kota depok sbg kota baru mandiri
DESCRIPTION
PWKTRANSCRIPT
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 1
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan
IDENTIFIKASI KOTA DEPOK SEBAGAI KOTA BARU MANDIRI
Oleh :
Kartika Harijono (254 12 005)
Isro Saputra (254 12 049)
Vindya Martiani Budiman (254 12 015)
Elmy Yasinta Ciptadi (254 12 063)
Gema Satria Mayang Sediadi (154 12 085)
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
Sekolah Arsitektur, Perencanaan Pengembangan Kebijakan
Institut Teknologi Bandung
2012
ABSTRAK
DKI Jakarta, sebagai kota inti Wilayah Metropolitan Jabodetabek yang terus mengalami
perkembangan, menimbulkan dampak negatif tersendiri yang terutama disebabkan oleh masalah
kependudukan. Hal ini berimplikasi pula terhadap wilayah sekitarnya, termasuk Kota Depok. Kota
Depok pada awalnya direncanakan sebagai kota baru, dengan fungsi tempat tinggal, sehingga
menimbulkan pergerakan penduduk komuting. Oleh karena itu, akan dilakukan pembahasan
mengenai identifikasi Kota Depok sebagai kota baru mandiri, yang akan dilakukan dengan meninjau
struktur internal dan struktur eksternal kota, juga sejarah perkembangan Kota Depok sendiri.
Struktur internal Kota Depok menunjukan bahwa Kota Depok dapat dikatakan menjadi kota baru
mandiri. Hal ini dapat dilihat dari fasilitas yang dimiliki Kota Depok yang memiliki tingkat
pelayanan yang bahkan melebihi cakupan Kota Depok sendiri. Kemudian, struktur eksternal Kota
Depok juga menunjukan bahwa Kota Depok sudah menjadi kota mandiri secara ekonomi, walaupun
memang Kota Depok masih terkait dengan Jakarta sebagai kota inti Metropolitan Jabodetabek.
Selain itu, juga setelah melakukan analisis dengan teori terkait, juga didapatkan bahwa Kota Depok
berkembang dari kota baru penunjang menjadi kota baru mandiri. Hal ini diperkirakan terjadi
dorongan dari kegiatan pendidikan, dalah hal ini adalah perkembangan perguruan tinggi yaitu
terutama Universitas Indonesia.
Kata Kunci : Kota Depok, Struktur Internal, Struktur Eksternal, Kota Baru, Mandiri
I. Pendahuluan
DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan negara berkembang dengan pesat sebagai pusat
ekonomi dan pemerintahan Indonesia. Pembangunan yang berlangsung secara intensif
menyebabkan Jakarta akan mengalami pertambahan penduduk yang begitu pesat akibat
semakin banyaknya faktor penarik mobilitas penduduk. Hal tersebut mendorong
pemerintah pusat menyusun Pengembangan Metropolitan Jabotabek sebagai suatu upaya
dalam meredistribusi penduduk maupun pemerataan pembangunan di wilayah pinggiran
ibukota. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengembangkan kota-kota baru
di kawasan-kawasan pinggiran. Kota-kota baru ini akan dibangun dengan fasilitas
perkotaan yang memadai sehingga mampu menjadi counter-magnet bagi masyarakat.
Salah satu kota baru yang direncanakan pemerintah pusat adalah Kota Depok. Kota Depok
pada awalnya direncanakan hanya menjadi dormitory city bagi pegawai negeri yang
bekerja di Jakarta. Pembangunan yang dilakukan di Kota Depok merupakan upaya untuk
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 2
menyediakan fasilitas yang menjadi kebutuhan masyarakat bukan upaya untuk
meningkatkan daya tarik Kota Depok dari segi ekonomi. Hal tersebut menyebabkan Kota
Depok masih sangat bergantung pada Kota Jakarta.
Di tahun 1999, Kota Depok ditetapkan sebagai suatu kota yang otonom. Kota Depok pun
berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan dari masyarakat dan menjadi kota baru yang
memiliki kemandirian. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Kota Depok dalam
pembangunan pun semakin meningkat terlebih dengan adanya otoritas kekuasaan yang
diberikan kepada Kota Depok untuk mengelola pemerintahannya sendiri. Pada penelitian
ini, akan dilakukan penilaian terhadap tingkat kemandirian Kota Depok dengan melihat
struktur internal dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat dan struktur eksternal
dalam melihat peran Kota Depok pada konstelasi wilayah yang lebih luas. Dengan
demikian akan diketahui tingkat kemandirian Kota Depok sebagai suatu kota baru yang
otonom dan implikasi-implikasi pembangunan yang dilakukan terhadap masyarakat
terutama dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan keadilan.
II. Tinjauan Pustaka
Perkembangan kota baru pada awalnya disediakan untuk memenuhi kebutuhan perumahan
yang sudah tidak dapat dipenuhi di dalam kota, terutama dalam wilayah metropolitan. Oleh
karena itu pada awalnya yang menjadi penghuni di dalam kota baru adalah masyarakat yang
tidak mampu membeli rumah atau memiliki rumah di dalam kota. pengembangan kota baru
di suatu wilayah baru atau wilayah metropolitan selalu diasumsikan dapat menyelesaikan
masalah-masalah yang terdapat dalam wilayah metropolitan, terutama mengenai dalam hal
pemenuhan kebutuhan perumahan. Berikut ini adalah klasifikasi kota baru modern menurut
Sujarto (2006) berdasarkan fungsi, lokasi dan perkembangannya menjadi dua jenis, yaitu :
1. Kota Baru Penunjang, yaitu kota baru yang tidak memiliki kekuatan ekonomi
sendiri. Secara ekonomis maupun fisik, kota baru penunjang tergantung kepada fungsi
kota induknya. Kota baru penunjang pada umumnya hanya berfungsi sebagai tempat
tinggal, penduduknya pada umumnya berpenglaju (commuting) untuk bekerja di kota
induk atau kota besar lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga tergantung
kepada berbagai fungsi pelayanan yang ada di kota induk atau inti. Jenis kota baru
yang termasuk dalam kota baru penunjang adalah kota satelit, kota baru dalam kota,
kawasan permukiman berskala besar di dalam wilayah kota maupun di wilayah
pinggiran kota yang berbatasan langsung dengan kota induk. Umumnya lokasi kota
baru penunjang adalah 20 - 40 km dari kota inti.
2. Kota Baru Mandiri, yaitu suatu kota baru yang secara ekonomis dan secara fisik
memiliki kemandirian. Kota baru mandiri tidak tergantung kepada kota lainnya.
