kebebasan beragama di indonesia dalam perspektif...

124
KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Disusun Oleh: BAHRUL HAQ AL-AMIN NIM: 103033227813 PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H. / 2009 M.

Upload: leanh

Post on 05-Feb-2018

241 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun Oleh:

BAHRUL HAQ AL-AMIN

NIM: 103033227813

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H. / 2009 M.

Page 2: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO

SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun Oleh:

BAHRUL HAQ AL-AMIN

NIM: 103033227813

Dibawah Bimbingan

Pembimbing

A. Bakir Ihsan, M.Si.

NIP: 150326915

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H. / 2009 M.

Page 3: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO telah diujikan dalam

sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 6 Maret 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. S. Bustamin, S.E. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag. NIP: 150 289 320 NIP: 150 270 808

Anggota,

Dr. Nawiruddin, M.A. Dr. Syamsuri, M.A.

NIP: 150 317 965 NIP: 150 240 089

Page 4: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjna strata 1 di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 18 Februari 2009

Bahrul Haq Al-Amin

Page 5: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

ABSTRAK

Bahrul Haq Al-Amin

Kebebasan Beragama di Indonesia dalam Perspektif M. Dawam Rahardjo

Kebebasan beragama berarti kebebasan setiap warga negara untuk

memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk atas pilihan sendiri, dan

kebebasan – baik sendiri maupun bersama-sama, baik di tempat umum ataupun

tertutup – untuk menjalankan agama atau kepercayaannya, yang mana kebebasan

tersebut harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Kebebasan ini merupakan hak

asasi manusia yang paling mendasar. Hal ini terlihat dalam jaminan hak asasi

manusia internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1949

dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tahun 1966 PBB. Di

Indonesia, kebebasan beragama dijamin secara konstitusional oleh negara, seperti

tercantum dalam pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 dan pasal 29 UUD 1945, juga dalam

UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 tahun 2005

tentang Pengesahan atas Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik PBB.

Meskipun demikian, jaminan atas kebebasan beragama tersebut belum cukup untuk mencegah berbagai pelanggaran keebbasan beragama. Berbagai

pelanggaran tersebut muncul dalam berbagai bentuk, antara lain berupa pembatasan negara atas pengakuan status agama resmi, diskriminasi pelayanan

catatan sipil terhadap agama minoritas, pembatasan pendirian rumah ibadah, penyerangan bangunan dan fasilitas agama, serta kekerasan terhadap aliran-aliran

agama minoritas yang menyimpang.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimanakah konsep kebebasan

beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo. Melalui penelitian

kepustakaan, diketahui bahwa pemikiran M. Dawam Rahardjo cukup relevan

dalam membahas problem kebebasan beragama di Indonesia. M. Dawam

Rahardjo mengembalikan permasalahan tersebut ke dalam ranah falsafah negara

Indonesia, yaitu pancasila. Dalam pandangannya, pancasila nyata-nyata

disemangati oleh trilogi sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Sehingga,

menurutnya pancasila pada hakikatnya juga menjamin kebebasan beragama,

sebagaimana dicerminkan dalam trilogi tersebut.

Sebagai jalan keluar dari problem inkonsistensi penegakan jaminan negara

atas kebebasan beragama, maka M. Dawam Rahardjo mengusulkan agar disusun

sebuah undang-undang kebebasan beragama. Undang-undang ini dimaksudkan sebagai penegasan atas kebebasan beragama sebagai bagian integral dari hak sipil

setiap warga negara, dan juga penyadaran terhadap setiap warga negara akan hak-hak asasinya dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama.

Kebebasan beragama bukannya tanpa batasan. Justru, kebebasan beragama harus dibatasi, sepanjang melanggar hukum, mengganggu ketertiban umum,

membohongi publik, atau melakukan ritual asusila. Namun, hingga saat ini pemahaman atas definisi kebebasan beragama yang jelas seperti ini belum

kunjung dipahami dengan benar, akibatnya banyak pelanggaran masih terjadi.

Page 6: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan Penguasa Kerajaan Alam

Semesta. Tuhan Maha Esa yang darinya bertebaran segala kejadian agar mereka

semua berserah diri kepada-Nya. Salam semoga selalu tercurah untuk utusan-Nya,

Nabi Muhammad SAW. Penerus khazanah agama dari Adam hingga manusia

modern. Peletak nilai-nilai universal kebajikan bagi segala umat dan masa.

Wacana kebebasan beragama akhir-akhir ini menjadi pembicaraan penting

di Indonesia, terutama pasca reformasi 1998. Tergulingnya kekuasaan Orde Baru

menyebabkan banyak pihak berlomba-lomba menuntut hak masing-masing. Kali

ini, agama kembali mendapat tantangan agar tidak hanya memunculkan potensi

konfliknya, tetapi juga potensi perdamaiannya. Serangkaian kasus-kasus

pelanggaran kebebasan beragama disikapi secara beragam oleh berbagai pihak.

Sangat penting kiraya bila dilakukan usaha penjernihan atas masalah ini.

Demi melengkapi diskursus kebebasan beragama di Indonesia, maka

penulis memilih menghadirkan sosok dan pemikiran tokoh intelektual muslim

Indonesia, yakni M. Dawam Rahardjo. Tentu saja, proses pengkajian terhadap

pemikiran M. Dawam Rahardjo bukanlah hal yang mudah. Karenanya, penulis

merasa harus mengucapkan banyak terima kasih kepada banyak pihak.

Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. M. Amin

Nurdin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Terima kasih juga penulis sampaikan untuk Drs. Agus

Page 7: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Darmaji, M.Fils., selaku Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam, dan Dra. Wiwi

Siti Sajaroh, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam.

Ucapan terima kasih berikutnya penulis haturkan kepada Bapak A. Bakir

Ihsan, M.Si., selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan yang

sangat berarti terhadap terselesaikannya skripsi ini. Dan tanpa menyebut nama

satu per satu, penulis juga menghaturkan terima kasih yang sangat dalam terhadap

seluruh dosen dan jajaran pegawai di lingkungan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih juga saya persembahkan bagi kedua orang tua

penulis, ibunda Nani Nuryani, S.Ag, dan ayahanda Dudi Ahadiat, S.Ag. Beliau

telah rela sabar menunggu selesainya tugas akhir penulis di bangku kuliah ini.

Terima kasih dan hormat saya haturkan pula kepada keluarga besar Bapak Rumsi

Yahya dan Ibu Siti Zubaidah, S.pd. Selama tahun-tahun terakhir ini, mereka saya

anggap sebagai keluarga kedua penulis selama di perantauan. Penulis juga

menghaturkan persembahan kepada adinda tersayang, Rahmiana “Shelly”

Agustini, A.Md. Semoga mimpi-mimpi kita dapat segera tercapai bersama.

Kesabaran dan keceriaannya selalu menjadi pendorong semangat penulis. Salam

sayang penulis sampaikan untuk adik-adikku yang tercinta; Ismail Muhammad

Syahid, bersabarlah dalam menuntut ilmu; Farid Waliyuddin Rusydi, semoga

prestasimu terus berlanjut; Neng Siti Fatimah Fadlullah, tetaplah tegar

menghadapi segala masalah di rumah; Hasna Lathifah, jangan bosan-bosan

sekolah; dan Miftah Muslihuddin, adik bungsu yang paling tercinta, semoga kamu

segera sembuh dan cepat bersekolah kembali. Kepada keluarga besar Hj. Siti

Page 8: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Julaeha (alm.), nenek tercinta, beserta seluruh uwa, mamang, aa, teteh, ade

sekalian, juga kepada keluarga besar Pak Aki dan Emak Kidul, kakek-nenek

tersayang, beserta seluruh uwa, mamang, bibi, aa, ade sekalian, kepada mereka

penulis sampaikan terima kasih banyak atas dukungannya, terutama terhadap

keluarga penulis di rumah.

Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. M.

Dawam Rahardjo, SE., yang bersedia secara langsung memberikan izin penulis

untuk mengkaji satu sudut pemikiran beliau. Terima kasih juga saya haturkan

kepada Lembaga Studi Agama dan Filsafat, yang telah memberikan izin kepada

penulis untuk melakukan penelitian dan meminjam beberapa bahan untuk skripsi

ini.

Penulis juga sampaikan terima kasih banyak untuk rekan-rekan sesama

aktifis dan intelektual muda di HMI MPO, LPI UIN Jakarta, KM-AI, dan JarIK.

Untuk sahabat-sahabatku, Ruli Nurdin, Hilmi Mubarok, Dadan, Asep

Kamaluddin, Indah Mulyawati, Nanih, Linda (serta semua alumni MI Banjar 2

angkatan 97), Andi Tanjana, Yani Nur’aini, Nafishoh, Evi, Neni Nurlina (serta

semua alumni MTsN Banjar angkatan 2000), Bayu Haryadi, Irvan Sutadi,

Muhammad Irfan, Riany Dwi Setyaningrum, Siti Nurhayati (serta semua alumni

SMUN 1 Banjar angkatan 03), terima kasih banyak atas pertemanan kalian yang

sangat berharga.

Jakarta, 18 Februari 2009

Penulis

Page 9: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pada bulan Oktober 2004, sebuah sekolah Katolik di Ciledug dibarikade

oleh sekelompok orang Islam dengan alasan bahwa sekolah itu telah difungsikan

secara ilegal menjadi tempat ibadah. Dengan alasan yang sama pula, pada

September 2005, 23 buah gereja telah ditutup oleh sekelompok kaum Muslim di

Jawa Barat. Belum lama ini, pusat Ahmadiyah diserang oleh sekelompok kaum

Muslim, dan para penghuninya dipaksa meninggalkan tempat itu. Berangkat dari

catatan buruk kebebasan beragama di Indonesia di atas, dan ketidakpastian dasar

negara antara sekular dan agama, maka Mujiburrahman mempertanyakan

bagaimanakah kiranya bangsa Indonesia dapat merumuskan kebebasan beragama

berdasarkan kesepakatan bersama yang samar-samar mengenai hakikat negara

Indonesia yang bukan negara agama dan bukan pula negara sekular?1 Pertanyaan

ini menjadi penting karena hakikat negara Indonesia memang mengalami

semacam ambiguitas, atau “bukan-bukan” (bukan sekular dan bukan agama).

Persoalan ambiguitas ini semakin merepotkan manakala dibenturkan

dengan realitas keragaman (pluralitas) masyarakat, terutama keragaman agama

atau kepercayaan yang ada di Indonesia. Selain enam agama (Islam, Katolik,

Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu) yang diakui secara resmi oleh negara,

Indonesia kaya akan agama atau kepercayaan lokal (indigenous religion) – seperti

1 Mujiburrahman, “Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Abdul Hakim dan Yudi

Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid, (Jakarta:

PSIK Universitas Paramadina, 2007), h. 290.

Page 10: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Komunitas Tolotang di

Sulawesi Selatan, komunitas Kaharingan di Kalimantan dan lain sebagainya –

serta aliran-aliran yang ada dalam agama resmi tersebut. Menurut Amin Abdullah,

realitas pluralitas agama yang belum berlanjut pada pluralisme agama disebabkan

oleh hegemoni kepentingan kelompok tertentu. Kepentingan itu juga sering

dijustifikasi dengan landasan teks keagamaan.2

Bangsa Indonesia perlu beragama secara damai dalam fakta keragaman,

karena itu diperlukan sistem untuk memecahkan masalah tanpa kekerasan. Bangsa

Indonesia juga memerlukan sikap yang positif terhadap perbedaan agama (sikap

yang terbuka, toleran, siap berdialog dengan kelompok yang berbeda).

Sebaliknya, bangsa ini juga sebaiknya menghindarkan diri dari pemikiran dan

usaha-usaha menghilangkan keragaman agama. Termasuk di dalamnya tidak

mengakui adanya keragaman, menginginkan keseragaman, memaksakan nilai

agama satu kelompok atas kelompok yang lain, memakai kekuasaan untuk

menindas agama yang berbeda, dan memberikan cap yang buruk pada agama dan

pemeluknya yang dianggap berbeda. Bila sistem ini tidak tercapai, maka dapat

dipastikan berpotensi menimbulkan benturan (clash) antar budaya dan agama.3

2 Dikutip dari Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan

Liberatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), h. 6. 3 Samuel P. Huntington berhipotesis bahwa sumber fundamental dari konflik dalam dunia

baru tidak lagi ideologi atau ekonomi, melainkan budaya. Tentang hipotesis samuel P. Huntington

ini, lihat samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban; Masa Depan Politik Dunia,” dalam

M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Penerbit

Paramadina, 1996), h. 3-35.

Page 11: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Sayangnya, dikarenakan klaim kebenaran (truth claim) agama atau

kepercayaan masing-masing,4 maka usaha-usaha ke arah toleransi dan dialog

terbuka antar agama ini tidak selalu mudah. Selain itu, kompleksitas permasalahan

di Indonesia juga menjadikan kesan tumpang-tindihnya problem sosial. Pluralitas

kompleks di Indonesia juga menjadikan tidak mudahnya menggagas toleransi dan

dialog terbuka di antara masyarakat.

Untuk hidup beragama dalam kemajemukan agama dan ekspresi atasnya,

tampaknya dibutuhkan konsep kebebasan beragama. Setiap orang berhak atas

kebebasan pikiran, kesadaran batin dan agama; dalam hal ini ternasuk kebebasan

berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau

kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan

menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di

tempat umum maupun yang tersendiri. Tak seorang pun dapat dikenakan paksaan

sehingga mengakibatkan terganggunya kebebasan untuk memeluk atau menerima

agama atau kepercayaan pilihannya.5

Kenyataannya, pelanggaran kebebasan beragama tidak hanya berlangsung

secara horizontal antar masyarakat,6 akan tetapi tampaknya justru negaralah yang

– secara langsung atau tidak langsung – menjadi penyebab atau bahkan aktor

4 Menurut Arthur J D’Adamo, klaim kebenaran hanya muncul pada kelompok sendiri,

sedangkan kelompok yang lain dianggap jauh menimpang dari kebenaran. Dikutip dari Ahmad

Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif, h. 3. 5 Rumusan kebebasan beragama dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen antara lain

UUD 1945 Pasal 29 ayat (2), Deklarasi Universal HAM PBB Pasal 18, Deklarasi PBB tahun 1981

tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Keyakinan, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) Pasal 18. UU No. 39

tahun 1999 tentang HAM pasal 22, dan UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan KIHSP. 6 Salah satu contoh kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia yakni kasus

penutupan gereja tahun 2005 di mana SKB Menteri Agama K.H. Achmad Dahlan dan Menteri

Dalam Negeri Amir Machmud pada tahun 1969 dianggap sumber kericuhan, lihat pembahasannya

dalam “Sebatang Salib yang Dikunci,” Tempo, 11 September 2005, h. 26-33.

Page 12: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

pelanggaran kebebasan beragama. Contoh kasus pelanggaran kebebasan beragama

yang hingga kini masih terjadi di Indonesia ialah klaim agama asli dan agama

sempalan yang dirasakan sangat problematik dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Pemerintah selalu menuding agama atau kepecayaan lokal sebagai

agama sempalan yang harus kembali ke agama induknya (agama-agama resmi

yang diakui negara). Padahal, menurut para penganut agama lokal tersebut justru

agama merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli atau agama induk.

Karena justru agama-agama besar: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha,

yang merupakan agama impor.7 Pelanggaran ini selanjutnya berujung pada

pelanggaran hak-hak sipil sebagian masyarakat. Dalam hal ini, ingin ditekankan

bahwa negara sebetulnya memiliki tanggung jawab utama dalam menjamin

berlangsungnya kebebasan beragama.8

Selain daripada itu, pemahaman dan sikap eksklusif dalam beragama

adalah faktor lain yang dipandang mengganggu kebebasan beragama. Beberapa

padanan istilah terkait dengan pemahaman dan sikap eksklusif dalam beragama,

antara lain Islam radikal,9 Islam fundamentalis, Islam militan, Islam ekstrem

sampai Islam skripturalis.10

7 Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Abdul Hakim

dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid,

h. 218. 8 Lihat komentar M. Dawam Rahardjo tentang tanggung jawab negara atas kebebasan

beragama (atau sebagai bagian hak sipil) dalam M. Dawam Rahardjo, “Negara, Agama dan Penegakan Hak Sipil,” artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-

online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15. 9 Penggunaan istilah Islam radikal misalnya dalam Khamami zada, Islam Radikal;

Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002). 10

M. Dawam Rahardjo, “Islam Radikal Vs Islam Liberal,” Tempo, 12 Januari 2003, h.

84.

Page 13: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Oleh karenanya, diskursus konsep kebebasan beragama di Indonesia perlu

diapresiasi dan didalami, baik itu dalam hal perkembangan wacana dan praktik

kebebasan beragama di Indonesia, maupun dalam pemikiran tokoh intelektual

yang konsern dalam bidang ini. Dalam hal ini, Indonesia mengenal seorang tokoh

intelektual yang konsern dalam isu-isu kebebasan beragama. Beliau adalah

Muhammad Dawam Rahardjo.

Mantan Rektor UNISMA, Direktur LP3ES, Direktur IIIT Indonesia, dan

President of the Board of IFIS ini dikenal cukup kontroversial dalam menanggapi

problem-problem kebebasan beragama di Indonesia. Beliau pernah dipecat dari

Muhammadiyah karena tanggapan-tanggapan kontroversialnya, terutama saat

melakukan pembelaan terhadap Ahmadiyah dan Lia Aminuddin.11

Walau begitu,

Dawam tetap meneriakkan “Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah!”.

M. Dawam Rahardjo aktif membela kebebasan beragama dalam kasus-

kasus jamaah Ahmadiyah, Komunitas Eden, JIL, kelompok Syiah dan minoritas

lainnya. Ia menghadiri sidang-sidang Lia Aminuddin dan Muhammad

Abdurrahman, pemimpin dan juru bicara Komunitas Eden, yang diadili atas

tuduhan penodaan agama.12

Ditinjau dari pemikirannya, M. Dawam Rahardjo memiliki perspektif

murni dan utuh tentang kebebasan beragama di Indonesia. Pemikirannya tentang

relasi Pancasila dan trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, serta

keyakinannya bahwa kebebasan beragama harus diwujudkan sebagai bagian dari

11

Lihat wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo terkait dengan pemecatan dirinya

dari Muhammadiyah, dalam Tempo, 5 Februari 2006. 12

Ihsan Ali Fauzi, et.all., ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme; Esai-esai untuk

Merayakan 65 tahun M. Dawam Rahardjo (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2007), h. 21.

Page 14: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

hak sipil masyarakat, menempatkan beliau sebagai tokoh pemikir Islam Indonesia

yang popular dalam hal pembelaan kebebasan beragama. Penentangannya

terhadap otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI) beserta fatwa-fatwanya

menunjukkan keberanian dan ketulusan beliau dalam melakukan pembelaannya.

Meski tidak berusia muda lagi dan tidak sesehat dulu, Dawam tetap kritis

dalam memahami dan menyikapi realitas umat dan bangsa. Kajiannya tentang

kebebasan beragama tidak hanya berhenti dalam produksi intelektual belaka, akan

tetapi dibuktikan dalam langkah-langkah kontroversialnya. Di atas semuanya,

sosok M. Dawam Rahardjo tetaplah sosok pemikir pembaharu Islam sebagaimana

beliau dahulu memulainya bersama generasi Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib,

Djohan Effendi, dan lain-lain. Tidak terhitung banyaknya “murid” hasil binaan

beliau yang berhasil meneruskan jejaknya dalam melakukan pembaharuan-

pembaharuan Islam Indonesia.

Sisi intelektual dan kontroversialnya inilah yang menempatkan M. Dawam

Rahardjo sebagai perspektif yang relevan dalam membahas konsep dan problem

kebebasan beragama di Indonesia. Dengan pertimbangan inilah, maka penulis

memberi judul skripsi ini, “Kebebasan Beragama di Indonesia dalam

Perspektif M. Dawam Rahardjo”.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dikarenakan keterbatasan dan demi terfokusnya pembahasan, maka

penulisan skripsi ini saya batasi pada pembahasan “Kebebasan Beragama di

Indonesia dalam Perspektif M. Dawam Rahardjo”.

Page 15: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Maka, sebagai rumusan dari pembatasan masalah di atas, penulis

merumuskan,

1. Bagaimanakah wacana kebebasan beragama di Indonesia?

2. Bagaimanakah landasan pandangan M. Dawam Rahardjo tentang

kebebasan beragama di Indonesia?

3. Bagaimanakah tanggapan M. Dawam Rahardjo atas pelanggaran

kebebasan beragama di Indonesia?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan

dari penulisan ini antara lain:

1. Untuk mengetahui latar belakang pemikiran M. Dawam Rahardjo

2. Untuk mengetahui wacana kebebasan beragama di Indonesia

3. Untuk mengetahui kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M.

Dawam Rahardjo secara utuh.

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Bagi para intelektual, cendekiawan, dan akademisi agar dapat memberikan

sumbangan bagi khazanah pemikiran, ide atau gagasan, dan juga untuk

menambah literatur atau bahan referensi pada Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta

sumbangsih bagi dunia pendidikan.

Page 16: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

2. Bagi pemerintah, pejabat, politisi, tokoh Ormas keagamaan dan aktivis

elemen masyarakat sipil lainnya agar dalam membangun negara-bangsa

Indonesia tetap memperhatikan prinsip kebebasan beragama.

3. Bagi penulis adalah agar dapat menambah wawasan dan pemahaman utuh

– yang tidak bersifat menghakimi – mengenai konsep kebebasan beragama

di Indonesia, terutama dalam perspektif M. Dawam Rahardjo.

Studi Kepustakaan

Sejauh ini, sulit menemukan hasil penelitian atau buku yang membahas

aspek-aspek pemikiran M. Dawam Rahardjo. Hal ini disebabkan beliau hingga

saat ini masih hidup, sehingga pemikirannya secara langsung masih bisa

disuarakan olehnya. Pun demikian, penulis menemukan sebuah buku yang cukup

relevan dalam membahas pribadi M. Dawam Rahardjo dan segi-segi

pemikirannya.

Buku Demi Toleransi Demi Pluralisme, merupakan karya kumpulan esai-

esai untuk merayakan 65 tahun M. Dawam Rahardjo. Buku yang disunting oleh

Ihsan Ali Fauzi, Syafiq Hasyim dan JH. Lamardy ini diterbitkan oleh Penerbit

Paramadina pada tahun 2007. Buku ini membahas pribadi M. Dawam Rahardjo,

baik dari sisi biografis maupun kesan-kesan para kolega dan sahabat beliau.

Selanjutnya, Demi Toleransi Demi Pluralisme juga mengupas segi-segi pemikiran

dan aktivisme M. Dawam Rahardjo melalui tulisan para kontributor yang

merupakan orang-orang dekat beliau, atau mereka yang sama-sama

memperjuangkan toleransi dan pluralisme di Indonesia. Karenanya, hal yang

Page 17: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

paling menonjol dari buku ini ialah citra M. Dawam Rahardjo sebagai pembela

toleransi dan pluralisme keagamaan di Indonesia.

Karya di atas belum secara khusus memfokuskan kajian mengenai

kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo. Untuk

itu, penulis mencoba melakukan kajian terhadap pemikiran M. Dawam Rahardjo

dalam memandang kebebasan beragama di Indonesia.

Metode Penelitian

Jenis penelitian dalam mengkaji masalah ini ialah penelitian kualitatif.

Secara metodologis, metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ini adalah

metode penelitian kepustakaan (library research), dengan menggali sumber-

sumber primer, maupun sumber-sumber sekunder.

Pengumpulan data menggunakan studi dokumenter, yakni dengan

memanfaatkan bahan-bahan primer dan sekunder. Adapun sumber primer dalam

masalah ini adalah tulisan-tulisan tentang kebebasan beragama yang ditulis

langsung oleh M. Dawam Rahardjo. Sedangkan sumber sekundernya adalah

sumber-sumber yang menunjang pembahasan masalah.

Analisis data menggunakan teknik deskriptif-analitis. Deskriptif di sini

dimaksudkan sebagai upaya untuk mendeskripsikan perspektif M. Dawam

Rahardjo dalam memandang konsep kebebasan beragama di Indonesia. Analitis

berarti menganalisis pemikiran-pemikiran M. Dawam Rahardjo sehingga akan

nampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok

permasalahan.

Page 18: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Teknik penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) terbitan CeQDA UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sistematika Penulisan

Pembahasan dalam skripsi ini dituangkan dalam lima bab, termasuk BAB I

sebagai pendahuluan dan BAB V sebagai penutup. Adapun rincian sistematika

penulisan yang penulis susun antara lain sebagai berikut:

BAB I adalah pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi kepustakaan,

metodologi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II mengulas biografi singkat M. Dawam Rahardjo. Dalam bab ini

akan dideskripsikan latar belakang keluarga dan pendidikan M. Dawam Rahardjo,

pemikiran dan aksinya, serta buku-buku karyanya.

BAB III akan membahas wacana kebebasan beragama di Indonesia. Bab

ini meliputi pembahasan definisi dan prinsip kebebasan beragama, serta regulasi

kebebasan beragama dan bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama di

Indonesia.

BAB IV akan menganalisis kebebasan beragama di Indonesia menurut M.

Dawam Rahardjo. Bagian ini akan mendalami pemikiran beliau tentang Pancasila

dan trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, kebebasan beragama sebagai

hak sipil, dan diakhiri dengan beberapa pandangan M. Dawam Rahardjo atas

kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia.

Page 19: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

BAB V sebagai penutup. Seluruh elaborasi pembahasan di atas akan diikat

dalam beberapa kesimpulan dan ditambahkan beberapa saran yang penulis

tawarkan dalam bagian ini.

