kedudukan hukum islam dalam tata hukum nasional indonesia · 2020. 9. 15. · kedudukan hukum islam...

28
Kedudukan Hukum Islam dalam Tata Hukum Nasional Indonesia Oleh: Nanang M. Hidayatullah * Abstrak Pembahasan yang hendak dikemukakan pada tulisan ini pada pokoknya adalah tentang berlangsungnya proses introduksi dan proses perkembangan hukum Islam dalam wacana dan mekanisme tata hukum nasional di Indonesia. Bagaimana posisi dan keberadaan hukum Islam hubungannya dengan nuansa pluralitas system hokum yang ada di Indonesia, yakni adapt dan Barat. Seberapa kuat tarik menarik antra ketiganya dalam konteks sejarahnya. Ditambah lagi, bagaimana hubungannya dengan asas ubi societas ubi ius, dengan eksistensi masyarakat Indonesia yang nota bene sebagian besarnya berstatus sebagai muslim. Namun, hingga kini, eksistensi hokum Islam dalam system hokum nasional di Indonesia masih belum maksimal. Artinya, masih ada beberapa bagian hukum Islam yang belum diberlakukan bagi kaum muslimin di Indonesia. Faktor apa sajakah yang menjadikan itu semua. Faktor politik, kultural, ataukah fator operasional. Tulisan ini akan mencoba menelusuri dan mengnalisis problematika tersebut. Lebih khusus lagi tentang adanya kemungkinan transplantasi kultural. Keywords: sistem hukum, pluralitas hukum, adat, Islam, Barat. PENDAHULUAN Sistem hukum di Indonesia, sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya, bersifat majemuk. Disebut demikian karena sampai sekarang di Indonesia berlaku beberapa sistem hukum sekaligus, yakni adat, Islam dan Barat. Ketiga sistem hukum itu mulai berlaku di Indonesia pada waktu yang berlainan. Hukum adat telah lama dikenal pada permulaan abad ke 20. Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia (baca: Nusantara) sejak orang Islam datang dan bermukim di daerah ini. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh seminar masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963, * Penulis adalah dosen tetap Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Upload: others

Post on 13-Feb-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Kedudukan Hukum Islam dalam Tata Hukum Nasional Indonesia

    Oleh: Nanang M. Hidayatullah∗

    Abstrak

    Pembahasan yang hendak dikemukakan pada tulisan ini pada pokoknya adalah tentang berlangsungnya proses introduksi dan proses perkembangan hukum Islam dalam wacana dan mekanisme tata hukum nasional di Indonesia. Bagaimana posisi dan keberadaan hukum Islam hubungannya dengan nuansa pluralitas system hokum yang ada di Indonesia, yakni adapt dan Barat. Seberapa kuat tarik menarik antra ketiganya dalam konteks sejarahnya. Ditambah lagi, bagaimana hubungannya dengan asas ubi societas ubi ius, dengan eksistensi masyarakat Indonesia yang nota bene sebagian besarnya berstatus sebagai muslim.

    Namun, hingga kini, eksistensi hokum Islam dalam system hokum nasional di Indonesia masih belum maksimal. Artinya, masih ada beberapa bagian hukum Islam yang belum diberlakukan bagi kaum muslimin di Indonesia. Faktor apa sajakah yang menjadikan itu semua. Faktor politik, kultural, ataukah fator operasional. Tulisan ini akan mencoba menelusuri dan mengnalisis problematika tersebut. Lebih khusus lagi tentang adanya kemungkinan transplantasi kultural.

    Keywords: sistem hukum, pluralitas hukum, adat, Islam, Barat.

    PENDAHULUAN

    Sistem hukum di Indonesia, sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya, bersifat majemuk. Disebut demikian karena sampai sekarang di Indonesia berlaku beberapa sistem hukum sekaligus, yakni adat, Islam dan Barat. Ketiga sistem hukum itu mulai berlaku di Indonesia pada waktu yang berlainan. Hukum adat telah lama dikenal pada permulaan abad ke 20. Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia (baca: Nusantara) sejak orang Islam datang dan bermukim di daerah ini. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh seminar masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963,

    ∗ Penulis adalah dosen tetap Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 416

    416

    Islam telah masuk ke Indonesia pada abad I H atau pada abad VII/VIII M. Sementara ada pendapat lain menyatakan bahwa Islam baru sampai ke Nusantara ini pada abad XIII M. Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir utara pulau Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Aceh Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudra Pasai, Aceh Utara. Sedangkan Hukum Barat mulai diperkenalkan di Indonesia oleh VOC setelah menerima kekuasaan untuk berdagang dan menguasai kepulauan Nusantara dari pemerintah Belanda pada tahun 1602. Pada awalnya, hukum Barat hanya diberlakukan terhadap orang-orang Belanda dan Eropa saja. Namun kemudian, dengan berbagai peraturan dan upaya, dinyatakan berlaku bagi orang Indonesia yang menundukkan dirinya pada hukum Barat dengan sukarela atau karena melakukan suatu perbuatan hukum tertentu di bidang keuangan, perdagangan dan ekonomi pada umumnya. Ketiga sistem hukum itu diakui oleh peraturan perundang-undangan, tumbuh dalam masyarakat, seraya dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktek di lembaga-lembaga peradilan. Dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk membahas tentang bagaimana eksistensi, kedudukan, dan peranan hukum Islam dalam tata hukum Nasional di Indonesia.

    A. TINJAUAN HISTORIS KEDUDUKAN HUKUM NASIONAL DI INDONESIA

    Perkembangan hukum di Indonesia, sejak kedatangan VOC hingga pertengahan abad ke-19, pernah ditulis dengan komprehensif dan rinci oleh seorang penulis sejarah dari Australia, John Ball.1 Perkembangan-perkembangan yang terjadi sepanjang masa satu setengah abad berikutnya belum ditulis oleh seorang pun kecuali dalam bentuk tulisan-tulisan terpisah mengenai topik-topik atau temuan-temuan tertentu atau juga mengenai pengutaraan kebijakan hukum tertentu. Tentu saja perkembangan sistem tata hukum di Indonesia sepanjang masa satu setengah abad terhitung sejak dasawarsa 1840-1850 itu disarati oleh kondisi-kondisi sosial-politik yang penuh dengan

    1 John Ball, Indonesian Legal History : 1602-1848 (Sidney: Oughtershaw Press,

    1980)

