kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

180
TESIS KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA NI KOMANG SUTRISNI PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Upload: vuduong

Post on 31-Dec-2016

230 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

TESIS

KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN

MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

NI KOMANG SUTRISNI

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 2: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

i

TESIS

KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN

MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

NI KOMANG SUTRISNI

NIM. 1390561018

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

2015

Page 3: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

ii

KEBIJAKAN PENGATURAN KEJAHATAN DENGAN MENGGUNAKAN

KEKUATAN GAIB DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI

INDONESIA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI KOMANG SUTRISNI

NIM:1390561018

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 4: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

iii

Page 5: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Tesis Ini Telah Diuji Pada

Tanggal 16 April 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.:1058/UN14.4/HK/2015, Tanggal 9 April 2015

Ketua : Prof.Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS.

Sekretaris : Dr. Ida Bagus Surya Dharma jaya, SH.,MH.

Anggota : 1. Dr. Gde Made Swardana, SH.,MH.

2. Dr. I Gede Artha, SH.,MH.

3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.M.Hum.

Page 6: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ni Komang Sutrisni

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Tesis : Kebijakan Pengaturan Kejahatan dengan Menggunakan

Kekuatan Gaib dalam Pembaharuan Hukum Pidana di

Indonesia

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila

dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia

menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17

Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku

Denpasar, 07 April 2015

Yang menyatakan

Ni Komang Sutrisni

Page 7: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang

melimpahkan rahmat, tuntunan, berkah, sehingga penulisan Tesis dengan judul

“Kebijakan Pengaturan Kejahatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib

dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia” dapat diselesaikan dengan

baik dan tepat waktu. Tesis ini merupakan tugas akhir selama penulis menempuh

pendidikan Pasca Sarjana (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana dan sebagai

syarat guna mencapai gelar Magister Hukum (S2) pada Program Studi Ilmu

Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Penulis menyadari sepenuhya bahwa keberhasilan dalam penyusunan tesis ini

tidak terlepas berkat adanya bantuan, bimbingan, dorongan, arahan dari berbagai

pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan rasa hormat dan

terima kasih yang tidak terhingga kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr.

dr. Ketut Suastika, SP.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

kepada penulis untuk mengkuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program

Studi Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan

kepada Direktur Program Pasca Sarjana Prof. Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, SP.S.(K)

atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa

Program Magister Ilmu Hukum pada Program Pasca Sarjana Universitas

Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Prof.Dr. I Gusti

Ngurah Wairocana, SH.,MH., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program

Page 8: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

vii

Studi Magister Ilmu Hukum di Universitas Udayana. Pada kesempatan ini, penulis

juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister Ilmu

Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Dr. Ni Ketut Supasti

Dharmawan, SH., M.Hum., LLM., dan Sekretaris Program Studi Magister Ilmu

Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Dr. Putu Tuni Cakabawa

Landra, SH.,MH., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengkuti

dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Ungkapan terima kasih penulis

sampaikan pula kepada Prof.Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS,. Selaku

Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, dorongan semangat, arahan

serta saran secara baik dan teliti dalam penyelesaian tesis ini. Kepada bapak Dr.

Ida Bagus Surya Dharmajaya, SH.,MH., selaku Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, semangat, arahan, serta saran secara baik dan teliti dalam

penyelesaian penyusunan tesis ini, kepada Dr. I Dewa Made Suartha, SH.,MH.,

selaku Pembimbing Akademik penulis yang telah memberikan arahan dan

dorongan semangat kepada penulis selama menuntut ilmu pada Program Studi

Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

Seluruh Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca

Sarjana Universitas Udayana, khususnya Dosen pada konsentrasi Hukum dan

Sitem Peradilan Pidana atas segala ilmu yang telah diberikan. Pada kesempatan

ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Staf Tata Usaha Program

Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Kepada

kedua Orang Tua tercinta, Ayah I Ketut Sudana, S.H. dan Ibu Ni made Sipi,

Kakak Ni Putu Lovina, Ni Made Lorena, adik I Ketut Asmarajaya, Ni Wayan Ita

Page 9: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

viii

Kusuma dewi, juga seluruh keluarga besar yang telah banyak memberikan doa

serta dukungannya kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. Kepada teman-

teman Adit, deby, manik, kak Amik, kak noni, pak misran, Mba xin-xin, desy,

mita, indah, wilda, elik, dwi, andika serta seluruh sahabat Program Studi

Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana angkatan

2013 yang telah banyak mengispirasi serta memberi semangat dalam penyelesaian

tesis ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Mahaesa selalu

melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan

penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini sudah tentu

masih jauh dari kesempurnaan dan memiliki kekurangan-kekurangan baik dari

metode penulisan maupun analisis, sehingga tesis ini dapat diperbaiki demi

penyempurnaannya dan untuk itu dibutuhkan kritik serta saran yang membangun

sehingga dapat menyempurnakan penulisan tesis ini sesuai dengan apa yang

diharapkan. Akhir kata, besar harapan semoga tesis ini dapat bermanfaat

Denpasar, 17 April 2015

Ni Komang Sutrisni

Page 10: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

ix

ABSTRAK

Meningkatnya masalah-masalah kejahatan dan kekerasan yang berlatar belakang kepercayaan terhadap adanya kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib, terutama mengenai maraknya tindakan main sendiri terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib sampai saat ini menimbulkan keresahan dalam kehidupan sosial masyarakat belum memiliki pengaturan yang jelas. Dalam perkembangannya perbuatan yang berkenaan dengan kekuatan gaib diakomodir dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), sebagai bentuk pencegahan kejahatan terhadap adanya tindakan anarkis tersebut. Bertolak dari hal tersebut, substansi permasalahannya ada dua yaitu, bagaimana pengaturan mengenai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) saat ini serta bagaimana kebijakan formulatif perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam RUU KUHP atau di masa yang akan datang. Dua permasalahan pokok ini pada intinya ditujukan untuk mengetahui dan menganalisa kebijakan formulatif hukum pidana untuk saat ini dan di masa akan datang dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan penelitian yuridis normatif yang dilakukan melalui analisis yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan seperti buku, diktat, dan lain-lain, dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan dan konsep ahli hukum sebagai basis penelitiannya. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsep hukum, pendekatan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib, serta pendekatan sejarah dalam perumusan perbuatan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian di dapat bahwa saat ini kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP. Pengaturan dalam pasal tersebut dikualifikasikan sebagai pelanggaran sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap perbuatan dengan kekuatan gaib, akan tetapi tidak efektif dalam penegakan hukumnya. Pengaturan tersebut tidak dianggap sebagai bentuk pelarangan melainkan sebagai bentuk kepercayaan serta tidak mampu untuk mencegah dan menanggulangi tindakan-tindakan main hakim sendiri terhadap kepercayaan tentang keberadaan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib, sehingga pasal-pasal tersebut layak untuk didekriminalisasikan. Konsepsi kebijakan pengaturan kejahatan dengan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana yakni dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) , diatur dalam Pasal 293 RUU KUHP dalam bentuk delik formil. Pasal 293 merupakan bentuk kejahatan terhadap ketertiban umum yakni perluasan dari perbuatan penawaran untuk melakukan tindak pidana. Pengaturan ini bertujuan untuk mencegah secara dini perbuatan-perbuatan anarkis warga masyarakat terhadap keberadaan seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib secara sewenang-wenang. Kata Kunci: Kebijakan, Perbuatan, Kekuatan Gaib, , Pembaharuan, Hukum

Pidana

Page 11: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

x

ABSTRACT

Increasing crime problems and violence which has background of beliefs

against the crime by using supernatural powers, especially regarding the rise of

the vigilantism action against a person suspected of committing a crime with

supernatural powers such as witchcraft, teluh, which to date has caused unrest in

the social life of the community. In the action development with regard to

supernatural forces are accommodated in the Draft Code of Criminal Law in

2012, as a prevention form of crimes against the anarchist action.Based on the

matter above, there are two problem substances, namely, how does the action

settings by using the magical powers of the Criminal Code today and how does

the action formulative policy using supernatural powers in the Draft Bill 2012 or

in the future coming up. Two main problems are essentially aimed to identify and

analyze formulative policy of criminal law for the time being and in the future in

the context of prevention and control of crime.This study was conducted using a

normative juridical research conducted through the analysis obtained from

library materials such as books, textbook, etc., associated with the legislation and

the concept of legal experts as a research base. The approach in this study using

the approach of legal concept, regulatory approach to regulatory action by using

magical powers, as well as the historical approach in the formulation of such

actions.

The result of this study is obtained that currently the formulative policy of

action setting by using supernatural powers stipulated in the Criminal Code in

Article 545, 546, and 547 of the Criminal Code. The settings in the article

qualifies as a violation as prevention and control of the action with magical

power, but not effective in law enforcement. Such arrangements are not

considered a prohibition form but as a form of trust as well as not being able to

prevent and overcome actions of vigilantism against the belief of the existence of

evil by using magical powers, so that the articles are eligible to be

decriminalized.Formulative policy conception of crime regulation with

supernatural powers in the criminal law reform in the Draft Code of Criminal

Law (Draft Bill) 2012, under Article 293 of the Criminal Code Bill, 2012 in the

form of a formal offense. Article 293 is a form of crime against the public order

act that is an extension of an offer to commit criminal acts. This arrangement

aims to prevent early deeds anarchist community of the existence of a person

suspected of committing a crime by using magical powers arbitrarily.

Keywords : Policy, Act, Supernatural Power, Reform, Criminal Law

Page 12: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

xi

RINGKASAN

KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN MENGGUNAKAN

KEKUATAN GAIB DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI

INDONESIA

Penelitian ini disusun dalam 5 (lima) bab yang secara garis besar dapat

dikemukakan sebagai berikut

Bab I yakni bab pendahuluan merupakan bab yang berisi tentang hal-hal

yang menjadi latar belakang penulisan penelitian ini bahwa Indonesia adalah

negara yang kaya akan budaya, yang terdiri dari perbedaan ragam budaya, adat

istiadat, maupun keyakinan. Di dalam kebudayaan bermacam kekuatan yang harus

dihadapi seperti kekuatan gaib maupun kekuatan lainnya. Berkaitan dengan hal

tersebut di Indonesia sudah lama dikenal adanya keberadaan atau kepercayaan

terhadap sesuatu kekuatan diluar nalar manusia baik dalam fungsinya yang positif

yang sering digunakan dalam rangka membantu orang lain, maupu kekuatan gaib

dalam fungsinya yang negatif untuk melakukan kejahatan. Perbuatan dengan

menggunakan kekuatan gaib dianggap sangat berbahaya terutama bagi kalangan

komunitas lokal yang jauh dari masyarakat perkotaan. Sering terjadi tindakan

main hakim sendiri terhadap seseorang yang dituduh menggunakan kekuatan gaib

untuk melakukan kejahatan. Hukum pidana selama ini belum mampu mengatasi

tindakan main hakim sendiri terhadap seorang yang diduga melakukan kejahatan

dengan kekuatan gaib, oleh sebab legalitas terhadap perbuatan dengan

menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP tidak dapat diberlakukan lagi.

Bab II menguraikan tentang definisi Pengaturan Kejahatan dalam hukum

pidana merupakan suatu upaya untuk merumuskan suatu perbuatan yang

bertentangan dengan nilai-nilai dalam perkembangan hidup masyarakat yakni

terhadap nilai ketertiban, menganggu kedamaian dalam hidup masyarakat serta

nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Perbuatan dengan menggunakan kekuatan

gaib dapat diartikan suatu perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang

tidak terlihat oleh panca indra serta meliputi kejahatan yang mengatasnamakan

kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan. Pembaharuan hukum pidana berkaitan

dengan kebijakan formulasi dapat diartikan sebagai usaha merumuskan atau

memformulasikan suatu undang-undang yang dapat digunanakan untuk

menanggulangi kejahatan.

Bab III membahas tentang Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib

dalam KUHP merupakan suatu usaha dalam rangka penanggulangan kejahatan.

Eksistensi masalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib telah diakui

oleh kebijakan politik hukum pidana menunjuk pada pengaturan hukum pidana

pada Bab VI buku III tentang pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 545, 546, dan

547 KUHP. Unsur-unsur perbuatan pidana dalam Pasal 545, 546, dan 547 tidak

lagi memenuhi kriteria sebagai perbuatan yang melawan hukum oleh sebab

perbuatan-perbuatan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut merupakan suatu

sistem kepercayaan masyarakat Indonesia, sehingga tidak sesuai lagi dengan

perkembangan tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang pada akhirnya

pasals-pasal tersebut seharusnya didekriminalisasikan. Selanjutnya tetap

Page 13: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

xii

diperlukan adanya kriminalisasi perbuatan-perbuatan dengan mengatasnamakan

kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana untuk mencegah tindakan

penghakiman massal terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib.

Bab IV membahas tentang Pengaturan Perbuatan dengan menggunakan

kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana yakni dalam RUU KUHP 2012

diatur dalam Pasal 293 yang merupakan perluasan dari bentuk penawaran untuk

melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 291 RUU KUHP 2012 yang

merupakan bentuk bantuan yang lebih khusus dan dijadikan sebagai delik yang

berdiri sendiri yang mana perumusan Pasal 293 RUU KUHP merumuskan jenis

perbuatan yang berlebihan terlihat dari unsur-unsur pasal yang harus dibuktikan

satu persatu jika terjadi suatu tindak pidana berkaitan dengan rumusan pasal

tersebut. kriminalisasi perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam

konsep yang ideal adalah rumusan pasal yang mengacu kepada larangan terhadap

penggunaan-penggunaan kekuatan gaib yang dirumuskan secara formil, bahwa

yang dibuktikan adalah perbuatan yang menyatakan diri dan menawarkan jasa

dengan mengatasnamakan kekuatan gaib, bukan dari akibat perbuatan tersebut.

Bab V merupakan bab terakhir atau bab penutup yang memuat

kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dipaparkan penulis yakani Pengaturan

masalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP sudah ada

sejak dulu yang diatur dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP, namun pasal-pasal

tersebut tidak pernah digunakan. Dalam RUU KUHP 2012 diadakan kriminalisasi

terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam bentuk perumusan

yang formil untuk mencegah terjadinya penghakiman massal terhadap seorang

yang dituduh menjadi pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib

karena tidak ada legalitas hukum yang pasti terhadap perbuatan dengan

menggunakan kekuatan gaib. Perbuatan-perbuatan mengenai kekuatan gaib dalam

pasal-pasal KUHP tersebut sudah sepatutnya didekriminalisasikan oleh sebab

tidak dianggap meresahkan masyarakat yang tetap diikuti dengan adanya

pengaturan mengenai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam RUU

KUHP 2012 yang lebih jelas dan tegas.

Page 14: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iii

SURAT PERNYATAN BEBAS PLAGIAT ................................................... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ v

ABSTRAK ....................................................................................................... viii

ABSTRACT ..................................................................................................... ix

RINGKASAN .................................................................................................. x

DAFTAR ISI .................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 9

1.3 Ruang Lingkup Masalah ......................................................................... 9

1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................... 4

1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................. 10

a. Manfaat Teoritis ............................................................................... 10

b. Manfaat Praktis ................................................................................. 10

1.6 Orisinalitas Penelitian ............................................................................. 12

1.7 Landasan Teoritis.................................................................................... 14

Page 15: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

xiv

1.8 Metode Penelitian ................................................................................... 48

1.8.1 Jenis Penelitian ........................................................................... 48

1.8.2 Jenis Pendekatan ......................................................................... 48

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................... 49

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan ...................................................... 49

1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ........................ 50

BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN PERBUATAN,

KEKUATAN GAIB, PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA ......... 51

2.1 Pengaturan Kejahatan ............................................................................. 57

2.2 Kekuatan Gaib ........................................................................................ 57

2.3 Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia .............................................. 68

BAB III KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN

MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM HUKUM

POSITIF INDONESIA ...................................................................... 82

3.1 Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam

KUHP ...................................................................................................... 82

3.2 Unsur-Unsur Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam

KUHP ....................................................................................................... 97

BAB IV KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN

MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI MASA

MENDATANG .................................................................................. 120

Page 16: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

xv

4.1 Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib Dalam

RUU KUHP ............................................................................................ 120

4.2 Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam

Konsep yang Ideal .................................................................................... 139

BAB V PENUTUP.......................................................................................... 154

5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 154

5.2 Saran ........................................................................................................ 155

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 156

Page 17: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan,

meliputi berbagai segi kehidupan. Salah satu dari segi pembangunan adalah

pembangunan hukum, yang pada hakikatnya berkaitan pula dengan segi-segi

kehidupan lainnya. Kaitan dari segi hukum dengan segi-segi kehidupan lainnya

yang sama-sama merupakan gejala sosial, yang berkaitan dengan tiga segi atau

aspek kehidupan pokok yakni dibidang politik, ekonomi, dan budaya. Ada aspek-

aspek dibidang politik yang murni bersifat politik, namun ada bagian dari bidang

politik yang diatur oleh bidang pertahanan, serta oleh bidang hukum.

Demikian pula halnya dengan bidang ekonomi dan sosial, yang

mengandung segi murni dan hal-hal yang diatur oleh bidang-bidang pertahanan

keamanan serta hukum. Sangat terlihat jelas hubungan antara pembangunan

hukum dengan pembangunan dibidang-bidang kehidupan lainnya. Hal tersebut

seyogyanya dapat dimengerti, mengingat bahwa tujuan hukum adalah kedamaian

yang berarti keserasian antara ketertiban dan ketentraman. Setiap pembangunan

yang dilakukan dalam masyarakat, mempunyai dasar-dasar tertentu, yang paling

sedikit mencakup agama, filsafat, Ideologi, Ilmu Pengetahuan, Teknologi.1

Fungsi hukum di indonesia dalam pembangunan adalah sebagai sarana

pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya

1 Soerjono Soekanto, 2012, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.302

Page 18: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

2

ketertiban dalam pembangunan, merupakan sesuatu yang dipandang penting dan

sangat diperlukan. Sebagaimana halnya dengan negara-negara atau masyarakat-

masyarakat yang sedang berkembang laiinnya, maka Indonesia juga sedang

mengalami suatu masa transisi. Dalam hal ini, maka masa transisi tersebut

meliputi aneka macam bidang kehidupan, misalnya bidang hukum. Salah satu

aspek dari bidang hukum tersebut adalah, suatu transisi dari sistem hukum tidak

tertulis menuju sistem hukum tertulis (sebanyak mungkin berbentuk tertulis).

Walaupun demikian, dengan adanya hukum tertulis yang mengatur bagian

terbesar dari kehidupan masyarakat, hukum tidak tertulis pasti akan tetap

berfungsi.2

Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara

mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak

dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia

akan terus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang

tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan

menemukan hukumnya agar dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Peristiwa

hukum di Indonesia berkaitan erat dengan kebudayaan bangsa Indonesia asli yang

berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat di daerah lainnya.3

Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, yang terdiri dari

perbedaan ragam budaya, adat istiadat, maupun mengenai keyakinan. Di

Indonesia, kehidupan spiritual masih begitu kuat dalam kehidupan masyarakat

2 I Made Widnyana, 2013, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana,

Fikahati Aneska, Yogyakarta, h.7

3 Munir Fuadi.2012. Teori-Teori Besar Dalam Hukum. Kencana Predana. Jakarta. 248

Page 19: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

3

termasuk agama. Bagi masyarakat Indonesia selain merupakan bagian dari tradisi

itu sendiri juga merupakan suatu identitas sekaligus sumber moral dan spiritual

yang tidak mungkin ditinggalkan serta kebudayaan terhadap pengetahuan,

kepercayaan, kesenian dan moral. Perbedaan kebudayaan yang dimiliki bangsa

Indonesia menjadi ciri khas keberagaman segala bidang aspek kehidupan

masyarakat bangsa Indonesia termasuk di dalamnya kepercayaan akan keberadaan

suatu kekuatan-kekuatan di luar nalar manusia yang dipandang sangat berbahaya

yakni keberadaan seseorang yang melakukan perbuatan atau kejahatan dengan

sarana kekuatan gaib yang di Indonesia dikenal dengan berbagai macam

penamaan seperti praktik ilmu hitam, santet, teluh, desti, leak dan lain sebagainya.

Untuk selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai perbuatan dengan

menggunakan sarana kekuatan gaib dalam fungsinya yang negatif.4

Kebudayaan terdiri dari bermacam kekuatan yang harus dihadapi seperti

kekuatan gaib maupun kekuatan lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut di

Indonesia sudah lama dikenal dengan adanya keberadaan atau kepercayaan

terhadap sesuatu kekuatan di luar nalar manusia baik dalam fungsinya yang positif

yang sering digunakan dalam rangka membantu orang lain, maupun kekuatan gaib

dalam fungsinya yang negatif untuk melakukan suatu kejahatan. Kejahatan yang

dipandang bersumber dari dunia lain yang senantiasa menarik perhatian, seperti

santet dan sihir yang pada dasarnya menggunakan sarana kekuatan gaib untuk

melakukan kejahatan tersebut.

4 Ronny Rahman Nitibaskara, 2013, Mengapa RUU KUHP tak Pernah Berujung?,

http://www. catatan kriminalitas/ronny/.ac.id, Diakses 6 September 2014

Page 20: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

4

Beberapa tema umum adalah perbuatan yang menggunakan sarana

kekuatan gaib itu bukan akal, atau buktinya tidak ada. Jika dipikir secara ilmiah

perbuatan atau kejahatan yang menggunakan sarana kekuatan gaib itu tidak ada

akan tetapi kenyataannya masyarakat tradisional mempercayai keberadaan

kejahatan yang menggunakan sarana kekuatan gaib tersebut. Kenyataan bahwa

kejahatan yang dilakukan dengan media kekuatan gaib tidak dapat dirabarasakan,

tidak rasional, dan tidak logis adalah bagian dari mengapa perbuatan tersebut

sangat berbahaya. Lehmann, dan J.E Myers menyebutkan “Local trust system is

used in crime is often describe magic, occult, witchcraft, sorcerer. The term of

magic in crime is known as black magic and it has private characteristic,

destruktif and damage others people”5(sistem kepercayaan lokal digunakan dalam

kejahatan sering menggambarkan sihir, okultisme, penyihir. Istilah sihir dalam

kejahatan ini dikenal sebagai ilmu hitam dan memiliki karakteristik pribadi,

destruktif dan membahayakan orang lain).

Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dianggap sangat

berbahaya terutama bagi kalangan komunitas lokal yang jauh dari masyarakat

perkotaan. Sering terjadi tindakan main hakim sendiri terhadap seseorang yang

dituduh menggunakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan oleh warga

masyarakat sekitar, fenomena tersebut tidak jarang terjadi dalam masyarakat

pedesaan. Warga masyarakat desa beranggapan bahwa satu-satunya jalan untuk

menghilangkan ancaman dari seseorang yang diduga melakukan kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib adalah dengan cara membunuhnya. Dengan

5 Lehmann, A.C., and J.E Myers (eds), 1997, Magic, Witchraft and Religion : An

Antropological Study of the Supernatural, Mayfield Publising co., California, 246

Page 21: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

5

demikian tindakan main hakim sendiri oleh warga terhadap keberadaan seseorang

yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan sarana kekuatan gaib ini

jauh dari penegakan hukum di Indonesia.6

Pengaturan terhadap praktik kekuatan gaib di indonesia sudah

diakomodir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yakni:

Pasal 546 KUHP menentukan:

Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

(1) Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau

mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau

benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib;

(2) Barangsiapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang

bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan

pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri.

Berdasarkan ketentuan tersebut Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa

dalam perumusan pasal tersebut terlihat adanya hal-hal yang bersifat gaib atau

supernatural yaitu, peramalan nasib atau mimpi dan jimat-jimat atau benda-benda

sakti berkekuatan gaib. Jadi, hukum formal atau perundang-undangan dapat atau

mungkin saja mengatur hal-hal yang gaib atau supernatural, sepanjang yang diatur

bukan substansi gaibnya, tetapi perbuatan yang berhubungan dengan hal-hal gaib

itu.7 Perumusan Pasal 546 KUHP menimbulkan multitafsir dari segi pemaknaan

terhadap larangan-larangan yang dirumuskan. Larangan terhadap perbuatan yang

dimaksud tidak menjelaskan apakah suatu perbuatan yang dilarang tersebut

6 Nicholas Herriman, 2013, Negara dan Santet Ketika Rakyat Berkuasa, Yayasan Pustaka

Obor Indonesia, Jakarta, h.62

7Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada,

Semarang, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I) h.291

Page 22: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

6

merupakan suatu perbuatan yang merugikan seseorang yang menggunakan

ataukah perbuatan yang dapat menyakiti orang lain sebagai akibat dari

penggunaan benda-benda yang dikatakan mempunyai kekuatan gaib. Di lihat dari

segi definisi kekuatan gaib tidak menunjukkan kekuatan gaib tersebut digunakan

untuk kejahatan melainkan sebagai sebuah bentuk kepercayaan.

Definisi terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam

hukum positif masih kabur, terlalu mengacu pada hukum formal yang hanya

memenuhi unsur-unsur penipuan serta berkaitan dengan pelanggaran yang

dilakukan dalam pengadilan. Definisi tersebut tidak secara mendalam menelusuri

situasi dan kondisi (proses) yang melatarbelakangi terjadinya tindakan penipuan

tersebut. Selain masalah definisi, persoalan hukum lainnya terhadap kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib adalah persoalan tindakan lain di luar yang

diatur dalam Pasal 545, 546, 547 KUHP yang berkaitan dengan keberadaan

korban kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang sering terjadi dalam

masyarakat Indonesia yang berimplikasi pada tindakan main hakim sendiri oleh

warga masyarakat terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib.

Tataran prakteknya, banyak kegiatan-kegiatan serupa yang mendatangkan

suatu keyakinan dan dianggap sebagai suatu kebutuhan bagi seseorang yang

mempercayai keberadaanya. Misalnya, jimat-jimat yang digunakan untuk

menghindari malabahaya, kemudian mencari tukang ramal atau penafsir mimpi,

bukanlah hal yang merugikan bagi orang yang mencarinya. Sudah seharusnya

suatu larangan dalam peraturan perundang-undangan dapat merugikan orang lain

Page 23: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

7

nantinya, sehingga dalam penelitian ini dianggap bahwa telah terjadi kekaburan

norma dalam pasal-pasal kekuatan gaib dalam KUHP tersebut yang tidak secara

tegas mengatur penggunaan kekuatan gaib yang dapat merugikan orang banyak

sehingga pasal-pasal tersebut tidak pernah diterapkan terhadap seseorang yang

melakukan pelanggaran terhadap perbuatan tersebut.

Pengaturan terhadap perbuatan yang berkaitan dengan menggunakan

kekuatan gaib sebagai suatu delik yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan sebagai wujud pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu

kriminalisasi tindak pidana yang mengakomodir suatu tindakan berdasarkan

situasi kondisi bangsa Indonesia. perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib

yang pada hakikatnya banyak menimbulkan korban baik korban melalui kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib maupun korban akibat dugaan sebagai

seseorang yang melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib tersebut. Korban

dengan menggunakan kekuatan gaib secara langsung tidak dapat dibuktikan

hubungan kausalitas antara perbuatan dengan akibat perbuatan hal ini berkaitan

dengan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib merupakan suatu

perbuatan yang tidak berdasarkan atas rasio dan logika sehingga hukum tidak

dapat menjangkau bentuk perbuatan yang tidak dapat dibuktikan hubungan

kausalitasnya. Berdasarkan atas realitas tersebut, warga masyarakat yang

mengalami sendiri kejahatan melalui kekuatan gaib tersebut cenderung melakukan

tindakan main hakim sendiri terhadap seseorang yang diduga melakukan

kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib sehingga menimbulkan korban

akibat tindakan terebut. Dengan demikian hukum seharusnya mampu melindungi

Page 24: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

8

hak-hak seseorang dari tindakan main hakim sendiri dengan melakukan

pencegahan secara dini terhadap praktek-praktek yang berkaitan dengan kekuatan

gaib. Dalam RUU KUHP pasal mengenai suatu perbuatan yang berkaitan dengan

penggunaan kekuatan gaib sudah diatur yakni dalam pasal:

293 RUU KUHP yang menentukan:

(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib,

memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan

jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan

penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda

paling banyak Kategori IV.

(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau

menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya

dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)8

Prinsip kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib sangat tidak logis

jika dikriminalisasikan sebagai tindak pidana dalam suatu peraturan tertulis dilihat

dari segi kegiatannya yang bersifat metafisik, tidak terlihat, tidak kasat mata,

menyebabkan penegakan hukum tidak akan bisa dilakukan. Akan tetapi bangsa

Indonesia yang terdiri dari beragam adat istiadat mempercayai keberadaan

kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib tersebut sebagai perbuatan yang

mengancam kedamaian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam

perumusan pasal mengenai perbuatan dalam KUHP berkaitan dengan penggunaan

kekuatan gaib tidak jelas mengenai apa yang menjadi konsep atau dasar dari

perumusan pasal tersebut serta bagaimana pengaturan perbuatan dengan

8 KPK, 2013, Anotasi Delik Korupsi dan Delik lainnya yang berkaitan dengan Delik

Korupsi dalam RUU KUHP, KPK, Jakarrta, h. 306

Page 25: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

9

menggunakan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana dengan tujuan

yang utama ialah untuk menghindari adanya tindakan main hakim sendiri yang

terjadi terhadap warga masyarakat yang dituduh melakukan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib yakni dalam RUU KUHP tersebut. Dari latar

belakang tersebut, menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai

permasalahan tersebut dengan judul “ Kebijakan Pengaturan Perbuatan dengan

menggunakan Kekuatan Gaib Dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”

1.2. Rumusan Masalah

1) Bagaimana Pengaturan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib

dalam Hukum Positif di Indonesia?

2) Bagaimana kebijakan Pengaturan Perbuatan dengan Kekuatan Gaib dalam

Pembaharuan Hukum Pidana di masa mendatang?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Dalam sebuah penelitian tidak dapat terlepas dari sempit dan luasnya

materi yang akan diteliti dan dibahas dalam penelitian yang dituangkan dalam

ruang lingkup masalah. Dalam ruang lingkup masalah yang akan diteliti dan

dibahas akan penulis jabarkan sebagai berikut.

Rumusan masalah dalam penelitian ini yang pertama adalah mengenai

pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam hukum positif di

Indonesia yakni dalam KUHP. Dalam pembahasannya akan dibahas mengenai

pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP serta

unsur-unsur perbuatan tersebut yang akan menjadi dasar dari pengaturan terhadap

Page 26: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

10

perbuatan perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib untuk

melakukan kejahatan serta timbulnya fenomena atau masalah sosial yang

berkaitan dengan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib tersebut.

Rumusan masalah yang kedua dalam penelitian ini adalah mengenai

kebijakan pengaturan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam

pembaharuan Hukum Pidana yakni dalam RUU KUHP 2012, dalam

pembahasannya akan dibahas mengenai perbuatan apa saja yang dikriminalisasi

yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib dalam melakukan kejahatan

sebagai upaya pembaharuan hukum pidana yang mencakup kejahatan dengan

mengunakan kekuatan gaib, kemudian berkaitan erat dengan konsep ideal

perumusan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam melakukan

kejahatan.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dapat dibagi menjadi 2 tujuan yakni tujuan umum dan

tujuan khusus. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Tujuan Umum

Mengenai tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaturan mengenai Perbuatan yang berkaitan dengan menggunakan

kekuatan gaib dalam hukum positif di Indonesia serta dalam pembaharuan

hukum pidana.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk memahami dan menganalisis pengaturan mengenai kejahatan

yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib dalam KUHP.

Page 27: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

11

2. Untuk memahami dan menganalisis pengaturan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib sebagai suatu kejahatan yang diakomodir

dalam RUU KUHP 2012.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Pengkajian dan penelitian terhadap permasalahan tersebut di atas dapat

memberikan pengetahuan dan pemahaman secara teoritis bagi tataran akademisi,

praktisi hukum, dan masyarakat pada umumnya sehingga dalam pemahaman

tersebut diharapkan diperoleh kontribusi pemikiran dan pandangan terhadap

kriminalisasi terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam

RUU KUHP.

b. Manfaat Praktis

Pengkajian terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam

permasalahan hukum di atas diharapkan nantinya secara praktek mampu

mengatasi permasalahan-permasalahan hukum yang berkaitan dengan keberadaan

kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan dalam

masyarakat sehingga dapat mengantisipasi adanya penghakiman secara massal

terhadap seorang yang dituduh melakukan kejahatan dengan menggunakan

kekuatan gaib.

Page 28: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

12

1.6. Orisinalitas Penelitian

Permasalahan mengenai kebijakan pengaturan perbuatan dengan

menggunakan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana sesuai dengan

RUU KUHP menarik untuk diteliti mengenai apakah mungkin perbuatan-

perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dapat dikriminalisasikan dalam

peraturan perundang-undangan. Tesis ini merupakan karya tulis asli penulis,

dengan tanpa adanya unsur plagiasi di dalam proses penulisan yang penulis akan

lakukan. Oleh sebab itu, tesis ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya

secara ilmiah dan terbuka atas saran dan kritik yang bersifat membangun.

Orisinalitas penelitian ini akan ditunjukan dengan membadingkan tesis atau

skripsi dari universitas di Indonesia. Adapun penelitian-penelitian tersebut antara

lain:

1) Tesis yang ditulis oleh Woro Winandi, Universitas Diponegoro, Semarang,

2001, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak

Asasi Manusia dalam Kerusuhan Massal pada Kasus Pembantaian Dukun

Santet di banyuwangi”.

Dengan rumusan masalah

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak

asasi manusia dalam kerusuhan massal?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perlindungan hukum terhadap

pelanggaran hak asasi manusia dalam kerusuhan masal di

banyuwangi?