Page 20: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

BAB II

BIOGRAFI M. DAWAM RAHARDJO

A. Keluarga dan Pendidikannya

M. Dawam Rahardjo dilahirkan pada tanggal 20 April 1942, di kampung

Baluwarti, Solo. Ayahnya bernama Mohammad Zuhdi Rahardjo, sedangkan

ibunya bernama Mutmainnah. Keluarga menjadi institusi pendidikan pertama

yang dienyam oleh M. Dawam Rahardjo. Ia bisa mengaji dan hafal beberapa surat

Juz-Amma terutama diajari oleh tante dan kakak sepupunya, Tahrir. Di samping

itu, ia juga mendapatkan pendidikan agama dari Madrasah Bustanul Athfal

Muhammadiyah, di Kauman, sebelah utara masjid besar Solo, Madrasah

Ibtidaiyah Muhammadiyah di Masjid Besar Solo, dan sekolah umum Al Robithoh

Al Allawiyyah di kelas satu.13

Dawam masuk Sekolah Dasar (SD) langsung ke kelas 2 di Sekolah Rakyat

Loji Wetan dan di Madrasah Diniyah Al-Islam dari kelas 3 hingga tamat. Dawam

kecil juga pernah mengaji kepada K.H. Ali Darokah – kemudian menjadi ketua

umum Pergerakan Al-Islam dan Ketua Umum Majelis Ulama Surakarta – yang

juga menjadi guru mengaji saudara - saudara sepupunya. Sebelum masuk SMP, ia

belajar mengaji selama satu bulan di Pesantren Krapyak (sekarang Pesantren Al-

Munawir Ia belajar membaca surat al-Fatihah kepada Gus Dur (ustadz

Abdurrahman). Selanjutnya, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengah Pertama

(SMP) I yang dianggap sebagai sekolah elit tingkat SMP di Solo, berkat prestasi

13

Ihsan Ali Fauzi, et.all., ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme (Jakarta: Penerbit

Paramadina, 2007), hal. 3-5.

Page 21: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

baik Dawam di sekolah dasar. Sementara itu, di Al-Islam, Dawam hanya

menamatkan Madrasah Tsanawiyah, karena ia melanjutkan sekolah di Sekolah

Menengah Atas (SMA) CV di Manahan.14

Sebelum kuliah, Dawam mengikuti program AFS (American Field

Service) di Idaho, Amerika Serikat (AS). Di sana, ia belajar di Borah High School.

Selanjutnya, Dawam berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada

(UGM).15

Di tengah-tengah kesibukannya sebagai mahasiswa UGM, Dawam

tertarik untuk beraktivitas dalam organisasi mahasiswa yaitu Himpunan

Mahasiswa Islam. Dawam juga giat dalam kegiatan-kegiatan diskusi dan kajian

semasa kuliahnya. Dengan demikian, Dawam resmi memulai petualangannya di

dunia aktivisme dan intelektual.16

Istri pertama Dawam, Zainun Hawariah, wafat pada Desember 1994. Dari

perkawinan mereka, Dawam mempunyai dua orang anak yang sudah dewasa.

Aliva (lahir pada 1972) adalah anak sulung perempuan. Ia lulus dari fakultas ilmu

pasti dan pengetahuan alam (MIPA) jurusan Fisika, pada tahun 1997. Dia telah

menikah dan dikaruniai seorang anak pada 1 April 1999, dan diberi nama Krisna.

Anak Dawam yang kedua bernama Jauhari (lahir pada 1974) dan lulus dari

jurusan Elektro tahun 1999, Fakultas Teknik Universitas Pancasila. Istri Dawam

yang sekarang bernama Sumarni (dinikahinya pada bulan Maret 1995), sarjana

14

Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 5-6. Lihat juga, “M. Dawam Rahardjo:

Defending the Nation's Religious Minority Groups”, diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari

http://www.thepersecution.org/world/indonesia/ 07/05/jp19.html. 15

“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. 16 Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 7-10.

Page 22: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) dan mendapat gelar MPA dari

Universitas of California.17

B. Pemikiran dan Aksinya

Dalam dunia tafsir, nama M. Dawam Rahardjo pernah melambung,

terutama lewat karya tafsirnya Ensiklopedi al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan

Konsep-konsep Kunci. Dalam bidang ini, M. Dawam Rahardjo sudah terhitung

progressif, sebab beliau menulis tafsir tematik (maudhu'i). Dalam menulis tafsir

tersebut, beliau menggunakan ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu untuk

menafsirkan Al-Qur'an. Pendiriannya ini terutama didasarkan pada keyakinannya

bahwa tafsir haruslah terbuka untuk siapa saja, dan penafsir tidak mesti menguasai

bahasa Arab. Menurut Syafiq Hasyim, di sinilah letak kontribusi penting M.

Dawam Rahardjo dalam bidang tafsir di Indonesia, yakni memasukkan

pendekatan interdisipliner (berbagai disiplin ilmu pengetahuan) dalam

menafsirkan Al-Qur'an.18

Cukup sulit menggolongkan pemikiran M. Dawam Rahardjo hanya ke

dalam satu golongan pemikiran saja. Sebab, beliau mengarungi dunia intelektual

dengan melalui perkembangan pemikiran sedemikian rupa, sehingga mendapatkan

sebutan yang bermacam-macam; mulai dari neo-marxis, neo-modernis,

transformis, pluralis, sekular hingga liberal. M. Dawam Rahardjo memang

memiliki minat yang luas dalam dunia pemikiran. Pun demikian, bukan berarti

beliau layak disebut sebagai pemikir yang tidak konsisten. Justru M. Dawam

17

Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 18-19. 18

Syafiq Hasyim, “Mas Dawam dalam Tiga Babak: Keyakinan Penuh Akan Modernisme

Islam?” dalam Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, hal. 227.

Page 23: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Rahardjo melalui perkembangan pemikirannya dengan suatu perjalanan

intelektual yang serius. Lebih tepat bila dikatakan bahwa M. Dawam Rahardjo

mengalami perkembangan (evolusi) pemikiran yang matang dan sesuai dengan

kadar aktivismenya. Karenanya, dalam mengkaji pemikiran beliau, penulis tidak

ingin terjebak untuk membatasi M. Dawam Rahardjo ke dalam satu tipe

pemikiran saja. Melainkan, berusaha memaparkan perjalanan intelektual beliau

supaya lebih dapat dipahami secara utuh.

M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai seorang ekonom dan cendekiawan

muslim yang sangat kritis terhadap ideologi pembangunan (developmentalism).

Hal tersebut secara tidak langsung memang di pengaruhi oleh konteks saat

Dawam muda yang aktif di HMI saat pengaruh PKI begitu kuat. Dawam dituntut

untuk mempelajari sosialisme agar dapat mengimbangi wacana sosialisme yang

digulirkan PKI. Tidak hanya mempelajari marxisme, Dawam muda juga

meneruskan mengkaji neo-marxisme dan teori-teori radikal lainnya.19

Adapun pemikiran M. Dawam Rahardjo tentang kebebasan beragama

berada pada fase terakhir dari perjalanan pemikirannya selama hidupnya. Rupanya

posisi beliau sebagai cendekiawan muda memancingnya untuk kritis terhadap

beberapa pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Sikap beliau tidak lain

dilatarbelakangi oleh perjalanan intelektualnya yang terhitung panjang dan rumit.

Model pemikiran M. Dawam Rahardjo terbentuk pada masa hidupnya

yang berada dalam latar geraka n intelektual Islam baru di Indonesia sekitar tahun

1970-an. Gerakan tersebut, selain merupakan warisan dari tradisi modernisme

19 “M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”.

Page 24: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Islam yang terdahulu di Indonesia, ia pun tampil beda dari segi isi maupun

aplikasinya. Hal ini disebabkan, neo-modernisme memakai pendekatan baru yang

khas. Masa-masa tersebut tidak disia-siakan oleh beliau, sehingga dengan segera

M. Dawam Rahardjo pun menjadi salah satu pelaku gerakan intelektual Islam

baru tersebut.

Pada awal kemunculannya, istilah popular yang dicetuskan pertama kali

untuk neo-modernisme ialah pembaruan pemikiran Islam oleh Nurcholish Madjid,

saat ia memberi makalah untuk sebuah seminar tertutup pada tahun 1970, berjudul

Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.

Gerakan neo-modernisme, yang lahir dari para pemikir Islam seperti

Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, mencerminkan perkembangan

modernisme Islam yang lebih jauh di mana pengetahuan klasik atau tradisional

digabungkan dengan pendekatan aktual dalam menafsirkan sebuah teks. Berbeda

dari modernisme, neo-modernisme berpaham pemisahan antara gereja dan negara,

dengan pandangan bahwa keterlibatan kelompok-kelompok agama ke dalam

partai politik akan menimbulkan ketegangan sektarian dan polarisasi berdasarkan

agama.20

Perbedaan lainnya terletak dalam perhatiannya pada tradisi. Kaum neo-

modernis berusaha membangun visi Islam di masa modern, dengan tidak

meninggalkan akar-akar Islam untuk mendapatkan kemodernan Islam. Sedangkan

kaum modernis lama lebih bersifat apologetik atas modernitas.

Gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir, menurut Fazlur

Rahman terbagi menjadi empat tahapan, yaitu (1) Gerakan Revivalis di akhir abad

20 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 5.

Page 25: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

ke-18 dan awal abad ke-19, yaitu gerakan wahhabiyah di Arab, Sanusiyah di

Afrika Utara dan Fulaniyah di Afrika Barat, (2) Gerakan Modernis yang

dipelopori oleh Sayyid Ahmad Khan (meninggal tahun 1898) di India, Jamaluddin

Al-Afghani (meninggal tahun 1897) di seluruh Timur Tengah, dan Muhammad

Abduh (meninggal tahun 1905) di Mesir, (3) Neo-Revivalisme yang modern

namun agak reaksioner, di mana Maududi beserta kelompok Jamaat Islami-nya di

Pakistan merupakan contoh terbaik, dan (4) Neo-Modernisme, di mana Fazlur

Rahman sendiri mengkategorikan dirinya ke dalam tahap terakhir ini dikarenakan

alasan neo-modernisme memiliki sintesis progresif dari rasionalitas modernis

dengan ijtihad dan tradisi klasik.21

Penggunaan istilah neo-modernis oleh Fazlur Rahman cukup

mempengaruhi kaum intelektual Indonesia. Terlebih, Rahman memang cukup

dikenal di Indonesia. Ia datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1974 dan

terus menjalin hubungan baik dengan beberapa intelektual Muslim Indonesia,

seperti Nurcholish Madjid. Kendati demikian, banyak para pemikir Islam

terkemuka dan dapat digolongkan ke dalam golongan pemikir neo-modernis,

seperti Jalaluddin Rakhmat, Masdar F. Mas’udi, dan M. Dawam Rahardjo sendiri,

tidak menggunakan istilah neo-modernisme bagi pemikiran yang mereka

kembangkan dan bagi diri mereka sendiri.22

Pribadi M. Dawam Rahardjo memang agak unik, bila dibandingkan

dengan pemikir neo-modernis lainnya. Seperti diketahui, bahwa ke-khas-an

pemikiran kaum neo-modernis di antaranya ialah pendekatan ijtihad oleh pemikir

21

Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 9. 22 Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 11.

Page 26: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

neo-modernis Indonesia yang lebih mendalam, karena mereka mensintesiskan

khazanah Islam klasik dengan metode-metode analisis modern atau Barat. Hal ini

dilatarbelakangi oleh pendidikan Islam tradisional dan klasik, yang berkisar pada

Al-Qur’an dan naskah-naskah Arab, dan dilanjutkan pendidikan model Barat

modern. Berbeda dengan M. Dawam Rahardjo, di mana beliau memiliki latar

eblakang pendidikan Islam klasik yang kurang kuat, dan lebih banyak menempuh

pendidikan model Barat modern. Meskipun, tetap harus dicatat bahwa M. Dawam

Rahardjo pun cukup berminat terhadap keilmuan Islam klasik walaupun

pendekatannya melalui bahan-bahan berbahasa Indonesia dan Inggris.23

Menurut Budhy Munawar-Rahman, ada tiga bentuk pemikiran sosial-

keislaman kaum neo-modernis, antara lain: (1) Islam rasional, yang bertujuan

menemukan pengetahuan yang mendasar mengenai Islam atau ilmu keislaman

yang rasional, untuk mendapatkan keyakinan atau iman yang rasional, dan tingkah

laku atau amal yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Tokoh Islam

rasional yakni Harun Nasution dan Djohan Effendi. (2) Islam peradaban, yang

bertujuan untuk mendapatkan makna dari perwujudan konkret AL-Qur'an, ingin

menemukan makna dari proses pembentukan Islam sebagai sebuah dorongan

sejarah, yang menghasilkan sebuah peradaban Islam. Tokoh Islam peradaban

yaitu Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo. (3) Islam transformis, yang bertujuan

membebaskan masyarakat muslim yang miskin dan terbelakang dari belenggu

dominasi structural, dengan berlandaskan pada visi Al-Qur'an tentang

23 Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 12.

Page 27: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

transfromasi. Tokoh Islam transformis adalah Adi Sasono dan M. Dawam

Rahardjo sendiri.24

Kalangan Islam Transformis memang banyak berkembang di kalangan

yang latar belakang pendidikannya bukan IAIN (Institut Agama Islam Negeri),

namun komitmennya terhadap Islam tinggi – seperti M. Dawam Rahardjo – atau

dari IAIN namun komitmennya terhadap ilmu sosial melebihi ilmu-ilmu

tradisional Islam. Sebagaimana juga M. Dawam Rahardjo, kebanyakan dari

kelompok Islam transformis adalah aktivis LSM.

Perhatian utama mereka yaitu suatu transformasi sosial masyarakat bawah.

Islam transformis berusaha mewujudkan transformasi struktur-struktur

masyarakat yang menindas ke arah struktur yang lebih humanis, agar masyarakat

dapat memperjuangkan hak mereka. Selain Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo,

istilah Islam transformis juga dipakai oleh Moeslim Abdurrahman, Masdar F.

Mas'udi, dan Mansour Fakih.

Islam transformis memang sedikit berbeda dari Islam rasional dan Islam

peradaban. Bila Islam rasional dan Islam peradaban hanya memperhatikan faktor

internal umat islam (teologi) dalam menjelaskan keterbelakangan umat, maka

Islam transformis memasukkan faktor eksternal, yaitu peranan Barat, sebagai

penyebab keterbelakangan. Bahkan, Islam transformis tidak memisahkan antara

teologi dan analisis sosial, bahkan menyatukannya dalam daur dialektis: dari

24

Budhy Munawar-Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-

Modernisme Islam di Indonesia," dalam Ulumul Qur'an No. 3, Vol. VI, tahun 1995, h. 4-29.

Page 28: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

"kritik ideologis," ke "kritik tafsir," kemudian mencari "tafsir alternatif" dan

mewujudkannya dalam "tindakan sosial" sebagai praksis teologis.25

M. Dawam Rahardjo mengatakan, "gerakan kemasyarakatan itu

mempunyai peranan yang krusial, yang mencegah terjadinya pencaplokan

masyarakat oleh negara ke dalam bentuk negara korporatif yang integralistik-

totaliter.26 Beliau juga pernah mengkritik pendekatan Islam peradaban seperti

yang digagas oleh Nurcholish Madjid. Menurut M. Dawam Rahardjo, keliru bila

kita harus membanggakan peradaban Islam seperti yang berlangsung pada abad

pertengahan. Memang, pada abad itu peradaban Islam mencapai puncaknya.

Namun, keadaan itu berada di tengah-tengah absolutisme-monarkis dan

feodalisme. Maka, menurut beliau, peradaban Islam yang ideal masih dalam

proses pencarian. Namun, paling tidak model peradaban Islam ideal menurutnya

ialah terbentuknya budaya tekno-ekonomi yang membangun kemakmuran dan

keadilan masyarakat sebagai landasan bagi kejayaan peradaban Islam modern dan

religius. Peradaban Islam masa depan adalah peradaban yang didasarkan pada

nilai religius tekno-ekonomi, yang di Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945.27

Meskipun M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai pemikir neo-modernis

Islam, namun menurut Greg Barton, M. Dawam Rahardjo bukan termasuk

25

Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam

di Indonesia," h. 22. 26

M. Dawam Rahardjo, "Gerakan Rakyat dan Negara," dalam Prisma 11, 1985, h. 15.

Dikutip dalam, Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme

Islam di Indonesia," h. 26. 27

M. Dawam Rahardjo, “Model Peradaban Islam yang Ideal,” artikel diakses pada

tanggal 15 Januari 2009, dari http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2007/03/25/Ide/

krn.20070325.97395.id.html.

Page 29: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

kelaompok neo-modernis. Hal ini terutama disebabkan karena Greg Barton

memahami istilah neo-modernis sebagai kelompok pemikir yang memiliki

keahlian keilmuan tradisionalis dan modernis sekaligus, seperti Ahmad Wahib,

Nurcholish Madjid, Djohan Effendi dan Abdurrahman Wahid, yang terdidik

secara klasik dan dipengaruhi latar belakang pendidikan pesantren tradisionalis

yang kental. Menurut Greg Barton, M Dawam Rahardjo lebih tepat bersifat

organisatoris dalam kelompok neo-modernis.28

Greg Barton malah memasukkan M. Dawam Rahardjo sebagai kelompok

Islam substansialis, sebagaimana istilah yang digunakan oleh R. William Liddle.

Liddle berpendapat bahwa empat ciri kelompok Islam substansialis antara lain:

1. Hal paling utama dan mendasar bahwa substansi keimanan dan praktik

lebih penting daripada bentuk.

2. Pesan Al-Qur'an dan hadits, walau abadi esensinya dan universal artinya,

dapat ditafsir kembali oleh setiap generasi muslim sesuai dengan situasi

masanya.

3. Umat muslim harus toleran terhadap sesamanya dan terhadap non-muslim.

4. Menerima pemerintahan yang ada sekarang sebagai bentuk final dari

negara bangsa Indonesia

Perkembangan pemikiran M. Dawam Rahardjo nyata-nyata tidak

ketinggalan jaman, bahkan semakin berkembang. Pada fase terakhir dalam

perjalanan intelektualnya, M. Dawam Rahardjo dikenal sangat aktif dalam

28 Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 34-35.

Page 30: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

mengkritisi berbagai pelanggaran kebebasan beragama. Beliau juga secara tegas

menolak fatwa haram Majelis Ulama Indonesia tentang liberalisme, sekularisme

dan pluralisme. Bagaimana pemikiran beliau tentang kebebasan beragama di

Indonesia akan secara utuh dibahas pada bab-bab berikutnya pada penulisan kita.

Selanjutnya, meminjam tipologi sikap keberagamaan menurut

Komaruddin Hidayat,29 maka M. Dawam Rahardjo bisa dimasukkan ke dalam

tipologi inklusifisme dan pluralisme. Dikatakan inklusif, sebab beliau menerima

kemungkinan adanya kebenaran dalam agama lain, namun sekaligus tetap

menganggap bahwa agamanya, Islam, yang benar bagi dirinya. Sedangkan

dikatakan plularis, sebab beliau berpendapat bahwa semua agama itu benar,

menurut masing-masing pemeluknya. Namun, pemikiran ini bukan termasuk

sinkretisme. Tipologi pemikiran M. Dawam Rahardjo ini paling jelas terlihat dari

komitmennya atas kebebasan beragama dan pluralisme.

M. Dawam Rahardjo juga sangat kritis terhadap gerakan-gerakan

fundamentalisme Islam, yang menurutnya merupakan bentuk jahiliyah modern.30

Mereka yang menurut beliau termasuk jahiliyah modern yakni Muhammadiyah

(modern) dan Hizbut Tahrir. Alasannya, sebab mereka itu cenderung melihat ke

masa lalu, seperti generasi salaf, sebagai model masa depan. Sembari demikian,

M. Dawam Rahardjo juga mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah solusi dari

kemunduran umat tersebut.

29

Diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://lempu.co.cc/index.php/Artikel/

Tipologi-Sikap-Beragama.html. 30

Diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://www.korantempo.com/

korantempo/koran/2007/11/23/Opini/krn.20071123.116317.id.html.

Page 31: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Jelaslah, bahwa pemikiran M. Dawam Rahardjo berkembang sedemikian

rupa, dan di akhir fase perkembangan pemikirannya beliau sangat terpanggil

untuk mengkritik fenomena gerakan fundamentalisme-radikal Islam. Sebagaimana

kita ketahui, bahwa gerakan fundamentalis-radikal begitu popular sejak pasca

reformasi politik 1998 di Indonesia. Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang

lahir dari proses demokratisasi memberi berkah bagi mereka untuk berkembang

sedemikian rupa. Agaknya, M. Dawam Rahardjo ingin mengembalikan umat

Islam pada pemahaman yang benar, bahwa kebebasan bukanlah anarki, dan

bahkan merupakan tanggung jawab. Beliau sangat menghargai kerangka negara

bangsa Indonesia yang bernaung di bawah Pancasila dan UUD 1945.

Pemikiran M. Dawam Rahardjo mengenai kebebasan beragama dan

kritiknya atas fundamentalisme Islam bukannya tanpa basis teologi yang jelas.

Seperti kita ketahui, beliau sebelumnya termasuk pada kategori Islam transformis

yang lebih banyak berbicara pada konteks kesetaraan ekonomi dan keadilan.

Pemikiran beliau tersebut, pada akhirnya membawanya pada pemikiran teologi

otonomi iman, namun berlandaskan pada filsafat, terutama filsafat neo-

kantianisme.

Sebagai seorang neo-kantian, M. Dawam Rahardjo berkeinginan untuk

menciptakan sebuah tatanan sosial-politik yang adil, yakni menghargai manusia

sebagai makhluk yang bebas dan otonom. M. Dawam Rahardjo sejajar dengan

pemikir neo-kantian lainnya, seperti Jurgen Habermas dan John Rawls. Para neo-

Kantian ini juga senantiasa percaya terhadap prinsip kebebasan dan otonomi akal,

meskipun mereka menolak asumsi-asumsi metafisik dari Immanuel Kant.

Page 32: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Dalam kerangka konsep otonomi dan kebebasan manusia Kantian inilah,

menurut Iqbal Hasanuddin – seorang peneliti di LSAF – kita sebenarnya dapat

memahami rumusan trilogi M. Dawam Rahardjo, seputar diskursus sekularisme,

liberalisme dan pluralisme. Konsep otonomi manusia dalam kehidupan beragama

pertama-tama harus diletakan pada lokus akidah dan keimanan. Penempatan iman

dan akidah kepada otoritas setiap individu dengan sendirinya akan menciptakan

kebebasan beragama. Pengembalian iman dan akidah kepada otoritas individu

yang otonom inilah yang dijadikan dasar pemikiran dalam prinsip liberalisme.

Selanjutnya, seperti juga diyakini oleh John Rawls, M.Dawam Rahardjo

berkeyakinan bahwa konsekuensi logis dari konsep otonomi iman dan akidah bagi

setiap individu yang melahirkan konsep kebebasan beragama adalah lahirnya

pluralitas pandangan dan ekspresi keberagamaan. Karenanya, cara yang paling

masuk akal dalam menyikapi pluralitas ini adalah prinsip pluralisme. Karena itu,

bisa dikatakan bahwa seorang liberal sejati yang menghargai otonomi dan

kebebasan individu dalam beragama sudah pasti juga akan menjadi seorang

pluralis. Prinsip liberalisme dan pluralisme dalam kehidupan beragama tersebut

juga tidak akan terwujud dengan baik jika negara sebagai organisasi kekuasaan

didasarkan pada satu agama tertentu dalam bentuk tatanan teokrasi. Karenanya,

prinsip lain yang juga harus ditegakan guna mewujudkan otonomi dan kebebasan

manusia adalah sekularisme, yakni pemisahan antara agama dengan negara.31

Demikianlah, perjalanan pemikiran M. Dawam Rahardjo akhirnya

menempatkan beliau sebagai seorang liberal, sekular dan pluralis. Sebuah posisi

31

Iqbal Hasanuddin, “Neo-Kantianisme dalam Pemikiran M. Dawam Rahardjo,” artikel

diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://iqbalhasanuddin.wordpress.com/2008/09/26/neo-

kantianisme-dalam-pemikiran-m-dawam-rahardjo/.

Page 33: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

intelektual yang bagi kebanyakan orang akan dihindari, sebab pemikiran seperti

itu sudah diharamkan oleh MUI. Meskipun demikian, M. Dawam Rahardjo

memang tidak sendirian. Selain beliau, ada beberapa pemikir kritis Islam lainnya,

seperti Musdah Mulia, Syafi'i Anwar, Ulil Absar Abdalla, dan lain sebagainya.

Namun, memang bila melihat pada tataran generasinya, M. Dawam Rahardjo

termasuk generasi intelektual muslim lama yang masih bertahan, selain Djohan

Effendi, Abdurrahman Wahid, Moeslim Abdurrahman, dan lain-lain.

Selain dalam bidang pemikiran, M. Dawam Rahardjo juga sangat

menonjol dalam bidang aksinya. Aktifitasnya dimulai saat Dawam muda berada di

HMI, yang menuntut dia untuk belajar politik. Ia banyak berperan sebagai

instruktur dalam training-training di HMI, bersama-sama dengan Djohan Effendi

dan Ahmad Wahib. Dari tempaan di HMI itulah, ia mulai banyak menulis artikel-

artikel untuk koran dan majalah. Bahkan selama tiga tahun, Dawam menjadi

penulis tetap (kolumnis) untuk koran Mercusuar, Yogyakarta, setiap hari selasa.

Dawam bersama-sama dengan Andi Makmur Makka, menjadi editor dan co-editor

majalah GEMA Mahasiswa, yang diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa UGM.

Adapun staf redaksinya antara lain adalah Amak Baldjun, Abdurrahman Saleh,

Kuntowidjojo, Ichlasul Amal, dan Abdul Hadi WM. Aktivitasnya dalam dunia

jurnalistik mengangkat nama M. Dawam Rahardjo dan membuatnya cukup

terkenal semasa menjadi mahasiswa di UGM.32

Setelah menyelesaikan kuliah di Fakultas Ekonomi UGM tahun 1969,

Dawam sempat bekerja di Bank of America (BoA), Jakarta. Tapi di bank asing itu,

32 Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 8-10.

