kecemasan proposal skripsi herry purwantoro
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Sistem Nasional No. 20 Tahun 2003 Tahun
2003 Bab I pasal 1 ayat 1 yang berbunyi:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. (Sisdiknas, 2010:2)
Belajar merupakan kegiatan utama dalam setiap usaha pendidikan.
Dalam proses pembelajaran banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian
tujuan belajar. Fakta menunjukan bahwa banyak sekali bentuk-bentuk
perubahan yang diperoleh individu dari hasil belajar, sehingga kualitas
peradaban individu juga tergantung pada apa dan bagaimana individu belajar.
Namun kadangkala siswa merasakan kondisi yang kurang nyaman
dalam proses belajar. Ketidaknyamanan tersebut menimbulkan kecemasan
sehingga siswa menjadi tidak dapat konsentrasi dalam belajar. Kecemasan,
kekhawatiran akan ketidak berhasilan merupakan kecendrungan yang dapat
mendukung munculnya minat untuk belajar, namun kecemasan yang berlebih
akan menjadi sesuatu yang merugikan apabila berada pada batas diluar
kewajaran.
Individu yang mengalami kecemasan dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya karena adanya pengalaman negatif perilaku yang yang telah
dilakukan, seperti kekhawatiran akan adanya kegagalan. Merasa frustasi dalam
situasi tertentu dan ketidakpastian melakukan sesuatu.
Dapat diketahui bahwa kecemasan dipengaruhi oleh beberapa hal
diantaranya kekhawatiran akan kegagalan, frustasi pada hasil tindakan yang
lalu, evaluasi diri yang negative, perasaan diri yang negatif tentang tentang
1
kemampuan yang dimilikinya, dan orientasi diri yang negatif. (Ghufron, M, N
& Risnawati S, R. 2010: 144-145).
Kecemasan perlu mendapat perhatian dari guru dan pendidik, bahwa
faktor lingkungan sosial, tekanan, perlakuan dan sikap guru bisa menjadi
pemicu munculnya kecemasan. Selanjutnya kecemasan dapat disebabkan
karena kondisi aktivitas belajar dikelas yang berlangsung secara tidak baik.
Kenyataan ini seringkali dijumpai dalam proses pembelajaran, dimana
perbedaan kemampuan individu yang beragam menjadi penyebab munculnya
kecemasan.
Kecemasan menjadi salah satu salah satu penghambat dalam belajar
apabila sampai mengganggu kenerja fungsi kognitif siswa. Awalnya pemikiran
tentang kecemasan belajar muncul dari sikap dan perlakuan guru, iklim sekolah
yang kurang nyaman, ketidakpercayaan pada kemampuan yang dimiliki, siswa
merasa kehilangan makna dan harapan serta muncul bayangan kegagalan.
Pemikiran tersebut akhirnya dapat mempengaruhi pandangan pada masa depan
karena memprediksi hasil yang buruk. Kondisi ini tidak dapat dipandang
sebelah mata, dibutuhkan tindakan penanggulangan yang cepat dan tepat dalam
upaya membantu mengatasi kecemasan siswa, karena apabila dibiarkan akan
merugikan siswa secara fisik dan psikologis.
Program bimbingan dan konseling disekolah sebagai wadah yang
memfasilitasi kebutuhan psikologis siswa dapat membantu mengatasi masalah-
masalah yang dipandang cukup efektif untuk memberi arahan, dorongan dan
memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penilaian diri atas tugas dan
pekerjaan yang ia lakukan. Meskipun demikian dalam prakteknya keberadaan
layanan bimbingan dan konseling belum banyak dimanfaatkan siswa.
Rendahnya kunjungan siswa keruang bimbingan tidak semata-mata karena
faktor siswa, tetapi didukung pula karena kemampuan professional guru BK
yang kurang memadai sehingga dipersepsi siswa sebagai sikap yang kurang
simpati. Hakikatnya didalam proses belajar siswa tidak akan terlepas dari
2
interaksi dan komunikasi, antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa
dengan lingkungan belajar. Mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya membangun pola interaksi dan komunikasi yang
harmonis. Dalam proses pembelajaran guru memberi kontribusi cukup besar
dalam membentuk kepribadian siswa yaitu dengan memberikan kesempatan
sebesar-besarnya untuk mengungkapkan pendapat dari siswa itu sendiri agar
dalam sekolah tidak hanya guru yang aktif tetapi juga siswa dituntut aktif dalam
setiap pembelajaran berlangsung misalnya kegagalan membangun komunikasi
akan menimbulkan persepsi yang salah dan akan menambah tingkat kecemasan
belajar siswa. Merebaknya isu kecemasan belajar secara langsung
bersinggungan dengan isi kualitas belajar, terutama jika dilihat dari dampak
yang ditimbulkannya. Selain berdampak pada aspek kognitif juga pada aspek
afektif siswa.
Dalam konsep behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar,
sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi
belajar. Pada dasarnya proses konseling merupakan suatu penataan proses atau
pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya agar
mendapat memecahkan masalahnya. (Surya, M. 2003 : 25). Sepanjang rasa
cemas tersebut intensitasnya masih berada pada batas kewajaran justru dapat
menjadi pendorong, tetapi apabila kecemasan menjadi berlebihan siswa akan
mengalami gangguan yaitu kecemasan menjadi berlebihan siswa akan
mengalami gangguan yaitu kekhawatiran, cemas, menjasd tidak rasional apabila
aktivitas dalam kehidupannya terganggu dan menghambat fungsi social dalam
dirinya. Karena belajar merupakan proses berpikir yang berhubungan dengan
inteligensi atau kemampuan seringkali kita beranggapan bahwa faktor
inteligensi yang rendah sebagai satu-satunya faktor yang membuat seorang
siswa merasa cemas dalam belajar, padahal faktor-faktor non inteligensi seperti
yang digambarkan diatas tidak sedikit yang menjadi penyebab munculnya rasa
cemas.
3
Kecemasan belajar yang berlebihan selain menghambat dan
menggganggu fungsi afektif juga mempengaruhi fungsi kognitif siswa seperti,
tidak dapat berkonsentrasi, sulit untuk mengingat. Pada tingkat kronis gangguan
kecemasan akan berdampak pada kesehatan fisik dan psikis. Dalam hal ini
bimbingan konseling disekolah dapat memfasilitasi siswa dalam masa transisi
menuju kedewasaan agar mereka mampu membuat keputasan yang sangat
tepat, positif, efektif, tidak diwarnai dengan kecemasan yang berlebihan
terhadap aktivitas pembelajaran yang menuntut penguasaan kompetensi pada
setiap mata pelajaran. Diharapkan bahwa siswa memiliki kemampuan
antisipatif dalam menghadapi tantangan dan kendala-kendala, respontif dalam
menghadapi peluang yang muncul untuk mengaktualisasikan potensi yang
mereka miliki.
Di sekolah SMA PGRI IV Jl. Veteran Km 4,5. Terdapat mengalami
gejala kecemasan dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti
kepada konselor sekolah yaitu Ibu Hj. Suhartini menyatakan bahwa siswa-siswi
yang mengalami kecemasan misalnya gugup, tidak percaya diri, menggigit
pensil, persaingan, situasi tes, kegiatan atau latihan yang dihitung waktunya,
menarik diri dari lingkungan sekitar, sering bertengkar, mudah tersinggung dan
sebagainya. Hal tersebut dikarenakan target kurikulum yang terlalu tinggi,
pelaksanaan layanan BK yang kurang efektif, hukuman yang diberikan petugas
pelajar terlalu berat, dll.
Sehingga dengan permasalahan ini maka peneliti ingin mengadakan
penelitian disekolah ini. Yang mana pada saat masa remaja ini adalah masa
untuk pencarian jati diri sehingga banyak terjadi kesalahan-kesalahan persepsi
yang ditenggarai karena ketidak mampuan membangun komunikasi akibatnya
siswa mengalami kecemasan.
Keberagaman masalah yang dihadapi siswa diatas menuntut perlunya
layanan BK responsip yang menyediakan program terapeutik untuk mengubah
perasaan-perasaan negatifdan menggantikannya dengan perasaan-perasaan yang
4
positif. Keberadaan layanan bimbingan dan konseling disekolah adalah suatu
proses bantuan yang dilakukan melaluikomunikasi dialogis, terstruktur, antar
pribadi, mendalam, terarah kepada pemecahan masalah dan upaya
mengoptimaisasikan perkembangan individu
Salah satu teknik pendekatan untuk membantu siswa mengatasi
kecemasan belajar adalah model pendekatan behavioral yaitu melalui tekhnik
Operant Conditioning, Social Modeling, Cognitif Learning, dan Emotional
Learning. Model layanan bimbingan dan konseling behavioral efektif untuk
memfasilitasi dan membantu siswa bagaimana mereduksi perasaan cemas,
perasaan takut gagal, perasaan menyalahkan orang lain dan diri sendiri.
Pendekatan behavioral bertujuan memperkuat perilaku yang diharapkan dan
mengubah perilaku yang tidak diharapkan.
Kondisi kecemasan yang bervariasi menggambarkan tingkat
kemampuan siswa yang berbeda dalam menyikapi, dan mempersepsi
lingkungan. Salah satu upaya untuk mengubah perilaku salah tersebut adalah
melalui pendekatan model konseling perilaku atau behavior. Pendekatan
konseling behavioral lebih bersifat pada suatu pelatihan terhadap perilaku.
