kata pengantar - web viewfakultas ekonomi. program studi akuntansi strata satu. universitas...
TRANSCRIPT
TUGAS KELOMPOK
PERILAKU KONSUMSI DALAM ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ekonomi Syariah
Disusun Oleh:
1. DEWI RATNASARI (2013120996)
2. DITO ARDIYANTO (2013122398)
3. ECIS APER (2013122478)
4. ENI MARDIANTI (2013121476)
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI AKUNTANSI STRATA SATU
UNIVERSITAS PAMULANG
2015
Kata Pengantar
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok ini tepat pada
waktunya.
Tugas kelompok mata kuliah Ekonomi Syariah ini diberi judul : Perilaku Konsumsi
Dalam Islam.
Adapun tujuan dibuatnya tugas kelompok ini diajukan untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh dosen pembimbing.
Atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak sehingga kami mampu
menyelesaikan tugas kelompok ini dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
kami mengucapkan terima kasih kepada :
Bapak Ahmad Ridho selaku Dosen Pembimbing Ekonomi Syariah.
Orang tua yang selalu memberikan motivasi, semangat, dan doa.
Teman-teman dan sahabat yang selalu membantu di kelas L Eksekutif.
kami menyadari bahwa makalah dari tugas kelompok kami tidak sempurna. Oleh
karena itu, kami menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
menyempurnakan karyatulis ini.
Akhirnya, kami berharap semoga tugas kelompok ini dapat bermanfaat bagi kami dan
juga pembaca.
Pamulang, April 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... I
DAFTAR ISI....................................................................................................................... II
BAB 1..................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...............................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG...............................................................................................11.2 IDENTIFIKASI MASALAH.......................................................................................11.3 PEMBAHASAN........................................................................................................21.4 PERUMUSAN MASALAH.........................................................................................2
BAB II.................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..................................................................................................................3
2.1 DEFINISI KONSUMSI DALAM ISLAM...........................................................................3Prinsip-Prinsip Konsumsi............................................................................................4Kaidah-Kaidah Konsumsi............................................................................................6
2.2 KONSEP MASLAHAH DALAM PRILAKU KONSUMEN ISLAMI.......................................8Kepuasan Konsumen Muslim.....................................................................................11Sifat-Sifat Atau Norma Etika Konsumen....................................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................13
ii
BAB 1
PENDAHULUAN1.1 LATAR BELAKANG
Keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup merupakan naluri manusia. Sejak
kecil, bahkan ketika baru lahir, manusia sudah menyatakan keinginan untuk
memenuhi kebutuhannya dengan berbagai cara, misalnya dengan menangis untuk
menunjukkan bahwa seorang bayi lapar dan ingin minum susu dari ibunya. Semakin
besar dan akhirnya dewasa, keinginan dan kebutuhan seorang manusia akan terus
meningkat dan mencapai puncaknya pada usia tertentu untuk seterusnya menurun
hingga seseorang meninggal dunia.
Teori Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia
memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan
sumberdaya (resources) yang dimilikinya. Teori perilaku konsumen rasional dalam
paradigma ekonomi konvensional didasari pada prinsip-prinsip dasar utilitarianisme.
Diprakarsai oleh Bentham yang mengatakan bahwa secara umum tidak seorangpun
dapat mengetahui apa yang baik untuk kepentingan dirinya kecuali orang itu sendiri.
Dengan demikian pembatasan terhadap kebebasan individu, baik oleh individu lain
maupun oleh penguasa, adalah kejahatan dan harus ada alasan kuat untuk
melakukannya. Oleh pengikutnya, John Stuart Mill dalam buku On Liberty yang
terbit pada 1859, paham ini dipertajam dengan mengungkapkan konsep ‘freedom of
action’ sebagai pernyataan dari kebebasan-kebebasan dasar manusia.
Menurut Mill, campur tangan negara di dalam masyarakat manapun harus
diusahakan seminimum mungkin dan campur tangan yang merintangi kemajuan
manusia merupakan campir tangan terhadap kebebasan-kebebasan dasar manusia, dan
karena itu harus dihentikan. Lebih jauh Mill berpendapat bahwa setiap orang di dalam
masyarakat harus bebas untuk mengejar kepentingannya dengan cara yang dipilihnya
sendiri, namun kebebasan seseorang untuk bertindak itu dibatasi oleh kebebasan
orang lain; artinya kebebasan untuk bertindak itu tidak boleh mendatangkan kerugian
bagi orang lain.
1.2 Identifikasi Masalah
Memfokuskan pada pemberdayaan masyarakat agar memahami dan menerapkan
ajaran syariah syariah islam dalam mengkonsumsi barang atau jasa.
1
1.3 Pembahasan
Pada Makalah ini mengacu kepada perumusan masalah yang secara umum akan
membahas tentang perilaku konsumsi dalam islam, menjelaskan konsumsi yang
dilarang dan yang tidak dibolehkan dalam ajaran islam.
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka masalah-masalah yang akan
dikaji dalam karya tulis ilmiah ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud konsumsi dalam islam ?
2. Bagaimana mengidentifikasi konsumsi yang diutamakan dalam ajaran syariah
islam ?
