ketahanan iklim melalui perbaikan pengelolaan sumber daya air pada lahan gambut-yudi

19
RESUME - Pengelolaan sumber daya air pada lahan gambut begitu penting dan perlu dikelola dengan baik. Selain untuk penyerapan karbon, keberadaan air pada lahan gambut juga berfungsi sebagai sumber air tawar dalam volume yang signifikan, yaitu mencapai 8 hingga 13 kali dari volume gambut itu sendiri. - Salah satu kendala pengelolaan lahan gambut berkelanjutan adalah kegiatan-kegiatan manusia yang tidak terkendali seperti membangun parit dan saluran tanpa mempertahanan batas tertentu ketinggian air, yang biasanya dilakukan untuk mengangkut kayu legal atau ilegal dan mengairi lahan-lahan pertanian dan perkebunan tanpa pengelolaan air yang baik. Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya telah menyebabkan berkurangnya kandungan air di lahan gambut bahkan menjadi kering dan mudah terbakar pada musim kemarau. - Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akan menjadi kering dan kekeringan gambut ini disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah mengering tidak akan dapat menyerap air kembali. - Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marine atau pasir. - Beberapa kiat untuk mengatasi daya tumpu dan daya dukung gambut yang rendah adalah: 1

Upload: wahyudi-yudi

Post on 02-Jan-2016

18 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pmsda

TRANSCRIPT

Page 1: Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut-Yudi

RESUME

- Pengelolaan sumber daya air pada lahan gambut begitu penting dan perlu dikelola

dengan baik. Selain untuk penyerapan karbon, keberadaan air pada lahan gambut juga

berfungsi sebagai sumber air tawar dalam volume yang signifikan, yaitu mencapai 8

hingga 13 kali dari volume gambut itu sendiri.

- Salah satu kendala pengelolaan lahan gambut berkelanjutan adalah kegiatan-kegiatan

manusia yang tidak terkendali seperti membangun parit dan saluran tanpa

mempertahanan batas tertentu ketinggian air, yang biasanya dilakukan untuk

mengangkut kayu legal atau ilegal dan mengairi lahan-lahan pertanian dan perkebunan

tanpa pengelolaan air yang baik. Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya telah

menyebabkan berkurangnya kandungan air di lahan gambut bahkan menjadi kering

dan mudah terbakar pada musim kemarau.

- Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akan menjadi kering dan kekeringan

gambut ini disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah mengering tidak

akan dapat menyerap air kembali.

- Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marine atau pasir.

- Beberapa kiat untuk mengatasi daya tumpu dan daya dukung gambut yang rendah adalah:1. Budidaya tanaman tahunan hanya pada lahan dengan ketebalan gambut <>2. Dilakukan pemadatan gambut sebelum penanaman. Pemadatan dapat dilakukan dengan

menggunakan alat sederhana yang dibuat sendiri dari kayu gelondong yang dapa digelindingkan (Gambar 3), ata menggunakan alat pemadat mekanis yang biasa digunakan untuk memadatkan tanah di jalan;

3. Gambut dengan ketebalan lebih dari 75 cm ditata dengan sistem tegalan.

1

Page 2: Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut-Yudi

- Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan

Pengelolaan Sumber Daya Air Pada

Lahan Gambut

Written by Dadang Hilman on 28 January 2013.

(Photo: Yopie Pangkey/ICCC)

Pengelolaan sumber daya air pada lahan gambut begitu penting dan perlu dikelola dengan

baik. Selain untuk penyerapan karbon, keberadaan air pada lahan gambut juga berfungsi

sebagai sumber air tawar dalam volume yang signifikan, yaitu mencapai 8 hingga 13 kali dari

volume gambut itu sendiri. Air merupakan faktor penting dalam proses pembentukan kubah

gambut; dan drainase (walaupun tidak selalu) menjadi penyebab terjadinya

subsidensi/penurunan permukaan tanah. Disamping itu, gambut akan menjadi sangat rapuh

setelah mengalami proses pengeringan (fragile) sehingga kedalaman drainase dan iklim

merupakan faktor yang menentukan kecepatan subsidensi lahan gambut, di samping faktor

penggunaan lahan.

Kedalaman drainase, selain faktor waktu dan spasial, dapat mempengaruhi emisi karbon.

