ke arah sosiologi transformatif perspektif islam* oleh: m. dawam rahardjo
DESCRIPTION
Teologi pembebasan sendiri mengandung dua aspek.Pertama adalah aspek spiritualisme yang dalam teori Marx tergolong ke dalam konsep “kesadaran”.Aspek kedua, adalah aspek sosial, yaitu tentang pembebasan.Tetapi bedanya dengan Sosialisme ilmiah Marxis adalah jika epistemologi Marxis adalah materialisme.Sementara itu epistemologi Teologi Pembebasan adalah idealisme Hegel, dimana roh atau kesadaran manusia menentukan kondisi. Perbedaannya dengan pendekatan ekonomi legal atau syariat adalah, bahwa dalam ekonomi legal, kondisi dibentuk oleh hukum. Sedangkan dalam Teologi Pembebasan, kesadaran manusia dalam praxis ketuhanan, menggerakkan masyarakat menciptakan transformasi, yaitu pembebasan manusia dari kondisi perbudakan dan kemiskinan.TRANSCRIPT
Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013
1 | P a g e
KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF
PERSPEKTIF ISLAM* Oleh: M. Dawam Rahardjo
Sosiologi – berasal dari kata Latin, socius artinya teman dan logos, artinya ilmu, yang
secara umum dipahami sebagai ilmu tentang masyarakat atau ilmu tentang perilaku individu
dalam kelompok itu. Dengan demikian sosiologi adalah sebuah ilmu pengetahuan sosial
yang relevan dan berguna untuk memahami maupun melaksanakan ajaran agama. Hal ini
sebagaimana nampak dalam teori Emile Durheim (1858-1917) mengenai peranan agama
sebagai representasi simbolik dari masyarakat serta peranan integratifnya dan Max Weber
(1864-1920) yang mengemukakan peranan ethic dan ethos keagamaan dalam
perkembangan ekonomi.
Sosiologi, memang sebuah ilmu pengetahuan modern yang lahir dan berkembang
pesat sejak akhir abad 18, sezaman dengan masa Pencerahan (aufklarung), Abad Nalar (The
Age of Reason) dan Abad Ideologi (The Age of Ideology), sebagai ilmu sosial yang lahir
sesudah ilmu ekonomi (1776). Oleh karena itu maka sosiologi adalah sebuah ilmu yang
merespon dampak perkembangan ilmu ekonomi, khususnya industrialisasi dan perubahan
masyarakat, yaitu urbanisasi.Sosiologi memberikan pengaruh terhadap timbulnya aliran
ekonomi kelembagaan (institutional economics) dalam perkembangan ekonomi sebagai
antithesis terhadap aliran individualisme ekonomi (economic individualism) yang kemudian
disebut kapitalisme itu.Secara implisit ekonomi institusional membuka pemikiran mengenai
peranan agama sebagai lembaga sosial dalam perkembangan ekonomi dan perubahan
sosial.
Pada awalnya, sosiologi adalah ilmu mengenai masyarakat perkotaan. Sosiologi
berbeda dengan ilmu ekonomi yang bertolak dari individualism sedangkan sosiologi bertolak
dari “sosialisme” atau peranan lembaga dan kelompok masyarakat.Dengan peranan
lembaga, termasuk agama dan masyarakat itu, maka perubahan masyarakat bisa bersifat
transformative. Sebagai ilmu sosial modern, istilah “sosiologi”, mula-mula diperkenalkan
oleh filsuf Pencerahan Prancis, August Comte (1798-1847), sehingga dia dianggap sebagai,
pendiri ilmu sosiologi, sebuah ilmu yang memiliki dua ciri utama. Pertama merupakan kajian
empiris dan karena itu merupakan ilmu pengetahuan positif. Kedua, sosiologi itu merupakan
ilmu yang abstrak, dalam arti berisikan teori-teori mengenai hukum-hukum sosial dan
sejarah yang merupakan abstraksi terhadap kenyataan-kenyataan atau gejala-gejala yang
terdapat dalam masyarakat.
Sosiologi dianggap sebagai “the queen of social science”, karena sosiologi-lah awal
dari ilmu-ilmu sosial positif yang dipengaruhi oleh filsafat naturalisme, yang menganggap
gejala sosial sama dengan gejala alam yang memiliki hukum-hukumnya yang pasti, yang
dalam bahasa agamanya disebut sebagai “sunatullah”. Ilmu ekonomi, yang pada waktu
itumasih disebutsebagai “ilmu moral” (moral science) dan ilmu ekonomi politik” (political
science), masih tergolong ke dalam ilmu pengetahuan normatif dan filsafat sosial atau yang
disebut oleh Robert Heilbrouner sebagai “the worldly philosophy” yang merupakan
kebalikan dari teologi.
Sungguhpun demikian, dalam sejarah pemikiran, penggagas awal sosiologi dan ilmu-
ilmu sosial pada umumnya, adalah seorang filsuf Muslim akhir Abad Pertengahan Ibn
Khaldun, dalam bukunya “Al Mukaddimah” yang oleh para ahli sejarah seperti Toymbee
sebagai buku filsafat sejarah pertama yang mengawali dan cikal bakal filsafat sejarah
Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013
2 | P a g e
modern. Dalam buku itu, ilmu-ilmu sosial merupakan bagian dari ilmu sejarah, atau
epistemologi sejarah yang dipakai sebagai alat analisis perkembangan sejarah masyarakat.
Hubungan antara sosiologi dan sejarah masih tetap menjadi paradigma ilmu
pengetahuan sosial dan humaniora hingga saat ini, mula-mula ditekankan oleh Karl
Marx.Dari paradigma itu, Marx merumuskan teori dasar mengenai hubungan antara
kesadaran dan kondisi masyarakat yang bersifat materialis, membalik teori Hegel
sebelumnya dengan rumusan “bukan kesadaran yang menentukan kondisi, melainkan
kondisilah yang menentukan kesadaran” Rumusan itu berkebalikan dengan paradigma
teologi yang terkesan memisahkan teologi dan ilmu-ilmu sosial positif, termasuk sosiologi.
