kecap ikan_monica budi rahayu_13.70.0130_e2_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Pada praktikum ini dilakukan pembuatan kecap ikan secara enzimatis dari tulang-tulang dan kulit ikan bawal.Teknologi Pangan - Unika SoegijapranataTRANSCRIPT
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, kain saring, blender, toples,
panci, kompor, kain saring, pengaduk, dan timbangan analitik.
1.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang diperlukan untuk praktikum ini antara lain, tulang dan kepala ikan
bawal, enzim papain komersial, garam, gula kelapa dan bawang putih.
1.2. Metode
1
Tulang dan kepala ikan bawal
dihancurkan dan disiapkan 50
gram.
Dimasukkan ke dalam toples.
Ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi
0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8% dan 1%.
Toples ditutup rapat dan dilakban.
Filtrat direbus 30 menit, setelah mendidih ditambah
bumbu-bumbu yang sudah dihaluskan (50 gram
bawang putih, 50 gram garam, 1 butir gula kelapa).
Setelah direbus 30 menit dan agak
dingin, dilakukan penyaringan kedua.
2
Diinkubasi (fermentasi) pada
suhu ruang selama 4 hari.
Hasil fermentasi disaring ditambah air
sebanyak 300 ml lalu disaring
Dilakukan pengamatan sensoris meliputi warna,
rasa, penampakan dan aroma, serta pengamatan
salinitas menggunakan refraktometer.
3
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kecap ikan dengan penambahan enzim papain dapat dilihat di Tabel
1.
Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain
Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)E1 Enzim papain 0,2% +++ ++++ ++++ ++ 5,0E2 Enzim papain 0,4% ++++ +++++ +++ +++ 9,0E3 Enzim papain 0,6% +++ +++++ ++++ ++ 5,5E4 Enzim papain 0,8% ++++ ++++ +++ ++ 5,5E5 Enzim papain 1% +++ +++++ +++ ++ 6,0
Keterangan:Warna : Aroma : + : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam+++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam++++ : coklat gelap ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajamRasa : Penampakan :+ : sangat tidak asin + : sangat cair++ : kurang asin ++ : cair+++ : agak asin +++ : agak kental++++ : asin ++++ : kental+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa pada pembuatan kecap ikan ini, semua
kelompok menggunakan enzim papain, akan tetapi kadarnya berbeda pada masing-
masing kelompok dimana kelompok E1 menggunakan enzim papain 0,2%; kelompok
E2 menggunakan enzim papain 0,4%; kelompok E3 menggunakan enzim papain 0,6%;
kelompok E4 menggunakan enzim papain 0,8%; dan pada kelompok E5 menggunakan
enzim papain 1%. Dalam kecap ikan ini, dilakukan pengujian terhadap warna, rasa,
aroma, dan penampakan yang dilakukan secara sensoris, juga uji salinitas yang
dilakukan dengan menggunakan. Pada uji warna, kelompok E1, E3, dan E5
menghasilkan kecap ikan yang berwarna agak coklat gelap, pada kelompok E2 dan E4
menghasilkan kecap ikan yang berwarna coklat gelap. Pada uji rasa, kelompok E1, E2,
dan E4 menghasilkan rasa kecap ikan yang asin, pada kelompok E3 dan E5
menghasilkan rasa kecap ikan yang sangat asin. Untuk aroma, kelompok E1 dan E3
menghasilkan aroma yang tajam, pada kelompok E2, E4, dan E5 menghasilkan aroma
yang agak tajam. Pada pengujian mengenai penampakan, kelompok E1, E3, E4, dan E5
menghasilkan penampakan yang cair, pada kelompok E2 menghasilkan penampakan
4
5
agak kental. Untuk salinitas, kelompok E2 yang menggunakan enzim papain 0,4%
mendapatkan nilai salinitas tertinggi yaitu sebesar 9,0%, sedangkan pada kelompok E1
dengan menggunakan enzim papain 0,2% mendapatkan nilai salinitas terendah yaitu
sebesar 5,0%. Kelompok E3 yang menggunakan enzim papain 0,6% mendapatkan nilai
salinitas yaitu sebesar 5,5%, kelompok E4 yang menggunakan enzim papain 0,8%
mendapatkan nilai salinitas yaitu sebesar 5,5%, kelompok E5 yang menggunakan enzim
papain 1% mendapatkan nilai salinitas yaitu sebesar 6,0%.