Page 29: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

13

3. Bagaimana realisasi pelaksanaan perlindungan hukum pada orang-

orang yang dituduh sebagai dukun santet yang menjadi korban

pembantaian dan orang-orang yang dituduh melakukan

pembantaian pada saat kerusuhan missal di banyuwangi?

2) Tesis yang ditulis oleh Saiful Abdullah, Universitas Diponegoro, Semarang

dengan judul “Kebijakan Hukum Pidana (Penal) dan Non Hukum Pidana

(Non Penal) dalam Menanggulangi Aliran Sesat” Dengan rumusan Masalah:

1. Bagaimanakah Kebijakan Hukum Pidana dalam menanggulangi

aliran sesat untuk saat ini dan untuk saat yang akan datang?

2. Bagaimanakah Kebijakan Non Penal untuk menanggulangi Aliran

Sesat?

3) Disertasi yang ditulis oleh Ronny Rahman Nitibaskara, Universitas

Indonesia, Jakarta dengan judul “ Reaksi Sosial Terhadap Tersangka Dukun

Teluh di Pedesaan Banten Jawa Barat”

Jika dibandingkan antara tesis ini dengan tesis dan disertasi di atas

tentunya memiliki perbedaan yang signifikan dari segi fokus penelitian. Tesis ini

meneliti kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib

dalam pembaharuan hukum pidana, yakni lebih menekankan pada konsep dari

perumusan norma yang terkait dengan kejahatan yang mengatasnamakan

kekuatan gaib. Tesis yang pertama tersebut menekankan pada tindakan main

hakim sendiri dari masyarakat terhadap seseorang yang dituduh melakukan santet.

Tesis yang kedua menekankan kepada aliran sesat yang tentunya berbeda dengan

Page 30: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

14

kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan. Sedangkan disertasi tersebut

dipusatkan terhadap reaksi sosial dari masyarakat terhadap seseorang yang diduga

melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang tentunya berbeda

dengan penelitian ini yang terfokus terhadap pengaturan perbuatan yang berkaitan

dengan kejahatan dengan mengatasnamakan kekuatan gaib untuk melakukan

kejahatan.

1.7. Landasan Teoritis

Landasan teoritis dapat diidentifikasi melalui, asas-asas hukum, konsep

hukum, teori-teori hukum atau norma-norma hukum yang digunakan untuk

membahas masalah penelitian. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa “kata

teori berasal dari theoria yang artinya pandangan atau wawasan.9 Selanjutnya

akan dipaparkan mengenai landasan teoritis dari pembahasan penelitian ini.

1. Asas-Asas Hukum

1) Asas Legalitas

Perumusan azas legalitas dari Von Feurbach dalam bahasa latin

dikemukakan berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “vom

psychologischen”, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan

perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang

macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang

macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang

9 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, h.4

Page 31: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

15

yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah diketahui

pidana apa yang akan di jatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan.

Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga (3) pengertian yaitu:

(1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana

kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu

undang-undang.

(2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan

analogi.

(3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.10

Pengertian yang pertama, bahwa harus ada aturan undang-undang jadi

aturan hukum yang tertulis lebih dahulu, dengan jelas nampak dalam Pasal 1

KUHP, dalam teks Belanda disebutkan: “wettelijke strafbepaling” yaitu aturan

pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya ketentuan ini konsekuensinya

adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat

dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. 11

2) Asas Praduga tak Bersalah

Asas praduga tak bersalah berasal dari Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang

No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang secara tersurat

menyatakan bahwa “ Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut,

dan/atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum

adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh

10

Moeljatno, 1985, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara (selanjutnya disebut

Moeljatno I), Jakarta, h. 25

11

Ibid., h.26

Page 32: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

16

kekuatan hukum yang tetap. Sementara itu, di dalam Undang-Undang No.8

Tahun 1981, asas praduga tak bersalah tidak secara tegas dicantumkan dalam

salah satu pasal, tetapi hal itu tersirat dalam bagian Mengingat angka 3 serta

dalam Penjelasan Umum angka 3 huruf c. Menurut Mardjono Reksodiputro,

unsur-unsur dalam asas praduga tak bersalah ini adalah asas utama perlindungan

hak warga negara melalui proses hukum yang adil (due process of law) yang

mencakup sekurang-kurangnya:

1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara.

2. Bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa.

3. Bahwa sidang pengadilan harus terbuka ( tidak boleh bersifat rahasia)

4. Bahwa tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk

dapat membela diri sepenuh-penuhnya.12

Asas praduga tidak bersalah merupakan salah satu asas penting dalam

proses peradilan pidana. Penerapan asas ini akan membuat seorang tersangka atau

terdakwa yang belum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap akan mendapatkan hak-haknya tanpa perkecualian dan

perbedaan sehingga mempunyai kedudukan yang seimbang dengan penegak

hukum. Asas ini berlaku terhadap siapa saja termasuk keberadaan seseorang yang

diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dari tindakan

main hakim sendiri oleh warga masyarakat.

2. Konsep Hukum

1) Konsep Hak Asasi Manusia

12

Luhut M.P. Pangaribuan, 2013, Hukum Acara Pidana, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, h.23

Page 33: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

17

Menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Indonesia adalah negara hukum yang

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Beberapa ahli tela merumuskan unsur-

unsur negara hukum. Sri Soemantri berpandangan bahwa status negara hukum

harus memenuhi unsur, yaitu:

a) Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar

atas hukum atau peraturan perundang-undangan.

b) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara)

c) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara

d) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.13

Kedudukan dan hubungan individu dengan negara menurut teori negara

hukum dikatakan oleh Sudargo Gautama bahwa dalam suatu negara hukkum,

terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak dapat

bertindak sewenang-wenang.14

Tindakan-tindakan negara terhadap warganya

dibatasi oleh hukum. Untuk mewujudkan cita-cita negara hukum, adalah suatu

syarat mutlak bahwa rakyat juga sadar akan hak-haknya dan siap sedia untuk

berdiri tegak membela hak-haknya tersebut. Dengan dianutnya konsep negara

hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, maka pengakuan dan perlindungan

HAM setiap warga negara wajib diberikan oleh negara, termasuk dalam proses

peradilan pidana. Dengan demikian perlindungan Hak Asasi Manusia setiap orang

dilindungi oleh konstitusi secara tegas sebagai salah satu unsur dari negara

hukum. Perlakuan sewenang-wenang terhadap seorang yang diduga melakukan

13

Sri Soemantri, 1997, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, h.29

14

Ibid., h. 32

Page 34: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

18

kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib sudah sepatutnya mendapat

perlindungan oleh negara melalui perangkat hukum yang ada.

2) Konsep Restorative Jusctice

Konsep Restorative Justice sebenarnya telah lama dipraktikan

masyarakat adat indonesia, seperti di Papua, Bali, Toraja, Minangkabau, dan

Komunitas tradisional lain yang masih kuat memegang kebudayaan. Apabila

terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang, penyelesaian sengketa diselesaikan di

komunitas adat secara internal tanpa melibatkan aparat negara. Ukuran keadilan

bukan berdasarkan retributive berupa balas dendam atau hukuman penjara, namun

berdasarkan keinsyafan dan pemaafan (keadilan restorative). Walaupun perbuatan

pidana umum yang ditangani masyarakat sendiri bertentangan dengan hukum

positif, terbukti mekanisme ini telah berhasil menjaga harmoni ditengah

masyarakat. Keterlibatan aparat penegak hukum negara sering kali mempersulit

dan memperuncing masalah.15

Kovensi negara-negara di dunia mencerminkan paradigma baru untuk

menghindari peradilan pidana. Restorative Justice adalah alternatif yang popular

di berbagai belahan dunia untuk penanganan pelaku tindak pidana yang

bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan

efektif. Keadilan restorative bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku,

keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum,

dengan menggunakan kesadaran dan keinsafan sebagai landasan untuk

15

Dewi, DS. dan Fatahillah A.Syukur, 2011, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice

di Pengadilan Anak Indonesia, Indie Publishing, Depok, h.4

Page 35: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

19

memperbaiki kehidupan bermasyarakat, termasuk korban dari penghakiman masal

atas dugaan sebagai pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib.

3) Konsep Kekuatan Gaib

Ahmad Syafi’I Mufid mnegungkapkan bahwa Indonesia adalah negara

yang kaya akan budaya, sehingga tidak asing lagi mengenai perbedaan ragam

budaya, adat istiadat, maupun mengenai keyakinan. Di Indonesia, kehidupan

spiritual tampaknya juga tidak pernah redup. Memang agama, bagi masyarakat

Indonesia, selain merupakan bagian dari tradisi itu sendiri, tampaknya adalah

suatu identitas sekaligus sumber moral dan spiritual yang tidak mungkin

ditinggalkan. Kebudayaan adalah hal kompleks yang mengungkap pengetahuan,

kepercayaan, kesenian dan moral. Di dalam kebudayaan bermacam kekuatan yang

harus dihadapi seperti kekuatan gaib maupun kekuatan lainnya, selain itu manusia

dan masyarakat juga memerlukan kepuasan dibidang spiritual maupun materiil.

Selain hal yang kompleks di atas, adapun kaidah-kaidah yang dinamakan

peraturan biasanya sengaja dibuat dan mempunyai sanksi tegas.16

Pengertian Kekuatan gaib dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna

sesuatu kekuatan yang ditimbulkan oleh adanya daya jiwa seseorang, kekuatan

rahasia, kekuatan jiwa yang dimiliki berdasarkan jasmaninya. Sedangkan gaib

merupakan kekuatan sakti atau supranatural yakni kekuatan gaib yang bersifat

luar biasa yang ada di luar jangkauan akal manusia dan yang dianggap berada

dalam alam, dalam benda, dalam tumbuhan, dalam binatang, atau manusia

16

Ahmad Shafii Mufid, keberadaan kekuatan di luar nalar manusia, 2009,

http:www//kekuatan/suprantural/manusia.ac.id /diakses pada tanggal 28 oktober 2014, h.5

Page 36: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

20

tertertu. Serta kekuatan yang berkaitan dengan hal-hal yang ajaib (yang tidak

dapat diterangkan dengan akal)17

sedangkan arti santet dengan sihir atau

menyamakan arti menyantet atau menyihir diberikan dua arti yakni perbuatan

ajaib yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib (guna-guna, mantera dsb)

dan ilmu gaib (teluh, tuju, dan sebagainya). Sementara perbuatan menyihir adalah

berupa menggunakan sihir, memukau, memesona, membuat sangat terpikat. 18

Em Zul Fajri dan Ratu Aprillia Senja dalam kamus lengkap Bahasa

Indonesia tersebut menyamakan arti santet dengan teluh, tenung, guna-guna yang

bersifat gaib. Sementara perbuatan menyantet adalah mencelakakan orang lain

melalui cara gaib. Dari kedua Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat

disimpulkan bahwa santet sebagai ilmu atau lebih tepatnya kemampuan,

kepandaian atau kemahiran untuk mencelakakan, menderitakan fisik maupun

psikis atau menghilangkan nyawa orang lain dengan cara gaib. Sementara sebagai

perbuatan santet adalah melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan

mencelakai, menderitakan fisik atau psikis atau menghilangkan nyawa orang lain

dengan cara gaib.

Kekuatan gaib sebagai salah satu elemen dalam kehidupan masyarakat

Indonesia memiliki karakter yang beraneka ragam, kekuatan gaib dipandang dari

segi fungsinya dapat dibagi menjadi dua yakni kekuatan gaib yang memiliki

fungsi positif dalam arti masyarakat Indonesia mempercayai keberadaan suatu

kekuatan di luar akal serta digunakan sebagai salah satu cara untuk melindungi

17

Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, h. 747

18

Em Zul Fajri dan Ratu Aprillia , 2009, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa,

Gramedia Pustaka utama, Jakarta, h.1224

Page 37: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

21

diri, penyembuhan, serta kegiatan-kegiatan yang sifatnya untuk kebaikan. Di sisi

lain kekuatan gaib juga memiliki fungsi yang negatif, tidak sedikit masyarakat

Indonesia yang mempelajari suatu kekuatan di luar akal tersebut untuk melakukan

suatu kejahatan berupa menyakiti seseorang, membunuh, menjadikan seseorang

cacat fisik, serta dampak lain yang tidak baik. 19

Kekuatan gaib dalam fungsinya yang negatif tersebut di berbagai daerah

dikenal dengan sebutan yang berbeda-beda. Adanya hal-hal di luar rasio atau

logika yang sifatnya tak terlihat, ajaib, gaib dan berbau magis sudah menjadi

rahasia umum bagi masyarakat Indonesia pada umumya. Perbuatan magis ada

yang bersifat putih dan hitam. Perbuatan magis putih biasanya digunakan untuk

kebaikan seperti upacara-upacara adat yang digunakan untuk tujuan religi atau

menyembuhkan orang. Sedangkan yang menjadi permasalahan adalah ilmu magis

yang sifatnya negatif atau yang biasa dikenal dengan sebutan ilmu hitam (black

magi.)20

yang sering kali menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial dalam

masyarakat yang masih kental dengan kepercayaan terhadap seseorang yang

melakukan kejahatan dengan mengunakan kekuatan gaib. Keberadaan hal tersebut

masih sangat diakui, akan tetapi keterbatasan bukti empiris menyebabkan

perbuatan tersebut tidak dapat dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dilarang

dalam peraturan perundang-undangan oleh sebab terkendala oleh sistem

pembuktian.

19

R.P. Suyono, 2008, Ajaran Rahasia Orang Jawa, Lkis, Yogyakarta, h.24

20

Ibid., h. 25

Page 38: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

22

Konsep kekuatan gaib berbeda dengan jenis kegiatan-kegiatan yang

berhubungan atau dianggap bernuansa mistis seperti sulap dan hipnotis. Sulap

adalah suatu seni pertunjukan yang diminati sebagian besar masyarakat didunia,

karena pada penyajiannya sulap dapat membuat heran penontonnya akan rahasia

di balik penyajiannya. Sulap merupakan suatu gabungan dari berbagai seni yang

ada, misalnya seni tari, seni musik, seni rupa, dan lain-lain. Seni sulap bukanlah

suatu keterampilan yang berbau klenik atau supranatural, karena setiap trik sulap

dapat dijelaskan. Sulap semata-mata hanyalah permainan kelihaian tangan,

manipulasi, hasil kerja dari suatu perlengkapan atau peralatan ataupun efek yang

timbul dari suatu reaksi kimia dan yang telah dilatih sebaik mungkin oleh pesulap

sebelum dipertunjukkan kepada orang lain.21

Sedangkan hipnotis adalah satu ilmu

yang digunakan untuk bermain dengan alam bawah sadar manusia, setelah

seseorang memasuki alam bawah sadarnya akan mengikuti apa yang

diperintahkan. Hipnotis adalah cabang ilmu psikologi yang mempelajari pengaruh

sugesti terhadap pikiran manusia.22

Dengan demikian antara kekuatan gaib, sulap,

dan hipnotis memiliki perbedaan yang signifikan.

3. Teori Hukum

1) Teori Penemuan Hukum

Penafsiran dalam hukum pidana merupakan suatu hal yang sangat penting, hal

tersebut karena dalam berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya

21

Hhtp://www.gumzkazama.wordpress.com/2013/02/07/pengertian-sulap-dan-sejarah-

sulap// h.2 diakses pada tanggal 1 April 2015 pukul 13.00 WITA

22

Ibid. h.3

Page 39: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

23

penafsiran. Penafsiran tersebut dikarenakan hukum tertulis tidak dapat dengan

segera mengikuti arus perkembangan masyarakat. Perkembangan masyarakat ini

mengakibatkan nilai-nilai yang merupakan ukuran akan segala sesuatu juga ikut

berubah. Hukum tertulis bersifat kaku dan tidak dengan mudah mengikuti

perkembanngan masyarakat, ketika hukum tertulis terbentuk terdapat sesuatu hal

yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk undang-undang.

Namun setelah undang-undang dibentuk dan dijalankan barulah muncul persoalan

mengenai hal yang tidak diatur.23

Norma seringkali dirumuskan secara singkat dan bersifat sangat umum

sehingga kurang jelas maksud dan artinya sehingga dalam menerapkan norma

tersebut akan menemukan kesulitan. Kesulitan tersebut dapat terselesaikan dengan

jalan menemukan hukumnya atau menafsirkannya. Hukum pidana yang berupa

aturan-aturan tertulis disusun, dibuat dan diundangkan untuk diberlakukan.

Hukum pidana yang wujudnya terdiri dari susunan kalimat-kalimat tertulis setelah

diundangkan untuk diberlakukan pada kehidupan secara nyata di dalam

masyarakat menjadi hukum positif, dan akan efektif dan dirasakan mencapai

keadilan dan kepastian hukum apabila dalam penerapannya itu sesuai dengan

yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang tentang apa yang ditulis dalam

kalimat-kalimat tersebut. Perkembangan masyarakat dimana kebutuhan hukum

dan rasa keadilan juga berubah sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dalam

masyarakat.24

23

Adami Chazawi, 2005, Pelajaran Hukum Pidana ( bagian 2), Rajawali Pers, Jakarta,

h.1

24

Ibid., h.3

Page 40: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

24

Persoalan hukum di masa transisi setelah reformasi membutuhkan

terobosan hukum. Hampir tidak ada terobosan yang cerdas menghadapi kemelut

transisi pasca orde baru. Pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya

yaitu hukum untuk manusia. Aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, maupun

hakim dituntut untuk mencari dan menemukan keadilan-keadilan dalam batas dan

di tengah keterbatasan kaidah-kaidah hukum yang ada. 25

Hukum adalah teks dan

hanya dapat menjadi aktif melalui campur tangan manusia. Sejak perilaku

manusia berperan aktif dalam realisasi teks-teks hukum atau peraturan perundang-

undangan, maka hukum memasuki dunnia yang semakin kompleks. Manusia tidak

lagi semata-mata dihadapkan pada teks hukum, melainkan juga pada kompleksitas

perilaku manusia.26

Praktik menunjukkan tidak jarang dijumpai peristiwa yang belum diatur

dalam hukum atau perundang-undangan dan meskipun sudah diatur tetapi tidak

lengkap dan jelas. Peraturan perundang-undangan di dalamnya memang tidak ada

yang selengkap-lengkapnya atau sejelas-jelasnya. Sedangkan kepentingan

manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya.27

Kepentingan

manusia juga akan terus berkembang sepanjang masa yang dalam hal ini hukum

berfungsi melindungi kepentingan manusia tersebut. Sehubungan dengan

peraturan tersebut maka peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan dan

yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar

25

Bernard L. Tanya , 2006, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 212

26

Satjipto Rahardjo, 2010, Sosiologi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, h.71

27

Bambang Sutiyoso, 2007, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, h. 29

Page 41: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

25

aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Manusia berfikir

melalui bahasa, berbicara dan menulis juga dengan bahasa. Oleh karena itu tidak

ada satupun diantara manusia mempunyai bahasa yang sama antara satu dengan

yang lainnya.28

Metode penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh

hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum

terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang kongkret. Pengertian ini dapat dikatakan

sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen)

yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkret (das sein)

tertentu. Inti dari penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau

menemukan hukum untuk peristiwa kongkret. Pada hakikatnya semua perkara

membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan

secara tepat terhadap peristiwanya sehingga dapat diwujudkan putusan hukum

yang memenuhi aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfatan.29

Metode yang diteliti dalam penemuan hukum ini adalah metode

interpretasi. Interprestasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan

hukum yang memberikan penjelasan yang lebih jelas tentang teks undang-undang,

agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada

peristiwa hukum tertentu. Stephane Beaulac mengemukakan definitions or rules

of interpretation in an enactment apply to all the provisions of the enactment,

28

Jazim Hamidi, 2011, Hermenutika Hukum-Sejarah Filsafat dan Metode Tafsir, UB

Press, Malang, h.49

29

Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum suatu Pengantar , Liberty,

Yogyakarta (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), h.173

Page 42: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

26

including the provisions that contain those definitions or rules interpretations30

(

definisi atau aturan intrepretasi dalam pemberlakuan berlaku untuk semua

ketentuan berlakunya, termasuk ketentuan yang berisi definisi tersebut atau aturan

definisi). Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada

pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum

terhadap peristiwa yang kongkret. Tujuan akhir penjelasan dan penafsiran aturan

tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku. Interprestasi

merupakan upaya menemukan makna yang sebenarnya dari tanda-tanda apapun

yang digunakan untuk menyampaikan ide-ide.31

Metode penafsiran sejak semula dibagi menjadi empat (4), yaitu

interprestasi gramatikal, interprestasi sistematis, interprestasi historis, interprestasi

teleologis. Di samping itu dikenal interprestasi komparatif dan interprestasi

antisipatif. Berkaitan dengan penelitian ini, digunakan interprestasi historis yakni

penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti

sejarah terjadinya. Interprestasi historis meliputi penafsiran menurut sejarah

hukumnya dan penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang. Undang-

undang selalu merupakan reaksi terhadap kepentingan atau kebutuhan sosial

untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia yang dapat dijelaskan secara historis.

Metode interprestasi yang hendak memahami undang-undang dalam konteks

30

Stephane Beaulac, 2008, Handbook on Statutory Interpretations, General

Methodology, Canadian Charter and International Law, Lexis Nexis, Canada, p.70

31

Gregory Leyh, 2014, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, dan Praktik, Nusa Media,

Bandung, h. 140

Page 43: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

27

seluruh sejarah hukum disebut sebagai interprestasi menurut sejarah hukum.32

Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan pada rumusan masalah

pertama yakni untuk menafsirkan tujuan atau konsep rumusan terhadap

pengaturan mengenai kekuatan gaib dalam hukum positif Indonesia. Penafsiran

Antisipatif atau futuristis yakni penafsiran yang digunakan untuk mencari

pemecahan masalah dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan

berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang.33

Penafsiran ini relevan untuk

menjawab permasalahan dalam rumusan masalah II.

2. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa Belanda

“politeik”istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata

politik. Oleh karena itu kebijakan hukum pidana sering disebut dengan politik

hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas

dari pembicaraan mengenai politik secara keseluruhan karena hukum pidana

adalah salah satu dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk

dibicarakan politik hukum pidana.34

.

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik

hukum maupun dari politik kriminal. Sudarto pernah mengemukakan definisi

singkat, bahwa politik kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari

32

Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Edisi Revisi),

Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), h.78

33

Ibid. h.81

34

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.26

Page 44: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

28

masyarakat dalam menanggulangi kejahatan” 35

kebijakan atau upaya

penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya

perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan

masyarakat(social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir

atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat.36

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan

kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan

kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial

(sosial policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan

sosial (social welfare) dan kebijakan atau upaya-upaya untuk perlindungan

masyarakat (social defence policy). Dengan demikian, kebijakan penanggulangan

kejahatan (politik kriminal) yang dilakukan dengan menggunakan sarana penal

(hukum pidana), melalui kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya pada

tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus

memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu,

berupa social welfare dan social defence. 37

Pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi segala tindakan

yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil luas lingkup dan

35

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.1

36

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit.,h.2

37

Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum

Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Mutiara, Jakarta, (selanjutnya disebut Barda Nawawi

Arief II), h. 77

Page 45: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

29

kekerasan suatu pelanggaran, baik melalui pengurangan kesempatan-kesempatan

untuk melakukan kejahatan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh

kepada orang-orang yang secara potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada

masyarakat umum. Adam Sutton menyatakan the fact that prevention involves

identifying, then finding ways to solve, crime problems may seem blindingly

obvious it is surprising how often the problem solving process negleted.38

(fakta

bahwa pencegahan melibatkan identifikasi, kemudian menemukan cara untuk

memecahkan, masalah kejahatan mungkin nampak menyilaukan dan jelas

mengejutkan serta seberapa sering proses pemecahan masalah menjadi gagal).

Fenomena kejahatan dapat dengan mudah ditemui diberbagai tempat. Dari yang

konvensional sampai white collar crime (kejahatanberdasi), dari yang lokal

(primitif) sampai transnasional(canggih).39

Pencegahan kejahatan (politik kriminal), dapat ditempuh dengan beberapa

metode yaitu dapat berupa penerapan hukum pidana, pencegahan tanpa pidana

dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan

lewat mass media dari ketiga jenis penanggulangan diatas, yang pertama

dikategorikan dalam jalur penal (hukum pidana), sedangkan dua jenis terakhir

dapat dikelompokan dalam jalur non penal (non pidana). Pencegahan dan

penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal), sosial welfare dan

social defence, di mana dalam social welfare dan social defence yang urgen

38

Adam Sutton, Adrian Cherney, and Rob white, 2008, Crime Prevention Principles,

Perspectives and practices, Cambrige University Press, New York, p.26

39

Josias Simon Runturambi, 2003, Dukungan Sistem Kepercayaan dalam Kejahatan,

Jurnal Hukum, Universitas Indonesia, h 2

Page 46: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

30

adalah kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial terutama

nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Karena itu, seharusnya

pencegahan dan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan pendekatan integral

yaitu keseimbangan sarana penal dan non penal.40

Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan

kebijakan dalam arti ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan

politik sosial, serta keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan

sarana penal dan non penal. Penegasan perlunya upaya penanggulangan kejahatan

diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan

pembangunan (nasional). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto bahwa

apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif

dari masyarakat/modernisasi (antara lain penanggulangan kejahatan), maka

hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social

defence planning, dan ini pun harus merupakan bagian integral dari rencana

pembangunan nasional.41

Pembentukan hukum, permulaanya adalah suatu perencanaan yang

didasarkan pada situasi kenyataan kehidupan yang diarahkan kesatu tujuan yang

tidak yuridis, yaitu suatu kepentingan atau usaha nilai yang akan dicapai diwaktu

yang akan datang. Berkaitan dengan perbuatan yang menggunakan kekuatan gaib

sudah lama dikenal dalam masyarakat hukum adat dan masyarakat mengakui

keberadaan tersebut. Namun dalam praktek pembuktian tindak pidana ini sangat

40

Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis, dan Praktis,

Alumni, Bandung, h.398

41

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h.6

Page 47: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

31

sulit untuk dibuktikan, akan tetapi kriminalisasi dari perbuatan ini diperlukan

untuk mengantisipasi tindakan main hakim sendiri dikalangan masyarakat.

Hubungan dengan konsep keadilan dan kultur hukum dalam proses pengambilan

kebijakan oleh pemerintah hendaknya tidak terlepas dari apa yang menjadi

tuntutan dari masyarakat, teori ini relevan digunakan untuk membahas persoalan

rumusan masalah kedua dalam penulisan ini yang difokuskan terhadap kebijakan

pengaturan perbuatan yang berkaitan dengan kekuatan gaib.

3. Teori Pemidanaan

Pidana berasal dari kata straf dalam bahasa Belanda dan seringkali

diterjemahkan secara berbeda misalnya diterjemahkan “hukuman” yang menurut

para ahli hukum pidana dipandang kurang tepat. Istilah “hukuman” merupakan

istilah umum dan konvensional, dapat mengandung arti yang luas dan berubah-

ubah sesuai dengan konteksnya. Istilah “pidana” lebih sesuai dengan hukum

pidana.42

Menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud

nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik tersebut.

Nestapa atau penderitaan tersebut bukan suatu tujuan akhir yang dicita-citakan

masyarakat tetapi hanya suatu tujuan terdekat. Di samping pidana, untuk

mencapai tujuan-tujuannya hukum pidana juga menggunakan tindakan-tindakan

42

Bambang Waluyo, 2008, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 9

Page 48: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

32

(maatregelen). Tindakan adalah sanksi yang tidak mengandung sifat

pembalasan.43

Ilmu hukum pidana sesuai dengan perkembangan pemikiran mengenai

tujuan pemidanaan yang berusaha mencari dasar pembenaran dari pidana, dapat

diklasifikasi teori-teori tujuan pemidanaan sebagai berikut:

a. Teori Retributif (retributive theory) atau Teori Absolut

Dasar pembenaran dari pidana menurut teori retributif adalah terletak pada

adanya tindak pidana atau tindak pidana sendiri yang memuat unsur-unsur yang

membenarkan pidana dijatuhkan. Pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan

tindak pidana dan tidak untuk tujuan lain. Pidana adalah suatu penyangkalan dari

penyangkalan hukum yang terletak dalam tindak pidana itu sendiri. Tindak pidana

dalam hal ini dipandang sebagai pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara

yang merupakan perwujudan cita susila.44

Dalam teori ini Hegel juga

mengajarkan bahwa hukum adalah suatu kenyataan kemerdekaan, oleh sebab itu

kejahatan merupakan tantangan terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang

dari sisi imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding

(pembalasan dialektis)45

Berkaitan dengan keberadaan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

gaib dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang menjadi masalah sosial perlu

43

Sigit Suseno, 2012, Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di dalam dan

di luar KUHP (Suatu Analisis), Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM

RI, Jakarta, h.32

44

Ibid., h.33

45

Leden Marpaung, 2005, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h.

105

Page 49: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

33

menjadi pertimbangan dalam penegakan hukum sesuai dengan kaidah hukum

pidana bangsa Indonesia. Proses kriminalisasi dalam perundang-undangan

merupakan hal yang sangat penting untuk mengapresiasi bentuk keinginan

masyarakat terhadap suatu kejahatan yang sebelumnya belum ada pengaturannya

secara tegas. Krimininalisasi suatu perbuatan harus juga mencakup sanksi atau

pidana terhadap perbuatan yang dianggap merusak nilai-nilai serta sendi

kehidupan masyarakat.

Nigel Walker menjelaskan ada dua golongan penganut teori retribusi.

Pertama, penganut teori retributive murni memandang pidana harus sepadan

dengan kesalahan pelaku. Kedua, penganut teori retributive tidak murni dipecah

lagi menjadi:

a. Penganut teori retributif terbatas (the limiting Retributivist) yang

berpandangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang

lebih penting adalah, keadaan tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh

sanksi dalam hukum pidana itu tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk

penetapan kesalahan pelanggaran.

b. Penganut teori retributif distribusi (Retribution in Distribution). Penganut

teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum

pidana harus dirancang dengan pandangan pada pembalasan, namun juga

gagasan bahwa seharusnya ada batas yang tepat dalam retribusi pada

beratnya sanksi.46

46

M. Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track

System dan Implementasinya), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.37

Page 50: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

34

Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib merupakan suatu

perbuatan yang dipandang tercela, dengan demikian pelaku dari perbuatan

tersebut sering menjadi korban dari main hakim warga masyarakat yang tidak

menerima keberadaan praktik tersebut. Dalam hukum pidana, seseorang yang

terbukti secara sah melakukan perbuatan melawan hukum harus dijatuhkan sanksi

atau pemidanaan oleh aparat negara. Penjatuhan sanksi tersebut memperoleh dasar

pembenar manakala suatu perbuatan kriminal yang merugikan korban sudah

sepatutnya memperoleh balasan dalam bentuk pemidanaan. Pemidanaan atau

hukuman penting untuk diberlakukan dalam rangka untuk menanggapi suatu

bentuk tindakan jahat terhadap pelaku kejahatan dengan menggunakan mkekuatan

gaib.

b.Teori Relatif (utilitarian theory)

Dasar pembenaran pidana menurut teori tujuan adalah terletak pada

tujuannya.Tujuan-tujuan pidana tersebut harus mempunyai kemanfaatan, misalnya

untuk mempertahankan tata tertib hukum masyarakat atau mencegah (prevention)

dilakukannya suatu tindak pidana. Oleh karena itu teori ini disebut teori tujuan

(utilitarian theory). Menurut Remmelink dalam teori relative hubungan antara

ketidakadilan dengan pidana bukan hubungan yang ditegaskan secara a-priori

sebagaimana teori absolute, tetapi dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.47

Pidana dalam perspektif pertahanan tata tertib masyarakat adalah suatu

noodzakelijk, sesuatu yang terpaksa diperlukan. Menurut penganut teori tujuan

menekankan pada dua konsekuensi pemidanaan yang dikehendaki, yaitu pertama

47

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung, h. 16

Page 51: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

35

efek pencegahan (deterent effect). Pidana biasanya mempunyai nilai karena

mencegah pelaku tindak pidananya dan mencegah yang lainnya untuk melakukan

tindak pidana serupa. Kedua, pidana untuk memperbaiki pelaku pidana. Pidana

dapat mengubah seseorang sehingga dia tidak mudah mempunyai keinginan untuk

menghalangi ketertiban sosial dengan perbuatan-perbuatan yang melanggar

keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan orang lain yang sah.48

Teori tujuan dapat dibedakan dalam teori prevensi umum dan teori

prevensi khusus. Prevensi umum bertujuan untuk mencegah agar orang pada

umumnya melakukan tindak pidana dan mencegah rakyat pada umumnya untuk

melakukan tindak pidana. Efek pencegahan dalam prevensi umum terletak pada

pertama, penjatuhan pidana yang bersifat menakutkan. Pandangan ini

menitikbertakan pada eksekusi pemidanaan yang dipertunjukan kepada umum

sehingga menakutkan anggota masyarakat untuk melakukan tindak pidana. Oleh

karena itu perlu dibuat pidana yang berat dan eksekusi pidana yang berat tersebut

dilakukan di muka umum. Kedua, unsur utama yang dapat menahan niat jahat

manusia untuk melakukan tindak pidana terletak pada sanksi pidana.

Menurut Von Feuerbach sanksi pidana menimbulkan suatu tekanan

secara kejiwaan atau daya paksa psikis yang dapat mencegah manusia melakukan

tindak pidana. Menurut Johannes Andenaes prevensi umum mempunyai tiga

bentuk pengaruh, yaitu:

1) Pengaruh pencegahan

2) Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral

48

Sigit Suseno, Op.Cit., h.34

Page 52: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

36

3) Pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh pada

hukum.49

Salah satu seorang penganut teori prevensi umum, Van Veen menyatakan

bahwa prevensi umum mempunyai tiga fungsi yaitu50

:

1) Menjaga dan menegakan wibawa penguasa, yaitu yang berperan dalam

perumusan tindak pidana yang langsung bersinggungan dengan

wibawa pemerintah.

