ketidakmerataan pendidikan

Upload: jaka-ramadhan

Post on 02-Nov-2015

56 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ketidakmerataan pendidikan

TRANSCRIPT

ENIN, 09 APRIL 2012Pemerataan Akses Pendidikan Bangsa

Pemerataan Akses Pendidikan BangsaAgus Wibowo,Pemerhati Pendidikan;Alumnus Program Pascasarjana Universitas Negeri YogyakartaSUMBER :MEDIA INDONESIA, 09 April 2012

MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh, dalam sebuah kesempatan, melontarkan gagasan pentingnya pemerataan akses pendidikan pada 2012. Melalui jargon Menjangkau mereka yang tak terjangkau, Mendikbud Mohammad Nuh berharap pemerataan pendidikan bagi seluruh masyarakat bisa segera terealisasikan. Pendek kata, pada 2012 ini, ketidakmerataan dan ketimpangan pendidikan di negeri ini bisa diminimalkan, bahkan dihilangkan.

Gagasan Mendikbud itu patut didukung dan diapresiasi secara positif. Pasalnya, sampai saat ini ketidakmerataan pendidikan di negeri ini masih terjadi, tidak hanya antarwilayah geogra s yaitu antara perkotaan dan perdesaan, tetapi juga antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), antartingkat pendapatan penduduk dan antargender.

Pendidikan, kata Mochtar Buchori (1994: 54), merupakan pilar peradaban bangsa. Jika berharap bangsa ini bermartabat, pendidikan harus menjadi garda depan dan prioritas utama. Pentingnya kemudahan akses pendidikan jauh hari sudah menjadi ancangan para bapak bangsa. Ki Hajar Dewantara, misalnya. Melalui pawiyatan yang diberi nama Taman Siswa, ia berharap pendidikan bisa dinikmati seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Itu karena pendidikan, kata Ki Hajar (1971), merupakan sarana/alat yang paling efektif untuk membangkitkan kesadaran, khususnya sebagai bangsa terjajah.

Terlupakan

Namun, harapan para bapak bangsa dan masyarakat kita masih sekadar mimpi karena sampai saat ini pemerintah belum berhasil merealisasikannya. Benar banyak gedung sekolah, sarana, dan fasilitas pendidikan modern dibangun. Namun kenyataannya, berbagai fasilitas pendidikan itu hanya dapat diakses kaum menengah ke atas. Rakyat miskin, apalagi mereka yang tinggal di kawasan terpencil/perbatasan, hanya mampu mendengar tanpa dapat mengaksesnya. Lebih ironis lagi, mereka yang ada di kawasan miskin dan terpencil seakan-akan terlupakan dari program megah pendidikan nasional kita itu.

Diskriminasi juga kental terasa dalam sistem pendidikan kita. Kebijakan otonomi pendidikan misalnya--yang kemudian memberikan hak sepenuhnya kepada setiap penyelenggara dan satuan pendidikan,--menunjukkan satu bukti konkret bahwa pendidikan berada dalam jerat komersialisasi. Hanya kaum berduit yang bisa mengakses dan menikmatinya.

Benar setahun yang lalu UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) telah dibekukan. Namun, bentuk serupa masih terjadi dalam praktik pendidikan tinggi kita. Lewat payung otonomi, terbuka kesempatan bagi oknum perguruan tinggi (PT) untuk menerapkan cara mereka sendiri-sendiri dalam mengeruk pendanaan, seperti kenaikan biaya SPP, pemberlakuan jalur khusus, pungli, pendirian unit-unit komersial, hingga komersialisasi aset-aset kampus.

Dalih penyediaansoftwaredanhardwarependidikan dijadikan banyak PT dan universitas sebagai alasan rasional untuk mematok biaya mahal. Akibat komersialisasi itu, fenomena kesenjangan semakin nyata; yang kaya semakin pintar dan dengan kepintarannya membodohi si miskin. Sebaliknya, si miskin dan masyarakat kelas menengah ke bawah pada umumnya akan terjauhkan dengan sendirinya dari dunia pendidikan yang secara otomatis akan semakin bodoh dan mudah diperdaya. Ironis sekali bukan?

Tidak salah jika setahun lalu Mendikbud Mohammad Nuh meminta PT/ universitas memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan. Seruan Mendikbud itu sudah selayaknya didengar para pengelola PT baik negeri maupun swasta, sebagai wujud kepedulian mereka terhadap masa depan dan kualitas bangsa.

Seruan Mendikbud itu juga sesuai dengan beban konstitusi yang menjadi kewajiban pemerintah. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, tugas pemerintah ialah mencerdaskan dan mengangkat martabat bangsa melalui pendidikan. Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 menyebutkan bahwa anggaran penyelenggaraan pendidikan nasional minimal sebesar 20%, yang diambilkan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Dengan demikian, pemerintah harus menyelenggarakan pendidikan guna mencerdaskan rakyat sebagai amanat konstitusi.

Urgensi Pemerataan

Pemerataan pendidikan, dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, ialah solusi tepat guna menjangkau mereka yang tak terjangkau. Pemerataan pendidikan juga memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring pula dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyaneducation for all.

Lantas yang menjadi pertanyaan, siapa saja yang mesti diprioritaskan dalam pemerataan pendidikan? Tentu saja kelompok masyarakat miskin yang berjumlah lebih dari 38,4 juta orang atau 17,6% dari total penduduk. Namun yang paling penting yaitu masyarakat miskin yang berada di daerah miskin dan terpencil. Untuk mengatasi kebutuhan pendi dikan bagi mereka, cara konvensional seperti pembangunan sarana pendidikan dan pemberian bantuan dana pendidikan melalui program pendam ping keluarga harapan (PKH) harus bersinergi dengan strategi nonkonvensional. Strategi itu seperti pemanfaatan kemajuan teknologi sebagai media pendidikan bangsa; internet, televisi, radio, dan sebagainya.

Sayangnya, sekalipun kemajuan teknologi komunikasi menawarkan pemerataan pendidikan dengan biaya yang relatif rendah, penggunaannya justru menciptakan diskriminasi baru. Yang bisa mengakses justru orang-orang kaya, bukan mereka yang sejatinya lebih memerlukan. Pendek kata, sekalipun teknologi dapat menjangkau yang tak terjangkau d dan dapat menghadirkan pend didikan kepada warga belajar, mereka yang terlupakan tetap dirugikan; karena bukan hanya tetap buta teknologi, melainkan juga tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan. Ironis sekali!

Untuk mengatasi ketimpangan dan ketidakmerataan pendidikan itu, kata Mohammad Nuh (2010), sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh bisa menjadi jawaban. Sistem itu sudah terbukti mengatasi hambatan banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk memeratakan akses pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh juga memperluas akses pendidikan dan memberi pilihan pembelajaran sesuai dengan keinginan dan kebutuhan peserta didik. Universitas terbuka (UT) bukan alternatif terakhir, tetapi jadi pilihan masyarakat sesuai kondisi dan kebutuhan peserta. UT terjangkau dan bisa menjangkau peserta di mana pun dan dalam kondisi apa pun, tutur Mohammad Nuh.

Guna menyediakan sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh, pemerintah sebagai pemegang kebijakan perlu menambah banyak alternatif. Langkah ini menjadi penting agar masyarakat kita yang multietnik, multibudaya, dan multigeografis bisa memilih akses pendidikan sesuai dengan keinginan mereka.

