kedudukan dan fungsi peraturan pelaksana dalam pembentukan peraturan perundang ... · 2019. 12....
TRANSCRIPT
i
KEDUDUKAN DAN FUNGSI PERATURAN PELAKSANA DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA (KAJIAN TERHADAP PERATURAN GUBERNUR NUSA
TENGGARA BARAT)
JURNAL ILMIAH
Oleh:
MUHAMMAD FAKHRY
D1A015178
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2019
ii
HALAMAN PENGESAHAN JURNAL ILMIAH
KEDUDUKAN DAN FUNGSI PERATURAN PELAKSANA DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA (KAJIAN TERHADAP PERATURAN GUBERNUR NUSA
TENGGARA BARAT)
Oleh:
MUHAMMAD FAKHRY
D1A015178
Menyetujui :
Pembimbing Pertama
( Dr. H. Kaharudin, SH., MH )
NIP. 19681231 200812 1 009
iii
ABSTRAK
KEDUDUKAN DAN FUNGSI PERATURAN PELAKSANA DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA (KAJIAN TERHADAP PERATURAN GUBERNUR NUSA
TENGGARA BARAT)
MUHAMMAD FAKHRY
D1A015178
Fakultas Hukum Universitas Mataram
Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan sifat analisis data Preskriptif yang
berarti memberikan argumentasi mengenai benar atau salah atau apa yang
seyogianya menurut hukum terhadap peristiwa hukum dari hasil penelitian. Hasil
Penelitian pertama bahwa kedudukan dan fungsi Peraturan Gubernur sebagai
peraturan pelaksana berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang dibentuk berdasarkan atas perintah peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dasar kewenangan pembentukannya
dan fungsinya untuk melaksanakan perintah dari peraturan perundang-undangan
di atasnya. Kedua, Peraturan Gubenur yang dibentuk tanpa delegasi bersifat Batal
Demi Hukum. Namun dalam Hukum Administrasi dapat dikategorikan ke dalam
Peraturan Kebijakan dengan syarat harus sesuai dengan tujuan, ruang lingkup, dan
persyaratan diskresi.
Kata Kunci : Peraturan Gubernur, Peraturan Pelaksana, Kedudukan dan Fungsi
FUNCTION AND POSITION OF IMPLEMENTING REGULATION IN
ESTABLISHMENT OF LEGAL REGULATION IN INDONESIA (STUDY ON
GOVERNOR REGULATION OF WEST NUSA TENGGARA)
Abstract
The method of this research is normative legal research with using perspective
giving argumentation true or false or what should be according to the law
through the legal fact from the result of the research. The result of this result is
that the First, function and position of governor regulation as a implementing
regulation base on Law Number 12 of 2011 Article 8, Paragraph (1) and (2) are
recognized the existence and binding as long as it is made base on the order of
higher regulation the function for implementing the order from higher regulation.
The Second, Governor Regulation made without delegation is canceled by law but
in administration law can be categorized in Policy Regulation with requirement
that must be in accordance with the purposes, scope, and discretion.
Key Words: Governor’s Regulation, Implementing Regulation, Function and
Position
i
I. PENDAHULUAN
Berdasarkan sistem hukum di Indonesia, maka peraturan perundang-
undangan menurut dasar kewenangannya dapat diklasifikasikan menjadi
peraturan perundang-undangan yang memiliki kewenangan atribusi dari
Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang, dan ada peraturan perundang-
undangan yang fungsinya untuk melaksanakan perintah atau delegasi dari
peraturan di atasnya yang mendelegasikannya yang disebut dengan peraturan
pelaksana.
Sebagai peraturan pelaksana, maka materi muatan yang harus diatur
adalah materi muatan yang didelegasikan oleh peraturan yang di atasnya
yang mendelegasikan, sehingga ruang lingkup pengaturannya sudah secara
limitatif diatur dalam peraturan yang mendelegasikan.
Peraturan Gubernur merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh
Gubernur sebagai Kepala Daerah sekaligus berfungsi sebagai peraturan
pelaksana yang pembentukannya didasarkan atas perintah atau delegasi oleh
peraturan daerah provinsi, sehingga karena kedudukannya sebagai peraturan
pelaksana maka harus ditetapkan setelah ada perintah dari peraturan daerah.
