ketoasidosis diabetikum pada anak
DESCRIPTION
STRANSCRIPT
Ketoasidosis Diabetikum pada Anak-anak
Welly Kenniadi
102011178
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
No. Telp : (021) 5694-2061 / (021) 5631-731; E-mail : [email protected]
Pendahuluan
Pada saat ini di dunia terjadi pola makan yang berlebihan terutama terjadi pada
anak-anak dari yang usia bayi sampai anak-anak remaja yang mana pemasukkan
makanan yang tinggi karbohidrat, protein, dan lemak yang tidak di seimbangi dengan
serat yang cukup sehingga banyak ditemukan beberapa kelainan penyakit dalam
hidupnya. Kelebihan pemasukkan makanan berkarbohidrat juga tidak baik bagi tubuh
bila tubuh tak dapat menghancurkannya dengan cepat. Bila keadaan penghancuran
karbohidrat di dalam tubuh terhambat dan intake karbohidrat terus masuk ke dalam
tubuh maka lama kelamaan orang ini akan menderita Diabetes Mellitus yang gejala
khasnya ialah ditemukan Glukosuria (air seninya itu manis). Dulu, Diabetes Melltus
itu di bagi ada 2 tipe yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. Dimana dulu DM tipe 1 banyak
di derita oleh anak muda, sedangkan DM tipe 2 sering di derita oleh orang tua. Tapi
sekarang gejala DM tipe 2 ini sudah banyak di temukan pada anak-anak sehingga
disebut dengan MODY (Maturity Onset Diabetes Young). Pada anak-anak yang
mengalami DM itu harus selalu di kontrol gula darahnya serta kondisi fisik tubuhnya
agar anak yang memilki riwayat DM ini tidak jatuh dalam keadaan penyakit yang
berat. Pada anak-anak yang sudah berat penyakitnya Diabetes Mellitusnya dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi yang tak di inginkan yaitu Ketoasidosis. Dalam
hal ini, ketoasidosis merupakan keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang di
tandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif.
1
Pembahasaan
Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu metode yang digunakan oleh para petugas
kesehatan terutama dokter dalam mengetahui keluhan penyakit sekarang yang
membawa pasien datang untuk berobat kepada dokter. Anamnesis dari segi
komunikasinya di bagi atas dua, yaitu secara Autoanamnesis dan Alloanamnesis.
Autoanamnesis merupakan suatu metode tanya-jawab dari dokter langsung
kepada pasien untuk mengetahui keadaan penyakitnya dengan keadaan pasien
dalam kesadaran penuh, dapat berkomunikasi dengan baik, serta dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan baik. Sedangkan, Alloanamnesis
merupakan suatu metode tanya-jawab dokter kepada keluarga atau pendamping
pasien yang membawanya ke tempat praktik dokter dalam hal ini pasien sudah
dalam keadaan kesadaran yang menurun, tak bisa di ajak berkomunikasi, dan
terutama juga faktor usia (bayi, balita, dan manula).1
Dalam hal ini kita dapat melakukan alloanamnesis, dimana ada seorang
anak laki-laki berusia lima tahun yang datang ke tempat praktik sudah dalam
keadaan kesadaran yang menurun yang sudah terlihat binggung dalam beberapa
waktu. Untuk itu kita tanyakan saja beberapa pertanyaan kepada Ibunya karena
beliau yang tahu bagaimana kondisi sehari-hari anaknya. Beberapa pertanyaan
yang dapat diajukan, yaitu:
- Apakah anak ini sering sekali binggung? Kalau saya boleh saya tahu anak ini
sudah berapa lama seperti ini?
- Apakah dia sering mengantuk atau cepat lelah?
- Apakah dia sering rewel?
- Apakah anak ibu, selain mengalami penyakit ini ada penyakit penyerta yang
lain? Apakah dia pernah mengalami syok?
- Apakah anak Ibu sering berkemih (poliuria)? Dalam satu hari berapa kali dia
berkemih?
- Berapa banyak air yang di minum anak ini dalam satu hari? Apakah anak ini
sering haus (polidipsi)?
2
- Bagaimana keadaan makannya anak? Apakah dia sering mengeluh lapar
(polifagia)? Dalam satu hari berapa kali dia makan?
- Apakah berat badan anak ini turun atau menetap?
- Apakah ada terjadi gangguan penglihatan?
Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang berhubungan dengan penyakit anak.
Maka kita akan melakukan pemeriksaan fisik dan bila perlu dilakukan juga
pemeriksaan penunjang, tapi sebelumnya harus dilakukan inform consent kepada
pasien ataupun keluarga pasien. Agar dalam pemeriksaan ini kita bisa lebih
leluasa dalam melakukannya dan pasien atau keluarganya juga mengetahui sistem
prosedur dalam pemeriksaan ini. Dalam hal ini, pemeriksaan fisik yang dapat di
lakukan, yaitu : melihat secara langsung keadaan umum pasien, tanda-tanda vital,
tinggi badan, berat badan, derajat kesadaran (GCS), tanda asidosis
(hiperventilasi), derajat dehidrasi, dan pemeriksaan fisik paru.2
Keadaan umum yang kita lihat ialah ketika pasien datang dan masuk ke
tempat praktik kita. Kita sudah mulai melihat dan menilai tingkat kesadarannya
pasien. Dimana disini terlihat bahwa anak ini sudah mengalami tingkat kesadaran
yang menurun (yang terlihat adanya binggung dan di benarkan oleh ibu pasien
bahwa anak terkadang sering binggung dalam beberapa jam). Dan untuk
mengetahuinya lagi maka, dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang baik.2
Setelah kita menilai kesadaran umum pasien, maka hal yang harus di
kerjakan yaitu memeriksa keadaan parameter basal anak (tanda-tanda vital).