Agar pembelajaran terbuka dan jarak jauh bisa optimal, diperlukan metode pembelajaranonline kolaboratif(Media Indonesia, 10/1). Dalam hal ini, peserta didik tidak ha nya meng akses materi ajar di portal tertentu, tetapi juga berbagi informasi dan pengalaman sehingga terjadi interaksi antarpeserta didik. Jika hal ini sudah bisa terealisasi, pendidikan jarak jauh akan tumbuh dengan cepat dan pengetahuan mengalir ke semua lapisan masyarakat. Alhasil, mereka yang selama ini tidak terjangkau bisa terjangkau.

Sudah saatnya UT menjadi garda depan pemerataan pendidikan hingga daerah-daerah terpencil. Namun, kendala yang dihadapi saat ini ialah keterbatasan infrastruktur informasi dan teknologi. Akibatnya, hanya mahasiswa dengan letak geografis di perkotaan yang bisa memanfaatkan pembelajaran online. Dari sekitar 600 ribu mahasiswa UT, hanya 30 ribu hingga 40 ribu mahasiswa yang menggunakan pembelajaranonline(Tia Belawati, 2012). Selain itu, alokasi anggaran untuk UT relatif minim. Sebagian besar dana untuk membiayai konektivitas pembelajaranonlineyang berbasis informasi dan teknologi.

Akhirnya, jargon pendidikan Menjangkau mereka yang tak terjangkau harus didukung segenap elemen masyarakat. Bukan waktunya lagi aspek ekonomi, geogras, dan aspek gender menjadi penghalang untuk mengakses pendidikan. Pemerataan pendidikan ini diharapkan efektif meningkatkan indeks pembangunan manusia (human development index/HDI). Itu karena pendidikan berkorelasi positif terhadap capaian HDI, yang merupakan gabungan dari nilai indeks kesehatan, pendidikan, dan pendapatan per kapita. Semoga.Diposkan olehBudi Santosodi10.28Menanggulangi Ketidakmerataan PendidikanPosted on25 April, 2012byJAPEROOleh : Hilman RasyidSetiap warga negara berhak mendapat pendidikan(UUD 1945 Pasal 31 ayat 1)Pendidikan merupakan pilar peradaban bangsa karena di dalamnya terdapat usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang. Namun, kita juga sering menemukan berbagai problematika pendidikan di Indonesia. Problematika pendidikan adalah suatu masalah yang sangat kompleks. Apabila ditelaah lebih jauh, maka kita akan menemukan sekumpulan hal-hal rumit yang sangat susah untuk disiasati. Masalah yang dihadapi tersebut akan lebih susah jika saling berkaitan satu sama lain. Problematika pendidikan merupakan suatu kendala yang menghalangi tercapainya tujuan pendidikan. Adapun problematika pendidikan yang esensial (mendasar) krusial adalah pemerataan kualitas pendidikan di seluruh pelosok daerah Indonesia .Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pemerataan berasal dari kata dasar rata, yang berarti: 1) meliputi seluruh bagian, 2) tersebar kesegala penjuru, dan 3) sama-sama memperoleh jumlah yang sama. Sedangkan kata pemerataan berarti proses, cara, dan perbutan melakukan pemerataan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemerataan pendidikan adalah suatu proses, cara, dan perbuatan melakukan pemerataan terhadap pelaksanaan pendidikan, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan pelaksanaan pendidikan.Kita ketahui bahwa negara kita tercinta adalah negara kepulauan, juga negara yang luas dengan daerah-daerah yang terpisahkan oleh lautan, gunung, dan hutan. Di Indonesia yang paling memerlukan pendidikan adalah mereka yang berada di daerah miskin dan terpencil. Oleh karena itu aksesibilitas (keterjangkauan) dapat menjadi faktor penghambat perbaikan fasilitas pendidikan di daerah terpencil, dan ekonomi (kesejahteraan) dapat menjadi faktor penghambat peningkatan sumber daya manusia di daerah terpencil tersebut. Pemerintah tentunya tidak berdiam diri dengan tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menjangkau daerah-daerah pelosok dalam rangka penyediaan pelayanan pendidikan, perbaikan fasilitas, dan peningkatan sumber daya pengajar yang berkualitas. Semua itu memang bukanlah solusi yang mudah diimplementasikan, perlu investasi yang besar dan fokus penuh dan maksimal dari pemerintah Republik Indonesia untuk menjamin pemerataan kualitas Pendidikan di seluruh pelosok daerah Indonesia.Pelaksanaan pendidikan yang merata adalah pelaksanaan program pendidikan yang dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia untuk dapat memperoleh pendidikan. Pemerataan dan perluasan pendidikan atau biasa disebut perluasan kesempatan belajar merupakan salah satu sasaran dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan tersebut tidak dapat dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial, agama, ataupun letak lokasi geografis.Permasalahan pemerataan dapat terjadi;Pertama,karena adanyaketerbatasanaksesibilitas dandayatampungsertakurang terorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan hingga daerah terpencil sekalipun.Kedua,ketidakmerataan pendidikan di Indonesia juga disebabkan karena aspek kemiskinan yang dibarengi dengan biaya oportunitas dan aspek pembiayaan pendidikan yang dibarengi oleh korupsi dana pendidikan.Ketiga, kurang berdayanya suatu lembaga pendidikan untuk melakukan proses pendidikan, hal ini terjadi karena kontrol pendidikan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak menjangkau daerah-daerah terpencil. Permasalahan ini akan mengakibatkan mayoritas penduduk Indonesia yang dalam usia sekolah, tidak dapat mengenyam pelaksanaan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.Ada juga beberapa faktor pendukung yang mengakibatkan sulit terjadinya pemerataan pendidikan.Pertama,Iptek.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada zaman modern ini berdampak pada sektor pendidikan di Indonesia. Ketidaksiapan bangsa menerima perubahan zaman membawa perubahan tehadap mental dan keadaan negara ini. Sebagai negara berkembang, Indonesia dihadapkan kepada tantangan dunia global. Sehingga subjektif penulis, bagi Indonesia sebagai negara berkembang, globalisasi berarti penjajahan sistemik (systemic colonization). Sehingga tidak aneh, banyak system di Indonesia yang berantakan termasuk sistem pendidikan. Dimana berbagai sistem di Indonesia berada di bawah pengaruh negara-negara adikuasa dan segala sesuatu dapat saja berjalan dengan bebas. Keadaan seperti ini tentunya akan sangat membahayakan keadaan pendidikan di Indonesia.Kedua,Laju Pertumbuhan Penduduk. Laju pertumbuhan yang sangat pesat akan berpengaruh tehadap masalah pemerataan serta mutu dan relevansi pendidikan. Pertumbuhan penduduk ini akan berdampak pada jumlah peserta didik. Semakin besar jumlah pertumbuhan penduduk, maka semakin banyak dibutuhkan sekolah-sekolah untuk menampungnya. Jika daya tampung suatu sekolah tidak memadai, maka akan banyak peserta didik yang terlantar atau tidak bersekolah. Hal ini akan menimbulkan masalah pemerataan pendidikan. Tetapi apabila jumlah dan daya tampung suatu sekolah dipaksakan, maka akan terjadi ketidakseimbangan antara tenaga pengajar dengan peserta didik. Jika keadaan ini dipertahankan, maka mutu dan relevansi pendidikan tidak akan dapat dicapai dengan baik. Sebagai negara yang berbentuk kepulauan, Indonesia dihadapkan kepada masalah penyebaran penduduk yang tidak merata. Tidak heran jika perencanaan, sarana dan prasarana pendidikan di suatu daerah terpencil tidak terkoordinir dengan baik. Hal ini diakibatkan karena lemahnya kontrol pemerintah pusat terhadap daerah tersebut.Permasalahan pemerataan pendidikan dapat ditanggulangi dengan menyediakan fasilitas dan sarana belajar bagi setiap lapisan masyarakat. Pemberian sarana dan prasarana pendidikan yang dilakukan pemerintah sebaiknya dikerjakan setransparan mungkin, sehingga tidak ada oknum yang dapat mempermainkan program yang dijalankan ini. Suatu penyakit mengenai dana di manapun adalah korupsi. Sehebat-hebatnya rencana anggaran tapi jika banyak oknum yang melakukan korupsi, maka efektifitas dana tersebut akan kecil. Karena itu perlu dibuat lembaga pengontrol dana bantuan dari pemerintah dan swasta tersebut yang berazaskan Islam. Kenapa perlu berazaskan Islam? Hal ini karena Islam dapat menolong semua masalah. Perlu diingat juga, bahwa pemerataan pendidikan tidak bisa direalisasikan tanpa adanya kerja sama berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat yang bersangkutan. Sehingga, pemerintah pusat dan daerah harus saling bersinergi memperkuat koordinasi dan konsolidasinya demi tercapainya pemerataan pendidikan yang maksimal sampai ke pelosok Indonesia. Bravo Pendidikan Indonesiaku !!*-Staff Kajian Pendidikan BEM REMA UPI 2012-Ketua Departmen Humas BEM KEMABA UPI 2012Sumber: http://bem.rema.upi.edu/2012/04/menanggulangi-ketidakmerataan-pendidikan/

