kebudayaan tionghoa dalam novel dimsum...

158
KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIR KARYA CLARA NG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Disusun oleh: Hayatun Nufus 109013000074 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

Upload: phungthuan

Post on 28-May-2019

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIR

KARYA CLARA NG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Disusun oleh:

Hayatun Nufus

109013000074

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014

Page 2: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang
Page 3: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang
Page 4: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang
Page 5: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

i

Sebuah Persembahan

Buat: Mama, Babeh.

Page 6: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

ii

ABSTRAK

HAYATUN NUFUS, 109013000074, “Kebudayaan Tionghoa dalam

Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dan Implikasinya Terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.” Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.

Hum.

Mempelajari kebudayaan adalah suatu pengalaman menarik bagi siswa.

Siswa akan mendapat pengetahuan baru terkait kebudayaan yang diajarkan.

Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang ke museum dan membaca buku

sejarah. Kebudayaan bisa kita berikan melalui novel. Novel Dimsum Terakhir

cocok diberikan untuk mempelajari kebudayaan karena novel ini sarat akan

kebudayaan Tionghoa yang bisa dipelajari oleh siswa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebudayaan Tionghoa yang

terkandung dalam novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng yang diharapkan dapat

dijadikan bahan pembelajaran di sekolah nantinya. Penelitian kepustakaan dengan

metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk

menganilisis kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir ini.

Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Tionghoa

yang terkandung dalam novel Dimsum Terakhir adalah: 1) Imlek atau pesta

peryaan datangnya musim semi (tahun baru pada penanggalan lunar), 2) cap go

atau tanggal kelima belas penanggalan lunar, 3) feng shui, 4) penanggalan, 5)

pengobatan tradisional, 6) makanan khas Tionghoa, 7) agama, 8) kelenteng atau

tempat ibadah umat TriDharma, 9) horoskop Cina (shio), 10) upacara

pascakematian.

Kata kunci: Tionghoa, kebudayaan, Dimsum Terakhir

Page 7: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

iii

ABSTRACT

HAYATUN NUFUS, 109013000074, “Tionghoa Culture in Dimsum

Terakhir by Clara Ng and the Implication to Learning Indonesian Language and

Literature in High School.” Department of Education Indonesian Language and

Literature, Faculty of Education and Teaching Tarbiyah, Syarif Hidayatullah State

Islamic University Jakarta. Supervisor: Novi Diah Haryanti , M. Hum., February

2014.

Learning about culture is kind of interesting experience for student.

Student will get new knowledge about culture that is learned learning culture

should not come to the museum only and read historical book. Culture can be

given by novel . Dimsum Terakhir novel is suitable to give the learning about

culture because this novel full of Tionghoa culture that can be learned by students.

This research is alm to know about Tionghoa culture that can be seen from

Dimsum Terakhir novel by Clara Ng and hope can be used for study at school.

This literature research use descriptive qualitative is kind method that is used to

analyze Tionghoa culture in Dimsum Terakhir novel.

Based on the research we can conclude that Tionghoa culture in Dimsum

Terakhir novel are: 1) imlek or welcoming party of lunar calendar, 2) cap go is the

fifteenth days in lunar calendar, 3) fengshui, 4) calendar, 5) traditional medicine,

6) Tionghoa fomous food, 7) religion 8) kelenteng or place for pray TriDharma’s

people, 9) Chinese horoscope, 10) after death prosesion.

Keywords: Tionghoa, culture, Dimsum Terakhir

Page 8: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

iv

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena

berkat rahmat dan karunia-Nya skripsi yang berjudul “Kebudayaan Tionghoa

dalam Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dan Implikasinya Terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” pada akhirnya dapat selesai

dengan hasil yang memuaskan. Salawat serta salam sudah sepatutnya teriring

kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang berkat perjuangannyalah Islam

hadir di muka bumi ini dan menjadi rahmat bagi semesta alam.

Selama lebih dari setahun skripsi ini disusun, penulis begitu banyak

menemui aral terjal dan krisis motivasi. Namun, selalu ada yang menyemangati

dan memotivasi serta membantu penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.

Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada nama-nama berikut

ini.

1. Nurlena Rifa’i, M. A., Ph. D. selaku Dekan Fakutas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan.

2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z. A., M. Pd. selaku Kepala Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia.

3. Dra. Hindun, M. Pd. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia.

4. Novi Diah Haryanti, M. Hum. selaku pembimbing dalam penulisan skripsi

ini. (Terima kasih, Bu, telah membimbing saya dengan sabar dan keren).

5. Rosidah Erowati, M. Hum. selaku penguji 1 dalam ujian munaqasah.

6. Ahmad Bachtiar, M. Hum. selaku penguji 2 dalam ujian munaqasah.

7. Segenap dosen dan karyawan PBSI yang telah memberikan ilmu bagi

penulis.

Secara khusus saya ingin menyampaikan terima kasih terdalam buat Mama

dan Babeh, orang tua yang luar biasa yang telah memberikan cinta kasihnya

kepada penulis dengan begitu tulus dan sabar. Terima kasih juga untuk Kak

Melda, Kak Dian, Kak Silvia, Kak Chairul, Kak Saipul, dan Kak Nurma.

Page 9: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

v

Kepada kawan-kawan sampailah ucapan terima kasih ini (aku menjadi

lengkap, hidup, dan berwarna karena kalian). Buat Kak Ipank selaku tetua di MK

(Majelis Kantiniyah) terima kasih, (kata-kata Abang, nasihat Abang, pemikiran

Abang seperti cakrawala baru buat penulis). Buat Yunita, Rizki Dwi Yanti, Jelita

Cahya Ningtiyas, Lufi Bundo Nurfadilah, Khori Yatun Nisah, Dewi, Abang

Oboy, Uni Putri Dintha dan buat segenap Pandawa Lima & Srikandi dan seluruh

kawan angkatan 2009, terima kasih telah menjadi keluarga yang hangat buat

penulis.

Buat penghuni MK, Bang Zaki, Fajar, Irsyad Musang Zulfahmi, Levy

Arnaldo, M. Iqbal, Hasna Diana, Bohari Muslim, Akbar Ajoy Fatriyana, Adi

Reptil Nugroho, Imron Rosyadi, Mulya Boneng Abdul Aziz, Curut, Mutianissa,

Mira Rosiana, Ucin, Adi Alvian, Miftah Ival Falakhi, Sigit Purnomo Boby

Hadipratama, Ida, Alya, Yanti, Dede Sunarya, Zainal Mbe Abidin, Maolana

Dasef, dan lainnya yang maaf jika tidak disebutkan satu per satu, terima kasih,

sungguh kalian cat warna dan soundsystem dalam hidup penulis.

Buat Lisneni, Irma, Setiawan, terima kasih sudah mengisi weekend saya.

Buat Nia Bolang Indriyani, Ningsih Oktafani, Rahayu Awaludin, (teman

berpetualang yang sangat keren), terima kasih.

Buat segenap penghuni Primagama Karang Tengah, Pak Bos Rizal, Kak

Tatang, Mas Wahib, Kak Rendy, Kak Kristin, Kak Lucky, Kak Reny, Kak Santy,

Kak Kiki, buat anak-anak kesayangan, Maolana Yusuf, Ryan Maulana, Rizky

Arga Kusuma, Retza Pratama, Rilando, Nicholas Ceriso, Nabilah, Eci, Anisa,

Abdul Rosyid, Fauzan, Jasson, Nanda, Ken, Alvin, Jessika, Icha, Raisa, Adam,

Dafa, Akil, Teguh, Nesya. Terima kasih anak-anak yang tak sempat kulahirkan

sendiri. (Kalian jadi pencerah kusamnya hidup kaka).

Buat kelompok PPKT SMKN 2 Tangerang Selatan, Herda Harisman, T.B.

Mutaqin, Ahmad Kaffi. Terima kasih, untuk kekompakan kita di sekolah. Buat

anak-anakku di SMKN 2 Tangsel, terima kasih untuk kenangan, untuk pelajaran

berharga ini.

Page 10: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

vi

Buat Achmad Kaswary Pratama––mata samudraku––dan keluarganya

yang begitu hangat. Terima kasih untuk kesabaran, kasih sayang, dan semua hal

yang sangat indah dalam hidup penulis.

Terima kasih semuanya untuk begitu banyak hal, mohon maaf segenap

lahir seluruh batin, skripsi ini sudah selesai.

Satu tahun pengerjaan skripsi, ternyata penuh warna, terima kasih Tuhan,

untuk warna-warni gemerlapan ini.

Jakarta, 19 Maret 2014

Penulis

Hayatun Nufus

Page 11: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH

LEMBAR PERSEMBAHAN…………………………………………… i

ABSTRAK..................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ….……………………………………………… iv

DAFTAR ISI…………………………………………………………… vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1

B. Identifikasi Masalah…………………………………… 5

C. Rumusan Masalah……………………………………… 6

D. Tujuan Penelitian……………………………………… 6

E. Manfaat Penelitian……………………………………… 6

F. Metode Penelitian……………………………………… 7

G. Penelitian yang Relevan………………………………… 9

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Struktural……………………………………… 11

B. Hakikat Novel………………………………………… 17

C. Pengertian Kebudayaan………………………………… 21

D. Etnis Tionghoa di Indonesia dalam Beberapa Priode… 22

E. Sosiologi Sastra………………………………………… 41

F. Pembelajaran Sastra di Sekolah………………………… 44

BAB III HASIL PENELITIAN

A. Unsur Intrinsik……………………………….………… 48

B. Hasil Penelitian Kebudayaan Tionghoa dalam Novel… 80

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan……………………………………………… 124

B. Saran…………………………………………………… 126

Page 12: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

viii

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 127

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1: Sinopsis Novel Dimsum Terakhir dan Biografi Clara

Ng

Lampiran 2: RPP

Page 13: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan manifestasi dari ide-ide seseorang ketika melihat dan

merasakan peristiwa sosial di sekelilingnya. Melalui sastra, pengarang

menyampaikan gagasannya kepada masyarakat. Sastra sebagai karya fiksi

memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekadar cerita

khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas

pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya.

Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel berasal dari bahasa

Inggris, yaitu novel. Novel adalah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai

unsur. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat mirip

dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya, sehingga

terlihat seperti sungguh ada dan terjadi. Unsur inilah yang akan menyebabkan

karya sastra (novel) hadir. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang

secara langsung membangun sebuah cerita. Keterpaduan berbagai unsur

intrinsik ini akan menjadikan sebuah novel yang bagus. Setelah itu, untuk

menghasilkan novel yang bagus juga diperlukan pengolahan bahasa. Bahasa

merupakan sarana atau media untuk menyampaikan gagasan atau pikiran

pengarang yang akan dituangkan dalam sebuah karya yaitu salah satunya novel

tersebut. Wellek dan Warren menyatakan bahwa novel adalah gambaran dari

kehidupan dan perilaku yang nyata dari zaman pada saat novel itu ditulis.1

Setiap peristiwa dalam sebuah novel diikuti dengan beragam konflik sosial

dan keseharian para pelaku yang mencerminkan kebudayaan. Nilai budaya adalah

bagaimana seseorang menjalani hidupnya dengan cara-cara yang sesuai dengan

1 Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta. PT. Gramedia Pustaka

Utama, 1989), h. 282.

Page 14: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

2

sistem di masyarakat, norma yang berlaku dan adat istiadat kelompok masyarakat

tertentu.

Kita dapat melihat kaitan pengarang dengan karyanya melalui sebuah

pendekatan ekstrinsik yaitu sosiologi sastra. Tidak hanya itu, pendekatan ini juga

memungkinkan kita untuk menggali lebih jauh hubungan karya sastra dan

masyarakat. Sebagai sebuah cerminan, sastra tidak akan pernah bisa lepas dari

konteks sosial di mana karya sastra itu muncul.

Wellek dan Warren berpendapat bahwa hubungan antara sastra dan

masyarakat sastra adalah intuisi sosial yang menggunakan medium bahasa.

Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar dari

kenyataan sosial, meskipun karya sastra itu sendiri bersifat fiksi dalam

artian hanya meniru. Hal tersebut mencerminkan bahwa karya sastra

memiliki kaitan yang erat dengan intuisi sosial yang pengungkapannya

menggunakan bahasa sebagai medium penyampaian pesan antara

pengarang terhadap pembaca mengenai sebuah karya sastra.2

Dalam pembelajaran sastra di sekolah, mengkaji nilai intrinsik dan

ekstrinsik suatu karya sastra, salah satunya novel, merupakan sebuah kegiatan

yang menyenangkan sekaligus kaya manfaat. Ada banyak hal positif untuk

dijadikan pelajaran hidup yang berguna bagi kemajuan personal siswa. Selain itu,

manfaat lainnya adalah dapat menanamkan kepedulian terhadap peristiwa yang

terjadi di sekitar. Hal ini hanya bisa didapat apabila guru mampu membimbing

dan mengarahkan siswa untuk kreatif dalam menggali informasi yang terdapat

dalam novel.

Siswa juga diharapkan mampu berperan serta dalam mengatasi

permasalahan sosial, setidaknya mereka mampu membedakan hal yang baik dan

buruk, mampu mengoptimalkan jiwa sosial mereka, dan meningkatkan sikap

simpati kepada sesama. Sudah menjadi rahasia umum perihal prilaku rasis

terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, seperti penyebutan kata “amoy” kepada

anak-anak perempuan Tionghoa padahal orang-orang hanya meniru-niru tanpa

2 Ibid, h. 109.

Page 15: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

3

mengerti makna sebenarnya, berperasangka buruk kepada mereka, mengejek

mereka “cokin”3, menganggap mereka bukan orang Indonesia, dan sebagainya.

Peneliti mengaharapkan siswa kelak tidak terpengaruh oleh hegemoni

masyarakat mayoritas yang berperilaku rasis terhadap etnis minoritas Tionghoa.

Siswa pun diharapkan bertambah wawasan budayanya melalui kajian kebudayaan

Tionghoa yang terdapat dalam novel ini sehingga siswa dapat memahami etnis

Tionghoa secara lebih empatik.

Alasan peneliti menggunakan istilah “Tionghoa” bukan “Cina” didasari

pada keinginan peneliti untuk mengambil sikap netral dalam penelitian ini. Kata

“Cina” merupakan bentukan rezim Soeharto. Penyebutan Cina untuk etnis

Tionghoa bertendensi negatif walaupun masyarakat sudah menerima istilah ini

dan tidak mempermasalahkannya sebagai sesuatu yang dianggap melecehkan

etnis Tionghoa. Akan tetapi, peneliti menilai alangkah bijaksananya apabila

sebagai peneliti kita memberikan sebutan yang baik kepada objek yang menjadi

penelitian kita. Peneliti tidak ingin terkesan berat sebelah dalam penelitian ini

karena hal itu hanya akan membuat penelitian ini tidak objektif lagi. Dengan

berbagai alasan tersebut, peneliti memutuskan untuk menggunakan istilah

“Tionghoa” dalam penelitian ini.

Orang-orang Tionghoa asli4 maupun orang-orang Indonesia yang berdarah

Tionghoa5 di Indonesia masih menjadi objek rasis oleh sekelompok masyarakat

mayoritas. Anggapan bahwa orang-orang Tionghoa belum membaur seutuhnya

dengan orang Indonesia dan cenderung menutup diri mereka, membuat pandangan

negatif terhadap orang Tionghoa makin menjadi.

Sejarah panjang etnis Tionghoa di Indonesia tidak luput dari permasalahan

politik. Sejak masa penjajahan Belanda di Nusantara, etnis Tionghoa sudah

mengalami perilaku rasis yang cenderung biadab. VOC yang merasa

kepentingannya terganggu oleh etnis Tionghoa, kemudian menyebarkan isu anti-

3 Makna cokin dalam bahasa slang adalah orang Cina

(http.//malesbanget.com/kamus/definisi.php?kata=Cokin). Sebagian besar kaum muda

memandang kata cokin memiliki konotasi negatif (skripsi, Paskarini) 4 Totok

5 peranakan

Page 16: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

4

Tionghoa yang menyebabkan etnis Tionghoa dibantai secara membabi buta pada

tahun 1740.6

Berbagai kebijakan rasial pun muncul tidak hanya pada masa penjajahan

Belanda. Pada Era Soekarno dan Soeharto pun etnis ini harus mengalami

kebijakan yang merugikan mereka. Contohnya PP-10 pada Era Soekarno dan

kebijakan asimilasi7 pada Era Soeharto yang berimbas pada ditutupnya sekolah-

sekolah berbahasa Cina dan pelarangan menggunakan bahasa dan aksara Cina

dalam media massa.

Problem mayoritas minoritas di mana etnis minoritas selalu menjadi bulan-

bulanan kelompok mayoritas, konsekuensi ini pun sampai sekarang masih

menghegemoni dalam hukum mayoritas minoritas etnis Tionghoa di Indonesia.

Masyarakat mayoritas seperti tutup mata terhadap sumbangsih etnis minoritas ini

dalam membangun bangsa.8 Kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara bukan

bertujuan untuk menjajah seperti Belanda dan Jepang. Mereka datang ke

Nusantara hanya untuk mencari penghidupan, umumnya di sektor perdagangan.

Segala persoalan etnis Tionghoa dan kebudayaannya ini, tergambar pada

sebuah novel berjudul Dimsum Terakhir. Novel ini pertama kali diterbitkan tahun

2006 oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Novel Dimsum Terakhir mendapat

apresiasi yang cukup baik di kalangan masyarakat sehingga sejak 2006 novel ini

sudah empat kali dicetak ulang. Seorang pemerhati kebudayaan dan seorang

penulis mengatakan dalam testimoninya mengenai novel ini.

“Clara Ng mengembangkan kehidupan tokoh-tokoh ceritanya

dengan lincah, kreatif, manusiawi, dan yang terpenting tanpa beban. Oleh

sebab itu “Dimsum Terakhir” lahir menjadi potret utuh kehidupan sebuah

keluarga modern dengan segala macam persoalannya”.9

6 Seperti yang diungkapkan oleh Benny G. Setiono dalam bukunya Tionghoa dalam

Pusaran Politik. 7 Politik pembauran

8 Etnis Tionghoa berjasa dalam penyebaran agama Islam di Nusantara yang dilakukan

oleh Laksamana Cheng Ho dan armadanya. Etnis ini juga berhasil membangun irigasi pada masa

penjajahan VOC. (berdasarkan buku Etnis Tionghoa dalam Pusaran Politik, karya Benny G.

Setiono.) 9 Putu Fajar Arcana (wartawan Kompas)

Page 17: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

5

“Clara dengan sangat manis meracik seluruh elemen dalam novel

ini menjadi hidangan cerita yang memabukkan. Lihatlah cara dia

merangkai kata, menumbuhkan wacana dan pengelanaannya dalam

menggambarkan setting dan pristiwa. Ia membumbui sesuatu yang simple

dengan cara yang tak biasa. Ia mengawinkan hawa pop dengan semburan

yang mutakhir. Clara dengan smooth membuat jembatan yang nyaris tak

terlihat, yang membuat pembaca tak perlu lagi menghakimi novelnya

sebagai sastra atau bukan sastra, hanya memerlukan komentar bermutu

dan layak dinikmati.”10

Novel Dimsum Terakhir berisi tentang kisah empat orang anak kembar

dari keturunan Tionghoa yang hidup terpisah-pisah sesuai dengan pekerjaan dan

idealismenya masing-masing. Mereka harus berkumpul kembali untuk merawat

ayah mereka yang sakit. Inti persoalan yang diangkat adalah bagaimana seseorang

yang hidup di era modern masih memegang adat budayanya yaitu budaya

Tionghoa di tengah diskriminasi terhadap kaum minor ini dan menjunjungnya

sebagai falsafah hidup.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti berminat untuk

menganalisis novel Dimsum Terakhir. Analisis terhadap novel Dimsum Terakhir

dibatasi pada struktur dan kebudayaan. Stuktur penting untuk menganilisis

kebudayaan yang banyak terkandung dalam novel ini.

Alasan dipilih dalam segi kebudayaan adalah karena novel ini

menampilkan kebudayaan Tionghoa dan bagaimana kebudayaan itu

dipertahankan oleh empat orang gadis modern. Novel ini semakin menarik

dianalisis dalam segi kebudayaan ketika pada zaman modern seperti ini masih

ada sekelompok orang yang mempertahankan budaya leluhur mereka bahkan di

tengah diskriminasi sosial yang mendera warga keturunan Tionghoa di Indonesia.

Novel ini menampilkan keseharian warga Tionghoa modern yang meskipun

selalu menjadi objek rasial namun tetap menjujung budaya mereka dan tetap

mencintai Indonesia sebagai negeri tumpah darahnya.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, identifikasi masalah

10

Albertine Endah (penulis Indonesia)

Page 18: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

6

dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Kebudayaan Tionghoa apa saja yang terkandung dalam Novel Dimsum

Terakhir?

2. Adakah hubungan antara kebudayaan dengan pola hidup dan pemikiran

tokoh-tokohnya?

3. Apakah kebudayaan itu masih dijalankan oleh tokoh-tokohnya di tengah

stereotip negatif dan diskriminasi terhadap mereka?

4. Kurangnya pemahaman siswa terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik

karya sastra khususnya novel.

5. Kurangnya bahan bacaan sastra yang bermutu bagi para siswa.

C. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat

diketahui rumusan masalah yang timbul adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah struktur novel Dimsum Terakhir?

2. Bagaimanakah kebudayaan Tionghoa yang terkandung dalam novel

Dimsum Terakhir?

3. Bagaimanakah implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebudayaan Tionghoa yang

terkandung dalam novel Dimsum Terakhir dan mencari implikasinya terhadap

pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai

berikut.

1. Manfaat teoretis, hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan

dalam pengajaran bidang bahasa dan sastra, khususnya tentang struktur

dan pembelajaran sastra tentang nilai-nilai budaya Tionghoa dalam

Page 19: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

7

novel.

2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa

pihak, antara lain.

a. Bagi Guru

Hasil penelitian ini memberikan gambaran bagi guru tentang

pendekatan struktural untuk dijadikan pedoman dalam pembelajaran

sastra yang menarik, kreatif, dan inovatif.

b. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang

dirumuskan. Selain itu, dengan selesainya penelitian ini diharapkan dapat

menjadi motivasi bagi peneliti untuk semakin aktif menyumbangkan

hasil karya ilmiah bagi dunia sastra dan pendidikan.

c. Bagi Pembaca

Hasil penelitian ini bagi pembaca diharapkan dapat lebih memahami isi

novel Dimsum Terakhir dan mengambil manfaat darinya. Selain itu,

diharapkan pembaca semakin jeli dalam memilih bahan bacaan

(khususnya novel) dengan memilih novel-novel yang mengandung

pesan moral yang baik dan dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk

sarana pembinaan watak diri pribadi.

d. Bagi Siswa

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi stimulus kepada siswa

untuk lebih peka terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat.

Memperkaya pengetahuan kebudayaan siswa, menambah wawasan serta

menumbuhkan jiwa simpati dalam diri siswa.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menggunakan data deskriptif

Page 20: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

8

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari objek yang diamati. Dalam hal ini objek

yang diamati adalah novel Dimsum Terakhir dan kebudayaan Tionghoa.

Metode ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran, analisis dan

penjabaran secara objektif agar dapat mengungkapkan hubungan antarunsur-

unsur cerita di dalam teks dan dapat menggambarkan kebudayaan Tionghoa yang

terkadung di dalamnya. Metode ini digunakan untuk menggambarkan hal-hal

faktual yang terdapat dalam karya sastra sehingga pembaca mendapatkan

gambaran yang jelas mengenai kebudayaan Tionghoa yang terkandung di dalam

novel ini.

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis novel ini adalah

pendekatan struktural yang berdasarkan pada tumpuan teks itu sendiri. Penelitian

dipusatkan kepada unsur-unsur intrinsik karya sastra yang dibandingkan dengan

kebudayaan Tionghoa yang diperoleh melalui tinjauan pustaka.

Untuk dapat lebih memahami konteks sosial masyarakat dan kebudayaan

Tionghoa yang terkandung dalam novel ini, peneliti juga menggunakan

pendekatan ekstrinsik yaitu sosiologi sastra. Lalu jenis penelitian yang peneliti

pergunakan adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian

kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode

pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan

penelitian.

Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi

sastra dengan mencoba menghubungkan cerita dalam novel Dimsum Terakhir

dengan keadaan sosial, yakni kebudayaan Tionghoa pada saat cerita itu dibuat

yaitu pada era demokrasi pascarevolusi 1998.

1. Sumber Data/Objek Penelitian

Data penelitian ini bersumber pada novel Dimsum Terakhir karya Clara

Ng diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama dan merupakan cetakan

keempat pada Mei 2012. Selain itu, data penelitian ini juga bersumber pada

kajian kepustakaan mengenai kebudayaan Tionghoa.

Page 21: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

9

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam

penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah untuk mendapatkan data.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan membaca

teks sastra dalam hal ini novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng kemudian

menyimak secara saksama untuk pada akhirnya peneliti melakukan pencatatan.

Langkah berikutnya penelitian kepustakaan berkenaan dengan kajian kebudayaan

Tionghoa.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah suatu cara yang digunakan untuk

menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar data-data

tersebut dapat dipahami bukan saja oleh peneliti, tetapi juga oleh orang lain yang

ingin mengetahui hasil penelitian itu.

Setelah data terkumpul, lalu dianalisis berdasarkan pendekatan struktural

dan pendekatan sosiologi sastra untuk mengungkapkan pokok masalah yang

diteliti sehingga dapat diperoleh kesimpulannya.

Metode penulisan yang dipakai adalah analisis teks dengan awal

penulisan diawali mengenai pembahasan secara intrinsik tentang cerita tersebut

untuk melihat secara lebih jelas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam

cerita beserta pendukung-pendukung isi penceritaan berupa penokohan, alur,

latar, tema dan gaya bahasa. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembahasan

mengenai unsur ekstrinsik dari cerita tersebut khususnya mengenai kebudayaan

Tionghoa.

G. Penelitian yang Relevan

Penelitian terhadap novel-novel Clara Ng sebelumnya juga pernah diteliti

oleh beberapa mahasiwa FIB UI maupun mahasiswa jurusan lainnya. penelitian

yang pertama adalah skripsi berjudul Trilogi Indiana Chronicle karya Clara Ng.

Potret Perempuan dalam Budaya Populer ditulis oleh Nelly mahasiswa Program

Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tahun

Page 22: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

10

2007. Skripsi ini berbicara tentang feminisme pada novel bergenre chicklit ini

dan menganalisis muatan feminisme yang terdapat dalam novel tersebut dan

apakah tokoh utamanya mewakili paham feminisme.

Penelitian selanjutnya adalah skripsi yang berjudul Heteronormativitas

dalam Novel Gerhana Kembar Sebagai Sastra Populer Karya Clara Ng:

Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi ini ditulis oleh Annisa Arianita mahasiswa

jurusan studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

tahun 2012. Skripsi ini membahas homoseksualitas di dalam masyarakat

Indonesia yang heteronormatif yang direpresentasikan dalam novel Gerhana

Kembar karya Clara Ng. skripsi ini meneliti tentang keberpihakan pengarang

terhadap homoseksualitas di Indonesia.

Penelitian yang ketiga adalah skripsi berjudul Representasi pengurangan

ketidakpastian perempuan modern dan mandiri dalam hubungan interpersonal

terhadap kekerasan domestik yang dialaminya (Studi analisis Framing pada

Novel Tea For Two karya Clara Ng). skripsi ini ditulis oleh Rebecca Maya

Kresna, mahasiswa jurusan Komunikasi Massa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Indonesia tahun 2010.

Melihat penelitian sebelumnya terhadap Clara Ng maupun karya-

karyanya, penelitian “Kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir dan

Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”

memiliki keunggulan dibandingkan penelitian sebelumnya yang kebanyakan

hanya berputar pada satu sudut pandang saja. Penelitian ini meneliti kebudayaan

Tionghoa yang bisa menambah khazanah pengetahuan siswa dan bisa

menumbuhkan rasa saling menghargai sesama juga menumbuhkan sikap anti

diskriminasi dalam diri siswa.

Page 23: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Struktural

Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan

strukturalisme Praha. Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum

strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara komprehensif oleh

berbagai unsur (pembangunnya). Di satu pihak, struktur karya sastra dapat

diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian

yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang

indah.1 Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian

hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan,

saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.

Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian

tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti

dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain,

serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.2

Teori strukturalisme menekankan hubungan antara karya dengan

lingkungan sosialnya. Dalam masyarakat, sesungguhnya manusia berhadapan

dengan norma dan nilai. Dalam karya sastra, juga dicerminkan norma dan nilai

yang secara sadar difokuskan dan diusahakan untuk dilaksanakan dalam

masyarakat. Sastra juga melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia.

Oleh karena itu, kemungkinan karya sastra tersebut bisa merupakan ukuran

sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap

kekuatan sosial.3

Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan

1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta. Gadjah Mada University

Press, 2005), h. 36. 2 Ibid.

3 M. Ikhwan Rosyidi dkk., Analisis Teks Sastra,( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 201.

Page 24: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

12

dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan

antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan

dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh

dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dicoba jelaskan

bagaimana fungsi-fungsi tiap-tiap unsur itu dalam menunjang makna

keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antarunsur itu sehingga secara

bersama-sama membentuk suatu totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya,

bagaimana hubungan antarperistiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya

dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya.4 Dengan demikian,

pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin

fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama

menghasilkan sebuah kemenyeluruhan5

Di dalam kajian struktural, kita akan menemui unsur-unsur intrinsik

seperti tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa.

Unsur-unsur ini saling berkaitan dan menjalin sebuah keutuhan dalam cerita.

Berikut adalah penjelasan mengenai berbagai unsur intrinsik dalam novel.

1. Tema

Pada dasarnya, tema itu merupakan suatu ide pokok. Tema itu merupakan

pikiran atau masalah ide pengarang yang perlu dijabarkan dalam sebuah kalimat

sehingga jelas maknanya karena di dalam sebuah cerita terdapat suatu bayangan

mengenai pandangan hidup atau citra pengarang sebagai cara untuk

memperlihatkan sebuah masalah. Masalah itu dapat berwujud tentang apa saja

yang sesuai dengan kehendak pengarang. Tema (theme) menurut Stanton dan

Kenny, adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Di samping itu, dari

tema dapat diketahui adanya nilai khusus atau nilai yang bersifat umum.

Oemarjati memperjelas batasan tema dalam sebuah cerita sebagai berikut.

Tema adalah persoalan yang telah berhasil menduduki tempat yang khas

dalam pemikiran pengarang dengan visi, pengetahuan, imajinasi, dan emosinya

4 Nurgiyantoro, Op. cit., h. 37.

5 Ibid., h. 37.

Page 25: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

13

menjurus pada suatu penyelesaian. Jadi dalam tema, terimplisit tujuan cerita,

tetapi bukan tujuan itu sendiri.

Oemarjati berpendapat bahwa di dalam tema terdapat tujuan cerita secara

implisit. Hal itu berarti bahwa tema itu dinyatakan masih dalam keadaan yang

samar-samar itu perlu dicari maknanya dalam suatu penelitian.6

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah

dasar ide cerita yang secara implisit maupun eksplisit terkandung dalam sebuah

novel. Tema sebuah novel bisa diketahui dengan membaca atau meneliti novel

tersebut dengan saksama karena sifat tema itu sendiri yang tidak secara gamblang

tertulis dalam novel melainkan kita harus menelitinya terlebih dahulu.

2. Tokoh dan Penokohan

Penokohan dalam sebuah karya sastra adalah cara pengarang untuk

menampilkan para tokoh dengan wataknya, yakni sifat, sikap, dan tingkah

lakunya. Boleh juga dikatakan bahwa penokohan itu merupakan cara pengarang

untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa

adanya tokoh, sebuah cerita tidak terbentuk. Bentuk penokohan yang paling

sederhana ialah pemberian nama kepada para tokoh di dalam sebuah cerita.7

Menurut Jones dalam Nurgiyantoro, penokohan adalah pelukisan

gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.8

Menurut Abrams, Tokoh cerita (character) adalah orang yang ditampilkan dalam

suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas

moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan

apa yang dilakukan dalam tindakan.

Dari kutipan tersebut, dapat juga diketahui bahwa antara seorang tokoh

dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal

ini, khususnya dari pandangan teori resepsi, pembacalah sebenarnya yang

memberi arti semuanya. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu

dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal).

6 Ibid, h. 38.

7 Wellek, Warren, Op. cit. h. 187

8 Nurgiyantoro, Op. cit., h. 165.

Page 26: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

14

Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh

kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.9

Pada hakikatnya, tokoh dan alur cerita di dalam sebuah karya sastra tidak

dapat dibicarakan secara terpisah karena kedua unsur itu memunyai kedudukan

dan fungsi yang sama dalam hal membentuk sebuah cerita memadai. Sebuah

cerita tidak mungkin terbentuk apabila salah satu unsurnya tidak terpenuhi. Oleh

karena itu, antara unsur latar, tokoh, dan alur cerita saling berkaitan dan

hubungannya pun sangat erat.

Di dalam sebuah karya sastra, terdapat banyak ragam tokoh, seperti tokoh

datar dan tokoh bulat. Tokoh datar ialah tokoh yang berperan di dalam sebuah

cerita yang hanya memunyai satu dimensi sifat. Tokoh bulat ialah tokoh yang

juga berperan di dalam sebuah cerita yang yang memiliki sifat lebih dari satu

dimensi.10

Selain itu, kita bisa memisahkan antara tokoh utama dan tokoh

sampingan. Tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peran paling sentral dalam

cerita sekaligus memliki porsi yang paling banyak dalam cerita. Tokoh

sampingan adalah tokoh yang muncul dalam cerita namun tidak memiliki porsi

yang besar dan cenderung hanya sebagai pelengkap cerita atau lawan dari tokoh

utama. Dalam penelitian ini, tokoh dan penokohan dibagi menjadi tokoh utama

dan tokoh sampingan.

3. Latar

Di dalam sebuah karya sastra, latar merupakan tempat peristiwa sebuah

cerita berlangsung. Latar juga dapat diartikan sebagai waktu atau masa

berlangsungnya suatu peristiwa karena latar itu sekaligus merupakan lingkungan

yang dapat berfungsi sebagai metonomia atau metafora untuk mengekspresikan

para tokoh.11

Abrams dalam Nurgiyantoro, mengatakan bahwa latar atau setting yang

disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan

9 Ibid.

10 Wellek, Warren., Op. Cit., h., 288.

11 Ibid., h. 290—300.

Page 27: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

15

waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang

diceritakan. Stanton dalam Nurgiyantoro mengelompokkan latar bersama dengan

tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi

dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.12

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa latar terbagi

menjadi 3 dimensi, yaitu. 1) latar waktu, 2) latar tempat, 3) latar suasana. Latar

waktu mengacu pada tahun atau masa yang menjadi latar novel tersebut. Latar

tempat mengacu pada tempat-tempat yang disebutkan dalam novel. Latar

suasana adalah keadaan sosial dan politik dalam novel.

4. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah pilihan pengarang dalam menggunakan tokoh

cerita. Sudut pandang atau point of view digunakan pengarang untuk memilih

dari sudut mana ia akan menceritakan ceritanya. Apakah sebagai orang di luar

cerita saja atau apakah pengarang juga akan turut serta dalam cerita yang

dibuatnya.

A. Bakar Hamid dalam Rampan mengatakan bahwa sudut pandang adalah

teknik mengemukakan cerita dengan meyakinkan dan pengarang dapat

menggunakan teknik ini untuk menentukan hal-hal yang dianggap sebagai

sampingan saja.13

Jacob Sumardjo dalam Rampan, memberikan perincian mengenai sudut

pandang ini.

a. Omniscient point of view, yaitu sudut pandang yang berkuasa. Dengan

sudut pandangan ini, pengarang seakan Tuhan atau Dewa, karena pengarang

bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja pada

tokohnya, pikiran, perasaan, jalan pikiran, sikap hidup, pandangan hidup

tokohnya, dan sebagainya. Ia bisa bicara secara langsung kepada

pembacanya.

12

Nurgiyantoro, Op. cit., h. 216. 13

Korrie Layun Rampan, Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir, (Jakarta. Bukupop,

2009), h. 6.

Page 28: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

16

b. Objective point of view, yaitu pengarang menyuguhkan cerita tanpa

komentar, seperti pada omniscient of view. Penyuguhan itu seperti

pementasan tonil. Pengarang tidak masuk dalam pikiran para pelaku.

Walaupun kedua sudut pandang ini hampir sama, tetapi pada dasarnya

kenyataan yang dihadapi manusia dalam realitas keseharian orang yang satu

hanya bisa melihat atau menikmati apa yang diperbuat oang lain. Dengan

melihat itu, pengarang menilai tokoh dari sudut kejiwaan, kepribadian, jalan

pikiran, perasaan, dan sebagainya. Motif tindakan pelaku dinilai dari

perbuatan itu dan pembaca menafsirkan seluruh paparan pengarang.

c. Point of view orang pertama, yaitu menggunakan sudut pandang ―aku‖

atau ―saya‖. Teknik ini dapat akrab sekali, karena pembaca diajak ke pusat

kejadian, ke asal peristiwa, untuk ikut serta melihat dan merasakan apa yang

terjadi. Dengan teknik ini, pengarang harus hati-hati agar tidak terjadi

pencampuran antara pandangan pribadi pengarang dengan tokohnya.

Pengarang harus mengadakan penelitian dan observasi yang matang agar

tidak terjadi kerancuan antara dirinya sebagai pengarang dan ―aku‖ atau

―saya‖ yang merupakan tokoh cerpen.

d. Point of view peninjau. Teknik ini digunakan pengarang dengan

memilih salah satu tokoh untuk memaparkan cerita. Seluruh kejadian yang

muncul dalam jalinan cerita didapatkan dari tokoh. Tokoh dapat memaparkan

semua yang dirasa, dilihat, dipikirkan, dihayati, ataupun pengalaman

seseorang. Biasanya segala sesuatu yang menyangkut pengalaman pribadi

tokoh dapat diutarakan secara langsung, tetapi tokoh utama hanya

melaporkan saja tokoh-tokoh lainnya.14

Novel Dimsum Terakhir menggunakan sudut pandang Omniscient

point of view, yaitu sudut pandang yang berkuasa. Pengarang bertindak

seolah Tuhan yang tahu segalanya bahkan sampai ke dalam perasaan tokoh-

tokohnya. Pengarang berada di luar cerita sehingga ia mampu menceritakan

14

Ibid., h. 6–7.

Page 29: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

17

kesuluruhan cerita dengan leluasa.

5. Plot

Yahya Ismail dalam Rampan, mengatakan plot ialah suatu yang

menghubungkan antara pristiwa dalam sebuah cerita yang rapat pertaliannya

dengan gerak laku lahiriah dan batiniah watak-watak dalam cerita itu. Hubungan

antara pristiwa dalam cerita hendaklah berdasarkan hukum sebab akibat.

Hubungan sebab akibat dapat dilihat dari contoh berikut ini. ―Raja lalim

meninggal dan rakyat jelata, karena kegembiraan mereka, lalu berpesta pora.‖

Dalam dua peristiwa dan dua kenyataan ini, terdapat hubungan yang erat.

