keteteran -...

21
1 Sudira (2016) menyebutkan bahwa SMK sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan kejuruan memiliki kekhasan dalam pembuatan kurikulum. Kurikulum yang dibuat disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan kejuruan. Terdapat kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh lulusan dari SMK yaitu kesiapan untuk dapat masuk ke dunia usaha/dunia industri selain dari pemahaman mengenai dasar teori sesuai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Beban belajar SMK meliputi kegiatan pembelajaran tatap muka, praktik di sekolah, dan kegiatan kerja praktik di dunia usaha/industri. Hal ini sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan menurut Kurikulum 2013 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 54 tahun 2013, maka bagi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan diharapkan memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Wakasek Humas selaku penanggungjawab praktik kerja lapangan menuturkan bahwa sesuai dengan kurikulum 2013, terdapat aktivitas pada siswa SMK untuk melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL). PKL ini merupakan bentuk perwujudan kurikulum yang mengarah kepada tercapainya kompetensi dasar keterampilan. PKL ini dilaksanakan oleh siswa kelas XI pada semester kedua. Pada masa PKL terjadi perubahan tugas yang harus diselesaikan oleh siswa. Siswa dituntut untuk dapat memenuhi tugas dan beradaptasi dengan ritme kerja di tempat PKL yang tentunya berbeda dengan tugas belajar di sekolah. Kemampuan siswa dalam beradapatasi terhadap tuntutan dunia usaha/industri dapat mempengaruhi ketuntasan siswa dalam menyelesaikan PKL.

Upload: dinhkhanh

Post on 05-May-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

1

Sudira (2016) menyebutkan bahwa SMK sebagai tempat penyelenggaraan

pendidikan kejuruan memiliki kekhasan dalam pembuatan kurikulum. Kurikulum

yang dibuat disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan kejuruan. Terdapat

kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh lulusan dari SMK yaitu kesiapan untuk

dapat masuk ke dunia usaha/dunia industri selain dari pemahaman mengenai dasar

teori sesuai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Beban belajar SMK meliputi

kegiatan pembelajaran tatap muka, praktik di sekolah, dan kegiatan kerja praktik di

dunia usaha/industri. Hal ini sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan menurut

Kurikulum 2013 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

No. 54 tahun 2013, maka bagi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan diharapkan

memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Wakasek Humas selaku penanggungjawab praktik kerja lapangan menuturkan

bahwa sesuai dengan kurikulum 2013, terdapat aktivitas pada siswa SMK untuk

melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL). PKL ini merupakan bentuk

perwujudan kurikulum yang mengarah kepada tercapainya kompetensi dasar

keterampilan. PKL ini dilaksanakan oleh siswa kelas XI pada semester kedua. Pada

masa PKL terjadi perubahan tugas yang harus diselesaikan oleh siswa. Siswa dituntut

untuk dapat memenuhi tugas dan beradaptasi dengan ritme kerja di tempat PKL yang

tentunya berbeda dengan tugas belajar di sekolah. Kemampuan siswa dalam

beradapatasi terhadap tuntutan dunia usaha/industri dapat mempengaruhi ketuntasan

siswa dalam menyelesaikan PKL.

Page 2: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

2

Berdasarkan pada pengalaman beberapa siswa kelas XI yang sudah melalui

masa PKL, mereka merasa cukup kesulitan mengikuti tugas dan ritme kerja di tempat

PKL. Hal ini sesuai dengan pernyataan beberapa siswa berikut ini:

“Ya lumayan kerasa keteteran mba. Kalau biasanya di sekolah kan gitu-gitu aja,

paling kalau telat ngerjain tugas atau nggak ngumpulin nggakpapa, ya

dikurangi nilainya sama guru. Tapi kalau di tempat PKL bisa jadi masalah sama

pembimbing di sana, nggak bisa santai.”

“Berangkat pagi pulang sore mba. Pas instalasi atau servis sering gagal, jadi

kena tegur.”

“PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. Bikin males berangkat

mba, pulangnya bisa malem.”

Apabila siswa merasa tidak cocok atau tidak mampu mengikuti peraturan di

tempat PKL, maka siswa yang bersangkutan biasanya meminta ijin tidak masuk atau

tidak masuk tanpa alasan, bahkan tidak sedikit yang meminta ke pembimbing di

sekolah untuk pindah ke tempat lain. Tentu saja hal ini merugikan banyak pihak.

Siswa akan membuang waktu untuk mencari tempat baru yang akan diajukan ke

sekolah, pihak sekolah harus mendata perubahan tempat dan memberikan surat

pengajuan ke tempat yang baru, setelah itu baru dilakukan penerjunan. Berikut

penuturan siswa yang sempat berpindah tempat PKL:

“Nggak betah mbak, disuruh-suruh, sering ditegur juga kalau salah. Jadi minta

pindah tempat aja sekalian.”

