ketahanan pangan ubi kayu
DESCRIPTION
EKONOMI PEMBANGUNANTRANSCRIPT
PAPER MODUL 4
EKONOMI PEMBANGUNAN PERTANIAN
Ketahanan Pangan Ubi Kayu
KELAS H
Disusun Oleh:
Lutfi Rachmawati 115040101111224
Mira Aisa Indi 115040101111225
Mochamad Helmi R. 115040101111173
Nadira Pinanti Anggardini 115040101111216
Nico Santoso 115040101111210
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
Krisis perekonomian global telah berdampak kepada krisis nasional di sektor
pertanian dan agroindustri yang ditandai dengan menurunnya fungsi produksi dan fungsi
bisnis pada sektor pertanian dan agroindustri. Indonesia mengalami dampak negatif akibat
melemahnya perdagangan dunia. Sejumlah komoditas ekspor produk pertanian mengalami
penurunan permintaan dan harganya terpuruk. Menguatnya sistem industri dan perdagangan
konglomerasi di Indonesia tidak secara langsung membawa petani dan agroindustri rakyat
dapat menikmati nilai tambah sekunder, tersier maupun kuarter. Petani dan agroindustri
rakyat hanya menikmati nilai tambah primer sebagai pemberian alam atas hasil pertanian.
Nilai tambah sekunder, tersier dan kuarter dinikmati industri dan pedagang besar
(Swasono,2010). Perubahan iklim dan pengalihan pemanfaatan lahan produktif ke arah non
produktif mengakibatkan terkikisnya potensi sumberdaya alam. Hal ini yang akan semakin
memarjinalkan petani dan agroindustri rakyat (Nasution 2002c). Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin secara
konstitusi dalam pasal 33 ayat (1) UUD 1945 telah bergesar ke arah asas perorangan dengan
moral ekonomi berbasis pada persaingan (Ruslina,2010). Keterpurukan industri rakyat dan
pemiskinan masyarakat pedesaan akan berdampak kepada situasi chaos. Chaos dapat terjadi
setiap saat dan dimanapun.
Ubi kayu merupakan salah satu tanaman yang mempunyai peran penting di Indonesia,
karena tidak hanya sebagai tanaman pangan melainkan sebagai bahan baku bioenergi.
Indonesia termasuk sebagai negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga (13.300.000 ton)
setelah Brazil (25.554.000 ton), Thailand (13.500.000 ton) serta disusul negara-negara seperti
Nigeria (11.000.000 ton), India (6.500.000 ton) dari total produksi dunia sebesar 122.134.000
ton per tahun. Produktivitas yang masih rendah yaitu 12,2 ton/ha dibandingkan dengan India
(17,57 ton), Angola (14,23 ton/ha), Thailand (13,30 ton/ha) dan China (13,06 ton/ha)
Agrica( 2007).
Sentra produksi ubi kayu di Indonesia adalah di Pulau Sumatera (70%) Jawa dan Sulawesi
(30%). Rata-rata produksi Nasional adalah 20.411.327 ton BPS (2009 ). Produksi ubi kayu di
Indonesia sebanyak 55% dikonsumsi sebagai bahan pangan, 19,8% untuk produksi tapioka,
14,8% untuk keperluan ekspor, 1,8% untuk pakan dan 8,6% untuk industri non pakan.
Produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor mencapai 18,9 ton/ha, lebih tinggi dari rerata
produksi nasional yaitu 9,4 ton/ha (Wardana, 2006). Hal tersebut menandakan bahwa
kabupaten Bogor merupakan sentra ubi kayu yang perlu dikembangkan.
Sebagai tanaman pangan, ubi kayu merupakan sumber karbohidrat bagi sekitar 500
juta manusia di dunia. Ubi kayu mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup tinggi yaitu
sebanyak 32,4 gr dan kalori 567,0 kal dalam 100 gr ubi kayu. Pemilihan ubi kayu sebagai
bahan pangan subtitusi beras mempunyai alasan yang kuat, karena mudah dibudidayakan,
merupakan makanan pokok asli sebagian masyarakat Indonesia, dan kandungan gizi yang
memadai. Selain sebagai bahan pangan, ubi kayu juga sebagai bahan baku berbagai sektor
industri diantaranya dapat diolah menjadi asam sitrat, monosodium glutamat, sorbitol,
glukosa kristal, dextrose monohydrate, dextrin, alcohol, etanol.
