kebutuhan pendidikan keterampilan hidup...
TRANSCRIPT
KEBUTUHAN PENDIDIKAN KETERAMPILAN HIDUP DALAM PENINGKATAN POTENSI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
PADA WILAYAH PESISIR KOTA MAKASSAR (STUDI KASUS KECAMATAN MARISO)
THE NEED FOR LIFE SKILL EDUCATION IN THE POTENTIAL DEVELOPMENT OF WOMEN EMPOWERMENT AT COASTAL AREA
IN MAKASSAR CITY (A CASE STUDY IN MARISO DISTRICT)
ERNAWATI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2009
KEBUTUHAN PENDIDIKAN KETERAMPILAN HIDUP DALAM PENINGKATAN POTENSI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
PADA WILAYAH PESISIR KOTA MAKASSAR (STUDI KASUS KECAMATAN MARISO)
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
Disusun dan diajukan oleh
ERNAWATI
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITES HASANUDDIN
MAKASSAR 2009
TESIS
KEBUTUHAN PENDIDIKAN KETERAMPILAN HIDUP DALAM PENINGKATAN POTENSI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
PADA WILAYAH PESISIR KOTA MAKASSAR (STUDI KASUS KECAMATAN MARISO)
Disusun dan diajukan oleh:
ERNAWATI
Nomor Pokiok P0203206535
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
Pada tanggal 16 Januari 2009
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui Komisi Penasihat,
_________________________ ______________________________ Prof . Dr. Ir Slamet Tri Sutomo Prof Dr. Oesman Lewangka, S.E. M.A
Ketua Anggota
Kettua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Universitas Hasanuddin
___________________________ __________________________ Prof.Dr.Ir. Yulianto Sumalyo, DEA Prof. Dr. Ir. M. Nasir Nessa, M.S
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allaw swt, karena
atas hidayah, kekuatan, dan rahmat-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi,
dengan judul “Kebutuhan Pendidikan Keterampilah Hidup dalam
Pngembangan Potensi Pemberdayaan Perempuan Wilayah Pesisir Kota
Makassar (Studi Kasus Kecamatan Mariso)”, didasari kehidupan masyarakat
pada wilayah pesisir khususnya peranan perempuan untuk berupaya
meningkatkan kesejahteraan menunjang ekonomi keluarga.
Penulis dalam meyelesaikan tesis ini banyak memperoleh bantuan dari
berbagai pihak dalam mengatasi kendala dan tantangan bisa diantisipasi
dengan baik. Pada kesempatan ini, disampaikan terima kasih kepada
Prof.Dr.Ir. Slamet Tri Sutomo dan Prof.Dr. Oesman Lewangka, S.E.,M.A.
sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan
kesempatan membimbing, mengoreksi, dan mengarahkan dalam penyusunan
dan penyelesaian tesis ini. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada
Prof. Ir. Bambang H., M.Sc.,Ph.D., Dr. Ir. Ria Wikantari, M.Arch. dan
Prof. Dr. Tahir Kaswani, S.U. sebagai anggota tim penguji yang telah banyak
memberikan masukan, saran, kritik, dan pendapat demi perbaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Pemerintahan
Kecamatan Mariso, Kota Makassar terkhusus Kepala Kelurahan Lette bersama
jajarannya, Kepala Kelurahan Panambungan bersama jajarannya, dan Kepala
iv
Kelurahan Mariso bersama jajarannya yang dengan tulus memberikan
pelayanan untuk kepentingan penyelesaian tesis ini. Juga kepada kaum
perempuan di tiga kelurahan ini yang menjadi responden penelitian.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa
S2 Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah konsetrasi
Perencanaan Pendidikan yang telah memberikan banyak inspirasi, ide,
pendapat, dan pemikiran selama proses perkuliahan sampai penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih khusus penulis sampaikan kepada ayahanda
H. Mappaewa (Almarhum), Ibunda Hj. Nudjumiah, kakak Nuraeni, S.E., adik
Ir. Muchlis, serta sahabat penulis Drs. H. Ahsan Ahmad, M.Pd. yang telah
banyak memberikan bantuan, motivasi, dan nasihat.
Terima kasih kepada semua pihak yang belum sempat disebutkan yang
telah memberikan bantuannya. Penulis bermohon kepada semua pihak yang
sempat membaca tesis ini dapat memberikan saran dan kritik yang sifatnya
membangun. Semoga tesis ini memberi manfaat dan akhirnya dengan penuh
kerendahan hati penulis bermohon kepada Allah agar senantiasa memberikan
petunjuk dan kebeningan hati. Amin.
Makassar, Januari 2009 Penulis
ERNAWATI
v
ABSTRAK
ERNAWATI. Kebutuhan Pendidikan Keterampilan Hidup dalam Pengembangan Potensi Pemberdayaan Perempuan di Wilayah Pesisir Kota Makassar. Studi Kasus Kecamatan Mariso. (dibimbing oleh Slamet Tri Sutomo dan Oesman Lewangka)
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kebutuhan pendidikan keterampilan hidup bagi kaum perumpuan di wilayah pesisir Kota Makassar dalam peningkatan potensi untuk memberdayakan kaum perempuan.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah pesisir Kota Makassar dengan
kasus Kecamatan Mariso pada tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Lette, Panambungan, dan Mariso dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, yaitu mengkompilasi data, kemudian dianalisis dengan menggunakan statistic deskriptif. Variable yang digunakan adalah kebutuhan pendidikan keterampilan hidup kaum perempuan dan potensi yang dimiliki kaum perempuan di tiga wilayah ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebutuhan pendidikan
keterampilan hidup tinggi dengan jenis keterampilan hidup yang diinginkan masing-masing kelurahan yaitu: Kelurahan Lette adalah jasa laundry, kerajinan rotan, kerajinan kerupuk kerang, dan kerajinan kulit kerang, Kelurahan Panambungan adalah tata rias kecantikan dan kerajinan kulit kerang, dan Kelurahan Mariso adalah kerajinan anyaman rotan, tat arias kecantikan, dan tata boga. Potensi pemberdayaan perempuan dilihat dari lima indicator yaitu pengetahuan, keterampilan, pengembangan nilai-nilai sikap, social ekonomi, dan motivasi untuk maju menunjukkan nilai kurang baik kecuali indikator pengembangan nilai-nilai sikap dan motivasi untuk maju.
vi
ABSTRACT
ERANAWATI. The Need for Life Skill Education in the Potential Development of Women Empowerment at Coastal Area in Makassar City: A Case Study In Mariso District (supervised by Slamet Tri Sutomo and Oesman Lewangka)
The aim of the study was to describe the need for life skill education for women at coastal area to increase their potential in women empowerment in Makassar city
The study was conducted at coastal area in Makassar city by involving three sub-districts: Panambungan, Lette, and Mariso of Mariso district. The study was qualitative and quantitative. The variables used were the needs for life skill education and potential owned by women in the three sub-districts
The results of the study indicate that the need for life skill education is highwith the types of skills needed are laundry, rattan handicranft,oyster chips handicraft, and oyster shells at Lette sub-district. Whereas at Panambungan sub-district the skill needed are make up and oyster shells handicraft, and at Mariso sub-district the skills needed are rattan handicraft, make up, and food management. The women empowerment potential viewed from five indicators namely, knowledge, skill, attitude, socioeconomic, and motivation showing that socioeconomic,knowledge, and development of values are good enough, and motivation belongs to good category.
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA iv
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 6
C. Tujuan Penelitian 7
D. Manfaat Penelitian 7
E. Lingkup Penelitian 8
BAB II. TINJAUN PUSTAKA 9
A. Pendidikan 9
B. Pendidikan Keterampilan Hidup 13
C. Vocational Skill Sebagai Proses Pemberdayaan Perempuan 19
D. Ciri-ciri Masyarakat Pesisir 24
E. Potensi Pemberdayaan Perempuan 26
F. Permasalahan Umum Masyarakat Pesisir 40
G. Kerangka Pikir 44
viii
BAB III. METOPDE PENELITIAN 47
A. Jenis Penelitian 47
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 47
C. Populasi dan Sampel 48
D. Jenis Data dan Pengumpulan Data 49
E. Ujicoba Instrumen 51
F. Analisis Data 53
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 59
A. Karakteristik Wilayah Penelitian 59
B. Karakteristik Responden dari Tiga Kelurahan 63
C. Gambaran Kebutuhan Pendidikan Keterampilan Hidup 68
D. Gambaran Potensi Pemberdayaan Perempuan 77
E. Perbandingan Kebutuhan Pendidikan Keterampilan Hidup 86 Kaum Perempuan pada Tiga Kelurahan
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 100
A. Kesimpulan 100
B. Saran 101
DAFTAR PUSTAKA 103
LAMPIRAN 106
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Jumlah anggota populasi masing-masing kelurahan 48
2. Perhitungan ukuran sampel 49
3. Skala nilai dan kriteria kebutuhan pendidikan keterampilan 56 hidupkaum perempuan Kecamatan Mariso
4. Kategori berdasarkan persentase 58
5. Gambaran mata pencaharian pokok di tiga kelurahan 61
6. Tingkat pendidikan di tiga kelurahan 63
7. Karakteristik responden berdasarkan usia 64
8. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan 65
9. Karakteristik responden berdasarkan status atau pekerjaan 67
10. Respon kaum perempuan di Kelurahan Panambungan tentang 69 kebutuhan pendidikan keterampilan hidup
11. Kategori kebutuhan pendidikan keteampilan hidup berdasarkan 70 indikator di Kelurahan Panambungan
12. Respon kaum perempuan di Kelurahan Lette tentang 71 kebutuhan pendidikan keterampilan hidup
13. Kategori kebutuhan pendidikan keteampilan hidup berdasarkan 72 indikator di Kelurahan Lette
14. Respon kaum perempuan di Kelurahan Meriso tentang 73 kebutuhan pendidikan keterampilan hidup
15. Kategori kebutuhan pendidikan keteampilan hidup berdasarkan 75 indikator di Kelurahan Mariso
16. Respon kaum perempuan di Kelurahan Panambungan tentang 77 Potensi pemberdayaan perempuan
x
17. Kategori potensi pemberdayaan perempuan berdasarkan 79 indikator di Kelurahan Panambung
18. Respon kaum perempuan di Kelurahan Lette tentang 80 potensi pemberdayaan perempuan
19. Kategori potensi pemberdayaan perempuan berdasarkan 81 indikator di Kelurahan Lette
20. Respon kaum perempuan di Kelurahan Mariso tentang 82 potensi pemberdayaan perempuan
21. Kategori potensi pemberdayaan perempuan berdasarkan 83 indikator di Kelurahan Mariso
22. Kebutuhan life skills di tiga kelurahan 97
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Skema Kerangka Pikir 46
2. Diagram perbandingan tiap indikator kebutuhan pendidikan 76 keterampilan hidup dari masing-masing kelurahan
3. Diagram perbandingan tiap indikator pemberdayaan perempuan 84 masing-masing kelurahan
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kisi-kisi dan instrument penelitian 107
2. Analisis ujicoba instrument 113
3. Data olahan kuesioner 117
4. Skor perolehan berdasarkan masing-masing indikator 134
5. Analisis deskriptif 136
6. Peta Lokasi Penelitian 151
7. Foto-foto dokumentasi penelitian 153
xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengembangan wilayah berisikan penggunaan ruang wilayah dan
aktivitas pada ruang wilayah. Pengembangan ruang wilayah biasanya
berupa tata ruang wilayah, sedangkan pengembangan aktivitas merupakan
pengembangan wilayah, baik jangka panjang, jangka menengah, dan jangka
pendek. Pengembangan wilayah tidak terlepas dari apa yang sudah ada saat
ini di wilayah tersebut. Aktor (pelaku) pencipta kegiatan wilayah adalah
seluruh masyarakat yang ada di wilayah tersebut dan pihak luar yang ingin
melakukan kegiatan di wilayah tersebut.