Data dari penanggungjawab PKL di SMK swasta A di Sleman menunjukkan

adanya peningkatan jumlah siswa yang pindah tempat PKL dari tahun 2016 yang

berjumlah 26 siswa ke tahun 2017 meningkat menjadi 41 siswa. Peningkatan ini

terjadi karena ketidaksiapan siswa dalam beradaptasi di dunia kerja dengan berbagai

Page 3: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

3

tuntutan yang tentunya berbeda dengan tuntutan di sekolah. Terdapat beberapa siswa

yang menyampaikan bahwa mereka merasa tidak cocok karena sering ditegur oleh

pemilik atau pembimbing di tempat PKL serta harus mengikuti aturan kerja dan jam

kerja yang berlaku.

“Biasanya masalahnya gitu mbak, males kalau sering ditegur, jadi mending ijin.

Kalau kurang jamnya ya nambah meskipun udah selesai masa PKL-nya.” Siswa

lain yang pernah berpindah tempat PKL menambahi dengan pernyataan: “Lha

ditegur terus mba, udah nggak digaji tapi diatur-atur, berangkat pagi pulang

sore.”

Wakil Kepala Sekolah bidang Humas selaku Guru penanggung jawab PKL

memberikan pernyataan sebagai berikut:

“Saya sudah menyampaikan dari awal ketika siswa mengajukan tempat PKL

(Dunia Usaha/Dunia Industri yang dapat disingkat DU/DI), jangan sampai

pindah tempat PKL, karena itu sangat merugikan semua pihak. Dari siswanya

harus bilang ke pembimbing, nyari tempat baru, lapor ke TU untuk dibuatkan

surat pengantar, iya kalau DU/DI itu mau menerima, kalau tidak siswa harus

nyari lagi tempat lain. Setelah ada surat pengantar, DU/DI bersedia, baru

diterjunkan. Tentunya ini memakan banyak waktu. Akibatnya siswa harus

menambah jumlah waktu PKL. Padahal sekolah sudah membuat jadwal bahwa

PKL selama 3 bulan, lalu kembali sekolah untuk belajar materi sebagai

persiapan ujian semester. Itu yang terdata mbak, yang tidak terdata banyak lagi,

mereka biasanya ijin bahkan ada yang tidak pernah masuk kerja. Pernah juga

ada yang sampai dikembalikan ke sekolah.”

Wakil Kepala Sekolah bidang kurikulum menambahkan bahwa fenomena

berpindah tempat PKL adalah hal yang sering terjadi. Menurut beliau, siswa akan lari

apabila siswa merasa kesulitan beradaptasi dan menyelesaikan masalah di tempat

PKL, padahal belum tentu tidak akan menemui masalah yang sama ketika berada di

tempat yang baru. Berikut pernyataan dari wakil kepala sekolah bidang kurikulum:

“Waaah, kalau pindah tempat PKL itu udah umum mbak. Jadi kalau siswa di

tempat PKL kan harus mengikuti peraturan yang ada di sana, termasuk jam

Page 4: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

4

kerja dan beban kerjanya. Nah kalau siswa di sekolah kan terbiasa dimaklumi

kayak ngumpul tugas telat ya paling dikurangi nilainya, jadi mereka kaget kalau

harus mengikuti aturan kerja. Misal, ditegur kalau ada yang salah atau kurang,

itu malah bisa-bisa mereka nggak mau berangkat PKL lagi. Ada juga itu mba,

baru sehari diterjunkan, terus merasa tidak cocok dengan rekan kerja atau

pemilik tempat usaha, langsung minta pindah. Padahal kami sudah

menyediakan guru pembimbing, siswa bisa menceritakan masalah yang dialami

di tempat PKL agar bisa diselesaikan. Karena kalau sampai tidak selesai dengan

baik-baik, tentu citra sekolah juga terpengaruh. Dan belum tentu juga kalau

pindah itu masalah selesai, bisa saja ketemu masalah yang sama”

Pada tanggal 9 Mei 2017 dan 10 Mei 2017 peneliti melakukan survei kepada

83 siswa kelas XI SMK swasta A di Kabupaten Sleman yang sudah melaksanakan

PKL. Survei dilakukan dengan memberikan angket yang berisi permasalahan yang

terjadi saat PKL, tingkat masalah tersebut (ringan, sedang, berat), dan hal yang

dilakukan untuk menghadapi permasalahan tersebut. Diperoleh data bahwa

permasalahan yang muncul ketika PKL adalah seringnya ditegur pemilik dan rekan

kerja, sering diberi tugas yang banyak, terlambat datang ke tempat kerja, kesulitan

beradaptasi dengan rekan kerja dengan latar belakang asal daerah yang berbeda,

konflik dengan rekan kerja, kesalahpahaman dalam komunikasi dengan teman PKL,

kesulitan dalam melayani pelanggan, sering gagal dalam melaksanakan tugas, tempat

PKL yang tidak nyaman, dan kelelahan karena jam kerja mengikuti karyawan. Cara

yang dilakukan oleh siswa cukup beragam, ada siswa yang berupaya untuk langsung

menyelesaikan seperti dengan terus berusaha bekerja dengan baik, bertanya kepada

rekan kerja, dan berkonsultasi dengan pembimbing. Namun, tidak sedikit juga yang

mengabaikan masalah yang dimiliki dengan ijin tidak masuk, membolos, dan

mengajukan perpindahan tempat PKL. Ada juga siswa yang tidak melakukan apa-apa

Page 5: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

5

dan menangis. Beragamnya permasalahan siswa di tempat PKL dan cara

mengatasinya menunjukkan bagaimana kemampuan siswa dalam beradaptasi dengan

kondisi yang berbeda dan penuh tuntutan.

