kecap ikan_vannia valentina_13.70.0024_b5_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Praktikum kecap ikan dilaksanankan pada hari senin pada tanggal 21 September 2015 dengan asisten dosen bernama Michelle Darmawan. praktikum dilaksanakan pada pukul 15.00. praktikum kecap ikan berlangsung selama 3 hari.TRANSCRIPT
Acara IV
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama : Vannia Valentina
NIM : 13.70.0024
Kelompok: B5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
VIPER
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples, panci, kain
saring, dan pengaduk kayu.
1.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim
papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.
1.2. Metode
1
Tulang dan kepala ikan sebanyak 50 gram dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam
toples
Kemudian ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%
Diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari
Setelah itu ditambahkan 300 ml air dan diaduk
2
Hasil fermentasi kemudian disaring, lalu filtrat direbus selama 30 menit sampai mendidih (selama
perebusan ditambahkan bumbu seperti 50 g bawang putih, 50 g garam, dan 1 butir gula kelapa)
Setelah mendidih kecap dibiarkan agak dingin, lalu dilakukan penyaringan kedua
Kecap ikan yang telah jadi diamati secara sensoris yang meliputi warna, rasa, dan aroma
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan terhadap karakteristik sensori kecap ikan dengan beberapa tingkat kadar
enzim dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kecap Ikan dengan Beberapa Tingkat Kadar Enzim
Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)
B1 Enzim papain 0,2% ++ +++ +++ ++ 5,5
B2 Enzim papain 0,4% +++++ +++++ +++ +++ 6,0
B3 Enzim papain 0,6% +++++ +++++ ++ ++ 5,0
B4 Enzim papain 0,8% ++++ ++++ ++ ++ 4,5
B5 Enzim papain 1% ++++ ++++ ++ +++ 5,9
Keterangan:
Pada tabel 1, kadar enzim papain yang ditambahkan memiliki pengaruh terhadap beberapa
karakteristik sensori yang dihasilkan dari kecap ikan. Kadar enzim yang berbeda-beda
memberikan hasil kadar salinitas yang berbeda pula, dimana kadar tertinggi ada pada kelompok
B2 dengan enzim papain sebanyak 0,4% dan terendah ada pada kelompok B4 dengan enzim
papain sebanyak 0,8%.
3
Aroma : + : sangat tidak tajam++ : kurang tajam+++ : agak tajam++++ : tajam+++++ : sangat tajam Penampakan :+ : sangat cair++ : cair+++ : agak kental++++ : kental+++++ : sangat kental
Warna : + : tidak coklat gelap++ : kurang coklat gelap+++ : agak coklat gelap++++ : coklat gelap Rasa+ : sangat tidak asin++ : kurang asin+++ : agak asin++++ : asin+++++ : sangat asin
3. PEMBAHASAN
Fermentasi merupakan tahap utama dalam proses pembuatan kecap ikan dimana melibatkan
enzim protease baik yang dihasilkan dari dalam jaringan tubuh ikan itu sendiri (endogen)
maupun enzim yang dihasilkan dari mikroorganisme halophilic (eksogen) yang berfungsi
untuk menghidrolisis kandungan protein dalam bahan (Ritthiruangdej & Suwonsichon, 2006;
Yongsawatdigul et al, 2007). Proses fermentasi dapat mendegradasi protein menjadi bentuk
sederhana seperti asam amino dan peptida, namun selama proses fermentasi tersebut juga
dapat dihasilkan senyawa lain seperti 2-metilpropanal; 2-metilbutanal; 2-pentanon; 2-
etilpiridin; dimetil trisulfat dan asam 3-metilbutanoat. Senyawa-senyawa tersebut dapat
berkonstribusi terhadap aroma, warna serta cita rasa yang khas pada kecap ikan (Fukami et al,
2002; Mizutani et al, 1992). Produk hasil fermentasi akan memiliki nilai gizi yang lebih tinggi
dari sebelumnya. Ditambah dengan akan terjadinya perubahan rasa, tekstur, warna dan
kualitas lain yang dianggap diinginkan oleh konsumen (Fukuda, 2014).
Proses pembuatan kecap ikan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu tradisional dan modern.