Wilayah dikonotasikan dengan lokasi suatu kegiatan pembangunan
atau kegiatan-kegiatan ekonomi seperti industri atau pabrik, perusahaan, dan
fasiltas pelayanan, dengan demikian pemilihan atau penentuan lokasinya
akan berpengaruh terhadap kelangsungan kegiatan-kegiatan tersebut. Jika
penentuan lokasinya dilakukan secara tepat, maka diharapkan kegiatan
tersebut akan berlangsung secara produktif dan efisien, tetapi dapat pula
sebaliknya yaitu pemilihan lokasi yang salah akan mengakibatkan kegiatan
tersebut tidak produktif dan efisien. Oleh karena itu, pemilihan lokasi dari
setiap kegiatan usaha harus dipertimbangkan secara cermat dan tepat.
1
2
Peningkatan pengembangan wilayah sangat ditentukan oleh kualitas
masyarakat, termasuk kaum perempuan yang mendiami wilayah itu. Salah
satu faktor yang menentukan kualitas masyarakat adalah seberapa baik
kualitas tingkat pendidikan mereka.
Masyarakat pesisir merupakan komunitas yang hidup, tumbuh dan
berkembang di kawasan pesisir. Di Indonesia, diperkirakan sekitar 60%
penduduknya berada di daerah pesisir. Hal ini terkait dengan kondisi
geografis Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dimana
wilayah lautnya meliputi 2/3 dari seluruh wilayah Indonesia dan garis pantai
80,791 km terpanjang kedua di dunia setelah Kanada (81.000 km)
Masyarakat pesisir dalam mempertahankan hidupnya memanfaatkan
potensi lingkungannya, baik yang ada di sekitar pantai maupun di perairan
(laut). Potensi di sekitar pantai meliputi budi daya ikan, rumput laut dan
teripang, hutan bakau serta potensi untuk kepentingan wisata. Potensi di
perairan (laut) meliputi penangkapan ikan, baik ikan besar maupun kecil,
sehingga dari segi mata pencaharian utama, masyarakat pesisir tidak dapat
dipisahkan dengan kehidupan sebagai nelayan yaitu suatu kelompok
masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik
dengan cara melakukan penangkapan atau budi daya. Mereka pada
umumnya tinggal di pinggir pantai sebuah lingkungan pemukiman yang dekat
dengan lokasi kegiatannya (Imron, 2003).
3
Dari beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dari
segi sosial ekonomi, kehidupan masyarakat pesisir dapat dikatakan masih
tertinggal dan belum sejahtera. Menurut Badulu (2008) bila dilihat dengan
banyaknya potensi yang terkandung di daerah sekitar pesisir, secara
normatif masyarakat yang berada daerah pesisir seharusnya hidup sejahtera
mengingat potensi yang ada dan bisa dikembangkan di sekitar pantai
tersebut. Namun pada kenyataannya bahwa sampai sekarang ini masyarakat
di daerah pesisir merupakan masyarakat yang tertinggal.
Kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai
kawasan secara umum ditandai oleh beberapa ciri seperti kemiskinan,
keterbelakangan sosial budaya dan rendahnya kualitas SDM (Kusnadi dkk.,
2007).
Ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat pesisir yang
berprofesi sebagai nelayan masih banyak yang miskin yaitu: (1) rendahnya
kualitas sumberdaya manusia, (2) keterbatasan daya jangkau pemasaran
hasil produksi sumberdaya laut yang dimiliki, (3) keterbatasan akses
kelompok nelayan dan optimalisasi pengelolaan terhadap sumber daya
lingkungan, finansial, teknologi dan informasi, dan (5) keterbatasan kualitas
kelembagaan yang dimiliki (Badulu, 2007).
Karena kemiskinan tidak pernah hilang dari masyarakat pesisir. Maka
beberapa permasalahan hidup juga masih melekat pada masyarakat pesisir
yaitu rendahnya kesejahteraan menyebabkan rendahnya kemampuan
4
menyekolahkan anak yang selanjutnya menyebabkan SDM rendah. Dengan
rendahnya SDM tersebut di samping kemampuan mengoptimalkan potensi
laut menjadi rendah, juga berdampak terhadap kualitas hidupnya diantaranya
rendahnya kesadaran akan kesehatan sehingga mereka rentang terkena
penyakit.
Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Lubis, dkk. (2008) bahwa di
pesisir rendahnya kualitas sumberdaya manusia antara lain disebabkan
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat karena banyak di antara
masyarakat pesisir tidak memiliki dana yang cukup untuk melanjutkan
pendidikan anak-anak mereka. Pendidikan yang rendah menggiring
masyarakat pesisir tidak mengerti arti sehat dan kalaupun mereka mengerti
mereka beranggapan sehat itu terlalu mahal dibandingkan pendapatan
mereka.
Untuk meningkatkan kualitas masyarakat, khususnya kaum
perempuan, maka diperlukan upaya meningkan kualitas SDM mereka. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan
keterampilan hidup (life skills education) yang lebih khusus kepada
pendidikan keterampilan kejuruan (vocational-skills education). Melalui
keterampilan vokasional diharapkan para perempuan di wilayah pesisir
memiliki pengetahun, keterampilan, nilai-nilai sikap, tingkat ekonomi yang
cukup, dan motivasi untuk maju. Dengan memiliki hal tersebut, mereka dapat
berperan secara aktif dalam mengembangkan wilayahnya.
5
Permasalahan hidup yang dihadapi masyarakat pesisir secara umum,
dialami juga oleh masyarakat pesisir yang berdiam di beberapa kecamatan di
Kota Makassar yang secara geografis merupakan daerah pantai yang datar
dengan kemiringan 0-50 ke arah barat, diapit dua muara sungai yakni sungai
Tallo yang bermuara di bagian utara kota dan sungai Jeneberang yang
bermuara di selatan kota. Luas wilayah kota Makassar seluruhnya berjumlah
kurang lebih 175,77 Km daratan dan termasuk 11 pulau di selat Makassar
ditambah luas wilayah perairan kurang lebih 100 km dan dengan garis pantai
sekitar 35,52 km.
Menurut hasil studi awal terhadap masyarakat pesisir di wilayah kota
Makassar bahwa dari segi kehidupan sosial ekonomi, masyarakat pesisir
tersebut masih menghadapi berbagai permasalahan yaitu masih rendahnya
tingkat kesejahteraan yang disebabkan karena rata-rata masyarakat pesisir
tersebut hanya menjadi nelayan penangkap ikan saja setelah itu langsung di
jual kepada juragan ikan. Dari segi pendidikan, masih banyak anak-anak usia
sekolah yang tidak dapat menikmati pendidikan, meskipun itu pendidikan
dasar setingkat SD dan SMP. Kalaupun ada yang sempat menikmati
pendidikan dasar, tetapi tidak dapat lagi melanjutkan pendidikan ke jenjang
pendidikan menengah selanjutnya. Ketidakmampuan untuk menikmati
pendidikan tersebut sehubungan dengan ketidakmampuan dari segi biaya
pendidikan yang mahal dan juga karena keterbatasan sarana prasarana
pendidikan di daerah pesisir kota Makassar tersebut.
