hakim dan perbuatan hukum

34
BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH Aktivitas hukum sering dilakukan dalam kehidupan sehari- hari. Sebuah tindakan disebut perbuatan hukum jika mempunyai akibat yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau diakui oleh negara. Hukum atau ilmu hukum sendiri adalah suatu sistem aturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum. Banyak sekali dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap nilai- nilai keadilan. Sedangkan pengertian hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Banyak sekali hakim dan ketentuan hakum baik objeknya dan subjek dari hakim dan perbuatan hakim tersebut.. di dalam ushul fiqih juga dibahas tentang apa itu Hakim. menunjuk pengertian hakim yang memutuskan perkara di pengadilan. Adapun menurut terminologi ushul fiqh, kata hakim menunjuk pihak yang menciptakan dan menetakan hukum syari’at secara hakiki. Dalam hali ini, semua ulama sepakat, hanya 1

Upload: riyan-ardiana

Post on 25-Sep-2015

32 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Hakim dan Perbuatan Hakim menurut Fiqih Islam

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANLATAR BELAKANG MASALAH Aktivitas hukum sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah tindakan disebut perbuatan hukum jika mempunyai akibat yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau diakui oleh negara. Hukum atau ilmu hukum sendiri adalah suatu sistem aturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum. Banyak sekali dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap nilai-nilai keadilan. Sedangkan pengertian hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Banyak sekali hakim dan ketentuan hakum baik objeknya dan subjek dari hakim dan perbuatan hakim tersebut.. di dalam ushul fiqih juga dibahas tentang apa itu Hakim. menunjuk pengertian hakim yang memutuskan perkara di pengadilan.Adapun menurut terminologi ushul fiqh, kata hakim menunjuk pihak yang menciptakan dan menetakan hukum syariat secara hakiki. Dalam hali ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat bagi seluuh hamba-Nya.

BAB IIPEMBAHASANA. Hakim dan Perbuatan Hukum1. Pengertian HakimKata Hakim yang berasal dari Bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia, yang maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa Arab, yaitu: orang yang memutuskan dan menetapkan hukum; yang menetapkan segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu. Kata Hakim juga digunakan untuk menunjuk pengertian hakim di pengadilan. Untuk pengertian yang terakhir ini, dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata Qadhi (kadi). Dari segi terminologi fiqh, kata hakim atau qadhi juga menunjuk pengertian hakim yang memutuskan perkara di pengadilan.Adapun menurut terminologi ushul fiqh, kata hakim menunjuk pihak yang menciptakan dan menetakan hukum syariat secara hakiki. Dalam hali ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat bagi seluuh hamba-Nya (al-Hakim Huwa Allah; al-Hakim adalah Allah. Allah berfirman pada surah Al-anam (6) : 57

Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku[479], sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".[479] Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. mempunyai bukti yang nyata atas kebenarannyaSemua ulama sepakat menyatakan, hanya Allah yang berhak mencipta dan menetapkan perintahdan larangan, dan sejalan dengan itu, hamba-hamba-Nya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan larangan-Nya. Hamba Allah yang patuh akan diberi pahala dan surga, sedang yang durhaka akan dikenalai dosa dan siksa.Dalam konteks penetapan hukum, dilingkungan ulama ushul fiqh dikenal dua istilah, yaitu al-mutsbit li al-hukm (yang menetapkan hukum) dan al-muzhhir li al-hukm (yang membuat hukum menjadi nyata/yang melaksanakan hukum). Yang dimaksud al-mutsbit li al-hukm yaitu yang berhak membuat dan menetapkan hukum. Yang berhak membuat dan menetapkan hukum itu hanya Allah. Tidak siapa pun yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Akan tetapi perlu ditegaskan kembali, selain digunakan istilah al-hakim untuk menunjuk pengertian bahwa Allah pembuat hukum satu-satunya, dikenal pula isilah asy syari (pembuat syariat). Dalam hal ini istilah a-hakim dan asy-syari selain bermakna Allah pencipta dan pembuat hukum, harus pula ditambahkan Rasulullah bukan karena beliau memiliki wewenang otnom membuat hukum dan syariat, tetapi karena beliau diberi tugas, antara lain, menjelaskan aturan-aturan hukum syariat yang juga bersumber dari wahyu Allah. Dalam konteks inilah dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah yaitu yang biasa disbut dengan istilah wahyu matluw (wahyu yang dibacakan/Al-Quran) dan wahyu ghair matluw (wahyu yang tidak dibacakan/al-hadits/al-sunnah).Pada hakikatnya tidak ada satupun perbuatan manusia (baik dalam bentuk aktif maupun pasif, gerak dan diam manusia) yang tidak ada hukumnya, karena segala sesuatu telah ditetapkan hukumnya oleh Allah melalui Al-Quran dan Hadits Rasul-Nya. Hanya saja hukum yang telah ditetapkan Allah itu, ada yang jelas dan nyata hukumnya, dan ada pula yang masih tersembunyi dan samar bagi manusia. Untuk menemukan hukum yang tersembunyi itu, diperlukan upaya ijtihad dengan cara menggalinya (istinbath al-hakam) melalui alat-alat ijtihad, sepert: ijma, qiyas dan lain-lain, dari sumberny yang telah tersedia, yaitu Al-Quran dan Hadits, sehingga hukum Allah yang tersembunyi itu menjadi diketahui dan nyata bagi manusia. Mujtahid yang ber-ijtihad berperan menggali dan menemukan hukum islam yang tersembunyi itulah yang disebut dengan al-muzhhir li al-hukum. Karena itu, mujtahid hanya berperan membuat nyata dan terang hukum-hukum Allah yang masih tersembunyi, bukan menciptakan dan menetapkan hukum secara mandiri.2. Hakikat hakimTidak ada perselisihan dikalangan ulama bahwa yang menjadi sumber hukum bagi semua perbuatan mukallaf (islam, baligh dan berakal) adalah Allah. Baik hukum ini secara jelas terdapat dalam nash yang telah diwahyukan oleh Allah atau dengan ia memberi petunjuk kepada mujtahid untuk mengeluarkan hukum-hukum mengenai perbuatan mukallaf dari dalil-dalil yang telah disyariatkan untuk di istimbathkan hukumnya.Dengan demikian, terjadilah kata sepakat di antara para ulama untuk mendefiniskan hukum syara yaitu:Khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf berupa tuntutan atau suruhan untuk memilih atau berupa ketetapanDari definisi di atas jelaslah bahwa yang menjadi hakim atau (syari) adalah Allah SWT. Maka tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Atas dasar itu, maka semua umat Islam sepakat bahwa yang menjadi hakim (sumber hukum) dalam Islam adalah Allah SWT. Tidak ada hukum kecuali berasal dari-Nya. Hal yang menjadi perselisihan umat islam adalah terletak pada cara bagaimana hukum Allah itu di dapat. Apakah hukum Allah dapat diketahui dengan sendirinya melalui akal tanpa perlu adanya utusan atau rasul, ataukah hukum Allah hanya dapat diketahui melalui rasul dengan kata lain akal tidak dapat mengetahui hukum Allah. Hal ini menjadi perdebatan diantara para ulama, berikut ini akan dibahas pendapat para imam mazhab:1. Cara mengetahui hukumTerdapat pandangan yang berbeda-beda di kalangan para ulama tentang bagaimana hukum Allah itu dapat diketahui. Berikut ini akan dikemukakan tiga aliran yang memiliki pandangan masing-masing tentang cara mengetahui dan mendapatkan hukum Allah SWT. a. Mazhab AsyAriyyah Yaitu para pengikut abu hasan al-asyari. Menurut mazhab ini akal tidak dapat mengetahui hukum Allah tentang perbuatan mukallaf, kecuali melalui perantaraan para rasulnya dan kitabnya. Karena menurut mereka, akal dapat dibedakan dalam menanggapi soal perbuatan dalam hal baik dan buruk suatu perbuatan. Akal dipengaruhi oleh nafsu. Oleh karena itu tidak dapat dikatakan: sesuatu yang dipandang oleh akal itu baik maka baik juga menurut Allah dan mendapatkan pahala orang yang mengerjakannya. Dan sesuatu yang dipandang jelek oleh akal, ia jelek juga menurut Allah dan mendapatkan siksa orang yang mengerjakannya.b. Mazhab MutazilahMazhab ini adalah para pengikut washil bin atha, yang pendiri mazhab mutazilah menurut mazhab ini akal dapat mengetahui hukum Allah tentang perbuatan mukallaf dengan sendirinya tanpa perlu adanya utusan Allah atau Rasul dan wahyu. Karena setiap perbuatan yang dilakukan seseorang mengandung sifat dan pengaruh yang dapat diukur oleh akal apakah perbuatan ini membahayakan atau memberikan manfaat. Semua perbuatan mengandung kekhususan dan pengaruh yang menjadikan perbuatan itu dapat dikatakn baik atau jelek. Menurut mutazilah bahwa hukum Allah mengenai perbuatan mukallaf merupakan suatu yang dapat dijangkau oleh akal manusia berupa keuntungan atau bahaya.c. Mazhab Al-maturidiyahYaitu para pengikut Abu Manshur al-maturidi. Mazhab ini dinilai lebih moderat dan netral (kalau tidak dikatakan dua mazhab sebelum fanatik). Mazhab ini berusaha untuk mencari titik temu antara dua mazhab sebelumnya. Mazhab ini berpendapat bahwa perbuatan mukallaf mempuanyai kekhususan dan pengaruh yang menghendaki kebaikan dan kejelekan.a) Surat Al-Anam : 57

menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (Q.S Al-Anam)b) Surat Al-Maidah : 49 dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.

c) Surat Al-Maidah : 44

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.d) Diakhir ayat 45 surat Al-Maidah, Allah berfirman:

dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.(QS. Al-Maidah : 45)

e) Keharusan untuk merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah apabila terjadi perbedaan pendapat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS. An-Nisa : 59)

f) Keharusan untuk menggunakan hukum Allah SWT. dalam syrat An-Nisa : 65, Allah berfirman:

