kecap ikan_nita silviani arifin_13.70.0069_c2_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Praktikum Teknologi Hasil Laut kloter C mengenai Kecap Ikan dilakukan pada tanggal 28 September 2015 dan 1 Oktober 2015 di Laboratorium Rekayasa Pangan Unika Soegijapranata, dengan diampu oleh asisten dosen Michelle Darmawan. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan surimi mempelajari proses pembuatan kecap ikan dengan cara enzimatis. Enzim proteolitik berupa papain berbagai konsentrasi digunakan dalam praktikum ini untuk mengetahui pengaruhnya terhadap karakteristik kecap ikan yang dihasilkan ditinjau dari segi rasa, aroma, dan warna.TRANSCRIPT
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama: Nita Silviani Arifin
NIM: 13.70.0069
Kelompok : C2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
Acara III
1
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, talenan, mangkok, timbangan
analitik, blender, toples, lakban bening, kain saring, panci, pengaduk kayu, dan hand
refractometer.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan bawal, enzim
papain komersial, bawang putih, garam, dan gula kelapa.
1.2. Metode
Hancuran tulang dan kepala ikan dimasukkan ke dalam toples dan
ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%;
0,8%; 1% untuk kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari.
Hasil fermentasi ditambahkan 300 ml air dan diaduk.
Tulang dan kepala ikan ditimbang sebanyak 50 gram dan dihancurkan.
2
Kecap ikan diamati secara sensoris (warna, rasa, dan aroma) serta salinitasnya
dengan hand refractometer dan dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Hasil fermentasi disaring, lalu filtrat direbus sampai mendidih selama 30 menit
sambil ditambahkan 50 g bawang putih, 50 g garam, dan 1 butir gula kelapa.
Kecap ikan didinginkan, lalu disaring kembali.
3
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kecap ikan pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ikan
Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)
C1 Enzim papain 0,2% ++ ++++ ++++ +++ 3,00
C2 Enzim papain 0,4% ++ +++ ++++ +++ 3,20
C3 Enzim papain 0,6% - - - - -
C4 Enzim papain 0,8% ++++ +++++ ++++ +++ 4,00
C5 Enzim papain 1% +++ ++++ ++++ +++ 3,70 Keterangan:
Warna : Aroma
+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam
++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam
+++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam
++++ : coklat gelap ++++ : tajam
+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajam
Rasa Penampakan
+ : sangat tidak asin + : sangat cair
++ : kurang asin ++ : cair
+++ : agak asin +++ : agak kental
++++ : asin ++++ : kental
+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa masing-masing kelompok menggunakan
enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yaitu 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%;
dan 1%, namun sampel kelompok C3 dengan konsentrasi enzim papain sebesar 0,6%
tidak dapat diamati. Berdasarkan hasil pengamatan, warna paling gelap dan rasa paling
asin diperoleh kelompok C4 dengan konsentrasi enzim papain sebesar 0,8%. Kemudian,
aroma yang paling tidak tajam diperoleh kelompok C1 dengan konsentrasi enzim papain
sebesar 0,2%, sedangkan penampakan antar kelompok semuanya sama, yaitu agak
kental. Untuk salinitas, nilai tertinggi sebesar 4,00% diperoleh kelompok C4 dengan
konsentrasi enzim papain sebesar 0,8%.
4
3. PEMBAHASAN
Daging ikan dapat diolah menjadi produk surimi, yaitu suatu produk olahan daging ikan
lumat yang dibuat dari daging ikan yang telah dipisahkan dari bagian-bagian ikan yang
lain (Sonu, 1986). Sementara itu, limbah surimi seperti kepala, tulang, sisik, dan kulit
ikan dari proses pengolahan surimi dapat dijadikan sebagai sumber alternatif untuk
memproduksi kecap ikan (Sangjindavong, 2009). Kecap ikan adalah cairan berwarna
coklat jernih, didapatkan sebagai produk hasil proses hidrolisis dari ikan dalam waktu
tertentu. Kecap ikan biasanya digunakan sebagai condiment di Asia Tenggara dan
sumber asam amino dari beberapa kelas sosial tertentu di suatu daerah. Kecap ikan
memiliki aroma yang khas, sehingga sering dijadikan sebagai indikator kualitas, di
mana rasanya yang sangat asin mengalahkan konstituen-konstituen flavor lainnya
(Dincer, 2010). Untuk proses fermentasi kecap ikan dan makanan-makanan fermentasi
lainnya, dibutuhkan enzim-enzim protease seperti bromelin, papain, dan fisin di mana
enzim-enzim tersebut juga biasa digunakan pada beberapa jenis makanan
(Sangjindavong, 2009). Fermentasi merupakan salah satu teknik tertua dalam hal
pengawetan makanan karena fermentasi tidak hanya memperpanjang umur simpan
tetapi juga meningkatkan flavor dan kualitas nutrisi produk (Dincer, 2010).