Ketidakmerataan Pendidikan di Negeri Indonesia24 Agustus 2014 05:58:42Dibaca :239Nama : Alyaa PratiwiNIM : 1125143051Jurusan: PsikologiFakultas : Ilmu PendidikanPendidikan yang menjadi tolak ukur mutu suatu bangsa menjadi salah satu alasan setiap negara menginginkan untuk memiliki standar pendidikan yang tinggi. Begitu juga Indonesia, dibalik sistem pendidikan yang kita jalani selama ini, tidak luput dari prakarsa yang dilakukan oleh orang-orang hebat di departemen pendidikan. Tapi apakah pendidikan di Indonesia sudah pada titik stabil dengan mutu yang tinggi dan menghasilkan siswa-siswi berkualitas? Mungkin jawabannya belum sepenuhnya. Ya, bisa dibilang dibanyak kota-kota besar di Indonesia telah memiliki mutu pendidikan yang memenuhi standar, pengajar yang unggul, juga kemudahan untuk mengakses jalan menuju ke sekolah. Tapi apakah itu semua telah terjadi merata diseluruh pelosok Indonesia? Belum.Dapat kita ambil contoh dari permasalahan akses untuk menuju sarana-sarana pendidikan. Bila kita menonton televisi, dapat kita lihat berita-berita yang menyiarkan tentang anak-anak di daerah terpencil yang berjuang melawan maut untuk datang ke sekolahnya, karena susah untuk dijangkau. Mereka rela berjalan kaki melewati hutan atau menyebrangi danau dengan rakit dan berangkat pagi buta untuk berangkat ke sekolah. Ironis sekali, tidak seperti sekolah di kota-kota besar yang banyak dan menjamur diberbagai sudut. Jauhnya daerah terpencil itu dari ibukota menyebabkan pemantauan perkembangan pendidikan di daerah tersebut kurang intensif. Sehingga hal ini merupakan salah satu penyebab pendidikan di daerah pedalaman terkesan tertinggal.Ada pula masalah lainnya, dari segi kurangnya penunjang sarana pendidikan. Dapat kita lihat, banyak sekali sekolah-sekolah elite di kota besar dengan sarana yang memadai. Sedangkan di kota-kota terpencil, jangankan sarana yang memadai, gedung sekolah pun kadang hanya terbuat dari anyaman rotan yang didalamnya diisi dengan bangku-bangku yang berkayu lapuk. Padahal mereka yang tinggal dipelosok negeri juga bagian dari Indonesia dan berhak mendapatkan sarana yang menjanjikan seperti di kota-kota besar.Atau dari segi tidak meratanya persebaran guru. Menurut salah seorang sosiolog asal Universitas Indonesia, Hanief Saha Ghafur, Indonesia kelebihan guru sekitar 500 ribu. Tapi ada ketimpangan antar daerah dan bidang studi per wilayah karena tidak terdistribusi dengan baik. Ada guru matematika yang menumpuk di daerah tertentu, sementara di kabupaten atau kota sebelah keadaannya berbeda. Susahnya menemukan guru yang berkualitas di daerah terpencil menjadi salah satu PR utama pemerintah. Sudah seharusnya pemerintah dapat menyalurkan tenaga kerja secara merata ke berbagai pelosok negeri.Kesadaran masyarakat di daerah pedalaman akan arti pentingnya pendidikan masih lemah. Contohnya, pada musim mereka bercocok tanam padi di sawah atau di ladang. Bagi anak-anak dari masyarakat itu lebih memilih pergi ke ladang untuk membantu orang tua mereka, daripada menuntut ilmu di sekolah. Memang tidak ada salahnya bila anak-anak memilih untuk bekerja di ladang, tapi apa salahnya untuk lebih memprioritaskan pendidikan? Maka itu perlulah pemerintah mengadakan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan di daerah-daerah terpencil.Solusi dari berbagai permasalahan diatas dapat diperbaiki dengan komitmen pemerintah untuk pengembangan pendidikan di daerah-daerah terpencil mulai dari pendanaan, penyediaan fasilitas, dan tenaga pendidik. Semua pihak harus menyadari bahwa negara kita ini merupakan negara Archipelago yang terdiri dari ribuan pulau, dimana beberapa pulau ada penghuninya yang juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan selayaknya di kota-kota besar.Besar harap Indonesia menjadi negara dengan pendidikan yang merata, tidak berpusat di kota-kota tertentu saja melainkan menyebar hingga ke pelosok. Dengan tenaga pengajar berkualitas yang mau ditempatkan diberbagai daerah, yang nantinya akan menjadi pengajar calon-calon pemimpin negeri ini. Sehingga Indonesia nantinya memiliki bibit-bibit penerus berkualitas yang menyebar, yang nantinya dapat menyatukan Indonesia atas nama pendidikan.Sumber:http://medyarizkadani.blogspot.com/2012/05/masalah-utama-dunia-pendidikan-di.htmlhttp://kampus.okezone.com/read/2013/02/28/373/769222/sederet-kelemahan-pendidikan-di-indonesiahttp://kubikumi04.wordpress.com/2011/05/11/pengembangan-pendidikan-di-pulau-pulau-daerah-terpencil/Masalah Pendidikan diIndonesiaBAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahKualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:(1). Rendahnya sarana fisik,(2). Rendahnya kualitas guru,(3). Rendahnya kesejahteraan guru,(4). Rendahnya prestasi siswa,(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,(7). Mahalnya biaya pendidikan.Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan dalam makalah yang berjudul Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia ini.B. Rumusan Masalah1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?3. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?4. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?C. Tujuan Penulisan1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.3. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.4. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.D. Manfaat Penulisan1. Bagi PemerintahBisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.2. Bagi GuruBisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya dapat berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang.3. Bagi MahasiswaBisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan prestasi diri pada khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya.BAB IIPEMBAHASANA. Ciri-ciri Pendidikan di IndonesiaCara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.B. Kualitas Pendidikan di IndonesiaSeperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya, kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu: Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi. Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender. Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional. Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan. Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah. Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun. Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan. Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.C. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di IndonesiaDi bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:1. Efektifitas Pendidikan Di IndonesiaPendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu goal apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.2. Efisiensi Pengajaran Di IndonesiaEfisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih murah. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitemfree cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambahcostbiaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.3. Standardisasi Pendidikan Di IndonesiaJika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagiPenyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.1. Rendahnya Kualitas Sarana FisikUntuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.2. Rendahnya Kualitas GuruKeadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.3. Rendahnya Kesejahteraan GuruRendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).4. Rendahnya Prestasi SiswaDengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan PendidikanKesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan KebutuhanHal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.7. Mahalnya Biaya PendidikanPendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, sesuai keputusan Komite Sekolah. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di IndonesiaUntuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.BAB IIIPENUTUPA. KesimpulanKualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:(1). Rendahnya sarana fisik,(2). Rendahnya kualitas guru,(3). Rendahnya kesejahteraan guru,(4). Rendahnya prestasi siswa,(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,(7). Mahalnya biaya pendidikan.Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.B. SaranPerkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.Sumber: https://fitriannisa259.wordpress.com/artikel-pendidikan/masalah-pendidikan-di-indonesia/

