kepastian penegakan hukum peraturan daerah provinsi bali nomor

147
TESIS KEPASTIAN PENEGAKAN HUKUM PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DALAM RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS PARIWISATA BALI I GUSTI AGUNG NGURAH IRIANDHIKA PRABHATA NIM: 1390561017 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Upload: votram

Post on 31-Dec-2016

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TESIS

KEPASTIAN PENEGAKAN HUKUM PERATURAN

DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011

TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DALAM

RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS

PARIWISATA BALI

I GUSTI AGUNG NGURAH IRIANDHIKA PRABHATA

NIM: 1390561017

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

KEPASTIAN PENEGAKAN HUKUM PERATURAN

DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011

TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DALAM

RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS

PARIWISATA BALI

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GUSTI AGUNG NGURAH IRIANDHIKA PRABHATA

NIM: 1390561017

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 10 MARET 2015

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH

NIP. 196502211990031005 NIP. 195609021985032001

Mengetahui

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

NIP. 196111011986012001 NIP. 195902151985102001

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Ketua Program Studi Magister (S2)

Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Tesis ini Telah Diuji

Pada Tanggal 17 Februari 2015

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor 602/UN14.4/HK/2015 Tanggal 16 Februari 2015

Ketua : Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH

Sekretaris : Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH

Anggota : 1. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum

2. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum

3. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : I Gusti Agung Ngurah Iriandhika Prabhata

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Tesis : Kepastian Penegakan Hukum Peraturan Daerah

Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka

Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila

dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia

menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17

Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Denpasar, 23 Januari 2015

Yang menyatakan

I.G.A Ngurah Iriandhika Prabhata

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa

karena berkat rahmat dan karunia beliau penulis berhasil menyelesaikan Tesis

dengan judul “KEPASTIAN PENEGAKAN HUKUM PERATURAN DAERAH

PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA

ROKOK DALAM RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS PARIWISATA

BALI”.

Selesainya penyusunan Tesis ini tentu tidak lepas dari dorongan, bimbingan

dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini ijinkan

penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD KEMD, Rektor Universitas Udayana, yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan

lanjutan pada Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana;

2. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister (S2);

3. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana, yang dengan sabar memberikan nasehat dan masukan

kepada penulis;

4. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,L.LM, Ketua Program Studi

Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang senantiasa memberikan

bimbingan dan motivasi untuk menyelesaikan Tesis ini;

5. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum, Sekretaris Program Studi

Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang senantiasa memberikan

bimbingan dan motivasi untuk menyelesaikan Tesis ini

6. Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH, Pembimbing I, yang penuh kesabaran

dan pengertian dalam membimbing dan memberikan motivasi bagi penulis

sehingga Tesis ini dapat terselesaikan;

7. Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH, Pembimbing II, yang dengan kesabarannya

memberikan masukan, saran, kritik, serta membimbing dengan penuh ketelitian

sehingga Tesis ini dapat terselesaikan;

8. Para penilai usulan penelitian Tesis ini, Bapak/Ibu Prof. Dr. I Made Arya

Utama, SH.,MH; Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH; Prof. Dr. I Wayan Parsa,

SH.,M.Hum; Dr. I Dewa Gede Palguna, SH.,M.Hum; Dr. Ni Ketut Supasti

Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM yang telah berkenan memberikan penilaian

atas usulan penelitian Tesis ini;

9. Para penguji Tesis ini, Bapak/Ibu Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH; Dr.

Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH; Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum; Dr. Putu

Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum; Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,

SH.,M.Hum.,LLM yang telah berkenan memberikan penilaian atas Tesis ini;

10. Para guru besar dan dosen penanggung jawab mata kuliah Program Magister

Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kepariwisataan yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas

wawasan keilmuan yang telah diberikan selama mengikuti perkuliahan dan

memberikan dukungan sehingga dapat membantu terselesaikannya Tesis ini;

11. Para Staf Administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana,

yang telah memberikan pelayanan dengan penuh kesabaran selama penulis

mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian Tesis;

12. Ayahnda I.G.Ngurah Arthanaya, S.H., M.Hum dan Ibunda I.G.A. Pandi Darini,

yang senantiasa tanpa letih dan jemu memberikan kasih sayang dan bimbingan

serta dukungan baik secara materiil maupun imateriil kepada penulis sehingga

Tesis ini bisa terselesaikan;

13. Saudara-saudara terkasih Ir. I.G.A Ngurah Jaya Atmaja, I.G.A Ratna Artha

Windari, SH.,MH, I.G.A Ngurah Pramana Adyaksa, dan seluruh keluarga besar

Arya Kepakisan Dawuh Baleagung, yang selalu memberikan dukungan bagi

penulis dalam pengerjaan Tesis ini;

14. Rekan-rekan mahasiswa konsentrasi Hukum Kepariwisataan angkatan 2013,

Eva Laheri, Ditha Praja, Sukma Sanjiwani, Amila Faizal, Andika Wahyu, Intan

Permatasari, Agus Indra, Innez Primantara, Ketut Sukarta yang senantiasa

memberikan masukan dan dukungan bagi penulis dalam pengerjaan Tesis ini;

15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak

memberikan dukungan serta bantuan dalam menyelesaikan Tesis ini;

Akhirnya, semoga Tesis ini dapat bermanfaat serta mampu memberikan

sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu hukum.

Denpasar, 23 Januari 2015

Penulis

ABSTRAK

Pariwisata secara global dipandang sebagai bagian dari hak asasi manusia,

tidak terkecuali hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat

dalam kegiatan pariwisata. Kepariwisataan di Indonesia diselenggarakan

berdasarkan prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, tidak terkecuali Bali

yang bergerak dalam sektor pariwisata. Terkait hal tersebut Pemerintah Provinsi

Bali membuat kebijakan yang mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia

untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat, melalui Perda Provinsi Bali

No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Perda Provinsi Bali

tentang KTR belum dapat ditegakkan secara efektif akibat adanya kekaburan norma

hukum terkait prosedur penegakan hukum dan sanksi hukum dalam Perda tersebut

yang belum mampu memberikan efek jera. Berdasarkan hal tersebut, adapun

permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: a). Bagaimana

pengaturan mengenai penegakan hukum KTR di Bali?, b). Bagaimana keterkaitan

antara kepastian penegakan hukum KTR dengan upaya meningkatkan kualitas

pariwisata Bali?

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang

berdasarkan adanya kekaburan norma hukum mengenai substansi hukum Perda

Provinsi Bali tentang KTR. Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji

permasalahan adalah melalui pendekatan peraturan perundang-undangan (statute

approach) dan dibantu pula oleh pendekatan analisis konsep (legal analitical and

conceptual approach) terkait KTR, serta pendekatan perbandingan (comparative

approach).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai kebijakan KTR

di Bali perlu dilakukan perubahan, khususnya dalam substansi hukum Perda

Provinsi Bali tentang KTR, dengan merumuskan prosedur penegakan hukum yang

jelas dan penerapan sanksi hukum yang mampu memberikan efek jera, sehingga

mampu memberikan kepastian dalam penegakan hukum. Melalui kepastian

penegakan hukum KTR, maka akan mampu meningkatkan kualitas pariwisata Bali

khususnya dalam hal Cleanliness and Personality comfort.

Kata Kunci: Kawasan Tanpa Rokok, Hak Asasi Manusia, Kepastian Hukum,

Penegakan Hukum, Kualitas Pariwisata.

ABSTRACT

Global tourism is seen as part of human rights, not least the right to obtain

a good and healthy environment in tourism. Tourism in Indonesia held on the

principle of upholding human rights, especially Bali which engaged in the tourism

sector. In response to the Bali Provincial Government policies governing the

protection of human rights to obtain a good and healthy environment, through the

Bali Local Regulation No. 10 Year 2011 on No Smoking Area. The policy can not

work effectively due to the vagueness of legal norms related enforcement

procedures, and legal sanction that have not been able to provide a deterrent effect.

Accordingly, while the issues raised in this study are: a). How the provisions of the

law enforcement No Smoking Area in Bali?, b). How is the relationship between

law enforcement certainty No Smoking Area with efforts to improve quality tourism

in Bali ?

This research uses normative legal research which is based on the

vagueness of legal norms of the local regulation of Bali Province perceived No

Smoking Area. The approach used to study the problem is through the statute

approach, analitical legal and conceptual approach, as well as the comparative

approach.

The results showed that the provisions of No Smoking Area policy in Bali

need to be changed, especially in the legal substance of the Bali Local Regulation

on No Smoking Area, by inserting a clear formulation of the law enforcement

procedures, and to implement legal sanctions that can provide a deterrent effect,

so as to provide certainty in law enforcement. Through the certainty in law

enforcement, it will be able to improve the quality of tourism in Bali, especially in

terms of Cleanliness, Personality and comfort.

Keywords: No Smoking Area, Human Rights, Legal Certainty, Law Enforcement,

Quality in Tourism.

RINGKASAN

Penelitian dengan judul Kepastian Penegakan Hukum Peraturan Daerah

Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka

Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali, telah penulis selesaikan dengan sebaik-

baiknya. Tesis ini selanjutnya akan diuraikan secara lengkap ke dalam lima (5) Bab.

BAB I: PENDAHULUAN, berisi tentang latar belakang masalah yang

menguraikan mengenai Hak Asasi Manusia untuk memperoleh lingkungan yang

baik dan sehat serta bebas dari asap rokok, dimana asap rokok dapat berdampak

buruk bagi kesehatan manusia khususnya perokok aktif. Sejalan dengan itu

pariwisata di Bali yang merupakan bagian dari pariwisata Indonesia wajib

menerapkan prinsip menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Melalui suatu

kebijakan yang mengatur mengenai penghormatan HAM bagi wisatawan, akan

mampu meningkatkan kualitas pariwisata Bali itu sendiri. Adapun salah satu upaya

yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali adalah dengan membuat

Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Terkait hal tersebut Perda Provinsi Bali tentang KTR dalam penegakannya masih

belum efektif akibat masih memuat kekaburan norma hukum khususnya yang

mengatur mengenai prosedur penegakan hukum dan ketentuan sanksi yang tidak

mampu memberikan efek jera. Dalam bab ini juga diuraikan tentang: Rumusan

Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Landasan Teoritis; dan Metode

Penelitian.

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK,

berisi uraian tentang Pengertian Kawasan Tanpa Rokok; Hak Asasi Manusia Dalam

Kebijakan KTR, dimana HAM merupakan dasar filosofis dibentuknya kebijakan

mengenai KTR; Teori Negara Hukum Dalam Kebijakan KTR, dimana setiap

perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah harus berdasarkan

atas hukum, sehingga hak asasi untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat

serta bebas dari asap rokok harus diatur di dalam aturan hukum; Aspek Sosiologis

Kebijakan KTR, dimana kebijakan KTR tersebut diarahkan agar dapat memberikan

kemanfaatan bagi masyarakat; dan Pengaturan Hukum Kebijakan KTR, yaitu

mengenai dasar hukum pengaturan mengenai KTR, dari UUD Negara RI Tahun

1945 hingga pengaturan yang berkedudukan lebih rendah.

BAB III: KETENTUAN DAN KEWENANGAN PENEGAKAN HUKUM

KAWASAN TANPA ROKOK DI BALI, yang berisi uraian tentang penafsiran

hukum terhadap substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR, dimana penafsiran

tersebut dilakukan terhadap substansi aturan Perda Provinsi Bali tentang KTR,

terhadap penegak hukum, maupun sarana prasarana terkait penegakan hukum Perda

Provinsi Bali tentang KTR. Adapun penafsiran yang dilakukan adalah melalui:

penafsiran sistematis, yaitu memandang bahwa suatu aturan tidak berdiri sendiri

melainkan berada dalam suatu sistem perundang-undangan; penafsiran gramatikal,

yaitu menafsirkan terhadap bahasa dalam suatu aturan; penafsiran perbandingan,

yaitu melakukan perbandingan dengan hukum negara lain yang mengatur hal yang

sama, dalam hal ini terkait KTR; dan penafsiran teleologis/sosiologis, yaitu tentang

tujuan dari aturan tersebut agar bermanfaat bagi masyarakat. Di samping itu dalam

bab ini, diuraikan mengenai kewenangan penegakan hukum KTR dan alternatif

sanksi dalam penegakan hukum KTR.

BAB IV: KETERKAITAN ANTARA KEPASTIAN PENEGAKAN

HUKUM KTR DENGAN UPAYA MENINGKATKAN PARIWISATA BALI,

yang berisi uraian tentang profil pariwisata Bali, dimana Bali merupakan pariwisata

andalan bagi bangsa Indonesia, dan juga Bali menjadikan pariwisata sebagai

lokomotif ekonomi. Dalam bab ini, juga menguraikan tentang meningkatkan

pariwisata Bali melalui penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR, serta

keterkaitan antara kepastian penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR

dengan meningkatkan pariwisata Bali.

BAB V: PENUTUP, yang berisi simpulan dari hasil penelitian dan saran atau

rekomendasi yang bisa penulis rumuskan sebagai masukan bagi para pembuat

kebijakan dan semua stakeholder.

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM.......................................................................................... i

PRASYARAT GELAR ................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................. iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................ v

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi

ABSTRAK ...................................................................................................... ix

ABSTRACT .................................................................................................... x

RINGKASAN TESIS ...................................................................................... xi

DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii

DAFTAR TABEL ........................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 12

1.3 Ruang Lingkup Masalah .................................................................... 12

1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 12

1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................... 12

1.4.2 Tujuan Khusus .......................................................................... 13

1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 13

1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................... 13

1.5.2 Manfaat Praktis ......................................................................... 14

1.6 Orisinalitas Penelitian ........................................................................ 14

1.7 Landasan Teoritis ............................................................................. 16

1.8 Metode Penelitian ............................................................................. 31

1.8.1 Jenis Penelitian ........................................................................ 31

1.8.2 Jenis Pendekatan ...................................................................... 32

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................. 33

1.8.4 Bahan Hukum Penunjang ...................................................... 35

1.8.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .................................... 35

1.8.6 Teknik Analisis Bahan Hukum .............................................. 36

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK ... 39

2.1 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ........................................ 39

2.2 Hak Asasi Manusia Dalam Kebijakan KTR ...................................... 42

2.3 Teori Negara Hukum Dalam Kebijakan KTR ................................... 46

2.4 Aspek Sosiologis Dalam Kebijkan KTR ........................................... 51

2.5 Pengaturan Kawasan Tanpa Rokok di Bali ....................................... 62

BAB III KETENTUAN DAN KEWENANGAN PENEGAKAN HUKUM

KAWASAN TANPA ROKOK DI BALI ........................................ 71

3.1 Penafsiran Hukum Terhadap Perda KTR ........................................... 71

3.2 Kewenangan Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok ................... 90

3.3 Alternatif Pengaturan Dalam Penegakan KTR ................................... 98

BAB IV KEPASTIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM KAWASAN

TANPA ROKOK DIKAITKAN DENGAN PENINGKATAN

KUALITAS PARIWISATA BALI ................................................. 109

4.1 Profil Pariwisata Bali ......................................................................... 109

4.2 Peningkatan Kualitas Pariwisata Bali Melalui Kebijakan KTR ......... 111

4.3 Keterkaitan Antara Kepastian Penegakan Hukum KTR Dengan

Upaya Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali .................................. 116

BAB V PENUTUP......................................................................................... 122

5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 122

5.2 Saran ................................................................................................ 123

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 124

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. 131

Lampiran 1 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang

Kawasan Kawasan Tanpa Rokok ......................................... 131

Lampiran 2 Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2012 Tentang

Pelaksanaan Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok .................. 142

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Orisinalitas Penelitian .............................................................. 15

Tabel 2 Perbandingan Pengaturan KTR ................................................ 87

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap orang dilahirkan bebas dan merdeka serta memiliki hak-hak tertentu

yang bersifat alamiah, inherent, dan tidak dapat dikurangi, salah satunya adalah hak

untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dan keselamatan.1 Hak asasi manusia dalam

hal memperoleh kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang

berkedudukan setara bagi semua orang tanpa terkecuali.

Di sisi lain, kesehatan merupakan hak bagi semua orang dimana hak tersebut

harus pula diposisikan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak

ada kesenjangan antara satu dengan yang lainnya.2 Dalam kaitannya dengan hal

tersebut, Michael J. Perry mengemukakan bahwa “we should live in accordance

with the fact that every human being has inherent dignity”.3

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana

dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945

(selanjutnya disingkat UUD 1945). Di dalam ketentuan Pasal 28 H ayat (1) UUD

1945, dinyatakan bahwa “Setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh

kehidupan yang sejahtera baik lahir maupun batin, memperoleh tempat tinggal, dan

1Feri Amsari, 2009, Satjipto Rahardjo Dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, Jurnal

Konstitusi: Vol. 6. NO. 2, Jakarta, h. 170. 2Pan Mohamad Faiz, 2009, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi: Vol. 6. NO. 1,

Jakarta, h. 140. 3Micheal J. Perry, 2007, Toward a Theory of Human Rights, Cambridge University Press,

New York, h. 5.

1

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

layanan kesehatan”. Hal tersebut adalah salah satu bentuk kebijakan negara dalam

hal perlindungan hak asasi manusia di bidang kesehatan.

Adapun peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia

dalam hal menjamin perlindungan hak asasi manusia dalam bidang kesehatan

antara lain: Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (LN

No. 165 Tahun 1999-TLN No. 3886), Pasal 9 ayat (3) UU 39 Tahun 1999

dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat”. Di samping itu Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (LN

No. 144 Tahun 2009-TLN No. 5063), di dalam ketentuan Pasal 6 menyatakan

bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian

derajat kesehatan”.

Dalam perkembangannya dewasa ini, masih sering dijumpai pelanggaran-

pelanggaran terhadap hak seseorang di bidang kesehatan. Salah satu hal yang aktual

adalah pola hidup masyarakat Indonesia dalam kegiatan merokok, dimana selain

berdampak negatif bagi kesehatan perokok juga bagi kesehatan orang lain yang

terpaksa harus terkena paparan asap rokok tersebut. Di Indonesia kegiatan merokok

itu sendiri masih menjadi sebuah fenomena sosial yang luar biasa dan para pecandu

rokok pun baik dari mereka yang tergolong miskin hingga terkaya, mereka yang

berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan.

Setiap waktu dapat ditemukan seseorang sedang merokok di sembarang

tempat tanpa mempertimbangkan aspek negatif yang ditimbulkan dari gaya hidup

tersebut. Masyarakat khususnya para perokok yang merokok tanpa memperhatikan

lingkungan sekitarnya seperti telah kehilangan pemahaman akan nilai-nilai

masyarakat yang dengan kata lain, telah kehilangan kemampuan untuk menilai.

Menilai dalam arti kemampuan untuk menimbang terhadap suatu kegiatan manusia

yang berhubungan satu dengan yang lain, sehingga mampu mengambil suatu

keputusan, dan keputusan tersebut merupakan keputusan nilai yang menyatakan

apakah nantinya memiliki kegunaan atau tidak, baik atau tidak baik, indah ataupun

tidak indah.4

Menurut World Health Organization (WHO), manusia bumi masih jauh dari

kata sadar akan dampak negatif yang juga mematikan, akibat dari tembakau atau

rokok. WHO juga mencatat adanya jumlah kematian yang sangat tinggi sekitar

11.000 orang tewas setiap harinya akibat terkena penyakit dari tembakau. Bahkan

tembakau setiap tahunnya menewaskan 4 juta orang di seluruh dunia dan ironisnya

angka tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 10 juta dalam 25 tahun

mendatang,5 padahal penyakit akibat tembakau adalah penyakit yang paling dapat

dicegah.

Penyakit berbahaya yang ditimbulkan akibat tembakau seperti impotensi,

kemandulan, gangguan janin, enfisema, bronhitis kronis sampai berbagai jenis

kanker. Kanker yang dimaksud seperti kanker paru-paru, mulut, tenggorokan,

pankreas, kandung kemih, mulut rahim bahkan leukimia, serta kanker

kardiovaskular dan stroke adalah berbagai penyakit yang juga telah menimpa

sejumlah masyarakat Indonesia hingga detik ini. Bagi para wanita hamil, merokok

4Kaelan MS, 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, h. 87. 5URL: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs339/en/, Diakses Pada Tanggal 14

Pebruari 2014.

tidak hanya menyebabkan kelainan pada fisik, seperti resiko terserang asma,

epilepsi, bronhitis dan pneumonia, melainkan juga kelainan psikologis pada anak

yang dapat berupa depresi, hiperaktif atau imatur.6

WHO telah mengeluarkan Framework Convention on Tobacco Control

(FCTC) yang merupakan perjanjian internasional berlaku sejak tanggal 27 Pebruari

2005, dengan bertujuan untuk melindungi generasi saat ini dan yang akan datang

dari kehancuran kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi yang

diakibatkan oleh rokok dan paparan asapnya.7 Meskipun tidak dapat dipungkiri pula

bahwa dalam beberapa kasus seorang perokok menjadi dapat dikatakan sebagai

pecandu adalah berawal dari alasan kesehatan, dimana dengan merokok seseorang

yang bersangkutan menjadi merasa lebih sehat.

Di sisi lain kegiatan merokok akan mengakibatkan pencemaran udara

dimana hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia

dalam hal memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di samping itu

pencemaran terhadap lingkungan kerap kali mengandung adanya risiko terhadap

kesehatan manusia.8 Ketika mengkaji mengenai bidang kesehatan, maka akan

mencakup aspek sosial dan kemasyarakatan. Hal ini yang menjadi dasar pentingnya

kajian terhadap bidang hukum kesehatan, karena tujuan hukum kesehatan tidak

berbeda dengan tujuan hukum pada umumnya, yaitu menciptakan ketertiban dan

6URL: http://www.who.int/ tobacco/ research/ youth/ health_effects/ en/, Diakses Pada

Tanggal 14 Pebruari 2014. 7WHO Framework Convention on Tobacco Control, Fifty-Sixth World Health Assembly,

27 February 2005, Available at www.ino.searo.who.intl. Diakses Pada Tanggal 19 September 2013,

h.1 8Takdir Rahmadi, 2012, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 4.

keseimbangan di dalam masyarakat sehingga mampu melindungi kepentingan

masyarakat, khususnya dalam hal memperoleh kesehatan.9

Terhadap pelanggaran di bidang kesehatan tersebut, selain pola prilaku

masyarakat yang belum sadar terhadap arti pentingnya melakukan penghormatan

terhadap hak-hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih

dan sehat. Hal ini tidak terlepas dari tingkat keefektifan hukum positif yang

mengatur tentang kesehatan di Indonesia khususnya yang mengatur tentang rokok,

baik dilihat dari segi substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal

structure) maupun budaya hukum (legal culture).

Universal Declaration of Human Rights (UDHR) khususnya Generasi ketiga

mengkaji Hak-Hak masyarakat di dalam Pembangunan yang meliputi: the right to

peace, the right to development, and the right to clean environment.10 Pemerintah

Indonesia sudah sepatutnya memberikan perhatian bagi perlindungan hak asasi

manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih bebas dari sampah,11

serta udara yang sehat bebas dari asap rokok.

Mengenai pengaturan tentang rokok, salah satunya berkenaan dengan

peraturan tentang kawasan tanpa rokok. Produk hukum yang mengatur tentang

tempat atau area tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan dimana seseorang

dilarang untuk merokok. Di Indonesia hal tersebut masih belum mendapatkan

9Alexandra Indriyanti Dewi, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Publisher,

Yogyakarta, h. 242. 10Ni Ketut Supasti Dharmawan, 2011, ”The Right To Tourism” Dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia Di Indonesia, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana: Vol. 36. N0. 2.,

Denpasar, h. 6. 11Mohammad Taufik Makarao, 2011, Aspek-Aspek Hukum Lingkungan, Indeks, Jakarta, h.

155.

perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat. Padahal dalam hal ini dengan

peraturan kawasan tanpa rokok maka akan mampu melindungi hak-hak masyarakat

khususnya para perokok pasif, sehingga perlu adanya pengaturan yang tegas

mengenai kawasan tanpa rokok tersebut.

Kegiatan pariwisata yang notabene adalah salah satu andalan bangsa

Indonesia pun tidak bisa terlepas dari jaminan perlindungan hak asasi manusia baik

yang melekat pada masyarakat Indonesia maupun pelaku pariwisata asing, karena

dalam ketentuan Pasal 5 huruf b Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan (LN No. 11 Tahun 2009-TLN No. 4966), dinyatakan bahwa

“Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan prinsip menjunjung tinggi hak asasi

manusia”. Oleh sebab itu Pemerintah Indonesia sudah sepatutnya memberikan

perhatian terhadap kawasan-kawasan yang menjadi objek pariwisata Internasional,

sebagaimana yang telah diterapkan pada negara-negara lainnya yang juga bergerak

pada sektor pariwisata, khususnya dalam hal ini yang menjadi objek kajian peneliti

adalah pariwisata di Bali.

Bali merupakan pariwisata andalan bagi negara Indonesia, tercatat jumlah

kunjungan wisatawan mancanegara ke pulau Bali pada bulan Pebruari 2014

mencapai 275.795 orang.12 Meningkatnya kualitas pariwisata di Bali juga akan

memberikan dampak positif bagi Indonesia itu sendiri, oleh karena itu maka pada

hakekatnya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh manusia adalah

dengan melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia itu sendiri

12Parwata, 2014, Dilema Pariwisata Bali 2014, Bali Post, Edisi Tgl. 28 April-Mei 2014,

Denpasar, h. 38.

terlebih dahulu, yang salah satunya dengan memperhatikan kesehatan sehingga

nantinya dapat pula meningkatkan kualitas lingkungan hidup, dalam hal ini adalah

destinasi pariwisata itu sendiri.13 Sebagai akibat meningkatnya kualitas pariwisata

Bali dengan menerapkan aturan yang baik dan mampu memberikan kepastian

hukum mengenai kawasan tanpa rokok, maka nantinya diharapkan akan mampu

meningkat pula kuantitas pariwisata Bali itu sendiri, baik dari segi peningkatan

jumlah wisatawan maupun peningkatan jumlah pendapatan dari hotel, bar, restoran,

dan sarana pariwisata lainnya.