Ketidakmampuan siswa dalam beradaptasi terhadap tuntutan baik yang

berasal dari diri sendiri maupun orang lain dapat membuat siswa menjadi stres.

Atwater (1983) mendefinisikan stres sebagai tuntutan untuk beradaptasi yang

membutuhkan respon penyesuaian diri dari individu. Stres secara psikologis dapat

didefinisikan sebagai sebuah permintaan pada sebuah organisme untuk mengatur,

mengatasi, dan menyesuaikan diri (Rathus dan Nevid, 1991).

Ada beberapa macam sumber stres yang dikemukakan oleh para peneliti di

antaranya: kerepotan sehari-hari, perubahan dalam hidup, sakit dan ketidaknyamanan

fisik, frustrasi, dan konflik, serta stresor dari lingkungan seperti bencana alam dan

bencana teknologi (Rathus dan Nevid, 1991). Stres yang dialami oleh siswa pada

kasus PKL ini mengarah kepada ketidakmampuan siswa dalam menghadapi

perubahan dan konflik. Terdapat juga konsekuensi negatif dari kegagalan yang

dilakukan dalam mengerjakan tugas di dunia usaha/indutri. Siswa akan menerima

teguran/peringatan dari rekan kerja maupun atasan.

Kesuksesan seseorang dalam beradaptasi terhadap stres termasuk cara

bagaimana individu dapat mengatur emosi, berpikir konstruktif, meregulasi dan

mengarahkan perilaku, mengontrol dorongan internal, dan melakukan tindakan pada

lingkungan sosial dan nonsosial untuk mengubah atau menurunkan sumber dari stres

Page 6: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

6

(Compas, Connor-Smith, Saltzman, Thomsen, dan Wadsworth, 2001). Usaha yang

digunakan untuk menghadapi stres dinamakan coping.

Lazarus (1999) menyatakan bahwa coping adalah usaha seseorang untuk

mengatur kondisi kehidupan yang penuh stres. Stres dan coping dapat dikatakan

resiprokal untuk satu sama lain. Ketika coping yang digunakan tidak efektif maka

level dari stres menjadi tinggi, dan ketika coping yang digunakan efektif, maka level

stres akan menjadi rendah. Mengacu pada teori Lazarus, Fyedenberg dan Lewis

(1997) mendefinisikan coping sebagai sebuah pengaturan aksi kognitif dan afektif

yang muncul dalam respon pada sebuah perhatian terhadap fakta. Sarafino dan Smith

(2011) mendefinisikan coping sebagai proses ketika seseorang mencoba untuk

mengelola sesuatu yang dirasa tidak sesuai antara tuntutan dan sumber daya sehingga

dinilai sebagai sebuah situasi yang penuh stres. Upaya coping seseorang dapat terlihat

dari respon yang dilakukan saat menghadapi stres yaitu menggunakan kognitif dan

perilaku (Greer, 2007).

Franken (2007) menyatakan bahwa coping lebih mengarah kepada usaha-

usaha untuk mengatur daripada hasil dari usaha-usaha tersebut, dalam kata lain

memiliki atau mengembangkan sebuah sikap positif adalah bentuk dari coping.

Sveinbjornsdottir dan Thorsteinsson (2008) mendefinisikan individual coping sebagai

faktor penting yang berhubungan dengan kesehatan mental dan well-being.

Schwarzer (2001) menyebutkan empat tipe coping berdasarkan waktu dan

kepastian akan tuntutan dan permasalahan subjektif, yaitu coping reaktif, coping

antisipatori, coping preventif, dan coping proaktif. Coping reaktif mengarah kepada

Page 7: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

7

strategi yang dilakukan berkaitan dengan kerugian atau kehilangan sebagai

pengalaman yang telah terjadi di masa lalu. Coping antisipatori berkaitan dengan

ancaman yang tidak dapat dihindari di masa depan. Coping preventif mengarah

kepada ancaman yang tidak dapat dipastikan di masa yang akan datang, sedangkan

coping proaktif berkaitan dengan tantangan di masa depan yang dilihat

sebagai sarana mengembangkan diri.

Schwarzer (2001) menerangkan lebih lanjut mengenai strategi coping

berdasarkan waktu dan kepastian akan permasalahan. Reaktif coping diartikan

sebagai sebuah usaha untuk berdamai dengan stresor yang sudah terjadi atau sedang

terjadi. Seseorang yang membutuhkan cara untuk mengatasi dengan membuat

kompensasi terhadap kerugian yang pernah dialami. Pilihan lainnya adalah dengan

mengatur kembali tujuan atau mencari makna dari permasalahan yang sudah terjadi

untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Ada strategi coping yang digolongkan

sebagai coping reaktif untuk menurunkan stres, yaitu emotion focused coping dan

problem focused coping (Franken, 2007; Horwitz, Hill, dan King, 2010).

