kebijakan pemerintah kota depok terhadap...
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA DEPOK TERHADAP
PENINGKATAN KETAHANAN KELUARGA
(Studi Terhadap Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
TAUFIK HIDAYAT
11140440000060
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
Taufik Hidayat. NIM 11140440000060. KEBIJAKAN PEMERINTAH
KOTA DEPOK TERHADAP PENINGKATAN KETAHANAN KELUARGA
(STUDI TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 9
TAHUN 2017). Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440
H/2019 M. x halaman+68 halaman+57 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah
Kota Depok dalam rangka meningkatkan ketahanan keluarga. Studi ini termasuk
penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Normatif-
Empiris, yaitu menelaah ketentuan yang ada serta melihat apa yang melatarbelakangi
dibentuknya Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017 tentang
Peningkatan Ketahanan Keluarga serta mencari tahu bagaimana
pengimplementasiannya. Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara
dan telaah dokumentasi. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif
analisis, yaitu suatu teknik analisis data dimana penulis menjabarkan data yang telah
didapatkan kemudian disusun secara sistematis untuk dianalisis secara kualitatif
dalam bentuk uraian agar bisa ditarik kesimpulan mengenai permasalahan yang
sedang diteliti.
Hasil penelitian dapat diketahui bahwa latar belakang dibentuknya Peraturan
Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga
dapat digolongkan kedalam tiga bagian yaitu latar belakang filosofis, latar belakang
sosiologis, dan latar belakang yuridis. Latar belakang filosofis terbentuknya perda ini
adalah karena keluarga merupakan amanat dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa
sehingga perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya dalam mendapatkan hak-
haknya. Salah satu latar belakang sosiologis dibentuknya Perda ini adalah sebagai
salah satu upaya dari Pemerintah Kota Depok dalam menghadapi Bonus Demografi.
Secara yuridis sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
kelurga akan tetapi belum menajam sehingga masih diperlukan suatu aturan yang
mengikat banyak pihak agar mau bersama-sama bergandeng tangan mengokohkan
ketahanan keluarga. Terkait implementasi Perda Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017
tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga sudah ada beberapa program yang telah
dilaksanakan. Namun yang sangat disayangkan adalah belum adanya Petunjuk
Pelaksana Perda Ketahanan Keluarga serta Peraturan Wali Kota terkait Ketahanan
Keluarga. Mestinya hal-hal tersebut sudah ada sesuai dengan apa yang diamanahkan
dalam Perda Ketahanan Keluarga Tersebut.
Kata Kunci: Ketahanan Keluarga, Kebijakan Pemerintah, Peraturan Daerah.
Pembimbing : Dr. K.H.A. Juaini Syukri., Lc. M.A
Daftar Pustaka : 1988 s.d. 2018
vi
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, pembawa Syari’ahNya yang universal bagi semua umat manusia
dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis persembahkan secara khusus kepada kedua orang tua tercinta,
Bapak Slamet dan Ibu Mulyani, yang selalu memberikan bimbingan, dukungan, kasih
sayang, dan doa untuk kesuksesan penulis. Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan kesehatan, limpahan berkah, rahmat, dan kasih sayang-Nya kepada
mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan, namun syukur alhamdulillah berkat rahmat dan ridha-Nya, kesungguhan,
serta dukungan dan bantuan dari segala pihak, akhirnya skripsi ini dapat
terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. sebagai Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., sebagai Ketua Program Studi Hukum Keluarga
(Ahwal Syakhshiyyah), dan Indra Rahmatullah, SH.I., M.H., sebagai Sekretaris
Prodi. Terimakasih atas perhatian, pembinaan, arahan, serta bimbingan yang
telah diberikan selama ini.
3. Dr. K.H.A. Juaini Syukri., Lc. M.A., Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan
tulus meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan, koreksi, mendidik,
nasihat, dan arahan yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
vii
4. Hj. Rosdiana, M.A., sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa
membimbing, menasihati, dan arahan dari awal semester sampai tahap skripsi.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen pada lingkaran progrm studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama duduk di bangku kuliah.
6. Segenap jajaran staf Dinas Komunikasi dan Informatika dan Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi kota Depok yang telah memberikan data yang
diperlukan.
7. Segenap jajaran staf DPRD Depok, terkhusus kepada Fraksi PKS yang telah
memberi kesempatan untuk melakukan wawancara.
8. Segenap jajaran staf DPAPMK kota Depok yang telah memberi kesempatan
untuk melakukan wawancara.
9. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang dijadikan
referensi dalam penulisan skripsiini.
10. Orangtua tercinta, yaitu Bapak Slamet dan Ibu Mulyani yang telah mencurahkan
kasih sayang, doa setiap saat tanpa lelah, dan bimbingan motivasi yang terus
menerus diucap. Semoga mereka senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
11. Adik tersayang, Desi Aulia Rahmawati yang selalu menjadi penyemangat dikala
lelah melanda. Semoga kita menjadi anak yang membanggakan bagi kedua orang
tua.
12. Ani Rahmawati, Aks., sebagai Kepala Bidang Ketahanan Keluarga dan Keluarga
Berencana, Dinas Perlindungan Anak Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga
(DPAPMK) Kota Depok yang telah bersedia menjadi narasumber dan
memberikan informasi yang sangat berguna.
13. Farida Rachmayanti, S.E, M.Si., sebagai Ketua Pansus Perda Ketahanan
Keluarga depok dan Sekretaris Komisi D DPRD Depok yang telah meluangkan
waktu ditengah kesibukannya untuk menjadi narasumber yang memberikan
viii
informasi dengan sangat rinci.
14. Mas Azizy sebagai staf Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
kota Depok yang telah membantu dalam memperoleh sumber data penelitian.
15. Ibu Tiwi dan Mas Mahmud sebagai staf Fraksi PKS DPRD Depok yang telah
membantu penulis untuk audiensi.
16. Ahmad Dzakiyyuddin Mukhtar, S.H., dan Ahmad Luthfi, yang telah membantu
penulis dan berjuang bersama dibawah bimbingan Dr. H. A. Djuaini Syukri,
M.A.
17. Meidiana Lara Kharisma, S.H., Hidayatul Fitri, S.H., Ratih Afriana Ningsih,
Permata Syifa, Wilda Utami yang telah membantu penulis dalam menyusun
skripsi.
18. Teman-teman seperjuangan SAS B dan seluruh mahasiswa Hukum Keluarga
2014.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah
membimbing dan membantu penulis, mendapat balasan yang berlimpah ruah dari
Allah SWT. Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca
pada umumnya. Aamiin yaa Robbal ‘aalamiin.
Jakarta, 18 Maret 2019
Penulis
Taufik Hidayat
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ....................... 4
C. Tujuan dan Manfaat ....................................................................... 5
D. Tinjauan Studi Terdahulu .............................................................. 5
E. Metode Penelitian .......................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan .................................................................... 9
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN PUBLIK
DAN KETAHANAN KELUARGA
A. Kebijakan Publik ........................................................................... 10
B. Ketahanan Keluarga ....................................................................... 22
BAB III GAMBARAN UMUM KOTA DEPOK DAN PERATURAN
DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 9 TAHUN 2017
A. Gambaran Umum Kota Depok ...................................................... 29
B. Gambaran Umum Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun
2017 ............................................................................................... 33
x
BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA DEPOK TERHADAP
PENINGKATAN KETAHANAN KELUARGA
A. Latar Belakang Pembentukan Peraturan Daerah Kota Depok
Nomor 9 Tahun 2017 .................................................................... 42
B. Model Kebijakan Dalam Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9
Tahun 2017 .................................................................................... 48
C. Implementasi Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun
2017 ............................................................................................... 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 63
B. Rekomendasi ................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 66
LAMPIRAN ............................................................................................................. 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Upaya peningkatan pembangunan sosial tidak terlepas dari pentingnya
keluarga sebagai salah satu aspek penting pranata sosial yang perlu diperhatikan.
Bahkan menurut Soerjono Soekanto, keluarga merupakan salah satu lembaga
kemasyarakatan yang berkelompok karena kebutuhan pokok yang sama yaitu
kebutuhan kehidupan kekerabatan.1 Sabian Utsman menyebutkan bahwa dalam
masyarakat terdapat konsentrasi ikatan yang terdiri dari beberapa level,
diantaranya adalah individu, keluarga, kelompok atau organisasi, komunitas, dan
masyarakat.2 Selain itu, kekuatan pembangunan nasional berakar pada elemen
keluarga sebagai komunitas mikro dalam masyarakat. Keluarga sejahtera
merupakan pondasi dasar bagi keutuhan kekuatan dan keberlanjutan
pembangunan. Sebaliknya, keluarga yang rentan dan tercerai-berai mendorong
lemahnya pondasi kehidupan masyarakat bernegara.3
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam konteks
globalisasi, berpengaruh terhadap perubahan perilaku individu dan masyarakat.
Eksistensi individu dan keluarga telah menghadapi berbagai ancaman yang
bersumber dari berbagai dampak proses transformasi sosial yang berlangsung
sangat cepat dan tak terhindarkan. Banyak keluarga mengalami perubahan, baik
struktur, fungsi, dan peranannya. Dampak negatif transformasi sosial akan
1 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 1988),
Cet. 5, h. 57. 2 Sabian Utsman, Dasar-dasar Sosiologi Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), h. 161-162. 3 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan
Ketahanan Keluarga 2016, (Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2016), h. 1.
2
menggoyahkan eksistensi individu dan keluarga sehingga menjadi rentan atau
bahkan berpotensi tidak memiliki ketahanan.4
Upaya peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting untuk dilaksanakan
dalam rangka mengurangi atau mengatasi berbagai masalah yang menghambat
pembangunan nasional. Dengan diketahuinya tingkat ketahanan keluarga maka
dinamika kehidupan sosial keluarga sebagai salah satu aspek kesejahteraan
keluarga juga dapat diukur. Kondisi ketahanan keluarga menjadi gambaran
keadaan dan perkembangan pembangunan sosial yang sedang berlangsung.5
Untuk di kota Depok sendiri masalah dalam keluarga masih terbilang
kompleks, diantaranya berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinses) Kota
Depok, penderita HIV/AIDS di kota Depok pada periode 2010 hingga Desember
2014 tercatat 375 orang. Jumlah itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini
disebabkan karena pengelolaan keluarga yang yang kurang efisien, sehingga
berdampak pula pada pelanggaran asusila, kekerasan dalam rumah tangga,
perceraian dan lain-lain.6
Data-data permasalahan perlindungan anak di Kota Depok, sebagaimana yang
dilansir Komnas Perlindungan Anak, Kota Depok dinilai paling rawan terhadap
aksi kejahatan terhadap anak-anak dibandingkan dengan kota lainnya di
Jabodetabek. Hal ini disampaikan secara langsung oleh Aries Merdeka Sirait
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak. Lebih jauh Aries
mengatakan, banyak peristiwa yang melibatkan anak-anak terjadi beberapa
waktu terakhir ini, Dulu Bekasi sekarang justru Kota Depok yang paling rawan.
Menurut Aries dari laporan yang masuk sepanjang tahun 2012, tercatat total
4 Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan
Ketahanan, h. 2. 5 Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan
Ketahanan, h. 2. 6 Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Depok Tentang Ketahanan
Keluarga, h. 3.
3
kejadian tindakan kriminal anak ada 2637 laporan. Dari data laporan yang ada,
Depok sendiri memperoleh peringkat ke dua tertinggi sejabotabek sebanyak 576
laporan. Selain itu tercatat ada sebanyak 76 kasus kekerasan terhadap perempuan
dan anak pada tahun 2014 yang dipegang P2TP2A Depok.7
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (BPPD) DPRD Kota Depok,
Farida Rachmayanti, mengatakan salah satu latar belakang pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) inisiatif dari Komisi D DPRD tentang
Ketahanan Keluarga, adalah banyak kasus perceraian di Kota Depok yang kian
meningkat.8 Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kota Depok mengeluarkan
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017 tentang Peningkatan
Ketahanan Keluarga sebagai upaya untuk meningkatkan ketahanan keluarga di
Kota Depok.
Kendati sudah mengeluarkan peraturan tentang peningkatan ketahanan
keluarga, namun perlu diketahui dan diteliti lebih lanjut apa sebenarnya yang
melatarbelakangi dibenuknya Peraturan Daerah tersebut. Selain itu perlu juga
mengetahui bagaimana implementasi Peraturan Daerah tersebut. Untuk itu
peneliti tertarik untuk membahas dan mengadakan penelitian guna menjawab
permasalahan yang ada lalu dituangkan untuk menjadi skripsi dengan judul
“KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA DEPOK TERHADAP PENINGKATAN
KETAHANAN KELUARGA (Studi Terhadap Peraturan Daerah Kota Depok
Nomor 9 Tahun 2017)”
7 Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Depok Tentang Ketahanan
Keluarga, h. 4. 8 Dikutip dari http://www.metropolitan.id/2016/12/raperda-ketahanan-keluarga-di-
kota-depok-harus-segera-disahkan/ diakses pada tanggal 15 April 2018.
4
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan muncul dalam
latar belakang diatas, akan penulis paparkan beberapa diantaranya, yaitu:
a. Bagaimana peran pemerintah pusat dalam hal ketahanan keluarga ?
b. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur terkait ketahanan
keluarga ?
c. Bagaimana model kebijakan untuk meningkatkan ketahanan keluarga ?
d. Apa yang diharapkan dari terciptanya ketahanan keluarga ?
e. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam hal ketahanan keluarga ?
f. Bagaimana urgensi dibentuknya aturan terkait ketahanan keluarga ?
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasanya lebih jelas
dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Di sini penulis hanya
akan membahas tentang Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017
tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga.
3. Rumusan Masalah
Upaya pemerintah untuk menunjang keberhasilan tujuan-tujuan negara
adalah dengan cara membentuk peraturan perundang-undangan yang baik.
Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Depok dalam bidang
peningkatan ketahanan keluarga. Namun ada beberapa hal yang harus diteliti
dan diketahui lebih lanjut, diantaranya yaitu:
a. Apa latar belakang dibentuknya Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9
Tahun 2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga ?
5
b. Bagaimana implementasi Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun
2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui latar belakang dibentuknya Peraturan Daerah Kota
Depok Nomor 9 Tahun 2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga .
b. Untuk mengetahui pengimplementasian Peraturan Daerah Kota Depok
Nomor 9 Tahun 2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga.
2. Manfaat Penelitian
Adapun dalam penelitian skripsi ini diharapkan memberi manfaat sebagi
berikut: pertama, untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan. Kedua,
penulis berharap penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
teori maupun praktik hukum, ketiga, semoga hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai informasi di berbagai kalangan. Keempat, dapat juga
dijadikan bahan acuan pada penelitian selanjutnya berkenaan dengan masalah
yang terkait.
D. Tinjauan Studi Terdahulu
Dalam melakukan penelitian terkadang ada tema penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan penelitian yang akan kita bahas. Penulis menemukan karya
ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, disertasi dengan judul “Studi Ketahanan Keluarga dan Ukurannya:
Telaah Kasusu Pengaruhnya Terhadap Kehamilan” oleh Euis Sunarti mahasiswa
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor tahun kelulusan 2001. Dalam
Disertasi ini membahas mengenai perumusan ukuran ketahanan keluarga,
6
pengaruh ketahanan keluarga terhadap penambahan berat badan Ibu selama
hamil, serta membahas tentang peningkatan ketahanan keluarga.
Kedua, tesis dengan judul “Peranan Program Siaran Televisi Dalam
Pembinaan Kertahanan Keluarga Masyarakat Pedesaan Di Banten (Studi Kasus:
Kab. Serang, Kab. Pandeglang, Kab. Tangerang)” oleh Andi Fachrudin M
mahasiswa Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Program Pascasarjana
Universitas Indonesia tahun kelulusan 2002. Dalam Tesis ini membahas tentang
peranan dan strategi program siaran televisi dalam menunjang pembangunan dan
ketahanan keluarga di pedesaan. Dalam penelitiannya juga membahas tentang
tugas-tugas program siaran televisi.
Ketiga, tesis dengan judul “Kontribusi Pekerja Wanita Dalam Kehidupan
Keluarga Guna Menunjang Ketahanan Keluarga Dan Ketahanan Nasional (Studi
Kasusu Di Perkebunan The, Industri Pakaian Jadi Dan Pasar Swalayan)” oleh
Huda Novrida S mahasiswa Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional
Program Pascasarjana Universitas Indonesia tahun kelulusan 1997. Tesis ini
membahas tentang kontribusi pekerja wanita dalam kehidupan keluarga dan
dampak yang ditimbulkan dalam menunjang ketahanan keluarga dan ketahanan
nasional.
Keempat, tesis dengan judul “Dampak Kebijakan Konversi Minyak Tanah Ke
Liquefied Petroleum Gas (LPG) Terhadap Ketahanan Keluarga (Studi Kasus Di
Kota Administrasi Jakarta Timur)” oleh Agung Karyanto mahasiswa Program
Studi Kajian Stratejik Ketahanan Nasional Program Pascasarjana Universitas
Indonesia tahun kelulusan 2009. Tesis ini memaparkan mengenai ketahanan
keluarga pada pemakaian minyak tanah dan ketahanan keluarga pada pemakaian
LPG kemudian peneliti mengkomparasikan keduanya.
Penelitian terdahulu yang telah penulis paparkan tentu berbeda dengan apa
yang penulis teliti. Karena dalam skripsi yang penulis susun akan berfokus pada
7
hal-hal yang melatarbelakangi serta implementasi Peraturan Daerah Kota Depok
Nomor 9 Tahun 2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk
memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.9 Oleh karena
itu, diperlukan metode yang tepat dalam melakukan suatu penelitian. Dalam
penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian kali ini
adalah pendekatan Normatif-Empiris. Pendekatan ini merupakan
penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya
penambahan berbagai unsur empiris. Pendekatan ini digunakan untuk
menelaah ketentuan yang ada dan untuk melihat apa yang melatarbelakangi
dibentuknya Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017 tentang
Peningkatan Ketahanan Keluarga.
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian kualitatif khususnya dengan dengan menggunakan studi
kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mempelajari,
menafsirkan dan menganalisis peraturan perundang-undangan, studi dokumen
baik dokumen hukum yang dipublikasikan melalui media cetak maupun
media elektronik serta studi catatan hukum berupa buku-buku literatur hukum
atau bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2015) Cet. III,
h. 3.
8
C. Sumber Data
Dalam penelitian ini data penelitian yang digunakan antara lain:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan bahan hukum yang mengikat. Dalam
hal ini penulis menggunakan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9
Tahun 2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti Naskah Akademik, Rancangan Undang-undang,
hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan lain-lain.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, cotohnya adalah
kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan lain-lain.10
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang
dibutuhkan guna menjawab rumusan masalah penelitian. Dalam penelitian ini
ada beberapa teknik yang dilakukan, yaitu:
a. Wawancara (Interview)
Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara dengan Ani Rahmawati,
Aks. sebagai Kepala Bidang Ketahanan Keluarga dan Keluarga
Berencana, Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat, dan
Keluarga (DPAPMK) Kota depok. Penulis memilih mewawancara beliau
karena posisi jabatannya yang strategis terkait Ketahanan Keluarga, selain
itu Ketahanan Keluarga juga merupakan core competence dari DPAPMK.
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 52.
9
Selain itu penulis juga melakukan wawancara dengan T. Farida
Rachmayanti S.E, M.SI sebagai Ketua Pansus Perda Peningkatan
Ketahanan Keluarga Kota Depok. Penulis memilih mewawancara beliau
karena beliau adalah orang yang berkompeten dan bertanggungjawab atas
pembentukan Perda Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota Depok.
b. Telaah Dokumentasi
Telaah dokumentasi adalah cara pengumplan informasi yang didapatkan
dari dokumen, yakni peninggalan tertulis, arsip-arsip, akta ijazah, rapor,
peraturan perundang-undangan, catatan biografi dan lain-lain yang
memiliki keterkaitan dengan masalah yang diteliti.
E. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analisis, yaitu suatu teknik analisis data dimana penulis
menjabarkan data yang telah didapatkan. Kemudian disusun secara sistematis
untuk dianalisis secara kualitatif dalam bentuk uraian agar bisa ditarik
kesimpulan mengenai permasalahan yang sedang diteliti.
Adapun teknik penulisan merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”
F. Sistematika Penulisan
Bagian ini adalah upaya untuk mempermudah pembahasan dan penulisan
skripsi, oleh karena itu penulis menyusun suatu sistematika penulisan seperti
yang dijelaskan dibawah ini.
Pada Bab I membahas tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, identifiksasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian (review) studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika
10
penulisan. Bab ini merupakan landasan dari sebuah penelitian yang berfungsi
untuk menguraikan dan menjelaskan bab-bab yang berikutnya.
Pada Bab II akan memaparkan gambaran umum tentang kebijakan publik,
gambaran umum tentang pengertian, tujuan dan ruang lingkup ketahanan
keluarga.
Pada Bab III akan memuat tentang gambaran umum Kota Depok dan
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017
Pada Bab IV akan memuat hasil penelitian yang akan dipaparkan dan
dideskripsikan secara utuh kemudian penulis memberikan interpretasi/analisis
terhadap hasil penelitian tersebut. Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar
belakang dibentuknya Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017
tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga serta Implementasi Peraturan Daerah
Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga.
Pada Bab V merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dari hasil
penelitian dan rekomendasi.
11
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN PUBLIK
DAN KETAHANAN KELUARGA
A. Kebijakan Publik
Kebijakan publik terdiri dari dua kata, yaitu “kebijakan” dan “publik”.
Dalam KBBI, kata “Kebijakan” diartikan sebagai “kepandaian; kemahiran;
kebijaksanaan” sedangkan kata “Publik” diartikan sebagai “orang banyak
(umum); semua orang yang datang (menonton, mengunjungi, dan sebagainya)”.