Page 34: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Dawam Rahardjo hanya bekerja selama dua tahun.33

Pada waktu itu, dirinya

cukup aktif di media massa, menjadi redaktur Mimbar Demokrasi dan koran

mingguan Forum.

Sebenarnya Dawam keluar dari BoA juga karena keinginannya untuk

bekerja di suatu lembaga riset. Ia bergabung dengan LP3ES (Lembaga Penelitian,

Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) ketika Nono Anwar Makarim

menjadi direkturnya. Selanjutnya, M. Dawam Rahardjo banyak terlibat dalam

berbagai penelitian yang disponsori oleh Friedrich Naumann Stiftung. Pada usia

ke 38 tahun, akhirnya beliau menjadi Direktur LP3ES.34

Dawam sering dipanggil untuk membantu menyelesaikan masalah-

masalah proyek. Nono Anwar Makarim menjadikannya sebagai trouble shooter.

Karena itu, Dawam paling sering berpindah-pindah tugas pada banyak proyek.

Sebagai trouble shooter, Dawam ditugaskan menangani beberapa protek yang

kemudian sangat menentukan karier dan keahliannya, yaitu pengembangan

industri kecil, entrepreneurship dan pesantren. Mula-mula proyek itu berupa

penelitian, kemudian diikuti dengan pelatihan dan pengembangan. Sebagai staff

LSM itulah Dawam memasuki dunia pesantren dan berkenalan dengan tokoh-

tokoh kyai, baik NU maupun non-NU. Di LP3ES, Dawam banyak belajar dari

staf-staf orang Jerman, misalnya Dr. Kohler, Christian Lempelius, dan Dr.

Manfred Ziemek.35

Karir Dawam di LP3ES cukup cepat menanjak untuk ukuran waktu itu. Ia

berjingkat naik dari staf menjadi Kepala Bagian berbagai departemen, kemudian

33

“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. 34

“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. 35 Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 12-13.

Page 35: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Wakil Direktur selama dua periode, dan akhirnya, pada umur 38 tahun, menjadi

Direktur LP3ES. Selama bekerja di lembaga itu, ia telah banyak mendidik kader-

kader intelektual. Karena sebagian mereka berasal dari IAIN, tidak berlebihan jika

berkali-kali Prof. Dawam telah mendidik mahasiswa-mahasiswa IAIN itu di

bidang ilmu-ilmu sosial. Diskusi rutin dengan para kader muda itu menghasilkan

dua buku kumpulan karangan. Pertama adalah Insan Kamil: Konsepsi Manusia

Menurut Islam (Grafiti Press, 1985). Kedua adalah buku Pergulatan Dunia

Pesantren: Membangun Dari Bawah (diterbitkan oleh Perhimpunan

Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, P3M).36

Ketika menjadi Direktur LP3ES, Dawam juga banyak melakukan kegiatan

yang bersifat internasional. LP3ES bekerja sama dengan LSM internasional dan

para intelektual luar negeri terutama dari kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur.

Dawam memprakarsai berdirinya INGI (Inter Non-Governmental Forum for

Indonesia) yang kemudian atas usulannya beganti nama menjadi INFID (Inter

Non-Governmental Forum for Development). Ia juga memprakarsai berdirinya

SEAFDA (South East Asia Forum for Development Alternatif). Dari SEAFDA

itulah Dwam berkenalan dan bersahabat dengan tokoh-tokoh intelektual radikal

seperti Marthin Kor, Rudolf S. David, Surichai, Chandra Muzaffar, S. K. Jomo

atau Kamla Basin. Banyak intelektual Indonesia yang diajaknya ke forum itu,

antara lain Arief Budiman, Daniel Dhakidae, Ignas Kleden, Adi Sasono,

Kuntowidjojo, Ariel Heryanto, Fachry Ali, Farchan Bulkin, Hadimulyo, dan

Karcono. Mereka juga disertakannya dalam menangani proyek kajian tentang

36

“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. Lihat juga

Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 13.

Page 36: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

“State in the Context of Transnationalization” yang dibiayai oleh UN University

di Tokyo yang rektornya adalah Dr. Soedjatmoko.37

Dawam juga banyak mendorong, menganjurkan, dan membantu berdirinya

LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), baik di Jakarta maupun di daerah-daerah.

LSM yang ia prakarsai sendiri antara lain adalah: Lembaga Studi Ilmu-ilmu Sosial

(LSIS), Lembaga Studi Pembangunan (LSP), Lembaga Kebajikan Islam

“Samanhudi” (LKIS), Pusat Pengembangan Agribisnis (PPA), dan Yayasan

Wakaf Paramadina. Sampai sekarang, Dawam masih memimpin yayasan LSAF,

karena yayasan ini termasuk ke dalam kelompok PPA.38

M. Dawam Rahardjo

juga sangat berjasa dalam pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.

Di ICMI, Dawam mulanya menjadi Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI 1990-1995.

Periode berikutnya, 1995-2000, Dawam menjabat sebagai salah seorang Ketua

UCMI Pusat. Selain itu, Dawam juga terpilih sebagai Ketua Presidium Pusat

Peranserta Masyarakat (PPM), di mana ia memegang jabatan itu sampai tahun

1997.39

Dawam dianugerahi gelar professor oleh Universitas Muhammadiyah

Malang pada tahun 1993. M. Dawam Rahardjo akhirnya diangkat sebagai rektor

Universitas 45 (UNISMA).40

Selain sebagai rektor, M. Dawam Rahardjo menjadi

President Director di CIDES Persada Consultant (CPC), Ketua Majelis Pembina

Ekonomi Muhammadiyah periode 1995-2000, Direktur International Institute of

Islamic Thought (III-T) Indonesia, President of the Board of Directors,

37

Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 14. 38

Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 14-15. 39

Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 17-18. 40 “M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”.

Page 37: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Internaitonal Forum of Islamic Studies (IFIS), Dewan Redaksi Harian Republika,

dan staf ahli Tabloid JOB Indonesia.41

Pada 17 April 2006, Dawam memimpin ratusan anggota Alinansi

Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dalam

demonstrasi ke depan gedung Menteri Agama untuk memprotes larangan menteri

atas Ahmadiyah.42 Pembelaan M. Dawam Rahardjo terhadap Ahmadiyah dan

aliran-aliran “sesat” lainnya menyebabkan dipecatnya beliau dari Muhammadiyah

di tahun 2006, saat Muhammadiyah di bawah pimpinan Din Syamsuddin.43

Setelah ulang tahunnya yang ke-65, kondisi kesehatan M. Dawam

Rahardjo semakin memburuk. Meskipun begitu, beliau tetap bersemangat dalam

membuahkan pikiran-pikiran progresif demi membela kebebasan beragama.

Setelah sering keluar-masuk rumah sakit, akhirnya, di tahun 2008, M. Dawam

Rahardjo terpaksa harus dibawa ke Cina untuk menjalani pengobatan di sana.

C. Buku-buku Karyanya

M. Dawam Rahardjo cukup produktif dalam menulis buku, selain juga

menjadi editor beberapa buku dan kolumnis di berbagai media. Berikut ini adalah

beberapa buku karya beliau, yang akan saya kategorikan berdasarkan tema dan isi

pembahasannya.

1. Tema ekonomi Islam, perbankan, manajemen, dan industri. Dalam

beberapa bukunya, M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai ekonom Islam

yang banyak menggagas ekonomi kerakyatan, sekaligus mengkritik

41

Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 19-21. 42

“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. 43 Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo, Tempo, 5 Februari 2006.

Page 38: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

ideologi pembangunan (developmentalism). Buku-buku tersebut antara

lain: Esai-esai Ekonomi Politik (Jakarta: LP3ES, 1988), Tantangan

Indonesia sebagai Bangsa: Esai-esai Krisis tentang Ekonomi, Sosial dan

Politik (Yogyakarta: UII Press, 1999), Independensi Bank Indonesia

dalam Kemelut Politik (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2001), Koperasi

dalam Sorotan Pers (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995),

Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (Jakarta: LP3ES,

1987), Etika Ekonomi dan Manajemen (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990),

Habibienomics: Telaah Ekonomi Pembangunan Indonesia (Jakarta:

Pustaka Cidesindo, 1997), Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah

(Jakarta: LP3ES, 1995), Ekonomi Pancasila: Jalan Lurus Menuju

Masyarakat Adil dan Makmur (Yogyakarta: PUSTEP UGM, 2004),

Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (Jakarta:

UI Press, 1984), dan Deklarasi Makkah: Esai-esai Ekonomi Islam (Mizan,

1987).

2. Tema agama, pemikiran, tafsir, dan pesantren. Buku-buku tema tersebut

menegaskan identitas M. Dawam Rahardjo sebagai seorang cendekiawan

muslim. Di dalamnya kita akan temui gagasan besar, seperti Islam

transformis dan perubahan sosial. Karya-karyanya antara lain: Insan

Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam (Jakarta: Grafiti Press, 1985),

Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial

(Jakarta: LP3ES, 1999), Pergulatan Dunia Pesantren (Jakarta: P3M,

1985), Intelektual, Intelegensi dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah

Page 39: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1993), Ensiklopedi al-Qur'an:

Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina,

1996), Paradigma al-Qur'an: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (PSAP,

2005), Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: LSAF, 1999),

dan Islam dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta: HIT dan LSAF,

2002).

3. Tema sastra. Ada satu buah buku yang menarik karya M. Dawam

Rahardjo yang menarik, yaitu Anjing Yang Masuk Surga (Jakarta:

Jalasutra, 2008). Dari buku ini, kita sadar bahwa M. Dawam Rahardjo

sangat mencintai dunia sastra dan tulis-menulis. Buku ini juga

memperlihatkan kecenderungan pemikiran beliau yang mulai kritis

terhadap beberapa fenomena kekerasan atas nama agama, serta

keyakinannya atas keragaman sebagai suatu hal yang harus dilindungi.

Buku ini juga menggambarkan konteks di mana M. Dawam Rahardjo

tengah berada dalam suasana tekanan konflik yang menyerangnya, terkait

dengan dukungannya atas pluralisme.

4. Beberapa karya M. Dawam Rahardjo lainnya, di mana beliau sebagai

editor atau penyunting buku-buku tersebut, di antaranya: Pembangunan

Ekonomi Nasional: Suatu Pendekatan Pemerataan, Keadilan dan

Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Intermasa, 1997), Sistem Pemilu:

Demokratisasi dan Pembangunan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996),

Profil Indonesia ( Jakarta: CIDES 1994), Pesantren dan Pembaharuan

(Jakarta: LP3ES, 1984), Pesantren dan Pembangunan (Jakarta: LP3ES,

Page 40: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

1974), dan Usaha Kecil dalam Perekonomian Nasional (Jakarta:

Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, 1994).

Meskipun buku-buku itu tidak satu pun yang secara spesifik membahas

tema kebebasan beragama, namun perhatian M. Dawam Rahardjo sangat besar

dalam hal itu. Contohnya dalam buku Anjing yang Masuk Surga. Bagaimana pun,

kebebasan beragama adalah tema paling aktual yang digagas oleh beliau, yang

mana bertepatan dengan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk.

Page 41: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

BAB III

WACANA KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

Definisi dan Prinsip Kebebasan Beragama

Definisi kebebasan beragama menurut M. Dawam Rahardjo berarti

kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta

kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-

masing.44 Sedangkan, menurut Siti Musdah Mulia, kebebasan beragama berarti

kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama

yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan

keyakinan masing-masing.45

Definisi yang diberikan keduanya tampak senada.

Untuk lebih memperjelas definisi kebebasan beragama, kita sebaiknya melihat

ketentuan tentang kebebasan beragama dalam instrumen hak asasi manusia dan

regulasi yang ada di Indonesia.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948, artikel 18

menyebutkan: ”Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan

beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan,

dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan

pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-

sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.”

44

M. Dawam Rahardjo, “Dasasila Kebebasan Beragama.” artikel diakses tanggal 16 Juni

2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925. 45

Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Hakim, ed.,

Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish, h. 228.

Page 42: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Pengertian ini diperjelas dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan

Politik (KIHSP) 1966, artikel 18 (1), yang menyatakan bahwa, “Setiap orang

mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini

mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan

atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-

sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan

agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan

pengajaran.”

Adapun Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 (e) ayat 1 dan 2,

menyebutkan bahwa: 1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat

menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,

memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali, 2) Setiap orang berhak atas kebebasan

meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati

nuraninya. Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1) Negara

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-

tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agama dan kepercayaannya itu.

Selain itu, Undang-undang (UU) RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak

Asasi Manusia (HAM), terutama Pasal 22, menyebutkan bahwa: 1) Setiap orang

bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya

dan kepercayaannya itu. 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk

Page 43: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.

Dengan demikian, penulis dapat menarik definisi kebebasan beragama,

yang berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau

menentukan agama yang dipeluk atas pilihan sendiri, dan kebebasan – baik sendiri

maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum ataupun tertutup

– untuk menjalankan agama atau kepercayaanya, dalam kegiatan ibadah, ketaatan,

pengamalan dan pengajaran, yang mana kebebasan tersebut harus dijamin dan

dilindungi oleh negara.

Kebebasan beragama juga merupakan bagian dari hak asasi keagamaan.

Hak asasi keagamaan dimaksudkan sebagai hak inheren seseorang di ranah privat

ataupun publik untuk beribadah ataupun tidak beribadah sesuai dengan kesadaran,

pemahaman, ataupun pilihannya; untuk membuktikan dan menyebarkan

kepercayaannya; untuk bergabung dalam sebuah lembaga keagamaan; dan untuk

mengubah identitas keagamaannya – seluruhnya tanpa gangguan, penganiayaan,

atau diskriminasi. Hak asasi keagaman memerlukan kesetaraan semua agama,

termasuk yang tidak beragama, di hadapan hukum, dan karenanya, sesuai dengan

hukum, seorang warga negara tidak boleh mendapatkan keuntungan juga kerugian

dikarenakan kepercayaan atau identitas keagamaannya.46

Dalam sejarah Eropa, prinsip kebebasan beragama berakar pada konsep

kebebasan berpikir dan berkesadaran (liberty of thought and liberty of

conscience). Sebuah konsep yang muncul pertama kali dalam Perjanjian

46

James E. Wood Jr., “Religious Human Rights and a Democratic State,” Journal of

Church and State Vol. 46, p. 739.

Page 44: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Westphalia tahun 1648 yang mengakhiri sejarah peperangan atas nama agama di

Eropa.47

Kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia dan realitas sosial tidak

muncul dalam perkembangan sejarah umat manusia, paling tidak, sampai akhir

abad ke-18, sebagaimana terlihat dalam permulaan kelahiran negara Amerika

Serikat dan Revolusi Perancis. Kebebasan beragama menjadi inti hak asasi

manusia – bahkan yang paling mendasar – yang dideklarasikan secara simultan

dalam Deklarasi Perancis tahun 1789 (The French Declaration des droits des

hommes et citoyens) dan Bill of Rights Amerika Serikat.48

Dalam pemikiran politik, konsep kebebasan mendapatkan penafsiran yang

beragam. Salah satu definisi kebebasan di antaranya bahwa tiadanya halangan

atau rintangan bagi seseorang untuk berbuat. John Locke mengemukakan bahwa

hukum sekalipun tidak boleh membatasi kebebasan, dan justru harus menjaga dan

memperluas kebebasan.49 Di sisi lain, pandangan modern memandang bahwa

kebebasan diakui menemui batasannya bila berbenturan dengan hukum positif.

Werner Becker memahami kebebasan dalam arti seseorang dalam batasan-batasan

yang telah ditentukan bisa berbuat atau meninggalkan apa yang dikehendakinya.

Batasan-batasan ini boleh jadi adalah kondisi biologisnya ataupun hukum

47

Penjelasan tentang sejarah diskursus kebebasan beragama sebagai dictum internasional

dapat ditemui dalam laporan Arcot Krishnawami tahun 1959, Study of Discrimination in the

Matter of Religious Rights and Practice, lihat Natan Lerner, “The Nature anf Minimum of

Freedom of Religion or Belief,” dalam Tore Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of

Religion or Belief: A Deskbook, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2004), pp. 68-69. 48

Leonard Swindler, “Freedom of Religion and Dialogue,” dalam Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, p. 761.

49 Norman Berry, An Introduction to Modern Political Theory (New York: St. Martin’s

Press, 1981), h. 157-163. Dikutip dari Masykuri Abdillah, “Kebebasan Berekspresi dalam

Konteks Masyarakat Indonesia,” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang

Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid (Jakarta: PSIK Universitas

Paramadina, 2007), h. 189.

Page 45: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

positif.50

Sementara itu, John Stuart Mill menolak kebebasan yang bisa

membahayakan orang lain (harm to others).51

Untuk memahami agama dalam konteks ini, kita menemukan terdapat tiga

segi agama. Pertama, agama sebagai kepercayaan.52 Agama sebagai kepercayaan

menyinggung keyakinan yang orang pegang mengenai hal-hal seperti Tuhan,

kebenaran, atau doktrin kepercayaan.53 Kepercayaan terhadap agama

menekankan, contohnya, kesetiaan pada doktrin-doktrin seperti rukun Islam,

karma, dharma, atau pesan sinkretik lainnya yang menurut banyak doktrin agama

mendasari realitas kehidupan.

Kedua, sementara agama sebagai kepercayaan menekankan pada doktrin,

agama sebagai identitas menekankan pada afiliasi dengan kelompok. Dalam hal

ini, identitas agama dialami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan keluarga,

etnisitas, ras atau kebangsaan. Jadi, orang percaya bahwa identitas agama

merupakan sesuatu yang didapatkan setelah proses belajar, berdoa, atau refleksi.54

Segi agama yang ketiga ialah agama sebagai jalan hidup (way of life).

Dalam segi ini, agama berhubungan dengan tindakan, ritual, kebiasaan dan tradisi

50 Werner Becker, Die Freiheit, die Wir Meinen (Munchen-Zurich: R. Piper & Co.

Verlag, 1982), h. 111. Dikutip dari Abdillah, “Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Masyarakat

Indonesia,” h. 189. 51

Andrew Heywood, Political Theory; An Introduction (New York: St. Martin’s Press,

1994), h. 258 dan 270. Dikutip dari Abdillah, “Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Masyarakat

Indonesia,” h. 189. 52

T. Jeremy Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in

International Law,” Harvard Human Rights Journal, Vol. 16, 2003, p. 200. 53 Dalam studinya atas kecurigaan agama, Allport mengidentifikasi dua “kutub tipe

affiliasi keagamaan.” Gordon W. Allport, “The Religious Context of Prejudice,” Journal for

Scientific Study of Religion 5 (1966), p. 452. Pertama, yang berhubungan secara umum dengan segi “agama sebagai kepercayaan” sebagaimana dijelaskan di sini, Allport mengindentifikasi

sebagai “kelembagaan” dan ia menyarankan segi tersebut berdasar pada adopsi kepercayaan

sukarela masyarakat. Kedua, “komunal” berhubungan secara umum dengan segi “agama sebagai

identitas”. 54

Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in International

Law,” p. 201.

Page 46: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

yang membedakan umatnya dari pemeluk agama lain. Contohnya, agama sebagai

jalan hidup bisa mendorong orang untuk hidup di biara atau komunitas

keagamaan, atau melakukan banyak ritual, termasuk shalat lima waktu,

mengharamkan daging babi, ataupun menyunat.55 Dalam segi ini, keimanan

berusaha tetap dipegang, bahkan perlu untuk diimplementasikan. Tampak bahwa

dalam segi ini, agama sangat bersinggungan dengan kepentingan publik. Ini

berarti, agama tidak cukup hanya berupa kepercayaan akan spiritualitas yang

sifatnya interior, ataupun sebagai identitas afiliasi kelompok saja.

Banyak pihak menghormati kebebasan beragama sebagai salah satu hak

asasi manusia terpenting di era modern: “Sebuah elemen esensial dalam tata

internasional yang baik yakni kebebasan beragama.”56

Lebih dari penting, banyak

pihak berpendapat bahwa kebebasan beragama ialah hak dasar doktrin hak asasi

manusia modern. Kebebasan beragama dijelaskan sebagai, “kemenangan

kebebasan yang paling berharga,”57 “kebebasan pertama, pembentuk, fons et origo

atas seluruh hak dan kebebasan lainnya.”58 Littell menyatakan, “di antara hak-hak

dasar lainnya, kebebasan beragama adalah yang paling diprioritaskan”.59

Ada banyak alasan beragam atas keutamaan ini, tetapi kebanyakan

komentator cenderung sepakat bahwa kebebasan beragama merupakan dasar

masyararakat demokratis dan bebas. Mereka memahami bahwa kebebasan politik

55 Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in International

Law,” p. 204. 56

Dari the Amsterdam Declaration by the First Assembly of the World Council of Churches, dalam Ninan Koshy, “The Ecumenical Understanding of Religious Liberty: The

Contribution of the World Council of Churches”, Journal of Church and State 38, 1996, p. 141. 57

Franklin H. Littell, "The Ecumenical Commitment to Human Rights", Journal of

Ecumenical Studies 29 (1992), p. 388. 58

Peter L. Berger, "The First Freedom", Commentary 86 (1988), p. 64. 59 Littell, "The Ecumenical Commitment to Human Rights", p. 383.

Page 47: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

tidak terpisahkan dari kebebasan beragama. Kebebasan politik berakar pada

kebebasan beragama dan tidak bisa diperkokoh ataupun dikembangkan terkecuali

melaluinya. Semua partai yang berusaha memberi dasar lain atas kebebasan

politik telah gagal dalam usahanya dan hancur dalam rezim tirani.60

Pengakuan atas hubungan khusus antara kebebasan beragama dan

kebebasan dasar lainnya sama sekali tidak terpisahkan dari observasi ini. Lebih

dari 150 tahun lalu, Audi menyatakan:

Jelas bahwa sebuah masyarakat tanpa kebebasan beragama belum benar-benar

bebas. Lebih jauh, kebebasan diperlukan demokrasi... Karenanya, jika idealita seseorang

ialah sebuah masyarakat demokratis dan bebas, ia membutuhkan kerangka sosial

(konstitusional) untuk menjamin paling tidak hal berikut: (1) kebebasan atas kepercayaan

agama, dipahami sebagai melarang negara atau siapapun untuk menanamkan kepercayaan agama dalam populasi umum, yang dimaksudkan untuk meng-eksklusi atau membatasi

perkembangan persaingan kepercayaan agama; (2) kebebasan untuk beribadah meliputi,

minimal, hak kementrian kerukunan beragama, juga hak memanjatkan doa seorang diri;

dan (3) kebebasan untuk ikut serta dalam (dan mengajar anak-anak) upacara dan ritual

keagamaan, memelihara praktek-praktek keagamaan tersebut tanpa melanggar hak-hak

moral dasar.61

Berbagai pengakuan atas urgensi kebebasan beragama tersebut

memposisikan kebebasan tersebut sebagai sebuah instrumen hak asasi manusia

terpenting dalam sejarah manusia. Pengakuan tersebut diabadikan dalam

instrumen-insturmen hak asasi manusia internasional, seperti Universal

Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(DUHAM) tahun 1948 dan Internasional Covenant on Civil and Political Rights

atau Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) tahun 1966.

60

Abbé Hugues-Félicité Robert de Lamennais dalam C. B. Hastings, "Hughes-Félicité

Robert de Lamennais: A Catholic Pioneer of Religious Liberty", Journal of Church and State 30

(1988), p. 321. 61

Robert Audi, "The Separation of Church and State and the Obligations of Citizenship",

Philosophy and Public Affairs 18 (1989), pp. 265-66.

Page 48: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Freedom of religion or belief, in its current historical form, is a universally applicable human rights instrument. At the

normative level, it has been clear from the beginning of the modern human rights era that freedom of religion is a fundamental rights. Emerging from the ashes of the second World War, the right has been articulated most

authoritatively in article 18 of both the Universal Declaration of Human Rights and the International Covenant on

Civil and Political Rights. Individuals – all human beings everywhere in the world – are the primary holders and beneficiaries of this freedom; states – ideally under continual critical scrutiny by informed citizens – are the primary

addresses and thus the primary holders of the correlative onligations. Beyond the religious freedom provisions of the

Universal Declaration and the ICCPR, key elaborates us and specifications of the human right to freedom of religion or belief are provided by the 1981 Declaration. The United Nations Human Rights Committee General Comment No.

22 (48) provides normative substance to article 18 of the ICCPR.

(Kebebasan beragama atau berkeyakinan, dalam sejarahnya, merupakan

instrumen pelaksanaan hak asasi manusia Secara normatif, telah jelas sejak awal masa

hak asasi manusia modern bahwa kebebasan beragama adalah hak yang sangat mendasar. Timbul dari sisa-sisa Perang Dunia ke-2, hak kebebasan beragama diartikulasikan paling

otoritatif dalam pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Hak Sipil

dan Politik. Individu – semua manusia di seluruh dunia – merupakan pemilik utama dan

pihak yang diuntungkan dari kebebasan ini, negara – yang idealnya di bawah kritikan

tajam yang terus menerus disampaikan oleh warga negara yang terdidik – menjadi alat

utama dan juga pemilik utama kewajiban-kewajiban terkait hak tersebut. Melampaui

ketentuan kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan

KIHSP, kunci dan spesifikasi yang memperinci hak asasi kebebasan beragama atau

berkeyakinan bagi kita disajikan oleh Deklarasi 1981. Komentar Umum No. 22 (48)

Komite Hak Asasi Manusia PBB menyajikan substansi normatif atas pasal 18 KIHSP.)62

DUHAM tahun 1948, artikel 18 menyebutkan: ”...Setiap orang berhak atas

kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan

untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama

atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan

ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum

maupun secara pribadi...”

Dalam redaksi lain, KIHSP tahun 1966, artikel 18 (1) menyatakan bahwa:

“...Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan

beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama

atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu

maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup,

62

Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, pp.

xxxvii-xxxviii.

Page 49: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan,

pengamalan dan pengajaran...”

