kepemimpinan pendeta beretnis tionghoa (studi kasus pada...

27
113 BAB IV ANALISA TERHADAP KEPEMIMPINAN PENDETA BERETNIS TIONGHOA DALAM GEREJA-GEREJA ALIRAN PENTAKOSTA DI KOTA SALATIGA Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya, yakni bagaimana kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa dalam gereja-gereja aliran Pentakosta di kota Salatiga? yang kemudian di jabarkan ke dalam fokus penelitian yang menyoroti dan berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan, karakter kepemimpinan, pengaruh kultur sebagai seorang etnis Tionghoa dalam proses kepemimpinan, serta kompetensi Pendeta beretnis Tionghoa sebagai pemimpin, maka pada bagian ini peneliti melakukan analisa terhadap data-data yang telah didapatkan di lapangan melalui teknik wawancara mendalam maupun observasi. Secara berurutan, bagian yang akan dibahas dalam bab ini meliputi: (4.1) Gaya Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa, (4.2) Pemimpin yang Mampu Menjadi Teladan (Role Model) kepada Orang-orang yang Dipimpinnya, (4.3) Pemimpin yang Bervisi, (4.4) Adanya Pengaruh dari Kultur sebagai Seorang Etnis Tionghoa terhadap Proses Kepemimpinan, dan (4.5) Kompetensi Pendeta Beretnis Tionghoa . 4.1. Gaya Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa Dari data yang tersaji, yang diperoleh melalui teknik wawancara mendalam maupun observasi maka terungkap beberapa gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh Pendeta beretnis Tionghoa. Gaya kepemimpinan yang diungkap dalam penelitian ini akan dijabarkan, sbb: (A) Gaya Kepemimpinan dengan Kinerja tinggi dan kekompakan tinggi, (B) Gaya Kepemimpinan Demokratis, (C) Gaya kepemimpinan Situasional, (D) Gaya Kepemimpinan Pengayom (Headmanship), (E) Gaya Kepemimpinan Transaksional.

Upload: trinhdung

Post on 30-May-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

113

BAB IV

ANALISA TERHADAP KEPEMIMPINAN PENDETA BERETNIS TIONGHOA

DALAM GEREJA-GEREJA ALIRAN PENTAKOSTA DI KOTA SALATIGA

Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya, yakni

bagaimana kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa dalam gereja-gereja aliran Pentakosta di

kota Salatiga? yang kemudian di jabarkan ke dalam fokus penelitian yang menyoroti dan

berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan, karakter kepemimpinan, pengaruh kultur sebagai

seorang etnis Tionghoa dalam proses kepemimpinan, serta kompetensi Pendeta beretnis

Tionghoa sebagai pemimpin, maka pada bagian ini peneliti melakukan analisa terhadap data-data

yang telah didapatkan di lapangan melalui teknik wawancara mendalam maupun observasi.

Secara berurutan, bagian yang akan dibahas dalam bab ini meliputi: (4.1) Gaya

Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa, (4.2) Pemimpin yang Mampu Menjadi Teladan

(Role Model) kepada Orang-orang yang Dipimpinnya, (4.3) Pemimpin yang Bervisi, (4.4)

Adanya Pengaruh dari Kultur sebagai Seorang Etnis Tionghoa terhadap Proses Kepemimpinan,

dan (4.5) Kompetensi Pendeta Beretnis Tionghoa .

4.1. Gaya Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa

Dari data yang tersaji, yang diperoleh melalui teknik wawancara mendalam maupun

observasi maka terungkap beberapa gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh Pendeta beretnis

Tionghoa. Gaya kepemimpinan yang diungkap dalam penelitian ini akan dijabarkan, sbb: (A)

Gaya Kepemimpinan dengan Kinerja tinggi dan kekompakan tinggi, (B) Gaya Kepemimpinan

Demokratis, (C) Gaya kepemimpinan Situasional, (D) Gaya Kepemimpinan Pengayom

(Headmanship), (E) Gaya Kepemimpinan Transaksional.

Page 2: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

114

4.1.1. Gaya Kepemimpinan Kerja Tinggi dan Kekompakan Tinggi.

Gaya kepemimpinan pertama yang akan dibahas adalah gaya kepemimpinan yang berorentasi

kepada relasi dan tugas terutama berkaitan dengan suasana organisasi dan dalam pengambilan

keputusan. Dari keempat gaya kepemimpinan yang dikembangkan dari dua dimensi tugas

kepemimpinan yakni kepemimpinan yang berorentasi pada tugas (task oriented) dan

kepemimpinan yang berorentasi pada manusia (human relationship oriented), ditemukan kedua

subjek memiliki gaya kepemimpinan kerja tinggi dan kekompakan tinggi.

Pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan kerja tinggi dan kekompakan tinggi, dapat

menjaga kerja dan kekompakan kepemimpinan tinggi, cocok dipergunakan untuk membentuk

kelompok. Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin menjadi model untuk kelompok dengan

menunjukan perilaku yang membuat kelompok efektif dan puas.

Kinerja yang tinggi dapat terlihat dari keberadaan berbagai unit pendukung pelayanan yang

dimiliki oleh kedua gereja. Terutama dalam kasus 1 (satu), dari hasil observasi ditemukan

adanya banyak unit pendukung pelayanan. Unit-unit pendukung yang dimiliki antara lain:

adanya sekolah, hotel, koperasi, yayasan, poliklinik, radio, dll. Keberadaan unit-unit pendukung

tersebut menjadi bukti adanya kinerja yang tinggi yang diperlihatkan oleh subjek sebagai

pemimpin dan menjadi penekanan dalam proses kepemimpinan untuk mencapai semua hal

tersebut. Kedua subjek pun selalu mendorong rekan-rekan pelayanannya untuk memberikan

pelayanan atau pun menunjukan kinerja terbaik yang dapat dilakukan. Penekanan pada gaya

kepemimpinan dengan kinerja yang tinggi yang ditunjukan dalam kepemimpinan Pendeta

beretnis Tionghoa,diyakini merupakan hasil dari pengaruh kultur sebagai seorang etnis

Tionghoa. Kedua subjek dibesarkan dalam keluarga yang menekankan sistem nilai seperti kerja

Page 3: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

115

keras, ulet dalam bekerja dll. Sehingga hal tersebut mendorong kedua subjek dalam

kepemimpinan menerapakan sistem nilai tersebut.

Dari data yang diperoleh melalui wawancara maupun observasi berkaitan dengan gaya

kepemimpinan yang menekankan kepada tugas/kinerja dan relasi/kekompakan, maka ditemukan

bahwa selain tidak mengabaikan upaya untuk membangun kinerja yang tinggi, subjek dalam

kasus 2 (dua) sebagai pemimpin juga menekankan adanya relasi/kekompakan yang tinggi.

Data yang ditemukan melalui wawancara berkaitan dengan gaya kepemimpian terungkap

bahwa Pdt. Gideon Rusli (subjek 2) adalah pemimpin yang memberikan penekanan lebih pada

relasi (relasi/kekompakan tinggi). Baginya kinerja memang juga merupakan bagian yang penting

namun hal-hal yang berkaitan dengan kinerja dapat dibangun kemudian. Lebih lanjut ia

menyatakan bahwa untuk mencapai kinerja yang baik maka harus terlebih dahulu didasari

dengan relasi yang baik. Dengan relasi yang dibangun, dalam hal ini relasi seperti sebuah

keluarga maka menurutnya akan mampu menggerakan atau mengarahkan orang lain terutama

orang-orang yang dipimpinnya untuk dengan mudah dapat memiliki kinerja yang tinggi. Jadi

upaya menciptakan relasi/kekompakan yang tinggi oleh subjek adalah bagian dari upaya untuk

membangun kinerja yang berkualitas (kinerja tinggi).

