ke arah sosiologi transformatif perspektif islam* oleh: m. dawam rahardjo

11
Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013 1 | Page KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF PERSPEKTIF ISLAM* Oleh: M. Dawam Rahardjo Sosiologi – berasal dari kata Latin, socius artinya teman dan logos, artinya ilmu, yang secara umum dipahami sebagai ilmu tentang masyarakat atau ilmu tentang perilaku individu dalam kelompok itu. Dengan demikian sosiologi adalah sebuah ilmu pengetahuan sosial yang relevan dan berguna untuk memahami maupun melaksanakan ajaran agama. Hal ini sebagaimana nampak dalam teori Emile Durheim (1858-1917) mengenai peranan agama sebagai representasi simbolik dari masyarakat serta peranan integratifnya dan Max Weber (1864-1920) yang mengemukakan peranan ethic dan ethos keagamaan dalam perkembangan ekonomi. Sosiologi, memang sebuah ilmu pengetahuan modern yang lahir dan berkembang pesat sejak akhir abad 18, sezaman dengan masa Pencerahan (aufklarung), Abad Nalar (The Age of Reason) dan Abad Ideologi (The Age of Ideology), sebagai ilmu sosial yang lahir sesudah ilmu ekonomi (1776). Oleh karena itu maka sosiologi adalah sebuah ilmu yang merespon dampak perkembangan ilmu ekonomi, khususnya industrialisasi dan perubahan masyarakat, yaitu urbanisasi.Sosiologi memberikan pengaruh terhadap timbulnya aliran ekonomi kelembagaan (institutional economics) dalam perkembangan ekonomi sebagai antithesis terhadap aliran individualisme ekonomi (economic individualism) yang kemudian disebut kapitalisme itu.Secara implisit ekonomi institusional membuka pemikiran mengenai peranan agama sebagai lembaga sosial dalam perkembangan ekonomi dan perubahan sosial. Pada awalnya, sosiologi adalah ilmu mengenai masyarakat perkotaan. Sosiologi berbeda dengan ilmu ekonomi yang bertolak dari individualism sedangkan sosiologi bertolak dari “sosialisme” atau peranan lembaga dan kelompok masyarakat.Dengan peranan lembaga, termasuk agama dan masyarakat itu, maka perubahan masyarakat bisa bersifat transformative. Sebagai ilmu sosial modern, istilah “sosiologi”, mula-mula diperkenalkan oleh filsuf Pencerahan Prancis, August Comte (1798-1847), sehingga dia dianggap sebagai, pendiri ilmu sosiologi, sebuah ilmu yang memiliki dua ciri utama. Pertama merupakan kajian empiris dan karena itu merupakan ilmu pengetahuan positif. Kedua, sosiologi itu merupakan ilmu yang abstrak, dalam arti berisikan teori-teori mengenai hukum-hukum sosial dan sejarah yang merupakan abstraksi terhadap kenyataan-kenyataan atau gejala-gejala yang terdapat dalam masyarakat. Sosiologi dianggap sebagai “the queen of social science”, karena sosiologi-lah awal dari ilmu-ilmu sosial positif yang dipengaruhi oleh filsafat naturalisme, yang menganggap gejala sosial sama dengan gejala alam yang memiliki hukum-hukumnya yang pasti, yang dalam bahasa agamanya disebut sebagai “sunatullah”. Ilmu ekonomi, yang pada waktu itumasih disebutsebagai “ilmu moral” (moral science) dan ilmu ekonomi politik” (political science), masih tergolong ke dalam ilmu pengetahuan normatif dan filsafat sosial atau yang disebut oleh Robert Heilbrouner sebagai “the worldly philosophy” yang merupakan kebalikan dari teologi. Sungguhpun demikian, dalam sejarah pemikiran, penggagas awal sosiologi dan ilmu- ilmu sosial pada umumnya, adalah seorang filsuf Muslim akhir Abad Pertengahan Ibn Khaldun, dalam bukunya “Al Mukaddimah” yang oleh para ahli sejarah seperti Toymbee sebagai buku filsafat sejarah pertama yang mengawali dan cikal bakal filsafat sejarah

Upload: edward-bot

Post on 29-Nov-2015

130 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Teologi pembebasan sendiri mengandung dua aspek.Pertama adalah aspek spiritualisme yang dalam teori Marx tergolong ke dalam konsep “kesadaran”.Aspek kedua, adalah aspek sosial, yaitu tentang pembebasan.Tetapi bedanya dengan Sosialisme ilmiah Marxis adalah jika epistemologi Marxis adalah materialisme.Sementara itu epistemologi Teologi Pembebasan adalah idealisme Hegel, dimana roh atau kesadaran manusia menentukan kondisi. Perbedaannya dengan pendekatan ekonomi legal atau syariat adalah, bahwa dalam ekonomi legal, kondisi dibentuk oleh hukum. Sedangkan dalam Teologi Pembebasan, kesadaran manusia dalam praxis ketuhanan, menggerakkan masyarakat menciptakan transformasi, yaitu pembebasan manusia dari kondisi perbudakan dan kemiskinan.

TRANSCRIPT

Page 1: KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF    PERSPEKTIF ISLAM*  Oleh: M. Dawam Rahardjo

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013

1 | P a g e

KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF

PERSPEKTIF ISLAM* Oleh: M. Dawam Rahardjo

Sosiologi – berasal dari kata Latin, socius artinya teman dan logos, artinya ilmu, yang

secara umum dipahami sebagai ilmu tentang masyarakat atau ilmu tentang perilaku individu

dalam kelompok itu. Dengan demikian sosiologi adalah sebuah ilmu pengetahuan sosial

yang relevan dan berguna untuk memahami maupun melaksanakan ajaran agama. Hal ini

sebagaimana nampak dalam teori Emile Durheim (1858-1917) mengenai peranan agama

sebagai representasi simbolik dari masyarakat serta peranan integratifnya dan Max Weber

(1864-1920) yang mengemukakan peranan ethic dan ethos keagamaan dalam

perkembangan ekonomi.

Sosiologi, memang sebuah ilmu pengetahuan modern yang lahir dan berkembang

pesat sejak akhir abad 18, sezaman dengan masa Pencerahan (aufklarung), Abad Nalar (The

Age of Reason) dan Abad Ideologi (The Age of Ideology), sebagai ilmu sosial yang lahir

sesudah ilmu ekonomi (1776). Oleh karena itu maka sosiologi adalah sebuah ilmu yang

merespon dampak perkembangan ilmu ekonomi, khususnya industrialisasi dan perubahan

masyarakat, yaitu urbanisasi.Sosiologi memberikan pengaruh terhadap timbulnya aliran

ekonomi kelembagaan (institutional economics) dalam perkembangan ekonomi sebagai

antithesis terhadap aliran individualisme ekonomi (economic individualism) yang kemudian

disebut kapitalisme itu.Secara implisit ekonomi institusional membuka pemikiran mengenai

peranan agama sebagai lembaga sosial dalam perkembangan ekonomi dan perubahan

sosial.