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 417

    417

    dinamika sejarah sangat beragam. Secara garis besar, perkembangan itu dibagi ke dalam tiga periode besar, yakni 1840-1890, 1890-1940 dan 1940-1990. Perkembangan tata hukum di Indonesia pada periode 1840-1890 adalah perkembangan yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan liberalisme yang mencoba membukakan peluang-peluang lebar pada dan untuk modal-modal swasta dari Eropa guna ditanamkan ke dalam usaha-usaha perkebunan besar di daerah jajahan. Namun juga dengan maksud di lain pihak tetap melindungi kepentingan desa-desa dan pertanian tradisional yang menjadi sumber kehidupan penduduk pribumi.2

    Era setelah 1890-an adalah tahun-tahun ketika kebijakan kolonial amat dipengaruhi politik etik pemerintah dan tentu saja juga oleh wawasan-wawasan untuk secara etis selalu mempertimbangkan penduduk pribumi, baik dalam hal taraf kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan budayawinya maupun dalam hal kedudukan sosial dan hak-hak politiknya. Tahun-tahun 1940-1990 adalah tahun-tahun terjadinya dekolonisasi ketika para pemimpin nasional Indonesia, setelah berhasil mendirikan negara baru yang merdeka dan berdaulat, bertekad bulat untuk memimpin bangsanya ke arah kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Setelah melalui masa-masa peralihan yang sangat kritis (1940-1990), pada periode ini perkembangan-perkembangan menjadi jelas dituntut oleh kebijakan-kebijakan nasional yang mencoba dengan segala daya dan usaha, sekalipun tak selalu berhasil, untuk melepaskan diri dari kebijakan-kebijakan pendahulunya yang feodal dan kolonial.

    Tak pelak, pada kurun-kurun awal, aktor-aktor yang terlibat dalam penetapan kebijakan-kebijakan kolonial di bidang pemerintahan dan hukum tentu saja tidak lain daripada aktor-aktor yang berkebudayaan Eropa dan berkebangsaan Belanda yang, karena tugas dan tanggung jawabnya untuk ikut menangani daerah jajahan, telah dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang harus pula mempertimbangkan eksistensi dan esensi budaya non Eropa. Dalam perkembangan pribumi muncul dalam jumlah yang berarti di dalam struktur terstrarifikasi

    2 John Ball, Indonesian Law Commentary and Teaching Materials (Sidney Faculty of Law

    University of Sidney, 1985)

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 418

    418

    masyarakat kolonial, aktor-aktor itupun lalu menajdi beragam yang masing-masing mewakili cita-cita dan kepentingan yang acapkali berselisih dan tak mudah dipertemukan.3 Pada akhirnya aktor-aktor pribumi itulah yang, melalui cara paksa dan dibantu keadaan berhasil muncul ke permukaan, merebut peranan dan kekuasaan pemerintah dan karena itu pula memegang kendali yang berkuasa mengarahkan dinamika perkembangan sosial-politik yang ada di Indonesia.

    Tahun 1840 dipilih secara sengaja sebagai awal amatan terhadap perkembangan hukum kolonial karena dasawarsa tahun 1840-an ini adalah dasawarsa dimulainya realisasi kebijakan-kebijakan kolonial yang baru sehubungan dengan bermulanya secara nyata kemenangan ide-ide liberal dalam politik di negeri Belanda. Hal ini merujuk kepada apa yang dikatakan oleh John Ball yang telah mempelajari dan melaporkan sejarah hukum Indonesia (sejak masuknya VOC) hingga tahun 1850 dan oleh Margadantt.4

    Perkembangan selepas tahun-tahun 1840-an ini memang merupakan perkembangan yang sangat berbeda dengan perkembangan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kebijakan-kebijakan kolonial dari masa sebelum tahun 1850-an adalah kebijakan-kebijakan yang didominasi oleh motif-motif dan sikap yang based – with some notable exception – on European self-interest and indifference to the indigenous legal order, sedangkan perkembangan yang terjadi pada masa-masa sesudah itu tampak lebih ditandai oleh berbagai ragam niat untuk memberdayakan hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingan penduduk di Hindia-Belanda. Tidak hanya kepentingan-kepentingan swasta bebas (sesuai dengan cita-cita liberalisme di bidang ekonomi yang anti etatisme) akan tetapi juga kepentingan hukum rakyat pribumi di daerah jajahan.

    Dasawarsa naiknya kekuatan pengaruh partai-partai politik yang berhaluan liberal di negeri Belanda ini membawa konsekwensi yang sangat bermakna dalam ihwal arah kebijakan hukum dan perkembangan praktek hukum untuk dan di daerah-daerah Hindia-

    3 H.T Colenbrander, Kolonile Geschiedenis, Vol I ( Gravenhage : Martinus-Nijhoff, 1925)

    4 John Ball, Margadant, Het Regeringsreglement van Nederlansch-Indie (Batavia : Kolff, 1895), Vol. II hlm. 178-179

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 419

    419

    Belanda. Perubahan ditandai pertama-tama oleh berhasil diundangkannya undang-undang dasar (Grond Wet) baru di negeri Belanda pada tahun 1884 yang kemudian disusul oleh pengundangan peraturan baru tentang kebijakan untuk mengatur tata pemerintahan jajahan yang pada waktu itu masih dikenal dengan sebutan Hindia-Belanda (yakni Het Reglement op Het Beleider der Regering vand Nederlandsch Indie, yang lebih dikenal dalam singkatannya Regeringsreglement) pada tahun 1854. Grond Wet tahun 1884 dan Regeringsreglement tahun 1854 adalah dua produk konstitusional yang telah menjadi kekuatan pengubah arah kebijakan kolonial dan kebijakan hukum kolonial di Hindia-Belanda. Pada dasawarsa itulah penguasa-penguasa yang berpengaruh dalam pemerintahan Belanda mulai memperdengarkan pendapatnya tentang kebijakan baru di bidang hukum dan perundang-undangan untuk daerah jajahan Hindia-Belanda yang kemudian dikenal dengan sebutan 'kebijakan hukum secara sadar'.

    Setelah mengkaji secara khusus perkembangan yang terjadi hingga diundangkannya Regeringsreglement pada tahun 1854, pembahasan ini juga akan mengamati dan memberikan secara khusus perkembangan-perkembangan berikutnya yang terjadi hingga dasawarsa terakhir pada abad ke-sembilan belas.

