kecap ikan_the rina_13.70.0055_d2_unika soegijapranata
DESCRIPTION
kepala dan tulang ikan yang menjadi limbah padat da[pat dimanfaatkan untuk membuat kecap ikan dengan penambahan enzimTRANSCRIPT
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
1.1.1.Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples,
panci, kain saring, pengaduk kayu.
1.1.2.Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim
papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.
1.2. Metode
1
Tulang dan kepala ikan dihancurkan dan dimasukkan ke dalam toples sebanyak 50 gram
Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok D1), konsentrasi 0,4% (kelompok D2), konsentrasi 0,6% (kelompok D3),
konsentrasi 0,8% (kelompok D4); konsentrasi 1% (kelompok D5)
2
Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari
Hasil fermentasi ditambahkan dengan air sebanyak 300 ml
Hasil fermentasi disaring menggunakan kain saring
3
Filtrat ditambahkan dengan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 50 gram gula kelapa.
Filtrat direbus sampai mendidih sambil diaduk selama 30 menit
Setelah dingin hasil perebusan disaring
4
Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap
Kecap diambil sebanyak 1 ml dan diencerkan dengan aquades sebanyak 9 ml (pengenceran 10-1)
Dilakukan uji salinitas kecap dengan menggunakan hand refractometer
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil Pengamatan Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain
Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%) D1 Enzim papain 0,2% ++++ +++++ ++ +++++ 4,00
D2 Enzim papain 0,4% +++++ ++++ ++ ++++ 3,00D3 Enzim papain 0,6% +++ ++++ ++ +++ 3,00D4 Enzim papain 0,8% +++ ++ ++++ + 2,50D5 Enzim papain 1% +++ +++++ +++ + 3,50
Keterangan:Warna : Aroma + : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam +++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam ++++ : coklat gelap ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajamRasa Penampakan + : sangat tidak asin + : sangat cair++ : kurang asin ++ : cair+++ : agak asin +++ : agak kental++++ : asin ++++ : kental+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental
Dari tabel di atas, terlihat bahwa ada 5 macam konsentrasi enzim papain yang
digunakan, yaitu 0,2 % ; 0,4% ; 0,6% ; 0,8% ; 1%. Warna dari kecap ikan untuk
kelompok D3-D5 berwarna agak coklat gelap, sedangkan untuk kelompok D1 berwarna
coklat gelap, dan kelompok D2 berwarna sangat coklat gelat. Rasa dari kecap ikan dari
kelompok D2, D3 dan D5 adalah asin; kelompok D1 sangat asin; serta kelompok D4
adalah kurang asin. Aroma dari kecap ikan yang dimiliki oleh kelompok D1-D3 adalah
kurang tajam, kelompok D5 adalah agak tajam. Untuk penampakan dari kecap ikan
yang didapat, D1 adalah sangat kental, D2 adalah kental, D3 adalah sangat kental, serta
D4-D5 adalah sangat cair. Untuk hasil salinitas terbesar terdapat pada kelompok D1
yaitu 4,00% dan salinitas terendah D4 yaitu 2,50%.
6
3. PEMBAHASAN
Kecap ikan biasa dikenal dengan kaecap asin. Kecap asin adalah cairan yang diproduksi
dari daging ikan yang diekstrak melalui proses fermentasi dan penggaraman. Kecap
ikan memiliki sebutan tersendiri diberbagai negara seperti yeesui (Hong Kong), patis
(Filipina), nampla (Thailand), pissala (perancis), serta budu (Malaysia). Kecap ikan
memiliki kadar garam yang tinggi, tahan terhadap pertumbuhan mikroorganisme, serta
mempunyai umur simpan yang panjang (Eyo, 2001). Kecap ikan merupakan bahan
pangan dengan kadang air ± 72-74%, protein 9-10%, lemak 9,15%-16,3%, dan abu
sebesar 5,81%-9,90%. Selain itu, kecap ikan juga mengandung mineral yang berupa
amina seperti fenilalanin, spermin, spermidin, agmatin (Mah et al., 2002). Kecap ikan
dibuat dengan cara dimasukkan didalam wadah yang tertutup rapat selama 25-30 hari
penyimpanan. Ciri-ciri dari kecap ikan adalah cairan yang berwarna kecoklatan dengan
rasa asin dan aroma yang khas (Afrianto & Liviawaty, 1989). Viskositas kecap ikan
lebih rendah dibandingkan dengan viskositas kecap manis. Menurut jurnal “Occurrence
of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce” selain digunakan
untuk memasak, kecap ikan juga digunakan untuk diet protein pada kawasan Asia
Tenggara. Metode yang digunakan dalam pembuatan kecap ikan secara sederhana
adalah metode fermentasi.
