keragaman varietas jahe (zingiber officinale rosc ...biosains.mipa.uns.ac.id/b/b0402/b040211.pdf ·...

8
BioSMART ISSN: 1411-321X Volume 4, Nomor 2 Oktober 2002 Halaman: 48-54 © 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale Rosc.) berdasarkan Kandungan Kimia Minyak Atsiri Variation on ginger (Zingiber officinale Rosc.) varieties based on chemical constituent of volatile oils AHMAD DWI SETYAWAN Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 Diterima: 15 Mei 2002. Disetujui: 31 Juli 2002 ABSTRACT Rhizome of ginger (Zingiber officinale Rosc.) had been used long time ago as spices, flavoring agent and medicinal stuf. This species had three varieties based on color and size of rhizome, i.e. gajah (big white ginger), merah (red or blue ginger), and emprit (white ginger). This research was conducted to find out: (i) percentage of volatile oil of three ginger varieties, (ii) type and percentage of volatile oil components of those ginger, and (iii) similarity index of volatile oil of those ginger based on type and percentage of each components. Volatile oils were obtained by hydodistillation method; type and percentage of components were determined by GC and GC-MS methods, while similarity index was determined by UPGMA methods. The result indicated that (i) percentage of volatile oil of big white ginger, blue ginger, and white ginger were 2%, 2.5%, and 2.5% respectively, (ii) number of chemical component those ginger were 18, 18, and 14 respectively, where big white ginger had two main compound (> 10%) namely α-pinene (21.25%) and benzene (17.11%), blue ginger had three main compound namely α-pinene (17.39%), 2,6-octadiene (10.25%), and benzene (19.75%), and white ginger had four main compound namely α-pinene (12.75%), 2,6-octadiene (12.82%), RT 12.15 (10.81%), and benzene (11.75%), (iii) based on type and percentage of volatile oil component, big white ginger and blue ginger had similarity index of 48%, blue ginger and white ginger had similarity index of 35%, while big white ginger and white ginger had similarity index of 17%. Key words: ginger (Zingiber officinale Rosc.), Zingiberaceae, volatile oil, cultivars. PENDAHULUAN Kawasan nusantara pernah dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah karena banyaknya tumbuhan atsiri yang berasal dan dibudidayakan, hingga kini terdapat lebih dari 40 jenis minyak atsiri yang berpotensi mendatangkan devisa (Manurung, 2002). Salah satu tumbuhan atsiri yang terkenal adalah jahe (Zingiber officinale Rosc.). Herba perennial ini merupakan anggota Familia Zingiberaceae paling bermanfaat di daerah tropis (Heyne, 1950). Rimpang jahe yang aromatis dan pedas dimanfaatkan sebagai rem- pah-rempah, bumbu masakan, dan sumber obat (Holttum, 1950; Heyne, 1950). Jahe digunakan secara luas di India dan Cina sejak sebelum tarikh masehi, dan diperdagangkan hingga kawasan Mediterania sejak abad pertama. Jahe sampai di Amerika tidak lama setelah penemuan benua itu (Encyclopaedia Brittanica, 2000). Penyebaran dan penggunaan jahe di Indonesia sangat luas, terbukti dari banyaknya masakan etnik dan banyaknya nama daerah untuk menyebut jahe (Heyne, 1950; Burkill, 1935). Dalam dunia pertanian, dikenal tiga kultivar (varietas) jahe berdasarkan ukuran dan warna kulit rimpangnya, yaitu jahe gajah (badak), jahe emprit (biasa) dan jahe merah (berem) (Heyne, 1950; Burkill, 1935; Ochse, 1931). Kegunaan praktis ketiganya kadang-kadang berbeda. Jahe gajah yang ukurannya besar, berkulit putih atau kuning dan rasanya tidak terlalu pedas dapat diolah sebagai manisan dan asinan. Jahe emprit yang ukurannya lebih kecil, ber- kulit putih atau kuning dan sangat pedas sering digunakan untuk bumbu masakan dan obat. Jahe merah yang ukuran- nya sedang dan berkulit merah umumnya digunakan untuk obat. Di antara jahe gajah dan jahe emprit terdapat berbagai variasi ukuran jahe. Jahe ini paling umum ditanam dan sering diperdagangkan berdasarkan daerah asalnya. Dalam penelitian ini, jahe demikian digolongkan dalam jahe emprit, mengingat persamaan ciri fisik dan kegunaannya. Ketiga varietas jahe di atas sulit dibedakan berdasarkan karakter morfologi bunga, sehingga perlu digunakan karakter lain. Kandungan kimia minyak atsiri merupakan karakter taksonomi yang sangat prospektif (Setyawan, 1996), bahkan kadang-kadang menjadi pemicu dilakukan- nya revisi (Hegnauer, 1986). Kemotaksonomi berkembang pesat sejalan dengan penemuan baru dalam metode kimia, khususnya kromatografi (Harborne, 1973). Kemotaksonomi dapat menggunakan berbagai macam metabolit sekunder, seperti flavonoid (fenol), terpen, alkaloid, lignan, sterol, lilin, lemak, tanin, gula, getah, suberin, resin, karotenoid dan lain-lain (Obst, 1999), namun senyawa yang paling sering digunakan adalah fenol, alkaloid, terpenoid dan asam amino non-protein. Senyawa-senyawa ini memiliki kandungan kimia beragam, terdistribusi luas dan memiliki bermacam fungsi (Smith, 1976). Perkembangan metode

Upload: vudiep

Post on 06-Feb-2018

229 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale Rosc ...biosains.mipa.uns.ac.id/B/B0402/B040211.pdf · penggunaan jahe di Indonesia sangat luas, ... Metabolit sekunder utama pada jahe

B i o S M A R T ISSN: 1411-321X Volume 4, Nomor 2 Oktober 2002 Halaman: 48-54

© 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale Rosc.) berdasarkan Kandungan Kimia Minyak Atsiri

Variation on ginger (Zingiber officinale Rosc.) varieties based on chemical constituent of

volatile oils

AHMAD DWI SETYAWAN Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126

Diterima: 15 Mei 2002. Disetujui: 31 Juli 2002

ABSTRACT Rhizome of ginger (Zingiber officinale Rosc.) had been used long time ago as spices, flavoring agent and medicinal stuf. This species had three varieties based on color and size of rhizome, i.e. gajah (big white ginger), merah (red or blue ginger), and emprit (white ginger). This research was conducted to find out: (i) percentage of volatile oil of three ginger varieties, (ii) type and percentage of volatile oil components of those ginger, and (iii) similarity index of volatile oil of those ginger based on type and percentage of each components. Volatile oils were obtained by hydodistillation method; type and percentage of components were determined by GC and GC-MS methods, while similarity index was determined by UPGMA methods. The result indicated that (i) percentage of volatile oil of big white ginger, blue ginger, and white ginger were 2%, 2.5%, and 2.5% respectively, (ii) number of chemical component those ginger were 18, 18, and 14 respectively, where big white ginger had two main compound (> 10%) namely α-pinene (21.25%) and benzene (17.11%), blue ginger had three main compound namely α-pinene (17.39%), 2,6-octadiene (10.25%), and benzene (19.75%), and white ginger had four main compound namely α-pinene (12.75%), 2,6-octadiene (12.82%), RT 12.15 (10.81%), and benzene (11.75%), (iii) based on type and percentage of volatile oil component, big white ginger and blue ginger had similarity index of 48%, blue ginger and white ginger had similarity index of 35%, while big white ginger and white ginger had similarity index of 17%. Key words: ginger (Zingiber officinale Rosc.), Zingiberaceae, volatile oil, cultivars.