Teknik pendekatan diarahkan pada prosedur untuk memfasilitasi perubahan
perilaku dilakukan melalui proses belajar (learning) atau belajar kembali
(relearning).
Berdasarkan gambaran diatas maka peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian yang berjudul “Keefektifan Melalui Pendekatan Behavioral Dalam
Mengatasi Kecemasan Siswa Kelas X SMA PGRI IV Banjarmasin”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada belakang masalah tersebut di atas, maka dirumuskan
masalah-masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat kecemasan siswa di SMA PGRI IV Banjarmasin sebelum
diberikan konseling behavioral?
5
2. Bagaimana tingkat kecemasan siswa di SMA PGRI IV Banjarmasin sesudah
diberikan konseling behavioral?
3. Bagaimana konseling behavioral dalam mengatasi kecemasan siswa di SMA
PGRI IV Banjarmasin?
C. Batasan Masalah
Adapun batasan permasalahan yang diteliti oleh peneliti yaitu:
1. Sebagai gambaran tingkat kecemasan siswa di SMA PGRI IV Banjarmasin
sebelum diberikan konseling behavioral
2. Sebagai gambaran tingkat kecemasan siswa di SMA PGRI IV Banjarmasin
sesudah diberikan konseling behavioral
3. Sebagai gambaran konseling behavioral dalam mengatasi kecemasan siswa
di SMA PGRI IV Banjarmasin
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang
dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui :
1. Untuk mengetahui tingkat kecemasan siswa di SMA PGRI IV Banjarmasin
sebelum diberikan konseling behavioral
2. Untuk mengetahui tingkat kecemasan siswa di SMA PGRI IV Banjarmasin
sesudah diberikan konseling behavioral
3. Untuk mengetahui konseling behavioral dalam mengatasi kecemasan siswa
di SMA PGRI IV Banjarmasin
E. Kegunaan Penelitian
1. Siswa
Dengan dilakukanya penelitian ini berguna bagi siswa sebagai masukan agar
lebih memahami tujuan dan fungsi dari layanan konseling behavior
2. Konselor
Sebagai bahan masukan untuk konselor untuk memilih layanan yang mana
sesuai dengan dengan kebutuhan siswa untuk menbantu mengentaskan
masalah siswa
6
3. Peneliti
Sebagai untuk menambah pengetahuan dari hasil penelitian secara langsung
masalah layanan konseling behavior.
4. FKIP Unlam
Sebagai bahan informasi data ilmiah untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan pada lembaga pendidikan serta menjadi bahan perbandingan
untuk penelitian selanjutnya.
F. Definisi Operasional
1. Konseling
Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi
hambatan-hambatan perkembangan dirinya, dan untuk mencapai
perkembangan optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya, proses
tersebut dapat terjadi setiap waktu. (Prayitno & Amti, E. 2006:100)
2. Behavior Therapy
Belajar yang dimaksud disini adalah perubahan tingkah laku yang
disebabkan bukan karena kematangan. Teori belajar yang dipakai dalam
pendekatan ini sebagai aplikasi dari percobaan tingkah lakudalam
laboratorium. (Pujosuwarno, S. 1997: 80)
3. Kecemasan
adalah kondisi kejiwaan yang penuh dengan kekhawatiran dan ketakutan apa
yang akan terjadi, baik berkaitan dengan permasalahan yang terbatas
maupun hal-hal yang aneh. (Musfir. 2005: 512)
4. Siswa
merupakan subyek yang dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti
diberikan konseling.
7
II. KAJIAN PUSTAKA
A. Konseling Behavioral
1) Pengertian Konseling Behavioral
Konselor behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi
antara pembawaan dengan lingkungannya. Perilaku yang dapat diamati
merupakan suatu kepedulian dari para konselor sebagai kriteria pengukuran
keberhasilan konseling. Menurut pandangan ini manusia bukanlah hasil dari
dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh Freud.
Dalam konsep behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar,
sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-
kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling merupakan suatu penetaan
proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah
perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya. (Surya, M. 2003: 25)
Behaviorisme adalah suatu pandangan tingkah laku manusia, dalil
dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang
dikendalikan dengan cermat akan menyikapkan hukum-hukum yang
mengendalikan tingkah laku. Behaviorisme ditandai oleh sikap membatasi
metode-metode dan prosedur-prosedur pada data yang dapat diamati.
Pendekatan behavioristik tidak menguraikan asumsiasumsi filosofis
tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap orang dipandang memiliki
kecendrungan-kecendrungan positif dan negative yang sama . manusia pada
dasarnya dibentuk oleh lingkungan social budayanya. Segenap tingkah laku
manusia itu dipelajari. Meskipun berkeyakinan bahwa segenap tingkah laku
pada dasarnya merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan lingkungan dan
factor-faktor genetic, para behavioris memasukan pembuatan putusansebagai
salah satu tingkah laku. (Corey, G. 2010: 195)
8
Teori behaviorisme pada umumnya lebih mengutamakan unsur fisik
dari organisasi kepribadian. I.P Pavlop sebagai salah satu tokoh
behaviorisme membuktikan melalui percobaan anjingnya yang terkenal
bahwa perilaku dapat dikendalikan dengan memberi rangsangan tertentu
melalui proses yang dinamakan conditioning (pembiasaan). Anjing yang
sudah dikondisikan untuk mendengar bel terlebih dahulu sebelum mendapat
makanan akan keluar air liurnya begitu mendengar bunyi bel, walaupun
makanan belum tiba. Menurut Pavlop, antara manusia dan hewan pada
dasarnya hanyalah terdiri dari jaringan-jaringan syaraf dan otot yang
bereaksi secara tertentu jika diberikan rangsangan tertentu. Demikian pula
dengan J.B Watson, tokoh behaviorisme lain yang mengutarakan bahwa
kepribadian manusia dapat dibentuk melalui pemberian rangsangan tertentu
melalui proses conditioning/proses pembiasaan dari lingkungan.
(Hutagalung, I. 2007:6).
Dari pengertian konseling dan behaviorisme yang dipaparkan di atas
kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan konseling
behavioral adalah sebuah proses konseling (bantuan) yang diberikan oleh
konselor kepada klien dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tingkah
laku (behavioral), dalam hal pemecahan masalah-masalh yang dihadapi serta
dalam penentuan arah kehidupan yang ingin dicapai oleh diri klien.
Menurut Krumboltz & Thoresen konseling behavioral adalah suatu
proses membantu orang untuk belajar memecahkan masalah interpersonal,
emosional, dan keputusan tertentu.
2) Peran dan Fungsi Konselor
Konselor dalam terapi behavioristic memegang peranan aktif dan
direktif dalam pelaksanaan proses konseling. Dalam hal ini konselor harus
mencari pemecahan masalah klien. Fungsi utama konselor adalah bertindak
9
sebagai guru, pengarah, penasehat, konsultan, pemberi dukungan, fasilitator,
dan mendiagnosis tingkah laku maladatif klien dan mengubahnya menjadi
tingkah laku adaptif. (Corey, 2009)
Fungsi lain konsleor adalah sebagai model bagi kliennya. Bandura
(Corey, 2009) mengatakan bahwa proses fundamental yang paling
memungkinkan klien dapat mempelajari tingkah laku baru adalah melalui
proses imitasi atau percontohan social. Konselor dijadikan model pribadi
yang ingin ditiru oleh klien karena klien, cendrung memandang konselor
orang yang patut untuk diteladani. Klien sering sekali meniru sikap, nilai,
dan tingkah laku konselor. Untuk itulah seorang konselor diharapkan
menyadari peranannya yang begitu penting dalam konseling sehingga tidak
memunculkan perilaku yang tidak semestinya untuk ditiru.
Krasner (dikutip dari Corey, 2009) mengatakan bahwa konselor
berperan sebagai “mesin perkuatan” bagi kliennya. Konselor dalam
prakteknya selalu memberikan penguatan positif atau negative untuk
membentuk tingkah lakubaru klien. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa
peran terapis dalam terapi behavioristik adalah memanipulasi dan
mengendalikan konseling melalui pengetahuan dan keterampilan dalam
menggunakan teknik-teknik terapi. Konselor memiliki kekuatan untuk
memberikan pengaruh dan mengendalikan tingkah laku kliennya.
Senada dengan yang diungkapkan oleh Kresner tersebut, Goodstein
(dikutip dari Corey, 2009) juga mengungkapkan bahwa peran konselor
adalah pemberi perkuatan. Konselor akan selalu menunjang perkembangan
tingkah laku klien agar dapat diterima secara sosial. Minat, perhatian,
menerima, dan memahami klien adalah bentuk penguatan yang paling berarti
bagi klien. (Lubis, N, L. 2011:170-171)
10
3) Tujuan behavior therapy
Tujuan dari aliran ini adalah membantu klien untuk mendapatkan
tingkah laku baru. Behavior therapy dirumuskan sebagai sebagai aplikasi
metode eksperimen terhadap masalah-malsalah tingkah laku itu diperoleh
melalui hasil belajar yang keliru, dan karenanya harus dirubah melalui
proses belajar, sehingga dapat lebih sesuai. Pendekaktan ini tidak banyak
menggunakan bahasa verbal, tetapi langsung menggarap simpton yang
tampak pada klien. Apabila klien mengeluh karena mengalami kecemasan,
konselor tidak akan mencoba menelusuri sejarah kehidupan klien, tetapi
akan menyusun langkah-langkah conditional untuk meringankan gejala-
gejala kecemasan tersebut. Pendekatan ini bertujuan menghilangkantingkah
laku yang maladaptive dan membentuk tingkah laku baru.