Sedangkan pengertian Kebijakan Publik menurut KBBI adalah “keputusan yang
dibuat oleh pemerintah atau pejabat publik yang ditujukan kepada masyarakat
luas”.1 Untuk mengetahui lebih dalam tentang kebijakan publik, penulis akan
memaparkan seperti dibawah ini.
1. Pengertian Kebijakan Publik
Dalam kepustakaan ilmu-ilmu kebijakan (policy sciences) yang hingga kini
sudah mencapai rubuan jumlahnya, dapat kita temukan berbagai definisi
menganai kebijakan publik. Namun, dengan begitu banyaknya definisi itu,
memang harus diakui pula bahwa semakin dirasa sulit untuk mendapatkan
rumusan atau definisi yang benar-benar memuaskan, baik lantaran sifatnya yang
terlalu luas, kabur, atau tidak terlalu spesifik dan operasional.2 Berikut akan
penulis paparkan macam-macam definisi tersebut.
Sebelum membahas pengertian dari kebijakan publik, penulis akan
terlebihdahulu memaparkan pengertian tentang kebijakan. Secara substansial,
kebijakan merupakan subjek kajian yang kompleks, dinamis, dan tidak pernah
jumud3 (amorphous).
4
1 KBBI Daring, Dikutip dari https://kbbi.kemdikbud.go.id pada tanggal 5 Mei 2018.
2 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-
Model Implementasi Kebijakan Publik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012), h. 12-13. 3 Dalam KBBI, Jumud berarti “Beku; Statis”
12
Beberapa tokoh memberikan pendapatnya mengenai pengertian dari kata
kebijakan tersebut, seperti James Anderson yang menyatakan bahwa kebijakan
itu ialah suatu langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang
aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan
tertentu yang dihadapi (Anderson, 1994:5).
Dua teoritis lain, Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt, sebagaimana dikutip
oleh Charles O. Jones, mengatakan bahwa kebijakan itu tak lain ialah berdirinya
keputusan ditandai dengan konsistensi perilaku dan berulang yang membuatnya
dan orang-orang baik di pihak mereka yang mematuhinya (Jones, 1977).5
Carl Fredrich (1963) melihat bahwa kebijakan adalah arah tindakan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan atau kesempatan-kesempatan
dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau
maksud tertentu.6
Knoepfel dan kawan-kawan (2007) mengartikan kebijakan sebagai
serangkaian kepuusan atau tindakan-tindakan sebagai akibat dari interaksi
terstruktur dan berulang diantara berbagai aktor, baik publik/pemerintah maupun
privat/swasta yang terlibat berbagai cara dalam merespon, mengidentifikasi, dan
memecahkan suatu masalah yang secara politis didefinisikan sebagai masalah
publik.7
Richard Rose (1969) berpendapat bahwa kebijakan adalah serangkaian
kegiatan yang sdikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya
4 Amri Marzali, Antropologi dan Kebijakan Publik, (Jakarta: Kencana, 2014), Cet. 2,
h. 20. 5 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan, h. 8-9.
6 Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik,(Yogyakarta, Graha Ilmu,
2011), h. 2. 7 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan, h. 10.
13
bagi mereka yang bersangkutan , bukan keputusan yang berdiri sendiri. Thomas
R. Dye (1975) mengatakan bahwa kebijakan ialah apapun yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.8
H. Heclo (1972) mengatakan bahwa kebijakan bukanlah sebuah istilah yang
jelas dengan sendirinya, karena itu Heclo menyarankan, dan sekaligus
menunjukan bahwa kebijakan itu lebih baik jika dipandang sebagai tindakan
yang sengaja dilakukan atau ketidakmauan untuk bertindak secara sengaja dari
pada dipandang sebagai keputusan-keputusan atau tindakan-tindakan tertentu.9
Versi formal yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agaknya
lebih luas dan cukup rinci dibanding pandangan-pandangan yang telah
dikemukakan sebelumnya, karena lembaga dunia ini berpendapat bahwa
kebijakan adalah pedoman untuk bertindak. Pedoman itu bisa saja amat
sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur
atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau
privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi
mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu
program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu, atau suatu rencana.10
Kalau kita simak kembali dengan cermat berbagai definisi tadi, maka
nampak denga jelas bahwa konsep kebijakan itu memang sulit untuk dirumuskan
dan diberi makna tunggal. Hal lain yang dapat dicatat dari keanekaragaman
definisi tadi ialah bahwa sebenarnya sangat sukar untuk mengidentifikasi saat-
saat tertentu kapan kebijakan itu dibuat. Sebab, dalam realita apa yang disebut
kebijakan itu sering kali masih berkelanjutan dan malahan berembang
sedemikian rupa di dalam tahap yang secara konvensional disebut sebagai tahap
8 Samodra Wibawa, Politik Perumusan, h. 2.
9 Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Malang: UMM
Press, 2008), h. 40. 10
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan, h. 9.
14
implementasi, suatu tahap dimana orang lazimnya percaya bahwa kebijakan itu
dianggap sudah final, tinggal jalan saja dan tak perlu lagi diperdebatkan.11
Sementara itu beragam pula pendapat yang mendefinisikan pengertian dari
kebijakan publik. Lester dan Stewart (2000) memberikan usulan definisi
kebijakan publik, yaitu proses atau serangkaian keputusan atau aktivitas
pemerintah yang didesain untuk mengatasi masalah publik, baik hal itu riil
ataupun masih direncanakan (imagined).
Kebijakan publik secara mendasar merupaka upaya yang dilandasi
pemikiran rasional untuk mencapai suatu tujuan ideal diantaranya adalah untuk
mendapatkan kedilan, efisiensi, keamanan, kebebasan, serta tujuan-tujuan dari
suatu komunitas itu sendiri (Stone, 1992: 37).12
Definisi kebijakan publik yang kendati cukup akurat dalam menjelaskan hal-
hal berkaitan langsung dengan kebijakan publik, tetapi cakupnnya terlalu luas.
Seperti definisi Eystone (1971:18) yang merumuskan bahwa kebijakan publik
ialah antar hubungan yang berlangsung di antara unit/satuan pemerintahan
dengan lingkungannya.
Demikian pula definisi yang disodorkan oleh Wilson (2006: 154) yang
merumuskan kebijakan publik ialah tindakan-tindakan, tujuan, tujuan, dan
pernyataan-pernyataan pemerintah mengenai masalah-masalah tertentu, langkah-
langkah yang telah/sedang diambil (atau gagal diambil) untuk
diimplementasikan, dan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh mereka
mengenai apa yang telah terjadi (atau tidak terjadi).
11
Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, h. 41. 12
Eddi Wibowo, dkk., Kebijakan Publik dan Budaya, (Yogyakarta: Yayasan
Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI), t.th.), h. 29-30.
15
Definisi lain yang tak kalah luasnya dikemukakan oleh Thomas R. Dye yang
menyatakan bahwa kebijakan publik ialah pilihan tindakan apapun yang
dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah.
Pakar Inggris, W.I. Jenkins (1978: 15) merumuskan kebijakan publik
sebagai serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang
aktor politik atau sekelompok aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih
beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-keputusan
itu pada prinsipnya masih berada dalam batas batas kewenangan kekuasaan dari
para aktor tersebut.
Chief J. O. Udoji, seorang pakar dari Nigeria (1981), telah mendefinisikan
kebijaka publik sebagai suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu
tujuan tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi sebagian besar warga
masyarakat.
Pakar Prancis, Lemieux (1995: 7), mendefinisikan kebijakan publik sebagai
produk aktifitas-aktifitas yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah-
masalah publik yang terjadi di lingkungan tertentu yang dilakukan oleh aktor-
aktor politik yang hubungannya terstruktur. Keseluruhan proses aktifitas itu
berlangsung sepanjang waktu.13
Amir Santoso (1993) mengkategorikan pendapat para ahli ke dalam dua
kelompok: pertama, bahwa semua tindakan pemerintah adalah kebijakan publik.
Ke dua, bahwa kebijakan publik adalah keputusan pemerinah yang mempunyai
tujuan dan maksud tertentu, dan memiliki akibat yang dapat diramalkan.
Dengan demikian kebijakan publik ialah serangkaian instruksi dari para
pembuat keputusan kepada para pelaksana, yang menjelaskan cara-cara mencapai
13
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan, h. 13-15.
16
suatu tujuan. Ataupun suatu hipotesis yang berisi kondisi-kondisi awal dan
akibat-akibat kedepan.14
2. Proses Pembuatan Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks
karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Proses
pembuatan kebijakan terdiri dari tahap penyusunan agenda, tahap formulasi
kebijakan, tahap adopsi kebijakan, tahap implementasi kebijakan, dan tahap
evaluasi kebijakan.
a. Tahap Penyusunan Agenda. Pada tahap ini para pejabat yang dipilih dan
diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-
masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam
agenda kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkintidak disentuh sama
sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan,
atau ada pula masalah karena alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
b. Tahap Formulasi Kebijakan. Masalah yang telah masuk ke dalam agenda
kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. masalah-masalah
tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik.
Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan
kebijakan yang ada. Dalam tahap ini, masing-masing alternatif bersaing
untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan
masalah.
c. Tahap Adopsi Kebijaka. Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang
ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari
alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas
legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
d. Tahap Implementasi Kebijakan. Suatu program kebijakan hanya akan
menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut tidak diimplementasikan.
14
Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik, h. 3.
17
Oleh karena itu, keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai
alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan
oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat
bawah.
e. Tahap Evaluasi Kebijakan. Pada tahap ini, kebijakan yang telah
dijalankanakan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan
yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada
dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, dalam hal ini adalah
memecahkan masalah yang ada di masyarakat. Oleh karena itu ditentukanlah
ukuran-ukuran yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik
telah meraih dampak yang diinginkan.15
Untuk Perda Ketahanan Keluarga
Kota Depok sendiri sudah mencapai tahap implementasi kebijakan.
3. Proses Pembentukan Peraturan Daerah
Dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan ada beberapa
tahapan yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan. Karena Peraturan Daerah merupakan salah satu
peraturan-perundang-undangan, maka penyusunannya harus sesuai dengan
Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Berikut adalah tahapan pembentukan Peraturan Daerah
berdasarkan Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
a. Perencanaan
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam Program
Legislasi Daerah. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda
adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi
15
Budi Winarno, Kebijakan Publik (Teori, Proses, dan Studi Kasus), (Yogyakarta:
CAPS (Center of Academic Publishing Service), 2014), h. 35.
18
atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu
dan sistematis.
Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi.
Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah
Daerah Provinsi. Penyusunan dan penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap
tahun sebelum penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang APBD
Provinsi.
Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1 tahun berdasarkan skala
prioritas pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi. Kriteria skala
prioritas penyusunan daftar rancangan peraturan daerah dalam Prolegda
didasarkan pada:
1) Perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi;
2) Rencana pembangunan daerah;
3) Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
4) Aspirasi masyarakat daerah.
Dalam Prolegda dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas
akibat putusan Mahkamah Agung dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Provinsi. Dalam keadaan tertentu, DPRD atau Gubernur dapat
mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi
berdasarkan prakarsa dari Gubernur, yang terdiri atas:
1) Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
2) Akibat kerjasama dengan pihak lain; dan
3) Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh
Balegda dan biro hukum.
19
Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana
dijelaskan diatas berlaku mutatis mutandis16
terhadap penyusunan Prolegda
Kabupaten/Kota.
b. Penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi
atau Gubernur. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. Dalam
hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai: Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Provinsi, pencabutan Peraturan Daerah Provinsi, atau Perubahan
Peraturan Daerah Provinsi yang hanya sebatas mengubah beberapa materi,
disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang
diatur.
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan
hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,
atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Setiap Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota harus disertai dengan
Naskah Akademik.
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro
hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang
16
Dalam KBBI, mutatis mutandis berarti dengan penyesuaian seperlunya. Dalam hal
ini berarti mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi sama persis dengan penyusunan
Prolegda Kabupaten/Kota dengan penyesuaian seperlunya. Misalnya penyusunan Prolegda
Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi. Maka
penyusunan Prolegda Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh DPRD Kabupaten/Kota dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
20
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sedangkan yang
berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD
Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD
Provinsi disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur.
Sedangkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh
Gubernur disampaikan dengan surat pengantar Gubernur kepada pimpinan
DPRD Provinsi. Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur
menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang
sama, maka yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang
disampaikan oleh DPRD Provinsi, dan Rancangan Peraturan Daerah yang
disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandungkan.
Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi berlaku secara
mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
c. Pembahasan
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD
Provinsi bersama Gubernur. Pembahasan bersama tersebut dilakukan melalui
tingkat-tingkat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat: komisi, panitia, badan,
maupun alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang
legislasi, dan paripurna. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas
bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. Sedangkan Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan
persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur. Ketentuan mengenai tata
cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah diatur dengan Peraturan
DPRD Provinsi. Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
21
Provinsi tersebut berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
d. Penetapan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh
DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi
kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Penyampaian
Ranacangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut dilakukan paling lama 7 hari
sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
tersebut ditetapkan oleh Gubernur untuk menjadi Peraturan Daerah dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi disetujui bersama. Jika dalam jangka
waktu 30 hari Gubernur tidak menandatangani Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi yang sudah disetujui bersama, maka Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan.
Dalam hal sahnya Peraturan Daerah Provinsi, kalimat pengesahannya
berbunyi “Peraturan Daerah ini dinyatakan sah”, yang dibubuhkan pada halaman
terakhir Peraturan Daerah Provinsi tersebut sebelum pengundangan naskah
Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah. Ketentuan mengenai
penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut berlaku secara mutatis
mutandis terhadap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
e. Pengundangan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
diundangkan dalam Lembaran Daerah. Peraturan Gubernur dan Peraturan
Bupati/Walikota diundangkan dalam Berita Daerah. Pengundangan Peraturan
Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah dilaksanakan
oleh Sekretaris Daerah. Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan
22
mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan
lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
f. Penyebarluasan
Penyebarluasan dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak
penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daerah.
Penyebarluasan dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau
memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan.
Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah
Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Penyebarluasan
Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat
kelengkapan DPRD. Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal
dari Gubernur atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan
bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus merupakan
salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah, Tambahan
Lembaran Daerah, dan Berita Daerah.
B. Ketahanan Keluarga
Lingkungan sosial yang paling dekat dengan manusia atau pribadi adalah
keluarga. Keluarga adalah intisari pertama yang memberikan pengaruh terhadap
sosialisasi diri manusia terhadap pembentukan pribadi manusia. Oleh karena itu
peran keluarga sangat penting untuk perkembangan seseorang. Untuk
membentuk pribadi yang baik, maka diperlukan kondisi ketahanan keluarga yang
baik pula.
23
a. Pengertian Ketahanan Keluarga
Ketahanan keluarga (family strength atau family resilience) merupakan
kondisi kecukupan dan kesinambungan akses terhadap pendapatan dan sumber
daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar antara lain: pangan, air bersih,
pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan, perumahan, waktu untuk
berpartisipasi di masyarakat, dan integrasi sosial (Frankenberger, 1998).
Dari sudut pandang yang lain, ketahanan keluarga didefinisikan sebagai
kemampuan keluarga untuk menangkal atau melindungi diri dari berbagai
permasalahan atau ancaman kehidupan baik yang datang dari dalam keluarga itu
sendiri maupun dari luar keluarga seperti lingkungan, komunitas, masyarakat,
maupun negara.17
Pearsall (1996) menyatakan bahwa rahasia ketahanan/kekuatan keluarga
berada diantaranya pada jiwa altruism18
antara anggota keluarga yaitu berusaha
melakukan sesuatu untuk yang lain, melakukan dan melangkah bersama,
pemeliharaan hubungan keluarga, menciptakan atmosfir positif, melindungi
martabat bersama dan merayakan kehidupan bersama.
Ketahanan keluarga menyangkut kemampuan individu atau keluarga untuk
memanfaatkan potensinya untuk menghadapi tantangan hidup, termasuk
kemampuan untuk mengembalikan fungsi-fungsi keluarga seperti semula dalam
menghadapi tantangan dan krisis (the National Network for Family Resilience,
1995).19
17
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan
Ketahanan Keluarga 2016, (Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2016), h. 6. 18
Altruism adalah paham (sifat) yang lebih memperhatikan dan mengutamakan
kepentingan orang lain (kebalikan dari egoisme). 19
Herien Puspitawati, dkk., “Telaah Pengintegrasian Perspektif Gender dalam
Keluarga Untuk Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender dan Ketahanan Keluarga di
Provinsi Jawa Timur dan Sumatera Utara”, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
24
Undang-undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga memberikan definisi ketahanan dan kesejahteraan
keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta
mengandung kemampuan fisik-materil guna hidup mandiri dan mengembangkan
diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan
kebahagiaan lahir dan batin.
Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tersebut maka
ketahanan keluarga dapat diukur menggunakan pendekatan sistem yang meliputi
komponen input (sumber daya fisik dan nonfisik), proses manajemen keluarga
(permasalahan keluarga dan mekanisme penanggulangannya), dan output
(terpenuhinya kebutuhan fisik dan psiko-sosial). Atas dasar pendekatan ini, maka
ketahanan keluarga merupakan ukuran kemampuan keluarga dalam mengelola
masalah yang dihadapinya berdasarkan sumber daya yang dimiliki untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya.20
b. Indikator Ketahanan Keluarga
Menurut Chapman (2000), setidaknya ada 5 (lima) indikasi yang
menggambarkan tingkat ketahanan suatu keluarga yaitu: (1) adanya sikap saling
melayani sebagai tanda kemuliaan; (2) adanya keakraban antara suami dan istri
menuju kualitas perkawinan yang baik; (3) adanya orang tua yang mengajar dan
melatih anak-anaknya dengan berbagai tantangan kreatif, pelatihan yang
konsisten, dan mengembangkan keterampilan; (4) adanya suami dan istri yang
memimpin seluruh anggota keluarganya dengan penuh kasih sayang; dan (5)
adanya anak-anak yang menaati dan menghormati orang tuanya.21
Perlindungan Anak Republik Indnesia dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, (November 2016), h. 12. 20
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan
Ketahanan Keluarga 2016, h. 8. 21
Herien Puspitawati, dkk., “Telaah Pengintegrasian…”, h. 11.
25
Pasal 3 Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga menyebutkan
bahwa konsep ketahanan dan kesejahteraan keluarga mencakup: 1) landasan
Legalitas dan Keutuhan Keluarga, 2) Ketahanan Fisik, 3) Ketahanan Ekonomi, 4)
Ketahanan Sosial Psikologi, dan 5) Ketahanan Sosial Budaya.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)
telah merumuskan dua puluh empat ciri-ciri yang merepresentasikan tingkat
ketahanan keluarga. Semua ciri-ciri (indikator) ketahanan keluarga tersebut
terkelompok dalam 5 (lima) dimensi dan terbagi dalam 15 (lima belas) variabel.
Kelima dimensi tersebut adalah (1) Legalitas dan Struktur Keluarga mempunyai
3 variabel (7 indikator); (2) Ketahanan Fisik mempunyai 3 variabel (4 indikator);
(3) Ketahanan Ekonomi mempunyai 4 variabel (7 indikator), (4) Ketahanan
Sosial Psikologi mempunyai 2 variabel (3 indikator); dan (5) Ketahanan Sosial
Budaya mempunyai 3 variabel (3 indikator).22
Agar lebih mudah dipahami, akan
penulis paparkan dalam bentuk gambar dibawah ini.
22
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan
Ketahanan Keluarga 2016, h. 9.
26
1) Dimensi 1: landasan legalitas dan keutuhan keluarga
Dimensi landasan legalitas dan keutuhan keluarga dijabarkan melalui 3 (tiga)
variabel dan 7 (tujuh) indikator yaitu:
a) Variabel Landasan Legalitas diukur berdasarkan 2 (dua) indikator yaitu:
Legalitas Perkawinan, dan Legalitas Kelahiran.
b) Variabel Keutuhan Keluarga diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu:
Keberadaan Pasangan Suami-Istri Yang Tinggal Bersama Dalam Satu Rumah.
c) Variabel Kemitraan Gender diukur berdasarkan 4 (empat) indikator, yaitu:
Kebersamaan Dalam Keluarga; Kemitraan Suami-Istri; Keterbukaan Pengelolaan
Keuangan; dan Pengambilan Keputusan Keluarga.
KETAHANAN KELUARGA
Dimensi 1
Landasan Legalitas dan
Keutuhan Keluarga
Dimensi 2
Ketahanan Fisik
Dimensi 3
Ketahanan Ekonomi
Dimensi 4
Ketahanan Sosial-Psikologi
Dimensi 5
Ketahanan Sosial-Budaya
3 Variabel:
1. Landasan legalitas
(2 Indikator)
2. Keutuhan keluarga
(1 Indikator)
3. Kemitraan gender
(4 Indikator)
3 Variael:
1. Kecukupan pangan
dan gizi
(2 indikator)
2. Kesehatan keluarga
(1 indikator)
3. Ketersediaan lokasi
tetap untuk tidur
(1 indikator)
4 Variabel:
1. Tempat tinggal keluarga (1 indikator)
2. Pendapatan keluarga (2 indikator)
3. Pembiayaan pendidikan anak (2 indikator)
4. Jaminan keuangan keluarga (2 indikator)
2 Variabel:
1. Keharmonisan keluarga
(2 indikator)
2. Kepatuhan terhadap hukum
(1 indikator)
3 Variabel:
1. Kepedulian sosial
(1 indikator)
2. Keeratan sosial
(1 indikator)
3. Ketaatan beragama
(1 indikator)
27
2) Dimensi 2: Ketahanan Fisik.