Dalam proses pembuatannya, kecap ikan tidak membutuhkan jenis ikan tertentu. Ikan
yang sudah tidak bernilai secara ekonomis pun dapat digunakan untuk dijadikan bahan
kecap ikan (Moeljanto, 1992). Selain itu, kecap ikan juga mudah dicerna dan diserap
oleh tubuh manusia. Hal ini dikarenakan komposisinya terdiri dari komponen-
komponen dengan berat molekul rendah. Sifat pelarutan kecap ikan dalam air mencapai
90% dengan perbandingan nitrogen amino dan nitrogen total adalah sebesar 45%.
Senyawa protein tersedia terutama dalam bentuk peptida sederhana dan asam amino
(Kasmidjo, 1990). Hadiwiyoto (1993) menambahkan bahwa kecap ikan mengandung
asam amino esensial yang lengkap.
Namun demikian, kecap ikan juga memiliki kelemahan yaitu waktu pembuatannya yang
cukup lama (Moeljanto, 1992). Astawan & Astawan (1988) menyatakan bahwa kecap
ikan dapat dibuat dengan cara fermentasi, baik dengan garam maupun secara enzimatis.
5
Fermentasi dengan garam membutuhkan waktu hingga 7 bulan lebih, yaitu dengan
prinsip penarikan komponen ikan, terutama komponen protein oleh garam. Hal ini
dikarenakan jumlah garam yang tinggi akan menghasilkan tekanan osmotik yang tinggi
pula, sehingga air keluar dari dalam tubuh ikan. Air yang keluar tentu sarat akan gizi
yang berupa protein dan mineral. Selain itu, ikan juga terlindung dari kontaminasi oleh
lalat dan belatung, serta pembusukan oleh bakteri pembusuk. Cara yang kedua adalah
dengan menggunakan enzim proteolitik, yaitu enzim yang mempercepat penguraian
protein (Afrianto & Liviawaty, 1989). Namun, kecap ikan yang dibuat dengan bantuan
enzim kurang disukai oleh masyarakat dalam hal aroma dan cita rasa (Astawan &
Astawan, 1988). Pembuatan kecap ikan yang dilakukan dengan menggunakan cara
fermentasi enzimatis memang dapat mempercepat penguraian protein, sehingga proses
pembuatan kecap ikan dapat berjalan lebih cepat. Namun demikian, mutu kecap ikan
yang dihasilkan dari penambahan enzim papain lebih rendah daripada mutu kecap ikan
yang dibuat secara tradisional. Hal ini disebabkan karena pada proses penguraian
protein dengan bantuan enzim papain, terbentuk senyawa peptida tertentu yang dapat
menimbulkan rasa pahit dan bau kurang sedap (Afrianto & Liviawaty, 1989).
Menurut Gaman & Sherrington (1994), aktivitas enzim dipengaruhi oleh macam dan
konsentrasi substrat, serta konsentrasi enzim. Hal ini dikarenakan oleh cara kerja enzim
yang spesifik, di mana enzim hanya dapat bekerja pada suatu substrat tertentu.
Konsentrasi substrat ataupun enzim yang rendah akan mengakibatkan kecepatan reaksi
yang rendah pula. Kecepatan reaksi akan meningkat seiring dengan meningkatnya
konsentrasi substrat, walaupun ketika sudah mencapai suatu titik, peningkatan yang
terjadi hanya sedikit. Berdasarkan pernyataan Lisdiana & Soemadi (1997), papain
merupakan enzim proteolitik yang terdapat pada getah pepaya, baik pada bagian batang,
daun, maupun buahnya. Papain digolongkan dalam kelompok enzim protease sulfhidril.
Enzim ini juga termasuk golongan endopeptidase yang memecah protein dari dalam
(Winarno, 1995).