    Periode 1860-1990 inilah yang sesungguhnya menarik untuk dikaji dalam kerangka kajian hukum kolonial. Periode ini adalah periode yang kaya sejarah sosial-politik yang cukup handal untuk menguji hipotesis-hipotesis tentang kemungkinan mentransfer sistem hukum dari suatu supra-sistem budaya tertentu (dalam hal ini budaya Eropa) ke supra sistem budaya lain (dalam hal ini sistem budaya kolonial di Asia, yang tidak hanya bersifat non Eropa akan tetapi juga plural). Periode ini adalah periode yang dipadati oleh permasalahan-permasalahan operasional di lapangan yang timbul secara konkret sebagai konsekwensi upaya para eksponen liberalisme dalam politik kolonial untuk merealisasikan ide-ide politik yang berakar dalam-dalam di dalam peradapan Eropa Barat. Pada hakekatnya permasalahan yang terjadi adalah permasalahan yang secara ringkas sering disebut sebagai

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 420

    420

    permasalahan tranplantasi sistem hukum asing atau Eropa ke tengah tata hukum masyarakat kolonial yang khas.5

    Diperjelas oleh permasalahan praktis yang timbul di lapangan dapatlah dimengerti mengapa periode 1860-1900 ini sangat dipenuhi oleh kontroversi-kontroversi di seputar kebijakan hukum kolonial yang sifatnya asasi dan juga strategis. Kontroversi politik berkembang di seputar kebijakan dan upaya-upaya yang setengah dipaksakan untuk berdasarkan ide kaum liberalis yang universalis mentranplantasikan hukum Eropa secara penuh ke dan untuk penduduk di negara di Hindia-Belanda. Itu adalah kebijakan dan upaya, yang secara konsisten dan konsekwen dengan dedikasi yang sangat doktriner, untuk menerapkan hukum Eropa di daerah jajahan (yang sampai saat itu tidak didominasi oleh budaya Eropa), juga manakala hukum itu hendak diterapkan untuk golongan-golongan penduduk non Eropa. Asas konkordansi dan asas ketunggalan hukum (eenheidsbeginsel) memang merupakan asas-asas dalam politik hukum yang amat dikenal dan mulai terkenal dalam periode paruh ke dua abad ke sembilan belas itu. Jadi dari uraian-uraian di atas nampak bahwa kedudukan hukum Nasional adalah bersumber dari Hukum Negara Romawi (corpus yuris civilis). Romawi kemudian menjajah Perancis kemudian memunculkan code penale, lalu Perancis yang pada gilirannya menjajah Belanda dengan Hukum Konanik lalu Belanda menjajah Indonesia. Dalam kurun waktu 350 tahun Belanda menjajah Indonesia yang untuk selanjutnya terjadi proses pembumian hukum kolonial Belanda ke masyarakat pribumi sehingga terjadi interaksi sosial budaya dan hukum secara alamiah.

    B. TINJAUAN HISTORIS KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

    Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia bersifat majemuk. Hal ini dapat ditelusuri dalam uraian histories berikut ini. Ketika singgah di Samudra Pasai tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah,

    5 Baca misalnya : Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum

    Nasional : Suatu Telaah Mengenal Transplantasi Hukum ke Negara-negara yang Sedang Berkembang, Khususnya Indonesia. Pidato pengukuhan pada peresmian penerimaan jabatan Guru Besar di Universitas Airlangga, 1989

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 421

    421

    seorang pengembara asal Maroko, mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. Ia mengagumi kemampuan Sultan al-Malik az-Zahir berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan fikih. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, Sultan al-Malik az-Zahir, yang menjadi Sultan Pasai ketika itu, adalah juga seorang Fuqaha (ahli hukum) yang mahir tentang hukum Islam. Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum Islam mazhab Syafi’i.6 Dalam konteks ini menurut Hamka, dari Pasai-lah disebarkan paham Syafi’i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Bahkan, setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 Masehi), para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudra Pasai untuk meminta 'kata-putus' mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai di tengah-tengah masyarakatnya.

    Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam sangatlah besar.7 Ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa jika seorang saudagar muslim hendak menikah dengan wanita pribumi, misalnya, maka wanita itu harus diislamkan lebih dulu dan kemudian pernikahannya dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam. Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini kemudian akan mengatur hubungan antar anggota-anggotanya dengan kaidah-kaidah hukum Islam atau kaidah-kaidah lama yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Demikian pula, jika salah seorang anggota keluarga itu meninggal dunia maka harta peninggalannya di bagi menurut hukum kewarisan Islam.

    Pembentukan keluarga yang kemudian berkembang menjadi masyarakat muslim yang baru itu memerlukan pengajaran agama, baik untuk anak-anak maupun bagi orang-orang yang telah dewasa. Secara tradisional, biasanya, ilmu agama yang diberikan adalah ilmu kalam, ilmu fikih dan ilmu tasawuf. Namun, karena latar sejarah masuknya Islam dan keadaan di Indonesia saat itu maka ilmu agama yang diajarkan pada waktu itu lebih banyak dimulai dari ilmu tasawuf terlebih dahulu, lalu ilmu fikih dan baru kemudian ilmu kalam. Dengan sistem

    6 Syafuddin Zuhri, 1979 hlm. 204-205) 7 Al Naguib Al Attas, 1981 hlm. 247

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 422

    422

    pendidikan dan perkawinan yang demikian itulah maka secara damai menyebarlah ajaran Islam ke seluruh kepulauan Indonesia.8

    Setelah agama Islam berakar dalam masyarakat makuntuk selanjutnya peranan saudagar dalam penyebaran agama Islam digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru dan pengawal Hukum Islam.9 Untuk menyebut sekedar contoh, sebagai mana telah disinggung juga dalam uraian di muka, dapat dikemukakan nama Nuruddin ar-Raniri (yang hidup di abad ke 17) yang menulis buku hukum Islam dengan judul Sirât al-Mustaqîm ('jalan lurus') pada tahun 1628. Menurut Hamka, kitab hukum Islam yang ditulis oleh ar-Raniri ini merupakan kitab hukum Islam pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia. Oleh Sekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang menjadi mufti di Banjarmasin, kitab hukum Sirât al-Mustaqîm itu diperluas dan diperpanjang uraiannya serta dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah Kesultanan Banjar. Kitab karya Arsyad tersebut adalah Sabîl al-Muhtadîn yang kini menjadi nama sebuah masjid besar di Banjarmasin. Sabîl al-Muhtadîn yang ditulis dengan tulisan Arab ini sekarang sudah dapat di baca dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Bina Ilmu Surabaya (1985). Di daerah kesultanan Palembang dan Banten terbit pula beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka. Pangerannya adalah Syekh Abduh Samad dan Syekh Nawawi al-Bantani.10 Demikian pula, Hukum Islam diikuti dan dilaksanakan juga oleh para pemeluk agama Islam di Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel, dan kemudian Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup di masa itu. Di antara karya tersebut dapat disebut misalnya Sajînah al-Hukm.11

    Dari beberapa contoh dan uraian tersebut di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di