Penduduk kota baru mandiri bermukim dan berkiprah dalam kegiatan kehidupannya
di dalam kota itu sendiri dan umumnya bukan penglaju ke kota lain. Kota baru
mandiri dapat memenuhi kebutuhannya dan berkembang secara mandiri serta mampu
berperan sebagai pusat pengembangan dari suatu wilayah. Kota baru mandiri terdiri
dari kota baru umum, kota baru industri, kota baru perusahaan, kota baru pusat
pemerintahan, dan kota baru instalasi khusus. Kota baru mandiri pada umumnya
berlokasi jauh dari kota lainnya, yaitu antara 40 - 60 km dari kota inti.
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 3
Tabel 1
Pengelompokan Jenis Kota Baru
Jenis Kota Baru Fungsi Kota Dasar Pengembangan Kota Letak Geografis
Kota Umum Pusat Pemerintahan Dikembangkan pada lahan
perawan
Pada wilayah baru
Dikembangkan dari kota kecil
yang telah ada
Berjarak lebih dari 60
kilometerdari kota besar
Kota Perusahaan Kota Industri Dikembangkan pada lahan
perawan
Pada wilayah lahan
perawan atau pada
permukiman kecil yang
telah berkembang dan
tumbuh Kota Tambang Dikembangkan pada permukiman
atau kota yang berdekatan dengan
kegiatan usaha yang akan
dikembangkan
Kota Usaha Hutan Terpisah oleh wilayah bukan kota Berjarak lebih dari 60
kilometerdari kota besar
Kota Khusus Instansi Militer Dikembangkan pada lahan
perawan
Pada wilayah baru atau
permukiman kecil yang
ada
Instansi Ketenegaraan Berjarak lebih dari 60
kilometer dari kota besar
Pusat Penelitian dan
Percobaan
Terpisah oleh wilayah
bukan kota
Pusat Rekreasi Dikembangkan dari permukiman
atau kota kecil yang telah ada
Wilayah pinggiran kota
Permukiman Khusus
Kota Baru Satelit Dormitory Town
Permukiman khusus
Sumber : Sujarto, 2006
Tingkat Kemandirian Kota Baru
Kota baru dikembangkan, baik oleh pemerintah maupun oleh developer swasta, memiliki
alasan tersendiri. Alasan tersebut menjadi dasar dari arah pengembangan serta peran kota
baru. Berikut ini adalah beberapa alasan pengembangan kota baru (Golany, 1976) :
Untuk membuat kota kapital baru,
Untuk mendistribusikan populasi,
Untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang belum tergunakan,
Untuk mengembangkan wilayah metropolitan atau wilayah pertanian,
Untuk mengurangi kemacetan perkotaan,
Untuk menyediakan kebutuhan perumahan,
Untuk meningkatkan kualitas lingkungan atau transportasi,
Untuk memulihkan suatu daerah dari kondisi tertekan.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, sebuah kota baru dikembangkan. Kota baru yang telah
berkembang perlu ditinjau kembali sejauh mana tingkat kemandirian kota baru akan kota
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 4
induk atau kota pusat. Berikut ini adalah beberapa hal yang mempengaruhi tingkat
kemandirian suatu kota (Golany, 1976) :
Ekonomi Basis
Suatu kota baru yang mandiri memiliki ekonomi basis yang terlihat berdasarkan :
Tersedianya peluang kerja bagi penduduknya,
Peluang kerja yang bermacam-macam, dan
Terdapat kegiatan ekonomi yang beragam, termasuk kegiatan industri di dalam
kota baru.
Walaupun sebuah kota baru telah memiliki kegiatan ekonomi basis di dalamnya,
belum tentu dapat mencegah terjadinya komuting. Hal ini dikarenakan peluang kerja
yang terdapat di dalam kota baru diambil oleh penduduk dari luar kota baru
sedangkan penduduk kota baru bekerja di tempat lain.
Bagian dari Rencana Pengembangan Wilayah
Suatu kota baru seharusnya merupakan bagian dari sebuah rencana pengembangan
wilayah yang komperehensif dibandingkan hanya rencana kota baru saja. Hal ini
dikarenakan dalam rencana pengembangan wilayah komperehensif terdapat rencana-
rencana pengembangan energi, perekonomian, pengembangan tenaga kerja, serta
transportasi yang lebih lengkap dan dapat membantu pengembangan kota baru.
Memiliki Ukuran Optimal
Suatu kota baru yang memiliki ukuran optimal akan mampu meningkatkan efisiensi
untuk melayani kebutuhan penduduk kota baru. Selain itu, dengan ukuran yang
optimal, suatu kota baru dapat direncanakan seberapa banyak kebutuhan lapangan
kerja. Berikut ini adalah beberapa alternative luasan kota baru yang dapat
dikembangkan berdasarkan jumlah penduduk.
Selain berdasarkan jumlah penduduk, penentuan ukuran optimal dari kota baru dapat
dilakukan pula berdasarkan kelengkapan fasilitas yang terdapat di dalamnya. Hal yang
diperhatikan dari fasilitas perkotaan di kota baru adalah skala pelayanan dari fasilitas
tersebut. Terdapat pula kriteria penentuan ukuran optimal kota baru sebagai berikut :
Kepadatan, yaitu rasio dari populasi kota dengan kondisi fisik dari kota baru itu
sendiri;
Fungsi, sebuah kota baru merupakan bagian dari sistem perkotaan yang lebih luas dan
memiliki fungsi atau peran di dalam sistem perkotaan;
Kesehatan, sebuah kota baru harus mampu meningkatkan tingkat kesehatan dari
penduduk kota baru; dan
Pendapatan per kapita, sebuah kota baru dikatakan optimal jika terdapat pendapatan
per kapita yang relatif lebih baik dari sebelum dibangun kota baru.
III. Gambaran Umum Wilayah Studi
1. Sejarah Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri
A. Dasar Pertimbangan
DKI Jakarta merupakan wilayah utama di Indonesia, mengingat DKI Jakarta merupakan
Ibukota Negara Republik Indonesia. Terdapat beberapa karakterisktik utama terkait dengan
status tersebut, yaitu DKI Jakarta sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan di Indonesia. Hal
ini membawa dampak, baik positif dan negatif, bagi Jakarta sendiri dan wilayah sekitarnya,
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 5
yaitu Botabek. Di samping keuntungan dan kemajuan yang dialami hasil pembangunan,
Jakarta juga mengalami dampak negatif yang cukup besar. Dampak negatif ini muncul dari
masalah kependudukan, yang disoroti sebagai akar dari permasalahan lainnya.
Kecenderungan bahwa Jakarta akan mengalami pertambahan penduduk yang begitu pesat
akibat semakin banyaknya faktor penarik mobilitas penduduk seiring dengan perkembangan
Jakarta, khususnya dalam sektor ekonomi, mendorong Pemerintah menyusun Pengembangan
Metropolitan Jabotabek.