3.1. Metode Pembuatan Kecap Ikan
Untuk membuat kecap ikan, pertama-tama tulang dan kepala ikan ditimbang sebanyak
50 gram dan dihancurkan. Tujuan penghancuran adalah untuk meningkatkan efektivitas
6
ekstraksi, karena dengan terjadinya kerusakan sel maka senyawa flavor akan menjadi
mudah untuk keluar dari dalam sel. Senyawa pembentuk flavor biasanya terdistribusi
dalam bentuk terikat, yaitu dalam bentuk lemak, protein ataupun air, sehingga
diperlukan perlakuan awal seperti misalnya penghancuran. Selain itu, penghancuran
juga dapat membuat permukaan bahan menjadi semakin luas, sehingga rasio luas
permukaan terhadap volume bahan semakin tinggi (Saleh et al., 1996).
Hancuran tulang dan kepala ikan kemudian dimasukkan ke dalam toples dan
ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; 1% untuk
kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, enzim papain termasuk dalam enzim protease sulfhidril golongan protein
di mana enzim tersebut mampu menguraikan protein menjadi peptida, pepton, dan asam
amino yang saling berinteraksi dan menciptakan rasa yang khas (Lay, 1994). Menurut
Lee (1992), mekanisme dasar dari enzim adalah melalui perusakan struktur jaringan otot
rangka yang tersusun atas miofibril yang merupakan salah satu komponen protein.
Dengan demikian, tujuan dari ditambahkannya enzim papain adalah untuk
menghidrolisis protein melalui aktivitas proteolitik, serta mempercepat terjadinya proses
fermentasi. Tingkat hidrolisis yang tinggi mungkin dapat menghasilkan beberapa asam
amino bebas, namun angka ikatan peptida pada rantai peptida yang panjang akan
berkurang (Lay, 1994).
Setelah dilakukannya proses inkubasi tersebut, hasil fermentasi ditambahkan 300 ml air
dan diaduk, kemudian disaring untuk memisahkan filtrat dengan padatannya.
Selanjutnya filtrat direbus sampai mendidih selama 30 menit sambil ditambahkan 50 g
bawang putih, 50 g garam, dan 1 butir gula kelapa. Fellows (1990) menyatakan bahwa
proses pemasakan bertujuan untuk mengentalkan larutan melalui proses evaporasi.
Kemudian menurut Fachruddin (1997), penggunaan gula kelapa atau yang biasa disebut
gula jawa itu bertujuan untuk mengurangi rasa asin yang berlebih, memberikan rasa
lembut, meningkatkan cita rasa, aroma dan warna, serta mengawetkan produk. Gula
jawa yang ditambahkan akan menghasilkan warna coklat karamel, serta meningkatkan
viskositas kecap ikan (Kasmidjo, 1990). Penambahan garam bertujuan untuk
memberikan rasa asin, menguatkan rasa, memberikan efek pengawetan karena garam
7
dapat menurunkan aw (activity of water), menurunkan kelarutan oksigen, dan juga
mengganggu keseimbangan ionik sel mikroorganisme dikarenakan terjadinya
peningkatan proton di dalam sel, sehingga pertumbuhan mikroba perusak pada kecap
ikan dapat terhambat dan pada akhirnya kecap ikan memiliki umur simpan yang lebih
panjang (Desrosier & Desrosier, 1977). Majumdar (2010) menambahkan bahwa peran
garam sangat penting untuk menjamin kualitas dan kestabilan dari produk akhir.
Sementara itu, penggunaan bawang putih bertujuan untuk mengawetkan produk.
Menurut Fachruddin (1997), garam dapur dan rempah-rempah (bawang putih) selain
memberikan aroma dan cita rasa, dapat bersifat mengawetkan karena bawang putih
mengandung zat allicin yang efektif untuk membunuh bakteri, dan dengan demikian
dapat menjadi komponen antimikroba.
Setelah kecap ikan didinginkan dan disaring kembali, kecap ikan diamati secara sensoris
yaitu dalam hal warna, rasa, dan aroma, serta salinitasnya dengan hand refractometer.
Menurut Astawan & Astawan (1991), garam dapat mempengaruhi karakteristik sensori,
terutama dalam hal rasa karena garam dapat membuat kecap ikan lebih terasa asin.