Pada awalnya, sosiologi adalah ilmu mengenai masyarakat perkotaan. Sosiologi

berbeda dengan ilmu ekonomi yang bertolak dari individualism sedangkan sosiologi bertolak

dari “sosialisme” atau peranan lembaga dan kelompok masyarakat.Dengan peranan

lembaga, termasuk agama dan masyarakat itu, maka perubahan masyarakat bisa bersifat

transformative. Sebagai ilmu sosial modern, istilah “sosiologi”, mula-mula diperkenalkan

oleh filsuf Pencerahan Prancis, August Comte (1798-1847), sehingga dia dianggap sebagai,

pendiri ilmu sosiologi, sebuah ilmu yang memiliki dua ciri utama. Pertama merupakan kajian

empiris dan karena itu merupakan ilmu pengetahuan positif. Kedua, sosiologi itu merupakan

ilmu yang abstrak, dalam arti berisikan teori-teori mengenai hukum-hukum sosial dan

sejarah yang merupakan abstraksi terhadap kenyataan-kenyataan atau gejala-gejala yang

terdapat dalam masyarakat.

Sosiologi dianggap sebagai “the queen of social science”, karena sosiologi-lah awal

dari ilmu-ilmu sosial positif yang dipengaruhi oleh filsafat naturalisme, yang menganggap

gejala sosial sama dengan gejala alam yang memiliki hukum-hukumnya yang pasti, yang

dalam bahasa agamanya disebut sebagai “sunatullah”. Ilmu ekonomi, yang pada waktu

itumasih disebutsebagai “ilmu moral” (moral science) dan ilmu ekonomi politik” (political

science), masih tergolong ke dalam ilmu pengetahuan normatif dan filsafat sosial atau yang

disebut oleh Robert Heilbrouner sebagai “the worldly philosophy” yang merupakan

kebalikan dari teologi.

Sungguhpun demikian, dalam sejarah pemikiran, penggagas awal sosiologi dan ilmu-

ilmu sosial pada umumnya, adalah seorang filsuf Muslim akhir Abad Pertengahan Ibn

Khaldun, dalam bukunya “Al Mukaddimah” yang oleh para ahli sejarah seperti Toymbee

sebagai buku filsafat sejarah pertama yang mengawali dan cikal bakal filsafat sejarah

Page 2: KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF    PERSPEKTIF ISLAM*  Oleh: M. Dawam Rahardjo

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013

2 | P a g e

modern. Dalam buku itu, ilmu-ilmu sosial merupakan bagian dari ilmu sejarah, atau

epistemologi sejarah yang dipakai sebagai alat analisis perkembangan sejarah masyarakat.

Hubungan antara sosiologi dan sejarah masih tetap menjadi paradigma ilmu

pengetahuan sosial dan humaniora hingga saat ini, mula-mula ditekankan oleh Karl

Marx.Dari paradigma itu, Marx merumuskan teori dasar mengenai hubungan antara

kesadaran dan kondisi masyarakat yang bersifat materialis, membalik teori Hegel

sebelumnya dengan rumusan “bukan kesadaran yang menentukan kondisi, melainkan

kondisilah yang menentukan kesadaran” Rumusan itu berkebalikan dengan paradigma

teologi yang terkesan memisahkan teologi dan ilmu-ilmu sosial positif, termasuk sosiologi.

Walaupun pendiri ilmu sosiologi Max Weber dalam tesisnya mengenai etik

Protestantisme mengikuti pandangan Weber ketika ia berpandangan bahwa etik

Protestantisme-lah yang bertanggung-jawab terhadap kebangkitan kapitalisme di Eropa,

pada awal perkembangnnya. Dari tesis Weber tersebut, maka idealismeHegel masih tetap

dianut, sehingga timbul pandangan bahwa teologi itu bisa menimbulkan dampak perubahan

dan transformasi sosial.

Perdebatan tentang kontroversi antara ilmu-ilmu sosial dan teologi dalam kaitannya

dengan transformasi sosial pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1986, antara antropolog

Muslim Abdurrahman dan sejarawan Kuntowidjojo, dalam forum “Seminar Teologi

Pembangunan” yang diselenggarakan oleh Pengurus Nahdhatul Ulama (NU) di Kaliurang,

Yogyakarta. Dalam perbincangan itu Muslim Abdurrahman mengajukan suatu gagasan

mengenai “teologi transformatif’, yaitu teologi yang membahas tentang transformasi sosial,

khususnya dalam pemberantasan kemiskinan.

Gagasan itu ditolak oleh Kuntowidjojo, atas dasar alasan bahwa “teologi” itu adalah

istilah Kristen yang tidak ada padanannya dalam ilmu-ilmu keagamaan tradisional

Islam.Karena yang dikenal dalam Islam adalah ilmu kalam atau ushuluddin, yaitu ilmu

tentang dasar-dasar kepercayaan, khususnya ketuhanan, yang terpisah dari masalah

kemasyarakatan. Atas dasar itu maka Kuntowidjojo berpendapat bahwa yang dibutuhkan

dewasa ini oleh umat Islam adalah “ilmu-ilmu sosial transformatif” yang kemudian

dikembangkan lebih lanjut olehnya menjadi “ilmu-ilmu sosial prophetik”.

Sebenarnya Muslim Abdurrahman pernah mengadvokasikan “ilmu-ilmu sosial

transformatif”, bahkan ia pernah menerbitkan bulletin mengenai itu. Tetapisebagai seorang

sarjana ilmu-ilmu sosial yang berlatar-belakang pesantren dan IAINdan kemudian aktif di

Muhammadiyah, Muslim Abdurrahman mencari dasar-dasar Qur’aninya dan menemukan

suratal Ma’un, mengikuti K.H. Ahmad Dahlan. Dari gagasan Muslim Abdurrahman itu timbul

gagasan mengenai “teologi al Ma’un” atau “teologi sosial”, yaitu semacam teologi Kristen

“Doktrin Sosial Gereja Katholik” atau wacana yang ditulis dalam buku yang ditulis oleh

Michael Zweig “Religion and Social Justice” (1991), yang juga menulis mengenai Socialisme

Religious itu.

Pemikiran Kuntowidjojo itu memang bertolak belakang dari segi epistemologi

dengan pemikiran Muslim Abdurrahman yang sejalan dengan gagasan “Islamisasi

Pengetahuan”, yaitu epistemologi yang ingin mencari dasar-dasar keagamaan terhadapilmu-

ilmu sosial. Tapi sebaliknya Kuntowidjojo punya gagasan yang bertolak-belakang, yaitu

mengenai “saintifikasi Islam”, yaitu membahas ajaran-ajaran Islam dengan teori ilmu-ilmu

sosial.Konsekuensi pemikiran Muslim Abdurrahman adalah pengembangan epistemologi

Islam sebagai dasar pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan umum.Sedangkan konsekuensi

gagasan Kuntowidjojo adalah memakai epistimologi Barat modern untuk mengembangkan

pemikiran Islam.