PENDAHULUAN Kawasan nusantara pernah dikenal sebagai kepulauan

rempah-rempah karena banyaknya tumbuhan atsiri yang berasal dan dibudidayakan, hingga kini terdapat lebih dari 40 jenis minyak atsiri yang berpotensi mendatangkan devisa (Manurung, 2002). Salah satu tumbuhan atsiri yang terkenal adalah jahe (Zingiber officinale Rosc.). Herba perennial ini merupakan anggota Familia Zingiberaceae paling bermanfaat di daerah tropis (Heyne, 1950). Rimpang jahe yang aromatis dan pedas dimanfaatkan sebagai rem-pah-rempah, bumbu masakan, dan sumber obat (Holttum, 1950; Heyne, 1950). Jahe digunakan secara luas di India dan Cina sejak sebelum tarikh masehi, dan diperdagangkan hingga kawasan Mediterania sejak abad pertama. Jahe sampai di Amerika tidak lama setelah penemuan benua itu (Encyclopaedia Brittanica, 2000). Penyebaran dan penggunaan jahe di Indonesia sangat luas, terbukti dari banyaknya masakan etnik dan banyaknya nama daerah untuk menyebut jahe (Heyne, 1950; Burkill, 1935).

Dalam dunia pertanian, dikenal tiga kultivar (varietas) jahe berdasarkan ukuran dan warna kulit rimpangnya, yaitu jahe gajah (badak), jahe emprit (biasa) dan jahe merah (berem) (Heyne, 1950; Burkill, 1935; Ochse, 1931). Kegunaan praktis ketiganya kadang-kadang berbeda. Jahe gajah yang ukurannya besar, berkulit putih atau kuning dan

rasanya tidak terlalu pedas dapat diolah sebagai manisan dan asinan. Jahe emprit yang ukurannya lebih kecil, ber-kulit putih atau kuning dan sangat pedas sering digunakan untuk bumbu masakan dan obat. Jahe merah yang ukuran-nya sedang dan berkulit merah umumnya digunakan untuk obat. Di antara jahe gajah dan jahe emprit terdapat berbagai variasi ukuran jahe. Jahe ini paling umum ditanam dan sering diperdagangkan berdasarkan daerah asalnya. Dalam penelitian ini, jahe demikian digolongkan dalam jahe emprit, mengingat persamaan ciri fisik dan kegunaannya.

Ketiga varietas jahe di atas sulit dibedakan berdasarkan karakter morfologi bunga, sehingga perlu digunakan karakter lain. Kandungan kimia minyak atsiri merupakan karakter taksonomi yang sangat prospektif (Setyawan, 1996), bahkan kadang-kadang menjadi pemicu dilakukan-nya revisi (Hegnauer, 1986). Kemotaksonomi berkembang pesat sejalan dengan penemuan baru dalam metode kimia, khususnya kromatografi (Harborne, 1973). Kemotaksonomi dapat menggunakan berbagai macam metabolit sekunder, seperti flavonoid (fenol), terpen, alkaloid, lignan, sterol, lilin, lemak, tanin, gula, getah, suberin, resin, karotenoid dan lain-lain (Obst, 1999), namun senyawa yang paling sering digunakan adalah fenol, alkaloid, terpenoid dan asam amino non-protein. Senyawa-senyawa ini memiliki kandungan kimia beragam, terdistribusi luas dan memiliki bermacam fungsi (Smith, 1976). Perkembangan metode

Page 2: Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale Rosc ...biosains.mipa.uns.ac.id/B/B0402/B040211.pdf · penggunaan jahe di Indonesia sangat luas, ... Metabolit sekunder utama pada jahe

SETYAWAN – Minyak Atsiri Zingiber officinale

49

kimia terbaru memungkinkan komposisi minyak atsiri da-pat ditentukan secara cepat dan menyeluruh (Hegarty dkk., 2001). Karakter kimia memiliki kelebihan dari pada karak-ter morfologi dan anatomi, karena bahan yang dianalisis tidak harus segar dan lengkap. Bahan kering dan remuk sekalipun dapat dianalisis dan ditempatkan secara tepat dalam sistem klasifikasi, selama tidak ada kontaminasi mikrobia atau bahan lain. Spesimen herbarium berumur ratusan tahun tetap dapat diuji kandungan metabolit sekundernya dengan tepat (Harborne, 1973).

Metabolit sekunder utama pada jahe adalah minyak atsiri, suatu campuran senyawa mudah menguap yang kebanyakan tergolong terpenoid (Hegarty dkk., 2001). Terpen, yakni hidrokarbon yang dibentuk dari unit isopren (C5), merupakan kelompok terbesar metabolit sekunder tumbuhan (Harborne, 1991). Metabolit sekunder biasanya diperoleh dari proses samping sebagai sampah dan tidak memiliki fungsi khusus dalam metabolisme (Liu dkk., 1998; Hegarty dkk., 2001), namun secara ekologi sangat penting sebagai penarik, penolak, alelopati, feromon, pertahanan dari herbivora atau mikrobia dan lain-lain (a.l. Grison-Pige dkk., 2001; Kutchan, 2001; Agrawal, 2000, 1998; Dam dkk., 2000; Baldwin, 1998; Karban dan Baldwin, 1997; Banthorpe, 1994; Gershenzon dan Croteau 1991; Meyer dan Karasov, 1991; Luckner, 1990). Hingga kini telah diidentifikasi lebih dari 30.000 senyawa sekunder (Buckingham, 1998). Beberapa spesies memiliki struktur anatomi khusus untuk mensintesis dan mengakumulasi terpenoid, berupa saluran, rongga sekresi, atau trikoma glanduler (Bohlmann dkk., 2000), pada Familia Zingiber-aceae berupa sel bendinding suberin (Setyawan, 1996). Kebanyakan spesies tidak memiliki struktur khusus, karena mensintesis senyawa ini dalam jumlah sangat sedikit sebagai aroma bunga atau tanggapan terhadap lingkungan seperti patogen dan herbivori (Bohlmann dkk., 2000).

