kebijakan pendidikan keagamaan islam di indonesia …

171
KEBIJAKAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM DI INDONESIA (STUDI TENTANG PP RI NO. 55 TAHUN 2007) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Oleh: Fadly Mart Gultom NIM. 1110011000039 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

(STUDI TENTANG PP RI NO. 55 TAHUN 2007)
Skripsi
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana
Pendidikan Islam (S.Pd.I)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Fadly Mart Gultom (NIM: 1110011000039). Kebijakan Pendidikan
Keagamaan Islam di Indonesia (Studi tentang PP RI No. 55 Tahun 2007)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebijakan pengelolaan
pendidikan keagamaan Islam dalam PP RI No. 55 Tahun 2007 dalam perspektif
kebijakan publik.
kebijakan (policy research). Penelitian kebijakan terdiri dari, yaitu: penelitian
untuk kebijakan, dan penelitian tentang kebijakan. Penelitian ini menggunakan
yang penelitian tentang kebijakan (research of policy) yang memfokuskan pada
penelitian rumusan kebijakan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
dokumentasi dan wawancara. Sumber dari dokumentasi tersebut terdiri dari dua,
yaitu: sumber primer dan sumber sekunder. Pendekatan wawancara yang
digunakan adalah pendekatan petunjuk umum wawancara. Teknik analisis data
yang digunakan adalah analisis isi (content analysis). Teknik analisis isi dalam
penelitian ini adalah dengan membandingkan isi/rumusan PP RI No. 55 Tahun
2007 mengenai pendidikan keagamaan Islam dengan teori kebijakan publik.
Untuk melaksanakan teknik analisis isi tersebut, maka langkah-langkah yang
digunakan adalah dengan menyeleksi sumber data yang relevan, menyusun item-
item yang spesifik, mengurai data atau menjelaskan data, sehingga berdasarkan
data tersebut dapat ditarik pengertian-pengertian dan kesimpulan-kesimpulan.
Hasil penelitian yang ditemukan tentang rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007
terkait pendidikan keagamaan Islam perspektif kebijakan publik adalah: (1)
Rumusannya ditinjau dari bentuk kebijakan publik adalah bentuk kebijakan
formal, yaitu perundang-undangan, (2) Rumusannya ditinjau dari tingkatan
kebijakan publik adalah kebijakan tingkatan messo, yaitu penjelas kebijakan
tingkatan mikro (umum) dalam hal ini adalah UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, (3) Rumusannya ditinjau dari tujuan kebijakan
publik adalah lebih banyak bersifat regulatif, yaitu mengatur dan membatasi, dan
bersifat memperkuat negara daripada memperkuat publik, (4) Rumusannya
ditinjau dari ciri-ciri kebijakan publik yang ideal adalah berkualitas biasa saja,
karena hanya memiliki dua ciri dari tiga ciri kebijakan publik yang ideal, yaitu
cerdas dan memberikan harapan. Rumusannya jika ditinjau dari ciri bijaksana
tidak memenuhi, karena rumusannya memiliki kekurangan yang dapat
menimbulkan masalah baru.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan rasa syukur peneliti ucapkan atas kehadirat Allah SWT,
Tuhan semesta alam yang telah memberikan nikmat rohani, nikmat jasmani, dan
nikmat rezeki. Sehingga peneliti dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul
Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia (Studi tentang PP RI No. 55
Tahun 2007). Selawat dan salam juga peneliti ucapkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW, suri tauladan umat yang telah membawa perubahan bagi
peradaban manusia.
Pada kesempatan ini juga peneliti ingin mengucapakan terima kasih kepada
seluruh pihak yang berperan penting dalam penyelesaian studi peneliti di Jurusan
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Mereka antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Dra. Nurlena Rifa’i, M. A, Ph. D, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK), UIN Jakarta, atas asuhan dan kepemimpinannya selama
peneliti menempuh studi di FITK hingga selesai.
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag; dan Marhamah Saleh, Lc, M. A, sebagai
Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, FITK, UIN Jakarta,
atas bimbingannya dan kepemimpinannya selama peneliti menempuh
perkuliahan di Jurusan Pendidikan Agama Islam.
3. Prof. Dr. H. Armai Arief, M. Ag, sebagai Dosen Penasihat Akademik yang
telah memberikan bimbingannya selama peneliti menempuh perkuliahan di
Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4. Muhammad Zuhdi, M. Ed, Ph. D, sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang
telah meluangkan waktunya dalam membimbing dan memberikan ilmunya
kepada peneliti dalam penulisan skripsi.
5. Prof. Dr. H. A. Syafi’ie Noor dan Dr. Sapiudin Shidiq, M. Ag, sebagai penguji
skripsi dalam sidang ujian munaqasah yang telah memberikan kritik dan saran
untuk perbaikan skripsi ini.
6. Prof. Dr. H. Husni Rahim, yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti
untuk mewawancarainya.
vi
7. Tanenji, M. A, sebagai Dosen Pembimbing PIQI yang telah meluangkan
waktunya dalam membimbing PIQI peneliti hingga lulus; Drs. Rusydi Jamil,
M. Ag, sebagai Dosen Pembimbing PPKT yang telah membimbing peneliti
bagaimana menjadi guru hingga lulus ujian PPKT; Iwan Permana Suwarna,
M. Pd, sebagai Dosen Praktikum Komputer yang telah membimbing dan
memberikan ilmunya dalam kegiatan praktik komputer; dan para dosen
Jurusan Pendidikan Agama Islam, FITK, UIN Jakarta yang telah memberikan
bimbingan dan ilmunya.
8. Orang Tua peneliti, Mamak dan Bapak yang telah mengasuh, membesarkan,
mendidik, mendoakan, memberikan materiil dan moril, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan serangkaian pendidikan dari pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi sarjana strata satu. Semoga Allah SWT, selalu memberikan
kesehatan dan umur yang panjang kepada Mamak dan Bapak. Walaupun
dalam kata pengantar ini Mamak dan Bapak dalam urutan kedelapan, tetapi
sebenarnya Mamak dan Bapak ada diurutan ketiga setelah Allah SWT, dan
Rasulullah Muhammad SAW. Mak, Pak, Ku persembahkan skripsi ini untuk
Mamak dan Bapak.
9. Kepada keluarga besar peneliti yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.
Terkhusus kepada Kak Roma, Bang Doli, Kak Sane, Bang Cen, Bang Rien,
dan Adikku Fauzan yang telah memberikan dukungan moril maupun materiil
kepada peneliti. Skripsi ini juga Ku persembahkan untuk kalian.
10. Kepada sahabat peneliti, Hendriansyah Belitungi, yang telah menjadi sahabat -
yang sudah peneliti anggap sebagai saudara- yang telah memberikan bantuan
dan dukungan moril selama peneliti menempuh perkuliahan hingga
menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya, kepada seluruh teman seperjuangan
Angkatan 2010 Kelas A Jurusan Pendidikan Agama Islam, FITK, UIN
Jakarta, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu (semoga kita tetap
menjalin silaturahmi walaupun sudah berpisah nantinya), dan kepada Fahmi
Faishal Cileungsi yang telah membantu peneliti untuk bisa membaca kitab
gundul (walaupun belum bisa seutuhnya), tetapi Alhamdulillah, dengan
bantuannya peneliti dapat lulus ketika diuji baca kitab gundul saat ujian
komprehensif keislaman.
Semoga Allah SWT, menjadikan setiap bantuan materiil dan moril yang
mereka berikan kepada peneliti dijadikan amal ibadah, dan diberikan balasan yang
lebih baik dari Allah SWT. Terakhir, semoga rahmat Allah SWT, selalu menyertai
kita. Amin.
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH ....................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 10
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian......................................................... 12
E. Metode Penelitian ................................................................................ 12
F. Hasil Penelitian yang Relevan............................................................. 16
A. Kebijakan Publik ................................................................................ 18
2. Ciri-ciri Kebijakan Publik yang Ideal ............................................. 21
3. Bentuk-bentuk Kebijakan Publik ................................................... 23
4. Tingkatan Kebijakan Publik ........................................................... 27
5. Tujuan Kebijakan Publik ................................................................ 28
B. Hubungan Politik, Kebijakan Publik, dan Pendidikan ........................ 30
C. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia ....................... 31
1. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia pada
Masa Kolonial Belanda .................................................................. 32
Masa Kolonial Jepang .................................................................... 34
Masa Pemerintahan Orde Lama ..................................................... 36
ix
Masa Pemerintahan Orde Baru ...................................................... 39
5. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia pada
Masa Pemerintahan Orde Reformasi.............................................. 43
BAB III PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM DALAM PP RI NO. 55
TAHUN 2007
A. Sekilas Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia ............................ 48
B. Latar Belakang Diundangkan PP RI No. 55 Tahun 2007 ................... 53
C. Penjelasan PP RI No. 55 Tahun 2007 mengenai Pendidikan
Keagamaan Islam ................................................................................ 56
D. Implementasi PP RI No. 55 Tahun 2007 ............................................ 63
BAB IV PP RI NO. 55 TAHUN 2007 PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK
A. PP RI No. 55 Tahun 2007 Ditinjau Berdasarkan Bentuk Kebijakan
Publik .................................................................................................. 66
B. PP RI No. 55 Tahun 2007 Ditinjau Berdasarkan Tingkatan
Kebijakan Publik ................................................................................. 67
C. PP RI No. 55 Tahun 2007 Ditinjau Berdasarkan Tujuan Kebijakan
Publik .................................................................................................. 70
D. PP RI No. 55 Tahun 2007 Ditinjau Berdasarkan Ciri-ciri Kebijakan
Publik yang Ideal ................................................................................. 74
masa pemerintahan Indonesia yang sudah berlangsung dalam tiga masa, yaitu:
orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Indonesia memiliki tiga undang-
undang yang mengatur sistem pendidikan nasional, yaitu: UU RI No. 4 Tahun
1950 Jo UU RI No. 12 Tahun 1954 pada masa orde lama; UU RI No. 2 Tahun
1989 pada masa orde baru, dan UU RI No. 20 Tahun 2003 pada masa orde
reformasi.
pendidikan nasional keberadaannya terbagi atas tiga hal. Pertama, pendidikan
Islam sebagai lembaga. Kedua, pendidikan Islam sebagai mata pelajaran.
Ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai.” 1
Tiga hal tersebut di atas dalam sejarah sistem pendidikan nasional
tidaklah secara langsung termaktub dalam undang-undang sistem pendidikan
nasional. Tiga hal tersebut mengalami perkembangan dari masa ke masa yang
tidak terlepas dari permasalahan. Butuh waktu lima puluh delapan tahun
(1945-2003) agar tiga hal tersebut termaktub dalam undang-undang sistem
pendidikan nasional. Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, barulah
pada UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tiga hal
tersebut secara utuh termaktub.
yang ditetapkan pemerintah pada kenyataannya sering mendapat kritikan dari
berbagai lapisan masyarakat. Kritikan itu sangat beragam, ada yang
menekankan aspek peraturan perundangan, proses implementasi dan dampak
1 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. I, h. 108.