3. Bagaimana mengidentifikasikan konsumsi yang patut dihindari atau kurang
disukai, dilarang, dan tidak dibolehkan dalam islam ?
2
BAB II
PEMBAHASAN2.1 Definisi Konsumsi Dalam Islam
Secara umum pengertian konsumsi adalah kegiatan mengurangi atau menghabiskan
kegunaan suatu barang atau jasa. Yang pada hakekatnya adalah mengeluarkan sesuatu
dalam rangka memenuhi kebutuhan.
Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen untuk
menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Namun Islam memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi adalah
untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu
memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.
Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk
beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk
meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan
konsumsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Sebab hal-
hal yang mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub)
kepada Allah, seperti: makan, tidur dan bekerja, jika dimaksudkan untuk menambah
potensi dalam mengabdi kepada Ilahi. Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai
sarana wajib yang seorang muslim tidak bisa mengabaikannya dalam merealisasikan
tujuan yang dikehendaki Allah dalam penciptaan manusia, yaitu merealisasikan
pengabdian sepenuhnya hanya kepada-Nya, sesuai firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghamba
kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)
Karena itu tidak aneh, bila islam mewajibkan manusia mengkonsumsi apa yang dapat
menghindarkan dari kerusakan dirinya, dan mampu melaksanakan kewajiban-
kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya.
3
Prinsip-Prinsip Konsumsi
Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar,
yaitu:
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan
tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara
halal dan tidak bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh
menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta
menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan
tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi.
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169). Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi
sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh).
Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika
tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh memakan makanan yang
terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
2. Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang
dapat merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok
untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera.
Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah.
Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau
bahkan merusak.
“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah
memakannya” (HR Tarmidzi).
Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor
dan menjijikkan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar tidak
meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke
dalam gelas” (HR Bukhari).
4
3. Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal
dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung
makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa
nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam
menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan
manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual
maupun sosial.
“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31).
Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa
dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan
berpengaruh pada perut.
4. Prinsip Kemurahan hati.
Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk
manusia (Qs al-Maidah, 5: 96). Maka sifat konsumsi manusia juga harus
dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang
yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan
yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat
membutuhkannya.
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika
mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena
kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan
yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk
meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah telah memberikan anugerah-
Nya bagi manusia.
5 Prinsip Moralitas.
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh
moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata memenuhi
segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk
keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral
5
dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum
makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.
Kaidah-Kaidah Konsumsi
Konsumen non muslim tidak mengenal istilah halal atau haram dalam masalah
konsumsi. Karena itu dia akan mengkonsumsi apa saja, kecuali jika dia tidak bisa
memperolehnya, atau tidak memiliki keinginan untuk mengkonsumsinya.
Adapun konsumen muslim, maka dia komitmen dengan kaidah-kaidah dan
hukum-hukum yang disampaikan dalam syariat untuk mengatur konsumsi agar
mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin, dan mencegah
penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak madharatnya, baik bagi
konsumen sendiri maupun yang selainnya.
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi:
1. Kaidah Syariah
Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi
di mana terdiri dari:
a. Kaidah akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sebagai sarana
untuk ketaatan/ beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai
makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya
diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya. Jika seorang muslim menikmati
rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya, maka demikian itu bertitik tolak dari
akidahnya bahwa ketika Allah memberikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya,
maka Dia senang bila tanda nikmat-Nya terlihat pada hamba-hamba-Nya.
b. Kaidah ilmiah, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu
tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukam-hukum yang berkaitan
dengannya, apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari
zat, proses, maupun tujuannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
c. Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang
sebelumnya, maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai
konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami
tersebut, seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan
mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.
2. Kaidah Kuantitas
6
Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam sisi kuantitas
(jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang dalam penentuan
kuantitas ini memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut:
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara
menghamburkan harta (boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak
mubadzir, hemat. Boros dan pelit adalah dua sifat tercela, dimana masing-masing
memiliki bahaya dalam ekonomi dan sosial. Karena itu terdapat banyak Nash Al-
Qur’an dan As-Sunnah yang mengecam kedua hal tersebut, dan karena masing-
masing keluar dari garis kebenaran ekonomi yang memiliki dampak-dampak yang
buruk.
b. Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan, artinya dalam mengkonsumsi
harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak
daripada tiang.
c. Penyimpanan (menabung) dan pengembangan (investasi), artinya tidak semua
kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan
pengembangan kekayaan itu sendiri.
3. Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi
Yaitu, di mana konsumen harus memperhatikan urutan kepentingan yang harus
diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
a. Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup
dan menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan agamanya serta orang
terdekatnya, yakni nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang dapat mewujudkan
lima tujuan syariat (yakni memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan
kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan manusia tidak akan
berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat
tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
b. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas
hidup yang lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan kehidupan,
agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum
kebutuhan primer terpenuhi.
c. Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan
dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini tergantung pada bagaimana
pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder.
7
4. Kaidah Sosial
Yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam kuntitas dan
kualitas konsumsi, yakni memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga
tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
a. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sebagaimana
bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka
anggota badan yang lain juga akan merasakan sakitnya.
b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi
jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di
masyarakatnya.
c. Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak
merugikan dan memberikan madharat ke orang lain.