Page 3: KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF    PERSPEKTIF ISLAM*  Oleh: M. Dawam Rahardjo

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013

3 | P a g e

Persepsi Kuntowidjojo mengenai teologi (Kristen) memang benar, karena teologi

Kristen bukanlah semata-mata ilmu ketuhanan atau dasar-dasar kepercayaan. Dengan

perkataan lain adalah teologi membahas konsekuensi sosial dari kepercayaan agama (social

consequence of religion). Namun persepsi Kuntowidjojo bahwa ilmu kalam itu hanya

membahas masalah-masalah ketuhanan, adalah keliru.

Sejarah lahirnya ilmu kalam diawali dengan masalah-masalah politik, yaitu gerakan

kelompok Arab Badui melawan Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib, yang kemudian

melahirkan partai Syi’ah yang disamping merupakan partai politik, juga merupakan gerakan

pemikiran untuk mengembangkan teologi Ali bin Abi Thalib yang terekam dalam kodifikasi

“hadist” Ali yang sekarang diterbitkan dengan judul “Najhul Balaghgah”. Teologi Syi’ah itu

tidak hanya membahas masalah-masalah keagamaan, tetapi juga masalah-masalah sosial

dan politik.Di masa Abad Pertengahan melahirkan pemikiran filsuf Mulla Sadra yang terus

dikembangkan hingga sekarang.Dan di masa modern, melahirkan pemikiran Murthado

Mutahhari mengenai sejarah, masyarakat dan peradaban.Di bidang ekonomi melahirkan

pemikiran Muhammad Baqir Sard dalam bukunya yang menjadi rujukan ilmu Ekonomi Islam

“Iqtishaduna” (2008) atau “Ekonomi Kita”.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah pemikiran Islam mengenai

teologi, walaupun baru diperkenalkan kemudian oleh Muslim Abdurrahman pada tahun

1986.Teologi disini dimaksudkan sebagai ilmu mengenai konsekuensi sosial dari ajaran

agama.Dasarnya terkandung dalam al Qur’an sendiri, yaitu: “Akan terjadi kehinanaan di

manapun manusia berada kecuali mereka yang merawat hubungan antara manusia dengan

Tuhan (hablun minallah” dan hubungan di antara manusia sendiri (habun minannaas)’

(Q.s.Ali Imron (3): 112). Dalam Kristen Katholik dikenal “Ajaran Sosial Gereja” yang

dipelopori oleh Paus Leo ke III dan dikembangkan kemudian oleh geraja Katholik AS.

Dalam kata pengantarnya terhadap buku “Religion and Social Justice”, Zweig

menceritakan pengalamannya berkenaan dengan teologi pembebasan. Ia

mengatakan,dalam persepsinya ketika ia mengalami masa remaja di AS sebelum tahun 1960

bahwa dalam lingkungan masyarakat industri di Detroit, AS, Gereja Katholik adalah suatu

lembaga yang respresif yang mengekang kebebasan berfikir dan gagasan-gagasaan

reaksioner, konservatif dan tidak peduli terhadap kemiskinan. Itulah sebabnya ia kemudian

mempelajari Maxisme dan Sosialisme, sehingga menjadi pengajar Ekonomi Sosialis. Namun

pandangannya berubah ketika ia mendapat kunjungan seorang Rohaniawan Katholik pada

State University of New York, di Sony Brook, Michael Quinn yang berperan sebagai seorang

pejuang perdamaian yang menentang agresi AS di Asia Tenggara.

Ia kemudian melihat juga gerakan Gereja Kristen Protestan Hitam (Black Protestant

Christian Church) yang memperjuangan hak-hak sipil dan diskriminasi rasial Sebagai seorang

Sosialis perhatiannya terarah pada masalah-masalah ketidak-adilan dan degradasi manusia,

pengangguran, rasisme, penindasan atas perempuan, kemubaziran hidup akibat penyakit

dan pengabaian kemiskinan(ignorance of poverty). Dari pengalaman itu ia tertarik pada

teologi pembebasan (Liberation Theology) yang dikembangkan oleh Gustavo Guiterrezdi

Amerika Latin. Ia tertarik dengan teologi itu, tentunya disebabkan oleh suatu gejala yang

mengejutkan, yaitu bagaimana suatu teologi Katholik dikembangkan berdasarkan analisis

Maxis. Dalam persepsinya Teologi Pembebasan adalah “sebuah interpretasi religious

sebagai panggilan untuk melakukan aksi sosial kearah tujuan untuk mencapai keadilan

sosial”.

Bagi Zweig, Teologi Pembebasan Amarika Latin, bukan satu-satunya teologi

pembebasan, karena terdapat berbagai versi teologi pembebasan itu. Misalnya, di

Page 4: KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF    PERSPEKTIF ISLAM*  Oleh: M. Dawam Rahardjo

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013

4 | P a g e

lingkungan Islam telah ditulis buku mengenai Teologi Pembebasan Islam, sebagaimana

dikembangkan oleh Shabair Akhatar “The Final Imperative of Islamic Theology of Liberation”

(1991) dan oleh SyedAsghar Ali Engeeneir“Islam dan teologi Pembebasan” (1999) dari judul

aslinya “Islam and the Liberation Theology: : Essay on Liberative Element in Islam”. Tetapi

pemaduan antara Islam dan komunisme pernah terjadi pada Syarikat Ialam pada tahun

1919, ketika Haji Misbah, seorang pedagang Muslim dari Solo yang menjadi pimpinan

Sarekat Islam mengembangkan wacana melalui penerbitan koran yang mempropagandakan

bahwa Komunis terkandung di dalam ajaran Ialam, sehingga sebagai Muslim ia merasa yakin

untuk melakukan gerakan komunis di lingkungan gerakan politik Sarekat Islam. Haji Misbach

bahkan dapat disebut sebagai cikal bakal SI-Merah yang berkembang menjadi “Partai

Komunis Hindia Belanda” tahun 1923.

Tapi dengan kajian yang lebih mendalam tentang Islam maupun Sosialisme,

khususnya Sosial-Demokrasi dan sejarah Nabi saw, pemimpin Sarekat Islam HOS

Tjokroaminoto menulis buku yang terkenal “Islam dan Sosialisme” (1924). Para pemimpin

komunis terkemuka, sepetri Semaun, Alimin, Darsono dan Musso, pada mulanya adalah

para pemimpin Sarekat Islam.Mereka memilih Komunisme daripada Islam, karena melihat

Komunisme memberikan pedoman ideologi maupun politik yang lebih kongkritdalam

melakukan gerakan politik untuk melakukan transformasi sosial.TapI tulisan-tulisan Haji

Misbach lebih merupakan pamphlet politik.Dan buku Tjokroaminoto adalah sebuah karya

ilmu sosial dan bukan teologi.Mungkin karena itulah maka buku Tjokroaminoto kurang

mampu memberikan efek “calling” sebagaimana Teologi Pembebasan.Bahkan ahli ilmu

politik muda Denny J.A. yang menganjurkan sekularisasi, justru menganjurkan agar

pemikiran sekularisme ditulis dengan pendekatan teologi, sehingga memperoleh legitimasi

keagamaan.