Walaupun pendiri ilmu sosiologi Max Weber dalam tesisnya mengenai etik
Protestantisme mengikuti pandangan Weber ketika ia berpandangan bahwa etik
Protestantisme-lah yang bertanggung-jawab terhadap kebangkitan kapitalisme di Eropa,
pada awal perkembangnnya. Dari tesis Weber tersebut, maka idealismeHegel masih tetap
dianut, sehingga timbul pandangan bahwa teologi itu bisa menimbulkan dampak perubahan
dan transformasi sosial.
Perdebatan tentang kontroversi antara ilmu-ilmu sosial dan teologi dalam kaitannya
dengan transformasi sosial pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1986, antara antropolog
Muslim Abdurrahman dan sejarawan Kuntowidjojo, dalam forum “Seminar Teologi
Pembangunan” yang diselenggarakan oleh Pengurus Nahdhatul Ulama (NU) di Kaliurang,
Yogyakarta. Dalam perbincangan itu Muslim Abdurrahman mengajukan suatu gagasan
mengenai “teologi transformatif’, yaitu teologi yang membahas tentang transformasi sosial,
khususnya dalam pemberantasan kemiskinan.
Gagasan itu ditolak oleh Kuntowidjojo, atas dasar alasan bahwa “teologi” itu adalah
istilah Kristen yang tidak ada padanannya dalam ilmu-ilmu keagamaan tradisional
Islam.Karena yang dikenal dalam Islam adalah ilmu kalam atau ushuluddin, yaitu ilmu
tentang dasar-dasar kepercayaan, khususnya ketuhanan, yang terpisah dari masalah
kemasyarakatan. Atas dasar itu maka Kuntowidjojo berpendapat bahwa yang dibutuhkan
dewasa ini oleh umat Islam adalah “ilmu-ilmu sosial transformatif” yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut olehnya menjadi “ilmu-ilmu sosial prophetik”.
Sebenarnya Muslim Abdurrahman pernah mengadvokasikan “ilmu-ilmu sosial
transformatif”, bahkan ia pernah menerbitkan bulletin mengenai itu. Tetapisebagai seorang
sarjana ilmu-ilmu sosial yang berlatar-belakang pesantren dan IAINdan kemudian aktif di
Muhammadiyah, Muslim Abdurrahman mencari dasar-dasar Qur’aninya dan menemukan
suratal Ma’un, mengikuti K.H. Ahmad Dahlan. Dari gagasan Muslim Abdurrahman itu timbul
gagasan mengenai “teologi al Ma’un” atau “teologi sosial”, yaitu semacam teologi Kristen
“Doktrin Sosial Gereja Katholik” atau wacana yang ditulis dalam buku yang ditulis oleh
Michael Zweig “Religion and Social Justice” (1991), yang juga menulis mengenai Socialisme
Religious itu.
Pemikiran Kuntowidjojo itu memang bertolak belakang dari segi epistemologi
dengan pemikiran Muslim Abdurrahman yang sejalan dengan gagasan “Islamisasi
Pengetahuan”, yaitu epistemologi yang ingin mencari dasar-dasar keagamaan terhadapilmu-
ilmu sosial. Tapi sebaliknya Kuntowidjojo punya gagasan yang bertolak-belakang, yaitu
mengenai “saintifikasi Islam”, yaitu membahas ajaran-ajaran Islam dengan teori ilmu-ilmu
sosial.Konsekuensi pemikiran Muslim Abdurrahman adalah pengembangan epistemologi
Islam sebagai dasar pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan umum.Sedangkan konsekuensi
gagasan Kuntowidjojo adalah memakai epistimologi Barat modern untuk mengembangkan
pemikiran Islam.
Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013
3 | P a g e
Persepsi Kuntowidjojo mengenai teologi (Kristen) memang benar, karena teologi
Kristen bukanlah semata-mata ilmu ketuhanan atau dasar-dasar kepercayaan. Dengan
perkataan lain adalah teologi membahas konsekuensi sosial dari kepercayaan agama (social
consequence of religion). Namun persepsi Kuntowidjojo bahwa ilmu kalam itu hanya
membahas masalah-masalah ketuhanan, adalah keliru.
Sejarah lahirnya ilmu kalam diawali dengan masalah-masalah politik, yaitu gerakan
kelompok Arab Badui melawan Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib, yang kemudian
melahirkan partai Syi’ah yang disamping merupakan partai politik, juga merupakan gerakan
pemikiran untuk mengembangkan teologi Ali bin Abi Thalib yang terekam dalam kodifikasi
“hadist” Ali yang sekarang diterbitkan dengan judul “Najhul Balaghgah”. Teologi Syi’ah itu
tidak hanya membahas masalah-masalah keagamaan, tetapi juga masalah-masalah sosial
dan politik.Di masa Abad Pertengahan melahirkan pemikiran filsuf Mulla Sadra yang terus
dikembangkan hingga sekarang.Dan di masa modern, melahirkan pemikiran Murthado
Mutahhari mengenai sejarah, masyarakat dan peradaban.Di bidang ekonomi melahirkan
pemikiran Muhammad Baqir Sard dalam bukunya yang menjadi rujukan ilmu Ekonomi Islam
“Iqtishaduna” (2008) atau “Ekonomi Kita”.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah pemikiran Islam mengenai
teologi, walaupun baru diperkenalkan kemudian oleh Muslim Abdurrahman pada tahun
1986.Teologi disini dimaksudkan sebagai ilmu mengenai konsekuensi sosial dari ajaran
agama.Dasarnya terkandung dalam al Qur’an sendiri, yaitu: “Akan terjadi kehinanaan di
manapun manusia berada kecuali mereka yang merawat hubungan antara manusia dengan
Tuhan (hablun minallah” dan hubungan di antara manusia sendiri (habun minannaas)’
(Q.s.Ali Imron (3): 112). Dalam Kristen Katholik dikenal “Ajaran Sosial Gereja” yang
dipelopori oleh Paus Leo ke III dan dikembangkan kemudian oleh geraja Katholik AS.