Pengembangan Pendidikan di Pulau-Pulau/ DaerahTerpencilPosted onMay 11, 2011byReveeAn04Aku Ingin Belajar dimanapun Aku Berada, Di Kota, Di Desa, Bahkan Di Pulau Terpencil-punAyo Sekolah!!!! sebuah semboyan yang tidak akan habis diucapkan untuk mengajak generasi bangsa mengecap nilai-nilai pendidikantapi apakah juga diperhatikan bagaimana akses pendidikan itu untuk mereka?? pertanyaan yang cukup menggelitik sebagian orang yang perduli pada dunia pendidikan kitaSekolah adalah Investasi Jangka PanjangNamu sayang Masih Banyak yang Tidak Mampu MenikmatinyaBagi sebagian besar orang, pendidikan adalah hal yang mudah dinikmati, cukup dengan memiliki uang maka ijazah dapat diraih. Namun untuk sebagian besar orang yang lain, pendidikan itu seperti sebuah mutiara yang amat mahal untuk ditebusdan itu ternyata sudah menjadi fenomena wajar dalam kehidupan kita. Untuk mengakses pendidikan yang baik maka orang berbondong-bondong pergi ke kota, dengan alasan fasilitas pendidikan disana lebih baik bila dibandingkan di daerah, begitupula dengan guru-gurunya yang lebih berpendidikan. Tanpa disadari hal itu akan semakin membebani kota, akan terjadi banyak urbanisasi ke kota, dan kondisi desa akan menjadi semakin tertinggal. Terutama di kawasan-kawasan terpencil atau pulau-pulau kecil yang jarang dijamah, kondisi pendidikan disana jauh sangat mengenaskan, mereka belajar dengan seadanya, tanpa fasilitas yang memadainamun semangat mereka sangat bisa diacungi jempol. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 bahwa semua Warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak, maka pendidikan itu tidak hanya diperuntukkan untuk anak-anak kota, namun anak-anak di pulau terpencilpun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan itu. Sebagai negara Archipelago seharusnya disadari bahwa secara geografis negara kita ini memiliki kendala dalam aksesibilitas, dan itu yang seharusnya diperhatikan oleh semua pihak terutama pemerintah dalam menyediakan fasilitas bagi warganya.

Kondisinya, hal itu masih menjadi hambatan bagi warga di pulau-pulau/ daerah terpencil untuk mendapatkan akses pendidikan, alasan yang paling klasik adalah susahnya menjangkau daerah-daerah tersebut, jauh dari pusat kota dan mahal dalam pembiayaan. Alangkah ironisnya hal itu, di tengah gemerlap cahaya-cahaya Ibukota tersimpan banyak kegelapan di tempat lain yang jauh dari jangkauan mata. Pemerintah sudah melakukan beberapa hal untuk mengatasi kondisi tersebut seperti yang dilakukan di Provinsi Kepulauan Riau, dimana aga 430 orang Guru Tidak Tetap (GTT) dikirim ke daerah terpencil untuk melakukan pengabdian mengajar warga disana (http://edukasi.kompas.com). Untuk melaksanakan program itu membutuhkan biaya yang sangat besar, karena setiap guru akan digaji sesuai dengan kebutuhan disana yang lebih besar bila dibandingkan dengan di pusat kota (minimnya fasilitas). Selain itu guru-guru tersebut akan mendapatkan pelatihan teknis terlebih dahulu sebelum mengajar di pulau. Mereka ditujukan untuk memberikan sistem pengajaran yang berbeda dan lebih intensif kepada para pelajar yang tinggal di pulau-pulau tersebut, hal itu mengingat secara kondisi psikologis anak-anak di pulau tersebut masih polos dan harus belajar dari nol jadi membutuhkan cara pengajaran yang berbeda. Hal itu juga disesuaikan dengan karakter anak-anak pulau yang sudah terbiasa hidup dengan alam yang tidak mengenal tata tertib seperti di sekolah-sekolah pada biasanya.M.LATIEF/KOMPAS IMAGES

Contoh lain adalahPendidikan di Pulau Miangas Ujung Utara Nusantara, di pulau kecil yang sekiranya kita sangat langka mendengarnya ini kondisi pendidikan sangat memprihatinkan. di Pulau ini hanya terdapat tiga bangunan sekolah yang terdiri dari SD, SMP, dan SMK Kelautan dengan bangunan yang sederhana namun masih bisa berdiri dengan gagah. Permasalahan pendidikan di pulau ini bukan terletak dari kondisi bangunannya namun lebih pada proses kegiatan belajar mengajarnya, dimana para murid masih sangat kekurangan buku paket pelajaran. Namun kondisi tersebut dapat disiasati ketika dana program bantuan operasi sekolah (BOS) dari pemerintah pusat mulai turun. Dana tersebut digunakan untuk membeli buku-buku pelajaran, dan ironisnya setiap kelas hanya mendapat lima buah buku yang satu buku digunakan untuk 3-5 orang. Buku yang diberikan juga sangat terbatas hanaya lima mata pelajaran yaituPPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Sebuah kenyataan yang sangat bertolak belakang dengan kondisi pendidikan di kota-kota besar, dimana setiap anak bisa mendapatkan buku sebanyak yang mereka mau, mereka juga bisa membeli buku kapanpun dan dimanapun mereka mau. Berbeda dengan kondisi di pulau ini yang tidak ada satupun toko buku yang berdiri, sehingga untuk membeli buku harus ke kota besar yang letaknya cukup jauh daru jangkauan (Manado misalnya). Kondisi itu tidak berhenti begitu saja, banyak rintangan yang harus dihadapi mulai dari lamanya perjalanan ke kota besar (kurang lebih dua mingguan), belum lagi kapal yang ada hanya satu minggu sekali, itulah kendala-kendala yang dihadapi oleh pendidikan di pulau-pulau/ daerah terpencil yang minim aksesibiltas dan fasilitas.Hal ini harus lebih ditangani dengan serius bagaimana meningkatkan pemerataan pendidikan di Pulau-Pulau terpencil yang memang sangat sulit untuk dipecahkan. Harus ada kolaborasi dengan semua pihak terkait masalah ini, baik dari pemerintah, masyarakat dan pihak swasta. Selain itu juga harus ada konsistensi kebijakan dari semua pihak. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengembangan pendidikan di Pulau-Pulau terpencil adalah:a. Harus ada kerjasama kelembagaan pengelolaan pendidikan baik dari pemerintah dan pihak swasta, sehingga ada sharing pembiayaan yang tidak akan membebankan pada masyarakat.b. Pemerintah harus mempunyai komitmen untuk pengembangan pendidikan di pulau-pulau terpencil mulai dari pendanaan, penyediaan fasilitas, dan tenaga pendidik.c. Memberikan motivasi kepada para guru agar dapat mengajar di daerah-daerah terpencil melalui reward atau semacamnya.d. Dalam mengembangkan pendidikan di Pulau-pulau terpencil harus melihat karakter dari masyarakatnya sehingga dalam melaksanakan pla pengajaran disesuaikan dengan karakter masyarakatnya.e. Semua pihak harus menyadari bahwa negara kita ini merupakan negara Archipelago yang terdiri dari ribuan pulau, dimana beberapa pulau ada penghuninya yang juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan selayaknya di kota-kota besar.Aku Juga ingin Pandai Seperti Mereka (Anak-anak Kota)meskipun tempat tinggalku tak tampak oleh mataSumber: https://kubikumi04.wordpress.com/2011/05/11/pengembangan-pendidikan-di-pulau-pulau-daerah-terpencil/