Dalam hal ini, Pemerintah berusaha untuk meratakan pembangunan melalui strategi
distribusi, yang menitikberatkan pada pemerataan pembangunan di wilayah pinggiran
Jakarta, Botabek. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan langkah terinci tiap sektor,
untuk sektor perkotaan langkah – langkah yang ditetapkan adalah,
Mengembangkan kota satelit baru sebagai tempat tinggal dan tempat bekerja
dengan fasilitas yang memadai.
Mengembangkan kota yang ada menjadi kota tempat bekerja dan tempat tinggal
dengan meningkatkan pengadaan fasilitas kota tersebut.
Menata kembali fungsi kota – kota dan menetapkan program pengembangan.
Mengendalikan dan mengawasi kegiatan pembangunan sesuai dengan fungsi kota
yang direncanakan di wilayah Jabotabek.
Mengawasi kegiatan pembangunan perkotaan di perbatasan DKI Jakarta dan
wilayah Botabek guna mencapai pola tata ruang yang efektif dan efisien.
Untuk pelaksanaan hal ini, ditentukan pusat pertumbuhan dan pengembangan kota kecil pada
setiap kabupaten dalam wilayah Botabek (yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, dan
Kabupaten Bekasi) dengan peran dan fungsinya masing – masing dalam wilayah yang
bersangkutan. Kota Depok merupakan salah satu kota baru yang dikembangkan di wilayah
Kabupaten Bogor untuk mencapai tujuan dalam rencana Jabotabek.
B. Tujuan dan Fokus Pengembangan
Sesuai Peraturan Presiden No. 43 Tahun 1981, Depok ditetapkan menjadi Kota
Administratif Depok, dengan peran serta fungsi (DTKTD, RUTRK Depok- Buku Rencana,
1986 : 1),
1. Pusat pengembangan di Kabupaten Bogor bagian Utara,
2. Pusat pendidikan tinggi di wilayah Botabek,
3. Pusat perdagangan dan pelayanan jasa di bagian Tengah Wilayah Botabek
(Kabupaten Bogor bagian Utara),
4. Kota tempat tinggal untuk pegawai negeri yang bekerja di Jakarta,
5. Pusat pariwisata dan rekreasi di bagian Tengah Wilayah Botabek.
Arah pengembangan kota Depok selanjutnya mengikuti arah yang ditetapkan bagi
pengembangan wilayah Jabotabek, yaitu ke arah Timur dan Barat. Perkembangan ke arah
Selatan kota Depok dibatasi. Demikian pula, perkembangan ke arah Utara, kecuali untuk
kegiatan pendidikan tinggi dan kegiatan penunjang. Kemudian, salah satu fungsi kota Depok
adalah menjadi kota tempat tinggal bagi pegawai negeri yang bekerja di Jakarta. Secara garis
besar, pengembangan kota Depok perlu mengembangkan dirinya dan mengurangi
ketergantungan terhadap Jakarta. Untuk mencapai tujuan pengembangan wilayah Jabotabek,
strategi untuk sektor perkotaan diarahkan kepada pembentukan kota yang lebih mandiri
dalam arti penyediaan perumahan yang lengkap dengan utilitas dan fasilitas perkotaan yang
memadai dan penyediaan lapangan kerja bagi penduduknya.
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 6
Selanjutnya, Kota Depok ditetapkan sebagai kota otonom pada tanggal 20 April 1999, dan
disahkan melalui Undang Undang No. 15 Tahun 1999. Hal ini melihat pada perkembangan
Kota Depok untuk dapat menyelenggarakan otonomi daerah dan untuk mendekatkan
pelayanan umum kepada masyarakat. Dengan demikian, melihat sejarahnya, Kota Depok
seharusnya merupakan kota baru mandiri yang sudah dapat secara otonom memenuhi
kebutuhan penduduknya, dan tidak bergantung pada kota intinya.
Tabel 1
Sejarah dan Perkembangan Kota Depok
Tahun Peristiwa/Fenomena Implikasi Tata Ruang
1976 Pembangunan intensif Depok :
1. Pembangunan perumahan oleh Perum
Perumnas untuk tempat tinggal pegawai
negeri.
2. Pembangunan Universitas Indonesia.
Depok mulai menjadi pusat
kegiatan perkotaan.
1981 Penetapan Kota Administratif Depok, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat (PP No. 43 Tahun 1981).
Kota (Adm) Depok memiliki
peran sebagai sub pusat
pertumbuhan Kabupaten Bogor.
1990 Penetapan Kota Depok sebagai kota otonom (UU
No. 15 Tahun 1999)
Kota Depok memiliki Rencana
Tata Ruang (RTR) yang
otonom, mulai dari RTRW
Kota hingga RDTR Wilayah
Pengembangan.
2007 Pemekaran Kecamatan di Kota Depok (Perda No.
08 Tahun 2007)
Pelayanan yang lebih dekat
kepada masyarakat. Sumber : Hasil Analisis, 2012
IV. Tinjauan Kota Depok Berdasarkan Struktur Internal dan Eksternal Kota
A. Tinjauan Kota Depok Berdasarkan Struktur Internal Kota
Struktur Internal Kota Depok akan ditinjau dengan menghitung sarana lingkungan yang ada
di Kota Depok dan kesesuaiannya dengan cakupan pelayanan menurut standar pelayanan
minimal. Dalam hal ini, akan ditinjau sarana lingkungan perkotaan berdasarkan Pedoman
Standar Pelayanan Minimal, Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang
Penataan Ruang, Perumahan, dan Permukiman, dan Pekerjaan Umum (Keputusan
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001). Penggambaran
struktur internal kota ini diawali dengan menggambarkan penduduk Kota Depok, sejak tahun
1990- 2010 tiap lima tahunan. Dari Tabel 2, di bawah ini diketahui bahwa jumlah penduduk
Kota Depok mengalami peningkatan yang cukup signifikan untuk setiap periode lima tahun.
Oleh karena itu, kepadatan penduduk per km2 juga semakin meningkat.