Dalam kata pengantarnya terhadap buku “Religion and Social Justice”, Zweig
menceritakan pengalamannya berkenaan dengan teologi pembebasan. Ia
mengatakan,dalam persepsinya ketika ia mengalami masa remaja di AS sebelum tahun 1960
bahwa dalam lingkungan masyarakat industri di Detroit, AS, Gereja Katholik adalah suatu
lembaga yang respresif yang mengekang kebebasan berfikir dan gagasan-gagasaan
reaksioner, konservatif dan tidak peduli terhadap kemiskinan. Itulah sebabnya ia kemudian
mempelajari Maxisme dan Sosialisme, sehingga menjadi pengajar Ekonomi Sosialis. Namun
pandangannya berubah ketika ia mendapat kunjungan seorang Rohaniawan Katholik pada
State University of New York, di Sony Brook, Michael Quinn yang berperan sebagai seorang
pejuang perdamaian yang menentang agresi AS di Asia Tenggara.
Ia kemudian melihat juga gerakan Gereja Kristen Protestan Hitam (Black Protestant
Christian Church) yang memperjuangan hak-hak sipil dan diskriminasi rasial Sebagai seorang
Sosialis perhatiannya terarah pada masalah-masalah ketidak-adilan dan degradasi manusia,
pengangguran, rasisme, penindasan atas perempuan, kemubaziran hidup akibat penyakit
dan pengabaian kemiskinan(ignorance of poverty). Dari pengalaman itu ia tertarik pada
teologi pembebasan (Liberation Theology) yang dikembangkan oleh Gustavo Guiterrezdi
Amerika Latin. Ia tertarik dengan teologi itu, tentunya disebabkan oleh suatu gejala yang
mengejutkan, yaitu bagaimana suatu teologi Katholik dikembangkan berdasarkan analisis
Maxis. Dalam persepsinya Teologi Pembebasan adalah “sebuah interpretasi religious
sebagai panggilan untuk melakukan aksi sosial kearah tujuan untuk mencapai keadilan
sosial”.
Bagi Zweig, Teologi Pembebasan Amarika Latin, bukan satu-satunya teologi
pembebasan, karena terdapat berbagai versi teologi pembebasan itu. Misalnya, di
Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013
4 | P a g e
lingkungan Islam telah ditulis buku mengenai Teologi Pembebasan Islam, sebagaimana
dikembangkan oleh Shabair Akhatar “The Final Imperative of Islamic Theology of Liberation”
(1991) dan oleh SyedAsghar Ali Engeeneir“Islam dan teologi Pembebasan” (1999) dari judul
aslinya “Islam and the Liberation Theology: : Essay on Liberative Element in Islam”. Tetapi
pemaduan antara Islam dan komunisme pernah terjadi pada Syarikat Ialam pada tahun
1919, ketika Haji Misbah, seorang pedagang Muslim dari Solo yang menjadi pimpinan
Sarekat Islam mengembangkan wacana melalui penerbitan koran yang mempropagandakan
bahwa Komunis terkandung di dalam ajaran Ialam, sehingga sebagai Muslim ia merasa yakin
untuk melakukan gerakan komunis di lingkungan gerakan politik Sarekat Islam. Haji Misbach
bahkan dapat disebut sebagai cikal bakal SI-Merah yang berkembang menjadi “Partai
Komunis Hindia Belanda” tahun 1923.
Tapi dengan kajian yang lebih mendalam tentang Islam maupun Sosialisme,
khususnya Sosial-Demokrasi dan sejarah Nabi saw, pemimpin Sarekat Islam HOS
Tjokroaminoto menulis buku yang terkenal “Islam dan Sosialisme” (1924). Para pemimpin
komunis terkemuka, sepetri Semaun, Alimin, Darsono dan Musso, pada mulanya adalah
para pemimpin Sarekat Islam.Mereka memilih Komunisme daripada Islam, karena melihat
Komunisme memberikan pedoman ideologi maupun politik yang lebih kongkritdalam
melakukan gerakan politik untuk melakukan transformasi sosial.TapI tulisan-tulisan Haji
Misbach lebih merupakan pamphlet politik.Dan buku Tjokroaminoto adalah sebuah karya
ilmu sosial dan bukan teologi.Mungkin karena itulah maka buku Tjokroaminoto kurang
mampu memberikan efek “calling” sebagaimana Teologi Pembebasan.Bahkan ahli ilmu
politik muda Denny J.A. yang menganjurkan sekularisasi, justru menganjurkan agar
pemikiran sekularisme ditulis dengan pendekatan teologi, sehingga memperoleh legitimasi
keagamaan.
Teologi adalah suatu ilmu,-teo adalah Tuhan dan logos adalam ilmu” sehingga arti
harfiyahnya adalah “ilmu atau filsafat Ketuhanan”, yang bertolak atau bersumber dari ajaran
agama atau Ketuhanan. Karena itu pemikir muda Muslim seperti Muslim Abdurrahman,
berusaha mencari dasar-dasar keagamaannya mengenai ilmu-ilmu sosial transformatif. Dan
sebagai kader Muhammadiyah, ia menemukan apa yang ditemukan oleh K.H. Ahmad
Dahlan, yaitu surat al Ma’un.
Dalam surat al Ma’un pengabaian terhadap kemiskinan (ignorance of poverty) dan
tiadanya jaminan sosial (yatim) itu disebut sebagai “pendustaan terhadap agama”. Ayat
inilah yang menarik perhatian K.H. Ahmad Dahlan dan Muslim Abdurrahman.Pada awal
abad 20, telah terjadi kebangkitan ekonomi di kalangan saudagar Muslim yang kemudian
diorganisir oleh Haji Samanhudi di Solo. Tapi K.H. Ahmad Dahlan mengingatkan tanggung-
jawab sosial kaum saudagar Muslim itu dan kemudian membentuk lembaga amil zakat yang
masih lestari hingga sekarang.
Tapi dalam perkembangannya, Muhammadiyah lebih tertarik untuk
mengembangkan gagasan tauhid Wahabiyah dan modernisasi pendidikan Muhammad
Abduh dan mengabaikan program pemberantasan kemiskinan, walaupun mendirikan panti-
panti asuhan yatim-piatu yang juga masih menjadi model gerakan sosial Islam hingga
sekarang.Karena itu maka Muhammadiyah sebenarnya melakukan ignorance of poverty dan
gagasan inilah yang dikembangkan oleh Haji Misbach.