Jum'at, 1 Maret 2013 - 08:08 wibSederet Kelemahan Pendidikan di Indonesia

Ilustrasi : ist.Margaret PuspitariniJurnalis Share on Facebook Share on Twitter Share on GoogleAAA

JAKARTA -Pendidikan Indonesia memiliki sejumlah kelemahan. Namun, kelemahan itu dapat tertutup dengan perbaikan yang dilakukan oleh berbagai pihak secara sinergi. "Ada beberapa kelemahan dalam pendidikan kita. Kalau pendidikan masyarakat itu bukan tanggung jawab Kementerian. Seperti PAUD sampai SMA harusnya adalah milik pemerintah daerah (pemda)," urai Sosiolog asal Universitas Indonesia (UI) Hanief Saha Ghafur ketika berbincang denganOkezone, Kamis (28/2/2013).Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah pusat perlu menggalang kordinasi yang lebih ketat dan lebih baik dengan pemda. Dia menilai, hal-hal yang tidak perlu didesentralisasikan tidak perlu dilakukan."Contoh, guru. Mereka harus dikembalikan pada pemerintah pusat walaupun sekolah adalah milik pemda. Sebab ada ketimpangan jumlah dan sebaran guru di berbagai daerah. Jumlah guru suatu mata pelajaran di sebuah daerah pun tidak merata," imbuhnya.Mantan Staf Ahli di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) itu menyatakan, ironisnya, meski sebagian daerah mengalami kekurangan guru, jumlah guru secara keseluruhan di Indonesia dinilai berlebih. Oleh karena itu, tambahnya, perlu ada regulasi yang tepat dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut."Indonesia kelebihan guru sekitar 500 ribu. Tapi ada ketimpangan antar daerah dan bidang studi per wilayah karena tidak terdistribusi dengan baik. Ada guru matematika yang menumpuk di daerah tertentu, sementara di kabupaten atau kota sebelah keadaannya berbeda. Maka, sebaiknya guru ditarik jadi milik pemerintah pusat," papar Hanief.Dia menegaskan, kebijakan terhadap guru menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sementara tindak lanjut pembinaan guru diserahkan kepada pemerintah daerah maupun sekolah-sekolah yang bersangkutan.(mrg)Sumber: http://news.okezone.com/read/2013/02/28/373/769222/sederet-kelemahan-pendidikan-di-indonesia

Rabu, 02 Mei 2012Masalah Utama dunia Pendidikan di Indonesia

Pendidikan merupakanlah hal yang penting bagi kehidupan manusia. Karena dengan pendidikan kita mampu membuka jendela pengetahuan dunia ini yang dapat kita gunakan sebagai ilmu yang berguna bagi pengembangan dan kemajuan bangsa ini. Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas sistem pendidikannya. Hal ini lah yang tercermin di negeri ini, Indonesia. Salah satu alasan negeri ini belum maju adalah terdapat di masalah pendidikan. Ironisnya pendidikan di negeri ini masih terbilang sangat mahal, padahal tidak semua golongan rakyat mampu menjangkau mahalnya biaya pendidikan tersebut. sehingga pendidikan masih sering dianggap barang mewah di negeri ini. Dan ternyata selain masalah biaya, dunia pendidikan kita masih banyak sekali menyimpan masalah seperti yang akan diuraikan di bawah ini :

Sistem Pendidikan yang masih kacau

UAN dinilai merupakan sistem yang kurang tepat

Tak bisa dipungkiri, sistem pendidikan di negara ini terbilang masih kacau. Hal ini bisa dilihat dari hasil dari sistem tersebut, dimana masih belum bisa memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap siswa. Siswa yang pintar hanya dalam semua mata pelajaranlah dan sering mendapatkan nilai tertinggilah yang menjadi patokan apakah siswa tersebut memenuhi keriteria dari sistem tersebut. Tentunya hal ini tidaklah adil bagi seluruh siswa. Siswa dengan berbagai karakter dipaksa mengikuti sistem dan cara belajar yang sama. Padahal tidak semua siswa memiliki satu jenis cara mereka dalam menyerap ilmu. Yang selama ini kita lihat di sekolah-sekolah, guru menerangkan, murid mendengar lalu latihan. Metode ini dianggap sudah ketinggalan zaman dan terlalu kaku. Dan yang paling fatal mudah sekali menghilangkan minat belajar pada siswa. Memang ada beberapa karakter siswa yang bisa atau malah mudah dengan metode belajar seperti itu, namun sekali lagi tidak sedikit pula siswa yang tidak bisa menyerap materi pelajaran dengan metode seperti itu karena itu tadi perbedaan karakter dan ditambah pola pendidikan berbeda yang diterapkan oleh orang tua masing-masing siswa. Perlu diketahui bahwa metode belajar setiap manusia berbeda-beda sesuai dengan karakter mereka, ada tipe belajar secara visual, lingual, pendengaran, analisis, debat, individu, kelompok dan lain-lain. Untuk itu ada baiknya sistem pendidikan yang seperti itu diubah yaitu dengan menganalisis kebutuhan belajar serta metode belajar yang tepat bagi siswa sebelum siswa tersebut masuk ke jenjang sekolah, lalu mengelompokan siswa ke beberapa kelompok sesuai dengan kebutuhan dan metode belajar yang dapat diterima siswa. Dengan begitu potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap siswa dapat tergali lagi dengan maksimal.

Akses ke sarana-sarana pendidikan yang masih minim

Jembatan Indiana-Jones di Banten

Saya tidak tahu apa yang ada dibenak pemerintah. Apakah mereka mengetahui bahwa masih banyak di daerah terpencil sana terdapat akses ke sarana pendidikan yang masih belum memadai. Namun tak perlu jauh-jauh ke daerah-daerah terpencil di pelosok Indonesia. Di sekitar kita pun masih banyak akses menuju sarana pendidikan yang bisa dibilang sangat memprihatinkan. Contoh terkini yakni berita mengenai Jembatan Indiana-Jones yang terdapat di provinsi Banten yang notabene hanya berjarak beberapa puluh kilo dari DKI Jakarta yang sebagai Ibukota pusat Pemerintahan Indonesia, tempat Istana Negara berada dimana disitu bernaung orang paling nomor 1 di Indonesia. Hal ini tetntunya sangat ironis, apalagi berita tersebut sudah terlanjur tersebar ke penjuru dunia yang secara tak langsung ikut membawa citra buruk dunia pendidikan di negeri ini. Hal ini juga masih menjadi PR besar bagi pemerintah. Jika tidak segera ditangani, bukannya tidak mungkin berita-berita lain mengenai citra buruk dunia pendidikan lainnya akan banyak terkuak di media-media asing.

Sarana-sarana pendidikan yang rusak

Apakah dengan sarana belajar seperti inisiswa bisa fokus belajar?