Produksi tapioka di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1996 hingga 2001 rata-rata
per-tahun 16 juta ton (dari Sumatera, Jawa dan Sulawesi) merupakan produsen tapioka nomor
2 didunia setelah Thailand sebesar 30 juta ton per-tahun. Jumlah produksi ini terserap pasar
dalam negeri rata-rata 13 juta ton per-tahun dan permintaan akan naik rata-rata 10% pertahun.
Proyeksi hingga tahun 2011 permintaan domestik diperkirakan akan menjadi 33,72 ton.
Dengan demikian peluang pasar tapioka masih terbuka .
Pada umumnya industri tapioka di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3
kelompok. Pertama kelompok industri tapioka berskala besar yang sudah menggunakan
mesin-mesin modern. Kedua, kelompok industri kecil tapioka halus yang menggunakan
mesin-mesin semi modern. Ketiga industri tapioka rakyat yang menghasilkan tapioka kasar.
Pada industri rakyat ini memproduksi tapioka kasar menggunakan teknologi sederhana.
Aliran produk dalam rantai pasokan tapioka dimulai dari petani ubi kayu hingga
industri hilir. Ubi kayu dari petani dipasok ke industri rakyat penghasil tapioka kasar, produk
tapioka kasar dipasok sebagai bahan baku tapioka halus, dan produk tapioka halus diserap
oleh konsumen industri makanan dan konsumen langsung. Sebaliknya arus informasi harga
dimulai dari hilir ke hulu. Harga tapioca ditentukan oleh mekanisme pasar yang dikendalikan
oleh industri tapioka besar dan stok tapioka nasional. Harga tapioka halus ini akan
menentukan harga tapioka kasar dan harga ubi kayu (Firdaus, 2004). Sebagaimana
agroindustri pada umumnya, agroindustri tapioka rentan terhadap sitem pasokan bahan baku,
karena bersifat (1) musiman, (2) mudah rusak, (3) menempati ruang banyak, (4) memiliki
keragaman kualitas, (4) berskala kecil-kecil. Hal ini menyebabkan volume produksi
berfluktuasi antar musim, antar waktu maupun antar daerah.
Sistem tataniaga ubi kayu rentan terhadap harga karena transmisi harga yang rendah,
kenaikan harga komoditi di tingkat konsumen tidak serta merta dapat meningkatkan harga di
tingkat petani produsen. Namun sebaliknya penurunan harga di tingkat konsumen umumnya
lebih cepat ditransmisikan kepada harga di tingkat produsen. Struktur pasar dari tapioka
bersifat monopsonis dimana harga ditetapkan oleh perusahaan besar, sehingga usaha tani dan
industri kecil berada pada posisi yang lemah terhadap posisi tawar. Hal ini menyebabkan
petani ubi kayu dan industri kecil tapioka pada posisi tawar yang lemah (Wardana, 2006).
Risiko yang ditimbulkan akan menyebabkan turbulensi yaitu keadaan yang berubah sangat
cepat, tidak dapat diprediksi, dan ketidakpastian pada agribisnis tapioka.
Era turbulensi tidak mungkin terelakkan lagi, lambat laun akan menjadi lingkungan
baru yang permanen yang disebut dengan kenormalan baru (new Normality). Normalitas
tersebut bukan ditandai oleh stabilitas dan kepastian (certainty) seperti yang terdapat pada era
sebelumnya, melainkan terbentuk dari ketidakmenentuan dan chaos. Oleh karena itu (Kotler,
2009) menyebutnya sebagai era chaos. Normalitas baru tersebut mewujud dalam bentuk
kombinasi antara perekonomian yang boom, turun, resesi bahkan depresi dalam siklus yang
kian cepat. Normalitas baru yang mewujud dalam bentuk chaos itu setiap saat akan siap
menelan korbannya.
Sistem tataniaga dalam rantai pasokan agroindustri tapioka dari hulu hingga hilir
diwarnai turbulensi memaksa pelaku industri melakukan perubahan dalam rangka
kelangsungan bisnisnya dengan mengubah turbulensi menjadi peluang baru (Kotler, 2009).