Hubungan ini diadakan faktor sebab akibat dan juga faktor urutan waktu. Pada

kenyataan inilah terdapat plot.15

Stanton dalam Nurgiyantoro, mengemukakan bahwa plot adalah cerita

yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara

sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang

lain. Kenny dalam Nurgiyantoro mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa

yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang

menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Forster dalam

Nurgiyantoro mengemukakan hal senada, plot adalah peristiwa-peristiwa cerita

yang memunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.16

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara

khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis.17

Bisa dikatakan bahwa

karakter pengarang dapat diketahui melalui gaya atau style-nya dalam bercerita

maupun dalam memilih kata.

Gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya melalui

bahasa yang dipilihnya. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal,

15

Ibid., h. 4. 16

Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 113. 17

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h.

113.

Page 30: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

18

struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang

sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

B. Hakikat Novel

Novel merupakan salah satu bentuk prosa selain cerpen (cerita pendek).

Berasal dari bahasa inggris novel dan berisi rangkaian cerita atau peristiwa

imajinatif. Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun,

yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik meliputi tema, amanat,

penokohan, latar, plot, dan sudut pandang. Unsur ekstrinsik berhubungan dengan

sastra dan masyarakat, sastra dan psikologi, dan lain sebagainya.

Novel umumnya terdiri dari sejumlah bab yang tiap babnya berisi cerita

yang berbeda. Hubungan antarbab, kadang-kadang merupakan hubungan sebab

akibat atau hubungan kronologis sehingga kita tidak akan mendapat gambaran

secara utuh kalau hanya membaca satu bab saja secara acak.

Dalam kesusastraan Indonesia, dikenal juga istilah roman. Wellek-

Warren dalam bukunya yang berjudul Teori Kesusatraan menjelaskan bahwa

dalam bahasa Inggris dua ragam fiksi naratif yang utama disebut romance

(romansa) dan novel. Novel bersifat realis, sedang romansa puitis dan epik. Hal

ini menunjukkan bahwa keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Novel

berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, misalnya surat, biografi, kronik

atau sejarah. Jadi, novel berkembang dari dokumen-dokumen dan secara stilistik

menekankan pentingnya detail dan bersifat mimesis. Novel lebih mendalam.

Romansa yang merupakan kelanjutan epik, dan romansa abad pertengahan,

mengabaikan kepatuhan pada detail. Clara Reeve dalam Wellek-Warren

menjabarkan perbedaan kedua ragam tersebut, ―The novel is a picture of real life

and manners, and of time in wich is wriiten. The romance, the lofty and elevated

language, describes what never happened nor likely is hapen.”18

a. Macam-Macam Novel

Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan

18

Wellek,Warren, Op. cit., h. 282—283.

Page 31: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

19

keragaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang

novel. Nurgiyantoro membedakan novel menjadi novel serius dan novel

populer.

1) Novel Populer

Kayam dalam Nurgiyatoro mengatakan bahwa sebutan novel populer,

atau pop, mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di

Kampus Biru pada tahun ‘70. Sesudah itu, setiap novel hiburan, tidak peduli

mutunya, disebut juga sebagai ―novel pop‖. Kata ‗pop‘ erat diasosiasikan dengan

kata ‗populer‘, mungkin karena novel-novel itu sengaja ditulis untuk ―selera

populer‖ yang kemudian dikemas dan dijajakan sebagai suatu ―barang dagangan

populer‖ dan jadilah istilah pop itu sebagai istilah baru dalam dunia sastra kita.19

Selanjutnya Kayam dalam Nurgiyantoro menuturkan sastra dan musik

―populer‖—sebagai kelanjutan dari istilah ―populer‖ yang sebelumnya telah

dikenal dalam dunia sastra dan musik–adalah semacam sastra dan musik yang

dikategorikan sebagai ―hiburan dan komersial‖ ini menyangkut apa yang disebut

―selera orang banyak‖ atau ―selera populer‖. Pop sastra di dunia barat condong

pada sastra baru yang inovatif, eksperimental—yang tidak saja dalam hal gaya

manipulasi bahasa, dan penjajahan tema yang sebebas mungkin—walau tidak

menutup kemungkinan untuk komersial. Sebagai kebalikan sastra populer itu

adalah sastra yang ―sastra‖, ―sastra serius‖, literatur. Sastra serius, walau dapat

juga bersifat inovatif dan eksperimental, tidak akan dapat menjelajah sesuatu

yang sudah mirip dengan ―main-main‖.20

Kayam dalam Nurgiyantoro menambahkan sastra populer adalah perekam

kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan, dalam

serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman itu dengan

harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga

merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamannya itu. Sastra

populer akan setia memantulkan kembali ―emosi-emosi asli‖, dan bukan

19

Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 17. 20

Ibid., h. 17—18.

Page 32: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

20

penafsiran tentang emosi itu. Oleh karena itu, sastra populer yang baik banyak

mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.21

Nurgiyantoro mengatakan bahwa novel populer adalah novel yang pada

masanya banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia

menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya

sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan

kehidupan secara intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika

demikian halnya, novel populer akan jadi berat, dan berubah menjadi novel serius

dan boleh jadi akan ditinggakan pembacanya. Oleh karena itu, novel populer

pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan

zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya, sekali lagi. Ia biasanya

cepat dilupakan orang. Apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih

populer.22

Stanton dalam Nurgiyantoro mengatakan novel populer lebih mudah

dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata

menyampaikan cerita. Ia ―tidak berpretensi‖ mengejar efek estetis, melainkan

memberi hiburan langsung dari aksi ceritanya. Masalah yang diceritakan pun

ringan-ringan saja, tetapi aktual dan menarik, yang terlihat pada masalah yang

itu-itu saja. Cinta, asmara (barangkali dengan sedikit berbau porno) dengan

model kehidupan yang berbau mewah. Kisah percintaan antara pria tampan

dengan wanita cantik secara umum cukup menarik, mampu membuai pembaca

remaja yang memang sedang mengalami masa peka untuk itu, dan barangkali,

dapat untuk sejenak melupakan kepahitan hidup yang dialaminya secara nyata.23

Bisa disimpulkan bahwa novel populer dapat dilihat dari berbagai sisi

pemahaman. Dikatakan populer karena mengikuti tren atau selera pasar yang

sedang diminati dan isinya tidak berat, berat di sini maksudnya tidak membahas

secara mendalam hakikat kehidupan hanya pada permukaannya saja. Namun

batasan-batasan antara populer dan serius agaknya memang sulit untuk

dipisahkan bahkan didefinisikan.

21

Ibid., h. 18. 22

Ibid., h. 18. 23

Ibid., h. 19.

Page 33: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

21

2) Novel Serius

Novel serius merupakan jenis karya sastra yang dianggap pantas

dibicarakan dan diapresiasi oleh akademisi sastra. Dalam sejarah sastra, novel

yang bermunculan cenderung mengacu pada novel serius. Novel serius harus

sanggup memberikan suatu kesan yang mendalam tentang hakikat kehidupan.

Novel serius yang bertujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca, juga

memunyai tujuan memberikan pengalaman yang berharga dan mengajak

pembaca untuk meresapi lebih sungguh-sungguh tentang masalah yang

dikemukakan.24

Berbeda dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar, novel

sastra tidak bersifat menghamba pada pembaca. Novel sastra cenderung

menampilkan tema-tema yang lebih serius. Teks sastra sering mengemukakan

sesuatu secara implisit sehingga hal ini bisa dianggap menyibukkan pembaca.

Nurgiyantoro mengungkapkan bahwa dalam membaca novel serius, jika

ingin memahaminya dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi

disertai dengan kemauan untuk itu. Novel jenis ini, di samping memberikan

hiburan juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada

pembaca atau paling tidak mengajak pembaca untuk meresapi dan merenungkan

secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.25

Kecenderungan yang muncul pada novel serius memicu sedikitnya

pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Meskipun demikian, hal ini tidak

menyebabkan popularitas novel serius menurun. Justru novel ini mampu bertahan

dari waktu ke waktu. Misalnya, roman Romeo Juliet karya William Shakespeare

atau karya Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane yang memunculkan polemik

yang muncul pada dekade 30-an yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan

belum ketinggalan zaman.26

Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dapat dikategorikan sebagai

novel serius dan patut diteliti oleh akademisi sastra. Novel ini tidak mengikuti

selera pasar. Materi dan tema yang diusung oleh novel ini bukan tema percintaan

24

Ibid.,h. 19. 25

Ibid., h. 18—19. 26

Ibid., h. 21.

Page 34: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

22

remaja yang mengedepankan dongeng si tampan dan si cantik. Novel ini bisa

dikatakan memliki tema yang kurang populer, yakni tema keluarga Tionghoa. Isu

perempuan juga dibicarakan dalam novel ini dan memiliki porsi yang banyak.

Pengarang menyajikan permasalahan di seputaran etnis Tionghoa yang

diwakilkan oleh keluarga Nung Atasana. Keluarga Tionghoa ini dalam

keterbatasannya masih memegang dan menjalankan kebudayaan mereka.

Isu perempuan dalam novel ini semakin menambah keseriusan materi

yang dibicarakan, isu transgender dan orangtua tunggal tanpa pernikahan

dimunculkan dalam novel ini. Berdasarkan beberapa alasan tersebut maka

peneliti mengkategorikan novel Dimsum Terakhir sebagai novel serius.

C. Pengertian Kebudayaan

Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta, yakni Buddhayah. Bentuk

jamak dari buddhi yang berarti ―budi‖ atau ―akal‖. Kebudayaan itu dapat

diartikan ―hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.27

Kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai

kesempurnaan hidup. Segala sesuatu yang diciptakan manusia baik yang konkret

maupun yang astrak28

. Koentjaraningrat mengatakan kebudayaan adalah

keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh

tatakelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun

dalam kehidupan masyarakat.29

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya

manusia untuk memenuhi kehidupan-kehidupan dengan cara belajar, yang

semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelas dapat

diperinci sebagai berikut.

1. bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan

dihasilkan manusia. Karena itu meliputi.

a. kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-

27

Koenjraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. (Jakarta. PT Gramedia

Pustaka Utama), h. 5 28

Djoko Tri Prasetya, Tanya Jawab Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta. PT Rineka Cipta,

2000), h. 14. 29

Koentjaraningrat, Op. cit., h. 9.

Page 35: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

23

benda ciptaan manusia, misalnya. alat-alat perlengkapan hidup.

b. kebudayaan nonmaterial (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang

tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya. religi, bahasa, ilmu

pengetahuan.

2. bahwa kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis),

melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.

3. bahwa kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota

masyarakat. Tanpa masyarakat akan sukarlah bagi manusia untuk

membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin

manusia baik secara individual maupun masyarakat, dapat

mempertahankan kehidupannya.

4. jadi kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia dan hampir semua

tindakan manusia adalah kebudayaan, karena yang tidak perlu

dibiasakan dengan cara belajar, misalnya tindakan atas dasar

naluri,gerak reflek. Sehubungan dengan itu kita perlu mengetahui

perbedaan tingkah laku manusia dengan mahluk lainnya, khususnya

hewan.30

Koentjaraningrat menjelaskan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud

yakni.

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,

nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan

berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.31

Beragam wujud kebudayaan ini tertuang dalam novel Dimsum Terakhir.

Novel ini menyajikan ketiga wujud kebudayaan yang disebutkan oleh

Koentjaraningrat di atas. Contoh wujud kebudayaan poin pertama adalah

kebudayaan menghormati leluhur yang sudah meninggal. Contoh wujud

kebudayaan poin kedua adalah merayakan Imlek atau pesta musim semi, dan

contoh wujud kebudayaan poin ketiga adalah bangunan kelenteng tempat ibadah.

D. Etnis Tionghoa di Indonesia dalam Beberapa Periode

Etnis Tionghoa diperkirakan datang ke Nusantara pada abad kesembilan,

yaitu pada zaman Dinasti Tang untuk berdagang dan mencari kehidupan baru.

Pada 1961 di Guangzhou (Canton) ditemukan sebuah batu bertulis yang telah

30

Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta. PT Bumi Aksara, 2008), h. 21—22. 31

Koenjraningrat, Op. Cit. , h. 5.

Page 36: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

24

berusia 900 tahun, yang menggambarkan persahabatan Nusantara-Tiongkok.

Batu bertulis tersebut ditemukan ketika sedang dilakukan penggalian di halaman

belakang sebuah kuil Dao (Tao) yang sudah tidak dipergunakan lagi.32

Tokoh yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah keberadaan orang-orang

Tionghoa di Indonesia adalah Laksamana Cheng Ho, tokoh ini sangat terkenal

hingga kini, tidak hanya di kalangan etnis Tionghoa saja, tetapi warga pribumi

pun menaruh perhatian besar terhadap tokoh ini. Hal ini dapat terjadi karena

menurut beberapa ahli sejarah, penyebaran Islam di Nusantara bermula dari

orang Tionghoa, yaitu Laksamana Cheng Ho, dikenal juga dengan nama Sam

Pho Kong.

Awal mula kedatangan armada Tionghoa di Nusantara untuk membasmi

perompak di jalur niaga sekaligus untuk mempromosikan kejayaan Dinasti Ming.

Ditunjuklah Laksamana Cheng Ho sebagai pemimpin ekspedisi. Laksamana

Cheng Ho adalah seorang Muslim, ahli navigasi yang handal dan berbakat. Ia

adalah putra kedua Ma Haji, yang berasal dari suku bangsa Hui dan Ibu bernama

Wen. Kakek dan ayah Cheng Ho telah menunaikan ibadah hajinya, walaupun

pada masa itu perjalanan ke Mekkah bukan perjalanan yang mudah dan harus

menghadapi banyak bahaya. Oleh karena itu, sejak kecil Cheng Ho telah sering

mendengar cerita perjalanan kakek dan ayahnya tersebut. Hal inilah kelak yang

memotivasi dan mendorong Cheng Ho untuk mengunjungi negara-negara lain.33

Peran etnis Tionghoa dalam menyebarkan Islam di Jawa banyak ditulis

para haji Tionghoa. Antara lain buku Ying Yai Sheng Lan karangan Haji Ma

Huan dan buku Tsing Tsa Sheng Lan karangan Haji Feh Tsing (Fei Hsin). Kedua

haji ini adalah pembantu Laksamana Cheng Ho yang pandai berbahasa Arab dan

bertindak sebagai penerjemah dan mencatat segala sesuatu tentang negara-negara

yang dikunjunginya.34

Bila mengunjungi sejumlah masjid di Pantura Jawa terutama masjid-

32

Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta. Trans Media Pustaka,

2008), h. 21. 33

Ibid., h. 28. 34

Ibid., h. 46.

Page 37: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

25

masjid Walisongo, akan tampak sekali pengaruh kebudayaan Tionghoa. Hal ini

terlihat pada Masjid Agung Demak (Masjid Gelagah Wangi) atau makam Sunan

Gunung Jati di Cirebon. Di tembok-tembok masjid banyak ditempelkan piring

porselen Tiongkok dari zaman Dinasti Ming. Selain itu, banyak terdapat guci-

guci antik yang tak ternilai harganya. Di Masjid Gelagah Wangi, Demak,

terdapat ornamen kura-kura yang digunakan untuk menunjukkan tahun

berdirinya masjid tersebut, yaitu tahun 1401 Caka atau 1479 masehi35

Masjid Agung Demak sangat terkenal karena salah satu soko gurunya

terbuat dari potongan kayu yang disusun secara akurat. Bahkan masjid ini

menggunakan teknologi pembuatan jung, kapal niaga Tiongkok dari Dinasti

Ming yang terbuat dari kayu.

Raden Fatah yang dikenal sebagai sultan Demak, merupakan kesultanan

Islam pertama di Jawa sebenarnya adalah Jin Bun. Jin bun adalah anak Kang Ta

Bu Mi (Kertabumi) atau Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang

menikah dengan putri Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah

Bantong).

Demikian juga Sultan Demak yang kedua, Sultan Yunus (Adipati Unus)

adalah Yat Sun putra Jin Bun. Adipati Unus sangat terkenal pada 1521 berani

menyerang Portugis di Kota Malaka yang telah didudukinya sejak 1511. Adipati

Unus hanya memerintah tiga tahun karena meninggal. Ia digantikan oleh

saudaranya Tung Ka Lo alias Pangeran Trenggana.36

Kesultanan Cirebon pada 1552 didirikan oleh Haji Eng Hoat alias

Maulana Ifdil Hanafi bersama Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat Fatahillah atau

Falatehan). Sunan Gunang Jati pernah menjadi panglima tentara Kesultanan

Demak dan mantan Raja Kesultanan Islam Baanten dengan didukung orang-

orang Tionghoa Islam di Sembung. Sunan Gunung Jati menjadi sultan pertama

Kesultanan Cirebon dengan mendirikan Keraton Kesepuhan.37

35

Sugeng Haryadi (dalam Setiono), Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak dan

Grebeg Besar (Jakarta: CV Mega berlian. 2002) h. 47–48. 36

Setiono, Op. cit., h. 46–47.

37 Setiono, Op. cit., h. 50.

Page 38: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

26

Kedudukan etnis Tionghoa pada masa penjajahan Belanda berada di atas

warga pribumi. Orang-orang Tionghoa pada masa penjajahan Belanda cenderung

bersikap netral. Mereka tidak memihak pada Belanda maupun pada raja-raja atau

sultan-sultan di Nusantara. Contohnya ketika Jan Pieterszzon Coen mencoba

mempengaruhi Souw Beng Kong yang terkenal sebagai pedagang piawai namun

tidak berhasil. Selain berdagang Souw Beng Kong adalah seorang kapiten atau

pemimpin etnis Tionghoa di wilayah Banten dan Sunda Kelapa (Batavia).

Bukti lain bahwa etnis Tionghoa tidak memihak Belanda maupun sultan,

yaitu ketika pada 1628–1629 terjadi perang antara Belanda dengan tentara Sultan

Agung di Front Timur, tentara Banten di front Barat, dan tentara Inggris dari laut

di front utara maka orang-orang Tionghoa menunjukkan sikap tidak memihak.

Berkali-kali Sultan Banten yang memunyai hubungan baik dengn Souw Beng

Kong meminta bantuaannya melawan Belanda dari dalam, tetapi permohonan

tersebut selalu ditolaknya.

Begitu juga Jan Pieterszoon Coen yang berkali-kali meminta nasihat

Souw Beng Kong tetapi ia tetap bersikap netral. Ini membuktikan bahwa

kedatangan orang-orang Tionghoa di Nusantara tidak lain hanya untuk berdagang

dan tidak memunyai maksud untuk berkuasa dan terlibat dalam konflik.38

Selain Souw Beng Kong yang menjadi kapiten yang diangkat oleh

Belanda, pada Maret 1645 rapat anggota kongkoan mengangkat Phoa Beng Gan

sebagai kapiten, Phoa Beng Gan terkenal sebagai ahli irigasi.

Batavia yang terletak di dataran rendah di tepi laut yang dikelilingi rawa-

rawa membuat daerah ini selalu terendam banjir jika musim penghujan tiba dan

menyebabkan penyakit malaria. Phoa Beng Gan merencanakan untuk membuat

kanal untuk mengalirkan air banjir ke laut. Akhirnya rencana itu pun diwujudkan

dengan biaya hasil patungan rakyat Tionghoa dan bantuan dari pihak Belanda.

Dalam waktu kurang dari setahun kanal tersebut telah selesai digali dan banyak

memiliki manfaat tidak hanya untuk mengalirkan banjir ke laut tapi juga

digunakan untuk jalur transportasi barang-barang hasil perkebunan maupun

industri.

38

Setiono, Op. cit, h. 99.

Page 39: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

27

Etnis Tionghoa di Indonesia semakin banyak dan mulai menguasai sektor

perdagangan di Nusantara. VOC merasa kepentingannya di Nusantara mulai

terusik oleh banyaknya etnis Tionghoa yang mendiami wilayah Nusantara.

Dengan menggunakan politik adu domba, VOC pada 1740 mulai menyebarkan

isu anti-Tionghoa. Etnis Tionghoa diburu dan dibunuh dengan kejam.

Sentimen negatif terhadap etnis ini seolah tidak pernah lenyap. Pada masa

Orde Baru, etnis ini seperti sengaja dikunci, dibatasi ruang geraknya dan selalu

dicurigai. Puncaknya terjadi pada tragedi kemanusiaan 1998, terjadinya sebuah

aksi unjuk rasa penuntutan diturunkannya Soeharto yang diwarnai aksi kekerasan

terhadap etnis Tionghoa.

Untuk lebih jelasnya, peneliti coba membuat periodisasi terhadap

keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia, yaitu. 1) Pembantaian Etnis Tionghoa

oleh VOC 1740, 2) Etnis Tionghoa pada Era Soekarno, 3) Etnis Tionghoa pada

Era Soeharto, 4) Etnis Tionghoa Pascatragedi Mei 1998.

1. Pembantaian Etnis Tionghoa 174039

Benny G. Setiono dalam bukunya yang berjudul Etnis Tionghoa dalam

Pusaran Politik menceritakan dengan terperinci peristiwa ―pemusnahan― etnis

Tionghoa oleh VOC pada tahun 1740. Hal ini menjadi penting untuk kita

ketahui sebagai pijakkan awal tindakan diskriminatif terhadap etnis ini yang

pada kenyataannya sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Berikut ini

akan diuraikan peristiwa memilukan tersebut.

Pada awal abad ke 18 hubungan dagang antara Batavia dan Tiongkok

semakin berkembang dan bertambah penting. Dari Tiongkok diangkut teh,

emas, perak, tekstil, sutera, barang-barang porselin, dan beling sedangkan dari

Batavia diangkut rempah-rempah, kayu cendana, cula badak, sarang burung

wallet, dan komoditi lainnya. di daerah sekitar Batavia dan di daerah pesisir

lainnya yang dikuasai VOC, berkembang industri gula. Hampir seluruh industri

gula ini dimiliki orang-orang Tionghoa. Hal ini menyebabkan banyak orang

39 Benny G. setiono, Etnis Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (jakarta: Transmedia. 2008)

h. 109–134.

Page 40: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

28

Tionghoa yang masih berada di negeri asalnya merasa tertarik untuk datang ke

Nusantara mengingat kemajuan orang-orang Tionghoa di Batavia.

Laju kedatangan orang-orang Tionghoa ini menyebabkan jumlah

penduduk Tionghoa di Batavia meningkat pesat. Jumlah penduduk Tionghoa dia

Batavia meningkat menjadi 10.000 orang. Pada umumnya mereka bekerja di

berbagai perkebunan tebu atau pabrik gula dan perusahaan perkayuan. Tempat

mereka bekerja ini diusahakan oleh orang-orang Tionghoa di pinggiran kota

Batavia, yang tanahnya disewa dari pemerintah. Pada 1740, terdapat 2.500

rumah orang Tionghoa termasuk yang berada di luar tembok kota diperkirakan

berjumlah tidak kurang dari 15.000 orang. Jumlah ini merupakan 17 persen dari

keseluruhan jumah penduduk di daerah tersebut. Ada kemungkinan jumlah

orang Tionghoa sebenarnya jauh lebih besar. Karena berdasarkan sensus yang

diadakan pada tahun 1778, adalah sebesar 26% dari jumlah penduduk yang

berada di luar tembok kota adalah orang-orang tionghoa. Sedangkan pada massa

pemerintahan Inggris (1811–1816), jumlah orang Tionghoa merupakan 24%

dari seluruh jumlah penduduk yang berdiam di dalam dan di luar tembok kota.

Namun, berbeda dengan orang Tionghoa yang tinggal di dalam kota yang

dapat dikendalikan melalui pemimpinnya, orang Tionghoa yang tinggal di luar

kota atau pedesaan ini menjadi sulit dikontrol karena berada di luar sistem

institusi. Mereka tidak diatur ke dalam organisasi-organisasi Tionghoa di Kota

dan berada di luar jangkauan. Dengan begitu, tidak pernah terjadi perundingan

dengan mereka karena tidak diwakili oleh organisasi yang ada. Banyak dari

mereka yang sukar mendapatkan pekerjaan dan luntang-lantung sebagaaai

pengangguran.

Sementara itu, kota Batavia denga rumah-rumah Belanda yang sempit dan

kanal-kanal yang kotor, terjangkit wabah penyakit yang berat. Wabah penyakit

merajalela dan menyebakan meninggalnya Gubernur Jendral Dirk Van Cloon

(1732–1735).

Sebagai akibat adanya perpecahan di dalam pimpinan VOC, timbul

banyak konflik. Sejumlah laporan VOC mengenai Banten dan daerah pesisir

Jawa menunjukkan kerugian yang besar. Ekspornya kecil dan perhitungan-

Page 41: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

29

perhitungan pasarnya keliru.

Di samping itu, adanya akumulasi dan konsentrasi etnis Tionghoa

menimbulkan problem baru. adalah suatu kenyataan bahwa orang Tionghoa

telah ada di Nusantara sebagai pedagang sejak berabad-abad lamanya, jauh hari

sebelum kedatangan orang Eropa. Sejak 1619, mereka sudah menjadi suatu

bagian yang penting dalam kehidupan perekonomian di Batavia. Selain sebagai

pedagang mereka juga aktif menjadi tukang yang terampil, penggiling tebu, dan

pengusaha toko. Namun dikhawatirkan keberadaan mereka akan mengganggu

ketertiban dan ketenangan orang Belanda di Batavia. Penduduk Batavia tidak

menyukai dan mencurigai mereka.

Perkembangan lain yang ikut meningkatkan rasa tidak aman orang Eropa

di Batavia. Pada Desember 1721, VOC mengumumkan adanya komplotan

orang-orang Islam yang bermaksud melakukan pemberontakan dan

pembunuhan missal terhadap orang Belanda yang berada di Batavia. Kelompok

ini mendapat dukungan dari Banten, Cirebon, Bali, Balambangan, dan

Kartasura. Diduga pemimpinnya adalah seorang mestizo (indoeropa) Batavia

yang kaya raya bernama Peter Erberveld.

Untuk mengatasi siuasi tersebut VOC mulai mengadakan pembatasan

keberadaan orang Tionghoa di Batavia. Atas usul anggota Dewan Hindia, W

van Imhoff, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengeluarkan peraturan

permissiebriefje atau surat izin bagi orang Tionghoa dan pada 25 Juli 1740

dikeluarkan resolusi ―bunuh atau lenyapkan‖. Resolusi ini memerintahkan

bahwa semua orang Tionghoa yang mencurigakan tanpa peduli apakah mereka

memunyai surat izin atau tidak, harus ditangkap dan diperiksa. Apabila mereka

ternyata tidak memunyai penghasilan atau menganggur, mereka harus

dipulangkan ke Tiongkok atau dibuang ke Cylon (Sri Lanka) dan Tanjung

Harapan untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan sebagai kuli.

Ternyata kebijakan ini menimbulkan implikasi yang sangat negative.

Ribuan orang Tionghoa bukan hanya pengangguran dan bandit-bandit criminal,

tetapi para pedagang dan orang baik-baik lainnya ditangkap dengan paksa dan

menggunakan kekerasan. Lalu, mereka dimasukan ke kapal-kapal yang akan

Page 42: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

30

membawanya ke Cylon dan Tanjung Harapan. Pemeriksaan yang dilakukan

terhadap rumah orang-orang Tionghoa dengan dalih mencari senjata seringkali

disertai dengan penganiyaan dan perampasan barang berharga.

Para pejabat kompeni Belanda juga menggunakan kesempatan itu untuk

memeras para orang Tionghoa kaya yang dimintai uangdalam rangka

mendapatkan surat izin, untuk kepentingannya sendiri. Hal ini menimbulkan

keresahan di kalangan masyarakat Tionghoa. Kabar angin segera berhembus

bahwa orang-orang Tionghoa yang ditangkap dan dirantai itu dianiaya dan

dibunuh. Mereka yang diangkut dengan kapal-kapal dari Batavia di tengah jalan

dilemparkan ke tengah laut.

Akibatnya, situasi menjadi sangat tegang. Para orang Tionghoa yang

resah, berkumpul dan membentuk beberapa kelompok yang mempersenjatai diri

untuk membela diri dan melawan perbuatan Belanda yang sewenang-wenang

tersebut.

Pada akhir September 1740, keadaan menjadi semakin gawat. Pada 26

september 1740, gubernur Jenderal Valckeneir memanggil Dewan Hindia untuk

mengadakan sidang darurat. Di hadapan sidang, ia memberi perintah dan kuasa

kepada anggota dewan, Van Imhoff dan Van Aarden untuk bertindak.

Pada 7 Oktober 1740, ketika sekelompok orang Tionghoa yang terdiri dari

ratusan orang melawan dan merebut posisi kompeni Belanda di Meester

Cornelis dan Tanah Abang berhasil membunuh 50 orang serdadu kompeni,

Vaan Imhoff melakukan serangan. Dengan kekuatan yang terdiri dari 1800

orang serdadu kompeni yang merupakan seluruh kekuatan Batavia, ditambah

dengan schutterij (pejaga sipil/milisi) dan 11 batalyon pennist (merupakan

pasukan wajib militer), Van Imhoff mulai melakukan operasi pembersihan. Jam

malam diberlakukan secara ketat terhadap semua penduduk Tionghoa dan

persiapan untuk suatu perayaan Tionghoa secara besar-besar dibatalkan.

Pada 8 Oktober 1740, tentara Belanda memukul mundur suatu serangan

balasan orang-orang Tionghoa yang cukup kuat di pinggiran kota. Melihat

situasi semakin serius. Pada, minggu pagi, tanggal 9 Oktober Gubernur Jenderal

Valcknier mengadakan rapat dengan para anggota Dewan Hindia. Jalan-jalan di

Page 43: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

31

dalam kota sangat sepi dari orang-orang Tionghoa, karena sehari sebelumnya

telah diumumkan oleh gubernur jendral VOC berlakunya jam malam. Seluruh

orang Tionghoa harus tinggal di dalam rumah, menutup pintu dan jendela rapat-

rapat sehingga mereka tidak mengetahui apa yang terjadi.

Hal tersebut dimaksud agar mereka tidak berkomplot dengan orang-orang

Tionghoa yang berada di luar tembok kota yang diisukan akan ―menyerang‖

kota Batavia.di jalan-jalan hanya terdapat kerumunan non Tionghoa yang

semakin lama semakin besar, hampir setiap penduduk Batavia, kecuali orang-

orang Tionghoa berada di jalan-jalan untuk menunggu suatu ―tanda‖.

Orang-orang non-Tionghoa ini berkumpul di sudut-sudut jalan

membicarakan rumor terakhir yang menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa

merencanakan untuk membunuh mereka semua dan memperkosa perempuan-

perempuan serta menjadikan mereka dan anak-anaknya menjadi budak.

Kerumunan tersebut semakin membesar, rumor tersebut membuat mereka marah

dan menyatukan orang sepoy, para kelasi, kuli, tukang, dan bahkan budak

sekalipun. Hal ni belum pernah terjadi sebelumnya, mereka berasal dari

berbagai ―kebangsaan‖ merasa memunyai kesamaan, yaitu menghadapi musuh

bersama: orang-orang Tionghoa, yang seperti dianggap eksklusif. Satu-satunya

ras yang tidak muncul di jalan bersama-sama mereka termasuk para majikan

mereka orang Belanda, yang dalam menghadapi musuh bersama bukan saja

berada di pihak mereka, tetapi membela dan mengajak mereka untuk bergabung

dan mempersenjatai mereka.

Setelah itu, terjadi kebakaran beberapa warung Tionghoa di kompleks

pemukiman orang-orang Tionghoa di daerah Kali Besar Oost. Hal ini oleh

orang-orang Belanda diartikan sebagai tanda dimulainnya pemberontakan orang

Tionghoa. Kerusuhan pun terjadi dan penjarahan serta pembakaran rumah-

rumah orang Tionghoa berlangsung dengan kejam.

Tentara Belanda dengan dibantu orang-orang Eropa lainnya, para klasi

kapal, para gelandangan, orang-orang Sepoy, para tukang dan budak menyerbu

rumah-rumah orang Tionghoa, setelah merampok harta bendanya. Mereka lalu

membunuh setiap orang Tionghoa, tidak pedui laki-laki atau perempuan, tua

Page 44: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

32

maupun muda. Bahkan anak-anak dan bayi yang sedang menyusu dibantai

dengan sadis dan di luar batas perikemanusiaan.

Setelah itu, dilakukan pembakaran terhadap semua rumah orang

Tionghoa. Banjir darah terjadi di mana-mana yang kemudian menimbulkan

nama-nama seperti Angke di Batavia yang berarti kali merah, karena banyaak

darah yang mengalir ke kali tersebut. Rawa Bangke di Meester Cornelis atau

Jati Negara karena banyaknya bangkai orang Tionghoa yang mengambang di

rawa-rawa sekitar jatinegara dan Tanah Abang yang berarti tanah merah karena

dibanjiri darah orang-orang Tionghoa yang menjadi korban pembantaian.

Berikut kutipan laporan seorang penulis Belanda, W.R. von Hoevell

dalam bukunya yang berjudul Batavia in 1740 yang oleh orang-orang Belanda

sendiri dianggap kredibel.

―Tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya terdengar jerit ketakutan di seluruh kota dan terjadilah

sebuah pemandangan yang sangat memilukan. Perampokan terhadap orang Tionghoa terjadi

di seluruh pelosok kota. Semua orang Tionghoa tidak peduli laki-laki, perempuan, anak-

anak habis dan dibantai. Bahkan perempuan dan menyusui anaknya juga tidak luput

menjadi korban pembantaian yang tidak mengenal prikemanusiaan.

Ratusan tahanan yang diikat tangannya, disembelih seperti menyembelihdomba.

Beberapa orang Tionghoa kaya, lari mencari perlindungan ke rumah-rumah orang Belanda

dan Eropa lain yang dikenalnya, tetapi tanpa mengenal belas kasihan dan tanpa

menujunjung moral serta prikemanusiaan, mereka menyerahkan orang Tionghoa tersebut

kepada para pemburunya yang haus darah. Barang-barang berharga yang dititpkan

kepadanya langsung diambil menjadi miliknya sendiri. Pokoknya semua orang Tionghoa,

baik yang bersalah maupun tidak harus dibasmi.‘

Kemudian, pembakaran dan pembunuhan menyebar ke seluruh penjuru kota. Kanal-

kanal menjadi merah dengan darah orang-orang Tionghoa, jalan-jalan penuh dengan mayat-

mayat. Di mana-mana terjadi pembunuhan yang dilakukan dengan cara-cara yang sangat

menyeramkan, segala sesuatu yang belum habis terbakar, dijarah dan dirampok. Kegelapan

malam yang kemudian tiba, tidak mengakhiri kekejaman yang tengah berlangsung, dan

sepanjang terdengar rintihan mereka yang sedang sekarat, jeritan ketakutan dari orang-orang

yang tengah menghadapi maut dan teriakan-teriakan histeris dari para pembunuh‖.

Demikianlah pembunuhan orang-orang Tionghoa di Kota Batavia terus

berlangsung. Sebagian orang-orang Tionghoa yang karena satu keajaiban

berhasil lolos dari kematian dengan bersembunyi di sudut-sudut yang terlindung

Page 45: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

33

dan di celah-celah tembok sisa rumahnya, membuat para bandit sibuk. Selama

lebih dari seminggu, bandit-bandit tersebut yang katanya bertujuan

―mempertahankan Batavia‖ terus menerus melakukan operasi. Mereka

menagkapi orang-orang Tionghoa yang berhasil selamat, yang berada dalam

keadaan sekarat karena kelaparan dan kehabisan oksigen disebabkan terlampau

banyak menghirup asap. Mereka ini apabila ditemukan lansung dibantai dengan

kejam.

A.R.T Kemasang (dalam Benny G. Setiono) memberikan sebuah laporan

jumlah korban orang Tionghoa yang meninggal dunia mencapai 10.000 orang,

termasuk 500 orang tahanan dan pasien rumah sakit. Sebanyak 500 orang luka

parah, dan 700 rumah dirusak, dibakar, serta barang-barangnya dijarah. Laporan

tersebut juga menyatakan orang-orang Belanda maupun Eropa lainnya baik

militer maupun sipil bersama-sama melakukan perampokan dan pembunuhan

dengan dibantu oleh pasukan-pasukan prbumi yang lebih rakus.40

Pembantaian etnis Tionghoa pada tahun 1740 seperti menjadi sebuah

pijakan awal dari pengesahan terhadap perilaku rasisme kepada orang-orang

Tionghoa. Sebuah sejarah kekerasan yang terjadi pada satu masa yang kemudian

berulang-ulang pada masa-masa berikutnya bahkan sampai pada era modern.

2. Etnis Tionghoa Pada Era Soekarno

Pada masa pemerintahan Soekarno, etnis Tionghoa dihadapkan pada

suatu pilihan dilematis yaitu asimilasi. Etnis Tionghoa diberi pilihan untuk

menjadi warga Negara Indonesia (WNI) dengan mengganti nama Tionghoa

mereka dan juga meninggalkan segala ketionghoaan yang melekat pada tubuh

mereka dan menyatu dengan suku masyarakat di mana ia tinggal atau kembali ke

Tiongkok.

Jalan asimilasi ―dipilih‖ oleh Soekarno untuk meredam konflik kelompok

minoritas pada masa itu. Apa itu minoritas yang menjadi permasalahan

timbulnya suatu tindakan rasialis terhadap etnis Tionghoa akan coba peneliti

40 Benny G. Setiono, Etnis Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Transmedia,

2008), h. 109—121.

Page 46: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

34

jelaskan dengan mengutip beberapa pengertian.

a. Minoritas

Louis Wirth (dalam Leo Suryadinata) memberi definisi sebagai berikut.

1. Minoritas adalah segolongan orang yang

2. Karena cirri-ciri badani atau kulturnya

3. Dipisahkan dari orang-orang lain dalam masyarakat tempat mereka

hidup.

4. Diberikan perlakuan yang berbeda

5.Sehingga mereka menganggap diri mereka sebagai bulan-bulanan dari

diskriminasi kolektif

6. Dalam masyarakat di mana terdapat minoritas di sana ada pula

dominant group yang berkaitan yang memunyai kedudukan sosial yang

lebih tinggi serta hak-hak istimewa.

7. Tergolongkan dalam minoritas dengan sendirinya berarti tidak

diikutsertakan sepenuhnya pada kehidupan masyarakat.41

Ditambah dengan rumusan Sub Commision dari Commision on Human

Rigths dari PBB yang menegaskan bahwa istilah minoritas itu biasanya

digunakan terhadap warga dari suatu negara. Dapatlah diringkaskan bahwa

minoritas adalah segolongan warga dari suatu negara yang dipisahkan,

dieksklusifkan dan didiskriminasikan oleh sesama42

warga negaranya yang

memunyai hak-hak istimewa dan kedudukan sosial, politik, ekonomis lebih

tiinggi, sehingga dalam diri golongan itu dibangkitkan perasaan-perasaan

tertentu, mereka diperlakukan demikian karena mereka berbeda dalam fisik atau

kebudayaan dengan warganegara yang lain. Berbagai perasaan itu adalah

perasaan-perasaan diperlakukan tidak adil, tidak dihargai, tidak dipercayai,

diisolasi dan dianiaya, pendek kata, perasaan-perasaan dikandung oleh anak tiri.