Yang ini tak kalah mirisnya. Sudah akses menuju sarana pendidikan yang tak memadai, kali ini di tambah dengan sarana pendidikan itu sendiri yang bisa dibilang tak layak pakai. Dan ironisnya lagi, tidak hanya terjadi di daerah-daerah terpencil saja, melainkan juga terjadi di daerah-daerah penyangga sekitar Ibukota DKI Jakarta. Lagi-lagi kali ini pemerintah menjadi biang keladinya atas semua sarana pendidikan yang belum memadai tersebut. Alasan dana sering menjadi benteng pemerintah atas sarana pendidikan yang masih belum memadai tersebut. Lalu kemanakah upeti rakyat yang disisihkan atas ke pemerintah tersebut? Apakah iya semua upeti tersebut tak mampu menutupi kekurangan dana untuk pembangunan sarana-sarana pendidikan tersebut? Memang masalah attitude oknum pejabat-pejabat tersebut masih sulit untuk diberantas. Mulai dari jabatan tertinggi, hingga jabatan terendah hampir semuanya pernah menikmati bagian dari uang panas hasil bocornya upeti dari rakyat tersebut. Untuk masalah ini memang kembali kepada pribadi masing-masing saja, apakah nuraninya terbuka atau tidak. Bahkan dengan adanya KPK juga belum menjamin terberantasnya tikus-tikus nakal tersebut dari negeri kita Indonesia.

Minimnya tenaga pengajar

Minimnya tenaga pengajar membuat beberapa guru mengajarsecara bergiliran ke kelas lain

Tampaknya jadi untuk menimba ilmu di Indonesia cobaanya sangat berat ya? Setelah akses jalan yang sulit, sarana pendidikan yang tak layak kini minimnya tenaga pengajar juga masih menjadi kendala. Sebenarnya seberapa banyak sih tenaga-tenaga muda serta yang mengambil pendidikan sebagai guru? Cukup banyak, malahan sangat banyak. Ada tapinya, kebanyakan tenaga-tenaga pengajar yang notabene masih muda tersebut enggan untuk terjun ke daerah-daerah pelosok yang terpencil. Selain karena minimnya akses, pendapatan mereka di daerah-daerah terpencil tersebut juga tak sebanding dengan pengorbanan mereka untuk bisa masuk ke daerah-daerah terpencil tersebut. Bayangkan saja untuk masuk ke daerah pelosok yang akses jalannya masih susah tentunya diperlukan biaya yang sangat banyak, belum lagi untuk makan dan sebagainya, ya mana cukup? Ternyata masalah pendidikan ini mempunyai efek domino ke masalah-masalah lainnya ya. Untuk itu pemerintah seharusnya juga memperhatikan hal tersebut. Jika tidak, bukannya tidak mungkin sekolah yang nantinya sudah di bangun dengan anggaran tidak sedikit malah akan jadi onggokan bangunan kosong tanpa penghuni karena tidak ada kegiatan belajar-mengajar yang disebabkan ketiadaan tenaga pengajar.

Minat belajar yang rendah

Inikah yang pantas disebut pelajar?

Jika kita tadi melihat dari sudut pandang infrastruktur, kini kita lihat dari sudut lain yakni dari sudut siswa. Loh memangnya ada yang salah dengan siswa? Ya tentu ada, terutama nih siswa-siswa dari wilayah kota-kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan lain-lain. Masalah yang sering menimpa siswa-siswi di kota-kota besar yakni mengenai minat belajar. Jika di daerah-daerah pelosok siswa-siswinya mempunyai semangat yang besar untuk belajar walau dengan fasilitas minim, di kota-kota besar kebalikannya. Di kota-kota besar mayoritas sarana pendidikannya lebih bagus, komplit serta nyaman. Akses yang bagus serta tenaga pendidik yang berkualitas. Tetapi justru dengan sarana mewah tersebut siswa-siswi-nya mayoritas tak memiliki minat belajar yang tinggi. Ini bisa dilihat dari beberapa faktor, pertama siswa-siswi tersebut terlalu asik dengan kemajuan teknologi sehingga menurunkan minatnya akan belajar. Lalu dari sisi lain, terdapat siswa-siswinya yang lebih memilih membantu kedua orang tuanya mencari nafkah ketimbang untuk pergi sekolah, dikarenakan kondisi ekonomi mereka yang sangat lemah. Tentunya hal ini sangatlah aneh, yang di daerah terpencil dengan fasilitas minim mati-matian berjuang demi pendidikan mereka tetapi yang di kota malah kurang sekali minat belajarnya. Perlu di pikirkan lagi pemecahan masalahnya agar para siswa meningkat minat belajarnya. Ya sebenarnya banyak sekali masalah-masalah pendidikan yang ada di negeri ini. Tak bisa saya jelaskan satu per satu karena saya juga bukanlah seorang pengamat pendidikan di Indonesia. Namun dari pengalaman saya selama menimba ilimu di berbagai level atau jenjang pendidikan, terlihat bahwa masih banyak sekali kekurangan-kekuarangan yang ada di sistem pendidikan di negara kita. Kita sebagai rakyat Indonesia juga harus ikut berpartisipasi dalam kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. Karena jika terus menunggu janji-janji pemerintah yang tak kunjung terealisasi, maka kita tidak akan pernah bisa maju serta mandiri untuk keluar dari segala situasi yang sulit ini. Selamat Hari Pendidkan Nasional! Semoga Pendidikan akan selalu menjadi salah satu prioritas utama yang perlu dibenahi.

sumber gambar :

http://bali-bisnis.com/wp-content/uploads/2012/04/ujian-nasional2.jpghttp://www.google.co.id/imgres?q=jembatan+sekolah+banten&um=1&hl=jw&sa=N&biw=1366&bih=683&tbm=isch&tbnid=2JcQjvxADh87RM:&imgrefurl=http://berita.plasa.msn.com/photoviewer.aspx%3Fcp-documentid%3D5785515%26page%3D3&docid=AUeWFTlvSLDnjM&imgurl=http://sin.stb.s-msn.com/i/E2/69DF8ADBED669961B962BF9B95E56.jpg&w=598&h=409&ei=XAmgT4DBNI-JrAekqr31AQ&zoom=1http://1.bp.blogspot.com/-ky4z8EgRxow/Te89SVCSwpI/AAAAAAAAADM/uX4xO939mrg/s320/sekolah-rusak.jpghttp://halomalang.com/mediamanager/2012/03/News/16/Guru.jpghttp://2.bp.blogspot.com/-THjyp7DYLJ4/TzPG9JGwozI/AAAAAAAAAeM/Dw6ok65Tqz4/s1600/Memori%20FuuL2935.jpgsumber: http://medyarizkadani.blogspot.com/2012/05/masalah-utama-dunia-pendidikan-di.html

Peredam Suara dan Getaran Pada Alat TransportasiPeredam alat Transportasi terbagi 3 yaitu :1. Automotive2. Train3. ShipA. AutomotiiveAcourete Paintadalahcairan insulasi suaradanperedam getaran. Bahan dasarPaintadalah cairan polimers, fillers, binder dan zat additive.Acourete Paintdapat melekat pada beragam jenis permukaan yang tidak rata, tipis, atau licin. Acourete Paint dapat diaplikasikan dengan kuas, roll atau spray-gun. Di kemas dalam botol ukuran bersih satu liter. Acourete Paint yang telah kering memiliki ketahanan terhadap perubahan cuaca, kelembaban dan pukulan.Acourete Painttelah diuji di laboratorium internasional dan telah mendapatkan sertifikat bebas alergi, bebas bahan beracun, aman terhadap resiko kebakaran dan tidak menyerap uap air.BENEFIT ACOURETE PAINT : High Mass Material dengan densitas 1600 K sehingga memilki nilai Sound Transmission Loss yang tinggi Visco Elastic Material sehingga dapat menyerap energi getaran tanpa menyebabkan flanking noise Bebas alergi Bebas bahan beracun Fire safetyDESCRIPTION ACOURETE PAINT :Acourete Paintadalahcairan insulasi suaradanperedam getaran. Bahan dasarPaintadalah cairan polimers, fillers, binder dan zat additive.Acourete Paintdapat melekat pada beragam jenis permukaan yang tidak rata, tipis, atau licin. Acourete Paint dapat diaplikasikan dengan kuas, roll atau spray-gun. Di kemas dalam botol ukuran bersih satu liter. Acourete Paint yang telah kering memiliki ketahanan terhadap perubahan cuaca, kelembaban dan pukulan.Acourete Painttelah diuji di laboratorium internasional dan telah mendapatkan sertifikat bebas alergi, bebas bahan beracun, aman terhadap resiko kebakaran dan tidak menyerap uap air.