Manajemen perubahan adalah mengakomodasi berbagai dinamika atau perubahan
lingkungan dan mengelolanya di dalam suatu sistem manajemen yang handal. Empat pilar
utama dalam manajemen perubahan yaitu strategi, operasi, budaya dan kompensasi. Empat
pilar ini menunjang perubahan dalam organisasi baik dalam tatanan makro maupun mikro.
Reformasi di tatanan mikro akan berhasil bila tatanan makro juga ikut berubah. Platt (2001)
yang diacu dalam Kasali (2005) membedakan perubahan strategis suatu perusahaan dalam 3
kategori yakni: Transformasi Manajemen, Manajemen Turnaround dan Manajemen Krisis.
Transformasi manajemen biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang sehat, atau
perusahaan-perusahaan yang mulai menangkap sinyal yang kurang menggembirakan.
Manajemen Turnaround biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang sudah mulai
menghadapi permasalahan-permasalahan yang agak pelik dan mulai melibatkan pihak-pihak
yang lebih luas. Sedangkan manajemen krisis biasanya dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan yang telah memasuki masa krisis, dimana perusahaan sudah berada pada posisi
berbahaya dan eksistensinya diragukan.
Permintaan merupakan perilaku hubungan jumlah komoditas yang diminta pada
tingkat harga berbeda pada kondisi tertentu (Dahl dan Hammond, 1977) atau sebagai
schedule dari kuantitas yang akan dibeli konsumen pada suatu tingkat harga tertentu (Ferris,
1998).FAO (2011) menginformasikan, sangat sedikit ubikayu diperdagangkan dalam bentuk
segar oleh karena sifat produk yang bulky dan perishable. Oleh karenanya, ubikayu
diperdagangkan dalam bentuk kering yang sering dikenal sebagai gaplek atau chips. Adapun
bentuk tepung dari ubikayu kerap disebut sebagai tapioka atau tepung tapioka (flour),
sedangkan bentuk olahan lainnya adalah bentuk pati yang dikenal sebagai cassava starch
(pati
ubi kayu). Produsen ubikayu paling besar dunia yakni Nigeria, namun ia bukan sebagai
pengekspor terbesar. Thailand tercatat sebagai negara pengekspor ubikayu kering terbesar
dunia dengan menguasai 77 % ekspor ubikayu dunia pada 2005, disusul oleh Viet Nam :13,6
% dan Indonesia: 5,8 % dan Costa Rica 2,1 % (FAO, 2011).
Indonesia merupakan urutan keempat sebagai salah satu produsen ubi kayu terbesar
dunia setelah Nigeria, Thailand dan Brazil (FAO, 2011). Dinyatakan bahwa berjuta-juta
orang di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggantungkan hidupnya pada ubikayu sebagai
bahan pangan oleh karena kemudahannya beradaptasi dengan kondisi tanah yang kurang
dapat ditanami dengan komoditi lain dan berhasil mengatasi ketahanan pangan di wilayah
tersebut.
FAO (2011) juga menegaskan bahwa ubikayu sanggup mengatasi kebutuhan pangan
bagi lebih dari separuh milyar manusia dan menjadi tumpuan hidup bagi berjuta-juta petani
maupun para pelaku bisnis ubikayu dunia. Tercatat hampir 60 % produksi ubikayu dunia
terkonsentrasi di lima negara : Nigeria, Thailand, Brazil, Indonesia dan Kongo (FAO, 2011).
Ironisnya, Indonesia masih mengimpor ubikayu dalam bentuk cassava flour (tepung)
dan starch (pati) untuk memenuhi permintaan industri dalam negeri, meski terjadi hanya 6
bulan, sebagaimana data BPS bulan Juni 2011, tercantum impor singkong sebesar 2,7 ton
dengan nilai US$ 20,6 ribu dari Italia. Sementara sebelumnya terdapat impor singkong
sebanyak 2,9 ton dengan nilai US$ 1,3 ribu dari China (Hida, 2011). Namun berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak Juli-September 2011 tidak ada lagi impor singkong
dari negara manapun yang masuk ke pasar Indonesia, sehingga total impor singkong masih
mencapai 5,6 ton dengan nilai US$ 21,9 ribu (Hida, 2011).
