksa dan memutus sengketa yang berkenaan dengan perselisihan atas

pelaksanaan dari suatu kontrak yang mengandung klausul arbitrase. Oleh

karenanya arbitrase dipandang hanya berwenang memeriksa dan memutus

sengketa wanprestasi. Perbuatan melawan hukum dinilai menjadi kewenangan

dari pengadilan negeri.

Jika melihat dari teori utilitis yang dikemukakan Jeremy Bentham,

kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama dari pada

hukum.143

UU Arbitrase dan APS sebagai keputusan kehendak dari satu pihak

143 L.J.van Apeldoorn, Loc.Cit.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 84: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

74

Universitas Indonesia

yaitu negara diciptakan untuk memberikan kepastian hukum bagi perjanjian

dengan klausul arbitrase sebagai keputusan kehendak dari dua pihak yang terikat

di dalamnya. Para pihak memiliki kekuasaan atau kedaulatan hukum di dalam diri

mereka untuk yang membuat dan menyepakati klausul arbitrase sebagaimana

menurut teori Krabbe, yaitu kekuasaan hukum itu tidak terletak di luar manusia

tetapi di dalam manusia, di mana hukum berdaulat berlaku di atas segala sesuatu

termasuk Negara.144

Asas kebebasan berkontrak yang dimiliki para pihak dalam memilih

arbitrase sebegai lembaga penyelesaian sengketa alternatif bagi mereka

merupakan bentuk dari adanya suatu kedaulatan hukum yang dimiliki dalam

melakukan suatu perbuatan hukum. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam 1320

KUHPerdata yang menyatakan bahwa :

“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat yaitu

kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat

suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang

tidak terlarang”.

Klausul arbitrase adalah suatu hal yang tidak dilarang untuk dijadikan kesepakatn

bagi para pihak karena telah mendapat legalitas dalam UU Arbitrase dan APS.

Merujuk pada ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Suatu

sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila

berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”

Disepakatinya klausul arbitrase oleh para pihak membawa akibat hukum

bahwa klausul tersebut mengikat mereka sebagai undang-undang sebagaimana

asas pacta sunt servanda. Asas yang terdapat pada Pasal 1338 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa “Semua kontrak yang dibuat secara sah akan mengikat

sebagai undang undang bagi para pihak dalam kontrak tersebut” adalah asas yang

berlaku dalam hukum perjanjian di Indonesia. Oleh karenanya, para pihak yang

terikat dengan klausul arbitrase, harus tunduk pada ketentuan klausul tersebut

selayaknya tunduk pada undang-undang.

144 Ibid.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 85: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

75

Universitas Indonesia

Kekuatan mengikatnya klausul arbitrase sebagai undang-undang bagi para

pihak dimulai sejak terjadinya kata sepakat tentang klausul arbitrase tersebut. Hal

ini sebagaimana yang tersirat dalam pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan

sebagai berikut :

“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat yaitu

kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat

suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak

terlarang”.

Disamping itu, para pihak yang membuat dan menyepakati klausul

arbitase harus melaksanakannya dengan itikad baik. Ketentuan ini sebagaimana

asas itikad baik yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan

bahwa :

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pesetujuan itu

tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,

atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wirjono Prodjodikoro dan Subekti, itikad

baik (te goeder trouw) yang sering diterjemahkan sebagai kejujuran,145

dilaksanakan pada waktu akan membuat dan menyepakati klausul arbitrase dan

pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari

klausul arbitrase tersebut.

Berikut adalah beberapa putusan pengadilan negeri terhadap sengketa

perbuatan melawan hukum yang timbul di antara para pihak yang terikat dengan

klausul arbitrase. Terdapat enam putusan pengadilan negeri yang memberikan

pernyataan dan pendapat berbeda.

145 Riduan Syahrani, Loc.Cit.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 86: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

76

Universitas Indonesia

4.1. Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

No.454/Pdt.G/1999/PN.Jak.Sel.

Sengketa yang diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini adalah

sengketa antara PT. Perusahaan Dagang Tempo (PT. Tempo) dan PT. Roche

Indonesia. PT. Tempo adalah distributor produk-produk PT. Roche Indonesia

untuk wilayah pasar di Indonesia. Keduanya terikat perjanjian distribusi tertanggal

22 Maret 1974. Perjanjian tersebut beberapa kali diperpanjang, dan perpanjangan

terbaru adalah Perjanjian Distribusi yang ditandatangani PT. Tempo dan PT.

Roche Indonesia pada tanggal 9 Desember 1996. Perjanjian tersebut efektif

berlaku sejak 1 Januari 1997, yang menyatakan bahwa PT. Roche Indonesia

mengangkat dan menunjuk PT. Tempo untuk memasarkan produk-produknya di

wilayah Indonesia untuk jangka waktu tidak terbatas meliputi produk Rx Division

dan OTC Division.

Berdasarkan surat No.GM/DG/CA/322 tanggal 31 Agustus 1999, PT.

Roche Indonesia menyatakan secara sepihak mengakhiri Perjanjian Distribusi

khusus untuk produk-produk OTC Division terhitung tanggal 29 Februari 2000.

Sedangkan produk-produk Rx Division masih tetap berlaku.

PT. Tempo mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap PT.

Roche Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dalil bahwa PT.

Roche Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan

dengan memutuskan secara sepihak Perjanjian Distribusi di atas tanpa adanya

wanprestasi dari PT. Tempo. Atas gugatan tersebut, PT. Roche Indonesia

mengajukan eksepsi tentang kompetensi absolut.

Dalam eksepsinya, PT. Roche Indonesia menyatakan bahwa Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan

tersebut dikarenakan dalam Perjanjian Distribusi terdapat klausul arbitrase. Dalam

Pasal 19 ayat 2 alinea 1 Perjanjian Distribusi menyatakan sebagai berikut :

"In the event of any dispute among the parties in relation to, or in

connection with this agreement or a breach hereof which cannot be settled

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 87: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

77

Universitas Indonesia

amicably shall be finally settled by arbitration to be conducted in the

English language and to be held in Jakarta under the Rules of Arbitration

of The Badan Arbirase Nasional Indonesia (BANI – Indonesian National

Board of Arbitration) in respect of such dispute by a panel comprised of 3

(three) persons appointed in the manner referred to below.”

Selanjutnya PT. Tempo berpendapat bahwa dengan adanya pengakhiran

Perjanjian Distribusi secara sepihak oleh PT. Roche Indonesia, maka berakhir

pula seluruh Perjanjian Distribusi tersebut termasuk perjanjian arbitrase yang

mereka sepakati. Sehingga badan arbitrase tidak lagi berwenang untuk

menyelesaikan sengketa yang terjadi, dan karenanya PT. Tempo mengajukan

gugatan kepada PT. Roche Indonesia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Atas adanya eksepsi kompetensi abslut yang diajukan tersebut di atas,

Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang terdiri dari R.

Soenarto, S.H., Djalius Amin, S.H., dan H. Sultan Mangun, S.H. memutus dengan

Putusan Sela No.454/Pdt.G/1999/PN.Jak.Sel tanggal 25 Januari 2000. Majelis

Hakim menolak eksepsi yang diajukan oleh PT. Roche Indonesia dan menyatakan

bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang mengadili gugatan perdata

yang diajukan oleh PT. Tempo terhadap PT. Roche Indonesia meskipun di antara

kedua pihak telah terikat perjanjian distribusi dengan klausul arbitrase.

Adapun yang menjadi pertimbangan hukum Majelis Hakim adalah sebagai

berikut :

4.1.1. Gugatan yang diajukan adalah bukan gugatan berkenaan dengan

perselisihan atas pelaksanaan Perjanjian Distribusi melainkan gugatan

tentang suatu perbuatan melawan hukum karena PT. Roche Indonesia

melakukan pemutusan Perjanjian Distribusi secara sepihak;

4.1.2. PT. Roche Indonesia yang melanggar sendiri ketentuan dalam Perjanjian

Distribusi dengan memutuskan hubungan secara sepihak melalui arbitrase;

4.1.3. Sengketa perbuatan melawan hukum di dalam pemutusan secara sepihak

atas ketentuan yang telah disepakati dalam Perjanjian Distribusi tidak

membutuhkan penyelesaian melalui arbiter yang dipandang lebih mampu

dan lebih menguasai permasalahan teknis bisnis yang disengketakan,

melainkan dibutuhkan penyelesaian secara hukum di pengadilan.

Dalam singkatnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan tersebut

masuk yurisdiksi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena sengketa yang timbul

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 88: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

78

Universitas Indonesia

adalah perbuatan melawan hukum. Sengketa perbuatan melawan hukum kedua

belah pihak dipandang perlu diselesaikan secara hukum di depan pengadilan dan

arbitrase tidak berwenang untuk memeriksa serta mengadilinya.

Sikap dan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

dalam perkara ini adalah tidak tepat. Seharusnya secara absolut, kewenangan

memeriksa dan mengadili sengketa perbuatan melawan hukum antara PT. Tempo

dan PT. Roche Indonesia adalah menjadi kewenangan BANI sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 19 ayat 2 alinea 1 Perjanjian Distribusi yang

ditandatangani kedua belah pihak.

Berakhirnya Perjanjian Distribusi sebagai perjanjian pokok yang menjadi

dasar lahirnya perjanjian arbitrase, tidak mengakibatkan berakhirnya pula

perjanjian arbitrase. Dengan adanya pengakhiran Perjanjian Distribusi secara

sepihak oleh PT. Roche Indonesia, tidak serta merta berakhir pula perjanjian

arbitrase yang disepakati oleh kedua pihak. Sikap dan pendapat Majelis Hakim

terkait hal ini adalah tidak sesuai dengan asas separabilitas sebagaimana

terimplementasi dalam ketentuan Pasal 10 UU Arbitrase dan APS.

Fokus klausul atau perjanjian arbitrase ditujukan pada masalah

penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian pokok, baik wanprestasi

maupun perbuatan melawan hukum. Klausul atau perjanjian arbitrase bukan

perjanjian bersyarat. Pelaksanaan klausul atau perjanjian arbitrase tidak

digantungkan pada suatu hal tertentu yang terjadi di masa mendatang. Klausul

atau perjanjian arbitrase tidak menjadi berakhir atau batal akibat berakhir atau

batalnya perjanjian pokok. Justru apabila perjanjian pokok berakhir atau batal

maka perjanjian arbitase menjadi satu-satunya perjanjian yang masih ada guna

menegakkan kembali hak-hak para pihak atas wanprestasi atau perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak.

Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang secara absolut berada

diluar pengadilan negeri, jelas penyelesaian sengketa dalam perkara ini menjadi

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 89: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

79

Universitas Indonesia

kompetensi absolut arbitrase karena telah diperjanjikan oleh para pihak. Sengketa

perbuatan melawan hukum antara PT. Tempo dan PT. Roche Indonesia

merupakan kewenangan mutlak badan abitrase yaitu BANI. Dengan adanya

perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang

mengadili gugatan yang diajukan oleh PT. Tempo.