Lahan gambut yang diusahakan memiliki kedalaman drainase antara 30 hingga 120 cm, dan

pada setiap penambahan kedalaman drainase satu centimeter berpotensi meningkatkan emisi

sebesar 0,91 ton CO2/ha/tahun. Sehingga lebih lanjut, Sabiham S. et al (2012) menganjurkan

2

Page 3: Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut-Yudi

untuk mengkonservasi kecukupan kandungan air di lahan gambut pada lapisan

atas/kedalaman drainase 40 cm untuk mengurangi emisi CO2.

Kondisi ketersediaan air (water availability) di lahan gambut ditentukan oleh kondisi spasial

(geografis) dan waktu. Ketersediaan air secara makro disesuaikan dengan ekosistemnya.

Pengelolaan lahan gambut harus dilakukan berbasis keunikan ekosistemnya. Sedangkan

ketersediaan air secara mikro, ditentukan oleh kondisi atau sifat tanah pada lokasi tertentu.

Cekaman air pada satu lokasi berbeda dengan lokasi yang lain, tergantung karakteristik (fisik

– hidrolik) tanahnya. Secara spesifik tanah gambut mempunyai kondisi yang berinteraksi

dengan kondisi kandungan airnya. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya air di lahan

gambut dapat menjadi kompromi dari dua masalah utama lahan gambut di atas, dan dapat

menjadi solusi yang strategis dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

Namun, salah satu kendala pengelolaan lahan gambut berkelanjutan adalah kegiatan-kegiatan

manusia yang tidak terkendali seperti membangun parit dan saluran tanpa mempertahanan

batas tertentu ketinggian air, yang biasanya dilakukan untuk mengangkut kayu legal atau

ilegal dan mengairi lahan-lahan pertanian dan perkebunan tanpa pengelolaan air yang baik.

Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya telah menyebabkan berkurangnya kandungan air di lahan

gambut bahkan menjadi kering dan mudah terbakar pada musim kemarau.

Pemanfaatan lahan gambut : kondisi saat ini dan tantangan ke depan

Selain seperti yang diuraikan di atas, lahan gambut di Indonesia juga sebagian berfungsi

untuk menyokong ketahanan pangan. Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk telah

menekan ketersediaan lahan untuk pertanian. Kondisi ini telah mendorong penggunaan lahan

gambut sebagian untuk lahan pertanian, termasuk lahan sawah.

Kementerian Pertanian telah membuat strategi Antisipasi, Mitigasi dan Adaptasi yang

tertuang dalam Roadmap Strategi Sektor Pertanian, yaitu optimalisasi pengelolaan sumber

daya lahan yang tersedia, serta sumber daya air dan irigasi; penyesuaian pola tanam dan

pengelolaan lahan, terutama untuk tanaman pangan dan diversifikasi pertanian; perakitan dan

penyiapan teknologi adaptif dan berbagai pedoman dan penerapan teknologi adaptif dan

ramah lingkungan.

3

Page 4: Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut-Yudi

Lahan gambut sangat sensitif sehingga dengan mudah dapat terdegradasi dan menyebabkan

emisi CO2. Secara khusus strategi pencapaian pengurangan emisi CO2 perlu dilakukan dengan

prinsip keseimbangan pengelolaan lahan gambut melalui pendekatan konservasi dan

manajemen. Mengingat fungsi lahan gambut yang bagitu penting maka pengelolaan dan

pemanfaatan lahan gambut harus dilakukan secara cermat, dan tinjauannya harus secara

holistik yang melibatkan seluruh aspek yang terkait dengannya.

Mengingat sistem sosial melekat pada sistem alami (Sand, Isabel van de. 2012), kearifan lokal

telah menjadi bagian strategi antisipasi/adaptasi perubahan iklim, bersama dengan aspek

teknologi seperti teknologi kalender tanam (Katam), teknologi benih, pengelolan air dan

iklim.

Pengelolaan sumber daya air di lahan gambut untuk mendukung pengelolaan lahan

gambut berkelanjutan

Saat ini pemanfaatan lahan gambut masih menjadi pilihan yang tak terhindarkan untuk

pemerintah Indonesia dalam upaya membangun ketahanan pangan dari sektor pertanian.

Namun demikian, pemerintah dan masyarakat perlu mengembangkan suatu tata kelola lahan

gambut yang lebih lestari dan berkelanjutan melalui kebijakan manajemen dan konservasi

yang terpadu. Strategi adaptasi-mitigasi akan membangun ketahanan iklim dengan

menciptakan kegiatan pemanfaatan lahan gambut yang ramah iklim (climate friendly), yaitu

dengan menekan kontribusi terhadap emisi GRK; dan sekaligus tahan iklim (climate proof)

dengan memperkecil risiko terhadap variabilitas dan perubahan iklim. Dalam hal ini,

pengelolaan sumber daya air di lahan gambut menjadi kunci keberhasilan mencapai tujuan

pemanfaatan lahan gambut.