Namun perhatian terhadap masalah kemiskinan, walaupun diekspresikan dalam
bentuk positif, yaitu program pembangunan, dilakukan oleh Sjafruddin Prawiranegara yang
dituliskannya dalam sebuah pamphlet “Al Aqabah”. Pamflet ini sebenarnya sangat penting
dan mendasar, karena ia adalah teknokrat yang paling awal (Tahun 1966) menulis hakekat
Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013
5 | P a g e
dari ekonomi syariat sebagai “legal economics” yang bertolak dari Q.S. Saba’ (34): 15
mengenai negari Saba’ yang makmur karena sistem irigasinya yang diinterpretasikannya
sebagai perlambang sistem hukum. Tapi secara substansial ia bertolak dari surat al-Balad,
yang sebagai tafsir pernah ditulis oleh Anwar Harjono,Dalam hal ini ia tertarik pada surat al
Balad ayat 10-17 yang dapat diterjemahkan sebagai berikut:
PENDAKIAN TINGGI (GREAT ASCEND).
Dan Kami tunjukkan kepadanya, dua jalan yang terang
Tetapi ia tidak berusaha untuk mendaki jalan naik
Dan apakah yang membuat engkau tahu?
Apakah jalan naik itu?
Yaitu memerdekakan budak belian
Atau memberi makan pada hari kelaparan
Kepada anak yatim yang ada pertalian keluarga,
Atau orang miskin yang berbaring di debu
Lalu ia adalah golongan orang yang beriman
Dan saling menasehati, supaya bersabar
Dan saling menasehati,
Supaya berbelas kasih.
Dalam surat itu Allah mengemukakan dua jalan. Jalan pertama adalah mereka yang
menghambur-hamburkan harta benda yang tidak memberikan manfaat terhadap
pemberantasan kemiskinan.Dan yang kedua, disebut “pendakian tinggi” atau Al Aqobah
yang diterjemahkan oleh Sjafruddin Prawiranegara dengan istilah ahli sejarah ekonomi AS
terkemukan Robert Heilbrouner, yaitu “the great ascend”.
Dalam penafsiran Sjafruddin Prawiranegara, pendakian tinggi itu adalah
pembangunan ekonomi yang didasarkan pada hukum (legal economics). Ekonomi legal itu
sebenarnya dirumuskan pasca Perang Dunia II di Jerman ke dalam konsep yang hingga
sekarang terkenal dengan sebutan “social market economy” yang sukses`dilaksanakan di
Jerman. Dalam teori ekonomi terhadap empat aliran utama. Pertama aliran individual
(individual economics) yang berpandangan bahwa penggerakan ekonomi adalah para
individu.Kedua adalah aliran social (social economy) yang berpandangan bahwa
penggerakan ekonomi adalah kelompok. Ketiga ekonomi kelembagaan (institutional
economics) yang berpandangan bahwa penggerak ekonomi adalah lembaga.Dan keempat
adalah ekonomi syariat (legal economics) yang menggerakkan ekonomi dengan hukum
Islam.
Surat al-Balad ini juga dikutip oleh Akhtar dengan interpretasi yang menarik.
Pertama ia berpandapat bahwa langkah hijrah pada tahun 922, yang kemudian ditetapkan
oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai kalender baru Islam, pada hakekatnya adalah
sebuah langkah pembebasan (liberasi), sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi Musa
as.Kedua, zaman Mekah dianggapnya sebagai zaman perbudakan, sedangkan zaman
Madinah adalah zaman pembebasan, sebab itu sejak berdirinya Negara Madinah, maka
proses pembebasan dimulai, pertama-tama dengan membangun kedaulatan bersama. Izin
berperang yang dikeluarkan setalah umat islam mengalami agresi besar-esaran oleh rezim
Mekah yang pada waktu itu dipimpin oleh Abu Sofyan yang masih kafir, harus dipahami
sebagai politik menegakkan kedaulatan yang ternyata merupakan kunci keberhasilan Risalah
Islam yang dipimpin oleh Muhammad saw.
Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013
6 | P a g e
Pada waktu Muhammad masih tinggal di Mekah pada masa awal kenabiannya, ia
pernah ditawari kekuasaan pemimpin kota Mekah dan diberikan kekayaan yang ia
kehandaki, asalkan ia bersedia meninggalkan misi yang terkandung dalam wahyu-wahyu
yang diterimanya dari Allah. Tawaran itu ditolak oleh Muhammad, karena bukan itu tujuan
misi kenabiannya. Peristiwa itu mirip dengan kisah Yesus yang juga ditawari kekuasaan dan
kekayaan oleh setan asal ia mau tunduk kepada kehendak setan . Ayat ini surat Matheus
(48-49) itu dijadikan kutipan motodalam bab awal yang ditulis dalam bukunya. Sikap Yesus
itulah yang menjadi titik tolak dalam teologi pembebasan melawan kemiskinan dan
kapitalisme.
Dalam konteks kontemporer Indonesia, istilah “menghambur-hamburkan harta” itu
adalah ibarat bantuan sosial sebesar Rp 81 triliun, tetapi hanya dengantujuan pencitraan
bahkan “pemeliharaan” kondisi kemiskinan, karena bantuan itu membuat rakyat manja dan
bergantung kepada bantuan Pemerintah. Pencitraan itu dilakukan dengan mengemukakan
menurunnnya angka penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan karena mendapat
Bantuan Langsung Tunai Sementara (BLTS) yang dipelesetkan rakyat menjadi “balsam” itu.
Tetapi akar kemiskinan itu sendiri tidak terberantas. Padahal yang dikenedaki adalah,
pembebasan masyarakat dari perbudakan dan pengangkatan masyarakat dari kemiskinan
absolute yang disebut al qur’an sebagai “pendakian tinggi” dan ditafsirkan oleh Sjafruddin
Prawiranegara dalam pembangunan berdasarkan hukum atau syariat.
Isi surat al Balad yang istilah ‘al aqobah” dijadikan titik tolak konsep pembangunan
Indonesianya oleh Sjafruddin Prawiranegara, pada hakekatnya adalah sebuah doktrin
pembebasan, yaitu pembebasan dari perbudakan (fakku raqabah) dan mengangkat orang
yang “terbaring di debu” yang intinya adalah pemberantasan kemiskinan. Memang, dalam
pamphlet itu, Sjafruddin Prawiranegara tidak menyabut istilah pembebasan, tetapi intinya
adalah liberalisasi ekonomi yang harusditetapkan dan diatur melalui UU dan peraturan.
