kecap fransiscus christian 12.70.0036

Upload: james-gomez

Post on 14-Jan-2016

48 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

laporan kecap

TRANSCRIPT

FERMENTASI SUBSTRAT PADAT FERMENTASI KECAP

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh:Nama : Fransiscus Christian HWNIM : 12.70.0036Kelompok C3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan terhadap karakteristik (aroma, warna, rasa, dan kekentalan) kecap kedelai putih sebagai produk fermentasi substrat padat dapat dilihat pada Tabel 1.

KelBahan dan PerlakuanAromaWarnaRasaKekentalan

C1250 gram kedelai hitam + 0,5 % inokulum tempe + 1 gram cengkeh++++++++

C2250 gram kedelai putih + 0,75 % inokulum tempe + 1 gram cengkeh ----

C3250 gram kedelai hitam + 0,75 % inokulum tempe + 1 batang serai++++++++

C4250 gram kedelai putih + 1 % inokulum tempe + 1 batang serai++++++++++

C5250 gram kedelai hitam + 1 % inokulum tempe + 1biji pala+++++++++++

Tabel 1. Karakteristik Kecap Kedelai Hitam dan PutihKeterangan:Warna:+= kurang hitamAroma: += kurang kuat++= hitam++= kuat+++= sangat hitam+++= sangat kuat

Rasa:+= kurang kuatKekentalan:+= kurang kental++= manis++= kental+++= sangat kuat+++= sangat kental

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa, dengan perlakuan pemberian inokulum tempe yang berbeda-beda, aroma, warna, rasa, dan kekentalan kecap yang dihasilkan juga berbeda-beda. Kelompok C1 menggunakan inokulum komersial tempe 0,5% dari berat kedelai, kelompok C2 dan C3 menggunakan 0,75% inokulum komersial tempe, sedangkan kelompok C4 dan C5 menggunakan 1% inokulum komersial tempe. Dari segi aroma, pada C1 dan C5 aroma kuat sedangkan C4 dengan aroma sangat kuat dn terakhir pada C3 aromannya kurang kuat. Pada segi warna kecap yang dihasilkan pada kelompok C3, C4 adalah hitam, sedangkan kelompok C1 kurang hitam dan C5 menghasilkan warna sangat hitam. Dari segi rasa, kecap kelompok C3, C4 dan C5 memiliki rasa sangat kuat, sedangkan kecap kelompok C1 memiliki rasa kuat. Pada tingkat kekentalan kecap pada C1 dan C5 sangat kental sedangkan C3 dan C4 kental. Pada praktikum kali ini kelompok C2 tidak ada hasil dikarenakan pada saat proses pembentukan koji tersebut kedelai terkontaminasi jadi tidak bisa lanjut ke proses selanjutnya. 2. PEMBAHASAN

Kecap merupakan salah satu jenis makanan tradisional yang biasanya dibuat dari fermentasi kedelai hitam. Selain kedelai hitam, kecap juga dapat dibuat dari bahan kacang-kacangan lain, atau bahkan sekarang ini juga banyak dimanfaatkan kecap berbasis ikan. Kecap yang berasal dari kedelai memiliki karakteristik berupa cairan yang berwarna coklat hingga hitam dengan viskositas yang sangat tinggi dan sangat kental. Pembuatan kecap dilakukan melalui proses fermentasi dimana kapang, bakteri, dan khamir terlibat dalam proses fermentasinya. Khamir dan bakteri yang berperan pada umumnya merupakan mikroorganisme yang tumbuh secara alami dalam lingkungan fermentasi kedelai, sedangkan kapang biasanya merupakan starter yang sengaja ditambahkan pada kedelai untuk memicu proses fermentasi (Rahman, 1992).

Kecap memiliki karakteristik yang baik, dimana kecap merupakan produk yang mudah diserap dalam sistem pencernaan manusia. Hal ini dikarenakan komposisi kecap yang terdiri dari komponen dengan berat molekul rendah. Kecap memiliki pH sekitar 4.9 5.0 dengan sifat kelarutan dalam air hingga 90% (soluble in water). Kedelai sebagai bahan baku pembuatan kecap memiliki kandungan protein yang tinggi, dimana senyawa protein yang utama berupa peptida-peptida sederhana dan asam-asam amino (Kasmidjo, 1990). Asam amino yang memiliki komposisi paling banyak dalam produk kecap adalah asam amino glutamat. Asam amino tersebut berkontribusi secara dominan terhadap flavor yang khas pada kecap dikarenakan kehadiran asam amino glutamat dalam bentuk bebas (Muangthai et al., 2007).