6
Berdasar pada kenyataan tersebut maka dirasa perlu melakukan
upaya untuk membantu masyarakat pesisir keluar dari permasalahan klasik
selama ini yaitu dengan cara meningkatkan potensi hidup masyarakat pesisir
tersebut. Untuk meningkatkan potensi hidup tersebut dilakukan melalui
sebuah pendidikan, maka solusi yang ditempuh adalah dengan memberikan
keterampilan hidup melalui pendidikan vokasional kepada kaum perempuan
di daerah pesisir Kota Makassar, dalam penelitian ini adalah studi kasus
pada Kecamatan Mariso di tiga kelurahan yaitu Kelurahan Panambungan,
Kelurahan Lette, dan Kelurahan Mariso. Oleh karena itu, penelitian ini
dimaksudkan untuk melihat secara dekat kualitas pendidikan yang dialami
masyarakat, khususnya kaum perempuan di tiga kelurahan tersebut. Selain
itu, dilihat pula bagaimana potensi kaum perempuan. Hal ini dimaksudkan
agar dengan kualitas pendidikan tersebut, dapat mengoptimalkan potensi
yang dimiliki dan meningkatkan taraf hidup kaum perempuan yang berada di
wilayah pesisir Kota Makassar tersebut yang diwakili oleh tiga kelurahan
yang menjadi lokasi penelitian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas, maka
masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kebutuhan pendidikan keterampilan hidup kaum
perempuan masyarakat pesisir di kota Makassar?
7
2. Bagaimana potensi pemberdayaan kaum perempuan yang ada
pada wilayah pesisir Kota Makassar?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah pada dasarnya menjawab
pertanyaan rumusan masalah di atas, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana kebutuhan pendidikan keterampilan
hidup kaum perempuan masyarakat pesisir di Kota Makassar.
2. Untuk mengetahui bagaimana potensi pemberdayaan kaum
perempuan yang ada pada wilayah pesisir Kota Makassar.
D. Manfaat Penelitian
1. Dari segi keilmuan diharapkan dapat memberikan manfaat untuk
memperkaya kajian tentang masyarakat pesisir
2. Sebagai bahan informasi mengenai:
a) tingkat pendidikan keterampilah hidup kaum perempuan
masyarakat pesisir di kota Makassar,
b) potensi yang dapat dikembangkan pada kaum perempuan pesisir
di Kota Makassar
c) keterampilan produktif kaum perempuan yang dapat dikem-
bangkan pada masyarakat pesisir di Kota Makassar.
8
E. Lingkup Penelitian
Adapun lingkup penelitian adalah kehidupan masyarakat yang ada
pada wilayah pesisir Kota Makassar yang dibatasi pada kondisi sebagai
berikut:
1. Komunitas kaum perempuan masyarakat pesisir yang ada di tiga
kelurahan Kecamatan Mariso Kota Makassar, yaitu Kelurahan
Panambungan, Kelurahan Lette, dan Kelurahan Mariso.
2. Kebutuhan pendidikan keterampilan hidup masyarakat khususnya
kaum perempuan sehingga dapat mengembangkan mereka guna
mengisi aktivitas dalam pengembangan wilayah pesisir.
3. Potensi yang dimiliki kaum perempuan di wilayah pesisir yang
ditingkatkan dalam menunjang aktivitas sebagai keikutsertaan
pengembangan wilayah mereka.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendidikan
Tugas bangsa Indonesia sebagai penanggung jawab sebuah negara
adalah: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara
Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan social. Hal ini tergambar dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tugas yang ketiga di atas diemban dan diwujudkan melalui dunia
pendidikan.
Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
mengalami perubahan tingkah laku sehingga mampu secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara
(Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003).
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Kaufman (1972:10) menyatakan
sebagai berikut:
9
10
Education it self may be viewed as a process providing learners with (at least minimal) skill, knowledge, and attitudes so that they may live and produce in our society when they legally exit from our educational agencies. The “product” of education is no less than the achievement of these required minimal skills, knowledge, and attitudes. The behavior and achievement of learners as they function as citizens determines whether the “product” has been achieved.
Artinya, bahwa pendidikan memberi gambaran sebagai suatu proses
pembekalan kepada pebelajar dengan sekurang-kurangnya keterampilan,
pengetahuan dan nilai-nilai sikap, sehingga dapat memasuki kehidupan
bermasyarakat setelah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan. Hasil
pendidikan setidak-tidaknya mencapai syarat minimal keterampilan,
pengetahuan, dan nilai-nilai sikap agar mereka dapat berfungsi sebagai
warga Negara.
Pengertian pendidikan secara lebih operasional dikemukakan oleh
Philip H. Phenix (dalam Latif, 2007) sebagai suatu process of engendering
essential meanings, proses makna-makna yang esensial. Enam pola makna
yang esensial dapat dimunculkan melalui analisis kemungkinan cara-cara
pemahaman manusia yang berbeda-beda. Enam pola makna yang
dimaksudkan olehnya adalah simbolik, empirik, estetik, sinoetik, etik, dan
sinoptik, yang masing memiliki bidang-bidang tersendiri.
Lebih lanjut Martoyo (1999:19), menyatakan bahwa:
Pendidikan mempunyai pengaruh langsung yang dengan cepat merubah cara berpikir seseorang dengan penambahan ilmu pengetahuan seseorang dapat bersikap simpatik dan berpandangan luas. Proses tersebut di dapat melalui berbagai lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta, keluarga dan masyarakat.
11
Pendapat ini merupakan pendapat tentang pentingnya suatu
pendidikan yang memiliki suatu efek yang langsung berdampak terhadap
cara berpikir seseorang dalam memahami lingkungan kerjanya dengan
mengelola suatu fungsi manajemen, di mana dasar-dasar pemahaman
manajemen tersebut dapat diperolehnya melalui lembaga pendidikan baik
formal maupun informal. Lembaga formal dapat melalui lembaga pendidikan
sekolah baik negeri maupun swasta, sedangkan lembaga informal dapat
melalui pendidikan keluarga dan pengembangan pemberdayaan masyarakat
melalui paket pengelolaan manajemen kemasyarakatan. Cahyono (1999),
mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu pembinaan dalam proses
perkembangan manusia, di mana manusia itu belajar untuk berpikir sendiri
dan mendorong berkembangnya kemampuan-kemampuan dasar yang ada.
Agar tetap survive, individu atau kelompok masyarakat khusus kaum
perempuan dapat bersain di era global, maka ada lima factor penyebab
diperlukannya pendidikan dan pelatihan sebagai berikut (Samsuddin, 2006).
a. Kualitas angkatan kerja
Kualitas di sini berarti kesiapsediaan potensi angkatan kerja yang
ada. Angkatan kerja yang berkualitas tinggi adalah kelompok yang
mengenyam pendidikan dengan baik dan memiliki keterampilan dasar seperti
membaca, menulis, berpikir, mendengarkan, berbicara, memecahkan
masalah, dan mengambil keputusan. Orang-orang seperti ini potensial untuk
belajar dan beradaptasi dengan cepat terhadap lingkungan pekerjaannya.
12
b. Persaingan global
Lembaga atau instansi harus menyadari bahwa mereka menghadapi
persaingan di pasar global. Agar dapat memenangkan persaingan, lembaga
atau instansi dalam bergerak bisnis harus mampu menghasilkan produk lebih
baik. Untuk itu, diperlukan senjata yang ampuh untuk menghadapi
persaingan agar tetap survive dan memiliki dominasi. Senjata tersebut
adalah pendidikan dan pelatihan.
c. Perubahan yang cepat dan terus menerus
Di dunia ini tidak ada satu hal yang tidak berubah. Perubahan terjadi
dengan cepat dan berlangsung terus-menerus. Pengetahuan dan
keterampilan yang dianggap baru hari ini, mungkin besok pagi sudah usang.
Dalam keadaan seperti ini sangat penting memperbaharui kemampuan
aparatur secara konstan. Organisasi atau lembaga yang tidak memahami
perlunya pendidikan dan pelatihan tidak mungkin dapat mengikuti perubahan
yang terjadi secara cepat dan terus-menerus itu.
d. Masalah alih teknologi
Ada dua tahapan dalam proses alih teknologi. Tahap pertama adalah
komersialisasi teknologi baru yang dikembangkan di laboratorium riset.
Tahap ini merupakan pengembangan bisnis dan tidak melibatkan pelatihan.
Tahap kedua adalah difusi teknologi yang memerlukan pelatihan. Difusi
teknologi adalah proses pemindahan teknologi yang baru ke dunia kerja
13
untuk meningkatkan produktivitas, kualitas, dan daya saing. Tahap kedua ini
tidak akan berlangsung baik bila masyarakat yang akan menggunakan
teknologi itu belum dididik dan dilatih untuk dapat menggunakan teknologi
secara efisien dan produktif.
e. Perubahan Demografi
Perubahan demografi menyebabkan pendidikan dan pelatihan
menjadi semakin penting. Kerjasama tim merupakan unsur pokok dalam
pengembangan sumber daya manusia, maka pendidikan dan pelatihan
dibutuhkan untuk mengembangkan masyarakat yang berbeda latar
belakang agar dapat bekerja bersama secara harmonis.
Dari beberapa uraian di atas, memberikan gambaran petapa
pentingnya pendidikan dalam mengembangkan kemampuan personal yang
dalam satu wilayah sebagai pelaku aktif dalam pembangunan di wilayahnya.
Pendidikan dapat membantu para pelaksana pembangunan untuk
memanfaatkan potensi-potensi sumber daya yang di wilayah tersebut.
Pendidikan yang tepat untuk mengembangkan segala aspek adalah dengan
pendidikan kecakapan hidup (life skill education).
B. Pendidikan Keterapilan Hidup
Pada bagian di atas telah diuraikan tentang pendidikan secara umum.
Berikut diuraikan secara khusus mengenai pendidikan keterampilan hidup
(life skill education). Pendidikan keterampilan hidup pada prinsipnya
14
mengarah pada kaitannya antara pendidikan dan dunia kerja, seperti yang
dikemukakan oleh Davis (1980:212) sebagai berikut.