Sementara itu, untuk pengukuran salinitas, menurut Kulstum (2009), hand
refractometer dapat digunakan untuk mengukur padatan terlarut yaitu dengan satuan
obrix. Brix merupakan jumlah zat padat terlarut dalam satuan gram untuk setiap 100
gram larutan. Oleh karena itu, pada praktikum ini brix digunakan untuk mengukur kadar
garam (salinitas) kecap ikan. Pengukuran tersebut dilakukan dengan cara pengenceran
terlebih dahulu, di mana 1 ml kecap ikan ditambahkan dengan 9 ml aquades, untuk
kemudian diteteskan pada alat hand refractometer dan diamati skalanya. Selanjutnya,
persentase salinitas dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
3.2. Hasil Pengamatan Kecap Ikan
Selama proses fermentasi (juga dikenal sebagai tahap pematangan), terjadi serangkaian
proses biokimia yang kompleks termasuk proteolisis, lipolisis, dan oksidasi lemak.
Tahap pematangan menghasilkan suatu produk dengan konsistensi dalam hal
karakteristik aroma dan rasa yang enak. Perubahan-perubahan fisika dan kimia yang
8
terjadi selama proses pematangan ini menentukan kualitas sensori secara keseluruhan
dari produk fermentasi. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh enzim, yang
memecah baik komponen protein maupun lemak (Majumdar, 2010). Apabila proses
fermentasi yang dilakukan terlalu cepat, maka enzim tidak akan menghasilkan
komponen-komponen penting yang dibutuhkan. Namun jika prosesnya terlalu lama,
hasil reaksi enzim menjadi semakin banyak dan cita rasa yang dihasilkan menjadi
kurang baik (Astawan & Astawan,1991).
Selain itu, selama proses fermentasi ikan, terjadi perubahan biokimia yang berupa
perubahan pada kadar air, protein, asam lemak bebas, TVN, dan histamin yang
terbentuk melalui proses autolisis dan pembusukan oleh mikroba. Kadar TVN yang
tinggi dihasilkan dari pembentukan komponen-komponen berbasis nitrogen seperti
amonia, sebagai akibat dari proses degradasi protein melalui aktivitas mikrobiologis
maupun enzimatis (Anihouvi et al., 2012). Berdasarkan pernyataan Afrianto &
Liviawaty (1989), kecap ikan memiliki rasa yang agak asin dan berwarna kekuningan
hingga coklat muda. Hal ini dikarenakan kecap ikan yang dihasilkan tidak bersifat
murni hasil fermentasi ikan saja, tetapi juga ditambahkan dengan berbagai macam
bumbu dengan tujuan untuk meningkatkan aroma dan cita rasa (Astawan & Astawan,
1991).
Namun, berdasarkan hasil pengamatan, sampel kelompok C3 dengan konsentrasi enzim
papain sebesar 0,6% tidak dapat diamati karena sampel sudah terkontaminasi oleh
belatung. Lalat biasanya bertelur dan telur tersebut akan menetas menjadi belatung pada
hari berikutnya (Heruwati, 2002). Oleh karena itu, hal ini dapat disebabkan karena
penutupan toples yang tidak rapat, sehingga menjadi pintu masuk lalat untuk bertelur di
dalam ikan yang difermentasi. Lalat rumah (Musca domestica) dapat menghasilkan telur
90-120 butir, sedangkan lalat hijau (Chrysomia megacephala) menghasilkan 200-300
butir setiap kali bertelur (Doe, 1998). Selain menyebabkan kerusakan fisik, lalat juga
menjadi perantara bagi kontaminasi bakteri pembusuk maupun patogen seperti
Acinetobacter, Staphylococcus, dan Vibrionaceae. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
satu ekor lalat dapat membawa sekitar 102-103 bakteri pada musim kemarau dan 108-
109 pada musim hujan (Indriati, 1985). Dengan demikian, keberadaan belatung pada
9
ikan yang difermentasi praktis membatalkan proses pengamatan karena alasan estetika,
sehingga pengamatan hanya dilakukan untuk kelompok C1, C2, C4, dan C5.