Secara tradisional pembuatan kecap dilakukan dengan memanfaatkan enzim yang dihasilkan
dari mikroorganisme yang terdapat dalam tubuh ikan, dimana enzim ini dapat mendegradasi
senyawa organik kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana (Ritthiruangdej &
Suwonsichon, 2006; Steinkraus, 2004). Umumnya mikroorganisme yang berperan adalah
bakteri halophilic, namun ditemukan juga beberapa jenis khamir dan kapang yang ikut
berperan didalamnya (Frazier & Westhoff, 1988). Dalam penelitian Tanasupawat (2009)
dikatakan bahwa bakteri C. salexigens dan archaea (Halofilik) serta baketeri H. salinarum
dan H. saccharolyticus (sangat halofilik) merupakan strain yang pada umumnya memainkan
peran dalam beberapa tahapan di fermentasi kecap ikan.
Cara pengolahan secara tradisional pada umumnya dilakukan dalam jangka waktu antara 6 -
12 bulan, yang akan menghasilkan kualitas sensori jauh lebih baik dibandingkan kecap
dengan pengolahan modern. Hal ini dikarenakan enzim yang dihasilkan tidak hanya protease
namun juga terdapat enzim lipase dan enzim lainnya yang juga memiliki pengaruh terhadap
karakteristik sensori kecap ikan yang dihasilkan (Kanlayakrit & Boonpan, 2007).
4
5
Pada praktikum kali ini, pembuatan kecap ikan dilakukan secara modern dengan penambahan
enzim protease kedalam bahan. Penambahan enzim proteolitik dari luar terbukti dapat
mempercepat pembuatan kecap ikan dibandingkan cara tradisional (Gildberg, 1993 dan Haard
& Simpson, 2000). Enzim proteilitik yang sering digunakan adalah papain (ekstrak buah
papaya) atau bromelin (ekstrak buah nanas). Dalam penelitian Fukuda (2014), pembuatan
produk hasil fermentasi selain menggunakan enzim yang berasal dari buah-buahan dapat juga
dengan menggunakan KOJI. KOJI merupakan sereal yang telah dimasak, yang sudah
diinokulasi dengan cara fermentasi tradisional atau dengan cara filamentous fungi, yang
mengandung beberapa enzim seperti amilase, protease, lipase dan lainnya. Enzim protease
pada KOJI inilah yang dapat menguraikan protein pada ikan menjadi senyawa yang lebih
sederhana, sehingga membantu mempercepat proses dari fermentasi. Asam amino dan
nitrogen yang dihasilkan dari degradasi protein, merupakan salah satu senyawa utama yang
memegang peran penting dalam cita rasa, warna serta aroma dari kecap ikan yang dihasilkan
(Steinkraus, 2004). Keuntungan pengolahan kecap ikan secara modern yaitu proses produksi
yang jauh lebih cepat dan kandungan protein yang lebih tinggi. Namun perlu diketahui bahwa
kualitas sensori yang nantinya dihasilkan akan mengalami penurunan dibandingkan cara
tradisional karena proses penguraian yang terjadi lebih terkonsentrasi pada keberadaan asam
amino, peptida dan nitrogen yang terdapat dalam protein saja (Muliati, 1985; Afrianto &
Liviawaty, 1989).
Dalam praktikum kecap ikan ini, bahan baku yang digunakan adalah tulang, kepala, sirip dan
ekor ikan bawal. Proses pembuatan kecap ikan dapat dilakukan dengan menggunakan semua
jenis ikan maupun bagiannya (Olunbumi et al., 2010). Semua ikan memang dapat digunakan
dalam proses pembuatan kecap ikan, namun kualitas dan kadar protein yang dihasilkan tentu
akan berbeda-beda karena kandungan protein pada setiap ikan juga berbeda-beda
(Moeljanto, 1992). Dalam penelitian Ibrahim (2010) dikatakan bahwa ikan gambus dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produksi kecap ikan karena mamiliki kandungan
protein dan asam amino esensial dan aman dikonsumsi oleh manusia. Meskipun kecap ikan
itu sendiri tidak dapat langsung digunakan sebagai makanan secara langsung karena
mengandung konsentrasi garam yang tinggi, kecap ikan dapat digunkan sebagai sumber zat
biologi aktif, suplemen dalam makanan, bumbu, penyedap, dan kadang-kadang sebagai
pengganti kecap kedelai.
