kebijakan pemerintah kabupaten banyumas dalam …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/agung budi...

87
i KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS DALAM PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN PEMANFAATAN SUMBER ENERGI MINYAK BUMI (Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional) SKRIPSI Oleh : AGUNG BUDI PRASETIYO E1A007272 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013

Upload: hoangdiep

Post on 03-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS DALAM

PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN PEMANFAATAN SUMBER

ENERGI MINYAK BUMI

(Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Presiden

Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional)

SKRIPSI

Oleh :

AGUNG BUDI PRASETIYO

E1A007272

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

ii

KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS DALAM

PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN PEMANFAATAN SUMBER

ENERGI MINYAK BUMI

(Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Presiden

Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional)

Disusun untuk Memenuhi Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

SKRIPSI

Oleh :

AGUNG BUDI PRASETIYO

E1A007272

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

iii

LEMBAR PENGESAHAN

KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS DALAM

PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN PEMANFAATAN SUMBER

ENERGI MINYAK BUMI

(Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Presiden

Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional)

Oleh

AGUNG BUDI PRASETIYO

E1A007272

Disusun untuk Memenuhi Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

DITERIMA DAN DISAHKAN

Pada tanggal ......... Pebruari 2013

Para Penguji/Pembimbing,

Penguji/Pembimbing I

Rochati, S.H., M.Hum.

NIP. 19541009 198403 2 001

Penguji/Pembimbing II

Sunarto, S.H.

NIP. 19491111 198003 1 001

Penguji III

Supriyanto, S.H., M.H.

NIP. 19581201 198601 1 002

MENGETAHUI,

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.

NIP. 19640923 198901 1 001

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Agung Budi Prasetiyo

NIM : E1A007272

Judul Skripsi : KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN

BANYUMAS DALAM PELESTARIAN FUNGSI

LINGKUNGAN PEMANFAATAN SUMBER

ENERGI MINYAK BUMI

(Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pasal 3 ayat (2)

huruf d Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006

Tentang Kebijakan Energi Nasional)

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa, skripsi ini benar-benar merupakan hasil

karya saya. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi

ini hasil karya orang lain, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan dan

menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas perbuatan tersebut.

Purwokerto, .… Pebruari 2013

Agung Budi Prasetiyo

v

ABSTRAK

oleh

Agung Budi Prasetiyo

Konsumsi energi Indonesia terhadap minyak bumi pada tahun 2006

mencapai 63% dari total kebutuhan energi. Kondisi ini meninbulkan kekhawatiran

terhadap ketersediaan minyak bumi Indonesia dan dampak pencemaran akibat

penggunaannya. Melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang

Kebijakan Energi Nasional pemerintah mengambil langkah strategis guna

menyelesaikan permasalahan yang ada. Sebagai peraturan di tingkat pusat, maka

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional

harus dilaksanakan oleh seluruh daerah di Indonesia termasuk Pemerintah

Kabupaten Banyums melalui kebijakannya. Melalui metode penelitian yuridis

normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas dan kesesuaiannya

dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi

Nasional. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa Pemerintah Kabupaten

Banyumas hanya melaksanakan kebijakan pemerintah pusat dan belum

menggunakan wewenangnya membuat peraturan daerah atau peraturan lain dalam

pemanfaatan sumber energi minyak bumi. Upaya mengatasi pencemaran

lingkungan, melestarikan ketersediaan sumber daya alam (efisiensi), serta

meningkatkan peran serta masyarakat namun telah terakomodir. Apabila

dikorelasikan dengan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun

2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, Kebijakan Pemerintah Kabupaten

Banyumas dapat dikatakan sesuai karena telah mengakomodir upaya pelestarian

fungsi lingkungan dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Kata kunci: Kebijakan Energi Nasional, pelestarian fungsi lingkungan, prinsip

pembangunan berkelanjutan.

vi

ABSTRACT

Indonesia's energy consumption for petroleum in 2006 reached 63% of its

total energy needs. This condition raises concerns about the availability of

Indonesia's petroleum and the pollution caused by its use. Through Presidential

Regulation No. 5 of 2006 on National Energy Policy, governments take strategic

steps to resolve the problem. As a rule at the central level, the Presidential

Regulation No. 5 of 2006 on National Energy Policy should be implemented by all

regions in Indonesia, including Banyumas regency government through its

policies. Through research methods normative juridical approach legislation, this

study aims to determine the policy of the Government of Banyumas and

compliance with Presidential Regulation No. 5 of 2006 on National Energy

Policy. Based on the research known that the Government of Banyumas only

implement central government policy and has not used its authority to make

regions regulations or regulations in the use of petroleum energy sources. Efforts

to overcome the environmental pollution, preserving the availability of natural

resources (efficiency), and to increase public participation but has been

accommodated. When correlated with Article 3, paragraph (2) letter d

Presidential Regulation No. 5 of 2006 on National Energy Policy, Government

Policies Banyumas can be said to fit because it has to accommodate the

preservation of environmental functions by applying the principles of sustainable

development.

Keyword : National Energy Policy, preservation of environmental functions,

sustainable development

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamiin,

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan ridho-Nya,

beserta junjungan Nabi akhirul jaman Muhammad SAW, keluarga sahabat, dan

para pengikutnya, serta semoga berkah dan hidayah tersebut tercurah sampai pada

diri kita. Alhamdulillah penelitian ini dapat kami selesaikan, dan juga tidak luput

dari motivasi dan dukungan dari orang tua kami, teman-teman kami, para alumni,

dan orang-orang yang sangat berjasa dalam penyusunan laporan hasil penelitian

ini, sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

Skripsi ini pada prinsipnya mengkaji tentang Kajian Yuridis Terhadap

kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas terkait upaya pelestarian fungsi

lingkungan dalam pemanfaatan sumber energi minyak bumi berdasarkan

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional.

Skripsi ini ditulis dalam rangka untuk memenuhi syarat akhir menyelesaikan studi

pada Strata 1 (satu) dan meraih gelar sarjana Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto.

Alhamdulillah penelitian ini dapat terselesaikan dengan lancar atas motivasi

dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman;

2. Ibu Rochati, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penguji dan/atau

Pembimbing Skripsi I;

3. Bapak Sunarto, S.H. selaku Dosen Penguji dan/atau Pembimbing

Skripsi II;

4. Bapak Supriyanto, S.H., M.H. sebagai Dosen Penguji Skripsi;

5. Seluruh Staf Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto yang telah berkenan memberikan dukungan

studinya dan bimbingan pada penulisan/penulisan Karya Tulis

Ilmiah.

viii

Tidak luput ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Seluruh Staf

Administrasi dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto yang turut membantu dalam kegiatan studi dalam kesehariannya.

Selanjutnya, tidak luput penulis ucapan terima kasih kepada rekan-rekan

mahasiswa yang turut mendukung baik secara teknis dan non-teknis pada

penulisan akhir ini, khususnya rekan-rekan Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga

Kajian Hukum dan Sosial (UKM LKHS) Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto yang senantiasa membentuk intelektualita penulis yang

kompetitif dalam lingkungan civitas akademik maupun lingkungan kerja nantinya.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis selalu terbuka untuk menerima kritik dan

saran yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan

berguna bagi setiap pembacanya dan pada penelitian lainnya yang mempunyai

bidang kajian ilmu hukum sejenis.

Purwokerto, .… Pebruari 2013

Agung Budi Prasetiyo

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

HALAMAN PENGAJUAN ............................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv

ABSTRAK ......................................................................................................... v

ABSTRACT ......................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Perumusan Masalah .......................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7

D. Kegunaan Penelitian ......................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Lingkungan

1. Pengertian Hukum Lingkungan ................................................ 8

2. Lingkungan Hidup .................................................................... 9

3. Pencemaran dan Perusakan Lingkungan ................................... 13

4. Pelestarian Fungsi Lingkungan ................................................. 15

B. Sumber Daya Alam

1. Pengertian Sumber Daya Alam ................................................. 17

2. Kelangkaan Sumber Daya Alam ............................................... 19

C. Pemanfaatan Sumber Energi Minyak Bumi ..................................... 21

D. Kebijakan Pemerintah

1. Pengertian Peraturan Kebijakan ................................................. 24

2. Peraturan Presiden ...................................................................... 28

x

3. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan

Energi Nasional .......................................................................... 29

E. Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006

Tentang Kebijakan Energi Nasional ................................................ 32

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan ........................................................................ 38

B. Spesifikasi Penelitian ..................................................................... 39

C. Jenis Data ....................................................................................... 39

D. Metode Pengumpulan Data ........................................................... 40

E. Metode Penyajian Data .................................................................. 41

F. Analisis Data .................................................................................. 41

BAB IV HASIL PENLITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian .............................................................................. 42

B. Pembahasan .................................................................................... 49

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ........................................................................................... 72

B. Saran ................................................................................................. 73

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber energi. Sumber

energi dapat berasal dari bahan tambang maupun non tambang. Sumber

energi yang berupa bahan tambang misalnya minyak bumi, gas, dan batubara,

sedangkan sumber energi non tambang seperti angin, air, panas bumi, dan

biomassa. Salah satu sumber energi yang dimiliki dan telah dikembangkan

adalah minyak bumi. Sumber energi minyak bumi dalam perkembangannya

diolah menjadi berbagai macam produk seperti minyak tanah, bensin, solar,

minyak pelumas dan aspal. Produk-produk olahan minyak bumi ini kemudian

banyak dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia.

Potensi sumber energi minyak bumi yang dimiliki Indonesia dan

didukung dengan pembangunan menjadikan penggunaan produk minyak

bumi makin meningkat. Bagi Indonesia energi minyak bumi masih menjadi

andalan utama perekonomian, baik sebagai penghasil devisa maupun

pemasok kebutuhan energi dalam negeri. Pembangunan prasarana dan

industri yang sedang giat-giatnya dilakukan di Indonesia membuat

pertumbuhan konsumsi energi rata-rata mencapai 7% dalam 10 tahun

terakhir.1 Pada tahun 2006 konsumsi energi Indonesia terhadap minyak bumi

1 Biro Riset LM FE UI, “Analisis Industri Minyak dan Gas di Indonesia, Masukan Bagi Pengelola

BUMN”, Biro Riset LM FE UI, 2010.

2

mencapai 63% dari total kebutuhan energi.2 Kondisi ini menunjukan bahwa

perkembangan energi menjadikan Indonesia sangat tergantung pada sumber

energi minyak bumi.

Ketergantungan Indonesia pada minyak bumi telah memasuki tahap

cukup mengkhawatirkan. Peningkatan yang sangat tinggi melebihi rata-rata

kebutuhan energi global mengharuskan Indonesia untuk segera menemukan

cadangan minyak baru, baik di Indonesia maupun ekspansi ke luar negeri.

Sebagian besar ladang minyak di Indonesia berada di daratan dengan kondisi

yang sudah tua dan dengan cadangan minyak yang semakin menipis.

Bappenas menyatakan bahwa minyak bumi di Indonesia diperkirakan akan

habis dalam kurun waktu 14 tahun lagi. Dana Moneter Internasional (IMF)

memprediksi cadangan minyak Indonesia akan habis dalam kurun waktu 9

tahun lagi, atau tepatnya tahun 2020 dan menurut Kementerian ESDM

cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dalam masa 23 tahun.3

Kekhawatiran yang terjadi selain mengenai ketersediaan minyak bumi

yang menipis adalah dampak lingkungan yang ditimbulkan dari penggunaan

minyak bumi. Pemanfaatan minyak bumi paling banyak adalah digunakan

sebagai bahan bakar baik kendaraan, mesin-mesin pabrik maupun sebagai

bahan bakar kebutuhan rumah tangga. Pemanfaatan bahan bakar minyak pada

setiap kendaraan bermotor akan menghasilkan gas buang (emisi) yang di

dalamnya mengandung unsur debu Pb (timbal). Unsur Pb merupakan logam

berat yang tidak musnah saat terjadi pembakaran. Apabila timbal terlepas ke

2 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, “Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (BP-PEN)

2006 – 2025”, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2006. Hal. 3. 3 Ibid., Hal. 34.

3

lingkungan hidup, unsur tersebut akan selalu memberikan ancaman bagi

makhluk hidup. Unsur Pb akan tetap berbahaya karena pada akhirnya

mengendap di tanah dan tidak dapat terurai secara biologis. Badan

Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) memperkirakan bahwa

25% Pb sisa pembakaran bensin akan tetap tinggal di dalam mesin, sedang

75% lainnya akan ke luar bersama asap knalpot, sehingga mencemari udara.4

Mukhlis Akhadi menyatakan:

Dari berbagai macam bentuk pencemaran udara, kira-

kira 75% polutan berasal dari pemakaian BBM sedang

sisanya berasal dari sumber pencemar lain.5

Dampak negatif pembangunan yang telah terjadi di Indonesia mulai

terasa, seperti semakin merosotnya kondisi lingkungan hidup dan semakin

langkanya cadangan sumber daya alam. Kelangkaan sumber daya alam dan

memburuknya kondisi lingkungan mengakibatkan biaya pembangunan

menjadi mahal dan apabila hal ini berkelanjutan akan menghambat

pembangunan di kemudian hari. Untuk menjamin adanya pembangunan yang

berkelanjutan perlu dijaga agar sumber daya alam tidak menjadi langka dan

lingkungan tidak tercemar.6

Pemanfaatan sumber daya alam serta pembinaan lingkungan perlu

ditingkatkan dengan cara yang tepat sehingga dapat mengurangi dampak yang

4 Mukhlis Akhadi, EKOLOGI ENERGI: Mengenali Dampak Lingkungan dalam Pemanfaatan

Sumber-sumber Energi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Hal. 118. 5 Ibid., Hal. 117.

6 Surna T. Djajadiningrat, M. Suparmoko, dan M. Ratnaningsih, “Neraca Sumber Daya Alam

untuk Pembangunan Berkelanjutan”, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan

Hidup, 1992. Hal. 1.

