kesadaran hukum masyarakat jakarta barat...
TRANSCRIPT
KESADARAN HUKUM MASYARAKAT JAKARTA BARAT TERHADAP
PERKAWINAN LINTAS AGAMA DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
Adnan Chaidar
NIM: 1111043200021
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016/ 1437H
v
ABSTRAK
Adnan Chaidar. NIM 1111043200021. Kesadaran Hukum Masyarakat
Jakarta Barat Terhadap Perkawinan Lintas Agama Di Indonesia. Perbandingan
Hukum, Perbandingan Madzab dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016. x + 79 halaman.
Skripsi ini membahas mengenai perkawinan lintas agama, perbandingan
berbasis hukum nasional dan agama dimaksudkan untuk mengetahui setiap agama
yang melakukan praktik perkawinan lintas agama. Permasalahan dalam penelitian
ini adalah bahwa setiap agama memiliki aturan, perbedaan mekanisme dalam
melangsungkan perkawinan lintas agama, pemilihan perkawinan lintas agama
didasarkan pada aspek kesadaran hukum. Dalam hal ini, yang menjadi masalah vital
dalam perkawinan lintas agama adalah tata cara perkawinan lintas agama, latar
belakang keluarga, kesadaran hukum masyarakat dalam mematuhi undang-undang.
Oleh sebab itu, perlu untuk mengetahui perbandingan kesdaran hukum dari setiap
agama dalam menyikapi perkawinan lintas agama di Indonesia dan khususnya
wilayah Jakarta Barat.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif dengan pendekatan
empiris(sosiologis) dan dianalisis dengan analisis komparatif. Data dalam penelitian
ini diperoleh dari studi dokumen sebagai data utama penelitian kualitatif dan data
wawancara lapangan sebagai pelengkap penelitian.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perkawinan lintas agama terjadi
bukan hanya pada satu agama, tetapi setiap agama yang diakui di Indoensia
melakukan praktik perkawinan lintas agama. Setiap individu yang melakukan
praktik perkawinan lintas agama memiliki motif yang berbeda antara satu indivu
dengan individu lain, salah satu faktor yang paling sering ditemui adalah menikah
karna saling mencintai dan keluarga mengedepankan asas kebebasan beragama,
serta tidak memiliki kesadaran hukum.
Kata Kunci : Perkawinan, Lintas Agama, Hukum, Di Indonesia
Pembimbing : Dr. H. Yayan Sopyan, SH, M.A.
Hidayatulloh, SHI, M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1986 s.d. 2016.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah,
taufiq, serta nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Kesadaran Hukum Masyarakat Jakarta Barat Terhadap Perkawinan Lintas Agama Di
Indonesia”. Shalawat beserta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, kepada keluarganya, sahabat serta umatnya hingga akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini terdapat hambatan dan
kesulitan yang penulis temui. Namun berkat kesabaran, keikhlasan, kesungguhan hati
dan kerja keras serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung
ataupun tidak langsung, sehingga penulis tetap bersemangat dalam penyelesaian skripsi
ini. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, penulis berterima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. dan Ibu Siti Hana, Lc, M.Ag. sebagai
Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Madzab dan Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Beliau tiada henti memberikan motivasi dan semangat kepada penulis,
serta dengan rasa tulus ikhlas dapat meluangkan waktunya untuk membantu
penulis dalam proses penyelesaian tugas akhir.
vii
3. Bapak Dr.H.Yayan Sopyan, SH, MA. selaku dosen pembimbing I dan Bapak
Hidayatulloh, SHI, M.H selaku dosen pembimbing II, yang dengan sabar telah
membimbing, mengajarkan, memberikan banyak arahan, dan saran-saran
sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga ilnu yang telah Bapak
ajarkan dan arahkan mendapat keberkahan dari Allah SWT.
4. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. selaku penguji I dan Bapak
Dr.H.Umar Al Hadad, MA selaku penguji II, yang telah memberikan arahan dan
saran dari hasil skripsi saya yang telah diujikan dalam sidang munaqasah,
sehingga dapat selesai dengan baik.
5. Pimpinan dan staf Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat yang dengan baik
menerima dan membantu penulis dalam mendapatkan sumber data penelitian
yang dibutuhkan untuk penelitian.
6. Kepada seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
ilmu dan pengalaman hidup dengan ikhlas kepada penulis.
7. Pimpinan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta Perpustakaan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan studi perpustakaan.
8. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Bapak Chairul Achyar dan Ibu Hasunah
yang dengan sabar dan rasa tulus selalu mendo’akan, memberi Motivasi dan
ketegasan agar penulis dapat menyelesaikan studi yang pada akhirnya bisa
bekerja untuk membantu kebutuhan hidup keluarga.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
A. Identifikasi Masalah ........................................................................... 5
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 7
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ................................................... 8
E. Metodelogi Penelitian ......................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 13
BAB II TEORI KEPATUHAN DAN PERKAWINAN
A. Religion Rights ................................................................................... 15
B. Right To Marriage .............................................................................. 25
C. Tinjauan Kepatuhan Hukum dalam Perkawinan ................................ 30
D.Perkawinan Beda Agama (Filosofis Hukum Nasional) ...................... 33
E. Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Yudisial Review
Undang-Undang Perkawinan (Perkawinan Lintas Agama) ................ 39
x
BAB III PERKAWINAN LINTAS AGAMA DI JAKARTA BARAT
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian di Jakarta Barat ........................ 40
a. Geografi ........................................................................................... 40
b. Pemerintahan ................................................................................... 41
c. Kependudukan ................................................................................. 43
d. Pendidikan dan Kebudayaan ........................................................... 46
B. Perkawinan Lintas Agama Dalam Perspektif Pelaku ........................ 50
BAB IV ANALISIS KEPATUHAN HUKUM PERKAWINAN
LINTAS AGAMA
A. Analisis Motivasi Perkawinan Lintas Agama .................................... 53
B. Analisis Sinkronisasi Pelaku Perkawinan Lintas Agama
antara Undang- Undang Perkawinan dan Ketentuan Agama .............. 57
C. Analisis Rekapitulasi Hasil Wawancara ............................................. 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 61
B. Saran dan Kritik .................................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 65
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................................... 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara filosofis, tujuan agama memberi pedoman dalam menjalani
kehidupan bagi umat manusia agar dapat berperilaku sesuai dengan aturan yang ada
dan salah satu aturan tersebut terdapat dalam perkawinan. Perkawinan pada setiap
agama dianggap sakral karena dilakukan sekali seumur hidup. Layaknya suatu
hubungan yang sakral maka perkawinan diikat dalam hubungan yang tidak sekedar
perdata melainkan lahir dan batin. Perkawinan secara filosofis merupakan salah satu
aspek pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna.
Perkawinan bukan saja hanya sebagai satu jalan yang amat mulia untuk mengatur
kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan
menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan
menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan lainnya.1 Di setiap
agama memiliki aturan mengenai kriteria ideal dalam memilih pasangan hidup dan
kesamaan agama adalah hal yang sangat diutamakan. Salah satunya pada agama Islam
perkawinan sudah seharusnya dilaksanakan oleh sesama muslim sesuai dengan syariat
Islam.
Ajaran Nabi Muhammad S.A.W memberikan kriteria tersendiri bagi setiap
muslim yang ingin memiliki pasangan hidup dan agama ada pada urutan pertama
1Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam. (Jakarta, UIN Jakarta
Press:2006) Cet 1 H.116.
2
dalam kriteria mendapatkan pasangan hidup. Islam mengatur manusia dalam hidup
berjodoh-jodohan itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan
dalam wujud aturan-aturan yang disebut hukum perkawinan.2
Di Indonesia terdapat enam agama yang diakui oleh negara yaitu Islam, Katolik,
Kristen, Hindu, Budha, Kong Hucu dan terdapat penganut kepercayaan lain.3
Keberagaman agama telah memberikan pengaruh yang kuat terhadap bentuk pola
hubungan antar pemeluk agama di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan sosial
kemasyarakatan dan khususnya diajukan dalam bidang perkawinan. Serba serbi
kehidupan yang dijalani setiap manusia terutama kehidupan pada jenjang perkawinan
melahirkan banyak persoalan. Jenis persoalan yang muncul beragam dan
membutuhkan analisis secara berbeda seiring perbedaan dan keberagaman persoalan
tersebut.4
Perkembangan hukum perkawinan di Indonesia ditandai dengan Rancangan
Undang-Undang (RUU) perkawinan pada Tanggal 16 Agustus 1973. Diajukannya
RUU perkawinan menimbulkan reaksi keras dari kalangan umat Islam. RUU tersebut
sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam dan timbul sebuah anggapan bahwa
RUU perkawinan ingin mengkristenkan Indonesia. Pasal-pasal yang menimbulkan
keberatan di kalangan umat Islam itu dihapuskan. Setelah adanya rapat yang
dilakukan berulang kali, akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973 melalui fraksi-
2Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2008) cet ketiga (3) H.13.
3Penetapan Presiden Republik Indonesia, Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan dan
Penyalahgunaan/ Penodaan Agama.
4Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan dan Solusinya. (Jakarta: PT. Prima
Heza Lestari, 2006) cet 1 H.36.
3
fraksi DPR, RUU tersebut disetujui untuk disahkan. Pada tanggal 2 Januari 1974
RUU tentang perkawinan disahkan DPR menjadi UU No 1 Tahun 1974 tentang
Undang-Undang Perkawinan yang selanjutnya berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober
1975. Undang-Undang RI No.1 Tahun 1974 dianggap telah mencakup seluruh elemen
agama yang ada di Indonesia.5
Meskipun sudah berlaku selama 42 tahun6 sejak diundangkannya Undang-
Undang Perkawinan ini bukan berarti tidak ada masalah dalam pelaksanaannya,
diantara permasalahan tersebut adalah tentang perkawinan lintas agama. Pada
perkawinan lintas agama kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat yang
menjadi hal sangat penting dan menentukan berlakunya suatu hukum dalam
masyarakat. Adanya perkawinan lintas agama ini menimbulkan perspektif hukum
bahwa kesadaran hukum masyarakat menyangkut faktor apakah agar suatu ketentuan
hukum itu diketahui, dipahami, dihargai, diakui dan ditaati oleh masyarakat sebagai
pengguna hukum.7 Persoalan perkawinan lintas agama bukanlah hal baru yang terjadi
di Indonesia, beberapa artis pernah melakukan perkawian lintas agama diantaranya
Lidya Kandou dengan Jamal Mirdad,8 dan yang sedang hangat dalam perbincangan
5Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia
(Jakarta:Prenada Media, 2004) H.23.
6 Undang-Undang Perkawinan Berlaku 2 Januari 1974-2016.
7Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum.(Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2013). H.98.
8Dadan Eka, “Polemik Nikah Beda Agama”. Artikel diakses pada 3 Maret 2016 dari
http://www.cekricek.co.id/index.php/statistics/celebnews/1270-polemik-menikah-beda-agama.
4
antara Tessa Kaunang dengan Sandi Tumiwa9 yang semuanya berakhir dengan
perceraian. Realitas sejarah juga membuktikan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah
menikah dengan perempuan ahlul Kitab, yakni Maria al-Qibtiah. Demikian pula
Hudlaifah bin Yaman, sahabat Nabi yang tergolong senior kawin dengan perempuan
Yahudi, tetapi perkawinan mereka sebagian ulama melarang dan tidak
membenarkannya.10
Permasalahannya adalah ketika sepasang manusia yang ingin melaksanakan
perkawinan tapi berlainan agama antara satu dengan yang lainnya, maka Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tidak mengatur hal tersebut, karena perkawinan yang
dimaksud dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia, bukan perkawinan lintas agama satu dengan yang
lain.
Adapun konsep Hak Asasi Manusia (HAM) dalam perkawinan lintas agama
menyatakan hal yang bertolak belakang, bahwa dalam memilih istri atau pasangan
hidup tidak ada yang boleh membatasi termasuk instansi sekalipun. Syaratnya adalah
suka sama suka dan tidak merugikan orang lain. Umumnya hukum mengikuti agama
yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang
berlaku baginya. Perkawinan yang dilakukan atas dasar suka sama suka bertentangan
9Andiasti Anjani, ”suami muallaf tessa kaunang isyaratkan pilih nikah beda agama”. Artikel
diakses pada 3 Maret 2016 http://celebrity.okezone.com/read/2014/06/17/33/1000352/suami-mualaf-
tessa-kaunang-isyaratkan-pilih-nikah-beda-agama.
10
Hamid Lansono, Muhammad Jamil, Hukum Islam Alternatif .(Restu Ilahi: Jakarta 2005)
H.11.
5
dengan ajaran hukum perkawinan yang berlaku bagi agama yang dianut (In
Complexu). Pasal 28B UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.11
Pada dasarnya perkawinan lintas agama yang terjadi di kalangan masyarakat
hanyalah penyelewengan dari praktik yang ada, dan itu terjadi pada masyarakat
perkotaan yang relatif lebih maju.12
Tidak adanya pengaturan perkawinan lintas agama
secara tegas dan eksplisit dalam Undang-Undang perkawinan termasuk pencatatannya
mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum. Apabila benar terjadi praktik seperti
itu, maka status hukum perkawinan menjadi tidak jelas.
Berangkat dari permasalahan pada tema diatas maka penulis mengangkat judul skripsi
“Kesadaran Hukum Masyarakat Jakarta Barat Terhadap Perkawinan Lintas
Agama Di Indonesia”.
B. Identifikasi Masalah
1. Adakah dampak terhadap perkawinan lintas agama pada aspek toleransi agama?
2. Bagaimana hukum di Indonesia mengatur perkawinan lintas agama?
3. Bagaimana perkembangan praktik perkawinan lintas agama di Jakarta Barat?
11Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h.115.
12
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) H
.248.
6
4. Adakah sanksi hukum positif bagi pelaku kasus perkawinan lintas agama pada
setiap agama di Indonesia?
5. Apa saja motif para pelaku perkawinan lintas agama di wilayah Jakarta Barat?
6. Apakah seseorang dalam memilih pasangan hidup menekankan pada satu rumpun
agama?
7. Bagaimana opini para ulama tentang perkawinan lintas agama di Indonesia?
8. Apakah setiap agama di Indonesia membenarkan cinta yang melampaui agama?
9. Bagaimana masyarakat menyikapi perkawinan lintas agama di Indonesia?
10. Bagaimana pandangan agama tentang ketaatan pemeluknya terhadap hukum
perkawinan lintas agama?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pada penelitian skripsi ini penulis memberikan batasan pada bahasan perkawinan lintas
agama secara khusus dari aspek kesadaran hukum. Penulis akan menggunakan data
perkawinan dari Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta, Jakarta Barat dan tidak
menggunakan data dari KUA.
7
2. Rumusan Masalah
Dari serangkaian latar belakang permasalahan, identifikasi masalah, dan batasan masalah
yang penulis hadirkan, perumusan masalah yang dirumuskan penulis dalam penelitian ini
adalah sebagai beikut:
1. Bagaimana motif dan latar belakang para pelaku Perkawinan Lintas Agama di
wilayah Jakarta Barat ?
2. Bagaimana perkembangan kesadaran hukum pada Perkawinan Lintas Agama di
wilayah Jakarta Barat?
3. Bagaimana pandangan berbagai agama yang diakui di Indonesia tentang ketaatan
pemeluknya terhadap hukum Perkawinan Lintas Agama?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penyusunan skripsi dalam penelitian perkawinan lintas agama ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui apa motif para pelaku memilih pasangan lintas agama.
b. Untuk mengetahui gambaran kesadaran hukum masyarakat pada paktik
perkawinan lintas agama di Indonesia, khususnya Jakarta Barat.
c. Untuk mengetahui aspek empiris pasangan perkawinan lintas agama antara
Undang-Undang perkawinan dengan ketentuan agama.
8
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini diantaranya:
a. Sebagai gambaran yang sistematis dan komprehensif terhadap permasalahan
perkawinan lintas agama.
b.Sebagai masukan kepada agamawan, ahli hukum, perencana kebijakan di bidang
hukum dan pranata sosial dalam menyikapi perkawinan lintas agama.
E. Review Studi Terdahulu
Banyak kasus perkawinan lintas agama yang terjadi belakangan ini menjadi
suatu perdebatan dikalangan masyarakat. Dijumpai dalam surat kabar yang terbit setiap
hari, topik bahasan yang muncul berkaitan dengan perkawinan lintas agama baik yang
dilakukan artis maupun orang masyarakat umum. Antara lain pembahasan yang muncul
berkaitan dengan dampak agama terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan lintas
agama dan status hukum perkawinan lintas agama di Indonesia.
