kesayanganku.docx

12
KESADARANKU Pagi yang cerah sudah menyambut hariku dengan penuh suka cita. Ayam-ayam mulai berkokok dengan lantang.Keramaian sudah mulai terasa di luar.Maka,aku harus kembali dari alam mimpi yang membuatku terlena semalam. Kebetulan, hari ini adalah hari libur. Seperti pelajar pada umumnya, hari libur adalah hari yang paling dinanti- nanti olehku karena kalian pasti tahu sendiri ada apa di hari libur itu. Beban tugas, ceramahnya guru-guru, tata tertib yang ngeselin hingga pulang sore berganti dengan kebebasan , berlibur ke suatu tempat, menikmati waktu santai sampai istirahat semau kita. Ini saatnya manfaatin waktu yang sangat berharga untuk melepas semua beban yang terus menumpuk kalau dibiarin. “Kak Widi..... Kak Widi...” Panggil Yayan, adikku yang bungsu dari luar kamar dengan suaranya yang cempreng dan melengking . Kedua telingaku serasa mendengarkan musik dari headseat dengan volume 100%. Untung saja aku berada di jarak yang cukup jauh dari suara itu. Jadi, gak terlalu keras kedengarannya. “Kenapa sih, pagi-pagi dengan nyamannya harus juga terganggu dengan suara itu?” kesalku dalam hati sambil menghentakkan laptop kesayanganku. Bosan rasanya tiap hari dengar suara itu. Tapi, mau nggak mau harus kukerjakan demi adik yang sudah menungguku hingga rewel. Dengan setengah hati kutemuinya karena ku tahu dia pasti ada masalah. “Kak,kok laptopnya gak mau ngeklik youtube ya? Ini laptopnya yang rusak,apa sinyalnya yang nggak bisa? Masa baru 3 bulan laptopku sering kaya gini,Kak?” Tanya dia dengan kesal. “Sabar ya, dik. Kakak coba dulu laptopnya.” Balasku sambil menahan emosi. Tiba-tiba datang lagi Ema, adikku yang pertama. Oh ya, Ema dan Yayan adalah kedua adikku dan aku adalah anak pertama alias kakak Nama : Afiffa Halila N. Kelas : XI-MIA 3 No.Absen : 001

Upload: bunga

Post on 15-Apr-2016

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KESAYANGANKU.docx

KESADARANKU

Pagi yang cerah sudah menyambut hariku dengan penuh suka cita. Ayam-ayam mulai berkokok dengan lantang.Keramaian sudah mulai terasa di luar.Maka,aku harus kembali dari alam mimpi yang membuatku terlena semalam. Kebetulan, hari ini adalah hari libur. Seperti pelajar pada umumnya, hari libur adalah hari yang paling dinanti-nanti olehku karena kalian pasti tahu sendiri ada apa di hari libur itu. Beban tugas, ceramahnya guru-guru, tata tertib yang ngeselin hingga pulang sore berganti dengan kebebasan , berlibur ke suatu tempat, menikmati waktu santai sampai istirahat semau kita. Ini saatnya manfaatin waktu yang sangat berharga untuk melepas semua beban yang terus menumpuk kalau dibiarin.

“Kak Widi..... Kak Widi...” Panggil Yayan, adikku yang bungsu dari luar kamar dengan suaranya yang cempreng dan melengking . Kedua telingaku serasa mendengarkan musik dari headseat dengan volume 100%. Untung saja aku berada di jarak yang cukup jauh dari suara itu. Jadi, gak terlalu keras kedengarannya.

“Kenapa sih, pagi-pagi dengan nyamannya harus juga terganggu dengan suara itu?” kesalku dalam hati sambil menghentakkan laptop kesayanganku. Bosan rasanya tiap hari dengar suara itu. Tapi, mau nggak mau harus kukerjakan demi adik yang sudah menungguku hingga rewel. Dengan setengah hati kutemuinya karena ku tahu dia pasti ada masalah.

“Kak,kok laptopnya gak mau ngeklik youtube ya? Ini laptopnya yang rusak,apa sinyalnya yang nggak bisa? Masa baru 3 bulan laptopku sering kaya gini,Kak?” Tanya dia dengan kesal.

“Sabar ya, dik. Kakak coba dulu laptopnya.” Balasku sambil menahan emosi.