3.2.1. Warna
Berdasarkan hasil pengamatan, warna kecap asin adalah coklat dan secara umum
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi enzim yang ditambahkan,
di mana warna paling gelap diperoleh kelompok C4 dengan konsentrasi enzim papain
sebesar 0,8%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibrahim (2010), yaitu bahwa warna dari
kecap ikan adalah coklat, di mana menurut pernyataan Astawan & Astawan (1991),
semakin banyak enzim yang ditambahkan maka warna akhirnya akan semakin coklat
gelap. Menurut Kasmidjo (1990), warna coklat pada kecap ikan disebabkan karena
adanya reaksi pencoklatan antara gula jawa dengan beberapa komponen pembentuk cita
rasa lainnya. Lees & Jackson (1973) menambahkan bahwa reaksi yang terjadi, yang
biasa disebut dengan reaksi Maillard ini, merupakan reaksi yang terjadi antara gugus
asam amino dengan gula pereduksi sehingga menghasilkan warna coklat. Selain itu,
panas yang digunakan selama pemasakan juga menimbulkan terjadinya reaksi
karamelisasi gula, sehingga warna campuran menjadi coklat (Kasmidjo, 1990).
3.2.2. Rasa
Berdasarkan hasil pengamatan, rasa kecap asin secara umum semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya konsentrasi enzim yang ditambahkan, di mana rasa paling asin
diperoleh kelompok C4 dengan konsentrasi enzim papain sebesar 0,8%. Menurut
Astawan (1988), proses fermentasi memang menghasilkan cita rasa pada produk akhir.
Sesuai dengan pernyataan Sangjindavong (2009), total kandungan natrium klorida
sedikit meningkat sehubungan dengan waktu fermentasi. Hal ini juga didukung oleh
Astawan & Astawan (1988) yang menyatakan bahwa dengan banyaknya enzim papain
yang diberikan akan membuat proses fermentasi berjalan lebih sempurna dan
menghasilkan cita rasa yang kuat. Hal ini dikarenakan oleh terbentuknya hasil
pemecahan komponen-komponen gizi menjadi lebih sederhana oleh enzim yang
dihasilkan selama proses fermentasi, yaitu enzim amilase, maltase, fosfatase, lipatase,
lipase, proteinase, dan lain-lain yang dapat mempengaruhi rasa kecap ikan (Astawan &
Astawan,1991). Namun, kecap ikan juga dapat mengandung senyawa peptida tertentu
10
yang menimbulkan rasa pahit dan bau kurang sedap oleh karena adanya proses
penguraian protein (Afrianto & Liviawaty, 1989).
3.2.3. Aroma
Berdasarkan hasil pengamatan, aroma kecap ikan pada kelompok C1 dengan
konsentrasi enzim 0,2% agak tajam, sedangkan pada kelompok C2, C4, dan C5 sama-
sama tajam. Artinya, aroma kecap ikan semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya konsentrasi enzim yang ditambahkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Afrianto & Liviawaty (1989) yang didukung oleh Astawan & Astawan (1988), yaitu
bahwa dalam proses penguraian protein dengan bantuan enzim protease, terbentuk
komponen peptida tertentu seperti pepton dan asam amino yang saling berinteraksi dan
menciptakan aroma yang khas, sehingga seiring dengan semakin kuatnya sifat
proteolitik enzim maka aroma amis dari ikan juga semakin kuat. Berdasarkan
pernyataan Anihouvi et al. (2012), komponen-komponen aroma yang terdapat pada ikan
yang difermentasi adalah hidrokarbon alifatik, hidrokarbon aromatik, ester, keton, asam,
alkohol, amina, amida, aldehid, pirol, tiazol, furan, dan fenol. Hidrokarbon alifatik,
aldehid, dan alkohol didapatkan terutama dari penguraian oksidatif asam lemak tidak
jenuh (PUFA), sedangkan keton didapatkan dari penguraian asam amino. Adanya
komponen-komponen tersebut disebabkan oleh aktivitas enzimatis maupun
mikrobiologis, seperti Bacillus spp., Staphylococcus spp., Micrococcus spp., dan
beberapa bakteri gram negatif seperti Pseudomonas spp.
3.2.4. Penampakan
Penampakan kecap ikan antar kelompok semuanya sama, yaitu agak kental. Menurut
Sayed (2010), pada umumnya kecap ikan memiliki penampakan yang sangat cair atau
encer. Ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan teori dapat dipengaruhi oleh proses
pemasakan yang terlalu lama, di mana berdasarkan pernyataan Fachruddin (1997),
kepekatan kecap terbentuk pada saat proses pemasakan, di mana semakin banyak air
yang teruapkan dari kecap ikan, maka semakin kental kecap ikan yang dihasilkan.