    8 Hamka, 1974 hlm. 320 9 S. Soebardi, 1978 hlm. 66 10 Hamka, 1974 :323 11 Koesnoe, 1982 : 2)

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 423

    423

    samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara ini. Menurut Soebardi, terdapat bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia.12 Pengaruh itu merupakan penetration pasifique, tolerante et constructive (pentetrasi secara damai, toleran dan membangun).13

    C. ASAS-ASAS HUKUM ISLAM

    Pengertian Asas

    Perkataan asas berasal dari bahasa Arab al-asas yang artinya dasar, basis, pondasi. Jika dihubungkan dengan sistem berpikir maka yang dimaksud dengan asas adalah landasan berfikir yang sangat mendasar. Oleh karena itu, di dalam bahasa Indonesia, asas mempunyai beberapa arti. Pertama, dasar, alas, atau pondamen.14 Asas dalam pengertian ini dapat dilihat, misalnya, dalam urutan yang disesuaikan pada kata-kata ”Batu ini baik benar untuk pondamen atau pondasi rumah”. Kedua, kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau pendapat. Makna ini terdapat dalam ungkapan: “Pernyataan itu bertentangan dengan asas-asas hukum pidana”. Ketiga, cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau negara. Hal ini jelas dalam kalimat : “Dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila”.

    Sementara, jika kata asas dihubungkan dengan diskursus hukum maka yang dimaksud dengan asas di sini adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Asas hukum pidana, misalnya seperti disinggung di atas, adalah tolok ukur dalam pelaksanaan hukum pidana. Asas hukum, pada umumnya, berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum.

    Asas hukum Islam berasal dari sumber hukum Islam utama yakni Al-Qur’an dan Al-Hadis yang kemudian dikembangkan oleh akal

    12 S. Soebardi, 1978 : 66) 13 Josselin de Jong dalam Kusumadi, 1960 : 50). 14 Poerwodarminto, 1976 : 60)

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 424

    424

    pikiran para mujtahid, yaitu orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Asas-asas hukum Islam itu relative banyak. Di samping asas-asas yang berlaku umum, masing-masing bidang dan lapangan mempunyai asasnya sendiri-sendiri.

    D. BEBERAPA ASAS HUKUM ISLAM

    Fokus yang dibicarakan dalam tulisan ini hanya beberapa asas hukum Islam saja. Tim pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, dalam laporannya tahun 1983/1984 (Laporan 1983 – 1984 : 14-27), menyebut dua asas pokok hukum Islam, yakni yang bersifat umum dan yang berada dalam lapangan hukum perdata. Sebagai contoh, asas-asas hukum di lapangan hukum tata negara, internasional dan lapangan-lapangan hukum Islam lainnya tidak disebutkan dalam laporan itu. Sebagai sumbangan dalam penyusunan asas-asas hukum nasional, tim itu hanya mengedepankan katagorisasinya sebagai berikut.

    1. Asas-asas umum

    Asas-asas umum hukum Islam yang meliputi semua bidang dan segala lapangan hukum Islamadalah (1) bersifat keadilan (2) asas kepastian hukum dan (3) asas kemanfaatan.

    2. Asas-asas dalam lapangan pidana

    Asas-asas dalam lapangan hukum pidana Islam antara lain adalah (1) asas legalitas, (2) asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain, dan (3) asas praduga tidak bersalah.

    3. Asas-asas dalam lapangan hukum perdata

    Asas-asas dalam lapangan hukum perdata Islam antara lain adalah (1) asas kebolehan atau mubah, (2) asas kemaslahatan hidup, (3) asas kebebasan dan kesukarelaan, (4) asas menolak madarat dan mengambil manfaat, (5) asas kebijakan, (6) asas kekeluargaan, (7) asas adil dan berimbang, (8) asas mendahulukan kewajiban dari pada hak, (9) asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain, (10) asas kemampuan berbuat, (11) asas kebebasan berusaha, (12) asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa, (13) asas perlindungan hak,

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 425

    425

    (14) asas hak milik berfungsi sosial, (15) asas yang beritikad baik harus dilindungi, (16) asas resiko dibebankan pada benda atau harta, tidak pada tenaga atau pekerja, (17) asas mengatur, sebagai petunjuk, dan (18) asas perjanjian tertulis atau diucapkan di depan saksi. Selain asas-asas di lapangan hukum perdata itu, khususnya mengenai hukum perkawinan, asasnya adalah (1) kesukarelaan, (2) persetujuan kedua belah pihak, (3) kebebasan memilih, (4) kemitraan suami istri, (5) untuk selama-lamanya, dan (6) monogami terbuka. Sedang mengenai hukum kewarisan terdapat beberapa asas, yaitu (1) Ijbari (wajib dilaksanakan), (2) bilateral, (3) individual, (4) keadilan yang berimbang, dan (5) akibat kematian.15

    E. ASAS-ASAS UMUM

    1. Asas Keadilan Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam

    hukum Islam. Demikian pentingnya sehingga ia dapat disebut sebagai asas hukum Islam itu sendiri. Di dalam Al-Qur’an, karena pentingnya kedudukan dan fungsi kata itu, keadilan disebut lebih dari 1000 kali, terbanyak setelah Allah dan ilmu pengetahuan.16

    Banyak ayat-ayat yang menyuruh manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan. Dalam surat as-Sâf (38): 25 Allah memerintah-kan penguasa dan penegak hukum sebagai khalifah di bumi menyeleng-garakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua manusia, tanpa, misalnya, memandang kedudukan, asla usul keyakinan yang dipeluk pencari keadilan itu. Dalam surat n-Nisâ’ (4): 135 Allah memerintahkan agar manusia menegakkan keadilan, menjadi saksi yang adil walaupun terhadap diri sendiri, orang tua dan keluarga dekat. Dalam surat al-Mâ'idah (5): 8 Allah menegaskan agar manusia berlaku adil sebagai saksi, berlaku lurus dalam melaksanakan hukum, kendati ada tekanan, ancaman dan rayuan dalam bentuk apapun juga. Di dalam ayat itu juga diingatkan pada penegak hukum agar kebenciannya terhadap seseorang atau sesuatu golongan tidak menyebabkan ia tidak berlaku adil dalam penyelenggaraan hukum. Dari uraian singkat ini

    15 A.M. Saifudin, 1983 : 45. 16 Anwar Harjono, 1968 : 155.

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 426

    426

    dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah asas, titik tolak, proses, dan sasaran hukum Islam.