6
Proses pembuatan kecap ikan pada praktikum ini diawali dengan menimbang sebanyak 50
gram tulang, kepala, sirip dan ekor ikan bawal. Kemudian dihancurkan dengan menggunakan
blender. Proses ini bertujuan untuk memperluas permukaan bahan yang digunakan agar
kontak antara komponen-komponen bahan dengan enzim proteolitik yang digunakan dapat
maksimal dan supaya enzim dapat menghidrolsis protein dalam bahan secara menyeluruh
(Afrianto & Liviawaty, 1989). Setelah itu, ditambahkan enzim papain dengan 5 tingkat
konsentrasi yang berbeda yaitu 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8% dan 1% untuk mengetahui pengaruh
konsentrasi enzim yang digunakan terhadap kualitas akhir dari kecap ikan yang dihasilkan
nantinya. Enzim papain adalah salah satu jenis enzim proteolitik yang berasal dari ekstrak
getah papaya yang secara komersial bisa didapatkan baik dalam bentuk larutan maupun
serbuk. Dalam pengolahan modern, enzim proteolitik yang ditambahkan dapat
mempengaruhi aroma, rasa, dan warna yang dihasilkan dimana semakin tinggi enzim
proteolitik yang ditambahkan maka akan semakin memaksimalkan hidrolisis protein menjadi
asam amino dalam bahan (Steinkraus, 2004; Briani et al, 2014; Ritthiruangdej &
Suwonsichon, 2006).
Setelah ditambah enzim papain, maka dilakukan inkubasi pada suhu ruang selama 3 hari.
Pada saat proses inkubasi ini maka dimulailah proses fermentasi kecap ikan, dimana enzim
papain yang ditambahkan akan masuk kedalam bahan dan menghidrolisis protein dalam
bahan tersebut menjadi asam amino, peptida dan pepton (Winarno, 2002). Lamanya proses
fermentasi merupakan faktor penting yang harus diperhatikan. Proses fermentasi yang terlalu
lama dapat menyebabkan semakin banyaknya pemecahan asam amino yang terjadi yang
menyebabkan kandungan nitrogen hilang karena berubah menjadi ammonia. Hal ini dapat
mempengaruhi kualitas sensori yang dihasilkan terutama pada aspek rasa dan aroma yang
dihasilkan (Singapurwa, 2012). Berdasarkan penelitian Subroto et al (1985) proses
pembuatan kecap ikan secara enzimatis dapat mempersingkat waktu produksi hingga
mencapai 3 hari, namun bukan berarti 3 hari tersebut merupakan waktu inkubasi yang
optimal. Menurut Yongsawatdigul et al (2007) lama inkubasi dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti konsentrasi enzim yang ditambahkan atau dihasilkan, suhu lingkungan
penginkubasian, kadar garam yang ditambahkan serta jenis ikan yang digunakan.
Setelah dilakukan tahap inkubasi, selanjutnya ditambahkan 250 ml air dan dilakukan proses
penyaringan. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan antara cairan hasil fermentasi
7
dengan padatan yang ada. Filtrat yang di dapat kemudian direbus hingga mendidih selama 30
menit. Tahap perebusan merupakan tahapan sterilisasi yang bertujuan untuk membunuh
mikrooganisme yang terdapat dalam cairan hasil penyaringan yang berasal dari bahan yang
digunakan (Frazier & Westhoff, 1988; Haard & Simpson, 2000; Briani et al, 2014). Suhu
dalam pemanasan juga merupakan faktor yang harus diperhatikan, karena pemanasan yang
berlebihan akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas protein dan komponen nutrisi
lain dalam bahan dan memicu terjadinya rekasi maillard yang dapat memberikan warna yang
tidak diinginkan (Kilinc et al, 2006; Briani et al, 2014).