Selain itu, penambahan gula kelapa pada saat proses pemasakan juga dapat
meningkatkan viskositas kecap oleh karena adanya proses karamelisasi (Kasmidjo,
1990).
11
3.2.5. Salinitas
Berdasarkan hasil pengamatan, salinitas kecap ikan semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya konsentrasi enzim yang ditambahkan, kecuali pada kelompok C5, di
mana nilai tertinggi sebesar 4,00% diperoleh kelompok C4 dengan konsentrasi enzim
papain sebesar 0,8%. Salinitas diartikan sebagai kadar garam yang terlarut dalam 1000
gram air (Wibisono, 2004). Sesuai dengan pernyataan Sangjindavong (2009), total
kandungan natrium klorida sedikit meningkat sehubungan dengan waktu fermentasi.
Enzim proteolitik yang diberikan pada kecap ikan akan memecah protein menjadi
beberapa komponen, yaitu peptida, pepton, dan asam amino yang memberikan rasa asin
(Afrianto & Liviawaty, 1989). Dengan demikian, semakin besar konsentrasi enzim
papain yang ditambahkan, seharusnya rasa yang dihasilkan semakin asin. Adapun
kesalahan yang terdapat pada kelompok C5 dapat disebabkan oleh terjadinya
ketidakseragaman kualitas kesegaran ikan mentah, suhu dan waktu pemasakan, seperti
yang dinyatakan oleh Majumdar (2010), yaitu bahwa kesegaran ikan mentah,
penghilangan air selama penggaraman, waktu pematangan, konsentrasi air garam, dan
sebagainya termasuk ke dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas produk.
3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Produk
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kualitas produk sangat tergantung pada
kesegaran ikan mentah, penghilangan air selama penggaraman, waktu pematangan,
konsentrasi air garam, dan sebagainya (Majumdar, 2010). Semakin lama waktu
fermentasi, semakin tinggi nutrisi yang dimilikinya (Lee et al., 2013). Ng et al. (2011)
menambahkan, bahwa faktor yang sangat mempengaruhi kualitas dan nutrisi kecap ikan
adalah perbandingan antara garam dengan ikan, suhu fermentasi, spesies ikan, serta
bahan-bahan minor. Selain itu, hal-hal lain yang harus diperhatikan adalah teknik
pengolahan ikan, lingkungan pengolahan ikan, limbah ikan, material-material yang
tidak higienis, serta pengemasan produk di mana perlakuan yang tidak benar dapat
membahayakan kesehatan konsumen (Anihouvi et al., 2012).
12
4. KESIMPULAN
Kecap ikan dapat dibuat dari hancuran tulang dan kepala ikan yang difermentasi
secara enzimatis, yaitu melalui reaksi proteolitik dengan menggunakan enzim
papain.
Pada saat pemasakan, kecap ikan ditambahkan dengan berbagai macam bumbu
seperti gula, garam, dan bawang putih untuk meningkatkan aroma dan cita rasa.
Warna kecap asin adalah coklat dan akan semakin gelap seiring dengan
meningkatnya konsentrasi enzim yang ditambahkan.
Semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang ditambahkan, maka rasa yang
dihasilkan pada kecap ikan akan semakin asin, dan dengan demikian otomatis
meningkatkan persentase salinitas kecap ikan.
Aroma kecap ikan semakin tajam seiring dengan meningkatnya konsentrasi enzim
yang ditambahkan.
Pada umumnya kecap ikan memiliki penampakan yang encer.
Selama proses fermentasi, kecap ikan dapat terkontaminasi oleh lalat apabila wadah
yang digunakan tidak tertutup rapat.
Kualitas kecap ikan yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kesegaran ikan mentah,
waktu pematangan, perbandingan antara garam dengan ikan, suhu fermentasi,
spesies ikan, serta bahan-bahan minor.
Semarang, 20 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen:
- Michelle Darmawan
(Nita Silviani Arifin)
13.70.0069
Kelompok C2
13
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. & Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Anihouvi, V. B.; Kindossi J. M.; Hounhouigan J. D. 2012. Processing and Quality
Characteristics of some major Fermented Fish Products from Africa.
International Research Journal of Biological Sciences Vol. 1 (7), 72-84.