Karena itu secara implisit ia sebenarnya berbicara mengenai syariat Islam sebagai legal
economics. Pendekatan legalnya dalam pembangunan ekonomi ditulisnya dalam pamflet
“Membangun Kembali Ekonomi Indonesia” (1966), yang ditulis sebelum paket
Kebijaksanaan 3 Oktober 1967 yang intinya adalah liberalisasi ekonomi, yang nyaris
bertentangan pendekatannya dengan pandangan Syafruddin Prawiranegara. Padahal TAP
MPRS No.XXII/1966 dari segi pendekatan sejalan dengan pemikirannya.
Dalam konsep Sjafruddin Prawiranegara mengenai pembangunan ekonomi
Indonesia.Secara hukum mengandung tiga tujuan.Pertama, menjamin keselamatan harta
dan jiwa.Kedua, menjamin keadilan hukum da keadilan jiwa. Dan ketiga, mempertinggi
kesejahteraan rakyat lahir maupun batin. Tapi Peraturan 3 Oktober, 199 yang merupakan
paket liberalisasi ekonoi itu telah menimbulkan dampak, pertama hancurnya ekonomi
rakyat. Kedua, kesenjangan antara golongan ekonomi kuat, khususnya modal asing dan
lemah.Dan ketiga menimbulkan marginalisasi tenaga kerja dan kemiskinan yang memuncak
pada pertengahan dasawarsa ’70-an.
Teologi pembebasan sebagaimana ditulis oleh Guiterrez, berbeda dengan
pendekatan syariat dan lebih sejalan dengan pendekatan kalam atau tasauf Islam. Teologi
ini bersendikan dua praxis. Pertama adalah “diam dihadapan Allah” dimana manusia
berhadapan dan merasakan kehadiran Allah yang menimbulkan kontemplasi mengenai aksi
manusia dalam sejarah dan kehidupan. Dalam praxis kontemplasi dan aksi itu maka manusia
menemukan “misteri Allah”. Interpretasi ini mengingatkan kita kepada suatu ayat dalam al
qur’an yang mengatakan bahwa barangsiapa ingin berjumpa dengan Allah, hendaklah ia
melakukan amal saleh (Q.s. Al-Kahfi (18): 110). Kedua adalah “diam dalam aksi” yang
Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013
7 | P a g e
artinya keterlibatan diri dalam kehidupan bersama-sama dengan orang lain sesuai dengan
kehendak Allah.
Dalam konteks Amerika Latin, keterlibatan itu menyatu dalam solidaritas bersama
kaum miskin dan tertindas dalam memperjuangkan pembebasan.Keterlibatan itu
merupakan tindakan politis yaitu perjuangan dalam mewujudkan kondisi masyarakat yang
adil melalui transformasi tatanan sosial yng tidak adil.Dalam konteks sekarang, teologi
pembebasan itu dalam al Qur’an disebut sebagai “jihad fi sabilillah’ melalui aksi “amar
makruf nahi munkar” yang hakekat maknanya adalah transformasi sosial.
Kaitan antara gerakan pembebasan dalam Teologi Pembebasan, dengan doktrin
amar makruf nahi munkar atau jihad fi sabilillah. Nampak pada interpretasi sejarawan sosial
Kuntowidjojo terhadap surat Ali Imran ayat 110. Ayat itu sebenarnya merupakan suatu
konsep mengenai “masyarakat utama” (al khairu al ummah). Ciri atau sendi masyarakat
utama ada tiga.Pertama, adalah amar makruf yang diinterpretasikan oleh Kuntowidjojo
sebagai “humanisasi”. Kedua adalah nahi munkar, atau, liberasi atau pembebasan
(liberation). Dan ketika adalah iman kepada Allah, yang dalam ayat lain diekspresikan
sebagai “jihad fi sabiliiah”yang oleh Kuntowidjojo diinterpretasikan dalam filsafat sosial
sebagai sebagai “transendens”.
Sebenarnya pandangan Kuntowidjojo yang memakai pendekatan filsafat dan teori
sosial itu sejalan dengan Teologi Pembebasan.Di satu pihak, Teologi Pembebasan Amerika
Latin didasarkan pada pendekatan teologi Katholik dalaminterpretasi baru.Tapi di lain pihak
Teologi Pembebasan juga memakai pendekatan ilmiah, atau lebih spesifik, “Sosialisme
Ilmiah” atau Marxisme. Sementara itu Kuntowidjoyo bertolak dari konsep masyarakat al
Qur’an, tetapi ditafsirkan secara ilmiah sejalan dengan pandangannya mengenai “saintifikasi
Islam” yang ia maksudkan sebagai alternatif terhadap pendekatan “Islamisasi Pengetahuan”.
Tapi dari segi epistemologi, keduanya memang bertolak belakang, walaupun menghasilkan
pemikiran yang sama.
Teologi pembebasan sendiri mengandung dua aspek.Pertama adalah aspek
spiritualisme yang dalam teori Marx tergolong ke dalam konsep “kesadaran”.Aspek kedua,
adalah aspek sosial, yaitu tentang pembebasan.Tetapi bedanya dengan Sosialisme ilmiah
Marxis adalah jika epistemologi Marxis adalah materialisme.Sementara itu epistemologi
Teologi Pembebasan adalah idealisme Hegel, dimana roh atau kesadaran manusia
menentukan kondisi. Perbedaannya dengan pendekatan ekonomi legal atau syariat adalah,
bahwa dalam ekonomi legal, kondisi dibentuk oleh hukum. Sedangkan dalam Teologi
Pembebasan, kesadaran manusia dalam praxis ketuhanan, menggerakkan masyarakat
menciptakan transformasi, yaitu pembebasan manusia dari kondisi perbudakan dan
kemiskinan.
Dalam pandangan Asghar Ali, konsep pembebasan mengandung empat elemen.
Pertama adalah menantang status-quo dan menghendaki perubahan sosial yang
mendasar.Kedua, menantang kemapanan (establishment) dalam tatatan
kemasyarakatan.Ketiga adalah pembelaan dan pemihakan terhadap golonganyang
tertindas. Dan keempat, prinsip menentukan nasib sendiri. Tapi menurut Asghar Ali, Teologi
Pembebasan Islam merupakan tawar menawar antara takdir dan kebebasan menentukan
nasibnya sendiri, sebagaimana tercermin dalam Q.s. Ar-Ra’d (13): 11, “Allah tidak merubah
nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah apa yang terdapat dalam kaum itu sendiri”.