Pada saat proses pemanasan dilakukan penambahan bumbu seperti gula jawa, garam serta
bawang putih. Bahan-bahan yang ditambahkan ini dapat memberikan cita rasa, warna dan
aroma yang khas pada kecap ikan, sehingga cita rasa dan aroma yang tidak diinginkan pada
kecap ikan dapat dihindari atau dihilangkan (Singapurwa, 2012). Garam dapat berperan
sebagai pengawet dengan cara menurunkan Aw dari bahan karena adanya tekanan osmosis
yang terjadi, demikian juga pada gula. Bawang putih dapat mengawetkan produk karena
memiliki kandungan alicin dan aliin yang bersifat anti mikroba (Hirasa & Takemara, 1998;
Frazier & Westhoff, 1988). Selain itu garam juga dapat mengekstrak protein serta air dalam
ikan karena adanya tekanan osmosis yang terjadi (Hidayat et al, 2006). Penambahan garam
yang dilakukan bersamaan dengan penambahan enzim yang kemudian diinkubasi dapat
menghasilkan cita rasa yang khas pada kecap ikan. Pada proses fermentasi yang demikian
maka akan terjadi peningkatan salinitas pada bahan, dimana pada saat garam masuk kedalam
jaringan maka garam akan mendorong sejumlah air yang ada pada dalam jaringan ke luar
dalam bentuk mineral berupa garam sehingga dapat meningkatkan kadar salinitas pada kecap
ikan (Singapurwa, 2012; Winarno, 2002). Pada teori yang diungkapkan oleh Kim et al.
(2002) dalam Lee (2013) dikatakan bahwa pemberian garam dengan konsentrasi tinggi
(>25%) dan dilakukan penyimpanan yang tertutup rapat dapat menyebabkan proses
fermentasi berlangsung lama kira-kira 1 hingga 5 tahun. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan mikroorganisme kecuali mikroorganisme halofilik tidak dapat tumbuh dan
enzim yang mereka produksi tidak dapat menghidrolisis ikan dengan baik.
Setelah ditambahkan rempah-rempah maka dilakukan penyaringan yang kedua untuk
memisahkan rempah-rempah dari cairan. Cairan yang didapatkan itulah yang disebut sebagai
kecap ikan. Selanjutnya dilakukan analisa sensori yang meliputi warna, rasa, aroma dan
8
penampakan, serta dilakukan pengukuran kadar salinitas. Pengukuran ini merupakan
parameter yang akan menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk kecap ikan
tersebut (Ritthiruangdej & Suwonsichon, 2006).
Warna yang dihasilkan pada kecap ikan dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti suhu saat
pengolahan, oksigen, jenis asam amino yang dihasilkan, keberadaan gula pereduksi, lama
proses fermentasi, serta bahan tambahan yang ditambahkan pada produk kecap ikan (Hidayat
et al, 2006). Proses fermentasi yang semakin lama akan membuat kecap ikan semakin
kecoklatan (Buckle et al., 2007). Perubahan warna ini terjadi karena reaksi gugus amino
dalam protein dengan gula pereduksi dan adanya pencoklatan secara non-enzimatis (Buckle
et al, 2007). Dalam praktikum ini, warna dipengaruhi oleh suhu pemanasan yang dilakukan
serta penambahan gula jawa, yang menyebabkan adanya reaksi maillard yang terjadi pada
bahan (Winarno, 2002; Buckle et al, 2007).
Pengamatan sensori terhadap warna menunjukan kelompok B2 dan B4 mempunyai warna
paling gelap dan B1 mempunyai warna paling muda. Hal ini dipengaruhi karena banyaknya
gula jawa yang digunakan, suhu pemanasan dan waktu pemanasan dimana antar kelompok
tidak jelas sehingga warna yang dihasilkan menjadi tidak konsisten. Secara ilmiah hal ini
dapat terjadi karena adanya pencoklatan secara non-enzimatis (Buckle et al., (2007). Dalam
penelitian Mueda (2015) dikatakan bahwa kecap ikan merupakan saos yang berbentuk cairan
jernih dengan warna kuning hingga kuning jerami. Perubahan warna yang terjadi
dikarenakan lamanya proses fermentasi dan dapat juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan
produk, dimana dimungkinkan lipid yang terdapat pada sampel akan terpecah membentuk
senyawa asam lemak yang dapat bertindak sebagai perkusor tidak hanya untuk rasa dan
aroma tetapi juga berpartisipasi dalam reaksi pencoklatan yang berlangsung secara progresif
selama proses fermentasi.