Tiba-tiba datang lagi Ema, adikku yang pertama. Oh ya, Ema dan Yayan adalah kedua adikku dan aku adalah anak pertama alias kakak bagi mereka. Memang sih,menjadi seorang kakak bukan perkara mudah karena harus bisa jadi contoh baik buat mereka.

“Kak Wid, tolongin dong,please......” pintanya dengan kedipan matanya dengan maksud memohon padaku .

“kenapa sih,Ma? Gak sudah kenes gitu deh! Lebay!”. Kesalku

“HPku kan mau tak install BBM, gimana ngeinstallnya? Ajairn dong,kak....” tanya dia lalu menyerahkan HP itu padaku. Kuajarkan Ema bagaimana menginstall BBM mulai dari mendownload aplikasi dari Google Play Store hingga daftar akun ke BBM dan akhirnya BBM bisa digunakan.

“Kak Wid.... laptopku gimana? Kok malah ngurusin HPnya Kak Ema sih? Aku yang duluan...”Yayan marah sambil menepuk paha kiriku dengan keras.

Nama : Afiffa Halila N.

Kelas : XI-MIA 3

No.Absen : 001

Page 2: KESAYANGANKU.docx

“Yee.... kak Ema dulu dong... ini urusannya lebih mendadak soalnya mau ngirim pesan ke temanku sekarang juga. Kalau laptop mah bisa besok.”

“Aku dulu!”

“Aku dulu!”

“Aku dulu dong...!”

“Aku dulu lah!”

“Aku!”

“Aku!”

Dan pertengkaran pun terjadi hingga saling pukul memukul. Aku tak tahan dengan pertengkaran mereka dan langsung berteriak “Cukup!!!!!!!” hingga seluruh rumah terdengar .

“Capek dengerin kalian bertengkar. Kalau begini, mending kakak ke kamar saja. Pusing lihat kalian bertengkar hanya karena siapa dulan.” Aku langsung pergi menuju kamar dan menutup pintu lalu menguncinya dengan rapat.

Aku termenung di dalam kamar bahkan menangis karena stress dengan adikku yang nggak bisa diajak akur dan suka merepotkanku. Setidaknya, mereka harus tahu kalau aku tidak punya banyak waktu seperti mereka untuk bermain. Aku harus berkutik dengan tugas yang menumpuk seperti gunung, jadwal les yang hampir full untuk setiap minggu, pulang sore bahkan malam hingga kurang istirahat. Tidur malam pun hanya sekitar 5-7 jam karena jam 04:30 harus bangun untuk sholat subuh dan melanjutkan PR yang belum kelar.

Emosi dalam diri ini nggak bisa dibendungi, maka aku mengeluarkan itu semua dengan berteriak sambil memegang kepala kaya orang pusing kemudian menangis. Entah aku dibilang orang gila, depresi, apalah-apalah yang terpenting aku sedang stress! Nggak mau diganggu oleh siapapun. Terus terang, aku paling nggak suka kalau aku ngerjain tugas di kamar tiba-tiba datang mereka berdua untuk sekedar bermain HP atau tablet di kamarku karena mereka suka berisik dan aku paling benci itu karena bisa ngilangin konsentrasi dalam mengerjakan tugas. Apalagi kalau tugasnya itu ilmu eksak atau ilmu pasti, tentunya butuh pemikiran berkali-kali untuk mengerjakan itu.

“Widi, kenapa sih kamu? Kaya orang stress,teriak-teriak nggak jelas?” tanya ibuku saat membuka pintu kamarku.

“Bu, aku stress ngurusin mereka berdua, masa hanya minta tolong lebih dulu saja bertengkar, mana mereka terlalu manja sama aku kalau ada sesuatu. Bisa nggak sih mereka mencoba sendiri,kenapa harus aku, aku, aku juga. Bosan, Bu aku bosan!”

“Widi, harusnya sebagai kakak kamu tolongin mereka,kalau ada bantuan kasih tahu caranya biar mereka tahu. Bukannya pergi dan cuek begitu saja.”

Page 3: KESAYANGANKU.docx

“Gimana nggak marah, lha wong mereka bertengkar tho,Bu. Si Yayan minta urusin laptopnya, dan Ema minta install BBM di HP. Akhirnya rebutan siapa yang duluan. Aku capek gara-gara mereka terus pergi begitu aja. Mestinya mereka dikasih pelajaran biar mereka tahu kalau bertengkar itu nggak baik.” Jawabku dengan kesal.