UU Arbitrase dan APS dalam Pasal 3 telah secara tegas menyatakan

bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak

yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Ketentuan tersebut dipertegas dalam

rumusan Pasal 11 UU Arbitrase. Meskipun Pasal 5 UU Arbitrase dan APS tidak

menyebutkan secara jelas bahwa sengketa perbuatan melawan hukum adalah

obyek sengketa yang dapat diperiksa dan diputus oleh arbitrase, namun yang

menjadi obyek dari arbitrase adalah sengketa keperdataan secara luas, meliputi

bidang perdagangan, mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta

sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan

perdamaian.

Sepanjang terdapat klausula arbitrase dalam perjanjian atau perjanjian

arbitrase di antara para pihak, maka penyelesaian sengketa perdagangan dan hak

dapat diserahkan kepada arbitrase. Berdasarkan asas pacta sunt servanda yang

terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, klausul arbitrase dalam Perjanjian

Distribusi yang telah dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi PT.

Tempo dan PT. Roche Indonesia dan harus dipatuhi. Sehingga tidak ada batas

mengenai sengketa perdata jenis apa yang dapat diperiksa dan diputus melalui

arbitrase. Segala sengketa yang timbul dari Perjanjian Distribusi menjadi

kompetensi absolut arbitrase. Sejauh sengketa yang diajukan pada arbitrase adalah

sengketa perdata, baik sengketa tersebut adalah perbuatan melawan hukum atau

wanprestasi, maka sengketa tersebut menjadi kewenangan arbitrase, kecuali

secara tegas ditentukan dan diatur lain oleh Undang-Undang.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 90: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

80

Universitas Indonesia

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan secara ex officio wajib menolak dan tidak ikut campur terhadap sengketa

perbuatan melawan hukum di antara PT. Tempo dan PT. Roche Indonesia.

Sengketa tersebut termasuk wewenang absolut BANI, lembaga arbitrase yang

disepakati dalam klausul arbitrase Perjanjian Distribusi untuk menyelesaikan

sengketa yang timbul di antara PT. Tempo dan PT. Roche Indonesia.

4.2. Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

No.534/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel.

PT. Prima Citra Perdana adalah badan usaha yang bergerak di bidang

tambang batubara yang mana alat-alat operasionalnya khususnya kendaraan,

dilindungi jasa asuransi oleh PT. Asuransi AXA Indonesia. Perlindungan tersebut

didasarkan pada perjanjian asuransi yang terbagi menjadi 2 (dua) bentuk yaitu

perjanjian untuk asuransi heavy equipment dan perjanjian untuk asuransi

kendaraan bermotor. Masing-masing perjanjian tersebut terdiri dari beberapa

nomor polis yang bermasa periode satu tahun. Dalam perjanjian tersebut PT.

Prima Citra Perdana bertindak selaku Tertanggung dan PT. Asuransi AXA

Indonesia sebagai Penanggung.

Lebih dari setengah masa periode di setiap polis tersebut berjalan atau

sebelum masa periode di setiap polis tersebut berakhir, PT. Asuransi AXA

Indonesia ingin membatalkan kedua perjanjian tersebut dengan alasan loss ratio

dan frekuensi kecelakaan yang tinggi. Kemudian dengan adanya kesepakatan oleh

kedua belah pihak, disetujui bahwa PT. Asuransi AXA Indonesia hanya

mengalihkan kedua perjanjian asuransi tersebut ke perusahaan asuransi lainnya

yaitu PT. Asuransi Indrapura.

Akan tetapi di kemudian hari diketahui bahwa PT. Asuransi AXA

Indonesia tidak menyerahkan sisa premi prorata (nilai premi atas sisa masa

periode yang belum dijalankan) kepada PT. Asuransi Indrapura. Hal ini

menyebabkan PT. Asuransi Indrapura tidak dapat memproses klaim yang diajukan

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 91: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

81

Universitas Indonesia

oleh PT. Prima Citra Perdana. Selanjutnya keberatan diajukan oleh PT. Prima

Citra Perdana kepada PT. Asuransi AXA Indonesia hingga akhirnya PT. Asuransi

AXA Indonesia kembali melakukan Penanggungan atas obyek asuransi yang telah

dialihkannya tersebut.

Setelah PT. Asuransi AXA Indonesia kembali berkedudukan sebagai

Penanggung, PT. Asuransi AXA Indonesia membatalkan seluruh polis atas kedua

perjanjian tersebut melalui surat yang dilayangkan kepada PT. Prima Citra

Perdana. Pembatalan tersebut terjadi sebelum masa periode di setiap polis

berakhir. Pembatalan dilakukan berdasarkan alasan loss ratio dan frekuensi

kecelakaan yang tinggi atas obyek yang ditanggung dalam perjanjian asuransi

heavy equipment, dan alasan tidak adanya surat kendaraan atas obyek yang

ditanggung dalam perjanjian asuransi kendaraan bermotor.

Atas pembatalan tersebut, PT. Prima Citra Perdana mengajukan gugatan

perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap PT.

Asuransi AXA Indonesia. Adapun pokok gugatan PT. Prima Citra Perdana adalah

bahwa PT. Asuransi AXA Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum

sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata karena telah melanggar pasal

1338 dan 1266 KUHPerdata yaitu:

4.2.1. Membatalkan perjanjian secara sepihak dan tanpa kesepakatan atau

persetujuan dari PT. Prima Citra Perdana.

4.2.2. Alasan pembatalan tersebut tidak dibenarkan serta tidak ditentukan atau

tidak diatur dalam ketentuan perjanjian polis sebagai syarat batal.

4.2.3. Alasan loss ratio oleh PT. Asuransi AXA Indonesia adalah tidak benar

karena nilai klaim berbanding nilai premi. Hal ini tidak sesuai dengan

pasal 253 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Dagang yaitu bahwa nilai

klaim berbanding nilai pertanggungan. PT. Asuransi AXA Indonesia

dinilai tidak melaksanakan amanat Pasal 11 ayat (2) Undang-undang No. 2

Tahun 1992 yang menyatakan “setiap perusahaan asuransi wajib

melakukan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip asuransi yang sehat”.

4.2.4. Alasan tidak mempunyai surat kendaraan dinilai sebagai alasan yang tidak

berdasar, karena pada awal perjanjian polis PT. Asuransi AXA Indonesia

seharusnya telah melaksanakan prosedur baku sebagai kewajiban untuk

melakukan inspeksi secara menyeluruh terhadap kendaraan bermotor yang

diasuransikan untuk menghindari munculnya hal-hal yang merugikan

dikemudian hari dan alasan tersebut dipergunakan setelah rata-rata masa

periode perjanjian asuransi (polis) berjalan lama.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 92: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

82

Universitas Indonesia

4.2.5. Pembatalan tersebut tanpa melalui pengadilan atau hakim.

4.2.6. PT. Prima Citra Perdana tidak pernah wanprestasi.

4.2.7. PT. Prima Citra Perdana mengalami kerugian.

Atas gugatan tersebut, PT. Asuransi AXA Indonesia mengajukan eksepsi.

PT. Asuransi AXA Indonesia menyatakan dalam eksepsinya bahwa Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili perkara ini karena gugatan

yang diajukan salah satunya bersumber dari Polis Asuransi Contractors’ Plant and

Machinery. Dalam polis tersebut terdapat klausul arbitrase. sehingga penyelesaian

sengketa yang timbul di antara PT. Prima Citra Perdana dan PT. Asuransi AXA

Indonesia harus mengacu pada ketentuan polis-polis tersebut di atas.

Dalam Butir 7 Conditions pada Polis Asuransi Contractors’ Plant and

Machinery ditentukan sebagai berikut :

If any diference arises as to the amount to be paid under this policy

(liability being otherwise admitted) such diferent shall be reffered to the

decision of an arbitrator to be appointed in writing by the parties in

difference or if they cannot agree upon a single arbitrator to the decision

of two arbitrators, one to be appointed in writing by each of the parties or

in case the arbitrator do not agree of an umpire to be appointed in writing

by the arbitrators before the letter enter upon the reference. The umpire

shall sit with the arbitrators and precide at their meetings. The making of

an award shall be a condition precedent to any write of action againts the

Insurers.

Dengan demikian, PT. Asuransi AXA Indonesia mendalilkan bahwa setiap

perbedaan pendapat atau sengketa yang timbul terkait polis yang ada diselesaikan

melalui forum arbitrase dan bukan melalui pengadilan. Sehingga berdasarkan hal

tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak tepat dan tidak berwenang untuk

memeriksa dan mengadili gugatan yang diajukan oleh PT. Prima Citra Perdana.

Atas eksepsi PT. Asuransi AXA Indonesia, PT. Prima Citra Perdana

membantahnya dengan menyatakan bahwa kewenangan lembaga arbitrase dalam

menangani perselisihan antara para pihak telah dipersempit secara tegas dalam

perjanjian tersebut, yaitu “mengenai suatu jumlah yang harus dibayar

berdasarkan polis ini”. Oleh karena itu, apabila antara PT. Asuransi AXA

Indonesia dan PT. Prima Citra Perdana timbul perbedaan atau perselisihan

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 93: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

83

Universitas Indonesia

mengenai suatu jumlah yang harus dibayar berdasarkan polis ini, secara khusus

maka merupakan kewenangan lembaga arbitrase.

PT. Prima Citra Perdana menyatakan bahwa perselisihan yang timbul

antara para pihak adalah bukan mengenai suatu jumlah yang harus dibayar oleh

PT. Asuransi AXA Indonesia kepada PT. Prima Citra Perdana atau sebaliknya

sesuai kewajiban masing-masing pihak. Gugatan yang diajukan adalah mengenai

penyelesaian perselisihan atas suatu pembatalan perjanjian secara sepihak yang

dilakukan oleh PT. Asuransi AXA Indonesia sebelum masa periode perjanjian

berakhir Pasal 1338 dan Pasal 1266 KUHPerdata.

Pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh PT. Asuransi

AXA Indonesia juga dinilai mengakibatkan adanya suatu tindakan PT. Asuransi

AXA Indonesia yang tidak melakukan dan melaksanakan kedudukannya atau

kewajibannya sebagai Penanggung selama masa periode perjanjian sebagaimana

yang telah disepakatinya. Kewajiban PT. Asuransi AXA Indonesia dalam kedua

perjanjian polis di atas adalah untuk memberikan ganti rugi atas suatu peristiwa

yang tidak pasti kepada Tertanggung sesuai dengan pasal 246 Kitab Undang-

undang Hukum Dagang. Oleh karenanya, tindakan PT. Asuransi AXA Indonesia

dinilai sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan pasal 1338

dan pasal 1266 KUHPerdata.