Ada beberapa studi yang pernah membahas perkawinan lintas agama. Dalam
Skripsi bertajuk “Penyelesaian Perceraian Beda Agama Di Indonesia (Studi Kasus Yuni
Shara-Henry Siahaan)”. Ditulis Meilisa Fitri Harahap (2011). Penyelesaian perceraian
beda agama di Indonesia pada proses penyelesaian perceraiannya sama dengan perceraian
pada umumnya. Perkawinan beda agama seakan-akan di perbolehkan di Indonesia
berdasarkan pada Pasal 66 Undang -undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
sehingga tidak terdapat perbedaan mengenai proses penyelesaiannya dengan perceraian
pada umumnya, dimana seseorang dapat mengajukan permohonan cerai atau gugatan
cerainya ke Pengadilan Negeri buat mereka yang memiliki agama di luar Islam dan
pengadilan agama bagi mereka yang memiliki agama Islam. Kemudian jika mereka
9
melakukan perkawinan beda agama maka gugatan cerai atau permohonan cerai dapat
diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal penggugat.13
Jurnal dengan judul “Kawin Beda Agama Dalam Legislasi Hukum Perkawinan
Indonesia Perspektif HAM”. Ditulis Faiq Tobroni. Mengenai pembolehan perkawinan
beda agama adalah sekedar dalam rangka menegakan prinsip-prinsip Pluralisme,
nasionalisme, HAM, demokrasi kemaslahatan yang antroposentris. Pembolehan ini
didasari oleh suatu keyakinan mereka bahwa masalah ini adalah masalah ijtihad.14
Adapun dalam penelitian ini penulis akan berbeda pandangan dengan apa yang telah di
jelaskan pada karya ilmiah ini, dalam pembahasan yang akan penulis sajikan pada
perkawinan lintas agama ini mengutamakan pada kesadaran hukum masyarakat dalam
negara bagi para pemeluk kepercayaan agama masing-masing.
Jurnal berjudul “Perkawinan Beda Agama Antar Warga Negara Indonesia Di Luar
Negeri Sebagai Bentuk Penyelundupan Hukum Dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan”. ditulis oleh Novina Eky Dianti. Perkawinan antar WNI berbeda
agama di luar negeri merupakan salah satu bentuk dari pengaturan perkawinan dalam
ruang lingkup Perdata Internasional yang terdapat dua sistem hukum yang berbeda dan
perkawinan tersebut mengandung unsur asing (Foreign Element). 15
13
Harahap, Meilisa Fitri. “Penyelesaian Perceraian Beda Agama Di Indonesia (Studi
Kasus Yuni Shara-Henry Siahaan)”. Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2011.
14 Faiq Tobroni. “Kawin Beda Agama Dalam Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia
Perspektif HAM”. Jurnal Hukum UII. Volume 11 No.2 Januari 2011.
15Novina Eky Dianti. “Perkawinan Beda Agama Antar Warga Negara Indonesia Di Luar
Negeri Sebagai Bentuk Penyelundupan Hukum Dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan”. Jurnal. Hukum. UNS. Volume.2 No.5 Oktober 2015.
10
Jurnal berjudul “Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 Dalam Konteks Perubahan Sosial” ditulis oleh Drs. Noryamin
Aini. MA. Bahwa perubahan Undang-Undang RI No.1 Tahun 1974 tidak hanya pada isu
teknis tetapi juga pada isu subtantif. Gagasan perbaikan tersebut berbasiskan sosial yang
terjadi di masyarakat. Orang sering mengatasnamakan Tuhan dan kepentingan publik
untuk menentang perubahan hukum yang berdimensi agama. Terlepas dari perdebatan
tersebut Undang-Undang RI No.1 Tahun 1974 tetap dipertahankan, sementara di sisi lain
perubahan sosial tidak mungkin dibendung, maka akan banyak persoalan hukum yang
sulit terselesaikan.16
Adapun dalam penelitian ini penulis berbeda dengan studi terdahulu yang pernah
membahas perkawinan lintas agama di Indonesia. Pada pembahasan ini penulis berbeda
dengan yang lalu, karena mengutamakan kesadaran hukum masyarakat terhadap praktik
perkawinan lintas agama yang ada di Indonesia khususnya wilayah Jakarta Barat. Data
yang penulis gunakan juga berbeda dengan studi yang pernah membahas perkawinan
lintas agama. Penulis menggunakan data hasil wawancara pelaku perkawinan lintas
agama serta narasumber dari Suku Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil DKI Jakarta
serta Suku Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Jakarta Barat.
16
Noryamin Aini. “Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 Dalam Konteks Perubahan Sosial”. SYARIAH:UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurnal
Ilmu Hukum, No, Volume, Juni 2007
11
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan empiris (sosiologis).
Penelitian empiris adalah penelitian yang memandang hukum sebagai kenyataan sosial,
kenyataan kultur.17
Penelitian ini melihat hukum dalam arti nyata dan meneliti
bagaimana penerapan hukum di lingkungan masyarakat. Dengan demikian kajian empiris
dunianya adalah das sein (apa kenyataannya) Pada penelitian ini penulis akan meneliti
hubungan antar individu dengan individu di masyarakat. Penelitian ini sebagai penelitian
hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam masyarakat, badan hukum dan
pemerintah.
2. Sumber Data Penelitian
Data yang digunkan penulis berupa data perkawinan. Data perkawinan yang digunakan
merupakan data dokumenter hasil wawancara dengan Dinas Kependudukan Dan Catatan
Sipil DKI Jakarta dengan Dinas Kepndudukan Dan Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat,
dan data perkawinan selanjutnya didapatkan dari wawancara penuturan narasumber yang
melakukan praktik perkawinan lintas agama. Ada dua jenis sumber data yang penulis
gunakan dalam penelitian ini, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
1. Sumber Primer: laporan wawancara perkawinan lintas agama pada
Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta(Kepala Bidang Data dan Informasi) dan
Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat(Kepala Bidang Catatan Sipil) yang
17
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum.
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. 2012) H.2.
12
jumlahnya masing-masing satu orang responden, selanjutnya data hasil
wawancara dengan narasumber yang melakukan praktik perkawinan lintas
agama yang jumlahnya sepuluh orang responden secara acak d.
2. Sumber Sekunder: Data laporan hasil penelitian terdahulu yang berupa
angka-angka ataupun data tentang motif para pelaku melakukan
perkawinan lintas agama di Indonesia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan penulis yaitu melalui membaca dokumen (studi dokumen). Studi
dokumen yaitu penelitian yang dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai
literatur, adapun literatur yang digunakan tidak terbatas hanya kepada buku-buku tetapi
dapat berupa bahan-bahan dokumentasi dari Dinas Kependudukan Dan Kantor Catatan
Sipil DKI Jakarta dan Jakarta Barat. Ada dua teknik pengumpulan data yang penulis
kerjakan. Pertama, disajikan laporan data hasil wawancara dengan pihak kantor catatan
Sipil DKI Jakarta dan Jakarta Barat tentang perkawinan lintas agama. Kedua, data
wawancara yang diambil dari penuturan sepuluh narasumber yang melakukan praktik
perkawinan lintas agama yang berasal dari agama yang berbeda. Selanjutnya penulis
menggunakan teknik sampling snowball dalam melengkapi data, teknik sampling
snawball adalah suatu metode untuk mengidentifikasi, memilih dan mengambil sampel
dalam suatu jaringan atau hubungan yang terus menerus.18
18
Nina Nurdiani, Teknik Sampling Snawball Dalam Penelitian
Lapangan.Engineering:Binus University. Jurnal Engineering, Vol 5, Desember 2014.
13
4. Tipe Analisis Data
Analisis data ini memadukan data secara deskriptif dan komparatif, metode deskriptif
adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan subjek/objek
penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat) berdasarkan fakta yang tampak sebagaimana
adanya atau disebut perilaku nyata.19
Selanjutnya dilakukan perbandingan (comparative)
berupa data perkawinan di Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta dan Jakarta Barat untuk
kemudian mengetahui perkawinan beda agama pada setiap agama. Serta deskripsi
pengalaman narasumber yang telah melakukan perkawinan beda agama.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan Skripsi ini mengacu pada buku”Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2012”.
G. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini, penulis membagi pembahasannya menjadi lima
bab, selanjutnya tiap bab dibagi dengan susunan sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan. Pada bab ini berupa latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan atau perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
(review) studi terdahulu, motode penelitian, sistematika penulisan.
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum.(Jakarta:Universitas Indonesia (UI-
Press) 1986) cet.3 H.32.
14
BAB II: Bab ini memaparkan tentang pandangan kepatuhan hukum dalam hukum
perkawinan di Indonesia terhadap praktik perkawinan lintas agama. Akan di
jelaskan mengenai kesadaran hukum secara mendasar dan ciri-ciri kepatuhan
hukum. Selanjutnya disajikan hak-hak beragama dalam kebebasan beragama,
hak bagi setiap individu untuk menikah, dan filosofi hukum nasional
perkawinan lintas agama di Indonesia, dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Tentang Yudisial Review Undang-Undang Perkawinan (Perkawinan Lintas
Agama).
BAB III: Bab ini memaparkan tentang data perkawinan beda agama di wilayah Jakarta
Barat yang didapatkan dari Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta dan Jakarta Barat.
Selanjutnya dilakukan wawancara mendalam dengan para pelaku yang
melalukan praktik perkawinan lintas agama.
BAB IV: Bab ini memaparkan analisis data perkawinan lintas agama untuk melihat
sinkronisasi kepatuhan pelaku perkawinan lintas agama terhadap undang-
undang RI No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka selanjutnya akan
diketahui motif yang menjadi dasar para pelaku melakukan praktik perkawinan
lintas agama di wilayah Jakarta Barat.
BAB V: Penulis mengakhiri pembahasan dengan Penutup. Bab ini berisikan
kesimpulan, saran, dan berupa daftar pustaka. Skripsi ini dilengkapi pula
dengan berbagai lampiran.
15
BAB II
TEORI KEPATUHAN HUKUM DAN PERKAWINAN
A. Religion Right (Hak-hak Dalam Beragama)
Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak
bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu.
Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam
perumusan pasal 29 UUD 1945. Selain itu telah ditemukan sejumlah kasus tindak
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, terjadi peningkatan
pelanggaran dari kurun waktu 2013 sebesar 39 kasus sampai 2014 meningkat
menjadi 67 kasus.20
Hal tersebut semakin mengindikasikan bahwa peraturan yang
mengatur kebebasan beragam di Indonesia masih diperlukan kajian mendalami.
Kebebasan beragama di Indonesia mengacu pada UUD 1945 Pasal 29 ayat 2.
Pasal ini menyatakan bahwa setiap warga diberi kemerdekaan atau kebebasan
untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya.
Pasal 28E ayat 1 UUD 1945 perubahan kedua mengakui adanya hak setiap
warga negara atas kebebasan beragama atau kepercayaan, demikian juga Pasal 28I
ayat 1 UUD 1945 perubahan kedua, menjelaskan hak beragama dan
20
Rakhmatullah, “Negara Diduga Lakukan 67 Pelanggaran Kebebasan Beragama”
Artikel diakses pada 9 Juni 2016 dari http://nasional.sindonews.com/read/941354/13/2014-
negara-diduga-lakukan-67-pelanggaran-kebebasan-beragama-1419339576.
16
berkepercayaan adalah HAM yang tidak bisa dikurangi dan dibatasi dalam kondisi
apapun. Bahkan Pasal 28i ayat 4 UUD 1945 perubahan kedua, mempertegas
kewajiban negara terutama pemerintah untuk melindungi, memajukan,
menegakkan dan memenuhi HAM. Kewajiban negara melindungi dan memenuhi
hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan mengandung pengertian, bahwa
negara tidak mempunyai wewenang mencampuri urusan agama dan kepercayaan
setiap warga negaranya. Sebaliknya, negara harus memberikan perlindungan
terhadap setiap warga negaranya untuk melaksanakan ibadah
keagamaan/kepercayaan.
Abraham Kuyper membagi kebebasan beragama (religious freedom)
menjadi tiga pengertian: religious pluralism , social pluralism dan confessional
pluralism. Religious pluralism artinya, bahwa manusia berhak untuk memilih dan
pindah agama tanpa campur tangan orang lain. Confessional pluralism artinya,
manusia selain berhak memilih, juga berhak untuk menjalankan agama yang
dipilihnya. Social pluralism artinya, agama berhak untuk menjadi hati nurani
masyarakat. Sedangkan menurut Menurut William L. Reese, negara yang
memaksakan agama tertentu kepada rakyatnya akan membahayakan terhadap
stabilitas politik.21
Agama adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam memilih
pasangan hidup, namun pada lain hal orang memilih pasangan yang berbeda
21
Reese, Dictionary of Philosophy and Religion. (New York: Humanities Books,
1999). H.32
17
agama karena faktor umur yang semakin menua serta kesulitan mendapatkan
jodoh. Pada permasalahan mengenai perkawinan beda agama bukan sekadar
persoalan anak yang dilahirkan dalam perkawinan, tetapi jauh daripada itu
bagaimana setiap agama memandang perkawinan yang dilakukan dengan dasar
cinta namun melampaui agama yang seharusnya menjadi pijakan dalam memilih
pasangan hidup yang akan membawanya pada arah tujuan yang lebih baik.
Ada beberapa agama yang disebut dalam Al-Qur‟an, tetapi disebutkannya
beberapa agama dalam Al-Qur‟an tidak dapat dikatakan sebagai pemberian
legitimasi atas keabsahan eksistensinya. Pandangan berbagai agama yang diakui
di Indonesia terhadap perkawinan lintas agama sebagai berikut:
1. Perkawinan Lintas Agama Pada Agama Islam
Hukum Islam adalah Hukum Allah yang prinsipnya berlaku universal
tidak terbatas oleh tempat dan zaman. Akan tetapi hal ini tidak menutup
kemungkinan adanya hukum Islam yang berlaku secara khusus pada tempat
tertentu dan waktu tertentu. Untuk itu kita juga mengenal adanya Hukum Islam
Indonesia yang berlaku di Indonesia pada saat ini yang didalamnya termasuk
hukum Perkawinan. Tentang pernikahan laki-laki muslim dengan yang non
muslim adalah hal yang kontroversial dikalangan para fuqoha sejak dahulu
bahkan sejak zaman sahabat. Bila dapat dirangkum maka terpilih menjadi tiga
golongan.
18
a. Golongan Pertama
Golongan ini termasuk Jumhur Ulama berpendapat bahwa pernikahan laki-laki
muslim dengan perempuan non muslim Ahl Al-Kitab diperbolehkan. Sedang
selain Yahudi dan Nasrani, hukumnya haram.22
Mereka beralasan dengan ayat quran Al-Maidah ayat 5:
Artinya: Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
22
Syaikh Humaidhy, Kawin Campur Dalam Syariat Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
1993) Hlm 30
19
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
Pandangan ini menimbulkan dua argumentasi. Pertama, ayat ini
membolehkan menikahi wanita Ahli Kitab yang Muhsonat. Mujahid menafsirkan
kata muhsonat dalam ayat ini adalah afaif (menjaga kehormatan dirinya) dan
huriah (merdeka/bukan budak).23
(Asy-Syaukani, Fathul Qodir, Vol. 2 Hal. 22).
Sehingga syarat muhshonat (afaif dan huriah) ini harus ada pada diri wanita ahlul
kitab yang akan dinikahi oleh seorang muslim. Kedua, kronologis ayat-ayat
madaniah, yang turunnya sesudah hijriah. Hal ini memperkuat penunjukan ayat ini
terhadap hukum.
b. Golongan Kedua
Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita non muslim haram hukumnya.
Golongan ini dianut antara lain Ibnu Umar dan Syi‟ah Imamiah.24
Mereka
beralasan dengan beberapa dalil. Pertama, Al-Baqarah ayat 221 yang berbunyi:
23
Muhammad Ghalib M, Ahlul Kitab, Makna dan Cakupannya.
(Jakarta:Paramadina,1998) H.166.
24Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah.(Jakarta:Haji Mas Agung 1991), H.5.
20
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.25
Kedua, Al-Mumtahanah ayat 10 yang berbunyi:
25
Mohammad Asmawi, Nikah(Dalam Perbincangan dan Perdebatan). (Yogyakarta:
Darussalam Perum Griya Suryo Asri F-10, 2004) cet 1 H.139.
21
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta
mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah
mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu.
dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
c. Golongan Ketiga
Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita ahl al-kitab hukum asalnya
halal, namun situasi dan kondisi menghendaki ketentuan lain.
2. Perkawinan Lintas Agama Pada Agama Katolik
Bagi gereja katolik memandang perkawinan sebagai sakramen, yakni suatu
upacara agama yang sakral/suci karenanya harus diatur dan diselenggarakan oleh
22
gereja, dan bagi mereka sah tidaknya perkawinan bukan karena catatan sipil
gereja. Adapun perkawinan lintas agama dalam agama katolik dibedakan antara
yang berbeda gereja (mixta religio) dengan yang berlainan agama (Disparatis
Kultus).26
Untuk pertama pada prinsipnya dilarang tetapi masih mungkin
dilakukan dengan izin gereja. Mengenai larangan itu karena salah satunya tidak
dibaptis dan akibatnya perkawinan itu tidak sah.
3. Perkawinan Lintas Agama Pada Agama Kristen
Pada agama Kristen perkawinan dipandang sebagai masalah keperdataan.
Gereja tidak mencampuri dan tidak pula berfungsi mengesahkan suatu
perkawinan. Suatu perkawinan dinyatakan sah oleh pejabat pemerintah, maka
gereja hanya meneguhkan dan memberkatinya. Di Indonesia perkawinan bagi
Kristen Protestan sah atas nama Undang-Undang bila dilakukan pada kantor
catatan sipil. Oleh Kerena itu perkawinan adalah tanggung jawab pemerintah,
bukan tanggung jawab gereja. Nikah sebagai persekutuan hidup antara pria dan
wanita bertujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup yang kedalam rahmat dan
kasih tuhan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan tersebut maka agama Kristen
Protestan menganjurkan penganutnya kawin dengan orang yang seiman
sebagaimana bunyi kitab 2 korentus 6 ayat 14.