4

Page 5: Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut-Yudi

Saat ini sedikit sekali aktivitas riset di area sumber daya air di lahan gambut yang telah

mempertimbangkan dan memperhitungkan isu perubahan iklim dan dampaknya. Oleh

karenanya, aktivitas riset yang berkenaan dengan area tersebut perlu dilakukan untuk

meningkatkan pemahaman mengenai pentingnya pengelolaan sumber daya air di lahan

gambut. Riset ini bukan hanya dibutuhkan oleh para ilmuwan untuk memahami lebih detil

mengenai keberadaan air yang dipengaruhi oleh variabilitas dan perubahan iklim, dan tata air,

namun juga dibutuhkan para pengambil kebijakan agar dapat menyusun kebijakan untuk

pengelolaan lahan gambut yang lebih baik dan berkelanjutan (sustainable peatland

management), termasuk pengelolaan pertanian lahan gambut untuk mendukung ketahanan

pangan.

Untuk memperkaya pengetahuan dan memperkuat perencanaan pengelolaan sumber daya air

yang berkelanjutan di lahan gambut dengan pendekatan bottom-up (melibatkan petani lokal),

maka kajian hidrologi yang lebih site specific perlu dikembangkan dalam rangka mendukung

pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, termasuk pertanian di lahan gambut guna

mendukung program ketahanan pangan.

Selain itu, tentunya kajian tentang perubahan alih fungsi lahan dan kaitannya dengan

ketahanan pangan dan perubahan iklim perlu dilakukan secara paralel untuk memperkuat

program pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

Seiring dengan dua saran di atas, program Peatland and Peatland Mapping perlu segera

diwujudkan dengan target untuk memperjelas arahan kebijakan yang akan dibuat oleh para

pengambil kebijakan

lahan rawa gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari

luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut sekitar 7,2 jutahektar atau 35%-nya terdapat di

Pulau Sumatera. Lahan rawa gambut merupakan bagian dari sumberdaya alam yang

mempunyai fungsi untuk pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, pencegah 

intrusi air laut, pendukung berbagai kehidupan / keanekaragaman hayati, pengendali

iklim (melalui kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon) dan sebagainya. 

 

5

Page 6: Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut-Yudi

Atas dukungan biaya dari Dana Pembangunan Perubahan Iklim Kanada melalui

Proyek CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia) telah dilakukan

inventarisasi data dan monitoring lahan rawa gambut di seluruh Sumatera yang berbasis

teknologi Penginderaan Jauh/ Citra Satelit dan Sistim Informasi Geografi.  Data yang

dihimpun berasal dari tahun 1990 dan 2002, mencakup informasi mengenai ketebalan

gambut, jenis/tingkat kematangan, sifat fisika-kimia, luasan dan  penyebarannya serta

dugaan kandungan karbon dibawah permukaan. 

 

Kajian mengenai kondisi lahan rawagambut tahun 1990 terutama bersumber dari: (a) peta dan

data Satuan Lahan dan Tanah skala 1:250.000 terbitan ’Land Resources

Evaluation Proyek’(LREP), Pusat Penelitian Tanah Bogor tahun 1990; (b) data/informasi dari

hasil berbagai kegiatan Survei dan Pemetaan Tanah yang telah dilakukan Oleh Institut 

Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Tanah, serta (c) Citra Satelit Landsat Multi

Spectral Scanner (Landsat MSS) tahun 1990. Sedangkan untuk menggali dan

memperoleh informasi lahan rawagambut dan tipe penggunaan lahannya pada tahun 2002

dilakukan dengan cara menganalisis seri data Citra Satelit Landsat Thematic Mapper-7 tahun

2002 

didukung dengan data/peta topografi, litologi dan tanah. 

 

Dari data yang berasal darikedua tahun berbeda tersebut (1990 dan 2002),

selanjutnya dilakukan pendugaan terhadap besarnya penyusutan ketebalan gambut dan

kandungan karbonnya. Penyusutan yang terjadi pada kedua komponen ini diduga sebagai

akibat adanya perubahan penggunaan lahan dan vegetasi penutup (land use and land

cover changes) yang umumnya digunakan untuk pengembangan pertanian/

perkebunan maupun oleh akibat adanya kebakaran lahan dan hutan. 