Dimensi ketahanan fisik dijabarkan melalui 3 (tiga) variabel dan 4 (empat)
indikator yaitu:
a) Variabel Kecukupan Pangan Dan Gizi diukur berdasarkan 2 (dua) indikator,
yaitu: Kecukupan Pangan, dan Kecukupan Gizi.
b) Variabel Kesehatan Keluarga diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu:
Keterbebasan Dari Penyakit Kronis Dan Disabilitas.
c) Variabel Ketersediaan Tempat/Lokasi Tetap Untuk Tidur diukur berdasarkan 1
(satu) indikator yaitu: Ketersediaan Lokasi Tetap Untuk Tidur.
3) Dimensi 3: Ketahanan Ekonomi.
Dimensi ketahanan ekonomi dijabarkan melalui 4 (empat) variabel dan 7
(tujuh) indikator, yaitu:
a) Variabel Tempat Tinggal Keluarga diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu:
Kepemilikan Rumah.
b) Variabel Pendapatan Keluarga diukur berdasarkan 2 (dua) indikator yaitu:
Pendapatan Perkapita Keluarga, dan Kecukupan Pendapatan Keluarga.
c) Variabel Pembiayaan Pendidikan Anak diukur berdasarkan 2 (dua) indicator
yaitu: Kemampuan Pembiayaan Pendidikan Anak, dan Keberlangsungan
Pendidikan Anak.
d) Variabel Jaminan Keuangan Keluarga diukur berdasarkan 2 (dua) indicator yaitu:
Tabungan Keluarga, dan Jaminan Kesehatan Keluarga.
4) Dimensi 4: Ketahanan Sosial Psikologis.
Dimensi ketahanan sosial psikologis dijabarkan melalui 2 (dua) variabel dan 3
(tiga) indikator yaitu:
a) Variabel Keharmonisan Keluarga diukur berdasarkan 2 (dua) indikator yaitu:
Sikap Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Perilaku Anti Kekerasan
Terhadap Anak.
28
b) Variabel Kepatuhan Terhadap Hukum diukur berdasarkan 1 (satu) indicator
yaitu: Penghormatan Terhadap Hukum.
5) Dimensi 5: Ketahanan Sosial Budaya.
Dimensi ketahanan sosial budaya dijabarkan melalui 3 (tiga) variabel dan 3
(tiga) indikator yaitu:
a) Variabel Kepedulian Sosial diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu:
Penghormatan Terhadap Lansia.
b) Variabel Keeratan Sosial diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu: Partisipasi
Dalam Kegiatan Sosial Di Lingkungan.
c) Variabel Ketaatan Beragama diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu:
Partisipasi Dalam Kegiatan Keagamaan Di Lingkungan.
29
BAB III
GAMBARAN UMUM KOTA DEPOK DAN PERATURAN DAERAH
KOTA DEPOK NOMOR 9 TAHUN 2017
A. Gambaran Umum Kota Depok
Kota Depok selain merupakan Pusat Pemerintahan yang berbatasan langsung
dengan Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta juga merupakan wilayah
penyangga Ibu Kota Negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, kota
pendidikan, pusat pelayanan perdagangan dan jasa, kota pariwisata dan sebagai
kota resapan air.1
1. Visi dan Misi Kota Depok Periode 2016-2021
Visi Kota Depok : “ Kota Depok yang Unggul, Nyaman dan Religius”
Unggul didefinisikan sebagai :
Menjadi yang terbaik dan terdepan dalam memberikan pelayanan publik,
memiliki Sumber Daya Manusia yang sejahtera, kreatif dan berdaya saing yang
Bertumpu Pada Ketahanan Keluarga.
Nyaman didefinisikan sebagai :
Terciptanya suatu kondisi ruang Kota yang Bersih, Sehat, Asri, Harmonis,
Berwawasan lingkungan, aman dan ramah bagi kehidupan Masyarakat.
Religius didefinisikan sebagai :
Terjaminnya Hak-Hak Masyarakat dalam menjalankan kewajiban Agama bagi
masingmasing Pemeluknya, yang terjamin dalam peningkatan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, serta kemuliaan dalam Akhlaq, Moral dan Etika serta
berwawasan kenegaraan dan kebangsaan yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.2
1 Dikutip dari https://www.depok.go.id/profil-kota/sejarah diakses pada tanggal 28
Agustus 2018. 2 RPJMD Kota Depok Tahun 2016-2021
30
Misi Kota Depok :
a. Meningkatkan kualitas Pelayanan Publik yang Profesional dan Transparan.
b. Mengembangkan Sumber Daya Manusia yang Religius, Kreatif dan
Berdaya Saing.
c. Mengembangkan Ekonomi yang Mandiri, Kokoh dan Berkeadilan berbasis
Ekonomi Kreatif.
d. Membangun Infrastruktur dan Ruang Publik yang Merata, Berwawasan
Lingkungan dan Ramah Keluarga.
e. Meningkatkan Kesadaran Masyarakat dalam melaksanakan Nilai-nilai
Agama dan menjaga Kerukunan antar Umat Beragama serta meningkatkan
Kesadaran Hidup Berbangsa dan Bernegara.
2. Kependudukan
Sebagai Kota yang berbatasan langsung dengan Ibukota Negara, Kota Depok
menghadapi berbagai permasalahan perkotaan, termasuk masalah kependudukan.
Sebagai daerah penyangga Kota Jakarta, Kota Depok mendapatkan tekanan
migrasi penduduk yang cukup tinggi sebagai akibat dari meningkatnya jumlah
kawasan permukiman, pendidikan, perdagangan dan jasa.
Berdasarkan data BPS, total penduduk Kota Depok pada Tahun 2015
berjumlah 2.106.102 jiwa dengan persentase pertumbuhan penduduk sebesar
3,57% dari jumlah penduduk tahun sebelumnya. Adapun komposisi jumlah
penduduk laki-laki sebanyak 1.044.213 jiwa dan jumlah penduduk perempuan
sebesar 1.061.889 jiwa. Dari sisi kepadatan penduduk, kepadatan rata-rata Kota
Depok Tahun 2015 mencapai 10.515 jiwa/km2 dengan kecamatan terpadat
adalah Kecamatan Sukmajaya (15.608 jiwa/km2) disusul Kecamatan Beji
(14.064 jiwa/km2) dan Pancoran Mas (14.011 jiwa/km2). Sedangkan kepadatan
terendah adalah di Kecamatan Sawangan (5.777 jiwa/km2) dan Bojongsari
(6.098 jiwa/km2).
31
Berdasarkan usianya, proporsi usia produktif (15-64 tahun) mencapai 72,34%,
usia muda (0-14 tahun) ada 25,76%, dan usia lanjut (65 tahun keatas)mencapai
3,24%. Komposisi penduduk Kota Depok didominasi oleh usia produktif dan
diperkirakan dalam 5 tahun kedepan, komposisi itu tidak berubah secara drastis.
Pemerintah harus melakukan antisipasi dengan membuka lapangan kerja yang
sesuai dengan tingkat pendidikan dan keterampilan. Industri kreatif dapat
menjadi alternatif peluang usaha yang potensial, karena tidak tergantung pada
sumberdaya alam dan sifatnya unik. Oleh karena itu pengembangan center of
excellence sebagai pusat pelatihan industri kreatif bagi pemuda sangat
diperlukan.
Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun di Kota Depok dipengaruhi
beberapa faktor yaitu faktor tingginya angka kelahiran yang disebabkan karena
tingkat kesehatan dan pendidikan masyarakat yang lebih baik dari waktu ke
waktu, hingga mempengaruhi tingkat fertilitas/kelahiran maupun
mortalitas/kematian penduduk Kota Depok dan faktor demografis yang
menyebabkan tingginya arus migrasi yang masuk ke Kota Depok, dimana Kota
Depok merupakan wilayah penyangga dan pendukung aktifitas perekonomian
Ibu Kota Negara, yakni DKI Jakarta, sehingga menjadi wilayah yang sangat
strategis untuk permukiman, selain tentunya sebagai kota jasa dan perdagangan.
3. Isu Strategis Kota Depok
Isu-isu strategis adalah kondisi atau hal yang harus diperhatikan atau
dikedepankan dalam perencanaan pembangunan daerah karena dampaknya yang
signifikan bagi daerah dengan karakteristik bersifat penting, mendasar,
mendesak, berjangka panjang, dan menentukan tujuan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dimasa yang akan datang. Setelah mempertimbangkan isu
global nasional dan lokal dari berbagai aspek pembangunan, maka dapat
32
dirumuskan beberapa masalah kebijakan serta isu strategis Kota Depok sebagai
berikut:3
a. Infrastruktur
b. Daya saing dan Ketahanan Ekonomi
c. Kualitas Lingkungan Hidup
d. Ekonomi Kreatif dan UMKM Berbasis Potensi Lokal
e. Tata Kota
f. Ketahanan Keluarga dan Sosial Kemasyarakatan
g. Ketimpangan
h. Kemiskinan dan Pengangguran
i. Kesehatan
j. Kualitas Sumber Daya Manusia
4. Program Unggulan Kota Depok
Pemerintah Kota Depok memiliki tiga program unggulan dalam dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2016-2021.
Ketiga program unggulan ini dapat dikatakan sebagian merupakan sebagai janji
Walikota dan Wakil Walikota Depok terpilih, Mohammad Idris dan Pradi
Supriatna untuk merealisasikan visi Kota Depok yakni menjadikan Depok
sebagai Kota yang unggul, nyaman, dan religius.
Adapun ketiga program unggulan tersebut yaitu, kesatu Zero Waste City.
Menurut Hardiono, dalam Zero Waste Citybukan berarti kota Depok sama sekali
tidak ada sampah. Akan tetapi, dinilai melalui prosesnya, agar semua masyarakat
di Kota Depok peduli dengan sampah. Serta semua warga bergerak
membersihkan sampah di lingkungannya.
Program unggulan kedua, Smart Healthy City, dalam program unggulan ini
Bappeda sudah menurunkan dalam beberapa program diantaranya penyusunan
3 RPJMD Kota Depok Tahun 2016-2021
33
sistem kesehatan daerah, peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama, penyelenggaraan database berbasis IT, penambahan mitra RS
yang menerima BPJS, serta penambahan RS di wilayah timur.
Sedangkan yang terakhir, ialah Depok akan menjadi Kota Ketahanan
Keluarga (Family Resilience City). Dalam program unggulan ini, lanjut
Hardiono, terkait dengan keberhasilan dalam pendidikan anak-anak yang
berkualitas.4
B. Gambaran Umum Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017
Pada tahun 2017 Pemerintah Kota Depok telah mengeluarkan aturan terkait
ketahanan keluarga melalui Perda Nomor 9 tahun 2017 tentang Peningkatan
Ketahanan Keluarga. Peraruran Daerah ini memuat XIV (empat belas) bab,
diantaranya adalah bab I (satu) membahas mengenai ketentuan umum, bab II
(dua) membahas tentang asas dan prinsip, bab III (tiga) membahas tentang tujuan
dan ruang lingkup, bab IV (empat) membahas tentang penyelenggaraan
pendampingan pra nikah, bab V (lima) membahas tentang pembangunan
keharmonisan keluarga, bab VI (enam) membahas tentang pendidikan dan
pengasuhan anak, bab VII (tujuh) membahas tentang kelembagaan
penyelenggaraan ketahanan keluarga, bab VIII (delapan) membahas tentang
perlindungan khusus keluarga, bab IX (sembilan) membahas tentang pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian ketahanan keluarga, bab X (sepuluh) membahas
tentang kemitraan strategi peningkatan ketahanan keluarga, bab XI (sebelas)
membahas tentang kerjasama, bab XII (dua belas) membahas tentang sanksi
administratif, bab XIII (tiga belas) membahas tentang ketentuan peralihan, dan
bab XIV (empat belas) membahas tentang ketentuan penutup.
Perda ketahanan keluarga dibentuk berdasarkan beberapa hal yang termuat
dalam kosiderannya, diantaranya adalah:
4 Dikutip dari https://www.depok.go.id/19/04/2016/01-berita-depok/ini-3-program-
unggulan-kota-depok-tahun-2016-2021 diakses pada tanggal pada tanggal 25 Maret 2019
34
a. bahwa keluarga sebagai bagian unit kecil masyarakat merupakan amanat dan
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki hak didalamnya dan melekat
harkat dan martabat sebagai keluarga sejahtera yang berperan demi
terciptanya cita-cita perjuangan bangsa yang perlu mendapat kesempatan
seluas-luasnya untuk terpenuhi haknya, yakni hak hidup, hak tumbuh
kembang, hak pendidikan, hak perlindungan dan hak partisipasi serta
menjalankan kehidupannya secara wajar;
b. bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan di bidang sosial, ekonomi,
budaya serta teknologi informasi, selain menyediakan kesempatan untuk maju
dan berkembang juga telah mengubah dan menggeser tatanan ketahanan
keluarga, untuk itu pembinaan dan pengembangannya perlu dilakukan
semaksimal mungkin dengan menyusun kebijakan yang berpihak pada
kepentingan keluarga dan mampu memberikan perlindungan kepada keluarga
melalui Kebijakan Pemerintah Kota di dalam Penyelenggaraan Ketahanan dan
kesejahteraan Keluarga;
c. bahwa berdasarkan ketentuan huruf N Lampiran Undang- Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, Pembagian
Urusan Pemerintahan Bidang Pengendalian Penduduk Dan Keluarga
Berencana Sub-Urusan Keluarga Sejahtera Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban melaksanakan pembangunan keluarga melalui pembinaan
ketahanan dan kesejahteraan keluarga;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Peningkatan
Ketahanan Keluarga;
Adapun dasar hukum dibentuknya perda peningkatan ketahanan keluarga kota
depok adalah sebagai berikut:
a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
35
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019);
c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya
Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3828);
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 297, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606);
f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419);
g. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4720);
h. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
36
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);
i. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232, Tambahan
Lembaran Negara Repblik Indonesia Nomor 5475);
j. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);
k. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Lembaran Negara Republik
Indonesia Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 161, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5080);
l. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
m. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1994 tentang Pengelolaan
Perkembangan Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1994 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3559);
n. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2014 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem
Informasi Keluarga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 319, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5614);
37
o. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan
Masyarakat Dan Kesejahteraan Keluarga;
p. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor
06 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga;
q. Peraturan Menteri Sosial Nomor 16 Tahun 2013 tentang Lembaga Konsultasi
Kesejahteraan Keluarga;
r. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun
2012 Nomor 3 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor 117);
s. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2012 Nomor 10 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa
Barat Nomor 124);
t. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga (Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Barat Tahun 2014 Nomor 9 Seri E, Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 169);
u. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 05 Tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan (Lembaran Daerah Kota Depok
Tahun 2007 Nomor 05, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 60)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 10
Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kota Depok
Nomor 05 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan
(Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2015 Nomor 10);
v. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 15 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Kota Layak Anak (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun
2013 Nomor 15);
38
1. Asas dan Prinsip Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017
Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa pelaksanaan peningkatan ketahanan
keluarga dilakukan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
a. keagamaan;
b. legalitas;
c. kemanusiaan;
d. keseimbangan;
e. manfaat;
f. perlindungan;
g. kekeluargaan;
h. keterpaduan; dan
i. partisipatif.
Yang dimaksud dengan “norma agama” adalah bahwa penyelenggaraan
pembangunan ketahanan keluarga harus dilandasi atas nilai-nilai agama yang
berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Yang dimaksud dengan “legalitas” adalah bahwa pembangunan ketahanan
keluarga dilaksanakan berdasarkan status hukum keluarga yang diwajibkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “perikemanusiaan” adalah bahwa penyelenggaraan
pembangunan ketahanan keluarga harus dilandasi atas perikemanusiaan yang
berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membedakan
golongan agama dan bangsa.
Yang dimaksud dengan “keseimbangan” adalah bahwa penyelenggaraan
pembangunan ketahanan keluarga harus dilaksanakan antara kepentingan
individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta antara material dan
spiritual.
Yang dimaksud dengan “manfaat” adalah penyelenggaraan pembangunan
ketahanan keluarga harus memberikan manfaat bagi kemanusiaan dan
perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara.
39
Yang dimaksud dengan “perlindungan” adalah penyelenggaraan
pembangunan ketahanan keluarga harus melindungi keluarga dalam
menciptakan, mengoptimalisasikan keuletan dan ketangguhan keluarga guna
hidup harmonis serta meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan
batin.
Yang dimaksud dengan “kekeluargaan” adalah penyelenggaraan
pembangunan ketahanan keluarga dilaksanakan secara kekeluargaan, meliputi
keadilan, kearifan, kebersamaan, gotong royong, tenggang rasa, dan tanggung
jawab dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat.
Yang dimaksud dengan “keterpaduan” adalah penyelenggaraan
pembangunan ketahanan keluarga dilakukan dengan memadukan berbagai
unsur atau mensinergikan berbagai komponen terkait.
Yang dimaksud dengan “partisipatif” adalah bahwa setiap anggota keluarga
dan masyarakat serta pihak-pihak terkait lainnya didorong untuk berperan
aktif dalam proses pembangunan ketahanan keluarga.
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa Peningkatan Ketahanan Keluarga yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, akuntabilitas,
partisipasi, keterbukaan informasi dan supremasi hukum;
b. non-diskriminasi, yaitu tidak membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin,
bahasa, paham politik, asal kebangsaan, status ekonomi, kondisi fisik,
mental maupun psikis keluarga;
c. berbasis budaya dan kearifan lokal;
d. kualitas kependudukan yang berdaya saing.
2. Tujuan Dan Ruang Lingkup Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9
Tahun 2017
Tujuan dari dibentuknya perda ini dipaparkan dalam pasal 4 ayat (1) dan
(2), yaitu:
40
a. Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota Depok bertujuan untuk menjadi
acuan bagi Pembangunan dan Pembinaan Ketahanan Keluarga di Kota
Depok.
b. Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota Depok bertujuan untuk :
1) mengoptimalkan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan fisik
material dan mental spiritual secara seimbang;
2) mewujudkan keharmonisan keluarga, cinta dan kasih sayang serta saling
menghargai berdasarkan nilainilai agama dan budaya luhur bangsa;
3) menjadikan keluarga sebagai wahana pendidikan pertama dan utama
bagi sumber daya manusia;
4) menjadikan kualitas keluarga sebagai basis perencanaan dan indikator
keberhasilan pembangunan;
5) meningkatkan kualitas sistem pelayanan publik yang ramah keluarga;
6) meningkatkan peran serta keluarga dalam pencapaian tujuan
pembangunan.
Ruang lingkup Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota Depok dituangkan
dalam pasal 5 yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. penyelenggaraan pendampingan pra-nikah;
b. pembangunan keharmonisan keluarga;
c. pendidikan dan pengasuhan anak;
d. pemberdayaan perempuan untuk peningkatan perekonomian keluarga;
e. kelembagaan ketahanan keluarga;
f. perlindungan khusus keluarga;
g. pembinaan, pengawasan dan pengendalian;
h. kemitraan strategis ketahananan keluarga.
Terkait penjabaran serta pengimplementasian dari ruang lingkup perda ini
akan dijelaskan dalam bab selanjutnya.
41
BAB IV
KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA DEPOK TERHADAP
PENINGKATAN KETAHANAN KELUARGA
Menurut Soerjono Soekanto, keluarga merupakan salah satu lembaga
kemasyarakatan yang berkelompok karena kebutuhan pokok yang sama yaitu
kebutuhan kehidupan kekerabatan.1 Keluarga sejahtera merupakan pondasi dasar
bagi keutuhan kekuatan dan keberlanjutan pembangunan. Sebaliknya, keluarga
yang rentan dan tercerai-berai mendorong lemahnya pondasi kehidupan
masyarakat bernegara.2
Dalam ilmu psikologi, kajian berkaitan dengan keluarga juga memberikan
khazanah tentang betapa pentingnya peran keluarga terhadap kehidupan seorang
individu. Fungsi keluarga memberikan peranan terhadap pengungkapan emosi
seorang individu melalui pemahaman emosi. Hal ini memberikan dampak
terhadap kemampuan seorang individu dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Keberfungsian ini dapat dilihat apakah peran orang tua diterapkan dengan baik
atau tidak di dalam suatu keluarga. Individu yang tidak mendapatkan
keberfungsian keluarga dengan baik akan mengalami masalah dalam
pengungkapan dan memahami emosi.3
Pengaruh globalisasi dan perkembangan di bidang sosial, ekonomi, budaya,
serta teknologi informasi, selain menyediakan kesempatan untuk maju dan
berkembang juga telah mengubah dan menggeser tatanan ketahanan keluarga.
1 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 1988),
Cet. 5, h. 57. 2 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan
Ketahanan Keluarga 2016, (Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2016), h. 1. 3 Muthmainnah, “RUU Ketahanan Keluarga: Modifikasi Hukum Sebagai Upaya
Mencapai Tujuan Hukum Islam Dalam Memelihara Keturunan”, Jurnal Syariah 4, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, (Juli, 2016), h. 36.
42
Untuk itu pembinaan dan pengembangannya harus dilakukan semaksimal
mungkin dengan menyusun kebijakan yang berpihak pada kepentingan keluarga
dan mampu memberikan perlindungan kepada keluarga melalui kebijakan
pemerintah kota dalam menyelenggarakan ketahanan dan kesejahteraan
keluarga.4 Oleh karena itu salah satu upaya pemerintah kota Depok dalam
meningkatkan ketahanan keluarga adalah dengan cara membentuk Peraturan
Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017 tentang Peningkatan Ketahanan
Keluarga.
A. Latar Belakang Pembentukan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9
Tahun 2017
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, penulis menggolongkan
latar belakang pembentukan perda ketahanan keluarga kedalam tiga hal, yakni
latar belakang filosofis, latar belakang sosiologis, dan latar belakang yuridis.
a. Latar Belakang Filosofis
Keluarga sebagai bagian unit kecil masyarakat merupakan amanat dan karunia
Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki hak didalamnya dan melekat harkat dan
martabat sebagai keluarga sejahtera yang berperan demi terciptanya cita-cita
perjuangan bangsa yang perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk
terpenuhi haknya, yakni hak hidup, hak tumbuh kembang, hak pendidikan, hak
perlindungan dan hak partisipasi serta menjalankan kehidupannya secara wajar.5
Keluarga sebagai sumber daya pembangunan yang bisa menumbuhkan nilai-
nilai falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. “...apabila nilai-
nilai itu sudah tertanam pada keluarga, maka akan tebangun ketahanan keluarga.
