editan diagram

78
BAB I.PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah 1.1.1 Latar Belakang Obat berperan penting dalam pelayanan kesehatan karena merupakan salah satu sarana dalam meningkatkan derajat kesehatan. Obat sering menjadi salah satu komponen kesehatan yang dirasakan paling mahal, namun obat merupakan salah satu komponen kesehatan yang tidak tergantikan. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan Yusrizal (2006) di 2 RSUD Propinsi DIY menunjukkan bahwa biaya obat mencapai 30-70 persen dari total semua biaya pelayanan kesehatan bagi keluarga tidak mampu atau miskin. Pengaturan peresepan dengan penggunaan obat generik merupakan upaya dalam menekan biaya perawatan kesehatan, terutama bagi masyarakat kurang mampu, sehingga dana yang digunakan untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat kurang mampu dapat menjadi lebih efisien. Kebijakan penggunaan obat generik di Indonesia telah dikeluarkan sejak dua dasa warsa yang lalu. Definisi dari obat generik sendiri adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan International Non-proprietary Names WHO untuk zat berkhasiat 1

Upload: anida-shofiana

Post on 22-Oct-2015

67 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Editan Diagram

BAB I.PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

1.1.1 Latar Belakang

Obat berperan penting dalam pelayanan kesehatan karena merupakan salah

satu sarana dalam meningkatkan derajat kesehatan. Obat sering menjadi salah satu

komponen kesehatan yang dirasakan paling mahal, namun obat merupakan salah satu

komponen kesehatan yang tidak tergantikan. Hasil dari penelitian yang telah

dilakukan Yusrizal (2006) di 2 RSUD Propinsi DIY menunjukkan bahwa biaya obat

mencapai 30-70 persen dari total semua biaya pelayanan kesehatan bagi keluarga

tidak mampu atau miskin. Pengaturan peresepan dengan penggunaan obat generik

merupakan upaya dalam menekan biaya perawatan kesehatan, terutama bagi

masyarakat kurang mampu, sehingga dana yang digunakan untuk pemeliharaan

kesehatan masyarakat kurang mampu dapat menjadi lebih efisien.

Kebijakan penggunaan obat generik di Indonesia telah dikeluarkan sejak dua

dasa warsa yang lalu. Definisi dari obat generik sendiri adalah obat dengan nama

resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan International Non-

proprietary Names WHO untuk zat berkhasiat yang dikandungnya, sederhana dan

kemasannya tidak dipromosikan walaupun diproduksi oleh pabrik yang berbeda

(Departemen Kesehatan RI, 2010). Mutu dari obat generik pun dipastikan terjamin

karena pengawasan mutu dilakukan secara ketat pada industri farmasi yang

memproduksinya dengan cara menerapkan Cara Pembuatan Obat yang baik (CPOB)

sepenuhnya dan dilakukan pengujian ulang di laboratorium BPOM.

Sebelum diproduksi dalam bentuk generik, obat yang ditemukan oleh suatu

industri farmasi akan dipatenkan selama dua puluh tahun. Setelah melewati dari masa

itu, maka obat tersebut diperbolehkan untuk diproduksi oleh industri farmasi lain atau

disebut dengan lepas paten (off-patent). Selanjutnya obat tersebut dapat diproduksi

1

Page 2: Editan Diagram

dan dapat dipasarkan dengan nama brandedgenerik atau dengan nama generik

(WHO, 1988). Obat bernama dagang adalah obat milik perusahaan tertentu dengan

nama khas yang dilindungi hukum, yaitu dengan merk terdaftar atau proprietary

name (Tjay, et al, 2002). Biasanya menggunakan nama dagang yang sangat

bermacam-macam, tergantung dari yang diproduksi oleh pabrik, walaupun jenis obat

nya sama. Kemasannya pun dibuat lebih mewah sehingga dapat menarik pembeli dan

dapat dipromosikan oleh pabrik-pabrik obat secara gencar dengan nama dagang yang

berbeda-beda. Obat generik biasanya mempunyai harga yang lebih terjangkau

dibandingkan dengan obat yang bernama dagang.

Salah satu tujuan pembangunan di bidang kesehatan di bidang obat adalah

meningkatkan penyebaran obat secara teratur dan merata, sehingga dapat dengan

mudah diperoleh bagi yang membutuhkan pada saat yang diperlukan serta dapat

terjangkau oleh masyarakat umum baik harganya maupun kebutuhannya

(Departemen Kesehatan RI,2010). Pemerintah telah melakukan berbagai cara dan

upaya untuk meningkatkan keterjangakauan obat oleh masyarakat dengan cara antara

lain dengan penyediaan dan penggunaan obat-obatan generik yang bermutu.

Pemanfaatan dari obat generik akan semakin memperluas cakupan obat karena

masyarakat yang tadinya tidak mampu dalam membeli obat yang dibutuhkan

dikarenakan harga yang kurang terjangkau, dapat membeli obat tersebut dengan harga

terjangkau. Perluasan cakupan obat berarti perluasan cakupan pelayanan kesehatan,

yang akan meningkatkan volume penggunaan obat.

Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan obat generik di

Indonesia, yaitu meningkatkan mutu, memeratakan pelayanan kesehatan dengan

menyediakan obat-obatan yang terjangkau bagi masyarakat luas, meningkatkan

efisiensi penggunaan dana khususnya dana pemerintah untuk obat-obatan yang

bermutu dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat luas, dan memberikan

pengertian kepada masyarakat bahwa obat generik adalah baik dan bermutu serta

mempunyai kemampuan pengobatan yang sama dengan obat bernama dagang

2

Page 3: Editan Diagram

(Departemen Kesehatan RI, 2010). Perlu dilakukan upaya agar masyarakat mampu

mengerti bahwa obat generik yang harganya lebih terjangkau sama efektifnya dengan

obat bernama dagang yang harganya jauh lebih mahal.

Pelaksanaan kebijakan pemerintah tentang penulisan resep obat generik baik

di rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta maupun tempat praktek dokter swasta

masih terdapat beberapa kendala yaitu (Kuntjoro et al., 2000) beberapa dokter masih

banyak yang memandang anjuran penggunaan obat generik sedikit banyak telah

membatasi kebebasan profesional, keragu-raguan terhadap mutu dari obat esensial

yang menggunakan nama generik, tidak semua penyakit mempunyai nama obat

esensial yang dipasarkan dengan nama generik, tidak tersedianya obat esensial

dengan nama generik, dokter tidak terbiasa menulis resep dengan nama generik,

kepercayaan masyarakat yang masih kurang terhadap obat generik yang dianggap

tidak lebih baik dari obat bernama dagang. Dengan adanya Permenkes nomor

085/Menkes/Per/l/1989 tentang kewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan

obat generik di fasilitas kesehatan pemerintah serta keputusan Direktur Jenderal

Pelayanan Medik nomor 0428/YANMED/RSKS/SK/1989 tentang petunjuk

pelaksanaan peraturan Menteri Kesehatan RI yang berisi kewajiban menuliskan resep

dan /atau menggunakan obat generik di rumah sakit pemerintah, maka melalui

program obat generik upaya pemerataan pelayanan kesehatan melalui rumah sakit

dapat tercapai dengan baik. Pelaksanaan penggunaan obat generik ini di utamakan di

rumah sakit pemerintah, sedangkan untuk rumah sakit swasta juga diwajibkan untuk

menyediakan obat esensial dengan nama generik untuk kebutuhan pasien berobat

jalan dan rawat inap (Departemen Kesehatan RI, 1989).

Pelaksanaan kebijakan penggunaan obat generik di Rumah Sakit Umum

(RSU) PKU Muhammadiyah ditetapkan dengan keputusan Direktur nomor : 1521/E-

IV/SK.3.2/VII/2001 tanggal 16 Juli 2001 tentang kewajiban menulis resep dan /atau

menggunakan obat generik RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta khususnya untuk

pasien kelas III rawat inap (pasien yang kurang mampu). Penerapan kebijakan

3

Page 4: Editan Diagram

tersebut dengan alasan bahwa pasien kelas III pada dasarnya adalah dari masyarakat

yang kurang mampu sehingga dengan adanya kebijakan tersebut maka akan

meningkatkan pelayanan obat dengan biaya yang terjangkau oleh pasien kelas III.

WHO memiliki indikator peresepan yang terdiri atas beberapa komponen,

yaitu : rata-rata jumlah obat per sekali peresepan, persentase obat yang diresepkan

menggunakan nama generik, persentase antibiotika yang diresepkan, persentase obat

injeksi yang diresepkan, dan persentase obat yang diresepkan yang sesuai dengan

daftar obat esensial. Namun dalam kenyataannya, masih banyak terdapat

ketidakrasionalan yang terjadi berdasarkan indikator ini. Misalnya saja mengenai

peresepan obat injeksi yang dilakukan di Asia dan Afrika, pasien dalam jumlah besar

di tempat pelayanan kesehatan selalu menerima obat injeksi yang tidak aman dan

tidak perlu(Simonsen et al.1999).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka disusun rumusan

masalah sebagai berikut : “Bagaimana perbedaan perbandingan implementasi

indikator peresepan WHO berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat InapRSI

Yogyakarta Persatuan Djamaah Haji Indonesia (PDHI) periode September-

November tahun 2011? “

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbandingan implementasi indikator peresepan WHO

berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI” pada

periode September-November tahun 2011.

4

Page 5: Editan Diagram

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui rata-rata jumlah obat yang diresepkan oleh dokter

berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta

“PDHI” pada periode September-November tahun 2011.

2. Untuk mengetahui persentase obat yang diresepkan dengan

menggunakan nama generik berdasarkan kelas perawatan di Unit

Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI” pada periodeSeptember-

November tahun 2011.

3. Untuk mengetahui persentase jenis obat antibiotika yang diresepkan

berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat InapRSI Yogyakarta

“PDHI” periode September-November tahun 2011.

4. Untuk mengetahui persentase obat injeksi berdasarkan kelas perawatan

di Unit Rawat InapRSI Yogyakarta “PDHI” periodeSeptember-

Novembertahun 2011.

5. Untuk mengetahui persentase obat yang diresepkan yang sesuai dengan

daftar obat esensial berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat Inap

RSI Yogyakarta “PDHI” periode September-November tahun 2011.

1.4. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang perbandingan penggunaan obat generik dan esensial

berdasar kelas perawatan pada pasien rawat inap di RSI “PDHI” Yogyakarta,

sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan. Penelitian yang hampir sama pernah

dilakukan oleh :

1). Kuntjoro dkk (2000) tentang pola pemilihan obat generik dan obat non generik

pada berbagai profesi dan tempat kerja dokter di Kodya Magelang.

5

Page 6: Editan Diagram

Dengan hasil : Peresepan obat generik oleh dokter spesialis lebih rendah bila

dibandingkan dengan dokter umum maupun dokter gigi, penggunaan obat generik

lebih banyak digunakan di rumah sakit pemerintah, penggunaan obat generik lebih

banyak digunakan di rumah sakit swasta maupun di tempat praktek dokter swasta.

Persamaan penelitian : Tema perilaku dokter dalam peresepan obat generik.

Perbedaan penelitian : Pada penelitian Kuntjoro menggunakan metode penelitian

deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

2). Koesnandar (2005) tentang penggunaan obat generik pada pasien gakin di RSUD

DR. Murjani Kotawaringin Timur.

Dengan hasil : Penggunaan obat generik yang cukup tinggi pada pasien gakin, namun

masih terdapat penggunaan obat non generik dikarenakan oleh keterbatasan

ketersediaan obat generik.

Persamaan : Tema penggunaan obat generik dan obat non generik pada pasien kurang

mampu atau berdasar rawat inap dikelas tiga.

Perbedaan : Pada penelitian Koesnandar menggunakan metode penelitian deskriptif

dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Dengan adanya penelitian untuk mengetahui perbandingan

implementasi indikator peresepan WHO 1993 berdasarkan kelas perawatan di

Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI” pada periode Juni-Agustus tahun

2011, diharapkan dapat digunakan sebagai media pembelajaran dan

6

Page 7: Editan Diagram

memperluas ilmu pengetahuan, serta pengalaman peneliti dalam melakukan

penelitian selanjutnya.

2. Bagi Rumah Sakit dan Sarana Pelayanan Kesehatan lainnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

perbandingan implementasi indikator peresepan WHO 1993 berdasarkan kelas

perawatan di Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI” pada periode Juni-

Agustus tahun 2011, sehingga dapat digunakan oleh dokter dalam

pengambilan keputusan pemberian resep kepada pasien.

3. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu data

implementasi atas aturan mengenai obat generik yang telah

diberlakukan.Selain itu, Pemerintah dapat melakukan evaluasi dalam

pengaturan kebijakan penggunaan obat generik.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat digunakan sebagai

bahan acuan bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya dalam

bidang yang sama.

7

Page 8: Editan Diagram

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengobatan Rasional

Berdasarkan peraturan Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004, tentang

standar pelayanan kefarmasian di apotek, resep didefinisikan sebagai permintaan

tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan

dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Peresepan suatu obat dapat dikatakan tidak rasional, apabila kemungkinan

untuk memberikan manfaat kecil atau tidak ada manfaatnya sama sekali, sedangkan

kemungkinan manfaatnya tidak sebanding dengan efek samping ataupun biayanya

Pertimbangan mengenai manfaat, risiko, dan biaya dari masing-masing dokter dapat

berbeda sama sekali. Tetapi perbedaan tersebut dapat dikurangi atau dapat diperkecil

dengan komponen-komponen dasar dalam proses keputusan terapi atau elemen-

elemen pokok pemakaian obat secara rasional tetap selalu dipertimbangkan.

Peresepan obat yang dilakukan oleh dokter harus selalu berpedoman pada pengobatan

rasional sesuai dengan standar WHO (Vance & Millington, 1986).

Ketidakrasionalan dalam peresepan obat memiliki beberapa bentuk yang

dikelompokkan sebagai berikut (MSH, 1984)

1. Peresepan boros (extravagant), yaitu peresepan dengan obat-obat mahal

meskipun masih ada alternatif obat yang lebih terjangkau dengan keamanan

dan manfaat yang sama.

2. Peresepan berlebihan (over prescribing), terjadi jika lama pemberian atau

jumlah obat yang diresepkan melebihi yang seharusnya.

3. Peresepan yang salah (incorrect prescribing) terdiri atas pemakaian obat

dengan indikasi yang tidak tepat, diagnosis tepat namun obatnya salah,

8

Page 9: Editan Diagram

pemberian obat kepada pasien yang salah, pemberian obat tanpa

memperhitungkan kondisi lain yang sedang diderita pasien secara bersamaan.

4. Peresepan majemuk (multiple prescribing), yaitu peresepan yang cukup

menggunakan obat tunggal saja namun memakai dua atau lebih kombinasi

obat.

5. Peresepan kurang (under prescribing) terjadi jika obat yang diperlukan tidak

diresepkan, dosis tidak mencukupi atau lama pemberiannya terlalu pendek.

Dokter dalam memilih resep untuk pasien, dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Faktor tersebut antara lain faktor internal didalam diri dokter yang terdiri dari

informasi atau pengetahuan dan kepercayaan serta pengalaman dokter tersebut

terhadap obat; dan faktor eksternal yang terdiri dari pengaruh pasien, hubungan

dokter dan pasien, dan konteks sosial yang lebih luas, termasuk pengaruh promosi,

sejawat dan adanya insentif finansial (Soumerai, 1988; Greenhalgh dan Gill, 1997;

Quick et al., 1997).

a. Faktor internal

Faktor internal yang berpengaruh dalam peresepan adalah informasi,

kepercayaan, dan pengalaman dokter terhadap obat yang akan diresepkan (Quick et

al., 1997). Dokter juga sangat membutuhkan informasi dalam menentukan obat yang

akan diresepkan kepada pasiennya. Informasi yang dibutuhkan umumnya obat

bermerek dagang, obat generik, indikasi dan kontraindikasi, terapi pilihan dan terapi

alternative, dosis, overdosis dan aturan pakai obat, efek samping obat dan harga

obat.Jurnal adalah salah satu sumber informasi obat lama maupun obat baru yang

dianggap penting bagi para dokter menurut (McGettigan et al. 2001).Khusus untuk

obat-obatan yang baru, sumber informasi dapat diperoleh dari berbagai macam

sumber yaitu detailer dan dokter spesialis, kemudian baru dari pertemuan klinis,

kuliah dan jurnal.Perilaku peresepan dalam penelitian Kuntjoro (2000) menunjukkan

9

Page 10: Editan Diagram

bahwa dokter spesialis lebih cenderung memilih menggunakan obat non-

generik.Dalam hal detailer, tentu informasi yang diberikan adalah mengenai obat

produksi pabriknya.

Kepercayaan terhadap mutu, khasiat, dan keamanan pemakaian suatu obat

akan mempengaruhi peresepan obat oleh seorang dokter. Anggapan dokter bahwa

obat generik kurang manjur mengindikasikan bahwa adanya kemungkinan dokter

yang kurang patuh terhadap penggunaan obat generik.Ketidakpercayaan dokter

terhadap obat generik memungkinkan dokter meresepkan obat bermerek dagang

secara langsung kepada pasien.

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal dapat dibagi menjadi beberapa faktor yaitu faktor pasien dan

konteks sosial.

i. Faktor pasien :

Perilaku peresepan oleh dokter dipengaruhi oleh persepsi dirinya

terhadap latar belakang sosial, kepercayaan, sikap, dan harapan pasien, serta

diagnosis pasti yang masih belum dapat ditegakkan. Dokter biasanya akan

merasa kesulitan jika menolak permintaan pasien atau menolak memberi resep

untuk pasien usia lanjut, pasien dari kelas sosial tertentu, serta pasien dengan

latar belakang medis dan paramedis (Bradley, 1997cit .Greenhalgh dan Gill,

1997).

Pertimbangan dalam penentuan pilihan obat juga terpengaruh dari

keadaan sosial ekonomi dan penyakit dari pasien.Bagi pasien dengan kondisi

ekonomi rendah dan harus membayar obat sendiri, obat generik merupakan

pilihan yang paling tepat.Demikian pula dengan penyakit kronis yang

membutuhkan terapi lama, obat generik merupakan pilihan terapi yang paling

baik.

10

Page 11: Editan Diagram

Faktor lain yang mempengaruhi pertimbangan seorang dokter dalam

penulisan resep obat adalah permintaan dari pasien (Soumerai, 1988; Quick et

al., 1997). Hal ini tidak mengherankan, karena pada hakikatnya pasien akan

secara aktif menentukan pengobatan dirinya sehingga keputusan dan pilihan

untuk berobat, kemana akan berobat, menggunakan obat atau tidak, semua

tergantung dan merupakan hak paten dari pasien tersebut. Keputusan dan

pilihan obat oleh pasien dipengaruhi oleh budaya, pendididkan, sikap, dan

pengetahuannya. Pasien terpandang dan sosial ekonominya tinggi terkadang

akan meminta dipilihkan menggunakan obat bermerek dagang dalam

terapinya. Apabila ada permintaan dari pasien untuk menggunakan obat

bermerkdagang maka, biasanya dokter akan meluluskannya (Macfarlane et

al., 1997).

ii. Konteks sosial

Konteks sosial yang mempengaruhi pertimbangan dalam peresepan

oleh seorang dokter meliputi hal-hal diluar hubungan dokter-pasien.Dalam hal

residen, pengaruh luar ini dapat berasal dari senior atau detailer obat bermerk

dagang(Soumerai, 1988).

Pemberian terapi untuk masing-masing diagnosis pasien, idealnya

sebuah rumah sakit harus mempunyai standar terapi yang dipatuhi oleh

dokter.Interaksi antara dokter dengan detailer obat, umumnya diperbolehkan.

Interaksi antara dokter dengan detailer obat ini merupakan salah satu cara

agar promosi obat yang dipromosikan dapat diresepkan.Detailer melakukan

berbagai upaya pendekatan agar dokter mau meresepkan obat buatan

pabriknya, (Roughead et al., 1998).Pendekatan yang paling sering dilakukan

adalah dengan pemberian hadiah, barang cetakan, leaflet informasi obat,

demonstrasi, presentasi ilmiah, pameran, jamuan makan, sampai tak jarang

pemberian insentif berupa uang. Meskipun beberapa dokter mengatakan

11

Page 12: Editan Diagram

pemberian tersebut tidak mempengaruhi peresepan yang diberikan kepada

pasien mereka (Madhavan et al., 1997), tetapi menurut beberapa peneliti, para

detailer sangat besar pengaruhnya dalam mengubah perilaku peresepan dokter

(Shaughnessy dan Slawson, 1996; Wazana, 2000; Shapiro dan Schultz, 2001).

Promosi obat yang dilakukan oleh detailer tidak hanya ditujukan

kepada dokter saja, tetapi pasar secara keseluruhan, termasuk pasien. Strategi

promosi meliputi: (1) pemasangan iklan, (2) penjualan perorangan, (3)

publisitas, (4) promosi penjualan.

2.2. Definisi Obat

Obat adalah suatu bahan atau senyawa, yang umumnya berasal dari luar

tubuh, yang bila diberikan akan menyebabkan perubahan fungsi-fungsi biologik

tubuh, sehingga pemberiannya berguna untuk mencegah atau menyembuhkan suatu

penyakit atau gangguan –gangguan fisiologis dalam tubuh. Obat berasal dari bahan

alam dengan bentuk yang masih asli, tetapi bisa juga berasal dari senyawa-senyawa

kimiawi yang disintesis di laboratorium. Pada masyarakat yang relatif masih

tradisional, sumber-sumber obat masih banyak yang berasal dari bahan alam asli, baik

dari tumbuhan, hewan maupun bahan lain. Sebagai contoh, masih digunakannya

ramuan jamu untuk sumber pengobatan.Sebaliknya, pada masyarakat yang relatif

modern, sumber obat terutama berasal dari obat-obat kimiawi(obat-obat modern)

(Santosaet al1988).

Peraturan Permenkes pada tahun 1993, obat dapat didefinisikan sebagai

sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan yang berguna untuk

mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka

penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan

dan kontrasepsi.

12

Page 13: Editan Diagram

Obat dapat menyembuhkan, namun banyak kejadian yang menunjukkan

bahwa seseorang menderita akibat dari keracunan obat.Dapat dikatakan bahwa obat

dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat akan bersifat

sebagai obat bila digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan

waktu yang tepat. Apabila digunakan dalam pengobatan suatu penyakit melebihi dari

dosis yang ditentukan, maka obat akan menimbulkan keracunan. Bila dosisnya lebih

kecil, maka obat juga tidak akan memberikan penyembuhan (Anief, 1991).

2.3 Indikator Penggunaan Obat

Mulai tahun 1993, indikator penggunaan obat telah dibuat oleh WHO yang

bertujuan untuk mengukur pola umum dalam penggunaan obat di tempat pelayanan

kesehatan, mengidentifikasi masalah penggunaan obat, untuk membuat perbandingan

penggunaan obat antarnegara satu dengan negara yang lain, dan mengukur dampak

beberapa tindakan yang dilakukan.Indikator tersebut dapat dipergunakan untuk

poliklinik rumah sakit dalam menentukan masalah tentang polifarmasi, penggunaan

antimikroba dan obat suntik, kontak antara penulis resep dengan pasien, dan kontak

penyedia obat dengan pasien (Santoso, 2001).

Indikator penggunaan obat WHO memiliki beberapa poin utama yaitu

indikator peresepan, indikator perawatan pasien, indikator fasilitas, dan indikator

komplementer :

1. Indikator peresepan

a. Jumlah rata-rata obat dalam satu kali pertemuan

b. Persentase peresepan obat dengan menggunakan nama generik

c. Persentase peresepan obat jenis antibiotika dalam satu kali pertemuan

d. Persentase peresepan injeksi dalam satu kali peresepan

e. Persentase obat yang diresepkan tercantum dalam DOEN

13

Page 14: Editan Diagram

2. Indikator pelayanan pasien

a. Lama waktu konsultasi rata-rata

b. Rata-rata waktu yang dihabiskan

c. Persentase obat yang tidak diresepkan

d. Persentase obat dengan label yang memadai

e. Pengetahuan pasien mengenai dosis

3. Indikator fasilitas

a. Ketersediaan buku DOEN

b. Ketersediaan obat-obat utama

4. Indikator pelengkap

a. Persentase pasien yang diterapi dengan obat

b. Rata-rata harga obat per satu kali datang

c. Persentase harga obat yang dihabiskan untuk membeli antibiotika

d. Persentase harga obat yang dihabiskan untuk membeli obat injeksi

e. Persentase resep yang sesuai dengan panduan pengobatan

f. Persentase kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diterima

g. Persentase fasilitas kesehatan dengan akses informasi obat-obatan

yang netral.

Perkembangan indikator penggunaan obat oleh WHO dan INRUD

(International Network for Rational Use of Drugs) ini telah digunakan sebagai

pedoman dalam uji penggunaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan di negara

berkembang.(Santoso, 2001).

14

Page 15: Editan Diagram

2.4. Obat Generik

Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang telah ditetapkan dalam

Farmakope Indonesia dan International Non-proprietary Names WHO untuk zat yang

berkhasiat dikandungnya. Obat generik sebagai pengganti obat bermerk dagang yaitu

obat dengan nama dagang yang diberikan oleh pabrik pembuatnya (Departemen

Kesehatan RI, 2010). Jadi meskipun berbeda nama, obat generik dan obat bermerk

dagang mengandung zat aktif yang sama. Dengan demikian, secara keseluruhan obat

generik mempunyai tingkat keamanan dan efektifitas yang sama dengan obat bermerk

dagang.

Tidak semua obat paten sudah ada nama generiknya. Obat-obat yang baru

biasanya masih dilindungi oleh hak paten dan hanya dibuat oleh satu pabrik saja,

kemudian setelah masa paten tersebut habis, pabrik lain dapat membuat versi

generiknya.

Harga obat generik jauh lebih murah daripada obat bermerk dagang, hal ini

dikarenakan pabrik pembuat obat paten perlu biaya untuk tenaga kerja, riset,

perizinan, kemasan dan promosi.Sebaliknya, hal-hal tersebut tidak diperlukan oleh

pabrik pembuat obat generik. Perbedaan lain antara obat generik dan obat paten

adalah pada cara pembuatannya. Hal ini memungkinkan adanya sedikit perbedaan

mutu dan efek samping diantara keduanya (Eric, 1998).Agar masyarakat

mendapatkan obat generik dengan mutu yang terjamin, maka Pemerintah Indonesia

melakukan pengawasan mutu yang ketat dengan menerapkan Cara Pembuatan Obat

yang Baik (CPOB) bagi pabrik pembuat obat generik.Pemerintah juga telah

mengeluarkan kebijakan obat generik di Indonesia, adapun alasan dikembangkannya

obat generik di Indonesia adalah untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan,

membatasi jenis produk paten terutama produk kombinasi, dan meningkatkan

produksi lokal yang sudah tidak dilindungi paten lagi sehingga bisa menghemat biaya

(Santosa, 1996).

15

Page 16: Editan Diagram

Diperlukan beberapa komponen untuk menentukan kebijakan obat generik

yang meliputi produksi dan distribusi, jaminan mutu, penulisan resep dengan nama

generik, substitusi generik, informasi, pengawasan pelaksanaan dan penggunaan obat

generik (Santosa, 1996). Ketersediaan obat dan pemerataan peredaran obat, terutama

obat generik secara nasional, harus dijamin oleh pemerintah (Departemen Kesehatan

RI, 2006b).

Menurut Kuntjoro et al (2000) kebijakan pemerintah tentang penulisan resep

obat generik, baik di rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, maupun tempat

praktek dokter swasta, tidak semudah perkiraan karena masih terdapat beberapa

kendala yaitu:

1. Setiap upaya yang tujuannya untuk membatasi kebebasan professional dalam

memberikan yang terbaik untuk kesembuhan penderita selalu dipandang tidak

sewajarnya dan oleh karena itu kurang dapat diterima; standardisasi sedikit

banyak memang cukup membatasi kebebasan professional sehingga masih

banyak ditemui praktisi kesehatan yang belum dapat menerima kebijakan

pemerintah tentang penulisan atau peresepan obat generik

2. Terdapatnya keragu-raguan terhadap mutu obat esensial yang menggunakan

nama generik

3. Tidak semua macam penyakit mempunyai obat esensial yang dipasarkan

dengan nama generik

4. Tidak tersedianya obat esensial dengan nama generik yang cukup di fasilitas

kesehatan pemerintah

5. Tidak terbiasanya dokter dalam menulis resep dengan naman generik

6. Kepercayaan masyarakat terhadap khasiat obat generik karena selama ini

masyarakat telah terbiasa menggunakan obat bermerk dagang yang diakui

lebih baik dalam bentuk dan cita rasanya

16

Page 17: Editan Diagram

Berbeda dengan obat bermerk dagang, promosi obat generik oleh pabrik

pembuatnya tidak pernah dilakukan karena dilarang.Semua itu dilakukan agar biaya

obat rendah, dan persaingan antarprodusen hanya berstandar pada mutu dan khasiat

dari obat generik yang diproduksinya.

2.5. Obat Esensial

Obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan

kesehatan yang mencakup upaya dalam diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi,

yang diupayakan tersedia pada unit pelayanan kesehatan dengan fungsi dan

tingkatnya.Dengan tersedianya obat esensial dalam jenis dan jumlah yang memadai,

bentuk sediaan yang tepat, mutu terjamin, informasi yang memadai, dan dengan

harga terjangkau, maka sistem pelayanan kesehatan dapat berfungsi dengan baik

(DOEN, 2008).

Dalam memilih obat esensial dibutuhkan kriteria-kriteria tertentu, pemilihan

obat esensial berdasar DOEN (2008) didasarkan atas kriteria berikut :

1). Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio)

2). Mutu terjamin termasuk stabilitas maupun bioavailabilitas

3). Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan

4). Praktis dalam penggunaan dan penyerahan

5). Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh penderita

6). Memilih rasio manfaat-biaya yang tertinggi berdasar biaya langsung dan tidak

langsung

7). Bila terdapat pilihan lebih dari satu pilihan yang memiliki efek yang sama, pilihan

dijatuhkan pada

1 Obat yang sifatnya paling banyak diketahui

2 Obat dengan farmakokinetik yang paling menguntungkan

3 Obat yang stabilitasnya lebih baik

4 Mudah dikenal

17

Page 18: Editan Diagram

5 Obat yang telah dikenal

8). Obat dengan kombinasi tetap, memenuhi kriteria :

1 Obat bermanfaat dalam bentuk kombinasi tetap

2 Harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi

3 Perbandingan dosis kombinasi tetap merupakan pebandingan yang tepat

4 Meningkatkan rasio manfaat-biaya

5 Untuk antiobiotika kombinasi tetap dapat mencegah atau mengurangi

resistensi atau efek merugikan

Tujuan kebijakan Obat Esensial adalah untuk meningkatkan ketepatan

keamanan, kerasionalan penggunaan dan pengelolaan obat, sekaligus berguna dalam

meningkatkan daya guna dan hasil guna biaya yang tersedia sebagai salah satu

langkah untuk memperluas, memeratakan, dan meningkatkan mutu pelayanan

kesehatan kepada masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 2008).

Konsep Obat Esensial diwujudkan dengan penyusunan Daftar Obat Esensial

Nasional (DOEN), melalui pemilihan obat dengan mempertimbangkan rasio

manfaat terhadap risiko dan manfaat terhadap biaya (Departemen Kesehatan RI,

2005).Sampai akhir tahun 1999 tercatat sebanyak 156 negara yang telah memiliki

DOEN. Tidak ada sektor pemerintah atau sistem asuransi kesehatan yang mampu

menyediakan atau reimburse semua obat yang tersedia di pasar. Dengan ini, DOEN

juga merupakan pedoman penggadaan (procurement) dan penyediaan (supply) obat

di sektor pemerintah, merencanakan reimburse biaya obat, donasi obat, dan

produksi obat lokal. Beberapa organisasi internasional termasuk UNICEF dan

UNHCR, dan juga organisasi non-pemerintah dan agen Suplai non-profit

internasional telah menghadapi konsep obat esensial untuk sistem suplai mereka.

Beberapa negara yang sudah maju juga menggunakan pendekatan yang sama

(WHO, 2002).

18

Page 19: Editan Diagram

2.6. Antibiotika

Antibiotika adalah golongan obat yang paling banyak diresepkan oleh para

klinisi.Antibiotika merupakan zat yang dapat menghambat dan membasmi mikroba

jenis lain yang dihasilkan oleh suatu mikroba tertentu, terutama fungi.Antibiotika

diproduksi baik secara sintetik penuh maupun semisintetik (Setiabudy,

2008).Pengetahuan tentang penggunaan antibiotik itu penting, tidak hanya

mengetahui tentang pengeluaran biaya saja, namun yang lebih penting adalah

dampak penggunaan antibiotika tersebut.

Ketidaktepatan penggunaan antibiotik dibeberapa Negara di dunia sangat

bervariasi seperti, di Thailand ketidaktepatan penggunaan antibiotik di rumah sakit

Universitas Manidol mencapai 91,2 %, dan 35,8% diantara pasien yang mendapat

antibiotik tidak terbukti adanya infeksi (Aswapokee et al, 1990), Di Inggris 50%

pasien yang diterapi dengan antibiotik tidak terbukti adanya infeksi, sedangkan

penggunaan antibiotika sebagai profilaksis hanya 7% yang tepat, demikian pula

penggunaan antibiotik di Kanada terjadi peningkatan tanpa bukti adanya infeksi,

salah dosis, maupun rute cara pemberian, sedangkan di Argentina hanya 40% saja

antibiotika yang diberikan sesuai dengan indikasi tepat dengan adanya bukti infeksi,

dan diduga di negara-negara Amerika Latin lainnya masih banyak ketidaktepatan

penggunaan antibiotika jika dibandingkan dengan negara-negara yang lebih maju

(Wolff, 1993).

a. Penggunaan Antibiotika Secara Rasional (Tepat)

Pengobatan secara rasional, efektif, dan aman sebenarnya berlaku untuk semua

tindakan- tindakan pengobatan, tidak hanya terbatas pada penggunaan antibiotika

saja. Rasional dapat diartikan, bahwa diagnosis penyakit harus ditentukan dengan

tepat, sehingga pemilihan obat dapat dilakukan dengan tepat dan menimbulkan efek

samping seminimal mungkin (Ningrum, 2009).

Indikasi dalam pemberian antibiotika pada pasien harus tepat. Untuk dapat

melaksanakan tindakan rasional, maka diperlukan upaya-upaya antara lain :

19

Page 20: Editan Diagram

1. Tepat indikasi dengan mempertimbangkan gambaran klinik dari penyakit

infeksi dan efek terapi dari antibiotika.

2. Pemilihan antibiotika yang tepat, serta menentukan dosis, dan cara

pemberiannya.

3. Penentuan dosis dan lama pemberian yang tepat tergantung pada jenis infeksi

dan penetrasi obat ke tempat penetrasi, sedangkan untuk penentuan lama

tergantung dari respon klinis, mikrobiologi, maupun radiologis.

4. Follow up penderita meliputi evaluasi perbaikan klinis dan terjadinya

komplikasi.

b. Penggunaan Antibiotika secara Tidak Rasional (Tidak Tepat)

Penggunaan antibiotika secara tidak rasional sangat tinggi dan bervariasi

dibeberapa negara, tak terkecuali di Indonesia (Aswapokee et al., 1990; Wolff,

1993).Ketidakrasionalan dalam penggunaan antibiotika berdasarkan keadaan : (1).

Adanya kontraindikasi terhadap penggunaan antibiotika, seperti : pemberian

kanamicin, geramicin pada gagal ginjal, pemberian penicillin pada pasien yang

sensitif terhadap penicillin ; (2). Indikasi pengobatan yang tidak tepat misalnya pada

pemberian kloramfenikol sistemik untuk luka yang kecil, memberikan penicillin G

untuk kuman Staphilococcus yang akan membentuk penicilinase, atau untuk kuman

gram negatif ; (3). Dosis yang tidak tepat ; (4). Cara pemberian dan waktu pemberian

yang tidak tepat, misalnya, pemberian tablet penicillin G pada pneumonia berat yang

seharusnya diberikan secara parenteral, memberikan ampicilin kapsul setelah makan;

(5). Jangka waktu pengobatan yang tidak tepat; (6). Telah dibuatnya diagnosis

laboratorium mengenai kuman patogen tetapi tidak dilanjutkan dengan pembuatan

antibiogram; (7). Antibiogram dibuat, tetapi tidak memperhatikan adanya resistensi

silang waktu mengganti dengan lain; (8). Memberikan antibiotika dengan obat-obatan

lain yang dapat memperlemah antibiotika.

20

Page 21: Editan Diagram

2.7. Injeksi

Rute parenteral injeksi adalah pemberian obat dengancara menginjeksikan ke

dalam jaringan tubuh. Pemberian parenteral meliputi 4 tipe utama injeksi

berikut :subkutan (SC) injeksi ke dalam jaringan tepat dibawah lapisan dermis kulit,

intradermal (ID), injeksi ke dalam dermis tepat dibawah epidermis, intramuscular

(IM), injeksi ke dalam otot tubuh, intravena (IV), suntikan ke dalam vena. Beberapa

obat yang diberikan kedalam tubuh selain 4 tipe yang tertera di atas adalah epidural,

intratekal, intraoseosa, interaperitonial, intrapleura, intraarteri (Potter& Perry, 2005).

Istilah parenteral mempunyai arti setiap jalur pemberian obat selain melalui

enteral atau saluran pencernaan.Lazimnya, istilah parenteral dikaitkan dengan

pemberian obat secara intradermal, subkutan, intramuscular, atau intravena (Priharjo,

1993).

Rute parenteral atau injeksi mempunyai berbagai keuntungan dan kerugian,

Keuntungan rute parenteral yaitu rute ini digunakan jika rute oral

dikontraindikasikan, absorbsi lebih cepat daripada rute topikal atau oral, infus IV

memungkinkan pengantaran obat saat pasien dalam kondisi kritis atau terapi jangka

panjang, jika perfusi perifer buruk, rute IV lebih dipilih daripada injeksi (Potter&

Perry, 2005). Menurut Priharjo (1993) menyatakan bahwa pemberian obat secara

parenteral mempunyai aksi kerja lebih cepat dibandingkan secara oral. Adapun

kerugian dari pemberian obat parenteral meliputi risiko infeksi dan obat dengan

harga yang mahal, pasien berulangkali disuntik, rute SC,IM, ID di hindari pada

pasien yang cenderung mudah mengalami pendarahan, risiko kerusakan jaringan pada

injeksi SC, rute IM dan IV berbahaya karena absorbsinya yang terlalu cepat, rute ini

menimbulkan rasa cemas yang cukup besar terhadap keselamatan pasien, khususnya

anak-anak (Potter& Perry, 2005). Pemberian secara parenteral mempunyai berbagai

risiko antara lain merusak kulit, menyebabkan nyeri pada pasien, salah tusuk, dan

harga lebih mahal (Priharjo, 1993).