4

merugikan lingkungahn hidup. Kemampuan perencanaan, pengelolaan,

pemanfaatan termasuk penghitungan lingkungan dan pengembangan sumber

daya alam perlu terus ditingkatkan, sehingga perubahan mutu dan fungsi

lingkungan dapat terus dipantau dan dipertanggungjawabkan.7

Mengatasi permasalahan yang terjadi di bidang energi maka pemerintah

mengeluarkan kebijakan di bidang energi melalui Peraturan Presiden Nomor

5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional. Di dalam pertimbangan

Peraturan Presiden tersebut menyertakan dua hal yang melatarbelakangi

dikeluarkannya Peraturan Presiden. Pertama, Peraturan Presiden dikeluarkan

guna menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri. Pertimbangan kedua

adalah untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan.8

Kebijakan Energi Nasional dilakukan dengan langkah kebijakan utama

dan langkah kebijakan pendukung. Di dalam langkah kebijakan utama salah

satunya mengamanatkan adanya kebijakan pelestarian lingkungan dengan

menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Diamanatkannya hal

tersebut menjadikan pelestarian lingkungan dengan menerapkan prinsip

pembangunan berkelanjutan harus ada baik dalam penyediaan energi,

pemanfaatan energi, maupun penetapan harga energi.9

Pelestarian lingkungan yang diamanatkan oleh Peraturan Presiden

Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Energi tidak dijelaskan lebih lanjut dalam

peraturan tersebut. Penggunaan istilah pelestarian lingkungan tidak

7 Ibid., Hal. 6.

8 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi

Nasional. 9 Ibid.

5

ditemukan pula dalam undang-undang tentang lingkungan. Di dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, istilah yang

digunakan adalah pelestarian fungsi lingkungan. Pasal 1 angka 6 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup menjelaskan arti pelestarian fungsi lingkungan sebagai

upaya pemeliharaan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Fokus

pelestarian fungsi lingkungan dengan demikian bukan pada lingkungannya

tetapi pada kemampuan lingkungannya yakni daya dukung dan daya

tampung.

Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, seharusnya

peraturan presiden mengacu pada aturan di atasnya yakni undang-undang.

Terkait dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006, maka di dalam

bidang pelestarian lingkungan penggunaan istilah seharusnya tetap mengacu

pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Agar tidak terjadi kebingungan dalam memahami isi

tulisan ini, maka istilah yang akan digunakan selanjutnya adalah pelestarian

fungsi lingkungan sesuai dengan undang-undang.

Upaya pelestarian fungsi lingkungan dalam Peraturan Presiden Nomor

5 Tahun 2006 Tentang Energi adalah kebijakan yang berlaku umum dan

mengikat secara nasional. Hal ini dikarenakan Pasal 18 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi mengamanatkan kepada

6

pemerintah daerah untuk menyusun rencana umum energi daerah berdasarkan

rencana umum energi Nasional. Setiap kebijakan energi di daerah atas

perintah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi, maka harus

selalu mengacu kepada kebijakan nasional tersebut.

Sebagai salah satu Kabupaten yang berada di wilayah Indonesia dan

memanfaatkan energi, maka Kabupaten Banyumas secara logis terikat dengan

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Energi. Kebijakan maupun

program yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Banyumas harus selalu

mengacu pada Peraturan Presiden. Kebijakan di bidang energi yang dimaksud

dapat berupa kabijakan yang bersumber pada perintah Peraturan Presiden

Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, peraturan

perundang-undangan lainnya, atau berdasar asas kebebasan bertindak.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka

dapat diambil rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimanakah kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas terkait

upaya pelestarian fungsi lingkungan dalam pemanfaatan sumber

energi minyak bumi?

2. Bagaimanakah kesesuaian upaya pelestarian fungsi lingkungan

yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Banyumas dengan isi

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan

Energi Nasional?

7

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas terkait

upaya pelestarian fungsi lingkungan dalam pemanfaatan sumber energi

minyak bumi di Kabupaten Banyumas.

2. Untuk mengetahui kesesuaian kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas

dengan kebijakan nasional yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 5

Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional.

D. Kegunaan Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai instrumen

pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan khususnya

mengenai hukum lingkungan, tepatnya mengenai sumber energi minyak

bumi.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui kesesuaian antara

upaya pelestarian fungsi lingkungan yang dilakukan dalam

pemanfaatan minyak bumi di Kabupaten Banyumas dengan Peraturan

Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan

perbaikan kebijakan terkait pelestarian fungsi lingkungan dalam

pemanfaatan minyak bumi di Kabupaten Banyumas.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Lingkungan

1. Pengertian Hukum Lingkungan

Hukum lingkungan adalah hukum yang mengatur hubungan timbal

balik antara manusia dengan makhluk hidup lainnya yang apabila

dilanggar dapat dikenai sanksi. Sanksi yang termuat dalam hukum

lingkungan merupakan sanksi-sanksi yang telah diatur sebelumnya dalam

hukum perdata, hukum pidana, serta hukum administrasi.10

Hukum lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A.

Robinson adalah:

seperangkat aturan hukum yang memuat tentang

pengendalian dampak manusia terhadap bumi dan kesehatan

publik. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang

sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus

menunjuk persoalan-persoalan lingkungan dan secara umum

hukum yang secara langsung menunjuk pada dampak atas

persoalan-persoalan lingkungan.11

United Nations Enviromental Programme (UNEP) mendefinisikan hukum

lingkungan sebagai berikut:

the body of law which contains elements to control the

human impact on the environment. Hukum lingkungan adalah

10

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional: Edisi

Kedua, (Surabaya: Airlangga University Press, 2000), Hal. 2. 11

A’an Efendi, “Penyelesaian Kasus Lingkungan dalam Aspek Hukum Lingkungan”, Risalah

HUKUM Fakultas Hukum UNMUL 2011 Vol. 7 No. 1, 2011. Hal. 63.

9

seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk

mengendalikan dampak manusia terhadap lingkungan.12

Pada awalnya hukum lingkungan dikenal dengan hukum gangguan

(hinderrecht) yang bersifat sederhana dan mengandung aspek keperdataan.

Hukum lingkungan dalam perkembangannya bergeser ke arah bidang

hukum administrasi, sesuai dengan peningkatan peranan penguasa dalam

bentuk campur tangan terhadap berbagai segi kehidupan dalam masyarakat

yang semakin kompleks. Segi hukum lingkungan administratif terutama

muncul apabila keputusan penguasa yang bersifat kebijaksanaan

dituangkan dalam bentuk penetapan (beschikking).13

2. Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup memiliki arti sebagai tempat, wadah atau ruang

yang ditempati oleh makhluk hidup dan makhluk tak hidup yang

berhubungan dan saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain, baik

antara makhluk-makhluk itu sendiri maupun antara makhluk-makhluk itu

dengan alam sekitarnya.14

Lebih lanjut Emil salim menyatakan:

Secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai segala

bentuk benda, kondisi dan keadaan dan pengaruh yang terdapat

dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal hidup

termasuk kehidupan manusia.15

12

Ibid., Hal. 63. 13

Ibid., Hal. 5. 14

Harun M. Husein, Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya,

(Jakarta: PT Bumi Aksara, 1993), Hal. 6. 15

Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Hal. 17.

10

Di dalam sistem hukum Indonesia, pengertian lingkungan hidup terdapat

dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi:

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua

benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia

dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,

kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta

makhluk hidup lain.

Pembahasan lingkungan hidup dengan demikian maka akan membahas

keterkaitan segala sesuatu baik makhluk hidup atau benda mati sebagai

unsur-unsur lingkungan. Lebih lanjut NHT. Siahaan merumuskan unsur-

unsur lingkungan sebagai berikut:

1) Semua benda, berupa: manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan,

organisme, tanah, air, udara, rumah, sampah, mobil, angin

dan lain-lain. Keseluruhan yang disebut ini digolongkan

dalam materi, sedangkan satuan-satuannya disebut sebagai

komponen;

2) Daya, disebut juga dengan energi;

3) Keadaan, disebut juga kondisi atau situasi;

4) Perilaku atau tabiat;

5) Ruang, yaitu wadah berbagai komponen berada;

6) Proses interaksi, disebut juga saling mempengaruhi, atau

biasa pula disebut dengan jaringan kehidupan.16

Unsur yang termasuk dalam lingkungan adalah semua makhluk

ciptaan Tuhan baik yang bernyawa dan tidak bernyawa, besar dan kecil,

bergerak dan tidak bergerak, maka dapat dikatakan bahwa lingkungan

merupakan sumber daya alam. Lingkungan menjadi sumber daya alam

karena sesuai dengan karakter dan sifatnya yang sangat kompleks tersebut

dan memenuhi semua unsur yang terdapat dalam isi alam ini. Lingkungan

16

Harun M. Husein, op. cit., Hal. 8.

11

sebagai sumber daya alam merupakan aset yang dapat digunakan untuk

mensejahterakan masyarakat.17

Hal ini sesuai dengan perintah Pasal 33

ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sumber daya lingkungan mempunyai daya regenerasi dan asimilasi yang

terbatas. Selama eksploitasi atau permintaan pelayanan ada di bawah batas

daya regenerasi atau asimilasi, sumber daya itu dapat digunakan secara

lestari. Akan tetapi, apabila batas itu dilampaui, sumber daya itu akan

mengalami kerusakan dan fungsi sumber daya itu sebagai faktor produksi

dan konsumsi atau sarana pelayanan akan mengalami gangguan.18

Dalam suatu lingkungan hidup yang baik, terjalin suatu interaksi

yang harmonis dan seimbang antar komponen-komponen lingkungan

hidup. Stabilitas, keseimbangan dan keserasian interaksi antar komponen

lingkungan tersebut tergantung pada usaha manusia karena manusia adalah

komponen lingkungan hidup yang paling dominan dalam mempengaruhi

lingkungan. Sebaliknya lingkungan pun mempengaruhi manusia, sehingga

terdapat hubungan yang saling pengaruh-mempengaruhi antara manusia

dan lingkungan hidupnya. Hal demikian, merupakan interaksi antara

17

Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),

Hal. 4. 18

Otto Sumarwoto, Ekologi Lingkungan dan Pembangunan: Edisi Revisi, (Jakarta: Djambatan,

1994), Hal. 59.

12

manusia dan lingkungan.19

Keseimbangan interaksi di dalam lingkungan

tergantung pada daya dukung dan daya tampung lingkungan. Tanpa

adanya daya dukung dan daya tampung lingkungan maka interaksi di

dalam lingkungan akan terhambat. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup menyatakan bahwa:

Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan

lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia,

makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya.

Daya tampung lingkungan dijelaskan dalam Pasal 1 angka 8 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup yang berbunyi:

Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan

lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau

komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

Interaksi manusia yang melebihi daya dukung lingkungan akan

mengakibatkan lingkungan hidup tidak lagi mampu mendukung

perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar

keduanya. Interaksi manusia yang melebihi daya tampung lingkungan

akan mengakibatkan kerusakan dan tercemarnya lingkungan hidup.

19

Harun M. Husein, op. cit., Hal. 16.

13

3. Pencemaran dan Perusakan Lingkungan

Kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh pencemaran dan

perusakan lingkungan. Pengertian pencemaran dan perusakan lingkungan

dijelaskan dalam Pasal 1 angka 14 dan 16 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

yang memberikan definisi:

Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau

dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau

komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan

manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup

yang telah ditetapkan.

Lebih lanjut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan

definisi:

Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang

menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap

sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga

melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Menurut kalangan akademisi dan penggiat lingkungan salah satu

penyebab kerusakan lingkungan adalah masalah kelembagaan atau

masalah struktural. Maksud masalah kelembagaan atau struktural adalah

krisis ekologi yang melanda Indonesia muncul karena kebijakan, peraturan

14

perundang-undangan, dan program-program pembangunan selama ini

belum mempertimbangkan faktor lingkungan hidup. 20

Adanya perusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan

mengakibatkan kerusakan lingkungan dan kerugian bagi manusia baik

secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara langsung apabila

pencemaran lingkungan secara cepat dan langsung dirasakan akibatnya

oleh manusia. Kerugian tidak langsung adalah apabila akibat pencemaran

tersebut lingkungan menjadi rusak, sehingga daya dukung alam terhadap

kelangsungan hidup manusia menjadi berkurang. Keadaan akan menjadi

lebih parah lagi jika daya dukung alam sudah tidak ada lagi bagi

kelangsungan hidup manusia. Bila hal itu terjadi maka hal itu berarti

malapetaka bagi manusia.21

Menurut Wisnu Arya Wardhana kerusakan daya dukung alam dapat

disebabkan karena faktor internal maupun eksternal. Kerusakan karena

faktor internal adalah kerusakan yang berasal dari dalam bumi atau alam

itu sendiri. Kerusakan karena faktor internal antara lain dapat disebabkan:

1. Letusan gunung berapi yang merusak lingkungan alam

sekitarnya.

2. Gempa bumi yang menyebabkan dislokasi lapisan tanah.

3. Kebakaran hutan karena proses alami pada musim kemarau

panjang disebabkan oleh embun yang berfungsi sebagai lensa

pengumpul api (pada titik fokusnya) pada saat terkena cahaya

matahari, tepat pada saat embun belum menguap.

4. Banjir besar dan gelombang laut yang tinggi akibat badai.

20

Bambang Setyabudi, “Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Terobosan Dalam Pengelolaan

Lingkungan Hidup”, Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 2007. 21

Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pencemaran Lingkungan: Edisi Revisi, (Yogyakarta: Andi

Offset, 2004), Hal. 159.

15

Kerusakan daya dukung alam karena faktor eksternal adalah kerusakan

yang diakibatkan oleh ulah manusia dalam rangka meningkatkan kualitas

dan kenyamanan hidupnya. Kerusakan daya dukung alam karena faktor

eksternal antara lain disebabkan oleh:

1. Pencemaran udara yang berasal dari cerobong pabrik (kegiatan

industri) dan juga gas buangan dari hasil pembakaran bahan

bakar fosil (pada sistem transportasi).