2) Menjaga (pemberlakuan) atau menegakkan norma hukum

3) Pembentukan norma, menggarisbawahi pandangan bahwa perbuatan-

perbuatan tertentu dianggap asusila sehingga tidak diperbolehkan.

Prevensi khusus bertujuan untuk mencegah agar pelaku tindak pidana

tidak mengulangi melakukan tindak pidana. Teori prevensi khusus mengoreksi

kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam prevensi umum. Dalam konteks

keberadaan perbuatan yang berkaitan dengan media kekuatan gaib masih menuai

kontroversi dari berbagai ahli hukum, salah satu upaya dari hukum untuk

melindungi masyarakat dari keberadaan kejahatan dengan menggunakan media

kekuatan gaib ialah dengan melakukan kriminalisasi dengan mencatumkan

sejumlah ancaman sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib tersebut. Dasar dari pemidanaan dari segi tujuan

ialah ancaman tersebut mampu untuk memberikan efek jera terhadap pelaku

kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan.

49

Sigit Suseno, Op.Cit. h. 35

50

Sigit Suseno, Op.Cit., h.36

Page 53: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

37

b. Teori gabungan

Teori ini menggabungkan dasar pembenaran pidana pada pembalasan

(teori absolute) dan tujuan pidana yang bermanfaat (teori tujuan). Menurut

Utrecht teori-teori gabungan dapat dibedakan dalam tiga golongan:

a. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan tetapi

pembalasan tersebut tidak boleh melebihi batas yang diperlukan

dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib

masyarakat. Terhadap kejahatan dengan menggunakan media

kekuatan gaib adalah sebuah kejahatan yang dilakukan dengan

cara-cara yang tidak biasa, atau dapat juga dikategorikan

sebagai kejahatan yang dilakukan dengan cara yang luar biasa

diluar nalar manusia biasa, sehingga penghukuman yang

dijatuhkan merupakan suatu pembalasan.51

b. Teori-teori gabungan yang menitikberatkan pada

mempertahankan tata tertib masyarakat, tetapi beratnya pidana

harus sesuai dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan.

c. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan dan

mempertahankan tata tertib masyarakat.

Teori pemidanaan digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam

rumusan masalah dua (2) yang berkaitan dengan dasar pembenaran penjatuhan

sanksi dalam perumusan aturan yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan

kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan.

51

Sigit Suseno, Op.Cit., h.37

Page 54: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

38

4. Teori Hukum Integratif

Pembangunan hukum di era reformasi sampai saat ini tengah mengalami

tantangan perubahan, baik di dalam negeri maupun dalam fora hubungan

internasional. Tantangan perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang

tengah mengalami masa transisi dari sistem otoritarian memasuki sistem

demokrasi tidaklah cukup diatasi dengan melakukan perubahan-perubahan, baik

dibidang perundang-undangan, perekonomian dan politik, melainkan harus diikuti

dengan perubahan, cara pandang dan sikap masyarakat dan birokrasi tentang baik

buruknya atau kuat lemahnya sistem baru yang akan dianut bagi kepentingan

masa depan bangsa.52

Teori hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmaja dalam

menghadapi tantangan perubahan dimaksud mengandalkan hukum sebagai

kekuatan normatif yang harus berakar pada masyarakatnya, akan tetapi pada saat

yang sama hukum harus diberdayakan untuk mengubah sikap dan perilaku

masyarakatnya lebih utama dibandingkan dengan perubahan sikap dan perilaku

birokrasi dalam sistem pemerintahan birokrasi Indonesia. Teori hukum progresif

tidak mengakui kelebihan kekuatan normatif dari hukum tertulis atau undang-

undang sebagai sarana untuk menemukan solusi dalam kehidupan masyarakat

karena semua produk hukum tertulis dipandang selalu mencerminkan kepentingan

kekuasaan daripada kepentingan keadilan rakyat.53

52

Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif Rekontruksi Terhadap Teori Hukum

Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publising,Yogyakarta, h.94

53

Ibid., h.95

Page 55: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

39

Teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo memandang kekuatan

hukum tiada lain merupakan pencerminan dari kehendak pemegang kekuasaan di

mana manusia tidak diberdayakan sebagai subjek hukum yang harus dihormati

melainkan justru telah dijadikan korban dari kekuasaan melalui hukum yang telah

dibuatnya. Menurut Satjipto Rahardjo, kekuasaan “authoritative” dalam hukum

merupakan penyebab terjadi penyimpangan terhadap fundamental hukum yaitu

hukum untuk manusia bukan sebaliknya. Melalui Teori hukum progresif, Satjipto

hendak mengembalikan hukum kepada jalur yang seharusnya (on the right track)

dan untuk itulah beliau berpendapat diperlukan terobosan-terobosan hukum (legal

breakthrough, bukan legal breaking) atau terobosan besar dalam proses

pembentukan dan penegakan hukum.54

Bertolak dari pandangan kedua guru besar hukum Indonesia di atas, dapat

disimpulkan bahwa jika hukum menurut Mochtar merupakan sistem norma

(system of norms) dan menurut Satjipto, hukum sebagai sistem perilaku (systems

of behavior), maka dilengkapi bahwa hukum dapat diartikan dan juga seharusnya

diartikan sebagai sistem nilai (system of values). Ketiga hakikat hukum dalam

konteks kehidupan masyarakat Indonesia harus dipandang sebagai satu kesatuan

pemikiran yang cocok dalam menghadapi dan mengantisipasi kemungkinan

terburuk abad globalisasi saat ini dengan tidak melepaskan diri dari sifat

tradisonal masyarakat Indonesia yang masih mengutamakan nilai(values) moral

dan sosial.55

54

Ibid.,h.96

55

Ibid.,h. 97

Page 56: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

40

Ketiga hakikat hukum dalam satu wadah pemikiran Romli Atmasasmita

disebut “tripartite character of the Indonesian legal theory of Social and

Bureucratic Engineering (SBE)”. Rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat

yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku dan sistem nilai yang

bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, itulah yang disebut

sebagai Teori Hukum Integratif. Ketiga karakter hukum tersebut di atas dapat

dijelaskan bahwa setiap langkah pemerintah dalam pembentukan hukum dan

penegakan hukum merupakan kebijakan berlandaskan sistem norma dan logika

berupa asas dan kaidah, dan kekuatan normatif dari hukum harus dapat

diwujudkan dalam perubahan perilaku masyarakat dan birokrasi ke arah cita-cita

membangun negara hukum yang demokratis.56

Negara demokratis dapat dibentuk jika dipenuhi secara konsisten tiga pilar

yaitu penegakan hukum (rule by law), perlindungan HAM (enforcement of human

rights), dan akses masyarakat memperoleh keadilan(acces to justice). Dalam

konteks negara Indonesia, ketiga pilar tersebut harus diikat oleh Pancasila sebagai

ideologi bangsa Indonesia. Ikatan Pancasila tersebut merupakan sistem nilai

tertinggi dalam perubahan sistem norma dan sistem perilaku yang berkeadilan

sosial. Hanya dengan sudut pandang ini, maka dapat diciptakan kepatuhan hukum

pada masyarakat dan birokrasi. Inti pemikiran Teori Hukum Integratif adalah

merupakan perpaduan pemikiran Teori Hukum pembangunan dan Teori Hukum

Progresif.57

56

Ibid., h.98

57

Romli Atmasasmita , Loc.Cit.

Page 57: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

41

Teori Hukum Integratif harus dipahami dalam pengertian yang dinamis,

tidak bersifat status quo, dan pasif, melainkan hukum memiliki mobilitas fungsi

dan peranannya secara aktif sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat

nasional dan internasional dari waktu ke waktu. Selain itu, Teori Hukum Integratif

dapat dikembangkan sebagai model analisis hukum yang bersifat komprehensif

dan holistik dalam menghadapi dan mengantisipasi perkembangan nasional dan

internasional dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat dan tidak akan

mendegradasikan kepentingan nasional di segala bidang melainkan akan tetap

memelihara karakteristik lokal serta menyesuaikan perkembangan internasional

ke dalam sistem hukum lokal dan sebaliknya secara proposional.58

Pandangan teori hukum integratif dari Romli Atmasasmita berbeda

dengan pandangan dengan teori Hukum pembangunan dari Mohctar

Kusumaatmaja dan teori hukum progresif dari Rahardjo karena teori hukum

intergratif tidak hanya menjadi landasan pengkajian masalah pembangunan

nasional dalam konteks “inward looking” melainkan juga dalam konteks

pengaruh hubungan internasional ke dalam sistem kehidupan bangsa Indonesia.

Hal ini disebabkan dalam praktik hubungan internasional di tengah era globalisasi

sering terjadi bahwa negara berkembang termasuk Indonesia telah menjadi

“korban” dari sikap negara maju yang bersifat hipokrit dan lebih mementingkan

kepentingan nasionalnya dari kepentingan kemajuan bersama bangsa-bangsa

negara berkembang.59

58

Romli Atmasasmita, Loc.Cit.

59

Romli Atmasasmita, Op.Cit., h.105

Page 58: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

42

Berdasarkan dari pertimbangan tersebut, hukum sebagai sistem nilai

sangat penting dan tetap relevan dalam proses pembaharuan masyarakat saat ini

ditengah berkembangnya ideologi globalisasi. Pandangan tersebut relevan dengan

pandangan aliran Sejarah Hukum (Von Savigny) yang telah menegaskan bahwa

hukum harus sesuai dengan jiwa bangsa (volkgeist), dan dalam arti negatif, hukum

selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny harus

diartikan bahwa akseptabilitas dan kredibilitas hukum di Indonesia terletak pada

sejauh mana nilai-nilai yang terkandung dalam hukum telah sejalan dan sesuai

dengan Pancasila yang telah didaulat sebagai jiwa bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia dan merupakan nilai fundamental

(fundamental values), menghormati berbagai pandangan atau nilai-nilai yang

bersifat heterogen, serta tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bangsa

Indonesia sejak dulu. Karakter Pancasila, yang memegang paham “berbeda-beda

dalam satu kesatuan” ini, bertentangan secara diametral dengan membentuk satu

kesatuan pemikiran, sikap dan nilai ke dalam wadah satu dunia tanpa

mempertimbangkan dengan teliti kenyataan adanya perbedaan-perbedaan, baik

secara geografis, kultur, etnis dan keagamaan agama, termasuk dalam bidang

hukum (heterogenitas hukum)60

. Teori ini relevan untuk membahas permasalahan

dari rumusan masalah kedua yakni bagaimana kebijakan pengaturan kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana di

Indonesia.

60

Romli Atmasasmita, Op.Cit., h.106

Page 59: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

43

5. Teori Kriminalisasi

Kejahatan dan perilaku menyimpang adalah masalah kemanusiaan

sekaligus masalah sosial, dan karena keberadaannya hampir bersamaan dengan

usia manusia maka disebut sebagai the oldest social problem (masalah sosial

tertua).61

Sedemikian itu, maka hukuman menjadi suatu fakta yang sudah diterima

dalam kehidupan manusia, sekalipun berbeda-beda bentuk dan cara

pelaksanaannya, tetapi hukuman adalah the universal response to crime and

deviance in all societies62

(respon yang universal terhadap kejahatan dan

penyimpangan terhadap masyarakat)

Kriminalisasi tidak lain adalah penetapan yuridis atas suatu perilaku atau

tindakan sebagai perbuatan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku, baik berupa kejahatan maupun berupa pelanggaran. Perintah atau

larangan terhadap suatu perbuatan dalam peraturan hukum pidana, secara umum

telah terlebih dahulu ada dan diatur dalam bentuk norma, baik norma agama,

norma etika dan kesusilaan, adat istiadat serta kebiasaan yang ada, dipelihara dan

ditaati bersama dalam pergaulan hidup suatu masyarakat. Norma atau aturan dasar

yang hidup dalam suatu masyarakat bahkan telah mengakar dengan begitu kuat

sehingga dijadikan sebagai ajaran moral, jika ada anggota masyarakat yang tidak

mentaati norma-norma itu maka masyarakat tersebut dinilai melakukan tindakan

amoral.63

61

Barda Nawawi Arief II, Op.Cit. h.73

62

Heru Permana, 2007, Politik Kriminal, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 11

63

Ibid., h.12

Page 60: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

44

Hukum pidana, dengan melalui proses kriminalisasi kemudian

menegaskan kembali kejahatan atau perilaku menyimpang itu sebagai perbuatan

pidana, dan karenanya maka setiap orang yang melanggar aturan tersebut, patut

dipidana. Kebijakan yang paling menentukan dalam proses kriminalisasi adalah

kebijakan legislasi dalam proses legislasi, meliputi perumusan tindak pidana,

penetapan besar dan bentuk ancaman hukuman, siapa saja yang diposisikan

sebagai korban. Kebijakan legislasi, dilaksanakan dalam tiga tahapan penting,

yakni tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi.64

Kriminalisasi pada

umumnya berkaitan erat dengan moralitas, karena itu maka penting pula untuk

memperhatikan hubungan antara kriminalisasi dan moralitas dalam rangka

pembentukan hukum nasional. Sudarto juga menegaskan bahwa kriminalisasi

diperlukan terhadap perbuatan yang amoral dan mendatangkan kerugian materiil

dan spiritual bagi masyarakat.65

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminil

dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah:66

1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana,

2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Berdasarkan dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat

bahwa dalam menanggapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering

64

Barda Nawawi Arief, 2007, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara, Undip, Cet.Keempat (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III),

Semarang, h.35

65

Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.30

66

Ibid., h.36

Page 61: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

45

disebut masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya

sebagai berikut:

1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan

nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil

dan spiritual berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka

penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan

mengadakan penenguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri,

demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan

hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu

perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas

warga masyarakat

3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan

hasil

4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau

kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan

sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).67

Beranjak dari empat (4) hal di atas, ketika memformulasi perbuatan yang

dikriminalisasi perlu dipertimbangkan juga faktor lainnya yang berupa perbuatan

tersebut dapat menimbulkan kerugian materiil dan immaterial baik yang nyata-

nyata ada dan dapat diperhitungkan besarannya maupun kerugian yang mungkin

ada atau potensi kerugian yang akan diderita masyarakat. Kesamaan persepsi

diantara lembaga terkait tentang pentingnya kriminalisasi terhadap perbuatan

dimaksud, misalnya lembaga penegak hukum dan lembaga-lembaga yang tugas

pokok dan fungsinya berkenaan dengan penanganan masalah yang akan diatasi.

Sikronisasi antara perbuatan yang dikriminalisasikan dengan ketentuan dalam

perundangan lainnya, baik yang setara maupun yang lebih tinggi hirarkinya.

Kesiapan aparat penegak hukum, baik skill maupun knowledge serta kondisi sosial

masyarakat terutama kesiapan masyarakat dalam memberi kontribusi terhadap

penerapan dan penegakan perbuatan yang akan dikriminalisasi.

67

Teguh Prasetyo, 2010, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung h.

39

Page 62: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

46

Kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor

kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, termasuk:

1) Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan

hasil yang ingin dicapai,

2) Analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya

dengan tujuan-tujuan yang ingin dicari,

3) Penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya

dengan prioritas-prioritas lainya dalam pengalokasian sumber daya

manusia,

4) Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan

dengan atau dipandang dari pengaruh pengaruhnya yang sekunder.68

Teori kriminalisasi dalam penelitian mengenai kebijakan pengaturan

perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib berdasarkan konsep mengenai

kekuatan gaib yang digunakan untuk melakukan kejahatan, walaupun sebelumnya

telah ada pengaturan berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib dalam rumusan

norma, akan tetapi konsep yang digunakan berbeda dengan konsep kekuatan gaib

dalam pembaharuan hukum pidana. teori ini relevan digunakan untuk membahas

permasalahan dalam rumusan masalah kedua yang berkaitan dengan kebijakan

kriminalisasi perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam pembaharuan

hukum pidana.

68

Ibid., h.40

Page 63: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

47

1.7.4 Kerangka Berpikir

Kebijakan Pengaturan dengan Menggunakan Kekuatan

Gaib Dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Perbuatan atau kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dianggap sangat

berbahaya terutama bagi kalangan komunitas lokal yang jauh dari masyarakat

perkotaan sering terjadi tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat

terhadap seseorang yang dituduh mengunakan kekuatan untuk melakukan

kejahatan, sehingga penting untuk mengkaji norma dalam KUHP yang tidak

jelas dari segi definisi dan RUU KUHP berkaitan dengan pengaturan kekuatan

gaib yang banyak menimbulkan multi tafsir.

Bagaimana pengaturan perbuatan

dengan mengunakan kekuatan

gaib dalam KUHP

Bagaimana pengaturan perbuatan

dengan kekuatan gaib dalam

pembaharuan hukum pidana di

masa mendatang

Teori penafsiran historis, teori

kebijakan hukum pidana

Teori penafsiran antisipatif atau

futuristik, teori kebijakan hukum

pidana, teori pemidanaan, teori

hukum integratif, teori

kriminalisasi

Sasaran Penelitian

Mengkaji dan menganalisis mengenai kekaburan norma dalam pasal 546

KUHP yang merumuskan kekuatan gaib sebagai salah satu bentuk

kepercayaan, serta mengkaji dan menganalisis perumusan pasal kekuatan gaib

dalam RUU KUHP yang menimbulkan banyak multitafsir sehingga nantinya

tidak relevan digunakan sebagai sarana pencegahan terhadap keberadaan

praktik-praktik kekuatan gaib yang banyak menimbulkan tindakan main hakim

sendiri

Page 64: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

48

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan kajian secara yuridis normatif yang

dilakukan melalui analisis yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan seperti

buku, diktat, dan lain-lain, dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan

dan konsep para ahli hukum sebagai basis penelitiannya.69

Penelitian hukum

normatif memiliki ciri-ciri, beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas

hukum dalam tulisan ini beranjak dari adanya kekaburan norma terhadap

pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP, tidak

menggunakan hipotesis, dan menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder. Di dalam penelitian hukum normatif,

maka penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap kaidah-kaidah

hukum yang merupakan patokan-patokan berperilaku atau bersikap tidak pantas.70

1.8.2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum normatif dikenal metode pendekatan antara

lain; pendekatan analisis konsep (analitycal concept approach), pendekatan kasus

(case approach), pendekatan fakta (fact approach), pendekatan frasa (word and

phrase approach), pendekatan sejarah ( historycal approach), pendekatan

perbandingan (comparative approach).71

Dalam penulisan penelitian ini digunakan

69

Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.25

70

Nomensen Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta,

h.107

71

Johnny Ibrahim, 2011, Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,

Surabaya, h.300

Page 65: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

49

pendekatan analisis konsep hukum, analisis perundang-undangan yang berkaitan

dengan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum sebagai kajian normatif sebagian besar dapat

diperoleh melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum.72

Sumber

bahan hukum dari penelitian ini meliputi :

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa

peraturan perundang-undangan yakni KUHP dan RUU KUHP 2012

mengenai kriminalisasi kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib,

penelitian-penelitian, atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

penelitian ini.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya

ilmiah dibidang hukum, literatur hukum dan sebagainya.73

3) Bahan hukum tersier berupa kamus dan buku pegangan (hand Out)74

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan

Pengumpulan bahan dalam penelitian ini menggunakan teknik studi

dokumen, yaitu dengan menganalisa data-data primer yang berkaitan dengan

objek penelitian ini serta pencatatan yaitu mengumpulkan dan mengelompokkan

bahan-bahan hukum (primer, sekunder, dan tersier) yang terkait dengan

permasalahan, selanjutnya dilakukan pencatatan terhadap bahan-bahan hukum

72Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,

h.98

73

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, h. 142

74

Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI, Jakarta (selanjutnya

disebut sebagai Soerjono Soekanto I), h.52

Page 66: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

50

yang relevan secara singkat dalam lembaran yang disediakan. Bahan-bahan

hukum tersebut didapat baik dari perpustakaan maupun juga melalui pencarian

bahan dan bantuan internet.

1.8.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Teknik pengolahan bahan hukum dalam penelitian ini yaitu dengan

mengolah bahan hukum secara kualitatif artinya bahan-bahan hukum yang relevan

diolah dengan melihat kualitas kegunaan. Teknik analisa bahan hukum dengan

menggunakan teknik deskripsi yaitu teknik dasar analisis yang tidak dapat

dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti pengambaran/uraian apa adanya

terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non

hukum. Teknik interpretatif yaitu berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam

ilmu hukum yakni digunakan salah satu penafsiran dalam penelitian ini yani

penfasiran historis yang digunakan untuk mengkaji kekaburan norma mengenai

kekuatan gaib dalam KUHP, penafsiran antisipatif yang digunakan untuk

mengkaji norma mengenai pengaturan perbuatan gaib dalam RUU KUHP. Dalam

penelitian ini penulis juga menggunakan teknik evaluasi yakni penilaian berupa

tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah

oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,

keputusan, dalam perumusan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib

dalam RUU KUHP . Selanjutnya diikuti dengan teknik argumentasi yang tidak

bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada

alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

Page 67: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

51

BAB II

TINJAUAN UMUM

PENGATURAN PERBUATAN, KEKUATAN GAIB, PEMBAHARUAN

HUKUM PIDANA DI INDONESIA

2.1 Pengaturan Kejahatan dalam Hukum Pidana

Istilah kebijakan dalam tulisan ini diambil dari istilah Policy (inggris) atau

politiek (belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan

hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. istilah

kebijakan hukum pidana berasal dari kata “kebijakan” dan “hukum pidana”

sebagaimana menurut Sudarto yang mengemukakan:

Masalah “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau

menyatakan bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.75

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik

hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, politik hukum adalah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari suatu negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

75

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.27

51

Page 68: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

52

digunakan untuk mengepresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan76

Berdasarkan dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan,

bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan demikian, dilihat sebagai

bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti,

bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-

undangan pidana yang baik. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan

hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan

penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga

merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut

politik kriminal maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.77

Menurut A.Mulder dalam Barda Nawawi Arief Strafrechtpoliteik ialah

garis kebijakan untuk menentukan:

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah

atau diperbaharui.

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan

pidana harus dilaksanakan.

76

Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Cet. Ke-5, h. 32

77

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h. 28

Page 69: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

53

Definisi Mulder di atas bertolak dari pengertian sistem hukum pidana

menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang teroganisir

memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:

a. peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya,

b. Suatu prosedur hukum pidana

c. Suatu mekanisme pelaksanaan pidana.78

Hukum pidana merupakan seperangkat dogma, sistem aturan serta norma

yang menempatkan tingkah laku individu manusia sebagai objek sekaligus subjek

utama dalam pengaturannya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana memiliki

fungsi mempertahankan ketertiban dan memelihara keteraturan yang terdapat

dalam tata pergaulan masyarakat. Namun adapun keterbatasan kemampuan

hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan, berikut diungkapkan oleh para

sarjana antara lain:

a. Rubin menyatakan bahwa pemidaan (apapun hakikatnya, apakah

dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau

tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.

b. Schultz mengatakan, bahwa naik turunnya kejahatan di suatu negara

tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam

hukumnya atau kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan,

tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-

perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.

c. Johannes Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya hukum pidana

selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada

saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang

membentuk sikap dan tindakan kita.

d. Wolf Middendorf menyatakan bahwa sangatlah sulit untuk melakukan

evaluasi terhadap efektivitas dari general deterrence karena mekanisme

pencegahan (deterrence) itu tidak diketahui. Kita tidak dapat

mengetahui hubungan sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang

mungkin melakukan kejahatan atau mungkin menanggulanginya lagi

78

Barda Nawawi Arief I, Loc.Cit.

Page 70: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

54

tanpa hubungan ada tidaknya undang-undang pidana yang dijatuhkan.

Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua,

kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan

yang sama kuatnya dengan ketakutan orang terhadap pidana.79

Kebijakan formulasi hukum pidana diartikan sebagai suatu usaha untuk

membentuk atau merumuskan suatu perbuatan yang tidak dikehendaki oleh

masyarakat dalam peraturan perundang-perundangan bahwa perbuatan tersebut

dapat mengancam kesejahteraan masyarakat dan menganggu ketertiban umum

yang bertujuan untuk menegakan kepastian hukum dan keadilan dalam rangka

perlindungan hak asasi manusia. Kebijakan pengaturan kejahatan dalam hukum

pidana merupakan suatu upaya untuk merumuskan suatu perbuatan yang

bertentangan dengan nilai-nilai dalam perkembangan hidup masyarakat yakni

terhadap nilai ketertiban, menganggu kedamaian dalam hidup masyarakat serta

nilai-nilai keadilan dalam masyarkat. Kebijakan pengaturan kejahatan dalam

hukum pidana sebagai salah satu tanggung jawab negara untuk menjaga dan

menjamin kedamaian hidup bermasyarakat, berbangsa serta sebagai wujud

perlindungan Hak Asasi Manusia.

Hukum pidana di indonesia mengenal dua jenis perumusan delik yakni:

1) Delik Formil

Delik formil dalam bahasa indonesia ialah delik yang oleh pembuat

undang-undang dirumuskan secara formil, dengan kata lain undang-undang

pidana cukup menguraikan perbuatan yang dilarang saja dan tidak menyebut

akibat perbuatan seperti yang dirumuskan dalam Pasal 161 KUHP (Penghasutan),

79

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.54

Page 71: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

55

263 KUHP (Pemalsuan Surat), Pasal 362 KUHP (Pencurian) dan selanjutnya

semua delik-delik omissie. Penuntut umum yang menghadapi delik formil, yaitu

hanya menguraikan perbuatan yang dilarang, tidak perlu menulis akibat perbuatan

itu ke dalam surat dakwaannya dan tidak perlu ia membuktikannya. Misalnya

bahwa korban pencurian menderita kerugian. Pasal 285 KUHP hanya mengancam

pidana barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh (perbuatan aktif atau positif).

Tidak disyaratkan bahwa perempuan itu hamil (akibat), karena pasal tersebut

tidak bertujuan untuk mencegah kehamilan, tetapi melindungi perempuan dari

nafsu birahi jahat lelaki.80

Delik sumpah palsu yang merupakan delik formil yang tidak

menimbulkan halangan baik pemilik barang, dan pada delik penghasutan yang

ternyata tidak menimbulkan efek bagi yang dihasut, keadaan itu tidak dapat

dijadikan alasan bagi terdakwa untuk dibebaskan. Akibat penghasutan dan akibat

pengucapan sumpah palsu tidak disebut sebagai unsur delik. Contoh delik formil

ialah menurut Pasal 156 KUHP, yaitu di depan umum menyatakan perasaan

permusuhan atau kebencian atau pun penghinaan terhadap suatu golongan rakyat

indonesia, tidak mensyaratkan adanya akibat.

2) Delik Materiil

Delik Materiil adalah delik yang dirumuskan oleh pembuat undang-

undang dengan mensyaratkan adanya akibat yang dilarang. Di dalam aturan

undang-undang perbuatan yang menjadikan timbulnya akibat kadang-kadang

80

Zainal Abidin Farid, 2010, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, h. 360

Page 72: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

56

juga ikut dirumuskan dan sering tidak dimasukkan sebagai unsur konstitutif delik

itu. Delik materiil mengandung unsur akibat, seperti delik pembunuhan. Perbuatan

tidak diuraikan dalam Pasal 338 KUHP, yang berarti perbuatan apa saja yang

membawa akibat kematian orang lain termasuk pembunuhan, misalnya menikam,

memukul, menembak, meracun, melempar orang ke dalam jurang, mengenakan

ilmu hitam selama dapat dibuktikan. Bila perbuatan untuk menghilangkan nyawa

orang lain belum terjadi, tetapi sudah dilakukan perbuatan pelaksanaan

kesengajaan, maka yang terjadi ialah percobaan pembunuhan. Contoh lain ialah

penganiayaan menurut Pasal 351 KUHP, bahwa apa yang dimaksud penganiayaan

tidak dijelaskan oleh KUHP. Pasal 351 (4) KUHP memperluas pengertian

penganiayaan dengan memberikan penafsiran autentik, yang menyatakan dengan

penganiayaan disamakan dengan merusak kesehatan.81

Beberapa pengarang berpendapat bahwa perbedaan antara delik formil dan

delik materiil ialah bahwa perbuatan dan akibat yang tidak diinginkan terwujud

bersamaan, yang waktu dan tempat terjadinya tidak dapat dipisahkan, sedangkan

delik materiil tidaklah demikian halnya. Menurut Hazewinkel-Suringa pendapat

demikian tidak selalu benar. Beberapa delik formil dapat dilakukan dengan

perbuatan yang tidak selalu terjadi bersamaaan dengan akibat. Misalnya surat

dengan menggunakan bahan kimia, yang bekerjanya lambat. Sebaliknya, dapat

terjadi perbuatan dan akibat yang terjadi jatuh bersamaan, misalnya menabrak

orang lain yang mengakibatkan korban mati pada saat dan ditempat yang

bersamaan. Beberapa pengarang juga berpendapat bahwa pembedaan delik formil

81

Ibid., h.361

Page 73: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

57

dan delik materiil penting dalam hal terjadi percobaan dan penyertaan. Percobaan

untuk melakukan delik formil terjadi apabila pelaku delik telah melakukan

sebagian perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Percobaan untuk

melakukan delik materiil telah terjadi apabila perbuatan pelaksanaan sedemikian

sifatnya, sehingga akan menimbulkan akibat yang dilarang.82

Perumusan suatu perbuatan yang dilarang dalam suatu undang-undang

sangat penting dalam rangka untuk menjamin hak-hak warga masyarakat yang

menjadi korban kejahatan. Pembedaan rumusan delik formil dan delik materiil

dilakukan untuk mengidentifikasikan bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang

menurut hukum serta dalam rangka untuk menjangkau perbuatan-perbuatan yang

menimbulkan keresahan dalam masyarakat, seperti keberadaan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib yang tidak dapat dirumuskan secacra materiil oleh

karena terkendala masalah pembuktian yang tidak dapat dijangkau oleh hukum.

Akan tetapi untuk mencegah maraknya praktek-praktek kejahatan tersebut serta

untuk mengantisipasi tindakan main hakim sendiri terhadap seorang yang diduga

melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib maka pengaturan

tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk delik formil.

2.2 Kejahatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib

Kejahatan tumbuh dan berkembang mengikuti dinamika masyarakat dan

pembangunan. Berkenaan dengan hal tersebut, H.R Abdussalam dan DPM

Sitompul mengemukakan bahwa bertambahnya masyarakat dan gencarnya

82

Ibid., h. 362

Page 74: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

58

pembangunan, maka kejahatan akan semakin meningkat.83

Kejahatan merupakan

perilaku anti sosial sebagaimana dikemukakan Robert M.Bohm dan Keith N.

Haley bahwa “a typical social definition of crime is behavior that violates the

norms of society, or more simply antisocial behavior”84

( definisi sosial yang khas

dari kejahatan adalah perilaku yang melanggar norma-norma masyarakat, atau

perilaku antisocial). Pernyataan tersebut dapat diakui kebenarannya dewasa ini,

muncul dan berkembangnya berbagai bentuk kejahatan dengan berbagai modus

operandi atau dimensi baru, tidak terlepas dari pengaruh dinamika masyarakat dan

pembangunan, khususnya pembangunan dibidang perekonomian serta ilmu

pengetahuan dan teknologi.

R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan

pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian

kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan

undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan

kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita,

juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan,

ketentraman dan ketertiban.85

Mien Rukmini mengemukakan bahwa kejahatan merupakan bagian dari

kehidupan sosial, hidup, dan tidak terpisahkan dari kegiatan manusia sehari-hari.

83

H.R. Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung,

Jakarta, h.1

84

Robert M.Bohm and Keith N. Haley, 2007, Introduction to Criminal justice, McGraw-

Hill, New York, p.31

85

Abintoro Prakoso, 2013, Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Grafika,

Yogyakarta, h. 45

Page 75: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

59

Perampokan, pemerkosaan, penipuan, penodongan, dan berbagai bentuk perilaku

sejenis, menunjukkan dinamika sosial.86

Kejahatan diartikan juga sebagai pola

tingkah laku yang merugikan masyarakat, baik secara fisik maupun materi, baik

yang dirumuskan dalam hukum maupun tidak.87

Kejahatan dipandang sebagai

suatu perbuatan yang meresahkan dan menggangu ketertiban sosial serta

menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, sehingga kejahatan memerlukan

suatu penegakan yang serius oleh hukum dalam suatu negara. William J.

Chambliss mengatakan “ crime as any antisocial act that threatens the exiting

social structure or the fundamental well being of humans .88

(kejahatan sebagai

tindakan antisocial yang mengancam struktur sosial atau kesejahteraan

masyarakat).

Kejahatan merupakan perbuatan yang antisosial dalam masyarakat, yang

dianggap mengganggu ketertiban dalam kehidupan masyarakat yang dapat

menimbulkan kerugian dalam bentuk materiil maupun immateriil. Sudah

dikemukakan di atas bahwa kriminologi memiliki peranan penting untuk

menentukan suatu perbuatan bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan

masyarakat. Menurut Freda Alder, “criminology is the body of knowledge

regarding crime as a social phenomenom. It includes wthin its scope the process

86

Mien Rukmini, 2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi s(Sebuah Bunga Rampai),

Alumni, Bandung, h.81

87

Muhammad Mustofa, 2013, Metodologi Penelitian Kriminologi, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, h.9

88 William J. Chambliss and Aida Y.Hass, 2011, Criminology, Connecting Theory,

Research and Practice, Mc Graw Hill Companies, AS, h.7

Page 76: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

60

of making laws, of breaking laws, and of reacting toward the breaking of laws ”89

(kriminologi adalah tubuh pengetahuan tentang kejahatan sebagai fenomena

sosial. Ini termasuk dalam ruang lingkup proses pembuatan undang-undang,

melanggar hukum, dan reaksi terhadap pelanggar hukum). Kriminologi dapat

didefinisikan sebagai suatu pengetahuan empiris yang mempelajari dan

mendalami secara ilmiah kejahatan dan orang yang melakukan kejahatan

(penjahat).