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.(QS. An-Nisa : 65)Sedangkan dari pengertian kedua tentang hakim di atas, ulama Ushul Fiqh membedakannya sebagai berikut: (Asy-Syaukani : 7) Sebelum Muhammad SAW. Diangkat sebagai RasulPara ulama ushul fiqh berbeda-beda pendapat tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Muhammad sebagai Rasul. Sebagian ulama ushul fiqh dari golongan Ahlussunnah wal Jamaah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara, sementara akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT. dan yang menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara, namun syara belum ada.Golongan Mutazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat Nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT. namun akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT. dan menyingkap serta menjelaskannya sebelum datangnya syara.Dikalangan para ulama ushul fiqh, persoalan yang cukup rumit itu dikenal dengan iatilah At-tahsin wa al-taqbih, yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau buruk. Setelah Diangkatnya Muhammad sebagai Rasul dan Menyebarnya Dakwah IslamPara ulama ushul fiqh sepakat bahwa hakim adalah syariat yang turn dari Allah SWT. yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Apa yang telah dihalalkan oleh Allah hukumnya adalah halal, begiti pula apa yang diharamkan-Nya hukumnya adalah haram. Juga disepakati bahwa apa-apa yang dihalalkan itu disebut hasan (baik), didalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sedangkan segala sesuatu yang diharamkan Allah disebut qabih (buruk), yang didalamnya terdapat kemadaratan atau kerusakan bagi manusia.3. Baik dan BurukKetika membicarakan hukum, salah satu persoalan mendasar yang timbul dalam filsafat sejak zaman Yunani Kuno, yang perdebatannya terus menerus berkepanjangan, ialah: siapakah yang berhak menetapkan hukum? Dalam salah satu diskusi yang dikembangkan plato, misalnya, timbulnya pertanyaan: para dewa menyenangi suatu perbuatan manusia karena hakikatnya perbuatan itu pada dirinya memang baikk, ataukah sebalikny, perbuatan itu dinilai baik oleh paradewa karena memang para dewa menyenangi perbuatan itu? Demikian juga dengan perbuatan buruk. Persoalan ini belakangan mempengaruhi pemikiran sebagian ilmuwan (ulama) islam, sehingga dikalangan ulama ilmu kalam (mutakallimin) timbul pertanyaan : mengapa suatu perbuatan dinilai baik? Apakah Allah memerintahkan suatu perbuatan karena memang esensi perbuatan itu terpuji, dan melarang suatu perbuatan karena esensi perbuatan itu tercela? Atau: apakah pada hakikatnya suatu perbuatan tidak memiliki sifat terpuji dan tercela pada dirinya, tetapi semata-mata karena ia diperintahkan Allah atau karen dilaang-Nya? Perbedaanpendapat tentang hal ini melahirkan tiga kelompok pendapat. Kaena perbedaan pendapat itu tidak menyentuh langsung pembahasan ushul fiqh, maka hanya akan diuraikan secara singkat sebagai berikut:a. Pandangan kelompok MutazilahMenurut pendapat kelompok Mutazil, suatu perbuatan disebut baik (terpuji) karena perbuatan itu memang baik dan bermanfaat. Sebaliknya, suatu perbuatan disebut buruk (tercela) karena memang perbuatan itu mengandung keburukan dan bahaya. Manusia dengan kemampuan akalnya dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk. Sebagian perbuatan baik, dan buruk itu dapat diketahui dengan mudah tanpa harus memikirkannya lebih dahulu, seperti: berkata benar adalah baik, sedang berdusta adalah buruk. Sedangkan sebagian baik dan buruk lainnya baru dapat diketahui setelah memikirkannya secara mendalam, seperti: berkata benar adalah baik, meskipun menimbulkan bahaya, dan bentuk perbuatan baik dan buruk yang diketahui manusia melalui akalnya ini, wahyu yang dibawa para Rasul Allah hanya berperan sebagai konfirmasi atas baik dan buruk yang diketahui manusia dengan akalnya itu.Sementara ada sebagian kecil perbuatan baik dan buruk yang tidak dapat diketahui akal manusia kecuali diberitahu Allah melalalui wahyu, seperti: perbuatan shalat, puasa, dan haji dengan tatacara sebagaimana yang diajarkan syariat. Pada bentuk perbuatan inii, wahyu berperang memberi informasi tentang baik dan buruk.Terhadap perbuatan baik dan buruk yang dapat diketahui manusia dengan akalnya, manusia diperintahkan Allah untuk melakukan perbuatan baik, dan akan diberi pahala karena berbuatn baik, dan dilarang berbuat yang buruk, serta dikenai dosa karena berbuat buruk, meskipun Allah belum menurunkan bimbingan wahyu melalui pengutusan Rasul-Nya. Sementara terhadap perbuatan yang tidak mungkin diketahui manusia kecuali melalui wahyu, manusia tiak dibebani kewajiban untuk menjalankannya, sebelum datangnya wahyu dan pengutusan Rasul.b. Pandangan Kelompok MaturidiyahKelompok Maturidiyah sepakat dengan kelomk Mutazilah yang mengatakan, manusia dengan akalnya, dapat mengetahui sebagian besar perbuatan baik dan buruk. Akan tetapi mereka menolak pendapat Mutazilah yang mengatakan bahwa manusia diperintahkan untuk berbuat baik, yang karenanya diberi pahala, dan dilarang berbuat buruk, yang karenanya dikenai dosa, sebelum turnnya whyu mengenai pengutusan Rasul.Argumen yang dikemukakan Maturidiyah adalah firman Allah pada surah al-Isra (17) : 15 Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.c. Pandangan Kelompok Asy-ariyyahGolongan Asy-ariyyah berpendapat, akal manusia tidak dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk, karena baik dan buruk bukan pada esensi perbuatan, melainkan karena diberi sifat baik atau buruk oleh Allah melalui wahyu. Oleh karena itu, manusia tidak berkewajiban melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk sebelum datangnya wahyu, manusia tidak dikenai beban taklif. Argumen yang dikemukakan Asyariyyah untuk mendukung pendapat mereka adalah ayat surah al-Isra yang teladisebut diatas.[footnoteRef:1] [1: Pembahasan tentang perbuatan baik dan buruk dapat ditemukan didalam hampir semua kitab-kitab ilmu kalam. Bandingkan, misalnya: Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Mujmal Itiqad Aimah as-salaf, Saudi Arabia: wizarah asy-Syuun al-Islamiyyah wa al-awqaf wa ad-Dawah wa al-Irsyad, 1417 H, hlm. 140 dst; al-Syyahrastani, Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-kalam, Qahirah: Maktabah ats-Tsaqfah ad-Diniyyah, tt, hlm. 129 dst; Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-Itiqad, beirut: Dar al-Fikr, 1997, hlm. 50-52]