2
masyarakat, dan aspek-aspek lain.” 2
Pendidikan Islam dalam UU RI No. 4 Tahun 1950 Jo UU RI No. 12
Tahun 1954 memiliki permasalahan dalam hal pendidikan Islam sebagai mata
pelajaran. Permasalahannya adalah rumusan mengenai pengajaran agama di
sekolah-sekolah negeri yang tercatum dalam Bab XII Pasal 20 ayat (1)
sebagaimana yang dikutip Abd. Halim Soebahar: “Dalam sekolah-sekolah
negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah
anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.” 3 Berdasarkan ayat tersebut
artinya pengajaran agama Islam di sekolah negeri hanyalah mata pelajaran
yang tidak wajib padahal Indonesia adalah negara yang berketuhanan,
sebagaimana pada sila pertama pancasila, ditambah lagi Indonesia sebagai
bangsa yang penganut Islam terbesar di dunia.
Kekhawatiran yang lebih besar adalah pengajaran agama di sekolah
swasta tergantung masing-masing sekolah, karena undang-undang tersebut
tidak menjelaskan pelaksanaan pengajaran agama di sekolah swasta.
Sebagaimana pernyataan Abd. Halim Soebahar, “Bagi sekolah swasta yang
dikelola organisasi Islam PAI cenderung diberikan, tetapi bagi yang dikelola
non Muslim besar kemungkinan PAI ditiadakan.” 4
Pada tahun 1951, Menteri PP dan K dengan Menteri Agama
mengeluarkan peraturan bersama yang berisi tiap-tiap sekolah rendah dan
lanjutan diberikan pendidikan agama. Selanjutnya, pada tahun 1966,
pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib, sebagaimana TAP MPRS
No. 27 tahun 1966 yang dikutip Muhaimin, “Pendidikan agama menjadi mata
pelajaran pokok dan wajib diikuti murid/mahasiswa sesuai dengan agama
masing-masing”. 5
tidak jelas dalam sistem pendidikan nasional saat itu (sebelumnya lahirnya
2 Nusa Putra dan Hendarman, Metodologi Penelitian Kebijakan, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012), Cet. I, h. 93.
3 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU
Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), Cet. I, h. 128.
4 Ibid.
5 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: Pusat Studi Agama,
Politik dan Masyarakat (PSAPM), 2004), Cet. II, h. 87.
3
SKB tiga menteri tahun 1975). Saat itu lulusan madrasah belum diakui oleh
pendidikan umum, sehingga lulusan madrasah tidak dapat pindah maupun
melanjutkan ke pendidikan umum yang lebih tinggi. Keadaan yang demikian
membuat madrasah dan lulusannya dipandang sepele oleh masyarakat.
Pada tahun 1975, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Menteri
Agama, dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran mengeluarkan kebijakan
berbentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 tentang Peningkatan Mutu
Pendidikan Madrasah yang menghasilkan kesepakatan bahwa madrasah
menduduki posisi yang sama dengan sekolah umum.
Lalu, permasalahan yang dihadapi pendidikan Islam dalam UU RI No. 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah masalah pengakuan
pendidikan Islam sebagai lembaga. Permasalahannya adalah secara
nomenklatur belum tertulis nama lembaga dari jenis pendidikan Islam, karena
dalam UU Sisdiknas 1989 hanya menyebutkan bahwa dalam jenis pendidikan
terdapat pendidikan keagamaan. Sehingga pendidikan keagamaan Islam yang
bagaimana bentuknya, belum jelas dalam undang-undang tersebut.
Status MI, MTs dan MA sama dengan sekolah umum dalam UU
Sisdiknas 1989 tidak tertulis, padahal telah ditetapkan SKB 3 Menteri tahun
1975 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah. Status kesamaan
tersebut baru terlihat dalam bentuk peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut
dari pasal 12, 13, dan 15 UU Sisdiknas 1989, yaitu: PP RI No. 28 Tahun 1990,
PP RI No. 29 Tahun 1990. 6 Selain itu, madrasah diniyah dan pesantren belum
diakomodir dalam undang-undang tersebut.
Islam dalam sistem pendidikan nasional masih belum kuat. Apalagi
pendidikan Islam yang secara kurikulum lebih khusus kepada materi agama,
seperti madrasah diniyah dan pesantren. Statusnya hanya sebatas peraturan
menteri agama yang mana kekuatan hukumnya masih rendah jika dilihat
dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.
6 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. I, h. 111.
4
Keadaan di atas menjadi sungguh ironi, karena pendidikan Islam di
Indonesia yang telah memberikan konstribusinya dalam mencerdaskan
bangsa, namun peraturan perundang-undangan yang mengatur pendidikan
Islam sejak Indonesia merdeka hingga tahun 2003 belum mendapatkan
pengakuan atau pada masa lalu itu legalitas yang mengatur pendidikan Islam
lemah, terutama pengakuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren sebagai
lembaga. Hal tersebut sebagaimana penjelasan Prof. Husni Rahim, sebagai
berikut:
Aspek hukum atau legalitasnya pendidikan yang di bawah Kemenag pada
masa lalu itu lemah. Pendidikan keagamaan baru diakui pada UU RI No. 20
Tahun 2003. Pada UU RI No. 4 Tahun 1950 sebagai UU Sisdiknas pertama,
pendidikan keagamaan atau madrasah belum menjadi bagian dari sistem
pendidikan nasional, sehingga pendidikan keagamaan bukan menjadi
tanggung jawab pemerintah, maka pendanaannya tidak ada, bantuan pada
gurunya juga tidak ada, kalaupun ada hanya sekadarnya. Kemudian, karena
pendidikan keagamaan tidak tanggung jawab negara, tidak dapat bantuan
dari negara, tidak dapat fasilitas apa pun maka lulusannya kalah bersaing.
Lulusan yang kalah bersaing itu tidak dilirik atau dianggap orang sekadar
pelengkap atau tidak utama. 7
Kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam yang
memiliki legalitas yang kuat sangat perlu ditetapkan oleh pemerintah, karena
sebagaimana penjelasan Prof. Husni di atas bahwa lemahnya legalitas
memberikan dampak yang tidak baik untuk lulusan pendidikan keagamaan
Islam. Oleh karena itu, dengan memiliki legalitas yang kuat dapat diharapkan
pemerintah bertanggung jawab sebagaimana tanggung jawabnya terhadap
pendidikan umum.
kebutuhan diharapakan dapat membawa perubahan yang lebih baik.
Lulusannya yang sebelumnya kalah bersaing dengan pendidikan umum,
diharapkan dengan adanya anggaran lulusannya dapat bersaing dengan lulusan
pendidikan umum dan mendapatkan pengakuan yang baik oleh masyarakat
umum. Oleh sebab itu, sangat diperlukan kebijakan pemerintah yang mengatur
7 Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014.
5
status yang sama antara pendidikan keagamaan Islam sebagai lembaga dengan
pendidikan umum dalam sistem pendidikan nasional.
Empat belas tahun sejak UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, lahirlah UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Undang-undang yang baru ini telah mengatur
pendidikan Islam sebagai mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga,
dan pendidikan Islam sebagai nilai.
Undang-undang tersebut sebelum pengesahan mendapatkan perdebatan
yang sengit sebelum diakui dalam bentuk undang-undang, terutama berkaitan
dengan istilah pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, pengakuan
kesetaraan pendidikan diniyah dan pesantren dengan pendidikan formal dan
sebagainya. 8
pendidikan Islam daripada undang-undang sebelumnya, karena dalam undang-
undang ini pendidikan Islam sebagai lembaga, mata pelajaran, dan nilai telah
dicatumkan pada undang-undang tersebut. Menurut Abdul Karim Lubis, “Saat
undang-undang ini disahkan, kontra datang dari kalangan non-muslim, karena
mereka menganggap undang-undang ini hanya untuk kepentingan beragama
bukan kepentingan kebangsaan.” 9
kabijakan negara disebabkan, karena:
Perbedaan orientasi dan cara pandang berkenaan posisi dan peran agama
dalam kehidupan bernegara. Perbedaan pandangan tentang peran agama
dalam kehidupan kenegaraan dalam konteks Indonesia bermula sejak masa
prakemerdekaan. Perbedaan cara pandang itulah yang juga mewarnai
perdebatan dalam melahirkan kebijakan negara tentang pendidikan,
terutama berkaitan dengan pendidikan agama dan keagamaan (pendidikan
Islam). 10
8 Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 137.
9 Abdul Karim Lubis, “Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan Islam di Era Reformasi:
Studi UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003”, Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009, h. 5.
Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2009), h. vii.
Pada undang-undang yang baru ini, penyebutan nomenklatur MI, MTs,
dan MA lebih jelas dan begitu juga dengan statusnya sebagai sekolah umum
yang berciri khas Islam telah setara dengan pendidikan umum. Tentu, hal ini
membawa MI, MTs, dan MA dalam kebijakan pemerintah menduduki
kedudukan kuat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu,
kedudukan pendidikan agama menduduki posisi pertama dalam kurikulum
nasional yang sebelumnya pada UU Sisdiknas 1989 menduduki posisi kedua
setelah pendidikan pancasila.
undang yang baru tersebut, yaitu adanya penjelasan pendidikan keagamaan
yang lebih jelas dibandingkan penjelasan pendidikan keagamaan pada UU
Sisdiknas 1989. Pasal 30 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, menjelaskan sebagai berikut:
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-
nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan
formal, nonformal, dan informal.
pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah. 11
Penjelasan pendidikan keagamaan dalam pasal dan ayat di atas lebih jelas
dibandingkan dengan Undang-Undang Sisdiknas tahun 1989, sebagaimana
tertulis dalam Pasal 11 ayat (6), “Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan
yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang
menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang
bersangkutan”.12
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas merupakan undang-undang
pertama sejak Indonesia merdeka yang menyebutkan secara khusus
11 Pasal 30 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
12
Pasal 11 ayat (6) UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
7
disebutkan apa saja jenis pendidikan keagamaan Islam, yaitu pendidikan
diniyah dan pesantren.