Berdasarkan hasil kajian pendahuluan bahwa banyak peraturan
gubernur yang ditetapkan di Provinsi Nusa Tenggara Barat selain sebagai
peraturan pelaksana yang melaksanakan delegasi dari peraturan daerah,
banyak pula peraturan gubernur yang ditetapkan bukan sebagai
pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan daerah, peraturan
menteri, peraturan pemerintah maupun undang-undang.
ii
Peraturan Gubernur yang ditetapkan tanpa adanya pendelegasian
kewenangan mengatur dari peraturan di atasnya, bisa saja merupakan
kewenangan bertindak bagi gubernur sebagai pejabat administrasi Negara
untuk menetapkan peraturan kebijakan sebagai tindakan diskresi dalam
rangka mengisi kekosongan hukum yang biasa disebut dengan freies
ermessen (kewenangan bertindak bebas). Namun demikian, apakah
penetapan peraturan gubenur tanpa delegasi dari peraturan di atasnya yang
merupakan peraturan kebijakanm sebagai kebebasan bertindak dari pejabat
administrasi negara sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai suatu
peraturan kebijakan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pada alasan-alasan tersebut di atas, maka penulis akan
melakukan kajian terhadap pembentukan peraturan gubernur sebagai
peraturan pelaksana dari peraturan yang ada di atasnya dengan mengangkat
judul “ Kedudukan Dan Fungsi Peraturan Pelaksana Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia ( Kajian
Terhadap Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat).
Berdasarkan atas latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kedudukan dan
fungsi peraturan gubernur dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan di Indonesia? 2. Apa implikasi hukum terhadap peraturan
gubernur yang dibentuk tanpa adanya delegasi dari peraturan yang lebih
tinggi?
iii
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu : 1. Untuk menjelaskan
kedudukan dan fungsi Peraturan Gubernur sebagai peraturan pelaksana dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. 2. Untuk
menjelaskan implikasi hukum terhadap Peraturan Gubernur sebagai peraturan
pelaksana yang dibentuk tanpa adanya delegasi dari peraturan yang lebih
tinggi.
Manfaat dari dilakukannya penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1.
Secara teoritis, diharapkan dapat berguna untuk pengembangan ilmu hokum.
2. Manfaat Praktis bahwa penyusun sangat berharap penelitian ini dapat
dijadikan sebagai refrensi dan menambah wawasan bagi orang lain sehingga
dapat berguna sebagai pengetahuan, serta dapat menjadi acuan untuk
penyelesaian masalah yang berhubugan dengan hukum.
Berdasarkan judul dan permasalahan yang diteliti, maka jenis penelitian
ini adalah penelitian hukum normatif dengan sifat analisis data Preskriptif
dengan menggunakan dua metode pendekatan yaitu: 1. Pendekatan
Perundang-undangan. 2. Pendekatan Konseptual. Kemudian jenis dan sumber
bahan hukumnya yaitu : 1. Bahan Hukum Primer. 2. Bahan Hukum Sekunder
dan. 3. Bahan Hukum Tersier. Adapun teknik/cara memperoleh bahan hukum
adalah dengan melakukan studi kepustakaan. Sementara itu analisis bahan
hukumnya menggunakan Analisis Kualitatif dengan menggunakan Metode
Deduktif.
iv
II. PEMBAHASAN
A. Kedudukan dan Fungsi Peraturan Gubernur Dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Sumber kewenangan delegasi dalam peraturan perundang-undangan
melahirkan produk peraturan perundang-undangan yang sering disebut
dengan istilah Peraturan Pelaksana. Peraturan Pelaksana yaitu peraturan-
peraturan yang berfungsi sebagai pelaksana undang-undang atau yang disebut
dengan istilah “delegated legislations” sebagai “subordinate legislations”.