2. Pencemaran air yang berasal dari limbah buangan industri.

3. Pencemaran daratan (tanah) oleh kegiatan industri maupun

penumpukan limbah padat/barang bekas.

4. Penambangan untuk mengambil kekayaan alam (mineral) dari

perut bumi.22

4. Pelestarian Fungsi Lingkungan

Konsep pelestarian fungsi lingkungan lahir karena adanya

kemungkinan rusak dan tercemarnya lingkungan. Pelestarian fungsi

lingkungan bertujuan agar lingkungan hidup tetap dapat berfungsi

sebagaimana mestinya. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

memberikan definisi pelestarian fungsi lingkungan sebagai berikut:

Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian

upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan

daya tampung lingkungan hidup.

Upaya pelestarian fungsi lingkungan dikenal pula dengan istilah gerakan

konservasi. Gerakan konservasi merupakan gerakan lingkungan hidup

yang bertujuan menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang

diakibatkan oleh kegiatan industri dan penambangan. Konservasi muncul

22

Ibid., Hal. 15.

16

sebagai suatu falsafah yang berpola pikir baik dan telah menjadi suatu

gerakan terencana selama beberapa tahun di abad ke-19 dan awal abad ke-

20. Para pembela konservasi merasa berkewajiban untuk mewariskan

sesuatu yang lebih baik daripada yang telah mereka terima. Paham

konservasi menganjurkan agar kita tidak menghabiskan sumberdaya alam,

tetapi menyisihkan sebagian besar dari padanya demi kelangsungan

kehidupan umat manusia itu sendiri.23

Apabila dalam proses pembangunan terjadi dampak yang kurang

baik terhadap lingkungan, maka haruslah dilakukan upaya untuk

meniadakan atau mengurangi dampak negatif tersebut, sehingga keadaan

lingkungan menjadi serasi dan seimbang lagi. Di dalam pelestarian fungsi

lingkungan dengan demikian maka yang dilestarikan bukanlah

lingkungannya, akan tetapi kemampuan lingkungan. Kemampuan

lingkungan yang serasi dan seimbang inilah yang perlu dilestarikan,

sehingga setiap perubahan yang diadakan selalu disertai dengan upaya

mencapai keserasian dan keseimbangan lingkungan pada tingkatan yang

baru.24

Untuk mengantisipasi keadaan yang lebih buruk, arah pembangunan

ke depan harus ditegaskan bahwa pendayaan sumber daya alam dan

lingkungan harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal,

bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya

dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta

23

Mukhlis Akhadi, op. cit., Hal. 63-64. 24

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan: Edisi Ketiga, (Yogyakarta : Gajah Mada

University Press, 1988) Hal. 122.

17

memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup

bagi pembangunan yang berkelanjutan. Aspek lingkungan harus dijadikan

pertimbangan utama di dalam menentukan strategi pembangunan. Konsep

ini pada dasarnya mengandung aspek daya dukung lingkungan dan

solidaritas antar generasi yang kemudian dikenal dengan istilah

pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan.

B. Sumber Daya Alam

1. Pengertian Sumber Daya Alam

Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang bersifat alamiah yang

dapat berguna bagi kehidupan kita. Sumber daya alam dan lingkungan

hidup memiliki hubungan yang erat.25

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa:

Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang

terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara

keseluruhan membentuk ekosistem.

Koesnadi Hardjasoemantri berpendapat:

Sumber alam terbagi atas sumber alam yang dapat

diperbaharui, seperti hutan, perikanan, dan lain-lain dan

sumber alam yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak,

batubara, gas alam, dan lain-lain. Sumber alam dapat pula

25

A. Tresna Sastrawijaya, Pencemaran Lingkungan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), Hal. 5.

18

dibagi atas tanah, air, tanaman, pepohonan, sumber aquatis

dilaut maupun di darat dan sumber mineral.26

Menurut Irmadi Nahib secara umum sumber daya alam diklasifikasi

ke dalam dua kelompok, yaitu :

1) Kelompok Stok (Non Renewable)

Sumberdaya ini dianggap memiliki cadangan yang terbatas,

sehingga eksploitasinya terhadap sumberdaya tersebut akan

menghabiskan cadangan sumberdaya, sumber stok dikatakan tidak

dapat diperbaharui (non renewable) atau terhabiskan (exhuastible).

2) Kelompok flow

Jenis sumberdaya ini dimana jumlah dan kualitas fisik dari

sumberdaya berubah sepanjang waktu. Berapa jumlah yang kita

manfaatkan sekarang, bisa mempengaruhi atau bisa juga tidak

mempengaruhi ketersediaan sumberdaya di masa mendatang.

Sumberdaya ini dikatakan dapat diperbaharui (renewable) yang

regenerasinya ada yang tergantung pada proses biologi dan ada

yang tidak.27

Sumber daya alam tidak dapat terbarukan atau sering juga disebut

sebagai sumber daya terhabiskan adalah sumber daya alam yang tidak

memiliki kemampuan regenerasi secara biologis. Sumber daya alam ini

terbentuk melalui proses geologi yang memerlukan waktu sangat lama

untuk dapat dijadikan sebagai sumber daya alam yang siap diolah atau siap

26

Koesnadi Hardjasoemantri, op. cit., Hal. 62. 27

Irmadi Nahib, “Pengelolaan Sumberdaya Tidak Pulih Berbasis Ekonomi Sumberdaya ,Studi

Kasus : Tambang Minyak Blok Cepu” , Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 12 No. 1 Agustus 2006.

Hal. 39.

19

pakai. Jika diambil (eksploitasi) sebagian, maka jumlah yang tinggal tidak

akan pulih kembali seperti semula.28

Sebagian besar sumber daya alam yang disediakan oleh bumi tidak

dapat diganti atau diperbaharui, maka kita harus melestarikannya sebijak

mungkin, sehingga tidak menimbulkan malapetaka di kemudian hari.

Sumber daya alam tadi harus dimanfaatkan secara efektif dan bijaksana

demi masa depan umat manusia. Demi tercapainya kegiatan pembangunan

yang berkesinambungan, maka semua dampak yang muncul dari aktivitas

pembangunan harus ditekan seminimal mungkin melalui peningkatan

efisiensi pembangunan sumber-sumber energi.29

2. Kelangkaan Sumber Daya Alam

Kegiatan pemanfaatan sumber daya alam potensial menjadi barang

sumber daya dapat menimbulkan masalah berupa pencemaran dan

kelangkaan. Kelangkaan dapat terjadi jika sumber daya yang ada terbatas,

sedangkan kebutuhan jumlahnya tidak terbatas. Kebutuhan manusia akan

terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.

Meskipun manusia berusaha memperbanyak alat atau barang untuk

memenuhi kebutuhan hidup, tetapi sumber daya dan alat produksi yang

ada terbatas jumlahnya.

Pada saat ini tingkat pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat

industri dan rumah tangga terlalu tinggi dalam kaitannya dengan

persediaan sumber daya alam yang diketahui. Ada perbedaan pendapat

28

Ibid., Hal. 39. 29

Mukhlis Akhadi, op. cit., Hal. 66.

20

mengenai implikasi dan cara penanggulangan masalah yang ditimbulkan.

Mereka yang mendukung pertumbuhan ekonomi menyatakan bahwa

masalah kekurangan sumber daya alam hanya bersifat sementara karena

dengan semakin berkembangnya teknologi akan dapat dicari sumber daya

pengganti. Para pecinta lingkungan (environmentalist) menyatakan bahwa

usaha yang dilakukan untuk mencari atau mendapatkan sumber daya

pengganti memerlukan pengorbanan yang semakin besar dengan semakin

langkanya sumber daya alam. Di samping itu berbagai cara yang

dilakukan untuk menanggulangi kekurangan sumber daya alam pasti akan

banyak menimbulkan pencemaran lingkungan.30

Beberapa cara dapat dilakukan untuk menanggulangi semakin

langkanya sumber daya alam, antara lain dengan cara meningkatkan

persediaan sumber daya alam dan membatasi laju pembangunan sumber

daya alam, serta dengan menerapkan teknologi tepat guna bagi

pengambilan sumber daya alam, sehingga pengambilan dapat dilakukan

dengan cara seefisien mungkin. Apabila ketiga cara tersebut dilaksanakan,

maka pengurangan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan dapat

diatasi. Apabila tindakan konservasi tidak segera dilaksanakan, maka

biaya yang diperlukan untuk melakukan konservasi di masa yang akan

datang akan semakin mahal serta dapat menimbulkan masalah-masalah

lain seperti sosial dan politik.31

30

Surna T. Djajadiningrat, op. cit., Hal. 5. 31

Surna T. Djajadiningrat, op. cit., Hal. 5.

21

C. Pemanfaatan Sumber Energi Minyak Bumi

Salah satu sumberdaya alam yang kita miliki adalah tambang minyak

dan gas (MIGAS), yang termasuk dalam golongan sumber daya non

renewable. Sektor migas merupakan salah satu andalan untuk

mendapatkan devisa dalam rangka kelangsungan pembangunan negara.

Penerimaan migas pada tahun 1996 mencapai 43 persen dari APBN, dan

pada tahun 2003 menurun menjadi 22,9 persen.32

Minyak Bumi merupakan zat cair licin yang mudah terbakar karena

sebagian besar penyusunnya adalah senyawa hidrokarbon yang terdiri atas

atom hidrogen (H) dan karbon (C). Kandungan senyawa ini di dalam

minyak bumi berkisar antara 50-98%, sedang sisanya terdiri atas senyawa-

senyawa organik seperti oksigen (O), nitrogen (N) dan belerang (S).33

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang

Minyak dan Gas Bumi memberikan pengertian minyak bumi sebagai

berikut:

Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa

hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur

atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin

mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses

penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan

hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari

kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak

dan Gas Bumi.

Minyak bumi yang juga dikenal sebagai emas hitam ini memiliki

nilai yang sangat tinggi dalam peradaban manusia sepanjang masa, terlebih

32

Irmadi Nahib, op. cit., Hal. 38. 33

Mukhlis Akhadi, op. cit., Hal. 41.

22

pada masyarakat modern dewasa ini. Bidang-bidang kehidupan umat

manusia seperti pertanian, industri, transportasi serta sistem pembangkit

energi yang digunakan manusia sangat bergantung pada minyak bumi ini.

Kelangkaan bahan ini akan berdampak pada seluruh aspek kehidupan

suatu bangsa.34

Minyak bumi dalam bentuk minyak mentah yang diambil dari

sumur-sumur minyak dapat diubah menjadi ribuan jenis produk modern,

baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu produk tersebut adalah

bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan transportasi yang lazim

disebut bensin. Sekitar 54% dari hasil minyak mentah diubah menjadi

BBM. Kendaraan bermotor untuk transportasi menghabiskan 90% dari

seluruh produk bensin, sedang sisanya digunakan sebagai bahan bakar

untuk pesawat terbang, traktor pertanian dan berbagai jenis mesin untuk

kegiatan industri maupun rumah tangga.35

Pemanfaatan hasil olahan minyak bumi sebagai bahan bakar mesin

industri, kendaraan bermotor dan peralatan lain merupakan wujud dari

pemanfaatan minyak bumi sebagai sumber energi. Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi memberikan

pengertian energi sebagai berikut:

Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang

dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan

elektromagnetika.

34

Mukhlis Akhadi, op. cit., Hal. 41. 35

Mukhlis Akhadi, op. cit., Hal. 42.

23

Penjelasan mengenai sumber energi dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi, yaitu:

Sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan

energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi

atau transformasi.

Pemanfaatan minyak bumi sebagai sumber energi yang berasal dari

fosil memiliki dampak negatif bagi lingkungan. Pembakaran bahan bakar

fosil akan melepaskan polutan langsung ke lapisan troposfer dalam bentuk

karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), oksida sulfur (SOx),

oksida nitrogen (NOx), hidrokarbon dan partikulat. Masing-masing polutan

akan merusak kesehatan dengan menimbulkan gangguan kesehatan yang

berbeda-beda.36

Pencemaran lingkungan sebagai dampak pemanfaatan minyak bumi

dapat ditanggulangi dengan beberapa cara. Wisnu Arya Wardana

mengelompokan penanggulangan pencemaran ke dalam 2 macam cara

yakni penanggulangan secara non teknis dan penanggulangan sacara

teknis. Penanggulangan secara non teknis dilakukan dengan cara

menciptakan peraturan perundangan yang dapat merencanakan, mengatur

dan mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi

sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi pencemaran lingkungan.

Penanggulangan secara teknis antara lain dapat dilakukan dengan cara

mengubah proses, mengganti sumber energi, mengelola limbah, dan

36

Mukhlis Akhadi, op. cit., Hal. 138.

24

menambah alat bantu. Keempat macam penanggulangan secara teknis

tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri, atau apabila dipandang perlu dapat

dilakukan secara bersama-sama.37

D. Kebijakan Pemerintah

1. Pengertian Peraturan Kebijakan

Dalam literatur Hukum Administrasi Negara, peraturan kebijakan

(policy rules, beleidsregels, freies ermessen, discretion) adalah kebebasan

pemerintah untuk bertindak atas inisiatif sendiri guna menyelesaikan

permasalahan yang muncul, di mana hukum tidak mengaturnya dengan

tegas. Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Sf. Marbun dan

Mahfud MD., salah satu ciri utama peraturan kebijakan adalah tiadanya

wewenang Pemerintah membuat peraturan tersebut. Maksud kata tiada

wewenang adalah kewenangan membuat peraturan tersebut bukan

merupakan perintah dari peraturan yang lebih tinggi dalam teori organik.

Keberadaan kebijakan pemerintah bukanlah pelaksana tetapi melengkapi

aturan diatasnya yang belum sempurna.38

Prajudi Atmosudirdjo mendefinisikan kewenangan (authority,

gezag) sebagai apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang

berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari

kekuasaan eksekutif/ administrasi. Kewenangan yang biasanya terdiri atas

beberapa wewenang (competence, bevoegdheid) adalah kekuasaan

37

Wisnu Arya Wardhana, op. cit., Hal. 160. 38

SF Marbun dan Mahfud MD, Pokok-pokok hukum administrasi negara, (Yogyakarta: Liberty,

1987). Hal. 21.