26
Muhammad Daud Ali, “Perkawinan Campuran Antar orang-orang yang berbeda
agama”. (Jakarta:Al-Hikmah 1993) H.51.
23
“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan
orang-orang yang tidak percaya, sebab persamaan apakah yang terdapat dalam
kebenaran atau kedurhakaan atau bagaimanakah terang bersatu dengan gelap”27
4. Perkawinan Lintas Agama Pada Agama Hindu
Agama Hindu adalah agama yang mempercayai tiga tuhan yang dianggap
suci. Ketiganya bersatu tidak dapat dipisahkan, karena asal kejadiannya satu.
Perkawinan dalam hukum agama Hindu dikenal dengan “wiwaha”. Perkawinan
bersifat religius dan obligator, karena dikaitkan dengan kewajiban untuk
mempunyai putra untuk menebus dosa orang tuanya. Karena perkawinan bagian
dari agama maka harus memenuhi “syarat” sesuai hukum agama.28
Pada
perkawinan lintas agama Hindu tidak membenarkan pemeluknya nikah dengan
non Hindu, bila dilakukan maka harus memeluk agama Hindu terlebih dahulu,
bila tidak dilakukan maka tidak sah sekalipun dicatat di kantor catatan sipil.
5. Perkawinan Lintas Agama Pada Agama Budha
Pada agama Budha terdapat aturan yang bernama ahinsa (yakni tanpa
kekerasan) pengertiannya bahwa dalam kehidupan sehari-hari tidak boleh
melakukan kekerasan baik secara fisik maupun mental terhadap manusia dan
binatang. Agama Budha tidak mengatur perkawinan karena ketika agama Budha
lahir masyarakat telah memiliki hukum perkawinan yang dianggap mapan. Jika
27
Departemen Agama RI,”Modul Keluarga Bahagia Sejahtera dan Bertanggung
Jawab”. (Jakarta:Ditjen Bimas Kristen Protestan,1996) hlm 36
28 Anak Agung Gde Okta Netra, “Tuntunan Dasar Agama Hindu”. (Jakarta:Ditjen
Bimas Hindu dan Budha,2001) hlm 47
24
ingin melangsungkan perkawinan lintas agama tidak ada larangan dengan agama
lain tetapi sebainya dilakukan sesama agama Budha. Bila salah satunya bukan
beragama Budha maka tidak membuat batalnya perkawinan tersebut.29
Berkeluarga dalam agama Budha tidaklah menjadi suatu kewajiban bagi umatnya,
akan tetapi berkeluarga hanyalah menjadi suatu pilihan apakah ia ingin
berkeluarga atau tidak berkeluarga.30
6. Perkawinan Lintas Agama Pada Agama Kong Hucu
Agama KongHucu atau nama aslinya Ryu Jio, yang berarti agama bagi
orang yang lembut hati, agama ini merupakan agama tertua di tempat
kelahirannya di Tiongkok. Pada saat itu belum ada agama lain, karena ini belum
dikenal perkawinan lintas agama. Meski demikian tidak ada satu ayat pun yang
melarang atau membolehkan perkawinan dengan yang berbeda keyakinan.31
Pernikahan dinyatakan sah apabila terjadi antara laki-laki dan perempuan dewasa,
tidak ada unsur paksaan, mendapat persetujuan kedua orang tua, diteguhkan
dalam suatu upacara keagamaan, meski untuk salah satu mempelai tidak
diharuskan berpindah keyakinan.
Menurut Undang-undang Dasar 1945 Negara Indonesia berdasarkan:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
29
A.Basic Djalil, Pernikahan Lintas Agama. (Jakarta: Pustaka 2003) H.128.
30Pandhita Sasanjaya, Tuntunan Perkawinan dan Hidup Berkeluarga dalam Agama
Budha. (Jakarta:Ditjen Bimas Hindu dan Budha, 2002) H.2.
31Hs. Tjhie Tjay Ing, Hak Asasi Beragama dan Perkawinan Konghucu. (Jakarta:
Gramedia Pustaka Umum dan MATAKIN, 1998) H.53.
25
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan.
5. Keadilan Sosial.
Sebagai dasar pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bukan saja
meletakkan dasar moral di atas Negara dan Pemerintah, tetapi juga memastikan
adanya kesatuan Nasional yang berasas keagamaan. Pengakuan sila pertama (Ke-
Tuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisah pisahkan dengan Agama, karena
adalah salah satu tiang pokok daripada perikehidupan manusia dan bagi bangsa
Indonesia adalah sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam
usaha nation-building.
Hidup berbangsa dan bernegara dalam pluralitas keberagamaan ini ibarat
kita berada di tengah-tengah pasar tradisional. Dalam pasar terdapat berbagai
macam dagangan dipasarkan oleh berbagai penjual yang beragam agama dan
aliran kepercayaannya.
B. Right To Marriage (Hak Untuk Menikah)
Kata nikah berasal dari bahasa Arab ( النكاح ) yang berarti kawin atau
perkawinan. Kata ini sudah diadopsi dan menjadi kata bahasa Indonesia yang
begitu populer serta ditujukan pada hajat manusia yang lain jenis dalam
26
meresmikan perjodohannya.32
Sedangkan kata kawin sering diidentikkan dengan
hal-hal negatif dan berbau kebinatangan. Manusia yang meresmikan
perjodohannya dengan pasangan pilihannya dan disaksikan oleh masyarakat
sebagai saksi dari peresmian disebut telah melaksanakan nikah, sedangkan
manusia yang melakukan kumpul kebo bisa disebut kawin karena tidak berbeda
jauh dengan binatang dalam menyalurkan nafsu birahinya, serta tidak
mengindahkan setiap aturan, norma dan nilai-nilai sosial yang telah ditetapkan
agama, karena itu pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan pria
dan wanita yang sama akidah, akhlak dan tujuannya, di samping cinta dan
ketulusan hati. Di bawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami istri akan
tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Keluarga akan bahagia dan anak-anak
akan sejahtera.33
Dalam hal perkawinan, para ahli fiqh memberikan arti kawin dalam arti
kiasan. Imam Abu Hanifah memakai arti “setubuh”, sedangkan Imam Syafi‟i
memakai arti “perjanjian perikatan”. Jika ditinjau dari segi adanya kepastian
hukum dan pemakaian perkataan “kawin” di dalam Al-Quran dan hadits, maka
kawin dengan arti “perjanjian perikatan” lebih tepat dan banyak dipakai daripada
“kawin” dengan arti “setubuh”.34
Dan hadits Nabi, perkataan “kawin” pada
32
Mohammad Asmawi, Nikah (dalam perbincangan dan Perbedaan). (Yogyakarta:
Darussalam Perum Griya Suryo Asri F-10, 2004) H.17.
33Chuzaimah T.Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam
Kontemporer. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) cet 1 H.9.
34Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet 3 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993) H.93.
27
umumnya diartikan dengan “perjanjian perikatan”. Firman Allah Swt (QS. An-
Nur 24/32):
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-
Nya) lagi Maha mengetahui.
Kawin merupakan penggabungan dan pencampuran. Sedangkan menurut
istilah syari‟at kawin berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang
karenanya hubungan badan menjadi halal. Kawin berarti akaq dalam arti
sebenarnya dan berarti hubungan badan yang artinya majazi (metafora).35
Sedangkan menurut Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Pasal 1, “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.36
35
Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Al-kautsar, 2005) H.3.
36Undang-Undang Perkawinan di Indonesia No.1 Tahun 1974 Pasal 1 (Surabaya:Al-
Kola)
28
Pada umumnya perkawinan menurut agama merupakan perbuatan yang
suci, yaitu suatu perikatan anatara dua pihak dalam menaati dan memenuhi
anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berumah tangga serta berkerabat
tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi,
perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani
yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai
beserta keluarga dan kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan kedudukan
manusia dengan iman dan taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang
seharusnya tidak dilakukan. Oleh sebab itu, pada dasarnya setiap agama tidak
dapat membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama.37
Dapat kita lihat bahwa Undang-Undang Perkawinan benar-benar telah
menutup pintu perkawinan lintas agama, karena beberapa aturan yang telah
ditetapkan sebelumnya, termasuk ketentuan dalam hukum perdata (BW),
ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (stbl. 1993 No. 74), peraturan
perkawinan campuran Stbl. 1898 No. 158, dan peraturan lain yang mengatur
perkawinan antar pemeluk agama selain Undang-Undang Perkawinan pun
dinyatakan tidak berlaku.38
Begitupun bila dilihat dalam Kompilasi Hukum Islam,
ditegaskan bahwa perbedaan agama menjadi salah satu faktor terjadinya larangan
perkawinan.39
37
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan,(Bandung: Mandar Maju, 2003) cet 2 H.10.
38UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 66 Tentang Perkawinan.
39KHI Pasal 40
29
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua
makhluk tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk
beranak pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-
masing pasangan siap melakukan peran yang positif dalam mewujudkan tujuan
perkawinan.
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan. Sebagai
Sunnatullah yang diberikan kepada manusia, perkawinan bukan sekedar persoalan
jasmani saja tetapi rohani ikut berperan dalam melangsungkan perkawinan.
Perkawinan merupakan realisasi kehormatan bagi diri setiap manusia sebagai
makluk Tuhan yang bermoral dan berakal dalam penyaluran seks yang telah ada
sejak lahir.40
Pasal 23 ICCCPR (Internasional Covenant on Civil and Political Right) sebagai
berikut:41
1. Hak untuk melangsungkan perkawinan harus bertolak pada perlindungan
keluarga bukan indivisu.
2. Pasangan yang menikah siap secara mental dan telah memiliki kecakapan
hukum.
40
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan(Jakarta:Rajawali Pers, 2003). H.14.
41 Suparman Marzuki dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta, Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII),2008) cet pertama, h.105.
30
3. Hak untuk melangsungkan perkawinan harus sejalan dengan hak asasi lainnya.
Hak tersebut merupakan hak beragama yang implikasinya bukan hanya sekedar
perdata namun juga pidana.
Pada perkawinan lintas agama Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan
pendapat jumhur yang menghalalkan orang Islam menikah dengan wanita
kitabiyah. Disini Kompilasi Hukum Islam terlihat menonjolkan kaidah Syaddu
Al-Dzari‟ah (menutup peluang). Adapun dalam kaitannya dengan nikah lintas
agama adalah melarang sesuatu hal yang dibolehkan atau dihalalkan, di mana
akan terdapat resiko tinggi karena hal tersebut dapat menimbulkan kerusakan
yang fatal. Bila dapat memahami isi dari Kompilasi Hukum Islam membuat
ulama Indonesia sepakat dan sepaham dengan Kompilasi Hukum Islam yang
sejalan dengan kelompok yang melarang mengawini kitabiyah, hal tersebut
bukan berarti tidak sejalan dengan Al- Qur‟an tetapi memperhatikan
kemaslahatan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.42
C. Tinjauan Kepatuhan Hukum dalam Perkawinan Beda Agama
Pada konsep ilmu kewarganegaraan yang mempunyai tujuan to be a good
citizenship. Bila dilihat dari tahapan kewarganegaraan seorang warganegara yang
baik tidak hanya sebatas pada tataran civic knowledge tetapi sudah mencapai pada
tahapan civic disposition. Sedangkan hukum sendiri mempunyai tujuan untuk
menciptakan suatu masyarakat yang tertib, menjamin keadilan sosial dalam
42
Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama (Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum
Islam). Jakarta: 2008. H.148.
31
masyarakat dan sarana penggerak pembangunan. Bila di lihat dari kedua
pengertian diatas maka terdapat satu hubungan anatara keduanya, yaitu bagaimana
mewujudkan suatu masyarakat yang tertib.
Seorang warga negara yang baik adalah warga negara yang taat pada
hukum positif (hukum yang sedang berlaku), tetapi pada faktanya masih banyak
warga negara tidak mentaati peraturan-peraturan hukum yang ada. Selanjutnya
Widjaya mengatakan ada dua sifat kepatuhan. Yaitu:
1. Kepatuhan bersifat statis, yaitu sesuai dengan peraturan perundang-undangan
berupa ketentuan-ketentuan yang ada di masyarakat.
2. Kepatuhan bersifat dinamis, yaitu menitikberatkan kepatuhan yang timbul dari
dalam diri manusia, yang timbul dari kesadaran moral, keinsyafan dari dalam diri
yang merupakan sikap batin yang tumbuh dari rasa tanggung jawab.
Budaya hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan
diwujudkan dalam bentuk perilaku sebagai cermin kepatuhan hukum di dalam
masyarakat. Suatu paham kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada diri warga
masyarakat merupakan suatu faktor yang menentukan bagi sahnya hukum. Pada
mulanya masalah kesadaran hukum timbul di dalam proses penerapan daripada
hukum positif tertulis.
Ide tentang kesadaran warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum
positif tertulis diketemukan di dalam ajaran tentang Rechtgefuhl atau
Rechtbewusstsein yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat
warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya. Akhir-akhir ini
32
banyak dipermasalahkan tentang merosotnya kesadaran hukum dalam masyarakat
dan salah satunya terjadi pada perkawinan lintas agama. Pandangan mengenai
merosotnya kesadaran hukum disebabkan karena terjadinya pelanggaran-
pelanggaran hukum dan ketidakpatuhan terhadap hukum. Jadi kesadaran hukum
sebenarnya merupakan kesadaran atau nila-nilai yang terdapat di dalam diri
manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Selanjutnya pada kepatuhan hukum yang umumnya menjadi pusat perhatian
adalah basis-basis atau dasar daripada kepatuhan tersebut. Menurut Bierstedt,
maka dasar-dasar kepatuhan adalah:
a. Indoctrination, sebab pertama suatu warga masyarakat mematuhi kaedah-
kaedah adalah karena dia diindoktrinir untuk berbuat hal baik maupun
buruk. Sejak kecil manusia telah dididik agar mematuhi kaedah hukum yang
berlaku di masyarakat.
b. Habituation, karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, lama
kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaedah-kaedah yang
berlaku.
c. Utility, pada dasarnya manusia mempunyai kecendrungan untuk hidup
pantas dan teratur. Akan tetapi apa yang pantas dan teratur untuk seseorang
belum tentu pantas untuk orang lain.
33
d. Grup Identification, salah satu sebab mengapa seseorang patuh pada kaedah
adalah karena kepatuhan tersebut merupakan salah satu sarana untuk
mengadakan identifikasi dengan kelompok.43
Kesadaran hukum merupakan suatu proses kesiapan diri untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu, menanggapi hal tertentu dengan didasari atas
pengertian, pemahaman, penghayatan dan pertimbangan-pertimbangan nalar dan
moral yang disertai kebebasan sehingga ia dapat bertanggungjawab secara sadar.
Pemberian sanksi pada hakikatnya merupakan reaksi terhadap pelanggaran
kaedah-kaedah kelompok. Sanksi dapat berwujud sanksi positif atau sanksi
negatif. Sanksi positif adalah unsur yang mendorong terjadinya kepatuhan atau
perikelakuan yang sesuai dengan kaedah dan norma yang ada. Sebaliknya sanksi
negatif menjatuhkan hukuman kepada pelanggaran kaedah kelompok.
D. Perkawinan Lintas Agama (Perspektif Hukum Nasional)
Jauh sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, di Indonesia pernah berlaku peraturan Hukum Antara Golongan yang
mengatur masalah perkawinan campuran. Perkawinan yang dimaksud adalah
peraturan yang dulu dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda yang diberi nama
Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan Tentang Perkawinan
Campuran sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158. Pasal 1 dari
Peraturan Tentang Perkawinan Campuran tersebut terdapat tiga pandangan
43
Soerjono Soekanto,. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (suatu analisa
sosiologi hukum). (Jakarta:Cv Rajawali 1982) Hlm 225
34
diantara ahli-ahli Hukum Antar Golongan, mengenai pertanyaan apakah GHR
berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar tempatnya.
Perkawinan lintas agama ini dahulu penting bagi mereka yang termasuk
golongan rakyat Indonesia asli Timur asing bukan Tionghoa, karena agama ikut
menentukan hukum yang berlaku bagi mereka, kecuali mereka menundukan diri
pada Hukum Perdata Barat (BW), sebagaimana telah diatur di dalam Staatsblad
Tahun 1917 No.12 tentang Penundukkan Sukarela. Dengan berlakunya Undang-
Undang perkawinan (UUP) NO.1 Tahun 1974, seperti disebut pada pasal 66 UUP,
semua ketentuan –ketentuan perkawinan dahulu seperti GHR, HOCI dan Hukum
Perdata Barat serta peraturan perkawinan lainnya sepanjang telah diatur dalam
undang-undang tersebut, dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal (2) UUP berbunyi:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu. Pada penjelasan UUP ditegaskan “dengan
perumusan pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Prof Hazairin, secara tegas menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta
penjelasannya dengan menyatakan, “bagi orang Islam tidak ada kemungkinan
untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian pula dengan
orang Kristen dan non muslim lain yang dijumpai di Indonesia. Disisi lain
perkawinan lintas agama dapat dijelaskan sebagai berikut.
“Perkawinan lintas agama tersebut merupakan ikatan lahir dan bathi antara
seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama, menyebabkan
35
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata
cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing,
dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”
Ada tiga sistem perkawinan yang terdapat di Indonesia, yakni sistem endogami,
eksogami dan eleutherogami.44
1. Sistem endogami, sistem perkawinan ini mengharuskan seseorang mencari jodoh
atau lingkungan sosial, kerabat, kelas sosial atau lingkungan pemukiman. Sistem
ini jarang terjadi di Indonesia. Pada masalalu hanya dapat ditemukan di tanah
toraja. Tetapi dalam waktu dekat sistem ini akan lenyap jika hubungan dengan
daerah lain menjadi terbuka.