Pada praktikum ini, bahan baku yang digunakan dalam pembuatan kecap menggunakan kedelai hitam dan kedelai putih. Menurut Kasmidjo (1990), kedelai putih untuk pembuatan kecap dapat berupa kedelai utuh atau kedelai yang sudah dihilangkan kandungan lemaknya. Kecap yang dibuat dengan menggunakan kedelai utuh mempunyai kandungan gliserol sebesat 1,0 1,2%; sedangkan kecap yang dibuat dengan menggunakan kedelai tanpa lemak mempunyai kandungan gliserol yang lebih rendah yaitu 0,4 0,5%. Pada praktikum ini, bahan yang digunakan adalah kedelai hitam(kelompok C1,C3,C5) dan putih(kelompok C2,C4) yang masih utuh tanpa melalui proses penghilangan lemak terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan teori Kasmidjo (1990), kecap yang memiliki kandungan gliserol lebih dari 0,5% (dari kedelai utuh) mampu mengeluarkan flavor yang lebih manis(kuat). Selain itu, kelebihan jika menggunakan kedelai utuh adalah kecap yang dihasilkan memiliki konsistensi yang lebih stabil dibandingkan jika kecap dibuat dari kedelai tanpa lemak. Namun, pada kecap yang dibuat dari kedelai tanpa lemak juga memiliki keistimewaannya sendiri, yaitu memiliki kandungan protein yang relatif lebih tinggi karena kandungan lemaknya telah dihilangkan. Kekurangan kecap yang dibuat dari kedelai utuh adalah fermentasi di dalam larutan garam (fermentasi moromi) membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal ini disebabkan karena kandungan asam lemak dalam kedelai yang akan menghambat pertumbuhan yeast selama proses fermentasi dalam rangka pembuatan kecap. Teori Kasmidjo (1990) tersebut sesuai bahwa pembuatan kecap dari kedelai utuh membutuhkan waktu fermentasi moromi yang lebih lama, dimana tahap fermentasi moromi pada praktikum ini dilakukan selama 1 minggu.

Judoamidjojo et al., (1985) menambahkan, kedelai sebagai bahan baku dalam pembuatan kecap manis ini memiliki nilai nutrisi yang cukup tinggi terutama kandungan protein yang mencapai 34,9% dan karbohidrat yang mencapai 34,8%. Kandungan asam amino yang besar dalam kedelai ini didominasi oleh asam glutamat. Sedangkan asam-asam amino lain yang terkandung dalam kedelai adalah asam amino bebas seperti aspartat, treonin, prolin, serin, alanin, valin, glisin, leusin, isoleusin, fenilalanin, tirosin, dan lisin. Kandungan asam-asam amino bebas tersebut dalam kecap manis bisa mencapai sekitar 0,01 0,08 gram/100 gram kecap manis.

Dalam praktikum ini, fermentasi kecap terdiri dari 2 tahapan utama yaitu fermentasi koji (fermentasi dengan kapang) dan fermentasi moromi (fermentasi dalam larutan garam). Namun, dalam proses pembuatan kecap itu sendiri pada intinya dibedakan menjadi 4 langkah penting yaitu fermentasi koji, fermentasi moromi, penyaringan, dan pemasakan / pematangan (Kasmidjo, 1990). Pada praktikum yang dilakukan, langkah proses pembuatan kecap terdiri dari 4 langkah tersebut sesuai dengan teori Kasmidjo (1990).

Tahap pertama pembuatan kecap yang dilakukan dalam praktikum ini adalah fermentasi koji. Fermentasi koji dilakukan dengan cara mula-mula sebanyak 250 gram kedelai yang masih berkulit ari direndam dengan air selama 1 malam. Setelah 1 malam, kedelai menjadi mekar dan kemudian kedelai dicuci dan dibuang seluruh kulit ari yang menyelimuti biji kedelai. Setelah semua kulit ari terlepas dari bijinya, kedelai ditiriskan sampai kering. Langkah selanjutnya, kedelai direbus sampai matang kemudian ditiriskan lagi hingga kering. Kedelai yang telah kering dan sudah tidak panas, diletakkan di dalam besek bersih dan dialasi dengan daun pisang. Pada tahap ini, kedelai ditambahkan inokulum komersial untuk tempe dengan perlakuan yang berbeda-beda pada setiap kelompok. Jumlah inokulum komersial tempe (ragi tempe) yang diberikan pada kedelai kelompok C1 adalah sebesar 0,5%. Pada kelompok C2 dan C3 inokulum yang ditambahkan sebesar 0,75%. Pada kelompok C4 dan C5 inokulum yang ditambahkan sebesar 1%. Inokulum disebarkan secara merata ke seluruh permukaan kedelai, kemudian kedelai ditutup kembali dengan daun pisang dan besek. Kedelai tersebut diinkubasi selama 3 hari di suhu ruang.

Pada tahap pertama tersebut, kedelai utuh harus direndam selama 1 malam. Menurut Tortora et al. (1995), perendaman dilakukan agar terjadi hidrasi air ke dalam biji kedelai. Proses tersebut menyebabkan kedelai menjadi lebih lunak karena kandungan air meningkat. Dengan kondisi tersebut, proses pemasakan kedelai yang dilakukan selanjutnya akan menjadi lebih singkat karena kedelai sudah menjadi lebih lunak. Kasmidjo (1990) menambahkan kedelai yang telah lunak karena proses hidrasi air akan mempermudah pengupasan kulit ari sehingga kulit ari mudah dilepaskan dari biji kedelai. Apabila semakin lama proses perendaman, maka proses pengupasan kulit ari menjadi lebih mudah karena semakin banyak air yang terhidrasi dan biji kedelai menjadi semakin lunak. Kulit ari tidak dibutuhkan dalam proses fermentasi karena kulit ari merupakan tempat menempelnya kotoran (Kasmidjo, 1990).