    2. Asas kepastian hukum Asa kepastian hukum antara lain disebut secara umum dalam

    kalimat terakhir surat al-Isra' (17): 15 yang terjemahannya sebagai berikut ”… dan tidaklah kami menjatuhkan hukuman, kecuali setelah kamu mengutus seorang rasul untuk menjelaskan (aturan dan ancaman) hukuman itu…”. Selanjutnya di dalam surat al-Mâ'idah (5): 95 terdapat penegasan Allah yang menyatakan bahwa Allah memaafkan apa yang terjadi di masa lalu. Dari kedua bagian tersebut disimpulkan asas kepastian hukum yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatanpun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu. Asas ini sangat penting dalam ajaran hukum Islam.17

    3. Asas kemanfaatan Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan

    kepastian hukum tersebut di atas. Dalam melaksanakan asas keadilan dan kepastian hukum ini seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan, baik bagi yang bersangkutan itu sendiri maupun bagi kepentingan masyarakat. Dalam menerapkan ancaman hukuman mati terhadap seseorang yang melakukan pembunuhan, misalnya, dapat dipertimbangkan kemanfaatan penjatuhan hukuman itu bagi diri terdakwa sendiri dan bagi masyarakat. Kalau hukuman mati yang akan dijatuhkan itu lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat maka hukuman itulah yang dijatuhkan. Kalau tidak menjatuhkan hukuman mati lebih bermanfaat bagi terdakwa sendiri dan keluarga atau saksi korban maka ancaman hukuman mati dapat diganti dengan hukuman denda yang dibayarkan kepada keluarga terbunuh. Asas ini ditarik dari surat al-Baqarah (2): 178.

    F. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

    Di samping asas-asas umum tersebut di atas, di lapangan hukum pidana juga terdapat asas-asas hukum Islam. Di antaranya adalah:

    17 Anwar Harjono, 1968 : 155.

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 427

    427

    1. Asas legalitas Yang dimaksud dengan asas legalitas adalah asas yang

    menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum adanya undang-undang yang mengaturnya. Asas ini didasarkan pada surat Al-IsrÂ’ (17): 15 tersebut di atas dihubungkan dengan anak kalimat dalam surat Al-An'am (6) 19 yang terjemahannya berbunyi…. “Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku, agar (dengannya) aku (Muhammad) dapat menyampaikan peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu…” Dengan demikian asas legalitas ini telah ada dalam hukum Islam sejak Al-Qur’an diturunkan.

    2. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain Asas ini terdapat di dalam berbagai surat dan ayat. Surat Al-

    Muddassir (74): 38 misalnya menyatakan bahwa setiap jiwa terikat pada apa yang dia kerjakan dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang dibuat oleh orang lain. Di bagian surat al-An‘âm (6): 164 Allah menyatakan bahwa setiap pribadi yang melakukan kejahatan akan menerima balasan kejahatan yang dilakukannya. Ini berarti bahwa beban (dosa) seseorang sama sekali tidak bisa dijadikan beban (dosa) orang lain. Dari ayat-ayat pertangung jawaban tersebut jelas bahwa seorang tidak dapat dimintai memikul terhadap kejahatan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang lain. Karena pertanggungjawaban pidana itu individual sifatnya maka kesalahan seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.

    3. Asas praduga tak bersalah Dari ayat-ayat yang menjadi sumber asas legalitas dan asas tidak

    boleh memindahkan kesalahan kepada orang lain tersebut di atas dapat ditarik juga asas praduga tidak bersalah. Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim, dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahan orang itu.

    G. ASAS-ASAS HUKUM PERDATA

    Di lapangan hukum perdata terdapat asas-asas hukum Islam yang menjadi tumbuhan atau landasan untuk melindungi kepentingan pribadi seseorang. Di antaranya adalah:

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 428

    428

    1. Asas kebolehan atau mubah

    Asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata (sebagian dari hubungan muamalah) sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan kata lain, pada dasarnya, segala bentuk hubungan perdata adalah boleh dilakukan kecuali kalau telah ditentukan lain dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ini berarti bahwa Islam memberikan kesempatan luas kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdata (baru) sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat. Allah memudahkan dan tidak menyempitkan kehidupan manusia seperti yang dinyatakan-Nya antara lain dalam surat Al-Baqarah (2): 158, 286.

    2. Asas kemaslahatan hidup Kemaslahatan hidup adalah segala sesuatu yang mendatangkan

    kebaikan, berguna, serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi maupun masyarakat, kendatipun tidak ada ketentuannya secara tegas(letterlijk) dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Asas ini sangat berguna untuk pengembangan berbagai lembaga hubungan perdata dan dalam menilai lembaga-lembaga hukum non Islam yang ada dalam sesuatu masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah (1263-1328 M), setiap norma atau lembaga non Islam yang bersifat kultural yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat Islam harus dilihat manfaat atau madarat (kerugian) yang akan dibawanya. Jika bermanfaat, lembaga itu dapat diterima. Namun jika merusak atau merugikan masyarakat maka lembaga demikian harus ditolak. Untuk itu, peranan ijtihad penting sekali. Melalui asas ini kaidah hukum al-‘âdatu muhakkamat (kebiasaan yang baik dalam suatu masyarakat berlaku sebagai hukum Islam bagi umat Islam) mendapat pembenaran.

    3. Asas kebebasan dan kesukarelaan Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata

    harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak para pihak yang melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus senantiasa diperhatikan. Asas ini juga mengandung arti bahwa selama teks Al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad SAW tidak mengatur suatu hubungan perdata maka selama itu pula para pihak bebas mengaturnya

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 429

    429

    atas dasar kesukarelaan masing-masing. Asas ini bersumber surat an-Nisâ’ (4): 29.

    4. Asas menolak madarat dan mengambil manfaat Asas ini mengandung makna bahwa harus segala bentuk

    hubungan perdata yang mendatangkan kerugian atau madarat harus ditulis dari dan hubungan perdata yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat harus dikembangkan. Dalam asas ini terkandung juga pengertian bahwa menghindari kerusakan harus diutamakan. (dan memperoleh (meraih) keuntungan dalam suatu transaksi seperti perdagangan narkotika, prostitusi dan mengadakan perjudian).

    5. Asas kebajikan atau kebaikan Asas ini mengandung arti bahwa setiap hubungan perdata

    seyogyanya mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan juga pihak ketiga dalam masyarakat. Kebajikan yang akan diperoleh seseorang haruslah didasarkan pada kesadaran pengembangan kebaikan dalam rangka kekeluargaan.18

    6. Asas menolak madarat dan mengambil manfaat Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat adalah

    asas hubungan perdata yang disandarkan pada etika hormat-menghormati, kasih-mengasihi serta tolong menolong dalam mencapai tujuan bersama. Asas ini menunjukkan suatu hubungan perdata antara pihak yang menganggap diri masing-masing sebagai anggota satu keluarga, kendatipun pada hakekatnya bukan keluarga. Asas ini didasarkan pada bagian surat al-Mâ'idah (5): 2 dan Hadis yang menyatakan bahwa umat manusia berasal dari satu keluarga.