Eysenck melukiskan karakteristik behavior therapy sebagai berikut:
a. Bahwa behavior therapy memandang simpton sebagai bukti adanya
kekeliruan hasil belajar
b. Memandang bahwa simpton-simpton tingkah laku itu ditentukan
berdasarkan perbedaan individu yang terbentuk secara conditioning dan
otonom, sesuai dengan lingkungan masing-masing.
c. Menganggap penyembuhan gangguan nerotik itu sebagai pembentukan
kebiasaan yang baru
d. Menganggap bahwa pertalian pribadi tidaklah esensial bagi
penyembuhan gangguan nerotik, sekalipun untuk hal-hal tertentu
kadang-kadang diperlukan.
Dapatlah disimpulkan bahwa behavior therapy bertujuan
menghilangkan simpton-simpton yang yang maladaptive serta membentuk
tingkah laku well adaptive. (Pujosuwarno, S. 1997: 81-82)
11
4) Proses konseling
Menurut Krumboltz dan Thoresen (Shertzer & Stone, 1980, 190),
konseling behavioural merupakan suatu proses membantu orang untuk
membantu belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional, dan
keputusan tertentu. Penekanan istilah belajar dalam pengertian belajar ini
adalah atas pertimbangan bahwa konselor membantu orang (klien) belajar
atau merubah perilaku. Konselor berperan mengubah perilaku dalam proses
belajar dengan menciptakan kondisi yang sedemikian rupa sehingga klien
dapat mengubah perilakunya serta memecahkan masalahnya.
Menurut Krumboltz, dalam konseling pemahaman itu diperlukan
akan tetapi tidak mutlak karena yang penting adalah klien yang harus belajar
untuk menyelesaikan kesulitanya dan pemahaman hanya diperlukan pada
saat membentuk pengalaman belajar. Selanjutnya Krumboltz
mengemukakan manfaat konseptualisasi masalah klien sebagai masalah
klien sebagai masalah belajar. Manfaat tersebut adalah: (1) teoritis dan riset
yang didasarkan kepada bukti dan pemikiran sekarang tentang masalah
belajar dapat menghasilkan masalah-masalah baru, (2) konseptualisasi
konseling sebagai belajar, dapat mengintegrasikan konseling dengan
pendidikan, (3) tujuan-tujuan dapat dibatasi dan dicapai, (4) perhatian dapat
dipusatkan pada apa yang akan dilakukan untuk mengembangkan perilaku
yang lebih adaptif, dan (5) klien akan merasa bertambah rasa tanggung
jawabnya terhadap tindakannya karena mereka lebih menyadari akibat-
akibat dari tindakanya.
Tujuan konseling menurut Krumboltz harus diperhatikan criteria
berikut: (1) tujuan harus diinginkan oleh klien, (2) konselor harus
berkeinginan untuk membantu klien mencapai tujuan, dan (3) tujuan harus
mempunyai kemungkinan untuk dinilai pencapaiannya oleh klien. Tujuan
konseling dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: memperbaiki perilaku
12
salah sesuai, belajar tentang proses pembuatan keputusan, dan pencegahan
timbulnya masalah-masalah. Menurut Corey, (1986, 178) ada tiga fungsi
tujuan dalam konseling behavioural yaitu (1) sebagai refleksi masalah klien
dan dengan demikian sebagai arah bagi konseling, (2) sebagai dasar
pemilihan dan penggunaan strategi konseling, (3) sebagai kerangka untuk
menilai hasil konseling. Urutan pemilihan dan penetapan tujuan yang
digambarkan oleh Cormier and Cormier (corey, 1986, 178) sebagai salah
satu bentuk kerja sama antara konselor dengan klien, adalah sebagai berikut:
a. Konselor menjelaskan maksud dan tujuan
b. Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil
konseling
c. Klien dan konselor menetapkan tujuan yang telah ditetapkan apakah
merupakan perubahan yang dimiliki oleh klien
d. Bersama-sama menjajagi apakah tujuan-tujuan itu realistic
e. Mereka mendiskusikan kemungkinan manfaat-manfaat tujuan
f. Mereka mendiskusikan kemungkinan kerugian-kerugian tujuan
g. Atas dasar informasi yang diperoleh tentang tujuan klien, konselor dan
klien membuat salah satu keputusan berikut: untuk melanjutkan
konseling, atau mempertimbangkan kembali tujuan akan mencari referral.
Mengenai metode konseling , Krumboltz mengkategorikan menjadi
empat pendekatan : (1) operant learning, (2) unitative learning, (3) connitive
learning, dan (4) emotional learning. Dati pendekatan operant learning hal
yang penting adalah penguatan (reinforment) yang dapat menghasilkan
perilaku klien yang dikehendaki konselor yang hendaknya dapat memilih
tindakanya agar dapat memberikan penguatan terhadap perilaku klien yang
dikehendaki. Yang harus diperhatikan adalah saat yang tepat untuk
memberikan penguatan baik dalam wawancara maupun diluar wawancara.
Dalam penguatan ini ada empat hal yang harus diperhatikan yaitu: (1)
13
penguatan yang diterapkan hendaknya memiliki cukup kemungkinan untuk
mendorong klien, (2) penguatan hendaknya dilaksanakan secara sistematis,
(3) konselor harus mengetahui kapan dan bagaimana memberikan
penguatan, dan (4) konselor harus dapat merancang perilaku yang
memerlukan penguatan.
Metode unitative learning atau social modeling diterapkan oleh
konselor dengan merancang suatu perilaku adaptif yang dapat dijadikan
model oleh klien. Model-model perilaku adaptif dapat dalam bentuk
rekaman, pengajaran berprograman, video, film, arang atau biografi. Model-
model yang dipilih hendaknya merupakan sautu subyek yang berprestise,
kompeten, dapat diketahui, atraktif (menarik), dan berpengaruh. Semua akan
berpengaruh kepada klien apabila memiliki kemiripan dengan klien.
Metode kognitif learning atau pembelajaran kognitif merupakan
metode yang berupa pengajaran secara verbal, kontrak antara konselor
dengan klien, dan bermain peranan. Metode ini lebih banyak menekankan
aspek perubahan kognitif klien dalam upaya membantu memecahkan
masalahnya.
Selanjutnya metode emotional learning atau pembelajaran emosional
diterapkan pada individu yang mengalalmi suatu kecemasan.
Pelaksanaannya dilakukan dalam situasi rileks dengan menghadirkan
rangsangan yang menimbulkan kecemasan bersama suatu rangsangan lain
yang menyenangkan. Dengan cara itu maka kecemasan dapat berkurang dan
akhirnya dapat dihilangkan
Adapun tekhnik-tekhnik yang biasa digunakan dalam keempat
pendekatan metode diatas adalah antara lain: desentiasi sistematis, metode
latihan rileks, tekhnik-tekhnik penguatan, pembuatan model latihan rileks,
tekhnik-tekhnik penguatan, pembuatan model restructuring kognitif,
14
perhentian pikiran, latihan ketegasan, latihan ketegasan sosia, program
management diri, penguatan perilaku, latihan khusus, tekhnik-tekhnik terapi
multimodal, tugas-tugas pekerjaan rumah.
Penggunaan tekhnik-tekhnik oleh konselor behavioral tergantung
kepada berbagai variable, antara lain: (1) kelebihan dan perilaku klien, (2)
macam masalah klien yang memerlukan bantuan, (3) macam dan nilai
penguatan yang tersedia dalam lingkungan klien, dan (4) orang lain yang
mempunyai arti tertentu bagi kehidupan klien dan dapat membantu konselor
dalam meningkatkan perubahan perilaku yang dikehendaki. (Surya M, 2003:
26-29)
5) Prosedur Pelaksanaan Konseling
a. Langkah-Langkah Penelitian
1) Tahap pre-test
Dalam tahap ini peneliti melakukan pengukuran dengan membagikan
instrumen angket kepada siswa SMA X SMA PGRI IV Banjarmasin
sebelum perlakuan. Setelah diteliti beberapa waktu atau satu hari, dan
dapat selesai menentukan hasilnya siapa saja siswa-siswa yang
mengalami kecemasan.
b. Tahap-Tahap Konseling
1) Tahap Pendahuluan
a) Tahap relaksasi
1) Menyarankan kepada siswa untuk ambil nafas dalam-dalam dan
tahap selama 5 detik kemudian lepaskan dengan perlahan
(lakukan dengan berulang selama 3-4 kali). Dan setelah itu
dipersilahkan untuk bernafas seperti biasa.
2) Duduk dengan senyaman mungkin, atau sandarkan badan dengan
serileks mungkin, sandarkan tangan ke dua paha atau kursi.
15
3) Gerakkan kepala anda, dan putar rotasi kedua arah yang saling
berlawanan, anggukkan keatas dan kebawah sampai terasa enak
leher.
b) Pelaksanaan konseling
1) Pada pertemuan ini. Siswa datang keruang konseling untuk
mengungkapkan masalah yang ada dibenaknya.
2) Konselor dengan bijak menerima siswa tersebut sebagai konseli
yang sedang mengahadapi masalah.
3) Konseli menceritakan masalah yang sedang ia hadapi yaitu
masalah kecemasan ketika sering kali ia berpidato, atau
menjelaskan pertanyaan dari temannya pada waktu diskusi.
4) Konselor menerima semua yang diungkapkan konseli, dengan
penuh empati.