25

terhadap segolongan orang-orang tertentu, atau kekuasaan terhadap

sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat,

sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu bagian tertentu saja. Di

dalam sebuah kewenangan terdapat wewenang-wewenang

(rechtsbevoegdheden). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan

sesuatu tindak hukum publik, misalnya wewenang menandatangani/

menerbitkan surat-surat izin dari seorang pejabat atas nama Menteri,

sedangkan kewenangan tetap berada di tangan Menteri (delegasi

wewenang).39

Philipus M. Hadjon menyatakan:

Keputusan dari badan atau pejabat tata usaha negara

yang merupakan pengaturan yang bersifat umum (besluit van

algemene strekking) termasuk peraturan perundang-undangan

(algemeen verbidende voorscriften). Bentuk keputusan tata

usaha negara (besluiten van algemene strekking) demikian,

tidak merupakan bagian dari perbuatan keputusan (dalam arti

beschikkingsdaad van de administratie), tetapi termasuk

perbuatan tata usaha negara di bidang pembuatan peraturan

(regelend daad van de administratie). Dengan demikian maka

terhadap perbuatan badan atau pejabat tata usaha negara yang

mengeluarkan keputusan yang merupakan pengaturan bersifat

umum tidak dapat digugat di hadapan Pengadilan Tata Usaha

Negara.40

Suatu peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk

dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebracht

schriftelijk beleid (menampakkan ke luar suatu kebijakan tertulis)” namun

tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat

39

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara: Seri Pustaka Ilmu Administrasi VII,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981). Hal. 73-74. 40

Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta, Gajah Mada

University press, 1994), Hal 151.

26

tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijaksanaan tersebut.

Peraturaan kebijaksanaan pada kenyataannya telah merupakan bagian dari

kegiatan pemerintahan (bestuuren) dewasa ini.41

Diana Halim Koentjoro berpendapat:

Untuk menjalankan tugas-tugas layanan publik secara

proaktif, maka bagi administrasi negara ada konsekuensi

khusus yang disebut kemerdekaan bertindak, yaitu

kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri,

terutama dalam penyelesaian masalah-masalah yang timbul

dalam keadaan kegentingan memaksa dan yang peraturannya

belum ada. Artinya belum dibuat oleh pembentuk Undang-

Undang. Hal ini disebut Freies Ermessen.42

Kemerdekaan bertindak dari administrasi negara dalam teori Hukum

Administrasi Negara, digolongkan dalam tiga jenis kebebasan bertindak,

yaitu:

a. Freies Ermessen

Freies Ermessen atau Asas Diskresi adalah kemerdekaan

bertindak administrasi negara atau pemerintah (eksekutif) untuk

menyelesaikan masalah yang timbul dalam keadaan kegentingan yang

memaksa dimana peraturan penyelesaian untuk masalah itu belum

ada. Kemerdekaan yang diperlukan administrasi negara ini yang

menjadi konsekuensi turut sertanya pemerintah dalam kehidupan

rakyatnya.

b. Delegasi Perundang-Undangan

41

Ibid., Hal 152. 42

Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), Hal. 40.

27

Delegasi Perundang-Undangan (delegasi van wetgeving) berarti

administrasi negara diberi kekuasaan untuk membuat peraturan

organik pada undang-undang. Maksudnya, karena pembuat undang-

undang pusat tidak dapat memperhatikan setiap masalah secara rinci

yang timbul di seluruh wilayah Negara, maka sesuai sifatnya suatu

undang-undang, pembuat undang-undang pusat hanya membuat

peraturan secara garis besarnya saja. Demikian kepada pemeritah atau

administrasi negara diberi bagian menyesuaikan peraturan-peraturan

yang dibuat badan legislatif dengan keadaan yang konkret di masing-

masing bagian wilayah negara atau menyesuaikan peraturan-peraturan

tersebut dengan keadaan umum yang telah berubah setelah peraturan

tadi diadakan (selama perubahan itu bukan perubahan yang prinsip).

c. Droit Function

Droit Function adalah kemerdekaan seorang pejabat

administrasi negara tidak berdasarkan delegasi yang tegas dalam

menyelesaikan suatu persoalan yang konkrit. Kemerdekaan itu perlu

agar administrasi negara dapat menjalankan pekerjaannya secara

lancar, untuk memenuhi kebutuhan masing-masing individu dan

sekaligus mengoreksi hasil pekerjaan pembuatan undang-undang.43

Prajudi Atmosudirdjo berpendapat bahwa diskresi atau freies ermessen

yang dimiliki oleh administrasi negara pada umumnya dipakai untuk

menetapkan pelaksanaan policy (kebijaksanaan) ketentuan undang-

43

Ibid., Hal. 40.

28

undang. Tindakan yang dilakukan oleh pejabat administrasi ini tidak

jarang menimbulkan legislasi semu. Legislasi semu adalah penciptaan

daripada aturan-aturan hukum oleh pejabat administrasi negara yang

berwenang yang sebenarnya dimaksudkan sebagai garis-garis pedoman

(richtlijnen) pelaksanaan policy (kebijaksanaan) untuk menjalankan suatu

ketentuan undang-undang, akan tetapi dipublikasikan secara luas. Dengan

demikian, maka timbul semacam “hukum bayangan” (spiegelrecht) yang

membayangi Undang-Undang atau hukum yang bersangkutan. Dengan

perkataan lain, hukum yang asli berasal dari legislator, hukum

bayangannya (legislasi semunya) berasal dari policy pejabat Administrasi

Negara yang bersangkutan.44

2. Peraturan Presiden

Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia terdapat beberapa macam

jenis keputusan pemerintah pusat selaku badan atau pejabat tata usaha

negara yang berisi pengaturan bersifat umum. Dalam Pasal 7 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan disebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia. Dari jenis-jenis yang tercantum

dalam pasal tersebut Peraturan Presiden adalah jenis peraturan yang dapat

digunakan oleh pemerintah pusat atau dalam hal ini Presiden, untuk dapat

melakukan perbuatan hukum selaku badan atau pejabat tata usaha negara

secara bebas. Hal ini dikarenakan dalam ketentuan umum tersebut

44

Prajudi Atmosudirdjo, op. cit., Hal. 99.

29

dinyatakan bahwa Peraturan Presiden dapat digunakan salah satunya guna

tujuan menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memberikan pengertian

Peraturan Presiden sebagai berikut:

Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-

undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan

perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau

dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Dari rumusan pasal di atas, maka dapat dilihat jika Peraturan Presiden

adalah merupakan tindakan hukum pemerintah dalam hal menjalankan

perintah Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau guna

menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

3. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi

Nasional

Kebijakan Energi Nasional sebagai pedoman dalam pengelolaan

energi nasional ditetapkan untuk menjamin keamanan pasokan energi

dalam negeri dan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Presiden pada pada tanggal 25

Januari 2006 menetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006

Tentang Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan tersebut bertujuan untuk

mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri sekaligus untuk

menghadapi pengaruh permasalahan krisis energi dunia. Dalam Peraturan

30

Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, hal-

hal yang diatur adalah sebagai berikut:

a. Tujuan dan Sasaran

Tujuan dan sasaran Kebijakan Energi Nasional diatur dalam

Pasal 1 yang berisi:

(1) Kebijakan Energi Nasional bertujuan untuk mengarahkan

upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan

energi dalam negeri.

(2) Sasaran Kebijakan Energi Nasional adalah:

a. Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 (satu)

pada tahun 2025.

b. Terwujudnya energi (printer) mix yang optimal pada

tahun 2025, yaitu peranan masing-masing jenis energi

terhadap konsumsi energi nasional:

1) minyak bumi menjadi kurang dari 20% (dua

puluh persen).

2) Gas bumi menjadi lebih dari 30% (tiga puluh

persen).

3) Batubara menjadi lebih dari 33% (tiga puluh tiga

persen).

4) Bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari

5% (lima persen).

5) Panas bumi menjadi lebih dari 5% (lima persen).

6) Energi baru dan energi terbarukan lainnya,

khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga

surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5%

(lima persen).

7) Batubara yang dicairkan (liquefied coal) menjadi

lebih dari 2% (dua persen).

b. Langkah Kebijakan

Guna mencapai tujuannya ditetapkan langkah kebijakan.

Langkah kebijakan tersebut diatur dalam Pasal 3 berisi:

(1) Sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)

dicapai melalui kebijakan utama dan kebijakan

pendukung.

(2) Kebijakan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

31

a. Penyediaan energi melalui:

1) penjamin ketersediaan pasokan energi dalam

negeri;

2) Pengoptimalan produksi energi;

3) Pelaksanaan konservasi energi;

b. Pemanfaatan energi melalui:

1) efisiensi pemanfaatan energi;

2) diversifikasi energi.

c. Penetapan kebijakan harga energi ke arah harga

keekonomian, dengan tetap mempertimbangkan

kemampuan usaha kecil, dan bantuan bagi masyarakat

tidak mampu dalam jangka waktu tertentu.

d. Pelestarian lingkungan dengan menerapkan prinsip

pembangunan berkelanjutan.

(3) Kebijakan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

a. pengembangan infrastruktur energi termasuk

peningkatan akses konsumen terhadap energi;

b. kemitraan pemerintah dan dunia usaha;

c. pemberdayaan masyarakat;

d. pengembangan penelitian dan pengembangan serta

pendidikan dan pelatihan.

Tindak lanjut dari kebijakan utama dan pendukung diatur dalam

Pasal 4 yang menyatakan:

(1) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan

Blueprint Pengelolaan Energi Nasional setelah dibahas

dalam Badan Koordinasi Energi Nasional.

(2) Blueprint pengelolaan Energi Nasional sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:

a. Kebijakan mengenai jaminan keamanan pasokan

energi dalam negeri.

b. Kebijakan mengenai kewajiban pelayanan publik

(public service obligation).

c. Pengelolaan sumber daya energi dan pemanfaatannya.

(3) Blueprint sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi

dasar bagi penyusunan pola pengembangan dan

pemanfaatan masing-masing jenis energi.

32

c. Harga Energi

Pengaturan mengenai harga Energi diatur dalam Pasal 5 yang

menyatakan:

(1) Harga energi disesuaikan secara bertahap sampai batas

waktu tertentu menuju harga keekonomiannya.

(2) Pentahapan dan penyesuaian harga energi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus memberikan dampak

optimum terhadap diversifikasi energi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai harga energi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dan

bantuan bagi masyarakat tidak mampu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

d. Pemberian Kemudahan dan Insentif

Adanya kemudahan dan insentif bagi penyediaan energi diatur

Pasal 6 yang menyebutkan:

(1) Menteri Energi Sumber Daya Mineral menetapkan sumber

energi alternatif tertentu.

(2) Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan insentif

kepada pelaksana konservasi energi dan pengembangan

sumber energi alternatif tertentu sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kemudahan

dan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur

dengan Peraturan Menteri terkait sesuai dengan

kewenangan masing-masing.

E. Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006

Tentang Kebijakan Energi Nasional

Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan

Energi Nasional mengatur tentang langkah kebijakan yang akan dilakukan

guna mencapai tujuan. Kebijakan utama sebagaimana diatur dalam ayat (3)

33

meliputi bidang penyediaan energi, pemanfaatan energi, penetapan harga

energi dan pelestarian lingkungan. Dalam bidang pelestarian lingkungan,

peraturan ini mengamanatkan dilakukannya pelestarian lingkungan dengan

menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris,

sustainable development. Istilah pembangunan berkelanjutan

diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi

Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme

(UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural

Resources (IUCN), dan World WideFund for Nature (WWF) pada 1980.

Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan

adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang

berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan

pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor yang harus

dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana

memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan

pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.

Sofyan Effendi meberikan dua definisi pembangunan berkelanjutan

yakni:

Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses

pembangunan yang pemanfaatan sumber dayanya, arah

invesinya, orientasi pengembangan teknologinya dan

perubahan kelembagaannya dilakukan secara harmonis dan

dengan amat memperhatikan potensi pada saat ini dan masa

depan dalam pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Secara konseptual, pembangunan berkelanjutan dapat

diartikan sebagai transformasi progresif terhadap struktur

34

sosial, ekonomi dan politik untuk meningkatkan kepastian

masyarakat Indonesia dalam memenuhi kepentingannya pada

saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang

untuk memenuhi kepentingan mereka.45

Pengertian pembangunan berkelanjutan juga dapat ditemukan pada

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan:

Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan

terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial,

dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin

kebutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,

kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi

masa depan.

Emil Salim mengemukakan ada beberapa asumsi dasar serta ide

pokok yang mendasari konsep pembangunan berlanjut. Pertama, proses

pembangunan itu harus berlangsung secara berlanjut, terus menerus

didukung oleh sumber alam, kualitas lingkungan dan manusia yang

berkembang secara berlanjut. Kedua, sumber alam terutama udara, air

dan tanah memiliki ambang batas, di atas mana penggunaannya akan

menciutkan kualitas dan kuantitasnya. Penciutan itu berarti berkurangnya

kemampuan sumber alam tersebut untuk menopang pembangunan secara

berlanjut, sehingga menimbulkan gangguan pada keserasian sumber alam

dengan daya manusia. Ketiga, kualitas lingkungan berkolerasi langsung

dengan kualitas hidup. Semakin baik kualitas lingkungan, semakin

posistif pengaruhnya pada kualitas hidup, yang antara lain tercermin pada

meningkatnya kualitas fisik, pada harapan usia hidup, pada turunnya

45

Abdurrahman, “Makalah Bahasan Pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional

VIII”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, 2003. Hal 9.

35

tingkat kematian dan lain sebagainya, sehingga pembangunan

berkelanjutan harus memberi pengaruh positif terhadap kualitas hidup.