Perlu ditegaskan lagi, perbedaan pendapat di atas berkenaan dengan perbuatan manusia sebelum turunnya wahyu. Perbedaan pendapat tersebut menjadi titik relevan setelah turunnya wahyu, karena ketiga kelompok tersebut sependapat, setelah datangnya Rasulullah membawa wahyu, maka yang menjadi standar baik dan buruk adalah wahyu.B. Perbuatan Hukum1. Tahsin dan TaqbihAda banyak pengertian yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh tentang hasan dan qabih,a. Al-Husnu adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan tabiat manusia, misalnya tentang rasa manis dan menolong orang yang celaka. Sedangkan qabih adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat tabiat manusia, misalnya menyakiti orang lain.b. Al-Husnu, diartikan sebagai sifat yang sempurna, misalnya kemuliaan dan pengetahuan dalam diri seseorang seperti, bodoh, kikir. Kedua pengertian tentang hasan dan qabih tersebut telah disepakati oleh para ulama bahwa hal itu hanya bisa dicapai akal.c. Al-Husnu, adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia, sedangkan qabih, merupakan segala perbuatan yang tidak boleh dikerjakan oleh manusia. Hal itu disepakati oleh para ulama dalam hal yang tidak bisa dicapai oleh akal.d. Al-Husnu, diartikan sebagai pekerjaan yang bila dikerjakan akan mendapat pujian didunia dan pahala dari Allah SWT. kelak diakhirat sebaliknya qabih adalah perbuatan yang akan mendapat cercaan dari manusia bila dikerjakan seperti, maksiat, mencuri, dan lain-lain Pengertian yang diperselisihkan oleh para ulama adalah nomor tiga dan empat, yakni tentang mungkin tidaknya dicapai oleh akal. Menurut Asy-ariyah, pengertian nomor tiga dan empat hanya bisa ditentukanoleh syara. Baik dan buruknya bukanlah terdapat pada zatnya, tetapi pada sifatnya yang nisbi (relatif). Pendapat di atas bertentangan dengan golongan mutazilah yang menyatakan bahwa hasan dan qabih dapat diketahui dan ditentukan oleh akal, tanpa memerlukan pemberitahuan dari syara. Menurut mereka sebagian yang baik atau yang buruk itu terletak pada zatnya, dan sebagian lainnya terdapat diantara manfaat, mudarat, baik, dan buruk.2. Kemampuan Akal Mengetahui Syariat Para ulama terbagi kedalam tiga golongan dalam menentuka kemampuan akal untuk menentukan hukum sebelum turunnya syariat:1. Menurut ahlu sunnah wal jamaah, akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum, sebelum turunnya syariat. Akal hanya bisa menetapkan baik dan buruk melalui perantara Al-Quran dan Rasul, serta kitab-kitab samawi lainnya. Pendapat mereka didasarkan pada firman Allah SWT. surat Al-Isra : 15 Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al-Isra :15) Dari ayat diatas dapat diketahui bahwa Allah sekali-kali tidak akan mengazab seseorang yang belum sampai kepadanya seseorang utusan (Rasul) yang membawa risalah ilahi. Selain ayat tersebut Allah pun berfirman dalam surat An-Nisa : 165

(mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa : 165) Dengan mengemukakan nash diatas, menurut ahlu sunnah wal jamaah, akal tidak bisa dijadikan standar untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Dengan demikian, maka Allah tidak berkewajiban menetapkan suatu kebaikan yang dipandangi baik oleh akal, atau menetapkan keburukan suatu perbuatan yang dipandangi buruk menurut akal, karena Allah mempunyai kehendak yang mutlak. Dan berkuasa untuk menetapkan perbuatan yang tidak bermanfaat sekalipun. Namun, menurut penelitian, suatu perintah Allah pasti mengandung suatu manfaat, sedangkan larangannya mengandung kemudaaratan.2. Mutazilah berpendapat bahwa akal bisa menentukan baik buruknya suatu pekerjaan sebelum datangnya syara meskipun tanpa perantara kitab samawi dan rasul. Baik dan buruk itu ditentukan oleh zatnya, sehingga akal bisa menentuka syariat. Alasan mereka sebenarnya sama dengan ayat yang dikemukakan oleh ahlusunnah wa aljamaah, yaitu dalam surat al-isra ayat 17, hanya mereka mengartikan rasul dalam ayat tersebut dengan arti akal, sehingga arti keseluruhan dari ayat tersebut adalah:Kami tidak akan mengazab seseorang sebelum Kami berikan akal padanya.Menurut mereka, sebagian perbuatan dan perkataan itu sudah semestinya dilakukan manusia, seperti beriman dan berbuat baik. Dan orang yang melakukannya berhak mendapat pujian, karena keimanan dan perbuatan baik itu merupakan hal yang baik pada zatnya. Sebaliknya, akal akan menolak perbuatan yang buruk pada zatnya, seperti berdusta, kafir, dan berbuat sesuatu yang tidak benar. Perbuatan tersebut akan mendapat celaan dari manusia, dan sedikit puntidak ada alasan untuk mengerjakannya.Menurut kaum mutazilah, prinsip yang dipakai dalam menentuka sesuatu itu baik ataupun burut adalah akal manusia, bukan syara. Dnegan demikian, sebelum datangnya rasul pun, manusia telah dikenakan kewajiban melakukan perbuatan yang menurut akal mereka baik dan untuk itu mereka akan diberi imbalan. Selain itu, mereka pun dituntut untuk meninggalkan perbuatan yang jelek menurut akal mereka, dan bila dikerjakan mereka akan mendapat hukuman.Golongan mutazilah juga berpendapat bahwa syariat yang ditetapkan kepada manusia merupakan sesuatu yang dapat dicapai oleh akal, yakni bisa ditelusuri bahwa didalamnya ada unsur manfaat atau madarat. Dengan demikian, sesuatu yang baik menurut akal adalah baik menurut syara, dan manusia dituntut untuk mengerjakannya. Sebaliknya, sesuatu yang jelek menurut akal adalah jelek menurut syara, dan manusia dilarang untuk mengerjakannya.3. Golongan Maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat diatas. Mereka berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan itu, adakalanya baik atau buruk pada zatnya. Syara menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan yang baik pada zatnya dan melarang melaksanakan perbuatan yang jelek pada zatnya. Adapun terhadap perbuatan dan perkataan yang kebaikan dan keburukannya tidak pada zatnya, syara memiliki wewenang untuk menetapkannya.Lebih jauh Maturidiyah berpendapat bahwa kebaikan atau kejelekan yang didasarkan pada akal tidak wajib dikerjakan ataupun ditinggalkan. Sedangkan dikerjakan pun tidak akan mendapat pahala kalau semata-mata hanya berdasarkan pada akal saja. Begitu pula sebaliknya, bila mengerjakan suatu perbuatan yang dipandang buruk semata-mata oleh akal, tidak akan mendapat hukuman, menurut mereka akal itu tidak berdiri sendiri, namun harus dibarengi dengan nash. Dengan kata lain, walaupun akal mengetahu bahwa suatu perbuatan itu baik ataupun buruk, namun adanya pemberitaan dari kitab samawi atau penerangan dari rasul menetapkan keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Begitu halnya dengan masalah imbalan dan hukuman. Maka Allah tidak wajib memerintah kepada manusia untuk menegerjakan perkataan ataupun perbuatan yang baik menurut akal. Dan sebaliknya, Allah pun tidak wajib untuk memerintahkan manusia meninggalkan perbuatan yang buruk menurut akal.Implikasi dari perbedaan pendapat mengenai peranan akal tersebut, berkaitan pula dengan posisi akal dalam ijtihad. Apakah akal bisa menjadi salah satu sumber hukum isalm? Menurut Ahlusunnah wa al-jamaah dan Maturidiyah, akal tidak dapat secara berdiri sendiri menjadi sumber hukum islam. namun diakui bahwa akal berperan penting dalam menangkap maksud-maksud syara untuk menetapkan suatu hukum, tetapi bukan menentukan hukum. Sebagaimana pendapat Abu Zahrah , nahwa seluruh produk fiqh adalah hasil daya manusia yang tdak habis-habisnya sampai sekarang. Akan tetapi, daya nalar tersebut tidak terlepas sama sekali, karena harus bersandar pada nash.Mutazilah dan syiah jafariyah, berpendapat bahwa akal merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah.C. Objek Hukum 1. PengertianObjek hukum atau Mahkum Bih ialah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara. Contohnya kewajiban memenuhi janji. Sebagaimana firman Allah SWT. Dibawah ini:Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu... (QS. Al-maidah/5:1)Syarat-syarat perbuatan yang ditaklifkan (dibebankan) agar bisa dilaksanakan dengan sempurna oleh mukallaf harus memenuhi syrat-syarat berikut ini:a. Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat melakukan perbuatan itu sesuai dengan perintah. Maka berdasarkan syarat ini nash-nash Al-Quran yang bersifat global (belum jelas), maka tidak wajib untuk mengamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan dari Rasul.b. Diketahui secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang yang memiliki wewenang untuk memerintah atau orang yang wajib diikuti hukumhukumnya oleh mukalaf.c. Perbuatan yang diperintahkan itu mungkinatau dapat dilakukan atau ditinggalkan oleh mukalaf sesuaidengan kadar kemampuannya. Mengingat tujuan hukum adalah agar hukum itu dapat ditaati. Oleh karena itu, tidak ada beban yang diperintahkan oleh Al-Quran untuk dikerjakan atau ditinggalkan yang melewati batas kemampuan manusia. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah memberikan beban yang mustahil (diluar kemampuan) mukalaf. Contohnya perintah untukterbang seperti burung.D. Subjek Hukum (Mahkum Alaih)1. PengertianAdapun yang dimaksud dengan subjek hukum dalam kajian ushul fiqh adalah mukallaf, yaitu orangyang kepadanya khithab Allah diarahkan. Dalam pada itu, mukallaf adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk bertindak secara hukum, sehingga ia pantas untuk menerima titah melakukan perbuatan, atau meninggalkan perbuatan, atau memilih antara melakukan atau meninggalkan suatu perbuaatan.2. Syarat-syarat MukallafSeseorang baru ditetapkan sebagai mukallaf, apabila pada diri orang tersebutterpenuhi beberapa persyaratan komulatif sebagai mukallaf, yaitu sebagai berikut:a. Sesseorang memahami bahwa tiah(khittab) Allah swt dihadapkan kepadanya. Artinya ,bahwa ia mengetahui bahwa perintah atau larangan Allah ditujkan kepadanya, baik pengtahuannya itu didapatnya secra langsung dari al-quran, hadist, dan kitab kitab yang menjelasakan keduanya, ataupun melalui bantuan orang lain yang memungkinkan dirinya mengetahui dan memahami titah Allah. Kemamuan memahami ini berkaitan erat dengn perkembangan akalb. Memeiliki tanda-tanda fiisk yang menunjkan dewasa. Pada umumnya ulama berpendapat, sesorang disebut dewasa apabila: telah mengalami mimpi melakukan hubungan (jima) bagi laki-laki, dan telah mengalami haid bagi wanita. Pabila kedua tanda ini belum ditemukan, maa tanda kedewasaannya dilihat dari segi usia. Dalam hal ini, jumhur ulama, berpendapat, usia dewasa adalah 15 tahun sedangkan menurut mazhab Hanafi, 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita.[footnoteRef:2] Terlepasa dari kedua pendapat tersebut, penulis berpendapat pelu pengkajian ulang dalam bahasan tersendiri, dengan meninjau argumen masing-masing, untuk memberikan batasan minimal tanda-tanda seseorang dinyatakan dewasa/mukallaf. Pada tulisan ini agaknya cukuplah kalau dikatakan sulit sekali membayangkan sorang anak yang baru pertama mimpi (jima), atau mengalami haid, atau telah berumur 15 tahun, palagi untuk ukuran anak-anak indonesia, dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatannya baik dunia mauun di akhirat padahal mereka belum memiliki kematangan dalam berfikir dan bertindak. [2: Abdul qadir al-audah, at-tasyri al-jinai al-islami, juz II, beirut: dar al-fikr al-al-arabi, tt,hlm.160.]