3. PEMBAHASAN
Makanan berbasis fermentasi ikan yang paling familiar adalah kecap ikan. Cara
pembuatan kecap ikan ini pun berbeda-beda di tiap negara tergantung pada lokasi serta
budayanya. Kecap ikan dikenal dengan nama yang berbeda di setiap negara dan juga
memiliki aroma, flavor, serta rasa yang bervariasi (Beddows et al., 1979 dalam Nadiah
et al., 2014). Kecap ikan (dikenal dengan shottsuru dan ishiru di Jepang) telah
dikonsumsi secara luas sebagai salah satu bumbu di negara-negara Asia Tenggara
karena flavornya yang kuat serta bisa mengurangi rasa asin dan asam dari suatu bahan
pangan (Murakami et al., 2009).
Kecap ikan adalah suatu produk cair hasil dari fermentasi ikan dalam larutan garam
dimana kecap ikan ini pada umunya digunakan sebagai salah satu bahan pelengkap
masakan (Ibrahim, 2010). Dalam pembuatan kecap ikan, hampir semua jenis ikan dapat
digunakan sebagai bahan dasar dimana dalam pembuatannya dapat menggunakan
bagian daging maupun tulang ikan (Astawan & Astawan, 1988). Akan tetapi, organ
intestinal ikan tidak disarankan untuk membuat kecap ikan karena mengandung racun
tetrodotoksin (Harada et al., 2007). Kecap ikan memiliki beberapa kelebihan seperti
dapat menggunakan semua jenis ikan, bahkan sisa-sisa dari ikan seperti tulang ikan bisa
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kecap ikan. Namun, kecap asin ini juga
memiliki kekurangan, yaitu memerlukan waktu pembuatan yang cukup lama
(Moeljanto, 1992). Dalam pembuatan kecap ikan sebaiknya menggunakan ikan yang
masih segar, untuk menghasilkan mutu kecap yang baik. Ciri-ciri ikan yang segar
adalah daging melekat kuat pada tulang, daging yang kenyal, daging perut utuh dan
kenyal, bau segar pada daging dan bagian tubuh lain, dan apabila daging ditekan dengan
jari tidak tampak bekas lekukan (Afrianto & Liviawaty, 1989). Dalam upaya
memanfaatkan limbah ikan menjadi pangan fungsional, dilaporkan bahwa ikan yang
difermentasi menggunakan fungi A. Oryzae berpotensi menghasilkan produk akhir yang
memiliki aktivitas antioksidan (Giri et al., 2012).
Tahapan awal pembuatan kecap ikan dalam praktikum ini adalah memisahkan tubuh
ikan dari daging dan tulangnya hingga bersih. Pembuatan kecap ikan ini hanya
menggunakan tulang dan durinya, sedangkan dagingnya digunakan untuk pembuatan
surimi. Setelah dipisahkan, tulang dan durinya dihancurkan dengan menggunakan
6
7
mixer. Penggunaan mixer ini bertujuan untuk membantu penghancuran bahan sehingga
didapatkan bahan yang terlumat halus. Proses penghancuran ini bertujuan untuk
meningkatkan luas permukaan bahan. Langkah yang dilakukan sesuai dengan teori dari
Saleh et al. (1996) yang mengutarakan jika proses penghancuran akan memperluas luas
permukaan bahan, sehingga rasio luas permukaan terhadap volume bahan akan menjadi
semakin tinggi yang akan menyebabkan kemampuan untuk melepas komponen flavor
juga semakin besar. Pada umunya, senyawa-senyawa pembentuk flavor terdistribusi
pada bahan dimana sebagian terikat dalam bentuk ikatan dengan protein, lemak,
ataupun air, sehingga perlakuan awal (penghancuran bahan) dibutuhkan.
Setelah dihancurkan, bahan yang telah halus tersebut ditimbang sebanyak 50 gram
untuk masing-masing kelompok dan dimasukkan ke dalam wadah fermentasi (toples)
yang ditutup rapat. Setelah dimasukkan ke dalam wadah fermentasi yang ditutup rapat,
ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,2%, 0,6%, 0,8%, dan 1% dari
berat bahan berturut- turut dari kelompok E1 sampai E6. Penggunaan wadah fermentasi
yang tertutup rapat selama inkubasi ini bertujuan untuk menciptakan kondisi anaerob
(tidak memerlukan O2) sehingga proses fermentasi dapat berjalan dengan efektif tanpa
ada kontaminasi yang masuk. Karim dan Hassan (1987) memaparkan bahwa kecap ikan
dapat dibuat secara tradisional dengan fermentasi namun fermentasi ini membutuhkan
waktu yang lama. Oleh karena itu, sekarang ini telah dikembangkan pembuatan kecap
ikan secara enzimatis biasanya menggunakan enzim proteolisis (papain dan bromelin)
yang membutuhkan waktu relatif lebih cepat bila dibandingkan dengan proses
fermentasi. Enzim papain merupakan enzim yang umumnya diperoleh dari buah pepaya
muda (Muhidin, 1999). Himonides et al. (2011) menambahkan penggunaan enzim
proteolisis untuk fungsi hidrolisis telah digunakan secara luas di dunia, contoh
penggunaan enzim ini adalah untuk mengempukan daging ikan serta digunakan untuk
mempercepat fermentasi kecap ikan. Sjaifullah (1996) mengatakan bahwa bila enzim
papain yang berasal dari getah pepaya mempunyai aktivitas proteolitik sekitar 200
MCU/g, sedangkan pada buah pepaya mempunyai aktivitas proteolitik sekitar 400
MCU/g. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas enzim dalam proses
fermentasi yaitu suhu, pH, kemurnian, dan konsentrasi. Sehingga dapat diketahui pada
praktikum ini pembuatan kecap ikan dilakukan secara enzimatis karena ada
penambahan enzim papain.
8
Proses selanjutnya adalah inkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Proses inkubasi yang
dilakukan sejalan dengan pendapat Astawan & Astawan (1988) yang memaparkan
proses fermentasi pada pembuatan kecap adalah selama 1-5 hari. Suhu yang digunakan
pada saat proses inkubasi adalah suhu ruang, apabila suhu terlalu tinggi akan
mengakibatkan enzim terdenaturasi karena enzim merupakan salah satu protein. Hal
tersebut sesuai dengan teoriGaman & Sherrington (1994) yang menyatakan enzim
mempunyai suhu optimum sekitar 18o-23oC atau maksimal 40oC, pada suhu 45oC enzim
akan mengalami denaturasi.
Pada proses inkubasi terjadi fermentasi atau penguraian senyawa kompleks tubuh ikan
menjadi senyawa sederhana oleh enzim yang berasal dari tubuh ikan atau dari
mikroorganisme dan berlangsung dalam kondisi lingkungan yang terkontrol (Afrianto &
Liviawaty, 1989). Mikroorganisme dan enzim yang dihasilkan dari proses fermentasi ini
dapat menstimulir cita rasa khas, meningkatkan nilai cerna, menurunkan kandungan
senyawa anti gizi, dan dapat menghasilkan produk turunan yang bermanfaat (Misgiyarta
& Widowati, 2003). Hasil hidrolisis dalam pembuatan kecap ikan adalah polipeptida
yang pada awalnya tidak larut menjadi larut air dan berinteraksi menciptakan rasa yang
khas (Buckle et al., 2007). Komposisi kecap ikan yang dibuat dengan cara fermentasi
adalah NaCl 275 – 280 g/l, total N 11,2- 22 g/l, N organik 7,5-15 g/l, N formol titrasi 8-
16 g/l, N Amonia 3,5-7 g/l dan N dalam bentuk asam amino 4,5-9 g/l (Rahayu et al.,
1992).
Setelah inkubasi selama 4 hari, hasil fermentasi ditambahkan air sebanyak 300 ml
kemudian disaring dengan kain saring dan dididihkan selama 30 menit. Selama direbus,
filtrat ditambahkan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan. Dalam praktikum ini,
dilakukan proses penyaringan, menurut Mahida (1992) penyaringan bertujuan untuk
menghilangkan padatan-padatan yang berukuran besar (0,7 mm atau lebih besar).
Kemudian dilakukan perebusan selama 30 menit yang bertujuan untuk meningkatkan
cita rasa, menghilangkan mikroorganisme kontaminan dari proses fermentasi dan
penyaringan, dan melarutkan bumbu-bumbu. Selain itu, perebusan juga dilakukan untuk
mengaktifkan enzim protease sehingga dapat bekerja secara optimal dimana enzim
protease akan aktif pada suhu 50-70oC selama proses pemasakan (Parker, 2003).
9
Bumbu-bumbu yang ditambahkan selama perebusan dalah 50 gram bawang putih, 50
gram garam, dan 50 gram gula jawa. Penambahan tiap-tiap bumbu ini memiliki fungsi
masing-masing dalam proses perebusan. Desroiser (1977) menjelaskan penambahan
garam akan memberi rasa asin, sebagai pengawet, dan menguatkan rasa. Penambahan
garam dapat berfungsi sebagai bahan pengawet karena garam dapat menurunkan Aw
dimana Aw yang rendah dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme kontaminan.
Selain itu, garam juga akan berpengaruh pada kualitas sensori dari kecap ikan terutama
rasa karena garam akan membuat kecap ikan lebih terasa asin (Astawan & Astawan,
1991). Selanjutnya, penambahan gula jawa berfungsi untuk memberi flavor pada kecap
ikan dan memberi warna coklat karamel serta dapat meningkatkan viskositas
(Kasmidjo, 1990). Sedangkan penambahan bawang putih bertujuan untuk mencegah
terjadinya pembusukan dan memperpanjang umur simpan karena bawang putih
mengandung zat alicin yang mampu membunuh bakteri dan meningkatkan cita-rasa
makanan. Setelah semua bumbu dimasukkan dan dilakukan perebusan selama 30 menit,
kecap asin didiamkan sebentar hingga tidak terlalu panas, lalu dilakukan penyaringan
tahap kedua. Langkah yang terakhir adalah dilakukan salinitas juga uji sensoris dimana
dilihat warna, rasa, aroma, serta penampakan dari kecap asin.
Berdasarkan tabel hasil pengamatan dapat diketahui bahwa pada pembuatan kecap ikan
ini, semua kelompok menggunakan enzim papain, akan tetapi kadarnya berbeda pada
masing-masing kelompok dimana kelompok E1 menggunakan enzim papain 0,2%;
kelompok E2 menggunakan enzim papain 0,4%; kelompok E3 menggunakan enzim
papain 0,6%; kelompok E4 menggunakan enzim papain 0,8%; dan pada kelompok E5
menggunakan enzim papain 1%. Dalam praktikum kecap ikan ini, dilakukan pengujian
terhadap warna, rasa, aroma, dan penampakan yang dilakukan secara sensoris, juga uji
salinitas yang dilakukan dengan menggunakan hand refractometer.
Pada uji warna, kelompok E1, E3, dan E5 menghasilkan kecap ikan yang berwarna agak
coklat gelap, pada kelompok E2 dan E4 menghasilkan kecap ikan yang berwarna coklat
gelap. Warna coklat pada kecap ikan yang dihasilkan sesuai dengan pendapat Afrianto
& Liviawaty (1989) yang memaparkan bahwa kecap ikan memiliki penampakan cair
dan berwarna coklat. Rahayu et al. (1992) dalam Witono et al. (2015) menambahkan
kecap ikan memiliki kenampakan berupa cairan coklat yang mempunyai flavor dan
aroma yang khas. Faktor-faktor yang berpengaruh pada produksi kecap ikan adalah
10
bahan dasar, pre-treatment, stages, dan advanced treatment processes. Menurut
Astawan & Astawan (1988), warna coklat pada kecap ikan ini terbentuk karena reaksi
yang terjadi antara asam amino pada daging ikan dan gula pereduki di gula jawa (reaksi
maillard). Hal ini didukung oleh Buckle et al. (2007) yang mengatakan bahwa
perubahan warna pada kecap ikan disebabkan karena terjadinya reaksi pencoklatan non
enzimatis, semakin lama waktu fermentasi maka warna kecap ikan akan semakin
kecoklatan, karena kesempatan antara gula reduksi dan gugus amino dari protein
bereaksi dan terlibat dalam reaksi pencoklatan akan semakin lama. Astawan & Astawan
(1991) menambahkan semakin banyak enzim yang ditambahkan maka semakin tinggi
pula aktivitas protease sehingga warna cairan hasil hidrolisa semakin gelap.
Berdasarkan teori tersebut hasil yang didapatkan E1 telah sesuai dengan teori karena
dengan penambahan enzim papain 0,2% didapatkan warna kecap ikan yaitu agak coklat
gelap, sedangkan hasil yang didapatkan E5 tidak sesuai dengan teori karena dengan
penambahan enzim papain 1% didapatkan warna kecap ikan agak coklat juga.
Penyimpangan hasil dengan teori ini dapat disebabkan karena evaluasi sensori oleh
panelis yang bersifat subjektif sehingga kurang akurat, penimbangan gula jawa dan
enzim yang tidak tepat, selain itu besar api yang digunakan untuk mendidihkan filtrat
juga berpengaruh pada warna produk akhir.
Untuk pengujian aroma, kelompok E1 dan E3 menghasilkan aroma yang tajam. Pada
kelompok E2, E4, dan E5 menghasilkan aroma yang agak tajam. Astawan & Astawan
(1991) menyatakan penambahan enzim papain dengan konsentrasi yang semakin besar
akan menyebabkan aroma yang dihasilkan juga semakin tajam. Hasil yang didapatkan
dalam praktikum ini tidak sesuai dengan teori, hal ini dapat disebabkan karena evaluasi
sensori oleh panelis yang bersifat subjektif sehingga kurang akurat, penimbangan
bumbu-bumbu dan enzim yang tidak tepat. Selain itu, dapat dikarenakan kadar protein
bahan masing-masing kelompok yang tidak berkadar sama sehingga berpengaruh pada
aroma yang dihasilkan. Hal tersebut didukung oleh Hidayat et al. (2006) yang
menyatakan aroma dibentuk oleh asam amino (dari protein) bebas yang terdapat pada
akhir fermentasi dan juga sangat dipengaruhi oleh waktu fermentasi.
Pada pengujian mengenai penampakan, kelompok E1, E3, E4, dan E5 menghasilkan
penampakan yang cair, pada kelompok E2 menghasilkan penampakan agak kental.
Menurut Sayed (2010) kecap ikan pada umumnya memiliki penampakan yang encer
11
ataut sangat cair. Hasil yang didapatkan kelompok E1, E3, E4, dan E5 sudah sesuai
dengan teori namun hasil kelompok E2 tidak sesuai. Hal ini dapat disebabkan karena
cara mendidihkan filtrat yang berbeda (besar api yang digunakan berbeda, semakin
besar api yang digunakan maka kandungan air yang teruapkan akan semakin banyak
sehingga filtrat yang didapatkan semakin kental.
Untuk pengujian salinitas digunakan alat yaitu hand refractometer. Kultsum (2009)
memaparkan bahwa untuk mengukur padatan terlarut dapat dilakukan menggunakan
hand refractometer, dimana satuan alat ini adalah obrix. Brix adalah zat padat yang
terlarut dengan satuan gram dalam 100 ml larutan. Brix pada praktikum kali ini
digunakan untuk mengukur salinitas atau kadar garam di kecap ikan. Pengujian salinitas
ini dilakukan dengan mengencerkan 1 ml kecap ikan dengan 9 ml akuades kemudian
hasil campuran tersebut diteteskan pada hand refractometer dan diamati skala yang ada.
Salinitas dari kecap ikan dinyatakan dalam persen (%) dengan perhitungan sebagai
berikut :
Salinitas (% )=hasil pengukuran1000
x 100 %
Hasil yang didapatkan pada praktikum ini yaitu kelompok E2 yang menggunakan enzim
papain 0,4% mendapatkan nilai salinitas tertinggi yaitu sebesar 9,0%, sedangkan pada
kelompok E1 dengan menggunakan enzim papain 0,2% mendapatkan nilai salinitas
terendah yaitu sebesar 5,0%. Kelompok E3 yang menggunakan enzim papain 0,6%
mendapatkan nilai salinitas yaitu sebesar 5,5%, kelompok E4 yang menggunakan enzim
papain 0,8% mendapatkan nilai salinitas yaitu sebesar 5,5%, kelompok E5 yang
menggunakan enzim papain 1% mendapatkan nilai salinitas yaitu sebesar 6,0%.
Menurut teori Astawan &Astawan (1988) dipaparkan bahwa semakin asin kecap ikan
disebabkan karena enzim yang ditambahkan semakin banyak. Hasil pengujian salinitas
ini berhubungan dengan hasil evaluasi sensori yaitu rasa. Pada uji rasa, kelompok E1,
E2, dan E4 menghasilkan rasa kecap ikan yang asin, pada kelompok E3 dan E5
menghasilkan rasa kecap ikan yang sangat asin. Hasil pengujian sensori (rasa) dengan
salinitas yang didapatkan dalam praktikum ini tidak sebanding dimana seharusnya
semakin besar % salinitas maka semakin asin pula rasa dari kecap ikan. Hasil yang tidak
sesuai dengan teori Astawan &Astawan (1988) tersebut dapat dikarenakan
penimbangan enzim papain dan garam yang kurang tepat, cara mendidihkan filtrat yang
12
berbeda (besar api yang digunakan berbeda, semakin besar api yang digunakan maka
kandungan air yang teruapkan akan semakin banyak sehingga filtrat semakin kental dan
akan berpengaruh pada rasa yang lebih asin), serta evaluasi sensori oleh panelis yang
kurang akurat.
Menurut Afiza et al. (2011) faktor yang mempengaruhi pembuatan kecap ikan adalah
rasio garam dengan ikan, suhu fermentasi, jenis ikan, dan komposisi yang ditambahkan.
Singapurwa (2012) menambahkan lamanya proses fermentasi pada pembuatan kecap
ikan harus diperhatikan, fermentasi yang terlalu lama menyebabkan jumlah asam amino
yang terbentuk semakin banyak dan kandungan nitrogen yang berubah menjadi
ammonia semakin banyak pula. Hal ini akan berpengaruh pada kualitas sensori kecap
ikan terutama dari aspek rasa dan aroma. Tahap inkubasi yang optimal dipengaruhi oleh
banyaknya enzim, suhu lingkungan inkubasi, kadar garam serta jenis ikan yang
digunakan (Yongsawatdigul et al., 2007).
4. KESIMPULAN
Semakin tinggi konsentrasi enzim papain maka warna kecap ikan semakin gelap.
Semakin tinggi konsentrasi enzim papain maka rasa kecap ikan semakin asin.
Semakin tinggi konsentrasi enzim papain maka aroma kecap ikan semakin tajam.
Proses pembuatan kecap ikan pada praktikum ini dilakukan secara enzimatis.
Fermentasi tradional pada pembuatan kecap ikan membutuhkan waktu lebih lama
dibandingkan secara enzimatis.
Enzim papain adalah enzim protease yang digunakan untuk menghidrolisis protein.
Penghancuran ikan bertujuan meningkatkan luas permukaan dan untuk
memudahkan proses hidrolisa ikan oleh enzim protease.
Pemberian bumbu bertujuan meningkatkan aroma dan citarasa dari kecap ikan.
Keberhasilan dari pembuatan kecap ikan secara enzimatis dipengaruhi oleh enzim,
penggunaan bumbu dan lama fermentasi.
Warna coklat pada kecap disebabkan karena reaksi maillard.
Gula jawa berfungsi memberikan rasa manis, warna coklat karamel, dan
meningkatkan viskositas.
Garam berfungsi untuk menguatkan rasa dan mengawetkan.
Bawang putih berfungsi memberikan cita rasa dan memperpanjang umur simpan.
Faktor yang mempengaruhi pembuatan kecap ikan adalah rasio garam dengan ikan,
suhu fermentasi, jenis ikan, dan komposisi yang ditambahkan.
