ketika kita gagal

1
Ketika Kita Gagal, Mengapa Harus Resah dan Gelisah? Kegagalan. Itulah adalah sebuah ‘kata’ yangpada umumnya -- menakutkan bagi banyak orang. Banyak orang yang tiba-tiba berhenti untuk melakukan banyak hal karena sebuah ‘kegagalan’. Dengan kata lain, ‘tidak ada orang di dunia ini ingin menderita kegagalan’. Ketika hal itu ditanyakan pada diri saya oleh mantan mahasiswa saya, saya katakan dengan tegas: “Bagi diri saya, kegagalan dalam bentuk apa pun bisa saja ‘saya lupakan’. Terapi, saya justeru ingin selalu mengingatnya ,agar saya bisa belajar darinya”. Mungkin terlalu sulit bagi siapa pun untuk belajar dari setiap kegagalan, karena untuk belajar darinya membutuhkan upaya dan optimisme yang optimal. Namun, jika kita mau berlatih dengan sabar, dan melakukan perenungan yang dalam, ‘kita’ akan bisa keluar darinya, dan bukan tidak mungkin ‘kita’ akan melejit menjadi seseorang yang berhasil meraih sesuatu yang semula tak pernah kita bayangkan. Betapa banyak orang sukses di dunia iniini,yang berhasil meraih sesuatu yang sangat bermakna setelah mengalami beragam kegagalan. Contoh kongkretnya antara lain: “Nabi Muhammad s.a.w.” Setelah melalui serangkaian perjuangan yang sangat panjang yang bagi siapa pun sangat melelahkan, beliau dengan pertolongan Allah -- berhasil melakukan penaklukan kota Makkah tanpa ‘setetes darah’ pun. Berkaca pada Nabi Muhammad s.a.w., kata salah seorang sahabat saya: “Perbedaan antara orang yang sukses dan orang yang gagal adalah: “kesediaannya untuk bangkit dari setiap kegagalan”. Nah, oleh karenanya, bagi diri saya ‘kegagalan’ adalah hal yang tidak pernah saya khawatirkan. Saya tidak berpikir bahwa ada alasan bagi diri saya untuk berhenti berbuat sesuatu yang terbaik,dengan berangkat dari sebuah kegagalan. Sekali lagi, bagi diri saya kegagalan dalam bentuk apa pun bukan berarti akhir dari segalanya, bahkan bisa menjadi awal dari sebuah keberhasilan. Sebuah kegagalan mungkin pernah suatu saatsaya khawatirkan akan menjadikan diri saya terpuruk.Tetapi, ternyata dengan semangat untuk ‘bangkit’ - dengan doa, ikhtiar dan tawakkal -- saya bisa berhasil meraih sesuatu yang jauh lebih baik daripada apa yang pernah saya cita-citakan. Ya Allah, Syukran Jazîlâ. Ternyata Engkau sampai saat ini -- masih peduli untuk menyertaiku dalam setiap langkah perjalanan hidupku. Yâ Muqqallibal Qulûb, Tsabbit Qalbî ‘Alâ Dînik!

Upload: muhsin-hariyanto

Post on 22-Jun-2015

16 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ketika kita gagal

Ketika Kita Gagal, Mengapa Harus Resah dan Gelisah?

Kegagalan. Itulah adalah sebuah ‘kata’ yang– pada umumnya -- menakutkan bagi

banyak orang. Banyak orang yang tiba-tiba berhenti untuk melakukan banyak hal karena

sebuah ‘kegagalan’.

Dengan kata lain, ‘tidak ada orang di dunia ini ingin menderita kegagalan’.

Ketika hal itu ditanyakan pada diri saya oleh mantan mahasiswa saya, saya katakan

dengan tegas: “Bagi diri saya, kegagalan dalam bentuk apa pun bisa saja ‘saya lupakan’.

Terapi, saya justeru ingin selalu mengingatnya ,agar saya bisa belajar darinya”.

Mungkin terlalu sulit bagi siapa pun untuk belajar dari setiap kegagalan, karena untuk

belajar darinya membutuhkan upaya dan optimisme yang optimal.

Namun, jika kita mau berlatih dengan sabar, dan melakukan perenungan yang dalam,

‘kita’ akan bisa keluar darinya, dan bukan tidak mungkin ‘kita’ akan melejit menjadi

seseorang yang berhasil meraih sesuatu yang semula tak pernah kita bayangkan.

Betapa banyak orang sukses di dunia iniini,yang berhasil meraih sesuatu yang sangat

bermakna setelah mengalami beragam kegagalan. Contoh kongkretnya antara lain: “Nabi

Muhammad s.a.w.” Setelah melalui serangkaian perjuangan yang sangat panjang yang –

bagi siapa pun – sangat melelahkan, beliau – dengan pertolongan Allah -- berhasil

melakukan penaklukan kota Makkah tanpa ‘setetes darah’ pun.

Berkaca pada Nabi Muhammad s.a.w., kata salah seorang sahabat saya: “Perbedaan

antara orang yang sukses dan orang yang gagal adalah: “kesediaannya untuk bangkit dari

setiap kegagalan”.

Nah, oleh karenanya, bagi diri saya ‘kegagalan’ adalah hal yang tidak pernah saya

khawatirkan. Saya tidak berpikir bahwa ada alasan bagi diri saya untuk berhenti berbuat

sesuatu yang terbaik,dengan berangkat dari sebuah kegagalan. Sekali lagi, bagi diri saya

kegagalan dalam bentuk apa pun bukan berarti akhir dari segalanya, bahkan bisa menjadi

awal dari sebuah keberhasilan.

Sebuah kegagalan mungkin pernah suatu saatsaya khawatirkan akan menjadikan diri saya

terpuruk.Tetapi, ternyata dengan semangat untuk ‘bangkit’ - dengan doa, ikhtiar dan

tawakkal -- saya bisa berhasil meraih sesuatu yang jauh lebih baik daripada apa yang

pernah saya cita-citakan.

Ya Allah, Syukran Jazîlâ. Ternyata Engkau – sampai saat ini -- masih peduli untuk

menyertaiku dalam setiap langkah perjalanan hidupku.

Yâ Muqqallibal Qulûb, Tsabbit Qalbî ‘Alâ Dînik!