Kualitas dari suatu kecap asin ditentukan oleh frementasi da konsentrasi garam (Muliati,
1985). Fermentasi dari kecap ikan dapat menggunakan enzim, enzim tersebut dapat
berasal dari enzim dari luar seperti bromelin ataupun papain dan enzim yang berasal
dari dalam ikan itu sendiri (Yongsawatdigul et al., 2007). Fermentasi dari ikan akan
mendegradasi protein menjadi lebih sederhana seperti asam amino dan peptida, serta
menghasilkan senyawa sampingan yang berkontribusi terhadap warna, rasa, dan aroma
dari kecap itu sendiri, yaitu 2-metil propanal, 2-metil butanal, 2-pentanon, 2-etil piridin,
dimetil trisulfat, dan asam 3-metil butanoat (Fumaki et al., 2002). Fermentasi dibagi
menjadi 2 macam, yakni tradisional dan modern. Fermentasi tradisional memerlukan
waktu yang lebih lama dibandingkan dengan fermentasi modern. Waktu fermentasi
tradisional berkisar antara ± 6-12 bulan dengan menggunakan bakteri halofil (Frazier &
Westhoff, 1988). Penggunaan bakteri halofil, kualitas sensorisnya lebih terjamin karena
7
8
menghasilkan enzim protease dan lipase. Menurut jurnal “Proteinase-producing
halophilic lactic acid bacteria isolated from fish sauce fermentation and their ability to
produce volatile compounds” mengatakan bahwa selama fermentasi berlangsung
terdapat beberapa bakteri yang tumbuh didalam kecap ikan seperti Bacillus,
Micrococcus, Staphylococcus, Streptococcus, Pediococcus, extremely halophilic red
archaea, dan halofilik bakteri asam laktat, yaitu Tetragenococcus. Metode fermentasi
modern menggunakan enzim enzim papain dan bromelin memiliki waktu yang cepat
(Haard & Simpson, 2000). Fermentasi modern hanya berfokus pada pemecahan protein
menjadi asam amino dan nitrogen. Asam amino dan nitrogen berkontribusi paling besar
terhadap kualitas baik warna, rasa maupun aroma dari kecap ikan (Steinkraus, 2004).
Menurut jurnal “Halobacterium sp. SP1(1) as a starter culture for accelerating fish sauce
fermentation” mengatakan bahwa bahan makan yang melalui proses fermentasi akan
meningkatkan kandungan protein atau meningkatkan keseimbangan asam amino
esensial. Menurut jurnal “Oceanobacillus aswanesis Strain FS10 sp. Nov., an
Extremely Halotolerant Bacterium Isolated from Sakted Fish Sauce in Aswan City,
Egypt” kecap ikan yang memiliki kualitas yang baik dapat difermentasi hingga 5 tahun
lamanya.
Tahap awal yang dilakukan pada pembuatan kecap asin pada saat praktikum adalah
tulang dan kepala ikan kemudian menimbang sebanyak 50 gram dan dimasukkan ke
dalam toples. Kemudian ditambahkan dengan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%
untuk kelompok 1; 0,4% untuk kelompok 2; 0,6% untuk kelompok 3; 0,8% untuk
kelompok 4; dan 1% untuk kelompok 5. Kepala dan tulang ikan yang digunakan pada
saat praktikum adala ikan bawal. Semua bagian ikan yang tidak terpakai dapat
digunakan untuk membuat kecap ikan, hanya saja kandungan protein dari ikan itu
sendiri akan mempengaruhi kualitas dari kecap ikan yang dihasilkan (Moeljanto, 1992).