 

Untuk menghitung kandungan karbon yang terdapat di dalam lahan gambut (below

ground carbon), beberapa asumsi utama telah diajukan dalam buku ini, yaitu: (a)

ketebalan gambut yang beberapa diukur melalui survei lapang (ground truthing) dianggap

telah mewakili kondisi ketebalan gambut wilayah studi;  (b) meskipun beberapa literature 

menyatakan bahwa gambut dengan ketebalan < 50 cm dianggap bukan gambut (peaty soil),

tapi dalam penetapan jumlah karbon ia tetap diperhitungkan; (c) batas ketebalan gambut yang

6

Page 7: Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut-Yudi

dapat dihitung kandungan karbonnya dibatasi hanya sampai pada lahan gambut dengan

ketebalan maksimum8 meter, hal demikian akibat kesulitan tehnis dalam 

pengukurannya di lapangan, yaitu akses menuju lokasi yang sulit. 

 

Dari hasil kajian di atas diketahui bahwa lahan rawa gambutdi Pulau Sumatera

mempunyai tingkat kematangan ’Fibrists’ (belum melapuk/ masih mentah), ’Hemists’

(setengah melapuk), ’Saprists’ (sudah melapuk/ hancur) dan/atau campuran dengan salah satu

dari ketiganya. Ketebalan gambut di Sumatera bervariasi mulai dari sangat dangkal(< 50 cm)

sampai 

sangat dalam (lebih dari 4 meter) dan dari hasil analisis citra-citra satelit dan data

pendukung lainnya, terlihat adanya peningkatan luas lahan rawa gambut sangat dangkal (< 50

cm) dari 327.932 ha (tahun 1990) menjadi 682.913 ha (tahun2002). Jika lahan rawa gambut

sangat dangkal ini (meskipun masih mengandung sejumlah karbon) dapat dianggap sebagai

bukan lahan gambut, maka dalam kurun waktu 12 tahun, lahan gambut di Pulau Sumatera

telah 

menyusut sebanyak 354.981 ha. Selanjutnya, kandungan karbon didalam tanah

gambut (below ground carbon) Sumatera pada tahun 1990 terhitung sebanyak 22.283 juta

ton sedangkan pada tahun 2002 sekitar 18.813 juta ton.Ini berarti dalam kurun waktu selama

12 tahun (1990 - 2002) telah terjadi penyusutan cadangan karbon di Pulau Sumatera sekitar 

3.470 juta ton atau rata-rata 289,16 juta ton per tahun. 

 

Laporan hasil kajian lahan rawa gambut Pulau Sumatera ini terdiri dari 2 (dua) buku

yang keduanya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan. Buku 1 berupa Atlas

yang berisikan himpunan peta-peta menggambarkan penyebaran lahan rawa gambut di

seluruh Sumatera, sedangkan Buku 2 berisikan informasi mengenai faktor-faktor penyebab 

berubahnya luasan rawa gambut dan cadangan karbon di Sumatera dan Kalimantan

(dalam persiapan). Sementara itu, kajian lahan rawa gambut untuk Pulau Kalimantan juga

tengah dalam persiapan dan diharapkanakan terbit pada tahun 2005.

Permasalahan Pada Tanah Gambut

7

Page 8: Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut-Yudi

Pada pengelolaan tanah gambut untuk usaha pertanian, yang pertama-tama harus diperhatikan

adalah dinamika sifat-sifat fisika dan kimia tanah gambut, antara lain (1) dinamika sifat

kemasaman tanah yang dikaitkan dengan pengendalian asam-asam organik meracun, dan (2)

dinamika kesuburan tanah sehubungan dengan ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang

dibutuhkan tanaman yang diusahakan (3) kebakaran lahan gambut dan (4) pengaturan tata air

pada lahan gambut sesuai kebutuhan tanaman.

· Sifat-sifat Tanah Gambut

Diantara sifat yang penting dari tanah gambut di daerah tropis adalah : bahan penyusun

berasal dari kayu-kayuan, dalam keadaan tergenang, sifat menyusut dan subsidence

( penurunan permukaan gambut) karena drainase, kering tidak balik, pH yang sangat rendah

dan status kesuburan tanah yang rendah. Pengembangan usaha pertanian sangat dibatasi oleh

beberapa hal di atas (Andriesse, 1988).