Teologi adalah suatu ilmu,-teo adalah Tuhan dan logos adalam ilmu” sehingga arti

harfiyahnya adalah “ilmu atau filsafat Ketuhanan”, yang bertolak atau bersumber dari ajaran

agama atau Ketuhanan. Karena itu pemikir muda Muslim seperti Muslim Abdurrahman,

berusaha mencari dasar-dasar keagamaannya mengenai ilmu-ilmu sosial transformatif. Dan

sebagai kader Muhammadiyah, ia menemukan apa yang ditemukan oleh K.H. Ahmad

Dahlan, yaitu surat al Ma’un.

Dalam surat al Ma’un pengabaian terhadap kemiskinan (ignorance of poverty) dan

tiadanya jaminan sosial (yatim) itu disebut sebagai “pendustaan terhadap agama”. Ayat

inilah yang menarik perhatian K.H. Ahmad Dahlan dan Muslim Abdurrahman.Pada awal

abad 20, telah terjadi kebangkitan ekonomi di kalangan saudagar Muslim yang kemudian

diorganisir oleh Haji Samanhudi di Solo. Tapi K.H. Ahmad Dahlan mengingatkan tanggung-

jawab sosial kaum saudagar Muslim itu dan kemudian membentuk lembaga amil zakat yang

masih lestari hingga sekarang.

Tapi dalam perkembangannya, Muhammadiyah lebih tertarik untuk

mengembangkan gagasan tauhid Wahabiyah dan modernisasi pendidikan Muhammad

Abduh dan mengabaikan program pemberantasan kemiskinan, walaupun mendirikan panti-

panti asuhan yatim-piatu yang juga masih menjadi model gerakan sosial Islam hingga

sekarang.Karena itu maka Muhammadiyah sebenarnya melakukan ignorance of poverty dan

gagasan inilah yang dikembangkan oleh Haji Misbach.

Namun perhatian terhadap masalah kemiskinan, walaupun diekspresikan dalam

bentuk positif, yaitu program pembangunan, dilakukan oleh Sjafruddin Prawiranegara yang

dituliskannya dalam sebuah pamphlet “Al Aqabah”. Pamflet ini sebenarnya sangat penting

dan mendasar, karena ia adalah teknokrat yang paling awal (Tahun 1966) menulis hakekat

Page 5: KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF    PERSPEKTIF ISLAM*  Oleh: M. Dawam Rahardjo

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013

5 | P a g e

dari ekonomi syariat sebagai “legal economics” yang bertolak dari Q.S. Saba’ (34): 15

mengenai negari Saba’ yang makmur karena sistem irigasinya yang diinterpretasikannya

sebagai perlambang sistem hukum. Tapi secara substansial ia bertolak dari surat al-Balad,

yang sebagai tafsir pernah ditulis oleh Anwar Harjono,Dalam hal ini ia tertarik pada surat al

Balad ayat 10-17 yang dapat diterjemahkan sebagai berikut:

PENDAKIAN TINGGI (GREAT ASCEND).

Dan Kami tunjukkan kepadanya, dua jalan yang terang

Tetapi ia tidak berusaha untuk mendaki jalan naik

Dan apakah yang membuat engkau tahu?

Apakah jalan naik itu?

Yaitu memerdekakan budak belian

Atau memberi makan pada hari kelaparan

Kepada anak yatim yang ada pertalian keluarga,

Atau orang miskin yang berbaring di debu

Lalu ia adalah golongan orang yang beriman

Dan saling menasehati, supaya bersabar

Dan saling menasehati,

Supaya berbelas kasih.

Dalam surat itu Allah mengemukakan dua jalan. Jalan pertama adalah mereka yang

menghambur-hamburkan harta benda yang tidak memberikan manfaat terhadap

pemberantasan kemiskinan.Dan yang kedua, disebut “pendakian tinggi” atau Al Aqobah

yang diterjemahkan oleh Sjafruddin Prawiranegara dengan istilah ahli sejarah ekonomi AS

terkemukan Robert Heilbrouner, yaitu “the great ascend”.

Dalam penafsiran Sjafruddin Prawiranegara, pendakian tinggi itu adalah

pembangunan ekonomi yang didasarkan pada hukum (legal economics). Ekonomi legal itu

sebenarnya dirumuskan pasca Perang Dunia II di Jerman ke dalam konsep yang hingga

sekarang terkenal dengan sebutan “social market economy” yang sukses`dilaksanakan di

Jerman. Dalam teori ekonomi terhadap empat aliran utama. Pertama aliran individual

(individual economics) yang berpandangan bahwa penggerakan ekonomi adalah para

individu.Kedua adalah aliran social (social economy) yang berpandangan bahwa

penggerakan ekonomi adalah kelompok. Ketiga ekonomi kelembagaan (institutional

economics) yang berpandangan bahwa penggerak ekonomi adalah lembaga.Dan keempat

adalah ekonomi syariat (legal economics) yang menggerakkan ekonomi dengan hukum

Islam.

Surat al-Balad ini juga dikutip oleh Akhtar dengan interpretasi yang menarik.

Pertama ia berpandapat bahwa langkah hijrah pada tahun 922, yang kemudian ditetapkan

oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai kalender baru Islam, pada hakekatnya adalah

sebuah langkah pembebasan (liberasi), sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi Musa

as.Kedua, zaman Mekah dianggapnya sebagai zaman perbudakan, sedangkan zaman

Madinah adalah zaman pembebasan, sebab itu sejak berdirinya Negara Madinah, maka

proses pembebasan dimulai, pertama-tama dengan membangun kedaulatan bersama. Izin

berperang yang dikeluarkan setalah umat islam mengalami agresi besar-esaran oleh rezim

Mekah yang pada waktu itu dipimpin oleh Abu Sofyan yang masih kafir, harus dipahami

sebagai politik menegakkan kedaulatan yang ternyata merupakan kunci keberhasilan Risalah

Islam yang dipimpin oleh Muhammad saw.

Page 6: KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF    PERSPEKTIF ISLAM*  Oleh: M. Dawam Rahardjo

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013

6 | P a g e

Pada waktu Muhammad masih tinggal di Mekah pada masa awal kenabiannya, ia

pernah ditawari kekuasaan pemimpin kota Mekah dan diberikan kekayaan yang ia

kehandaki, asalkan ia bersedia meninggalkan misi yang terkandung dalam wahyu-wahyu

yang diterimanya dari Allah. Tawaran itu ditolak oleh Muhammad, karena bukan itu tujuan

misi kenabiannya. Peristiwa itu mirip dengan kisah Yesus yang juga ditawari kekuasaan dan

kekayaan oleh setan asal ia mau tunduk kepada kehendak setan . Ayat ini surat Matheus

(48-49) itu dijadikan kutipan motodalam bab awal yang ditulis dalam bukunya. Sikap Yesus

itulah yang menjadi titik tolak dalam teologi pembebasan melawan kemiskinan dan

kapitalisme.