c. Tidak terdapat halangan untuk melaksanakan fungsinya sebagai mukallaf, seperti: gila, idiot,lupa,tertidur,terpaksa, tidak tahu, dan lain-lain.3. Ahliyyah al-wujubTidak semua orang disebut mukallaf. Seseorang disebut mukallaf apabila kepdanya dapat dimintai pertanggungjwaan atas segala perbuatannya, baik kepatuhannya menjalankan peritah-perintah maupun menjauhi larangan-larangan syara , baik didunia maupun diakhirat, baik dibidang ibadah maupun muamalah. Oleh karena itu seseorang dapat disebut mukallaf apabila ia dipandang mampu dan pantas menerima beban taklif, yang dalam istilah ushul fiqih disebut ahl li at-taklif (memiliki kecakapan menerima beban taklif).Agara seseorang dipandang memmiliki kecakapan menerima beban taklif, maka orang tersebut harus memiliki dua kecakapan yaitu: kecakapan dalam menerima kewajiban hukum (ahliyyah al-wujub) dan kecakapan dalam bertindak secara hkum (ahliayyah al-adda). Kedua sisi kecakapan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:a. PengertianAdapun yang dimaksud dengan ahliyyah al-wujub ialah, kecaap seseorang untuk melaksanakan berbagai kewajiban dan menerima berbagai hak. Pda dasarnya itinjau dari segi bahwa seseorang adalah makhluk Allah yang berjenis manusia, semua orang sejak dilahirkan kedunia sampai wafatnya dipandang cakap melaksanakan kewajiban dan menerima hak.Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya manusia mengalami fase-fase pertumbuhan dan perkembangan menuju tahap kesempurnaaan relatifnya sebagai manusia. Oleh karena itu menurut pandangan syara, sesuai dengan kenyataan, kecakapn manusai melaksanakan kewajiban dan menerima hak juga bertingkat-tingkat. Dalam hal ini, ulama ushul fiqih menguraikannya dalam dua tingkatannya sebagai berikut:1. Ahliyyah al-wujub al-qashirah (kecakapn melaksanakan kewajiban secara tidak sempurna)Yang disebut diatas adalah kecakapn seseorang yang tidak sempurna untk melaksanakan semua kewajiban dan menerima semua hak, sebagaimana yang dapat diberikan kepada mukallaf yanng sempurna. Oleh karena itu kepadanya hanya dikenakan kewajiban tertentu atau hak tertentu saja. Contoh yang hanya menerima hak tertentu tetapi tidak meneima kewajiban apapun ialah, janin dalam kandungan. Janin dipandang cakap menerima tertentu, sperti: warisa dan wasiat. Hak tersebut mnjadi haknya yang nyata, apabila janin dilahirkandalam keadaan hidup. Akan tetapi, janin tidak dibebeani kewajiban apapun, kareana ia tidak cakap memikul kewajiban. Sebaliknya, contoh yang hanya dikenai kewajiban tertentu tiidak diberi hak apapun ialah, orang yang telah wafat. Orang yang telah wafat dipandang tidak cakap untuk menerima hak karena kewafatannya, tetapi ia dikenakan kewajiban membayar utang semasa hidupnya. Tetntu saja kewajiban membayar utang tersebut hanya diambilkan dari harta warisan yang ditinggalkannya. Adapun hak dan kewajibannya, terutama kewajiban kepda Allah.2. Ahliyyah al-wujub al-kamilah (kecakapan melaksanakan kewajiban secara sempurna)Adapun yang dimaksud diatasa seseorang yang secra potensial dipandanng sempurna memiliki kecakapan untuk dikenai kewajiban sekaligus diberi hak. Kecakapn potensial untuk secara sempurna memikul kewajiban dan menerima hak ini berlaku sejak seseorang lair kedunia sampai akhir hidupnya. Contohnya, bayi. Bai dipandang cakap menerima, seperti; hak menerima harta warisan dari pewarisnya, sekaligus dipandang cakap dikenai kewajiban tertentu, seperti :kewajiban zakat fitrah, dan keewajiban zakat atas hartanya, menurut sebagian ulama. Demikian juga seorang yang sedang berada dalam konsdisis meghadapi kematian (sakaratulmaut). Meskipun berada dipenghujung hidupnya, namun karena ia masih hidup maka selain tetap dikenai kewajiban zakat fitrah dan zakat atas hartanya ia juga tetap memiliki hak untuk menerima harta warisan sebagai ahli waris dai pewarisanya yang lebih dahulu wfatb darinya. Agaknya perlu ditekankan, pembahasan tentang yang dibahasa diatas pda hakikatnya berbicara tentang kecakapan manusia un tuk memikul beban kewajiban dan menerima hak hukum, ditinjau dari segi bahwa manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Dalam hal ini, manusia dipandang memiliki kapasitas dan potensi untuk memikul tanggungjawab sebagai pemegang amanah yang diberikan Allah SWT. Dengan kata lain, pembicaraan tentang pembahasan diatas pada hakikatnya berkaitan denga tinjauan filosofis tentang kedudukan manusia, bahwa ia memiliki potensi yang sempuran untuk menerima hak dan kewajiban dari Allah. Itulah sebabnya, dikatak bahwa seluruh manusia sejak lahir sampai wafatnya, dipandang cakap/layak untuk menerima hak dan kewajiban.[footnoteRef:3] [3: Bandingkan: al-bukhari, kasyf al-asrar an ushul al-bazdawi, juz IV, beirut: Dar al-kitab al-arabi, 1991, hlm 393.]