Relasi yang berusaha dibangun oleh subjek adalah hubungan atau relasi yang didasari pada

sebuah nilai bahwa semua yang ada dalam gereja ini adalah keluarga. Maka secara otomatis

hubungan yang tercipta dalam jemaat, seperti hubungan atau relasi sebagaimana dalam konteks

keluarga. Sebagai keluarga, ia berperan sebagai bapak dan jemaat adalah anak-anaknya. Hal

tersebut juga diterapkannya dengan rekan-rekan pelayanannya. Subjek mengaku bahwa mereka

sebagai satu tim berjuang bersama-sama sebagai sebuah keluarga. Jadi sejauh ini relasi yang

terus dibangun adalah relasi seperti keluarga. Jadi gaya kepemimpinan yang ditunjukan subjek

Page 4: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

116

pada kasus 2 (dua) adalah gaya kepemimpinan dengan relasi/kekompakan tinggi dan juga

menekankan kinerja yang tinggi pula.

Hal yang serupa juga ditunjukan dalam kasus 1 (satu). Subjek 1 memahami bahwa

kenerja yang tinggi harus didahului dengan relasi yang baik. Walaupun penekanan subjek

terhadap orang-orang yang dipimpinnya untuk dapat bekerja dan melayani dengan maksimal,

namun ia tidak mengabaikan upaya untuk terus menjalin hubungan/relasi dengan orang-orang

yan dipimpinnya. Terutama para Pendeta Muda yang telah subjek kader untuk meneruskan

kepemimpinannya untuk waktu kedepan.

Dari hasil wawancara mendalam diperoleh informasi bahwa Pdt. Bambang Hengky dinilai

bukan pemimpin yang sama sekali tidak perduli dalam hal membangun relasi dengan jemaat dan

rekan-rekan pelayanannya. Pdt. Bambang Hengky selalu menyediakan waktu diantara

kesibukannya untuk tetap hadir dalam ibadah-ibadah Komsel, Family Altar setiap minggunya.

Subjek secara bergiliran hadir dalam kelompok-kelompok persekutuan sel dan membangun

hubungan atau relasi dengan jemaat. Walaupun sebenarnya untuk mengingat dan dekat dengan

semua jemaat melalui kunjung satu demi satu adalah hal yang menurutnya tidak mungkin karena

jumlah jemaat yang mencapai ribuan jiwa. Untuk itulah ia sering mendelegasikan tugas kepada

rekan-rekan pelayannya, tim kunjungan dan para Pendeta Muda lainnya. Selain itu, ia selalu

bersedia untuk ditemui jika ada jemaat atau rekan pelayanan yang datang langsung kepadanya

untuk berkomunikasi.

Adanya relasi/kekompakan yang tinggi, yang juga ditunjukan oleh kedua subjek, merupakan

bagian pengaruh dari karakter yang dimiliki kedua subjek sebagai pemimpin. Kedua subjek

dikenal sebagai pribadi yang “welcome” dan terbuka. Selain itu bagian lain yang dapat menjadi

faktor yang menghasilkan gaya kepemimpinan dengan kekompakan/relasi yang tinggi yaitu

Page 5: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

117

corak gereja-gereja aliran Pentakosta yang juga menyukai adanya persekutuan (fellowship)

dalam kehidupan berjemaat.

4.1.2. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Berdasarkan data yang tersaji berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan, yang diperoleh

dari teknik observasi dan wawancara mendalam maka terungkap juga bahwa gaya atau tipe

kepemimpinan yang ditunjukan oleh kedua subjek sebagai pemimpin adalah gaya atau tipe

kepemimpinan demokratis. Temuan ini tidak sejalan dengan penjelasan yang telah dilansir

sebelumnya bahwa dalam gereja-gereja aliran pentakosta, peran pemimpin sangat dominan dan

cenderung individual dalam pengambilan kebijakan dan keputusan dalam gereja.

Dalam struktur kepemimpinan gereja-gereja aliran Pentakosta menempatkan Pendeta

(Gembala Jemaat) sebagai posisi atau kedudukan/jabatan teratas yang kemudian memberikan

ruang yang besar dan cenderung bebas kepada Gembala jemaat dalam menentukan berbagai

kebijakan dalam gereja. Hal ini tidak dipisahkan dari sejarahnya. Sebagai gerakan yang bersifat

revival, pemimpin gereja aliran pentakosta mendapat wewenang sebagai pemimpin dari

kharisma yang dimiliki seseorang. Hal tersebut memungkinkan munculnya sikap individual dan

dominasi dari pemimpin yang cenderung berlebihan. Namun sikap yang cenderung individual

dan otoriter serta dominasi yang berlebihan dari pemimpin tidak diperlihatkan dan ditunjukan

oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa dalam kepemimpinan mereka.

Keduanya justru menunjukan gaya atau tipe kepemimpinan demokratis. Gaya kepemimpinan

demokratis adalah gaya kepemimpinan yang menempatkan manusia sebagai faktor terpenting

dalam kepemimpinan yang dilakukan berdasarkan dan mengutamakan orientasi pada hubungan

dengan anggota organisasi. Filsafat demokratis yang mendasari pandangan gaya kepemimpinan

Page 6: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

118

demokratis ini adalah pengakuan dan penerimaan bahwa manusia merupakan makhluk yang

memiliki hatkat dan martabat yang mulia dengan hak asasi yang sama.

Nilai-nilai demokratis dalam kepemimpinan tampak dari kebijakan pemimpin yang

orientasinya pada hubungan manusiawi, berupa pengakuan yang sama dan tidak membeda-

bedakan anggota organisasi atas dasar warna kulit, ras, kebangsaan, agama, status sosial

ekonomi, dan lain-lain. Pengimplementasian nilai-nilai demokratis di dalam kepemimpinan

dilakukan dengan memberikan kesempatan yang luas pada anggota organsasi untuk

berpartisipasi dalam setiap kegiatan sesuai dengan posisi dan wewenang masing-masing.

Dalam kasus 1, subjek sebagai pemimpin menunjukan tipe pemimpin yang cenderung

terbuka dalam menerima masukan atau pendapat orang-orang yang dipimpinnya. Ia selalu

memberikan kesempatan untuk orang-orang yang dipimpinnya untuk dapat mengeluarkan

pendapat atau usulan serta memberikan ide-ide yang membangun. Ia mendorong orang-orang

yang ia pimpin untuk mampu dan mau berinsiatif. Lebih dari itu ia memiliki kerinduan semua

jemaat harus terlibat dan bukan menjadi penonton. Jika dalam proses itu, ingin bertanya maka

subjek kapan saja menyediakan waktu untuk bisa ditemuai. Selain itu subjek tidak jarang

memberikan kepercayaan kepada rekan-rekan pelayanannya yang lain, untuk dapat memutuskan

sesuatu

Sedangkan dalam kasus 2 (dua), dari hasil data yang diperoleh dengan menggunakan teknik

wawancara kepada informan kunci, berkaitan dengan tipe kepemimpinan yang diterapkan

ditemukan bahwa subjek sebagai pemimpin mengaku terhadap rekan-rekan pelayanannya, selalu

bersikap “open”. Terhadap rekan-rekan pelayanannya, ia memberikan kesempatan dan ruang

yang sebesar-besarnya untuk dapat berpendapat. Dalam rapat atau pertemuan-pertemauan yang

sering dilaksanakan dia memberikan kesempatan kepada orang yang dipimpinnya untuk dapat

Page 7: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

119

memunculkan ide-ide, dan selalu mengijinkan orang-orang untuk berbeda pendapat. Dalam hal

mengambil kebijakan juga diperlakukan hal yang sama . Dalam kepemimpinannya ia berusaha

untuk selalu kerja sebagai satu tim. Sebagai wujudnya, ia sebagai pemimpin menyukai adakan

pertemuan, untuk dapat mendengarkan dan membicarakan ide-ide dari rekan-rekan pelayananya

yang lain.

Berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan dari Pdt. Gideon Rusli ditemukan dari hasil

wawancara dengan informan pendukung yang adalah salah satu staff di bagian multimedia,

bahwa Pdt. Gideon Rusli adalah tipe pemimpin yang memberikan kesempatan kepada patner

pelayanannya untuk dapat melakukan yang bisa dilakukan dengan talenta dan kemampuan yang

dimiliki. Sebagai patner pelayanan Pdt, Gideon Rusli, ia menilai bahwa Pdt. Gideon adalah

pemimpin yang mau memberikan kesempatan dan ruang yang lebih kepada orang-orang yang

dipimpinnya untuk dapat berkreativitas dengan kemampuan dan talenta yang dimiliki. Yang ia

rasakan selama bekerja sama dengan Pdt. Gideon Rusli adalah ia dapat berkembang lebih baik

dalam hal talenta yang dimiliki. Pdt. Gideon Rusli sebagai pemimpin selalu mendorong orang-

orang yang dipimpinnya, termasuk sdr. Maikel untuk dapat melakukan segala sesuatu dengan

terbaik. Sebagai pemimpin ia selalu memberikan masukan kepada patner-patner pelayanannya.

Pemimpin yang sering juga memberikan apresiasi kepada apa yang telah dikerjakan dengan

maksimal oleh orang-orang yang dipimpinnya.

Hal tersebut sejalan dengan keterangan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan saudari

Yunita, yang juga adalah salah satu staff di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Salatiga. Ia juga

menilai Pdt. Gideon Rusli adalah pemimpin yang selalu memberikan tantangan dan kesempatan

untuk rekan-rekan kerja dan pelayanannya untuk melakukan apa yang bisa dilakukan untuk

kemajuan pelayanan. Selain itu juga, Pdt. Gideon Rusli adalah sosok yang selalu “welcome” dan

Page 8: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

120

“open” dengan berbagai pendapat atau usulan dari orang lain. Selama pendapat yang diberikan

tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Firman Tuhan, maka ia akan mendengarkan dan

mempertimbangkan.

Gambaran yang berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan yang ditunjukan oleh kedua

subjek tersebut menurut penjelasan Nawawi dan Hadari merupakan tipe pemimpin yang

demokratis. Gaya atau tipe kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang diwujudkan

dengan cara memberikan kesempatan yang luas bagi orang-orang yang dipimpinnya untuk dapat

berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Partisipasi tersebut disesuaikan dengan posisi masing-

masing, disamping memperhatikan pula tingkat dan jenis kemampuan setiap anggota. Tipe

kepemimpinan ini menempatkan manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam setiap

kelompok/organisasi.Lebih lanjut dijelaskan bahwa tipe kepemimpinan demokratis adalah tipe

kepemimpinan yang menempatkan orang-orang yang dipimpinnya sebagai subjek, yang

memiliki kepribadian dengan berbagai aspek, seperti dirinya juga. Kemauan, kehendak,

kemampuan, buah pikiran, pendapat, minat/perhatian, kreativitas, insiatif dan lain-lain yang

berbeda-beda antara yang satu dengan lain selalu dihargai dan disalurkan secara wajar1.

Kepemimpinan gaya atau tipe ini dalam mengambil keputusan-keputusan sangat

mementingkan musyawarah, yang diwujudkan pada setiap jenjang dan di dalam unit masing-

masing. Pemimpin dengan tipe demokratis menaruh perhatian penuh pada gagasan anggota

kelompok. Dengan demikian akan selalu terjadi pertemuan gagasan, yang dapat menghasilkan

keputusan terbaik untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukan oleh kedua subjek dalam memimpin,

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya berdasarkan data yan diperoleh. Sehingga yang terjadi

adalah orang-orang- yang dipimpinnya dalam pelaksanaan setiap keputusan tidak dirasakan

1 Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, Kepemimpinan yang…., 100-102.

Page 9: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

121

sebagai kegiatan yang dipaksaka, justru sebaliknya semua terdorong untuk mensukseskannya

sebagai tanggung jawab bersama2.

Pendapat lain yang sejalan dengan hasil temuan, dijelaskan oleh Siagian. Ia menejelaskan

bahwa seorang pemimpin yang demokratis akan dihormati dan disegani dan bukan ditakuti

karena perilakunya dalam kehidupan organisasional. Perilakunya mendorong orang-orang yang

dipimpinnya menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Dengan

sungguh-sungguh ia mendengarkan pendapat, saran dan bahkan kritik orang lain, terutama

orang-orang yang dipimpinnya. Bahkan seorang pemimpin yang demokratis tidak akan takut

membiarkan para bahwahannya berprakarsa meskipun ada kemungkinan prakarsa itu akan

berakibat pada kesalahan Jika terjadi kesalahan, pemimpin yang demokratis berada di samping

orang-orang yang dipimpinnya yang berbuat kesalahan itu bukan untuk menindak atau

menghukumnya, melainkan meluruskannya sedemikian rupa sehingga orang-orang yang

dipimpinnya tersebut belajar dari kesalahannya itu dan dengan demikian menjadi anggota

organisasi yang lebih bertanggung jawab3. Hal ini sesuai dengan hasil temuan yang

memperlihatkan bahwa kedua subjek sebagai pemimpin dengan tipe demokratis sangat dihormati

dan disegani oleh orang-orang dipimpinnya.

4.1.3. Gaya kepemimpinan Situasional

Gaya kepemimpinan berikutnya, yang ditunjukan dan dimiliki oleh Pendeta beretnis

Tionghoa adalah gaya kepemimpinan situasional. Gaya kepemimpinan situsional adalah gaya

kepemimpinan yang mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi dan keadaan sebagai faktor

penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melakukan tugas-tugas organisasi

2 Ibid.

3 Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 43.

Page 10: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

122

secara efektif dan efisien. Kepemimpinan situasional menekankan bahwa keefektifan

kepemimpinan seseorang bergantung pada pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat dalam

menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa dari orang-orang yang dipimpin.

Hal tersebut ditemukan pada kasus 1 (satu). Terlihat subjek cenderung menunjukan gaya

kepemimpinan yang disebut sebagai gaya kepemiminan situasional. Gaya kepemimpinan

situasional diperkenalkan oleh Blanchard (1997)4. Gaya kepemimpinan ini dikembangkan dari

keyakinan dan nilai tentang orang, yaitu: orang dapat dan ingin dikembangkan. Salah satu

defenisi dari ketrampilan pemimpin situsional, yang diungkapkan oleh Blanchard adalah adanya

keluwesan, yaitu kemampuan untuk menggunakan berbagai macam gaya kepemimpinan dengan

baik5. Inti utama dari kepemimpinan situasional adalah bagaimana pemimpin mengembangkan

semaksimal mungkin kemampuan pengikut mereka sesuai dengan gaya tahapan dari pengikut

yang ada. Hal ini bila ditelaah lebih lanjut merupakan prinsip utama dari servant leadership yaitu

bagaimana pemimpin dapat melayani pengikutnya untuk perkembangan dan kemajuan bersama6.