Berdasarkan pada Pasal 30 ayat (5) di atas, ketentuan lebih lanjut tentang
pendidikan keagamaan diatur oleh peraturan pemerintah. Perintah ayat
tersebut baru direalisasikan oleh pemerintah setelah empat tahun dari
diundangkannya UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Peraturan
Pemerintah itu adalah PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan pada 5 Oktober 2007. 13
Peraturan Pemerintah tersebut menjadi penjelas untuk menjalankan UU
Sisdiknas 2003 dalam penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam di tanah
air. Peraturan Pemerintah tersebut selayaknya memberikan penjelasan yang
lebih dibandingkan penjelasan dalam UU Sisdiknas 2003 tentang pendidikan
keagamaan Islam. Walaupun demikian, masih ada saja permasalahan yang
timbul, yang hingga saat ini masih dihadapi pendidikan keagamaan Islam di
tanah air.
keagamaan dengan pendidikan umum semakin jelas. Kesetaraan ini ternyata
juga menimbulkan dampak negatif, yaitu bisa menimbulkan pergeseran
pandangan masyarakat tehadap pendidikan keagamaan Islam yang pada
awalnya untuk memperoleh pengetahuan agama saja, lalu lebih bergeser
menjadi untuk mencari pengakuan atau ijazah. Menurut Abd. Halim Soebahar,
“Semula, mereka belajar semata-mata untuk tafaqquh fiddin, setelah kebijakan
diimplementasikan berubah menjadi tafaqquh fiddin wad dun ya. Orientasi
belajar peserta didik yang mendua tersebut, akan menyebabkan konsentrasi
belajar peserta didik juga mendua, tidak fokus, jarang yang mendalam kedua-
keduanya, yang banyak terjadi justru kurang mendalam keduanya.” 14
Ahmad Faris Wijdan menyimpulkan sebagaimana dikutip oleh Abd.
Halim Soebahar, “Jika dikaji dari perspektif sistem pendidikan nasional, maka
eksistensi kelembagaan madrasah diniyah, eksistensi kurikulum madrasah
diniyah, eksistensi pendidik madrasah diniyah, maupun eksistensi penilaian
13
PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. 14
Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 190.
8
pendidikan di madrasah diniyah belum memenuhi standar sistem pendidikan
nasional yang ditetapkan dalam PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.” 15
pendidikan keagamaan Islam di Indonesia hingga saat ini. Menurut Prof.
Husni Rahim kualitas pendidikan keagamaan Islam di Indonesia hingga saat
ini belum mampu bersaing dengan pendidikan umum. Sedangkan, kualitas
pendidikan itu menurut Prof. Husni Rahim adalah menjadi tolak ukur
masyarakat menilai pendidikan, dan dengan kualitaslah pendidikan itu dapat
bersaing. Jika kualitas pendidikan itu lemah, maka pendidikan itu tidak akan
dilirik orang atau bahkan tidak dianggap. Oleh sebab itu, menurut Prof. Husni
Rahim, kualitas menjadi permasalahan yang hingga saat ini masih dihadapi
pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. 16
Menteri Agama Suryadharma Ali pada tanggal 21 Februari 2012
menetapkan PMA RI No. 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan
Islam dan kemudian diundangkan pada tanggal 23 Februari 2012 sebagai
kebijakan yang lebih operasional tentang pendidikan keagamaan Islam dari
PP RI No. 55 Tahun 2007, tetapi belum ditidaklanjuti dalam bentuk
action/sosialisasi, pada tanggal 19 Juni 2012 Menteri Agama telah
menetapkan PMA No. 9 Tahun 2012 tentang Pencabutan PMA No. 3 Tahun
2012. 17
Apa alasan dari pencabutan PMA tersebut tidak jelas dan ini tentu
sangat disayangkan.
Kemudian, setelah dua tahun dari pencabutan PMA RI No. 3 Tahun
2012, Menteri Agama yang baru dilantik Presiden SBY, yaitu Lukman Hakim
Saifuddin menetapkan PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan
Keagamaan Islam pada tanggal 18 Juni 2014 dan diundangkan pada tanggal
itu juga. 18
Dengan demikian, kebijakan yang lebih operasional dari PP RI No.
55 Tahun 2007 tentang pendidikan keagamaan Islam di Indonesia tidak ada
selama tujuh tahun. Padahal, sebagaimana pernyataan Abd. Halim Soebahar,
15
Ibid., h. 86. 16
Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014. 17
Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 94. 18
PMA RI No. 13 Tahun 2004 tentang Pendidikan Keagamaan Islam.
9
“Dalam logika yudisial, sifat imperatif suatu produk hukum akan efektif jika
diterjemahkan melalui rambu-rambu lain sebagai produk hukum pendukung
yang sampai ke tangan praktisi pendidikan.” 19
Kemudian, permasalahan yang masih dihadapi pendidikan keagamaan
Islam adalah mengenai statusnya dalam sistem desentralisasi atau otonomi
daerah. Menurut Abd. Halim Soebahar, “Kementerian Agama RI, sampai saat
ini belum memiliki kejelasan status madrasah dalam konteks otonomi
daerah.” 20
diskriminatif. Azyumardi Azra menyatakan:
instansi vertikal-yang tidak termasuk didesentralisasikan-pemerintah
daerah dan DPRD (provinsi, kabupaten/kota) tidak dapat/tidak bersedia
memberikan anggaran rutin kepada madrasah, termasuk tambahan insentif
kepada guru madrasah. Padahal, madrasah adalah lembaga pendidikan di
mana anak bangsa juga mendapatkan pendidikannya-sama dengan sekolah
umum di bawah Kemendikbud. Perlakuan diskriminatif ini masih terus
berlanjut tanpa ada usaha kongkret dari Kementerian Agama untuk
menyelesaikannya. 21
pendidikan keagamaan Islam. Jika keadaan ini terus terjadi, maka kualitas
pendidikan Islam akan semakin tertinggal dengan pendidikan umum.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka saya berkeinginan untuk
melakukan penelitian yang berkaitan dengan kebijakan pendidikan
keagamaan Islam di Indonesia, yaitu PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang merupakan sebagai
acuan operasional UU RI No. 20 Tahun 2003 yang berkaitan tentang
pendidikan keagamaan Islam, dengan judul: “KEBIJAKAN PENDIDIKAN
KEAGAMAAN ISLAM DI INDONESIA (STUDI TENTANG PP RI NO.
55 TAHUN 2007)”.
Ibid., h. 123. 21
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2012), Cet. I, h. 98.
10
sebagai berikut:
1. Kualitas Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia masih lemah jika
ditinjau dari standar nasional pendidikan, sehingga belum mampu
bersaing dengan pendidikan umum. Sebagaimana hasil penelitian yang
menyimpulkan bahwa eksistensi madrasah diniyah sebagai bagian dari
pendidikan keagamaan Islam dalam perspektif sistem pendidikan
nasional belum memenuhi standar sistem pendidikan nasional yang
ditetapkan dalam PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
2. Sejumlah kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pada
kenyataannya sering mendapat kritikan dari berbagai lapisan masyarakat.
3. Selama empat tahun tidak ada kebijakan operasional dari UU RI No. 20
Tahun berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam dan selama tujuh
tahun pula tidak ada kebijakan tentang pendidikan keagamaan Islam yang
lebih operasional dari PP RI No. 55 Tahun 2007 berkaitan dengan
pendidikan keagamaan Islam. Padahal, dalam logika yudisial, sifat
imperatif suatu produk hukum akan efektif jika diterjemahkan melalui
rambu-rambu lain sebagai produk hukum pendukung yang sampai ke
tangan praktisi pendidikan.
4. PP RI No. 55 Tahun 2007 memerlukan kebijakan yang lebih operasional
sebagai pendukung pelaksanaan. Maka, ditetapkanlah PMA No. 3 Tahun
2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam sebagai penjelas PP RI No.
55 Tahun 2007. Tetapi, PMA tersebut dicabut oleh Menteri Agama
Suryadharma Ali dengan menetapkan PMA No. 9 Tahun 2012 tentang
Pencabutan PMA No. 3 Tahun 2012. Padahal, belum ada tindaklanjut
dari PMA No. 3 Tahun 2012 berupa action/sosialisasi. Kemudian, dua
tahun dari setelah pencabutan PMA No. 3 Tahun 2012, Menteri Agama
yang baru dilantik Presiden SBY, yaitu Lukman Hakim Saifuddin
menetapkan PMA No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan
Islam pada tanggal 18 Juni 2014.
11
anggaran. Padahal, status pendidikan keagamaan Islam telah disamakan
dengan pendidikan umum. Hal tersebut terjadi, karena pendidikan
keagamaan Islam berada di bawah naungan Kementerian Agama,
sedangkan Kementerian Agama adalah instansi vertikal-yang tidak
termasuk didesentralisasikan-, sehingga pemerintah daerah dan DPRD
(provinsi, kabupaten/kota) tidak dapat/tidak bersedia memberikan
anggaran rutin kepada madrasah, termasuk tambahan insentif kepada
guru madrasah.
1. Pembatasan Masalah
pembatasan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu
sebagai berikut:
pendidikan keagamaan Islam di Indonesia perspektif kebijakan publik.
b) Perspektif kebijakan publik yang dimaksud adalah ditinjau berdasarkan
bentuk kebijakan publik, tingkatan kebijakan publik, tujuan kebijakan
publik, dan ciri-ciri kebijakan publik yang ideal.
c) Kebijakan pendidikan keagamaan Islam yang akan diteliti adalah PP
RI No. 55 Tahun 2007.
d) Pendidikan Keagamaan Islam yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah sebagaimana yang dimaksud pada rumusan Pasal 14 ayat (1) PP
RI No. 55 Tahun 2007, “Pendidikan keagamaan Islam berbentuk
pendidikan diniyah dan pesantren.”
Bagaimana kebijakan pengelolaan pendidikan keagamaan Islam
dalam PP RI No. 55 Tahun 2007 dalam perspektif kebijakan publik?
12
1. Tujuan penelitian
pengelolaan pendidikan keagamaan Islam dalam PP RI No. 55 Tahun
2007 dalam perspektif kebijakan publik.