Kepala dan tulang ikan dihanvurkan dengan tujuan untuk membuat luas permukaan dari
bahan menjadi lebih besar sehingga akan mudah mengalami kontak dengan enzim
papain yang digunakan. Penggunaan enzim papain yang berbeda konsentrasinya
bertujuan untuk mengetahui konsentrasi manakah dari enzim papain yang paling efektif
untuk membuat kecap ikan dengan bahan dasar ikan bawal. Enzim papain yang
digunakan berfungsi untuk mendegradasi protein yang ada dalam tulang dan kepala
9
ikan, karena enzim ini termasuk enzim proteolitik (Afrianto & Liviawaty, 1989). Enzim
papain adalah enzim proteolitik yang dapay mempengaruhi aroma, warna, serta rasa
dari suatu kecap ikan. Semaikn banyak enzim papain yang digunakan maka rasa, aroma,
dan warna akan semakin baik karena akibat dari hidrolisis protein menjadi asam amino
optimal (Briani et al., 2014). Hancuran kepala dan tulang ikan yang telah ditambah
dengan enzim papain diinkubasi selama 4 hari pada suhu ruang dengan wadah yang
tertutup rapat. Inkubasi bertujuan untuk memberikan waktu pada enzim papain yang ada
untuk mendegradasi protein yang ada pada bahan yang digunakan (Winarno, 2002).
Kualitas dari suatu kecap ikan juga dipengaruhi oleh lamanya proses inkubasi
(Singapurwa, 2012). Banyaknya enzim yang ditambahkan suhu lingkungan, suhu
inkubasi, kadar garam yang ditambahkan dan ikan yang digunakan juga akan
mempengaruhi kualitas dari suatu kecap ikan (Yongsawatdigul et al., 2007).
Langkah berikutnya adalah hasil fermentasi disaring menggunakan kain saring hingga
diperoleh filtrat yang kemudian direbus selama 15 menit dengan penambahan garam
sebanyak 50 gram, bawang putih sebanyak 50 gram, serta gula kelapa sebanyak 50
gram. Pnyaringan yang dilakukan bertujuan untuk memisahkan padatan dan cairan yang
dihasilkan dari fermentasi, sedangkan proses perebusan dilakukan dengan tujuan
membuat kecap ikan yang merupakan hasil dari fermentasi menjadi steril. Selain untuk
mensterilkan kecap ikan, perebusan juga bertujan untuk membunuh mikroorganisme
yang ada karena proses fermentasi (Fraizer & Westhoff, 1988). Pada saat perebusan
perlu diperhatikan suhunya agar tidak terjadi penurunan protein lebih lanjut dan
kerusakan nutrien lain (Killinc et al., 2006). Tujuan dari penambahan bumbu adalah
untuk memberikan cita rasa yang khas pada kecap ikan, aroma, dan warna khas pada
kecap ikan sehingga dapat diterima konsumen di pasaran (Singapurwa, 2012).
Penambahan bawang putih bertujuan untuk memberi efek pengawetan karena
mengandung allicin dan garam dapat menunrunkan Aw (activity of water) dari kecap
ikan (Hirasa & Takemara, 1998), sedangkan penambahan garam berfungsi untuk
meningkatkan salinitas dari kecap ikan karena garam tersebut membuat air keluar dari
jaringan yang ada (Winarno, 2002).
