keratoconus

38
B A B I PENDAHULUAN Keratokonus merupakan kelainan dari kornea. Bentuk kornea mengalami penonjolan dari bentuk normal. Keratokonus adalah penyakit kornea yang bersifat kronis dan non inflamasi dimana daerah sentral dan parasentral dari kornea mengalami penipisan dan penonjolan sehingga kornea tampak berbentuk kerucut. Efeknya penderita mengalami gangguan penglihatan saat melihat suatu benda. Keratokonus merupakan penyakit yang terjadi pada masa dewasa (earlyadulthood) dan bersifat kronis. Keratokonus pertama kali di jelaskan oleh seorang dokter inggris bernama John Nottingham di naskahnya yang berjudul “pengamatan praktis di kornea berbentuk kerucut dan penglihatan pendek serta cacat lain pada mata yang berhubungan dengan itu”, pada tahun 1854. Prevalensi keratokonus di laporkan sebesar 50 per 100.000 dengan insiden tahunan sebesar 2 per 100.000. Tidak ada pola herediter yang khas namun adanya 1

Upload: desy-imnida

Post on 28-Nov-2015

201 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

referat keratoconuskeratoconus keratoconus keratoconus keratoconus keratoconus keratoconuskeratoconus keratoconus keratoconus

TRANSCRIPT

Page 1: Keratoconus

B A B I

PENDAHULUAN

Keratokonus merupakan kelainan dari kornea. Bentuk kornea mengalami

penonjolan dari bentuk normal. Keratokonus adalah penyakit kornea yang bersifat

kronis dan non inflamasi dimana daerah sentral dan parasentral dari kornea

mengalami penipisan dan penonjolan sehingga kornea tampak berbentuk kerucut.

Efeknya penderita mengalami gangguan penglihatan saat melihat suatu benda.

Keratokonus merupakan penyakit yang terjadi pada masa dewasa

(earlyadulthood) dan bersifat kronis.

Keratokonus pertama kali di jelaskan oleh seorang dokter inggris

bernama John Nottingham di naskahnya yang berjudul “pengamatan praktis di

kornea berbentuk kerucut dan penglihatan pendek serta cacat lain pada mata yang

berhubungan dengan itu”, pada tahun 1854.

Prevalensi keratokonus di laporkan sebesar 50 per 100.000 dengan

insiden tahunan sebesar 2 per 100.000. Tidak ada pola herediter yang khas namun

adanya keratokonus pada keluarga tertentu telah dilaporkan terdapat pada sekitar

6-8% dari kasus.

Sampai saat ini terapi keratokonus hanya terbatas pada kaca mata dan

lensa kontak, sedangkan pada kasus yang berat dilakukan keratoplasti tembus.

Beberapa usaha untuk mencari alternatif terapi keratokonus dilaporkan pada

beberapa literatur seperti keratoplasti thermis, photorefractive keratectomy, laser

in situ keratomileusis (LASIK), dan yang terbaru berupa pemasangan intra

1

Page 2: Keratoconus

corneal ring segments. Penyebab keratokonus tidak diketahui dengan pasti dan

penatalaksanaannya masih terus berkembang.

2

Page 3: Keratoconus

B A B II

I S I

2.1 Embriologi Kornea

Mata berkembang dari tiga lapisan embrional primitif, yaitu ektoderm,

neuroektoderm dan mesoderm. Kornea dibentuk dari lapisan nureal crest cell

yang merupakan derivat dari ektoderm.

Pada akhir dari minggu ke-6 gestasional, kornea telah terdiri dari 3 lapis,

yaitu lapisan epitel skuamosa superfisial dengan sel basal yang berbentuk kubus,

lapisan stroma dan laisan set endotel. Pada bulan ke empat, lapisan Bowman dan

descement mulai terlihat. Saat lahir ukuran diameter kornea mencapai 10,00 mm

dan terus berkembang kemudian berhenti ketika telah berusia 1 tahun.

Gambar 2.1. Gambar kornea dan bagian-bagian sekitar kornea

3

Page 4: Keratoconus

2.2 Anatomi dan Fisiologi Kornea

Kornea adalah jaringan transparan dan avaskular terletak di bagian sentral

dari kutub anterior bola mata yang akan bergabung dengan sklera dan

konjungtiva. Kornea akan tampak berbentuk elips bili dilihat dari bagian depan

dengan ukuran diameter horisontal 11-12 mm dan diameter vertikal 9-11 mm.