Tanda-tanda vital memperlihatkan perubahan pada tubuh yang mungkin tidak
dapat di obeservasi. Dimana dalam sehari-hari suhu tubuh oral rata-rata anak-anak
antara 36,7oC - 37oC, tapi dalam hal ini suhunya masih normal-normal saja
(afebris). Setelah itu, kita periksa tekanan darah pasien, normal tekanan darah itu
100/60 mmHg, disini tekanan darah anak yaitu 80/50 mmHg ini menandakan
anak ini tekanan darahnya rendah yang mengakibatkan anak lemas. Lalu, denyut
nadi nomalnya yaitu 70-110 kali / menit, di sini denyut nadi anak adalah 140 kali /
3
menit ini menyatakan bahwa lagi dalam tahap kompensator akibat tekanan darah,
pernafasan, dan lemasnya tubuh anak. Kemudian di hitung juga pernapasannya,
normal 15-30 kali / menit, pada hal ini pernafasannya lebih cepat. Parameter ini
sangat penting untuk di lakukan, karena untuk menilai atau mengetahui status atau
keadaan tubuh pasien saat ini.3
Setelah itu kita akan menilai tinggi badan, berat badan, dan periksa derajat
kesadaran anak. Dalam hal ini normalnya anak-anak seiring dengan perubahan
waktu maka tingkat pertumbuhan dan perkembangannya akan semakin lama
tumbuh dengan baik. Tapi, dalam hal ini anak mendapatkan gangguan akibatnya
anak ini sering binggung dan mudah lelah sehingga tingkat perkembangan dan
pertumbuhan anak juga ikut terganggu. Biasanya anak yang memiliki gangguan
pada kesadaran yang berat maka tingkat pertumbuhan akan ikut terganggu yang di
lihat adanya gagal tumbuh, dan secara perkembangan anak ini memiliki tingkat
kecerdasaan yang semakin menurun akibat dari rasa binggung dan adanya zat-zat
toksik pada otak (kelebihan keton). Pada berat badan, terlihat adanya penurunan
secara drastis setiap minggunya sebesar 3 kg walaupun anak ini makan dan
minumnya banyak tapi berat badan tidak meningkat-meningkat, ini merupakan
gejala dari diabetes mellitus pada anak. Dan karena anak adanya gangguan
kesadaran maka kita periksa derajat kesadaran anak untuk menilai bagaimana
refleksnya terhadap suatu rangsangan yang diberikan agar kita bisa memastikan
ini tingkat kesadaran yang ringan atau buruk.2
Lalu yang paling utama yaitu pemeriksaan derajat dehidrasi pada anak
dengan capillary refill test dan turgor kulit. Normal pada anak-anak seusianya
capillary refill test bisa kita tekan kuku di jari telunjuk dalam beberapa detik dan
di lepas maka peredaran darah akan kembali dengan cepat atau normal kurang
dari 2 detik. Derajat dehidrasi bisa kita nilai dengan berat atau ringannya
dehidrasi. Derjat dehidrasi ringan (5%) tandanya ialah turgor kulit menurun dan
mukosa kering. Lalu, derajat dehidrasi ringan (10%) tandanya ialah capillary refill
lebih dari 3 detik dan mata cowong. Dan derjat dehidrasi berat (>10%) tandanya
ialah syok, nadi lembut, dan hipotensi. Tapi dalam hal ini, anak diperiksa
4
capillary refill testnya itu kembali dalam 5 detik dan di tambah turgor kulit yang
menurun sehingga dapat di katakan anak ini mengalami dehidrasi yang ringan.2
Dan yang terakhir kita lakukan pemeriksaan fisik paru-parunya. Dalam hal
ini yang lebih terlihat jelas itu ialah pada tahap inspeksi di mana anak sudah
terjadi napas yang dalam dan cepat (napas kussmaul) ini merupakan tanda dari
asidosis metabolik pada anak yang sedang melakukan tahap kompensasi oleh
tubuh. Dan pada palpasi, perkusi dan auskultasi dalam batas normal.2
Pemeriksaan Penunjang
Setelah melakukan pemeriksaan fisik maka untuk menunjang diagnosa
kerja dokter maka di lakukan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui secara
pasti penyakit yang diderita oleh pasien. Beberapa pemeriksaan penunjang yang
dapat di lakukan, yaitu:4
Glukosa Urin
Ini di kerjakan bila terlihat adanya kelainan pada pola makan anak yang
berlebihan yang tidak meningkatkan berat badannya atau curiga dengan
penyakit Diabetes Mellitus tipe 1. Sebuah tes urine positif glukosa
menunjukkan anak menderita, tetapi tidak diagnostik untuk tipe 1 diabetes
mellitus (T1DM). Diagnosis harus dikonfirmasi dengan hasil tes menunjukkan
kadar glukosa darah tinggi.