Kebebasan beragama memiliki dua dimensi. Pertama, kebebasan internal

(forum internum), artinya “bebas untuk meyakini dan memeluk satu agama

tertentu,” termasuk pindah dari satu agama ke agama yang lain. Meski demikian,

kebebasan internal ini tidak secara otomatis melahirkan hak untuk

memanifestasikan dan menyiarkan agama di ranah publik. Hal ini dikarenakan

adanya dimensi kedua dari kebebasan beragama.

Dimensi kedua ialah kebebasan eksternal (forum externum), yakni hak

kondisional yang bisa menjadi subjek pembatasan karena bersinggungan dengan

hak-hak asasi orang lain. Kebebasan eksternal ini dengan jelas terutama dapat

disaksikan dalam dokumen KIHSP tahun 1966, yang sekaligus membedakannya

dari DUHAM 1948. KIHSP tahun 1966, artikel 18 (3) berbunyi: “...Kebebasan

untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh

ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban,

kesehatan atau moral masyarakat atau hak mendasar dan kebebasan orang lain...”

Kedua dimensi kebebasan beragama ini saling berkaitan dan tidak bisa

dipisahkan. Akibatnya, kebebasan beragama bukanlah kebebasan tanpa batasan.

Penegakan kebebasan beragama tetap harus mempertimbangkan keamanan,

ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, yang dirangkai dalam suatu

ketentuan hukum. Kebebasan beragama seseorang juga dibatasi oleh pengakuan

atas hak dasar dan kebebasan orang lain.

Page 50: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Inti normatif dari hak asasi kebebasan beragama bisa dipadatkan dalam

delapan komponen, antara lain:63

1. Kebebasan internal: Setiap orang memiliki hak kebebasan berpikir,

berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk semua

orang untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengganti

agama atau kepercayaannya.

2. Kebebasan eksternal: Setiap orang memiliki kebebasan, baik sendiri

maupun di dalam masyarakat dengan yang lainnya, di ruang pribadi

ataupun publik, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya

dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.

3. Anti-kekerasan: Tidak seorang pun boleh ditundukkan atas kekerasan yang

akan merusak kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi agama dan

kepercayaan sesuai pilihannya.

4. Anti-diskriminasi: Negara berkewajiban untuk menghormati dan

memastikan seluruh individu dalam wilayahnya tunduk terhadap jaminan

hukum kebebasan beragama tanpa memandang bulu dalam segala hal,

seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan,

politik, kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status-status lainnya.

5. Hak orang tua dan wali: Negara berkewajiban untuk menghormati

kebebasan orang tua atau wali untuk memastikan pendidikan agama dan

moral anak-anak mereka dalam sesuai dengan hukum dan perlindungan

63

Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, pp.

xxxviii-xxxix.

Page 51: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

hak kebebasan beragama anak-anak sejalan dengan perkembangan

kapasitas anak.

6. Kebebasan dan kedudukan hukum perusahaan: Aspek vital kebebasan

beragama, terutama dalam masa kontemporer, ialah komunitas keagamaan

memiliki kedudukan dan hak kelembagaan untuk mewakili hak dan

kepentingannya sebagai masyarakat. Komunitas keagamaan karenanya

memiliki hak kebebasan beragama, yang mencakup hak otonomi dalam

urusan sendiri. Walaupun mereka tidak memiliki status kedudukan hukum

yang formal, mereka tetap memiliki hak memperoleh status legal sebagai

bagian dari hak kebebasan beragama atau berkeyakinan mereka dan

khususnya sebagai aspek kebebasan untuk memanifestasikan keyakinan

agama tidak hanya secara individual, tetapi dalam masyarakat bersama

yang lainnya.

7. Batas pembatasan yang diizinkan pada kebebasan eksternal: Kebebasan

untuk memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang dapat

ditundukan hanya kepada pembatasan-pembatasan tertentu sebagaimana

ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk perlindungan keselamatan

publik, tata tertib, kesehatan atau moral atau hak fundamental orang lain.

8. Tidak dapat dikurangi (Non-derogable): Negara tidak boleh mengurangi

hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan

darurat sekalipun.

Page 52: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Walaupun kebebasan beragama berlaku untuk individu, kebebasan

beragama juga mencakup perlindungan aktifitas masyarakat dan hubungan antar

generasi. Komunitas keagamaan mengambil keuntungan dari perlindungan yang

diberikan atas aktifitas masyarakat. Negara dibebani dengan kewajiban-kewajiban

terkait untuk menjamin hak institusional kelompok-kelompok agama.64

Dalam uraian yang sedikit berbeda, Siti Musdah Mulia menyebutkan

beberapa prinsip kebebasan beragama, yang antara lain:65

Kebebasan beragama berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih

agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan

melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.

Kebebasan beragama berarti kemerdekaan menyebarkan agama, menjalankan

misi atau berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu

tidak menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung

ataupun tidak langsung. Termasuk tidak mengeksploitasi kebodohan dan

kemiskinan masyarakat atau bersifat merendahkan martabat manusia

sehingga tidak dibenarkan melakukan pemberian bantuan apa pun dengan

syarat harus masuk ke dalam agama tertentu.

Kebebasan beragama mencakup kebebasan untuk berpindah agama, artinya

berpindah pilihan agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara

berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya

dapat membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat.

64

Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, p. ix. 65

Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Hakim, ed.,

Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish, h. 228-231.

Page 53: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Kebebasan beragama mencakup kebebasan perkawinan antara dua orang yang

berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan

sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan

eksploitasi, seperti perdagangan perempuan dan anak perempuan

(trafficking in women and children), asalkan perkawinan tersebut dicatat

di lembaga catatan sipil.

Kebebasan beragama mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama

manapun di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk di lembaga

pendidikan milik pemerintah. Setiap siswa atau mahasiswa berhak

memilih atau menentukan agama manapun yang akan dipelajarinya, dan

tidak dibatasi hanya pada agama yang dianut peserta didik. Demikian

juga, kebebasan untuk tidak mengikuti pelajaran agama tertentu.

Kebebasan beragama memberi ruang pada kemunculan aliran keagamaan

tertentu, bahkan kemunculan agama baru sepanjang tidak mengganggu

ketentraman umum dan tidak pula melakukan praktit-praktik yang

melanggar hukum. Kebebasan itu berlaku pula untuk mereka yang

mendirikan perkumpulan untuk maksud kesehatan atau kecerdasan

emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu sesuai dengan

pilihan anggota atau peserta, selama tidak mengharuskan keimanan

terhadap suatu agama atau kepercayaan sebagai syarat.

Kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada

semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di suatu negara.

Negara tidak boleh bersikap dan berbuat diskriminatif terhadap mereka.

Page 54: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Tidak ada istilah mayoritas-minoritas, penganut agama samawi dan non-

samawi, agama asli dan agama pendatang, serta agama resmi dan tidak

resmi.

Regulasi Kebebasan Beragama di Indonesia

Dalam konteks sejarah, Indonesia ternyata telah lama menegakkan

berbagai kebijakan terkait kebebasan beragama. Usaha atas regulasi kebebasan

beragama di Indonesia telah berlangsung sejak abad XVI-XVII. Catatan sejarah

kebebasan beragama di Indonesia ini didasarkan atas kesaksian para pelancong

asing yang pada masanya berkunjung ke Indonesia. Berdasarkan catatan mereka,

beberapa kesultanan/kerajaan di Indonesia telah mengadakan usaha-usaha ke arah

penghargaan atas kebebasan beragama.

Vincent Le Blanc – seorang pengembara asal Perancis yang mengunjungi

Kesultanan Banten pada abad XVII, kira-kira pada masa ayahanda Sultan Ageng

Tirtayasa, yaitu Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M.) –

menyaksikan bahwa Sultan Banten memberikan kebebasan beragama kepada

rakyatnya dan juga orang asing yang mengunjungi Banten. Sultan Banten

memberikan izin kepada orang Cina untuk memberikan klenteng sebagai rumah

ibadah mereka. Selain itu, Sultan Banten memberikan izin bagi para pendeta

Katolik untuk menjalankan ritual keagamaan mereka di tanah Banten.66

66

Lihat Pierre Bergeron, ed., Les Voyages Fameux du Sieur Vincent Le Blanc Marseillais

(Paris: Gervais Clousier, 1649), h. 148-149. Dikutip dari Ayang Utriza NWAY, “Islam dan

Pluralisme di Indonesia,” dalam Hakim, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk

Mengenang Nurcholish Madjid, h. 314.

Page 55: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Nicolas Gervaise – seorang pendeta Katolik Perancis yang pada abad XVII

berdiam di Thailand – mencatat toleransi tinggi yang diberikan oleh Kesultanan

Makassar terhadap umat Katolik Portugis, sebagaimana yang ia dengar dari orang-

orang yang pernah berkunjung ke sana. Dia menulis bahwa Sultan Makassar (ket:

Gervaise tidak menuliskan namanya) mempersilahkan umat Katolik untuk

menjalankan ibadah mereka di ruang publik. Sultan Makassar mendirikan pula

sebuah gereja indah dan besar untuk umat Katolik dari Portugal itu. Selanjutnya,

Sultan Makassar memberikan kebebasan beragama bahkan bagi para misionaris

Katolik dan orang Portugis yang memutuskan untuk menetap di Makassar.67

Di Kesultanan Aceh, James Lancaster – orang Inggris yang melakukan

kontak dagang dengan Aceh pada tahun 1011 H./1602 M. – menceritakan bahwa

terdapat ulama besar di Kesultanan Aceh yang bernama Syamsuddin al-Sumatra’i

(w. 1039 H./1630 M.). Lancaster menceritakan bahwa al-Sumatra’i mengajak

berdiskusi Jenderal Inggris mengenai agama Kristen. Sayangnya, jenderal

menolak karena ia datang ke Aceh untuk berdagang dan bukan berdiskusi tentang

agama.68

67

Nicolas Gervaise menulis, “...il leur donna aussi la liberte d’y faire l’exercise public de

leur religion.” (artinya: ...dia [Raja Makassar] memberikan kepada mereka [orang-orang Portugis]

kebebasan menjalankan agama mereka [Katolik] di tempat umum). Gervaise melanjutkan, “...il

leur fit batir une eglise magnifique dans une ville qu’il donna aux marchands de cette nation pour

etablir leur commerce.” (artinya: ...Raja Makassar mendirikan sebuah gereja ang menkjubkan di

dalam kora Makassar yagn dia berikan kepada para pedagang dari Portugal untuk melancarkan

perdagangan mereka). Kemudian Gervaise menulis, “Quand aux Portugais et aux missionaire qui

etaient venus s’etablir dans ke Macassar, ils conserverent toujours ler bonnes graces du roi et le

libre exercise de leur religion.” (artinya: Adapun orang-orang Portugis dan para Missionaris yang

datang dan menetap di Makassar, mereka tetap terus mendapatkan kemurahan hati dari para raja dan kebebasan menjalankan agama mereka). Lihat Nicolas Gervaise, Description Historique du

Royaume de Macassar (Paris: Kime, 2003), h. 105-106. Dikutip dari Utriza NWAY, “Islam dan

Pluralisme di Indonesia,” h. 315-316. 68

James Lancaster, “The First Voyage Made to East-Indie by Master James Lancaster,”

dalam Samuel Purchas, ed., Purchas His Pilgrimes (London: William Stansby, 1625), h. 156.

Dikutip dari Utriza NWAY, “Islam dan Pluralisme di Indonesia,” h. 316.

Page 56: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Perjuangan untuk menegakkan prinsip kebebasan beragama di Indonesia

sebenarnya tidak berangkat dari nol sama sekali. Sejak berdirinya Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), agama menempati posisi yang sangat

penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dasar negara Indonesia,

Pancasila, dengan tegas menyebutkan dalam sila pertamanya, bahwa dasar negara

Indonesia ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam sejarahnya, keputusan

untuk menetapkan dasar negara Pancasila memang menemui dialektika yang tidak

sederhana. Namun, bagaimana pun ketatnya perdebatan yang telah terjadi, hingga

saat ini Indonesia menganut Pancasila sebagai dasar negaranya. “Ketuhanan Yang

Maha Esa” menjadi legitimasi utama dalam penegakan toleransi dan kebebasan

beragama. Asas netralitas negara atas pluralitas agama dan kepercayaan

masyarakat menjadi landasan pokok berdirinya NKRI ini.

Dalam instrumen hak asasi manusia, kebebasan beragama termasuk ke

dalam kategori hak sipil dan politik. Di Indonesia, instrumen-instrumen yang

mengatur hak sipil dan politik ini antara lain:

1. UUD 1945 (Pasal 28 A, 28 B (ayat 1, 2), 28 D ayat (1, 3, 4), 28 E ayat

(1, 2, 3), 28 F, 28 G ayat (1, 2), 28 I ayat (1, 2);

2. Ketetapan MPR Nomor XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia;

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi

Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita;

4. Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi

Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam,

Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia;

Page 57: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

5. Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi

Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial;

6. UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM (Pasal 9-Pasal 35);

7. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahaan Kovenan Internasional

Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1966;

8. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi

Hak-hak Anak;

9. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948.

Hal-hal yang dilakukan Indonesia dalan Menjamin dan Melindungi Hak-

hak Sipil dan Politik warga negara, antara lain:

1. Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen Hak Asasi Manusia

yang terkait tentang Hak-hak Sipil dan Politik;

2. Mengamandemenkan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memasukan

BAB yang mengatur HAM tersendiri;

3. Harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan;

4. Melakukan diseminisasi dan sosialisasi di seluruh wilayah Republik

Indonesia terkait dengan Hak-hak Sipil dan Politik;

5. Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional

Perlindungan anak dan Komisi Nasional Perempuan;

6. Pembentukan Kementerian Negaran Urusan HAM yang menangani

masalah HAM yang kemudian di gabung dengan Departemen Kehakiman dan

Page 58: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

HAM yang sekarang berubah menjadi Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia;

7. Mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui

Pengadilan HAM Ad Hock;

8. Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2004-2009 yang

berisi tentang pedoman kerja mengenai langkah-langkah yang akan disusun secara

berencana dan terpadu pada tingkat nasional dalam rangka mewujudkan

penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.

Sebelum Januari 2006, Indonesia hanya mengakui lima agama resmi;

Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu. Akhirnya, Konghucu mendapatkan

pengakuan sebagai agama resmi ke-6. Organisasi-organisasi keagamaan selain

dari keenam agama yang diakui tersebut dapat mendaftar ke Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata hanya sebagai organisasi sosial yang melarang

kegiatan-kegiatan keagamaan tertentu. Pemerintah mensyaratkan kelompok-

kelompok keagamaan yang diakui secara resmi untuk mematuhi instruksi

Departemen Agama dan departemen lainnya seperti Surat Keputusan Bersama

Menteri yang direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat (2006), Bantuan Asing

kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (1978) dan Pedoman Penyiaran Agama

(1978).

Sementara itu, pada dasarnya, jaminan atas kebebasan beragama di negara

ini sudah cukup kuat. Jaminan dimaksud yaitu:

Page 59: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Pertama, Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 (hasil amandemen) yang

menyebutkan bahwa: 1) “...Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat

menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,

memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali...” 2) “...Setiap orang berhak atas

kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan

hati nuraninya...” Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1)

“...Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa...” 2) “...Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu...”

Kedua, Undang-undang (UU) RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi

Manusia (HAM), terutama Pasal 22, menyebutkan bahwa: 1) “...Setiap orang

bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya

dan kepercayaannya itu...” 2) “...Negara menjamin kemerdekaan setiap orang

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya

dan kepercayaannya itu...” Selain itu, juga terdapat dalam Pasal 8 yang berbunyi:

“...Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia

menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah...”

Ketiga, UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang

Hak-hak Sipil dan Politik. Dengan meratifikasi KIHSP tersebut, Indonesia berarti

terikat untuk menjamin: Hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan

dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); Hak orang

untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas

Page 60: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); Persamaan kedudukan semua

orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama

tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis,

agama atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (negara yang

terlibat menandatangani kovenan internasional tersebut) (Pasal 27).

Selain regulasi fundamental di atas, Indonesia memiliki beberapa

peraturan – yang akhirnya diketahui bertanggung jawab atas beberapa kasus

pelanggaran kebebasan beragama – sebagai turunan dari konstitusi dan undang-

undang di atas.

Revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 1969 tentang Pendirian

Rumah Ibadah dilakukan pemerintah pada tahun 2006. Tujuan revisi itu adalah

mempermudah pendirian rumah ibadah baru. SKB yang telah direvisi

mengharuskan kelompok agama yang hendak membangun rumah ibadah baru

untuk mengumpulkan 90 tanda tangan anggota jemaat dan 60 tanda tangan

pemeluk agama lain yang berada dalam komunitas itu yang mendukung pendirian

rumah ibadah serta persetujuan dari kantor urusan agama setempat. Sementara itu,

Pedoman Bantuan Asing kepada Lembaga Keagamaan mengharuskan lembaga

keagamaan dalam negeri untuk memperoleh persetujuan dari Menteri Agama

sebelum menerima dana dari donor asing. Adapun Pedoman Penyebaran Agama

melarang ajakan untuk berpindah agama dalam berbagai situasi.

Berkaitan juga dengan aturan pedoman penyebaran agama, Undang-

undang Perlindungan Anak tahun 2002 menjadikan upaya untuk mengubah

Page 61: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

keyakinan anak pindah agama melalui ”tipu muslihat” dan/atau ”kebohongan”

sebagai kejahatan yang dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara.

Pasal 156 KUHP membuat penyebaran permusuhan, penodaan, dan

penghinaan terhadap suatu agama dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara.

Walaupun hukum diterapkan terhadap semua agama yang diakui secara resmi,

namun pasal ini biasanya berlaku pada kasus-kasus yang melibatkan penghinaan

dan penodaan terhadap Islam. Pasal ini sangat sering memicu kontroversi dalam

hal kebebasan beragama di Indonesia.

Pada tanggal 9 Desember 2006, DPR mensyahkan Undang-undang

Administrasi Kependudukan yang mengharuskan warganegara

mengidentifikasikan diri mereka pada KTP sebagai pemeluk salah satu dari enam

agama yang diakui oleh Pemerintah. Undang-undang tersebut melegalisir apa

yang di masa lalu merupakan praktek administrasi di seluruh negeri. Undang-

undang tersebut tidak mengijinkan pencatuman agama lain dalam KTP tersebut.

Pada tanggal 28 Juni 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan No.

37/2007 yang mengacu ke Undang-undang Administrasi Kependudukan dan

Perkawinan. Peraturan baru mengijinkan para pemuka Aliran Kepercayaan untuk

memimpin upacara perkawinan dan meminta kantor catatan sipil untuk

mendaftarkan ijin nikah yang ditandatangani oleh pemimpin perkawinan tersebut,

sehingga membuat perkawinan-perkawinan ini diakui secara resmi.

Sungguhpun demikian, keberadaan jaminan atas prinsip kebebasan

beragama dalam sistem perundang-undangan di Indonesia ini – baik dalam

konstitusi, maupun dalam undang-undang – masih belum terimplementasi dengan

Page 62: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

baik dalam pratiknya. Kekeliruan dimaksud adalah ketidaksesuaian antara apa

yang seharusnya dengan apa yang nyatanya terjadi berdasarkan parameter norma,

standar dan hukum HAM internasional maupun konstitusi, hukum, undang-

undang dan peraturan yang relevan dan konsep HAM internasional, terutama hak-

hak sipil keagamaan (religious civil rights) yang spiritnya tidak lain adalah prinsip

kebebasan beragama itu sendiri. Kekeliruan dimaksud bisa dilakukan oleh negara

sebagai pihak yang telah terikat dalam traktat HAM internasional maupun anggota

masyarakat sendiri, yang secara sengaja atau tidak sengaja, paham atau tidak

paham tentang prinsip-prinsip HAM, dalam bentuk pelanggaran terhadap prinsip

kebebasan beragama.

Berbagai regulasi yang dibuat negara terkait dengan kehidupan

keberagamaan malah sangat sering menjadi pangkal masalah kasus-kasus

pelanggaran kebebasan beragama. Selain, tentu saja, adanya motif subjektif dari

kelompok-kelompok masyarakat yang berniat melanggar kebebasan beragama di

Indonesia.

Bentuk-bentuk Pelanggaran Kebebasan Beragama di

Indonesia

Meskipun regulasi negara yang mengatur tentang perlindungan kebebasan

beragama cukup banyak dianut oleh Indonesia, namun berbagai pelanggaran atas

kebebasan beragama tetap saja berlangsung hingga saat ini. Belakangan,

sepanjang tahun 2003 s.d. 2008, kita menemukan beragam pola pelanggaran

kebebasan beragama yang terjadi dalam berbagai level dan dengan pelaku

Page 63: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

pelanggaran yang berbeda-beda. Bahkan, pada kasus-kasus tertentu, intensitas

pelanggaran kebebasan beragama semakin meruncing akhir-akhir ini.

Untuk lebih memahami berbagai pelanggaran kebebasan beragama

tersebut, maka kita akan memetakan pola pelanggaran kebebasan beragama di

Indonesia ke dalam kategori-kategori berikut ini:

1. Pembatasan Negara atas Pengakuan Status Agama Resmi

Departemen Agama RI menambah status agama resmi menjadi

enam, setelah sejak Januari 2006 Konghucu dianggap sebagai agama

resmi. Sebelumnya, agama resmi yang diakui hanyalah Islam, Katolik,

Protestan, Budha dan Hindu. Atheisme tetap tidak diakui. 69

Organisasi agama di luar enam agama resmi ini diperbolehkan

mendaftar ke Departemen Pariwisata, dan itu pun semata-mata sebagai

organisasi sosial. Akibatnya, ada pelarangan sejumlah kegiatan

keagamaan tertentu dan pelarangan agama-agama yang jumlah

pemeluknya sedikit (minoritas).70

Pemerintah memperbolehkan praktek Aliran Kepercayaan Asli

Indonesia, namun hanya sebagai manifestasi budaya, dan bukan sebagai

69 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,” Diakses pada tanggal 21

Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/Laporan_Kebebasan_Beragama_

2007. html. 70

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,” Diakses pada tanggal 21

Nopember 2008 dari

http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/kebebasan_beragama1.html.

Page 64: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

agama. Para pengikut Aliran Kepercayaan harus mendaftar ke Departemen

Pendidikan Nasional.71

2. Diskriminasi Pelayanan Catatan Sipil terhadap Agama Minoritas

Pemerintah gagal memberikan perlakuan setara di bidang-bidang

tertentu, seperti catatan sipil kepada penganut agama minoritas. Kaum

animis, Baha’i dan yang lainnya menemui kesulitan mendapatkan Kartu

Tanda Penduduk (KTP). Pemerintah mewajibkan semua warga negara

dewasa memiliki KTP, dengan mencantumkan agama yang dipeluknya.

Beberapa petugas serta merta menolak penganut agama minoritas

mendapatkan KTP, sementara yang lainnya tidak secara akurat

mencantumkan agama yang dianut oleh pemilik KTP. Misalnya, banyak

animis yang memiliki KTP mendapati agama yang tercantum dalam KTP

mereka adalah Islam atau agama resmi lainnya. 72 Banyak penganut Sikh

yang dicantumkan sebagai penganut Hindu dalam KTP karena pemerintah

tidak secara resmi mengakui agama mereka. Warga negara yang tidak

memiliki KTP menemui kesulitan dalam mendapatkan perkerjaan.73

Modus seperti ini dialami oleh para penganut agama atau

kepercayaan minoritas lainnya dalam pencatatan pernikahan. Mereka

kesulitan mendaftarkan atau mencatatkan pernikahan atau kelahiran

karena pemerintah tidak mengakui agama mereka, meskipun terdapat

71

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2005,” Diakses pada tanggal 21

Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/laporan%20kebebasan%20

beragama% 202005-1.html. 72

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,” 73 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”.

Page 65: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

peraturan pada bulan Juni 2007 yang berkaitan dengan administrasi

perkawinan dan sipil. Pada prakteknya, pasangan yang dihalangi untuk

mendaftarkan pernikahan mereka atau kelahiran seorang anak sesuai

dengan keyakinannya masuk ke dalam agama atau menyatakan seolah-

olah mereka penganut salah satu dari enam agama yang diakui. Bila

mereka memilih untuk tidak mencatatkan pernikahannya atau kelahiran

anaknya, di masa yang akan datang akan mendapatkan kesulitan, seperti

anak yang tidak memiliki akte kelahiran tidak dapat masuk sekolah dan

tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa. Mereka juga tidak

memenuhi syarat untuk bekerja sebagai pegawai negeri.74

Kelahiran anak

dari pernikahan yang tidak didaftarkan atau dicatatkan secara otomatis

menyebabkan anak mereka tidak bisa mendapatkan akte kelahiran.

Bahkan anak tersebut dapat tercatat sebagai anak di luar nikah, dan hanya

dicatat sebagai anak dari pihak ibu saja.

Selain itu, pasangan laki-laki dan perempuan dari agama yang

berlainan mendapat hambatan besar untuk menikah dan secara resmi

mendaftarkan pernikahan mereka. Mereka kesulitan menemukan pemuka

agama yang bersedia memimpin upacara pernikahan mereka dan

mencatatkan pernikahan semacam ini kepada pemerintah. Akibatnya,

beberapa orang sengaja pindah agama agar bisa menikah. Yang lainnya,

74 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”

Page 66: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

pergi ke luar negeri dan menikah untuk kemudian mendaftarkan

pernikahan mereka ke Kedutaan Besar Indonesia.75

3. Pembatasan Pendirian Rumah Ibadah

Pemerintah sejak lama melalui SKB tahun 1969 tentang Pendirian Rumah

Ibadah membatasi pembangunan dan pertambahan rumah ibadah, dan tetap

mempertahankan pelarangan rumah pribadi untuk dijadikan tempat ibadah,

kecuali masyarakat sekitar menyetujui dan kantor Departemen Agama

setempat mengijinkan. Tentu saja, aturan seperti ini sangat mendiskriminasi

pemeluk agama minoritas di suatu wilayah. Padahal, kebutuhan adanya rumah

ibadah tidak terkait secara langsung dengan jumlah mayoritas atau minoritas

suatu umat beragama, melainkan kebutuhan pribadi seorang atau beberapa

penganut agama.