Schwarzer (2001) menyatakan bahwa proaktif coping dapat didefinisikan

sebagai upaya membangun sumber daya baik dari dalam individu maupun dari

lingkungan untuk memfasilitasi untuk menghadapi tantangan dan pengembangan diri.

Di dalam coping proaktif, seseorang memiliki visi dan melihat tuntutan atau risiko

sebagai kesempatan untuk berkembang, bukan sebagai ancaman, bahaya, atau

kerugian. Individu memulai jalan yang membangun dan berusaha meningkatkan

Page 8: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

8

kualitas kehidupan dengan tingkat kinerja yang lebih tinggi. Seseorang yang memiliki

kemampuan coping proaktif dapat menjadikan hidup yang bermakna.

Berdasarkan pemaparan teori coping yang ada, coping dapat diartikan sebagai

sebuah strategi yang digunakan oleh individu untuk menurunkan stres yang dimiliki.

Coping dapat dikategorisasikan berdasarkan waktu dan permasalahan, yaitu coping

reaktif, coping antisipatori, coping preventif, dan coping proaktif. Coping reaktif

mengarah kepada strategi yang dilakukan untuk berdamai dengan stresor yang sudah

terjadi atau sedang terjadi. Coping reaktif ini terdiri dari dua strategi yaitu problem-

focused coping dan emotion-focused coping. Coping antisipatori berkaitan dengan

ancaman/masalah yang tidak dapat dihindari di masa depan, sedangkan coping

preventif lebih mengarah kepada ancaman yang tidak dapat dipastikan di masa yang

akan datang. Coping proaktif berkaitan dengan tantangan di masa depan yang dilihat

sebagai sarana mengembangkan diri.

Kondisi siswa di lapangan menunjukkan kecenderungan siswa kurang mampu

menghadapi sumber dari stres berupa tuntutan terhadap perubahan tugas. Hal ini

didasarkan pada permasalahan yang muncul yaitu siswa cenderung mengabaikan dan

melarikan diri ketika tidak mampu beradaptasi di dunia usaha/industri. Perilaku yang

muncul adalah tidak masuk kerja atau mengajukan untuk pindah tempat PKL.

Padahal siswa sendiri yang memilih tempat PKL dan mendapat pendampingan dari

guru sekolah serta pendamping lapangan di tempat PKL. Frydenberg dan Ramon

(1997) menggolongkan coping dengan mengembangkan kekhawatiran, mengabaikan

masalah, berangan-angan, menyalahkan diri sendiri, tidak membagi masalah yang

Page 9: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

9

dimiliki, dan melarikan diri sebagai bentuk dari non-productive coping yang biasanya

dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk mengatasi stres (Jacobs, Vollink,

Dehue, & Lechner, 2015). Ketika siswa ditegur rekan kerja atau pemilik saat

melakukan kesalahan atau gagal mengerjakan tugasnya, siswa cenderung tidak

menerima dan merasa tidak nyaman. Sagar, Lavalle, dan Spray (2009) menyatakan

bahwa kemampuan siswa dalam menghadapi kegagalan dapat mempengaruhi

kesejahteraan siswa (well-being), performansi, dan tugas sekolah.

Permasalahan yang dialami siswa berkaitan dengan tugas di PKL merupakan

sumber stres yang sifatnya dapat dikontrol. Siswa dapat menggunakan sumber daya

yang ada untuk menghadapi permasalahan yang sedang dialami. Thien dan Razak

(2013) menyatakan bahwa stres akademik pada siswa di sekolah berkorelasi dengan

tugas yang berlebihan, ujian, persaingan, merasa kesulitan dalam mengerjakan tugas

sekolah. Shahmohammadi (2011) menemukan bahwa terdapat sepuluh stressor

akademik utama yang dimiliki oleh siswa sekolah menengah atas adalah ketakutan

apabila tidak mendapatkan tempat di tingkat pendidikan selanjutnya, ujian, terlalu

banyak materi yang dipelajari, kesulitan dalam memahami materi pelajaran, terlalu

banyak tugas, dan jadwal sekolah yang terlalu padat. Lebih penting dari itu,

konsekuensi negatif yang dapat ditimbulkan dari stres akademik dapat meningkatkan

potensi tingginya level kecemasan dan depresi bahkan sampai ke bunuh diri pada

remaja. Pada jangka pendek, permasalahan akademik yang dirasakan oleh siswa

berdampak pada konsentrasi siswa saat belajar sehingga dapat berpengaruh pada

prestasi akademik yang diperoleh (Thien dan Razak, 2013).

Page 10: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

10

Eppelmann, Parzer, Lenzen, Burger, Haffner, Resch, dan Kaess (2016)

melalui penelitiannya memperoleh hasil bahwa siswa sekolah menengah atas yang

memiliki tingkat stres tinggi dapat berpengaruh terhadap kehidupan sekolah dan masa

depannya dan berhubungan dengan emosi atau permasalahan perilaku. Permasalahan

ini dapat mengarah kepada penarikan diri siswa tersebut dari lingkungannya.