Minyak atsiri sangat penting sebagai sumber rasa dan obat (Lata dkk., 2000). Minyak atsiri digunakan untuk memberi rasa dan aroma makanan, minuman, parfum dan kosmetik (Keita dkk., 2000; Hegarty dkk., 2001). Sifat toksik alami minyak atsiri berguna dalam pengobatan (Liu dkk., 1998). Metabolit sekunder merupakan sumber utama senyawa obat (Harvey, 2000). Sekitar 60% penduduk dunia menggunakan tumbuhan untuk pengobatan (Farnsworth, 1994) dan minyak atsiri telah lama dikenal sebagai sumber terapi yang penting, misalnya sebagai senyawa anti bakteri dan anti kangker (Cragg, 1997).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar minyak atsiri pada tiga kultivar jahe (Zingiber officinale Rosc.), yakni jahe gajah, jahe emprit dan jahe merah, (ii) jumlah jenis (kualitatif) dan kadar (kuantitatif) senyawa-senyawa penyusun minyak atsiri ketiganya, serta (iii) indek similaritas minyak atsiri ketiganya berdasarkan jenis dan kadar komponen penyusunnya.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini mencakup: (i) distilasi air (hidrodistilasi)

untuk menentukan kadar minyak atsiri dalam rimpang dan memperoleh minyak atsiri untuk uji kromatografi, (ii)

kromatografi gas cairan (GC) untuk menentukan jumlah dan kadar senyawa-senyawa penyusun minyak atsiri, serta (iii) kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS) untuk menentukan identitas setiap senyawa hasil kromatografi.

Material tumbuhan

Material penelitian ini berupa rimpang jahe (Zingiber officinale Rosc.) dari tiga kultivar, yaitu gajah, emprit (biasa) dan merah, yang dipanen pada musim kemarau dengan umur sekitar 12 bulan dan telah disimpan selama 2-3 bulan. Material diperoleh dari Pasar Legi, Surakarta dan Pasar Beringharjo, Yogyakarta dengan asumsi jahe ini ditanam di Surakarta, Yogyakarta, dan sekitar. Mengingat lokasi penanamannya tidak dapat ditentukan dengan pasti, maka rimpang masing-masing varietas dicampur sebagai komposit dan diuji tiga kali. Cara kerja

Distilasi air. Rimpang pokok (Jawa: empon) yang segar, cukup umur, seragam ukuran dan bentuknya dicuci bersih, diiris melintang setebal 1-2 mm, dan dikeringanginkan dengan kipas atau di bawah sinar matahari tidak langsung selama 3-4 hari. Simplisia yang telah kering diblender dan diayak dengan saringan (φ 2 mm2), hingga diperoleh serbuk halus (Setyawan, 1996). Sebanyak 100 g serbuk dimasukkan dalam labu didih 1000 ml, ditambah akuades sampai kira-kira ¾ isi labu, dipasang pada alat penyuling Stahl, buret diisi 0,2 ml silen, dan dididihkan selama 4-5 jam hingga minyak atsiri menguap sempurna. Silen yang berfungsi untuk menaikkan daya kohesi minyak diuapkan dengan evaporator bertekanan rendah, lalu ditambah sedikit Na2SO4 anhidris untuk memastikan minyak atsiri bebas dari air, disimpan di tempat sejuk (4-5oC), dalam botol gelap dan ditutup rapat (Guenther, 1948; Anonim, 1977, dan Arrebola dkk. 1994). Kadar minyak atsiri dinyatakan sebagai jumlah minyak atsiri yang dihasilkan dari 100 g serbuk (v/b; ml/100 g) seperti dalam Materia Medika Indonesia (MMI) (Anonim, 1977, 1978, 1979).

Kromatografi gas (GC). Minyak atsiri hasil distilasi dianalisis dengan kromatografi gas untuk menentukan jumlah dan kadar senyawa-senyawa penyusunnya. Jenis senyawa penyusun diidentifikasi berdasarkan puncak yang terbentuk pada kromatogram, yaitu nilai RT (retention time). Semua senyawa yang memiliki kadar cukup tinggi (> 1%) dianalisis, sedang yang kadarnya rendah (< 1%) diabaikan. Nilai RT dianggap sama pada jarak 0,05, apabila terjadi tumpang tindih pada jarak tersebut, maka dilihat nilai di atas atau di bawahnya. Kondisi kromatografi gas (GC) sebagai berikut: merek: Hewlett-Packard 5890 series II, gas pembawa: He, jenis detektor: FID (flame ionization detector), jenis kolom: HPS non polar (30 m, φ 0.33 mm), kecepatan gas: 10 ml/menit, kenaikan suhu: 10 °C/menit, suhu awal: 120°C, suhu akhir: 270°C, suhu injektor: 260°C, suhu detektor: 270°C, tekanan kolom: 60 kpa, volume cuplikan: 0,1 µl, dan waktu awal: 5 menit.

Kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS). Minyak atsiri yang telah dianalisis dengan kromatografi gas, dipilih 10 puncak yang secara konsisten muncul pada ketiga varietas jahe dengan kadar tinggi (~ 2%), lalu dilakukan pendugaan strukturnya berdasarkan spektrum

Page 3: Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale Rosc ...biosains.mipa.uns.ac.id/B/B0402/B040211.pdf · penggunaan jahe di Indonesia sangat luas, ... Metabolit sekunder utama pada jahe

BioSMART Vol. 4, No. 2, Oktober 2002, hal. 48-54 50

massa dengan kromatografi gas-spektrometer massa, dan dicocokkan dengan spektrum massa di bank data NIST Library yang memuat 74.282 jenis senyawa (Arrebola dkk., 1994; Agusta dkk., 1998). Kondisi kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS) sebagai berikut: merek: Simadzu QP 5000 (Jepang), gas pembawa: He, jenis kolom: DB 1 (30 m, φ 0.33 mm), jenis pengion: EI (electron impact), kecepatan gas: 40 ml/menit, kenaikan suhu: 10 °C/menit, suhu akhir: 250°C, suhu awal: 60°C, suhu detektor: 280°C, suhu injektor: 270°C, tekanan kolom: 10 kpa, volume cuplikan: 0,1 µl, dan waktu awal: 5 menit.

Analisis data

Data jenis dan kadar senyawa penyusun minyak atsiri ketiga kultivar jahe ditabulasi dalam bentuk biner (0 dan 1) dan dibuat dendrogram. Setiap jenis senyawa yang hadir diberi nilai 1, sedang senyawa yang tidak hadir diberi nilai 0. Apabila suatu senyawa selalu hadir pada ketiga kultivar, maka ditentukan berdasarkan kadarnya. Senyawa yang kadarnya sama atau di atas rata-rata diberi nilai 1, sedang di bawah rata-rata diberi nilai 0.