Keempat, pembangunan berkelanjutan mengandalkan solidaritas

transgenerasi, dimana pembangunan ini memungkinkan generasi

sekarang untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi

kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan

kesejahteraannya.46

Menurut Chandra Motik, ciri-ciri dari pembangunan yang

berkelanjutan ini, ialah:

a. Menjaga kelangsungan hidup manusia dengan cara melestarikan

fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungnya, baik secara

langsung maupun tidak langsung.

b. Memanfaatkan sumber daya alam secara optimal

dalam arti memanfaatkan sumber daya alam sebanyak alam dan

tekonologi pengelolaan mampu menghasilkannya secara lestari.

c. Memberi kesempatan kepada sektor dan kegiatan lainnya di daerah

untuk berkembang bersama-sama, baik dalam kurun waktu yang

sama maupun dalam kurun waktu yang berbeda secara sambung

menyambung.

d. Meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem

untuk memasok sumber daya alam, melindungi serta mendukung

perikehidupan secara terus menerus.

e. Menggunakan prosedur dan tata cara yang memperhatikan

kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung

perikehidupan, baik masa kini maupun masa yang akan datang.47

Di dalam sistem hukum Indonesia, pembangunan berkelanjutan lebih

lanjut diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Rumusan pasal

tersebut mewajibkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk

46

Ibid., Hal 9. 47

Chandra Motik, Kekayaan Negeriku Negara Maritim, (Jakarta: Sekeretariat Dewan Maritim

Indonesia, 2007) Hal. 39.

36

menjadikan prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai dasar yang

terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah, kebijakan, rencana, dan/

atau program. Pada akhirnya pembangunan berkelanjutan dapat dijadikan

sebagai pedoman penyusunan kebijakan maupun sebagai rekomendasi

perbaikan kebijakan yang telah diambil.

Proses pembangunan berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor yaitu

kondisi sumber daya alam, kualitas lingkungan, dan faktor kependudukan.

Agar sumber daya alam dapat menopang proses pembangunan secara

berkelanjutan maka fungsi sumber daya alam harus dipertahankan dan

bahkan ditingkatkan. Antara lingkungan dan sumber daya alam terdapat

hubungan timbal balik yang erat. Semakin tinggi kualitas lingkungan maka

senakin tinggi pula kualitas sumber daya alam yang mampu menopang

pembangunan yang berkualitas. Di samping itu, faktor kependudukan

merupakan unsur yang dapat menjadi beban atau sebaliknya menjadi unsur

yang dapat menimbulkan dinamika dalam proses pembangunan. Faktor

kependudukan perlu diubah dari faktor yang menambah beban

pembangunan menjadi modal pembangunan.48

Untuk memungkinkan pembangunan secara berkelanjutan

diperlukan pokok-pokok kebijaksanaan sebagai berikut:

a. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya

dukung lingkungan.

b. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan

dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses

perencanaan proyek.

48

Surna T. Djajadiningrat, op. cit., Hal. 6-7.

37

c. Penanggulangan pencemaran air, udara dan tanah mengutamakan:

1) Penanggulangan bahan berbahaya dan beracun agar limbah ini

dapat dikendalikan dan tidak membahayakan masyarakat.

2) Penanggulangan limbah padat terutama di kota-kota besar supaya

tidak mengganggu kesehatan lingkungan.

3) Penetapan baku mutu emisi dan efluen.

4) Pengembangan baku mutu air dan udara.

d. Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai prasyarat stabilitas

tatanan lingkungan. Usaha ini perlu ditunjang oleh berbagai kebijakan

lain seperti:

1) Pengelolaan hutan tropis yang secara khusus melestarikan habitat

(tempat tinggal) flora dan fauna dalam taman nasional, suaka

alam, suaka margasatwa, cagar alam dll.

2) Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang secara khusus

melestarikan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan

lautan.

e. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui:

1) Pengelolaan daerah aliran sungai.

2) Rehabilitasi dan reklamasi bekas pembangunan dan galian.

3) Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan

f. Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan

lingkungan:

1) Manfaat dan biaya lingkungan perlu diperhitungkan dalam analisa

ekonomi.

2) Pengelolaan sumber daya alam sebagai faktor produksi perlu

mempertimbangkan segi-segi lingkungan.

3) Pengurasan sumber daya alam (resource depletion) perlu

diperhatikan sebagai bagian dari ongkos pembangunan.

4) Sangat penting memasukkan pertimbangan lingkungan dalam

kebijakan investasi, perpajakan dan perdagangan.

g. Pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan dan

ketenagakerjaan dalam pengelolaan lingkungan hidup:

1) Merangsang peran serta masyarakat dalam pengembangan

lingkungan melalui pembinaan kesadaran masyarakat.

2) Pengembangan lembaga daerah dan lembaga Pusat Studi

Lingkungan.

3) Pembinaan sarana informasi yang menunjang pengelolaan

lingkungan.

4) Pengembangan peraturan perundang-undangan.

h. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong peradilan

menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan.

i. Pengembangan kerjasama luar negeri.49

49

Surna T. Djajadiningrat, op. cit., Hal. 7-8.

38

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yakni penelitian

hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.

Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas, norma, kaidah dari

peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin

(ajaran).50

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan

perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan

(statute approach) yaitu suatu usaha pendekatan terhadap masalah yang

diteliti dengan fokus dan sekaligus tema sentral penelitian terhadap

berbagai aturan hukum, dimana hukum sebagai sistem tertutup yang

mempunyai sifat-sifat yaitu :

a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di

dalamnya terkait satu dengan lain secara logis.

b. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup

mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga

tidak akan ada kekurangan hukum.

50

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.

(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010) Hal. 34.

39

c. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang

lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara

hierarkis.51

B. Spesifikasi penelitian

Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif yaitu

penelitian yang memaparkan suatu karakteristik tertentu dari suatu

fenomena dan kemudian diadakan suatu analisis dan penjelasan mengapa

atau bagaimana hal itu terjadi.52

C. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,

yang dibagi dan diuraikan ke dalam tiga jenis yaitu:

a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat

mengikat, terdiri dari peraturan dasar dan peraturan perundang-

undangan;

b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri

dari pustaka di bidang ilmu hukum, dan artikel-artikel ilmiah,

baik dari koran maupun internet;

51

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jawa Timur: Bayumedia

Publishing, 2006), Hal. 302-303. 52

Asep Hermawan, Kiat Praktis Menulis Skripsi, Tesis, dan Disertasi Untuk Konsentrasi

Pemasaran, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004), hal. 12-13.

40

c) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari kamus

hukum dan ensiklopedia.53

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui inventarisasi bahan hukum

(studi kepustakaan) dan/atau sinkronisasi sumber bahan hukum yang

sesuai dengan relevansi penelitian ini untuk mendapatkan hasil penelitian

yang lengkap, objektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan bahan hukum adalah dengan

melakukan suatu inventarisasi data sekunder yaitu meliputi:

1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi;

2. Peraturan Pemerintah Pusat terkait minyak bumi atau bahan bakar

minyak (BBM);

3. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah terkait minyak bumi atau

bahan bakar minyak (BBM);

4. Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas terkait minyak bumi atau

bahan bakar minyak (BBM);

5. Dokumen elektronik;

6. Buku-buku kepustakaan;

7. Artikel-artikel ilmiah; dan

8. Kamus.

53

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2006), Hal. 33.

41

E. Metode Penyajian Data

Data yang telah terkumpul akan dilakukan verifikasi dan/atau

sinkronisasi data terhadap data yang telah diperoleh dengan tidak

menghilangkan maksud yang terkandung di dalam data itu sendiri.

Selanjutnya data-data tersebut akan diuraikan atau disajikan secara

menyeluruh dan sistematis berbentuk teks naratif atau deskripsi pada

seluruh bab maupun sub bab pada penelitian ini sesuai dengan

relevansinya dan kemudian akan ditarik kesimpulan pada penelitian ini.

F. Analisis Data

Analisis data akan dilakukan secara normatif kualitatif, dalam arti

bahan hukum yang telah diperoleh akan dianalisis dan diuraikan menurut

mutu dan kualitas sesuai dengan relevansi dalam penelitian ini.

42

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan pada Pemerintah Kabupaten Banyumas

melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral dan Bagian Hukum

Sekertariat Daerah Kabupaten Banyumas serta inventarisasi data sekunder

didapatkan hasil penelitian sebagai berikut:

Bahan Hukum Primer:

1. Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi

1.1. Pasal 1 angka 1 menyatakan energi adalah kemampuan untuk

melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika,

kimia, dan elektromagnetika.

1.2. Pasal 1 angka 2 menyatakan sumber energi adalah sesuatu yang

dapat menghasilkan energi, baik secara langsung maupun melalui

proses konversi atau transformasi.

1.3. Pasal 1 angka 16 menyatakan pemanfaatan energi adalah kegiatan

menggunakan energi, baik langsung maupun tidak langsung, dari

sumber energi.

1.4. Pasal 1 angka 21 menyatakan diversifikasi energi adalah

penganekaragaman pemanfaatan sumber energi.

43

1.5. Pasal 1 angka 23 menyatakan konservasi energi adalah upaya

sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya

energi dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya.

1.6. Pasal 1 angka 30 menyatakan pelestarian fungsi lingkungan hidup

adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya

dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

1.7. Pasal 7 ayat (2) memerintahkan kepada Pemerintah Daerah untuk

menyediakan dana subsidi bagi kelompok masyarakat tidak

mampu.

1.8. Pasal 17 ayat (2) memerintahkan kepada Pemerintah Daerah untuk

ikut serta dalam menyusun rencana umum energi nasional dengan

memperhatikan pendapat dan masukan dari masyarakat

1.9. Pasal 18 memerintahkan kepada Pemerintah Daerah untuk

menyusun rencana umum energi daerah dengan mengacu pada

rencana umum energi nasional dan ditetapkan dengan peraturan

daerah.

1.10. Pasal 26 ayat (3) memberi wewenang kepada Pemerintah Daerah

untuk:

1.10.1. pembuatan peraturan daerah kabupaten/kota;

1.10.2. pembinaan dan pengawasan pengusahaan di

kabupaten/kota; dan

1.10.3. penetapan kebijakan pengelolaan di kabupaten/kota.

44

1.11. Pasal 29 memerintahkan kepada Pemerintah Daerah untuk

memfasilitasi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi penyediaan dan pemanfaatan sesuai dengan

kewenangannya. Penelitian dan pengembangan diarahkan terutama

untuk pengembangan energi baru dan energi terbarukan untuk

menunjang pengembangan industri energi nasional yang mandiri.

2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2007

Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga

Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram

2.1. Pengaturan penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga LPG

Tabung 3 Kg dalam Peraturan Presiden ini meliputi perencanaan

volume penjualan tahunan dari badan usaha, harga patokan dan

harga jual eceran serta ketentuan ekspor dan impor LPG Tabung 3

Kg dalam rangka mengurangi subsidi bahan bakar minyak

khususnya untuk mengalihkan penggunaan minyak tanah bersubsidi

sesuai kebijakan pemerintah.

2.2. Pasal 1 angka 1 menyatakan Liquefied Petroleum Gas yang

selanjutnya disebut LPG adalah gas hidrokarbon yang dicairkan

dengan tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan,

dan penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas propana, butana,

atau campuran keduanya.

45

2.3. Pasal 1 angka 2 menyatakan LPG Tabung 3 Kilogram yang

selanjutnya disebut LPG Tabung 3 Kg adalah LPG yang diisikan ke

dalam tabung dengan berat isi 3 Kilogram.

2.4. Pasal 1 angka 4 menyatakan Rumah tangga adalah konsumen yang

mempunyai legalitas penduduk, menggunakan minyak tanah untuk

memasak dalam lingkup rumah tangga dan tidak mempunyai

kompor gas untuk dialihkan menggunakan LPG Tabung 3 Kg

termasuk tabung, kompor gas beserta peralatan lainnya.

2.5. Pasal 1 angka 5 menyatakan Usaha mikro adalah konsumen dengan

usaha produktif milik perorangan yang mempunyai legalitas

penduduk, menggunakan minyak tanah untuk memasak dalam

lingkup usaha mikro dan tidak mempunyai kompor gas untuk

dialihkan menggunakan LPG Tabung 3 Kg termasuk tabung, kompor

gas beserta peralatan lainnya.

2.6. Pasal 1 angka 6 menyatakan Minyak tanah untuk rumah tangga dan

usaha mikro adalah jenis bahan bakar minyak yang ditetapkan

sebagai salah satu jenis bahan bakar minyak tertentu yang

penyediaan dan pendistribusiannya dilakukan oleh badan usaha yang

mendapat penugasan dari pemerintah.

46

3. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pengendalian Penggunaan

Bahan Bakar Minyak

3.1. Melalui peraturan ini, pemerintah mengendalikan penggunaan bahan

bakar minyak dengan cara melarang penggunaan bahan bakar jenis

bensin (gasoline) RON 88 dan minyak solar (Gas Oil) atau nama

lain yang sejenis bagi transportasi jalan kendaraan dinas, dan

melarang penggunaan minyak solar bagi mobil barang untuk

kegiatan perkebunan dan pertambangan.

3.2. Pasal 1 angka 1 menyatakan bahan bakar minyak adalah bahan bakar

yang berasal dan/atau yang diolah dari minyak bumi.

3.3. Pasal 1 angka 2 menyatakan jenis bahan bakar minyak tertentu yang

selanjutnya disebut jenis BBM tertentu adalah bahan bakar yang

berasal dan/atau diolah dari minyak bumi dan/atau bahan bakar yang

berasal dan/atau diolah dari minyak bumi yang telah dicampurkan

dengan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain dengan

jenis, standar dan mutu (spesifikasi) tertentu, volume tertentu, dan

konsumen tertentu, dan harga yang disubsidi.

3.4. Pasal 1 angka 3 kendaraan dinas adalah kendaraan bermotor yang

dimiliki atau dikuasai oleh Instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi,

Pemerintah Kabupaten/Kota, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan

Usaha Milik Daerah.

47

3.5. Pasal 1 angka 4 mobil barang adalah kendaraan bermotor yang

digunakan untuk angkutan barang.