Mengenai salah satu bentuk tindakan pemerintah khususnya dalam hal ini

Pemerintah Provinsi Bali dalam menghadapi masalah tersebut adalah dengan

membuat produk hukum berupa Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011

tentang Kawasan Tanpa Rokok (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2011

Nomor 10 Tahun 2011-TLD No. 10), selanjutnya disingkat Perda Provinsi Bali

tentang KTR. Perda Provinsi Bali tentang KTR dibentuk dengan tidak

mengesampingkan peraturan perundang-undangan diatasnya sesuai dengan hierarki

peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun peraturan yang menyangkut

tentang pelaksanaan pengaturan dan perlindungan HAM akan lingkungan hidup

yang baik dan sehat serta bebas dari asap rokok meliputi :

1. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945,

2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

3. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,

13Moh. Soerjani, dkk. 2008, Lingkungan: Sumberdaya Alam Dan Kependudukan Dalam

Pembangunan, Universitas Indonesia Press, Jakarta, h. 13.

4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup,

5. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,

6. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan

Perundang-undangan,

7. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian

Pencemaran Udara,

8. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok

Bagi Kesehatan,

9. Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan

Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi

Kesehatan,

10. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7

Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok,

11. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 tentang Kawasan

Tanpa Rokok.

Ketentuan Perda Provinsi Bali tentang KTR secara jelas mengatur tentang

kawasan yang terkena kebijakan sebagai KTR, namun demikian di dalam hal

penegakan hukumnya masih terdapat permasalahan akibat adanya kekaburan

norma hukum dalam Perda tersebut. Di dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1)

dinyatakan bahwa “Setiap orang dilarang merokok di kawasan tanpa rokok”.

Sebagai sanksi terhadap pelanggaran Pasal 13 tersebut maka dalam ketentuan Pasal

18 ayat (1) dinyatakan bahwa ”Setiap orang dan/atau badan yang melanggar

ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3

(tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)”.

Meski telah diatur mengenai sanksinya namun dalam Perda tersebut tidak secara

jelas diatur mengenai prosedur penegakan hukum terkait pelanggaran di lapangan,

di sisi lain dengan denda yang tergolong rendah tersebut dianggap tidak akan

memberikan efek jera.

Berdasarkan hal tersebut, proses penegakan hukum Perda Provinsi Bali

Tentang KTR tersebut belum dapat ditegakkan sebagaimana mestinya, mengingat

masih banyak ditemukan perokok aktif yang merokok di kawasan bebas asap rokok.

Di samping itu terhadap ketentuan yang mengatur tentang sanksi pidana

sebagaimana Pasal 18 ayat (1) “Setiap orang dan/atau badan yang melanggar

ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3

(tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)”,

dianggap belum mampu memberikan efek jera.14

Di sisi lain, ketika mengkaji mengenai kebijakan yang dilakukan oleh

pemerintah, maka tidak dapat dilepaskan dari prinsip Good Governance itu sendiri,

karena ketika kebijakan yang dibuat tidak mencerminkan prinsip tersebut maka

kebijakan itu nantinya akan menimbulkan berbagai permasalahan. Di dalam buku

Legislative Drafting for Democratic Social Change keefektifan implementasi

kebijakan Good Governance dapat dilihat dalam beberapa elemen antara lain:15

14I Nyoman Mudana, 2014, Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun

2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka Perlindungan Terhadap Perokok Pasif, Jurnal

Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana Kertha Negara: Vol. 2. NO. 1., Denpasar, h. 4. 15Ann Seidman, et. Al. 2001, Legislative Drafting for Democratic Social Change, Kluwer

Law International. London, h. 8.

1. Governance by rule: decision-makers decide, not pursuant to the decision-

maker’s intuition or passing fancy, but according to agreed-upon norms

grounded in reason and experience.

2. Accountability: decision-makers justify their decisions publicly, subjecting

their decisions to review by recognized higher authority, and ultimately by

the electorate.

3. Transparency: officials conduct government business openly so that the

public and particularly the press can learn abaout and debate its details.

4. Participation: persons affected by a potential decision-the stakeholders-

have the maximum feasible opportunity to make inputs and otherwise take

part in governmental decisions.

Dengan kata lain elemen-elemen yang harus dipenuhi dalam menerapkan

pemerintahan yang baik adalah meliputi:

1. Pemerintah berdasarkan undang-undang: bahwa pengambil keputusan dalam

keputusanannya tidak didasarkan atas intuisi dan imajinasi, melainkan

didasarkan pada alasan dan pengalaman yang telah disepakati oleh norma

yang berlaku.

2. Akuntabilitas: pengambil keputusan dapat menunjukkan bahwa keputusan

yang mereka ambil bersifat publik, diakui oleh otoritas yang lebih tinggi, dan

diakui pula oleh para pemilih (dalam hal ini masyarakat).

3. Transparansi: bahwa pejabat pemerintah dalam melakukan urusan

pemerintahan harus secara terbuka, sehingga masyarakat dan pers dapat

mempelajari mengenai hal tersebut.

4. Partisipasi: bahwa masyarakat yang terkena dampak potensial dari keputusan

yang dikeluarkan oleh pemangku kepentingan, memiliki kesempatan untuk

memberikan masukan dan turut menjadi bagian dalam keputusan yang

dikeluarkan oleh pemerintah.

Hukum pada dasarnya adalah tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan

keadilan umum.16 Di samping itu proses penegakan hukum khususnya dalam hal

pelanggaran terhadap kebijakan KTR ini masih belum mendapatkan tempat dalam

ruang Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan hukum, sebagaimana yang

dikemukakan oleh Gustav Radbruch.17 Berpijak dari latar belakang masalah

tersebut, maka penting kiranya bagi peneliti untuk mengkaji mengenai “Kepastian

Penegakan Hukum Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali”.

16Bernard L. Tanya. Dkk, 2010, Teori Hukum (Strategi tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, h. 31. 17Bernard Arief Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,

Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Rafika Aditama, Bandung, h. 20

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat

dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan mengenai penegakan hukum Kawasan Tanpa Rokok

di Bali?

2. Bagaimana keterkaitan antara kepastian penegakan hukum Kawasan Tanpa

Rokok dengan upaya meningkatkan kualitas pariwisata Bali?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk memperoleh uraian yang lebih jelas, terarah dan sistematis, maka

perlu diadakan pembatasan terhadap ruang lingkup masalah. Hal ini untuk

menghindari adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang

dikemukakan. Permasalahan yang terkait dengan judul akan diteliti mengenai

kepastian penegakan hukum Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011

Tentang Kawasan Tanpa Rokok dalam rangka meningkatkan kualitas pariwisata

Bali.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan

khusus. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

1.4.1 Tujuan Umum

Dalam dunia keilmuan dikenal adanya paradigma ilmu sebagai proses. Hal

ini tentunya menjadi landasan bahwa pengkajian terhadap berbagai produk hukum

khususnya terhadap Perda Provinsi Bali tentang KTR harus dilakukan, mengingat

pentingnya jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia khususnya

dalam memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta bebas dari asap

rokok. Oleh karena itu, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk

pengembangan ilmu hukum, terutama terkait upaya meningkatkan kualitas

pariwisata di Bali. Di samping itu penulisan hukum yang representatif dan akurat

merupakan faktor strategis bagi berperannya hukum dalam masyarakat yang

mendambakan ketertiban, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan.18

1.4.2 Tujuan Khusus

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka secara khusus tujuan dari

penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pengaturan mengenai

penegakan hukum Kawasan Tanpa Rokok di Bali.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana keterkaitan antara

kepastian penegakan hukum Kawasan Tanpa Rokok dengan upaya

meningkatkan kualitas pariwisata Bali.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat

praktis. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut:

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk perluasan wawasan

ilmu hukum. Ilmu hukum yang dimaksud adalah dalam penggunaan teori-teori

hukum dan asas-asas hukum terhadap permasalahan normatif yang ditimbulkan

sebagai akibat terjadinya kekaburan norma hukum (vague van normen), di dalam

18Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 166.

peraturan perundang-undangan yang menjadi fokus peneliti dalam hal ini adalah

Perda Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan

manfaat dan kontribusi antara lain:

a. Bagi pemerintah, diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai

perumus dan pelaksana kebijakan agar melakukan penegakan hukum yang

tegas terhadap pelanggaran kebijakan tersebut.

b. Bagi kalangan akademisi, diharapkan dapat bermanfaat dalam

memberikan tambahan pengetahuan dan memberikan kontruksi berpikir

yang metodis atas permasalahan normatif yang ditimbulkan akibat adanya

kekaburan norma hukum dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR.

c. Bagi masyarakat, diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan

pemahaman terhadap kesadaran dalam mentaati aturan hukum serta

kepedulian terhadap kesehatan dan lingkungan hidup yang baik dan sehat

serta bebas dari asap rokok.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Masalah rokok merupakan masalah yang begitu kompleks sehingga hal ini

menyebabkan berbagai kalangan tertarik untuk mengangkat topik ini menjadi objek

penelitian. Adapun beberapa penelitian yang juga mengangkat isu mengenai

kawasan tanpa rokok antara lain:

Tabel 1. Orisinalitas Penelitian

Nama/Tahun/

Universitas

Judul Penelitian

Rumusan Masalah

Jenis

Penelitian

Perbedaan

Andi

Mariani/2009/

Universitas

Katolik Soegijapranata

Semarang

Pemberlakuan

Larangan Merokok

Di Tempat Umum

dan Hak Atas Derajat Kesehatan

Maksimal

1. Apakah yang

dimaksud dengan

hak atas derajat

kesehatan optimal? 2. Bagaimanakah

ketentuan tentang

pemberlakuan

larangan merokok

di tempat umum?

3. Apakah

pemberlakuan

larangan merokok

di tempat umum

telah memenuhi

hak atas derajat

kesehatan optimal?

Penelitian

Hukum

Normatif

Penelitian ini

tidak mengkaji

mengenai

kepastian dalam hal penegakan

hukum, hanya

mengenai

ketentuan

pengaturan

larangan

merokok

terhadap

pemenuhan hak

atas kesehatan

Iswanti/2013/

Universitas

Negeri

Surabaya

Implementasi

Peraturan Daerah

Kota Surabaya

Nomor 5 Tahun

2008 Tentang

Kawasan Tanpa

Rokok dan

Kawasan Terbatas

Merokok di

Terminal Joyoboyo Surabaya

1. Bagaimana

implementasi

Perda No. 5/2008?

2. Bagaimana upaya

mengatasi kendala

dalam

pemberlakuan

Perda 5/2008?

Penelitian

Hukum

Empiris

Mengkaji

mengenai

implementasi

Perda Kota

Surabaya, faktor

yang

mempengaruhi

implementasi

serta upaya

yang dilakukan terhadap

kendala dalam

pemberlakuan

Perda Kota

Surabaya No.

5/2008

Agil

Prianggara/201

3/Universitas

Brawijaya

Malang

Pelaksanaan Pasal

7 Peraturan Daerah

Kota Surabaya

Nomor 5 Tahun

2008 Tentang

Kawasan Tanpa

Rokok Dan Kawasan Terbatas

Merokok (Studi Di

Dinas Kesehatan

Kota Surabaya)

1. Bagaimana

Pelaksanaan Pasal

7 Peraturan Daerah

Kota Surabaya

Nomor 5 Tahun

2008 tentang

kawasan tanpa rokok dan kawasan

terbatas merokok?

2. Apakah hambatan-

hambatan yang

Penelitian

Hukum

Empiris

Mengkaji

mengenai

keefektivitasan

dalam

impementasi

ketentuan

Pasal 7 terkait pembinaan dan

pengawasan

Perda Kota

Surabaya, serta

timbul dalam

Pelaksanaan Pasal

7 Peraturan Daerah

Kota Surabaya

Nomor 5 Tahun

2008 tentang kawasan tanpa

rokok dan kawasan

terbatas merokok

dan Bagaimana

cara mengatasinya?

hambatan yang

terjadi dalam

penegakan di

lapangan

1.7 Landasan Teoritis

Teori ilmu hukum dapat diartikan pula sebagai disiplin ilmu hukum yang

dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai

aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam penerapan

praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan jelas

tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kemasyarakatan.

Adapun dalam penelitian ini menggunakan beberapa teori hukum sebagai berikut:

1) Teori Negara Hukum

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menyatakan

bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pernyataan ini secara eksplisit

memberi isyarat bahwa hukum di dalam negara Indonesia berkedudukan sangat

mendasar dan tertinggi (supreme).19 Oleh sebab itu sudah tentu setiap perbuatan

baik yang dilakukan oleh penguasa maupun rakyat Indonesia haruslah berlandaskan

atas koridor hukum.20

19Imam Syaukani, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 83. 20Ahmad Kamil, 2008, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, h. 19.

Berdasarkan pandangan dari Friedrich J. Stahl, menyatakan bahwa mengenai

negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok yaitu:21

a. Adanya jaminan atas hak-hak asasi manusia;

b. Adanya pembagian kekuasaan;

c. Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum (wetmatig

van bestuur); dan

d. Adanya peradilan administrasi negara (PTUN) yang bertugas menangani

kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige

overheidsdaad).

Di samping itu Ismail Suny dalam tulisannya “Mekanisme Demokrasi Pancasila”

memiliki pandangan bahwa suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum

harus memenuhi unsur-unsur tertentu yang meliputi:22

a. Menjunjung tinggi hukum;

b. Adanya pembagian kekuasaan;

c. Adanya perlindungan terhadap HAM serta remedy-remedy procedural

untuk mempertahankannya;

d. Dimungkinkan adanya peradilan administrasi.

Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum ketika kedaulatan atau

supremasi hukum atas orang dan pemerintah terikat oleh hukum. Disamping itu

21Dasril Radjab, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 77. 22C.S.T. Kansil, et. Al, 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta,

Jakarta, h. 87.

suatu negara juga haruslah memenuhi setidak-tidaknya ciri atau unsur sebagai

negara hukum. Adapun ciri atau unsur tersebut adalah sebagai berikut:23

a. Constitutionalism, bahwa konstitusionalisme diterima sebagai syarat

baik bagi demokrasi maupun negara hukum, karena konstitusi dipandang

sebagai bentuk kesepakatan, baik kesepakatan bersama terhadap tujuan

dan cita-cita, kesepakatan bahwa rule of law merupakan landasan

penyelenggaraan negara, maupun kesepakatan tentang bentuk institusi

dan prosedur ketatanegaraan.

b. Law Governs the Government, bahwa dalam membuat undang-undang,

pembentuk undang-undang terikat oleh pembatasan-pembatasan yang

ditentukan dalam konstitusi, tidak terkecuali semua cabang pemerintahan

yang bertindak berdasarkan hukum.

c. An Independent Judiciary, bahwa kekuasaan peradilan haruslah merdeka

dengan diberikannya kewenangan untuk melakukan judicial review

terhadap tindakan legislatif maupun eksekutif, serta menjamin tegaknya

rule of law melalui pemisahan kekuasaan dan check and balances.

d. Law Must be Fairly and Consistently Applied, bahwa hukum harus

diterapkan secara adil dan konsisten tanpa adanya diskriminasi.

e. Law is Transparent and Accessible to All, bahwa hukum harus bersifat

transparan dan dapat diakses oleh semua orang, dalam hal ini transparan

yang dimaksud adalah bahwa hukum haruslah dibuat secara tranparan

23I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint):

Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 30.

dimana pembentuk undang-undang diharapkan bersifat terbuka terhadap

pendapat publik dalam pembahasan suatu rancangan peraturan

perundang-undangan, di samping itu transparan yang dimaksud juga

bahwa suatu peraturan perundang-undangan dapat dimengerti dengan

baik dan dipublikasikan secara luas sehingga masyarakat mendapatkan

cukup peringatan terhadap tindakan yang dapat melahirkan sanksi dan

juga agar mereka dapat menuntut hak-hak hukumnya pada saat yang

tepat dan dihormati oleh pihak-pihak lain yang memiliki akses serupa

terhadap keberadaan hukum yang berlaku.

f. Application of Law is Efficient and Timely, bahwa hukum haruslah

diterapkan secara efisien dan tepat waktu.

g. Property and Economic Rights are Protected, including Contracts,

bahwa harus adanya perlindungan terhadap pembangunan di bidang

ekonomi, adapun hal yang dianggap penting dalam pembangunan

ekonomi adalah adanya perlindungan terhadap hak atas kekayaan

intelektual, terhadap kebebasan berkontrak, serta kedudukan yang sama

dalam hukum bagi semua orang.

h. Human and Intellectual Rights are Protected, bahwa salah satu landasan

perkembangan teori hukum mengenai Rule of Law adalah konsepsi

tentang keberadaan hak-hak individu dan berbagai asas bahwa

pemerintahan harus menghormati hak-hak yang dimaksud, sebagaimana

yang tertuang dalam sejumlah dokumen, yang bukan hanya mencakup

hak-hak sipil dan politik tetapi juga hak ekonomi.

i. Law can be Changed by An Established Process which itseft is

Transparent and Accessible to All, bahwa hukum dapat diubah ketika

hukum tersebut tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan guna

memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak individu,

namun demikian prosedur perubahan tersebut haruslah bersifat

transparan dan dapat diakses oleh semua orang.

Hukum menjadi dasar suatu tindakan itu dilarang atau tidak di masyarakat

sehingga hukum itu sendiri juga dipandang sebagai suatu perintah. Hukum yang

didalamnya memuat tentang kaidah-kaidah atau norma yang berlaku di dalam suatu

waktu tertentu, dalam suatu masyarakat tertentu, ditetapkan oleh pengemban

kekuasaan yang berwenang akan memberikan gambaran bahwa kaidah hukum yang

“positif” sebagai suatu perintah. Sejalan dengan itu Hans Kelsen dalam bukunya

General Theory of Law and State menjelaskan, “in our attempt to explain about the

nature of the norm, let us provisionally assume that norm is a command”24. Jika

dilihat dari segi arti bahasa dikatakan bahwa “the word ‘norm’ comes from the Latin

norma, and has been adopted in German to refer primarily, though not exclusively,

to a command, a prescription, an order”.25

2) Teori Kewenangan

Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan

dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum, baik dalam kaitannya dengan

24Hans Kelsen, 1945, General Theory of Law and State, Russel & Russel The Division of

Atheneum Publisher Inc. United Stated of America (Selanjutnya disebut Hans Kelsen I), h. 30. 25Hans Kelsen, 1973, General Theory of Norms, Clarendon Press Oxford. New York

(Selanjutnya disebut Hans Kelsen II), h. 1.

hukum publik maupun hukum privat.26 Setiap tindakan pemerintah ataupun suatu

kebijakan harus bersumber dan bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan

yang sah jika ditinjau dari mana kewenangan itu diperoleh, maka ada tiga kategori

kewenangan, yaitu: atributif, delegasi, maupun mandat.27

Kewenangan tidak hanya diartikan sebagai hak untuk melakukan praktik

kekuasaan, namun adapun pengertian kewenangan (authority) berdasarkan Black’s

Law Dictionary adalah “Right to exercise powers; to implement and enforce laws;

to exact obedience; to command; to judge. Control over; jurisdiction. Often

synonymous with power”.28 Dapat diartikan bahwa kewenangan adalah bagaimana

menerapkan dan menegakkan hukum. Dalam kaitannya terhadap kepastian

penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR, maka perlu diatur secara

khusus dan jelas mengenai kewenangan penegakan hukum ketika terjadi

pelanggaran terhadap kebijakan KTR, sehingga kebijakan KTR Bali dapat

diterapkan dengan baik, tentunya kewenangan yang diberikan harus berdasarkan

atas peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Konsep Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam

hal penegakan hukum, dimana kepastian hukum yang dimaksud adalah

perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa

seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan

26Salim HS, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 193. 27Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 104. 28Henry Campbell Black, 1978, Black’s Law Dictionary, West Publishing, USA, h. 121.

tertentu.29 Kepastian hukum itu sendiri tidak hanya mempersoalkan hubungan

hukum antara warga negara dan negara, karena sebagai sebuah nilai, esensi dari

kepastian hukum adalah masalah perlindungan terhadap warga negara dari tindakan

kesewenang-wenangan.

Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto

sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi

tertentu mensyaratkan sebagai berikut:30

1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah

diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;

2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-

aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena

itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak

menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka

menyelesaikan sengketa hukum; dan

5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa

kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan

masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah

hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum

29E. Fernando M. Manullang, op.cit, h. 92. 30Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika

Aditama, Bandung, h. 85.

yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya

(realistic legal certainty), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara

dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.

4) Konsep Penegakan Hukum

Penegakan hukum dalam suatu negara memiliki kaitan yang erat terhadap

sistem hukum negara tersebut, sesuai pandangan Lawrence Meir Friedman ”The

substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should

behave”.31 Terkait hal tersebut peneliti mengkaji penegakan hukum dari segi aturan

hukum (legal substance) yakni berupa Perda Provinsi Bali tentang KTR, dimana

proses penegakan hukum Perda tersebut dianggap lemah akibat dari adanya

kekaburan norma hukum dalam substansi hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR

tersebut, sehingga penegakan hukum Perda tersebut tidak dapat berjalan secara

efektif.

Di sisi lain mengkaji mengenai penegakan hukum, Soerjono Soekanto

berpandangan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan

hukum, yaitu meliputi:32

1. Faktor hukumnya sendiri, dimana terdapat ketidakjelasan substansi di

dalam suatu peraturan sehingga menimbulkan multi tafsir, serta belum

adanya aturan pelaksana yang dibutuhkan untuk menerapkan peraturan

tersebut;

2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun

yang menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, yaitu

mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil maupun

organisasi yang baik;

31Lawrance M. Friedman, 1975, The Legal System: a Social Science Perspective, Russel

Sage Foundation, New York, h. 14. 32Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, h. 17-18.

4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan;

dan

5. Faktor budaya, yaitu hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada

karsa manusia dalam di dalam pergaulan hidup.

Mengenai penegakan hukum, Andi Hamzah menjelaskan bahwa proses

penegakan hukum dibagi menjadi dua, yaitu tindakan represif dan tindakan

preventif.33 Adapun tindakan preventif disini adalah tindakan yang dilakukan

sebelum dilakukannya penegakan secara repesif baik dengan cara diadakannya

negosiasi, persuasi, dan supervisi agar peraturan hukum atau syarat-syarat izin

ditaati. Sedangkan tindakan represif adalah tindakan menerapkan hukum atau

instrumen sanksi ketika terjadi pelanggaran terhadap norma hukum yang berlaku,

biasanya hal ini dikenal dengan istilah law enforcement atau penegakan hukum

dalam arti sempit. Kedua fase tersebut baik tindakan preventif maupun represif

diartikan sebagai penegakan hukum secara luas (rechthandhaving). Berdasarkan

pandangan mengenai penegakan hukum tersebut diatas maka penting untuk

menerapkan tindakan baik represif maupun peventif terhadap proses penegakan

hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR tersebut.

5) Konsep Pariwisata Berkualitas

Pergeseran pasar dari mass tourism ke quality tourism menjadikan berbagai

produk pariwisata mengalami modifiksi.34 Kualitas merupakan suatu kondisi

dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan

yang memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas bukan hanya menekankan pada

33Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 48. 34URL: http://ojs.unud.ac.id/ index.php /piramida/ article/ download/ 3002/ 2160. Diakses

Pada Tanggal 24 September 2014.

aspek hasil akhir, yaitu produk dan jasa tetapi juga menyangkut kualitas manusia,

kualitas lingkungan, karena sangatlah mustahil menghasilkan produk dan jasa yang

berkualitas tanpa melalui manusia dan proses yang berkualitas.35

Mengkaji mengenai kualitas pariwisata, UNWTO dalam Quality Support

Committee yang diselenggarakan di Varadero Cuba, 9-10 Mei 2003, menyatakan

bahwa kualitas pariwisata menentukan keberlanjutan pembangunan suatu

pariwisata (Sustainable Development on Tourism), adapun yang dimaksud dengan

kualitas pariwisata (quality in tourism) adalah: 36

….the result of a process which implies the satisfaction of all the legitimate

product and service needs, requirements and expectations of the consumer, at

an acceptable price, in conformity with mutually accepted contractual

conditions and the underlying quality determinants such as safety and security,

hygiene, accessibility, transparency, authenticity and harmony of the tourism

activity concerned with its human and natural environment.

Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan kualitas pariwisata adalah

hasil dari suatu proses yang menunjukkan kepuasan terhadap semua produk dan

layanan, sesuai dengan persyaratan dan harapan konsumen, dengan harga yang

dapat diterima, serta sesuai dengan kondisi kontrak dan penentu kualitas yang

mendasarinya, seperti halnya keselamatan dan keamanan, kebersihan, aksesibilitas,

transparansi, keaslian dan harmoni kegiatan pariwisata yang bersangkutan dengan

lingkungan manusia dan alam. Oleh sebab itu, suatu destinasi pariwisata tidak

terkecuali Bali, haruslah menerapkan prinsip kualitas pariwisata tersebut, yang

salah satunya melalui meningkatkan kebersihan lingkungan.

35URL: http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab%202__10-63.pdf. Diakses Pada Tanggal 24

September 2014. 36URL: http://sdt.unwto.org/ en/ content/ quality-t ourism. Diakses Pada Tanggal 24

September 2014.

Kegiatan pariwisata yang juga meliputi industri jasa modern (modern

hospitality industry) memandang bahwa kunci kesuksesan suatu pariwisata adalah

kualitas pariwisata itu sendiri. Terkait hal tersebut, Walter Jamieson37

mengemukakan bahwa faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan

kualitas pariwisata yaitu: 38

1. Condition, dilakukannya perawatan (maintenance) dan menjaga sebaik

mungkin apa yang menjadi daya tarik pariwisata.