5) Setelah konseli menceritakan masalah tentang kecemasannya
dalam mengungkapkan verbal dimuka umum seperti berpidato
dan mengungkapkan jawaban pertanyaan didepan teman-
temannya.
6) Konselor memberikan arahan dan bimbingan kepada konseli.
Apabila rasa cemas timbul dalam diri kamu maka hendaknya
kamu relaksasi untuk melawannya agar rasa cemas itu berkurang
atau jika kamu kerasa takut gagal dalam berpidato maka
hendaknya kamu untuk cobalah untuk menerimannya. (operant
learning)
7) Misalnya “jika saya menjadi kamu, saya akan berusaha dirumah
melatih diri didepan cermin, seakan-akan pantulan diri saya itu
adalah semua orang, jadi saya berbicara dengan seleluasanya.
Apa yang hendak saya katakan, saya ungkapkan tanpa ada rasa
malu. Dan hal itu saya lakukan terus menerus sampai saya benar-
16
benar bisa dengan mahir mengeluarkan kata-kata, perasaan yang
ada pada benak pikiran saya. (social modeling)
8) Atau saya (konselor) setelah itu membiasakan melatih berpidato
dihadapan keluarga saya, pada adik saya, pada kakak saya dan
anggota keluarga. Setelah beberapa minggu, kita bisa melatih
berpidato, mengemukakan pendapat, memberi jawaban dimuka
teman-teman atau dimuka umum. Dan itu terus saya lakukan
sampai benar-benar hilang rasa gugup dan cemas yang seperti
anda rasakan. (cognitif learning).
9) Atau juga pada saat kamu merasa cemas ketika berpidato
didepan teman-teman dan didepan umum. Maka kamu saya beri
kesempatan berpidato dihadapan saya.
10) Ketika konseli berpidato dihadapan konselor, timbulah rasa
cemas tinggi pada diri konseli. Konselor memberi arahan kepada
konseli “hendaknya ketika kamu cemas, kamu seharusnya
melakukan pidato dengan disertai candaan atau lawakan agar
rasa cemas itu dapat direduksi. (emotional learning).
11) Setelah konseli diberikan arahan, masukan dan bimbingan
dengan penguasaan keterampilan yang dimiliki konselor, dan
ketika itu konseli sudah merasa lebih baik dari kondisi
sebelumnya, perasaannya yang ia anggap pengalaman itu selalu
menghantuinya ketika ia tampil didepan umum baik berdiskusi
maupun berpidato. Maka konseli sudah tertolong secara kondisi
psikologisnya. Dan konselor bisa memberikan kesempatan
kepada konseli untuk melanjutkan kegiatan ini jika konseli
menemukan masalah lagi baik dalam masalah yang serupa
maupun yang berbeda.
12) Konselor menutup kegiatan konseling.
17
B. Kecemasan
1) Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik secara
subyektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan
adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan
penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu
dan tidak berdaya.
Kecemasan tidak dapat dihindarkan dari kehidupan individu dalam
memelihara keseimbangan.pengalaman rasa cemas seseorang tidak sama
pada beberapa situasi dan hubungan interpersonal. (Suliswati & Papayo, T,
A. Dkk. 2005:108-109)
Nietzal berpendapat bahwa kecemasan berasal dari bahasa latin
(anxius) dan dari bahasa jerman (anst), yaitu suatu kata yang digunakan
untuk menggambarkan efek negative dan rangsangan fisiologi.
Muchlas (1976) mendefinisikan istilah kecemasan sebagai sesuatu
pengalaman subyektif mengenai ketegangan mental kesukaran dan tekanan
yang menyertai konflik atau ancaman.
Sementara Lazarus (1976) membedakan perasaan cemas menurut
penyebabnya menjadi dua.
a. State anxiety
State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada
situasi tertentu yang dirasakan sebagai ancaman, misalnya mengikuti tes,
menjalani operasi , atau lainnya. Keadaan ini ditentukan oleh perasaan
tegang yang subyektif.
b. Trait anxiety
Trait anxiety adalah disposisi untuk menjadi cemas dalam
menghadapi mecapai cemas dalam menghadapi berbagai macam situasi
(gambaran kepribadian). Ini merupakan ciri atau sifat yang cukup stabil
yang mengarahkan seseorang atau menginterpretasikan suatu keadaan
18
menetap pada individu (bersifat bawaan) dan berhubungan dengan
kepribadian yang demikian.
Kecemasan adalah suatu keadaan tertentu (state anxiety), yaitu
menghadapi situasi yang tidak pasti dan tidak menentu terhadap
kemampuannya dalam menghadapi tes, berupa emosi yang kurang
menyenangkan yang dialami oleh individu dan bukan kecemasan
sebagai sifat yang melekat pada kepribadiannya.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa kecemasan merupakan pengalaman subyektif yang tidak
menyenangkan mengenai kekhawatiran atau ketegangan berupa perasaan
cemas, tegang, dan emosi yang dialami oleh seseorang. (Ghufron, M, N &
Risnawati S, R. 2010: 141-143).
2) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
Penyebab utama perilaku kecemasan ini adalah tidak adanya
kesadaran diri dan kepercayaan diri karena sejarah terlihat pada kebiasaan
cemas. Harga diri siswa ini rendah karena umpan balik negative sering
didengar dari orang lain dewasa dan teman sebaya. (Khalsa, S,S. 2008:150)
Adler dan Rodman (1991) menyatakan terdapat dua factor yang
menyebabkan adanya kecemasan, yaitu pengalaman yang negative pada
masa lalu dan pikiran yang tidak rasional.
a. Pengalaman negative pada masa lalu
Pengalaman ini merupakan hal yang tidak menyenangkan pada masa
lalu mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi pada masa mendatang,
apabila individu tersebut menghadapi situasi atau kejadian yang sama
dan juga tidak menyenangkan, misalnya perah gagal tes. Hal tersebut
merupakan pengalaman umum yang menimbulkan kecemasan siswa
dalam menghadapi tes.
19
b. Pikiran yang tidak rasional
Ellis dalam Adler dan Rodman (1991) memberi daftar kepercayaan atau
keyakinan kecemasan sebagai contoh dari pikiran tidak rasional yang
disebut buah kesempurnaan, persetujuan, dan generalisasi yang yidak
tepat.
1) Kegagalan kataskopik
Kegagalan kataskopik yaitu adanya asumsi dari siri individu bahwa
akan terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Individu mengalami
kecemasan dan perasaan ketidakampuan serta tidak sanggup
mengatasi permasalahannya.
2) Kesempurnaan
Setiap individu mengingginkan kesempurnaan. Individu ini
mengharapkan dirinya berperilaku sempurna dan tidak ada cacat.
Ukuran kesempurnaan dijadikan target dan sumber inspirasi bagi
individu tersebut.
3) Persetujuan
Persetujuan adanya keyakinan yang salah didasarkan pada ide
bahwa terdapat hal virtual yang tidak hanya diinginkan, tetapi juga
untuk mencapai perstujuan dari sesama tean atau siswa.
4) Generalisasi yang tidak tepat
Keadaan ini juga memberi istilah generalisasi yang berlebihan. Hal
ini terjadi pada orang yang mempunyai sedikit pengalaman.
Secara umum factor-faktor yang menyababkan timbulnya kecemasan
adalah factor internal dan factor eksternal. Factor internal meliputi meliputi
tingkat religiusitas yang rendah, rasa pesimis, takut gagal, pengalaman
negative masa lalu, dan fikiran-fikiran tidak rasional sementara eksternal
seperti kurangnya dukungan social. (Ghufron, M, N & Risnawati S, R. 2010:
145-147).
20
Sesungguhnya manusia tidak dilahirkan dengan penuh ketakutan
ataupun dengan kecemasan. Sesungguhnya ketakutan dan kecemasan itu
hadir karena adanya emosi yang berlebih. Selain itu, keduanya pun mampu
hadir karena lingkungan yang menyertainya, baik lingkungan keluarga,
sekolah maupun pekerjaan
Dengan demikian, bias bias bahwa penyebab hadirnya kecemasan
antara lain sebagai berikut.
1) Rumah yang penuh pertengkaran ataupun salah pengertian atau penuh
dengan kesalah pahaman serta adanya ketidakpedulian orang tua
terhadap anak-anaknya
2) Lingkungan yang memfokuskan pada persaingan memperebutkan
materi ataupun materi ataupun pertengkaran demi mempertahankan
hidup dan juga yang menumbuhkan ambisi manusia hingga mampu
mengalahkan akhlak dan hati nuraninya. (Musfir, 2005: 511)
3) Macam-Macam Kecemasan
Dorongan untuk pemuasan kebutuhan sebagian besar menguasai
dinamika kepribadian individu. Akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan
tersebut tidak selamanya kesampaian. Sebab individu sering menghadapi
rintangan atau hal yang tak menyenangkan yang dating dari lingkungan.
Sehingga kemungkinan pemenuhan kebutuhan tak terjadi. Hal itu
menimbulkan kecemasan. Freud mengemukakan tiga macam kecemasan
yaitu:
a. Kecemasan realistis, yaitu takut akan bahaya yang dating dari luar;
cemas atau takut jenis ini bersumber dari ego.
b. Kecemasan neurotis, yakni kecemasan yang bersumber dari id, kalau-
kalau insting tidak dapat dikendalikan sehingga menyebabkan orang
berbuat sesuatu yang dapat dihukum.
c. Kecemasan moral yang bersumber pada sumber ego. Kecemasan ini
dinamakan juga kecemasan kata hati. Kecemasan ini disebabkan oleh
21
pertentangan moral yang sudah baik dengan perbuatan-perbuatan yang
mungkin menentang norma-norma moral itu. Willis, S, S. 2004: 59).