(a)(b)(c)(d)Gambar.1. a: Perebusan kedelai, b: Penirisan kedelai setelah direbus, c: kedelai dikeringkan dengan tissue, d: kedelai kering dan masuk dalam besek

Meningkatnya kadar air seiring dengan meningkatnya relative humidity (RH) atau kelembaban pada kedelai. Kadar air yang meningkat pada kedelai menyebabkan kedelai secara langsung menjadi media bagi pertumbuhan mikroorganisme terutama kapang/jamur (Atlas, 1984). Sebelum diberi inokulum berupa kapang, kedelai sebagai media fermentasi harus dicuci dan direbus terlebih dahulu. Selain untuk meningkatkan kadar airya, proses tersebut berguna sebagai pasteurisasi untuk membunuh mikroorganisme patogen yang tidak diharapkan tumbuh dan mengganggu proses fermentasi yang murni dilakukan oleh kapang inokulum tempe (Rhizopus oryzae) (Winarno, 1993).

Dalam kondisi kedelai yang telah ditumbuhi kapang, kedelai akan mengakumulasi beberapa enzim dari kapang seperti enzim amilase dan proteinase. Enzim proteinase dari kapang berfungsi untuk menguraikan protein pada kedelai menjadi bentuk yang lebih sederhana yaitu asam amino, sedangkan enzim amilase dari kapang berperan untuk memecah karbohidrat pada kedelai menjadi gula yang lebih sederhana. Proses pemecahan enzim ini merupakan tahap awal fermentasi. Selanjutnya, proses fermentasi dijalankan dengan lebih mudah karena nutrisi bagi mikroorganisme pelaku fermentasi telah dipecah (Atlas, 1984).

Selama proses inkubasi, media dikondisikan pada suhu ruang di dalam besek selama 3 hari. Besek merupakan wadah bambu yang memiliki celah-celah untuk masuknya udara. Proses fermentasi kedelai, sekalipun anaerob, tetap dibutuhkan adanya sedikit aerasi atau aliran udara untuk mengontrol proses fermentasi (Tortora et al., 1995). Rahayu et al., (1993) menambahkan, kapang tumbuh pada suhu optimumnya yang berkisar antara 35 - 40C. Waktu 3 hari inkubasi ini juga sesuai dengan teori Astawan & Astawan (1991) yang mengatakan, waktu fermentasi koji dilakukan selama 1-3 hari. Waktu fermentasi yang terlalu singkat akan mengakibatkan enzim yang dihasilkan oleh kapang hanya menghasilkan komponen tertentu dalam jumlah terbatas. Sebaliknya, jika waktu fermentasi terlalu lama, komponen yang dihasilkan menjadi berlebihan sehingga cita rasa kecap yang dihasilkan kurang baik. Tahap fermentasi koji berhasil apabila pada permukaan kedelai ditumbuhi jamur tempe. Pertumbuhan jamur pada permukaan kedelai putih dapat dilihat pada Gambar 2.

(E1)(E2) (E3) (E4) (E5)Gambar 2. Pertumbuhan jamur pada permukaan kedelai hitam dan putih(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Menurut Astawan & Astawan (1991), kapang yang berperan penting dalam proses fermentasi kecap antara lain adalah Aspergillus oryzae, Aspergillus soyae, Aspergillus niger dan Rhizopus sp. Selain kapang, bakteri asam laktat juga berperan dalam proses fermentasi koji; yaitu Lactobacillus delbruckii. Sedangkan khamir yang berperan antara lain adalah Zigosaccharomyces sp. dan Hansenula sp. Kasmidjo (1990) menambahkan, kelemahan proses fermentasi koji dengan menggunakan tampah adalah mudahnya resiko kontaminasi untuk masuk ke dalam proses fermentasi. Mikroorganisme kontaminan seperti Mucor sp. dan bakteri yang bersifat proteolitik sering membuat proses fermentasi menjadi tidak sempurna. Pada kelompok 2 terjadi kontaminasi seperti yang dikatakan oleh Kasmidjo (1990) tetapi pada praktikum kali ini pada proses fermentasi koji menggunakan besek, jadi kurang sesuai dengan teori Kasmidjo (1990) hal ini desebabkan karna dalam proses awalnya kurang aseptis jadi terkontaminasi dan tidak bisa diproses lanjut. Solusi untuk masalah ini adalah dengan memilih kedelai yang ditumbuhi kapang sesuai yang diharapkan dan memisahkan kedelai yang terkontaminasi.