Berdasarkan pandangan para pakar hukum pidana tersebut, dapat

disimpulkan bahwa kejahatan adalah tiap kelakuan yang merugikan, merusak

dan menganggu ketertiban umum yang menimbulkan kegoncangan sedemikian

besar dalam masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencela

dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan

menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa terhadap pelaku perbuatan tersebut

melalui sarana hukum pidana.

Uraian terdahulu telah menyinggung bahwa fenomena kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib berkaitan erat dengan kebudayaan dan religi yang

hidup di tengah-tengah masyarakat indonesia. Terkait dengan keberadaan

kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dapat diklasifikasikan sebagai ilmu

hitam (black magic), merupakan jenis ilmu sihir untuk mengendalikan suatu

kejadian, objek, orang dan fenomena lainnya secara mistis atau supranatural

dengan perantara orang yang ahli dalam bidangnya (paranormal). Black magic

termasuk ditentang oleh masyarakat karena karakternya yang dapat

89Freda Adler, Gerhard O.W. Mueller, William S. Laufer, 2010, Criminology, Mc Graw

Hill, AS, p.10

Page 77: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

61

menyengsarakan orang lain, sedangkan white magic atau ilmu putih mempunyai

karakter yang baik dan fungsinya dapat menolong orang yang sedang kesusahan,

seperti menyembuhkan penyakit, untuk mengusir wabah penyakit, dan

sebagainya. Kejahatan dengan kekuatan gaib identik dengan suatu kekuatan gaib

yang bertujuan ke arah negatif, karena sifatnya yang mencelakakan bahkan dapat

membahayakan nyawa orang lain. Kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib

yang dikenal misalnya ilmu hitam, santet, teluh, susuk, pesugihan, leak (di Bali),

sedangkan di negara-negara lain ilmu hitam yang dikenal yaitu voode dari Haiti.90

Praktek dukun voodoo di Afrika, juga sihir (tenung) di indonesia dapat

dikatakan sebagai praktek sorcery (praktek ilmu tenung) yang berkaitan dengan

fungsi dukun sebagai tukang tenung. Berkaitan dengan fungsi dukun sebagai

sorcerer yang melakukan praktik kejahatan dengan kekuatan gaib didasarkan atas

permintaan seseorang (juga dalam white magic), maka dapat diketahui bahwa

santet, sihir berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan permasalahan dalam

masyarakat. Sebagai contoh, penolakan cinta, sehingga minta pertolongan pada

dukun untuk diberi pengasihan agar bisa memikat hati orang yang telah

melakukan penolakan cinta melalui mantera dari dukun. Hal tersebut juga untuk

menyelesaikan sengketa antar warga, misalnya saja masalah warisan, sengketa

tanah, batas pagar rumah yang dapat menimbulkan dendam berkepanjangan,

mengobati penyakit, mengusir wabah, dan lain-lain.91

90

http:www//indoskeptics.wordpress/2014/04/11/voodoo-dan-santet-fakta-atau-

fiksi//.com, diakses pada tanggal 12 Desember 2014 pukul 13.00 Wita

91

Mohammad Sobary, 1997, Fenomena Dukun Dalam Budaya Kita, Pustaka Firdaus,

Jakarta, h.113

Page 78: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

62

Beberapa contoh fungsi santet, sihir, dan ilmu gaib lainnya tersebut dapat

diketahui memiliki fungsi jahat atau baik bagi masyarakat tergantung pada tujuan

dari seseorang yang menyuruh melakukan perbuatan jahat tersebut. tidak jarang

pula ilmu gaib termasuk di dalamnya santet dan sihir memiliki kekuatan yang

sakti, sehingga dapat dipergunakan untuk mengutuk atau menyumpahi orang yang

dimaksud oleh seseorang yang menyuruh melakukan. Oleh karena itu ilmu gaib

yang bersifat negatif mempunyai fungsi kontrol dalam masyarakat dengan kata

lain untuk mengurangi atau bahkan menambah konflik dalam masyarakat. Hal ini

terjadi, karena di satu sisi timbul rasa saling curiga antara anggota masyarakat

yang satu dengan yang lain, dengan menuduh seorang warga menjadi dukun

santet dan melakukan praktek-praktek ilmu hitam.

Karakter jahat yang ditimpakan masyarakat kepada seseorang yang

menjalankan praktek perdukunan dalam ilmu hitam dapat dipandang sebagai

orang jahat. Sehubungan dengan stigma orang jahat yang ditujukan kepada orang-

orang yang menjalankan praktek perdukunan ilmu hitam in dapat diketahui sejak

jaman Kerajaan Majapahit.92

Dalam hal ini perbuatan tenung dipandang sebagai

perbuatan tercela. Pada teori labeling (pemberian nama) kedudukan perilaku

penjahat tidak ditekankan, dalam teori ini yang ditekankan adalah reaksi

masyarakat terhadap penjahat. Sehingga dalam prakteknya harus ada reaksi

masyarakat terhadap perbuatan si penjahat. Demikian pula pada dukun yang

sering menjadi sasaran amuk massa, sebagai akibat dari reaksi masyarakat pada

perbuatan jahat yang dilakukan oleh dukun tersebut.

92

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h. 290

Page 79: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

63

Semakin maraknya praktek perdukunan dan klenik yang menggunakan

sihir dilandasi oleh adanya anggapan bahwa untuk melakukan penganiayaan dan

pembunuhan terhadap orang yang dipandang sebagai lawan, santet, sihir

merupakan cara yang paling efesien dan tidak ada resiko untuk berhadapan

langsung dengan pihak yang berwajib. Sekalipun perbuatan tersebut adalah dosa

menurut agama yang dianut, namun perbuatan tersebut masih ada yang

memerlukannya. Dengan kata lain, santet dan sihir memiliki fungsi dan peran

sangat penting dalam masyarakat, karena penggunaan ilmu gaib tersebut terkait

dengan masalah kuat tidaknya keyakinan beragama dan perasaan kesusilaan

masyarakat.

Ilmu gaib berkaitan dengan metafisika yang merupakan cabang filsafat

yang membicarakan tentang hal-hal yang sangat mendasar yang berada di luar

pengalaman manusia. Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika

(Mistik) adalah ilmu yang memikirkan hakikat di balik alam nyata. 93

Metafisika

membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada

sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindra. Pengertian secara umum, Mistik

adalah pengetahuan yang tidak rasional. Pengertian mistik bila dikaitkan dengan

agama ialah pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh

melalui meditasi atau latihan spiritual, bebas dari ketergantungan pada panca

indera dan rasio. Metafisika mengkaji segala sesuatu secara komprehensif.

Menurut Asmoro Achmadi, metafisika merupakan cabang filsafat yang

93

Jujun S. Suriasumantri, 2009, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, h. 64

Page 80: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

64

membicarakan sesuatu yang bersifat “keluarbiasaan”, yang berada di luar

pengalaman manusia. Metafisika mengkaji sesuatu yang berada di luar hal-hal

yang berlaku pada umumnya, atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang

berada di luar kebiasaan atau di luar pengalaman manusia.94

Aristoteles menyinggung masalah metafisika dalam karyanya tentang

Filsafat pertama, yang menyatakan ontology : the theory of being qua being. for

aristoteles, the first filosofhy, the science of the essece of things.95

(teori mengenai

keberadaan sesuatu, aristoreles, filosofi pertama, adalah ilmu tentang hakikat

suatu hal). Menurutnya, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoritis yang

membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga ilmu metafisika menjadi inti

filsafat. Pengetahuan metafisika (mistik) adalah pengetahuan yang tidak dapat

dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat

dipahami rasio. Pengetahuan ini kadang-kadang memiliki bukti empiris tetapi

kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris.96

Tafsiran paling pertama yang diberikan oleh manusia terhadap alam ini

adalah bahwa terdapat wujud-wujud bersifat ghaib (supranatural) dan wujud ini

lebih kuasa dibandingkan dengan alam nyata. Animisme, mengembangkan

metafisika bahwa alam dan manusia dikuasai oleh wujud-wujud yang bersifat

ghaib dan magis. Misalnya, roh-roh yang bersifat ghaib terdapat pada benda.

94

Suryadi, Filsafat ilmu (Aristoteles), 2010, http:www// media/ilmu/.co.id, diakses pada

tanggal 27 Oktober 2014 h.2

95

Dagobert.D.Runes, The Dictionary of Philosophy, Philosophical Library, New york, h.

219 96

Suryadi, Op.Cit., h.3

Page 81: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

65

Seperti batu, pohon, merupakan contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran

supernaturalisme.97

Naturalisme yaitu paham yang menolak pendapat bahwa

terdapat wujud-wujud yang bersifat supernatural karena naturalisme hanya

menerima pandangan yang menyatakan bahwa ada itu semata-mata realitas alam.

Materialisme yang merupakan turunan naturalisme merupakan paham yang

berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan

ghaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri.98

Pertama, mereka yang memiliki kemampuan atau pengaruh melalui

kekuatan mental itu disebabkan jiwa mereka telah menyatu dengan jiwa setan atau

roh jahat. Para filosof menyebut mereka ini sebagai ahli sihir dan kekuatan

mereka luar biasa. Kedua, mereka yang melakukan pengaruh magisnya dengan

menggunakan watak benda-benda atau elemen-elemen yang ada di dalamnya,

baik benda angkasa atau benda yang ada di bumi. Inilah yang disebut jimat-jimat

yang biasa disimbolkan dalam bentuk benda-benda materi atau rajah. Ketiga,

mereka yang melakukan pengaruh magisnya melalui kekuatan imajinasi sehingga

menimbulkan berbagai fantasi pada orang yang dipengaruhi.99

Secara ontologi, ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada

dalam lingkup pengalaman manusia dan secara epistemologi, ilmu merupakan

metode ilmiah yakni cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan

97

Suryadi, Op.Cit., h.4

98

Suryadi, Op.Cit., h.5

99

Suryadi, Op.Cit., h.7

Page 82: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

66

yang benar, sehingga sempat diragukan untuk membicarakan mistik yang berada

di luar pengalaman manusia atau akal sehat manusia tersebut akankah dapat

ditinjau secara perspektif filsafat ilmu atau hanya melalui perspektif filsafat saja.

Meskipun demikian, ilmu adalah bagian dari pengetahuan dan pengetahuan

merupakan unsur dari kebudayaan. Dalam hal ini mistik sebagai budaya hukum

yang berakar dari suatu kebudayan suatu masyarakat, artinya mistik dapat dilihat

dengan perspektif keilmuan dalam hal ini ditinjau melalui filsafat ilmu.

Pandangan dari aspek filsafat ilmu, diketahui bahwa mistik juga

merupakan bagian dari objek kajian filsafat yakni dalam cabang metafisik karena

dalam metafisik dipelajari pembicaraan-pembicaraan tentang prinsip yang paling

universal dan sesuatu yang di luar kebiasaan (beyond nature). Mistik sendiri

merupakan suatu yang universal dan seringkali merupakan suatu hal di luar

kebiasaaan manusia umumnya atau sebaliknya kemudian justru menjadi kebiasaan

manusia. Metafisik berusaha untuk menyajikan pandangan yang komprehensif

tentang segala hal yang ada. 100

membahas mengenai epistemology mistik, berarti

berusaha mencari tahu bagaimana sejarah munculnya mistik ini diantara rasa, hati,

dan keyakinan seseorang. Jadi tidak melalui indera atau rasio akal manusia.

Menurut teori Robert K.Merton dijelaskan bahwa magis atau mistik atau

ritus kepercayaan tertentu maupun kepercayaan bersifat fungsional memberi efek

terhadap jiwa atau kepercayaan diri bagi mereka yang memang

100

Jujun S. Suriasumantri, Op.Cit.,h.64

Page 83: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

67

mempercayainya.101

Dengan demikian aspek epistemologi hal gaib diperoleh

melalui berbagai cara, seperti meyakinkan seseorang melalui pengkulturasian,

karisma, secara damai melalui pendekatan agama dan keyakinan termasuk

menjadi budaya hukum. Pada akhirnya berdasarkan aspek aksiologis kegunaan

utama dari mistik atau kegaiban adalah selain mempermudah sebagian pihak

untuk mempengaruhi masyarakat melalui kharismatik dan pengkulturasian dalam

kebudayaan. Dari hal tersebut pada hakekatnya keberadaan terhadap suatu hal-hal

yang bersifat kegaiban dipercayai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, dan

cenderung digunakan sebagai media untuk melakukan kejahatan.

Objek dari mistik tersebut merupakan objek yang gaib, kasat mata dan

supra rasional. Maka cara memperolehnya sering kali tidak menggunakan akal

rasional. Gaib dapat diperkenalkan sebagai suatu bentuk dari intuisi dijelaskan

bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik

memungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung yang mengatasi

pengetahuan yang diperoleh dengan akal dan indra.102

Kehadiran mistik ke dalam

budaya hukum, secara teori juga dapat dianalisis berdasarkan teori-teori mengenai

perilaku manusia dan budaya. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-

konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai hal-

hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup.

101

Suryadi, Op.Cit., h.9

102

Ahmad Tafsir, 2004, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Pengetahuan, Rosdakarya, Bandung, h.52

Page 84: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

68

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

kekuatan gaib adalah suatu kekuatan yang bersumber dari sesuatu yang tidak

terlihat, tersembunyi, tidak nyata, tidak diketahui sebab-sebabnya, menjadi

rahasia, mistis, misterius, dan semua hal yang tidak dapat dilihat atau dirasakan

oleh panca indra orang-orang biasa kecuali oleh mereka yang memiliki kelebihan

untuk merasakan kegaiban dalam bentuk kekuatan. Kekuatan gaib tersebut,

digunakan dalam berbagai bentuk aktivitas oleh seseorang yang memiliki

kelebihan tersebut. Kekuatan gaib tidak dapat diterangkan dengan akal sehat

karena sifatnya yang di luar akal sehat, berkaitan dengan hal-hal yang luar biasa,

serta melampaui batas kemampuan manusia biasa, dan lainnya.

Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dapat diartikan suatu

perbuatan dengan menggunakan media yang tidak terlihat oleh panca indra serta

meliputi kejahatan yang mengatasnamakan kekuatan gaib untuk melakukan

kejahatan. Sehingga akibat kejahatan dengan kekuatan gaib tersebut menimbulkan

banyak korban serta menimbulkan reaksi sosial yang begitu tinggi dalam

masyarakat. Kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib merupakan perbuatan

yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan yang dilakukan dengan cara-cara

yang tidak benar, yang menyebabkan terganggunya keseimbangan sosial dalam

masyarakat. Perbuatan gaib yang digunakan di Indonesia dalam berbagai daerah

telah disebutkan memiliki penyebutan yang berbeda-beda yang sulit untuk

diidentifikasikan ke dalam suatu peraturan sehingga secara umum digunakan

Page 85: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

69

istilah perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam hal ini kekuatan gaib

yang digunakan untuk melakukan kejahatan.

2.3 Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia

Sejak kemerdekaan, keinginan untuk mewujudkan sistem hukum

nasional merupakan salah satu agenda utama dalam pembangunan nasional,

sebagaimana ditunjukkan oleh dokumen resmi negara yang membahas mengenai

RUU UUD 1945 yang dipelopori oleh para pejuang pergerakan kemerdekaan

yang memiliki gagasan untuk membentuk karakter dan ciri khas sistem hukum

nasional.103

Politik hukum pidana nasional, mesti dimaknai sebagai kehendak

nasional untuk menciptakan hukum pidana yang sesuai dengan aspirasi dan tata

nilai yang bersumber dari bangsa Indonesia sendiri. Selain itu hukum pidana juga

dapat berperan serta untuk memberikan sumbangan untuk mewujudkan tujuan

terbentuknya negara (cita-cita kemerdekaan), yaitu mewujudkan negara yang adil

makmur berdasarkan Pancasila.104

Mempunyai hukum pidana Indonesia dalam sistem hukum nasional adalah

sebuah mimpi yang hingga hari ini belum menjadi nyata. Telah panjang

perjalanan para intelektual hukum pidana hingga bergenerasi masih belum mampu

menjelmakan sebuah cita-cita yang hendak membebaskan dari cengkeraman

103

Retno Lukito, 2013, Tradisi Hukum Indonesia, IMR Press, Cianjur, h.5

104

Mokhammad Najih, 2014, Politik Hukum Pidana Konsepsi Pembaharuan Hukum

Pidana dalam Cita Negara Hukum, Setara Press, Malang, h.1

Page 86: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

70

kuku-kuku hukum produk kolonialisme.105

Melihat sejarah pembentukan RUU

KUHP, tidak dapat dilepaskan dari usaha pembaharuan KUHP secara

menyeluruh. Usaha ini baru dimulai sejak adanya rekomendasi hasil Seminar

Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan

agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan.

Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Rancangan KUHP pertama kali dan

berlanjut terus hingga sekarang.

Demikian dapat disimpulkan bahwa usaha pembaharuan hukum pidana

secara universal, global atau menyeluruh ini masih merupakan rechtsidee (cita

hukum) atau iuscostituendum, sebab belum disahkan menjadi sebuah perundang-

undangan (ius costitutum)106

Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari

kebijakan atau politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat

pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi

diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi

diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik,

sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya

kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Ini

berarti, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat

dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada

105

Mardjono Reksodiputro, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana, Lembaga Kriminologi

UI, Jakarta, h.14

106

Mokhammad Najih, Op.Cit., h.2

Page 87: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

71

hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan

terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakanginya.

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu

upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai

dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat

Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan

penegakan hukum di Indonesia.107

pembaharuan hukum pidana ditentukan

dengan kebijakan hukum pidana itu sendiri, artinya pembaharuan hukum pidana

dapat diarahkan melalui kebijakan hukum pidana, atau adanya kebijakan hukum

pidana berarti telah mengadakan suatu pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan

hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang

pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau

“policy”(yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum

pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Demikian pula Me. Grath W.T.

menyatakan “Rational Consideration must be partnered by moral considerans in

criminal justice”(pertimbangan rasional harus bermitra dengan pertimbangan –

pertimbangan dalam peradilan pidana) 108

kebijakan kriminal tidak dapat

dilepaskan sama sekali dari masalah nilai karena seperti yang dikatakan oleh

Christiansen “ the conception of problem crime and punishment is an essential

107

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.29

108

Me. Grath W.T. 1976, Developping a Stable Base For Criminal Justice Planning,

Abstracts on Criminology and Penology, Kluwer Deventer, Vol. 16 No.3, p360

Page 88: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

72

part of the culture of any society”(konsepsi masalah kejahatan dan hukuman

merupakan bagian penting dari budaya masyarakat) begitu pula menurut W.

Clifford “the very foundation of any criminal justice system consists of the

philosophy behind a given country”109

(sangat mendasar dari setiap sistem

peradilan pidana terdiri dari filosofi di belakang negara tertentu). Terlebih bagi

Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan

nasionalnya bertujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan

landasan filosofi.

Setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena

itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorietasi pada pendekatan nilai.

Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana adalah sebagai berikut:

1) Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pemabaharuan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi

masalah-masalah sosial (termasuk masalah masalah kemanusiaan)

dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan

masyarakat dan sebagainya).

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan

masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).110

109

Ibid., p.361

110

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h.34

Page 89: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

73

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum

pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui

substansi hukum (legal substance)dalam rangka lebih mengefektifkan

penegakan hukum.111

2) Dilihat dari sudut pendekatan nilai

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya

melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-

nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi

isi terhadap muatan normatif dan subtantif hukum pidana yang dicita-citakan.

Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari

hukum pidana yang dicita-citakan(misalnya, KUHP baru) sama saja dengan

orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).

112

Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan

dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau

kebijakan pembangunan nasional. Dengan demikian pemecahan masalah-masalah

di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan

sosial politik yang telah ditetapkan.113

Dengan demikian, kebijakan hukum pidana

termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula

111

Barda Nawawi Arief I., Loc.Cit.

112

Barda Nawawi Arief I.,Op.Cit., h. 35

113

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.36

Page 90: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

74

dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ( policy oriented

approach).

Berdasarkan dari sudut pendekatan kebijakan dan sudut pendekatan nilai,

pengkajian menitikberatkan pada hukum pidana materiil (KUHP), mengingat

bagian hukum pidana ini mampu merumuskan atau memformulasikan perbuatan-

perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana, bagaimana mengenai

pertangungjawaban pidananya, serta bagaimana mengenai pidana dan

pemidanaanya. Dengan demikian tahap formulasi menempati posisi strategis jika

dibandingkan tahap aplikasi maupun tahap pelaksanaan hukum pidana yang

merupakan kelanjutan dari operasionalisasi atau penegakan hukum pidana.

Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak

proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, melalui Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat dilepaskan dari

landasan dan sekaligus tujuan nasional yang ingin dicapai seperti dirumuskan

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, khususnya alinea ke empat sebagai perumusan tujuan nasional dapat

diketahui dua tujuan nasional yang utama yaitu untuk melindungi segenap bangsa,

dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila. Menurut

Barda Nawawi Arief, terlihat dua kata kunci dari tujuan nasional, yaitu

perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Dua kata kunci itu

identik dengan istilah yang dikenal dalam kepustakaan/dunia keilmuan dengan

Page 91: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

75

sebutan social defence dan social welfare. Dengan adanya kedua kata kunci

inipun terlihat adanya asas keseimbangan dalam tujuan pembangunan nasional.114

Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk

perlindungan masyarakat dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan

dengan memperbaiki atau memulihkan kembali si pembuat kejahatan tanpa

mengurangi keseimbangan kepentingan peroragan dan masyarakat. Kebijakan

yang ditempuh oleh bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembaharuan hukum

pidana, melalui dua jalur, yaitu:

1. Pembaharuan Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Nasional, yang maksudnya untuk menggantikan KUHP yang

berlaku sekarang.

2. Pembaruan perundang-undangan pidana yang maksudnya mengubah,

menambah, dan melengkapi KUHP yang berlaku sekarang.115

Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa penyusunan RUU KUHP pada

hakikatnya merupakan suatu upaya pembaharuan/rekontruksi/retrukturisasi

keseluruhan sistem hukum pidana substantive yang terdapat dalam KUHP (WvS)

peninggalan zaman Hindia Belanda. Restrukturisasi mengandung arti menata

kembali dan hal ini sarat dengan makna rekontruksi yaitu membangun kembali.

Jadi RUU KUHP bertujuan melakukan penataan ulang bangunan sistem hukum

pidana nasional. Hal ini tentunya berbeda dengan pembuatan atau penyusunan

114

Barda Nawawi Arief, 2009, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang (selanjutnya disingkat Barda Nawawi III) , h.43

115

Ibid., h.44

Page 92: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

76

RUU biasa yang sering dibuat selama ini. Perbedaanya dapat diidentifikasi

sebagai berikut:

a. Penyusunan RUU biasa: bersifat parsial/fragmenter, pada umumnya

hanya mengatur delik khusus/tertentu, masih terikat pada sistem induk

(WvS) yang sudah tidak utuh, hanya merupakan “sub sistem”, tidak

membangun/merekontruksi “ sistem hukum pidana”

b. Penyusunan RKUHP bersifat menyeluruh/terpadu/integral, mencaup

semua aspek/bidang, bersistem/berpola, menyusun/menata ulang

(rekontruksi/reformulasi) sistem Hukum Pidana Nasional yang

terpadu.116

RUU KUHP mengemban misi:

1. Dekolonisasi KUHP peninggalan/warisan kolonial dalam bentuk

rekodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Demokratisasi hukum pidana, yang ditandai dengan dimasukannya tindak

pidana terhadap HAM, hapusnya tindak pidana penaburan permusuhan

atau kebencian, yang merupakan tindak pidana formil dan dirumuskan

kembali sebagai tindak pidana penghinaan yang merupakan tindak pidana

materiil.

3. Konsolidasi hukum pidana, karena sejak kemerdekaan perundang-

undangan hukum pidana mengalami pertumbuhan yang pesat baik di

dalam maupun di luar KUHP dengan berbagai kekhasannya, sehingga

116

Ibid., h.45

Page 93: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

77

perlu ditata kembali dalam kerangka asas-asas hukum pidana yang diatur

dalam Buku I KUHP.

4. Adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang

terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan

hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar-standar serta

norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional.

Upaya penanggulangan kejahatan dengan kebijakan hukum pidana, mencakup

3 (tiga) tahapan, yaitu:

1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif)

2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif)

3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).117

Tahap formulasi merupakan tahap penegakan hukum in abstracto,

sedangkan tahap aplikasi dan tahap eksekusi telah memasuki tahap penegakan

hukum in concreto. Penelitian dalam tesis ini, pembahasan akan menitikberatkan

pada tahap formulasi atau kebijakan formulasi hukum pidana. Tahap kebijakan

formulasi merupakan tahap awal dan menjadi sumber landasan dalam proses

kongkritisasi bagi penegakan hukum pidana berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan

eksekusi. Adanya tahap formulasi ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan

penanggulangan kejahatan juga menjadi tugas dan kewajiban dari para pembuat

hukum, bukan hanya tugas penegak/penerap hukum. Tahap formulasi ini

117

Ibid., h. 46

Page 94: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

78

merupakan tahap yang paling strategis, karena adanya kesalahan dalam tahap ini

dapat menghambat upaya pencegahan dan penanggulangan pada tahap aplikasi

dan eksekusi. 118

Kebijakan legislatif adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat

undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem

tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah

direncanakan atau diprogramkan itu. Pembuatan hukum pidana adalah bagian

dalam kerangka menganggulangi kejahatan, artinya setiap perbuatan negatif yang

ada dalam masyarakat tentunya mendapat reaksi dari masyarakat dalam kerangka

untuk menekan kejahatan tersebut. Masyarakat tidak membiarkan adanya

perbuatan negatif yang terjadi, oleh karenanya dilakukan berbagai upaya untuk

menanggulangi kejahatan itu. Usaha masyarakat untuk menanggulangi kejahatan

ini disebut dengan politik kriminal.119

Pembaharuan hukum pidana dilakukan dengan pendekatan sistemik yaitu

usaha pendekatan yang menyeluruh dan integral. Namun perlu dicatat secara total,

melainkan menyempurnakannya dalam artian yang baik tetap dipertahankan, yang

tidak cocok lagi dihilangkan dan yang kurang akan ditambah. Oleh karenanya,

pembaharuan hukum pidana selalu berada dalam masalah kriminalisasi,

dekriminalisasi, dan depenalisasi. Pendekatan sistemik dalam pembaharuan

hukum pidana untuk membentuk atau mewujudkan KUHP baru adalah

118

Ibid., h.47

119

Ibid., h.59

Page 95: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

79

menempatkan KUHP sebagai pokok atau bahan yang diperbaharui, dengan

melihat kepada doktrin dasar nasional seperti Pancasila, UUD 1945, dan

Wawasan Nusantara.

Objek yang diperbaharui adalah secara makro dan mikro hukum pidana.

Secara makro adalah pembaharuan pada struktur atau lembaga-lembaga sistem

peradilan pidana, substansinya yang menyangkut harmonisasi atau sinkronisasi

hukum pidana, dan pembaharuan aspek budaya masyarakat dan nilai-nilai

filosofis kehidupan. Sedangkan secara mikro pembaharuan itu menyangkut tiga

masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu perbuatan pidana,

pertanggungjawaban pidana, dan pidana. Metode yang dipakai adalah metode

komprehensif integratif, baik secara deduktif ( menurut doktrin), maupun secara

induktif (empirik). Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana berdasarkan

pendekatan sistemik ini adlaah pembaharuan yang menyeluruh dari segala aspek

terkait dengan hukum pidana.120

Pembaharuan hukum pidana dalam hal objek baik yang makro maupun

mikro, tentunya akan terjadi kalau ada perubahan perkembangan dalam studi

terhadap apa yang dinamakan kejahatan. Oleh karena itu, studi kejahatan yang

mendukung pembaharuan hukum pidana, diantaranya yaitu:

1. Pembaharuan hukum pidana tidaklah dapat terjadi tanpa adanya perubahan

pandangan masyarakat tentang penilaian suatu tingkah laku.

120

Teguh Prasetyo, Op.Cit.,31

Page 96: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

80

2. Perubahan penilaian tingkah laku tersebut tidaklah terlepas dari dukungan

sosial budaya di mana masyarakat tumbuh dan berkembang.121

Pembaharuan hukum pidana ditandai oleh adanya perkembangan

kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, sedangkan yang mengkaji kejahatan

dari aspek kemasyarakatan (sosiologis) adalah kriminologi. Dengan demikian

kriminologi juga berfungsi sebagai sumber inspirasi dalam menggerakkan

pembaharuan hukum pidana tersebut. di samping itu jika dilihat dari pembaharuan

hukum pidana, maka masalahnya juga berkisar kepada tiga persoalan, yaitu

kriminalisasi, dekriminalisasi, dan depenalisasi.

Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan yang semula bukan

tindak pidana atau tidak diatur dalam hukum pidana, karena perkembangan

masyarakat, kemudian menjadi tindak pidana atau dimuat dalam hukum pidana.

Artinya, tahap akhir proses kriminalisasi adalah pembentukan hukum pidana.

Dalam hal ini, kriminologi memberikan masukan tentang perbuatan-perbuatan apa

saja yang layak dimasukan ke dalam hukum pidana. Di samping itu tentunya para

ahli hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri untuk memasukkan perbuatan

menjadi perbuatan pidana, melainkan perlu bantuan dari ilmu sosial lainnya

termasuk kriminologi. Dalam usaha pembinaan dan pembaharuan hukum nasional

apabila dipandang perlu juga akan diikutsertakan kalangan di luar hukum yang

erat hubungannya dengan pembinaan dan pembaharuan hukum.122

121

Teguh Prasetyo, Op.Cit.,h.32

122

Teguh Prasetyo, Loc.Cit.

Page 97: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

81

Dekriminalisasi adalah suatu proses dalam rangka menjadikan suatu

perbuatan yang semula merupakan tindak pidana kemudian karena perkembangan

masyarakat dikeluarkan dari hukum pidana, artinya perbuatan tersebut tidak

dianggap jahat lagi oleh masyarakat. Kriminologilah yang memberi masukan

tentang perkembangan perbuatan negatif yang terjadi dalam masyarakat. Artinya

studi kriminologi terhadap kenyataan yang sudah diatur dalam hukum pidana

tersebut, dan kenyataan ini karena perkembangan yang terjadi dapat bertolak

belakang dari apa yang sudah diatur dalam hukum pidana.123

Depenalisasi adalah perbuatan yang dulunya diancam dengan pidana,

karena perkembangan masyarakat, perbuatan yang dulunya diancam dengan

pidana dianggap bukan perbuatan yang perlu diancam dengan pidana lagi, tetapi

sifat perbuatannya masih dianggap jahat. Oleh karena itu dalam depenalisasi ini

sifat ancaman pidananya dicarikan pada alternatif lainnya, lantaran bobot

kejahatannya berkurang. Sebagai perbuatan yang negatif, kejahatan yang terjadi

dalam masyarakat tentunya mendapat reaksi dari masyarakat tempat kejahatan itu

terjadi. Reaksi ini berupa reaksi formal maupun refaksi informal. Dalam reaksi

yang formal akan menjadi bahan studi bagaimana bekerjanya hukum pidana itu

dalam masyarakat, artinya dalam masalah ini akan ditelaah proses bekerjanya

hukum pidana manakala terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana tersebut.124

Proses ini berjalan sesuai dengan mekanisme sistem peradilan pidana,

yakni proses dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan sampai pelaksanaan putusan

123

Teguh Prasetyo, Op.Cit., h. 33

124

Teguh Prasetyo, Op.Cit., h. 34

Page 98: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

82

di penjara (Lembaga Pemasyarakatan). Studi terhadap reaksi informal atau reaksi

masyarakat umum terhadap kejahatan itu berkaitan bukan saja terhadap kejahatan

yang sudah diatur dalam hukum pidana (pelanggarannya menimbulkan reaksi

formal) yang dapat menyebabkan terjaidnya tindakan main hakim sendiri oleh

masyarakat, juga reaksi terhadap kejahatan yang belum diatur oleh hukum

pidana. Artinya, masyarakat menganggap perbuatan itu jahat tetapi perbuatan itu

belum diatur oleh hukum pidana. Hal ini nantinya berpengaruh dalam menetapkan

kriminalisasi, dekriminalisasi, dan depenalisasi.125

Beberapa studi mengenai reaksi

masyarakat terhadap kejahatan ini ternyata menunjukkan hubungan yang

signifikan antara reaksi masyarakat dengan terjadinya kejahatan

Berdasarkan definisi ini, secara sederhana kebijakan formulasi dapat

diartikan sebagai usaha merumuskan atau memformulasikan suatu undang-undang

yang dapat digunakan untuk menangulangi kejahatan. Dalam perumusan undang-

undang akan ada proses kriminalisasi, yaitu suatu proses untuk menentukan suatu

perbuatan yang awalnya bukan sebagai tindak pidana kemudian dijadikan sebagai

tindak pidana. Proses kriminalisasi harus mempertimbangkan banyak hal, seperti

kepentingan hukum yang akan dilindungi, tingkat bahaya, kerugian, kesiapan dan

penguasaan teknologi oleh aparat dan lain sebagainya. Hal ini penting agar pada

tahap implementasi peraturan tersebut nantinya dapat berjalan dengan efektif dan

tidak bersifat mandul, apalagi sampai terjadi krisis kelebihan kriminalisasi (the

crisis of over-criminalization) dan krisis kelampauan batas dari hukum pidana (the

crisis of overreach of the criminal law)

125

Teguh Prasetyo, Op.Cit., h.5

Page 99: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

83

BAB III

KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN

MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM HUKUM POSITIF

INDONESIA

3.1 Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam

KUHP

Secara kodrati, manusia adalah makhluk pribadi dan sosial. Sebagai makhluk

pribadi maupun sosial tidak pernah lepas dari pergesekan dan kepentingan

maupun ketergantungan antara yang satu dengan yang lain. Bertitik tolak dari hal

tersebut di atas, Moeljatno menyatakan, bahwa hukum pidana adalah bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar

dan aturan- aturan untuk:126

1.9. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang boleh dilakukan, yang

dilarang, disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi

barangsiapa melanggar larangan tersebut.

