kasus pembengkakan abses submandibula
DESCRIPTION
mineTRANSCRIPT
ABSES SUBMANDIBULA SINISTRA
Oleh:GETMI NURMANELA
2013-16-087
Pembimbing: drg. M. Toto Sugiharto, Sp.BM
STASE BEDAH MULUT S BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTOFAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)2014
BAB I
PENDAHULUAN
Abses adalah kumpulan pus yang terletak dalam satu kantung yang terbentuk dalam
jaringan yang disebabkan oleh suatu proses infeksi oleh bakteri, parasit atau benda asing
lainnya. Abses merupakan reaksi pertahanan yang bertujuan mencegah agen-agen infeksi
menyebar ke bagian tubuh lainnya. Pus itu sendiri merupakan suatu kumpulan sel-sel
jaringan lokal yang mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab infeksi atau benda-benda
asing dan racun yang dihasilkan oleh organisme dan sel-sel darah.1
Abses submandibula di defenisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang potensial
di regio submandibula yang disertai dengan nyeri tenggorok, demam dan terbatasnya gerakan
membuka mulut. Abses submandibula merupakan bagian dari abses leher dalam. Abses leher
dalam terbentuk di ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran
infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah
dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher
dalam yang terlibat.2
Kuman penyebab infeksi terbanyak adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus,
kuman anaerob Bacteroides atau kuman campur. Abses leher dalam yang lain dapat berupa
abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring dan angina Ludovici (Ludwig’s angina).
Ruang submandibula merupakan daerah yang paling sering terlibat penyebaran infeksi dari
gigi. Penyebab lain adalah infeksi kelenjar ludah, infeksi saluran nafas atas, trauma, benda
asing, dan 20% tidak diketahui fokus infeksinya.2
Pengetahuan anatomi fasia servikal sangat penting dalam menegakkan diagnosis,
mengetahui komplikasi dan penatalaksanaan abses submandibula. Komplikasi dapat
diperberat karena adanya kelainan ginjal seperti uremia dan kelainan jantung seperti old MCI,
dimana komplikasi yang diperberat dengan penyakit penyerta dapat menyebabkan kematian.2
Angka kejadian Abses submandibula berada di bawah abses peritonsil dan retrofaring.
Namun dewasa ini, angka kejadiannya menduduki urutan tertinggi dari seluruh abses leher
dalam. 70 – 85% dari kasus disebabkan oleh infeksi dari gigi, selebihnya karena sialadenitis,
limfadenitis, laserasi dinding mulut atau fraktur mandibula. Selain itu, angka kejadian juga
ditemukan lebih tinggi pada daerah dengan fasilitas kesehatan yang kurang lengkap.1
BAB II
STATUS PEMBENGKAKAN
Tanggal : 27 Desember 2014
I. Data Pasien
Nama : Ny. Ishari Yudanti
Ummur : 44 tahun
Pekerjaan : Karyawan swasta
Telepon : 085289751195
Jenis kelamin : Perempuan
Bangsa / asal daerah : Jawa
Alamat : Jalan swadaya RT 009/009, Cibubur
II. Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan pipi kiri bawah bengkak, terasa sakit dan
mengeluarkan nanah.
Riwayat Penyakit :
Kurang lebih dua tahun yang lalu, gigi bawah belakang kiri sakit sampai bengkak.
Pernah minum obat, tetapi tidak dirawat. Kemudian kambuh sakit, tetapi dibiarkan
sampai keropos. Dan kurang lebih satu minggu yang lalu terdapat benjolan
bernanah dan bengkak di pipi bawah kiri. Terasa gatal, kemudian digaruk sampai
terluka. Luka membengkak besar dan bernanah. Punya riwayat DM. Sempat
demam, terasa sakit bila ditekan.