Bagian yang diungkapkan dan dijelaskan oleh Blanchard tersebut sejalan dengan hasil

temuan berkaitan dengan gaya kepemimpinan dari subjek dalam kasus 1(satu). Hasil data yang

diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi, ditemukan gaya

kepemimpinan yang subjek terapkan selama ini menyesuaikan dengan orang-orang yang ia

pimpin. Hal ini berangkat dari pemahamannya bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang

terbaik. Sebagai pemimpin bagi jemaat dengan jumlah ribuan jiwa, ia merasa adanya perbedaan

yang ditunjukan oleh setiap orang, termasuk didalamnya adalah rekan-rekan pelayanannya, baik

itu dalam hal kompetensi maupun komitmen ketika melayani. Kondisi ini membuat subjek harus

4 Jony Oktavian Haryanto, KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI….,31.

5 Ibid.

6 Ibid.

Page 11: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

123

dapat menyesuaikan dan menempatkan gaya kepemimpinan yang tepat ketika berhadapan

dengan setiap orang yang dipimpinnya.

Baginya gaya kepemimpinan yang terbaik adalah gaya kepemimpinan yang mampu

menyesuaikan dengan siapa pemimpin itu sedang berhadapan. Kadang sebagai pemimpin ia

harus mampu memberikan directing bagi mereka dengan komitemen tinggi tetapi masih

memiliki kemampuan atau kompentesi rendah karena masih kurangnya pengalaman. Kondisi ini

sesuai dengan perilaku dasar kepemimpinan situasional, yakni perilaku direktif. Perilaku diriketif

adalah perilaku yang diterapkan apabila pemimpin dihadapkan pada tugas yang rumit dan

bawahan belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut, atau

pemimpin berada di bawah tekanan waktu penyelesaian, maka pemimpin akan menjelaskan apa

yang perlu dikerjakan.

Ia kadang juga harus menjadi pelatih, bagi mereka yang sudah mulai memiliki kompetensi

yang boleh dikatakan sedang namun komitmen yang mulai rendah. Menjadi suporter yang

memberika dukungan ketika berdahapan dengan mereka yang memilki kompetensi tinggi namun

komitmenya variabel. Serta sebagai pemimpin ia pun harus dapat memberikan delegasi

(delegation) ketika berhadapan dengan mereka yang telah memiliki komitmen tinggi sekaligus

memiliki kompetensi yang tinggi.

Subjek mampu memainkan fungsinya sebagai pemimpin dengan menerapkan gaya

kepemimpinan yang dapat menyesuaikan dengan orang-orang yang dipimpinnya. Kondisi ini

sesuai dengan hal utama yang menjadi penekanan dalam gaya kepemimpinan situasional, yakni

bagaimana pemimpin dapat mengembangkan semaksimal mungkin kemampuan pengikut mereka

sesuai dengan gaya dan tahapan dari pengikut yang ada.

Page 12: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

124

Subjek mampu berganti gaya kepemimpinan dengan cepat dan sesuai ketika berhadapan

dengan orang dengan tipe yang berbeda-beda. Kemampuannya tersebut dirasakan oleh orang-

orang yang dipimpinnya, termasuk oleh orang-orang tedekatnya. Menurut Pdm. Satrio Sambodo

ketika berhadapan dengan para Pendeta Muda, subjek sering memberikan delegasi dalam

menjadi perpanjangan tangan dari gembala jemaat untuk menjangkau jemaat-jemaat dengan

berbagai persoalan yang ada. Mereka diberikan kesempatan untuk mengambil kebijakan dalam

gereja sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam gereja dan

merugikan orang lain. Kondisi ini juga sesuai dengan penjelasan dari salah satu perilaku

mendasar dari gaya kepemimpinan situasional, yakni perilaku delegatif. Perilaku delegatif ini

diterapkan apabila orang-orang yang dipimpin sudah sepenuhnya paham dan efisien dalam

kinerja tugas, sehingga pemimpin dapat melepaskan mereka untuk menjalankan tugasnya sendiri.

Hal inilah yang dilakukan oleh subjek terhadap para Pendeta Muda yang telah dianggap

memiliki kinerja tugas yang tinggi dan efisien.

4.1.4. Gaya Kepemimpinan Pengayom (Headmanship)

Selain menunjukan gaya kepemimpinan dengan kinerja dan relasi tinggi, demokratis, dan

situasional, kedua subjek juga menunjukan tipe atau gaya kepemimpinan pengayom

(Headmanship). Nawawi dan Hadari menjelaskan bahwa tipe kepemimpinan pengayom

menempatkan seseorang sebagai kepala pada dasarnya berfungsi sebagaimana layaknya seorang

kepala keluarga. Pemimpin memiliki kesediaan dan kesungguhan dalam mengayomi orang-orang

yang dipimpinnya. Kepemimpinan dijalankan dengan melakukan kegiatan kepeloporan,

kesediaan berkorban, pengabdian, melindungi, dan selalu melibatkan diri dalam usaha

memecahkan masalah perseorangan atau kelompok. Pemimpin ibarat ayah yang berfungsi

mengayom anggotanya ibarat anak-anak dan anggota keluarganya yang lain.

Page 13: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

125

Hal yang dijelaskan oleh Nanawi dan Hadari dapat terlihat pada kedua kasus dalam

penelitian ini. Dalam kasus 2 (dua), dari teknik observasi dan wawancara mendalam dengan

informan kunci dan informan pendukung maka terungkap bahwa Pdt. Gideon Rusli adalah

pemimpin yang mendasari relasi dengan orang-orang yang dipimpinnya pada sebuah nilai bahwa

semua yang ada dalam gereja adalah keluarga. Maka secara otomatis hubungan yang tercipta

dalam jemaat, diharapkan seperti hubungan atau relasi dalam konteks keluarga. Sebagai

keluarga, ia berperan sebagai bapak dan jemaat adalah anak-anaknya. Hal tersebut juga

dilakukannya dengan rekan-rekan pelayanannya. Subjek mengaku bahwa mereka sebagai satu

tim berjuang bersama-sama sebagai sebuah keluarga. Jadi sejauh ini relasi yang terus dibangun

adalah relasi seperti keluarga.

Upaya membangun hubungan sebagaimana sebuah keluarga diwujudkannya dengan

merasakan apa yang orang-orang dipimpinnya rasakan. Ibu Ely dan Bapak Cipto sebagai angota

jemaat, berkisah ketika rumah mereka rusak karena terkena bencana angin ribut maka Pdt.

Gideon Rusli sebagai pemimpin mau langsung bergerak membantu mereka dan keluarga yang

lain, yang juga terkena bencana. Keperduliannya tersebut atas dasar pandangannya bahwa semua

yang ada dalam jemaat adalah keluarga sehingga harus saling membantu. Kondisi ini sesuai

dengan bagian dari penjelasan dalam gaya kepemimpinan pengayom, yaitu pemimpin memiliki

kesediaan dan kesungguhan dalam melibatkan diri dalam usaha memecahkan masalah

perseorangan atau kelompok.

Dalam membangun relasi dengan orang-orang yang dipimpinnya, sebagai pemimpin ia

menyukai untuk melakukannya melalui sentuhan secara personal. Dalam hal ini ia sebagai

pemimpin berusaha menyediakan waktu untuk dapat membangun komunikasi pribadi dengan

orang-orang yang dipimpinnya. Walaupun secara ideal tidak semua jemaat dapat didekati secara

Page 14: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

126

personal namun ia sebagai pemimpin berusaha kalau ada jemaat baru maka ia menyediakan

waktu untuk melakukan kunjungan dan melakukan sentuhan secara personal.

Dalam kasus 1 (satu), ditemukan hal yang tidak jauh berbeda dengan kasus 2 (dua). Hasil

wawancara diperoleh keterangan dari salah satu orang yang dipimpin subjek, mengaku bahwa ia

menemukan sosok Gembala jemaat memperlakukan dirinya sebagai anak. Ia sendiri merasa

memiliki bapak rohani yang perduli dan sangat baik dalam mendidik dirinya. Labih lanjut

dijelaskan bahwa Pdt. Bambang Hengky adalah sosok pemimpin yang memiliki “hati bapak”.