Coping aktif yang tinggi berhubungan dengan kesehatan mental yaitu

rendahnya potensi depresi dan keputusasaan pada masa dewasa awal (Kinnunen,

Laukkanen, Kiviniemi, & Kylma, 2010., Rodriguez-Naranjo & Cano, 2016). Deyreh

(2012) dalam penelitiannya memperoleh hasil bahwa strategi coping yang paling

penting dimiliki oleh siswa sekolah menengah atas untuk mengatasi stres adalah

strategi kognitif. Ketika seseorang menggunakan strategi kognitif, maka ia akan

menggunakan kemampuan tertingginya seperti memproses informasi, melakukan

penalaran, dan berpikir. Sedangkan ketika menggunakan strategi afektif berkorelasi

dengan usaha menghindar dari sumber stres sehingga hasilnya tidak efektif.

Respon dalam mengatasi stres memiliki empat karakterisitik, yaitu: bukan

merupakan sifat yang cenderung menetap, respon coping mengarah kepada kehendak

dibandingkan reflek alami, respon coping bukan satu-satunya instrumen alamiah, dan

coping tidak sama dengan sukses tetapi salah satu usaha untuk meraih kesuksesan

(Amirkhan & Auyeung, 2007). Artinya seseorang secara sadar membuat keputusan

bagaimana coping terbaik yang dapat dilakukan.

Siswa SMK kelas XI sedang berada pada masa remaja. Rathus (2014)

menggolongkan masa remaja memiiki tiga tahap, yaitu remaja awal, remaja tengah,

Page 11: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

11

dan remaja akhir. Pada masa remaja awal yaitu usia 11 atau 12 tahun sampai 14

tahun, karakteristik yang muncul berkaitan dengan perubahan fisik dan fungsi

biologis, sehingga dapat menimbulkan tingginya level stres namun cenderung rendah

pada kemampuan coping. Ketika masa remaja tengah yaitu usia 14 tahun sampai 16

tahun, mulai terjadi kematangan biologis, stres mulai berkurang dan mulai

berkembangnya kemampuan coping. Dan pada masa remaja akhir usia 16 tahun

sampai 18 tahun, remaja semakin matang dan beranjak mulai terlihat sebagai orang

dewasa. Stres biasanya menurun, dan kemampuan coping lebih baik dibandingkan

tahap sebelumnya. Pada masa remaja juga berkembang kemampuan dalam

mengambil keputusan (Santrock, 2012). Remaja akan dihadapkan pada situasi yang

lebih banyak melibatkan pengambilan keputusan dan remaja yang lebih tua memiliki

kemampuan yang juga lebih baik dibandingkan usia sebelumnya.

Mempertimbangkan permasalahan yang ada dan usia siswa yang berada pada masa

remaja, diperlukan sebuah perlakuan untuk dapat mengembangkan kemampuan

coping siswa.

Terdapat banyak penelitian tentang coping. Namun, tidak banyak di antaranya

yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan coping. Peneliti yang menggunakan

metode pelatihan di antaranya Hamdan, Nasir, Khairudin, dan Sulaiman (2014) yang

mengemukakan hasil penelitian bahwa strategi coping memiliki efek siginifikan

terhadap prestasi akademik mahasiswa melalui pelatihan time management. Artinya

terdapat peningkatan kemampuan coping setelah diberikan pelatihan manajemen

waktu dan berdampak kepada peningkatan prestasi akademik mahasiswa.

Page 12: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

12

Hidayati (2012) menggunakan program pelatihan “SINERGI II” untuk

meningkatkan kemampuan coping proaktif pada remaja tengah yaitu siswa SMP.

Coping proaktif diartikan sebagai fokus pada tantangan dan stresor terlihat sebagai

kesempatan untuk dapat tumbuh dengan baik. Sumbangan efektif dari pelatihan

SINERGI II adalah sebesar 32,6%. Aspek yang paling besar memberikan pengaruh

terhadap kemampuan coping proaktif adalah aspek goal setting (16%) dan resource

seeking (16,3%). Pelatihan SINERGI II sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu

memberikan pengetahuan kepada siswa mengenai bagaimana coping proaktif dan

menerapkannya ketika PKL dengan mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki

terutama resource seeking.

Schwarzer, (2001) menyatakan bahwa dalam coping proaktif, individu

memiliki visi, dapat melihat risiko, tuntutan, dan kesempatan di masa yang akan

datang, tetapi tidak tidak menganggap risiko dan tuntutan tersebut sebagai sebuah

ancaman, kerugian, ataupun kekecewaan. Individu tersebut menganggapnya sebagai

tantangan. Coping proaktif dapat dibangun sebagai sebuah kemampuan internal

imdividu dengan meningkatkan kemampuan-kemampuan tertentu, yaitu: problem

solving, strategic planning, instrumental and emotional support seeking (resource

seeking), dan goal setting (Greenglass & Fiksenbaum, 2009).