PT. Prima Citra Perdana selanjutnya menyatakan bahwa pasal dalam

ketentuan perjanjian polis yang menjadi dasar PT. Asuransi AXA Indonesia

melakukan pembatalan sepihak, bukanlah pasal yang berdiri sendiri karena pasal

tersebut dapat diberlakukan apabila syarat batal yang ditentukan dalam perjanjian

polis telah terpenuhi, sebagaimana Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada

Pasal 1348 menyatakan “Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus

diartikan dalam hubungan satu sama lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka

perjanjian seluruhnya”. Sedangkan alasan pembatalan oleh PT. Asuransi AXA

Indonesia, tidak diatur di dalam ketentuan perjanjian polis.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 94: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

84

Universitas Indonesia

Pembatalan perjanjian secara sepihak tanpa alasan atau memakai alasan

sekehendak salah satu pihak di luar apa yang telah ditentukan dalam perjanjian

juga dinilai sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dan/atau

kebiasaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1339 KUHPer yang menyatakan

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat

perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”

Atas replik tersebut, PT. Asuransi AXA Indonesia mengajukan duplik

yang pada pokoknya menyatakan bahwa PT. Prima Citra Perdana hanya

menafsirkan secara sempit terkait klausula arbitrase dalam ketentuan perjanjian

polis. Apabila klausula arbitrase ditafsirkan secara tepat maka sengketa apapun

yang timbul terkait polis adalah kewenangan arbitrase.

Atas dalil-dalil para pihak tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan dalam Putusan Sela No.534/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel memutuskan

menolak eksepsi PT. Asuransi AXA Indonesia dan menyatakan berwenang

mengadili perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh PT.

Prima Citra Perdana melawan PT. Asuransi AXA Indonesia. Majelis Hakim

berpendapat bahwa klausul arbitrase dalam perjanjian asuransi di antara para

pihak tidak mencakup perbuatan melawan hukum dan hanya menyangkut

perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah yang harus dibayar dalam polis

perjanjian asuransi.

Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus Putusan Sela

No.534/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel di atas adalah sebagai berikut :

4.2.8. gugatan PT. Prima Citra Perdana bertitik pangkal pada perbuatan melawan

hukum atas tindakan PT. Asuransi AXA Indonesia yang telah melakukan

pembatalan seluruh polis baik terhadap perjanjian atas asuransi (Polis)

heavy Equipment dengan alasan loss ratio dan frekuensi kecelakaan yang

tinggi, maupun terhadap perjanjian atas asuransi (Polis) kendaraan

bermotor dengan alasan tidak dilengkapi STNK dan BPKP di mana masa

periode semua perjanjian asuransi tersebut belum berakhir.

4.2.9. terbukti dalam bukti Contractors‟Plant and Machinery Policy yang

diajukan dalam eksepsi PT. Asuransi AXA Indonesia, yang menjadi

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 95: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

85

Universitas Indonesia

kewenangan arbitrase adalah kewenangan memeriksa dan menyelesaikan

perselisihan jumlah yang harus dibayar berdasarkan polis, dan bukan

mencakup dalam ruang lingkup perbuatan melawan hukum yang dilakukan

oleh PT. Asuransi AXA Indonesia Dalam butir 7 terjemahan

Contractors‟Plant and Machinery Policy dinyatakan bahwa apabila terjadi

perbedaan atau perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah apapun

yang harus dibayar berdasarkan polis ini, maka perbedaan atau

perselisihan tersebut harus diserahkan dan diselesaikan berdasarkan suatu

keputusan seorang arbitrase yang akan ditunjuk secara tertulis oleh para

pihak yang berselisih.

4.2.10. Oleh karena yang menjadi dasar gugatan PT. Prima Citra Perdana adalah

merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT. Asuransi

AXA Indonesia tentang pembatalan polis, dan bukan mengenai

perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah apapun yang harus dibayar

berdasarkan polis ini, maka penyelesaian perkara ini adalah kewenangan

Pengadilan Negeri dan bukan kewenangan arbiter.

Dalam singkatnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan tersebut

masuk yurisdiksi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena sengketa yang timbul

adalah perbuatan melawan hukum dan bukan mengenai perselisihan yang timbul

terhadap suatu jumlah apapun yang harus dibayar berdasarkan polis. Sengketa

perbuatan melawan hukum kedua belah pihak dipandang menjadi kewenangan

Pengadilan Negeri dan bukan kewenangan arbiter.

Sikap dan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

dalam perkara ini adalah tidak tepat. Seharusnya secara absolut, kewenangan

memeriksa dan mengadili sengketa perbuatan melawan hukum antara PT. Prima

Citra Perdana melawan PT. Asuransi AXA Indonesia adalah menjadi kewenangan

arbitrase sebagaimana ditentukan dalam Butir 7 Conditions pada Polis Asuransi

Contractors’ Plant and Machinery yang ditandatangani kedua belah pihak.

Perbuatan melawan hukum berupa pemutusan kontrak secara sepihak terjadi

karena adanya perbedaan pendapat mengenai pembayaran polis.

Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang secara absolut berada

diluar pengadilan negeri, jelas penyelesaian sengketa dalam perkara ini menjadi

kompetensi absolut arbitrase karena telah diperjanjikan oleh para pihak. Sengketa

perbuatan melawan hukum antara PT. Prima Citra Perdana melawan PT. Asuransi

AXA Indonesia merupakan kewenangan mutlak arbitrase. Dengan adanya klausul

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 96: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

86

Universitas Indonesia

arbitrase, maka Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili

gugatan yang diajukan oleh PT. Prima Citra Perdana.

UU Arbitrase dan APS dalam Pasal 3 telah secara tegas menyatakan

bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak

yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Ketentuan tersebut dipertegas dalam

rumusan Pasal 11 UU Arbitrase dan APS. Meskipun Pasal 5 UU Arbitrase dan

APS tidak menyebutkan secara jelas bahwa sengketa perbuatan melawan hukum

adalah obyek sengketa yang dapat diperiksa dan diputus oleh arbitrase, namun

yang menjadi obyek dari arbitrase adalah sengketa keperdataan secara luas,

meliputi bidang perdagangan, mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta

sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan

perdamaian.

Selanjutnya berdasarkan asas pacta sunt servanda yang terdapat dalam

Pasal 1338 KUHPerdata, klausul atau perjanjian arbitrase yang telah dibuat oleh

PT. Asuransi AXA Indonesia dan PT. Prima Citra Perdana secara sah mengikat

sebagai undang-undang bagi mereka. Segala perselisihan yang timbul dari

perjanjian untuk asuransi heavy equipment dan perjanjian untuk asuransi

kendaraan bermotor yang mengandung klausul arbitrase adalah kompetensi

absolut arbitrase.

Sepanjang terdapat klausula arbitrase dalam perjanjian atau perjanjian

arbitrase di antara para pihak, maka penyelesaian sengketa perdagangan dan hak

dapat diserahkan kepada arbitrase. Sehingga tidak ada batas mengenai sengketa

perdata jenis apa yang dapat diperiksa dan diputus melalui arbitrase. Sejauh

sengketa yang diajukan pada arbitrase adalah sengketa perdata, maka sengketa

tersebut menjadi kewenangan arbitrase baik sengketa tersebut adalah perbuatan

melawan hukum atau wanprestasi, kecuali secara tegas ditentukan dan diatur lain

oleh Undang-Undang.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 97: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

87

Universitas Indonesia

Terlebih dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI di Denpasar

telah terlaksana dari 18-22 September 2005, Mahkamah Agung telah memberikan

Petunjuk Mahkamah Agung tentang Teknis Yudisial dan Manajemen Peradilan.

Dalam ketentuan umumnya, Pasal 1 huruf a menentukan sebagai berikut :

“Pengadilan Negeri/Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara yang

para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase, walaupun hal tersebut didasarkan

pada gugatan perbuatan melawan hukum".146

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan secara ex officio wajib menolak dan tidak ikut campur terhadap sengketa

perbuatan melawan hukum di antara PT. Prima Citra Perdana melawan PT.

Asuransi AXA Indonesia. Sengketa tersebut termasuk wewenang absolut

arbitrase yang disepakati dalam klausul arbitrase Polis Asuransi Contractors’

Plant and Machinery.

4.3. Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

No.535/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel.

PT. Prima Laksana Mandiri adalah badan usaha yang bergerak di bidang

tambang batubara di mana alat-alat operasionalnya khususnya kendaraan,

dilindungi jasa asuransi oleh PT. Asuransi AXA Indonesia. Perlindungan tersebut

berdasarkan perjanjian asuransi yang terbagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu

perjanjian untuk asuransi heavy equipment dan perjanjian untuk asuransi

kendaraan bermotor. Masing-masing perjanjian tersebut terdiri dari beberapa

nomor polis yang bermasa periode satu tahun. Di dalam perjanjian tersebut PT.

Prima Laksana Mandiri bertindak selaku tertanggung dan PT. Asuransi AXA

Indonesia sebagai penanggung.

146 Pengadilan Negeri Sleman. Petunjuk Mahkamah Agung Berkaitan Dengan Persoalan

Teknis-Yudisial Yang Telah Dirumuskan Dalam Rakernas Denpasar September 2005. 30

November 2012 <http://www.pn-sleman.go.id/index.php/skrg-tahap-iii-reformasi-birokrasi-

131/49-rakernas-denpasar/rakernas-denpasar/126-petunjuk-ma-teknis-yudisial-perdata>.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 98: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

88

Universitas Indonesia

Lebih dari setengah masa periode di setiap polis tersebut berjalan atau

sebelum masa periode di setiap polis tersebut berakhir, PT. Asuransi AXA

Indonesia ingin membatalkan kedua perjanjian tersebut dengan alasan loss ratio

dan frekuensi kecelakaan yang tinggi. Kemudian dengan adanya kesepakatan oleh

kedua belah pihak, disetujui bahwa PT. Asuransi AXA Indonesia hanya

mengalihkan kedua perjanjian asuransi tersebut ke perusahaan asuransi lainnya

yaitu PT. Asuransi Indrapura.

Akan tetapi di kemudian hari diketahui bahwa PT. Asuransi AXA

Indonesia tidak menyerahkan sisa premi prorata (nilai premi atas sisa masa

periode yang belum dijalankan) kepada PT. Asuransi Indrapura. Hal ini

menyebabkan PT. Asuransi Indrapura tidak dapat memproses klaim yang diajukan

oleh PT. Prima Laksana Mandiri. Selanjutnya keberatan diajukan oleh PT. Prima

Laksana Mandiri kepada PT. Asuransi AXA Indonesia hingga akhirnya PT.

Asuransi AXA Indonesia kembali melakukan Penanggungan atas obyek asuransi

yang telah dialihkannya tersebut.

Setelah PT. Asuransi AXA Indonesia kembali berkedudukan sebagai

Penanggung, PT. Asuransi AXA Indonesia membatalkan seluruh polis atas kedua

perjanjian tersebut melalui surat yang dilayangkan kepada PT. Prima Laksana

Mandiri. Pembatalan tersebut terjadi sebelum masa periode di setiap polis

berakhir. Pembatalan dilakukan berdasarkan alasan loss ratio dan frekuensi

kecelakaan yang tinggi atas obyek yang ditanggung dalam perjanjian asuransi

heavy equipment, dan alasan tidak adanya surat kendaraan atas obyek yang

ditanggung dalam perjanjian asuransi kendaraan bermotor.