4 Konsideran Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017 tentang
Peningkatan Ketahanan Keluarga. 5 Konsideran Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017 tentang
Peningkatan Ketahanan Keluarga.
43
Ketahanan keluarga akan menghasilkan ketahanan sosial. Ketahanan sosial akan
melahirkan ketahanan bangsa. Jadi nilai-nilai asasi yang ada di masyarakat harus
dibentuk mulai dari keluarga.”6
Dalam kajian filsafat hukum ada beberapa aliran yang mendorong
terbentuknya suatu peraturan. Antara lain adalah aliran Utilitarianisme yang
dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1783). Penganut aliran utilitarianisme
menganggap tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan
yang sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat.7 Untuk mewujudkannya
maka perlu dibuat suatu aturan hukum yang mengikat.
Dalam aliran Hukum Positif Analitis yang dipelopori oleh John Austin (1790-
1859) menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara.8 Oleh
karena itu dibuatlah aturan yang mengikat oleh pemerintah dengan tujuan
memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya kepada
warga masyarakat.
b. Latar Belakang Sosiologis
Dilihat dari potensi, kota Depok punya sumber daya manusia yang tergolong
banyak. Jadi memang kompetensi dasar pembangunan di kota Depok itu
bertumpu pada sumber daya manusia. Tempat pengasahan sumber daya manusia
ini adalah keluarga, sehingga pembangunan itu penting untuk menempatkan
keluarga pada posisi strategis.9
Menurut Ani Rahmawati keluarga merupakan muara dari semuanya. Jika
menginginkan generasi yang berkualitas, maka keluarga juga harus berkualitas.
6 Farida Rachmayanti, Ketua Pansus Perda Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota
Depok, Interview Pribadi, Depok, 3 Agustus 2018. 7 Zinuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 59.
8 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2004), Cet. 5, h. 114. 9 Farida Rachmayanti, Ketua Pansus Perda Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota
Depok, Interview Pribadi, Depok, 3 Agustus 2018.
44
Karena keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat, maka perlu
dioptimalkan peranan keluarga sehingga jika keluarganya sudah tahan dan
optimal, negara akan menjadi lebih kuat, angka perceraian bisa diminimalisir,
kenakalan remaja juga bisa ditangani.10
Depok merupakan kota penyangga ibu kota yang dinamika sosialnya tinggi.
Menurut Farida Rachmayanti, masalah dinamika sosial tidak bisa diselesaikan
dengan satu aspek saja tetapi harus juga memperhatikan fungsi-fungsi keluarga.
Ketika menyelesaikan permasalahan dinamika sosial hanya dari satu aspek
saja maka masalah itu tidak akan teratasi. Misalnya untuk mengatasi permasalahan
ekonomi hanya dari pendekatan ekonomi, kenakalan remaja dari remajanya, itu
tidak akan efektif. Ternyata ada sebuah institusi yang punya peran dan pengaruh
besar untuk menyelesaikan masalah sosial seperti kenakalan remaja, pergaulan
bebas, kemiskinan, bahkan disharmoni sosial, yaitu keluarga. Masalah-masalah
sosial tadi muncul karena ada keluarga-keluarga yang tidak harmonis. Oleh karena
itu ketika berbicara tentang keluarga, tidak bisa jika hanya bicara tentang
bagaimana merencanakan jumlah anggota keluarga, tapi harus bicara dari banyak
aspek terutama dari fungsi-fungsi keluarga.11
Dalam pasal 7 ayat (2) Peratura Pemerintah Nomor 87 tahun 2014 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana,
dan Sistem Informasi Keluarga, ada delapan fungsi keluarga yaitu fungsi
keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi
reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi
pembinaan lingkungan.
Depok ingin menjadi kota layak anak dengan mengeluarkan Peraturan Daerah
Kota Depok Nomor 15 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kota Layak Anak.
Hal tersebut akan efektif dan tercapai ketika keluarganya mempunyai ketahanan.
Hanya saja yang perlu ditekankan adalah keluarga yang punya ketahanan itu
bukan berarti keluarga itu tanpa masalah. Setiap keluarga pasti punya masalah,
tapi dia tangguh, dia bisa menyelesaikan dan menghadapi permasalahan yang ada
10
Ani Rahmawati, Kepala Bidang Ketahanan Keluarga dan Keluarga Berencana,
DPAPMK Kota Depok, Interview Pribadi, Depok, 20 Juli 2018. 11
Farida Rachmayanti, Ketua Pansus Perda Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota
Depok, Interview Pribadi, Depok, 3 Agustus 2018.
45
dengan bijaksana, di tengah permasalahan itu fungsi-fungsi tetap berjalan dengan
baik. Suami isteri akan ramah kepada anaknya jika relasi antara mereka itu
selesai, fungsi seorang ayah sebagai pimpinannya berjalan, dan fungsi ibu
sebagai pendidik anaknya juga berjalan. Jika itu semua tidak berjalan dengan
baik, pasti mereka tidak akan ramah kepada anak dan akhirnya anak menjadi
korban.
Persiapan menghadapi bonus demografi. Bonus demografi adalah suatu
kondisi dimana suatu wilayah atau negara memiliki jumlah penduduk usia
produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibandingkan dengan usia non-produktif.
Dikatakan sebagai “bonus” karena kondisi ini tidak terjadi secara terus-menerus
melainkan hanya terjadi sekali dan tidak berlangsung lama. Indonesia diprediksi
akan mengalami bonus demografi pada tahun 2020-2030 yang akan datang.
Hal ini seharusnya menjadi hal yang positif dan sangat berguna bagi
peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat suatu negara
apabila dipersiapkan dengan baik dengan cara pengoptimalan sumber daya
manusia. Namun yang dikhawatirkan adalah apabila sumber daya manusianya
tidak berkualitas, jadi usia-usia produktif yang justru bermasalah. “...yang kita
khawatirkan itu usia produktifnya tidak berkualitas, jadi usia-usia produktif yang
justru bermasalah.”12
Jadi salah satu cara pemerintah Depok menghadapi bonus demografi adalah
mengokohkan ketahanan keluarga. Sehingga nanti anak-anaknya matang secara
mental, cerdas secara akal, tinggi spiritualnya, dan kreatif sehingga mereka
mampu berkompetisi. Minimal yang saat ini duduk di bangku SMA, ketika tahun
2030 mereka akan menjadi bapak yang berkualitas. Pemerintah kota Depok tidak
ingin mencetak keluarga-keluarga yang lemah, lemah dari sisi membangun relasi
12
Farida Rachmayanti, Ketua Pansus Perda Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota
Depok, Interview Pribadi, Depok, 3 Agustus 2018.
46
suami isteri, lemah dari sisi tanggung jawab, tidak punya etos kerja yang tinggi
sebagai seorang ayah, tidak punya kesadaran yang tinggi bagaimana ikut
berpartisipasi dalam mendidik anak. Maka dari itu pemerintah kota Depok
berharap 5-10 tahun yang akan datang akan lahir keluarga-keluarga yang lebih
baik dari sekarang.
Angka perceraian di Depok dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Berdasarkan data yang penulis dapatkan, pada tahun 2015 ada 2.571 kasus, tahun
2016 ada 3.036 kasus, dan tahun 2017 ada 3.230 kasus perceraian di Pengadilan
Agama kota Depok. Yang cukup mengkhawatirkan adalah ternyata perceraian itu
cukup banyak terjadi pada usia keluarga muda. Selain itu juga karena kurang
berjalannya fungsi keagamaan dalam keluarga, sehingga saat ini yang terjadi di
lapangan adalah justru pihak isteri yang menggugat cerai suami. “...Jadi kalo
memang perempuannya agamanya kuat mah pasti dia akan mengendalikan diri
apapun yang terjadi, karena mau tidak mau ya laki-laki itu adalah pimpinan
keluarga.”13
Artinya di kota Depok banyak tumbuh anak-anak atau sumber daya
manusia yang tumbuh berkembang tidak dalam kondisi yang membahagiakan,
bahkan mungkin mereka tidak mendapatkan hak-haknya.
Pemerintah kota Depok tidak ingin dalam jangka panjang sumber daya
manusianya tidak berkualitas karena sudah ada masalah-masalah dalam keluarga.
Misalnya masalah kemiaskinan, disharmonis, atau dia harmonis tapi tidak
berjalan fungsi-fungsi keluarga yang lainnya, misalnya fungsi parenting.
Memang diantara pasangan suami isteri tidak ada pertengkaran, tetapi mereka
tidak tahu cara mendidik anak yang benar. Padahal pendidikan pertama dan
utama itu dari keluarga, jika mereka tidak bisa mendidik anaknya dengan benar
maka itu juga merupakan suatu maslah. Permasalahan keluarga banyak
13
Ani Rahmawati, Kepala Bidang Ketahanan Keluarga dan Keluarga Berencana,
DPAPMK Kota Depok, Interview Pribadi, Depok, 20 Juli 2018.
47
gradasinya, yang paling parah adalah perceraian.14
Untuk mewujudkannya maka
diperlukan aturan yang dapat meningkatkan kualitas SDM sehingga dibuatlah
Perda Peningkatan Ketahanan Keluarga.
c. Latar Belakang Yuridis
Secara yuridis ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur
terkait keluarga, diantaranya adalah Undang-undang Nomor 52 tahun 2009
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Peraturan
Pemerintah Nomor 87 Tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga,
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga, Peraturan Daerah Kota
Depok Nomor 15 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kota Layak Anak,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan
Masyarakat Dan Kesejahteraan Keluarga, dan Peraturan Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan
Pembangunan Keluarga.
Meski telah terdapat sederetan peraturan perundang-undangan untuk
melindungi perempuan dan anak, sebagaimana tersebut di atas, tapi perlindungan
perempuan dan anak di Kota Depok dalam kenyataannya masih belum memadai
walaupun telah dibuat Perda Penyelenggaraan Kota Layak Anak. Berdasarkan
data-data yang dijumpai di lapangan di Kota Depok masih terdapat banyak
perempuan dan anak yang perlu mendapat perlindungan dari berbagai bentuk
diskriminasi, tindak kekerasan, eksploitasi, pelecehan seksual, penyalahgunaan
narkotika dan zat adiktif lainnya, trafiking, penyakit menular, dan ketelantaran.15
14
Farida Rachmayanti, Ketua Pansus Perda Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota
Depok, Interview Pribadi, Depok, 3 Agustus 2018. 15
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Depok Tentang Ketahanan
Keluarga, h. 29
48
Untuk mengatasi masalah sosiologis tadi, maka diperlukan aturan untuk
mengikat banyak pihak agar mau bersama-sama bergandeng tangan
mengokohkan ketahanan keluarga. Karena ketika ketahanan keluarga
dikokohkan, fungsi keluarga dikokohkan, maka akan menghasilkan sumber daya
manusia yang berkualitas, sehingga akan meminimalisir masalah-masalah sosial.
Kebanyakan anak-anak atau bahkan remaja yang nakal itu karena ketika di
rumah, mereka tidak mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya, emosinya
labil, maka muncul yang disebut dengan kenakalan remaja. Kenakalan remaja
tidak bisa diselesaikan hanya dari sisi remajanya saja, tidak bisa jika hanya
sekedar dibuatkan ruang tempat berekspresi. Karena masalah kejiwaannya bukan
masalah bagaimana dia harus berekspresi, tapi ada unsur yang tidak bisa
tergantikan yaitu fungsi cinta dan kasih sayang keluarga.16
B. Model Kebijakan Dalam Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun
2017
Dalam perda ketahanan keluarga kota Depok telah dimuat kebijakan-
kebijakan yang harus dilaksanakan oleh seluruh elemen masyarakat agar berjalan
sesuai dengan seharusnya dan tercapai apa yang dicita-citakan. Kebijakan-
kebijakan tersebut tertuang dalam pasal 5 Peraturan Daerah Kota Depok Nomor
9 Tahun 2017, diantaranya adalah:
a. penyelenggaraan pendampingan pra-nikah;
b. pembangunan keharmonisan keluarga;
c. pendidikan dan pengasuhan anak;
d. pemberdayaan perempuan untuk peningkatan perekonomian keluarga;
e. kelembagaan ketahanan keluarga;
f. perlindungan khusus keluarga;
g. pembinaan, pengawasan dan pengendalian;
16
Farida Rachmayanti, Ketua Pansus Perda Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota
Depok, Interview Pribadi, Depok, 3 Agustus 2018.
49
h. kemitraan strategis ketahananan keluarga.
1. Penyelenggaraan Pendampingan Pra-nikah
Setiap calon pasangan menikah berhak untuk mendapatkan bimbingan,
informasi, dan pemeriksaan kesehatan pra-nikah. Bimbingan Pra-Nikah
diselenggarakan untuk terwujudnya perkawinan yang dicita-citakan sesuai
perundangundangan yang dlaksanakan oleh Direktorat Jenderal bimbingan
masyarakat Islam atau lembaga keagamaan lainnya yang menyelenggarakan
bimbingan Pra-Nikah. Bimbingan Pra-Nikah dapat berupa kursus dengan
materi yang memuat tentang kesehatan reproduksi, Undang-Undang
Perkawinan, Keharmonisan Keluarga, Pendidikan dan Pengasuhan Anak,
fungsi keluarga sesuai norma agama, adat, sosial, serta ketentuan peraturan
perundangundangan dan lain-lain. Pelaksanaan kegiatan ini dapat dilakukan di
tempat ibadah sesuai kepercayaan masing-masing dan/atau di tempat
Penyelenggara Bimbingan yang diinisiasi Pemerintah.
Informasi Pra-Nikah berkaitan dengan masalah perkawinan,
pengembangan kualitas diri, dan pelayanan kesehatan terkait persiapan
perkawinan. Penyediaan informasi dan bimbingan Pra-Nikah dilaksanakan
oleh Organisasi Perangkat Daerah dan dapat dilakukan bekerjasama dengan
Kantor Urusan Agama serta pemangku kepentingan ketahanan keluarga
lainnya.
Pemeriksaan kesehatan Pra-Nikah diselenggarakan secara berkala oleh
Pemerintah Kota Depok dan dapat bekerjasama dengan lembaga atau
organisasi kesehatan. Penyelenggaraan Bimbingan Pra-Nikah ditandai dengan
dikeluarkannya sertifikat bimbingan Pra-Nikah bagi calon Pasangan suami
isteri. Sertifikat Bimbingan Pra-Nikah dapat menjadi syarat kelengkapan
pencatatan perkawinan.
50
2. Pembangunan Keharmonisan Keluarga
Pembangunan keharmonisan keluarga diselenggarakan oleh Pemerintah
Kota melalui Perangkat Daerah yang menangani ketahanan keluarga, dalam
hal ini adalah Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat, dan
Keluarga (DPAPMK) kota Depok.
Pembangunan keharmonisan keluarga dilakukan melalui kegiatan
sosialisasi, edukasi dan pembinaan secara terintegrasi dan berkelanjutan.
Metode kegiatan pembangunan keharmonisan keluarga dapat berupa seminar,
diskusi kelompok, konsultasi dan kegiatan lainnya. Pembangunan
keharmonisan keluarga harus dilakukan sampai tingkat terkecil pemerintahan
yaitu Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT).
Materi dalam pembinaan suami isteri dapat meliputi nilai keagamaan
perkawinan dan keluarga, bahaya dan dampak perceraian terhadap psikologis
anak, hak dan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, pentingnya terjalin hubungan harmonis sesuai norma agama, norma
sosial, dan budaya, kerjasama dalam suka maupun duka, pengelolaan sikap
dan emosional sebagai orang tua, dan/atau pengembangan potensi dan
karakter anak.
Tahapan dalam pembangunan keharmonisan keluarga adalah sebagai
berikut :
a. pembangunan keharmonisan hubungan suami dan isteri;
b. pembangunan keharmonisan hubungan orang tua dengan anak, ayah
dengan anak, hubungan ibu dengan anak;
c. pembangunan keharmonisan dalam lingkup keluarga besar;
d. pembangunan keharmonisan keluarga dan anggota keluarga dalam
kehidupan bermasyarakat.
51
Kebijakan teknis pendidikan suami isteri ini dapat melibatkan Perangkat
Daerah yang menangani ketahanan keluarga, Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) dan Lembaga
Konsultasi dan Kesejahteraan Keluarga (LK3)
3. Pendidikan Dan Pengasuhan Anak
Keluarga menjadi tempat pertama dan utama dalam proses pendidikan
dan pengasuhan anak. Setiap anak berhak untuk dibesarkan oleh orang tuanya
sendiri dengan pola asuh yang baik, santun dan penuh kasih sayang, serta
seimbang dari ayah dan ibunya.
Pendidikan dan Pengasuhan anak bertujuan untuk berkembangnya potensi
anak agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
berwawasan kebangsaan dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Dalam upaya pendidikan dan pengasuhan anak maka setiap keluarga
harus berkomitmen dan berperan serta aktif dalam mewujudkan lingkungan
Rukun Warga (RW) yang Ramah Anak. Selain pendidikan formal, setiap anak
berhak untuk mendapatkan pendidikan informal yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Kota demi terciptanya ketahanan keluarga. Pendidikan informal
diantaranya pendidikan keagamaan maupun berbagai penyuluhan yang
diselenggarakan lembaga mitra pemerintah dan organisasi terkait anak dan
keluarga. Kebijakan teknis pendidikan anak menjadi tugas Perangkat Daerah
yang menangani ketahanan keluarga.
4. Pemberdayaan Perempuan Untuk Peningkatan Perekonomian Keluarga
Pemberdayaan perempuan untuk peningkatan ekonomi keluarga ditujukan
kepada isteri sebagai kepala keluarga dan isteri yang berperan sebagai
pelaksana tugas kepala keluarga. Selanjutnya isteri berperan sebagai kepala
52
keluarga apabila suami telah meninggal dunia, suami tidak melaksanakan
kewajibannya, atau pasangan suami isteri telah bercerai.
Isteri dapat berperan sebagai pelaksana tugas kepala rumah tangga apabila
suaminya sudah tidak mampu menafkahinya lahir batin karena kondisi cacat
fisik dan psikis yang tetap. Bentuk program pemberdayaan perempuan untuk
peningkatan ekonomi keluarga dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
5. Kelembagaan Penyelenggaraan Ketahanan Keluarga
Kelembagaan penyelenggaraan ketahanan keluarga terdiri atas Tim
Pembina Ketahanan Keluarga, Tenaga Lapangan Ketahanan Keluarga, dan
RW Ramah Anak. Pembina Ketahanan Keluarga dibentuk oleh pemerintah
kota. Tim ini bertugas merencanakan, mengkoordinasikan, mengevaluasi dan
melaporkan pelaksanaan kegiatan pembangunan dan pembinaan ketahanan
keluarga. Terkait susunan keanggotaannya meliputi unsur Pemerintah Kota,
lembaga pendidikan, organisasi/lembaga keagamaan, profesi, dan yang
berkaitan dengan keluarga dan anak. Khusus hal-hal yang berkaitan dengan
lingkup pendidikan dan pengasuhan anak Tim Pembina Ketahanan Keluarga
dapat bekerjasama dengan Gugus Tugas Kota Layak Anak dan lembaga yang
tercakup di dalamnya.
Tenaga Lapangan Ketahanan Keluarga memiliki tugas mengidentifikasi,
memberikan motivasi, mediasi, mendidik, merencanakan dan mengadvokasi.
Terkait susunan keanggotaannya meliputi Motivaor Ketahanan Keluarga
(Montekar), Pendamping Kader Posyandu (PKP), Tenaga Penggerak
Kelurahan (TPKel), dan tenaga lapangan ketahan keluarga lainnya.
Rukun Warga (RW) Ramah Anak merupakan bagian dari Program Kota
Layak Anak Depok yang secara teknis dilaksanakan oleh Gugus Tugas Kota
Layak Anak Depok bekerja sama dengan Forum Kota Layak Anak yang
53
terkoordinasi tingkat kelurahan. Setiap keluarga membutuhkan kerjasama
dengan lingkungan di sekitarnya dalam pendidikan dan pengasuhan anak
dengan membangun komitmen bersama membentuk Rukun Warga (RW)
Ramah Anak. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan Rukun Warga (RW)
Ramah Anak ditujukan bagi terbentuknya Keluarga Ramah Anak.
6. Perlindungan Khusus Keluarga
Bagi keluarga pra-sejahtera, Pemerintah Kota melalui Perangkat Daerah
yang membidangi ketahanan keluarga bertanggung jawab untuk memfasilitasi
terselenggaranya program-program sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Pemerintah
Provinsi yang mendukung tercapainya peningkatan ketahanan keluarga.
Bagi keluarga rentan, dilakukan pemberdayaan dengan memberikan
stimulan keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga rentan. Stimulan
tersebut berupa fasilitas dari Pemerintah Kota, baik bantuan dalam bentuk alat
kontrasepsi gratis, penyuluhan KB gratis, bantuan biaya persalinan, modal
usaha, ataupun fasilitas-fasilitas lain yang sesuai dengan potensi keluarga
rentan sehingga dapat menopang keberlangsungan keluarganya untuk
mengembangkan kemandirian ekonomi. Pemberian stimulan tersebut harus
dilakukan minimal setiap satu tahun sekali dan dilakukan pengawasan oleh
Perangkat Daerah yang menangani ketahanan keluarga khususnya.
7. Pembinaan, Pengawasan, Dan Pengendalian Ketahanan Keluarga
Pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan
pembangunan ketahanan keluarga dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang
menangani ketahanan keluarga. Kegiatan ini bertujuan untuk mencapai
indikator ketahanan keluarga. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian
berupa pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi, pendidikan dan pelatihan
serta kegiatan pemberdayaan lain secara insidentil maupun secara periodik.