Disebut sebagai “delegated legislations” karena kewenangan untuk
menentukannya berasal dari kewenangan yang didelegasikan dari undang-
undang oleh pembentuk undang-undang (legislature).1
Prinsip pendelegasian kewenangan mengatur (delegation of rule-
making power) itu pada pokoknya tunduk kepada doktrin atau “ legal
maxim” yang dikenal luas, yaitu “delegatus non potest delegare”,
yang berarti “ a delegate may not sub-delegate his or her power”.
Artinya, pejabat atau lembaga yang diberi delegasi kewenangan itu
tidak boleh mendelegasikan lagi kewenangan untuk mengatur itu
kepada lembaga lain yang lebih rendah. Namun, dalam praktik,
kadang-kadang, lembaga pelaksana undang-undang juga diberi
kewenangan oleh undang-undang untuk memberi delegasi
kewenangan lagi kepada lembaga yang lebih rendah. Ini disebut
sebagai “ sub-delegation of legislative power” atau “ sub-delegation of
rule-making power”. Biasanya, untuk memberikan sub-delegasi
kewenangan itu dipersyaratkan bahwa hal itu harus sudah ditentukan
dengan tegas atau secara explisit dalam undang-undang induknya
(principle legislation). Hanya dengan begitu maka peraturan
pemerintah dapat mengatur bahwa untuk hal-hal yang lebih teknis,
dapat diatur lebih lanjut oleh menteri terkait dalam bentuk peraturan
menteri, dan sebagainya.2
1 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Cet.1, Konstitusi Press, Jakarta, 2006,
hlm. 275
2Ibid, hlm. 276
v
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa peraturan pelaksana ialah
peraturan yang dibentuk atas dasar delegasi atau perintah dari peraturan
perundang-undang yang ada di atasnya untuk mengatur suatu hal tertentu
yang secara tegas atau tidak menurut peraturan perundang-undangan yang
mendelegasikannya.
Ketentuan terkait dengan tata cara pendelegasian kewenangan dari
suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah telah diatur secara jelas dalam
Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan pada BAB II hal-hal khusus huruf A perihal
Pendelegasian Kewenangan pedoman Nomor 198 s/d pedoman Nomor 216.
Dalam ketentuan tersebut secara lengkap mengatur mengenai tata cara
pendelegasian kewenangan termasuk di dalamnya mengatur terkait dengan
ruang lingkup materi muatan yang diatur dan jenis peraturan perundang-
undangan yang ditujukan. Selain itu, dalam ketentuan tersebut menjelaskan
bahwa tidak diperbolehkan adanya pendelegasian blanko atau tidak
menjelaskan secara lengkap suatu peraturan yang didelegasikan mengatur
tentang hal tertentu.
Ketentuan mengenai Peraturan Gubernur terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal
146 ayat (1) dan (2) berturut-turut berbunyi:
(1) “Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang
undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan
atau keputusan kepala daerah”.
vi
(2) “Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi”.
Dapat diketahui bahwa pembentukan Peraturan Kepala Daerah dalam
hal ini adalah Peraturan Gubernur memiliki syarat yaitu meliputi : Pertama,
dibentuk atas dasar perintah dari Perda. Kedua, tidak boleh melanggar
kepentingan umum. Ketiga, tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Inilah persyaratan pembentukan
Peraturan Gubernur menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.
Pada kenyataannya pendelegasian kewenangan kepada Peraturan
Kepala Daerah khususnya Peraturan Gubernur sering ditemukan pada tataran
Peraturan Daerah. Seperti contohnya pada Peraturan Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Barat Nomor 9 Tahun 2018 tentang Bale Mediasi dalam Pasal 7
ayat (2) berbunyi:
“Tugas Pengurus Bale Mediasi, Persyaratan, Tata Cara Pengangkatan
dan tugas Pelaksana Harian Bale Mediasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur”.