“Wid, tugas sebagai kakak memang berat, tapi kamu pasti bisa kalau kamu usaha. Kalau kamu nggak bisa begini, gimana mungkin kamu bisa ngurus anak kalau sudah berkeluarga? Kasihan anak-anakmu nanti kalau kamu nggak bisa ngurus dan mendidik anak.” Kata ibu sambil memegang kedua pundakku. Lalu, aku termenung memikirkan apa yang dikatakan ibu. Tapi, emosiku karena tadi masih belum reda karena aku merasa mereka belum menyadari akan perbuatannya. Setidaknya, mereka minta maaf karena pertengkaran itu.

Mereka berdua datang lagi ke kamarkku dan menemuiku,“Kak Wid, kami minta maaf karena kami udah bikin kakak marah.” Mereka merasa bersalah karena sudah buat aku marah hingga cuek pada mereka. Tapi, aku hanya diam seribu bahasa, tidak memperdulikan mereka karena sudah terlanjur benci dengan mereka.

“Kenapa kak? Kok diam aja?” tanya Ema. “Iya,Kak. Kenapa?” tanya Yayan juga. Tetap saja aku diam tak perdulikan mereka.

“Kalian pergi!!! Pergi!!!Pergi!!!” Teriakku sambil mengusir mereka dari kamarku hingga tak sadar suaraku mulai habis.

Hari itu menjadi hari kelabu karena hari liburku rusak gara-gara mereka berdua. Rasa sayangku berubah menjadi benci dan aku tak bersemangat dalam mengisi liburku. Yang seharusnya bisa dibuat bersantai ria,malah berakhir retak. Semenjak itu, aku tak pernah berbicara bahkan tak pernah bermain dengan mereka sekalipun dan aku semakin menjadi pribadi yang cuek dan egois.

Keesokan harinya sepulang sekolah, aku pulang lebih awal karena di sekolah ada rapat guru dan kepala sekolah. Aku makan di depan TV dan ada Yayan di sampingku.

“Yan, kakak minta maaf soal kemarin gara-gara cuek soal laptopmu itu.”

Tapi, dia malah cuek dan tidak menganggapku. Mungkin, dia masih kesal denganku perkara kemarin. Namun, aku tetap membalasnya dengan senyuman walau itu pahit. Seketika, aku termenung lagi apa yang telah ku perbuat. Tiba-tiba, Ema datang sepulang sekolah. Mungkin, dia juga pulang cepat karena ada kegiatan guru di sekolah. Ketika kusapa dia, dia tak menjawab dan langsung memalingkan muka seakan-akan tak sayang lagi sama aku. Aku sangat terpukul karena kemarin dan aku ingin sekali meminta maaf pada mereka berdua karena aku sadar bahwa aku salah pada mereka.

Kegalauan dalam diriku terus membelenggu bukan karena aku diputus oleh pacar, tapi karena adikku sendiri yang cuek padaku. Tapi, sebagai kakak, aku harus menyadari kesalahan yang telah kuperbuat. Sebesar apapun kesalahan, orang yang mengakui dan meminta maaf kesalahan itu adalah orang yang pemberani. Aku curhat pada Ibuku untuk memecahkan masalah ini.

Page 4: KESAYANGANKU.docx

“Bu, aku kan pengen minta maaf sama Ema dan Yayan, tapi mereka malah nggak mau peduli sama aku hanya karena aku marah sama mereka kemarin.” Curhatku hingga tak sadar kelaurlah air mataku.

“Wid, kamu harusnya minta maaf dengan halus dan baik-baik. Kalau begitu, mereka kan bisa memaafkanmu.”

“Tapi,kalau mereka masih cuek gimana?”

“Terserah kamu lah. Ibu sudah capek nasehatin kamu. Pikirkan sendiri! Kamu kan sudah besar harus tanggung jawab sendiri.”

Kemudian, aku pergi dari kamar Ibu dan langsung menuju kamarku lagi. Huff.... kenapa sih hari demi hari harus terus dirundung kegalauan bukannya kebahagiaan? Itulah pertanyaan yang terus ada dalam benakku setiap hari dan semua itu mengacaukan segalanya.