Tahap kedua dalam pembuatan kecap yang dilakukan pada praktikum ini adalah fermentasi moromi, yaitu fermentasi dengan perendaman pada larutan garam. Kedelai yang telah ditumbuhi oleh kapang selama inkubasi 3 hari ini disebut dengan koji. Langkah selanjutnya adalah merendam koji di dalam larutan garam. Langkah ini disebut dengan tahap moromi (Tortora et al., 1995).Sebelum perendaman di larutan garam, kedelai yang permukaannya telah ditumbuhi dengan kapang dipotong (dicacah-cacah dengan pisau) dan dikeringkan dengan menggunakan dehumidifier selama 2-4 jam. Menurut Tortora et al., (1995), proses ini bertujuan untuk memudahkan penghilangan kapang yang melekat pada permukaan kedelai. Kapang yang telah tumbuh justru dihilangkan karena kapang sudah tidak digunakan lagi dalam tahap moromi. Proses pencacahan akan melepaskan sebagian kapang yang melekat pada kedelai (koji), lalu untuk mematikan atau menghilangkan seluruh kapangnya dilakukan lagi dengan maksimal secara pengeringan, salah satunya dengan alat dehumidifier. Teori Peppler & Perlman (1979) juga mengatakan, proses pengeringan akan menurunkan kadar air kedelai sehingga sebagian kapang yang masih melekat pada kedelai akan terhambat pertumbuhannya dan lama kelamaan akan mati karena tidak ada air untuk mendukung pertumbuhannya. Proses pencacahan dan pengeringan kedelai yang permukaannya telah ditumbuhi jamur (kedelai setelah tahap fermentasi koji) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kedelai setelah tahap fermentasi koji yang telah dicacah dan siap dikeringkan dengan dehumidifier (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Setelah dikeringkan, kedelai memasuki tahap moromi, yaitu perendaman kedelai (koji) di dalam larutan garam. Konsentrasi garam yang ditambahkan sebesar 20% dari 750ml air. Perendaman 750ml larutan garam ini dilakukan bersama dengan kedelai di dalam wadah plastik (toples) tertutup selama 1 minggu. Tahap moromi ini sesuai dengan teori Astawan & Astawan (1991), garam yang ditambahkan pada tahap moromi adalah garam dengan konsentrasi 15-20%. Konsentrasi garam yang kurang dari 15% akan merangsang tumbuhnya mikroorganisme yang tidak diinginkan pada kecap. Konsentrasi garam 20% akan memberikan efek sebagai pengawet dan berfungsi untuk menyeleksi mikroorganisme yang tumbuh. Garam akan mematikan mikroorganisme patogen dan menjaga keberadaan mikroorganisme yang dibutuhkan dalam pembuatan kecap. Yang paling penting, proses perendaman dalam larutan garam akan menyebabkan terjadinya ekstraksi senyawa-senyawa sederhana hasil hidrolisis pada tahap fermentasi oleh jamur (fermentasi koji). Selain itu, saat perendaman akan tumbuh bakteri halofilik secara spontan yang berkontribusi dalam pembentukan flavor khas pada kecap. Efek secara langsung, perendaman dalam larutan garam akan menimbulkan rasa asin pada kecap, sehingga pada proses pemasakan nantinya, tidak perlu ditambahkan garam lagi sebagai penguat rasa. Fermentasi yang dilakukan tanpa garam akan menyebabkan terjadinya proses fermentasi anaerob, dimana kondisi ini tidak diinginkan. Proses perendaman kedelai dalam larutan garam (tahap fermentasi moromi) dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tahap fermentasi moromi (perendaman kedelai dalam larutan garam) (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Proses perendaman kedelai dalam larutan garam dilakukan selama 1 minggu dan setiap hari harus diaduk di bawah sinar matahari selama 60 menit. Lama proses perendaman selama 1 minggu ini tidak sesuai dengan teori Astawan & Astawan (1991), yang mengatakan bahwa proses fermentasi dalam larutan garam layaknya dilakukan selama 2-4 minggu. Hal ini karena dengan lama waktu perendaman 2-4 minggu, akan menyebabkan kecap memiliki aroma yang spesifik dan terjadi perubahan warna yang disebabkan karena reaksi browning antara gula pereduksi dengan gugus amino dari protein. Sedangkan pengadukan selama 60 menit setiap hari di bawah sinar matahari selama 1 minggu tersebut sesuai dengan teori Tortora et al., (1995) yang mengatakan, proses pengadukan antara lain bertujuan untuk memberikan aerasi pada kedelai dalam larutan garam, untuk memberikan udara (aerasi) bagi pertumbuhan bakteri dan khamir yang diinginkan tumbuh, dan untuk menghomogenkan kedelai agar kontak dengan larutan garam. Proses penjemuran yang dilakukan selama 60 menit dalam 1 minggu .

Setelah proses perendaman selama 1 minggu selesai atau setelah tahap fermentasi moromi selesai, tahap selanjutnya adalah proses pengepresan dan penyaringan kedelai yang masih berada di dalam larutan garam. Hal ini sesuai dengan teori Santoso (1994), setelah proses penggaraman dilakukan proses penyaringan. Hasil utama penyaringan ini adalah filtrat yang nantinya akan menjadi kecap. Setelah disaring, filtrat tersebut dimasak (direbus) dan ditambahkan bumbu sesuai resep masing-masing kelompok. Tahapan proses ini kurang sesuai dengan teori Santoso (1994) yang mengatakan, urutan proses perebusan adalah pertama-tama air bersih dimasukkan terlebih dahulu ke dalam filtrat lalu direbus hingga mendidih. Setelah itu dilanjukan penambahan gula merah dan bumbu-bumbu penyedap sesuai selera misalnya daun sereh, salam, daun jeruk, lengkuas, pekak, kemiri, bawang putih, dan lain-lain. Perbedaan dengan teori tersebut, pada praktikum ini tidak diberikan penambahan air bersih. Perbedaan antar kelompok terdapat pada pemberian bumbu penyedap diantaranya cengkeh, serai dan pala. Hasil fermentasi moromi yang telah disaring dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5.Filtrat Hasil Fermentasi Moromi(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Pada proses pemasakan kecap, bumbu-bumbu yang ditambahkan adalah 20 gram kayu manis, 3 gram ketumbar yang dihasluskan, 1 ruas jari lengkuas, 1 biji bunga pekak, dan 1 kg gula jawa untuk kelompok C1; 1,5 kg gula jawa untuk kelompok C2; 2 kg gula jawa untuk kelompok C3; 2,5 kg gula jawa untuk kelompok C4; dan 3 kg gula jawa untuk kelompok C5. Selama proses perebusan, larutan kecap harus diaduk terus-menerus hingga semua bumbu dan gula jawa merata. Pada praktikum ini, proses perebusan dihentikan hingga larutan kecap mendidih. Tahap-tahap dalam pemasakan kecap manis dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 : Bahan-bahan yang ditambahkan untuk memasak kecap(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Setelah mendidih, larutan kecap manis tersebut selanjutnya dilakukan penyaringan dengan kain saring bersih untuk memisahkan padatan-padatan yang masih terdapat pada larutan kecap yang telah dimasak.