Tabel 2
Penduduk Kota Depok Tahun 1990- 2010
No. Data 1990 1995 2000 2005 2010
1 Jumlah Penduduk (Jiwa) 805542 843348 1145091 1374522 1736565
2 Luas (km2) 201,38 200,79 200,29 200,29 200,29
3 Kepadatan Penduduk
(Jiwa/km2)
4000 4200 5717 6863 10101
Sumber : Kota Depok dalam Angka Tahun 2010, 2012
Sarana lingkungan di Kota Depok secara bidang pelayanan telah memenuhi standar yang
ditetapkan oleh pemerintah terkait, namun secara jumlah unit pelayanan beberapa sarana
lingkungan belum memenuhi standar pelayanan minimum. Sarana lingkungan yang telah
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 7
memenuhi standar pelayanan minimum adalah Taman Kanak- Kanak, Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama, Balai Pengobatan, Rumah Sakit, Terminal Angkutan, dan
Perpustakaan. Kemudian, terdapat juga beberapa layanan yang memiliki tingkat pelayanan
lebih dari standar pelayanan minimum, misalnya Rumah Sakit. Hal ini menandakan bahwa
fasilitas di Kota Depok telah dapat memberikan pelayanan tidak hanya bagi penduduk lokal,
tetapi bagi penduduk sekitar Kota Depok pula. Sedangkan, sarana pelayanan minimum yang
belum memenuhi standar pelayanan minimum adalah Sekolah Menengan Atas, Perguruan
Tinggi, BKIA/RS Ibu dan Adik, Pemakaman, dan Tempat Ibadah (Mesjid). Dari hasil analisis
ini, dapat dikatakan bahwa dari struktur internal kota, Kota Depok belum sepenuhnya dapat
melayani penduduk yang ada di dalamnya. Namun, beberapa bidang pelayanan telah
memenuhi bahkan melebihi standar pelayanan minimum yang ditetapkan, misalnya untuk
bidang pelayanan pendidikan. Hal ini kemudian bisa diartikan bahwa Kota Depok, sebagai
kota baru mandiri untuk beberapa pelayanan tertentu.
Tabel 2
Fasilitas Umum dan Sosial, serta Tingkat Pelayanan di Kota Depok Tahun 2010
No. Sarana Lingkungan Standar Jumlah
Ideal
(Unit)
Jumlah
Eksisting
(Unit)
Keterangan
Sarana Niaga
Pasar 1 Unit/ 30000 Jiwa 58 10
Sarana Pendidikan
Taman Kanak – Kanak 1 Unit / 1000 Jiwa 1736 362
Sekolah Dasar 1 Unit/ 6000 Jiwa 290 394
Sekolah Menengah Pertama 1 Unit/ 25000 Jiwa 69 154
Sekolah Menengah Atas 1 Unit/ 30000 Jiwa 58 48
Perguruan Tinggi 1 Unit/ 70000 Jiwa 25 14
Sarana Pelayanan Kesehatan
Balai Pengobatan 1 Unit/ 30000 Jiwa 58 281
BKIA/Rumah Sakit Bersalin 1 Unit/ 10000-30000 Jiwa 174 45
Puskesmas 1 Unit/ 120000 Jiwa 14 36
Rumah Sakit 1 Unit/ 240000 Jiwa 7 12
Sarana Pelayanan Umum
Kantor Polisi 1 Unit/ 30000 Jiwa
Lembaga Pemasyarakatan 1 Unit/ 1000000-2000000
Jiwa
Kantor Pos 1 Unit/ 120000 Jiwa 14 11
Kantor Telepon/Telegrap 1 Unit/ 1000000 Jiwa
Terminal Angkutan 1 Unit/ 500000-2000000
Jiwa
1 1
Ruang Terbuka Hijau
Taman Lingkungan 1 Unit/ 250 Jiwa
Taman Kecamatan 1 Unit/ 120000 Jiwa
Taman Kota 1 Unit/ 480000 Jiwa
Pemakaman 1 Unit/ 120000 Jiwa 14 5
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 8
No. Sarana Lingkungan Standar Jumlah
Ideal
(Unit)
Jumlah
Eksisting
(Unit)
Keterangan
Sarana Sosial/Budaya
Tempat Ibadah (Mesjid) 1 Unit/ 2500 Jiwa 2261 768
Perpustakaan 1 Unit/ 1000000-2000000
Jiwa
1 1
Sumber : Hasil Pengolahan Kota Depok dalam Angka Tahun 2010 dan Pedoman Standar Pelayanan Minimal, Pedoman Penentuan Standar
Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan, dan Permukiman, dan Pekerjaan Umum , 2012
Keterangan :
Sesuai Standar Pelayanan Minimum
Tidak Sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum
B. Tinjauan Kota Depok Berdasarkan Struktur Eksternal Kota
Kajian Infrastruktur dan Pola Pergerakan
1. Sistem Jaringan Transportasi
Sistem jaringan transportasi di Kota Depok adalah hanya berupa transportasi darat. Wilayah
Kota Depok berada di antara pusat-pusat regional dan nasional, yaitu Jawa Barat dan DKI
Jakarta. Konsekuensinya Kota Depok menjadi perlintasan sistem transportasi regional. Hal
ini terlihat dengan dilayaninya jalan tol yang melintasi Kota Depok yaitu Tol Jagorawi, Jalan
Raya Bogor dan Parung, dan Jakarta Outer Ring Road II (JORR II). Kota Depok yang
dipengaruhi oleh sistem transportasi Wilayah Metropolitan Jabotabek berkembang dengan
konsep linier dengan poros Bogor- Depok- Jakarta. Dengan arahan ini, konsep pergerakan
lebih menekankan hubungan transportasi dengan kota utama Jakarta. Kondisi tersebut kurang
menguntungkan bagi Kota Depok yang memiliki wilayah yang melebar pada persilangan
poros Utara-Selatan.
Selain itu, Kota Depok juga memiliki jaringan eksternal rel Kereta Api (KA) yang menjadi
angkutan transportasi massal Bogor – Jakarta, telah menempatkan Kota Depok memiliki
lokasi strategis. Kota Depok yang dihubungkan dengan sistem angkutan massal KRL (Kereta
Rel Listrik) Bogor – Depok – Jakarta ini telah menggunakan sistem rel jalur ganda. Adapun
sarana stasiun yang ada di Kota Depok meliputi,
Stasiun UI (kelas III)
Stasiun Pondok Cina (kelas III)
Stasiun Depok Baru (kelas I)
Stasiun Depok Lama (kelas III)
Stasiun Citayam (kelas III).
Pelayanan angkutan KA sangat membantu mengurangi beban jalan raya khususnya untuk jam
sibuk pada pagi hari dan sore hari. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya pola commuter
yang cukup tinggi di Kota Depok.
2. Pola Pergerakan Eksternal Kota Depok
Pergerakan yang terjadi di Kota Depok didominasi oleh perjalanan untuk tujuan bekerja
dengan tujuan terbesar DKI Jakarta. Hal ini tercermin dari fenomena banyaknya komuter
yang bekerja di Jakarta, dimana 87,70% masyarakat Kota Depok bergerak atau bekerja di
Tidak Ada Data
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 9
DKI Jakarta dan sisanya sebanyak 12,30% bergerak atau bekerja di Bekasi, Tangerang dan
Bogor. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya struktur transportasi eksternal Kota Depok
untuk mendukung pergerakan masyarakatnya.