A. Sifat Fisik

Sifat-sifat fisik gambut sangat erat kaitannya dengan pengelolaan air gambut. Bahan

penyusun gambut terdiri dari empat komponen yaitu bahan organik, bahan mineral, air dan

udara. Perubahan kandungan air karena reklamasi gambut akan ikut merubah sifat-sifat fisik

lainnya (Andriesse, 1988). Mengingat sifat-sifat fisik tanah gambut saling berhubungan maka

pembahasan sifat fisik dari tanah gambut tidak dapat dilakukan secara terpisah. Uraian

tentang sifat-sifat fisik gambut ini akan dihubungankan dengan sifat-sifat kimia tanah gambut.

Pemahaman akan sifat-sifat fisik akan sangat bermanfaat dalam menentukan strategi

pemanfaatan gambut.

Menurut Hardjowigeno (1996) sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting adalah: tingkat

dekomposisi tanah gambut; kerapatan lindak, irreversible dan subsiden. Noor (2001)

menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan kadar lengas gambut merupakan

sifat-sifat fisik yang perlu mendapat perhatian dalam pemanfaatan gambut.

Berdasarkan atas tingkat pelapukan (dekomposisi) tanah gambut dibedakan menjadi: (1)

gambut kasar (Fibrist ) yaitu gambut yang memiliki lebih dari 2/3 bahan organk kasar; (2)

gambut sedang (Hemist) memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan (3) gambut halus

8

Page 9: Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut-Yudi

(Saprist) jika bahan organik kasar kurang dari 1/3. Gambut kasar mempunyai porositas yang

tinggi, daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit

tersedia bagi tanaman. Gambut kasar mudah mengalami penyusutan yang besar jika tanah

direklamasi. Gambut halus memiliki ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi memiliki

kerapatan lindak yang lebih besar dari gambut kasar (Hardjowigeno, 1996).

Tanah gambut mempunyai kerapatan lindak (bulk density) yang sangat rendah yaitu kurang

dari 0,1 gr/cc untuk gambut kasar, dan sekitar 0,2 gr/cc pada gambut halus. Dibanding dengan

tanah mineral yang memiliki kerapatan lindak 1,2 gr/cc maka kerapatan lindak gambut adalah

sangat rendah. Rendahnya kerapatan lindak menyebabkan daya dukung gambut (bearing

capasity) menjadi sangat rendah, keadaan ini menyebabkan rebahnya tanaman tahunan seperti

kelapa dan kelapa sawit pada tanah gambut.

Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akan menjadi kering dan kekeringan gambut ini

disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah mengering tidak akan dapat menyerap

air kembali. Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air

(hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik) karena kekeringan, akibatnya

kemampuan menyerap air gambut menurun sehingga gambut sulit diusahakan bagi pertanian.

Berkurangnya kemampuan menyerap air menyebabkan volume gambut menjadi menyusut

dan permukaan gambut menurun (kempes). Perbaikan drainase akan menyebabkan air keluar

dari gambut kemudian oksigen masuk kedalam bahan organik dan meningkatkan aktifitas

mikroorganisme, akibatnya terjadi dekomposisi bahan organik dan gambut akan mengalami

penyusutan (subsidence) sehingga permukaan gambut mengalami penurunan.

Kadar lengas gambut (peat moisture) ditentukan oleh kematangan gambut. Pada gambut alami

kadar lengas gambut sangat tinggi mencapai 500-1.000 % bobot, sedangkan yang telah

mengalami dekomposisi berkisar antara 200-600 % bobot. Kadar lengas gambut fibrik lebih

besar dari gambut hemik dan saprik. Kemampuan menyerap air gambut fibrik lebih besar dari

gambut sapris dan hemist, namun kemampuan fibris memegang air lebih lemah dari gambut

hemik dan saprist (Noor, 2001). Tingginya kemampuan gambut menyerap air menyebabkan

tingginya volume pori-pori gambut, mengakibatkan rendahnya kerapatan lindak dan daya

dukung gambut (Mutalib et al, 1991).

9

Page 10: Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut-Yudi

Akumulasi gambut akan menyebabkan ketebalan gambut yang bervariasi pada suatu kawasan.