Situasi Ubi Kayu Dalam Negeri
Pada Tahun 2003 propinsi-propinsi yang merupakan sentra produksi komoditas ubi
kayu adalah Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa
Yogyakarta denganproduksi masing-masing 4,9 juta ton; 3,79 juta ton; 3,47 juta ton; 1,65 juta
ton; dan 0,76 juta ton, dengan luas panen masing-masing 298.989 ha; 240.493 ha; 215.374
ha; 114.853 ha; dan 59.270 ha,sedangkan produktivitasnya masing-masing 167 kuintal/ha;
157 kuintal/ha; 161 kuintal/ha; 144 kuintal/ha; dan 129 kuintal/ha. Rata-rata produktivitas ubi
kayu di pulau Sumatera (157 kuintal/ha) lebih tinggi dibandingkan dengan pulau Jawa (153
kuintal/ha), sedangkan rata-rata luas panen dan produksi di pulau Jawa (rata-rata luas panen
641.392 ha dan rata-rata produksi 9,83 juta ton) lebih tinggi daripada pulau Sumatera (rata-
rata luas panen 380.539 ha dan rata-rata produksi 5,96 juta ton).
Ekspor – Impor Dalam Negeri
Produk tanaman pangan khususnya ubi kayu adalah salah satu komoditas ekspor.
Neraca volume perdagangan ubi kayu pada tahun 2002 sebesar 0,75 juta ton, namun pada
tahun 2003 turun hampir 50% (sebesar 0,45 juta ton) menjadi 0,31 juta ton. Untuk tahun 2004
(sampai dengan bulan September),neraca volume perdagangan ubi kayu sebesar 0,14 juta ton.
Volume ekspor ubi kayu Indonesia pada periode tahun 2002 – 2003 mengalami
penurunan yang cukup tajam, yaitu sebesar 56,18% (dari 101.247 ton pada tahun 2002
menjadi 44.367 ton pada tahun 2003). Ekspor ubi kayu Indonesia pada tahun 2004 sampai
dengan bulan September adalah sebesar 192.514 ton.
Dari rata-rata ekspor ubi kayu Indonesia pada periode 2002–2003, ubi kayu Indonesia
paling banyak diekspor ke negara China (67%) kemudian diikuti dengan Taiwan (9%),
Malaysia (8%), Japan (6%), Philippina, Singapore, dan negara – negara lainnya.
Impor ubi kayu Indonesia pada tahun 2002 – 2003 turun sebesar 12.329 ton ( dari
26.132 ton pada tahun 2002 menjadi 13.904 ton pada tahun 2003). Impor ubi kayu Indonesia
sampai dengan bulan September pada tahun 2004, sebesar 53.775 ton. Negara pemasok ubi
kayu impor terbesar adalah Tahiland (± 65%), Kamboja (± 14%), Taiwan (± 7%)sisanya diisi
oleh China, Jepang, Malaysia, dan negara lainnya.
Produksi ubi kayu di Indoesia
Produksi Ubi Kayu Dunia
Di Asia total output produksi ubi kayu turun sebesar tujuh persen yang direfleksikan
oleh semakin kecilnya luas panen di Indonesia dan Thailand. Di negara-negara Amerika
Latin, produksi ubi kayu berkembang di beberapa negara seperti Brasilia, Columbia dan
Bolivia. Di Brasilia terjadi peningkatan produksi pada tahun 2000 sebesar 23 juta ton sebagai
pengaruh dari baiknya harga jual petani disamping kondisi iklim yang mendukung. Di
Bolivia peningkatan produksi terjadi sebagai akibat dari meluasnya areal panen sedangkan di
Columbia peningkatan produksi merupakan dampak langsung dari adanya dukungan inter
alia terhadap pengolahan ubi kayu dan promosi penggunaan teknologi baru.
Produsen utama ubi kayu dunia adalah : (1) Nigeria; (2) Brazil; (3) Thailand; (4)
Indonesia; (5)Congo; (6) Ghana; dan (7) India. Total produksi ubi kayu dunia tahun 2003
mencapai 174,32 juta ton, sedikit mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2001 (170,52
juta ton.
Strategi untuk meningkatkan ketersediaan pangan
Kebijakan ketersediaan pangan secara nasional tahun 2005-2009 diarahkan kepada
beberapa hal yaitu: (i) Meningkatkan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan; (ii)
Mengembangkan infrastruktur pertanian dan pedesaan; (iii) Meningkatkan produksi pangan
untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri; dan (iv) Mengembangkan kemampuan
pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat.