Takdir adalah konsep mengenai hukum Allah yang berlaku dalam alam material, masyarakat
dan sejarah. Tapi sebagaimana dikatakan oleh filsuf Muslim Pakistan, Mohammad Iqbal
yang dirujuk oleh Asghar Ali itu, manusia memiliki posisi tawar menawar dengan Tuhan.
Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013
8 | P a g e
Dalam Teologi Pembebasan Amerika latin, unsur tawar menawar itu sebenarnya juga ada,
yaitu dalam sikap “diam di hadapan Tuhan” yang artinya mengakui kuasa Tuhan, Teologi
Pembebasan juga mengadung elemen praxis, yaitu melakukan gerakan pembebasan oleh
masyarakat miskin. Pemikiran Sjafruddin Prawiranegara, Muslim Abdurrahman dan
Kuntowidjojo juga mengandung aspek “menentukan nasib sendiri” itu, yaitu melakukan
transformasi sosial. Dalam konsep Kuntowidjo, berbeda dengan sosiologi Klasik yang
mengarah kepada perubahan sosial, khususnya industrialisasi dan urbanisasi yang terkesan
netral nilai itu, perubahan itu mengarah kepada humanisasi, liberasi atau pembebasan dan
trandsandensi atau dalam konsep Asghar Ali, mengkaitkan kehidupan dunia dengan
kehidupan akhirat atau sebaliknya, yaitu di satu pihak kehidupan di dunia itu orientasi
kepada kehidupan akhirat dan di lain pihak kehidupan di akhirat itu ditentukan oleh
kehidupan di dunia, kehidupan akhirat adalah hasil dari kehidupan di dunia. Sosiologi
Islam sangat dikenal dengan penentangannya terhadap prinsip “bebas nilai” (value free)
yang mula-mula diperkenalkan oleh Max Weber dalam penelitian sosial sesuai dengan
paham positivisme ilmu-ilmu sosial. Kedua, penentangannya terhadap epistemologi
materialis Marxis, yaitu prinsip “bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan,
melainkan sebaliknya, keadaanlah yang menentukan kesadaran. Ketiga penentangannya
terhadap pandangan individualisme.
Masalah prinsip bebas nilai Weberian telah menimbulkan banyak kesalah-pahaman
yang luas. Sebenarnya, yang dimaksuskan dengan bebas nilai itu adalah dalam kaitannya
dengan metode penelitian yang tidak berpedoman pada nilai yang dianut oleh peneliti,
tetapi harus berdasarkan fakta dalam positivisme August Comte. Weber sendiri, dalam
penelitiannya juga tidak bebas nilai, sehingga timbul penilaiannya yang prejudis terhadap
Islam sehingga menimbulkan kesalahan persepsi yang mendasar, sebagaimana dikemukakan
dan dikritik oleh muridnya sendiri, Bryan Turner. Demikian pula biasnya terhadap
protestanisme yang mampu mendorong perubahan sosial, dengan mengabaikan
Katholikisme. Namun kesimpulannya mengenaipentingnya peranan agama dalam
perubahan sosial tetap valid, baik dalam teori maupun realita. Prinsip bebas nilai dalam
penelitian sosial itupun telah dibantah oleh Gunnar Myrdal, ekonom besar Swedia. Bagi
Myrdal, tidak seorang penelitipun yang mampu membebaskan diri dari bias nilai. Mereka
hanya menyembunyikan nilai. Karena itu dalam bukunya “Objectivity in Social Research”
(1988) yang menganjurkan eksplitisasi nilai dalam suatu penelitian. Hal inilah yang dianut
dan dipraktekkan oleh para peneliti sosial Muslim.
Dalam epistemologi, tesis Hegel yang dibantah dan dijungkir-balikkan Marx itu,
hingga kini tidak terbantahkan dan dianut luas di kalangan ahli-ahli ilmu sosial di seluruh
dunia. Bahkan epistemologi Marx itu oleh Karl Poper dinilai sebagai paham “determinisme
historis” yang menimbulkan sikap otoriter dan gerakan radikal.Bahkan Ilmuwan sosial yang
berpijak pada peranan kesadaran individual dalam pembentukan kondisi. Bahkan Marx
sendiri juga menganut peranan seorang pemimpin dan intelektual. Secara lebih mendasar,
pentingnya peranan kesadaran itu telah ditulis oleh seorang Marxis sendiri, yaitu Antonia
Gramnch, pendiri Partai Komunis Eropa yang menekankan pentingnya ideologi, baik dalam
mempertahankan hegemoni maupun dalam perubahan sosial yang transformatif. Sjafruddin
Prawiranegara juga menulis pamphlet mengenai peranan agama dalam pembangunan.
Pandangan individualismesejak awal sudah ditentang oleh pandangan sosial yang
disebut sosialisme atau kolektivisme.Islam sendiri sebenarnya menganggap penting peranan
individu dalam konsep etika al akhlaq al karimah (budipekerti mulia), terutama dalam
menciptakan keselamatan hidup. Namun Islam menganggap penting terhadap nilai
Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013
9 | P a g e
persaudaraan (ukhuwah) dan solidaritas yang melahirkan prinsipkerja sama dalam kebaikan,
berdampingan dengan prinsip “berloma-lomba dalam kebaikan”.
Al Qur’’an, banyak mengemukakan nilai-nilai kemasyarakatan yang dijadikan acuan
dalam penelitian sosiologi maupun ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Misalnya saja prinsip
amanah, atau tanggung-jawab sosial, musyawarah dalam pemecahan masalah sosial,
ukhuwah, atau kerjasama dalam kebaikan, ta’aruf, yaitu saling belajar dan memahami
pandangan orang lain dan kelompok lain. Al adl, atau keadilan dalam hukum dan
kesejahteraan sosial, al mizan, atau keseimbangan dalam menilai sesuatu dan washatan,
yaitu sikap moderasi dalam menghadapi ekstremitas sikap dan pandangan.Dan dalam
kaitannya dengan perubahan dan transformasi sosial, Islam mengemukakan prinsip amar
makruf nahi munkar dan jihad fi sabilillah.