2. Sistem eksogami, sistem perkawinan ini mengharuskan seseorang mencari jodoh
diluar lingkungan sosial (suku), kerabat, golongan sosial atau lingkungan
permukiman, seperti di daerah gayo, minagkabau, sumatera selatan. Sitstem ini
pun lama kelamaan semakin memudar sehingga larangan kawin sesuku
diperlakukan pada lingkungan keluarga yang sangat terbatas saja.
3. Sistem eleutherogami, sitem perkawinan ini tidak mengenal larangan – larangan
seperti dua sistem sebelumnya yang telah di jelaskan. Larangan terjadi jika ada
ikatan keluarga senasab dan hubungan keluarga seperti yang terdapat dalam
Islam.
44Yawirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan
Aadat Dalam Masyarakat Matrilineal Minagkabau).(Jakarta: 2013. Rajawali Pers.) H.132.
36
Fatwa MUI Nomor: 4/Munas UII/MUI/8/2008
ق ذَّ ٌم ذ س اف لو ا ء ر د ح ال ص لو ا ة ل ج ىل ع ه 45
Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik
kemaslahatan.
Asas Hukum Lex Spesialis Derogat Legi Generali, yang artinya peraturan
yang bersifat umum dikesampingkan oleh peraturan yang bersifat khusus jika
pembuatnya sama.46
Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus
wajib diperlakukan Undang-Undang yang khusus dalam peristiwa itu, walaupun
untuk peristiwa khusus tersebut dapat juga diterapkan menggunakan Undang-
Undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat
juga mencakup peristiwa khsus tersebut.
Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang perkawinan dan subtansi
tentang dasar perkawinan, syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya
perkawinan. Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi
Kependudukan mengatur tentang peristiwa penting yang terdiri dari kelahiran,
kematian, perceraian, perkawinan, pengangkatan anak, pengesahan anak.
Jika dikaji dalam segi perkawinannya maka sahnya perkawinan secara
umum diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan secara khusus diatur dalam
45
Al-Imam Jalaluddin Abdul-ar Rahman bin Abi Bakr as-sayuti, al asybah wa an-
Nazair, (Semarang:Toha Putra) H.59.
46Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (satu kajian teoritik). (Jakarta:Sinar
Grafika,2004) H.56.
37
Undang-Undang No.24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan. Dari
segi sahnya pada umumnya telah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Perkawinan bahwa sahnya perkawinan sahnya hukum agama yang dianut.
Pasal 35 poin a hanya berkedudukan sebagai peraturan hukum yang mendasari
dicatatatkannya perkawinan lintas agama, meskipun perkawinan lintas agama
dapat dicatatatkan tidak berarti perkawinan lintas agama tersebut secara serta
merta dianggap telah sah. Sahnya perkawinan tetap didasarkan pada Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Perkawinan. Adanya Pasal 35 poin a hanya sebagai jalur
khusus untuk mencatatkan perkawinan lintas agama.47
E. Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Yudisial Review Undang-Undang
Perkawinan (Perkawinan Lintas Agama)
Mahkamah konstitusi merupakan institusi kehakiman di Indonesia yang
memiliki wewenang untuk melakukan judicial review (uji materiil) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Putusan
yang dihasilkan oleh mahkamah konstitusi bersifat final, tidak memiliki upaya
hukum untuk ditinnjau kembali.
Diskusi hangat muncul saat beberapa orang mahasiswa dan Alumnus
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mempersoalkan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan mengenai syarat sahnya perkawinan, terutama
47
Mifta Adi Nigraha, Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan Beda Agama antara
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No.23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Privat Law edisi
I, h.58.
38
berkaitan dengan keabsahan kawin lintas agama. Norma pasal itu dinilai pemohon
berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga
mengandung usur „pemaksaan‟ warga negara mematuhi agama dan
kepercayaannya di bidang perkawinan.
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri menolak pengujian Pasal 2 ayat (1)
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai syarat sahnya perkawinan
terkait kawin beda agama. Mahkamah menganggap Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Perkawinan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“pemohonan pemohon tidak beralasan secara hukum, menyatakan menolak
permohonan para pemohon untuk seluruhnya”. Putusan mengenai yudisial review
perkawinan lintas agama telah diputuskan dengan nomor 68/PUU-XII/2014.
Pemohon beralasan beberapa kasus perkawinan lintas agama menimbulkan akses
penyelundupan hukum. Alhasil, pasangan perkawin lintas agama kerap menyiasati
berbagai cara agar perkawinan mereka sah secara hukum, misalnya perkawinan di
luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat.
Selanjutnya para pemohon meminta MK membuat tafsir yang mengarah
pada pengakuan negara terhadap perkawin lintas agama. Disisi lain, Mahkamah
Konstitusi menganggap UU perkawinan ini telah dapat mewujudkan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta dapat menampung
segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Terlebih lagi Pasal 28J UUD
1945 menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasan setiap warga negara
39
wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang yang salah
satunya dengan pertimbangan nilai-nilai agama.48
Pernikahan adalah hal yang sakral. Jadi, pernikahan tidak hanya peristiwa
hukum semata. Di Indonesia, masyarakatnya religius sehingga pernikahan
merupakan peristiwa sakral, bahkan pernikahan adalah ibadah. Mahkamah
Konstitusi memiliki prinsip ketuhanan yang diamanatkan dalam UUD 1945
merupakan perwujudan dari pengakuan keagamaan. Sebagai negara yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tindakan atau perbuatan yang dilakukan
oleh warga negara mempunyai hubungan yang erat dengan agama dan salah
satunya adalah perkawinan. Adapun negara berperan untuk memberikan
perlindungan warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah, yang merupakan wujud dan jaminan
keberlangsungan hidup manusia.49
Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi
juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang
keabsahan perkawinan, sementara undang-undang menetapkan keabsahan
administratif yang dilakukan oleh negara.
48
Agus Syahbani, “Babak Akhir Kawin Beda Agama” Artikel diakses pada 9 Juni 2016
dari Hukum Online.com.
49Sandro Gatra, “Menag Apresiasi MK Soal Pernikahan Beda Agama"
http://nasional.kompas.com/read/2015/06/22/16532691/Menag.Apresiasi.MK.soal.Pernikahan.Bed
a.Agama. Artikel diakses pada 9 Juni 2016
40
BAB III
TATA CARA PERKAWINAN LINTAS AGAMA
KOTA ADMINISTRASI JAKARTA BARAT
A. Gambaran umum lokasi penelitian di Jakarta Barat
a. Geografi
Kota administrasi Jakarta Barat dirancang untuk menjadi daerah
pusat bisnis yang baru di Jakarta dan sekitarnya, khususnya pada
kecamatan Kembangan. Dimana telah dibangun Mall, pusat perbelanjaan,
rumah sakit, pusat perkantoran, sekolah, dan lain sebagainya telah
dibangun pada kecamatan tersebut.
Kota Administrasi Jakarta Barat merupakan dataran rendah dengan
ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut, dan terletak pada posisi
106° 22‟42‟‟ s/d 106° 58‟18‟‟ BT dan 5° 19‟12‟‟ s/d 6° 23‟54‟‟ LS, dengan
luas wilayah berdasarkan SK Gubernur nomor 171 Tahun 2007 adalah
129,54 KM2. Jakarta barat terbagi menjadi 8 kecamatan, masing-masing
kecamatan mempunyai luas wilayah sebagai berikut, yakni Kecamatan
Kembangan 24,16 KM2, Kecamatan Kebon Jeruk 17,98 KM
2, Kecamatan
Palmerah 7,51 KM2, Kecamatan Grogol Petamburan 9,99 KM
2,
Kecamatan Tambora 5,40 KM2, Kecamatan Taman Sari 7,73 KM
2,
41
Kecamatan Cengkareng 26,54 KM2, dan yang terakhir yaitu kecamatan
paling luas di wilayah Jakarta Barat Kecamatan Kalideres 30,23 KM2.50
b. Pemerintahan
Berdasarkan Undang-Undang No 29 Tahun 2007 Pasal 19, Jakarta Barat
merupakan kota Administrasi yang dipimpin oleh seorang Walikota dan
dibantu Wakil Walikota yang diangkat oleh Gubernur dari kalangan Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Berdasarkan Undang-Undang tersebut kota Administrasi
Jakarta Barat bukan daerah otonom, karena Legislatif ada diwilayah tingkat 1
atau Provinsi. Jumlah kecamatan sebanyak 8 kecamatan, 56 Kelurahan serta
582 Rukun Warga (RW) dan 6548 Rukun Tetangga(RT).
Jumlah PNS Pemerintah, Kota Administrasi Jakarta Barat
Tahun 2012-2014
Gol 2012 2013 2014
I 52 56 47
II 1 656 1 694 1 383
III 3 580 3 771 3 615
50
Sumber: Badan Pusat Statistik DKI Jakarta
42
IV 4 679 4 399 4 175
Total PNS 9 967 9 920 9 220
Sumber: Kantor Kepegawaian Kota Administrasi Jakarta Barat
Untuk membiayai pembangunan, pada tahun 2014 Kota Administrasi
Jakarta Barat menghabiskan anggaran sebesar 3,56 Triliyun rupiah. Sejak tiga
periode anggaran berfluktuatif, yaitu masing-masing 2,08 Triliyun Rupiah di
tahun 2012, dan 2,70 Triliyun Rupiah di Tahun 2013, dan pada tahun 2014
sedikit naik yaitu pada kisaran 3,56 Triliyun Rupiah. Sedangkan jika dilihat
dari daya serap anggaran di tahun 2012 mencapai 86,91 persen, namun di
tahun berikutnya sedikit mengalami kenaikan yaitu hanya 91,26 persen pada
tahun 2013, untuk tahun 2014 menurun yakni 67,10 persen.
Kegiatan pembangunan ini dilakukan oleh SKPD-SKPD di tingkat
Walikota, sudin teknis, tingkat kecamatan, hingga tingkat kelurahan. Bahkan
masih ada kegiatan di bawah pemerintahan di tingkat kelurahan. Sesuai
dengan keputusan Gubernur nomor 88 Tahun 2004 Tentang pemberian uang
bantuan intensif operasional kepada Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT
dan RW) sebagai bantuan dana kegiatan RT dan RW.
43
c. Kependudukan
Hampir dari seperempat bagian dari total penduduk di Wilayah DKI
Jakarta bertempat tinggal di kota Administrasi Jakarta Barat. Persentase
penduduk yang berpotensi sebagai modal dalam pembangunan pada tahun
2014, yaitu penduduk usia produktif pada kelompok usia (15-64) Tahun
tercatat mencapai 72,41 persen, kelompok usia dibawah 15 tahun sebesar
24,36 persen, serta pada kelompok usia lansia 65 tahun keatas hanya 3,23
persen. Sehingga angka ketergantungan penduduk (Depedency Ratio)
mencapai 38,10 persen yang artinya untuk 100 jiwa usia produktif (15-64)
tahun menanggung sekitar 38 jiwa usia tidak produktif (usia dibawah 15 tahun
dan diatas 65 tahun).
Penduduk kota Administrasi Jakarta Barat sejak tahun 2012 sampai
dengan tahun 2014 berkisar 2,4 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk
masing-masing sebesar 1,48 persen pada tahun 2012, 1,45 persen untuk tahun
2013 dan 1,41 persen pada tahun 2014. Tingkat kepadatan penduduk di kota
Administrasi Jakarta Barat meningkat sejak periode 2012-2014, yakni dari
18.237 jiwa tiap KM2 pada tahun 2012 menjadi 18.762 jiwa tiap KM
2 pada
tahun 2014. Sementara itu jumlah Rumah tangga di kota Administrasi Jakarta
Barat pada Tahun 2014 sebanyak 648,1 ribu, dengan rata-rata 3,75 persen
anggora rumah tangga, artinya pada setiap rumah tangga terdapat 3-4 juta
jiwa.
44
Indikator Kependudukan Kota Administrasi Jakarta Barat
Tahun 2012-2014
Uraian 2012 2013 2014
Jumlah penduduk
(000Jiwa)
2 362,4 2 396,6 2 430,4
Pertumbuhan
penduduk (%)
1,48 1,45 1,41
Kepadatan
Penduduk (jiwa)
18,237 18,501 18,762
Sex Ratio (L/P) 103,2 102,9 102,7
Jumlah Rumah
Tangga (000)
631,9 643,4 648,1
Rata-Rata ART
(Jiwa)
3,74 3,72 3,75
% Penduduk Menurut Kelompok Umur
0-14 Tahun 23,99 24,18 24,36
15-65 Tahun 73,05 72,73 72,41
>=65 Tahun 2,96 3,09 3,23
Sumber: Proyeksi Penduduk Final, Badan Pusat Statistik Jakarta Barat.
45
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, jumlah penduduk kota
administrasi Jakarta Barat Tahun 2014 adalah 2.430.410 jiwa, terdiri atas
1.231.126 laki-laki 1.199.284 perempuan. Data hasil proyeksi penduduk
tersebut tampak bahwa penyebaran penduduk Jakarta Barat bertumpu di
Kecamatan Cengkareng (555.972) jiwa (22,88 persen) kemudian diikuti oleh
kecamatan Kalideres sebesar 431.296 jiwa (17,75 persen), kecamatan Kebon
Jeruk sebesar 357.788 jiwa (14,72 persen). Kecamatan Palmerah, Grogol
Petamburan, Tambora, dan Taman Sari adalah 4 kecamatan yang memiliki
tingkat penyebaran penduduk dibawah 10 persen, yang masing-masing secara
berurutan berjumlah 202.373 jiwa (8,33 persen), 232.697 jiwa (9,57 persen),
239.474 jiwa (9,85 persen), 110.008 jiwa (4,53 persen).
Penduduk Kota Administrasi Jakarta Barat Menurut Kecamatan
dan Jenis Kelamin
Kecamatan L P L+P
Kembangan 150 295 150 507 300 802
Kebon Jeruk 179 312 178 476 357 788
Palmerah 103 582 98 791 202 373
Grogol
Petamburan
103 582 98 791 202 373
46
Tambora 113 795 118 902 232 697
Taman Sari 54 901 55 107 110 008
Cengkareng 248 930 271 042 555 972
Kalideres 219 581 211 715 431 296
Jakarta Barat 1 231 126 1 199 284 2 430 410
Sumber: Proyeksi Penduduk, BPS Kota Adm Jakarta Barat
Laju pertumbuhan penduduk kota Administrasi Jakarta Barat per tahun
selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 1,83 persen.
Sementara itu hasil proyeksi penduduk, pada tahun 2014 mengalami
penurunan menjadi 1,41 persen. Bila dirinci menurut kecamatan, laju
pertumbuhan penduduk tahun 2014 Kecamatan Kembangan adalah yang
tertinggi dibanding kecamatan-kecamatan lain yakni sebebsar 2,30 persen,
sementara terendah terdapat pada kecamatan Taman Sari yakni 0,07 persen.
d. Pendidikan dan Kebudayaan
Penduduk usia 10 tahun ke atas di Kota Administrasi Jakarta Barat yang
buta huruf pada tahun 2014 sebesar 0,74 persen. Angka ini lebih rendah jika
dibandingkan kondisi tahun 2013 dan tahun 2012, dimana masing-masing sebesar
0,96 persen dan 1,18 persen. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM
melalui jalur pendidikan, antara lain melalui pemberian dana BOS (Bantuan
Operasional Sekolah) oleh pemerintah DKI Jakarta Melalui APBD, memberikan
47
kontribusi yang cukup besar dalam mencetak persentase angka partisipasi sekolah
pada tingkat pendidikan dasar (7-15 tahun).
APS (Angka Partisipasi Sekolah) Kota Administrasi Jakarta Barat selama
tahun 2012-2014 cukup menggembirakan. Hal ini terlihat dari Angka Partisipasi
Sekolah tahun 2014 yakni, pada jenjang pendidikan SD (usia 7-12 Tahun) sebesar
100,00 persen, jenjang pendidikan SLTP (usia 13-15 Tahun) sebesar 95,19 persen,
dan jenjang pendidikan SLTA (usia 15-18 Tahun) sebesar 68,49 persen, seta pada
usia 19-24 Tahun sebesar 22,32 persen. Jika dilihat tingkat pendidikan yang
ditamatkan menurut jenis kelamin pada Tahun 2014, tampak bahwa ada perbedaan
yang cukup signifikan pada penduduk yang tamat SMU sederajat, dimana laki-laki
sebesar 39,67 persen dan perempuan sedikit lebih kecil yaitu 32,03 persen. Hal
yang sama juga dialami oleh penduduk yang menamatkan pendidikan pada jejang
DIV/S1 dan S2/S3.
Kebudayaan
Jakarta Barat sebagai bagian dari DKI Jakarta merupakan daerah yang
cukup padat dengan dua ribu jiwa penduduk yang tersebar kepada masing-masing
kecamatan yang terdiri dari berbagai macam bangsa dan suku bangsa dari seluruh
Indonesia. Keanekaragaman ditambah dengan pengaruh bangsa asing melahirkan
keanekaragaman corak seni dan budaya. Beberapa lamanya daerah ini menjadi
tempat berkumpulnya berbagai bangsa dan suku suku bangsa dan bermacam-
macam adat istiadat, bahasa dan budaya daerah masing-masing. Berbaurnya suku-
suku bangsa dari seluruh tanah air dengan bangsa lain seperti Cina, Arab, Turki,
48
Persia, Inggris dan Belanda mengakibatkan terjadinya perkawinan di antara
mereka, sehingga terjadilah perpaduan adat istiadat, budaya dan falsafah hidup
hingga melahirkan corak budaya dan tata cara yang baru. Dengan demikian sejak
abad ke 19 nampak suatu proto type etnis Betawi.
Berbagai kesenian tradisional Betawi dapat berkembang dan digemari
oleh masyarakat luas, bukan hanya oleh masyarakat Betawi. Kesenian Betawi
tersebut antara lain Lenong dan Topeng Blantik. Keduanya merupakan seni drama
tradisional. Juga seni tari seperti tari Topeng, Ondel-ondel, tari Ronggeng Topeng
dan lain-lain. Seni suara dan seni musiknya adalah rebana, gambang Kromong,
Tanjidor dan sejenisnya. Bahkan wayang juga ada, wayang betawi dengan dialek
melayu betawi.51
Sistem perkawinan pada masyarakat Betawi pada dasarnya mengikuti
hukum Islam, kepada siapa mereka boleh atau dilarang mengadakan hubungan
perkawinan. Dalam mencari jodoh, baik pemuda maupun pemudi bebas memilih
teman hidup mereka sendiri. Karena kesempatan untuk bertemu dengan calon
kawan hidup itu tidak terbatas dalam desanya, maka banyak perkawinan pemuda
pemudi desa tersebut dengan orang dari lain desa. Namun demikian, persetujuan
orang tua kedua belah pihak sangat penting, karena orang tualah yang akan
membantu terlaksananya perkawinan tersebut. Biasanya prosedur yang ditempuh
51Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Kebudayaan Jakarta
Barat, Diakses 2 Mei 2016 dari
http://www.jakarta.go.id/jakartaku/pariwisata_budaya.htm.
49
sebelum terlaksananya perkawinan adalah dengan perkenalan langsung antara
pemuda dan pemudi, bila sudah ada kecocokan, orang tua pemuda lalu melamarnya
ke orang tua si gadis. Komposisi penduduk Jakarta sangat beragam terdiri dari
beberapa entitas etnis yang mendiami wilayah di DKI Jakarta (masyarakat local)
diantaranya Sunda, Jawa, China dan penduduk asli Jakarta yang disebut “Orang
Betawi,”. Selain entitas etnis dominan tersebut terdapat kelompok etnis besar
masyarakat lainnya yang datang dari luar Jakarta diantaranya etnis Minangkabau,
Batak, Manado dan Maluku dengan kepadatan penduduk Lima Belas Ribu orang
per kilometer persegi.
Meskipun Jakarta sebagai kota kosmopolitan, namun seni budaya yang
berakar pada tradisi nenek moyang masih terus terjaga keberadaannya. Kesenian
Ondel-ondel, Tanjidor, Lenong, upacara adat Perkawinan dan Khitanan masih
sering ditemui di beberapa pelosok kota Jakarta-disamping keberadaan seni-seni
tradisional yang dibawa oleh masyarakat pendatang seperti Kuda Lumping, Reog
Ponorogo, Wayang golek, wayang orang, dan ketoprak. Pesona dan daya tarik
obyek wisata yang ada di wilayah Kotamadya Jakarta Barat berupa museum dan
peninggalan bersejarah berarsitektur gaya Eropa maupun Cina, seperti Bangunan
Langgam Cina, Bangunan Toko Merah, dll. Selain itu juga Jakarta Barat memiliki
gedung yang paling tua di Jakarta yaitu Gedung Museum Jakarta yang terletak di Jl.
Taman Fatahillah No. 1 di daerah Kota, serta tempat-tempat peribadatan tua seperti
Masjid Angke, Gereja Katholik Santa Maria De Fatima, dll.
50
e. Struktur Masyarakat Jakarta Barat
DKI Jakarta yang terdiri dari 10.075.300 jiwa52
penduduk dan kota
administrasi Jakarta Barat terdiri dari 2.430.410 jiwa merupakan wilayah yang
cukup luas dengan masyarakat yang plural. Pluralitas masyarakat Jakarta bisa
dilihat dari adanya individu-individu dari berbagai latar belakang etnis, ras,
budaya dan agama yang berbeda. Dilihat dari realita ini maka bisa dikatakan
bahwa DKI Jakarta dan khususnya Jakarta Barat merupakan melting pot atau
wadah peleburan identitas budaya. Atas pertimbangan ini maka penulis memilih
Kota Administrasi Jakarta Barat sebagai sasaran penelitian.
B. Perkawinan Lintas Agama Dalam Perspektif Pelaku
Fenomena perkawinan lintas agama di daerah Jakarta Barat ini menarik
untuk dicermati, meskipun menimbulkan kontroversi dari berbagai kalangan, bahkan
telah diberikan fatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia, pada kenyataannya
perkawinan lintas agama ini semakin marak dipraktikan dan berkembang di
masyarakat. Perkawinan Lintas agama di Indonesia khususnya wilayah Administrasi
Jakarta Barat merupakan polemik yang berlarut-larut tanpa ada penyelesaian yang
jelas walaupun sudah memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang telah menjadi payung hukum dalam pelaksanaannya.
Pada dasarnya permasalahan perkawinan lintas agama adalah masalah
spiritual yang tidak tampak kongkrit secara fisik material, akan tetapi yang tidak
tampak itu bisa diabaikan. Wawancara (Deep Interview) dengan Kepala Bidang
52
BPS Provinsi DKI Jakarta. Data Jumlah Penduduk DKI Jakarta. Diakses 3 Mei 2016
51
Pencatatan Sipil Jakarta Barat, menunjukan bahwa angka perkawinan beda agama
sulit untuk didapatkan perkembangannya setiap tahun, karena itu pada perkawinan
beda agama tidak dicatatkan pada Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Jakarta Barat, data yang dicatat pada Kantor Catatan Sipil hanya perkawinan Non
Muslim, jika ada pasangan yang ingin mencatatkan perkawinan yang berbeda
agama kami meminta bukti mereka telah di bai‟at.53
Hasil wawancara yang berbeda dilakukan pada Kantor Suku Dinas
Kependudukan DKI Jakarta, hasilnya, secara resmi kami belum pernah
mencatatkan perkawinan beda agama khususnya wilayah kota Administrasi Jakarta
Barat, tetapi yang sifatnya adalah konsultasi maka kami menerima dengan tangan
terbuka. Pada perkawinan lintas agama ini kami memiliki dasar hukum tersendiri
yaitu Pasal 35 Undang-Undang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan bahwa
perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan, oleh sebab dasar itu jika ada
pasangan beda agama yang ingin mencatatkan perkawinan pada Kantor Suku Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil harus berdasarkan penetapan pengadilan.54
Pada dasarnya perkawinan lintas agama yang terjadi pada masyarakat
Jakarta Barat tidak terlepas dari persoalan penyesuaian hukum terhadap perubahan
yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang dimaksud adalah hukum tertulis atau
53
Neni, Wawancara Perkawinan Lintas Agama Di Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat,
Jakarta,13 Maret 2016
54 Alina Balqis, Wawancara Perkawinan Lintas Agama Di Kantor Catatan Sipil DKI
Jakarta, Jakarta,16 Maret 2016
52
perundang-undangan (dalam arti luas). Perubahan sosial yang begitu cepat,
sebagaimana terlihat jelas dalam fenomena urbanisasi, tentu saja telah memberikan
kontribusi penting terhadap apa yang disebut individu versus kelompok di era
modern ini. Sekulerisasi pun berkembang, individu akhirnya tidak lagi melihat
hukum dan agama sebagai satu kesatuan bentuk rasionalisasi dalam kehidupan,
hukum dan agama yang semula menduduki menduduki posisi sentral dalam
kehidupan ditarik kewilayah privat yang merupakan unsur pribadi setiap orang dan
tidak boleh dicampuri siapapun.
Salah satu doa yang dipanjatkan Nabi Muhammad SAW
ق ل ن ٌ ى د ل ع ً ث ل ق ت ث ش ب ى ل لقٌ ة ا ل ٌا ه
“Wahai tuhan yang membolak balikan hati, mantapkan hatiku dalam memeluk dan
melaksanakan agamamu”.
Pelaku perkawinan lintas agama lupa bahwa hati adalah wadah perasaan,
seperti amarah, senang, benci, iman, ragu, tenang, gelisah dan sebagainya.
Semuanya tertampung dalam hati. Pelaku umumnya sadar dan pernah mengalami
hati menginginkan sesuatu, tetapi akal menolaknya. Ini bukti bahwa Allah yang
menguasai hati. Akan tetapi, jangan menduga bahwa semua yang tertampung di
dalam hati atau terbolak baliknya perasaan adalah hasil perbuatan Allah yang
sewenang-wenang. Jangan menduga demikian terhadap keputusan hati ketika
memilih pasangan lintas agama, karena napsu dan setan pun ikut berperan dalam
gejolak hati.
53
BAB IV
ANALISIS KEPATUHAN HUKUM PERKAWINAN LINTAS AGAMA
A. Analisis Motivasi Perkawinan Lintas Agama
Agama adalah ketentuan-ketentuan Tuhan yang membimbing dan
mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama akan
berperan ketika pemeluknya memahami dengan baik dan benar, menghayati dan
mengamalkan ketentuan itu. Agama akan lumpuh serta hilang fungsi dan
peranannya jika pemahaman, penghayatan, dan pengamalan itu tidak mendapat
tempat dalam kehidupan pemeluknya. Pada perkawinan lintas agama
sesungguhnya telah diatur dalam Alquran, baik kepada laki-laki Muslim maupun
perempuan Muslimah.
Pertama, hukum menikahi musyrik dan murtad. Para ulama bersepakat
bahwa seorang Muslim diharamkan menikahi musyrik. Orang-orang yang telah
menyekutukan Allah Swt. diharamkan untuk dinikahi oleh Muslim, termasuk di
dalamnya murtad. Mazhab Ḥanafiyyah, Shāfi‟iyyah, dan mazhab lainnya
menyamakan murtad dengan musyrik, sehingga menikahi murtad pun hukumnya
adalah haram.55
Karena orang yang murtad adalah orang yang tidak lagi
memegangi agama Allah Swt. Terjadinya perkawinan lintas agama pasti lahir dari
beberapa faktor yang mempengaruhi pola hubungan diantara indivu dengan
55
Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, jilid IX, (Bayrūt: Dār al-Fikr,
1997), h. 665.
54
individu, beberapa faktor yang ikut serta mendukung banyaknya terjadi
perkawinan lintas agama di kota Administrasi Jakarta Barat, antara lain:
Pertama, Konteks masyarakat Jakarta Barat yang sangat majemuk.
Kemajemukkan tersebut dapat terlihat dari segi agama, budaya serta etnik yang
merupakan faktor pendukung cukup penting terjadinya perkawinan lintas agama.
Realitas ini kemudian menimbulkan kesadaran diantara berbagai kelompok sosial
akan pentingnya menumbuhkan sikap toleransi, saling menerima dan menghargai
satu sama lain. Perbedaan agama, keyakinan, suku dan ras harus diakui dan juga
diterima sebagai bagian dari kehidupan masyarakat perkotaan dengan dilandasi
semangat persaudaraan serta nilai kemanusiaan. Cara pandang inilah yang
kemudian dikenal dengan nama Pluralisme.
Kedua, Munculnya gagasan pluralisme. Seiring berkembangnya informasi dan
ilmu pengetahuan membuat menjamurnya lembaga atau wadah sosial yang
berlandaskan persaudaraan yang tulus tanpa memandang latar belakang etnis, ras,
agama, atau bahkan ideologi. Di wilayah Jakarta, lembaga-lembaga seperti itu
cukup banyak ditemukan, diantanya: Yayasan Paramadina yang dirintis oleh
Nurcholis Madjid. Jaringan Islam Liberal, sampai kepada Forum-Forum dialoog
yang membahas persoalan agama dan Pluralisme. Adanya lembaga-lembaga ini
secara tidak langsung berhasil mensosisialisasikan ide pluralisme dengan baik di
kalangan masyarakat, kemudian juga mempengaruhi cara berfikir serta bertindak
dan berinteraksi. Hasilnya, masyarakat tidak lagi memandang bahwa perbedaan
agama, ras, etnis sebagai sebuah hambatan untuk bekerjasama dan hidup
berdampingan termasuk dalam memilih pasangan hidup. Contoh pada pasangan
55
beda agama Henry Siahaan dan Yuni shara, mereka menyatakan bahwa mereka
tetap seiman walaupun berebeda agama, lanjutnya Henry mengatakan bahwa
perbedaan itu harus disyukuri bukan justru menjadi penghalang. Baginya yang
penting adalah bukan bukan masuk Islam ataupun Kristen tetapi masuk surga.56
Ketiga, Tren di Kalangan Artis. Faktor lain yang diyakini sebagaian orang sebagai
pemicu maraknya perkawinan lintas agama yaitu perilaku para Artis yang
seringkali diidolakan masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja sampai kepada
yang tua. Pengidolaan yang berlebihan membuat sebagian masyarakat berusaha
mengikuti gaya hidupnya, tidak terkecuali dalam hal memilih pasangan hidup
yang berbeda keyakinan. 57
Keempat, arus globalisasi. Globalisasi pada era modern terus berkembang pesat
seiring dengan perubahan zaman, globalisasi tidak hanya melahirkan kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi juga menyertakan proses asimilasi budaya.
Budaya barat salah satunya, mereka memiliki kekuatan informasi dan intelektual
sehingga mereka bisa mulai memasuki budaya lain. Otomatis asimilasi budaya
inilah yang sedikit banyak membawa pengaruh terhadap nilai agama dan perilaku
individu. Globalisasi seperti ini ikut memicu maraknya perkawinan lintas agama
ini, melalui media dan teknologi informasi saat ini menjadikan dunia ibarat desa
56
Linda Hindasah, Perkawinan Beda Agama Perspektif Pelaku.(Skripsi UIN Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum 2005) h.43
57Budi Hardiyanto, Pernikahan Beda Agama Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Khoirul
Bayan,2003) h.30
56
yang kecil, dimana segala hal yang terjadi di plososk dunia manapun bisa dikeahui
bahkan mempengaruhi kehidupan di belahan dunia lain.
Adapun menurut mazhab Ḥanafī, Shāfi‟ī, dan Mālikī, menikahi Ahl al-
Kitāb hukumnya adalah makruh. Mazhab Ḥanbalī menyatakan menikahi Ahl al-
Kitāb adalah khilāf yang utama karena „Umar ibn al-Khaṭṭāb pernah mengatakan
kepada para sahabat yang menikahi wanita Ahl al-Kitāb yang berstatus dhimmī
agar menceraikannya. Para sahabat pun menceraikan istri-istri dari Ahl al-Kitāb,
kecuali Khudhayfah. Adapun Ahl al-Kitāb yang berstatus ḥarbī, menurut mazhab
Ḥanafī haram hukumnya menikahi mereka apabila berada di dār al-ḥarb. Mazhab
Shāfi‟ī dan Mālikī berpendapat haram hukumnya.
„Abd al-Raḥmān al-Jāzirī mengemukakan bahwa Mazhab Ḥanafī
mengharamkan menikahi Ahl al-Kitāb yang berada di dār al-ḥarb. Mazhab Mālikī
memakruhkan Ahl al-Kitāb secara mutlak, baik dhimmi maupun ḥarbī. Tapi,
menikahi Ahl al-Kitāb di dār al-ḥarb sangat dimakruhkan. Pendapat kedua dari
mazhab Mālikī justru tidak memakruhkan secara mutlak. Sedangkan mazhab
Shāfi‟ī menikahi Ahl al-Kitāb makruh hukumnya apabila mereka berada di dār al-
Islām dan lebih makruh lagi jika mereka berada di dār al-ḥarb.58
Adapun menurut Muḥammad Jawad Mughniyah, keempat mazhab sepakat
bahwa sibh kitāb, seperti Majusi, tidak boleh dinikahi. Keempat mazhab hanya
sepakat bahwa seorang laki-laki Muslim boleh menikahi wanita Ahl al-Kitāb,
yakni wanita Yahudi dan Nasrani dan tidak sebaliknya.
58
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, Kitāb al-Fiqh „alā Madhāhib al-Arba„ah, jilid IV, (Bayrūt: Dār
al-Fikr al-„Ilmiyah, t.t.), h.73
57
Nabi Muhammad Saw memberikan pertimbangan dalam memilih
pasangan dengan sabda beliau:
ا او ح ج ا و ه ث س ح ل ا و ه ا ل و ل ع ت ر ل ج ا ز لو ا ح ك ن ت ن ٌ اّالذ ات ذ ت ز ف ظ ا ا ف ه ن ٌ ذ ل و ل ه
)رواه ااتخا ر ي و هسلن عن ا تً هز ٌز ج( اك ذ ٌ ت ت ز ت
“Perempuan biasanya dinikahi karena empat faktor: karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka raihlah yang
memiliki agama, (kalau tidak) engkau akan merugi” (HR.Bukhari dan Muslim
melalui Abu Hurairah).59
B. Analisis Sinkronisasi Pelaku Perkawinan Lintas Agama Antara Undang-
Undang Perkawinan Dengan Ketentuan Agama
Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 disusun
berdasarkan pancasila bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam UU Perkawinan ini
tidak dibahas secara eksplisit tentang perkawinan lintas agama, walaupun
landasan hukumnya dapat kita temui pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan
menurut masing-masing hukum agama dan kepercayaannya. Pasal ini menjadi
rujukan dalam persoalan perkawinan lintas agama. Pasal 2 ayat 1 ini memberikan
kepercayaan sepenuhnya kepada hukum masing-masing agama tentang persoalan
59
M.Quraish Shihab, Perempuan. (Lentera Hati:Ciputat,2003) h.349
58
perkawin lintas agama mengenai diperbolehkan atau dilarangnya perkawina
tersebut.60
Di Indonesia Perkawinan lintas agama dapat dilakukan bila salah satu
pasangan yang akan melaksanakan perkawinan lintas agama terlebih dahulu
melakukan perpindahan agama, sehingga saat melangsungkan perkawinan
menjadi satu agama. Pada sisi lain, pernyataan tersebut cukup bertentangan
dengan prinsip yang dipegang teguh dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai
konstitusi dasar, Pasal 29 ayat 2 yang secara tegas menyatakan adanya kebebasan
beragama bagi setiap warga negara Indonesia, tanpa terkecuali. Kesan yang
diperlihatkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, menyatakan sebuah
penentangan terhadap perkawinan lintas agama, hal ini terlihat pada Pasal 2 ayat
(1) UU No.1 Tahun 1974 yang bebrunyi: “perkawinan adalah sah, apabila
dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
Karena setiap agama dalam pemikirannya cenderung menolak perkawinan lintas
agama, maka demikian secara implisit UU ini juga menolak perkawinan lintas
agama.
Setiap agama di dunia mengakui pentingnya akhlak (etika-moral) yang
baik dan karakter yang tangguh, karena dengan akhlak atau karakter inilah suatu
bangsa akan tetap terjaga eksistensinya dan menjadi bangsa yang maju. Dinamika
masyarakat serta terjadinya proses modernisasi dan globalisasi mengakibatkan
terjadinya perubahan sosial secara cepat. Perubahan sosial ini berimplikasi kepada
60
Abdi Pujiasih, Pernikahan Beda Agama Menurut Islam Dan Katolik, (UIN
Jakarta:Fakultas Ushuludin, 2008) h.24
59
perubahan nilai-nilai dan norma-norma sosial di masyarakat, pola prilaku, struktur
serta lapisan masyarakat, interaksi sosial, sebagainya. Perubahan ini selain
membawa kemajuan juga membawa tantangan, bahkan suatu problematika bagi
eksistensi moralitas dan karakter.61
Individu dengan moralitas dan akhlak yang
baik akan menjauhi larangan, begitupula dalam larangan perkawinan lintas agama,
setiap individu yang melakukan perkawinan lintas agama terdapat pertanyaan
besar yang berkaitan dengan kesadaran hukum.
C. Rekapitulasi Hasil Wawancara
Dapat disimpulkan dari hasil rekapitulasi hasil wawancara dengan pelaku
perkawinan lintas agama. Pada usia perkawinan, pelaku perkawinan lintas agama
sangat beragam tetapi data menunjukan mereka yang telah menikah dengan yang
berbeda agama berada pada rentang usia 20 ke atas, sedangkan tahun perkawinan
lebih beragam, ada yang menikah berada di bawah tahun 2000 dan ada pula yang di
atas tahun 2000. Rata-rata mereka memiliki anak dari hasil perkawinan, dan hal
menarik anak hasil perkawinan lebih memilih agama dari pihak istri, jika istri
beragama Islam maka agama tersebut yang menjadi keyakinan anak.
Menarik untuk diketahui, salah satu responden memberikan informasi
mengenai status anak yang awalnya mengikuti agama Katolik yang menjadi agama
ibunya, mereka semua berpaling dari agama Katolik ketika menemukan pasangan
hidup, pilihannya berpaling dari agama Katolik di dasarkan karena pasangan dari
61
Masykuri Abdillah, Islam Dan Dinamika Sosial Politik Di Indonesia. (Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama,2011) h.163
60
anak tersebut beragama Islam, karena pihak pasangan beragama Islam maka anak
yang sebelumnya mengikuti keyakinan ibu berpaling menjadi keyakinan ayah yaitu
Islam, uniknya semua anak hasil perkawinan lintas agama dengan pasangan Islam
untuk agama ayah dan Katolik untuk agama ibu hilang pengaruhnya ketika mereka
mendapat pasangan hidup, dan Islam adalah agama yang dipilih anak untuk
menikah dengan pasangannya.
Dari hasil wawancara pelaku perkawinan lintas agama didapatkan hasil
bahwa indikator kesadaran hukum masyarakat Jakarta Barat terlihat masih sangat
rendah. Dimulai dari indikator pertama tentang pengetahuan hukum, pelaku telah
mengetahui perkawinan lintas agama telah diatur oleh hukum tertulis, kedua setiap
pelaku yang telah melakukan praktik perkawinan lintas agama kurang memiliki
pemahaman agama tentang apa yang benar dan apa yang salah. Ketiga, sikap
hukum dari masing-masing individu yang cenderung memberi penilaian terhadap
produk hukum, dan keempat yaitu perilaku hukum dari para pelaku perkawinan
lintas agama agar bisa mematuhi peraturan yang telah berlaku.
Dengan demikian perkawinan lintas agama adalah suatu problema di
masyarakat yang sampai saat ini belum dapat terselesaikan. Perkawinan lintas
agama yang terjadi pada masyarakat terjadi karena setiap individu tidak memiliki
kesadaran hukum atau tingkat kesadaran hukum yang rendah. Baginya perkawinan
adalah hal yang sakral sekali seumur hidup dilaksanakan. Padahal mereka para
pelaku perkawinan lintas agama sadar bahwa perkawinan lintas agama bukan
pilihan terbaik dalam membentuk keluarga, dan apapun yang menjadi alasan dari
perkawinan lintas agama tetaplah salah.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pokok bahasan terhadap permasalahan yang terdapat dalam
penelitian kesadaran hukum masyarakat Jakarta Barat terhadap perkawinan lintas
agama ini penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Perkawinan lintas agama dalam pandangan para pelaku
perkawinan lintas agama adalah sah adanya, namnun menurut ketentuan agama
perkawinan lintas agama adalah hal yang tidak dianjurkan maka dari itu Majelis
Ulama Indonesia(MUI) memberi fatwa haram terhadap perkawinan lintas agama.
Pelaku memandang Agama sebagai suatu yang sangat pribadi, maka setiap orang
berhak memahami agama dengan caranya masing-masing, dan yang terpenting
adalah tidak memaksakan agama untuk orang lain. Jelas pandangan ini salah
adanya, bahwa pada dasarnya setiap agama tidak merekomendasikan perkawinan
lintas agama, dan mereka yang melalukan perkawinan lintas agama telah
melanggar ketentuan agama dan hukum, daripada itu perkawinan juga bukan
hanya dilihat dari aspek formal tetapi juga dari aspek moral dan spiritual.
Kedua, ada beberapa alasan atau motif mengapa seorang muslim atau non
muslim menikah dengan yang berbeda keyakinan. Menurut mereka, cinta
bukanlah sekedar alasan untuk dilaksanakannya perkawinan lintas agama, lebih
dari itu terdapat hal yang lebih penting. Misalnya, dalam perkawinan lintas
agama asumsi masyakat dalam menyikapi perkawinan lintas agama bertolak
62
belakang dengan keinginan pelaku yang menyebut bahwa perkawinan lintas
agama tidak rawan konflik seperti asumsi yang berkembang di masyarakat, serta
kesadaran hukum masyarakat untuk melihat perkawinan lintas agama sebagai
bentuk pluralitas dan tidak bedampak pada percerain dalam perkawinan maupun
stabilitas negara.
Faktor kedudukan wanita yang menjadi nomer dua setelah laki-laki dalam
agama Islam dianggap sebagai alasan dalam tejadinya perkawinan lintas agama
agama, mereka beranggapan bahwa dalam agama lain setelah dilakukan
perkawinan posisi wanita tidak banyak berbeda dengan laki-laki, hal ini yang
menganggap bahwa wanita berada pada posisi Second Class sehingga perkawinan
lintas agama dianggap jalan yang terbaik dalam perkawinan.
Faktor usia, sulitnya mencari jodoh tidaklah berpengaruh besar, beberapa
diantara para pelaku yang melakukan perkawinan beda agama telah melakukan
perkawinan lintas agama sejak usia 20 tahun untuk pihak wanita, sedangkan dari
pihak laki-laki lebih matang secara usia, itu artinya perkawinan lintas agama tidak
semata-mata karena sulitnya mendapatkan jodoh.
Ketiga, ketika seseorang menentukan piihan untuk memilih pasangan hidup,
dalam hal ini adalah perkawinan lintas agama, ada beberapa faktor penting yang
mempengaruhi persepsi atau pandangan suatu tindakan para pelaku nikah lintas
agama dan hal itu justru lebih banyak didasarkan pada pertimbangan yang berasal
dari situasi lingkungan dan kemampuan dirinya. Faktor-faktor tersebut berasal
dari pendidikan, sosial, budaya, dan ekonomi. Para pelaku perkawinan lintas
63
agama memiliki latar belakang pendidikan cukup tinggi. Pendidikan yang mereka
dapatkan menimbulkan cara pandang baru dalam berbagai hal dan salah satunya
untuk memahami perkawinan lintas agama. Faktor lain berupa sosial budaya, pada
umumnya mereka hidup dilingkungan sosial yang cukup terbuka dan tidak terlaku
mempermasalahkan hal-hal yang sifatnya pribadi.
Dilain hal mereka memiliki pergaulan yang luas dan membuat cara
pandang mereka semakin terbuka akan perkawinan, umumnya mereka bergaul
dengan komunitas-komunitas yang terdiri dari individu dengan latar belakang
etnis, budaya dan agama yang berbeda. Adanya interaksi sosial yang cukup dekat
antara masing-masing Individu yang berbeda latar belakang merupakan sebuah
kondisi logis yang terjadi pada lingkungan sosial seperti ini. Kondisi sosial seperti
ini yang mengharuskan mereka membaur, bersikap terbuka, toleran satu sama lain
dan saling menghargai perbedaan.
Selain itu, para pelaku pada umumnya memiliki pandangan pemahan
hukum dan agama tersendiri dalam memahami agama yang menurut orang lain
belum tentu benar tetapi sudah benar dimata para individu. Selanjutnya dari segi
ekonomi merupakan foktor lain yang cukup signifikan daalam pertimbangan
pengambilan keputusan yang dilakukan para pelaku perkawinan lintas agama.
Penolakan, misalnya dari pihak keluarga dan penolakan ini bisa berakibat pada
pemutusan keuangan dari pihak keluarga.
64
B. Kritik dan Saran
Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural dengan
banyaknya etnis suku serta budaya melahirkan corak agama yang berbeda pada
setiap daerah di Indonesia. Lahirnya perkawinan lintas agama sebagai hasil dari
perkawinan kedua agama yang berbeda menjadi satu adalalah fakta yang terjadi di
masyarakat DKI Jakarta khususnya Jakarta Barat. Penulis memberikan saran
sebagai berikut:
1. Lahirnya Undang-Undang RI No.1 Tahun 1974 sebagai acuan dalam hal
perkawinan di Indonesia dapat dijadikan dasar bagi para pelaku perkawinan
agar menghindari praktik perkawinan lintas agama bukan menjadi celah untuk
melakukan perkawinan lintas agama. Pancasila sebagai Grundnorm(norma
dasar) layaknya bukan sekedar diketahui, tetapi lebih dari itu dapat dimaknai
dalam kehidupan masyarakat multikultural yang pada urutan pertama jelas
berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Agama sebagai pedoman hidup dalam menentukan baik dan buruk seharusnya
menjadi dasar setiap pelaku untuk menentukan langkah dalam perkawinan
yang sakral. Cinta bukanlah segalanya, karena cinta tanpa dasar agama adalah
bodong. Agama ada bukan karena cinta, melainkan cinta ada karena agama.
3. Keluarga adalah institusi pertama dalam kehidupan setiap manusia. Semenjak
lahir hal pertama kali yang di kenal adalah keluarga, basis keluarga yang
menjadikan agama sebagai pedoman hidup paling utama memberikan tameng
bagi setiap individu untuk menghindari terjadinya perkawinan lintas agama.
65
DAFTAR PUSTAKA
Buku Referensi:
Abbas, Ahmad Sudirman, Problematika Pernikahan dan Solusinya. (Jakarta: PT. Prima
Heza Lestari, 2006) cet 1.
Abdillah, Masykuri Islam Dan Dinamika Sosial Politik Indonesa,(Jakarta:PT Gramedia
Utama,2011).
Aini, Noryamin. Wawancara Perkawinan Lintas Agama.( Jakarta. 10 Oktober 2015).
Ali, Achmad dan Heryani, Wiwie. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum.
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. 2012).
Al-Imam Jalaluddin Abdul-ar Rahman bin Abi Bakr as-sayuti, al asybah wa an-Nazair,
(Semarang:Toha Putra 2000).
Al-Jazīrī, Abd al-Rahman. Kitāb al-Fiqh „alā Madhāhib al-Arba„ah, jilid IV, (Bayrūt: Dār
al-Fikr al-„Ilmiyah, t.t.)
Aripin, Jaenal dan Lathif, Azharudin, Filsafat Hukum Islam.(Jakarta: UIN Jakarta
Press:2006).
Asshiddiqie, Jimly, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)
Asmawi, Mohammad Nikah(Dalam Perbincangan dan Perdebatan). (Yogyakarta:
Darussalam Perum Griya Suryo Asri F-10, 2004) cet 1
66
Ayub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, (Jakarta: Al-kautsar, 2005).
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta. Data Jumlah Penduduk DKI Jakarta.
Balqis, Alina Wawancara Perkawinan Lintas Agama di Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil DKI Jakarta,( Jakarta,16 Maret 2016).
Muhammad Daud Ali, “Perkawinan Campuran Antar orang-orang yang berbeda
agama”. (Jakarta:Al-Hikmah 1993).
Depag RI, “Himpunan Peraturan Perundang Undangan dalam Lingkungan Peradilan
Agama”. (Jakarta,2001).
Djalil, Ahmad Basiq, Pernikahan Lintas Agama. (Jakarta: Pustaka 2003).
Ghalib, Muhammad, Ahlul Kitab, Makna dan Cakupannya. (Jakarta:Paramadina,1998)
Ghozali, Abdul Rahmhan, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2008) cet 3.
Hadikusuma, Hilman Hukum Perkawinan,(Bandung: Mandar Maju, 2003) cet 2
Hardiyanto, Budi, Pernikahan Beda Agama Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Khoirul
Bayan,2003).
Humaidhy, Syaikh, Kawin Campur Dalam Syariat Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
1993).
Junaedi, Dedi Bimbingan Perkawinan(Jakarta:Rajawali Pers, 2003).
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).
67
Lansono, Hamid dan Jamil, Muhammad Hukum Islam Alternatif (.Restu Ilahi: Jakarta
2005).
Manan, Abdul. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2013).
Manan, Bagir, Hukum Positif Indonesia (satu kajian teoritik). (Jakarta:Sinar
Grafika,2004).
Marzuki, Suparman dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta, Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII),2008). Cet 1
Mukhtar, Kamal Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,(Jakarta: Bulan Bintang,
1993). Cet 3
Nuruddin, Amir dan Tarigan, Azhari Akmal Hukum Perdata Islam Di Indonesia
(Jakarta:Prenada Media, 2004).
Neni, Wawancara Perkawinan Lintas Agama Di Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat,
(Jakarta,13 Maret 2016).
Shihab, Quraish, Perempuan. (Lentera Hati:Ciputat,2003).
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum.(Jakarta:Universitas Indonesia (UI-
Press) 1986).
T.Yanggo, Chuzaimah dan AZ, Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam
Kontemporer. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) cet 1
68
Yawirman, Hukum keluarga (karakteristik dan prospek doktrin islam dan adat dalam
masyarakat matrilineal minagkabau). (Jakarta: 2013. Rajawali Pers).
Zuhdi, MasyfukMasail Fiqhiyah.(Jakarta:Haji Mas Agung 1991).
Skripsi:
Harahap, Meilisa Fitri. “Penyelesaian Perceraian Beda Agama Di Indonesia (Studi Kasus
Yuni Shara-Henry Siahaan)”. (Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas
Andalas, 2011).
Hindasah, Linda “Perkawinan Beda Agama Perspektif Pelaku.” (Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta,2005).
Jamaludin. “Hukum Perkawinan Beda Agama Tinjauan: Agama-agama Yang Ada Di
Indonesia”. (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.)
Nugraha, Miftah Adi “Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan Beda Agama antara
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-
Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan”.(Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Privat Law edisi I).
Pujiasih, Abdi “Pernikahan Beda Agama Menurut Islam Dan Katolik”, (Skripsi S1
Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta,2008).
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
INPRES No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
69
Penetapan Presiden Republik Indonesia, Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan dan
Penyalahgunaan/ Penodaan Agama.
Undang-Undang No.24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan.
Jurnal/Artikel:
Anjani, Andiasti,”suami muallaf tessa kaunang isyaratkan pilih nikah beda agama”.
Artikel diakses pada 3 Maret 2016
http://celebrity.okezone.com/read/2014/06/17/33/1000352/suami-mualaf-
tessa-kaunang-isyaratkan-pilih-nikah-beda-agama.
Dianti, Novina Eky. “Perkawinan Beda Agama Antar Warga Negara Indonesia Di Luar
Negeri Sebagai Bentuk Penyelundupan Hukum Dari Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Jurnal. Hukum. UNS. Volume.2
No.5 Oktober 2015.
Eka, Dadan“Polemik Nikah Beda Agama”. Artikel diakses pada 3 Maret 2016 dari
http://www.cekricek.co.id/index.php/statistics/celebnews/1270-polemik-
menikah-beda-agama.
Gatra, Sandro“Menag Apresiasi MK Soal Pernikahan Beda Agama"
http://nasional.kompas.com/read/2015/06/22/16532691/Menag.Apresiasi.
MK.soal.Pernikahan.Beda.Agama. Artikel diakses pada 9 Juni 2016
Nurdiani, Nina ”Teknik Sampling Snawball Dalam Penelitian Lapangan.Engineering:Binus
University. Jurnal Engineering, Vol 5, Desember 2014.
Rakhmatullah, “Negara Diduga Lakukan 67 Pelanggaran Kebebasan Beragama”
Artikel diakses pada 9 Juni 2016 dari
http://nasional.sindonews.com/read/941354/13/2014-negara-diduga-
lakukan-67-pelanggaran-kebebasan-beragama-1419339576.
Syahbani, Agus “Babak Akhir Kawin Beda Agama” Artikel diakses pada 9 Juni 2016
dari Hukum Online.com.
Tobroni, Faiq. “Kawin Beda Agama Dalam Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia
Perspektif HAM”. Jurnal Hukum UII. Volume 11 No.2 Januari 2011.
PEDOMAN WAWANCARA
Hasil Wawancara Menegenai Perkawinan Beda Agama di Wilayah Jakarta Barat.
Kecamatan Kebon Jeruk. DKI Jakarta.
Nama: Ibu Alina Balqis
Jabatan: Kepala Bidang Data dan Informasi
Tanggal Wawancara: 16 Maret 2016
Tempat Wawancara: Ruang Bidang Data dan Informasi Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil DKI Jakarta.
Pertanyaan :
1. Apa fungsi dan tugas Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI
Jakarta?
Jawaban: Sesuai dengan Pergub 237 Tahun 2014 Organisasi dan tugas Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil memiliki tugas:
1. Melakukan Pendaftaran Penduduk.
2. Melakukan Pencatatan Sipil.
3. Melakukan Pengolahan Data Kependudukan.
Intinya yang menjadi tugas Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yaitu
Tiga(3) pilar tersebut.
2. Apa yang anda ketahui tentang perkawinan beda agama?
Jawaban: Perkawinan beda agama itu merupakan perkawinan yang dilakukan
oleh pasangan yang berbeda keyakinan(agama).
3. Apakah perkawinan beda agama tahun 2010-2015 dicatat pada kantor catatan
sipil DKI Jakarta?
Jawaban: Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan Pasal 35 perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan. Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta tidak pernah mencatatkan
perkawinan beda agama di wilayah DKI Jakarta.
4. Apa dasar hukum Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta pada praktik perkawinan
beda agama?
Jawaban: Adapun yang menjadi dasar hukum Kantor Catatan Sipil pada
perkawinan beda agama adalah Pasal 35 UU administrasi kependudukan.
Undang-Undang No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
menyebutkan perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan. Namun kami
Tetap berpedoman pada Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.
5. Apa pernah ada pasangan beda agama yang meminta dicatatkan pada Kantor
Catatan Sipil DKI Jakarta?
Jawaban: secara resmi tidak ada. Namun yang sifatnya konsultasi ada.
Beberapa bulan yang lalu ada seorang ibu datang ke kantor saya karena ingin
mencatatkan perkawinan beda agama yang dilakukan anaknya di Bali tetapi
dia memiliki domisisli di DKI Jakarta, namun kami menolak dan berpedoman
penetapan pengadilan.
6. Jika ada pasangan yang berbeda agama berniat mencatatkan perkawinannya di
Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta bagaimana anda menyikapinya?
Jawaban: kami meminta persyaratan penetapan pengadilan. Penetapan
pengadilan merupakan dasar hukum bagi kami sebagai Instansi pelaksana
untuk mencatatatkan perkawinan.
7. Bagaimana prosedur perkawinan beda agama yang anda ketahui sebagai
pejabat Kantor Catatan Sipil?
Jawaban: Acuan kami tetap berpedoman kepada penetapan pengadilan. Dinas
kependudukan dan catatan sipil tetap meminta pengesahan secara agama.
Persyaratan lain sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
8. Apakah Kementrian Dalam Negeri(Kemendagri) melayani pasangan yang
ingin melakukan perkawinan beda agama?
Jawaban: Kemendagri kakinya adalah Dinas Kependudukan di seluruh
Indonesia. Melalui UU No.23 tahun 2006 menyelipkan perkawinan beda
agama pada pasal 35. Kemendagri hanya mengeluarkan peraturan dan sebagai
Instansi pelaksananya Dinas kependudukan dan Catatan Sipil.
9. Perkawinan luar negri apa sama dengan perkawinan beda agama?
Jawaban: Adanya UU No 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan. Pejabat kedutaan merangkap sebagai pejabat pencatatan sipil.
Hal ini dimaksudkan karena beberapa negara tidak memiliki pejabat
pencatatan sipil seperti Arab Saudi. Selanjutnya dimaksudkan untuk
mengeluarkan akte perkawinan. Jika negara tersebut sudah memliki catatan
sipil maka pihak kedubes hanya sebagai pelapor saja. Di luar negeri urusan
perkawinan bukan sekedar urusan agama (Hukum Perdata). Ada dualisme
dalam perkawinan luar negeri sebenarnya, pada perkawinan beda agama di
Indonesia tidak dibolehkan tetapi perkawinan luar negeri dibolehkan dengan
melakukan pelaporan untuk dicatatkan.
10. Menurut anda apakah penganut agama Islam cukup banyak dalam perkawinan
beda agama?
Jawaban: Saya tidak memiliki data lengkap mengenai agama yang paling
banyak penganutnya dalam perkawinan beda agama. Tetapi perkawinan itu
ada dan saya akan berusaha mendapatkan data dikemudian hari.
11. Apakah anda setuju bila perkawinan beda agama itu dilegalkan di Indonesia?
Jawaban: Saya berfikir sebagai aparatur negara, apabila peraturan itu ada kami
hanya tinggal melaksanakan saja, dan saya setuju dengan UU No.1 Tahun
1974. Nikah itu memang harus seagama, karna seagama saja masih terdapat
perbedaan paham apalagi yang berbeda agama. Pada perkawinan beda agama
justru lebih banyak ujungnya cerai.
12. Apakah setiap agama di Indonesia membenarkan cinta yang melampaui
agama?
Jawaban: Kita sebagai manusia kadang-kadang tidak bisa membedakan antara
cinta dan nafsu, cinta yang benar adalah cinta di jalan Allah. Cinta yang
berbalut nafsu tidak bertahan lama. Cinta dan Nafsu nuansanya jelas berbeda.
Cinta bila melihat kekurangan ada niat untuk memperbaiki dan cinta itu
datang dari Allah, ketika cinta melabrak aturan Allah itu bukan cinta
melainkan nafsu.
13. Sanksi hukum bagi pelaku perkawinan beda agama apakah dianggap perlu?
Jawaban: Kalau dilihat dari aturan agama ia perlu, tetapi kalau hukum negara
tidak ada sanksinya, kalau di Islam itu jelas Zinah.
14. Dalam hal kepatuhan terhadap hukum agama, agama mana yang menurut
anda patuh terhadap aturan perkawinan beda agama?
Jawaban: Saya fikir setiap agama tidak merestui perkawinan beda agama,
tetapi saya tidak tahu persis agama mana yang patuh terhadap ketentuan
agama masing-masing. Agama katolik memberi dispensasi boleh menikah
beda agama tetapi agama mereka yang memberkati, dan itu sama saja artinya
tidak membolehkan. Walaupun dalam Al-Quran Surat Al-Maidah
diperbolehkan tetapi sudah tidak mungkin ditemukan kriteria yang dimaksud.
15. Apakah perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Tentang perkawinan?
Jawaban: Kalau saya sebagai petugas apapun yang sudah di putuskan oleh
Undang-Undang kami hanya melaksanakan sebagai aparatur pencatatan sipil,
dan posisi kami adalah netral.
16. Bagaimana status hukum perkawinan beda agama yang anda ketahui?
Jawaban: Karna kami belum pernah mencatatkan perkawinan beda agama,
tetapi kalau sudah di catatkan itu artinya sah sah saja menurut hukum negara.
Kami berbicara hukum negara bukan hukum agama.
17. Seberapa besar dampak terhadap agama yang ditimbulkan dari perkawinan
beda agama?
Jawaban: Saya sebenernya tidak tahu persis dampak yang timbul dari
perkawinan beda agama, karna kami sebagai aparat Pencatatan Sipil belum
pernah meneliti, kebanyakan yang langgeng adalah yang melebur dalam satu
agama tetapi yang kuat satu sama lain dampaknya kepada perceraian, seperti
yang terjadi pada kalangan artis di Indonesia.
18. Menurut anda apakah negara berhak melarang perkawinan beda agama?
Jawaban: Negara harusnya memfasilitasi, posisi negara saat ini sudah bagus
bahwa perkawinan adalah urusan agama, dan negara tugasnya hanya mencatat
saja. Bukan urusan perdata seperti yang terjadi di luar negeri semacam
perikatan semata.
19. Jika terjadi perkawinan luar negeri yang berpotensi beda agama, negara mana
yang pada umumnya menjadi tujuan melangsungkan perkawinan?
Jawaban: Saya tidak tahu persis negara mana yang menjadi tujuan perkawinan
luar negeri yang berpotensi beda agama, kami justru mengetahui dari media.
Ketika pelaporan kami tidak menyelidiki ataupun menanyakan, karena bagi
kami sepanjang perkawinan itu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
Sepengetahuan saya jika ingin melangsungkan perkawinan luar negeri yang
dijadikan tujuan yaitu negara Australia umumnya dan jika menyimpang
biasanya terjadi di Hongkong.
PEDOMAN WAWANCARA
Nama: Ibu Neni
Jabatan: Kepala Bidang Pencatatan Sipil Jakarta Barat
Tanggal Wawancara: 13 Maret 2016
Tempat Wawancara: Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jakarta Barat
Pertanyaan :
1. Apa tugas Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat?
Jawaban: Tugas pejabat pencatatan sipil itu melakukan pencatatan peristiwa
penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang meliputi
kelahiran, kematian, perkawinan, pereraian, pengakuan anak, pengesahan
anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status
kewarganegaraan.
2. Jika saya membtuhkan data perkawinan beda agama dari tahun 2010-2015
pada Kantor Catatn Sipil Jakarta Barat apakah data itu ada?
Jawaban: Tidak ada, karna kami tidak pernah mencatat perkawinan beda
agama di Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat. Perkawinan yang dicatat pada
Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat merupakan perkawinan non muslim yang
tetap satu agama dan bukan berbeda agama.
3. Apakah perkawinan beda agama dicatat pada Kantor Catatan Sipil Jakarta
Barat?
Jawaban: Tidak, kami tidak mencatat perkawinan beda agama karna Undang-
Undang dengan tegas melarangnya.
4. Apa dasar hukum Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat pada praktik perkawinan
beda agama?
Jawaban: Sesuai dengan Undang-Undang no.1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1
bahwa perkawinan sah bila dilakukan menurut agama dan kepercayaan
masing-masing.
5. Apa pernah ada pasangan beda agama yang meminta dicatatkan pada Kantor
Catatan Sipil Jakarta Barat?
Jawaban: Dulu pernah ada pasangan yang berbeda agama ingin mencatatkan
perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat sebelum saya menjabat
sebagai Kepala Bidang Pencatatan Sipil Jakarta barat, tetapi saya menolaknya
dan kemudian pasangan tersebut tidak kembali lagi.
6. Jika ada pasangan yang berniat mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan
Sipil Jakarta Barat bagaimana sikap anda?
Jawaban: Kami tidak mencatatkan perkawinan beda agama, yang kami catat
hanya perkawinan non muslim tetapi tetap satu agama.
7. Bagaimana prosedur pernikahan beda agama yang anda ketahui sebagai
pejabat Kantor Catatan Sipil?
Jawaban: Mereka yang ingin kawin beda agama harus di baptis unutk
kemudian menyerahkan surat keterangan telah di baptis dan perkawinannya
dianggap seagama bukan berbeda agama.
8. Kemendagri apa melayani perkawinan beda agama?
Jawaban: Kemendagri hanya mengeluarkan produk hukum, tidak pernah
melaksanakan pencatatan, karena Instansi Pelaksanya tetap Dinas
Kependudukan dan Catatan sipil.
9. Perkawinan luar negri apa sama dengan perkawinan beda agama?
Jawaban: Perkawinan luar negeri dilangsungkan di Luar negeri dan kami
hanya mencatat atas bukti laporan telah terjadi perkawinan luar negeri.
10. Apakah anda setuju bila perkawinan beda agama itu dilegalkan di Indonesia?
Jawaban: Undang-Undang perkawinan melarangnya dan saya tidak setuju
karna undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 saja telah melarangnya.
PEDOMAN WAWANCARA
Hasil Wawancara Mengenai PERKAWINAN LINTAS AGAMA di Wilayah Jakarta
Barat.
1. Nama: Sugih (Hindu)
Aira (Islam)
Tempat Wawancara: Kediaman Aira
Waktu Wawancara: 27 Maret 2016
Tanya: Pada tahun berapa anda melangsungkan perkawinan lintas agama?
Jawab: Sejak Tahun 2008 kami melangsungkan perkawinan.
Tanya: Apakah agama anda? Sebelum dan sesudah menikah
Jawab: Agama Istri Islam sebelum atau sesudah menikah, sedangkan agama
suami saya sebelumnya Hindu tetapi ketika menikah menjadi Muallaf
dengan masuk Islam. Setelah menikah kembali pada agama lamanya
yaitu hindu.
Tanya: Apakah anda memiliki anak dari hasil perkawinan lintas?
Jawab: Ada. kami memiliki satu orang anak perempuan.
Tanya: Agama apa yang menjadi pilihan anak?
Jawab: Anak ikut agama Islam.
Tanya: Bagaimana latar belakang agama dari pihak keluarga anda?
Jawab: Latar belakang agama saya Islam beserta keluarga sedangkan agama
suami saya Hindu yang taat, tetapi karena ingin menikah dan mencintai
saya dia menjadi muallaf.
Tanya: Ketika sudah menjadi keluarga dalam perkawinan lintas agama, seperti
apa anda menjaga toleransi agama dalam keluarga?
Jawab: Setelah menikah suami kembali pada kepercayaan agama yang lama
yaitu Hindu maka kami hidup dalam rumah tangga yang berbeda
keyakinan, namun kami saling menghargai satu sama lain. Jika saya
sedang melaksanakan solat lima waktu maka suami saya tidak melarang,
begitupun saat melaksanakan ibadah puasa, terkadang dia ikut saat
berbuka saja.
Tanya: Apakah dalam perkawinan lintas agama yang anda lakukan sering
terjadi konflik keluarga?
Jawab: Konflik pasti ada namun kami tetap saling menjaga kepercayaan antara
satu sama lain sampai sekarang kami masih menjadi suami istri.
Tanya: Bagaimana proses perkawinan lintas agama yang anda lakukan?
Jawab: kami menikah di KUA, Suami sudah menjadi muallaf sebelum kami
menikah.
Tanya: Apakah perkawinan anda sah secara negara dan agama?
Jawab: Iya sah, karena kami meinkah di KUA dengan pasangan atau suami
saya menjadi muallaf dengan berpindah keyakinan pada agama Islam.
Tanya: Pada usia berapa anda melangsungkan perkawinan lintas agama?
Jawab: Istri 24 tahun dan Suami 27 tahun.
2. Nama Pasangan: Rudy Hutama (Islam)
Mini Kiswanto (Katolik)
Tempat Wawancara: Kediaman Rudy Hutama
Tanggal Wawancara: 27 Maret 2016
Tanya: Pada tahun berapa anda melangsungkan perkawinan lintas agama?
Jawab: Sejak Tahun 2010 kami melangsungkan pernikahan.
Tanya: Apakah agama anda? Sebelum dan sesudah menikah.
Jawab: Saya beragama Islam dan Istri Katolik, sebelum dan sesudah menikah
tetap memegang agama masing-masing.
Tanya: Apakah anda memiliki anak dari hasil perkawinan lintas agama?
Jawab: Belum.
Tanya: Agama apa yang menjadi pilihan anak?
Jawab:
Tanya: Bagaimana latar belakang agama dari pihak keluarga anda?
Jawab: Keluarga saya memiliki beragam agama tetapi orang tua saya beragama
Islam, sedangkan keluarga dari pihak Istri yaitu Katolik yang taat.
Tanya: Ketika sudah menjadi keluarga dalam perkawinan yang berbeda agama,
seperti apa anda menjaga toleransi agama dalam keluarga?
Jawab: Saya beserta Istri saling toleransi, saat waktunya saya melakukan ibadah
yang wajib maka istri saya sudah pasti tahu dan begitupun saat istri saya
yang sedang melaksanakan ibadah untk agamanya, saya tidak
mengganggunya.
Tanya: Apakah dalam perkawinan lintas agama yang anda lakukan sering
terjadi konflik keluarga?
Jawab: Bukan hanya dalam pernikahan lintas agama saja, setiap pernikahan
pasti ada konflik baik kecil atau besar tergantung kita bisa atau tidak
melewatinya. Selama bisa memahami satu sama lain konflik kami bisa
atasi dengan kominikasi yang baik.
Tanya: Bagaimana proses perkawinan lintas agama yang anda lakukan?
Jawab: Saya mengikuti prosedur pernikahan pada agama Katolik, dan kami
hanya melangsungkan perkawinan secara agama katolik saja yaitu
agama istri saya.
Tanya: Apakah perkawinan lintas agama anda sah secara negara dan agama?
Jawab: Kalau secara agama kami telah melakukan perkawinan secara agama
katolik. Secara negara kami mencatatkannya pada catatan sipil untuk
pernikahan non muslim.
Tanya: Pada usia berapa anda melangsungkan perkawinan?
Jawab: Istri 25 dan Suami 32
3. Nama: Peter (Kristen)
Selvi (Islam)
Tempat Wawancara: Kediaman Selvi
Tanggal Wawancara: 27 Maret 2016
Tanya: Pada tahun berapa anda melangsungkan perkawinan lintas agama?
Jawab: Sejak Tahun 2012 kami melangsungkan perkawinan.
Tanya: Apakah agama anda? Sebelum dan sesudah menikah
Jawab: Agama saya Islam sebelum atau sesudah menikah, sedangkan agama
suami saya sebelum dan sesudah menikah adalah Kristen.
Tanya: Apakah anda memiliki anak dari hasil perkawinan?
Jawab: Ada. Kami memiliki satu orang anak perempuan.
Tanya: Agama apa yang menjadi pilihan anak?
Jawab: Anak ikut agama saya yaitu Islam.
Tanya: Bagaimana latar belakang agama dari pihak keluarga anda?
Jawab: Latar belakang agama saya Islam beserta keluarga sedangkan agama
suami saya beserta kelarganya Kristen yang taat, karena berasal dari
Batak.
Tanya: Ketika sudah menjadi keluarga dalam perkawinan lintas agama, seperti
apa anda menjaga toleransi agama dalam keluarga?
Jawab: Toleransi dalam berumah tangga belum sempat kami rasakan karena
setelah menikah kami langsung bercerai.
Tanya: Apakah dalam perkawinan lintas agama yang anda lakukan sering
terjadi konflik keluarga?
Jawab: Konflik itu ada dan sering, karena dari pihak keluarga pria meminta
pihak perempuan untuk pindah kepada agama Kristen, namun saya
menolak karena murtad dalam agama Islam adalah dosa besar.
Tanya: Bagaimana proses perkawinan lintas agama yang anda lakukan?
Jawab: Kami sebenarnya menikah Secara Sirrih. Setelah ada desakan untuk
berpindah agama maka kami memutuskan untuk bercerai.
Tanya: Apakah perkawinan anda sah secara negara dan agama?
Jawab: Iya sah secara agama tetapi tidak secara negara, karena kami menikah
secara sirih.
Tanya: Pada usia berapa anda melangsungkan perkawinan?
Jawaban: Istri 24 dan Suami 26 Tahun.
4. Nama: Wuu Kang Un (Kong Hucu)
Miranti Dewi (Islam)
Tempat Wawancara: Kediaman Miranti Dewi
Tanggal Wawancara: 27 Maret 2016
Tanya: Pada tahun berapa anda melangsungkan perkawinan lintas agama?
Jawab: Sejak Tahun 2006 kami melangsungkan perkawinan.
Tanya: Apakah agama anda? Sebelum dan sesudah menikah
Jawab: Agama saya Islam sebelum atau sesudah menikah, sedangkan agama
suami saya sebelum dan sesudah menikah adalah Kong Hucu.
Tanya: Apakah anda memiliki anak dari hasil perkawinan?
Jawab: Tidak, Kami tidak memiliki anak.
Tanya: Agama apa yang menjadi pilihan anak?
Jawab: Tidak ada.
Tanya: Bagaimana latar belakang agama dari pihak keluarga anda?
Jawab: Latar belakang agama saya Islam beserta keluarga sedangkan agama
suami saya beserta keluarganya Kong Hucu yang taat, karena dari sejak
lahir sudah mengikuti agama oarang tuanya.
Tanya: Ketika sudah menjadi keluarga dalam perkawinan lintas agama, seperti
apa anda menjaga toleransi agama dalam keluarga?
Jawab: Toleransi dalam berumah tangga kami lakukan dengan memberi
kebebasan dalam beragama contohnya saat beribadah antara satu sama
lain tidak melarang teapi yang terjadi justru sebaiknya, suami saya tidak
suka ketika saya beribadah sesuai anjuran agama Islam. Pernikahan
kami tidak berlangsung lama sampai akhirnya kami bercerai.
Tanya: Apakah dalam perkawinan lintas agama yang anda lakukan sering
terjadi konflik keluarga?
Jawab: konflik itu ada dan sering, karena dari pihak suami meminta pihak
perempuan yaitu saya untuk pindah kepada agama Kong Hucu, namun
saya menolak dengan alasan murtad dalam agama Islam adalah dosa
besar.
Tanya: Bagaimana proses perkawinan lintas agama yang anda lakukan?
Jawab: Kami menikah secara Islam. Setelah ada desakan untuk berpindah
agama maka kami memutuskan untuk bercerai.
Tanya: Apakah perkawinan anda sah secara negara dan agama?
Jawab: Iya sah secara agama dan negara.
Tanya: Pada usia berapa anda melangsungkan perkawinan lintas agama?
Jawab: Istri 23 dan Suami 27 Tahun.
5. Nama: Adrian (Kristen)
Intan (Islam)
Tempat Wawancara: Kediaman Intan
Tanggal Wawancara: 29 Maret 2016
Tanya: Pada tahun berapa anda melangsungkan perkawinan lintas agama?
Jawab: Sejak tahun 1999 kami melangsungkan perkawinan.
Tanya: Apakah agama anda? Sebelum dan sesudah menikah
Jawab: Agama saya Islam sebelum atau sesudah menikah, sedangkan agama
suami saya sebelum dan sesudah menikah adalah Kristen.
Tanya: Apakah anda memiliki anak dari hasil perkawinan?
Jawab: Iya, kami memiliki tiga orang putri.
Tanya: Agama apa yang menjadi pilihan anak?
Jawab: Agama anak kami Islam.
Tanya: Bagaimana latar belakang agama dari pihak keluarga anda?
Jawab: latar belakang agama saya Islam beserta keluarga, sedangkan agama
suami saya beserta keluarganya Kristen yang taat, karena dari sejak lahir
sudah mengikuti agama oarang tuanya.
Tanya: Ketika sudah menjadi keluarga dalam perkawinan lintas agama, seperti
apa anda menjaga toleransi agama dalam keluarga?
Jawab: Suamiku saat menikahiku sudah masuk Islam terlebih dahulu, baru
setelah itu menikah dengan saya, kalau dengan keluarga suamiku saya
bersikap cuek saja dan memberi kebebasan.
Tanya: Apakah dalam perkawinan lintas agama yang anda lakukan sering
terjadi konflik keluarga?
Jawab: Banyak sekali perbedaan sehingga terjadi konflik antara saya dan suami,
adapun faktor pihak keluarga saya yang kurang setuju sampai kepada
masalah ekonomi saat itu bukan agama.
Tanya: Bagaimana proses perkawinan lintas agama yang anda lakukan?
Jawab: Saya meminta suami untuk masuk Islam terlebih dahulu.
Tanya: Apakah perkawinan anda sah secara negara dan agama?
Jawab: Iya sah tentu saja.
Tanya: Pada usia berapa anda melangsungkan perkawinan?
Jawab: Istri 27 tahun dan Suami 29 tahun.
6. Nama: Agus (Katolik)
Setiawati (Islam)
Tempat Wawancara: Kediaman Setiawati
Tanggal Wawancara: 29 Maret 2016
Tanya: Pada tahun berapa anda melangsungkan perkawinan lintas agama?
Jawab: Sejak Tahun 1994 kami melangsungkan perkawinan.
Tanya: Apakah agama anda? Sebelum dan sesudah menikah
Jawab: Katolik, sesudah menikah tetap Katolik.
Tanya: Apakah anda memiliki anak dari hasil perkawinan?
Jawab: Ada. Kami memiliki dua orang anak laki-laki.
Tanya: Agama apa yang menjadi pilihan anak?
Jawab: Anak beragama Islam.
Tanya: Bagaimana latar belakang agama dari pihak keluarga anda?
Jawab: Latar belakang keluarga mengusung asas kebebasan dalam memilih
agama. Tidak ada paksaan atau tekanan dalam memilih agama.
Tanya: Ketika sudah menjadi keluarga dalam perkawinan lintas agama, seperti
apa anda menjaga toleransi agama dalam keluarga?
Jawab: Seperti saling mengingatkan saat waktu ibadah.
Tanya: Apakah dalam perkawinan lintas agama yang anda lakukan sering
terjadi konflik keluarga?
Jawab: Konflik pasti ada namun, kami tetap saling menjaga kepercayaan antara
satu sama lain, dan saling menyikapi permasalahan dengan baik.
Tanya: Bagaimana proses perkawinan lintas agama yang anda lakukan?
Jawab: Kami menikah secara Agama Islam.
Tanya: Apakah perkawinan anda sah secara negara dan agama?
Jawab: Iya sah secara agama dan negara.
Tanya: Pada usia berapa anda melangsungkan perkawinan?
Jawab: Suami 28 tahun dan Istri 26 tahun.
7. Nama: Julian (Kristen)
Safitri (Islam)
Tempat Wawancara: Kediaman Setiawati
Tanggal Wawancara: 29 Maret 2016
Tanya: Pada tahun berapa anda melangsungkan perkawinan lintas agama?
Jawab: Sejak Tahun 2004 kami melangsungkan perkawinan.
Tanya: Apakah agama anda? Sebelum dan sesudah menikah
Jawab: Kristen, sesudah menikah tetap Kristen.
Tanya: Apakah anda memiliki anak dari hasil perkawinan?
Jawab: Ada. Kami memiliki satu orang anak perempuan.
Tanya: Agama apa yang menjadi pilihan anak?
Jawab: Anak beragama Islam.
Tanya: Bagaimana latar belakang agama dari pihak keluarga anda?
Jawab: Latar belakang keluarga Islam dan sempat tidak setuju menikah dengan
yang berbeda agama.
Tanya: Ketika sudah menjadi keluarga dalam perkawinan lintas agama, seperti
apa anda menjaga toleransi agama dalam keluarga?
Jawab: Seperti saling mengingatkan antara satu dengan yang lain saat waktu
ibadah.
Tanya: Apakah dalam perkawinan lintas agama yang anda lakukan sering
terjadi konflik keluarga?
Jawab: Konflik pasti ada namun, kami tetap saling menjaga kepercayaan antara
satu sama lain, dan saling menyikapi permasalahan dengan baik.
Tanya: Bagaimana proses perkawinan lintas agama yang anda lakukan?
Jawab: Kami menikah secara agama Kristen.
Tanya: Apakah perkawinan anda sah secara negara dan agama?
Jawab: Iya sah secara agama dan negara.
Tanya: Pada usia berapa anda melangsungkan perkawinan?
Jawab: Suami 27 tahun dan Istri 24 tahun.
8. Nama: Hendra (Kristen)
Nurlaela (Islam)
Tempat Wawancara: Kediaman Nurlaela
Tanggal Wawancara: 2 April 2016
Tanya: Pada tahun berapa anda melangsungkan perkawinan lintas agama?
Jawab: Sejak Tahun 2009 kami melangsungkan perkawinan.
Tanya: Apakah agama anda? Sebelum dan sesudah menikah
Jawab: Kristen, sesudah menikah tetap Kristen.
Tanya: Apakah anda memiliki anak dari hasil perkawinan?
Jawab: Ada, kami memiliki satu orang anak laki-laki.
Tanya: Agama apa yang menjadi pilihan anak?
Jawab: Anak beragama Islam.
Tanya: Bagaimana latar belakang agama dari pihak keluarga anda?
Jawab: Latar belakang keluarga Islam dan sempat tidak setuju menikah dengan
yang berbeda agama. Takut suatu saat pindah agama.
Tanya: Ketika sudah menjadi keluarga dalam perkawinan lintas agama, seperti
apa anda menjaga toleransi agama dalam keluarga?
Jawab: Seperti saling mengingatkan satu sama lain jika waktu ibadah. Saling
memahami kondisi dalam keluarga.
Tanya: Apakah dalam perkawinan lintas agama yang anda lakukan sering
terjadi konflik keluarga?
Jawab: Konfliki ada karena kita berbeda pandangan terhadap agamanamun,
kami tetap saling menjaga kepercayaan antara satu sama lain, dan
saling menyikapi permasalahan dengan baik.
Tanya: Bagaimana proses perkawinan lintas agama yang anda lakukan?
Jawab: Kami menikah secara agama Islam dengan meminta suami masuk Islam
terlebih dahulu.
Tanya: Apakah perkawinan anda sah secara negara dan agama?
Jawab: Iya sah secara agama dan negara.
Tanya: Pada usia berapa anda melangsungkan perkawinan?
Jawab: Istri 25 tahun dan Suami 27.
9. Nama: Rama Subagio (Budha)
Natasha (Hindu)
Tempat Wawancara: Kediaman Natasha
Tanggal Wawancara: 5 April 2016
Tanya: Pada tahun berapa anda melangsungkan perkawinan lintas agama?
Jawab: Sejak Tahun 2005 kami melangsungkan perkawinan.
Tanya: Apakah agama anda? Sebelum dan sesudah menikah
Jawab: Hindu, sesudah menikah tetap Hindu.
Tanya: Apakah anda memiliki anak dari hasil perkawinan?
Jawab: Ada, kami memiliki dua orang ana laki-laki dan perempuan.
Tanya: Agama apa yang menjadi pilihan anak?
Jawab: Anak beragama Hindu.
Tanya: Bagaimana latar belakang agama dari pihak keluarga anda?
Jawab: Latar belakang keluarga Hindu dan sempat tidak setuju menikah dengan
yang berbeda agama. Takut pindah keyakinan.
Tanya: Ketika sudah menjadi keluarga dalam perkawinan lintas agama, seperti
apa anda menjaga toleransi agama dalam keluarga?
Jawab: Seperti saling mengingatkan saja satu sama lain jika waktu ibadah.
Tidak ada paksaan saat waktunya Ibadah.
Tanya: Apakah dalam perkawinan lintas agama yang anda lakukan sering
terjadi konflik keluarga?
Jawab: Konflik pasti ada namun, kami tetap saling menjaga kepercayaan antara
satu sama lain, dan saling menyikapi permasalahan dengan baik serta
dewasa.
Tanya: Bagaimana proses perkawinan lintas agama yang anda lakukan?
Jawab: Kami menikah secara agama Hindu.
Tanya: Apakah perkawinan anda sah secara negara dan agama?
Jawab: Iya sah secara agama dan negara.
Tanya: Pada usia berapa anda melangsungkan perkawinan?
Jawab: Istri 24 tahun dan Suami 25 tahun.
10. Nama: Rezeki (Islam)
Linda (Katolik)
Tempat Wawancara: Kediaman Linda
Tanggal Wawancara: 7 April 2016
Tanya: Pada tahun berapa anda melangsungkan perkawinan lintas agama?
Jawab: Sejak Tahun 1968 kami melangsungkan perkawinan.
Tanya: Apakah agama anda? Sebelum dan sesudah menikah
Jawab: Katolik, sesudah menikah tetap Katolik.
Tanya: Apakah anda memiliki anak dari hasil perkawinan?
Jawab: Ada, kami memiliki 4 orang anak satu laki-laki dan tiga perempuan.
Tanya: Agama apa yang menjadi pilihan anak?
Jawab: Anak beragama Katolik dari kecil hingga besar tetapi menikah secara
agama Islam atas permintaan dari keluarga mempelai.
Tanya: Bagaimana latar belakang agama dari pihak keluarga anda?
Jawab: Latar belakang keluarga Katolik, karena memang dari kecil saya sudah
beragama Katolik. Sedangakan bapak mayoritas keluarga beragama
Islam tetapi mendukung dan memberi kebebasan untuk menikah dengan
yang beda agama.
Tanya: Ketika sudah menjadi keluarga dalam perkawinan lintas agama, seperti
apa anda menjaga toleransi agama dalam keluarga?
Jawab: Seperti saling mendukung dalam setiap aktivitas dan memahami satu
sama lain, karena tidak ada paksaan dalam agama Katolik.
Tanya: Apakah dalam perkawinan lintas agama yang anda lakukan sering
terjadi konflik keluarga?
Jawab: Konflik pasti ada namun, kami tetap saling menjaga kepercayaan antara
satu sama lain, dan saling menghargai sehingga setiap masalah bisa
kami selesaikan secara kepala dingin, karena prinsip agama Katolik
tidak ada perceraian.
Tanya: Bagaimana proses perkawinan lintas agama yang anda lakukan?
Jawab: Kami menikah secara agama Islam kemuadian untuk pengesahan di
gereja Katolik dengan cara dispensasi yaitu pengesahan.
Tanya: Apakah perkawinan anda sah secara negara dan agama?
Jawab: Iya sah secara agama dan negara.
Tanya: Pada usia berapa anda melangsungkan perkawinan?
Jawaban: Istri 20 tahun dan Suami 28 tahun.