10
Setelah dilakukan proses perebusan serta penambahan bumbu, kemudian didiamkan
hingga dingin lalu disaring kembali dan diamati secara sensoris dari segi warna, rasa,
dan aroma, serta salinitas kecap ikan. Penyaringan pada tahap ini bertujuan untuk
mendapatkan kecap ikan dan memisahkannya dari padatan-padatan bumbu yang
ditambahkan. Dilakukan uji sensoris bertujuan untuk mengetahui kualitas sensori serta
penerimaan konsumen (Ritthiruangdej & Suwonsichon, 2006). Warna dari kecap asin
tidak dipengaruhi oleh konsentrasi enzim yang ditambahkan, tetapi dipengaruhi oleh
proses pemanasan, serta bahan tambahan yang digunakan (Singapurwa, 2012). Warna
dari kecap ikan juga dipengaruhi oleh lamanya proses fermentasi, semakin lama
fermentasi maka warna akan semakin kecoklatan, yang terjadi karena adanya reaksi
gugus amino dengan gula pereduksi (Buckle et al., 2007).
Berdasarkan hasil praktikum yang didapatkan menunjukan bahwa warna yang diperoleh
pada saat praktikum adalah agak coklat gelap hingga sangat coklat gelap. Warna coklat
yang muncul dapat dipengaruhi oleh penambahan gula kelapa serta proses pemanasan
yang dilakukan. Hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan teori dari Singapurwa (2012)
yang mengatakan bahwa konsentrasi dari enzim yang ditambahkan tidak akan
mempengaruhi warna kecap ikan, melainkan bahan yang ditambahkan seperti gula
jawa. Hal ini terbukti dengan bendanya konsentrasi enzim papain yang ditambahkan
wrana yang tampak bisa sama. Selanjutnya untuk rasa, hasil yang diperoleh adalah rasa
kurang asin hingga sangat asin. Rasa asin yang ditimbulkan berasal dari penambahan
garam pada saat proses perebusan (Rachmi et al., 2006). Lama dari fermentasi juga
akan mempengaruhi rasa dari kacap ikan (Olunbumi et al., 2010). Rasa asin yang
bervariasi dapat disebabkan karena penimbangan garam yang kurang akurat dan uji
sensori hanya dilakukan pada seorang panelis yang menggunakan indera perasa (Stone
et al., 1974). Rasa asin yang dihasilkan disebabkan degradasi protein yang
menghasilkan senyawa berupa 2-metil propanal, 2-metil butanal, 2-pentanon, 2-etil
piridin, dimetil trisulfat, dan asam 3-metil butanoat (Mizutani et al., 1992).
Hasil yang selanjutnya adalah uji sensori aroma. Aroma yang diperoleh pada saat
praktikum adalah kurang tajam hingga tajam. Kekuatan dari aroma sangat dipengaruhi
oleh penambahan enzim. Menurut Hidayat et al. (2006) semakin tinggi konsentrasi
11
enzim papain yang ditambahkan maka aroma yang dihasilkan akan semakin optimal,
namun hanya sampai batas tertentu saja. Bila konsentrasi melebihi batas konsentrasi
optimal maka akan menyebabkan aroma yang tidak mengenakkan akibat terlalu banyak
protein yang teroksidasi. Beberapa senyawa yang teroksidasi adalah asam propionat,
asam asetat, dan asam organik lainnya, yang akan membuat aroma menjadi kurang
mengenakan ketika teroksidasi. Berdasarkan hasil yang didapatan bila dibandingkan
dengan teori yang ada, hasil yang diperoleh pada saat praktikum kurang sesuai dengan
tori yang ada. Karena pada penambahan enzim papain dengan konsentrasi 0,8%
memiliki aroma yang tajam sedangkan pada penambahan enzim papain dengan
konsentrasi 1% aroma yang dihasilkan adalah agak tajam. Hal ini juga dapat disebabkan
karena pendegradasian protein dan proses oksidasi tidak sempurna. Pada jurnal
“Analysis of Volatile Compounds in Traditional Chinese Fish Sauce (Yu Lu)”
mengatakan bahwa total volatil dari kecap ikan dapat berbeda-beda, hal ini berasal dari
ikan yang digunakan serta proses prosuksinya sehingga dapat mempengaruhi rasa dan
aroma dari suatu kecap ikan tersebut.