2. Kegunaan penelitian
pelaksana maupun pemerhati pendidikan Keagamaan Islam.
b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pembelajaran dalam
menetapkan kebijakan pendidikan yang lebih baik lagi.
c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi menambah khazanah
keilmuan tentang pendidikan keagamaan Islam di Indonesia.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
penelitian kebijakan (policy research). Menurut Riant Nugroho,
Penelitian kebijakan adalah penelitian dengan objek suatu kebijkan
tertentu. Penelitian kebijakan dapat dikelompokkan menjadi, yaitu:
Pertama, penelitian untuk kebijakan, dalam arti penelitian untuk
merumuskan suatu kebijakan, baik sebagai suatu kebijakan baru
ataupun kebijakan revisi. Kedua, penelitian tentang kebijakan, yaitu
penelitian tentang suatu kebijakan tertentu dengan dimensi penelitian
berkenaan dengan rumusan kebijakan, termasuk di dalamnya proses
perumusan dan dinamika di dalamnya; implementasi kebijakan,
termasuk dinamika di dalamnya, termasuk di dalamnya bagaimana
kebijakan dikendalikan, baik dari sisi monitoring, evaluasi, maupun
pengganjarannya; kinerja kebijakan, termasuk dinamika di dalamnya,
dari sejak output atau keluaran, atau hasil yang dirasakan atau
dinikmati organisasi publik, hingga outcome atau impak atau hasil
yang dirasakan atau dinikmati oleh publik dan umpan balik kepada
organisasi publik; dan lingkungan kebijakan, baik lingkungan
kebijakan pada saat perumusan, implementasi, maupun pada waktu
kebijakan berkinerja. 22
h. 49-50.
penelitian tentang kebijakan, yaitu penggunaan pendekatan dan strategi
penelitian dalam ranah kebijakan terkait dengan perumusan kebijakan,
rumusan kebijakan, desiminasi kebijakan, implementasi kebijakan,
kinerja kebijakan, lingkungan kebijakan, dan dampak kebijakan. 23
Penelitian kebijakan sangat beragam. Menurut Nusa Putra dan
Hendarman, “Keberagaman itu berakar pada kenyataan banyak
pendekatan dan strategi penelitian yang digunakan untuk dan dalam
penelitian kebijakan.” 24
kebijakan, maka dalam penelitian ini hanya fokus pada penelitian tentang
rumusan kebijakan.
Penelitian tentang isi/rumusan kebijakan adalah penelitian untuk
menilai suatu kebijakan dari sisi muatan atau isinya. Menurut Nusa Putra
dan Hendarman, “Rumusan kebijakan bisa dikaji dengan analisis isi, baik
yang bersifat kuantitatif, kulitatif, maupun komparatif, metaanalisis, dan
studi banding yang bersifat historis antara rumusan kebijakan itu dengan
kebijakan sejenis dalam rentang waktu tertentu.” 25
2. Teknik Pengumpulan Data
adalah sebagai berikut, yaitu:
peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan,
gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen
23 Nusa Putra dan Hendarman, Metodologi Penelitian Kebijakan, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012), Cet. I, h. 77.
24
(life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan.” 26
Dalam pengumpulannya langkah-langkah yang digunakan:
1) mengumpulkan data-data yang diperoleh dari sumber primer dan
sekunder.
3) menyusun seluruh data yang diperoleh sesuai dengan urutan
pembahasan yang telah direncanakan.
dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak,
yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu.” 27
ini adalah wawancara pendekatan menggunakan petunjuk umum
wawancara.
Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat
kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan tidak
perlu ditanyakan secara berurutan. Demikian pula penggunaan dan
pemilihan kata-kata untuk wawancara dalam hal tertentu tidak
perlu dilakukan sebelumnya. Petunjuk wawancara hanyalah berisi
petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk
menjaga agar pokok-pokok yang dirancanakan dapat seluruhnya
tercakup. Tidak ada perangkat pertanyaan baku yang disiapkan
terlebih dahulu. Pelaksanaan wawancara dan pengurutan
pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden dalam konteks
wawancara yang sebenarnya. 28
yang memahami atau ahli dalam kebijakan pendidikan Islam di
Indonesia, yaitu Prof. Dr. Husni Rahim yang merupakan Guru Besar
26 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
(Bandung: CV Alfabeta, 2011), Cet. XIII, h. 329.
27
2013), Cet. XXI, h. 186.
28
pernah menjabat Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama). Tugas
utama yang diembannya ketika itu adalah menangani masalah
kebijakan dan pengambilan keputusan bagi pengembangan
pendidikan Islam.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua sumber,
yaitu: sumber primer dan sekunder.
a. Sumber primer
menganalisis penelitian tersebut.
ini adalah sebagai berikut:
1) UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2) PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan.
3) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
4) PP RI No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan PP RI No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
5) PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan
Islam.
langsung berhubungan dengan sumber primer atau penelitian.
Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-
bahan pustaka, seperti: buku-buku, koran, majalah, karya-karya
ilmiah, artikel, internet, maupun wawancara dengan narasumber
16
adalah untuk memberikan informasi atau pengetahuan tambahan.
4. Teknik Analisis Data
analysis). Menurut Amirul Hadi dan Haryono:
Penelitian dengan metode analisis isi digunakan untuk memperoleh
keterangan dari isi komunikasi, yang disampaikan dalam bentuk
lambang yang terdokumentasi atau dapat didokumentasikan. Metode
ini dapat dipakai untuk menganalisis semua bentuk komunikasi,
seperti pada surat kabar, buku, puisi, film, cerita rakyat, peraturan
perundang-undangan, dan sebagainya. 29
membandingkan isi/rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 mengenai
pendidikan keagamaan Islam dengan teori kebijakan publik. Untuk
melaksanakan teknik analisis isi tersebut, maka langkah-langkah yang
digunakan adalah dengan menyeleksi sumber data yang relevan,
menyusun item-item yang spesifik, mengurai data atau menjelaskan data,
sehingga berdasarkan data tersebut dapat ditarik pengertian-pengertian
dan kesimpulan-kesimpulan.
Penelitian tentang kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam di
Indonesia bukankah penelitian yang baru. Ada beberapa peneliti yang telah
melakukan penelitian tentang hal tersebut, di antaranya:
Fauzan, dalam tesisnya yang berjudul Kebijakan Pemerintah terhadap
Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Indonesia: Suatu Analisis
Kebijakan dalam Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Penelitiannya
mengkaji kebijakan-kebijakan pemerintah pada Orde Lama dan Orde Baru
tentang persoalan kurikulum, sumber daya manusia, sarana prasarana, dan
persoalan anggaran yang dilihat dari sisi historis dan manajemen yang terjadi
29 Amirul Hadi dan Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan II, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 1998), Cet. I, h. 175.
17
kebijakan yang diterapkan pemerintah Orde Lama dan Orde Baru mampu
menciptakan PTAIN yang lebih inklusif atau eksklusif. Hasil penelitiannya
adalah ia menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Lama dan
Orde Baru sangat berpengaruh terhadap proses penciptaan kondisi PTAIN
yang lebih inklusif, terbuka, dan lebih memberi peluang kepada para lulusan
perguruan tinggi ini. 30
Studi UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Penelitiannya bertujuan untuk
mengetahui apa yang melatarbelakangi pemerintah, apa tujuan pemerintah,
dan apa implikasinya pemerintah mengakomodasi lembaga-lembaga
pendidikan Islam dalam UU Sisdiknas tahun 2003. Ia membatasi pendidikan
Islam sebagai lembaga yaitu madrasah, madrasah diniyah, dan pondok
pesantren. Hasil penelitiannya adalah ia menemukan bahwa kebijakan politik
pendidikan pemerintah era reformasi mengakomodasi lembaga-lembaga
pendidikan Islam cenderung murni berasal dari keputusan politik pemerintah
itu sendiri, tanpa ada lobi-lobi, intervensi dan desakan dari eksternal. Lalu,
implikasinya adalah diposisikannya madrasah (sekolah umum berciri khas
Islam) sebagai komponen utama dalam sistem pendidikan nasional dan
diintegrasikannya pendidikan diniyah dan pondok pesantren ke dalam sistem
pendidikan nasional. 31
Sedangkan penelitian ini fokus pada bagaimana rumusan PP RI No. 55
Tahun 2007 mengenai pendidikan keagamaan Islam perspektif kebijakan
publik, karena belum ada sepengetahuan peneliti, penelitian yang secara
khusus mengkaji PP RI No. 55 Tahun 2007 mengenai pendidikan keagamaan
Islam perspektif kebijakan publik. Oleh karena itu, hal tersebut layak untuk
diteliti.
30 Fauzan, “Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
di Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan dalam Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru”, Tesis
pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, tidak dipublikasikan.
31
Abdul Karim Lubis, “Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan Islam di Era Reformasi:
Studi UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003”, Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009, tidak dipublikasikan.
A. Kebijakan Publik
dapat ditelusuri dari literatur kebijakan tentang ketatanegaraan yang
menganggap bahwa ilmu kebijakan sering dianggap lebih dekat kepada
Administrasi Negara dibandingkan dengan Ilmu Politik.” 1
Solochin menyatakan bahwa:
publik itu ternyata bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Kemungkinan
penyebab dari kesukaran ini, karena kebijakan publik itu sendiri -sebagai
bidang kajian- seumpamanya hamparan lahan garapan, bukan hanya terdiri
dari satu petak dan satu lapis dengan satu penggarap melainkan terdiri dari
berlapis lahan-lahan garapan dari sekian banyak penggarap. 2
1. Definisi Kebijakan Publik
publik, di antaranya adalah sebagi berikut:
Definisi yang sering dikutip dan hampir selalu dapat kita jumpai di
setiap buku teks yang ditulis oleh para ahli adalah yang dikemukakan
oleh Thomas R. Dye sebagaimana dikutip oleh Riant Nugroho,
“Kebijakan publik ialah whatever governments choose to do or not to do
(pilihan tindakan apa pun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh
pemerintah). Namun, meski cukup akurat, ia sebenarnya tidak cukup
memadai untuk mendeskripsikan substansi atau esensi kebijakan publik
yang sesungguhnya.” 3
1 Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
Cet. I, h. 31. 2 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model
Implementasi Kebijakan Publik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), Cet. I, h. 11. 3 Solichin, op.cit., h. 14.
19
Riant Nugroho, “Kebijakan publik adalah antar hubungan yang
berlangsung di antar unit/satuan pemerintahan dengan lingkungannya.” 4
Menurut Wilson kebijakan publik sebagaimana dikutip oleh Riant
Nugroho, “Tindakan-tindakan, tujuan-tujuan, dan pernyataan pemerintah
mengenai masalah-masalah tertentu, langkah-langkah yang telah/sedang
diambil (atau gagal diambil) untuk diimplementasikan, dan penjelasan-
penjelasan yang diberikan oleh mereka mengenai apa yang telah terjadi
(atau tidak terjadi).” 5
kebijakan publik sebagaimana dikutip oleh Riant Nugroho, “Serangkaian
keputusan yang yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor
politik atau sekolompok aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah
dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi.
Keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas
kekuasaan dari para aktor tersebut.” 6
Kemudian, Chief J. O. Udoji, seorang pakar dari Nigeria
mendefinisikan kebijakan publik sebagaimana dikutip oleh Riant
Nugroho, “Suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan
tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi sebagian besar warga
masyarakat.” 7
aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah-
masalah publik yang terjadi di lingkungan tertentu yang dilakukan aktor-
aktor politik yang hubungannya terstruktur. Keseluruhan proses aktivitas
itu berlangsung sepanjang waktu.” 8
4 Ibid., h. 11.
sebagaimana yang dikutip Solichin,
amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau
sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau
kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini
mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman
bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai
aktivitas-aktivitas tertentu, atau suatu rencana. 9
Yoyon Bahtiar merumuskan, “Kebijakan merupakan segala
perbuatan yang dikehendakai pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan yang dirumuskan dalam suatu kebijakan, untuk mencapai
tujuan yang hendak dicapai melalui program-program pemerintah.” 10
M. Solly Lubis mendefinisikan public policy (kebijakan publik),
“Serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh
pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat.” 11
Ia
institutions, public management, public sevice, public servant, dan public
bureaucracy. Istilah public menunjukkan sifat-sifat yang umum dan
berarti bukan masalah-masalah pribadi (individu/privat). 12
Kebijakan publik sebagai public interest karena kepentingan yang
dilayani di sini adalah kepentingan-kepentingan publik, maka yang aktif
dan bekerja dalam hal ini ada beberapa lembaga publik yang dinamakan
public institutions. Oleh karena itu, untuk keberhasilan dan
penyelenggaraan pelayanan kepentingan umum ini harus ada manajemen
(pengelolaan) yang dijalankan lembaga-lembaga atau jabatan resmi,
secara tersistem dan terarah. Manajemen yang dilakukan oleh jabatan-
jabatan resmi itu disebut public management. Manajemen itu bertujuan
melakukan pelayanan (service) kepada masyarakat dalam pelayanan
9 Ibid., h. 9.
10 Yoyon, op.cit., h. 34.
11 M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007), Cet. I, h. 9.
12 Ibid., h. 1.
terhadap masyarakat itu disebut public service. Para pejabat negara dan
seluruh aparatur pemerintahan harus bersikap sebagai pelayan kepada
masyarakat atau disebut public servant. Aparatur pemerintah yang
melakukan pelayanan umum itu dikendalikan melalui biro-biro, di mana
sering dinamakan kelompok birokrat dan ini disebut public
bureaucracy. 13
menyatakan bahwa kebijakan publik, “Keputusan yang dibuat oleh
negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan
tujuan dari negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi
untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat
pada masa transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-
citakan.” 14
Kita bisa menemukan lebih dari selusin definisi dari kebijakan
publik, dan tidak ada dari satu definisi tersebut yang keliru, semuanya
benar dan saling melengkapi. Hanya satu hal yang perlu dicatat,
beberapa ilmuwan sosial di Indonesia menggunakan istilah
kebijaksanaan sebagai kata ganti dari policy. Perlu diketahui,
kebijaksanaan bukanlah kebijakan, karena (ke)bijkasana(an) adalah
salah satu dari ciri kebijakan publik yang unggul.” 15
2. Ciri-ciri Kebijakan Publik yang Ideal
Kebijakan publik itu pada hakikatnya merupakan sebuah aktivitas
yang unik (a unique activity), dalam arti ia mempunyai ciri-ciri tertentu
yang agaknya tidak dimiliki oleh kebijakan jenis lain. Ciri-ciri khusus
yang melekat pada kebijakan-kebijakan publik bersumber pada
kenyataan bahwa kebijakan itu lazimnya dipikirkan, didesain,
13
Ibid. 14
H. A. R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami
Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), Cet. I, h. 184. 15
Riant Nugroho, Metode Penelitian Kebijakan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), Cet. II,
h. 6.
sistem politik. 16
kebijakan publik yang ideal, yaitu yang unggul, mempunyai tiga ciri
utama, yang sekaligus dijadikan kriteria, yaitu:
a. Cerdas.
permasalahannya. Kebijakan yang harus cerdas (intelligent) yang
secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu cara yang mampu
menyelesaikan masalah sesuai dengan masalahnya sehingga
sebuah kebijakan harus disusun setelah meneliti data dan
menyusunnya dengan cara-cara yang ilmiah.
Kecerdasan membuat pengambil keputusan kebijakan publik
fokus pada isu kebijakan yang hendak dikelola dalam kebijakan
publik daripada popularitasnya sebagai pengambil keputusan
kebijakan.
besar daripada masalah yang dipecahkan. Kebijaksanaan
membuat pengambil keputusan kebijakan publik tidak
menghindarkan diri dari kesalahan yang tidak perlu.
c. Memberikan harapan.
seluruh warga bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik
dari hari ini. Dengan memberikan harapan, maka kebijakan publik
menjadi a seamless pipe of transfer of prosperity dalam suatu
kehidupan bersama.
hukum publik berkenaan dengan larangan-larangan yang tidak
boleh dilanggar oleh publik, agar kehidupan bersama berjalan
dengan tertib, sementara kebijakan publik utamanya berkenaan
dengan kepentingan publik, bukan semata-mata kepentingan
negara. Karena itu, ukuran ketiga dari kebijakan ideal adalah
memberikan harapan bagi publik, baik yang menjadi pemanfaat
maupun konstituan secara luas. 17
Jika tiga ciri utama kebijakan yang unggul di atas dibuat dalam
bentuk tabel, maka dapat dijadikan alat ukur sederhana kualitas kebijakan
publik sebagai berikut:
Solichin, op.cit., h. 17-18. 17
Riant Nugroho, Public Policy, Edisi V, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), h.
744-745.
23
Kebijakan
Kebijakan B Ya Tidak Tidak Buruk
Kebijakan C Ya Ya Tidak Biasa
Kebijakan D Ya Ya Ya Unggul
Sumber: Riant Nugroho dalam bukunya Public Policy. 18
Riant Nugroho menjelaskan bahwa:
tidak layak menjadi sebuah kebijakan, dan kalau perlu dihapus. Kalau
hanya satu jenis, kebijakan itu pun masih buruk. Kalau dua kriteria,
masuk kategori kebijakan biasa saja. Selanjutnya, kebijakan yang
memenuhi tiga kriteria, adalah kebijakan yang baik dan nilai baik di
sini adalah nilai unggul atau excelleence. 19
3. Bentuk-bentuk Kebijakan Publik
Kebijakan formal adalah “keputusan-keputusan yang
dikodifikasikan secar tertulis dan disahkan atau diformalkan agar
dapat berlaku. Kebijakan publik diformalkan dalam bentuk legal-
legal tidak senantiasa identik dengan hukum.” 20
Kebijakan publik
Jika hukum itu „menghukum (to punish) dan membatasi (to limit);
kebijakan itu mengarahkan (to direct) membimbing (to guide) dan
mengelola (to govern). Kebijakan publik tidak mengesampingkan
hukum, karena hukum adalah salah satu bentuk formal kebijakan
publik. 21
18
Ibid., h. 70.
dengan usaha-usaha pembangunan nasion, baik berkenaan
dengan negara maupun masyarakat atau rakyat. Karena
berkenaan dengan pembangunan, maka perundang-undangan
lazimnya bersifat menggerakkan, maka wajarnya ia bersifat
mendinamiskan, mengantisipasi, dan memberi ruang bagi
inovasi. 22
Anglo-Saxon, yang berupa keputusan legislatif dan keputusan
eksekutif; dan pola Kontinental, yang biasanya terdiri dari pola
makro, messo, dan mikro. 23
UU RI No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, pada Pasal 7, mengatur jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan, sebagai berikut:
(b) TAP MPR
(d) Peraturan Pemerintah
(e) Peraturan Presiden
membuktikan bahwa Indonesia masih menganut model
Kontinentalis yang diwariskan oleh Belanda saat masa
penjajahannya di Indonesia. Model Kontinentalis
dikelompokkan kebijakan publik menjadi tiga, yaitu:
(a) Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau
mendasar, yang lazim diterima mencakup UUD, TAP
MPR, UU/Perpu.
25
atau penjelas pelaksanaan yang lazim diterima mencakup
PP dan Perpres.
yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari
kebijakan di atasnya yang lazim diterima mencakup
Perda-Perda. 24
2) Hukum.
adalah untuk menciptakan ketertiban publik. Khasanah
hukum biasanya mencakup pidana, perdata, tata negara, dan
hukum khusus, termasuk di dalamnya hukum penindakan
korupsi dan hukum militer. Hal ikhwal hukum wajarnya
berkenaan dengan keputusan-keputusan hukum, yang terdiri
dari: keputusan mediasi atau keputusan kesepakatan di antara
pihak yang bersengketa; keputusan pengadilan atau
keputusan yang ditetapkan oleh hakim melalui proses
keadilan, dan; keputusan judisial atau keputusan oleh
lembaga yang berada di atas lembaga pembuat keputusan
pengadilan, misalnya Mahkamah Agung. 25
3) Regulasi.
berkenaan dengan alokasi asset dan kekuasaan negara oleh
Pemerintah -sebagai wakil lembaga negara- kepada pihak non-
pemerintah, termasuk di dalamnya lembaga bisnis dan nirlaba.
Regulasi yang bersifat umum adalah pemberian izin atau lisensi
kepada suatu organisasi bisnis atau kemasyarakatan/nirlaba
untuk menyelenggarakan misi menjadi bagian untuk
membangun masyarakat. 26
khusus, yaitu regulasi yang berkenaan dengan tiga isu:
(a) Ada aset negara yang dikelola lembaga bisnis,
(b) Berupa infrastruktur publik atau utilitas yang bersifat
publik atau inklusif yang menghasilkan monopoli
(termasuk duopoli atau oligopoli) maupun monopoli,
24
Riant Nugroho, op.cit., h. 15.
26
monopoli (termasuk duopoli atau oligopoli) yang bersifat
alami. 27
(konvensi)
kebiasaan atau kesepakatan umum. Kebijakan ini biasanya
ditumbuhkan dari proses manajemen organisasi publik, contohnya
upacara rutin, SOP-SOP tidak tertulis, atau tertulis tetapi tidak
diformalkan. Ada konvensi yang ditumbuhkan dari aktor organisasi
publik, misalnya Pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus. Selain
itu, ada konvensi yang ditumbuhkan dari publik, contohnya
selamatan 17 Agustus, selamatan atas kejadian yang berkenaan
dengan kelembagaan publik. 28
Bentuk ketiga adalah pernyataan pejabat publik di depan publik.
Pernyataan pejabat publik harus dan selalu mewakili lembaga publik
yang diwakili atau dipimpinnya. Dengan demikian, setiap pejabat
publik harus bijaksana dalam mengemukakan pernyataan-pernyataan
yang berkenaan dengan tugas dan kewenangan dari lembaga publik
yang diwakilinya. 29
gaya dari pejabat publik. Kebijakan publik jenis ini merupakan
bentuk kebijakan yang paling jarang diangkat sebagai isu kebijakan.