Hati bapak yang dimaksudkan adalah ia sebagai sosok yang sangat mengasihi orang-orang yang

dipimpinnya, selalu mau berkorban untuk orang-orang yang dipimpinnya dan memperlakukan

mereka sebagai anak-anaknya sendiri. Bentuk kasihnya dia tunjukan melalui tindakan-tindakan

yang tegas tetapi disisi lain ia pun bisa mempelakukan orang-orang yang dipimpinnya dengan

penuh kelembutan.

4.1.5. Gaya Kepemimpinan Transaksional

Secara kritis ketika melakukan tinjauan terhadap bagian yang berkaitan dengan gaya atau

tipe kepemimpinan yang ditunjukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa maka terungkap juga

adanya gaya atau tipe kepemimpinan transaksional. Dari data yang tersaji, yang diperoleh

melalui teknik wawancara mendalam dan observasi, ditemukan bahwa kedua Pendeta beretnis

Tionghoa sebagai pemimpin melakukan pengorbanan yang tidak sedikit selama proses

kepemimpinan dalam gereja yang dipimpin. Pengorbanan yang tidak sedikit yang dimaksud,

ditunjukan dalam bentuk materi. Dalam kasus 1 (satu), pengorbanan yang ditunjukan oleh subjek

dalam bentuk menyerahkan kompleks/tanah yang dahulunya milik pribadi dari Pdt. Bambang

Hengky dan keluarga kepada gereja. Sehingga tanah yang saat ini telah dibangun bangunan

gereja dan berbagai unit pendukung, telah menjadi milik jemaat lokal sepenuhnya. Sedangkan

Page 15: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

127

pada kasus 2 (dua), subjek yang memimpin sebagai gembala jemaat pada saat proses

pembangunan gedung gereja, juga melakukan pengorbanan dalam bentuk materi. Hal ini

ditunjukannya ketika subjek menjual 2 (dua) mobil pribadinya untuk membantu kebutuhan biaya

pembangunan gedung gereja.

Walaupun di satu sisi pengorbanan dalam bentuk materi tersebut dianggap sebagai hal

yang positif, yang ditunjukan kedua Pendeta beretnis Tionghoa sebagai pemimpin, namun pada

sisi lain, tidak dapat diabaikan bahwa hal tersebut juga dapat menjadi salah satu indikasi adanya

gaya atau tipe kepemimpinan transaksional. Gaya kepemimpinan transaksional adalah gaya

kepemimpinan yang bercirikan adanya pengorbanan individu terhadap oganisasi dikarenakan

adanya kepentingan pribadi. Kepemimpinan yang memotivasi orang-orang yang dipimpin

dengan minat-minat pribadinya. Kepemimpinan transaksional juga melibatkan nilai-nilai akan

tetapi nilai-nilai itu relevan sebatas proses pertukaran (exchange process), tidak langsung

menyentuh substansi perubahan yang dikehendaki.

Jika melihat corak kepemimpinan yang khas dari gereja-gereja aliran Pentakosta, dalam

hal ini tidak mengenal adanya mutasi Pendeta yang berlaku dalam sinode Gereja-gereja aliran

Pentakosta tersebut berada, maka tidak menutup kemungkinan munculnya kepentingan pribadi

atau individu dari pemimpin. Kondisi ini memungkinkan Pendeta menjadi Gembala jemaat

dalam durasi waktu yang tidak ditentukan atau bahkan dapat seumur hidup menjadi pemimpin

dalam jemaat tersebut karena tidak adanya mutasi dalam kepemimpinan gereja-gereja aliran

Pentakosta. Dengan corak demikian, maka pemimpin bisa saja melakukan pengorbanan yang

tidak sedikit dalam bentuk materi terhadap gereja yang dipimpin. Hal ini dikarenakan ia tahu

bahwa akan menjadi pemimpin seumur hidup dalam gereja tersebut. Tidak adanya mutasi atau

Page 16: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

128

pertukaran penempatan Pendeta dalam gereja-gereja aliran Pentakosta juga memungkinkan

Pendeta menganggap bahwa gereja menjadi miliki pribadi atau individu.

Dalam kasus 2 (dua), subjek menjadi Gembala jemaat setelah kepemimpinan dalam

Gereja Bethel Indonesia (GBI) Salatiga sebelumnya dipegang oleh ayahnya yaitu Pdt. Andreas

Muliatno Rusli. Jadi kepemimpinan Pdt. Andreas Muliatno Rusli digantikan oleh putranya

sendiri yakni Pdt. Gideon Rusli yang telah menjadi Gembala jemaat sampai saat ini. Kondisi ini

cenderung mengarah pada adanya kepentingan pribadi pemimpin ketika mealakukan

pengorbanan kepada gereja yang dipimpin. Kondisi ini yang oleh peneliti maksudkan menjadi

alasan adanya gaya atau tipe kepemimpinan transaksional jika dilihat dari sisi lain. Jadi nilai

yang ditunjukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa, dalam hal ini pengorbanan yang

dilakukan, dapat atau dimungkinkan menjadi sebatas proses pertukaran (exchange process).

4.2. Pemimpin yang Mampu Menjadi Teladan (Role Model) kepada Orang-orang yang

Dipimpinnya.

Dari hasil teknik wawancara mendalam, baik kepada informan kunci maupun kepada

informan pendukung, diperoleh data yaitu kedua Pendeta beretnis Tionghoa ternyata mampu

menjadi teladan atau role model yang baik bagi para pengikutnya. Hal tersebut dilakukan kedua

subjek sebagai cara atau upaya dalam proses mempengaruhi para pengikutnya untuk mencapai

tujuan bersama. Kedua subjek yang adalah Pendeta beretnis Tionghoa mengandalkan

keteladanan, dengan menjadi role model bagi orang-orang yang dipimpinnya. Dalam upaya

menjadi teladan bagi pengikutnya, kedua subjek menunjukan karakter-karakter yan dimiliki oleh

seorang pemimpin yang melayani.

Page 17: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

129

Karakter yang dimiliki kedua subjek ternyata memainkan peranan yang sangat signifikan dan

penting dalam proses kepemimpinannya. Penemuan ini sejalan dengan bagian yang diungkapkan

oleh Neuschel yang menyatakan bahwa Karakter merupakan fondasi kemampuan

kepemimpinan. Karakter yang dimaksudkan lebih merupakan seluruh sistem nilai yang

ditunjukan terus menerus. Ketika manifestasi ini jelas dan konsisten serta merefleksikan suatu

karakter integritas pribadi, citra inilah yang akan menjadi instrument yang efektif dalam

mempengaruhi pengikutnya. Sehingga kekuatan dari karakter yang dimiliki oleh pemimpin

menjadi faktor yang penting dan mendasar dalam mempengaruhi orang-orang yang dipimpin

untuk mencapai tujuan bersama.

Ada beberapa karakter yang ditunjukan dalam kepemimpinan kedua Pendeta beretnis

Tionghoa, yang menjadi instrument yang efektif dalam mempengaruhi orang-orang yang

dipimpin oleh kedua subjek, antara lain: (a)melayani dengan tekun, (b) kerendahan hati (c) setia,

(d) fokus, (e) pemberdayaan, (f) rajin, (g) percaya (h) tegas, (i) berani mengambil keputusan

yang berisiko, (j) berintegritas, (k) empati, (l) mendengarkan, (m) disiplin, (n) rela berkorban.

Semua karakter yang disebutkan diatas, yang dimiliki oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa

merupakan karakter yang telah meliputi dimensi karakteristik yang dimiliki oleh pemimpin yang

melayani. Bagian-bagian karakter yang disebutkan tersebut juga telah di jelaskan pada bagian

bab sebelumya. Namun ada salah satu karakter yang menjadi penekanan dalam kepemimpinan

kedua Pendeta beretnis Tionghoa yang ditunjukan oleh keduanya, yaitu rela berkorban. Rela

bekorban menjadi salah satu karakter yang memberikan penaruh yang signifikan dalam proses

kepemimpinan kedua Pendeta beretnis Tionghoa.

Hasil dari teknik wawancara dan observasi, terungkap bahwa kedua Pendeta beretnis

Tionghoa menunjukan karakter sebagai pemimpin yang rela berkorban. Hal tersebut terlihat

Page 18: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

130

dalam pengorbanan pribadi yang dilakukan oleh keduanya dalam rangka untuk kepentingan

orang lain dalam hal ini jemaat atau komunitas yang dipimpinnya. Satu hal yang menarik dari

apa yang dilakukan oleh Pdt. Bambang Hengky sebagai Gembala jemaat Gereja Bethany

Salatiga berkaitan dengan karakter sebagai pemimpin yang rela berkorban adalah dengan

menyerahkan semua kompleks yang dahulunya merupakan milik pribadi dari Pdt. Bambang

Hengky dan keluarga kepada gereja sepenuhnya. Tanah yang saat ini telah dibangun bangunan

gereja dan berbagai unit pendukung lainnya seperti sekolah, koperasi, poliklinik, dll, telah

beralih kepemilikan menjadi milik jemaat lokal sepenuhnya. Pdt. Bambang Hengky

memandang bahwa gereja membutuhkan tanah tersebut. Sehingga ia dan keluarga kemudian

memberikan aset tersebut menjadi milik gereja. Selain itu Pdt. Bambang Hengky juga tidak

jarang berkorban dalam memberikan uang pribadi untuk disumbangkan ke gereja dalam rangka

digunakan dalam mencukupi kebutuhan gereja.

Hal yang tidak jauh berbeda juga dilakukan oleh Pdt. Gideon Rusli (kasus 2). Ia

berkorban dalam hal menjual 2 (dua) mobil milik pribadinya untuk membantu biaya

pembangunan gedung gereja Bethel Indonesia (GBI) Salatiga, yang pada saat itu masih dalam

tahap pembangun serta membutuhkan biaya yang besar. Menarik yang diungkapkan oleh Bapak

Cipto dan Ibu Ely sebagai anggota jemaat dan juga merupakan aktivis pelayanan kategorial saat

diwawancarai mengungkapkan bahwa Pdt. Gideon Rusli adalah sosok pemimpin yang

melibatkan pengorbanan pribadi meskipun tidak ada keuntungan pribadi yang didapatkan oleh

Pdt. Gideon Rusli. Ia memberikan teladan yang baik katika ia mengajarkan tentang memberikan

yang terbaik yang dimiliki. Maka Pdt. Gideon Rusli terlebih dahulu memberikan teladan

bagaimana memberikan yang terbaik yang dimilikinya. Hal ini membuat jemaat tergerak untuk

Page 19: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

131

dengan rela memberikan apa yang dimiliki untuk pembangunan gereja tersebut. Hasilnya

bangunan gereja tersebut bisa selesai pembangunannya saat ini.

Karakter yang ditunjukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa tersebut merupakan

bagian dari kerakteritik dari kepemimpinan yang melayani, seperti yang diungkapkan oleh

Patterson. Dari model teoritis yang dibuat oleh Patterson (2003) mengenai kepemimpinan

yang melayani (servant leadership), yang terdiri dari tujuh konstruk kebijakan atau

kesalehan terdapat pembahasan tentang mengutamakan orang lain (altruism). Tulisan Kaplan

(2000) menyatakan bahwa altruism adalah membantu orang lain tanpa pamrih, yang

melibatkan pengorbanan pribadi, meskipun tidak ada keuntungan pribadi. Sementara Dennis

dan Bocarnea (2006) mengutip tulisan Eisenberg (1986) mendefenisikan perilaku altruistik

sebagai perilaku sukarela yang dimaksudkan untuk menguntungkan pihak lain dan tidak

dimotivasi oleh harapan eksternal yakni penerimaan imbalan atau pahala. Bagi Dennis dan

Bocarnea (2006) mendefenisikannya sebagai perilaku yang dimaksukan untuk

mendatangkan keuntungan yang lain, bahkan melakukannya mungkin beresiko atau

memerlukan pengorbanan untuk kesejahteraan orang lain.

4.3. Pemimpin yang Bervisi

Salah satu dimensi dari karakteristik kepemimpinan yang melayani, berdasarkan model

teoritis yang dibuat oleh Patterson tentang tujuh konstruk kebijakan atau kesalehan mengenai

servant leadership (kepemimpinan melayani), yaitu: adanya dimensi visi (vision) yang dimiliki seorang

pemimpin. Visi dan kepemimpinan tidak dapat dipisahkan. Blanchard (2000) mendefinisikan

visi sebagai gambaran masa depan yang menghasilkan gairah. Pemimpin tanpa visi adalah

pemimpin yang liar. Bahkan ia sebenarnya sama sekali tidak dapat disebut sebagai pemimpin7.

Hubungan yang tidak terpisahkan antara visi dan kepemimpinan diperlihatkan dari kedua Pedeta

7Sendjaya, Kepemimpinan Kristen….,42.

Page 20: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

132

beretnis Tionghoa selama mejalankan kepemimpinan mereka. Dari data yang disajikan yang

diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dan observasi maka ditemukan bahwa kedua

Pendeta beretnis Tionghoa yang menjadi subjek dalam penelitian ini, termasuk sebagai pemimpi

yang bervisi.

Ditemukan pada kasus 1, bahwa subjek dalam menjalankan kepemimpinannya memberikan

penekanan utama kepada visi gereja yang adalah visi bersama dalam komuitas. Subjek

memahami visi gereja tidak terlepas dari pemahaman bahwa pelayanan tidak hanya terbatas pada

4 (empat) tembok gereja. Dalam hal ini subjek sebagai pemimpin selalu berupaya memikirkan

bagaimana caranya untuk dapat menggerakan jemaat (orang-orang yang dipimpin) agar

terpanggil dalam pengembangan masyarakat. Wujud dari visi tersebut terlihat dari kehadiran dari

unit-unit kerja yang diharapkan mampu memberkati kota Salatiga, antara lain: Sekolah,

Koperasi, Hotel, Yayasan Sosial, Poliklinik serta juga memiliki 2 (dua) radio. Kehadiran unit-

unit kerja yang dimiliki gereja Bethany Salatiga dalam rangka untuk membuka lapangan kerja

bagi masyarakat yang membutuhkan pekerjaan termasuk jemaat Gereja Bethany Salatiga sendiri

yang merupakan bagian dari masyarakat kota Salatiga.