Sifat berhati-hati dan keterbukaan terhadap pengalaman dapat memprediksi

cara bagaimana seseorang menggunakan preventif coping dan proaktif coping

(Straud, McNaughton-Cassill, & Furhman, 2015). Bagana (2014) membuktikan

bahwa terdapat korelasi antara gejala depresi pada remaja dengan coping proaktif dan

Page 13: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

13

penerimaan diri dalam ranah akademik. Solgajova, Sollar, dan Vorosova (2015)

menyatakan bahwa coping proaktif dan jenis kelamin sebagai prediktor dari coping

yang digunakan seseorang dalam menghadapi situasi yang penuh stres. Seseorang

yang memiliki kemampuan coping proaktif akan lebih siap dalam menghadapi situasi

yang penuh stres. Kesiapan seseorang tersebut akan lebih kuat jika dikombinasikan

dengan adanya motivasi, sehingga memiliki pengaruh yang lebih besar (Bonneville-

Roussy, Evans, Verner-Filion, Vallerand, & Bouffard, 2017., Zhou, Gan, Knoll, &

Schwarzer, 2013).

Penelitian-penelitian tersebut merupakan studi yang berhubungan dengan

coping dalam konteks yang berbeda dengan coping yang dilakukan siswa ketika

menemui perubahan dalam tugas seperti ketika masa PKL. Peneliti sejauh ini belum

menemukan penelitian tentang pelatihan berupa pelatihan coping proaktif yang

digunakan untuk meningkatkan kemampuan coping proaktif siswa SMK dalam

setting menghadapi dunia usaha/industri ketika PKL.

Berdasarkan keterangan Wakil Kepala Sekolah bidang Humas selaku

penanggung jawab PKL, sekolah telah memberikan pembekalan kepada siswa

menjelang masa penerjunan PKL. Pada tahun 2016, pembekalan PKL dilakukan

secara serempak untuk seluruh kelas XI, namun cara ini dirasa kurang efektif karena

masih banyaknya masalah yang muncul ketika PKL. Pada tahun 2017, Wakasek

Humas mengubah metode pembekalan dengan mendatangi kelas XI satu persatu

dengan memberikan pengantar mengenai tujuan dan pentingnya PKL untuk siswa,

kewajiban siswa di tempat PKL, adanya pembimbing sekolah dan pembimbing

Page 14: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

14

lapangan, serta pembagian buku harian yang digunakan untuk mencatat kegiatan

selama masa PKL. Namun, metode ini juga masih belum efektif. Justru pada tahun

2017 terdapat peningkatan jumlah siswa pindah tempat PKL dari tahun 2016

berjumlah 26 siswa menjadi 41 siswa di tahun 2017. Selain berpindah tempat PKL,

banyak juga siswa yang belum memenuhi jumlah jam bekerja karena sering tidak

masuk baik dengan ijin ataupun tidak ijin (membolos), sehingga siswa harus

menambah jumlah jam setelah masa PKL berlangsung. Berdasarkan data tersebut,

dibutuhkan sebuah rancangan pelatihan yang dapat digunakan sebagai pembekalan

untuk siswa sebelum memasuki masa PKL. Dalam hal ini siswa yang dirasa tepat

adalah siswa SMK kelas XI semester pertama.

Usaha yang dilakukan oleh pihak sekolah lebih mengarah sebagai upaya

coping preventif. Siswa dibekali dengan teori dan keterampilan agar terhindar dari

masalah ketika berada di lapangan (dunia usaha/industri). Siswa menuturkan

pembekalan yang diberikan menjelang penerjunan berisi nasihat untuk berhati-hati

dan menjaga nama baik sekolah. Hal ini dirasa kurang menjadi bekal siswa untuk siap

bertugas di lapangan. Siswa membutuhkan gambaran bagaimana kondisi lapangan

dengan segala dinamika yang tentunya berbeda dengan masa di sekolah. Gan, Hu,

dan Zhang (2010) menyebutkan bahwa hanya coping proaktif yang memiliki peran

penting dalam penyesuaian diri seseorang dibandingkan dengan coping preventif.

Penelitian ini merupakan penelitian action research dalam pendidikan

dengan tujuan memberikan alternatif pemecahan masalah yang terjadi di lapangan

(Stringer, 2008). Stringer (2008) menyebutkan ada lima tahapan yang dilalui pada

Page 15: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

15

penelitian action research yaitu research design, collecting data, analyzing data,

communicating data, dan taking action. Penjabaran tahap action research pada

penelitian ini dimulai dari research design yang dilakukan sejak tanggal 20 Maret

2017 sampai 31 Maret 2017. Pada tahap research design, peneliti menyaring kembali

permasalahan yang akan ditelusuri dan merencanakan proses penyelidikan. Hasil dari

research design adalah fokus permasalahan mengarah kepada permasalahan coping

siswa terutama terkait permasalahan ketika PKL dan dibuat perencanaan untuk

menyelidiki permasalahan tersebut.