Melalui hasil pengamatan yang diperoleh mengenai karakteristik kecap manis yang dihasilkan, dari segi warna, kelompok C3, C4, memiliki warna kecap hitam, sedangkan pada kelompok C1 memiliki warna kecap yang kurang hitam dan C5 memiliki warnasangat hitamsedangkan untuk C2 tidak ada hasil karena pada proses fermentasi koji terjadi kontaminasi yang tidak bisa lanjut ketahap selanjutnya. Hal ini sesuai dengan teori Peppler & Perlman (1979) yang mengungkapkan bahwa pada umumnya kecap berwarna coklat kehitaman. Pada prinsipnya, warna kecap dihasilkan karena adanya penambahan bumbu-bumbu saat pemasakan, terutama gula jawa. Kasmidjo (1990) menambahkan, warna pada kecap terbentuk karena timbulnya reaksi antar asam-asam amino dengan gula pereduksi, yang disebut dengan reaksi browning. Kandungan gula yang terdapat dalam kecap antara lain terdiri dari glukosa, galaktosa, maltosa, xilosa, arabinosa dan komponen gula alkohol yaitu gliserol dan manitol. Pengaruh penambahan gula pada pembuatan kecap ini adalah dapat meningkatkan warna dan viskositas kecap manis yang dihasilkan. Berdasarkan teori Peppler & Perlman (1979), semakin tinggi kandungan gula yang ditambahkan, maka warna kecap menjadi semakin hitam. Teori tersebut sudah sesuai dengan hasil pengamatan yang didapatkan. Tetapi, pada praktikum pembuatan kecap manis ini tidak menunjukkan adanya peningkatan intensitas warna hitam yang seiring dengan jumlah penambahan gula yang semakin tinggi. Perbedaan intensitas warna hitam yang tidak berurutan seiring jumlah penambahan gula ini mungkin disebabkan karena frekuensi pemasakan dengan kompor berbeda-beda satu sama lain. Kasmidjo (1990) mengatakan, jika kecap dimasak dengan menggunakan api besar maka intensitas terbentuknya warna akan semakin tajam karena semakin memicu terjadinya reaksi browning. Tetapi jika menggunakan api kompor yang kecil atau sedang, reaksi browning terjadi lebih lama dan pembentukan warna juga tidak terlalu tajam.

Dari segi karakteristik aroma kecap yang dihasilkan, semua kecap pada semua kelompok menghasilkan aroma berbeda-beda pada tiap kelompoknya, pada kelompok C1 dan C5 menghasilkan aroma kecap yang kuat. Pada kelompok C4 menghasilkan aroma sangat kuat dan terakhir C3 yang menghasilkan aroma kurang kuat. Menurut Santoso (1994), flavor spesifik kecap ditentukan oleh jenis bumbu yang digunakan. Komponen penggunaan bumbu yang digunakan pada semua kelompok adalah sama yaitu terdiri dari kayu manis, ketumbar, lengkuas, buka pekak, dan gula jawa. Dosis penggunaan bumbu antar kelompok juga sama, yang berbeda hanyalah pada bahan tambahannya (cengkeh, serai dan biji pala). Maka, dengan penggunaan bumbu yang sama, aroma yang dihasilkan juga cenderung tidak berbeda antar kelompok. Pembentukan aroma pada kecap ini dipengaruhi oleh komponen volatil yang dihasilkan pada proses pembuatan kecap. Menurut Apriyantono &Gono (2004), komponen volatil kecap dihasilkan selama proses fermentasi koji dan fermentasi moromi. Apabila fermentasi dilakukan dalam waktu optimal (2-4 minggu), komponen volatil flavor yang dapat diperoleh antara lain adalah 18 terpenoid, 15 alkohol alfatik dan aromatik, 14 aldehid alfatik, 14 ester, 12 turunan benzen, 9 keton alifatik dan lakton, 9 asam lemak, 5 senyawa furan, 3 pirazin, 1 tiazol, 1 piridin, dan 2 komponen bersulfur.

Karakteristik sensori kecap yang dihasilkan juga berkaitan dengan jumlah inokulum ragi tempe yang ditambahkan. Apriyantono &Gono (2004) menambahkan, seharusnya, jika semakin banyak jumlah inokulum yang ditambahkan, maka aroma yang dihasilkan juga akan semakin kuat karena komponen volatil yang dihasilkan lebih banyak. Teori tersebut tidak sesuai dengan aroma kecap manis yang dihasilkan oleh kelompok C1,C3,dan C5. Dari kelompok C1 hingga C5, dosis penambahan inokulum ragi tempe dilakukan semakin tinggi. Seharusnya aroma kecap manis yang terbentuk dari kelompok C1 hingga C5 juga semakin kuat. Ketidak sesuaian dengan teori Apriyantono &Gono (2004) justru terjadi pada kelompok C1 yang menggunakan inokulum dengan jumlah terendah, yaitu 0,5% tetapi justru menghasilkan aroma kecap yang kuat dan tidak sesuaikan terhadap C3 yang inokulum lebih tinggi dari C1 tetapi hasilnya paling rendah yaitu kurang kuat dan pada C5 terjadi ketidaksesuaian yang memiliki inokulum 1% tetapi hanya menghasilkan aroma kuat berbeda dengan C4 yang sesuai dengan teori yang dikatakan oleh Apriyantono &Gono (2004). Ketidak sesuaian ini mungkin disebabkan karena penambahan bahan-bahan yang berbeda-beda antar kelompok, sehingga aroma karena komponen volatil tersamarkan. Di sisi lain, komponen volatil kurang dapat mempengaruhi aroma kecap adalah karena waktu fermentasi yang terlalu singkat.