2. Physical and personal comfort, perlu menjaga kenyamanan bagi

wisatawan yang berkunjung di destinasi pariwisata.

3. Service and Hospitality afforded to guests, pelayanan dan keramah-

tamahan kepada wisatawan merupakan salah satu faktor yang perlu

diperhatikan di dalam menyelenggarakan kegiatan pariwisata.

4. Attention to detail, memastikan bahwa setiap wisatawan memiliki hak

yang sama untuk memperoleh standar tertentu dalam kegiatan

pariwisata.

5. Guest choice and ease of use, menyerahkan sepenuhnya kepada

wisatawan untuk memilih fasilitas yang terbaik untuk diri wisatawan,

dan tidak adanya pemaksaan untuk memilih layanan jasa tertentu.

37UNWTO Expert Dean, Professor of Tourism and Travel Industry Management School of

Travel Industry Management University of Hawaii at Manoa. 38World Tourism Organization (UNWTO), 2007, Workshop on Indicators of Sustainable

Development for Tourism, World Tourism Organization, Madrid Spain, h. 11.

6. Cleanliness, merupakan faktor terpenting untuk mengukur kualitas suatu

pariwisata, yang dimaksud kebersihan dalam destinasi pariwisata adalah

kebersihan lingkungan itu sendiri, tidak terkecuali kebersihan udara.

Disamping itu, untuk menjaga atau bahkan meningkatkan kualitas

pariwisata, maka perlu memahami pula terhadap faktor-faktor eksternal yang dapat

mempengaruhi pariwisata. Adapun yang menjadi faktor-faktor eksternal yang dapat

memberikan dampak bagi pariwisata antara lain:39

a. Changing Demographics, peningkatan jumlah populasi dunia

berpengaruh terhadap kegiatan pariwisata, dimana semakin tinggi jumlah

populasi manusia di dunia maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi

terhadap pariwisata.

b. Technological Advances, teknologi berpengaruh terhadap kegiatan

pariwisata, sebagai contoh dalam hal transportasi, dengan adanya

teknologi pesawat dan kereta api dengan kecepatan tinggi maka laju

dinamika perpindahan orang dari satu negara/wilayah ke negara/wilayah

lain akan semakin tinggi pula sehingga memudahkan orang untuk

melakukan kegiatan pariwisata.

c. Political Change, sistem politik suatu negara berpengaruh terhadap

pariwisata khususnya di bidang ekonomi, dimana pemerintahan

demokratis yang menerapkan perdagangan bebas akan berdampak bagi

39WTO Tourism Education and Training Series, 1997, International Tourism: A Global

Perspective, World Tourism Organization, Madrid Spain, h. 33.

pasar pariwisata karena akan mempengaruhi negara lain untuk

melakukan kegiatan investasi di bidang pariwisata pada negara tersebut.

d. Sustainable Tourism and the Environment, lingkungan hidup merupakan

wadah bagi kegiatan pariwisata, oleh sebab itu pembangunan pariwisata

berkelanjutan dianggap penting dan mampu memberikan pengaruh yang

besar bagi pariwisata karena dengan menerapkan prinsip keberlanjutan

di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan pariwisata juga akan

dirasakan manfaatnya bagi generasi mendatang.

e. Safety and Health, jaminan keselamatan dan kesehatan merupakan salah

satu faktor yang berpengaruh besar bagi suatu destinasi pariwisata,

ancaman akan terjangkit penyakit ketika melakukan kegiatan pariwisata

dalam suatu negara tertentu akan berdampak bagi pariwisata tersebut,

sehingga perlu adanya jaminan bagi wisatawan untuk dapat melakukan

kegiatan pariwisata dengan sehat termasuk memperoleh lingkungan

hidup yang bersih dan udara yang sehat.

f. Human Resource Development, terhadap negara-negara berkembang

khususnya, dianggap perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia

melalui pendidikan dan pelatihan di bidang pariwisata sehingga dapat

menyelenggarakan pariwisata dengan baik.

g. Tourism Market Trends, perlu adanya perencanaan yang matang

terhadap pasar pariwisata di masa yang akan datang, sehingga mampu

mencegah atau menanggulangi permasalahan tersebut dengan baik.

h. Changing Consumer Preferences, memandang bahwa negara-negara

yang memiliki jumlah populasi yang besar dimana masyarakatnya

membutuhkan liburan dan beristirahat dari rutinitas pekerjaan yang padat

sangat membutuhkan destinasi-destinasi pariwisata yang mampu

memberikan fasilitas untuk menghilangkan stres.

i. Product Development and Competition, destinasi pariwisata semakin

berkembang akibat pengaruh persaingan di bidang pariwisata baik

regional maupun internasional. Masing-masing negara berupaya untuk

mengembangkan pariwisatanya agar mampu bersaing di pasar global.

Mengacu pada faktor-faktor yang mampu mempengaruhi pariwisata

tersebut, maka dengan menerapkan kebijakan kawasan tanpa rokok, diharapkan

akan memberikan dampak positif terhadap kualitas pariwisata Bali. Disamping

mampu menjamin kenyamanan para wisatawan juga mampu memberikan jaminan

terhadap kebersihan lingkungan dalam hal ini memperoleh udara yang sehat bebas

dari asap rokok, yang notabene merupakan faktor dari meningkatnya kualitas

pariwisata.

6) Konsep Penafsiran Hukum

Dalam kaitan terjadinya suatu kekaburan norma hukum pada suatu produk

perundang-undangan, diperlukan adanya penafsiran hukum, dimana penafsiran

hukum merupakan suatu kegiatan yang terjadi dalam praktek hukum, namun tidak

dapat dipisahkan dari teori hukum yang ada. Lebih lanjut dapat juga dikatakan

bahwa penafsiran hukum yang merupakan bagian dari penemuan hukum adalah

proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat

umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu.40 Dalam

kaitannya dengan interpretasi, terdapat tiga asas yang perlu diperhatikan dalam

contextualism yang dikemukakan oleh McLeod sebagaimana dikutip oleh Philipus

M. Hadjon, sebagai berikut:41

1. Asas Noscitur a Sociis, artinya suatu kata harus diartikan dalam

rangkaiannya;

2. Asas Ejusdem Generis, artinya satu kata dibatasi makna secara khusus dalam

kelompoknya;

3. Asas Expressio Unius Exclusio Alterius, artinya jika satu konsep sudah

digunakan untuk satu hal maka belum tentu berlaku untuk hal lain. Contoh:

konsep Rechtmatigheid yang digunakan dalam Hukum Tata Usaha Negara,

maka konsep yang sama belum tentu berlaku untuk kalangan hukum perdata

atau pidana.

Metode interpretasi hukum, dilakukan dalam hal peraturannya ada namun

tidak jelas sehingga tidak mampu diterapkan dalam peristiwa hukum konkrit.42

Tujuan utama dari penemuan hukum adalah untuk memberikan rasa keadilan dan

jaminan kepastian hukum bagi kepentingan proses hukum yang berkeadilan dan

penerapan ketentuan hukum yang adil.43 Dalam kaitannya terhadap hal tersebut,

peneliti menggunakan teknik interpretasi sistematis; teknik interpretasi gramatikal;

40Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty,

Yogyakarta, h. 37. 41Philipus M.Hadjon, 2008, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press,

Surabaya, h. 26. 42Asep Dedi Suwasta, 2012, Tafsir Hukum Positif Indonesia, Alia Publishing, Bandung,

h. 53. 43H.F. Abraham Amos, 2007, Legal Opinion: Aktualisasi Teoritis dan Empirisme,

Rajawali Pers, Jakarta, h. 23.

teknik interpretasi perbandingan; dan teknik interpretasi teleologis/sosiologis. Hal

ini nantinya akan dijadikan kajian bagi peneliti untuk mengkaji kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok guna meningkatkan kualitas kepariwisataan di Bali.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum

normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum teoritis,

dimana fokus kajian dalam penelitian ini adalah dengan inventarisasi hukum positif,

asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto,

sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah

hukum.44 Penelitian ini juga sering disebut penelitian hukum doktrinal, yang

berangkat dari masalah adanya kekaburan norma hukum dalam Perda Provinsi Bali

tentang KTR, khususnya ketentuan yang mengatur mengenai penegakan hukum

terhadap pelanggaran Perda tersebut. Pada jenis penelitian ini, hukum sering

dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law

in books), di sisi lain hukum juga dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang

merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.

44Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

h. 81-99.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Merupakan proses pemecahan masalah melalui tahap-tahap yang telah

ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian.45 Dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan beberapa jenis pendekatan diantaranya:

1) Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach). Pendekatan

Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua peraturan

hukum maupun regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

diteliti.46 Dalam hal ini peneliti melakukan analisis terhadap peraturan-

peraturan yang terkait dengan kebijakan tentang kawasan tanpa rokok,

serta kebijakan di bidang kepariwisataan;

2) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical and Conceptual

Approach). Dalam hal ini peneliti melakukan analisis terhadap konsep-

konsep hukum yang berhubungan dan menjadi dasar adanya kebijakan

tentang kawasan tanpa rokok, serta hak asasi manusia untuk memperoleh

lingkungan hidup yang bersih dan sehat dalam perspektif kepariwisataan;

3) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Kaitannya dalam

kekaburan norma, salah satu upaya peneliti untuk melakukan penemuan

hukum adalah dengan melakukan perbandingan hukum. Terkait hal

tersebut perbandingan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

dengan melakukan perbandingan atas dua atau lebih hukum positif yang

45Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 112. 46Dyah Ochtorina Susanti, 2014, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika,

Jakarta, h. 110.

berbeda.47 Disamping itu perbandingan hukum merupakan metode

penyelidikkan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih

mendalam terhadap suatu bahan hukum tertentu, serta merupakan suatu

cara untuk mengkaji unsur hukum asing yang aktual dalam suatu masalah

hukum.48 Dalam hal ini peneliti melakukan perbandingan hukum tentang

aturan larangan merokok di Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta melalui Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 75 Tahun

2005 Tentang Kawasan Larangan Merokok dan perbandingan hukum

terhadap aturan larangan merokok di Pemerintah Kota Surabaya melalui

Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan

Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. Dalam kaitan hal tersebut

peneliti melakukan perbandingan terhadap prosedur dan kewenangan

penegakan hukum dan instrumen sanksi yang digunakan sebagai salah

satu upaya untuk memberikan efek jera bagi yang melanggar ketentun

tersebut. Dalam hal perbandingan hukum, maka metode yang dapat

digunakan adalah dengan membandingkan baik melalui aturan hukum,

penegak hukum, ataupun budaya hukum masyarakat yang mencakup

perangkat kaidah atau perilaku dalam suatu negara atau daerah tertentu.49

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan di dalam penulisan tesis ini diperoleh

melalui :

47Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 354. 48Soedjono Dirdjosisworo, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Grafindo, Jakarta, h. 60. 49Soeratman, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, h. 65.

1) Bahan hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat

umum dengan kata lain merupakan asas dan kaidah hukum. Adapun bahan hukum

primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;

c. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan;

d. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup;

e. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan;

f. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukkan Peraturan

Perundang-Undangan;

g. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian

Pencemaran Udara;

h. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok

Bagi Kesehatan;

i. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7

Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok;

j. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan

Tanpa Rokok;

k. Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2012 Tentang Pedoman KTR.

2) Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang bersumber dari buku-buku

dan artikel-artikel hukum yang mempunyai relevansi dengan masalah yang

diteliti50. Bahan hukum Sekunder terdiri atas:

a) Buku-buku Hukum (text book), khususnya yang berkaitan dengan

hukum kepariwisataan dan teori-teori hukum;

b) Jurnal-jurnal hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam

media massa terkait penelitian tesis ini;

c) Kamus dan ensiklopedia hukum (beberapa penulis hukum

menggolongkan kamus dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum

tertier), dan Internet dengan menyebut nama situsnya.

1.8.4 Bahan Hukum Penunjang

Bahan hukum penunjang adalah bahan hukum yang berupa hasil wawancara

mendalam dari pihak-pihak terkait. Dalam hal ini yang menjadi bahan hukum

penunjang dalam penelitian ini adalah data dan informasi yang peneliti peroleh dari

pihak terkait kebijakan KTR sehingga nantinya akan memberikan data yang valid,

disamping itu juga bahan hukum penunjang digunakan untuk mencari faktor-faktor

non hukum dalam proses penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan

snowball method (metode bola salju).51 Adapun yang dimaksud dengan metode

bola salju adalah metode menggelinding secara terus menerus yang mengacu

50Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 155. 51Djam’an Satori, 2010, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, h. 18.

kepada peraturan perundang-undangan, dan buku-buku hukum dalam daftar

pustaka yang berkaitan dengan penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR.

Selanjutnya bahan hukum yang terdiri dari aturan perundang-undangan, buku-buku

hukum, jurnal hukum, dan lainnya akan diinventarisasi dan dilakukan

pengklasifikasian sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Dengan kata lain,

bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya

akan dipilah-pilah, disistematisasi dan dianalisis, sehingga pokok permasalahan

yang ditelaah dalam penelitian ini akan terjawab.

1.8.6 Teknik analisis Bahan Hukum

Dalam hal menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul, peneliti

menggunakan beberapa teknik analisis, antara lain:

1) Deskripsi, dengan menguraikan suatu kondisi atau posisi dari proposisi-

proposisi hukum atau non hukum;

2) Interpretasi, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu

hukum. Dalam penelitian ini Interpretasi hukum digunakan terhadap

permasalahan akibat adanya kekaburan norma hukum dalam Perda

Provinsi Bali tentang KTR. Adapun Interpretasi yang digunakan antara

lain: Interpretasi Gramatikal/Bahasa, metode penafsiran ini memegang

peranan penting pada penemuan makna dari sebuah teks undang-

undang, adapun untuk mengetahui makna dari ketentuan suatu aturan

hukum maka ketentuan tersebut harus ditafsirkan atau dijelaskan dengan

cara menguraikan makna dari aturan hukum tersebut. Disamping itu

metode interpretasi gramatikal tersebut dilakukan melalui penalaran

hukum untuk diterapkan pada teks yang kabur atau kurang jelas

(applaying the obscure texts the multiple resources of judicial

reasoning);52 Interpretasi Teleologis/Sosiologis, metode penafsiran ini

digunakan untuk mengetahui tujuan suatu aturan hukum yang hendak

dicapai dalam masyarakat, serta hubungan antara peraturan perundang-

undangan dengan situasi sosial masyarakat,53 dalam hal ini tujuan yang

hendak dicapai dengan menerapkan kebijakan KTR terhadap

manfaatnya bagi masyarakat khususnya di Bali; Interpretasi

Komparatif, yaitu metode penafsiran yang digunakan untuk

membandingkan aturan hukum suatu negara dengan aturan hukum di

negara lain,54 dalam hal ini perbandingan hukum tersebut digunakan

untuk menyelesaikan isu hukum,55 terkait dengan hal tersebut dalam

penelitian ini, peneliti melakukan penafsiran perbandingan dengan

membandingkan aturan larangan merokok di negara lain yang juga

bergerak di sektor pariwisata dengan kebijakan KTR di Bali; Interpretasi

Sistematis, pada metode sistematis ini, makna dari formulasi sebuah

kaidah hukum atau makna dari sebuah istilah yang ada di dalamnya

ditetapkan dengan menunjuk (mengacu) pada hukum sebagai suatu

sistem, dengan kata lain metode ini memandang bahwa tak ada satupun

dari peraturan perundang-undangan yang dapat ditafsirkan seakan-akan

berdiri sendiri. Dalam kaitannya terhadap penelitian ini, penafsiran

52Asep Dedi Suwasta, op.cit, h. 59. 53Asep Dedi Suwasta, op.cit, h. 64. 54Asep Dedi Suwasta, op.cit, h. 65. 55Amiruddin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 166

dilakukan tidak hanya terhadap isi dari substansi Perda Provinsi Bali

tentang KTR, melainkan juga tentang hubungan Perda tersebut baik

secara vertikal maupun horizontal terhadap peraturan perundang-

undangan yang lain.

3) Evaluasi, berupa penilaian tepat atau tidak tepat terhadap suatu

pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang

tertera dalam bahan hukum primer maupun sekunder;

4) Argumentasi, berupa suatu argumen yang diakukan guna memperkuat

penilaian, serta melakukan penalaran hukum;

5) Sistematisasi, mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau

proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat

maupun antara yang tidak sederajat.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

2.1 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional

diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat

bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat tersebut,

diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dimana salah satu upaya dimaksud

adalah pengamanan zat adiktif sebagaimana diatur di dalam Pasal 113 Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Rokok mengandung zat adiktif yang sangat berbahaya bagi kesehatan

manusia. Zat adiktif adalah zat yang jika dikonsumsi manusia akan menimbulkan

adiksi atau ketagihan, dan dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti penyakit

jantung dan pembuluh darah, stroke, penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru,

kanker mulut, impotensi, kelainan kehamilan dan janin. Rokok itu sendiri

merupakan hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya

yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies

lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan

tambahan.

Berdasarkan Perda Provinsi Bali tentang KTR, di dalam penjelasan umum,

dijelaskan bahwa asap rokok tidak hanya membahayakan perokok, tetapi juga orang

lain disekitar perokok (Perokok pasif). Asap rokok tersebut terdiri dari asap rokok

39

utama (main stream) yang mengandung 25% kadar bahan berbahaya dan asap

rokok sampingan (side stream) yang mengandung 75% kadar berbahaya. Asap

rokok mengandung lebih dari 4000 jenis senyawa kimia. Sekitar 400 jenis

diantaranya merupakan zat beracun (berbahaya) dan 69 jenis tergolong zat

penyebab kanker (karsinogenik).56 Asap rokok pasif merupakan zat sangat

kompleks berisi campuran gas, partikel halus yang dikeluarkan dari pembakaran

rokok.

Zat karsinogen Benzo (A) Pyrene merupakan salah satu kandungan asap

rokok, merupakan salah satu zat pencetus kanker. Zat ini banyak ditemukan pada

orang bukan perokok aktif, tetapi kehidupan mereka bersentuhan dengan perokok

aktif. Dalam kaitannya terhadap hal tersebut diatas dalam ketentuan Pasal 3 huruf

d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang

Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (LN No. 36-TLN No. 4276), selanjutnya

disingkat PP 19/2003, dinyatakan bahwa dianggap perlu adanya suatu kegiatan atau

serangkaian kegiatan dalam rangka mencegah dan/atau menangani dampak

penggunaan rokok baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan, salah

satunya dengan menetapkan pengaturan Kawasan Tanpa Rokok.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Perda Provinsi Bali tentang KTR,

adapun yang dimaksud dengan KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan

dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual,

mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Adapun kawasan yang

dimasukkan dalam kategori KTR berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2

56URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Karsinogen, Diakses Pada Tanggal 27 Januari 2015.

Perda Provinsi Bali tentang KTR meliputi: Fasilitas pelayanan kesehatan; Tempat

proses belajar mengajar; Tempat anak bermain; Tempat ibadah; Angkutan umum;

Tempat kerja; Tempat umum; dan Tempat lain yang ditetapkan. Dalam hal ini

tempat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g meliputi : Pasar

modern; Pasar tradisional; Tempat wisata; Tempat hiburan; Hotel; Restoran;

Tempat rekreasi; Halte; Terminal angkutan umum; Terminal angkutan barang;

Pelabuhan; dan Bandara.

Kawasan Tanpa Rokok merupakan tanggung jawab seluruh komponen

bangsa, baik individu, masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah dan non-

pemerintah, untuk melindungi hak-hak generasi sekarang maupun yang akan

datang atas kesehatan diri dan lingkungan hidup yang sehat. Komitmen bersama

dari lintas sektor dan berbagai elemen akan sangat berpengaruh terhadap

keberhasilan kawasan tanpa rokok.

Adapun yang menjadi tujuan penetapan Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana

yang termuat dalam buku pedoman penetapan Kawasan Tanpa Rokok yang

diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia antara lain, untuk

menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara mengubah

perilaku masyarakat untuk hidup sehat; meningkatkan produktivitas kerja yang

optimal; mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih, bebas dari asap rokok;

menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula; mewujudkan generasi

muda yang sehat. Disamping itu penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan

upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan

kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok.57

2.2 Hak Asasi Manusia Dalam Kebijakan KTR

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999, Hak Asasi

Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,

hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia. Oleh sebab itu untuk memperoleh jaminan atas kehidupan

yang sehat serta lingkungan hidup yang bersih bebas dari asap rokok merupakan

bagian dari HAM sehingga negara memiliki kewajiban untuk melindunginya.

Disamping itu pengakuan terhadap HAM untuk memperoleh lingkungan

hidup yang bersih dan sehat juga diatur di dalam prinsip-prinsip global, adapun

prinsip-prinsip tersebut meliputi:

a. Universal Declaration of Human Rights 1948, yang selanjutnya dikenal

dengan istilah Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), di dalam

Article 25 paragraph 1 dinyatakan bahwa:

Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and

well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and

medical care and necessary social services, and the right to security in the

event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other

lack of livelihood in circumstances beyond his control.

57Kementerian Kesehatan, 2011, Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok, Pusat

Promosi Kesehatan, Jakarta, h. 16-17.

Dengan kata lain telah adanya pengakuan secara internasional bahwa untuk

memperoleh standar kehidupan yang baik serta derajat kesehatan maksimal

merupakan bagian dari hak asasi manusia. UDHR menjadi contoh bagi

semua negara yang hendak membangun dan mengembangkan diri sebagai

negara demokrasi yang menghormati dan melindungi hak-hak asasi

manusia.58

b. International Covenant on Social, Economic and Cultural Rights 1966, yang

lebih dikenal sebagai generasi HAM ke-2, di dalam Article 12 paragraph 1

dinyatakan bahwa “The States Parties to the present Covenant recognize the

right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of

physical and mental health”. Pengaturan terhadap kawasan tanpa rokok

bertujuan untuk menjauhkan masyarakat dari ancaman bahaya rokok

terhadap kesehatan manusia, baik kesehatan fisik maupun mental, dimana

hal tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib diakui oleh

setiap negara. Adapun langkah-langkah yang dapat diambil oleh negara guna

mewujudkan hak atas kesehatan tersebut salah satunya dengan

mengupayakan perbaikan segala aspek kesehatan lingkungan dan industri.59

c. African Charter 1981, yang selanjutnya dikenal sebagai produk dari HAM

generasi ke-3, dimana mengutamakan hak-hak kolektif salah satunya hak di

bidang pariwisata (tourism rights), di dalam ketentuan Article 16 dinyatakan

bahwa “Every individual shall have the right to enjoy the best attainable state

58Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 91. 59H. Ahmad Sukardja, 2013, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam

Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, h. 215.

of physical and mental health”, disamping itu dalam Article 24 juga

dinyatakan bahwa “All peoples shall have the right to a general satisfactory

environment favourable to their development”. Jadi dengan kata lain

pelaksanaan kebijakan KTR itu sendiri bertujuan untuk melindungi hak asasi

manusia dalam memperoleh standar kesehatan, serta bertujuan pula untuk

menjamin hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik

dan sehat.

d. Rio Declaration on Environtment and Development 1992, yang lebih dikenal

dengan Deklarasi Rio, dimana deklarasi ini menjadi dasar terhadap

pembentukkan produk hukum nasional di bidang lingkungan hidup.

Deklarasi Rio tidak secara implisit mengatur mengenai HAM, meskipun

demikian deklarasi Rio memuat prinsip mengenai kewajiban bagi setiap

negara untuk menjaga lingkungan hidup dari ancaman polusi yang akan

berdampak bagi ekosistem alam serta kesehatan manusia itu sendiri, baik

polusi yang terjadi akibat bencana alam maupun akibat tindakan manusia

secara berkelanjutan. Polusi yang dimaksud tidak hanya menyangkut air dan

tanah melainkan juga polusi udara. Di dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN

No. 140-TLN No. 5059, selanjutnya disingkat UUPPLH) diatur mengenai

kriteria pencemaran lingkungan hidup yang mampu mempengaruhi baku

mutu lingkungan hidup salah satunya meliputi baku mutu udara ambien,

dalam hal ini yang dimaksud pencemaran lingkungan hidup adalah masuk

atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke

dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku

mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Di sisi lain terhadap

pencemaran udara secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah RI

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, dalam

ketentuan Pasal 1 angka 1 yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah

masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam

udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke

tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi

fungsinya. Dalam kaitannya terhadap hal tersebut asap rokok dapat

dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun, adapun yang dimaksud

dengan bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah

zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau

jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat

mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan

lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan

makhluk hidup lain. Oleh sebab itu masyarakat memiliki hak yang sama

berdasarkan undang-undang untuk memperoleh lingkungan yang bebas dari

ancaman penyakit yang dapat membahayakan kesehatan manusia itu sendiri.

Sudah menjadi konsensus dalam konstitusi Indonesia bahwa hak atas

kesehatan merupakan hak mendasar bagi manusia. Falsafah dasar dari jaminan hak

kesehatan sebagai HAM merupakan raison d ‘etre kemartabatan manusia (human

dignity).60 Dimensi politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya serta pendidikan

memberikan pengaruh signifikan terhadap kualitas kesehatan individu dan

masyarakat di sebuah negara. Oleh sebab itu proteksi kesehatan tidak akan bisa

dilepaskan dari persoalan hak asasi manusia atas kesehatan, karena bidang

kesehatan telah dinyatakan sebagai fundamental rights of every human being.61

Dalam kaitannya terhadap kebijakan KTR, konsepsi hak asasi manusia tidak

hanya sebatas pemahaman akan pentingnya jaminan atas hak asasi manusia untuk

memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat, melainkan juga “The rights

conception of the rule of law assumes that citizens have moral rights and duties

with respect to one another, and political rights against the state as a whole”.62

Dengan kata lain menekankan bahwa setiap orang memiliki kewajiban yang sama

untuk menghormati hak asasi orang lain.