4) Tingkat kecemasan
a. Kecemasan ringan
Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari.
Individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas, menajamkan
indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu
memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan
kreativitas. Contohnya:
1) Seseorang yang menghadapi ujian akhir
2) Pasangan dewasa yang akan memasuki jenjang pernikahan.
3) Individu yang akan melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih
tinggi
4) Individu yang tiba-tiba dikejar anjing menggonggong.
b. Kecemasan sedang
Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya,
terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan sesuatu
dengan arahan orang lain. Contohnya:
1) Pasangan suami istri yang menghadapi kelahiran bayi pertama
dengan resiko tinggi
2) Keluarga yang menghadapi perpecahan (berantakan)
3) Individu yang mengalamikonflik dalam pekerjaan
c. Kecemasan berat
Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya
pada detil yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berpikir tentang hal-hal
yang lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan
dan perlu banyak perintah/arahan untuk terfokus kepada area lain.
Contohnya
22
1) Individu yang mengalami kehilangan harta benda dan orang yang
dicintai karena bencana alam
2) Individu dalam penyandraan. (Suliswati & Papayo, T, A. Dkk.
2005:109-110)
5) Aspek-Aspek Kecemasan
Deffenbacher dan Hezeleus dalam register (1991) mengemukakan
bahwa sumber penyebab kecemasan, meliputi hal-hal dibawah ini:
a. Kekhawatiran (worry)
Kekhawatiran (worry) merupakan pikiran negative tentang dirinya
sendiri, seperti perasaan negative behwa ia lebih jelek dibandingkan
dengan teman-temannya.
b. Emossionalitas (imossionality)
Emossionalitas (imossionality) sebagai reaksi diri terhadap rangsangan
saraf otonom, seperti jantung berdebar-debar, keringat dingin dan
tegang.
c. Gangguan dan hambatan dalam menyelesaikan tugas (task generated
interference)
Gangguan dan hambatan dalam menyelesaikan tugas merupakan
kecendrungan yang dialami seseorang yang selalu tertekan karena
pemikiran yang rasional terhadap tugas. (Ghufron, M. Nur & Risnawati
S, Rini. 2010: 143-144).
Speilberger, Liebert, dan Morris dalam (Elliot, 1999): Jeslid
dalam Hunsley (1985): Mendler dan Saroson dalam Hockey (1983):
Gonzales, Tayler. Dan Anton dalam Frietman (1997) telah engadakan
percobaan konseptual untuk mengukur kecemasan yang dialami
individu dan kecemasan tersebut didefinisikan sebagai konsep yang
terdiri dari dua dimensi utama, yaitu kekhawatiran dan emosionalitas.
Dimensi emosi merujuk pada reaksi fisiologis dan system saraf
otonomik yang timbul akibat situasi atau objek tertentu. Juga merupakan
23
perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi emosi terhadap hal buruk
yang dirasakan yang mungkin terjadi, seperti ketegangan bertambah,
jantung berdebar keras, tubuh berkeringat, dan badan gemetar psaat
mengerjakan sesuatu. Kekhawatiran merupakan aspek kognitif dari
kecemasan yang dialami berupa pikiran negative tentang diri dan
lingkunganyadan perasaan negative kemungkinan kegagalan serta
konsekuensinya seperti tidak adanya harapan mendapat situasi sesuai
yang diharapkan, kritis terhadap diri sendiri, menyerah terhadap situasi
yang ada, dan merasa khawatir berlebihan tentang kemungkinan apa
yang dilakukan.
Shah (2000) membagi kecemasan menjadi tiga koponen, yaitu:
a. Komponen fisik, seperti pusing, sakit perut, tangan berkeringat, perut
mual, mulut kering, grogi dan lain-lain.
b. Emosional seperti panik dan takut
c. Mental atau kognitif, seperti gangguan perhatian dan memori,
kekhawatiran, ketidakteraturan dalam berfikir, dan bingung.
Selain itu, ada tiga komponen yang ada pada kecemasan
menghadapi tes, yaitu kekhawatiran (worry), emosionalitas
(imosionality), serta gangguan dan hambatan dalam menyelesaikan
tugas (task generated). (Ghufron M. Nur & Risnawati S, Rini. 2010:
143-144).
6) Deskripsi kecemasan
Kecemasan adalah kondisi kejiwaan yang penuh dengan
kekhawatiran dan ketakutan apa yang akan terjadi, baik berkaitan dengan
permasalahan yang terbatas maupun hal-hal yang aneh. Emosi seperti sedih
dan sakit umumnya akan hilang dengan hilangnya penyebab
kemunculannya, namun tidak dengan kecemasan. Kecemasan bersifat akut
dan inilah permasalahan yang sedang banyak dihadapi pada masa ini.
24
Deskripsi umum akan kecemasan yaitu “perasaan tertekan dan tidak
tenang serta berfikiran kacau dengan disertai banyak penyesalan”. Hal ini
sangat berpengaruh pada tubuh hingga tubuh dirasa menggigil, menimbulkan
banyak keringat, jantung berdegub cepat, lambung terasa mual, tubuh terasa
mual, tubuh terasa lemas,kemampuan berproduktivitas berkurang hingga
banyak manusia melariikan diri kealam imajinasinya sebagai bentuk terapi
sementara.
Kecemasan ini pada awalnya hanyalah bisikan akan kekhawatiran.
Apabila kecemasan ini makin lama dan menguat, maka akan menimbulkan
banyak penyakit kejiwaan dan juga penyakit tubuh, seperti halnya iritasi
lambung, turunya tekanan darah, kencing manis, alergi kulit, dan penyakit
asma.
Terapi modern akan kecemasan ini dimulai dari mengenal penyebab
dibalik hadirnya kecemasan dan langsung focus kepada penyebab tersebut
hingga kemungkinan akan didapati penyebab-penyabab yang mengarah pada
trauma masa kanak-kanak. Mengenal penyebab ini bias dilakukan dengan
cara mengamati, mengenal jati diri, merenung, menganalisis diri lebih jauh
ataupun dengan terapi social, rehat dan juga terapi kedokteran dan juga obat-
obatan penenang. Selain itu mulai dikenal dengan terapi “profesi” atau
dengan membuat seseorang yang dilanda kecemasan tersebut sibuk dengan
suatu pekerjaan hingga ia terlupa akan permasalahan dan kecemasan yang
sedang dihadapinya.
Selain itu juga terkenal terapi lain dalam menggulangi kecemasan,
yaitu terapi hipnotis. Terapi ini terkadang berhasil disatu kondisi, namun
terkadang, namun terkadang pula gagal diterapkan dalam kondisi lainnya.
Sehingga, permasalahan yang ada justru masih ada dan terkadang malah
lebih meluas dan meningkat dari sebelumnya.
Terapi yang banyak ditawarkan oleh dunia kedokteran dan dunia
psikologi modern umumnya hanyalah terapi pada permukaannya saja dan
25
bukan dari akarnya. Dale Carneige dalam bukunya, mengatakan beberapa
hal berikut.
1) Janganlah menyeberangi jembatan sebelum berhasil melewatinya atau
janganlah merasa cemas akan sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.
2) Jangan menanggisi susu yang tumpah atau sesuatu yang sudah berlalu
biarlah berlalu
3) Jangan membeli peluit dengan harga lebih banyak dari normalnya atau
jangan mengkonsentrasikan pada sesuatu lebih dari porsi yang
dibutuhkanya.
4) Tutuplah pintu masa lalu dan masa yang akan datang, atau jalanilah
hidupmu dihari ini.
Ia pun menggambarkan dalam bukunya akan gambaran
kehidupandimana manusia hidup dengan banyak keraguan akibat kecemasan
mereka yang berlebihan disaat manusia harusnya hidup dalam keadaan
bahagia hingga terbenamnya matahari, dan inilah sebenarnya diharapkan
dari suatu kehidupan.
Dengan terapi psikologi tersebut, umumnya kecemasan itu masih ada
seseorang terkadang merasa sendiri didunia ini hingga menimbulkan
ketegangan dalam keluarga serta lupa untuk berinteraksi dengan Tuhannya.
Dan ia pun seolah-olah takut akan masa depanya yang suram.
Kajiankedokteran dan psikologi modern tidak menawarkan kepada manusia
satu solusi yang menyeluruh atas permasalahanya yang ada, namun sekedar
menawarkan penyembuhan atas penyakit dengan penyebabnya yang tampak
hingga terlupa akan permasalahannya. Dari sinilah mengapa kecemasan
selalu lalu menjadi penyakit pada masa ini dan bahkan pada setiap masa
dalam kehidupan manusia kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat
dari Tuhannya. (Musfir, 2005: 512-513)
Kecemasan memiliki karakteristtik berupa munculnya perasaan takut
dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak
26
menyenangkan (Davison & Neale, 2001) kecemasan sering kali disertai
dengan gejala fisik seperti sakit kepala, jantung berdebar cepat, dada terasa
sesak, sakit perut, atau tidak tenang dan tidak dapat duduk diam, dll. Gejala-
gejala kecemasan yang muncul padamasing-masing orang. Kaplan, Sadock,
& Grebb (1994) menyebutkan bahwa “takut” dan”cemas” merupakan dua
emosi yang berfungsi sevbagai tanda suatu adanya bahaya, rasa takut muncul
jika terdapat ancaman yang jelas atau nyata, berasal dari lingkungan, dan
tidak menimbulkan konflik dari individu. Sedangkan kecemasan muncul jika
bahaya muncul dari dalam diri, tidak jelas, atau menyebabkan konflik bagi
individu. (Fausiah, F & Widuri, J. 2008:74)
7) Dinamika Kecemasan
Individu yang mengalami kecemasan dipengaruhi oleh beberapa hal ,
diantaranya karena adanya pengalaman negatif perilaku yang telah
dilakukan, seperti kekhawatiran akan adanya kegagalan. Merasa frustasi
dalam situasi tertentu dan ketidakpastian melakukan sesuatu.