Padahal, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia, pada
praktiknya, perilaku pejabat publik akan ditiru rakyat. 30
27
27
publik memiliki tingkatan-tingkatan, yaitu:
dalam pencapaian tujuan nasional. Wewenang dari MPR, dan
Presiden bersama-sama dengan DPR. Bentuk dari kebijakan
ini, yaitu: UUD,TAP MPR, UU, PERPU.
2. Kebijakan Umum
INPRES.
tugas di bidang tertentu. Wewenang dari menteri / pejabat
setingkat menteri dan pimpinan LPND (Lembaga Pemerintah
Non Departemen). Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: Peraturan,
Keputusan, Instruksi Pejabat tertentu. 31
b. Lingkup Wilayah/Daerah
1. Kebijakan Umum
Desentralisasi dalam rangka mengatur urusan Rumah Tangga
Daerah. Wewenang dari Kepala Daerah bersama DPRD.
Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: PERDA.
2. Kebijakan Pelaksanaan
Instruksi Kepala Wilayah. 32
masa penjajahannya di Indonesia. Tingkatan peraturan perundang-
undangan tersebut masih dianut Indonesia hingga sekarang. Model
Kontinental dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
31
Tri Widodo Wahyu Utomo, Pengantar Kebijakan Publik (Introduction to Public Policy),
(Bandung: STIA LAN Bandung, 1999), h. 9. 32
Ibid., h. 10.
a. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar,
yang lazim diterima mencakup UUD, TAP MPR, UU/Perpu.
b. Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau
penjelas pelaksanaan yang lazim diterima mencakup PP dan
Perpres.
mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di
atasnya yang lazim diterima mencakup Perda-Perda. 33
Model Kontinentalis yang masih dianut Indonesia tersebut
mengakibatkan kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah berbentuk
top down. Artinya, sebuah kebijakan dapat full implemented setelah
sekian banyak kebijakan pelaksanaannya siap, misalnya, UU Sisdiknas
2003. Kebijakan ini mengamanatkan perlunya dua undang-undang dan
lebih kurang dua belas PP sebagai penerjemahan kebijakan di atas, di
antaranya tentang standardisasi pendidikan, hak-hak anak didik, peran
swasta dalam pendidikan, dan otonomi pendidikan. 34
5. Tujuan Kebijakan Publik
tujuan untuk mengatur kehidupan bersama. Tujuan dari kebijakan publik
dapat dibedakan dari sisi sumberdaya atau risorsis, yaitu antara kebijakan
publik yang bertujuan men-distribusi sumberdaya negara dan yang
bertujuan menyerap sumberdaya negara. Jadi, pemahaman pertama
adalah absorbtif versus distributif. 35
Kebijakan absorbtif adalah kebijakan yang menyerap sumberdaya,
terutama sumberdaya ekonomi dalam masyarakat untuk dijadikan modal
atau biaya untuk mencapai tujuan bersama. Termasuk di dalamnya
adalah kebijakan perpajakan. Kebijakan distributif, yaitu kebijakan yang
secara langsung atau tidak langsung alokasi sumberdaya-sumberdaya
material maupun non material ke seluruh masyarakat. Kebijakan
33
Ibid., h. 55. 35
sumberdaya. 36
kebijakan tarif, kebijakan pengadaan barang dan jasa, kebijakan HAM,
kebijakan proteksi industri, dan sebagainya. Kebijakan deregulatif
bersifat membebaskan, seperti kebijakan privatisasi kebijakan
penghapusan tarif, dan kebijakan pencabutan daftar negatif investasi. 37
Ketiga dari tujuan kebijakan publik adalah dinamisasi versus
stabilisasi. Kebijakan dinamisasi adalah kebijakan yang bersifat
menggerakkan sumberdaya nasion untuk mencapai kemajuan tertentu
yang dikehendaki. Misalnya, kebijakan desentralisasi, kebijakan zona
industri eksklusif, dan lain-lain. Kebijakan stabilisasi bersifat mengerem
dinamika yang terlalu cepat agar tidak merusak sistem yang ada, baik
sistem politik, keamanan, ekonomi, dan sosial. 38
Keempat dari tujuan kebijakan publik adalah memperkuat negara
versus memperkuat pasar. Kebijakan yang memperkuat negara adalah
kebijakan-kebijakan yang mendorong lebih besar peran negara sementara
kebijakan memperkuat pasar atau publik adalah kebijakan yang
mendorong lebih besar peran publik atau mekanisme pasar daripada
peran negara. Kebijakan memperkuat negara, misalnya kebijakan tentang
pendidikan nasional yang menjadikan negara sebagai pelaku utama
pendidikan nasional daripada publik. Kebijakan yang memperkuat pasar,
misalnya kebijakan privatisasi BUMN, kebijakan perseroan terbatas, dan
lain-lain. 39
Setiap sistem politik membuat kebijakan publik. Bahkan dapat dikatakan
bahwa produk utama dari sistem dan proses politik adalah kebijakan publik. 40
Politik berasal dari kata Yunani, yaitu Politea dan diperkenalkan pertama kali
oleh Plato (347 SM) dengan makna hal ikhwal mengenai negara dan
dikembangkan oleh muridnya Aristoteles (322 SM) yang memahami politik
sebagai seni mengatur dan mengurus negara. Ini merupakan makna pertama
tentang politik. Di sini politik kemudian dipahami sebagai kegiatan suatu
sistem politik atau negara untuk mencapai tujuan bersama. Pemahaman ini
menjadi pemahaman yang paling universal, termasuk di antaranya untuk
memahami kebijakan-kebijakan tertentu sebagai upaya merealisasikan tujuan
tersebut. 41
power. Pemahaman kedua ini banyak dipergunakan untuk memahami
perilaku animalis dari para elit politik, dibandingkan pemahaman pertama
yang melihat politik sebagai sebuah proses menuju tujuan yang telah
ditetapkan bersama. 42
mempunyai minimal lima komponen utama. Pertama, komponen lembaga-
lembaga negara. Kedua, komponen rakyat sebagai warga negara. Ketiga,
wilayah yang diakui kedaulatannya. Keempat, komponen kebijakan publik. 43
Setiap negara modern dipastikan mempunyai konstitusi, peraturan
perundangan, keputusan kebijakan sebagai aturan main hidup bersama.
Negara tanpa komponen kebijakan publik ini menjadi negara gagal, karena
kehidupan bersama diatur oleh seseorang atau sekelompok orang saja, yang
bekerja seperti tiran dengan tujuan memuaskan kepentingan diri dan/atau
kelompoknya saja. Pada dimensi kebijakan publik inilah, kita memulai
pemahaman tentang arti penting kebijakan publik pada konteks makro negara.
40
Cet. I, h. 1. 41
Tilaar, op.cit., h. 260. 42
Ibid., h. 262. 43
31
berkehendak untuk dapat mengendalikan rakyat. 44
Pendidikan merupakan di antara bagian dari politik dan kebijakan publik.
Para pembuat kebijakan publik, yaitu pejabat publik merupakan bagian dari
politik. Mereka merupakan hasil dari aktivitas politik. Maka, kebijakan publik
dalam bidang pendidikan merupakan hasil dari kegiatan politik.
Hubungan antara pendidikan dan politik juga dapat dilacak dalam sejarah
Islam sejak masa pertumbuhan paling subur dalam lembaga pendidikan
Islam, semacam madrasah. Sepanjang sejarah, terdapat hubungan amat erat
antara pendidikan dan politik. Kenyataan ini, misalnya, dapat dilihat dari
pendirian banyak madrasah di Timur Tengah yang disponsori penguasa
politik. Contoh paling terkenal adalah Madrasah Nizamiyah di Baghdad yang
didirikan sekitar 1064 oleh Wazir Dinasti Saljuk, Nizam al-Mulk; di
madrasah ini terkenal bahwa pemikir dan ulama besar, al-Ghazali, pernah
menjadi guru besar. 45
yakni keputusan negara atau pemerintah sebagai strategi untuk mencapai cita-
cita negara. Cita-cita Indonesia sebagaimana dalam pembukaan UUD Negara
RI 1945 di antaranya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.
No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan keagamaan adalah berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami
dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu
agama, maka dapat diartikan bahwa kebijakan pendidikan keagamaan Islam
adalah keputusan negara atau pemerintah berkaitan untuk mempersiapkan
44
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III, Edisi I, (Jakarta: Kencana, 2012), Cet. I, h. 69.
32
nilai-nilai ajaran agama Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam.
Kebijakan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia mengalami
dinamika yang luar biasa mengalami tantangan. Dinamika dan perubahan itu
dapat dilihat dalam sejarah Indonesia, yaitu: masa penjajahan,
pascakemerdekaan yang terdiri dari: masa pemerintahan orde lama, masa
pemerintahan orde baru, dan masa pemerintahan orde reformasi.
1. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam pada Masa Kolonial
Belanda.
(VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat.
Maksudnya semula untuk berdagang, namun kemudian haluannya
berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia. 46
Ketika bangsa Belanda pertama kali menginjakkan kakinya di
Nusantara yang dimulai dengan melakukan monopoli kegiatan perniagaan
di bawah sebuah badan bernama VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie), tahun 1602-1799 lalu diikuti masa penjajahan pemerintahan
kolonial Belanda mulai tahun 1799, tidak dapat disangkal, bahwa kegiatan
dan misi keagamaan golongan Kristen telah jalan barsama, baik dilakukan
oleh pejabat VOC atau pejabat pemerintahan kolonial, oleh Zendig
(Kristen Protestan) dan Misionaris (Katolik). 47
Pemerintahan kolonial Belanda pada masa penjajahannya dalam
mengkristenkan penduduk pribumi terlihat dari kebijakan pemerintahan
kolonial Belanda. Kegiatan Zendig dan Misionaris yang telah berjaya di
masa VOC semakin leluasa menancapkan kukunya di beberapa kawasan
Indonesia Timur. Juga di kawasan Barat. 48
46
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002), Cet. II, h. 192. 47
Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, (Jakarta: Yayasan Ngali &
Penamadani, 2010), Cet. I, h. 49. 48
Ibid., h. 51.
pendidikan bagi penduduk pribumi, pejabat dan pemerintah kolonial
Belanda, lebih memilih sekolah-sekolah yang didirikan oleh Zendig dan
Misionaris untuk diadopsi menjadi model pendidikan bagi penduduk
pribumi. Mereka tidak menjadikan sistem pendidikan pesantren/diniyah
dan madrasah sebagai model, karena mereka menilai sistem pendidikan
pesantren/diniyah dan madrasah terlalu buruk. Di dalamnya hanya
diajarkan agama, bahasa Arab, dan al-Quran. Di pesantren dan madrasah
tidak diperkenalkan huruf latin. Guru-gurunya pun tidak bisa membaca
dan menulis huruf Latin. Padahal, sekolah-sekolah Zendig dan Misionaris,
pendidikannya juga agama dan guru-gurunya juga tidak profesional di
bidang pendidikan, melainkan pendeta dari tamatan lembaga pendidikan
keagamaan Kristen. 49
bentuk dan model pendidikan penduduk pribumi, di samping alasan teknis
adalah alasan politik dan alasan keagamaan.” 50
Pada tahun 1882 M, pemerintah Belanda membentuk suatu badan
khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan
Islam yang disebut Pristerraden. Atas nasihat dari badan inilah maka
pada tahun 1905 M, pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya
bahwa orang yang memberikan pengajaran harus minta izin lebih
dahulu, 51
pada perkembangan berikutnya Ordonansi Guru tahun 1905 itu akhirnya
dicabut karena dianggap tidak relevan lagi. 52
Maka, pada tahun 1925 M,
pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap
pendidikan agama Islam, yaitu tidak semua orang (Kyai) boleh
49
Ibid., h. 52. 50
Ibid., h. 53. 51
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), Cet. VII, h. 149. 52
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. I, h. 35.