    7. Asas adil dan berimbang Asas keadilan mangandung makna bahwa hubungan perdata

    tidak boleh mengandung unsur-unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang kesempitan. Asas ini juga mengandung arti bahwa hasil yang diperoleh harus berimbang dengan usaha atau ikhtiar yang dilakukan.

    8. Asas mendahulukan kewajiban dari pada hak

    18 Ahmad Azhar Basyir, 1983 : 11)

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 430

    430

    Asas ini mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan hubungan perdata, para pihak harus mengutamakan penunaian kewajibannya lebih dahulu dari pada menuntut hak. Dalam sistem ajaran Islam, orang baru memperoleh haknya, misalnya mendapat imbalan (pahala), setelah ia menunaikan kewajibannya lebih dahulu. Asas penunaian kewajiban lebih dahulu dari pada penuntutan hak merupakan kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi atau ingkar janji.

    9. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain Asas ini mengandung arti bahwa para pihak yang mengadakan

    hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya. Merusak harta, kendatipun tidak merugikan diri sendiri, tetapi merugikan orang lain, tidak dibenarkan dalam hukum Islam. Ini berarti bahwa menghancurkan atau memusnahkan barang, untuk mencapai kemantapan harga atau keseimbangan pasar, tidak dibenarkan oleh hukum Islam.19

    10. Asas kemampuan berbuat atau bertindak

    Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subyek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan hubungan itu. Dalam hukum Islam, manusia yang dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan perdata adalah mereka yang mukallaf, yaitu mereka yang mampu memikul kewajiban dan hak, sehat rohani dan jasmaninya. Hubungan perdata yang dibuat oleh orang yang tidak mukallaf, dianggap melanggar asas ini. Karena itu, hubungan perdatanya batal karena dipandang bertentangan dengan salah satu asas hukum Islam.

    11. Asas kebebasan berusaha Asas ini mengandung makna bahwa pada prinsipnya setiap

    orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Asas ini juga mengandung arti bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berusaha tanpa batasan kecuali yang telah ditentukan batasannya (dilarang) oleh hukum Islam.

    19 (Q. S. 2 : 188, 2 : 195, 3 : 130, 4 : 2, 4 : 29, 5 : 2, 66 : 6).

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 431

    431

    12. Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa Asas ini mengandung makna bahwa seseorang akan

    mendapatkan hak, misalnya, berdasarkan usaha dan jasa, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang diusahakannya bersama-sama orang lain. Usaha dan jasa haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor. Usaha dan jasa yang dilakukan melalui kejahatan, kekejihan dan kekotoran tidak dibenarkan oleh hukum Islam. Asas ini bersumber dari Al-Qur’an antara lain surat 6 : 164, 8 : 26, 16 : 72, 17 : 15, 17 : 19, 35 : 18, 39 : 7, 40 : 64, 52 : 38, 53 : 59.

    13. Asas perlindungan hak Asas ini mengandung arti bahwa semua hak yang diperoleh

    seseorang dengan jalan sah dan halal harus dilindungi. Bila hak itu dilanggar oleh salah satu pihak dalam hubungan perdata maka pihak yang dirugikan berhak untuk menuntut pengembalian hak itu atau menuntut kerugian pada pihak yang merugikannya.

    14. Asas hak milik berfungsi sosial Asas ini menyangkut pemanfaatan hak milik yang dipunyai

    seseorang. Menurut ajaran Islam, hak milik tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Agama Islam mengajarkan bahwa harta yang telah dapat dikumpulkan oleh seseorang dalam jumlah tertentu, dan dalam jangka waktu tertentu wajib dikeluarkan zakatnya untuk kepentingan delapan golongan (asnaf) yang berhak juga atas kekayaan seseorang (QS at-Taubah (9): 60). Fungsi sosial hak milik dengan tegas pula disebutkan Allah dalam surat al-Hasyr (59) ayat 7 yang terjemahannya berbunyi :”…agar harta benda (seseorang) tidak hanya beredar diantara (dalam kekuasaan) orang-orang kaya saja. Karena, di dalam harta kekayaan (orang yang punya) terdapat hak peminta-minta dan (orang) terlantar." 20

    15. Asas yang beriktikad baik harus diimbangi Asas ini berkaitan dengan asas lain yang menyatakan bahwa

    orang yang melakukan perbuatan tertentu bertanggung jawab atau

    20Q. S. Adz-Dzariyat (51) : 19

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 432

    432

    menanggung resiko perbuatannya. Namun, jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dan mempunyai iktikad baik dalam hubungan perdata maka kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut sesuatu jika ia dirugikan karena iktikad baiknya.

    16. Asas resiko dibebankan pada harta, tidak pada pekerja Asas ini mengandung penilaian yang tinggi terhadap kerja dan

    pekerjaan, berlaku terutama di perusahaan-perusahaan yang merupakan persekutuan antara pemilik modal (harta) dan pemilik tenaga (kerja). Jika perusahaan merugi maka, menurut asas ini, kerugian hanya dibebankan pada pemilik modal atau harta saja, tidak pada pekerjaannya. Ini berarti bahwa pemilik tenaga dijamin haknya untuk mendapatkan upah, sekurang-kurangnya untuk jangka waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian.

    17. Asas mengatur dan memberi petunjuk Sesuai dengan sifat hukum keperdataan pada umumnya, dalam

    hukum Islam berlaku asas yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum perdata, kecuali yang bersifat ijbari karena ketentuannya telah qat’i, hanyalah bersifat mengatur dan memberi petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata. Para pihak dapat memilih ketentuan lain berdasarkan kesukarelaan asal saja ketentuan itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

    18. Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata

    selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan saksi-saksi (Q. S. Al-Baqarah, (2) : 282). Namun dalam keadaan tertentu, perjanjian itu dapat saja dilakukan secara lisan di hadapan saksi-saksi yang memenuhi syarat, baik mengenai jumlahnya maupun mengenai kualitas orangnya.

    H. ASAS-ASAS HUKUM PERKAWINAN

    Dalam ikatan perkawinan, sebagai salah satu bentuk perjanjian (suci) antara seorang pria dan seorang wanita, yang punya segi-segi

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 433

    433

    perdata, berlaku beberapa asas (seperti telah disebut di muka), di antaranya adalah (1) kesukarelaan, (2) persetujuan kedua belah pihak, (3) kebebasan memilih, (4) kemitraan suami istri, (5) untuk selama-lamanya, dan (6) monogami terbuka (karena darurat). Penjelasannya adalah sebagi berikut. Berbagai asas tersebut akan dijelaskan berikut ini.

    1. Asas kesukarelaan Ini merupakan asas terpenting perkawainan Islam. Kesukarelaan

    itu tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami istri tetapi juga antara kedua orang tua kedua belah pihak. Kesukarelaan orang tua yang menjadi seorang wali seorang wanita merupakan sendi asasi perkawinan Islam. Dalam berbagai hadis Nabi SAW asas ini dinyatakan dengan tegas. 2. Asas persetujuan kedua belah pihak

    Merupakan konsekwensi logis dari asas pertama tadi. Ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pemuda, misalnya, harus diminta lebih dahulu oleh wali atau orang tuanya. Menurut sunnah Nabi SAW, persetujuan itu dapat disimpulkan dari diamnya gadis tersebut. Dari berbagai sunah Nabi SAW dapat diketahui bahwa perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak maka, dapat dibatalkan oleh pengadilan.

    3. Asas kebebasan memilih pasangan Disebutkan dalam sunah Nabi SAW, yang diceritakan oleh Ibnu

    Abbas, bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah menghadap Rasulullah SAW dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, Nabi SAW menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih untuk meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang lain yang disukainya.

    4. Asas kemitraan Suami istri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena

    perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan) disebut dalam Al-Qur’an dalam surat an-Nisâ’ (4): 34 dan surat al-Baqarah (2): 187. Asas

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 434

    434

    kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami istri dalam beberapa hal sama sedangkan dalam hal yang lain berbeda. misalnya suami menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga, misalnya.

    5. Asas untuk selama-lamanya Aas ini menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk

    melangsungkan kehidupan rumah tangga, mendapat keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (Q.S. ar-Rûm (30): 21). Karena asas ini pula maka perkawinan mut’ah yakni perkawinan sementara untuk bersenang-senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat dalam masyarakat Arab Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Islam.

    6. Asas monogami terbuka Asas ini disimpulkan dari Al-Qur’an surat an-Nisâ' (4): 3 dan

    129. Di dalam ayat 3 dinyatakan bahwa seorang pria muslim dibolehkan atau boleh beristri lebih dari seorang asal memenuhi beberapa syarat tertentu, di antaranya adalah syarat mampu berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi istrinya. Dalam ayat 129 surat yang sama Allah menyatakan bahwa manusia tidak mungkin mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena ketidakmungkinan berlaku adil terhadap istri-istri itulah maka Allah menegaskan bahwa seorang laki-laki lebih baik kawin dengan seorang saja. Ini berarti bahwa beristri lebih dari seorang (poligami) merupakan jalan darurat yang baru boleh dilakukan oleh seorang laki-laki muslim jika ada alasan-alasan tertentu. Misalnya untuk menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa dan, istrinya tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai istri. Selain asas perkawinan tersebut di atas, asas dalam bidang hukum perdata yang perlu diketahui juga adalah asas hukum kewarisan.

    I. ASAS HUKUM KEWARISAN …tekan kene disit.........!!!!!

    Asas hukum kewarisan Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadis, seperti yang disinggung di muka, di antaranya adalah (1) ijbari, (2), bilateral, (3) individual, (4) keadilan berimbang, dan (5) kematian.

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 435

    435

    1. Asas ijbari Asas ijbari yang terdapat dalam hukum Islam mengandung arti

    bahwa peralihan harta seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Unsur keharusan (ijbari,compulsory) dalam hukum kewarisan Islam terutama terlihat dari segi ahli waris harus (tidak boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu calon pewaris, yaitu orang yang akan meninggal dunia, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meniggal dunia kelak karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan. Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat pula dilihat dari beberapa segi lain yaitu (a) dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia, (b) dari jumlah yang sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris dan (c) dari mereka yang akan menerima peralihan harta peninggalan yang sudah ditentukan dengan pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan ikatan perkawinan dengan pewaris.

    2. Bilateral Asas ini berarti bahwa seseorang menerima hak warisan dari

    kedua belah pihak yaitu dari pihak kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 7, 11, 12, dan 176. Di dalam ayat 7 surat tersebut ditegaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya dan juga dari ibunya. Demikian juga halnya dengan perempuan. Ia berhak mendapat warisan dalam kewarisan bilateral. Secara terinci asas ini disebutkan juga dalam ayat-ayat lain di atas.

    3. Asas individual Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada

    masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Dalam hal ini setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain karena bagian masing-masing sudah

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 436

    436

    ditentukan oleh karena itu bentuk kewarisan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tertentu, dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebab, dalam pelaksanaan sistem kewarisan kolektif itu, mungkin terhadap harta anak yatim yang dikhawatirkan akan termakan, sedangkan memakan harta anak yatim merupakan perbuatan yang sangat dilarang oleh ajaran Islam.

    4. Asas keadilan yang berimbang Asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat

    keseimbangan antara hak dan kewajiban yakni antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat dalam sistem kewarisan Islam. Harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakekatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris kepada keluarganya. Oleh karena itu, perbedaan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga dan Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya (Q.S. 2 : 233) menurut kemampuannya (Q.S. 65 :7). Tanggung jawab itu merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu atau tidak dan anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Terhadap kerabat lain, tanggung jawab seorang laki-laki hanyalah tambahan saja, sunat hukumnya artinya. Kalau ia mau dan mampu melaksanakannya. Berdasarkan keseimbangan antara hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan, sesungguhnya apa yang diperoleh seorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta peninggalan manfaatnya akan sama-sama mereka rasakan.

    5. Asas kewarisan muncul kalau ada yang meninggal dunia Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat

    kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain, yang disebut dengan nama

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 437

    437

    kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain, dan disebut sebagai harta kewarisan, selama orang yang mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Ini berarti bahwa kewarisan Islam adalah akibat kematian seseorang atau yang disebut dalam hukum kewarisan perdata Barat kewarisan ab intestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat oleh seseorang pada waktu ia masih hidup yang disebut dalam hukum perdata Barat dengan istilah kewarisan secara testamen. Asas ini mempunyai kaitan dengan asas ijbari tersebut di atas yakni seseorang tidak sekehendaknya saja menentukan penggunaan hartanya setelah ia mati kelak. Melalui wasiat menurut hukum Islam, dalam batas-batas tertentu, seseorang memang dapat menentukan pemanfaatan harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia, tetapi wasiat mempunyai ketentuan sendiri yang terpisah dari ketentuan hukum kewarisan Islam. Dalam kitab kitab hukum fiqih Islam, wasiat dibahas tersendiri di luar hukum kewarisan.21

    21 Amir Syarifuddin, 1984 : 18-25).

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 438

    438

    PENUTUP KESIMPULAN Dari uraian diatas dan pembahasan-pembahasantersebut di atas,

    dapt disimpulkan sebagi berikut : 1. Ekssistensi dan kedudukan Islam dalam tat hukum

    Indonesia sudah dimulai sejak jaman abad pertama Hijriah atau pada abad ketujuh atau kedelapan Masehi. Hal ini ditujukkan dengan masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke 13 Masehi. Pada saat itulah hukum islam sudah mulai berinteraksi dengan hukum adat sehingga menumbulkanhukum islam ala Indonesia dengan mengharmonisasi hukum adat. Hal ini, misalnya dibuktikan lagi dengan pengembangan Islam oleh Wali Songgo.