Atas pembatalan tersebut, PT. Prima Laksana Mandiri mengajukan

gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap

PT. Asuransi AXA Indonesia. Adapun pokok gugatan PT. Prima Laksana Mandiri

adalah bahwa PT. Asuransi AXA Indonesia telah melakukan perbuatan melawan

hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata karena telah melanggar

pasal 1338 dan 1266 KUHPerdata yaitu:

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 99: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

89

Universitas Indonesia

4.3.1. Membatalkan perjanjian secara sepihak dan tanpa kesepakatan atau

persetujuan dari PT. Prima Citra Perdana.

4.3.2. Alasan pembatalan tersebut tidak dibenarkan serta tidak ditentukan atau

tidak diatur dalam ketentuan perjanjian polis sebagai syarat batal.

4.3.3. Alasan loss ratio oleh PT. Asuransi AXA Indonesia adalah tidak benar

karena nilai klaim berbanding nilai premi. Hal ini tidak sesuai dengan

pasal 253 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Dagang yaitu bahwa nilai

klaim berbanding nilai pertanggungan. PT. Asuransi AXA Indonesia

dinilai tidak melaksanakan amanat Pasal 11 ayat (2) Undang-undang No. 2

Tahun 1992 yang menyatakan “setiap perusahaan asuransi wajib

melakukan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip asuransi yang sehat”.

4.3.4. Alasan tidak mempunyai surat kendaraan dinilai sebagai alasan yang tidak

berdasar, karena pada awal perjanjian polis PT. Asuransi AXA Indonesia

seharusnya telah melaksanakan prosedur baku sebagai kewajiban untuk

melakukan inspeksi secara menyeluruh terhadap kendaraan bermotor yang

diasuransikan untuk menghindari munculnya hal-hal yang merugikan

dikemudian hari dan alasan tersebut dipergunakan setelah rata-rata masa

periode perjanjian asuransi (polis) berjalan lama.

4.3.5. Pembatalan tersebut tanpa melalui pengadilan atau hakim.

4.3.6. PT. Prima Laksana Mandiri tidak pernah wanprestasi.

4.3.7. PT. Prima Laksana Mandiri mengalami kerugian.

Atas gugatan tersebut, PT. Asuransi AXA Indonesia mengajukan eksepsi.

PT. Asuransi AXA Indonesia menyatakan dalam eksepsinya bahwa Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili perkara ini karena gugatan

yang diajukan salah satunya bersumber dari Polis Asuransi Contractors’ Plant and

Machinery. Dalam polis tersebut terdapat klausul arbitrase. sehingga penyelesaian

sengketa yang timbul di antara PT. Prima Laksana Mandiri dan PT. Asuransi

AXA Indonesia harus mengacu pada ketentuan polis-polis tersebut di atas.

Dalam Butir 7 Conditions pada Polis Asuransi Contractors’ Plant and

Machinery ditentukan sebagai berikut :

If any diference arises as to the amount to be paid under this policy

(liability being otherwise admitted) such diferent shall be reffered to the

decision of an arbitrator to be appointed in writing by the parties in

difference or if they cannot agree upon a single arbitrator to the decision

of two arbitrators, one to be appointed in writing by each of the parties or

in case the arbitrator do not agree of an umpire to be appointed in writing

by the arbitrators before the letter enter upon the reference. The umpire

shall sit with the arbitrators and precide at their meetings. The making of

an award shall be a condition precedent to any write of action againts the

Insurers.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 100: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

90

Universitas Indonesia

Dengan demikian, PT. Asuransi AXA Indonesia mendalilkan bahwa setiap

perbedaan pendapat atau sengketa yang timbul terkait polis yang ada diselesaikan

melalui forum arbitrase dan bukan melalui pengadilan. Sehingga berdasarkan hal

tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak tepat dan tidak berwenang untuk

memeriksa dan mengadili gugatan yang diajukan oleh PT. Prima Laksana

Mandiri.

Terhadap PT. Asuransi AXA Indonesia, PT. Prima Laksana Mandiri

membantahnya dengan menyatakan bahwa kewenangan lembaga arbitrase dalam

menangani perselisihan antara para pihak telah dipersempit secara tegas dalam

perjanjian tersebut, yaitu “mengenai suatu jumlah yang harus dibayar

berdasarkan polis ini”. Oleh karena itu, apabila antara PT. Asuransi AXA

Indonesia dan PT. Prima Laksana Mandiri timbul perbedaan atau perselisihan

mengenai suatu jumlah yang harus dibayar berdasarkan polis ini, secara khusus

maka merupakan kewenangan lembaga arbitrase.

PT. Prima Laksana Mandiri menyatakan bahwa perselisihan yang timbul

antara para pihak adalah bukan mengenai suatu jumlah yang harus dibayar oleh

PT. Asuransi AXA Indonesia kepada PT. Prima Laksana Mandiri atau sebaliknya

sesuai kewajiban masing-masing pihak. Gugatan yang diajukan adalah mengenai

penyelesaian perselisihan atas suatu pembatalan perjanjian secara sepihak yang

dilakukan oleh PT. Asuransi AXA Indonesia sebelum masa periode perjanjian

berakhir Pasal 1338 dan Pasal 1266 KUHPerdata.

Pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh PT. Asuransi

AXA Indonesia juga dinilai mengakibatkan adanya suatu tindakan PT. Asuransi

AXA Indonesia yang tidak melakukan dan melaksanakan kedudukannya atau

kewajibannya sebagai Penanggung selama masa periode perjanjian sebagaimana

yang telah disepakatinya. Kewajiban PT. Asuransi AXA Indonesia dalam kedua

perjanjian polis di atas adalah untuk memberikan ganti rugi atas suatu peristiwa

yang tidak pasti kepada Tertanggung sesuai dengan pasal 246 Kitab Undang-

undang Hukum Dagang. Oleh karenanya, tindakan PT. Asuransi AXA Indonesia

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 101: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

91

Universitas Indonesia

dinilai sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan pasal 1338

dan pasal 1266 KUHPerdata.

PT. Prima Laksana Mandiri selanjutnya menyatakan bahwa pasal dalam

ketentuan perjanjian polis yang menjadi dasar PT. Asuransi AXA Indonesia

melakukan pembatalan sepihak, bukanlah pasal yang berdiri sendiri karena pasal

tersebut dapat diberlakukan apabila syarat batal yang ditentukan dalam perjanjian

polis telah terpenuhi, sebagaimana Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada

Pasal 1348 menyatakan “Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus

diartikan dalam hubungan satu sama lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka

perjanjian seluruhnya”. Sedangkan alasan pembatalan oleh PT. Asuransi AXA

Indonesia, tidak diatur di dalam ketentuan perjanjian polis.

Pembatalan perjanjian secara sepihak tanpa alasan atau memakai alasan

sekehendak salah satu pihak di luar apa yang telah ditentukan dalam perjanjian

juga dinilai sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dan/atau

kebiasaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1339 KUHPer yang menyatakan

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat

perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”

Atas replik tersebut, PT. Asuransi AXA Indonesia mengajukan duplik

yang pada pokoknya menyatakan bahwa PT. Prima Laksana Mandiri hanya

menafsirkan secara sempit terkait klausula arbitrase dalam ketentuan perjanjian

polis. Apabila klausula arbitrase ditafsirkan secara tepat maka sengketa apapun

yang timbul terkait polis adalah kewenangan arbitrase.

Atas dalil-dalil para pihak tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan dalam Putusan Sela No.535/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel memutuskan

menolak eksepsi PT. Asuransi AXA Indonesia dan menyatakan berwenang

mengadili perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh PT.

Prima Laksana Mandiri melawan PT. Asuransi AXA Indonesia. Majelis Hakim

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 102: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

92

Universitas Indonesia

berpendapat bahwa klausul arbitrase dalam perjanjian asuransi di antara para

pihak tidak mencakup perbuatan melawan hukum dan hanya menyangkut

perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah yang harus dibayar dalam polis

perjanjian asuransi.

Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus Putusan Sela

No.535/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel di atas adalah sebagai berikut :

4.3.8. gugatan PT. Prima Laksana Mandiri bertitik pangkal pada perbuatan

melawan hukum atas tindakan PT. Asuransi AXA Indonesia yang telah

melakukan pembatalan seluruh polis baik terhadap perjanjian atas asuransi

(Polis) heavy Equipment dengan alasan loss ratio dan frekuensi

kecelakaan yang tinggi, maupun terhadap perjanjian atas asuransi (Polis)

kendaraan bermotor dengan alasan tidak dilengkapi STNK dan BPKP di

mana masa periode semua perjanjian asuransi tersebut belum berakhir.

4.3.9. terbukti dalam bukti Contractors‟Plant and Machinery Policy yang

diajukan dalam eksepsi PT. Asuransi AXA Indonesia, yang menjadi

kewenangan arbitrase adalah kewenangan memeriksa dan menyelesaikan

perselisihan jumlah yang harus dibayar berdasarkan polis, dan bukan

mencakup dalam ruang lingkup perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh PT. Asuransi AXA Indonesia Dalam butir 7 terjemahan

Contractors‟Plant and Machinery Policy dinyatakan bahwa apabila terjadi

perbedaan atau perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah apapun

yang harus dibayar berdasarkan polis ini, maka perbedaan atau

perselisihan tersebut harus diserahkan dan diselesaikan berdasarkan suatu

keputusan seorang arbitrase yang akan ditunjuk secara tertulis oleh para

pihak yang berselisih.

4.3.10. Oleh karena yang menjadi dasar gugatan PT. Prima Laksana Mandiri

adalah merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT.

Asuransi AXA Indonesia tentang pembatalan polis, dan bukan mengenai

perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah apapun yang harus dibayar

berdasarkan polis ini, maka penyelesaian perkara ini adalah kewenangan

Pengadilan Negeri dan bukan kewenangan arbiter.

Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan tersebut masuk yurisdiksi

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena sengketa yang timbul adalah perbuatan

melawan hukum dan bukan mengenai perselisihan yang timbul terhadap suatu

jumlah apapun yang harus dibayar berdasarkan polis. Sengketa perbuatan

melawan hukum kedua belah pihak dipandang menjadi kewenangan Pengadilan

Negeri dan bukan kewenangan arbiter.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 103: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

93

Universitas Indonesia

Pernyataan dan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan dalam perkara ini adalah tidak tepat. Seharusnya secara absolut,

kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perbuatan melawan hukum

antara PT. Prima Laksana Mandiri melawan PT. Asuransi AXA Indonesia adalah

menjadi kewenangan arbitrase sebagaimana ditentukan dalam Butir 7 Conditions

pada Polis Asuransi Contractors’ Plant and Machinery yang ditandatangani kedua

belah pihak. Perbuatan melawan hukum berupa pemutusan kontrak secara sepihak

terjadi karena adanya perbedaan pendapat mengenai pembayaran polis.

Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang secara absolut berada

di luar pengadilan negeri, jelas penyelesaian sengketa dalam perkara ini menjadi

kompetensi absolut arbitrase karena telah diperjanjikan oleh para pihak. Sengketa

perbuatan melawan hukum antara PT. Prima Laksana Mandiri melawan PT.

Asuransi AXA Indonesia merupakan kewenangan mutlak arbitrase. Dengan

adanya klausul arbitrase, maka Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak

berwenang mengadili gugatan yang diajukan oleh PT. Prima Laksana Mandiri.

Pasal 3 UU Arbitrase dan APS dalam telah secara tegas menyatakan

bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak

yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Ketentuan tersebut selanjutnya dipertegas

kembali dalam rumusan Pasal 11 UU Arbitrase.

Meskipun Pasal 5 UU Arbitrase dan APS tidak menyebutkan secara jelas

bahwa sengketa perbuatan melawan hukum adalah obyek sengketa yang dapat

diperiksa dan diputus oleh arbitrase, namun yang menjadi obyek dari arbitrase

adalah sengketa keperdataan secara luas, meliputi bidang perdagangan, mengenai

hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta sengketa yang menurut peraturan

perundang-undangan dapat diadakan perdamaian. Sehingga sengketa yang

diselesaikan di arbitrase adalah sengketa keperdataan, baik berbentuk wanprestasi

maupun perbuatan melawan hukum.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 104: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

94

Universitas Indonesia

Sepanjang terdapat klausula arbitrase dalam perjanjian atau perjanjian

arbitrase di antara para pihak, maka penyelesaian sengketa perdagangan dan hak

dapat diserahkan kepada arbitrase. Tidak ada batas mengenai sengketa perdata

jenis apa yang dapat diperiksa dan diputus melalui arbitrase.

Merujuk pada asas pacta sunt servanda pada Pasal 1338 KUHPerdata

bahwa perjanjian yang sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang

membuatnya, maka klausul arbitrase yang telah dibuat secara sah oleh PT.

Asuransi AXA Indonesia dengan PT. Prima Laksana Mandiri mengikat sebagai

undang-undang bagi mereka. Keduanya harus mematuhi dan tunduk pada klausul

tersebut serta menyerahkan sengketa yang timbul dari perjanjian untuk asuransi

heavy equipment dan perjanjian untuk asuransi kendaraan bermotor kepada

lembaga arbitrase.

Terlebih lagi Mahkamah Agung telah menyatakan ketegasannya untuk

menghormati klausul arbitrase dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI

di Denpasar yang dilaksanakan pada 18-22 September 2005. Mahkamah Agung

telah menerbitkab Petunjuk Mahkamah Agung tentang Tehnis Yudisial dan

Manajemen Peradilan. Dalam ketentuan umumnya, Pasal 1 huruf a menyatakan

bahwa :

Pengadilan Negeri/Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara

yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase, walaupun hal

tersebut didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum.147

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan secara jabatannya wajib menolak dan tidak ikut campur terhadap sengketa

perbuatan melawan hukum di antara PT. Prima Laksana Mandiri melawan PT.

Asuransi AXA Indonesia. Sengketa tersebut termasuk wewenang absolut

arbitrase yang disepakati dalam klausul arbitrase Polis Asuransi Contractors’

Plant and Machinery.

147 Pengadilan Negeri Sleman. Loc.Cit.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 105: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

95

Universitas Indonesia

4.4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST.

Para pihak di dalam perkara ini adalah PT. Istana Noodle House dan PT.

Plaza Indonesia Realty Tbk. PT. Istana Noodle House adalah penyewa tempat di

dalam Plaza Indonesia milik PT. Plaza Indonesia Realty Tbk, yang digunakan

sebagai restoran dengan nama Imperial Treasure. Sewa menyewa tersebut

dituangkan dalam Perjanjian Sewa Menyewa No.LAR-1241/25/07/07/L1113

tertanggal 25 Juli 2007.

Sengketa berawal dari adanya ledakan pipa gas pada 19 September 2008

yang terjadi di tempat yang disewa oleh PT. Istana Noodle House. Kebakaran pipa

gas tersebut terjadi sebagai akibat dari pekerjaan penggantian meteran air dan gas

yang dilakukan oleh PT Jaga Citra Inti, kontraktor yang ditunjuk oleh PT. Plaza

Indonesia Realty Tbk. Atas kerusakan yang terjadi dan dilakukannya renovasi,

PT. Istana Noodle House berhenti beroperasi selama 88 hari sejak 19 September

2008 hingga 15 Desember 2008. Hal ini menyebabkan PT. Istana Noodle House

menderita kerugian.

Setelah mengirimkan somasi dan tidak mendapatkan ganti rugi dari PT.

Plaza Indonesia Realty Tbk, PT. Istana Noodle House kemudian mengajukan

permohonan arbitrase pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Hal ini

didasarkan pada klausul arbitrase yang terdapat di dalam perjanjian sewa antara

PT. Istana Noodle House dengan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk, Pasal 21 ayat 2

Perjanjian Sewa yang menyatakan sebagai berikut :

“Setiap ketidaksepakatan atau perselisihan yang tidak dapat diselesaikan

secara baik-baik oleh dan antara para pihak, akan, kecuali ditentukan lain

dalam kontrak Sewa ini, diserahkan kepada Dewan Arbitrasi yang

dibentuk berdasarkan peraturan Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI) dan ketentuan dari bagian 21”

PT. Istana Noodle House dalam permohonannya kepada Badan Arbitrase

Nasional Indonesia mendalilkan bahwa PT. Plaza Indonesia Realty Tbk telah

melakukan perbuatan melawan hukum dengan memerintahkan pekerjaan

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 106: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

96

Universitas Indonesia

penggantian meteran air dan gas kepada kontraktor PT Jaga Citra Inti yang

menyebabkan kebakaran pipa gas pada restoran Imperial Treasure dan

mengakibatkan PT. Istana Noodle House menderita kerugian.

Majelis arbiter BANI yang diketuai M. Husseyn S.H. dengan anggota

Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D, FCBArb. dan Prof. Dr. Remy

Sjahdeni dalam Putusan No.296/II/ARB.BANI/2009 memutus PT. Plaza Indonesia

Realty Tbk telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum PT.

Plaza Indonesia Realty Tbk untuk membayar kerugian yang diderita PT. Istana

Noodle House.

Dari perkara No.296/II/ARB.BANI/2009 antara PT. Istana Noodle House

melawan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk di atas menunjukkan bahwa BANI

sebagai lembaga arbitrase telah menyatakan berwenang memeriksa sengketa

perbuatan melawan hukum dengan menerima permohonan arbitrase yang

diajukan PT. Istana Noodle House dan memutusnya. Kemudian majelis arbiter

juga memutus dengan menyatakan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk telah

melakukan perbuatan melawan hukum.

Atas putusan arbitrase tersebut, PT. Plaza Indonesia Realty Tbk

mengajukan permohonan pembatalan Putusan BANI No.296/II/ARB-BANI/2009

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam permohonan pembatalannya, kuasa

hukum PT. Plaza Indonesia Realty Tbk menyatakan bahwa PT. Istana Noodle

House tidak berhak menuntut ganti rugi melalui BANI.

Alasan permohonan pembatalan tersebut yang pertama adalah terdapatnya

tipu muslihat yang dilakukan oleh PT. Istana Noodle House dalam pemeriksaan

arbitrase di BANI. Alasan lainnya adalah bahwa kedua belah pihak terikat pada

Lease Agreement dan Lease Condition tertanggal 25 Juli 2007. Salah satu klausul

perjanjian menentukan penyewa membebaskan pemberi sewa dari semua klaim

atas kecelakaan, kerusakan, kehilangan, kematian atau cidera yang terjadi di

tempat sewaan. Klausul lain menentukan, penyewa bertanggung jawab

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 107: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

97

Universitas Indonesia

sepenuhnya atas penempatan, penggunaan dan tempat pemeliharaan sewaan.

Alasan lain yang juga dikemukakan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk adalah bahwa

majelis arbitrase BANI tidak berwenang memeriksa sengketa perbuatan melawan

hukum dan kewenangan untuk memeriksa sengketa demikian adalah kewenangan

absolut dari peradilan umum.

Atas permohonan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk tersebut, PT Istana

Noodle mengajukan eksepsi. Dalam bantahannya, PT. Istana Noodle mendalilkan

antara lain sebagai berikut :

4.4.1. dasar diajukannya pembatalan telah melampaui jangka waktu maksimal

permohonan pembatalan putusan arbitrase yaitu 30 hari karena selama

proses mediasi dalam pengadilan telah mencapai waktu 40 hari;

4.4.2. perkara yang diajukan oleh PT. Plaza Indonesia Realty Tbk telah diputus

dengan putusan yang final dan mengikat oleh majelis arbiter BANI dengan

putusan No:296/II/ARB-BANI/2009;

4.4.3. tidak ada dasar hukum untuk mengajukan permohonan pembatalan

putusan BANI karena tidak ada tipu muslihat dilakukan oleh PT. Istana

Noodle House yang dibuktikan dalam suatu putusan pengadilan;

4.4.4. majelis arbitrase berwenang memeriksa segala sengketa yang berhubungan

dengan PT. Istana Noodle House dan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk

berdasarkan klausul arbitrase dalam perjanjian sewa di antara mereka,

termasuk sengketa perbuatan melawan hukum;

Terhadap permohonan pembatalan putusan BANI di atas, Majelis Hakim

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Putusan Sela

No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST tertanggal 21 April 2010 memutuskan menolak

eksepsi PT. Istana Noodle House dan menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat berwenang memeriksa dan mengadili permohonan pembatalan Putusan

BANI No:296/II/ARB-BANI/2009.

Setelah melalui proses pemeriksaan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat dalam Putusan No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST tertanggal 27 Mei

2010 memutuskan menolak permohonan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk. Dalam

pertimbangannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa dengan adanya klausul

arbitrase dalam perjanjian sewa No.LAR-1241/25/07/07/L1113 tertanggal 15 Juli

2007 mengakibatkan para pihak mutlak menundukkan diri pada UU Arbitrase dan

APS. Oleh karena permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan tidak

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 108: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

98

Universitas Indonesia

didasarkan pada adanya suatu tipu muslihat yang telah terbukti oleh suatu putusan

pengadilan, maka permohonan dikesampingkan oleh Majelis Hakim. Permohonan

PT. Plaza Indonesia Realty Tbk dinilai telah menyimpang dari ketentuan Pasal 70

UU Arbitrase dan APS.

Sehingga dalam putusan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak

berpendapat dan menyatakan bahwa oleh karena sengketa di antara para pihak

adalah sengketa perbuatan melawan hukum maka menjadikan pengadilan menjadi

berwenang untuk membatalkan Putusan BANI No.296/II/ARB-BANI/2009 dan

memeriksa sendiri sengketa tersebut. Sengketa perbuatan melawan hukum tidak

dapat dijadikan dasar sebagai permohonan pembatalan putusan arbitrase.

Sikap dan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam

perkara yang menyatakan bahwa sengketa perbuatan melawan hukum tidak dapat

dijadikan dasar sebagai permohonan pembatalan putusan arbitrase adalah tepat.

Memang secara absolut, kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa yang

timbul di antara PT. Plaza Indonesia Realty Tbk dan PT. Istana Noodle House

termasuk perbuatan melawan hukum adalah menjadi kewenangan BANI

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat 2 Perjanjian Sewa yang

ditandatangani kedua belah pihak.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, fokus klausul atau perjanjian

arbitrase ditujukan pada masalah penyelesaian sengketa yang timbul dari

perjanjian pokok, baik wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Klausul

atau perjanjian arbitrase bukan perjanjian bersyarat. Pelaksanaan klausul atau

perjanjian arbitrase tidak digantungkan pada suatu hal tertentu yang terjadi di

masa mendatang. Klausul atau perjanjian arbitrase tidak menjadi berlaku apabila

sengketa yang timbul akibat dari kelalaian salah satu pihak dalam perjanjian

pokok. Klausul arbitase menjadi perjanjian guna menegakkan kembali hak-hak

para pihak atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 109: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

99

Universitas Indonesia

Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang secara absolut berada

di luar pengadilan negeri, jelas penyelesaian sengketa perbuatan melawan hukum

dalam perkara ini menjadi kompetensi absolut arbitrase karena telah diperjanjikan

oleh para pihak. Sengketa perbuatan melawan hukum antara PT. Plaza Indonesia

Realty Tbk dan PT. Istana Noodle House merupakan kewenangan mutlak badan

abitrase yaitu BANI.

Sebagaimana telah ditentukan dalam UU Arbitrase dan APS, pengadilan

negeri tidak berwenang memeriksa dan memutus sengketa yang timbul dari para

pihak yang terikat dengan klausul arbitrase. Dasar hukum tersebut ditentukan

dalam Pasal 3 dan 11 UU Arbitrase dan APS. Pasal 3 UU Arbitrase dan APS

menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa

para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Selanjutnya Pasal 11 UU

Arbitrase dan APS kembali mempertegasnya.

Meskipun Pasal 5 UU Arbitrase dan APS tidak menyebutkan secara jelas

bahwa sengketa perbuatan melawan hukum adalah obyek sengketa yang dapat

diperiksa dan diputus oleh arbitrase, namun yang menjadi obyek dari arbitrase

adalah sengketa keperdataan secara luas, meliputi bidang perdagangan, mengenai

hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta sengketa yang menurut peraturan

perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.

Jika merujuk Pasal 6 ayat 1 UU Arbitrase dan APS yang menyatakan

bahwa sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak

melalui alternatif penyelesaian sengketa dengan mengesampingkan penyelesaian

secara litigasi di Pengadilan Negeri, 148

maka sengketa perbuatan melawan hukum

dapat diajukan pada arbitrase. Sejauh sengketa yang diajukan pada arbitrase

148 Pasal 6 ayat 1 UU Arbitrase dan APS:

Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui

alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan

mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 110: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

100

Universitas Indonesia

adalah sengketa perdata, sengketa tersebut menjadi kewenangan arbitrase sebagai

lembaga penyelesaian sengketa di luar Pengadilan Negeri.

Selanjutnya berdasarkan asas pacta sunt servanda pada Pasal 1338

KUHPerdata, klausul atau perjanjian arbitrase yang telah dibuat secara sah

mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan harus

dipatuhi. Sehingga apapun jenis sengketa yang timbul dari perjanjian yang

mengandung klausul arbitrase yang dibuat oleh para pihak menjadi kompetensi

absolut arbitrase.

Putusan Majelis Hakim dalam perkara ini selaras dengan sikap dan

komitmen Mahkamah Agung. Melalui Pasal 1 huruf a Petunjuk Mahkamah

Agung tentang Tehnis Yudisial dan Manajemen Peradilan yang disampaikan

dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI di Denpasar yang dilaksanakan

pada 18-22 September 2005, Mahkmah Agung memerintahkan bahwa Pengadilan

Negeri/Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara yang para

pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase, walaupun hal tersebut didasarkan

pada gugatan perbuatan melawan hukum.149

Jika terdapat klausula atau perjanjian arbitrase di antara para pihak, maka

penyelesaian sengketa perdagangan dan hak mutlak dapat diserahkan kepada

arbitrase. Tidak ada batas mengenai sengketa perdata jenis apa yang dapat

diperiksa dan diputus melalui arbitrase.

4.5. Putusan Mahkamah Agung No.182PK/Pdt/2006

PT. Armada Eka Llyod mengadakan perjanjian sewa-menyewa (time

charter) kapal M.V. Master Pioneer tanggal 12 Juli 1994 dengan Samsung

Shipping Corporation. Dalam perjanjian tersebut, Samsung Shipping Corporation

menempatkan dirinya sebagi pemilik kapal. Disepakati bahwa jangka waktu sewa

149 Pengadilan Negeri Sleman. Loc.Cit.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 111: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

101

Universitas Indonesia

kapal adalah 15 hari dengan biaya sewa sebesar USD 7500/hari. Biaya sewa

tersebut kemudian telah dibayar PT. Armada Eka Llyod.

Setelah penandatanganan perjanjian time charter di atas, kapal di bawah

pimpinan Capt. Elosoo M Pusyo pada 24 Juli 1995 mulai memuat barang dari

Qing Dao untuk tujuan Jakarta dan Surabaya. Kemudian memuat pula barang dari

Shanghai pada 31 Juli 1995 untuk tujuan yang sama.

Setelah kapal M.V. Master Pioneer berlayar meninggalkan Shanghai, PT.

Armada Eka Llyod mendapat kabar bahwa kedua generator terbakar dan

mengakibatkan kapal kehilangan daya listrik sehingga tidak dapat berlayar dan

memerlukan bantuan untuk digandeng di Singapura. Terjadi pembuangan

sebagian muatan ke laut dan pembongkaran muatan tidak pada pelabuhan tujuan

asal.

PT. Armada Eka Llyod kemudian mencari informasi dan menemukan

fakta bahwa Samsung Shipping Corporation ternyata bukan pemilik kapal M.V.

Master Pioneer. Kapal tersebut sebenarnya milik Master Ocean Shipping (TD)

Monrobia Liberia. Fakta lain yang diketahui dari laporan keadaan kapal dan

muatan adalah bahwa ternyata tidak ada keadaan darurat yang dapat

membahayakan kapal dan muatannya.

Atas fakta tersebut PT. Armada Eka Llyod mengajukan gugatan terhadap

Samsung Shipping Corporation, Capt. Elosoo M Pusyo dan Master Ocean

Shipping (TD) Monrobia Liberia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena

perbuatan melawan hukum yang mereka lakukan. PT. Armada Eka Llyod merasa

dibohongi oleh Samsung Shipping Corporation yang di awal perjanjian

menyatakan sebagai pemilik kapal M.V. Master Pioneer dan merasa dibohongi

oleh Capt. Elosoo M Pusyo yang melakukan tindakan pembuangan dan

pembongkaran muatan padahal tidak ada keadaan darurat yang membahayakan

kapal. Atas perbuatan melawan hukum tersebut, PT. Armada Eka Llyod

mengalami kerugian.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 112: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

102

Universitas Indonesia

Terhadap gugatan tersebut, Samsung Shipping Corporation mengajukan

eksepsi kompetensi absolut dengan dalil Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak

berwenang mengadili perkara tersebut. Hal ini disebabkan bahwa dalam

perjanjian sewa-menyewa (time charter) di antara para pihak terdapat klausul

arbitrase.

Bahwa Pasal 17 perjanjian sewa-menyewa Charter Party tertanggal 12 Juli

1995 menetapkan bahwa segala perselisihan yang timbul didasarkan perjanjian

tersebut harus diajukan pada Arbitrase di London dengan cara yang ditentukan

secara lebih terperinci dalam perjanjian tersebut. Pasal ini berbunyi sebagai

berikut :

“That should any dispute arise between owners and the Charterers, the

matter in dispute shall be reffered to three persons at London, one person

to be appointed by each of the parties hereto, and the third party by the

two so chosen, their decision or that of any two of them, shall be final, and

for the purpose of enforcing any award, this agreement may be made a

rule of court. The arbitrator shall be commercial men”

Oleh karena gugatan PT. Armada Eka Llyod adalah terkait pelaksanaan

perjanjian sewa-menyewa (charter party ) kapal M.V. Master Pioneer yang di

tuangkan dalam Charter Party tertanggal 12 Juli 1995, maka menurut Samsung

Shipping Corporation yang berwenang mengadili sengketa di antara keduanya

adalah lembaga arbitrase di London. Bahkan Samsung Shipping Corporation telah

mengajukan permohonan arbitrase di London dan mendapatkan putusan pada

tanggal 29 November 1995.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus gugatan tersebut dengan

Putusan No.497/Pdt.G/1995/PN.Jkt.Pst tanggal 24 April 1996. Dalam

putusannya, Majelis Hakim memutuskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak

berwenang memeriksa dan mengadili gugatan perbuatan melawan hukum yang

timbul dari perjanjian sewa-menyewa kapal M.V. Master Pioneer.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 113: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

103

Universitas Indonesia

PT. Armada Eka Llyod mengajukan banding atas putusan tersebut ke

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis Hakim di tingkat pengadilan banding

dalam Putusan No.292/Pdt/1997/PT.DKI tanggal 18 Juni 1997 memutuskan

menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

PT. Armada Eka Llyod kembali mengajukan upaya hukum kasasi ke

Mahkamah Agung. Namun permohonan kasasi tersebut ditolak dengan Putusan

Kasasi Mahkamah Agung No.1246K/Pdt/2000.

Upaya terakhir dilakukan oleh PT. Armada Eka Llyod dengan mengajukan

peninjauan kembali. Dalam Putusan No.182PK/Pdt/2006 tertanggal 26 Juni 2009,

Mahkamah Agung memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali

tersebut.

Dalam perkara ini, sikap Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan

Pengadilan Negeri konsisten untuk menyatakan tidak berwenang mengadili

sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari perjanjian sewa menyewa

dengan klausul arbitrase di dalamnya. Judex Factie dan Judex Juris telah

menghormati klausul arbitrase yang disepakati oleh para pihak.

Sikap dan pendapat Judex Factie dan Judex Juris dalam perkara ini adalah

tepat. Memang secara absolut, kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa

yang timbul di antara PT. Armada Eka Llyod dan Samsung Shipping Corporation

termasuk perbuatan melawan hukum, adalah menjadi kewenangan arbitrase di

London sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 perjanjian sewa-menyewa

Charter Party tertanggal 12 Juli 1995 yang ditandatangani kedua belah pihak.

Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang secara absolut berada

diluar pengadilan negeri, jelas penyelesaian sengketa perbuatan melawan hukum

dalam perkara ini menjadi kompetensi absolut arbitrase karena telah diperjanjikan

oleh para pihak. Sengketa perbuatan melawan hukum antara PT. Armada Eka

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 114: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

104

Universitas Indonesia

Llyod dan Samsung Shipping Corporation merupakan kewenangan mutlak badan

abitrase di London.

Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dalam

perkara ini memutus sesuai dengan ketentuan UU Arbitrase dan APS dalam Pasal

3, yang telah secara tegas menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang

untuk mengadili sengketa para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase.

Putusan tersebut juga sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU Arbitrase dan APS.

Meskipun Pasal 5 UU Arbitrase dan APS tidak menyebutkan secara jelas

bahwa sengketa perbuatan melawan hukum adalah obyek sengketa yang dapat

diperiksa dan diputus oleh arbitrase, namun putusan Mahkamah Agung,

Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dalam perkara ini menunjukan bahwa

yang menjadi obyek dari arbitrase adalah sengketa keperdataan secara luas.

Putusan Judex Factie dan Judex Juris selaras dengan ketentuan Pasal 6

ayat 1 UU Arbitrase dan APS yang menyatakan bahwa sengketa atau beda

pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif

penyelesaian sengketa dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di

Pengadilan Negeri. Jika merujuk pada Pasal 6 ayat 1 UU Arbitrase dan APS ini

maka dapat disimpulkan bahwa sengketa perbuatan melawan hukum dapat

diajukan pada arbitrase. Sejauh sengketa yang diajukan pada arbitrase adalah

sengketa perdata, sengketa tersebut menjadi kewenangan arbitrase sebagai

lembaga penyelesaian sengketa di luar Pengadilan Negeri.

Asas pacta sunt servanda yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata

mengandung ketentuan bahwa setiap perjanjian mengikat kepada para pihak,

kekuatan mengikatnya serupa dengan ketentuan undang-undang, dan hanya dapat

ditarik kembali atas persetujuan bersama para pihak. Berdasarkan prinsip pacta

sunt servanda ini, maka setiap perjanjian yang memuat klausul arbitrase adalah

mengikat secara mutlak kepada para pihak dan kewenangan memeriksa dan

memutus sengketa yang timbul menjadi kewenangan absolut arbitrase.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 115: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

105

Universitas Indonesia

Sikap Judex Factie dan Judex Juris selanjutnya juga sesuai dengan

Petunjuk Mahkamah Agung tentang Tehnis Yudisial dan Manajemen Peradilan

yang diberikan dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI di Denpasar

pada 18-22 September 2005. Mahkamah Agung mempertegas sikapnya dalam

menghormati eksistensi lembaga arbitrase sebagai penyelesaian sengketa di luar

pengadilan dengan menentukan dalam Pasal 1 huruf a yang memerintahkan

bahwa Pengadilan Negeri/Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara

yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase, walaupun hal tersebut

didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum.150

Klausula arbitrase dalam suatu kontrak atau perjanjian arbitrase di antara

para pihakmembawa akibat hukum bahwa penyelesaian sengketa perdagangan

dan hak mutlak dapat diserahkan kepada arbitrase. Tidak ada batas mengenai

sengketa perdata jenis apa yang dapat diperiksa dan diputus melalui arbitrase.

4.6. Putusan Mahkamah Agung No.182PK/Pdt/2011

Dalam perkara ini, sengketa terjadi di antara Persekutuan Perdata

Dermawan Nugroho & Co melawan PT. Landmark dan Henry Onggo. Keduanya

terikat perjanjian sewa Lease of Landmark Center Part of Lobby Floor Between

PT. Landmark and Dermawan & Co, tanggal 1 Agustus 2001. Dalam perjanjian

sewa tersebut, Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co mendepositkan

uang tunai sejumlah USD 21.472,80 kepada PT. Landmark dan Henry Onggo.

Gugatan dalam perkara ini diajukan karena PT. Landmark dan Henry

Onggo dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap

Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co karena telah menahan dan tidak

kunjung mengembalikan deposit dalam bentuk uang tunai tersebut kepada

Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co. Padahal Persekutuan Perdata

150 Pengadilan Negeri Sleman. Loc.Cit.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 116: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

106

Universitas Indonesia

Dermawan Nugroho & Co telah meminta mereka untuk mengembalikannya.

Gugatan tersebut diajukan oleh Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co ke

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

PT. Landmark dan Henry Onggo mengajukan eksepsi kompetensi absolut

atas gugatan tersebut. Yang menjadi dasar dari eksepsinya adalah klausul arbitrase

dalam Pasal XVI Perjanjian Sewa Lease of Landmark Center Part of Lobby Floor

Between PT. Landmark and Dermawan & Co, tanggal 1 Agustus 2001. Dalam

klausul arbitrase tersebut ditentukan bahwa BANI adalah lembaga penyelesaian

sengketa yang berwenang atas timbulnya suatu sengketa dari perjanjian tersebut.

Dalam Putusan Sela No.751/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Sel. tanggal 28 Maret

2006, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus mengabulkan eksepsi dari PT.

Landmark dan Henry Onggo. Majelis Hakim menyatakan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili perkara perdata tersebut dan menolak

gugatan yang diajukan oleh Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co.

Sikap dan pandangan serupa dilakukan oleh Pengadilan Tinggi DKI

Jakarta ketika Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co melakukan upaya

hukum banding. Dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta

No.64/Pdt/2008/PT.DKI tanggal 24 Juli 2008, Judex Factie tingkat banding

memutus bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili

perkara gugatan Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co.

Dalam kasasi, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kembali dikuatkan

dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No.1034K/Pdt/2009 tanggal 7

Desember 2009. Kasasi yang diajukan oleh Persekutuan Perdata Dermawan

Nugroho & Co ditolak oleh Majelis Hakim Judex Juris.

Upaya peninjauan kembali yang dilakukan oleh Persekutuan Perdata

Dermawan Nugroho & Co disikapi sama oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh

Dr. Harifin M. Tumpa, S.H., M.H. dengan anggota H. Muhamad Taufik, S.H.,

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 117: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

107

Universitas Indonesia

M.H., dan H. Dirwoto, S.H. Dalam Putusan Mahkamah Agung

No.182PK/Pdt/2011 tertanggal 28 September 2011, Majelis Hakim juga

memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh

Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co melawan PT. Landmark dan

Henry Onggo.

Pendapat yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim adalah bahwa

meskipun maksud dan tujuan Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co

adalah mengenai perbuatan melawan hukum PT. Landmark dan Henry Onggo

menahan uang titipan sebesar USD 21.472,80, akan tetapi tindakan tersebut masih

dalam bentuk adanya perselisihan (sengketa) yang harus diselesaikan berdasarkan

klausula arbitrase Pasal XVI Perjanjian Sewa Lease of Landmark Center Part of

Lobby Floor Between PT. Landmark and Dermawan & Co, tanggal 1 Agustus

2001. Oleh karenanya, permohonan peninjauan kembali tersebut ditolak.

Dalam perkara ini, sikap Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan

Pengadilan Negeri kembali konsisten untuk menyatakan tidak berwenang

mengadili sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari perjanjian sewa

dengan klausul arbitrase di dalamnya. Judex Factie dan Judex Juris telah

menghormati klausul arbitrase yang disepakati oleh PT. Landmark dan

Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co.

Sikap dan pendapat Judex Factie dan Judex Juris dalam perkara ini adalah

tepat. Hal ini dikarenakan bahwa memang secara absolut, kewenangan memeriksa

dan mengadili sengketa yang timbul di antara Persekutuan Perdata Dermawan

Nugroho & Co dan PT. Landmark yang termasuk sengketa perbuatan melawan

hukum, adalah menjadi kewenangan BANI sebagaimana ditentukan dalam Pasal

XVI Perjanjian Sewa Lease of Landmark Center Part of Lobby Floor Between

PT. Landmark and Dermawan & Co, tanggal 1 Agustus 2001 yang ditandatangani

kedua belah pihak.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 118: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

108

Universitas Indonesia

Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang secara absolut berada

di luar pengadilan negeri, jelas penyelesaian sengketa perbuatan melawan hukum

dalam perkara ini menjadi kompetensi absolut arbitrase karena telah diperjanjikan

oleh para pihak. Sengketa perbuatan melawan hukum antara Persekutuan Perdata

Dermawan Nugroho & Co dan PT. Landmark merupakan kewenangan mutlak

BANI.

Dasar hukum keberadaan arbitrase dan kewenangan absolutnya adalah UU

Arbitrase dan APS. Dalam Pasal 3 UU Arbitrase dan APS diatur secara jelas

bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak

yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Ketentuan tersebut dipertegas dalam

rumusan Pasal 11 UU Arbitrase dan APS.

Sengketa yang diselesaikan di arbitrase adalah sengketa keperdataan, baik

berbentuk wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Meskipun Pasal 5 UU

Arbitrase dan APS tidak menyebutkan secara jelas bahwa sengketa perbuatan

melawan hukum adalah obyek sengketa yang dapat diperiksa dan diputus oleh

arbitrase, namun yang menjadi obyek dari arbitrase adalah sengketa keperdataan

secara luas, meliputi bidang perdagangan, mengenai hak yang menurut hukum

dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

bersengketa serta sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat

diadakan perdamaian.

Selanjutnya merujuk pada Pasal 6 ayat 1 UU Arbitrase dan APS yang

menyatakan bahwa sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh

para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa dengan mengesampingkan

penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri, maka dapat disimpulkan jika

sengketa perbuatan melawan hukum dapat diajukan pada arbitrase. Hal ini karena

sejauh sengketa yang diajukan pada arbitrase adalah sengketa perdata, maka

sengketa tersebut menjadi kewenangan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian

sengketa di luar Pengadilan Negeri.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 119: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

109

Universitas Indonesia

Asas pacta sunt servanda dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang

menentukan bahwa setiap perjanjian mengikat kepada para pihak serupa dengan

ketentuan undang-undangmemberi akibat hukum bahwa setiap perjanjian yang

memuat klausul arbitrase adalah mengikat secara mutlak kepada para pihak

selayaknya undang-undang. Sehingga kewenangan memeriksa dan memutus

segala sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase

menjadi kewenangan absolut arbitrase.

Sikap Judex Factie dan Judex Juris dalam perkara ini kembali sesuai

dengan Petunjuk Mahkamah Agung tentang Teknis Yudisial dan Manajemen

Peradilan dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI di Denpasar yang

terlaksana pada 18-22 September 2005 yang menghormati klausul arbitrase.

Dalam ketentuan umumnya di Pasal 1 huruf a, Mahkamah Agung menentukan

bahwa Pengadilan Negeri/Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara

yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase, meskipun hal tersebut

didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum.151

Dalam hal terdapat klausula atau perjanjian arbitrase di antara para pihak,

maka penyelesaian sengketa perdagangan dan hak mutlak dapat diserahkan

kepada arbitrase. Sengketa di antara para pihak tersebut menjadi kewenangan

absolut arbitrase untuk memeriksa dan memutusnya. Tidak ada ketentuan

mengenai batas sengketa perdata jenis apa yang dapat diperiksa dan diputus

melalui arbitrase.

151 Pengadilan Negeri Sleman. Loc.Cit.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 120: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

110

Universitas Indonesia

BAB 5

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Arbitrase sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang berada di luar

pengadilan negeri, memiliki kewenangan absolut dalam memeriksa dan mengadili

sengketa yang timbul dari para pihak yang terikat dengan klausul atau perjanjian

arbitrase. Berdasarkan UU Arbitrase dan APS, arbitrase berwenang memeriksa

dan memutus sengketa keperdataan secara luas, meliputi bidang perdagangan,

mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta sengketa yang menurut peraturan

perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.

Berdasarkan asas pacta sunt servanda yang terdapat dalam Pasal 1338

KUHPerdata, klausul atau perjanjian arbitrase yang telah dibuat secara sah

mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan harus

dipatuhi. Sehingga apapun jenis sengketa yang timbul dari perjanjian yang

mengandung klausul arbitrase yang dibuat oleh para pihak dapat menjadi

kompetensi arbitrase. Sejauh sengketa yang diajukan pada arbitrase adalah

sengketa perdata, baik sengketa tersebut adalah perbuatan melawan hukum atau

wanprestasi, maka sengketa tersebut menjadi kewenangan arbitrase, kecuali

secara tegas ditentukan dan diatur lain oleh Undang-Undang.

Sikap dan pendapat pengadilan masih beragam terhadap sengketa

perbuatan melawan hukum yang timbul dari suatu transaksi atau kontrak yang

didalamnya terdapat klausul arbitrase. Masih dijumpai dalam beberapa putusan

pengadilan yang menyatakan Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan

mengadili suatu sengketa perbuatan melawan hukum yang terjadi di antara para

pihak yang terikat dengan klausul atau perjanjian arbitrase.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 121: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

111

Universitas Indonesia

Badan peradilan di bawah Mahkamah Agung masih belum satu suara

dalam mengakui keberadaan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian alternatif di

luar pengadilan absolut. Beberapa hakim pengadilan masih mempunyai pendapat

bahwa arbitrase hanya berwenang memeriksa dan mengadili sengketa wanprestasi

yang timbul dari kontrak dengan klausul arbitrase. Perbuatan melawan hukum

dipandang sebagai perbuatan yang tidak terkait dengan klausul atau perjanjian

arbitrase di antara para pihak. Meskipun demikian, dalam beberapa putusan

pengadilan lain terdapat beberapa sikap berbeda yang menghormati kewenangan

absolut arbitrase dalam memeriksa sengketa perdata berupa sengketa perbuatan

melawan hukum.

5.2. Saran

Kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa perbuatan

melawan hukum adalah suatu hal yang memang tidak disebutkan secara eksplisit

di dalam UU Arbitrase dan APS. Meskipun demikian, pengadilan harus konsisten

dalam menghormati keberadaan klausul arbitrase dalam dalam suatu kontrak yang

mengandung klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase. Pengadilan memiliki

kewajiban berdasarkan undang-undang untuk menghormati arbitrase sebagai

suatu lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan negeri yang secara

absolut dan mandiri memiliki kewenangan sendiri dalam memeriksa dan

mengadili suatu sengketa perdata.

Sengketa perdata yang menjadi kewenangan arbitrase sama dengan apa

yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Oleh karenanya, pengadilan harus

menghormati klausul arbitrase dan menyatakan diri tidak berwenang memeriksa

dan mengadili sengketa perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh para pihak

yang telah terikat dengan kontrak yang didalamnya terdapat klausul arbitrase atau

perjanjian arbitrase. Hal ini demi terwujudnya kepastian hukum di Indonesia

terkait dengan tujuan dari dibentuknya arbitrase, yaitu sebagai lembaga

penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang mandiri untuk menyelesaikan

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 122: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

112

Universitas Indonesia

perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak yang dikuasai sepenuhnya oleh

para pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu

Pengantar, Cetakan Kesatu, PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan

BANI, 2002.

Adolf, Huala. Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Edisi 1 Cetakan 1,

Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1994.

Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kesatu, Depok:Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Badrulzaman, dkk, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung :

PT.Citra Aditya Bakti, 2001.

Badrulzaman, Mariam Darus. K.U.H. Perdata Buku III Tentang Hukum

Perikatan Dengan Penjelasan. Edisi 2. Bandung: PT. Alumni, 2005.

Born, Gary B. International Commercial Arbitration in the United States

Commentary and Materials, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer

The Netherland, 1994.

David, Rene. Arbitration in International Trade, Deventer/Netherlands : Kluwer

Law and Taxation Publishers, 1985.

Djojodirdjo, M.A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta:

Pradnya Paramita, 1982.

Fuady, Munir. Arbitrase Nasional:Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung :

Citra Aditya Bakti, 2001.

Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Cetakan

Kedua, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005.

Gaitskell, Robert. Engineers‟ Dispute Resolution Handbook, London : Thomas

Telford Publishing, 2006.

Garner, Bryan A. Black‟s Law Dictionary, Edisi Ketujuh, Minnesota : West

Group, 1999.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 123: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

113

Universitas Indonesia

Gautama, Sudargo. Arbitrase Dagang Internasional, Cetakan Kedua, Bandung :

Alumni, 1986.

Gautama, Sudargo. Undang-undang Arbitrase Baru 1999, Bandung : PT. Citra

Aditya Bakti, 1999.

Harahap, Yahya. Arbitrase. Jakarta: Pustaka Kartini, 1991.

Harahap, Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua, Bandung :

Alumni, 1986.

Kaligis, Otto Cornelis. Asas Kepatutan Dalam Arbitrase, Cetakan Kesatu, PT.

Alumni, Bandung, 2009.

Kansil, C.S.T. Pengantar Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : PN Balai

Pustaka, 1983.

Kohler, Gabrielle Kaufmann and Thomas Schults, Online Dispute Resolution:

Challenges for Contemporary Justice, Kluwer Law International, The

Hague, 2004.

Margono, Suyud. ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,

Cetakan Kedua, Bogor : Ghalia Indonesia, 2004.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Jakarta : Kencana,

2010.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat,

Yogyakarta : Liberty, 1993.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum:Suatu Pengantar, Yogyakarta :

Penerbit Liberty, 1999.

Rahardjo, Handri. Hukum Perjanjian di Indonesia, Cetakan Kesatu, Yogyakarta:

Pustaka Yustisia, 2009.

Rajagukguk, Erman. Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta : Chandra

Pratama, 2000.

S. Meliala, Djaja. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum

Perikatan. Cetakan Kesatu. Bandung: Nuansa Aulia, 2007.

Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kesatu, Bandung : Bina

Cipta, 1977.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 124: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

114

Universitas Indonesia

Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang

Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di

Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia (IBI), 1993.

Sjahdeini, Sutan Remy. Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Arbitrase,

Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter Number 6/2009.

Sari, Elsi Kartika & Advendi Simangunsong. Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta :

Grasindo, 2005.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif : Suatu

Tinjauan Singkat, Cetakan VI, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta : UI

Press, 1985.

Subekti, R. Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Bandung : PT. Citra Aditya

Bakti, 1995.

Subekti, R. Arbitrase Perdagangan, Bandung : BinaCipta, 1981.

Subekti, R. Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Cetakan Kelima, Bandung :

PT. Citra Aditya Bakti, 1988.

Subekti, R. Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-2, Jakarta: PT. Intermasa, 2005.

Sriro, Andrew L. Sriro‟s Desk Reference of Indonesian Law, Jakarta : Equinox

Publishing Jakarta Singapore, 2005.

Syahrani, Riduan. Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Bandung : Alumni,

2000.

Syaifuddin, Muhammad. Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif

Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum

Perikatan), Bandung : CV. Mandar Maju, 2012.

Van Apeldoorn, L.J. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1981.

Peraturan perundang-undangan:

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek],

diterjemahkan oleh Soedharyo Soimin. Cetakan Kedelapan. Jakarta : Sinar

Grafika, 2008.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa. UU No. 30 tahun 1999. LN No. 138. Tahun 1999.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 125: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

115

Universitas Indonesia

Indonesia. Penjelasan Undang-Undang Tentang Arbitrase Dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. UU No. 30 tahun 1999. TLN No.3872. Tahun 1999.

Internet:

Adolf, Huala. (2008). “Indonesia: Arbitration under the Indonesian Investment

Law-Enactment of A Revised Investment Law in Indonesia”. 17 September

2008

<http://www.westlaw.com/>.

Asyrof, H.A.Mukhsin. “Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi

(Sebuah Kajian Elementer Hukum Normatif”). 17 Februari 2012

<http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/VARIA%20MEMBEDAH%20PM

H%20DAN%20WANPRESTASI.pdf>.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia,

2008. 28 December 2012

<http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?keyword=hak&varbidang=all&vard

ialek=all&varragam=all&varkelas=all&submit=kamus>.

Marwanto, Eko. (2011). “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam

Aspek Hukum Indonesia”. 17 Februari 2012

<http://www.ekomarwanto.com/2011/05/arbitrase-dan-alternatif-

penyelesaian.html>.

Huda,Farah. Arbitrase Internasional, 2012. 30 November 2012

<http://www.scribd.com/doc/45306921/Arbitrase-Internasional>.

Lubis, Todung Mulya. “Tantangan Global Penegakan Hukum, disampaikan pada

Seminar Visi 2020 Penegakan Hukum yang diadakan oleh SCTV dan

Jakarta Lawyers Club di Jakarta,”, 26 Mei 2005. 17 Januari 2012

<http://www.lsmlaw.co.id/article_detail.php?id=6>.

Pengadilan Negeri Sleman. Petunjuk Mahkamah Agung Berkaitan Dengan

Persoalan Teknis-Yudisial Yang Telah Dirumuskan Dalam Rakernas

Denpasar September 2005. 30 November 2012 <http://www.pn-

sleman.go.id/index.php/skrg-tahap-iii-reformasi-birokrasi-131/49-rakernas-

denpasar/rakernas-denpasar/126-petunjuk-ma-teknis-yudisial-perdata>.

Perserikatan Bangsa-Bangsa, “FAQ - UNCITRAL and Private Disputes /

Litigation”, United Nations Commission on International Trade Law. 3

Desember 2012

<http://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration_faq.html>.

“Putusan BANI „Digugat” Plaza Indonesia”, Senin, 22 Maret 2010. 18 Januari

2011

<http://hukumonline.com/berita/baca/lt4ba6dad8a30e2/putusan-bani-

digugat-plaza-indonesia>.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013

Page 126: Kewenangan Arbitrase, Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187-T32566-Meydora Cahya... · bersifat rahasia daripada peradilan umum. ... untuk

116

Universitas Indonesia

Santoso,Topo. “Penulisan Proposal Penelitian Hukum Normatif “. 2005. 22

Desember 2011

<http://staff.ui.ac.id/internal/132108639/material/PENULISANPROPOSAL

PENELITIANHUKUMNORMATIF1.pdf>.

Wisana, Feby., Sukarno Aburaera dan M. Said Karim, “Kewenangan Badan

Peradilan Memeriksa Sengketa Dengan Klausula.” 18 Januari 2011

<http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/85987e0a735579aa1c407c750129c985.

pdf>.

Yuarta, Definisi Sengketa, 2011. 13 November 2012

<http://yuarta.blogspot.com/2011/03/definisi-sengketa.html>.

Putusan Pengadilan :

Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.454/Pdt.G/1999/PN.Jak.Sel.

Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.534/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel.

Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.535/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel.

Putusan BANI No.296/II/ARB-BANI/2009.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST.

Putusan Mahkamah Agung No.182PK/Pdt/2006.

Putusan Mahkamah Agung No.182PK/Pdt/2011.

Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013