Dendrogram dibuat secara numerik dengan metode pengelompokan koefisien asosiasi (Sneath dan Sokal, 1973), dimana tingkat persamaan harga-harga koefisien assosiasi ditentukan dengan analisis klaster (Pielou, 1984). Model perhitungan ini tercakup dalam UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmatic mean), yang dikomputasikan dalam program BIOSYS-1 (Swofford dan Selander, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN Sejak ratusan tahun yang lalu

telah diketahui bahwa jahe dapat tumbuh di tempat yang sama selama bertahun-tahun. Di Jamaika, jahe dapat ditanam secara ekonomis di kebun yang sama selama 40 tahun. Pada musim kemarau yang tidak menguntungkan dapat ditanam varietas yang lebih tahan meskipun dengan produksi lebih rendah yaitu jahe merah, sedangkan pada musim hujan dapat ditanam jahe putih biasa yang nilai jualnya lebih tinggi (Kilmer, 1898). Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi dan karakteri-sasi keanekaragaman jahe, sehingga upaya peningkatan produksinya dapat diarahkan. Kadar minyak atsiri

Jahe umumnya dibedakan menja-di tiga varietas, yaitu jahe gajah, jahe emprit dan jahe merah, namun di Indonesia pada dasarnya terdapat cukup banyak varietas jahe, yang di-bedakan berdasarkan bentuk, ukuran maupun daerah asalnya. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan

Obat (Balittro) Bogor memiliki 20-30 nomor koleksi jahe (Molide Rizal, 2002, komunikasi pribadi).

Dalam penelitian ini, kadar minyak atsiri rimpang ketiga varietas jahe relatif sama dan tidak berbeda jauh dengan pustaka-pustaka yang ada. Hidrodistilasi rimpang jahe gajah, jahe merah dan jahe emprit (biasa) secara berturut-turut menghasilkan 2%, 2,5% dan 2,5% minyak atsiri. Menurut pustaka kadar minyak atsiri pada rimpang jahe berkisar 0,4-3,1% (Burkill, 1935), 2-3% (Hegnauer, 1963), 1-3% (Purseglove, 1972), atau 2% (Encyclopaedia Brittanica, 2000). Kadar minyak atsiri tumbuhan dipengaruhi oleh tingkat kematangan atau umur panen, bagian organ yang disuling, musim pemanenanan, tanah dan iklim tempat penanaman, varietas atau spesies yang ditanam, serta faktor lingkungan lainnya (Estell dkk., 1994; Bryant dkk., 1991; Gershenzon dan Croteau 1991; Jacoby dkk., 1990; Cedarleaf dkk., 1983; Guenther, 1948).

Rimpang jahe umumnya mencapai usia panen pada umur 12 bulan, saat mana daun telah mengering dan tinggal organ rimpang di bawah tanah. Pada umur lebih tua kadar minyak atsiri akan menyusut, sebaliknya kadar pati dan serat akan meningkat, sebelum akhirnya mati. Konsentrasi terpenoid seringkali lebih besar pada tumbuhan yang belum betul-betul tua (Gershenzon dan Croteau 1991).

Bagian organ yang disuling sangat menentukan kadar minyak atsiri. Pengamatan anatomi pada helai daun, pele-pah daun, batang semu, akar dan rimpang anggota-anggota Zingiberaceae, menunjukkan bahwa jumlah sel penyimpan minyak atsiri pada rimpang jauh lebih banyak dibanding-kan organ lain, sehingga diperkirakan mengandung lebih banyak minyak atsiri (Setyawan, 1996).

Gambar 1. Kromatogram GC dan GC-MS minyak atsiri jahe gajah. Senyawa yang teridentifikasi: 1. α-pinen, 2. kamfen, 3. eukaliptol, 4. borneol, 5. sitral, 6. 2,6-oktadiena, 7. benzen, 8. karyofilen, 9. farnesen, dan 10. naftalenon. Senyawa yang belum diidentifikasi: 1. RT 5.23, 2. RT 6.91, 3. RT 8.92, 4. RT 14.17, 5. RT 15.42, 6. RT 15,71, 7. RT 16.28, dan 8. RT 18.07.

Page 4: Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale Rosc ...biosains.mipa.uns.ac.id/B/B0402/B040211.pdf · penggunaan jahe di Indonesia sangat luas, ... Metabolit sekunder utama pada jahe

SETYAWAN – Minyak Atsiri Zingiber officinale

51

Musim pemanenan sangat mempengaruhi kadar minyak atsiri (Llusia dan Penuelas, 2000; Liu dkk., 1998; Cedarleaf dkk., 1983). Pemanenan pada musim hujan biasanya memberikan rendemen minyak atsiri lebih rendah dari pada musim kemarau, karena pada saat itu tumbuhan sedang dalam tahap pertumbuhan. Kelembaban tanah (Kainulainen dkk., 1992), banyaknya sinar matahari (Fitter dan Hay 1987), serta stres lingkungan akibat kekurangan air dapat menaikkan konsentrasi senyawa kimia berkerangka karbon, termasuk terpenoid (Gershenzon dan Croteau 1991). Dalam penelitian ini, rimpang jahe dipanen pada musim kemarau dan telah disimpan selama 2-3 bulan dengan harapan rendemen minyak atsiri tinggi.

Tanah dan iklim juga berpengaruh terhadap kadar minyak atsiri. Jahe yang ditanam pada tanah yang miskin hara dengan iklim kering, umumnya menghasilkan rimpang yang ukurannya lebih kecil, namun dengan kadar minyak atsiri tinggi. Ketersediaan nutrien sangat mempengaruhi kadar dan komposisi terpenoid (Gershenzon dan Croteau 1991). Sayangnya dalam penelitian ini, rimpang yang disuling tidak dapat dipastikan asalnya dan dibuat sebagai komposit jahe gajah, jahe merah dan jahe emprit, sehingga tidak diketahui variasi jenis dan kadar komponen minyak atsiri berdasarkan lokasi tumbuhnya.

Biosistesis fitokimia sangat dipengaruhi oleh faktor genetik (Estell dkk., 1994), sehingga perbedaan faktor genetik yang ditampilkan dengan perbedaan varietas sangat berpengaruh terhadap kadar dan komposisi minyak atsiri. Tumbuhan berbeda dari spesies yang sama dapat menghasilkan minyak atsiri yang berbeda kadarnya

(Hegarty dkk., 2001). Dalam penelitian ini, jahe gajah menghasilkan minyak atsiri lebih sedikit dibandingkan jahe emprit dan jahe merah. Di samping itu patogenisitas (Misaghi, 1982) dan herbivori (Gershenzon dan Croteau, 1991) dapat dengan cepat menginduksi pembentukan minyak atsiri sebagai bentuk pertahanan diri, namun pengaruhnya tidak permanen dan dalam jangka pendek. Setelah serangan tersebut terhenti, produksi minyak atsiri akan kembali normal.