Astawan & Astawan. 1988. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV
Akademika Pressindo. Jakarta.
Astawan & Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV
Akademika Pressindo. Jakarta.
Desrosier, N. W. & Desrosier. 1977. Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Dincer, Tolga; Sukran Cakli; Berna Kilinc; Sebnem Tolasa. 2010. Amino Acids and
Fatty Acid Composition Content of Fish Sauce. Journal of Animal and
Veterinary Advances 9 (2); 311-315. Department of Fishery and Seafood
Processing Technology, Faculty of Fisheries, Ege University. Bornova-Izmir,
Turkey.
Doe, P. E. 1998. Indonesian guidelines. Recommended code of practice for fresh and
cured fish In Fish Drying and Smoking, Production and Quality. Technomic
Publishing USA. p. 157-191.
Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.
Fellows, P. 1990. Food Processing Technology: Principles and Practice. Ellis Horwood
Limited. New York.
Gaman, P. M. & K. B. Sherrington. 1994. Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi
dan Mikrobiologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Liberty.
Yogyakarta.
Heruwati, Endang Sri. 2002. Pengolahan Ikan Secara Tradisional: Prospek dan Peluang
Pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian, 21 (3). Pusat Riset Pengolahan
Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Ibrahim, Sayed Mekawi. 2010. Utilization of Gambusia (Affinis affinis) for Fish Sauce
Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172.
Indriati, N. 1985. Insect and bacteria distribution at fish landing sites: Muara Angke and
Kalibaru. Fourth Progress Report. ACIAR-AARD Project 8304. Jakarta.
14
Kasmidjo, R. B. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Kulstum, Umi. 2009. Pengaruh variasi nira tebu (Saccharum officinarum) dari beberapa
varietas tebu dengan penambahan sumber nitrogen (N) dari tepung kedelai
hitam (Glycine soja) sebagai substrat terhadap efisiensi fermentasi etanol.
Fakultas Sains dan Teknologi. UIN Maulana Malik Ibrahim. Skripsi.
Lay, B. W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Lee, J. M. 1992. Biochemical Engineering. Prentice Hall, Inc. New York.
Lee, Jong Oh & Jin Young Kim. 2013. Development of Cultural Context Indicator of
Fermented Food. International Journal of Bio-Science and Bio-Technology
Vol. 5, No. 4. Hankuk University of Foreign Studies. Seoul, Korea.
Lees, R. & E. B. Jackson. 1973. Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture.
Leonard Hill. Glasgow.
Lisdiana & W. Soemadi. 1997. Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV
Aneka. Solo.
Majumdar, R. K. & S. Basu. 2010. Characterization of the traditional fermented fish
product Lona ilish of Northeast India. Indian Journal of Traditional Knowledge
Vol. 9 (3), July 2010, pp. 453-458. India.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Ng, Y. F.; T. S. Afiza; Y. K. Lim; A. G. Muhammad Afif; M. T. Liong; A. Rosma; W.
A. Wan Nadiah; 2011. Proteolytic action in Valamugil seheli and Ilisha
melastoma for fish sauce production. As. J. Food Ag-Ind. 2011, 4(04), 247-
254.
Saleh, M.; A. Ahyar; Murdinah; N. Haq. 1996. Ekstraksi Kepala Udang menjadi Flavor
Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No. 1, hal 60-68.
Sangjindavong, Mathana; Juta Mookdasanit; Pongtep Wilaipun; Pranisa Chuapoehuk;
Chamaiporn Akkanvanitch. 2009. Using Pineapple to Produce Fish Sauce from
Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43: 791-795. Department of Fishery
Products, Faculty of Fisheries, Kasetsart University. Bangkok, Thailand.
Sonu, S. C. 1986. Surimi. NOAA Technical Memorandum NMFS. Terminal Island.
California.
Wibisono, M. S. 2004. Pengantar Ilmu Kelautan. PPPTMGB LEMIGAS.
Winarno, F. G. 1995. Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.
15
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
Kelompok C1
Hasil pengukuran = 30
Gram Papain :
Kelompok C2
Hasil pengukuran = 32
Gram Papain :
Kelompok C3
Hasil pengukuran = -
Salinitas (%) = -
Gram Papain : -
Kelompok C4
Hasil pengukuran = 40
Gram Papain :
16
Kelompok C5
Hasil pengukuran = 37
Gram Papain :
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal