kasus rgb editan 3

90
LAPORAN KASUS RGB WANITA 58 TAHUN DENGAN POST TROMBEKTOMI ATAS INDIKASI PHERIPHERAL ARTERY DISEASE Oleh: Dokter Muda Stase Bedah Periode 20 April 2015 – 14 Juni 2015 Pembimbing: dr. Dharmawan Ismail Sp. BTKV

Upload: dhia-ramadhani-satoto

Post on 07-Dec-2015

256 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

...

TRANSCRIPT

Page 1: Kasus RGB Editan 3

LAPORAN KASUS RGB

WANITA 58 TAHUN DENGAN POST TROMBEKTOMI ATAS INDIKASI

PHERIPHERAL ARTERY DISEASE

Oleh:

Dokter Muda Stase Bedah

Periode 20 April 2015 – 14 Juni 2015

Pembimbing:

dr. Dharmawan Ismail Sp. BTKV

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2015

Page 2: Kasus RGB Editan 3

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. P

Umur : 58 tahun

Jenis Kelamin : Wanita

Pekerjaan : Wiraswasta (buruh pedagang)

Agama : Islam

Alamat : Gambiran 03/02, Cemani, Grogol, Sukoharjo

Tanggal masuk : 20 Mei 2015

Tanggal pemeriksaan : 23 Mei 2015

No. RM : 01301558

II. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama

Kedua kaki teraba dingin

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh kedua kaki teraba dingin sejak 1 hari SMRS.

Keluhan tersebut terjadi saat pasien masih dirawat di RS Kasih Ibu, pada

hari kedua perawatan di rumah sakit tersebut. Pasien datang ke RS Kasih

Ibu dengan keluhan sesak napas dan tensi rendah. Pada saat perawatan hari

kedua di RS Kasih Ibu, sekitar jam 11.00 pasien mengeluh kedua kaki

teraba dingin, disertai bercak-bercak kebiruan pada punggung kaki, dan kaki

tidak bisa digerakkan serta terasa nyeri saat digerakkan secara pasif.

Keluhan sesak napas (+), keluhan nyeri dada (+). Kemudian pasien dirujuk

ke RSDM pada hari ketiga perawatan di RS Kasih Ibu karena keterbatasan

sarana.

Keluhan sesak napas dirasakan 2 hari SMRS. Sesak napas timbul

mendadak, tidak dipengaruhi cuaca, tidak ada mengi, dada terasa ampek.

Sesak napas dirasakan lebih berat dengan aktivitas dan berkurang dengan

1

Page 3: Kasus RGB Editan 3

istirahat. Pasien juga mengeluh nyeri dada di dada tengah, menjalar, dan

tidak berkurang dengan istirahat. Keluhan batuk (+) sejak 4 bulan, dahak (-),

darah (-). Keluhan demam (-). Riwayat sesak napas sebelumnya (+), riwayat

terbangun karena sesak saat tidur malam (+).

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat asma : (-)

Riwayat alergi : (-)

Riwayat sakit jantung : (-)

Riwayat mondok : (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan

Riwayat sakit serupa : (-)

Riwayat hipertensi : (-)

Riwayat DM : (-)

Riwayat asma : (-)

Riwayat alergi : (-)

Riwayat sakit jantung : (-)

Riwayat sakit gangguan pembekuan darah : (-)

E. Riwayat Kebiasaan

Riwayat minum alkohol : (-)

Riwayat minum jamu : (-)

Riwayat sering berdiri lama : (-)

F. Riwayat Obstetri

Riwayat melahirkan : 3 kali

Riwayat kontrasepsi : riwayat pemakaian kontrasepsi suntik

selama 3 tahun

2

Page 4: Kasus RGB Editan 3

G. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien tinggal dengan suami dan 3 anak di rumah. Pasien bekerja sebagai

buruh pedagang. Pasien merupakan pasien umum.

H. Riwayat Nutrisi

Pasien makan 3x sehari, biasanya makan dengan nasi, sayur, dan lauk

pauk tempe, tahu, dan ikan.

I. Anamnesis Sistemik

1. Kepala : Sakit kepala (-), nggliyer (-), pusing (-)

2. Mata : Penglihatan kabur (-/-),berkunang-kunang (-/-),

pandangan dobel (-/-)

3. Hidung : Mimisan (-), tersumbat (-)

4. Telinga : Pendengaran berkurang (-), berdenging (-),

keluar cairan (-), darah (-).

5. Mulut : Sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), bibir

pecah-pecah (-), gusi berdarah (-)

6. Leher : Benjolan kaku (-), cengeng (-)

7. Tenggorok : Nyeri (-), sakit menelan (-), serak (-), gatal (-)

8. Sistem respirasi : Sesak nafas (+), batuk (-), mengi (-)

9. Sistem kardiovaskuler : Sesak nafas saat / setelah beraktivitas (+),

nyeri dada (+), berdebar-debar (-)

10. Sistem gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), kembung (-), nyeri (-), sulit

BAB (-), BAB darah (-)

11. Sistem muskuloskeletal : Nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku otot (-),

badan lemas (-)

12. Sistem genitourinaria : BAK nyeri (-), keluar darah (-), sulit memulai

kencing (-), anyang-anyangan (-), sering BAK

(-)

13. Extremitas: Atas : Luka (-/-), kesemutan (-/-), bengkak(-/-), sakit

sendi (-/-), nyeri (-/-)

3

Page 5: Kasus RGB Editan 3

Bawah : Luka (-/-), bengkak (-/-), sakit sendi (-/-), nyeri

(+/+) bila digerakkan secara pasif

III. PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan Umum : compos mentis, GCS E4V5M6

b. Vital Sign :

Tekanan darah : 180/90 mmHg

Nadi : 100 x/menit

Frekuensi napas : 25 x/menit

Suhu : 36,7 C per aksilar

c. Kepala : mesocephal

d. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

e. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri

tragus (-/-)

f. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar

darah (-)

g. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), lidah kotor (-)

h. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-)

i. Thoraks : bentuk normochest, simetris

j. Jantung :

Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat

Perkusi : batas jantung kesan melebar caudolateral

Auskultasi : HR: 100 kali/menit, BJ I-II intensitas normal, reguler,

bising (-)

k. Pulmo

Inspeksi Statis : Normochest, simetris

Inspeksi Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, retraksi

interkostal (-)

Palpasi : Simetris, pergerakan dada kanan = kiri, fremitus

raba kanan = kiri

4

Page 6: Kasus RGB Editan 3

Perkusi : Redup SIC VI ↓ / Redup SIC VI ↓

Auskultasi : Suara dasar vesikuler ↓ SIC VI ↓ / suara dasar

vesikuler ↓ SIC VI ↓, RBH +/+

l. Abdomen

Inspeksi : Dinding perut // dinding thorax, distensi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal, frekuensi 10 x/menit

Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba

m. Genitourinaria :Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)

k. Ekstremitas

Superior : deformitas (-/-), clubbing finger (-/-), udem (-/-),

CRT <2’’ (+/+), akral dingin (-/-)

Inferior : (Status lokalis)

l. Status Lokalis

- Regio Cruris

Inspeksi : udem (-/-), pucat (+/+), eritem (+/+), kering

(+/+), mengkilat (+/+), luka (-/-), clubbing finger

(-/-)

Palpasi : nyeri tekan (+/+), teraba dingin (+/+), CRT>2’’,

pulsasi a. dorsalis pedis (-/-), parestesi (+/+)

- Regio Pedis

Inspeksi : udem (-/-), pucat (+/+), eritem (+/+), kering

(+/+), mengkilat (+/+), luka (-/-), clubbing finger

(-/-)

Palpasi : nyeri tekan (+/+), teraba dingin (+/+), CRT>2’’,

pulsasi a. dorsalis pedis (-/-), parestesi (+/+)

IV. ASSESSMENT I

Suspek peripheral artery disease DD deep vein thrombosis

5

Page 7: Kasus RGB Editan 3

V. PLANNING I

- O2 3 lpm

- Infus NaCl 0,9% 20 tpm

- Inj ketorolac 30mg /8 jam (kp)

- Laboratorium darah

- Rontgen thorax

- Konsul jantung

- Konsul paru

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG I

- Laboratorium darah (20 Mei 2015 jam 01.15)

Hemoglobin : 17,5 g/dl (12,0-15,6)

Hematokrit : 54 % (33-45)

Leukosit : 23,0 ribu/ul (4,5-11,0)

Trombosit : 145 ribu /ul (150-450)

Eritrosit : 6,27 juta/ul (4,10-5,10)

GDS : 117 mg/dl (60-140)

Albumin : 2,9 g/dl (3,5-5,2)

Na darah : 135 mmol/L (136-145)

K darah : 3,7 mmol/L (3,3-5,1)

Cl darah : 105 mmol/L (98-106)

PT : 14,8 detik (10,0-15,0)

APTT : 31,7 detik (20,0-40,0)

6

Page 8: Kasus RGB Editan 3

- Laboratorium darah (20 Mei 2015 jam 22.15)

Hemoglobin : 14,7 g/dl (12,0-15,6)

Hematokrit : 46 % (33-45)

Leukosit : 19,4 ribu/ul (4,5-11,0)

Trombosit : 142 ribu /ul (150-450)

Eritrosit : 5,42 juta/ul (4,10-5,10)

Creatinin : 1,7 mg/dl (0,6-1,1)

Ureum : 90 mg/dl (<50)

PT : 14,6 detik (10,0-15,0)

APTT : 24,4 detik (20,0-40,0)

HbsAg : nonreactive

- Analisa Gas Darah

pH : 7,490 (7,350-7,450)

BE : -4,1 mmol/L (-2 - +3)

PCO2 : 21,9 mmHg (27,0-41,0)

PO2 : 64,0 mmHg (83,0-108,0)

Hematokrit : 52 % (37-50)

HCO3 :20,9 mmol/L (21,0-28,0)

Total CO2 : 13,4 mmol/L (19,0-24,0)

O2 saturasi : 93,2 % (94,0-98,0)

7

Page 9: Kasus RGB Editan 3

- Rontgen Thorax AP (18 Mei 2015 dari RS Kasih Ibu)

Cor : membesar, kalsifikasi arcus

(-), pinggang jantung bulging, apex

grounded

Pulmo : tak tampak infiltrat,

cephalisasi (+), perihiler hazzines (+)

Sinus costophrenicus kanan kiri

tertutup perselubungan

Sistema tulang baik dan soft tissue

tak tampak kelainan

Kesimpulan : cardiomegaly disertai

edema pulmonum; efusi pleura

bilateral

- EKG (20 Mei 2015)

8

Page 10: Kasus RGB Editan 3

Sinus ritmis, HR 100 bpm, normoaxis, CRBBB, T inverted V1-V3, II, III, aVF, U wave V1-V3.

VII. ASSESMENT II

Assesment BTKV :

- PAD

Plan BTKV :

- Pro trombektomi

Assesment Jantung:

- Ax : HHF, acute limb iskemik (PAD), OMI anteroseptal

- Fx : Decomp NYHA IV

- Ex : Hipertensi

9

Page 11: Kasus RGB Editan 3

Plan Jantung :

- Injeksi heparin bolus 4000 IU, maintenance 21600 IU kec 1cc / jam (6 jam

post op)

- Cilostazol 2100mg

- Captopril 3x25mg

- Injeksi furosemide 20mg/8jam

- ISDN 3x5mg

- Echocardiografi post op

- Cek PT/APTT/hari jika sudah on heparin

- Toleransi tindakan risiko berat

Assesment Paru :

- Efusi pleura bilateral ec CHF

- Edema paru

Plan Paru :

- O2 2 lpm

- Injeksi furosemid ~ TS jantung

- Ro torak post kondisi akut teratasi

VIII. LAPORAN OPERASI

Tanggal dilakukan operasi: 20 Mei 2015

Leader Tim Operasi : dr. Soebandrijo, Sp.B, Sp.BTKV

Asisten Operator : dr. Syaiful, dr. Zul Fadly

Diagnosa Pre Operatif : Perifer Arterial Disease

Diagnosa Post Operatif : Post thrombo embolectomy a/i Perifer Arterial

Disease

Nama Tindakan : Thrombectomy + Embolectomy

Jumlah Perdarahan : 200cc

Penyulit operasi : _

10

Page 12: Kasus RGB Editan 3

Laporan operasi:

1. Pasien supine dalam GA, toilet medan operasi, tutup dengan duk steril

berlubang

2. Insisi vertikal memanjang dari proximal ke distal R. Inguinal D, perdalam

lapis demi lapis sampai fascia, kontrol perdarahan

3. Klem dan fiksasi A. Femoralis tegel

4. Insisi A. Femoralis vertikal ± 0,5 cm identifikasi blood clot

5. Lakukan thrombectomydistal dan proximal diperoleh blood clot 30 cc

6. Infiltrasi dengan heparin encer back flow dari distal ke proximal lancar

7. Jahit luka operasi

8. Simultan dilakukan thrombectomy R. Inguinalis (S)

9. Insisi vertikal memanjang dari proximal ke distal R.inguinal (S) perdalam

lapis demi lapis sampai fascia

10. Identifikasi A. Femoralis diikat

11. Insisi A. Femoralis identifikasi blood clot

12. Lakukan thrombectomy distal dan proximal didapat blood clot ± 30 cc

13. Dilakukan infiltrasi heparin encer distal dan proximal back flow dari

distal ke proximal lancar

14. Jahit pembuluh darah dengan benang absorbable 2.0

15. Jahit luka operasi

16. Operasi selesai

11

Page 13: Kasus RGB Editan 3

Echocardiografi (20 Mei 2015)POSTOP

Dimensi LV dilatasi, IVS & PW menebal, massa meningkat

Kontraktilitas LV menurun EF 26% f

Wall motion : akinetik apical luas. Hipokinetik segmen lainnya

Dimensi LA, RA & RV : normal

Kontraktilitas RV menurun (TAPSE 1,3 cm)

Katup-katup jantung :

Aorta : 3 kuspis, dalam batas normal

Mitral : MR mild dengan peak Pg 57,79 mmHg

Trikuspid: TR mild dengan peak Pg 43,62 mmHg

Pulmonal: dalam batas normal

Kesimpulan : - Abnormalitas segmental wall motion (EF 26 %)

- Thrombus (+) di apikal LV

- MR dan TR mild

12

Page 14: Kasus RGB Editan 3

IX. ASSESMENT III

Post embolectomy (D/S) a.i PAD

X. PLANING III

- IUVD RL 20 tpm

- Ciprofloxacin 500 mg/12 jam

- Metamizol 1g/8 jam

- Ranitidine 50 mg/12 jam

- Terapi sesuai TS jantung dan TS paru

- Evaluasi neurovaskuler

- Instruksi Post Op

13

Page 15: Kasus RGB Editan 3

Follow Up Pasien

Tangga l B a g i a n F o l l o w U p20-05-2015 B T K V S : -

O: KU: sedangTD: 190/1120 mmHgN: 100x/menitSpO2 : 100O:Extremitas inferior D/S:I : Kehitaman sampai daerah proximal tibiaP : Teraba dingin sampai daerah proksimal tibia 3 jari di bawah genuA: post embolectomy (D/S) a.i PADP:IUVD RL 20 tpmCiprofloxacin 500 mg/12 jamMetamizol 1g/8 jamRanitidine 50 mg/12 jamTerapi sesuai TS jantung dan TS paruInstruksi post OP:

1. Ketorolac 30 mg/8 jam2. Levofloxacin 500 mg/24 jam3. Ranitidine 50 mg/12 jam4. Inf RL 1500 cc/24 jam5. Pertahankan heparinisasi6. Imobilisasi extremitas inferior

Cardiologi S : s e s a k ( - ) , n y e r i ( - ) , b e r d e b a r ( - )O: TD: 180/90 mmHgHR: 100x/menitRR: 22x/menitN: 100x/menitCor: I: ictus cordis tidak tampakP: ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC VI 2 cm lateral linea midclavicula sinistraP: batas jantung melebar caudolateralA: bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)Pulmo: suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (-/-), wheezing (+/-), ronki basah

14

Page 16: Kasus RGB Editan 3

kasar (+/-) 1/3 lapang paruA:Ax: HHF, Acute Limb Ischemic (PAD), OMI anteroseptalFx: decomp NYHA III, TASC IIIEx: HTP: HT stage IIP:Inj Heparin bolus 4000, maintenance 21.600IU kecepatan 2,1cc/jam (6 jam post OP)Cilostazol 2x100 mgCaptopril 3x25 mgInj furosemid 20 mg/24 jamISDN 3x5 mgPlan:Echocardiografi post OPArteriografi sesuai TS BTKVToleransi tindakan resiko beratCek PT/APTT/hari jika sudah on heparin

Post OPS : Post OPO:TD: 100/90 mmHgHR: 90x/menitRR: 20x/menitN: 90x/menitCor: I: ictus cordis tidak tampakP: ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC VI 2 cm lateral linea midclavicula sinistraP: batas jantung melebar caudolateralA: bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)Pulmo: suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (-/-), wheezing (+/-), ronki basah kasar (+/-) 1/3 lapang paruA:Ax: HHF, Acute Limb Ischemic (PAD), OMI anteroseptalFx: decomp NYHA III, TASC IIIEx: HTP: HT stage IIP:Inj heparin bolus 4000 IU(pukul 03.00 21/5/2015)

15

Page 17: Kasus RGB Editan 3

lanjut manitenance 21.600 IU kecepatan 2,1cc/jam

P a r u S : s e s a k ( + )O: KU: sedang, compos mentisVS:TD: 150/90 mmHgN: 84x/menitRR: 30x/menitSpO2: 90 % dengan O2 ruanganPulmo:I: pengembangan dada kanan=kiriP: Fremitus raba kanan=kiriP: redup dari SIC VI/redup dari SIC VIA: suara dasar vesikuler menurun dari SIC VI/ menurun dar i SIC VI , f r ic t ion rub (+/+ )A: Efusi pleura bilateral e.c CHFedema paru perbaikanP:O2 2 lpmInj furosemid sesuai TS cardioPlan: Ro Thorax post kondisi akut teratasi

21-05-2015 B T K V S : -O: KU: sedang, compos mentisExtremitas inferior D/S:I : Kehitaman sampai daerah proximal tibiaP : Teraba dingin sampai daerah proksimal tibia 3 jari di bawah genua.Femoralis D/S (-)a. poplitea D/S (-)a. dorsalis pedis D/S (-)A: post embolectomy (D/S) a.i PADP:IUVD NaCl 20 tpmInj Metamizol 1g/8 jamInj Ranitidine 50 mg/12 jamTerapi sesuai TS jantung dan TS paru

Cardiologi S : s e s a k ( - ) , n y e r i ( - ) , b e r d e b a r ( - )O: TD: 170/110 mmHgHR: 90x/menitRR: 21x/menit

16

Page 18: Kasus RGB Editan 3

N: 90x/menitCor: I: ictus cordis tidak tampakP: ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC VI 2 cm lateral linea midclavicula sinistraP: batas jantung melebar caudolateralA: bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (+) PSM 3/6 di apex, 3/6 di LLBSPulmo: suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (-/-), wheezing (+/-)A:Ax: Thombus LV, MR, TR miq, OMI anteroseptal AL IFx: decomp NYHA III ef 26% (perbaikan)Ex: PJR, PADP:Inj Heparin 21.600 IU kecepatan 2,1cc/jam (II)Cilostazol 2x100 mgSimvastatin 20 mg 0-1-0Aspilet 50 mg 0-1-0 (tunda)Bisoprolol 1x2,5 mgCaptopril 3x25 mgInj furosemid 20 mg/24 jamISDN 3x5 mgPlan:Cek PT/APTT/ hariTerapi anti platelet di stop 7 hari sebelum OP berikutnya

P a r u S : s e s a k ( - )O: KU: sedang, compos mentisVS:TD: 170/110 mmHgN: 100x/menitRR: 21x/menitSpO2: 93 %Pulmo:I: pengembangan dada kanan=kiriP: Fremitus raba kanan=kiriP: sonor/sonorA: suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), ekspirasi memanjangA:edema paru perbaikan

17

Page 19: Kasus RGB Editan 3

Efusi pleura bilateral e.c CHFP:O2 3 lpmInj furosemid sesuai TS cardioPlan: AGD ulang bila perburukan

22 – 5 – 2015 B T K V S : -O: KU: sedangTD: 190/1120 mmHgN: 100x/menitSpO2 : 100O :Extremitas inferior D/S:I : Kehitaman sampai daerah proximal tibiaP : Teraba dingin sampai daerah proksimal tibia 3 jari di bawah genua.Femoralis D/S (-)a. poplitea D/S (-)a. dorsalis pedis D/S (-)A: post embolectomy (D/S) a.i PADP:IUVD RL 20 tpmInj Ciprofloxacin 500 mg/12 jamInj Metamizol 1g/8 jamInj Ranitidine 50 mg/12 jamTerapi sesuai TS jantung dan TS paru

Cardiologi S : s e s a k ( - ) , n y e r i ( - ) , b e r d e b a r ( - )O: TD: 170/110 mmHgHR: 104x/menitRR: 18x/menitN: 104x/menitCor: I: ictus cordis tidak tampakP: ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC VI 2 cm lateral linea midclavicula sinistraP: batas jantung melebar caudolateralA: bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (+) PSM 3/6 di apex, 3/6 di LLBSPulmo: suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+0, wheezing (+/+), RBK (+/+)A:Ax: Thombus LV, MR, TR miq, OMI anteroseptal

18

Page 20: Kasus RGB Editan 3

AL IFx: decomp NYHA III ef 26% (perbaikan)Ex: PJR, PADP:Inj Heparin 21.600 IU kecepatan 2,1cc/jam (III)Cilostazol 2x100 mg Simvastatin 20 mg 0-1-0 (tunda)Bisoprolol 1x2,5 mg Captopril 3x25 mgInj furosemid 20 mg/24 jamISDN 3x10 mgAmlodipine 10 mg 1-0-0Plan:Cek PT/APTT/ hariTerapi anti platelet di stop 7 hari sebelum OP Berikutnya

P a r u S : s e s a k ( + ) , b a t u k ( - )O: KU: sedang, compos mentisVS:TD: 180/110 mmHgN: 100x/menitRR: 22x/menitS: 36,4 CPulmo:I: pengembangan dada kanan=kiriP: Fremitus raba kanan=kiriP: sonor/sonorA: suara dasar vesikuler (+/+), RBH (+/+), wheezing (+/+), ekspirasi memanjangA:edema paru perbaikanEfusi pleura bilateral e.c CHFP:Sesuai TS cardioPlan: pungsi bilateral

23-5-2015 B T K V S : -O : KU sedang, CM

Regio Ekstremitas Inferior (D/S) D : I: Kehitaman sampai proximal

tibia P: Hangat ± 3 jari proximal tibia S : I: Kehitaman sampai proximal

tibia P: Hangat ± 3 jari proximal

tibiaA: Post thrombo embolectomy (D/S) a/i PAD

19

Page 21: Kasus RGB Editan 3

P: Infus RL 20 tpm Injeksi Metamizol 1 g/8 jam Injeksi Ranitidine 50 mg/12 jam Injeksi Levofloxacin 500 mg/24 jam Tx lain sesuai TS jantung

Cardiologi S : s e s a k ( - ) , n y e r i ( - ) , b e r d e b a r ( - )O: TD: 160/110 mmHgHR: 104x/menitRR: 18x/menitN: 104x/menitCor: I: ictus cordis tidak tampakP: ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC VI 2 cm lateral linea midclavicula sinistraP: batas jantung melebar caudolateralA: bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (+) PSM 3/6 di apex, 3/6 di LLBSPulmo: suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+0, wheezing (+/+), RBK (+/+)A:Ax: Thombus LV, MR, TR miq, OMI anteroseptal AL IFx: decomp NYHA III ef 26% (perbaikan)Ex: PJR, PADP:Inj Heparin 21.600 IU kecepatan 2,1cc/jam (III)Cilostazol 2x100 mg Simvastatin 20 mg 0-1-0 (tunda)Bisoprolol 1x2,5 mg Captopril 3x25 mgInj furosemid 20 mg/24 jamISDN 3x10 mgAmlodipine 10 mg 1-0-0Plan:Cek PT/APTT/ hariTerapi anti platelet di stop 7 hari sebelum OP Berikutnya

P a r u S : s e s a k ( + ) , b a t u k ( - )O: KU: sedang, compos mentisVS:TD: 190/120 mmHg

20

Page 22: Kasus RGB Editan 3

N: 100x/menitRR: 24x/menitS: 36,8 CPulmo:I: pengembangan dada kanan=kiriP: Fremitus raba kanan=kiriP: sonor/sonorA: suara dasar vesikuler (+/+), RBH (+/+), wheezing (+/+), ekspirasi memanjangA:edema paru perbaikanEfusi pleura bilateral e.c CHFP:Sesuai TS cardio

24-5-2015 B T K V(bedah jaga)

S : Nyeri (+)O : KU sedang; CM; GCS 15, E4V5M6

Regio Pedis (D/S) L: Kehitaman F : Akral dingin, NVD (+) M: ROM digiti (+)

A: Post trombo embolectomy D et S a/i PAD pedis D et SP: Infus RL 20 tpm Tx lain sesuai TS pulmo dan cardio Awasi suhu dan saturasi oksigen, akral dingin

Cardiologi S : s e s a k ( - ) , n y e r i ( - ) , b e r d e b a r ( - )O: TD: 160/110 mmHgHR: 98x/menitRR: 20x/menitN: 98x/menitCor: I: ictus cordis tidak tampakP: ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC VI 2 cm lateral linea midclavicula sinistraP: batas jantung melebar caudolateralA: bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (+) PSM 3/6 di apex, 3/6 di LLBSPulmo: suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+0, wheezing (+/+), RBK (+/+)A:Ax: Thombus LV, MR, TR miq, OMI anteroseptal AL I

21

Page 23: Kasus RGB Editan 3

Fx: decomp NYHA III ef 26% (perbaikan)Ex: PJR, PADP:Inj Heparin 21.600 IU kecepatan 2,1cc/jam (III)Cilostazol 2x100 mg Simvastatin 20 mg 0-1-0Bisoprolol 1x2,5 mgCaptopril 3x25 mgInj furosemid 20 mg/24 jamISDN 3x10 mgAmlodipine 10 mg 1-0-0Plan:Cek PT/APTT/ hariTerapi anti platelet di stop 7 hari sebelum OP Berikutnya

P a r u S : s e s a k ( + ) , b a t u k ( - )O: KU: sedang, compos mentisVS:TD: 170/100 mmHgN: 100x/menitRR: 24x/menitS: 36,4 CPulmo:I: pengembangan dada kanan=kiriP: Fremitus raba kanan=kiriP: sonor/sonorA: suara dasar vesikuler (+/+), RBH (+/+), wheezing (+/+), ekspirasi memanjangA:edema paru perbaikanEfusi pleura bilateral e.c CHFP:Sesuai TS cardio

25-5-2015 B T K V S : Nyeri berkurangO : KU sedang, CM

Regio Cruris (D/S) I: Menghitam sampai daerah tibia

proximal P: Teraba dingin sampai tibia proximal

A: Post trombo embolectomy D et S a/i PAD pedis D et SP: Infus RL 20 tpm Injeksi Metamizol 1 g/8 jam Injeksi Ranitidine 50 mg/12 jam Injeksi Levofloxacin 500 mg/24 jam Tx lain sesuai TS jantung

22

Page 24: Kasus RGB Editan 3

Aff drainCardiologi S : s e s a k ( - ) , n y e r i ( - ) , b e r d e b a r ( - )

O: TD: 170/110 mmHgHR: 92x/menitRR: 18x/menitN: 92x/menitCor: I: ictus cordis tidak tampakP: ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC VI 2 cm lateral linea midclavicula sinistraP: batas jantung melebar caudolateralA: bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (+) PSM 3/6 di apex, 3/6 di LLBSPulmo: suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+0, wheezing (+/+), RBK (+/+)A:Ax: Thombus LV, MR, TR miq, OMI anteroseptal AL IFx: decomp NYHA III ef 26% (perbaikan)Ex: PJR, PADP:Inj Heparin 21.600 IU kecepatan 2,1cc/jam (III)Cilostazol 2x100 mg Simvastatin 20 mg 0-1-0Bisoprolol 1x2,5 mgCaptopril 3x25 mgInj furosemid 20 mg/24 jamISDN 3x10 mgAmlodipine 10 mg 1-0-0Plan:Cek PT/APTT/ hariTerapi anti platelet di stop 7 hari sebelum OP Berikutnya

P a r u S : s e s a k ( + ) , b a t u k ( - )O: KU: sedang, compos mentisVS:TD: 170/100 mmHgN: 100x/menitRR: 18x/menitS: 37 CPulmo:

23

Page 25: Kasus RGB Editan 3

I: pengembangan dada kanan=kiriP: Fremitus raba kanan=kiriP: sonor/sonorA: suara dasar vesikuler (+/+), RBH (+/+), wheezing (+/+), ekspirasi memanjangA:edema paru perbaikanEfusi pleura bilateral e.c CHFP:Sesuai TS cardio

26-5-2015 B T K V S : Nyeri (-)O : KU sedang, CM

VS : TD = 150/90 mmHg HR = 90 x/menit

SpO2 = 100% Regio Ekstremitas Inferior (D/S) I: Kehitaman sampai genu (D/S), bercak

kebiruan (+) P: Teraba dingin sampai genu (D/S)

A: Post thrombectomy (D/S) a/i PAD (D/S)P: IVFD RL 20 tpm Injeksi Metamizol 1 g/12 jam Injeksi Ranitidine 50 mg/12 jam Injeksi Levofloxacin 500 mg/12 jam Injeksi Metronidazole 1 g/12 jam Boleh pindah ruangan Tx lain sesuai TS jantung

Cardiologi S : s e s a k ( - ) , n y e r i ( - ) , b e r d e b a r ( - )O: TD: 150/90 mmHgHR: 102x/menitRR: 24x/menitN: 102x/menitCor: I: ictus cordis tidak tampakP: ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC VI 2 cm lateral linea midclavicula sinistraP: batas jantung melebar caudolateralA: bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (+) PSM 3/6 di apex, 3/6 di LLBSPulmo: suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+0, wheezing (+/+), RBK (+/+)A:Ax: Thombus LV, MR, TR miq, OMI

24

Page 26: Kasus RGB Editan 3

anteroseptal AL IFx: decomp NYHA III ef 26% (perbaikan)Ex: PJR, PADP:Inj Heparin 21.600 IU kecepatan 2,1cc/jam (III)Cilostazol 2x100 mg (tunda)Simvastatin 20 mg 0-1-0Bisoprolol 1x2,5 mg (tunda)Captopril 3x25 mgInj furosemid 20 mg/24 jamISDN 3x10 mgAmlodipine 10 mg 1-0-0Plan:Cek PT/APTT/ hariTerapi anti platelet di stop 7 hari sebelum OP Berikutnya

P a r u S : s e s a k ( + ) , b a t u k ( - )O: KU: sedang, compos mentisVS:TD: 150/90 mmHgN: 100x/menitRR: 20x/menitS: 36,8 CPulmo:I: pengembangan dada kanan=kiriP: Fremitus raba kanan=kiriP: sonor/sonorA: suara dasar vesikuler (+/+), RBH (+/+), wheezing (+/+), ekspirasi memanjangA:edema paru perbaikanEfusi pleura bilateral e.c CHFP:Sesuai TS cardio

27-5-2015 B T K V S : (-)O : KU sedang, CM

Regio Ekstremitas Inferior (D/S) I: Kehitaman sampai genu (D/S) P: Teraba dingin sampai genu (D/S)

A: Post thrombectomy (D/S) a/i PAD (D/S)P: IVFD RL 20 tpm Injeksi Metamizol 1 g/12 jam Injeksi Ranitidine 50 mg/12 jam Injeksi Levofloxacin 500 mg/12 jam Boleh pindah ruangan

25

Page 27: Kasus RGB Editan 3

Tx lain sesuai TS jantung

Cardiologi S : s e s a k ( - ) , n y e r i ( - ) , b e r d e b a r ( - )O: TD: 160/90 mmHgHR: 104x/menitRR: 24x/menitN: 104x/menitCor: I: ictus cordis tidak tampakP: ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC VI 2 cm lateral linea midclavicula sinistraP: batas jantung melebar caudolateralA: bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (+) PSM 3/6 di apex, 3/6 di LLBSPulmo: suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+0, wheezing (+/+), RBK (+/+)A:Ax: Thombus LV, MR, TR miq, OMI anteroseptal AL IFx: decomp NYHA III ef 26% (perbaikan)Ex: PJR, PADP:Inj Heparin 21.600 IU kecepatan 2,1cc/jam (III)Cilostazol 2x100 mg Simvastatin 20 mg 0-1-0Bisoprolol 1x2,5 mg Captopril 3x25 mgInj furosemid 20 mg/24 jamISDN 3x10 mgAmlodipine 10 mg 1-0-0Plan:Cek PT/APTT/ hariTerapi anti platelet di stop 7 hari sebelum OP Berikutnya

P a r u S : s e s a k ( + ) , b a t u k ( - )O: KU: sedang, compos mentisVS:TD: 160/90 mmHgN: 100x/menitRR: 24x/menitS: 36,8 C

26

Page 28: Kasus RGB Editan 3

Pulmo:I: pengembangan dada kanan=kiriP: Fremitus raba kanan=kiriP: sonor/sonorA: suara dasar vesikuler (+/+), RBH (+/+), wheezing (+/+), ekspirasi memanjangA:edema paru perbaikanEfusi pleura bilateral e.c CHFP:Sesuai TS cardio

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Vaskuler Perifer

Sirkulasi darah terjadi melalui satu lengkungan arteri dan vena yang

kontinu serta terbagi menjadi sirkuit pulmonal dan sistemik. Sirkuit pulmonal

menghantarkan darah dari jantung ke paru, di mana darah dioksigenasi dan

kemudian dikembalikan ke jantung. Sirkulasi sistemik, atau sistem vaskular

perifer, meliputi arteri, arteriol, vena, venula, dan kapiler, dimana sistem ini

membawa darah dari jantung ke seluruh organ dan jaringan lain dan kemudian

membawa darah kembali ke jantung.

27

Page 29: Kasus RGB Editan 3

Gambar 1. Sistem sirkulasi

Arteri

Jantung memompa darah baru yang telah teroksigenasi melalui arteri,

arteriol, danbantalan kapiler menuju seluruh organ dan jaringan. Arteri

tersusun atas otot polos yang tebal dan serat elastis. Serat yang kontraktil dan

elastis membantu menahan tekanan yang dihasilkan saat jantung mendorong

darah menuju sirkulasi sistemik. Arteri utama/mayor dari sirkulasi sistemik

meliputi aorta, karotis, subklavia dan iliaka. Aorta melengkung membentuk

seperti busur di belakang jantung dan turun ke bawah hingga pertengahan

tubuh. Arteri lain merupakan cabang dari aorta dan mengalirkan darah menuju

kepala, leher dan organ-oragan utama di dalam abdomen. Arteri karotis

bergerak naik di dalam leher dan mengalirkan darah ke organ di dalam kepala

dan leher, termasuk otak. Arteri subklavia mengalirkan darah menuju lengan,

dinding dada, bahu, punggung, dan sistem saraf pusat. Arteri iliaka

mengalirkan darah menuju pelvis dan kaki.

28

Page 30: Kasus RGB Editan 3

Gambar 2 Arteri‐arteri utama sistem sirkulsi

Arteri-arteri di Lengan

Setelah meluas melalui rongga dada/toraks, arteri subklavia

menjadi arteri aksilaris. Arteri aksilaris kemudian menyebrangi aksila

dan menjadi arteri brakhialis, yang terletak di dalam lekukan/sulkus

bisep-trisep pada lengan atas. Arteri brakhialis mengalirkan sebagian

besar darah menuju lengan. Pada fosa kubiti (yaitu lipatan siku), arteri

brakhialis bercabang menjadi arteri radialis dan arteri, yang meluas ke

lengan bawah dan, selanjutnya bercabang menjadi arkus palmaris yang

mengalirkan darah ke telapak tangan.

29

Page 31: Kasus RGB Editan 3

Gambar 3 Arteri‐arteri pada lengan

Arteri-arteri di Kaki

Setelah melewati daerah pelvis, arteri iliaka selanjutnya menjadi

arteri femoralis, yang bergerak turun di sebelah anterior paha (Gambar

13-4). Arteri femoralis mengalirkan darah ke kulit dan otot paha dalam.

Pada bagian bawah paha, arteri femoralis menyilang di posterior dan

menjadi arteri poplitea. Di bawah lutut, arteri poplitea terbagi menjadi

arteri tibialis anterior dan tibialis posterior. Arteri tibialis bergerak turun

di sebelah depan dari kaki bagian bawah menuju bagian dorsal/punggung

telapak kaki dan menjadi arteri dorsalis pedis. Arteri tibialis posterior

bergerak turun menyusuri betis dari kaki bagian bawah dan bercabang

menjadi arteri plantaris di dalam telapak kaki bagian bawah.