Metode isolasi juga sangat mem-pengaruhi kadar minyak atsiri beserta komposisi dan kadar senyawa-senyawa penyusunnya (Hegarty dkk., 2001). Minyak atsiri dapat diperoleh melalui distilasi, pengempaan dan ekstraksi (McHugh dan Krukonis, 1986; Guenther, 1948). Minyak atsiri jahe yang dijual di pasaran umumnya diperoleh dari proses hidrodistilasi, sedangkan minyak atsiri yang memiliki titik didih rendah seperti aroma bunga umumnya diperoleh melalui pengempaan atau ekstraksi dengan pelarut organik. Metode distilasi sangat dipengaruhi kualitas pengapian. Pemasakan dengan suhu

tinggi akan mempercepat proses distilasi, namun unsur karbon pada simplisia akan terbakar menjadi arang, sehingga minyak atsiri berbau gosong dan kualitasnya turun. Di samping itu suhu tinggi selama distilasi akan mengubah komposisi kimia minyak atsiri dan menghasilkan senyawa baru yang secara alami tidak disintesis. Senyawa ini dikenal sebagai senyawa artifact. Misalnya, gingerol yang dihasilkan pada proses ekstraksi akan didehidrasi menjadi shogaol atau dihidrolisis menjadi zingeron dan n-heksana pada distilasi (Trease dan Evans, 1978; Hegnauer, 1963). Suhu tinggi menyebabkan terjadinya proses-proses hidrodifusi, hidrolisis, polimerisasi dan resinifikasi (Guenther, 1948). Namun senyawa ini tetap berguna sebagai karakter pembeda selama sifatnya stabil.

Metode pengempaan sangat dipengaruhi kemampuan mesin kempa. Metode ini biasa digunakan untuk bahan segar yang berukuran tipis seperti mahkota bunga. Metode ekstraksi dapat digunakan untuk mengisolasi minyak atsiri tanpa melihat jenis bahannya, namun sangat dipengaruhi jenis pelarut. Untuk mendapatkan seluruh komponen secara utuh harus digunakan lebih dari satu macam pelarut, biasanya digunakan pelarut organik dari kepolaran tinggi ke rendah. Untuk itu dibutuhkan waktu lebih lama, biaya lebih mahal, dan minyak atsiri yang dihasilkan tidak sepenuhnya sama dengan minyak atsiri di pasaran yang umumnya dihasilkan melalui proses distilasi. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan metode hidrodistilasi dengan harapan dapat segera diperoleh minyak atsiri yang komposisinya sama dengan minyak atsiri di pasaran.

Gambar 2. Kromatogram GC dan GC-MS minyak atsiri jahe merah. Senyawa yang teridentifikasi: 1. α-pinen, 2. kamfen, 3. eukaliptol, 4. borneol, 5. sitral, 6. 2,6-oktadiena, 7. benzen, 8. karyofilen, 9. farnesen, dan 10. naftalenon. Senyawa yang belum diidentifikasi: 1. RT 1.74, 2. RT 5.23, 3. RT 6.91, 4. RT 12.15, 5. RT 14.50, 6. RT 15.42, 7. RT 15,71, dan 8. RT 18.07.

Page 5: Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale Rosc ...biosains.mipa.uns.ac.id/B/B0402/B040211.pdf · penggunaan jahe di Indonesia sangat luas, ... Metabolit sekunder utama pada jahe

BioSMART Vol. 4, No. 2, Oktober 2002, hal. 48-54 52

Komposisi minyak atsiri Ketiga kultivar jahe secara keseluruhan menunjukkan

23 senyawa penyusun minyak atsiri, dimana jahe gajah dan jahe merah masing-masing tersusun atas 18 senyawa. Sepuluh senyawa yang paling sering muncul dan telah diidentifikasi beserta rata-rata nilai RT-nya sebagai berikut: α-pinen (1,74), kamfen (3,52), eukaliptol (5,23), borneol (6,91), sitral (8,92), 2,6-oktadiena (10,05), benzen (12,15), sedangkan jahe emprit hanya 14 senyawa (Tabel 1). karyofilen (14,17), farnesen (14,22), dan naftalenon (16,28). Sedang senyawa sisanya yang belum diidentifikasi terletak pada rerata nilai RT berikut: 1,74; 4,39; 5,23; 6,91; 8,92; 10,05; 12,15; 14,17; 14,50; 15,42; 15,71; 16,28; dan 18,07. Di antara senyawa-senyawa yang belum diidentifi-kasi tersebut terdapat dua senyawa yang kemunculannya sangat konsisten pada ketiga kultivar, yaitu senyawa dengan nilai RT 5,23, dan 6,91. Sedangkan senyawa yang telah diidentifikasi kesemuanya muncul secara konsisten pada ketiga kultivar meskipun dengan kadar yang bervariasi, kecuali naftalenon pada jahe emprit yang muncul kurang dari 1% sehingga dapat dianggap absen.

Secara keseluruhan ditemukan empat senyawa utama (> 10%) yaitu kamfen, 2,6-oktadiena, benzen dan senyawa dengan nilai RT 12,15. Kamfen dan benzen ditemukan secara konsisten pada ketiga kultivar jahe, bahkan kamfen ditemukan dengan kadar sangat tinggi pada jahe gajah (21,25%). Kadar ini merupakan kadar komponen tertinggi selama penelitian, sedangkan 2,6-oktadiena ditemukan sebagai senyawa utama hanya pada jahe merah dan jahe emprit. Adapun senyawa dengan nilai RT 12,15 hanya ditemukan sebagai senyawa utama pada jahe emprit, meskipun pada kadar lebih rendah juga ditemukan pada jahe merah. Diketahuinya senyawa-senyawa utama

memungkinkan isolasi lebih lanjut untuk tujuan-tujuan khusus, seperti pengobatan, meskipun daya kerja minyak atsiri seringkali merupakan sinergi seluruh komponen di dalamnya, bukan satu atau beberapa komponen saja.