Dinamika kecemasan, ditinjau dari teori psikoanalisis dapat
disebabkan oleh adanya tekanan buruk perilaku masa lalu serta adanya
gangguan mental. Ditinjau dari teori kognitif, kecemasan terjadi karena
adanya evaluasi diri yang negatif. Perasaan negatif tentang kemampuan yang
dimilikinnya dan orientasi diri yang negatif. Berdasarkan pandangan teori
humanistic, maka kecemasan merupakan kekhawatiran tentang masa depan,
yaitu khawatir pada apa yang akan dilakukan
Jadi dapat diketahui bahwa kecemasan dipengaruhi oleh beberapa hal
diantaranya kekhawatiran akan kegagalan, frustasi pada hasil tindakan yang
lalu, evaluasi diri yang negatif, perasaan diri yang negatif tentang
kemampuan yang dimilikinya, dan orientasi diri yang negatif. (Ghufron, M,
N & Risnawati S, R. 2010: 144-145).
8) Gangguan Kecemasan
Ada beberapa macam gangguan kecemasan, meliputi:
27
a. Gangguan panik
Frekuensi pasien dalam gangguan panic mengalami serangan panic
adalah bervariasi dari serangan multiple dari satu hari sampai
hanyabeberapa serangan dalam satu tahun, dari gangguan panic sering
disertai dengan argofobia yaitu ketakutan berada sendiri ditempat-tempat
public, contohnya disupermarket dan lain sebagainya. Adapun orang yang
pertama kali menyamakan gangguan panic dengan gangguan argofobia
adalah freud, istilah agrofobia adalah telah diajukan pada tahun 1871 untuk
kondisi dimana pasien merasa takut berada ditempat public tanpa disertai
teman atau saudara. Kata ini didapatkan dari bahasa esir yaitu agora dan
phobos yang berarti ketakutan akan tempat penjualan
Kriteria diasnostik untuk gangguan panic adalah
1) Palpitasi, jantung berdebar kuat atau kecepatan jantung bertambah
cepat
2) Berkeringat
3) Gemetar atau bergoncang
4) Rasa nafas sesak atau tertahan
5) Perasaan tercekik
6) Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman
7) Mual atau gangguan perut
8) Perasaan pusing, bergoyang atau melayang
9) Menggigil atau perasaan panas dan lain sebagainya
b. Fobia spesifik dan fobia social
Fobia spesifik adalah lebig sering dibandingkan fobia social, fobia
spesifik adalah gangguan mental yang paling sering dialami oleh wanita dan
nomor dua terserang pada laki-laki. Hanya setelah gangguan berhubungan
dengan zat prevensi enem bulan spesifik adalah kira-kira 5-10 per 100
orang. Objek dan situasi. Objek dan situasi yang ditakuti oleh fobia spesifik
adalah binatang, badai, ketinggian, penyakit, cedera dan kematian
28
Adalah merupakan suatu gangguan defresif berat dan gangguan
skizoit,menghindari situasi social merupakan gejala defresi, terapan
wawancara psikiatrik dengan pasien memungkinkan berbagai kumpulan
gejala depresi. Adapun kriteria dari gangguan fobia social ini adalah:
1) Rasa takut yang jelas dan terlihat pada saat bertemu dengan orang
banyak atau bertemu dengan orang yang tidak dikenal
2) Pemaparan dengan situasi social yang ditakuti hamper selalu
mencetuskan kecemasan
3) Orang menyadari adanya rasa takut yang berlebihan dan tidak
beralasan.
c. Gangguan obsesif kompulsif
Gangguan obsesif kompulsif merupakan suatu gangguan yang
menyebabkan ketidak berdayaan, karena obsesi dapat menghabiskan waktu
dan dapat mengganggu fungsi pekerjaan, kativitas social yang biasanya atau
hubungan dengan teman dan anggota keluarga
d. Gangguan stress pasca traumatic dan gangguan stress akut
Menurut definisinya stressor adalah factor penyebab utama dalam
pengembangan gangguan stress pasca traumatic setelah peristiwa traumatik
e. Gangguan kecemasan umum
Gangguan kecemasan umum merupakan suatu kondisi yang sering
ditemukan oleh setiap orang adapun penyebab gangguan ini sama sekali
tidak diketahui
Terdapat dua bidang pemikiran utama tentang factor psikososial
yang menyebabkan gangguan kecemasan umum adalah bidang kognitif
perilaku dan bidang psikoanalitik
f. Gangguan somatoform
Gangguan somatoform adalah sekelompok gangguan yang memiliki
gejala fisik (contoh: nyeri, mual dan pusing) dimana tidak ditemukan gejala
medis yang tidak adekuat. Gejala dan keluhan somatofom adalah cukup
29
serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada
pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi dalam peran
social atau pekerjaannya
Diagnostic and statistical manual of mental disorder edisi keempat
(DSM-IV) mempertahankan sebagian besar diasnostik yang dituliskan
didalam edisi ketiga yang telah direfisi terdapat lima gangguan somatoform
spesifik diantaranya
1) Gangguan somatif ditandai dengan banyaknya keluhan fisik yang
mengenai banyaknya system organ
2) Gangguan yang ditandai dengan oleh satu atau dau keluhan
neurologis
3) Hipokondiriasis ditandai oleh focus gejala yang lebih ringan dari
pada kepercayaan pasien bahwa dia menderita penyakit tertentu
4) Gangguan dismorfik tubuh ditandai oleh kepercayaan palsu atau
persepsi yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami
cacat
5) Gangguan nyari yang ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata
berhubungan dengan factor psikologis atau secara bermakna
dieksaserbasioleh factor psikologis. (Ardani, T, A. 2011: 16-18)
30
III. Kerangka Berpikir dan Hipotesis
A. Kerangka berpikir
Kecemasan siswa meliputi pengalaman subyektifyang
tidak menyenanangkan
Kekhawatiran pada sesuatu
yang akan terjadi dengan
penyebab yang tidak jelas,
perasaan tidak menentu dan
tidak berdaya. (Sukiswati &
Papayo, T, A. Dkk.
2005:108)
31
Kecemasan siswa meliputi perut
mual, gugup, berkeringat,
gemetar, sulit tidur dll
Siswa dapat mengendalikan
diri dan selalu berpikir
positif dalam menjalankan
tugas-tugas yang ada
Pendekatan Behavioral:
1. Operant Conditioning
2. Social modeling
3. Cognitive learning
4. Emotional learning
B. Hipotesis
Hipotesa arti kata hipotesa berasal dari dua penggalan kata, yaitu “hipo”
artinya “dibawah” dan “Thesa” artinya “kebenaran” atau “pendapat”.
Selanjutnya penulisanya menjadi hipotesa menurut ejaan bbahasa Indonesia
yang diperbaharui.
Menurut maknanya dalam suatu penelitian hipotesa merupakan
“jawaban sementara” atau kesimpulan yang diambil untuk menjawab
permasalahan yang diajukan dalam penelitian. (Mardalis. 2004: 48).
Hipotesis penelitian (Ha) menyatakan adanya pengaruh antara variabel
X dengan variabel Y, sedangkan hipotesis nol (Ho) menyatakan tidak ada
pengaruh antara veriabel X dan variabel Y, sehingga dapat disimpulkan bahwa
hipotesis penelitian (Ha) adanya pengaruh tingkat kecemasan siswa sebelum
diberikan konseling behavior dan sesudah diberikan konseling behavior. Dan
hipotesis nol (Ho) menyatakan tidak ada pengaruh kecemasan siswa sebelum
dan sesudah diberikan konseling behavioral.
C. Penelitian Relevan
Dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti maka penelitian
akan membandingkan penelitian yang telah diadakan oleh pihak lain.
Trismiati yang berjudul “Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pria dan
Wanita Akseptor Kontrasepsi Mantap Di RSUP Dr. Sardjito” Kesimpulan
Hipotesis pertama yang diuji menggunakan Anava Antar A menunjukkan ada
perbedaan tingkat kecemasan yang signifikan antara wanita akseptor
kontrasepsi mantap dan pria akseptor kontrasepsi mantap dengan F Antar-A =
5,328 dan p = 0,023. Mean wanita (A1) 99,792 lebih besar dari mean pria (A2)
92,676 berarti wanita lebih tinggi tingkat kecemasannya daripada pria.
Hipotesis kedua diuji dengan menggunakan Anava Antar-B, menunjukkan tidak
ada perbedaan tingkat kecemasan antara akseptor kontrasepsi mantap yang
menerima konseling kontrasepsi mantap dan yang tidak, dengan F antar B =
0,646 dan harga p = 0,646. Hipotesis ketiga diuji dengan Anava Antar-C
32
dengan hasil F Antar-C = 1,346 dan harga p = 0,268 berarti tidak ada perbedaan
tingkat kecemasan antara lama pemakaian, kurang dari 1 tahun, antara 1-2
tahun, dan lebih dari 2 tahun.
Marwiati yang berjudul “Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan
Strategi Koping Pada Keluarga Dengan Anggota Keluarga Yang Dirawat
Dengan Penyakit Jantung Di Rsud Ambarawa 2005”. Berdasarkan hasil analisa
dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Secara umum gambaran tingkat kecemasan keluarga tentang penyakit
jantung adalah sedang yaitu 57,6%, tingkat kecemaan ringan 21,2% dan
tingkat kecemasan berat 21,2%.
2. Gambaran strategi koping keluarga terhadap penyakit jantung sudah
cukup baik yang mana 72,7% menggunakan koping adaptif dan 27,3%
masih menggunakan koping maladaptif.
3. Ada hubungan tingkat kecemasan keluarga tentang penyakit jantung
dengan strategi koping keluarga dengan anggota keluarganya yang
menderita penyakit jantung dan dirawat di rumah sakit (p<0,001).
Anurmalasari, R. Karyono, Dewi K, S. yang berjudul “Hubungan
Antara Pemahaman Tentang HIV/AIDS Dengan Kecemasan Tertular hiv/aids
Pada Wps (wanita penjaja seks) Langsung di Cilacap” mendapat kesimpulan:
1. Terdapat hubungan yang signifikan p = 0,000 (p<0,05) antara
Pemahaman Tentang HIV/AIDS dengan Kecemasan Tertular HIV/AIDS
pada WPS Langsung di Cilacap, dengan rxy = 0,515 yang artinya ada
hubungan positif antara Pemahaman Tentang HIV/AIDS dengan
Kecemasan Tertular HIV/AIDS, sehingga hipotesis penelitian yang
menyatakan ada hubungan positif antara Pemahaman Tentang
HIV/AIDS dengan Kecemasan Tertular HIV/AIDS diterima.
33
2. Sumbangan efektif Pemahaman Tentang HIV/AIDS sebesar 26,5%
menunjukkan bahwa Pemahaman Tentang HIV/AIDS berpengaruh
terhadap Kecemasan Tertular HIV/AIDS subjek sebesar 26,5%. Sisanya
sebesar 73,5% ditentukan oleh faktor-faktor lain yang tidak diungkap
dalam penelitian ini.
Setiawan, Tanjung, M Sukri. Yang berjudul “Efek Komunikasi
Terapeutik Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi D Rumah Sakit
Haji Adam Malik Medan”. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulan
bahwa penelitian yang dilakukan terhadap 7 responden pasien pre operasi di
ruang Melati Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, menggambarkan 57,1%
tingkat kecemasannya ringan dan 42,9% tingkat kecemasannya. Hasil statistik
diperoleh p = 0,014, n = 7; α = 0.05. Data ini menunjukkan bahwa variable
komunikasi terapeutik memiliki pengaruh signifikan terhadap variable tingkat
kecemasan pasien pre operasi.
IV. Metode Penelitian
A. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian adalah terjemahan research design, artinya
rencana atau prosedur yang akan dilalui dalam mengumpulkan informasi untuk
menjawab permasalahan penelitian. Rancangan penelitian berisi gambaran
tentang; kapan penelitian dilakukan, dari mana data diperoleh, dalam kondisi
bagaimana subjek yang diteliti, bagaimana mengolah data dan melaporkannya. .
(Hadeli. 2006:59`)
Penelitian ini menggunakan rangcangan pre-eksperimental desain
Intact-Group Comparison, yaitu pada desain ini terdapat satu kelompok untuk
eksperimen (yang diberi perlakuan) dan setengah untuk kelompok control
(yang tidak diberi perlakuan). Paradigma penelitiannya dapat digambarkan
sebagai berikut.
34
keterangan:
O1 : hasil pengukuran setengah kelompok yang
diberi perlakuan
O2 : hasil pengukuran setengah kelompok yang tidak
diberi perlakuan (Sugiyono. 2011:111)
B. Variable Penelitian
Variable penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang
hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulanya.
Secara teoritis variable dapat didefinisikan sebagai atribut seseorang,
atau obyek, yang mempunyai variasi antara satu orang dengan yang lain atau
satu obyek dengan obyek yang lain (Hatch dan Farhady, 1981). Variable juga
dapat merupakan atribut dari bidang keilmuwan atau kegiatan tertentu. Tinggi,
berat badan, sikap, motivasi, kepemimpinan, disiplin kerja, merupakan
atribut-atribut dari setiap orang. Berat, ukuran, bentuk, dan warna merupakan
atribut-atribut dari objek. Struktur organisasi, model pendelegasian,
kepemimpinan, kepengawasan, koordinasi, prosedur, mekanisme kerja,
deskripsi pekerjaan, kebijakan, adalah merupakan contoh variable dalam
kegiatan administrasi pendidikan.
Dinamakan variable karena ada variasinya. Misalnya berat badan dapat
dikatakan variable, karena berat badan sekelompok orang itu bervariasi antara
orang satu dengan yang lain. Jadi kalau peneliti akan memilih variable
penelitian, baik yang dimiliki orang obyek, maupun bidang kegiatan dan
keilmuan tertentu, maka harus ada variasinya. Variable yang tidak dan
variasinya, maka penelitian harus didasarkan pada sekelompok sumber data
atau obyek yang bervariasi. (Sugiyono, 2011: 60).
35
X O1
O2
Variable bebas (X) : konseling behavioral
Variable terikat (Y) : kecemasan
C. Tempat, Subyek dan Objek Penelitian
1. Waktu Penelitian
Pada penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan, mulai dari bulan Februari
sampai dengan bulan Mei 2012.
2. Tempat Penelitian
Tempat penelitian di SMA PGRI IV Banjarmasin, Alasan memilih
sekolah ini adalah karena disekolah ini terdapat siswa yang mengalami
kecemasan yang dialami siswa pada saat mengikuti belajar mengajar
disekolah yang dapat dilihat secara kasat mata yang ditunjukan dari
perasaan gugup, khawatir dll.
3. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa-siswi SMA PGRI IV Banjarmasin
2012/2013.
4. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah apa yang menjadi titik perhatian dalam
penelitian. Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah kecemasan
siswa di PGRI IV Banjarmasin.
D. Jenis Dan Sumber Data
1. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang dikumpulkan langsung dari
individu-individu yang diselidiki. Dalam penelitian ini data primernya
adalah data yang diperoleh dari hasil angket siswa-siswi di SMA
PGRI IV Banjarmasin.
36
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data penunjang yang menyangkut
mengenai subjek yang diteliti melalui dokumen-dokumen yang
diperoleh oleh SMA PGRI IV Banjarmasin.
2. Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari mana data itu. Sumber data dalam
penelitian ini, yaitu:
a. Responden, yaitu siswa-siswi di SMA PGRI IV Banjarmasin.
b. Dukomen, yaitu data-data jumlah kelas dan jumlah populasi siswa-
siswi SMA PGRI IV Banjarmasin.
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Populasi Penelitian
Populasi yaitu keseluruhan sasaran yang seharusnya diteliti dan
pada populasi itu hasil penelitian diberlakukan. Populasi adalah tempat
terjadinya masalah yang kita selidiki. (Kasiram, M. 2010: 256)
Alasan peneliti dalam melakukan penelitian dikelas X, karena siswa
yang baru memasuki sekolah tersebut siswanya juga baru beradaptasi
dengan gaya belajar yang diterapkan sekolah tersebut sehingga tidak jarang
ada siswa yang masih belum bisa beradaptasi dengan pembelajaran yang
diterapkan oleh sekolah sehingga akan menimbulkan kecemasan.
Tabel 1
Populasi Penelitian
No Kelas Jumlah Siswa
1
2
3
X 1
X 2
X 3
35
37
36
jumlah 108
37
Berikut ini kriteria inklusi yang dijadikan sampel penelitian:
a. Kelas X1, X2, X3. Peneliti mengumpulkan data dari konselor sekolah
mengenai kecemasan siswa.
b. Kelas X akan dilakukan tingkat kecemasan dengan menggunakan
angket kecemasan.
c. Setelah diperoleh mengenai hasil tingkat kecemasan menunjukan
siswa yang mendapatkan tingkat kecemasan sangat tinggi
d. Sampel yang diambil hanya siswa yang memiliki tingkat kecemasan
sangat tinggi yaitu 10 orang.
e. Setelah sampel diperoleh kemudian dilakukan wawancara dengan
sampel tersebut.
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti secara
mendalam. Sampel diambil bila kita merasa tidak mampu meneliti seluruh
populasi. Syarat utama sampel ialah harus mewakili populasi. Oleh karena
itu, semua ciri-ciri populasi harus diwakili dalam sampel. (Kasiram, M.
2010: 258)
Alasan kenapa peneliti melakukan penelitian dikelas I, karena siswa
yang baru memasuki sekolah tersebut siswanya juga baru beradaptasi
dengan gaya belajar yang diterapkan sekolah tersebut sehingga tidak jarang
ada siswa yang masih belum bisa beradaptasi dengan pembelajaran yang
diterapkan oleh sekolah sehingga akan menimbulkan kecemasan.
38
Sampel dalam penelitian adalah siswa-siswi di SMA PGRI IV
Banjarmasin
Tabel 2
Sampel Penelitian
No Kelas sampel
1
2
3
X 1
X 2
X3
3
3
4
jumlah 10
Dalam tahap pertama ini peneliti mengambil data dengan
menyebarkan angket kecamasan terlebih dahulu kepala populasi dengan ini
akan diperoleh sampel yang mana sampel yang diambil adalah siswa yang
mengalami kecemasan tingkat berat sehingga siswa akan dibagi dibagi
menjadi dua kelompok, satu kelompok diberikan perlakuan (treatment) dan
satu kelompoknya lagi tidak diberi perlakuan (kelompok control).