Tiga hari kemudian, aku pergi ke Surabaya karena ada acara keluarga. Ayah dan Ibu tidak bisa datang karena ada urusan lain yang lebih penting. Sedangkan adik-adikku demam. Jadi, aku bersama tanteku yang pergi kesana. Kakak sepupuku menggelar resepsi pernikahan di sebuah gedung milik hotel bintang lima di Surabaya. Megahnya pesta itu dapat melupakan sejenak kesedihanku dengan hiburan musik yang didendangkan. Di tengah-tengah suasana bahagia itu, tiba-tiba kiriman SMS datang dari Ibu.

“Wid, Yayan dan Ema sakit malaria. Mereka harus dirawat di rumah sakit. Cepat pulang ya.... Kami sangat membutuhkanmu.”

Aku langsung kaget tak percaya.awalnya demam yang mereka Kebahagiaan yang terbilang singkat harus terhenti karena kabar yang sungguh menyedikhan itu. Tanteku langsung mengambil HPku untuk melihat SMS itu dan kaget juga mengetahui kabar itu. Tanteku langsung mengajak pulang untuk menjenguk adikku. Fikiranku tentang Yayan dan Ema semakin mengganggu hingga air mata menetes di pipi karena aku sangat takut akan kesehatan mereka berdua.

Malam hari sepulang dari Surabaya, aku langsung ke rumah sakit dan aku langsung bertemu dengan orang tuaku, pamanku dan seorang cowok yang merupakan sahabat dekatku, Hanif Fathan Waluyo. Setibanya di rumah sakit, aku langsung menuju ruang opname. Semua melihatku dengan wajah murung. Bibirku langsung terbuka ketika melihat Ema dan Yayan terbujur lemas tak berdaya di atas kasur dengan cairan infus di tangan kiri mereka. keringatnya yang bercucuran di seluruh wajah membuatku semakin sedih dan khawatir akan kesehatan mereka.

“Wid, adik-adikmu sakit malaria. Dia harus dapat perawatan serius karena kalau dia tidak ditangani,nyawanya bisa tidak tertolong lagi.” Kata Hanif.

“A-A-A-APA??? Malaria???” kagetku dan Hanif langsung menganggukkan kepalanya.

“T-T-Terus, biaya yang dikeluarkan berapa?” jawabku dengan bingung

“Nak, soal biaya nggak usah dipikirin. Ayah Ibumu pasti sudah memikirkan itu. Sekarang, kamu jaga adik-adikmu dan doakan mereka biar cepat sembuh.” Kata Tanteku sambil menepuk pundak kananku.

Page 5: KESAYANGANKU.docx

Aku harus menjaga kedua adikku di rumah sakit sendirian karena yang lainnya pada sibuk dengan pekerjaan mereka. Aku sedih karena orang tuaku tidak bisa menemaniku menjaga Ema dan Yayan di rumah sakit.

“Ya Allah, kenapa sih mereka harus menderita seperti ini? Mereka tidak salah apa-apa. Kenapa juga aku harus dapat cobaan berat kaya gini? Mudahkanlah semua ini Ya Allah agar mereka bisa kembali seperti dulu.” Gumamku dalam hati sambil melamun karena mereka. Tiba-tiba, dokter datang menuju kamar opname dan langsung memeriksa merka berdua. Aku tegang saat dokter memeriksa tubuh mereka, apalagi saat menusukkan jarum suntik di tubuhnya. Nggak tega aku melihatnya karena aku takut dengan jarum suntik. Jangankan disuntik, lihat saja takut. Apalagi disuntik. Hi.... nggak bisa ngebayangin deh rasanya. Tapi, mau gimana lagi, kalau mau sembuh ya harus berkorban sekalipun itu sakit, nyeri ataupun mahal. Setelah dokter memeriksa mereka, aku langsung menanyakan pada dokter.

“Dok, bagaimana dengan adik-adikku? Apa mereka baik-baik saja?” tanyaku penasaran

“Adik-adikmu dalam kondisi baik untuk saat ini. Tapi, mereka harus mendapat perawatan intensif karena kondisi imunnya naik turun. Terutama untuk Yayan. Jadi, biarlah mereka istirahat yang cukup. Semoga lekas sembuh ya...”

Kemudian dokter itu pergi menginggalkan ruang opname. Aku kembali terdiam melamun karena terus memikirkan kesehatan mereka. Aku takut kalau mereka sakitnya tambah parah dan semakin menambah biaya bagi kami.