34
memberikan pelajaran mengaji, kebijakan ini disebut Ordonansi Guru
tahun 1925. Pada tahun 1932 M, keluar pula peraturan yang dapat
memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya
atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang
disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonante). 53
Jika dikaitkan dengan setting sosial-politik pada masa pemerintahan
kolonial Belanda, menurut Nurhayati Djamas:
Dikeluarkannya ketentuan Ordonansi Guru tampak jelas
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap
penyelenggaraan pendidikan Islam dan sepak terjang guru agama yang
akan memperluas pengembangan agama Islam melalui pendidikan.
Dengan perluasan itu, pemerintah Belanda juga mengkhawatirkan
implikasinya, yaitu makin meluasnya “sentimen antipenjajahan” dan
anti terhadap pemerintahan Belanda yang disuburkan dengan sentimen
keagamaan. 54
bahkan berupaya untuk meruntuhkan pendidikan Islam, termasuk
pendidikan keagamaan Islam
Jepang
Belanda dalam perang Dunia ke II. Mereka menguasai Indonesia pada
tahun 1942, dengan membawa semboyan: Asia Timur Raya untuk Asia
dan semboyan Asia Baru.
kekuatan untuk menghadapi perang Pasifik, perang Asia Timur Raya.
Kekuatan yang diharapkan itu adalah jumlah mayoritas umat Islam.
53
35
Pemerintahan Kolonial Jepang mengizinkan untuk membuka sekolah-
sekolah yang pernah diasuh Belanda. Bahkan Jepang juga mengizinkan
untuk membuka sekolah-sekolah yang diasuh badan-badan swasta,
termasuk di antaranya sekolah-sekolah Islam. 56
Kebijakan Jepang yang berkaitan dengan pendidikan Islam, di
antaranya sebagai berikut:
bantuan dari pembesar-pembesar Jepang.
Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan
Bung Hatta. 57
Goeroe Islam Indonesia. 58
secara umum terbengkalai, karena murid-murid sekolah setiap hari hanya
disuruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (romusha), barnyanyi,
dan lain sebagainya. Agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang
berada dalam lingkungan pondok pesantren yang bebas dari pengawasan
langsung pemerintah Jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren masih
dapat berjalan dengan agak wajar. 59
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemerintahan Jepang saat itu tidak mengebiri pendidikan Islam, seperti
yang dilakukan pemerintahan Belanda, karena Jepang saat itu disibukkan
dengan persiapan perang mereka.
Ibid. 57
Haidar, op.cit., h.38. 59
Zuhairini, op.cit., h. 152.
Orde Lama.
musuh-musuh Indonesia tidak diam, bahkan berusaha untuk menjajah
kembali. Pada bulan Oktober 1945 para ulama di Jawa
memproklamasikan perang jihad fisabilillah terhadap Belanda/sekutu. 60
Kebijakan dan politik pendidikan setelah kemerdekaan tidak lagi
mengandung nuansa pengawasan ketat yang mengebiri pendidikan Islam,
seperti yang berlaku pada masa pemerintahan Belanda. Dalam kebijakan
pendidikan pascakemerdekaan, ada upaya mengakui pendidikan Islam
sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang berhak mendapatkan
fasilitas dari pemerintah seperti pengadaan guru. 61
Empat bulan setelah proklamasi, yaitu tepatnya tanggal 29 Desember
1945. BKNIP (Badan Komite Nasional Indonesia Pusat) mengusulkan
kepada Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K)
untuk selekas mungkin mengusahakan pembaruan pendidikan dan
pengajaran dengan menggunakan pokok-pokok usaha pembaruan yang
pada prinsipnya sama dengan rancangan yang lahir bersama dengan UUD
1945, yaitu pendidikan agama dan kebudayaan, pendidikan untuk rakyat,
sekolah partikular swasta, kurikulum, susunan persekolahan, bahasa
Indonesa. Salah satu di antara usulan BKNIP adalah tentang pengajaran
agama. BKNIP mengusulkan pengajaran agama hendaklah mendapat
tempat yang teratur seksama dan mendapat perhatian yang semestinya
dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang
berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipeluknya. Dengan
terbentuknya Kementerian Agama, maka madrasah dan pesantren berada
di bawah binaan Kementerian Agama, sedangkan pengajaran agama di
sekolah-sekolah umum diatur dengan peraturan bersama Menteri P dan K
60
37
pesantren mendapat perhatian dan bantuan nyata dengan berupa tuntunan
dan bantuan dari pemerintah. 63
Berdasarkan usulan BKNIP mengenai pendidikan, maka Menteri P
dan K kedua, Mr. Suwandi membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran
yang diketuai Ki Hajar Dewantara (mantan Menteri P dan K), dengan
tugas, “(1) merencanakan rumusan persekolahan baru untuk semua
tingkat dan jenis. (2) menetapkan bahan-bahan pengajaran dengan
memperhatikan keperluan praktis dan tidak terlalu berat bagi murid-
murid. (3) menyiapkan rencana pelajaran untuk tiap tingkat dan jenis
sekolah yang diperinci tiap kelas.” 64
Hasil kerja Panitia Penyelidik Pengajaran yang berkaitan dengan
pelaksanaan pendidikan keagamaan Islam adalah pesantren dan madrasah
harus dipertinggi mutunya, dan tidak perlu bahasa Arab. 65
Kemudian untuk melaksanakan usulan dari BKNIP dan Panitia
Penyelidik Pengajaran, maka didirikanlah Kementerian Agama pada
tanggal 3 Januari 1946 66
dengan Penetapan Pemerintah No. 1/SD tanggal
3 Januari 1946 untuk mengurus masalah pendidikan agama dan masalah
urusan agama lain. 67
dikeluarkan pemerintah setelah kemerdekaan, yakni UU RI No. 4 Tahun
1950, belum secara spesifik memberikan ketentuan khusus dalam
pengaturan terhadap lembaga pendidikan Islam. Meskipun demikian,
undang-undang ini telah memberikan pengakuan terhadap kedudukan
sekolah agama, yakni seperti yang tercatum dalam Pasal 10 ayat (2)
undang-undang tersebut, bahwa “belajar di sekolah agama yang telah
62
Ibid., h. 74. 64
Ibid., h. 72. 65
Ibid., h. 74. 66
Abdul Rachman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi, dan Aksi,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 285. 67
Marwan Saridjo, op.cit., h. 76.
38
kewajiban belajar”. Sebelum ditetapkannya undang-undang tersebut,
Menteri Agama telah mengeluarkan ketentuan yang memberikan
pengakuan terhadap madrasah sebagai salah satu bentuk lembaga
pendidikan Islam, yakni Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946
yang ditetapkan pada tanggal 19 Desember tahun 1946 tentang pemberian
bantuan dan subsidi terhadap madrasah. 68
Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 kemudian
disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No. 7 Tahun 1952 yang
berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Peraturan ini membagi
madrasah menjadi tiga tingkatan, yaitu Madrasah Rendah yang kemudian
menjadi Madrasah Ibtidaiyah dengan masa belajar 6 tahun; Madrasah
Tingkat Lanjutan Pertama yang kemudian menjadi Madrsah Tsanawiyah
dengan masa belajar selama 3 tahun dan diikuti oleh lulusan madrasah
rendah; dan Madrasah Lanjutan Atas yang kemudian menjadi Madrasah
Aliyah dengan lama belajar 3 tahun dan diikuti lulusan Madrasah
Tsanawiyah. 69
pendidikan Islam, seperti madrasah dan pesantren dalam peraturan
perundang-undangan sangat penting. Karena, dengan penyebutan
nomenklatur madrasah dan pesantren dalam peraturan perundang-
undangan akan menperjelas kedudukan madrasah dan pesantren. Jika
hanya sekadar penyebutan “sekolah agama” hanya akan menimbulkan
pemahaman yang berbeda, sehingga tujuan dari suatu keputusan itu tidak
dapat berjalan semestinya.
Penyebutan sekolah agama tersebut dapat dilihat pada pasal 2 ayat (1)
UU No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954, tidak menyebutkan
kata madrasah atau pesantren melainkan sekolah agama, sebagaimana
disebutkan: “Undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan
68
ayat (2) disebutkan: “Pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah
agama dan pendidikan masyarakat masing-masing ditetapkan dalam
undang-undang lain”. Sayangnya, sampai undang-undang ini diganti,
undang-undang organik itu tidak kunjung terlaksana. Selanjutnya,
penyebutan sekolah agama juga terdapat pada pasal 10 ayat (2)
disebutkan: “Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan
dan Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”. 70
Kebijakan pemerintah untuk madrasah diniyah sebagai bagian dari
pendidikan keagamaan Islam adalah Peraturan Menteri Agama No. 13
Tahun 1964. Pada PMA tersebut, madrasah diniyah dibagi dalam tiga
jenjang, yakni madrasah diniyah awwaliyah/ula (4 tahun); madrasah
diniyah wustha (3 tahun); dan madrasah diniyah „ulya (3 tahun).
Madrasah yang dibentuk tersebut hampir tidak memiliki efek terhadap
kelanjutan studi dan pengembangan profesi lulusan, sehingga hanya
sedikit peserta didik yang meminta ijazah formal dari institusi pendidikan
ini. 71
dalam sistem pendidikan nasional.
Orde Baru.
Lahirnya Orde Baru ditandai dengan lahirnya Surat Perintah 11 Maret
1966. Pemerintahan Orde Baru bertekad sepenuhnya untuk kembali
kepada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni. Pemerintah dan
rakyat akan membangun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, yakni membangun
bidang rohani dan jasmani untuk kehidupan yang baik, di dunia dan
70
Abdul Rachman Saleh, op.cit., h. 285-286. 71
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU
Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), Cet. I, h. 74.