Kenyataannya, mendapatkan dukungan dan persetujuan dari

masyarakat sekitar tidaklah mudah. Bahkan pada beberapa kasus,

meskipun izin dari masyarakat sudah didapat, namun tiba-tiba sekelompok

orang dari luar lingkungan itu datang dengan membawa daftar panjang

tanda tangan yang menolak proyek pembangunan rumah ibadah tersebut,

akibatnya izin pendirian rumah ibadah pun tertunda. Diskriminasi ini tidak

hnya dialami oleh para penganut agama non-muslim di tengah-tengah

mayoritas masyarakat muslim. Selain itu, pemerintah menyatakan secara

rutin menerima keluhan dari Muslim di Papua, Nusa Tenggara Timur,

75 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,”.

Page 67: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Sulawesi Utara, dan provinsi-provinsi lain, yang melaporkan kesulitan

yang ditemui dalam pendirian masjid di wilayah-wilayah itu.76

Pemerintah akhirnya merevisi Surat Keputusan Bersama (SKB)

tahun 1969 tentang Pendirian Rumah Ibadah pada tahun 2006 sebagai

respons atas adanya kelompok militan yang mendasarkan tindakannya

pada SKB tahun 1969. Tujuan revisi itu adalah mempermudah pendirian

rumah ibadah baru. SKB yang telah direvisi mengharuskan kelompok

agama yang hendak membangun rumah ibadah baru untuk mengumpulkan

90 tanda tangan anggota jemaat dan 60 tanda tangan pemeluk agama lain

yang berada dalam komunitas itu yang mendukung pendirian rumah

ibadah serta persetujuan dari kantor urusan agama setempat.77

Sejak pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang

direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat pada bulan Maret 2006,

pelaksanaan dan pembelaan hak-hak yang diberikan di bawah SKB

tersebut tidak selalu dilaksanakan di tingkat daerah. Sebagian umat

Kristiani dan Hindu menunjukkan adanya tindakan diskriminasi secara

sporadis, di mana pemerintah daerahnya menolak memberikan ijin

pembangunan gereja dan kuil walaupun kelompok tersebut telah

mengumpulkan tanda tangan sesuai dengan yang diminta. Misalnya,

Parisadha Hindu Dharma Indonesia melaporkan bahwa mereka tetap tidak

bisa mendirikan sebuah kuil di dekat Jakarta walaupun telah

76

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,”. 77

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,” Diakses pada tanggal 21

Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/laporan_kebebasan_beragama_

2006-2.html.

Page 68: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

mengumpulkan persyaratan tanda tangan yang diminta.78

Selain itu,

beberapa kelompok militan secara paksa menutup dua gereja tanpa adanya

campur tangan aparat kepolisian meskipun dalam Peraturan Bersama

terdapat masa tenggang (grace period) selama dua tahun untuk

memperoleh izin. Dua puluh gereja lainnya, yang tutup setelah mendapat

tekanan dari kelompok militan, tetap ditutup. Meski selalu hadir di

lapangan, polisi hampir tidak pernah bertindak untuk mencegah penutupan

gereja secara paksa dan terkadang malah membantu kelompok militan

dalam penutupannya.79

4. Penyerangan Bangunan dan Fasilitas Agama

Selain adanya aturan pembatasan dari pemerintah terhadap masyarakat untuk

mendirikan fasilitas keagamaan, seperti rumah ibadah, sebagian masyarakat

merasa berhak untuk mengambil alih otoritas pemerintah tersebut. Di antara

masyarakat muncul berbagai gerakan yang cenderung ke arah penyerangan

dan perusakan bangunan dan fasilitas agama.

Di Perbangunan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara,

kelompok Kristen Lutheran membeli tanah pada tahun 2003 untuk

mendirikan sebuah gereja baru, tetapi militan Islam dari luar wilayah

tersebut menghancurkan gereja yang baru setengah jadi itu. Di tempat

lain, pada tanggal 3 Oktober 2004, Forum Komunikasi Umat Islam

Karang Tengah, sebuah kelompok masyarakat Muslim setempat dengan

78

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”. 79 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.

Page 69: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

bantuan dari anggota Front Pembela Islam (FPI), mendirikan tembok

setinggi dua meter dan selebar lima meter yang memblokir akses menuju

Sekolah Katholik Sang Timur. Warga sekitar yang mayoritas beragama

Islam merasa keberatan dengan pengoperasian sekolah tersebut karena

sebuah paroki Katholik secara rutin mengadakan kegiatan keagamaan di

aula sekolah, yang mana bertentangan dengan ijin operasinya. Akhirnya

tembok itu dihancurkan setelah adanya perintah dari pemerintah daerah

setempat pada tanggal 25 Oktober 2004.80

Pada tahun 2005, Imparsial melaporkan serangkaian aksi penutupan gereja yang sebagian besar

terjadi di Jawa Barat.81

No Tanggal Lokasi Nama Gereja

1 21 April 2005 Cisewu, Kabupaten garut Penutupan Pos

Kebaktian Gereja

Pasundan

2 8 Mei 2005 Lembang, Bandung Penutupan Gereja Huria

Kristen Batak Protestan

3 16 Juli 2005 Perum Gading Tutukan

Soreang, Kab. Bandung

Penutupan Gereja

Sidang Jemaat Allah (GSJA)

4 16 Juli 2005 Perum gading Tutukan Soreang, Kab. Bandung

Penutupan Gereja Huria Kristen Batak Protestan

(HKBP)

5 27 Juli 2005 Katapang, Kab. Bandung Penutupan Gereja

Kristen Pasundan (GKP)

6 31 Juli 2005 Karangroto, Kec. Genuk,

Semarang

Penutupan

Pembongkaran Tempat Pembinaan Iman Gereja

Isa Almasih (GIA)

7 31 Juli 2005 Kompleks Permata,

Cimahi, Kab. Bandung

Penutupan Gereja

Sidang Jemaat Allah

8 31 Juli 2005 Kompleks Permata,

Cimahi, Kab. Bandung

Penutupan Gereja

Anglikan

80

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2005,”. 81

Gufron Mabruri, et.al., Demokrasi Selektif terhadap Penegakan HAM; Laporan

Kondisi HAM Indonesia 2005 (Jakarta: Imparsial, 2006), h. 67-68.

Page 70: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

9 31 Juli 2005 Kompleks Permata,

Cimahi, Kab. Bandung

Penutupan Gereja

Pentakosta Filadelphia I

10 31 Juli 2005 Kompleks Permata,

Cimahi, Kab. Bandung

Penutupan Gereja

Pentakosta Filadelphia II

11 31 Juli 2005 Kompleks Permata,

Cimahi, Kab. Bandung

Penutupan Gereja

Pantekosta di Indonesia

12 31 Juli 2005 Kompleks Permata,

Cimahi, Kab. Bandung

Penutupan Gereja Bethel

Indonesia

13 7 Agustus 2005 Kec. Haurgeulis, Kab.

Indramayu

Penutupan Gereja

Kristen Kemah Daud

(GKKD)

14 7 Agustus 2005 Kampung Warung Mekar

Ds. Bungursari RT. 6/ RW.

3, Kec. Bungursari, Kab.

Purwakarta

Penutupan Gereja

Kristen Kemah Daud

(GKKD)

14 12 Agustus 2005 Penutupan TK Tunas

Pertiwi

15 22 Agustus 2005 Bandung Penutupan Gereja

Kristen Pasundan

Dayeuhkolot

16 27 Agustus 2005 Margahayu, Kab. Bandung Penutupan Gereja

Katholik

17 28 Agustus 2005 Ciledug Penutupan Gereja

Kristen Indonesia

18 11 September

2005

Jalan Melati Raya Ujung,

Perumahan Jatimulya,

Kampung Jati, Desa Jatimulya, Kec. Tambun,

Kab. Bekasi

Penutupan Gereja

HKBP (Huria Kristen

Batak Protestan) Getsemani

19 11 September

2005

Jalan Melati Raya Ujung

No. 2, Bekasi

Penutupan Gereja

Kristen Indonesia (Gekindo)

20 - Cileunyi Penutupan GGP Padalarang

21 - Cileunyi Penutupan GBT

22 - Cileunyi Penutupan GPDI

23 - Cileunyi Penutupan GKP Ketapang Soreang

24 - Cileunyi Penutupan GSJA

Setelah pemerintah memberlakukan Peraturan Bersama tentang

Pendirian Rumah Ibadah pada tahun 2006, yang merupakan revisi SKB

tahun 1969, kelompok militan secara paksa menutup dua gereja tanpa

Page 71: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

adanya campur tangan aparat kepolisian meskipun dalam Peraturan

Bersama terdapat masa tenggang (grace period) selama dua tahun untuk

memperoleh izin. Dua puluh gereja lainnya, yang tutup setelah mendapat

tekanan dari kelompok militan, tetap ditutup. Meski selalu hadir di

lapangan, polisi hampir tidak pernah bertindak untuk mencegah penutupan

gereja secara paksa dan terkadang malah membantu kelompok militan

dalam penutupannya.82

Pada tanggal 31 Maret 2006, Puluhan orang yang tergabung dalam

Aliansi Masyarakat Kota Tangerang kemarin pagi "menyegel" Taman

Kanak-kanak Kristen, Daniel, di Kelurahan Batusari, Kecamatan Batu

Ceper, Tangerang, Banten. Mereka membentangkan spanduk-spanduk

berisi protes atas keberadaan sekolah itu di pintu masuk dan gerbang

sekolah. Menurut ketuanya, Tubagus Mahdi, pengelola sekolah belum

memiliki izin lingkungan dan pendidikan dari Departemen Pendidikan

Nasional, meski sudah beroperasi beberapa bulan. Kepala Sekolah TK

Daniel, Teddy, menjelaskan izin lingkungan dan pendidikan sedang dalam

proses. Tapi izin secara lisan telah diberikan oleh ketua RT, RW, dan

lurah setempat. Itu sebabnya, ia membantah warga memprotes keberadaan

sekolahnya.83

Pada tanggal 30 November 2005, Pemerintah Tangerang

membongkar lima gereja dan satu musala, yang dibangun di atas lahan

82

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,” . 83

“TK Kristen ‘Disegel’,” berita diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari

http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2006/04/01/brk,20060401-75733,id.html.

Page 72: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

milik Sekretariat Negara. Namun, pembongkaran oleh Satuan Polisi

Pamong Praja Kabupaten Tangerang itu dihalang-halangi jemaatnya. Lima

Gereja yang dibongkar adalah Gereja Kristen Protestan Indonesia, Gereja

Pantekosta Indonesia, Huria Kristen Batak Protestan, Gereja Pantekosta

Haleluya Indonesia, dan Gereja Bethel Indonesia. Sebuah musala juga

akan dibongkar. Lima gereja itu di satu lokasi, yakni Jalan Danau Sentani

Biru, Bencongan, Kecamatan Curug. Saat Satuan Polisi Pamong Praja

tiba, jemaat sudah siap di geraja masing-masing.84

Pada tanggal 2 September 2006, sekelompok massa membakar

Gereja Misi Evangelis di Siompi, Aceh Singkil, setelah tersebar berita

bahwa gereja tersebut merencanakan kebaktian kebangkitan. Saat

sejumlah besar umat Kristen berangkat menuju kebaktian tersebut, mereka

dihadang oleh beberapa Muslim yang tidak menyetujui kebaktian

kebangkitan tersebut. Polisi tidak menghalangi serangan tersebut. Pastor

Luther Saragih ditahan sebentar oleh polisi dan diminta memulangkan

umat Kristen tersebut. Kemudian pada malam itu, sekitar 100 orang

dengan sepeda motor membakar gereja dan mencari Pastor Saragih dan

istrinya yang sedang hamil. Pastor dan istrinya melarikan diri ke hutan dan

bersembunyi disana hingga mereka ditemukan selamat oleh teman-

temannya di pagi harinya. Pastor Saragih dan istrinya kemudian pindah

untuk menghindar karena masih terus menerima ancaman.85

84

“Pemerintah Tangerang Bongkar Paksa Lima Gereja dan Musala,” berita diakses pada

tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/jakarta/2005/11/30/brk,20051130-

69892,id.html 85 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”.

Page 73: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Pada tanggal 8 Maret 2007, sekitar 200 anggota FPI dan Forum

Betawi Rempug, sebuah kelompok yang terdiri dari penduduk asli Jakarta,

menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur

yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena para pelajarnya

menyanyi hingga larut malam dan mengganggu masyarakat setempat. FPI

juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta

bahwa sekoah tersebut memiliki ijin-ijin resmi baik untuk keberadaan

bangunan maupun asrama baru. Polisi mengirimkan satu detasemen untuk

menghentikan massa tersebut. Sekolah tersebut masih berfungsi hingga

kini.86

5. Kekerasan terhadap Aliran-aliran Agama Minoritas yang Menyimpang

Pemerintah – melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) – sejak lama telah

banyak mengeluarkan larangan berupa fatwa sesat terhadap beberapa aliran

yang dianggap menyimpang dari Islam. Fatwa sesat dan larangan ini ternyata

tidak cukup. Sebagian masyarakat secara nyata melakukan berbagai aksi

kekerasan terhadap pengikut aliran-aliran yang dianggap sesat itu, sekaligus

menghancurkan fasilitas-fasilitas peribadahan dan pendidikan mereka.

Sejak lama MUI telah memberlakukan larangan resmi terhadap Ahmadiyah,

Jamaah Salamullah, Darul Arqam serta aliran-aliran lainnya yang dianggap

menyimpang dari ajaran agama resmi. Meskipun begitu, pemerintah dinilai

lamban mengambil langkah apapun dalam menyikapi larangan itu. Akibatnya,

86 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”.

Page 74: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

hingga saat ini ancaman kekerasan terhadap para pengikut aliran-aliran itu

masih tetap terpelihara.

Pada tahun 1980, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan

fatwa (pendapat yang bersifat nonhukum, tidak mengikat, tetapi

berpengaruh yang dikeluarkan oleh pemuka agama Islam) yang

menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan merupakan bagian dari Islam. Atas

pengaruh fatwa itu, pada tahun 1984 Departemen Agama menerbitkan

surat edaran yang melarang Ahmadiyah menyebarkan ajarannya di

Indonesia. Pada tahun 2003, Departemen Dalam Negeri menyatakan

bahwa Ahmadiyah diakui secara hukum. Namun, pada tanggal 28 Juli

2005, MUI memperbarui fatwa tahun 1980 itu. Media massa mengutip

pernyataan Menteri Agama M. Maftuh Basyuni pada bulan Februari yang

menyatakan bahwa pengikut Ahmadiyah harus membentuk agama baru

atau kembali kepada Islam.87

Fatwa MUI memang tidak berniat mempengaruhi masyarakat agar melakukan

aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah, namun fakta di lapangan menunjukkan

setelah diterbitkannya fatwa sesat oleh MUI, maka sebagian masyarakat

segera mengambil langkah sendiri untuk membubarkan segala kegiatan

Ahmadiyah di lingkungannya. Hal yang patut disesalkan ialah walaupun

jumlah pasukan polisi yang diturunkan pada dua penyerangan terpisah

terhadap jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat pada bulan Juli 2005 banyak, polisi

87 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.

Page 75: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

tidak menangkap siapa pun. Ini menunjukkan menunjukkan bahwa perangkat

hukum di Indonesia masih lemah dalam menjamin kebebasan beragama.

Meskipun saat itu pemerintah pusat belum mengambil sikap yang

jelas, sebagian pemerintah daerah segera melarang kegiatan Ahmadiyah

setelah kelompok militan menyerang masjid-masjid, rumah-rumah, dan

harta benda lainnya milik Ahmadiyah. Pada bulan Juli 2005 kabupaten

Bogor menerbitkan surat keputusan yang melarang aktivitas Ahmadiyah.

Pada bulan September, menyusul serangan massa ke kompleks

Ahmadiyah, Kabupaten Cianjur secara resmi melarang semua aktivitas

Ahmadiyah. Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen

Agama Nusa Tenggara Barat mengeluarkan pelarangan terhadap

Ahmadiyah. Tindakan ini merupakan kelanjutan dari pelarangan yang

sudah ada sebelumnya di Lombok Barat (2001) dan Lombok Timur

(1983).88

Pada tanggal 28 September 2005, di Cianjur, para pejabat Cianjur,

yakni Bupati Wasidi Swastomo, Kepala Kejaksaan Negeri Deddi Siswadi,

dan Kepala Kepolisian Resor Ajun Komisaris Besar Anang Suhardi

menandatangani surat keputusan bersama yang melarang aktivitas jemaah

Ahmadiyah di wilayah itu. Wasidi mengatakan, keputusan diambil

berdasarkan pada rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), DPRD,

Komando Distrik Militer, dan desakan sekitar 40 organisasi Islam di

wilayah itu. Keputusan ini menyusul kejadian pekan lalu, ratusan orang

88 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.

Page 76: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

menyerbu perkampungan warga jemaah Ahmadiyah di Kecamatan

Cibeber dan Campaka, Cianjur.89

Kejadian pekan sebelumnya, ribuan orang menyerbu Kampung

Neglasari, Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur,

Senin malam tanggal 19 September 2005 hingga Selasa dinihari 20

September 2005. Mereka merusak masjid dan perumahan di

perkampungan jemaat Ahmadiyah di wilayah PTPN VIII Panyairan itu.

Massa yang datang dengan mengendarai sepeda motor dan mobil juga

merusak sejumlah tempat. Di antaranya, di Kampung Rawaekek Desa

Sukadana Kecamatan Campaka, Kampung Panyairan Desa Campaka

Kecamatan Campaka, dan Kampung Ciparay Desa Salagedang Kecamatan

Cibeber.90

Labelisasi sesat tidak berhenti hanya bagi Ahmadiyah. Berbagai

aliran dan sekte lainnya terkena larangan baik dari pemerintah maupun

masyarakat. Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen

Agama Nusa Tenggara Barat mengeluarkan larangan terhadap 13 sekte,

termasuk Ahmadiyah, Saksi Yehovah, Hari Krishna, dan sembilan aliran

kepercayaan dan menyatakan sekte-sekte menyimpang dari ajaran Islam,

Kristen, dan Hindu. Di tempat lain, sejumlah penganut kelompok kecil

yang berbasis ajaran Islam bentrok dengan aparat kepolisian pada bulan

89

“Pemimpin Cianjur Larang Aktivitas Ahmadiyah,” berita diakses pada tanggal 10

Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2005/09/28/brk,20050928-

67225,id.html. 90

“Ribuan Orang Serbu Perkampungan Ahmadiyah Cianjur,” berita diakses pada tanggal

10 Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2005/09/20/brk,20050920-

66852,id.html.

Page 77: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Oktober 2005 di sebuah desa terpencil di Palu, Sulawesi Tengah. Polisi

berupaya melakukan perundingan dengan pemimpin karismatik kelompok

ini yang dikenal dengan nama "Madi” agar ia mau menghadap ke kantor

polisi dan menjelaskan mengapa ia mengancam penduduk desa dan

melarang mereka berpuasa dan salat pada bulan Ramadan. Tiga anggota

kepolisian dan dua anggota sekte ini tewas di tempat. Anggota sekte ini

dilaporkan menyandera dua orang petugas, tetapi kemudian

melepaskannya kembali. Jaksa penuntut pada bulan Januari 2006

menuntut hukuman mati bagi lima anggota kelompok ini.91

Pada beberapa kasus, fatwa sesat MUI berujung dengan dakwaan

penodaan agama dan diselesaikan dengan dijatuhkannya sanksi pidana.

Pada bulan Agustus 2005, Pengadilan Negeri di Jawa Timur memvonis

Muhammad Yusman Roy dua tahun penjara karena mempraktikkan salat

dengan dua bahasa, Arab dan Indonesia, yang oleh MUI disebut sebagai

menodai keaslian ajaran Islam yang berbahasa Arab. Pada tanggal 28

Desember 2005, polisi menangkap Lia Eden, pemimpin Jamaah

Salamullah, dan mengevakuasi dua puluh pengikutnya untuk menghindari

kekerasan saat terjadi keributan yang menuntut pembubaran kelompok

sekte kecil itu. Pada tanggal 29 Juni 2006, Pengadilan Negeri di Jakarta

memvonis Lia Eden dua tahun penjara atas dakwaan penodaan terhadap

ajaran agama. Para pengikut Jamaah Salamullah yang berjumlah sedikit

itu meyakini bahwa malaikat Jibril (Gabriel) menyampaikan wahyu

91 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.

Page 78: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

melalui Eden dan mencampuradukkan unsur-unsur agama Kristen dan

Islam. MUI mengeluarkan fatwa pada tahun 1997 yang menyatakan

bahwa ajaran Lia Eden sesat.92

Pada beberapa kasus lainnya, sejumlah orang dituntut dan

ditangkap atas tuduhan melecehkan dan menodai ajaran Islam. Pada bulan

September 2005 pengadilan di Jawa Timur memvonis enam orang terapis

narkoba dan kanker lima tahun penjara dan tiga tahun penjara atas

dakwaan melanggar ajaran Islam. Fatwa MUI setempat menyatakan

bahwa ajaran pusat rehabilitasi ini sesat. Polisi menangkap para terapis ini

saat mereka sedang mempertahankan diri dari serangan ratusan orang ke

kantor mereka. Pada bulan Januari 2006, pemerintah mendakwa Sumardi

Tappaya, guru agama sebuah SMU di Sulawesi, atas penghinaan agama

yang dapat dipidana maksimal 5 tahun penjara. Polisi menahan Tappaya

setelah seorang kerabatnya menuduhnya melakukan salat sambil bersiul.

MUI setempat menyatakan perbuatan itu sesat. Pada tanggal 28 Juni 2006,

Pengadilan Negeri Polewali memvonis Sumardi enam bulan penjara.93

Laporan Imparsial menunjukkan merangkum beberapa

pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang

tahun 2005:94

No Tanggal Lokasi Kasus

1 31 Agustus 2005 Malang, Jawa Timur Larangan sholat

dwibahasa dan vonis 2

92

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”. 93

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”. 94

Mabruri, et.al., Demokrasi Selektif terhadap Penegakan HAM; Laporan Kondisi HAM

Indonesia 2005, h. 71.

Page 79: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

tahun penjara terhadap

Ustad Roy

2 24 Maret 2005 Batam, Kepulauan Riau Vonis 3 tahun penjara

terhadap Masud Simanungkalit, 50 tahun

dalam kasus salah tafsir ayat Al-Quran

3 15 Februari 2005 Kabupaten Banggai,

Sulawesi Tengah

Penangkapan terhadap

nabi palsu yang

menimpa Zikrullah

4 15 Juli 2005 Cibinong Penutupan secara paksa

terhadap kampus

Jamaah Ahamdiyah

5 19 September

2005

Kampung Neglasari, Desa

Sukadana, Kecamatan

Campaka, Kabupaten

Cianjur

Penyerangan dan

penjarahan terhadap

pemukiman Jamaah

Ahmadiyah

6 29 September

2005

Jakarta Pelarangan dan

penetapan tersangka

terhadap Lia Aminuddin

dan 33 orang pengikutnya karena

dianggap melakukan penodaan agama

7 4 Juni 2005 Desa Krampulan, Kecamatan Besuk,

Probolinggo

Pelarangan buku terbitan Yayasan Kanker dan

Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) dan

penutupan kegiatan yang

dilakukannya

8 21 Oktober 2005 Perumahan Bumi Asri,

Dusun Ketapang, Desa

Gegerung, Kecamatan

Lingsar, Kabupaten

Lombok Barat

Ancaman pengusiran

dan pengrusakan 3

rumah Jamaah

Ahmadiyah

9 24 Juli 2005 Markas Jemaat Ahmadiyah

Indonesia di Kemang,

Bogor

Pengrusakan rumah

milik Direktur Jamaah

Ahmadiyah Mln.

Hidayatullah dan Dosen

Jamaah Mln.

Qomaruddin

Selama Januari-November 2008, The Wahid Institute mencatat ada 232

kasus dalam 280 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Page 80: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Sedangkan laporan Setara Institute 2007 tentang kebebasan beragama dan

berkeyakinan pada rentang waktu yang sama menunjukkan adanya 135 kasus

dalam 185 tindak pelanggaran. Kasus pelanggaran yang paling dominan adalah

kekerasan berbasis agama (55 kasus) dan penyesatan (50 kasus). Penguasaan

agama atas ruang publik dengan tampilan yang tidak ramah dan mengobarkan

persaingan antar umat semakin meningkat.95

Isu kebebasan beragama bahkan akhirnya berujung pada penyerangan

terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

(AKKBB) oleh massa beratribut Front Pembela Islam (FPI) pada tanggal 1 Juni

2008, yang disebabkan karena pembelaan AKKBB atas ahmadiyah. Penyerangan

massa yang bertepatan dengan peringatan hari Pancasila menyebabkan 12 orang

massa AKKBB terluka.96

Dari kasus ini, ternyata resistensi atas penegakan

kebebasan beragama begitu kuat dari sebagian masyarakat, bahkan dilakukan

dengan cara-cara kekerasan.

Bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama di atas sangat berkaitan

satu sama lain. Pola yang bisa kita temukan ialah meskipun telah ada dasar

jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945, undang-undang dan instrumen

HAM internasional, ternyata masih terdapat aturan-aturan pada tingkat lebih

praktis yang menganulir jaminan-jaminan tersebut. Beberapa dari peraturan itu

digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai legitimasi dalam melakukan

serangkaian usaha pelanggaran kebebasan beragama. Kemudian, meskipun di

95

“Koalisi Partai Islam Perlu untuk Representasi Umat”, berita diakses pada tanggal 12

Desember 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/11/01133018/koalisi.partai

.islam.perlu.untuk.representasi.umat. 96

“Kebhinekaan Dicederai”, diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/ 02/01293516/kebhinnekaan.dicederai.