Education is assumed to do than merely train people to work: but to do even this much, it is necessary to determine the requirements of work, to design education and training to fill those requirements, and to design works to match the capacities and requirements of people. In work, people have physical, material, and psychic needs which determine their requirements. Keterampilan hidup diarahkan pada general life skill dan specific life
skill bagi peserta didik untuk mendapatkan bekal keterampilan vokasional
sesuai dengan bakat dan potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu,
diperlukan keberanian dalam prinsip manajemen untuk mendesain program
ini. Dengan demikian diperlukan suatu pembenahan atau reformasi di dalam
komponen pendidikan yang meliputi komponen iklim pembelajaran,
manajemen pembelajaran, dan proses pembelajaran.
Menurut WHO, Life Skill adalah kemampuan perilaku positif dan
adaptif yang mendukung seseorang untuk secara efektif mengatasi tuntutan
dan tantangan selama hidupnya. Dalam Undang-undang Pendidikan
Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 26 ayat (3), disebutkan bahwa LSE
digolongkan sebagai pendidikan non-formal, yang memberikan keterampilan
personal, sosial, intelektual/akademis dan vokasional untuk bekerja secara
mandiri.
UNICEF mendefinisikan Life Skill sebagai sesuatu yang lebih detail
lagi dengan menggunakan tambahan based education. Life Skill-based
15
Education adalah pendekatan pengembangan perilaku atau perubahan
perilaku antara pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang semakin pesat di
negeri ini, terlihat kenyataan ketidakseimbangan yang mencolok antara
jumlah lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah pencari kerja. Dari data
dasar Program Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda tahun 2003, hasil
pertemuan dengan Kasubdin PLS/P di Solo Jawa Tengah yang dilaksanakan
pada bulan Agustus 2003, dari jumlah penduduk Indonesia yaitu
189.078.857 jiwa, terdapat 12,81 persen atau 24.217.958 warga masyarakat
kategori usia produktif (14-35 tahun) yang tergolong pengangguran. Di
kawasan timur Indonesia (Regional V) yang penduduknya berjumlah
19.636.696 jiwa, terdapat 3.556.760 yang menganggur atau 18,11 persen,
khusus di Sulawesi Selatan yang penduduknya berjumlah 7.980.991 jiwa
tercatat 1.852.978 atau 23.22 persen adalah pengangguran. Dari data yang
tercantum di atas menunjukkan bahwa dalam setahun saja telah terjadi
peningkatan pengangguran yang sangat drastis di Sulawesi Selatan yaitu
sebesar 21,98 persen (data tahun 2002, dari 7.758.547 jumlah penduduk
yang menganggur 96.301 orang atau 1,24 persen), (Data Dasar Program
Pendidikan Luar Sekolah & Pemuda Tahun 2003, hasil pertemuan dengan
Kasubdin PLS/P Se Indonesia di Solo Jawa Tengah, Agustus 2003).
Gagasan tentang pendidikan kecakapan hidup bukanlah sesuatu
yang baru, meskipun konsep pendidikan berorientasi kecakapan hidup baru
16
digulirkan di Indonesia sejak dua tahun terakhir. Menurut Santoso S.
Hamijoyo (2002), gagasan tentang pendidikan kecakapan hidup telah dimulai
oleh UNESCO pada tahun 1949 melalui konsep Functional Literacy.
Gagasan pokok dari konsep tersebut adalah agar kemampuan baca-tulis-
hitung dapat berfungsi memberi manfaat bagi yang bersangkutan untuk
keluar dari tiga kesengsaraan, yaitu; kebodohan (ignorance), kepenyakitan
(ill-health) dan kemelaratan (poverty).
Pentingnya pembekalan keterampilan hidup terhadap peserta didik
telah mendapat pengakuan dari para pakar yang berkecimpung di dunia
pendidikan. Penegasan tentang pentingnya kecakapan hidup dapat dilihat
pada Pokok-pokok Deklarasi Dakkar tahun 2000 tentang Pendidikan Untuk
Semua (Fasli Jalal, 2004) yang menunjukkan adanya hak bagi setiap warga
negara, baik anak-anak maupun orang dewasa, untuk memperoleh
kesempatan yang adil dalam mengikuti pendidikan kecakapan hidup, dan
adanya kewajiban bagi setiap negara untuk menyediakan, memperbaiki,
meningkatkan dan menjamin kualitas penyelenggaraan pendidikan
kecakapan hidup, terutama kecakapan hidup yang bersifat penting, sehingga
masyarakat dapat merasakan manfaatnya secara merata.
Kecakapan hidup merupakan serangkaian kemampuan yang
dibutuhkan oleh seseorang agar dapat mengatasi berbagai persoalan yang
ditemui dalam kehidupannya. Sejalan dengan pengertian ini, Malik Fadjar
17
(2002) mendefinisikan kecakapan hidup sebagai kecakapan untuk bekerja
selain kecakapan untuk berorientasi ke jalur akademik.
Pengertian lain dikemukakan oleh Tatang Amirin (Majalah Dinamika
Pendidikan, 2002) yang menyatakan bahwa istilah ‘skill’ sering diartikan
sebagai keterampilan, padahal keterampilan mempunyai makna yang sama
dengan kecakapan fisik dan pekerjaan tangan. Hal ini menyebabkan life
skills sering dimaknai hanya sebagai vocational skill, keterampilan kerja-
kejuruan (pertukangan) atau kemampuan yang perlu dimiliki oleh peserta
didik agar mereka dapat segera bekerja mencari nafkah untuk kehidupannya.
Pemikiran Tatang Amirin didukung oleh Muchlas Samani (2002) yang
menyatakan ” Pengertian kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk
bekerja. Baik orang yang bekerja maupun yang tidak bekerja tetap
memerlukan kecakapan hidup, karena mereka pun menghadapi berbagai
masalah yang harus dipecahkan. Setiap orang, dimanapun dan kapanpun,
selalu menemui masalah yang memerlukan pemecahan “.
Menurut Ditjen Diklusepa (2003), hakikat pendidikan berorientasi
kecakapan hidup di bidang PLS adalah upaya untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan kemampuan yang memungkinkan
peserta didik dapat hidup mandiri. Penyelenggaraan pendidikan kecakapan
hidup di bidang PLS didasarkan atas prinsip lima pilar pendidikan, yaitu;
learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan), learning to learn
(belajar untuk tahu cara belajar), learning to do (belajar untuk dapat
18
berbuat/melakukan pekerjaan), learning to be (belajar agar dapat menjadi
orang yang berguna sesuai dengan minat, bakat dan potensi diri), dan
learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang
lain). Berdasarkan prinsip lima pilar pendidikan di atas, peserta didik
Program PBKH diharapkan mampu belajar untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan yang diminatinya, memanfaatkan
pengetahuan dan keterampilan tersebut untuk meningkatkan kualitas
hidupnya serta membantu orang lain yang membutuhkannya.
Program life skill dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Program regular. Program ini untuk peserta didik yang masih
duduk di dalam kelas, baik untuk SD/MI, SLTA/MTs, dan
SMA/SMK/MA (program insert). Program ini memerlukan
reorganisasi materi dan program pembelajaran yang sedang
berjalan, dengan beberapa catatan variasi kegiatan sebagai
berikut:
a. Tidak boleh ada tambahan mata ajaran yang membebani
peserta didik.
b. Memasukkan mata ajar kecakapan hidup secara integrative,
melalui singkronisasi pokok bahasan pada setiap mata
pelajaran dengan materi life skill.
2. Program Diklat kompetensi kejuruan (vokasional). Program ini
dilaksanakan dengan sasaran adalah peserta didik yang sudah
tidak ada di sekolah, yaitu tamatan yang tidak melanjutkan ke
19
jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan tidak bekerja. Untuk itu
tahapan kegiatan yang harus dilakukan di antaranya adalah:
a. Mengidentifikasi potensi sasaran tersebut.
b. Mengidentifikasi keterampilan yang dibutuhkan oleh
masyarakat setempat.
c. Menentukan paket diklat yang akan diselenggarakan.
Dari dua program diklat yang tepat diterapkan pada masyarakat pada
wilayah pesisir, khususnya bagi pemberdayaan perempuan adalah program
yang kedua. Hal ini karena dilakukan di luar sekolah formal dan
diperuntukkan bagi masyarakat yang belum atau tidak bekerja. Di samping
itu juga, proses pembelajaran dilakukan berorientasi pada kebutuhan
masyarakat peserta diklat.
C. Vocational Skill Sebagai Proses Pemberdayaan Perempuan
Pendekatan pembelajaran dalam konteks gender adalah
pembangunan bagi perempuan dalam pengertian kemandirian dan kekuatan
internal, serta menekankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
(Moose, dalam Anwar, 2007). Dalam arti ada pengakuan makna rumah
tangga sepanjang dapat menambah pendapatan rumah tangga,
pembangunan organisasi perempuan, peningkatan kesadaran, dan
pendidikan masyarakat, sebagai syarat penting perubahan social
berkelanjutan bagi perempuan keluarga nelayan.
20
Pemberdayaan dalam bentuk pelatihan vocational skills dilakukan
melalui delapan karakteristik, yaitu: (1) belajar dilakukan dalam kelompok
kecil antara 5 – 15 orang, (2) pemberian tanggung jawab lebih besar kepada
warga belajar lebih besar kepada warga belajar selama kegiatan
pembelajaran berlangsung pengelompokan dan pengelolaan kegiatan
anggota diatur sendiri oleh anggota kelompok belajar, (3) kepemimpinan
kelompok diperankan oleh warga belajar dengan struktur ketua, sekretaris,
dan anggota, (4) sumber belajar bertindak selaku tutor pada umumnya
kegiatan produksi/demonstrasi diperankan oleh warga belajar, (5) proses
kegiatan belajar berlangsung secara demokratis, warga belajar dapat
berdiskusi baik sesama anggota maupun dengan tutor, (6) adanya kesatuan
pandangan dan langkah antara warga belajar dengan tutor dalam mencapai
tujuan pembelajaran, (7) menggunakan teknik pembelajaran (demonstrasi,
penugasan, ceramah, dan tanya jawab) sehingga dapat menimbulkan rasa
percaya diri pada warga belajar, dan (8) bertujuan akhir untuk meningkatkan
status social ekonomi warga belajar melalui penguasaan vocational-skills
dan kemandirian belajar, bekerja, serta berusaha (Anwar, 2007).