Dalam konteks kontemporer Indonesia, istilah “menghambur-hamburkan harta” itu

adalah ibarat bantuan sosial sebesar Rp 81 triliun, tetapi hanya dengantujuan pencitraan

bahkan “pemeliharaan” kondisi kemiskinan, karena bantuan itu membuat rakyat manja dan

bergantung kepada bantuan Pemerintah. Pencitraan itu dilakukan dengan mengemukakan

menurunnnya angka penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan karena mendapat

Bantuan Langsung Tunai Sementara (BLTS) yang dipelesetkan rakyat menjadi “balsam” itu.

Tetapi akar kemiskinan itu sendiri tidak terberantas. Padahal yang dikenedaki adalah,

pembebasan masyarakat dari perbudakan dan pengangkatan masyarakat dari kemiskinan

absolute yang disebut al qur’an sebagai “pendakian tinggi” dan ditafsirkan oleh Sjafruddin

Prawiranegara dalam pembangunan berdasarkan hukum atau syariat.

Isi surat al Balad yang istilah ‘al aqobah” dijadikan titik tolak konsep pembangunan

Indonesianya oleh Sjafruddin Prawiranegara, pada hakekatnya adalah sebuah doktrin

pembebasan, yaitu pembebasan dari perbudakan (fakku raqabah) dan mengangkat orang

yang “terbaring di debu” yang intinya adalah pemberantasan kemiskinan. Memang, dalam

pamphlet itu, Sjafruddin Prawiranegara tidak menyabut istilah pembebasan, tetapi intinya

adalah liberalisasi ekonomi yang harusditetapkan dan diatur melalui UU dan peraturan.

Karena itu secara implisit ia sebenarnya berbicara mengenai syariat Islam sebagai legal

economics. Pendekatan legalnya dalam pembangunan ekonomi ditulisnya dalam pamflet

“Membangun Kembali Ekonomi Indonesia” (1966), yang ditulis sebelum paket

Kebijaksanaan 3 Oktober 1967 yang intinya adalah liberalisasi ekonomi, yang nyaris

bertentangan pendekatannya dengan pandangan Syafruddin Prawiranegara. Padahal TAP

MPRS No.XXII/1966 dari segi pendekatan sejalan dengan pemikirannya.

Dalam konsep Sjafruddin Prawiranegara mengenai pembangunan ekonomi

Indonesia.Secara hukum mengandung tiga tujuan.Pertama, menjamin keselamatan harta

dan jiwa.Kedua, menjamin keadilan hukum da keadilan jiwa. Dan ketiga, mempertinggi

kesejahteraan rakyat lahir maupun batin. Tapi Peraturan 3 Oktober, 199 yang merupakan

paket liberalisasi ekonoi itu telah menimbulkan dampak, pertama hancurnya ekonomi

rakyat. Kedua, kesenjangan antara golongan ekonomi kuat, khususnya modal asing dan

lemah.Dan ketiga menimbulkan marginalisasi tenaga kerja dan kemiskinan yang memuncak

pada pertengahan dasawarsa ’70-an.

Teologi pembebasan sebagaimana ditulis oleh Guiterrez, berbeda dengan

pendekatan syariat dan lebih sejalan dengan pendekatan kalam atau tasauf Islam. Teologi

ini bersendikan dua praxis. Pertama adalah “diam dihadapan Allah” dimana manusia

berhadapan dan merasakan kehadiran Allah yang menimbulkan kontemplasi mengenai aksi

manusia dalam sejarah dan kehidupan. Dalam praxis kontemplasi dan aksi itu maka manusia

menemukan “misteri Allah”. Interpretasi ini mengingatkan kita kepada suatu ayat dalam al

qur’an yang mengatakan bahwa barangsiapa ingin berjumpa dengan Allah, hendaklah ia

melakukan amal saleh (Q.s. Al-Kahfi (18): 110). Kedua adalah “diam dalam aksi” yang

Page 7: KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF    PERSPEKTIF ISLAM*  Oleh: M. Dawam Rahardjo

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013

7 | P a g e

artinya keterlibatan diri dalam kehidupan bersama-sama dengan orang lain sesuai dengan

kehendak Allah.

Dalam konteks Amerika Latin, keterlibatan itu menyatu dalam solidaritas bersama

kaum miskin dan tertindas dalam memperjuangkan pembebasan.Keterlibatan itu

merupakan tindakan politis yaitu perjuangan dalam mewujudkan kondisi masyarakat yang

adil melalui transformasi tatanan sosial yng tidak adil.Dalam konteks sekarang, teologi

pembebasan itu dalam al Qur’an disebut sebagai “jihad fi sabilillah’ melalui aksi “amar

makruf nahi munkar” yang hakekat maknanya adalah transformasi sosial.

Kaitan antara gerakan pembebasan dalam Teologi Pembebasan, dengan doktrin

amar makruf nahi munkar atau jihad fi sabilillah. Nampak pada interpretasi sejarawan sosial

Kuntowidjojo terhadap surat Ali Imran ayat 110. Ayat itu sebenarnya merupakan suatu

konsep mengenai “masyarakat utama” (al khairu al ummah). Ciri atau sendi masyarakat

utama ada tiga.Pertama, adalah amar makruf yang diinterpretasikan oleh Kuntowidjojo

sebagai “humanisasi”. Kedua adalah nahi munkar, atau, liberasi atau pembebasan

(liberation). Dan ketika adalah iman kepada Allah, yang dalam ayat lain diekspresikan

sebagai “jihad fi sabiliiah”yang oleh Kuntowidjojo diinterpretasikan dalam filsafat sosial

sebagai sebagai “transendens”.

Sebenarnya pandangan Kuntowidjojo yang memakai pendekatan filsafat dan teori

sosial itu sejalan dengan Teologi Pembebasan.Di satu pihak, Teologi Pembebasan Amerika

Latin didasarkan pada pendekatan teologi Katholik dalaminterpretasi baru.Tapi di lain pihak

Teologi Pembebasan juga memakai pendekatan ilmiah, atau lebih spesifik, “Sosialisme

Ilmiah” atau Marxisme. Sementara itu Kuntowidjoyo bertolak dari konsep masyarakat al

Qur’an, tetapi ditafsirkan secara ilmiah sejalan dengan pandangannya mengenai “saintifikasi

Islam” yang ia maksudkan sebagai alternatif terhadap pendekatan “Islamisasi Pengetahuan”.

Tapi dari segi epistemologi, keduanya memang bertolak belakang, walaupun menghasilkan

pemikiran yang sama.