Tabel 3
Pola Pergerakan Penduduk Kota Depok
Jenis Perjalanan Kendaraan Pribadi (%) Kendaraan Umum (%)
Internal 7,3 36,8
Keluar Kota Depok 34,2 24,6
Masuk ke Kota Depok 30,7 24,5
Melintas 27,8 14,1 Sumber : Kajian Pengembangan Jaringan Jalan Kota Paket II Kimpraswil, 2012
Pola pergerakan eksternal Kota Depok mengarah ke utara (DKI Jakarta dan sekitarnya) dan
ke selatan (Bogor dan sekitarnya). Kemudian, dari Tabel 3 dapat diketahui pula bahwa,
kendaraan pribadi mayoritas melakukan pergerakan keluar Kota Depok. Pelaku pergerakan
dengan moda ini diindikasikan adalah pekerja commuting kelas menengah- atas yang
melakukan pergerakan ulang- alik untuk berkerja di Kota Jakarta. Sedangkan, kendaraan
umum mayoritas melakukan pergerakan hanya internal saja. Oleh karena itu, dapat
dimungkinkan bahwa kendaraan umum yang melayani pergerakan dalam kota dan tidak
melayani pergerakan antar kota, atau bahkan melayani untuk pergerakan ulang- alik. Untuk
itu dibutuhkan strategi dalam mengakomodasikan perkembangan pergerakan internal dan
eksternal transportasi Kota Depok.
Kajian Perekonomian
Dalam menentukan struktur eksternal kota baru, dapat digunakan indikator ekonomi populer
seperti Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Argumen yang mendasari pendekatan ini
adalah usulan Sujarto (2006) dalam Waluyo (2012) bahwa dalam meninjau aspek eksternal
dari kota baru, perlu diperhatikan adanya peningkatan pemanfaatan sumber daya
manusia yang berada di sekitar area dan meningkatkan nilai ekonomis bagi wilayah
sekitarnya. Untuk itu, PDRB suatu kota baru dapat digunakan untuk menghimpun informasi
perkembangan ekonomi kota baru sehingga secara implisit dapat diketahui bagaimana kota
baru tersebut mampu menarik investasi. Selain itu, melalui identifikasi sektor ekonomi basis
dapat pula diketahui perkembangan sektoral dan peranannya terhadap penguatan struktur
eksternal kota baru tersebut.
1. Perkembangan Ekonomi Kota Depok dalam Konstalasi Wilayah Metropolitan
Jabodetabek
Kondisi perekonomian di kawasan Jabodetabek sejak tahun 2002 hingga tahun 2005 rata-rata
mengalami peningkatan kecuali Kabupaten Kepulauan Seribu.
Tabel 4
Laju Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Jabodetabek
Wilayah Laju Pertumbuhan Ekonomi
2002 2003 2004 2005
Jakarta Pusat 4.74 5.18 6.00 6.08
Jakarta Timur 4.89 5.26 5.75 5.92
Jakarta Utara 4.78 5.23 5.75 6.02
Jakarta barat 4.87 5.26 5.74 6.03
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 10
Wilayah Laju Pertumbuhan Ekonomi
2002 2003 2004 2005
Jakarta Selatan 4.61 5.58 5.84 6.04
Kepulauan Seribu -3.10 -13.67 -5.78 -6.10
Kota Bekasi 5.25 5.36 5.60
Kota Tangerang 5.17 4.56 4.44 6.40
Kota Depok 5.89 6.10 6.29 6.41
Kota Bogor 5.79 6.07 7.00
Sumber: BPS dalam Najmulmunir, 2005
Kota Depok pada tahun 2002 mengalami peningkatan sebesar 5,89%, sedangkan pada tahun
2003 meningkat 6,10%, tahun 2004 meningkat 6,29%, dan tahun 2005 sebesar 6,41%. Kita
dapat melihat pula bahwa sejak tahun 2002 hingga 2004, Kota Depok memiliki pertumbuhan
ekonomi paling besar jika dibandingkan dengan wilayah lainnya dalam konstelasi
Jabodetabek. Pada tahun 2005, meskipun pertumbuhan ekonomi Kota Depok tetap
meningkat, namun Kota Bogor memiliki pertumbuhan yang lebih besar.
Informasi ini menyatakan bahwa Kota Depok sebagai kota baru memiliki peningkatan
ekonomi yang paling baik diantara seluruh wilayah lainnya di Jabodetabek. Secara implisit
pula, peningkatan skala investasi terjadi lebih baik di wilayah Kota Depok tersebut. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa dalam konteks struktur eksternalnya, Kota Depok menjadi
tempat bertumbuhnya investasi yang relatif lebih baik dan menjanjikan di Jabodetabek. Hal
ini menjadi penting mengingat Jabodetabek merupakan kawasan Pusat Kegiatan Nasional
(PKN) sehingga Kota Depok dapat menjadi alternatif pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Kemudian, dari Gambar 1 di bawah ini dapat dilihat PDRB atau pendapatan per kapita
masyarakat di Kota Depok. Dalam hal ini digunakan data mulai tahun 2001- 2008, secara
time series. Grafik menggambarkan kecenderungan adanya kenaikan pendapatan per kapita
yang diterima masyarakat untuk tiap tahunnya. hal ini menunjukan bahwa Kota Depok,
dalam upaya pengembangan kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu, Kota Depok
dapat dikatakan sebagai Kota Baru Mandiri, jika melihat kemampuan untuk dapat
meningkatkan kualitas sosial dan ekonomi di wilayah tersebut.
Gambar 1
PDRB atau Pendapatan per Kapita Kota DepokTahun 2001- 2008
Sumber : Data Dalam Angka Kota Depok Tahun 2010, 2012
0,00
500.000,00
1.000.000,00
1.500.000,00
2.000.000,00
2.500.000,00
3.000.000,00
3.500.000,00
4.000.000,00
4.500.000,00
PDRB/Pendapatan
Per Kapita
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 11
2. Kondisi Perekonomian serta Kaitannya dengan Tingkat Kemandirian Kota Depok
Golany (1976) dalam Waluyo (2012) menyatakan bahwa salah satu ukuran untuk
menentukan tingkat kemandirian suatu kota baru adalah keberadaan sektor ekonomi basis.