Semarang, 04 November 2015
Praktikan, Asisten Dosen,
Monica Budi Rahayu - Michelle Darmawan
13.70.0130
13
5. DAFTAR PUSTAKA
Afiza Ng, Y.F., T.S., Lim, Y.K., Muhammad Afif, A.G., Liong, M.T., Rosma, A. and Wan Nadiah. (2011). Proteolytic Action In Valamugil Seheli And Ilisha Melastoma For Fish Sauce Production.
Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Astawan, M.W. & M.Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Cv Akademika Pressindo. Jakarta.
Astawan,M.W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., dan Wootton, M. (1987). Ilmu Pangan.(Purnomo, H., dan Adiono, Pentj). Jakarta: UI-Press.
Desrosier, N.W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Gaman, P.M & K.B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobilogi. UGM Press. Yogyakarta.
Giri, M., Nasu, M., Ohshima, T. (2012). Bioactive properties of Japanese fermented fish paste, fish miso, using koji inoculated with Aspergillusoryzae. International Journal of Nutrition and Food Sciences 1(1):13-22.
Harada, Kazuki; Toshimichi Maeda; Masato Honda; Tsuyoshi Kawahara; Miki Tamaru; & Tsuneo Shiba. (2007). Antioksidative Activity of Puffer Fish Sauce (Review). http://www.fish-u.ac.jp/kenkyu/sangakukou/kenkyuhoukoku/56/01_11.pdf.
Hidayat, N., Padaga, M.C. dan Suhartini, S. (2006). Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: C.V. Andi Offset.
Himonides, A.T., Anthony, K.D., Taylor, Morris, A.J. (2011). A Study of the Enzymatic Hydrolysis of Fish Frames Using Model Systems. Food and Nutrition Sciences, 2.
Ibrahim, Sayed Mekawy. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production. http://www.trjfas.org/pdf/issue_10_02/0202.pdf.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Misgiyarta, S. dan Widowati. (2003). Seleksi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat (BAL) Indigenus. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca panen Pertanian.
14
15
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Muhidin, D. (1999). Agroindustri Papain dan Pektin. Penebar Swadaya. Jakarta.
Murakami, M., Satomi, M., ando, M., Tukamasa, Y., Kawasaki, K. (2009). Evaluation of new fish sauces prepared by fermenting hot-water extraction waste of stock from dried fish using various kojis. Journal of Food, Agriculture & Environment Vol.7 (2).
Nadiah, I, Huda, N., Abdullah, W.N.W., Al-Karkhi, A.F.M. (2014). Protein Quality of Fish Fermented Product: Budu and Rusip. Asia Pacific Journal of Sustainable Agriculture Food and Energy (APJSAFE) Vol 2 (2).
Parker, R. (2003). Introduction to Food Science. A Division of Thomson Learning, Inc. New York.
Rahayu, W.P., Ma٫oen, S., Suliantari dan Fardiaz, S. (1992). Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.
Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.
Sayed M.I. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) for Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172.
Singapurwa, N.M.A.S. (2012). Pemanfaatan Enzim Buah Pada Pembuatan Kecap Limbah Ikan Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Jurnal Lingkungan Vol 21(1):1-5.
Sjaifullah. (1996). Petunjuk Memilih Buah Segar. PT Penebar Swadaya.Jakarta.
Witono, Y., Windrati, W.S., Afrilia, A., Prasvita, I.N. (2015). Production of Inferior Fish Hydrolyzate Sauce Under Different Concentration of Coconut Sugar and Caramel. International Journal of ChemTech Research Vol.8, No.1.
Yongsawatdigul, J, Rodtong, S, Raksakulthai, N. (2007). Acceleration of Thai Fish Sauces Fermentation Using Proteinases and Bacterial Starter Cultures. Journal of Food Science Vol 72(9):1-9.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus : Salinitas = hasil1000
x 100%
Kelompok E1
Salinitas = 50
1000 x 100% = 5%
Kelompok E2
Salinitas = 90
1000 x 100% = 9%
Kelompok E3
Salinitas = 55
1000 x 100% = 5,5%
Kelompok E4
Salinitas = 55
1000 x 100% = 5,5%
Kelompok E5
Salinitas = 60
1000 x 100% = 6%
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
16