2.3 Teori Negara Hukum Dalam Kebijakan KTR

Dalam kaitannya terhadap hak asasi manusia, hukum berfungsi sebagai

pembatas sehingga hak asasi manusia tidak lagi dipandang sebagai hak masyarakat

untuk bertindak sebebas-bebasnya, karena melalui hukum pula hak asasi manusia

tersebut mendapatkan pengakuan dan perlindungan. Oleh sebab itu hukum menjadi

dasar bertindaknya masyarakat maupun pemerintah dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara.

60Majda El Muhtaj, 2009, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 152 61Roberia, 2012, Hak Atas Kesehatan dan Urgensi Proteksinya Dalam Rangka Kontinuitas

Pembangunan Hukum Kesehatan, Jurnal Hukum Kesehatan: Vol. 4. NO. 6, Jakarta, h. 126. 62URL: https://www.law.utoronto.ca/documents/Dyzenhaus/rule_law_as_ rule_ liberal_

principle. Diakses Pada Tanggal 16 Oktober 2014.

Dampak sosial yang diakibatkan oleh asap rokok yang secara langsung

bersinggungan dengan hak asasi manusia, maka terhadap manfaat dan tujuan untuk

melakukan pengendalian terhadap pencemaran udara yang dihasilkan oleh asap

rokok perlu memperoleh pengaturan dalam kebijakan kawasan tanpa rokok.

Kebijakan KTR yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dalam hal ini merupakan

pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang untuk menetapkan

suatu kebijakan daerah, harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berkedudukan diatasnya yang nantinya menjadi dasar yuridis pembentukan

kebijakan KTR.

Doktrin tentang HAM sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai

a moral, political, legal framework and as a guideline dalam membangun dunia

yang lebih damai dan bebas dari perlakuan yang tidak adil.63 Oleh karena itu, dalam

paham negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai

ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut sebagai rechtsstaat.

Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum ketika kedaulatan atau

supremasi hukum atas orang dan pemerintah terikat oleh hukum, tidak terkecuali

menyangkut kebijakan KTR, adapun ciri atau unsur negara hukum dalam kaitannya

terhadap kebijakan KTR meliputi:64

a. Constitutionalism, konstitusi dipandang sebagai bentuk kesepakatan, baik

kesepakatan bersama terhadap tujuan dan cita-cita, kesepakatan bahwa rule

of law merupakan landasan penyelenggaraan negara, maupun kesepakatan

63Jimly Asshiddiqie, op.it, h. 85. 64I Dewa Gede Palguna, loc.cit.

tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan. HAM tidak akan

mampu berdiri tegak dan terlindungi dengan baik apabila hak asasi yang

telah dideklarasikan dan disetujui dalam perjanjian internasional tersebut

tidak diletakkan dasar hukumnya dalam konstitusi masing-masing negara.

Oleh sebab itu pelaksanaan atau implementasi HAM yang dilakukan oleh

setiap negara harus berdasarkan proses konstitusional.65 Disamping itu

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah haruslah berdasarkan atas

konstitusi tidak terkecuali kebijakan KTR. Dengan alasan untuk melindungi

hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat

sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 maka

kebijakan KTR dianggap telah berdasarkan atas amanat konstitusi terkait

HAM.

b. Law Governs the Government, bahwa dalam membuat undang-undang,

pembentuk undang-undang terikat oleh pembatasan-pembatasan yang

ditentukan dalam konstitusi, tidak terkecuali semua cabang pemerintahan

yang bertindak berdasarkan hukum. Tidak terkecuali Pemerintah Daerah

Provinsi Bali yang telah membuat suatu produk hukum berupa kebijakan

KTR.

c. An Independent Judiciary, bahwa kekuasaan peradilan haruslah merdeka

dengan diberikannya kewenangan untuk melakukan judicial review terhadap

65Siti Maimunah, 2009, Cakupan Hak Asasi Manusia Bidang Kesehatan, Jurnal Hukum

Kesehatan: Vol. 2. NO. 4.,Jakarta, h. 77.

tindakan legislatif maupun eksekutif, serta menjamin tegaknya rule of law

melalui pemisahan kekuasaan dan check and balances.

d. Law Must be Fairly and Consistently Applied, bahwa hukum harus

diterapkan secara adil dan konsisten tanpa adanya diskriminasi. Dalam

kaitannya terhadap kebijakan KTR, penegakan hukum ketika terjadi

pelanggaran, aparatur penegak hukum wajib menindak secara tegas baik

masyarakat yang merupakan WNI maupun warga negara asing dalam

kaitannya sebagai wisatawan tanpa adanya diskriminasi.

e. Law is Transparent and Accessible to All, bahwa hukum harus bersifat

transparan dan dapat diakses oleh semua orang, dalam hal ini transparan yang

dimaksud adalah bahwa hukum haruslah dibuat secara tranparan dimana

pembentuk undang-undang diharapkan bersifat terbuka terhadap pendapat

publik dalam pembahasan suatu rancangan peraturan perundang-undangan,

disamping itu transparan yang dimaksud juga bahwa suatu peraturan

perundang-undangan dapat dimengerti dengan baik dan dipublikasikan

secara luas sehingga masyarakat mendapatkan cukup peringatan terhadap

tindakan yang dapat melahirkan sanksi dan juga agar mereka dapat menuntut

hak-hak hukumnya pada saat yang tepat dan dihormati oleh pihak-pihak lain

yang memiliki akses serupa terhadap keberadaan hukum yang berlaku. Ciri

tersebut erat kaitannya terhadap kebijakan KTR, dimana jauh sebelum

Pemerintah Provinsi Bali membuat kebijakan KTR dianggap perlu terlebih

dahulu dilakukan kegiatan sosialisasi atas kebijakan tersebut, sehingga

masyarakat maupun wisatawan dapat memahami bahwa suatu perbuatan

tertentu yang dilakukannya akan mendapatkan sanksi, serta tindakan apa saja

yang dapat dilakukan untuk menuntut hak-hak hukumnya.

f. Application of Law is Efficient and Timely, bahwa hukum haruslah

diterapkan secara efisien dan tepat waktu. Agar suatu kebijakan dapat

diterapkan dengan baik dalam masyarakat, maka kebijakan tersebut harus

diberlakukan secara efektif dan juga memperhatikan perkembangan

dinamika di masyarakat. Tidak terkecuali kebijakan KTR yang perlu

diberlakukan secara efektif sehingga proses penegakkan hukumnya pun

dapat dilakukan dengan baik, mengingat untuk memperoleh lingkungan

hidup yang bersih dan udara yang sehat merupakan isu hak asasi manusia.

Hak asasi manusia yang dimaksud di sini juga termasuk hak asasi bagi

wisatawan.

g. Property and Economic Rights are Protected, including Contracts, bahwa

harus adanya perlindungan terhadap pembangunan di bidang ekonomi,

adapun hal yang dianggap penting dalam pembangunan ekonomi adalah

adanya perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, terhadap

kebebasan berkontrak, serta kedudukan yang sama dalam hukum bagi semua

orang.

h. Human and Intellectual Rights are Protected, bahwa harus adanya

penghormatan terhadap hak-hak individu tidak hanya hak sipil dan politik

melainkan juga hak ekonomi.

i. Law can be Changed by An Established Process which itseft is Transparent

and Accessible to All, bahwa hukum dapat diubah ketika hukum tersebut

tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan guna memberikan jaminan dan

perlindungan terhadap hak-hak individu, namun demikian prosedur

perubahan tersebut haruslah bersifat transparan dan dapat diakses oleh semua

orang. Ketika suatu kebijakan dianggap tidak lagi mampu diterapkan secara

efektif di masyarakat maka perlu dilakukannya perubahan atas peraturan

tersebut. Dalam kaitannya terhadap hal tersebut diatas maka kebijakan KTR

yang diangap masih memuat instrumen sanksi yang lemah sehingga tidak

mampu memberikan efek jera serta kewenangan penegakkan yang tidak

secara jelas mendapatkan pengaturan, maka perlu dilakukannya perubahan

agar dapat berjalan efektif dan mampu memberikan jaminan atas kepastian

hukum, sehingga nantinya dapat bermanfaat bagi masyarakat.

2.4 Aspek Sosiologis Kebijakan KTR

Kebiasaan yang buruk bagi kesehatan, seperti merokok, adalah penyebab

utama dari penyakit dan kematian di banyak negara. Sayangnya, prilaku ini sering

sudah dimulai sejak dini, sebelum orang menyadari bahaya dari tindakan mereka.66

Bahaya asap rokok orang lain dihadapi salah satunya bagi bayi dalam kandungan

ibu yang merokok dan orang-orang yang berada dalam ruangan yang terdapat asap

rokok yang telah ditinggalkan perokok. Dampak langsung setelah terpapar asap

rokok orang lain adalah batuk, bersin, sesak napas, pusing, sedangkan efek jangka

panjang akan menimbulkan masalah kesehatan yang serius. Dampak kesehatan

asap rokok orang lain terhadap orang dewasa antara lain menyebabkan penyakit

66Shelley E. Taylor.,et.al, 2009, Psikologi Sosial, Kencana, Jakarta, h. 539.

jantung dan pembuluh darah, kanker paru dan payudara, dan berbagai penyakit

saluran pernafasan.

Perempuan yang tinggal bersama orang yang merokok mempunyai risiko

tinggi terkena kanker payudara. Asap rokok orang lain akan memicu serangan

asthma serta menyebabkan asthma pada orang sehat. Ibu hamil yang merokok

selama kehamilan akan mempengaruhi pertumbuhan bayi, kelahiran prematur dan

kematian. Bayi dan anak-anak para perokok yang terpapar asap rokok orang lain

akan menderita sudden infant death syndrome, infeksi saluran pernafasan bawah

(ISPA), asthma, bronchitis, dan infeksi telinga bagian tengah yang dapat berlanjut

hilangnya pendengaran. Mereka juga akan menderita terhambatnya pertumbuhan

fungsi paru, yang akan menyebabkan berbagai penyakit paru ketika dewasa.

Anak para perokok mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami kesulitan

belajar, masalah perilaku seperti hiperaktif dan penurunan konsentrasi belajar

dibanding dengan yang orang tuanya tidak merokok. Padahal anak pun memiliki

HAM yang sama untuk memperoleh jaminan akan kesehatan yang dikemukakan

oleh Kofi A. Annan sebagaimana dikutip oleh Majda El Muhtaj, bahwa ”if we can

get it right for children – if we can deliver on our commitments and enable every

child to enjoy the right to a childhood, to health, education, equality and protection

– we can get it right for people of all ages”.67

67Majda El Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana,

Jakarta, h. 225.

Selain dampak kesehatan asap rokok orang lain juga akan berdampak

terhadap ekonomi individu, keluarga dan masyarakat akibat hilangnya pendapatan

karena sakit dan tidak dapat bekerja, pengeluaran biaya obat dan biaya perawatan.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia setiap orang. Hak asasi masyarakat bukan

perokok atas lingkungan hidup yang sehat, termasuk bersih dari cemaran dan risiko

kesehatan dari asap rokok juga harus dilindungi. Demikian juga dengan perokok

aktif, perlu disadarkan dari kebiasaan merokok yang dapat merusak kesehatan diri

dan orang lain disekitarnya.

Hal tersebut diatas menjadi landasan sosiologis bagi Pemerintah Provinsi

Bali untuk membuat pengaturan tentang Kawasan Tanpa Rokok, dimana

memberikan batasan bagi orang untuk tidak merokok di area tertentu yang

ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok. Meski demikian masih banyaknya

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat tidak terkecuali

wisatawan asing dikarenakan ketidaktahuan masyarakat karena kurangnya

sosialisasi, dan dalam beberapa kasus banyak dijumpai orang yang masih merokok

meski telah mengetahui bahwa area tersebut merupakan KTR, hal tersebut

dikarenakan karena selama ini tidak ada penegakan yang dilakukan bagi para

pelanggar kebijakan. Dengan kata lain tidak adanya kepastian penegakan hukum

ketika terjadi pelanggaran dilapangan.

Pertumbuhan jumlah penduduk yang demikian cepat, masalah-masalah

sosial yang baru dan banyak ditimbulkan oleh perkembangan industri merupakan

faktor-faktor yang bisa disebut sebagai penyebab munculnya suatu gambaran sosial

baru. Oleh sebab itu negara memiliki kewajiban untuk mencampuri urusan-urusan

seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Perkembangan yang demikian itu

membawa serta peranan dan pengaturan melalui hukum dan melontarkan suatu

bahan baru untuk dikerjakan oleh para pakar hukum. Kebijakan KTR lahir dengan

tujuan untuk memberikan jaminan perlindungan HAM bagi masyarakat dalam

kaitannya terhadap bidang kesehatan yang merupakan salah satu aspek sosial

masyarakat. Dalam bidang ekonomi, bahkan penerapan kebijakan KTR dianggap

mampu memberikan efek positif terhadap jumlah pendapatan dari sektor

pariwisata, akibat kualitas pariwisata yang meningkat setelah diterapkannya aturan

larangan merokok di berbagai negara. Di sisi lain pengaturan mengenai kebijakan

KTR ini diharapkan akan memberikan ketertiban di dalam masyarakat, dimana

ketertiban merupakan nilai yang mengarahkan pada tiap-tiap individu untuk

bersikap dan bertindak yang seharusnya agar keadaan yang teratur tersebut dapat

dicapai dengan baik.

Di sisi lain, tidak berbeda halnya dengan kebijakan pemerintah lainnya,

dimana kebijakan KTR secara nasional juga mengalami pro dan kontra. Tidak

sedikit mitos yang berkembang di masyarakat yang justru merugikan masyarakat

sendiri, dan terus dilakukan oleh industri tembakau untuk menghalangi

perlindungan kesehatan masyarakat. Beberapa mitos yang sering dijumpai di

masyarakat adalah sebagai berikut: 68

68URL: http://www.ino.searo.who.int/LinkFiles/Tobacco _ Initiative _ Bab _ 8 -

Perlindungan _ Terhadap _ Paparan _ Asap _ Rokok _ Orang_ Lain. Diakses Pada Tanggal 15

Oktober 2014.

1) Asap rokok orang lain tidak membahayakan kesehatan:

Industri rokok sering melawan bukti ilmiah, yang menganggap asap rokok

orang lain sekedar gangguan, bukan masalah kesehatan. Faktanya, penelitian

ilmiah sudah sangat jelas bahwa asap rokok orang lain mematikan. Asap

yang mengandung berbagai bahan kimia berbahaya dapat berdampak buruk

bagi kesehatan manusia.

2) Tidak diperlukan Undang-Undang atau Peraturan Daerah karena kebijakan

yang bersifat sukarela dianggap sudah cukup:

Industri tembakau menyukai konsep kebijakan yang bersifat kesukarelaan

tanpa sanksi hukum dari pada undang-undang atau peraturan daerah, karena

hal tersebut bisa menjadi alasan tidak perlu tindakan hukum bagi

pelanggaran. Skema pilihan bebas yang mengakomodir keinginan perokok

dan bukan perokok dengan mempertahankan ”smoking area” dan ”non

smoking area” dalam ruang yang sama adalah konsep yang diinginkan

industri rokok.

3) Sistem ventilasi akan mengatasi masalah asap rokok orang lain:

Baik ruang merokok maupun sistem ventilasi tidak memberikan

perlindungan dari paparan asap rokok orang lain. Studi di Amerika

menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat asap tembakau di udara dan

jumlah nikotin yang diserap pekerja di ruang merokok dan tanpa asap rokok

karena ruang merokok tetap akan mengkontaminasi ruang tanpa asap rokok.

Sangat mustahil bahwa ruangan merokok tidak akan dimasuki petugas

kebersihan ataupun petugas keamanan, dan ini akan menempatkan mereka

pada resiko. Berbagai studi lain menunjukkan zat penyebab kanker pada asap

rokok yang disaring sama dengan yang tidak mengalami penyaringan udara,

dan ventilasi tidak menghilangkan gas dan partikel beracun dari udara. Asap

tembakau mengandung partikel padat dan gas. Sistem ventilasi tidak dapat

menghilangkan partikel dan gas beracun di udara. Berbagai partikel terhirup

dan tertinggal di baju, furnitur, dinding, langit-langit dan sebagainya.

4) Undang-Undang atau Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok

melanggar hak asasi. Perokok harus diizinkan mengisap produk legal dan

perusahaan harus bisa menentukan akan menerapkan kawasan tanpa rokok

atau tidak:

Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) menyatakan bahwa setiap

orang memiliki hak asasi untuk hidup sehat dan lingkungan sehat. Paparan

asap rokok orang lain melanggar hak asasi manusia. Hak bukan perokok

untuk menghirup udara bersih melebihi hak perokok untuk mencemari udara

yang akan dihirup orang lain. Kebijakan kawasan tanpa rokok bukan tentang

apakah orang merokok tetapi dimana orang merokok. Mereka meninggalkan

resiko kesehatan bagi orang lain yang menghirup asap rokoknya.

5) Undang-Undang atau Peraturan Daerah mengenai lingkungan bebas asap

rokok tidak populer. Masyarakat pada umumnya tidak menginginkannya:

Sebaliknya, kebijakan ini sangat populer di banyak negara dan semakin

banyak orang yang menyadari bahwa mereka berhak dilindungi dari paparan

asap rokok orang lain. Kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan ini adalah

tertinggi di tempat dimana kesadaran akan bahaya kesehatan adalah tinggi.

6) Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang melarang orang merokok pada

waktu santai tidak bisa diterapkan:

Bukti di negara-negara di dunia ini menunjukkan bahwa perokok maupun

pelaku bisnis patuh pada Undang-Undang atau Peraturan Daerah Kawasan

Tanpa Rokok. Tingkat kepatuhan rata-rata 90%.

7) Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok tidak tepat untuk negeri ini:

Pengalaman di dunia menunjukkan bahwa undang-undang atau aturan

Kawasan Tanpa Rokok cukup berhasil diterapkan baik di negara besar atau

kecil, perkotaan atau pedesaan, negara kaya ataupun miskin. Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok semakin populer di banyak negara, karena semakin

banyak orang menyadari haknya untuk menghirup udara bersih dan sehat.

Polling pendapat masyarakat yang dilakukan di 8 kota besar di Indonesia

tahun 2008, menyatakan 84% responden menyatakan adalah hak pengunjung

dan pekerja untuk menghirup udara bersih dan sehat. Hanya 16% responden

yang menyatakan bahwa perokok punya hak untuk mengisap rokok di dalam

gedung.69

8) Jika orang tidak diperbolehkan merokok di tempat umum, mereka akan lebih

banyak merokok di rumah masing-masing dan resiko paparan pada anak-

anak akan lebih besar:

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok mendorong orang dewasa untuk berhenti

merokok. Dengan demikian anak-anak yang terpapar asap rokok di rumah

juga turut berkurang. Undang Undang ini membuat perokok meneruskan

69 URL: http://www.ino.searo.who.int/LinkFiles/Tobacco, Ibid.

kebiasaannya di rumah dan membuat rumahnya bebas asap rokok secara

sukarela. Di New Zealand dilaporkan bahwa paparan asap rokok orang lain

di rumah tangga berkurang 50% selama 3 tahun setelah Undang Undang

Tanpa Rokok diberlakukan.

9) Jika Undang-Undang atau Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok

diterapkan, industri jasa dan industri pariwisata akan merugi:

Penelitian independen berulang kali membuktikan tidak adanya efek

ekonomi yang negatif dari aturan KTR pada industri jasa dan turisme. Studi

yang dilakukan di Kanada, Italia, Norwegia dan beberapa kota seperti El

Paso dan New York memperlihatkan bila dilihat secara rata-rata, bisnis tetap

seperti biasa bahkan ada yang meningkat setelah diberlakukan pelarangan

merokok. Di Australia Selatan pada tahun 1991 – 2001, ratio omzet restoran

terhadap omzet penjualan tetap. Undang-Undang Kawasan Tanpa rokok di

Australia Selatan diterapkan pada tahun 1999. Di Kota New York,

penerimaan pajak bar dan restoran naik 8,7% sementara tenaga kerja sektor

jasa naik lebih dari 10.000 orang. Angka Kunjungan hotel (Hotel occupancy

rate) di Kota Davao naik 12,59% dalam kurun waktu lima tahun setelah

diterapkannya undang-undang Kawasan Tanpa Rokok.

10) Peraturan Kawasan Tanpa Rokok tidak penting karena akan meningkatkan

masalah sosial termasuk kekerasan dan keributan di jalanan:

Tidak ada bukti yang menunjukkan hal tersebut. Seandainya ada, maka hal

ini relatif kecil dibandingkan dengan dampak resiko kesehatan yang

diakibatkan asap rokok orang lain. Hal ini diatasi secara terpisah dengan

peraturan yang sesuai.

Talcott Parsons mengemukakan pandangan mengenai fungsi dari struktur

sosial atau institusi sosial dan tipe prilaku/tindakan sosial tertentu dalam sebuah

masyarakat dan pola hubungannya dengan elemen lainnya. Menurutnya

keberlangsungan masyarakat sebagai sistem dan bertahan dari berbagai perubahan

internal dan eksternal.70 Adapun elemen-elemen dari perubahan sosial dalam

masyarakat meliputi: nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat; lembaga/institusi

sosial masyarakat; dan prilaku masyarakat. Dalam kaitan terhadap penegakan

kebijakan KTR, maka pemahaman masyarakat terhadap bahaya rokok dan

kesadaran masyarakat untuk mematuhi aturan hukum berperan penting dalam

proses penegakan tersebut.

Mengenai penegakan hukum, Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh

Moh. Mahfud MD,71 mengemukakan bahwa penegakan hukum pada hakekatnya

adalah penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang abstrak, seperti ide tentang

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Dapat dikatakan pula bahwa

penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide atau

keinginan-keinginan menjadi kenyataan. Disamping itu, penegakan hukum

menurut Jimly Asshiddiqie adalah suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya

atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman prilaku

dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum masyarakat dalam kehidupan

70George Ritzer, et.al, 2007, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media Group, Jakarta, h. 118. 71Moh. Mahfud MD,.et.al, 2013, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif,

Thafa Media, Yogyakarta, h. 160.

berbangsa dan bernegara.72 Oleh sebab itu, agar norma-norma hukum di dalam

Perda Provinsi Bali tentang KTR dapat berfungsi sebagaimana mestinya di dalam

masyarakat, maka perlu adanya perumusan yang jelas di dalam substansi hukumnya

sehingga mampu memberikan kepastian dalam penegakkannya.

M. Laica Marzuki menguraikan masing-masing unsur sistem hukum pada

dasarnya juga berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement), yaitu

bagaimana substansi hukum ditegakkan serta dipertahankan. Dengan demikian

struktur hukum merupakan institusionalisasi ke dalam entitas-entitas hukum.73

Oleh sebab itu, Friedman menambahkan bahwa, bagaimanapun baiknya norma

hukum suatu undang-undang tanpa didukung penegak hukum yang handal dan

dipercaya serta budaya masyarakat, hukum tidak akan efektif mencapai

tujuannya.74

Dalam mewujudkan aturan hukum yang mampu bekerja secara efektif di

masyarakat, maka ketiga hal tersebut tentunya harus terpenuhi. Produk hukum yang

dapat menciptakan kepastian hukum adalah produk hukum yang pelaksanaannya

tidak menimbulkan multi tafsir akibat adanya inkonsistensi antar pasal dalam suatu

undang-undang atau munculnya kekaburan norma dalam peraturan perundang-

undangan tersebut.

Mengkaji suatu aturan hukum yang berlaku efektif, Hans Kelsen dalam

bukunya Pure Theory of Law menjelaskan bahwa:75

72Ibid. 73Yuliandari, op.cit, h. 32. 74I Gde Pantja Astawa, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-Undangan Di Indonesia,

Alumni, Bandung, h. 43-44. 75Hans Kelsen, 1967, Pure Theory of Law, University of California Press, California USA, h. 11.

A legal norm becomes valid before becomes effective, that is, before it is

applied and obeyed; a law court that applies a statute immediately after

promulgation – therefore before the statute had a chance to become

“effective” – applies a valid legal norm. But a legal norm is no longer

considered to be valid, if it remains permanently ineffective. Effectiveness is a

condition of validity in the sense that effectiveness has to join the positing of a

legal norm if the norm is not to lose its validity.

Dengan kata lain, Hans Kelsen mempersyaratkan hubungan timbal balik antara

unsur validitas dan keefektifan dari suatu kaidah hukum. Sebelum berlaku secara

efektif, suatu norma hukum harus terlebih dahulu valid, karena jika suatu kaidah

hukum tidak valid maka hukum tersebut tidak dapat diterapkan, sehingga kaidah

hukum tersebut tidak pernah efektif berlaku. Tetapi sebaliknya bahwa keefektifan

merupakan syarat mutlak bagi sebuah kaidah hukum yang valid. Adapun agar suatu

kaidah hukum dapat efektif, haruslah memenuhi dua syarat utama, yaitu: (1) kaidah

hukum tersebut harus dapat diterapkan; dan (2) kaidah hukum tersebut harus dapat

diterima oleh masyarakat.76

Hukum bukanlah gejala yang netral, yang semata-mata merupakan hasil

rekaan bebas manusia, tetapi berada dalam jalinan yang sangat erat dengan

masalah-masalah dan perkembangan kemasyarakatan. Pada satu sisi, hukum

dijelaskan dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan, dan pada sisi lain gejala-

gejala kemasyarakatan dapat dijelaskan dengan bantuan hukum.77 Oleh sebab itu

keefektifan penerapan kebijakan KTR di dalam masyarakat sangat ditentukan oleh

pengaturan substansi yang mampu memberikan kepastian hukum dalam Perda

Provinsi Bali tentang KTR.

76Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana, Jakarta,

h. 116-117. 77Khudzaifah Dimyati, 2014, Pemikiran Hukum: Konstruksi Epistemologis Berbasis Budaya

Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 37.

2.5 Pengaturan Kawasan Tanpa Rokok di Bali

Pembuatan hukum yang dilakukan oleh badan yang berwenang merupakan

sumber hukum yang besifat utama. Suatu perundang-undangan menghasilkan

peraturan yang memiliki ciri-ciri:78

1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan

kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas;

2. Bersifat universal, yang diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa

yang akan datang yang belum jelas bentuk konkritnya. Oleh karena itu ia

tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja;

3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri.

Oleh sebab itu merupakan hal yang lazim bahwa suatu peraturan untuk

mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya

peninjauan kembali.

Jika dibandingkan dengan aturan kebiasaan, maka perundang-undangan

memperlihatkan karakteristik, suatu norma bagi kehidupan sosial yang lebih

matang, khususnya dalam hal kejelasan dan kepastiannya. Sebagai sumber hukum,

peraturan perundang-undangan mempunyai kelebihan dibandingkan norma-norma

sosial yang lain, karena ia dikaitkan pada kekuasaan yang tertinggi di suatu negara

dan karenanya pula memiliki kekuasaan memaksa yang besar. Di sisi lain ciri

demokratis masyarakat-masyarakat dunia sekarang ini memberikan capnya sendiri

terhadap cara perundang-undangan itu diciptakan, yaitu dengan menghendaki

78Satjipto Rahardjo, op.cit, h. 83.

masuknya unsur-unsur sosial ke dalam perundang-undangan.79 Tidak terkecuali

lahirnya Perda Provinsi Bali tentang KTR ini juga dipengaruhi oleh aspek sosial

terkait bidang kesehatan. Masyarakat dianggap memiliki hak untuk memperoleh

lingkungan hidup yang bersih dan udara yang sehat bebas dari asap rokok. Oleh

sebab itu lahirnya kebijakan KTR tersebut untuk memberikan ketegasan dan

jaminan kepastian hukum yang mengatur terhadap hal tersebut.

Secara teoritis, pembahasan tentang bentuk-bentuk peraturan perundang-

undangan, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konsep hierarki norma hukum.

Konsep ini merujuk pada pandangan Hans Kelsen yang lebih dikenal dengan teori

hierarki norma hukum (stufenbau des rechts). Berkaitan dengan kedudukan dan

keberadaan norma hukum, Hans Kelsen menjelaskan bahwa: 80

The unity of these norms is constituted by the fact that the creation of one norm,

the lower one is determined by another, the higher, the creation of which

determined by a still higher norm, and that this regressus is terminated by a

highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of the

whole legal order, constitutes its unity.

Dengan kata lain bahwa norma-norma (termasuk norma hukum) itu berjenjang dan

berlapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah

berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang

lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,

demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih

lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu grundnorm (norma dasar).81

79Satjipto Rahardjo, op.cit, h. 85. 80Hans Kelsen, op.cit, h. 124. 81Yuliandari, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:

Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 47.

Di dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR tersebut telah ditentukan

mengenai area tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok, sebagaimana

diatur dalam ketentuan Pasal 2 bahwa tempat umum merupakan kawasan yang

ditetapkan sebagai KTR, tempat umum yang dimaksud tersebut sebagaimana yang

diatur dalam ketentuan Pasal 6 salah satunya adalah tempat wisata.

Dalam hal ini kebijakan KTR tersebut memiliki tujuan untuk melindungi

hak-hak wisatawan untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih serta agar

wisatawan dapat berwisata dengan baik tanpa khawatir akan ancaman penyakit

akibat paparan asap rokok. Oleh sebab itu dalam ketentuan Pasal 13 secara tegas

dalam ayat (1) dinyatakan bahwa “setiap orang dilarang untuk merokok di kawasan

sebagaimana ditentukan sebagai kawasan tanpa rokok”, dan dalam ayat (2) “setiap

orang/badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli

rokok di KTR”.

Perda Provinsi Bali tentang KTR dibentuk dengan tidak mengesampingkan

peraturan perundang-undangan diatasnya sesuai dengan hierarki peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Adapun peraturan yang menyangkut tentang

pelaksanaan pengaturan dan perlindungan HAM akan lingkungan hidup yang baik

dan sehat serta bebas dari asap rokok meliputi:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di dalam

ketentuan Pasal 28 H ayat (1) dinyatakan bahwa “setiap orang memiliki hak

yang sama untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera baik lahir maupun

batin, memperoleh tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang

baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Pada prinsipnya

kebijakan KTR tersebut bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia

(khususnya perokok pasif) untuk memperoleh kesehatan, karena dengan

melakukan pengaturan terhadap kegiatan merokok tersebut, maka

diharapkan masyarakat (perokok aktif) tidak lagi merokok di sembarang

tempat sehingga melanggar hak asasi manusia orang lain untuk memperoleh

lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di dalam

ketentuan Pasal 9 ayat (3) dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pengaturan kebijakan KTR

merupakan salah satu upaya untuk menjamin HAM guna memperoleh

lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta mencegah masyarakat dari

ancaman penyakit akibat paparan asap rokok.

c. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dalam

ketentuan Pasal 5 huruf b dinyatakan bahwa kepariwisataan diselenggarakan

berdasarkan prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta dalam

ketentuan Pasal 20 huruf b menyatakan pula bahwa wisatawan memiliki hak

untuk memperoleh layanan pariwisata yang memenuhi standar, dalam hal ini

standar-standar yang dimaksud tersebut adalah antara lain standar yang

menjamin wisatawan untuk memperoleh udara yang sehat dan bebas dari

ancaman penyakit akibat asap rokok. Kebijakan KTR di Bali dianggap

memiliki keterkaitan secara langsung terhadap kegiatan pariwisata Bali,

karena pariwisata yang merupakan lokomotif perekonomian di Bali tentu

akan terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh

Pemerintah. Melalui kebijakan KTR dianggap akan mampu memberikan

dampak positif bagi kepariwisataan Bali.

d. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa

Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup

dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup, dalam

penjelasan terhadap ketentuan pasal tersebut dimana Pengendalian

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dimaksud dalam

ketentuan ini, antara lain pengendalian di bidang pencemaran udara.

Disamping itu dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) huruf d, menjelaskan

bahwa baku mutu lingkungan hidup salah satunya adalah baku mutu udara

ambien, dalam penjelasan terhadap ketentuan pasal tersebut dijelaskan

bahwa yang dimaksud dengan “baku mutu udara ambien” adalah ukuran

batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada,

dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara

ambien. Jadi kaitannya terhadap kebijakan KTR adalah bahwa kegiatan

merokok di tempat-tempat tertentu seperti misalnya tempat wisata, dimana

akan mengakibatkan berkurangnya kualitas udara yang di hirup oleh orang

(wisatawan) lain yang berada dalam satu area yang sama.

e. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menjadi dasar

pengaturan KTR, dimana dalam ketentuan Pasal 115 ayat (1) mengatur

tentang kawasan mana saja yang menjadi ruang lingkup KTR antara lain:

tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain; tempat ibadah;

angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang

ditetapkan. Disamping itu dalam ketentuan Pasal 115 ayat (2) mewajibkan

pemerintah daerah untuk menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya

masing-masing. Oleh sebab itu pembentukan kebijakan KTR di sini

merupakan kewajiban bagi pemerintah daerah tidak terkecuali Pemerintah

Provinsi Bali, serta mengupayakan agar kebijakan mengenai KTR dapat

diterapkan dengan baik di wilayahnya masing-masing.

f. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan

Perundang-undangan menjadi dasar pembentukkan kebijakan kawasan tanpa

rokok, dalam hal ini lahirnya Perda Provinsi Bali tentang KTR adalah

berdasarkan ketentuan peraturan yang berada di atasnya sebagaimana yang

termuat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1), disamping itu Undang-Undang ini

memberikan dasar hukum pemberlakuan sanksi pidana di dalam suatu

Peraturan Daerah, dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa

materi muatan berupa sanksi pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-

Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Serta dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan pidana

dalam Perda tersebut sebagaimana dalam ayat (1) adalah berupa ancaman

pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling

banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

g. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran

Udara, memberikan penjelasan di dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 bahwa

yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuknya atau

dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh

kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang

menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Jadi dalam hal

ini merokok dapat dikategorikan sebagai kegiatan manusia yang memberikan

dampak pencemaran bagi udara, dimana zat beracun yang terdapat dalam

asap rokok dapat mengurangi kualitas udara yang dihirup oleh orang yang

berada disekitarnya. Oleh sebab itu salah satu upaya yang dilakukan untuk

mencegah hal tersebut salah satunya adalah dengan mengupayakan dan

menerapkan kebijakan KTR.

h. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi

Kesehatan, secara jelas menjadi dasar kebijakan KTR dimana dalam

peraturan ini pemerintah memandang perlu adanya perhatian untuk

melakukan sosialisasi bahwa rokok dapat memberikan dampak negatif bagi

kesehatan. Salah satunya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 yang

menyatakan bahwa penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan

bertujuan untuk mencegah penyakit akibat penggunaan rokok bagi individu

dan masyarakat dengan :

1) melindungi kesehatan masyarakat terhadap insidensi penyakit yang

fatal dan penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup akibat

penggunaan rokok;

2) melindungi penduduk usia produktif dan remaja dari dorongan

lingkungan dan pengaruh iklan untuk inisiasi penggunaan dan

ketergantungan terhadap rokok;

3) meningkatkan kesadaran, kewaspadaan, kemampuan dan kegiatan

masyarakat terhadap bahaya kesehatan terhadap penggunaan rokok

i. Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang

Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan atau

yang lebih dikenal dengan PP Tembakau dilahirkan (sejak ditandatangani

Presiden RI pada 24 Desember 2012) bertujuan untuk melindungi kesehatan

perseorangan/individu, keluarga, masyarakat, dan lingkungan; melindungi

penduduk usia produktif, terutama pada anak-anak, remaja, dan perempuan

hamil dari dorongan lingkungan dan pengaruh iklan; meningkatkan

kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya merokok; serta

melindungi kesehatan masyarakat dari asap rokok orang lain. PP 109/2012

terdiri atas 8 Bab dan 65 pasal. Hal-hal yang diatur secara spesifik pada PP

ini, diantaranya: Pencantuman Informasi kadar nikotin dan tar serta bahan

tambahan lainnya (dilarang mencantumkan kata-kata yang menyesatkan);

Pencantuman peringatan kesehatan berbentuk gambar dan tulisan seluas 40%

kemasan depan dan belakang; Kawasan Tanpa Rokok (KTR); Perlindungan

anak dan wanita hamil; Pengendalian Iklan Rokok; Pengawasan terhadap

Perusahaan Rokok; dan lain-lain. Disamping itu juga PP 109/2012 ini

mampu memberikan pemahaman bahwa petani tidak dilarang untuk

menanam tembakau. PP menjamin kelestarian tanaman tembakau dengan

tetap mengupayakan pengembangan mutu tanaman tembakau agar dapat

bersaing dengan mutu tembakau impor dan mampu memenuhi kebutuhan

tembakau bagi industri rokok dalam negeri. PP ini justru mendorong

pengembangan diversifikasi produk tembakau, serta memberikan

kemudahan bagi produk rokok nasional dan industri kecil. Selain itu, PP ini

tidak melarang iklan secara total, hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal

6, 7 dan 8. Terhadap hal tersebut maka PP ini mendorong untuk dilakukannya

kegiatan ekspor tembakau, sehingga negara dan petani tidak mengalami

kerugian terhadap hal tersebut, bahkan melalui pengoptimalan kegiatan

ekspor maka produk tembakau Indonesia akan mampu bersaing secara global

dan mampu meningkatkan devisa negara.82

j. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7

Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok,

memberikan pengaturan tentang pedoman pelaksanaan KTR, secara filosofis

dan sosiologis, peraturan ini memberikan pemahaman bahwa asap rokok

dapat membahayakan kesehatan individu, masyarakat, dan lingkungan,

sehingga perlu adanya perlindungan terhadap paparan dari asap rokok

melalui kebijakan KTR. Di dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) dinyatakan

bahwa di dalam Perda Provinsi tentang KTR harus memuat mengenai:

pengaturan tentang KTR; peran serta masyarakat; pembentukan satuan tugas

khusus penegak KTR; larangan dan kewajiban; serta sanksi.

82Adrian Sutedi, 2014, Hukum Ekspor Impor, Raih Asa Sukses, Jakarta, h. 14-15.

BAB III

KETENTUAN DAN KEWENANGAN PENEGAKAN HUKUM KAWASAN

TANPA ROKOK DI BALI

3.1 Penafsiran Hukum Terhadap Perda Provinsi Bali tentang KTR

Substansi hukum adalah seperangkat kaidah hukum (set of rules and norms),

lazim disebut peraturan perundang-undangan. Substansi hukum tidak hanya

mencakupi pengertian kaidah hukum tertulis (written law), tetapi termasuk kaidah-

kaidah hukum kebiasaan (adat) yang tidak tertulis.83 Dalam substansi Perda

Provinsi Bali tentang KTR masih memuat adanya kekaburan norma hukum

sehingga belum adanya jaminan kepastian hukum dalam penerapannya.

Terkait hal tersebut dalam prinsip penyelenggaraan tata pemerintahan yang

baik, prinsip kepastian hukum menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan publik.

Oleh karena itu setiap kebijakan publik dan peraturan-perundang-undangan harus

selalu dirumuskan, ditetapkan, dan dilaksanakan berdasarkan prosedur baku yang

telah melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta terdapat ruang untuk

mengevaluasinya. Terhadap hal tersebut maka suatu peraturan perundang-

undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-

undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya

jelas dan dapat dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya.

83Yuliandari, op.cit, h. 33.

71

Terkait dengan kekaburan suatu norma hukum maka perlu adanya

penafsiran/interpretasi hukum. Machtel Boot sebagaimana dikutip oleh Asep Dedi

Suwasta, berpandangan bahwa “Every legal norm needs interpretation”, yang

berarti bahwa setiap norma hukum membutuhkan penafsiran.84 Sejalan dengan hal

tersebut Van Bemmelen dan Van Hattum secara tegas menyatakan “Elke

geschreven wetgeving behoeft interpretatie”, dengan kata lain bahwa setiap aturan

perundang-undangan tertulis membutuhkan penafsiran.85 Sementara Satjipto

Rahardjo berpendapat bahwa hukum tidak dapat berjalan tanpa penafsiran, oleh

karena hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan

membumi. Membuat hukum adalah suatu hal dan menafsirkan hukum yang sudah

dibuat merupakan keharusan berikutnya.86

Di dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR terdapat kekaburan norma hukum

dalam hal kewenangan penegakan hukum khususnya yang mengatur mengenai

prosedur penegakan. Di dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) Perda Provinsi Bali

tentang KTR dinyatakan bahwa “Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di

lingkungan Pemerintah Provinsi berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap

pelanggaran Peraturan Daerah ini”, namun terkait hal tersebut tidak secara jelas

mengatur mengenai prosedur penegakan ketika terjadi pelanggaran di lapangan.

Di sisi lain pengaturan mengenai sanksi masih belum mampu memberikan

efek jera, sebagaimana ketentuan Pasal 12 dinyatakan bahwa setiap pengelola,

pimpinan dan/atau penanggung jawab KTR wajib untuk:

84Asep Dedy Suwasta, op.cit, h. 55. 85Asep Dedy Suwasta, loc.cit. 86Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana,

Erlangga, Jakarta, h. 65.

a. melakukan pengawasan internal pada tempat dan/atau lokasi yang

menjadi tanggung jawabnya;

b. melarang semua orang untuk tidak merokok di KTR yang menjadi

tanggung jawabnya;

c. menyingkirkan asbak atau sejenisnya pada tempat dan/atau lokasi yang

menjadi tanggung jawabnya; dan

d. memasang tanda-tanda dan pengumuman dilarang merokok sesuai

persyaratan di semua pintu masuk utama dan di tempat-tempat yang

dipandang perlu dan mudah terbaca dan/atau didengar baik.

Disamping itu dalam ketentuan Pasal 13 dinyatakan bahwa:

(1) Setiap orang dilarang merokok di KTR.

(2) Setiap orang/badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual,

dan/atau membeli rokok di KTR.

(3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk

tempat umum yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan/atau

Peraturan Bupati/Walikota.

Terkait hal tersebut, di dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) dinyatakan bahwa “Setiap

orang dan/atau badan yang melanggar ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak

Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)”. Dalam memahami Perda Provinsi Bali

tentang KTR yang memuat kekaburan norma hukum dalam hal penegakan, maka

teknik interpretasi yang relevan digunakan meliputi:

3.1.1 Interpretasi Sistematis terkait Kewenangan dan Sanksi dalam penegakan

Perda Provinsi Bali tentang KTR

Penafsiran sistematis ini dilakukan dengan memandang bahwa tak satupun

dari peraturan perundang-undangan dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri,

tetapi harus dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya, atau

dengan kata lain bahwa metode ini melihat hukum sebagai satu kesatuan yang utuh,

tidak merupakan bagian yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari satu

sistem.87 Sejalan dengan hal tersebut, Andrei Marmor berpandangan bahwa “a

norm can only be legally valid even if it belongs to a system”.88 Adapun tujuan dari

penafsiran ini adalah untuk mengidentifikasi tentang pengelompokan dan

penggolongan asas-asas hukum, serta kaidah hukum atau aturan hukum. Dari tujuan

tersebut, interpretasi ini dapat menyebabkan kata-kata dalam undang-undang diberi

pengertian yang lebih luas atau lebih sempit. Perda Provinsi Bali tentang KTR tidak

berdiri sendiri, melainkan lahir atas perintah UU No. 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan yang mewajibkan Pemerintah Daerah untuk menerapkan kawasan tanpa

rokok di daerahnya masing-masing dengan baik. Hal tersebut didasarkan atas

pemikiran bahwa masyarakat perlu memperoleh derajat kesehatan yang optimal,

dengan salah satunya melalui pengaturan atas rokok. Disamping itu UUD Negara

RI Tahun 1945 memberi penekanan bahwa untuk memperoleh lingkungan hidup

yang bersih dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diatur dalam

konstitusi, serta dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM juga menjelaskan

terhadap hal tersebut. Oleh sebab itu lahirnya Perda Provinsi Bali tentang KTR

tersebut dengan bertujuan untuk menjamin hak asasi masyarakat maupun

wisatawan untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Dalam upaya menerapkan Perda Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 tentang

KTR, sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 15 ayat (4), bahwa

“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur

dengan Peraturan Gubernur", Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan Peraturan

87Asep Dedi Suwasta, op.cit, h. 9. 88Andrei Marmor, 2011, Philosophy of Law, Princeton University Press, New Jersey, h. 19.

Gubernur Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok

(Berita Daerah No. 8 Tahun 2012-TLD No. 8). Adapun dalam ketentuan Pasal 5

dan Pasal 6 dijelaskan terkait tata cara pembinaan dan pengawasan KTR, yaitu

pembinaan dan pengawasan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai tugas

pokok dan fungsi sesuai dengan tempat yang dinyatakan sebagai KTR. Berdasarkan

ketentuan Pasal 1 angka 14 Peraturan Gubernur Nomor 8 Tahun 2012 Tentang

Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, dinyatakan bahwa “Satuan Kerja Perangkat

Daerah yang selanjutnya disebut SKPD Provinsi Bali adalah Unit Kerja Pemerintah

Daerah di Provinsi Bali yang mempunyai tugas mengelola anggaran dan barang

daerah”.

Salah satu SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang pariwisata dan

bidang perhubungan melakukan pembinaan dan pengawasan KTR di tempat umum,

di sisi lain SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang ketertiban umum

melakukan pembinaan dan pengawasan di seluruh KTR. Berdasarkan ketentuan

Pasal 1 angka 15 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2013 Tentang

Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah (LD No. 4 Tahun 2013-TLD No. 4),

dinyatakan bahwa ”Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disebut Satpol

PP adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda, penyelenggaraan

ketertiban umum, dan ketenteraman masyarakat”.

Sementara itu dalam ketentuan Pasal 15 dijelaskan mengenai mekanisme

pengawasan internal di tempat umum yang ditetapkan sebagai KTR, yaitu meliputi:

(1) Pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat umum, wajib

melarang pengguna tempat umum dan/atau pengunjung merokok di

tempat umum.

(2) Pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat umum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menegur, memperingatkan

dan/atau mengambil tindakan kepada pengguna tempat umum dan/atau

pengunjung apabila terbukti merokok di tempat umum.

(3) Pengguna tempat dan/atau pengunjung berkewajiban melaporkan

kepada pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat umum

apabila ada yang merokok di tempat umum.

(4) Pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat umum wajib

memperingatkan pelanggar dan mengambil tindakan atas laporan yang

disampaikan oleh pengguna tempat dan/atau pengunjung sebagaimana

dimaksud pada ayat (3).

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas diatur mengenai kewenangan untuk

melakukan proses pembinaan dan pengawasan KTR, maka Satpol PP yang

memiliki tugas di bidang ketertiban umum dapat melakukan proses penegakan yang

meliputi pembinaan dan pengawasan di seluruh kawasan yang ditetapkan sebagai

KTR. Oleh sebab itu proses penegakan hukum di tempat wisata dapat dilakukan

oleh SKPD di bidang pariwisata bersama-sama dengan Satpol PP, serta untuk

pengawasan internal dapat dilakukan oleh pengelola tempat tersebut.

Sementara dalam penegakannya di daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah

Daerah Kabupaten Badung mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung

Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (LD No. 8-TLD No. 8), di

dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) dinyatakan bahwa “Dalam rangka menegakkan

pelaksanaan KTR, Bupati membentuk satuan tugas penegak KTR di wilayah

Daerah”. Satuan tugas tersebut dilaksanakan oleh SKPD yang melaksanakan tugas

penegakan Peraturan Daerah. Dengan kata lain, dalam proses penegakan kebijakan

KTR tersebut, Pemerintah Kabupaten Badung dapat membuat satuan tugas khusus

penegak KTR untuk menjalankan proses penegakan di wilayah hukum Kabupaten

Badung. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, Perda Provinsi Bali tentang KTR

sebaiknya memuat rumusan mengenai pembentukan satuan tugas penegakan KTR,

sehingga nantinya, Kabupaten/Kota lainnya di Bali yang saat ini belum memiliki

pengaturan terhadap kebijakan KTR, akan meletakkan rumusan mengenai satuan

tugas penegakan KTR tersebut di dalam substansi Perda masing-masing wilayah,

sehingga penegakan KTR di Bali akan berjalan efektif.

Di dalam ketentuan yang mengatur mengenai sanksi sebagaimana diatur di

dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1), Perda Provinsi Bali tentang KTR masih memuat

sanksi yang tergolong rendah sehingga belum mampu memberikan efek jera bagi

pelanggar. Terkait hal tersebut guna memberikan efek jera maka sebaiknya dalam

proses penegakannya lebih mengutamakan pidana kurungan atau merumuskan

mengenai sanksi administratif khususnya bagi pengelola yang melakukan

pelanggaran terhadap KTR, sehingga efek jera yang ditimbulkan bagi pelanggaran

atas KTR dapat lebih optimal.

3.1.2 Interpretasi Gramatikal/Bahasa terkait Kewenangan dan Sanksi dalam

penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR

Metode penafsiran ini dilakukan dengan menuangkan isi peraturan

perundang-undangan dalam bentuk bahasa tertulis. Untuk mengetahui makna

ketentuan peraturan perundang-undangan yang belum jelas perlu ditafsirkan

dengan menguraikannya melalui bahasa yang baik. Jika ditinjau dari segi definisi,

adapun yang dimaksud dengan Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat

KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok

atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan

produk tembakau. Berdasarkan definisi tersebut telah jelas bahwa setiap orang

dilarang atau tidak diperbolehkan secara hukum untuk merokok, menjual, bahkan

memproduksi produk olahan tembakau. Di sisi lain terhadap perbuatan

mengiklankan/mempromosikan, dalam proses penegakan masih menimbulkan

multi tafsir, karena dalam beberapa kasus, seseorang yang membawa rokok di

kawasan yang ditetapkan sebagai KTR akan tetap ditindak oleh tim penegakan

hukum KTR meskipun hanya dalam maksud konsumsi pribadi. Oleh sebab itu

masih terdapat perbedaan pandangan oleh masyarakat maupun petugas yang

melakukan penegakan.

Terkait hal tersebut, substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR dianggap

masih mengandung kekaburan/ketidak jelasan dalam hal pengaturan tentang

penegakan hukumnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dinyatakan bahwa kawasan

yang termasuk KTR meliputi:

1) Fasilitas pelayanan kesehatan, dalam Pasal 3 menyatakan bahwa, fasilitas

pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a

meliputi: rumah sakit; rumah bersalin; poliklinik; puskesmas; balai

pengobatan; laboratorium; posyandu; dan tempat praktek kesehatan

swasta;

2) Tempat proses belajar mengajar, dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa,

tempat proses belajar mengajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

huruf b meliputi: sekolah; perguruan tinggi; balai pendidikan dan

pelatihan; balai latihan kerja; bimbingan belajar; dan tempat kursus.

3) Tempat anak bermain, dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa, tempat anak

bermain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi:

kelompok bermain; penitipan anak; Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD);

dan Taman Kanak-Kanak.

4) Tempat ibadah, dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, tempat ibadah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi: pura;

masjid/mushola; gereja; vihara; dan klenteng.

5) Angkutan umum, dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa, angkutan umum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e meliputi: bus umum; taxi;

angkutan kota termasuk kendaraan wisata, bus angkutan anak sekolah

dan bus angkutan karyawan; angkutan antar kota; angkutan pedesaan;

dan angkutan air.