Rasa menunjukan tingkat keasinan dari kecap ikan tersebut dimana dilakukan analisa secara
kuantitatif. Tingkat keasinan kecap ikan yang dihasilkan dipengaruhi oleh lamanya proses
fermentasi yang dilakukan, jenis ikan yang digunakan serta seberapa banyak garam yang
ditambahkan (Olunbumi et al., 2010). Dalam hasil pengamatan secara sensori menunjukan
bahwa kelompok B2 dan B3 mempunyai rasa paling asin. Untuk kelompok B2, uji tersebut
sudah sesuai dengan hasil pengujian kuantitatif, namun untuk kelompok B3 tidak sesuai.
9
Kesalahan ini terjadi karena sensori dilakukan oleh panelis yang tidak terlatih, oleh karena
itu, terjadinya kesalahan pada sensori sangat relative (Stone et al, 1974).
Enzim memiliki pengaruh dan hubungan terhadap rasa yang dihasilkan. Rasa khas pada
kecap ikan umumnya dipengaruhi oleh adanya degradasi sejumlah senyawa kompleks yang
dihasilkan dan yang kemudian berpadu menjadi satu (Kanlayakrit & Boonpan, 2007;
Steinkraus, 2004). Hidayat et al (2006) mengatakan bahwa rasa enak akan dapat dicapai bila
seluruh nitrogen terlarut dalam asam amino. Kelarutan nitrogen tersebut dipengaruhi oleh
lamanya proses fermentasi dimana akan tercapai bila dilakukan fermentasi dalam jangka
waktu yang lama. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh kadar enzim yang ditambahkan
kedalam bahan, serta jenis ikan yang digunakan (Singapurwa, 2012).
Dalam penelitian Singapurwa (2012) aroma dapat dipengaruhi oleh kadar enzim yang
ditambahkan. Hal ini disebabkan aroma dipengaruhi oleh banyaknya asam amino yang
dihasilkan pada tahap akhir fermentasi. Banyaknya enzim yang ditambahkan akan
mempengaruhi seberapa banyak asam amino akan dihasilkan dalam kecap ikan. Semakin
banyak enzim yang ditambahkan maka akan semakin banyak asam amino yang dihasilkan,
namun bila penggunaannya terlalu banyak maka akan memunculkan aroma yang kurang
optimal karena akan semakin banyak asam amino yang teroksidasi (Hidayat et al, 2006;
Kilinc et al, 2006). Selama tahap fermentasi, selain terjadi degradasi protein menjadi peptida
dan pepton juga terjadi perombakan protein menjadi beberapa asam-asam organik seperti
asam propionat, asam asetat, asam laktat dan asam organik lainnya. Asam-asam organik
tersebut merupakan penyusun aroma yang dihasilkan dengan adanya kombinasi asam
organic dengan asam amino dan ester selama proses fermentasi (Yongsawatdigul et al, 2007;
Sudarmadji et al, 1997; Winarno, 2002). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aroma yang
dihasilkan tampak menunjukan hasil bahwa kelompok B1 dan B2 memiliki aroma yang agak
tajam dan kelompok B3, B4 dan B5 kurang tajam. Perbedaan hasil tersebut dipengaruhi oleh
pengujian sensori yang dilakukan oleh panelis yang tidak terlatih sehingga hasil yang
didapatkan juga menunjukan tingkat kepercayaan yang rendah (Hidayat et al., 2006)
Astawan & Astawan (1988) mengatakan bahwa semakin banyak enzim yang diberikan pada
bahan maka akan membuat kecap ikan semakin cair. Hal ini disebakan karena adanya
penguraian bahan organik kompleks dalam bahan menjadi bentuk yang lebih sederhana.
10
Namun pengaruh enzim pada tingkat kekentalan kecap ikan pada dasarnya tidak menunjukan
adanya hubungan yang nyata. Hal ini dikarenakan sedikitnya senyawa karbohidrat yang
mempengaruhi kekentalan produk kecap ikan (Winarno, 2002). Tingkat kekentalan dalam
pengolahan kecap ikan lebih besar pengaruhnya karena penambahan gula jawa. Berdasarkan
hasil pengamatan ditunjukan bahwa masing-masing kelompok memiliki tingkat kekentalan
yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan karena masalah presisi saat penimbangan
bahan. Namun secara keseluruhan menunjukan tingkat kekentalan yang kurang lebih sama.