Selain memahami visi dengan baik dan jelas, serta tahu kearah mana gereja akan bergerak,

kedua subjek adalah pemimpin yang mampu menterjemahkan visi dengan baik kepada orang-

orang yang dipimpinnya. Hal tersebut terlihat dari upaya yang dilakukan oleh keduanya. Dalam

hal ini visi besar dari gereja diturunkan ke dalam tema-tema tahunan dan kemudian lebih

diperjelas lagi melalui tema-tema bulanan. Selain itu dalam rangka memastikan visi bersama

terus dipegang oleh orang-orang yang dipimpinnya maka keduanya mampu menjadi pemimpin

terus berupaya membagikan visi bersama kepada orang-oran yang dipimpinnya. Dalam kasus 1

(satu), ditemukan bahwa subjek secara rutin mengadakan pertemuan dengan sekitar 250 pekerja

Page 21: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

133

dari semua unit pelayanan dan gereja-gereja cabang yang dimiliki Gereja Bethany, setiap

bulannya pada minggu pertama (setiap hari Sabtu) untuk membagikan visi bulanan dan terus

memotivasi para pelayan untuk terus dapat bergerak ke arah pencapaian visi besar gereja yang

menjadi visi bersama. Tidak berhenti disitu, subjk juga membagikan visi yang telah ia bagikan

kepada para pelayan dan pemimpin-pemimpin gereja juga dibagikan kepada jemaat melalui

pertemuan FA (Family Altar), buletin dan pesan gemabala. Jadi terlihat bahwa subjek mampu

menggerakan jemaat untuk terus bergerak menuju visi besar dari gereja. Subjek adalah sosok

pemimpin yang selalu memberikan waktu untuk terus menggerakan dan membagikan visi

kepada jemaat.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh subjek 1 (satu), dalam kasus 2,

subjek pun adalah pemimpin yang menempatkan visi gereja yang adalah visi bersama pada salah

satu bagian yang terpenting dalam kepemimpinanya. Terlihat sebagai pemimpin subjek selalu

berupaya untuk orang-orang yang dipimpinnya untuk tidak melepaskan visi gereja. Maka visi

gereja selalu dibicarakan minimal 2 (dua) kali dalam setahun. Tepatnya pada awal tahun dan

pertengahan tahun untuk terus mengingatkan jemaat untuk visi besar yang dimiliki. Selain itu

visi gereja yakni “Menjadi jemaat lokal yang memberkati kota, bangsa dan dunia dengan

pelayanan yang holistik dan terpadu” dijabarkankan ke dalam program-program dalam 5 (lima)

bidang atau depertemen yang ada. Sehingga menurutnya ketika orang mengikuti program yang

telah direncanakan maka ia akan digiring untuk bergerak ke arah visi gereja. Sebagai pemimpin

subjek menggunakan berbagai cara untuk menggerakan orang kepada visi bersama. Hal yang

biasa dialakukan subjek adalah melalui mimbar. Selain itu juga ada pendekatan secara pribadi

yang dilakukan subjek, melalui percakapan secara pribadi berkaitan dengan visi gereja dengan

orang-orang yang dipimpinnya.

Page 22: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

134

Hasil temuan ini memperlihatkan adanya kesesuaian dengan penjelasan dari salah satu

dimensi karakter pemimpin yang melayani, yang dijelaskan oleh Sendjaya. Dalam pejelasan

dimensi transforming Influence, dikatakan bahwa seorang pemimpin harus selalu dapat berupaya

memastikan setiap individu dalam organisasi memegang visi yang dibagikan bersama.Lebihdari

itu apa yang dilakukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa yang telah dijelaskan dari hasil

temuan juga sejalan dengan hasil temuan dari Laub (1999) yang menemukan bahwa visi

bersama membangun orang lain (memberdayakan mereka) dan melayani kebutuhan orang lain

(melayani mereka). Hal ini telah diperlihatkan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa dalam

kepemimpinan mereka. Sehingga keduanya dapar dikatakan sebagai pemimpin yang visoner

karna memimpin dengan memiliki visi yang jelas sebagai pemimpi dan adanya upaya untuk

menterjemahkan visi secara jelas kepada orang-orang yang dipimpin. Lebih dari itu ada upaya

untuk menggerakan orang-orang yang dipimpinnya ke arah visi bersama yang dimiliki.

4.4. Adanya Pengaruh dari Kultur sebagai Seorang Etnis Tionghoa terhadap Proses

Kepemimpinan

Menarik untuk menganalisa tentang adanya pengaruh dari kultur sebagai seorang etnis

Tionghoa terhadap kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa dalam jemaat. Pembahasan yang

berkaitan dengan kultur, dijelaskan oleh Baidhaiwy, yang menyatakan bahwa kebudayaan atau

kultur membentuk perilaku, sikap, dan nilai manusia termasuk memberntuk pribadi seorang

pemimpin. Ternyata keberhasilan kedua subjek dalam memimpin sampai saat ini, dengan

menunjukan gejala pertumbuhan gereja yang terus meningkat setiap waktu, terlebih

pertumbuhan secara kuantitas dan kehadiran berbagai unit kerja atau pelayanan dikarenakan

adanya pengaruh postif dari kultur yang dimiliki kedua subjek.

Page 23: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

135

Dari teknik wawancara yang dilakukan dengan subjek dan 2 (dua) informan pendukung

lainnya, yang menjabat sebagai Pendeta Muda di Gereja Bethany Salatiga, maka terungkap

bahwah Pdt. Bambang Hengky sebagai pemimpin adalah sosok pemimpin yang memiliki etos

kerja yang tinggi. Hal ini dinilai oleh subjek sendiri maupun informan pendukung merupakan

hasil dari pengaruh kulturnya sebagai seorang beretnis Tionghoa. Subjek yang berasal dari

keluarga yang anggota keluarganya berprofesi sebagai pengusaha dan pembisnis, terbiasa dididik

untuk bekerja keras. Sehingga, bekerja keras menjadi bagian yang telah tertanam dalam pribadi

subjek sejak awal sebelum ia menjadi Gembala jemaat.

Berkaitan dengan kepemimpinannya dalam jemaat gereja Bethany Salatiga, etos kerja

yang tinggi diperlihatkannya melalaui komitmennya sebagai pemimpin untuk tetap hadir dalam

setiap persekutuan doa pagi yang berlangsung Pukul 03.30 WIB disetiap harinya. Subjek selalu

memiliki komitmen untuk selalu hadir dalam persekutuan yang dikenal sebagai gerbang pagi.

Dalam menghadiri persekutuan tersebut, subjek selalu hadir tepat waktu. Tentu untuk menjalani

hal tersebut, dibutuhkan etos kerja yang tinggi.

Subjek memiliki aktivitas yang tidak sedikit/sibuk sebagai pemimpin jemaat karena

gereja Bethany Salatiga memiliki banyak unit pelayanan. Hal ini mengharuskan subjek untuk

dapat hadir dalam setiap pertemuan dengan semua staf dan pengurus dari setiap bagian unit

pelayanan yang ada. Namun dalam kesibukannya ia selalu menyediakan waktu untuk setia hadir

dalam doa pagi yang berlangsung Pukul 03.30 WIB setiap harinya. Etos kerja yang ditunjukan

oleh subjek membuat orang-orang yang dipimpinnya malu jika berkata “cape” dihadapannya.

Sebagai pemimpin dengan etos kerja yang tinggi, subjek juga mendorong rekan-rekan

pelayananya untuk dapat melayani dengan maksimal dalam menjawab kebutuhan jemaat secara

khusus dan masyarakat kota Salatiga secara umum.

Page 24: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

136

Pengaruh positif dari kultur yang dimiliki terhadap kepemimpinan dalam jemaat juga

dirasakan oleh subjek 2 (dua). Dalam wawancara bersama informan kunci, ditemukan bahwa

dalam kulturnya ia dididik untuk memiliki apa yang ia sebut sebagai daya juang yang tinggi.

Karakter ini menjadi sangat berperan dalam proses menjalankan kepemimpinannya selama 14

tahun. Dengan adanya semangat juang yang tinggi dalam dirinya sebagai pemimpin maka

membuat dirinya menjadi pemimpin yang tidak mudah untuk menyerah ketika berhadapan

dengan berbagai kesulitan dan tantangan.

Yang tertanam dalam dirinya adalah bagaimana caranya apapun yang dikerjakan harus jadi.

Kondisi ini terlihat juga pada saat ia memimpin rapat. Dalam rapat ia tidak menerima alasan atas

kesulitan-kesulitan yang dihadapi tetapi yang ingin dikejar adalah solusi apa yang bisa dilakukan

untuk kesulitan, hambatan dan tantangan yang dihadapi. Jika rekan-rekan kerja atau

pelayanannya yang lain tidak bisa kerjakan maka ia sebagai pemimpin akan langsung turun

tangan. Jadi menurutnya dengan kulturnya sebagai seorang etnis Tionghoa membuat di dalam

dirinya tertanam karakter sebagai seseorang yang ulet, kerja keras, dan memiliki daya juang yang

tinggi. Hal-hal tersebut yang membuat ia sebagai pemimpin tidak mudah untuk menyerah ketika

berhadapan dengan kesulitan dan tantangan dalam proses kepemimpinan.

Kerja keras, ulet dan memiliki semangat juang yang tinggi adalah bagian-bagian yang

menurutnya menjadi salah satu faktor yang kemudian membuat GBI Salatiga berhasil

menyelesaikan pembangunan gedung gereja Bethel Indonesia (GBI) Salatiga dibawah

kepemimpinannya. Dalam proses pembangunan gereja yang disebut sebagai “markas besar”

tersebut harus menempuh proses yang tidak mudah. Namun dengan semangat juang yang tinggi,

kerja keras dan uletnya sebagai pemimpin ia mampu menggerakan jemaat untuk dapat

Page 25: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

137

berkontribusi terhadap pembangunan gereja. Sehingga dibawah kepemimpinannya, berhasil

dibangun gedung gereja yang megah untuk umat dapat beribadah.

Temuan ini sejalan dengan pandangan dari Nahayandi yang menyatakan bahwa kultur

juga ikut mempengaruhi nilai dan keyakinan, mempengaruhi kepemimpinan serta hubungan

interpersonal seseorang. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku manusia adalah hasil dari proses

sosialisasi. Dan sosialisasi selalu terjadi dalam konteks lingkungan etnik dan kultur tertentu.

Kondisi ini dikarenakan kultur atau budaya terdiri dari nilai-nilai umum yang dipegang dalam

suatu kelompok manusia; merupakan satu set norma, kebiasaan, nilai dan asumsi-asumsi yang

mengarahkan perilaku kelompok tersebut.

Dengan demikian sistem nilai yang menurut Skiner ditekankan dan penting bagi orang-

orang Tionghoa seperti kerajinan, kehematan, pengendalian pada diri sendiri, semangat

berusaha/semangat juang yang tingi dan ketrampilan yang membuat mereka dinilai paling cocok

dengan perkembangan ekonomi, ternyata juga berperan dalam kepemimpinan Pendeta beretnis

Tionghoa. Sebagaian besar dari sistem nilai dari etnis dan kultur Tionghoa tersebut kemudian

juga diterapkan oleh Pendeta beretnis Tionghoa dalam memimpin jemaat dan menghasilkan

pengaruh postif yang signifikan. Hal tersebut terlihat dari kepemimpinan kedua subjek dalam

penelitian ini.

4.5. Kompetensi Pendeta Beretnis Tionghoa

Bagian lain yang menarik ketika meneliti kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa adalah

berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki sebagai pemimpin dalam pengelolaan gereja. Dalam

tulisan ini peneliti membedakan antara kepemimpinan (leadership) dan pengelolaan

(management). Pengelolaan merupakan jenis kepemimpinan yang khusus. Hal yang paling

penting dalam pengelolaan adalah tercapainya tujuan organisasi. Kedua subjek dalam upaya

Page 26: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

138

mencapai tujuan organisasi dalam hal ini gereja, juga menunjukan kompetensi pengelolaan

gereja yang mereka terapkan dalam kepemimpinan keduanya.

Dari data yang diperoleh dari teknik wawancara ditemukan salah satu kelebihan Pdt.

Bambang Hengky sebagai pemimpin adalah ia memiliki pengalaman dalam hal manajemen

bisnis dimasa lalu yang mungkin Pendeta lain tidak miliki. Pengalaman tersebut menjadi salah

satu modal dalam upaya pengembangan gereja Bethany Salatiga. Sampai saat ini, gereja Bethany

dibawah kepemimpinan Pdt. Bambang Hengky telah memiliki berbagai unit pendukung

pelayanan seperti koperasi, hotel, sekolah, poliklinik, dan 2 (dua) radio, dll yang menunjukan

gejala perkembangan secara terus menerus. Kehadiran berbagai unit pendukung pelayanan

tersebut telah menyerap tenaga kerja dan dapat memberkati kota Salatiga.

Dapat dianalisa bahwa Pdt. Bambang Hengky bukanlah Pendeta yang hanya mengetahui

tentang hal-hal yang berkaitang dengan Teologi. Namun ia juga memiliki kemampuan

pengolahan atau manajemen yang lebih. Hal ini karena adanya pengalaman masa lalu sebagai

seorang dosen dan pembisnis. Kondisi ini membuat ia mampu membangun komunikasi dan

hubungan dengan jemaat yang sebagaian besarnya adalah para pengusaha dan pembisnis.

Dalam menjalankan kepemimpinnya, ia bahkan menggunakan kemampuan pengelolaan atau

manajemen dalam berbisnis, yang tentu dalam penerapannya tidak bertentangan dengan prinsip-

prinsip Alkitab dalam rangka mengembangkan gereja. Sampai saat ini gereja Bethany telah

memiliki banyak unit pendukung. Bahkan Gereja Bethany adalah satu-satunya gereja di Salatiga

yang memiliki unit kerja/unit pendukung seperti hotel. Dapat dianalisa bahwa kemampuannya

dalam berbisnis tidak terlepas dari latar belakangnya sebagai seseorang beretnis Tionghoa. Ia

dibesarkan dalam keluarga yang semuanya adalah pembisnis dan pedagang, sehingga tidak heran

ia terdorong untuk juga berbisnis dan akhirnya memiliki kompetensi dalam manajemen atau

Page 27: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa (Studi Kasus Pada ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/5/T2_752013029_BAB IV.pdf · berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan,

139

pengelolaan bisnis yang ia terapkan dalam gereja yang dipimpinnya. Hal ini dilakukan dalam

rangka pengembangan gereja kedepan dalam menjadi gereja yang semakin mapan.

Sedangkan untuk kasus 2 (dua), berdasarkan data yang diperoleh melalui observasi dan

wawancara mendalam dengan beberapa informan pendukung berkaitan dengan kompetensi yang

dimiliki subjek sebagai pemimpin, maka ditemukan bahwa subjek sebaga pemimpin juga

memiliki kompetensi manajerial yang baik. Hal tersebut diperkuat dari keterangan saudara

Maikel yang mengaku tertarik untuk berjemaat dan bekerja sebagai staff di Gereja Bethel

Indonesia (GBI) Salatiga karena ia menilai bahwa di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Salatiga,

semuanya pengolahan atau manajemen pelayanannya lebih teratur rapih dibandingkan dengan

gereja dimana ia berjemaat sebelumnya.

Hal tersebut diperkuat dengan keterangan yang disampaikan oleh Saudari Yunita sebagai

informan pendukung saat diwawancarai. Ia ketika memutuskan untuk berjemaat dan kemudian

bekerja sebagai staff karena suka dengan pola kepemimpinan Pdt. Gideon Rusli yang dalam

manajeman gereja yang baik. Sehingga pelayanan dalam gereja berjalan tidak serampangan,

melainkan pelayanan dijalankan dengan perencanaan yang pelaksaan yang sistematis serta

teratur.