40
akhirat sekaligus (simultan). Oleh karena itu, Orde Baru disebut juga
sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. 72
Marwan Saridjo berpandapat bahwa:
Pada masa ini ada ide untuk menyatukan pendidikan yang di bawah
naungan kementerian pendidikan dengan pendidikan yang di bawah
kementerian agama dalam satu atap. Karena, ada anggapan bahwa dua
macam lembaga pendidikan persekolahan di bawah dua kementerian
yang berlainan bidang statusnya, dapat mengakibatkan adanya dualisme
Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 73
Pada tahun 1972, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No.
34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang
dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama.
Keputusan Presiden tersebut diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974
tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut. Keppres dan Inpres
tersebut mendapatkan tantangan yang sangat keras dari kalangan Islam.
Kedua keputusan itu dipandang sebagai langkah untuk mengebiri tugas
dan peran Kementerian Agama dan bagian dari upaya sekularisasi yang
dilakukan pemerintah Orde Baru. Melihat reaksi kalangan Islam yang
menolak Keputusan Presiden tersebut akhirnya pada sidang kabinet
terbatas yang dilaksanakan pada tanggal 26 Oktober 1974, berkaitan
dengan hal tersebut Presiden Soeharto memberikan petunjuk sebagai
berikut:
kemajuan materiil dan spiritual yang seimbang, maka harus ada
keseimbangan antara pendidikan umum dan pendidikan agama.
b) pembinaan pendidikan umum adalah tanggung jawab Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan pendidikan agama berada
di bawah tanggung jawab Menteri Agama.
c) untuk melaksanakan Keppres No. 34 Tahun 1972 dan Inpres No.
15 Tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu ada kerja sama antara
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam
Negeri, dan Kementerian Agama. 74
72
Marwan Saridjo, op.cit., h. 107. 74
Nurhayati Djamasi op.cit., h. 183-184.
41
Tindak lanjut dari hasil sidang kabinet itu dibentuklah sebuah tim
yang anggota-anggotanya wakil dari Kementerian Agama, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, dan lembaga-
lembaga terkait untuk merumuskan konsep keputusan bersama yang
kemudian dikenal dengan SKB 3 Menteri, yaitu Menteri Agama (Mukti
Ali), Menteri Dalam Negeri (H. Amir Mahmud), dan Menteri Pendidikan
dan Kebudyaan (H. Syarif Thayeb). Judul SKB itu adalah “Peningkatan
Mutu Pendidikan Madrasah”. 75
Berdasarkan SKB 3 Menteri Tahun 1975, Bab I Pasal I,
menyebutkan: “Yang dimaksud dengan madrasah dalam Keputusan
Bersama ini ialah: Lembaga Pendidikan yang menjadikan mata pelajaran
agama Islam sebagai dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30%, di
samping mata pelajaran umum”. 76
Pengertian madrasah yang pada awalnya adalah lembaga pendidikan
Islam yang memberikan pengajaran agama Islam 100%, setelah SKB
tersebut berubah hanya memberikan pengajaran agama Islam 30%. SKB
3 Menteri tersebut menjadi pergeseran istilah madrasah menjadi sekolah
umum berciri khas Islam. Lembaga jenis itu bukanlah menjadi lembaga
pendidikan keagamaan Islam lagi. Karena, pendidkan keagamaan Islam
adalah pendidikan yang memberikan pengajaran agama Islam lebih
banyak daripada yang umum. Maka, madrasah yang murni memberikan
pengajaran agama Islam disebut madrasah diniyah yang merupakan
bagian dari pendidikan keagamaan Islam. Tetapi, pada saat itu statusnya
hanya sebagai pendidikan non formal atau pelengkap saja.
Terkait dengan pesantren, Menteri Agama Mukti Ali tahun 1974
telah mengeluarkan kebijakan mengenai pendidikan keterampilan di
pondok pesantren. Kebijakan ini timbul atas kritik beliau terhadap
pondok pesantren salafi yang sepenuhnya agama. Mukti Ali menilai hal
75
42
keterampilan tangan sebagai bekal untuk hidup setelah terjun di
masyarakat. Menurutnya secara ideal seorang santri harus mampu
menyerasikan antara otak (head), akhlak (heart), dan keterampilan
tangan (hand). 77
Tahun 1979 yang mengenai pengklasifikasian pondok pesantren menjadi
empat tipe, keempat tipe dalam peraturan tersebut bukan keharusan untuk
dimiliki pondok pesantren, karena varian pondok pesantren memang
sangat beragam. 78
dalam sistem pendidikan nasional. Sama halnya juga dengan madrasah
diniyah.
Pada masa Orde Baru lahirlah UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut menjadi undang-undang
kedua tentang sistem pendidikan nasional. Menurut Nurhayati Djamas,
UU No. 2 Tahun 1989 tersebut merupakan perwujudan dari misi
pemerintah dalam rangka mengatur tentang penyelenggaraan madrasah
dan pendidikan agama diarahkan pada konvergensi dan pengintegrasian
dualisme sistem pendidikan ke dalam satu sistem pendidikan nasional
yang menjadi acuan penyelenggaraan seluruh jenis dan jenjang
pendidikan. 79
penyelenggaraan pendidikan keagamaan sebagai salah satu jenis
pendidikan menengah pada pasal 15 ayat (2). Pada pasal 2 ayat (6)
disebutkan: “Pendidikan Keagamaan merupakan pendidikan yang
77
Ibid., h. 46-47. 79
43
Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Keagamaan sebagai disebut
dalam pasal 15 ayat (4) seperti halnya undang-undang organik dari UU
No. 4 Tahun 1950 Jo No. 12 Tahun 1954, juga tidak terselesaikan. 80
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti berpendapat bahwa
kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap pendidikan keagamaan Islam
belum mampu membuat posisi pendidikan keagamaan Islam diakui
dengan peraturan perundang-undangan yang jelas. Adapun kebijakan
yang ditetapkan hanya sekadar bagaimana pelaksanaan madrasah dan
pesantren.
Nasional, tidak ada kebijakan yang menjelaskan bagaimana posisi
pendidikan keagamaan Islam dalam sistem pendidikan nasional.
Lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 yang diharapkan mampu memposisikan
pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional ternyata belum juga
mampu memposisikannya dalam sistem pendidikan nasional. Walaupun
ada penyebutan pendidikan keagamaan sebagai pendidikan menengah,
tetapi penjelasan yang disebutkan dalam undang-undang tersebut tidak
menggambarkan pengakuan terhadap pendidikan keagamaan Islam,
bahkan peraturan pemerintah untuk memperjelas pendidikan keagamaan
pun tidak ada sampai lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Orde Reformasi.
oleh Wakil Presiden B.J. Habiebie menjadi Presiden menandai lahirnya
80
44
era reformasi. Lahirnya era reformasi itu disambut dengan sikap euforia
oleh komponen bangsa yang telah lama menginginkan perubahan, baik
masyarakat umum, kalangan birokrasi/eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. 81
pimpinan Gus Dur alias K.H. Abdurrahman Wahid. Di antara gebrakan
Gus Dur adalah melakukan perubahan nama Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan Nasional. Hal itu
dimaksudkan Gus Dur untuk menyatukan penyelenggaraan dan
pembinaan pendidikan yang ada di Indonesia di bawah satu atap atau
dalam satu tangan. 82
direalisasikan. Sebelum masa pemerintahannya yang formal habis, ia
telah dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden Indonesia. Maka,
dengan lengsernya Gus Dur, ide untuk menyatukan pembinaan dan
pengelolaan madrasah di bawah Kementerian Pendidikan Nasional masih
tetap sebagai wacana saja. 83
Masa pemerintahan Orde Reformasi ini lahirlah UU RI No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut
merupakan undang-undang pertama yang telah mengakomodir pendidikan
Islam dalam sistem pendidikan nasional. Prof. Husni Rahim menyatakan
bahwa dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 pendidikan Islam yang awalnya
belum diakui sudah diakui, madrasah dan pendidikan keagamaan sudah
menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. 84
RUU RI No. 20 Tahun 2003 untuk disahkan menjadi undang-undang
tidak berjalan dengan mulus. Muncul perdebatan dikalangan anggota
DPR. Perbedaan pola pikir dan kepentingan masing-masing golongan di
DPR yang ingin diakomodasi dalam Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional, termasuk soal pendidikan agama (pendidikan keagamaan).
81
Ibid., h. 150. 83
Ibid., h. 154. 84
Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014.
45
setuju pendidikan agama masuk dalam Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional. Demikian juga kelompok (kaum) Nasrani. Menurut
mereka, kalau memang pendidikan agama harus diselenggarakan di
sekolah-sekolah, cukup ditetapkan dengan peraturan di bawah undang-
undang, misalnya dengan SKB atau Keputusan Presiden yang dalam
strategi mereka, sewaktu-waktu, dapat dicabut tanpa melibatkan DPR. 85
Substansi yang diperdebatkan di DPR adalah yang berkaitan dengan
istilah-istilah mencerminkan pendidikan Islam, misalnya istilah
“pendidikan agama”, istilah “pendidikan keagamaan”. 86
Pro-kontra tidak bisa dihindari ketika RUU Sisdiknas
disosialisasikan, sehingga RUU yang semula akan disahkan sebagai kado
Hardiknas (2 Mei 2003) tertunda. Penundaan semula 20 Mei 2003
tertunda lagi, direncanakan 10 Juni tertunda lagi, dan akhirnya baru
disahkan 11 Juni 2003 tanpa kehadiran F-PDIP, selanjutnya diundangkan
8 Juli 2003, khususnya menyangkut pasal 12 (berkenaan dengan hak
peserta didik memperoleh pendidikan agama dan diajarkan oleh yang
seagama dengan peserta didik) yang dinilai sebagai poin yang paling
tersorot tajam dari kalangan karena menyangkut keyakinan seseorang.
Selanjutnya, pasal 37 secara berturut-turut dinyatakan bahwa kurikulum
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi wajib memuat pendidikan agama,
pendidikan kewarganegaraan, bahasa, dan untuk pendidikan dasar dan
menengah masih diwajibkan materi lainnya. Mereka yang kontra dengan
pasal tersebut menilai pasal tersebut tidak memperhatikan pluralitas dan
keberagaman. 87
Terlepas dari perdebatan ketika akan disahkan RUU RI 20 Tahun
2003. Umat Islam patut bersyukur, karena dari sejak penjajahan hingga
orde baru, pendidikan Islam kurang dapat perhatian penguasa dalam
diakuinya dalam sistem pendidikan nasional, sedangkan dalam undang-
85
Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 137. 87
Ibid., h. 138-139.
46
undang yang baru ini pendidikan Islam sudah sah menjadi bagian dari