3. Ahliyyah al-Adaa. PengertianAdapun yang dimaksud diatas (kecakapan bertindak secara hukum) ialah, kepantasan seseorang untuk dimintai pertanggungjawaban secara hukum, atas semua perbuatannya,(baik aktif maupun pasif; gerak dan diam), baik dalam bidang ibadah maupun muammalah sehingga semua perbuatannya menimbulkan akibat hukum, baik yang menguntungkan maupun merugikan baginya.b. Pembagian Ahliyyah al-AdaKecakapan bertindak secara hukum dapat dibagi menjadi tiga tiingkatan:1. Adim al-Ahliyyah (tidak memiliki kecakapan)Adapun yang dimaksud diatas: yang sama sekali tidak memiliki kecakapan bertindak secara hukum mereka ini adalah yang berusia antara nol sampai tujuh tahun. Pada usia ini seseorang dipandang sama sekali belum memiliki akal yang dapat mempertimbangkan perbuatannya. Meskipun pada usia ini ia belum disebut mukallaf, namun sebagian ulama berpendapat, harta yang dimilikinya (mungkin bersumber dari harta warisan hibah, dan lain-lain) dikenakan kewajiban zakat.2. Ahliyyah Al-Ada al-Qashirah (kecakapan bertindak tidak sempurna)Adapun yang dimaksud diatas ialah yang memiliki akal yang belum sempurna, yaitu berusia antara tujuh tahun sampai sebelum berusia dewasa, sebagian tindakannya belum dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Mereka juga belum dipandang mukallaf. Namun demkian, semua perbuatan ibadahnya dipandang sah. Demikian juga semua perbuatannya yang pasti menguntungkan baginya dipandang sah, meskipun tanpa persetujuan dari walinya seperti: menerima hibah dan wasiat. Sebaliknya, semua perbuatannya yang pasti merugikan baaginya dipandang batal demi hukum, seperti: memberi hibah dan berwasiat. Akan tetapi, jika ia melakukan transaksi atau akd yang berpeluang menimbulkan keuntungan atau kerugia, misalnya, melakukan jual beli, maka keabsahan tindakannya itu tergantung pada persetujuan walinya. Apabilaa ia melakukan tindakaan pidana dan tindakannya merugikan orang lain, maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman badan tetapi dapat dijatuhi hukuman ganti rugi yang diambilkan dari hartanya atau harta orang tuanya.3. Ahliyyah al-Ada al-kamilah (kecakapan bertindak secara sempurna)Adapun yang dimaksud diatas yaitu: seseorang yang telah memilii akal yang sempurna, yaitu yang telah mencapai usia dewasa, sehingga dipandang telah mukallaf, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya.Dari penjelasan ahliyyah al-wujub dan al-ada diatas dapat diketahui, semua manusia memiliki kecakapan secara hukum untuk dikenakan kewajiban dan diberi hak (ahl li al-wujub), tetapi tidak semmua manusia dipandang cakap untuk bertindak secara hukum (ahl li al-ada). Seseorang baru dipandang cakap secara hukum, apabila ia telah mencapai kedewasaan dari segi usia dan akalnya. Dalam keadaan seperti ini barulah seseorang dapat disebut sebagai mukallaf.[footnoteRef:4] [4: Pembahasan tentang ahliyyah al-ada antara lain, dapat ditemukan pada: as-sarakhsi, juzz II, Beirut: Dar al-Marifah, tt hlm.340 dst., al-Buqhari ksyf al-asrar an ushul al-bazdawi. Juz IV Beirut: Dar al-kitab Al-Arabi, 1991, hlm. 393-394.]

4. Faktor-faktor Penghalang Kecakapan Bertindak Secara Hukum (Awaridh al-Ahliyyah)Meskipun sejak lahirnya, seseorang telah memiliki kecakapan menerima kewajiban dan hak (ahl li al-wujub), dan sejak dewasa dari segi usia dan akalnya, memiliki kecakapan untuk bertindak secara hukum (ahl li al-ada), namun terkadang pada waktu tertentu terdapat faktor-faktor yang menghalanginya ntuk dapat dipandang cakap bertindak secara hukum. Faktor-faktor penghalang tersebut ada yang berasal dari dalam dirinya, dan ada pula yang berasal dari luar dirinya. Faktor-faktor pnghalang itu disebut istilah awaridh al-ahliyyah (penegasi-penegasi kecakapan) atau mawani at-taklif (penghalang-penghalang taklif).Faktor-faktor penghalang taklf itu ada yang hanya mengurangi kecakapan mukallaf melaksanakan hukum, tetapi ada pula yang sama sekali menegasikan kecakapan bertindak. Faktor-faktor penghalang taklif itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-awaridh as-samawiyyah dan al-awaridh al-muktasabah.a. Al-awaridh as-SamawiyyahAdapu yang dimaksud dengan al-awaridh as-samawiyyah ialah, halangan kecakapan bertindak secara hukum yang timbul dar luar diri seseorang yag bukan merupakn akibat dari kehendak dan perbuatannya. Halangan ini terdiri atas beberapa macam