54
Pemerintah Kota dapat memberikan penghargaan dan/atau dukungan
kepada Instasi terkait, perorangan, keluarga organisasi keagamaan, organisasi
sosial kemasyarakatan, lembaga masyarakat, organisasi profesi, lembaga
sosial, lembaga pendidikan, dan dunia usaha yang berprestasi dan memiliki
kontribusi terhadap keberhasilan penyelenggaraan pembangunan ketahanan
keluarga. Penghargaan diberikan dalam bentuk piagam, plakat, medali,
dan/atau bentuk lain, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
Dukungan berupa fasilitas dan bimbingan penyelenggaraan pembangunan
ketahanan keluarga, pemberian stimulan, pengembangan dan penguatan
kelembagaan, dan pemberian pelatihan.
8. Kemitraan Strategis Peningkatan Ketahanan Keluarga
Kemitraan strategis peningkatan ketahanan keluarga dilakukan oleh
beberapa elemen masyarakat, diantaranya adalah Pemerintah Kota, Dunia
Usaha, Masyarakat, serta Pers dan Media.
Pemerintah kota membuat kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan
ketahanan keluarga dengan landasan Indikator Ketahanan Keluarga yang telah
dipaparkan dalam Bab II. Kebijakan-kebijakan tersebut harus tertuang dalam
Rencana Aksi Pembinaan dan Pembangunan Ketahanan Keluarga Daerah
yang disusun untuk jangka waktu paling sedikit tiga tahun.
Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha wajib
berperan aktif dalam menyediakan sarana prasarana ketahanan keluarga
seperti mengalokasikan anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan untuk
mendukung program penyelenggaraan Ketahanan Keluarga. Selain itu perlu
juga menyelenggarakan atau membuat iklan pembentukan keluarga sejahtera
dengan menggunakan bahasa positif serta memberi bantuan terhadap program
pemerintah untuk keluarga pra-sejahtera. Dunia usaha wajib berperan dalam
55
penyelenggaraan pembangunan ketahanan keluarga, yang dilaksanakan
kepada setiap karyawan dan keluarga karyawan.
Masyarakat memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam
penyelenggaraan pembangunan ketahanan keluarga. Masayarakat disini dapat
berupa perorangan, lembaga pendidikan, organisasi keagamaan, organisasi
sosial kemasyarakatan, lembaga masyarakat, organisasi profesi, dan lembaga
sosial. Peran masyarakat dapat berupa pemikiran, prakarsa, keahlian,
dukungan kegiatan, tenaga, dana, barang, jasa, dan/atau fasilitas untuk
penyelenggaraan pembangunan ketahanan keluarga dengan prinsip non-
diskriminatif.
Pers dan media massa, wajib memperhatikan serta mematuhi norma-
norma yang berlaku di masyarakat sesuai Undang-Undang Pers dan Kode Etik
Pers dalam pemberitaan yang berkaitan dengan ketahanan keluarga,
melindungi Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) dengan tidak
mengeksploitasi berita di media cetak dan elektronik, serta menjaga nilai-nilai
suku, agama, ras dan antar golongan dalam penyiaran, penampilan, dan
penayangan berita dalam kondisi kehidupan anak dan keluarga dalam
masyarakat.
C. Implementasi Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017
Terkait pelaksanaan dari Perda Nomor 9 Tahun 2017 sudah ada beberapa
program yang sudah terlaksana. Dalam rangka mewujudkan tercapainya program
unggulan Depok sebagai Kota Ketahanan Keluarga, dilakukan dengan
mengedepankan program pemberdayaan masyarakat.17
17
Dikutip dari https://www.depok.go.id/16/04/2018/01-berita-depok/wujudkan-kota-
ketahanan-keluarga-dengan-pembinaan-kader-tribina pada tanggal 21 Agustus 2018
56
Menurut Ani Rahmawati, program-program tersebut adalah Tribina Keluarga,
Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), Pusat Informasi
Konseling Remaja (PIK-R), serta RW Ramah Anak.
“...kita punya tribina keluarga, BKB (Bina Keluarga Balita), BKR (Bina
Keluarga Lansia), BKL (Bina Keluarga Lansia), UPPKS (Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera), sama PIKR (Pusat Informasi Konseling
Remaja). Selain itu kita juga ada RW Ramah Anak”.18
Farida Rachmayanti menambahkan “Secara implementasi, di Depok sudah
dibuka tempat konsultasi seperti Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA),
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dan
Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3).”19
1. Tribina Keluarga
Tribina Keluarga merupakan program yang bertujuan meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan orang tua dan anggota keluarga lainnya dalam
membina tumbuh kembang, baik secara fisik, motorik, kecerdasan emosional,
dan sosial ekonomi dengan sebaik-baiknya kepada balita dan anak remaja.
Tribina juga berguna meningkatkan kesejahteraan Lansia melalui kepedulian dan
peran keluarga dalam mewujudkan masa usia lanjut yang produktif, mandiri, dan
bermanfaat bagi bagi keluarga dan lingkungan masyarakat. Program tribina
keluarga diantaranya adalah Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja
(BKR), dan Bina Keluarga Lansia (BKL).
Kelompok BKB adalah upaya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan
kesadaran ibu serta anggota keluarga lain dalam membina tumbuh kembang
balita. Berbagai kegiatan dilakukan melalui rangsangan fisik, motorik,
18
Ani Rahmawati, Kepala Bidang Ketahanan Keluarga dan Keluarga Berencana,
DPAPMK Kota Depok, Interview Pribadi, Depok, 20 Juli 2018. 19
Farida Rachmayanti, Ketua Pansus Perda Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota
Depok, Interview Pribadi, Depok, 3 Agustus 2018.
57
kecerdasan, sosial, emosional, serta moral yang berlangsung dalam proses
interaksi antara ibu atau anggota keluarga lain dengan balita.
BKR merupakan program strategis di mana dilakukan upaya mempersiapkan
SDM berkualitas dalam lingkungan masyarakat. Program BKR meliputi kegiatan
upaya yang meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan orang tua dan
anggota keluarga lainnya dalam membina tumbuh kembang anak dan remaja
secara seimbang melalui komunikasi efektif antara orangtua dan remaja, baik
secara fisik, intelektual, kesehatan reproduksi, mental emosional, sosial dan
moral spiritual.
BKL adalah kelompok di mana serangkaian kegiatan dilakukan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keluarga yang lanjut usia dalam
pengasuhan, perawatan serta pemberdayaan lansia agar kesejahteraannya
meningkat. Tujuan dari BKL ini untuk mewujudkan kesejahteraan lansia yang
bertaqwa kepada TuhanYME, mandiri, produktif dan bermanfaat.20
2. UPPKS
UPPKS adalah kelompok usaha ekonomi produktif, yang beranggotakan
sekumpulan anggota keluarga yang saling berinteraksi dan terdiri dari berbagai
tahapan keluarga sejahtera, baik Pasangan Usia Subur yang sudah ber-KB
maupun yang belum ber-KB dalam rangka mewujudkan keluarga sejahtera.
3. PIK-R
PIK-R adalah suatu wadah kegiatan program PKBR (Penyiapan Kehidupan
Berkeluarga Bagi Remaja) yang dikelola dari, oleh dan untuk remaja guna
memberikan pelayanan informasi dan konseling kesehatan reproduksi serta
penyiapan kehidupan bekeluarga. Sasaran dari PIK-R ini adalah remaja yang
berusia 10-24 tahun dan belum menikah.
20
Ani Rahmawati, Kepala Bidang Ketahanan Keluarga dan Keluarga Berencana,
DPAPMK Kota Depok, Interview Pribadi, Depok, 20 Juli 2018.
58
4. RW Ramah Anak
RW Ramah Anak adalah gerakan sosial masyarakat yang melibatkan
pemerintah kota dengan sumber daya berbasis masyarakat tingkat RT dan RW
dalam memberikan penanganan anak dan terutama anak yang berhadapan dengan
hukum, eksploitasi, penanganan yang salah, penelantaran, tindak kekerasan.
5. PUSPAGA
PUSPAGA adalah tempat pembelajaran untuk meningkatkan kualitas
kehidupan menuju keluarga sejahtera melalui peningkatan kapasitas orang
tua/keluarga atau orang yang bertanggungjawab terhadap anak dalam
menjalankan tanggungjawab mengasuh dan melindungi anak agar tercipta
kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang
menetap dan berkelanjutan.
6. P2TP2A
P2TP2Amerupakan pusat kegiatan terpadu yang menyediakan pelayanan bagi
masyarakat Indonesia terutama perempuan dan anak korban tindak kekerasan.
P2TP2A bertujuan untuk melakukan pelayanan bagi tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak dan berupaya memberikan kontribusi terhadap
pemberdayaan perempuan dan anak dalam rangka terwujudnya Kesetaraan dan
Keadilan Gender.
7. LK3
LK3 merupakan salah satu wahana penanganan masalah sosial psikologis
keluarga yang mengedepankan pendekatan pekerjaan sosial dalam proses
pelayanannya dan dukungan dari disiplin ilmu yang terkait. Pelayanan yang
diberikan oleh LK3 antara lain pemberian informasi, konsultasi, konseling,
advokasi secara profesional, serta merujuk sasaran ke lembaga pelayanan lain
yang benar-benar mampu memecahkan masalah secara lebih intensif.
Tentu program-program yang sudah ada tersebut sangat membantu dalam
peningkatan ketahanan keluarga. Namun ketika penulis bertanya kepada Ibu Ani
Rahmawati mengenai terbentuknya program-program tersebut, apakah ada
59
setelah berlakunya Perda Ketahanan Keluarga atau justru sudah ada sebelumnya.
Ternyata program-program tersebut sudah ada sebelum diberlakukannya Perda
Ketahanan Keluarga. Program tribina keluarga, UPPKS, dan PIK-R merupakan
program dari BKKBN. “Program ini sudah ada sebelum adanya perda ini, karena
program ini prodaknya BKKBN” tutur Ani Rahmawati ketika diwawancara.21
Farida Rachmayanti sebagai Ketua Pansus Perda Ketahanan Keluarga,
menyatakan bahwa dibentuknya RW Ramah Anak merupakan implementasi
nyata dari Perda Ketahanan Keluarga. “...implementasi nyata dari Perda
Ketahanan Keluarga adalah dibentuknya RW Ramah Anak.” Namun ternyata
program RW Ramah Anak merupakan program Kota Layak Anak Depok yang
tertuang dalam pasal 8 ayat (4) Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 15 Tahun
2015 tentang Penyelenggaraan Kota Layak Anak. Meskipun dalam Perda
Ketahanan Keluarga memasukan RW Ramah Anak sebagai salah satu lembaga
penyelenggara ketahanan keluarga, namun sebenarnya program RW Ramah
Anak sudah ada sebelum diberlakukannya Perda Ketahanan Keluarga. Adapun
PUSPAGA dan P2TP2A berada di bawah Kementrian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak sedangkan LK3 berada di bawah Kementrian Sosial.
Awalnya penulis berasumsi bahwa tanpa adanya Perda Ketahanan Keluarga,
program-program yang sudah disebutkan diatas tetap dapat berjalan, namun
teryata ada beberapa program yang baru aktif setelah adanya Perda Ketahanan
Keluarga. Seperti halnya LK3 yang merupakan lembaga di bawah Kementrian
Sosial. Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Mentri Sosial Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2013 tentang Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga.
Namun sayangnya LK3 yang ada di Kota Depok sudah lama vakum dan baru
dihidupkan kembali pada hari Senin, 30 Oktober 2017 yang ditandai dengan
21
Ani Rahmawati, Kepala Bidang Ketahanan Keluarga dan Keluarga Berencana,
DPAPMK Kota Depok, Interview Pribadi, Depok, 20 Juli 2018.
60
dilantiknya pengurus LK3 Kota Depok Periode 2017-2019.22
Hal ini terdorong
karena adanya Perda Ketahanan Keluarga.
Selain LK3, program yang terlaksana karena adanya Perda Ketahanan
Keluarga adalah PUSPAGA. PUSPAGA merupakan program unggulan dari
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang mulai
diinisiasi sejak tahun 2016.23
Di Depok sendiri, PUSPAGA berada di gedung
Dibaleka II lantai 1 Balaikota Depok yang baru diresmikan pada hari Senin, 13
November 2017.24
Ini juga merupakan upaya untuk menuju Kota Layak Anak
dan sebagai salah satu upaya Peningkatan Ketahanan Keluarga.
Terkait model kebijakan yang tertuang dalam pasal 5 Peraturan Daerah Kota
Depok Nomor 9 Tahun 2017 yang telah dilaksanakan, diantaranya adalah:
penyelenggaraan pendampingan pra-nikah, pembangunan keharmonisan
keluarga, pendidikan dan pengasuhan anak, dan pemberdayaan perempuan untuk
peningkatan perekonomian keluarga.
Terkait penyelenggaraan pendampingan pra-nikah, pemerintah sudah
melaksanakannya. Program ini mulai berjalan pada Oktober 2018. “...nanti
sekitar bulan Oktober di bidangnya Bu Ani (Rahmawati) akan membuka kursus
Pra-Nikah yang lebih mendalam dan lebih rijit dibanding yang ada pada KUA.”25
Pembangunan keharmonisan keluarga dilakukan melalui program Tribina
Keluarga yakni PIK-R, pendidikan dan pengasuhan anak melalui program RW
22
Dikutip dari https://www.depok.go.id/30/10/2017/01-berita-depok/106769 diakses
pada tanggal 28 Agustus 2018. 23
Dikutip dari https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/09/16/owc7
en349-pemerintah-dorong-pembentukan-puspaga-di-berbagai-daerah diakses pada tanggal 28
Agustus 2018. 24
Dikutip dari https://www.depok.go.id/13/11/2017/01-berita-depok/wali-kota-
resmikan-tpa-dan-puspaga-kota-depok diakses pada tanggal 28 Agustus 2018. 25
Farida Rachmayanti, Ketua Pansus Perda Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota
Depok, Interview Pribadi, Depok, 3 Agustus 2018.
61
Ramah Anak, pemberdayaan perempuan untuk peningkatan perekonomian
keluarga melalui program UPPKS.26
Dalam pasal 32 ayat (1) memaparkan tentang pelaksanaan pembangunan
ketahanan keluarga dilakukan melalui:
a. peningkatan kualitas anak melalui pemberian akses informasi, pendidikan,
penyuluhan, dan pelayanan mengenai perawatan, pengasuhan, perlindungan,
serta perkembangan anak;
b. peningkatan kualitas remaja melalui pemberian akses informasi, pendidikan,
konseling, dan pelayanan mengenai kehidupan berkeluarga;
c. peningkatan kualitas hidup bagi lanjut usia agar tetap produktif dan berguna
bagi keluarga dan masyarakat dengan pemberian kesempatan untuk berperan
dalam kehidupan keluarga;
d. peningkatan peran, fungsi, dan tugas keluarga;
e. pemberdayaan keluarga rentan melalui perlindungan dan bantuan dan/atau
fasilitasi untuk mengembangkan diri agar setara dengan keluarga lain;
f. peningkatan kualitas lingkungan keluarga;
g. peningkatan akses dan peluang terhadap penerimaan informasi dan
sumberdaya ekonomi keluarga;
h. pengembangan cara inovatif melalui bantuan dan/atau fasilitasi yang lebih
efektif bagi keluarga prasejahtera;
i. pengembangan program dan kegiatan dalam upaya mengurangi angka
kemiskinan bagi keluarga prasejahtera dan perempuan yang berperan
sebagaikepala keluarga.
Hal-hal tersebut sudah dapat tercover dengan adanya program-program
ketahanan keluarga seperti: Tribina Keluarga, Usaha Peningkatan Pendapatan
Keluarga Sejahtera (UPPKS), Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK-R), dan
26
Ani Rahmawati, Kepala Bidang Ketahanan Keluarga dan Keluarga Berencana,
DPAPMK Kota Depok, Interview Pribadi, Depok, 20 Juli 2018.
62
RW Ramah Anak. Ditambah dengan lembaga-lembaga yang berperan dalam
peningkatan ketahanan keluarga seperti: Pusat Pembelajaran Keluarga
(PUSPAGA), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A), dan Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3).
Yang sangat disayangkan adalah belum dibuatnya petunjuk pelaksana Perda
Ketahanan Keluarga. Padahal berdasarkan pasal 45, petunjuk pelaksanaan perda
harus ditetapkan paling lambat satu tahun terhitung sejak diberlakukannya perda
ketahanan keluarga. “Kalau secara juklak memang belum, cuma secara indikator
ketahanan keluarga sudah ada. Kemarin itu kan kita ada indikator dulu supaya
lebih terarah gitu. Kalau juklak mah nanti sebetulnya menyesuaikan dari apa
yang ada di perda itu.” ucap Ani Rahmawati ketika ditanya mengenai petunjuk
pelaksanaan perda ketahanan keluarga.27
Selain petunjuk pelaksanaan perda ketahanan keluarga, peraturan wali kota
juga diamanahkan dalam Perda Ketahanan Keluarga. Ada beberapa pasal dalam
Perda Ketahanan Keluarga yang menyatakan harus adanya Peraturan Wali Kota,
namun sampai saat ini belum dibuat peraturan walikota tersebut. Pasal-pasal itu
diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Pasal 16 ayat (2) Petunjuk teknis kelembagaan penyelenggaraan ketahanan
keluarga diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
b. Pasal 18 ayat (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk teknis
pembentukan tenaga lapangan ketahanan keluarga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Wali Kota.
c. Pasal 23 ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan dan
fasilitasi sistem informasi pembangunan ketahanan keluarga, diatur dengan
Peraturan Wali Kota.
d. Pasal 30 ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pemberian
dukungan diatur dengan Peraturan Wali Kota.
27
Ani Rahmawati, Kepala Bidang Ketahanan Keluarga dan Keluarga Berencana,
DPAPMK Kota Depok, Interview Pribadi, Depok, 20 Juli 2018.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Latar belakang dibentuknya Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun
2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga dapat digolongkan kedalam
tiga bagian yaitu latar belakang filosofis, latar belakang sosiologis, dan latar
belakang yuridis.
Latar belakang filosofis terbentuknya perda ini adalah karena keluarga
merupakan amanat dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga perlu
mendapat kesempatan seluas-luasnya dalam mendapatkan hak-haknya. Selain itu,
keluarga juga merupakan sumber daya pembangunan yang dapat menumbuhkan
nilai-nilai falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sehingga apabila dalam keluarga sudah tertanam nilai-nilai falsafah bangsa
Indonesia, maka akan terbangun ketahanan dalam keluarga yang akan
menghasilkan ketahanan sosial dan ketahanan nasional. Dalam kajian filsafat
hukum ada beberapa aliran yang mendorong terbentuknya suatu peraturan.
Antara lain adalah aliran Utilitarianisme yang dipelopori oleh Jeremy Bentham
(1748-1783) dan aliran Hukum Positif Analitis yang dipelopori oleh John Austin
(1790-1859). Penganut aliran utilitarianisme menganggap tujuan hukum adalah
memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya kepada
warga masyarakat. Sedangkan aliran Hukum Positif Analitis menyatakan bahwa
hukum adalah perintah dari penguasa negara. Oleh karena itu dibuatlah aturan
yang mengikat oleh pemerintah dengan tujuan memberikan kemanfaatan dan
kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat, dalam hal ini
64
adalah Perda Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017 tentang Peningkatan Ketahanan
Keluarga.
Latar belakang sosiologis dibentuknya Perda Ketahanan Keluarga adalah
sebagai berikut:
a. Depok memiliki sumber daya manusia yang tergolong banyak, sehingga
core competence pembangunan Kota Depok bertumpu pada sumber daya
manusia.
b. Depok merupakan kota penyangga ibu kota yang dinamika sosialnya
tinggi. Ketika menyelesaikan permasalahan dinamika sosial hanya dari satu
aspek saja maka masalah itu tidak akan teratasi.
c. Depok ingin menuju Kota Layak Anak dengan mengeluarkan Peraturan
Daerah Kota Depok Nomor 15 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kota
Layak Anak. Hal tersebut akan efektif dan tercapai ketika keluarganya
mempunyai ketahanan.
d. Sebagai salah satu upaya dari Pemerintah Kota Depok dalam menghadapi
Bonus Demografi agar sumber daya manusianya matang secara mental,
cerdas secara akal, tinggi spiritualnya, dan kreatif, sehingga mereka mampu
berkompetisi.
e. Angka perceraian di Kota Depok dari tahun ke tahun kian meningkat
sehingga perlu ditingkatkan ketahanan keluarganya agar dapat menekan
angka perceraian.
f. Pemerintah Kota Depok tidak ingin dalam jangka panjang sumber daya
manusianya tidak berkualitas karena sudah ada masalah-masalah dalam
keluarga.
Secara yuridis sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang kelurga akan tetapi belum menajam sehingga masih diperlukan suatu
aturan yang mengikat banyak pihak agar mau bersama-sama bergandeng
tangan mengokohkan ketahanan keluarga.
65
2. Terkait implementasi Perda Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017 tentang
Peningkatan Ketahanan Keluarga sudah ada beberapa program yang telah
dilaksanakan. Namun yang sangat disayangkan adalah belum adanya Petunjuk
Pelaksana Perda Ketahanan Keluarga serta Peraturan Wali Kota terkait
Ketahanan Keluarga. Mestinya hal-hal tersebut sudah ada sesuai dengan apa
yang diamanahkan dalam Perda Ketahanan Keluarga tersebut.
B. Rekomendasi
1. Pemerintah kota atau OPD terkait harus selalu mensosialisasikan Perda
Peningkatan Ketahanan Keluarga agar diketahui seluruh masyarakat.