Page 81: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

lapangan pelanggaran kebebasan beragama dalam bentuk kekerasan terus terjadi,

pihak aparat hukum enggan mengambil sikap dan bahkan memberi toleransi

terhadap kekerasan itu. Di sisi lain, beberapa pemerintah daerah telah mengambil

kebijakan sepihak dengan ikut mengeluarkan berbagai larangan terhadap aliran

atau sekte yang diklaim sesat, terutama oleh MUI. Keluarnya berbagai larangan

dari pemerintah daerah ini ternyata semakin menguatkan argumen oleh sebagian

masyarakat dalam mengusir paksa pengikut aliran atau sekte “terlarang” itu.

Dari pola pelanggaran kebebasan beragama ini, kita bisa simpulkan bahwa pelaku

pelanggaran kebebasan beragama terbagi ke dalam dua pihak, pertama ialah

pemerintah pusat maupun daerah, serta masyarakat dalam bentuk ormas atau

perkumpulan tertentu. Kedua pihak ini meskipun bergerak dalam level yang

seringkali berbeda, namun sama-sama memberikan tekanan terhadap kelompok-

kelompok minoritas dan gagal dalam menjamin kebebasan beragama.

Kesimpulan yang sama diberikan oleh Prof Dr Azyumardi Azra. Beliau

menilai bahwa peraturan yang menjamin dasar-dasar kebebasan beragama dan

beribadah di Indonesia sudah banyak, namun tidak dilengkapi adanya konsistensi

penegakan hukum sehingga kekerasan terhadap penganut agama atau aliran

tertentu masih terjadi. Apalagi kalau kasus terjadinya tindak kekerasan terhadap

kelompok tertentu dilakukan oleh massa, aparat keamanan sering bersikap tidak

peduli atau takut pada tekanan massa. Padahal, kalau kejahatan dilakukan oleh

massa dalam jumlah besar maka seharusnya pemimpinnya yang diproses secara

hukum. Di sisi lain, Azyumardi juga mengakui adanya persoalan masyarakat yang

Page 82: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

kini sedang mengalami kegoncangan dan disorientasi sosial akibat banyaknya

pengangguran dan kemiskinan, sehingga mudah marah dan emosional.97

97

“Belum Konsisten Penegakan Hukum Kebebasan Beragama,” berita diakses pada

tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.antara.co.id/arc/2008/2/14/belum-konsisten-

penegakan-hukumkebebasan-beragama/.

Page 83: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

BAB IV

KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

MENURUT M. DAWAM RAHARDJO

Pancasila dan Trilogi Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme

Seperti diketahui, Pancasila bagi bangsa Indonesia tidak sekedar menjadi

dasar negara, tapi juga sebagai falsafah hidup bangsa. Komitmen terhadap

Pancasila ini masih terjaga, sejak kelahirannya hingga saat ini. M. Dawam

Rahardjo sangat menyadari posisi sentral Pancasila ini. Secara sadar, M. Dawam

Rahardjo menempatkan Pancasila sebagai pendekatan utama dalam memahami

konsep kebebasan beragama di Indonesia.

Seakan mengingatkan memori bangsa Indonesia, ia memulai dengan

membahas kembali sejarah awal berdirinya NKRI. Dawam mencatat,

Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPU-PKI), muncul dua pidato

penting yang sangat berpengaruh terhadap konsep kenegaraan Republik Indonesia. Pertama, pidato Bung Karno yang

kini dikenal dengan judul “Lahirnya Pancasila”, pada 1 Juni 1945. Kedua, pidato mengenai teori negara oleh Prof. Dr. Soepomo yang kemudian dikenal sebagai arsitek UUD 1945.

Soepomo dan Bung Karno agaknya sepaham ketika keduanya mengatakan

bahwa hak-hak asasi manusia itu secara implisit sudah terkandung dalam integralisme,

karena itu tidak perlu dicantumkan secara eksplisit. Namun pandangan ini ditentang oleh

Hatta dan Mohammad Yamin. Mereka berpendapat hak-hak asasi manusia harus secara

eksplisit dimasukkan ke pasal-pasal UUD. Dalam perdebatan itu, dua tokoh dari

Sumatera itu menang. UUD 1945 pun mencantumkan tujuh pasal hak-hak asasi manusia.

Dengan demikian, UUD 1945 mengikuti demokrasi liberal dalam arti demokrasi yang

didasarkan pada pengakuan terhadap hak-hak sipil setiap warga negara. Kenyataan ini

memang kurang banyak disadari, sehingga seolah-olah UUD 1945 adalah sebuah UUD

yang integralistik dan anti liberal, bahkan ada yang mengatakan berbau fasisme. Padahal

Bung Karno sadar sepenuhnya dan menolak fasisme. Karena itu, UUD 1945 sebenarnya

merupakan hasil kompromi banyak pemikiran dan aliran. Intinya, sebagaimana tercermin

pada Pancasila yang tidak sepenuhnya mengadopsi konsep Bung Karno.98

98

M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” Tempo, 18 Juni

2006, h. 2.

Page 84: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Dari catatan beliau, kita dapat mengerti bahwa bagi M. Dawam Rahardjo,

Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan

bernegara Indonesia sarat dengan prinsip demokrasi liberal. Demokrasi yang

didasarkan pada pengakuan hak-hak sipil setiap warga negara. Termasuk dalam

hak sipil warga negara ini tentu saja kebebasan beragama, sebagaimana diatur

dalam UUD 1945 pasal 29.

Keyakinan M. Dawam Rahardjo pada Pancasila sebagai dasar kebebasan

beragama tidak berhenti pada argumen di atas. Untuk memperdalam

keyakinannya tersebut, menurut M. Dawam Rahardjo, Pancasila mengandung

trilogi paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme.

Ingin membuat masyarakat bersatu, bhineka tunggal ika...itu cantolannya pada

Pancasila. Kenapa Pancasila itu bisa dijadikan cantolan atau sandaran? Karena Pancasila

itu cukup liberal. Jadi bukan uncommon democracy, tapi common democracy. Itu

pertama. Kedua, Pancasila itu didasarkan diri pada pluralisme; pada kebinekaan tunggal

ika; pada pluralitas masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku, bangsa, dan golongan-

golongan. Kita membutuhkan satu perekat atau model komunikasi yang bisa

mempersatukan dan mencipatakan kegotongroyongan. Itu adalah pluralisme. Ketiga,

Pancasila itu merupakan penolakan terhadap konsep negara agama. Di sini yang paling

ditolak adalah konsep negara Islam. Konsep negara Islam itu ditolak. Ketentuan yang

tadinya mau menempel di dalam Pancasila tentang penerapan syariat Islam, itu dihapus.

Jadi Pancasila itu bukan (konsep) negara agama. Nah kalau bukan negara agama, ya

berarti negara sekuler...Dalam pengertian bukan sekularisme yang curiga terhadap agama;

yang antipati terhadap agama; tetapi sekularisme yang ramah terhadap agama. Tapi bukan

hanya satu agama, khususnya Islam yang mayoritas. Sekularisme yang ramah terhadap

semua agama. Jadi semua agama itu memperoleh perlakuan yang sama. Jadi sekularisme

itu sebetulnya sikap netralitas negara terhadap agama.99

Perspektif ini tentu saja sangat kontroversial. Mengingat bahwa pemikiran

M. Dawam Rahardjo ini muncul di sekitar terbitnya fatwa MUI tentang

pengharaman sekularisme, liberalisme dan pluralisme pada Musyawarah Nasional

VII MUI tahun 2005. Meski demikian, hal ini tidak menyurutkan langkah beliau.

99

“Pancasila I”, diakses tanggal 19 Februari 2008, dari http://www.freedom-

institute.org/id/index.php?page=kegiatan&detail=research&detail=talkshow.

Page 85: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Menyadari potensi resistensi yang tinggi atas pembacaan dirinya yang

kontroversial terhadap Pancasila ini, M. Dawam Rahardjo berusaha memahami

sekularisme dalam pola tersendiri, alih-alih mengambil beragam pola yang

berbeda-beda di berbagai negara. Sambil menepis kecurigaan terhadap

sekularisme yang dianggap hendak menyingkirkan peranan agama, beliau berkata,

Padahal sekularisme itu adalah suatu prinsip yang ingin mencegah intervensi negara terhadap keyakinan dan ibadah

warga negara. Dalam sekularisme, penyelenggaraan kehidupan beragama diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat

sipil, dengan demikian sekularisme justru menegakkan kebebasan beragama sebagai yang tampak di negara sekular

seperti Amerika Serikat dan Kanada. Di sana kehidupan beragama justru berkembang sangat marak sehingga

masyarakat di kedua negara itu dinilai sebagai masyarakat yang religius. Demikian pula aliran-aliran keagamaan

tumbuh berkembang dengan suburnya. Agama tetap memperoleh peluang untuk berperan melalui arena publik;

agama telah berpengaruh sangat besar terhadap moral dan etika masyarakat.

Di Indonesia sekularisme berarti netral terhadap agama. Negara tidak membagi

masyarakat beragama menjadi keluarga minoritas dan mayoritas, kesemuanya

memperoleh hak yang sama.100

Selanjutnya M. Dawam Rahardjo mengungkapkan bahwa,

Pancasila dan UUD 1945 sebenarnya juga mengandung konsep sekularisme.

Maksud sekularisme di sini adalah pemisahan antara otoritas agama dan otoritas negara.

Negara tidak menganut agama tertentu, sekalipun agama mayoritas. Dengan kata lain,

Pancasila menolak model “negara agama” atau konsep kesatuan antara “al din wa al

daulah” yang dianut ideologi Islamisme.101

Penolakan negara Indonesia atas paham negara-agama (teokrasi) menurut

beliau terlihat dari indikator-indikator sebagai berikut:

Pertama, UUD 1945 mengakui kebebasan setiap warga negara memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan

agama dan kepercayaannya. Kedua, negara tidak mengakui satu agama resmi sebagai agama negara sebagaimana

terdapat dalam konstitusi Malaysia. Ketiga, konstitusi tidak menentukan agama yang dianut oleh seorang kepala negara. Keempat, negara juga tidak menentukan agama yang yang diakui oleh negara.

Indikator lain bahwa Pancasila adalah sebuah konsep sekular adalah

penghapusan tujuh kata yang menjelaskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Piagam

Jakarta. Hal ini dipertegas dengan penolakan konsep negara Islam dalam sidang Dewan

Konstituante yang diteruskan dalam Sidang MPR 2002 mengenai Amandemen UUD

100

M. Dawam Rahardjo, “Negara, Agama dan Penegakan Hak Sipil,” artikel diakses

tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-

online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15. 101 M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 3.

Page 86: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

1945. Dalam sidang itu gagasan penghidupan kembali Piagam Jakarta telah ditolak

sehingga negara RI adalah sebuah negara sekular.102

Menarik kemudian menelaah catatan kritis M. Dawam Rahardjo atas

pertentangan ideologis antara sekularisme dan paham negara-agama.

Jika pengertian negara sekular dilawankan dengan negara agama, Indonesia bukan negara agama, melainkan negara

sekular. Dalam negara sekular, negara tidak didasarkan pada suatu ideologi agama tertentu yang membentuk teokrasi. Namun sering juga dikatakan, Indonesia tidak sepenuhnya sekular, karena dasar negara dalam konstitusinya adalah

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tetapi negara tidak punya tugas melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya.

Sementara itu warga negara punya kebebasan untuk menjalankan agama dan

keyakinannya masing-masing.

Artinya, agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara.

Syariat Islam bisa dilaksanakan, tapi pada tingkat masyarakat, oleh para pemeluknya

sendiri. Inilah makna sekularisme sebagaimana dikatakan Talcott Parson: mengembalikan agama kepada masyarakat dan bukan bersatu dengan kekuasaan negara (kesatuan ad-din

wad daulah). Hukum agama yaitu syariat tidak berkedudukan sebagai hukum positif,

melainkan bersifat volunter (voluntary law), meminjam istilah tokoh Masyumi,

Syafruddin Prawiranegara.103

M. Dawam Rahardjo tampak begitu yakin bahwa sekularisme yang

menyemangati Pancasila sangat penting bagi penegakan kebebasan beragama di

Indonesia. “...Menurut saya, gerakan Islam (keagamaan) harusnya tegas-tegas

menerima Pancasila dan berjalan di atas garis kebangsaan. Dan tentu saja sekuler.

Saya menerima sekularisme dan saya memperjuangkan sekularisme...”,104

demikian beliau menegaskan. M. Dawam Rahardjo melanjutkan, “...Agama itu

tidak boleh dilaksanakan melalui tangan kekuasaan. Agama itu keyakinan yang

tak bisa dipaksakan. Kalau agama memerintahkan pelaksanaan syariat Islam, itu

bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia...”105

102

M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 3. 103

M. Dawam Rahardjo, “Dasasila Kebebasan Beragama,” artikel diakses tanggal 16 Juni

2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925. 104

Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo dalam Tempo, 5 Februari 2006. 105 Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo dalam Tempo, 5 Februari 2006.

Page 87: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Mengenai sejauh mana pengaruh agama dalam negara dapat berperan, M.

Dawam Rahardjo berpendapat,

Pengaruh agama secara eksplisit dalam negara dan kehidupan politik jelas

tidak bisa diterima karena ini akan memicu diskriminasi dan sektarianisme. Posisi

negara harus netral, bukan untuk meniadakan agama, tapi untuk melindungi dan

berlaku adil bagi semua agama. Menjadikan agama sebagai dasar negara, berarti

telah membatasi peran agama dan keyakinan lain yang mungkin mucul. Dalam hal

ini, bentuk negara sekular adalah pilihan yang paling tepat.106

Pemikirannya tentang relasi sekularisme dan Pancasila ini diharapkan

mampu menepis prasangka negatif atas sekularisme.

Dalam masyarakat yang didominasi oleh pemeluk Islam seperti Indonesia,

diperlukan sekularisasi. Pemisahan antara agama dan negara di sini artinya, janganlah

menjadikan akidah sebagai ideologi politik dan karena itu menjadikan ideologi politik

sebagai akidah. Hal yang sedemikian itu terjadi karena perselingkuhan agama dan

kekuasaan yang menciptakan absolutisme dan otoriterisme yang memberangus

demokrasi. Negara Republik Indonesia pada hakikatnya adalah negara kebangsaan

sekular yang berlandaskan nilai-nilai moral Pancasila.107

Pembelaan beliau tidak berhenti sampai di sini. Paham liberalisme

mendapatkan perlakuan istimewa yang sama di mata M. Dawam Rahardjo.

Menurutnya, liberalisme berarti menjadikan kebebasan beragama sebagai hak-hak

sipil, bukan hanya hak-hak asasi manusia yang universal. Sebagai hak sipil,

106

M. Dawam Rahardjo, “Agama di Ranah Publik,” dalam Buletin Kebebasan, Edisi No.

01/XI/2006, h. 5. 107

M. Dawam Rahardjo, “Akidah: Antara Konfrontasi dan Interioritas,” Tempo, 11

September 2005, h. 45.

Page 88: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

kebebasan beragama harus dilindungi oleh negara. Tetapi jaminan tersebut harus

diberikan secara adil oleh negara terhadap agama-agama.108

Seperti kita ketahui bersama, dalam perkembangan ideologi politik,

liberalisme membedakan dirinya dari ideologi lain dalam spektrum politiknya

yang memberi keyakinan mendasar bahwa setiap individu memiliki akal dan

mampu bertindak secara rasional, yang mana kemampuan tersebut seringkali

diletakkan dalam posisi yang sulit dalam dunia nyata. Setiap orang menikmati hak

asasi untuk hidup, bebas dan memiliki sesuatu. Liberalisme mengasumsikan

bahwa setiap individu bertanggung jawab atas kepentingannya sendiri. Sejak

individu dalam masyarakat memiliki kapasitas untuk hidup secara memuaskan

dan produktif saat diberikan kesempatan, negara harus memastikan bahwa setiap

orang memiliki kesempatan untuk menikmati kehidupan terbaik dan memenuhi

potensi individual mereka sendiri. Peranan negara adalah untuk menjamin

kesempatan yang sama untuk seluruh anggota masyarakat.109

Sebagaimana telah disinggung di atas, M. Dawam Rahardjo berpendapat

bahwa hakikat demokrasi Pancasila adalah demokrasi liberal, sebagaimana

dicerminkan dalam UUD 1945.110

Indikator utama beliau yakni jaminan

perlindungan hak-hak sipil yang diadopsi oleh UUD 1945. Dengan begitu, jelas

bahwa liberalisme menjadi gagasan yang juga termasuk dalam Pancasila.

Mengenai liberalisme keagamaan, M. Dawam Rahardjo mengatakan

bahwa bagi golongan liberal, akidah harus dipahami sebagai interioritas yang

108

M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil,” artikel diakses tanggal 17 Juni

2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15. 109

Julion C. Teehankee, Liberalism: A Primer (Manila: National Institute for Policy

Studies, 2005), hal. 4. 110 M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 3.

Page 89: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

mengarah ke dalam. Dengan doktrin Ketuhanan Yang Maha Esa – sebagaimana

tercantum dalam Pancasila – kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa

merupakan interioritas yang arahnya ke dalam yakni hanya menjadi landasan

moral bagi sikap dan perilaku warga negara.111 Demikianlah, pemikiran beliau

akhirnya menegaskan bahwa Pancasila memang menganut paham liberalisme.

Liberalisme di sini diartikan sebagai paham yang menjunjung kebebasan

individu, terutama dari negara. Paham liberalisme inilah yang sebenarnya juga

merupakan sumber dari teori tentang masyarakat warga (civil society). Dengan

menjunjung tinggi asas kebebasan individu ini, maka setiap warga negara memiliki hak-

hak asasi manusia di segala bidang kehidupan, politik, ekonomi, sosial dan kultural. Hak

asasi manusia ini harus dilindungi dan diperjuangkan di negara-negara yang kurang memahami hak-hak asasi manusia. Kebebasan dan hak-hak asasi manusia ini adalah

merupakan fondasi dari demokrasi, karena dengan asas-asas itu setiap warga negara

diberi hak pilih dan dipilih. Di bidang ekonomi, setiap warga negara berhak mendapatkan

pekerjaan dan penghidupan sesuai dnegan kemanusiaan, paling tidak hak-hak dasarnya,

yaitu akses terhadap kebutuhan pokok, seperti kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang,

papan, kesehatan dan pendidikan yang merupakan freedom from want. Juga setiap warga

negara berhak terhadap kebutuhan keamanan (freedom from fear) dan kebebasan

berpendapat dan kebebasan beragama (freedom of speech and expression), yang

kesemuanya itu dijamin dalam UUD 1945 (yang asli).112

Paham berikutnya yang menurut M. Dawam Rahardjo menyemangati

Pancasila ialah pluralisme. Menurutnya, “...Pancasila, yang merupakan sintesa

berbagai gagasan besar universal, pada dasarnya adalah sebuah paham pluralisme

politik dan budaya. Hal ini tergambar dari kata-kata “Bhineka Tunggal Ika”,

beraneka ragam tapi merupakan satu kesatuan, yaitu Indonesia...”113

Selanjutnya, M. Dawam Rahardjo menegaskan bahwa,

Yang mendasari Pancasila itu adalah pluralisme yang terseimpul dalam istilah

“bhineka tunggal ika”. Pluralisme, lewat Pancasila, adalah infrastruktur budaya dari

111

M. Dawam Rahardjo, “Akidah: Antara Konfrontasi dan Interioritas,” Tempo, 11

September 2005, h. 44-45. 112

M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II),” artikel

diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-

online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=30. 113 M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 2-3.

Page 90: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

persatuan Indonesia, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial yang berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.114

Dalam uraian yang lain, M. Dawam Rahardjo mengungkapkan,

Sementara itu, di Indonesia sendiri, pluralisme sudah menjadi bagian dari

ideologi nasional yang dirumuskan dengan istilah “bhineka tunggal ika”, suatu istilah

yang berasal dari Empu Tantular, yang artinya kesatuan dalam keragaman (unity in

diversity). Pluralisme ini juga tercermin dalam Pancasila yang terdiri dari berbagai ideologi-ideologi besar dunia tetapi intinya adalah paham kegotong-royongan,

kekeluargaan dan kebersamaan itu.115

Bagaimanapun, Indonesia memang berdiri di atas fakta pluralitas

(keragaman) bangsa. Pluralitas ini berlaku di hampir seluruh bidang kehidupan,

termasuk pluralitas agama-agama, sehingga pluralitas tidak bisa diganggu gugat

lagi. Oleh karenanya, pluralisme seharusnya berlaku sebagai paham atas

kenyataan pluralitas ini. Dengan kata lain, sulit memisahkan pluralitas dari

pluralisme. Tidak bisa pluralitas diterima, sementara pluralisme ditolak sebagai

suatu paham.

Kiranya penting bagi M. Dawam Rahardjo untuk berbicara lantang

mengenai pluralisme, khususnya pluralisme agama yang melandasi Pancasila dan

menjadi jaminan kebebasan beragama. Beliau ingin meluruskan prasangka

sebagian kelompok masyarakat yang menganggap bahwa pluralisme sebagai

paham yang “menyamakan semua agama”.

Dalam menyikapi kontroversi seputar tuduhan terhadap pluralisme sebagai

paham yang memandang bahwa “semua agama itu baik dan benar”, maka M.

114

M. Dawam Rahardjo, “Kala MUI Mengharamkan Pluralisme,” Koran Tempo, 1

Agustus 2005. 115 M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).”

Page 91: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Dawam Rahardjo memiliki pandangan sendiri mengenai hal ini. Maksud

pandangan “semua agama itu baik dan benar menurut beliau antara lain:

Pertama, pernyataan bahwa semua agama itu baik dan benar perlu dijelaskan dengan keterangan “bagi para pemeluknya”. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap pemeluk agama akan berkeyakinan bahwa agama

merekalah yang baik dan benar.

Kedua, kebenaran dan keselamatan (salvation) agama itu ada dua macam, yaitu

kebenaran eksklusif dan kebenaran inklusif. Kebenaran eksklusif adalah kebenaran

tertentu yang hanya diyakini dalam agama tertentu. Misalnya mengenai doktrin Trinitas.

Umat Islam tidak mungkin menerima doktrin itu, namun doktrin itu bersifat fundamental

bagi umat Kristen. Sedangkan ajaran cinta kasih dalam agama Kristiani adalah kebenaran

yang inklusif yang bisa diterima oleh pemeluk semua agama.

Ketiga, semua agama itu sama, dalam arti semua agama itu, dalam perspektif

masing-masing, pada hakikatnya merupakan jalan menuju kebenaran dan kebaikan. Tidak

ada agama yang mengajarkan kesalahan atau keburukan dan kejahatan. Namun, memang,

substansi dari kebenaran dan kebaikan itu berbeda dari satu agama ke agama yang lain.

Keempat, setiap agama mengandung kebenaran, bukan saja bagi pemeluk agama

yang bersangkutan, tetapi juga bisa dilihat begitu oleh pemeluk agama lain. Sebagai

contoh, umat Islam atau Kristen bisa memetik kebenaran dari kitab Baghawatgita atau

buku-buku Taoisme dan Konfusianisme.

Kelima, terdapat kesamaan antara agama-agama, misalnya ajaran The Ten

Commandements atau Sepuluh Perintah Tuhan dari agama Yahudi, dapat ditemui pada

agama-agama lain. Ajaran puasa juga dapat ditemui pada agama-agama lain, walaupun tidak semua pemeluk agama bisa melestarikan tradisi itu pada zaman modern ini. Namun,

para pemeluk agama lain bisa menganggap bahwa ajaran puasa itu adalah suatu ajaran

yang benar, karena tujuannya adalah mengendalikan kemampuan manusia dalam

mengendalikan hawa nafsu (takwa).

Keenam, semua agama itu pada lahir atau detailnya atau pada tingkat syariat

memang bervariasi, karena pada tingkat itu sudah berperan pemikiran dan perumusan

manusia yang dipengaruhi oleh kondisi dan sejarah. Namun, pada tingkat yang lebih

tinggi (tarekat atau makrifat) akan dijumpai persamaan-persamaan dan akhirnya

mencapai titik temu pada tingkat transenden (hakikat). Ini adalah suatu teori yang disebut

transcendent unity yang dikembangkan baik oleh teolog Kristen maupun Islam.

Ketujuh, semua agama dipandang sama dan benar dimaksudkan sebagai

pandangan yang harus diambil oleh negara atau pemerintah. Sebab, negara, yang harus bersikap adil terhadap setiap individu dan kelompok tidak boleh berpandangan bahwa

hanya suatu agama saja yang baik dan benar, sedangkan yang lain salah.116

Dari analisis panjang beliau ini, kita dapati bahwa semua agama itu pada

hakikatnya sama, hanya penampilan luarnya saja yang berbeda. Yang terpenting,

beliau menegaskan bahwa pluralisme agama terutama harus dianut oleh negara.

116

M. Dawam Rahardjo, ”Mengapa Semua Agama itu Benar?” Tempo, 1 Januari 2006, h.

206-207.

Page 92: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Sebab, negara harus besikap adil terhadap semua agama dan tidak boleh ada

diskriminasi.

Kesalahpahaman dalam memandang pluralisme sebagai suatu paham

menurut beliau dikarenakan pluralisme hanya dipandang dari satu perspektif saja.