6) Tempat kerja, dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa, tempat kerja

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f meliputi: perkantoran

pemerintah baik sipil maupun TNI dan POLRI; perkantoran swasta;

industri; dan bengkel.

7) Tempat umum; dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa, tempat umum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g meliputi: pasar modern;

pasar tradisional; tempat wisata; tempat hiburan; hotel; restoran; tempat

rekreasi; halte; terminal angkutan umum; terminal angkutan barang;

pelabuhan; dan bandara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 tersebut diatas, sudah secara jelas mengatur

mengenai area/tempat yang termasuk sebagai kawasan tanpa rokok, tidak terkecuali

tempat wisata dan penunjang pariwisata lainnya seperti tempat hiburan, hotel,

restoran, dan tempat rekreasi. Terhadap hal tersebut di dalam ketentuan Pasal 11

ayat (1) menyatakan bahwa “pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab

tempat kerja dan tempat umum dapat menyediakan tempat khusus merokok”, dan

di dalam ketentuan ayat (2) menyatakan bahwa “tempat khusus merokok

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. merupakan

ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga

udara dapat bersirkulasi dengan baik; b. terpisah dari gedung/tempat/ruang utama

dan ruang lain yang digunakan untuk beraktifitas; c. jauh dari pintu masuk dan

keluar; dan d. jauh dari tempat orang berlalu-lalang”. Terkait hal tersebut, dalam

Pasal 12 menyatakan bahwa setiap pengelola, pimpinan dan/atau penanggung

jawab KTR wajib untuk:

a. Melakukan pengawasan internal pada tempat dan/atau lokasi yang

menjadi tanggung jawabnya;

b. melarang semua orang untuk tidak merokok di KTR yang menjadi

tanggung jawabnya;

c. menyingkirkan asbak atau sejenisnya pada tempat dan/atau lokasi yang

menjadi tanggung jawabnya; dan

d. memasang tanda-tanda dan pengumuman dilarang merokok sesuai

persyaratan di semua pintu masuk utama dan di tempat-tempat yang

dipandang perlu dan mudah terbaca dan/atau didengar baik.

Adapun dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) Perda Provinsi Bali tentang KTR

dinyatakan bahwa setiap orang dilarang merokok di KTR, dan dalam ayat (2) bahwa

setiap orang/badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau

membeli rokok di KTR. Disamping itu pengelola yang melanggar ketentuan Pasal

12 tersebut maka akan dijatuhi sanksi sebagaimana yang termuat dalam ketentuan

Pasal 18 yang menyatakan bahwa, setiap orang dan/atau badan yang melanggar

ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3

(tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).

Mengenai pemberian sanksi denda bagi pengelola tempat umum misalnya restoran,

sanksi yang diatur adalah hanya sebesar Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah),

sedangkan setiap individu yang pelanggar juga dijatuhi sanksi pidana denda yang

sama. Hal tersebut menjadi tidak sesuai oleh karena pengelola memiliki peran yang

lebih besar dalam menyediakan ruang bagi terjadinya pelanggaran, serta memiliki

kewajiban yang berbeda pula, karena seakan pengelola menjalankan usahanya

tersebut hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa turut peduli akan hak asasi

manusia perokok pasif yang terpaksa harus turut terkena dampak negatif dari

paparan asap rokok.

Disamping itu terhadap prosedur pemberian sanksi bagi pengelola yang tidak

memenuhi kewajiban sebagaimana Pasal 12, tidak diatur secara jelas dalam

ketentuan pasal lainnya dalam Perda tersebut, dan hanya merujuk pada ketentuan

sanksi pidana denda atau kurungan. Padahal jika dikaitkan dengan kegiatan usaha

yang mengutamakan laba/keuntungan, dengan dijatuhi pidana denda yang begitu

rendah tersebut, maka tidak samasekali mampu memberikan efek jera. Oleh sebab

itu, maka terhadap pengelola perlu diberikan ancaman sanksi yang berbeda dengan

individu pelanggar, baik berupa ancaman sanksi administratif pencabutan izin

usaha, sanksi denda yang lebih besar, maupun sanksi paksa badan yang

mengharuskan pengelola usaha untuk melakukan kegiatan sosial.

Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) Perda Provinsi Bali tentang KTR

menyatakan bahwa “Gubernur berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan

sebagai upaya untuk mewujudkan KTR di daerah”. Dalam ayat (2) dinyatakan

bahwa “pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. sosialisasi dan koordinasi; b. pemberian pedoman; c. konsultasi; dan d.

monitoring dan evaluasi. Berdasarkan hal tersebut secara jelas diatur mengenai

pencegahan salah satunya melalui sosialisasi”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Perda Provinsi Bali tentang KTR

hanya sebatas mengatur tanpa mewajibkan Pemerintah Daerah beserta Dinas terkait

untuk melakukan upaya pencegahan, sehingga jarang kita jumpai sosialisasi-

sosialisasi tehadap kebijakan KTR tersebut. Padahal jika mengacu pada pandangan

Andi Hamzah tentang penegakan hukum yang baik, maka sebelum dilakukannya

tindakan represif maka perlu terlebih dahulu mengoptimalkan peran dari instrumen

pencegahan, sehingga suatu kebijakan akan dikenal oleh masyarakat dan dapat

diterapkan secara efektif di lapangan.

3.1.3 Interpretasi Komparatif/Perbandingan terkait Kewenangan dan Sanksi dalam

penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR

Istilah comparative itu sendiri memberikan sifat kepada hukum yang

dibandingkan. Maka dengan demikian, istilah perbandingan hukum lebih menitik

beratkan kepada membandingan antara satu aturan hukum suatu negara tertentu

dengan aturan hukum negara lain, dimana merupakan aturan hukum yang mengatur

suatu hal yang sama. Terkait dengan masalah substansi Perda Provinsi Bali tentang

KTR yang masih belum mampu diterapkan dengan baik akibat keberlakuan sanksi

hukum yang lemah (belum mampu memberikan efek jera), maka berdasarkan

perbandingan hukum yang dilakukan terhadap pengaturan tentang KTR di DKI

Jakarta dan Surabaya, dimana kedua aturan tersebut masing-masing dapat berlaku

cukup efektif di lapangan. Hal tersebut tidak terlepas dari ketetuan yang mengatur

mengenai penegakan hukum telah diatur dengan jelas, serta pengaturan mengenai

sanksi bagi yang melanggar kebijakan KTR tersebut, mampu memberikan efek jera.

Mengkaji mengenai sanksi adapun daerah di luar Bali yang telah menerapkan

kebijakan KTR salah satunya adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Adapun

Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menerapkan sanksi

administratif bagi pimpinan/penanggungjawab tempat yang ditetapkan sebagai

KTR. Dalam ketentuan Pasal 3 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 75

Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan Merokok dinyatakan bahwa “Sasaran

kawasan dilarang merokok adalah tempat umum, tempat kerja, tempat proses

belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat

ibadah, dan angkutan umum”, terkait pelanggaran sebagaimana yang diatur dalam

ketentuan Pasal 27 ayat (1), dinyatakan bahwa:

Pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat yang ditetapkan sebagai

kawasan dilarang merokok, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila

terbukti membiarkan orang merokok di kawasan dilarang merokok, dapat

dikenakan sanksi administrasi berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara kegiatan atau usaha;

c. pencabutan izin.

Sejalan dengan itu Pemerintah Kota Surabaya yang juga menerapkan

kebijakan KTR melalui Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008

Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok, memberikan

pengaturan mengenai sanksi dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) yang dinyatakan

bahwa “Pimpinan atau penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok atau Kawasan

Terbatas Merokok apabila terbukti membiarkan orang merokok di kawasan

dilarang merokok dapat dikenakan sanksi berupa: peringatan tertulis; penghentian

sementara kegiatan; pencabutan izin; dan/atau denda paling banyak Rp.

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.

Dalam proses penegakan hukumnya terkait kebijakan KTR, Pemerintah DKI

Jakarta mengatur sejara jelas mengenai kewenangan dan prosedur penegakan

hukum ketika terjadi pelanggaran di lapangan, yang diatur dalam Peraturan Daerah

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentng

Pengendalian Pencemaran Udara. Di dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1), dinyatakan

bahwa “Selain Pejabat Penyidik POLRI yang bertugas menyidik tindak pidana,

penyidik tindak pidana sebagai dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat

dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah

Daerah yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku”. Selanjutanya dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2),

dinyatakan bahwa “Dalam melaksanakan tugas penyidikan para Pejabat Penyidik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan

melakukan pemeriksaan;

c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal

diri tersangka;

d. melakukan penyitaan beda dan/atau surat;

e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

f. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi;

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa

tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan

tindak pidana dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada

Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya;

i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Terkait kewenangan yang diberikan kepada Penyidik sebagaimana tersebut

diatas, maka di dalam ketentuan 40 ayat (4), dinyatakan bahwa “Penyidik membuat

berita acara setiap tindakan tentang:

a. pemeriksaan tersangka;

b. pemasukan rumah;

c. penyitaan benda;

d. pemeriksaan surat;

e. pemeriksaan saksi;

f. pemeriksaan di tempat kejadian; dan

g. mengirimkan berkasnya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik

POLRI.

Terkait kebijakan KTR, Perda KTR Surabaya juga telah secara jelas

mengatur mengenai kewenangan dan prosedur penegakan hukum ketika terjadi

pelanggaran di lapangan. Dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1), dinyatakan bahwa

“Penyidikan terhadap tindak pidana pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan

oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah”. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 10

ayat (2), dinyatakan bahwa “Penyidik dalam melaksanakan tugas sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) mempunyai wewenang:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya

tindak pidana atas pelanggaran Peraturan Daerah;

b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka;

d. melakukan penyitaan benda atau surat;

e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

g. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari

penyidik POLRI bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut

bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik

memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau

keluarganya;

i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Terkait kewenangan yang diberikan kepada Penyidik sebagaimana tersebut

diatas, maka di dalam ketentuan Pasal 10 ayat (4), dinyatakan bahwa, “Penyidik

Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), membuat berita acara

setiap tindakan dalam hal:

a. pemeriksaan tersangka;

b. memasuki tempat tertutup;

c. penyitaan barang;

d. pemeriksaan saksi;

e. pemeriksaan di tempat kejadian;

f. pengambilan sidik jari dan pemotretan.

Berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai kewenangan dan prosedur

penegakan sebagaimana yang termuat dalam kebijakan KTR di Jakarta dan

Surabaya, maka dapat dilihat bahwa penegakan hukum terkait kebijakan KTR

ketika terjadi pelanggaran di lapangan telah diatur secara jelas sehingga mampu

memberikan kepastian dalam hal penegakan. Disamping itu terkait sanksi, baik

Jakarta dan Surabaya telah memuat ketentuan sanksi yang besar, sehingga mampu

memberikan efek jera bagi pelanggar, serta rumusan mengenai sanksi administratif

bagi pengelola tempat yang telah ditetapkan sebagai KTR. Adapun perbandingan

terkait kewenangan dan sanksi dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2. Perbandingan Pengaturan KTR

Substansi

Perda Provinsi Bali No.

10 Tahun 2011 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok

Perda Kota Surabaya

No. 5 Tahun 2008

Tentang Kawasan

Tanpa Rokok Dan

Kawasan Terbatas

Merokok

Peraturan Gubernur

Provinsi Daerah

Khusus Ibukota

Jakarta No. 75 Tahun

2005 Tentang

Kawasan Larangan

Merokok

Sanksi

a. Bagi Individu: Sanksi

pidana kurungan kaling

lama 3 Bulan atau denda

paling Banyak Rp. 50.000

(lima puluh ribu rupiah)

b. Bagi Pengelola: Sanksi

pidana kurungan paling

lama 3 Bulan atau denda

paling banyak Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah)

c. Bagi yang menjual

produk rokok: Sanksi

pidana kurungan paling

lama 3 Bulan atau denda

paling banyak Rp. 50.000

(lima puluh ribu rupiah)

a. Bagi Individu: Sanksi

pidana kurungan paling

lama 3 Bulan atau denda

paling banyak Rp.

50.000.000 (lima puluh

juta rupiah)

b. Bagi Pengelola:

Sanksi administratif

berupa peringatan tertulis; penghentian

sementara kegiatan;

pencabutan izin;

dan/atau denda Paling

Banyak Rp. 50.000.000

(lima puluh juta rupiah)

c. Bagi yang menjual

produk rokok: Sanksi

pidana kurungan paling

lama 3 Bulan atau denda paling banyak Rp.

50.000.000 (lima puluh

juta rupiah)

a. Bagi Individu: Sanksi

pidana kurungan paling

lama 6 Bulan atau

denda paling banyak

Rp. 50.000.000 (lima

puluh juta rupiah)

b. Bagi Pengelola:

Sanksi administratif

berupa peringatan tertulis; penghentian

sementara kegiatan atau

usaha; pencabutan izin.

c. Bagi yang menjual

produk rokok: Sanksi

pidana kurungan paling

lama 6 Bulan atau

denda paling banyak

Rp. 50.000.000 (lima

puluh juta rupiah)

Badan

Penegakan

Dilaksanakan oleh Pejabat

Penyidik Pegawai Negeri

Sipil

Dilaksanakan oleh

Pejabat Penyidik

Pegawai Negeri Sipil

Dilaksanakan oleh

Pejabat Penyidik

Pegawai Negeri Sipil

Sumber: Diolah Sendiri

3.1.4 Interpretasi Sosiologis/Teleologis terkait Kewenangan dan Sanksi dalam

penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR

Interpretasi ini identik dengan tujuan kemasyarakatan, maka disebut juga

dengan interpretasi sosiologis. Di sisi lain I Dewa Gede Atmadja menjelaskan

bahwa Teleologis merupakan metode yang mengkaji perihal ajaran atau teori tujuan

hukum, dengan kata lain teleologi hukum merujuk pada hal yang ideal yakni

mengarah kepada sesuatu yang hendak dicapai.89 Metode ini digunakan, apabila

pemaknaan hukum ditafsirkan sesuai dengan tujuan dari pembuatan aturan hukum

tersebut dan apa yang hendak dicapai dalam masyarakat. Dengan kata lain dapat

juga dimaknai bahwa interpretasi ini terjadi apabila makna suatu undang-undang

ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan, peraturan perundang-undangan

disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-

undang yang masih berlaku namun tidak sesuai lagi dengan realitas

kemasyarakatan, jika diterapkan pada peristiwa hukum konkrit, maka undang-

undang tersebut harus ditafsirkan ulang. Terkait dengan Perda Provinsi Bali tentang

KTR yang belum mampu memberikan jaminan akan kepastian penegakan hukum,

maka perlu dilakukan penafsiran terhadap Perda tersebut.

Secara sosiologis Perda Provinsi Bali tentang KTR tersebut dibuat untuk

melindungi masyarakat dari ancaman penyakit yang dihasilkan dari paparan asap

rokok, dan tujuan yang hendak dicapai adalah agar masyarakat mampu memperoleh

derajat kesehatan yang optimal sehingga menganggap perlu adanya kebijakan

mengenai kawasan tanpa rokok. Namun jika dikaitkan dengan dinamika sosial

masyarakat maka dapat dilihat bahwa masih banyak terjadi pelanggaran di

lapangan.90 Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya produktivitas

ekonomi suatu individu, maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi masyarakat

89I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum: Dimensi, Tematis & Historis, Setara Press,

Malang, h. 36. 90URL: http://news.okezone.com/read/2013/07/16/340/837566/ setahun- diberlakukan-

perda- ktr- di- bali- belum- efektif. Diakses Pada Tanggal 20 Desember 2014.

terhadap rokok dan produk olahan tembakau lainnya. Oleh karena itu denda yang

termuat dalam ketentuan Pasal 18 Perda Provinsi Bali tentang KTR terhadap

pelanggaran masih merupakan batasan terendah ketentuan sanksi denda jika

dikaitkan dengan Pasal 15 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011, belum mampu

memberikan efek jera dan dengan kata lain Perda tersebut masih berlaku lemah di

dalam masyarakat.

Pengaturan mengenai kewenangan penegakan hukum dalam hal prosedur

penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR, masih belum mampu memberikan

kepastian dalam hal penegakan di lapangan akibat adanya kekaburan norma hukum.

Terkait hal tersebut salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam proses penegakan

hukum di masyarakat menurut Soedikno Mertokusumo adalah kepastian hukum.91

Adapun kepastian hukum yang dimaksud adalah suatu aturan hukum yang di

dalamnya tidak mengandung kekaburan norma, kekosongan norma, maupun

konflik norma, sehingga mampu memberikan kepastian pula bagi masyarakat

dalam melaksanakan aturan hukum yang berlaku. Untuk mewujudkan ketertiban

dan keadilan, maka hukum memiliki tugas untuk menciptakan keteraturan dan

kepastian hukum, tidak hanya kepastian yang diciptakan oleh hukum itu sendiri,

melainkan juga kepastian di dalam substansi hukumnya.92

Bali yang bergerak dalam sektor pariwisata harus mampu melindungi

pariwisatanya melalui kebijakan-kebijakan. Jika ditinjau dari prinsip

penyelenggaraan pariwisata di Indonesia yang berdasarkan atas menjunjung tinggi

91E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum

Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, h. 92. 92Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa

Indonesia, Gatra Pustaka, Jakarta, h. 49.

hak asasi manusia, maka Perda Provinsi Bali tentang KTR merupakan kebijakan

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali memiliki hubungan secara

langsung dengan kegiatan pariwisata di Bali. Oleh sebab itu penegakan atas Perda

tersebut haruslah dapat dilaksanakan dengan baik.

3.2 Kewenangan Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok

Asas pemerintahan berdasarkan undang-undang, secara historis berasal dari

pemikiran hukum abad ke-19 yang berjalan seiring dengan keberadaan negara

hukum klasik atau negara hukum liberal (de liberale rechtsstaatidee) dan dikuasai

oleh berkembangnya pemikiran hukum legalistic-positivistik, terutama pengaruh

aliran hukum legisme, yang menganggap hukum hanya apa yang tertulis dalam

undang-undang.93 Oleh sebab itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama

penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Secara normatif, prinsip bahwa

setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan atau

berdasarkan pada kewenangan ini memang dianut di setiap negara hukum. Sejalan

dengan hal tersebut Rene J.G.H. Seerden berpandangan bahwa “All act of

administrative authorities are subject to the principle of legality, this implies that

no organ of state has any authority unless it has been attributed to it explicitly by a

norm it did not make itself”.94 Disamping itu H.W.R. Wade mengemukkan bahwa

“An element which is essential to the lawful exercise of power is that it should be

exercised by authority upon whom it is conferred, and by no one else”.95

93Ridwan HR, op.cit, h. 95. 94Rene J.G.H. Seerden, 2007, Administrative Law of the European Union, its Member States

and the United States: A Comparative Analysis, Intersentia Antwerpen, Oxford, h. 26. 95H.W.R. Wade, 1977, Administrative Law, Oxford University Press, London, h. 305.

Sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.

Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan

tersebut dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Pada

kewenangan atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu

ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, dengan kata lain di sini dilahirkan

suatu wewenang baru. Sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan

mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Di dalam

kewenangan mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun

pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang satu

kepada yang lain, dengan kata lain tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat

masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat. Pada

delegasi terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan

tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif

kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu

didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Disamping itu delegasi diartikan

sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan

kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan

tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima

delegasi (delegetaris). Adapun suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat

tertentu, yang meliputi:96

1) Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan

sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

96H. Salim. HS, op.cit, h. 195.

2) Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,

artinya delegasi hanya bisa dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu

dalam peraturan perundang-undangan;

3) Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki

kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

4) Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi

berwewenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang

tersebut;

5) Peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegasi memberikan instruksi

(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, mengetahui sumber dan cara

memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting, karena berkenaan dengan

pertanggungjawaban hukum (rechtelijke verantwording) dalam penggunaan

wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum “geen

bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without

responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban).97

Di dalam setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan

tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Berdasarkan

keterangan tersebut diatas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi

itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain,

organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal

tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima

97Ridwan HR, op.cit, h. 108

wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang

sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang

diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).

Atribusi merupakan merupakan wewenang untuk membuat keputusan

(besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil.

Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoeh wewenang

pemerintahan. Sehingga tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui

atribusi oleh organ pemerintahan adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu

diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan.

Penerapan Perda Provisi Bali tentang KTR masih belum dapat ditegakkan

secara baik dengan masih banyak terjadinya pelanggaran terhadap KTR dan peran

serta masyarakat yang belum optimal. Selama ini dalam proses penegakan hukum

dilaksanakan oleh Satpol PP Provinsi Bali yang memperoleh kewenangan

berdasarkan undang-undang (atribusi). Mengacu pada pandangan Friedman bahwa

penegakan hukum ditentukan oleh seberapa efektif aparat penegak hukum mampu

menjalankan prosedur penegakan, dan jika dikaitkan dengan ketentuan penegakan

hukum dalam Perda tersebut, maka substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR

belum memberikan kepastian dalam hal kewenangan penegakan hukumnya.

Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Perda Provinsi Bali tentang KTR, menyatakan

bahwa Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi

berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah

ini. Sementara itu dalam ayat (2) menyatakan bahwa, wewenang sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan

tentang pelanggaran ketentuan KTR;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan

pelanggaran ketentuan KTR;

c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang sehubungan dengan

pelanggaran ketentuan KTR;

d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang

pelanggaran ketentuan KTR;

e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam

pelanggaran ketentuan KTR;

f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan

pelanggaran ketentuan KTR; dan

g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang

membuktikan tentang adanya pelanggaran ketentuan KTR.

Terkait hal tersebut, di dalam ketentuan Pasal 255 Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (LN No. 244 Tahun 2014-TLN No.

5587), dinyatakan bahwa untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda

dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dibentuk

Satuan Polisi Pamong Praja (selanjutnya disebut Satpol PP). Dengan kata lain

bahwa Satpol PP memiliki wewenang berdasarkan undang-undang untuk

melakukan penegakan atas Peraturan Daerah. Terhadap hal tersebut, berdasarkan

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja (LN

No. 9 Tahun 2010-TLN No. 5094), adapun yang menjadi kewenangan Satuan Polisi

Pamong Praja, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 6 adalah meliputi:

a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga

masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran

atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;

b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang

mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan

masyarakat;

d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas

Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan

e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda

dan/atau peraturan kepala daerah.

Mengacu pada ketentuan di dalam UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 6

Tahun 2010 mengenai kewenangan, sudah diatur secara jelas bahwa kewenangan

untuk menegakan Perda adalah diberikan kepada Satpol PP, tidak terkecuali Perda

Provinsi Bali tentang KTR, namun di dalam kenyataannya (das sein), Satpol PP

tidak mampu melaksanakan tugas sebagaimana mestinya diakibatkan belum adanya

pemahaman yang baik atas prosedur penegakan ketika terjadi pelanggaran KTR

akibat tidak diaturnya secara jelas mengenai hal tersebut di dalam substansi Perda.

Oleh sebab itu menjadi penting bagi Perda Provinsi Bali tentang KTR untuk

merumuskan secara jelas mengenai kewenangan dan prosedur penegakan di dalam

substansi hukum.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2013

Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah, dalam Pasal 140 dinyatakan

bahwa “Susunan Organisasi Satpol PP terdiri dari: a. Sekretariat; b. Bidang; c. Sub

Bagian; d. Seksi; dan e. Kelompok Jabatan Fungsional”. Adapun dalam ketentuan

Pasal 142 ayat (1) dinyatakan bahwa, “Bidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal

140 huruf b, terdiri dari: a. Bidang Penegakan Perundang-undangan Daerah; b.

Bidang Ketertiban Umum dan Ketertiban Masyarakat; c. Bidang Sumber Daya

Aparatur; dan d. Bidang Perlindungan Masyarakat. Bidang sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dipimpin Kepala Bidang, berada

di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Satuan. Mengenai bidang

penegakan, dalam ketentuan Pasal 143 ayat (1) dinyatakan bahwa “Bidang

Penegakan Perundang-undangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142

ayat (1) huruf a, terdiri dari: a. Seksi Pembinaan, Pengawasan dan Penyuluhan; dan

b. Seksi Penyelidikan dan Penyidikan. Berdasarkan ketentuan sebagaimana tersebut

diatas, maka dalam hal melakukan penegakan atas Perda Provinsi Bali tentang

KTR, maka menjadi tugas bagi Kepala Bidang Penegakan untuk membentuk tim

penegakan di lapangan.

Terkait hal tersebut, mengenai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Satpol PP

diatur di dalam PP No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Di dalam

ketentuan Pasal 4 dinyatakan bahwa “Satpol PP mempunyai tugas menegakkan

Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta

perlindungan masyarakat”. Disamping itu dalam ketentuan Pasal 5 dinyatakan

bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Satpol PP

mempunyai fungsi:

a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda,

penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta

perlindungan masyarakat;

b. pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah;

c. pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketenteraman masyarakat di daerah;

d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat;

e. pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah,

penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat

dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai

Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya;

f. pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar

mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan

g. pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pejabat terkait penegakan

kebijakan KTR,98 menyatakan bahwa terhadap pelanggaran atas Kawasan Tanpa

Rokok maka dibentuk tim penegak hukum yang dapat terdiri dari Satpol PP

Provinsi Bali, Penyidik PNS Provinsi Bali, Dinas Kesehatan Provinsi Bali,

POMDAM IX Udayana, Korwas Polda Bali. Mengenai prosedur penegakan di

lapangan bagi pelanggar maka akan langsung ditindak oleh tim penegak, diawali

dari dibuatkannya BAP, penyitaan KTP sebagai barang bukti untuk sidang. Adapun

terkait proses sidang, beliau menambahkan bahwa jika memungkinkan sidang dapat

dilakukan di tempat disesuaikan dengan situasi yang ada, disamping itu juga sidang

ditempat dimaksudkan untuk mempercepat proses persidangan dan juga berupaya

untuk memberikan efek jera bagi pelanggar di lapangan.