Untuk hasil dari segi kenampakan, hasil yang diperoleh ada saat praktikum adalah sanat
cair hingga sangat kental. Menurut Astawan & Astawan (1988), semakin banyak kadar
enzim yang diberikan pada bahan maka akan membuat kecap ikan semakin cair, dimana
hal ini disebakan karena adanya penguraian bahan organik kompleks dalam bahan
menjadi bentuk yang lebih sederhana. Hasil dari praktikum yang diperoleh telah sesuai
karena dengan penambahan enzim papain 0,2% kenampakannnya adalah sangat kental
sedangkan penambahan enzim papain 1% kenmapakannya adalah sangat cair.
Kekentalan dari suatu kecap ikan dipengaruhi oleh bahan yang ditambahkan (Winarno,
2002). Hasil yang terakhir adalah salinitas, dengan salinitas tertinggi adalah kelompok
D1 dengan penambahan enzim papain sebesar 0,2% dan kemudian untuk hasil salinitas
yang terkecil terdapat pada kelompok D4 sebesar 2,50%. Semakin tingginya nilai
salinitas maka semakin kuat pula rasa asin yang terdapat ada kecap ikan. Pada hasil rasa
dan salinitas sudah sebanding.
4. KESIMPULAN
Kepala dan tulang ikan yang merupakan limbah dapat dijadijan bahan sebagai
pembuat kecap ikan.
Kecap ikan berwarna coklat, memiliki aroma dan rasa yang khas, serta berbentuk
cairan yang encer.
Enzim papain yang ditambahkan akan mempengaruhi aroma dan rasa dari kecap
ikan.
Warna dari kecap ikan tidak dipengaruhi enzim yang ditambahkan, namun warna
dari kecap ikan dipengaruhi oleh bahan tambahan yang diberikan.
Semakin tinggi enzim papain yang diberikan maka viskositas semakin encer.
Bawang yang ditambahkan bukan hanya berfungsi sebagai bumbu namun juga
berfungsi sebagai pengawet kecap ikan.
Kualitas dari kecap ikan alan dipengaruhi oleh lamanya proses fermentasi.
Fermentasi secara tradisional waktunya lebih lama dari pada fermentasi modern.
Pada proses fermentasi sederhana atau tradisional menggunakan mikroorganisme
halofilik yang tahan konsentrasi garam tinggi.
Semaikn besar salinitas yang diperoleh maka kecap akan semakin memiliki rasa asin
yang kuat.
Hasil dari degradasi protein, seperti asam-asam organik dapat menyebabkan aroma
menjadi tidak enak ketika mengalami oksidasi.
Semarang, 30 Oktober 2015
Praktikan Asisten Dosen
Michelle Darmawan
The Rina13.70.0055
12
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E & Liviawaty, E. (1989).Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisisus. Jakarta.
Akolkar, A. V., et al. (2010). Halobacterium sp. SP1(1) as a starter culture for accelerating fish sauce fermentation. Journal of Applied Microbiology ISSN 1364-5072.
Astawan, M. W. & M. Astawan.(1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.
Briani, S, Darmanto, Y.S, Rianingsih, L. (2014). Pengaruh Konsentrasi Enzim Papain dan Lama Fermentasi Terhadap Kualitas Ikan Runcah. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan Vol 3(3):121-128
Buckle, K.A, Edwards, R.A, Fleet, G.H, Wootton, M. (2007). Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Eyo, A. A. (2001). Fish Processing Technology in the tropics. University of Ilorin, Press. Pp 403.
Frazier, W. C & D.C, Westhoff. (1988). Food Microbiology 4th Edition. McGraw Hill. New York.
Haard, N.F & B.K, Simpson. (2000). Seafood Enzyme : Utilization and Influence on Postharvest Seafood Quality. Marcel Dekker Inc. New York.
Hezayen, Francis F., et al. (2010). Oceanobacillus aswanesis Strain FS10 sp. Nov., an Extremely Halotolerant Bacterium Isolated from Sakted Fish Sauce in Aswan City, Egypt. Global Journal of Molecular Sciences 5 (1): 01-06.
Hidayat, N, Padaga, M.C & S, Suhartini. (2006). Mikrobiologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Hirasa, K. & M. Takemara. (1998). Spice Science & Technology. Lion Corporation. Tokyo.