Perspektif yang dimaksud ialah sinkretisme. Padahal, menurutnya, masih terdapat

perspektif lainnya dalam memandang pluralisme, dengan tingkat penerimaan yang

berbeda-beda dari agama-agama. Di antaranya adalah perspektif persatuan agama-

agama (unity of religions), agama kewargaan (civil religion), etika global (global

ethics), agama publik (public religion), dan terakhir – khusus Indonesia –

pluralisme untuk mencapai kesetaraan agama-agama, toleransi, kerukunan, dan

kerja sama antara umat beragama untuk kepentingan bersama berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945.117

Bagi M. Dawam Rahardjo, urgensi pluralisme sangat vital dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiadaan pluralisme akan mengancam

keutuhan kerukunan antar umat beragama. Menurutnya, “...di Indonesia, tanpa

pluralisme atau bhineka tunggal ika, akan timbul ancaman terhadap kelestarian

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).”118

Pluralisme secara sederhana

ditunjukkan oleh beliau dalam pernyataannya bahwa, “...saya (Dawam) boleh

menganggap Islam agama yang benar, tapi tidak boleh menganggap agama orang

lain salah....”119

M. Dawam Rahardjo berusaha melakukan pemahaman kembali

makna Pancasila. Pancasila yang dipahami oleh Soepomo sebagai dasar negara

117

M. Dawam Rahardjo, ”Mengapa Semua Agama itu Benar?”, h. 207. 118

M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).” 119 Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo, dalam Tempo, 5 Februari 2006.

Page 93: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

integralistik dibaca ulang oleh M. Dawam Rahardjo menjadi konsep demokrasi

liberal.

Kita harus berusaha untuk melakukan pemahaman kembali makna demokrasi

dan demokrasi Pancasila. Apa itu demokrasi dan apa itu Pancasila.... Pancasila saya

operasionalkan dengan tiga prinsip: pluralisme (kemajemukan), liberalisme (civil liberty

atau kebebasan sipil), sekularisme. Kalau kita tidak suka istilah yang terakhir ini, kita bisa

menggantinya dengan kata kebangsaan. Itu kan sudah mencukupi. Istilah kebangsaan itu

sudah dengan sendirinya sekuler. Jadi kita harus menjelaskan itu. Kita wacanakan lagi di dalam masyarakat. Kita menjelaskan secara operasional mengenai apa yang kita maksud

dengan Pancasila, sehingga kita bisa melaksanakan secara benar.120

Pluralisme – menurut M. Dawam Rahardjo – dapat dilaksanakan dengan

tiga cara, yaitu saling memahami dan memperoleh saling pengertian dan

penghargaan, berlomba-lomba dalam kebajikan, dan kerja sama dalam

kebajikan.121

Dengan demikian, kesalahpahaman banyak pihak atas pluralisme –

sebisa mungkin – berusaha dijernihkan oleh M. Dawam Rahardjo.

Pemahaman ulang M. Dawam Rahardjo jelas menunjukkan dukungannya

terhadap trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Trilogi tersebut

diyakini beliau menyemangati Pancasila dan terimplementasi dalam

konstitusi. Dengan demikian, tentu saja wacana kebebasan beragama

menurutnya mendapat jaminan yang kuat dari Pancasila sebagai dasar negara.

Lebih jauh lagi, M. Dawam Rahardjo bahkan berpendapat bahwa nasionalisme

Indonesia sebenarnya mengandung trilogi sekularisme, liberalisme, dan

pluralisme. Nasionalisme yang seperti ini – dinilai olehnya – telah banyak

menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari kecenderungan-

kecenderungan yang berlawanan dengan dan mengancam demokrasi dan hak-

120

“Pancasila I.” 121 M. Dawam Rahardjo, “Mengapa Semua Agama itu Benar?”, hal. 207.

Page 94: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

hak asasi manusia maupun persatuan bangsa. Nasionalisme yang seperti itu

juga – menurut M. Dawam Rahardjo – telah berjasa dalam mencegah

berkembangnya sektarianisme yang menyebabkan penganut suatu agama atau

madzhab keagamaan bersikap tertutup dan isolasionis dan mudah curiga

terhadap kelompok lain.122

Kebebasan Beragama sebagai Hak Sipil

Melihat beberapa pelanggaran kebebasan beragama, agama sepertinya

telah bergeser menjadi sumber konflik. Hal ini disebabkan karena agama telah

menjadi paham sektarian yang eksklusif. Masing-masing pemeluk agama

mengklaim kebenaran. Terjadi saling kritik di antara mereka, bahkan terkadang

fatwa dilancarkan terhadap mereka yang dianggap sesat. Seakan-akan otoritas

agama itu telah bertindak sebagai Tuhan.

Berangkat dari problem krusial umat beragama tersebut, M. Dawam Rahardjo

memilih untuk memperjuangkan kebebasan beragama dalam konteks hak

fundamental seorang warga negara, ketimbang terjebak dalam perdebatan

teologis yang tiada akhir. Beliau percaya bahwa pertikaian antar agama tidak

bisa diselesaikan oleh mereka sendiri.

Wacana teologi ini sulit karena masalahnya adalah mengubah suatu keyakinan

yang dalam Islam disebut sebagai akidah, sesuatu yang harus diyakini sebagai kebenaran

mutlak yang tidak bisa dikompromikan. Jika yang ditempuh adalah wacana teologi, ini

berarti membiarkan berlangsungnya pengingkaran hak-hak asasi manusia. Hal ini juga

berarti membiarkan berlangsungnya konflik, sebab masyarakat makin menyadari hak-

haknya.123

122

M. Dawam Rahardjo, Nasionalisme Indonesia, makalah tidak diterbitkan. 123 M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil.”

Page 95: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Oleh karenanya, negara diharuskan bertindak menjamin hak kebebasan

beragama bagi seluruh warga negaranya. Sebagaimana pendapat M. Dawam

Rahardjo, persoalan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara.

Sementara itu, M. Dawam Rahardjo sangat menyadari perbedaan antara

hak asasi manusia dan hak sipil.

Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada manusia sejak lahir yang

bukan pemberian apapun, yang dalam agama adalah hak yang diberikan langsung oleh

Tuhan dan bukannya oleh orang, bahkan oleh negara. Sedangkan hak sipil adalah hak

yang dimiliki oleh setiap orang karena kewargaannya. Hak sipil pada masyarakat atau

individu berarti kewajiban negara. Jadi hak sipil ini dilindungi atau dijamin oleh negara.

Masyarakat berhak menuntut untuk dipenuhi hak-haknya dan boleh menggugat kepada negara jika hak mereka diingkari.

124

Pemahaman M. Dawam Rahardjo ini sesuai dengan definisi hak sipil dan

politik125

yang diakui oleh Departemen Hukum dan HAM RI.

Hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada

setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia

bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik.126

Sesuai dengan UU No. 39 tahun 1999 pasal 8 ditegaskan bahwa yang

berkewajiban atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi

manusia adalah pemerintah. Di dalam perlindungan hak sipil dan politik, peran

negara harus dibatasi karena hak sipil dan politik tergolong ke dalam negative

124

M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil.” 125 Hak-hak yang termasuk ke dalam hak sipil dan politik antara lain; hak hidup, hak

bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa, hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan bergerak dan berpindah, hak atas

pengakuan dan perlakuan yang sama di depan hukum, hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan dan

beragama, hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi, hak untuk berkumpul dan berserikat,

dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Lihat http://hukumham.info/index.php?option=

com_content&task=view&id=278&Itemid=51. 126

“Hak-hak Sipil dan Politik,” artikel diakses tanggal 10 Nopember 2008, dari

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=278&Item

id=51.

Page 96: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

rights, yaitu hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan terpenuhi

apabila peran negara dibatasi. Negara tidak bisa intervensi atas hak sipil dan

politik, namun juga sekaligus harus menjamin hak sipil dan politik tersebut dapat

dinikmati oleh seluruh warga negara.

Negara semestinya bergerak atas dasar hak-hak sipil yang telah

dicantumkan dalam konstitusi serta legislasi lainnya. Kita tahu bahwa Indonesia

telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dalam UU

No. 12 tahun 2005. Maka dari itu, dasar jaminan kebebasan beragama di

Indonesia cukup kuat. Sehingga, masyarakat berhak menuntut pemenuhan hak

sipilnya, terutama kebebasan beragama, jika hak mereka diingkari.

Di Indonesia, menurut M. Dawam Rahardjo, para penyelengara negara dan

otoritas keagamaan belum memahami konsep HAM dan hak sipil.127

Padahal, bila

negara membiarkan berlangsungnya pelanggaran kebebasan beragama, maka

negara dapat dituduh telah melakukan pelangaran hukum. Hal itu dikarenakan

negara membiarkan sebuah pelanggaran hukum terjadi. Adapun otoritas

keagamaan tampaknya menemukan benturan dengan argumen teologis ketika

berusaha memahami konsep HAM dan hak sipil.

Untuk mengatasi hal itu, upaya konkret yang perlu diusahakan untuk

mengatasi problem kebebasan beragama ini, menurut M. Dawam Rahardjo, ialah

melakukan perjuangan politik kebebasan beragama. Bentuknya yaitu dengan

mentransfer hak asasi manusia menjadi hak-hak sipil dalam suatu undang-undang

kebebasan beragama. Dalam UU kebebasan beragama tersebut pengertian tentang

127 M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil.”

Page 97: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

HAM sebagai hak sipil harus cukup jelas dan terperinci.128

Sehingga jaminan

kebebasan beragama diharapkan semakin kuat.

Maksud undang-undang ini adalah, pertama agar bisa membatasi peran

negara sehingga tidak menimbulkan campur tangan negara dalam hal akidah

(dasar-dasar kepercayaan), ibadah, maupun syariat agama (code) pada umumnya.

Kedua, di lain pihak, ia memberi kesadaran kepada setiap warga negara akan hak-

hak asasinya dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama. Undang-undang

semacam ini – menurut M. Dawam Rahardjo – harus mendefinisikan kebebasan

beragama secara lebih detail, di antaranya:129

Pertama, kebebasan beragama berarti kebebasan untuk memilih agama

atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan

ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.

Kedua, kebebasan beragama berarti pula kebebasan untuk tidak beragama.

Ketiga, kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk berpindah agama, yang

setara dengan berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain.

Keempat, kebebasan beragama berarti pula bebas untuk menyebarkan

agama (berdakwah), asal dilakukan tidak melalui kekerasan maupun paksaan

secara langsung ataupun tidak langsung.

Kelima, ateisme sebagai paham yang dipropagandakan, yang bersifat anti

agama dan anti Tuhanharus dilarang oleh negara, karena bertentangan dengan

Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga dilarang untuk

128

M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil.” 129

M. Dawam Rahardjo, “Dasasila Kebebasan Beragama,” artikel diakses tanggal 16

Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925.

Page 98: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

mencela dan menghina suatu agama. Namun tulisan yang berpandangan ateis,

sebagai diskursus ilmiah tidak perlu dilarang, namun dibantah secara ilmiah pula.

Keenam, atas dasar kebebasan beragama dan pluralisme, negara harus

bersikap adil terhadap semua agama. Ketujuh, negara harus memperbolehkan

perkawinan antara dua orang yang berbeda agama, jika hal itu sudah menjadi

keputusan pribadi dan keluarga yang bersangkutan.

Kedelapan, dalam pendidikan, setiap siswa atau mahasiswa diberi hak

untuk menentukan agama yang dipilih atau dipelajari. Kesembilan, dalam

perkembangan hidup beragama, setiap warga berhak membentuk aliran

keagamaan tertentu, bahkan mendidirikan agama baru, asal tidak mengganggu

ketentraman umum dan melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum dan

tata susilam atau menipu dengan kdeok agama.

Kesepuluh, negara maupun suatu otoritas keagamaan, jika ada, tidak boleh

membuat keputusan hukum (legal decision) yang menyatakan suatu aliran

keagamaan sebagai sesat dan menyesatkan, kecuali jika aliran itu telah melakukan

praktik-praktik yang melanggar hukum dan tata susila.

Pandangan M. Dawam Rahardjo ini menunjukkan ketidakpuasannya atas

penegakan hukum dalam hal kebebasan beragama di Indonesia. Sebab, bagaimana

pun, M. Dawam Rahardjo tentunya sadar betul bahwa instrumen hukum

penegakan kebebasan beragama telah dianut oleh negara Indonesia. Selain

Pancasila dan UUD 1945, Indonesia telah juga meratifikasi instrumen

internasional tentang kebebasan beragama, yaitu KIHSP, dalam UU No. 12 tahun

2005. Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, juga telah

Page 99: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

disebutkan mengenai jaminan negara atas kebebasan beragama. Namun, M.

Dawam Rahardjo masih merasa bahwa aturan ini masih belum cukup kuat dalam

menegakkan kebebasan beragama di Indonesia. Pendapatnya tentang perlunya

dibuatkan undang-undang kebebasan beragama sebagai perwujudan transformasi

hak kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia menjadi hak sipil

menunjukkan keprihatinannya itu.

M. Dawam Rahardjo bahkan berpendapat bahwa hak sipil dalam

kebebasan beragama tidak kunjung dipahami, tidak saja oleh masyarakat luas, tapi

juga oleh para pemimpin negara.130

Rupanya, regulasi seperti apapun tampak

belum cukup dalam merangsang pemahaman masyarakat dan pemerintah atas

urgensi kebebasan beragama.

Gagasannya tentang undang-undang kebebasan beragama itu juga berarti

menaikkan level gagasan perjuangan penegakan kebebasan beragama di

Indonesia. Bagi M. Dawam Rahardjo, para pejuang kebebasan beragama perlu

melanjutkan usaha mereka pada level legislasi atau perundang-undangan. Tentu

saja hal itu mensyaratkan adanya dukungan pula dari pelaku politik di Indonesia.

Jadi, isu kebebasan beragama sejatinya juga menjadi tanggung jawab para politisi

dan partai politik.

Gagasan M. Dawam Rahardjo juga menjadi peringatan atas usaha berbagai

pihak yang mencoba meneruskan bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama

dan hak sipil lainnya. Gagasan untuk menganulir berbagai bentuk pelanggaran

kebebasan beragama ini juga merupakan realisasi penting dalam usaha penegakan

130

Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, dalam Hiwar Volume III, Tahun I,

Maret 2008, h. 4.

Page 100: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

kebebasan beragama di Indonesia. Karenanya, dapat dipahami bila M. Dawam

Rahardjo sepakat untuk menggagas sebuah undang-undang kebebasan beragama.

Sulitnya mewujudkan iklim kebebasan di Indonesia diakui oleh M.

Dawam Rahardjo terutama disebabkan oleh feodalisme. Sebab, feodalisme

menghendaki masyarakat untuk tetap tidak kritis dan jangan memakai akalnya.131

Sehingga, masyarakat tidak mampu secara otonom menilai perlunya menyemai

kebebasan beragama di kehidupan mereka. Terlebih lagi, feodalisme memang

melanggengkan status quo sistem sosial yang sudah berlaku di masyarakat,

sehingga wajar bila feodalisme menguntungkan beberapa pihak tertentu yang

tengah menikmati status quo tersebut, contohnya beberapa agama yang menikmati

status resmi dari negara Indonesia atau agama masyoritas yang dianut masyarakat.

Karena itu, menurut M. Dawam Rahardjo, agama harus diusahakan untuk

tetap kondusif bagi proses demokratisasi.132 Kalau suatu kelompok agama

melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan seperti pengrusakan, pembunuhan dan

penyiksaan atas orang lain, maka hal itu harus dicegah oleh negara. Begitu pun

bila kelompok masyarakat melakukan hal yang sama terhadap agama-agama,

maka negara pun harus mencegahnya.

Karena itu, jika kita ingin menuju kepada pelaksanaan “demokrasi yang

sebenarnya”, praktek demokrasi dewasa ini harus didasarkan pada perlindungan

hak-hak sipil sebagaimana dianjurkan John Rawls. Itulah demokrasi liberal dan

131

Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 5. 132 Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 5.

Page 101: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

itulah pula hakikat Demokrasi Pancasila, yakni demokrasi sebagaimana

dicerminkan dalam UUD 1945.133

9. Beberapa Pandangan M. Dawam Rahardjo Atas Kasus-kasus

Pelanggaran Kebebasan Beragama di Indonesia

Menurut M. Dawam Rahardjo, secara umum tidak ada kepastian hukum

atas kebebasan beragama, sebab pengertian atas kebebasan beragama tidak jelas.

Karena itu, menurutnya, perlu disusun undang-undang kebebasan beragama yang

mencakup pengertian, wilayah, hak masyarakat, dan peran pemerintah. Kepastian

hukum ini diperlukan agar tidak terjadi tindakan-tindakan main hakim sendiri oleh

masyarakat, sebab masyarakat tidak boleh melakukan tindakan kekerasan.134

Menurutnya, kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang

sekarang tidak lagi dilindungi negara.135

M. Dawam Rahardjo sangat tanggap

terhadap kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Hal ini

terlihat dari beberapa pandangannya yang tersebar dalam tulisan-tulisannya di

berbagai media. Dalam hal ini, terutama saat hangatnya kasus jemaat Salamullah

(komunitas Lia Eden) dan Ahmadiyah pada sekitar tahun 2005 sampai 2006.

Sebelum mengkritik beberapa kasus pelanggaran kebebasan beragama, M.

Dawam Rahardjo terlebih dahulu mengkritik fatwa MUI tentang diharamkannya

liberalisme, sekularisme dan pluralisme, dalam Musyawarah Nasional MUI

tanggal 26 s.d. 29 Juli 2005. Kritik M. Dawam Rahardjo ini sangat penting, sebab

133

M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 3. 134

Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009. 135 Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 4.

Page 102: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

– sebagaimana telah kita bahas di atas – liberalisme, sekularisme dan pluralisme

adalah basis tafsiran M. Dawam Rahardjo atas Pancasila yang melandasi jaminan

atas kebebasan beragama. Maka, pantas saja jika M. Dawam Rahardjo demikian

keras menentang fatwa MUI tersebut.

Menurut M. Dawam Rahardjo, jika liberalisme, sekularisme dan

pluralisme diharamkan dan dilarang di Indonesia, maka jaminan atas kebebasan

beragama akan sangat terancam. Tanpa pluralisme, keyakinan masyarakat

didominasi oleh keyakinan hegemonik seperti keyakinan MUI, dan kebebasan

beragama pun akan terberangus dari bumi Indonesia. Padahal, yang mendasari

Pancasila itu adalah pluralisme yang tersimpul dalam “bhineka tunggal ika”.136

Bahkan, menurut M. Dawam Rahardjo, jika nilai-nilai kebebasan itu

diharamkan oleh MUI, maka Islam bertentangan dengan asas kebebasan. Dalam

menolak asas kebebasan ini, seringkali makna kebebasan disalahartikan, misalnya

“bebas sebebas-bebasnya yang tanpa batas,” yang sebenarnya bukan kebebasan

tetapi anarki. Padahal, menurutnya, kebebasan bukanlah anarki. Yang

dimaksudkan dengan kebebasan dalam liberalisme di sini adalah kebebasan yang

dilembagakan dalam hukum ketatanegaraan.137

Akibat dari diharamkannya sekularisme oleh MUI, maka – menurut M.

Dawam Rahardjo – terus berlangsung konflik antar umat beragama yang sangat

mungkin diatarbelakangi oleh kepentingan sosial-ekonomi dan politik. Padahal,

136

M. Dawam Rahardjo, “Kala MUI Mengharamkan Pluralisme.” 137 M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).”

Page 103: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

gagasan sekularisme bertujuan untuk memisahkan dan mencegah perselingkuhan

antara otoritas keagamaan dan otoritas politik.138

Intinya, M. Dawam Rahardjo, secara terang-terangan, meramalkan bahwa

dengan keluarnya fatwa MUI mengenai pengharaman liberalisme, sekularisme

dan pluralisme, maka Indonesia terbuka terhadap ancaman konflik dan

perpecahan.139

M. Dawam Rahardjo mengkritik kebijakan pemerintah mengenai

pengakuan status “agama resmi” atas enam agama, dan menganggap agama dan

keyakinan lainnya di luar dari status “resmi”tersebut. Sambil mengutip pendapat

Leonard Swindler tentang empat komponen agama, M. Dawam Rahardjo

mengungkapkan bahwa,

Agama menurut (Leonard) Swindler terdiri dari empat komponen atau 4-C, yaitu

Creed atau akidah, Cult atau peribadatan, Code atau kode etika dan Community Structure

atau susunan masyarakat. Mungkin bisa ditambah satu lagi, yaitu Culture atau

Civilization. Jika itu definisinya maka Aliran Kebatinan atau Kepercayaan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa memenuhi kriteria sebagai agama. Demikian pula Konghucu, Taoisme,

Bahaisme, bahkan Komunitas Eden yang disebut Salamullah itu dapat dikategorikan

sebagai agama dan karena itu kebebasan beragama dan bereksistensi di Indonesia berlaku

kepada mereka.140

Pandangan M. Dawam Rahardjo tersebut sangat relevan, terutama dalam

kenyataannya memang penganut di luar agama “resmi” versi pemerintah tersebut

hak-hak sipilnya banyak terlanggar secara sistemik. Padahal, menurut M. Dawam

Rahardjo, krisis keberagamaan tersebut sebenarnya dapat diatasi. Asalkan,

pemerintah bertindak tegas dalam menegakkan konstitusi yang mengakui hak-hak

138

M. Dawam Rahardjo, “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme,” dalam

Buletin Kebebasan, Edisi No. 4/V/2007, h. 8. 139

M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).” 140

M. Dawam Rahardjo, “Krisis Keberagamaan di Indonesia,” dalam Reform Review Vol.

I, No. 1, April-Juni 2007, h. 3.

Page 104: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

sipil. Dan kunci dari penegakan hak-hak sipil tersebut adalah pluralisme dan

sekularisme yang menghargai semua agama seutuhnya.141

Saat polisi akhirnya menangkap Lia Eden sebagai pimpinan jemaat

Komunitas Eden, polisi menginterogasi Lia Eden dengan ratusan pertanyaan yang

sangat berat, dan hampir semuanya berkatian dengan masalah-masalah teologis.

Hal ini dipandang oleh M. Dawam Rahardjo sebagai sesuatu yang berada di luar

kemampuan polisi untuk merumuskannya.142

Jelas, dari sudut pandang ini, M.

Dawam Rahardjo mempertanyakan kapasitas dan kapabilitas aparat polisi dalam

menangani kasus Komunitas Eden.

Selanjutnya, M. Dawam Rahardjo mempertanyakan tiga hal sebagai

representasi pembelaannnya terhadap Lia Eden, (1) Atas dasar apa dan atas dasar

hukum apa Ibu Lia Eden harus meringkuk dalam penjara? (2) Apakah negara

punya hak untuk mengadili sebuah keyakinan dalam suatu negara yang memiliki

UUD yang menjamin kebebasan beragama sebagai hak sipil? (3) Mengapa dalam

kasus Komunitas Eden ini negara justru mengadili pihak yang menjadi korban,

dan sebaliknya membiarkan bahkan melindungi tindakan atau aksi kekerasan yang

mengatasnamakan agama, padahal aksi itu yang sebenarnya kriminalitas?143

Dalam kasus Ahmadiyah, M. Dawam Rahardjo juga sangat kritis

menanggapi berbagai kekerasan yang menimpa mereka. Ahmadiyah memang

menjadi salah satu aliran yang mengaku sebagai bagian dari Islam, namun

ditentang di banyak negara-negara muslim. Bahkan, di tempat asal

141

Rahardjo, “Krisis Keberagamaan di Indonesia,” h. 3. 142

M. Dawam Rahardjo, “Kebenaran yang Meringkuk di Penjara,” artikel diakses tanggal

17 Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15. 143 M. Dawam Rahardjo, “Kebenaran yang Meringkuk di Penjara.”

Page 105: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

kemunculannya pun mereka dianggap terlarang. Salah satu faktor penyebabnya

ialah klaim Mirza Ghulam Ahmad – pemimpin spiritual Ahmadiyah – yang

menyebutkan bahwa ia penerima wahyu dan sebagai nabi. Terlebih, Ghulam

Ahmad kemudian berhasil membukukan “wahyu” yang sempat diterimanya.

Maka kaum muslim umunya menganggap bahwa Ahmadiyah memiliki kitab suci

sendiri.

Karena ditentang di Pakistan, para pengikut Ahmadiyah mengalami

banyak penganiayaan. Kemudian mereka hijrah ke Inggris dan menyebar ke

negara-negara Eropa Barat. Hal ini menguatkan tuduhan bahwa Ahmadiyah

didanai oleh Inggris untuk melanggengkan kekuasaannya di India. Padahal,

Ahmadiyah adalah sebuah organisasi mandiri yang swadaya dan mendapat dana

dari para anggotanya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan Ahamdiyah banyak

ditentang di negara-negara muslim.

Ahamdiyah termasuk organisasi legal sejak zaman kolonial tahun 1928

(aliran Lahore) dan 1929 (aliran Qadian). Oleh Pemerintah RI, Ahmadiyah

mendapat status badan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA

5/23/13, tanggal 13 Maret 1953, dan diakui sebagai organisasi kemasyarakatan

melalui Surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75/D.I./VI/2003.

Atas dasar itu, seharusnya pemerintah melindungi Ahmadiyah dan ajarannya.

Namun, rupanya fatwa MUI dan berbagai SKB yang dikeluarkan beberapa

Page 106: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

pemerintah daerah berhasil menyudutkan Ahmadiyah dan memberi dukungan atas

tindakan kekerasan sebagian masyarakat atas mereka.144

Sekalipun memang Ahmadiyah terpaksa harus dianggap berbeda, M.

Dawam Rahardjo berpendapat bahwa orang Ahmadiyah pun masih berhak

“menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Beliau

mengingatkan bahwa selama ini Ahmadiyah konsisten menjalankan program

kemanusiaan dan menyerukan perdamaian. Menurutnya, Ahmadiyah mestinya

justru dimasukkan ke dalam kepengurusan MUI dan tidak perlu dikucilkan.