Indeks refraksi kornea sebesar 1,376. Radius dari kurvatura kornea sentral sekitar

7,8 mm (6,7-9,4 mm). Kekuatan dioptri karena sebesar 43,25 dioptri atau sekitar

74% dari total kekuatan dioptri mata manusia normal.

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata

bagian di sebelah depan. Nutrisi kornea diperoleh dari difusi glukosan akuos

humor dan difusi oksigen melalui lapisan air mata. Bagian perifer kornea juga

mendapat oksigen dari sirkulasi limbal.

Gambar 2.2. Kornea Penampang Melintang

4

Page 5: Keratoconus

Secara mikroskopis korna terdiri dari 5 lapisan, yaitu:

1. Epitel

Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis selepitel tidak bertanduk yang saling

tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada

sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan

menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng,

sel basal berikatan erat berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan

sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden, ikatan

ini menghambat pengaliran air, eliktrolit, dan glukosa yang merupakan

barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat

kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.

Adanya ikatan yang kuat antara sel-sel epitel superfisial mencegah

terjadinya penetrasi cairan air mata ke dalam stroma.

2. Lapisan Bowman

Lapisan Bowman adalah lapisan yang terkuat dan terbentuk dari lapisan

fibril kolagen yang tersusun secara random. Ketebalan lapisan ini sekitar

8-14 mikro meter. Bila terjadi luka yang mengenai bagian ini maka akan

digantikan dengan jaringan parut karena tidak memiliki daya regenerasi.

3. Stroma

Stroma merupakan 90% dari seluruh ketebalan kornea dan dibentuk oleh

keratosit yang memproduksi kolagen. Jenis kolagen yang dibentuk adalah

tipe I, III dan VI. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen

5

Page 6: Keratoconus

yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang

teratur sadangkan dibagian perifer serat kolagen ini bercabang,

terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-

kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang

merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga

keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan

embrio atau sesudah trauma. Transparansi kornea juga ditentukan dengan

menjaga kandungan air di stroma sebesar 78%.

4. Membran Descement

Membrana descement adalah suatu lamina basalis yang tebal dan longgar

pada stroma. Merupakan membran aselular dan merupakan batas

belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran

basalnya. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup,

mempunyai tebal 40 μm.

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, berlapis satu,bentuk heksagonal, besar 20-40

μm. Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom

dan zonula okluden. Sel endotel mempunyai fungsi transport aktif air dan

ion yang menyebabkan stroma menjadi relatif dehidrasi sehingga terut

menjaga kejernihan kornea.

6

Page 7: Keratoconus

Gambar 2.4. Penampang melintang kornea

2.3 Epidemologi

Keratokonus mempunyai onset pada masa pubertas dan mengalami

progresivitas sampai dekade ketiga atau keempat kehidupan. Kelainan yang

menyertai keratokonus yang paling sering adalah sindroma Down, amaurosis

kongenital Leber (Leber’s congenital amaurosis), dan kelainan jaringan

penyangga (connective tissue). Keratokonus terjadi pada semua ras dan tidak

mempunyai predisposisi pada jenis kelamin tertentu.

2.4 Etiologi

1. Penelitian Biokimia

Terjadinya penipisan stroma pada keratokonus diduga disebabkan

meningkatnya enzim protease, yang disebabkan menurunya enzim

7

Page 8: Keratoconus

inhibitor protease. Pada pemeriksaan biokimia didapatkan penurunan

enzim alpha1- proteinase inhibitor, alpha2 macroglobulin dan TMP-1.

2. Faktor Genetik

Pada penelitian silsilah keluarga didapatkan bahwa keratokonus

diturunkan secara autosomal dominan dengan penetrasi yang bervariasi.

3. Penyakit Lain

Sindroma Down dilaporkan mempunyai angka kejadian keratokonus

yang lebih tinggi dibanding angka kejadian pada populasi umum, yaitu

sebesar 5-15% (100-300 kali lebih besar). Kebiasaan menggosok-gosok

mata (eye rubbing) juga dikaitkan dengan patogenensis terjadinya

keratokonus.

Beberapa literatur menyebutkan hubungan keratokonus dengan kelainan

jaringan penyangga (connective tissue disorders). Keratokonus juga

disebutkan terjadi pada osteogenesis imperfecta, sindroma Ehlers-Danlos

dan 58% dari pasien keratokonus yang dilakukan tindakan operatif ternya

mempunyai kelainan prolaps katup jantung. Pemakainan lensa kontak

juga diduga merupakan salah satu penyebab keratokonus. Namun sulit

dibuktikan mana yang lebih dahulu terjadi, pemakainan lensa kontak atau

keratokonus.

2.5 Histopatologi

Penipisan dari stroma kornea, robekan pada membran Bowman, dan

penumpukan besi di lapisan basal epitel kornea merupakan triad klasik

histopatologi yang ditemukan pada keratokonus.

8

Page 9: Keratoconus

Pada membrana Bowman terjadi robekan disertai penonjolan lapisan

kolagen stroma di bawahnya, bentukan jaringan parut berbentuk Z, dan nodul

yang tampak dengan pengecatan PAS (periodic acid Schift). Membrana

descement jarang terkena kecuali adanya robekan pada keadaan hidrops akut.

Pada pemeriksaan histopatologi keadaan hidrops akut menunjukkan adanya

edema dari stroma. Membrana descement robek, terpisah dari permukaan

posterior dan terlipat-lipat. Keadaan ini biasanya membaik dalam 3-4 bulan

setelah fase akut.

2.6 Klasifikasi

Secara keratometri, keratokonus di bagi menjadi 3 yaitu ringan (<48 D),

sedang (48-54 D) dan berat (>54 D). Secara morfologi di bagi sebagai berikut:

1. Nipple Cones

Ditandai dengan ukuran yang kecil (<5mm). Pusat dari puncaknya

terletak pada sentral atau parasentral dan berpindah ke arah infero nasal.

Gambar 2.5. Nipple Cones

9

Page 10: Keratoconus

2. Oval Cones

Ditandai dengan ukuran yang lebih besar (5-6mm).

Gambar 2.6. Oval Cones

3. Globus Cones

Ukurannya terbesar (>6mm)

10

Page 11: Keratoconus

Gambar 2.7. Globus Cone

2.7 Anamesis dan Pemeriksaan

2.7.1 Anamesis

Keratokonus adalah suatu kondisi dimana kornea terbentuk mirip kerucut

sebagai akibat dari proses penipisan stroma kornea. Penipisan kornea ini

menyebabkan astigmatisme irregular, miopia dan penonjolan yang pada akhirnya

menyebabkan menurunnya tajam penglihatan. Penyakit ini bersifat progresif dan

bilateral, walaupun pada awalnya hanya mengenai satu mata.

Pada awalnya mungkin berupa penurunan tajam penglihatan yang ringan.

Pada stadium lanjut akan timbul gangguan penglihatan yang bermakna sejalan

dengan semakin progresifnya penyakit, namun pasien dengan keratokonus tidak

pernah sampai buta total akibat penyakit ini.

11

Page 12: Keratoconus

Gambar 2.8. Visus penderita keratokonus

Tanda-tanda keratokonus antara lain penglihatan kabur, ada perubahan

persepsi terhadap benda yang dipandang, astigmatisme buruk, penglihatan ganda

pada satu mata, rabun malam, cahaya terlihat melebar, sensitif terhadap cahaya

dan mata gatal.

2.7.2 Pemeriksaan

A. Pemeriksaan Luar

1. Tanda dari Munson

Adanya bentuk seperti huruf V pada kelopak mata bawah saat pasien

melirik ke bawah yang disebabkan kelainan bentuk dari kornea.

12

Page 13: Keratoconus

Gambar 2.9. Tanda dari Munson pada Keratokonus

2. Tanda dari Rizzzuti

Bila lampu senter disinarkan dari arah temporal akan tampak reflek dari

kerucut di kornea sebelah nasal. Tanda ini merupakan tanda awal dari

keratokonus.

Gambar 2.10. Tanda dari Rizzuti

B. Pemeriksaan Visus dan Refraksi

Pada stadium awal didapatkan kelainan refraksi berupa myopia dan

astigmatisme regular yang bisa dikoreksi dengan kaca mata. Pada stadium

lanjut berupa astigmatisme irregular yang sudah tidak dapat lagi dikoreksi

dengan kaca mata melainkan dengan lensa kontak keras.

13

Page 14: Keratoconus

C. Pemeriksaan Lampu Celah Biomikroskop

Didapatkan:

1. Penipisan stroma kornea, umumnya didaerah inferior atau infero-

temporal.

2. Garis dari Vogt, ditemukan garis-garis halus sejajar dengan aksis dari

kerucut di stroma bagian dalam yang hilang sementara pada penekanan

bola mata dengan jari.

3. Cincin dari Fleisher, merupakan deposit besi pada epitel yang

mengelilingi dasar kerucut.

D. Pemeriksaan Lain

Ditemukan reflek gunting atau terpotongnya reflek dari retinioskopi, adanya

refleks tetesan minyak (oil-droplet reflek) pada pemeriksaan dengan

oftalmoskop direk pada jari sekitar 30 cm.

E. Pemeriksaan Topografi Kornea

Pada pemeriksaan dengan piring plasido dapat dideteksi perubahan kornea

pada keratokonus yang sub klinis. Rabinowitz menemukan adanya

pembelokan pada meridian horizontal.

14

Page 15: Keratoconus

Gambar 2.11. Piring placido videografi –komputer pada keratokonus

2.8 Perjalanan Penyakit

Fase Awal

Tanda-tanda yang didapat pada fase ini meliputi:

1. Reflek tetesan minyak dengan pemeriksaan oftalmoskop pada jarak

sekitar 30 cm.

2. Retinoskopi memperhatikan reflek gunting yang irreguler.

3. Pemeriksaan lampu celah memperlihatkan garis-garis Vogt yang hilang

dengan melakukan penekanan yang ringan pada bola mata.

4. Saraf-saraf kornea yang prominent mungkin tampak.

5. Keratometer memperlihatkan astigmatisme irregular.

Fase Lanjut

Fase ini ditandai dengan:

1. Penipisan kornea yang progresif lebih dari sepertiga ketebalan kornea

2. Visus jelek karena miopia astigmat irreguler yang berat.

3. Adanya tanda dari Munson15

Page 16: Keratoconus

4. Pemeriksaan lampu celah bisa didapatkan cincin dari Flischer

5. Jaringan parut pada stroma kornea pada kasus yang berat

Fase Hidrops Akut

1. Suatu keadaan akut dimana cairan aqueous masuk ke kornea karena

adanya robekan pada membran Descement. Hal ini menyebabkan

turunnya visus secara mendadak disertai tidak nyaman dan epifora.

2. Diterapi dengan pemberian tetes mata salin hipertonik, bebat mata atau

lensa kontak lunak, dan pemberian siklopegik untuk mengurangi nyeri

siliaris.

2.9 Diagnosis Banding

1. Degenerasi Pellucid Marginal

Terjadi penipisan kornea bagian inferior. Onset pada dekade ketiga

sampai kelima dari kehidupan, bersifat progresif dan tidak mempunyai

predileksi pada jenis kelamin tertentu.

16

Page 17: Keratoconus

Gambar 2.12. Pellucid Marginal

2. Keratoglobus

Seluruh kornea mengalami penipisan. Penyakit ini timbul sejak lahir,

bersifat bilateral dan diduga disebabkan oleh kelainan sintesa kolagen.

Gambar 2.13. Keratoglobus

17

Page 18: Keratoconus

2.10 Penatalaksanaan

1. Kaca Mata

Untuk mengkoreksi astigmatisme regular atau astigmatisme irregular

yang ringan.

2. Lensa Kontak Keras

Dibutuhkan pada derajat astigmat yang berat dan menghasilkan

permukaan refraktif yang regular.

3. Tindakan bedah

A. Keratoplasti Tembus

Di indikasikan pada pasien keratokonus yang timbul jaringan parut

pada apeks dari kornea dan pasien yang tidak bisa dikoreksi atau tidak

toleran terhadap lensa kontak.

Gambar 2.14. Keratoplasti Tembus

18

Page 19: Keratoconus

B. Keratoplasti Lamellar Dalam (deep lamellar keratoplasty/DLK)

Keratoplasti lamellar adalah prosedur transplantasi kornea dengan

ketebalan tertentu.

Gambar 2.15

Gambar 2.16 Keratoplasti Lamelar

19

Page 20: Keratoconus

C. Keratoplasti Termal (Thermokeratoplasti)

Membuat kornea lebih flat/datar dengan menggunakan aplikasi panas.

Sumber panas yang bisa digunakan adalah Laser holmium-YAG non

kontak.

Gambar 2.17 Laser Termal Keratoplasti

4. Prosedur Ablatio Kornea

A. Ablasi Kornea Dengan Laser Eksimer (Excimer Laser)

Tujuan ablasi kornea dengan laser pada keratokonus ialah:

Sebagai terapi pasien keratokonus yang tidak toleran dengan lensa

kontak karena adanya nebula. Pengambilan jaringan parut tersebut

dapat meningkatkan toleransi pasien keratokonus terhadap

penggunaan lensa kontak.

Sebagai prosedur refraksi untuk meratakan kerucut dan mengurangi

astigmatisme, meningkatkan toleransi pemakaian kaca mata dan

lensa kontak.

20

Page 21: Keratoconus

Gambar 2.18

Gambar 2.19 Excimer Laser (PRK)

B. LASIK (Laser in Situ Keratomileus)

Lasik digunakan untuk menangani miopia astigmatisme pada pasien

dengan keratokonus, terutama pada stadium forme-fruste. Namun

pada observasi lebih lanjut ditemukan adanya regresi dari visus akibat

progresifitas dari keratokonusnya dan pada akhirnya juga memerlukan

tindakan keratoplasti.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon konsumen

terhadap operasik lasik, yaitu:

21

Page 22: Keratoconus

Usia di atas 18 tahun

Mata dalam keadaan sehat (tidak ada iritasi)

Tidak sedang dalam kondisi hamil

Tidak memiliki penyakit degeneratif dan penyakit berbahaya

lainnya.

Melepas kacamata atau lensa kontak minimal 3 minggu sebelum

dilakukan operasi lasik.

Ketebalan kornea yang akan diperbaiki harus menyisakan ukuran

250 µm.

Gambar 2.20 Tissue flap

22

Page 23: Keratoconus

Gambar 2.21 Laser Sculpts

Gambar 2.22 Lasik Surgery

5. Prosedur Addisi Kornea

A. Epikeratoplasti

23

Page 24: Keratoconus

Epikeratoplasti bertujuan membuat kornea berubah bentuk dengan

cara menambahkan jaringan kornea donor yang telah dipahat.

Walaupun visus paska keratoplasti tembus lebih baik daripada

epikeratoplasti, namun epikeratoplasti tetap direkomendasikan sebagai

alternatif bedah untuk pasien yang tidak dianjurkan dilakukan

keratoplasti tembus, seperti pasien dengan sindroma Down atau atlet

profesional.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk kornea donor adalah

sebagai berikut:

Kornea jernih

Jumlah endotel kornea cukup banyak

Tidak menderita penyakit: hepatitis, HIV (+), tumor mata,

septikemia, sifilis, glaukoma, leukemia serta tumor-tumor yang

menyebar seperti kanker payudara dan kanker leher rahim.

Mata harus diambil kurang dari 6 jam setelah meniggal dunia

Kornea donor harus digunakan dalam waktu kurang dari 2x24 jam.

Kornea donor diaawetkan dengan: pendinginan, gliserin anhidrat,

ruang lembab, media kultur, Mckaufman medium, pengawetan

krio.

Sedangkan syarat-syarat untuk kornea resipien, yaitu:

Letak kerusakan kornea di bagian tengah

Tidak ada bentukan pembuluh darah

Relatif dalam keadaan tenang

24

Page 25: Keratoconus

Jaringan kornea yang keruh bebas dari perlekatan dengan jaringan

lain.

Tekanan bola mata normal

Kondisi air mata dan selaput lendir relatif normal

Gambar 2.23 Epikeratoplasti

B. Lensa Intraokuler Fakik

Lensa intraokular fakik semakin populer penggunaannya. Miopia

sering berhubungan dengan keratokonus. Pada beberapa pasien degan

kornea yang masih jernih namun sudah tidak dapat toleran terhadap

lensa maka cara ini dapat dipertimbangkan.