1.10. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana telah diancamkan.

1.11. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

larangan tersebut.127

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat menjadi

KUHP merupakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan-

perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, memiliki tujuan-tujuan sebagaimana

126

Moeljatno, Op.Cit,.h.4

127

Moeljatno, Op.Cit., h.5

83

Page 100: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

84

tujuan hukum pada umumnya. Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai

bagian dari sistem hukum yang berlaku di dalam suatu negara, terletak pada

tujuan hukum pidana itu sendiri yakni menciptakan tata tertib di dalam

masyarakat sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan damai dan

tenteram. Kebijakan penal (hukum pidana) pada hakikatnya mengandung unsur

preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap

delik/kejahatan diharapkan adanya efek pencegahan atau penanggulangan.

Kebijakan penal tetap diperlukan dalam rangka penanggulangan kejahatan

karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk

menyalurkan ketidaksukaan masyarakat, pencelaan, kebencian masyarakat

terhadap suatu objek perbuatan yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana

perlindungan sosial (sosial defence). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa

penal policy merupakan bagian dari perlindungan sosial yang memiliki sifat

universal di semua negara. Hukum pidana sebagai sarana penanggulangan

kejahatan, selama ini masih merupakan sesuatu yang lazim digunakan diberbagai

negara, termasuk Indonesia. Praktek perundang-undangan selama ini

menunjukkan, bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari

kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia.

Formulasi perbuatan-perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib

dalam KUHP sebagai tindak pidana, merupakan usaha yang rasional dalam

menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana)

yang merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dalam

melindungi masyarakat dari kejahatan, serta merupakan bagian dari kebijakan

Page 101: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

85

sosial untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam Pembukaan

UUD NRI 1945. Secara singkat, dalam perspektif hukum pidana, merupakan

cakupan dalam pelanggaran-pelanggaran terhadap ketertiban umum.

Kepercayaan masyarakat Indonesia dipahami benar oleh pemerintah

Kolonial Hindia Belanda ini terbukti dari ketika pemerintah Hindia Belanda

memberlakukan Wetboek van Strafrecht Nederlands Indie ( Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana Hindia Belanda) yang berlaku pada tanggal 1 Januari

1918 di kerajaan Belanda, kemudian berdasarkan asas konkordansi di berlakukan

di Indonesia. Selanjutnya pada saat Indonesia merdeka tahun 1945, maka

terjadilah untuk sementara kekosongan hukum. Untuk mengisi kekosongan

hukum itulah maka melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945

diberlakukan kembali semua lembaga-lembaga dan peraturan perundang-

undangan yang ada sebelumnya sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi.

Berlaku atas Penetapan Undang-Undang No.1 Tahun 1946, maka

berdasarkan ketetapan inilah sampai sekarang yang berlaku adalah Wetboek van

Strafrecht Nederlands Indie ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia

Belanda) Tahun 1918 dengan beberapa penghapusan, pengurangan, perubahan

pasal-pasal di sana-sini yang disesuaikan dengan kepentingan politik hukum kita

yang saat itu masih diakomodirnya pasal-pasal berkaitan dengan kekuatan gaib.

Pada hakekatnya pengaturan kejahatan dengan kekuatan gaib merupakan masalah

dilihat dari sistem hukum masa lalu yang pernah ada di Indonesia atau dalam

hukum adat. Misalnya yang berhubungan dengan masalah “tenung” pernah

dirumuskan sebagai delik di dalam Pasal 13 Perundang-undangan Majapahit.

Page 102: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

86

Pengaturan di zaman Majapahit, perbuatan tenung dipandang sebagai

salah satu dari enam “tatayi” (kejahatan) berat yang diancam dengan pidana mati.

Demikian pula di dalam beberapa sumber hukum adat di Indonesia. Misalnya

dalam hukum adat Dayak kanayan, dijumpai istilah “nyampokng nyawa” (yaitu

usaha membunuh orang lain dengan mistik sebagai usaha untuk merusak hasil

panen/padi di lading/sawah orang lain), dan “sarapo” (perbuatan

meletakkan/menyimpan suatu barang ke dalam rumah orang lain secara tidak

wajar, sehingga dapat diartikan seolah-olah perbuatan “nyampokng). Hal yang

menarik untuk dikemukakan disini ialah bahwa delik-delik “masa lalu” yang

sudah tidak berlaku, tetapi merupakan rumusan delik adat “masa kini” yang masih

tercantum di dalam kodifikasi hukum adat dayak yang telah ditetapkan atau

dikukuhkan kembali dalam keputusan Musyawarah Adat.128

Sistem hukum yang formal dan rasional hanya berusaha menjaring

perbuatan lahiriah yang secara empiris dapat diidentifikasikan dan dibuktikan

hubungan kausalitasnya. Oleh karena itu, perbuatan yang bersifat mistik, gaib, dan

metafisika sulit diterima dalam sistem hukum yang formal dan rasional. Namun

demikian, tidak berarti semua perbuatan yang berhubungan dengan masalah gaib

tidak dapat diatur dalam sistem perundang-undangan yang formal dan rasional.

Sepanjang perbuatan tersebut dapat diidentifikasikan, dapat saja perbuatan itu

diatur dalam hukum formal. Sistem KUHP Indonesia mengenal pembagian delik

yakni berupa Kejahatan yang dimuat di dalam Buku Kedua dan Pelanggaran yang

dimuat di dalam Buku Ketiga.

128

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h.290

Page 103: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

87

Pembedaan ini mengikuti sistem Wetboek Strafrecht Nederland, namun

berbeda dengan di Nederland KUHP Indonesia membagi lagi kejahatan tersebut

ke dalam kejahatan biasa dan kejahatan ringan. Perbedaan kejahatan menurut

Jonkers ialah kejahatan pada umumnya termasuk rechtsdelicten, delik hukum

yaitu perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yang tidak tergantung dari suatu

ketentuan hukum pidana, tetapi dalam kesadaran bathin manusia dirasakan bahwa

perbuatan tidak adil dan disamping tidak adil menurut undang-undang yaitu

perbuatan yang tidak sah yang dietntukan oleh undang-undang. Sebaliknya

pelanggaran yang termasuk wetsdelicten, yaitu perbuatan yang oleh masyarakat

tidak dipandang sebagai perbuatan tercela yang pembuatnya harus dipidana, tetapi

oleh pembentuk undang-undang ditetapkan sebagai delik untuk menjamin

keamanan umum, memelihara dan mempertahankan ketertiban umum atau

memajukan kesejahteraan umum.129

Eksistensi masalah Kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib telah diakui oleh kebijakan politik hukum pidana

menunjuk pada pengaturan hukum pidana pada Bab VI buku III tentang

pelanggaran kesusilaan yakni:

1) Pasal 545 KUHP menyebutkan

Ayat (1) barang siapa menjadikan sebagai pencariannya untuk

menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan

atau penafsiran impian, diancam dengan pidana kurungan paling lama

enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah

Ayat (2) jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun

sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang

sama, pidananya dapat dilipatduakan

129

Zainal Abidin Farid, Op.Cit, h. 352

Page 104: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

88

2) Pasal 546 KUHP menentukan:

Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

Ayat (1) barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan,

membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan

jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai

kekuatan gaib

Ayat (2) barang siapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian

yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan

perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri

3) Pasal 547 menentukan:

seorang saksi, yang ketika diminta untuk memberi keterangan dibawah

sumpah menurut ketentuan undang-undang, dalam sidang pengadilan

memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti, diancam dengan pidana

kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh

ratus lima puluh rupiah

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut terlihat adanya hal-hal yang

bersifat gaib atau supernatural yaitu, peramalan nasib, mimpi dan jimat-jimat atau

benda-benda sakti berkekuatan gaib. Jadi, hukum formal dapat atau mungkin saja

mengatur hal-hal yang gaib atau supernatural sepanjang yang diatur bukan

substansi gaibnya, tetapi perbuatan yang berhubungan dengan hal-hal gaib itu.

Dari perumusan pasal-pasal dalam KUHP tersebut yang terkait dengan kekuatan

yang bersifat magis terutama dalam Pasal 546 KUHP yang pada intinya suatu

perbuatan pidana yang mengatasnamakan kekuatan gaib sebagai salah satu media

yang mempunyai kekuatan gaib merupakan suatu pengaturan yang bersifat tidak

jelas dari segi pemaknaan, oleh sebab banyak masyarakat yang menggunakan

benda-benda yang disebut dalam Pasal 456 KUHP yang diyakini dapat

memberikan perlindungan terhadap hal-hal yang bersifat buruk.

Page 105: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

89

Ditinjau dari segi penafsiran historis yang berusaha mencari makna

undang-undang menurut terjadinya undang-undang yang berkaitan dengan tujuan

pembentukan undang-undang tersebut dengan jalan meneliti sejarah dari konsep

pembentukan Pasal 545, 546, dan 547 KUHP yakni menurut Boeke Strafwetboek

voor inlander (Kitab Keadilan Hoekoeman Boeat Anak Negeri Tahun 1911) yang

menyebutkan:

beberapa kali soedah kadjadian, orang-orang bikin roesoeh atau

mendjalankan kadjahatan doerhaka atua soempah palsoe di hadapan haki

atau di hadapan pengaidlan, sasoedahnja dia dapat pengadjaran dari orang-

orang jang mengadjar ilmoe-ilmoe itoe. Satijap kali kadjadjijan begitoe

roepa maka tijap-tijap kali djoega di njatakan bahwa orang-orang, jang

bikin roesoeh atau jang soempah palsoe itoe, membawa atau pakai jimat-

jimat atau penangkal. Dari itoe diadakan katentoewan2 seperti terseboet di

dalam fasal 546,547dan 545 diadakan dengan maksoed akan menegahkan

orang membawa djimat djika dia misti menghadap dihadapan hakim atau

dihadapan pengadilan akan mengeloewarkan kesakjian dengan

bersoempah, sebab soedah seringkali kadjadjian di hindia Nederland,

orang jang dipersidangkan dari madjelis hoekoem mengalowerkan

kesakjian dengan berdoesta, kadapat membawa djimat jang di

semboenjikan olihnja baik di dalam setangan kapala baik di dalam ikat

pinggangnja atau tali pending.

Dengan terjemahan peneliti yakni:

Beberapa kali sudah kejadian, orang-orang bikin rusuh atau menjalankan

kejahatan durhaka atau sumpah palsu dihadapan hakim atau dihadapan

pengadilan, sesudahnya dia dapat pengajaran dari orang-orang yang mengajar

ilmu-imu itu. Setiap kali kejadian yang sama, maka tiap-tiap kali juga dinyatakan

bahwa orang-orang yang bikin rusuh atau yang sumpah palsu itu, membawa atau

memakai jimat-jimat atau penangkal. Dari itu diadakan ketentuan-ketentuan

seperti tersebut di dalam Pasal 545, 546, dan 547 diadakan dengan maksud akan

menegakkan orang yang membawa jimat jika dia mesti menghadap dihadapan

Page 106: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

90

hakim atau di hadapan pengadilan akan mengeluarkan kesaktian dengan

bersumpah, sebab sudah seringkali kejadian di Hindia Nederland, orang yang

dipersidangkan dari majelis hukum mengeluarkan kesaktian dengan berdusta,

tertangkap membawa jimat yang disembunyikan olehnya baik di dalam tangan

juga di dalam ikat pinggang.

Penafsiran atau interprestasi historis terhadap Pasal 545, 546, dan 547

KUHP ialah mencari maksud suatu peraturan seperti yang dikehendaki oleh

pembentuk undang-undang. Kehendak pembentuk undang-undanglah yang

bersifat menentukan. Penafsiran ini juga disebut sebagai penafsiran subjektif,

karena penafsiran dipengaruhi oleh pandangan subjektif dari pembentuk undang-

undang. 130

Sejarah dari pembentukan pasal-pasal tersebut sesuai dengan konsep

menurut Boeke Strafwetboek voor inlander ( Kitab keadilan Hoekoeman Boewat

Anak Negeri Tahun 1911) berupa kebiasaan dari setiap penyelenggaran suatu

proses dihadapan hakim atau pengadilan sering terjadi keributan yang dilakukan

oleh orang yang melakukan suatu kejahatan.

Pelanggaran tersebut sering dilakukan dengan sumpah palsu di hadapan

hakim atau pengadilan. Orang-orang yang berperilaku demikian diyakini memiliki

jimat-jimat yang memiliki kemampuan yang bersifat gaib yang diperoleh dari

suatu pembelajaran yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki keahlian

untuk itu. Perbuatan tersebut yang berupa mengenakan benda-benda yang tidak

lazim dianggap sebagai sebuah pelanggaran yang harus mendapatkan sanksi.

Menurut pembentuk undang-undang pada masa itu, bahwa setiap perbuatan

130

Sudikno Mertokusomo II, Op.Cit.h.42

Page 107: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

91

berupa sumpah palsu yang terjadi dalam sidang dan keributan, maka setiap itu

juga orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut memakai jimat-jimat yang

diyakini sebagai penangkal untuk menghindari penegakan hukum dari kejahatan

yang dilakukan.

Perumus undang-undang pada masa itu, memiliki kepercayaan penuh

terhadap sesuatu yang bersifat gaib yang berada dalam benda-benda di bawah

penguasaan seorang pelaku kejahatan yang berupa jimat-jimat yang dipakai dalam

persidangan. Maksud dari perumusan pasal ini tiada lain untuk menghukum atau

memberikan sanksi terhadap orang yang tertangkap membawa jimat dalam

pengadilan atau bahkan seorang tersebut memiliki kemampuan untuk

mengeluarkan kesaktian yang dapat menghambat proses persidangan. Hal ini

berdasarkan fakta bahwa kejadian-kejadian tersebut sering terjadi dalam sidang

pengadilan.

Benda-benda tersebut diyakini memiliki suatu kekuatan di luar nalar

manusia atau bersifat gaib dalam arti kekuatan gaib yang dianggap memberikan

dampak positif. Penting untuk adanya pengidentifikasian sifat-sifat dari sesuatu

kekuatan yang bersifat magis atau gaib yang berkarakter jahat dengan sifat dari

keberadaan ilmu dengan karakter baik, misalnya dalam rangka penyembuhan

suatu dengan cara yang gaib dan sebagainya. Benda-benda yang disebutkan dalam

Pasal 456 KUHP yang dikatakan memiliki kekuatan gaib tidak secara jelas

menyebutkan apakah kekuatan gaib yang dimaksudkan tersebut dapat

menimbukan suatu akibat yang buruk atau menimbulkan kerugian terhadap orang

lain.

Page 108: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

92

Pelanggaran bernuansa spiritisme ini menjadi fenomena sosial riil di

masyarakat Indonesia. Sifatnya yang bernuansa supernatural menimbulkan

kerugian materiil dan moril bagi korban maupun masyarakat umum. Modus

operandinya beragam, tetapi telaah terhadap tindakan tersebut terbatas, hanya

terpaku pada tindak pidana saja, seperti penipuan, perampokan atau pencurian,

tanpa adanya kejelasan proses pidananya secara utuh. Tidaklah mengherankan

perkembangan jenis kejahatan ini memiliki intensitas yang tinggi dalam

masyarakat. Korban atau masyarakat umum lebih memilih mendiamkan saja

kejadian yang dialaminya daripada melaporkan ke pihak yang berwajib. Rumitnya

prosedur dan mekanisme hukum yang ada, sulitnya alat bukti maupun saksi dalam

menjelaskan peristiwa tersebut, membuat korban tidak mau melapor karena takut

atas kejadian yang dialami.

Keterbatasan penyingkapan dan pengungkapan kasus-kasus kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib yang bernuansa lokal atau mistis pada

umumnya disebabkan sebagian masyarakat Indonesia terikat kuat dengan tradisi

lokalnya. Banyak orang percaya terhadap benda-benda yang mempunyai

kekuatan tertentu seperti barang pusaka, lambang-lambang, senjata tradisional

atau jimat. Berbagai tradisi tersebut mengandung atau mewarisi sistem

kepercayaan lokal yang dapat dipergunakan untuk hal-hal yang produktif

misalnya dalam berbagai ritus peralihan, maupun dipergunakan untuk mendukung

tindak kejahatan. Di dalam sistem kepercayaan lokal diyakini ada kekuatan-

kekuatan gaib yang bersifat baik dan jahat, mahluk-mahluk halus, roh-roh leluhur,

Page 109: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

93

roh-roh lain, baik maupun jahat, kekuatan sakti yang berguna (positif) maupun

merusak.

Setiap daerah atau komunitas mewarisi sistem kepercayaan lokal masing-

masing. Berkembang atau tidaknya dukungan sistem kepercayaan lokal pada

kejahatan bergantung kepada para pendukung (penganut) dalam melestarikannya.

Para pendukung sistem kepercayaan lokal secara umum sangat beragam menurut

daerah dan komunitasnya. Para pendukung sistem kepercayaan lokal tersebut

sering dilibatkan dalam melaksanakan kegiatan ritual kehidupan sehari-hari.131

Dalam realitasnya sulit sekali menentukan secara langsung bentuk dukungan

sistem kepercayaan lokal dalam aksi kejahatan. Seringkali terdengar sistem

kepercayaan lokal beserta pendukungnya mendapat reaksi keras dari warga

masyarakat sekitarnya. Contohnya adalah kasus-kasus penentangan atau

pembunuhan terhadap mereka yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan

gaib seperti pembunuhan dukun santet di Jawa Timur, begu ganjang di Tapanuli,

terhadap pengguna Leak di Bali, atau Suanggi di Maluku.132

Secara implisit dan

terbatas, dukungan sistem kepercayaan lokal terhadap kejahatan dapat ditelusuri

melalui teknik-teknik, motivasi, pewarisan ( modus operandi) yang berbeda-beda

menurut budaya, tempat, waktu, dan peristiwanya.

Sebagai fakta sosial, baik implisit maupun eksplisit beberapa contoh

tersebut menunjukan bahwa peristiwa pada kategori kejahatan yang didukung

sistem kepercayaan (ilmu gaib) tidak membedakan status pelaku, dapat dilakukan

131

A. Josias Simon Runturambi, Op.Cit., h.3

132

Ibid., h.4

Page 110: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

94

oleh seorang terpelajar atau non terpelajar, kaya maupun tidak, pejabat atau rakyat

biasa, penguasa atau bukan penguasa. Artinya, meskipun masyarakat saat ini

mengaku diri sebagai masyarakat rasional, modern dan transparan, tetapi di sisi

lain penggunaan sistem kepercayaan lokal (ilmu gaib) yang mengandalkan

kekuatan-kekuatan irasional menjadi salah satu cara menyelesaikan persoalan

yang dihadapi, agar bisa sukses dan eksis, atau dalam kasus tertentu, sekedar

untuk menghilangkan, menyiksa atau membunuh lawannya.133

Sifat dan ciri-ciri masyarakat seperti ini mendorong tampilan penggunaan

kekuatan-kekuatan irasional atau magis disembunyikan sedemikian rupa agar

tidak diketahui orang lain, karena selain tidak ingin mendapat stempel pendukung

kekuatan supranatural yang bersiat negatif. Penolakan yang begitu kuat dalam

fenomena ini, membuat para pengguna ilmu gaib dalam kejahatan, terutama

pelaku kejahatan tidak sembarang mempertontonkannya, lebih cenderung diam-

diam dan terkesan menghindar dari keramaian. Kondisi-kondisi seperti ini cukup

menyulitkan pengungkapan bentuk-bentuk dukungan sistem kepercayaan pada

kejahatan, kalaupun mungkin diungkap hanya dalam keadaan khusus saja.134

Berkaitan dengan bermacam konsepsi sistem kepercayaan lokal dalam

kejahatan serta reaksi sosial terhadapnya, diidentifikasi adanya tiga macam

penggolongan yang dapat dipergunakan dalam melihat keterlibatan seseorang

pelaku dalam praktik ilmu-ilmu gaib ini pertama, mereka yang memiliki

keterlibatan minimal dalam praktik ilmu gaib, tetapi begitu tertarik secara

133

bid., h.5

134

Ibid., h.6

Page 111: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

95

individual dalam menjelaskan beberapa kejadian aneh seperti piring bisa terbang,

tanah terbelah, dan bermacam fenomena para psikologikal lainnya. Keterlibatan

pada golongan pertama ini ditandai dengan ketiadaan penggunaan mistik atau

kekuatan supernatural, pemahamannya masih ilmiah, menjunjung tinggi

dukungan keilmuan dalam menjelaskan fenomena sistem kepercayaan.135

Kedua, mereka yang mencari pengertian hubungan sebab akibat misterius

atas suatu peristiwa tertentu, dengan menggunakan bantuan numerologi,

astrologi, dan palmistry (rajah tangan). Pengetahuan pada tahap ini lebih ekstra

ilmiah. Ketiga, mereka yang berada dalam tingkatan sistem kepercayaan yang

kompleks seperti ilmu sihir, ilmu setan, ritual magis, dan tradisi mistik lain,

seringkali kontradiksi dengan pemahaman ilmiah. Pola atau proses kejahatan yang

didukung sistem kepercayaan lokal (ilmu gaib) mengalami perubahan menurut

dinamika gerak dalam masyarakat. Tindak kejahatan seperti penipuan, pencurian,

perampokan, dan beberapa kejahatan lain saat ini telah menggunakan peralatan

dan sarana maju, tidak sekedar kemampuan pribadi dan sederhana. Namun,

landasan filosofi dalam melakukan kejahatan tetap masih didominasi oleh sistem

kepercayaan (ilmu gaib) dalam membantu menyukseskan pelaksanaan

kejahatan.136

Beberapa pelaku kejahatan yang tertangkap aparat penegak hukum,

menjelaskan bahwa meskipun peralatan dalam melakukan kejahatan semakin

canggih tetapi tetap saja diperlukan dukungan sistem kepercayaan (ilmu gaib)

135

Sultan Abi, 2013, Masalah guna-guna dalam kehidupan masyarakat Indonesia,

http:www.masalah/guna guna/ kehidupan/masyarakat/Indonesia/.ac.id, diakses pada tanggal 2

Februari 2015, pukul 10.30 Wita

136

Ibid., h.2

Page 112: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

96

dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan aksi kejahatan seperti menghitung

hari baik, memohon keselamatan atau kekuatan, melaksanakan ritual tertentu,

membawa benda sakti atau jimat, dan seterusnya. Fenomena kejahatan ini yang

muncul dengan puncaknya terlihat sebagai kejahatan konvensional biasa, akan

tetapi sebenarnya merupakan bagian dari pola atau proses budaya, kebiasaan atau

tradisi yang berlangsung secara tersembunyi dalam masyarakat.

Bentuk kejahatan yang didukung oleh sistem kepercayaan ilmu gaib pada

dasarnya mengikuti pola atau aturan main yang sama dalam melakukan kejahatan

biasa. Pelaku kejahatan dalam melakukan aksinya dipengaruhi oleh aspek utama

yakni sistem nilai, norma, dan sanksi yang berlaku serta situasi dan kondisi

situasional. Kedua aspek tersebut menentukan preferensi, apakah kejahatan ini

dipergunakan sebagai cara pertama, kedua, atau ketiga dalam mencampai tujuan

dari kejahatan yang dilakukan. Pemahaman terhadap sistem nilai, norma, dan

sanksi menjadi penting mengingat keragaman nilai budaya dalam masyarakat kita

tidak semata memberi petunjuk tentang cara melakukan kejahatan dengan ilmu

gaib, tetapi juga sekaligus memberi petunjuk cara menangkalnya. Sisi pencegahan

dan pengurangan terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib tidak

saja diupayakan melalui budaya lokal, akan tetapi secara normatif telah dimuat

dalam hukum pidana (KUHP), terutama dalam Pasal 545, 546, dan Pasal 547

KUHP tersebut di atas.137

Larangan bagi seseorang untuk bermata pencaharian sebagai ahli nujum,

meramalkan dan atau menerangkan mimpi pada dasarnya dilarang karena

137

A. Josias Simon Runturambi, Op.Cit.h.7

Page 113: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

97

dianggap menganggu ketertiban umum. Akan tetapi pada kenyataannya, praktik

dan penjualan tukang ramal bertebaran dimana-mana, baik secara tertutup maupun

terbuka. Semuanya dibiarkan begitu saja baik oleh masyarakat umum maupun

penegak hukum. Dalam Pasal 546 memuat larangan yang disebutkan di atas,

tetapi pada praktiknya, benda-benda tersebut mulai dari cincin, batu, keris, banyak

diperjual belikan dan tampak resmi, serta mengundang banyak penggemar dan

pengagum. Pasal 545 dan 546 KUHP ini menunjukkan bahwa larangan tersebut

bukan lagi dianggap sebagai perbuatan yang merugikan orang lain karena

berkaitan dengan kepercayaan terhadap hal-hal gaib tersebut. Hal itu juga tampak

dalam Pasal 547 KUHP yang pada kenyataannya sukar sekali diterapkan karena

sulit untuk mengetahui tersangka itu sedang berkomat kamit tentang kasusnya

atau sedang membaca mantera dalam suatu sidang pengadilan.

Pasal-pasal KUHP tersebut menunjukkan bahwa suatu norma tidak lagi

sesuai dengan perkembangan tatanan kehidupan bangsa Indonesia saat ini

terhadap fenomena larangan bernuansa spiritisme. Dalam faktanya, pasal-pasal

tersebut tetap dilanggar dan bahkan tidak dianggap, serta larangan-larangan yang

disampaikan dalam pasal-pasal tersebut jika dilanggar justru tidak meresahkan,

apalagi menimbulkan gejolak sosial yang besar dan berbalik menjadi kesenangan

atau hiburan bagi pihak-pihak tertentu. Hal ini menjadi salah satu faktor dari

sulitnya penegakan hukum terhadap seseorang yang dikatakan menjual,

menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk

dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya

mempunyai kekuatan gaib. Pasal-pasal mengenai penggunaan kekuatan gaib

Page 114: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

98

dalam KUHP menekankan pada larangan atas profesi atau pekerjaan seseorang

yang menyatakan dirinya memiliki kekuatan gaib untuk mengadakan peramalan

dan peruntungan seseorang atau membuat serta membagikan jimat yang berisi

kekuatan gaib.

Berdasarkan perumusan pasal-pasal tersebut diatas dapat disimpulkan

bahwa hal tersebut bukan merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran yang dapat

membahayakan masyarakat atau mengakibatkan suatu penderitaan atau kematian,

melainkan suatu cara dan alat untuk melindungi diri sesuai dengan kepercayaan

masyarakat. Kualifikasi dari perumusan pasal-pasal tersebut bukan merupakan

suatu kejahatan melainkan sebagai suatu pelanggaran yang diketahui ancaman

sanksi terhadap pelanggaran jauh berbeda dengan sanksi yang diancamkan

terhadap perbuatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan. Sehingga pada tataran

implementasi pasal-pasal ini dianggap tidak berfungsi serta bukan lagi merupakan

pelanggaran kesusilaan yang menganggu ketertiban umum dan kesejahteraan

masyarakat.

3.2. Unsur-unsur Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam

Pasal 545, 546, dan 547 KUHP

Kewenangan negara memonopoli reaksi terhadap pelanggar hukum pidana

mulai terjadi ketika muncul organisasi negara modern. Konsep bahwa kejahatan

atau pelanggaran adalah melanggar kepentingan negara sebagai representasi

kepentingan publik umumnya menjadi dasar pemberian kewenangan negara untuk

memonopoli reaksi terhadap kejahatan atau pelanggaran. Selanjutnya, konsep ini

diperkuat oleh pengklasifikasian ilmu hukum, di mana hukum pidana adalah

Page 115: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

99

bagian dari hukum publik yang tidak membolehkan campur tangan individu.

Negara memainkan peranan yang penting dalam pengambilan keputusan terhadap

pelanggar hukum pidana. Secara historis, negara telah mengambil alih konflik

yang terjadi antara pelanggar hukum pidana dengan orang yang terlanggar haknya

(korban kejahatan), orang yang kepentingannya dilindungi oleh hukum pidana,

menjadi konflik antara pelanggar dengan negara atau kepentingan publik.138

Istilah tindak pidana merupakan istilah teknik yuridis yang berasal dari

terjemahan delict atau strafbarfeit disamping istilah lainnya seperti peristiwa

pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan

perbuatan yang boleh dihukum. Moeljatno memberikan definisi tindak pidana

yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan

pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut.139

perbuatan-perbuatan

tersebut dianggap merugikan masyarakat dalam arti bertentangan atau

mengganggu ketertiban umum. Sehingga suatu perbuatan akan menjadi perbuatan

yang dilarang oleh undang-undang apabila perbuatan tersebut dikategorikan

sebagai melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan hukum

pidana, serta pelakunya diancam dengan pidana.

Berkaitan dengan perbuatan menggunakan kekuatan gaib dalam Pasal

545, 546, dan 547 KUHP tersebut maka dapat diidentifikasi unsur-unsur

perbuatan melawan hukum yakni seperti yang telah disebutkan di atas dalam

Pasal 545 KUHP menentukan:

138

Teguh Prasetyo, Op.Cit., h. 112

139

Moeljatno, Op.Cit., h.6

Page 116: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

100

Ayat (1) barang siapa menjadikan sebagai pencariannya untuk

menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan

atau penafsiran impian, diancam dengan pidana kurungan paling lama

enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah

Ayat (2) jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun

sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang

sama, pidananya dapat dilipatduakan

Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 545 KUHP tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Unsur-unsur obyektif

1) Menjadikan sebagai pencarian

2) Menyatakan peruntungan seseorang

3) Mengadakan peramalan atau penafsiran impian.

Selanjutnya unsur Pasal 546 KUHP seperti yang telah disebutkan di atas

yang menentukan:

Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

Ayat (1) barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan,

membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan

jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai

kekuatan gaib

Ayat (2) barang siapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian

yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan

perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri

Unsur-unsur dalam Pasal tersebut yakni

a. Unsur objektif

1. perbuatannya

a) Menjual, menawarkan menyerahkan, membagikan

Page 117: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

101

b) Mempunyai persediaan

c) Untuk dijual

d) Untuk dibagikan

e) Mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang

menimbulkan kepercayaan

2. Objeknya

a) Jimat-jimat

b) Benda-benda yang dikatakan mempunyai kekuatan gaib

Selanjutnya Pasal 547 KUHP seperti yang disebutkan di atas menentukan:

4) Pasal 547 menyebutkan:

seorang saksi, yang ketika diminta untuk memberi keterangan dibawah

sumpah menurut ketentuan undang-undang, dalam sidang pengadilan

memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti, diancam dengan pidana

kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh

ratus lima puluh rupiah

Unsur-unsur perbuatan tersebut yakni:

(a) Unsur Objektif

1) perbuatan

a) memakai

2) objeknya

a) jimat-jimat

b) benda-benda sakti

Unsur subjektif di dalam Buku III KUHP itu dapat diketahui apakah

sesuatu pelanggaran itu harus dilakukan dengan sengaja atau tidak dengan sengaja

Page 118: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

102

ataupun sebaliknya. Hingga tahun 1916 Hoge Raad menganut sutau paham yang

juga dikenal de leer van het materieele feit atau paham mengenai tindakan secara

material, di mana Hoge Raad telah berpendapat, bahwa adalah sudah cukup untuk

menyatakan seseorang itu sebagai dapat dihukum karena telah melakukan suatu

pelanggaran, apabila orang tersebut secara material atau secara nyata telah

berperilaku seperti yang dirumuskan di dalam sesuatu ketentuan pidana, tanpa

perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku orang tersebut dapat

dipersalahkan kepadanya atau tidak.140

Perumusan unsur-unsur dalam pelanggaran pasal tersebut dalam

perkembangannya sesungguhnya bukan merupakan perbuatan yang dianggap

meresahkan atau menggangu ketertiban umum. Akan tetapi ada satu unsur pasal

yang seharusnya mampu untuk diterapkan dalam suatu perbuatan pidana dalam

rumusan pasal tersebut yakni rumusan pasal yang berkaitan dengan pengajaran

terhadap kesaktian-kesaktian yang menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan

perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri. Dalam realitasnya

pasal-pasal tersebut tidak pernah diterapkan terhadap pelanggaran-pelanggaran

tersebut.

Upaya penanggulangan kejahatan terhadap perbuatan dengan

menggunakan kekuatan gaib melalui upaya penal yakni dalam KUHP yang diatur

dalam pasal 545, 546, dan 547 KUHP tidak dijadikan upaya untuk menegakan

hukum terhadap seseorang yang telah melanggar pasal-pasal tersebut yang

berkaitan dengan sarana kekuatan gaib yang dilakukan untuk melakukan

140

P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang, 2014, Dasar-Dasar Hukum

Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.197

Page 119: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

103

pelanggaran tersebut. hal ini berkaitan dengan substansi pasal-pasal tersebut

terutama mengenai pemaknaan kekuatan gaib yang tidak jelas atau normanya

kabur dari segi definisi terhadap kekuatan gaib mengakibatkan kesulitan dalam

penegakan hukum terhadap seorang yang melanggar pasal-pasal tersebut. Aparat

penegak hukum sampai saat ini tidak pernah melakukan tindakan dalam bentuk

apapun terhadap pelanggar dalam pasal-pasal tersebut. Fenomena demikian

mencerminkan suatu perbuatan yang sudah tidak semestinya lagi ada dalam

sebuah pengaturan dalam undang-undang karena fungsinya untuk melindungi

kepentingan umum sudah tidak mendapat pengaruh atau kerugian terhadap

khalayak umum tidak didapati.