    2. Asas-asas hukum Islam itu ternyata secara prinsipil sesuai dengan asas-asas huhkum pidana Barat. Misalnya asas legalitas dan asas praduga tak bersalah yang juga terdapat dan diatur dalam hukum islam.

    3. Asas-asas hukum Islam itu ada beberapa kesamaan dengan asas hukum perdata. Misalnya asas kebebasan dan kesukarelaan, yang dalam hukum perdata disebut asa kebebasan berkontrak.

    4. Asas perjanjian tertulis atau diucapkan di depan saksi (ijab kabul) dalam hukum Islam ternyata di dalam hukum perdata pun dibahas bahwa suatu perjanjian itu harus dilaksanakan dengan formil dan tertulis yang bersifat autentik di hadapan notaris dan saksi-saksi dari kedua belah pihak.

    5. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Baru, yang sekarang dalam proses penggodokan, juga mengakomodir asas-asas atau prinsip-prinsip hukum Islam dalam beberapa ketentuan, misalnya dalam delik zina juga dalam Wvs (Wet boek Van Strafecht) (KUHP) disebutkan :

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 439

    439

    “ Adalah perbuatan atau hunbungan suami istri yang kedua-duanya atau salah satunya sudah berkeluarga yang dilakukan dengan orang lain, itu disebut zina. Tetapi apabila kedua belah pihak mengadakan hubungan suami istri tetapi dia belum berkeluarga itu bukan melakukan delik zina “.

    Sedangkan ketentuan delik zina yang mengaokomodir asas hukum Islam yang akan dimasukan dalam KUHP Pidana Baru.

    “ Delik zina adalah suatu perbuatan atau hubungan yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah maupun yng belum menikah”.

    Dengan demikaian , walaupun dia belum menikah namun mengadakan hubungan suami istri dilarang oleh hukum Islam dan juga merupakan delik zina yang akan dimasukan dalam salah satu ketentuan KUHP Pidana yang baru.

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 440

    440

    DAFTAR PUSTAKA Abduul1ah, Abdul Ghani, Badan Hukum Syara ‘ Kesultanan Bima

    1947-1957, Disertasi (Jakarta: lAIN Syarif Hidayatullah, 1987) Abdullah, Asjmuni, H. Pengantar Kepada Ijtihad (Jakarta: Bulan

    Bintang, 1978) Adams, Charles J. Islam Dalam The Greast Religions (New York:

    The Free Press, 1965) Aghnides, Nicholas, P. Pengantar Ilmu Hukum Islam (Solo : Siti

    Syamsiah, 1976) Attas, M. Al-Naquib Al-Islam and Secularism atau Islam dan

    Sekularisme alih bahasa, Bandung : Pustaka 1981) Ali,Muhammad Daud, Bangunan-bangunan Islam (Jakarta: Bintan&

    1968).dk Anderson, Norman. Law Reform in the Muslim World (University

    of London the Athione Press, 1976) Anshori, Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945

    (Bandung, Pustaka, 1981) Hiddieqy, Hasbi TM., Ash, Seajrah Pertumbuhan dan Perkembangan

    Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1971) ___________ Filsafat Hukum Islam (Jakarta : Bulan Bintang,

    1975) Aulawi, Wasit HA. Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum

    Nasional (Pidato Pengukuhan 1989) Basyir, Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Muarnalah (Jogjakarta :

    UII, 1983) Benda, H.J,,A History of Islamic Law (Edinburg : Edinburg

    University Press, 1964)

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 441

    441

    David, Rene dan John E. c. Bierley, Major Legal Systems in the World Today (London: Stevens & Sons Ltd., 1968)

    Dennifer, Ahmad Von. “Ulum al-Qura’an atau Ilmu Alqur ‘an” alih bahsa: Rajawali, 1989)

    Djatmika, R. Rachmat. Sistem Etika Islami (Surabaya: Pustaka Islam, 1985)

    Gazalba, Asas Ajaran Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1975) Gibb, H.A.R. Mohammedanism (London: Oxford University

    Press, 1969) Haekal, Muhammad Husein. Sejarah Hidup Muhammad alih

    bahasa (jakarta : Pustaka Jaya, 1979) Hamka, Antara dan Khayal “Tuanku Rao” (Jakarta : Bulan

    Bintang, 1974) ___________“Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara’

    di dalam Kebudayaan Minangkabau, Panji Masyarakat,nomor 61/TV/i 970

    Hanafi, A. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1970)

    Haryono, Anwar, Hukum Islam Keluasaan dan Keadilannya (Jakarta: Bulan Bintang,1968)

    Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup alih bahasa (Bandung: Pustaka, 1984)

    ___________ al-Furqan (Jakarta : DDII, 1962) Hasan, Hohd. Kamal. “Beberapa Pengamatan Umum Tentang ilmu-

    ilmu Kemasyarakatan dan Pengafian Islam dalam Konteks Pemabngunan Negara.

    “Makalah dalam Seminar Islam di Pusat-pusat Pengajian Tinggi Asean (Bangi : UKM, 1978)

    Hatta, Mohammad, Pengantar Pancasila (Jakarta: idayu, 1978) Hazairi, Kuliah Hukum Islam I 1954/1955, disusun oleh

    Muhammad Daud (A4), 1955 ____________Hukum Kekeluargaan Nasional (Jakarta: Tintamas,

    1968)

  • Nanang M. Hidayatullah: Kedudukan Hukum Islam…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004 442

    442

    ____________Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tintamas, 1973) ____________Tujuh Serangkai Tentang Hukum (Jakarta :

    Tintamas, 1974) Daud Mohammad H. Hukum Islam (Pengantar ilmu Hukum dan

    Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998 Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum

    Nasional (PT Raja Grafindo Persada Jakarta: 1995)