Teologi pembebasan sendiri mengandung dua aspek.Pertama adalah aspek

spiritualisme yang dalam teori Marx tergolong ke dalam konsep “kesadaran”.Aspek kedua,

adalah aspek sosial, yaitu tentang pembebasan.Tetapi bedanya dengan Sosialisme ilmiah

Marxis adalah jika epistemologi Marxis adalah materialisme.Sementara itu epistemologi

Teologi Pembebasan adalah idealisme Hegel, dimana roh atau kesadaran manusia

menentukan kondisi. Perbedaannya dengan pendekatan ekonomi legal atau syariat adalah,

bahwa dalam ekonomi legal, kondisi dibentuk oleh hukum. Sedangkan dalam Teologi

Pembebasan, kesadaran manusia dalam praxis ketuhanan, menggerakkan masyarakat

menciptakan transformasi, yaitu pembebasan manusia dari kondisi perbudakan dan

kemiskinan.

Dalam pandangan Asghar Ali, konsep pembebasan mengandung empat elemen.

Pertama adalah menantang status-quo dan menghendaki perubahan sosial yang

mendasar.Kedua, menantang kemapanan (establishment) dalam tatatan

kemasyarakatan.Ketiga adalah pembelaan dan pemihakan terhadap golonganyang

tertindas. Dan keempat, prinsip menentukan nasib sendiri. Tapi menurut Asghar Ali, Teologi

Pembebasan Islam merupakan tawar menawar antara takdir dan kebebasan menentukan

nasibnya sendiri, sebagaimana tercermin dalam Q.s. Ar-Ra’d (13): 11, “Allah tidak merubah

nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah apa yang terdapat dalam kaum itu sendiri”.

Takdir adalah konsep mengenai hukum Allah yang berlaku dalam alam material, masyarakat

dan sejarah. Tapi sebagaimana dikatakan oleh filsuf Muslim Pakistan, Mohammad Iqbal

yang dirujuk oleh Asghar Ali itu, manusia memiliki posisi tawar menawar dengan Tuhan.

Page 8: KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF    PERSPEKTIF ISLAM*  Oleh: M. Dawam Rahardjo

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013

8 | P a g e

Dalam Teologi Pembebasan Amerika latin, unsur tawar menawar itu sebenarnya juga ada,

yaitu dalam sikap “diam di hadapan Tuhan” yang artinya mengakui kuasa Tuhan, Teologi

Pembebasan juga mengadung elemen praxis, yaitu melakukan gerakan pembebasan oleh

masyarakat miskin. Pemikiran Sjafruddin Prawiranegara, Muslim Abdurrahman dan

Kuntowidjojo juga mengandung aspek “menentukan nasib sendiri” itu, yaitu melakukan

transformasi sosial. Dalam konsep Kuntowidjo, berbeda dengan sosiologi Klasik yang

mengarah kepada perubahan sosial, khususnya industrialisasi dan urbanisasi yang terkesan

netral nilai itu, perubahan itu mengarah kepada humanisasi, liberasi atau pembebasan dan

trandsandensi atau dalam konsep Asghar Ali, mengkaitkan kehidupan dunia dengan

kehidupan akhirat atau sebaliknya, yaitu di satu pihak kehidupan di dunia itu orientasi

kepada kehidupan akhirat dan di lain pihak kehidupan di akhirat itu ditentukan oleh

kehidupan di dunia, kehidupan akhirat adalah hasil dari kehidupan di dunia. Sosiologi

Islam sangat dikenal dengan penentangannya terhadap prinsip “bebas nilai” (value free)

yang mula-mula diperkenalkan oleh Max Weber dalam penelitian sosial sesuai dengan

paham positivisme ilmu-ilmu sosial. Kedua, penentangannya terhadap epistemologi

materialis Marxis, yaitu prinsip “bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan,

melainkan sebaliknya, keadaanlah yang menentukan kesadaran. Ketiga penentangannya

terhadap pandangan individualisme.

Masalah prinsip bebas nilai Weberian telah menimbulkan banyak kesalah-pahaman

yang luas. Sebenarnya, yang dimaksuskan dengan bebas nilai itu adalah dalam kaitannya

dengan metode penelitian yang tidak berpedoman pada nilai yang dianut oleh peneliti,

tetapi harus berdasarkan fakta dalam positivisme August Comte. Weber sendiri, dalam

penelitiannya juga tidak bebas nilai, sehingga timbul penilaiannya yang prejudis terhadap

Islam sehingga menimbulkan kesalahan persepsi yang mendasar, sebagaimana dikemukakan

dan dikritik oleh muridnya sendiri, Bryan Turner. Demikian pula biasnya terhadap

protestanisme yang mampu mendorong perubahan sosial, dengan mengabaikan

Katholikisme. Namun kesimpulannya mengenaipentingnya peranan agama dalam

perubahan sosial tetap valid, baik dalam teori maupun realita. Prinsip bebas nilai dalam

penelitian sosial itupun telah dibantah oleh Gunnar Myrdal, ekonom besar Swedia. Bagi

Myrdal, tidak seorang penelitipun yang mampu membebaskan diri dari bias nilai. Mereka

hanya menyembunyikan nilai. Karena itu dalam bukunya “Objectivity in Social Research”

(1988) yang menganjurkan eksplitisasi nilai dalam suatu penelitian. Hal inilah yang dianut

dan dipraktekkan oleh para peneliti sosial Muslim.

Dalam epistemologi, tesis Hegel yang dibantah dan dijungkir-balikkan Marx itu,

hingga kini tidak terbantahkan dan dianut luas di kalangan ahli-ahli ilmu sosial di seluruh

dunia. Bahkan epistemologi Marx itu oleh Karl Poper dinilai sebagai paham “determinisme

historis” yang menimbulkan sikap otoriter dan gerakan radikal.Bahkan Ilmuwan sosial yang

berpijak pada peranan kesadaran individual dalam pembentukan kondisi. Bahkan Marx

sendiri juga menganut peranan seorang pemimpin dan intelektual. Secara lebih mendasar,

pentingnya peranan kesadaran itu telah ditulis oleh seorang Marxis sendiri, yaitu Antonia

Gramnch, pendiri Partai Komunis Eropa yang menekankan pentingnya ideologi, baik dalam

mempertahankan hegemoni maupun dalam perubahan sosial yang transformatif. Sjafruddin

Prawiranegara juga menulis pamphlet mengenai peranan agama dalam pembangunan.

Pandangan individualismesejak awal sudah ditentang oleh pandangan sosial yang

disebut sosialisme atau kolektivisme.Islam sendiri sebenarnya menganggap penting peranan

individu dalam konsep etika al akhlaq al karimah (budipekerti mulia), terutama dalam

menciptakan keselamatan hidup. Namun Islam menganggap penting terhadap nilai

Page 9: KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF    PERSPEKTIF ISLAM*  Oleh: M. Dawam Rahardjo

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013

9 | P a g e

persaudaraan (ukhuwah) dan solidaritas yang melahirkan prinsipkerja sama dalam kebaikan,

berdampingan dengan prinsip “berloma-lomba dalam kebaikan”.