Dalam teknik pengambilan sampling yang peneliti pilih adalah
purposive sampling dalam hal ini pemilihan sampel berdasarkan pada
karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai sangkut paut dengan
karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya. (Umar, H. 2007:
92).
3. Pelaksanaan penelitian
a. Tahap pre-test
Dalam tahap ini peneliti melakukan pengukuran dengan membagikan
skala kecemasan kepada siswa kelas X sebelum perlakuan.
b. Tahap eksperimen
a) Tahap relaksasi
39
1) Menyarankan kepada siswa untuk ambil nafas dalam-dalam dan
tahap selama 5 detik kemudian lepaskan dengan perlahan
(lakukan dengan berulang selama 3-4 kali). Dan setelah itu
dipersilahkan untuk bernafas seperti biasa.
2) Duduk dengan senyaman mungkin, atau sandarkan badan dengan
se-rileks mungkin, sandarkan tangan ke dua paha atau kursi.
3) Gerakkan kepala anda, dan putar rotasi kedua arah yang saling
berlawanan, anggukkan keatas dan kebawah sampai terasa enak
leher.
b) Pelaksanaan konseling
1) Pada pertemuan ini. Siswa datang keruang konselng untuk
mengungkapkan masalah yang ada dibenaknya.
2) Konselor dengan bijak menerima siswa tersebut sebagai konseli
yang sedang mengahadapi masalah.
3) Konseli menceritakan masalah yang sedang ia hadapi yaitu
masalah kecemasan ketika sering kali ia berpidato, atau
menjelaskan pertanyaan dari temannya pada waktu diskusi.
4) Konselor menerima semua yang diungkapkan konseli, dengan
penuh empati.
5) Setelah konseli menceritakan masalah tentang kecemasannya
dalam mengungkapkan verbal dimuka umum seperti berpidato
dan mengungkapkan jawaban pertanyaan didepan teman-
temannya.
6) Konselor memberikan arahan dan bimbingan kepada konseli.
Apabila rasa cemas timbul dalam diri kamu maka hendaknya
kamu relaksasi untuk melawannya agar rasa cemas itu berkurang
atau jika kamu kerasa takut gagal dalam berpidato maka
hendaknya kamu untuk cobalah untuk menerimannya(operant
learning)
40
7) Misalnya “jika saya menjadi kamu, saya akan berusaha dirumah
melatih diri didepan cermin, seakan-akan pantulan diri saya itu
adalah semua orang, jadi saya berbicara dengan seleluasanya.
Apa yang hendak saya katakan, saya ungkapkan tanpa ada rasa
malu. Dan hal itu saya lakukan terus menerus sampai saya benar-
benar bisa dengan mahir mengeluarkan kata-kata, perasaan yang
ada pada benak pikiran saya. (social modeling)
8) Atau saya (konselor) setelah itu membiasakan melatih berpidato
dihadapan keluarga saya, pada adik saya, pada kakak saya dan
anggota keluarga. Setelah beberapa minggu, kita bisa melatih
berpidato, mengemukakan pendapat, memberi jawaban dimuka
teman-teman atau dimuka umum. Dan itu terus saya lakukan
sampai benar-benar hilang rasa gugup dan cemas yang seperti
anda rasakan. (cognitif learning).
9) Atau juga pada saat kamu pada saat kamu merasa cemas ketika
berpidato didepan teman-teman dan didepan umum. Maka kamu
saya beri kesempatan berpidato dihadapan saya.
10) Ketika konseli berpidato dihadapan konselor, timbulah rasa
cemas tinggi pada diri konseli. Konselor memberi arahann
kepada konseli “hendaknya ketika kamu cemas, kamu
seharusnya melakukan pidato dengan disertai candaan atau
lawakan agar rasa ceams itu dapat direduksi. (emotional
learning).
11) Setelah konseli diberikan arahan, masukan dan bimbingan
dengan penguasaan keterampilan yang dimiliki konselor, dan
ketika itu konseli sudah merasa lebih baik dari kondisi
sebelumnya, perasaannya yang ia anggap pengalaman itu selalu
menghantuinya ketika ia tampil didipan umum baik berdiskusi
maupun berpidato. Maka konseli sudah tertolong secara kondisi
41
psikologisnya. Dan konselor bisa memberikan kesempatan
kepada konseli untuk melanjutkan kegiatan ini jika konseli
menemukan masalah lagi baik dalam masalah yang serupa
maupun yang berbeda.
12) Konselor menutup kegiatan konseling.
F. Instrument Penelitian
Instrument penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur
fenomena alam maupun sosial yang di amati yang secara spesifik disebut
variabel penelitian (Sugiyono, 2010:102).
1. Bahan perlakuan
Pada bahan perlakuan ini berisi panduan prosedur pelaksanaan konseling
behavioral yang meliputi empat tahap, yaitu (1) operant learning, (2)
unitative learning, (3) connitive learning, dan (4) emotional learning..
masing-masing aspek penjelasan mengenai langkah-langkah pelaksanaan
konseling. Panduan disusun menjadi dua komponen, yaitu (1)
pendahuluan, dan (2) tahapan pelaksanaan konseling behavioral.
Komponen pendahuluan berisi tentang perilaku yang menimbulkan
kecemasan siswa yakni siswa yang mengalami kekhawatiran dan
kegelisahan. Kompenen kedua tahapan pelaksanaan konseling behavioral
yang setiap komponen terdiri dari tujuan dan prosedur pelaksanaan.
Komponen tujuan berisi mengenai rumusan secara operational tentang
apa yang mau dicapai dari proses tahapan konseling. Komponen prosedur
pelaksanaan mengenai langkah-langkah yang harus dilaksanakan konseor
dalam proses konseling secara sistematis.
a. Validasi ahli
Setelah tersusun panduan pelaksanaan konseling behavior dan sebelum
digunakan dalam penelitian, terlebih dahulu akan dilakukan validasi
ahli. Untuk mendapatkan data yang bersifat kuantitatif maka disusun
42
dalam bentuk skala peniaian. Skala penilaian ini terdiri dati 10 item,
yakni dengan skor 1-5 yang terdapat pada table berikut:
Table 3
Hasil validasi ahli
Panduan pelaksanaan terapi behavior
No Aspek yang dinilaiHasil penilaian
nilai uraian
1
Kejelasan konsep konseling
dengan menggunakan pendekatan
behavioral
2Keoperasionalan rumusan tujuan
dari setiap tahapan
3
Ketepatan konselor untuk
membangun hubungan baik dengan
konseli
4Berurutan dalam langkah-langkah
pelaksanaan konseling behavioral
5
Kejelasan langkah-langkah
pelaksanaan konseling dalam
setiap tahap
6Kesesuaian pengaturan waktu
setiap pertemuan
7
Ketepatan dan kejelasan
penggunaan teknik-teknik
konseling behavioral yang
digunakan setiap tahap
8 Kejelasan peran konselor
9 Kejelasan peran konseli
43
10Kejelasan konselor mengakhiri
konseling
Jumlah
2. Instrument pengumpulan data
Untuk melakukan pengukuran, peneliti menggunakan instrument
pengukuran terdahulu. Instrument pengukuran yang digunakan adalah
skala kecemasan.
a. Skala kecemasan
Skala ini adalah skala likert. Berdasarkan aspek kecemasan terbagi
menjadi 3 sub variable, yaitu kecemasan realistic, kecemasan
neurotic, dan kecemasan moral. Setiap item pertannyaan terdiri dari 4
kemungkinan jawaban yaitu: (1) skor 4 untuk jawaban sangat setuju
(ST), (2) skor tiga untuk jawaban setuju (S), (3) skor dua untuk
jawaban tidak setuju (TS), dan (4) skor untuk jawaban sangat tidak
setuju (STS).
G. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data
Setelah data terkumpul yang diperoleh dari angket dan diteliti kembali
untuk memastikan jumlah angket yang dikembalikan. Kemudian dilakukan
juga pengontrolan terhadap jawaban responden, sejauh mana dia dapat
menjawab pertanyaan.
Untuk dapat menganalisis data, maka data tersebut dimasukan ke dalam
bentuk tabel atau disebut dengan tabulasi data, dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
t=√ n1n2 (n1+n2−2 )n1+n2
.X1−X2
√n1 s12+n2 s2
2 (Margono. 2010 : 200)
44
Untuk menafsirkan hasil analisis presentase tersebut, ditetapkan suatu
kriteria penelitian sebagai berikut :
00.001 - 20.00% :Sebagian terkecil
20.01 - 40.00% :Sebagian kecil
40.01 - 60.00% :Cukup besar
60.01 - 80.00% :Sebagian besar
80.01 - 100% :Sebagian terbesar
Berdasarkan analisis dan kriteria yang telah ditetapkan seperti tersebut
diatas. Maka dapat ditarik kesimpulan mengenai layanan konseling behavior
untuk mengatasi kecemasan siswa.
\
45
H. Jadwal Penelitian
No Kegiatan
BULAN
Februari Maret April Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1
Tahap
Persiapan
Pembuatan
Proposal
X X X X
2
Tahapan
Pengumpulan
Data
X X X X
3
Tahapan
Pengolahan
Data
X X X X
4
Tahapan
Penulisan
Laporan
X X X X
46