Seminggu ini aku masih memikirkan adik-adikku karena kondisinya yang belum kunjung baik.aku tetap sekolah seperti Mengikuti pelajaran, mengerjakan tugas, bermain bersama teman kulakukan layaknya hari-hari lain. Tapi, semua itu terasa lain karena aku masih sedih memikirkan adik-adikku. Tapi, itu tidak boleh diteruskan begitu saja karena itu semua dapat mengganggu konsentrasiku saat belajar. Aku harus punya semangat untuk terus menjalani hari-hariku.

Suatu hari sepulang sekolah, Hanif menemuiku di dekat koperasi dan mengatakan sesuatu padaku. “Wid, kita makan di kafe Colour di depannya Bank BTC,yuk! Ada sesuatu yang aku bicarakan sama kamu.” Aku berfikir akankah aku menerima tawaran itu. Jujur saja, aku ragu-ragu karena Hanif tidak pernah mengajakku makan. Jangankan makan-makan, jalan-jalan ke taman saja nggak pernah. Hanya bersepeda keliling kota saat Minggu pagi saja dan itu nggak sengaja ketemu langsung sepeda bareng. Tapi, mungkin dia ingin sekali mengatakan sesuatu padaku. Akhirnya, aku menerima tawaran itu dan pergi ke kafe bersama Hanif dengan dibonceng sepeda motor Ninja warna hijau yang baru dibelikan oleh kakaknya.

Setibanya di kafe, aku dan Hanif langsung duduk di kursi nomor 5 dekat kasir dan memesan makanan dan minuman untuk kita berdua. Kita memutuskan untuk pesan makanan yang nggak terlalu mahal karena disesuaikan dengan uang yang kita bawa.

“Mbak, nasi goreng spesial 2 pedasnya sedang ya,Mbak. Sama jus jeruk 2!” kata Hanif pada pelayan dan pelayan menulis pesanan dan menanyakan pada kita.

“Ya, ada lagi yang dipesan?”

Page 6: KESAYANGANKU.docx

“Nggak,Mbak. Terimakasih” jawabku

“Ok, pesanannya bisa ditunggu.” Balas pelayan itu dan kami langsung mengiyakan jawaban itu.

Sambil menunggu pesanan datang, kami pun berbincang-bincang dengan suasana yang nyaman. Untung saja tidak banyak orang disini. Jadi, kami bisa tenang tanpa ada yang mengganggu.

“Widi, terus terang aku prihatin sama kamu soalnya kamu harus ngurusin adik-adikmu yang sakit. Apalagi, kamu kan anak sulung, jadi harus bisa jagain kedua adikmu itu. Terus gimana dengan kondisi adik-adikmu? Sehat-sehat aja kan?” Tanya Hanif

“Alhamdulillah, lumayan baik. Tapi, mereka harus dapat perawatan intensif dari rumah sakit karena imunnya naik turun. Terutama Yayan karena dia masih kecil. Jadi, dia rentan sekali dengan penyakitnya.” Jawabku dengan lirih

“Hmm.... gimana kalau aku bantuin kamu buat ngurusin biaya perawatan adik-adikmu di rumah sakit?”

“Ha??? biayain adik-adikku? Yakin kamu?”

“Ya dong...”

“Eh, tahu nggak, biaya perawatan rumah sakitnya itu sekitar 8 juta lho... Sanggup kamu biayain uang segitu banyaknya? Jangan ngasal lho kamu.”

“Aku kan masih punya tabungan di bank sekitar 10 juta. Jadi masih sisa 2 juta di tabunganku.”

“Tapi, aku takut kalau orang tuaku nggak mau kalau orang lain biayain perawatannya.”

“Wid, aku peduli sama kamu karena kamu itu sahabatku yang baik dari TK. Jadi, memang mestinya aku nolongin kamu kan?” Pinta Hanif padaku

Tiba-tiba datang pelayan sambil membawakan pesanan kami dan kami langsung menyantap masakan yang kami pesan. Setelah itu, perbincangan kami lanjutkan.

“Wid, please dong aku bantuin kamu..... Boleh kan? Boleh kan? Please... ” Hanif memohon padaku

“Hm... terserah kamu saja. Tapi, jangan bilang sama orang tuaku. Ini rahasia kita berdua ya... “

“Oke!!!”