Dapat dicermati bahwa pada pasal ini diperintahkan kepada Peraturan
Gubernur untuk membentuk aturan yang berkaitan dengan Tugas Pengurus
Bale Mediasi, Persyaratan, Tata Cara Pengangkatan dan Tugas Pelaksana
Harian Bale Mediasi. Dapat dicermati bahwa hal tersebut adalah hal yang
bersifat teknis pelaksanaan yang tidak mungkin untuk diatur dalam Perda
tersebut. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Peraturan Kepala Daerah
khususnya yaitu Peraturan Gubernur adalah jenis peraturan yang dikeluarkan
vii
oleh Gubernur atas delegasi dari suatu peraturan perundang-undangan
diatasnya yang mengatur tentang hal-hal tertentu yang tidak dapat diatur
dalam peraturan perundang-undangan diatasnya khususnya terkait dengan
hal-hal yang bersifat teknis pelaksanaan.
Kedudukan peraturan gubernur sebagai peraturan pelaksana dari sisi
ilmu peraturan perundang-undangan yaitu mengacu pada Pasal 8 ayat (1) dan
(2) menegaskan secara lebih lanjut bahwa peraturan yang tidak termasuk
dalam hierarki perundang-undangan pada Pasal 7 tetap diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan mengikat jika didasarkan atas delegasi dari
peraturan yang ada diatasnya atau dibentuk berdasarkan atas dasar
kewenangannya. Ketika pembentukan peraturan gubernur tidak tercantum
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengharuskan
peraturan gubernur tersebut harus atau dapat dibentuk maka Peraturan
Gubernur tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara umum.
Secara tidak langsung legalitas atau dasar hukum terhadap peraturan gubernur
yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan inilah yang sekaligus
menjadi posisi atau kedudukan dari peraturan gubernur meskipun
kedudukannya tidak tercantum dalam hierarki peraturan perundang-
undangan.
Secara sederhana kedudukan peraturan gubernur sebagai peraturan
pelaksana dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) yaitu tidak termasuk dalam hierarki
viii
namun tetap diakui keberadannya dan dapat mengikat seperti peraturan
perundang-undangan pada umumnya yang tercantum dalam hierarki
sepanjang pembuatannya didasarkan atas perintah dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk dengan dasar kewenangan yang
jelas. Kedudukan dari Peraturan Gubernur itu sendiri yaitu sebagai Peraturan
Perundang-Undangan yang dipertegas dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Sedangkan fungsi dari Peraturan Gubernur adalah sebagai peraturan
pelaksana dari peraturan perundang-undangan di atasnya. Karena pada
dasarnya peraturan pelaksana berfungsi untuk mengatur ketentuan-ketentuan
yang tidak dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Sejalan dengan ini seperti yang telah dikemukakan oleh Jimly
Asshiddiqie bahwa pendelegasian kewenangan (delegation of rule-making
power) mengatur lebih lanjut dari undang-undang kepada menteri atau
pejabat setingkat menteri dibatasi hanya untuk pengaturan mengenai norma-
norma hukum yang bersifat teknis administratif. Sedangkan norma-norma
hukum yang mengandung pengaturan lebih lanjut mengenai substansi hak
dan kewajiban tidak didelegasikan, apalagi disubdelegasikan.3
3Ibid, hlm. 218
ix
B. Implikasi Hukum terhadap Peraturan Gubernur sebagai Peraturan
Pelaksana yang Dibentuk Tanpa Adanya Delegasi dari Peraturan yang
Lebih Tinggi
Pemerintah dalam arti kekuasaan eksekutif dapat menetapkan peraturan
perundang-undangan dengan syarat harus didasarkan atas pendelegasian
kewenangan yang berasal dari pembentuk undang-undang (legislative
delegation of the rule-making power). Presiden dan lembaga-lembaga
Pemerintah yang termasuk kedalam kekuasaan eksekutif ketika ingin
membuat peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sebagai
“subordinate legislations”, maka peraturan yang dimaksud haruslah
merupakan “delegated legislations” ataupun “subdelegated legislations”
Dengan demikian, tingkatan hierarkis peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh pejabat-pejabat ini berada di bawah tingkatan undang-undang
yang merupakan “legislative acts” atau produk legislatif. Sedangkan produk
hukum yang dibentuk oleh lembaga-lembaga sekunder ini sebagai pejabat