Pembelajaran vocational skills berbasis dari latar social budaya warga
belajar memanfaatkan pengalaman warga belajar sebagai sumber belajar
potensial. Dalam kaitan, pembelajaran berdasarkan empowering proses,
menekankan pada pendekatan yang memperluas pengalaman bagi belajar
untuk memperoleh pemahaman dan pengontrol terhadap kekuatan-kekuatan
21
social, ekonomi, dan politik yang ada disekitarnya. Proses pembelajaran
selalu dikaitkan dengan masalah-masalah dan kebutuhan warga belajar,
serta mengutamakan kerjasama untuk memecahkan masalah bersama.
Dalam aplikasinya, kegiatan pembelajaran dimulai dengan pembentukan
kelompok belajar dan penyiapan tutor. Dalam pelaksanaannya, tutor
mengembangkan kepemimpinan partisipatif dan secara bertahap
mengalihkan tanggung jawab belajar kepada kelompok. Hal ini didukung oleh
pengembangan proses dan hubungan-hubungan demokratis, yang dalam
kegiatan pembelajaran mengintegrasikan proses refleksi dan tindakan
percaya diri warga belajar (Trisnamansyah, 1993)
Introduksi teknologi oleh suatu system social dapat berakibat
pengadopsian inovasi teknologi atau penolakan. Penerimaan dan penolakan
suatu inovasi teknologi oleh seseorang atau kelompok masyarakat tertentu
sangat tergantung pada karakteristik inovasi teknologi yang diintroduksi.
Adapun karakteristik tersebut adalah sebagai berikut.
1. Keuntungan relatif, misalnya teknologi pembuatan kue kering dan
kerupuk ikan memiliki pangsa pasar yang potensial baik dalam
wilayah setempat maupun wilayah lain termasuk perkotaan. Telah
terjadi perubahan jenis produksi kue yang sebelumnya kue kacang
tenteng sekarang diganti dengan kue kacang coklat karena harga
jualnya tinggi dan permintaan meningkat.
22
2. Compatibility, sesuai dan konsisten dengan norma, nilai dan tradisi
yang berlaku di masyarakat. Karena penentuan bahan belajar
bersumber dari basis social budaya masyarakat, melibatkan warga
belajar dan masyarakat dalam semua proses pempelajaran,
sehingga tidak mengalami kendala cultural yang dapat
berpengaruh terhadap penolakan unsur-unsur inovasi teknologi
yang diintroduksikan.
3. Complexity, tingkat kerumitan inovasi teknologi yang
diintroduksikan. Selain dapat memudahkan karena bersumber dari
latar belakang sosial budaya masyarakat setempat, secara
ekonomis bahan baku mudah diperoleh baik yang bersumber dari
potensi terdekat dengan harga terjangkau.
4. Trialability, tingkat pengujian inovasi teknologi, dalam proses
pelatihan dan praktek produksi setiap warga belajar dapat
mengikuti semua rangkaian kegiatan dan secara langsung diberi
tugas mempraktekkan vocational-skills yang telah dipelajarinya
setelah kembali ke rumah masing-masing.
5. Observability, yaitu keterbukaan atau dapat tidaknya suatu
teknologi diamati oleh umum. Kegiatan pelatihan ini dilakukan
secara terbuka baik dilakukan di rumah Kepala Desa/Kelurahan
maupun di Balai Desa/Kelurahan, aktivitas demostrasi pemuatan
dan hasil produksi dapat disaksikan oleh masyarakat umum baik
23
perempuan maupun laki-laki bahkan penonton diberikan secara
cuma-cuma hasil produksi untuk dicoba. (Anwar, 2007).
Untuk mengembangkan vocational-skils yang berbasis social budaya,
maka ditetapkan suatu ukuran kuantitatif dengan beberapa indicator, yaitu:
1. Ketersediaan dan kemudahan bahan baku keterampilan (industry)
dilakukan melalui tinggi rendahnya ketersediaan dan kemudahan
memperoleh bahan baku di daerah setempat.
2. Ketersediaan modal adalah adanya lembaga permodalan baik
formal (bank, koperasi) maupun informal (perorangan), untuk
mengukur ketersediaan lembaga permodalan ini, maka dilihat
apakah industry itu telah memanfaatkan atau belum.
3. Tenaga kerja yang dalam hal ini adalah perempuan keluarga
nelayan yang menjadi sasaran pengembangan, indicator ini lebih
ditekankan pada aspek pendidikan dan ketersediaan tenaga kerja.
4. Basis vocational-skills ini adalah keberadaan suatu keterampilan
di tengah-tengah masyarakat meliputi berkembangan dan
pembinaannya berupa peningkatan keterampilan produktif dan
pemasarannya.
5. Aksesibilitas dan pasar, meliputi jarak, kondisi jalan, dan intensitas
hubungan antar desa/wilayah setempat dengan pusat-pusat
pemasaran.
24
Dalam implementasi pembelajaran peran sumber belajar tidak
selamanya dominan, bahkan ada semacam proses pergerakan dari titik
ekstrim yang menempatkan sumber belajar sebagai pemeran utama
pembelajaran kemudian bergerak ke titik tengah, baik sumber belajar
maupun warga belajar memainkan peran yang seimbang, teraksir
pergerakan ke titik moderat peran sumber belajar semakin kecil dan
sebaliknya peran warga belajar semakin dominan.
D. Ciri-ciri Masyarakat Pesisir
Masyarakat adalah istilah yang paling lazim dipakai untuk menyatakan
kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan iImiah maupun dalam
bahasa sehari-hari. Dalam Bahasa Inggris dipakal istilah society yang
berasal dan kata latin socius, yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri
berasal dan kata Arab “syarakata” yang berarti “ikut serta berpartisipasi”
(Koentjaraningrat, 1997).
Masyarakat pesisir adalah sekelompok orang atau manusia yang
hidup bersama dalam waktu yang cukup lama dan secara sadar merupakan
satu kesatuan yang utuh, pekerjaan utamanya menangkap ikan dan hasil
laut Iainnya (Mattulada, 1997).
Melihat dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa masyarakat pesisir
merupakan komunitas yang tidak dapat dipisahkan dengan nelayan. Hal ini
bila diperhatikan beberapa defenisi tentang nelayan itu sendiri.
25
Nelayan adalah orang yg pekerjaannya/kegiatannya menangkap ikan
dan membudidayakan, orang yang pekerjaannya menangkap ikan di laut
dengan mempergunakan tata cara tertentu, dan orang atau sekelompok
orang yang pekerjaannya memburu ikan di laut (Arisman, 1992; Hanafiah,
1996; Rahmatullah, 2002).
Nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam
operasi penangkapan ikan/binatang air Iainnya/tanaman air, yaitu meliputi:
(1) Nelayan/petani ikan penuh, adalah orang yang seluruh waktu kerjanya
gunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan
ikan/binatang air Iainnya/tanaman air; (2) nelayan/petani ikan sambilan
adalah orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk
melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air
Iainnya/tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan penangkapan/
pemeliharaan, nelayan kategori ini dapat mempunyai pekerjaan lain; dan
(3) nelayan/petani ikan sambilan tambahan, adalah orang yang sebagian
kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan/
pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air (Ditjen Perikanan, 2002).
Selanjutnya Satria (2002b) mengemukakan nelayan dikelompokkan
atas 4 (empat) bagian, yaitu: (1) nelayan tradisional yang biasa Iebih
berorentasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri. Sebutan ini muncul karena
alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari, (2) dengan berkembangnya motorisasi perikanan
26
nelayanpun berubah dan nelayan tradisional menjadi yang dicirikan dengan
penggunaan teknologi penangkapan ikan yang Iebih maju seperti motor
tempel atau kapal motor, (3) nelayan yang telah berorientasi pada
peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar yang dicirikan
dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dan
buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakanpun Iebih modern dan
membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat
tangkap, dan (4) nelayan skala besar dicirikan dengan majunya kapasitas
teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya. Berorientasi pada
keuntungan dan melibatkan buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK)
dengan organisasi kerja yang kompleks.
Sebagai kesimpulan dari uraian di atas bahwa komunitas masyarakat
pesisir identik dengan kehidupan nelayan di mana potensi hidupnya dilihat
dari bagaimana kualitas pengetahuan dan keterampilan serta pesarnya
usaha yang dilakukan. Hal ini dapat dilihat pula pada sebagaimana
kemampuan mereka menggunakan teknologi.
E. Potensi Pemberdayaan Perempuan
Aktivitas perempuan atau istri-istri nelayan sebatas menjalankan
urusan domestik rumah tangga dan mengatur ekonomi. Peran perempuan
tidak banyak membantu dalam meningkatkan pendapatan keluarga ataupun
mengatasi kesulitan keluarga. Mereka memandang bahwa urusan ekonomi
27
keluarga adalah tanggung jawab kepala keluarga sehingga hanya sebagian
kecil dari mereka yang pikul membantu mencari nafkah, misalnya membantu
menjualkan hasil tangkapan di pasar atau membuka kedai sembako, jual kue
atau membuat terasi. Agar para perempuan di sini dapat berperan dengan
baik dan optimal, maka mereka harus memiliki potensi-potensi diri seperti
(1) pengetahuan, (2) keterampilan, (3) pengembangan nilai-nilai sikap,
(4) ekonomi yang memadai, dan (5) motivasi untuk maju.
1. Pengetahuan dan peningkatan kualitas perempuan
Keberhasilan suatu kegiatan organisasi/masyarakat dalam
menerapkan fungsi pengembangan, banyak ditentukan oleh tingkat peran
dan andil dari individu sumberdaya manusia. Individu sumberdaya
manusia yang dapat merancang, merencanakan, mengendalikan dan
mengembangkan suatu kegiatan pengelolaan dengan baik adalah individu
yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup tentang dinamika
kerja yang dihadapinya dan cara-cara mengembangkan suatu aktivitas.
Untuk memperoleh kemampuan tersebut, maka peranan pendidikan sangat
penting dalam pengembangan sumberdaya manusia baik sebagai individu
maupun sebagai kelompok. Flippo (dalam Hasibuan, 2003: 69),
mengemukakan bahwa “Education is concerned with increasing general
knowledge and understanding our total environment.” Artinya, pendidikan
adalah berhubungan dengan peningkatan pengetahuan umum dan
pemahaman atas lingkungan kita secara menyeluruh.
28
Pendapat tersebut merupakan peningkatan secara umum mengenai
pengetahuan dan pemahaman tentang kondisi lingkungan secara
menyeluruh mengenai berbagai hal yang perlu diketahui. Dalam suatu
masyarakat lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan pemberdayaan
perempuan yang harus diketahui berdasarkan pemahaman dan
pengetahuan tentang seni dan ilmu mengkondisikan suatu dinamika kerja
yang dihadapi dalam rangka mewujudkan suatu aktivitas pengelolaan dunia
kerja yang sesuai dengan pengembangan fungsi wilayah.
Pendidikan/pelatihan merupakan salah satu faktor yang penting
dalam pembinaan sumber daya manusia. Pendidikan dan pelatihan tidak
saja meningkatkan pengetahuan (knowledge) tetapi juga keterampilan (skill)
dan sikap (attitude), sehingga dapat meningkatkan tugas pokok dan fungsi
dalam organisasi.
Jika pelatihan merupakan suatu solusi terbaik, maka para pelaku
pengembangan wilayah harus memutuskan program pendidikan dengan
memadukan pelatihan yang tepat untuk diikuti oleh para peserta didik.
Ketepatan teknik dan pelatihan tertentu tergantung pada tujuan yang hendak
dicapai, identifikasi mengenai apa yang diinginkan agar masyarakat
mengetahui apa yang dilakukan.
Pandangan Gomes (2003) mengatakan bahwa istilah pendidikan dan
latihan sering disamakan dengan istilah pengembangan. Pengembangan
(development) menunjuk kepada kesempatan belajar (learning oppurtunities)
29
yang didesain guna membantu pengembangan masyarakat. Kesempatan ini
tidak terbatas pada upaya perbaikan ekonomi dan pada pekerjaan.
Notoatmodjo (1992:2) melihat pengertian pengembangan SDM secara makro
adalah:
Suatu proses peningkatan kualitas atau kemampuan manusia dalam rangka mencapai mutu tugas pengembangan, sedangkan pengembangan sumber daya manusia secara mitos adalah perencanaan pendidikan, pelatihan dan pengelolaan tenaga atau karyawan untuk mencapai suatu hasil yang optimal. Secara konseptual pendidikan adalah segala sesuatu untuk membina
pribadi dan mengembangkan kemampuan untuk pembangunan persatuan
dan juga merupakan proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan
keterampilan di luar sistem yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat
berdasarkan metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori.
2. Keterampilan untuk meningkatkan kompetensi
Suatu dinamika pengembangan wilayah memerlukan adanya
sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi yang handal, mandiri dan
profesional dalam menjalankan segala bentuk aktivitas organisasi dalam
mencapai tujuannya. Salah satu unsur yang berperan penting dan menjadi
strategi bagi individu sumberdaya manusia yang menduduki jabatan
struktural dan fungsional adalah individu sumberdaya manusia yang memiliki
keterampilan. Keterampilan sesungguhnya memegang arti penting di dalam
kegiatan aplikasi fungsi manajemen termasuk dalam kegiatan pengelolaan.
30
Flippo (dalam Tohardi, 2002:236), menyatakan bahwa keterampilan adalah
merupakan suatu tindakan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
seseorang pegawai untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu dalam
mencapai tujuannya.
Pendapat ini mengantar individu sumberdaya manusia dalam suatu
organisasi untuk memahami pentingnya keterampilan sebagai suatu tindakan
untuk melaksanakan kegiatan atau pekerjaan dalam mencapai tujuan. Sikula
(Mangkunegara, 2003:50) mengatakan bahwa:
Keterampilan merupakan an activity of training as short term educational process utilitzing a systematic and organized procedure by which non managerial personel learn technical knowledge and skills for a definite purpose. Suatu aktivitas pelatihan sebagai proses pendidikan jangka pendek dengan menggunakan prosedur yang sistimatis dan terorganisasi, pegawai non manajerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan yang terbatas.
Mengingat pentingnya keterampilan, harus dimiliki oleh seorang
individu yang berada dalam suatu organisasi, maka dianggap prasyarat
utama individu yang memiliki kompetensi yang handal adalah yang memiliki
keterampilan dalam mengembangkan aktivitas kerjanya. Keterampilan
tersebut dapat berupa keterampilan teknis, manajerial, administrs, operasionl
dan keterampilan kepemimpinan. Flippo (dalam Hasibuan, 2003:70),
mengatakan bahwa “Pendidikan dan pelatihan adalah training is the act of
increasing the knowledge and skill of an employee for doing a particular job.”
Latihan adalah merupakan suatu usaha peningkatan pengetahuan dan
keahlian seorang karyawan untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu.
31
Suatu keterampilan identik dengan pelatihan. Pada dasarnya, setiap
organisasi dalam melakukan peningkatan keterampilan yaitu dengan
mengikutkan individu sumberdaya manusianya untuk mengikuti berbagai
pelatihan baik pelatihan teknis, manajerial, perbendaharaan, operasional
maupun yang bersifat administratif dalam rangka meningkatkan
keterampilannya. Gomes (2003:171), berpendapat bahwa “Pelatihan adalah
setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan
tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya, atau satu pekerjaan yang
ada kaitannya dengan pekerjaannya.”
Ketentuan yang mengisyaratkan bahwa dalam suatu tingkatan atau
upaya dalam meningkatkan keterampilan diperlukan adanya upaya
melakukan pelatihan sebagai bagian dari pendidikan yang dilakukan secara
sadar dan terencana sesuai dengan orientasi tujuan yaitu untuk
mendapatkan keterampilan secara teori dan praktek. Mathis, et. al. (2004:5),
menyatakan bahwa keterampilan adalah suatu proses di mana orang-orang
mencapai kemampuan tertentu melalui pelatihan untuk membantu mencapai
tujuan organisasi yaitu menjadi sumberdaya manusia yang handal, mandiri
dan profesional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keterampilan
sama dengan pelatihan yang merupakan salah satu bentuk pengembangan
bagi sumber daya manusia yang memperoleh kemampuan intelektual, baik
dari segi keterampilan maupun dari segi keahlian yang dilaksanakan dalam
waktu yang relatif singkat.
32
Sejalan dengan uraian-uraian di atas, untuk meningkatkan
kemampuan para perempuan dalam hal ini adalah sumber daya manusia
yang ditujukan untuk pelaksanaan aktivitas kerja baik pelayanan maupun
produksi. Keterampilan di sini adalah suatu pelatihan yang ditujukan untuk
masyarakat, yang dihubungkan dengan peningkatan kemampuan pekerjaan/
usaha masyarakat saat ini. Tujuan keterampilan ini utamanya adalah
meningkatkan produktivitas.
3. Pengembangan nilai-nilai sikap
Suatu organisasi yang bertumpu kepada peningkatan sumber daya
manusia berupaya untuk terus melakukan perbaikan dan peningkatan
kualitas sumberdayanya. Salah satu metode atau cara yang tepat dalam
mengembangkannya adalah melalui pengembangan nilai-nilai sikap,
diharapkan pengembangan nilai-nilai sikap ini mampu mengenal diri individu
Sumberdaya Manusia, lingkungan kerjanya baik eksternal maupun internal,
mengenal kepentingan dan tujuan kerjanya. Pengertian Pengembangan Diri
menurut Stewart (1997;221) adalah Individu-individu mengembangkan
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan-kemampuan mereka melalui
usaha-usaha yang diarahkan oleh diri mereka sendiri.
Ada dua pandangan tentang nilai. Yang pertama berpandangan
bahwa nilai merupakan ukuran tertinggi dari perilaku manusia dan dijunjung
tinggi oleh sekelompok masyarakat serta digunakan sebagai pedoman dalam
sikap dan tingkah laku. Pandangan lain menganggap bahwa nilai merupakan
33
hal yang tergantung pada penangkapan dan perasaan orang yang menjadi
subjek terhadap sesuatu atau fenomena tertentu. Di sini nilai merupakan
tujuan atas kehendak manusia yang ditata menurut tingkatannya. Ada yang
menyusun dari nilai bawah ke atas (Poedjiadi, 2005).
Defenisi ini akan jelas bahwa cara pendekatan tersebut merefleksikan
prinsip-prinsip keikutsertaan dan kemandirian. Cara pendekatan
pengembangan nilai-nilai sikap secara implisit memasukkan ciri penting
otonomi belajar yang terkandung dalam penciptaan kemandirian, tanggung
jawab, dan keberanian mengambil risiko. Mengaplikasikan pengembangan
nilai-nilai sikap menuntut individu untuk mempertimbangkan aspek-aspek
penting yakni:
1. Menerima (Receiving), yakni menyadari adanya gagasan atau
proses atau sesuatu hal; kemauan untuk mempelajari atau
mencoba dengan tingkah laku yang khusus;
2. Menanggapi (Responding), yakni berperanserta; memberikan
tanggapan dengan patuh dan kemudian dengan senang hati
menerima kepuasaan dari tanggapan tersebut;
3. Menilai (Valuing), yakni menerima nilai-nilai tingkah laku
yang dipercaya, nilai atau cita-cita; mengekspresikan minat
preferensinya, membangun komitmen;
34
4. Organisasi (Organization), yakni mengkonsepsikan berbagai nilai;
membandingkan, menghubungkan, dan mengorganisir nilai-nilai
tersebut ke dalam suatu hirarki; dan
5. Karakterisasi (Characterisastion), yakni mengikuti nilai-nilai
tersebut sebagai dasar untuk mengendalikan atau mengarahkan
tingkah laku; mengintegrasikan nilai-nilai tersebut menjadi filosofi
hidup.
Dalam pengembangan nilai-nilai sikap, individu perlu memutuskan
tolok ukur apa yang tepat untuk memonitor perubahan dan perkembangan.
Suatu sistem dan skala waktu untuk peninjauan secara teratur juga perlu
dikembangkan.
Dari penjelasan mengenai proses ini akan jelas berorientasikan
pekerjaan dan organisasi, walaupun prinsip-prinsip yang sama dapat
diaplikasikan di luar situasi tersebut. Pengembangan nilai-nilai sikap akan
paling efektif jika individu-individu mendevosikan waktu dan pikiran mereka
untuk mengatur aktivitas-aktivitas pengembangan mereka.
4. Ekonomi yang memadai
Masalah pokok ekonomi secara umum (nasional, regional, atau lokal)
mencakup pilihan-pilihan yang berkaitan dengan (i) konsumsi, (ii) produksi,
(iii) distribusi, dan (iv) pertumbuhan. Semua satuan ekonomi, baik individu
ataupun negara dan masyarakat, selalu menghadapi empat masalah
tersebut.
35
a. Konsumsi. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, anggota
masyarakat akan menetukan jenis barang dan jasa yang hendak
mereka konsumsi. Pilihan itu sangat beragam, mulai dari pangan,
sandang, pemukiman, sampai kepada kebutuhan kesehatan,
pendidikan, transportasi, rekreasi, dan lain-lain.
b. Produksi. Barang dan jasa dapat diproduksi dengan menggunakan
berbagai cara produksi, tergantung dari tingkat dan skala
produksinya. Pembangunan dapat dilakukan dengan mengarahkan
banyak orang dan khusus dan tenaga manusia yang sedikit saja.
Tingkat teknologi akan digunakan untuk menentukan batas pilihan
produksi, demikian pula pilihan konsumsi.
c. Distribusi. Barang yang diproduksi akan didistribusikan kepada
penduduk yang membutuhkan yang tersebar di seluruh daerah.
d. Pertumbuhan. Kehidupan masyarakat tidak hanya untuk saat
sekarang (jangka pendek) tetapi juga untuk masa yang akan
datang (jangka panjang). Penduduk bertambah jumlahnya,
pemanfaatan sumber daya alam ditingkatkan dengan
menggunakan teknologi yang lebih maju untuk mencapai tingkat
kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi.
Pembangunan (development) adalah suatu konsep yang lebih luas.
Konsep ini mencakup pula modernisasi kelembagaan, baik yang bersifat
ekonomi maupun yang bukan ekonomi, seperti pemerintah, kota, desa, cara
berpikir; tidak saja yang berkenaan dengan tujuan agar dapat memproduksi
36
secara efisien, melainkan juga agar mengkonsumsi secara rasional dan
hidup lebih baik. Kesemuanya itu membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi
dan mendahului atau berbarengan dengan perubahan sosial. Pertumbuhan
ekonomi membuka jalan bagi kemajuan.
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang terus
menerus menuju perbaikan di segala bidang kehidupan masyarakat dengan
bersandar pada seperangkat nilai-nilai yang dianutnya, yang mengarahkan
mereka untuk mencapai keadaan dan tingkat kehidupan yang didambakan.
Pembangunan ekonomi hanya merupakan sub sistem dari suatu proses
pembangunan. Makna pembangunan ekonomi tidak sebatas pertumbuhan,
pertumbuhan saja tidak cukup. Pembangunan ekonomi tidak akan dapat
memberikan hasil yang berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
tanpa disertai dengan pembangunan di berbagai bidang dan sektor lain.
Demikian pula dengan pegertian pembangunan. Pembangunan tidak identik
dengan pembangunan ekonomi. Pembangunan sangat luas aspek dan
dimensinya yang meliputi semua bidang dan semua sektor dan daerah.
5. Motivasi untuk maju
Motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi
aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan
untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak.
McDonald (dalam Sardiman, 2006) motivasi adalah perubahan energi
dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan
37
didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Selanjutnya dikatakan
bahwa dalam motivasi mengandung tiga komponen utama yaitu
(1) kebutuhan, (2) dorongan, dan (3) tujuan. Berdasarkan ketiga elemen
tersebut dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan sesuatu yang sangat
kompleks, sesuatu yang terjadi dalam diri manusia yang melibatkan
persoalan/gejala kejiwaan, perasaan dan juga emosi, untuk kemudian
bertindak atau melakukan sesuatu dimana kesemuanya didorong karena
adanya tujuan kebutuhan atau keinginan.
Kebutuhan selalu terkait dengan motivasi, sebab sesorang akan
terdorong melakukan sesuatu bila merasa ada sesuatu kebutuhan.
Kebutuhan timbul karena adanya keadaan yang tidak serasi, tidak seimbang
atau rasa ketegangan yang menuntut suatu kepuasan. Kalau sudah
seimbang dan terpenuhi pemuasannya berarti tercapailah suatu kebutuhan
yang diinginkan. Keadan yang tidak seimbang atau adanya rasa tidak puas
itu diperlukan motivasi yang tepat. “Dissatisfaction is essential element in
motivation”. Kebutuhan manusia bersifat dinamis, berubah-ubah sesuai
dengan sifat kehidupan manusia itu sendiri.
Dorongan untuk melakukan sesuatu kegiatan dengan tujuan untuk
meningkatkan kemampuan. Dorongan untuk melakukan sesuatu pekejaan
atau kegiatan akan muncul bila kegiatan yang dilakukan dirasakan
mempunyai nilai intrinsik atau berarti bagi dirinya sendiri. Hal ini terkait
dengan pemenuhan kebutuhan. Adanya dorongan untuk melakukan suatu
38
pekerjaan sebenarnya muncul dari dalam diri dan luar diri seseorang.
Dorongan dari dalam diri sendiri lebih berarti dibandingkan dengan dorongan
yang muncul dari luar diri, dorongan ini tidak bersifat sementara dan menjadi
prasyarat bagi tumbuhnya upaya untuk meningkatkan kemampuan. Bila
dorongan itu ada, maka rintangan atau hambatan apapun serta betapapun
beratnya tugas yang dihadapi akan dilaksanakan sebaik-baiknya.
Motivasi merupakan kekuatan mental individu. Dari segi jenis,
motivasi terbagi atas dua jenis yaitu (1) motivasi primer yaitu motivasi yang
didasarkan atas motif-motif dasar yang umumnya berasal dari segi biologis
atau jasmani manusia, motivasi ini sangat terpengaruh oleh insting dan atau
kebutuhan jasmani, (2) motivasi sekunder adalah motivasi yang dipelajari,
motivasi yang berhubungan dengan faktor-faktor sosial. Perilaku manusia
terpengaruh oleh tiga komponen penting seperti afektif, kognitif, dan konatif.
Komponen afektif menyangkut aspek emosional meliputi motif sosial, sikap
dan emosi. Komponen kognitif adalah aspek intelektual yang terkait dengan
pengetahuan dan komponen konatif terkait dengan kemauan dan kebiasaan
bertindak (Rakhmat dalam Dimyati dan Mudjiono, 2006). Perilaku motivasi
sekunder juga terpengaruh oleh adanya sikap. Sikap merupakan suatu motif
yang dipelajari. Ciri-ciri sikap yaitu (1) merupakan kecenderungan berpikir,
merasa, kemudian bertindak, (2) memiliki daya dorong bertindak, (3) relatif
bersifat tetap, (4) berkecenderungan melakukan penilaian, dan (5) dapat
timbul dari pengalaman, dan dapat dipelajari atau berubah.
39
Motivasi sosial atau motivasi sekunder memegang peranan penting
bagi kehidupan manusia. Menurut Thomas, Znaniecki dan Maslow, (Dimyati
dan Mudjiono, 2006), menggolongkan motivasi sekunder menjadi kebutuhan-
kebutuhan (1) keinginan untuk memperoleh pengalaman baru, (2) untuk
mendapat respons baru dan penghargaan, (3) untuk memperoleh
pengakuan, kasih sayang dan kebersamaan, (4) memperoleh rasa aman,
dan (5) pemenuhan diri atau aktualisasi diri.
Motivasi seseorang dapat bersumber dari dalam diri sendiri (motivasi
internal) dan dari luar diri seseorang (motivasi eksternal). Motivasi
mempengaruhi adanya kegiatan yang bertalian dengan adanya kegiatan.
Sehubungan dengan hal tersebut ada tiga fungsi motivasi yaitu:
1. Mendorong manusia untuk berbuat;
2. Menentukan arah perbuatan; dan
3. Menyeleksi perbuatan (Sardiman, 2006).
Selanjutnya dikatakan bahwa motivasi yang ada pada seseorang
memiliki ciri-ciri seperti:
1. Tekun menghadapi tugas;
2. Ulet menghadapi kesulitan;
3. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah “untuk
orang dewasa”;
4. Lebih senang bekerja mandiri;
5. Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin;
40
6. Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan
sesuatu);
7. Tidak mudah melepaskan hal yang sudah diyakini itu; dan
8. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal. Dengan
adanya ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa seseorang itu
memiliki motivasi yang kuat.