5. Kaidah Lingkungan
Yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung
sumber daya alam yang ada di bumi dan keberlanjutannya (hasil olahan dari
sumber daya alam), serta tidak merusak lingkungan, baik bersifat materi maupun
non materi.
6. Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru
Yaitu tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan
etika konsumsi islami, seperti mengikuti dan meniru pola konsumsi masyarakat
kafir dan larangan bersenang-senang (hedonis), misalnya: suka menjamu dengan
tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-
hamburkan harta.
2.2 Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami
Dalam pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut
dengan maslahah. Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya
lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi
konvensional. Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan
barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan
manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni:
kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-
din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang
8
dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut
di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Kegiatan-kegiatan
ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah
tersebut harus dikerjakan sebagai suatu ‘religious duty‘ atau ibadah. Tujuannya
bukan hanya kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan di akhirat. Semua aktivitas
tersebut, yang memiliki maslahah bagi umat manusia, disebut ‘needs’ atau
kebutuhan. Dan semua kebutuhan ini harus dipenuhi. Mencukupi kebutuhan – dan
bukan memenuhi kepuasan/keinginan – adalah tujuan dari aktivitas ekonomi
Islami, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam
beragama.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
1. Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim
bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu
maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria
maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua
individu.
2. Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak.
Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal
di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau
kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan
orang lain.
3. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat,
baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
Berdasarkan kelima elemen di atas,maslahah dapat dibagi dua jenis:
pertama, maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut kehidupan dunia
dan akhirat, dan kedua: maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut
hanya kehidupan akhirat. Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki
dua jenis pilihan:
1. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis
pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua.
2. Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian
pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan
9
dunia (dalam rangka mencapai ‘kepuasan’ di akhirat) dan berapa bagian untuk
kebutuhan akhirat.
Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi
untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit
daripada non-muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut
di atas. Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility mengandung
maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak
dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep ‘kepuasan’ dengan
‘pemenuhan kebutuhan’ (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu
membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara’ yakni antara
daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah. Penjelasan dari masing-masing tingkatan
itu sebagai berikut:
1. Daruriyyah: Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan
mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup
terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama,
akal/intelektual, keturunan dan keluarga serta harta benda. Jika tujuan daruriyyah
diabaikan, maka tidak akan ada kedamaian, yang timbul adalah kerusakan (fasad)
di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat.
2. Hajiyyah: Syari’ah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan
kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk
memelihara lima hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan
berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.
4. Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di
dalamnya. Terdapat beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk
mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari
daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya dibolehkannya memakai baju yang nyaman
dan indah.
Kepuasan Konsumen Muslim
Menurut kerangka islam ( Nataatmadja, 1987) menerangkan dalam islam
meliputi : kepuasan konsumtif dan kepuasan kreatif .
Kepuasan konsumtif akan menghasilkan kepuasan siap kreasi, sebab konsumsi
yang dilakukan seorang muslim akan memberikan kekuatan fisiknya sehingga
10
dapat lebih kreatif karena memperoleh energi setelah mendapatkan kepuasan
konsumtif. Kepuasan siap kreasi optimal dapat diketahui dari perintah Rasul
yaitu, berhentilah makan sebelum kenyang hal ini disebabkan pada saat inilah
kreasi dapat diperoleh.
Sifat-Sifat Atau Norma Etika Konsumen
Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan
dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain:
1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau
sekedar dihitung-hitung tetapi digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta
sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras
oleh Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.
2. Tidak melakukan kemubadziran.
Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan
yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana seorang muslim
tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya untuk
hal yang haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan adalah:
a. Menjauhi berhutang
Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan dengan
pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk keadaan
yang sangat terpaksa.
b. Menjaga asset yang mapan dan pokok.
Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya dengan cara menjual
asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi mengingatkan,
jika terpaksa menjual asset maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli
asset lain agar berkahnya tetap terjaga.
3. Tidak hidup mewah dan boros.
Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan dan
bermegah-megahan sangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan
merusak pribadi-pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat.
Kemewahan dan pemborosan akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan
11
memenuhi nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma
dan etika agama karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak
masyarakat karena biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas
mayoritas miskin.
4. Kesederhanaan.
Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah sikap terpuji
bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan pada
saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan
untuk menjaga kemaslahatan masyarakat luas.
5. Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-
benar bersifat pribadi.
6. Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan
pemerintah untuk mewujudkan semangat islam.
7. Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya
dilarang oleh agama islam.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
Sukirno, Sadono. Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994.
Suparmoko, M. Pengantar Ekonomika Makro ,Yogyakarta: BPFE, 1998.
Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.
Anto, Hendrie. M.B(2003), Pengantar Ekonomika Mikro Islami, EKONISIA, Yogyakarta
Karim, Adiwarman (2002), Ekonomi Mikro Islami, IIITI
12
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa
(Pustaka Al-Kautsar Group), 2006.
Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta: Ekonosia, 2003.
Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Padang:
Andalas University Press, 2006.
13