Sosiologi sebagai ilmu mengenai masyarakat berfungsi menyelidiki, di satupihak,
kemungkinan penerapan nilai-nilai Qur’ani itu dalam pembentukan masyarakat utama (al
khair al ummah). Di lain pihak menyelidiki batasan atau kendala sosial (social constraint)
dalam realisasi nilai-nilai kemasyarakatan dalam islam.Namun kesemuanya itu dilakukan
secara obyektif dalam arti menemukan fakta-fakta sosial.Dengan demikian, maka sosiologi
Islam tidak bertentangan dengan positivisme, walaupun tidak sepenuhnya menyetujui.
Beberapa ayat al qur’an yang bisa`dijadikan dasar pembangunan sosiologi Islam
adalah, Pertama ayat yang mengatakan “Allah tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali
kaum itu mengubah apa-apa (factor penentu) yang terdapat dalam kaum itu sendiri” (Q.s.
Ar-Ra’d (13): 11. Kedua, ayat yang mengatakan “manusia akan mengalami kehinaan dimana
saja kecuali yang memelihara hubungan manusia dengan Tuhan dan antara sesama manusia
sendiri” (Q.s. Ali Imron (3): 112). Ketiga, ayat yang mengatakan “Telah timbul kerusakan di
darat dan di laut akibat ulah manusia” (Q.s. Ar-Rum (31): 41). Keempat, “berpegang
teguhlah kepada tali Allah dan janganlah berpecah belah” (Q.s. Ali Imron (3): 103). Kelima
“Hendaklah ada di antara kaum yang membentuk suatu umat, yang mengacu kepada nilai-
nilai keutamaan, menciptakan kebaikan dan mencegah keburukan. Dengan demikian engkau
akan mencapai kebahagiaan” (Q.s. Ali Imron (3): 104) ayat ini berkaitan dengan ayat lain
yang mengatakan “Engkau adalah sebaik-baik umat, karena menciptakan kebaikan dan
mencegah keburukan dan beriman kepada Allah” (Q.s. Ali Imron (3): 110). Keenam, ayat
yang memerintahkan “Bekerjasamalah dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah
bersekongkol dalam kejahatan” (Q.s. Al-Maidah (5): 2). Ketujuh, ayat yang mengatakan
”Telah kuciptakan kaum yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, agar kaum saling memahami. Sesungguhnya yang terbaik di antara kaum
adalah yang paling bertaqwa” (Q.s. Al-Hujarat (49): 13). Ke delapan, adalah ayat-ayat dalam
keseluruhan surat al Ma’un. Ke delapan surat al Balad, khususnya ajat (10-17). Ke sembilan,
ayat yang mengatakan “Bukanlah kebajikan itu menghadapkan wajahmu ke timur atau ke
barat. Tetapi kebajikan adalah ……..” (Q.s. Al-Baqarah (2): 177). Ke sepuluh adalah ayat yang
melukiskantentang Ibadurrahman. Ke sepuluh ayat-ayat sosilogis itu terangkum dalam visi
Islam yang terkandung dalam ayat “Sesungguhnya tidak aku mengurusmu (Muhammad),
kecuali menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Sumber nilai sosiologi Islam tentangnya adalah al Qur’an dan Sunnah. Tetapi Ahmad
Wahid dalam pandangannya mengenai sumber ajaran islam adalah Sejarah Muhammad. Al
Qur’an dan Sunnah dalam pandangan Ahmad Wahib adalah merupakan bagian dari Sejarah
Muhammad.Pandangan ini relevan untuk dipertimbangkan dalam pengembangan sosiologi
Islam.Sejarah Muhammad adalah sejarah transformasi masyarakat, sehingga karena itu
Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013
10 | P a g e
maka penelitian sosiologi dan ilmu-ilmu sosial Islam pada umumnya, perlu pula mengacu
kepada Sejarah Muhamad dan transformasi social yang dibawanya.
Dalam penelitian ilmu politik umpamanya, terkandung dua pendapat. Pertama
mengembangkan teori-teori politik dari al qur’an dan al sunnah sebagai penjelasannya. Tapi
kedua, sebagaimana telah dilakukan akhir-akhir ini adalah dengan meneliti Sejarah
Muhammad dan para sahabatnya.Dalam pendekatan kedua itu, telah dilakukan pengkajian
historis mengenai terbentuknya dan perkembangan Negara Madinah. Dalam penelitian
sosiologis, dapat dilakukan penelitian yang serupa, yaitu dengan meneliti proses
terbentuknya masyarakat islam, baik di masa Rasulullah, Khilafah Rashidah maupun
generasi salaf. Dengan dua pendekatan itu, maka akannampak kesenjangan antara idealita
dan realita. Misalnya al Qur’an memerintahkan persatuan. Kenyataan yang terjadi dalam
sejarah adalah perpecahan yang bersumber dari apa yang disebut sebagai al fitnah al kubra
atau kekacauan besar.
Dengan demikian, maka sosiologi Islam mengandung dua pendekatan. Pertama
pendekatan normatif dengan menggali ajaran al qur’an dan sunnah. Kedua, pendekatan
positif, dengan meneliti realitas masyarakat dan perkembangnnya sebagai dampak dari
ajaran Islam. Dalam perspektif sosiologi tranformatif, akan nampak pula diskrepensi antara
nilai-nilai yang terkandung dalam al qur’an dan kenyataan sejarah. Dalam pembahasan
perbudakan umpamanya, telah terjadi proses pembebasan melalui berbagai cara. Namun
yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa dalam perkembangan masyarakat islam hingga
masa modern, perbudakan dalam berbagai bentuknya masih juga ada. Demikian pula al
Qur’an mengajarkan pemberantasan kemiskinan, namun dalam kenyataannya, hingga kini
masyarakat Islam pada dasarnya adalah masyarakat yang miskin dan terkebelakang.