Glukosa Darah
Selain transient penyakit yang disebabkan oleh stres akibat hiperglikemia,
keseluruhan konsentrasi glukosa darah acak lebih dari 200 mg / dL (11 mmol /
L) adalah diagnostik untuk diabetes, seperti keseluruhan konsentrasi glukosa
darah puasa yang melebihi 120 mg / dL (7 mmol / L). Dengan tidak adanya
gejala, dokter harus mengkonfirmasi hasil ini pada hari yang berbeda.
Kebanyakan anak dengan diabetes terdeteksi bila memiliki tingkat glukosa
darah minimal 250 mg / dL (14 mmol / L). Tes glukosa darah menggunakan
sampel darah kapiler, reagen tongkat, dan meter glukosa darah adalah metode
biasa untuk pemantauan pengendalian diabetes sehari-hari.
Hemoglobin terglikasi
5
Derivatif hemoglobin glikosilasi (HbA1a, HbA1b, dan HbA1c)
merupakan hasil dari reaksi non-enzimatik antara glukosa dan hemoglobin.
Persentase HbA1c lebih sering diukur. Nilai normal bervariasi sesuai dengan
metode laboratorium yang digunakan, tetapi anak-anak non-diabetes
umumnya memiliki nilai-nilai dalam kisaran rendah normal. Pada diagnosis,
diabetes anak-anak sedikit mendapatkan hasil di atas batas atas dari kisaran
referensi. Pengukuran kadar HbA1c adalah metode terbaik untuk jangka
menengah untuk pemantauan jangka panjang pengendalian diabetes yang
tersimpan dalam 3 bulan dalam darah dan dapat hilang sesuai dengan umur
lisisnya eritrosit (120 hari). Komite ahli internasional yang terdiri dari wakil-
wakil yang di tunjuk dari American Diabetes Association, Asosiasi Eropa
untuk Studi Diabetes, dan lain-lain merekomendasikan tes HbA1c untuk
mendiagnosa diabetes mellitus. Komite rekomendasi untuk diabetes diagnosis
tingkat HbA1c sebesar 6,5% atau lebih tinggi, dengan konfirmasi dari tes
ulang (kecuali gejala klinis hadir dan tingkat glukosa > 200 mg / dL).
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Cara pemeriksaan TTGO adalah :
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien makan seperti biasa.
2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
3. Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.
4. Periksa glukosa darah.
5. Berikan glukosa 75 g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam
waktu 5 menit.
6. Periksa glukosa darah ½ jam, 1 jam, dan 2 jam sesudah beban glukosa
diberikan.
7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat.
Keton urin
Keton dalam urin mengkonfirmasi lipolisis dan glukoneogenesis, yang
lazim selama periode kelaparan. Dengan hiperglikemia dan glukosuria berat,
ketonuria merupakan penanda kekurangan insulin dan DKA potensial.
Keton darah
6
Perlu dilakukan pemeriksaan keton darah bila hasil keton urin sampai
negatif. Sekarang di anjurkan nilai-nilai bermakna dalam pembacaan hasil
keton darah. Intrepretasi keton darah di bilang normal bila kadarnya dalam
darah < 0,5 mmol/L. Lalu, di katakan Hiperketonemia bila kadar keton dalam
darah itu > 1 mmol/L. Dan, di katakan KAD bila di temukan pada keton
darahnya > 3 mmol/L.
Analisa gas darah
Pada, analisa gas darah di temukan hasil pH darah: 7,36-7,44 , HCO3- : 24-
28 mEq/L, dan PaCO2: 35-45 mm Hg ini nilai normalnya. Bila terjadi
asidosis maka pH darah < 7,3 dan HCO3- < 15 mEq/L.
Darah lengkap
Selain beberapa pemeriksaan diatas, pada anak-anak yang mengalami
ketoasidosis dapat juga di temukan beberapa hasil pemeriksaan laboratorium
yang lain, yaitu : di temukaannya leukositosis dan amilase serum non-spesifik
dapat meningkat, serta lipase serum biasanya tidak meningkat.
Diagnosis Kerja
Diabetes tipe 1 atau juga diabetes mulai-juvenil, merupakan keadaan di
mana di tandainya dengan insulinopenia berat dan ketergantungan pada insulin
eksogen untuk mencegah ketosis dan agar tetap hidup karenanya diabetes ini juga
disebut diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM / Insulin Dependent Diabetes
Mellitus). Anak yang harus di diagnosis diabetes mellitus untuk tujuan praktis,
dapat dibagi menjadi tiga kategori umum, yaitu:2
1. Penderita yang memiliki riwayat yang mengesankan diabetes, terutama
poliuria dengan polidipsi dan kegagalan meningkatkan berat badan walaupun
nafsu makan tinggi.
2. Mereka yang menderita glukosuria sementara atau menetap.
3. Mereka yang mempunya manifestasi klinis asidosis metabolik dengan atau
tanpa stupor atau koma.
Diagnosis dapat ditegakkan jika di dapatkan salah satu dari gejala di
bawah ini:2
7
1. Adanya gejala yang klasik seperti poliuria, polifagia, polidipsi, dan ketonuria,
penurunan berat badan yang cepat disertai dengan kadar glukosa darah plasma
> 200 mg/dl.