21

Page 22: Editan Diagram

2.8. Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit

Bentuk pelayanan kesehatan di rumah sakit diantaranya terdiri dari : Instalasi

Gawat Darurat (IGD), Rawat Inap, dan Rawat Jalan (Poliklinik).

1. Instalasi Gawat Darurat (IGD)

IGD merupakan suatu unit bagian dari RS yang melayani pasien yang dengan tiba-

tiba berada dalam keadaan gawat atau terancam nyawanya.Instalasi Gawat Darurat

harus mampu memberikan pelayanan dengan kualitas yang tinggi pada masyarakat

dengan perilaku medis akut (Departemen Kesehatan RI, 2003).

2. Rawat Inap

Menurut Suryawati (2006) rawat inap merupakan pelayanan terhadap pasien rumah

sakityang menempati tempat tidur perawatan dikarenakan keperluan observasi,

diagnosis, terapi, rehabilitasi medik, dan atau pelayanan medik lainnya. Secara umum

pelayanan rawat inap rumah sakit dibagi menjadi beberapa kelas perawatan yaitu :

VIP, Kelas I, Kelas II, dan Kelas III, serta dibedakan atas beberapa ruang atau

bangsal perawatan. Pelayanan rawat inap merupakan pelayanan medis yang utama di

rumah sakit dan merupakan tempat interaksi antara pasien dan tenaga medis di rumah

sakit dalam jangka waktu yang lama. Berbagai kegiatan yang berkaitan dengan

pelayanan rawat inap di rumah sakit yaitu : penerimaan pasien, pelayanan medik

(dokter), pelayanan dan perawatan oleh perawat, pelayanan penunjang medik,

pelayanan obat di instalasi farmasi, pelayanan makan, serta administrasi keuangan

(Suryawati, 2006).

3. Instalasi Rawat Jalan (Poliklinik)

Instalasi rawat jalan merupakan baris terdepan dari pelayanan rumah sakit.Beberapa

poliklinik yang umumnya berupa ruang-ruang pemeriksaan dengan peralatan-

peralatan fisik sederhana.Apabila diperlukan pemeriksaan lanjutan, dapat dilakukan

22

Page 23: Editan Diagram

di unit penunjang atau apabila diperlukan suatu tindakan, maka tindakan tersebut

dapat berupa suatu tindakan yang cukup ringan (tanpa pembiusan), sehingga pasien

dapat dipulangkan. Apabila tindakan yang akan dilakukan cukup berat maka

dilakukan di ruangan khusus. Pelayanan pada pasien rawat jalan untuk pelayanan

administrasinya biasanya tidak sesulit rawat inap (Departemen Kesehatan RI, 2005).

23

Page 24: Editan Diagram

2.9. Landasan Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, dikemukakan landasan teori sebagai

berikut:

.

24

Sistem Pelayanan Kesehatan

Instalasi Gawat Darurat Unit Rawat Inap Unit Rawat Jalan

Kelas perawatan

VIP Kelas I

Peresepan

Pengobatan Rasional Indikator Penggunaan Obat WHO 1993

Indikator Peresepan

Indikator Perawatan

Indikator Fasilitas

Indikator Pelengkap

Rata-rata jumlah R/

obat

Persentase peresepan

obat generik

Persentase peresepan antibiotik

Persentase peresepan

injeksi

Persentase obat

esensial

Kelas II Kelas III

Page 25: Editan Diagram

2.10. Kerangka Konsep

Gambar 1. Kerangka Konsep

25

Indikator Penggunaan Obat WHO 1993

Indikator Peresepan

Rata-rata jumlah obat

Persentase peresepan

obat generik

Persentase peresepan antibiotik

Persentase peresepan

injeksi

Persentase obat esensial

Kelas Perawatan

VIP Kelas I Kelas II Kelas III

Analisis

Deskriptif Uji Komparatif

One way ANOVA

Indikator Peresepan

Page 26: Editan Diagram

2.11. Hipotesis

Berdasar teori dan kerangka konsep pemikiran di atas, maka ditetapkan

hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Antar Poliklinik di Instalasi Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI”, untuk

jumlah rata-rata obat dalam satu kali peresepan tidak terdapat perbedaan

diantara kelas perawatan kelas I, II, III dan VIP

2. Antar Poliklinik di Instalasi Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI”, untuk

persentase peresepan obat dengan menggunakan nama generik terdapat

perbedaan diantara kelas perawatan kelas I, II, III dan VIP

3. Antar Poliklinik di Instalasi Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI”, untuk

persentase peresepan obat jenis antibiotika tidak terdapat perbedaan diantara

kelas perawatan kelas I, II, III dan VIP

4. Antar Poliklinik di Instalasi Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI”, untuk

persentase peresepan injeksi dalam satu kali peresepan tidak terdapat

perbedaan diantara kelas perawatan kelas I, II, III dan VIP

5. Antar Poliklinik di Instalasi Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI”, untuk

persentase obat yang diresepkan tercantum dalam DOEN tidak terdapat

perbedaan diantara kelas perawatan kelas I, II, III dan VIP

26

Page 27: Editan Diagram

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan

menggunakan pendekatan cross sectional.Untuk mengetahui perbandingan

implementasi indikator peresepan WHO berdasarkan kelas perawatan di unit rawat

inap RSI “PDHI” Yogyakarta.

Pengumpulan data dengan cara menelusuri data peresepan obat pada pasien

kelas perawatan di unit rawat inappada periode September- November tahun 2011.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan berlangsung pada September-Novembr 2011 di RSI

Yogyakarta “PDHI”.

3.3.Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi Penelitian

Dalam penelitian ini populasi yang diambil adalah kertas resep pasien unit

rawat inap RSI Yogyakarta “PDHI” yang masuk ke instalasi farmasi RSI Yogyakarta

“PDHI”.Data yang diambil berupa data sekunder.

3.3.2. Besar Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah resep pasien Unit Rawat InapRSI

Yogyakarta “PDHI” yang masuk ke instalasi farmasi RSI Yogyakarta “PDHI” yang

terdapat dalam populasi dan memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Teknik

pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu dengan purposive sampling yang

sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, bertujuan untuk mendapatkan data dengan

27

Page 28: Editan Diagram

jumlah yang cukup representatif untuk dianalisis dan sesuai dengan kondisi populasi..

Pada penelitian setiap kelompok diambil 60 kertas resep sehingga total sampel adalah

240

Penelitian ini mengambil sampel berupa kertas resep 240 yang terbagi

menjadi 4 kelas perawatan yaitu kelas I, kelas II, kelas III dan VIP yang masuk ke

instalasi farmasi. Dengan demikian, dalam penelitian ini mengambil 60 kertas resep

setiap poliklinik. Dari 60 kertas resep terbagi dalam tiga bulan yakni bulan

September, Oktober dan November sehingga setiap bulan peneliti mengambil 20

kertas resep untuk masing-masing kelas perawatan.

Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

1. Resep pasien unit rawat inap RSI Yogyakarta “PDHI” yang masuk ke

instalasi farmasi RSI Yogyakarta “PDHI”

2. Resep ditulis untuk pasien kelas perawatan di Unit Rawat Inap VIP,

kelas I, kelas II, kelas III

3. Nama dan jenis obat dapat diidentifikasi

4. Resep ditulis pada Bulan September, Oktober dan November tahun

2011.

Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah : Resep yang kurang

lengkap dan atau rusak.

Besar sampel diukur dengan menggunakan rumus :

n = besar sampel

Zα = deviat baku alfa

Zβ = deviat baku beta

S = simpang baku

X1 - X2 = selisih minimal rerata yang dianggap bermakna

28

Page 29: Editan Diagram

Penghitungan sampel adalah sebagai berikut :

= 68,56 69

Berdasarkan dari hasil penghitungan di atas, didapatkan besar sampel sebesar

69.Karena penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, maka peneliti

menentukan sampel yang digunakan sebesar 240 kertas resep.Jumlah ini sudah

representatif dan melebihi jumlah perhitungan yang telah dilakukan.

Gambar 3. Bagan Besar Sampel

3.4. Variabel penelitian

Variable penelitian yang digunakan, dibagi dalam 2 variabel yaitu:

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah indikator peresepan WHO yang

berupa:

jumlah rata-rata obat dalam satu kali pertemuan

persentase peresepan obat dengan menggunakan nama generik

persentase peresepan antibiotika

persentase peresepan injeksi

29

240 kertas resep

VIP (60)

Kelas I (60) Kelas II (60)

Kelas III (60)

September: 20Oktober : 20November: 20

September: 20Oktober : 20November: 20

September: 20Oktober : 20November: 20

September: 20Oktober : 20November: 20

Page 30: Editan Diagram

persentase obat yang diresepkan tercantum dalam daftar obat

esensial

Variabel bebas dalam penelitian adalah kelas perawatan (kelas I, kelas II,

kelas III dan VIP).

3.5. Definisi Operasional

1). Resep adalah lembar kertas berisi nama pasien, umur, jenis obat, jumlah, cara

pemakaian dan dosis yang ditulis oleh dokter dari pasien kelas perawatan di unit

rawat inap RSI “PDHI” Yogyakarta dan masuk ke instalasi farmasi.

2). Pasien adalah orang yang menjalani perawatan di kelas perawatan unit rawat inap

RSI “PDHI” Yogyakarta.

3). Kelas perawatan atau unit rawat inap adalah pelayanan terhadap pasien rumah

sakit dengan berbagai macam penyakit yang menempati tempat tidur perawatan yang

terdiri dari kelas I, kelas II, kelas III dan kelas VIP.

a) Kelas I adalah kelas perawatan yang ada di rawat inap RSI Yogyakarta yang

diberi nama bangsal Madinah

b) Kelas II adalah kelas perawatan yang ada di rawat inap RSI Yogyakarta yang

juga diberi nama bangsal Madinah

c) Kelas III adalah kelas perawatan yang ada di rawat inap RSI Yogyakarta yang

diberi nama bangsal Ruhamah

d) VIP adalah kelas perawatan yang ada di rawat inap RSI Yogyakarta yang

diberi nama bangsal Arofah

30

Page 31: Editan Diagram

4). Obat generik adalah obat yang diproduksi dan diberi nama berdasarkan nama yang

diberikan oleh WHO yang dipakai secara International Non-proprietary Names.