Di bawah ini adalah kegiatan operasional kunci yang dilakukan untuk menjamin dan
meningkatkan ketersediaan pangan adalah:
1. Pengembangan lahan abadi 15 juta ha lahan sawah beririgasi dan 15 juta ha lahan
kering.
2. Pengembangan konservasi dan rehabilitasi lahan.
3. Pelestarian sumberdaya air dan pengelolaan daerah aliran sungai.
4. Pengembangan dan penyediaan benih, bibit unggul, dan alat mesin pertanian.
5. Pengaturan pasokan gas untuk memproduksi pupuk.
6. Pengembangan skim permodalan bagi petani/nelayan.
7. Peningkatan produksi dan produktivitas (perbaikan genetik & teknologi budidaya).
8. Pencapaian swasembada 5 komoditas strategs: padi (swasembada berkelanjutan),
jagung (2008), kedelai (2011), gula (2009), dan daging (2010).
9. Penyediaan insentif investasi di bidang pangan termasuk industri gula, peternakan,
dan perikanan.
10. Penguatan penyuluhan, kelembagaan petani/nelayan dan kemitraan.
Selain itu juga dilakukan kebijakan lain, yaitu:
1. Menata Pertanahan dan Tata Ruang dan Wilayah, melalui:
o Pengembangan reformasi agraria
o Penyusunan tata ruang daerah dan wilayah
o Perbaikan administrasi pertanahan dan sertifikasi lahan
o Pengenaan sistem perpajakan progresif bagi pelaku konversi lahan pertanian
subur dan yang mentelantarkan lahan pertanian
2. Mengembangkan Cadangan Pangan
o Pengembangan cadangan pangan pemerintah (nasional, daerah dan desa)
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan Pasal 5
o Pengembangan lumbung pangan masyarakat
3. Menjaga Stabilitas Harga Pangan
o Pemantauan harga pangan pokok secara berkala untuk mencegah jatuhnya
harga gabah/beras di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP)
o Pengelolaan pasokan pangan dan cadangan penyangga untuk stabilitas harga
pangan seperti yang tercantum dalam Inpres Nomor 13 Tahun 2005 tentang
Kebijakan Perberasan; SKB Men Koordinator Bidang Perekonomian dan
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No.
KEP-46/M.EKON/08/2005 dan Nomor 34/KEP-34/
KEP/MENKO/KESRA/VIII/2005 tentang Pedoman Umum Koordinasi
Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah; Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 22 Tahun 2005 tentang Penggunaan Cadangan pangan Pemerintah
untuk Pengendalian Harga, dan Surat menteri Pertanian kepada Gubernur dan
Bupati Walikota se-Indonesia Nomor 64/PP.310/M/3/2006 tanggal 13 maret
2006 tentang Pengelolaan Cadangan Pangan)
4. Meningkatkan Aksesibilitas Rumah Tangga terhadap Pangan
o Pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan
o Peningkatan efektivitas program Raskin
5. Melakukan Diversifikasi Pangan
o Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dengan gizi seimbang (Perpres
No. 22 Tahun 2009)
o Pemberian makanan tambahan untuk anak sekolah (PMTAS)
o Pengembangan teknologi pangan
o Diversifikasi usaha tani dan pengembangan pangan lokal
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Ketahanan Pangan. Kebijakan Umum Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional, 2006.
Diakses pada tangal 28 Maret 2013.
Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programme. Peta Kerawanan Pangan Indonesia
(FIA), 2005. Diakses pada tangal 28 Maret 2013.
Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.2005. Diakses pada
tangal 28 Maret 2013.
FAO. 2011. The cassava transformation in Africa". The Food and Agriculture Organization
of the United Nations (FAO).
Gujarati, Damodar N., 1995, Basic Econometrics, Third Edition, McGraw-Hill.
Hilda, Ramdhania El. 2011. Akhirnya! RI Telah Bebas dari Singkong Impor.
Economy Thu, 17 Nov 2011 15:30:00 WIB –detikFinance,
http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybernews/detail.aspx?x=Economy&y=cybernews|
00|3|18394, Diakses 28 Maret 2013.