2. Pada individu asimtomatik, jika terdapat peningkatan kadar glukosa darah
puasa dan peningkatan kadar glukosa darah yang menetap selama dilakukan
tes toleransi glukosa oral (TTGO/OPGTT) yang dilakukan lebih dari 1 kali.
Ketosidosis diabetik (KAD) merupakan kondisi yang mengancam jiwa
yang disebabkan penurunan kadar insulin efektif di dalam tubuh, atau berkaitan
dengan resistensi insulin dan peningkatan produksi hormon-hormon kontra
regulator, yakni: glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone. Dalam
hal ini erat hubungannya dengan Diabetes Mellitus tipe 1 dan KAD. Ketosidosis
ada bila terdapat, gejala yaitu :2
1. Gejala klasik DM dengan berat badan yang menurun dan dehidrasi.
2. Hiperglikemia (glukosa lebih dari 200 mg/DL atau kadar glukosa darah > 11
mmol/L).
3. Ketonemia (keton sangat positif pada lebih besar dari pengenceran serum 1;2).
4. Asidosis (pH kurang dari 7,30 dan bikarbonat kurang dari 15 mmol/L).
5. Glukosuria dan Ketonuria selain tanda-tanda klinis yang telah di uraikan.
Derajat KAD pH darah HCO3-
Ringan 7,25 – 7,3 10 - 15mmol/L
Sedang 7,1 - 7,24 5 - 10 mmol/L
Berat < 7,1 <5 mmol/L
Tabel 1. Klasifikasi derajat KAD berdasarkan derajat asidosis5
Episode ketoasidosis berulang pada diabetes yang telah mapan sering
menggambarkan kesalahan yang lambat pada dosis insulin yang dianjurkan atau
respon stress yang luar biasa yang menunjukkan gangguan psikologi dan kadang-
8
kadang merupakan alasan untuk di hilangkan dari lingkungan rumah yang di
anggap sebagai stress atau tidak dapat di terima. Ketoasidosis diabetik juga harus
di bedakan dari koma hyperosmolar non-ketotik.2
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosa banding yang gejalanya dan penyakitnya hampir
menyerupai gejala pada diagnosa kerja, yaitu:2
Glukosuria Ginjal
Glukosuria ginjal dapat merupakan kelainan kongential tersendiri atau
manifestasi sindrom Fanconi dan kelainan tubulus ginjal lain karena
intoksikasi logam berat yang berat, menelan obat-obat tertentu (misalnya
tetrasiklin kadarluasa), atau kelainan metabolisme bawaan (sistinosis). Bila
muntah, diare, atau masukkan makanan yang tidak cukup merupakan faktor
yang mempersulit pada setiap keadaan ini, ketosis kelaparan dapat terjadi,
yang merangsang ketoasidosis diabetik. Juga penting mengenali bahwa tidak
semua gula urin adalah glukosa, dan kadang-kadang galaktosemia, pentosuria,
dan fruktosuria akan memerlukan pertimbangan sebagai kemungkinan
diagnostik.
Koma Hiperosmolar non-ketotik
Koma hiperosmolar non-ketotik adalah sindrom yang ditandai dengan
hiperglikemia berat (glukosa darah lebih besar dari 600 mg/dL), tidak ada atau
hanya sedikit ketosis (asidosis nonketotik), dehidrasi berat, sensorium depresi
atau koma yang jelas, dan berbagai tanda neurologis yang dapat meliputi
kejang-kejang grandmal, hipertermia, hemiparesis, dan tanda-tanda Babinski
positif. Pernapasaan biasanya dangkal, tetapi ada bersama dengan asidosis
metabolik (laktat) dapat ditampakkan oleh pernapasaan kussmaul. Osmolaritas
serum biasanya 350 mOsm/kg atau lebih. Keadaan ini biasanya terjadi pada
individu setengah baya atau individu tua yang menderita diabetes ringan.
Angka mortalitas adalah sebesar 40-70% mungkin sebagian terjadi karena
terlambat dalam mengenali dan terlambat dalam pemberian terapi yang tepat.
Hiperglikemia berat dapat berkembang selama beberapa hari dan pada
mulanya polyuria osmotik obligat dan dehidrasi sebagaian dapat di
9
kompensasi dengan semakin meningkatnya masukkan cairan. Rasa haus
menjadi melemah, mungkin karena perubahan pusat haus hipotalamus oleh
hiperosmolaritas dan mungkin pada beberapa keadaan defek yang ada
sebelumnya pada mekanisme pengaturan osmotik hipotalamus.
Asidosis laktat
Asidosis laktat merupakan keadaan asidosis metabolik dengan anion gap
yang luas, dikarateristikkan dengan pH < 7,35 dan kadar laktat di plasma > 5
mmol/L. Hal ini dapat terjadi bila oksigenisasi jaringan tidak adekuat
memenuhi kebutuhan energi sebagai akibat dari hipoperfusi atau hipoksia
yang menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob dan menghasilkan asam
laktat dalam jumlah berlebihan. Terjadinya asidosis laktat dikaitkan dengan
adanya disregulasi metabolik, hipoperfusi jaringan, pengaruh obat/toksin
tertentu, ataupun abnormalitas kongenital pada metabolisme karbohidrat.