2. Pemerintah Kota agar secepatnya membuat kebijakan dalam pelaksanaan
pembangunan ketahanan Keluarga yang tertuang dalam Rencana Aksi
Pembinaan dan Pembangunan Ketahanan Keluarga Daerah yang disusun
untuk jangka waktu paling sedikit 3 tahun sesuai aturan Perda tersebut.
3. Petunjuk pelaksanaan dan Peraturan Wali Kota terkait Ketahanan Keluarga
harus segera dibuat dan ditetapkan agar dapat diimplementasikan secara
optimal.
66
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Lembaga Penelitian, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Ali, Zinuddin. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-pokok Filsafat Hukum. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pembangunan
Ketahanan Keluarga 2016. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak, 2016.
Marzali, Amri. Antropologi dan Kebijakan Publik. Jakarta: Kencana, 2014.
Prastowo, Andi. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan
Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2015.
______________. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 1988.
Soeprapto, Maria Farida Indrati. “Pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 1994 Ditinjau Dari Sistem Pemerintahan Negara, Cita Hukum dan
Norma Fundamental Negara Republik Indonesia”. Tesis Magister, Universitas
Indonesia, 1997.
Utsman, Sabian. Dasar-dasar Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Wahab, Solichin Abdul. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-
Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012.
______________. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang: UMM Press,
2008.
Wibawa, Samodra. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta, Graha Ilmu,
2011.
Wibowo, Eddi, dkk. Kebijakan Publik dan Budaya. Yogyakarta: Yayasan Pembaruan
Administrasi Publik Indonesia (YPAPI), t.th.
Winarno, Budi. Kebijakan Publik (Teori, Proses, dan Studi Kasus). Yogyakarta:
CAPS (Center of Academic Publishing Service), 2014.
67
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Depok Tentang Ketahanan
Keluarga
Peratura Pemerintah Nomor 87 tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi
Keluarga
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 15 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kota
Layak Anak
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 7 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah Kota Depok Tahun 2016-2021
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2017 tentang Peningkatan Ketahanan
Keluarga
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Ketahanan Keluarga
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan
Masyarakat Dan Kesejahteraan Keluarga
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun
2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun
2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga
Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi
Keluarga
Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga
Muthmainnah. “RUU Ketahanan Keluarga: Modifikasi Hukum Sebagai Upaya
Mencapai Tujuan Hukum Islam Dalam Memelihara Keturunan”. Jurnal
Syariah 4. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. (Juli, 2016).
Puspitawati, Herien, dkk. “Telaah Pengintegrasian Perspektif Gender dalam Keluarga
Untuk Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender dan Ketahanan
68
Keluarga di Provinsi Jawa Timur dan Sumatera Utara”. Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indnesia dan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian
Bogor. 2016.
Daring, KBBI. Dikutip dari https://kbbi.kemdikbud.go.id pada tanggal 5 Mei 2018.
Dikutip dari http://www.metropolitan.id/2016/12/raperda-ketahanan-keluarga-di-
kota-depok-harus-segera-disahkan/ diakses pada tanggal 15 April 2018.
Dikutip dari https://www.depok.go.id/13/11/2017/01-berita-depok/wali-kota-
resmikan-tpa-dan-puspaga-kota-depok diakses pada tanggal 28 Agustus 2018.
Dikutip dari https://www.depok.go.id/16/04/2018/01-berita-depok/wujudkan-kota-
ketahanan-keluarga-dengan-pembinaan-kader-tribina pada tanggal 21 Agustus
2018.
Dikutip dari https://www.depok.go.id/19/04/2016/01-berita-depok/ini-3-program-
unggulan-kota-depok-tahun-2016-2021 diakses pada tanggal pada tanggal 25
Maret 2019
Dikutip dari https://www.depok.go.id/30/10/2017/01-berita-depok/106769 diakses
pada tanggal 28 Agustus 2018.
Dikutip dari https://www.depok.go.id/profil-kota/demografi pada tanggal 28 Austus
2018.
Dikutip dari https://www.depok.go.id/profil-kota/sejarah diakses pada tanggal 28
Agustus 2018.
Dikutip dari https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/09/16/owc7
en349-pemerintah-dorong-pembentukan-puspaga-di-berbagai-daerah diakses
pada tanggal 28 Agustus 2018.
Interview pribadi dengan Ani Rahmawati, Kepala Bidang Ketahanan Keluarga dan
Keluarga Berencana, DPAPMK Kota Depok, Depok, 20 Juli 2018.
Interview Pribadi dengan Farida Rachmayanti, Ketua Pansus Perda Peningkatan
Ketahanan Keluarga Kota Depok, Depok, 3 Agustus 2018.
LAMPIRAN
70
WALI KOTA DEPOK
PROVINSI JAWA BARAT
PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK
NOMOR 9 TAHUN 2017
TENTANG
PENINGKATAN KETAHANAN KELUARGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALI KOTA DEPOK,
Menimbang : a. bahwa keluarga sebagai bagian unit kecil masyarakat merupakan
amanat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki hak
didalamnya dan melekat harkat dan martabat sebagai keluarga
sejahtera yang berperan demi terciptanya cita-cita perjuangan
bangsa yang perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk
terpenuhi haknya, yakni hak hidup, hak tumbuh kembang, hak
pendidikan, hak perlindungan dan hak partisipasi serta
menjalankan kehidupannya secara wajar;
b. bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan di bidang sosial,
ekonomi, budaya serta teknologi informasi, selain menyediakan
SALINAN
71
kesempatan untuk maju dan berkembang juga telah mengubah dan
menggeser tatanan ketahanan keluarga, untuk itu pembinaan dan
pengembangannya perlu dilakukan semaksimal mungkin dengan
menyusun kebijakan yang berpihak pada kepentingan keluarga
dan mampu memberikan perlindungan kepada keluarga melalui
Kebijakan Pemerintah Kota di dalam Penyelenggaraan Ketahanan
dan kesejahteraan Keluarga;
c. bahwa berdasarkan ketentuan huruf N Lampiran Undang- Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015, Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang
Pengendalian Penduduk Dan Keluarga Berencana Sub-Urusan
Keluarga Sejahtera Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
melaksanakan pembangunan keluarga melalui pembinaan
ketahanan dan kesejahteraan keluarga;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah
tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019);
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah
Tingkat II Cilegon (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3828);
72
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 297, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5606);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4419);
7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4720);
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
73
Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4674) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232,
Tambahan Lembaran Negara Repblik Indonesia Nomor 5475);
10. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);
11. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Lembaran Negara
Republik Indonesia Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 161,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5080);
12. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1994 tentang Pengelolaan
Perkembangan Kependudukan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3559);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga,
Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 319, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5614);
15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Pemberdayaan Masyarakat Dan Kesejahteraan Keluarga;
74
16. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Nomor 06 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan
Keluarga;
17. Peraturan Menteri Sosial Nomor 16 Tahun 2013 tentang Lembaga
Konsultasi Kesejahteraan Keluarga;
18. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa
Barat Tahun 2012 Nomor 3 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 117);
19. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Barat Tahun 2012 Nomor 10 Seri E, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 124);
20. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga (Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2014 Nomor 9 Seri E,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 169);
21. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 05 Tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan (Lembaran Daerah
Kota Depok Tahun 2007 Nomor 05, Tambahan Lembaran Daerah
Kota Depok Nomor 60) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Daerah Kota Depok Nomor 10 Tahun 2015 tentang Perubahan
Ketiga Atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 05 Tahun 2007
tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan (Lembaran
Daerah Kota Depok Tahun 2015 Nomor 10);
22. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 15 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Kota Layak Anak (Lembaran Daerah Kota Depok
Tahun 2013 Nomor 15);
75
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA DEPOK
Dan
WALI KOTA DEPOK
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENINGKATAN
KETAHANAN KELUARGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Kota adalah Kota Depok.
2. Wali Kota adalah Wali Kota Depok.
3. DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Kota Depok.
4. Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang selanjutnya disebut Pemerintah Provinsi
adalah Gubernur Jawa Barat sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
5. Pemerintah Kota Depok, yang selanjutnya disebut Pemerintah Kota adalah
Wali Kota sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang
memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom.
6. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan DPRD dalam
penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
7. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami isteri,
atau suami, isteri, dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
8. Ketahanan Keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki
keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materiil dan
76
psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan
keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir
dan kebahagiaan batin.
9. Pembangunan Ketahanan Keluarga adalah upaya komprehensif,
berkesinambungan, gradual, koordinatif dan optimal secara berkelanjutan oleh
Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, pemangku kepentingan
terkait dan masyarakat, dalam menciptakan, mengoptimalisasi keuletan dan
ketangguhan keluarga untuk berkembang guna hidup harmonis dalam
meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.
10. Peningkatan Ketahanan Keluarga adalah berbagai upaya untuk meningkatkan
kualitas kondisi keluarga dalam menghadirkan keuletan dan ketangguhan
serta kemampuan fisik materiil dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri
dan mengembangkan diri untuk hidup harmonis dalam meningkatkan
kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin secara bertahap dan
berkesinambungan.
11. Keluarga Berkualitas adalah kondisi keluarga yangmencakup aspek
pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, kemandirian keluarga, dan
mental spiritual serta nilai-nilai agama yang merupakan dasar untuk mencapai
keluarga sejahtera.
12. Keluarga Sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan
material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki
hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara
keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.
13. Keluarga Harmonis yaitu keluarga yang rukun berbahagia, tertib, disiplin,
saling menghargai, penuh pemaaf, tolong menolong dalam kebajikan,
memiliki etos kerja yang baik, bertetangga dengan saling menghormati, taat
mengerjakan ibadah, berbakti pada yang lebih tua, mencintai ilmu
77
pengetahuan dan memanfaatkan waktu luang dengan hal yang positif dan
mampu memenuhi dasar keluarga.
14. Keluarga Prasejahtera adalah keluarga yang tidak dapat memenuhi salah satu
indikator atau lebih dari 6 (enam) indikator penentu, yaitu pangan, sandang,
papan, penghasilan, kesehatan dan pendidikan.
15. Keluarga Rentan adalah keluarga yang dalam berbagai matranya tidak atau
kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensinya sebagai
akibat dari keadaan fisik dan/atau nonfisiknya.
16. Perencanaan adalah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang
tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang
ada.
17. Gugus Tugas Kota Layak Anak adalah lembaga koordinatif Pemerintah Kota
di tingkat kota yang mengkoordinasikan kebijakan, program, dan kegiatan
untuk penyelenggaraan Kota Layak Anak dari Pemerintah Kota yang
beranggotakan wakil dari unsur eksekutif, legislatif dan yudikatif membidangi
anak, dengan didukung perguruan tinggi, organisasi non pemerintah
diantaranya Forum Kota Layak Anak, lembaga masyarakat, swasta, orang tua,
keluarga dan melibatkan forum anak.
18. Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga yang selanjutnya disebut LK3
adalah Unit pelayanan sosial terpadu yang melaksanakan penanganan masalah
psikososial keluarga untuk mewujudkan ketahanan keluarga.
19. Lembaga Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat dengan LKS adalah
organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
20. Sertifikat Bimbingan Pra-Nikah adalah bukti otentik keikutsertaan/kelulusan
dalam mengikuti Kursus pra nikah.
BAB II
ASAS DAN PRINSIP
78
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Peningkatan ketahanan keluarga dilaksanakan berdasarkan asas:
a. keagamaan;
b. legalitas;
c. kemanusiaan;
d. keseimbangan;
e. manfaat;
f. perlindungan;
g. kekeluargaan;
h. keterpaduan; dan
i. partisipatif.
Bagian Kedua
Prinsip
Pasal 3
Peningkatan Ketahanan Keluarga yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a. tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, akuntabilitas,
partisipasi, keterbukaan informasi dan supremasi hukum;
b. non-diskriminasi, yaitu tidak membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin,
bahasa, paham politik, asal kebangsaan, status ekonomi, kondisi fisik, mental
maupun psikis keluarga;
c. berbasis budaya dan kearifan lokal;
d. kualitas kependudukan yang berdaya saing.
BAB III
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Tujuan
79
Pasal 4
(1) Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota Depok bertujuan untuk menjadi acuan
bagi Pembangunan dan Pembinaan Ketahanan Keluarga di Kota Depok.
(2) Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota Depok bertujuan untuk :
a. mengoptimalkan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan fisik
material dan mental spiritual secara seimbang;
b. mewujudkan keharmonisan keluarga, cinta dan kasih sayang serta saling
menghargai berdasarkan nilainilai agama dan budaya luhur bangsa;
c. menjadikan keluarga sebagai wahana pendidikan pertama dan utama bagi
sumber daya manusia;
d. menjadikan kualitas keluarga sebagai basis perencanaan dan indikator
keberhasilan pembangunan;
e. meningkatkan kualitas sistem pelayanan publik yang ramah keluarga;
f. meningkatkan peran serta keluarga dalam pencapaian tujuan
pembangunan.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 5
Ruang lingkup Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota Depok meliputi hal-hal
sebagai berikut:
a. penyelenggaraan pendampingan pra-nikah;
b. pembangunan keharmonisan keluarga;
c. pendidikan dan pengasuhan anak;
d. pemberdayaan perempuan untuk peningkatan perekonomian keluarga;
e. kelembagaan ketahanan keluarga;
f. perlindungan khusus keluarga;
g. pembinaan, pengawasan dan pengendalian;
h. kemitraan strategis ketahananan keluarga.
80
BAB IV
PENYELENGGARAN PENDAMPINGAN PRA-NIKAH
Pasal 6
(1) Setiap calon pasangan menikah berhak untuk mendapatkan :
a. bimbingan;
b. informasi; dan
c. pemeriksaan kesehatan Pra-Nikah.
(2) Bimbingan Pra-Nikah diselenggarakan untuk terwujudnya perkawinan yang
dicita-citakan sesuai perundangundangan yang dlaksanakan oleh Direktorat
Jenderal bimbingan masyarakat Islam atau lembaga keagamaan lainnya yang
menyelenggarakan bimbingan Pra-Nikah.
(3) Informasi Pra-Nikah berkaitan dengan masalah perkawinan, pengembangan
kualitas diri, dan pelayanan kesehatan terkait persiapan perkawinan.
(4) Bimbingan Pra-Nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
kursus dengan materi yang memuat tentang kesehatan reproduksi, Undang-
Undang Perkawinan, Keharmonisan Keluarga, Pendidikan dan Pengasuhan
Anak, fungsi keluarga sesuai norma agama, adat, sosial, serta ketentuan
peraturan perundangundangan dan lain-lain.
(5) Penyediaan informasi dan bimbingan Pra-Nikah dilaksanakan oleh Organisasi
Perangkat Daerah dan dapat dilakukan bekerjasama dengan Kantor Urusan
Agama serta pemangku kepentingan ketahanan keluarga lainnya.
(6) Penyelenggaraan Bimbingan Pra-Nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditandai dengan dikeluarkannya sertifikat bimbingan Pra-Nikah bagi calon
Pasangan suami isteri.
(7) Bimbingan Pra-Nikah dapat dilakukan di tempat ibadah sesuai
kepercayaannya masing-masing dan/atau di tempat Penyelenggara Bimbingan
yang di inisiasi Pemerintah.
81
(8) Pemeriksaan kesehatan Pra-Nikah diselenggarakan secara berkala oleh
Pemerintah Kota Depok dan dapat bekerjasama dengan lembaga atau
organisasi kesehatan.
(9) Sertifikat Bimbingan Pra-Nikah dapat menjadi syarat kelengkapan pencatatan
perkawinan.
BAB V
PEMBANGUNAN KEHARMONISAN KELUARGA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
(1) Pembangunan keharmonisan keluarga diselenggarakan oleh Pemerintah Kota
melalui Perangkat Daerah yang menangani ketahanan keluarga.
(2) Perangkat Daerah yang menangani ketahanan keluarga mempunyai wewenang
untuk :
a. membuat kebijakan teknis tentang pembangunan keharmonisan keluarga;
b. memberdayakan masyarakat;
c. membangun kemitraan dengan organisasi profesi, akademisi, lembaga
pendidikan, lembaga sosial dan pemangku kepentingan keluarga lainnya;
d. memfasilitasi para pasangan suami isteri untuk mendapatkan legalitas
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) Tahapan pembangunan keharmonisan keluarga adalah :
a. pembangunan keharmonisan hubungan suami dan isteri;
b. pembangunan keharmonisan hubungan orang tua dengan anak, ayah
dengan anak, hubungan ibu dengan anak;
c. pembangunan keharmonisan dalam lingkup keluarga besar;
d. pembangunan keharmonisan keluarga dan anggota keluarga dalam
kehidupan bermasyarakat.
82
(4) Pembangunan keharmonisan keluarga dilakukan melalui kegiatan sosialisasi,
edukasi dan pembinaan secara terintegrasi dan berkelanjutan.
(5) Metode kegiatan pembangunan keharmonisan keluarga sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat berupa seminar, diskusi kelompok, konsultasi
dan kegiatan lainnya.
(6) Pembangunan keharmonisan keluarga harus dilakukan sampai tingkat terkecil
pemerintahan yaitu Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT).
Bagian Kedua
Keluarga
Paragraf 1
Hak dan Kewajiban Anggota Keluarga
Pasal 8
(1) Anggota Keluarga inti terdiri dari ayah, ibu, dan anak.
(2) Setiap anggota keluarga dalam penyelenggaraan pembangunan ketahanan
keluarga, berhak untuk:
a. memperoleh kebutuhan pangan, pelayanan kesehatan, pendidikan,
keterampilan dan bantuan khusus bagi penduduk rentan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. mendapatkan perlindungan, untuk menjaga keutuhan, ketahanan, dan
kesejahteraan keluarga;
c. mendapatkan informasi, perlindungan, dan bantuan untuk
mengembangkan kualitas diri dan fungsi keluarga sesuai norma agama
dan etika sosial;
d. mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang hidup
dalam masyarakat berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila;
e. berkomunikasi dan memperoleh informasi mengenai keluarga yang
diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya;
83
f. memperjuangkan pengembangan dirinya baik secara pribadi maupun
kelompok untuk membangun daerah/kota;
g. memperoleh dan mempertahankan ruang hidupnya;
h. mendapatkan informasi, perlindungan, dan bantuan untuk
mengembangkan kualitas diri dan fungsi keluarga sesuai norma agama,
etika sosial dan nilainilai kebangsaan;
i. mengembangkan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya terkait ketahanan keluarga;
j. hidup di dalam tatanan masyarakat yang aman dan tenteram, yang
menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi
manusia.
Pasal 9
Kewajiban anggota keluarga dalam peningkatan pembangunan ketahanan
keluarga, meliputi:
a. mengembangkan kualitas diri dan fungsi keluarga agar keluarga dapat hidup
mandiri dan mampu mengembangkan kualitas keluarga guna mewujudkan
ketahanan keluarga;
b. berperan dalam pembangunan ketahanan keluarga;
c. menghormati hak keluarga lain dalam kehidupan beragama, bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
d. memberikan data dan informasi berkaitan dengan keluarga yang diminta
Pemerintah Kota untuk pembangunan ketahanan keluarga sepanjang tidak
melanggar hak-hak penduduk.
Paragraf 2
Hak dan Kewajiban Pasangan Suami Isteri
Pasal 10
(1) Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban pasangan suami isteri, didasarkan
atas perkawinan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya yang dicatat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
84
(2) Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban suami dan isteri sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan.
Paragraf 3
Hak dan Kewajiban Isteri Sebagai Kepala Keluarga
Pasal 11
(1) Isteri sebagai Kepala Keluarga apabila :
a. suami telah meninggal dunia;
b. suami tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2); atau
c. pasangan suami isteri telah bercerai.
(2) Isteri dapat berperan sebagai pelaksana tugas kepala keluarga apabila
suaminya sudah tidak mampu menafkahinya lahir batin karena kondisi cacat
fisik dan psikis yang tetap.
(3) Keluarga yang hanya terdiri dari ibu dan anak maka seorang ibu tersebut
wajib menafkahi anak-anaknya baik lahir maupun batin.
(4) Hak Isteri sebagai kepala keluarga dan isteri yang berperan sebagai pelaksana
tugas kepala keluarga menjadi pelaksana tugas kepala keluarga :
a. mendapat penjagaan, perlindungan dan perhatian dari Pemerintah Kota
untuk dilindungi hak-haknya;
b. mendapatkan bantuan dari pemerintah kota dalam memenuhi hak
keluarganya;
c. melakukan perbuatan hukum;
d. mendapat kedudukan hak dan kewajiban yang sama dan seimbang dalam
keluarga dan masyarakat;
e. menjadi pembimbing dan pemelihara keluarga dengan penuh tanggung
jawab demi kelangsungan dan kesejahteraan keluarga;
f. mengurus kartu keluarga dan dokumen hak sipil lainnya;
g. membangun keluarga yang berkualitas secara bertanggung jawab.
(5) Kewajiban Isteri yang menjadi pelaksana tugas kepala keluarga :
85
a. mendidik dan memelihara anak dengan baik dan penuh tanggung jawab;
b. menjaga kehormatan keluarga;
c. memberi nafkah keluarga agar terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan
papan;
d. mengatur dan mengurusi rumah tangga keluarga demi kesejahteraan dan
kebahagiaan keluarga.
Pasal 12
(1) Pemberdayaan perempuan untuk peningkatan ekonomi keluarga ditujukan
kepada isteri sebagai kepala keluarga dan isteri yang berperan sebagai
pelaksana tugas kepala keluarga.
(2) Bentuk Program pemberdayaan Perempuan untuk peningkatan ekonomi
keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
Ketentuan Pasal 8 ayat (2) diberlakukan juga pada keluarga yang hanya terdiri
dari ayah dengan anak atau ibu dengan anak.
Bagian Ketiga
Pembinaan Suami Isteri
Pasal 14
(1) Pembinaan Suami Isteri bertujuan untuk mencegah terjadinya perceraian,
ketidakharmonisan keluarga, dan kekerasan dalam rumah tangga.