Dalam kerangka negara hukum, Ahmadiyah tetap berhak memperoleh hak-hak

asasi mereka, khususnya menjalankan agama menurut kepercayaannya.145

Dalam melihat fenomena maraknya aliran keagamaan yang dianggap

“sesat” ini, M. Dawam Rahardjo berpendapat bahwa apabila ajaran suatu

kelompok agama menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi masyarakat,

kebebasannya memang harus dilarang.146 Akan tetapi, ternyata sejauh ini ajaran-

ajaran seperti Ahmadiyah atau Komunitas Eden tidak menunjukkan akan

berakibat kecelakaan bagi masyarakat. Meskipun, memang di sisi lain, klaim sesat

banyak dituduhkan terhadap mereka dan dianggap meresahkan warga. Yang jelas,

bila problem utamanya terletak pada persoalan perbedaan penafsiran dalam

beragama, maka menurut M. Dawam Rahardjo perbedaan tersebut harus dihargai.

Tuduhan penodaan agama yang seringkali dijatuhkan atas aliran-aliran

yang dianggap sesat, menurut M. Dawam Rahardjo, pada dasarnya rancu.

144

M. Dawam Rahardjo, “Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama,” artikel

diakses pada tanggal 16 Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850. 145

M. Dawam Rahardjo, “Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama.” 146 Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 5.

Page 107: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Seharusnya, kriteria sesat atau penodaan agama hanya berlaku bagi mereka yang

melanggar hukum, membohongi publik, melakukan ritual asusila, dan

mengganggu ketentraman umum. Jadi, hukan mengenai kepercayaan atau

penafsiran tertentu.147

Pada dasarnya, negara memang tidak perlu mencantumkan titel agama

resmi pada agama-agama tertentu, sebagaimana yang selama ini berlaku di

Indonesia. Menurut M. Dawam Rahardjo, agama harus netral (sekular). Namun,

ini tidak berarti negara mesti bermusuhan dengan agama tertentu. Negara juga

tidak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama baru148

Meskipun demikian, M. Dawam Rahardjo membenarkan adanya

pembatasan atas kebebasan bila berbentuk penghinaan atau sikap anti agama.

Contohnya, orang yang menggambarkan nabi Muhammad dengan paras yang

sama sekali berbeda dengan ilustrasi hadis. Menurut M. Dawam Rahardjo, gambar

yang tidak berdasar atau diniatkan untuk memberi citra buruk atas nabi

Muhammad dan agama yang dibawanya, itu tidak boleh.149

Pembelaan M. Dawam Rahardjo atas penegakan kebebasan beragama di

Indonesia diakui olehnya bukan sekedar wacana belaka. M. Dawam Rahardjo

mengakui bahwa dirinya adalah penganut kebebasan beragama, karena beliau

ingin orang lain bebas dalam beriman. Sebab, agama itu adalah iman yang

dikuasai individu, dan sifatnya ke dalam, bukan ke luar.150

Kebebasan beragama

adalah hal yang paling esensial untuk menjamin kerukunan antar umat beragama.

147

Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009. 148

Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 5. 149

Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 4. 150 Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo, dalam Tempo, 5 Februari 2006.

Page 108: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Bila kebebasan beragama tidak ada, maka agama-agama akan menjadi sumber

konflik.151

Menurutnya, usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memajukan

kebebasan beragama itu dapat dilakukan melalui publikasi, dakwah, pendidikan,

dan lain-lain, yang berkomitmen terhadap terwujudnya kebebasan beragama.

Adapun sumber yang merintangi penegakan kebebasan beragama ialah sikap

masyarakat yang konservatif-ortodoks, misalnya faham Ahlussunah wal Jama’ah,

di mana mereka merasa dirongrong oleh aliran-aliran keagamaan baru. M. Dawam

Rahardjo meyakini bahwa masa depan kebebasan beragama di Indonesia akan

tetap suram, selama tidak ada kepastian hukum dan kerancuan pengertian

kebebasan beragama. Selama tetap begitu, maka situasi yang ada akan mendorong

ketidaknyamanan dalam kehidupan beragama.152

Kendati pemikiran M. Dawam Rahardjo cukup lengkap dalam memandang

kebebasan beragama di Indonesia, namun kiranya perlu ditambahkan di sini

beberapa pandangan lain yang muncul dan menyertai pemikiran M. Dawam

Rahardjo tentang kebebasan beragama. Menurut Siti Musdah Mulia, negara

memang tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama, memutuskan

agama resmi atau tidak resmi menentukan mana agama induk dan mana agama

sempalan. Bahkan negara juga tidak berhak mendefinisikan apa itu agama.

Penentuan bahwa sesuatu itu agama atau bukan hendaknya diserahkan saja

sepenuhnya kepada penganut agama bersangkutan. Negara hanya perlu

menetapkan rambu-rambu agar setiap agama tidak mengajarkan kekerasan

151

Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009. 152 Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009.

Page 109: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

(violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apapun, dan tidak melakukan

penghinaan terhadap pengikut agama lain.153

Di sisi lain, Franz Dahler mengkritik sekularisme yang menjadi basis

pendekatan M. Dawam Rahardjo dalam memandang kebebasan beragama di

Indonesia. Sekularisme yang dimaksud Dahler yakni sekularisme sebagai dampak

industrialisasi. Menurut Franz Dahler, akibat negatif dari sekularisme yaitu:

pertama, perkembangan berat sebelah dan pincang dari ilmu-ilmu eksakta,

sehingga ilmu-ilmu humaniora ketinggalan. Kedua, mental konsumtif yang

merugikan alam. Keiga, kemajuan teknis dari negara industri mempertajam urang

antara negara kaya dan miskin. Keempat, pemusatan, konsentrasi ekonomi,

politik, pendidikan, administrasi ada dalam tangan segelintir orang (oligarki).154

F. Budi Hardiman juga mengkritik sekularisme. Menurutnya, negara

hukum modern, juga republik Indonesia, menghadapi dua macam jebakan yang

dihasilkan lewat sekularisasi. Negara masuk kedalam jebakan sekularisme jika

menyingkirkan setiap alasan religius yang diyakini oleh para warga negaranya

yang beriman. Namun, di sisi lain, terdapat pula jebakan fundamentalisme agama,

jika negara menerima begitu saja alasan religius dan menjadikannya reguasi

publik. Suatu masyarakat, menurutnya, seharusnya segera memasuki kondisi post-

sekular. Suatu masyarakat dikatakan memasuki kondisi post-sekular jika waspada

terhadap kedua macam jebakan di atas dalam proses legislasi hukumnya.

Masyarakat seperti ini melihat sekularisasi sebagai proses belajar antara pemikiran

153

Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Hakim, ed.,

Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish, h. 227. 154

Franz Dahler, “Bahaya Sekularisme sebagai Akibat Industrialisasi,” dalam Buletin

Kebebasan Edisi No. 01/XI/2006, h. 7-8.

Page 110: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

sekular dan pemikiran religius. Tanpa prasangka, keduanya dipandang

komplementer.155

F. Budi Hardiman selanjutnya memberi jalan keluar dari bahaya

sekularisme dan pluralisme, dengan mengajukan konsep toleransi militan.

Menurutnya, seseorang yang militan tidak harus intoleran terhadap pluralisme.

Begitu juga seorang yang toleran tidak harus bersikap relativis dan “lunak”

terhadao imannya sendiri. Orang bisa menjadi seorang yang toleran sekaligus

militan. Seorang yang memiliki toleransi militan bukanlah seorang yang

toleransinya muncul dari sikap laissez faire terhadap imanya sendiri. Sehingga ia

tanpa pendirian bergaul dengan para warga negara dari iman-iman yang lain tanpa

mempedulikan iman-iman mereka pula. Seorang yang toleran secara militan

adalah orang yang menerima fakta pluralitas orientasi religius, dan penerimaan ini

tidak muncul dari ketidakpedulianya terhadap imannya sendiri, melainkan justru

muncul dari imannya yang dewasa dan terbuka. Toleransi militan bukanlah sikap

netral, melainkan suatu pemihakan kepada kebebasan dan keadilan.156

Sejauh pembahasan dalam skripsi ini, penulis berpendapat bahwa

perspektif M. Dawam Rahardjo cukup relevan dan lengkap dalam membahas

kebebasan beragama di Indonesia. Selain dasar epistemologis dan ideologis yang

jelas, M. Dawam Rahardjo juga melengkapi perspektifnya dengan solusi, yakni

undang-undang kebebasan beragama.

155

F. Budi Hardiman, “Menimbang Kembali Sekularisme,” dalam Ihsan Ali Fauzi,

et.all., ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2007), h. 390-391. 156

F. Budi Hardiman, “Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme,” dalam Buletin

Kebebasan Edisi No. 03/V/2007, h. 10-11.

Page 111: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian panjang tentang kebebasan beragama di Indonesia dalam

perspektif M. Dawam Rahardjo di atas, akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa

kebebasan beragama dipahami oleh M. Dawam Rahardjo tidak hanya semata-

mata berarti kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama yang

dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan

keyakinan masing-masing. Menurut M. Dawam Rahardjo, kebebasan beragama

bisa dibatasi ketika kegiatan penyebaran agama dilakukan melalui kekerasan

maupun paksaan secara langsung ataupun tidak langsung. Jadi, kebebasan

beragama tidak dipahami sebagai sebuah kebebasan tanpa batasan. Justru

kebebasan beragama harus dibatasi oleh hukum, sepanjang melanggar hukum,

mengganggu ketertiban umum, membohongi publik, atau melakukan ritual

asusila. Meskipun demikian, hingga saat ini pemahaman atas definisi kebebasan

beragama yang jelas seperti ini belum kunjung dipahami dengan benar oleh

negara] akibatnya, pelanggaran kebebasan beragama terjadi sampai saat ini.

Dalam merumuskan solusi atas problem kebebasan beragama di Indonesia,

M. Dawam Rahardjo berpikir bahwa masih diperlukan adanya penelaahan

kembali Pancasila sebagai jaminan pertama atas kebebasan beragama di

Page 112: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Indonesia. Beliau dengan tegas mengatakan bahwa Pancasila disemangati oleh

trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, di mana ketiganya sama-sama

merupakan ideologi yang diperlukan untuk menjamin kebebasan beragama di

Indonesia. Gagasan orisinal M. Dawam Rahardjo ini menunjukkan kedalaman

(radikal) perspektif M. Dawam Rahardjo atas kebebasan beragama di Indonesia.

Di samping itu, beliau juga berpikir bahwa landasan filosofis-idelogis saja tentu

belum cukup untuk menjamin kebebasan beragama. Menurutnya, diperlukan

adanya transformasi kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia, menjadi hak

sipil warga negara. Transformasi tersebut terutama – menurutnya – haruslah

berbentuk undang-undang kebebasan beragama yang dirumuskan bersama oleh

pemerintah dan DPR. Hal ini berarti pula bahwa perjuangan penegakan kebebasan

beragama termasuk juga perjuangan politik. Selanjutnya, undang-undang

kebebasan beragama dan seluruh regulasi yang menjamin kebebasan beragama di

Indonesia semestinya dijalankan dan ditaati oleh semua pihak. Hal yang

terpenting bagi M. Dawam Rahardjo adalah bahwasanya penegakan kebebasan

beragama adalah cermin dari kualitas demokratisasi di Indonesia.

Saran

Dari penulisan skripsi ini dan mengingat bahwa baik kajian tentang kebebasan

beragama maupun – pemikir intelektual muslim – M. Dawam Rahardjo, maka di

sini penulis memberikan beberapa saran, antara lain:

Demokratisasi di Indonesia sebaiknya menyertakan penegakan kebebasan

beragama agar kualitas demokrasi Indonesia dapat lebih baik lagi. Sebab,

Page 113: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

demokrasi prosedural saja belum cukup untuk menjamin kehidupan yang

damai dan toleran, dan penegakan kebebasan beragama merupakan salah

satu usaha menjamin kehidupan damai dan toleran itu.

Perspektif M. Dawam Rahardjo kebebasan beragama di Indonesia dapat

dijadikan acuan untuk pembaharuan kualitas demokrasi dan penegakan

hak asasi manusia di Indonesia. Bagaimana pun, di usia senjanya,

pemikiran beliau tentang kebebasan beragama menjadi tahap akhir

pengembaraan intelektualnya.

Bagi pemerintah, agar dalam mengeluarkan sebuah kebijakan mengenai

kehidupan keberagamaan senantiasa memperhatikan prinsip kebebasan

beragama. Sedangkan bagi masyarakat, agar prinsip kebebasan beragama

diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat tercipta

tatanan sosial-politik yang damai dan toleran.

Bagi masyarakat akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, agar menjadikan

bidang-bidang hak asasi manusia dan demokrasi sebagai kajian dalam

pemikiran politik, baik itu kajian tematik maupun tokoh. Dengan

demikian, berbagai persoalan dalam kehidupan politik dan hak asasi

manusia di Indonesia mendapat penyelesaian secara paripurna.

Page 114: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri. “Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Masyarakat

Indonesia.” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed. Bayang-bayang

Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid. Jakarta:

PSIK Universitas Paramadina, 2007.

Allport, Gordon W. “The Religious Context of Prejudice.” Journal for Scientific

Study of Religion 5, 1966.

Audi, Robert. “The Separation of Church and State and the Obligations of

Citizenship.” Philosophy and Public Affairs 18, 1989.

Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1999.

“Belum Konsisten Penegakan Hukum Kebebasan Beragama.” Diakses pada

tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.antara.co.id/

arc/2008/2/14/belum-konsisten-penegakan-hukumkebebasan-beragama/.

Berger, Peter L. “The First Freedom.” Commentary 86, 1988.

Dahler, Franz. “Bahaya Sekularisme sebagai Akibat Industrialisasi.” Buletin

Kebebasan Edisi No. 01/XI/2006.

Fanani, Ahmad Fuad. Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif.

Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.

Fauzi, Ihsan Ali. et.all. ed. Demi Toleransi Demi Pluralisme. Jakarta: Penerbit

Paramadina, 2007.

Gunn, T. Jeremy. “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion”

in International Law.” Harvard Human Rights Journal Vol. 16, 2003.

Page 115: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

“Hak-hak Sipil dan Politik.” Artikel diakses tanggal 10 Nopember 2008, dari

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=27

8&Itemid=51.

Hardiman, F. Budi. “Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme.” Buletin

Kebebasani Edisi No. 03/V/2007.

--------------------------. “Menimbang Kembali Sekularisme.” Dalam Fauzi, Ihsan Ali. et.all. ed. Demi Toleransi Demi Pluralisme. Jakarta: Penerbit

Paramadina, 2007.

Hasanuddin, Iqbal. “Neo-Kantianisme dalam Pemikiran M. Dawam Rahardjo,”

artikel diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari

http://iqbalhasanuddin.wordpress.com/2008/09/26/neo-kantianisme-

dalam-pemikiran-m-dawam-rahardjo/.

Hastings, C. B. “Hughes-Félicité Robert de Lamennais: A Catholic Pioneer of

Religious Liberty.” Journal of Church and State 30, 1988.

Huntington, Samuel P. “Benturan Antar Peradaban; Masa Depan Politik Dunia.”

Dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher. Agama dan Dialog Antar

Peradaban. Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996.

“Kebhinekaan Dicederai.” Diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/02/01293516/kebhinnekaan.di

cederai.

“Koalisi Partai Islam Perlu untuk Representasi Umat.” Diakses pada tanggal 12

Desember 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/11/

01133018/koalisi.partai.islam.perlu.untuk.representasi.umat.

Koshy, Ninan. “The Ecumenical Understanding of Religious Liberty: The

Contribution of the World Council of Churches.” Journal of Church and

State 38, 1996.

Page 116: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003.” Diakses pada tanggal

21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/

kebebasan_beragama1.html.

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2005.” Diakses pada tanggal 21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/

laporan%20kebebasan%20beragama% 202005-1.html.

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006.” Diakses pada tanggal

21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/

laporan_kebebasan_beragama_2006-2.html.

“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007.” Diakses pada tanggal

21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/

Laporan_Kebebasan_Beragama_2007. html.

Lerner, Natan. “The Nature anf Minimum of Freedom of Religion or Belief.” In

Tore Lindholm, et.all., ed. Facilitating Freedom of Religion or Belief: A

Deskbook. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2004.

Littell, Franklin H. “The Ecumenical Commitment to Human Rights.” Journal of

Ecumenical Studies 29, 1992.

“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups.” Diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari

http://www.thepersecution.org/world/indonesia/07/05/jp19.html..

Mabruri, Gufron, et.all., Demokrasi Selektif terhadap Penegakan HAM; Laporan

Kondisi HAM Indonesia 2005. Jakarta: Imparsial, 2006.

Mujiburrahman, “Kebebasan Beragama di Indonesia.” Dalam Abdul Hakim dan

Yudi Latif. ed. Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang

Nurcholish Madjid. Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2007.

Mulia, Siti Musdah. “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia.” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed. Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk

Page 117: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Mengenang Nurcholish Madjid. Jakarta: PSIK Universitas Paramadina,

2007.

“Pancasila I.” Diakses tanggal 19 Februari 2008, dari http://www.freedom-

institute.org/id/index.php?page=kegiatan&detail=research&detail=talkshow.

“Pemerintah Tangerang Bongkar Paksa Lima Gereja dan Musala.” Diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari

http://www.tempo.co.id/hg/jakarta/2005/11/30/brk,20051130-69892,id.html.

“Pemimpin Cianjur Larang Aktivitas Ahmadiyah,” berita diakses pada tanggal 10

Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2005/09/28/ brk,20050928-

67225,id.html.

Rachman, Budhy Munawar. "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran

Neo-Modernisme Islam di Indonesia," dalam Ulumul Qur'an No. 3, Vol.

VI, tahun 1995.

Rahardjo, M. Dawam . “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi.” Tempo, 18

Juni 2006.

---------------------------. ”Mengapa Semua Agama itu Benar?” Tempo, 1 Januari

2006.

---------------------------. “Akidah: Antara Konfrontasi dan Interioritas.” Tempo, 11

September 2005.

---------------------------. “Kala MUI Mengharamkan Pluralisme.” Koran Tempo, 1

Agustus 2005.

---------------------------. “Krisis Keberagamaan di Indonesia.” Reform Review Vol.

I, No. 1, April-Juni 2007.

---------------------------. “Agama di Ranah Publik.” Buletin Kebebasan, Edisi No.

01/XI/2006.

Page 118: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

---------------------------. “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme.”

Buletin Kebebasan, Edisi No. 4/V/2007.

----------------------------. “Model Peradaban Islam yang Ideal,” artikel diakses

pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://www.korantempo.com/

korantempo/koran/2007/03/25/Ide/krn.20070325.97395.id.html.

---------------------------. “Negara, Agama dan Penegakan Hak Sipil,” artikel

diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-

online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15.

---------------------------. “Dasasila Kebebasan Beragama.” Artikel diakses tanggal

16 Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925.

---------------------------. “Agama dan Hak-hak Sipil.” Artikel diakses tanggal 17

Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2 &pos=15.

---------------------------. “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).”

Artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=30.

---------------------------. “Kebenaran yang Meringkuk di Penjara.” Artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?

ArtCat=2&pos=15.

---------------------------. “Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan

Beragama.” Artikel diakses pada tanggal 16 Juni 2007, dari

http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850.

---------------------------. Nasionalisme Indonesia, makalah tidak diterbitkan.

---------------------------. “Islam Radikal Vs Islam Liberal.” Tempo, 12 Januari

2003.

Page 119: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

“Ribuan Orang Serbu Perkampungan Ahmadiyah Cianjur,” berita diakses pada

tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2005/

09/20/brk,20050920-66852,id.html.

“Sebatang Salib yang Dikunci.” Tempo, 11 September 2005.

Swindler, Leonard. “Freedom of Religion and Dialogue.” In Tore Lindholm,

et.all., ed. Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2004.

Teehankee, Julion C. Liberalism: A Primer. Manila: National Institute for Policy

Studies, 2005.

“TK Kristen ‘Disegel’.” Diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari

http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2006/04/01/brk,20060401-75733,id.html.

Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo. Hiwar Volume III, Tahun I,

Maret 2008.

Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo. Tempo, 5 Februari 2006.

Wood Jr., James E. “Religious Human Rights and a Democratic State.” Journal of

Church and State Vol. 46.

Zada, Khamami. Islam Radikal; Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di

Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002.

http://lempu.co.cc/index.php/Artikel/ Tipologi-Sikap-Beragama.html.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2007/11/23/Opini/krn.20071123.116317.id.html.

Page 120: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Lampiran I

TRANSKRIP WAWANCARA

DENGAN M. DAWAM RAHARDJO, 16 FEBRUARI 2009, JAKARTA

1. Bagaimana kondisi umum kebebasan beragama di Indonesia menurut

Anda?

Jadi, saya kira secara umum tidak ada kepastian hukum karena pengertia

kebeban beragama tidak jelas. Karena itu, perlu disusun undang-undang

kebebasan beragama yang mencakup pengertian kebebasa beragama, wilayah dan

batasannya, hak masyarakat, dan peran pemerintah. Itu harus jelas, sehingga tidak

terjadi tindakan-tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat, seperti yang terjadi

terhadap Ahmadiyah, Lia Eden, Al-Qiyadah dan sebagainya. Sebab, masyarakat

tidak boleh melakukan tindakan kekerasan.

2. Sudah cukupkah jaminan negara atas kebebasan beragama?

Menurut hemat saya, agama dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah

privat dan wilayah publik. Wilayah privat, yang mencakup akidah (iman) dan

ibadah, harus mendapatkan jaminan kebebasan dan perlindungan dari pemerintah.

Sedangkan wilayah publik, yang meliputi moral, etika, dan organisasi keagamaan,

perlu diatur oleh negara.

Page 121: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

MUI seharusnya berperan menengahi dan harus membela masyarakat,

bukan pemerintah. Pembelaan itu dilakukan bila masyarakat diserang, dan bukan

malah melegitimasi politik pemerintah melalui fatwa-fatwanya. Namun, sangat

disayangkan, MUI justru ikut menyerang kebebasan beragama, bahkan memicu

kekerasan horizontal dalam masyarakat. Pemerintah pun malah melakukan

kekerasan, dengan mengadili para penganut aliran sesat, seperti yang dialami oleh

Yusman Roy, Lia Eden dan Ahmadiyah. Artinya, jaminan pemerintah tentu saja

belum cukup. Terbukti dengan belum disusunnya undang-undang kebebasan

beragama.

3. Bagaimana Anda memisahkan antara kebebasan beragama dan

penodaan agama?

Fatwa MUI mengenai kriteria sesat seharusnya tidak diperbolehkan, sebab

memicu kekerasan. Semestinya, kriteria sesat atau aliran sesat hanya berlaku bagi

mereka yang melanggar hukum, membohongi publik, melakukan ritual asusila,

dan mengganggu ketentraman umum. Jadi, bukan mengenai kepercayaan atau

penafsiran tertentu, seperti kepercayaan terhadap Ghulam Ahmad dan Jibril

sebagai nabi. Hal seperti itu justru tak bisa diatur dan bebas terserah kepada

masyarakat yang menilainya. Lagi pula, menurut hemat saya, dengan kepercayaan

seperti itu orang tidak akan mudah percaya. Pun demikiran, bila ada fatwa, maka

fatwa itu hanyalah sekedar nasehat saja. Fatwa itu tidak mengikat dan bukan

produk hukum yang harus dipatuhi.

Page 122: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

Kemudian, perlu juga dilakukan diskusi-diskusi dengan para penganut

aliran itu, agar lambat laun mereka mulai terbuka pikirannya dan menimbang-

nimbang keyakinan mereka secara lebih rasional. Lagi pula, aliran sesat itu bisa

disebut sebagai gejala patologi atau penyakit sosial, apalagi yang

mengatasnamakan agama.

Pengertian penodaan agama itu rancu. Terlebih pasal penodaan agama

hanya berlaku secara tebang pilih. Kelompok-kelompok yang terang-terangan

menyerang kaum minoritas justru tidak terkena pasal penodaan agama. Kriteria

penodaan agama yang hanya menghukumi kepercayaan seseorang sangat tidak

jelas, sebab kepercayaan itu tidak bisa dicegah oleh siapapun. Misal, olahraga

yoga. Toga itu tidak bisa dilarang, juga tidak bisa diharamkan. Ritual yang

dilakukan dalam yoga, sama sekali tidak bisa diawasi. Terlebih, tujuan yoga

adalah olahraga.

Saya pikir, pada dasarnya, kebebasan beragama itu harus dipagari oleh

hukum. Artinya, kebebasan beragama yang saya maksudkan adalah kebebasan

yang bertanggung jawab. Oleh karena itulah, undang-undang kebebasan beragama

itu harus ada, supaya ada jaminan dan kepastian hukum yang adil.

4. Apa saja usaha yang bisa dilakukan untuk pemajuan jaminan

kebebasan beragama?

Usaha-usaha itu dapat dilakukan melalui publikasi, dakwah, pendidikan,

dan lain-lain, yang berkomitmen terhadap terwujudnya kebebasan beragama.

Page 123: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan

5. Apa kendala yang muncul dalam usaha penegakan kebebasan

beragama di Indonesia?

Sumber yang merintangi penegakan kebebasan beragama ialah sikap

masyarakat yang konservatif-ortodoks, misalnya faham Ahlussunah wal Jama’ah,

di mana mereka merasa dirongrong oleh aliran-aliran keagamaan baru. Menurut

saya, sebetulnya aliran liberal itu yang lebih berbahaya. Tapi mereka, kaum

konservatif-ortodoks, tidak bisa mencegahnya dikarenakan kaum liberal banyak

berisi para intelektual.

6. Apa makna kebebasan beragama bagi Anda? Dan bagaimana masa

depan kebebasan beragama di Indonesia?

Menurut saya, kebebasan beragama adalah hal yang paling esensial untuk

menjamin kerukunan antar umat beragama. Bila kebebasan beragama tidak ada,

maka agama-agama akan menjadi sumber konflik.

Masa depan kebebasan beragama di Indonesia akan tetap suram, selama

tidak ada kepastian hukum dan kerancuan pengertian kebebasan beragama.

Selama tetap begitu, maka situasi yang ada akan mendorong ketidaknyamanan

dalam kehidupan beragama.

Page 124: KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8627/1/BAHRUL... · DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO ... Kebebasan ini merupakan