Hal ini juga dapat diadopsi sebagai cara untuk menemukenali struktur eksternal dari kota
baru tersebut. Argumen dari penggunaan cara tersebut dalam menentukan struktur eksternal
kota baru didasarkan pada kemampuan sektor ekonomi basis dalam menyediakan peluang
kerja bagi penduduknya yang beraneka ragam karena adanya multiplier effect. Menurut
Golany (1976), suatu sektor ekonomi basis tidak hanya bermanfaat bagi penduduk di dalam
wilayah atau kota baru tersebut, tetapi juga bagi penduduk di, atau dari luar wilayah
delineasi. Dengan demikian, hal ini mensugestikan bahwa kota baru dengan sektor ekonomi
basis secara kuat memiliki peran bagi konstelasi wilayah yang lebih luas dimana Kota Depok
berada. Dengan kata lain, dengan sektor ekonomi basisnya itu, kota baru tersebut
menjejakkan peran struktur eksternalnya sebagai bagian dari konstelasi regional yang lebih
luas. Tabel 5
Analisis Ekonomi Basis Kota Depok dan Sekitarnya
Lapangan Usaha Jakarta
Pusat
Jakarta
Barat
Jakarta
Utara
Jakarta
Timur
Jakarta
Selatan
Kepulauan
Seribu Bekasi Depok Tangerang Bogor
Pertanian 0.03 0.17 0.24 0.15 0.15 4.3 1.64 5.2* 14.67 0.55
Pertambangan dan
Penggalian 309.88
0.28
Industri Pengolahan 0.08 0.43 2.25 1.76 0.09 0.02 2.28 1.89* 2.68 1.36
Listrik, Gas, dan Air
Minum 0.35 0.78 1.43 0.6 0.26 0.05 1.95 2.96* 5.8 2.96
Bangunan / Konstruksi 0.89 1.13 0.91 0.93 1.54 0.13 0.36 0.6 0.2 0.78
Perdagangan, Hotel &
Restoran 0.9 1.36 0.88 0.97 0.99 0.26 1.37 1.32* 0.6 1.45
Pengangkutan dan
Komunikasi 1.19
0.05
0.64 0.9
Bank & Lembaga
Keuangan Lainnya 1.84 0.99 0.21 0.49 1.58 0.02 0.12 0.31 0.09 0.49
Jasa-Jasa 1.31 1.16 0.68 0.96 1.11 0.17 0.6 0.66 0.41 0.7
Sumber: Najmulmunir, 2005
Keterangan :
Pada Tabel 5, dapat kita lihat bahwa Kota Depok memiliki empat sektor ekonomi basis yang
ditandai dengan tanda bintang yaitu Pertanian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas, dan Air
Minum, serta Perdagangan, Hotel dan Restoran. Namun, keempat sektor ekonomi basis yang
ada tidak lebih besar daripada wilayah lainnya di Jabodetabek. Dengan demikian, multiplier
effect yang dimiliki oleh setiap sektor ekonomi basis Kota Depok memiliki cakupan pengaruh
yang terbatas. Meskipun demikian, berdasarkan pendapat Golany (1976) dan Sujarto, maka
pada dasarnya struktur eksternal Kota Depok dibentuk oleh keempat sektor ekonomi basis
tersebut. Perlu diperhatikan pula bahwa kondisi Kota Depok tersebut hendaknya menjadi
catatan bahwa Kota Depok secara ekonomi belum memiliki identitas yang jelas dan
kompetitif untuk berkontribusi terhadap karakter struktur eksternalnya.
Sementara itu, secara umum wilayah Jabodetabek terbagi atas tiga tipologi struktur
ekonominya, yaitu :
Tipe I : Dominasi Sektor Primer
Tipe II : Dominasi Sektor Sekunder
Tipe III : Dominasi Sektor Tersier
sektor basis terbesar pada tiap lapangan usaha
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 12
Gambar 2
Kontribusi Tiap Sektor Perekonomian di Kota Depok Tahun 2010
Sumber: Kota Depok Dalam Angka, BPS, 2010
Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa sektor primer memiliki kontribusi sebesar 3%
terhadap PDRB. Sementara itu dengan besaran proporsi yang hampir sama, sektor sekunder
sebesar 50% dan sektor tersier dengan besaran 47% berkontribusi terhadap struktur PDRB
Kota Depok. Dengan demikian, Kota Depok dapat digolongkan pada tipe transisi antara
tipe II dan tipe III karena komposisi sektor sekunder dan tersier yang hampir
seimbang.
Dalam konteks pembentukan struktur eksternal, maka kondisi transisi tersebut semakin
menunjukkan bahwa secara ekonomi Kota Depok belum memiliki identitas yang jelas
tentang di sektor mana Kota Depok memiliki kekuatan yang signifikan. Struktur eksternal
kota baru dapat pula dilakukan dengan melakukan tinjauan secara geografis. Hal ini dapat
dijustifikasi dengan apa yang dilakukan dalam penelitian Waluyo (2012). Selain itu teori kota
baru oleh Sujarto (2006) dalam Waluyo (2012) mengelompokkan fungsi, atau dalam hal ini
struktur eksternal kota baru berdasarkan jarak dan lokasinya ke dalam dua kategori, Kota
Baru Penunjang dan Kota Baru Mandiri.
Gambar 3
Jarak Tempuh Kota Depok dengan Kota di Sekitarnya
Sumber: Google Maps, 2012
Gambar 3 menunjukkan jarak tempuh antara Kota Depok dengan kota-kota di sekitarnya
apabila diukur melalui jalan-jalan utama antar kota. Pada gambar di atas, dapat kita lihat
Sektor Primer
3%
Sektor
Sekunder
50%
Sektor
Tersier
47%
Sektor Primer Sektor Sekunder Sektor Tersier
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 13
bahwa jarak antara Kota Depok dengan kota lainnya seperti Tangerang, Jakarta, Bogor,
Bekasi, dan permukiman skala besar di Kabupaten Bekasi seperti Jababeka dan Kota
Deltamas bervariasi. Jarak antara Kota Depok dan Kota Jakarta sebagai kota inti atau yang
lebih dulu ada yaitu sekitar 26,8 km. Jarak tersebut diukur dari pusat Kota Depok ke Pusat
Kota Jakarta (Monas). Pada dasarnya jarak antara kedua kota lebih pendek dari pengukuran
tersebut karena batas administratif kedua kota saling bersinggungan yang berarti kawasan
urban antara Kota Depok dan Jakarta telah saling berasimiliasi. Sementara itu, jarak antara
Kota Depok dengan kota-kota lainnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 6
Jarak Kota Depok dengan Kota di Sekitarnya
Sumber: Hasil analisis, 2010
Informasi tersebut di atas menunjukkan bagaimana struktur eksternal Kota Depok. Sebagai
kota baru yang berada di pinggiran kota inti Jakarta, maka Kota Depok berperan sebagai kota
baru penunjang dan bukanlah kota baru mandiri. Sesuai yang dinyatakan oleh Sujarto (2006),
maka hal ini mengimplikasikan bahwa penduduk Kota Depok merupakan penglaju kepada
kota inti Jakarta. Sifat keterhubungan Kota Depok dengan kota baru lainnya seperti Bogor
dan Bekasi menunjukkan adanya kedekatan sehingga ketiga kota tersebut boleh jadi
membentuk suatu sistem perkotaan yang terdiri dari tiga pusat. Hal tersebut disebabkan oleh
kedekatannya antar pusat-pusat kota baru. Sementara itu, sifat keterhubungan Kota Depok
dengan kota baru seperti Tangerang, Jababeka, dan Deltamas dinilai terbatas karena jaraknya
yang jauh atau lebih dari 40 Km. Berdasarkan Sujarto (2006), maka antar kota-kota tersebut
kurang memiliki hubungan atau saling mandiri satu sama lainnya.