Wirth berkata. ―one cannot long discriminate against a people without

generating in them a sense of isolation or persecution and without giving them a

conception of themselves as being more different from others then in fact there

are.”43

Pada November 1959 Presiden Soekarno menandatangani Peraturan

Pemerintah No. 10 atau yang lebih dikenal dengan PP-10. Peraturan ini berisi

larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang Tionghoa)

41 Suryadinata, Op. Cit., h. 162—163.

42 Ibid., 163.

43 Ibid.,

Page 47: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

35

untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota

daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak 1 Januari

1960.44

Dengan keluarnya PP-10 ini, sudah tentu menjadi semacam pukulan berat

terhadap etnis Tionghoa. Pada praktiknya, peraturan ini tidak hanya menertibkan

orang-orang Tionghoa agar tidak berdagang eceran lagi melainkan mereka juga

diusir dari tempat tinggal mereka.

Peraturan rasialis ini ditetapkan ditengarai karena Soekarno ditekan oleh

militer dan partai Islam. Masyarakat pribumi yang pada saat itu mulai berdagang

merasa tersaingi oleh dominasi pedagang Tionghoa yang telah berpengalaman

dan memiliki jaringan beberapa generasi.

Dengan dilaksanakannya PP-10, puluhan ribu orang Tionghoa terpaksa

harus meninggalkan tempat usaha dan tempat tinggalnya di pedalaman. Peraturan

ini sebenarnya hanya untuk menertibkan para pedagang eceran Tionghoa, namun

pada kenyataannya mereka tidak hanya dilarang berdagang melainkan juga diusir

dari rumah mereka sendiri.

Puncak tragedi etnis Tiobghoa pada Era Soekrno adalah Gerakan 30

September 1965. Peristiwa ini membawa dampak buruk bagi warga Tionghoa

secara keseluruhan. Hal ini karena pada umumnya warga Tionghoa dianggap

sebagai simpatisan organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan

Indonesia (Baperki). Dugaan bahwa Baperki sangat dekat dengan Partai Komunis

Indonesia yang dituduh melakukan kudeta dengan G-30-S tersebut, akibatnya

praktis sejak itu tidak ada yang berani membicarakan masalah status

kewarganegaraan mereka.45

3. Etnis Tionghoa Era Soeharto (Orde Baru)

Tidak dapat diragukan bahwa Soeharto telah memperkenalkan kebijakan

asimilasi terhadap etnis Tionghoa sebagai sebuah praktik politik yang tidak

44

Prasetyadji, Semangat Perjuangan Peranakan Idealis, (Jakarta. Forun Komunikasi

Kesatuan Bangsa. 2011), h. 29. 45

Ibid., h. 36.

Page 48: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

36

pernah dilakukan pada masa sebelumnya.46

Pada 6 Desember 1967, Presiden

Soeharto mengeluarkan Intruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama,

Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam intruksi tersebut ditetapkan bahwa

seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh

dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Intruksi Presiden

ini bertujuan melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa termasuk

kepercayaan, tradisi, adat istiadat, dan agamanya dan mendorong terjadinya

asimilasi secara total.47

Dengan adanya intruksi ini, kebebasan etnis Tionghoa semakin dikebiri.

Hak-hak mereka sebagai warga negara dibatasi oleh undang-undang. Sejak

intruksi ini dikeluarkan, seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa

termasuk Imlek, cap go meh, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka.

Sama halnya juga tari-tarian barongsai dilarang dipertunjukkan.

Pemasungan terhadap etnis Tionghoa kemudian dilanjutkan dengan

Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 4555.2-360 tahun 1968 tentang Penataan

Kelenteng dan Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Ditjen/PPG/K/1968

tentang Larangan dan Pencetakan Tulisan/Iklan beraksara dan berbahasa Cina,

ditambah dengan Peraturan Daerah Daerah Tingkat I DKI Jakarta No. K-I/OS-12

tentang keharusan warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa di daerah DKI

Jakarta melapor dan mengisi formulir K-I. demikian juga setiap warga Negara

Indonesia keturunan Tionghoa dan anak-anaknya melalui surat keputusan

Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia

SKB 01-UM.09.30-80, No. 42 wajib memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan

Republik Indonesia atau SBKRI.48

Tindakan pemerintah yang mendiskriminasi warga Tionghoa ini bisa

dilihat dari beberapa peraturan pemerintah yang diskriminatif berikut ini.

a. Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127/Kep/12/1966 tentang Peraturan

ganti nama bagi warga Negara Indonesia yang memakai nama Cina

46

Leo Surydinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. (Jakarta. Penerbit Buku

Kompas, 2010), h. 217. 47

Setiono., Op. cit., h. 1008 48

Ibid., h. 1009.

Page 49: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

37

b. Intruksi Presidium Kabinet Nomor 37/U/IN/6/1967/ tentang Kebijakan

Pokok Penyelesaian Masalah Cina. kebijakan ini mengatur pembatasan

pendidikan, kegiatan, usaha, dan tenaga kerja.

c. Keputusan Presiden Nomor 113 tahun 1967 tentang Pembentukan staf

khusus urusan Cina. keputusan ini menugaskan staf khusus untuk

merumuskan kebijaksanaan, mengikuti dan mengawasi pelaksanaannya,

serta mengendalikan kegiatannya.

d. Diterbitkan pula pembatasan dalam penyelenggaraan perayaan agama,

kepercayaan maupun adat istiadat Cina melalui Intruksi Presiden Nomor

14 tahun 1967.49

Proses pembauran seperti didefinisikan dan diimplementasikan oleh

pemerintah dan aparatnya serta elit kekuasaan tidak menuju ke kerukunan hidup

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya bertalian dengan golongan

etnis Tionghoa dan masyarakat luas yang secara sengaja atau tidak memupuk

sentimen anti-Cina yang meledak dengan tindakan kekerasan yang dahsyat yang

terjadi pada Mei 1998.50

4. Etnis Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998

Peristiwa Mei 1998 menjadi klimaks perlakuan rasial dan diskriminasi

terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini menunjukkan bahwa

kekerasan dan tindakan rasial terhadap etnis Tionghoa sudah sangat parah dan

cenderung tidak manusiawi. Peristiwa ini bermula pascapenyerbuan kantor DPP-

PDI yang sebelumnya diduduki oleh PDI-Megawati oleh oknum tidak dikenal

pada tahun 1996 ternyata berbuntut panjang. Kepanikan rezim otoriter Soeharto

makin menjadi dan bertindak sewenang-wenang. Terjadi beberapa aksi

penculikan aktivis oleh kelompok pasukan baret merah di bawah satuan tugas

Tim Mawar. Para korban penculikan tersebut antara lain wakil sekjen PDI-

Megawati Harjanto Taslam, Pius Yustrilanang, andi Arief, Faisol Reza, Aan

Rusdiyanto, Herman Hendrawan, Widji Thukul, dan belasan aktivis lainnya yang

49

Prasetyadji, Op. cit., h. 39. 50

Mely G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia, (Jakarta. Yayasan Obor, 2008), h. 206.

Page 50: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

38

sampai saat ini tidak pernah kembali.

Krisis moneter yang terjadi di Thailand dan kemudian merembet ke

negara tetangga seperti Malaysia dan Korea Selatan juga Indonesia. Nilai tukar

rupiah terhadap dolar anjlok, dari Rp2.500 per dollar US menjadi Rp16.500 per

dollar US.

Terjadi kepanikan di tengah-tengah masyarakat. Para pemegang dana di

bank ramai-ramai melakukan penarikan dananya serentak di seluruh Indonesia.

Masyarakat tidak percaya lagi pada rupiah dan ramai-ramai membeli dollar.

Untuk mengatasi situasi ini pemerintah mengeluarkan kebijakan BLBI (Bantuan

Likuiditas Bank Indonesia) senilai ratusan triliun rupiah. Namun, pada

prakteknya bank penerima bantuan BLBI ini menyelewengkan dana bantuan.

Indonesia berada di puncak krisisis yang memicu aksi demonstrasi mahasiswa

besar-besaran menuntut lengsernya Soeharto.

Pada 12 Mei 1998, sejumlah mahasiswa Trisakti yang sedang melakukan

demonstrasi di halaman kampusnya ditembaki oleh oknum militer yang

mengepung kampus tersebut. Empat orang mahasiswa menjadi korban yaitu

Elang Mulya Lesmana, Herry hartanto, Hafidain Royan, dan Hendrawan Sie.

Tewasnya sejumlah mahasiswa Trisakti tersebut telah menyulut

kemarahan seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Pada 13 Mei terjadi aksi

mahasiswa di halaman kampus Trisakti untuk memprotes kelaliman penguasa

yang telah menembaki sejumlah mahasiswa yang tidak bersenjata.

Ternyata aksi tersebut ditunggangi oleh provokator yang kemudian

berubah menjadi isu anti-Tionghoa dan meluas ke seluruh Jakarta, Tangerang,

Bekasi. Ribuan toko dan rumah etnis Tionghoa dijarah kemudian dibakar.

Kendaraan seperti mobil dan motor pun tidak luput dari amukan masa. Hampir

seluruh mal dan department store dijarah oleh massa yang terprovokatori. Rakyat

kecil digiring untuk menjarah mal kemudian mal tersebut dibakar oleh

provokator. Ribuan orang terpanggang hidup-hidup di dalam mal. Suasana begitu

mencekam. Asap mengepul dari rumah-rumah, dan toko-toko etnis Tionghoa di

daerah Glodok dan di seluruh Jakarta.

Gerakan anti-Tionghoa seolah mengesahkan para oknum tidak

Page 51: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

39

bertanggung jawab untuk melakukan aksi semena-mena. Hal yang paling

menyedihkan adalah perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa yang dilakukan

secara brutal. Akibat kerusuhan tersebut terjadi eksodus besar-besaran etnis

Tionghoa ke luar negeri.

Diperkirakan ribuan orang tewas dalam kerusuhan tersebut. Berbagai aksi

penjarahan dan pemerkosaan berlangsung selama tiga hari berturut-turut, pada

13,14,15 Mei 1998. Ironisnya sikap pihak keamanan seolah bungkam, diam dan

tidak bertindak apa pun atas peristiwa luar biasa ini.

Fakta terjadinya perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa terungkap

setelah adanya investigasi yang dilakukan tim relawan kemanusiaan di bawah

pimpinan Romo Sandyiawan dan pernyataan serta gugatan yang dilakukan Ester

Indahyani Jusuf, S.H.51

Seno Gumira dalam cerpennya yang berjudul Clara

Atawa Perempuan yang Diperkosa juga mengisahkan korban perkosaan tragedi

98. Namun, sampai saat ini kasus pelanggaran HAM berat tersebut tidak pernah

sampai dalam ranah hukum. Tidak ada hukuman kepada para pemerkosa dan

pembunuh etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 98. Peristiwa ini menunjukkan

betapa perlakuan rasialis dan diskriminatif masih subur terhadap etnis Tionghoa

bahkan di era modern sekalipun.

Thung Ju Lan dalam bukunya yang dieditori bersama I. Wibowo coba

menjelaskan posisi etnis Tionghoa pascaperistiwa Mei 1998, dari objek menjadi

subjek. Masalah etnis Tionghoa bukan lagi sekadar sentimen anti-Tionghoa yang

muncul dalam bentuk kekerasan pada waktu-waktu tertentu, sebagaimana yang

terjadi dalam peristiwa Malari 1974, kerusuhan 1980, dan seterusnya. Ada hal

yang lebih mendasar yang harus diselesaikan, atau pilihan lainnya adalah orang

Tionghoa meninggalkan Indonesia dan mencari tempat yang aman.

Pada waktu itu banyak orang Tionghoa yang kaya memilih untuk

meninggalkan Indonesia. Kenyataannya tidak semua orang Tionghoa

meninggalkan Indonesia, pun mereka yang sudah pergi ke luar negeri merasa

melarikan diri bukan lah jalan keluar dari persoalan. Dengan kata lain, warga

Tionghoa sekarang mencoba menjadi ―subjek‖ yang memilih dan memutuskan

51

Setiono, op. cit. h. 1084.

Page 52: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

40

sendiri apa yang akan mereka lakukan untuk mengubah kedudukan atau posisi

mereka sebagai kelompok minoritas yang selama ini marjinal atau dimarjinalkan.

Upaya yang mereka kemudian lakukan adalah mencoba mengubah

kebijakan pemerintah yang diskriminatif melalui pendekatan-pendekatan politik,

baik oleh individu-individu tertentu maupun oleh perkumpulan-perkumpulan

etnis Tionghoa yang bertumbuh setelah peristiwa Mei 98, seperti Perhimpunan

Indonesia Tionghoa (INTI) dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia

(PSMTI). Dicabutnya Intruksi Presiden Nomor 14 Tahin 1967 tentang

Pelarangan Ekspresi Kebudayaan China di Ruang Publik oleh Keputusan

Presiden nomer 6 tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid, serta

dikeluarkannya UU Kewarganegaraan Indonesia Nomor 12 Tahun 2006, yang

menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempatkan warga Tionghoa

dalam persamaan dan kesetaraan dengan warga negara yang lain dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan yang mereka rasakan, antara lain

perayaan Tahun Baru Imlek yang sudah diresmikan pemerintah sebagai hari libur

nasional.

Hubungan warga Tionghoa dengan warga Indonesia dianggap sudah lebih

terbuka sehingga banyak warga Tionghoa yang optimis bahwa situasi yang ada

sudah berubah dan bahwa kesempatan warga Tionghoa untuk terlibat secara

politis juga sudah terbuka. Akan tetapi, peraturan diskriminatif masih kerap

terjadi. Contohnya peristiwa Pontianak pada acara Imlek Tahun 2008. Saat itu

walikota Pontianak mengeluarkan surat keputusnan Nomor 127 Tahun 2008

tentang pelaksanaan prosesi naga yang dibatasi hanya di Stadion Syarif

Abdurrahman.

Pada era reformasi dan demokrasi ini, geliat etnis Tionghoa mulai terasa.

Buku-buku Tionghoa yang pada mulanya dilarang terbit atau dibatasi kini sudah

dengan bebas ditulis dan diperjualbelikan secara terbuka. Penerbit papan atas

seperti Gramedia kerap menerbitkan buku-buku tentang etnis Tionghoa.

Contohnya adalah buku berjudul Tepi Air (Shuihu Zhuan) yang berisi kisah 108

pendekar, diterbitkan pada 2009 oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Buku lain

yang diterbitkan adalah 1421 Saat Cina Menemukan Dunia diterbitkan oleh

Page 53: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

41

Alvabet pada Juli 2006. Novel-novel Tionghoa pun mulai diterbitkan. Pada

Januari dan Juni 2008, penerbit Hikmah merilis dua novel yakni, Empress Orchid

dan sekuelnya The Last Empress karya Anchee Min.

Di bidang politik, para warga keturunan pun sudah mulai menunjukkan

eksistensinya. Basuki Tjahaya Purnama (Zhong Wan Xie)52

atau akrab disebut

Ahok, memulai debut politiknya sebagai anggota DPRD Kabupaten Belitung

periode 2004–200953

kemudian menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode

2005–2010. Baru menjabat satu tahun Ahok mengundurkan diri dan

menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada wakilnya Khairul Efendi. Pada 2007

ia mencalonkan diri sebagai Bupati Bangka Belitung namun belum berhasil.

Puncak karir politiknya saat ini adalah sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta

periode 2012–2017 bersama Joko Widodo.54

Selain Ahok, warga keturunan yang mulai menunjukkan eksistensinya di

dunia politik adalah Hary Tanoe Sudibjo, bos group MNC ini didaulat menjadi

calon wakil presiden dari Partai Hanura mendampingi Wiranto. Sebelumnya

Hary Tanoe Soedibjo adalah kader Partai Nasdem. Ia memutuskan pindah ke

Partai Hanura pada tahun 201355

.

Meskipun warga keturunan sudah mulai menunjukkan eksistensinya

dalam beberapa bidang, namun perilaku rasis terhadap etnis Tionghoa seperti

tidak pernah surut. Kita masih bisa mendengar sebutan rasis bagi etnis Tionghoa

yang disebut ―Cina‖ dengan tendensi melecehkan dan diidentikkan dengan

sebutan ―Cina pelit,‖ ―Cina kafir‖ dan sebagainya.

E. Sosiologi Sastra

Cabang ilmu sosiologi pertama kali ditemukan oleh Auguste Comte pada

pertengahan abad XIX. Comte mencoba menerapkan cara kerja dalam ilmu alam

52

http.//forum.kompas.com/nasional/71843-mengenal-lebih-jauh-sosok-kepemimpinan-

ahok-calon-wagub-dki-pendamping-jokowi.html (diunduh pada 6/3/2014 pukul 7.30 WIB) 53

http.//profil.merdeka.com/indonesia/b/basuki-tjahaja-purnama/ (diunduh pada 6/3/2014

pukul 7.30 WIB) 54

Ibid., 55

http.//politik.news.viva.co.id/news/read/391005-enam-alasan-hary-tanoe-gabung-ke-

partai-hanura (diunduh pada 6/3/2014 pukul 07.50 WIB)

Page 54: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

42

untuk memahami masyarakat. Bila ilmu-ilmu alam mempelajari sesuatu yang

berada di luar diri manusia, yaitu alam, sosiologi menjadikan manusia itu sendiri.

Namun, manusia yang dipelajari bukanlah manusia sebagai mahluk biologis yang

dibangun dan diproses oleh kekuatan-kekuatan dan mekanisme-mekanisme fisik

kimiawi, bukan manusia yang sepenuhnya mandiri, melainkan manusia sebagai

individu yang terkait dengan individu lain, manusia yang hidup dalam

lingkungan dan berada di antara manusia-manusia lain, manusia sebagai sebuah

kolektivitas, baik yang disebut dengan komunitas maupun sosietas.

Sebagai sebuah usaha pemahaman yang objektif-empirik, sosiologi

sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana yang ditemukan dan dialami

secara langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan. Akan tetapi, sebagai

sebuah usaha untuk menemukan hukum yang umum, keteraturan-keteraturan dan

pola-pola yang berulang dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama, yang

membuatnya teruji, sosiologi tidak berhenti hanya pada kenyataan keseharian

dalam dunia pengalaman langsung saja. Bagaimanapun objek-objek pengalaman

langsung cenderung menampakkan diri sebagai sesuatu yang amat bervariasi,

seakan senantiasa berubah, tak berpola, tak beraturan, dan hilang sesaat setelah

terjadi atau muncul. Pola-pola, keteraturan-keteraturan baru dapat ditemukan

apabila sosiologi mampu bergerak melampaui apa yang secara langsung tampak

dalam dunia pengalaman dan bergerak msuk ke hukum-hukum atau pola-pola

yang umum, abstrak, melalui prosedur-prosedur yang sesuai dengan kaidah-

kaidah logika atau rasionalitas.56

Giddens dalam Faruk menyebut sosiologi sebagai.

“… the study of human social life, groups, and societies. It is a dazzling and

compelling enterprise, having a its subject matter our own behavior as a

social beings. The scope of sociology is extremely wide, ranging from the

analysis of passing encounters between individuals in the street up to the

investigation of global social processes.” 57

Dalam hubungan antara ilmu sosial dalam hal ini sosiologi dan ilmu

56

Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2012), h. 17. 57

Ibid., h. 18.

Page 55: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

43

kesusastraan terdapat suatu hubungan yang tak terpisahkan. Berangkat dari

sebuah gagasan ―Sastra adalah cerminan masyarakat‖ melalui corong inilah

kemudian sosiologi sastra muncul sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkaji

hubungan antara sastra dan masyarakat.

Wellek dan Warren mengemukakan tiga jenis pendekatan yang berbeda

dalam sosiologi sastra, poin pertama adalah sosiologi pengarang, status

pengarang dan ideologinya. Ketertarikan masyarakat dalam membaca karya

sastra pun dilatarbelakangi oleh ideologi pengarang. Sebab pengarang adalah

warga masyarakat ia dapat dipelajari sebagai mahluk sosial, hal ini berkaitan

dengan latar tempat pengarang itu tinggal, keluarga, bahkan ekonomi pengarang.

Poin kedua adalah isi karya sastra. Dalam isi karya sastra, masyarakat tentunya

terpengaruh oleh ideologi pengarang pula sebab ini berkaitan dengan masalah

sosial, namun poin ini unsur estetik mengambil bagian besar dimana keindahan

yang terkandung dalam sebuah karya dapat berpengaruh kepada pembaca. Poin

terakhir adalah pembaca dan dampak sosial karya itu sendiri. Dampak sosial

karya, dapat dikatakan bahwa nilai atau norma sepenuhnya dipegang oleh hasil

karya dan pembaca.58

Robert Escarpit dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Sastra

menjelaskan apa yang dimaksud dengan sosiologi sastra melalui berbagai

tinjauan sudut pandang, ia coba menjelaskan keterkaitan antara 1) kesustraan dan

masyarakat, 2) Sejarah, 3) Politik perbukuan. Hubungan-hubungan ini akan

menjelaskan saling keterkaitan antara sastra dan masyarakat sampai sastra dan

pengarangnya yang juga bagian dari masyarakat.59

Karya sastra tidak serta merta lahir begitu saja, sastra tidak berasal dari

kekosongan. Adanya sebuah karya menunjukkan sesuatu yang ingin disampaikan

oleh pengarang, ideologinya kah, idealismenya kah, pandangan hidupnya kah

atau bahkan pengalaman pribadinya dan hal-hal tendensius lainnya. Pengarang

sebagai warga masyarakat juga memiliki kepentingan-kepentingan yang ingin

disampaikan. Melalui sastra hal-hal semacam ini bisa terakomodasi, tertuangkan

58

Rene Weleek dan Austin Warren, Teori Kesusteraan. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 1990). 59

Robert Escarpit, Pengantar Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005)

Page 56: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

44

dan bisa dinikmati oleh pembaca.

Dalam telaah sosiologi, kita bisa mengamati gejala-gejala yang timbul di

masyarakat dan meneliti penyebab timbulnya suatu konflik dan implikasinya

terhadap kehidupan masyarakat. Tidak hanya itu, kita juga bisa mengamati pola-

pola dalam masayarakat seperti adat istiadat, kultur atau kebuadayaan dan

bagaimana kebudayaan tersebut lekat dalam setiap sendi kehidupan masyarakat.

Tentang hubungan antara sosiologi dan sastra, Swingwood dalam Sapardi,

mengetengahkan pandangan yang lebih positif. Ia tidak berpihak pada pandangan

yang menganggap sastra sebagai sekadar bahan sampingan saja. Diingatkannya

bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus

berhati-hati mengartikan slogan ―sastra adalah cerminan masyarakat‖.

Selanjutnya diingatkan bahwa slogan itu melupakan pengarang, kesadaran, dan

tujuannya. Swingwood menyadari bahwa sastra diciptakan pengarang

menggunakan seperangkat peralatan tertentu, dan seandainya sastra memang

merupakan cerminan masyarakatnya, apakah pencerminan itu secara murni?60

Swingwood agaknya ingin sedikit merevisi pernyataan ―sastra adalah

cerminan masyarakat‖ mengingat banyak kepentingan dalam kemunculan sebuah

karya. Masyarakat yang ingin ditampilkan pengarang adalah masyarakat yang

sejalan dengan ideologi pengarang. Kenyataan inilah yang coba dipertanyakan

kembali oleh Swingwood terlepas dari sastra yang tidak pernah sekali pun berasal

dari kekosongan.

―Sastra merupakan cerminan masyarakat‖ dan ―sastra tidak berasal dari

kekosongan‖, berlandaskan pernyataan inilah peneliti coba mengkaji sebuah

novel karya Clara ng yang berjudul Dimsum Terakhir dengan menggunakan

pendekatan sosiologi sastra.

F. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pembelajaran sastra di sekolah diharapkan bermanfaat untuk menafsirkan

dan memahami masalah-masalah dunia nyata. Sastra memiliki relevansi dengan

dunia nyata. Untuk itu, pengajaran sastra di sekolah harus kita pandang sebagai

60

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Satsra, (Ciputat. Editum, 2009), h. 19.

Page 57: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

45

sesuatu yang penting dan patut memiliki kedudukan yang selayaknya.

Jika pengajaran sastra dilakukan secara tepat, pengajaran sastra dapat juga

memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah dalam

masyarakat. B. Rahmanto61

menjelaskan empat manfaat pengajaran sastra di

sekolah, yaitu sebagai berikut.

1. Membantu keterampilan berbahasa.

Keterampilan berbahasa meliputi empat aspek, yaitu 1)

menyimak, 2) berbicara, 3) membaca, dan 4) menulis. Adanya

pembelajaran sastra di sekolah berfungsi melatih siswa dalam mengasah

keterampilan berbahasa yang meliputi empat aspek tersebut. Dalam

pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan

mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru atau temannya.

Untuk keterampilan berbicara, siswa dapat melatihnya dengan bermain

drama. Keterampilan membaca dapat diasah dengan membaca karya

sastra, baik prosa maupun puisi atau bahkan naskah drama. Siswa dapat

melatih keterampilan menulis dengan menulis sebuah karya sastra yang

didasari oleh pengalaman pribadi atau pengamatan sekitar.

2. Meningkatkan pengetahuan budaya

Sastra bukanlah sebuah ilmu yang menyuguhkan pengetahuan

dalam bentuk jadi seperti halnya ilmu sains. Sastra berkaitan sangat erat

dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap

karya sastra selalu menyajikan hal-hal yang jika dihayati akan menambah

ilmu pengetahuan. Hal yang dimaksud sebagai ilmu pengetahuan di sini

memiliki makna yang luas. Dengan berbagai cara kita bisa menguraikan

dan menyerap pengetahuan yang terdapat dalam karya sastra. Sebagai

contoh, banyak fakta yang diungkapkan dalam karya sastra, tetapi ada

banyak fakta lain yang harus kita gali dari sumber-sumber lain untuk

memahami situasi problematika khusus yang dihadirkan dalam suatu

karya sastra.

61

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra.(Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1992) h. 16.

Page 58: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

46

Jika kita dapat merangsang siswa-siswa untuk memahami fakta-

fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa akan memahami realitas

kehidupan. Siswa akan memahami fakta-fakta tentang kehidupan dan

akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam diri siswa mengenai hakikat

kehidupan.

Suatu bentuk pengetahuan khusus yang harus selalu dipupuk

dalam masyarakat adalah pengetahuan tentang kebudayaan. Kita

menggunakan istilah budaya untuk menunjuk ciri-ciri khusus khusus

dalam masyarakat tertentu dengan totalitasnya yang meliputi, organisasi,

lembaga, hukum, etos kerja, seni, drama, agama, dan sebagainya. Setiap

sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan

wawasan pemahaman budaya bagi setiap siswa. Pemahaman budaya

dapat menumbuhkan rasa bangga dan memiliki juga empati terhadap

lingkungan sekitar. Pengetahuan tersebut dapat digali lewat menelaah

karya sastra. Dalam karya sastra banyak terdapat unsur kebudayaan yang

menarik untuk diteliti dan dipahami.

3. Mengembangkan cipta dan rasa

Setiap guru hendaknya menyadari bahwa siswa adalah seorang

individu dengan kepribadiannya yang khas. Kemampuan dan kadar

perkembangannya masing-masing berbeda satu sama lain. Untuk itu,

sangat penting memandang pengajaran sebagai proses pengembangan

individu secara keseluruhan.

Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan

adalah kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif, religius, dan

sosial. Karya sastra dapat memberikan peluang-peluang untuk

mengemabngkan kecakapan-kecakapan semacam itu. Untuk itu, jika

sastra diajarkan dengan benar dan sesuai, dapat mengembangkan

kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari mata pelajaran lainnya.

4. Menunjang pembentukan watak

Tidak ada satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan

watak manusia. Bagaimana pun pendidikan hanya dapat berusaha

Page 59: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

47

membina dan membentuk, tetapi tidak dapat menjamin secara mutlak

bagaimana watak manusia yang didiknya.

Meski demikian, dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan

yang dapat diungkapkan sehubungan dengan watak ini. Pertama,

pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam.

Dibandingkan pelajaran-pelajaran lainnya, sastra memunyai keungkinn

lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian

kemungkinan hidup manusia seperti kebahagiaan, kesetiaan, kebanggaan

diri sampai pada kelemahan, kekalahan, keputusasaan, kebencian,

perceraian, dan kematian. Seseorang yang telah banyak mendalami

berbagai karya sastra biasanya memunyai perasaan yang lebih peka untuk

menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tidak bernilai.

Tuntutan kedua sehubungan dengan pembinaan watak ini adalah

bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam

usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara

lain meliputi kepandaian, ketekunan, pengimajian, dan penciptaan.

Seperti yang kita ketahui, sastra sanggup memuat berbagai medan

pengalaman yang sangat luas. Dalam pengajaran sastra dengan berbagai

ciri khasnya, siswa dipertemukan dengan berbagai kesempatan untuk

menelusuri semacam arus pengalaman segar yang terus mengalir.

Pengalaman itu merupakan persiapan yang baik bagi kehidupan siswa di

masa mendatang.

Page 60: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

48

BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur pembangun karya sastra yang terdapat dalam

bangunan karya itu sendiri, dalam penelitian ini peneliti coba membahas enam

unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Dimsum Terakhir (selanjutnya disingkat

DT), yaitu, 1) tema, 2) tokoh dan penokohan, 3) sudut pandang, 4) alur, 5) latar,

dan 6) gaya bahasa.

1. Tema

Pada dasarnya, tema merupakan ide pokok yang secara implisit dapat

diketahui dalam sebuah novel atau cerita. Dalam novel DT ini, tema yang

terkandung adalah tema perempuan dan keluarga. Hal ini terlihat dalam kutipan

berikut.

Rosi menutup telepon dengan hati galau. Barusan Indah

menelepon, mengabarkan bahwa ayah mereka terserang stroke hari ini.

Kesepuluh jari tangan Rosi gemetar hebat sehingga gagang teelepon terjun

keras di pesawatnya.1

Kutipan tersebut menunjukkan rasa kaget sekaligus kecemasan seorang

anak manakala mendengar kabar ayahnya sakit keras. Dalam adat keluarga

Tionghoa posisi laki-laki menempati posisi tertinggi di mana seorang anak

perempuan tunduk kepada ayahnya dan setelah menikah tunduk kepada suaminya

juga anak laki-lakinya.

Selain kutipan di atas, terdapat beberapa kutipan lain yang menunjukkan

bahwa tema novel DT ini adalah tema keluarga, salah satunya sebagai berikut.

1 Clara Ng, Dimsum Terakhir, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 21.

Page 61: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

49

Semburat cahaya kuning menembus tirai jendela, menyorotkan

bias keemasan ke dalam rumah. Nung pasti akan pulang bersama keempat

anak perempuannya. Empat anak perempuan kembarnya.

Betapa menyenangkan.

Kenangan-kenangan itu kembali. Bagai hantu yang tidak mau

pergi. Bagai putaran waktu yang mengkristal.

Aku tersenyum tipis. Rumah ini akan kembali ramai.2

Tema keluarga dalam novel DT ini semakin dikuatkan dengan keempat

tokoh utamanya yang merupakan saudara kembar. Mereka sebenarnya telah

tercerai-berai menuruti jalan hidupnya masing-masing. Namun, mereka terpaksa

harus pulang kembali ke rumah untuk merawat ayahnya yang sakit. Dari beberapa

kutipan di atas, dapat disimpulkan tema dari novel DT ini adalah tema keluarga

etnis Tionghoa modern.

Selain tema keluarga, novel ini juga mengangkat tema perempuan.

Keempat tokoh utama dalam novel ini adalah perempuan. Tiap tokoh perempuan

dalam novel ini hadir dengan permasalahan seputar ―diri perempuannya‖ masing-

masing. Salah satu isu perempuan yang dilontarkan dalam novel ini meliputi isu

LGBT (lesbi, gay, biseks, dan transgender) yang dialami oleh salah satu tokohnya

yaitu Rosi, terlihat dalam kutipan berikut.

… Perasaan suka terhadap lawan jenis tidak tumbuh dalam dirinya.

Hanya perempuan yang ditaksirnya. Wanita. Cewek. Girls. Ladies. Begitu

banyak perempuan berlalu lalang. Oh ya begitu banyak, beybeh! Dengan

hura-hura, clubbing, dan pesta-pesta malam yang tiada habis-habisnya,

Rosi berharap menemukan kedamaian dalam dirinya.

Peace on earth. Peace in heart.

Dan perempuan terakhir adalah Dharma.3

Kutipan di atas menunjukkan Rosi tidak menyukai lawan jenis, ia

berhubungan dengan banyak wanita. Namun pada akhirnya Rosi memilih Dharma

untuk menjadi kekasih sejatinya. Rosi membawa isu sensitif, LGBT. Masyarakat

Timur seperti Indonesia masih menganggap isu seputar LGBT menjadi suatu hal

yang tabu untuk dibicarakan. Hal tersebut selama ini dipandang sebagai hal

2 Ibid., h.26.

3 Ibid., h. 45—46.

Page 62: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

50

negatif yang tidak patut untuk diperbincangkan. Para LGBT ini biasanya

mempunyai perkumpulan-perkumpulan mereka sendiri.4 Para transgender

perempuan pada umumnya lebih sulit diidentifikasi dari pada transgender laki-

laki. Hal ini terjadi karena perempuan lebih leluasa dalam berpenampilan.

Perempuan masih bisa mengenakan celana panjang dan T-shirt atau aksesoris

laki-laki lainnya. Akan tetapi, laki-laki tidak bisa leluasa menggunakan rok

apalagi aksesoris perempuan.

Isu perempuan yang lain juga dilontarkan oleh Clara Ng lewat tokoh

Indah. Indah memutuskan menjadi orang tua tunggal tanpa adanya pernikahan.

Dalam masyarakat kita, hal semacam ini masih sulit diterima. Orang yang

memiliki anak di luar pernikahan akan mendapat citra negatif di masyarakat.

Keputusan menjadi orang tua tunggal tanpa adanya pernikahan merupakan suatu

keputusan yang sangat berani. Perempuan berhak atas tubuh dan nasibnya sendiri,

suara inilah yang kiranya ingin disampaikan pengarang lewat tokoh Indah.

Perhatikan kutipan berikut.

Indah tersenyum lagi. Keputusannya mempertahankan kehamilan

memang bukan keputusan mudah. Terus terang, mulanya dia memang

tidak sungguh-sungguh menginginkan bayi ini.

Pertama, membesarkan anak, apalagi menjadi ibu tunggal di zaman

sekarang adalah tindakan yang dapat dikategorikan sebagai bunuh diri.

Kedua, kesiapan mental merawat bayi bukanlah semudah membeli

obat generic di apotek.

Ketiga, sejauh ini tidak ada teori yang dapat meramalkan bahwa

anak yang dibesarkan oleh orang tua tunggal akan seratus persen lebih

―baik‖ daripada anak yang dibesarkan oleh orang tua lengkap.5

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Indah menyadari kalau keputusannya

menjadi orang tua tunggal bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, ia bertekad

untuk mempertahankan bayinya. Sebelumnya, ia sempat berpikir untuk

mengaborsi janin yang dikandungnya karena ia tahu Pastor Antonius tidak akan

bertanggung jawab. Namun, niatnya untuk aborsi berubah menjadi tekad yang

4 Di salah satu gang daerah Kota, kita bisa dengan mudah melihat komunitas lesbian. Di

daerah ini mereka tidak sungkan menampilkan eksistensi mereka. 5 Clara Ng. Op. Cit. h. 315—16.

Page 63: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

51

kuat untuk mempertahankan janinnya, karena ia merasa iba terhadap bayinya

sendiri. Ia perempuan, dan ia berhak atas tubuh dan nasibnya sendiri. Seberat apa

pun, sesakit apa pun.

2. Tokoh dan Penokohan

Ada beberapa tokoh utama dan sampingan dalam novel DT ini. Tokoh

utama adalah tokoh sentral yang memiliki peran penting dan mendapat porsi

paling banyak dalam cerita. Tokoh sampingan adalah tokoh yang menguatkan

jalan cerita dan yang bersinggungan secara langsung maupun tidak langsung

dengan tokoh utama.

1. Tokoh Utama

Ada empat orang tokoh utama dalam novel DT ini, keempatnya adalah

saudara kembar. Tiap-tiap tokoh utama memiliki karakter yang berbeda-beda

meskipun mereka kembar. Tokoh-tokoh tersebut adalah sebagai berikut.

a. Indah (Tan Mei Yi)

Indah merupakan sosok perempuan yang memiliki emosi yang meledak-

ledak. Sayangnya, emosi itu terkungkung dalam batinnya sehingga menyebabkan

jiwanya tertekan. Emosi yang bergejolak ini juga yang menyebabkan Indah

menderita gagap. Penyakitnya akan kumat apabila Indah berada dalam situasi

yang emosional. Indah juga seorang paranoid akut, ia sering dilanda situasi yang

sebenarnya biasa saja namun jadi terkesan berlebihan. Hal ini terlihat dalam

kutipan berikut.

―Kapan novel berikutnya nih, Mbak Indah?‖

Seketika Indah terpaku mati di tempatnya. Pertanyaan sederhana dari

mereka tidak berhenti sampai di situ, malah memantulkan gema di

benaknya. Terngiang-ngiang sampai telinganya nyaris tuli. Kerutan di dahi

Indah mulai terbayang.

―Lagi ditulis, katanya dengan nada tidak wajar sambil mencoba

tersenyum tapi gagal total. Tanpa sadar tangannya naik menekan dada

jantungnya sudah siap ngacir, menggelundung keluar dari rongga rusuk.

Page 64: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

52

Indah melirik jam tangan, berpikikir-pikir bagaimana caranya agar dapat

mengakhiri percakapan ini dengan taktis.

Sebagai pengarang novel best seller Indah seringkali merasa tertekan

karena tuntutan untuk membuat novel kedua. Ada ketakutan yang sangat kuat

dalam diri Indah. Ia takut novel keduanya tidak semeledak novel pertamanya.

Ketakutan itulah yang membuat Indah gamang menulis dan kehabisan ide untuk

membuat novel kedua. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

Ada apa dengan dirinya?

Setelah novel pertamanya yang menjadi hit dan bestseller, indah

merasakan kebanggaannya melambung setinggi langit. Setiap orang yang

mengaku pembaca novel pasti pernah mendengar namanya. Indah Prati.

Sang maestro pembuat cerita. Sang pakar pengukir kata.

Hatinya melambung. Hidupnya juga. Membumbung tinggi sampai

langit ketujuh.

Lalu langsung terbanting. Menjadi linglung. Bingung. Limbung.

Gonjang-ganjing.

Bagaimana dengan novel kedua? Kapan novel kedua terbit?

Sedang menulis novel tentang apa? Berapa lama lagi?6

Jujur saja.

Mari menilai dirinya sendiri secara transparan. Apakah dia korban

beban-novel-kedua-setelah-yang-pertama-terlalu-terkenal? Ataukah

korban takut-novel-kedua-akan-gagal? Tekanan ini sangat kuat. Tekanan

sekali lagi menjadi yang terbaik, tersempurna, terkenal. Bagaimana jika ia

tidak bisa seperti itu lagi? Bukankah mengerikan? Siapakah Indah tanpa

berhasil menulis novel yang menjadi pembicaraan seluruh negeri?7

Dalam teks di atas, terlihat ketakutan Indah akan novel keduanya. Ia takut

jika novelnya tidak sebagus novel pertamanya. Indah terbebani dengan

keberhasilan novel pertamanya. Ia tidak tahu apa yang ingin ia tulis.

Sudah dibahas sebelumnya bahwa Indah menderita gagap, gagapnya akan

kumat ketika dalam situasi yang emosional dan tertekan. Indah tidak punya

kontrol emosi yang baik sehingga seringkali terlibat dalam suasana yang

berlebihan, terlihat dalam teks berikut.

6 Clara Ng. Op. cit., h. 207.

7 Clara Ng. Op. cit., h. 209.

Page 65: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

53

Indah berlari cepat di sepanjang lorong rumah sakit. Napasnya

tinggal satu-dua ketika dia nyaris tergelincir di depan meja informasi.

―Ma... af,‖ katanya terbata-bata. Ditariknya napas panjang-panjang.

Oh, sialan. Indah membatin. Sesak napasnya kumat lagi. Sambil

menguatkan diri, dia menghitung satu sampai sepuluh, bolak-bolak.

Jangan sampai dia disangka pasien bengek oleh lelaki yang sedang duduk

manis di balik konter informasi.

―Bisa dibantu, Mbak?‖ Lelaki itu menatapnya prihatin..

―Ya … Saya … m-mencari pasien bernama N-Nung Atasana…‖

Indah tergagap. Oh, sialan lagi. Dalam kondisi tegang, gagapnya selalu

kumat. Tapi dia berusaha agar tetap tidak kehilangan gaya. Air mukanya

kosong, tatapannya lurus. Tanpa ekspresi, tenang, dan terkontrol.

Kutipan tersebut menunjukkan Indah yang sedang bersusah payah

menahan penyakit gagapnya yang kambuh akibat tekanan emosi yang tinggi.

Penyakit gagapnya muncul tidak lain karena Indah tidak mampu menguasai

emosianya. Indah juga seorang yang keras hati, tidak mudah disentuh dan penuh

perasangka. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

Ini suasana yang sangat tidak disukai Indah. Dia benci senja.

Baginya, senja adalah suasana muram yang tidak perlu dipuja puji. Susana

ketika nyamuk mulai berpesta. Suasana kejahatan datang mengendap-

endap. Saat kebahagiaan berakhir dan kemurungan menjelang. Bagaimna

mungkin para sastrawan sangat menyukai senja?8

Kutipan dia atas menunjukkan sifat Indah yang penuh buruk sangka, tidak

seperti kebanyakan sastrawan atau orang biasa sekalipun yang mencintai senja,

Indah sebaliknya, dengan dingin Indah berpendapat bahwa senja itu sama sekali

tidak patut dipuja-puji sebagaimana sesorang sastrawan melukiskan romantisme

senja, Indah justru mengutuknya.

Sifat buruk sangka ini terkait dengan profesi Indah sebagai wartawan.

Sebagai seorang penulis berita, Indah dituntut untuk lebih mengandalkan logika.

Ia tidak menyukai hal-hal melankolis seperti senja yang dituturkan oleh penyair.

Menurut kacamatanya, senja itu sesuatu yang gelap, masa peralihan cahaya. Tidak

ada istimewanya.

8 Clara Ng, Op. cit., h. 60.

Page 66: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

54

b. Siska (Tan Mei Xia)

Siska merupakan anak Anas dan Nung yang pertama lahir. Sifatnya keras

kepala, berpendirian kuat, memiliki kontrol diri yang hebat, namun juga

tempramental. Siska seorang yang perfeksionis dan profesional. Siska selalu

menjadi pemenang dalam segala hal. Ia seorang perempuan yang cerdas dan

mandiri.

Sebagai seorang pebisnis, Siska dituntut untuk selalu bersifat profesional.

Dalam mengontrol emosi, Siska sangat piawai. Siska tidak akan menunjukkan

dirinya yang sedang dalam tekanan emosi. Tidak seperti Indah yang selalu

tergagap menahan emosinya, kontrol diri Siska sangat baik. Kontrol diri yang baik

ini terlihat dalam kutipan berikut.

―Maaf,‖ katanya sopan. Pita suaranya bergetar dalam gelagak

professional yang telah dilakukannya berjuta-juta kali tidak ada titik-titik

emosi jengkel yang berseliweran di wajahnya. Siska mempunyai kontrol

diri yang amat kuat. Kalau saja para kliennya tau apa yang sedang terjadi

di dalam pikirannya…9

Kontrol diri yang kuat tidak serta merta lahir begitu saja dalam diri Siska,

butuh latihan, butuh kerja keras untuk mendapatkannya. kontrol diri yang baik

merupakan kebutuhan bagi Siska mengingat ia adalah seorang wanita karier. Ia

adalah bos dari salah satu perusahaan di Singapura. Siska tentunya harus memiliki

kontrol diri yang baik demi menunjang karir bisnisnya.

Siska seorang yang perfeksionis, tidak hanya dalam pekerjaan, namun

dalam berpenampilan dan gaya hidup pun ia menunjukkan kesempurnaan dirinya.

Berpakaian matching layaknya kaum sosialita dan menggunakan jasa maskapai

kelas utama. Ini semua menunjukkan bahwa Siska adalah pribadi yang

berkarakter kuat.

Rincian penampilan memperlihatkan kepada pembaca tentang usia,

kondisi fisik/kesehatan dan tingkat kesejahteraan si tokoh. Kutipan dibawah ini

akan menunjukkan kepada pembaca status sosial Siska.

9 Clara Ng, Op. cit., h. 16.

Page 67: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

55

Di Bandara dan gerbang kedatangan yang berbeda, pesawat lain

baru saja mendarat. Seperti biasanya, penerbangan dari Siangapura berlalu

dengan mulus. Siska duduk full gaya di kursi penumpang firstclass.

Kacamata hitamnya tidak lepas membingkai wajahnya. Hari ini dia

mengenakan baju serba cokelat. Bahkan tas jinjingnya pun berwarna

senada.10

Sekujur tubuhnya dibekap benda-benda yang tampak glamour.

Bermerek tentu saja. Siska sangat pemilih untuk baju, tas, sepatu, dan apa

pun yang dikenakannya. Kualitas nomer satu. Merek terkenal.11

Kutipan di atas mempertegas status sosial tinggi yang dimiliki Siska.

Hanya orang-orang berada saja yang mampu bergaya hidup seperti Siska.

Semuanya serba terbaik, serba first class. Penampilan yang sempurna tidak lain

untuk menunjang pekerjaan Siska sebagai seorang bos di salah satu perusahaan di

Singapura. Apa yang dikenakan dan dilakukan Siska juga mewakili perusahaan

yang dipimpinnya. Untuk itulah Siska harus selalu berpenampilan sempurna.

Indah berhenti berbicara. Dia gelagapan, mencari udara.

Siska memanfaatkan kesempatan untuk memotong perkataan

Indah. ―pertama, untuk menyegarkan ingatanmu, yang memberitahu papah

di rumah sakit adalah aku. Aku! C’est moi. Kedua, kan kamu yang tinggal

di Jakarta. Satu kota dengan papa, naik bajaj juga sampai. Apa salahnya

sih kalau kamu yang memantau kesehatan Papa? Dan ketiga, for your

information, aku bukan jalan-jalan di Hongkong. Malah, aku sudah lama

gak jalan-jalan. Aku di Hongkong untuk urusan bisnis, catat itu baik-

baik!‖12

Kutipan di atas menunjukkan karakter Siska yang cerdas dan tegas. Siska

mampu memberikan argumentasi yang logis untuk mematahkan tuduhan Indah.

Di sini terlihat Siska yang ―selalu menang‖.

10

Ibid., h. 27. 11

Ibid., h. 85. 12

Ibid., h. 32.

Page 68: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

56

c. Novera (Tan Mei Mei)

Novera bayi yang paling terakhir lahir dan yang paling lemah. Novera

identik dengan kelembutan. Ia seorang guru taman kanak-kanak, terlihat dalam

teks berikut.

Kelas mereka baru saja berakhir. Mainan anak-anak berserakan di

segala sudut. Buku-buku yang tadinya terletak rapi di Sudut Baca, tamak

tergeletak di karpet. Biasanya Novera dan Tanti menghabiskan waktu

sekitar sepuluh menit untuk membereskan ruangan sebelum berdiskusi

tentang persiapan kelas esok hari. Tapi sepertinya pekerjaan itu bisa

ditunda. Novera tidak terlihat gembira, tapi tampaknya dia juga tidak ingin

dikasihani dengan cara yang berlebihan13

Sesuai dengan karakternya yang lembut dan tenang, Novera memilih

pekerjaan sebagai guru TK. Dalam keluarga, Novera pun selalu mengalah dan

memilih untuk tidak terlibat dalam konflik saudara kembarnya. Hal ini terlihat

dalam kutipan berikut.

Dari mereka berempat, dia yang terlihat paling kecil. Sedikit lebih

pendek daripada Indah dan sedikit lebih kurus daripada Siska. Matanya

pun yang terlihat paling sipit. Kulitnya paling putih. Aneh, biarpun mereka

terlihat mirip, Novera tidak merasa sama dengan ketiga saudarinya yang

lain. Khususnya dalam hal pribadi dan kehendak.14

Novera bayi terlemah. Sedikit-sedikit sakit. Sedikit-sedikit

kedinginan. Dia yang paling akhir berguling, paling akhir tumbuh gigi,

paling akhir berdiri, dan tentu saja paling akhir berjalan. Tumbuh menjadi

gadis yang paling pendiam dan tidak neko-neko, Novera tidak pernh

merasi ingin menyaingi kehebatan ―kakak-kakaknya‖ yang lain.

Tidak. Tidak pernah ingin.

Dari kutipan tersebut, terlihat Novera yang tenang dan sederhana.

Novera cenderung menjauhi hingar-bingar dunia. Ia memilih hidup dalam

kesederhanaan jiwa dan pikiran. Novera enggan ikut campur dalam

konflik saudara kembarnya dan tidak suka menonjolkan diri.

13

Ibid., h. 24—25. 14

Ibid., h. 48.

Page 69: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

57

Novera bayi yang paling terakhir dilahirkan. Bayi yang paling

lemah. Bayi yang pertumbuhannya paling lambat. Penulis melukiskan fisik

Novera sesuai dengan karakternya yang tenang dan lembut. Fisik Novera

yang digambarkan lemah sejak awal, seperti suatu pertanda, tali

penghubung yang logis. Novera menderita suatu penyakit yang merupakan

malapetaka bagi setiap wanita. Kista ganas memaksa rahimnya harus

diangkat. Penggambaran awal seolah menjadi prolog atau pengantar

Novera yang menghadapi satu masalah besar yang kemudian mengubah

keyakinannya menjadi seorang Khatolik dan berniat menjadi biarawati.

Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

―Kenapa dibaptis?‖

―Karena saya ingin menjadi Katolik,‖ jawab Novera

tenang. Ketenangan itu hasil mengumpulkan keberanian selama

berminggu-minggu. ―Menjadi Katolik harus dibaptis.‖15

Singkatnya sekali lagi, dia ingin menjadi biarawati.

Novera telah meyakini apa yang dia inginkan dalam hidup

ini. Seribu persen, tidak ada diskon. Tidak ada uang kembali. Tidak

ada potongan. Mantap, tidak tergoyahkan oleh apa pun. Bagai

karang keras yang mencuat di bibir pantai yang tetap kokoh

meskipun tiap hari dihajar ombak berair asin.16

Masalah dalam hidupnya membuat Novera membutuhkan sebuah tempat

pelarian. Agama merupakan tempat pelarian terbaik bagi Novera. Menjadi

biarawati seolah menjadi solusi atas permasalahannya. Novera berusaha

menghindari kenyataan bahwa sebagai wanita ia tidak sempurna.

d. Rosi (Tan Mei Xi)

Rosi adalah gadis tomboi yang berubah menjadi seorang transgender. Ia

berbeda dari ketiga saudarinya yang lain. Rosi sejak kecil sudah merasakan

kelainan pada tubuhnya. Ia tidak menyukai tubuh wanitanya, tidak menyukai

15

Ibid., h. 70. 16

Ibid., h. 78.

Page 70: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

58

pakaian wanita. Ia tidak menyukai hal-hal yang berhubungan dengan wanita

seperti keharusan memakai bra dan rok. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

Rosi tahu dia berbeda semenjak usia dini. Sedini ketika matahari

pubertas mulai terbit di kaki langit. Ketika habis masa-masa ceria dunia

kanak-kanak; ketika usia mulai menyentuh masa-masa kritis dan sensitive;

ketika berjuta-juta pertanyan tentang hidup mengalir keluar; ketika

keinginan menggebu untuk mencoba segala sesuatu tidak tertahankan;

ketika semangat tanpa batas menetas, meretas segala aturan dan rambu.17

Apa istilah asingnya? Transgender. Transeksual. Cewek macho.

Cewek kelaki-lakian. Whatever apalah arti label? Tidak penting.

Lebih gawat lagi, dia dapat menyandang predikat teraneh diantara

yang aneh. Paling minoritas diantara yang minoritas. Sudah Cina,

transgender pula. Mana yang lebih gawat dari pada itu? Katanya, orang

cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu

tertekan di Negara ini. Dalam kasus Rosi, lebih mengerikan lagi. Mungkin

ini nerakanya neraka.18

Penulis menggambarkan tokoh Rosi secara panjang lebar. Dalam kasus

Rosi yang tidak biasa, transgender, ada sebuah kutipan menarik di atas yang

berbunyi. ―Sudah Cina, transgender pula.‖ Semacam nerakanya neraka. Rosi

sudah berbeda sejak kecil. Ia mengalami masa remaja yang suram. Ia dilanda

krisis jati diri hingga ia menemukan kenyamanan menjadi seorang transgender

dan lesbian. Karakter Rosi tomboi, penulis menggambarkannya sebagai Yang,

sesuatu yang kuat, yang terang, yang cerah. Akan tetapi, ia terlahir sebagai Yin,

yang gelap, yang tenang, yang lembut. Ia pun memiliki kepribadian ganda, sebuah

penyakit psikologis yang ia derita ketika menginjak masa pubertas. Hal ini terlihat

dalam teks berikut.

Pernahkah kamu merasa dirimu bukanlah dirimu yang

sesunguhnya? Pernahkah kamu merasa ada jiwa lain yang hidup di dalam

dirimu? Pernahkah kamu merasa kamu seharusnya tidak perlu hadir di

dunia ini?

Rosi berusia delapan belas tahun ketika akhirnya Roni muncul.

Sosok Roni gagah dan tampan, walaupun pribadinya adalah pantulan

17

Ibid., h. 41. 18

Ibid.

Page 71: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

59

cermin Rosi. Roni adalah Rosi, dalam bentuk yang sebenar-benarnya.

Roni memang telah lahir dalam diri Rosi semenjak gadis itu mencapai usia

puber, ketika eksistensi diri muncul ke permukaan.19

Sosok Roni muncul sebagai identitas bagi Rosi, Rosi yang lemah yang

memiliki semua wujud keperempuanan namun memiliki jiwa laki-laki. Roni

adalah Rosi yang sebenarnya. Ia lebih banyak mengambil porsi keberadan dalam

diri Rosi.

2. Tokoh Sampingan

a. Nung Atasana/Tan Tjin Yun (Papa)

Nung Atasana adalah seorang ayah yang bijaksana dan penuh cinta kepada

keluarga. Di mata-mata anak-anak dan istrinya, ia adalah seorang pria penuh

wibawa yang ucapannya dinanti seluruh anggota keluarga. Hal ini terlihat dalam

kutipan berikut.

Jemari Novera bertautan. Perlahan-lahan dia memajukan tubuhnya

dan berlutut khusyuk. Kepalanya tertunduk. Dalam benaknya, ayahnya

mungkin satu-satunya orang di dunia yang selalu memahami

keinginannya. Jika mereka tidak sama-sama sepakat tentang satu hal,

ayahnya memberikan kelonggaran yang luas bagi Novera untuk

memutuskan yang terbaik bagi hidupnya.

Ini termasuk ketika dia memutuskan menjadi pemeluk Khatolik..20

Dalam teks di atas terlihat sosok ayah yang bijaksana, ayah yang terbuka

dan demokratis. Nung memandang persoalan anak-anaknya dari sudut

pandangnya yang terbuka. Meskipun usia Nung sudah tua, tapi pola pikirnya tidak

kolot, bahkan ia membebaskan Vera untuk memeluk Khatolik. Terlihat dalam teks

berikut.

Setelah berdetik-detik sepi komentar sepi komentar, suara bariton

ayahnya muncul juga. “Menurut Papa, apa yang Vera putuskan itu bukn

kejahatan. Jadi soal yang satu ini, semunya terserah Vera.”21

19

Ibid., h. 121. 20

Ibid., h. 69–70. 21

Ibid., h. 73.

Page 72: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

60

Dalam teks tersebut, terlihat Papa yang bijaksana dan demokratis. Papa

membebaskan sepenuhnya kepada Novera untuk memeluk agama Khatolik yang

diyakininya. Nung tidak menghalangi dan melarang Novera menjadi Khatolik,

karena dalam pandangan Nung, Novera tidak melakukan tindakan kriminal yang

harus dicegah dan dilarang.

Nung juga seorang pekerja keras. Ia gigih dalam berjuang untuk

mendapatkan keturunan. Ia memilih untuk berusaha ketimbang menikah lagi

walaupun istrinya sudah mengizinkannya.

―Lu pernah denger Suhu Wong? Dia pinter memohon kepada

dewa-dewi kesuburan.‖ Itu kata temannya.

―Di mana?‖

Tanpa pikir panjang, Nung berangkat ke kelenteng di Singapura.

Di sana dia didoakan dan diberikan empat patung kecil berupa anak-anak

yang harus dirawat dan diletakkan di dekat meja persembahan. Katanya

empat patung kesuburan itu dapat mengeluarkan aura kesuburan bagi

pasangan infertile.

Satu tahun berlalu lagi.

Tanpa kehamilan, tanpa bayi.

―Lu mesti rajin merawat patung kecil itu!‖

Nung menggosoknya tiap tiga hari sekali dengan cairan pembersih

kayu. Setiap kali tangannya mengangkat hio, dia menyerukan kesuburan

pada dewa langit.

―Kamu selalu bisa adopsi.‖ Begitu komentar orang lain. Tidak-

tidak ada adopsi. Itu tekad Nung. …

Tepat pada tahun ketiga belas, tiba-tiba menstruasi Anas berhenti

mendadak. Pada mulanya, tidak terjadi letupan kegembiraan. Malah

kesedihan merangkul mereka berdua. Dua setengah bulan kemudian,

dokter memberikan konfirnasi bahwa Anas benar-benar mengandung pada

usia empat puluh tahun.22

Kutipan tersebut menunjukkan kegigihan Nung dalam memperoleh

keturunan. Ia mengabaikan nasihat orang lain untuk mengadopsi anak, ia memilih

untuk berjuang untuk kehadiran buah hati di tengah keluarga mereka. Nung

mendapatkan balasan yang setimpal atas kerja kerasnya, empat orang anak

kembar.

22

Ibid., h. 202—203

Page 73: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

61

b. Anas (Mama)

Anas adalah ibu dari Indah bersaudara. Sifatnya lembut dan bijaksana. Ia

menjadi teladan untuk anak-anaknya. Hal ini terlihat dalam teks berikut.

“Di Negara tertentu, hujan dianggap sebagai peristiwa alam yang dipuja.

Manusia menganggap para dewa sedang bersuka cita. Apalagi jika sudah lama

tidak turun hujan. Para petani tentu mengharapkan hujan.”

“Tapi saya tidak mengharapkan hujan. Para petani tentu mengharpkan

hujan,” seru Sisak keras kepala.

“Mungkin kamu tidak. Tapi banyak orang menyukai hujan. Apalagi

mereka yang mempunyai jiwa romantis dan sentimental. Sastrawan. Pengarang

hebat. Pelukis. Seniman banyak yang sudah berhasil menulis hujan demikian

puitis.23

Kutipan tersebut memperlihatkan sosok mama yang bijaksana, mama

menanggapi protes anak-anaknya tentang hujan dengan bahasa yang bijak dan

memberikan argumen yang disertai contoh.

c. Dharma

Dharma adalah seorang gadis yang bertubuh kecil dan ringkih. Dharma

kekasih Roni (Rosi), Roni sangat mencintai gadis yang memiliki latar belakang

keluarga yang kelam ini. Dharma lahir dari seorang ibu yang berprofesi sebagai

wanita penghibur. Dharma tidak mempunyai ayah. Masa lalunya yang kelam,

membuatnya menjadi gadis pendiam. Nasib yang membawanya kepada Rosi dan

mereka berdua terlibat asmara sesama jenis.Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

Masa remaja Dharma berlangsung membingungkan. Kekerasan di

sekitarnya, baik ibunya maupun lingkungannya adalah pemandangan yang

wajar bagi Dharma. Dia tumbuh di rumah sempit, di antara tumpukan

petak papan. Jalan depannya tidak dapat disebut jalan karena terlalu

sempit dan becek. Kendaraan apa pun tidak sudi lewat daerah situ.

Ibunya pelacur murahan yang harus bekerja tiap malam. Kalau

tamu lagi sepi, kebanyakan Ibu bekerja di diskotek. Kalau lagi teler,Ibu

sangat ringan tangan. Caci maki dan tempelengnya menghantam hati dan

tubuh Dharma.

23

Ibid., h. 59.

Page 74: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

62

Ayahnya … ah, tidak jelas. Dharma tidak pernah tahu siapa

ayahnya yang sesungguhnya. Terlalu banyak lelaki berlalu lalang. Lelaki

yang memanfaatkan tubuh ibunya.24

Dharma dilahirkan sebagai anak yang tidak memiliki ayah. Ibunya seorang

pelacur. Kehidupannya yang keras membuatnya tumbuh menjadi gadis yang

lembut namun kuat. Ia memutuskan untuk melanjutkan hidupnya dengan tidak

bersama ibunya. Ia keluar dari rumah ibunya dan bekerja di perkebunan teh.

Pekerjaannya sebagai pemetik teh membuatnya mencintai alam dan setelahnya ia

menjadi vegetarian. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

… Gadis itu menemukan pekerjaan sebagai pemetik daun teh. Dari

situ , dia berkenalan dengan alam. Dengan mudahnya, Dharma jatuh cinta

pada tanaman. Menurutnya, tanaman adalah personifikasi dirinya. Diam,

tenang, penuh perasaan, dan dekat dengan Sang Maha Kehidupan. Alam

membebaskannya dari kesunpekan hidup. Di bawah kubah langit biru dan

bentangan padang teh, dia bersumpah untuk selalu menghormati alam. Dai

akan menyamakan diri dengan degup napas dan ritme kehidupan.

Semudah itu Dharma memtuskan mejadi vegan sejati. 25

Dharma sesungguhnya bukan seorang lesbian. Ia tidak menyukai sesama

jenis, ia menyukai laki-laki. Akan tetapi, garis hidup membawanya bertemu Roni

(Rosi). Dharma yang memiliki latar masa lalu yang kelam dan tidak pernah

merasakan kasih sayang, mendapatkan segalanya dari Roni (Rosi). Mulai dari

perlindungan, perhatian, dan cinta kasih. Akhirnya, mereka saling jatuh cinta.

Dharma mencintai Roni karena Roni di matanya adalah laki-laki, begitu pun

sebaliknya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

Dharma bukanlah lesbian. Semenjak remaja, dia tertarik kepada

lelaki yang tidak pernah memberikannya apa pun. Roni memberinya cinta,

tanpa pamrih. Dharma mereguknya sepuas hati. Dirinya bagai sumur

kering yang dahaga. Bagai musafir yang berjalan kelelahan. Rasa cinta

dapat memuaskan rasa hausnya akan kehangatan. Dia yang hidupnya

penuh penolakan dan dan kesendirian merasa lega dengan kehadiran Roni.

24

Ibid., h. 188. 25

Ibid., h. 190—191

Page 75: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

63

Di matanya, Roni adalah surga. Dia tidak peduli masalah gender.

Apakah cinta mengenal jenis kelamin? Roni adalah lelaki yang mencintai

diri Dharma seratus persen.26

Dari kutipan tersebut menunjukkan Dharma yang bukanlah seorang

lesbian. Dia adalah gadis yang kesepian, merasa terasing dari dunia hingga

akhirnya ia menemukan cinta dari seseorang. Seseorang itu adalah Roni (Rosi),

seorang transgender. Mereka berdua saling mencintai.

Perubahan orientasi seksual Dharma terkait dengan masa lalunya yang

kelam dan keadaan yang memosisikan Dharma berhubungan intens dengan Rosi.

Dharma hanya berkutat dengan Rosi yang terus menerus memberikan cinta

kasihnya, hal yang sebelumnya tidak pernah ia dapatkan dari siapa pun.

d. Pastor Antonius

Pastor Antonius, kekasih Indah. Ia sangat mencintai Indah, namun

statusnya sebagai pastor tidak memungkinkan dirinya untuk bisa menikahi Indah.

Pastor Antonius seorang yang lembut dan tampan. Ia seorang yang kharismatik,

terlihat pada teks berikut.

Seperti biasa, Antonius otomatis membuang napas. ―Kamu tahu

kita tidak mungkin bersama-sama seperti layaknya orang pacaran. Aku ini

pastor. Mengertikah kamu? Aku telah mengucapkan sumpah untuk hidup

murni. Hidup selibat. Tidak ada perempuan, istri, bahkan pernikahan

bagiku. Aku akan menghabisakan sisa hidupku berjalan bersama tuhan.

―Indah dengar ya…,‖ Antonius berkata putus asa. Putus asa

membayangkan betapa kuat tekad Indah terhadap keinginan dan

perasaannya. Gadis itu tak akan menyerah terhadap kenyataan, walaupun

langit akan runtuh. ―Apa yang telah kita lakukan itu dosa. Aku menyesal

atas nama Yesus dan sudah bersumpah tidak akan pernah melakukannya

lagi. Apa yang aku perbuat padamu adalah salah. Salah besar. Jadi,

selayaknya kita tidak melakukan hal itu lagi, tidak memperpanjang

masalah yang telah terjadi. Kamu mengerti?27

Beberapa kutipan tersebut menunjukkan sikap tegas Antonius. Ia seorang

pastor yang taat. Walau dalam hati kecilnya ia mencintai Indah, namun ia memilih

26

Ibid., h. 191. 27

Ibid., h. 125—127.

Page 76: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

64

untuk berbakti pada Tuhannya. Ia memutuskan untuk meninggalkan Indah dan

kembali menjalani hidup sebagai pastor sejati yang mengabdikan seluruh

hidupnya pada Tuhan.

Kutipan tersebut juga menjelaskan bahwa kehidupannya sebagai pastor

tidaklah mulus. Ia pernah terpeleset dalam cinta. Ia pernah berhubungan intim

dengan Indah. Sebagai pastor, hal ini sangat bertentangan dengan agamanya.

Seorang pastor bahkan dilarang untuk menikah. Akan tetapi, Pastor Antonius

malah berhubungan intim dengan Indah di luar pernikahan. Hal ini menunjukkan

bagaimana pun juga pastor Antonius adalah seorang manusia biasa yang memiliki

sifat-sifat kemanusiaan juga memiliki hawa nafsu. Demi agama Pastor Antonius

meninggalkan Indah, wanita yang dicintainya.

Dalam agama Khatolik sendiri, konsep pastor yang dilarang menikah

masih menuai kontroversi. Ada beberapa gereja yang menerapkan peraturan lebih

longgar terhadap pastor dengan membolehkannya menikah. Adalah Gereja Timur

yang pada abad ke-7 menghapuskan aturan ini. Akan tetapi, sebagian besar gereja

membuat aturan ketat tentang pelarangan pernikahan bagi pastor28

. Hubungan

seksual merupakan kebutuhan dasar bagi manusia, apabila kebutuhan dasar

tersebut dikekang bukan tidak mungkin ia akan mencari jalan keluarnya sendiri.

Pastor Antonius yang seharusnya hidup selibat taat pada Tuhan dan peraturan

agamanya ini, mangkir, dan yang lebih ironisnya lagi ia tidak bertanggung jawab

atas kehamilan Indah. Di sini ia lebih memilih jalan agama namun ia melupakan

hal yang lebih esensial, kemanusiaan.

e. Rafy

Rafy, duda beranak satu, ayah murid yang diajar Novera. Istrinya

meninggal ketika melahirkan anak mereka. Rafy menaruh hati kepada Novera.

Usia Rafy sekitar 35 tahun. Dewasa dan kebapakan. Ia tulus mencintai Novera.

Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

28

Berdasarkan artikel yang dimuat dalam web berikut. http.//katolisitas.org/575/kami-

mengasihimu-pastor

Page 77: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

65

… Lelaki berpakaian kaus biru muda dan celana jins biru gelap. Tubuhnya

tidak terlalu tinggi tapi tampak tegap dan sehat. Kulitnya berwaena cokelat

muda. Senyum lebarnya mengembang dan matanya berbinar dibingkai

kacamata tanpa frame.29

―kenalkan,‖ akhirnya dia bersuara. Tawanya dipaksakan

mengembang. ―Ini saudari kembarku yang lain. Siska. Indah.‖ Rafy

mengulurkan tangannya, penuh simpati. ―Ini Rafy,‖ lanjut Novera,

setengah gagap.

―Indah.‖

―Siska, nice to meet you, Rafy.‖

―Teman dari mana?‖ sapa Indah hangat.

―Teman dari Yogya,‖ jawab Rafy bersahabat.

―Satu sekolah?‖

―Ya dan tidak. Aku bekerja di perusahaan makanan ringan. Anakku

bersekolah di tempat Novera mengajar.‖

―oooh, sudah punya anak?‖

―Umur lima tahun. Dan ehm… aku single dad. Isteriku meninggal ketika

melahirkan Marga, pendarahan berat.‖30

Kutipan di atas menunjukan deskripsi tentang Rafy secara fisik dan

sikapnya yang simpatik. Prilakunya yang simpatik ini menunjukkan bahwa ia

mencintai Novera.

F. Tanti

Tanti adalah sahabat sekaligus kolega guru di tempat Novera mengajar.

Tanti seorang yang ceria dan simpatik. Ia turut bersedih atas apa yang menimpa

Novera sekaligus gembira dan mendukung Novera spenuhnya dalam menjalin

hubungan dengan Rafy. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.

Tanti melanjutkan dengan suara selembut burung merpati.

―Bagaiamana penyelesaiannya? Apa ayah kamu bakalan tinggal di rumah

sakit. Atau apa…‖ kata-kata Tanti menguap, tidak tahu bagaimana dia

menyelesaikannya dengan baik. Gadis itu tahu, Novera tidak punya ibu

lagi. Ayahnya tinggal sendirian di rumahnya di Jakarta dengan tiga ekor

kucing persiayang gendut dan malas.31

―Kurang apa lagi sih Oom Senang itu? Sama-sama Katolik. Sama-

sama Cina. Duda mati, bukan cerai. Anak satu, masih balita. Si Marga itu

29

Ibid., h. 242. 30

Ibid., h. 252—253. 31

Ibid., h. 25.

Page 78: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

66

lucu lagi. Umur segitu anak masih gampang menerima dan memberi cinta.

Umur si Oom jua belum tua-tua amat. Tiga puluh lima sih masih muda,

Ver. Ayo coba dipikirkan sekali lagi.‖32

Sebagai sahabat, Tanti selalu mendukung yang terbaik untuk Novera.

Dalam kutipan di atas, terlihat bahwa Tanti mendukung Novera untuk menikah

dengan Oom Senang yang tak lain adalah Rafy. Dukungan dari Tanti sedikit

banyak memengaruhi Novera untuk berpikir kembali tentang Rafy. Adakalanya

teman mampu memberikan kita sugesti positif terhadap suatu hal. Banyak dari

kita baru merasa yakin ketika mendapat dukungan dari orang-orang terdekat

terutama sahabat dan keluarga.

g. Dokter Marcel Tunggawidjaya

Dokter Marcel adalah dokter keluarga Nung Atasana. dr. Marcel seorang

dokter yang penuh perhatian. Mereka sejak lama saling mengenal, terlihat dalam

kutipan berikut.

Dokter Marcel Tunggawijaya adalah dokter keluarga yang telah

dikenal Indah sejak batita. Dulu dokter itu membuka praktik

kedokterannya persis di depan rumah keluarga Atasana selama bertahun-

tahun. Tidak lama ketika Indah bersaudara berusia sepuluh tahun, dr.

marcel berangkat ke Kanada mengambil spesialisasi, kemudian menjadi

dokter spesialis penyakit darah sekembalinya dari sana. Biarpun demikian,

mereka sekeluarga selalu mempercayakan kesehatan mereka di tangan

dokter Marcel. Hubungan mereka sangat akrab sampai-sampai tak ada lagi

jeda kekakuan yang sering terjadi antara dokter dan pasien di Indonesia. 33

dr. Marcel berdiri dan berjalan mengitari mejanya. Dia menarik

kursi pasien di samping Indah. Duduk berhadapan dengannya, lelaki tua

itmengambil tangan Indah dan menggenggamnya lembut. Tatapannya

sangat hangat.34

Kutipan di atas menunjukkan sifat dokter Marcel yang simpatik dan

lembut. Tidak seperti kebanyakan dokter di Indonesia yang cenderung kaku,

dokter Marcel dekat dengan pasiennya. Dia menenangkan Indah dengan

32

Ibid., h. 144. 33

Ibid., h. 63. 34

Ibid., h. 67.

Page 79: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

67

menggenggam jari Indah seolah memberi kekuatan dan keyakinan kepada Indah

bahwa penyakit ayahnya bisa disembuhkan.

h. Michael

Michael adalah klien Siska di Hongkong, laki-laki ini digambarkan

sebagai sosok yang sempurna. Siska sampai harus melanggar sumpahnya sendiri

dan berkencan dengan kliennya yang satu ini, terlihat dalam kutipan berikut.

Siska tahu tipe lalaki seperti Michael. Perempun akan memberi title Mr.

Too Good To be True alias te-ge-te-be-te. Lelaki gay akan memberikan judul Mr.

Too Good to be Gay alias te-ge-te-be-ge. Hhh! Tidak ada yang too good to be…

anything dalam kamus Siska. Semuanya pantas didapatkan.

Tapi kan… kalo boleh jujur Siska ingat sumpahnya barusan.

―Saya tidak boleh berkencan dengan klien.‖35

Deskripsi di atas menjelaskan sosok Michael yang sempurna. Pria

keturunan Amerika, gagah, tampan, impian semua perempuan. Kegantengan

Michael inilah yang membuat Siska terperangkap. Michael seorang laki-laki yang

licik. Ia memanfaatkan keadaan perusahaan Siska yang tengah digugat untuk

mendapatkan keuntungan pribadi. Michael menuduh Siska melakuan tindakan

pelecehan seksual terhadap dirinya, terlihat dalam kutipan berikut.

―Seksual Harrasment,” ulang Siska getir. ―Pelecehan Seksual. Aku

digugat karena telah melakukan pelecehan seksual terhadap salah satu

klienku di Hongkong. Lelaki itu melaporkan bahwa aku memaksanya tidur

dengan dia. Tidak tanggung, dia menggugat seratus juta dolar Singapura.‖

―Aku menyesal. Seharusnya aku mematuhi peraturan yang aku

buat jika aku ingin berkencan dengan lelaki. Dari dulu aku selalu

mematuhi peraturan itu. Kali ini aku terpeleset, aku enggak ngerti deh

kenapa. Aku menyesal.‖

―Ini jebakan‖ dengus Siska masygul. ―Lelaki itu pasti

memanfaatkan momentum perusahaanku kena gugat sehingga nama buruk

35

Ibid., h. 87.

Page 80: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

68

perusahaan dan aku sendiri bisa dihubung-hubungkan dengan mudahnya

oleh media.36

Beberapa kutipan di atas yang berdasarkan percakapan Siska dengan

Indah, menggambarkan sosok Michael yang selain tampan juga ternyata licik. Ia

memanfaatkan keaadaan buruk yang tengah menimpa perusahan Siska untuk

meraih keuntungan pribadi yang sangat besar.

3. Latar

Latar atau setting terbagi menjadi tiga yakni, 1) latar tempat, 2) latar

waktu, dan 3) latar sosial.

a. Latar Tempat

Latar tempat yang dominan terdapat dalam novel DT ini antara lain

sebagai berikut.

1) Kota (Jakarta)

Kota menjadi lokasi di mana keluarga Nung Atasana tinggal. Sejak dulu

kawasan Kota banyak didiami oleh bangsa keturunan Tionghoa di Jakarta,

lokasinya pun berdekatan dengan kawasan Pecinan di daerah Glodok. Hal ini

terlihat dalam teks berikut.

Rumah itu masih seperti yang ada dalam bayangan Siska. Pagar

yang tidak terlalu tinggi. Tanaman bugenvil dengan bunga-bunganya yang

berwarna kuning dan merah muda bermekaran penuh. Pintunya bercat

hijau pupus bergaya kuno. Di atas pintu terdapat cermin Pa Kua, cermin

delapan arah mata angin. Di samping pintu, tempat hio berwarna merah

tergantung di dinidng. Di dalamnya ada sisa-sisa batang hio yang sudah

terbakar. Jendela-jendela besar itu kelihatan berdebu dengan lubang angin

yang jadi tempat laba-laba membuat sarang. Pasti tidak orang yang sempat

membersihkannya. Seekor kucing kampung bergelung di depan teras.

Tembok rumah berwarna putih kusam, tidak terawatt. Mungkin juga

terelalu banyak diterpa debu. Rumah ini berada di daerah Kota yang

kumuh, tua, dan kotor.37

2) Petak Sembilan, Glodok (Jakarta)

36

Ibid., 248—249.

37

Ibid., h. 93—94.

Page 81: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

69

Petak Sembilan merupakan kawasan pecinan di Jakarta. Etnis Tionghoa

banyak ditemui di daerah ini. Mereka berkumpul, tinggal, dan berdagang di

kawasan ini. Sebagai etnis keturunan Tionghoa, Indah, Siska, Rosi, dan Novera

biasa datang ke tempat ini untuk membeli obat Cina dan lain sebagianya, Terlihat

dalam kutipan berikut.

Pasar Petak Sembilan seperti biasa. kumuh, becek, panas, kotor,

dan berdesak-desakan. Di mana-mana terdengar suara orang berteriak satu

sama lain. Pernak-pernik dan perlengkapan Cina seperti perlengkapan

sembahyang, lampion, batu giok, gelak kristal, mentimun laut alias

tripang, krupuk perut ikan, permen manisan buatan Cina, berjejer dijual.

Kedai makanan bakmi pangsit, kuotie, cakue, pioh (daging kura-kura),

sekba (semur babi), swike, bubur ayam, bakapau, rujak mi berdesak-

desakan menunggu pembeli. Rosi menatap kerumunan orang dengan

pandangan ngeri. Sudah lama sekali ia tidak pergi ke pasar ini.

c. Hongkong

Siska biasa mondar-mandir ke luar negeri selain Singapura yang

merupakan Negara di mana kantornya berada. Salah satunya Hongkong.

Hongkong menjadi latar yang penting untuk dibicarakan karena di Negara inilah

Indah terkecoh oleh kliennya, Marcel, terlihat dalam kutipan berikut.

Siska berjalan cepat melewati lautan manusia yang bergegas-gegas

berjalan di trotoar. Dia selalu menyukai suasana Hong Kong di waktu

malam. Apalagi saat langit sangat bersih dan cerah seperti sekarang.