Hal ini sesuai dengan teori Steinkraus (2004) yang mengatakan bahwa enzim proteolitik
memang memberikan pengaruh terhadap viskositas kecap ikan namun tidak menunjukan
tingkat signifikansi yang tinggi.
Berdasarkan analisa yang dilakukan terhadap hasil pengamatan yang ada, masih belum dapat
disimpulkan konsentrasi enzim papain manakah yang paling optimal untuk dapat
menghasilkan kecap ikan dengan kualitas sensori yang baik. Hal ini dikarenakan pengujian
sensori yang dilakukan tidak menggunakan panelis yang terlatih sehingga data yang didapat
tidak valid sehingga mempengaruhi hasil sensori yang ada. Keoptimalan kadar enzim papain
berbeda-beda karena disebabkan oleh beberapa hal seperti jenis ikan yang digunakan, jenis
enzim yang digunakan, lamanya proses fermentasi, kondisi selama proses pengolahan serta
bahan tambahan yang digunakan (Subroto et al, 1985).
4. KESIMPULAN
Metode pembuatan kecap ikan dapat dilakukan secara tradisional maupun secara modern.
Metode pengolahan modern dilakukan dengan penambahan enzim proteolitik yang dapat
mempercepat proses fermentasi.
Enzim proteolitik yang umum digunakan adalah enzim papain atau bromelin.
Hasil penguraian protein dapat menghasilkan cita rasa dan aroma yang khas pada kecap
ikan.
Kualitas sensori kecap ikan dipengaruhi oleh jenis ikan yang digunakan, kadar enzim
yang ditambahkan, jenis enzim yang digunakan, lamanya proses fermentasi, bahan
tambahan yang digunakan, serta kondisi selama proses pengolahan.
Kadar enzim berpengaruh terhadap rasa dan aroma, namun tidak berpengaruh terhadap
warna dan tingkat keasinan, dan menunjukan hubungan yang tidak terlalu signifikan
terhadap kekentalan kecap ikan.
Salinitas berpengaruh terhadap kadar garam yang ditambahkan, sedangkan warna dan
viskositas dipengaruhi oleh gula jawa, suhu dan waktu.
Fermentasi pada waktu lama dapat menghasilkan rasa dan aroma yang baik karena
dihasilkan nitrogen terlarut.
Beberapa hasil pengamatan yang tidak sesuai dengan teori secara garis besar dipengaruhi
oleh panelis yang tidak terlatih dalam uji sensori.
Semarang, 2 Oktober 2015 Asisten Dosen :Michelle Darmawan
Vannia Valentina13.70.0024
11
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E & Liviawaty, E. (1989).Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisisus. Jakarta.
Astawan, M. W. & M. Astawan.(1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.
Briani, S, Darmanto, Y.S, Rianingsih, L. (2014). Pengaruh Konsentrasi Enzim Papain dan Lama Fermentasi Terhadap Kualitas Ikan Runcah. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan Vol 3(3):121-128
Buckle, K.A, Edwards, R.A, Fleet, G.H, Wootton, M. (2007). Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Frazier, W. C & D.C, Westhoff. (1988). Food Microbiology 4th Edition. McGraw Hill. New York.
Fukami, K, Ishiyama, H, Yaguramaki, T, Masuzawa, Y, Nabeta, K, Endo & M, Shimoda. (2002). Identification of Distinctive Volatile Compound in Fish Sauces. J.Agric.Food.Chem Vol 50:5412-5416
Fukuda, Tsubasa, Manabu Furushita, Tsuneo Shiba and Kazuki Harada. (2014). Fish Fermented Technology by Filamentous Fungi. Department of Food Science and Technology, National Fisheries University 2-7-1 Nagata-Honmachi, Shimonoseki 759-6595, Japan.
Gilberg. A. (1993). Enzymic Processing of Marine Raw Materials. Process Biochem Vol 28:1-15.
Haard, N.F & B.K, Simpson. (2000). Seafood Enzyme : Utilization and Influence on Postharvest Seafood Quality. Marcel Dekker Inc. New York.
Hidayat, N, Padaga, M.C & S, Suhartini. (2006). Mikrobiologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Hirasa, K. & M. Takemara. (1998). Spice Science & Technology. Lion Corporation. Tokyo.