Persentase perhitungan obat generik yang diresepkan dalam satu kali peresepan =

5). Obat esensial adalah obat-obat yang tercantum dalam DOEN 2008

Persentase perhitungan obat esensial dalam satu kali peresepan =

6). Antibiotika adalah obat jenis antibiotika yang diresepkan oleh dokter di kelas

perawatan unit rawat inap yang tercantum dalam DOEN 2008

Persentase perhitungan antibiotikadalam satu kali peresepan =

7). Injeksi adalah tindakan pemberian obat dengan menyuntikkan ke dalam jaringan

tubuh yang dilakukan oleh tenaga medis di RSI Yogyakarta “PDHI” pada kelas

perawatandi unit rawat inap kelas I, kelas II, kelas III, dan VIP.

Persentase peresepan injeksi dalam satu kali peresepan =

8). Implementasi adalah proses penerapan terlaksananya dan tercapainya suatu

kebijakan indikator peresepan yang terdiri dari rata-rata jumlah R/ obat per resep.

Persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik, persentase

peresepan injeksi, persentase peresepan obat esensial berdasarkan kelas perawatan di

Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI”

31

Page 32: Editan Diagram

3.6. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Work sheet

Work sheet atau lembar kerja merupakan tabel yang telah peneliti

persiapkan secara matang sebelum pelaksanaan penelitian kami

laksanakan.Tujuannya adalah untuk memudahkan peneliti dalam

pengelompokan data dalam lembar kerja saat pengambilan data dilaksanakan.

2. Alat tulis

Alat tulis kami gunakan sebagai alat yang membantu dalam

memasukkan data ke dalam lembar kerja saat pengambilan data kami

laksanakan.

3. Kamera

Dalam penelitian ini, kamera digunakan untuk mendokumentasikan kertas

resep,sehinggamemudahkan kami untuk melakukan proses cross check.

3.7. Prosedur Penelitian

Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan

a. Menentukan masalah

b. Memilih lokasi penelitian

c. Melakukan studi pendahuluan

d. Menyusun proposal

e. Seminar proposal

2. Tahap Pelaksanaan

32

Page 33: Editan Diagram

a. Izin penelitian

b. Mendapatkan kertas resep dari RS

c. Melakukan pengumpulan data

d. Melakukan pengolahan dan analisis data

3. Tahap Akhir

a. Menyusun laporan hasil penelitian

b. Seminar hasil penelitian

3.8. Tahap Penelitian

Tahap Penelitian2011 2012

5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4

Penyusunan Proposal √ √ √

Pengajuan dan

seminar proposal√

Proses Perizinan √ √

Pengambilan data √

Pengolahan data dan

penyusunan laporan

penelitian

√ √ √

Seminar hasil

penelitian√

33

Page 34: Editan Diagram

3.9. Cara Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data diambil dengan teknik purposive sampling.Dengan

ini diharapkan penelitian ini mendapatkan data dengan jumlah yang cukup

representative untuk dianalisis dan menggambarkan kondisi seluruh populasi.

Penelitian ini mengambil sampel berupa kertas resep 240 yang terbagi

menjadi 4 kelas perawatan yaitu kelas I, kelas II, kelas III dan VIP yang masuk ke

instalasi farmasi. Dengan demikian, dalam penelitian ini mengambil 60 kertas resep

setiap poliklinik. Dari 60 kertas resep terbagi dalam tiga bulan yakni bulan

September, Oktober dan November sehingga setiap bulan peneliti mengambil 20

kertas resep untuk masing-masing kelas perawatan.

Kertas resep yang diambil adalah kertas resep teratas sesuai jumlah dan kelas

perawatan yang dibutuhkan. Saat pengambilan data, penelitian ini menggunakan alat

bantuwork sheet yang telah dipersiapkan sebelumnya, sehingga dapat memudahkan

peneliti dalam proses memasukkan data. Selain ini peneliti juga mendokumentasikan

kertas resep dengan bantuan kamera untuk memudahkan dalam proses cross check.

3.10. Analisis Data

Analisis dilakukan setelah semua data telah terkumpul.Pengolahan dan

analisis data dengan menggunakan program komputer).Langkah-langkah analisisnya

sebagai berikut (Dahlan, 2009):

1. . Analisis univariat

Analisis univariat atau analisis persentase dilaksanakan untuk

menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing, baik variabel bebas

(independen) maupun variabel terikat (dependen).Data dari analisis univariat

ini dibahas secara deskriptif.

34

Page 35: Editan Diagram

2. Analisis bivariat

Analisis bivariat adalah hubungan yang terjadi yang menyangkut

hanya dua variabel.Dalam hal ini, hubungan yang terjadi adalah antara sebuah

variabel dependen dan sebuah variabel independen.Analisis pada penelitian

ini adalah adakah perbedaan antara persentase indikator peresepan dengan

penelitian yang akann kami lakukan di RSIY PDHI.Uji statistik data pada

penelitian ini menggunakan skala numerik dengan uji One way ANOVA dan

Kruskal-Wallis karena jenis hipotesis asosiatifnya adalah komparatif numerik

tidak berpasangan.Uji Kruskal-Wallis digunakan apabila data penelitian

distribusinya tidak normal.

3.11. Etika Penelitian

3.11.1. Penelitian dilakukan dengan mengajukan permohonan ijin kepada Fakultas

Kedokteran Universitas Islam Indonesia, RSI Yogyakarta “PDHI”

3.11.2. Semua informasi dan data yang diperoleh dari rekam medik hanya akan

digunakan untuk keperluan penelitian dan akan dijaga kerahasiaannya.

35

Page 36: Editan Diagram

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1 Jumlah Kertas Resep

Table1. Jumlah Sampel

BulanKelas Perawatan

JumlahVIP Kelas I Kelas II Kelas III

September 20 20 20 20 80Oktober 20 20 20 20 80November 20 20 20 20 80Jumlah 60 60 60 60 240

Dari tabel diatas diketahui sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

berupa kertas resep sebanyak 240 buah yang terbagi ke dalam 4 kelas perawatan yaitu

VIP, kelas I, kelas II, kelas III dan terbagi rata menjadi tiga bulan pada bulan

September, Oktober, dan November. Pada Bulan September diambil 20 kertas resep

untuk masing-masing kelas perawatan, Bulan Oktober 20 kertas resep, dan Bulan

November 20 kertas resep.

4.1.2. Indikator Peresepan WHO 1993 PadaKelas VIP

Ada beberapa indikator dasar yang direkomendasikan oleh WHO 1993 yang

disebut indikator inti. Indikator inti yang dimaksud adalah indikator peresepan yang

terdiri dari rata-rata jumlah item obat per lembar resep, persentase obat yang ditulis

dengan nama generik,persentase pasien yang mendapat terapi antibiotik, persentase

pasien yang mendapat injeksi dan persentase obat DOEN yang diresepkan.

Berdasarkan data yang diperoleh di kelas VIP pada Bulan September, Oktober,

November 2011 di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Islam Yogyakarta “PDHI”

didapatkan rata-rata jumlah R/ sebesar 4,15 R/ untuk persentase peresepan obat

36

Page 37: Editan Diagram

generik, persentase peresepan antibiotik, persentase peresepan injeksi, dan persentase

peresepan obat dalam DOEN yang tercantum dalam diagram... di bawah ini.

Persentase indikator WHO 1993 yang terdiri dari persentase obat

generik sebesar 17,38%, persentase peresepan obat antibiotik sebesar 16,73%,

persentase injeksi sebesar 39,82%, dan persentase obat dalam DOEN sebesar

6,78% disajikan dalam diagram diatas.

4.1.3. Indikator Peresepan WHO 1993 Pada Kelas I

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui hasil dari

persentase indikator WHO 1993 yaitu rata-rata jumlah R/ obat yang diresepkan,

persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik, persentase

peresepan injeksi, persentase peresepan obat dalam DOEN. Berdasarkan data yang

diperoleh di kelas I pada Bulan September, Oktober, November 2011 di Unit Rawat

37

Page 38: Editan Diagram

Inap Rumah Sakit Islam Yogyakarta “PDHI” didapatkan rata-rata jumlah R/ sebesar

3,58 R/ untuk persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik,

persentase peresepan injeksi, dan persentase peresepan obat dalam DOEN yang

tercantum dalam diagram... di bawah ini.

Persentase indikator WHO 1993 yang terdiri dari persentase obat generik

sebesar 32,38%, persentase peresepan obat antibiotik sebesar 16,44%, persentase

injeksi sebesar 57,94%, dan persentase obat dalam DOEN sebesar 16,82% disajikan

dalam diagram diatas.

4.1.4. Indikator Peresepan WHO 1993 Pada Kelas II

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui hasil dari

persentase indikator WHO 1993 yaitu rata-rata jumlah R/ obat yang diresepkan,

persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik, persentase

peresepan injeksi, persentase peresepan obat dalam DOEN. Berdasarkan data yang

diperoleh di kelas II pada Bulan September, Oktober, November 2011 di Unit Rawat

38

Page 39: Editan Diagram

Inap Rumah Sakit Islam Yogyakarta “PDHI” didapatkan rata-rata jumlah R/ sebesar

3,30 R/ untuk persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik,

persentase peresepan injeksi, dan persentase peresepan obat dalam DOEN yang

tercantum dalam diagram... di bawah ini.

Persentase indikator WHO 1993 yang terdiri dari persentase obat generik

sebesar 38,07%, persentase peresepan obat antibiotik sebesar 15,84%, persentase

injeksi sebesar 54,24%, dan persentase obat dalam DOEN sebesar 21,52% disajikan

dalam diagram diatas.

4.1.5. Indikator Peresepan WHO 1993 Pada Kelas III

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui hasil dari

persentase indikator WHO 1993 yaitu rata-rata jumlah R/ obat yang diresepkan,

39

Page 40: Editan Diagram

persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik, persentase

peresepan injeksi, persentase peresepan obat dalam DOEN. Berdasarkan data yang

diperoleh di kelas III pada Bulan September, Oktober, November 2011 di Unit Rawat

Inap Rumah Sakit Islam Yogyakarta “PDHI” didapatkan rata-rata jumlah R/ sebesar

2,7 R/ untuk persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik,

persentase peresepan injeksi, dan persentase peresepan obat dalam DOEN yang

tercantum dalam diagram... di bawah ini.

40

Page 41: Editan Diagram

Penjelasan cara bikin graph diatas :

a. Klik diagram yang akan diedit, kemudian klik kanan.

b. Pilih edit data, nanti akan muncul 2 halaman ms word. Yang sebelah

kiri adalah gambar table, yang kanan adalah nilai nya. (Contoh : Hal

41).

c. Lihat parameter (XXX), dan angka 7 yang paling bawah. Ada seperti

panah kan?, kalau mau nambah jadi 5 batang tinggal klik tanda

panahnya trus tahan lalu geser ke kanan. Nanti dia nambah otomatis

batang & warna di diagramnya.

d. Klo tulisan ini ga kepake, hapus aja..

41

Page 42: Editan Diagram

Persentase indikator WHO 1993 yang terdiri dari persentase obat generik

sebesar 82,415%, persentase peresepan obat antibiotik sebesar 20,21%, persentase

injeksi sebesar 37,95%, dan persentase obat dalam DOEN sebesar 51,88% disajikan

dalam diagram diatas.

4.2. Pembahasan

Berdasarkan pengolahan data dari setiap lembar kertas resep, diperoleh hasil

rata-rata kelima indikator. Kelima indikator yang diamati untuk setiap lembar kertas

resep, yaitu jumlah item obat yang diresepkan dalam satu kali peresepan, persentase

obat yang ditulis dengan nama generik, persentase obat antibiotik, persentase obat

injeksi, dan persentase obat DOEN yang diresepkan.

4.2.1.Rata-rata jumlah R/ obat yang diresepkan

Rata-rata jumlah item obat per lembar resep dari bulan September-November

yang terbesar adalah 4,15 pada kelas VIP dan paling kecil adalah 2,7 pada kelas

perawatan kelas III dengan total rata-rata untuk seluruh kelas perawatan yaitu 3,43.

Hasil penelitian WHO di Indonesia pada tahun 1990-1993 menunjukkan bahwa rata-

rata item obat yang diresepkan di Indonesia berjumlah lebih dari 3, sangat berbeda

42

Page 43: Editan Diagram

dari negara-negara lain yang hanya berkisar 1,3-2 jenis obat (Yuniar dan Handayani,

2007).

Tingginya jumlah rata-rata obat dapat disebabkan oleh satu atau beberapa hal

berikut: adanya permintaan pasien yang mempengaruhi praktik penulis resep dan

adanya intensif financial yang mendukung polifarmasi. Terjadi kekurangan obat-obat

yang tepat secara terapetik, penulis resep kurang mendapat training terapetik atau

peralatan diagnostik yang layak.Dalam penelitian ini faktor-faktor tersebut tidak

diteliti. Besarnya rata-rata jumlah R/ obat yang diresepkan paling tinggi pada kelas

VIP karena pada kelas VIP lebih banyak dokter meresepkan suplemen-suplemen

seperti vitamin.

Rata-rata jumlah obat di RSIY PDHI adalah 3,4%yang hampir sama dengan

hasil penelitian WHO untuk negara berkembang yaitu 3,3%. Semakin tinggi kelas

perawatan, semakin tinggi rata-rata jumlah obat per resep , yang dibuktikan dengan

jumlah rata-rata terbesar pada kelas VIP dan terkecil pada kelas III. Dengan

menggunakan uji statistika kruskal wallis didapatkan nilai p= 0,004 (p>0,05) yang

berarti terdapat perbedaan yang signifikan secara statistika pada rata-rata jumlah item

obat yang diresepkan di masing-masing kelas perawatan.

4.2.1.Persentase peresepan obat generik

Persentase obat yang ditulis dengan nama generik dari seluruh item obat yang

diresepkan selama bulan September-November paling tinggi adalah pada kelas III

yaitu sebesar 82,415% dan paling rendah pada kelas VIP yaitu 17,38% dengan rata-

rata 42,56 yang jauh lebih kecil dibanding dengan data WHO pada tahun 1993

Semakin tinggi kelas perawatan, semakin rendah penggunaan obat

generik.Pada kelas VIP penggunaan generik hanya 17.4%.Obat generik banyak

diresepkan di kelas III sebesar 82,4%. Dengan kondisi seperti ini ada beberapa

kemungkinan yang terjadi antara lain karena pada pasien kelas III kebanyakan berasal

dari pengguna layanan jamkesmasdan berdasar kebijakan penggunaan obat generik di

RS bahwa pasien rawat inap kelas III harus memakai obat generik (Depkes RI, 2010).

Menurut PeraturanMenteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

43

Page 44: Editan Diagram

Hk.02.02/Menkes/068/I/2010 BAB II pasal 2 dan 4 BAB II Pasal 2 tertulis bahwa

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, Pemerintah Daerah wajib menyediakan

obat generik untuk kebutuhan pasien rawat jalan dan rawat inap dalam bentuk

formularium. Pada BAB II pasal 4 ayat 1 tertulis bahwa dokter yang bertugas di

fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi

semua pasien sesuai indikasi medis. Pada BAB II pasal 4 ayat 2 tertulis bahwa dokter

dapat menulis resep untuk diambil di Apotek atau diluarfasilitas pelayanan kesehatan

dalam hal obat generik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak tersedia di fasilitas

pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2010).

Pemerintah melalui Ditjen Bina Penggunaan Obat Rasional terus berupaya

meningkatkan penggunaan obat generik karena penggunaan obat generik sangat

bergantung pada peraturan pemerintah dan upaya penegakan peraturan tersebut.

Dengan menggunakan uji Kruskal Wallis terdapat perbedaan yang signifikan secara

statistika peresepan obat generik pada masing-masing kelas perawatan p=0,000

(p>0,05).

4.2.2.Persentase peresepan obat antibiotik

Persentase pasien yang mendapat antibiotik paling tinggi adalah pada kelas III

sebesar 20,21% dan yang paling rendah adalah pada kelas II 15,84% dengan rata-rata

penggunaan antibiotik 17,3%, namun perbedaannya tidak bermakna secara signifikan

(p=0,989). Dengan demikian presensate penggunaan antibiotik tidak berbeda antara

kelas perawatan.

Penelitian WHO: penggunaan antibiotik dinegara berkembang berkisar antara 25%-

40%. Penggunaan antibiotik di negara berkembang cenderung tinggi karena adanya

tingkat infeksi yang tinggi dan disebabkan oleh budaya kepercayaan masyarakat

tentang antibiotik.Pemberian antibiotik tidak berdasarkan dari kelas perawatan,

namun berdasar indikasi pasien yang mengalami infeksi.

4.2.3.Persentase peresepan injeksi

44

Page 45: Editan Diagram

Persentase penggunaan injeksi paling tinggi terdapat pada kelas I 57,94% dan

paling rendah pada kelas III 37,9% dengan rata-rata penggunaan injeksi di RSIY

PDHI adalah 47,48%. Penggunaan injeksi di RSIY PDHI cukup tinggi, dibanding

data WHO injeksi di gunakan di Indonesia sebesar 18%.Banyaknya injeksi di RSIY

PDHI kemungkinan karena data diambil dari pasien rawat inap yang memerlukan

obat per injeksi. Terdapat perbedaan signifikan antara kelas perawatan (p=0.034).

Perbedaan antara masing-masing kelas perawatan yang terbesar pada kelas I

kemungkinan disebabkan adaaya perbedaan indikasi dari pasien.

4.2.4.Persentase peresepan obat dalam DOEN

Persentase item obat yang termasuk dalam DOEN dengan rata-rata persentase

obat esensial adalah24,25%, lebih rendah dari penelitian WHO 47%. Dengan rata-rata

Di kelas VIP penggunaanya hanya 6.8 %.Presentase tertinggi di kelas III, namun

presentasenya hanya 51,9%. Dengan demikian semakin tinggi kelas perawatan,

semakin rendah persentase penggunaan obat esensial.

Terdapat perbedaan signifikan peresepan obat esensial (p=0,000) antara kelas

perawatan.Data penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat peresepan obat esensial

masih rendah.Berdasarkan kebijakan pemerintah tentang penggunaan obat-obat an

esensial dengan nama generik untuk pasien rawat jalan ataupun rawat inap obat

esensial seharusnya digunakan tanpa memandang kelas perawatan (Depkes RI, 1989).

Adanya kebijakan tentang penggunaan obat esensial yang telah diatur oleh

pemerintah dan tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

791/MENKES/SK/VIII/2008 pada point ketiga, keempat, dan kelima sehingga antar

keduanya berusaha meresepkan obat esensial dalam kadar yang sama. Point ketiga

menyebutkan bahwa Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar obat

terpilih yang paling dibutuhkan dan yang harus tersedia di Unit Pelayanan Kesehatan

sesuai dengan fungsi dan tingkatnya. Pada point keempat dinyatakan bahwa

penerapan DOEN dimaksudkan untuk meningkatkan ketepatan, keamanan,

45

Page 46: Editan Diagram

kerasionalan penggunaan dan pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya

guna dan hasil guna biaya yang tersedia sebagai salah satu langkah untuk

memperluas, memeratakan, dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada

masyarakat. Point kelima menyatakan bahwa penerapan DOEN harus dilaksanakan

secara konsisten dan terus menerus di semua unit pelayanan kesehatan (Depkes,

2008).Dengan adanya kebijakan tentang penggunaan obat esensial yang telah diatur

pemerintah ini seharusnya tidak terdapat perbedaan penggunaan obat esensial baik di

kelas perawatan kelas I, kelas II, kelas III maupun VIP.

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Dari hasil penelitian di RSIY PDHI Yogyakarta dengan meneliti presentase

peresepan pada kertas resep sebanyak 240 lembar selama bulan September-November

dapat disimpulkan :

1 Pada penelitian ini rata-rata jumlah obat per R/ adalah 3,3

2 Rata-rata penggunaan generik dan esensial rendah (generik 42.6% dan esensial

24.3%). Pelaksanaan penggunaan obat generik ini di utamakan di rumah sakit

pemerintah, sedangkan untuk rumah sakit swasta juga diwajibkan untuk

menyediakan obat esensial dengan nama generik untuk kebutuhan pasien

berobat jalan dan rawat inap (Departemen Kesehatan RI, 1989).

3 Rata-rata penggunaan injeksi cukup tinggi (47.5%)

46

Page 47: Editan Diagram

4 Rata-rata penggunaan antibiotik (17.3%)

5 Semakin tinggi kelas perawatan, semakin rendah presentase penggunaan obat

generik dan obat esensial

6 Tidak terdapat perbedaan presentase pemberian injeksi antara kelas perawatan

7 Terdapat perbedaan presentase penggunaan antibiotika antara kelas perawatan

yang tidak meningkat sesuai kelas perawatan namun lebih pada indikasi pengobatan

5.2. Saran

Berdasarkan hasil dan kesimpulan yang didapat dari penelitian ini, dapat

dikemukakan hal-hal berikut ini :

1. Sampel dapat diperbesar dengan melibatkan lebih banyak lagi rumah sakit baik

pemerintah maupun rumah sakit swasta.

2. Untuk penelitian serupa perlu dipantau pula pelayanan resep di instalasi farmasi

dan apotek yang ada untuk melengkapi penelitian ini dengan informasi mengenai

kesesuaian pilihan meresepkan obat dengan penulisan resep yang sebenarnya.

3. Mengingat bahwa para dokter umumnyamasih berkeyakinan bahwa khasiat obat

generik lebih rendah daripada obat non generik. Sehingga penggunaan obat

generik di kelas perawatan kelas III masih banyak digunakan daripada di kelas

perawatan VIP. Lebih baik lagi jika penelitian ini melibatkan secara langsung

dokter yang meresepkan obat sehingga sekaligus dapat memperbaiki pengalaman

mereka dalam menulis resep.

4. Penulis mengharapkan agar dapat dilakukan metode lain sehingga dapat

47

Page 48: Editan Diagram

membandingkan hasil yang didapatkan.

5. Penulis mengharapkan agar terdapat penelitian selanjutnya dengan meneliti

indikator WHO yang lainnya, seperti indikator perawatan, indikator fasilitas dan

indikator pelengkap.

6. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan evaluasi sebagai upaya dalam

sosialisai tentang penggunaan obat rasional kepada seluruh unsur yang terlibat

terutama pasien, penulis resep dan pengelola obat harus terus ditingkatkan agar

kerasionlan obat dapat mengalami perkembangan kearah yang lebih baik.

7. Mengingat pengaruh positif pasien terhadap peresepan obat generik, maka perlu

dipasang poster di tempat-tempat strategis RSIY PDHI untuk mengingatkan

pasien agar selalu meminta obat generik.

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., 1991, Apa yang Diketahui Tentang Obat, Cetakan ke-2, Gajah Mada

University Press, Yogyakarta.

Aswapokee, N., Vaithayapichet, S., Heller R,.Pattern of antibiotic use in medical

wards of University Hospital Bangkok, Thailand, Reu. Infect. Dis. 1990;12 :

136-41.

Brudon, P., Rainhorn, J.D., Reich, M.R., 1999. Indicators for Monitoring National

Drug Policies (2nd ed.). WHO: M.Renevier.

Dahlan, M.S., 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan edisi 4. Jakarta:

Salemba Medika

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek. Menteri Kesehatan Indonesia Jakarta: Indonesia.

48

Page 49: Editan Diagram

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2005. Sistem Kesehatan Nasional.

Jakarta: Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006a. Surat Keputusan Menteri

Kesehatan Nomor 332 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan

Kesehatan Masyarakat Miskin, Jakarta: Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008.Daftar Obat Esensial Nasional.

Menteri Kesehatan Indonesia Jakarta: Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010.Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/068/I/2010 tentang Kewajiban

Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pemerintah.Menteri Kesehatan Indonesia Jakarta: Indonesia.

Eric, J., 1998. Are generic drugs appropriate substitutes for brand-name drugs?- No.

ACSH vol. 10:1.

Greenhalgh, T., dan Gill, P., 1997.Pressure to prescription.Involves a complex

interplay of factors.BMJ, 315 : 166-170.

Koesnandar, P., 2005, Penggunaan Obat Generik Pada Pasien Gakin di RSUD DR.

Murjani Kotawaringin Timur, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas

Gajah Mada.

Kurniawan, A., 2009, Pola Peresepan Obat Migrain pada Pasien Rawat Jalan di

Poliklinik Saraf RSUD Sragen Periode 1 Januari 2007-31 Desember 2008,

49

Page 50: Editan Diagram

Skripsi, Jurusan Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Indonesia.

Kuntjoro, P., Suprihanto, J., Danu, S.S., Pola Pemilihan Obat Generik dan Obat non

Generik pada Berbagai Profesi dan Tempat Kerja Dokter di Kodya

Magelang, JMPK 2000;03:2,61-73.

Macfarlane, J, Holmes, W, Macfarlane, R & Britten, N., Influence of patients’

expectations on antibiotic management of acute lowes respiratory tract

illness in GP: Questionnaire study. BMJ 1997;315: 166-170

Madhavan, S, Amonkan, MM, Elliot, D, Burke, K & Gore, P.,The gift relationship

between pharmaceutical companies and physicians: an exploratory survey, J

Clin Pharm Ther 1997;22 (3): 207-215.

McGettigan, P, Golden, J, Fryer, J, Chan, R, Freely, J., Prescibers Prefer people : The

source of information used by doctors for prescribing sugest that medium is

more important than message. Br J Clin Pharmacol 2001;51:2, 184-189.

Ningrum, T.I.K., 2009, Evaluasi Penggunaan Antibiotik Berdasar Kriteria Gyssens

Pasien Rawat Inap Kelas III di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr.

Kariadi Periode Agustus-Desember 2008.

Notoatmodjo, S. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Potter, P.A., Perry, A.G., 1997.Fundamental of Nursing Volume 1 (4nd ed). Asih, Y

2005 (Alih Bahasa), EGC, Jakarta.

Priharjo, R, 1993. Teknik Dasar Pemberian Obat Bagi Perawat. Jakarta: EGC.

50

Page 51: Editan Diagram

Quick, JD., Hume, ML., Ranking J.R; O’Corner RW .,1997. Managing Drug Supply.

Kumarian Press: West Hartford.

Roughead, EE, Harvey, KJ, Gilbert, AL., 1998: Commersial detailing techniques

used by pharmaceutical representatives to influence prescribing. Aust NZJ

Med. 28(3): 306-310.

Santoso, B., 2001. Drug Benefits and Risks.British Library, London.

Santoso, B., 1996. Hambatan Pelaksanaan Kebijakan Obat Generik dan Beberapa

Upaya Pemecahannya.Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan

Obat,Universitas Gajah Mada.

Santosa, B., dan Suryawati, S., 1988, Epidemiologi Pemakaian Obat dan Peranannya

dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan, Berkala Ilmu Kesehatan

no. 3, pp 77-85.

Setiabudy, R., 2008. Antimikroba. Dalam: Farmakologi dan Terapi edisi 5,

Departemen Farmakologi dan Terapeutik, FKUI Jakarta: Indonesia.

Shapiro, J.P., Schultz, S., 2001.Prescriptions: How your doctor makes the choice.

http:/www.usnews.com:80/usnews/issue/010219/nycu/drugs.htm.

Shaughnessy, AF & Slawson, DC 1996: Pharmaceutical representatives. BMJ 312:

1494.

Soumerai, S.B., 1988. Factors influencing prescribing.Aust J Hosp Pharm 18

Suppl(3) : 9-15.

51

Page 52: Editan Diagram

Sugiyono, 2000.Statistik Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta

Suryawati, 2006.Penyusunan indikator kepuasan pasien rawat inap rumah sakit di

Propinsi Jawa Tengah,JMPK, 9:4.

Suyati, E., 2004, Upaya Peningkatan Penggunaan Obat Generik di Rawat Inap Kelas

III RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Tesis , Program Pasca Sarjana,

Universitas Gjah Mada.

Syamsinar, 1999. Pola Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas Dalam Masa

Krisis Moneter di Kelurahan Persiapan Tamanroya, Tamalatea, Jeneponto,

Sulawesi Selatan, Skripsi, Jurusan Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran,

Universitas Gajah Mada.

Tjay, T.H., K., Obat-Obat Penting, Edisi V, Jakarta: Penerbit PT.Elex Media, 2001:

488-533.

Ulfah, M.N., 2002, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peresepan Obat Generik di

Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito, Tesis, Program Pasca Sarjana,

Universitas Gajah Mada.

Wazana, A., 2000 : Physicians and the pharmaceutical industry: Is a gift ever just a

gift? JAMA 283:3, 373-80.

WHO, 1988, Guideline Developing National Drug Policies, WHO, Geneva.

WHO, How to Investigate Drug Use in Health Facilities, WHO/DAP 93.1

(http: // dcc2.bumc.bu.edu//prdu//session-guides/problem_of_irrational_drug_use)

52

Page 53: Editan Diagram

Wolff, M.J., 1993. Use and misuse of antibiotics in Latin America. Clinical Infectious

Disease, 17(Suppl 2):346.

Yusrizal, 2006, Evaluasi Biaya Pelayanan Kesehatan Gakin di RSU Panembahan

Senopati Bantul dan RSU Wates Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

2004, Tesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada.

53