Ciri-ciri motivasi seperti itu akan sangat penting dalam beraktivitas.
Motivasi melakukan aktivitas adalah merupakan faktor psikis yang bersifat
non intelektual. Peranannya yang khas dalam penumbuhan gairah, merasa
senang dan semangat untuk bekerja. Para perempuan merupakan
personalia yang berperan dalam rekayasa peranserta adalah masyarakat
berkepentingan dalam menghayati aktivitas. Dalam proses beraktivitas, para
perempuan melakukan tindakan mengarahkan khususnya dalam penguatan
motivasi intrinsik seperti memberi hadiah, memuji, menegur, menghukum
atau memberi nasihat, sementara itu tindakan perempuan mendorong warga
untuk berperan aktif merupakan penguatan motivasi ekstrinsik.
F. Permasalahan Umum Masyarakat Pesisir
Permasalahan pada daerah pesisir pada dasarnya ada beberapa,
namun yang sangat menonjol adalah permasalahan yang berhubungan
dengan masyarakat yang berdiam di daerah pesisir. Hal ini seperti yang
dikemukakan Badulu (2008) adalah (1) masalah sosial ekonomi, seperti
41
kemiskinan, fungsi kelembagaan ekonomi yang belum maksimal, peluang
kerja terbatas, kesenjangan sosial karena perbedaan penguasaan alat
produksi, adanya konflik sosial nelayan serta kondisi sarana-sarana ekonomi
perikanan yang kurang menunjang pengembangan perekonomian wilayah.
Dari persoalan ini kemiskinan tergolong masalah yang sangat krusial arena
berdampak serius terhadap segi-segi lain dalam kehidupan masyarakat
nelayan, (2) rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam arti luas
meliputi kualitas pendidikan, kesehatan, lingkungan dan aspek sosial lainnya.
Kualitas sumberdaya manusia ini berkaitan langsung dengan produktivitas
dan hasil kerja yang juga turut dipengaruhi tingkat keterampilan yang dimiliki
oleh masyarakat, (3) keterbatasan daya jangkau pemasalahan hasil produksi
sumberdaya laut yang dimiliki nelayan. Keterbatasan ini berkaitan erat
dengan masalah dasar sebelumnya yang berakibat pada mutu hasil produksi
yang rendah, skala produksi tidak ekonomis dan kecepatan distribusi. Produk
perikanan mudah rusak dan tidak tahan lama (high perishable), sehingga
pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil (tradisional) ini selalu berada
pada posisi sulit untuk berkembang akibat harga jual produk yang diterima
sangat rendah dan cenderung tidak sebanding dengan resiko maupun biaya
yang telah dikeluarkannya, (4) keterbatasan akses kelompok nelayan dan
optimalisasi pengelolaan terhadap sumberdaya lingkungan, finansial,
teknologi dan informasi. keterlambatan adaptasi teknologi masyarakat
nelayan bukanlah keterlambatan melekat pada diri nelayan melainkan
42
terbatasnya kemudahan yang diberikan. Keterbatasan sumber modal ini
bukan disebabkan oleh karena tidak adanya lembaga keuangan dan
kurangnya uang beredar, namun disebabkan tidak beraninya lembaga
keuangan berkecimpung pada kegiatan usaha ini. Kondisi tersebut beralasan
bila ditinjau dari sisi ekonomi karena kegiatan usaha perikanan skala kecil
(tradisional) ini diperparah oleh ketidakpastian dalam memperoleh hasil
tangkapan, dan (5) keterbatasan kualitas kelembagaan yang dimiliki, menjadi
basis pertumbuhan pendorong dinamika ekonomi yang ada di desa nelayan.
Keterbatasan kelembagaan ini pula bukan hanya bersumber dari sisi internal
melainkan juga berasal dari faktor eksternal seperti pengembangan
organisasi, tingkat kemajuan organisasi dan lingkungan yang menempatkan
kelembagaan nelayan saat berhadapan dengan swasta pada kondisi yang
tidak berimbang.
Akumulasi permasalahan mendasar inilah yang semakin
menyudutkan masyarakat pesisir dalam dinamika pembangunan daerah,
regional dan nasional sehingga proses transformasi struktural mengalami
proses yang sangat lambat.
1. Sosial
Usaha-usaha mencapai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan
peningkatan kualitas hidup serta peningkatan kesejahteraan individu,
keluarga, patenbayan, dan keseluruhan masyarakat di dalam wilayah itu di
antaranya dengan mengurangi pengangguran dan menyediakan lapangan
43
kerja serta menyediakan prasarana-prasarana kehidupan yang baik seperti
pemukiman, papan, fasilitas transportasi, kesehatan, sanitasi, air minum, dan
lain-lainnya.
2. Ekonomi
Usaha-usaha mempertahankan dan memacu perkembangan dan
pertumbuhan ekonomi yang memadai untuk mempertahankan
kesinambungan dan perbaikan kondidi-kondisi ekonomi yang baik bagi
kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan ke arah yang lebih baik.
Permasalahan ekonomi masyarakat telah dibahas pada bagian potensi
pemberdayaan perempuan di atas.
3. Wawasan lingkungan
Pencemaran kerusakan dan pelestarian terhadap keseimbangan
lingkungan. Aktivitas sekecil apapun dari manusia yang mengambil sesuatu
dari, atau memanfaatkan potensi alam, sedikit banyak akan mempengaruhi
keseimbangannya, yang apabila tidak diwaspadai dan dilakukan
penyesuaian terhadap dampak-dampak yang terjadi akan menimbulkan
kerugian bagi kehidupan manusia, khususnya akibat dampak yang dapat
bersifat tak terubah lagi (irreversible change).
Ketiga azas di atas harus mendapatkan perhatian bersama dan
diberik92an berat yang sesuai dengan peran dan pengaruh masing-masing
pada program pengembangan wilayah, agar didapatkan hasil maksimal serta
44
dihindarinya dampak-dampak negartif yang dapat sangat merugikan bahkan
meniadakan hasil yang akan dicapai.
G. Kerangka Pikir
Secara umum masyarakat pesisir masih hidup dengan segala
keteterbelakangan, terutama pada sektor ekonomi. Hal ini menjadi ironis
karena sebetulnya berbagai potensi wilayah pesisir dapat dikembangkan.
Menurut analisis dari berbagai ahli, mengemukakan bahwa penyebab utama
masih terbatasnya kualitas sumber daya manusia (SDM) terutama pada
tingkat pendidikan yang dimilikinya, keterampilan untuk menghasilkan.
Wilayah pesisir yang menjadi objek penelitian ini berfokus pada Kecamatan
Mariso yang memiliki wilayah pesisir yang lebih luas dibandingkan dengan
beberapa kecamatan di Kota Makassar. Kemudian dipersempit pada tiga
kelurahan yaitu: Kelurahan Panambungan, Kelurahan Lette, dan Kelurahan
Mariso. Objek penelitian ini dikhususkan pada pemberdayaan perempuan
yang turut sebagai pelaku dalam pembangunan dan pengembangan di
wilayah pesisir ini.
Rendahnya kemampuan dan tingkat pendidikan kaum perempuan di
wilayah pesisir disebabkan karena kurangnya kemampuan biaya untuk
bersekolah, di samping itu, kurangnya keterampilan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka. Dengan demikian,
dibutuhkan pemberian pendidikan keterampilan hidup dengan vocational-
45
skills. Melalui pendidikan dan pelatihan vocational kaum perempuan memiliki
keterampilan dengan memanfaatkan teknologi yang dapat diserap dengan
ketentuan dapat keuntungan relatif, compatibility yaitu konsisten dengan
norma, nilai, dan tradisi yang berlaku, complexity yaitu tingkat kerumitan
inovasi teknologi, triability yaitu setiap warga belajar dapat mengikuti semua
rangkaian kegiatan, dan observability yaitu keterbukaan atau dapat diamati
oleh umum.
Dengan pendidikan keterampilan hidup, maka kaum perempuan di
wilayah pesisir memiliki potensi untuk dapat dikembangkan antara lain
pengetahuan merupan ilmu yang mereka miliki untuk dapat memikirkan dan
memecahkan masalah yang dihadapi, keterampilan untuk mengembangkan
kompetensi adalah kemampuan untuk melakukan produksi sebagai
kebutuhan kesejahteraan, nilai-nilai sikap adalah kemampuan untuk
melakukan interaksi sosial dengan orang lain agar dapat bekerjasama
mengembangkan diri baik sebagai individu maupun sebagai anggota
msyarakat, kemampuan ekonomi merukan potensi yang dimiliki untuk dapat
memobilisasi kehidupan dan penghidupan, dan motivasi untuk maju
merupakan dorongan yang kuat dari diri kaum perempuan untuk selalu giat
dan berupaya menambah sumber penghasilan untuk sejahtera. Diharapkan
dengan potensi ini para perempuan di wilayah ini dapat berproduksi atau
berusaha. Untuk lebih jelasnya kerangka pikir ini, maka dapat dilihat pada
gambar 1.
46
Gambar 1. Skema Kerangka Pikir
Pemberdayaan Perempuan wilayah pesisir Kecamatan Mariso pada tiga kelurahan:
1. Kelurahan Mariso 2. Kelurahan Lette 3. Kelurahan Panambungan
Vokasional skill aspek-aspek yang dipetimbangan: 1. Keuntungan relative 2. Compatibility 3. Complexity 4. Trialibility 5. Obsevability (Anwar 2006)
Potensi pemberdayaan perempuan dikembangkan : 1. Pengetahuan 2. Keterampilan 3. Pengembangan nilai-nilai sikap 4. Perekonomian yang memadai 5. Motivasi untuk maju
Jenis Pendidikan Keterampilan Hidup
dan keterampilan Vokasional Skill