atau lembaga eksekutif biasa disebut pula dengan istilah “executive acts” atau
produk eksekutif.4
Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di dalam Pasal 5
menentukan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus
berdasarkan pada asas pembentukan peraturan-perundang-undangan yang
baik yang salah satu diantaranya yaitu Asas Kelembagaan dan Organ
4Ibid, hlm. 319
x
Pembentuk yang tepat. Dalam asas ini setiap jenis peraturan perundang-
undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan
perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang.5
Secara yuridis, berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh Jimly
Asshiddiqie bahwa berdasarkan prinsip pendelegasian kewenangan legislasi,
norma hukum yang bersifat pelaksanaan dianggap tidak sah apabila dibentuk
tanpa didasarkan atas delegasi kewenangan dari peraturan yang lebih tinggi.6
Misalnya, Peraturan Presiden dibentuk tidak atas perintah dari UU atau
PP, maka Peraturan Presiden dapat dianggap tidak sah. Peraturan Menteri,
jika tidak diperintahkan sendiri oleh Peraturan Presiden atau Peraturan
Pemerintah, berarti peraturan dimaksud dapat dianggap tidak sah. Demikian
pula bentuk-bentuk peraturan lainnya, jika tidak didasarkan atas perintah
peraturan yang lebih tinggi maka peraturan itu dianggap tidak memiliki dasar
yang melegitimasikan pembentukannya.7
Dalam pokok permasalahan kedua memiliki perbedaan dengan doktrin
yang disampaikan oleh Jimly Ashiddiqie mengenai sah atau tidaknya suatu
peraturan pelaksana tanpa adanya delegasi. Pada dasarnya suatu peraturan
perundang-undangan tetap dikatakan sah selama peraturan tersebut dalam
pembentukannya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan
5 Rosyid Al Atok, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Teori, Sejarah,
Dan Perbandingan Dengan Beberapa Negara Bikameral, Ed. Revisi, Setara Press, Malang, 2015,
hlm. 28
6 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hlm. 215
7Ibid,
xi
dibentuk sesuai dengan organ pembentuknya. Dalam ketentuan Pasal 8 ayat
(2) secara explisit memuat bahwa dasar atau syarat pembentukan peraturan
pelaksana yang telah disebutkan dalam ayat (1) adalah berdasarkan atas
perintah dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan. Berarti pembentukan peraturan pelaksana selain
berdasarkan atas perintah dari peraturan diatasnya namun dapat juga dibentuk
berdasarkan kewenangan ini berarti bahwa terdapat dua opsi pembentukan
peraturan pelaksana dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Oleh karena itu berdasarkan atas kajian penyusun bahwa secara
normatif Peraturan Gubernur yang dibentuk tanpa delegasi sepanjang
dibentuk berdasarkan atas kewenangan tetap dianggap sah, berlaku secara
umum dan mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan atas ketentuan
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Ditinjau dari aspek hukum administrasi negara, terdapat produk hukum
yang dinamakan Peraturan Kebijakan. Produk hukum ini bersumber dari
istilah yang dikembangkan dalam hukum administrasi di Belanda oleh J.H
Van Kreveld disebut atau dinamakan dengan istilah “beleidsregel”,
“bestuursregels” atau “beleidslijnen”. Sedangkan, oleh van der Hoeven dalam
A. Hamid S.Attamimi menyebutnya dengan istilah “pseudo-wetgeving” atau
perundang-undangan semu dan oleh Mannoury disebut dengan istilah
“spiegelrecht”. Di Inggris Peraturan Kebijakan disebut dengan istilah
xii
“administrative rules” serta di Jerman sendiri pada mulanya digunakan istilah
vermaltung-verordnungen. Dari istilah tersebut di Indonesia umumnya
diberikan dan diterjemahkan dalam berbagai sebutan yaitu Peraturan
Kebijakan, Peraturan Kebijaksanaan, dan Perundang-Undangan Semu.8
Peraturan gubernur yang dibentuk atas dasar diskresi yang tergolong ke
dalam peraturan kebijakan dengan peraturan gubernur yang dibentuk
berdasarkan kewenangan yang tergolong ke dalam peraturan perundang-
undangan memiliki perbedaan sebagai berikut :
Perbedaan
Nomor
Peraturan Gubernur Tanpa Delegasi
Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Kebijakan
Dasar
Kewenangan
1 Dibentuk berdasarkan atas
kewenangan.