V. Penutup
A. Kesimpulan dan Saran
Perkembangan kota baru pada awalnya disediakan untuk memenuhi kebutuhan perumahan
yang sudah tidak dapat dipenuhi di dalam kota, terutama dalam wilayah metropolitan. Oleh
karena itu pada awalnya yang menjadi penghuni di dalam kota baru adalah masyarakat yang
tidak mampu membeli rumah atau memiliki rumah di dalam kota. Pengembangan kota baru
di suatu wilayah baru atau wilayah metropolitan selalu diasumsikan dapat menyelesaikan
masalah-masalah yang terdapat dalam wilayah metropolitan, terutama mengenai dalam hal
Kota
Baru
Kota Lainnya Jarak
(Km)
Sifat Keterhubungan Eksternal Dengan Kota Depok
Depok Jakarta 26.8 Kota Inti, dengan jarak yang dekat menjadikan Kota Depok sebagai kota
baru penunjang. Penduduk merupakan komuter.
Bogor 29.7 Mengimplikasikan keterhubungan antar kota yang dekat dari segi
ekonomi dan fungsional. Memungkinkan adanya komuting antar kedua
kota.
Tangerang 46 Mengimplikasikan keterhubungan yang tidak begitu dekat secara
ekonomi dan fungsi
Bekasi 32.6 Mengimplikasikan keterhubungan antar kota yang dekat dari segi
ekonomi dan fungsional. Memungkinkan adanya komuting antar kedua
kota.
Kabupaten
Bekasi /
Jababeka
54 Keterhubungan yang relatif rendah.
Kabupaten
Bekasi / Kota
Deltamas
57.1
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 14
pemenuhan kebutuhan perumahan. Pada kenyataanya, kota baru yang dikembangkan di
wilayah metropolitan sampai saat ini lebih ditujukan kepada usaha untuk memenuhi
kebutuhan tempat tinggal dengan kualitas dan lingkungan yang lebih baik bagi kelompok
masyarakat yang memiliki daya keterjangkauan daripada sebagai usaha untuk menjadi
counter magnet dari urbanisasi. Begitupun yang terjadi pada pembangunan di Kota Depok.
Kota Depok direncanakan sebagai kota baru dengan sifat kota baru penunjang yaitu sebagai
kota satelit. Kota satelit merupakan kota baru yang berfungsi sebagai kota permukiman yaitu
kota dengan perumahan-perumahan skala besar. Pada awalnya Kota Depok merupakan areal
yang belum terbangun dan terletak di wilayah pinggiran Kota Jakarta. Namun hal yang
ditemukan pada studi ini antara wilayah Kota Depok dengan wilayah kota induk yaitu Kota
Jakarta tidak terdapat jalur hijau (buffer zone). Perkembangan yang terjadi di Kota Depok
mengalami perubahan yang cukup signifikan dari yang direncanakan kota baru yang
merupakan kota baru satelit berubah menjadi kota baru mandiri. Perkembangan tingkat
kemandirian kota baru dipengaruhi oleh beberapa hal sebagaimana yang disebutkan oleh
(Golany, 1976) :
1. Adanya Ekonomi Basis
Suatu kota baru yang mandiri memiliki ekonomi basis yang terlihat berdasarkan beberapa
kriteria yaitu : tersedianya peluang kerja bagi penduduknya, peluang kerja yang bermacam-
macam dan terdapat kegiatan ekonomi yang beragam, termasuk kegiatan industri di dalam
kota baru. Berdasarkan analisis sektor ekonomi yang terdapat dalam komponen PDRB
terdapat beberapa sektor yang menjadi ekonomi basis yaitu :
1. Sektor pertanian;
2. Industri pengolahan;
3. Listrik, gas dan air minum; dan
4. Perdagangan, hotel dan restoran.
Walaupun demikian keempat sektor ekonomi basis tersebut tidak lebih besar daripada
wilayah lainnya di Jabodetabek. Namun multiplier effect yang dimiliki oleh setiap sektor
ekonomi basis Kota Depok memiliki cakupan pengaruh yang terbatas dan belum
berkontribusi besar untuk wilayah kota/kabupaten yang ada di Jabodetabek. Sebuah kota baru
telah memiliki kegiatan ekonomi basis di dalamnya, belum tentu dapat mencegah terjadinya
commuting. Hal ini dikarenakan peluang kerja yang terdapat di dalam kota baru diambil oleh
penduduk dari luar kota baru sedangkan penduduk kota baru bekerja di tempat lain.
Fenomena commuting dapat ditunjukkan dengan adanya pergerakan eksternal keluar dari
Kota Depok yaitu sebesar 34,2% kendaraan pribadi dan sebesar 24,6% kendaraan umum. Hal
tersebut menandakan bahwa fasilitas atau pelayanan yang disediakan Kota Depok belum
mampu memadai kebutuhan dari masyarakat Kota Depok sehingga mereka harus melakukan
pergerakan ekternal, salah satunya adalah dalam bekerja. Sedangkan untuk pergerakan
eksternal masuk ke Kota Depok yaitu sebesar 30,7% kendaraan pribadi dan 24,5% kendaraan
umum. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya daya tarik tersendiri dari Kota Depok,
misalnya dalam menyediakan fasilitas pendidikan di tingkat universitas. Adanya beberapa
universitas besar di Kota Depok ternyata tidak hanya melayani kebutuhan internal Kota
Depok tetapi juga kebutuhan dari kota-kota lain baik disekitar Kota Depok maupun dalam
konteks nasional.
2. Bagian dari Rencana Pengembangan Wilayah
Suatu kota baru seharusnya merupakan bagian dari sebuah rencana pengembangan wilayah
yang komperehensif dibandingkan hanya rencana kota baru saja. Hal ini dikarenakan dalam
rencana pengembangan wilayah komperehensif terdapat rencana pengembangan energi,
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 15
perekonomian, pengembangan tenaga kerja, serta transportasi yang lebih lengkap dan dapat
membantu pengembangan kota baru. Dalam menelaah struktur eksternal suatu kota, dalam
hal ini kota baru Depok, kita dapat melihatnya melalui kebijakan yang lebih tinggi
cakupannya seperti RPJMD Jawa Barat. Dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa Kota
Depok termasuk dalam Kawasan Andalan Bodebekpunjur (Kabupaten dan Kota Bogor,
Bekasi, Kota Depok, dan kawasan Puncak di Kabupaten Cianjur). Dalam dokumen tersebut
disebutkan bahwa fokus pembangunan pada Kawasan Andalan Bodebekpunjur mencakup:
- Peningkatan cakupan pelayanan kesehatan;
- Peningkatan sarana dan prasarana pendidikan;
- Peningkatan produksi dan distribusi pangan;
- Peningkatan infrastruktur sumberdaya air dan irigasi;
- Pembangunan tempat sampah regional yang berteknologi tinggi dan ramah
lingkungan;
- Peningkatan fungsi kawasan lindung;
- Peningkatan kesiapan dini dan mitigasi bencana;
- Peningkatan cakupan listrik perdesaan;
- Penyediaan energi alternatif;
- Peningkatan investasi padat karya;
- Peningkatan infrastruktur jalan dan jembatan;
- Pengendalian pencemaran air;
- Penataan daerah otonom.