(2) Pembinaan Suami Isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
dalam bentuk, antara lain:
a. seminar;
b. lokakarya;
c. konsultasi;
d. promosi ketahanan keluarga.
(3) Materi Pembinaan Suami Isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
meliputi nilai keagamaan perkawinan dan keluarga, bahaya dan dampak
86
perceraian terhadap psikologis anak, hak dan kewajiban berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, pentingnya terjalin hubungan harmonis
sesuai norma agama, norma sosial, dan budaya, kerjasama dalam suka
maupun duka, pengelolaan sikap dan emosional sebagai orang tua, dan/atau
pengembangan potensi dan karakter anak.
(4) Pembinaan suami isteri yang dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh
pemerintah kota melibatkan semua unsur masyarakat.
(5) Kebijakan teknis pendidikan suami isteri ini dapat melibatkan Perangkat
Daerah yang menangani ketahanan keluarga, Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) dan Lembaga
Konsultasi dan Kesejahteraan Keluarga.
(6) Kewenangan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (P2TP2A) dan Lembaga Konsultasi dan Kesejahteraan
Keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
BAB VI
PENDIDIKAN DAN PENGASUHAN ANAK
Pasal 15
(1) Keluarga menjadi tempat pertama dan utama dalam proses pendidikan dan
pengasuhan anak.
(2) Setiap anak berhak untuk dibesarkan oleh orang tuanya sendiri dengan pola
asuh yang baik, santun dan penuh kasih sayang, serta seimbang dari ayah dan
ibunya.
(3) Pendidikan dan Pengasuhan anak bertujuan untuk berkembangnya potensi
anak agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
berwawasan kebangsaan dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
87
(4) Dalam hal efektifitas pendidikan dan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) pemerintah kota wajib mengupayakan terkait pencapaian
indikator Kota Layak Anak.
(5) Dalam upaya pendidikan dan pengasuhan anak maka setiap keluarga harus
berkomitmen dan berperan serta aktif dalam mewujudkan lingkungan Rukun
Warga (RW) yang Ramah Anak.
(6) Selain pendidikan formal, setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan
informal yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota demi terciptanya
ketahanan keluarga.
(7) Pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diantaranya
pendidikan keagamaan maupun berbagai penyuluhan yang diselenggarakan
lembaga mitra pemerintah dan organisasi terkait anak dan keluarga.
(8) Kebijakan teknis pendidikan anak menjadi tugas Perangkat Daerah yang
menangani ketahanan keluarga.
BAB VII
KELEMBAGAAN PENYELENGGARAAN KETAHANAN
KELUARGA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 16
(1) Kelembagaan Penyelenggaraan Ketahanan Keluarga, terdiri atas :
a. Tim Pembina Ketahanan Keluarga;
b. Tenaga lapangan Ketahanan Keluarga;
c. RW Ramah Anak.
(2) Petunjuk teknis kelembagaan penyelenggaraan ketahanan keluarga diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
Bagian Kedua
Tim Pembina Ketahanan Keluarga
Pasal 17
88
(1) Pemerintah Kota membentuk Tim Pembina Ketahanan Keluarga dalam
menyelenggarakan pembangunan ketahanan keluarga.
(2) Tim Pembina Ketahanan Keluarga Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
memiliki tugas merencanakan, mengkoordinasikan, mengevaluasi dan
melaporkan pelaksanaan kegiatan pembangunan dan pembinaan ketahanan
keluarga.
(3) Susunan keanggotaan Tim Pembina Ketahanan Keluarga Kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), meliputi unsur Pemerintah Kota, lembaga
pendidikan, dunia usaha, organisasi/lembaga keagamaan, profesi, dan yang
berkaitan dengan keluarga dan anak.
(4) Khusus berkaitan dengan lingkup pendidikan dan pengasuhan anak Tim
Pembina Ketahanan Keluarga dapat bekerjasama dengan Gugus Tugas Kota
Layak Anak dan Lembaga yang tercakup didalamnya.
Bagian Ketiga
Tenaga Lapangan Ketahanan Keluarga
Pasal 18
(1) Pemerintah Kota dapat menetapkan dan/atau menggerakan tenaga lapangan
ketahanan keluarga dalam optimalisasi pembangunan dan pembinaan
ketahanan keluarga.
(2) Tenaga lapangan ketahanan keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
memiliki tugas mengidentifikasi, memberikan motivasi, mediasi, mendidik,
merencanakan dan mengadvokasi.
(3) Susunan keanggotaan tenaga lapangan Ketahanan Keluarga Kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), antara lain :
a. Motivator Ketahanan Keluarga (Montekar);
b. Pendamping Kader Posyandu (PKP);
c. Tenaga Penggerak Kelurahan (TPKel);
d. tenaga lapangan ketahanan keluarga lainnya.
89
(4) Jenis Tenaga lapangan ketahanan keluarga lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan kebutuhan kegiatan di lapangan
yang ditetapkan oleh Kepala Perangkat Daerah yang membidangi Ketahanan
Keluarga.
(5) Dalam lingkup pendidikan dan pengasuhan anak tenaga lapangan Ketahanan
Keluarga dapat bekerjasama dengan Gugus Tugas Kota Layak Anak.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk teknis pembentukan tenaga
lapangan ketahanan keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
dengan Peraturan Wali Kota.
Paragraf 1
Motivator Ketahanan Keluarga
Pasal 19
(1) Motivator Ketahanan Keluarga dibentuk untuk melakukan pendampingan
secara sistematis dan berkelanjutan bagi keluarga pra-sejahtera atau keluarga
rentan.
(2) Motivator Ketahanan Keluarga Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat ditetapkan secara bertahap hingga tingkat kelurahan.
(3) Motivator Ketahanan Keluarga Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berhak :
a. mendapatkan supervisi dari Motivator Ketahanan Keluarga Kota dalam
menjalankan tugas pendampingannya;
b. melakukan konsultasi dengan Motivator Ketahanan Keluarga Kota dalam
penanganan permasalahan keluarga pra-sejahtera atau keluarga rentan;
c. mengikuti peningkatan kapasitas yang berkaitan dengan tugas dan
tanggung jawabnya secara berkala dari pemerintah kota.
(4) Tugas dan tanggung jawab tenaga motivator adalah:
a. meningkatkan kualitas hidup keluarga pra-sejahtera dan keluarga rentan
menjadi keluarga sejahtera;
90
b. mengoptimalkan peran perempuan dalam ketahanan keluarga, baik dari
aspek pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, dan politik agar memiliki
keberdayaan diri dalam kehidupan keluarga dan masyarakat;
c. mengembangkan pola-pola pengkaderan tenaga motivator ketahanan
keluarga sebagai motivator ketahanan keluarga di tingkat kelurahan untuk
memfasilitasi berbagai permasalahan dalam keluarga pra-sejahtera.
Paragraf 2
Pendamping Kader Posyandu
Pasal 20
(1) Pendamping kader Posyandu memiliki tugas memfasilitasi tercapainya target
dan sasaran revitalisasi Posyandu Kota di wilayah binaannya.
(2) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendamping
kader Posyandu miliki fungsi:
a. memfasilitasi peningkatan kapasitas kader Posyandu;
b. membantu pengurus dan kader Posyandu dalam melakukan Analisis
Mawas Diri;
c. mengkomunikasikan Posyandu dengan pemangku kepentingan;
d. menginisiasi kegiatan Pokjanal dan Pokja Posyandu;
e. mengadvokasi kebijakan pemerintah;
f. membantu Pokjanal dan sasaran revitalisasi Posyandu di wilayah
binaannya;
g. membantu melakukan pemantauan, monitoring, atau evaluasi capaian
target sasaran revitalisasi Posyandu di wilayah binaannya;
h. membantu melakukan verifikasi Posyandu calon penerima Hibah dan
Bantuan Sosial baik dari Pemerintah Kota;
i. menyampaikan laporan terkait tugas di wilayah binaannya kepada
Perangkat Daerah terkait.
Paragraf 3
Tenaga Penggerak Kelurahan
91
Pasal 21
(1) Tenaga Penggerak kelurahan merupakan petugas di tingkat kelurahan yang
melaksanakan :
a. operasional program kependudukan, keluarga berencana dan
pembangunan keluarga;
b. pembinaan, penyuluhan KB serta program pembangunan lainnya dalam
upaya pembangunan keluarga sejahtera;
c. pencatatan dan pelaporan program kependudukan, keluarga berencana,
dan pembangunan keluarga di tingkat kelurahan dan klinik KB;
d. pelaporan hasil kerja bulanan agar sesuai dengansistem yang berlaku;
e. pembinaan kepada institusi masyarakat;
f. koordinasi dengan lembaga masyarakat atau tokoh masyarakat dalam
pelaksanaan program kependudukan, keluarga berencana dan
pembangunan keluarga;
g. pertanggungjawaban dalam menyelesaikan PPM KB-KS di tingkat
kelurahan.
Bagian Keempat
Rukun Warga (RW) Ramah Anak
Pasal 22
(1) Setiap keluarga membutuhkan kerjasama dengan lingkungan di sekitarnya
dalam pendidikan dan pengasuhan anak dengan membangun komitmen
bersama membentuk Rukun Warga (RW) Ramah Anak.
(2) Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan Rukun Warga (RW) Ramah Anak
ditujukan bagi terbentuknya Keluarga Ramah Anak.
(3) Rukun Warga (RW) Ramah Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian dari Program Kota Layak Anak Depok yang secara teknis
dilaksanakan oleh Gugus Tugas Kota Layak Anak Depok bekerja sama
dengan Forum Kota Layak Anak yang terkoordinasi tingkat kelurahan.
Bagian Kelima
92
Sistem Informasi dan Data Keluarga
Pasal 23
(1) Pemerintah Kota menyelenggarakan sistem informasi pembangunan
ketahanan keluarga yang terintegrasi dari sistem informasi pembangunan
ketahanan keluarga tiap Kelurahan dan instansi-instansi terkait.
(2) Sistem informasi pembangunan ketahanan keluarga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), paling sedikit mencakup informasi hasil sensus, survey, dan
pendataan keluarga.
(3) Pemerintah Kota dapat memfasilitasi pembentukan sistem informasi
pembangunan ketahanan keluarga Kelurahan untuk menunjang integrasi
sistem informasi pembangunan ketahanan keluarga.
(4) Sistem informasi pembangunan ketahanan keluarga Kelurahan dilakukan
berbasis informasi teknologi dengan mensinergikan data dari seluruh
Posyandu, Motivator Ketahanan Keluarga Kelurahan dan Gugus Tugas
Kelurahan Layak Anak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan dan fasilitasi sistem
informasi pembangunan ketahanan keluarga, diatur dengan Peraturan Wali
Kota.
Bagian Keenam
Anggaran Ketahanan Keluarga
Pasal 24
Pemerintah Kota bertanggung jawab untuk mengupayakan anggaran dalam
pencapaian indikator peningkatan Ketahanan Keluarga baik melalui APBD
Kota, APBD Provinsi, APBN dan/atau sumber lainnya sesuai dengan
peraturan yang berlaku dan tidak mengikat sesuai dengan fokus dan program
Ketahanan Keluarga sebagaimana tercantum dalam Rencana Aksi Daerah
Kota Depok tentang penyelenggaraan ketahanan keluarga.
BAB VIII
PERLINDUNGAN KHUSUS KELUARGA
93
Bagian Kesatu
Keluarga Pra-Sejahtera
Pasal 25
Pemerintah Kota melalui Perangkat Daerah yang membidangi ketahanan
keluarga bertanggung jawab untuk memfasilitasi terselenggaranya program-
program bagi keluarga pra-sejahtera sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Pemerintah
Provinsi yang mendukung tercapainya peningkatan ketahanan keluarga.
Bagian Kedua
Keluarga Rentan
Pasal 26
(1) Kegiatan Pemberdayaan Keluarga Rentan adalah keluarga yang dalam
berbagai matranya tidak atau kurang mendapat kesempatan untuk
mengembangkan potensinya sebagai akibat dari keadaan fisik dan/atau
nonfisiknya.
(2) Kegiatan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) di atas dilakukan dengan
pemberian stimulan terhadap keluarga yang dikategorikan Keluarga Rentan.
(3) Stimulan tersebut berupa bantuan fasilitas dari Pemerintah Kota, baik bantuan
dalam bentuk bantuan alat kontrasepsi gratis, penyuluhan KB gratis, bantuan
biaya persalinan, modal usaha, ataupun fasilitas-fasilitas lain yang sesuai
dengan potensi keluarga rentan sehingga dapat menopang keberlangsungan
keluarganya untuk mengembangkan kemandirian ekonomi.
(4) Pemberian stimulan tersebut harus dilakukan minimal setiap satu tahun sekali
dan dilakukan pengawasan oleh Perangkat Daerah yang menangani ketahanan
keluarga khususnya.
(5) Pelaksana dari Kegiatan Pemberdayaan Keluarga Rentan adalah Perangkat
Daerah yang menangani ketahanan keluarga.
BAB IX
PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
94
KETAHANAN KELUARGA
Bagian Kesatu
Pasal 27
(1) Wali Kota melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap
penyelenggaraan peningkatan ketahanan keluarga sesuai kewenangan,
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan
pembangunan ketahanan keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang menangani ketahanan keluarga.
(3) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), bertujuan untuk mencapai indikator ketahanan keluarga.
(4) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), berupa pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi, pendidikan dan
pelatihan serta kegiatan pemberdayaan lain secara insidentil maupun secara
periodik.
Bagian Kedua
Penghargaan dan dukungan
Paragraf 1
Umum
Pasal 28
Pemerintah Kota dapat memberikan penghargaan dan/atau dukungan kepada
Instasi terkait, perorangan, keluarga organisasi keagamaan, organisasi sosial
kemasyarakatan, lembaga masyarakat, organisasi profesi, lembaga sosial,
lembaga pendidikan, dan dunia usaha yang berprestasi dan memiliki
kontribusi terhadap keberhasilan penyelenggaraan pembangunan ketahanan
keluarga.
Paragraf 2
Penghargaan
Pasal 29
95
(1) Penghargaan dapat diberikan kepada:
a. perorangan;
b. keluarga;
c. organisasi keagamaan;
d. organisasi sosial kemasyarakatan;
e. lembaga masyarakat;
f. organisasi profesi;
g. lembaga sosial;
h. lembaga pendidikan; dan
i. dunia usaha.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan dalam bentuk
piagam, plakat, medali, dan/atau bentuk lain, sesuai ketentuan peraturan
perundangundangan.
Paragraf 3
Dukungan
Pasal 30
(1) Dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dapat diberikan kepada:
a. perorangan;
b. keluarga;
c. organisasi keagamaan;
d. organisasi sosial kemasyarakatan;
e. lembaga masyarakat; dan
f. lembaga sosial.
(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitas dan
bimbingan penyelenggaraan pembangunan ketahanan keluarga, pemberian
stimulan, pengembangan dan penguatan kelembagaan, dan pemberian
pelatihan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pemberian dukungan diatur
dengan Peraturan Wali Kota.
96
BAB X
KEMITRAAN STRATEGI PENINGKATAN KETAHANAN
KELUARGA
Bagian Kesatu
Pemerintah Kota
Pasal 31
(1) Pemerintah Kota membuat kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan
ketahanan keluarga, meliputi:
a. peningkatan nilai agama, wawasan kebangsaan, Pancasila dan UUD 1945
yang dimulai dari lingkungan keluarga sebagai wahana pendidikan
pertama dan utama;
b. ketahanan fisik keluarga, yang dilaksanakan untuk mendorong
pemenuhan kebutuhan dasar fisik keluarga meliputi sandang, pangan,
perumahan, pendidikan dan kesehatan;
c. ketahanan ekonomi, yang dilaksanakan untuk mendorong peningkatan
penghasilan kepala keluarga;
d. ketahanan sosial psikologi, yang dilaksanakan untuk mendorong keluarga
dalam memelihara ikatan, dan komitmen berkomunikasi secara efektif,
pembagian dan penerimaan peran, menetapkan tujuan, mendorong
anggota keluarga untuk maju, membangun hubungan sosial, dan
mengelola masalah keluarga serta menghasilkan konsep diri, harga diri,
dan integritas diri yang positif.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertuang dalam Rencana Aksi
Pembinaan dan Pembangunan Ketahanan Keluarga Daerah.
(3) Rencana Aksi Pembinaan dan Pembangunan Ketahanan Keluarga Daerah
disusun untuk jangka waktu paling sedikit 3 (tiga) tahun.
Pasal 32
(1) Pelaksanaan pembangunan ketahanan keluarga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31, dilaksanakan melalui:
97
a. peningkatan kualitas anak melalui pemberian akses informasi,
pendidikan, penyuluhan, dan pelayanan mengenai perawatan,
pengasuhan, perlindungan, serta perkembangan anak;
b. peningkatan kualitas remaja melalui pemberian akses informasi,
pendidikan, konseling, dan pelayanan mengenai kehidupan berkeluarga;
c. peningkatan kualitas hidup bagi lanjut usia agar tetap produktif dan
berguna bagi keluarga dan masyarakat dengan pemberian kesempatan
untuk berperan dalam kehidupan keluarga;
d. peningkatan peran, fungsi, dan tugas keluarga;
e. pemberdayaan keluarga rentan melalui perlindungan dan bantuan
dan/atau fasilitasi untuk mengembangkan diri agar setara dengan keluarga
lain;
f. peningkatan kualitas lingkungan keluarga;
g. peningkatan akses dan peluang terhadap penerimaan informasi dan
sumberdaya ekonomi keluarga;
h. pengembangan cara inovatif melalui bantuan dan/atau fasilitasi yang lebih
efektif bagi keluarga prasejahtera;
i. pengembangan program dan kegiatan dalam upaya mengurangi angka
kemiskinan bagi keluarga prasejahtera dan perempuan yang berperan
sebagaikepala keluarga.
Bagian kedua
Dunia Usaha
Pasal 33
(1) Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha wajib berperan
aktif:
a. menyediakan sarana prasarana ketahanan keluarga seperti
mengalokasikan anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan untuk
mendukung program penyelenggaraan Ketahanan Keluarga;
98
b. penyelenggaraan iklan pembentukan keluarga sejahtera dengan
menggunakan bahasa positif;
c. memberi bantuan terhadap program pemerintah untuk keluarga pra-
sejahtera.
(2) Dunia usaha wajib berperan dalam penyelenggaraan pembangunan ketahanan
keluarga, yang dilaksanakan kepada setiap karyawan dan keluarga karyawan.
(3) Peran dunia usaha dalam penyelenggaraan pembangunan ketahanan keluarga
dapat mengacu pada bentuk peran masyarakat.
Bagian Ketiga
Masyarakat
Pasal 34
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan
dalam penyelenggaraan pembangunan ketahanan keluarga.
(2) Peran masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan ketahanan keluarga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh:
a. perorangan;
b. lembaga pendidikan;
c. organisasi keagamaan;
d. organisasi sosial kemasyarakatan;
e. lembaga masyarakat;
f. organisasi profesi; dan
g. lembaga sosial.
Pasal 35
(1) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dapat berupa
pemikiran, prakarsa, keahlian, dukungan kegiatan, tenaga, dana, barang, jasa,
dan/atau fasilitas untuk penyelenggaraan pembangunan ketahanan keluarga
dengan prinsip non-diskriminatif, yang dilakukan melalui kegiatan:
a. pemberian saran dan pertimbangan dalam penyelenggaraan pembangunan
ketahanan keluarga;
99
b. pelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 dan kearifan lokal yang mendukung penyelenggaraan
pembangunan ketahanan keluarga;
c. penyediaan dana, jasa sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
pembangunan ketahanan keluarga;
d. pemberian layanan konsultasi bagi keluarga harmonis; dan
e. kegiatan lain yang mendukung terlaksananya penyelenggaraan
pembangunan ketahanan keluarga, yang ditetapkan kemudian.
(2) Kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
masyarakat dengan berkoordinasi kepada Pemerintah Kota.
Bagian Keempat
Pers dan Media
Pasal 36
Pers dan media massa, wajib :
a. memperhatikan serta mematuhi norma-norma yang berlaku di masyarakat
sesuai Undang-Undang Pers dan Kode Etik Pers dalam pemberitaan yang
berkaitan dengan ketahanan keluarga;
b. melindungi Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) dengan tidak
mengeksploitasi berita di media cetak dan elektronik.
c. menjaga nilai-nilai suku, agama, ras dan antar golongan dalam penyiaran,
penampilan, dan penayangan berita dalam kondisi kehidupan anak dan
keluarga dalam masyarakat.
BAB XI
KERJASAMA
Pasal 37
(1) Pemerintah Kota mengembangkan pola kerjasama dalam rangka
penyelenggaraan pembangunan ketahanan keluarga, sesuai ketentuan
perundang-undangan.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan:
100
a. pemerintah;
b. pemerintah provinsi;
c. pemerintah kabupaten/kota lain;
d. instansi terkait;
e. lembaga pendidikan;
f. organisasi keagamaan;
g. dunia usaha;
h. masyarakat; dan/atau
i. pihak lain yang menunjang terhadap pembangunan ketahanan keluarga.
(3) Bentuk kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa:
a. bantuan pendanaan;
b. bantuan tenaga ahli;
c. bantuan sarana dan prasarana;
d. sistem informasi;
e. pendidikan dan pelatihan;
f. pemberdayaan dan pendampingan sosial; dan/atau
g. kerjasama lain di bidang pembangunan ketahanan keluarga.
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 38
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 32 dan Pasal 36 Peraturan Daerah ini,
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan; dan/ atau
d. pencabutan izin usaha.
101
Pasal 39
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dilakukan
sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu masing-masing peringatan
tertulis paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
(2) Peringatan tertulis pertama diberikan jika setiap badan usaha tidak segera
melakukan upaya perbaikan.
(3) Peringatan tertulis kedua diberikan jika setiap badan usaha tidak melakukan
upaya perbaikan hingga batas waktu yang ditetapkan dalam peringatan tertulis
pertama.