30

Page 32: Kasus RGB Editan 3

Gambar 4 Arteri‐arteri pada kaki

Vena-vena

Setelah dihantarkan melalui sistem vaskular arteri dan menuju jaringan

tubuh dan organ, darah “dikosongkan” menuju jaringan vena yang tersusun

menyebar yang dan pada akhirnya mengembalikan darah ke atrium kanan

jantung. Sistem vena berjalan berdampingan dengan sistem arteri dan memiliki

nama yang sama; walaupun terdapat perbedaan mayor antara sistem arteri dan

sistem vena di leher dan ekstremitas. Arteri di daerah ini terletak dalam di

bawah kulit dan terlindung oleh tulang dan jaringan lunak. Sebaliknya, dua set

vena perifer biasanya ditemukan di leher dan ekstremitas: satu superfisial dan

satu lagi terletak lebih dalam. Vena superficial terletak dekat dengan

permukaan kulit, mudah untuk dilihat, dan membantun untuk mengatur suhu

tubuh. Saat suhu tubuh, menjadi rendah, aliran darah arteri menjadi berkurang,

31

Page 33: Kasus RGB Editan 3

dan vena vena superfisial dilewati. Sebaliknya, saat tubuh menjadi kelebihan

panas, aliran darah ke kulit meningkat, dan vena superfisialis berdilatasi.

Gambar 5 Vena utama pada system sirkulasi

Vena-vena mayor dari sirkulasi sistemik meliputi vena kava superior,

vena kava inferior, dan vena jugularis. Vena kava superior menerima darah

dari jaringan dan organ di kepala, leher, dada, bahu, dan ekstremitas atas. Vena

kava inferior mengumpulkan darah dari sebagian besar organ yang terletak di

bawah diafragma. Darah vena dari kepala dan wajah dialirkan menuju vena

jugularis, yang terletak di dalam leher.

Vena-vena di Lengan

Arkus vena palmaris meluas dari tangan menuju lengan bawah,

dimana vena-vena ini menjadi vena radialis dan vena ulnaris. Saat vena

ulnaris dan radialis mencapai fosa kubiti (yaitu lipatan siku), vena-vena

ini bergabung untuk membentuk vena brakhialis. Saat vena brakhialis

32

Page 34: Kasus RGB Editan 3

meluas melalui lengan atas, vena ini bergabung dengan vena superfisialis

lenan untuk membentuk vena aksilaris, yang berjalan melalui aksila dan

menjadi vena subklavia di dalam rongga toraks. Vena subklavia

membawa arau dari lengan dan area toraks/dada menuju vena kava

superior.

Gambar 6 Vena pada lengan

Vena-vena di Kaki

Darah yang meninggalkan kapiler-kapiler di setiap jari kaki

bergabung membentuk jaringan vena plantaris (Gambar 13-7). Jaringan

plantar mengalirkan darah menuju vena dalam kaki (yaitu vena tibialis

anterior, tibialis posterior, poplitea, dan femoralis). Vena safena magna

dan safena parva superfisial mengalirkan darah di telapak kaki dari arkus

vena dorsalis menuju vena poplitea dan femoralis.

33

Page 35: Kasus RGB Editan 3

Gambar 7 Vena pada kaki

B. Peripheral Arteri Disease (PAD)

1. Definisi

PAD ( Perifer Arterial Disease) adalah penyumbatan pada arteri perifer

yang dihasilkan dari proses atherosklerosis atau proses inflamasi yang

menyebabkan lumen menyempit (stenosis), atau dari pembentukan

trombus (biasanya terkait dengan faktor resiko yang menjadi dasar

timbulnya atherosklerosis). Ketika kondisi ini muncul maka akan terjadi

peningkatan resistensi pembuluh darah yang dapat menimbulkan

penurunan tekanan perfusi ke area distal dan laju darah. Studi

menunjukkan bahwa kondisi atherosklerosis kronik pada tungkai bawah

34

Page 36: Kasus RGB Editan 3

yang menghasilkan lesi stenosis. Mekanisme dan proses hemodinamik yng

terjadi pada PAOD sangat mirip dengan yang terjadi pada penyakit arteri

koroner.

Tempat tersering terjadinya PAOD adalah daerah tungkai bawah. Sirkulasi

pada tungkai bawah berasal dari arteri femoralis yang merupakan lanjutan

dari arteri eksternal iliaka. Pecabangan utama dari arteri femoralis adalah

arteri femoralis distal (yang biasanya dimaksudkan sebagai sreri femoralis

superfisial) yang berlanjut k bagian bawah tungkai dan menjadi arteri

popliteal tepat diatas lutut. Dua arteri utama pada akhir popliteal arteri

adalah arteri posterior dan anterior tibial yang menyuplai darah kebagian

bawah tungkai dan kaki. Berikut adalah gambar vaskularisasi tungkai

35

Page 37: Kasus RGB Editan 3

2. Etiologi

Penyebab dari oklusi arteri perifer adalah danya stenosis (penyempitan)

pada arteri yang dapat disebabkan oleh reaksi atherosklerosis atau reaksi

inflamasi pembuluh darah yang menyebabkan lumen menyempit.

Faktor resiko dari penyakit oklusi arteri perifer adalah

1. Merokok

2. Diet tinggi lemak atau kolesterol

3. Stress

4. Riwayat penyakit jantung, serangan jantung, atau stroke

5. Obesitas

6. Diabetes

7. Rheumatoid arthritis

3. Tanda Gejala

Tanda gejala utama adalah nyeri pada area yang mnegalami penyempitan

pembuluh darah. Tanda gejala awal adalah nyeri (klaudikasi) dan sensasi

lelah pada otot yang terpengaruh. Karena pada umumnya penyakit ini

terjadi pada kaki maka sensasi terasa saat berjalan. Gejala mungkin

menghilang saat beristirahat. Saat penyakit bertambah buruk gejala

mungkin terjadi saat aktivitas fisik ringan bahkan setiap saat meskipun

beristirahat.

Pada tahap yang parah kaki dan tungkai akan menjadi dingin dan kebas.

Kulit akan menjadi kering dan bersisik bahkan saat terkena luka kecil

dapat terjadi ulcer karena tanpa suplai darah yang baik maka proses

penyembuhan luka tidak akan berjalan dengan baik.

Pada fase yang paling parah saat pembuluh darah tersumbat akan dapat

terbentuk gangren pada area yang kekurangan suplai darah.

36

Page 38: Kasus RGB Editan 3

Pada beberapa kasus penyakit vaskular perifer terjadi secara mendadak hal

ini terjadi saat ada emboli yang menyumbat pembuluh darah. Pasien akan

mengalami nyeri yang tajam diikuti hilangnya sensari di area yang

kekurangan suplai darah. Tungkai akan menjadi dingin dan kebas serta

terjadi perubahan warna menjadi kebiruan

4. Klasifikasi

5. Patofisiologi

Patofisiologi Penyakit Arteri Perifer Pada Diabetes

Diabetes dan Inflamasi Vaskuler Inflamasi telah menjadi petanda resiko

bahkan faktor resiko penyakit aterotrombosis termasuk PAD. Diabetes

mellitus meningkatkan proses pembentukan ateroma. Terdapat

peningkatan kadar histamin pada plasma dan sel pada pasien diabetes

dengan PAD sehingga dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas

37

Page 39: Kasus RGB Editan 3

endotel. Akibatnya, migrasi limfosit T ke dalam tunika intima serta sekresi

dan aktivasi sitokin meningkat. Monosit/makrofag menelan molekullow-

density lipoprotein (LDL) yang teroksidasi yang kemudian berubah

menjadi sel busa dimana akumulasi dari sel ini akan membentuk fatty

streakyang merupakan prekursor dari ateroma. Plak ateroma akan menjadi

tidak stabil oleh karena sel endotel pada pasien diabetes ini mengeluarkan

sitokin yang menghambat produksi kolagen oleh sel otot polos pembuluh

darah. Selain itu metalloproteinase juga dikeluarkan oleh sel-sel inflamasi

ini dimana zat ini dapat menghancurkan kolagenfibrous cap plak ateroma

sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya ruptur plak dan

pembentukan trombus

Kelainan fungsi sel endotel dan otot polos pembuluh darah serta adanya

kecenderungan terjadinya trombosis memberikan dampak terhadap

kejadian aterosklerosis dan komplikasinya. Oleh karena posisi anatomis

yang strategis antara dinding pembuluh darah dengan aliran darah, sel

endotel dapat mengatur fungsi dan struktur pembuluh darah. Pada

keadaan normal, banyak zat aktif disintesis dan dilepaskan oleh sel endotel

untuk mempertahankan homeostasis pembuluh darah sehingga dapat

mempertahankan aliran darah serta nutrisi ke jaringan sekaligus mencegah

terjadinya trombosis dan diapedesis leukosit

6. Pemeriksaan diagnostik

1. Ankle Brachial Indeks

Pemeriksaan ABI adalah uji noninvasif yang cukup akurat untuk

mendeteksi adanya PAD dan untuk menentukan derajat penyakit ini.

ABI merupakan pengukuran non-invasif ABI didefinisikan sebagai

rasio antara tekanan darah sistolik pada kaki dengan tekanan darah

sitolik padalengan. Kriteria diagnostik PAD berdasarkan ABI

diinterpretasikan sebagai berikut:

38

Page 40: Kasus RGB Editan 3

2. Toe-Brachial Index (TBI)

TBI juga merupakan suatu pemeriksaan noninvasif yang dilakukan

pada pasien diabetes dengan PAD khususnya pada pasien yang

mengalami kalsifikasi pada pembuluh darah ekstremitas bawah yang

menyebabkan arteri tidak dapat tertekan dengan menggunakan teknik

tradisional (ABI, indeks ABI > 1,30) sehingga pemeriksaan ini lebih

terpercaya sebagai indikator PAD dibandingkan ABI. Nilai TBI yang ≥

0,75 dikatakan normal atau tidak terdapat stenosis arteri.