Meskipun secara regional Kota Depok memiliki fokus pembangunan yang sama dengan
wilayah lainnya di dalam konstelasi Bodebekpunjur, Kota Depok secara bersamaan juga
tergabung dalam Wilayah Kerja Pemerintahan dan Pembangunan (WKPP) Bogor dan juga
sebagai wilayah inti Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Bodebek. Hal tersebut berarti bahwa
Kota Depok memiliki peran yang penting baik secara regional Jawa Barat maupun Nasional.
Dalam RPJMD Jabar 2008 – 2013 disebutkan bahwa Kota Depok diunggulkan dalam bidang
pendidikan dan merupakan salah satu pintu gerbang utama Provinsi Jawa Barat kepada
Provinsi DKI Jakarta. Dalam konteks menemukenali struktur eksternal Kota Depok, maka
secara penetapan kebijakan, Kota Depok diharapkan menjadi pusat kegiatan penting dengan
tema pembangunan unggulan yaitu pendidikan. Hal ini pada dasarnya dapat kita lihat
sebagaimana Kota Depok kini terdapat Universitas Indonesia yang bahkan cakupannya
mencapai nasional.
3. Memiliki Ukuran Optimal
Suatu kota baru yang memiliki ukuran optimal akan mampu meningkatkan efisiensi untuk
melayani kebutuhan penduduk kota baru. Selain itu, dengan ukuran yang optimal, suatu kota
baru dapat direncanakan seberapa banyak kebutuhan lapangan kerja. Berikut ini adalah
beberapa alternatif luasan kota baru yang dapat dikembangkan berdasarkan jumlah
penduduk. Selain berdasarkan jumlah penduduk, penentuan ukuran optimal dari kota baru
dapat dilakukan pula berdasarkan kelengkapan fasilitas yang terdapat di dalamnya. Hal yang
diperhatikan dari fasilitas perkotaan di kota baru adalah skala pelayanan dari fasilitas
tersebut. Terdapat pula kriteria penentuan ukuran optimal kota baru sebagai berikut :
Kepadatan, yaitu rasio dari populasi kota dengan kondisi fisik dari kota baru itu
sendiri. Penyediaan fasilitas yang ada di Kota Depok telah memadai dalam memenuhi
kebutuhan masyarakatnya seperti taman kanak-kanak, sekolah dasar, SMP, balai
pengobatan, rumah sakit dan terminal angkutan. Meskipun demikian ada beberapa
fasilitas yang belum mampu memadai seperti pasar, SMA, perguruan tinggi,
BKIA/rumah sakit bersalin, puskesmas, kantor pos, dan tempat ibadah.
PL 5102 Pola dan Struktur Keruangan | Identifikasi Kota Depok sebagai Kota Baru Mandiri 16
Fungsi, sebuah kota baru merupakan bagian dari sistem perkotaan yang lebih luas
dan memiliki fungsi atau peran di dalam sistem perkotaan. Pada sistem perkotaan
Jabodetabek disebutkan bahwa Kota Depok unggul dibidang pendidikan. Hal ini
dapat dilihat adanya Universitas Indonesia yang cakupannya mencapai nasional.
Kesehatan, sebuah kota baru harus mampu meningkatkan tingkat kesehatan dari
penduduk kota baru. Pada Kota Depok upaya peningkatan tingkat kesehatan
penduduk telah dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Depok. Hal tersebut dapat
dilihat dari penyediaan rumah sakit dan balai pengobatan sudah cukup memadai untuk
masyarakat Kota Depok.
Pendapatan per Kapita, sebuah kota baru dikatakan optimal jika terdapat pendapatan
per kapita yang relatif lebih baik dari sebelum dibangun kota baru. Tidak dimilikinya
data pendapatan per kapita sebelum Kota Depok belum menjadi kota baru maka
asumsi yang diambil adalah adanya kecenderungan/tren kenaikan pendapatan per
kapita dari tahun ke tahun.
Hasil analisis di atas menandakan bahwa Kota Depok sudah mulai menuju kota baru
mandiri terlebih karena adanya kebijakan otonomi daerah yang menyebabkan Kota Depok
menjadi kota otonom. Otoritas yang diberikan kepada pemerintah daerah menjadikan
pembangunan yang terjadi pada Kota Depok terjadi dengan pesat. Kota Depok tumbuh
menjadi kota yang tidak hanya menjadi kota satelit tapi juga telah mulai berkembang menjadi
kota baru mandiri.
B. Kelemahan Studi
Dalam melakukan studi mengenai hal ini, penulis menyadari banyak kekurangan dan
kelemahan dalam penelitian ini. Hal ini terutama mengenai keterbatasan data dalam analisis
struktur internal dan eksternal kota. Kemudian, keterbatasan dalam studi ini juga berkaitan
dengan pemekaran kecamatan yang terjadi di Kota Depok pada tahun 2007, sehingga sulit
untuk menyesuaikan data untuk analisis secara time series.
DAFTAR PUSTAKA
Suryainfo. 2004. Evaluasi Program [on line]. Sumber elektronik diakses dari
http://www.chip89.co.cc/2010/09/evaluasi-program.html Diakses 20 November 20102
Sadyohutomo, Mulyono, Ir, MRCP. 2008. Manajemen Kota dan Wilayah. Jakarta : Bumi Aksara.
.
Agustinus (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumen Dalam Membeli Rumah. Skripsi.
Semarang, Universitas Diponegoro
Putra Waluyo, Nurrahman (2012). Identifikasi Peran Kota Baru Kawasan Pinggiran Dalam
Dekonsentrasi Perkotaan Wilayah Metropolitan (Studi Kasus : Kabupaten Bekasi). Skripsi.
Bandung, Institut Teknologi Bandung
Sitanala, F.2005. Pergerakan Penduduk Kota Depok Menuju ke Tempat Bekerja Tahun 2001,
Makara, Sains, Vol. 8, NO 1, 41-44
Kota Depok Dalam Angka Tahun 2010, Badan Pusat Statistik.
Pedoman Standar Pelayanan Minimal, Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal
Bidang Penataan Ruang, Perumahan, dan Permukiman, dan Pekerjaan Umum.