Tb. Ronny Rahman Nitibaskara dalam tulisannya menyampaikan terkait

pasal kekuatan gaib yang terumus dalam Pasal 545, 546, 547 KUHP harus ada

dekriminalisasi atau penghapusan pasal-pasal ilmu gaib dalam KUHP tersebut.

Biarlah orang meramal, menjual ataupun membeli benda gaib dan sebagainya,

karena secara kriminologis tidak meresahkan masyarakat. Sebaliknya, harus tetap

ada kriminalisasi santet dalam arti melahirkan delik baru karena dampak sosial

yang ditimbulkan merupakan faktor potensial kriminogen yang cukup besar.

Keresahan masyarakat, main hakim sendiri, pelecehan agama, merupakan produk

sampingan yang ditimbulkannya.141

Kemudian dibeberapa kesempatan Kepolisian Republik Indonesia yang

diwakili Kepala Biro Penyusunan dan Penyuluhan Hukum Mabes Polri Brigadir

Jenderal (Pol) Bambang Sri Herwanto menyatakan Praktik Kekuatan Gaib yang

141

Tb. Ronny Rahman Nitibaskara I, Op.Cit.,h.9

Page 120: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

104

sebenarnya sudah diadopsi dalam tiga pasal pada KUHP, yakni Pasal 545, 546,

dan 547 KUHP. Namun, pasal-pasal tersebut dapat dikatakan pasal mandul

karena tidak pernah diterapkan dalam praktik. Artinya kriminalisasi delik yang

berhubungan dengan sarana kekuatan gaib bukanlah hal yang baru dalam RUU

KUHP.142

Oleh sebab banyak orang yang melakukan kegiatan yang teridentifikasi

sebagai suatu pelanggaran dalam pasal-pasal tersebut yang tidak ditindaklanjuti

menurut hukum.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut saat ini semakin banyak menyebar luas

tanpa menghiraukan aturan hukum yang telah mengatur hal tersebut. hal ini

dikarenakan bahwa perbuatan-perbuatan dalam aturan-aturan tersebut sudah tidak

sesuai lagi dengan perkembangan budaya masyarakat saat ini yang menjadikan

larangan-larangan dalam pasal tersebut sebagai sebuah bentuk kepercayaan,

kegemaran, dan dianggap tidak mengganggu ketertiban umum ataupun

meresahkan masyarakat. Dengan demikian perlu diadakan dekriminalisasi

terhadap larangan-larangan tersebut dalam KUHP karena sudah tidak sesuai

dengan perkembangan masyarakat Indonesia saat ini.

Tb. Ronny Nitibaskara menyatakan bahwa Pasal 545 KUHP melarang

seseorang berprofesi sebagai tukang ramal atau penafsir mimpi. Nyatanya praktek

tukang ramal bertebaran di mana-mana secara tertutup ataupun terbuka, di pasar

dan pusat keramaian lainnya banyak praktek dukun ramal menggunakan buruk

gelatik atau meramal kode buntut. Di lapisan atas banyak pengusaha, pejabat rajin

142

Bambang Sri Herwanto, 2013, Kriminalisasi Delik Santet Sudah Ada sejak Dulu,

Jakarta,http:www//nasional.kompas.com/read/2013/04/04/175661357/Polri.Kriminalisasi.Delik.Sa

ntet. diakses pada tanggal 2 Januari 2015 pukul 14.00 WITA

Page 121: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

105

mendatangi peramal kartu menanyakan nasibnya. Belum lagi ramalan berupa

astrologi, palmistry, grafologi yang terdapat dalam mass media. Kesemuanya ini

dibiarkan sehingga undang-undang menjadi disfungsional. Pasal 546 KUHP

melarang penjualan benda-benda gaib. Realitasnya sejak lama benda-benda gaib

tertentu mulai keris, batu mirah delima, batu anti tembak, keong buntet, rotan

nunggal, wesi kuning ramai di cari dan diperjualbelikan dengan harga yang tinggi.

Pasal 547 melarang seseorang untuk mempengaruhi jalannya sidang pengadilan

dengan menggunakan jmat dan mantera.143

Pengaturan suatu perbuatan yang tidak pernah ditegakkan terhadap suatu

kasus merupakan salah satu bentuk bahwa norma tersebut tidak layak lagi

dijadikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Akan lebih baik jika

perbuatan yang dianggap tidak bertentangan dengan hukum didekriminalisasikan,

hal ini sebagai perwujudan atau bentuk bahwa hukum memang untuk manusia,

perubahan penormaan dalam hukum pidana sesuai dengan perkembangan

masyarakat Indonesia. Pengaturan pelanggaran berkenaan dengan benda-benda

gaib di atas menyangkut kepercayaan seseorang atau keyakinan seorang manusia

yang tidak dapat dibuktikan hubungan kausalitasnya dengan perbuatan pidana

yang dilakukan, dengan demikian hal ini merupakan suatu bentuk tinjauan

pembentuk undang-undang mengenai perumusan suatu perbuatan pidana.

Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib memang terbukti dan

diakui keberadaanya dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia terutama dalam

143

Tb. Ronny Nitibaskara, Kejahatan Metafisis dan Permasalahannya dalam

Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, (selanjutnya disebut TB Ronny Nitibaskara II)

http:// keahatan/metafisis/ permasalahan/ hukum/pidana/Indonesia/ac.id, diakses pada tanggal 25

Oktober 2014 pukul 10.00 Wita.

Page 122: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

106

masyarakat pedesaan yang masih sarat dengan adat-istiadat serta kegiatan-

kegiatan yang bersifat kultural sehingga kemampuan seseorang untuk melakukan

atau memiliki ilmu gaib tersebut tidak terbantahkan. Seringkali timbul korban

dalam penyalahgunaan ilmu gaib tersebut oleh orang-orang yang memiliki suatu

niat jahat terhadap orang lain, tidak segan-segan korban yang menjadi incaran

kegiatan-kegiatan tersebut sampai meninggal dunia. Hukum di Indonesia belum

mampu untuk menjangkau perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan melalui

praktik ilmu gaib yang berkarakter hitam atau jahat dalam peraturan perundang-

undangan Indonesia. hal ini berkaitan dengan sulitnya pembuktian terhadap hal-

hal yang bersifat gaib.

Romli Atmasasmita dan Murad Harahap dari Universitas Padjajaran,

Bandung pernah mengadakan penelitian pada tahun 1991 mengenai tindakan main

hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat terhadap orang-orang yang dituduh

telah melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib seperti santet, tenung, dan teluh

di Jawa Barat.144

Penelitian tehadap teluh, santet, di Jawa Barat didasarkan atas

pertimbangan sebagai berikut:

1. Perbuatan dengan kekuatan gaib seperti santet, teluh, tenung bersifat

misterius, dalam arti perbuatan dan akibat dari perbuatannya tidak

dapat dilihat, diketahui dan dibuktikan secara nyata. Sedangkan di

lain pihak, kegiatan santet tersebut telah banyak menimbulkan

kerugian-kerugian fisik dan psikis, bahkan kematian pada korban.

2. Masalah perbuatan dengan kekuatan gaib melibatkan tiga pihak,

yakni pihak pertama orang yang menyuruh melakukan perbuatan

tersebut, pihak kedua orang yang melakukan perbuatan tersebut atau

tukang santet, teluh, tenung dan sebutan laiinya. Masalah kejahatan

dengan kekuatan gaib ini dipandang sangat unik, oleh karena itu jika

144

Woro Winandi, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak

Asasi Manusia Dalam Kerusuhan Massal Pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi,

Tesis, Undip, Semarang, h. 50, dikutip dari Romli Atmasasmita dalam Jurnal Dinamika Hak

Asasi Manusia, Vol.I, No. 01, Mei-Oktober 2000

Page 123: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

107

kasus pembunuhan tukang teluh diajukan ke muka sidang

pengadilan, pihak kedua justru menjadi korban dari suatu kejahatan

dengan kekerasan (pembunuhan) dan pihak ketiga, justru tidak

pernah terungkap dan tidak pernah menjadi pihak yang berperkara di

muka sidang pengadilan.

3. Pelaku kejahatan dengan kekuatan gaib tidak pernah merasa atau

menganggap dirinya sebagai penjahat, melainkan sebagai

penyelamat dari mereka yang berkepentingan. Di lain pihak,

sekalipun perbuatan dimaksud bertentangn dengan hukum, agama,

dan tidak dibenarkan oleh hukum pidana positif, mereka yang

berkepentingan dengan kekuatan ilmu gaib, tetap berkeras hati untuk

melaksanakan niatnya tersebut.145

4. Pekerjaan melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib

dapat mengakibatkan stagnasi produktivitas kerja lingkungan

masyarakat pada umumnya, khususnya pada korban. Di lain pihak,

masalah ini menimbulkan penggolongan tindakan karena menyuruh

melakukan perbuatan kejahatan tersebut terlepas dari jangkauan

hukum pidana yang berlaku.

5. Kejahatan dengan kekuatan gaib sebagai suatu masalah yang unik,

selain mempersoalkan masalah pelaku dan korban kejahatan

(pembunuhan), juga mempersoalkan masalah korban karena

kelemahan-kelemahan dari sitsem pembuktian dalam perkara pidana

atau menimbulkan viktimisasi structural.146

Mencermati keadaan pada beberapa kasus penyerangan massa masyarakat

terhadap orang yang dituduh mengamalkan kejahatan dengan kekuatan gaib di

beberapa daerah dewasa ini sangat memprihatinkan, terutama pada sistem hukum

negara Indonesia. Pemerintah tidak terlalu menghiraukan kejadian-kejadian yang

berbau mistis, padahal sudah cukup banyak korban baik harta benda bahkan

nyawa sekalipun yang menjadi korban akibat kemarahan atau tindakan main

hakim sendiri yang dilakukan terhadap orang yang dituduh mengamalkan

kejahatan dengan kekuatan gaib. Walaupun perkara seperti itu sudah dianggap

tabu di zaman modern seperti hari ini, namun tetap harus mengakui bahwa

146 Ibid.,h.53

Page 124: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

108

masyarakat Indonesia masih dibelenggu oleh perkara-perkara atau kejadian-

kejadian mistis yang dilakukan seseorang147

Suatu tindakan individu ataupun kelompok mendapat sorotan penting

dalam ilmu sosiologi. Tindakan tersebut mempunyai tujuan tertentu untuk dirinya

sendiri ataupun untuk orang lain merupakan kajian yang dilakukan oleh para

sosiolog. Tindakan seseorang yang melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib

atas permintaan kliennya merupakan suatu tindakan yang irasonal, karena

tindakan tersebut kebanyakan didasari adanya unsur perasaan dendam. Kejahatan

dengan kekuatan gaib, menurut beberapa ahli akademisi memang ada. Namun bila

dilihat hanya menggunakan satu kajian ilmu maka tidak akan pernah ditemukan

apa dan bagaimana kejahatan dengan kekuatan gaib tersebut. Bahkan untuk

penyelesaian permasalahan yang ditimbulkan adanya kejahatan dengan kekuatan

gaib sangat sulit untuk diatasi, terlebih lagi dari segi ilmu pengetahuan dan

kedokteran, belum ada penjelasan yang meyakinkan keberadaan korban kejahatan

melalui kekuatan gaib tersebut.148

Emilie Durkheim melalui teori sosiologi mengungkapkan bahwa

berkaitan dengan solidaritas bahwa individu yang telah menyatu dan membentuk

massa akan mampu menyebabkan mereka kehilangan entitas pribadinya yang

cenderung berbuat di luar kontrol pribadinya. Identitas sosial seseorang biasanya

akan tenggelam apabila orang tersebut ikut terlibat dalam suatu perkumpulan

147

Ahmad Siregar, 2013, Maraknya Tindakan Main Hakim Sendiri di Indonesia, http:www//rustamcastello/solusi/hukum/pada/pratek/perdukunan// diakses pada tanggal 18

November 2014

148

Nicholas Herriman, Op.Cit. h.4

Page 125: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

109

massa.149

Secara umum dari ilmu sosial, efek dari keberadaan kejahatan dengan

kekuatan gaib yang berkembang di masyarakat menimbulkan berbagai macam

tindakan lain yang saling berhubungan. Adanya korban kejahatan dengan

kekuatan gaib yang muncul dimasyarakat dapat melahirkan tindakan-tindakan

yang tak terkontrol, seperti misalnya pengeroyokan massal atau main hakim

sendiri kepada orang yang diduga pelaku kejahatan dengan kekuatan gaib.

Adanya pengeroyokan atau main hakim sendiri ini dari segi sosiologi karena

adanya rasa solidaritas dalam kelompok.

Keberadaan kejahatan dengan kekuatan gaib ini masih dapat dijumpai di

kehidupan masyarakat. Dapat dilihat pada halaman surat kabar, banyak sekali

terdapat iklan-iklan yang menawarkan jasa ramal, pemasangan susuk, dukun-

dukun santet, teluh dan sebagainya. Sehingga sering ditemukan adanya

masyarakat yang menjadi korban dimana mereka menderita sakit bahkan

kematian yang tidak masuk akal dalam dunia kedokteran sebagai akibat kejahatan

dengan kekuatan gaib tersebut. Secara viktimologis, masyarakat yang merasa

dirinya menjadi korban kejahatan tersebut umumnya menganggap hukum belum

mampu memberikan perlindungan, karenanya masyarakat yang resah dan para

korban mengambil jalan keadilannya sendiri dimana biasanya jalan keadilan

tersebut sering kali diwujudkan dalam berbagai reaksi sosial yang justru

membuahkan tindakan kejahatan, seperti main hakim sendiri, pengeroyokan,

penganiayaan, pengasingan, bahkan pembataian.

149

Soerjono Soekanto, 2005, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press

(selanjutnya disebut Soerjono Serkanto II), Jakarta, h.37

Page 126: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

110

Kesulitan dalam pembuktian terhadap kejahatan ini merupakan salah satu

kelemahan dalam proses penegakan hukum terhadap terjadinya kejahatan ini.

Sering terjadinya tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat terhadap

warga masyarakat yang diduga berprofesi sebagai dukun yang melakukan

kejahatan dengan kekuatan gaib merupakan salah satu bagian dari akibat tidak

terjangkaunya hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang mengatasnamakan

kekuatan gaib untuk melakukan perbuatan pidana. Indonesia sebagai negara

hukum berkewajiban untuk melindungi warga masyarakat Indonesia dalam bentuk

pelanggaran atau kejahatan dalam bentuk apapun untuk mewujudkan

kesejahteraan sosial.

Demikian apa yang diatur dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP tidak

dapat diberlakukan terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib yang mengalami penghakiman secara massal, karena

substansi yang diatur dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP tidak lagi dianggap

sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Larangan-larangan dalam

pasal-pasal tersebut sudah bergeser menjadi suatu bentuk kepercayaan atau

keyakinan oleh seseorang terhadap suatu hal, sehingga keberadaan seseorang yang

diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang dikenal

dalam masyarakat mengalami tindakan anarkis warga setempat tanpa

menghiraukan keberadaan hukum yang berlaku dalam suatu negaranya terlebih

lagi mengingat bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang sudah sepatutnya

perbuatan atau kejahatan dalam bentuk apapun harus ditindaklanjuti oleh pihak

yang berwajib. Penekanan dalam tulisan ini berkaitan dengan tindakan anarkis

Page 127: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

111

warga yang ada di Indonesia dalam suatu wilayah yang banyak melakukan

tindakan anarkis terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib.

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib melalui

jalur non penal sasaran pokoknya adalah menangani faktor-faktor kondusif

penyebab terjadinya kejahatan, yang berpusat pada kondisi-kondisi sosial secara

langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan

kejahatan. Masyarakat yang menduga dalam wilayahnya dihuni oleh seseorang

yang diduga berprofesi sebagai orang yang ahli dalam melakukan kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib cenderung melakukan tindakan anarkis

seperti tindakan main hakim sendiri. Tidak jarang tindakan seorang demikian

menumbuhkan atau menimbulkan kejahatan baru terhadap seseorang yang

berprofesi sebagai orang yang ahli melakukan kejahatan dengan menggunakan

kekuatan gaib yakni tindakan penganiayaan, kekerasan, bahkan berpotensi

menimbulkan pelanggaran HAM.

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang masih kuat dalam

memegang tradisi. Kepercayaan masyarakat terkait dengan masalah perbuatan

dengan kekuatan gaib masih mengakar dengan cukup kuat menjadi mitos

tersendiri ditengah-tengah masyarakat. Cara pandang masyarakat tentang

perbuatan dengan kekuatan gaib menjadikan perbuatan dengan kekuatan gaib

seperti sudah membudaya dikalangan masyarakat. Fenomena perbuatan dengan

kekuatan gaib di tengah masyarakat Indonesia seringkali menimbulkan kekerasan

yang tidak terkontrol. Di banyak kasus orang sering diusir bahkan dibunuh karena

Page 128: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

112

tuduhan sebagai dalang kejadian tersebut. Hal tersebut yang harus dihindari

jangan sampai menimbulkan anarkisme masyarakat.

Persoalan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang lebih

dikenal dengan sihir, santet, klenik, dan tenung sesungguhnya bukanlah suatu hal

yang baru bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Jawa pada

khususnya, karena segala persoalan yang berhubungan dengan mistik merupakan

bagian dari dunia kebatinan, sekalipun ada diantara para pengikut aliran

kepercayaan atau kebatinan yang menolak eksistensi kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib tersebut. Suatu kejahatan dengan menggunakan

kekuatan gaib seperti santet sangat popular pada masyarakat Using di

Banyuwangi, tidak jauh berbeda dengan teluh di kalangan masyarakat Sunda. Di

dalam santet maupun teluh ini tidak jarang diketemukan korban-korban yang

teraniaya, cacat, dan mati sebagai akibat dari perbuatan santet ataupun teluh

tersebut.150

Sistem pembuktian menurut hukum pidana sampai saat ini belum

menjangkau perbuatan atau kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang

menimbulkan konsekuensi bahwa perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib

yang dipandang jahat belum dapat dibuktikan sebagai tindak pidana. Akibatnya,

warga masyarakat yang merasa dirugikan oleh praktek kekuatan gaib seperti

keberadaan praktek perdukunan yang terkait dengan teluh atau santet melakukan

150

Dominikus Rato, 2006, Perilaku Main Hakim Sendiri: Pembunuhan Tukang Santet,

Sebuah Pendekatan Sosial-Budaya ( Di kalangan masyarakat Osing di kenal ilmu santet serupa,

watuk gambiran, sabuk mangir, aran goyang, semar mesen, dan sebagainya.http://www. Tragedi

Banyuangi 1998.co.id., di akses pada tanggal 24 Desember 2014 pukul 11.00 Wita

Page 129: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

113

balas dendam dengan cara membantai, membunuh, mengucilkan orang yang

diduga sebagai dukun santet atau tukang teluh dengan cara-cara yang sadis

sebagaimana teradi di Banyuwangi, dengan adanya peristiwa pembantaian

terhadap 128 orang.151

Kasus yang terakhir terjadi di pertengahan tahun 2013

tepatnya tanggal 7 juli, di desa Geudong-geudong, Kota Juang, Bireuen, dini hari

sekitar pukul 01.00 WIB, massa mengamuk dan membakar rumah Mukhtar Abas,

pembakaran itu dilakukan massa karena mukhtar dituduh sebagai dukun santet.152

Tragedi tersebut menyebabkan balas dendam yang di lakukan oleh

keluarga korban yang diduga terkena santet atau masyarakat akan menimbulkan

suatu kerusuhan massal yang memiliki tiga sifat yang paling nyata, yaitu berupa

pengerusakan, perampasan, dan pembakaran yang dilakukan dengan sengaja.

Kondisi ini telah menunjukkan bahwa penegakan hukum belum menyentuh pada

praktek perdukunan atau kejahatan dengan kekuatan gaib laiinnya. Arti penegakan

hukum sesungguhnya sangat terkait dengan kegiatan menyerasikan hubungan

nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan

mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,

151

Anjani Ritasan, 2003, Kumpulan Tragedi Sarat Misteri, http:www// berita/ tragedy/

pembantaian/banyuangi/.ac.id, diakses pada tanggal 24 Oktober 2014 pukul 14.00 Wita

152

Muhammad adam, 2013, Dalam KUHP Pengaturan Kejahatan Santet Relevan dalam

rangka pembentukan hukum nasional yang sesuai dengan karakter bangsa indoneseia,

http://berita daerah/.ac.id, diakses pada tanggal 23 November 2012, pukul 13.30 WITA

Page 130: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

114

yakni untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan

hidup.153

Penegakan hukum memerlukan unsur-unsur pendukung penegakan hukum

yang terdiri dari, pembuatan undang-undang, penegakan hukum, dan lingkungan,

karena penegakan hukum pada hakekatnya merupakan bagian dari rangkaian

penanggulangan kejahatan serta suatu proses untuk mewujudkan keinginan-

keinginan hukum menjadi kenyataan, yang berupa pikiran-pikiran badan pembuat

undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum tersebut.

Tanpa adanya ketiga unsur dalam penegakan hukum tersebut, maka pelaksanaan

hukum tidak akan berjalan. Unsur pertama, berupa pembuatan undang-undang

pada lembaga legislatif di Indonesia, belum diketemukan adanya peraturan

perundang-undangan yang mengatur delik atau kejahatan yang berhubungan

dengan metafisika khususnya mengenai delik materiil.154

Keberadaan pengaturan

kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib saat ini hanya dalam bentuk

pelanggaran dalam sebuah lembaga pengadilan yang tidak pernah terapkan.

Unsur kedua, yakni penegakan hukum yang terlibat ialah polisi dan

aparat penegak hukum terkait, seperti: Jaksa, Hakim, dan Penasihat Hukum.

Sebenarnya keberhasilan atau kegagalan dalam penegakan hukum berawal dari

peraturan hukum itu dibuat. Misalnya: badan legislatif membuat peraturan yang

153

Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Rajawali Press (selanjutnya disebut Soerjono Soekamto III), Jakarta, h.3

154

Ibid., h.4

Page 131: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

115

sulit dilaksanakan dalam masyarakat, maka sejak saat itu pula badan legislatif

telah menjadi perancang kegagalan bagi aparat penegak hukum dalam

menerapkan peraturan hukum itu. Akibatnya, peraturan hukum tersebut gagal

dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Unsur ketiga dalam penegakan hukum

adalah lingkungan.155

Lingkungan ialah dimensi sosial yang meliputi faktor manusia dan

lingkungan sosial dari penegakan hukum itu sendiri. Faktor manusia yang

berhubungan dengan lingkungan pada penegakan hukum sangat memegang

peranan, sebab hanya melalui faktor manusia penegakan hukum dapat

dilaksanakan. Sedangkan faktor sosial dalam penegakan hukum dapat dikaitkan

dengan manusianya secara pribadi dan kepada penegak hukum dapat dikaitkan

dengan manusianya secara pribadi dan kepada penegak hukum sebagai

lembaga(institusi), karena penegak hukum tidak dapat lepas dari institusi di mana

penegak hukum tersebut berpijak.156

Penyimpangan terhadap penegakan hukum, akan nampak sebagai

penegakan hukum yang bersifat represif. Akan tetapi dapat saja penyimpangan

penegakan hukum dalam rangka mencapai tujuan yang didasari kepentingan

umum, merupakan usaha menciptakan kesejahteraan masyarakat (social welfare)

sehingga dalam penegakan hukum dapat saja terjadi sebagai actual enforcement

155

Ibid., h.12

156

Ibid., h.25

Page 132: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

116

yang tidak dapat dihindari. 157

Penyimpangan penegakan hukum terhadap pelaku

pelanggaran dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP tidak pernah ditegakkan dalam

hal bahwa pelanggaran tersebut tidak lagi merupakan perbuatan pidana, akan

tetapi berubah menjadi suatu bentuk kepercayaan manusia terhadap sesuatu hal

yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun termasuk negara.

Realitas bangsa Indonesia terhadap perilaku main hakim sendiri terhadap

seorang yang dituduh menjadi seseorang yang melakukan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib tidak bisa dihindari, belum ada satupun aturan yang

mampu melindungi hak asasi manusia dari seseorang yang mengalami tindakan

kekerasan oleh masyarakat terhadap tuduhan sebagai pelaku kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib. Hal ini menjadi dasar dari upaya pembentukan

hukum yang mengatur mengenai kejahatan dengan kekuatan gaib dalam rangka

melindungi hak asasi manusia seluruh masyarakat Indonesia dari tindakan

sewenang-wenang terhadap tuduhan tersebut.

Penegakan hukum memiliki esensi penting dalam memajukan

pembangunan nasional. Muladi sebagaimana dikutip oleh Dikdik M.Arief Mansur

dan Elisatris Gultom menjelaskan hubungan antara penegakan hukum dengan

pembangunan nasional di mana tujuan akhir dari politik kriminal adalah

perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian penegakan hukum pidana merupakan bagian dari politik

157

Sunarto, 2009, Alternatif Meminimalisasi Pelanggaran HAM dalam Penegakan

Hukum Pidana, dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep, dan Implikasinya

dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, h. 140

Page 133: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

117

kriminal, pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat (politik sosial). Sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Sering dikatakan bahwa usaha penanggulangan kejahatan termasuk usaha

penegakan hukum merupakan bagian integral pembangunan nasional.158

Masyarakat merupakan sistem sosial yang menjadi wadah dari pola-pola

interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun kelompok lainnya.159

Adanya hukum adat dalam suatu masyarakat juga mempunyai dasar dan

bentuknya. Masyarakat lebih cenderung menggunakan hukum adat untuk

menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi dalam

masyarakat. Hukum pidana formal dianggap tidak mampu untuk menjangkau

perbuatan-perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Kasus-kasus main

hakim sendiri terjadi berulang-ulang di Indonesia terkait dengan keberadaan

seseorang yang dituduh sebagai dukun santet.

Kehidupan sosial masyarakat indonesia banyak terjadi kasus

penganiayaan maupun pengeroyokan yang didasarkan pada tuduhan melakukan

kejahatan dengan kekuatan gaib. Bahkan tidak sedikit terjadi isu melakukan

kejahatan dengan kekuatan gaib dijadikan alat untuk melakukan pembusukan

karakter terhadap seseorang. Penyebab lain dari terjadinya berbagai tindakan main

158

Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan antara Norma dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.12

159

Soerjono Soekanto II, Op.Cit. h.34

Page 134: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

118

hakim sendiri oleh warga terhadap orang yang diduga melakukan kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib yakni lumpuhnya fungsi kepemimpinan dan

lembaga masyarakat itu sendiri. Berbagai kekuatan masyarakat dengan segala

fungsi kepemimpinannya menjadi lumpuh karena telah dipegang oleh negara

melalui jaringan yang korporatis yang semuanya bergantung pada kekuasaan

negara.

Akibatnya, pembalikan yang terjadi secara tiba-tiba tersebut menjadi

bersifat kriminogen, karena massa menjadi beringas dan ini diwujudkan dalam

bentuk amuk massal terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib seperti santet, tenung, sihir, teluh, dan

sebagainya. Dalam rangka menjerat orang-orang yang menjalankan praktek

kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib tidak mudah karena harus ada

peraturan yang mengaturnya terlebih dahulu sebagaimana terkandung dalam asas

legalitas, sehingga perlu ada pengaturan terhadap perbuatan-perbuatan yang

dipandang sebagai kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang lebih jelas

dan tegas. Oleh karena fungsi umum dari hukum pidana adalah

menyelenggarakan pengaturan untuk menciptakan ketertiban dan keamanan

masyarakat.

Setiap anggota masyarakat menjadi pemegang peranan ditentukan tingkah

lakunya oleh pola-pola peraturan yang diharapkan dari padanya baik oleh norma-

Page 135: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

119

norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan diluar hukum.160

Fungsi

khususnya melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang merugikan,

dengan sanksi pidana yang diharapkan dapat menimbulkan pencegahan terhadap

terjadinya kejahatan.161

Penentuan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib

sebagai suatu tindak pidana merupakan tahap formulasi kebijakan hukum pidana

yang merupakan suatu rangkaian dengan tahap penerapan dan tahap pelaksanaan.

Memformulasikan tindak pidana merupakan masalah sentral, terutama

menyangkut perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi

apa yang selayaknya dikenakan bagi si pelanggar. Dari beberapa contoh

penegakan terhadap seseorang yang dituduh melakukan perbuatan kejahatan

dengan kekuatan gaib tersebut, faktanya bahwa hukum pidana belum mampu

sebagai sarana untuk menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan yang terjadi dalam

masyarakat.

Membicarakan masyarakat adalah suatu keharusan yang melekat pada

perbincangan mengenai hukum. Hukum dan masyarakatnya merupakan dua dari

satu mata sisi uang. Maka tanpa perbincangan mengenai masyarakat terlebih

dahulu, sesungguhnya berbicara tentang hukum yang kosong.162

Hal ini berkaitan

dengan dampak yang ditimbulkan akibat dari keberadaan kejahatan dengan

kekuatan gaib yang menimbulkan faktor kriminogen laiinnya dalam bentuk

160

Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta

Publishing, Yogyakarta (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I), h. 33

161

Soerjono Soekanto III, Op.Cit.h. 27

162

Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku Hukum Yang Baik adalah dasar

hukum yang baik ( selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II), Kompas, Jakarta, h.9

Page 136: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

120

perilaku anti sosial terhadap suatu kejahatan. Penggunaan hukum pidana memang

untuk membatasi dan menghindarkan dari tindakan main hakim sendiri tetap

merupakan fungsi yang penting dalam menerapkan hukum pidana, yakni

memenuhi keinginan pembalasan. Hanya saja penderitaan yang diakibatkan oleh

pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit dan pidana harus

menyumbangkan pada proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan

masyarakat sehari-hari, di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi

kesalahan terdakwa, bahkan tidak dengan alasan-alasan prevesi general apapun.

Reformulasi terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan

metafisis dalam penyusunan konsep RUU KUHP dalam rangka untuk

perlindungan masyarakat akibat dari adanya tindakan penghakiman massal yang

dilakukan terhadap warga masyarakat yang diduga melakukan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib penting untuk dilakukan. Tujuan diadakannya

reformulasi terhadap kejahatan metafisis yang tumbuh subur di kalangan

masyarakat, untuk mencegah dampak sosial yang timbul akibat kejahatan dengan

kekuatan gaib seperti fitnah yang beruntun dengan penganiayaan, pengeroyokan,

pembakaran rumah orang yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan

gaib tersebut serta akibat yang lebih fatal berupa pengadilan massa.

Page 137: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

121

BAB IV

KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN

MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM PEMBAHARUAN

HUKUM PIDANA

4.1. Pengaturan Kejahatan dengan menggunakan Kekuatan Gaib dalam

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Upaya mengkriminalisasikan perbuatan yang berhubungan dengan

kekuatan gaib dalam konsep RUU KUHP hanya menitikberatkan perhatiannya

pada usaha pencegahan ( prevensi) dilakukannya praktik-praktik yang berkaitan

dengan kekuatan gaib oleh seseorang ataupun yang berprofesi sebagai dukun.

Pengaturan tersebut berbeda dengan rumusan dalam Pasal 545, 546, dan 547

KUHP seperti telah disebutkan di atas bahwa rumusan tersebut lebih dominan

berkenaan dengan perbuatan-perbuatan yang mengacu kepada bentuk-bentuk

penipuan dan pelanggaran-pelanggaran dalam pengadilan yang berbeda dengan

rumusan perbuatan dalam Pasal 293 RUU KUHP. Pencegahan atau

pemberantasan terpusat pada profesi atau pekerjaan dengan menggunakan

kekuatan gaib yang dipandang merugikan orang lain. Kriminalisasi terhadap

perbuatan yang berkaitan dengan kekuatan gaib disejajarkan atau dikelompokkan

ke dalam delik-delik mengenai penawaran untuk melakukan tindak pidana yang

berdekatan dengan Pasal 162 dan 163 KUHP, yang di dalam RUU KUHP 2012

menjadi Pasal 291 dan Pasal 292 RUU KUHP 2012 yang menentukan:

121

Page 138: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

122

Pasal 291 RKUHP 2012:

Setiap orang yang dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi

keterangan, kesempatan, atau sarana untuk melakukan tindak pidana, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak

Kategori II.

Pasal 292 RKUHP 2012:

(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan

tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau

memperdengarkan rekaman sehingga terlihat oleh umum, yang berisi

penawaran untuk member keterangan, kesempatan atau sarana guna

melakukan tindak pidana dengan maksud agar penawaran tersebut

diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 1 ( satu) tahun atau pidana denda paling banyak

Kategori II.

(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada

waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan

tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa

pencabutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g.

Perluasan dari bentuk penawaran untuk melakukan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib diatur dalam:

Pasal 293 RUU KUHP 2012 yang menentukan

(1) setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib,

memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan

jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan

penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda

paling banyak Kategori IV.

(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau

menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya

dapat ditambah dengan 1/3 ( satu per tiga)

Page 139: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

123

Unsur-unsur dari Pasal 293 RUU KUHP tersebut yakni:

a. Perbuatan, perbuatan tersebut berupa menyatakan dirinya

mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan

jasa, atau memberikan bantuan jasa.

b. Perbuatan tersebut ditujukan terhadap orang lain bahwa karena

perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan

mental atau fisik seseorang.

Ada dua belas (12) macam perbuatan yang dilarang jika dihubungkan

dengan objek tindak pidana, maka rumusan tindak pidana tersebut dapat

dibedakan menjadi dua belas (12) macam perbuatan yang diatur yakni:

a. Tindak pidana menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib pada orang

lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit;

b. Tindak pidana menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib pada orang

lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan kematian;

c. Tindak pidana menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib pada orang

lain karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau

penderitaan fisik;

d. Tindak pidana memberitahukan bahwa karena perbuatannya dapat

menimbulkan penyakit;

e. Tindak pidana memberitahukan bahwa karena perbuatannya dapat

menimbulkan kematian;

f. Tindak pidana memberitahukan harapan bahwa karena perbuatannya dapat

menimbulkan penderitaan mental atau penderitaan fisik;

Page 140: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

124

g. Tindak pidana menawarkan jasa atau memberikan bantuan jasa pada orang

lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit;

h. Tindak pidana menawarkan jasa atau memberikan bantuan jasa pada orang

lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan kematian;

i. Tindak pidana menawarkan jasa atau memberikan bantuan jasa pada orang

lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental

atau fisik seseorang;

j. Perbuatan mencari keuntungan

k. Perbuatan sebagai pencaharian

l. Perbuatan sebagai kebiasaan

Setelah diidentifikasi, maka rumusan tindak pidana dengan menggunakan

kekuatan gaib dalam Pasal 293 RUU KUHP hanya terpenuhi satu unsur

perbuatan yang menyebabkan tiga (3) akibat perbuatan yakni dalam unsur

perbuatan pada huruf (a), (b), dan (c). di luar dari itu sebenarnya bukan

merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan dengan penggunaan

kekuatan gaib. Dengan demikian semakin jelas bahwa memang tindak pidana

tersebut bukan tindak pidana kekuatan gaib dalam arti perumusan yang materiil

melainkan tindak pidana yang mengatasnamakan kekuatan gaib untuk melakukan

suatu kejahatan dalam rumusan formil.

Perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam huruf (d), (e), (f), (g), (h),

(i), (j), (k), (l) di atas bukan termasuk sebagai perbuatan yang dapat

dikualifikasikan sebagai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib oleh

sebab rumusan unsur tersebut terpisah dengan rumusan perbuatan dengan

Page 141: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

125

menyatakan kekuatan gaib. Dalam teori kriminalisasi sebagaimana yang

disebutkan di atas oleh Sudarto bahwa salah satu ukuran kriminalisasi adalah

penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya

kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan

beban tugas (overbelasting). Kelampauan beban tugas ini berkaitan dengan

perumusan pasal yang berlebihan (over criminalization) serta rumusan pasal yang

dapat menimbulkan multitafsir sehingga dalam tahapan imlementasi nantinya

tidak akan efektif untuk pencegahan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

gaib maupun untuk melindungi seseorang dari tindakan main hakim sendiri.

Perumusan pasal 293 RUU KUHP merumuskan jenis perbuatan yang berlebihan

terlihat dari unsur-unsur pasal yang harus dibuktikan satu per satu jika terjadi

suatu tindak pidana berkaitan dengan rumusan pasal tersebut.

Perumusan Pasal 293 RUU KUHP dimaksudkan untuk memperluas

jangkauan Pasal 291 RKUHP 2012 kepada bentuk bantuan yang lebih khusus dan

dijadikan sebagai delik yang berdiri sendiri. Bentuk bantuan yang lebih khusus

dan berdiri sendiri telah dirumuskan dalam rumusan pasal yang lain, hal ini

terlihat dari:

Pasal 333 KUHP menentukan:

(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas

kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan

yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan

tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah

diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama

dua belas tahun.

(4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang

yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk

perampasan kemerdekaan.

Page 142: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

126

Pasal 349 KUHP menentukan:

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan

kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu

melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan

348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah

dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian

dalam mana kejahatan dilakukan.

Pasal 415 KUHP menyebutkan:

Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan

suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara waktu, yang

dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan

karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berarga itu

diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai

pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan

pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 417 menyebutkan:

Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu

jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang

sengaja menggelapkan, mengahcurkan, merusakan atau membuat tak

dapat dipakai barang-barang yang diperutukan guna meyakinkan atau

membuktikan di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-

surat atau daftar-daftar yang dikuasainya karena jabatannya, atau

membiarkan orang lain mengilangkan, menghacurkan, merusakkan

atau membikin tak dapat dipakai barang-barang itu, atau menolong

sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan itu, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

Unsur perbuatan dalam suatu rumusan delik merupakan unsur pokok yang

menjadi identitas dan ciri khas dari delik tersebut. Pada rumusan Pasal 293 RUU

KUHP, pembentuk undang-undang telah merumuskannya dalam bentuk delik

formil yaitu delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang

dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Sehingga Pasal 293

Page 143: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

127

tidak memandang bahwa akibat dari perbuatan itu harus telah timbul, karena

esensi dari suatu delik dalam kategori formil ada pada perbuatannya sendiri yang

telah bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh undang-undang hukum

pidana dan telah diancam pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Sedangkan

unsur kekuatan gaib dalam rumusan Pasal 293 RUU KUHP menurut peneliti

bukanlah sebagai perbuatan melainkan isi dari sebuah pernyataan.

Berkaitan dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief yang merupakan salah

satu tim penyusun RUU KUHP menjelaskan bahwa pasal tersebut bukan

merupakan delik, akan tetapi merupakan perluasan dari Pasal 162 KUHP yang

melarang bantuan melakukan tindak pidana. Pelarangan itu kemudian diperluas,

termasuk dalam bantuan non fisik, meskipun dalam KUHP peninggalan hukum

Belanda yang dimaksudkan hanya menggunakan sarana fisik, akan tetapi menurut

beliau di Indonesia ada bantuan non fisik. Hal ini menjadi relevan dirumuskan

dalam RUU KUHP Indonesia dalam bentuk perumusan yang formil bukan bentuk

perumusan yang bersifat materiil. Pengaturan ini bertujuan untuk menegakan

keadilan terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun yang dihakimi secara

massal.

Pendekatan kebijakan yang pertama terkait dengan kebijakan sosial dalam

rangka pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk

mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam

rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan

sebagainya). 163

Unsur kekuatan gaib dalam Pasal 293 RUU KUHP merupakan

163

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.25

Page 144: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

128

unsur yang paling kontroversial, sehingga menyebabkan para pakar dan ahli-ahli

hukum terbuai oleh keberadaan unsur tersebut dan berkesimpulan bahwa kekuatan

gaib telah ditarik oleh pembentuk undang-undang ke dalam ranah hukum yang

sebenarnya sarat dengan logika pembuktian secara rasional. Sebenarnya

ketentuan kekuatan gaib bukanlah menjadi unsur pokok dari rumusan Pasal 293

RUU KUHP tersebut, melainkan suatu isi atau muatan dari sebuah pernyataan.

Kesalahpahaman terhadap perumusan Pasal 293 RUU KUHP 2012

dengan muatan gaib tidak sedikit pandangan yang menyatakan bahwa pasal

tersebut merupakan rumusan pasal yang mengatur mengenai delik santet.

Sesungguhnya yang diatur dalam rumusan Pasal 293 RUU KUHP tersebut bukan

merupakan delik santet yang dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.

Mardjono Reksodiputro yang mengoreksi kesalahpahaman sejumlah orang

terhadap rumusan Pasal 293 RUU KUHP menyatakan bahwa kesalahan bukan

hanya pada penggunaan istilah santet dan model pembuktian, tetapi juga rumusan

dan mekanisme pembuktian. Masyarakat sering menyebut Pasal 293 RUU KUHP

2012 sebagai pasal santet, serta masalah santet ini terus mengusik ranah hukum.

Padahal menurut Mardjono Reksodiputro sama sekali tidak menemukan istilah

santet dalam rumusan batang tubuh dan penjelasan RUU KUHP, Akan tetapi yang

tertulis adalah istilah kekuatan gaib. Kesalahan penggunaan istilah itu berimbas

pada persepsi sebagian orang bahwa yang ingin dikenai dalam pasal itu adalah

santetnya atau gaibnya, padahal sebenarnya yang menjadi target adalah orang

yang menipu yang selanjutnya Mardjono lebih menyebut Pasal 293 RUU KUHP

Page 145: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

129

sebagai tindak pidana penipuan khusus.164

Dengan apa yang diungkapkan tersebut

bahwa Pasal 293 dipandang sebagai suatu tindak pidana penipuan khusus sudah

seharusnya dalam rumusan sanksi tersebut lebih berat dari ancaman sanksi

terhadap bentuk penipuan biasa.

Banyak pandangan yang mengulas mengenai tindak pidana dengan

kekuatan gaib dengan cara melakukan kajian perbandingan hukum pidana. Kajian

tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa dibeberapa negara tindak

pidana dengan kekuatan gaib ada yang dirumuskan perbuatan gaibnya dan ada

yang dirumuskan perbuatan menawarkan jasa melakukan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib. Kajian terhadap hukum acara terkait dengan

pembuktian kejahatan melalui kekuatan gaib belum ditemui dalam buku-buku

hukum pidana di indonesia dikarenakan sangat sulit mencari negara yang

memiliki undang-undang tindak pidana kekuatan gaib sekaligus hukum acara

pidana pembuktian, khususnya dalam hal pembuktian kejahatan dengan kekuatan

gaib tersebut. setelah peneliti melakukan penelusuran, ditemukan salah satu

negara tentangga indonesia yang memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Sihir

sebagai lex specialis dari KUHP negara tersebut. Negara tersebut adalah Papua

Nugini atau Papua New Guina yang terdapat pada Bab 274 tentang Undang-

Undang Sihir Tahun 1971 yang memberikan pengertian perbuatan menyihir yang

berarti any act (including a traditional ceremony or ritual) that is intended to

bring, or that purports to be able or to be adapted to bring, powers of sorcery into

action, or to make them possible or carry them into effect (setiap tindakan,

164

Mardjono Reksodiputro, 2013, Koreksi Pemahaman atas Pasal Santet,

hhtp://m.hukumonline.com, diakses pada tanggal 13 Januari 2015, pukul 10.00 Wita

Page 146: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

130

termasuk upacara adat dan ritual, yang dimaksudkan untuk membawa atau harus

disesuaikan untuk membawa kekuatan sihir ke dalam tindakan, serta membuat

hal tersebut berlaku). Selain itu, di dalam undang-undang tersebut juga

memberikan pengertian tentang sihir (sorcery) dan penyihir (sorcerer).

Jenis-jenis tindak pidana sihir beserta pidana di dalam Undang-Undang

tentang Tindak Pidana Sihir menurut Laporan Komisi Pembaharuan Hukum

dalam praktik sebagai berikut165

:

1) Berpura-pura sebagai penyihir, pidana penjara pada Pengadilan Negeri

1 tahun, pidana penjara pada Mahkamah Agung 2 tahun penjara.

2) Menggunakan sihir untuk mempengaruhi orang lain, pidana penjara

pada Pengadilan Negeri 1 tahun, pidana penjara pada Mahkamah

Agung 2 tahun.

3) Melakukan sihir jahat dan membantu melakukan sihir jahat tersebut,

pidana penjara pada Pengadilan Negeri 1 tahun, pidana penjara pada

Mahkamah Agung 5 tahun.

4) Menyediakan sesuatu untuk melakukan sihir jahat, pidana penjara 8

tahun.

5) Memiliki peralatan untuk melakukan sihir jahat, pidana penjara 1

tahun.

6) Percobaan melakukan sihir, pidananya tergantung pada jenis kejahatan

yang dilakukan.

165

Samardi, 2013, pengaturan sihir di negara papua nugini, http://samardi/2013/06/05/soal-

hap-sihir/, h.2 diakses pada tanggal 31 Maret 2015, pukul 14.00

Page 147: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

131

7) Berpura-pura melakukan sihir atau memberikan ramalan atas nasib,

pidana penjara 1 tahun.

8) Menuduh orang lain melakukan sihir, pidana penjara 1 tahun.

Berdasarkan hal tersebut, menarik dari Undang-Undang tentang Tindak

Pidana Sihir di negara Papua Nugini adalah klasifikasi dari bukti yang dapat

digunakan dalam hukum acara pidana. Menurut undang-undang ini, alat bukti

yang ada di sini menyimpangi alat bukti yang sudah menjadi kebiasaan dalam

hukum acara pidana di Papua Nugini. Menurut Komisi Pembaharuan untuk

reformasi hukum Papua Nugini menyebutkan bukti dalam kasus sihir tidak

ditentukan secara ketat, dalam artian majelis hakimlah dalam kasus per kasus

yang akan melakukan pemeriksaan dalam proses peradilan, atau dengan kata lain

pengamatan hakim dipersidangan juga dapat berperan sebagai alat bukti

tersendiri. Papua nugini selain mengakui hukum positif juga mengakui hukum

acara pidana Adat, dalam konteks adalah mengenai hukum acara pidana adat yang

berkaitan dengan tindak pidana sihir. Dasar diberlakukannya adalah Undang-

Undang Pengadilan Desa tahun 1973, pada bab Peraturan Pengadilan Desa tahun

1974 dimana perbuatan sihir merupakan perbuatan yang dilarang. Pengadilan

desa sendiri dipimpin oleh “sesepuh” yang ditunjuk berdasarkan kemampuannya

atas pilihan warga desa tersebut. pembuktian terhadap perbuatan menyihir lebih

mudah dibuktikan di Pengadilan Desa dikarenakan tidak terikat pada alat bukti

sebagaimana tertuang dalam hukum positif. Untuk menentukan seseorang

Page 148: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

132

memiliki kemampuan sihir Pengadilan Desa dapat memperhatikan beberapa hal

yaitu:166

1. Ketokohan, tidak semua orang di desa dapat melakukan sihir, oleh

sebab itu maka hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukan

sihir, karena sifatnya tertentu maka diidentifikasi lebih mudah.

2. Gaya hidup, orang yang memiliki ilmu sihir mempunyai gaya hidup

berbeda dari masyarakat biasa mulai dari pakaian, cara bicara, dan

makanan.

3. Tes, orang tersebut dites dengan beberapa tes dan disimpulkan oleh

“sesepuh” memiliki kekuatan sihir atau tidak.

4. Ekspos, maksudnya adalah apakah masyarakat disekitar desa tersebut

membicarakan atau bahkan bercerita tentang kehebatan seseorang

yang memiliki ilmu sihir.167

Beberapa kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria tersebut

mirip dengan alat bukti petunjuk atau pengamatan untuk menentukan seseorang

adalah penyihir atau bukan. Rumusan pasal demikian dapat dikategorikan sebagai

perumusan dalam bentuk delik materiil. Di indonesia perbuatan-perbuatan

demikian sangat sulit diidentifikasikan karena begitu banyaknya bentuk-bentuk

kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam suatu wilayah yang berbeda

dengan wilayah lainnya. Hal yang paling menonjol terhadap reaksi keberadaan

kejahatan ini adalah kecenderungan warga masyarakat terutama masyarakat lokal

menstigma atau menuduh seseorang secara sewenang-wenang bahkan berujung

166

Ibid.,h.3 167

Ibid.

Page 149: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

133

pada tindakan main hakim sendiri terhadap warga masyarakat yang diduga

melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib.

Berdasarkan hal tersebut perumusan Pasal 293 bukan merupakan pasal

yang mengatur mengenai kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib secara

materiil, melainkan salah satu unsur perbuatan untuk mengatasi masalah sosial

terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan

kekuatan gaib. Masalah sosial di sini adalah berupa adanya tindakan main hakim

sendiri oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang diduga melakukan

praktek-praktek kekuatan gaib yang dipandang telah mengganggu ketertiban

sosial dalam masyarakat. Tujuan utama dalam perumusan pasal ini adalah dalam

rangka untuk menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat sehingga tindakan-

tindakan seperti dimaksud tidak akan terulang dengan keberadaan aturan tersebut.

Hal tersebut sejalan dengan penjelasan umum Pasal 293 RUU KUHP yang

menyebutkan:

Ketentuan Pasal 293 dimaksudkan untuk mengatasi keresahan

masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic),

yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya.

Ketentuan ini dimasuksudkan juga untuk mencega secara dini dan

mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga

masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (

santet)

Konsep Pasal 293 RUU KUHP 2012, terjadi ketidaksesuaian dengan

penjelasan dari pasal tersebut. Dalam penjelasan pasal tersebut, menyatakan

bahwa ketentuan Pasal 293 RUU KUHP 2012 dimaksudkan untuk mengatasi

keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic),

penggunaan ilmu hitam disini tidak terkait secara eksplisit dengan penggunaan

Page 150: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

134

istilah kekuatan gaib dalam Pasal 293 RUU KUHP 2012 sehingga menimbulkan

bias pemaknaan. Penjelasan pasal tersebut juga tidak memberikan gambaran yang

jelas dari bunyi pasal yang sebenarnya merupakan perbuatan perluasan dari

tindakan penawaran untuk melakukan tindak pidana dengan mengatasnamakan

kekuatan gaib.

Mengenai perbuatan menyantet atau menenung yang dilakukan oleh si

pelaku itu sendiri, telah diuraikan di atas mengenai perundang-undangan

Majapahit yang mengatur mengenai delik santet di dalam Pasal 13 Perundang-

undangan Majapahit yang menyebutkan:

Barang siapa menulis orang lain di atas kain orang mati atau di atas peti

mati, atau di atas dodot yang berbentuk boneka, atau barang siapa yang

menanam boneka tepung bertuliskan nama kuburan, menyangsangkannya

di atas pohon, di tempat sangar, atau di jalan simpang, orang yang

demikian itu sedang menjalankan tenung yang sangat berbahaya.

Barang siapa menuliskan nama orang lain di atas tulang, di atas tengkorak

dengan arang, darah atau trikatuka dan kemudian merendamnya di dalam

air, atau menanamnya di tempat penyiksaan, perbuatan tersebut

menenung.168

Bentuk perumusan delik dalam Perundang-undangan Majapahit di atas

cukup operasional, karena unsur-unsur delik yang dirumuskan di dalamnya adalah

perbuatan-perbuatan yang dapat diidentifikasikan secara nyata. Ada dua bentuk

perumusan tenung/menenung dalam Perundang-undangan Majapahit tersebut,

yaitu:

1) Unsur-unsur tenung dalam perumusan alinea ke-1:

168

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.296

Page 151: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

135

a) Menulis nama orang lain: di atas kain orang mati, di atas peti mati,

atau di atas dodot yang berbentuk boneka

b) Menanam boneka tepung yang bertuliskan nama dikuburan

c) Menyangsangkannya di atas pohon, di tempat sangar, atau di jalan

simpang.

2) Unsur-unsur menenung dalam rumusan alinea ke-2

a) Menuliskan nama orang: di atas tulang, di atas tengkorak.

b) Nama itu ditulis dengan arang, darah, dan trikatuka,

c) Merendamnnya di dalam air, dan

d) Menanamnnya di tempat penyiksaan.169

Memperhatikan unsur-unsur di atas jelas terlihat bahwa sasaran norma

(larangan) yang ditujukan pada perbuatan yang dapat diidentifikasikan dan

dibuktikan. Jadi, tidak disyaratkan adanya akibat dari perbuatan tenung atau

menenung tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perundang-

undangan Majapahit juga berorientasi pada tujuan preventif seperti dalam

pengaturan Pasal 293 RUU KUHP. Bedanya perbuatan-perbuatan dalam

perundang-undangan Majapahit mengenai perbuatan dengan menggunakan

kekuatan gaib lebih mudah diidentifikasi karena berkaitan dengan situasi, kondisi,

alam budaya, yang berkembang pada saat itu yang berbeda dengan cara-cara

melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib pada saat sekarang yang berubah

dengan cepat sehingga kesulitan untuk dapat dilakukan pengidentifikasian yang

berbeda dengan rumusan Pasal 239 RUU KUHP.

169

Barda Nawawi Arief, Loc.Cit.

Page 152: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

136

Secara konseptual sebagai bagian dari upaya perlindungan masyarakat

(social defence) dan upaya kesejahteraan masyarakat (social welfare) perbuatan

dengan menggunakan kekuatan gaib dalam melakukan kejahatan merupakan suatu

perbuatan yang dipandang tercela. Banyak persepsi masyarakat yang

menggolongkan Pasal 293 RUU KUHP 2012 merupakan pasal yang mengatur

tentang santet, yakni sebuah kejahatan yang oleh masyarakat indonesia yang

dipandang sangat tercela akan tetapi keberadaanya tidak dapat dijangkau oleh

hukum. Dari sudut kriminologi, santet dapat dikonstantir sebagai perilaku

menyimpang sebab kriminologi tidak saja mempunyai sasaran penelitian hal-hal

yang oleh negara atau hukum dinyatakan terlarang. Tetapi juga tingkah laku yang

oleh masyarakat dianggap tidak disukai, sekalipun tidak diatur oleh hukum

pidana. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat memang tidak menyukai

kehadiran perbuatan tersebut yang terbukti dari adanya reaksi sosial terhadap

seseorang yang diduga menjadi dukun santet.170

TB Ronny Nitibaskara berpendapat, dipandang dari sudut kirminologis

Pasal 293 RUU KUHP sudah memiliki rumusan formil yang baik, namun masih

banyak pihak melihat isi pasal tersebut dari sudut pandang delik materiil.

Mengenai ilmu gaib sendiri banyak dipraktekkan di Indonesia, hampir diseluruh

diwilayah Indonesia. Kenyataanya, fakta sosial menunjukkan bahwa ilmu gaib di

desa-desa di Indonesia sudah mendarah daging hingga menjadi mekanisme untuk

menyelesaikan sengketa antar warga. Walaupun keampuhan dan kebenaran

170

Ronny Nitibaskara, 2002, Sarasehan Metafisika, diceramahkan dalam Sarasehan

Metafisika Study Club, tanggal 14 Juli di Jakarta, http:www//kejahatan metafisis/.ac.id diakses

pada tanggal 25 Januari 2015

Page 153: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

137

kekuatan gaib tidak pernah dapat dibuktikan namun hal itu telah menjadi bagian

dalam kehidupan penduduk sehari-hari.171

Berdasarkan dari semua pandangan terhadap perumusan Pasal 293 RUU

KUHP maka tujuan yang hendak dicapai ialah untuk menanggulangi kejahatan

dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi

kesejahteraan dan pengayoman masyarakat berkaitan dengan adanya tindakan

anarkis masyarakat terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib. Perumusan Pasal 293 RUU KUHP berkaitan

dengan pendekatan kebijakan sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum,

dalam bidang pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya

pembaharuan subtansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih

mengefektifkan penegakan hukum.

Perumusan Pasal 293 RUU KUHP merupakan kelanjutan politik hukum

dalam KUHP berkaitan dengan Pasal 545, 546, dan 547 KUHP yang saat ini

berlaku. Faktanya pasal-pasal KUHP tersebut tidak pernah diberlakukan terhadap

pelanggar pasal tersebut, tidak pernah terjadi penegakan hukum terhadap yang

melanggarnya. Perumusan ketentuan Pasal 293 RUU KUHP merupakan

penegasan dalam rangka untuk mengefektifkan penegakan hukum yang selama ini

tidak efektif akibat adanya pemaknaan norma kekuatan gaib yang tidak jelas,

dalam rangka untuk mencegah tindakan main hakim sendiri oleh warga

masyarakat terhadap orang yang dituduh melakukan kejahatan dengan kekuatan

gaib. Akan tetapi perumusan Pasal 293 RUU KUHP 2012 memuat banyak bentuk

171

Tb Ronny Nitibaskara I, Op.Cit., h.8

Page 154: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

138

perbuatan di luar perbuatan dengan mengatasnamakan kekuatan gaib, sehingga

pemaknaannya menjadi bias yang tidak sesuai dengan tujuan dari perumusan

pasal tersebut.

Indikator penegakan hukum yang baik berawal dari substansi hukum yang

jelas sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan penyimpangan-

penyimpangan yang tidak dikehendaki. Hal ini sesuai dengan pendapat Otje

Salman dan Anton F.Susanto bahwa pembangunan hukum ini harus mencakup

tiga aspek yang secara simultan berjalan melalui langkah-langkah strategis, mulai

dari perencanaan pembuatan aturan (legislation planning), proses pembuatannya

(law making), sampai kepada penegakan hukum (law enforcement), yang

dibangun melalui kesadaran hukum (law awareness) masyarakat.172

Perubahan paradigma yang menempatkan perbuatan dengan menggunakan

kekuatan gaib sebagai suatu kejahatan dan dipidana berdasarkan pertimbangan

bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan anti sosial yang banyak

meresahkan masyarakat. Terlebih dari itu perlindungan terhadap seseorang yang

diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib mengalami

tindakan anarkis berupa pengeroyokan massal, pembakaran rumah, menjadi hal

yang prioritas dalam rangkan perlindungan Hak Asasi Manusia. Pencegahan

terhadap dua bentuk perbuatan dalam suatu undang-undang merupakan hal cukup

rumit.

Berdasarkan dari segi pendekatan nilai, perumusan Pasal 293 RUU KUHP

2012 harus berbeda dengan muatan nilai yang terkandung dalam KUHP yang

172

Otje Salman dan Anton F Susanto, 2009, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan,

dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, h. 154

Page 155: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

139

berlaku saat ini. Ditinjau dari nilai sosio politik pembentukan pasal 293 RUU

KUHP merupakan langkah kebijakan yang dibentuk oleh lembaga legislatif

berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Nilai

sosiofilosofis berkaitan dengan esensi dari perumusan pasal tersebut yang

bersumber dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia, sebagai bahan

dasar dari suatu perumusan aturan-aturan hukum di Indonesia. Muatan sosio

kultural dalam Pasal 293 RUU KUHP sangat kental terlihat dari unsur pernyataan

dengan kekuatan gaib, hal ini mencerminkan bahwa RUU KUHP yang sedang di

bahas saat ini sebagian besar ketentuan-ketentuannya mengacu kepada keadaan

sosial kultural bangsa Indonesia.

Terpenuhinya syarat yuridis, sosiologis, filosofis, maka undang-undang

diharapkan akan menjadi hukum yang responsif. Hukum responsif adalah model

atau teori yang digagas Nonet dan Selznick di tengah kritik pedas Neo-Marxis

terhadap liberal realism. Nonet dan Selznick menempatkan hukum sebagai sarana

respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan

sifatnya yang terbuka maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk

menerima perubahan-perubahan sosial demi tercapainya keadilan dan emansipasi

publik.173

hal ini sesuai dengan keadaan sosial bangsa Indonesia terkait dengan

perumusan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib.

Pengaruh sosial dari adanya kriminalisasi dalam Pasal 293 RUU KUHP

tidak hanya berdampak positif melainkan memiliki dampak negatif pula dalam

kehidupan sosial masyarakat. Hal ini dikarenakan substansi dari isi atau muatan

173

Bernald L.Tanya, Yoan N Simanjuntak, dan Markus Yage, Op.Cit, h. 183

Page 156: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

140

sebuah pernyataan yang mengatasnamakan kekuatan gaib sebagai sarana untuk

melakukan kejahatan telah banyak menimbulkan kesalahpahaman dari segi

rumusan pasal tersebut. Akan tetapi fokus kriminalisasi dalam Pasal 293 RUU

KUHP ditekankan pada perbuatan menawarkan atau memberikan jasa dengan

mengatasnamakan kekuatan gaib untuk membunuh atau mencelakakan orang lain.

Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya

melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis,

karena dalam melaksanakan politik orang mengadakan penilaian dan melakukan

pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi.

Politik kriminil dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus

merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan

sadar, ini berarti memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk

menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor

yang mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam

kenyataanya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional dan inipun

merupakan pendekatan yang melekat pada setiap kebijakan yang rasional.

Apabila kejahatan dengan kekuatan gaib dikriminalisasikan sebagai delik materiil

hal ini akan berdampak dari segi pembuktian karena kejahatan dengan kejahatan

gaib merupakan suatu perbuatan yang irasional yang bertentangan dengan

kriminalisasi dalam undang-undang yang berdasarkan pada tingkat rasionalitas

dan sesuai dan memenuhi unsur-unsur dalam proses kriminalisasi.

Page 157: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

141

4.2. Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam

Konsep yang Ideal

Karakter magis dalam kasus perbuatan dengan menggunakan kekuatan

gaib memang paradox bilamana diperhadapkan dengan sistem hukum modern

yang serba formal dan rasional, karena alasan inilah KUHP sulit mengakomodir

semua hal yang bersifat non kausatif. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula bahwa

fakta tentang peristiwa-peristiwa yang sulit dinalar tetapi terjadi dalam realitanya.

Fenomena semacam ini masih diakui eksistensinya oleh sebagian besar

masyarakat di negara kita, serta bagi kalangan yang meyakini, kejahatan dengan

kekuatan magis itu adalah ada dan dipandang mempunyai pengaruh jahat. Dari

realitas ini, usulan kriminalisasi mengenai kejahatan dengan menggunakan

kekuatan gaib datang dari penggalian panjang atas realitas masyarakat sendiri

melalui berbagai pendekatan.

Latar belakang sosiologis dan faktual dari perumusan Pasal 293 RUU

KUHP tersebut adalah adanya kepercayaan kejahatan dengan kekuatan gaib

dalam masyarakat. Kemudian fakta berikutya seringkali terjadi tindakan main

hakim sendiri kepada seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib. Aksi main hakim sendiri ini terjadi karena tidak ada

pengaturan dalam undang-undang yang mengatur kejahatan dengan menggunakan

kekuatan gaib secara tegas. Dari pengertian mengenai kejahatan dengan kekuatan

gaib yang sering dikenal dengan istilah santet, tenung, leak, di atas tentulah tidak

mungkin bisa dijadikan tindak pidana. Kesulitannya bukan pada membuktikan

Page 158: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

142

tentang wujud kelakuan atau perbuatan nyatanya, melainkan pada hubungan sebab

dan akibat antara wujud nyata perbuatan dengan akibat.174

Berkaitan dengan perumusan perbuatan dengan ilmu gaib dalam Pasal 293

RUU KUHP ditinjau dari sudut pembangunan tujuan hukum nasional yakni

mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata spiritual sesuai

dengan Pancasila, berupaya untuk melindungi tindakan-tindakan anarkis massa

yang dilakukan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindakan kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib. Upaya pemerintah untuk menjamin

kepastian hukum terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat

bukan hal mudah, pengklasifikasian jenis tindak pidana penting untuk dilakukan

dalam rangka untuk memperhitungkan biaya dan hasil akhir yang dikehendaki

dari dikriminalisasikanya suatu norma dalam peraturan perundang-undangan.

Pandangan dari sudut kriminologi, bahwa perbuatan yang bertentangan

dengan nilai-nilai kehidupan manusia mencakup kejahatan, pelaku kejahatan, dan

reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Pelaku kejahatan adalah orang yang telah

melakukan kejahatan yang sering pula disebut sebagai penjahat. Sebagai

perbuatan negatif, kejahatan yang terjadi dalam masyarakat tentunya mendapat

reaksi dari masyarakat tempat kejahatan itu terjadi. Reaksi ini berupa reaksi

formal maupun reaksi informal. Dalam reaksi formal akan menjadi bahan studi

bagaimana bekerjanya hukum pidana itu dalam masyarakat, artinya dalam

masalah ini akan ditelaah proses bekerjanya hukum pidana manakala terjadi

pelanggaran terhadap hukum pidana tersebut. Terhadap reaksi informal atau

174

Adami Chazawi, 2013, Pasal 293 RUU KUHP Bukan Tindak Pidana Santet,

http:www//m.kompasiana.com/post/read/pasal-293-ruu-kuhp-bukan-tindak-pidana-santet//.ac.id

diakses pada tanggal 27 Januari 2015 pukul 12.30 pm

Page 159: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

143

reaksi masyarakat umum terhadap kejahatan itu berkaitan bukan saja terhadap

kejahatan yang sudah diatur dalam hukum pidana yang dapat menyebabkan

tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat.

Korban dalam hal perumusan Pasal 293 RUU KUHP 2012 bukan

dimaksudkan terhadap korban yang mengalami penderitaan karena perbuatan gaib

seperti santet, tenung, teluh dan sebagainya. Akan tetapi korban disini maksudnya

adalah seseorang menjadi korban penipuan atas pernyataan seseorang. Lebih sulit

lagi permusan pasal ini menyertakan akibat dari suatu pernyataan yang dapat

menyebabkan kematian atau mencelakakan orang lain yang sejatinya sangat sulit

untuk dibuktikan, oleh sebab tidak akan ada seseorang yang melaporkan bahwa

seseorang tersebut mengalami penipuan akibat dari ditipu oleh orang yang

mengaku mempunyai kekuatan gaib untuk mencelakakan orang lain. Sedangkan

korban yang kedua adalah seseorang yang telah dituduh melakukan kejahatan gaib

yang dihakimi masa tanpa mempertimbangkan kebenaran yang sebenarnya,

karena warga Indonesia cenderung mempercayai suatu perbuatan yang tidak

berdasarkan fakta, hanya berdasarkan praduga-praduga.

Alasan yang menyebutkan adanya korban ini menyiratkan bahwa

perbuatan tersebut harus menimbulkan sesuatu yang buruk atau menimbulkan

kerugian. Salah satu kesimpulan dari Seminar Kriminologi ketiga Tahun 1970 di

Semarang antara lain menyatakan, hukum pidana hendaknya dipertahankan

sebagai salah satu sarana untuk social defence. Pemilihan pada konsepsi

perlindungan masyarakat inipun membawa konsekuensi pada pendekatan yang

rasional. Kepercayaan masyarakat terhadap kejahatan dengan kekuatan gaib

Page 160: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

144

inilah yang sering melahirkan reaksi sosial yang membuahkan tindakan kejahatan.