Setelah itu, kami membayar pesanan kami kepada kasir dan langsung pulang ke rumah. Tentu saja aku dibonceng Hanif lagi dan mengantarku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku langsung ganti baju dan langsung sholat ashar di rumah. Setelah sholat, aku langsung berbaring di kasur kesayanganku di kamar. Tiba-tiba SMS datang lagi dari Pamanku yang berbunyi

“Wid, cepat ke rumah sakit karena adik-adikmu membutuhkanmu! Om mau ke rumahmu sekarang . Tunggu di depan! ”

Jantungku berdebar setelah membaca SMS itu dan aku langsung ganti baju lagi dan membawa HP dan memasukkannya ke dalam tas. Dengan terburu-buru aku lari ke depan rumah

Page 7: KESAYANGANKU.docx

menunggu omku untuk pergi ke rumah sakit. Setibanya di depan rumah dengan mobil Avanza putih, aku masuk ke dalam mobil dan berangkat ke rumah sakit.

Setibanya di rumah sakit, aku langsung menuju ruang opname untuk menemui Ema dan Yayan. Ada juga apak, ibu, nenek, kakek, om, Aku penasaran ada apa dengan mereka. Kok mereka pengen aku ke rumah sakit segera, mereka pengen apa sebenarnya?

Setelah sampai di ruang opname, aku langsung menemui mereka. Tapi, aku shock ketika melihat Ema duduk di kursi roda sedangkan Yayan masih terbaring di kasur. Aku heran dengan suasana ini karena semua itu tak pernah terfikirkan sebelumnya. Aku fikir kalau mereka masih terbaring di kasur.

“Bu, ini ada apa sebenarnya? Kok Ema sudah duduk di kursi roda sedangkan Yayan masih terbaring di kasur? Kondisi mereka gimana terus?

“Wid, Ema kondisinya sudah pulih jadi dia boleh pulang. Tapi, Yayan masih harus dirawat karena kondisinya terus memburuk.” Kata Bapak

“Ema, memang kamu sekarang sudah sembuh?heranku

“Sudah,Kak. Ema boleh pulang sekarang. Tapi, Yayan belum boleh pulang soalnya dia masih belum pulih dan kondisinya terus menurun. Jadi, dia masih perlu perawatan lebih lagi.” Jawab Ema dengan lemas.

Kulihat Yayan yang masih terkujur lemah di kasur tetap dengan cairan infus di tangan kirinya. Aku terus berfikir akankah Yayan segera sembuh dari malarianya dan aku bisa bermain kembali bersama mereka berdua.

“Kak Wid............. Kak Wid.......” panggil Yayan dengan nada lemas

“Ha???? Yayan???? Kamu nggak apa-apa kan?” Kagetku lalu berjalan menuju kasurnya.

“Kak, aku fikir kakak cuek sama kita gara-gara pertengkaran itu. Ternyata, kakak sangat peduli sama kita. Saat kita sakit saja, kakak masih rela nungguin kita di rumah sakit. Bahkan, kakak rela jagain sendirian malam-malam di rumah sakit satu hari dan ngerjain PR di rumah sakit demi kita. Terima kasih ya,Kak.”

“Yan, kok kamu tiba-tiba ngomong gitu sih? Ada apa sih sebenarnya kamu?”

“Kak, maafin Yayan ya... soalnya sudah buat kakak marah hingga cuek sama aku dan kak Ema.”

“Yan, seharusnya kak Widi yang minta maaf soalnya udah gak pedulikan kalian hanya karena hal seperti itu. Kamu dan Kak Ema nggak salah. Kak Widi yang salah karena nggak bisa ngasih contoh baik buat kalian berdua.”

“Kak Widi, Ema juga minta maaf gara-gara kita bertengkar jadi cuek sama kakak. Soalnya, kalau kakak cuek sama kita, kita juga ikutan cuek sama kakak. Jadi, kita sama-sama nggak peduli lagi karena masih berselisih dengan kakak.”

Page 8: KESAYANGANKU.docx

“Kak Widi pengen minta maaf yang sebesar-besarnya gara-gara kalian bertengkar, aku pergi ke kamar dan gak peduli lagi sama kalian. Jadi selama beberapa hari kita nggak saling ngomong, nggak peduli kita masing-masing hingga kalian sakit begini. Kakak seharusnya yang bersalah karena kalian. Kakak khilaf......”