Dari segi karakteristik rasa kecap manis yang dihasilkan, pada kelompok C1, memiliki rasa kecap yang kuat, sedangkan pada kelompok C3 sampai C5 memiliki rasa kecap yang sangat kuat. Menurut Rahayu et al. (2005), pembentukan rasa kecap berhubungan dengan keberadaan bakteri asam laktat yang tumbuh pada awal fermentasi. Pada tahap fermentasi moromi, pH kecap akan menurun menjadi semakin asam karena produksi asam laktat oleh bakteri asam laktat. Rasa kecap yang semakin asam akan menstimulasi pertumbuhan ragi yang penting dalam pembentukan rasa kecap. Pada praktikum ini, tingkat kemanisan yang semakin tinggi terjadi seiring dengan penambahan gula jawa yang semakin tinggi pula. Hal ini sesuai dengan teori Rahayu et al. (2005), bahwa semakin banyak gula jawa yang ditambahkan, maka rasa kecapakan semakin manis.

Dari segi karakteristik kekentalan kecap manis yang dihasilkan, kecap yang kental hanya dihasilkan oleh kelompok C1 dan C5, sedangkan kelompok lain (C3 dan C4) memiliki viskositas yang sama yaitu kental. Menurut Kasmidjo (1990) dan Rahayu et al. (1993), perbedaan viskositas kecap ini disebabkan karena adanya perbedaan gula jawa yang ditambahkan. Gula jawa memiliki karakteristik dapat meningkatkan intensitas warna yang semakin coklat/gelap dan meningkatkan viskositas kecap karena gula jawa memiliki efek karamelisasi. Maka, semakin banyak gula jawa yang ditambahkan, viskositas kecap akan semakin meningkat atau semakin kental. Tetapi tidak ada perbedaan kekentalan pada kelompok C3 dengan C4, hal ini mungkin dikarenakan terlalu banyak kandungan air yang digunakan dalam proses perendaman dengan garam.

Muangthai et al. (2009) menambahkan, warna, aroma, rasa, dan kekentalan kecap juga dipengaruhi oleh jenis dan kondisi pertumbuhan kedelai yang digunakan sebagai bahan baku. Pada praktikum ini, setiap kelompok membeli kedelai putih dan kedelai hitam di tempat yang berbeda-beda. Dengan begitu, jenis dan kondisi penanaman / pertumbuhan kedelai juga berbeda-beda, dimana hal ini mempengeruhi kualitas kecap manis yang dihasilkan. Selain rasa manis, kecap juga memiliki rasa asin yang berasal dari proses penggaraman pada tahap moromi. Potter (1978) juga mengatakan, selama tahap moromi, garam memiliki kemampuan untuk melakukan proses osmosis, dimana garam akan terserap ke dalam jaringan kedelai sehingga kedelai menjadi memiliki rasa asin. Rasa asin pada kecap ini ditimbulkan oleh asam-asam amino seperti asam aspartat dan asam glutamat. Yanfang & Tao (2009) mengungkapkan, flavor merupakan aspek paling penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap produk fermentasi kedelai, yaitu kecap manis.

Pada Jurnal: "Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan Rhizophus oligsporus (Purwoko & Handajani, 2007), dilakukan penelitian mengenai pembuatan kecap manis apabila dilakukan tanpa fermentasi moromi atau perendaman dalam larutan garam. Pembuatan kecap manis ini hanya dilakukan dengan fermentasi koji. Hasil menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan pembuatan kecap manis yang melalui tahap fermentasi moromi, kecap yang tidak melalui tahap fermentasi moromi melainkan hanya dilakukan tahap fermentasi koji menggunakan Rhizopus oryzae dan Rhizophus oligsporus memiliki kandungan total protein (total protein) dan kandungan protein terlarut (soluble protein) yang lebih besar. Untuk mengetahui kemampuan Rhizopus oryzae dan Rhizophus oligsporus dalam menghasilkan kandungan total protein dan protein terlarut pada kecap manis, dilakukan pula perbandingan antar keduanya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kecap manis hasil fermentasi Rhizophus oligsporus mengandung kadar protein total dan kadar protein terlarut yang lebih tinggi, yaitu 8,2%. Sedangkan kecap manis hasil fermentasi Rhizopus oryzae hanya mampu menghasilkan kadar protein total dan kadar protein terlarut sebesar 4,1%. Melalui hasil tersebut dapat diketahui bahwa kecap manis yang difermentasi dengan Rhizophus oligsporus memiliki kualitas yang lebih baik daripada kecap manis yang difermentasi oleh Rhizopus oryzae. Rasa dan aroma kecap manisyang dibuat tanpa melalui tahap fermentasi moromi ini mampu menghasilkan kualitas kecap manis yang sama dengan kecap komersial pada umumnya yang melalui tahap fermentasi koji dan moromi. Selain itu, kualitas kecap manis tanpa melalui tahap fermentasi moromi ini dapat diterima oleh konsumen.