Terkait hal tersebut, maka Satpol PP Provinsi Bali bekerja sama dengan

Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri. Di sisi lain, proses penegakan tersebut

masih mengalami kendala dikarenakan masih kurangnya jumlah personel (SDM)

untuk menegakan Perda tersebut, terhitung penyidik Satpol PP Provinsi Bali hanya

berjumlah 11 personel. Dalam hal kawasan/tempat yang dapat dilakukan proses

penegakan oleh Satpol PP Provinsi, dinyatakan bahwa adapun tempat-tempat yang

dilakukannya proses penegakan adalah tempat-tempat yang merupakan area yang

ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok berdasarkan Perda Provinsi Bali tentang

KTR, sementara tempat-tempat sebagaimana yang ditetapkan sebagai KTR yang

98Kepala Seksi Penegak Hukum Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali, I Ketut Pongres

Language, pada tanggal 10 Desember 2014, Pukul 09.00 waktu setempat, bertempat di Kantor Polisi

Pamong Praja Provinsi Bali yang berlokasi di Jalan D.I. Panjaitan No. 10 Niti Mandala Renon

Denpasar.

berada dalam wilayah hukum Kabupaten/Kota dapat ditegakkan oleh Satpol PP

Kabupaten/Kota.

Kabupaten/Kota yang masih belum memiliki Perda tentang KTR atau masih

dalam tahap sosialisasi maka penegakan dapat dilakukan oleh Satpol PP Provinsi

dengan koordinasi kepada Satpol PP daerah masing-masing. Dengan kata lain,

Satpol PP Provinsi masih bersifat fungsional, sehingga dalam proses penegakan

hukumnya masih belum berjalan secara efektif, oleh sebab itu perlu adanya

kepastian dalam pengaturan mengenai kewenangan penegakan hukum Perda

Provinsi Bali tentang KTR.

3.3 Alternatif Pengaturan Dalam Penegakan Hukum KTR

Dalam penjelasan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011, bahwa suatu peraturan

perundang-undangan harus berdasarkan atas asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik, salah satunya adalah bahwa peraturan perundang-

undangan harus dapat dilaksanakan, serta harus mampu memperhitungkan

efektivitas keberlakuannya di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis,

maupun sosiologis. Disamping itu suatu peraturan perundang-undangan harus

mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai, serta mampu menunjukkan

bahwa dibuatnya peraturan tersebut atas dasar dapat bermanfaat bagi masyarakat

dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perda Provinsi Bali tentang KTR belum dapat ditegakkan sebagaimana

mestinya karena belum adanya kepastian dalam hal penegakan hukum terhadap

kawasan tanpa rokok. Jika dibandingkan dengan pengaturan di Jakarta dan

Surabaya, maka di Bali sendiri masih banyak terjadi pelanggaran, bahkan meski

masyarakat telah mengetahui adanya aturan mengenai KTR mereka tetap saja

melakukan pelanggaran karena ketika mereka melakukan pelanggaran tersebut

tidak adanya petugas yang melakukan tindakan represif, selama ini proses

penegakan hanya sebatas tindakan inspeksi mendadak (sidak) saja, sehingga proses

penegakan masih belum efektif, bahkan ancaman sanksi pidana denda tergolong

masih sangat rendah sehingga masyarakat (perokok aktif) tidak khawatir untuk

merokok di kawasan yang telah ditetapkan sebagai KTR.

Sejalan dengan itu berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Bersama

Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 2011, dinyatakan

bahwa di dalam Perda Provinsi tentang KTR harus mengenai: pengaturan tentang

KTR; peran serta masyarakat; pembentukan satuan tugas khusus penegak KTR;

larangan dan kewajiban; serta sanksi. Oleh sebab itu untuk menjamin adanya

kepastian penegakan hukum Perda tersebut, maka perlu adanya perumusan yang

jelas dalam Perda untuk membentuk satuan tugas khusus penegak KTR. Jika peran

penegakan Perda hanya dibebankan kepada Satpol PP semata, maka penegakan

hukum di lapangan akan terus mengalami permasalahan akibat begitu banyaknya

aturan Perda yang harus ditegakkan oleh Satpol PP dan masih kurangnya SDM

terkait hal tersebut.

Berdasarkan hal tersebut diatas, menurut Ketut Pongres selaku Kepala Seksi

Penegakan Hukum Satpol PP Provinsi Bali,99 penerapan Perda Provinsi Bali

tentang KTR masih belum dapat berjalan dengan efektif, selain kurangnya SDM

99Kepala Seksi Penegak Hukum Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali, I Ketut Pongres

Language, pada tanggal 10 Desember 2014, Pukul 09.00 waktu setempat, bertempat di Kantor Polisi

Pamong Praja Provinsi Bali yang berlokasi di Jalan D.I. Panjaitan No. 10 Niti Mandala Renon

Denpasar.

dalam penegakan, juga pemahaman masyarakat maupun pengelola tempat akan

kesadaran untuk mematuhi aturan hukum masih cukup rendah sehingga peluang

untuk terjadinya pelanggaran atas Perda tersebut masih cukup tinggi. Beliau turut

menambahkan terkait substansi Perda, bahwa ketentuan sanksi masih sangat rendah

sehingga masih belum mampu memberikan efek jera.

Dalam kaitannya terhadap proses sidang ditempat, yang dianggap akan

mampu memberikan efek jera bagi pelanggar, namun dalam kenyataannya hal

tersebut masih mengalami kendala, dikarenakan menurut pengalaman beliau bahwa

perlu koordinasi yang panjang untuk meminta pihak terkait dari Pengadilan Negeri

dan Kejaksaan Negeri dalam hal sidang ditempat. Oleh sebab itu beliau

berpandangan bahwa perlu pengaturan mengenai satuan tugas khusus dalam

substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR sehingga proses penegakan akan lebih

efektif.

Berdasarkan perbandingan pengaturan terkait kebijakan KTR di Jakarta dan

Surabaya, maka terlihat bahwa perlu dilakukan perubahan pada Perda Provinsi Bali

tentang KTR. Terkait hal tersebut, perubahan khususnya yang mengatur mengenai

kewenangan penegakan hukum dan sanksi bagi pelanggaran Perda tersebut perlu

dilakukan, agar nantinya mampu memberikan kepastian hukum di masyarakat.

Lon Fuller memandang bahwa hukum merupakan suatu keterampilan dan

seni, yang dimaksud dengan ketrampilan dan seni di sini adalah ketrampilan

membuat undang-undang. Ketrampilan membentuk undang-undang merupakan

kewajiban moral (moral duty) dengan memperhatikan aspirasi moral (moral

aspiration). Dengan demikian setiap sistem hukum selalu terikat pada prinsip-

prinsip moral yang disebut dengan inner morality.100 Prinsip moral inilah menurut

Fuller, menjadi prima facie peletakan kewajiban setiap warga negara untuk

menghormati hukum.

Berdasarkan inner morality sebagaimana pandangan Lon Fuller diatas, suatu

aturan haruslah memperhatikan delapan (8) kriteria agar tidak menghasilkan

peraturan perundang-undangan yang gagal (eight ways to fail to make law).101

Adapun alternatif kebijakan KTR yang baik di Bali jika dikaitkan terhadap kriteria

tersebut meliputi:

1) Failure to establish rules at all, leading to absolute uncertainty, yaitu

peraturan harus bersifat umum, dimana peraturan harus tidak memuat suatu

keistimewaan atau kekhususan seseorang. Terkait kebijakan KTR di Bali,

maka perubahan atas Perda tersebut harus memuat kepentingan bagi

masyarakat luas, tidak hanya bagi masyarakat termasuk wisatawan yang

tergolong sebagai perokok pasif tetapi juga bagi perokok aktif, melalui

perumusan kebijakan untuk membuat ruangan khusus bagi perokok di

berbagai tempat tertentu. Hal tersebut menjadikan penerapan kebijakan KTR

dapat lebih efektif, oleh sebab itu perlu adanya rumusan dalam substansi

Perda tersebut untuk menekankan kepada Pemerintah Daerah, agar

membangun sarana atau fasilitas publik berupa ruangan khusus merokok,

khususnya di area yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok.

100Dewa Gede Atmadja, op.cit, h. 129. 101Hilaire McCoubrey.,et.al, 1996, Jurisprudence, Blackstone Press Limited, London, h.

89.

2) Failure to make rules public to those required to observe them, yaitu suatu

peraturan harus diumumkan atau diundangkan, karena hal tersebut

merupakan syarat mengikatnya suatu peraturan. Masih banyaknya

pelanggaran yang terjadi di lapangan salah satunya disebabkan pula oleh

ketidaktahuan masyarakat maupun wisatawan akan kebijakan KTR di Bali.

Oleh karena itu, perlu adanya berbagai kegiatan pencegahan yang dapat

berupa sosialisasi dimasyarakat, dan pendidikan sejak dini akan bahaya

rokok, serta menambah iklan/himbauan berupa poster, spanduk maupun

tanda larangan merokok (no smoking signs) di berbagai tempat. Dengan kata

lain, peran dari pengelola tempat tertentu sangatlah penting untuk mencegah

terjadinya pelanggaran terhadap aturan tersebut, dengan mewajibkan

pengelola tempat untuk memasang tanda larangan merokok yang jelas.

Terhadap pengelola yang tidak memasang tanda larangan merokok dapat

diberikan sanksi.

3) Improper use of retroactive lawmaking, yaitu suatu peraturan tidak boleh

berlaku surut, suatu peraturan tidak boleh bersifat mengatur prilaku

seseorang ke belakang (non-retroactive);

4) Failure to make comprehensible rules, yaitu peraturan harus jelas dan mudah

dimengerti serta tidak multi tafsir, karena akan menjadi pegangan bagi

pencari keadilan (justifiabel). Perubahan atas substansi Perda Provinsi Bali

tentang KTR nantinya harus memuat ketentuan yang tidak mengandung

kekaburan, konflik maupun kekosongan norma hukum, untuk menjamin

kepastian penegakan hukum di lapangan. Dengan munculnya aturan hukum

yang memuat kekaburan norma tentunya juga akan berdampak pada

rendahnya daya kerja hukum bagi perubahan masyarakat, sebagaimana

dikemukakan oleh Jay A. Sigler,102 bahwa kebanyakan hukum hanya

memiliki sedikit pengaruh atas perubahan masyarakat akibat tidak jelasnya

pelaksanaan dan sulitnya penerapan dari hukum itu sendiri. Oleh sebab itu,

perumusan mengenai ketentuan kewenangan dan prosedur penegakan

hukum haruslah dirumuskan secara jelas dalam substansi hukum Perda

tersebut.

5) Making rules which contradict each other, yaitu suatu peraturan tidak boleh

bertentangan, karena itu tidak boleh memerintahkan sesuatu dan pada saat

yang bersamaan melarang pula hal yang sama. Agar perubahan Perda

Provinsi Bali tentang KTR tersebut tidak mengalami tumpang tindih dengan

peraturan lainnya khususnya dalam hal kewenangan penegakan hukum,

maka pengaturan substansi yang jelas terhadap hal tersebut harus dilakukan

mengingat sebagai Autonome Satzung, Peraturan Daerah harus mampu

menjadi lex specialis yang dapat ditegakkan secara konkrit di lapangan.

Kewenangan penegakan hukum terhadap Perda Provinsi Bali tentang KTR

seharusnya tidak hanya dibebankan kepada Satpol PP saja, melainkan perlu

dibentuk satuan tugas khusus KTR yang berwewenang melakukan tindakan

di lapangan, serta mengoptimalkan peran dari Dinas Kesehatan dan Dinas

Pariwisata di Daerah Provinsi Bali.

102Jay A.Sigler, 1977, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books, D.C Heath and

Company Lexington, Massaehusetts, Toronto, h. 7.

6) Making rules which impose requirements with which compliance is

impossible, yaitu suatu peraturan tidak boleh memuat persyaratan yang tidak

mungkin dipenuhi, karena peraturan meletakan kewajiban dan penilaian

moral yang manusiawi.

7) Changing rules so frequently that the required conduct becomes wholly

unclear, yaitu suatu peraturan tidak boleh terlalu sering diubah atau direvisi,

hal tersebut dikarenakan subyek hukum akan kesulitan menyesuaikan

tindakannya. Oleh sebab itu, perumusan substansi hukum nantinya harus

lebih menjamin kepastian hukum agar tidak berpeluang untuk terjadinya

perubahan terhadap aturan hukum KTR, namun apabila perubahan dianggap

perlu, maka sosialisasi adalah tindakan yang wajib dilakukan oleh

pemerintah agar masyarakat memahami bahwa perubahan atas aturan hukum

tersebut bertujuan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat.

8) Discontinuity between the stated content of rules and their administration in

practice, yaitu suatu peraturan berlaku baik bagi pencari keadilan

(justifiable) maupun pemerintah (administration/official), karena peraturan

haruslah tidak memuat unsur diskriminatif dan harus bersifat adil.

Moral merupakan dasar dari otoritas hukum, karena jika otoritas hukum atau

kekuasaan negara hanya didasari paksaan atau undang-undang yang dogmatis saja,

maka hukum yang demikian akan sulit untuk bertahan di masyarakat. Dalam hal

ini, agar lebih dipatuhi oleh masyarakat, dan agar kekuasaan dari otoritas tersebut

dapat bertahan lama, maka hukum dapat bersandarkan juga kepada unsur moral.103

103Munir Fuady, Op.cit, h. 84.

Disamping itu, ketika ada penafsiran hukum, maka moral adalah salah satu sumber

yang dapat digunakan. Munir Fuady berpandangan bahwa adanya hubungan

fungsional antara moral dan hukum yaitu:104

1. Moral diperlukan ketika hukum menjadi sempit dan kaku.

2. Moral merupakan dasar dari otoritas hukum.

3. Moral menyediakan kaidahnya dalam penciptaan hukum.

4. Moral mengisi kekosongan hukum dan membantu penafsiran hukum.

5. Moral mengarahkan hukum ketika hukum mengalami kontradiksi

internal, dogmatisme, dan irasionalitas.

6. Pemenuhan unsur moral merupakan kriteria bagi suatu kaidah hukum

yang baik.

Agar fungsi hukum dapat terlaksana dengan baik, maka bagi para penegak

hukum dituntut kemampuannya untuk melaksanakan dan menerapkan hukum

dengan baik, dengan seni yang dimiliki masing-masing petugas, misalnya dengan

melakukan penafsiran hukum sesuai dengan nilai keadilan.105 UU No. 12 Tahun

2011 dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) telah memberikan legitimasi untuk

dilakukannya perubahan atas rumusan sanksi bagi Perda Provinsi Bali tentang

KTR, agar mampu memberikan efek jera. Dengan kata lain dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan harus benar-benar memerhatikan materi muatan

yang tepat sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Menurut Hans

Kelsen, hukum tidak lain merupakan norma utama yang mengandung sanksi di

104Ibid. 105R. Soeroso, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 55.

dalamnya. Law is the primary norm which stipulates the sanction.106 Sanksi-sanksi

merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum, oleh karena kewajiban

atau larangan yang termuat di dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak

akan berguna jika aturan mengenai tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan.107

Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan menuntut untuk terciptanya suasana

tertib, termasuk tertib hukum. Pembangunan negara merupakan bagian mendasar

dari pelaksanaan tugas pemerintahan karena hal tersebut tidak terlepas dari upaya

pemberian pelayanan pada warga. Di dalam rangka mewujudkan suasana tertib itu,

maka berbagai program dan kebijakan pembangunan negara perlu didukung dan

ditegakkan oleh seperangkat kaidah peraturan perundang-undangan yang memuat

aturan dan pola perilaku tertentu, berupa larangan, kewajiban, dan anjuran. Salah

satu upaya pemaksaan hukum adalah melalui pemberlakuan sanksi pidana terhadap

pelanggar, mengingat sanksi pidana membawa serta akibat hukum yang berpaut

dengan kemerdekaan pribadi, yang dapat meliputi pidana penjara, kurungan, dan

berupa denda dari pelanggar.108

Berbagai ketentuan kaidah peraturan perundang-undangan selalu disertai

dengan pemberlakuan sanksi pidana tersebut, dimana terhadap ketentuan sanksi

pidana tersebut diberlakukan baik terhadap produk hukum berupa Undang-Undang,

maupun peraturan yang memiliki kedudukan lebih rendah, dalam hal ini berupa

Peraturan Daerah.109 Oleh karena itu mengingat pengaturan mengenai kawasan

106H.L.A. Hart, 1997, The Concept of Law, Oxford University Press, New York, h. 35. 107Philipus M. Hadjon.,et.al, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia: Introduction

to the Indonesian Administrative Law, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 245. 108Ibid, h. 262. 109Ibid, h. 263

tanpa rokok di Bali berupa Perda Provinsi Bali tentang KTR tidak dapat tegak dan

diterapkan sebagaimana mestinya, maka perlu adanya perubahan atas Perda

tersebut yang memuat ketentuan sanksi yang lebih memberikan efek jera. Menurut

Bagir Manan sebagaimana yang dikutip oleh I Gede Pantja Astawa, adapun sistem

hukum setidaknya mencakup 3 (tiga) subsistem penting, yaitu:110

1) Subsistem penciptaan atau pembentukan hukum;

2) Subsistem yang berkaitan dengan isi atau materi hukum, baik berupa

asas-asas hukum maupun kaidah-kaidah hukum;

3) Subsistem penerapan hukum dan penegakan hukum.

Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka perubahan atas Perda Provinsi

Bali tentang KTR selanjutnya harus mengatur secara jelas mengenai kewenangan

penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran atas kebijakan KTR. Secara

konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah hukum

yang baik.111 Oleh sebab itu, rumusan mengenai kewenangan yang diberikan

kepada Satpol PP maupun nantinya kepada satuan tugas khusus KTR atau organ

pemerintah lainnya, harus secara jelas diatur di dalam substansi Perda tersebut,

karena berdasarkan teori hirarki norma, UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 6 Tahun

2010 telah memberikan legitimasi terhadap kewenangan penegakan hukum,

sehingga nantinya perubahan atas Perda tersebut tidak menjadi peraturan yang

bertentangan (invalid) dengan peraturan yang berkedudukan diatas.

Asas legalitas merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan

dan pemerintahan. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan kenegaraan dan

110I Gde Pantja Astawa, op.cit, h. 43. 111Soerjono Soekanto, op.cit. h. 5.

pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh

undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yakni

“Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen”,112 yaitu

kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Wewenang

merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang

dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan

perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di

dalam hubungan hukum publik, dan kewenangan pemerintah dalam kaitan ini

dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan

begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.

112Ridwan HR, op.cit, h. 101.

BAB IV

KEPASTIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM KAWASAN TANPA

ROKOK DIKAITKAN DENGAN PENINGKATAN KUALITAS

PARIWISATA BALI

4.1 Profil Pariwisata Bali

Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama

pulau yang menjadi bagian dari Provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali,

wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya,

yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau

Serangan. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok.

Denpasar merupakan ibu kota Provinsi Bali yang terletak di bagian selatan pulau

ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal

sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya,

khususnya bagi para wisatawan Jepang danAustralia. Bali juga dikenal dengan

sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura. Secara administratif Provinsi Bali

terbagi atas 8 Kabupaten dan 1 Kota.

Selain dari sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian dan

perikanan, yang paling dikenal dunia dari pertanian di Bali ialah sistem Subak.

Sebagian juga memilih menjadi seniman. Saat ini, industri pariwisata menjadi objek

pendapatan terbesar bagi Bali. Hasilnya, Bali menjadi salah satu daerah terkaya di

Indonesia. Pada tahun 2003, sekitar 80% perekonomian Bali bergantung pada

industri pariwisata. Pada akhir Juni 2011, non-performing loan dari semua bank di

109

Bali adalah 2,23%, lebih rendah dari rata-rata non-performing loan industri

perbankan Indonesia (sekitar 5%).113

Bali merupakan destinasi yang tidak asing lagi bagi sebagian besar

wisatawan. Bali selalu disanjung sebagai destinasi wisata yang terkenal bahkan

dapat dikatakan tersukses dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Keindahan

Bali selalu menjadi buah bibir dan kenangan yang eksotis. Bali dengan pantainya

yang indah, penduduknya yang terkenal ramah, dan budayanya yang unik. Semua

itu sudah menjadi daya tarik sejak dahulu kala. Dengan jumlah wisatawan asing

dan domestik yang rata-rata mencapai 1,5 juta orang per-tahunnya, sehingga tidak

berlebihan kalau majalah Time and Travel Leisure menganugerahkan Bali sebagai

pulau wisata terbaik di dunia.114

Bali dan pariwisata adalah dua hal yang saling melekat satu dengan yang

lain. Namun di tengah geliat pariwisata sebagai lokomotif perekonomian Bali, aksi

terorisme yang tidak bertanggung jawab pada tahun 2002 dan 2005 mengakibatkan

merosotnya jumlah wisatawan yang datang ke Bali secara signifikan. Keadaan

tersebut bahkan diperburuk oleh travel warning, travel advisory, hingga travel ban

dari sejumlah negara pemasok wisatawan asing, seperti Amerika Serikat dan

Australia. Hingga saat ini berbagai upaya telah dilakukan pemerintah guna

mengembalikan citra pariwisata Bali. Mengenai upaya mengembalikan citra

pariwisata dapat dilakukan salah satunya melalui branding. Dalam membentuk

sebuah brand yang nantinya diharapkan dapat membawa perubahan kearah yang

113URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Bali, Diakses Pada Tanggal 20 Desember 2014. 114I Putu Anom, et.al, 2010, Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global,

Udayana University Press, Denpasar, h. 218.

lebih baik bagi Bali, maka salah satu hal yang harus diperhatikan adalah mengenai

personality.115 Perilaku masyarakat dan kepribadian yang baik dari masyarakat Bali

merupakan hal yang penting karena sebuah brand hanyalah kata-kata ketika tidak

didukung oleh budaya masyarakat yang baik.

Adapun personality yang dimaksud meliputi keramah tamahan masyarakat,

jaminan keamanan, serta prilaku masyarakat yang menjaga kebersihan lingkungan

pariwisata (cleanliness). Disamping itu, mengkaji mengenai kepariwisataan yang

berkelanjutan maka salah satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah mengenai

kebersihan lingkungan (environment purity), hal tersebut menjadi kewajiban semua

stakeholders untuk melakukan tindakan to minimize the pollution of air, water and

land and the generation of waste by tourism enterprises and visitor.116

4.2 Peningkatan Kualitas Pariwisata Bali Melalui Penegakan KTR

Sejalan dengan kecenderungan perkembangan HAM yang telah menyentuh

generasi ketiga, kegiatan berwisata telah mendapatkan pengakuan sebagai HAM.

Secara implisit pengakuan ini bertitik tolak pada rumusan Artikel 24 UDHR yang

menyatakan bahwa “everyone has the right to rest and leisure, including

reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay”.117

Konstruksi realitas di atas menunjukkan begitu pesatnya perkembangan pariwisata

dunia dan bahkan telah menjadi fenomena global. Pariwisata kini telah menjadi

115I Putu Anom, et.al, Ibid, h. 224 116World Tourism Organization (UNWTO), 2011, Policy and Practice for Global Tourism,

World Tourism Organization, Madrid Spain, h. 40-41. 117IGN Parikesit Widiatedja, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata: Konstruksi Konsep,

Ragam Masalah dan Alternatif Solusi, Udayana University Press, Denpasar, h. 64.

kebutuhan dasar dan merupakan bagian dari HAM yang harus dihormati,

dilindungi, dan dipenuhi.

Secara progresif, pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat

berkewajiban untuk dapat mempromosikan dan memenuhi hak berwisata tersebut

sehingga pada gilirannya mendukung tercapainya peningkatan harkat dan martabat

manusia, peningkatan kesejahteraan, serta persahabatan antar bangsa dalam koridor

perdamaian dunia. Oleh sebab itu, sustainable tourism should also maintain a high

level of tourist satisfaction and ensure a meaningful experience to the tourists,

raising their awareness about sustainability issues and promoting sustainable

tourism practices.118 Dengan kata lain, hak atas lingkungan hidup yang baik

merupakan salah satu syarat bagi negara-negara berkembang, untuk terciptanya

suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif, dimana hal tersebut

merupakan tuntutan atas hak solidaritas atau hak bersama (kolektif) yang

terpresentasikan dari hak-hak pada generasi HAM ketiga.119 Agar permasalahan

dan kondisi tersebut di atas dapat dikendalikan maka perlu dilakukan upaya

pengamanan terhadap bahaya merokok melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok

dan juga membatasi ruang gerak para perokok

Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali terkait

dengan kepariwisataan, karena melalui suatu kebijakan pula, sektor pariwisata akan

berjalan secara berkelanjutan, sehingga manfaat dari pariwisata tidak hanya akan

dirasakan oleh generasi saat ini melainkan juga generasi yang akan datang. Melalui

118World Tourism Organization (UNWTO), loc.cit. 119IGN Parikesit Widiatedja, op.cit, h. 69.

penegakan hukum KTR, maka faktor meningkatnya kualitas suatu pariwisata akan

terpenuhi. Oleh sebab itu, penting kiranya untuk menegakan aturan hukum yang

berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kepariwisataan di

Bali.