Acourete PaintB. TrainPada Train peredam yang cocok ialah menggunakan Material Peredam GetaranAcourete Avipad BA, berfungsi meredam getaran pada area dekat perlintasan kereta api.

Acourete Avipad BABenefit Acourete Avipad BA Efektif untuk memutus kontak mekanik (decoupling) yang terjadi akibat kontak fisik antara ruangan dengan struktur bangunan. Frekuensi resonansi kritis yang cukup rendah sampai dengan 11 Hz. Mudah dalam pemasangan Bebas alergi Bebas bahan beracun Fire Safety Moisture ResistantApplication Acourete Avipad BAUntuk membuat lantai decoupling pada : Studio Broadcast Music Recording Home Theater Karaoke Music Hall Discotheque Rel Kereta Api Mesin Pondasi bangunanC. ShipPada kapal laut sama halnya dengan automotive, bisa dipasangkan acourete paint pada penutup mesin untuk meredam suara dan getaran mesin.Sumber: http://vokuz.com/transportation

PEMBANGUNAN KAWASAN TIMUR INDONESIAKinerja Pembangunan Kawasan Timur IndonesiaGBHN 1993 mengamanatkan perlunya menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah serta melaksanakan otonomi daerah yang nyata, serasi, dinamis, dan bertanggungjawab di dalam suatu kesatuan Wawasan Nusantara. Implikasinya adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan daerah tidaklah sekedar memberikan kompensasi alokasi finansial kepada propinsi atau kawasan yang relatif tertinggal, akan tetapi justru lebih difokuskan untuk dapat menumbuhkan sikap kemandirian dari masing-masing daerah tersebut untuk dapat mengelola dan mengembangkan potensi sumberdaya yang dimiliki demi kepentingan daerah yang bersangkutan pada khususnya maupun kepentingan nasional pada umumnya.Selama PJP I, perkembangan ekonomi antardaerah memperlihatkan kecenderungan bahwa propinsi-propinsi di Pulau Jawa pada umumnya mengalami perkembangan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan dengan propinsi lainnya di luar Jawa. Perbedaan perkembangan antardaerah tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan kesejahteraan dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara kawasan barat Indonesia (KBI) dengan kawasan timur Indonesia (KTI), dan antara daerah perkotaan dengan daerah perdesaan. Disamping itu, masih ditemui daerah-daerah yang relatif tertinggal dibandingkan daerah lain, yaitu daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya.Dalam PJP II, wilayah kawasan timur Indonesia (KTI) yang secara definitif meliputi 13 propinsi yang ada di wilayah Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan timur, telah diberikan prioritas untuk dikembangkan dalam upaya untuk memperkecil tingkat kesenjangan yang terjadi antara kawasan barat Indonesia dengan KTI selama PJP I yang lalu. Sebenarnya, sejak lima tahun terkahir ini upaya untuk mempercepat pembangunan dan mengembangkan KTI telah banyak dilakukan melalui berbagai kebijaksanaan dan program pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah, serta melalui berbagai seminar, lokakarya, rapat kerja, sarasehan yang membahas masalah pembangunan KTI yang dilakukan baik oleh pemerintah, pihak perguruan tinggi, maupun pihak dunia usaha swasta.Dalam membangun KTI, terdapat beberapa faktor pokok yang perlu diberikan perhatian lebih mendalam dalam memformulasikan strategi pengembangannya, yaitu: (a) adanya keanekaragaman situasi dan kondisi daerah-daerah di KTI yang memerlukan kebijaksanaan serta solusi pembangunan yang disesuaikan dengan kepentingan setempat (local needs); (b) perlunya pendekatan pembangunan yang dilaksanakan secara terpadu dan menggunakan pendekatan perwilayahan; (c) perencanaan pembangunan di daerah harus memperhatikan serta melibatkan peranserta masyarakat; serta (d) peningkatan serta pengembangan sektor pertanian yang tangguh untuk dapat menanggulangi masalah kemiskinan baik di perdesaan maupun di perkotaan melalui peningkatan pendapatan masyarakat khususnya dalam bidang agribisnis dan agroindustri, serta penyediaan berbagai sarana dan prasarana lapangan kerja.Selain itu, dalam memformulasikan strategi pengembangan KTI terdapat tiga pertimbangan pokok terhadap potensi dan peluang yang dimiliki KTI, yaitu: (a) beberapa propinsi di KTI merupakan daerah yang kaya akan sumberdaya alam yang memiliki potensi untuk dikembangkan, yang pada gilirannya dapat pula dikembangkan menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan; (b) jumlah penduduk yang relatif sedikit dengan penyebaran yang tidak merata dibandingkan luas wilayah, merupakan "katup pengaman" bagi program transmigrasi penduduk dari wilayah KBI yang relatif lebih padat; serta (c) adanya komitmen pemerintah untuk melaksanakan pembangunan yang memperhatikan aspek pemerataan dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.Strategi pengembangan wilayah KTI pada dasarnya merupakan strategi atau langkah-langkah kebijaksanaan yang bertahap, yakni mencakup tiga tingkatan strategi: mikro, meso, dan makro. Strategi tingkat mikro bertujuan untuk mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan dasar, membantu daerah dalam mencapai kemandirian ekonomi, mendorong pengembangan potensi ekspor daerah, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional. Strategi tingkat meso mengupayakan identifikasi keterkaitan fisik dan ekonomi antarpropinsi agar dapat diciptakan pusat-pusat pengembangan antarwilayah di kawasan yang bersangkutan. Sedangkan strategi tingkat makro lebih difokuskan pada pengembangan prasarana transportasi intra dan antarwilayah sebagai bagian dari sistem transpotasi nasional, pemanfaatan sumberdaya alam secara tepat dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, peningkatan peranserta sektor swasta, penguatan kelembagaan pemerintah dan masyarakat termasuk peranserta aktif dari kalangan perguruan tinggi sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia di KTI.Sejalan dengan upaya tersebut, salah satu komitmen pemerintah yang cukup nyata dalam mempercepat pengembangan KTI dalam PJP II adalah dengan dibentuknya Dewan Pengembangan KTI (DP-KTI) melalui Keppres No. 120 Tahun 1993 tentang Dewan Pengembangan KTI, yang diketuai langsung oleh Bapak Presiden RI dan beranggotakan 17 menteri/ketua LPND. Untuk lebih meningkatkan bobot kebijaksanaan yang ditetapkan Dewan, dibentuk 4 pokja yang meliputi bidang-bidang: (i) pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, (ii) sumber daya alam dan lingkungan, (iii) prasarana, dan (iv) kelembagaan, serta 1 kelompok kerjasama pembangunan daerah antarBappeda se-KTI. Sejak terbentuknya, Dewan telah melaksanakan beberapa kali pertemuan tingkat anggota Dewan dan telah menghasilkan berbagai keputusan yang berbobot kebijaksanaan makro yang dijabarkan secara lebih operasional oleh masing-masing departemen/LPND terkait.Sebagaimana telah ditetapkan, fungsi dari DP-KTI adalah sebagai wadah bagi