Umumnya gambut akan membentuk kubah (dome), semakin dekat dengan sungai ketebalan

gambut menipis, kearah kubah gambut akan menebal, di Kalimantan Barat kubah gambut di

Sungai Selamat dapat mencapai 8 m, demikianpula pada daerah rasau Jaya. Ketebalan gambut

berkaitan erat dengan kesuburan tanah. Gambut ditepi kubah tipis dan memiliki kesuburan

yang relatif baik (gambut topogen) sedang di tengah kubah gambut tebal >3m memiliki

kesuburan yang relatip rendah (gambut ombrogen) (Andriesse, 1988; Harjowigeno, 1996).

Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marine atau pasir. Gambut diatas pasir

kuarsa memiliki kesuburan yang relatip rendah, jika lapisan gambut terkikis, menyusut dan

hilang maka akan muncul tanah pasir yang sangat miskin. Tanah lapisan lempung marin

umumnya mengandung pirit (FeS2), pada kondisi tergenang (anaerob) pirit tidak akan

berbahaya namun jika didrainase secara berlebihan dan pirit teroksidasi maka akan terbentuk

asam sulfat dan senyawa besi yang berbahaya bagi tanaman. Kemasaman tanah akan

memningkat pH menjadi 2-3 sehingga tanaman pertanian akan keracunan dan pertumbuhan

terhambat serta hasil rendah.

Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua (gelap) tergantung

tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15-30 kali

dari berat kering, rendahnya bulk density (0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total diantara 75-

95% menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas

yang akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000)

Sebagai contoh di Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, karet dan kelapa

cenderung pertumbuhannya miring bahkan ambruk sebagai akibat akar tidak mempunyai

tumpuan tanah yang kuat (Singh et al, 1986). Gambut memiliki daya dukung atau daya tumpu

yang rendah karena kerapatan tanahnya rendah. Sebagai akibatnya, pohon yang tumbuh

menjadi mudah rebah, jalan sulit dilalui kendaraan, dan sulit disawahkan (kecuali gambut

dengan kedalaman kurang dari 75 cm). Gambut tebal sulit dan tidak cocok dibuat sawah

karena dalam kondisi basah, akan sulit diinjak serta sangat miskin hara. Karenanya, gambut

tebal sebaiknya tidak digunakan sebagai lahan pertanian/sawah.

Penurunaan gambut terjadi setelah dilakukan drainase, permukaan tanah gambut akan

mengalami penurunan karena pematangan gambut dan berkurangnya kandungan air. Rata-rata 10

Page 11: Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut-Yudi

kecepatan penurunan adalah 0,3-0,8 cm/bulan, dan umumnya terjadi selama 3-4 tahun setelah

drainase dan pengolahan tanah. Semakin tebal gambut, penurunan tersebut semakin cepat dan

semakin lama. Sifat gambut seperti ini mengakibatkan terjadinya genangan, pohon rebah, dan

konstruksi bangunan (jembatan, jalan, saluran drainase) terganggu atau ambles.

Masalah penurunan gambut ditanggulangi dengan cara sebagai berikut: Penanaman tanaman

tahunan didahului dengan penanaman tanaman semusim minimal tiga kali musim tanam; dan

dilakukan pemadatan sebelum penanaman tanaman tahunan.

Beberapa kiat untuk mengatasi daya tumpu dan daya dukung gambut yang rendah adalah:

1. Budidaya tanaman tahunan hanya pada lahan dengan ketebalan gambut <>

2. Dilakukan pemadatan gambut sebelum penanaman. Pemadatan dapat dilakukan dengan

menggunakan alat sederhana yang dibuat sendiri dari kayu gelondong yang dapa

digelindingkan (Gambar 3), ata menggunakan alat pemadat mekanis yang biasa digunakan

untuk memadatkan tanah di jalan;

3. Gambut dengan ketebalan lebih dari 75 cm ditata dengan sistem tegalan.

Untuk mengatasi masalah kandungan asam-asam organik yang beracun biasanya dilakukan

drainase dengan membuat saluran drainase intensif atau saluran cacing. Bahan amelioran

adalah bahan yang mampu memperbaiki atau membenahi kondisi fisik dan kesuburan tanah.

Beberapa contoh bahan amelioran yang sering digunaka adalah kapur , tanah mineral, pupuk

kandang, kompos, dan abu.

11

Page 12: Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut-Yudi

DAFTAR PUSTAKA

http://www.indonesia.wetlands.org/Infolahanbasah/PetaSebaranGambut/tabid/2834/language/id-ID/

Default.aspx

http://daunhijau.com/2013/02/pengelolaan-kesuburan-tanah-pada-lahan-gambut-bagian-2/

12