4. Peraturan Gubernur Jawa Tengah

4.1. Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 98 Tahun 2010 Tentang

Penyelenggaraan Minyak dan Gas Bumi dan Bahan Bakar Nabati di

Provinsi Jawa Tengah

5. Keputusan Bupati Banyumas

5.1. Keputusan Bupati Banyumas Nomor 541/279/2009 Tentang

pembentukan Tim Koordinasi Pelaksanaan Program Konversi

Minyak Tanah ke LPG Tabung 3 Kg di Kabupaten Banyumas

Tanggal 8 Mei 2009 sebagai tindak lanjut dari Surat Menteri Dalam

Negeri Republik Indonesia Nomor 541/1131/SJ Perihal Program

Konversi Minyak Tanah ke LPG tahun 2009 Tanggal 2 April 2009.

5.2. Keputusan Bupati Banyumas Nomor 641/276/2009 Tentang

pembentukan Tim Teknis Pelaksanaan Kegiatan Pemantauan

Pendistribusian Migas di Kabupaten Banyumas Tanggal 8 Mei 2009

sebagai tindak lanjut dari Surat Menteri Dalam Negeri Republik

Indonesia Nomor 541/1131/SJ Perihal Program Konversi Minyak

Tanah ke LPG Tahun 2009 Tanggal 2 April 2009.

5.3. Keputusan Bupati Banyumas Nomor 500/449/2011 Tentang

Penetapan Harga Eceran Tertinggi Liquefied Petroleum Gas Tabung

3 Kilogram Pada Tingkat Konsumen di Wilayah Kabupaten

Banyumas.

48

6. Surat Edaran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik

Indonesia

6.1. Surat Edaran Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2008 Perihal

Penetapan Harga Eceran Tertinggi LPG Tabung 3 Kg.

7. Surat Edaran Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Menteri

Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia

7.1. Surat Edaran Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian

Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 9475/04/DJM.S/2012

Perihal monitoring Pemasangan Stiker Pengenal Tanggal 13 Juni

2012.

7.2. Surat Edaran Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian

Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 118883/04/DJM.O/2012

Perihal Laporan Realisasi Konsumsi BBM non-Subsidi Tanggal 30

Juli 2012.

8. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia

8.1. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor

541/1131/SJ Perihal Program Konversi Minyak Tanah ke LPG tahun

2009 Tanggal 2 April 2009.

9. Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah

9.1. Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 540/00044 Perihal

Pedoman Penyaluran dan Rayonisasi LPG Tabung 3 Kg Tanggal 12

Januari 2010.

49

10. Surat Edaran Bupati Banyumas

10.1. Surat Edaran Nomor 542/2796 Perihal Pedoman Penyaluran dan

Rayonisasi LPG Tabung 3 Kg Tanggal 21 April 2010 sebagai tindak

lanjut Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 540/00044

Perihal Pedoman Penyaluran dan Rayonisasi LPG Tabung 3 Kg

Tanggal 12 Januari 2010.

10.2. Surat Edaran Nomor 541/10687 Perihal Pemasangan Stiker Tanggal

27 September 2012 sebagai tindak lanjut surat Direktur Jenderal

Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya

Mineral Nomor 9475/04/DJM.S/2012 Perihal monitoring

Pemasangan Stiker Pengenal Tanggal 13 Juni 2012 dan Nomor

118883/04/DJM.O/2012 Perihal Laporan Realisasi Konsumsi BBM

non-Subsidi Tanggal 30 Juli 2012.

B. Pembahasan

1. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas terkait upaya

pelestarian fungsi lingkungan dalam pemanfaatan sumber energi

minyak bumi.

Pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat dilaksanakan dengan

memberikan tugas dan wewenang tersendiri kepada Pemerintah Kabupaten

Banyumas selaku pemerintah daerah. Dari hasil penelitian didapatkan

adanya tugas dan kewenangan pemerintah daerah di bidang energi. Tugas

50

dan kewenangan tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi (data 1.7-1.11), yaitu:

1) Pasal 7 ayat (2) mengamanatkan pemerintah daerah untuk

menyediakan dana subsidi bagi kelompok masyarakat tidak mampu.

2) Pasal 17 ayat (2) mengamanatkan pemerintah daerah untuk ikut serta

dalam menyusun rencana umum energi nasional dengan

memperhatikan pendapat dan masukan dari masyarakat.

3) Pasal 18 mengamanatkan pemerintah daerah untuk menyusun

rencana umum energi daerah dengan mengacu pada rencana umum

energi nasional dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

4) Pasal 26 ayat (3) memberikan kewenangan kepada pemerintah

daerah dalam hal:

a) pembuatan peraturan daerah kabupaten/kota;

b) pembinaan dan pengawasan pengusahaan di kabupaten/kota; dan

c) penetapan kebijakan pengelolaan di kabupaten/kota.

5) Pasal 29 mengamanatkan pemerintah daerah untuk memfasilitasi

penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

penyediaan dan pemanfaatan sesuai dengan kewenangannya.

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi

inilah yang dapat dijadikan dasar bagi pemerintah daerah khususnya

Pemerintah Kabupaten Banyumas ketika akan melaksanakan kebijakan

pemerintah pusat. Dasar lain yang dapat digunakan dalam menjalankan

tugas pemerintah daerah adalah ajaran tentang kebebasan bertindak

51

pemerintah. Ajaran ini sebagaimana dikemukakan oleh Diana Halim

Koentjoro yang menyebutkan adanya kebebasan bertindak karena asas

diskresi atau freies Ermessen, karena delegasi prundang-undangan, dan

karena droit function.54

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan beberapa kebijakan

pemerintah pusat dalam pemanfaatan sumber energi minyak bumi.

Kebijakan tersebut adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor

104 Tahun 2007 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan

Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram (data 2.1) dan

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia

Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar

Minyak (data 2.2). Pelaksanaan kebijakan tersebut di Kabupaten

Banyumas dapat dijabarkan sebagai berikut:

1.1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2007

Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga

Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram di Kabupaten

Banyumas

Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 Tentang

Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied

Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram (data 2.1) memiliki keterkaitan

dengan penggunaan sumber energi minyak bumi khususnya dalam

bentuk bahan bakar minyak (BBM). Keterkaitan ini dapat dilihat dari

54

Diana Halim Koentjoro, Loc., cit. Hal. 40.

52

bagian konsideran yang menyatakan bahwa ditetapkannya peraturan

presiden tersebut adalah dalam rangka untuk menjamin penyediaan

dan pengadaan bahan bakar di dalam negeri dan mengurangi subsidi

bahan bakar minyak guna meringankan beban keuangan negara. Cara

yang dilakukan adalah dengan melakukan substitusi penggunaan

minyak tanah ke LPG. Substitusi atau pengalihan penggunaan bahan

bakar minyak bumi berupa minyak tanah ke gas LPG tabung 3 Kg ini

kemudian dikenal dengan kebijakan konversi minyak tanah ke gas.

Pengalihan penggunaan minyak tanah ke LPG tabung 3 Kg

sebagai sebuah kebijakan pemerintah terlihat dari rumusan Pasal 2

Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 Tentang Penyediaan,

Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas

Tabung 3 Kilogram yang berbunyi:

Pengaturan penyediaan, pendistribusian, dan

penetapan harga LPG Tabung 3 Kg dalam Peraturan

Presiden ini meliputi perencanaan volume penjualan

tahunan dari Badan Usaha, harga patokan dan harga jual

eceran serta ketentuan ekspor dan impor LPG Tabung 3

Kg dalam rangka mengurangi subsidi Bahan Bakar

Minyak khususnya untuk mengalihkan penggunaan

minyak tanah bersubsidi sesuai kebijakan pemerintah.

Sasaran kebijakan pengalihan penggunaan minyak tanah ke LPG

tabung 3 Kg adalah rumah tangga dan usaha mikro. Hal ini

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor

104 Tahun 2007 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan

Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram. Pelaksanaan

kebijakan ini diawali dengan pembagian secara gratis tabung, LPG

53

Tabung 3 Kg dan kompor gas beserta peralatan lainnya kepada rumah

tangga dan usaha mikro secara gratis dan hanya dilakukan satu kali.

Pembagian ini berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Presiden

Nomor 104 Tahun 2007 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan

Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram.

Sebagai pelaksanaan, Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun

2007 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga

Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram juga mengamanatkan

beberapa hal kepada Menteri ESDM, antara lain:

1) Pasal 3 memerintahkan kepada Menteri untuk menetapkan

daerah yang akan melaksanakan program konversi.

2) Pasal 5 memerintahkan kepada Menteri untuk menetapkan

perencanaan volume penjualan tahunan LPG.

3) Pasal 7 memerintahkan kepada Menteri untuk menetapkan

harga jual eceran LPG.

4) Pasal 15 memerintahkan kepada Menteri untuk melakukan

pengawasan dan verifikasi pelaksanaan program konversi.

Tugas dan wewenang yang diberikan Peraturan Presiden Nomor 104

Tahun 2007 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan

Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram kepada Menteri

pada akhirnya dalam beberapa hal dilimpahkan kepada Pemerintah

Kabupaten Banyumas secara teknis.

54

Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007

Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied

Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram di Kabupaten Banyumas dapat

digambarkan dalam bagan berikut:

Peraturan

Gubernur Jawa

Tengah

Nomor 98 Tahun

2010

(data 4.1)

Keputusan Bupati

Banyumas

Nomor

500/449/2011

(data 5.3)

Keputusan Bupati

Banyumas

Nomor

541/279/2009

(data 5.1)

Keputusan Bupati

Banyumas

Nomor

641/276/2009

(data 5.2)

Surat Edaran

Bupati Banyumas

Nomor 542/2796 (data 10.1)

Surat Edaran

Menteri ESDM

Nomor 28 Tahun

2008

(data 6.1)

Surat Edaran

Menteri Dalam

Negeri

Nomor

541/1131/SJ

(data 8.1)

Surat Edaran

Gubernur Jawa

Tengah

Nomor 540/00044

(data 9.1)

Pedoman

Penyaluran dan

Rayonisasi

Pelaksanaan

Program Konversi

Penetapan Harga

Eceran Tertinggi

(HET)

Peraturan Presiden

Nomor 5 Tahun

2006

Peraturan Presiden

Nomor 104 Tahun

2007

(data 2.1)

55

1.1.1. Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET)

Berdasarkan data 5.3, Bupati Banyumas telah

menetapkan harga eceran tertinggi (HET) LPG tabung 3

Kg. Penetapan dilakukan melaui surat Keputusan Bupati

Banyumas Nomor 500/449/2011. Penetapan harga tersebut

berdasarkan rekomendasi Peraturan Menteri Energi dan

Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2008 (data 6.1) dan

Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 98 Tahun 2010

(data 4.1).

1.1.2. Pelaksanaan Program Konversi

Melalui Keputusan Bupati Nomor 541/279/2009

Tanggal 8 Mei 2009 (data 5.1) dibentuk Tim Koordinasi

Pelaksanaan Program Konversi Minyak Tanah ke LPG

Tabung 3 Kg di Kabupaten Banyumas sebagai tindak lanjut

dari Surat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia

Nomor 541/1131/SJ Tanggal 2 April 2009 (data 8.1) Perihal

Program Konversi Minyak Tanah ke LPG tahun 2009.

Melalui Keputusan Bupati Nomor 641/276/2009

Tanggal 8 Mei 2009 (data 5.2) dibentuk Tim Teknis

Pelaksanaan Kegiatan Pemantauan Pendistribusian Migas di

Kabupaten Banyumas sebagai tindak lanjut dari Surat

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor

56

541/1131/SJ Tanggal 2 April 2009 (data 8.1) Perihal

Program Konversi Minyak Tanah ke LPG Tahun 2009.

1.1.3. Penetapan Pedoman Pelaksanaan dan Rayonisasi

Melalui Surat Edaran Nomor 542/2796 Tanggal 21

April 2010 (data 10.1) sebagai tindak lanjut Surat Edaran

Gubernur Jawa Tengah Nomor 540/00044 Tanggal 12

Januari 2010 (data 9.1) Perihal Pedoman Penyaluran dan

Rayonisasi LPG Tabung 3 Kg, Bupati Banyumas

menyerahkan tugas pengawasan kepada Dinas Energi dan

Sumber Daya Mineral Kabupaten Banyumas.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten

Banyumas sebagaimana tercantum dalam data 5.1, 5.2, 5.3, dan 10.1

merupakan kabijakan yang dibuat berdasarkan perintah dari peraturan

yang lebih tinggi atau delegasi wewenang dari Pemerintah di tingkat

yang lebih tinggi (data 4.1, 6.1, 8.1, 9.1, dan 10.1). Berdasarkan teori

kebebasan bertindak yang dikemukakan Diana Halim Koentjoro,

kewenangan membuat kebijakan yang mendasarkan pada perundang-

undangan terjadi akibat pembuat peraturan tidak mempu

memperhatikan setiap permasalah di seluruh wilayah secara rinci

sehingga perturan di tingkat pusat hanya mengatur garis besarnya

saja.55

Selain teori kebebasan bertindak, data 1.10 menyebutkan

bahwa Pemerintah Kabupaten Banyumas selaku pemerintah daerah

55

Diana Halim Koentjoro, Loc., cit. Hal. 40.

57

berwenang membuat kebijakan berdasarkan ketentuan paasal 26 ayat

(3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi.

Berdasarkan pasal tersebut, Pemerintah Kabupaten Banyumas

berwenang untuk membuat peraturan daerah, melakukan pembinaan

dan pengawasan, dan menetapkan kebijakan pengelolaan di

wilayahnya.