3. Segmental Pressure dan Pulse Volume Recordings (PVR)

Pulse volume recording (PVR) yang juga disebut plethysmography

merupakan suatu tes yang mengukur aliran darah arteri pada

ekstremitas bawah dimana pulsasi yang mewakili aliran darah pada

arteri diperlihatkan oleh monitor dalam bentuk gelombang. PVR juga

dapat digunakan pada pasien PAD yang mengalami kalsifikasi pada

arteri bagian medial (ABI > 1,30) yang biasa ditemukan pada pasien

39

Page 41: Kasus RGB Editan 3

usia tua, pasien yang menderita diabetes cukup lama atau pasien yang

menderita penyakit ginjal kronik. Pada pasien dengan PAD berat, PVR

juga dapat memprediksi apakah kaki yang terkena PAD ini memiliki

cukup aliran darah atau tidak untuk bertahan atau jika akan dilakukan

amputasi pada kaki tersebut. Interpretasi dari tes ini dapat

menyediakan informasi mengenai derajat obstruksi PAD secara

spesifik. Pada arteri yang masih sehat, gelombang pulsasi akan terlihat

tinggi dengan puncak yang tajam yang menunjukkan aliran darah

mengalir dengan lancar. Namun jika arteri tersebut mengalami

penyempitan atau obstruksi maka akan terlihat gelombang yang

pendek dan memiliki puncak yang kecil dan datar. Tingkat keakuratan

pemeriksaan ini untuk menegakkan diagnosis PAD berkisar antara 90-

95%.

4. Ultrasonografi dupleks

Ultrasonografi dupleks memiliki beberapa keuntungan dalam menilai

sistem arteri perifer. Pemeriksaan yang noninvasif ini tidak

memerlukan bahan kontras yang nefrotoksik sehingga alat skrining ini

digunakan untuk mengurangi kebutuhan akan penggunaan angiografi

dengan kontras (Elgzyri, 2008). Modalitas diagnostik ini juga dapat

digunakan sebagai alat pencitraan tunggal sebelum dilakukan

intervensi pada sekitar 90% pasien dengan PAD dimana sensitivitas

dan spesifisitas untuk mendeteksi dan menentukan derajat stenosis

pada PAD berkisar antara 70% dan 90% (Favaretto et al, 2007)

Dupleks ultrasonografi juga dapat menggambarkan karakteristik

dinding arteri sehingga dapat menentukan apakah pembuluh darah

tersebut dapat diterapi dengan distal bypass atau tidak. Selain itu, alat

ini juga dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu plak pada

arteri tersebut merupakan suatu resiko tinggi terjadinya embolisasi

pada bagian distal pembuluh darah pada saat dilakukan intervensi

endovascular.

40

Page 42: Kasus RGB Editan 3

5. Computed Tomographic Angiography (CTA)

Penggunaan CTA untuk mengevaluasi sistem arteri perifer telah

berkembang seiring perkembangan multidetector scanner (16- atau 64-

slice).Sensitivitas dan spesifisitas alat ini untuk mendeteksi suatu

stenosis 50% atau oklusi adalah sekitar 95-99%. Seperti halnya

ultrasonografi dupleks, CTA juga menyediakan gambaran dinding

arteri dan jaringan sekitarnya termasuk mendeteksi adanya aneurisma

arteri perifer, karakteristik plak, kalsifikasi, ulserasi, trombus atau plak

yang lunak, hiperplasia tunika intima, in-stent restenosis dan fraktur

stent. CTA tetap memiliki keterbatasan dalam hal penggunaannya pada

pasien dengan insufisiensi renal sedang-berat yang belum menjalani

dialysis.

6. Magnetic Resonance Angiography (MRA)

MRA merupakan pemeriksaan noninvasif yang memiliki resiko rendah

terhadap kejadian gagal ginjal. Pemeriksaan yang memiliki

rekomendasi dari ACC/AHA (Class I Level of Evidence A)ini dapat

memberikan gambaran pembuluh darah yang hampir sama dengan

gambaran pembuluh darah pada pemeriksaan angiografi (Hirsch et al,

2006). Modalitas pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi dan

media kontras yang digunakan (gadolinium-based contrast) tidak

terlalu nefrotoksik dibandingkan dengan kontras yang digunakan pada

CTA maupun angiografi kontras. Sensitivitas dan spesifisitas alat ini

untuk mendeteksi stenosis arteri dibandingkan dengan angiografi

kontras adalah sekitar 80-90%.

7. Contrast Angiography

Walaupun MRA merupakan modalitas pemeriksaan yang cukup aman

dan merupakan teknologi yang cukup menjanjikan namun pemeriksaan

yang masih merupakan standar baku emas untuk mendiagnosis PAD

adalah angiografi kontras.Pemeriksaan ini menyediakan informasi

41

Page 43: Kasus RGB Editan 3

rinci mengenai anatomi arteri dan direkomendasikan oleh ACC/AHA

(Class I, Level of Evidence A) untuk pasien PAD khususnya yang akan

menjalani tindakan revaskularisasi. Seperti halnya pemeriksaan yang

menggunakan media kontras, prosedur angiografi kontras juga

memerlukan perhatian khusus mengenai resiko terjadinya nefropati

kontras. Pasien dengan insufisiensi ginjal sebaiknya mendapatkan

hidrasi yang cukup sebelum tindakan. Pemberian n-

acetylcysteinesebelum dan setelah tindakan pada pasien dengan

insufisiensi ginjal (serum kreatinin lebih dari 2,0 mg/dl) dapat

dilakukan sebagai tindakan pencegahan perburukan fungsi ginjal.

Selain itu pasien diabetes yang menggunakan obat metformin memiliki

resiko menderita asidosis laktat setelah angiografi. Metformin

sebaiknya dihentikan sehari sebelum tindakan dan 2 hari setelah

tindakan untuk menurunkan resiko asidosis laktat. Insulin dan obat

hipoglikemik oral sebaiknya dihentikan penggunaannya pada pagi hari

menjelang tindakan. Evaluasi klinis termasuk pemeriksaan fisik dan

pengukuran fungsi ginjal direkomendasikan untuk dilakukan dua

minggu setelah prosedur angiografi untuk mendeteksi adanya efek

samping lanjut seperti perburukan fungsi ginjal atau adanya cedera

pada daerah akses kateter pembuluh darah

8. Pemeriksaan laboratorium dievaluasi kondisi hidrasi, kadar oksigen

darah, fungsi ginjal, fungsi jantung dan kerusakan otot.

9. Diperiksa foto toraks untuk melihat kardiomegali,

10. Hematokrit untuk melihat polisitemia,

11. Analisa urine untuk melihat protein dan pigmen untuk melihat

mioglobin di urine.

12. Creatinine phosphokinase untuk menilai nekrosis.

13. Ultrasonografi abdomen untuk mencari aneurisma aorta abdominal.

42

Page 44: Kasus RGB Editan 3

14. Arteriografi dapat mengetahui dengan jelas tempat sumbatan dan

penyempitan.

7. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan PAD adalah untuk mengurangi gejala klinis seperti

klaudikasio, meningkatkan kualitas hidup, mencegah terjadinya

komplikasi, serangan penyakit jantung , stroke dan amputasi .

pengobatan dilakukan berdasarkan gejala klinis yang ditemukan, faktor

resiko dan dari hasil pemeriksaan klinis dan penunjang. 3 pendekatan

utama pengobatan PAD adalah dengan mengubah gaya hidup, terapi

farmakologis dan jika dibutuhkan, dilakukan terapi intervensi dengan

operasi.

43

Page 45: Kasus RGB Editan 3

a. Terapi Non-farmakologi

1. Perubahan pola hidup

-   Berhenti merokok

-   Menurunkan berat badan pada penderita obesitas (diet dan olahraga)

-  Menurunkan tekanan darah

-   Menurunkan kadar kolesterol dalam darah

-   Menurunkan kadar gula darah jika beresiko diabetes

-  Olahraga teratur

2. Terapi suportif

-  Perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan

memberikan krim  pelembab.

-   Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pasa dari bahan sintetis

yang berventilasi

-   Hindari penggunaan bebat plastik karena mengurangi aliran darah ke

kulit

-   Latihan fisik (exercise) berupa jalan-jalan kaki kira-kira selama 30-40

menit

b. Terapi farmakologis

Terapi Farmakologi Dapat diberikan untuk menurunkan faktor resikoyang

ada seperti menurukan tekanan darah, kadar kolesterol dan untuk

mengobati diabetes. Selain itu, terapi farmakologis juga diberikan untuk

mencegah terjadinya thrombus pada arteri yang dapat menyebabkan

serangan jantung, stroke, serta untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien

ketika berjalan.

44

Page 46: Kasus RGB Editan 3

Anti cholesterol

Terapi penurun lipid mengurangi risiko baru atau memburuknya gejala

klaudikasio intermiten. Statin menjadi terapi penurun lipid lini pertama.

HMG-Co A reductase inhibitor (Simvastatin) secara signifikan

mengurangi tingkat kejadian kardiovaskular iskemik sebesar 23%.

Beberapa laporan telah menunjukkan bahwa statin juga meningkatkan

jarak berjalan bebas rasa sakit dan aktivitas rawat jalan

Anti hipertensi

Pemilihan obat antihipertensi harus individual. Diuretik thiazide, beta

blocker, angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEIs), angiotensin

receptor blocker (ARB), dan calcium channel blockers semua efektif.

Penggunaan beta blockers aman dan efektif; mengurangi kejadian

koroner baru sebesar 53% pada mereka dengan MI sebelumnya dan

gejala PAD yang bersamaan.

Anti platelet

Telah terbukti manfaatnya dalam menurunkan resiko terjadinya MI,

stroke dan kematian vascular pada pasien PAD. ACC/AHA guidelines

telah merekomendasikan penggunaan antiplatelet (aspirin [ASA], 75 to

325 mg daily, or clopidogrel, 75 mg daily) pada pasien PAD dengan

aterosklerosis pada ekstrimitas bawah.

Cilostazol (Pletal), adalah reversible phosphodiesterase inhibitor yang

menghambat agregasi platelet, pembentukan thrombin dan proliferasi

otot polos pembuluh darah, memicu vasodilatasi dan meningkatkan

HDL dan menurunkan kadar TG. Pedoman ACC / AHA telah

memberikan cilostazol sebagai rekomendasi grade IA kelas untuk pasien

dengan klaudikasio intermiten dengan dosis 100 mg dua kali sehari

(diminum pada saat perut kosong setidaknya ½ jam sebelum atau 2 jam

setelah sarapan dan makan malam). Efek samping yang umum dari

45

Page 47: Kasus RGB Editan 3

cilostazol termasuk sakit kepala (30% pasien), diare dan gangguan

lambung (15%), dan palpitasi (9%). Efek samping hanya berjangka

pendek dan jarang dilakukan penghentian obat. Kontraindikasi obat ini

adalah pasien dengan gagal jantung.

c. Operasi

1.  Angioplasti

Tujuannya untuk melebarkan arteri yang mulai menyempit atau membuka

sumbatan dengan cara mendorong plak ke dinding arteri.

2. Operasi By-pass

Bila keluhan semakin memburuk dan sumbatan arteri tidak dapat diatasi

dengan angioplasti. Bagi yang sudah menjalani operasi ini biasanya bebas

dari gejala dan tidak mengalami komplikasi apapun sesudahnya.

46

Page 48: Kasus RGB Editan 3

C. Deep Vein Trhombosis (DVT)

1. Definisi

Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem

kardiovaskuler termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi.(6)

Menurut Robert Virchow, terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan

dari pembuluh darah, aliran darah dan komponen pembekuan darah (Virchow

triat).

Trombus dapat terjadi pada arteri atau pada vena, trombus arteri di sebut

trombus putih karena komposisinya lebih banyak trombosit dan fibrin,

sedangkan trombus vena di sebut trombus merah karena terjadi pada aliran

daerah yang lambat yang menyebabkan sel darah merah terperangkap dalam

jaringan fibrin sehingga berwarna merah.(6)

Trombosis vena dalam adalah satu penyakit yang tidak jarang ditemukan

dan dapat menimbulkan kematian kalau tidak di kenal dan di obati secara

efektif. Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trimbus vena, membentuk

emboli yang dapat menimbulkan kematian mendadak apabila sumbatan terjadi

pada arteri di dalam paru-paru (emboli paru).

Insidens trombosis vena di masyarakat sangat sukar diteliti, sehingga

tidak ada dilaporkan secara pasti. Banyak laporan-laporan hanya

mengemukakan data-data penderita yang di rawat di rumah sakit dengan

berbagai diagnosis.(6) Di Amerika Serikat, dilaporkan 2 juta kasus trombosis

vena dalam yang di rawat di rumah sakit dan di perkirakan pada 600.000 kasus

terjadi emboli paru dan 60.000 kasus meninggal karena proses penyumbatan

pembuluh darah.(3) Pada kasus-kasus yang mengalami trombosis vena perlu

pengawasan dan pengobatan yang tepat terhadap trombosisnya dan

melaksanakan pencegahan terhadap meluasnya trombosis dan terbentuknya

emboli di daerah lain, yang dapat menimbulkan kematian.

47

Page 49: Kasus RGB Editan 3

2. Patogenesis

Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan dalam

patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan dinding

pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah.

Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel

darah merah dan beberapa komponen trombosit dan lekosit.

Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut :(8.5.13)

1. Stasis vena.

2. Kerusakan pembuluh darah.

3. Aktivitas faktor pembekuan.

Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena

adalah statis aliran darah dan hiperkoagulasi.(5)

1. Statis Vena

Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis

terutama pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu

yang cukup lama. Statis vena merupakan predis posisi untuk terjadinya

trombosis lokal karena dapat menimbulkan gangguan mekanisme

pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga

memudahkan terbentuknya trombin.

2. Kerusakan pembuluh darah

Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan

trombosis vena, melalui :(6.9.11)

a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.

b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat

kerusakan jaringan dan proses peradangan.

Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel.

Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel

menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan,

aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya

trombin.(6) Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel

48

Page 50: Kasus RGB Editan 3

akan terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di

aktifkan dan trombosir akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat

kolagen, membran basalis dan mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan

melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang

trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat.

Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan

darah.(9)

3. Perubahan daya beku darah

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan

darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila

aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis

menurun.nTrombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas

pembekuan darah meningkat, seperti pada hiper koagulasi, defisiensi Anti

trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan kelainan

plasminogen.(1.6)

3. Faktor Resiko

Faktor utama yang berperan terhadap terjadinya trombosis vena adalah

status aliran darah dan meningkatnya aktifitas pembekuan darah. Faktor

kerusakan dinding pembuluh darah adalah relatif berkurang berperan terhadap

timbulnya trombosis vena dibandingkan trombosis arteri. Sehingga setiap

keadaan yang menimbulkan statis aliran darah dan meningkatkan aktifitas

pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis vena.

Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :(1,5,11)

1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan

alfa 1 anti tripsin.

Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif

tidak di netralisir sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.

49

Page 51: Kasus RGB Editan 3

2. Tindakan operatif

Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena

adalah operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul

dan tungkai bawah.(5.7) Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita

mengalami trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen

terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.(2.13) Beberapa faktor yang

mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan operatif, adalah

sebagai berikut :(5)

a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah

karena trauma pada waktu di operasi.

b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif,

operatif dan post operatif.

c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama

sesudah operasi.

d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara

langsung di daerah tersebut.

3. Kehamilan dan persalinan

Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas

fibrinolitik, statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor

pembekuan VII, VIII dan IX.(4) Pada permulaan proses persalinan terjadi

pelepasan plasenta yang menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke

dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.(4.11)

4. Infark miokard dan payah jantung

Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu

kerusakan jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan

proses pembekuan darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat

total.(2.13) Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah

sebagai akibat statis aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan

dan proses immobilisasi pada pengobatan payah jantung.

50

Page 52: Kasus RGB Editan 3

5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.

Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang

mempermudah timbulnya trombosis vena.

6. Obat-obatan konstraseptis oral

Hormon estrogen yang ada dalam pil kontraseptis menimbulkan

dilatasi vena, menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik

dan meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan

mempermudah terjadinya trombosis vena.

7. Obesitas dan varices

Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan

penurunan aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis

vena.

8. Proses keganasan

Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan “tissue

thrombo plastin-like activity” dan “factor X activiting” yang

mengakibatkan aktifitas koagulasi meningkat. Proses keganasan juga

menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke dinding

vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi

terhadap penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali

lipat dibandingkan penderita biasa.(9)

4. Manifestasi Klinik

Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara

lain vena tungkai superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal

seperti v poplitea, v femoralis dan viliaca. Sedangkan vena-vena di bagian

tubuh yang lain relatif jarang di kenai.(5.6) Trombosis v superfisialis pada

tungkai, biasanya terjadi varikositis dan gejala klinisnya ringan dan bisa

sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis v tungkai superfisialis ini menyebar

ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli paru yang tidak jarng

menimbulkan kematian.(12.14)

51

Page 53: Kasus RGB Editan 3

Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang

timbul tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya

trombosis.(3.5) Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan

karena trombosis yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan

komplikasi yang hebat. Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah

asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius apabila trombus tersebut meluas

atau menyebar ke lebih proksimal.

Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila

menimbulkan :

- bendungan aliran vena.

- peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.

- emboli pada sirkulasi pulmoner.

Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :(3, 9, 13)

1. Nyeri

Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis.

Trombosis vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan

bisa menjalar ke bagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat

bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya

mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau penderita

istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.

2. Pembengkakan

Pembengkakan disebabkan karena adanya edema. Timbulnya edema

disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan

jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan

maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan

apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada

daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan bertambah

kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur

dengan posisi kaki agak ditinggikan.

52

Page 54: Kasus RGB Editan 3

3. Perubahan warna kulit

Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada

trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena

perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna

kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu.(12) Perubahan

warna kaki menjadi pucat dan pada perubahan lunah dan dingin, merupakan

tanda-tanda adanya sumbatan cena yang besar yang bersamaan dengan

adanya spasme arteri, keadaan ini di sebut flegmasia alba dolens.(6)

4. Sindroma post-trombosis

Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai

konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar.

Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam

di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena

dalam.(3.5)

Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan

membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi

edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus

pada daerah vena yang di kenai.

Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada

daerah betis yang timbul / bertambah waktu penderitanya berkuat (venous

claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan,

timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah.(3.5)

5. Diagnosis

Diagnosis trombosis vena dalam berdasarkan gejala linis saja kurang

sensitif dan kurang spesifik karena banyak kasus trombosis vena yang besar

tidak menimbulkan penyumbatan dan peradangan jaringan perivaskuler

sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala.

53

Page 55: Kasus RGB Editan 3

Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan diagnosis

trombosis vena dalam, yaitu:(3.5.7)

1. Venografi

Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk

trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan

bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak

menyenangkan penderitanya.

Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di

daerah dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran sistem vena di betis,

paha, inguinal sampai ke proksimal ke v iliaca.

2. Flestimografi impendans

Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah

pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femrlis

dan iliaca dibandingkan vena di betis.(3.12.13)

3. Ultra sonografi (USG) Doppler

Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat,

sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama

USG Doppler. Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan

spesifity 93,9%. Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus

trombosis vena yang berulang, yang sukar di deteksi dengan cara objektif

lain.

6. Pengobatan

Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang

diagnosisnya sudah pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif,

oleh karena obat-obatan yang diberikan mempunyai efek samping yang

kadang-kadang serius.(2.1011) Berbeda dengan trombosis arteri, trombosis vena

dalam adalah suatu keadaan yang jarang menimbulkan kematian.

Oleh karena itu tujuan pengobatan adalah :(5.12)

1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.

2. Mengurangi morbiditas pada serangan akut.

54

Page 56: Kasus RGB Editan 3

3. Mengurangi keluhan post flebitis

4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses trombo

emboli.

Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru

Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di

cegah dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada

pemberian obat-obatan ini di usahakan biaya serendah mungkin dan efek

samping seminimal mungkin. Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk

mencegah terjadinya emboli paru, obat yang biasa di pakai adalah heparin.(5.11.14) Prinsip pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya

anti koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat

menghancurkan trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan

emboli. Pada pemberian heparin perlu di pantau waktu trombo plastin

parsial atau di daerah yang fasilitasnya terbatas, sekurang-kurangnya waktu

pembekuan.

Pemberian Heparin standar

Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips

konsitnus 1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips selanjutnya tergantung

hasil APTT. 6 jam kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis

dengan target 1,5 – 2,5 kontrol.

1. Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.

2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.

3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.

Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6

jam, hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6

jam pertama hanya 38% yang mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1

baru 84%.

55

Page 57: Kasus RGB Editan 3

Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan dengan

pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau

pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan.

Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana

penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.

Pemberian Low Milecular Weight Heparin (LMWH)

Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan

pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan

heparin. Saat ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin

(Lovenox) dan (Nandroparin Fraxiparin). Pada pemberian heparin standar

maupun LMWH bisa terjadi efek samping yang cukup serius yaitu Heparin

Induced Thormbocytopenia (HIT).(14)

Pemberian Oral Anti koagulan oral

Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin Cara.(1.2.5) Pemberian Warfarin di

mulai dengan dosis 6 – 8 mg (single dose) pada malam hari. Dosis dapat

dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil INR (International

Normolized Ratio). Target INR : adalah 2,0 – 3,0

Cara penyesuaian dosis

INR

Penyesuaian

1,1 – 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.

Kembali : 1 minggu

1,5 – 1,9 hari 1, naikkan 5% – 10% dari total dosis mingguan.

Kembali : 2 minggu

56

Page 58: Kasus RGB Editan 3

2,0 – 3,0 tidak ada perubahan.

Kembali : 1 minggu

3,1 – 3,9 hari : kurang 5% – 10% dari dosis total mingguan.

Mingguan : kurang 5 – 150 dari dosis total mingguan

Kembali : 2 minggu

4,0 – 5,0 hari 1: tidak dapat obat

mingguan : kurang 10%-20% TDM

kembali : 1 minggu

> 50 :

- Stop pemberian warfarin.

- Pantau sampai INR : 3,0

-Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.

- kembali tiap hari.(6)

Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila

trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible.

Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian

anti koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila

ditemukan abnormal inherited mileculer.(2)

Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :(2.5)

1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.

2. Perdarahan yang baru di otak.

3. Alkoholisme.

4. Lesi perdarahan traktus digestif.

57

Page 59: Kasus RGB Editan 3

Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan

heparin, akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya

pemberian heparin tunggal. Peranan terapi trombolitik berkembang dengan

pesat pada akhir abad ini, terutama sesudah dipasarkannya streptiknase,

urokinase dan tissue plasminogen activator (TPA).(11.13) TPA bekerja secara

selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin, sehingga efek samping

perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan

dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase

diberikan 1,5 x 106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis

trombolitik ini memberikan hasil yang cukup memuaskan.(3) Efek samping

utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah perdarahan

dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan sereral. Untuk mencegah

terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang ketat

terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu protombin, jangan

melebihi 2,5 kali nilai kontrol.

1. Mengurangi Morbiditas pada serangan akut.

Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena dilakukan.(2.13)

- Istirahat di tempat tidur.

- Posisi kaki ditinggikan.

- Pemberian heparin atau trombolitik.

- Analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.

- Pemasangan stoking yang tekananya kira-kira 40 mmHg.

Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 – 48

jam serangan trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul

flagmasia alba dolens di anjurkan tindakan embolektomi.

Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus

atau emboli, biasanya tidak di anjurkan.

58

Page 60: Kasus RGB Editan 3

2. Pencegahan Sindroma post-flebitis.

Sindroma post flebitis disebabkan oleh inkompeten katub vena

sebagai akibat proses trombosis. Biasanya terjadi pada trombosis di

daerah proksimal yang eksistensif seperti vena-vena di daerah

poplitea, femoral dan illiaca.

Keluhan biasanya panas, edema dan nyeri terjadinya

trombosis.Sindroma ini akan berkurang derajad keganasannya kalau

terjadi lisis atau pengangkatan trombosis.

3. Pencegahan terhadap adanya hipertensi pulmonal.

Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang tidak sering dari

emboli paru. Keadaan ini terjadi pada trombosis vena yang bersamaan

dengan adanya emboli paru, akan tetapi dengan pemberian anti

koagulan dan obat-obatan trombolitik, terjadinya hipertensi pulmonal

ini dapat di cegah.

59

Page 61: Kasus RGB Editan 3

DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson D.R. et al : Efficacy and Cost of LMH Compared with Standard

Heparin for Prevention of DVT After Total Hip Arthrosplasty. Ann of Intern

Med. 119: 1105 – 1112.1993.

2. Breddin HK et al. Effects of a LMH on Thrombus Regression and Recurrent

Thrombo-embolism in Patient DVT. N. Engl J of Med 344:626-631, 2001.

3. Brenner B et al : Quantiation of Venous Clot Lysis D – Dimer Immuboassay

During Fibrinolytic Theraphy Requires Correction for Sluble Fibrin Dehidra-

tion. Circulation 81(6) : 1818-1825, 1990.

4. Ginsberg J.S. et al : A Venous Thrombosis. KONAS PHTDI Semrang, Sep-

tember 2001.

5. Hirsh J and Hoak J : Management of Deep Vein Thrombosis and Pulmonary

Embolism. Circulation 93:2212-2245, 1996.

6. Karmel Tambunan : Thrombosis. KONAS PHTDI Semarang, September

2001.

7. Kerr T.M et al : Upper Extremity Venous Thrombosis Diagnosed by Duppex

Scanning, The Am J of Surgery 160:120-206, 1990.

8. Pradoni et al : Comparison os Subcuteneus LMW Heparin with intravenous

Standard Heparin in Oroximal DVT. Lancet 339:441-445, 1992.

9. Prandoni et al : DVT and the incidence of Subsequent Symptomatic cancer N.

Eng J Med. 327:1128-1133, 1992.

10. Rayu S et al : Saphenectomy in the Presende of Chornic Venous Obstruction.

Surgery 123:637-644, 1999.

11. Runge M.S et al : Prevention of Thrombosis and Rethrombosis. Circultion

82:655-657, 1990.

12. Srandness D.E. et al : Long-term Sequelae Acute Venous Thrombosis. JAMA

250:1289-1292, 1983.

60

Page 62: Kasus RGB Editan 3

13. Thomas J.H et al : Pathogenesis Diagnosed, and Treatment of Thrombosis.

The Am J of Surgery 160:547-551, 1990.

14. Warkentin E.E et al : Heparin Induced Thrompbocytopenia in patient with

LMW Heprin or Unfranctioned Heparin. N Eng J of Med 18:1330-1335,

1995.

15. Krenzer ME. Peripheral vascular assessment: finding your way through arter-

ies and veins. AACN Clin Issues 1995;6:631-634.

16. O'Beirne-Woods B. Clinical evaluation of the peripheral vasculature. Cardiol

Clin 1991; 9:413-427.

17. Gehring P. Vascular assessment. RN 1992;55:40-47.

18. Dallas.2011.Management of patients with perhiperal artery disease. American

Heart Association

19. Hanafi M. Penyakit pembuluh darah perifer . In: Rilantono LI, Baraas F, Karo

SK,eds. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas In-

donesia; 2003. h. 185-9

20. Kabo Peter, Prof. atherosclerosis dan atherotrombosis. In: Bagaimana meng-

gunakan obat- obat kardiovaskular secara rasional. Jakarta : Fakultas Ke-

dokteran Universitas Indonesia; 2012 h. 38-59

21. Management of peripheral arterial disease (PAD). TASC Working Group.

TransAtlantic Inter-Society Concensus (TASC). J Vasc Surg. 31: 2000.

22. National institute for health and clinical excellence. Lower limb peripheral

arterial disease : diagnosis and management. August, 2012. UK

23. Daniela C.Gey. in : management of peripheral arterial disease. Vol 69, Ger-

many.University of Heidelberg School of Medicine, Heidelberg, 2004.

24. Mahameed AA, Peripheral Arterial Disease. 2009. Available from :

http://www.clevelandclinicmeded.com/

61