III. Keadaan Umum Pasien : tampak sakit sedang
Kesadaran pasien : komposmentis
Tanda – tanda vital : tensi darah (120 / 80 mmHg), suhu (apebris),
frekuensi nadi 80 x/ menit
Kelainan sistemik : penyakit jantung (-), hipertensi (-), hipotensi
(-), haemofili (-), diabetes melitus (+), alergi (-)
IV. Status Lokalis
a) Pemeriksaan Ekstra Oral
Inspeksi
Lokalis/region : submandibula sinistra
Bentuk kelainan : pembengkakan pada pipi kiri bawah disertai
ulkus
Warna : kemerahan
Palpasi
Suhu : febris
Batas : jelas
Mudah digerakkan/tidak : tidak mudah digerakkan
Permukaan : pipi bawah kiri terdapat ulkus
Konsistensi : kenyal
Nyeri tekan : (+)
Fluktuasi : (+)
Ukuran : P 14 x L 10,5 X T 10 mm
Kelenjar getah bening : teraba dan sakit
b) Intra Oral
Inspeksi
Trismus : (+) 2 jari
Kelainan : gangren radix regio 34˅
Lokasi : posterior bawah kiri
Warna : kemerahan
Palpasi
Suhu : febris
Batas : tidak jelas
Permukaan : normal
Mudah digerakkan/tidak: tidak mudah digerakkan
Konsistensi : kenyal
Fluktuasi : (-)
Nyeri tekan : (+)
Ukuran : -
Keterangan
Bibir atas : normal
Bibir bawah ; normal
OH : buruk
Gingival : kemerahan di regio post. bawah kiri
Oklusi : normal
Palatum : normal
Mukosa pipi ki & ka : pembengkakan pipi kiri
Dasar mulut : normal
Status lokalis gigi
11 karies mencapai dentin
38 impaksi
34˅gangren radix
31 karies mencapai dentin
V. Pemeriksaan penunjang
a) Ro Foto : panoramic
Kesan foto : gambaran radiolusen berbatas difus pada apeks gigi
34˅
b) Punksi aspirasi : + warna coklat
c) Pemeriksaan lab : Hemoglobin = 10,9
Leukosit = 6.800
Hematokrit = 33
Trombosit = 303.000
d) Pemeriksaan PA : -
VI. Diagnosa
a) Diagnosa Utama : Abses submandibula sinistra
VII. Diferensial Diagnosa : Flegmon
VIII. Prognosa : Baik, jika dilakukan drainase, pencabutan 34˅ dan 38
IX. Rencana Terapi :
a. Hospitalisasi : pemberian infuse, perbaikan keadaan umum
b. Evakuasi pus bila memungkinkan
c. Pencabutan gigi causa 34˅ dan 38
X. Rujukan : Internis (Dokter Sp. Penyakit Dalam, Jantung, Paru,
Anestesi)
XI. Perawatan :
TANGGAL PERAWATAN
27 - 12 -14 IVFD RL 20 tpm
Observasi TD, S, N, Rr
GDS = 158 mg/dl
GDPP = 164 mg/dl
28 - 12 - 14 IVFD RL + inj. Ketorolac 20 tpm
Cek lab., GDN, GDPP
GDP = 159 mg/dl
GV (+)
29 - 12 - 14 IVFD RL + inj. Ketorolac 20 tpm
Visit pasien H-1 operasi :
Pasien puasa 24 jam
Co anestesi acc operasi
Co jantung acc operasi
Cek GDN, GDPP
GDPP : 138 mg/dl
GDS : 140 mg/dl
Observasi TD, S, N, Rr
GV (+)
30 - 12 - 14 Operasi :
IVFD RL + inj. Ketorolac 20 tpm
GDPP : 152 mg/dl
Anestesi umum
Ekstraksi gigi 34˅ dan 38, penjahitan
Drainase (evaluasi pus)
Tutup dengan perban
Pemberian obat :
Metronidazol 500 mg no. III
Ketorolac 30 inj. no. III
Ranitidin inj. no. III
Clanexin inj. no. III
31 - 12 -14 IVFD RL + inj. Xevolac 16 tpm
GV (+) dengan rivanol, betadine
GDS : 153 mg/dl
01 - 01 - 15 IVFD RL + inj. xevolac 16 tpm
Observasi TD, S, N, Rr
GDS : 161 mg/dl
GV (+) dengan rivanol, betadine
Pemberian obat :
Metro drip 500 mg 3x1
Inj. xevolac 3x1
Inj. ranitidin 2x1
Inj. clanexin 3x1 gr
02 - 01 – 15 IVFD RL 20 tpm
GDS : 131 mg/dl
GV (+) dengan rivanol. Betadine
Pemebrian obat :
R/ Amoxicilin 500 mg no. XV
ʃ 3 dd 1 tab.