Al Qur’’an, banyak mengemukakan nilai-nilai kemasyarakatan yang dijadikan acuan

dalam penelitian sosiologi maupun ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Misalnya saja prinsip

amanah, atau tanggung-jawab sosial, musyawarah dalam pemecahan masalah sosial,

ukhuwah, atau kerjasama dalam kebaikan, ta’aruf, yaitu saling belajar dan memahami

pandangan orang lain dan kelompok lain. Al adl, atau keadilan dalam hukum dan

kesejahteraan sosial, al mizan, atau keseimbangan dalam menilai sesuatu dan washatan,

yaitu sikap moderasi dalam menghadapi ekstremitas sikap dan pandangan.Dan dalam

kaitannya dengan perubahan dan transformasi sosial, Islam mengemukakan prinsip amar

makruf nahi munkar dan jihad fi sabilillah.

Sosiologi sebagai ilmu mengenai masyarakat berfungsi menyelidiki, di satupihak,

kemungkinan penerapan nilai-nilai Qur’ani itu dalam pembentukan masyarakat utama (al

khair al ummah). Di lain pihak menyelidiki batasan atau kendala sosial (social constraint)

dalam realisasi nilai-nilai kemasyarakatan dalam islam.Namun kesemuanya itu dilakukan

secara obyektif dalam arti menemukan fakta-fakta sosial.Dengan demikian, maka sosiologi

Islam tidak bertentangan dengan positivisme, walaupun tidak sepenuhnya menyetujui.

Beberapa ayat al qur’an yang bisa`dijadikan dasar pembangunan sosiologi Islam

adalah, Pertama ayat yang mengatakan “Allah tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali

kaum itu mengubah apa-apa (factor penentu) yang terdapat dalam kaum itu sendiri” (Q.s.

Ar-Ra’d (13): 11. Kedua, ayat yang mengatakan “manusia akan mengalami kehinaan dimana

saja kecuali yang memelihara hubungan manusia dengan Tuhan dan antara sesama manusia

sendiri” (Q.s. Ali Imron (3): 112). Ketiga, ayat yang mengatakan “Telah timbul kerusakan di

darat dan di laut akibat ulah manusia” (Q.s. Ar-Rum (31): 41). Keempat, “berpegang

teguhlah kepada tali Allah dan janganlah berpecah belah” (Q.s. Ali Imron (3): 103). Kelima

“Hendaklah ada di antara kaum yang membentuk suatu umat, yang mengacu kepada nilai-

nilai keutamaan, menciptakan kebaikan dan mencegah keburukan. Dengan demikian engkau

akan mencapai kebahagiaan” (Q.s. Ali Imron (3): 104) ayat ini berkaitan dengan ayat lain

yang mengatakan “Engkau adalah sebaik-baik umat, karena menciptakan kebaikan dan

mencegah keburukan dan beriman kepada Allah” (Q.s. Ali Imron (3): 110). Keenam, ayat

yang memerintahkan “Bekerjasamalah dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah

bersekongkol dalam kejahatan” (Q.s. Al-Maidah (5): 2). Ketujuh, ayat yang mengatakan

”Telah kuciptakan kaum yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan

berbangsa-bangsa, agar kaum saling memahami. Sesungguhnya yang terbaik di antara kaum

adalah yang paling bertaqwa” (Q.s. Al-Hujarat (49): 13). Ke delapan, adalah ayat-ayat dalam

keseluruhan surat al Ma’un. Ke delapan surat al Balad, khususnya ajat (10-17). Ke sembilan,

ayat yang mengatakan “Bukanlah kebajikan itu menghadapkan wajahmu ke timur atau ke

barat. Tetapi kebajikan adalah ……..” (Q.s. Al-Baqarah (2): 177). Ke sepuluh adalah ayat yang

melukiskantentang Ibadurrahman. Ke sepuluh ayat-ayat sosilogis itu terangkum dalam visi

Islam yang terkandung dalam ayat “Sesungguhnya tidak aku mengurusmu (Muhammad),

kecuali menjadi rahmat bagi sekalian alam.

Sumber nilai sosiologi Islam tentangnya adalah al Qur’an dan Sunnah. Tetapi Ahmad

Wahid dalam pandangannya mengenai sumber ajaran islam adalah Sejarah Muhammad. Al

Qur’an dan Sunnah dalam pandangan Ahmad Wahib adalah merupakan bagian dari Sejarah

Muhammad.Pandangan ini relevan untuk dipertimbangkan dalam pengembangan sosiologi

Islam.Sejarah Muhammad adalah sejarah transformasi masyarakat, sehingga karena itu

Page 10: KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF    PERSPEKTIF ISLAM*  Oleh: M. Dawam Rahardjo

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013

10 | P a g e

maka penelitian sosiologi dan ilmu-ilmu sosial Islam pada umumnya, perlu pula mengacu

kepada Sejarah Muhamad dan transformasi social yang dibawanya.

Dalam penelitian ilmu politik umpamanya, terkandung dua pendapat. Pertama

mengembangkan teori-teori politik dari al qur’an dan al sunnah sebagai penjelasannya. Tapi

kedua, sebagaimana telah dilakukan akhir-akhir ini adalah dengan meneliti Sejarah

Muhammad dan para sahabatnya.Dalam pendekatan kedua itu, telah dilakukan pengkajian

historis mengenai terbentuknya dan perkembangan Negara Madinah. Dalam penelitian

sosiologis, dapat dilakukan penelitian yang serupa, yaitu dengan meneliti proses

terbentuknya masyarakat islam, baik di masa Rasulullah, Khilafah Rashidah maupun

generasi salaf. Dengan dua pendekatan itu, maka akannampak kesenjangan antara idealita

dan realita. Misalnya al Qur’an memerintahkan persatuan. Kenyataan yang terjadi dalam

sejarah adalah perpecahan yang bersumber dari apa yang disebut sebagai al fitnah al kubra

atau kekacauan besar.

Dengan demikian, maka sosiologi Islam mengandung dua pendekatan. Pertama

pendekatan normatif dengan menggali ajaran al qur’an dan sunnah. Kedua, pendekatan

positif, dengan meneliti realitas masyarakat dan perkembangnnya sebagai dampak dari

ajaran Islam. Dalam perspektif sosiologi tranformatif, akan nampak pula diskrepensi antara

nilai-nilai yang terkandung dalam al qur’an dan kenyataan sejarah. Dalam pembahasan

perbudakan umpamanya, telah terjadi proses pembebasan melalui berbagai cara. Namun

yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa dalam perkembangan masyarakat islam hingga

masa modern, perbudakan dalam berbagai bentuknya masih juga ada. Demikian pula al

Qur’an mengajarkan pemberantasan kemiskinan, namun dalam kenyataannya, hingga kini

masyarakat Islam pada dasarnya adalah masyarakat yang miskin dan terkebelakang.

Konsekuensi dari pendekatan positivisme itu ialah, bahwa sosiologi Islam dimulai

dengan mempelajari kondisi dan perubahan transformatif masyarakat Arab dari masa

sebelum ke sesudah turunnya wahyu Allah menjadi masyarakat Islam. Masyarakat Arab pra

Islam disebut dalam al Qur’an dan Sunnah sebagai masyarakat jahiliyah (the society of

ignorance). Sedangkan masyarakat Islam yang dimaksud adalah masyarakat yang perilaku

warganya selamat dan menyelamatkan, sehingga terbentuk kedamaian berdasarkan

keadilan dan sejahtera. Masyarakat Islam dengan demikian adalah masyarakat yang peduli

terhadap kondisi diri dan lingkungannya. Transformasi lain yang disebut dalam al Qur’an

adalah “minal dhulumati ila al nur” dari kegelapan menjadi pencerahan.

Dengan studi sosiologi diperoleh gambaran obyektif tentang masyarakat jahiliyah

dan kegelapan dengan beberapa ciri tertentu, misalnya yang paling terkenal adalah

masyarakat misogini, masyarakat yang anarkis yang penuh konflik dan perpecahan dan

masyarakat perbudakan yang miskin. Masyarakat gelap adalah masyarakat yang tanpa kabar

(al naba’) sehingga menimbulkan masyarakat yang tanpa peduli terhadap kondisi diri dan

lingkungannya. Masyarakat seperti itu terjadi karena setiap orang tidak menyadari

potensinya sebagai khalifah yang dianugerahi akal pikiran untuk “mengetahui gejala-

gejala”.Dengan demikian masyarakat yang tercerahkan adalah masyarakat yang sadar

lingkungan karena mempergunakan akalnya, sehingga menimbulkan kepedulian terhadap

kondisi diri dan lingkungannya.

Berdasarkan epistemologi Kuntowidjojo tentang “saintifikasi Islam”, dapat dilakukan

penelitian dengan mempergunakan teori Pencerahan filsuf Jerman Emmanuel Kant. tentang

tipologi masyarakat. Pertama adalah masyarakat barbarism, yaitu masyarakat yang tidak

mengakui negara atau otoritas kekuasaan, tidak mengenal hukum dan tanpa kebebasan,

karena kondisi homo-homini lupus Thomas Hobbes yang membentuk masyarakat Laviathan.

Page 11: KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF    PERSPEKTIF ISLAM*  Oleh: M. Dawam Rahardjo

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013

11 | P a g e

Kedua adalah masyarakat anarkhisme, yaitu masyarakat yang menolak kekuasaan yang

memerintah dan tidak mengenal hukum, sehingga menimbulkan kebebasan mutlak. Ketiga

adalah masyarakat despotism yang mengenal dan tunduk kepada kekuasaan, tetapi tanpa

hukum, sehingga tidak ada kebebasan. Dan keempat adalah masyarakat yang mengakui

kekuasaan dan tunduk kepada hokum sehingga menimbulkan kebebasan atau perdamaian.

Masyarakat seperti itu disebut sebagai masyarakat republikanisme.

Di masa jahiliyah, masyarakat Mekah mengenal negara yang dikuasai oleh orang-orang

kaya pedagang yang disebut plutokrasi, tetapi sangat korup. Sementara itu masyarakat di

Yathrib sebelum disebut al Madinah al Munawarah, adalah masyarakat tanpa otoritas

kekuasaan sehingga yang terjadi adalah konflik dan peperangan. Dengan kepemimpinan

Nabi saw, dilakukan rekonsiliasi yang menghasilkan perdamaian. Atas dasar itu disepakati

oleh masyarakat yang multi-kultural itu, sebuah perjanjian atau piagam yang merupakan

lembaga hukum. Karena itu masyarakat Yathrib mulai mengenal hukum dan kemudian

mengakui kekuasaan yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw. Ciri utama masyarakat

sesudah Piagam Madinah adalah kebebasan beragama dan mengeluarkan pendapat melalui

proses musyawarah yang dimulai oleh Nabi saw dalam proses pembentukan Piagam

Madinah. Ciri lain dari masyarakat Madinah adalah pluralisme, yang mengakui hak-hak dan

kewajiban setiap kelompok suku, agama dan kepemimpinan. Dengan Piagam Madinah itu

Yatrib berubah dari masyarakat anarkis menjadi masyarakat republik yang tercerahkan,

sehingga dinamai oleh Nabi Muhammad saw sebagai al Madinah al Munawarah atau

Masyarakat Yang Tercerahkan.

Pendekatan sosiologi yang normatif dapat pula dilakukan yang mengacu kepada nilai-

nilai keutamaan (al kahir an ummah). Pertama adalah perubahan masyarakat yang jahiliyah

(ignorance) yang anarkhis, menjadi masyarakat yang amanah, yaitu peduli dan bertanggung-

jawab atas nasibnya sendiri. Kedua, terjadinya proses musyawarah (al syura) untuk

memecahkan masalah bersama. Ketiga, lahirnya hubungan antar manusia yang didasarkan

pada prinsip keadilan, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam pasal-pasal Piagam

Madinah. Keempat adalah masyarakat yang memiliki solidaritas dan bersaudara (al

ukhuwah) atau kerjasama, yang dimulai dengan kerja sama antara masyarakat pendatang

atau muhajirin dan masyarakat yang menolong atau anshar, demikian juga adalah kemitraan

dua orang yang dibentuk oleh nabi. Ke lima, adalah masyarakat yang saling memahami di

antara individu, kelompok suku dan agama atau proses ta’aruf yang dianjurkan dalam surat

al Hujurat (49): 13. Ke enam adalah masyarakat yang washatan atau moderasi di antara

perbedaan sikap dan pandangan yang ekstrem atau masyarakat yang berkeseimbangan (al

mizan), antara yang material dan spiritual. Dan ketujuh adalah masyarakat yang

transformatif yang melaksanakan amar makruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan

beriman kepada Allah (transendensi). Proses transformasi itu dilakukan berdasarkan

semangat jihad fi sabilillah dan usaha yang berbentuk al aqobah atau pendakian tinggi

sebagai proses pembebasan dari perbudakan dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan.

Kesemuanya itu memberi dorongan untuk mengembangkan sosiologi atau ikmu-ilmu

sosial transformatif, yang dimulai dengan wacana Teologi Pembebasan.Tapi dewasa ini,

yang berkembang dalam Perguruan Tinggi Islam lebih mengarah kepada sosiologi dan ilmu-

ilmu sosial transformatif, daripada teologi pembebasan. Dengan perkataan lain, yang lebih

berkembang adalah kajian Islam daripada pemikiran Islam.

Jakarta, 30 September 2013