Secara keseluruhan ditemukan lima senyawa khas, yakni senyawa yang hanya muncul pada satu kultivar. Pada jahe gajah senyawa khas ditemukan pada RT 8,92 dan 16,28, pada jahe merah ditemukan pada RT 1,74, sedangkan pada jahe emprit ditemukan pada RT 4,39 dan 10,05. Senyawa-senyawa ini memi-liki kadar relatif rendah, berkisar 1-1,5%, menunjukkan bahwa senyawa ini khas dan distribusinya terbatas. Senyawa demikian sangat bergunan sebagai penanda kimia untuk mem-bedakan minyak atsiri satu varietas dari varietas lain, tentu dengan mem-perhatikan konsistensi kemunculan-nya. Hal ini berguna untuk menge-tahui kemurnian suatu minyak atsiri, meskipun untuk mengetahui adanya

pemalsuan produk minyak atsiri tetap harus dilakukan pembacaan secara keseluruhan terhadap kromatogram. Tabel 1. Kadar komponen-komponen kimia penyusun minyak atsiri rimpang berbagai varietas jahe.

Rerata kadar (%) Rerata

Nilai RT Nama trivial Jahe gajah Jahe merah Jahe emprit1,74 – – 1,15 – 3,52 α-pinen 4,19 3,00 2,56 3,75 kamfen 21,25** 17,39* 12,75* 4,39 – – – 1,94 5,23 – 2,85 1,98 2,53 5,31 eukaliptol 7,65 5,00 3,07 6,91 – 1,31 1,26 1,33 8,44 borneol 2,10 2,50 1,99 8,92 – 1,11 – – 9,97 sitral 3,17 4,67 7,99 10,05 – – – 2,74 10,51 2,6-oktadiena 5,30 10,25* 12,82* 12,15 – – 1,49 10,81* 13,96 benzen 17,11* 19,75* 11,75* 14,17 – 1,44 – – 14,22 karyofilen 1,14 1,17 4,26 14,29 farnesen 5,27 5,68 4,70 14,50 – – 1,07 9,00 15,42 – 1,86 1,52 – 15,71 – 1,27 1,18 – 16,28 – 1,46 – – 16,70 naftalenon 2,29 2,37 – 18,07 – 1,86 1,92 –

Total kadar komponen (> 1%) 82,63 83,35 90,24 Total jumlah komponen 18 18 14 Total komponen utama 2 3 4 Kadar minyak atsiri (%) 2 2,5 2,5

Gambar 3. Kromatogram GC dan GC-MS minyak atsiri jahe emprit (biasa). Senyawa yang teridentifikasi: 1. α-pinen, 2. kamfen, 3. eukaliptol, 4. borneol, 5. sitral, 6. 2,6-oktadiena, 7. benzen, 8. karyofilen, dan 9. farnesen. Senyawa yang belum diidentifikasi: 1. RT 4.39, 2. RT 5.23, 3. RT 6.91, 4. RT 12.15, dan 5. RT 14.50.

Page 6: Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale Rosc ...biosains.mipa.uns.ac.id/B/B0402/B040211.pdf · penggunaan jahe di Indonesia sangat luas, ... Metabolit sekunder utama pada jahe

SETYAWAN – Minyak Atsiri Zingiber officinale

53

Puncak yang muncul pada ketiga kultivar jahe cukup banyak, namun sebagian besar dengan kadar sangat rendah (< 1%) sehingga diabaikan (Gambar 1-3). Kadar total minyak atsiri jahe gajah, jahe merah dan jahe emprit dengan kadar 1% atau lebih secara berturut-turut adalah 82,63%, 83,35% dan 90,24%. Hal ini menunjukkan kadar minyak atsiri yang tidak digunakan sebagai sifat pembeda varietas masih cukup besar, yakni 17,47%, 16,65%, dan 9,86%. Secara taksonomi senyawa-senyawa berkadar rendah ini kurang berguna karena dapat berubah-ubah bahkan dapat hilang dari lembar kromatogram yang berbeda. Ketidakkonsistenan puncak-puncak ini dapat merupakan hasil tanggapan individual tumbuhan terhadap kondisi lingkungan, sehingga seringkali khas, dengan penyebaran sangat terbatas, bahkan hanya muncul pada satu varietas atau satu lokasi saja.

Kadar keseluruhan minyak atsiri maupun komponen di dalamnya dapat bervariasi terutama disebabkan umur panen, jenis dan tempat tumbuh (Maarse dan Kepner 1970, Tucker dkk., 1976), namun keberadaan senyawa utama selalu konsisten (Nagy dan Regelin, 1977). Komposisi minyak atsiri dapat berubah-ubah karena dapat mengalami penyusunan kembali secara intra-molekuler (Guenther, 1948). Variasi kimia komponen penyusun minyak atsiri disebabkan adanya proses hidroksilasi, metilasi, pemben-tukan glikosida, disakarida dan lain-lain (Denford, 1984). Hal ini biasa ditemukan pada senyawa sesquiterpen, salah satu kelompok minyak atsiri yang bernilai tinggi untuk taksonomi, karena dapat membedakan spesies, populasi bahkan individu.

Senyawa zingiberen yang diyakini merupakan sesqui-terpen khas minyak atsiri Zingiberaceae, khususnya jahe tidak ditemukan dalam penelitian ini. Tampaknya prosedur distilasi sulit untuk mengambilnya. Zingiberen biasanya muncul pada minyak atsiri hasil ekstraksi dengan pelarut alkohol. Kadar zingiberen dapat mencapai 70% dari keseluruhan minyak atsiri (Hegnauer, 1963). Senyawa khas jahe lainnya yang tidak terdeteksi adalah gingerol, shogaol dan zingeron. Berbeda dengan zingiberen yang merupakan salah satu pemberi aroma minyak jahe, ketiga senyawa ini merupakan pemberi rasa pedas, panas dan pahit. Gingerol merupakan senyawa utama pada jahe segar, sedangkan shogaol dan zingeron merupakan turunan gingerol yang dihasilkan dari proses pemanasan atau penyimpanan jangka panjang. Pemanasan dalam distilasi atau pada saat pengaplikasian dalam kromatografi gas menyebabkan gingerol secara spontan mengalami degradasi menjadi zingeron dan aldehida (heksana), serta mengalami dehidrasi menjadi shogaol. Rasa pedas jahe dapat diekstraksi dengan baik menggunakan karbon dioksida cair (Chen dkk., 1986a; Chen dkk., 1986b). Dalam penelitian ini secara keseluruhan terdapat 13 senyawa yang belum diidentifikasi. Penelitian lebih mendalam dengan GC-MS pada ke-13 senyawa itu barangkali akan memunculkan senyawa-senyawa khas jahe yang belum dideteksi.

Tingkat kesamaan (indeks similaritas) ketiga varietas jahe berdasarkan jenis dan kadar komponen-komponen penyusun minyak atsiri relatif rendah, atau dengan kata lain tingkat ketidaksamaannya cukup tinggi, meskipun satu spesies dan populasi-populasi intra varietas telah dibuat

komposit. Hal ini memungkinkan pengembangan setiap kultivar untuk kegunaan yang berbeda-beda sebagaimana dilakukan masyarakat awam selama ini. Minyak atsiri jahe gajah dan jahe merah memiliki tingkat kesamaan hingga 48%, jahe merah dengan jahe emprit 35%, sedangkan jahe gajah dan jahe emprit hanya 17% (Tabel 2). Secara visual, jahe emprit memiliki rasa yang jauh lebih pedas dan bau lebih menyengat dari pada kedua varietas lain. Tabel 2. Indeks similaritas tiga kultivar jahe berdasarkan jenis dan kadar senyawa-senyawa penyusun minyak atsiri.