Tahap kedua yaitu collecting data yang dilakukan pada tanggal 8 Mei 2017

sampai 11 Mei 2017. Pada tahap ini peneliti melakukan survei kepada 83 siswa kelas

XI, wawancara siswa, wawancara kepada wakasek kurikulum, wawancara wakasek

humas sebagai penanggung jawab PKL, dan mengumpulkan data dokumen yang

terkait dengan PKL. Tahap selanjutnya adalah analyzing data yang dilakukan pada

tanggal 11 Mei 2017 sampai tanggal 20 Mei 2017. Peneliti menganalisa data yang

telah diperoleh dari tahap collecting data untuk mengidentifikasi ciri kunci dari

permasalahan yang diselidiki, menganalisa pengalaman kunci, dan menggabungkan

data. Tahap yang keempat adalah communicating data. Tahap communicating data

adalah tahap penyampaian hasil penyelidikan kepada pihak terkait. Tahap ini yang

dilakukan pada tanggal 6 Juni 2017 ke Dosen pembimbing tesis dan tanggal 12 Juni

2017 ke Wakasek bidang kurikulum SMK swasta A di Kabupaten Sleman yang

menjadi tempat penelitian.

Page 16: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

16

Permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah

ketidakmampuan siswa dalam menghadapi situasi baru yang penuh stres yaitu

bertugas di dunia usaha/industri. Coping siswa sebagai strategi yang dilakukan ketika

menghadapi stres yaitu cenderung ke upaya menghindar dan mengabaikan (avoidance

dan denial). Dibutuhkan upaya tambahan selain membekali siswa dengan teori dan

keterampilan agar terhindar dari masalah ketika menjalankan tugas di masa PKL

(coping preventif). Peneliti mengajukan salah satu alternatif solusi sebagai bentuk

dari tahap taking action pada penelitian action research yang dapat dilakukan untuk

menyiapkan siswa menghadapi perubahan di masa PKL, yaitu dengan pelatihan yang

berisi tentang cara agar siswa fokus pada tantangan dan stresor terlihat sebagai

kesempatan untuk dapat tumbuh dengan baik atau disebut juga coping proaktif.

Pelatihan “SINERGI II” dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan

pengetahuan baru tentang coping proaktif sehingga siswa memiliki kesiapan dan

dalam menghadapi masalah di masa depan.

Sesi yang diberikan kepada peserta pelatihan ini diambil dari pelatihan

SINERGI II yang berisi tentang coping proaktif dan telah dilakukan oleh Hidayati

(2012) yaitu sesi untuk mengajarkan kemampuan problem solving, strategic

planning, instrumental and emotional support seeking (resource seeking), dan goal

setting.

Sesi pertama adalah sesi “temanku, saudaraku”. Sesi ini merupakan sesi

pengenalan program dan juga sebagai sesi untuk menetapkan tujuan individu terkait

dengan pelatihan yang akan dilaksanakan. Sesi kedua bertujuan untuk meningkatkan

Page 17: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

17

kemampuan problem identification dan problem solving yaitu merupakan proses

kognitif dan perilaku yang ditujukan untuk mengenali permasalahan dan menemukan

solusi atas permasalahan tersebut. Pada sesi kedua, peserta diajak untuk menuliskan

perasaannya, permasalahan umum yang dialami oleh siswa terutama ketika PKL.

Peserta kemudian diminta untuk menyampaikan pendapatnya mengenai penyelesaian

masalah dan alternatif pemecahannya.

Sesi ketiga adalah sesi yang mengajak peserta untuk membuka mata mengenai

tidakan-tindakan negatif yang dilakukan oleh diri sendiri atau teman-teman sesama

siswa. Peserta juga diajak untuk mengeksplorasi konsekuensi dari tindakan tersebut.

pada sesi ini peserta akan diberikan materi tentang permasalahan yang banyak

dilakukan oleh siswa terutama ketika PKL, kemudian peserta akan mendiskusikan

konsekuensi dari beberpa perilaku negatif yang dilakukan oleh siswa. Dari hal ini,

peserta akan mendapatkan pengalaman mencari dan memperoleh pengetahuan yang

dibutuhkan untuk membentengi diri dari hal-hal negatif di lingkungannya.

Sesi keempat berisi goal setting dan strategic planning. Goal setting

merupakan proses dalam memutuskan apa yang ingin dicapai dan merencanakan

tahap pencapaian terbaik yang didasarkan pada SMART (spesific, measurable,

achievable, realistic, time targeted). Peserta akan memperoleh pengetahuan serta

pengalaman langkah demi langkah proses penentuan tujuan yang realistis, baik tujuan

jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya peserta akan diajarkan strategic

planning, yaitu penggunaan strategi untuk mengatasi masalah yang fokus pada proses

pencapaian tujuan, berorientasi pada aksi yang telah terjadwal, dan memilah masalah

Page 18: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

18

menjadi bagian yang lebih kecil atau sederhana. Peserta diajak untuk menyampaikan

pendapat mengenai strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah.

Sesi kelima merupakan sesi yang berkesinambungan dengan sesi sebelumnya.

Pada sesi ini peserta diminta untuk roleplay yaitu dengan membangun menara kartu.

Peserta diajak untuk mengeksplorasi bagaimana rasanya mewujudkan sesuatu, cara

menghadapi kesulitan yang ada, dan memanfaatkan sumber daya sekitar untuk

membantu mewujudkannya. Sesi ini diakhiri dengan sesi “story cafe discussion”.