Tindakan tersebut seperti pengeroyokan, penganiayaan berat, pembunuhan

berencana sampai dengan pembakaran menjadi perhatian para ahli hukum dan

tokoh masyarakat lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barda Nawawi Arief

bahwa:

pengaturan tersebut untuk mencegah tindak penghakiman masal. Sebab,

selama ini orang yang diduga menggunakan ilmu hitam langsung ditindak

oleh masyarakat tanpa melibatkan penegak hukum. Apabila itu tidak

diatur, kenyataanya orang Indonesia main hakim sendiri, dukun santet

dibunuh. Oleh karena itu, setelah melakukan kajian ilmiah di tiap wilayah

dan seminar berulang kali, para ahli hukum pidana pun menyarankan agar

hal itu dimasukan dalam RKUHP yang disusun pemerintah.175

Sebenarnya, bukan hanya mekanisme kejahatan kekuatan gaib itu sendiri

yang harus dikaji secara empiris. Dalam masalah ini mengandung dua hal penting

yang menjadi masalah yakni apakah reaksi sosial atas isu kejahatan dengan

kekuatan gaib yang membuahkan kejahatan ataukah korban dari perbuatan dengan

kekuatan gaib tersebut. Masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan

kekuatan gaib umumnya menganggap hukum tidak mampu memberikan

perlindungan. Oleh karena itu, mereka mengambil jalan keadilannya sendiri,

disinilah letak dilemanya mereka yang menjadi korban, baik yang terkena

langsung maupun yang hanya merasa di bawah ancaman kekuatan gaib, harus

menerima akibat hukum dari reaksi pembelaan yang dilakukannya..

Keinginan untuk mengangkat bukti-bukti kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib ke permukaan, jelas tidak akan mungkin karena

175

Barda Nawawi Arief, 2013, Pro Kontra Hukum dan Santet dalam Pidana Menurut

Ahli dan Masyarakat, di kutip dari http:www//m.kaskus.ac.id// pada tanggal 15 Januari 2015 pukul

17.00 WITA

Page 161: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

145

kejahatan dengan kekuatan gaib berada dalam entitas alam yang lain. Karena hal

ini sulit dibuktikan, maka orang lari dari dugaan penipuan, serta dampak dari

pasca kejahatan kekuatan gaib inilah yang banyak menimbulkan tindakan-

tindakan yang dapat dimasukan ke dalam kasus tindakan perbuatan pidana. Di

mana tindakan tersebut tertuju terhadap pelaku yang diduga melakukan kejahatan

dengan kekuatan gaib seperti dukun santet, teluh, tenung dan lain sebagainya

seperti pengeroyokan masal, pembakaran, fitnah atau pengerusakan nama baik

dan tindakan main sendiri lainnya. Hal ini dikarenakan dugaan-dugaan tersebut

hanya berdasarkan anggapan bahwa orang yang dijadikan sasaran mereka untuk

dikenai tindakan adalah orang yang sudah memiliki reputasi negatif di dalam

masyarakat, padahal hal demikian adalah belum tentu dilakukan oleh orang yang

bersangkutan.

Bambang Sri Herwanto selaku Kepala Biro Penyusunan dan Penyuluhan

Hukum Mabes Polri tahun 2013 mengatakan bahwa Pasal 293 RUU KUHP

menonjolkan larangan terhadap propaganda atau promosi jasa praktik magis untuk

mencegah adanya usaha penipuan masyarakat. Caranya dengan memberikan

harapan melalui kekuatan magis yang tidak perlu dilengkapi dengan adanya akibat

magis yang ditimbulkan karena pembuktian yang sulit. Bambang mendukung

adanya perkara soal kekuatan gaib dalam perundang-undangan karena pada

reliatasnya memang benar terjadi. 176

Akan tetapi perumusan terhadap larangan

penggunaan kekuatan gaib harus dirumuskan secara rasional dalam rangka untuk

176

Bambang Sri Herwanto, Op.Cit. h.1

Page 162: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

146

mencegah dan menanggulangi kejahatan dalam rangka menciptakan kesejahteraan

masyarakat dan perlindungan sosial.

Aturan harus membuat masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim

sendiri pada orang yang di duga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib.

Dalam hal pembuktian kejahatan gaib harus menggunakan bukti dan saksi secara

jelas dan pasti. Kebudayaan mempengaruhi hukum dalam masyarakat. Mistik

sebagai pengetahuan yang mempengaruhi pola pikir manusia pada akhirnya akan

muncul dalam bentuk budaya. Proses kebudayaan mempengaruhi hukum menjadi

budaya hukum. Secara filosofis, keberadaan mistik dalam budaya hukum dapat

dilihat dari tiga aspek yaitu, aspek ontologism, aspek epistemologi, dan aspek

aksiologis. Persoalannya menjadi pelik, apabila mistik budaya hukum terlalu

dominan sehingga mempengaruhi pola pikir masyarakat. Keberadaan mistik

sebagai suatu budaya hukum, harus ditempatkan pada posisi yang tepat serta harus

disertai dengan upaya pembuktian hukum yang tepat jika akan menjadi bagian

ketentuan tertulis seperti yang terumus dalam Pasal 293 RUU KUHP. 177

Berdasarkan bentuk-bentuk karakteristik perilaku sosial yang

dikemukakan Max Weber yaitu pertama, perilaku sosial masyarakat dapat

diklasifikasikan sebagai rasional dan berorientasi terhadap suatu tujuan. Kedua,

bawa perilaku sosial dapat diklasifikasikan oleh kepercayaan secara sadar pada

arti mutlak perilaku. Ketiga, perilaku sosial yang diklasifikasikan sebagai suatu

yang bersifat afektif atau emosional. Keempat, merupakan perilaku sosial yang

177

Dian Onasis, 2010, Tinjauan Filsafat Ilmu Terhadap Mistik dalam Hubungannya

dengan Budaya Hukum Indonesia, http:www.//hukum.kompasiana.com/2010/07/09/tinjauan-

filsafat-ilmu-terhadap-mistik-dalam-hubungannya-dengan-budaya-hukum-indonesia. diakses pada

tanggal 12 Februari 2015 pukul 13.20. PM

Page 163: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

147

diklasifikasikan sebagai tradisional yang telah menjadi adat istiadat. Berdasarkan

perilaku sosial yang cenderung bersifat emosional dan tradisional yang kemudian

menjadi bagian dari budaya.178

Dengan demikian tindakan anarkis berupa

tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat terhadap seseorang

yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib merupakan perilaku

sosial yang cenderung bersifat emosional dan tradisional karena mengabaikan

hak-hak seorang warga negara yang diduga melakukan kejahatan gaib dalam

negara hukum.

Berkaitan dengan perumusan Pasal 293 RUU KUHP seperti yang telah

dikemukakan di atas cenderung overcriminalisation serta menimbulkan

multitafsir tidak menempatkan pencegahan terhadap kejahatan terhadap

perbuatan gaib dalam satu rumusan yang ideal, melainkan mencakup perbuatan-

perbuatan lain yang tidak dalam kategori sebagai kejahatan dengan menggunakan

kekuatan gaib. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa unsur dalam

perumusan Pasal 293 RUU KUHP meliputi dua belas (12) jenis perbuatan

pidana, yang memenuhi unsur larangan dengan menggunakan kekuatan gaib

hanya 3(tiga) perbuatan. Hal ini tidak efektif bila nantinya digunakan dalam

penegakan hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan

kekuatan gaib, karena harus memenuhi unsur perbuatan dalam rumusan Pasal 293

RUU KUHP 2012 yang begitu banyak.

Berdasarkan kajian terhadap rumusan tersebut, maka menurut pendapat

peneliti rumusan yang ideal dalam Pasal 293 RUU KUHP 2012 yakni:

178

Ibid., h.4

Page 164: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

148

(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib dan

menawarkan jasa dengan mengatasnamakan kekuatan gaib bahwa

karena perbuatannya menimbulkan harapan yang dapat menyebabkan

penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda

paling banyak Kategori IV.

Rumusan pasal demikian lebih mengacu kepada larangan terhadap

penggunaan-penggunaan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan. Rumusan

kekuatan gaib lebih jelas bahwa hanya merupakan sebuah isi dari sebuah

pernyataan dengan perumusan yang bersifat formil, bahwa yang dibuktikan adalah

perbuatan menyatakan diri dan menawarkan jasa dengan mengatasnamakan

kekuatan gaib bukan akibat dari perbuatan seperti penyakit, kematian, penderitaan

fisik atau mental sebagai akibat dari penawaran jasa dengan menggunakan

kekuatan gaib yang dibuktikan. Seperti yang telah diketengahkan di atas bahwa

tujuan dari perumusan pasal ini untuk menghindari tindakan main hakim sendiri

oleh warga masyarakat terhadap seorang yang diduga melakukan kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib.

Apabila ada seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan, maka masyarakat harus

melaporkan terlebih dahulu kepada aparat penegak hukum jika suatu saat

rancangan tersebut disahkan. Masyarakat tidak boleh mendahului aparat penegak

hukum untuk menindak seorang yang diduga melakukan kejahatan dengan

menggunakan kekuatan gaib. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa Indonesia

adalah negara hukum dengan salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum

Page 165: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

149

adalah adanya perlindungan hak asasi manusia. Aparat penegak hukum akan

mengkualifisir bentuk perbuatan seorang yang diduga melakukan kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib sesuai dengan pasal yang mengatur kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib yang untuk sementara diatur dalam Pasal 293

RUU KUHP 2012.

Persoalan yang akan dicari adalah apakah benar pelaku yang diduga

melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib tersebut menyatakan

dirinya mempunyai kekuatan gaib atau menawarkan jasa dengan menggunakan

kekuatan gaib. Bukan persoalan mengenai penyakit, kematian, penderitaan fisik

atau mental yang dilakukan oleh seorang yang diduga melakukan kejahatan

dengan menggunakan kekuatan gaib. Dengan demikian seorang yang diduga

melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dapat diatasi melalui

penegakan hukum yang rasional guna melindungi hak warga masyarakat

Indonesia dari penghakiman massal secara sewenang-wenang.

Pengaturan perbuatan dengan mengatasnamakan kekuatan gaib dalam

Pasal 293 RUU KUHP selain memiliki kelemahan dari segi perumusan delik

dengan perumusan yang terlalu berlebihan, juga berlebihan dari segi penambahan

ayat (2), Apabila diperhatikan subtansi keseluruhan Pasal 293 RUU KUHP

tersirat merupakan suatu larangan terhadap kejahatan seseorang yang dikualifisir

sebagai bentuk lain dari kejahatan penipuan, yang kemudian mungkin akan

dikenal sebagai penipuan dalam bentuk khusus. Bagaimana mungkin adanya

bentuk penipuan tanpa mencari keuntungan, atau hanya merupakan kebiasaan

Page 166: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

150

menipu dengan tidak mencari keuntungan. Sebenarnya, tanpa ayat (2) dalam pasal

itu pun sudah tersirat pada ayat (1), dengan adanya frasa “menawarkan atau

memberikan jasa kepada orang lain” ini sudah menunjukkan mencari keuntungan

atas perbuatan itu.

Berkaitan dengan ancaman pidana bagi pelaku perbuatan dalam Pasal 293

RUU KUHP berdasarkan teori pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana

merupakan suatu proses dinamis yang meliputi penilaian secara terus menerus dan

seksama terhadap sasaran-sasaran yang hendak dicapai dan konsekuensi-

konsekuensi yang dapat dipilih dari keputusan tertentu terhadap hal-hal tertentu

pada suatu saat. Hal ini menumbuhkan pemikiran bahwa pengumspulan bahan-

bahan di dalam masalah ini akan menunjang pemecahan masalahnya dengan cara

yang sebaik-baiknya.179

Perkembangan pembaharuan hukum pidana dan

pemidanaan saat ini telah memasuki era baru dari konsep reaksi pemidanaan

tumbuh ke arah suatu modifikasi konsep reaksi pembinaan, salah satunya

pendapat Tolid Setyadi menyebut pidana denda sebagai bentuk pidana tertua

bahkan lebih tua dari pidana penjara.

Pidana denda merupakan hukuman berupa kewajiban seseorang untuk

mengembangkan keseimbangan hukum sebagai penebus dosa dengan pembayaran

sejumlah uang.180

Ancaman pidana dalam Pasal 293 RUU KUHP merupakan

179

Tolib Setyadi, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier di Indonesia, Alfabeta,

Bandung, h. 64

180

Ibid., h.54

Page 167: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

151

ancaman pidana berupa pidana penjara atau pidana denda yang dirumuskan secara

komulatif atau alternatif dengan pidana penjara. Hal ini menunjukkan diskresi

bagi hakim nantinya dalam memutuskan kesalahan seseorang berdasarkan fakta-

fakta kasuistis dengan fakta-fakta hukum dalam persidangan. Praktik-praktik

kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang banyak menimbulkan

tindakan anarkis masyarakat secara nyata ada dalam kehidupan masyarakat yakni

kejahatan dalam arti sosiologis dan kejahatan dalam arti yuridis.

Andi Hamzah memaknai pemidanaan sebagai penjatuhan pidana atau

pemberian pidana atau penghukuman. Kemudian diperluas kembali bahwa

pemberian pidana meliputi dua arti yakni:

a. Dalam arti umum, menyangkut pembentuk undang-undang ialah yang

menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in

abtracto)

b. Dalam arti khusus ialah, menyangkut berbagai badan atau jawatan

yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum

pidana itu.181

Penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan

gaib harus berorientasi dalam upaya-upaya untuk mereduksi kejahatan melalui

pendekatan humanistis. Hal ini sejalan dengan pemikiran Mochtar Kusumatmaja

dan Barda Nawawi Arief ketika membahas mengenai tujuan hukum. Mochtar

181

Ibid., h. 22

Page 168: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

152

Kusumaatmaja mengemukakan bahwa tujuan pokok hukum bila mereduksi pada

satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya

masyarakat yang teratur. 182

Barda Nawawi berpendapat bahwa:

Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tersebut (membentuk

manusia Indonesia seutuhnya) maka pendekatan humanistik harus pula

diperhatikan. Hal ini penting karena hanya kejahatan itu pada hakekatnya

merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakekatnya

pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang

kepentingan atau nilai-nilai yang paling berharga bagi kehidupan

manusia.183

Mengenai pendekatan humanistik sebagaimana disebutkan oleh Barda

Nawawi Arief, maka Soedarto menjelaskan pembaharuan hukum pidana tetap

berkisar kepada manusia sehingga ia tidak boleh sekali-kali meninggalkan nilai-

nilai kemanusiaan, ialah kasih sayang terhadap sesama.184

Immanuel Kant yang

menyatakan bahwa dasar hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu

sendiri yang telah menimbulkan penderitaan pada orang lain, sedang hukuman

itu merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. Disini

hukuman itu merupakan pembalasan yang etis.185

Pemidanaan dan pidana bagi

pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam RUU KUHP 2012

perlu diarahkan kepada kepentingan dari penjatuhan pidana itu sendiri yakni

penanggulangan kejahatan, pembinaan bagi pelaku, dan yang terpenting

182

Mohctar Kusumaatmaja, Tanpa Tahun Edisi, Fungsi dan Perkembangan Hukum

dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, h.2

183

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h.32

184

Barda Nawawi Arief I., Op.Cit., h.40

185

Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika

Aditama, Bandung, h. 27

Page 169: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

153

mengindari seorang menjadi korban penghakiman massal. Oleh sebab itu

formulasi mengenai pidana harus sesuai dengan prinsip dasar nilai-nilai

kemanusiaan.

Berkenaan dengan teori-teori mengenai tujuan pemidanaan dan

humanisasi pemidanaan bahwa pidana penjara yang diancamkan pada Pasal 293

RUU KUHP akan efektif menanggulangi kejahatan dengan kekuatan gaib dan

mencegah praktik main hakim sendiri oleh masyarakat. Jenis pidana ini boleh

dikatakan telah mendunia, karena jenis pidana penjara hampir dapat ditemui pada

setiap negara di dunia. Akan tetapi dalam perkembangannya banyak kalangan

yang mempersoalkan kembali jenis pidana ini. Hal tersebut terutama berkenaan

dengan masalah efektivitas serta dampak negatif dari penggunaan pidana penjara

itu. 186

Ancaman pidana penjara terhadap pelaku kejahatan dengan menggunakan

kekuatan gaib dalam Pasal 293 RUU KUHP masih berupa pidana penjara

diharapkan dapat memberikan efek pencegahan terhadap kejahatan tersebut jika

pasal 293 RUU KUHP jika suatu saat disahkan.

Kriminalisasi dalam perumusan Pasal 293 RUU KUHP bukan semata-

mata ditujukan untuk pembalasan, melainkan untuk perlindungan serta

membentuk suatu hukum pidana yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.

menjawab tuntutan masyarakat terhadap upaya pemerintah melindungi hak-hak

warga negara yang ditetapkan melalui peraturan hukum yang jelas sehingga tidak

186

Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h. 46

Page 170: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

154

menimbulkan tindakan sewenang-wenang dalam masyarakat. Hasil-hasil

maksimum harus dicapai dengan biaya yang minimum bagi masyarakat dan

minimum penderitaan bagi indvidu. Dalam tugas demikian, orang harus

mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan

dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi.

Perumusan pasal 293 RUU KUHP sesuai dengan pandangan aliran

sejarah hukum dari Von Savigny yang telah menegaskan bahwa hukum harus

sesuai dengan jiwa suatu bangsa (volkgeist). Bangsa indonesia sebagai bangsa

yang terdiri dari berbagai macam suku, adat, budaya, tradisi, sudah seharusnya

menentukan pengaturan hukum yang sesuai dengan karakter masyarakat hukum

Indonesia. kecenderungan masyarakat Indonesia melakukan tindakan main hakim

sendiri terhadap warga yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan

kekuatan gaib sebagai dasar dalam kriminalisasi Pasal 293 RUU KUHP 2012.

Pengaturan tersebut perlu dalam rangka untuk menjaga keseimbangan antara

pelaku dan korban kejahatan. Rumusan pasal 293 RUU KUHP merupakan salah

satu cerminan hukum yang berdasar situasi alam kondisi masyarakat Indonesia.

sebagaimana Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia dan merupakan nilai

fundamental, menghormati berbagai pandangan atau nilai-nilai yang bersifat

heterogen, serta tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia

sejak dulu.

Indonesia menganut sistem hukum tertulis yakni setiap perbuatan yang

bertentangan dengan ketertiban umum harus dituangkan dalam bentuk tertulis

Page 171: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

155

dalam sebuah peraturan perundangan-undangan. Hal ini menjadi konsekuensi dari

tujuan hukum yakni kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Setiap

perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai tatanan kehidupan masyarakat

harus diwujudkan dalam undang-undang. Indonesia mengenal kejahatan yang

bersifat gaib, akan tetapi masyarakat juga menyadari betapa kesulitan untuk

membuktikan maupun merumuskan kejahatan yang bersifat gaib dalam bentuk

delik materiil ke dalam suatu undang-undang.

Dengan demikian konsep yang ideal dalam rangka pembaharuan hukum

pidana berkaitan dengan kejahatan dengan kekuatan gaib yang sering

menimbulkan tindakan main hakim sendiri dikalangan masyarakat dirumuskan

secara jelas dan berdasarkan dengan situasi kondisi alam budaya masyarakat

Indonesia sehingga mampu menciptakan perlindungan dan kesejahteraan dalam

masyarakat dengan karakter hukum bangsa Indonesia asli. Dalam rangka

penanggulangan dan pencegahan terhadap tindakan-tindakan anarkis yang terjadi

dikalangan masyarakat Indonesia berkaitan dengan kepercayaan terhadap

kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan.

Page 172: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

156

BAB V

PENUTUP

5.1 SIMPULAN

1. Pengaturan masalah perbuatan dengan mengunakan kekuatan gaib dalam

KUHP telah diatur pelanggaran bagi kegiatan dengan menggunakan

kekuatan gaib dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP. Pasal 545 yang

mengatur larangan seseorang berprofresi sebagai tukang ramal atau

penafsir mimpi. Pasal 546 melarang penjualan benda-benda yang berdaya

magis, sedangkan Pasal 547 melarang seseorang untuk mempengaruhi

jalannya sidang dengan menggunakan jimat dan mantra. Pasal-pasal ini

tidak pernah digunakan oleh pihak Kepolisian dan Pengadilan terhadap

pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, oleh sebab perumusan norma yang

tidak jelas dari segi pemaknaan terhadap kekuatan gaib serta berkaitan erat

dengan suatu kepercayaan.

2. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU

KUHP) yang mengatur kejahatan yang mengatasnamakan kekuatan gaib

sebagai bentuk tanggapan terhadap kegelisahan masyarakat atas

ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti laporan-

laporan tindak pidana yang berkaitan dengan kekuatan gaib. Dalam Pasal

293 ayat (1) RUU KUHP 2012 dalam rumusannya menimbulkan

multitafsir norma yang merumuskan banyak perbuatan yang tidak

dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan dengan menggunakan kekuatan

gaib, sehingga dengan rumusan yang demikian tujuan dari pembentukan

pasal tersebut sulit diterapkan.

156

Page 173: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

157

5.2 Saran

Pasal mengenai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib memang

masih mengalami pro dan kontra. Sehingga peneliti dalam tulisan ini ingin

menyumbangkan hasil pemikiran melalui saran yakni:

1. Perbuatan-perbuatan mengenai kekuatan gaib yang diatur dalam Pasal 545,

546, dan 547 KUHP dalam perkembangannya dianggap bukan merupakan

perbuatan yang melanggar dan merugikan orang lain sehingga sudah

sepatutnya pasal-pasal tersebut didekriminalisaikan menjadi perbuatan yang

tidak bertentangan dengan hukum.

2. Berkaitan dengan perumusan Pasal 293 ayat (1) RUU KUHP 2012 mengenai

perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib perlu pengaturan perumusan

yang lebih tegas dan jelas mengenai perbuatan dengan kekuatan gaib yang

diatur dengan mengkaji dan menggali jenis-jenis perbuatan tersebut dalam

masyarakat agar nantinya dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang

dilarang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib.

Page 174: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

158

DAFTAR PUSTAKA

Adjie, Oemar Seno. 2004. Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta

Adler, Freda , Gerhard O.W. Mueller, William S. Laufer, 2010, Criminology, Mc

Graw Hill, AS

Ali , Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Ali, Achmad. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence), PrenadaMedia Group, Jakarta

Arief Mansur, Didik M. dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan

Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, Raja Grafindo Persada,

Jakarta

Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum

Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Mutiara, Jakarta

________________. 2009. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang

_______________. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana

Prenada, Semarang

________________ dan Muladi, 2012, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,

Alumni, Bandung

Atmasasmita , Romli. 2012, Teori Hukum Integratif Rekontruksi Terhadap Teori

Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publising, Yogyakarta

Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana ( bagian 2), Rajawali Pers,

Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional, 2009, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat

Bahasa, Gramedia Pustaka utama, Jakarta.

Dewi, D.S dan Fatahillah A.Syukur, 2011, Mediasi Penal: Penerapan Restorative

Justice di Pengadilan Anak Indonesia, Indie Publishing, Depok.

Fuadi, Munir . 2012. Teori-Teori Besar Dalam Hukum. Kencana Predana. Jakarta.

Page 175: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

159

Abdussalam, H.R. dan Sitompul, DPM. 2007. Sistem Peradilan Pidana, Restu

Agung, Jakarta.

Hamidi, Jazim. 2011. Hermenutika Hukum-Sejarah Filsafat dan Metode Tafsir,

UB Press, Malang.

Herriman, Nicholas . 2013. Negara dan Santet ketika Rakyat Berkuasa, Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta. Ibrahim, Johnny. 2011, Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif,

Bayumedia, Surabaya. Chambliss, J, William and Aida Y.Hass , 2011, Criminology, Connecting

Theory, Research and Practice, Mc Graw Hill Companies, AS.

KPK, 2013, Anotasi Delik Korupsi dan Delik lainnya yang berkaitan dengan

Delik Korupsi dalam RUU KUHP, KPK, Jakarta. Kusumaatmaja, Mohctar. Tanpa Tahun Edisi, Fungsi dan Perkembangan Hukum

dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung.

Lamintang, P.A.F. dan Lamintang Francsscus Theojunior, 2014, Dasar-Dasar

Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Lehmann, A.C, and Myers J.E. (eds), 1997, Magic, Witchraft and Religion: An

Antropological study of the Supernatural, Mayfield Publising Co.

California Leyh, Gregory. 2014. Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, dan Praktik, Nusa

Media, Bandung.

Lukito, Retno 2013, Tradisi Hukum Indonesia, IMR Press, Cianjur.

M.Bohm , Robert and N. Haley Keith, 2007, Introduction to Criminal justice,

McGraw-Hill, New York. Mahmud MD, Mohammad. 2009. Politik Hukum di Indonesia (Edisi Revisi), Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Marpaung, Leden. 2008, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,

Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta.

Page 176: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

160

Me. Grath W.T. 1976, Developping a Stable Base For Criminal Justice Planning,

Abstracts on Criminology and Penology, Kluwer Deventer, Vol. 16 No.3.

Mertokusumo, Sudikno. 2012. Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.

__________________. 2014. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cahaya Atma

Pustaka, Yogyakarta

Moeljatno, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta

Mulyadi, Lilik. 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis, dan

Praktis, Alumni, Bandung

Mustofa, Muhammad 2013, Metodologi Penelitian Kriminologi, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta

_________________. 2014. Politik Hukum Pidana Konsepsi Pembaharuan

Hukum Pidana dalam Cita Negara Hukum, Setara Press, Malang

Nasution , Bahder johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,

Bandung

Pangaribuan, Luhut M.P. 2013, Hukum Acara Pidana, Papas Sinar Sinanti,

Jakarta.

Permana, Heru. 2007, Politik Kriminal, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta

Prakoso, Abintoro. 2013. Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Grafika,

Yogyakarta

Prasetyo, Teguh. 2010. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media,

Bandung

Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika

Aditama, Bandung

Rahardjo, Satjipto. 2009, Hukum dan Perilaku Hakum Yang Baik adalah dasar

hukum yang baik, Kompas, Jakarta, h.9

______________. 2009, Hukum dan Perubahan Sosial : suatu tinjauan Teoritis

serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publising, Yogyakarta

______________. 2009, Hukum Progresif sebuah Sintesa Hukum Indonesia,

Genta Publishing, Yogyakarta

______________. 2012, Hukum Progresif (Pemikiran Satjipto Rahardjo dalam

Perspektif Teori Masalah, Pustaka Rizki Putra, Semarang

Page 177: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

161

Reksodiputro, Mardjono. 1995, Pembaharuan Hukum Pidana, Lembaga

Kriminologi UI, Jakarta

Rukmini, Mien. 2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga

Rampai), Alumni, Bandung

Runes, Dagobert.D. The Dictionary of Philosophy, Philosophical Library, New

York

Salman Otje dan Anton F Susanto. 2009, Teori Hukum Mengingat,

Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung

Santoso, Topo dan Eva. Achjani. 2011. Pengantar Kriminologi, Rajawali Press,

Jakarta

Saragih, Bintan R. 2006. Politik Hukum, Utomo, Bandung

Setyadi, Tolib. 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier di Indonesia, Alfabeta,

Bandung,

Sholehuddin, M, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double

Track System dan Implementasinya), Raja Grafindo Persada, Jakarta

Soekanto, Soerjono. 2005. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum, Rajawali Press, Jakarta

Soemantri, Sri . 1997. Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung

________________. 2005. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press,

Jakarta

_________________. 2006. Pengantar Penelitian Hukum, UI, Jakarta _________________. 2012. Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada,

Jakarta.

Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung

Sunarso, Siswanto. 2005. Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Citra Aditya

Bakti, Bandung

Sunarto, 2009, Alternatif Meminimalisasi Pelanggaran HAM dalam Penegakan

Hukum Pidana, dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep,

dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika

Aditama, Bandung

Page 178: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

162

Suriasumantri, Jujun S. 2009, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Pustaka

Sinar Harapan, Jakarta

Suseno, Sigit. 2012. Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di

dalam dan di luar KUHP (Suatu Analisis), Badan Pembinaan Hukum

Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta

Sutiyoso, Bambang. 2006. Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum

yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta

Sutton, Adam, Cherney Adrian, and white, Rob, 2008, Crime Prevention

Principles, Perspectives and practices, Cambrige University Press, New

York

Suyono, R.P 2008. Ajaran Rahasia Orang Jawa, Lkis, Yogyakarta

Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan

Aksiologi Pengetahuan, Rosdakarya, Bandung

Tanya, Bernald L, N Simanjuntak Yoan, dan Yage Markus, 2013, Teori Hukum

Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing,

Yogyakarta

Waluyo, Bambang . 2008. Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta

Widnyana, I Made, 2013, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum

Pidana,Fikahati Aneska, Yogyakarta

Jurnal Hukum Banjo Elstonsius dan Alfred Mainassy. 2014. Suanggi dalam Perspektif Hukum

Pidana (Studi Kasus di Desa Buli Kecamatan Maba Kabupaten Halmahera Timur, Jurnal Hukum UNIERA, Volume 3 No.1.

Pundari, Ketut Nihan. 2011. Eksistensi Kejahatan Magis dalam Hukum Pidana,

Jurnal Hukum, Universitas udayana, Denpasar. Runturambi, Josias Simon. 2003. Dukungan Sistem Kepercayaan dalam

Kejahatan, Jurnal Hukum, Universitas Indonesia..

Warka, Made. 2006. Segi Hukum Praktek Teluh Dalam Masyarakat(Studi Kasus

di Kabupaten Banyuwangi), Jurnal Hukum Mimbar Keadilan.

Page 179: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

163

Tesis Abdullah, Saiful. 2008. Kebijakan Hukum Pidana (penal) dan Non Hukum Pidana

(Non Penal) Dalam Menanggulangi Aliran Sesat. Winandi, Wono. 2001. Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran Hak

Asasi Manusia dalam Kerusuhan Massal pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Banyuangi, (Tesis), Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang.

Peraturan Perundang Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2012 (RUU KUHP 2012)

Kitab Keadilan Hoekoeman Boeat Anak Negeri ( Boeke Strafwetboek voor

Inlander) Tahun 1911

Internet

Abi, Sultan. 2013. Masalah guna-guna dalam kehidupan masyarakat Indonesia,

http:www.masalah/guna guna/ kehidupan/masyarakat/Indonesia/.ac.id,

Adam, Muhammad . 2013. Dalam KUHP Pengaturan Kejahatan Santet Relevan

dalam rangka pembentukan hukum nasional yang sesuai dengan karakter

bangsa indoneseia, http:www//berita daerah/.ac.id, diakses pada tanggal

23 November 2012, pukul 13.30 WITA

Arief, Barda Nawawi. 2013, Pro Kontra Hukum dan Santet dalam Pidana

Menurut Ahli dan Masyarakat, di kutip dari http://m.kaskus.co.id// pada

tanggal 15 Januari 2015 pukul 17.00 WITA

Chazawi, Adami . 2013. Pasal 293 RUU KUHP Bukan Tindak Pidana Santet,

http://m.kompasiana.com/post/read/pasal-293-ruu-kuhp-bukan-tindak-

pidana-santet//.ac.id diakses pada tanggal 27 Januari 2015 pukul 12.30 pm

http://rustamcastello/solusi/hukum/pada/pratek/perdukunan// diakses pada

tanggal 18 November 2014

Page 180: kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan

164

Nitibaskara, Ronny Rahman 2013., Mengapa RUU KUHP tak Pernah Berujung?,http:www//catatan kriminalitas/ronny/.ac.id, Diakses 6 September 2014

Nitibaskara, Ronny. 2002. Sarasehan Metafisika, diceramahkan dalam Sarasehan

Metafisika Study Club, tanggal 14 Juli di Jakarta, http://kejahatan

metafisis/.ac.id diakses pada tanggal 25 Januari 2015

Nitibaskara, Tb. Ronny. Kejahatan Metafisis dan Permasalahannya dalam

Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, http:// keahatan/metafisis/

permasalahan/ hukum/pidana/Indonesia/ac.id, diakses pada tanggal 25

Oktober 2014 pukul 10.00 Wita.

Onasis, Dian. 2010, Tinjauan Filsafat Ilmu Terhadap Mistik dalam Hubungannya

dengan BudayaHukum Indonesia,

http:www.//hukum.kompasiana.com/2010/07/09/tinjauan-filsafat-ilmu-

terhadap-mistik-dalam-hubungannya-dengan-budaya-hukum-indonesia.

diakses pada tanggal 12 Februari 2015 pukul 13.20. PM

Rato, Dominikus. 2006, Perilaku Main Hakim Sendiri: Pembunuhan Tukang

Santet, Sebuah Pendekatan Sosial-Budaya ( Di kalangan masyarakat

Osing di kenal ilmu santet serupa, watuk gambiran, sabuk mangir, aran

goyang, semar mesen, dan sebagainya. http://www. Tragedi Banyuangi

1998.co.id., di akses pada tanggal 24 Desember 2014 pukul 11.00 Wita

Reksodiputro, Mardjono. 2013. Koreksi Pemahaman atas Pasal Santet,

hhtp:/www/m.hukumonline.com, diakses pada tanggal 13 Januari 2015,

pukul 10.00 Wita

Ritasan, Anjani. 2003. Kumpulan Tragedi Sarat Misteri, http:// berita/ tragedy/

pembantaian/banyuangi/.ac.id, diakses pada tanggal 24 Oktober 2014

pukul 14.00 Wita

Shafii Mufid, Ahmad. keberadaan kekuatan di luar nalar manusia, 2009,

http://kekuatan/suprantural/manusia/diakses pada tanggal 28 oktober

2014

Soenarto, 2012, Tragedi Pembantaian Dukun Santet di Banyuangi,

http//:www.jurnalis/berita/banyuangi/.co.id, diakses pada tanggal 1 oktober 2014, pukul 15.00 Wita

Suryadi, Filsafat ilmu (Aristoteles), 2010, http:// media/ilmu/.co.id, diakses pada

tanggal 27 Oktober 2014

Samardi, 2013, pengaturan sihir di negara papua nugini,

http://samardi/2013/06/05/soal-hap-sihir/, h.2 diakses pada tanggal 31

Maret 2015, pukul 14.00.