Dibentuk atas
kewenangan diskresi.
Dasar Hukum
2 Dasar hukumnya yaitu Pasal 8 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Dasar hukum yaitu Pasal
23, 24, dan 25 Undang-
Undang Nomor 30
Tahun 2014 Tentang
Administrasi
Pemerintahan
Tujuan dan
Materi yang
diatur
3 Dibentuk dalam rangka
mempermudah penyelenggaraan
pemerintahan.
Dibentuk dalam rangka
mengisi kekosongan
hukum atau terdapat
ketentuan dalam aturan
yang belum jelas.
Latar Belakang
Pembentukan
4
Tidak atas dasar pemikiran dan
pertimbangan yang keras karena
hanya untuk mempermudah
penyelenggaraan pemerintahan.
Dibentuk berdasarkan
atas hasil pertimbangan
yang cukup keras dari
Gubernur.
Contoh
Peraturan
Gubernur
5
Peraturan Gubernur Nomor 13
Tahun 2017 Penerimaan Peserta
Didik Baru Pada Sekolah
Menengah Atas,Sekolah
Menengah Kejuruan Dan
Sekolah Luar Biasa.
Peraturan Gubernur Nomor 34
Tahun 2013 Penyelenggaraan
Pelayanan Publik.
Peraturan Gubernur
Nomor 22 Tahun
2013
Penanggulangan
Pasung Di Provinsi
Nusa Tenggara
Barat.
Peraturan Gubernur
Nomor 8 Tahun
2014 Pengurangan
Risiko Bencana.
8 Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Cet. 1, Identitas, Makassar, 2013, hlm
213
xiii
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di
atas, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut : 1. Kedudukan
Peraturan Gubernur menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah
dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan menurut ketentuan
Pasal 8 ayat (1) dan (2) sedangkan fungsi dari peraturan gubernur yaitu
sebagai peraturan pelaksana dari peraturan perundang-undangan di atasnya.
Karena peraturan gubernur berfungsi untuk melaksanakan dan mengatur hal
hal yang tidak mungkin untuk dimuat oleh peraturan di atasnya yang pada
umumnya bersifat teknis administratif. 2. Implikasi hukum peraturan
gubernur yang dibentuk tanpa adanya delegasi adalah bersifat sah dan tetap
mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku secara umum sesuai
dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) asalkan dibentuk berdasarkan atas
kewenangan. Sedangkan peraturan gubernur yang dikategorikan sebagai
peraturan kebijakan yaitu peraturan gubernur yang dibentuk atas dasar
diskresi atau asas freies ermessen, dibentuk dengan alasan untuk mengisi
kekosongan hukum dan melalui pertimbangan dan pemikiran yang keras dari
pejabat administrasi negara yaitu Gubernur.
Saran
Adapun saran yang dapat dikemukakan oleh penyusun adalah sebagai
berikut: 1. Hendaknya Pemerintah Daerah dalam pembentukan peraturan
xiv
gubernur harus didasarkan pada asas kepastian hukum yaitu harus
berdasarkan atas pendelegasian kewenangan dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. 2. Pemerintah Daerah dalam pembentukan
peraturan gubernur berdasarkan kewenangan diskresi harus betul-betul sesuai
dengan persyaratan diskresi berdasarkan peraturan perundang-undangan
sehingga tidak rentan untuk digugat apabila peraturan guernur tersebut
ditetapkan merugikan kepentingan masyarakat.
xv
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Cet.-1, Identitas, Makassar,
2013.
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Cet.1, Konstitusi Press, Jakarta,
2006.
Rosyid Al Atok, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Teori,
Sejarah, Dan Perbandingan Dengan Beberapa Negara Bikameral, Ed.
Revisi, Setara Press, Malang, 2015.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.LN No. 82 Tahun 2011, TLN No.5234.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.LN No.292 Tahun 2014, TLNNo.5601.