1. Usia kanak-kanakPada hakikatnya tahap usia kanak-kanak tidak tepat disebut sebagai penghalang bagi seorang mukallaf, karena ketika seseorang masih kanak-kanak, ia belum disebut mukallaf. Tetapi ditinjau dari segi bahwa seseorang kanak-kanak telah memiliki ahliyyah al-wujub dan ahliyyah al-ada al-qshirhah, maka usia kanak-kanak dipandang sebagai penghalang baginya untuk memiliki kecakapan bertindak secara penuh (sempurna).2. Gila (Al-junun)Kedaan gila ialah, hilangnya akal untuk mempertimbangkan suatu tindakan secara logis. Gila menghalangi seseorang untuk berbicara dan bertidak secara wajar. Keadaan gila pada diri seseorang dapat dibedakan dari segi waktu.a. Gila yang berlangsung dalam waktu yang lama dan berkelanjutan (al-junun al-muabad). Keadaan gila ini menghilangkan kewajiban dalam bidang ibadah yang bersifat fisik seperti shalat dan berpuasa. Diriwayatkan an-nasai:[footnoteRef:5] dari Aisyah ra; dari Nabi SAW. Beliau bersabda: tidak ada tuntutan dari tiga (golongan); dari orang yang tidur, sampai ia terjaga, dari kanak-kanak, sampai ia dewasa, dan dari orang gila, sampai ia berakal atau sembuh. [5: An-nasai, sunnan an-nasai hadits nomor 3378.]

Akan tetapi, menurut jumhur ulama, ia tetap dikenakan kewajiban yang menyangkut harta, sepeti: zakat harta. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, ia tidak dikenakan kewajiban zakat harta. Disamping itu, dari hartanya iambil untuk mengganti kerugian harta orang lain akibat perbuatannya, yang dilaksanakan oleh walinya.b. Gila yang berlangsung sementara dan tidak berkelanjutan (al-junun al-muakad).Keadaan gila ini tidak menghalangi beban taklif.3. Lemah akal (al-atah)Lemah akal yaitu kelainan yang terdapat dalam akal yang menjadikan seseorang tidak dapat berpikir secara baik dan menjadi dungu. Keadaan lemah amal memilki tingkatan-tingkatan. Ada lemah akal yang tingkatannya sama dengan kemampuan akal anak yang berada pada fase mumayyiz (sekitar usia tujuh tahun), sehingga ia mampu membedakan baik dan buruk. Dalam hal ini, statusya disamakan dengan hukum mumayyiz. Adapula yang tingkatannya berada dibawah mumayyiz. Dalam hal ini status hukumnya sama dengan anak yang belum mumayyiz. Mengenai kewajiban syara, orang yang lemah akal dibebaskan dari tuntutan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban syara yang bersifat badaniyah pada umumnya.. hal ini sesuai dengan riwayat at-Timidzi.[footnoteRef:6] [6: At-tirmidzi, sunnan at-tirmidzi, hadits nomor 1343]

Dari Ali ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda:Diangkatkan kalam (tidak ada tuntutan) dari tiga (golongan); dari orang yang tidur, sampai dia terjaga, dari kanak-kanak, sampai ia menjadi pemuda, dan dari orang yang lemah akalnya, sampai ia dapat berfikir.4. Tidur (an-naum) dan pingsan (al-ighma)Tidur dan pingsan merupakan dua keadaan yang bersifat temporer yang mengakibatkan seseorang tidak memiliki kesadaran dan kemampuan memahami ucapan orang lain. Oleh karena itu, perbuatan dan ucapan orang yang tidur ataupun pingsan tidak menimbulkan efek hukum. Akan tetapi, tidur dan pingsan tidak menggugurkan beban taklif, melainkan menundanya sampai orang yang tidur atau pingsan terbangun dan sadar kembali.5. Lupa (an-nisiyan)Lupa ialah keadaan seseorang yang tidak mampu mengingat sesuatu ketika diperlukan. Keadaan lupa tidak menghilangkan kecakapan bertindak secara hukum, sehingga keadaan lupa tidak dapat menjadi alasan untuk melepaskan diri dari kewajiban yang menyangkut ak orang lain setelah ingatannya pulih. Dari ibnu abbas ra. Dari Nabi SAW. Beliau bersabda : sesungguhnya Allah SWT tidak menghukum umatku karena tersalah, lupa, dan dipaksa.[footnoteRef:7] [7: Ibnu majjah, sunnan ibnu majjah, hadits nomor 2035.]

6. Sakit (al-marad)Keadaan sakit pada hakikatnya tidak menghilangkan kecakapan bertindak secara hukum. Karena itu, tindakan hukum orang yang sedang sakit baik dalam bentuk pebutan maupun ucapan yang mempunyai efek hukum tetap sah. Hanya saja, keadaan sakit merupakan sebab lahirnya keringana hukum melaksanakan taklif, apabila orang yang sakit itu tidak mampu melaksanakan taklif syara secara penuh. Misalnya, orang yang sakit boleh tidak berpuasa dibulan ramadhan dengan cara menggantinya setelah sembuh dari sakitnya. Allah berfirman pada surah al-Baqarah 286: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (kejahatan yang dikerjakannya).

BAB IIIPENUTUPKesimpulan Kata Hakim yang berasal dari Bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia, yang maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa Arab, yaitu: orang yang memutuskan dan menetapkan hukum; yang menetapkan segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu. Adapun menurut terminologi ushul fiqh, kata hakim menunjuk pihak yang menciptakan dan menetakan hukum syariat secara hakiki. Dalam hali ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat bagi seluuh hamba-Nya. Maka sesungguhnya yang berhak memutuskan salah dan tidak bersalahnya sesungguhnya hanya milik allah. Setiap perbuatan yang kita perbuat dimuka bumi apapun itu baik yang baiok dan yang melanggar ketentuan hukum didalam islam nantinya akan dimintai pertangguyng jawaban. Dan sesengguhnya pemutusan yang seadil adilnya itu nanti kelak di akhirat.

Daftar pustakaSiddiq,saifudin. Ushul fiqh.jakarta:karisma putra utama,2011 cet.ke1Rahman dahlan,abd.ushul fiqh jakarta:amzah 2010Saebani, Beni Ahmad. 2009. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia.Syafei, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia.

1