1.2. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pengendalian

Penggunaan Bahan Bakar Minyak di Kabupaten Banyumas

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pengendalian Penggunaan

Bahan Bakar Minyak bertujuan untuk menjaga besaran volume bahan

bakar minyak. Pelaksanaan pengendalian penggunaan bahan bakar

minyak diawali dengan melakukan pembatasan penggunaan jenis

bahan bakar minyak tertentu untuk transportasi jalan. Bahan bakar

minyak yang termasuk dalam jenis bahan bakar minyak tertentu diatur

dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang

Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak yang berbunyi:

Jenis bahan bakar minyak tertentu yang selanjutnya

disebut jenis BBM tertentu adalah bahan bakar yang

berasal dan/atau diolah dari minyak bumi dan/atau bahan

bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi yang

telah dicampurkan dengan bahan bakar nabati (biofuel)

sebagai bahan bakar lain dengan jenis, standar dan mutu

(spesifikasi) tertentu, volume tertentu, dan konsumen

tertentu, dan harga yang disubsidi.

58

Pembatasan penggunaan jenis bahan bakar minyak tertentu

diperuntukkan bagi kendaraan dinas dan kendaraan berupa mobil

barang yang digunakan dalam kegiatan perkebunan dan

pertambangan. Kendaraan dinas yang meliputi seluruh kendaraan

bermotor yang dimiliki atau dikuasai oleh instansi Pemerintah,

Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Badan Usaha Milik

Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dilarang menggunakan bahan

bakar minyak jenis bensin (gasoline) RON 88 atau nama lain yang

sejenis. Waktu pelaksanaan pembatasan atau pelarangan dibagi

menjadi dua tahap. Tahap pertama pelarangan dilakukan pada wilayah

Provinsi DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok,

Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, dan

Kabupaten Bekasi terthitung sejak tanggal 1 Juni 2012. Bagi wilayah

provinsi, kabupaten/kota di Jawa dan Bali berlaku sejak tanggal 1

Agustus 2012 sebagai tahap ke dua.

Pembatasan penggunaan jenis bahan bakar minyak tertentu bagi

kendaraan berupa mobil barang yang digunakan untuk perkebunan

dan pertambangan dilaksanakan terhitung sejak tanggal 1 September

2012. Bagi kendaraan barang ini dilarang menggunakan jenis bahan

bakar minyak tertentu barupa minyak solar (gas oil) atau nama lain

yang sejenis. Terkait dengan pembatasan penggunaan bahan bakar

minyak bagi mobil barang, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

mengeluarkan surat edaran nomor 02 E/10/MEM/2012. Surat edaran

59

tersebut pada intinya memberikan pengecualian terhadap ketentuan

Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pengendalian Penggunaan Bahan

Bakar Minyak. Pengecualian yang diberikan adalah bagi perkebunan

perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha

perkebunan dengan skala usaha kurang dari 25 hektar, pertambangan

rakyat, dan pengangkutan dan penjualan pertambangan batuan

diperbolehkan menggunakan jenis bahan bakar minyak tertentu

berupa minyak solar sampai dengan ditentukan lebih lanjut oleh

pemerintah.

Pelaksanaan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang

Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak di Kabupaten

Banyumas dapat digambarkan dalam bagan berikut:

Peraturan Presiden

Nomor 5 Tahun 2006

Peraturan Menteri

ESDM Nomor 12

Tahun 2012

(data2.2)

Surat Dirjen Migas

Nomor

9475/04/DJM.S/2012

(data7.1)

Surat Edaran Bupati

Banyumas

Nomor 541/10687

(data10.2)

Surat Dirjen Migas

Nomor

11883/04/DJM.O/2012

(data7.2)

60

Berdasarkan data 10.2, sebagai upaya pengawasan terhadap

penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi Pemerintah

Kabupaten Banyumas mengeluarkan surat Nomor 541/10687

tanggal 27 September 2012. Surat tersebut dikeluarkan

berdasarkan surat Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor

9475/04/DJM.S/2012 (data 7.1) dan Nomor

11883/04/DJM.O/2012 (data 7.2). Surat Bupati Banyumas

ditujukan kepada 106 instansi dan kepala daerah yang memiliki,

menguasai atau menggunakan kendaraan dinas. Isi dari surat

tersebut yakni pertama perintah untuk segera memasang stiker

sebagai pengenal bagi kendaraan dinas instansi Pemerintah,

BUMN, BUMD dan mobil barang perkebunan dan pertambangan.

Pemasangan stiker pengenal tersebut dimaksudkan untuk

memudahkan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU)

mengenali kendaraan dinas, sehingga menolak pangisian jenis

bahan bakar tertentu kepada mobil yang telah dipasangi stiker. Isi

surat yang kedua adalah perintah bagi setiap kendaraan dinas dan

mobil barang yang dilarang menggunakan jenis bahan bakar

tertentu untuk melaporkan konsumsi bahan bakar minyak non

subsidi sejak mulai diberlakukannya larangan.

Dasar dikeluarkannya Surat Edaran Bupati Banyumas

Nomor 541/10687 tanggal 27 September 2012 sama halnya

61

dengan yang telah diuraikan sebelumnya. Surat tersebut

berdasarkan wewenang yang diberikan olah peraturan yang lebih

tinggi atau delegasi wewenang dari Pemerintah di tingkat yang

lebih tinggi yakni surat Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

2. Kesesuaian upaya pelestarian fungsi lingkungan yang dilakukan

Pemerintah Kabupaten Banyumas dengan isi Peraturan Presiden

Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional.

Berdasarkan rumusan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Presiden

Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, pelestarian

fungsi lingkungan dalam pemanfaatan sumber energi minyak bumi adalah

pelestarian fungsi lingkungan dengan menerapkan prinsip pembangunan

berkelanjutan. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan

berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, dan

masyarakat) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa

mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Menurut

Chandra Motik ciri-ciri dari pembangunan yang berkelanjutan ini ialah:

a. Menjaga kelangsungan hidup manusia dengan cara

melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang

mendukungnya, baik secara langsung maupun

tidak langsung.

b. Memanfaatkan sumber daya alam secara optimal

dalam arti memanfaatkan sumber daya alam sebanyak alam

dan tekonologi pengelolaan mampu menghasilkannya

secara lestari.

c. Memberi kesempatan kepada sektor dan kegiatan lainnya di

daerah untuk berkembang bersama-sama, baik dalam kurun

waktu yang sama maupun dalam kurun waktu yang berbeda

secara sambung-menyambung.

62

d. Meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi

ekosistem untuk memasok sumber daya alam, melindungi

serta mendukung perikehidupan secara terus menerus.

e. Menggunakan prosedur dan tata cara yang memperhatikan

kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk

mendukung perikehidupan, baik masa kini maupun masa

yang akan datang.56

Surna T. Djajadiningrat berpendapat bahwa proses pembangunan

berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor yaitu kondisi sumber daya alam,

kualitas lingkungan, dan faktor kependudukan. Agar sumber daya alam

dapat menopang proses pembangunan secara berkelanjutan maka fungsi

sumber daya alam harus dipertahankan dan bahkan ditingkatkan. Antara

lingkungan dan sumber daya alam terdapat hubungan timbal balik yang

erat. Semakin tinggi kualitas lingkungan maka semakin tinggi pula kualitas

sumber daya alam yang mampu menopang pembangunan yang berkualitas.

Selain itu, faktor kependudukan merupakan unsur yang dapat menjadi

beban atau sebaliknya menjadi unsur yang dapat menimbulkan dinamika

dalam proses pembangunan, oleh karenanya faktor kependudukan perlu

diubah dari faktor yang menambah beban pembangunan menjadi modal

pembangunan.57

Agar dapat dikatakan sesuai, maka pelaksanaan Peraturan Presiden

Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional harus memuat

upaya mengatasi pencemaran lingkungan, melestarikan ketersediaan

sumber daya alam (efisiensi), serta meningkatkan peran serta masyarakat

dalam pengembangan dan pengelolaan lingkungan. Kesesuain pelaksanaan

56

Chandra Motik, Loc. cit., Hal. 39. 57

Surna T. Djajadiningrat, op. cit., Hal. 6-7.

63

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi

Nasional dijabarkan sebagai berikut:

2.1. Upaya Mengatasi Pencemaran Lingkungan

Pencemaran lingkungan dalam pemanfaatan minyak bumi

bersumber pada sifat minyak bumi itu sendiri saat digunakan sebagai

bahan bakar. Pencemaran terjadi karena minyak bumi sebagai sumber

energi yang berasal dari fosil dalam pembakarannya akan melepaskan

polutan langsung ke lapisan troposfer dalam bentuk karbon monoksida

(CO), karbon dioksida (CO2), oksida sulfur (SOx), oksida nitrogen

(NOx), hidrokarbon dan partikulat. Masing-masing polutan akan

merusak kesehatan dengan menimbulkan gangguan kesehatan yang

berbeda-beda.58

Mengatasi pencemaran lingkungan yang terjadi akibat

pemanfaatan sumber energi minyak bumi, Wisnu Arya Wardana

berpendapat:

Penanggulangan pencemaran dapat dikelompokkan

ke dalam 2 macam cara yakni penanggulangan secara non

teknis dan penanggulangan secara teknis. Penanggulangan

secara non teknis dilakukan dengan cara menciptakan

peraturan perundangan yang dapat merencanakan,

mengatur dan mengawasi segala macam bentuk kegiatan

industri dan teknologi sedemikian rupa, sehingga tidak

terjadi pencemaran lingkungan. Penanggulangan secara

teknis antara lain dapat dilakukan dengan cara mengubah

proses, mengganti sumber energi, mengelola limbah, dan

menambah alat bantu. Keempat macam penanggulangan

secara teknis tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri, atau

apabila dipandang perlu dapat dilakukan secara bersama-

sama.59

58

Mukhlis Akhadi, op., cit. Hal. 138. 59

Wisnu Arya Wardhana, op. cit., Hal. 160.

64

Penyelesaian masalah pencemaran lingkungan dapat dilakukan

dengan upaya penanggulangan yang menghilangkan atau setidaknya

mengurangi pencemaran. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri apabila

dalam proses pembangunan terjadi dampak yang kurang baik terhadap

lingkungan maka haruslah dilakukan upaya untuk meniadakan atau

mengurangi dampak negatif tersebut, sehingga keadaan lingkungan

menjadi serasi dan seimbang lagi. Lebih lanjut Pasal 53 ayat (2) huruf

c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan salah satu upaya

mengatasi pencemaran adalah dengan menghentikan sumber

pencemaran.60

Berdasarkan data 2.1, Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun

2007 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga

Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram mengambil langkah

untuk mengganti penggunaan sumber energi minyak bumi yang

berupa minyak tanah dengan sumber energi berupa gas LPG.

Penggantian minyak tanah ke LPG akan mengakibatkan penurunan

konsumsi masyarakat terhadap minyak tanah. Menurunya

pemanfaatan minyak tanah secara global akan menurunkan

penggunaan minyak bumi.

Berdasarkan hasil penelitian, pada periode 2005-2009 terjadi

penurunan konsumsi bahan bakar minyak sebesar 4,5% per tahun.

60

Koesnadi Hardjasoemantri, Loc., cit. Hal. 122.

65

Penurunan konsumsi bahan bakar minyak oleh rumah tangga terjadi

karena dilaksanakannya program pengalihan minyak tanah ke LPG.

Sebagai hasil program subsititusi bahan bakar minyak dengan LPG,

dari tahun 2007 ke 2008 konsumsi LPG meningkat sekitar 62%

sementara konsumsi minyak tanah turun 20%.61

Data 2.2 menunjukkan adanya Peraturan Menteri Energi dan

Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pengendalian

Penggunaan Bahan Bakar Minyak berisi kebijakan larangan

penggunaan jenis bahan bakar bensin RON 88 dan solar bersubsidi

bagi golongan tetentu. Kedua jenis bahan bakar tersebut merupakan

jenis bahan bakar minyak yang disubsidi. Subsidi adalah pembayaran

yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga

untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat

memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang

lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan

subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran

(output).62

Dari penjelasan tersebut, maka bahan bakar minyak

bersubsidi adalah bahan bakar minyak yang telah mendapat

pengurangan harga oleh pemerintah.

Adanya pelarangan menggunakan bahan bakar minyak

bersubsidi menyebabkan pihak-pihak yang terikat dengan peraturan

tersebut harus membeli bahan bakar minyak tanpa subsidi dengan

61

Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral KESDM, op. cit., Hal. 21-22 62

Rudi Handoko dan Pandu Patriadi, “Evaluasi Kebijakan Subsidi nonBBM”, Jurnal Kajian

Ekonomi dan Keuangan Vol. 9 No. 4 Desember 2005. Hal. 43.

66

harga yang lebih mahal dibandingkan sebelumnya. Jika semula

mereka dapat membeli premium atau solar bersubsidi dengan harga

Rp 4.500,00, maka kemudian mereka harus membeli pertamax atau

pertamax plus sebagai pengganti premiun dan solar tanpa subsidi

dengan harga rata-rata di atas Rp 9.000,00.63

Peningkatan harga bahan

bakar tersebut mengakibatkan turunnya jumlah bahan bakar yang

dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukaan Buchari

Alma bahwa jika harga suatu barang dinaikkan maka jumlah barang

dan jasa yang diminta akan berkurang.64

Pengaruh turunnya

permintaan minyak bumi khususnya bahan bakar minyak

menyebabkan berkurangnya pencemaran lingkungan.

2.2. Upaya Melestarikan Ketersediaan Sumber Daya Alam (Efisiensi)

Masalah lain yang terjadi dalam pemanfaatan minyak bumi

adalah ketersediaannya di alam, Otto Sumarwoto berpendapat:

Sumber daya lingkungan mempunyai daya

regenerasi dan asimilasi yang terbatas. Selama eksploitasi

atau permintaan pelayanan ada di bawah batas daya

regenerasi atau asimilasi, sumber daya itu dapat digunakan

secara lestari. Akan tetapi, apabila batas itu dilampaui,

sumber daya itu akan mengalami kerusakan dan fungsi

sumber daya itu sebagai faktor produksi dan konsumsi

atau sarana pelayanan akan mengalami gangguan. 65

Lebih lanjut, Koesnadi Hardjasoemantri menggolongkan

minyak bumi sebagai sumber daya alam yang tidak dapat

63

http://www.esdm.go.id/publikasi/harga-energi/harga-bbm-dalam-negeri.html, diakses tanggal 28

November 2012. 64

Buchari Alma, Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa, (Bandung: Alfabeta, 2000). Hal.