Ibrahim, Sayed Mekawy. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production. National Institute of Oceanography and Fisheries (NIOF), Fish Processing Technology Lab., Cairo, Egypt.
Kanlayakrit, W & A, Boonpan. (2007). Screening and Halophilic Lipase-Producing Bacteria and Characterization of Enzyme for Fish Sauce Quality Improvement. Kasetsarj.J.Nat.Sci Vol 41:576-585.
Kilinc, B, Cakli, S, Tolasa, S & T, Dincer. (2006). Chemical, Microbiological and Sensory Changed Associated with Fish Sauce Processing. Eur.Food.Res.Technol Vol 222:604-613.
12
13
LEE, Jung Min, Dong Chul LEE, and Sang Moo KIM. (2013). The Effects of Koji and istidine on the Formation of Histamine in Anchovy Sauce and the Growth Inhibitionof Histamine Degrading Bacteria with Preservatives. Columbia International PublishingAmerican Journal of Advanced Food Science and Technology.
Mizutani, T, Kimizuka, A, Ruddle, K, Ishige, N. (1992). Chemical Component of Fermented Fish Products. J.Food.Composition.Anal Vol 5:152-159.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mueda, Rose T. (2015). Physico-chemical and color characteristics of saltfermented fish sauce from anchovy Stolephorus commersonii. Institute of Fish Processing Technology, llege of Fisheries and Ocean Sciences, University of the Philippines Visayas, Miagao 5023, Iloilo, Philippines.
Muliati, T. (1985). Mempelajari Proses Pembuatan Kecap Ikan Kembung (Rastrelliger sp) Secara Hidrolisis dan Fermentasi. Karya Ilmiah Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. Bogor
Olunbumi, F, Suleman, S, Uche, I, Olumide, B. (2010). Preliminary Production of Fish Sauce from Clupeids. New York Science Journal Vol 3(3):45-49.
Ritthiruangdej, P & T, Suwonsichon. (2006). Sensory Properties of Thai Fish Sauces and Their Categorization. Kasetsarj.J.Nat.Sci Vol 40:181-191
Singapurwa, N.M.A.S. (2012). Pemanfaatan Enzim Buah Pada Pembuatan Kecap Limbah Ikan Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Jurnal Lingkungan Vol 21(1):1-5
Steinkraus, K. (2004). Industrialization of Indigenous Fermented Food, Revised and Expanded. CRC Press. New York.
Stone, H.J, Sidel, S, Oliver, A, Woolsey & R.C, Singleton. (1974). Sensory Evaluation by Quantitative Descriptive Analysis. Food.Technol Vol 28:24-33
Subroto, W.L, Hutucly, N.N, Haerudin & A, Purnomo. (1985). Penelitian Pendahuluan Kecap Ikan Secara Hidrolisis Enzimatis. Teknologi Perikanan BPTP. Jakarta.
Sudarmadji, S.B, Haryono, Suhardi. (1997). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Tanasupawat, Somboon, Sirilak Namwong, Takuji Kudo and Takashi Itoh. (2009). Identification of Halophilic Bacteria From Fish Sauce (Nam-Pla) In Thailand. Department of Microbiology, Faculty of Pharmaceutical Sciences, Chulalongkorn University, Bangkok 10330, Thailand
Winarno, F.G. (2002). Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
14
Yongsawatdigul, J, Rodtong, S, Raksakulthai, N. (2007). Acceleration of Thai Fish Sauces Fermentation Using Proteinases and Bacterial Starter Cultures. Journal of Food Science Vol 72(9):1-9.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Salinitas (% )= hasil pengukuran1000
x 100%
Kelompok B 1
Hasil pengukuran = 30
Salinitas (% )=551000
x 100%=5,5%
Kelompok B 2
Hasil pengukuran = 60
Salinitas (% )= 601000
x 100%=6,0%
Kelompok B 3
Hasil pengukuran = 50
Salinitas (% )=501000
x 100%=5,0%
Kelompok B 4
Hasil pengukuran = 45
Salinitas (% )= 451000
x 100%=4,5%
Kelompok B 5
Hasil pengukuran = 59
Salinitas (% )=591000
x 100%=5,9%
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
15