Tak kuasa menahan air mataku ketika harus mengakui kesalahan da meminta maaf di hadapan mereka berdua dan keluarga di belakangku. Aku bukanlah seorang kakak yang baik. Tapi, mau nggak mau harus mengakui kesalahan yang sudah membuat kita bertiga berubah menjadi orang yang egois, acuh tak acuh, dan cuek. Memang, menjadi seorang kakak harus bisa memberi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Bukan dengan hal-hal yang buruk seperti itu.

“Dik, kalian mau maafin kakak kan? Mau kan?”

“Nggak apa-apa kak... kita sudah maafkan kesalahaan kakak,kok. Sekalipun kakak jahat, kita sadar bahwa Kak Widi tetaplah kakak yang terbaik bagi kita bertiga karena sudah sering banget nolongin kita kalau itu kakak bisa. Tanpa kakak, kita nggak bakal seperti ini sekarang.” Balas Ema

“Iya, Kak. Sekalipun kak Widi jahat, galak, angkuh, Kak Widi tetaplah kakak yang terhebat bagi kami karena kakak sudah mau berbagi ilmu dan cerita pada kita bertiga. Jadi, Yayan minta maaf ya karena Yayan terlalu mentingkan diri sendiri hingga kakak kewalahan.”

“Ya, kakak maafkan kesalahan kalian bertiga. Jadi, kita harus saling memaafkan kesalahan dan kita bisa balikan lagi seperti dulu.”

“Ya kak...” jawab Ema dan Yayan

Kita bertiga akhirnya saling memaafkan kesalahan dan kita kembali bahagia bersama. Tiba-tiba kulihat Yayan terbujur kaku dan lemas. Aku heran ada apa dengannya. Setelah aku cek, ternyata denyut nadinya tak terasa dan sekujur tubuhnya dingin. Aku langsung memanggil ibu dan bapak untuk mengecek kondisi Yayan. Ternyata dia sudah tak bernyawa lagi. Baru saja kita kembali berbahagia dia telah pergi untuk selamanya. Sore hari menjadi hari yang menyedikhan dan hujan air mata semakin deras karena seluruh keluarga yang berada di kamar menangis akan kepergian Yayan.

Pagi harinya, Yayan dimakamkan di makam dekat rumah dan dihadiri seluruh keluarga dan teman-teman sekolah Yayan beserta guru-gurunya. Aku terus menangis di pusaran makam Yayan sambil berpelukan dengan Ema. Tiba-tiba Hanif, teman dekatnya dan teman-teman sekelasku datang menemuiku di belakangku.

“Wid, kita turut berduka atas kepergian adikmu,Yayan semoga dia diterima amal ibadah di sisi Allah SWT dan kamu beserta keluarga diberi ketabahan dalam menghadapi ini semua.” Kata Elisa dengan sedih

“Terima kasih buat kalian semua yang sudah mendoakanku dan seluruh keluarga.” Jawabku

“Wid, soal biaya perawatan ayah dan ibumu yang membayar. Tapi, terkait pemakaman ini, aku yang membayarnya.” Hanif tiba-tiba mengatakan itu.

“Lho, kok bisa? Padahal kita mau saja bayar pemakamannya Yayan.”

Page 9: KESAYANGANKU.docx

“Tenang, semuanya sudah kami urusin. Jadi, kamu nggak usah repot.” Balas Elisa

“Terimakasih buat kalian semua yang sudah bantuin aku. Kalian memang teman yang baik.”Jawabku sambil tersenyum bahagia.

Manusia tidak luput dari kesalahan dan dosa dalam hidupnya. Tapi, menyadari kesalahan adalah hal yang penting. Selagi masih ada waktu untuk memaafkan kesalahan dan memperbaiki diri kita, manfaatkanlah semaksimal mungkin sebelum semua itu berakhir. Penyesalan memang datang terlambat dan kalau sudah tiada baru terasa. Kini, aku menyadari bahwa semua berlalu dengan cepat seiring berjalannya waktu. Hilangnya salah satu yang kumiliki membuatku terpukul akan semua yang ku lakukan. Namun, aku tetap harus menjalani hidup ini walau ada satu yang hilang sekalipun itu menyakitkan karena hidup ini tidak pernah berhenti menunggu kita. Maka, kitalah yang harus mengejar waktu itu sebelum semuanya terlewat percuma.