Terkait hal tersebut diatas, selain dikenal sebagai kota industri, Jakarta juga

bergerak pada sektor pariwisata.120 Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah

DKI Jakarta untuk meningkatkan kualitas pariwisata, adalah dengan

memperhatikan faktor keamanan dan kenyamanan bagi wisatawan (physical and

personal comfort) dalam melakukan kegiatan pariwisata. Beberapa upaya yang

dilakukan adalah dengan meletakkan Camera Circuit Television (CCTV) di

berbagai area pariwisata, dan juga menambah jumlah personel dari polisi pariwisata

untuk melakukan pengamanan. Di sisi lain dengan menerapkan kebijakan larangan

merokok di kawasan wisata, salah satunya di dalam bus tingkat wisata city tour, 121

maka pemerintah DKI Jakarta berupaya untuk meningkatkan kualitas dari

pariwisata Jakarta dalam hal kebersihan (cleanliness) khususnya kebersihan udara.

Pemerintah Kota Surabaya telah menerapkan kebijakan KTR sejak tahun

2008, adapun salah satu sasaran kebijakan tersebut adalah tempat wisata. Dari segi

pariwisata, layaknya kota yang sarat akan sejarah, Surabaya memiliki beberapa

obyek wisata yang bisa dikunjungi yang berhubungan dengan sejarah masa lampau.

Ditambah lagi, Surabaya memiliki keanekaragaman kuliner yang selalu dicari oleh

120URL:http://id.wikipedia.org/wiki/ Daftar_ tempat_ wisata_ di_ Jakarta, Diakses Pada

Tanggal 7 Februari 2015. 121URL: http:// tribunnews.com/ metropolitan/ 2014/ 02/ 24/ bus-wisata-beri-pelayanan-

terbaik, Diakses Pada Tanggal 7 Februari 2015.

wisatawan yang datang.122 Saat ini pemerintah Kota Surabaya memberikan

perhatian bagi sektor pariwisata salah satunya dengan mengupayakan rasa nyaman

bagi wisatawan dalam berwisata serta meningkatkan kebersihan di destinasi

pariwisata.123 Terkait hal tersebut maka pemerintah Kota Surabaya telah melakukan

upaya untuk meningkatkan kualitas pariwisata khususnya dari faktor kenyamanan

(physical and personal comfort) dan kebersihan (cleanliness) bagi wisatawan.

Disamping itu, Kota Surabaya merupakan kota pertama yang mempunyai

Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok secara eksklusif, yaitu Peraturan Daerah

Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan

Terbatas Merokok. Perda ini membagi 2 kawasan yaitu Kawasan Tanpa Rokok

yang menerapkan 100% Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok

yang menyediakan ruang khusus untuk merokok. Terkait hal tersebut maka salah

satu faktor meningkatnya kualitas pariwisata yaitu faktor Attention to detail telah

dilakukan, dimana faktor tersebut memastikan bahwa setiap wisatawan memiliki

hak yang sama untuk memperoleh standar tertentu dalam kegiatan pariwisata, baik

bagi wisatawan sebagai perokok pasif dengan menerapkan larangan merokok di

area tertentu, dan wisatawan sebagai perokok aktif untuk dibuatkan fasilitas

ruangan khusus merokok. Salah satu tempat wisata populer di Surabaya yang

menerapkan kebijakan KTR secara tegas adalah Kebun Binatang Surabaya.

122URL: http://www.eastjava.com/tourism/surabaya/ina/, Diakses Pada Tanggal 9 Februari

2015. 123URL: http://surabaya.tribunnews.com/ tag/ tempat- wisata, Diakses Pada Tanggal 9

Februari 2015.

Aturan larangan merokok telah diterapkan tidak hanya di Indonesia

melainkan di berbagai negara. Di negara-negara lain yang juga bergerak pada sektor

pariwisata telah menerapkan aturan larangan merokok secara tegas di negaranya

masing-masing. Penelitian independen berulang kali membuktikan bahwa suatu

negara atau wilayah dalam suatu negara tertentu yang menerapkan aturan mengenai

larangan merokok, tidak memberikan efek negatif pada sektor ekonomi, bahkan

mengalami peningkatan di sektor pariwisata dan industri jasa lainnya. Studi yang

dilakukan di California dan San Fransisco bahkan menunjukkan adanya

peningkatan pendapatan di bidang pariwisata setelah menerapkan aturan kawasan

tanpa rokok.124 Menguatkan hal tersebut American Medical Association melakukan

penelitian dari beberapa kota besar di Amerika yang juga berjalan di sektor

pariwisata seperti misalnya New York, Los Angeles, California, dll, mengalami

peningkatan jumlah wisatawan dan pendapatan setelah menerapkan pengaturan

tentang larangan merokok.125

Disamping itu berdasarkan berita yang dimuat oleh New York Times, di

Irlandia terdapat peningkatan yang pesat di bidang pariwisata setelah negara

tersebut menerapkan aturan larangan merokok di kawasan tertentu, seperti di

kawasan pariwisata.126 Study of the effect of the International Smoking Ban on

World Wide Tourism juga dalam penelitiannya memperoleh kesimpulan bahwa

penerapan aturan mengenai larangan merokok tidak berdampak negatif bagi bisnis

124URL: http://www.cleanlungs.com/education/features/tourism2.html, Diakses Pada

Tanggal 11 Agustus 2014. 125URL: http://www.lphi.org/LPHIadmin/uploads/Tourism%20Study-32064.pdf, Diakses

Pada Tanggal 11 Agustus 2014. 126URL: http://www.nytimes.com/2014/06/15/travel/in-ireland-10-years-of-fresh-air.html,

Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014.

pariwisata, bahkan terjadi peningkatan setelah memberlakukan aturan mengenai

larangan merokok di kawasan tertentu.127

Penetapan Kawasan Tanpa Rokok sebenarnya selama ini telah banyak

diupayakan oleh berbagai pihak baik lembaga/institusi pemerintah maupun swasta

dan masyarakat. Namun pada kenyataannya upaya yang telah dilakukan tersebut

jauh tertinggal dibandingkan dengan penjualan, periklanan/promosi dan atau

penggunaan rokok. Asumsi lain adalah perokok membebankan biaya keuangan dan

risiko fisik kepada orang lain yang berarti bahwa seharusnya perokoklah yang

menanggung semua ”biaya” atau kerugian akibat merokok. Tetapi pada

kenyataannya perokok membebankan secara fisik dan ekonomi kepada orang lain

juga. Beban ini meliputi risiko orang lain yang terkena asap rokok di lingkungan

sekitarnya dan biaya yang dibebankan pada masyarakat untuk pelayanan kesehatan.

4.3 Keterkaitan Antara Kepastian Penegakan Hukum KTR Dengan Upaya

Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali

Pariwisata dewasa ini dianggap sebagai ladang emas baru, karena begitu

besarnya potensi yang dimiliki. Tidak hanya sebagai aktivitas tertier yang bersifat

sampingan, tetapi pariwisata merupakan sebuah industri jasa yang dinilai dari

berbagai faktor produksi seperti: modal, tanah, tenaga kerja, teknologi, manajemen

dan keragaman inovasi, serta menjanjikan keuntungan yang maksimal.

Di dalam konsideran UU No. 10 Tahun 2009, pemerintah menempatkan

pariwisata sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan

secara sistematis, terencana dan terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab,

127URL: http://www.undpi.am/node/28, Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014.

dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang

hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup serta kepentingan

nasional. Undang-undang yang mulai berlaku sejak 16 Januari 2009 tersebut juga

menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong

pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu

menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.

Ditinjau dari sisi definisi, Pasal 1 angka 1 Undang-undang Kepariwisataan

menyebutkan bahwa wisata merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh

seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk

tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik

wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sementara Pariwisata

sendiri seperti yang tersebut dalam Pasal 1 angka 3 merupakan berbagai macam

kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan, yang disediakan oleh

masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Kemudian

kepariwisataan diartikan sebagai keseluruhan kegiatan yang terkait dengan

pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud

kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat

setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha.

Penerapan aturan larangan merokok yang tegas dan mampu memberikan

kepastian dalam hal penegakan akan memberikan dampak bagi kualitas pariwisata,

karena destinasi pariwisata tersebut mampu menjamin perlindungan HAM bagi

masyarakat dalam hal ini wisatawan, serta memberikan perhatian juga terhadap

kualitas lingkungan hidup. Norma hukum mengatur secara nyata internal kehidupan

pribadi dan juga mengatur hubungan antara pribadi dalam proses-proses sosial, baik

secara langsung maupun tidak. Adapun fungsi dari norma hukum mencakup 2 (dua)

hal, yaitu:

1) Berfungsi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan ketenangan, dan

2) Berfungsi untuk memperbaharui prilaku masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, maka dengan menerapkan kebijakan KTR yang

baik, faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya kualitas pariwisata di Bali

akan terpenuhi, antara lain:

1. faktor Physical and personal comfort, yaitu perlu menjaga kenyamanan

bagi wisatawan yang berkunjung di destinasi pariwisata, dengan

melindungi wisatwan dari paparan asap rokok sehingga wisatawan akan

merasa nyaman tanpa khawatir akan ancaman penyakit yang diakibatkan

oleh asap rokok;

2. faktor Attention to detail, memastikan bahwa setiap wisatawan memiliki

hak yang sama untuk memperoleh standar tertentu dalam kegiatan

pariwisata, baik bagi wisatawan sebagai perokok pasif dengan

menerapkan larangan merokok di area tertentu, dan wisatawan sebagai

perokok aktif untuk dibuatkan fasilitas ruangan khusus merokok; serta

3. faktor Cleanliness, merupakan faktor terpenting untuk mengukur kualitas

suatu pariwisata, yang dimaksud kebersihan dalam destinasi pariwisata

adalah kebersihan lingkungan itu sendiri, tidak terkecuali kebersihan

udara.

Melalui kepastian penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR, maka

kebijakan KTR akan mampu diterapkan dengan baik, sehingga kualitas pariwisata

Bali akan meningkat seiring berlakunya aturan KTR secara efektif di lapangan. Bali

yang mengandalkan sektor jasa perlu menjaga keberlangsungan pariwisata

(sustainable tourism) dengan meningkatkan kualitas pariwisata (quality

tourism).128

Sejalan dengan hal tersebut diatas, peran budaya hukum dalam hal ini

masyarakat, memiliki kedudukan yang tidak kalah penting untuk turut memajukan

pariwisata Bali, salah satunya melalui dukungan dan peran serta dalam berbagai

kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pariwisata Bali. Masyarakat merupakan

sekelompok orang yang berada di suatu wilayah geografi yang sama dan

memanfaatkan sumber daya alam lokal yang ada di sekitarnya.

Di negara-negara maju dan berkembang pada umumnya pariwisata dikelola

oleh kalangan swasta yang memiliki modal usaha yang besar yang berasal dari luar

daerah dan bahkan luar negeri. Sehingga masyarakat lokal yang berada di suatu

daerah destinasi pariwisata tidak dapat terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata.

Ketidakterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata sering kali

menimbulkan opini bahwa masyarakat lokal bukan termasuk stakeholders dari

pariwisata dan merupakan kelompok yang termarjinalisasi dari kesempatan bisnis

dalam bidang pariwisata.

128Parwata, 2015. Mass Tourism atau Quality Tourism?. Bali Post, Edisi 76, Tgl. 9-15

Februari 2015, h. 38.

Pada dasarnya masyarakat lokal memiliki pengetahuan tentang fenomena

alam dan budaya yang ada di sekitarnya. Namun mereka tidak memiliki

kemampuan secara finansial dan keahlian yang berkualitas untuk mengelolanya

atau terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata yang berbasiskan alam dan

budaya. Sejak beberapa tahun terakhir ini, potensi-potensi yang dimiliki oleh

masyarakat lokal tersebut dimanfaatkan oleh para pengelola wilayah yang

dilindungi (protected area) dan pengusaha pariwisata untuk diikutsertakan dalam

menjaga kelestarian alam dan biodiversitas yang ada di daerahnya.

Masyarakat lokal harus terlibat secara aktif dalam pengembangan pariwisata.

Lebih jauh, pariwisata juga diharapkan memberikan peluang dan akses kepada

masyarakat lokal untuk mengembangkan usaha pendukung pariwisata seperti; toko

kerajinan, toko cindramata (souvenir), warung makan dan lain-lain agar masyarakat

lokalnya memperoleh manfaat ekonomi yang lebih banyak dan secara langsung dari

wisatawan yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidupnya.

Melalui masyarakat maka pengendalian sosial dapat dilakukan, baik antara

individu maupun kelompok. Soerjono Soekanto berpandangan bahwa terhadap

pengendalian sosial tersebut memiliki tujuan untuk mencapai keserasian antara

stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dari sudut sifatnya

maka dapat dikemukakan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat preventif

maupun represif, atau bahkan kedua-duanya. Preventif di sini berarti bahwa adanya

usaha untuk melakukan pencegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada

keserasian antara kepastian dengan keadilan, sementara tindakan represif meliputi

usaha yang bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah mengalami

gangguan.129

Tuntutan perubahan sosial memberikan dampak pada keberadaan sistem

hukum yang selama ini berlangsung dalam keajegannya. Jika hukum tidak

mengalami perubahan maka akan menemui berbagai kendala baik itu yang

berhadapan langsung dengan rasa keadilan masyarakat maupun persoalan

penegakan hukum. Tuntutan yang terjadi pada substansi hukum yang harus

melakukan pemulihan-pemulihan terhadap eksistensinya dalam masyarakat akan

memberikan konsekuensi berbeda pada perubahan hukum yang akan dilakukan.

Selama perubahan hukum dilakukan responsif dan mengikuti hukum yang hidup di

dalam masyarakat, maka hukum akan selalu selaras dengan kehidupan

masyarakat.130

Gustav Radbruch mengidentifikasikan tiga tujuan keberadaan hukum.

Menurutnya, hukum dibuat untuk mencapai tujuan keadilan, kepastian, dan

kemanfaatan (Gerechtigkeit, Rechtssicherheit, und Zweckmachtigkeit). Melalui

penegakan hukum, maka dapat memberikan kepastian hukum maupun keadilan

bagi masyarakat.131 Oleh sebab itu dengan adanya kepastian hukum dalam hal

penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR, maka Perda tersebut dapat

memberikan kemanfaatan dan rasa adil bagi masyarakat maupun wisatawan.

129Soerjono Soekanto, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.

179-180. 130Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, h. 26. 131Antonius Cahyadi, 2009, Sosiologi Hukum Dalam Perubahan, Buku Obor, Jakarta, h.

249.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan tersebut, maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan guna menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini

sebagai berikut:

1. Melalui interpretasi sistematis; interpretasi gramatikal; interpretasi

perbandingan; dan interpretasi teleologis terkait prosedur penegakan dan

sanksi hukum, dapat dilihat bahwa Perda Provinsi Bali tentang KTR tidak

secara jelas mengatur mengenai prosedur penegakan hukum, dengan kata

lain memuat suatu kekaburan norma hukum, sehingga belum mampu

memberikan kepastian dalam penegakan hukumnya. Disamping itu sanksi

hukum terhadap pelanggaran Perda Provinsi Bali tentang KTR belum

mampu memberikan efek jera.

2. Melalui jaminan kepastian hukum dalam hal penegakan kebijakan KTR,

maka akan meningkatkan kualitas pariwisata Bali, sebagaimana yang telah

diterapkan di DKI Jakarta dan Surabaya, khususnya terpenuhinya faktor

kebersihan dan kenyamanan dalam berwisata (cleanliness and personality

comfort) yang merupakan faktor meningkatnya kualitas suatu pariwisata.

122

5.2 Saran

Berdasarkan uraian pembahasan tersebut diatas, maka adapun yang menjadi

saran dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Perlu adanya perubahan substansi dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR,

dengan merumuskan secara jelas mengenai prosedur penegakan hukum

sehingga tidak menimbulkan multi tafsir, serta membentuk satuan tugas

khusus penegak KTR. Disamping itu, dalam penerapan sanksi lebih

diutamakan untuk menerapkan pidana kurungan dan denda yang lebih besar,

maupun sanksi administratif agar dapat memberikan efek jera bagi

pelanggar, sekaligus menjadi upaya untuk mencegah seseorang melakukan

pelanggaran.

2. Pariwisata di Indonesia diselenggarakan dengan prinsip menjunjung tinggi

HAM, dan secara global kegiatan pariwisata saat ini menjadi bagian dari

HAM. Oleh sebab itu sudah sepatutnya Pemerintah Provinsi Bali

memberikan perhatian yang lebih terhadap sektor pariwisata yang notabene

merupakan lokomotif ekonomi Bali. Melalui kebijakan-kebijakan agar

pariwisata Bali dapat berlangsung secara berkelanjutan. Salah satunya

dengan menerapkan kebijakan KTR yang mampu memberikan kepastian

hukum, sehingga citra pariwisata Bali yang berkualitas akan semakin dikenal

di mata dunia akibat terjaminnya HAM wisatawan untuk memperoleh

lingkungan hidup yang baik dan sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ali, Zainuddin, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Amiruddin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Amos, H.F. Abraham, 2007, Legal Opinion: Aktualisasi Teoritis dan Empirisme,

Rajawali Pers, Jakarta.

Anom, I Putu, et.al, 2010, Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global,

Udayana University Press, Denpasar.

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Astawa, I Gde Pantja, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-Undangan Di

Indonesia, Alumni, Bandung.

Atmadja, I Dewa Gede, 2013, Filsafat Hukum: Dimensi, Tematis & Historis, Setara

Press, Malang.

Black, Henry Campbell, 1978, Black’s Law Dictionary, West Publishing, USA.

Cahyadi, Antonius, 2009, Sosiologi Hukum Dalam Perubahan, Buku Obor,

Jakarta.

Dewi, Alexandra Indriyanti, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Publisher,

Yogyakarta.

Dimyati, Khudzaifah, 2014, Pemikiran Hukum: Konstruksi Epistemologis Berbasis

Budaya Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta.

Dirdjosisworo, Soedjono, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Grafindo,

Jakarta.

Friedman, Lawrance M, 1975, The Legal System: a Social Science Perspective,

Russel Sage Foundation, New York.

Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana,

Jakarta.

Hadjon, Philipus M, 2008, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press,

Surabaya.

124

, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia: Introduction to the

Indonesian Administrative Law, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Hamzah, Andi, 2005, Penegakkan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta.

Hart, H.L.A, 1997, The Concept of Law, Oxford University Press, New York.

Hiariej, Eddy O.S, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum

Pidana, Erlangga, Jakarta.

HR, Ridwan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

HS, Salim, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi,

Raja Grafindo, Jakarta.

Kaelan, MS, 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.

Kamil, Ahmad, 2008, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta.

Kansil, C.S.T. et. al, 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta,

Jakarta.

Kartohadiprodjo, Soediman, 2010, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa

Indonesia, Gatra Pustaka, Jakarta.

Kelsen, Hans, 1945, General Theory of Law and State, Russel & Russel The

Division of Atheneum Publisher Inc. United Stated of America.

______, 1967, Pure Theory of Law, University of California Press, USA.

Kementerian Kesehatan, 2011, Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok,

Pusat Promosi Kesehatan, Jakarta.

Makarao, Mohammad Taufik, 2011, Aspek-Aspek Hukum Lingkungan, Indeks,

Jakarta.

Manullang, E. Fernando M, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan

Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Marmor, Andrei, 2011, Philosophy of Law, Princeton University Press, New Jersey.

Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta.

McCoubrey, Hilaire.,et.al, 1996, Jurisprudence, Blackstone Press Limited,

London.

Mertokusumo, Sudikno, 2007, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty,

Yogyakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Muhtaj, Majda El, 2009, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial,

dan Budaya, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

, 2012, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta.

Palguna, I Dewa Gede, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional

Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak

Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

Perry, Micheal J, 2007, Toward a Theory of Human Rights, Cambridge University

Press, New York.

Radjab, Dasril, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rahmadi, Takdir, 2012, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Ritzer, George, et.al, 2007, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media Group, Jakarta.

Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung.

Satori, Djam’an, 2010, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung.

Seidman, Ann, et. al. 2001, Legislative Drafting for Democratic Social Change,

Kluwer Law International, London.

Seerden, Rene J.G.H, 2007, Administrative Law of the European Union, its Member

States and the United States: A Comparative Analysis, Intersentia

Antwerpen, Oxford.

Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir,

Refika Aditama, Bandung.

Sidharta, Bernard Arief, 2008, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu

Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Bandung: Rafika Aditama.

Sigler, Jay A, 1977, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books, D.C

Heath and Company Lexington, Massaehusetts, Toronto.

Soeratman, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung.

Soerjani, Moh. Dkk. 2008, Lingkungan: Sumberdaya Alam Dan Kependudukan

Dalam Pembangunan, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Grafindo Persada,

Jakarta.

______, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali

Grafindo Persada, Jakarta.

Soeroso, R, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Sukardja, H. Ahmad, 2013, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Dalam Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2014, Hukum Ekspor Impor, Raih Asa Sukses, Jakarta.

Suwasta, Asep Dedi, 2012, Tafsir Hukum Positif Indonesia, Alia Publishing,

Bandung.

Syaukani, Imam, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Tanya, Bernard L. Dkk, 2010, Teori Hukum (Strategi tertib Manusia Lintas Ruang

dan Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta.

Taylor, Shelley E.,et.al, 2009, Psikologi Sosial, Kencana, Jakarta.

Wade, H.W.R, 1977, Administrative Law, Oxford University Press, London.

Widiatedja, IGN Parikesit, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata: Konstruksi

Konsep, Ragam Masalah dan Alternatif Solusi, Udayana University Press,

Denpasar.

WTO Tourism Education and Training Seris, 1997, International Tourism: A

Global Perspective, World Tourism Organization, Madrid Spain.

World Tourism Organization (UNWTO), 2011, Policy and Practice for Global

Tourism, World Tourism Organization, Madrid Spain.

World Tourism Organization (UNWTO), 2007, Workshop on Indicators of

Sustainable Development for Tourism, World Tourism Organization,

Madrid Spain.

Yuliandari, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang

Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Karya Ilmiah:

Faiz, Pan Mohamad, 2009, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi: Vol. 6.

NO. 1, Jakarta.

Feri Amsari, 2009, Satjipto Rahardjo Dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif,

Jurnal Konstitusi: Vol. 6. NO. 2, Jakarta.

Maimunah, Siti, 2009, Cakupan Hak Asasi Manusia Bidang Kesehatan, Jurnal

Hukum Kesehatan: Vol. 2. NO. 4, Jakarta.

Parwata, 2014. Dilema Pariwisata Bali 2014. Bali Post, Edisi Tgl. 28 April-Mei

2014.

______, 2015. Mass Tourism atau Quality Tourism?. Bali Post, Edisi 76, Tgl. 9-15

Februari 2015.

Roberia, 2012, Hak Atas Kesehatan dan Urgensi Proteksinya Dalam Rangka

Kontinuitas Pembangunan Hukum Kesehatan, Jurnal Hukum Kesehatan:

Vol. 4. NO. 6, Jakarta.

Supasti Darmawan, Ni Ketut, 2011, ”The Right To Tourism” Dalam Perspektif Hak

Asasi Manusia Di Indonesia, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas

Udayana: Vol. 36. NO. 2, Denpasar.

Mudana, I Nyoman, 2014, Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10

Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka Perlindungan

Terhadap Perokok Pasif, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas

Udayana Ketha Negara: Vol. 2. NO. 1., Denpasar.

Artikel Internet:

WHO Framework Convention on Tobacco Control, Fifty-Sixth World Health

Assembly, 21 May 2003, Available at www.ino.searo.who.intl. Accessed

19 September 2013.

URL: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs339/en/, Diakses Pada Tanggal

14 Pebruari 2014.

URL: http://www.who.int/tobacco/research/youth/health_effects/en/, Diakses Pada

Tanggal 14 Pebruari 2014.

URL: http://www.cleanlungs.com/education/features/tourism2.html, Diakses Pada

Tanggal 11 Agustus 2014.

URL: http://www.lphi.org/LPHIadmin/uploads/Tourism%20Study-32064.pdf.

Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014.

URL:http://www.nytimes.com/2014/06/15/travel/in-ireland-10-years-of-fresh-

air.html, Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014.

URL: http://www.undpi.am/node/28, Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014.

URL: http://sdt.unwto.org/en/content/quality-tourism, Diakses Pada Tanggal 24

September 2014.

URL: http://ojs.unud.ac.id/ index.php / piramida / article / download/ 3002/2160.t

Diakses Pada Tanggal 24 September 2014.

URL: http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab%202__10-63.pdf. Diakses Pada

Tanggal 24 September 2014.

URL: https://www.law.utoronto.ca/documents/Dyzenhaus/rule_ law_ as_ rule_

liberal_ principle. Diakses Pada Tanggal 16 Oktober 2014.

URL: http://www.antaranews.com/berita/417190/88- juta- wisatawan- asing-

kunjungi-indonesia- selama- 2013, Diakses pada tanggal 13 November

2014.

URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Karsinogen, Diakses Pada Tanggal 27 Januari

2015.

URL: http://id.wikipedia.org/wiki/ Daftar_ tempat_ wisata_ di_ Jakarta, Diakses

Pada Tanggal 7 Februari 2015.

URL: http:// tribunnews.com/ metropolitan/ 2014/ 02/ 24/ bus-wisata-beri-

pelayanan-terbaik, Diakses Pada Tanggal 7 Februari 2015.

URL: http://www.eastjava.com/tourism/surabaya/ina/, Diakses Pada Tanggal 9

Februari 2015.

URL: http://surabaya.tribunnews.com/ tag/ tempat- wisata, Diakses Pada Tanggal

9 Februari 2015.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 TLN No. 3886).

Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11 TLN No. 4966).

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

Nomor 140 TLN No. 5059).

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 TLN No. 5063).

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-

Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82

TLN No. 5234).

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 TLN No. 5587)

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran

Udara.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi

Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 36

TLN No. 4276).

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja

(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 9 TLN No. 5094).

Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang

Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 278 TLN No.

5380)

Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun

2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (Berita

Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49).

Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok

(Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2011 Nomor 10 TLD No. 10).

Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa

Rokok (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 8 TLD

No. 8).

131

Lampiran 1

Lampiran 2

142