Kultivar Jahe gajah Jahe merah Jahe emprit Jahe gajah Jahe merah 48 Jahe emprit 17 35 Di luar kemotaksonomi, kajian keanekaragaman hayati

jahe, sebagaimana anggota Zingiberaceae lainnya, dapat dilakukan secara lebih mendalam dengan beberapa metode baru. Penelitian lanjut dengan isozim yang dipadukan dengan data-data kromosom, seperti karyotipe dan sitogenetika molekuler akan sangat membantu identifikasi keanekaragaman jahe, terlebih apabila dipadukan dengan data sekuen DNA (Apavatjrut dkk., 1999).

KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar minyak

atsiri jahe gajah, merah, dan emprit secara berturut-turut adalah 2%, 2,5%, dan 2,5%. Jumlah senyawa minyak atsiri ketiganya secara berturut-turut adalah 18, 18, dan 14. Senyawa utama dengan kadar cukup tinggi (> 10%) pada jahe gajah sebanyak dua senyawa, yaitu pada RT 3,75 (21,25%) dan 13,96 (17,11%), pada jahe merah sebanyak tiga senyawa yaitu pada RT 3,75 (17,39%), 10,51 (10,25%), dan 13,96 (19,75%), dan pada jahe emprit sebanyak empat senyawa yaitu pada RT 3,75 (12,75%), 10,51 (12,82%), 12,15 (10,81%), dan 13,96 (11,75%). Berdasarkan jenis dan kadar minyak atsirinya, jahe gajah dan jahe merah memiliki tingkat kesamaan hingga 48%, jahe merah dengan jahe emprit 35%, sedangkan jahe gajah dan jahe emprit danya 17%.

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, A.A. 1998. Induced responses to herbivory and increased plant performance. Science 297: 1201-1202.

Agrawal, A.A. 2000. Mechanisms, ecological consequences and agricultural implications of tri-trophic interactions. Curruent Opinion on Plant Biology 3:329-335.

Agusta, A., Y. Jamal dan Chairul. 1998. Analisis komponen kimia daun wati (Piper methysticum Forst.f.). Berita Biologi 4 (2&3): 53-59.

Anonim. 1977. Materia Medika Indonesia. Jilid I. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Anonim. 1978. Materia Medika Indonesia. Jilid II. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Anonim. 1979. Materia Medika Indonesia. Jilid III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Arrebola, M.L., M.C. Navarro, J. Jimenes, and F.A. Ocana. 1994. Variation in yield and composition of the essential oil of Satureja obovata. Phytochemistry 35 (1): 83-93.

Page 7: Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale Rosc ...biosains.mipa.uns.ac.id/B/B0402/B040211.pdf · penggunaan jahe di Indonesia sangat luas, ... Metabolit sekunder utama pada jahe

BioSMART Vol. 4, No. 2, Oktober 2002, hal. 48-54 54

Apavatjrut, P., S. Anuntalabhochai, P. Sirirungsa, and C. Alisi. 1999. Molecular markers in the identification of some early flowering Curcuma L. (Zingiberaceae) species. Annual of Botany 84: 529-534.

Baldwin, I.T., 1998. Jasmonate-induced responses are costly but benefit plants under attack in native populations. Proceedings of the National Academy of Sciences USA 95: 8113-8118.

Banthorpe, D.V. 1994. Terpenoids. In Mann, J., R.S. Davidson, J.B. Hobbs, D.V. Banthorpe, and J.B. Harborne (eds). Natural Products: their Chemistry and Biological Significance. London: Longman.

Bohlmann, J., D. Martin, N. J. Oldham, and J. Gershenzon. 2000. Terpenoid secondary metabolism in Arabidopsis thaliana: cDNA Cloning, Characterization and Functional Expression of a Myrcene/ (E)-b-Ocimene Synthase. Archives of Biochemistry and Biophysics 375 (2): 261-269.

Bryant J.P., F.D. Provenza, J. Pastor, P.B. Reichardt, T.P. Clausen, and J.T. du Toit. 1991. Interactions between woody plants and browsing mammals mediated by secondary metabolites. Annual Review of Ecology and Systematics 22:431-446.

Buckingham, J. 1998. Dictionary of Natural Products. London: Chapman and Hall.

Burkill, I.H. 1935. A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula. Vol. I. London: Governments of the Straits Settlements and Federated Malay States by the Crown Agents for the Colonies.

Cedarleaf, J.D., B.L. Welch, and J.D. Brotherson. 1983. Seasonal variation of monoterpenoids in big sagebrush (Artemisia tridentata). Journal of Range Management 36: 492-494.

Chen, C.C., R.T. Rosen, and H.T. Ho. 1986a. Chromatigraphic analysis of gingerol compounds in ginger (Zingiber officinale Roscoe) extracted by liquid carbon dioxide. Journal of Chromatography 360: 163-173.

Chen, C.C., R.T. Rosen, and H.T. Ho. 1986b. Chromatigraphic analysis of isomeric shogaol compounds derived from isolated gingerol compounds of ginger (Zingiber officinale Roscoe). Journal of Chromatography 360: 175-184.

Cragg, G.M. 1997. Natural products in drug discovery and development. Journal of Natural Product 60: 52-60.

Dam, N.M. van, K. Hadwich, and I.T. Baldwin, 2000. Induced responses in Nicotiana attenuata affect behavior and growth of the specialist herbivore Manduca sexta. Oecologia 122: 371–379.

Denford, K.E. 1984. Phytochemical approaches to biosystematics. In Grant, W.F. (ed.) Plant Biosystematics. Toronto: Academic Press.

Encyclopaedia Britannica. 2000. Ginger Rhizomes (Zingiber officinale). http://www.britannica.com/bcom/ b/article/2/0,5716,37592+1,00.html

Estell, R.E., E.L. Frederickson, D.M. Anderson, W.F. Mueller, and M.D. Remmenga. 1994. Relationship of tarbush leaf surface secondary chemistry to livestock herbivory. Journal of Range Management 47: 424-428.

Farnsworth, N.R. 1994. Ethnobotany and the Search for New Drugs. New York: John Wiley and Sons.

Fitter, A.H. and R.K.M. Hay. 1987. Environmental Physiology of Plants. Second edition. New York: Academic Press.