Jiang, jin-jin., et al. (2008). Analysis of Volatile Compounds in Traditional Chinese Fish Sauce (Yu Lu). Food Bioprocess Technol. Kilinc, B, Cakli, S, Tolasa, S & T, Dincer. (2006). Chemical, Microbiological and Sensory Changed Associated with Fish Sauce Processing. Eur.Food.Res.Technol Vol 222:604-613.
Mah J.H., Han H.K., Oh Y.J., Kim M.G., Hwang H.J. (2002): Biogenic amines in jeotkals, Korean salted and fermented fish products. Food Chemistry, 79: 239–243.
Mizutani, T, Kimizuka, A, Ruddle, K, Ishige, N. (1992). Chemical Component of Fermented Fish Products. J.Food.Composition.Anal Vol 5:152-159.
13
14
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Muliati, T. (1985). Mempelajari Proses Pembuatan Kecap Ikan Kembung (Rastrelliger sp) Secara Hidrolisis dan Fermentasi. Karya Ilmiah Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. Bogor
Olunbumi, F, Suleman, S, Uche, I, Olumide, B. (2010). Preliminary Production of Fish Sauce from Clupeids. New York Science Journal Vol 3(3):45-49.
Rachmi, A.N, Ekantari & S.A, Budhiyanti. (2008). Penggunaan Papain Pada Pembuatan Kecap Ikan dari Limbah Fillet Nilla. Seminar Tahunan Nasional V, Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan.
Ritthiruangdej, P & T, Suwonsichon. (2006). Sensory Properties of Thai Fish Sauces and Their Categorization. Kasetsarj.J.Nat.Sci Vol 40:181-191
Singapurwa, N.M.A.S. (2012). Pemanfaatan Enzim Buah Pada Pembuatan Kecap Limbah Ikan Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Jurnal Lingkungan Vol 21(1):1-5
Steinkraus, K. (2004). Industrialization of Indigenous Fermented Food, Revised and Expanded. CRC Press. New York.
Stone, H.J, Sidel, S, Oliver, A, Woolsey & R.C, Singleton. (1974). Sensory Evaluation by Quantitative Descriptive Analysis. Food.Technol Vol 28:24-33
Stute R., Petridis K., Steinhart H., Biernoth G.(2002): Biogenic amines in fish and soy sauce. European Food Research Technology, 215: 101–107.
Udomsil, Natteewan., et al. (2010). Proteinase-producing halophilic lactic acid bacteria isolated from fish sauce fermentation and their ability to produce volatile compounds. International Journal of Food Microbiology 141 (2010) 186–194.
Winarno, F.G. (2002). Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yongsawatdigul, J, Rodtong, S, Raksakulthai, N. (2007). Acceleration of Thai Fish Sauces Fermentation Using Proteinases and Bacterial Starter Cultures. Journal of Food Science Vol 72(9):1-9.
Zaman, Muhammad Zukhrufuz., et al. (2010). Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. Vol. 28, 2010, No. 5: 440–449.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Perhitungan
Rumus:
S alinitas (% )=hasil pengukuran1000
x 100 %
Kelompok D1
Hasil pengukuran = 40
Salinitas (% )= 401000
x100 %=4%
Gram Papain :
0,2 %= 0,2100
x50=0,1 gram
Kelompok C2
Hasil pengukuran = 30
Salinitas (% )= 301000
x100 %=3 %
Gram Papain :
0,4 %= 0,4100
x 50=0,2 gram
Kelompok C3
Hasil pengukuran = 30
Salinitas (% )= 301000
x100 %=3 %
Gram Papain :
0,6 %= 0,6100
x 50=0,3 gram
Kelompok C4
Hasil pengukuran = 25
Salinitas (% )= 251000
x100 %=2,5 %
15
16
Gram Papain :
0,8 %= 0,8100
x50=0,4 gram
Kelompok C5
Hasil pengukuran = 35
Salinitas (% )= 351000
x100 %=3,5 %
Gram Papain :
1 %= 1100
x50=0,5 gram
6.2.