R/ Metronidazol no. X
ʃ 3 dd 1 tab.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah
submandibula.1,2 Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam (deep
neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses
infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan
infeksi dari ruang leher dalam lain.2 Angka morbiditas dari komplikasi yang timbul akibat
abses submandibula masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan
tepat sangat dibutuhkan.1
B. ANATOMI RUANG SUBMANDIBULA
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual, submaksila dan submental. Muskulus
milohioid memisahkan ruang sublingual dengan ruang submental dan submaksila.2,3 Ruang
sublingual dibatasi oleh mandibula di bagian lateral dan anterior, pada bagian inferior oleh m.
milohioid, di bagian superior oleh dasar mulut dan lidah, dan di posterior oleh tulang hioid.
Di dalam ruang sublingual terdapat kelenjer liur sublingual beserta duktusnya.2
\
Gambar 1. Ruang Submandibula
Ruang submental di anterior dibatasi oleh fasia leher dalam dan kulit dagu, di bagian
lateral oleh venter anterior m. digastrikus, di bagian superior oleh m.milohioid, di bagian
inferior oleh garis yang melalui tulang hyoid. Di dalam ruang submental terdapat kelenjer
limfa submental. Ruang maksila bagian superior dibatasi oleh m.milohioid dan m.
hipoglossus. Batas inferiornya adalah lapisan anterior fasia leher dalam, kulit leher dan dagu.2
Batas medial adalah m. digastrikus anterior dan batas posterior adalah m. stilohioid dan m.
digastrikus posterior. Di dalam ruang submaksila terdapat kelenjer liur submaksila atau
submandibula beserta duktusnya. Kelenjar limfa submaksila atau submandibula beserta
duktusnya berjalan ke posterior melalui tepi m. milohioid kemudian masuk ke ruang
sublingual. Akibat infeksi pada ruang ini mudah meluas dari satu ruang ke ruang lainnya.2
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibular dan
membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila saja. Abses dapat
terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi
dari daerah kepala leher.Ruang submandibula berhubungan dengan beberapa struktur
didekatnya(gambar 4), oleh karena itu abses submandibula dapat menyebar ke struktur
didekatnya.
Gambar 2. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan sagital.Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal space; CS: carotid space;
MS: masticatory space. SMG: submandibular gland;GGM: genioglossus muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle;MPM: medial pterygoid muscle; LPM: lateral
pterygoid muscle; TM: temporalmuscle
C. ETIOLOGI
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula.
Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain. Sebanyak 61% kasus abses
submandibula disebabkan oleh infeksi gigi.1-4
Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari mandibula, jika
apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid.4 infeksi dari gigi dapat
menyebar ke ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu secara langsung melalui
pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual dan periostitis.3
Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik
kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Pada kebanyakan membran mukosa,
kuman anaerob lebih banyak dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan
perbandingan mulai 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, orofasial, dan
abses leher, kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus sp.
Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber infeksinya.
Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman flora normal di saluran
nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih
dominan kuman anaerob seperti, Prevotella, Fusobacterium spp,.
D. PATOGENESIS
Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.
Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Apabila penyebaran abses melalui gigi
awal penjalarannya dari iritatio pulpa dapat berlanjut menjadi hyperaemia pulpa kemudian
infeksi menjalar ke ruang pulpa menjadi pulpitis, jika dibiarkan akan menjadi gangren pulpa.
Selanjutnya jika dibiarkan dapat menjadi periapikal abses. Penyebaran infeksi dapat meluas
melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula dapat meluas ke
ruang mastikator kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat
langsung dari submandibular space. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial
lainnya, seperti jantung, paru-paru. Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa
jalan yaitu limfatik, melalui celah antara ruang leher dalam.
E. GEJALA KLINIS
Pada abses submandibula didapatkan pembengkakan di dasar lidah dari anterior sampai
posterior baik unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeri tenggorokan dan trismus
yang dapat terjadi karena riwayat infeksi dan paska pencabutan gigi. Pembengkakan dapat
berfluktuasi atau tidak.2
Gambar 2. Abses Submandibula
F. DIAGNOSIS
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dibutuhkan sehingga causa dari abses
submandibula dapat diketahui sehingga membutuhkan penanganan yang melibatkan
konsultasi ke spesialisasi yang terkait. Pasien biasanya akan mengeluhkan demam, disertai
gangguan fungsi penelanan, dan sesak nafas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya
pembengkakan di daerah submandibula dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material yang
bernanah atau purulent (merupakan tanda khas).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat berperan dalam menegakkan diagnosis. Pada foto USG
soft tissue leher anteroposterior dan lateral didapatkan gambaran pembengkakan jaringan
lunak, cairan di dalam jaringan lunak, udara di subkutis dan pendorongan trakea.