Konsekuensi dari pendekatan positivisme itu ialah, bahwa sosiologi Islam dimulai
dengan mempelajari kondisi dan perubahan transformatif masyarakat Arab dari masa
sebelum ke sesudah turunnya wahyu Allah menjadi masyarakat Islam. Masyarakat Arab pra
Islam disebut dalam al Qur’an dan Sunnah sebagai masyarakat jahiliyah (the society of
ignorance). Sedangkan masyarakat Islam yang dimaksud adalah masyarakat yang perilaku
warganya selamat dan menyelamatkan, sehingga terbentuk kedamaian berdasarkan
keadilan dan sejahtera. Masyarakat Islam dengan demikian adalah masyarakat yang peduli
terhadap kondisi diri dan lingkungannya. Transformasi lain yang disebut dalam al Qur’an
adalah “minal dhulumati ila al nur” dari kegelapan menjadi pencerahan.
Dengan studi sosiologi diperoleh gambaran obyektif tentang masyarakat jahiliyah
dan kegelapan dengan beberapa ciri tertentu, misalnya yang paling terkenal adalah
masyarakat misogini, masyarakat yang anarkis yang penuh konflik dan perpecahan dan
masyarakat perbudakan yang miskin. Masyarakat gelap adalah masyarakat yang tanpa kabar
(al naba’) sehingga menimbulkan masyarakat yang tanpa peduli terhadap kondisi diri dan
lingkungannya. Masyarakat seperti itu terjadi karena setiap orang tidak menyadari
potensinya sebagai khalifah yang dianugerahi akal pikiran untuk “mengetahui gejala-
gejala”.Dengan demikian masyarakat yang tercerahkan adalah masyarakat yang sadar
lingkungan karena mempergunakan akalnya, sehingga menimbulkan kepedulian terhadap
kondisi diri dan lingkungannya.
Berdasarkan epistemologi Kuntowidjojo tentang “saintifikasi Islam”, dapat dilakukan
penelitian dengan mempergunakan teori Pencerahan filsuf Jerman Emmanuel Kant. tentang
tipologi masyarakat. Pertama adalah masyarakat barbarism, yaitu masyarakat yang tidak
mengakui negara atau otoritas kekuasaan, tidak mengenal hukum dan tanpa kebebasan,
karena kondisi homo-homini lupus Thomas Hobbes yang membentuk masyarakat Laviathan.
Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kamis, 3 Oktober 2013
11 | P a g e
Kedua adalah masyarakat anarkhisme, yaitu masyarakat yang menolak kekuasaan yang
memerintah dan tidak mengenal hukum, sehingga menimbulkan kebebasan mutlak. Ketiga
adalah masyarakat despotism yang mengenal dan tunduk kepada kekuasaan, tetapi tanpa
hukum, sehingga tidak ada kebebasan. Dan keempat adalah masyarakat yang mengakui
kekuasaan dan tunduk kepada hokum sehingga menimbulkan kebebasan atau perdamaian.
Masyarakat seperti itu disebut sebagai masyarakat republikanisme.
Di masa jahiliyah, masyarakat Mekah mengenal negara yang dikuasai oleh orang-orang
kaya pedagang yang disebut plutokrasi, tetapi sangat korup. Sementara itu masyarakat di
Yathrib sebelum disebut al Madinah al Munawarah, adalah masyarakat tanpa otoritas
kekuasaan sehingga yang terjadi adalah konflik dan peperangan. Dengan kepemimpinan
Nabi saw, dilakukan rekonsiliasi yang menghasilkan perdamaian. Atas dasar itu disepakati
oleh masyarakat yang multi-kultural itu, sebuah perjanjian atau piagam yang merupakan
lembaga hukum. Karena itu masyarakat Yathrib mulai mengenal hukum dan kemudian
mengakui kekuasaan yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw. Ciri utama masyarakat
sesudah Piagam Madinah adalah kebebasan beragama dan mengeluarkan pendapat melalui
proses musyawarah yang dimulai oleh Nabi saw dalam proses pembentukan Piagam
Madinah. Ciri lain dari masyarakat Madinah adalah pluralisme, yang mengakui hak-hak dan
kewajiban setiap kelompok suku, agama dan kepemimpinan. Dengan Piagam Madinah itu
Yatrib berubah dari masyarakat anarkis menjadi masyarakat republik yang tercerahkan,
sehingga dinamai oleh Nabi Muhammad saw sebagai al Madinah al Munawarah atau
Masyarakat Yang Tercerahkan.
Pendekatan sosiologi yang normatif dapat pula dilakukan yang mengacu kepada nilai-
nilai keutamaan (al kahir an ummah). Pertama adalah perubahan masyarakat yang jahiliyah
(ignorance) yang anarkhis, menjadi masyarakat yang amanah, yaitu peduli dan bertanggung-
jawab atas nasibnya sendiri. Kedua, terjadinya proses musyawarah (al syura) untuk
memecahkan masalah bersama. Ketiga, lahirnya hubungan antar manusia yang didasarkan
pada prinsip keadilan, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam pasal-pasal Piagam
Madinah. Keempat adalah masyarakat yang memiliki solidaritas dan bersaudara (al
ukhuwah) atau kerjasama, yang dimulai dengan kerja sama antara masyarakat pendatang
atau muhajirin dan masyarakat yang menolong atau anshar, demikian juga adalah kemitraan
dua orang yang dibentuk oleh nabi. Ke lima, adalah masyarakat yang saling memahami di
antara individu, kelompok suku dan agama atau proses ta’aruf yang dianjurkan dalam surat
al Hujurat (49): 13. Ke enam adalah masyarakat yang washatan atau moderasi di antara
perbedaan sikap dan pandangan yang ekstrem atau masyarakat yang berkeseimbangan (al
mizan), antara yang material dan spiritual. Dan ketujuh adalah masyarakat yang
transformatif yang melaksanakan amar makruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan
beriman kepada Allah (transendensi). Proses transformasi itu dilakukan berdasarkan
semangat jihad fi sabilillah dan usaha yang berbentuk al aqobah atau pendakian tinggi
sebagai proses pembebasan dari perbudakan dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan.
Kesemuanya itu memberi dorongan untuk mengembangkan sosiologi atau ikmu-ilmu
sosial transformatif, yang dimulai dengan wacana Teologi Pembebasan.Tapi dewasa ini,
yang berkembang dalam Perguruan Tinggi Islam lebih mengarah kepada sosiologi dan ilmu-
ilmu sosial transformatif, daripada teologi pembebasan. Dengan perkataan lain, yang lebih
berkembang adalah kajian Islam daripada pemikiran Islam.
Jakarta, 30 September 2013