Etiologi
Kegagalan fungsional sel beta pancreas dapat disebabkan baik oleh faktor
genetik maupun faktor lingkungan. Akibat dari faktor lingkungan, yaitu: adanya
virus dan bahan kimia. Sedangkan, akibat dari faktor genetik, yaitu :2
a) HLA-DR3 dan DR4 terbukti berkaitan dengan meningkatnya angka
kejadian diabetes mellitus, dan terdapat pada 95% kasus diabetes tipe 1
atau insulin dependent diabetes mellitus. Sistem HLA terdapat pada
kromosom 6 dan berhubungan dengan determinan fungsi imunologis.
b) Diketahui juga pada anak yang mempunyai Gen DQ β1 gen. Diketahui
tidak adanya homozigot asam aspartat pada posisi 57 rantai HLA DQ β,
menyebabkan sekitar 100 kali resiko relatif berkembangannya DM tipe I.
Beberapa faktor yang sering menjadi pencetus KAD adalah : infeksi,
stres/trauma, penghentian terapi insulin atau terapi insulin yang tidak adekuat, dan
gangguan psikologis yang berat. Demikian juga beberapa obat-obatan telah
dilaporkan dapat mencetuskan KAD pada penderita DM tipe 1, yakni:
kortikosteroid dosis tinggi, anti-psikotik, diazoxide, dan imunosupresan.6
10
Sedangkan faktor-faktor yang meningkatkan resiko KAD pada DM tipe 1
adalah: penderita dengan kontrol metabolik yang buruk atau telah mengalami
KAD sebelumnya, penderita DM tipe 1 usia muda (kurang dari 5 tahun), pubertas
dan remaja putri, anak-anak dengan gangguan psikiatri (termasuk gangguan pola
makan), dan status sosial ekonomi rendah.6
Patofisiologi
Adanya defisiensi insulin baik secara relatif maupun absolut yang disertai
peningkatan hormon-hormon kontra regulator yakni : glukagon, katekolamin,
kortisol, dan growth hormone yang menyebabkan hiperglikemia disertai
peningkatan lipolisis dan produksi keton. Defisiensi insulin absolut atau relatif
yang menyebabkan hiperglikemia melalui tiga proses, yakni: peningkatan
glukoneogenesis yang terjadi di hati dan ginjal, peningkatan glikogenolisis, dan
gangguan utilisasi glukosa oleh jaringan perifer. Yang mana penyakit ini
sebelumnya didahului oleh diabetes mellitus tipe 1.2
Adanya hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik, hal ini akan
menyebabkan dehidrasi dan kehilangan mineral dan elektrolit (Na, K, Ca, Mg, Cl,
dan PO4). Nilai ambang ginjal terhadap kadar glukosa darah (± 200 mg/dL) dan
keton akan terlampaui, sehingga terjadi ekskresi glukosa melalui ginjal yang
mencapai 200 g / hari dan keton urin yang mencapai ± 20-30 g / hari, dengan total
osmolaritas urin ± 2000 mOsm. Efek osmotik dari glukosuria menyebabkan
terganggunya reabsorbsi NaCl dan H2O tubulus proksimal dan ansa Henle.2
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator
menyebabkan aktifiasi “hormone-sensitive lipase” pada jaringan lemak.
Peningkatan aktifitas lipase pada jaringan lemak ini menyebabkan pemecahan
trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Gliserol merupakan prekursor
glukoneogenesis di jaringan hati, sedangkan asam lemak bebas setelah mengalami
oksidasi di hati dengan melalui stimulasi glukoagon akan diubah menjadi keton
yang terdiri dari atas : asetoasetat, β-hidroksibutirat dan aseton. Asetoasetat dan β-
hidroksibutirat merupakan asam kuat yang dapat menyebabkan asidosis
metabolik. Insulin sendiri pada kadar yang rendah merupakan anti-lipolisis
11
daripada untuk uptake glukosa. Keberadaan insulin inilah yang merupakan salah
satu faktor penentu terjadinya KAD atau status hiperglikemia hiperosmolar
(SHH) pada penderita DM. Dan pada penderita sering kali ditemukan adanya
napas aseton (bau napasnya mirip bau buah-buahan) yang disebabkan oleh karena
tubuh berusaha mengeluarkan aseton yang berlebih melalui pernapasan dan akibat
pemecahan asam asetoastat.2
Epidemiologi
Survei di Amerika Serikat menunjukkan bahwa prevalensi diabetes pada
anak umur sekolah adalah sekitar 1,9 dalam 1000. Namun, frekuensinya sangat
berkorelasi dengan meningkatnya usia. Pada orang Negro-Amerika kejadian
diabetes mellitus tergantung insulin telah dilaporkan hanya 20-30% yang
ditemukan pada kulit putih Amerika. Laki-laki dan wanita hampir secara sama
terkena; tidak ada korelasi yang nyata terhadap status sosio-ekonomi. Puncaknya
terjadi pada dua kelompok usia, yaitu: pada usia 5-7 tahun dan pada masa
pubertas. Puncak pertama sesuai dengan waktu meningkatnya pemajanan
terhadap agen infeksi yang terjadi bersamaan dengan tahun ajaran sekolah.