perumusan dan penetapan kebijakan dan strategi untuk mempercepat pembangunan di KTI, termasuk penentuan tahapan dan prioritas pelaksanaannya. Untuk itu, selain dari beberapa kelompok kerja yang telah dibentuk diatas, secara fungsional juga telah dibentuk beberapa tim khusus (adhoc) yang bertugas untuk menyusun berbagai kajian dan rumusan kebijaksanaan bagi pengembangan bidang-bidang tertentu yang potensial di kawasan timur Indonesia, seperti (i) tim perumus pemberian insentif investasi, (ii) tim penyiapan kawasan andalan Biak sebagai daerah otorita, (iii) tim budidaya ikan tuna dan ternak, serta (iv) tim budidaya rotan. Tugas dari masing-masing tim yang bersifat temporer tersebut, diharapkan dapat memberikan masukan bagi DP-KTI dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan KTI secara lebih berdayaguna dan berhasilguna.Kendala dan Tantangan Pembangunan Kawasan Timur IndonesiaPemerintah juga menyadari bahwa kendala-kendala pembangunan seperti kurangnya ketersediaan prasarana dan sarana dasar ekonomi, terbatasnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia serta kendala geografis yang relatif terisolasi merupakan masalah utama bagi pengembangan KTI. Beberapa propinsi yang lebih cepat berkembang memiliki jumlah dan kualitas prasarana dan sarana yang relatif lebih baik dibandingkan propinsi lainnya, seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, serta Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Begitu pula dengan jaringan transportasi, telekomunikasi, dan energi listrik, ketersediaan dan kualitas pelayanannya di wilayah KTI masih harus ditingkatkan.Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan berkurangnya tingkat kesenjangan pembangunan antardaerah, khususnya antara wilayah KBI dengan wilayah KTI, perlu diupayakan dukungan dari investasi pemerintah yang lebih memadai pada wilayah-wilayah tertinggal. Dukungan investasi pemerintah yang memadai tersebut perlu pula dibarengi dengan penciptaan dan perbaikan iklim investasi yang pada gilirannya akan menunjang peran serta investasi dari pihak swasta untuk dapat menanamkan modalnya pada wilayah-wilayah yang relatif masih tertinggal tersebut. Disamping itu, mengingat luasnya wilayah dan sulitnya kondisi alam, serta terbatasnya sumberdaya dan dana yang tersedia di kawasan ini, pembangunan prasarana dan sarana tersebut perlu diprioritaskan pada wilayah-wilayah yang telah dan akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan.Meskipun kita terbuka bagi penanaman modal dari sektor manapun, namun pertimbangan aspek pemerataan perlu dijadikan landasan pokok dalam strategi pengembangan ekonomi rakyat dan usaha nasional, yaitu untuk menumbuhkan sikap dan jiwa wiraswasta serta keterampilan pengusaha daerah setempat. Disamping itu pula, dirasakan perlu untuk meningkatkan kualitas perencanaan.Telah kita sadari bahwa salah satu kendala utama pembangunan di wilayah KTI adalah masih kurangnya tenaga terampil dan terdidik yang mencerminkan rendahnya kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia setempat. Dilain pihak, daya tarik wilayah KBI lebih kuat terutama disebabkan oleh kurangnya lapangan kerja yang tersedia untuk menyerap angkatan kerja yang ada. Sesuai dengan sasaran skenario pengembangan regional kita, pada akhir Repelita VI di wilayah KTI akan terjadi pertambahan lapangan kerja sebanyak 2,187 juta orang, yang dihasilkan oleh laju pertumbuhan rata-rata lapangan kerja dan angkatan kerja di wilayah KTI sebesar 2,9% per tahun. Dengan demikian, pada akhir Repelita VI diperkirakan akan terjadi kelebihan angkatan kerja sebanyak 121 ribu orang. Hal yang sama terjadi pada wilayah KBI, dimana pada akhir Repelita VI akan kelebihan angkatan kerja sebanyak 935 ribu orang.Selanjutnya apabila ditinjau berdasarkan sebaran menurut propinsi dan wilayahnya, terlihat bahwa terdapat beberapa propinsi di wilayah KTI yang akan mengalami kekurangan angkatan kerja, seperti di wilayah Kalimantan yang secara keseluruhan kekurangan angkatan kerja sebanyak 173 ribu orang, yang tersebar di Kalimantan Barat (52 ribu), Kalimantan Tengah (32 ribu), Kalimantan Selatan (33 ribu), dan Kalimantan Timur (8 ribu). Selain pada propinsi-propinsi di wilayah Kalimantan, propinsi lainnya di wilayah KTI yang pada akhir Repelita VI akan kekurangan angkatan kerja adalah Maluku (22 ribu) dan Irian Jaya (9 ribu). Adanya kekurangan angkatan kerja di beberapa propinsi tersebut memberikan implikasi terhadap perlunya peningkatan mobilitas penduduk dan angkatan kerja antarpropinsi, khususnya antara propinsi-propinsi di Jawa seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kelebihan angkatan kerja masing-masing sebanyak 644 ribu dan 316 ribu orang, dengan propinsi-propinsi di luar Jawa yang kekurangan angkatan kerja seperti pada 6 propinsi di wilayah KTI diatas dengan penekanan perlunya pemberian insentif bagi peningkatan peranserta aktif dunia usaha di kawasan tersebut.Kinerja Investasi Pembangunan Kawasan Timur IndonesiaPembangunan ekonomi yang selama ini telah menghasilkan pertumbuhan yang tinggi ternyata belum sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan kesenjangan antardaerah tersebut. Perbedaan laju pembangunan antardaerah menyebabkan terjadinya kesenjangan kemakmuran dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, dan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan.Untuk mengurangi kesenjangan yang masih ditemui selama PJP I, dalam PJP II yang dimulai pada Repelita VI, investasi pemerintah menjadi sarana yang penting untuk memacu pembangunan daerah yang tertinggal. Sehubungan dengan itu dikembangkan kebijaksanaan alokasi investasi pemerintah yang lebih besar ke kawasan di luar Jawa khususnya pada propinsi-propinsi di kawasan timur Indonesia, untuk mendorong investasi swasta ke kawasan yang sama, dan pertumbuhan ekspor nonmigas pada kawasan di luar Jawa.Dalam Repelita VI propinsi-propinsi di KTI akan memperoleh kenaikan pangsa investasi pemerintah dari 26% pada tahun 1993 menjadi 27,6% pada tahun 1998. Pada akhir PJP II, pangsa yang diperoleh propinsi-propinsi di wilayah KTI diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 30%.Kondisi yang sama diharapkan juga terjadi terhadap alokasi investasi swasta kepada wilayah di luar Jawa, sehingga pangsa investasi pemerintah di Jawa akan menurun dari 73,6% pada awal Repelita VI menjadi sekitar 71,7% pada akhir Repelita VI, sedangkan pangsa wilayah KTI akan meningkat dari 11,4% menjadi 12,6% selama periode yang sama.Percepatan pertumbuhan pembangunan wilayah yang relatif tertinggal tersebut juga akan memberikan implikasi yang cukup nyata pada reorientasi ekspor nonmigas. Secara rata-rata, ekspor diperkirakan akan tumbuh sekitar 16,8% per tahun selama kurun waktu Repelita VI. Khusus untuk wilayah KTI, pertu