Gersbenzon, J. and R. Croteau. 1991. Terpenoids. In: Rosenthal, G.A. and M.R. Berenbaum (eds.). Herbivores, their interactions with secondary plant metabolites. Volume 1: The chemical participants. San Diego: Academic Press.

Grison-Pige L, J.L. Salanger, M. Martine-Hossaert-McKey, and J. Roy. 2001. Carbon allocation to volatiles and other reproductive components in male Ficus carica (Moraceae). American Journal of Botany 88 (12): 2214–2220.

Guenther E. 1948. The Essential Oils. Vol. I. Toronto: D. van Nostrand Company, Inc.

Harborne, J.B. 1973. Phytochemical Methods. London: Chapman and Hall.

Harborne, J.B. 1991. Recent advances in the ecological chemistry of plant terpenoids. In Harborne, J.B. and F.A. Tomas-Barberan (eds.). Ecological Chemistry and Biochemistry of Plant Terpenoids. Oxford: Clarendon Press.

Harvey, A. 2000. Strategies for discovering drugs from previously unexplored natural products. Drug Discovery Today 5 (7): 294-300.

Hegarty, M.P, E.E. Hegarty, and R.B.H. Wills. 2001. Australian Plant Bushfoods. Kingston: Rural Industries Research and Development Corporation.

Hegnauer, R. 1963. Chemotaxonomie der Pflanzen (Monocotyledoneae). Band II. Bassel und Stuttgart: Birkhauser Verlag.

Hegnauer, R. 1986. Phytochemistry and plant taxonomy-an essay on the chemotaxonomy of higher plants. Phytochemistry 25 (7): 1519-1535.

Heyne, K. 1950. De Nuttige Planten van Indonesie. Deel I. ‘s-Gravenhage: W. van Hoeve.

Holttum, R.E. 1950. The Zingiberaceae of the Malay Peninsula. The Gardens Singapore 13 (1): 1-249.

Jacoby, P.W., R.J. Ansley, C.H. Meadors, and A.H. Huffman. 1990. Epicuticular wax in honey mesquite: Seasonal accumulation and intraspecific variation. Journal of Range Management 43: 347-350.

Kainulainen, P., J. Oksanen, V. Palomiiki, J.K. Holopainen, and T. Holopainen. 1992. Effect of drought and waterlogging stress on needle monoterpenes of Picea abies. Canadian Journal of Botany 70:1613-1616.

Karban, R and I.T. Baldwin, 1997. Induced Responses to Herbivory. Chicago: Chicago University Press.

Keita, S.M, C. Vincent, J.P. Schmit, S. Ramaswamy, and A. Belanger. 2000. Effect of various volatile oils on Callosobruchus maculatus (F.) (Coleoptera: Bruchidae). Journal of Stored Product Research 36: 355-364.

Kilmer, F.B. 1898. Botanical medicine monographs and sundry; in the land of ginger – Jamaica. American Journal of Pharmacy 70 (2): 1-16

Kutchan, T.M. 2001. Ecological arsenal and developmental dispatcher, the paradigm of secondary metabolism. Plant Physiology 125: 58-60.

Lata K., S. Mande S, and V.V.N. Kishore. 2000. Studies on Quality Improvement of Large-Cardamom using an Advanced Gasifier based Dryer. New Delhi: Tata Energy Research Institute.

Liu, Z., S.B. Carpenter, W.J. Bourgeois, Y. Yu, R.J. Constantin, M.J. Falcon, and J.C. Adams. 1998. Variations in the secondary metabolite camptothecin in relation to tissue age and season in Camptotheca acuminata. Tree Physiology 18: 265-270.

Llusia, J. and J. Penuelas. 2000 Seasonal patterns of terpene content and emission from seven Mediterranean woody species in field conditions. American Journal of Botany 87 (1): 133–140.

Luckner, M. 1990. Secondary Metabolism in Microorganisms, Plants and Animals. Berlin: Springer-Verlag.

Maarse, H. and R.E. Kepner. 1970. Changes in composition of volatile terpenes in Douglas fir needles during maturation. Journal of Agricultural Food Chemistry 18:1095.

Manurung, T.R. 2002. Minyak atsiri, karunia untuk bangsa Indonesia. Trubus 33 (392): 68-69.

McHugh MA, Krukonis VJ. 1986. Supercritical Fluid Extraction: Principles and Practice. New York: Butterworths.

Meyer, M. W. and W.H. Karasov. 1991. Chemical aspects of herbivory in arid and semiarid habitats. In: Palo, R.T. and C.T. Robbins (eds.). Plant Defenses Against Mammalian Herbivory. Boca Raton: CRC Press.

Misaghi, I.J. 1982. Physiology and Biochemsitry of Plant-pathogen Interactions. New York: Plenum Press.

Nagy, J.G. and W. L. Regelin. 1977. Influence of plant volatile oils on food selection by animals. XIIIth Congress of Game Biology 13: 225-229.

Obst, J.R. 1999. Special (secondary) metabolites from wood. In Bruce, A. and J.W. Palfreyman (eds.) Forest Products Biotechnology. London: Taylor and Francis.

Ochse, J.J. 1931. Vegetables of The Dutch East Indies. Buitenzorg: Archipel Drukkerij.

Pielou, E.C. 1984. The Interpretation of Ecological Data. A Primer on Classification and Ordination. New York: John Wiley and Sons.

Purseglove, J.W. 1972. Tropical Crops Monocotyledons. London: Longman.

Setyawan, A.D. 1996. Kekerabatan Berdasarkan Sifat-sifat Morfologi, Anatomi dan Kandungan Kimia Minyak Atsiri pada Anggota Familia Zingiberaceae. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM.

Smith, P.M. 1976. The Chemotaxonomy of Plants. London: Edward Arnold.

Sneath, P.H.A and R.R. Sokal. 1973. Numerical Taxonomy. San Francisco: W.H. Freeman and Co.

Swoffort, D.L. and R.B. Selander. 1989. BIOSYS-1: a computer program for the analysis of allelic variation in population genetics and biochemical systematics, release 1.7. Illinois: Natural History Survey.

Trease, G.E. and W.C. Evans. 1978. Pharmacognasy. Eleventh edition. London: Bailliere Tindall.

Tucker, R.E., W. Majak, P.D. Parkinson, and A. McLean. 1976. Palatability of Douglas fir foliage to mule deer in relation to chemical and spatial factors. Journal of Range Management 29: 486-489.

Page 8: Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale Rosc ...biosains.mipa.uns.ac.id/B/B0402/B040211.pdf · penggunaan jahe di Indonesia sangat luas, ... Metabolit sekunder utama pada jahe

B i o S M A R T ISSN: 1411-321X Volume 4, Nomor 2 Oktober 2002 Halaman: 48-54

© 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta