kebudayaan tionghoa dalam novel dimsum...
TRANSCRIPT
KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIR
KARYA CLARA NG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Disusun oleh:
Hayatun Nufus
109013000074
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
i
Sebuah Persembahan
Buat: Mama, Babeh.
ii
ABSTRAK
HAYATUN NUFUS, 109013000074, “Kebudayaan Tionghoa dalam
Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.” Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.
Hum.
Mempelajari kebudayaan adalah suatu pengalaman menarik bagi siswa.
Siswa akan mendapat pengetahuan baru terkait kebudayaan yang diajarkan.
Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang ke museum dan membaca buku
sejarah. Kebudayaan bisa kita berikan melalui novel. Novel Dimsum Terakhir
cocok diberikan untuk mempelajari kebudayaan karena novel ini sarat akan
kebudayaan Tionghoa yang bisa dipelajari oleh siswa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebudayaan Tionghoa yang
terkandung dalam novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng yang diharapkan dapat
dijadikan bahan pembelajaran di sekolah nantinya. Penelitian kepustakaan dengan
metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk
menganilisis kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir ini.
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Tionghoa
yang terkandung dalam novel Dimsum Terakhir adalah: 1) Imlek atau pesta
peryaan datangnya musim semi (tahun baru pada penanggalan lunar), 2) cap go
atau tanggal kelima belas penanggalan lunar, 3) feng shui, 4) penanggalan, 5)
pengobatan tradisional, 6) makanan khas Tionghoa, 7) agama, 8) kelenteng atau
tempat ibadah umat TriDharma, 9) horoskop Cina (shio), 10) upacara
pascakematian.
Kata kunci: Tionghoa, kebudayaan, Dimsum Terakhir
iii
ABSTRACT
HAYATUN NUFUS, 109013000074, “Tionghoa Culture in Dimsum
Terakhir by Clara Ng and the Implication to Learning Indonesian Language and
Literature in High School.” Department of Education Indonesian Language and
Literature, Faculty of Education and Teaching Tarbiyah, Syarif Hidayatullah State
Islamic University Jakarta. Supervisor: Novi Diah Haryanti , M. Hum., February
2014.
Learning about culture is kind of interesting experience for student.
Student will get new knowledge about culture that is learned learning culture
should not come to the museum only and read historical book. Culture can be
given by novel . Dimsum Terakhir novel is suitable to give the learning about
culture because this novel full of Tionghoa culture that can be learned by students.
This research is alm to know about Tionghoa culture that can be seen from
Dimsum Terakhir novel by Clara Ng and hope can be used for study at school.
This literature research use descriptive qualitative is kind method that is used to
analyze Tionghoa culture in Dimsum Terakhir novel.
Based on the research we can conclude that Tionghoa culture in Dimsum
Terakhir novel are: 1) imlek or welcoming party of lunar calendar, 2) cap go is the
fifteenth days in lunar calendar, 3) fengshui, 4) calendar, 5) traditional medicine,
6) Tionghoa fomous food, 7) religion 8) kelenteng or place for pray TriDharma’s
people, 9) Chinese horoscope, 10) after death prosesion.
Keywords: Tionghoa, culture, Dimsum Terakhir
iv
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena
berkat rahmat dan karunia-Nya skripsi yang berjudul “Kebudayaan Tionghoa
dalam Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” pada akhirnya dapat selesai
dengan hasil yang memuaskan. Salawat serta salam sudah sepatutnya teriring
kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang berkat perjuangannyalah Islam
hadir di muka bumi ini dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Selama lebih dari setahun skripsi ini disusun, penulis begitu banyak
menemui aral terjal dan krisis motivasi. Namun, selalu ada yang menyemangati
dan memotivasi serta membantu penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.
Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada nama-nama berikut
ini.
1. Nurlena Rifa’i, M. A., Ph. D. selaku Dekan Fakutas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan.
2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z. A., M. Pd. selaku Kepala Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
3. Dra. Hindun, M. Pd. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.
4. Novi Diah Haryanti, M. Hum. selaku pembimbing dalam penulisan skripsi
ini. (Terima kasih, Bu, telah membimbing saya dengan sabar dan keren).
5. Rosidah Erowati, M. Hum. selaku penguji 1 dalam ujian munaqasah.
6. Ahmad Bachtiar, M. Hum. selaku penguji 2 dalam ujian munaqasah.
7. Segenap dosen dan karyawan PBSI yang telah memberikan ilmu bagi
penulis.
Secara khusus saya ingin menyampaikan terima kasih terdalam buat Mama
dan Babeh, orang tua yang luar biasa yang telah memberikan cinta kasihnya
kepada penulis dengan begitu tulus dan sabar. Terima kasih juga untuk Kak
Melda, Kak Dian, Kak Silvia, Kak Chairul, Kak Saipul, dan Kak Nurma.
v
Kepada kawan-kawan sampailah ucapan terima kasih ini (aku menjadi
lengkap, hidup, dan berwarna karena kalian). Buat Kak Ipank selaku tetua di MK
(Majelis Kantiniyah) terima kasih, (kata-kata Abang, nasihat Abang, pemikiran
Abang seperti cakrawala baru buat penulis). Buat Yunita, Rizki Dwi Yanti, Jelita
Cahya Ningtiyas, Lufi Bundo Nurfadilah, Khori Yatun Nisah, Dewi, Abang
Oboy, Uni Putri Dintha dan buat segenap Pandawa Lima & Srikandi dan seluruh
kawan angkatan 2009, terima kasih telah menjadi keluarga yang hangat buat
penulis.
Buat penghuni MK, Bang Zaki, Fajar, Irsyad Musang Zulfahmi, Levy
Arnaldo, M. Iqbal, Hasna Diana, Bohari Muslim, Akbar Ajoy Fatriyana, Adi
Reptil Nugroho, Imron Rosyadi, Mulya Boneng Abdul Aziz, Curut, Mutianissa,
Mira Rosiana, Ucin, Adi Alvian, Miftah Ival Falakhi, Sigit Purnomo Boby
Hadipratama, Ida, Alya, Yanti, Dede Sunarya, Zainal Mbe Abidin, Maolana
Dasef, dan lainnya yang maaf jika tidak disebutkan satu per satu, terima kasih,
sungguh kalian cat warna dan soundsystem dalam hidup penulis.
Buat Lisneni, Irma, Setiawan, terima kasih sudah mengisi weekend saya.
Buat Nia Bolang Indriyani, Ningsih Oktafani, Rahayu Awaludin, (teman
berpetualang yang sangat keren), terima kasih.
Buat segenap penghuni Primagama Karang Tengah, Pak Bos Rizal, Kak
Tatang, Mas Wahib, Kak Rendy, Kak Kristin, Kak Lucky, Kak Reny, Kak Santy,
Kak Kiki, buat anak-anak kesayangan, Maolana Yusuf, Ryan Maulana, Rizky
Arga Kusuma, Retza Pratama, Rilando, Nicholas Ceriso, Nabilah, Eci, Anisa,
Abdul Rosyid, Fauzan, Jasson, Nanda, Ken, Alvin, Jessika, Icha, Raisa, Adam,
Dafa, Akil, Teguh, Nesya. Terima kasih anak-anak yang tak sempat kulahirkan
sendiri. (Kalian jadi pencerah kusamnya hidup kaka).
Buat kelompok PPKT SMKN 2 Tangerang Selatan, Herda Harisman, T.B.
Mutaqin, Ahmad Kaffi. Terima kasih, untuk kekompakan kita di sekolah. Buat
anak-anakku di SMKN 2 Tangsel, terima kasih untuk kenangan, untuk pelajaran
berharga ini.
vi
Buat Achmad Kaswary Pratama––mata samudraku––dan keluarganya
yang begitu hangat. Terima kasih untuk kesabaran, kasih sayang, dan semua hal
yang sangat indah dalam hidup penulis.
Terima kasih semuanya untuk begitu banyak hal, mohon maaf segenap
lahir seluruh batin, skripsi ini sudah selesai.
Satu tahun pengerjaan skripsi, ternyata penuh warna, terima kasih Tuhan,
untuk warna-warni gemerlapan ini.
Jakarta, 19 Maret 2014
Penulis
Hayatun Nufus
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH
LEMBAR PERSEMBAHAN…………………………………………… i
ABSTRAK..................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ….……………………………………………… iv
DAFTAR ISI…………………………………………………………… vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1
B. Identifikasi Masalah…………………………………… 5
C. Rumusan Masalah……………………………………… 6
D. Tujuan Penelitian……………………………………… 6
E. Manfaat Penelitian……………………………………… 6
F. Metode Penelitian……………………………………… 7
G. Penelitian yang Relevan………………………………… 9
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Struktural……………………………………… 11
B. Hakikat Novel………………………………………… 17
C. Pengertian Kebudayaan………………………………… 21
D. Etnis Tionghoa di Indonesia dalam Beberapa Priode… 22
E. Sosiologi Sastra………………………………………… 41
F. Pembelajaran Sastra di Sekolah………………………… 44
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Unsur Intrinsik……………………………….………… 48
B. Hasil Penelitian Kebudayaan Tionghoa dalam Novel… 80
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan……………………………………………… 124
B. Saran…………………………………………………… 126
viii
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 127
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1: Sinopsis Novel Dimsum Terakhir dan Biografi Clara
Ng
Lampiran 2: RPP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan manifestasi dari ide-ide seseorang ketika melihat dan
merasakan peristiwa sosial di sekelilingnya. Melalui sastra, pengarang
menyampaikan gagasannya kepada masyarakat. Sastra sebagai karya fiksi
memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekadar cerita
khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas
pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya.
Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel berasal dari bahasa
Inggris, yaitu novel. Novel adalah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai
unsur. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat mirip
dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya, sehingga
terlihat seperti sungguh ada dan terjadi. Unsur inilah yang akan menyebabkan
karya sastra (novel) hadir. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang
secara langsung membangun sebuah cerita. Keterpaduan berbagai unsur
intrinsik ini akan menjadikan sebuah novel yang bagus. Setelah itu, untuk
menghasilkan novel yang bagus juga diperlukan pengolahan bahasa. Bahasa
merupakan sarana atau media untuk menyampaikan gagasan atau pikiran
pengarang yang akan dituangkan dalam sebuah karya yaitu salah satunya novel
tersebut. Wellek dan Warren menyatakan bahwa novel adalah gambaran dari
kehidupan dan perilaku yang nyata dari zaman pada saat novel itu ditulis.1
Setiap peristiwa dalam sebuah novel diikuti dengan beragam konflik sosial
dan keseharian para pelaku yang mencerminkan kebudayaan. Nilai budaya adalah
bagaimana seseorang menjalani hidupnya dengan cara-cara yang sesuai dengan
1 Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta. PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1989), h. 282.
2
sistem di masyarakat, norma yang berlaku dan adat istiadat kelompok masyarakat
tertentu.
Kita dapat melihat kaitan pengarang dengan karyanya melalui sebuah
pendekatan ekstrinsik yaitu sosiologi sastra. Tidak hanya itu, pendekatan ini juga
memungkinkan kita untuk menggali lebih jauh hubungan karya sastra dan
masyarakat. Sebagai sebuah cerminan, sastra tidak akan pernah bisa lepas dari
konteks sosial di mana karya sastra itu muncul.
Wellek dan Warren berpendapat bahwa hubungan antara sastra dan
masyarakat sastra adalah intuisi sosial yang menggunakan medium bahasa.
Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar dari
kenyataan sosial, meskipun karya sastra itu sendiri bersifat fiksi dalam
artian hanya meniru. Hal tersebut mencerminkan bahwa karya sastra
memiliki kaitan yang erat dengan intuisi sosial yang pengungkapannya
menggunakan bahasa sebagai medium penyampaian pesan antara
pengarang terhadap pembaca mengenai sebuah karya sastra.2
Dalam pembelajaran sastra di sekolah, mengkaji nilai intrinsik dan
ekstrinsik suatu karya sastra, salah satunya novel, merupakan sebuah kegiatan
yang menyenangkan sekaligus kaya manfaat. Ada banyak hal positif untuk
dijadikan pelajaran hidup yang berguna bagi kemajuan personal siswa. Selain itu,
manfaat lainnya adalah dapat menanamkan kepedulian terhadap peristiwa yang
terjadi di sekitar. Hal ini hanya bisa didapat apabila guru mampu membimbing
dan mengarahkan siswa untuk kreatif dalam menggali informasi yang terdapat
dalam novel.
Siswa juga diharapkan mampu berperan serta dalam mengatasi
permasalahan sosial, setidaknya mereka mampu membedakan hal yang baik dan
buruk, mampu mengoptimalkan jiwa sosial mereka, dan meningkatkan sikap
simpati kepada sesama. Sudah menjadi rahasia umum perihal prilaku rasis
terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, seperti penyebutan kata “amoy” kepada
anak-anak perempuan Tionghoa padahal orang-orang hanya meniru-niru tanpa
2 Ibid, h. 109.
3
mengerti makna sebenarnya, berperasangka buruk kepada mereka, mengejek
mereka “cokin”3, menganggap mereka bukan orang Indonesia, dan sebagainya.
Peneliti mengaharapkan siswa kelak tidak terpengaruh oleh hegemoni
masyarakat mayoritas yang berperilaku rasis terhadap etnis minoritas Tionghoa.
Siswa pun diharapkan bertambah wawasan budayanya melalui kajian kebudayaan
Tionghoa yang terdapat dalam novel ini sehingga siswa dapat memahami etnis
Tionghoa secara lebih empatik.
Alasan peneliti menggunakan istilah “Tionghoa” bukan “Cina” didasari
pada keinginan peneliti untuk mengambil sikap netral dalam penelitian ini. Kata
“Cina” merupakan bentukan rezim Soeharto. Penyebutan Cina untuk etnis
Tionghoa bertendensi negatif walaupun masyarakat sudah menerima istilah ini
dan tidak mempermasalahkannya sebagai sesuatu yang dianggap melecehkan
etnis Tionghoa. Akan tetapi, peneliti menilai alangkah bijaksananya apabila
sebagai peneliti kita memberikan sebutan yang baik kepada objek yang menjadi
penelitian kita. Peneliti tidak ingin terkesan berat sebelah dalam penelitian ini
karena hal itu hanya akan membuat penelitian ini tidak objektif lagi. Dengan
berbagai alasan tersebut, peneliti memutuskan untuk menggunakan istilah
“Tionghoa” dalam penelitian ini.
Orang-orang Tionghoa asli4 maupun orang-orang Indonesia yang berdarah
Tionghoa5 di Indonesia masih menjadi objek rasis oleh sekelompok masyarakat
mayoritas. Anggapan bahwa orang-orang Tionghoa belum membaur seutuhnya
dengan orang Indonesia dan cenderung menutup diri mereka, membuat pandangan
negatif terhadap orang Tionghoa makin menjadi.
Sejarah panjang etnis Tionghoa di Indonesia tidak luput dari permasalahan
politik. Sejak masa penjajahan Belanda di Nusantara, etnis Tionghoa sudah
mengalami perilaku rasis yang cenderung biadab. VOC yang merasa
kepentingannya terganggu oleh etnis Tionghoa, kemudian menyebarkan isu anti-
3 Makna cokin dalam bahasa slang adalah orang Cina
(http.//malesbanget.com/kamus/definisi.php?kata=Cokin). Sebagian besar kaum muda
memandang kata cokin memiliki konotasi negatif (skripsi, Paskarini) 4 Totok
5 peranakan
4
Tionghoa yang menyebabkan etnis Tionghoa dibantai secara membabi buta pada
tahun 1740.6
Berbagai kebijakan rasial pun muncul tidak hanya pada masa penjajahan
Belanda. Pada Era Soekarno dan Soeharto pun etnis ini harus mengalami
kebijakan yang merugikan mereka. Contohnya PP-10 pada Era Soekarno dan
kebijakan asimilasi7 pada Era Soeharto yang berimbas pada ditutupnya sekolah-
sekolah berbahasa Cina dan pelarangan menggunakan bahasa dan aksara Cina
dalam media massa.
Problem mayoritas minoritas di mana etnis minoritas selalu menjadi bulan-
bulanan kelompok mayoritas, konsekuensi ini pun sampai sekarang masih
menghegemoni dalam hukum mayoritas minoritas etnis Tionghoa di Indonesia.
Masyarakat mayoritas seperti tutup mata terhadap sumbangsih etnis minoritas ini
dalam membangun bangsa.8 Kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara bukan
bertujuan untuk menjajah seperti Belanda dan Jepang. Mereka datang ke
Nusantara hanya untuk mencari penghidupan, umumnya di sektor perdagangan.
Segala persoalan etnis Tionghoa dan kebudayaannya ini, tergambar pada
sebuah novel berjudul Dimsum Terakhir. Novel ini pertama kali diterbitkan tahun
2006 oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Novel Dimsum Terakhir mendapat
apresiasi yang cukup baik di kalangan masyarakat sehingga sejak 2006 novel ini
sudah empat kali dicetak ulang. Seorang pemerhati kebudayaan dan seorang
penulis mengatakan dalam testimoninya mengenai novel ini.
“Clara Ng mengembangkan kehidupan tokoh-tokoh ceritanya
dengan lincah, kreatif, manusiawi, dan yang terpenting tanpa beban. Oleh
sebab itu “Dimsum Terakhir” lahir menjadi potret utuh kehidupan sebuah
keluarga modern dengan segala macam persoalannya”.9
6 Seperti yang diungkapkan oleh Benny G. Setiono dalam bukunya Tionghoa dalam
Pusaran Politik. 7 Politik pembauran
8 Etnis Tionghoa berjasa dalam penyebaran agama Islam di Nusantara yang dilakukan
oleh Laksamana Cheng Ho dan armadanya. Etnis ini juga berhasil membangun irigasi pada masa
penjajahan VOC. (berdasarkan buku Etnis Tionghoa dalam Pusaran Politik, karya Benny G.
Setiono.) 9 Putu Fajar Arcana (wartawan Kompas)
5
“Clara dengan sangat manis meracik seluruh elemen dalam novel
ini menjadi hidangan cerita yang memabukkan. Lihatlah cara dia
merangkai kata, menumbuhkan wacana dan pengelanaannya dalam
menggambarkan setting dan pristiwa. Ia membumbui sesuatu yang simple
dengan cara yang tak biasa. Ia mengawinkan hawa pop dengan semburan
yang mutakhir. Clara dengan smooth membuat jembatan yang nyaris tak
terlihat, yang membuat pembaca tak perlu lagi menghakimi novelnya
sebagai sastra atau bukan sastra, hanya memerlukan komentar bermutu
dan layak dinikmati.”10
Novel Dimsum Terakhir berisi tentang kisah empat orang anak kembar
dari keturunan Tionghoa yang hidup terpisah-pisah sesuai dengan pekerjaan dan
idealismenya masing-masing. Mereka harus berkumpul kembali untuk merawat
ayah mereka yang sakit. Inti persoalan yang diangkat adalah bagaimana seseorang
yang hidup di era modern masih memegang adat budayanya yaitu budaya
Tionghoa di tengah diskriminasi terhadap kaum minor ini dan menjunjungnya
sebagai falsafah hidup.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti berminat untuk
menganalisis novel Dimsum Terakhir. Analisis terhadap novel Dimsum Terakhir
dibatasi pada struktur dan kebudayaan. Stuktur penting untuk menganilisis
kebudayaan yang banyak terkandung dalam novel ini.
Alasan dipilih dalam segi kebudayaan adalah karena novel ini
menampilkan kebudayaan Tionghoa dan bagaimana kebudayaan itu
dipertahankan oleh empat orang gadis modern. Novel ini semakin menarik
dianalisis dalam segi kebudayaan ketika pada zaman modern seperti ini masih
ada sekelompok orang yang mempertahankan budaya leluhur mereka bahkan di
tengah diskriminasi sosial yang mendera warga keturunan Tionghoa di Indonesia.
Novel ini menampilkan keseharian warga Tionghoa modern yang meskipun
selalu menjadi objek rasial namun tetap menjujung budaya mereka dan tetap
mencintai Indonesia sebagai negeri tumpah darahnya.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, identifikasi masalah
10
Albertine Endah (penulis Indonesia)
6
dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Kebudayaan Tionghoa apa saja yang terkandung dalam Novel Dimsum
Terakhir?
2. Adakah hubungan antara kebudayaan dengan pola hidup dan pemikiran
tokoh-tokohnya?
3. Apakah kebudayaan itu masih dijalankan oleh tokoh-tokohnya di tengah
stereotip negatif dan diskriminasi terhadap mereka?
4. Kurangnya pemahaman siswa terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik
karya sastra khususnya novel.
5. Kurangnya bahan bacaan sastra yang bermutu bagi para siswa.
C. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat
diketahui rumusan masalah yang timbul adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah struktur novel Dimsum Terakhir?
2. Bagaimanakah kebudayaan Tionghoa yang terkandung dalam novel
Dimsum Terakhir?
3. Bagaimanakah implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebudayaan Tionghoa yang
terkandung dalam novel Dimsum Terakhir dan mencari implikasinya terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Manfaat teoretis, hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan
dalam pengajaran bidang bahasa dan sastra, khususnya tentang struktur
dan pembelajaran sastra tentang nilai-nilai budaya Tionghoa dalam
7
novel.
2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa
pihak, antara lain.
a. Bagi Guru
Hasil penelitian ini memberikan gambaran bagi guru tentang
pendekatan struktural untuk dijadikan pedoman dalam pembelajaran
sastra yang menarik, kreatif, dan inovatif.
b. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang
dirumuskan. Selain itu, dengan selesainya penelitian ini diharapkan dapat
menjadi motivasi bagi peneliti untuk semakin aktif menyumbangkan
hasil karya ilmiah bagi dunia sastra dan pendidikan.
c. Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini bagi pembaca diharapkan dapat lebih memahami isi
novel Dimsum Terakhir dan mengambil manfaat darinya. Selain itu,
diharapkan pembaca semakin jeli dalam memilih bahan bacaan
(khususnya novel) dengan memilih novel-novel yang mengandung
pesan moral yang baik dan dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk
sarana pembinaan watak diri pribadi.
d. Bagi Siswa
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi stimulus kepada siswa
untuk lebih peka terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat.
Memperkaya pengetahuan kebudayaan siswa, menambah wawasan serta
menumbuhkan jiwa simpati dalam diri siswa.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menggunakan data deskriptif
8
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari objek yang diamati. Dalam hal ini objek
yang diamati adalah novel Dimsum Terakhir dan kebudayaan Tionghoa.
Metode ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran, analisis dan
penjabaran secara objektif agar dapat mengungkapkan hubungan antarunsur-
unsur cerita di dalam teks dan dapat menggambarkan kebudayaan Tionghoa yang
terkadung di dalamnya. Metode ini digunakan untuk menggambarkan hal-hal
faktual yang terdapat dalam karya sastra sehingga pembaca mendapatkan
gambaran yang jelas mengenai kebudayaan Tionghoa yang terkandung di dalam
novel ini.
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis novel ini adalah
pendekatan struktural yang berdasarkan pada tumpuan teks itu sendiri. Penelitian
dipusatkan kepada unsur-unsur intrinsik karya sastra yang dibandingkan dengan
kebudayaan Tionghoa yang diperoleh melalui tinjauan pustaka.
Untuk dapat lebih memahami konteks sosial masyarakat dan kebudayaan
Tionghoa yang terkandung dalam novel ini, peneliti juga menggunakan
pendekatan ekstrinsik yaitu sosiologi sastra. Lalu jenis penelitian yang peneliti
pergunakan adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian
kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian.
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi
sastra dengan mencoba menghubungkan cerita dalam novel Dimsum Terakhir
dengan keadaan sosial, yakni kebudayaan Tionghoa pada saat cerita itu dibuat
yaitu pada era demokrasi pascarevolusi 1998.
1. Sumber Data/Objek Penelitian
Data penelitian ini bersumber pada novel Dimsum Terakhir karya Clara
Ng diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama dan merupakan cetakan
keempat pada Mei 2012. Selain itu, data penelitian ini juga bersumber pada
kajian kepustakaan mengenai kebudayaan Tionghoa.
9
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam
penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah untuk mendapatkan data.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan membaca
teks sastra dalam hal ini novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng kemudian
menyimak secara saksama untuk pada akhirnya peneliti melakukan pencatatan.
Langkah berikutnya penelitian kepustakaan berkenaan dengan kajian kebudayaan
Tionghoa.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah suatu cara yang digunakan untuk
menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar data-data
tersebut dapat dipahami bukan saja oleh peneliti, tetapi juga oleh orang lain yang
ingin mengetahui hasil penelitian itu.
Setelah data terkumpul, lalu dianalisis berdasarkan pendekatan struktural
dan pendekatan sosiologi sastra untuk mengungkapkan pokok masalah yang
diteliti sehingga dapat diperoleh kesimpulannya.
Metode penulisan yang dipakai adalah analisis teks dengan awal
penulisan diawali mengenai pembahasan secara intrinsik tentang cerita tersebut
untuk melihat secara lebih jelas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam
cerita beserta pendukung-pendukung isi penceritaan berupa penokohan, alur,
latar, tema dan gaya bahasa. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembahasan
mengenai unsur ekstrinsik dari cerita tersebut khususnya mengenai kebudayaan
Tionghoa.
G. Penelitian yang Relevan
Penelitian terhadap novel-novel Clara Ng sebelumnya juga pernah diteliti
oleh beberapa mahasiwa FIB UI maupun mahasiswa jurusan lainnya. penelitian
yang pertama adalah skripsi berjudul Trilogi Indiana Chronicle karya Clara Ng.
Potret Perempuan dalam Budaya Populer ditulis oleh Nelly mahasiswa Program
Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tahun
10
2007. Skripsi ini berbicara tentang feminisme pada novel bergenre chicklit ini
dan menganalisis muatan feminisme yang terdapat dalam novel tersebut dan
apakah tokoh utamanya mewakili paham feminisme.
Penelitian selanjutnya adalah skripsi yang berjudul Heteronormativitas
dalam Novel Gerhana Kembar Sebagai Sastra Populer Karya Clara Ng:
Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi ini ditulis oleh Annisa Arianita mahasiswa
jurusan studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
tahun 2012. Skripsi ini membahas homoseksualitas di dalam masyarakat
Indonesia yang heteronormatif yang direpresentasikan dalam novel Gerhana
Kembar karya Clara Ng. skripsi ini meneliti tentang keberpihakan pengarang
terhadap homoseksualitas di Indonesia.
Penelitian yang ketiga adalah skripsi berjudul Representasi pengurangan
ketidakpastian perempuan modern dan mandiri dalam hubungan interpersonal
terhadap kekerasan domestik yang dialaminya (Studi analisis Framing pada
Novel Tea For Two karya Clara Ng). skripsi ini ditulis oleh Rebecca Maya
Kresna, mahasiswa jurusan Komunikasi Massa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia tahun 2010.
Melihat penelitian sebelumnya terhadap Clara Ng maupun karya-
karyanya, penelitian “Kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”
memiliki keunggulan dibandingkan penelitian sebelumnya yang kebanyakan
hanya berputar pada satu sudut pandang saja. Penelitian ini meneliti kebudayaan
Tionghoa yang bisa menambah khazanah pengetahuan siswa dan bisa
menumbuhkan rasa saling menghargai sesama juga menumbuhkan sikap anti
diskriminasi dalam diri siswa.
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Struktural
Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan
strukturalisme Praha. Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum
strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara komprehensif oleh
berbagai unsur (pembangunnya). Di satu pihak, struktur karya sastra dapat
diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian
yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang
indah.1 Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian
hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan,
saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.
Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian
tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti
dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain,
serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.2
Teori strukturalisme menekankan hubungan antara karya dengan
lingkungan sosialnya. Dalam masyarakat, sesungguhnya manusia berhadapan
dengan norma dan nilai. Dalam karya sastra, juga dicerminkan norma dan nilai
yang secara sadar difokuskan dan diusahakan untuk dilaksanakan dalam
masyarakat. Sastra juga melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia.
Oleh karena itu, kemungkinan karya sastra tersebut bisa merupakan ukuran
sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap
kekuatan sosial.3
Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan
1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta. Gadjah Mada University
Press, 2005), h. 36. 2 Ibid.
3 M. Ikhwan Rosyidi dkk., Analisis Teks Sastra,( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 201.
12
dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan
antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan
dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh
dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dicoba jelaskan
bagaimana fungsi-fungsi tiap-tiap unsur itu dalam menunjang makna
keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antarunsur itu sehingga secara
bersama-sama membentuk suatu totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya,
bagaimana hubungan antarperistiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya
dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya.4 Dengan demikian,
pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin
fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama
menghasilkan sebuah kemenyeluruhan5
Di dalam kajian struktural, kita akan menemui unsur-unsur intrinsik
seperti tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa.
Unsur-unsur ini saling berkaitan dan menjalin sebuah keutuhan dalam cerita.
Berikut adalah penjelasan mengenai berbagai unsur intrinsik dalam novel.
1. Tema
Pada dasarnya, tema itu merupakan suatu ide pokok. Tema itu merupakan
pikiran atau masalah ide pengarang yang perlu dijabarkan dalam sebuah kalimat
sehingga jelas maknanya karena di dalam sebuah cerita terdapat suatu bayangan
mengenai pandangan hidup atau citra pengarang sebagai cara untuk
memperlihatkan sebuah masalah. Masalah itu dapat berwujud tentang apa saja
yang sesuai dengan kehendak pengarang. Tema (theme) menurut Stanton dan
Kenny, adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Di samping itu, dari
tema dapat diketahui adanya nilai khusus atau nilai yang bersifat umum.
Oemarjati memperjelas batasan tema dalam sebuah cerita sebagai berikut.
Tema adalah persoalan yang telah berhasil menduduki tempat yang khas
dalam pemikiran pengarang dengan visi, pengetahuan, imajinasi, dan emosinya
4 Nurgiyantoro, Op. cit., h. 37.
5 Ibid., h. 37.
13
menjurus pada suatu penyelesaian. Jadi dalam tema, terimplisit tujuan cerita,
tetapi bukan tujuan itu sendiri.
Oemarjati berpendapat bahwa di dalam tema terdapat tujuan cerita secara
implisit. Hal itu berarti bahwa tema itu dinyatakan masih dalam keadaan yang
samar-samar itu perlu dicari maknanya dalam suatu penelitian.6
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah
dasar ide cerita yang secara implisit maupun eksplisit terkandung dalam sebuah
novel. Tema sebuah novel bisa diketahui dengan membaca atau meneliti novel
tersebut dengan saksama karena sifat tema itu sendiri yang tidak secara gamblang
tertulis dalam novel melainkan kita harus menelitinya terlebih dahulu.
2. Tokoh dan Penokohan
Penokohan dalam sebuah karya sastra adalah cara pengarang untuk
menampilkan para tokoh dengan wataknya, yakni sifat, sikap, dan tingkah
lakunya. Boleh juga dikatakan bahwa penokohan itu merupakan cara pengarang
untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa
adanya tokoh, sebuah cerita tidak terbentuk. Bentuk penokohan yang paling
sederhana ialah pemberian nama kepada para tokoh di dalam sebuah cerita.7
Menurut Jones dalam Nurgiyantoro, penokohan adalah pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.8
Menurut Abrams, Tokoh cerita (character) adalah orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan
apa yang dilakukan dalam tindakan.
Dari kutipan tersebut, dapat juga diketahui bahwa antara seorang tokoh
dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal
ini, khususnya dari pandangan teori resepsi, pembacalah sebenarnya yang
memberi arti semuanya. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu
dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal).
6 Ibid, h. 38.
7 Wellek, Warren, Op. cit. h. 187
8 Nurgiyantoro, Op. cit., h. 165.
14
Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh
kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.9
Pada hakikatnya, tokoh dan alur cerita di dalam sebuah karya sastra tidak
dapat dibicarakan secara terpisah karena kedua unsur itu memunyai kedudukan
dan fungsi yang sama dalam hal membentuk sebuah cerita memadai. Sebuah
cerita tidak mungkin terbentuk apabila salah satu unsurnya tidak terpenuhi. Oleh
karena itu, antara unsur latar, tokoh, dan alur cerita saling berkaitan dan
hubungannya pun sangat erat.
Di dalam sebuah karya sastra, terdapat banyak ragam tokoh, seperti tokoh
datar dan tokoh bulat. Tokoh datar ialah tokoh yang berperan di dalam sebuah
cerita yang hanya memunyai satu dimensi sifat. Tokoh bulat ialah tokoh yang
juga berperan di dalam sebuah cerita yang yang memiliki sifat lebih dari satu
dimensi.10
Selain itu, kita bisa memisahkan antara tokoh utama dan tokoh
sampingan. Tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peran paling sentral dalam
cerita sekaligus memliki porsi yang paling banyak dalam cerita. Tokoh
sampingan adalah tokoh yang muncul dalam cerita namun tidak memiliki porsi
yang besar dan cenderung hanya sebagai pelengkap cerita atau lawan dari tokoh
utama. Dalam penelitian ini, tokoh dan penokohan dibagi menjadi tokoh utama
dan tokoh sampingan.
3. Latar
Di dalam sebuah karya sastra, latar merupakan tempat peristiwa sebuah
cerita berlangsung. Latar juga dapat diartikan sebagai waktu atau masa
berlangsungnya suatu peristiwa karena latar itu sekaligus merupakan lingkungan
yang dapat berfungsi sebagai metonomia atau metafora untuk mengekspresikan
para tokoh.11
Abrams dalam Nurgiyantoro, mengatakan bahwa latar atau setting yang
disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
9 Ibid.
10 Wellek, Warren., Op. Cit., h., 288.
11 Ibid., h. 290—300.
15
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Stanton dalam Nurgiyantoro mengelompokkan latar bersama dengan
tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi
dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.12
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa latar terbagi
menjadi 3 dimensi, yaitu. 1) latar waktu, 2) latar tempat, 3) latar suasana. Latar
waktu mengacu pada tahun atau masa yang menjadi latar novel tersebut. Latar
tempat mengacu pada tempat-tempat yang disebutkan dalam novel. Latar
suasana adalah keadaan sosial dan politik dalam novel.
4. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah pilihan pengarang dalam menggunakan tokoh
cerita. Sudut pandang atau point of view digunakan pengarang untuk memilih
dari sudut mana ia akan menceritakan ceritanya. Apakah sebagai orang di luar
cerita saja atau apakah pengarang juga akan turut serta dalam cerita yang
dibuatnya.
A. Bakar Hamid dalam Rampan mengatakan bahwa sudut pandang adalah
teknik mengemukakan cerita dengan meyakinkan dan pengarang dapat
menggunakan teknik ini untuk menentukan hal-hal yang dianggap sebagai
sampingan saja.13
Jacob Sumardjo dalam Rampan, memberikan perincian mengenai sudut
pandang ini.
a. Omniscient point of view, yaitu sudut pandang yang berkuasa. Dengan
sudut pandangan ini, pengarang seakan Tuhan atau Dewa, karena pengarang
bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja pada
tokohnya, pikiran, perasaan, jalan pikiran, sikap hidup, pandangan hidup
tokohnya, dan sebagainya. Ia bisa bicara secara langsung kepada
pembacanya.
12
Nurgiyantoro, Op. cit., h. 216. 13
Korrie Layun Rampan, Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir, (Jakarta. Bukupop,
2009), h. 6.
16
b. Objective point of view, yaitu pengarang menyuguhkan cerita tanpa
komentar, seperti pada omniscient of view. Penyuguhan itu seperti
pementasan tonil. Pengarang tidak masuk dalam pikiran para pelaku.
Walaupun kedua sudut pandang ini hampir sama, tetapi pada dasarnya
kenyataan yang dihadapi manusia dalam realitas keseharian orang yang satu
hanya bisa melihat atau menikmati apa yang diperbuat oang lain. Dengan
melihat itu, pengarang menilai tokoh dari sudut kejiwaan, kepribadian, jalan
pikiran, perasaan, dan sebagainya. Motif tindakan pelaku dinilai dari
perbuatan itu dan pembaca menafsirkan seluruh paparan pengarang.
c. Point of view orang pertama, yaitu menggunakan sudut pandang ―aku‖
atau ―saya‖. Teknik ini dapat akrab sekali, karena pembaca diajak ke pusat
kejadian, ke asal peristiwa, untuk ikut serta melihat dan merasakan apa yang
terjadi. Dengan teknik ini, pengarang harus hati-hati agar tidak terjadi
pencampuran antara pandangan pribadi pengarang dengan tokohnya.
Pengarang harus mengadakan penelitian dan observasi yang matang agar
tidak terjadi kerancuan antara dirinya sebagai pengarang dan ―aku‖ atau
―saya‖ yang merupakan tokoh cerpen.
d. Point of view peninjau. Teknik ini digunakan pengarang dengan
memilih salah satu tokoh untuk memaparkan cerita. Seluruh kejadian yang
muncul dalam jalinan cerita didapatkan dari tokoh. Tokoh dapat memaparkan
semua yang dirasa, dilihat, dipikirkan, dihayati, ataupun pengalaman
seseorang. Biasanya segala sesuatu yang menyangkut pengalaman pribadi
tokoh dapat diutarakan secara langsung, tetapi tokoh utama hanya
melaporkan saja tokoh-tokoh lainnya.14
Novel Dimsum Terakhir menggunakan sudut pandang Omniscient
point of view, yaitu sudut pandang yang berkuasa. Pengarang bertindak
seolah Tuhan yang tahu segalanya bahkan sampai ke dalam perasaan tokoh-
tokohnya. Pengarang berada di luar cerita sehingga ia mampu menceritakan
14
Ibid., h. 6–7.
17
kesuluruhan cerita dengan leluasa.
5. Plot
Yahya Ismail dalam Rampan, mengatakan plot ialah suatu yang
menghubungkan antara pristiwa dalam sebuah cerita yang rapat pertaliannya
dengan gerak laku lahiriah dan batiniah watak-watak dalam cerita itu. Hubungan
antara pristiwa dalam cerita hendaklah berdasarkan hukum sebab akibat.
Hubungan sebab akibat dapat dilihat dari contoh berikut ini. ―Raja lalim
meninggal dan rakyat jelata, karena kegembiraan mereka, lalu berpesta pora.‖
Dalam dua peristiwa dan dua kenyataan ini, terdapat hubungan yang erat.
Hubungan ini diadakan faktor sebab akibat dan juga faktor urutan waktu. Pada
kenyataan inilah terdapat plot.15
Stanton dalam Nurgiyantoro, mengemukakan bahwa plot adalah cerita
yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara
sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang
lain. Kenny dalam Nurgiyantoro mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa
yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang
menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Forster dalam
Nurgiyantoro mengemukakan hal senada, plot adalah peristiwa-peristiwa cerita
yang memunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.16
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara
khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis.17
Bisa dikatakan bahwa
karakter pengarang dapat diketahui melalui gaya atau style-nya dalam bercerita
maupun dalam memilih kata.
Gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya melalui
bahasa yang dipilihnya. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal,
15
Ibid., h. 4. 16
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 113. 17
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h.
113.
18
struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang
sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
B. Hakikat Novel
Novel merupakan salah satu bentuk prosa selain cerpen (cerita pendek).
Berasal dari bahasa inggris novel dan berisi rangkaian cerita atau peristiwa
imajinatif. Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun,
yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik meliputi tema, amanat,
penokohan, latar, plot, dan sudut pandang. Unsur ekstrinsik berhubungan dengan
sastra dan masyarakat, sastra dan psikologi, dan lain sebagainya.
Novel umumnya terdiri dari sejumlah bab yang tiap babnya berisi cerita
yang berbeda. Hubungan antarbab, kadang-kadang merupakan hubungan sebab
akibat atau hubungan kronologis sehingga kita tidak akan mendapat gambaran
secara utuh kalau hanya membaca satu bab saja secara acak.
Dalam kesusastraan Indonesia, dikenal juga istilah roman. Wellek-
Warren dalam bukunya yang berjudul Teori Kesusatraan menjelaskan bahwa
dalam bahasa Inggris dua ragam fiksi naratif yang utama disebut romance
(romansa) dan novel. Novel bersifat realis, sedang romansa puitis dan epik. Hal
ini menunjukkan bahwa keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Novel
berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, misalnya surat, biografi, kronik
atau sejarah. Jadi, novel berkembang dari dokumen-dokumen dan secara stilistik
menekankan pentingnya detail dan bersifat mimesis. Novel lebih mendalam.
Romansa yang merupakan kelanjutan epik, dan romansa abad pertengahan,
mengabaikan kepatuhan pada detail. Clara Reeve dalam Wellek-Warren
menjabarkan perbedaan kedua ragam tersebut, ―The novel is a picture of real life
and manners, and of time in wich is wriiten. The romance, the lofty and elevated
language, describes what never happened nor likely is hapen.”18
a. Macam-Macam Novel
Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan
18
Wellek,Warren, Op. cit., h. 282—283.
19
keragaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang
novel. Nurgiyantoro membedakan novel menjadi novel serius dan novel
populer.
1) Novel Populer
Kayam dalam Nurgiyatoro mengatakan bahwa sebutan novel populer,
atau pop, mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di
Kampus Biru pada tahun ‘70. Sesudah itu, setiap novel hiburan, tidak peduli
mutunya, disebut juga sebagai ―novel pop‖. Kata ‗pop‘ erat diasosiasikan dengan
kata ‗populer‘, mungkin karena novel-novel itu sengaja ditulis untuk ―selera
populer‖ yang kemudian dikemas dan dijajakan sebagai suatu ―barang dagangan
populer‖ dan jadilah istilah pop itu sebagai istilah baru dalam dunia sastra kita.19
Selanjutnya Kayam dalam Nurgiyantoro menuturkan sastra dan musik
―populer‖—sebagai kelanjutan dari istilah ―populer‖ yang sebelumnya telah
dikenal dalam dunia sastra dan musik–adalah semacam sastra dan musik yang
dikategorikan sebagai ―hiburan dan komersial‖ ini menyangkut apa yang disebut
―selera orang banyak‖ atau ―selera populer‖. Pop sastra di dunia barat condong
pada sastra baru yang inovatif, eksperimental—yang tidak saja dalam hal gaya
manipulasi bahasa, dan penjajahan tema yang sebebas mungkin—walau tidak
menutup kemungkinan untuk komersial. Sebagai kebalikan sastra populer itu
adalah sastra yang ―sastra‖, ―sastra serius‖, literatur. Sastra serius, walau dapat
juga bersifat inovatif dan eksperimental, tidak akan dapat menjelajah sesuatu
yang sudah mirip dengan ―main-main‖.20
Kayam dalam Nurgiyantoro menambahkan sastra populer adalah perekam
kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan, dalam
serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman itu dengan
harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga
merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamannya itu. Sastra
populer akan setia memantulkan kembali ―emosi-emosi asli‖, dan bukan
19
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 17. 20
Ibid., h. 17—18.
20
penafsiran tentang emosi itu. Oleh karena itu, sastra populer yang baik banyak
mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.21
Nurgiyantoro mengatakan bahwa novel populer adalah novel yang pada
masanya banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia
menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya
sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan
kehidupan secara intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika
demikian halnya, novel populer akan jadi berat, dan berubah menjadi novel serius
dan boleh jadi akan ditinggakan pembacanya. Oleh karena itu, novel populer
pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan
zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya, sekali lagi. Ia biasanya
cepat dilupakan orang. Apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih
populer.22
Stanton dalam Nurgiyantoro mengatakan novel populer lebih mudah
dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata
menyampaikan cerita. Ia ―tidak berpretensi‖ mengejar efek estetis, melainkan
memberi hiburan langsung dari aksi ceritanya. Masalah yang diceritakan pun
ringan-ringan saja, tetapi aktual dan menarik, yang terlihat pada masalah yang
itu-itu saja. Cinta, asmara (barangkali dengan sedikit berbau porno) dengan
model kehidupan yang berbau mewah. Kisah percintaan antara pria tampan
dengan wanita cantik secara umum cukup menarik, mampu membuai pembaca
remaja yang memang sedang mengalami masa peka untuk itu, dan barangkali,
dapat untuk sejenak melupakan kepahitan hidup yang dialaminya secara nyata.23
Bisa disimpulkan bahwa novel populer dapat dilihat dari berbagai sisi
pemahaman. Dikatakan populer karena mengikuti tren atau selera pasar yang
sedang diminati dan isinya tidak berat, berat di sini maksudnya tidak membahas
secara mendalam hakikat kehidupan hanya pada permukaannya saja. Namun
batasan-batasan antara populer dan serius agaknya memang sulit untuk
dipisahkan bahkan didefinisikan.
21
Ibid., h. 18. 22
Ibid., h. 18. 23
Ibid., h. 19.
21
2) Novel Serius
Novel serius merupakan jenis karya sastra yang dianggap pantas
dibicarakan dan diapresiasi oleh akademisi sastra. Dalam sejarah sastra, novel
yang bermunculan cenderung mengacu pada novel serius. Novel serius harus
sanggup memberikan suatu kesan yang mendalam tentang hakikat kehidupan.
Novel serius yang bertujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca, juga
memunyai tujuan memberikan pengalaman yang berharga dan mengajak
pembaca untuk meresapi lebih sungguh-sungguh tentang masalah yang
dikemukakan.24
Berbeda dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar, novel
sastra tidak bersifat menghamba pada pembaca. Novel sastra cenderung
menampilkan tema-tema yang lebih serius. Teks sastra sering mengemukakan
sesuatu secara implisit sehingga hal ini bisa dianggap menyibukkan pembaca.
Nurgiyantoro mengungkapkan bahwa dalam membaca novel serius, jika
ingin memahaminya dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi
disertai dengan kemauan untuk itu. Novel jenis ini, di samping memberikan
hiburan juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada
pembaca atau paling tidak mengajak pembaca untuk meresapi dan merenungkan
secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.25
Kecenderungan yang muncul pada novel serius memicu sedikitnya
pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Meskipun demikian, hal ini tidak
menyebabkan popularitas novel serius menurun. Justru novel ini mampu bertahan
dari waktu ke waktu. Misalnya, roman Romeo Juliet karya William Shakespeare
atau karya Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane yang memunculkan polemik
yang muncul pada dekade 30-an yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan
belum ketinggalan zaman.26
Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dapat dikategorikan sebagai
novel serius dan patut diteliti oleh akademisi sastra. Novel ini tidak mengikuti
selera pasar. Materi dan tema yang diusung oleh novel ini bukan tema percintaan
24
Ibid.,h. 19. 25
Ibid., h. 18—19. 26
Ibid., h. 21.
22
remaja yang mengedepankan dongeng si tampan dan si cantik. Novel ini bisa
dikatakan memliki tema yang kurang populer, yakni tema keluarga Tionghoa. Isu
perempuan juga dibicarakan dalam novel ini dan memiliki porsi yang banyak.
Pengarang menyajikan permasalahan di seputaran etnis Tionghoa yang
diwakilkan oleh keluarga Nung Atasana. Keluarga Tionghoa ini dalam
keterbatasannya masih memegang dan menjalankan kebudayaan mereka.
Isu perempuan dalam novel ini semakin menambah keseriusan materi
yang dibicarakan, isu transgender dan orangtua tunggal tanpa pernikahan
dimunculkan dalam novel ini. Berdasarkan beberapa alasan tersebut maka
peneliti mengkategorikan novel Dimsum Terakhir sebagai novel serius.
C. Pengertian Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta, yakni Buddhayah. Bentuk
jamak dari buddhi yang berarti ―budi‖ atau ―akal‖. Kebudayaan itu dapat
diartikan ―hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.27
Kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai
kesempurnaan hidup. Segala sesuatu yang diciptakan manusia baik yang konkret
maupun yang astrak28
. Koentjaraningrat mengatakan kebudayaan adalah
keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh
tatakelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun
dalam kehidupan masyarakat.29
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia untuk memenuhi kehidupan-kehidupan dengan cara belajar, yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelas dapat
diperinci sebagai berikut.
1. bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan
dihasilkan manusia. Karena itu meliputi.
a. kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-
27
Koenjraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. (Jakarta. PT Gramedia
Pustaka Utama), h. 5 28
Djoko Tri Prasetya, Tanya Jawab Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta. PT Rineka Cipta,
2000), h. 14. 29
Koentjaraningrat, Op. cit., h. 9.
23
benda ciptaan manusia, misalnya. alat-alat perlengkapan hidup.
b. kebudayaan nonmaterial (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang
tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya. religi, bahasa, ilmu
pengetahuan.
2. bahwa kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis),
melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.
3. bahwa kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Tanpa masyarakat akan sukarlah bagi manusia untuk
membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin
manusia baik secara individual maupun masyarakat, dapat
mempertahankan kehidupannya.
4. jadi kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia dan hampir semua
tindakan manusia adalah kebudayaan, karena yang tidak perlu
dibiasakan dengan cara belajar, misalnya tindakan atas dasar
naluri,gerak reflek. Sehubungan dengan itu kita perlu mengetahui
perbedaan tingkah laku manusia dengan mahluk lainnya, khususnya
hewan.30
Koentjaraningrat menjelaskan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud
yakni.
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.31
Beragam wujud kebudayaan ini tertuang dalam novel Dimsum Terakhir.
Novel ini menyajikan ketiga wujud kebudayaan yang disebutkan oleh
Koentjaraningrat di atas. Contoh wujud kebudayaan poin pertama adalah
kebudayaan menghormati leluhur yang sudah meninggal. Contoh wujud
kebudayaan poin kedua adalah merayakan Imlek atau pesta musim semi, dan
contoh wujud kebudayaan poin ketiga adalah bangunan kelenteng tempat ibadah.
D. Etnis Tionghoa di Indonesia dalam Beberapa Periode
Etnis Tionghoa diperkirakan datang ke Nusantara pada abad kesembilan,
yaitu pada zaman Dinasti Tang untuk berdagang dan mencari kehidupan baru.
Pada 1961 di Guangzhou (Canton) ditemukan sebuah batu bertulis yang telah
30
Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta. PT Bumi Aksara, 2008), h. 21—22. 31
Koenjraningrat, Op. Cit. , h. 5.
24
berusia 900 tahun, yang menggambarkan persahabatan Nusantara-Tiongkok.
Batu bertulis tersebut ditemukan ketika sedang dilakukan penggalian di halaman
belakang sebuah kuil Dao (Tao) yang sudah tidak dipergunakan lagi.32
Tokoh yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah keberadaan orang-orang
Tionghoa di Indonesia adalah Laksamana Cheng Ho, tokoh ini sangat terkenal
hingga kini, tidak hanya di kalangan etnis Tionghoa saja, tetapi warga pribumi
pun menaruh perhatian besar terhadap tokoh ini. Hal ini dapat terjadi karena
menurut beberapa ahli sejarah, penyebaran Islam di Nusantara bermula dari
orang Tionghoa, yaitu Laksamana Cheng Ho, dikenal juga dengan nama Sam
Pho Kong.
Awal mula kedatangan armada Tionghoa di Nusantara untuk membasmi
perompak di jalur niaga sekaligus untuk mempromosikan kejayaan Dinasti Ming.
Ditunjuklah Laksamana Cheng Ho sebagai pemimpin ekspedisi. Laksamana
Cheng Ho adalah seorang Muslim, ahli navigasi yang handal dan berbakat. Ia
adalah putra kedua Ma Haji, yang berasal dari suku bangsa Hui dan Ibu bernama
Wen. Kakek dan ayah Cheng Ho telah menunaikan ibadah hajinya, walaupun
pada masa itu perjalanan ke Mekkah bukan perjalanan yang mudah dan harus
menghadapi banyak bahaya. Oleh karena itu, sejak kecil Cheng Ho telah sering
mendengar cerita perjalanan kakek dan ayahnya tersebut. Hal inilah kelak yang
memotivasi dan mendorong Cheng Ho untuk mengunjungi negara-negara lain.33
Peran etnis Tionghoa dalam menyebarkan Islam di Jawa banyak ditulis
para haji Tionghoa. Antara lain buku Ying Yai Sheng Lan karangan Haji Ma
Huan dan buku Tsing Tsa Sheng Lan karangan Haji Feh Tsing (Fei Hsin). Kedua
haji ini adalah pembantu Laksamana Cheng Ho yang pandai berbahasa Arab dan
bertindak sebagai penerjemah dan mencatat segala sesuatu tentang negara-negara
yang dikunjunginya.34
Bila mengunjungi sejumlah masjid di Pantura Jawa terutama masjid-
32
Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta. Trans Media Pustaka,
2008), h. 21. 33
Ibid., h. 28. 34
Ibid., h. 46.
25
masjid Walisongo, akan tampak sekali pengaruh kebudayaan Tionghoa. Hal ini
terlihat pada Masjid Agung Demak (Masjid Gelagah Wangi) atau makam Sunan
Gunung Jati di Cirebon. Di tembok-tembok masjid banyak ditempelkan piring
porselen Tiongkok dari zaman Dinasti Ming. Selain itu, banyak terdapat guci-
guci antik yang tak ternilai harganya. Di Masjid Gelagah Wangi, Demak,
terdapat ornamen kura-kura yang digunakan untuk menunjukkan tahun
berdirinya masjid tersebut, yaitu tahun 1401 Caka atau 1479 masehi35
Masjid Agung Demak sangat terkenal karena salah satu soko gurunya
terbuat dari potongan kayu yang disusun secara akurat. Bahkan masjid ini
menggunakan teknologi pembuatan jung, kapal niaga Tiongkok dari Dinasti
Ming yang terbuat dari kayu.
Raden Fatah yang dikenal sebagai sultan Demak, merupakan kesultanan
Islam pertama di Jawa sebenarnya adalah Jin Bun. Jin bun adalah anak Kang Ta
Bu Mi (Kertabumi) atau Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang
menikah dengan putri Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah
Bantong).
Demikian juga Sultan Demak yang kedua, Sultan Yunus (Adipati Unus)
adalah Yat Sun putra Jin Bun. Adipati Unus sangat terkenal pada 1521 berani
menyerang Portugis di Kota Malaka yang telah didudukinya sejak 1511. Adipati
Unus hanya memerintah tiga tahun karena meninggal. Ia digantikan oleh
saudaranya Tung Ka Lo alias Pangeran Trenggana.36
Kesultanan Cirebon pada 1552 didirikan oleh Haji Eng Hoat alias
Maulana Ifdil Hanafi bersama Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat Fatahillah atau
Falatehan). Sunan Gunang Jati pernah menjadi panglima tentara Kesultanan
Demak dan mantan Raja Kesultanan Islam Baanten dengan didukung orang-
orang Tionghoa Islam di Sembung. Sunan Gunung Jati menjadi sultan pertama
Kesultanan Cirebon dengan mendirikan Keraton Kesepuhan.37
35
Sugeng Haryadi (dalam Setiono), Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak dan
Grebeg Besar (Jakarta: CV Mega berlian. 2002) h. 47–48. 36
Setiono, Op. cit., h. 46–47.
37 Setiono, Op. cit., h. 50.
26
Kedudukan etnis Tionghoa pada masa penjajahan Belanda berada di atas
warga pribumi. Orang-orang Tionghoa pada masa penjajahan Belanda cenderung
bersikap netral. Mereka tidak memihak pada Belanda maupun pada raja-raja atau
sultan-sultan di Nusantara. Contohnya ketika Jan Pieterszzon Coen mencoba
mempengaruhi Souw Beng Kong yang terkenal sebagai pedagang piawai namun
tidak berhasil. Selain berdagang Souw Beng Kong adalah seorang kapiten atau
pemimpin etnis Tionghoa di wilayah Banten dan Sunda Kelapa (Batavia).
Bukti lain bahwa etnis Tionghoa tidak memihak Belanda maupun sultan,
yaitu ketika pada 1628–1629 terjadi perang antara Belanda dengan tentara Sultan
Agung di Front Timur, tentara Banten di front Barat, dan tentara Inggris dari laut
di front utara maka orang-orang Tionghoa menunjukkan sikap tidak memihak.
Berkali-kali Sultan Banten yang memunyai hubungan baik dengn Souw Beng
Kong meminta bantuaannya melawan Belanda dari dalam, tetapi permohonan
tersebut selalu ditolaknya.
Begitu juga Jan Pieterszoon Coen yang berkali-kali meminta nasihat
Souw Beng Kong tetapi ia tetap bersikap netral. Ini membuktikan bahwa
kedatangan orang-orang Tionghoa di Nusantara tidak lain hanya untuk berdagang
dan tidak memunyai maksud untuk berkuasa dan terlibat dalam konflik.38
Selain Souw Beng Kong yang menjadi kapiten yang diangkat oleh
Belanda, pada Maret 1645 rapat anggota kongkoan mengangkat Phoa Beng Gan
sebagai kapiten, Phoa Beng Gan terkenal sebagai ahli irigasi.
Batavia yang terletak di dataran rendah di tepi laut yang dikelilingi rawa-
rawa membuat daerah ini selalu terendam banjir jika musim penghujan tiba dan
menyebabkan penyakit malaria. Phoa Beng Gan merencanakan untuk membuat
kanal untuk mengalirkan air banjir ke laut. Akhirnya rencana itu pun diwujudkan
dengan biaya hasil patungan rakyat Tionghoa dan bantuan dari pihak Belanda.
Dalam waktu kurang dari setahun kanal tersebut telah selesai digali dan banyak
memiliki manfaat tidak hanya untuk mengalirkan banjir ke laut tapi juga
digunakan untuk jalur transportasi barang-barang hasil perkebunan maupun
industri.
38
Setiono, Op. cit, h. 99.
27
Etnis Tionghoa di Indonesia semakin banyak dan mulai menguasai sektor
perdagangan di Nusantara. VOC merasa kepentingannya di Nusantara mulai
terusik oleh banyaknya etnis Tionghoa yang mendiami wilayah Nusantara.
Dengan menggunakan politik adu domba, VOC pada 1740 mulai menyebarkan
isu anti-Tionghoa. Etnis Tionghoa diburu dan dibunuh dengan kejam.
Sentimen negatif terhadap etnis ini seolah tidak pernah lenyap. Pada masa
Orde Baru, etnis ini seperti sengaja dikunci, dibatasi ruang geraknya dan selalu
dicurigai. Puncaknya terjadi pada tragedi kemanusiaan 1998, terjadinya sebuah
aksi unjuk rasa penuntutan diturunkannya Soeharto yang diwarnai aksi kekerasan
terhadap etnis Tionghoa.
Untuk lebih jelasnya, peneliti coba membuat periodisasi terhadap
keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia, yaitu. 1) Pembantaian Etnis Tionghoa
oleh VOC 1740, 2) Etnis Tionghoa pada Era Soekarno, 3) Etnis Tionghoa pada
Era Soeharto, 4) Etnis Tionghoa Pascatragedi Mei 1998.
1. Pembantaian Etnis Tionghoa 174039
Benny G. Setiono dalam bukunya yang berjudul Etnis Tionghoa dalam
Pusaran Politik menceritakan dengan terperinci peristiwa ―pemusnahan― etnis
Tionghoa oleh VOC pada tahun 1740. Hal ini menjadi penting untuk kita
ketahui sebagai pijakkan awal tindakan diskriminatif terhadap etnis ini yang
pada kenyataannya sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Berikut ini
akan diuraikan peristiwa memilukan tersebut.
Pada awal abad ke 18 hubungan dagang antara Batavia dan Tiongkok
semakin berkembang dan bertambah penting. Dari Tiongkok diangkut teh,
emas, perak, tekstil, sutera, barang-barang porselin, dan beling sedangkan dari
Batavia diangkut rempah-rempah, kayu cendana, cula badak, sarang burung
wallet, dan komoditi lainnya. di daerah sekitar Batavia dan di daerah pesisir
lainnya yang dikuasai VOC, berkembang industri gula. Hampir seluruh industri
gula ini dimiliki orang-orang Tionghoa. Hal ini menyebabkan banyak orang
39 Benny G. setiono, Etnis Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (jakarta: Transmedia. 2008)
h. 109–134.
28
Tionghoa yang masih berada di negeri asalnya merasa tertarik untuk datang ke
Nusantara mengingat kemajuan orang-orang Tionghoa di Batavia.
Laju kedatangan orang-orang Tionghoa ini menyebabkan jumlah
penduduk Tionghoa di Batavia meningkat pesat. Jumlah penduduk Tionghoa dia
Batavia meningkat menjadi 10.000 orang. Pada umumnya mereka bekerja di
berbagai perkebunan tebu atau pabrik gula dan perusahaan perkayuan. Tempat
mereka bekerja ini diusahakan oleh orang-orang Tionghoa di pinggiran kota
Batavia, yang tanahnya disewa dari pemerintah. Pada 1740, terdapat 2.500
rumah orang Tionghoa termasuk yang berada di luar tembok kota diperkirakan
berjumlah tidak kurang dari 15.000 orang. Jumlah ini merupakan 17 persen dari
keseluruhan jumah penduduk di daerah tersebut. Ada kemungkinan jumlah
orang Tionghoa sebenarnya jauh lebih besar. Karena berdasarkan sensus yang
diadakan pada tahun 1778, adalah sebesar 26% dari jumlah penduduk yang
berada di luar tembok kota adalah orang-orang tionghoa. Sedangkan pada massa
pemerintahan Inggris (1811–1816), jumlah orang Tionghoa merupakan 24%
dari seluruh jumlah penduduk yang berdiam di dalam dan di luar tembok kota.
Namun, berbeda dengan orang Tionghoa yang tinggal di dalam kota yang
dapat dikendalikan melalui pemimpinnya, orang Tionghoa yang tinggal di luar
kota atau pedesaan ini menjadi sulit dikontrol karena berada di luar sistem
institusi. Mereka tidak diatur ke dalam organisasi-organisasi Tionghoa di Kota
dan berada di luar jangkauan. Dengan begitu, tidak pernah terjadi perundingan
dengan mereka karena tidak diwakili oleh organisasi yang ada. Banyak dari
mereka yang sukar mendapatkan pekerjaan dan luntang-lantung sebagaaai
pengangguran.
Sementara itu, kota Batavia denga rumah-rumah Belanda yang sempit dan
kanal-kanal yang kotor, terjangkit wabah penyakit yang berat. Wabah penyakit
merajalela dan menyebakan meninggalnya Gubernur Jendral Dirk Van Cloon
(1732–1735).
Sebagai akibat adanya perpecahan di dalam pimpinan VOC, timbul
banyak konflik. Sejumlah laporan VOC mengenai Banten dan daerah pesisir
Jawa menunjukkan kerugian yang besar. Ekspornya kecil dan perhitungan-
29
perhitungan pasarnya keliru.
Di samping itu, adanya akumulasi dan konsentrasi etnis Tionghoa
menimbulkan problem baru. adalah suatu kenyataan bahwa orang Tionghoa
telah ada di Nusantara sebagai pedagang sejak berabad-abad lamanya, jauh hari
sebelum kedatangan orang Eropa. Sejak 1619, mereka sudah menjadi suatu
bagian yang penting dalam kehidupan perekonomian di Batavia. Selain sebagai
pedagang mereka juga aktif menjadi tukang yang terampil, penggiling tebu, dan
pengusaha toko. Namun dikhawatirkan keberadaan mereka akan mengganggu
ketertiban dan ketenangan orang Belanda di Batavia. Penduduk Batavia tidak
menyukai dan mencurigai mereka.
Perkembangan lain yang ikut meningkatkan rasa tidak aman orang Eropa
di Batavia. Pada Desember 1721, VOC mengumumkan adanya komplotan
orang-orang Islam yang bermaksud melakukan pemberontakan dan
pembunuhan missal terhadap orang Belanda yang berada di Batavia. Kelompok
ini mendapat dukungan dari Banten, Cirebon, Bali, Balambangan, dan
Kartasura. Diduga pemimpinnya adalah seorang mestizo (indoeropa) Batavia
yang kaya raya bernama Peter Erberveld.
Untuk mengatasi siuasi tersebut VOC mulai mengadakan pembatasan
keberadaan orang Tionghoa di Batavia. Atas usul anggota Dewan Hindia, W
van Imhoff, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengeluarkan peraturan
permissiebriefje atau surat izin bagi orang Tionghoa dan pada 25 Juli 1740
dikeluarkan resolusi ―bunuh atau lenyapkan‖. Resolusi ini memerintahkan
bahwa semua orang Tionghoa yang mencurigakan tanpa peduli apakah mereka
memunyai surat izin atau tidak, harus ditangkap dan diperiksa. Apabila mereka
ternyata tidak memunyai penghasilan atau menganggur, mereka harus
dipulangkan ke Tiongkok atau dibuang ke Cylon (Sri Lanka) dan Tanjung
Harapan untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan sebagai kuli.
Ternyata kebijakan ini menimbulkan implikasi yang sangat negative.
Ribuan orang Tionghoa bukan hanya pengangguran dan bandit-bandit criminal,
tetapi para pedagang dan orang baik-baik lainnya ditangkap dengan paksa dan
menggunakan kekerasan. Lalu, mereka dimasukan ke kapal-kapal yang akan
30
membawanya ke Cylon dan Tanjung Harapan. Pemeriksaan yang dilakukan
terhadap rumah orang-orang Tionghoa dengan dalih mencari senjata seringkali
disertai dengan penganiyaan dan perampasan barang berharga.
Para pejabat kompeni Belanda juga menggunakan kesempatan itu untuk
memeras para orang Tionghoa kaya yang dimintai uangdalam rangka
mendapatkan surat izin, untuk kepentingannya sendiri. Hal ini menimbulkan
keresahan di kalangan masyarakat Tionghoa. Kabar angin segera berhembus
bahwa orang-orang Tionghoa yang ditangkap dan dirantai itu dianiaya dan
dibunuh. Mereka yang diangkut dengan kapal-kapal dari Batavia di tengah jalan
dilemparkan ke tengah laut.
Akibatnya, situasi menjadi sangat tegang. Para orang Tionghoa yang
resah, berkumpul dan membentuk beberapa kelompok yang mempersenjatai diri
untuk membela diri dan melawan perbuatan Belanda yang sewenang-wenang
tersebut.
Pada akhir September 1740, keadaan menjadi semakin gawat. Pada 26
september 1740, gubernur Jenderal Valckeneir memanggil Dewan Hindia untuk
mengadakan sidang darurat. Di hadapan sidang, ia memberi perintah dan kuasa
kepada anggota dewan, Van Imhoff dan Van Aarden untuk bertindak.
Pada 7 Oktober 1740, ketika sekelompok orang Tionghoa yang terdiri dari
ratusan orang melawan dan merebut posisi kompeni Belanda di Meester
Cornelis dan Tanah Abang berhasil membunuh 50 orang serdadu kompeni,
Vaan Imhoff melakukan serangan. Dengan kekuatan yang terdiri dari 1800
orang serdadu kompeni yang merupakan seluruh kekuatan Batavia, ditambah
dengan schutterij (pejaga sipil/milisi) dan 11 batalyon pennist (merupakan
pasukan wajib militer), Van Imhoff mulai melakukan operasi pembersihan. Jam
malam diberlakukan secara ketat terhadap semua penduduk Tionghoa dan
persiapan untuk suatu perayaan Tionghoa secara besar-besar dibatalkan.
Pada 8 Oktober 1740, tentara Belanda memukul mundur suatu serangan
balasan orang-orang Tionghoa yang cukup kuat di pinggiran kota. Melihat
situasi semakin serius. Pada, minggu pagi, tanggal 9 Oktober Gubernur Jenderal
Valcknier mengadakan rapat dengan para anggota Dewan Hindia. Jalan-jalan di
31
dalam kota sangat sepi dari orang-orang Tionghoa, karena sehari sebelumnya
telah diumumkan oleh gubernur jendral VOC berlakunya jam malam. Seluruh
orang Tionghoa harus tinggal di dalam rumah, menutup pintu dan jendela rapat-
rapat sehingga mereka tidak mengetahui apa yang terjadi.
Hal tersebut dimaksud agar mereka tidak berkomplot dengan orang-orang
Tionghoa yang berada di luar tembok kota yang diisukan akan ―menyerang‖
kota Batavia.di jalan-jalan hanya terdapat kerumunan non Tionghoa yang
semakin lama semakin besar, hampir setiap penduduk Batavia, kecuali orang-
orang Tionghoa berada di jalan-jalan untuk menunggu suatu ―tanda‖.
Orang-orang non-Tionghoa ini berkumpul di sudut-sudut jalan
membicarakan rumor terakhir yang menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa
merencanakan untuk membunuh mereka semua dan memperkosa perempuan-
perempuan serta menjadikan mereka dan anak-anaknya menjadi budak.
Kerumunan tersebut semakin membesar, rumor tersebut membuat mereka marah
dan menyatukan orang sepoy, para kelasi, kuli, tukang, dan bahkan budak
sekalipun. Hal ni belum pernah terjadi sebelumnya, mereka berasal dari
berbagai ―kebangsaan‖ merasa memunyai kesamaan, yaitu menghadapi musuh
bersama: orang-orang Tionghoa, yang seperti dianggap eksklusif. Satu-satunya
ras yang tidak muncul di jalan bersama-sama mereka termasuk para majikan
mereka orang Belanda, yang dalam menghadapi musuh bersama bukan saja
berada di pihak mereka, tetapi membela dan mengajak mereka untuk bergabung
dan mempersenjatai mereka.
Setelah itu, terjadi kebakaran beberapa warung Tionghoa di kompleks
pemukiman orang-orang Tionghoa di daerah Kali Besar Oost. Hal ini oleh
orang-orang Belanda diartikan sebagai tanda dimulainnya pemberontakan orang
Tionghoa. Kerusuhan pun terjadi dan penjarahan serta pembakaran rumah-
rumah orang Tionghoa berlangsung dengan kejam.
Tentara Belanda dengan dibantu orang-orang Eropa lainnya, para klasi
kapal, para gelandangan, orang-orang Sepoy, para tukang dan budak menyerbu
rumah-rumah orang Tionghoa, setelah merampok harta bendanya. Mereka lalu
membunuh setiap orang Tionghoa, tidak pedui laki-laki atau perempuan, tua
32
maupun muda. Bahkan anak-anak dan bayi yang sedang menyusu dibantai
dengan sadis dan di luar batas perikemanusiaan.
Setelah itu, dilakukan pembakaran terhadap semua rumah orang
Tionghoa. Banjir darah terjadi di mana-mana yang kemudian menimbulkan
nama-nama seperti Angke di Batavia yang berarti kali merah, karena banyaak
darah yang mengalir ke kali tersebut. Rawa Bangke di Meester Cornelis atau
Jati Negara karena banyaknya bangkai orang Tionghoa yang mengambang di
rawa-rawa sekitar jatinegara dan Tanah Abang yang berarti tanah merah karena
dibanjiri darah orang-orang Tionghoa yang menjadi korban pembantaian.
Berikut kutipan laporan seorang penulis Belanda, W.R. von Hoevell
dalam bukunya yang berjudul Batavia in 1740 yang oleh orang-orang Belanda
sendiri dianggap kredibel.
―Tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya terdengar jerit ketakutan di seluruh kota dan terjadilah
sebuah pemandangan yang sangat memilukan. Perampokan terhadap orang Tionghoa terjadi
di seluruh pelosok kota. Semua orang Tionghoa tidak peduli laki-laki, perempuan, anak-
anak habis dan dibantai. Bahkan perempuan dan menyusui anaknya juga tidak luput
menjadi korban pembantaian yang tidak mengenal prikemanusiaan.
Ratusan tahanan yang diikat tangannya, disembelih seperti menyembelihdomba.
Beberapa orang Tionghoa kaya, lari mencari perlindungan ke rumah-rumah orang Belanda
dan Eropa lain yang dikenalnya, tetapi tanpa mengenal belas kasihan dan tanpa
menujunjung moral serta prikemanusiaan, mereka menyerahkan orang Tionghoa tersebut
kepada para pemburunya yang haus darah. Barang-barang berharga yang dititpkan
kepadanya langsung diambil menjadi miliknya sendiri. Pokoknya semua orang Tionghoa,
baik yang bersalah maupun tidak harus dibasmi.‘
Kemudian, pembakaran dan pembunuhan menyebar ke seluruh penjuru kota. Kanal-
kanal menjadi merah dengan darah orang-orang Tionghoa, jalan-jalan penuh dengan mayat-
mayat. Di mana-mana terjadi pembunuhan yang dilakukan dengan cara-cara yang sangat
menyeramkan, segala sesuatu yang belum habis terbakar, dijarah dan dirampok. Kegelapan
malam yang kemudian tiba, tidak mengakhiri kekejaman yang tengah berlangsung, dan
sepanjang terdengar rintihan mereka yang sedang sekarat, jeritan ketakutan dari orang-orang
yang tengah menghadapi maut dan teriakan-teriakan histeris dari para pembunuh‖.
Demikianlah pembunuhan orang-orang Tionghoa di Kota Batavia terus
berlangsung. Sebagian orang-orang Tionghoa yang karena satu keajaiban
berhasil lolos dari kematian dengan bersembunyi di sudut-sudut yang terlindung
33
dan di celah-celah tembok sisa rumahnya, membuat para bandit sibuk. Selama
lebih dari seminggu, bandit-bandit tersebut yang katanya bertujuan
―mempertahankan Batavia‖ terus menerus melakukan operasi. Mereka
menagkapi orang-orang Tionghoa yang berhasil selamat, yang berada dalam
keadaan sekarat karena kelaparan dan kehabisan oksigen disebabkan terlampau
banyak menghirup asap. Mereka ini apabila ditemukan lansung dibantai dengan
kejam.
A.R.T Kemasang (dalam Benny G. Setiono) memberikan sebuah laporan
jumlah korban orang Tionghoa yang meninggal dunia mencapai 10.000 orang,
termasuk 500 orang tahanan dan pasien rumah sakit. Sebanyak 500 orang luka
parah, dan 700 rumah dirusak, dibakar, serta barang-barangnya dijarah. Laporan
tersebut juga menyatakan orang-orang Belanda maupun Eropa lainnya baik
militer maupun sipil bersama-sama melakukan perampokan dan pembunuhan
dengan dibantu oleh pasukan-pasukan prbumi yang lebih rakus.40
Pembantaian etnis Tionghoa pada tahun 1740 seperti menjadi sebuah
pijakan awal dari pengesahan terhadap perilaku rasisme kepada orang-orang
Tionghoa. Sebuah sejarah kekerasan yang terjadi pada satu masa yang kemudian
berulang-ulang pada masa-masa berikutnya bahkan sampai pada era modern.
2. Etnis Tionghoa Pada Era Soekarno
Pada masa pemerintahan Soekarno, etnis Tionghoa dihadapkan pada
suatu pilihan dilematis yaitu asimilasi. Etnis Tionghoa diberi pilihan untuk
menjadi warga Negara Indonesia (WNI) dengan mengganti nama Tionghoa
mereka dan juga meninggalkan segala ketionghoaan yang melekat pada tubuh
mereka dan menyatu dengan suku masyarakat di mana ia tinggal atau kembali ke
Tiongkok.
Jalan asimilasi ―dipilih‖ oleh Soekarno untuk meredam konflik kelompok
minoritas pada masa itu. Apa itu minoritas yang menjadi permasalahan
timbulnya suatu tindakan rasialis terhadap etnis Tionghoa akan coba peneliti
40 Benny G. Setiono, Etnis Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Transmedia,
2008), h. 109—121.
34
jelaskan dengan mengutip beberapa pengertian.
a. Minoritas
Louis Wirth (dalam Leo Suryadinata) memberi definisi sebagai berikut.
1. Minoritas adalah segolongan orang yang
2. Karena cirri-ciri badani atau kulturnya
3. Dipisahkan dari orang-orang lain dalam masyarakat tempat mereka
hidup.
4. Diberikan perlakuan yang berbeda
5.Sehingga mereka menganggap diri mereka sebagai bulan-bulanan dari
diskriminasi kolektif
6. Dalam masyarakat di mana terdapat minoritas di sana ada pula
dominant group yang berkaitan yang memunyai kedudukan sosial yang
lebih tinggi serta hak-hak istimewa.
7. Tergolongkan dalam minoritas dengan sendirinya berarti tidak
diikutsertakan sepenuhnya pada kehidupan masyarakat.41
Ditambah dengan rumusan Sub Commision dari Commision on Human
Rigths dari PBB yang menegaskan bahwa istilah minoritas itu biasanya
digunakan terhadap warga dari suatu negara. Dapatlah diringkaskan bahwa
minoritas adalah segolongan warga dari suatu negara yang dipisahkan,
dieksklusifkan dan didiskriminasikan oleh sesama42
warga negaranya yang
memunyai hak-hak istimewa dan kedudukan sosial, politik, ekonomis lebih
tiinggi, sehingga dalam diri golongan itu dibangkitkan perasaan-perasaan
tertentu, mereka diperlakukan demikian karena mereka berbeda dalam fisik atau
kebudayaan dengan warganegara yang lain. Berbagai perasaan itu adalah
perasaan-perasaan diperlakukan tidak adil, tidak dihargai, tidak dipercayai,
diisolasi dan dianiaya, pendek kata, perasaan-perasaan dikandung oleh anak tiri.
Wirth berkata. ―one cannot long discriminate against a people without
generating in them a sense of isolation or persecution and without giving them a
conception of themselves as being more different from others then in fact there
are.”43
Pada November 1959 Presiden Soekarno menandatangani Peraturan
Pemerintah No. 10 atau yang lebih dikenal dengan PP-10. Peraturan ini berisi
larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang Tionghoa)
41 Suryadinata, Op. Cit., h. 162—163.
42 Ibid., 163.
43 Ibid.,
35
untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota
daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak 1 Januari
1960.44
Dengan keluarnya PP-10 ini, sudah tentu menjadi semacam pukulan berat
terhadap etnis Tionghoa. Pada praktiknya, peraturan ini tidak hanya menertibkan
orang-orang Tionghoa agar tidak berdagang eceran lagi melainkan mereka juga
diusir dari tempat tinggal mereka.
Peraturan rasialis ini ditetapkan ditengarai karena Soekarno ditekan oleh
militer dan partai Islam. Masyarakat pribumi yang pada saat itu mulai berdagang
merasa tersaingi oleh dominasi pedagang Tionghoa yang telah berpengalaman
dan memiliki jaringan beberapa generasi.
Dengan dilaksanakannya PP-10, puluhan ribu orang Tionghoa terpaksa
harus meninggalkan tempat usaha dan tempat tinggalnya di pedalaman. Peraturan
ini sebenarnya hanya untuk menertibkan para pedagang eceran Tionghoa, namun
pada kenyataannya mereka tidak hanya dilarang berdagang melainkan juga diusir
dari rumah mereka sendiri.
Puncak tragedi etnis Tiobghoa pada Era Soekrno adalah Gerakan 30
September 1965. Peristiwa ini membawa dampak buruk bagi warga Tionghoa
secara keseluruhan. Hal ini karena pada umumnya warga Tionghoa dianggap
sebagai simpatisan organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia (Baperki). Dugaan bahwa Baperki sangat dekat dengan Partai Komunis
Indonesia yang dituduh melakukan kudeta dengan G-30-S tersebut, akibatnya
praktis sejak itu tidak ada yang berani membicarakan masalah status
kewarganegaraan mereka.45
3. Etnis Tionghoa Era Soeharto (Orde Baru)
Tidak dapat diragukan bahwa Soeharto telah memperkenalkan kebijakan
asimilasi terhadap etnis Tionghoa sebagai sebuah praktik politik yang tidak
44
Prasetyadji, Semangat Perjuangan Peranakan Idealis, (Jakarta. Forun Komunikasi
Kesatuan Bangsa. 2011), h. 29. 45
Ibid., h. 36.
36
pernah dilakukan pada masa sebelumnya.46
Pada 6 Desember 1967, Presiden
Soeharto mengeluarkan Intruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam intruksi tersebut ditetapkan bahwa
seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh
dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Intruksi Presiden
ini bertujuan melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa termasuk
kepercayaan, tradisi, adat istiadat, dan agamanya dan mendorong terjadinya
asimilasi secara total.47
Dengan adanya intruksi ini, kebebasan etnis Tionghoa semakin dikebiri.
Hak-hak mereka sebagai warga negara dibatasi oleh undang-undang. Sejak
intruksi ini dikeluarkan, seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa
termasuk Imlek, cap go meh, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka.
Sama halnya juga tari-tarian barongsai dilarang dipertunjukkan.
Pemasungan terhadap etnis Tionghoa kemudian dilanjutkan dengan
Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 4555.2-360 tahun 1968 tentang Penataan
Kelenteng dan Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Ditjen/PPG/K/1968
tentang Larangan dan Pencetakan Tulisan/Iklan beraksara dan berbahasa Cina,
ditambah dengan Peraturan Daerah Daerah Tingkat I DKI Jakarta No. K-I/OS-12
tentang keharusan warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa di daerah DKI
Jakarta melapor dan mengisi formulir K-I. demikian juga setiap warga Negara
Indonesia keturunan Tionghoa dan anak-anaknya melalui surat keputusan
Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
SKB 01-UM.09.30-80, No. 42 wajib memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan
Republik Indonesia atau SBKRI.48
Tindakan pemerintah yang mendiskriminasi warga Tionghoa ini bisa
dilihat dari beberapa peraturan pemerintah yang diskriminatif berikut ini.
a. Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127/Kep/12/1966 tentang Peraturan
ganti nama bagi warga Negara Indonesia yang memakai nama Cina
46
Leo Surydinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. (Jakarta. Penerbit Buku
Kompas, 2010), h. 217. 47
Setiono., Op. cit., h. 1008 48
Ibid., h. 1009.
37
b. Intruksi Presidium Kabinet Nomor 37/U/IN/6/1967/ tentang Kebijakan
Pokok Penyelesaian Masalah Cina. kebijakan ini mengatur pembatasan
pendidikan, kegiatan, usaha, dan tenaga kerja.
c. Keputusan Presiden Nomor 113 tahun 1967 tentang Pembentukan staf
khusus urusan Cina. keputusan ini menugaskan staf khusus untuk
merumuskan kebijaksanaan, mengikuti dan mengawasi pelaksanaannya,
serta mengendalikan kegiatannya.
d. Diterbitkan pula pembatasan dalam penyelenggaraan perayaan agama,
kepercayaan maupun adat istiadat Cina melalui Intruksi Presiden Nomor
14 tahun 1967.49
Proses pembauran seperti didefinisikan dan diimplementasikan oleh
pemerintah dan aparatnya serta elit kekuasaan tidak menuju ke kerukunan hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya bertalian dengan golongan
etnis Tionghoa dan masyarakat luas yang secara sengaja atau tidak memupuk
sentimen anti-Cina yang meledak dengan tindakan kekerasan yang dahsyat yang
terjadi pada Mei 1998.50
4. Etnis Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998
Peristiwa Mei 1998 menjadi klimaks perlakuan rasial dan diskriminasi
terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini menunjukkan bahwa
kekerasan dan tindakan rasial terhadap etnis Tionghoa sudah sangat parah dan
cenderung tidak manusiawi. Peristiwa ini bermula pascapenyerbuan kantor DPP-
PDI yang sebelumnya diduduki oleh PDI-Megawati oleh oknum tidak dikenal
pada tahun 1996 ternyata berbuntut panjang. Kepanikan rezim otoriter Soeharto
makin menjadi dan bertindak sewenang-wenang. Terjadi beberapa aksi
penculikan aktivis oleh kelompok pasukan baret merah di bawah satuan tugas
Tim Mawar. Para korban penculikan tersebut antara lain wakil sekjen PDI-
Megawati Harjanto Taslam, Pius Yustrilanang, andi Arief, Faisol Reza, Aan
Rusdiyanto, Herman Hendrawan, Widji Thukul, dan belasan aktivis lainnya yang
49
Prasetyadji, Op. cit., h. 39. 50
Mely G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia, (Jakarta. Yayasan Obor, 2008), h. 206.
38
sampai saat ini tidak pernah kembali.
Krisis moneter yang terjadi di Thailand dan kemudian merembet ke
negara tetangga seperti Malaysia dan Korea Selatan juga Indonesia. Nilai tukar
rupiah terhadap dolar anjlok, dari Rp2.500 per dollar US menjadi Rp16.500 per
dollar US.
Terjadi kepanikan di tengah-tengah masyarakat. Para pemegang dana di
bank ramai-ramai melakukan penarikan dananya serentak di seluruh Indonesia.
Masyarakat tidak percaya lagi pada rupiah dan ramai-ramai membeli dollar.
Untuk mengatasi situasi ini pemerintah mengeluarkan kebijakan BLBI (Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia) senilai ratusan triliun rupiah. Namun, pada
prakteknya bank penerima bantuan BLBI ini menyelewengkan dana bantuan.
Indonesia berada di puncak krisisis yang memicu aksi demonstrasi mahasiswa
besar-besaran menuntut lengsernya Soeharto.
Pada 12 Mei 1998, sejumlah mahasiswa Trisakti yang sedang melakukan
demonstrasi di halaman kampusnya ditembaki oleh oknum militer yang
mengepung kampus tersebut. Empat orang mahasiswa menjadi korban yaitu
Elang Mulya Lesmana, Herry hartanto, Hafidain Royan, dan Hendrawan Sie.
Tewasnya sejumlah mahasiswa Trisakti tersebut telah menyulut
kemarahan seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Pada 13 Mei terjadi aksi
mahasiswa di halaman kampus Trisakti untuk memprotes kelaliman penguasa
yang telah menembaki sejumlah mahasiswa yang tidak bersenjata.
Ternyata aksi tersebut ditunggangi oleh provokator yang kemudian
berubah menjadi isu anti-Tionghoa dan meluas ke seluruh Jakarta, Tangerang,
Bekasi. Ribuan toko dan rumah etnis Tionghoa dijarah kemudian dibakar.
Kendaraan seperti mobil dan motor pun tidak luput dari amukan masa. Hampir
seluruh mal dan department store dijarah oleh massa yang terprovokatori. Rakyat
kecil digiring untuk menjarah mal kemudian mal tersebut dibakar oleh
provokator. Ribuan orang terpanggang hidup-hidup di dalam mal. Suasana begitu
mencekam. Asap mengepul dari rumah-rumah, dan toko-toko etnis Tionghoa di
daerah Glodok dan di seluruh Jakarta.
Gerakan anti-Tionghoa seolah mengesahkan para oknum tidak
39
bertanggung jawab untuk melakukan aksi semena-mena. Hal yang paling
menyedihkan adalah perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa yang dilakukan
secara brutal. Akibat kerusuhan tersebut terjadi eksodus besar-besaran etnis
Tionghoa ke luar negeri.
Diperkirakan ribuan orang tewas dalam kerusuhan tersebut. Berbagai aksi
penjarahan dan pemerkosaan berlangsung selama tiga hari berturut-turut, pada
13,14,15 Mei 1998. Ironisnya sikap pihak keamanan seolah bungkam, diam dan
tidak bertindak apa pun atas peristiwa luar biasa ini.
Fakta terjadinya perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa terungkap
setelah adanya investigasi yang dilakukan tim relawan kemanusiaan di bawah
pimpinan Romo Sandyiawan dan pernyataan serta gugatan yang dilakukan Ester
Indahyani Jusuf, S.H.51
Seno Gumira dalam cerpennya yang berjudul Clara
Atawa Perempuan yang Diperkosa juga mengisahkan korban perkosaan tragedi
98. Namun, sampai saat ini kasus pelanggaran HAM berat tersebut tidak pernah
sampai dalam ranah hukum. Tidak ada hukuman kepada para pemerkosa dan
pembunuh etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 98. Peristiwa ini menunjukkan
betapa perlakuan rasialis dan diskriminatif masih subur terhadap etnis Tionghoa
bahkan di era modern sekalipun.
Thung Ju Lan dalam bukunya yang dieditori bersama I. Wibowo coba
menjelaskan posisi etnis Tionghoa pascaperistiwa Mei 1998, dari objek menjadi
subjek. Masalah etnis Tionghoa bukan lagi sekadar sentimen anti-Tionghoa yang
muncul dalam bentuk kekerasan pada waktu-waktu tertentu, sebagaimana yang
terjadi dalam peristiwa Malari 1974, kerusuhan 1980, dan seterusnya. Ada hal
yang lebih mendasar yang harus diselesaikan, atau pilihan lainnya adalah orang
Tionghoa meninggalkan Indonesia dan mencari tempat yang aman.
Pada waktu itu banyak orang Tionghoa yang kaya memilih untuk
meninggalkan Indonesia. Kenyataannya tidak semua orang Tionghoa
meninggalkan Indonesia, pun mereka yang sudah pergi ke luar negeri merasa
melarikan diri bukan lah jalan keluar dari persoalan. Dengan kata lain, warga
Tionghoa sekarang mencoba menjadi ―subjek‖ yang memilih dan memutuskan
51
Setiono, op. cit. h. 1084.
40
sendiri apa yang akan mereka lakukan untuk mengubah kedudukan atau posisi
mereka sebagai kelompok minoritas yang selama ini marjinal atau dimarjinalkan.
Upaya yang mereka kemudian lakukan adalah mencoba mengubah
kebijakan pemerintah yang diskriminatif melalui pendekatan-pendekatan politik,
baik oleh individu-individu tertentu maupun oleh perkumpulan-perkumpulan
etnis Tionghoa yang bertumbuh setelah peristiwa Mei 98, seperti Perhimpunan
Indonesia Tionghoa (INTI) dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia
(PSMTI). Dicabutnya Intruksi Presiden Nomor 14 Tahin 1967 tentang
Pelarangan Ekspresi Kebudayaan China di Ruang Publik oleh Keputusan
Presiden nomer 6 tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid, serta
dikeluarkannya UU Kewarganegaraan Indonesia Nomor 12 Tahun 2006, yang
menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempatkan warga Tionghoa
dalam persamaan dan kesetaraan dengan warga negara yang lain dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan yang mereka rasakan, antara lain
perayaan Tahun Baru Imlek yang sudah diresmikan pemerintah sebagai hari libur
nasional.
Hubungan warga Tionghoa dengan warga Indonesia dianggap sudah lebih
terbuka sehingga banyak warga Tionghoa yang optimis bahwa situasi yang ada
sudah berubah dan bahwa kesempatan warga Tionghoa untuk terlibat secara
politis juga sudah terbuka. Akan tetapi, peraturan diskriminatif masih kerap
terjadi. Contohnya peristiwa Pontianak pada acara Imlek Tahun 2008. Saat itu
walikota Pontianak mengeluarkan surat keputusnan Nomor 127 Tahun 2008
tentang pelaksanaan prosesi naga yang dibatasi hanya di Stadion Syarif
Abdurrahman.
Pada era reformasi dan demokrasi ini, geliat etnis Tionghoa mulai terasa.
Buku-buku Tionghoa yang pada mulanya dilarang terbit atau dibatasi kini sudah
dengan bebas ditulis dan diperjualbelikan secara terbuka. Penerbit papan atas
seperti Gramedia kerap menerbitkan buku-buku tentang etnis Tionghoa.
Contohnya adalah buku berjudul Tepi Air (Shuihu Zhuan) yang berisi kisah 108
pendekar, diterbitkan pada 2009 oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Buku lain
yang diterbitkan adalah 1421 Saat Cina Menemukan Dunia diterbitkan oleh
41
Alvabet pada Juli 2006. Novel-novel Tionghoa pun mulai diterbitkan. Pada
Januari dan Juni 2008, penerbit Hikmah merilis dua novel yakni, Empress Orchid
dan sekuelnya The Last Empress karya Anchee Min.
Di bidang politik, para warga keturunan pun sudah mulai menunjukkan
eksistensinya. Basuki Tjahaya Purnama (Zhong Wan Xie)52
atau akrab disebut
Ahok, memulai debut politiknya sebagai anggota DPRD Kabupaten Belitung
periode 2004–200953
kemudian menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode
2005–2010. Baru menjabat satu tahun Ahok mengundurkan diri dan
menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada wakilnya Khairul Efendi. Pada 2007
ia mencalonkan diri sebagai Bupati Bangka Belitung namun belum berhasil.
Puncak karir politiknya saat ini adalah sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta
periode 2012–2017 bersama Joko Widodo.54
Selain Ahok, warga keturunan yang mulai menunjukkan eksistensinya di
dunia politik adalah Hary Tanoe Sudibjo, bos group MNC ini didaulat menjadi
calon wakil presiden dari Partai Hanura mendampingi Wiranto. Sebelumnya
Hary Tanoe Soedibjo adalah kader Partai Nasdem. Ia memutuskan pindah ke
Partai Hanura pada tahun 201355
.
Meskipun warga keturunan sudah mulai menunjukkan eksistensinya
dalam beberapa bidang, namun perilaku rasis terhadap etnis Tionghoa seperti
tidak pernah surut. Kita masih bisa mendengar sebutan rasis bagi etnis Tionghoa
yang disebut ―Cina‖ dengan tendensi melecehkan dan diidentikkan dengan
sebutan ―Cina pelit,‖ ―Cina kafir‖ dan sebagainya.
E. Sosiologi Sastra
Cabang ilmu sosiologi pertama kali ditemukan oleh Auguste Comte pada
pertengahan abad XIX. Comte mencoba menerapkan cara kerja dalam ilmu alam
52
http.//forum.kompas.com/nasional/71843-mengenal-lebih-jauh-sosok-kepemimpinan-
ahok-calon-wagub-dki-pendamping-jokowi.html (diunduh pada 6/3/2014 pukul 7.30 WIB) 53
http.//profil.merdeka.com/indonesia/b/basuki-tjahaja-purnama/ (diunduh pada 6/3/2014
pukul 7.30 WIB) 54
Ibid., 55
http.//politik.news.viva.co.id/news/read/391005-enam-alasan-hary-tanoe-gabung-ke-
partai-hanura (diunduh pada 6/3/2014 pukul 07.50 WIB)
42
untuk memahami masyarakat. Bila ilmu-ilmu alam mempelajari sesuatu yang
berada di luar diri manusia, yaitu alam, sosiologi menjadikan manusia itu sendiri.
Namun, manusia yang dipelajari bukanlah manusia sebagai mahluk biologis yang
dibangun dan diproses oleh kekuatan-kekuatan dan mekanisme-mekanisme fisik
kimiawi, bukan manusia yang sepenuhnya mandiri, melainkan manusia sebagai
individu yang terkait dengan individu lain, manusia yang hidup dalam
lingkungan dan berada di antara manusia-manusia lain, manusia sebagai sebuah
kolektivitas, baik yang disebut dengan komunitas maupun sosietas.
Sebagai sebuah usaha pemahaman yang objektif-empirik, sosiologi
sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana yang ditemukan dan dialami
secara langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan. Akan tetapi, sebagai
sebuah usaha untuk menemukan hukum yang umum, keteraturan-keteraturan dan
pola-pola yang berulang dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama, yang
membuatnya teruji, sosiologi tidak berhenti hanya pada kenyataan keseharian
dalam dunia pengalaman langsung saja. Bagaimanapun objek-objek pengalaman
langsung cenderung menampakkan diri sebagai sesuatu yang amat bervariasi,
seakan senantiasa berubah, tak berpola, tak beraturan, dan hilang sesaat setelah
terjadi atau muncul. Pola-pola, keteraturan-keteraturan baru dapat ditemukan
apabila sosiologi mampu bergerak melampaui apa yang secara langsung tampak
dalam dunia pengalaman dan bergerak msuk ke hukum-hukum atau pola-pola
yang umum, abstrak, melalui prosedur-prosedur yang sesuai dengan kaidah-
kaidah logika atau rasionalitas.56
Giddens dalam Faruk menyebut sosiologi sebagai.
“… the study of human social life, groups, and societies. It is a dazzling and
compelling enterprise, having a its subject matter our own behavior as a
social beings. The scope of sociology is extremely wide, ranging from the
analysis of passing encounters between individuals in the street up to the
investigation of global social processes.” 57
Dalam hubungan antara ilmu sosial dalam hal ini sosiologi dan ilmu
56
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2012), h. 17. 57
Ibid., h. 18.
43
kesusastraan terdapat suatu hubungan yang tak terpisahkan. Berangkat dari
sebuah gagasan ―Sastra adalah cerminan masyarakat‖ melalui corong inilah
kemudian sosiologi sastra muncul sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkaji
hubungan antara sastra dan masyarakat.
Wellek dan Warren mengemukakan tiga jenis pendekatan yang berbeda
dalam sosiologi sastra, poin pertama adalah sosiologi pengarang, status
pengarang dan ideologinya. Ketertarikan masyarakat dalam membaca karya
sastra pun dilatarbelakangi oleh ideologi pengarang. Sebab pengarang adalah
warga masyarakat ia dapat dipelajari sebagai mahluk sosial, hal ini berkaitan
dengan latar tempat pengarang itu tinggal, keluarga, bahkan ekonomi pengarang.
Poin kedua adalah isi karya sastra. Dalam isi karya sastra, masyarakat tentunya
terpengaruh oleh ideologi pengarang pula sebab ini berkaitan dengan masalah
sosial, namun poin ini unsur estetik mengambil bagian besar dimana keindahan
yang terkandung dalam sebuah karya dapat berpengaruh kepada pembaca. Poin
terakhir adalah pembaca dan dampak sosial karya itu sendiri. Dampak sosial
karya, dapat dikatakan bahwa nilai atau norma sepenuhnya dipegang oleh hasil
karya dan pembaca.58
Robert Escarpit dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Sastra
menjelaskan apa yang dimaksud dengan sosiologi sastra melalui berbagai
tinjauan sudut pandang, ia coba menjelaskan keterkaitan antara 1) kesustraan dan
masyarakat, 2) Sejarah, 3) Politik perbukuan. Hubungan-hubungan ini akan
menjelaskan saling keterkaitan antara sastra dan masyarakat sampai sastra dan
pengarangnya yang juga bagian dari masyarakat.59
Karya sastra tidak serta merta lahir begitu saja, sastra tidak berasal dari
kekosongan. Adanya sebuah karya menunjukkan sesuatu yang ingin disampaikan
oleh pengarang, ideologinya kah, idealismenya kah, pandangan hidupnya kah
atau bahkan pengalaman pribadinya dan hal-hal tendensius lainnya. Pengarang
sebagai warga masyarakat juga memiliki kepentingan-kepentingan yang ingin
disampaikan. Melalui sastra hal-hal semacam ini bisa terakomodasi, tertuangkan
58
Rene Weleek dan Austin Warren, Teori Kesusteraan. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1990). 59
Robert Escarpit, Pengantar Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005)
44
dan bisa dinikmati oleh pembaca.
Dalam telaah sosiologi, kita bisa mengamati gejala-gejala yang timbul di
masyarakat dan meneliti penyebab timbulnya suatu konflik dan implikasinya
terhadap kehidupan masyarakat. Tidak hanya itu, kita juga bisa mengamati pola-
pola dalam masayarakat seperti adat istiadat, kultur atau kebuadayaan dan
bagaimana kebudayaan tersebut lekat dalam setiap sendi kehidupan masyarakat.
Tentang hubungan antara sosiologi dan sastra, Swingwood dalam Sapardi,
mengetengahkan pandangan yang lebih positif. Ia tidak berpihak pada pandangan
yang menganggap sastra sebagai sekadar bahan sampingan saja. Diingatkannya
bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus
berhati-hati mengartikan slogan ―sastra adalah cerminan masyarakat‖.
Selanjutnya diingatkan bahwa slogan itu melupakan pengarang, kesadaran, dan
tujuannya. Swingwood menyadari bahwa sastra diciptakan pengarang
menggunakan seperangkat peralatan tertentu, dan seandainya sastra memang
merupakan cerminan masyarakatnya, apakah pencerminan itu secara murni?60
Swingwood agaknya ingin sedikit merevisi pernyataan ―sastra adalah
cerminan masyarakat‖ mengingat banyak kepentingan dalam kemunculan sebuah
karya. Masyarakat yang ingin ditampilkan pengarang adalah masyarakat yang
sejalan dengan ideologi pengarang. Kenyataan inilah yang coba dipertanyakan
kembali oleh Swingwood terlepas dari sastra yang tidak pernah sekali pun berasal
dari kekosongan.
―Sastra merupakan cerminan masyarakat‖ dan ―sastra tidak berasal dari
kekosongan‖, berlandaskan pernyataan inilah peneliti coba mengkaji sebuah
novel karya Clara ng yang berjudul Dimsum Terakhir dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra.
F. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Pembelajaran sastra di sekolah diharapkan bermanfaat untuk menafsirkan
dan memahami masalah-masalah dunia nyata. Sastra memiliki relevansi dengan
dunia nyata. Untuk itu, pengajaran sastra di sekolah harus kita pandang sebagai
60
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Satsra, (Ciputat. Editum, 2009), h. 19.
45
sesuatu yang penting dan patut memiliki kedudukan yang selayaknya.
Jika pengajaran sastra dilakukan secara tepat, pengajaran sastra dapat juga
memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah dalam
masyarakat. B. Rahmanto61
menjelaskan empat manfaat pengajaran sastra di
sekolah, yaitu sebagai berikut.
1. Membantu keterampilan berbahasa.
Keterampilan berbahasa meliputi empat aspek, yaitu 1)
menyimak, 2) berbicara, 3) membaca, dan 4) menulis. Adanya
pembelajaran sastra di sekolah berfungsi melatih siswa dalam mengasah
keterampilan berbahasa yang meliputi empat aspek tersebut. Dalam
pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan
mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru atau temannya.
Untuk keterampilan berbicara, siswa dapat melatihnya dengan bermain
drama. Keterampilan membaca dapat diasah dengan membaca karya
sastra, baik prosa maupun puisi atau bahkan naskah drama. Siswa dapat
melatih keterampilan menulis dengan menulis sebuah karya sastra yang
didasari oleh pengalaman pribadi atau pengamatan sekitar.
2. Meningkatkan pengetahuan budaya
Sastra bukanlah sebuah ilmu yang menyuguhkan pengetahuan
dalam bentuk jadi seperti halnya ilmu sains. Sastra berkaitan sangat erat
dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap
karya sastra selalu menyajikan hal-hal yang jika dihayati akan menambah
ilmu pengetahuan. Hal yang dimaksud sebagai ilmu pengetahuan di sini
memiliki makna yang luas. Dengan berbagai cara kita bisa menguraikan
dan menyerap pengetahuan yang terdapat dalam karya sastra. Sebagai
contoh, banyak fakta yang diungkapkan dalam karya sastra, tetapi ada
banyak fakta lain yang harus kita gali dari sumber-sumber lain untuk
memahami situasi problematika khusus yang dihadirkan dalam suatu
karya sastra.
61
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra.(Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1992) h. 16.
46
Jika kita dapat merangsang siswa-siswa untuk memahami fakta-
fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa akan memahami realitas
kehidupan. Siswa akan memahami fakta-fakta tentang kehidupan dan
akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam diri siswa mengenai hakikat
kehidupan.
Suatu bentuk pengetahuan khusus yang harus selalu dipupuk
dalam masyarakat adalah pengetahuan tentang kebudayaan. Kita
menggunakan istilah budaya untuk menunjuk ciri-ciri khusus khusus
dalam masyarakat tertentu dengan totalitasnya yang meliputi, organisasi,
lembaga, hukum, etos kerja, seni, drama, agama, dan sebagainya. Setiap
sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan
wawasan pemahaman budaya bagi setiap siswa. Pemahaman budaya
dapat menumbuhkan rasa bangga dan memiliki juga empati terhadap
lingkungan sekitar. Pengetahuan tersebut dapat digali lewat menelaah
karya sastra. Dalam karya sastra banyak terdapat unsur kebudayaan yang
menarik untuk diteliti dan dipahami.
3. Mengembangkan cipta dan rasa
Setiap guru hendaknya menyadari bahwa siswa adalah seorang
individu dengan kepribadiannya yang khas. Kemampuan dan kadar
perkembangannya masing-masing berbeda satu sama lain. Untuk itu,
sangat penting memandang pengajaran sebagai proses pengembangan
individu secara keseluruhan.
Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan
adalah kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif, religius, dan
sosial. Karya sastra dapat memberikan peluang-peluang untuk
mengemabngkan kecakapan-kecakapan semacam itu. Untuk itu, jika
sastra diajarkan dengan benar dan sesuai, dapat mengembangkan
kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari mata pelajaran lainnya.
4. Menunjang pembentukan watak
Tidak ada satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan
watak manusia. Bagaimana pun pendidikan hanya dapat berusaha
47
membina dan membentuk, tetapi tidak dapat menjamin secara mutlak
bagaimana watak manusia yang didiknya.
Meski demikian, dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan
yang dapat diungkapkan sehubungan dengan watak ini. Pertama,
pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam.
Dibandingkan pelajaran-pelajaran lainnya, sastra memunyai keungkinn
lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian
kemungkinan hidup manusia seperti kebahagiaan, kesetiaan, kebanggaan
diri sampai pada kelemahan, kekalahan, keputusasaan, kebencian,
perceraian, dan kematian. Seseorang yang telah banyak mendalami
berbagai karya sastra biasanya memunyai perasaan yang lebih peka untuk
menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tidak bernilai.
Tuntutan kedua sehubungan dengan pembinaan watak ini adalah
bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam
usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara
lain meliputi kepandaian, ketekunan, pengimajian, dan penciptaan.
Seperti yang kita ketahui, sastra sanggup memuat berbagai medan
pengalaman yang sangat luas. Dalam pengajaran sastra dengan berbagai
ciri khasnya, siswa dipertemukan dengan berbagai kesempatan untuk
menelusuri semacam arus pengalaman segar yang terus mengalir.
Pengalaman itu merupakan persiapan yang baik bagi kehidupan siswa di
masa mendatang.
48
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur pembangun karya sastra yang terdapat dalam
bangunan karya itu sendiri, dalam penelitian ini peneliti coba membahas enam
unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Dimsum Terakhir (selanjutnya disingkat
DT), yaitu, 1) tema, 2) tokoh dan penokohan, 3) sudut pandang, 4) alur, 5) latar,
dan 6) gaya bahasa.
1. Tema
Pada dasarnya, tema merupakan ide pokok yang secara implisit dapat
diketahui dalam sebuah novel atau cerita. Dalam novel DT ini, tema yang
terkandung adalah tema perempuan dan keluarga. Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut.
Rosi menutup telepon dengan hati galau. Barusan Indah
menelepon, mengabarkan bahwa ayah mereka terserang stroke hari ini.
Kesepuluh jari tangan Rosi gemetar hebat sehingga gagang teelepon terjun
keras di pesawatnya.1
Kutipan tersebut menunjukkan rasa kaget sekaligus kecemasan seorang
anak manakala mendengar kabar ayahnya sakit keras. Dalam adat keluarga
Tionghoa posisi laki-laki menempati posisi tertinggi di mana seorang anak
perempuan tunduk kepada ayahnya dan setelah menikah tunduk kepada suaminya
juga anak laki-lakinya.
Selain kutipan di atas, terdapat beberapa kutipan lain yang menunjukkan
bahwa tema novel DT ini adalah tema keluarga, salah satunya sebagai berikut.
1 Clara Ng, Dimsum Terakhir, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 21.
49
Semburat cahaya kuning menembus tirai jendela, menyorotkan
bias keemasan ke dalam rumah. Nung pasti akan pulang bersama keempat
anak perempuannya. Empat anak perempuan kembarnya.
Betapa menyenangkan.
Kenangan-kenangan itu kembali. Bagai hantu yang tidak mau
pergi. Bagai putaran waktu yang mengkristal.
Aku tersenyum tipis. Rumah ini akan kembali ramai.2
Tema keluarga dalam novel DT ini semakin dikuatkan dengan keempat
tokoh utamanya yang merupakan saudara kembar. Mereka sebenarnya telah
tercerai-berai menuruti jalan hidupnya masing-masing. Namun, mereka terpaksa
harus pulang kembali ke rumah untuk merawat ayahnya yang sakit. Dari beberapa
kutipan di atas, dapat disimpulkan tema dari novel DT ini adalah tema keluarga
etnis Tionghoa modern.
Selain tema keluarga, novel ini juga mengangkat tema perempuan.
Keempat tokoh utama dalam novel ini adalah perempuan. Tiap tokoh perempuan
dalam novel ini hadir dengan permasalahan seputar ―diri perempuannya‖ masing-
masing. Salah satu isu perempuan yang dilontarkan dalam novel ini meliputi isu
LGBT (lesbi, gay, biseks, dan transgender) yang dialami oleh salah satu tokohnya
yaitu Rosi, terlihat dalam kutipan berikut.
… Perasaan suka terhadap lawan jenis tidak tumbuh dalam dirinya.
Hanya perempuan yang ditaksirnya. Wanita. Cewek. Girls. Ladies. Begitu
banyak perempuan berlalu lalang. Oh ya begitu banyak, beybeh! Dengan
hura-hura, clubbing, dan pesta-pesta malam yang tiada habis-habisnya,
Rosi berharap menemukan kedamaian dalam dirinya.
Peace on earth. Peace in heart.
Dan perempuan terakhir adalah Dharma.3
Kutipan di atas menunjukkan Rosi tidak menyukai lawan jenis, ia
berhubungan dengan banyak wanita. Namun pada akhirnya Rosi memilih Dharma
untuk menjadi kekasih sejatinya. Rosi membawa isu sensitif, LGBT. Masyarakat
Timur seperti Indonesia masih menganggap isu seputar LGBT menjadi suatu hal
yang tabu untuk dibicarakan. Hal tersebut selama ini dipandang sebagai hal
2 Ibid., h.26.
3 Ibid., h. 45—46.
50
negatif yang tidak patut untuk diperbincangkan. Para LGBT ini biasanya
mempunyai perkumpulan-perkumpulan mereka sendiri.4 Para transgender
perempuan pada umumnya lebih sulit diidentifikasi dari pada transgender laki-
laki. Hal ini terjadi karena perempuan lebih leluasa dalam berpenampilan.
Perempuan masih bisa mengenakan celana panjang dan T-shirt atau aksesoris
laki-laki lainnya. Akan tetapi, laki-laki tidak bisa leluasa menggunakan rok
apalagi aksesoris perempuan.
Isu perempuan yang lain juga dilontarkan oleh Clara Ng lewat tokoh
Indah. Indah memutuskan menjadi orang tua tunggal tanpa adanya pernikahan.
Dalam masyarakat kita, hal semacam ini masih sulit diterima. Orang yang
memiliki anak di luar pernikahan akan mendapat citra negatif di masyarakat.
Keputusan menjadi orang tua tunggal tanpa adanya pernikahan merupakan suatu
keputusan yang sangat berani. Perempuan berhak atas tubuh dan nasibnya sendiri,
suara inilah yang kiranya ingin disampaikan pengarang lewat tokoh Indah.
Perhatikan kutipan berikut.
Indah tersenyum lagi. Keputusannya mempertahankan kehamilan
memang bukan keputusan mudah. Terus terang, mulanya dia memang
tidak sungguh-sungguh menginginkan bayi ini.
Pertama, membesarkan anak, apalagi menjadi ibu tunggal di zaman
sekarang adalah tindakan yang dapat dikategorikan sebagai bunuh diri.
Kedua, kesiapan mental merawat bayi bukanlah semudah membeli
obat generic di apotek.
Ketiga, sejauh ini tidak ada teori yang dapat meramalkan bahwa
anak yang dibesarkan oleh orang tua tunggal akan seratus persen lebih
―baik‖ daripada anak yang dibesarkan oleh orang tua lengkap.5
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Indah menyadari kalau keputusannya
menjadi orang tua tunggal bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, ia bertekad
untuk mempertahankan bayinya. Sebelumnya, ia sempat berpikir untuk
mengaborsi janin yang dikandungnya karena ia tahu Pastor Antonius tidak akan
bertanggung jawab. Namun, niatnya untuk aborsi berubah menjadi tekad yang
4 Di salah satu gang daerah Kota, kita bisa dengan mudah melihat komunitas lesbian. Di
daerah ini mereka tidak sungkan menampilkan eksistensi mereka. 5 Clara Ng. Op. Cit. h. 315—16.
51
kuat untuk mempertahankan janinnya, karena ia merasa iba terhadap bayinya
sendiri. Ia perempuan, dan ia berhak atas tubuh dan nasibnya sendiri. Seberat apa
pun, sesakit apa pun.
2. Tokoh dan Penokohan
Ada beberapa tokoh utama dan sampingan dalam novel DT ini. Tokoh
utama adalah tokoh sentral yang memiliki peran penting dan mendapat porsi
paling banyak dalam cerita. Tokoh sampingan adalah tokoh yang menguatkan
jalan cerita dan yang bersinggungan secara langsung maupun tidak langsung
dengan tokoh utama.
1. Tokoh Utama
Ada empat orang tokoh utama dalam novel DT ini, keempatnya adalah
saudara kembar. Tiap-tiap tokoh utama memiliki karakter yang berbeda-beda
meskipun mereka kembar. Tokoh-tokoh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Indah (Tan Mei Yi)
Indah merupakan sosok perempuan yang memiliki emosi yang meledak-
ledak. Sayangnya, emosi itu terkungkung dalam batinnya sehingga menyebabkan
jiwanya tertekan. Emosi yang bergejolak ini juga yang menyebabkan Indah
menderita gagap. Penyakitnya akan kumat apabila Indah berada dalam situasi
yang emosional. Indah juga seorang paranoid akut, ia sering dilanda situasi yang
sebenarnya biasa saja namun jadi terkesan berlebihan. Hal ini terlihat dalam
kutipan berikut.
―Kapan novel berikutnya nih, Mbak Indah?‖
Seketika Indah terpaku mati di tempatnya. Pertanyaan sederhana dari
mereka tidak berhenti sampai di situ, malah memantulkan gema di
benaknya. Terngiang-ngiang sampai telinganya nyaris tuli. Kerutan di dahi
Indah mulai terbayang.
―Lagi ditulis, katanya dengan nada tidak wajar sambil mencoba
tersenyum tapi gagal total. Tanpa sadar tangannya naik menekan dada
jantungnya sudah siap ngacir, menggelundung keluar dari rongga rusuk.
52
Indah melirik jam tangan, berpikikir-pikir bagaimana caranya agar dapat
mengakhiri percakapan ini dengan taktis.
Sebagai pengarang novel best seller Indah seringkali merasa tertekan
karena tuntutan untuk membuat novel kedua. Ada ketakutan yang sangat kuat
dalam diri Indah. Ia takut novel keduanya tidak semeledak novel pertamanya.
Ketakutan itulah yang membuat Indah gamang menulis dan kehabisan ide untuk
membuat novel kedua. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Ada apa dengan dirinya?
Setelah novel pertamanya yang menjadi hit dan bestseller, indah
merasakan kebanggaannya melambung setinggi langit. Setiap orang yang
mengaku pembaca novel pasti pernah mendengar namanya. Indah Prati.
Sang maestro pembuat cerita. Sang pakar pengukir kata.
Hatinya melambung. Hidupnya juga. Membumbung tinggi sampai
langit ketujuh.
Lalu langsung terbanting. Menjadi linglung. Bingung. Limbung.
Gonjang-ganjing.
Bagaimana dengan novel kedua? Kapan novel kedua terbit?
Sedang menulis novel tentang apa? Berapa lama lagi?6
…
Jujur saja.
Mari menilai dirinya sendiri secara transparan. Apakah dia korban
beban-novel-kedua-setelah-yang-pertama-terlalu-terkenal? Ataukah
korban takut-novel-kedua-akan-gagal? Tekanan ini sangat kuat. Tekanan
sekali lagi menjadi yang terbaik, tersempurna, terkenal. Bagaimana jika ia
tidak bisa seperti itu lagi? Bukankah mengerikan? Siapakah Indah tanpa
berhasil menulis novel yang menjadi pembicaraan seluruh negeri?7
Dalam teks di atas, terlihat ketakutan Indah akan novel keduanya. Ia takut
jika novelnya tidak sebagus novel pertamanya. Indah terbebani dengan
keberhasilan novel pertamanya. Ia tidak tahu apa yang ingin ia tulis.
Sudah dibahas sebelumnya bahwa Indah menderita gagap, gagapnya akan
kumat ketika dalam situasi yang emosional dan tertekan. Indah tidak punya
kontrol emosi yang baik sehingga seringkali terlibat dalam suasana yang
berlebihan, terlihat dalam teks berikut.
6 Clara Ng. Op. cit., h. 207.
7 Clara Ng. Op. cit., h. 209.
53
Indah berlari cepat di sepanjang lorong rumah sakit. Napasnya
tinggal satu-dua ketika dia nyaris tergelincir di depan meja informasi.
―Ma... af,‖ katanya terbata-bata. Ditariknya napas panjang-panjang.
Oh, sialan. Indah membatin. Sesak napasnya kumat lagi. Sambil
menguatkan diri, dia menghitung satu sampai sepuluh, bolak-bolak.
Jangan sampai dia disangka pasien bengek oleh lelaki yang sedang duduk
manis di balik konter informasi.
―Bisa dibantu, Mbak?‖ Lelaki itu menatapnya prihatin..
―Ya … Saya … m-mencari pasien bernama N-Nung Atasana…‖
Indah tergagap. Oh, sialan lagi. Dalam kondisi tegang, gagapnya selalu
kumat. Tapi dia berusaha agar tetap tidak kehilangan gaya. Air mukanya
kosong, tatapannya lurus. Tanpa ekspresi, tenang, dan terkontrol.
Kutipan tersebut menunjukkan Indah yang sedang bersusah payah
menahan penyakit gagapnya yang kambuh akibat tekanan emosi yang tinggi.
Penyakit gagapnya muncul tidak lain karena Indah tidak mampu menguasai
emosianya. Indah juga seorang yang keras hati, tidak mudah disentuh dan penuh
perasangka. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Ini suasana yang sangat tidak disukai Indah. Dia benci senja.
Baginya, senja adalah suasana muram yang tidak perlu dipuja puji. Susana
ketika nyamuk mulai berpesta. Suasana kejahatan datang mengendap-
endap. Saat kebahagiaan berakhir dan kemurungan menjelang. Bagaimna
mungkin para sastrawan sangat menyukai senja?8
Kutipan dia atas menunjukkan sifat Indah yang penuh buruk sangka, tidak
seperti kebanyakan sastrawan atau orang biasa sekalipun yang mencintai senja,
Indah sebaliknya, dengan dingin Indah berpendapat bahwa senja itu sama sekali
tidak patut dipuja-puji sebagaimana sesorang sastrawan melukiskan romantisme
senja, Indah justru mengutuknya.
Sifat buruk sangka ini terkait dengan profesi Indah sebagai wartawan.
Sebagai seorang penulis berita, Indah dituntut untuk lebih mengandalkan logika.
Ia tidak menyukai hal-hal melankolis seperti senja yang dituturkan oleh penyair.
Menurut kacamatanya, senja itu sesuatu yang gelap, masa peralihan cahaya. Tidak
ada istimewanya.
8 Clara Ng, Op. cit., h. 60.
54
b. Siska (Tan Mei Xia)
Siska merupakan anak Anas dan Nung yang pertama lahir. Sifatnya keras
kepala, berpendirian kuat, memiliki kontrol diri yang hebat, namun juga
tempramental. Siska seorang yang perfeksionis dan profesional. Siska selalu
menjadi pemenang dalam segala hal. Ia seorang perempuan yang cerdas dan
mandiri.
Sebagai seorang pebisnis, Siska dituntut untuk selalu bersifat profesional.
Dalam mengontrol emosi, Siska sangat piawai. Siska tidak akan menunjukkan
dirinya yang sedang dalam tekanan emosi. Tidak seperti Indah yang selalu
tergagap menahan emosinya, kontrol diri Siska sangat baik. Kontrol diri yang baik
ini terlihat dalam kutipan berikut.
―Maaf,‖ katanya sopan. Pita suaranya bergetar dalam gelagak
professional yang telah dilakukannya berjuta-juta kali tidak ada titik-titik
emosi jengkel yang berseliweran di wajahnya. Siska mempunyai kontrol
diri yang amat kuat. Kalau saja para kliennya tau apa yang sedang terjadi
di dalam pikirannya…9
Kontrol diri yang kuat tidak serta merta lahir begitu saja dalam diri Siska,
butuh latihan, butuh kerja keras untuk mendapatkannya. kontrol diri yang baik
merupakan kebutuhan bagi Siska mengingat ia adalah seorang wanita karier. Ia
adalah bos dari salah satu perusahaan di Singapura. Siska tentunya harus memiliki
kontrol diri yang baik demi menunjang karir bisnisnya.
Siska seorang yang perfeksionis, tidak hanya dalam pekerjaan, namun
dalam berpenampilan dan gaya hidup pun ia menunjukkan kesempurnaan dirinya.
Berpakaian matching layaknya kaum sosialita dan menggunakan jasa maskapai
kelas utama. Ini semua menunjukkan bahwa Siska adalah pribadi yang
berkarakter kuat.
Rincian penampilan memperlihatkan kepada pembaca tentang usia,
kondisi fisik/kesehatan dan tingkat kesejahteraan si tokoh. Kutipan dibawah ini
akan menunjukkan kepada pembaca status sosial Siska.
9 Clara Ng, Op. cit., h. 16.
55
Di Bandara dan gerbang kedatangan yang berbeda, pesawat lain
baru saja mendarat. Seperti biasanya, penerbangan dari Siangapura berlalu
dengan mulus. Siska duduk full gaya di kursi penumpang firstclass.
Kacamata hitamnya tidak lepas membingkai wajahnya. Hari ini dia
mengenakan baju serba cokelat. Bahkan tas jinjingnya pun berwarna
senada.10
…
Sekujur tubuhnya dibekap benda-benda yang tampak glamour.
Bermerek tentu saja. Siska sangat pemilih untuk baju, tas, sepatu, dan apa
pun yang dikenakannya. Kualitas nomer satu. Merek terkenal.11
Kutipan di atas mempertegas status sosial tinggi yang dimiliki Siska.
Hanya orang-orang berada saja yang mampu bergaya hidup seperti Siska.
Semuanya serba terbaik, serba first class. Penampilan yang sempurna tidak lain
untuk menunjang pekerjaan Siska sebagai seorang bos di salah satu perusahaan di
Singapura. Apa yang dikenakan dan dilakukan Siska juga mewakili perusahaan
yang dipimpinnya. Untuk itulah Siska harus selalu berpenampilan sempurna.
Indah berhenti berbicara. Dia gelagapan, mencari udara.
Siska memanfaatkan kesempatan untuk memotong perkataan
Indah. ―pertama, untuk menyegarkan ingatanmu, yang memberitahu papah
di rumah sakit adalah aku. Aku! C’est moi. Kedua, kan kamu yang tinggal
di Jakarta. Satu kota dengan papa, naik bajaj juga sampai. Apa salahnya
sih kalau kamu yang memantau kesehatan Papa? Dan ketiga, for your
information, aku bukan jalan-jalan di Hongkong. Malah, aku sudah lama
gak jalan-jalan. Aku di Hongkong untuk urusan bisnis, catat itu baik-
baik!‖12
Kutipan di atas menunjukkan karakter Siska yang cerdas dan tegas. Siska
mampu memberikan argumentasi yang logis untuk mematahkan tuduhan Indah.
Di sini terlihat Siska yang ―selalu menang‖.
10
Ibid., h. 27. 11
Ibid., h. 85. 12
Ibid., h. 32.
56
c. Novera (Tan Mei Mei)
Novera bayi yang paling terakhir lahir dan yang paling lemah. Novera
identik dengan kelembutan. Ia seorang guru taman kanak-kanak, terlihat dalam
teks berikut.
Kelas mereka baru saja berakhir. Mainan anak-anak berserakan di
segala sudut. Buku-buku yang tadinya terletak rapi di Sudut Baca, tamak
tergeletak di karpet. Biasanya Novera dan Tanti menghabiskan waktu
sekitar sepuluh menit untuk membereskan ruangan sebelum berdiskusi
tentang persiapan kelas esok hari. Tapi sepertinya pekerjaan itu bisa
ditunda. Novera tidak terlihat gembira, tapi tampaknya dia juga tidak ingin
dikasihani dengan cara yang berlebihan13
Sesuai dengan karakternya yang lembut dan tenang, Novera memilih
pekerjaan sebagai guru TK. Dalam keluarga, Novera pun selalu mengalah dan
memilih untuk tidak terlibat dalam konflik saudara kembarnya. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut.
Dari mereka berempat, dia yang terlihat paling kecil. Sedikit lebih
pendek daripada Indah dan sedikit lebih kurus daripada Siska. Matanya
pun yang terlihat paling sipit. Kulitnya paling putih. Aneh, biarpun mereka
terlihat mirip, Novera tidak merasa sama dengan ketiga saudarinya yang
lain. Khususnya dalam hal pribadi dan kehendak.14
…
Novera bayi terlemah. Sedikit-sedikit sakit. Sedikit-sedikit
kedinginan. Dia yang paling akhir berguling, paling akhir tumbuh gigi,
paling akhir berdiri, dan tentu saja paling akhir berjalan. Tumbuh menjadi
gadis yang paling pendiam dan tidak neko-neko, Novera tidak pernh
merasi ingin menyaingi kehebatan ―kakak-kakaknya‖ yang lain.
Tidak. Tidak pernah ingin.
Dari kutipan tersebut, terlihat Novera yang tenang dan sederhana.
Novera cenderung menjauhi hingar-bingar dunia. Ia memilih hidup dalam
kesederhanaan jiwa dan pikiran. Novera enggan ikut campur dalam
konflik saudara kembarnya dan tidak suka menonjolkan diri.
13
Ibid., h. 24—25. 14
Ibid., h. 48.
57
Novera bayi yang paling terakhir dilahirkan. Bayi yang paling
lemah. Bayi yang pertumbuhannya paling lambat. Penulis melukiskan fisik
Novera sesuai dengan karakternya yang tenang dan lembut. Fisik Novera
yang digambarkan lemah sejak awal, seperti suatu pertanda, tali
penghubung yang logis. Novera menderita suatu penyakit yang merupakan
malapetaka bagi setiap wanita. Kista ganas memaksa rahimnya harus
diangkat. Penggambaran awal seolah menjadi prolog atau pengantar
Novera yang menghadapi satu masalah besar yang kemudian mengubah
keyakinannya menjadi seorang Khatolik dan berniat menjadi biarawati.
Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
―Kenapa dibaptis?‖
―Karena saya ingin menjadi Katolik,‖ jawab Novera
tenang. Ketenangan itu hasil mengumpulkan keberanian selama
berminggu-minggu. ―Menjadi Katolik harus dibaptis.‖15
…
Singkatnya sekali lagi, dia ingin menjadi biarawati.
Novera telah meyakini apa yang dia inginkan dalam hidup
ini. Seribu persen, tidak ada diskon. Tidak ada uang kembali. Tidak
ada potongan. Mantap, tidak tergoyahkan oleh apa pun. Bagai
karang keras yang mencuat di bibir pantai yang tetap kokoh
meskipun tiap hari dihajar ombak berair asin.16
Masalah dalam hidupnya membuat Novera membutuhkan sebuah tempat
pelarian. Agama merupakan tempat pelarian terbaik bagi Novera. Menjadi
biarawati seolah menjadi solusi atas permasalahannya. Novera berusaha
menghindari kenyataan bahwa sebagai wanita ia tidak sempurna.
d. Rosi (Tan Mei Xi)
Rosi adalah gadis tomboi yang berubah menjadi seorang transgender. Ia
berbeda dari ketiga saudarinya yang lain. Rosi sejak kecil sudah merasakan
kelainan pada tubuhnya. Ia tidak menyukai tubuh wanitanya, tidak menyukai
15
Ibid., h. 70. 16
Ibid., h. 78.
58
pakaian wanita. Ia tidak menyukai hal-hal yang berhubungan dengan wanita
seperti keharusan memakai bra dan rok. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Rosi tahu dia berbeda semenjak usia dini. Sedini ketika matahari
pubertas mulai terbit di kaki langit. Ketika habis masa-masa ceria dunia
kanak-kanak; ketika usia mulai menyentuh masa-masa kritis dan sensitive;
ketika berjuta-juta pertanyan tentang hidup mengalir keluar; ketika
keinginan menggebu untuk mencoba segala sesuatu tidak tertahankan;
ketika semangat tanpa batas menetas, meretas segala aturan dan rambu.17
…
Apa istilah asingnya? Transgender. Transeksual. Cewek macho.
Cewek kelaki-lakian. Whatever apalah arti label? Tidak penting.
Lebih gawat lagi, dia dapat menyandang predikat teraneh diantara
yang aneh. Paling minoritas diantara yang minoritas. Sudah Cina,
transgender pula. Mana yang lebih gawat dari pada itu? Katanya, orang
cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu
tertekan di Negara ini. Dalam kasus Rosi, lebih mengerikan lagi. Mungkin
ini nerakanya neraka.18
Penulis menggambarkan tokoh Rosi secara panjang lebar. Dalam kasus
Rosi yang tidak biasa, transgender, ada sebuah kutipan menarik di atas yang
berbunyi. ―Sudah Cina, transgender pula.‖ Semacam nerakanya neraka. Rosi
sudah berbeda sejak kecil. Ia mengalami masa remaja yang suram. Ia dilanda
krisis jati diri hingga ia menemukan kenyamanan menjadi seorang transgender
dan lesbian. Karakter Rosi tomboi, penulis menggambarkannya sebagai Yang,
sesuatu yang kuat, yang terang, yang cerah. Akan tetapi, ia terlahir sebagai Yin,
yang gelap, yang tenang, yang lembut. Ia pun memiliki kepribadian ganda, sebuah
penyakit psikologis yang ia derita ketika menginjak masa pubertas. Hal ini terlihat
dalam teks berikut.
Pernahkah kamu merasa dirimu bukanlah dirimu yang
sesunguhnya? Pernahkah kamu merasa ada jiwa lain yang hidup di dalam
dirimu? Pernahkah kamu merasa kamu seharusnya tidak perlu hadir di
dunia ini?
Rosi berusia delapan belas tahun ketika akhirnya Roni muncul.
Sosok Roni gagah dan tampan, walaupun pribadinya adalah pantulan
17
Ibid., h. 41. 18
Ibid.
59
cermin Rosi. Roni adalah Rosi, dalam bentuk yang sebenar-benarnya.
Roni memang telah lahir dalam diri Rosi semenjak gadis itu mencapai usia
puber, ketika eksistensi diri muncul ke permukaan.19
Sosok Roni muncul sebagai identitas bagi Rosi, Rosi yang lemah yang
memiliki semua wujud keperempuanan namun memiliki jiwa laki-laki. Roni
adalah Rosi yang sebenarnya. Ia lebih banyak mengambil porsi keberadan dalam
diri Rosi.
2. Tokoh Sampingan
a. Nung Atasana/Tan Tjin Yun (Papa)
Nung Atasana adalah seorang ayah yang bijaksana dan penuh cinta kepada
keluarga. Di mata-mata anak-anak dan istrinya, ia adalah seorang pria penuh
wibawa yang ucapannya dinanti seluruh anggota keluarga. Hal ini terlihat dalam
kutipan berikut.
Jemari Novera bertautan. Perlahan-lahan dia memajukan tubuhnya
dan berlutut khusyuk. Kepalanya tertunduk. Dalam benaknya, ayahnya
mungkin satu-satunya orang di dunia yang selalu memahami
keinginannya. Jika mereka tidak sama-sama sepakat tentang satu hal,
ayahnya memberikan kelonggaran yang luas bagi Novera untuk
memutuskan yang terbaik bagi hidupnya.
Ini termasuk ketika dia memutuskan menjadi pemeluk Khatolik..20
Dalam teks di atas terlihat sosok ayah yang bijaksana, ayah yang terbuka
dan demokratis. Nung memandang persoalan anak-anaknya dari sudut
pandangnya yang terbuka. Meskipun usia Nung sudah tua, tapi pola pikirnya tidak
kolot, bahkan ia membebaskan Vera untuk memeluk Khatolik. Terlihat dalam teks
berikut.
Setelah berdetik-detik sepi komentar sepi komentar, suara bariton
ayahnya muncul juga. “Menurut Papa, apa yang Vera putuskan itu bukn
kejahatan. Jadi soal yang satu ini, semunya terserah Vera.”21
19
Ibid., h. 121. 20
Ibid., h. 69–70. 21
Ibid., h. 73.
60
Dalam teks tersebut, terlihat Papa yang bijaksana dan demokratis. Papa
membebaskan sepenuhnya kepada Novera untuk memeluk agama Khatolik yang
diyakininya. Nung tidak menghalangi dan melarang Novera menjadi Khatolik,
karena dalam pandangan Nung, Novera tidak melakukan tindakan kriminal yang
harus dicegah dan dilarang.
Nung juga seorang pekerja keras. Ia gigih dalam berjuang untuk
mendapatkan keturunan. Ia memilih untuk berusaha ketimbang menikah lagi
walaupun istrinya sudah mengizinkannya.
―Lu pernah denger Suhu Wong? Dia pinter memohon kepada
dewa-dewi kesuburan.‖ Itu kata temannya.
―Di mana?‖
Tanpa pikir panjang, Nung berangkat ke kelenteng di Singapura.
Di sana dia didoakan dan diberikan empat patung kecil berupa anak-anak
yang harus dirawat dan diletakkan di dekat meja persembahan. Katanya
empat patung kesuburan itu dapat mengeluarkan aura kesuburan bagi
pasangan infertile.
Satu tahun berlalu lagi.
Tanpa kehamilan, tanpa bayi.
―Lu mesti rajin merawat patung kecil itu!‖
Nung menggosoknya tiap tiga hari sekali dengan cairan pembersih
kayu. Setiap kali tangannya mengangkat hio, dia menyerukan kesuburan
pada dewa langit.
―Kamu selalu bisa adopsi.‖ Begitu komentar orang lain. Tidak-
tidak ada adopsi. Itu tekad Nung. …
Tepat pada tahun ketiga belas, tiba-tiba menstruasi Anas berhenti
mendadak. Pada mulanya, tidak terjadi letupan kegembiraan. Malah
kesedihan merangkul mereka berdua. Dua setengah bulan kemudian,
dokter memberikan konfirnasi bahwa Anas benar-benar mengandung pada
usia empat puluh tahun.22
Kutipan tersebut menunjukkan kegigihan Nung dalam memperoleh
keturunan. Ia mengabaikan nasihat orang lain untuk mengadopsi anak, ia memilih
untuk berjuang untuk kehadiran buah hati di tengah keluarga mereka. Nung
mendapatkan balasan yang setimpal atas kerja kerasnya, empat orang anak
kembar.
22
Ibid., h. 202—203
61
b. Anas (Mama)
Anas adalah ibu dari Indah bersaudara. Sifatnya lembut dan bijaksana. Ia
menjadi teladan untuk anak-anaknya. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
“Di Negara tertentu, hujan dianggap sebagai peristiwa alam yang dipuja.
Manusia menganggap para dewa sedang bersuka cita. Apalagi jika sudah lama
tidak turun hujan. Para petani tentu mengharapkan hujan.”
“Tapi saya tidak mengharapkan hujan. Para petani tentu mengharpkan
hujan,” seru Sisak keras kepala.
“Mungkin kamu tidak. Tapi banyak orang menyukai hujan. Apalagi
mereka yang mempunyai jiwa romantis dan sentimental. Sastrawan. Pengarang
hebat. Pelukis. Seniman banyak yang sudah berhasil menulis hujan demikian
puitis.23
Kutipan tersebut memperlihatkan sosok mama yang bijaksana, mama
menanggapi protes anak-anaknya tentang hujan dengan bahasa yang bijak dan
memberikan argumen yang disertai contoh.
c. Dharma
Dharma adalah seorang gadis yang bertubuh kecil dan ringkih. Dharma
kekasih Roni (Rosi), Roni sangat mencintai gadis yang memiliki latar belakang
keluarga yang kelam ini. Dharma lahir dari seorang ibu yang berprofesi sebagai
wanita penghibur. Dharma tidak mempunyai ayah. Masa lalunya yang kelam,
membuatnya menjadi gadis pendiam. Nasib yang membawanya kepada Rosi dan
mereka berdua terlibat asmara sesama jenis.Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Masa remaja Dharma berlangsung membingungkan. Kekerasan di
sekitarnya, baik ibunya maupun lingkungannya adalah pemandangan yang
wajar bagi Dharma. Dia tumbuh di rumah sempit, di antara tumpukan
petak papan. Jalan depannya tidak dapat disebut jalan karena terlalu
sempit dan becek. Kendaraan apa pun tidak sudi lewat daerah situ.
Ibunya pelacur murahan yang harus bekerja tiap malam. Kalau
tamu lagi sepi, kebanyakan Ibu bekerja di diskotek. Kalau lagi teler,Ibu
sangat ringan tangan. Caci maki dan tempelengnya menghantam hati dan
tubuh Dharma.
23
Ibid., h. 59.
62
Ayahnya … ah, tidak jelas. Dharma tidak pernah tahu siapa
ayahnya yang sesungguhnya. Terlalu banyak lelaki berlalu lalang. Lelaki
yang memanfaatkan tubuh ibunya.24
Dharma dilahirkan sebagai anak yang tidak memiliki ayah. Ibunya seorang
pelacur. Kehidupannya yang keras membuatnya tumbuh menjadi gadis yang
lembut namun kuat. Ia memutuskan untuk melanjutkan hidupnya dengan tidak
bersama ibunya. Ia keluar dari rumah ibunya dan bekerja di perkebunan teh.
Pekerjaannya sebagai pemetik teh membuatnya mencintai alam dan setelahnya ia
menjadi vegetarian. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
… Gadis itu menemukan pekerjaan sebagai pemetik daun teh. Dari
situ , dia berkenalan dengan alam. Dengan mudahnya, Dharma jatuh cinta
pada tanaman. Menurutnya, tanaman adalah personifikasi dirinya. Diam,
tenang, penuh perasaan, dan dekat dengan Sang Maha Kehidupan. Alam
membebaskannya dari kesunpekan hidup. Di bawah kubah langit biru dan
bentangan padang teh, dia bersumpah untuk selalu menghormati alam. Dai
akan menyamakan diri dengan degup napas dan ritme kehidupan.
Semudah itu Dharma memtuskan mejadi vegan sejati. 25
Dharma sesungguhnya bukan seorang lesbian. Ia tidak menyukai sesama
jenis, ia menyukai laki-laki. Akan tetapi, garis hidup membawanya bertemu Roni
(Rosi). Dharma yang memiliki latar masa lalu yang kelam dan tidak pernah
merasakan kasih sayang, mendapatkan segalanya dari Roni (Rosi). Mulai dari
perlindungan, perhatian, dan cinta kasih. Akhirnya, mereka saling jatuh cinta.
Dharma mencintai Roni karena Roni di matanya adalah laki-laki, begitu pun
sebaliknya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Dharma bukanlah lesbian. Semenjak remaja, dia tertarik kepada
lelaki yang tidak pernah memberikannya apa pun. Roni memberinya cinta,
tanpa pamrih. Dharma mereguknya sepuas hati. Dirinya bagai sumur
kering yang dahaga. Bagai musafir yang berjalan kelelahan. Rasa cinta
dapat memuaskan rasa hausnya akan kehangatan. Dia yang hidupnya
penuh penolakan dan dan kesendirian merasa lega dengan kehadiran Roni.
24
Ibid., h. 188. 25
Ibid., h. 190—191
63
Di matanya, Roni adalah surga. Dia tidak peduli masalah gender.
Apakah cinta mengenal jenis kelamin? Roni adalah lelaki yang mencintai
diri Dharma seratus persen.26
Dari kutipan tersebut menunjukkan Dharma yang bukanlah seorang
lesbian. Dia adalah gadis yang kesepian, merasa terasing dari dunia hingga
akhirnya ia menemukan cinta dari seseorang. Seseorang itu adalah Roni (Rosi),
seorang transgender. Mereka berdua saling mencintai.
Perubahan orientasi seksual Dharma terkait dengan masa lalunya yang
kelam dan keadaan yang memosisikan Dharma berhubungan intens dengan Rosi.
Dharma hanya berkutat dengan Rosi yang terus menerus memberikan cinta
kasihnya, hal yang sebelumnya tidak pernah ia dapatkan dari siapa pun.
d. Pastor Antonius
Pastor Antonius, kekasih Indah. Ia sangat mencintai Indah, namun
statusnya sebagai pastor tidak memungkinkan dirinya untuk bisa menikahi Indah.
Pastor Antonius seorang yang lembut dan tampan. Ia seorang yang kharismatik,
terlihat pada teks berikut.
Seperti biasa, Antonius otomatis membuang napas. ―Kamu tahu
kita tidak mungkin bersama-sama seperti layaknya orang pacaran. Aku ini
pastor. Mengertikah kamu? Aku telah mengucapkan sumpah untuk hidup
murni. Hidup selibat. Tidak ada perempuan, istri, bahkan pernikahan
bagiku. Aku akan menghabisakan sisa hidupku berjalan bersama tuhan.
―Indah dengar ya…,‖ Antonius berkata putus asa. Putus asa
membayangkan betapa kuat tekad Indah terhadap keinginan dan
perasaannya. Gadis itu tak akan menyerah terhadap kenyataan, walaupun
langit akan runtuh. ―Apa yang telah kita lakukan itu dosa. Aku menyesal
atas nama Yesus dan sudah bersumpah tidak akan pernah melakukannya
lagi. Apa yang aku perbuat padamu adalah salah. Salah besar. Jadi,
selayaknya kita tidak melakukan hal itu lagi, tidak memperpanjang
masalah yang telah terjadi. Kamu mengerti?27
Beberapa kutipan tersebut menunjukkan sikap tegas Antonius. Ia seorang
pastor yang taat. Walau dalam hati kecilnya ia mencintai Indah, namun ia memilih
26
Ibid., h. 191. 27
Ibid., h. 125—127.
64
untuk berbakti pada Tuhannya. Ia memutuskan untuk meninggalkan Indah dan
kembali menjalani hidup sebagai pastor sejati yang mengabdikan seluruh
hidupnya pada Tuhan.
Kutipan tersebut juga menjelaskan bahwa kehidupannya sebagai pastor
tidaklah mulus. Ia pernah terpeleset dalam cinta. Ia pernah berhubungan intim
dengan Indah. Sebagai pastor, hal ini sangat bertentangan dengan agamanya.
Seorang pastor bahkan dilarang untuk menikah. Akan tetapi, Pastor Antonius
malah berhubungan intim dengan Indah di luar pernikahan. Hal ini menunjukkan
bagaimana pun juga pastor Antonius adalah seorang manusia biasa yang memiliki
sifat-sifat kemanusiaan juga memiliki hawa nafsu. Demi agama Pastor Antonius
meninggalkan Indah, wanita yang dicintainya.
Dalam agama Khatolik sendiri, konsep pastor yang dilarang menikah
masih menuai kontroversi. Ada beberapa gereja yang menerapkan peraturan lebih
longgar terhadap pastor dengan membolehkannya menikah. Adalah Gereja Timur
yang pada abad ke-7 menghapuskan aturan ini. Akan tetapi, sebagian besar gereja
membuat aturan ketat tentang pelarangan pernikahan bagi pastor28
. Hubungan
seksual merupakan kebutuhan dasar bagi manusia, apabila kebutuhan dasar
tersebut dikekang bukan tidak mungkin ia akan mencari jalan keluarnya sendiri.
Pastor Antonius yang seharusnya hidup selibat taat pada Tuhan dan peraturan
agamanya ini, mangkir, dan yang lebih ironisnya lagi ia tidak bertanggung jawab
atas kehamilan Indah. Di sini ia lebih memilih jalan agama namun ia melupakan
hal yang lebih esensial, kemanusiaan.
e. Rafy
Rafy, duda beranak satu, ayah murid yang diajar Novera. Istrinya
meninggal ketika melahirkan anak mereka. Rafy menaruh hati kepada Novera.
Usia Rafy sekitar 35 tahun. Dewasa dan kebapakan. Ia tulus mencintai Novera.
Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
28
Berdasarkan artikel yang dimuat dalam web berikut. http.//katolisitas.org/575/kami-
mengasihimu-pastor
65
… Lelaki berpakaian kaus biru muda dan celana jins biru gelap. Tubuhnya
tidak terlalu tinggi tapi tampak tegap dan sehat. Kulitnya berwaena cokelat
muda. Senyum lebarnya mengembang dan matanya berbinar dibingkai
kacamata tanpa frame.29
―kenalkan,‖ akhirnya dia bersuara. Tawanya dipaksakan
mengembang. ―Ini saudari kembarku yang lain. Siska. Indah.‖ Rafy
mengulurkan tangannya, penuh simpati. ―Ini Rafy,‖ lanjut Novera,
setengah gagap.
―Indah.‖
―Siska, nice to meet you, Rafy.‖
―Teman dari mana?‖ sapa Indah hangat.
―Teman dari Yogya,‖ jawab Rafy bersahabat.
―Satu sekolah?‖
―Ya dan tidak. Aku bekerja di perusahaan makanan ringan. Anakku
bersekolah di tempat Novera mengajar.‖
―oooh, sudah punya anak?‖
―Umur lima tahun. Dan ehm… aku single dad. Isteriku meninggal ketika
melahirkan Marga, pendarahan berat.‖30
Kutipan di atas menunjukan deskripsi tentang Rafy secara fisik dan
sikapnya yang simpatik. Prilakunya yang simpatik ini menunjukkan bahwa ia
mencintai Novera.
F. Tanti
Tanti adalah sahabat sekaligus kolega guru di tempat Novera mengajar.
Tanti seorang yang ceria dan simpatik. Ia turut bersedih atas apa yang menimpa
Novera sekaligus gembira dan mendukung Novera spenuhnya dalam menjalin
hubungan dengan Rafy. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.
Tanti melanjutkan dengan suara selembut burung merpati.
―Bagaiamana penyelesaiannya? Apa ayah kamu bakalan tinggal di rumah
sakit. Atau apa…‖ kata-kata Tanti menguap, tidak tahu bagaimana dia
menyelesaikannya dengan baik. Gadis itu tahu, Novera tidak punya ibu
lagi. Ayahnya tinggal sendirian di rumahnya di Jakarta dengan tiga ekor
kucing persiayang gendut dan malas.31
―Kurang apa lagi sih Oom Senang itu? Sama-sama Katolik. Sama-
sama Cina. Duda mati, bukan cerai. Anak satu, masih balita. Si Marga itu
29
Ibid., h. 242. 30
Ibid., h. 252—253. 31
Ibid., h. 25.
66
lucu lagi. Umur segitu anak masih gampang menerima dan memberi cinta.
Umur si Oom jua belum tua-tua amat. Tiga puluh lima sih masih muda,
Ver. Ayo coba dipikirkan sekali lagi.‖32
Sebagai sahabat, Tanti selalu mendukung yang terbaik untuk Novera.
Dalam kutipan di atas, terlihat bahwa Tanti mendukung Novera untuk menikah
dengan Oom Senang yang tak lain adalah Rafy. Dukungan dari Tanti sedikit
banyak memengaruhi Novera untuk berpikir kembali tentang Rafy. Adakalanya
teman mampu memberikan kita sugesti positif terhadap suatu hal. Banyak dari
kita baru merasa yakin ketika mendapat dukungan dari orang-orang terdekat
terutama sahabat dan keluarga.
g. Dokter Marcel Tunggawidjaya
Dokter Marcel adalah dokter keluarga Nung Atasana. dr. Marcel seorang
dokter yang penuh perhatian. Mereka sejak lama saling mengenal, terlihat dalam
kutipan berikut.
Dokter Marcel Tunggawijaya adalah dokter keluarga yang telah
dikenal Indah sejak batita. Dulu dokter itu membuka praktik
kedokterannya persis di depan rumah keluarga Atasana selama bertahun-
tahun. Tidak lama ketika Indah bersaudara berusia sepuluh tahun, dr.
marcel berangkat ke Kanada mengambil spesialisasi, kemudian menjadi
dokter spesialis penyakit darah sekembalinya dari sana. Biarpun demikian,
mereka sekeluarga selalu mempercayakan kesehatan mereka di tangan
dokter Marcel. Hubungan mereka sangat akrab sampai-sampai tak ada lagi
jeda kekakuan yang sering terjadi antara dokter dan pasien di Indonesia. 33
…
dr. Marcel berdiri dan berjalan mengitari mejanya. Dia menarik
kursi pasien di samping Indah. Duduk berhadapan dengannya, lelaki tua
itmengambil tangan Indah dan menggenggamnya lembut. Tatapannya
sangat hangat.34
Kutipan di atas menunjukkan sifat dokter Marcel yang simpatik dan
lembut. Tidak seperti kebanyakan dokter di Indonesia yang cenderung kaku,
dokter Marcel dekat dengan pasiennya. Dia menenangkan Indah dengan
32
Ibid., h. 144. 33
Ibid., h. 63. 34
Ibid., h. 67.
67
menggenggam jari Indah seolah memberi kekuatan dan keyakinan kepada Indah
bahwa penyakit ayahnya bisa disembuhkan.
h. Michael
Michael adalah klien Siska di Hongkong, laki-laki ini digambarkan
sebagai sosok yang sempurna. Siska sampai harus melanggar sumpahnya sendiri
dan berkencan dengan kliennya yang satu ini, terlihat dalam kutipan berikut.
Siska tahu tipe lalaki seperti Michael. Perempun akan memberi title Mr.
Too Good To be True alias te-ge-te-be-te. Lelaki gay akan memberikan judul Mr.
Too Good to be Gay alias te-ge-te-be-ge. Hhh! Tidak ada yang too good to be…
anything dalam kamus Siska. Semuanya pantas didapatkan.
Tapi kan… kalo boleh jujur Siska ingat sumpahnya barusan.
―Saya tidak boleh berkencan dengan klien.‖35
Deskripsi di atas menjelaskan sosok Michael yang sempurna. Pria
keturunan Amerika, gagah, tampan, impian semua perempuan. Kegantengan
Michael inilah yang membuat Siska terperangkap. Michael seorang laki-laki yang
licik. Ia memanfaatkan keadaan perusahaan Siska yang tengah digugat untuk
mendapatkan keuntungan pribadi. Michael menuduh Siska melakuan tindakan
pelecehan seksual terhadap dirinya, terlihat dalam kutipan berikut.
―Seksual Harrasment,” ulang Siska getir. ―Pelecehan Seksual. Aku
digugat karena telah melakukan pelecehan seksual terhadap salah satu
klienku di Hongkong. Lelaki itu melaporkan bahwa aku memaksanya tidur
dengan dia. Tidak tanggung, dia menggugat seratus juta dolar Singapura.‖
―Aku menyesal. Seharusnya aku mematuhi peraturan yang aku
buat jika aku ingin berkencan dengan lelaki. Dari dulu aku selalu
mematuhi peraturan itu. Kali ini aku terpeleset, aku enggak ngerti deh
kenapa. Aku menyesal.‖
…
―Ini jebakan‖ dengus Siska masygul. ―Lelaki itu pasti
memanfaatkan momentum perusahaanku kena gugat sehingga nama buruk
35
Ibid., h. 87.
68
perusahaan dan aku sendiri bisa dihubung-hubungkan dengan mudahnya
oleh media.36
Beberapa kutipan di atas yang berdasarkan percakapan Siska dengan
Indah, menggambarkan sosok Michael yang selain tampan juga ternyata licik. Ia
memanfaatkan keaadaan buruk yang tengah menimpa perusahan Siska untuk
meraih keuntungan pribadi yang sangat besar.
3. Latar
Latar atau setting terbagi menjadi tiga yakni, 1) latar tempat, 2) latar
waktu, dan 3) latar sosial.
a. Latar Tempat
Latar tempat yang dominan terdapat dalam novel DT ini antara lain
sebagai berikut.
1) Kota (Jakarta)
Kota menjadi lokasi di mana keluarga Nung Atasana tinggal. Sejak dulu
kawasan Kota banyak didiami oleh bangsa keturunan Tionghoa di Jakarta,
lokasinya pun berdekatan dengan kawasan Pecinan di daerah Glodok. Hal ini
terlihat dalam teks berikut.
Rumah itu masih seperti yang ada dalam bayangan Siska. Pagar
yang tidak terlalu tinggi. Tanaman bugenvil dengan bunga-bunganya yang
berwarna kuning dan merah muda bermekaran penuh. Pintunya bercat
hijau pupus bergaya kuno. Di atas pintu terdapat cermin Pa Kua, cermin
delapan arah mata angin. Di samping pintu, tempat hio berwarna merah
tergantung di dinidng. Di dalamnya ada sisa-sisa batang hio yang sudah
terbakar. Jendela-jendela besar itu kelihatan berdebu dengan lubang angin
yang jadi tempat laba-laba membuat sarang. Pasti tidak orang yang sempat
membersihkannya. Seekor kucing kampung bergelung di depan teras.
Tembok rumah berwarna putih kusam, tidak terawatt. Mungkin juga
terelalu banyak diterpa debu. Rumah ini berada di daerah Kota yang
kumuh, tua, dan kotor.37
2) Petak Sembilan, Glodok (Jakarta)
36
Ibid., 248—249.
37
Ibid., h. 93—94.
69
Petak Sembilan merupakan kawasan pecinan di Jakarta. Etnis Tionghoa
banyak ditemui di daerah ini. Mereka berkumpul, tinggal, dan berdagang di
kawasan ini. Sebagai etnis keturunan Tionghoa, Indah, Siska, Rosi, dan Novera
biasa datang ke tempat ini untuk membeli obat Cina dan lain sebagianya, Terlihat
dalam kutipan berikut.
Pasar Petak Sembilan seperti biasa. kumuh, becek, panas, kotor,
dan berdesak-desakan. Di mana-mana terdengar suara orang berteriak satu
sama lain. Pernak-pernik dan perlengkapan Cina seperti perlengkapan
sembahyang, lampion, batu giok, gelak kristal, mentimun laut alias
tripang, krupuk perut ikan, permen manisan buatan Cina, berjejer dijual.
Kedai makanan bakmi pangsit, kuotie, cakue, pioh (daging kura-kura),
sekba (semur babi), swike, bubur ayam, bakapau, rujak mi berdesak-
desakan menunggu pembeli. Rosi menatap kerumunan orang dengan
pandangan ngeri. Sudah lama sekali ia tidak pergi ke pasar ini.
c. Hongkong
Siska biasa mondar-mandir ke luar negeri selain Singapura yang
merupakan Negara di mana kantornya berada. Salah satunya Hongkong.
Hongkong menjadi latar yang penting untuk dibicarakan karena di Negara inilah
Indah terkecoh oleh kliennya, Marcel, terlihat dalam kutipan berikut.
Siska berjalan cepat melewati lautan manusia yang bergegas-gegas
berjalan di trotoar. Dia selalu menyukai suasana Hong Kong di waktu
malam. Apalagi saat langit sangat bersih dan cerah seperti sekarang.
Bintang-bintang kelihatan jelas. Bulan purnama sangat indah. Angin
semilir membawa bau masakan kemana-mana.38
“Sexual harassment,” ulang Siska getir. ―Pelecehan seksual. Aku
digugat karena telah melakukan pelecehan seksual terhadap salah satu
klienku di Hongkong. Lelaki itu melaporkan bahwa aku memaksanya tidur
dengannya. Tidak tanggung-tanggung dia menggugat sebesar seratus juta
dolar singapura.‖39
Beberapa kutipan di atas menunjukan bahwa Hongkong merupakan latar
tempat yang mempunyai arti penting dalam cerita. Negara ini sering didatangi
Indah untuk urusan bisnis dan di Negara ini pula Siska melanggar janjinya untuk
38
Ibid., h. 85. 39
Ibid., h. 248.
70
tidak berkencan dengan kliennya, namun ia akhirnya berkencan dengan Michael.
Michael yang licik memanfaatkan moment citra buruk yang tengah dihadapi
perusahaan Siska kemudian menggugat Siska dengan tuduhan sexual harassment.
b. Latar Waktu
Latar waktu dalam novel DT ini terjadi pada sekitaran tahun 2000-an.
Novel ini pertama kali terbit tahun 2006 dan pengarang mengambil setting waktu
sekitar tahun novel ini terbit, yakni tahun 2006. Latar waktu tahun 2006 dikuatkan
oleh kutipan berikut.
Siska mendengus kepada Indah yang sedang menatap
komunikatornya tanpa berkedip. Astaga, Indah punya catatan siapa yang
mengantar Papa ke rumah sakit tercatat di komunikatornya.40
Ponsel komunikator booming pada sekitaran tahun 2005—2006. Pelopor
ponsel pintar ini adalah Nokia dengan seri N dan seri E. seri ponsel komunikator
yang paling terkenal adalah E90 communicator yang muncul pada tahun 2007,
pendahulu E90 adalah E9500, kemungkinan ponsel ini lah yang digunakan Indah..
Latar waktu tahun 2005—2006 ini juga terlihat dari yahun kematian Nung
Atasana. Nung meninggal ketika Imlek tahun 2006 tepatnya tanggal 29 Januari
2006. Terlihat dalam teks.
In Memoriam: Tan Tjin Yun/ Nung Atasana
(15 Februari 1932—29 Januari 2006)41
c. Latar Suasana
Latar suasana adalah kondisi sosial dan politik yang melatari novel ini.
Latar suasana novel DT ini adalah latar suasana sosial politik pasca tragedi
kemanusiaan Mei 1998. Pada era demokrasi di mana peraturan pemerintah yang
40
Clara Ng, Op. Cit. h. 220. 41
Clara Ng, Op. cit., h. 318
71
rasialis dan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa sudah dihapuskan. Namun,
perilaku rasis masih mereka terima, seperti terlihat dalam kutipan berikut.
… Mungkin karena aku keliatan Cina banget, jadi santapan empuk
bagi mereka semua!42
―Iyalah, pasti! Aku mau saja kasih duit.‖ Rosi terus mencerocos di
ponsel. ―Tapi, baru aku mau ambil dompet, ada yang kasih komentar
menyesakkan hati. Katanya, dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya,
sok borjuis pula. Itu benar-benar pelecehan kelas berat, Ndah! Masa aku
dibilang Cina sialan! Bayangkan, padahal aku sudah mau mengalah, mau
kasih duit. 43
…
Ternyata tidak, siapa yang sangka? Waktu aku mau kasih duit, ada
lagi yang ngasih komentar di belakangku. Dasar Cina pelit, kasih duit
selalu sedikit. Langsung aja darahku tancap gas ke ubun-ubun. Sialan
benar. Aku tersinggung sekali mendengarnya.44
Kutipan di atas menunjukkan perilaku rasis yang diterima oleh Rosi.
Celetukan-celetukan masyarakat yang memanaskan hati masih terdengar di mana-
mana. Stereotip negatif masih menghantui etnis Tionghoa di Indonesia bahkan di
alam demokrasi seperti sekarang ini.
4. Plot
Plot adalah urutan-urutan kejadian yang dihubungkan secara sebab akibat.
Singkat kata peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang
lain. Pengarang menyusun cerita berdasarkan hubungan sebab akibat.
Plot dalam novel DT adalah plot lurus atau maju, cerita dimulai secara
runtut dari tahap awal, (penyituasian, pengenalan, permunculan konflik) tengah,
(konflik meningkat, klimaks) akhir (penyelesaian). Rangkaian cerita dalam novel
DT ini berawal dari berita Nung Atasana, Ayah dari Indah, Siska, Novera, dan
Rosi sakit keras. Sakit yang diderita Nung Atasana tidak main-main dan sangat
mengancam hidupnya. Setelah itu berlanjut dengan pengenalan tokoh. Dijelaskan
bahwa Siska adalah seorang yang cerdas dan mandiri pemilik perusahaan di
42
Clara Ng., Op. cit., h. 54. 43
Clara Ng., Op. cit., h. 55. 44
Clara Ng, Op. cit., h. 55—56.
72
Singapura. Indah seorang penulis sekaligus wartawan yang menderita gagap.
Rosi, gadis tomboi petani mawar di puncak. Novera gadis lembut seorang guru
TK di Jogja.
Konflik muncul ketika Indah mencetuskan gagasan untuk tinggal
bersama kembali untuk merawat ayah mereka. Gagasan ini ditolak oleh seluruh
anggota keluarganya yang lain. Mereka berdalih tidak mungkin meninggalkan
pekerjaan mereka masing-masing. Siska tidak mungkin meninggalkan
perusahannya di Singapura. Rosi tidak ingin meninggalkan perkebunan
mawarnya di Puncak. Novera pun tidak bisa berlama-lama meninggalkan murid-
muridnya di Jogja. Hanya Indah satu-satunya anak Nung Atasana yang tinggal di
Jakarta, namun ia pun tidak mungkin mengurus ayahnya sendirian.
Dengan berbagai argumentasi dari Indah dan kesehatan Nung yang makin
memburuk, akhirnya mereka sepakat untuk tinggal bersama merawat Nung,
namun permasalahan tidak selesai sampai disitu. Konflik semakin meninggi
dengan persoalan pribadi masing-masing tokoh utamanya. Siska terjerat kasus
pelecehan seksual. Ia dituduh melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap
kliennya di Hongkong. Indah bernasib sial karena jatuh cinta dan berhubungan
dengan seorang pastor, seorang yang tidak mungkin menikahinya. Rosi ternyata
memiliki kelainan psikologis. Ia berkepribadian ganda, ada sosok Roni dalam
diri Rosi. Rosi memjelma menjadi seorang transgender dan menyembunyikan
rapat-rapat tentang hal ini dari keluarganya. Novera yang tidak memiliki rahim
karena harus diangkat akibat penyakit kista ganas yang menyerangnya bertekad
untuk menjadi biarawati.
Konflik mencapai puncaknya ketika satu persatu rahasia mereka
terbongkar kepermukaan. Berawal dari Rosi yang keceplosan tentang jati dirinya
sehingga saudara kembarnya yang lain merasa curiga terhadap Rosi. Berlanjut
tentang tekad Novera untuk menjadi biarawati ditentang keras oleh Rosi, Rosi
menganganggap keputusan Novera ini hanya sebagai pelarian atas kekurangan
Novera. Siska yang tidak bisa lagi menyembunyikan permasalahannya akhirnya
menceritakan apa yang menimpanya. Siska yang selalu terlihat sempurna juga
mempunyai permasalahan. Indah hamil, namun ia tidak mungkin meminta
73
pertanggungjawaban Antonius sang pastor, ia dalam dilema besar antara
menggugurkan atau mempertahankan janinnya.
Tahapan selanjutnya adalah penyelesaian. Satu persatu permasalahan tiap
tokoh utama dapat terselesaikan. Siska berhasil memenangkan gugatan atas
dirinya dan ia memiliki bukti kuat kalau ia tidak bersalah. Indah memutuskan
untuk mempertahankan bayinya, ia menjadi ibu tunggal untuk anaknya tanpa ada
pernikahan. Jati diri Rosi akhirnya terungkap, saudara kembarnya mengetahuinya
bahkan ayahnya pun sudah mengetahuinya, namun mereka memahami keadaan
Rosi dan menerimanya. Novera mengurungkan niatnya menjadi biarawati. Ia
ditaksir oleh duda beranak satu yang menerima keaadaan Novera.
Kisah keluarga ini ditutup dengan meninggalnya Nung Atasana. Dimsum
terakhir yang mereka makan pada pagi Imlek, pagi yang sama dengan hari
kematian Nung Atasana. Meski ada sedikit konflik pada acara pemakamannya
karena tradisi Tionghoa yang rumit dan panjang, namun akhirnya dapat dilalui
mereka dengan baik. Rosi didaulat membawa bendera, menegaskan bahwa
posisinya kini adalah anak laki-laki Nung Atasana.
Pada Imlek berikutnya, mereka berempat berkumpul untuk merayakannya
bersama-sama. Indah sudah melahirkan, anaknya bernama Ariel. Rosi tidak
canggung lagi menunjukkan eksistensinya sebagai transgender, ia membawa
Dharma kekasihnya turut serta, begitu juga dengan Novera, ia juga membawa
Rafy, calon suaminya turut serta. Bisa dikatakan novel ini berkhir dengan
bahagia. Semua konflik bisa diatasi tokohnya dengan baik.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang atau Point of View adalah cara atau pandangan yang
digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca.45
Sudut pandang atau Point of View adalah cara atau pandangan yang
digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya.
45
Nurgiantoro, Op. cit., h. 248.
74
Menurut A. Bakar Hamid dalam Rampan, mengatakan bahwa sudut
pandangan adalah teknik mengemukakan cerita dengan meyakinkan dan
pengarang dapat menggunakan teknik ini untuk menentukan hal-hal yang
dianggap sebagai sampingan saja.46
Dalam novel DT ini, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang
orang ketiga yang berkuasa. Pengarang seolah Dewa yang tahu segalanya. Seperti
yang dijelaskan Jacob Sumardjo dalam Rampan mengenai sudut pandang yang
berkuasa. Omniscient point of view, yaitu sudut pandang yang berkuasa. Dengan
sudut pandang ini, pengarang seakan Tuhan atau Dewa, karena pengarang
bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja pada
tokohnya, pikiran, perasaan, jalan pikiran, sikap hidup, pandangan hidup
tokohnya, dan sebagainya. Ia bisa bicara secara langsung kepada pembacanya.47
Fungsi sudut pandang orang ketiga berkuasa ini adalah untuk
memudahkan pembaca memahami situasi, konflik, dan tokoh-tokoh yang terdapat
dalam novel. Pengarang berhubungan langsung dengan pembaca melalui
pengetahuannya. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Novera membuka matanya perlahan-lahan. Kepalanya yang sedari
tadi sakit seakan dihantam palu kini sudah mendingan. Perasaan damai
melingkupi hatinya. Setiap kali dia menatap salib itu, hatinya selalu
menjadi lebih tenang.48
Dalam kutipan di atas, terlihat pengarang mengetahui segalanya.
Pengarang mengetahui kondisi fisik, bahkan suasana hati Novera diketahuinya
dengan baik. Pengarang mengetahui segalanya tentang Novera sampai pada
perasaannya yang terdalam. Pemilihan sudut pandang ini membuat pengarang
lebih leluasa mengeksplorasi para tokoh beserta konfliknya masing-masing.
Berkat keleluasaan ini, pengarang mampu menyuguhkan detail tokoh sampai
detail konflik.
46
Rampan, Op. cit., h. 6. 47
Ibid. h. 6. 48
Clara Ng, Op. cit., h. 69.
75
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya melalui
bahasa yang dipilihnya. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal,
struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang
sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Seorang pengarang biasanya punya gaya atau ciri khasnya sendiri. Gaya
bahasa yang digunakan pengarang cenderung merepresentasikan dirinya. Clara
Ng yang memang keturunan Tionghoa dengan fasih menggunakan metafor-
metafor yang bercita rasa Tionghoa.
Clara tidak banyak menyuarakan persoalan etnis Tionghoa dalam novel
ini, beberapa memang dia menampilkan persoalan tersebut, namun hal tersebut
tidak menjadi pokok penceritaan novel. Clara berusaha menyajikan kehidupan
masyarakat keturunan Tionghoa dengan manusiawi dalam artian tidak nyinyir
dengan nasib mereka sebagai ‖warga kelas dua‖ tapi menyajikan suatu bentuk
kebudayaan yang begitu menarik untuk diteliti. Contoh metafor bercita rasa
Tionghoa terlihat dalam kutipan berikut.
Mama meletakkan meja dengan taplak merah di depan teras dan
menata beberapa kue di atas meja tersebut. Sudah pasti ada kue bulan dan
bakpao. Kata ―persatuan‖ yaitu yuan diucapkan sama dengan kata untuk
―bulat‖. Hari itu menjadi peringatan istimewa untuk setiap keluarga Cina,
bahwa hari itu tonggak pengingat bahwa persatuan keluarga sangatlah
penting. Keluarga yang bulat adalah keluarga yang tidak terpecah belah.49
Kutipan di atas menceritakan tentang sebuah tradisi perayaan masyarakat
Tionghoa. Kutipan di atas juga menunjukkan sebuah kesederhanaan. Sederhana
dalam arti Clara Ng menyampaikan gagasannya tentang makna sebuah tradisi
berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya sendiri sebagai seorang warga
keturunan Tionghoa. Ia tidak mengada-ada tentang sebuah pemaknaan tradisi.
Selain dipenuhi oleh metafor-metafor yang berbau kebudayaan Tionghoa,
Clara juga menampilkan gaya bahasa bombastis dalam novel ini, Clara Ng
sebagai pengarang dari novel DT kerap menggunakan gaya bahasa hiperbol atau
49
Ibid., h. 171—172.
76
bombastis. Ia juga kerap menggunakan metafor-metafor perbandingan untuk
melukiskan suasana novel. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Sekarang Rosi menyesal. Sangat. Menyesal tujuh turunan.
Otaknya mau meledak. Pikirannya mampet. Hatinya ruwet. Feeling-nya
seret.
Dengan perasaan yang telah terkontaminasi lima jenis virus stress,
Rosi menyalakan ponselnya. Jemarinya bergerak lincah mengirimkan
pesan singkat.50
Kutipan di atas menunjukkan pola Clara Ng dalam menulis novelnya. Ia
sering menggunakan gaya hiperbol atau berlebihan dalam mengungkapkan
suasana dalam novel. Masih banyak kutipan serupa yang menunjukkan
kecenderungan Clara Ng menggunakan gaya bahasa hiperbola. Selain itu gaya
bahasa kiasan yang digunakan juga berkesan berlebihan seperti terlihat pada
kutipan berikut.
Tiga minggu berlari mengamuk. Kesetanan. Novera seperti
dihantam angin puyuh berkecepatan supertinggi. Berputar-putar seperti
gasing. Terbanting-banting seperti baju di mesin cuci.51
Kutipan di atas menunjukkan gaya bahasa simile atau persamaan yang
berlebihan. Jika manusia dihantam angin puyuh berkekuatan super tinggi sudah
pasti manusia itu tidak akan selamat. Pengarang menggunakan gaya bahasanya
yang cenderung hiperbol. Gaya semacam ini konsisten digunakan pengarang dari
awal sampai berakhirnya novel.
B. Hasil Penelitian Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir
1. Etnis Tionghoa Di Indonesia dalam Novel Dimsum Terakhir
Nung Atasana adalah generasi pertama yang lahir di Nusantara,
50
Clara Ng. op. cit. h. 267. 51
Ibid., h. 296.
77
Kakeknya tinggal di Cina. Penulis tidak menjelaskan secara detail asal-usul Nung
Atasana. Pengarang menjelaskan secara singkat bahwa ayah Nung Atasana
berasal dari Provinsi Fujian dan tujuan semula adalah Singapura, namun karena
suatu hal kapal yang ditumpanginya berlabuh di Tanjung Priok.
Etnis Tionghoa yang merantau ke Indonesia kebanyakan berusaha di
bidang keuangan dan perdagangan. Profesi ini juga yang dijalankan oleh Nung
Atasana, terlihat dalam teks berikut.
Dia hanya tahu berdagang. Berjualan elektronik di Glodok.
Tokonya lumayan laris. Banyak pelanggan yang kembali datang
kepadanya, sekadar menanyakan harga atau membeli untuk kebutuhan
rumah tangga. ―Toko Sinar Berjaya‖ tumbuh menjadi lahan yang dapat
menghidupi.52
Sejak semula kedatangan bangsa Tionghoa di Indonesia untuk berdagang
seperti sebuah kutipan dalam buku karangan Hari Purwanto berikut ini.
Wang Gungwu dalam Purwanto menilai, munculnya
perkampungan orang Cina di Jawa pada masa itu cukup beralasan.
Aktivitas perdagangan orang Cina pada Dinasti Song dengan armada
lautnya telah berkembang pesat. Di kala itu orang-orang Cina telah
menjadi bagian aktif dari jaringan perdagangan lokal di Nanyang.53
Pada era Soekarno, aktivitas perdagangan di kalangan etnis Tionghoa
semakin terorganisasi dengan rapih dan hampir menguasai perdagangan di
Indonesia. Kepiawaian etnis Tionghoa dalam berdagang ini memunculkan
kecemburuan orang-orang pribumi sehingga memunculkan konflik di kalangan
pribumi dan nonpribumi, ketegangan yang muncul memaksa pemerintah
menerbitkan peraturan kontroversial.
Pada November 1959, Presiden Soekarno menandatangani Peraturan
Pemerintah No. 10 atau yang lebih dikenal dengan PP-10. Peraturan ini berisi
larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang Tionghoa)
52
Clara Ng, Op. Cit. h. 201. 53
Hari Purwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang. (Depok. Komunitas Bambu, 2005),
h. 41.
78
untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman , yaitu di luar ibu kota
daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak 1 Januari
1960.54
Pada masa pemerintahan Orde Baru, posisi etnis Tionghoa makin terjepit.
Ada begitu banyak peraturan pemerintah yang menyudutkan etnis ini. Contohnya
adalah ditutupnya sekolah Tionghoa dan yang berbahasa Tionghoa. Anak-anak
etnis Tionghoa diharuskan sekolah di sekolah umum. Kebanyakan dari mereka
memilih sekolah Kristen untuk menuntut ilmu. Anak-anak Nung Atasana pun
sekolah di yayasan Kristen yang dikepalai oleh seorang suster. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut.
Esoknya, Nung dan Anas dipanggil untuk menghadap Suster
Meredith, kepala sekolah. Siska dan Rosi diskors dua hari.55
Larangan berdirinya sekolah Tionghoa ini tertuang dalam Instruksi
Presidium Kabinet Nomor 37/UN/IN/6/1967 tentang Kebijakan Pokok
Penyelesaian Masalah Cina. Kebijakan ini mengatur pembatasan mengenai
masalah pendidikan, kegiatan usaha, dan tenaga kerja.56
Selain larangan berdirinya sekolah Tionghoa, peraturan diskriminatif
lainnya yang aplikasinya muncul dalam novel adalah pelarangan untuk
merayakan Imlek. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Tapi dalam hati, terus terang, Nung Khawatir. Hari ini Imlek,
Tahun Baru Cina. Hari raya besar dalam kebudayaan Cina. tidak ada
bedanya dengan muslim yang merayakan lebaran. Pemerintah zaman itu
telah mengancam setiap sekolah di seluruh Jakarta agar memberikan
peringatan keras kepada para murid keturunan Cina yang mencoba-coba
tidak masuk sekolah dengan alasan Imlek.57
Pada masa pemerintahan Soeharto, etnis Tionghoa dilarang melakukan
54
Prasetyadji, Op. cit., h. 29
55 Clara Ng, Op. cit., h. 237.
56 Prasetyadji, Op. cit., h. 39.
57 Clara Ng, Op. cit., h. 218.
79
perayaan hari besar keagamaan dan kebudayaan mereka secara terbuka. Hal ini
sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.
Tindakan diskriminasi sudah menjadi makanan sehari-hari anak-anak
Nung Atasana di sekolah. Mereka berempat yang memiliki wajah oriental,
bermata sipit, dan berkulit cerah sering diejek oleh teman-temannya. Hal ini
terlihat dalam kutipan berikut.
Tapi kalau dihitung-hitung, kelompok anak lelaki itu paling sering
menghadang jalannya, menunjuk-nunjuk mata Novera sambil berteriak-
teriak seperti orang kesurupan. “Amoy” katanya. Ditambah dengan
cekikikan kurang ajar.58
Kata amoy dalam bahasa Mandarin berarti gadis cantik. Akan tetapi, kata-
kata yang sebenarnya pujian, jika diucapkan dengan nada melecehkan, akan
terdengar menyakitkan. Terlebih yang mengatakan sebetulnya tidak paham dan
hanya ikut-ikutan saja. Di Singkawang, amoy adalah sebutan bagi gadis-gadis
keturunan Tionghoa yang dijual ke luar negeri. Lelaki Taiwan biasa mengambil
amoy dari Singkawang. Harganya yang relatif murah, menyebabkan amoy
Singkawang menjadi favorit lelaki Taiwan. Di Taiwan, amoy Singkawang
dijadikan istri simpanan, pelacur, dan PRT. Meski ada juga yang dijadikan istri
sah.59
Kerusuhan Mei 1998 juga muncul dalam novel, meskipun pengarang
tidak banyak menyinggung peristiwa ini. Porsi yang tidak banyak dalam novel
menegaskan bahwa penulis tidak ingin menumbuhkan kebencian terhadap
peristiwa ini namun juga tidak ingin memungkiri bahwa peristiwa ini pernah
terjadi dan menimpa etnis Tionghoa. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Matanya kembali ke arah pesan di layar ponsel. Peristiwa Mei
1998 membekas dengan jelas di hati setiap orang, termasuk Indah. Pada
hari itu, dia berada di daerah Karet, sedang melakukan wawancara kerja
dengan perusahaan majalah remaja. Siapa yang menyangka hari itu
berakhiri dengan begitu banyak darah tertumpah dan sakit hati yang tidak
58
Clara Ng., Op. cit., h. 243. 59
Dokumentasi TVone.
80
dapat disembuhkan begitu saja?
Papanya yang kehidupan sehari-harinya ditopang dari toko
elektronik ―Sinar Berjaya‖ hilang secara misterius. Toko itu terletak di
Glodok. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk menguras habis seluruh
isi toko. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk mengubah Papa yang
mempunyai penghasilan tetap menjadi Papa yang tidak punya apa-apa.
Bangkrut mendadak. Dulu, penghasilan ―Sinar Berjaya‖ itu benar-benar
Berjaya karena mampu menyekolahkan mereka berempat, menjadi
sarjana.60
Kutipan di atas menunjukkan bahwa keluarga Nung Atasana tidak luput
dari peristiwa kekerasan tersebut. Namun, penulis tidak memberikan porsi yang
banyak. Novel ini tidak ingin mengeksploitasi kekerasan yang menimpa etnis
Tionghoa pada Mei 1998. Pengarang menyajikan ceritanya tanpa perasangka.
2. Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir
Ada beragam kebudayaan Tionghoa yang ditampilkan penulis dalam novel
DT ini. Kebudayaan tersebut berfungsi sebagai latar cerita sekaligus menjadi latar
konflik. Beragam kebudayaan dan tradisi dalam novel DT akan dibahas sesuai
dengan porsi dan kepentingannya dalam cerita. Oleh karena itu, tidak semua
kebudayaan Tionghoa yang muncul dalam novel ini dibahas. Akan tetapi, dipilah-
pilah terlebih dahulu oleh peneliti sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dari hasil
seleksi tersebut, muncullah beberapa kebudayaan yang memiliki posisi penting
dalam struktur cerita novel. Kebudayaan-kebudayaan tersebut antara lain sebagai
berikut.
a. Imlek
Perayaan Imlek atau Chun Jiie adalah pesta para petani menyambut
kedatangan musim semi. Hal ini sudah berlangsung ribuan tahun di kalangan
masyarakat Tionghoa di daratan China. Ini berlanjut di negeri rantau tempat
mereka beranak cucu. Meski tak mengenal musim salju dan musim semi,
masyarakat Tionghoa di Indonesia tetap menjalin silaturahmi dengan menjalankan
60
Clara Ng, Op. Cit. h. 264—265.
81
tradisi Imlek. Pada momen Imlek, keluarga berkumpul untuk mengucapkan
syukur.
Imlek bertalian dengan perayaan tahun baru menurut penanggalan lunar.
(lunar year). Hari raya ini biasanya jatuh pada bulan kedua masehi yaitu pada
Februari.61
Hari Raya Tahun Baru Imlek Yuan Dan (Yuantan) atau Xin Nian
(Hsin Nien). Menurut Dorothy Perkins dalam Danandjaja, Tio Tek H
dalam Danandjaja, James Danandja, juga disebut Festival Musim Semi
(Chung Jie atau Ch’ung Chieh); adalah pesta rakyat yang paling utama
dalam almanak Tionghoa, baik di Tiongkok maupun di Negara-negara lain
yang berpenduduk keturunan Tionghoa, seperti di Indonesia.62
Hari Raya Tahun Baru Imlek dirayakan pada akhir bulan Januari, atau
permulaan Februari, sesuai dengan kalender lunar Imlek. Hari Raya ini dimulai
pada tanggal 1 Imlek dan selesai pada tanggal 15 Imlek. Hari raya ini memulai
siklus baru dari tahun baru Imlek. Jadi, orang Tionghoa di daratan Tiongkok
menyambut kedatangan musim semi. Orang-orang yang tinggal di tempat yang
jauh dari rumah leluhurnya, akan pulang untuk merayakan pesta ini bersama
orang tuanya. Beberapa minggu sebelum hari raya, orang akan mengirim kartu
ucapan selamat kepada kerabat dan handai taulannya, menghormati orang tuanya,
dan kerabat-kerabat yang lebih tua. Tiap keluarga akan membersihkan rumahnya
karena mereka meyakini bahwa satu minggu menjelang Hari Raya Imlek, Dewa
Dapur (Caozhung atau Ts’ao Chung, yang berarti Pangeran Dapur) akan
berangkat ke langit untuk melaporkan semua peristiwa di dunia yang telah terjadi
di tahun yang baru lewat.63
Hari Raya Imlek dirayakan oleh masyarakat Tionghoa tanpa membedakan
agama dan kepercayaan. Hal ini terjadi karena Imlek mempunyai makna
pengucapan syukur atas berkat dan kelimpahan pada tahun yang telah lewat, dan
permohonan berkat dan pertolongan Tuhan pada tahun yang akan datang. Untuk
61
Tedy Yusuf, Sekilas Budaya Tionghoa. (Jakarta. Buana Ilmu. 2000). 102
62 James Danandjaja, Folklor Tionghoa, (Jakarta. Grafiti. 2010) h. 365—366.
63 Ibid., h. 366.
82
itu, perayaan Imlek dapat disamakan dengan hari raya Thanks Giving Day di
Amerika serikat.64
Menariknya, walaupun di Indonesia hanya ada dua musim, musim panas
dan musim hujan, tetapi mereka juga merayakan seolah-olah menyambut musim
semi, yang sebenarnya di Indonesia sedang musim hujan. Pada sekitaran perayaan
Imlek, buah-buahan seperti rambutan dan duku dapat kita nikmati karena sedang
musimnya.
Masyarakat Tionghoa di Indonesia memiliki kepercayaan berbagai agama,
seperti Kristen, Islam, Hindu dan Buddha. Namun, hal ini tidak menghalangi
mereka menghayati makna Imlek sebagai ajang reuni keluarga. Begitu pula bagi
keluarga peranakan yang telah beberapa generasi beranak pinak di Indonesia.
Di Jakarta, dahulu perayaan Imlek diselenggarakan secara meriah tidak
hanya dirayakan oleh masyarakat Tionghoa saja, namun warga Betawi, Sunda,
Bugis, Makassar, Arab, dan Indo yang ada di Jakarta juga turut merayakannya.
Bentuk folklor ini nyaris punah selama puluhan tahun selama pemerintahan Orde
Baru yang anti-Cina itu. Akan tetapi, sejak orde reformasi perayaan ini bangkit
kembali karena diperbolehkan untuk dirayakan kembali oleh Presiden Megawati.
Masyarakat yang merayakan Imlek bukan hanya dari kalangan masyarakat
Tionghoa saja, masyarakat Betawi pun merayakan Imlek walaupun tdak
mengadopsi keseluruhan tata cara perayaannya.65
Tradisi yang sangat kental
pada saat Imlek adalah baju baru dan pembagian angpau. Para orang tua akan
membagikan angpau kepada anak-anaknya yang belum berumah tangga dan
kepada sanak family lainnya yang juga masih membujang. Tradisi seperti ini
mirip dengan tradisi pada saat Lebaran. Selama lima belas hari sampai Hari Raya
cap go me, para keturunan Tionghoa mengenakan baju baru, pada masa lampau
umumnya mereka mengenakan baju shanghai berwarna merah.
Makanan khas perayaan Imlek adalah kue bulan atau kue keranjang,
masyarakat Betawi menyebutnya kue cina. Kue ini disusun bertingkat-tingkat dari
64
Ibid., h. 366—367. 65
Hingga saat ini di keluarga peneliti pun yang beretnis Betawi masih merayakan Imlek
dengan tradisi membeli bandeng pasar malam yang berukuran besar dan memberikannya kepada
sanak keluarga pada saat Imlek.
83
yang paling besar sampai mengerucut ke ukuran terkecil. Kue ini wajib ada saat
perayaan Imlek sebagai persembahan ketika sembahyang. Penganan lain yang
sering muncul pada saat Imlek adalah manisan buah atep atau kolang kaling66
.
Makanan lain seperti daging babi, kimlo, asinan, dan bakmi biasanya selalu tersaji
di meja makan ketika Imlek.
Sesungguhnya, keluarga adalah magnet perayaan Imlek. Pada saat Imlek
tiba, seluruh keluraga berkumpul. Keluarga yang tinggal jauh di negeri orang pun
akan pulang untuk merayakan Imlek bersama.
Filsuf besar Cina, Konfusius (Kong Zi), menegaskan, dari keluarga yang
kuat akan lahir masyarakat yang kuat. Dari situ terbentuklah bangsa yang kuat.
Itulah inti kehidupan berbangsa, membangun keluarga guyub dan harmonis.67
Imlek sebagai ajang reuni keluarga juga terlihat pada keluarga Nung
Atasana, anak-anak Nung yang tinggal di berbagai kota sampai mancanegara akan
berkumpul bersama pada saat Imlek tiba. Siska yang tinggal di Singapura dan
sering berpergian ke luar negeri untuk urusan bisnis, akan pulang saat Imlek. Rosi
meninggalkan bayi-bayi mawarnya di Puncak. Novera mengambil cuti mengajar,
dari Jogja ia akan terbang ke Jakarta. Hal ini terlihat pada teks berikut.
Mereka berkumpul kembali tepat tiga hari sebelum Imlek pada
tahun berikutnya. Semua tampak berbeda pada saat itu. Nung tidak
bersama-sama mereka lagi. Siska tampak lebih kurus. Novera
berkacamata. Kulit Roni semakin gelap.68
Setiap keluarga punya tradisi Imleknya masing-masing, demikian juga
dengan keluarga Nung Atasana. Setiap pagi Imlek, sebelum berangkat
beraktivitas, mereka sekeluarga memasak dimsum untuk dimakan bersama-sama.
Keluarga sederhana ini akan bangun pagi-pagi dan menyiapkan besek, adonan
untuk bahan-bahan membuat dimsum. Mereka bergotong-royong bersama.
66
Pada saat lebaran, etnis Betawi di lingkungan keluarga peneliti pun selalu ada kue cina
dan manisan kolang-kaling. 67
Iwan Santosa, Peranakan Tionghoa di Nusantara (Jakarta. PT Kompas Media
Nusantara, 2012), h. 141. 68
Clara Ng, Op. cit., h. 355.
84
Suasana hangat dan ceria pada Hari Raya Imlek yang penuh suka cita. Semua
bergembira menyambut Imlek. Hal ini terlihat pada teks berikut.
Indah melirik ke dapur yang berantakan dan kacau-balau.
Tumpukan besek dimsum di mana-mana memenuhi ruang dapur yang
hanya sepetak kecil. Mereka berlima; Mama, Siska, Rosi, Novera, dan
Indah sedang membuat dimsum yang akan disantap bersama-sama
sebelum berangkat ke sekolah. Aroma masakan terasa sangat sedap,
meyergap hidung. Indah sangat menyukai aroma itu.
Jam dinding menunjukan waktu lima lewat sepuluh. Dua puluh
menit lagi mereka akan merayakan tahun baru Cina dengan makan pagi
bersama-sama. Menyantap dimsum. Tradisi yang sangat aneh, tapi bagi
keluarga Nung Atasana, tradisi itu Nampak normal-normal saja. Makan
dimsum pada pagi Imlek dirayakan selama satu jam kerena setelahnya
mereka harus berangkat ke sekolah pada pukul enam tiga puluh. Tidak ada
libur Imlek pada masa itu, masa pemerintahan Soeharto.69
Keluarga Nung Atasana harus merayakan Imlek pada pagi hari karena
pada masa pemerintahan Soeharto tidak ada libur pada saat Imlek, tidak hanya itu
saja segala aktivitas perayaan secara terbuka tidak diperbolehkan. Hal ini sesuai
dengan Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat
Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut, ditetapkan bahwa seluruh upacara agama,
kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan
keluarga dan dalam ruangan tertutup.
Imlek menjadi sumber konflik dalam struktur novel, bukan menjadi latar
suasana saja. Kebudayaan ini beberapa kali disebutkan dalam novel. Dalam
beragam kesempatan, Imlek selalu dirayakan oleh keluarga Nung Atasana. Tradisi
unik Imlek yang mereka jalani adalah memakan dimsum pada pagi hari sebelum
mereka melakukan aktivitas. Hal ini terjadi karena tidak ada libur Imlek untuk
mereka.
Wujud kebudayaa Imlek ini adalah sebagai berikut.
1) Tataran ide, Imlek dirayakan tiap awal musim semi sebagai perwujudan
rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
69
Ibid., h. 59—60.
85
2) Tataran aktivitas, Imlek adalah hari raya utama masyarakat Tionghoa di
seluruh dunia tanpa memandang agama. Pada hari raya ini, semua anggota
keluarga berkumpul dan merayakannya bersama-sama.
b. Cap go
Setiap tanggal lima belas dalam penanggalan lunar disebut cap go. Cap go
yang paling meriah dilaksanakan tiap tahunnya adalah tiap tanggal lima belas
Imlek, disebut cap go me. Perayaan Imlek dan cap go me merupakan suatu
kesatuan, yakni untuk merayakan Tahun baru Imlek selama lima belas hari dan
ditutup dengan pesta rakyat cap go me, yang kebetulan jatuh pada malam bulan
purnama (cap go = lima belas). Tradisi kunjung berkunjung pada saat Imlek
berlangsung sampai tanggal lima belas. Pada malam harinya, diadakan pesta cap
go me (yuan xiao jie).70
Puncak perayaan Tahun Baru Imlek adalah pesta rakyat cap go me. Cap
go me juga sebagai perayaan penutup dari tahun baru Imlek. Tempo dulu
perayaan cap go me diadakan secara besar-besaran. Pada pesta rakyat ini, semua
jenis pertunjukkan rakyat Betawi ditampilkan. Seni pertunjukkan tersebut antara
lain berupa Wayang Cokek yang diiringi gambang kromong.
Seperti halnya perayaan Imlek, perayaan cap go me secara terbuka pun
dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Setelah ditumbangkannya Orde Baru dan
berdirinya Orde Reformasi, Perayaan Hari Raya Imlek dan cap go me diizinkan
lagi diadakan, seperti membuka pasar malam dan kirab dari lapangan depan
Museum Fatahilah. James Danandjaja dipilih untuk menyampaikan pidato
sambutan dengan memukul ceng-ceng (cymbal) sebagai tanda dimulainya kirab
cap go me, pada tahun 2000 setelah selama 30 tahun perayaan ini mengalami mati
suri. Pada waktu itu, lapangan depan Museum Fatahilah dipenuhi ratusan orang,
bukan saja orang betawi dari keturunan Tionghoa, tetapi juga orang Betawi dari
keturunan suku bangsa lainnya.71
70
Yusuf, op.cit.h. 6.
71 Ibid., h. 378.
86
Tradisi cap go ini masih dipegang oleh anak-anak Nung Atasana. Pada
hari cap go atau tiap tanggal 15 penanggalan lunar Novera masih menjalankan
tradisi cap go di keluarga Nung Atasana dengan tidak memasak daging dan
memakan daging. Dewasa ini, kebiasaan tersebut sudah mulai luntur, tapi anak-
anak Nung masih mempertahakannya, terlihat pada teks berikut.
―Sekarang cap go ya?‖
Novera hanya menggumam,membenarkan. Indah berjalan menuju
dinding dan merobek satu lembar kertas kalender. Kalender harian Cina.
Penanggalan lunar. Di sana tertera tanggal lima belas.
―SAYUR LAGI? OH MY GOD! TIDAAAK!‖
Tanpa menoleh pun Novera tahu siapa yang menjerit histeris persis
di belakang telinganya.
Indah menoleh kepada pemilik suara. Irama suaranya tenang.
―Sekarang cap go, Ros. Enggak boleh makan daging kalo cap go, udah
lupa?72
Dalam teks tersebut, terjadi pertentangan antara Novera, Indah, dan Rosi.
Novera masih kukuh memegang tradisi keluarga dengan masih menjalankan
tradisi cap go di keluarga mereka yang tidak makan daging sedangkan Rosi
merasa keberatan dengan tradisi ini. Rosi merasa tradisi ini sudah ketinggalan
zaman dan tidak perlu dipertahankan lagi. Rosi memang memiliki sifat tomboi
dan cuek berbeda dengan Novera yang lembut, namun juga keras kepala.
Penolakan Rosi dan keteguhan Novera terlihat dalam teks berikut.
―Zaman sekarang mana ada yang nge-cap go-ce-it. Mana ada
selera,‖ kata Rosi dengan muka masam.73
…
Bukan itu saja, kata Rosi, makan sayur seharian membuatnya
rentan dengan mood jelek, napas bau, dan keringat kecut.
Tapi Novera dengan keras kepalanya sukses memutuskan untuk
melanjutkan tradisi keluarga. Menurutnya tradisi adalah tradisi. 74
Cap go dalam cerita menjadi sumber konflik, seperti terlihat pada kutipan
di atas. Kutipan tersebut menunjukkan adanya perdebatan antara Novera dan Rosi.
72
Clara Ng, Op. cit., h. 154–155. 73
Ibid., h. 156. 74
Ibid., h. 157.
87
Selain itu, kutipan lain yang menunjukkan cap go sebagai konflik dalam struktur
novel dapat dilihat pada teks berikut ini.
Kebiasaan Anas setiap bulan penanggalan lunar pada tanggal 1
(yang disebut ce it) dan tanggal 15 (yang disebut cap go) adalah tanggal-
tanggal istimewa ketika mereka sekeluarga tidak menyantap daging
melainkan sayur-sayuran saja. Kebiasaan itu berhasil dipertahankan oleh
Novera tapi tidak oleh ketiga kembarannya yang lain. Menurut mereka,
tradisi itu tradisi zaman batu.75
Wujud kebudayaan cap go ini adalah sebagai berikut.
1) Tataran ide, puasa makan daging tiap cap go dan ce it mengandung
filosofi: setiap mahluk berhak hidup bahagia. Begitu juga dengan hewan,
mereka pun berhak hidup dengan bahagia di dunia ini. Memakan daging
sama artinya dengan merampas hak hidup bahagia para hewan. Untuk itu,
terciptalah larangan makan daging tiap cap go dan ce it. Setiap mahluk di
bumi ini harus saling menghormati.
2) Tataran aktivitas. Para penganut Tri Dharma dianjurkan untuk puasa
daging tiap cap go dan ce it. Sebagian dari mereka masih memegang teguh
tradisi ini. Bahkan tidak hanya penganut Tri Dharma saja yang
menjalankan tradisi tidak makan daging ini, etnis Tionghoa yang bukan
penganut Tri Dharma pun beberapa ada yang tetap menjalankan tradisi ini.
c. Feng Shui
Feng shui adalah seni memanfaatkan air dan angin. Feng shui juga
mengemukakan tentang menangkap napas kosmis naga yang vital atau Ch’i, yaitu
tenaga yang beredar dan bergerak di dalam lingkungan. Di dalam rumah dan di
luar rumah, di tanah, di air, di pegunungan.76
Dorothy Perkins dalam Danandjaja berpendapat, arti harfiah dari feng shui
adalah ―angin dan air‖; suatu sistem ramalan mengenai letak tempat di
75
Ibid., h. 155–157.
76 Lilian Too, Penerapan Feng Shui, Pa Kua, dan Lo Shu.(Jakarta. Elexmedia
Computindo.2002.
88
lingkungannya (geomancy) berasal dari Tiongkok dari masa sekitar abad ke-10
SM. Feng shui sampai kini masih umum dipraktikkan oleh orang Tionghoa untuk
mendatangkan keberuntungan serta mengusir pengaruh buruk, dengan cara
menempatkan letak makam, bangunan-bangunan, dan perabot rumah tangga
dalam posisi yang sesuai (harmoni) dengan dunia alamiah dan dunia spiritual.77
Para pakar feng shui mengembangkan prinsip-prinsip dengan mengkaji
gerak planet-planet dan bintang-bintang, serta hubungannya dengan bumi,
magnetik bumi, serta letak topografi dan keseimbangan dari elemen-elemen yin
dan yang. Gerak mengalir dari alam semesta dilambangkan dengan delapan
trigram (pa kua), dan prinsip yin dan yang membentuk teks dasar klasik dari buku
tentang perubahan (Yijing atau I Ching).78
Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang Tionghoa selalu menggunakan
feng shui. Membuat rumah pakai feng shui. Melaksanakan kegiatan apa pun harus
disesuaikan dengan feng shui, dihitung atau ditimbang baik buruknya. Jika ada
keluarga yang ditimpa musibah, selalu dikaitkan dengan feng shui. Anak-anak
Nung Atasana masih memegang teguh soal feng shui terlihat dalam teks berikut.
―Ini bukan budaya patriarki. Ini budaya Cina. Anak-anak keturunan
Cina diwajibkan menghormati ibu bapaknya. Artinya, aku harus membuat
papaku tenang dan senang. Itu kewajibanku yang diajarkan mamaku. Aku
tidak boleh menyia-nyiakan papaku. Feng shui jelek, karma buruk.‖79
Nung Atasana sebelum memiliki anak juga memperaktikkan
kepercayaannya terhadap feng shui. Dengan menuruti feng shui, ia yakin akan ada
perubahan dalam hidupnya. Nung sangat menginginkan seorang anak, ia berusaha
keras untuk itu. Ia menuruti nasihat feng shui yang mengatakan bahwa dengan
menggantung gambar anak-anak ia akan mendapat energi positif yang akan
membuatnya memiliki keturunan. Feng shui melekat erat dalam nadi kehidupan
orang-orang Tionghoa. Hal ini terlihat pada teks berikut.
77
Danandjaja, Op. Cit h. 472. 78
Ibid. h. 472. 79
Clara Ng, Op. cit., h. 193.
89
Menurut feng shui, dia harus menggantung gambar anak-anak di
rumahnya, agar energi positif mengalir di sana. Setelah mencari kesana
kemari, Nung berhasil menemukan gambar seratus anak-anak Cina yang
sedang bermain. Dengan bangga dipajangnya gambar itu di ruang
makan.80
Dalam teks tersebut, terlihat Nung yang menggantung gambar anak-anak
di dinding rumahnya. Hal tersebut ia lakukan karena ingin memiliki keturunan.
Kegiatan menggantung gambar anak-anak di dinding rumah dilakukan
berdasarkan feng shui. Agar ia mendapatkan keturunan, ia menuruti anjuran feng
shui tersebut.
Fungsi feng shui dalam struktur novel adalah sebagai latar. Etnis Tionghoa
sangat memercayai budaya feng shui ini. Mereka menerapkan feng shui dalam
setiap sendi kehidupan. Novel ini pun turut memasukkan kebudayaan ini, seperti
yang sudah dijelaskan pada uraian di atas.
Wujud kebudayaan feng shui ini adalah sebagai berikut.
1) Tataran ide, feng shui merupakan ilmu yang menerapkan keseimbangan
antara yin dan yang. Hidup haruslah seimbang dan sejlan dengan alam,
untuk itulah ilmu feng shui diciptakan.
2) Tataran aktivitas, etnis Tionghoa sangat memercayai feng shui. Ilmu ini
utamanya digunakan dalam membuat bangunan, seperti rumah, tempat
usaha, dan kantor. Letak bangunan yang tidak sesuai dengan feng shui
diyakini dapat menimbulkan ketidakberuntungan dan kesialan bagi
pemilik atau penghuninya.
3) Tataran artefak, ilmu feng shui ini telah dipelajari secara ilmiah dan yang
menerapkannya tidak hanya orang-orang Tionghoa saja, melainkan orang-
orang di luar etnis ini pun menggunakan ilmu feng shui ketika membuat
sebuah bangunan.
d. Penanggalan
Penanggalan atau kalender Tionghoa menurut Dorothy Perkins dalam
Danandjaja adalah pembagian tahun ke dalam periode-periode waktu tertentu,
80
Ibid., h. 201.
90
yaitu bagi orang Tionghoa sangat penting karena dapat mengatur siklus pertanian
mereka.81
Penanggalan juga penting karena orang Tionghoa meyakini bahwa
kaisar yang sedang berkuasa memegang kekuasaannya melalui mandat Langit,
dan melegitimasikan pemerintahannya. Apabila sang kaisar tak dapat
mempertahankan keselarasan antara langit dan bumi, maka beliau akan
kehilangan mandat tersebut. Oleh karena itu, pakar-pakar perbintangan kaisar
melambangkan pemerintahan kaisar sebagai dukungan Langit (Tuhan).82
Penanggalan telah dikembangkan pada masa Dinasti Shang, dinasti
pertama yang dibuktikan oleh para arkeolog dengan peninggalan artefak-artefak.
Pengembangan penanggalan pada masa itu disusun setiap tahun oleh suatu dewan
yang terdiri dari para ahli matematika, di bawah pimpinan seorang menteri khusus
dari pemerintahan kekaisaran.83
Dewan tersebut menyusun penanggalan lunar berdasarkan siklus
peredaran bulan yang terdiri dari 29 sampai 30 hari, lebih pendek jika dibanding
dengan kalender solar Gregorian yang dipergunakan di barat.
Penanggalan lunar Tionghoa harus dimulai pada hari terbitnya rembulan
muda, pada setiap hari pertama dari tahun baru Imlek. Ahli-ahli perbintangan
harus menyesuaikan tahun lunar yang terdiri dari 12 bulan dan mempunyai 354
hari dengan tahun solar yang mempunyai 365¼ hari.84
Almanak pertanian (Tong Shu atau T’ung Shu) yang berusia 4000 tahun,
masih tetap diterbitkan setiap tahun sampai hari ini karena masih dipergunakan
sebagai panduan oleh orang-orang Tionghoa di seluruh dunia ketika hendak
melakukan upacara-upacara yang berhubungan dengan daur hidup atau bisnis
serta perjanjian-perjanjian. Karena untuk hal-hal semacam itu, orang Tionghoa
masih percaya astrologi. Almanak tersebut mengandung banyak keterangan dan
topik mengenai hari baik, ramalan cuaca, horoskop, dan feng shui.
Nung Atasana dan anak-anaknya juga menggunakan penanggalan
Tionghoa ini. Mereka menggantungnya di dalam rumah. Mengikuti tradisi-tradisi
81
Danandjaja, Op. cit., h. 475. 82
Ibid. 83
Ibid. 84
Ibid., h. 476.
91
yang berdasarkan penanggalan Tionghoa tersebut, misalnya keluarga ini setiap
tanggal 1 penanggalan lunar (ce it) dan tanggal 15 (cap go) tidak makan daging.
Seharian mereka hanya memakan sayuran. Tradisi semacam ini dilakukan
berdasarkan penanggalan Cina, seperti terlihat pada teks.
―Sekarang cap go ya?‖
Novera hanya menggumam,membenarkan. Indah berjalan menuju
dinding dan merobek satu lembar kertas kalender. Kalender harian Cina.
Penanggalan lunar. Di sana tertera tanggal lima belas.85
Dalam teks tersebut, terlihat Indah merobek sebuah kalender. Kalender ini
bukan kalender biasa atau kalender masehi yang berdasarkan peredaran matahari.
Namun, kalender ini adalah kalender harian Cina, penanggalan lunar, atau
berdasarkan peredaran bulan. Dalam kalender harian Cina, terdapat hari-hari
istimewa, seperti Imlek dan cap go. Masyarakat Tionghoa mengikuti beragam
ritual keagamaan atau tradisi kebudayaan berdasarkan penanggalan lunar ini.
Dalam novel, penanggalan lunar ini menjadi latar suasana dan sebagai
sumber konflik. Novera dan Rosi meributkan hari cap go, hari yang didasari pada
penaggalan lunar. Mereka berdua meributkan tradisi tidak makan daging setiap
cap g. Novera masih memegang tradisi ini, sedangkan Rosi tidak bahkan
cenderung kesal dengan Novera yang masih saja memegang tradisi tidak makan
daging pada hari cap go.
Wujud kebudayaannya adalah sebagai berikut.
1) Tataran ide, orang Tionghoa meyakini bahwa kaisar yang sedang berkuasa
memegang kekuasaannya melalui mandat Langit, dan melegitimasikan
pemerintahannya. Selain itu, penanggalan lunar sangat penting bagi orang
Tionghoa untuk menentukan hari raya dan hari baik dalam daur hidup
mereka.
2) Tataran artefak adalah bentuk kalender lunar yang sampai sekarang masih
dipergunakan oleh masyarakat Tionghoa di seluruh dunia.
85
Clara Ng, Op. cit., h. 154—155.
92
e. Pengobatan Tradisional
Pengobatan tradisional Tiongkok sangat terkenal, bahkan hingga ke
seluruh dunia. Para ahli kesehatan barat sejak lama meneliti pengobatan Tiongkok
ini. Di Indonesia sendiri pengobatan tradisional Tiongkok tidak hanya monopoli
masyarakat Tionghoa, namun warga pribumi pun banyak yang mempercayakan
kesembuhannya kepada para shinsey atau para tabib Tionghoa. Selain itu bahan
yang digunakan adalah bahan alami, cenderung tidak memiliki efek samping
hingga aman digunakan.
Masyarakat Tionghoa memercayai pengobatan tradisionalnya seperti
sebuah tradisi. Mereka jarang berobat ke dokter umum kalau tidak mendesak.
Sekalipun harus diobati secara medis di dokter umum, biasanya mereka tetap
menggunakan obat-obat Tiongkok ini sebagai pendamping.
Tradisi pengobatan Tiongkok memiliki sejarah lebih dari 2000 tahun.
Menurut Doroty Perkins dalam Danandjaja, penggunaan tanaman herbal untuk
menghasilkan obat-obatan adalah satu-satunya metode tradisional besar yang
dipergunakan oleh tabib Tao untuk menyembuhkan penyakit, bersama-sama
dengan teknik-teknik pengobatan seperti tusuk jarum (acupuncture).86
Pandangan tradisional Taoisme tentang kesehatan didasarkan pada
ketiadaan keseimbangan antara tubuh manusia dengan alam, dan antara
komponen-komponen di dalam tubuh sendiri. Pandangan ini berdasarkan pada
ajaran Toisme, yang menganggap bahwa semua dalam dunia ini terdiri dari aspek-
aspek universal perempuan (yin) dan laki-laki (yang). Apabila aspek-aspek
tersebut tidak seimbang, maka akan timbul suatu penyakit.
Tradisi pengobatan Tiongkok ini juga dipercayai oleh keluarga Nung
Atasana. Kebiasaan ini juga diturunkan kepada anak-anaknya. Meskipun keluarga
mereka mempunyai dokter pribadi, mereka tetap menggunakan obat-obatan
Tiongkok untuk mengobati berbagai penyakit. Ketika Nung sakit, anak Nung
terpikir untuk membeli obat-obatan Tiongkok.
86
Danandjaja, Op. Cit., h. 360.
93
Pada saat ini, yang menjadi pikiran Rosi adalah mendapatkan obat
untuk ayahnya. Mengapa tidak ada orang yang berpikiran seperti ini
sebelumnya? Obat Cina, betul juga. Mengapa tidak? Bertahun-tahun
mereka hidup dengan obat Cina. Sakit tenggorokan. Keseleo. Sakit perut
karena keracunan. Diare. Sakit kepala. Pokoknya, Anas jarang mengajak
anak-anaknya mengunjungi dokter Marcel kalau tidak kepepet. Jika dapat
disembuhkan dengan obat Cina, pasti Anas akan melakukannya.87
Kutipan di atas menjelaskan kebiasaan keluarga Nung Atasana
menggunakan obat-obatan Tiongkok yang disebut obat Cina. Keluarga ini lebih
mengutamakan menggunakan obat-obatan Tiongkok ketimbang harus ke dokter.
Tradisi pengobatan ini juga termasuk dalam keanekaragaman kebudayaan
Tionghoa.
Obat-obatan Cina dalam novel ini digunakan oleh tokoh-tokohnya untuk
mengobati berbagai jenis penyakit. Fungsinya dalam struktur novel sebagai latar
yang menguatkan tema Tionghoa dalam novel ini.
Obat-obatan Tiongkok adalah wujud kebudayaan dalam tataran artefak.
Sejak dahulu masyarakat Tionghoa memercayai kesembuhan mereka pada obat-
obatan tradisional. Dalam tataran ide, gagasan untuk mencari pengobatan terhadap
penyakit merupakan sebuah landasan pikir adanya kebudayaan ini. Dalam tataran
aktivitas, kebiasaan masyarakat Tionghoa menggunakan obat-obatan
tradisionalnya. Meskipun mereka sedang menjalani pengobatan secara medis di
dokter umum, obat-obatan tradisional tetap digunakan sebagai pendamping. Hal
ini terlihat dalam kutipan berikut.
―Aku enggak punya usul apa-apa. Mending kita coba ke Petak
Sembilan atau Glodok, cari toko obat. Biasanya mereka punya banyak
obat-obatan Cina yang manjur dan cocok dengan obat-obatan Eropa.‖88
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa obat-obatan tradisional sangat
dipercayai oleh masyarakat Tionghoa, bahkan dipercaya mampu berdampingan
dengan obat-obatan modern dari Eropa.
87
Clara Ng, Op. cit., h. 163. 88
Clara Ng, Op. cit., h.164.
94
f. Makanan khas Tiongkok
Negeri Tiongkok kaya akan keanekaragaman kulinernya. Aneka Kuliner
ini pun merambah ke berbagai negeri di seluruh penjuru dunia. Aneka kuliner
lezat ini dengan mudah bisa kita temukan di warung-warung pinggir jalan, kios-
kios pedagang di pasar sampai ke super market terkemuka di Indonesia.
Ada beberapa Kuliner khas Tiongkok yang disebutkan dalam novel DT
ini, antara lain dimsum, kue bulan atau kue keranjang, bacang, cakue, pioh,89
swike,90
bakpao, dan daging babi. Makanan yang disebut terakhir tidak hanya
populer di kalangan masyarakat Tionghoa, namun daging yang haram bagi umat
muslim ini sangat kental dengan tradisi kuliner Tionghoa. Daging babi dimasak
dalam berbagai jenis olahan, seperti semur babi, babi panggang, atau menjadi
isian kue bacang. Makanan-makanan tersebut beberapa hanya sekali disebutkan.
Peneliti memilih tiga makanan yang sering muncul dalam novel, yaitu dimsum,
daging babi dan kue bulan.
1. Dimsum
Dorothy Perkins dalam Danandjaja mengatakan bahwa dimsum adalah
jamuan kecil informal yang dalam bahasa mandarinnya disebut dianxin atau tien-
hsin ―menyenangkan hati‖. Istilah dimsum berasal dari dialek Guangzou
(Cantonese/ kongfu) yang berarti pesta makan kecil. terdiri dari berbagai makanan
sedap, seperti bakpau, lumpia, babi panggang, bakmi, kue onde yang ditaburi
wijen, dan lain-lain.91
Orang Tionghoa gemar makan dimsum, yang dalam dialek Hakka disebut
yam cah.92
Kebiasan makan dimsum ini juga dilakukan oleh keluarga Nung
Atasana. Uniknya keluarga ini merayakan Imlek dengan memakan dimsum pagi
hari sebelum mereka beraktivitas. Kebiasaan makan dimsum pada pagi Imlek
bukan tanpa sebab, ide ini muncul ketika mereka ingin merayakan Imlek, namun
pemerintah melarang Imlek dirayakan secara terbuka dan tidak ada libur pada
Hari Raya Imlek. Bahkan pemerintah menginstruksikan kepada sekolah untuk
89
Pioh (daging kura-kura) 90
Swike (daging katak) 91
Danandjaja, Op. Cit. h. 444—456. 92
Ibid., h. 445.
95
menegur dengan keras siswa etnis Tionghoa yang tidak bersekolah pada Imlek.
Jadilah tradisi dimsum pada keluarga Nung Atasana menjadi sebuah tradisi yang
selalu dijalankan ketika Imlek.
Jam dinding menunjukan waktu lima lewat sepuluh. Dua puluh
menit lagi mereka akan merayakan tahun baru Cina dengan makan pagi
bersama-sama. Menyantap dimsum. Tradisi yang sangat aneh, tapi bagi
keluarga Nung Atasana, tradisi itu Nampak normal-normal saja. Makan
dimsum pada pagi Imlek dirayakan selama satu jam kerena setelahnya
mereka harus berangkat ke sekolah pada pukul enam tiga puluh. Tidak ada
libur Imlek pada masa itu, masa pemerintahan Soeharto.93
Dimsum ini pun dipilih pengarang sebagai judul novel. Pemilihan dimsum
untuk judul merupakan sebuah simbol. Simbol tradisi kehangatan dan
kebersamaan sebuah keluarga. Pemaknaan dimsum sebagai jamuan makan kecil
menunjukkan keintiman antar kerabat. Tidak hanya itu, tradisi dimsum ini pun
sebagai sebuah simbol keteguhan dalam keterbatasan. Maksudnya, keluarga yang
berusaha menjalankan tradisi mereka walaupun dibatasi oleh pemerintah. Mereka
mencari jalan keluar agar tetap bisa merayakan Imlek dengan keluarga mereka.
2. Daging babi
Dorothy Perkins dalam Danandjaja, mengatakan bahwa salah satu
binatang ternak yang paling penting dalam diet dan kebudayaan orang Tionghoa
adalah babi, yang dalam bahasa Tionghoa disebut zhu atau chu.94
Huruf Tionghoa
untuk keluarga adalah huruf babi di bawah atap rumah. Banyak tulang-tulang babi
ditemukan di situs-situs penggalian arkeologi dari kebuadayaan neolitik Yangshao
(5000-3000 SM) dan Longshan (3000-220 SM), dan di semua situs yang didata
dari dinasti-dinasti Shang dan Zhou. Daging babi disajikan dalam kurban
keagamaan sejak zaman purbakala.95
Orang Tionghoa menyajikan daging babi dalam berbagai jenis olahan.
Potongan-potongan kecil daging babi ditumis dengan saus asam manis. Gilingan
daging babi dimasak menjadi beberapa masakan, antara lain sebagai isian bakpao
93
Ibid., h. 59—60. 94
Danandjaja., Op. cit., h. 433. 95
Ibid., h. 434.
96
dan somay atau dijadikan seperangkat makanan dimsum yang dinikmati
sepanjang tahun. Daging babi akan menjadi hidangan khusus pada pesta tahun
baru Imlek. Daging babi akan dipanggang setelah dibumbui esens merah. Olahan
babi ini disebut babi panggang merah manis (ca siu). Babi panggang atau babi
guling merupakan hidangan khusus yang disajikan pada pesta pernikahan
tradisional masyarakat Tionghoa. Olahan daging babi lainnya adalah babi masak
hong, babi kecap, sosis babi, bakso babi, dan sebagainya.
Di dalam novel DT daging babi menjadi makanan yang lumrah disajikan
oleh keluarga Nung Atasana. Sehari-hari mereka memakan daging ini dengan
diolah menjadi babi kecap atau lain waktu sebagai isian bacang. Terlihat dalam
kutipan berikut.
―Kekurangan gizi apanya?‖ Suara Novera masih rendah, masih
super lembut. Tangannya memasukan potongan-potongan wortel wortel ke
dalam panci mendidih dengan tekun. ―Kemarin makan daging. Ingat babi
kecap? Kamu yang menghabiskan sisanya, setengah panci besar itu.‖96
―He-eh daging babi. Kalau bacang Nyokap, ada telur asin di
dalamnya. Nasinya terbuat dari ketan. Rasanya enak sekali.‖97
Berdasarkan kutipan di atas, terlihat daging babi yang diolah dengan kecap
dan menjadi isian bacang. Terlihat juga dalam keluarga mereka yang paling
menggemari olahan babi adalah Rosi. Disebutkan Rosi sangat rakus
menghabiskan setengah panci besar. Nafsu makan Rosi yang besar dan porsi
makannya pun besar layaknya pria karena Rosi memang berbeda dari perempuan
biasa. Ia seorang transgender yang secara psikologis memiliki sifat-sifat yang
cenderung lebih maskulin.
3. Kue bulan
Kue bulan (mooncake) atau biasa disebut juga kue keranjang98
, merupakan
kue tradisional masyarakat Tionghoa yang wajib disajikan ketika Imlek. Kue ini
terbuat dari tepung ketan dan gula pasir. Dicetak dalam wadah bulat. Sepintas
96
Clara Ng., Op. cit., h. 155. 97
Ibid., h. 136. 98
Masyarakat Betawi menyebutnya kue cina. Kue cina ini pun biasa dibuat oleh
masyarakat Betawi ketika lebaran tiba.
97
mirip dengan dodol Betawi, hanya saja kue bulan tidak menggunakan santan
dalam bahan baku pembuatannya.
Kue bulan biasanya ditaruh di atas meja persembahan bersama dengan
makanan lain ketika Imlek. Biasanya di atas meja persembahan tersedia
penganan wajib untuk Imlek seperti kue keranjang, nasi putih, kue mangkok
merah, kue ku ketan, kue bugis, kue pepe, arak putih, babi cin99
dan buah-
buahan.100
Tradisi mempersembahkan kue bulan kepada leluhur mengandung
makna keutuhan keluarga. Selain sebagai kue persembahan pada saat Imlek, kue
bulan juga disajikan pada festival kue bulan (mooncake festival) yang
diselenggarakan setiap malam ke lima belas bulan kedelapan penanggalan lunar.
Di dalam novel DT yang bertemakan keluarga, kue bulan sebagai simbol
kebulatan keluarga menjadi kue yang penting untuk dibahas, kue ini tidak hanya
numpang lewat sebagai pelengkap kebuadayaan Tionghoa namun, kita bisa
melihat dari sisi tema dari novel ini. Terlihat dalam teks berikut.
Mama meletakkan meja dengan taplak merah di depan teras dan
menata beberapa kue di atas meja tersebut. Sudah pasti ada kue bulan dan
bakpao. Kata ―persatuan‖ yaitu yuan diucapkan sama dengan kata untuk
―bulat‖. Hari itu menjadi peringatan istimewa untuk setiap keluarga Cina,
bahwa hari itu tonggak pengingat bahwa persatuan keluarga sangatlah
penting. Keluarga yang bulat adalah keluarga yang tidak terpecah belah.101
Filosofi kue bulan ini dipegang oleh keluarga Nung Atasan dan keluarga
Tionghoa kebanyakan. Bagi masayarakat Tionghoa keutuhan keluarga sangat
penting. Sesama keluarga harus saling menghormati, menyayangi, dan kompak.
Menghormati orang tua merupakan sesuatu yang sangat ditekankan oleh keluarga
Nung Atasana. Keinginan orang tua harus diindahkan dan kewajiban seorang anak
untuk memenuhi keinginan orang tuanya. Rosi pun demikian, ia berusaha
mewujudkan keinginan ayahnya yang sedang sakit, meskipun dengan jalan
99
Babi masak kecap 100
Santosa, Op. Cit. h. 144—145. 101
Clara Ng, Op. cit.,h. 171–172.
98
berbohong. Itu lebih baik menurutnya daripada keinginan ayahnya tidak mampu
ia penuhi, terlihat dalam kutipan berikut.
Roni masih mengusap-usap kepalanya bekas kena gebuk tas. Dia
menelan ludah susah payah.
―aku akan minta bantuan teman untuk berpura-pura menjadi calon
suamiku. Tentu aku tidak akan menikahi dia. Aku akan bilang pada Papa
bahwa kami belum siap menikah karena secara ekonomi kami belom
mapan.‖
…
―Menghina sekali kamu. Pokoknya pasti ada!‖ Sergah Roni keras
kepala. ―Ketiga, aku… eh maksudku, kami… ehm, aku dan calon
suamiku… tentu akan berhenti berakting dengan sempurna sampai Papa
meninggal dengan tenang. Yang penting, Papa mendapatkan apa yang dia
inginkan. Melihat keempat anaknya akan menikah, khususnya aku. Ulangi
aku, oke? Bukan orang lain. AKU!‖102
Dalam kutipan tersebut, terlihat Roni (Rosi) yang berniat untuk
membohongi ayahnya. Ia melakukan kebohongan demi menyenangkan orang
tuanya. Rosi ingin Papanya tenang. Ia tahu ia berbeda, ia tidak mungkin menikahi
laki-laki, tapi demi Papanya ia akan berpura-pura.
Dalam kutipan lain juga terlihat hal tersebut.
―Ini bukan budaya patriarki. Ini budaya Cina. Anak-anak
keturunan Cina diwajibkan menghormati ibu bapaknya. Artinya,
aku harus membuat papaku tenang dan senang. Itu kewajibanku
yang diajarkan mamaku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan papaku.
Feng shui jelek, karma buruk.‖103
Kutipan tersebut menunjukkan budaya Tionghoa yang menghormati
orangtua, budaya menghormati orangtua bukan hanya ada pada budaya Tionghoa
namun, kekuatan budaya ini lebih menekankan penghormatan kepada orangtua,
melalui sistem karma,104
seperti yang tergambar dalam teks di atas. Rosi
bersikeras ingin memenuhi keinginan ayahnya. Dalam tradisi Tionghoa, menyia-
102
Clara Ng., Op. cit., h. 140. 103
Clara Ng, Op. cit., h. 193. 104
Akibat buruk dari melanggar budaya
99
nyiakan orangtua bisa berdampak buruk seperti, mendapatkan nasib sial dan
fengshui yang tidak bagus.
Kembali pada kue bulan, beberapa kutipan di atas menunjukkan makna
filosofis kue bulan. Bulat sempurna seperti bulan, begitulah seharusnya sebuah
keluarga, utuh tidak terpecah belah.
Dalam kebudayaan, kuliner khas Tionghoa dimasukkan dalam tataran
artefak. Bentuk fisik dari makanan tersebut merupakan peninggalan turun-
temurun yang masih dipegang oleh masyarakat Tionghoa, seperti tradisi makan
dimsum.
Penganan dimsum bahkan menjadi judul novel. Dimsum dalam novel
berfungsi sebagai latar sekaligus konflik dalam struktur novel. Tradisi makan
dimsum dalam keluarga Nung Atasana dilakukan setiap pagi imlek sebelum
mereka beraktivitas. Mereka melakukan tradisi ini pada pagi hari karena pada
masa pemerintahan Soeharto segala aktivitas keagamaan dilarang dirayakan dan
anak-anak Tionghoa harus tetap masuk sekolah.
g. Agama
Dalam novel DT ini tidak dijelaskan secara spesifik agama yang dianut
para tokohnya kecuali Novera yang memutuskan untuk memeluk Khatolik,
terlihat dalam teks berikut.
“Kenapa dibaptis?”
“Karena saya ingin jadi Khatolik,” jawab Novera tenang.
Ketenangan itu hasil mengumpulkan keberanian selama berminggu-
minggu. “Menjadi Khatolik harus dibaptis.”105
Kutipan di atas menunjukkan keinginan Novera untuk memeluk Khatolik.
Berbeda dengan keluarganya yang lain yang belum secara spesifik terindetifikasi
agama apa yang mereka anut. Akan tetapi, kita bisa menganalisnya melalui ritual-
ritual keagamaan yang mereka jalankan dan tempat ibadah yang mereka datangi.
105
Clara Ng, Op. cit., h. 70.
100
Seperti yang kita ketahui bersama, Tiongkok adalah sebuah negeri yang
besar. Masyarakatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di negeri rantau
mereka, mereka akan bersinggungan dengan kebudayaan setempat. Terjadilah
akulturasi atau percampuran budaya. Akulturasi ini pun menyinggung ranah
agama dan kepercayaan. Maka dari itu agama orang Tionghoa menjadi beragam,
namun pada umumnya agama orang Tionghoa adalah Sinkretisme.106
Disebut juga
sebagai agama Sam Kao atau Tri Dharma.
Pada zaman Orde Baru di Indonesia agama tersebut tidak diakui sehingga
para pengikut Tri Dharma akan menyebut agama mereka Budha saja. Selain
agama Tri Dharma, masih ada kepercayaan lain yang disebut pemujaan leluhur.
Kepercayaan ini sebenarnya bukan agama, melainkan dasar-dasar dari agama
yang ada di Tiongkok, bahkan juga di seluruh dunia dari zaman dahulu kala
hingga kini.
Hal senada juga dikatakan oleh Novera ketika ia memberikan sebuah
penyangkalan terhadap apa yang disebut agama oleh Siska, terlihat dalam kutipan
berikut.
… “Yang dimaksud dengan agama kita…,” jawab Novera, “…
adalah menghormati leluhur dan patuh pada tradisi Cina. Sejujurnya, ini
tidak dapat disebut agama, Siska, ini adalah…”107
Dalam kutipan di atas, terlihat bahwa agama yang dijalani oleh keluarga
Nung Atasana lebih merupakan tradisi. Memuja leluhur dan aktivitas keagamaan
lainnya yang bersumber pada tradisi Cina seperti Konfusianisme (Konghuchu) ,
Taoisme, dan sebagainya.
Dalam sebuah kutipan, terlihat Siska dan Rosi mendatangi sebuah
kelenteng. kelenteng adalah tempat ibadah pemeluk Khonghuchu. Mereka
mendatangi kelenteng bukan wihara, kelenteng lebih identik dengan agama
106
Campuran dari beberapa agama, seperti Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha
(Perkins dalam Danandjaja). 107
Clara Ng, Op. cit., h. 71.
101
Tionghoa yaitu Khonghuchu (Konfusius) sedangkan vihara adalah tempat ibadah
penganut Buddha dan Tri Dharma108
. Terlihat dalam teks berikut.
Siska mengedarkan pandangan, mengamati bangunan kelenteng
yang memberikannya seribu kenangan. Dulu mereka sekeluarga; Mama,
Papa, dan ketiga adik-adiknya sering berkunjung. Sejak si bungsu Novera
memutuskan menjadi penganut Kristen, kepergian mereka ke sana selalu
tidak pernah terasa lengkap. Tapi untung juga Novera sungguh-sungguh
menepati janjinya. Dia tidak berkeberatan berkunjung ke kelenteng untuk
acara-acara istimewa, seperti Imlek.109
Pada masa pemerintahan Orde Baru, kelenteng-kelenteng yang identik
dengan agama Khonghuchu dipaksa berganti nama menjadi wihara. Ini
disebabkan agama Khonghuchu tidak diakui lagi sebagai agama oleh
pemerintahan Soeharto. Aktivitas keagamaan Khonghuchu dinilai pemerintah
menjadi penghambat proses asimilisi yang tengah gencar digalakan pada masa itu.
Akan tetapi tidak semua kelenteng mau mengganti nama mereka mengingat tidak
hanya penamaan kelenteng saja yang diubah melainkan atribut lain yang sangat
penting juga harus disingkirkan, yaitu patung dewa-dewa mereka harus
disingkirkan dan diganti dengan dewa agama Buddha. Agama Khonghuchu
dianggap menyalahi pancasila sila pertama, di mana disebutkan Tuhan yang Maha
Esa, ke-Esaan Tuhan ini dianggap tidak dijalankan oleh ajaran Khonghuchu yang
memercayai beberapa dewa. Barulah pada pemerintahan Gus Dur, agama
Khonghuchu diakui dan kelenteng-kelenteng dikembalikan fungsinya sebagai
tempat peribadatan agama Khonghuchu.
Dari kutipan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa agama yang dianut
oleh keluarga Nung Atasana kecuali Novera yang memeluk Khatolik adalah
agama Khonghuchu. Ada baiknya peneliti menjelaskan sedikit tentang agama
Khonghuchu tersebut.
108
Tridharma adalah gabungan dari tiga dasar agama Konfusius, Tao, dan Buddha. 109
Ibid., h. 221—222.
102
1) Khonghuchu.
Agama Khonghuchu sudah dikenal di Indonesia sebelum abad ke-19,
tetapi belum berupa sebuah agama yang terorganisasi. Pada tahun 1900 organisasi
orang Tionghoa yang pertama, yaitu Tiong Hoa Hwee Koan, didirikan di Batavia
(Jakarta), memakai agama (ajaran) Khonghuchu sebagai landasan organisasi.
Akan tetapi Tiong Hoa Hwee Koan kemudian berkembang menjadi lembaga
pendidikan dan bergeser dari tujuan semula untuk menyebarluaskan agama
Khonghuchu. Lalu didirikanlah Khong Kow Hwee pada 1918 di Solo. Pada 1923
berbagai organisasi dengan ciri Konfusian110
berkumpul di Yogyakarta untuk
mengadakan kongres. Hasilnya adalah berdirinya Organisasi Umum Khong Kauw
Hwee (Siam Kau Tjong Hwee), dengan markas besar di Bandung. Peristiwa ini
dapat dipandang sebagai asal muasal dari agama Khonghuchu di Indonesia. Pada
masa inilah konsep “Tian” (Langit) sebagai allah dari agama Tionghoa dan
Khonghuchu (Konfusius) sebagai nabi ditetapkan untuk pertama kali.111
Sebenarnya agama Khonghuchu pada awalnya keberadaannya diakui oleh
pemerintahan Soeharto. Pada bulan Agustus 1967 Khong Kau Hwee mengadakan
kongres keenam di Solo, yang dihadiri oleh pejabat-pejabat pemerintah, bahkan
Presiden Soharto dan Jendral A. H. Nasution mengirimkan pesan tertulisnya
mengucapkan selamat dan sukses. Banyak pejabat Negara, termasuk militer,
menghadiri kongres-kongres berikutnya, mendukung agama Khonghuchu. Namun
setelah 11 tahun Rezim Soharto mendukung agama Khonghuchu kemudian
dukungan itu dicabut. Rezim Soeharto Merasa cukup kokoh sehingga tidak
memerlukan lagi dukungan kelompok penganut agama Khonghuchu. Lagi pula
para jendral merasa bahwa agama Khonghuchu adalah penghambat bagi asimilasi
warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Pada akhir 1978, Menteri Dalam
Negeri menerbitkan sebuah surat edaran yang hanya mengakui lima agama, tidak
termasuk Khonghuchu. Pada awal 1979 Kabinet Soeharto juga menerbitkan
110
Sebutan untuk pemeluk Konghuchu. 111
Dikutip dari tulisan Leo Suryadinata dalam buku berjudul Setelah Air Mata Kering
yang dieditori oleh I. Wibowo dan Thung Ju Lan halaman 80.
103
sebuah surat keputusan yang mengatakan bahwa agama Khonghuchu bukan
agama.
Sejak 1979 agama Khonghuchu tidak lagi ditemukan dalam kartu tanda
penduduk orang Indonesia. Para penganut Khonghuchu harus didaftarkan sebagai
pemeluk Buddha. Selain memaksa pemeluk Konghuchu untuk berganti agama
menjadi Buddha, rezim Soeharto juga berusaha mengubah kelenteng menjadi
wihara. W. D. Sukisman, seorang sinolog112
yang bekerja bagi BIN, berpendapat
wihara adalah tempat ibadat bagi pemeluk agama Buddha, kelenteng untuk
penganut agama Khonghuchu dan Tao. Kegiatan di kelenteng meliputi upacara
pengambilan sumpah, menyelenggarakan upacara perkawinan, mengadakan
upacara pengangkatan anak, dan tempat pertemuan organisasi untuk menjaga
kebudayaan Tiongkok. 113
Pada 1990 Menteri Agama menerbitkan sebuah surat edaran, meminta
agar para penganut agama Buddha tidak merayakan hari-hari raya orang Tionghoa
maupun tahun baru Imlek di Wihara karena tidak ada hubungannya dengan agama
Buddha. Hal ini merupakan satu langkah lebih jauh dari munculnya sebuah
kebijakan untuk mengikis unsur Tionghoa dari agama Buddha Indonesia. Dua
tahun sebelumnya (1988), Menteri Dalam Negeri menerbitkan instruksi kepada
pemerintah daerah untuk tidak memberikan izin mengenai tiga hal di bawah ini.
memperoleh hak atas tanah untuk membangun kelenteng, memperluas kelenteng
lama, atau membangun kelenteng baru.114
Ketika Gus Dur menjadi presiden barulah agama Khonghuchu diakui
kembali. Gus Dur menyatakan bahwa agama Khonghuchu adalah agama dan
bahwa pemerintahannya mengakui keberadaan mereka. Dia dan anggota
kabinetnya menghadiri perayaan tahun baru Imlek bulan februari 2000 di Jakarta.
Perayaan yang diorganisasi oleh Matakin115
. Gus Dur juga membatalkan
Keputusan Presiden Nomor 14 tahun 1967 yang melarang orang Tionghoa
112
Sinolog adalah orang yang ahli di bidang sinology yaitu ilmu pengetahuan tentang
kebudayaan dan bahasa Cina. 113
I Wibowo, Ju Lan., Op. cit., h. 85—86. 114
Ibid,. h. 88. 115
Majelis Tinggi Agama Khonghuchu Indonesia.
104
merayakan hari raya mereka di tempat umum. Pada 31 Maret 2000, Menteri
agama Surjadi menerbitkan sebuah instruksi (Nomor 477/805/Sj) yang
membatalkan surat edaran tahun 1978 yang hanya mengakui lima agama, tidak
mengakui agama Khonghuchu. Dengan demikian Negara memberikan pengakuan
kembali kepada agama Khonghuchu setelah rezim Orde Baru runtuh.
Seperti sudah diterangkan di atas bahwa agama orang Tionghoa beragam
karena adanya akulturasi orang-orang Tionghoa perantauan, namun juga sebab
Negara Tiongkok terbuka pada dunia luar sehingga terpengaruh oleh agama-
agama dari barat seperti Khatolik, Protestan dan Islam.
Di atas sudah disinggung mengenai tradisi memuja leluhur yang
dijalankan oleh keluarga Nung Atasana, lebih lanjutnya peneliti akan coba
jelaskan tentang pemujaan leluhur yang kebanyakan dianut oleh orang-orang
Tionghoa.
2) Pemujaan Leluhur
Dorothy Perkins dalam Danandjaja mengatakan bahwa pemujaan leluhur
adalah suatu praktek di mana sebuah keluarga Tionghoa atau klan memberi
sesajian dan memberi hormat kepada leluhurnya, yang arwahnya diyakini berdiam
di lembar papn kayu bertuliskan nama almarhum (lingwei) yang hendak dipuja.
Lembaran papan kayu ini diletakkan di atas altar kuil keluarga. Pemujaan leluhur
merupakan pondasi dari agama rakyat di Tiongkok dan di antara orang Tionghoa
Perantauan di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia tidak peduli apa pun
agama resmi yang mereka anut.116
Sesajian tersebut terdiri dari makanan, arak,
dupa batang (hio), lilin, dan bunga.
Salah satu peranti pemujaan leluhur adalah lembaran-lembaran papan
bertuliskan nama almarhum yang hendak dipuja yang dalam bahasa Tionghoa
disebut lingwei atau papan arwah leluhur. Papan arwah leluhur ini dibuat dari
kayu cendana yang harum baunya berukuran panjang 10-20 inci. Di atas papan
arwah tersebut diukir nama, hari, bulan, dan tahun lahir dari leluhur yang
116
Danandjaja, Op. cit., h. 259.
105
meninggal. Anggota keluarga memanjang papan ini di atas klenteng klannya dan
juga di ruang rumah tinggal mereka sendiri.117
Papan-papan arwah tersebut ditempatkan dalam suatu jajaran, berdasarkan
jauh-dekat hubungan dan generasi dengan keluarga yang memeliharanya.
Anggota keluarga dari suatu rumah akan memberi sesajian harian, berupa tiga
cucin,118
, lilin, teh, dan hio yang dibakar. Asap dari bakaran hio melambangkan
komunikasi yang masih hidup dengan yang telah meninggal.119
Tradisi pemujaan terhadap roh leluhur ini juga dijalankan oleh keluarga
Nung Atasana, di dalam rumah ini terdapat altar tempat pemujaan roh leluhur.
Seperti terdapat dalam kutipan berikut.
Meja sembahyang terlihat jelas di ruang keluarga. Abu jatuh dari
hio yang sedikit lagi habis terbakar, membuat sebagian meja Nampak
kotor. Patung Dewi Kwan Im berdiri anggun di sana, diapit dua api yang
menyala oleh minyak. Seikat bunga krisan berwarna kuning yang
diletakkan di dalam vas tampak sedikit mengering. Di sampingnya, di sana
lah abuku berada.120
Kutipan di atas menunjukkan bahwa di dalam rumah keluarga Nung ada
tempat pemujaan untuk memuja leluhur yang telah meninggal. Hampir di semua
keluarga etnis Tionghoa terdapat altar semacam ini di rumah mereka121
, sebagai
bentuk penghormatan kepada yang telah meninggal dan sebagai suatu tanda
bahwa mereka tidak melupakan orang yang sudah meninggal.
Hal senada juga terlihat pada salah satu kutipan perjalanan yang ditulis
oleh Iwan Santosa.122
PERSEMBAHAN lengkap daging, buah, dan berbagai penganan
serta arak di meja abu menjelang perayaan Imlek merupakan kewajiban
117
Ibid, h. 260. 118
Cangkir kecil 119
Ibid. 120
Clara Ng, Op. cit., h. 15. 121
Seperti yang dilihat sendiri oleh peneliti ketika berkunjung ke rumah salah satu etnis
Tionghoa yang tinggal di daerah elit Serpong. 122
Iwan Santosa adalah wartawan Kompas yang menulis buku Peranakan Etnis Tionghoa
di Nusantara berdasarkan jurnal perjalanan.
106
bagi keluarga Tionghoa sebagai bakti kepada leluhur dan pengucapan
syukur. Namun, hanya sepiring nasi, lima tusuk sate pemberian tetangga,
dan segelas air yang biasa dipersembahkan Encek Ouw Ceng Lim (74) di
meja abu yang terapung di rumah papan sewaan di atas genangan banjir
Kali Angke.123
Sebuah kutipan perjalanan di atas menunjukkan pemujaan terhadap leluhur
ini masih dipertahankan oleh masryarakat keturunan Tionghoa di Indonesia
meskipun dalam keterbatasan ekonomi. Pada dasarnya stereotip masyarakat
Tionghoa adalah golongan orang-orang berada. Bahkan, seringkali kelompok
etnis Tionghoa diasosiasikan dengan perilaku konglomerat hitam yang bersama
pejabat militer sipil menggasak uang Negara.124
Akan tetapi, sesungguhnya tidak
semua orang Tionghoa di Indonesia orang kaya. Orang-orang Tionghoa miskin
masih bisa kita temukan di daerah Tangerang, mereka biasa disebut Cina Benteng
dan berprofesi sebagai petani atau pengayuh becak.
Agama dalam struktur novel sebagai sumber konflik. Keputusan Novera
pindah agama pada awalnya menjadi semacam perdebatan keluarga. Hingga
akhirnya ayahnya memberikan kebebasan pada Novera untuk memeluk agama
yang diyakininya.
Kegiatan memuja leluhur adalah wujud kebudayaan pada tataran aktivitas
diidentifikasikan dengan bersembahyang di depan altar. Kegiatan sembahyang ini
biasanya dilakukan dengan membakar hio dan memberikan sesaji. Dalam tataran
ide kegiatan ini bertujuan untuk menghormati leluhur. Menurut kepercayaan
Tionghoa, orang yang masih hidup tetap bisa menjalin komunikasi dengan orang-
orang yang telah mati.
h. Kelenteng
Kelenteng adalah sebutan kuil orang Tionghoa yang merupakan tempat
ibadah bagi umat Konfusianisme, Taoisme, dan Buddha. Kata kelenteng menurut
123
Santosa, Op. cit., h. 127. 124
Ibid., h. 126.
107
Udi Marhadi dalam Danadjaja, bukan berasal dari bahasa Tionghoa, melainkan
dari Indonesia, karena hanya bisa didapat di Indonesia.125
Orang Indonesia pada umumnya sering memberi nama pada suatu benda
atau mahluk hidup berdasarkan bunyi-bunyi yang dihasilkan. Contohnya jangkrik,
serangga ini dinamai jangkrik karena suaranya yang terdengar
―krikk…kriikk…krikk‖, ini disebut onomatoid. Hukum persamaan bunyi suara ini
juga merupakan sebab timbulnya istilah kelenteng. Saat di kelenteng diadakan
upacara keagamaan, sering dipergunakan genta yang apabila ditabuh akan
berbunyi ―klenting‖, sementara genta besar berbunyi ―klenteeng‖. Maka
berdasarkan bunyi-bunyian itu lah tempat ibadah orang Tionghoa tersebut
dinamai dengan kelenteng.
Dorothy Perkins dalam Danandjaja mengatakan bahwa bangunan-
bangunan sakral tradisional dari para penganut Konfusianisme, Taoisme, dan
Buddhisme banyak didirikan di Tiongkok dan luar Tiongkok, di mana Tionghoa
berimigrasi di sana, khususnya di Asia Tenggara.126
Kelenteng-kelenteng Tionghoa berbentuk bangunan kecil dari yang
sederhana sampai yang kompleks, terdiri dari beberapa anak gedung berkelompok
di suatu halaman, dan dikitari tembok yang dihubungkan dengan jalan-jalan.
bangunan kelenteng ini mempunyai unsur-unsur yang sama dengan arsitektur
sekuler Tionghoa. Sebuah kelenteng terletak dalam suatu halama dikelilingi oleh
dinding dan mempunyai pintu gerbang masuk yang menghadap ke selatan.
Gerbang masuk utamanya terdiri dari tiga lapis yang didirikan di atas permukaan
tanah di atas undakan batu. Pada pintu gerbang itu dilukiskan atau ditempelkan
sepasang gambar dewa penjaga pintu untuk mengusir arwah-arwah jahat. Ruang-
ruang utama pada kelenteng akan dibangun di poros utara-selatan dari pusat
halaman. Bangunan-bangunan tambahan akan didirikan di sebelah timur dan barat
bangunan utama. Kerangka bangunan terbuat dari kayu dengan dinding luar
terbuat dari batu bata. Dinding-dinding bagian dalam terbuat dari kayu atau batu
bata.
125
Danandjaja., Op. cit., h. 449. 126
Ibid., h. 449–450).
108
Dinding bagian dalam dan langit-langit diberi warna-warna cemerlang,
terutama merah, hijau, emas dan hitam. Pilar-pilarnya berwarna merah cemerlang.
Sebuah patung dewa didudukkan di atas singgasana yang berada di ruang tengah
dengan sebuah altar tempat alat-alat keperluan ritual keagamaan. Dewa-dewa
pendamping diletakkan di sebelah kiri dan kanan dewa utama.
Pintu kelenteng selalu dibuka 24 jam. Setiap orang boleh masuk ke
kelenteng kapan saja. Di sana orang bisa berkomunikasi dengan para dewa,
terutama untuk memperoleh nasihat atas masalah pribadi maupun memperoleh
petunjuk atas masalah yang tengah di hadapi dan untuk mengambil suatu
keputusan. Seseorang yang datang ke kelenteng akan melaksanakan ritual
keagamaan yaitu dengan cara membakar hio di depan altar dewa tertentu dan
merunduk beberapa kali kemudian hio tersebut ditancapkan di tempat hio di altar
dewa tersebut, kemudian ia akan membungkuk atau berlutut di muka altar dewa
tersebut. Setelah itu ia menyajikan makanan sesajian, lalu mebakar uang kertas
upacara. Jawaban dari dewa tersebut berupa ramalan, seperti dengan cara
mengocok beberapa batang bambu yang dipasangi kode ramalan. Setelah itu, kode
ramalan pada bambu akan terlontar keluar dari tempatnya lalu kode tersebut akan
dicocokkan dengan kertas yang berisi ramalan. Biasanya di halaman depan
kelenteng ada sebuah bejana besar terbuat dari perunggu yang diisi dengan pasir,
di mana para pemuja menancapkan dupa atau hio yang telah dinyalakan.
Seperti tempat ibadah pada umumnya, kelenteng pun digunakan para
jamaatnya untuk menenangkan diri. Di dalam rumah ibadah itu, umat Buddha,
Tao, Konfusius merasakan kedamaian seperti Siska yang memutuskan pergi ke
kelenteng ketika suasana hatinya sedang gundah. Sama seperti Siska, Rosi pun
mendatangi kelenteng untuk sekadar mengadu kepada dewa-dewa tentang
penatnya hidup. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Kelenteng terletak tidak terlalu jauh dari rumah mereka, hanya
sekitar beberapa belokan jalan. Siska berjalan menyusuri trotoar sambil
menyisir rambutnya dengan jari. Ini penampilan terburuknya selama di
Jakarta. Sebenarnya ide pergi ke kelenteng bukanlah ide yang baik untuk
109
melewatkan malam. Siska meringis sendiri. Dia tidak bisa mengingat
kenapa dia ingin sekali sembahyang.127
Kutipan tersebut menunjukkan Siska yang ingin bersembahyang ke
kelenteng. Penampilannya yang seadanya menandakan suasana hatinya yang
sedang buruk. Kesehatan ayahnya yang makin memburuk dan dirinya sendiri
sedang menghadapi masalah berat dengan perusahaannya di Singapura
membuatnya ingin menenangkan diri di kelenteng.
Rosi pun demikian, pada malam yang sama ia juga berada di kelenteng
yang sama juga. Dengan penampilannya yang maskulin ia terlihat duduk di
halaman sebuah kelenteng yang juga didatangi Siska, terlihat dalam kutipan
berikut.
Rosi sedang merokok di bawah pohon. Asapnya berbentuk bulat-
bulat bergabung dengan asap lainnya. Dia mengerjapkan mata,
menyesuaikan matanya memandang kegelapan pekarangan, mungkin juga
karena terkejut melihat Siska.128
…
Rosi tersadar ketika menatap sekelilingnya penuh rindu. Dia
menyayangi kelenteng tua ini, udara daerah kota yang terpinggirkan,
kenangan masa kecilnya bersama saudari-saudarinya. Dia merindukan
asap hio yang menusuk perih matanya, serta kursi malas plastik yang
penuh bulu kucing di ruang tamu rumahnya. Kerinduan itu membuatnya
lebih stabil.129
Rosi yang tengah merokok di bawah pohon sekitar bangunan kelenteng
menandakan bahwa ada kegelisahan dalam dirinya dan ia berusaha menenangkan
kegelisahannya dengan mengunjungi kelenteng malam itu yang ternyata
saudarinya pun melakukan hal yang sama.
Beberapa kutipan tersebut menunjukkan bahwa kelenteng tidak hanya
digunakan untuk memuja dewa ketika hari raya besar tiba seperti Imlek. Seperti
yang telah dipaparkan di atas tentang kebiasaan orang Tionghoa untuk
bersembahyang meminta petunjuk dan nasihat serta jawaban atas permasalahnnya
127
Clara Ng, Op. cit., h. 221. 128
Ibid., h. 222. 129
Ibid., h. 224—225.
110
dari para dewa, dalam novel ini pun para tokohnya mendatangi kelenteng untuk
melakukan hal yang sama.
Kelenteng dalam struktur novel berfungsi sebagai latar penguat tema
Tionghoa dalam novel ini. Seperti sudah diuraikan sebelumnya, kelenteng dalam
cerita ini dijadikan tokoh-tokohnya sebagai tempat menenangkan diri dan
beribadah.
Kelenteng merupakan perwujudan kebudayaan dalam tataran artefak atau
benda, hasil kebudayaan manusia yang digunakan untuk beribadah oleh kaum Tri
Dharma.
i. Horoskop Cina (shio)
Astrologi Cina menjelaskan sifat-sifat universal dari individu dan Negara
dalam hubungannya dengan tanggal lahir; Astrologi Cina juga membuka
kecenderungan umum tentang tahun ―baik‖ dan tahun ―buruk.‖130
Astrologi Cina berdasarkan kalender bulan, yang dimulai pada masa
Huang Ti (sekitar 2600 SM). Ia membagi waktu menjadi siklus 60 tahun, terdiri
atas 12 tahun (yang berhubungan dengan 12 lambang binatang) dan Lima Unsur.
Jadi 12 x 5 menjadi 60 tahun.131
Menurut legenda, 12 binatang datang mengucapkan selamat tinggal pada
Amitabha Buddha ketika ia naik ke Surga. Binatang ini dalam urutan
kedatangannya adalah tikus, kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing,
monyet, ayam, anjing dan babi. Untuk memperingati kehadiran mereka dalam
kenaikannya ke surga. Buddha memberikakan satu tahun untuk setiap binatang.132
Sejak itu, kedua belas binatang ini menjadi lambang ―Dua Belas Cabang Bumi.‖
Dalam sistem Ganzhi, dan dikenal secara universal sebagai bagian dan satuan dari
kalender Cina.133
Siklus enam puluh tahun didapat dengan menggabungkan dua
belas binatang dengan lima unsur, kayu, api, tanah, logam, dan air. Kedua belas
130
Lilian Too, Penerapan Fengshui, Pa Kua dan Lo shu, (Jakarta. PT Elex Media
Komputindo, 2002), h. 125. 131
Ibid., h. 127. 132
Ibid. 133
Ibid.
111
binatang dibagi menjadi sisi yin (negatif) dan yang (positif) dari cabang bumi.
Kerbau, ular, kelinci, kambing, ayam, dan babi ada di sisi negatif dan dianggap
binatang yin; sedangkan tikus. Macan, naga, kuda, anjing dan monyet ada di sisi
positif dan dianggap binatang yang.134
Seseorang dapat mengetahui usia orang lain hanya dengan mengetahui
Shionya. Kebanyakan orang Cina tidak menanyakan tahun kelahiran, melainkan
shionya. Berdasarkan shio seseorang dapat meramalkan karakteristik dan nasib
seseorang.
Nung Atasana ber-shio monyet, terlihat dalam kutipan berikut.
NUNG dilahirkan pada tahun Monyet, tahun 1932—berdekatan
dengan tahun baru Imlek. Nama yang diberikan oleh ayahnya adalah Tan
Tjin Yung. 135
Bersadarkan kutipan di atas kita bisa melihat shio Nung Atasana adalah
monyet. Selanjutnya kita juga bisa mengidentifiksi karakteristik Nung Atasana
berdasarkan shionya.
Monyet adalah lambang kesembilan dalam Horoskop Cina.
Arahnya adalah BARAT-BARAT DAYA dan ia mewakili bulan agustus.
Musimnya adalah musim panas. Ia adalah tanda positif. Tahun monyet
jatuh pada tanggal berikut.
2 Februari 1908 sampai 21 Januari 1909
20 Februari 1920 sampai 7 Februari 1921
6 Februari 1932 sampai 25 Januari 1933136
25 Januari 1944 sampai 12 Februari 1945
12 Februari 1956 sampai 30 Januari 1957
30 Jauari 1968 sampai 16 Februari1969
16 Februari 1980 sampai 4 Februari 1981
4 Februari 1992 sampai 22 Januari 1993
Orang yang lahir di tahun Monyet menarik dan penuh pesona.
Mereka biasanya dianggap si jenius yang berpikir cepat dan cerdas, bisa
beradaptasi dan banyak akalnya. Orang ber-shio Monyet sangat positif,
sedikit angkuh dan kadang-kadang dipenuhi dengan kepentingan diri
sendiri. Ia juga sangat berpengaruh dan enerjik. Kepribadiannya
134
Ibid., h. 128. 135
Clara Ng, Op. cit., h. 200. 136
Tahun kelahiran Nung Atasana
112
cemerlang, bersinar dan sangat menyenangkan, tetapi jangan pernah
meremehkannya.137
Orang yang ber-shio Monyet digambarkan sebagai pribadi yang menarik
dan mempesona juga menyenangkan. Kita bisa melihat karakter Nung Atasana
juga demikian. Ia seorang yang menarik juga menyenangkan. Orang-orang dibuat
terpesona oleh kepribadiannya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Kenangan Rafy.
...
Aku berdiri menatap Nung dengan pandangan kagum. Jarang
sekali orang sakit bisa membicarakan kematian dengan begitu mudah.
Raut lelaki tua itu terlihat lelah, tapi masih ada pancaran semangat hidup
yang bersinar. Slang oksigen beserta slang-slang lainnya yang mengerikan
tidak membuatnya semakin tidak berdaya.138
…
Aku mendapati wajah itu . wajah yang baru kukenal beberapa hari.
Wajah yang sedang kutatap baik-baik selama dua jam belakangan ini di
rumah sakit. Walaupun aku baru saja berkenalan dengan Nung, ada rasa
yang mengiris-iris hatiku. Rasa yang pasti secara kompak dirasakan oleh
orang lain apabila mereka sedang membicarakan kematian.139
…
―Kematian mengakhiri hidup tapi dia tidak mengakhiri hubungan.
Karena itu sebagai orang Cina, kita harus selalu menghormati leluhur.‖
Air mataku ikutan menetes, tanpa dapat ditahan lagi.
―Selama ada harapan dan cinta, hidup akan berkeriap selama-
lamanya.‖140
Kutipan di atas menunjukkan Rafy yang mengagumi kepribadian Nung. Ia
membicaran tentang kematian dengan ringan. Segala wejangannya diresapi oleh
Rafy dan ia makin terpesona oleh Nung. Sikap dan karakter Nung ini sesuai
dengan shio Monyet yang mempesona dan menarik. Tidak hanya Rafy yang
mengagumi kepribadian Nung, Pastor Antonius juga terpesona oleh Nung. Lelaki
137
Too, Op. cit., h. 152—153. 138
Clara Ng, op. cit. h. 323—324. 139
Ibid., h. 324. 140
Ibid., h. 325.
113
tua itu sesuai dengan shio-nya mampu menarik dan memesona orang lain. Terlihat
dalam kutipan berikut.
Kenangan Antonius
…
Lalu kami berbicara banyak. Entah bagaimana percakapan ini
dimulai, aku tidak mengerti. Kata-kata mengalir bagai air terjun. Aku
mengamti lelaki tua itu lebih saksama dan menyadari betapa
menyenangkan bercakap-cakap dengannya. Jiwaku sedang dahaga,
terpuaskan oleh sentuhan istimewa pada saat itu.141
Jika Nung ber-shio Monyet maka anak-anaknya ber-shio naga. Mereka
lahir bersamaan dan memiliki shio yang sama. Terlihat dalam kutipan berikut.
Empat bayi perempuan dilahirkan prematur tujuh bukan pada tahun
naga.
Bayi-bayi Naga.142
Naga adalah binatang kelima dalam zodiak Cina. Ia melambangkan arah
timur-tenggara dan mewakili bulan April. Musimnya adalah musim semi. Naga
adalah lambang positif.143
Orang yang lahir di tahun naga sering mencerminkan sifat
temperamental, berenergi tinggi, sifat-sifat yang sering digunakan untuk
menggambarkan naga. Mereka juga dianggap berani, kuat dan sombong.
Di Cina, naga melambangkan kaisar, dan karena itu berkonotasi sebagai
kekuatan dan gengsi; naga juga diangggap mahluk langit, satu-satunya
binatang yang bisa terbang tanpa sayap. Naga dilukiskan dalam feng shui
sebagai naga hijau, dan napasnya adalah ch’i kosmis yang penting! Orang
ber-shio naga diharapakan mendapat posisi yang tinggi dalam kekuasaan
dan menikmati kekayaan dan kemakmuran.144
Karakter yang paling sesuai dengan shio naga adalah karakter Siska. Siska
mewakili karakter naga yang temperamental, kuat, dan orang-orang yang berada
141
Ibid., h. 333. 142
Ibid., h. 203. 143
Too, Op. cit., h. 141. 144
Too, Op. cit., h. 142.
114
pada posisi dan kekuasaan yang tinggi. Ia cerdas juga mandiri. Sebagai seorang
wanita karier Siska berkepribadian sesuai dengan shio-nya. Ia pemilik sebuah
perusahaan di Singapura. Terlihat dalam teks berikut.
Yang itu fotonya ketika lulus dari Universitas. Siska lah yang lulus
lebih dulu diantara mereka berempat. Siska-lah satu-satunya yang lulus
dari universitas non-lokal. Di luar negeri. Siska-lah yang mendapat
beasiswa dari National University of Singapore dan nekat pergi merantau
ke Singapura. Sendirian tanpa ada yang menemani.145
Kutipan di atas menunjukkan karakter Siska yang cerdas, mandiri, dan
berani sesuai dengan shio naga yang dimilikinya. Kutipan lain juga menjelaskan
karakter naga pada diri Siska.
“SIAPA BILANG DIA BUKAN ORANG INDONESIA?” DASAR BEGO!!!
OTAK UDANG!”
Siska berdiri gagah sambil mengayunkan tinju ke arah dua lelaki yang
terlihat pendek daripada dirinya. Dua tonjokkan mendarat telak di kepala
sehingga salah satu mereka terjungkir, mencium tanah dengan sempurna.
Satunya lagi terhuyung-huyung ke belakang, nyaris roboh.
“LAGIAN LU PADA NGERTI NGGAK ARTINYA AMOY? TOLOL LU
SEMUA! MAKANYA, JANGAN PANGGIL-PANGGIL NAMA ORANG KALAU
KAGAK NGERTI ARTINYA!”146
Kutipan di atas menunjukkan karakter Siska yang temperamental, sedari
usia sekolah ia sudah menunjukkan karakter ―naga‖nya. Dengan gagah berani,
Siska melawan anak-anak yang mengejek Novera dengan sebutan amoy dan
mengejek Novera bukan orang Indonesia. Siska yang berkarakter pemberani ini,
membela saudarinya yang tengah terdiskriminasi oleh ejekan teman-temannya.
Tidak seperti Novera yang hanya mampu menelan bulat-bulat segala ejekan
teman-temannya, Siska dengan keberaniannya melawan segala macam perlakuan
diskriminatif terhadap dirinya dan saudari-saudarinya yang lain meski harus
berkelahi sekalipun.
145
Clara Ng., Op. cit., h. 114. 146
Ibid., h. 236.
115
Seperti yang sudah dijelaskan, orang dengan shio naga diharapkan
menempati posisi dan kekuasaan yang tinggi, begitu juga dengan Siska terlihat
dalam kutipan berikut.
―Ibu masih di Hong Kong?‖ Tanya Donna.
―Urusan saya sebenarnya sudah selesai di Hong Kong. Tapi saya
belum bisa kembali ke Singapura. Saya harus berada di Jakarta.‖
―Berapa lama Ibu tidak akan berada di kantor?‖ sekali lagi Donna
bertanya takut-takut. Takut salah bertanya. Nanti bosnya yang super
sensitif ini bakalan marah-marah lagi.147
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Siska adalah seorang bos di salah
satu perusahaan di Singapura. Sesuai dengan karakter naga yang diharapkan
menempati posisi dan kekuasaan yang tinggi.
Fungsi shio dalam struktur novel adalah sebagi latar. shio bukanlah suatu
penyebab konflik, hanya mempertegas tema Tionghoa dalam novel ini. Ada dua
tokoh yang memiliki shio berkarakter kuat, yaitu Nung Atasana dan Siska. Nung
ber-shio monyet, sedangkan Siska ber-shio naga.
Konsep shio berada pada wujud kebudayaan dalam tataran ide. Untuk
mengatur siklus tahun dan unsur-unsur bumi, yaitu logam, kayu, api, air, dan
tanah, maka diciptakanlah shio ini.
j. Upacara Pasca-Kematian
Setelah seseorang meninggal ada banyak ritual yang harus dijalankan oleh
anggota keluarga yang meninggal. Kematian dalam tradisi Tionghoa tidaklah
berarti memutus hubungan antara si mati dan keluarganya. Orang Tionghoa masih
memercayai leluhur mereka yang mati bisa diajak berkomunikasi. Untuk itulah di
setiap rumah orang Tionghoa di pasang altar pemujaan untuk leluhur mereka. Di
dalam rumah Nung Atasana, terdapat altar pemujaan di mana abu Anas disimpan
di situ. Terlihat dalam kutipan berikut.
147
Ibid., h. 115.
116
Meja sembahyang terlihat jelas. Abu jatuh dari hio yang sedikit
lagi habis terbakar, membuat sebagian meja tampak kotor. Patung Dewi
Kwam Im berdiri anggun di sana, dia apit dua api yang menyala oleh
minyak. Seikat bunga krisan berwarna kuning yang diletakkan dalam vas
tamak sedikit mengering. Di sampingnya, di sana lah tempat abuku
berada.148
Kutipan tersebut adalah monolog arwah Anas di permulaan novel. Terlihat
bahwa di dalam rumah tersebut ada altar tempat pemujaan. Altar sembahyang ini
sebagai penghubung antara yang mati dan yang hidup. Anggota keluarga secara
rutin mengganti bunga dan sesajian yang diletakkan di meja sembahyang.
Anggota keluarga juga akan membakar hio dan melakukan ritual sembahyang di
depan altar ini.
Setelah orang Tionghoa meninggal dunia ada dua cara yang biasa
dilakukan kepada jenazahnya, yaitu dikremasi atau dikuburkan. Pilihan dikremasi
atau dikuburkan akan disesuaikan dengan kesepakatan keluarga atau menurut
wasiat orang yang meninggal sebelum ia meninggal.
Nung Atasana sebelum meninggal berwasiat kepada anak-anaknya bahwa
kelak jika meninggal, ia ingin jenazahnya dikremasi. Hal ini dapat kita lihat lewat
teks berikut.
Aku tahu, Nung ingin dikremasi jika dia meninggal nanti. Dia telah
mengatakannya dengan jelas kepada Novera. Kremasi adalah tindakan
terbaik. Banyak orang Cina yang melakukan kremasi.149
Dorothy Perkins dalam Danandjaja menjelaskan bahwa pemakaman dalam
bahasa Tionghoa adalah zangli atau tsangli; atau pintsang. Upacara pemakaman
jenazah pada orang Tionghoa adalah dengan maksud menjamin agar kerabatnya
yang wafat dapat menuju ke dunia arwah dengan lancar serta mendapatkan tempat
yang pantas di dunia sana.150
148
Ibid., h. 15. 149
Clara Ng, Op. cit., h. 323. 150
Danadjaja, Op. cit., h. 347.
117
Lebih jauh dijelaskan dalam buku tersebut bahwa upacara pemakaman
tradisional Tionghoa sangat rumit, berisikan kegiatan-kegiatan simbolik yang
bertujuan untuk melindungi anggota kerabat yang masih hidup agar tidak
terkontaminasi oleh pengaruh jahat.
Pada upacara pasca kematian, anggota keluarga diharuskan memakai
pakaian yang terbuat dari kain blacu atau karung goni, dan meratap atau menangis
dengan suara keras. Hal ini menunjukkan suasana berduka dan kesedihan yang
mendalam para anggota keluarga yang ditinggalkan.
Pada upacara pasca kematian Nung Atasana, anak-anaknya diharuskan
mempersiapkan upacara yang panjang dan lengkap. Terlihat dalam teks berikut.
Kematian bagi orang Cina merupakan acara yang tidak dapat
begitu saja dilewati secara sederhana. Upacara super lengkap harus
diadakan untuk menghormati orang yang meninggal. Apalagi orang yang
meninggal itu orang yang dituakan dalam posisi keluarga. Dituakan berarti
dihormati.151
Kutipan tersebut menunjukkan akan adanya upacara kematian yang
lengkap yang akan dilaksanakan oleh anak-anak Nung Atasana. Posisi Nung
Atasana sebagai kepala keluarga sekaligus orang yang dituakan pada kematiannya
harus diadakan upacara yang semestinya. Upacara ini tidak main-main, dilakukan
selama beberapa hari dengan beragam ritual yang melelahkan. Perhatikan kutipan
berikut.
Ternyata mempersiapkan upacara kematian itu sama repotnya
dengan membangun gedung bertingkat.152
…
Tanggal baik untuk menentukan upacara pembakaran segera dicari.
Berdasarkan kalender Cina.
Masih ada enam hari menuju hari itu.
Enam hari yang akan diisi dengan deretan doa, penghormatan, dan
pantangan untuk melakukan hal duniawi.153
151
Clara Ng, Op. cit., h. 340. 152
Ibid.,h. 342. 153
Ibid., h. 343.
118
Selama masa berkabung, anggota keluarga benar-benar terkuras tenaganya
untuk melaksanankan beragam ritual upacara kematian ini. Ada konflik yang
terjadi manakala Rosi diposisikan sebagai anak lelaki keluarga ini. Seperti sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa Rosi adalah seorang transgender. Pada salah satu
ritual yang dijalankan ketika upacara kematian disebutkan bahwa yang harus
membawa bendera adalah anak laki-laki, namun seperti kita ketahui bahwa Nung
Atasana tidak memiliki anak laki-laki maka Rosi yang transgender itu diusulkan
oleh Siska untuk membawa bendera, terlihat dalam teks berikut.
“Pertanyaannya siapa yang akan membawa bendera?”
“Roni,” jawab Siska singkat. Dia sudah mempersiapkan jawaban
itu sejak lama.
Indah dan Novera terdiam. Mereka tahu mengapa Siska menjawab
seperti itu.
“Aku tidak keberatan.” Novera memandang kedua saudarinya
bergantian. Tatapan menjadi ragu. “Tapi memangnya boleh?” aku
khawatir nanti akan membuat heboh keluarga. Belum lagi komentar pedas
tentang karma yang buruk atau feng shui (sic!) yang tidak
menguntungkan. Gimana kalau benar-benar terjadi?”
“Terjadi apa?”
“Karma yang buruk.”154
Berdasarkan kutipan tersebut, kita bisa melihat adanya perdebatan antara
mereka berempat. Siska mengusulkan agar Roni (Rosi) lah yang membawa
bendera karena Siska sudah mengakui eksistensi Roni sebagai anak laki-laki Nung
Atasana. akan tetapi Novera dan Indah masih ragu-ragu, mereka takut pandangan
buruk kerabat mereka dan karma yang mungkin saja terjadi. Namun, keputusan
sudah bulat, Roni (Rosi) lah yang akhirnya membawa bendera. Perhatikan teks
berikut.
Demikianlah, Roni yang mengarak bendera di tengah serbuan
pertanyaan dari pihak keluarga. Berdiri di samping Siska, dia
menggenggam bilah bambu erat-erat. Pada sembahyang pertama,
napasnya nyaris tercekat. Punggungnya pasti ditatap heran oleh puluhan
154
Ibid., h. 346.
119
keluarga besarnya. Pertama, dia memegang bendera. Kedua, dia
menggunakan pakaian duka laik-laki.155
Berdasarkan kutipan tersebut, kita bisa melihat bahwa akhirnya yang
membawa bendera adalah Roni (Rosi). Rosi sadar dirinya tengah berada dalam
pandangan aneh keluarganya bahkan mungkin cemoohan. Ia grogi. Ia menyadari
perbedaanya akan menjadi pertanyaan besar di kalangan keluarganya. Mereka
mungkin saja akan bertanya-tanya kenapa Rosi membawa bendera dan mengapa
Rosi memakai pakaian duka laki-laki. Show must go on, Rosi terus saja dengan
jalannya.
Upacara kematian Nung atasana seolah menjadi puncak pengakuan bagi
Rosi. Ia berusaha menunjukkan dirinya yang transgender dihadapan keluarga
besarnya. Dukungan dari Siska seolah menguatkannya. Pada saat ini lah Rosi
berdiri tegak di atas dirinya sendiri. Rosi telah keluar dari cangkanngya, pada
upacara kematian ayahnya ia seolah membaptis dirinya sendiri sebagai Roni.
Perhatikan teks berikut.
Rosi hio mengepul di udara. Wangi, masuk menyelinap di hatinya.
Suara kerencengan berbunyi bagai lagu di telinga. Nyanyian aneh
berbahasa asing mendayu sempurna. Tang-tung. Tang-tung. Tang-tung.
Roni rebah, kepalanya serata tanah. Ini peristiwa istimewa. Ini orchestra
tentang pengakuan atas sesksualitasnya. Masa bodoh apa kata orang-
orang.
Dia anak lelaki papa. Seutuhnya. Satu-satunya.156
Pada titik ini, Rosi sudah lengkap bermetamorfosis sebagai Roni. Ia telah
mengambil posisi dalam hidupnya sendiri. Ia telah memberitahukan pada dunia
perbedaannya pada upacara kematian ayahnya.
Selain ritual di atas, segenap kerabat yang meninggal juga membakar
uang-uangan dari kertas dan beberapa perabotan rumah tangga, kendaraan, dan
lain sebagianya yang terbuat dari kertas minyak atau kertas joss (joss paper).
Terlihat dalam kutipan berikut.
155
Ibid., h. 348. 156
Ibid., h. 348.
120
Beberapa pihak keluarga masih melanjutkan membakar uang-
uangan dan emas-emasan yang terbuat dari kertas harus dibakar agar
almarhuma cukup mendapat ―dana‖ dalam perjalanan menuju nirwana. 157
…
Di dalam ruangan, telah tersedia rumah-rumah besar dari kertas. Di
dalamnya ada perabotan lengkap. Ada mobil-mobilan. Motor. Ponsel.
Televisi. Bahkan DVD player. Semuanya terbuat dari kertas minyak,
dengan tongkat-tongkat bambu kecil untuk membentuk benda-benda
tersebut agar terlihat sempurna. Semakin kaya seseorang, semakin banyak
benda-benda materi yang bisa dibakar.158
Kutipan di atas menunjukkan tradisi orang Tionghoa ketika melakukan
upacara kematian salah satunya adalah membakar uang-uangan dan berbagai
perabotan yang terbuat dari kertas minyak atau kertas joss. Kertas joss (joss
paper, Perkins dalam Dananjaja) adalah kertas-kertas yang dicetak seperti uang,
pakaian, makanan, serta barang kebutuhan lain. Barang-barang ini akan dibakar
dalam upacara pemakaman Tionghoa dengan maksud agar orang yang meninggal
dapat memiliki bekal dalam perjalanannya atau ketika bermukim di dunia sana.
Upacara pasca kematian yang dijalani oleh anak-anak Nung Atasana,
ketika Nung meninggal menimbulkan konflik ketika mereka harus menentukan
siapa yang membawa bendera. Menurut aturan, yang harus membawa bendera
adalah anak laki-laki yang meninggal dunia, namun Rosilah yang akhirnya
membawa bendera tersebut. Berdasarkan analasis tersebut, fungsi upcara pasca
kematian ini pada struktur novel adalah sebagai konflik, bukah hanya sebagai latar
yang menguatkan tema novel ini.
Kebudayaan terbagi menjadi tiga unsur, yaitu tataran ide, aktivitas dan
bentuk fisiknya atau artefak. Untuk upacara pasca kematian ini kita bisa
memisahkan tataran idenya yaitu, penghormatan terhadap leluhur dan bentuk
bakti kepada orang tua. Selama upacara pasca kematian ada beragam aktivitas
yang dilakukan anak-anak Nung Atasana, mulai membakar uang-uangan sampai
proses pengkremasian. Hal ini termasuk dalam tataran aktivitas. Setelah
157
Ibid., h. 352. 158
Ibid.
121
dikremasi, abu si mati disimpan dalam altar pemujaan atau dalam rumah abu. Hal
ini termasuk dalam tataran artefak.
Perhatikan kutipan berikut.
Tanggal baik untuk menentukan upacara pembakaran segera dicari.
Berdasarkan kalender Cina. masih ada enam hari menuju hari itu.
Enam hari yang akan diisi dengan deretan doa, penghormatan, dan
pantangan untuk melakukan hal-hal duniawi.159
C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di SMA
Kebijakan kurikulum pendidikan di Indonesia yang menggabungkan
pelajaran bahasa Indonesia dengan sastra membuat pelajaran sastra seolah
dianaktirikan. Nasib mata pelajaran yang tidak memiliki porsinya sendiri bisa
ditebak, diajarkan dengan kurang serius dan sambil lalu. Porsi yang sedikit ini
(kurang lebih 25% dari keseluruhan muatan pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia) seharusnya digunakan dengan ekstra maksimal. Namun, tidak semua
guru bahasa memiliki skill yang cukup mumpuni dalam mengajarkaan sastra di
kelas sehingga kadangkala pelajaran ini dihindari oleh guru yang tidak cakap
tersebut.
Peran guru sebagai eksekutor sangat besar, mengajarkan sastra kepada
anak didiknya selain kewajiban, lebih daripada itu tanggung jawab moral. Tidak
dapat dipungkiri bahwa sastra mampu membantu siswa menemukan dirinya,
membantu pembentukkan wataknya.
Sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia, sudah sepatutnya memberikan
materi ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa-siswanya. Pelajaran sastra di
sekolah mempunyai posisi yang strategis sebagai pembentuk kepribadian dan
moral siswa. Guru yang kreatif dan cerdas akan memilihkan karya-karya yang
baik secara mutu karya dan sesuai dengan kebutuhan siswa juga sesuai dengan
kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah.
Mempelajari kebudayaan adalah suatu pengalaman menarik bagi siswa.
Siswa akan mendapat pengetahuan baru terkait kebudayaan yang akan diajarkan.
159
Clara Ng, Op. cit., h. 342.
122
Mempelajari kebudayaan tidak melulu melalui datang ke museum atau membaca
buku sejarah. Kita bisa memberikan pelajaran kebudayaan kepada siswa melalui
novel. Siswa akan lebih mudah memahami kebudayaan-kebudayaan yang
disamapikan dalam novel karena bahasa dan unsur cerita yang menarik. Belajar
kebudayaan menjadi pengalaman yang menyenangkan ketika disampaikan dengan
santai namun serius dalam suasana kelas yang hangat dan bersahabat.
Stimulus yang tepat akan menghasilkan respon yang tepat. Rangsang dan
arahkan siswa untuk membaca dan memahami secara mendalam novel yang
diberikan kepada mereka.
Bimbing siswa ke ―tempat‖ yang kita tuju, yaitu ranah kebudayaan
Tionghoa yang terdapat dalam novel Dimsum Terakhir. Novel ini berisikan
kebudayaan Tionghoa yang menarik untuk dibahas di kelas. Karakter bangsa yang
diharapkan akan tumbuh setelah mempelajari novel ini adalah sikap toleransi,
saling menghargai, dan sikap empati yang tinggi. Tumbuhkan semangat
menghargai perbedaan di kalangan siswa. Tumbuhkan rasa mencintai sesama
anak bangsa tanpa membedakan suku, agama, dan hal-hal yang berbau rasis
lainnya. Kembangkan jiwa-jiwa toleran pada anak-anak. Beri karya yang ada
relevansinya dengan kehidupan mereka. Jangan beri jarak pada karya, libatkan
siswa.
Novel Dimsun Terakhir cocok diajarkan di tingkat SMA. Di saat usia
mereka sudah cukup untuk memahami persoalan sosial dan mampu berpikir serta
bertindak kritis. Novel ini sarat akan kebudayaan Tionghoa dan hal positif dari
kebudayaan itu sendiri serta keunikan-keunikan dan nilai-niai yang terkandung
dalam kebudayaan tersebut.
Hal ini sesuai dengan kurikulum sastra berkarakter di tingkat SMA. Siswa
diajarkan untuk menganalisis nilai intrinsik dan ekstrinsik suatu karya sastra novel
Indonesia maupun novel terjemahan. Dipilihnya novel Dimsum Terakhir sebagai
bahan ajar bukanlah tanpa alasan. Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa
novel ini sarat akan kebudayaan Tionghoa, tentu saja membuat novel ini memiliki
keunggulan jika dijadikan bahan ajar. Siswa sekaligus akan mendapat
pengetahuan baru tentang kebudayaan Tionghoa. Seperti kita ketahui bersama,
123
keberadaan etnis Tionghoa masih menjadi problema di mana etnis minoritas ini
sampai sekarang pun masih mengalami tindakan rasis dari mayoritas ―pribumi‖.160
Dengan membaca dan memahami novel ini, diharapkan siswa mampu
ambil bagian dalam menyikapi persoalan etnis Tionghoa di Indonesia sehingga
mereka tidak ikut-ikutan bertindak rasis terhadap mereka. Lebih jauh mereka
mampu menularkan pengetahuannya kepada masyarakat sehingga masyarakat
juga lebih perhatian terhadap persoalan sosial ini.
160
Baca Benny G. Setiono. Tionghoa dalam Pusaran Politik dan Leo Suryadinata.
Dilema Minoritas Tionghoa.
124
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Novel Dimsum Terakhir berlatar kehidupan etnis Tionghoa pascapecah
reformasi 1998. Pada era tahun 2000-an ini, pemerintah Indonesia sudah
menghapuskan beberapa peraturan kontroversial dan berbau rasisme terhadap
etnis Tionghoa. Akan tetapi, perilaku rasis masih kerap terjadi kepada etnis
Tionghoa. Novel ini mencerminkan kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia pada
tahun 2000-an dengan beragam kebudayaan yang masih dipertahankan oleh
tokoh-tokohnya.
Berdasarkan penelitian, unsur intrinsik yang terdapat dalam novel ini
antara lain, 1) tema, 2) alur, 3) sudut pandang, 4) latar, 5) tokoh dan penokohan,
6) gaya bahasa. Unsur intrinsik adalah unsur pembangun yang berada di dalam
karya dan memiliki keterkaitan dengan penelitian tentang kebudayaan Tionghoa
yang akan dibahas selanjutnya. Berdasarkan penelitian dalam novel, terdapat
beragam kebudayaan Tionghoa yang masih dipertahankan oleh tokoh-tokoh di
dalamnya dan kebudayaan tersebut juga memengaruhi pola hidup mereka. Di
antara banyaknya kebudayaan yang terkandung dalam novel, peneliti telah
memilih kebudayaan-kebudayaan yang paling sering muncul dalam cerita dan
memiliki makna yang penting bagi tokoh-tokohnya. Kebudayaan tersebut juga
dikelompokkan berdasarkan wujud kebudayaannya.
1. Kebudayaan Tionghoa yang Terkandung dalam Novel
a. Imlek
Imlek atau perayaan datangnya musim semi merupakan hari raya paling penting
dalam kalender lunar etnis Tionghoa. Imlek dirayakan oleh seluruh etnis Tionghoa
di dunia apa pun agamanya. Pada hari raya Imlek, seluruh keluarga akan
berkumpul. Perayaan Imlek menunjukkan semangat kekeluargaan yang kental dan
125
Novel Dimsum Terakhir yang bertemakan keluarga beberapa kali menyinggung
soal Imlek ini. Dalam wujud kebudayaan, Imlek termasuk dalam tataran ide dan
aktivitas.
b. Cap go
Cap go adalah tanggal kelima belas penanggalan lunar, puncak dari perayaan
Imlek. Dalam wujud kebudayaan, cap go termasuk dalam tataran ide dan
aktivitas.
c. Feng shui
Kehidupan orang Tionghoa dijalani berdasarkan fengshui. Ilmu fengshui ini
diterapkan dalam setiap sendi kehidupan mereka. Tempat tinggal, kantor, toko dan
bangunan lainnnya dibangun berdasarkan fengshui. Hari-hari besar seperti
pernikahan ditentukan juga berdasarkan fengshui. Dalam wujud kebudayaan, feng
shui termasuk dalam tataran ide, aktivitas, dan artefak.
d. Penanggalan
Untuk menentukan hari raya etnis Tionghoa masyarakat menggunakan
penanggalan atau kalender Cina. Penanggalan ini berdasarkan peredaran bulan
maka biasa di sebut penaggalan lunar. Dalam wujud kebudayaan, penanggalan
termasuk dalam tataran ide dan artefak.
e. Pengobatan Tradisional
Pengobatan tradisional Tionghoa terkenal sampai ke manca Negara. Pengobatan
tradisional Cina menggunakan bahan alami dan sudah dipercaya keampuhannya.
Dalam wujud kebudayaan, pengobatan tradisional termasuk dalam tataran ide,
aktivitas, dan artefak.
f. Makanan khas Tionghoa
Ada begitu banyak makanan khas Tionghoa namun, makanan yang paling sering
disebutkan dalam novel adalah dimsum, daging babi, dan kue bulan. Dalam wujud
kebudayaan, makanan khas Tionghoa termasuk dalam tataran artefak.
g. Agama
Kebanyakan etnis Tionghoa masih memegan tradisi pemujaan leluhur dan agama
yang mereka anut kebanyakan adalah Konghuchu (Konfusius), Tao, dan Buddha.
Agama lain seperti Khatolik, Protestan, Hindu, dan Islam pun di anut oleh etnis
126
Tionghoa. Dalam wujud kebudayaan, agama termasuk dalam tataran ide dan
aktivitas.
h. Kelenteng
Kelenteng adalah rumah ibadah TriDharma etnis Tionghoa. Dalam wujud
kebudayaan, kelenteng termasuk dalam tataran artefak.
i. Horoskop Cina (shio)
Shio dilambangkan dengan 12 binatang yaitu tikus, kerbau, macan, kelinci, naga,
ular, kuda, kambing, monyet, ayam, dan babi dan 5 unsur alam yaitu kayu, api,
tanah, logam, dan air. Tahun 2014 diwakili oleh shio kuda elemen kayu. Dalam
wujud kebudayaan, shio termasuk dalam tataran ide.
j. Upacara pasca kematian
Upacara pemakaman orang Tionghoa sangat panjang dan rumit. Dilaksanakan
selama 7–49 hari dengan beragam ritual simbolik. Dalam wujud kebudayaan,
upacara pasca kematian termasuk dalam tataran ide, aktivitas, dan artefak.
2. Wujud Kebudayaan
Jika dirangkum, wujud kebudayan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir
akan terlihat seperti di bawah ini.
a. Dalam Tataran Ide
1) Imlek
2) Cap go
3) Feng shui
4) Penanggalan
5) Obat tradisional Tiongkok
6) Agama
7) Shio
8) Upacara pasca-kematian
b. Dalam Tataran Aktivitas
1) Imlek
2) Cap go
127
3) Feng shui
4) Obat Tradisional Tiongkok
5) Agama
6) Upacara pasca-kematian
c. Dalam Tataran Artefak
1) Penanggalan
2) Obat Tradisional Tiongkok
3) Makanan/kuliner Tradisional Tiongkok
4) Kelenteng
5) Upacara pasca kematian
3. Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
SMA
Adapun implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesai di
sekolah adalah siswa dapat mempelajari kebudayaan Tionghoa melalui novel
Dimsum Terakhir ini dan diharapkan siswa tumbuh jiwa saling menghargai
terhadap sesama dan tumbuh pula sikap anti diskriminasi dalam diri siswa.
B. Saran
Ada beberapa saran yang ditujukan kepada pembaca dan peneliti lainnya
yang ingin meneliti kebudayaann Tionghoa, saran itu antara lain sebagai berikut.
1. Novel Dimsum Terakhir dapat dipilih sebagai alternatif dalam
mengajarkan pelajaran sastra di sekolah karena konten kebudayaan
Tionghoa sarat terdapat dalam novel ini. Jika dikaitkan dengan silabus
mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA, novel Dimsum Terakhir cocok
diberikan untuk siswa kelas XI SMA. Silabus Bahasa Indonesia di SMA
kelas XI berisi standar kompetensi berupa memahami berbagai hikayat,
novel Indonesia/novel terjemahan. Standar kompetensi tersebut berisi
kompetensi dasar yang relevan dengan penelitian ini, yakni menjelaskan
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan.
128
2. Bagi peneliti yang ingin meneliti kebudayaan ataupun konflik etnis
Tionghoa diharapkan mampu menganalisis kebudayaan dengan
perasangka yang baik dan tidak memihak atau mampu bersikap netral.
Kenentralan sangat penting dalam meneliti, agar kita sebagai peneliti
mengedepankan kejujuran bukan hanya impresi-imperesi pribadi yang
tidak mendasar.
129
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra. Ciputat: Editum, 2009.
Danandjaja, James. Folklor Tionghoa: Sebagai Terapi Penyembuh Amnesia
terhadap Suku Bangsa Tionghoa. Jakarta. Grafiti, 2007.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori,
dan Aplikasi. Yogyakarta. CAPS, 2013.
Endraswara, Suwardi. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi,
Epistemologi, dan Aplikasi. Tangerang: Pustaka Widyatama, 2006.
Endraswara, Suwardi. Teori Pengkajian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: UNYpress,
2012.
Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Fairservis, Walter A, Jr. Asal-usul Peradaban Orang-orang Jawa dan Tionghoa.
Surabaya. Selasar Publishing, 2009.
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Hermawan, Sainul. Tionghoa Dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: IRCiSold,
2005.
Iskandarwassid, Dadang suhndar. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung:
Rosda. 2011.
Keraf, Gorrys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia, 2008.
Koentjaraningrat. Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.
Jakarta.Gramedia, 2008.
Lilian Too. Penerapan Feng Shui Pa kua dan Lo Shu. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2002.
Meij, Lim Sing, Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa: Sebuah Kajian
Pascakolonial. Jakarta: Yayasan Obor, 2009.
Ng, Clara. Dimsum Terakhir. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
UniversityPress, 2005.
Philip Cheong& S. L. Ang. Ajaran Leluhur Tabu-Tabu China: Kumpulan Tabu
& Kepercayaan. Jakarta: Yayasan Karaniya, 2010.
130
Prasetyadji. Semangat Perjuangan Peranakan Idealis: Merintis jalan menuju
kesetaraan dan penyesuaian kewarganegaraan etnis Tionghoa sejak tahun
1945. Jakarta. Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa, 2011.
Prasetyo, Joko Tri. Tanya Jawab Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta,
2000.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1992.
Rampan, Korrie Layun. Aresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir. Jakarta: bukupop,
2009.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme
Hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar, 2007.
Rosyidi, M. Ikhwan dkk. Analisis Teks Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Santosa, Iwan. Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari
Barat
ke Timur. Jakarta: Kompas, 2012.
Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia, 2008.
Suryadinata, Leo. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002.
Jakarta. LP3ES, 2005.
Suryadinata, Leo. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti, 1984.
Suryadinata, Leo. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga
Rampai 1965-2008. Jakarta. Kompas, 2010.
Tan, Mely G. Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Jakarta. Yayasan
Obor Indonesia, 2008.
Thung Jul an & I. wibowo. Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa
Pasca Peristiwa Mei 1998. Jakarta. Kompas, 2010.
Tregear, Mary. Chinese Art. Slovenia. Mladinska Knjiga 1995.
Wellek, Rene & Austin Warren. Teori Kesustraan: Diindonesiakan oleh Melani
Budianta. Jakarta: PT Gramedia, 1989.
Widagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Wiranata, I Gede A. B. Antropologi Budaya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2011.
Yusuf, Tedy. Sekilas Budaya Tionghoa di Indonesia (ebook). Jakarta: Buana Ilmu.
2000.
131
Lampiran 1
A. Sinopsis
Dimsum Terakhir berkisah tentang empat orang gadis kembar keturunan
Cina anak dari pasangan Nung Atasana dan Anas. Mereka ialah Siska, Indah,
Rosi, dan Novera. Siska anak yang paling pertama lahir, diikuti oleh Indah, Rosi,
dan terakhir Novera. Mereka hidup terpisah-pisah ketika dewasa sesuai dengan
pekerjaan mereka masing-masing. Siska tinggal di Singapura ia bos dari sebuah
perusahaan di sana. Indah tinggal di Jakarta, ia bekerja sebagai wartawan. Rosi
tinggal di Puncak, ia seorang petani mawar. Novera tinggal di Jogja, ia bekerja
sebagai guru TK.
Suatu ketika mereka berempat mendapat kabar bahwa ayah mereka, Nung
Atasana, kena stroke, hal ini memaksa mereka untuk berkumpul kembali untuk
merawat ayah mereka yang tinggal di kawasan Kota. Ibu mereka sudah meninggal
sehingga Nung tinggal sendirian di rumah. Akan tetapi sebagian dari mereka
merasa keberatan jika harus tinggal di Jakarta karena pekerjaan mereka yang tidak
bisa ditinggal begitu saja. Indah yang tinggal di Jakarta berinisiatif untuk
mengumpulkan mereka berempat untuk tinggal di rumah masa kecil mereka. Ide
ini awalnya ditolak oleh Siska, Rosi, juga Novera. Mereka beralasan tidak bisa
meninggalkan pekerjaan mereka. Akan tetapi Indah meyakinkan bahwa
berkumpulnya mereka kembali demi ayah mereka.
Mereka akhirnya berkumpul kembali dalam satu rumah. Siska
meninggalkan perusahaannya. Rosi meninggalkan mawar-mawarnya, dan Novera
meninggalkan murid-muridnya untuk sementara sampai waktu yang tidak
ditentukan. Kehidupan baru mereka dimulai. Satu persatu kehidupan pribadi
mereka terbongkar. Siska tersangkut masalah dengan kliennya di Hongkong. Ia
dituduh melakukan pelacehan seksual oleh Michael kliennya. Bermula dari Siska
yang melanggar sumpahnya sendiri untuk tidak tidur dengan kliennya, Siska tidur
dengan Michael yang notabene adalah kliennya. Hal ini memunculkan masalah
buat Siska di hari-hari berikutnya. Siska dilaporkan Michael atas tuduhan
pelecehan seksual. Michael dengan licik memanfaatkan momentum perusahaan
132
Siska yang tengah ditimpa masalah untuk mengambilkan keuntungan dari
kasusnya. Tidak tanggung-tanggung Michael menuntut 200 juta dollar Singapura
kepada Siska.
Indah terlibat masalah percintaan dengan seorang pastor. Cinta terlarang
ini membuahkan janin di tubuh Indah. Indah dalam pilihan sulit untuk
memperthankan atau mengugurkan janinnya mengingat ayah dari anak yang
dikandung Indah adalah seorang pastor yang tidak mnungkin bertanggung jawab
dengan menikahi Indah.
Rosi sejak kecil memiliki perbedaan dengan saudari-saudarinya. Ia tidak
menyukai segala sesuatu yang identik dengan perempuan. Ia tidak suka pakai bra
dan rok. Ia lebih suka pakai celana dan kaos. Sifatnya seperti lelaki. Ketika
beranjak remaja orientasi seksnya berubah haluan. Rosi tidak menyukai laki-laki,
ia menyukai perempuan. Dirinya makin tertekan dengan kenyataan ini. Rosi
merasa berada pada tubuh yang salah. Dia seharusnya bukan seorang perempuan
melainkan laki-laki. Pada saa-saat kritis inilah muncul sosok Roni dalam
tubuhnya. Roni mengambil alih tubuh dan pikiran Rosi.
Novera bayi yang paling terakhir lahir dan bayi yang paling lemah. Ia
tumbuh dengan lambat. Ia gadis yang lembut dan penyayang. Musibah
menghampirinya ketika beranjak dewasa. Ia harus merelakan rahimnya diangkat
karena kista ganas yang bersarang di rahimnya. Kehidupan Novera makin
melambat. Ia ditinggalkan begitu saja oleh kekasihnya, Ia kehilangan kepercayaan
dirinya. Novera mencoba berlari menghindari kehidupan dengan jalan menjadi
biarawati. Namun, keputusan tersebut ditentang keras oleh saudari-saudarinya.
Berkumpulnya mereka kembali dalam rumah membuat kehidupan pribadi mereka
perlahan-lahan terkuak. Rahasia yang mereka pendam dalam-dalam satu persatu
muncul ke pemukaan. Ayah mereka pun mulai menyadari adanya sesuatu yang
janggal. Sebelum meninggal ia ingin melihat anak-anaknya berkeluarga. Akan
tetapi, hal ini sangat sulit dikabulkan oleh keempat anaknya. Pernikahan bagi
mereka berempat rasanya sulit untuk terwujud.
133
B. Biografi Clara Ng1
Clara Ng adalah nama pena dari Clara Regina Juana. Lahir pada tahun
1973 di Jakarta, anak pertama dari pasangan W. Atmadjuana dan Sri Angela
Darjanus. Clara lulus dari SMA Bunda Hati Kudus di tahun 1992 dan melanjutkan
pendidikannya ke Amerika. Dia memulai kuliahnya di universitas swasta Ohio
Dominican College lalu diterima di salah satu universitas negeri terbaik di
Amerika, Ohio State University jurusan Interpersonal And Organizational
Communication. Lulus dengan gelar utama Bachelor of Arts dan minor di
Linguistik.
Clara menghabiskan tujuh setengah tahun di Amerika sebelum
memutuskan pulang kembali ke Indonesia di tahun 1999. Pekerjaan pertamanya di
Indonesia adalah membangun departemen Human Resources di perusahaan
shipping Korea, Hanjin Shipping.
Pada tahun 2000, penyakit kekentalan darah yang dideritanya membuatnya
kehilangan bayinya yang pertama. Peristiwa ini membuatnya terpukul. Ia
diharuskan istirahat total dan ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Setelah
berhenti bekerja ia jadi memiliki waktu banyak untuk menulis. Novel pertamanya
adalah Tujuh Musim Setahun terbit pada 2002. Novel ini mendapat sambutan yang
cukup baik sehingga beberapa kali cetak ulang. Pertengahan 2004 ia menerbitkan
novel keduanya, Blues yang merupakan buku pertama dari trilogi Indiana
Chronicle.
Selain menulis novel dewasa, Clara Ng juga menulis buku anak.
Kecintaannya kepada anak-anak dan keperihatinanya terhadap minimnya buku
anak di Indonesia mendorongnya untuk menulis buku anak yang bermutu. Seri
buku anak-anak yang ditulisnya adalah Berbagi Cerita Berbagi Cinta yang terdiri
dari tujuh buku. Salah satu buku dalam seri ini mendapat penghargaan Adikarya
Ikapi tahun 2006 yaitu Gaya Rambut Pascal. Buku ini berkisah tentang seekor
1 Diambil dari. 1) website pribadi Clara Ng, www.clara-ng.com, 2) wawancara dengan
tabloid Nova, http.//nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=15851, 3) Antara news.com,
http.//www.antaranews.com/berita/371885/kunci-sukses-menulis-novel-ala-clara-ng
134
singa yang kebingungan ketika hendak mengubah gaya rambutnya dan akhirnya
memutuskan untuk kembali kepada gaya rambutnya yang alamiah. Buku ini
megajarkan anak-anak untuk berprilaku apa adanya dan sanggup menerima
kekurangan diri sendiri.
Dalam pengantar yang ia tulis di novel Dimsum Terakhir ia mengatakan
bahwa alasan ia menulis adalah agar ia tidak gila. Hidup ini sangat singkat dan
ada begitu banyak hal yang harus disampaikan. Pada tahun 2006 ia menulis
beberapa novel, yaitu Dimsum Terakhir dan Utukki: Sayap Para Dewa. Novelnya
yang terbaru ditulis bersama Icha Rahmanti berjudul Princess Bajak Laut dan
Alien. Selain itu ia juga menulis novel bersama Felice Cahyadi, novel ini berjudul
Black Jack.
Clara yang kini bekerja sepenuhnya sebagai penulis memiliki banyak
cerita di kepalanya yang harus ditumpahkan segera. Beberapa cerpen dan esainya
dimuat di media-media nasional, seperti Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos,
Femina. Dan pada Agustus 2008, sejumlah cerpennya dikumpulkan dan dimuat
dalam kumpulan cerita pendek berjudul Malaikat Jatuh dan Cerita-cerita
Lainnya.
Ia banyak menulis tentang perempuan. ia menulis cerita tentang seorang
ibu, wanita lajang, bagaimana menjadi anak perempuan. Juga cerita tentang
keluarga. Bagaimana hubungan seseorang dengan orangtua dan sesama. ia senang
menelusuri bagaimana problema perempuan. Ia merasakan kegembiraan saat
bicara soal keluarga. Misalnya saja dalam novel Tiga Venus ia mengangkat tokoh
ibu rumah tangga, lajang , dan janda. Ada lagi cerita tentang anak perempuan
yang hamil di luar nikah dan lesbianisme. Ada juga transgender, anak perempuan
yang merasa dirinya laki-laki.
Pada 2009, sekali lagi naskah novelnya Tea for Two dipublikasikan secara
bersambung di harian Kompas, sebelum diterbitkan secara utuh oleh penerbit
Gramedia Pustaka Utama. Awal tahun 2010, dia menerbitkan novel Jampi-jampi
Varaiya, sebuah novel bersambung dari seri yang berjudul sama. Mengawali 2010
dengan akun @clara_ng di Twitter, bersama sastrawan Eka Kurniawan dan Agus
Noor, mereka melahirkan komunitas membaca sastra dan menulis fiksi yang
135
terkenal dan besar dengan nama Komunitas Fiksimini atau @fiksimini. Di tahun
2010, Jampi-jampi Varaiya mendapat nominasi long list Penghargaan Sastra
Kathulistiwa Literarary Awards.
Pada 2011, dua cerita pendeknya bergabung dalam antologi Si Murai dan
Orang Gila (Dewan Kesenian Jakarta dan Penerbit Kompas) dan antologi Dari
Datuk ke Sakura Emas. Novelnya berjudul Ramuan Drama Cinta terbit pada
tanggal 1 Juli 2011, sebagai buku kedua dari seri Jampi-jampi Varaiya yang telah
terbit tahun lalu. Kesibukannya semakin padat dengan menjadi pembimbing dan
guru kelas kreatif/klinik menulis di kota-kota dan daerah-daerah Indonesia.
Sebagian besar, waktu mengajarnya dicurahkan dengan serius di sekolah menulis
Plot Point.
Pada November 2011, Clara menerbitkan buku dongeng anak berjudul
Dongeng Sekolah Tebing. Sebuah buku anak indah bersampul tebal yang bercerita
tentang 53 kisah anak-anak di sekolah yang terletak di ujung tebing. Bersama
buku itu, Clara melakukan kampanye “melek sastra” dan “orangtua mendongeng”
ke berbagai sekolah-sekolah di Indonsia.
Bagi Clara, menjadi penulis bukanlah sebuah pekerjaan gampang. Ia
adalah seorang penulis yang memiliki disiplin tinggi dalam menulis. Setiap hari
seperti pekerja pada umumnya jam Sembilan pagi ia memasuki ruang kerjanya
yang tidak lain adalah perpustakaan pribadi beisikan ribuan buku. Ketika menulis
ia tidak bisa diganggu dan akan keluar ketika sore hari. Akan tetapi terkadang ia
juga bersikap fleksibel, ia kadang-kadang mengantar jemput sendiri anaknya ke
sekolah. Ia selalu membuka diri terhadap kritikan yang dialamatkan kepadanya
dan ia sangat menghargai setiap dukungan dari orang-orang terdekatnya, ia
berterima kasih untuk itu.
C. Resume
Nama Pena. Clara Ng
Nama Asli. Clara Regina Juana
Kontak. 0815-190-7321 via Ms. Stella Sutisna (manajer)
136
Email. [email protected]
Pendidikan. Ohio State University, Columbus, Ohio, USA. Jurusan Interpersonal
Communication & Organization. Minor in Linguistic.
Karya yang telah dipublikasikan.
Novel populer.
1. Tujuh Musim Setahun (Dewata Publishing, 2002)
2. Seri Indiana Chronicle. Blues, (Gramedia Pustaka Utama, 2004)
3. Seri Indiana Chronicle. Lipstick (Gramedia Pustaka Utama 2005)
4. Seri Indiana Chronicle. Bridesmaid (Gramedia Pustaka Utama 2005)
5. The (Un)Reality Show (Gramedia Pustaka Utama 2005)
6. Utukki. Sayap Para Dewa (Gramedia Pustaka Utama 2006)
7. Dimsum Terakhir (Gramedia Pustaka Utama 2006)
8. Tiga Venus (Gramedia Pustaka Utama 2007)
9. Gerhana Kembar (Gramedia Pustaka Utama 2007)
10. Tea for Two (Gramedia Pustaka Utama 2009)
11. Jampi-Jampi Varaiya (Gramedia Pustaka Utama, 2010)
12. Ramuan Drama Cinta (Gramedia Pustaka Utama, 2011)
13. Black Jack bersama Felice Cahyadi (Gramedia Pustaka Utama, 2013)
Kumpulan Cerpen
Malaikat Jatuh dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2008)
Antologi Sastra
1. Rahasia Bulan (Gramedia Pustaka Utama 2006)
2. Compassion And Solidarity (HiVO – Ubud Writers And Readers Festival,
2009)
3. Un Soir du Paris (Gramedia Pustaka Utama 2010)
4. Si Murai dan Orang Gila (Dewan Kesenian Jakarta 2010)
5. Dari Datuk ke Sakura Emas (Gramedia Pustaka Utama 2011)
6. Klasik Nan Asyik/Exciting Classics (Utan Kayu Salihara International
Literary Biennale, 2011)
137
Cerita anak-anak/dongeng
1. Seri Berbagi Cerita Berbagi Cinta (Gaya Rambut Pascal, Benji Sakit Gigi,
Pergi ke Pantai, Suara Apa Itu?, Dari Negeri Seberang, Lupi Si Pelupa,
Hujan Hujan Hujan) (Gramedia Pustaka Utama 2007)
2. Seri Sejuta Warna Pelangi (Kapan Hujan Berhenti?, Aku Bisa Terbang,
Pesta Kostum Tengah Malam, Melukis Cinta, Milo Sedang Bosan, Mau
Lagi Lagi Lagi, Ambilan Bulan Yah!, Sore Super Sibuk, Jangan Bilang
Siapa-siapa) (Gramedia Pustaka Utama 2008)
3. Seri Bagai Bumi Berhenti Berputar (Pohon Harapan, Seribu Sahabat
Selamanya, Jangan Lupa Aku Mencintaimu, Yang Paling Istimewa, Kerlip
Bintang di Langit) (Gramedia Pustaka Utama 2009)
4. Seri Dongeng Tujuh Menit. Bugi Hiu Suka Senyum, Air Mata Buaya,
Wayang Sebelum Tidur, Padi Merah Jambu, Kancil Anak Baik, Ketahuan,
Upik Main Bola (Gramedia Pustaka Utama, 2010)
5. Dongeng Sekolah Tebing (Buah Hati Books, 2011)
6. Princess, Bajak Laut & Alien bersama Icha Rahmanti (Plotpoint
Publishing, 2013)
Cerpen dan esai
Di berbagai media nasional. Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Femina, dan lain-
lain.
Penghargaan, festival sastra internasional, dan pengalihan bahasa
1. Penghargaan Adikarya Ikapi 2006 untuk cerita anak “Gaya Rambut
Pascal”
2. Penghargan Adikarya Ikapi 2007 untuk cerita anak “Melukis Cinta”
3. Penghargaan Adikarya Ikapi 2008 untuk cerita anak “Jangan Bilang Siapa-
siapa”
4. Nominasi penghargaan sastra Khatulistiwa Literary Award 2011 untuk
novel “Jampi-jampi Varaiya”
138
5. Terpilih sebagai 15 most inspired women 2010 versi majalah franchise
Amerika. More
6. Pembicara dan undangan di festival sastra internasional Ubud Writer
Reader Festival 2009, 2010, 2011
7. Membaca cerpen di Festival Salihara International Literary Biennale 2011
8. Beberapa novel dan buku anak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
didistribusikan di beberapa negara di Asia dan Eropa
139
Lampiran 2
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
SEKOLAH : SMA N 112 JAKARTA
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS : XI
SEMESTER : 2
ALOKASI WAKTU : 4 x 45 menit
A. STANDAR KOMPETENSI .
Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan.
B. KOMPETENSI DASAR .
Menaganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/novel terjemahan.
C. ASPEK PEMBELAJARAN.
Membaca.
D. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI .
No Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya Dan
Karakter Bangsa
Kewirausahaan/
Ekonomi Kreatif
1 Mampu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dan ekstrinsik novel Indonesia dan
terjemahan
Mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik
(alur, tema, penokohan, sudut pandang,
latar,
dan gaya bahasa) dan ekstrinsik novel
Indonesia
Mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik
(alur, tema, penokohan, sudut pandang,
latar,
Bersahabat
Kreatif
Saling menghargai
Anti diskriminasi
Toleransi
Kepemimpinan
Keorisinilan
140
dan amanat) dan ekstrinsik novel terjemahan
2 Mampu menjelaskan kebudayaan Tionghoa
dalam novel Dimsum Terakhir
E. TUJUAN PEMBELAJARAN .
Siswa dapat.
Memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/novel
terjemahan
Menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/novel
terjemahan
Menyebutkan kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir
F. METODE PEMBELAJARAN .
Penugasan
Diskusi
Tanya Jawab
Ceramah
Demonstrasi
G. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tatap Muka Terstruktur Mandiri
Menjelaskan unsur-unsur intrinsik
prosa
Menjelaskan unsur ekstrinsik prosa
Unsur-unsur intrinsik
prosa
Tema
Alur
Gaya Bahasa
Penokohan
Setting
Sudut pandang
Unsur ekstrinsik prosa
Biografi
Pengarang
Latar sosial politik
Siswa menjelaskan unsur
intrinsik novel Dimsum
Terakhir karya Clara Ng.
Siswa menjelaskan unsur
ekstrinsik novel Dimsum
Terakhir karya Clara Ng.
Siswa menyebutkan
kebudayaan Tionghoa yg
terdapat dalam novel
Dimsum Terakhir karya
Clara Ng.
H. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN .
No. Kegiatan Belajar Nilai Budaya Dan
141
Karakter Bangsa
1. Kegiatan Awal :
Guru menjelaskan Tujuan Pembelajaran hari ini.
Guru bertanya pengetahuan siswa tentang novel Indonesia
dan novel terjemahan.
Guru memperkenalkan novel Dimsum Terakhir karya
Clara Ng
Bersahabat/
komunikatif
2. Kegiatan Inti :
Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi .
Siswa membaca novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng
Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi,
Mengidentifikasi kebudayaan Tionghoa dalam novel
Dimsum Terakhir
Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
Dimsun Terakhir
Siswa memperesentasikan hasil diskusi kelompoknya
Siswa menanggapi hasil diskusi
Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa.
Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui
Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.
Kreatif
Saling menghargai
Anti diskriminasi
Toleransi
3. Kegiatan Akhir :
Refleksi
Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini.
Bersahabat/
komunikatif
I. ALOKASI WAKTU .
4 x 45 menit
J. SUMBER BELAJAR/ALAT/BAHAN .
buku yang berkaitan dengan materi unsur intrinsik dan ekstrinsik
prosa
buku EyD
LKS
Modul
Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng
Artikel koran/majalah
K. PENILAIAN .
Jenis Tagihan.
tugas individu
tugas kelompok
142
Bentuk Instrumen.
siswa diminta menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Dimsum
Terakhir
siswa diminta mendiskusikan kebudayaan Tionghoa yang terdapat dalam
novel Dimsum Terakhir
L. LAMPIRAN.
rubrik penilaian
Mengetahui Jakarta, 17 Februari
2014
Kepala Sekolah Guru Mata
Pelajaran
A. K. Pratama, M. Pd.
NIP. 19780413201001 2 008 Hayatun Nufus,
S.Pd.
UJI REFERENSI
Nama : Hayatun Nufus
NIM : 109013000074
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Judul Skripsi : KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL
DIMSUM TERAKHIR KARYA CLARA NG DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA DI SMA.
Dosen Pembimbing : Novi Diah Haryanti, M. Hum.
No. Nama Buku Paraf
Pembimbing
1.
Cheong, Philip & S. L. Ang. Ajaran Leluhur Tabu-
Tabu China: Kumpulan Tabu & Kepercayaan.
Jakarta: Yayasan Karaniya, 2010.
2. Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra:
Pengantar Ringkas. Ciputat: Editum, 2009.
3.
Danandjaja, James. Folklor Tionghoa: Sebagai
Terapi Penyembuh Amnesia terhadap Suku Bangsa
dan Budaya Tionghoa. Jakarta: Grafiti, 2007.
4.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian
Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: CAPS, 2013.
5.
Endraswara, Suwardi. Metode, Teori, Teknik
Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi,
dan Aplikasi. Tangerang: Pustaka Widyatama,
2006.
6. Endraswara, Suwardi. Teori Pengkajian Sosiologi
Sastra. Yogyakarta: UNYpress,2012.
7. Escarpit, Robert. Sosisologi Sastra. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005.
8.
Fairservis, Walter A, Jr. Asal-usul Peradaban
Orang-orang Jawa dan Tionghoa.Surabaya:
Selasar Publishing, 2009.
9. Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012.
10. Hermawan, Sainul. Tionghoa Dalam Sastra
Indonesia. Yogyakarta: IRCiSold, 2005.
11.
Ju Lan, Thung & I. wibowo. Setelah Air Mata
Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa
Mei 1998. Jakarta: Kompas, 2010.
12. Keraf, Gorrys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:
PT Gramedia, 2008.
13.
Koentjaraningrat. Bunga Rampai: Kebudayaan,
Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia,
2008.
14.
Meij, Lim Sing, Ruang Sosial Baru Perempuan
Tionghoa: Sebuah Kajian Pascakolonial. Jakarta:
Yayasan Obor, 2009.
15. Ng, Clara. Dimsum Terakhir. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006.
16. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 2005.
17. Prasetyadji. Semangat Perjuangan Peranakan
Idealis: Merintis jalan menuju kesetaraan dan
penyelesaian kewarganegaraan atnis Tionghoa
sejak tahun1945. Jakarta: Forum Komunikasi
Kesatuan Bangsa, 2011.
18. Prasetyo, Joko Tri. Tanya Jawab Ilmu Budaya
Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
19. Rampan, Korrie Layun. Aresiasi Cerpen Indonesia
Mutakhir. Jakarta: bukupop, 2009.
20.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan
Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga
Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
21.
Santosa, Iwan. Peranakan Tionghoa di Nusantara:
Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur. Jakarta:
Kompas, 2012.
22. Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran
Politik. Jakarta: Transmedia, 2008.
23.
Suryadinata, Leo. Pemikiran Politik Etnis
Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta: LP3ES,
2005.
24. Suryadinata, Leo. Dilema Minoritas Tionghoa.
Jakarta: Grafiti, 1984.
25.
Suryadinata, Leo. Etnis Tionghoa dan
Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga
Rampai 1965-2008. Jakarta: Kompas,
2010.
26.
Tan, Mely G. Etnis Tionghoa di Indonesia:
Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.
27. Too, Lilian. Penerapan Feng Shui Pa kua dan Lo
Shu. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2002.
28. Tregear, Mary. Chinese Art. Slovenia: Mladinska
Knjiga 1995.
29.
Wellek, Rene & Austin Warren. Teori Kesustraan:
Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT
Gramedia, 1989.
30. Widagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta:
Bumi Aksara, 2008.
31. Wiranata, I Gede A. B. Antropologi Budaya.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011.