Pada Jurnal: Penentuan Komponen Kualitas dan Bahan Baku Optimal Produk Kecap Organik Berbasis Off Line Quality Control (Setiawati, 2008), dilakukan pengujian terhadap kualitas kecap manis organik dengan merek PAMOR yang diproduksi oleh kelompok Pusat Inkubator Agribisnis (PIA). Kecap manis PAMOR tersebut merupakan produk kecap yang dibuat dari bahan baku organik, yaitu kedelai hitam organik, garam, rempah-rempah, dan gula kelapa (gula jawa) organik yang dibuat tanpa penambahan bahan pengawet dan bahan pengental. Fermentasi yang dilakukan untuk pembuatan kecap ini adalah selama 2-4 minggu. Setiawati (2008) mengatakan bahwa waktu fermentasi ini sangat berperan penting dalam pembentukan cita rasa dan aroma kecap manis organik. Selama proses fermentasi tersebut, dengan jumlah moromi 320 ml, penambahan rempah-rempah sebanyak 6 gram, gula kelapa hitam sebanyak 700 gram, dan air 465 ml dengan lama pemasakan 8 menit mampu menghasilkan kecap manis organik dengan kualitas yang baik dan dapat diterima konsumen. Nilai tambah kecap manis organik ini adalah adanya kandungan protein terlarut yang tinggi, dimana protein terlarut ini diperoleh melalui perubahan senyawa makromolekul menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga menjadi lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh.

Pada Jurnal: Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce with Intermittent Aeration (Yeong et al., 2010), dilakukan penelitian untuk mengetahui kualitas kecap terbaik yang dihasilkan dari proses fermentasi moromi dengan perlakuan suhu yang berbeda-beda, dimana dalam proses fermentasi moromi ini juga dilakukan aerasi dengan bantuan bioreaktor. Kualitas kecap yang baik pada penelitian ini ditentukan berdasarkan warna kecap manis, tingkat keasaman kecap manis yang kaitannya dengan kandungan etanol, dan kandungan nitrogen yang terkait dengan kandungan protein pada kecap manis. Pada tingkatan suhu yang berbeda, yaitu 25C, 35C, dan 45C dihasilkan bahwa selama proses fermentasi moromi yang dilakukan pada suhu 45C mampu menurunkan tingkat keasaman (pH) kecap manis dari pH 7 menjadi pH 4,88. Tingkat keasaman yang tinggi ini meyebabkan kandungan etanol pada kecap semakin rendah. Dibuktikan bahwa dengan suhu fermentasi moromi yang semakin tinggi, maka kecap manis yang diperoleh semakin asam dan kandungan etanol semakin rendah. Dengan kandungan nitrogennya, fermentasi moromi yang dilakukan pada suhu 25C, 35C, dan 45C tidak menyebabkan perbedaan yang dignifikan pada kandungan nitrogen kecap manis. Setelah proses fermentasi moromi pada suhu 45C selesai, tingkat kematangan kecap manis semakin tinggi dan kecap manis yang dihasilkan memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan jika dilakukan fermentasi moromi pada suhu 25C dan 35C.

Pada Jurnal: Development of Healthy Soy Sauce from Pigeon Pea and Soybean (Muangthai et al., 2009), dijelaskan mengenai pembuatan kecap manis dengan bahan baku tidak hanya kedelai tetapi juga pigeon pea(Cajanus canja Mill sp.) yang memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi. Pigeon pea ini memiliki kandungan karbohidrat sekitar 61,86 65,81% dengan kandungan protein yang 50% lebih rendah daripada kedelai yaitu hanya 21,44 23,64%. Pada jurnal ini, Muangthai et al., (2009) menunjukkan bahwa dengan kombinasi kedelai :pigeon pea = 4:6 dan kandungan garam 12% mampu menghasilkan kecap manis dengan kandungan asam laktat yang tinggi tetapi sama sekali tidak mengandung asam asetat. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dengan kandungan garam yang semakin rendah, kandungan asam laktat menjadi semakin meningkat. Dengan konsentrasi garam 12% dihasilkan asam laktat yang paling optimum dari fermentasi moromi kecap manis kombinasi antara kedelai dan pigeon pea.

Pada Jurnal: Enzyme Production and Growth of Aspergillus oryzae S. on Soyben Koji Fermentation (Chancharoonpong et al., 2012), dilakukan pengujian terhadap produksi enzim pada kedelai selama proses fermentasi koji, diman enzim yang dihasilkan ini nantinya dapat berpotensi diaplikasikan untuk mendukung fermentasi kecap ikan. Fermentasi koji yang mengandung 60% kedelai digunakan sebagai substrat pertumbuhan Aspergillus oryzae S. Selama proses fermentasi koji, tingkat keasaman kedelai meningkat, dimana peningkatan tersebut menandakan bahwa kapang telah memproduksi enzim. Produksi enzim protease dan amilase tertinggi sebesar 84,38 unit/gram dan 200 unit/gram berat kering diperoleh pada saat fermentasi koji dilakukan selama 48 jam. Hal ini menandakan bahwa pada jam ke-48 fermentasi koji dengan Aspergillus oryzae S., diperoleh kandungan enzim protease dan amilase terbesar yang dapat digunakan untuk mendukung fermentasi pembuatan kecap ikan.3. KESIMPULAN