C. Cincin Kornea Intra Stroma

Cincin ini berfungsi untuk memendekkan kelengkungan arkus

permukaan anterior kornea dan mendatarkan daerah korena sentral.

Cara ini bersifat reversibel (cincin tersebut dapat diambil kembali) dan

25

Page 26: Keratoconus

juga bisa dianjurkan pada pasien sindroma Down dimana tindakan

keratoplasti tembus sangat beresiko karena kurangnya kerjasama

pasien.

Gambar 2.24 Cincin Kornea intrastroma

2.11 Prognosis

Keratokonus adalah suatu bentuk dari kornea mata berupa penipisan pada

kornea didaerah sentral dan parasentral yang berakibat kornea menjadi tipis dan

menonjol seperti kerucut. Penyakit ini merupakan penyakit non inflamasi, bersifat

kronis dan progresif. Bila terjadi jaringan parut pada kornea bagian sentral akan

menyebabkan penurunan visus yang bermakna dan tidak dapat dikoreksi dengan

lensa kontak.

26

Page 27: Keratoconus

B A B III

PENUTUP

Keratokonus ialah penyakit kelaianan kornea non inflamasi dan bilateral

dimana daerah sentral atau parasentral dari kornea mengalami penipisan dan

penonjolan sehingga kornea tampak berbentuk kerucut. Gambaran histopatologi

klasik berupa penipisan stroma, deposit besi di epitel atau basal membran, serta

robekan-robekan pada lapisan membrana Bowman. Pemeriksaan biokimiawi

menunjukkan adanya enzim degradatif, inhibitor protein dan IL-1 mungkin

berperan penting dalam patogenensi penyakit ini.

Pada stadium awal, kaca mata sudah cukup memperbaiki visus. Lensa

kontak keras merupakan bentuk terapi yang paling sering dipakai. Bila lensa

kontak sudah gagal memperbaiki visus, maka transplantasi kornea merupakan

tindakan bedah yang memberikan hasil visus terbaik.

27

Page 28: Keratoconus

DAFTAR PUSTAKA

1. Basic and Clinical Science Course 2001-2002: Fundamentals dan principles of opthalmology; American Academy of Oftalmology;156

2. Basic and Clinical Science Course 2003-2004: External Disease and Cornea; American Academy of Oftalmology; hal.9-312

3. Bruce AS, Loughnan MS, 2003. Anterior eye disease and therapeutic A.Z. Oxford: Butterworth-Heinemann: 184-189

4. Ilyas Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-3. Fakultas kedokteran UniversitasIndonesia. Jakarta.2005.EGC

5. Cibis GW, Abdel-Latif AA, Bron AJ et all, 2001. BCSC 2001-2002 Section 2: Fundamental and principles of opthalmology. San Fransisco: The Foundation of the American Academy of Opthamology: 156

6. Colin J, Velou S, 2003. Current surgical options for keratokonus. J Cataract Refract Surg 29: 379-386

7. Colin J, Velou S, 2003. Implantation of intact and a refractive intraocular lens to correct keratokonus. J Cataract Refract Surg 29: 832-834

8. Kanski JJ, 2003. Clinical Ophtalmology: A Systemic Approach. 5”ed, Oxford: ButterwortHeinemann: 131-135

9. Kenny MC, Brown DJ, 2003. The cascade hypothesis of keratokonus. Contact lens and anterior eye 26: 139-146

10. Kymes SM, Walline JJ, Zadnik K et al, 2004. Quality of life in keratokonus. Am J opthalmology 138:527-525

11. Mandell RB, 2008. Contempory management of keratokonus. ICLC 24: 43-58

12. Rabinowitz, 2009. Keratoconus: major review. Suerv of Opthalmology 42:297-319

13. Siganos CS, Kymionis GD, Kartakis N et all, 2003. Management keratoconus with intacs. Am J opthalmology 135:64-79

14. Surphin JE, Chodosh J, Dana MR et all, 2003. BSCS 2003-2004 Section 8:External disease and cornea. San Fransisco: The Foundation of The

28

Page 29: Keratoconus

American Academy of Opthamlmology: 9, 311-316, 425-444,456,496, 497

15. Wachler BS, Chandra NS, Chou B et al 2003. Intact for Keratoconus. Opthalmology 110:1031-1040

29