44. 65

Otto Sumarwoto, Loc. cit., Hal. 59.

67

diperbaharui. Sumber daya alam tidak dapat terbarukan atau sering

juga disebut sebagai sumber daya terhabiskan adalah sumber daya

alam yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis.

Sumber daya alam ini terbentuk melalui proses geologi yang

memerlukan waktu sangat lama untuk dapat dijadikan sebagai sumber

daya alam yang siap diolah atau siap pakai. Jika sumber daya alam

diambil (eksploitasi) sebagian, maka jumlah yang tertinggal atau

tersisa tidak akan pulih kembali seperti semula.66

Mengatasi masalah ketersediaan minyak bumi sebagai sumber

daya alam yang tidak dapat diperbaharui dapat dilakukan dengan cara

pengelolaan sumber daya alam secara efektif dan bijaksana. Menurut

Irmadi Nahib pengelolaan secara efektif dan bijaksana dalam rangka

menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dapat dilakukan

dengan cara menekan semua dampak negatif dari pembangunan

melalui efisiensi pembangunan sumber-sumber energi.67

Ketersediaan sumber daya alam pada tahun 2005 menyatakan

cadangan sumber energi Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk

minyak bumi sebanyak 9.1 miliar barel dan gas sebanyak 185.8 TSCF

(trillion standard cubic feet). Besaran produksi tiap tahun untuk

minyak bumi sebanyak 387 juta barel dan gas sebanyak 2.95 TSCF.

Kondisi seperti ini berarti kemampuan kedua jenis sumber energi

66

Koesnadi Hardjasoemantri, op. cit., Hal. 62. 67

Irmadi Nahib, Loc., cit. Hal. 39.

68

dalam memenuhi kebutuhan adalah 23 tahun untuk minyak bumi dan

63 tahun untuk gas.68

Pengalihan penggunaan bahan bakar minyak bumi berupa

minyak tanah ke LPG sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden

Nomor 104 Tahun 2007 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan

Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram (data

2.1) membawa pengaruh terhadap nilai kemampuan dua jenis bahan

bakar tersebut memenuhi kebutuhan. Pengalihan mengakibatkan

konsumsi masyarakat akan sumber energi minyak bumi khususnya

minyak tanah menjadi cenderung menurun. Berkurangnya

penggunaan minyak tanah maka secara otomatis menambah panjang

jangka waktu kemampuan minyak bumi memenuhi kebutuhan.

Adanya penurunan penggunaan minyak bumi dapat dikatakan

sebagai upaya penghematan. Penghematan (efisiensi) atau membatasi

laju pembangunan sumber daya alam merupakan salah satu cara yang

dapat dilakukan untuk melestarikan ketersediaan sumber daya alam.

Hal ini sesuai dengan pendapat Surna T. Djajadiningrat yang

menyatakan:

Beberapa cara dapat dilakukan untuk menanggulangi

semakin langkanya sumber daya alam, antara lain dengan

cara meningkatkan persediaan sumber daya alam dan

membatasi laju pembangunan sumber daya alam, serta

dengan menerapkan teknologi tepat guna bagi

pengambilan sumber daya alam sehingga pengambilan

dapat dilakukan dengan cara seefisien mungkin.69

68

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, op. cit., Hal. 34. 69

Surna T. Djajadiningrat, op. cit., Hal. 5.

69

Efisiensi akibat adanya substitusi minyak tanah ke LPG

merupakan efisiensi yang timbul dari kebijakan diversifikasi energi.

Diversifikasi energi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1

angka 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi

adalah merupakan upaya penganekaragaman pemanfaatan sumber

energi. Pemanfaatan energi yang semula hanya bersumber pada

minyak tanah menjadi minyak tanah dan gas inilah yang dimaksud

sebagai kebijakan diversifikasi yang termuat dalam Peraturan Presiden

Nomor 104 Tahun 2007 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan

Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram.

Data 2.2 yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pengendalian Penggunaan

Bahan Bakar Minyak juga menunjukan adanya langkah mengurangi

penggunaan bahan bakar minyak sebagaimana telah diuraikan

sebelumnya. Pengurangan penggunaan bahan bakar minyak dalam

peraturan ini dilakukan dengan pelarangan penggunaan bahan bakar

bersubsidi. Penurunan jumlah bahan bakar yang digunakan akibat

peraturan ini berakibat pula pada peningkatan nilai ketersediaan

sumber daya alam.

2.3. Upaya Meningkatkan Peran Serta Masyarakat dalam

Pengembangan Dan Pengelolaan Lingkungan

Hasil dari diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 104

Tahun 2007 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan

70

Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram membawa

perubahan terhadap keadaan masyarakat. Upaya pemerintah merubah

masyarakat dilakukan dengan mencabut subsidi minyak tanah,

memberikan subsidi bagi gas LPG tabung 3 Kg, membagikan kompor

dan peralatan secara gratis, serta melakukan sosialisasi kepada

masyarakat. Dicabutnya subsidi minyak tanah maka harga minyak

tanah di pasaran menjadi mahal yakni yang semula berkisar antara Rp

3.500,00 – Rp 4.500,00 menjadi Rp 7.500,00 – Rp 10.000,00.70

Di sisi

lain harga LPG tabung 3 Kg setelah disubsidi menjadi lebih murah

yakni dari sekitar Rp 6.700,00/kg menjadi sekitar Rp 3.500,00/kg.71

Kondisi ini ditambah adanya pembagian kompor, tabung beserta

peralatan lainnya secara gratis dan sosialisasi kepada masyarakat

menjadikan masyarakat tidak memiliki pilihan lebih baik selain

beralih dari minyak tanah ke LPG tabung 3 Kg.

Melihat perubahan kebiasaan masyarakat dari yang semula

menggunakan minyak tanah menjadi menggunakan LPG tabung 3 Kg

setelah diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007

Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied

Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram membuktikan kebenaran dari

ajaran hukum fungsional. Pendapat Prof. Sudarto tentang ajaran

hukum fungsional yang menyatakan:

70

http://www.radarbanjarmasin.co.id/index.php/berita/detail/59/19861, diakses tanggal 28

November 2012. 71

International Institute For Sustainable Development, “Panduan Masyarakat Tentang Subsidi

Energi di Indonesia: Perkembangan Terakhir 2012”, International Institute For Sustainable

Development, 2012. Hal. 11.

71

Hukum dari fungsi bekerjanya dipandang sebagai

instrumen untuk pengaturan masyarakat (law as a tool for

social engineering). Hukum di sini digunakan oleh sarjana

hukum pembentuk undang-undang, sarjana hakim, dan

sarjana hukum pejabat pemerintahan selaku social

engineer, untuk mencapai tujuan tertentu. 72

Perubahan kebiasaan masyarakat memang belum terbukti

sebagai adanya sebuah kesadaran masyarakat untuk beralih dari

minyak tanah ke LPG tabung 3 Kg. Perubahan justru terlihat sebagai

akibat suatu peraturan hukum yang menjadikan masyarakat terpaksa

melakukannya. Diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 104

Tahun 2007 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan

Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram telah menjadikan

masyarakat turut berperan serta dalam melestarikan lingkungan

dengan beralih dari minyak tanah ke LPG tabung 3 Kg.

Sama halnya dengan uraian sebelumnya, pelaksanaan Peraturan

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2012

Tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak (data 2.2)

oleh masyarakat menunjukan adanya peran masyarakat dalam

mengelola lingkungan hidup. Peran masyarakat tersebut merupakan

kondisi yang diciptakan hukum. Peraturan tersebut menyebabkan

adanya perubahan pada msyarakat. Perubahan masyarakat akibat

adanya peraturan hukum sesuai dengan ajaran hukum fungsional yang

menyatakan (law as a tool for social engineering).73

72

Sudjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum : Studi tentang Perubahan Hukum dan Sosial,

(Jakarta: CV. Rajawali, 1983). Hal. 8. 73

Ibid.,. Hal. 8.

72

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di

atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas terkait upaya pelestarian

fungsi lingkungan dalam pemanfaatan sumber energi minyak bumi tidak

memuat substansi kebijakan pemanfaatan sumber energi minyak bumi

baik efisiensi atau diversifikasi. Pemerintah kabupaten Banyumas hanya

sebatas membuat kebijakan teknis sebagai pelaksanaan Peraturan Presiden

Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2007 Tentang Penyediaan,

Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung

3 Kg dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pengendalian Penggunaan

Bahan Bakar Minyak.

2. Upaya pelestarian fungsi lingkungan dalam pemanfaatan sumber energi

minyak bumi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Banyumas telah

sesuai dengan isi Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang

Kebijakan Energi Nasional karena telah memuat upaya pelestarian fungsi

lingkungan yang diamanatkan oleh Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun

2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional.

73

B. Saran

Penulis menyarankan kepada Pemerintah Kabupaten Banyumas agar

dalam pemanfaatan sumber energi minyak bumi dapat menggunakan

wewenang yang dimiliki berupa penyusunan rencana energi daerah,

pembuatan peraturan daerah serta kebijakan lain terkait efisiensi dan

diversifikasi energi guna menyelaraskan kebijakan pemerintah pusat dengan

kondisi Kabupaten Banyumas yang senyatanya.

74

DAFTAR PUSTAKA

Akhadi, Mukhlis. 2010. EKOLOGI ENERGI: Mengenali Dampak Lingkungan

dalam Pemanfaatan Sumber-sumber Energi. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Alma, Buchari. 2000. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Alfabeta,

Bandung.

Atmosudirdjo, Prajudi. 1981. Hukum Administrasi Negara: Seri Pustaka Ilmu

Administrasi VII. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Dirdjosisworo, Sudjono. 1983. Sosiologi Hukum : Studi tentang Perubahan

Hukum dan Sosial. CV. Rajawali, Jakarta.

Djajadiningrat, Surna T., M. Suparmoko, dan M. Ratnaningsih. 1992. Neraca

Sumber Daya Alam untuk Pembangunan Berkelanjutan. Kantor

Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif

dan Empiris. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hadjon, Philipus M. 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gajah

Mada University Press, Yogyakarta.

Hardjasoemantri, Koesnadi. 1988. Hukum Tata Lingkungan: Edisi Ketiga. Gajah

Mada University Press, Yogyakarta.

Hermawan, Asep. 2004. Kiat Praktis Menulis Skripsi, Tesis, dan Disertasi Untuk

Konsentrasi Pemasaran. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Husein, Harun M. 1993. Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan

Penegakan Hukumnya. PT Bumi Aksara, Jakarta.

Ibrahim, Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.

Bayumedia Publishing, Jawa Timur.

Koentjoro, Diana Halim. 2004. Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia,

Bogor.

Marbun, SF dan Mahfud MD. 1987. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara.

Liberty, Yogyakarta.

Motik, Chandra. 2007. Kekayaan Negeriku Negara Maritim. Sekeretariat Dewan

Maritim Indonesia, Jakarta.

Rangkuti, Siti Sundari. 2000 Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan

Nasional: Edisi Kedua. Airlangga University Press, Surabaya.

75

Sastrawijaya, A. Tresna. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta.

Setyabudi, Bambang. 2007. Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Terobosan

Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kementerian Negara

Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif: Suatu

Tinjauan Singkat. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Soemartono, Gatot P. 2004. Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.

Sumarwoto, Otto. 1994. Ekologi Lingkungan dan Pembangunan: Edisi Revisi.

Djambatan, Jakarta.

Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar. Sinar

Grafika, Jakarta.

Wardhana, Wisnu Arya. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan: Edisi Revisi.

Andi Offset, Yogyakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi. (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4746)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2009 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5059)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5234)

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan

Energi Nasional.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2007 Tentang

Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied

Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram dan Peraturan Menteri Energi.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor

12 Tahun 2012 Tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar

Minyak. (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 506)

76

Peraturan Bupati Banyumas Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penjabaran Tugas

dan Fungsi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten

Banyumas. (Berita Daerah Kabupaten Banyumas Tahun 2010 Nomor

24)

Informasi dan Artikel Ilmiah

Abdurrahman. 2003. “Makalah Bahasan Pada Seminar dan Lokakarya

Pembangunan Hukum Nasional VIII”. Bali: Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Kehakiman dan HAM.

Biro Riset LM FE UI. 2010. “Analisis Industri Minyak dan Gas di Indonesia,

Masukan Bagi Pengelola BUMN”. Biro Riset LM FE UI.

Efendi, A’an. 2011. “Penyelesaian Kasus Lingkungan dalam Aspek Hukum

Lingkungan”. Risalah Hukum Fakultas Hukum UNMUL. Vol 7 No. 1.

Handoko, Rudi dan Pandu Patriadi. 2005. “Evaluasi Kebijakan Subsidi

nonBBM”. Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan Vol. 9 No. 4

Desember 2005.

International Institute For Sustainable Development. 2012. “Panduan Masyarakat

Tentang Subsidi Energi di Indonesia: Perkembangan Terakhir 2012”.

International Institute For Sustainable Development.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. 2006. “Blueprint Pengelolaan Energi

Nasional (BP-PEN) 2006 – 2025”. Jakarta: Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral.

Nahib, Irmadi. 2006. “Pengelolaan Sumber daya Tidak Pulih Berbasis Ekonomi

Sumber daya, Studi Kasus : Tambang Minyak Blok Cepu”. Jurnal

Ilmiah Geomatika Vol. 12 No. 1.

Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral KESDM. 2010.

“Indonesia Energy Outloook 2010”. Jakarta: Pusat Data dan Informasi

Energi dan Sumber Daya Mineral KESDM.

Internet

http://www.esdm.go.id/publikasi/harga-energi/harga-bbm-dalam-negeri.html,

diakses tanggal 15 November 2012.

http://www.radarbanjarmasin.co.id/index.php/berita/detail/59/19861, diakses pada

tanggal 19 November 2012.

77

LAMPIRAN-LAMPIRAN