Kecap merupakan salah satu jenis makanan tradisional yang biasanya dibuat dari fermentasi kedelai. Kecap dari kedelai memiliki karakteristik berupa cairan yang berwarna coklat hingga hitam dengan viskositas yang sangat tinggi atau sangat kental. Kecap manis memiliki kandungan 34,9% protein dan 34,8% karbohidrat, dengan pH sekitar 4.9 5.0 dan sifat kelarutan dalam air hingga 90%. Kecap yang memiliki kandungan gliserol lebih dari 0,5% (dari kedelai utuh) mampu mengeluarkan flavor yang lebih manis. Empat langkah/proses penting dalam pembuatan kecap adalah fermentasi koji, fermentasi moromi, penyaringan, dan pemasakan / pematangan. Perendaman selama 1 malam dilakukan agar terjadi hidrasi air ke dalam biji kedelai. Peningkatan kadar air pada kedelai secara langsung menjadi media bagi pertumbuhan mikroorganisme terutama kapang/jamur. Proses perebusan berguna sebagai pasteurisasi untuk membunuh mikroorganisme patogen. Fermentasi kecap terdiri dari 2 tahap utama yaitu fermentasi koji (fermentasi dengan kapang) dan fermentasi moromi (fermentasi dalam larutan garam). Pada tahap awal fermentasi, kedelai mengakumulasi enzim amilase dan proteinase dari kapang untuk menguraikan protein kedelai menjadi asam amino. Komposisi asam amino terbanyak yang berkontribusi terhadap flavor khas pada kecap adalah asam amino glutamat. Fermentasi koji adalah proses penumbuhan kapang pada permukaan kedelai. Fermentasi koji dilakukan selama 1-3 hari. Pengeringan dengan dehumidifier berfungsi untuk menghilangkan kapang yang melekat pada permukaan kedelai. Fermentasi moromi adalah proses perendaman kedelai dalam larutan garam. Penambahan garam pada fermentasi moromi dilakukan dengan konsentrasi 15-20%. Pengadukan selama 60 menit setiap hari selama proses fermentasi moromi bertujuan untuk homogenisasi dan aerasi kedelai dan mikroorganisme. Komponen volatil kecap yang dihasilkan selama proses fermentasi koji dan fermentasi moromi berkontribusi terhadap pembentukan aroma kecap manis. Semakin banyak jumlah inokulum tempe yang ditambahkan, aroma kecap manis yang dihasilkan semakin kuat. Rasa asin pada kecap manis ditimbulkan karena adanya proses osmosis selama proses fermentasi moromi.

Semarang, 23 Juni 2015Praktikan:Asisten Dosen: - Abigail Sharon E

Fransiscus Christian H.W(12.70.0036)- Frisca Melia

4. DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono, A dan Gono D. Y. (2004). Perubahan Komponen Volatil Selama Fermentasi Kecap. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. VOl XV, No 2.

Astawan, M. dan M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application. Collier Mcmillan Inc. New York.

Chancharoonpong, C.; P.C. Hsieh; dan S.C. Sheu.(2012). Enzyme Production and Growth of Aspergillus oryzar S. on Soybean Koji Fermentation.Journal of SciVerse ScienceDirect.Elsevier APCBEE Procedia 00 (2012) 000000.

Judoamidjojo.M., A.A. Darwis, dan E.G. Said, (1985). Teknologi Fermentasi. Rajawali-Press, Jakarta.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe : mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Muangthai, P.; P. Upajak; dan W. Patumpai. (2007). Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagion Pea and Soy bean.KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No. S2

Muangthai, P.; P. Upajak; P. Suwunna; and W. Patumpai.(2009). Development of Healthy Soy sauce from Pigeon Pea and Soybean.Asian Journal of Food and Agro-Industry. ISSN 1906-3040 Vol. 2(03), 291-301.

Peppler, H.J. and Perlman, D. (1979).Microbial Technology.Fermentation Technology.Academic Press. San Fransisco.

Potter, Norman N. ( 1978 ). Food Science Third Edition. The Avi Publishing Company, Inc. USA.

Purwoko, T dan N.S. Handajani.(2007). Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan Rhizopus oligosporus.Jurnal Biodiversitas Volume 8, Nomor 2. Halaman 223 227.

Rahayu, E.; R. Indrati; T.utami; E. Harmayani & M.N. Cahyanto.(1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi Food & Nutition.Collection.PAU Pangan & Gizi.Yogyakarta.Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.

Santoso, H.B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai.Kanisius.Yogyakarta.

Setiawati, B.B. (2008). Penentuan Komponen Kualitas dan Bahan Baku Optimal Produk Kecap Organik Berbasis Off Quality Control. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, Volume 4, Nomor 1, halaman 8 19.

Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case.(1995). Microbiology.The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Winarno, F.G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yanfang, Z and Tao W. (2009).Flavor and Taste Compounds Analysis in Chinese Solid Fermented Soy Sauce. African Journal of Biotechnology Vol. 8 (4), pp. 673-681.

Yeong, W.T.; M. Seng, K; L. Fong.S; dan L. K. Painiandy.(2010). Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce with Intermittent Aeration.African Journal of Biotechnology Vol. 9 (5), pp. 702 706.

5. LAMPIRAN

5.1. Jurnal (Abstrak)

5.2. Laporan Sementara