Sedangkan, yang kedua sesuai dengan pertumbuhan cepat pubertas yang di
induksi oleh steroid gonad dan sekresi hormon pertumbuhan pubertas yang
meningkat, yang mengantagonis kerja insulin, dan karena stress-emosi yang
menyertai pubertas.2
Angka kejadian KAD saat awitan DM adalah sebesar 15-67% di Eropa
dan Amerika Utara. Dan angka awitan KAD akan lebih tinggi lagi di negara
sedang berkembang. KAD saat awitan DM tipe 1 lebih sering ditemukan pada
anak yang lebih muda (usia < 4 tahun), anak tanpa riwayat keluarga DM dan anak
dari tingkat sosial ekonomi yang lebih rendah. Insidens KAD pada anak yang
sudah terdiagnosis DM tipe 1 sebesar 1-10% per pasien setiap tahunnya.2
Gejala Klinis
Ketoasidosis menyebabkan tanda awal (sekitar 25%) anak diabetes. Gejala
klinis KAD biasanya berlangsung cepat dalam waktu kurang dari 24 jam.
Manifestasi awal mungkin relatif ringan dan terdiri atas muntah, poliuria,
12
polidipsi, penurunan berat badan yang nyata biasanya terjadi beberapa hari
menjelang KAD, dan dehidrasi. Pada kasus-kasus yang lebih lama dan berat, ada
pernapasaan Kussmaul (sebagai kompensasi hiperventilasi akibat asidosis
metabolik), mengantuk, lemas, koma (10% kasus), pandangan kabur, mual,
muntah, tanda-tanda dehidrasi, syok hipovolemia (kulit/mukosa kering dan
penurunan turgor kulit, hipotensi, takikardi), serta ada bau aseton pada
pernapasaannya. Nyeri atau kekakuan perut dapat ada dan dapat menyerupai
apendisitis atau pankreatitis. Terjadi ketumpulan otak dan akhirnya koma. Pada
mereka yang dengan nyeri perut, nyeri tidak boleh dianggap bahwa temuan ini
merupakan bukti perlunya gawat darurat pembedahan sebelum masa terapi cairan,
elektrolit, insulin yang sesuai telah dicoba untuk mengkoreksi dehidrasi dan
asidosis. Manifestasi perut sering hilang setelah beberapa jam pengobatan
tersebut.2
Penatalaksanaan
Semua kasus KAD sebaiknya di kelola di rumah sakit, di ruang perawatan
intensif untuk dapat melakukan monitoring klinik dan laboratorium yang ketat
serta dengan melihat respon penderita secara individual yang sangat penting untuk
dapat memberikan penanganan yang optimal. Tujuan penatalaksanaan KAD
adalah sebagai berikut:7
1. Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi).
2. Menghentikan ketogenesis (insulin).
3. Koreksi gangguan elektrolit.
4. Mencegah komplikasi.
5. Mengenali dan menghilangkan faktor pencetus.
Berikut adalah beberapa tahapan tatalaksana KAD, yaitu sebagai berikut:7
Resusitasi
Pada anak-anak yang mengalami KAD resusitasi haruslah diperhatikan
dengan cara mempertahankan jalan napas. Pada syok berat berikan oksigen
100% dengan masker. Jika syok, berikan segera larutan isotonik (saline
0,9%) 20 cc/KgBB secara bolus dan bisa diulang bila diperlukan. Bila
13
terdapat penurunan kesadaran perlu pemasangan naso-gastric tube untuk
menghindari aspirasi lambung.
Observasi klinik
Penanganan yang aman dari KAD pada anak-anak bergantung pada
obervasi klinik yang cermat dari waktu ke waktu. Pemeriksaan dan
pencatatan harus di lakukan terutama pada frekuensi tanda-tanda vital setiap
jam, suhu badan dilakukan setiap 2-4 jam, pengukuran balans cairan setiap
jam (pemasangan kateter urin mutlak diperlukan pada kasus-kasus yang
berat), kadar glukosa darah kapiler setiap jam (kurang akurat pada perfusi
perifer, yang jelek dan asidosis sehingga perlu dikonfirmasi dengan darah
vena setiap 2-4 jam), dan diperiksa tanda klinis dan neurologis atas edema
serebri yaitu adanya gejala sakit kepala, penurunan frekuensi denyut
jantung, perubahan status neurologis (gelisah, iritabel, drowsiness, kejang,
inkontinensia urin, reflek cahaya menurun, palsi nervus kranial),
peningkatan tekanan darah, dan penurunan saturasi oksigen. Potensi
terjadinya edema serebri terutama pada anak < 5 tahun, penderita baru,
kadar urea darah yang tinggi, dan pCO2 yang rendah.
Rehidrasi
Tujuan rehidrasi pada KAD adalah memperbaiki sirkulasi dan perfusi
jaringan, mengganti cairan dan elektrolit dalam 36-48 jam, memulihkan
GFR dan meningkatkan klirens glukosa dan keton di dalam darah serta
menghindari edema serebri akibat pindahnya cairan ekstrasel kedalam
intrasel. Langkah yang harus dilakukan ialah: tentukan derajat dehidrasi
penderita, gunakan cairan normal salin 0.9%, total rehidrasi dilakukan 48
jam, bila terdapat hipernatremia rehidrasi dilakukan lebih perlahan bisa
sampai 72 jam, 50-60% cairan cairan dapat diberikan dalam 12 jam. Lalu
sisa kebutuhan cairan diberikan dalam 36 jam berikutnya. Bila kadar gula
darah mencapai < 250 mg/dL maka ganti dengan D5 ½ salin.
Penggantian Natrium
Penggantian Natrium di lakukan secara individual yang tergantung dari
hasil serum elektrolit. Lakukan monitoring serum elektrolit dapat dilakukan
14
setiap 4-6 jam. Kadar Na yang terukur adalah lebih rendah akibat efek dilusi
hiperglikemia yang terjadi. Bila corrected Na > 150 mmol/L
(hipernatremia), rehidrasi dilakukan dalam > 48 jam. Bila corrected Na <
125 mmol/L atau cenderung menurun lakukan koreksi dengan NaCl dan
evaluasi kecepatan hidrasi. Dan kondisi hiponatremia merupakan indikasi
overhidrasi dan meningkatkan risiko edema serebri.
Penggantian Kalium
Pada saat asidosis akan terjadi kehilangan kalium dari dalam tubuh
walaupun konsentrasi di dalam serum masih normal atau meningkat akibat
berpindahnya kalium intrasel ke ekstrasel. Konsentrasi kalium serum akan
segera turun dengan pemberian insulin dan asidosis teratasi. Pemberian
kalium dapat dimulai bila telah dilakukan pemberian cairan resusitasi dan
pemberian insulin. Dosis yang diberikan adalah 5 mmol/kg BB/hari atau 40
mmol/L cairan. Pada keadaan gagal ginjal atau anuria pemberian kalium
harus di tunda.
Penggantian Bikarbonat
Asidosis yang berat pada KAD akan membaik dengan pemberian cairan
dan insulin. Pemberian insulin akan mencegah produksi dan meningkatkan
metabolisme keton. Metabolisme anion keton akan memicu pembentukkan
bikarbonat yang dapat mengkoreksi asidosis. Di samping itu terapi
hipovelmi akan memperbaiki perfusi jaringan dan fungsi ginjal, sehingga
meningkatkan ekskresi asam organik dan mengurangi asidosis laktat.
Bikarbonat sebaiknya tidak diberikan pada awal resusitasi. Terapi
bikarbonat berpotensi menimbulkan asidosis serebral, hipokalemia,
excessive osmolar load, dan hipoksia jaringan. Terapi bikarbonat hanya di
indikasikan pada asidosis berat (pH < 6,9 dengan bikarbonat serum < 5
mmol/L) sesudah dilakukan rehidrasi awal dan pada syok yang persisten.
Jika diperlukan dapat diberikan 1-2 mmol/kgBB dengan pengenceran dalam
waktu 1 jam atau dengan rumus 1/3 x (defisit basa x KgBB), cukup
diberikan ¼ dari kebutuhan.
Pemberian Insulin
15
Insulin hanya dapat diberikan setelah syok teratasi dengan cairan
resusitasi. Insulin yang digunakan adalah jenis short acting/rapid insulin
(RI). Dalam 60-90 menit awal hidrasi, dapat terjadi penurunan kadar gula
darah walaupun insulin belum diberikan. Dosis yang digunakan adalah 0.1
unit/kgBB/jam atau 0,05 unit/kgBB/jam pada anak < 2 tahun. Pemberian
insulin sebaiknya dalam syringe pump dengan pengenceran 0,1 unit/ml atau
bila tidak ada syringe pump dapat di lakukan dengan microburet (50 unit
dalam 500 mL NS), terpisah dari cairan rumatan/hidrasi. Penurunan kadar
glukosa darah yang diharapkan adalah 70-100 mg/dL/jam. Bila KGD
mencapai 200-300 mg/dL maka ganti cairan rumatan dengan D5 ½ salin.
Jangan menghentikan insulin atau menurunkannya sampai < 0,05
unit/kgBB/jam. Pemberian insulin kontinyu dan pemberian glukosa tetap
diperlukan untuk menghentikan ketosis dan merangsang anabolisme.
Fase pemulihan
Setelah berhasil mengatasi keadaan KAD, maka fase pemulihan
penderita dipersiapkan untuk memulai diet per oral setelah sebelumnya “nill
by mouth” dan peralihan insulin drip menjadi subkutan. Diet per oral dapat
diberikan bila anak sudah stabil secara metabolik (KGD < 250 mg/dL, pH >
7,3, bikarbonat > 15 mmol/L), sadar dan tidak mual atau muntah. Saat
memulai snack, kecepatan insulin basal dinaikkan menjadi 2 x sampat 30
menit sesudah snack berakhir. Bila anak dapat menghabiskan snacknya, bisa
memulai makanan utama. Saat memulai makanan, kecepatan insulin basal di
naikkan menjadi 2 x sampai 60 menit sesudah makan utama berakhir.
Menghentikan insulin intravena dan memulai subkutan bila keadaan
umum anak baik, metabolisme stabil, dan anak dapat menghabiskan makanan
utama. Insulin subkutan harus di berikan 30 menit sebelum makan utama dan
insulin i.v diteruskan sampai total 90 menit sesudah insulin subkutan
diberikan. Diberikan short acting insulin setiap 6 jam dengan dosis
individual tergantung kadar gula darah. Total dosis yang di butuhkan kurang
lebih 1 unit/kgBB/hari atau disesuaikan dosis basal sebelumnya. Dapat
16
diawali dengan regimen 2/7 sebelum makan pagi, 2/7 sebelum makan siang.
2/7 sebelum makan malam. Dan 1/7 sebelum snack menjelang tidur.
Prognosis
Prognosis KAD pada anak ini tergantung. Dimana bila cepat diketahui
penyebabnya, cepat diobati, dan cepat dilakukan tatalaksana dengan baik makan
prognosis KAD itu baik karena dalam hal ini bila kita bisa menangani Diabetes
Mellitus tipe 1 pada anak maka kita dapat menekan KAD dengan cara tetap
memberikan insulin secara adekuat. Tapi bila pasien sudah datang dalam keadaan
kesadaran yang turun dan terlambat di tangani maka prognosisnya itu buruk.
Karena KAD merupakan penyebab kematian tersering pada anak DM tipe 1 yang
tidak terkontrol dan terjadinya penumpukkan keton atau zat-zat toksik bagi otak
yang membuat kesadarannya menurun, terjadi edema serebri, koma, dan dapat
meninggal.7
Komplikasi
Komplikasi KAD (ketoasidosis diabetik) terjadi ketika terlambat
terdiagnosa dan terjadi pada saat sedang melakukan terapi penyembuhan dari
KAD. Komplikasi terapi KAD, ialah :7
1. Hipoglikemia dan Hipokalemia
Sebelum era penggunaan insulin dosis rendah seperti saat ini kedua
komplikasi ini sering di jumpai dengan angka kejadian sampai ± 25%.
Dengan pengguanan insulin dosis rendah seperti era sekarang hipoglikemia
akan dapat di hindari dengan monitoring dan evaluasi yang lebih ketat, serta
penggantian cairan rehidrasi dengan dekstrosa 5% ½ salin bila KGD < 250
mg/dL. Demikian juga, hipokalemia dapat dicegah dengan monitoring ketat
dan penambahan kalium pada cairan rehidrasinya.
2. Edema Serebri
Merupakan komplikasi yang paling berat dengan kejadian 0,7-1%
pada anak KAD dengan mortalitas sekitar 57-87%.
3. Asidosis metabolik hiperkloremia
17
Hiperkloremia terjadi akibat pemberian NaCl 0,9% yang mengandung
sekitar 154 mmol/L natrium dan klorida, sehingga terjadi kelebihan 54
mmol/L dari 100 mmol/L klorida di dalam serum. Asidosis ini tidak
berbahaya pada kondisi klinik penderita dan akan terkoreksi dalam 24-48
jam melalui ekskresi ginjal.
Pencegahan
Dua faktor yang paling berperan pada timbulnya KAD adalah terapi
insulin yang tidak ade-kuat dan infeksi. Dari pengalaman di negara maju
keduanya dapat diatasi dengan memberikan akses yang mudah bagi penderita
untuk mencapai fasilitas kesehatan, komunikasi yang efektif antara petugas
kesehatan dengan penderita dan keluarganya di saat sakit serta edukasi. Langkah-
langkah pencegahan efektif dapat dilakukan pada penderita DM tipe 1 agar tidak
terjadi KAD adalah deteksi awal adanya dekompensasi metabolik dan
penatalaksanaan yang tepat. Hal praktis yang dapat dilakukan adalah:7
1. Menjamin agar jangan sampai terjadi defisiensi insulin (tidak menghentikan
pemberian insulin, manajemen insulin yang tepat di saat sakit).
2. Menghindari stress.
3. Menghindari puasa yang berkepanjangan.
4. Mencegah dehidrasi.
5. Mengobati infeksi secara adekuat.
6. Melakukan pemantauan kadar gula darah atau keton secara mandiri.
Kesimpulan
KAD merupakan suatu kondisi kegawat-daruratan yang mengancam jiwa
seseorang, yang disebabkan oleh adanya penurunan kadar insulin efektif dalam tubuh
atau resistensi insulin, dan disertai peningkatan produksi hormon-hormon kontra
regulator. Yang mana penyakit ini hubungan erat dengan diabetes mellitus tipe 1 dan
harus diberikan insulin secara adekuat dengan tatalaksanaan yang baik agar prognosis
penyakit KAD ini baik. Bila terlambat ditangani maka KAD, akan memiliki prognosis
18
yang buruk karena dapat menyebabkan seseorang menurun kesadarannya, koma, dan
dapat meninggal dunia. Jadi, penanganan yang cepat dapat membuat prognosis penyakit
menjadi lebih baik.
Daftar Pustaka
1. Santoso M. Panduan anamnesis dan pemeriksaan fisik diagnosis. Jakarta: Biro
Publikasi Fakultas Kedokteran Universits Kristen Krida Wacana; 2013. h. 2-58.
2. Kliegman RM, Behrman RE, Arvin, et all. Ilmu kesehatan anak Nelson. Vol 3.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2000. h. 2005-28.
3. Hidayat AAA, Uliyah M. Buku saku praktikum kebutuhan dasar manusia.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2004. h. 278-9.
4. Wahab AS, Pendit BU, Sugiarto, et al. Buku ajar pediatric Rudolph. Vol 3.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2006; h. 1987-2003.
5. Batubara JRL, Soesanti F. Ketoasidosis diabetic pada anak. International
symposium pediatric challenge. Medan: Ikatann Dokter Anak Indonesia ; 2006. h.
121-9.
6. Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 2007. h. 49.
7. Dunger DB, et al. European society consensus statement on diabetic ketoacidosis
in children and adolescents. Austria : Pediatrics Europe; 2004. h. 133-9.
19