(4) Peringatan tertulis ketiga diberikan jika setiap badan usaha tidak melakukan
upaya perbaikan hingga batas waktu yang ditetapkan dalam peringatan tertulis
kedua.
Pasal 40
(1) Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 huruf b, dilakukan apabila setelah diberikan sanksi administratif
peringatan tertulis ketiga, setiap badan usaha tidak mematuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (4).
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1), paling
banyak sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan disetorkan ke
Kas Daerah.
Pasal 41
Setiap badan usaha yang tidak membayar denda administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa
penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf c.
Pasal 42
Sanksi administratif berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 huruf d, dilakukan apabila setelah diberikan sanksi administratif penghentian
sementara, setiap badan usaha tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41.
102
Pasal 43
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 tidak membebaskan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan
pidana.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 44
(1) Kelembagaan Ketahanan Keluarga yang telah dibentuk sebelum Peraturan
Daerah ini diundangkan, tetap bekerja sampai ditetapkan lebih lanjut sesuai
dengan Peraturan Daerah ini.
(2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 6
(enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Petunjuk pelaksanaan Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lambat 1
(satu) tahun terhitung sejak diberlakukannya Peraturan Daerah ini.
Pasal 46
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah kota Depok.
Ditetapkan di Depok
pada tanggal 16 Januari 2017
WALI KOTA DEPOK,
TTD
K.H. MOHAMMAD IDRIS
103
104
HASIL WAWANCARA
DENGAN DINAS PERLINDUNGAN ANAK, PEMBERDAYAAN
MASYARAKATDAN KELUARGA (DPAPMK) KOTA DEPOK
NAMA : Ani Rahmawati, Aks.
NIP : 19660528 199002 2 002
JABTAN : Kepala Bidang Ketahanan Keluarga dan Keluarga Berencana,
DPAPMK Kota Depok
HARI/TANGGAL : Jum’at/20 Juli 2018
1. Apa yang melatarbelakangi dibentuknya Peraturan Daerah kota Depok Nomor 9
tahun 2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga ?
Sebetulnya perda ini adalah hak inisiasi dari DPRD karena memang membuat
Peraturan adalah tugas dewan. Selain itu karena semakin meningkatnya angka
perceraian di kota Depok. Karena sekarangmah yang menggugat bukan suami
tapi malah istri. Karena mungkin alasannya semakin tinggi ilmu yang dia punya,
perempuan jadi semakin mobailnya luar biasa. Karena disitu juga disinggung 8
fungsi keluarga ya, pertama kan agama, jadi kalo memang perempuannya
agamanya kuat mah pasti dia akan mengendalikan diri apapun yang terjadi,
karena mau tidak mau ya laki-laki itu adalah pimpinan keluarga. Selain itu
keluarga merupakan muara dari semuanya, kalau generasi mau bagus ya
keluarganya harus bagus. Karena keluarga itu kan ayah, ibu, anak. Unit terkecil
dari masyarakat itu kan keluarga. Karena itu perlu dioptimalkanlah peranan
keluarga sehingga insyaallah kalo memang keluarganya sudah tahan, optimal,
negarapun insyaallah akan kuat, angka perceraian pun bisa diminimalisir.
Kenakalan remaja juga bisa di atasi, karena kalo kita sudah bicara anak, anak itu
kan dari 0-18 kalo undang-undang. Tapi kan kita juga ada stepnya ternyata, ada
anak yang usia balita, batita, remaja awal, remaja dewasa, sampai akhirnya ke
lansia. Itu memang semuanya ada di sini muaranya, di dpapmk. Jadi dari balita
seperti apa nanti pengokohan terkait dengan ketahanan keluarga, sampai-sampai
105
kita punya tribina, BKB (Bina Keluarga Balita), BKR (Bina Keluarga Lansia),
BKL (Bina Keluarga Lansia), UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga
Sejahtera), sama PIKR (Pusat Informasi Konseling Remaja). Program ini sudah
ada sebelum adanya perda ini, karena program ini prodaknya BKKBN
2. Bagaimana urgensi dibentuknya Peraturan Daerah kota Depok Nomor 9 tahun
2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga ? Mengapa prihal ketahanan
keluarga harus diatur dalam Perda ?
Sebetulnya tanpa adanya perda inipun kita bisa jalan aja yah, karena keluarga itu
kan bingkai yang harus dikokohkan. Tapi ternyata memang bukan ngada-ngada
sih, memang harus ada ternyata. Karena disitu akan jelas siapa berbuat apa, dan
yang pasti supaya jelas aja uraian yang akan dia lakukan pada saat ada kebijakan
atau ada aturan yang memang harus dilakukan. Kan disitu ada dunia usaha dll.
Jadi tercover di perda ini.
3. Bagaimana sosialisasi Peraturan Daerah kota Depok Nomor 9 tahun 2017 tentang
Peningkatan Ketahanan Keluarga ?
Sosialisasi sudah dilakukan secara berjenjang mualai dari tingkat kota,
kecamatan, kelurahan. Sampai pengkaderanpun selalu kita berikan sosialisasi.
4. Perda ini tentu tidak akan terselenggara dengan baik jika hanya dilaksanakan
oleh DPAPMK karena dibutuhkan kerjasama dari pihak lain. Bagaimana
kerjasama yang sudah dilakukan dengan pihak lain ?
Dari OPD yang terkait tidak hanya dari DPAPMK. Misalkan pada saat anak
butuh kesehatan berarti kan Dinas Kesehatan, anak ini butuh identitas,
disdukcapil. Karena secara kelembagaan, kita adalah Dinas Perlindungan Anak,
Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga, didalamnya ada bidang Ketahanan
Keluarga dan Keluarga Berencana, maka kamilah yang jadi leading sector yang
mengimplementasi perda ini, tapi secara kelembagaan, secara pekerjaan, itu
semua OPD harus mensukseskan perda tersebut. Missal orangtua butuh
Peningkatan pendapatan, ke Dinas Koperasi dan Usaha Menengah. Peran dunia
usaha juga kan ada, contohnya dia menyediakan ruang laktasi, itu juga salah satu
106
bentuknya. Pada saat si anak rewel kan tidak mesti dengan mainan yang tersedia
di mall, tapi ada ruang laktasi setidaknya dia masuk ke situ. Ada juga mall-mall
yang memang harus ramah anak, ramah lansia, semua harus. Gedung-gedung
perkantoran sudah diatur seperti itu. Ramah lansia, ramah anak, ada ruang
bermain yang gratis.
5. Pada pasal 5 Perda ini dimuat delapan poin ruang lingkup ketahanan keluarga
kota Depok yang dijabarkan lebih lanjut pengaturannya dalam bab-bab
berikutnya. Tapi ada satu poin yang belum dijabarkan, yakni tentang
Pemberdayaan Perempuan Untuk Peningkatan Perekonomian Keluarga.
Mengapa hal ini tidak diatur lebih lanjut ? Bagaimana pelaksanaan dari poin ini
jika tidak dijabarkan lebih lanjut ?
Lewat program UPPKS. selain itu kita juga membentuk kader-kader di
masyarakat yang menjadi ujung tombaknya. Kita latih mereka dengan sosialisasi
tentang perda, sosialisasi tentang meningkatkan pendapatan keluarga agar
keluarga sejahtera.
6. Pada BAB X pasal 31 menyatakan bahwa Pemerintah Kota membuat kebijakan
dalam pelaksanaan pembangunan ketahanan Keluarga yang tertuang dalam
Rencana Aksi Pembinaan dan Pembangunan Ketahanan Keluarga Daerah yang
disusun untuk jangka waktu paling sedikit 3 tahun. Apakah sudah dibuat
Rencana Aksi Pembinaan dan Pembangunan Ketahanan Keluarga Daerah ? Apa
saja yang tertuang di dalamnya ?
Kalau rencana mah pasti ada, action nya mah nanti setelah tiga tahun itu, rencana
mah pasti ada dan harus direncanakan sebelum kita beraksi. Ketika regulasi itu
dikeluarkan otomatis kita juga harus siap semuanya. Dukungan anggaran juga
iya, SDM juga harus.
7. Pada Ketentuan Penutup pasal 45 menyatakan bahwa petunjuk pelaksanaan perda
harus ditetapkan paling lambat satu tahun terhitung sejak diberlakukannya perda
ini. Apakah sudah ada petunjuk pelaksanaannya ?
107
Kalau secara juklak memang belum, cuma secara indikator ketahanan keluarga
sudah ada. Kemarin itu kan kita ada indikator dulu supaya lebih terarah gitu.
Kalau juklak mah nanti sebetulnya menyesuaikan dari apa yang ada di perda situ.
Kerangkanya kan sudah ada, cuma memang secara terrinci kita sudah lakukan
semua. Secara tupoksi memang dilakukan ada. Buktinya kita aja dari mulai
ketahanan keluarga yang memang notabene tupoksi kami secara kelembagaan
adalah ketahanan keluarga dan keluarga berencana, banyak masyarakat yang
akhirnya sudah melek dengan konsekuensi dari banyaknya anak. Merencanakan
kehamilan, merencanakan kelahiran, mengatur jarak kehamilan juga mereka
sudah tertanam.
108
HASIL WAWANCARA DENGAN FARIDA RACHMAYANTI S.E, M.Si
SEBAGAI KETUA PANSUS PERDA PENINGKATAN KETAHANAN
KELUARGA KOTA DEPOK
NAMA : Farida Rachmayanti S.E, M.Si.
NIP : -
JABTAN : Ketua Pansus Perda Peningkatan Ketahanan Keluarga Kota
Depok
HARI/TANGGAL : Jum’at/3 Agustus 2018
1. Apa yang melatarbelakangi dibentuknya Peraturan Daerah kota Depok Nomor 9
tahun 2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga ?
Dilihat dari latar belakang sosiologi maka melihat juga SWOT di kota depok.
Kalau dilihat dari potensi, punya sumber daya manusia. Jadi memang
korkompeten pembangunan di kota depok itu bertumpu pada sumber daya
manusia. Kita melihat sumber daya manusia ini tempat penggodokannya,
pengasahannya itu dari keluarga. Sehngga pembangunan itu penting untuk
menempatkan keluarga pada posisi strategis. Depok sebagai kota penyangga ibu
kota yang dinamika sosialnya tinggi. Ketika menyelesaikan permasalahan
dinamika sosial hanya dari satu aspek saja, misalnya ekonomi dari pendekatan
ekonomi, kemiskinan dari pendekatan kemiskinan, kenakalan remaja dari
remajanya, itu ngga bisa selesai. Ternyata ada sebuah institusi yang punya peran
besar dan punya pengaruh besar untuk menyelesaikan masalah sosial tadi.
Kenakalan remaja, pergaulan bebas, kemiskinan, bahkan disharmoni sosial itu
berangkat dari karena keluarga-keluarga tidak harmonis. Sehingga kemudian kita
ngga bisa nih bicara tentang keluarga hanya bicara tentang bagaimana
merencanakan jumlah anggota keluarga. Selama ini kan kalo kita bicara keluarga
itu KB yah. Nggabisa, tapi keluarga ya harus bicara dari bayak aspek dari
penguatan fungsi-fungsinya. Kalau kita lihat di BKKBN ada 8 fungsi keluarga.
109
Di depok juga tren angka perceraian tinggi. Yang cukup kita khawatirkan
ternyata dari data yang diperoleh itu di usia-usia keluarga muda. Bearti di kota
depok itu banyak tumbuh anak-anak atau sumber daya manusia yang tumbuh
berkembang tidak dalam kondisi yang membahagiakan, bahkan mungkin mereka
tidk mendapatkan hak-haknya nanti. Ini ngga bisa nih, harus segera dipotong, di
cut, gitu ya. Persiapan menghadapi bonus demografi 2030, bonus demografi itu
adalah suatu kondisi di sebuah kota atau negara dimana jumlah usia produktifnya
ngebom. Ini seharusnya menjadi hal yang positif, cuman masalahnya usia
produktif itu berkualitas atau tidak ? yang kita khawatirkan itu usia produktifnya
tidak berkualitas, jadi usia-usia produktif yang justru bermasalah. Jadi salah satu
cara depok menghadapi bonus demografi adalah mengokohkan ketahanan
keluarga. Sehingga nanti anak-anaknya matang secara mental, cerdas secara akal,
tinggi spiritualnya, kreatif. Kalau udah begini dia bisa berkompetisi. Kan nanti
persaingannya itu kuat di luar, anak-anak sudah punya kesiapan untuk
menghadapi situasi persaingan. Kita ingin nanti sumber daya kota depok saat
terjadi bonus demografi adalah mereka yang berkualitas. Minimal yang anak-
anak sma sekarang ketika tahin 2030 mereka akan menjadi bapak, dan kita ingin
mereka jadi bapak yang berkualitas. Karena di depok angka perceraian usia
pernikahan itu tinggi, kita nggamau lagi nih mencetak keluarga-keluarga yang
lemah, lemah dari sisi membangun relasi suami isteri, lemah dari sisi tanggung
jawab, tidak punya etos kerja yang tinggi sebagai seorang ayah, dia tidak punya
kesadaran yang tinggi bagaimana ikut berpartisipasi dalam mendidik anak.
Makanya kita berharap 5-10 tahun yang akan datang itu akan lahir keluarga-
keluarga yang lebih baik dari sekarang, atau mencegah semakin banyaknya
pasangan suami isteri yang tidak berkualitas. Karena merubah meraka yang
sudah menikah jauh lebih sulit, justru anak-anak sekarang yang masih fresh yang
akan lebih mudah dibina.
Secara yuridis juga sebenarnya undang undang Nomor 52 tahun 2009 tentang
kependudukan dan pembangunan keluarga. Jadi sebenarnya secara yuridis sudah
110
ada undang-undang yang mengatur tentang kelurga tapi belum menajam,
sehingga secara yuridis kita punya peluang. Untuk mengatasi masalah sosiologis
tadi, secara yuridis kita punya peluang untuk mengikat banyak pihak agar mau
bersama-sama bergandeng tangan mengokohkan ketahanan keluarga. Karena
ketika ketahanan keluarga ini dikokohkan, fungsi keluarga dikokohkan, maka
akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Ketika keluarga
ketahanannya dikokohkan, fungsinya dikokohkan, maka dia akan meminimalisir
masalah-masalah sosial. Kalau diambil rijitnya lagi nih misalnya, kenapa sih
anak itu jadi nakal ? karna memang dirumah dia tidak mendapatkan kasih sayang
kedua orang tuanya, emosinya labil, maka munculah yang disebut dengan
kenakalan remaja, ngga bisa kan diselesaikan hanya dari sisi remajanya. Ngga
bisa hanya sekedar dibuatkan ruang tempat berekspresi. Karena masalah
kejiwaannya bukan masalah bagaimana dia harus berekspresi, tapi ada unsur
yang tidak bisa tergantikan yaitu fungsi kasih sayang keluarga.
Latar belakang filosofis mungkin kita berbicara tentang konsep-konsep keluarga.
Depok itu kan juga kota religious. Keluarga sebagai sumber daya pembangunan
yang bisa menginikan nilai-nilai. Nilai-nilai yang ada di masyarakat itubermuara
di keluarga. Ketahanan keluarga itu akan menghasilkan ketahanan sosial.
Ketahanan sosial akan melahirkan ketahanan bangsa. Jadi nilai-nilai asasi yang
ada di masyarakat harus dibentuk dalam keluarga, termasuk jjuga nilai-nilai
religious, kita butuh itu. Keluarga tidak bisa menyelesaikan maslaahnya sendiri
tanpa dibantu oleh pihak-pihak lain, terutama pemerintah. Jadi keluarga itu akan
terangkat fungsinya, akan meningkat ketahanannya ketika justru pemerintah
disini menginterfensi.
2. Bagaimana urgensi dibentuknya Peraturan Daerah kota Depok Nomor 9 tahun
2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga ? Mengapa prihal ketahanan
keluarga harus diatur dalam Perda ?
Kenapa sih perda ? karena kita berfikir, perda itu ikatannya akan lebih kuat. Dan
sebenernya perda ini dibuat sebagai gambaran sistem dari sebuah, dari hulu ke
111
hilir. Secara implementasi di depok sudah dibuka tempat konsultasi di bawah
pusat pembelajaran keluarga, itu untuk keluarga-keluarga yang masalahnya
relatif ringan (puspaga). Tapi ketika sudah ada kasus-kasus, maka itu akan
ditangani P2TP2A ketika ada kekerasan. Atau di LK3, kalau LK3 (Lembaga
konsultasi kesejahteraan keluarga) itu terkait masalah narkoba yang ada di bawah
dinas sosial. Keluarga-keluarga yang berpotensi, yang ingin mengembangkan
potensinya itu ke puspaga. Artinya ini sudah terpola dengan baik. Dan insyaallah
di ABP (anggaran Belanja Tambahan) nanti sekitar bulan oktober di bidangnya
Bu Ani akan membuka kursus Pra Nikah yang lebih mendalam dan lebih rijit
dibanding yang ada pada KUA.
3. Bagaimana sosialisasi Peraturan Daerah kota Depok Nomor 9 tahun 2017 tentang
Peningkatan Ketahanan Keluarga ?
Sosialisasi harus terus dilakukan dan diperluas --bahkan ke tingkat yang paling
kecil, makanya dalam perda itu ada namanya RW ramah anak. Apa output dari
RW ramah anak ? terbentuknya keluarga ramah anak. Jadi kalau sudah bisa
dibangun nilai-nilai keluarga yang ramah anak maka insyaallah itu sudah
menjadi isyarat bahwa ketahanan keluarganya jalan. Suami isteri akan ramah
kepada anaknya kalau relasi antara mereka itu selesai, kalau fungsi seorang ayah
sebagai pimpinannya jalan, dan fungsi ibu sebagai pendidik anaknya jalan. Jika
itu semua tidak berjalan dengan baik, pasti ,ereka ngga akan ramah kepada anak
dan akhirnya anak menjadi korban. Sampai hari ini sudah ada 100 RW RAMAH
ANAK. Depok ingin menuju kota layak anak, itu akan efektif ketika keluarganya
mempunyai ketahanan. Cuman yang perlu digarisbawahi, keluarga yang
punyaketahanan itu bukan keluarga yang tanpa maslaah. Setiap keluarga pasti
punya maslah, tapi dia tangguh, dia bisa menyelesaikan, dia bisa menghadapi, di
tengah permasalahan itu fungsinya tetap berjalan. Indicator ketahanan keluarga:
ketahanan spiritual-- karena perda ketahanan keluarga ini melibatkan seluruh
elemen, ada pemerintah, orang tua, masyarakat, dunia usaha, akademisi, semua
harus terlibat.
112
Membahas ketahanan keluarga, ini lintas sektoral, bukan hanya dpapmk saja, tapi
dia juga harus melibatkan yang lainnya. Misalkan pada saat anak butuh
kesehatan berarti kan Dinas Kesehatan, anak ini butuh identitas, disdukcapil.
Missal orangtua butuh Peningkatan pendapatan, ke Dinas Koperasi dan Usaha
Menengah.
4. Dari segi politik, yang saya tahu aturan-aturan terkait ketahanan keluarga itu
diinisiasi oleh fraksi PKS, mulai dari perda Jawa Barat, Perda Depok, bahkan di
tingkat nasional ada RUU ketahanan keluarga. Apa misi dari PKS dengan
menginisiasi aturan-aturan tentang ketahanan keluarga ?
Pks punya misi besar yaitu ingin memposisikan keluarga sebagai asset bangsa.
PKS memandang keluarga menjadi asset bangsa yang sangat berharga yang akan
menentukan kualitas bangsa, sehingga PKS ingin mendorong permasalahan
ketahanan keluarga ini masuk kedalam kebijakan pembangunan. Ketika nanti
sudah menjadi regulasi, ini akan menjadi milik kita bersama, pks hanya sebagai
penggagas. Pada saat perda ini disusun, kita didampingi oleh kementrian
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, ternyata disana juga sedang
digodog tentang Peraturan mentri tentang Peningkatan ketahanan keluarga.
Karena kita berfikir kita ngga bisa mengukur pembangunan hanya dari indeks
pembangunan manusia saja. PKS konsen kepada ketahanan keluarga dalam
rangka mengokohkan ketahanan bangsa.
5. Di Jawa Barat sudah ada perda Nomor 9 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Ketahanan Keluarga, mengapa di Depok harus dibuat lagi Perda
yang mengatur ketahanan keluarga lagi ?
Di Depok kan berdasarkan kearifan lokal kota Depok. Berangkat dari masalah
tingginya angka perceraian, kita bernagkat dari masalah sdm menjadi
korkompeten pembangunan. Kalo se-Jawa Barat kan tidak, kota-kota lain masih
banyak punya sumber daya. Depok justru kekuatannya di sdm. Jangan kita
biarkan sdm kita ini dalam jangka panjang tidak berkualitas karena sudah ada
113
masalah-masalah di keluarga, perceraian misalnya, kemiaskinan, tidak bercerai
tapi disharmonis, atau dia harmonis tapi tidak berjalan fungsi-fungsi yang
lainnya, misalnya fungsi parenting: ngga ada pertengakaran sih tapi orang tua
ngga tau cara mendidik anak yang benar, padahal pendidikan pertama dan utama
itu dari keluarga. kan banyak gradasinya nih, yang paling parah kan bercerai. Jadi
sebenernya pendekatan perda ini bukan hanya dari pendekatan masalah, tapi
pendekatan perda ini juga untuk mengungkit potensi yang sudah ada.
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
Wawancara dengan Ani Rahmawati, Aks. sebagaiKepala Bidang Ketahanan Keluarga dan Keluarga
Berencana, DPAPMK Kota Depok
Wawancara dengan T. Farida Rachmayanti S.E, M.Si. sebagai Ketua Pansus Perda Peningkatan Ketahanan
Keluarga Kota Depok