Peserta dapat saling bertukar cerita pengalaman mengenai permasalahan yang dialami

oleh siswa. Peserta juga dapat berdiskusi mengenai cara mengatasi permasalahan

tersebut.

Sesi keenam adalah sesi “jalur rintangan”. Pada sesi ini peserta diajak untuk

memahami pentingnya menentapkan tujuan, menyusun rencana, dan menyiapkan diri

menghadapi hal yang tidak terduga. Peserta juga dipandu untuk menyadari

pentingnya mengoptimalkan sumber daya diri dan dukungan sosial serta memilah

sumber daya yang cocok untuk membantunya keluar dari masalah.. Metode yang

digunakan adalah roleplay dan refleksi. Sesi ini merupakan sesi yang dapat membuat

peserta memahami materi coping proaktif terutama terkait aspek goal setting dan

resource seeking.

Manfaat yang diperoleh siswa dari pelatihan SINERGI II ini adalah

meningkatnya kemampuan coping proaktif siswa. Coping proaktif memiliki peranan

penting yang mempengaruhi kesiapan siswa dalam menghadapi masa-masa stres yang

akan dialaminya di masa yang akan datang (Bonneville-Roussy, Evans, Verner-

Page 19: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

19

Filion, Vallerand, & Bouffard, 2017). Bentuk stres yang dapat dialami siswa di masa

yang akan datang dapat berupa kegagalan. Sagar, Lavalle, dan Spray (2009)

menyatakan bahwa kemampuan siswa dalam menghadapi kegagalan dapat

mempengaruhi kesejahteraan siswa (well-being), performansi, dan tugas sekolah.

Sejalan dengan pernyataan tesrsebut, Ford (2001) menyatakan bahwa ketika

berhadapan dengan situasi yang penuh stres, coping proaktif dapat meningkatkan

berbagai alternatif pilihan pemecahan masalah yang dapat dikelola oleh siswa.

Keterkaitan coping proaktif terhadap tingkat stres menunjukkan bahwa siswa yang

memiliki kemampuan coping proaktif akan berpengaruh terhadap rendahnya tingkat

stres, hal ini berdampak kepada kesehatan mental dan well-being siswa (Bagana,

2014., Sveinbjornsdottir & Thorsteinsson, 2008).

Pertanyaan yang muncul dari tujuan penelitian ini adalah apakah dengan

pelatihan “SINERGI II” dapat meningkatkan keampuan coping proaktif pada siswa

kelas XI SMK.

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang ada, dibutuhkan suatu

bentuk pelatihan yang dapat diberikan kepada siswa kelas XI SMK sebagai upaya

persiapan diri siswa untuk menghadapi perubahan tugas di dunia usaha/industri.

Kebutuhan pelatihan tersebut menjadikan penelitian ini diberi judul Pelatihan

“SINERGI II” untuk Meningkatkan Kemampuan Coping Proaktif Siswa SMK.

Page 20: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

20

Berikut ini merupakan dinamika permasalahan yang menjadi fokus dalam

penelitian ini:

Gambar 1. Dinamika Permasalahan dalam Penelitian

Kurikulum dasar keterampilan

SMK:

Lulusan siap menghadapi dunia

usaha/industri (dunia kerja), siswa

dilatih dengan adanya program

PKL

Ada perubahan tugas dari siswa yang

belajar di sekolah menjadi karyawan yaitu

tuntutan untuk dapat bekerja dengan

profesional, disiplin diri, mengikuti ritme

kerja karyawan, dan menjalin hubungan

interpersonal yang baik dengan rekan

kerja, atasan, maupun ke pelanggan

Perilaku:

Pindah tempat PKL, tidak masuk kerja,

diam (tidak melakukan apa-apa),

menangis, pasrah

Konsekuensi:

- Membuang waktu untuk pindah tempat PKL

- Menambah jam kerja untuk memenuhi waktu

minimal di luar masa PKL

- Dikembalikan oleh pembimbing lapangan

- Merusak citra positif sekolah

Sumber stres:

Kegagalan dalam mengerjakan tugas,

sering ditegur ketika salah, disiplin diri,

konflik dengan rekan kerja

Page 21: keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah

21

HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Pelatihan “SINERGI II” dapat meningkatkan kemampuan coping proaktif siswa

SMK.

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

DESIGNING: penyaringan kembali permasalahan dan

merumuskan proses penyelidikan. Hasil: fokus

permasalahan adalah coping siswa terkait permasalahan

saat PKL

COLLECTING DATA: survei siswa kelas XI,

wawancara siswa, Wakasek Kurikulum, Wakasek Humas, data

dokumen

ANALYZING DATA: analisa data yang sudah diperoleh

COMMUNICATING DATA: menyampaikan

hasil penyelidikan ke pihak terkait yaitu pembimbing

tesis dan Wakasek Kurikulum

TAKING ACTION: diajukan alternatif solusi dengan

pelatihan SINERGI II untuk meningkatkan kemampuan

coping proaktif siswa