Bintang-bintang kelihatan jelas. Bulan purnama sangat indah. Angin

semilir membawa bau masakan kemana-mana.38

“Sexual harassment,” ulang Siska getir. ―Pelecehan seksual. Aku

digugat karena telah melakukan pelecehan seksual terhadap salah satu

klienku di Hongkong. Lelaki itu melaporkan bahwa aku memaksanya tidur

dengannya. Tidak tanggung-tanggung dia menggugat sebesar seratus juta

dolar singapura.‖39

Beberapa kutipan di atas menunjukan bahwa Hongkong merupakan latar

tempat yang mempunyai arti penting dalam cerita. Negara ini sering didatangi

Indah untuk urusan bisnis dan di Negara ini pula Siska melanggar janjinya untuk

38

Ibid., h. 85. 39

Ibid., h. 248.

Page 82: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

70

tidak berkencan dengan kliennya, namun ia akhirnya berkencan dengan Michael.

Michael yang licik memanfaatkan moment citra buruk yang tengah dihadapi

perusahaan Siska kemudian menggugat Siska dengan tuduhan sexual harassment.

b. Latar Waktu

Latar waktu dalam novel DT ini terjadi pada sekitaran tahun 2000-an.

Novel ini pertama kali terbit tahun 2006 dan pengarang mengambil setting waktu

sekitar tahun novel ini terbit, yakni tahun 2006. Latar waktu tahun 2006 dikuatkan

oleh kutipan berikut.

Siska mendengus kepada Indah yang sedang menatap

komunikatornya tanpa berkedip. Astaga, Indah punya catatan siapa yang

mengantar Papa ke rumah sakit tercatat di komunikatornya.40

Ponsel komunikator booming pada sekitaran tahun 2005—2006. Pelopor

ponsel pintar ini adalah Nokia dengan seri N dan seri E. seri ponsel komunikator

yang paling terkenal adalah E90 communicator yang muncul pada tahun 2007,

pendahulu E90 adalah E9500, kemungkinan ponsel ini lah yang digunakan Indah..

Latar waktu tahun 2005—2006 ini juga terlihat dari yahun kematian Nung

Atasana. Nung meninggal ketika Imlek tahun 2006 tepatnya tanggal 29 Januari

2006. Terlihat dalam teks.

In Memoriam: Tan Tjin Yun/ Nung Atasana

(15 Februari 1932—29 Januari 2006)41

c. Latar Suasana

Latar suasana adalah kondisi sosial dan politik yang melatari novel ini.

Latar suasana novel DT ini adalah latar suasana sosial politik pasca tragedi

kemanusiaan Mei 1998. Pada era demokrasi di mana peraturan pemerintah yang

40

Clara Ng, Op. Cit. h. 220. 41

Clara Ng, Op. cit., h. 318

Page 83: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

71

rasialis dan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa sudah dihapuskan. Namun,

perilaku rasis masih mereka terima, seperti terlihat dalam kutipan berikut.

… Mungkin karena aku keliatan Cina banget, jadi santapan empuk

bagi mereka semua!42

―Iyalah, pasti! Aku mau saja kasih duit.‖ Rosi terus mencerocos di

ponsel. ―Tapi, baru aku mau ambil dompet, ada yang kasih komentar

menyesakkan hati. Katanya, dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya,

sok borjuis pula. Itu benar-benar pelecehan kelas berat, Ndah! Masa aku

dibilang Cina sialan! Bayangkan, padahal aku sudah mau mengalah, mau

kasih duit. 43

Ternyata tidak, siapa yang sangka? Waktu aku mau kasih duit, ada

lagi yang ngasih komentar di belakangku. Dasar Cina pelit, kasih duit

selalu sedikit. Langsung aja darahku tancap gas ke ubun-ubun. Sialan

benar. Aku tersinggung sekali mendengarnya.44

Kutipan di atas menunjukkan perilaku rasis yang diterima oleh Rosi.

Celetukan-celetukan masyarakat yang memanaskan hati masih terdengar di mana-

mana. Stereotip negatif masih menghantui etnis Tionghoa di Indonesia bahkan di

alam demokrasi seperti sekarang ini.

4. Plot

Plot adalah urutan-urutan kejadian yang dihubungkan secara sebab akibat.

Singkat kata peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang

lain. Pengarang menyusun cerita berdasarkan hubungan sebab akibat.

Plot dalam novel DT adalah plot lurus atau maju, cerita dimulai secara

runtut dari tahap awal, (penyituasian, pengenalan, permunculan konflik) tengah,

(konflik meningkat, klimaks) akhir (penyelesaian). Rangkaian cerita dalam novel

DT ini berawal dari berita Nung Atasana, Ayah dari Indah, Siska, Novera, dan

Rosi sakit keras. Sakit yang diderita Nung Atasana tidak main-main dan sangat

mengancam hidupnya. Setelah itu berlanjut dengan pengenalan tokoh. Dijelaskan

bahwa Siska adalah seorang yang cerdas dan mandiri pemilik perusahaan di

42

Clara Ng., Op. cit., h. 54. 43

Clara Ng., Op. cit., h. 55. 44

Clara Ng, Op. cit., h. 55—56.

Page 84: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

72

Singapura. Indah seorang penulis sekaligus wartawan yang menderita gagap.

Rosi, gadis tomboi petani mawar di puncak. Novera gadis lembut seorang guru

TK di Jogja.

Konflik muncul ketika Indah mencetuskan gagasan untuk tinggal

bersama kembali untuk merawat ayah mereka. Gagasan ini ditolak oleh seluruh

anggota keluarganya yang lain. Mereka berdalih tidak mungkin meninggalkan

pekerjaan mereka masing-masing. Siska tidak mungkin meninggalkan

perusahannya di Singapura. Rosi tidak ingin meninggalkan perkebunan

mawarnya di Puncak. Novera pun tidak bisa berlama-lama meninggalkan murid-

muridnya di Jogja. Hanya Indah satu-satunya anak Nung Atasana yang tinggal di

Jakarta, namun ia pun tidak mungkin mengurus ayahnya sendirian.

Dengan berbagai argumentasi dari Indah dan kesehatan Nung yang makin

memburuk, akhirnya mereka sepakat untuk tinggal bersama merawat Nung,

namun permasalahan tidak selesai sampai disitu. Konflik semakin meninggi

dengan persoalan pribadi masing-masing tokoh utamanya. Siska terjerat kasus

pelecehan seksual. Ia dituduh melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap

kliennya di Hongkong. Indah bernasib sial karena jatuh cinta dan berhubungan

dengan seorang pastor, seorang yang tidak mungkin menikahinya. Rosi ternyata

memiliki kelainan psikologis. Ia berkepribadian ganda, ada sosok Roni dalam

diri Rosi. Rosi memjelma menjadi seorang transgender dan menyembunyikan

rapat-rapat tentang hal ini dari keluarganya. Novera yang tidak memiliki rahim

karena harus diangkat akibat penyakit kista ganas yang menyerangnya bertekad

untuk menjadi biarawati.

Konflik mencapai puncaknya ketika satu persatu rahasia mereka

terbongkar kepermukaan. Berawal dari Rosi yang keceplosan tentang jati dirinya

sehingga saudara kembarnya yang lain merasa curiga terhadap Rosi. Berlanjut

tentang tekad Novera untuk menjadi biarawati ditentang keras oleh Rosi, Rosi

menganganggap keputusan Novera ini hanya sebagai pelarian atas kekurangan

Novera. Siska yang tidak bisa lagi menyembunyikan permasalahannya akhirnya

menceritakan apa yang menimpanya. Siska yang selalu terlihat sempurna juga

mempunyai permasalahan. Indah hamil, namun ia tidak mungkin meminta

Page 85: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

73

pertanggungjawaban Antonius sang pastor, ia dalam dilema besar antara

menggugurkan atau mempertahankan janinnya.

Tahapan selanjutnya adalah penyelesaian. Satu persatu permasalahan tiap

tokoh utama dapat terselesaikan. Siska berhasil memenangkan gugatan atas

dirinya dan ia memiliki bukti kuat kalau ia tidak bersalah. Indah memutuskan

untuk mempertahankan bayinya, ia menjadi ibu tunggal untuk anaknya tanpa ada

pernikahan. Jati diri Rosi akhirnya terungkap, saudara kembarnya mengetahuinya

bahkan ayahnya pun sudah mengetahuinya, namun mereka memahami keadaan

Rosi dan menerimanya. Novera mengurungkan niatnya menjadi biarawati. Ia

ditaksir oleh duda beranak satu yang menerima keaadaan Novera.

Kisah keluarga ini ditutup dengan meninggalnya Nung Atasana. Dimsum

terakhir yang mereka makan pada pagi Imlek, pagi yang sama dengan hari

kematian Nung Atasana. Meski ada sedikit konflik pada acara pemakamannya

karena tradisi Tionghoa yang rumit dan panjang, namun akhirnya dapat dilalui

mereka dengan baik. Rosi didaulat membawa bendera, menegaskan bahwa

posisinya kini adalah anak laki-laki Nung Atasana.

Pada Imlek berikutnya, mereka berempat berkumpul untuk merayakannya

bersama-sama. Indah sudah melahirkan, anaknya bernama Ariel. Rosi tidak

canggung lagi menunjukkan eksistensinya sebagai transgender, ia membawa

Dharma kekasihnya turut serta, begitu juga dengan Novera, ia juga membawa

Rafy, calon suaminya turut serta. Bisa dikatakan novel ini berkhir dengan

bahagia. Semua konflik bisa diatasi tokohnya dengan baik.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang atau Point of View adalah cara atau pandangan yang

digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan

berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada

pembaca.45

Sudut pandang atau Point of View adalah cara atau pandangan yang

digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan

berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya.

45

Nurgiantoro, Op. cit., h. 248.

Page 86: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

74

Menurut A. Bakar Hamid dalam Rampan, mengatakan bahwa sudut

pandangan adalah teknik mengemukakan cerita dengan meyakinkan dan

pengarang dapat menggunakan teknik ini untuk menentukan hal-hal yang

dianggap sebagai sampingan saja.46

Dalam novel DT ini, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang

orang ketiga yang berkuasa. Pengarang seolah Dewa yang tahu segalanya. Seperti

yang dijelaskan Jacob Sumardjo dalam Rampan mengenai sudut pandang yang

berkuasa. Omniscient point of view, yaitu sudut pandang yang berkuasa. Dengan

sudut pandang ini, pengarang seakan Tuhan atau Dewa, karena pengarang

bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja pada

tokohnya, pikiran, perasaan, jalan pikiran, sikap hidup, pandangan hidup

tokohnya, dan sebagainya. Ia bisa bicara secara langsung kepada pembacanya.47

Fungsi sudut pandang orang ketiga berkuasa ini adalah untuk

memudahkan pembaca memahami situasi, konflik, dan tokoh-tokoh yang terdapat

dalam novel. Pengarang berhubungan langsung dengan pembaca melalui

pengetahuannya. Hal ini terlihat dalam teks berikut.

Novera membuka matanya perlahan-lahan. Kepalanya yang sedari

tadi sakit seakan dihantam palu kini sudah mendingan. Perasaan damai

melingkupi hatinya. Setiap kali dia menatap salib itu, hatinya selalu

menjadi lebih tenang.48

Dalam kutipan di atas, terlihat pengarang mengetahui segalanya.

Pengarang mengetahui kondisi fisik, bahkan suasana hati Novera diketahuinya

dengan baik. Pengarang mengetahui segalanya tentang Novera sampai pada

perasaannya yang terdalam. Pemilihan sudut pandang ini membuat pengarang

lebih leluasa mengeksplorasi para tokoh beserta konfliknya masing-masing.

Berkat keleluasaan ini, pengarang mampu menyuguhkan detail tokoh sampai

detail konflik.

46

Rampan, Op. cit., h. 6. 47

Ibid. h. 6. 48

Clara Ng, Op. cit., h. 69.

Page 87: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

75

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya melalui

bahasa yang dipilihnya. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal,

struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang

sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

Seorang pengarang biasanya punya gaya atau ciri khasnya sendiri. Gaya

bahasa yang digunakan pengarang cenderung merepresentasikan dirinya. Clara

Ng yang memang keturunan Tionghoa dengan fasih menggunakan metafor-

metafor yang bercita rasa Tionghoa.

Clara tidak banyak menyuarakan persoalan etnis Tionghoa dalam novel

ini, beberapa memang dia menampilkan persoalan tersebut, namun hal tersebut

tidak menjadi pokok penceritaan novel. Clara berusaha menyajikan kehidupan

masyarakat keturunan Tionghoa dengan manusiawi dalam artian tidak nyinyir

dengan nasib mereka sebagai ‖warga kelas dua‖ tapi menyajikan suatu bentuk

kebudayaan yang begitu menarik untuk diteliti. Contoh metafor bercita rasa

Tionghoa terlihat dalam kutipan berikut.

Mama meletakkan meja dengan taplak merah di depan teras dan

menata beberapa kue di atas meja tersebut. Sudah pasti ada kue bulan dan

bakpao. Kata ―persatuan‖ yaitu yuan diucapkan sama dengan kata untuk

―bulat‖. Hari itu menjadi peringatan istimewa untuk setiap keluarga Cina,

bahwa hari itu tonggak pengingat bahwa persatuan keluarga sangatlah

penting. Keluarga yang bulat adalah keluarga yang tidak terpecah belah.49

Kutipan di atas menceritakan tentang sebuah tradisi perayaan masyarakat

Tionghoa. Kutipan di atas juga menunjukkan sebuah kesederhanaan. Sederhana

dalam arti Clara Ng menyampaikan gagasannya tentang makna sebuah tradisi

berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya sendiri sebagai seorang warga

keturunan Tionghoa. Ia tidak mengada-ada tentang sebuah pemaknaan tradisi.

Selain dipenuhi oleh metafor-metafor yang berbau kebudayaan Tionghoa,

Clara juga menampilkan gaya bahasa bombastis dalam novel ini, Clara Ng

sebagai pengarang dari novel DT kerap menggunakan gaya bahasa hiperbol atau

49

Ibid., h. 171—172.

Page 88: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

76

bombastis. Ia juga kerap menggunakan metafor-metafor perbandingan untuk

melukiskan suasana novel. Hal ini terlihat dalam teks berikut.

Sekarang Rosi menyesal. Sangat. Menyesal tujuh turunan.

Otaknya mau meledak. Pikirannya mampet. Hatinya ruwet. Feeling-nya

seret.

Dengan perasaan yang telah terkontaminasi lima jenis virus stress,

Rosi menyalakan ponselnya. Jemarinya bergerak lincah mengirimkan

pesan singkat.50

Kutipan di atas menunjukkan pola Clara Ng dalam menulis novelnya. Ia

sering menggunakan gaya hiperbol atau berlebihan dalam mengungkapkan

suasana dalam novel. Masih banyak kutipan serupa yang menunjukkan

kecenderungan Clara Ng menggunakan gaya bahasa hiperbola. Selain itu gaya

bahasa kiasan yang digunakan juga berkesan berlebihan seperti terlihat pada

kutipan berikut.

Tiga minggu berlari mengamuk. Kesetanan. Novera seperti

dihantam angin puyuh berkecepatan supertinggi. Berputar-putar seperti

gasing. Terbanting-banting seperti baju di mesin cuci.51

Kutipan di atas menunjukkan gaya bahasa simile atau persamaan yang

berlebihan. Jika manusia dihantam angin puyuh berkekuatan super tinggi sudah

pasti manusia itu tidak akan selamat. Pengarang menggunakan gaya bahasanya

yang cenderung hiperbol. Gaya semacam ini konsisten digunakan pengarang dari

awal sampai berakhirnya novel.

B. Hasil Penelitian Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir

1. Etnis Tionghoa Di Indonesia dalam Novel Dimsum Terakhir

Nung Atasana adalah generasi pertama yang lahir di Nusantara,

50

Clara Ng. op. cit. h. 267. 51

Ibid., h. 296.

Page 89: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

77

Kakeknya tinggal di Cina. Penulis tidak menjelaskan secara detail asal-usul Nung

Atasana. Pengarang menjelaskan secara singkat bahwa ayah Nung Atasana

berasal dari Provinsi Fujian dan tujuan semula adalah Singapura, namun karena

suatu hal kapal yang ditumpanginya berlabuh di Tanjung Priok.

Etnis Tionghoa yang merantau ke Indonesia kebanyakan berusaha di

bidang keuangan dan perdagangan. Profesi ini juga yang dijalankan oleh Nung

Atasana, terlihat dalam teks berikut.

Dia hanya tahu berdagang. Berjualan elektronik di Glodok.

Tokonya lumayan laris. Banyak pelanggan yang kembali datang

kepadanya, sekadar menanyakan harga atau membeli untuk kebutuhan

rumah tangga. ―Toko Sinar Berjaya‖ tumbuh menjadi lahan yang dapat

menghidupi.52

Sejak semula kedatangan bangsa Tionghoa di Indonesia untuk berdagang

seperti sebuah kutipan dalam buku karangan Hari Purwanto berikut ini.

Wang Gungwu dalam Purwanto menilai, munculnya

perkampungan orang Cina di Jawa pada masa itu cukup beralasan.

Aktivitas perdagangan orang Cina pada Dinasti Song dengan armada

lautnya telah berkembang pesat. Di kala itu orang-orang Cina telah

menjadi bagian aktif dari jaringan perdagangan lokal di Nanyang.53

Pada era Soekarno, aktivitas perdagangan di kalangan etnis Tionghoa

semakin terorganisasi dengan rapih dan hampir menguasai perdagangan di

Indonesia. Kepiawaian etnis Tionghoa dalam berdagang ini memunculkan

kecemburuan orang-orang pribumi sehingga memunculkan konflik di kalangan

pribumi dan nonpribumi, ketegangan yang muncul memaksa pemerintah

menerbitkan peraturan kontroversial.

Pada November 1959, Presiden Soekarno menandatangani Peraturan

Pemerintah No. 10 atau yang lebih dikenal dengan PP-10. Peraturan ini berisi

larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang Tionghoa)

52

Clara Ng, Op. Cit. h. 201. 53

Hari Purwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang. (Depok. Komunitas Bambu, 2005),

h. 41.

Page 90: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

78

untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman , yaitu di luar ibu kota

daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak 1 Januari

1960.54

Pada masa pemerintahan Orde Baru, posisi etnis Tionghoa makin terjepit.

Ada begitu banyak peraturan pemerintah yang menyudutkan etnis ini. Contohnya

adalah ditutupnya sekolah Tionghoa dan yang berbahasa Tionghoa. Anak-anak

etnis Tionghoa diharuskan sekolah di sekolah umum. Kebanyakan dari mereka

memilih sekolah Kristen untuk menuntut ilmu. Anak-anak Nung Atasana pun

sekolah di yayasan Kristen yang dikepalai oleh seorang suster. Hal ini terlihat

dalam kutipan berikut.

Esoknya, Nung dan Anas dipanggil untuk menghadap Suster

Meredith, kepala sekolah. Siska dan Rosi diskors dua hari.55

Larangan berdirinya sekolah Tionghoa ini tertuang dalam Instruksi

Presidium Kabinet Nomor 37/UN/IN/6/1967 tentang Kebijakan Pokok

Penyelesaian Masalah Cina. Kebijakan ini mengatur pembatasan mengenai

masalah pendidikan, kegiatan usaha, dan tenaga kerja.56

Selain larangan berdirinya sekolah Tionghoa, peraturan diskriminatif

lainnya yang aplikasinya muncul dalam novel adalah pelarangan untuk

merayakan Imlek. Hal ini terlihat dalam teks berikut.

Tapi dalam hati, terus terang, Nung Khawatir. Hari ini Imlek,

Tahun Baru Cina. Hari raya besar dalam kebudayaan Cina. tidak ada

bedanya dengan muslim yang merayakan lebaran. Pemerintah zaman itu

telah mengancam setiap sekolah di seluruh Jakarta agar memberikan

peringatan keras kepada para murid keturunan Cina yang mencoba-coba

tidak masuk sekolah dengan alasan Imlek.57

Pada masa pemerintahan Soeharto, etnis Tionghoa dilarang melakukan

54

Prasetyadji, Op. cit., h. 29

55 Clara Ng, Op. cit., h. 237.

56 Prasetyadji, Op. cit., h. 39.

57 Clara Ng, Op. cit., h. 218.

Page 91: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

79

perayaan hari besar keagamaan dan kebudayaan mereka secara terbuka. Hal ini

sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.

Tindakan diskriminasi sudah menjadi makanan sehari-hari anak-anak

Nung Atasana di sekolah. Mereka berempat yang memiliki wajah oriental,

bermata sipit, dan berkulit cerah sering diejek oleh teman-temannya. Hal ini

terlihat dalam kutipan berikut.

Tapi kalau dihitung-hitung, kelompok anak lelaki itu paling sering

menghadang jalannya, menunjuk-nunjuk mata Novera sambil berteriak-

teriak seperti orang kesurupan. “Amoy” katanya. Ditambah dengan

cekikikan kurang ajar.58

Kata amoy dalam bahasa Mandarin berarti gadis cantik. Akan tetapi, kata-

kata yang sebenarnya pujian, jika diucapkan dengan nada melecehkan, akan

terdengar menyakitkan. Terlebih yang mengatakan sebetulnya tidak paham dan

hanya ikut-ikutan saja. Di Singkawang, amoy adalah sebutan bagi gadis-gadis

keturunan Tionghoa yang dijual ke luar negeri. Lelaki Taiwan biasa mengambil

amoy dari Singkawang. Harganya yang relatif murah, menyebabkan amoy

Singkawang menjadi favorit lelaki Taiwan. Di Taiwan, amoy Singkawang

dijadikan istri simpanan, pelacur, dan PRT. Meski ada juga yang dijadikan istri

sah.59

Kerusuhan Mei 1998 juga muncul dalam novel, meskipun pengarang

tidak banyak menyinggung peristiwa ini. Porsi yang tidak banyak dalam novel

menegaskan bahwa penulis tidak ingin menumbuhkan kebencian terhadap

peristiwa ini namun juga tidak ingin memungkiri bahwa peristiwa ini pernah

terjadi dan menimpa etnis Tionghoa. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

Matanya kembali ke arah pesan di layar ponsel. Peristiwa Mei

1998 membekas dengan jelas di hati setiap orang, termasuk Indah. Pada

hari itu, dia berada di daerah Karet, sedang melakukan wawancara kerja

dengan perusahaan majalah remaja. Siapa yang menyangka hari itu

berakhiri dengan begitu banyak darah tertumpah dan sakit hati yang tidak

58

Clara Ng., Op. cit., h. 243. 59

Dokumentasi TVone.

Page 92: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

80

dapat disembuhkan begitu saja?

Papanya yang kehidupan sehari-harinya ditopang dari toko

elektronik ―Sinar Berjaya‖ hilang secara misterius. Toko itu terletak di

Glodok. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk menguras habis seluruh

isi toko. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk mengubah Papa yang

mempunyai penghasilan tetap menjadi Papa yang tidak punya apa-apa.

Bangkrut mendadak. Dulu, penghasilan ―Sinar Berjaya‖ itu benar-benar

Berjaya karena mampu menyekolahkan mereka berempat, menjadi

sarjana.60

Kutipan di atas menunjukkan bahwa keluarga Nung Atasana tidak luput

dari peristiwa kekerasan tersebut. Namun, penulis tidak memberikan porsi yang

banyak. Novel ini tidak ingin mengeksploitasi kekerasan yang menimpa etnis

Tionghoa pada Mei 1998. Pengarang menyajikan ceritanya tanpa perasangka.

2. Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir

Ada beragam kebudayaan Tionghoa yang ditampilkan penulis dalam novel

DT ini. Kebudayaan tersebut berfungsi sebagai latar cerita sekaligus menjadi latar

konflik. Beragam kebudayaan dan tradisi dalam novel DT akan dibahas sesuai

dengan porsi dan kepentingannya dalam cerita. Oleh karena itu, tidak semua

kebudayaan Tionghoa yang muncul dalam novel ini dibahas. Akan tetapi, dipilah-

pilah terlebih dahulu oleh peneliti sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dari hasil

seleksi tersebut, muncullah beberapa kebudayaan yang memiliki posisi penting

dalam struktur cerita novel. Kebudayaan-kebudayaan tersebut antara lain sebagai

berikut.

a. Imlek

Perayaan Imlek atau Chun Jiie adalah pesta para petani menyambut

kedatangan musim semi. Hal ini sudah berlangsung ribuan tahun di kalangan

masyarakat Tionghoa di daratan China. Ini berlanjut di negeri rantau tempat

mereka beranak cucu. Meski tak mengenal musim salju dan musim semi,

masyarakat Tionghoa di Indonesia tetap menjalin silaturahmi dengan menjalankan

60

Clara Ng, Op. Cit. h. 264—265.

Page 93: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

81

tradisi Imlek. Pada momen Imlek, keluarga berkumpul untuk mengucapkan

syukur.

Imlek bertalian dengan perayaan tahun baru menurut penanggalan lunar.

(lunar year). Hari raya ini biasanya jatuh pada bulan kedua masehi yaitu pada

Februari.61

Hari Raya Tahun Baru Imlek Yuan Dan (Yuantan) atau Xin Nian

(Hsin Nien). Menurut Dorothy Perkins dalam Danandjaja, Tio Tek H

dalam Danandjaja, James Danandja, juga disebut Festival Musim Semi

(Chung Jie atau Ch’ung Chieh); adalah pesta rakyat yang paling utama

dalam almanak Tionghoa, baik di Tiongkok maupun di Negara-negara lain

yang berpenduduk keturunan Tionghoa, seperti di Indonesia.62

Hari Raya Tahun Baru Imlek dirayakan pada akhir bulan Januari, atau

permulaan Februari, sesuai dengan kalender lunar Imlek. Hari Raya ini dimulai

pada tanggal 1 Imlek dan selesai pada tanggal 15 Imlek. Hari raya ini memulai

siklus baru dari tahun baru Imlek. Jadi, orang Tionghoa di daratan Tiongkok

menyambut kedatangan musim semi. Orang-orang yang tinggal di tempat yang

jauh dari rumah leluhurnya, akan pulang untuk merayakan pesta ini bersama

orang tuanya. Beberapa minggu sebelum hari raya, orang akan mengirim kartu

ucapan selamat kepada kerabat dan handai taulannya, menghormati orang tuanya,

dan kerabat-kerabat yang lebih tua. Tiap keluarga akan membersihkan rumahnya

karena mereka meyakini bahwa satu minggu menjelang Hari Raya Imlek, Dewa

Dapur (Caozhung atau Ts’ao Chung, yang berarti Pangeran Dapur) akan

berangkat ke langit untuk melaporkan semua peristiwa di dunia yang telah terjadi

di tahun yang baru lewat.63

Hari Raya Imlek dirayakan oleh masyarakat Tionghoa tanpa membedakan

agama dan kepercayaan. Hal ini terjadi karena Imlek mempunyai makna

pengucapan syukur atas berkat dan kelimpahan pada tahun yang telah lewat, dan

permohonan berkat dan pertolongan Tuhan pada tahun yang akan datang. Untuk

61

Tedy Yusuf, Sekilas Budaya Tionghoa. (Jakarta. Buana Ilmu. 2000). 102

62 James Danandjaja, Folklor Tionghoa, (Jakarta. Grafiti. 2010) h. 365—366.

63 Ibid., h. 366.

Page 94: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

82

itu, perayaan Imlek dapat disamakan dengan hari raya Thanks Giving Day di

Amerika serikat.64

Menariknya, walaupun di Indonesia hanya ada dua musim, musim panas

dan musim hujan, tetapi mereka juga merayakan seolah-olah menyambut musim

semi, yang sebenarnya di Indonesia sedang musim hujan. Pada sekitaran perayaan

Imlek, buah-buahan seperti rambutan dan duku dapat kita nikmati karena sedang

musimnya.

Masyarakat Tionghoa di Indonesia memiliki kepercayaan berbagai agama,

seperti Kristen, Islam, Hindu dan Buddha. Namun, hal ini tidak menghalangi

mereka menghayati makna Imlek sebagai ajang reuni keluarga. Begitu pula bagi

keluarga peranakan yang telah beberapa generasi beranak pinak di Indonesia.

Di Jakarta, dahulu perayaan Imlek diselenggarakan secara meriah tidak

hanya dirayakan oleh masyarakat Tionghoa saja, namun warga Betawi, Sunda,

Bugis, Makassar, Arab, dan Indo yang ada di Jakarta juga turut merayakannya.

Bentuk folklor ini nyaris punah selama puluhan tahun selama pemerintahan Orde

Baru yang anti-Cina itu. Akan tetapi, sejak orde reformasi perayaan ini bangkit

kembali karena diperbolehkan untuk dirayakan kembali oleh Presiden Megawati.

Masyarakat yang merayakan Imlek bukan hanya dari kalangan masyarakat

Tionghoa saja, masyarakat Betawi pun merayakan Imlek walaupun tdak

mengadopsi keseluruhan tata cara perayaannya.65

Tradisi yang sangat kental

pada saat Imlek adalah baju baru dan pembagian angpau. Para orang tua akan

membagikan angpau kepada anak-anaknya yang belum berumah tangga dan

kepada sanak family lainnya yang juga masih membujang. Tradisi seperti ini

mirip dengan tradisi pada saat Lebaran. Selama lima belas hari sampai Hari Raya

cap go me, para keturunan Tionghoa mengenakan baju baru, pada masa lampau

umumnya mereka mengenakan baju shanghai berwarna merah.

Makanan khas perayaan Imlek adalah kue bulan atau kue keranjang,

masyarakat Betawi menyebutnya kue cina. Kue ini disusun bertingkat-tingkat dari

64

Ibid., h. 366—367. 65

Hingga saat ini di keluarga peneliti pun yang beretnis Betawi masih merayakan Imlek

dengan tradisi membeli bandeng pasar malam yang berukuran besar dan memberikannya kepada

sanak keluarga pada saat Imlek.

Page 95: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

83

yang paling besar sampai mengerucut ke ukuran terkecil. Kue ini wajib ada saat

perayaan Imlek sebagai persembahan ketika sembahyang. Penganan lain yang

sering muncul pada saat Imlek adalah manisan buah atep atau kolang kaling66

.

Makanan lain seperti daging babi, kimlo, asinan, dan bakmi biasanya selalu tersaji

di meja makan ketika Imlek.

Sesungguhnya, keluarga adalah magnet perayaan Imlek. Pada saat Imlek

tiba, seluruh keluraga berkumpul. Keluarga yang tinggal jauh di negeri orang pun

akan pulang untuk merayakan Imlek bersama.

Filsuf besar Cina, Konfusius (Kong Zi), menegaskan, dari keluarga yang

kuat akan lahir masyarakat yang kuat. Dari situ terbentuklah bangsa yang kuat.

Itulah inti kehidupan berbangsa, membangun keluarga guyub dan harmonis.67

Imlek sebagai ajang reuni keluarga juga terlihat pada keluarga Nung

Atasana, anak-anak Nung yang tinggal di berbagai kota sampai mancanegara akan

berkumpul bersama pada saat Imlek tiba. Siska yang tinggal di Singapura dan

sering berpergian ke luar negeri untuk urusan bisnis, akan pulang saat Imlek. Rosi

meninggalkan bayi-bayi mawarnya di Puncak. Novera mengambil cuti mengajar,

dari Jogja ia akan terbang ke Jakarta. Hal ini terlihat pada teks berikut.

Mereka berkumpul kembali tepat tiga hari sebelum Imlek pada

tahun berikutnya. Semua tampak berbeda pada saat itu. Nung tidak

bersama-sama mereka lagi. Siska tampak lebih kurus. Novera

berkacamata. Kulit Roni semakin gelap.68

Setiap keluarga punya tradisi Imleknya masing-masing, demikian juga

dengan keluarga Nung Atasana. Setiap pagi Imlek, sebelum berangkat

beraktivitas, mereka sekeluarga memasak dimsum untuk dimakan bersama-sama.

Keluarga sederhana ini akan bangun pagi-pagi dan menyiapkan besek, adonan

untuk bahan-bahan membuat dimsum. Mereka bergotong-royong bersama.

66

Pada saat lebaran, etnis Betawi di lingkungan keluarga peneliti pun selalu ada kue cina

dan manisan kolang-kaling. 67

Iwan Santosa, Peranakan Tionghoa di Nusantara (Jakarta. PT Kompas Media

Nusantara, 2012), h. 141. 68

Clara Ng, Op. cit., h. 355.

Page 96: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

84

Suasana hangat dan ceria pada Hari Raya Imlek yang penuh suka cita. Semua

bergembira menyambut Imlek. Hal ini terlihat pada teks berikut.

Indah melirik ke dapur yang berantakan dan kacau-balau.

Tumpukan besek dimsum di mana-mana memenuhi ruang dapur yang

hanya sepetak kecil. Mereka berlima; Mama, Siska, Rosi, Novera, dan

Indah sedang membuat dimsum yang akan disantap bersama-sama

sebelum berangkat ke sekolah. Aroma masakan terasa sangat sedap,

meyergap hidung. Indah sangat menyukai aroma itu.

Jam dinding menunjukan waktu lima lewat sepuluh. Dua puluh

menit lagi mereka akan merayakan tahun baru Cina dengan makan pagi

bersama-sama. Menyantap dimsum. Tradisi yang sangat aneh, tapi bagi

keluarga Nung Atasana, tradisi itu Nampak normal-normal saja. Makan

dimsum pada pagi Imlek dirayakan selama satu jam kerena setelahnya

mereka harus berangkat ke sekolah pada pukul enam tiga puluh. Tidak ada

libur Imlek pada masa itu, masa pemerintahan Soeharto.69

Keluarga Nung Atasana harus merayakan Imlek pada pagi hari karena

pada masa pemerintahan Soeharto tidak ada libur pada saat Imlek, tidak hanya itu

saja segala aktivitas perayaan secara terbuka tidak diperbolehkan. Hal ini sesuai

dengan Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat

Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut, ditetapkan bahwa seluruh upacara agama,

kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan

keluarga dan dalam ruangan tertutup.

Imlek menjadi sumber konflik dalam struktur novel, bukan menjadi latar

suasana saja. Kebudayaan ini beberapa kali disebutkan dalam novel. Dalam

beragam kesempatan, Imlek selalu dirayakan oleh keluarga Nung Atasana. Tradisi

unik Imlek yang mereka jalani adalah memakan dimsum pada pagi hari sebelum

mereka melakukan aktivitas. Hal ini terjadi karena tidak ada libur Imlek untuk

mereka.

Wujud kebudayaa Imlek ini adalah sebagai berikut.

1) Tataran ide, Imlek dirayakan tiap awal musim semi sebagai perwujudan

rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

69

Ibid., h. 59—60.

Page 97: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

85

2) Tataran aktivitas, Imlek adalah hari raya utama masyarakat Tionghoa di

seluruh dunia tanpa memandang agama. Pada hari raya ini, semua anggota

keluarga berkumpul dan merayakannya bersama-sama.

b. Cap go

Setiap tanggal lima belas dalam penanggalan lunar disebut cap go. Cap go

yang paling meriah dilaksanakan tiap tahunnya adalah tiap tanggal lima belas

Imlek, disebut cap go me. Perayaan Imlek dan cap go me merupakan suatu

kesatuan, yakni untuk merayakan Tahun baru Imlek selama lima belas hari dan

ditutup dengan pesta rakyat cap go me, yang kebetulan jatuh pada malam bulan

purnama (cap go = lima belas). Tradisi kunjung berkunjung pada saat Imlek

berlangsung sampai tanggal lima belas. Pada malam harinya, diadakan pesta cap

go me (yuan xiao jie).70

Puncak perayaan Tahun Baru Imlek adalah pesta rakyat cap go me. Cap

go me juga sebagai perayaan penutup dari tahun baru Imlek. Tempo dulu

perayaan cap go me diadakan secara besar-besaran. Pada pesta rakyat ini, semua

jenis pertunjukkan rakyat Betawi ditampilkan. Seni pertunjukkan tersebut antara

lain berupa Wayang Cokek yang diiringi gambang kromong.

Seperti halnya perayaan Imlek, perayaan cap go me secara terbuka pun

dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Setelah ditumbangkannya Orde Baru dan

berdirinya Orde Reformasi, Perayaan Hari Raya Imlek dan cap go me diizinkan

lagi diadakan, seperti membuka pasar malam dan kirab dari lapangan depan

Museum Fatahilah. James Danandjaja dipilih untuk menyampaikan pidato

sambutan dengan memukul ceng-ceng (cymbal) sebagai tanda dimulainya kirab

cap go me, pada tahun 2000 setelah selama 30 tahun perayaan ini mengalami mati

suri. Pada waktu itu, lapangan depan Museum Fatahilah dipenuhi ratusan orang,

bukan saja orang betawi dari keturunan Tionghoa, tetapi juga orang Betawi dari

keturunan suku bangsa lainnya.71

70

Yusuf, op.cit.h. 6.

71 Ibid., h. 378.

Page 98: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

86

Tradisi cap go ini masih dipegang oleh anak-anak Nung Atasana. Pada

hari cap go atau tiap tanggal 15 penanggalan lunar Novera masih menjalankan

tradisi cap go di keluarga Nung Atasana dengan tidak memasak daging dan

memakan daging. Dewasa ini, kebiasaan tersebut sudah mulai luntur, tapi anak-

anak Nung masih mempertahakannya, terlihat pada teks berikut.

―Sekarang cap go ya?‖

Novera hanya menggumam,membenarkan. Indah berjalan menuju

dinding dan merobek satu lembar kertas kalender. Kalender harian Cina.

Penanggalan lunar. Di sana tertera tanggal lima belas.

―SAYUR LAGI? OH MY GOD! TIDAAAK!‖

Tanpa menoleh pun Novera tahu siapa yang menjerit histeris persis

di belakang telinganya.

Indah menoleh kepada pemilik suara. Irama suaranya tenang.

―Sekarang cap go, Ros. Enggak boleh makan daging kalo cap go, udah

lupa?72

Dalam teks tersebut, terjadi pertentangan antara Novera, Indah, dan Rosi.

Novera masih kukuh memegang tradisi keluarga dengan masih menjalankan

tradisi cap go di keluarga mereka yang tidak makan daging sedangkan Rosi

merasa keberatan dengan tradisi ini. Rosi merasa tradisi ini sudah ketinggalan

zaman dan tidak perlu dipertahankan lagi. Rosi memang memiliki sifat tomboi

dan cuek berbeda dengan Novera yang lembut, namun juga keras kepala.

Penolakan Rosi dan keteguhan Novera terlihat dalam teks berikut.

―Zaman sekarang mana ada yang nge-cap go-ce-it. Mana ada

selera,‖ kata Rosi dengan muka masam.73

Bukan itu saja, kata Rosi, makan sayur seharian membuatnya

rentan dengan mood jelek, napas bau, dan keringat kecut.

Tapi Novera dengan keras kepalanya sukses memutuskan untuk

melanjutkan tradisi keluarga. Menurutnya tradisi adalah tradisi. 74

Cap go dalam cerita menjadi sumber konflik, seperti terlihat pada kutipan

di atas. Kutipan tersebut menunjukkan adanya perdebatan antara Novera dan Rosi.

72

Clara Ng, Op. cit., h. 154–155. 73

Ibid., h. 156. 74

Ibid., h. 157.

Page 99: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

87

Selain itu, kutipan lain yang menunjukkan cap go sebagai konflik dalam struktur

novel dapat dilihat pada teks berikut ini.

Kebiasaan Anas setiap bulan penanggalan lunar pada tanggal 1

(yang disebut ce it) dan tanggal 15 (yang disebut cap go) adalah tanggal-

tanggal istimewa ketika mereka sekeluarga tidak menyantap daging

melainkan sayur-sayuran saja. Kebiasaan itu berhasil dipertahankan oleh

Novera tapi tidak oleh ketiga kembarannya yang lain. Menurut mereka,

tradisi itu tradisi zaman batu.75

Wujud kebudayaan cap go ini adalah sebagai berikut.

1) Tataran ide, puasa makan daging tiap cap go dan ce it mengandung

filosofi: setiap mahluk berhak hidup bahagia. Begitu juga dengan hewan,

mereka pun berhak hidup dengan bahagia di dunia ini. Memakan daging

sama artinya dengan merampas hak hidup bahagia para hewan. Untuk itu,

terciptalah larangan makan daging tiap cap go dan ce it. Setiap mahluk di

bumi ini harus saling menghormati.

2) Tataran aktivitas. Para penganut Tri Dharma dianjurkan untuk puasa

daging tiap cap go dan ce it. Sebagian dari mereka masih memegang teguh

tradisi ini. Bahkan tidak hanya penganut Tri Dharma saja yang

menjalankan tradisi tidak makan daging ini, etnis Tionghoa yang bukan

penganut Tri Dharma pun beberapa ada yang tetap menjalankan tradisi ini.

c. Feng Shui

Feng shui adalah seni memanfaatkan air dan angin. Feng shui juga

mengemukakan tentang menangkap napas kosmis naga yang vital atau Ch’i, yaitu

tenaga yang beredar dan bergerak di dalam lingkungan. Di dalam rumah dan di

luar rumah, di tanah, di air, di pegunungan.76

Dorothy Perkins dalam Danandjaja berpendapat, arti harfiah dari feng shui

adalah ―angin dan air‖; suatu sistem ramalan mengenai letak tempat di

75

Ibid., h. 155–157.

76 Lilian Too, Penerapan Feng Shui, Pa Kua, dan Lo Shu.(Jakarta. Elexmedia

Computindo.2002.

Page 100: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

88

lingkungannya (geomancy) berasal dari Tiongkok dari masa sekitar abad ke-10

SM. Feng shui sampai kini masih umum dipraktikkan oleh orang Tionghoa untuk

mendatangkan keberuntungan serta mengusir pengaruh buruk, dengan cara

menempatkan letak makam, bangunan-bangunan, dan perabot rumah tangga

dalam posisi yang sesuai (harmoni) dengan dunia alamiah dan dunia spiritual.77

Para pakar feng shui mengembangkan prinsip-prinsip dengan mengkaji

gerak planet-planet dan bintang-bintang, serta hubungannya dengan bumi,

magnetik bumi, serta letak topografi dan keseimbangan dari elemen-elemen yin

dan yang. Gerak mengalir dari alam semesta dilambangkan dengan delapan

trigram (pa kua), dan prinsip yin dan yang membentuk teks dasar klasik dari buku

tentang perubahan (Yijing atau I Ching).78

Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang Tionghoa selalu menggunakan

feng shui. Membuat rumah pakai feng shui. Melaksanakan kegiatan apa pun harus

disesuaikan dengan feng shui, dihitung atau ditimbang baik buruknya. Jika ada

keluarga yang ditimpa musibah, selalu dikaitkan dengan feng shui. Anak-anak

Nung Atasana masih memegang teguh soal feng shui terlihat dalam teks berikut.

―Ini bukan budaya patriarki. Ini budaya Cina. Anak-anak keturunan

Cina diwajibkan menghormati ibu bapaknya. Artinya, aku harus membuat

papaku tenang dan senang. Itu kewajibanku yang diajarkan mamaku. Aku

tidak boleh menyia-nyiakan papaku. Feng shui jelek, karma buruk.‖79

Nung Atasana sebelum memiliki anak juga memperaktikkan

kepercayaannya terhadap feng shui. Dengan menuruti feng shui, ia yakin akan ada

perubahan dalam hidupnya. Nung sangat menginginkan seorang anak, ia berusaha

keras untuk itu. Ia menuruti nasihat feng shui yang mengatakan bahwa dengan

menggantung gambar anak-anak ia akan mendapat energi positif yang akan

membuatnya memiliki keturunan. Feng shui melekat erat dalam nadi kehidupan

orang-orang Tionghoa. Hal ini terlihat pada teks berikut.

77

Danandjaja, Op. Cit h. 472. 78

Ibid. h. 472. 79

Clara Ng, Op. cit., h. 193.

Page 101: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

89

Menurut feng shui, dia harus menggantung gambar anak-anak di

rumahnya, agar energi positif mengalir di sana. Setelah mencari kesana

kemari, Nung berhasil menemukan gambar seratus anak-anak Cina yang

sedang bermain. Dengan bangga dipajangnya gambar itu di ruang

makan.80

Dalam teks tersebut, terlihat Nung yang menggantung gambar anak-anak

di dinding rumahnya. Hal tersebut ia lakukan karena ingin memiliki keturunan.

Kegiatan menggantung gambar anak-anak di dinding rumah dilakukan

berdasarkan feng shui. Agar ia mendapatkan keturunan, ia menuruti anjuran feng

shui tersebut.

Fungsi feng shui dalam struktur novel adalah sebagai latar. Etnis Tionghoa

sangat memercayai budaya feng shui ini. Mereka menerapkan feng shui dalam

setiap sendi kehidupan. Novel ini pun turut memasukkan kebudayaan ini, seperti

yang sudah dijelaskan pada uraian di atas.

Wujud kebudayaan feng shui ini adalah sebagai berikut.

1) Tataran ide, feng shui merupakan ilmu yang menerapkan keseimbangan

antara yin dan yang. Hidup haruslah seimbang dan sejlan dengan alam,

untuk itulah ilmu feng shui diciptakan.

2) Tataran aktivitas, etnis Tionghoa sangat memercayai feng shui. Ilmu ini

utamanya digunakan dalam membuat bangunan, seperti rumah, tempat

usaha, dan kantor. Letak bangunan yang tidak sesuai dengan feng shui

diyakini dapat menimbulkan ketidakberuntungan dan kesialan bagi

pemilik atau penghuninya.

3) Tataran artefak, ilmu feng shui ini telah dipelajari secara ilmiah dan yang

menerapkannya tidak hanya orang-orang Tionghoa saja, melainkan orang-

orang di luar etnis ini pun menggunakan ilmu feng shui ketika membuat

sebuah bangunan.

d. Penanggalan

Penanggalan atau kalender Tionghoa menurut Dorothy Perkins dalam

Danandjaja adalah pembagian tahun ke dalam periode-periode waktu tertentu,

80

Ibid., h. 201.

Page 102: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

90

yaitu bagi orang Tionghoa sangat penting karena dapat mengatur siklus pertanian

mereka.81

Penanggalan juga penting karena orang Tionghoa meyakini bahwa

kaisar yang sedang berkuasa memegang kekuasaannya melalui mandat Langit,

dan melegitimasikan pemerintahannya. Apabila sang kaisar tak dapat

mempertahankan keselarasan antara langit dan bumi, maka beliau akan

kehilangan mandat tersebut. Oleh karena itu, pakar-pakar perbintangan kaisar

melambangkan pemerintahan kaisar sebagai dukungan Langit (Tuhan).82

Penanggalan telah dikembangkan pada masa Dinasti Shang, dinasti

pertama yang dibuktikan oleh para arkeolog dengan peninggalan artefak-artefak.

Pengembangan penanggalan pada masa itu disusun setiap tahun oleh suatu dewan

yang terdiri dari para ahli matematika, di bawah pimpinan seorang menteri khusus

dari pemerintahan kekaisaran.83

Dewan tersebut menyusun penanggalan lunar berdasarkan siklus

peredaran bulan yang terdiri dari 29 sampai 30 hari, lebih pendek jika dibanding

dengan kalender solar Gregorian yang dipergunakan di barat.

Penanggalan lunar Tionghoa harus dimulai pada hari terbitnya rembulan

muda, pada setiap hari pertama dari tahun baru Imlek. Ahli-ahli perbintangan

harus menyesuaikan tahun lunar yang terdiri dari 12 bulan dan mempunyai 354

hari dengan tahun solar yang mempunyai 365¼ hari.84

Almanak pertanian (Tong Shu atau T’ung Shu) yang berusia 4000 tahun,

masih tetap diterbitkan setiap tahun sampai hari ini karena masih dipergunakan

sebagai panduan oleh orang-orang Tionghoa di seluruh dunia ketika hendak

melakukan upacara-upacara yang berhubungan dengan daur hidup atau bisnis

serta perjanjian-perjanjian. Karena untuk hal-hal semacam itu, orang Tionghoa

masih percaya astrologi. Almanak tersebut mengandung banyak keterangan dan

topik mengenai hari baik, ramalan cuaca, horoskop, dan feng shui.

Nung Atasana dan anak-anaknya juga menggunakan penanggalan

Tionghoa ini. Mereka menggantungnya di dalam rumah. Mengikuti tradisi-tradisi

81

Danandjaja, Op. cit., h. 475. 82

Ibid. 83

Ibid. 84

Ibid., h. 476.

Page 103: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

91

yang berdasarkan penanggalan Tionghoa tersebut, misalnya keluarga ini setiap

tanggal 1 penanggalan lunar (ce it) dan tanggal 15 (cap go) tidak makan daging.

Seharian mereka hanya memakan sayuran. Tradisi semacam ini dilakukan

berdasarkan penanggalan Cina, seperti terlihat pada teks.

―Sekarang cap go ya?‖

Novera hanya menggumam,membenarkan. Indah berjalan menuju

dinding dan merobek satu lembar kertas kalender. Kalender harian Cina.

Penanggalan lunar. Di sana tertera tanggal lima belas.85

Dalam teks tersebut, terlihat Indah merobek sebuah kalender. Kalender ini

bukan kalender biasa atau kalender masehi yang berdasarkan peredaran matahari.

Namun, kalender ini adalah kalender harian Cina, penanggalan lunar, atau

berdasarkan peredaran bulan. Dalam kalender harian Cina, terdapat hari-hari

istimewa, seperti Imlek dan cap go. Masyarakat Tionghoa mengikuti beragam

ritual keagamaan atau tradisi kebudayaan berdasarkan penanggalan lunar ini.

Dalam novel, penanggalan lunar ini menjadi latar suasana dan sebagai

sumber konflik. Novera dan Rosi meributkan hari cap go, hari yang didasari pada

penaggalan lunar. Mereka berdua meributkan tradisi tidak makan daging setiap

cap g. Novera masih memegang tradisi ini, sedangkan Rosi tidak bahkan

cenderung kesal dengan Novera yang masih saja memegang tradisi tidak makan

daging pada hari cap go.

Wujud kebudayaannya adalah sebagai berikut.

1) Tataran ide, orang Tionghoa meyakini bahwa kaisar yang sedang berkuasa

memegang kekuasaannya melalui mandat Langit, dan melegitimasikan

pemerintahannya. Selain itu, penanggalan lunar sangat penting bagi orang

Tionghoa untuk menentukan hari raya dan hari baik dalam daur hidup

mereka.

2) Tataran artefak adalah bentuk kalender lunar yang sampai sekarang masih

dipergunakan oleh masyarakat Tionghoa di seluruh dunia.

85

Clara Ng, Op. cit., h. 154—155.

Page 104: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

92

e. Pengobatan Tradisional

Pengobatan tradisional Tiongkok sangat terkenal, bahkan hingga ke

seluruh dunia. Para ahli kesehatan barat sejak lama meneliti pengobatan Tiongkok

ini. Di Indonesia sendiri pengobatan tradisional Tiongkok tidak hanya monopoli

masyarakat Tionghoa, namun warga pribumi pun banyak yang mempercayakan

kesembuhannya kepada para shinsey atau para tabib Tionghoa. Selain itu bahan

yang digunakan adalah bahan alami, cenderung tidak memiliki efek samping

hingga aman digunakan.

Masyarakat Tionghoa memercayai pengobatan tradisionalnya seperti

sebuah tradisi. Mereka jarang berobat ke dokter umum kalau tidak mendesak.

Sekalipun harus diobati secara medis di dokter umum, biasanya mereka tetap

menggunakan obat-obat Tiongkok ini sebagai pendamping.

Tradisi pengobatan Tiongkok memiliki sejarah lebih dari 2000 tahun.

Menurut Doroty Perkins dalam Danandjaja, penggunaan tanaman herbal untuk

menghasilkan obat-obatan adalah satu-satunya metode tradisional besar yang

dipergunakan oleh tabib Tao untuk menyembuhkan penyakit, bersama-sama

dengan teknik-teknik pengobatan seperti tusuk jarum (acupuncture).86

Pandangan tradisional Taoisme tentang kesehatan didasarkan pada

ketiadaan keseimbangan antara tubuh manusia dengan alam, dan antara

komponen-komponen di dalam tubuh sendiri. Pandangan ini berdasarkan pada

ajaran Toisme, yang menganggap bahwa semua dalam dunia ini terdiri dari aspek-

aspek universal perempuan (yin) dan laki-laki (yang). Apabila aspek-aspek

tersebut tidak seimbang, maka akan timbul suatu penyakit.

Tradisi pengobatan Tiongkok ini juga dipercayai oleh keluarga Nung

Atasana. Kebiasaan ini juga diturunkan kepada anak-anaknya. Meskipun keluarga

mereka mempunyai dokter pribadi, mereka tetap menggunakan obat-obatan

Tiongkok untuk mengobati berbagai penyakit. Ketika Nung sakit, anak Nung

terpikir untuk membeli obat-obatan Tiongkok.

86

Danandjaja, Op. Cit., h. 360.

Page 105: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

93

Pada saat ini, yang menjadi pikiran Rosi adalah mendapatkan obat

untuk ayahnya. Mengapa tidak ada orang yang berpikiran seperti ini

sebelumnya? Obat Cina, betul juga. Mengapa tidak? Bertahun-tahun

mereka hidup dengan obat Cina. Sakit tenggorokan. Keseleo. Sakit perut

karena keracunan. Diare. Sakit kepala. Pokoknya, Anas jarang mengajak

anak-anaknya mengunjungi dokter Marcel kalau tidak kepepet. Jika dapat

disembuhkan dengan obat Cina, pasti Anas akan melakukannya.87

Kutipan di atas menjelaskan kebiasaan keluarga Nung Atasana

menggunakan obat-obatan Tiongkok yang disebut obat Cina. Keluarga ini lebih

mengutamakan menggunakan obat-obatan Tiongkok ketimbang harus ke dokter.

Tradisi pengobatan ini juga termasuk dalam keanekaragaman kebudayaan

Tionghoa.

Obat-obatan Cina dalam novel ini digunakan oleh tokoh-tokohnya untuk

mengobati berbagai jenis penyakit. Fungsinya dalam struktur novel sebagai latar

yang menguatkan tema Tionghoa dalam novel ini.

Obat-obatan Tiongkok adalah wujud kebudayaan dalam tataran artefak.

Sejak dahulu masyarakat Tionghoa memercayai kesembuhan mereka pada obat-

obatan tradisional. Dalam tataran ide, gagasan untuk mencari pengobatan terhadap

penyakit merupakan sebuah landasan pikir adanya kebudayaan ini. Dalam tataran

aktivitas, kebiasaan masyarakat Tionghoa menggunakan obat-obatan

tradisionalnya. Meskipun mereka sedang menjalani pengobatan secara medis di

dokter umum, obat-obatan tradisional tetap digunakan sebagai pendamping. Hal

ini terlihat dalam kutipan berikut.

―Aku enggak punya usul apa-apa. Mending kita coba ke Petak

Sembilan atau Glodok, cari toko obat. Biasanya mereka punya banyak

obat-obatan Cina yang manjur dan cocok dengan obat-obatan Eropa.‖88

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa obat-obatan tradisional sangat

dipercayai oleh masyarakat Tionghoa, bahkan dipercaya mampu berdampingan

dengan obat-obatan modern dari Eropa.

87

Clara Ng, Op. cit., h. 163. 88

Clara Ng, Op. cit., h.164.

Page 106: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

94

f. Makanan khas Tiongkok

Negeri Tiongkok kaya akan keanekaragaman kulinernya. Aneka Kuliner

ini pun merambah ke berbagai negeri di seluruh penjuru dunia. Aneka kuliner

lezat ini dengan mudah bisa kita temukan di warung-warung pinggir jalan, kios-

kios pedagang di pasar sampai ke super market terkemuka di Indonesia.

Ada beberapa Kuliner khas Tiongkok yang disebutkan dalam novel DT

ini, antara lain dimsum, kue bulan atau kue keranjang, bacang, cakue, pioh,89

swike,90

bakpao, dan daging babi. Makanan yang disebut terakhir tidak hanya

populer di kalangan masyarakat Tionghoa, namun daging yang haram bagi umat

muslim ini sangat kental dengan tradisi kuliner Tionghoa. Daging babi dimasak

dalam berbagai jenis olahan, seperti semur babi, babi panggang, atau menjadi

isian kue bacang. Makanan-makanan tersebut beberapa hanya sekali disebutkan.

Peneliti memilih tiga makanan yang sering muncul dalam novel, yaitu dimsum,

daging babi dan kue bulan.

1. Dimsum

Dorothy Perkins dalam Danandjaja mengatakan bahwa dimsum adalah

jamuan kecil informal yang dalam bahasa mandarinnya disebut dianxin atau tien-

hsin ―menyenangkan hati‖. Istilah dimsum berasal dari dialek Guangzou

(Cantonese/ kongfu) yang berarti pesta makan kecil. terdiri dari berbagai makanan

sedap, seperti bakpau, lumpia, babi panggang, bakmi, kue onde yang ditaburi

wijen, dan lain-lain.91

Orang Tionghoa gemar makan dimsum, yang dalam dialek Hakka disebut

yam cah.92

Kebiasan makan dimsum ini juga dilakukan oleh keluarga Nung

Atasana. Uniknya keluarga ini merayakan Imlek dengan memakan dimsum pagi

hari sebelum mereka beraktivitas. Kebiasaan makan dimsum pada pagi Imlek

bukan tanpa sebab, ide ini muncul ketika mereka ingin merayakan Imlek, namun

pemerintah melarang Imlek dirayakan secara terbuka dan tidak ada libur pada

Hari Raya Imlek. Bahkan pemerintah menginstruksikan kepada sekolah untuk

89

Pioh (daging kura-kura) 90

Swike (daging katak) 91

Danandjaja, Op. Cit. h. 444—456. 92

Ibid., h. 445.

Page 107: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

95

menegur dengan keras siswa etnis Tionghoa yang tidak bersekolah pada Imlek.

Jadilah tradisi dimsum pada keluarga Nung Atasana menjadi sebuah tradisi yang

selalu dijalankan ketika Imlek.

Jam dinding menunjukan waktu lima lewat sepuluh. Dua puluh

menit lagi mereka akan merayakan tahun baru Cina dengan makan pagi

bersama-sama. Menyantap dimsum. Tradisi yang sangat aneh, tapi bagi

keluarga Nung Atasana, tradisi itu Nampak normal-normal saja. Makan

dimsum pada pagi Imlek dirayakan selama satu jam kerena setelahnya

mereka harus berangkat ke sekolah pada pukul enam tiga puluh. Tidak ada

libur Imlek pada masa itu, masa pemerintahan Soeharto.93

Dimsum ini pun dipilih pengarang sebagai judul novel. Pemilihan dimsum

untuk judul merupakan sebuah simbol. Simbol tradisi kehangatan dan

kebersamaan sebuah keluarga. Pemaknaan dimsum sebagai jamuan makan kecil

menunjukkan keintiman antar kerabat. Tidak hanya itu, tradisi dimsum ini pun

sebagai sebuah simbol keteguhan dalam keterbatasan. Maksudnya, keluarga yang

berusaha menjalankan tradisi mereka walaupun dibatasi oleh pemerintah. Mereka

mencari jalan keluar agar tetap bisa merayakan Imlek dengan keluarga mereka.

2. Daging babi

Dorothy Perkins dalam Danandjaja, mengatakan bahwa salah satu

binatang ternak yang paling penting dalam diet dan kebudayaan orang Tionghoa

adalah babi, yang dalam bahasa Tionghoa disebut zhu atau chu.94

Huruf Tionghoa

untuk keluarga adalah huruf babi di bawah atap rumah. Banyak tulang-tulang babi

ditemukan di situs-situs penggalian arkeologi dari kebuadayaan neolitik Yangshao

(5000-3000 SM) dan Longshan (3000-220 SM), dan di semua situs yang didata

dari dinasti-dinasti Shang dan Zhou. Daging babi disajikan dalam kurban

keagamaan sejak zaman purbakala.95

Orang Tionghoa menyajikan daging babi dalam berbagai jenis olahan.

Potongan-potongan kecil daging babi ditumis dengan saus asam manis. Gilingan

daging babi dimasak menjadi beberapa masakan, antara lain sebagai isian bakpao

93

Ibid., h. 59—60. 94

Danandjaja., Op. cit., h. 433. 95

Ibid., h. 434.

Page 108: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

96

dan somay atau dijadikan seperangkat makanan dimsum yang dinikmati

sepanjang tahun. Daging babi akan menjadi hidangan khusus pada pesta tahun

baru Imlek. Daging babi akan dipanggang setelah dibumbui esens merah. Olahan

babi ini disebut babi panggang merah manis (ca siu). Babi panggang atau babi

guling merupakan hidangan khusus yang disajikan pada pesta pernikahan

tradisional masyarakat Tionghoa. Olahan daging babi lainnya adalah babi masak

hong, babi kecap, sosis babi, bakso babi, dan sebagainya.

Di dalam novel DT daging babi menjadi makanan yang lumrah disajikan

oleh keluarga Nung Atasana. Sehari-hari mereka memakan daging ini dengan

diolah menjadi babi kecap atau lain waktu sebagai isian bacang. Terlihat dalam

kutipan berikut.

―Kekurangan gizi apanya?‖ Suara Novera masih rendah, masih

super lembut. Tangannya memasukan potongan-potongan wortel wortel ke

dalam panci mendidih dengan tekun. ―Kemarin makan daging. Ingat babi

kecap? Kamu yang menghabiskan sisanya, setengah panci besar itu.‖96

―He-eh daging babi. Kalau bacang Nyokap, ada telur asin di

dalamnya. Nasinya terbuat dari ketan. Rasanya enak sekali.‖97

Berdasarkan kutipan di atas, terlihat daging babi yang diolah dengan kecap

dan menjadi isian bacang. Terlihat juga dalam keluarga mereka yang paling

menggemari olahan babi adalah Rosi. Disebutkan Rosi sangat rakus

menghabiskan setengah panci besar. Nafsu makan Rosi yang besar dan porsi

makannya pun besar layaknya pria karena Rosi memang berbeda dari perempuan

biasa. Ia seorang transgender yang secara psikologis memiliki sifat-sifat yang

cenderung lebih maskulin.

3. Kue bulan

Kue bulan (mooncake) atau biasa disebut juga kue keranjang98

, merupakan

kue tradisional masyarakat Tionghoa yang wajib disajikan ketika Imlek. Kue ini

terbuat dari tepung ketan dan gula pasir. Dicetak dalam wadah bulat. Sepintas

96

Clara Ng., Op. cit., h. 155. 97

Ibid., h. 136. 98

Masyarakat Betawi menyebutnya kue cina. Kue cina ini pun biasa dibuat oleh

masyarakat Betawi ketika lebaran tiba.

Page 109: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

97

mirip dengan dodol Betawi, hanya saja kue bulan tidak menggunakan santan

dalam bahan baku pembuatannya.

Kue bulan biasanya ditaruh di atas meja persembahan bersama dengan

makanan lain ketika Imlek. Biasanya di atas meja persembahan tersedia

penganan wajib untuk Imlek seperti kue keranjang, nasi putih, kue mangkok

merah, kue ku ketan, kue bugis, kue pepe, arak putih, babi cin99

dan buah-

buahan.100

Tradisi mempersembahkan kue bulan kepada leluhur mengandung

makna keutuhan keluarga. Selain sebagai kue persembahan pada saat Imlek, kue

bulan juga disajikan pada festival kue bulan (mooncake festival) yang

diselenggarakan setiap malam ke lima belas bulan kedelapan penanggalan lunar.

Di dalam novel DT yang bertemakan keluarga, kue bulan sebagai simbol

kebulatan keluarga menjadi kue yang penting untuk dibahas, kue ini tidak hanya

numpang lewat sebagai pelengkap kebuadayaan Tionghoa namun, kita bisa

melihat dari sisi tema dari novel ini. Terlihat dalam teks berikut.

Mama meletakkan meja dengan taplak merah di depan teras dan

menata beberapa kue di atas meja tersebut. Sudah pasti ada kue bulan dan

bakpao. Kata ―persatuan‖ yaitu yuan diucapkan sama dengan kata untuk

―bulat‖. Hari itu menjadi peringatan istimewa untuk setiap keluarga Cina,

bahwa hari itu tonggak pengingat bahwa persatuan keluarga sangatlah

penting. Keluarga yang bulat adalah keluarga yang tidak terpecah belah.101

Filosofi kue bulan ini dipegang oleh keluarga Nung Atasan dan keluarga

Tionghoa kebanyakan. Bagi masayarakat Tionghoa keutuhan keluarga sangat

penting. Sesama keluarga harus saling menghormati, menyayangi, dan kompak.

Menghormati orang tua merupakan sesuatu yang sangat ditekankan oleh keluarga

Nung Atasana. Keinginan orang tua harus diindahkan dan kewajiban seorang anak

untuk memenuhi keinginan orang tuanya. Rosi pun demikian, ia berusaha

mewujudkan keinginan ayahnya yang sedang sakit, meskipun dengan jalan

99

Babi masak kecap 100

Santosa, Op. Cit. h. 144—145. 101

Clara Ng, Op. cit.,h. 171–172.

Page 110: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

98

berbohong. Itu lebih baik menurutnya daripada keinginan ayahnya tidak mampu

ia penuhi, terlihat dalam kutipan berikut.

Roni masih mengusap-usap kepalanya bekas kena gebuk tas. Dia

menelan ludah susah payah.

―aku akan minta bantuan teman untuk berpura-pura menjadi calon

suamiku. Tentu aku tidak akan menikahi dia. Aku akan bilang pada Papa

bahwa kami belum siap menikah karena secara ekonomi kami belom

mapan.‖

―Menghina sekali kamu. Pokoknya pasti ada!‖ Sergah Roni keras

kepala. ―Ketiga, aku… eh maksudku, kami… ehm, aku dan calon

suamiku… tentu akan berhenti berakting dengan sempurna sampai Papa

meninggal dengan tenang. Yang penting, Papa mendapatkan apa yang dia

inginkan. Melihat keempat anaknya akan menikah, khususnya aku. Ulangi

aku, oke? Bukan orang lain. AKU!‖102

Dalam kutipan tersebut, terlihat Roni (Rosi) yang berniat untuk

membohongi ayahnya. Ia melakukan kebohongan demi menyenangkan orang

tuanya. Rosi ingin Papanya tenang. Ia tahu ia berbeda, ia tidak mungkin menikahi

laki-laki, tapi demi Papanya ia akan berpura-pura.

Dalam kutipan lain juga terlihat hal tersebut.

―Ini bukan budaya patriarki. Ini budaya Cina. Anak-anak

keturunan Cina diwajibkan menghormati ibu bapaknya. Artinya,

aku harus membuat papaku tenang dan senang. Itu kewajibanku

yang diajarkan mamaku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan papaku.

Feng shui jelek, karma buruk.‖103

Kutipan tersebut menunjukkan budaya Tionghoa yang menghormati

orangtua, budaya menghormati orangtua bukan hanya ada pada budaya Tionghoa

namun, kekuatan budaya ini lebih menekankan penghormatan kepada orangtua,

melalui sistem karma,104

seperti yang tergambar dalam teks di atas. Rosi

bersikeras ingin memenuhi keinginan ayahnya. Dalam tradisi Tionghoa, menyia-

102

Clara Ng., Op. cit., h. 140. 103

Clara Ng, Op. cit., h. 193. 104

Akibat buruk dari melanggar budaya

Page 111: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

99

nyiakan orangtua bisa berdampak buruk seperti, mendapatkan nasib sial dan

fengshui yang tidak bagus.

Kembali pada kue bulan, beberapa kutipan di atas menunjukkan makna

filosofis kue bulan. Bulat sempurna seperti bulan, begitulah seharusnya sebuah

keluarga, utuh tidak terpecah belah.

Dalam kebudayaan, kuliner khas Tionghoa dimasukkan dalam tataran

artefak. Bentuk fisik dari makanan tersebut merupakan peninggalan turun-

temurun yang masih dipegang oleh masyarakat Tionghoa, seperti tradisi makan

dimsum.

Penganan dimsum bahkan menjadi judul novel. Dimsum dalam novel

berfungsi sebagai latar sekaligus konflik dalam struktur novel. Tradisi makan

dimsum dalam keluarga Nung Atasana dilakukan setiap pagi imlek sebelum

mereka beraktivitas. Mereka melakukan tradisi ini pada pagi hari karena pada

masa pemerintahan Soeharto segala aktivitas keagamaan dilarang dirayakan dan

anak-anak Tionghoa harus tetap masuk sekolah.

g. Agama

Dalam novel DT ini tidak dijelaskan secara spesifik agama yang dianut

para tokohnya kecuali Novera yang memutuskan untuk memeluk Khatolik,

terlihat dalam teks berikut.

“Kenapa dibaptis?”

“Karena saya ingin jadi Khatolik,” jawab Novera tenang.

Ketenangan itu hasil mengumpulkan keberanian selama berminggu-

minggu. “Menjadi Khatolik harus dibaptis.”105

Kutipan di atas menunjukkan keinginan Novera untuk memeluk Khatolik.

Berbeda dengan keluarganya yang lain yang belum secara spesifik terindetifikasi

agama apa yang mereka anut. Akan tetapi, kita bisa menganalisnya melalui ritual-

ritual keagamaan yang mereka jalankan dan tempat ibadah yang mereka datangi.

105

Clara Ng, Op. cit., h. 70.

Page 112: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

100

Seperti yang kita ketahui bersama, Tiongkok adalah sebuah negeri yang

besar. Masyarakatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di negeri rantau

mereka, mereka akan bersinggungan dengan kebudayaan setempat. Terjadilah

akulturasi atau percampuran budaya. Akulturasi ini pun menyinggung ranah

agama dan kepercayaan. Maka dari itu agama orang Tionghoa menjadi beragam,

namun pada umumnya agama orang Tionghoa adalah Sinkretisme.106

Disebut juga

sebagai agama Sam Kao atau Tri Dharma.

Pada zaman Orde Baru di Indonesia agama tersebut tidak diakui sehingga

para pengikut Tri Dharma akan menyebut agama mereka Budha saja. Selain

agama Tri Dharma, masih ada kepercayaan lain yang disebut pemujaan leluhur.

Kepercayaan ini sebenarnya bukan agama, melainkan dasar-dasar dari agama

yang ada di Tiongkok, bahkan juga di seluruh dunia dari zaman dahulu kala

hingga kini.

Hal senada juga dikatakan oleh Novera ketika ia memberikan sebuah

penyangkalan terhadap apa yang disebut agama oleh Siska, terlihat dalam kutipan

berikut.

… “Yang dimaksud dengan agama kita…,” jawab Novera, “…

adalah menghormati leluhur dan patuh pada tradisi Cina. Sejujurnya, ini

tidak dapat disebut agama, Siska, ini adalah…”107

Dalam kutipan di atas, terlihat bahwa agama yang dijalani oleh keluarga

Nung Atasana lebih merupakan tradisi. Memuja leluhur dan aktivitas keagamaan

lainnya yang bersumber pada tradisi Cina seperti Konfusianisme (Konghuchu) ,

Taoisme, dan sebagainya.

Dalam sebuah kutipan, terlihat Siska dan Rosi mendatangi sebuah

kelenteng. kelenteng adalah tempat ibadah pemeluk Khonghuchu. Mereka

mendatangi kelenteng bukan wihara, kelenteng lebih identik dengan agama

106

Campuran dari beberapa agama, seperti Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha

(Perkins dalam Danandjaja). 107

Clara Ng, Op. cit., h. 71.

Page 113: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

101

Tionghoa yaitu Khonghuchu (Konfusius) sedangkan vihara adalah tempat ibadah

penganut Buddha dan Tri Dharma108

. Terlihat dalam teks berikut.

Siska mengedarkan pandangan, mengamati bangunan kelenteng

yang memberikannya seribu kenangan. Dulu mereka sekeluarga; Mama,

Papa, dan ketiga adik-adiknya sering berkunjung. Sejak si bungsu Novera

memutuskan menjadi penganut Kristen, kepergian mereka ke sana selalu

tidak pernah terasa lengkap. Tapi untung juga Novera sungguh-sungguh

menepati janjinya. Dia tidak berkeberatan berkunjung ke kelenteng untuk

acara-acara istimewa, seperti Imlek.109

Pada masa pemerintahan Orde Baru, kelenteng-kelenteng yang identik

dengan agama Khonghuchu dipaksa berganti nama menjadi wihara. Ini

disebabkan agama Khonghuchu tidak diakui lagi sebagai agama oleh

pemerintahan Soeharto. Aktivitas keagamaan Khonghuchu dinilai pemerintah

menjadi penghambat proses asimilisi yang tengah gencar digalakan pada masa itu.

Akan tetapi tidak semua kelenteng mau mengganti nama mereka mengingat tidak

hanya penamaan kelenteng saja yang diubah melainkan atribut lain yang sangat

penting juga harus disingkirkan, yaitu patung dewa-dewa mereka harus

disingkirkan dan diganti dengan dewa agama Buddha. Agama Khonghuchu

dianggap menyalahi pancasila sila pertama, di mana disebutkan Tuhan yang Maha

Esa, ke-Esaan Tuhan ini dianggap tidak dijalankan oleh ajaran Khonghuchu yang

memercayai beberapa dewa. Barulah pada pemerintahan Gus Dur, agama

Khonghuchu diakui dan kelenteng-kelenteng dikembalikan fungsinya sebagai

tempat peribadatan agama Khonghuchu.

Dari kutipan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa agama yang dianut

oleh keluarga Nung Atasana kecuali Novera yang memeluk Khatolik adalah

agama Khonghuchu. Ada baiknya peneliti menjelaskan sedikit tentang agama

Khonghuchu tersebut.

108

Tridharma adalah gabungan dari tiga dasar agama Konfusius, Tao, dan Buddha. 109

Ibid., h. 221—222.

Page 114: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

102

1) Khonghuchu.

Agama Khonghuchu sudah dikenal di Indonesia sebelum abad ke-19,

tetapi belum berupa sebuah agama yang terorganisasi. Pada tahun 1900 organisasi

orang Tionghoa yang pertama, yaitu Tiong Hoa Hwee Koan, didirikan di Batavia

(Jakarta), memakai agama (ajaran) Khonghuchu sebagai landasan organisasi.

Akan tetapi Tiong Hoa Hwee Koan kemudian berkembang menjadi lembaga

pendidikan dan bergeser dari tujuan semula untuk menyebarluaskan agama

Khonghuchu. Lalu didirikanlah Khong Kow Hwee pada 1918 di Solo. Pada 1923

berbagai organisasi dengan ciri Konfusian110

berkumpul di Yogyakarta untuk

mengadakan kongres. Hasilnya adalah berdirinya Organisasi Umum Khong Kauw

Hwee (Siam Kau Tjong Hwee), dengan markas besar di Bandung. Peristiwa ini

dapat dipandang sebagai asal muasal dari agama Khonghuchu di Indonesia. Pada

masa inilah konsep “Tian” (Langit) sebagai allah dari agama Tionghoa dan

Khonghuchu (Konfusius) sebagai nabi ditetapkan untuk pertama kali.111

Sebenarnya agama Khonghuchu pada awalnya keberadaannya diakui oleh

pemerintahan Soeharto. Pada bulan Agustus 1967 Khong Kau Hwee mengadakan

kongres keenam di Solo, yang dihadiri oleh pejabat-pejabat pemerintah, bahkan

Presiden Soharto dan Jendral A. H. Nasution mengirimkan pesan tertulisnya

mengucapkan selamat dan sukses. Banyak pejabat Negara, termasuk militer,

menghadiri kongres-kongres berikutnya, mendukung agama Khonghuchu. Namun

setelah 11 tahun Rezim Soharto mendukung agama Khonghuchu kemudian

dukungan itu dicabut. Rezim Soeharto Merasa cukup kokoh sehingga tidak

memerlukan lagi dukungan kelompok penganut agama Khonghuchu. Lagi pula

para jendral merasa bahwa agama Khonghuchu adalah penghambat bagi asimilasi

warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Pada akhir 1978, Menteri Dalam

Negeri menerbitkan sebuah surat edaran yang hanya mengakui lima agama, tidak

termasuk Khonghuchu. Pada awal 1979 Kabinet Soeharto juga menerbitkan

110

Sebutan untuk pemeluk Konghuchu. 111

Dikutip dari tulisan Leo Suryadinata dalam buku berjudul Setelah Air Mata Kering

yang dieditori oleh I. Wibowo dan Thung Ju Lan halaman 80.

Page 115: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

103

sebuah surat keputusan yang mengatakan bahwa agama Khonghuchu bukan

agama.

Sejak 1979 agama Khonghuchu tidak lagi ditemukan dalam kartu tanda

penduduk orang Indonesia. Para penganut Khonghuchu harus didaftarkan sebagai

pemeluk Buddha. Selain memaksa pemeluk Konghuchu untuk berganti agama

menjadi Buddha, rezim Soeharto juga berusaha mengubah kelenteng menjadi

wihara. W. D. Sukisman, seorang sinolog112

yang bekerja bagi BIN, berpendapat

wihara adalah tempat ibadat bagi pemeluk agama Buddha, kelenteng untuk

penganut agama Khonghuchu dan Tao. Kegiatan di kelenteng meliputi upacara

pengambilan sumpah, menyelenggarakan upacara perkawinan, mengadakan

upacara pengangkatan anak, dan tempat pertemuan organisasi untuk menjaga

kebudayaan Tiongkok. 113

Pada 1990 Menteri Agama menerbitkan sebuah surat edaran, meminta

agar para penganut agama Buddha tidak merayakan hari-hari raya orang Tionghoa

maupun tahun baru Imlek di Wihara karena tidak ada hubungannya dengan agama

Buddha. Hal ini merupakan satu langkah lebih jauh dari munculnya sebuah

kebijakan untuk mengikis unsur Tionghoa dari agama Buddha Indonesia. Dua

tahun sebelumnya (1988), Menteri Dalam Negeri menerbitkan instruksi kepada

pemerintah daerah untuk tidak memberikan izin mengenai tiga hal di bawah ini.

memperoleh hak atas tanah untuk membangun kelenteng, memperluas kelenteng

lama, atau membangun kelenteng baru.114

Ketika Gus Dur menjadi presiden barulah agama Khonghuchu diakui

kembali. Gus Dur menyatakan bahwa agama Khonghuchu adalah agama dan

bahwa pemerintahannya mengakui keberadaan mereka. Dia dan anggota

kabinetnya menghadiri perayaan tahun baru Imlek bulan februari 2000 di Jakarta.

Perayaan yang diorganisasi oleh Matakin115

. Gus Dur juga membatalkan

Keputusan Presiden Nomor 14 tahun 1967 yang melarang orang Tionghoa

112

Sinolog adalah orang yang ahli di bidang sinology yaitu ilmu pengetahuan tentang

kebudayaan dan bahasa Cina. 113

I Wibowo, Ju Lan., Op. cit., h. 85—86. 114

Ibid,. h. 88. 115

Majelis Tinggi Agama Khonghuchu Indonesia.

Page 116: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

104

merayakan hari raya mereka di tempat umum. Pada 31 Maret 2000, Menteri

agama Surjadi menerbitkan sebuah instruksi (Nomor 477/805/Sj) yang

membatalkan surat edaran tahun 1978 yang hanya mengakui lima agama, tidak

mengakui agama Khonghuchu. Dengan demikian Negara memberikan pengakuan

kembali kepada agama Khonghuchu setelah rezim Orde Baru runtuh.

Seperti sudah diterangkan di atas bahwa agama orang Tionghoa beragam

karena adanya akulturasi orang-orang Tionghoa perantauan, namun juga sebab

Negara Tiongkok terbuka pada dunia luar sehingga terpengaruh oleh agama-

agama dari barat seperti Khatolik, Protestan dan Islam.

Di atas sudah disinggung mengenai tradisi memuja leluhur yang

dijalankan oleh keluarga Nung Atasana, lebih lanjutnya peneliti akan coba

jelaskan tentang pemujaan leluhur yang kebanyakan dianut oleh orang-orang

Tionghoa.

2) Pemujaan Leluhur

Dorothy Perkins dalam Danandjaja mengatakan bahwa pemujaan leluhur

adalah suatu praktek di mana sebuah keluarga Tionghoa atau klan memberi

sesajian dan memberi hormat kepada leluhurnya, yang arwahnya diyakini berdiam

di lembar papn kayu bertuliskan nama almarhum (lingwei) yang hendak dipuja.

Lembaran papan kayu ini diletakkan di atas altar kuil keluarga. Pemujaan leluhur

merupakan pondasi dari agama rakyat di Tiongkok dan di antara orang Tionghoa

Perantauan di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia tidak peduli apa pun

agama resmi yang mereka anut.116

Sesajian tersebut terdiri dari makanan, arak,

dupa batang (hio), lilin, dan bunga.

Salah satu peranti pemujaan leluhur adalah lembaran-lembaran papan

bertuliskan nama almarhum yang hendak dipuja yang dalam bahasa Tionghoa

disebut lingwei atau papan arwah leluhur. Papan arwah leluhur ini dibuat dari

kayu cendana yang harum baunya berukuran panjang 10-20 inci. Di atas papan

arwah tersebut diukir nama, hari, bulan, dan tahun lahir dari leluhur yang

116

Danandjaja, Op. cit., h. 259.

Page 117: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

105

meninggal. Anggota keluarga memanjang papan ini di atas klenteng klannya dan

juga di ruang rumah tinggal mereka sendiri.117

Papan-papan arwah tersebut ditempatkan dalam suatu jajaran, berdasarkan

jauh-dekat hubungan dan generasi dengan keluarga yang memeliharanya.

Anggota keluarga dari suatu rumah akan memberi sesajian harian, berupa tiga

cucin,118

, lilin, teh, dan hio yang dibakar. Asap dari bakaran hio melambangkan

komunikasi yang masih hidup dengan yang telah meninggal.119

Tradisi pemujaan terhadap roh leluhur ini juga dijalankan oleh keluarga

Nung Atasana, di dalam rumah ini terdapat altar tempat pemujaan roh leluhur.

Seperti terdapat dalam kutipan berikut.

Meja sembahyang terlihat jelas di ruang keluarga. Abu jatuh dari

hio yang sedikit lagi habis terbakar, membuat sebagian meja Nampak

kotor. Patung Dewi Kwan Im berdiri anggun di sana, diapit dua api yang

menyala oleh minyak. Seikat bunga krisan berwarna kuning yang

diletakkan di dalam vas tampak sedikit mengering. Di sampingnya, di sana

lah abuku berada.120

Kutipan di atas menunjukkan bahwa di dalam rumah keluarga Nung ada

tempat pemujaan untuk memuja leluhur yang telah meninggal. Hampir di semua

keluarga etnis Tionghoa terdapat altar semacam ini di rumah mereka121

, sebagai

bentuk penghormatan kepada yang telah meninggal dan sebagai suatu tanda

bahwa mereka tidak melupakan orang yang sudah meninggal.

Hal senada juga terlihat pada salah satu kutipan perjalanan yang ditulis

oleh Iwan Santosa.122

PERSEMBAHAN lengkap daging, buah, dan berbagai penganan

serta arak di meja abu menjelang perayaan Imlek merupakan kewajiban

117

Ibid, h. 260. 118

Cangkir kecil 119

Ibid. 120

Clara Ng, Op. cit., h. 15. 121

Seperti yang dilihat sendiri oleh peneliti ketika berkunjung ke rumah salah satu etnis

Tionghoa yang tinggal di daerah elit Serpong. 122

Iwan Santosa adalah wartawan Kompas yang menulis buku Peranakan Etnis Tionghoa

di Nusantara berdasarkan jurnal perjalanan.

Page 118: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

106

bagi keluarga Tionghoa sebagai bakti kepada leluhur dan pengucapan

syukur. Namun, hanya sepiring nasi, lima tusuk sate pemberian tetangga,

dan segelas air yang biasa dipersembahkan Encek Ouw Ceng Lim (74) di

meja abu yang terapung di rumah papan sewaan di atas genangan banjir

Kali Angke.123

Sebuah kutipan perjalanan di atas menunjukkan pemujaan terhadap leluhur

ini masih dipertahankan oleh masryarakat keturunan Tionghoa di Indonesia

meskipun dalam keterbatasan ekonomi. Pada dasarnya stereotip masyarakat

Tionghoa adalah golongan orang-orang berada. Bahkan, seringkali kelompok

etnis Tionghoa diasosiasikan dengan perilaku konglomerat hitam yang bersama

pejabat militer sipil menggasak uang Negara.124

Akan tetapi, sesungguhnya tidak

semua orang Tionghoa di Indonesia orang kaya. Orang-orang Tionghoa miskin

masih bisa kita temukan di daerah Tangerang, mereka biasa disebut Cina Benteng

dan berprofesi sebagai petani atau pengayuh becak.

Agama dalam struktur novel sebagai sumber konflik. Keputusan Novera

pindah agama pada awalnya menjadi semacam perdebatan keluarga. Hingga

akhirnya ayahnya memberikan kebebasan pada Novera untuk memeluk agama

yang diyakininya.

Kegiatan memuja leluhur adalah wujud kebudayaan pada tataran aktivitas

diidentifikasikan dengan bersembahyang di depan altar. Kegiatan sembahyang ini

biasanya dilakukan dengan membakar hio dan memberikan sesaji. Dalam tataran

ide kegiatan ini bertujuan untuk menghormati leluhur. Menurut kepercayaan

Tionghoa, orang yang masih hidup tetap bisa menjalin komunikasi dengan orang-

orang yang telah mati.

h. Kelenteng

Kelenteng adalah sebutan kuil orang Tionghoa yang merupakan tempat

ibadah bagi umat Konfusianisme, Taoisme, dan Buddha. Kata kelenteng menurut

123

Santosa, Op. cit., h. 127. 124

Ibid., h. 126.

Page 119: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

107

Udi Marhadi dalam Danadjaja, bukan berasal dari bahasa Tionghoa, melainkan

dari Indonesia, karena hanya bisa didapat di Indonesia.125

Orang Indonesia pada umumnya sering memberi nama pada suatu benda

atau mahluk hidup berdasarkan bunyi-bunyi yang dihasilkan. Contohnya jangkrik,

serangga ini dinamai jangkrik karena suaranya yang terdengar

―krikk…kriikk…krikk‖, ini disebut onomatoid. Hukum persamaan bunyi suara ini

juga merupakan sebab timbulnya istilah kelenteng. Saat di kelenteng diadakan

upacara keagamaan, sering dipergunakan genta yang apabila ditabuh akan

berbunyi ―klenting‖, sementara genta besar berbunyi ―klenteeng‖. Maka

berdasarkan bunyi-bunyian itu lah tempat ibadah orang Tionghoa tersebut

dinamai dengan kelenteng.

Dorothy Perkins dalam Danandjaja mengatakan bahwa bangunan-

bangunan sakral tradisional dari para penganut Konfusianisme, Taoisme, dan

Buddhisme banyak didirikan di Tiongkok dan luar Tiongkok, di mana Tionghoa

berimigrasi di sana, khususnya di Asia Tenggara.126

Kelenteng-kelenteng Tionghoa berbentuk bangunan kecil dari yang

sederhana sampai yang kompleks, terdiri dari beberapa anak gedung berkelompok

di suatu halaman, dan dikitari tembok yang dihubungkan dengan jalan-jalan.

bangunan kelenteng ini mempunyai unsur-unsur yang sama dengan arsitektur

sekuler Tionghoa. Sebuah kelenteng terletak dalam suatu halama dikelilingi oleh

dinding dan mempunyai pintu gerbang masuk yang menghadap ke selatan.

Gerbang masuk utamanya terdiri dari tiga lapis yang didirikan di atas permukaan

tanah di atas undakan batu. Pada pintu gerbang itu dilukiskan atau ditempelkan

sepasang gambar dewa penjaga pintu untuk mengusir arwah-arwah jahat. Ruang-

ruang utama pada kelenteng akan dibangun di poros utara-selatan dari pusat

halaman. Bangunan-bangunan tambahan akan didirikan di sebelah timur dan barat

bangunan utama. Kerangka bangunan terbuat dari kayu dengan dinding luar

terbuat dari batu bata. Dinding-dinding bagian dalam terbuat dari kayu atau batu

bata.

125

Danandjaja., Op. cit., h. 449. 126

Ibid., h. 449–450).

Page 120: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

108

Dinding bagian dalam dan langit-langit diberi warna-warna cemerlang,

terutama merah, hijau, emas dan hitam. Pilar-pilarnya berwarna merah cemerlang.

Sebuah patung dewa didudukkan di atas singgasana yang berada di ruang tengah

dengan sebuah altar tempat alat-alat keperluan ritual keagamaan. Dewa-dewa

pendamping diletakkan di sebelah kiri dan kanan dewa utama.

Pintu kelenteng selalu dibuka 24 jam. Setiap orang boleh masuk ke

kelenteng kapan saja. Di sana orang bisa berkomunikasi dengan para dewa,

terutama untuk memperoleh nasihat atas masalah pribadi maupun memperoleh

petunjuk atas masalah yang tengah di hadapi dan untuk mengambil suatu

keputusan. Seseorang yang datang ke kelenteng akan melaksanakan ritual

keagamaan yaitu dengan cara membakar hio di depan altar dewa tertentu dan

merunduk beberapa kali kemudian hio tersebut ditancapkan di tempat hio di altar

dewa tersebut, kemudian ia akan membungkuk atau berlutut di muka altar dewa

tersebut. Setelah itu ia menyajikan makanan sesajian, lalu mebakar uang kertas

upacara. Jawaban dari dewa tersebut berupa ramalan, seperti dengan cara

mengocok beberapa batang bambu yang dipasangi kode ramalan. Setelah itu, kode

ramalan pada bambu akan terlontar keluar dari tempatnya lalu kode tersebut akan

dicocokkan dengan kertas yang berisi ramalan. Biasanya di halaman depan

kelenteng ada sebuah bejana besar terbuat dari perunggu yang diisi dengan pasir,

di mana para pemuja menancapkan dupa atau hio yang telah dinyalakan.

Seperti tempat ibadah pada umumnya, kelenteng pun digunakan para

jamaatnya untuk menenangkan diri. Di dalam rumah ibadah itu, umat Buddha,

Tao, Konfusius merasakan kedamaian seperti Siska yang memutuskan pergi ke

kelenteng ketika suasana hatinya sedang gundah. Sama seperti Siska, Rosi pun

mendatangi kelenteng untuk sekadar mengadu kepada dewa-dewa tentang

penatnya hidup. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

Kelenteng terletak tidak terlalu jauh dari rumah mereka, hanya

sekitar beberapa belokan jalan. Siska berjalan menyusuri trotoar sambil

menyisir rambutnya dengan jari. Ini penampilan terburuknya selama di

Jakarta. Sebenarnya ide pergi ke kelenteng bukanlah ide yang baik untuk

Page 121: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

109

melewatkan malam. Siska meringis sendiri. Dia tidak bisa mengingat

kenapa dia ingin sekali sembahyang.127

Kutipan tersebut menunjukkan Siska yang ingin bersembahyang ke

kelenteng. Penampilannya yang seadanya menandakan suasana hatinya yang

sedang buruk. Kesehatan ayahnya yang makin memburuk dan dirinya sendiri

sedang menghadapi masalah berat dengan perusahaannya di Singapura

membuatnya ingin menenangkan diri di kelenteng.

Rosi pun demikian, pada malam yang sama ia juga berada di kelenteng

yang sama juga. Dengan penampilannya yang maskulin ia terlihat duduk di

halaman sebuah kelenteng yang juga didatangi Siska, terlihat dalam kutipan

berikut.

Rosi sedang merokok di bawah pohon. Asapnya berbentuk bulat-

bulat bergabung dengan asap lainnya. Dia mengerjapkan mata,

menyesuaikan matanya memandang kegelapan pekarangan, mungkin juga

karena terkejut melihat Siska.128

Rosi tersadar ketika menatap sekelilingnya penuh rindu. Dia

menyayangi kelenteng tua ini, udara daerah kota yang terpinggirkan,

kenangan masa kecilnya bersama saudari-saudarinya. Dia merindukan

asap hio yang menusuk perih matanya, serta kursi malas plastik yang

penuh bulu kucing di ruang tamu rumahnya. Kerinduan itu membuatnya

lebih stabil.129

Rosi yang tengah merokok di bawah pohon sekitar bangunan kelenteng

menandakan bahwa ada kegelisahan dalam dirinya dan ia berusaha menenangkan

kegelisahannya dengan mengunjungi kelenteng malam itu yang ternyata

saudarinya pun melakukan hal yang sama.

Beberapa kutipan tersebut menunjukkan bahwa kelenteng tidak hanya

digunakan untuk memuja dewa ketika hari raya besar tiba seperti Imlek. Seperti

yang telah dipaparkan di atas tentang kebiasaan orang Tionghoa untuk

bersembahyang meminta petunjuk dan nasihat serta jawaban atas permasalahnnya

127

Clara Ng, Op. cit., h. 221. 128

Ibid., h. 222. 129

Ibid., h. 224—225.

Page 122: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

110

dari para dewa, dalam novel ini pun para tokohnya mendatangi kelenteng untuk

melakukan hal yang sama.

Kelenteng dalam struktur novel berfungsi sebagai latar penguat tema

Tionghoa dalam novel ini. Seperti sudah diuraikan sebelumnya, kelenteng dalam

cerita ini dijadikan tokoh-tokohnya sebagai tempat menenangkan diri dan

beribadah.

Kelenteng merupakan perwujudan kebudayaan dalam tataran artefak atau

benda, hasil kebudayaan manusia yang digunakan untuk beribadah oleh kaum Tri

Dharma.

i. Horoskop Cina (shio)

Astrologi Cina menjelaskan sifat-sifat universal dari individu dan Negara

dalam hubungannya dengan tanggal lahir; Astrologi Cina juga membuka

kecenderungan umum tentang tahun ―baik‖ dan tahun ―buruk.‖130

Astrologi Cina berdasarkan kalender bulan, yang dimulai pada masa

Huang Ti (sekitar 2600 SM). Ia membagi waktu menjadi siklus 60 tahun, terdiri

atas 12 tahun (yang berhubungan dengan 12 lambang binatang) dan Lima Unsur.

Jadi 12 x 5 menjadi 60 tahun.131

Menurut legenda, 12 binatang datang mengucapkan selamat tinggal pada

Amitabha Buddha ketika ia naik ke Surga. Binatang ini dalam urutan

kedatangannya adalah tikus, kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing,

monyet, ayam, anjing dan babi. Untuk memperingati kehadiran mereka dalam

kenaikannya ke surga. Buddha memberikakan satu tahun untuk setiap binatang.132

Sejak itu, kedua belas binatang ini menjadi lambang ―Dua Belas Cabang Bumi.‖

Dalam sistem Ganzhi, dan dikenal secara universal sebagai bagian dan satuan dari

kalender Cina.133

Siklus enam puluh tahun didapat dengan menggabungkan dua

belas binatang dengan lima unsur, kayu, api, tanah, logam, dan air. Kedua belas

130

Lilian Too, Penerapan Fengshui, Pa Kua dan Lo shu, (Jakarta. PT Elex Media

Komputindo, 2002), h. 125. 131

Ibid., h. 127. 132

Ibid. 133

Ibid.

Page 123: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

111

binatang dibagi menjadi sisi yin (negatif) dan yang (positif) dari cabang bumi.

Kerbau, ular, kelinci, kambing, ayam, dan babi ada di sisi negatif dan dianggap

binatang yin; sedangkan tikus. Macan, naga, kuda, anjing dan monyet ada di sisi

positif dan dianggap binatang yang.134

Seseorang dapat mengetahui usia orang lain hanya dengan mengetahui

Shionya. Kebanyakan orang Cina tidak menanyakan tahun kelahiran, melainkan

shionya. Berdasarkan shio seseorang dapat meramalkan karakteristik dan nasib

seseorang.

Nung Atasana ber-shio monyet, terlihat dalam kutipan berikut.

NUNG dilahirkan pada tahun Monyet, tahun 1932—berdekatan

dengan tahun baru Imlek. Nama yang diberikan oleh ayahnya adalah Tan

Tjin Yung. 135

Bersadarkan kutipan di atas kita bisa melihat shio Nung Atasana adalah

monyet. Selanjutnya kita juga bisa mengidentifiksi karakteristik Nung Atasana

berdasarkan shionya.

Monyet adalah lambang kesembilan dalam Horoskop Cina.

Arahnya adalah BARAT-BARAT DAYA dan ia mewakili bulan agustus.

Musimnya adalah musim panas. Ia adalah tanda positif. Tahun monyet

jatuh pada tanggal berikut.

2 Februari 1908 sampai 21 Januari 1909

20 Februari 1920 sampai 7 Februari 1921

6 Februari 1932 sampai 25 Januari 1933136

25 Januari 1944 sampai 12 Februari 1945

12 Februari 1956 sampai 30 Januari 1957

30 Jauari 1968 sampai 16 Februari1969

16 Februari 1980 sampai 4 Februari 1981

4 Februari 1992 sampai 22 Januari 1993

Orang yang lahir di tahun Monyet menarik dan penuh pesona.

Mereka biasanya dianggap si jenius yang berpikir cepat dan cerdas, bisa

beradaptasi dan banyak akalnya. Orang ber-shio Monyet sangat positif,

sedikit angkuh dan kadang-kadang dipenuhi dengan kepentingan diri

sendiri. Ia juga sangat berpengaruh dan enerjik. Kepribadiannya

134

Ibid., h. 128. 135

Clara Ng, Op. cit., h. 200. 136

Tahun kelahiran Nung Atasana

Page 124: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

112

cemerlang, bersinar dan sangat menyenangkan, tetapi jangan pernah

meremehkannya.137

Orang yang ber-shio Monyet digambarkan sebagai pribadi yang menarik

dan mempesona juga menyenangkan. Kita bisa melihat karakter Nung Atasana

juga demikian. Ia seorang yang menarik juga menyenangkan. Orang-orang dibuat

terpesona oleh kepribadiannya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

Kenangan Rafy.

...

Aku berdiri menatap Nung dengan pandangan kagum. Jarang

sekali orang sakit bisa membicarakan kematian dengan begitu mudah.

Raut lelaki tua itu terlihat lelah, tapi masih ada pancaran semangat hidup

yang bersinar. Slang oksigen beserta slang-slang lainnya yang mengerikan

tidak membuatnya semakin tidak berdaya.138

Aku mendapati wajah itu . wajah yang baru kukenal beberapa hari.

Wajah yang sedang kutatap baik-baik selama dua jam belakangan ini di

rumah sakit. Walaupun aku baru saja berkenalan dengan Nung, ada rasa

yang mengiris-iris hatiku. Rasa yang pasti secara kompak dirasakan oleh

orang lain apabila mereka sedang membicarakan kematian.139

―Kematian mengakhiri hidup tapi dia tidak mengakhiri hubungan.

Karena itu sebagai orang Cina, kita harus selalu menghormati leluhur.‖

Air mataku ikutan menetes, tanpa dapat ditahan lagi.

―Selama ada harapan dan cinta, hidup akan berkeriap selama-

lamanya.‖140

Kutipan di atas menunjukkan Rafy yang mengagumi kepribadian Nung. Ia

membicaran tentang kematian dengan ringan. Segala wejangannya diresapi oleh

Rafy dan ia makin terpesona oleh Nung. Sikap dan karakter Nung ini sesuai

dengan shio Monyet yang mempesona dan menarik. Tidak hanya Rafy yang

mengagumi kepribadian Nung, Pastor Antonius juga terpesona oleh Nung. Lelaki

137

Too, Op. cit., h. 152—153. 138

Clara Ng, op. cit. h. 323—324. 139

Ibid., h. 324. 140

Ibid., h. 325.

Page 125: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

113

tua itu sesuai dengan shio-nya mampu menarik dan memesona orang lain. Terlihat

dalam kutipan berikut.

Kenangan Antonius

Lalu kami berbicara banyak. Entah bagaimana percakapan ini

dimulai, aku tidak mengerti. Kata-kata mengalir bagai air terjun. Aku

mengamti lelaki tua itu lebih saksama dan menyadari betapa

menyenangkan bercakap-cakap dengannya. Jiwaku sedang dahaga,

terpuaskan oleh sentuhan istimewa pada saat itu.141

Jika Nung ber-shio Monyet maka anak-anaknya ber-shio naga. Mereka

lahir bersamaan dan memiliki shio yang sama. Terlihat dalam kutipan berikut.

Empat bayi perempuan dilahirkan prematur tujuh bukan pada tahun

naga.

Bayi-bayi Naga.142

Naga adalah binatang kelima dalam zodiak Cina. Ia melambangkan arah

timur-tenggara dan mewakili bulan April. Musimnya adalah musim semi. Naga

adalah lambang positif.143

Orang yang lahir di tahun naga sering mencerminkan sifat

temperamental, berenergi tinggi, sifat-sifat yang sering digunakan untuk

menggambarkan naga. Mereka juga dianggap berani, kuat dan sombong.

Di Cina, naga melambangkan kaisar, dan karena itu berkonotasi sebagai

kekuatan dan gengsi; naga juga diangggap mahluk langit, satu-satunya

binatang yang bisa terbang tanpa sayap. Naga dilukiskan dalam feng shui

sebagai naga hijau, dan napasnya adalah ch’i kosmis yang penting! Orang

ber-shio naga diharapakan mendapat posisi yang tinggi dalam kekuasaan

dan menikmati kekayaan dan kemakmuran.144

Karakter yang paling sesuai dengan shio naga adalah karakter Siska. Siska

mewakili karakter naga yang temperamental, kuat, dan orang-orang yang berada

141

Ibid., h. 333. 142

Ibid., h. 203. 143

Too, Op. cit., h. 141. 144

Too, Op. cit., h. 142.

Page 126: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

114

pada posisi dan kekuasaan yang tinggi. Ia cerdas juga mandiri. Sebagai seorang

wanita karier Siska berkepribadian sesuai dengan shio-nya. Ia pemilik sebuah

perusahaan di Singapura. Terlihat dalam teks berikut.

Yang itu fotonya ketika lulus dari Universitas. Siska lah yang lulus

lebih dulu diantara mereka berempat. Siska-lah satu-satunya yang lulus

dari universitas non-lokal. Di luar negeri. Siska-lah yang mendapat

beasiswa dari National University of Singapore dan nekat pergi merantau

ke Singapura. Sendirian tanpa ada yang menemani.145

Kutipan di atas menunjukkan karakter Siska yang cerdas, mandiri, dan

berani sesuai dengan shio naga yang dimilikinya. Kutipan lain juga menjelaskan

karakter naga pada diri Siska.

“SIAPA BILANG DIA BUKAN ORANG INDONESIA?” DASAR BEGO!!!

OTAK UDANG!”

Siska berdiri gagah sambil mengayunkan tinju ke arah dua lelaki yang

terlihat pendek daripada dirinya. Dua tonjokkan mendarat telak di kepala

sehingga salah satu mereka terjungkir, mencium tanah dengan sempurna.

Satunya lagi terhuyung-huyung ke belakang, nyaris roboh.

“LAGIAN LU PADA NGERTI NGGAK ARTINYA AMOY? TOLOL LU

SEMUA! MAKANYA, JANGAN PANGGIL-PANGGIL NAMA ORANG KALAU

KAGAK NGERTI ARTINYA!”146

Kutipan di atas menunjukkan karakter Siska yang temperamental, sedari

usia sekolah ia sudah menunjukkan karakter ―naga‖nya. Dengan gagah berani,

Siska melawan anak-anak yang mengejek Novera dengan sebutan amoy dan

mengejek Novera bukan orang Indonesia. Siska yang berkarakter pemberani ini,

membela saudarinya yang tengah terdiskriminasi oleh ejekan teman-temannya.

Tidak seperti Novera yang hanya mampu menelan bulat-bulat segala ejekan

teman-temannya, Siska dengan keberaniannya melawan segala macam perlakuan

diskriminatif terhadap dirinya dan saudari-saudarinya yang lain meski harus

berkelahi sekalipun.

145

Clara Ng., Op. cit., h. 114. 146

Ibid., h. 236.

Page 127: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

115

Seperti yang sudah dijelaskan, orang dengan shio naga diharapkan

menempati posisi dan kekuasaan yang tinggi, begitu juga dengan Siska terlihat

dalam kutipan berikut.

―Ibu masih di Hong Kong?‖ Tanya Donna.

―Urusan saya sebenarnya sudah selesai di Hong Kong. Tapi saya

belum bisa kembali ke Singapura. Saya harus berada di Jakarta.‖

―Berapa lama Ibu tidak akan berada di kantor?‖ sekali lagi Donna

bertanya takut-takut. Takut salah bertanya. Nanti bosnya yang super

sensitif ini bakalan marah-marah lagi.147

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Siska adalah seorang bos di salah

satu perusahaan di Singapura. Sesuai dengan karakter naga yang diharapkan

menempati posisi dan kekuasaan yang tinggi.

Fungsi shio dalam struktur novel adalah sebagi latar. shio bukanlah suatu

penyebab konflik, hanya mempertegas tema Tionghoa dalam novel ini. Ada dua

tokoh yang memiliki shio berkarakter kuat, yaitu Nung Atasana dan Siska. Nung

ber-shio monyet, sedangkan Siska ber-shio naga.

Konsep shio berada pada wujud kebudayaan dalam tataran ide. Untuk

mengatur siklus tahun dan unsur-unsur bumi, yaitu logam, kayu, api, air, dan

tanah, maka diciptakanlah shio ini.

j. Upacara Pasca-Kematian

Setelah seseorang meninggal ada banyak ritual yang harus dijalankan oleh

anggota keluarga yang meninggal. Kematian dalam tradisi Tionghoa tidaklah

berarti memutus hubungan antara si mati dan keluarganya. Orang Tionghoa masih

memercayai leluhur mereka yang mati bisa diajak berkomunikasi. Untuk itulah di

setiap rumah orang Tionghoa di pasang altar pemujaan untuk leluhur mereka. Di

dalam rumah Nung Atasana, terdapat altar pemujaan di mana abu Anas disimpan

di situ. Terlihat dalam kutipan berikut.

147

Ibid., h. 115.

Page 128: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

116

Meja sembahyang terlihat jelas. Abu jatuh dari hio yang sedikit

lagi habis terbakar, membuat sebagian meja tampak kotor. Patung Dewi

Kwam Im berdiri anggun di sana, dia apit dua api yang menyala oleh

minyak. Seikat bunga krisan berwarna kuning yang diletakkan dalam vas

tamak sedikit mengering. Di sampingnya, di sana lah tempat abuku

berada.148

Kutipan tersebut adalah monolog arwah Anas di permulaan novel. Terlihat

bahwa di dalam rumah tersebut ada altar tempat pemujaan. Altar sembahyang ini

sebagai penghubung antara yang mati dan yang hidup. Anggota keluarga secara

rutin mengganti bunga dan sesajian yang diletakkan di meja sembahyang.

Anggota keluarga juga akan membakar hio dan melakukan ritual sembahyang di

depan altar ini.

Setelah orang Tionghoa meninggal dunia ada dua cara yang biasa

dilakukan kepada jenazahnya, yaitu dikremasi atau dikuburkan. Pilihan dikremasi

atau dikuburkan akan disesuaikan dengan kesepakatan keluarga atau menurut

wasiat orang yang meninggal sebelum ia meninggal.

Nung Atasana sebelum meninggal berwasiat kepada anak-anaknya bahwa

kelak jika meninggal, ia ingin jenazahnya dikremasi. Hal ini dapat kita lihat lewat

teks berikut.

Aku tahu, Nung ingin dikremasi jika dia meninggal nanti. Dia telah

mengatakannya dengan jelas kepada Novera. Kremasi adalah tindakan

terbaik. Banyak orang Cina yang melakukan kremasi.149

Dorothy Perkins dalam Danandjaja menjelaskan bahwa pemakaman dalam

bahasa Tionghoa adalah zangli atau tsangli; atau pintsang. Upacara pemakaman

jenazah pada orang Tionghoa adalah dengan maksud menjamin agar kerabatnya

yang wafat dapat menuju ke dunia arwah dengan lancar serta mendapatkan tempat

yang pantas di dunia sana.150

148

Ibid., h. 15. 149

Clara Ng, Op. cit., h. 323. 150

Danadjaja, Op. cit., h. 347.

Page 129: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

117

Lebih jauh dijelaskan dalam buku tersebut bahwa upacara pemakaman

tradisional Tionghoa sangat rumit, berisikan kegiatan-kegiatan simbolik yang

bertujuan untuk melindungi anggota kerabat yang masih hidup agar tidak

terkontaminasi oleh pengaruh jahat.

Pada upacara pasca kematian, anggota keluarga diharuskan memakai

pakaian yang terbuat dari kain blacu atau karung goni, dan meratap atau menangis

dengan suara keras. Hal ini menunjukkan suasana berduka dan kesedihan yang

mendalam para anggota keluarga yang ditinggalkan.

Pada upacara pasca kematian Nung Atasana, anak-anaknya diharuskan

mempersiapkan upacara yang panjang dan lengkap. Terlihat dalam teks berikut.

Kematian bagi orang Cina merupakan acara yang tidak dapat

begitu saja dilewati secara sederhana. Upacara super lengkap harus

diadakan untuk menghormati orang yang meninggal. Apalagi orang yang

meninggal itu orang yang dituakan dalam posisi keluarga. Dituakan berarti

dihormati.151

Kutipan tersebut menunjukkan akan adanya upacara kematian yang

lengkap yang akan dilaksanakan oleh anak-anak Nung Atasana. Posisi Nung

Atasana sebagai kepala keluarga sekaligus orang yang dituakan pada kematiannya

harus diadakan upacara yang semestinya. Upacara ini tidak main-main, dilakukan

selama beberapa hari dengan beragam ritual yang melelahkan. Perhatikan kutipan

berikut.

Ternyata mempersiapkan upacara kematian itu sama repotnya

dengan membangun gedung bertingkat.152

Tanggal baik untuk menentukan upacara pembakaran segera dicari.

Berdasarkan kalender Cina.

Masih ada enam hari menuju hari itu.

Enam hari yang akan diisi dengan deretan doa, penghormatan, dan

pantangan untuk melakukan hal duniawi.153

151

Clara Ng, Op. cit., h. 340. 152

Ibid.,h. 342. 153

Ibid., h. 343.

Page 130: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

118

Selama masa berkabung, anggota keluarga benar-benar terkuras tenaganya

untuk melaksanankan beragam ritual upacara kematian ini. Ada konflik yang

terjadi manakala Rosi diposisikan sebagai anak lelaki keluarga ini. Seperti sudah

dijelaskan sebelumnya bahwa Rosi adalah seorang transgender. Pada salah satu

ritual yang dijalankan ketika upacara kematian disebutkan bahwa yang harus

membawa bendera adalah anak laki-laki, namun seperti kita ketahui bahwa Nung

Atasana tidak memiliki anak laki-laki maka Rosi yang transgender itu diusulkan

oleh Siska untuk membawa bendera, terlihat dalam teks berikut.

“Pertanyaannya siapa yang akan membawa bendera?”

“Roni,” jawab Siska singkat. Dia sudah mempersiapkan jawaban

itu sejak lama.

Indah dan Novera terdiam. Mereka tahu mengapa Siska menjawab

seperti itu.

“Aku tidak keberatan.” Novera memandang kedua saudarinya

bergantian. Tatapan menjadi ragu. “Tapi memangnya boleh?” aku

khawatir nanti akan membuat heboh keluarga. Belum lagi komentar pedas

tentang karma yang buruk atau feng shui (sic!) yang tidak

menguntungkan. Gimana kalau benar-benar terjadi?”

“Terjadi apa?”

“Karma yang buruk.”154

Berdasarkan kutipan tersebut, kita bisa melihat adanya perdebatan antara

mereka berempat. Siska mengusulkan agar Roni (Rosi) lah yang membawa

bendera karena Siska sudah mengakui eksistensi Roni sebagai anak laki-laki Nung

Atasana. akan tetapi Novera dan Indah masih ragu-ragu, mereka takut pandangan

buruk kerabat mereka dan karma yang mungkin saja terjadi. Namun, keputusan

sudah bulat, Roni (Rosi) lah yang akhirnya membawa bendera. Perhatikan teks

berikut.

Demikianlah, Roni yang mengarak bendera di tengah serbuan

pertanyaan dari pihak keluarga. Berdiri di samping Siska, dia

menggenggam bilah bambu erat-erat. Pada sembahyang pertama,

napasnya nyaris tercekat. Punggungnya pasti ditatap heran oleh puluhan

154

Ibid., h. 346.

Page 131: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

119

keluarga besarnya. Pertama, dia memegang bendera. Kedua, dia

menggunakan pakaian duka laik-laki.155

Berdasarkan kutipan tersebut, kita bisa melihat bahwa akhirnya yang

membawa bendera adalah Roni (Rosi). Rosi sadar dirinya tengah berada dalam

pandangan aneh keluarganya bahkan mungkin cemoohan. Ia grogi. Ia menyadari

perbedaanya akan menjadi pertanyaan besar di kalangan keluarganya. Mereka

mungkin saja akan bertanya-tanya kenapa Rosi membawa bendera dan mengapa

Rosi memakai pakaian duka laki-laki. Show must go on, Rosi terus saja dengan

jalannya.

Upacara kematian Nung atasana seolah menjadi puncak pengakuan bagi

Rosi. Ia berusaha menunjukkan dirinya yang transgender dihadapan keluarga

besarnya. Dukungan dari Siska seolah menguatkannya. Pada saat ini lah Rosi

berdiri tegak di atas dirinya sendiri. Rosi telah keluar dari cangkanngya, pada

upacara kematian ayahnya ia seolah membaptis dirinya sendiri sebagai Roni.

Perhatikan teks berikut.

Rosi hio mengepul di udara. Wangi, masuk menyelinap di hatinya.

Suara kerencengan berbunyi bagai lagu di telinga. Nyanyian aneh

berbahasa asing mendayu sempurna. Tang-tung. Tang-tung. Tang-tung.

Roni rebah, kepalanya serata tanah. Ini peristiwa istimewa. Ini orchestra

tentang pengakuan atas sesksualitasnya. Masa bodoh apa kata orang-

orang.

Dia anak lelaki papa. Seutuhnya. Satu-satunya.156

Pada titik ini, Rosi sudah lengkap bermetamorfosis sebagai Roni. Ia telah

mengambil posisi dalam hidupnya sendiri. Ia telah memberitahukan pada dunia

perbedaannya pada upacara kematian ayahnya.

Selain ritual di atas, segenap kerabat yang meninggal juga membakar

uang-uangan dari kertas dan beberapa perabotan rumah tangga, kendaraan, dan

lain sebagianya yang terbuat dari kertas minyak atau kertas joss (joss paper).

Terlihat dalam kutipan berikut.

155

Ibid., h. 348. 156

Ibid., h. 348.

Page 132: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

120

Beberapa pihak keluarga masih melanjutkan membakar uang-

uangan dan emas-emasan yang terbuat dari kertas harus dibakar agar

almarhuma cukup mendapat ―dana‖ dalam perjalanan menuju nirwana. 157

Di dalam ruangan, telah tersedia rumah-rumah besar dari kertas. Di

dalamnya ada perabotan lengkap. Ada mobil-mobilan. Motor. Ponsel.

Televisi. Bahkan DVD player. Semuanya terbuat dari kertas minyak,

dengan tongkat-tongkat bambu kecil untuk membentuk benda-benda

tersebut agar terlihat sempurna. Semakin kaya seseorang, semakin banyak

benda-benda materi yang bisa dibakar.158

Kutipan di atas menunjukkan tradisi orang Tionghoa ketika melakukan

upacara kematian salah satunya adalah membakar uang-uangan dan berbagai

perabotan yang terbuat dari kertas minyak atau kertas joss. Kertas joss (joss

paper, Perkins dalam Dananjaja) adalah kertas-kertas yang dicetak seperti uang,

pakaian, makanan, serta barang kebutuhan lain. Barang-barang ini akan dibakar

dalam upacara pemakaman Tionghoa dengan maksud agar orang yang meninggal

dapat memiliki bekal dalam perjalanannya atau ketika bermukim di dunia sana.

Upacara pasca kematian yang dijalani oleh anak-anak Nung Atasana,

ketika Nung meninggal menimbulkan konflik ketika mereka harus menentukan

siapa yang membawa bendera. Menurut aturan, yang harus membawa bendera

adalah anak laki-laki yang meninggal dunia, namun Rosilah yang akhirnya

membawa bendera tersebut. Berdasarkan analasis tersebut, fungsi upcara pasca

kematian ini pada struktur novel adalah sebagai konflik, bukah hanya sebagai latar

yang menguatkan tema novel ini.

Kebudayaan terbagi menjadi tiga unsur, yaitu tataran ide, aktivitas dan

bentuk fisiknya atau artefak. Untuk upacara pasca kematian ini kita bisa

memisahkan tataran idenya yaitu, penghormatan terhadap leluhur dan bentuk

bakti kepada orang tua. Selama upacara pasca kematian ada beragam aktivitas

yang dilakukan anak-anak Nung Atasana, mulai membakar uang-uangan sampai

proses pengkremasian. Hal ini termasuk dalam tataran aktivitas. Setelah

157

Ibid., h. 352. 158

Ibid.

Page 133: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

121

dikremasi, abu si mati disimpan dalam altar pemujaan atau dalam rumah abu. Hal

ini termasuk dalam tataran artefak.

Perhatikan kutipan berikut.

Tanggal baik untuk menentukan upacara pembakaran segera dicari.

Berdasarkan kalender Cina. masih ada enam hari menuju hari itu.

Enam hari yang akan diisi dengan deretan doa, penghormatan, dan

pantangan untuk melakukan hal-hal duniawi.159

C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di SMA

Kebijakan kurikulum pendidikan di Indonesia yang menggabungkan

pelajaran bahasa Indonesia dengan sastra membuat pelajaran sastra seolah

dianaktirikan. Nasib mata pelajaran yang tidak memiliki porsinya sendiri bisa

ditebak, diajarkan dengan kurang serius dan sambil lalu. Porsi yang sedikit ini

(kurang lebih 25% dari keseluruhan muatan pelajaran bahasa dan sastra

Indonesia) seharusnya digunakan dengan ekstra maksimal. Namun, tidak semua

guru bahasa memiliki skill yang cukup mumpuni dalam mengajarkaan sastra di

kelas sehingga kadangkala pelajaran ini dihindari oleh guru yang tidak cakap

tersebut.

Peran guru sebagai eksekutor sangat besar, mengajarkan sastra kepada

anak didiknya selain kewajiban, lebih daripada itu tanggung jawab moral. Tidak

dapat dipungkiri bahwa sastra mampu membantu siswa menemukan dirinya,

membantu pembentukkan wataknya.

Sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia, sudah sepatutnya memberikan

materi ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa-siswanya. Pelajaran sastra di

sekolah mempunyai posisi yang strategis sebagai pembentuk kepribadian dan

moral siswa. Guru yang kreatif dan cerdas akan memilihkan karya-karya yang

baik secara mutu karya dan sesuai dengan kebutuhan siswa juga sesuai dengan

kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah.

Mempelajari kebudayaan adalah suatu pengalaman menarik bagi siswa.

Siswa akan mendapat pengetahuan baru terkait kebudayaan yang akan diajarkan.

159

Clara Ng, Op. cit., h. 342.

Page 134: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

122

Mempelajari kebudayaan tidak melulu melalui datang ke museum atau membaca

buku sejarah. Kita bisa memberikan pelajaran kebudayaan kepada siswa melalui

novel. Siswa akan lebih mudah memahami kebudayaan-kebudayaan yang

disamapikan dalam novel karena bahasa dan unsur cerita yang menarik. Belajar

kebudayaan menjadi pengalaman yang menyenangkan ketika disampaikan dengan

santai namun serius dalam suasana kelas yang hangat dan bersahabat.

Stimulus yang tepat akan menghasilkan respon yang tepat. Rangsang dan

arahkan siswa untuk membaca dan memahami secara mendalam novel yang

diberikan kepada mereka.

Bimbing siswa ke ―tempat‖ yang kita tuju, yaitu ranah kebudayaan

Tionghoa yang terdapat dalam novel Dimsum Terakhir. Novel ini berisikan

kebudayaan Tionghoa yang menarik untuk dibahas di kelas. Karakter bangsa yang

diharapkan akan tumbuh setelah mempelajari novel ini adalah sikap toleransi,

saling menghargai, dan sikap empati yang tinggi. Tumbuhkan semangat

menghargai perbedaan di kalangan siswa. Tumbuhkan rasa mencintai sesama

anak bangsa tanpa membedakan suku, agama, dan hal-hal yang berbau rasis

lainnya. Kembangkan jiwa-jiwa toleran pada anak-anak. Beri karya yang ada

relevansinya dengan kehidupan mereka. Jangan beri jarak pada karya, libatkan

siswa.

Novel Dimsun Terakhir cocok diajarkan di tingkat SMA. Di saat usia

mereka sudah cukup untuk memahami persoalan sosial dan mampu berpikir serta

bertindak kritis. Novel ini sarat akan kebudayaan Tionghoa dan hal positif dari

kebudayaan itu sendiri serta keunikan-keunikan dan nilai-niai yang terkandung

dalam kebudayaan tersebut.

Hal ini sesuai dengan kurikulum sastra berkarakter di tingkat SMA. Siswa

diajarkan untuk menganalisis nilai intrinsik dan ekstrinsik suatu karya sastra novel

Indonesia maupun novel terjemahan. Dipilihnya novel Dimsum Terakhir sebagai

bahan ajar bukanlah tanpa alasan. Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa

novel ini sarat akan kebudayaan Tionghoa, tentu saja membuat novel ini memiliki

keunggulan jika dijadikan bahan ajar. Siswa sekaligus akan mendapat

pengetahuan baru tentang kebudayaan Tionghoa. Seperti kita ketahui bersama,

Page 135: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

123

keberadaan etnis Tionghoa masih menjadi problema di mana etnis minoritas ini

sampai sekarang pun masih mengalami tindakan rasis dari mayoritas ―pribumi‖.160

Dengan membaca dan memahami novel ini, diharapkan siswa mampu

ambil bagian dalam menyikapi persoalan etnis Tionghoa di Indonesia sehingga

mereka tidak ikut-ikutan bertindak rasis terhadap mereka. Lebih jauh mereka

mampu menularkan pengetahuannya kepada masyarakat sehingga masyarakat

juga lebih perhatian terhadap persoalan sosial ini.

160

Baca Benny G. Setiono. Tionghoa dalam Pusaran Politik dan Leo Suryadinata.

Dilema Minoritas Tionghoa.

Page 136: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

124

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Novel Dimsum Terakhir berlatar kehidupan etnis Tionghoa pascapecah

reformasi 1998. Pada era tahun 2000-an ini, pemerintah Indonesia sudah

menghapuskan beberapa peraturan kontroversial dan berbau rasisme terhadap

etnis Tionghoa. Akan tetapi, perilaku rasis masih kerap terjadi kepada etnis

Tionghoa. Novel ini mencerminkan kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia pada

tahun 2000-an dengan beragam kebudayaan yang masih dipertahankan oleh

tokoh-tokohnya.

Berdasarkan penelitian, unsur intrinsik yang terdapat dalam novel ini

antara lain, 1) tema, 2) alur, 3) sudut pandang, 4) latar, 5) tokoh dan penokohan,

6) gaya bahasa. Unsur intrinsik adalah unsur pembangun yang berada di dalam

karya dan memiliki keterkaitan dengan penelitian tentang kebudayaan Tionghoa

yang akan dibahas selanjutnya. Berdasarkan penelitian dalam novel, terdapat

beragam kebudayaan Tionghoa yang masih dipertahankan oleh tokoh-tokoh di

dalamnya dan kebudayaan tersebut juga memengaruhi pola hidup mereka. Di

antara banyaknya kebudayaan yang terkandung dalam novel, peneliti telah

memilih kebudayaan-kebudayaan yang paling sering muncul dalam cerita dan

memiliki makna yang penting bagi tokoh-tokohnya. Kebudayaan tersebut juga

dikelompokkan berdasarkan wujud kebudayaannya.

1. Kebudayaan Tionghoa yang Terkandung dalam Novel

a. Imlek

Imlek atau perayaan datangnya musim semi merupakan hari raya paling penting

dalam kalender lunar etnis Tionghoa. Imlek dirayakan oleh seluruh etnis Tionghoa

di dunia apa pun agamanya. Pada hari raya Imlek, seluruh keluarga akan

berkumpul. Perayaan Imlek menunjukkan semangat kekeluargaan yang kental dan

Page 137: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

125

Novel Dimsum Terakhir yang bertemakan keluarga beberapa kali menyinggung

soal Imlek ini. Dalam wujud kebudayaan, Imlek termasuk dalam tataran ide dan

aktivitas.

b. Cap go

Cap go adalah tanggal kelima belas penanggalan lunar, puncak dari perayaan

Imlek. Dalam wujud kebudayaan, cap go termasuk dalam tataran ide dan

aktivitas.

c. Feng shui

Kehidupan orang Tionghoa dijalani berdasarkan fengshui. Ilmu fengshui ini

diterapkan dalam setiap sendi kehidupan mereka. Tempat tinggal, kantor, toko dan

bangunan lainnnya dibangun berdasarkan fengshui. Hari-hari besar seperti

pernikahan ditentukan juga berdasarkan fengshui. Dalam wujud kebudayaan, feng

shui termasuk dalam tataran ide, aktivitas, dan artefak.

d. Penanggalan

Untuk menentukan hari raya etnis Tionghoa masyarakat menggunakan

penanggalan atau kalender Cina. Penanggalan ini berdasarkan peredaran bulan

maka biasa di sebut penaggalan lunar. Dalam wujud kebudayaan, penanggalan

termasuk dalam tataran ide dan artefak.

e. Pengobatan Tradisional

Pengobatan tradisional Tionghoa terkenal sampai ke manca Negara. Pengobatan

tradisional Cina menggunakan bahan alami dan sudah dipercaya keampuhannya.

Dalam wujud kebudayaan, pengobatan tradisional termasuk dalam tataran ide,

aktivitas, dan artefak.

f. Makanan khas Tionghoa

Ada begitu banyak makanan khas Tionghoa namun, makanan yang paling sering

disebutkan dalam novel adalah dimsum, daging babi, dan kue bulan. Dalam wujud

kebudayaan, makanan khas Tionghoa termasuk dalam tataran artefak.

g. Agama

Kebanyakan etnis Tionghoa masih memegan tradisi pemujaan leluhur dan agama

yang mereka anut kebanyakan adalah Konghuchu (Konfusius), Tao, dan Buddha.

Agama lain seperti Khatolik, Protestan, Hindu, dan Islam pun di anut oleh etnis

Page 138: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

126

Tionghoa. Dalam wujud kebudayaan, agama termasuk dalam tataran ide dan

aktivitas.

h. Kelenteng

Kelenteng adalah rumah ibadah TriDharma etnis Tionghoa. Dalam wujud

kebudayaan, kelenteng termasuk dalam tataran artefak.

i. Horoskop Cina (shio)

Shio dilambangkan dengan 12 binatang yaitu tikus, kerbau, macan, kelinci, naga,

ular, kuda, kambing, monyet, ayam, dan babi dan 5 unsur alam yaitu kayu, api,

tanah, logam, dan air. Tahun 2014 diwakili oleh shio kuda elemen kayu. Dalam

wujud kebudayaan, shio termasuk dalam tataran ide.

j. Upacara pasca kematian

Upacara pemakaman orang Tionghoa sangat panjang dan rumit. Dilaksanakan

selama 7–49 hari dengan beragam ritual simbolik. Dalam wujud kebudayaan,

upacara pasca kematian termasuk dalam tataran ide, aktivitas, dan artefak.

2. Wujud Kebudayaan

Jika dirangkum, wujud kebudayan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir

akan terlihat seperti di bawah ini.

a. Dalam Tataran Ide

1) Imlek

2) Cap go

3) Feng shui

4) Penanggalan

5) Obat tradisional Tiongkok

6) Agama

7) Shio

8) Upacara pasca-kematian

b. Dalam Tataran Aktivitas

1) Imlek

2) Cap go

Page 139: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

127

3) Feng shui

4) Obat Tradisional Tiongkok

5) Agama

6) Upacara pasca-kematian

c. Dalam Tataran Artefak

1) Penanggalan

2) Obat Tradisional Tiongkok

3) Makanan/kuliner Tradisional Tiongkok

4) Kelenteng

5) Upacara pasca kematian

3. Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di

SMA

Adapun implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesai di

sekolah adalah siswa dapat mempelajari kebudayaan Tionghoa melalui novel

Dimsum Terakhir ini dan diharapkan siswa tumbuh jiwa saling menghargai

terhadap sesama dan tumbuh pula sikap anti diskriminasi dalam diri siswa.

B. Saran

Ada beberapa saran yang ditujukan kepada pembaca dan peneliti lainnya

yang ingin meneliti kebudayaann Tionghoa, saran itu antara lain sebagai berikut.

1. Novel Dimsum Terakhir dapat dipilih sebagai alternatif dalam

mengajarkan pelajaran sastra di sekolah karena konten kebudayaan

Tionghoa sarat terdapat dalam novel ini. Jika dikaitkan dengan silabus

mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA, novel Dimsum Terakhir cocok

diberikan untuk siswa kelas XI SMA. Silabus Bahasa Indonesia di SMA

kelas XI berisi standar kompetensi berupa memahami berbagai hikayat,

novel Indonesia/novel terjemahan. Standar kompetensi tersebut berisi

kompetensi dasar yang relevan dengan penelitian ini, yakni menjelaskan

unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan.

Page 140: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

128

2. Bagi peneliti yang ingin meneliti kebudayaan ataupun konflik etnis

Tionghoa diharapkan mampu menganalisis kebudayaan dengan

perasangka yang baik dan tidak memihak atau mampu bersikap netral.

Kenentralan sangat penting dalam meneliti, agar kita sebagai peneliti

mengedepankan kejujuran bukan hanya impresi-imperesi pribadi yang

tidak mendasar.

Page 141: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

129

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra. Ciputat: Editum, 2009.

Danandjaja, James. Folklor Tionghoa: Sebagai Terapi Penyembuh Amnesia

terhadap Suku Bangsa Tionghoa. Jakarta. Grafiti, 2007.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori,

dan Aplikasi. Yogyakarta. CAPS, 2013.

Endraswara, Suwardi. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi,

Epistemologi, dan Aplikasi. Tangerang: Pustaka Widyatama, 2006.

Endraswara, Suwardi. Teori Pengkajian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: UNYpress,

2012.

Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Fairservis, Walter A, Jr. Asal-usul Peradaban Orang-orang Jawa dan Tionghoa.

Surabaya. Selasar Publishing, 2009.

Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Hermawan, Sainul. Tionghoa Dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: IRCiSold,

2005.

Iskandarwassid, Dadang suhndar. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung:

Rosda. 2011.

Keraf, Gorrys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia, 2008.

Koentjaraningrat. Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.

Jakarta.Gramedia, 2008.

Lilian Too. Penerapan Feng Shui Pa kua dan Lo Shu. Jakarta: PT Elex Media

Komputindo, 2002.

Meij, Lim Sing, Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa: Sebuah Kajian

Pascakolonial. Jakarta: Yayasan Obor, 2009.

Ng, Clara. Dimsum Terakhir. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

UniversityPress, 2005.

Philip Cheong& S. L. Ang. Ajaran Leluhur Tabu-Tabu China: Kumpulan Tabu

& Kepercayaan. Jakarta: Yayasan Karaniya, 2010.

Page 142: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

130

Prasetyadji. Semangat Perjuangan Peranakan Idealis: Merintis jalan menuju

kesetaraan dan penyesuaian kewarganegaraan etnis Tionghoa sejak tahun

1945. Jakarta. Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa, 2011.

Prasetyo, Joko Tri. Tanya Jawab Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta,

2000.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1992.

Rampan, Korrie Layun. Aresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir. Jakarta: bukupop,

2009.

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme

Hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta.

Pustaka Pelajar, 2007.

Rosyidi, M. Ikhwan dkk. Analisis Teks Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Santosa, Iwan. Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari

Barat

ke Timur. Jakarta: Kompas, 2012.

Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia, 2008.

Suryadinata, Leo. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002.

Jakarta. LP3ES, 2005.

Suryadinata, Leo. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti, 1984.

Suryadinata, Leo. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga

Rampai 1965-2008. Jakarta. Kompas, 2010.

Tan, Mely G. Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Jakarta. Yayasan

Obor Indonesia, 2008.

Thung Jul an & I. wibowo. Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa

Pasca Peristiwa Mei 1998. Jakarta. Kompas, 2010.

Tregear, Mary. Chinese Art. Slovenia. Mladinska Knjiga 1995.

Wellek, Rene & Austin Warren. Teori Kesustraan: Diindonesiakan oleh Melani

Budianta. Jakarta: PT Gramedia, 1989.

Widagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Wiranata, I Gede A. B. Antropologi Budaya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

2011.

Yusuf, Tedy. Sekilas Budaya Tionghoa di Indonesia (ebook). Jakarta: Buana Ilmu.

2000.

Page 143: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

131

Lampiran 1

A. Sinopsis

Dimsum Terakhir berkisah tentang empat orang gadis kembar keturunan

Cina anak dari pasangan Nung Atasana dan Anas. Mereka ialah Siska, Indah,

Rosi, dan Novera. Siska anak yang paling pertama lahir, diikuti oleh Indah, Rosi,

dan terakhir Novera. Mereka hidup terpisah-pisah ketika dewasa sesuai dengan

pekerjaan mereka masing-masing. Siska tinggal di Singapura ia bos dari sebuah

perusahaan di sana. Indah tinggal di Jakarta, ia bekerja sebagai wartawan. Rosi

tinggal di Puncak, ia seorang petani mawar. Novera tinggal di Jogja, ia bekerja

sebagai guru TK.

Suatu ketika mereka berempat mendapat kabar bahwa ayah mereka, Nung

Atasana, kena stroke, hal ini memaksa mereka untuk berkumpul kembali untuk

merawat ayah mereka yang tinggal di kawasan Kota. Ibu mereka sudah meninggal

sehingga Nung tinggal sendirian di rumah. Akan tetapi sebagian dari mereka

merasa keberatan jika harus tinggal di Jakarta karena pekerjaan mereka yang tidak

bisa ditinggal begitu saja. Indah yang tinggal di Jakarta berinisiatif untuk

mengumpulkan mereka berempat untuk tinggal di rumah masa kecil mereka. Ide

ini awalnya ditolak oleh Siska, Rosi, juga Novera. Mereka beralasan tidak bisa

meninggalkan pekerjaan mereka. Akan tetapi Indah meyakinkan bahwa

berkumpulnya mereka kembali demi ayah mereka.

Mereka akhirnya berkumpul kembali dalam satu rumah. Siska

meninggalkan perusahaannya. Rosi meninggalkan mawar-mawarnya, dan Novera

meninggalkan murid-muridnya untuk sementara sampai waktu yang tidak

ditentukan. Kehidupan baru mereka dimulai. Satu persatu kehidupan pribadi

mereka terbongkar. Siska tersangkut masalah dengan kliennya di Hongkong. Ia

dituduh melakukan pelacehan seksual oleh Michael kliennya. Bermula dari Siska

yang melanggar sumpahnya sendiri untuk tidak tidur dengan kliennya, Siska tidur

dengan Michael yang notabene adalah kliennya. Hal ini memunculkan masalah

buat Siska di hari-hari berikutnya. Siska dilaporkan Michael atas tuduhan

pelecehan seksual. Michael dengan licik memanfaatkan momentum perusahaan

Page 144: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

132

Siska yang tengah ditimpa masalah untuk mengambilkan keuntungan dari

kasusnya. Tidak tanggung-tanggung Michael menuntut 200 juta dollar Singapura

kepada Siska.

Indah terlibat masalah percintaan dengan seorang pastor. Cinta terlarang

ini membuahkan janin di tubuh Indah. Indah dalam pilihan sulit untuk

memperthankan atau mengugurkan janinnya mengingat ayah dari anak yang

dikandung Indah adalah seorang pastor yang tidak mnungkin bertanggung jawab

dengan menikahi Indah.

Rosi sejak kecil memiliki perbedaan dengan saudari-saudarinya. Ia tidak

menyukai segala sesuatu yang identik dengan perempuan. Ia tidak suka pakai bra

dan rok. Ia lebih suka pakai celana dan kaos. Sifatnya seperti lelaki. Ketika

beranjak remaja orientasi seksnya berubah haluan. Rosi tidak menyukai laki-laki,

ia menyukai perempuan. Dirinya makin tertekan dengan kenyataan ini. Rosi

merasa berada pada tubuh yang salah. Dia seharusnya bukan seorang perempuan

melainkan laki-laki. Pada saa-saat kritis inilah muncul sosok Roni dalam

tubuhnya. Roni mengambil alih tubuh dan pikiran Rosi.

Novera bayi yang paling terakhir lahir dan bayi yang paling lemah. Ia

tumbuh dengan lambat. Ia gadis yang lembut dan penyayang. Musibah

menghampirinya ketika beranjak dewasa. Ia harus merelakan rahimnya diangkat

karena kista ganas yang bersarang di rahimnya. Kehidupan Novera makin

melambat. Ia ditinggalkan begitu saja oleh kekasihnya, Ia kehilangan kepercayaan

dirinya. Novera mencoba berlari menghindari kehidupan dengan jalan menjadi

biarawati. Namun, keputusan tersebut ditentang keras oleh saudari-saudarinya.

Berkumpulnya mereka kembali dalam rumah membuat kehidupan pribadi mereka

perlahan-lahan terkuak. Rahasia yang mereka pendam dalam-dalam satu persatu

muncul ke pemukaan. Ayah mereka pun mulai menyadari adanya sesuatu yang

janggal. Sebelum meninggal ia ingin melihat anak-anaknya berkeluarga. Akan

tetapi, hal ini sangat sulit dikabulkan oleh keempat anaknya. Pernikahan bagi

mereka berempat rasanya sulit untuk terwujud.

Page 145: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

133

B. Biografi Clara Ng1

Clara Ng adalah nama pena dari Clara Regina Juana. Lahir pada tahun

1973 di Jakarta, anak pertama dari pasangan W. Atmadjuana dan Sri Angela

Darjanus. Clara lulus dari SMA Bunda Hati Kudus di tahun 1992 dan melanjutkan

pendidikannya ke Amerika. Dia memulai kuliahnya di universitas swasta Ohio

Dominican College lalu diterima di salah satu universitas negeri terbaik di

Amerika, Ohio State University jurusan Interpersonal And Organizational

Communication. Lulus dengan gelar utama Bachelor of Arts dan minor di

Linguistik.

Clara menghabiskan tujuh setengah tahun di Amerika sebelum

memutuskan pulang kembali ke Indonesia di tahun 1999. Pekerjaan pertamanya di

Indonesia adalah membangun departemen Human Resources di perusahaan

shipping Korea, Hanjin Shipping.

Pada tahun 2000, penyakit kekentalan darah yang dideritanya membuatnya

kehilangan bayinya yang pertama. Peristiwa ini membuatnya terpukul. Ia

diharuskan istirahat total dan ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Setelah

berhenti bekerja ia jadi memiliki waktu banyak untuk menulis. Novel pertamanya

adalah Tujuh Musim Setahun terbit pada 2002. Novel ini mendapat sambutan yang

cukup baik sehingga beberapa kali cetak ulang. Pertengahan 2004 ia menerbitkan

novel keduanya, Blues yang merupakan buku pertama dari trilogi Indiana

Chronicle.

Selain menulis novel dewasa, Clara Ng juga menulis buku anak.

Kecintaannya kepada anak-anak dan keperihatinanya terhadap minimnya buku

anak di Indonesia mendorongnya untuk menulis buku anak yang bermutu. Seri

buku anak-anak yang ditulisnya adalah Berbagi Cerita Berbagi Cinta yang terdiri

dari tujuh buku. Salah satu buku dalam seri ini mendapat penghargaan Adikarya

Ikapi tahun 2006 yaitu Gaya Rambut Pascal. Buku ini berkisah tentang seekor

1 Diambil dari. 1) website pribadi Clara Ng, www.clara-ng.com, 2) wawancara dengan

tabloid Nova, http.//nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=15851, 3) Antara news.com,

http.//www.antaranews.com/berita/371885/kunci-sukses-menulis-novel-ala-clara-ng

Page 146: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

134

singa yang kebingungan ketika hendak mengubah gaya rambutnya dan akhirnya

memutuskan untuk kembali kepada gaya rambutnya yang alamiah. Buku ini

megajarkan anak-anak untuk berprilaku apa adanya dan sanggup menerima

kekurangan diri sendiri.

Dalam pengantar yang ia tulis di novel Dimsum Terakhir ia mengatakan

bahwa alasan ia menulis adalah agar ia tidak gila. Hidup ini sangat singkat dan

ada begitu banyak hal yang harus disampaikan. Pada tahun 2006 ia menulis

beberapa novel, yaitu Dimsum Terakhir dan Utukki: Sayap Para Dewa. Novelnya

yang terbaru ditulis bersama Icha Rahmanti berjudul Princess Bajak Laut dan

Alien. Selain itu ia juga menulis novel bersama Felice Cahyadi, novel ini berjudul

Black Jack.

Clara yang kini bekerja sepenuhnya sebagai penulis memiliki banyak

cerita di kepalanya yang harus ditumpahkan segera. Beberapa cerpen dan esainya

dimuat di media-media nasional, seperti Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos,

Femina. Dan pada Agustus 2008, sejumlah cerpennya dikumpulkan dan dimuat

dalam kumpulan cerita pendek berjudul Malaikat Jatuh dan Cerita-cerita

Lainnya.

Ia banyak menulis tentang perempuan. ia menulis cerita tentang seorang

ibu, wanita lajang, bagaimana menjadi anak perempuan. Juga cerita tentang

keluarga. Bagaimana hubungan seseorang dengan orangtua dan sesama. ia senang

menelusuri bagaimana problema perempuan. Ia merasakan kegembiraan saat

bicara soal keluarga. Misalnya saja dalam novel Tiga Venus ia mengangkat tokoh

ibu rumah tangga, lajang , dan janda. Ada lagi cerita tentang anak perempuan

yang hamil di luar nikah dan lesbianisme. Ada juga transgender, anak perempuan

yang merasa dirinya laki-laki.

Pada 2009, sekali lagi naskah novelnya Tea for Two dipublikasikan secara

bersambung di harian Kompas, sebelum diterbitkan secara utuh oleh penerbit

Gramedia Pustaka Utama. Awal tahun 2010, dia menerbitkan novel Jampi-jampi

Varaiya, sebuah novel bersambung dari seri yang berjudul sama. Mengawali 2010

dengan akun @clara_ng di Twitter, bersama sastrawan Eka Kurniawan dan Agus

Noor, mereka melahirkan komunitas membaca sastra dan menulis fiksi yang

Page 147: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

135

terkenal dan besar dengan nama Komunitas Fiksimini atau @fiksimini. Di tahun

2010, Jampi-jampi Varaiya mendapat nominasi long list Penghargaan Sastra

Kathulistiwa Literarary Awards.

Pada 2011, dua cerita pendeknya bergabung dalam antologi Si Murai dan

Orang Gila (Dewan Kesenian Jakarta dan Penerbit Kompas) dan antologi Dari

Datuk ke Sakura Emas. Novelnya berjudul Ramuan Drama Cinta terbit pada

tanggal 1 Juli 2011, sebagai buku kedua dari seri Jampi-jampi Varaiya yang telah

terbit tahun lalu. Kesibukannya semakin padat dengan menjadi pembimbing dan

guru kelas kreatif/klinik menulis di kota-kota dan daerah-daerah Indonesia.

Sebagian besar, waktu mengajarnya dicurahkan dengan serius di sekolah menulis

Plot Point.

Pada November 2011, Clara menerbitkan buku dongeng anak berjudul

Dongeng Sekolah Tebing. Sebuah buku anak indah bersampul tebal yang bercerita

tentang 53 kisah anak-anak di sekolah yang terletak di ujung tebing. Bersama

buku itu, Clara melakukan kampanye “melek sastra” dan “orangtua mendongeng”

ke berbagai sekolah-sekolah di Indonsia.

Bagi Clara, menjadi penulis bukanlah sebuah pekerjaan gampang. Ia

adalah seorang penulis yang memiliki disiplin tinggi dalam menulis. Setiap hari

seperti pekerja pada umumnya jam Sembilan pagi ia memasuki ruang kerjanya

yang tidak lain adalah perpustakaan pribadi beisikan ribuan buku. Ketika menulis

ia tidak bisa diganggu dan akan keluar ketika sore hari. Akan tetapi terkadang ia

juga bersikap fleksibel, ia kadang-kadang mengantar jemput sendiri anaknya ke

sekolah. Ia selalu membuka diri terhadap kritikan yang dialamatkan kepadanya

dan ia sangat menghargai setiap dukungan dari orang-orang terdekatnya, ia

berterima kasih untuk itu.

C. Resume

Nama Pena. Clara Ng

Nama Asli. Clara Regina Juana

Kontak. 0815-190-7321 via Ms. Stella Sutisna (manajer)

Page 148: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

136

Email. [email protected]

Pendidikan. Ohio State University, Columbus, Ohio, USA. Jurusan Interpersonal

Communication & Organization. Minor in Linguistic.

Karya yang telah dipublikasikan.

Novel populer.

1. Tujuh Musim Setahun (Dewata Publishing, 2002)

2. Seri Indiana Chronicle. Blues, (Gramedia Pustaka Utama, 2004)

3. Seri Indiana Chronicle. Lipstick (Gramedia Pustaka Utama 2005)

4. Seri Indiana Chronicle. Bridesmaid (Gramedia Pustaka Utama 2005)

5. The (Un)Reality Show (Gramedia Pustaka Utama 2005)

6. Utukki. Sayap Para Dewa (Gramedia Pustaka Utama 2006)

7. Dimsum Terakhir (Gramedia Pustaka Utama 2006)

8. Tiga Venus (Gramedia Pustaka Utama 2007)

9. Gerhana Kembar (Gramedia Pustaka Utama 2007)

10. Tea for Two (Gramedia Pustaka Utama 2009)

11. Jampi-Jampi Varaiya (Gramedia Pustaka Utama, 2010)

12. Ramuan Drama Cinta (Gramedia Pustaka Utama, 2011)

13. Black Jack bersama Felice Cahyadi (Gramedia Pustaka Utama, 2013)

Kumpulan Cerpen

Malaikat Jatuh dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2008)

Antologi Sastra

1. Rahasia Bulan (Gramedia Pustaka Utama 2006)

2. Compassion And Solidarity (HiVO – Ubud Writers And Readers Festival,

2009)

3. Un Soir du Paris (Gramedia Pustaka Utama 2010)

4. Si Murai dan Orang Gila (Dewan Kesenian Jakarta 2010)

5. Dari Datuk ke Sakura Emas (Gramedia Pustaka Utama 2011)

6. Klasik Nan Asyik/Exciting Classics (Utan Kayu Salihara International

Literary Biennale, 2011)

Page 149: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

137

Cerita anak-anak/dongeng

1. Seri Berbagi Cerita Berbagi Cinta (Gaya Rambut Pascal, Benji Sakit Gigi,

Pergi ke Pantai, Suara Apa Itu?, Dari Negeri Seberang, Lupi Si Pelupa,

Hujan Hujan Hujan) (Gramedia Pustaka Utama 2007)

2. Seri Sejuta Warna Pelangi (Kapan Hujan Berhenti?, Aku Bisa Terbang,

Pesta Kostum Tengah Malam, Melukis Cinta, Milo Sedang Bosan, Mau

Lagi Lagi Lagi, Ambilan Bulan Yah!, Sore Super Sibuk, Jangan Bilang

Siapa-siapa) (Gramedia Pustaka Utama 2008)

3. Seri Bagai Bumi Berhenti Berputar (Pohon Harapan, Seribu Sahabat

Selamanya, Jangan Lupa Aku Mencintaimu, Yang Paling Istimewa, Kerlip

Bintang di Langit) (Gramedia Pustaka Utama 2009)

4. Seri Dongeng Tujuh Menit. Bugi Hiu Suka Senyum, Air Mata Buaya,

Wayang Sebelum Tidur, Padi Merah Jambu, Kancil Anak Baik, Ketahuan,

Upik Main Bola (Gramedia Pustaka Utama, 2010)

5. Dongeng Sekolah Tebing (Buah Hati Books, 2011)

6. Princess, Bajak Laut & Alien bersama Icha Rahmanti (Plotpoint

Publishing, 2013)

Cerpen dan esai

Di berbagai media nasional. Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Femina, dan lain-

lain.

Penghargaan, festival sastra internasional, dan pengalihan bahasa

1. Penghargaan Adikarya Ikapi 2006 untuk cerita anak “Gaya Rambut

Pascal”

2. Penghargan Adikarya Ikapi 2007 untuk cerita anak “Melukis Cinta”

3. Penghargaan Adikarya Ikapi 2008 untuk cerita anak “Jangan Bilang Siapa-

siapa”

4. Nominasi penghargaan sastra Khatulistiwa Literary Award 2011 untuk

novel “Jampi-jampi Varaiya”

Page 150: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

138

5. Terpilih sebagai 15 most inspired women 2010 versi majalah franchise

Amerika. More

6. Pembicara dan undangan di festival sastra internasional Ubud Writer

Reader Festival 2009, 2010, 2011

7. Membaca cerpen di Festival Salihara International Literary Biennale 2011

8. Beberapa novel dan buku anak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris

didistribusikan di beberapa negara di Asia dan Eropa

Page 151: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

139

Lampiran 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

SEKOLAH : SMA N 112 JAKARTA

MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia

KELAS : XI

SEMESTER : 2

ALOKASI WAKTU : 4 x 45 menit

A. STANDAR KOMPETENSI .

Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan.

B. KOMPETENSI DASAR .

Menaganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/novel terjemahan.

C. ASPEK PEMBELAJARAN.

Membaca.

D. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI .

No Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya Dan

Karakter Bangsa

Kewirausahaan/

Ekonomi Kreatif

1 Mampu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dan ekstrinsik novel Indonesia dan

terjemahan

Mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik

(alur, tema, penokohan, sudut pandang,

latar,

dan gaya bahasa) dan ekstrinsik novel

Indonesia

Mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik

(alur, tema, penokohan, sudut pandang,

latar,

Bersahabat

Kreatif

Saling menghargai

Anti diskriminasi

Toleransi

Kepemimpinan

Keorisinilan

Page 152: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

140

dan amanat) dan ekstrinsik novel terjemahan

2 Mampu menjelaskan kebudayaan Tionghoa

dalam novel Dimsum Terakhir

E. TUJUAN PEMBELAJARAN .

Siswa dapat.

Memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/novel

terjemahan

Menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/novel

terjemahan

Menyebutkan kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir

F. METODE PEMBELAJARAN .

Penugasan

Diskusi

Tanya Jawab

Ceramah

Demonstrasi

G. STRATEGI PEMBELAJARAN

Tatap Muka Terstruktur Mandiri

Menjelaskan unsur-unsur intrinsik

prosa

Menjelaskan unsur ekstrinsik prosa

Unsur-unsur intrinsik

prosa

Tema

Alur

Gaya Bahasa

Penokohan

Setting

Sudut pandang

Unsur ekstrinsik prosa

Biografi

Pengarang

Latar sosial politik

Siswa menjelaskan unsur

intrinsik novel Dimsum

Terakhir karya Clara Ng.

Siswa menjelaskan unsur

ekstrinsik novel Dimsum

Terakhir karya Clara Ng.

Siswa menyebutkan

kebudayaan Tionghoa yg

terdapat dalam novel

Dimsum Terakhir karya

Clara Ng.

H. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN .

No. Kegiatan Belajar Nilai Budaya Dan

Page 153: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

141

Karakter Bangsa

1. Kegiatan Awal :

Guru menjelaskan Tujuan Pembelajaran hari ini.

Guru bertanya pengetahuan siswa tentang novel Indonesia

dan novel terjemahan.

Guru memperkenalkan novel Dimsum Terakhir karya

Clara Ng

Bersahabat/

komunikatif

2. Kegiatan Inti :

Eksplorasi

Dalam kegiatan eksplorasi .

Siswa membaca novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng

Elaborasi

Dalam kegiatan elaborasi,

Mengidentifikasi kebudayaan Tionghoa dalam novel

Dimsum Terakhir

Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel

Dimsun Terakhir

Siswa memperesentasikan hasil diskusi kelompoknya

Siswa menanggapi hasil diskusi

Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa.

Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui

Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.

Kreatif

Saling menghargai

Anti diskriminasi

Toleransi

3. Kegiatan Akhir :

Refleksi

Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini.

Bersahabat/

komunikatif

I. ALOKASI WAKTU .

4 x 45 menit

J. SUMBER BELAJAR/ALAT/BAHAN .

buku yang berkaitan dengan materi unsur intrinsik dan ekstrinsik

prosa

buku EyD

LKS

Modul

Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng

Artikel koran/majalah

K. PENILAIAN .

Jenis Tagihan.

tugas individu

tugas kelompok

Page 154: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

142

Bentuk Instrumen.

siswa diminta menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Dimsum

Terakhir

siswa diminta mendiskusikan kebudayaan Tionghoa yang terdapat dalam

novel Dimsum Terakhir

L. LAMPIRAN.

rubrik penilaian

Mengetahui Jakarta, 17 Februari

2014

Kepala Sekolah Guru Mata

Pelajaran

A. K. Pratama, M. Pd.

NIP. 19780413201001 2 008 Hayatun Nufus,

S.Pd.

Page 155: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

UJI REFERENSI

Nama : Hayatun Nufus

NIM : 109013000074

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Judul Skripsi : KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL

DIMSUM TERAKHIR KARYA CLARA NG DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA

INDONESIA DI SMA.

Dosen Pembimbing : Novi Diah Haryanti, M. Hum.

No. Nama Buku Paraf

Pembimbing

1.

Cheong, Philip & S. L. Ang. Ajaran Leluhur Tabu-

Tabu China: Kumpulan Tabu & Kepercayaan.

Jakarta: Yayasan Karaniya, 2010.

2. Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra:

Pengantar Ringkas. Ciputat: Editum, 2009.

3.

Danandjaja, James. Folklor Tionghoa: Sebagai

Terapi Penyembuh Amnesia terhadap Suku Bangsa

dan Budaya Tionghoa. Jakarta: Grafiti, 2007.

4.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian

Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.

Yogyakarta: CAPS, 2013.

5.

Endraswara, Suwardi. Metode, Teori, Teknik

Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi,

dan Aplikasi. Tangerang: Pustaka Widyatama,

Page 156: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

2006.

6. Endraswara, Suwardi. Teori Pengkajian Sosiologi

Sastra. Yogyakarta: UNYpress,2012.

7. Escarpit, Robert. Sosisologi Sastra. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2005.

8.

Fairservis, Walter A, Jr. Asal-usul Peradaban

Orang-orang Jawa dan Tionghoa.Surabaya:

Selasar Publishing, 2009.

9. Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2012.

10. Hermawan, Sainul. Tionghoa Dalam Sastra

Indonesia. Yogyakarta: IRCiSold, 2005.

11.

Ju Lan, Thung & I. wibowo. Setelah Air Mata

Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa

Mei 1998. Jakarta: Kompas, 2010.

12. Keraf, Gorrys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:

PT Gramedia, 2008.

13.

Koentjaraningrat. Bunga Rampai: Kebudayaan,

Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia,

2008.

14.

Meij, Lim Sing, Ruang Sosial Baru Perempuan

Tionghoa: Sebuah Kajian Pascakolonial. Jakarta:

Yayasan Obor, 2009.

15. Ng, Clara. Dimsum Terakhir. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2006.

16. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi.

Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 2005.

17. Prasetyadji. Semangat Perjuangan Peranakan

Idealis: Merintis jalan menuju kesetaraan dan

Page 157: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

penyelesaian kewarganegaraan atnis Tionghoa

sejak tahun1945. Jakarta: Forum Komunikasi

Kesatuan Bangsa, 2011.

18. Prasetyo, Joko Tri. Tanya Jawab Ilmu Budaya

Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

19. Rampan, Korrie Layun. Aresiasi Cerpen Indonesia

Mutakhir. Jakarta: bukupop, 2009.

20.

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan

Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga

Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

21.

Santosa, Iwan. Peranakan Tionghoa di Nusantara:

Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur. Jakarta:

Kompas, 2012.

22. Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran

Politik. Jakarta: Transmedia, 2008.

23.

Suryadinata, Leo. Pemikiran Politik Etnis

Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta: LP3ES,

2005.

24. Suryadinata, Leo. Dilema Minoritas Tionghoa.

Jakarta: Grafiti, 1984.

25.

Suryadinata, Leo. Etnis Tionghoa dan

Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga

Rampai 1965-2008. Jakarta: Kompas,

2010.

26.

Tan, Mely G. Etnis Tionghoa di Indonesia:

Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2008.

27. Too, Lilian. Penerapan Feng Shui Pa kua dan Lo

Page 158: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24616/3/HAYATUN NUFUS-FITK.pdf · Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang

Shu. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2002.

28. Tregear, Mary. Chinese Art. Slovenia: Mladinska

Knjiga 1995.

29.

Wellek, Rene & Austin Warren. Teori Kesustraan:

Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT

Gramedia, 1989.

30. Widagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta:

Bumi Aksara, 2008.

31. Wiranata, I Gede A. B. Antropologi Budaya.

Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011.