Ultrasonografi (USG) adalah pemeriksaan penunjang diagnostik yang tidak invasif
dan relatif lebih murah cepat dan dapat menilai lokasi dan perluasan abses.
Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya abses pada gigi.
Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses leher dalam yang diduga sumber
infeksinya berasal dari gigi. Pemeriksaan darah rutin dapat melihat adanya peningkatan
leukosit yang merupakan tanda infeksi.2
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan lab berguna untuk mengetahui keadaan umum pasien sebagai
pertimbangan sebelum melakukan tindakan perawatan pada pasien. Pertama, kita dapat
melakukan pemeriksaan hematologi (pemeriksaan darah lengkap) yaitu Hb, leukosit,
trombosit, dan hematokrit.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Rontgen panoramik: Dilakukan apabila penyebab abses submandibula berasal dari
gigi.
b. Rontgen thoraks: Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum.
G. DIFFERENTIAL DIAGNOSA
a. Limfadenitis Submandibula
Gambar 3. Pasien dengan limfadenitis submandibula
Limfadenitis submandibula yang umum ditemui adalah :
1. Kelenjar getah bening membesar/membengkak (terjadi benjolan), biasanya
lunak dan keras, terasa sakit.
2. Kulit di sepanjang kelenjar yang terinfeksi tampak kemerahan dan terasa
hangat
3. Demam.
4. Terbentuk kantung berisi nanah (abses). Kelenjar getah bening yang terus
membesar namun tidak menyebabkan nyeri atau kemerahan justru bisa mengindikasikan
gangguan serius lainnya, seperti limfoma (kanker sel darah putih) atau tuberkulosis.
5. Untuk pengobatan, umumnya akan dilakukan biopsi atau pengangkatan dan penelitian
pada contoh jaringan. Istirahat yang cukup, makanan sehat dan lingkungan yang bersih
dapat mencegah terjadinya limfadenitis. Jika tidak segera diobati, benjolan akan semakin
besar dan berbahaya.
b. Flegmon
Gambar 4. Pasien dengan flegmon
Flegmon yang umum ditemui adalah :
1. Proses selulitis pada submandibular space (bukan merupakan abses)
2. Keterlibatan dari submandibular space baik unilateral atau bilateral
3. Adanya gangren dengan keluarnya cairan serosa (kuning, pucat dan transparan) yang
4. meragukan ketika dilakukan insisi dan tidak jelas apakah itu adalah pus
5. Mengenai fascia, otot, jaringan ikat, dan sedikit jaringan kelenjar
6. Penyebaran secara lansung dan tidak ada penyebaran secara limfatik
H. PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis abses submandibula dikatakan baik apabila dapat didiagnosis
secara dini dengan penanganan yang tepat, keadaan umum pasien membaik ( pasien tidak ada
kelainan sistemik ), menghilangkan faktor etiologi (mencabut gigi penyebab infeksi) dan
kerja sama yang baik (kooperatif) dari pasien terhadap instruksi dan rencana perawatan yang
dilakukan.
I. PENATALAKSANAAN
Penanganan abses submandibula yakni dengan hospitalisasi dengan terpasangnya infus,
perbaikan keadaan umum, pemberian obat-obatan yang adequat kemudian rujuk ke bidang
spesialisasi terkait untuk memantau keadaan terkini pasien. Terapi yang diberikan pada abses
submandibula adalah :
1. Pemberian Obat
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji
kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya
diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik kombinasi (mencakup
terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif) adalah pilihan terbaik
mengingat kuman penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah efektifitas obat terhadap kuman target,
risiko peningkatan resistensi kuman minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan
masa kerja yang lebih lama.
Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan antibiotik
terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama
untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil
kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob secara
empiris. Yang SW, dkk melaporkan pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam,
yaitu; Kombinasi penesilin G, klindamisin dan gentamisin, kombinasi ceftriaxone dan
klindamisin, kombinasi ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi cefuroxime dan
klindamisin, kombinasi pinisilin dan metronidazole, masingmasing didapatkan angka
perlindungan (keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%, 61,9%. Avest ET, dkk, memberikan
antibiotik empiris, kombinasi metronidazole dengan ceftriaxone.
Penesilin G merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus dan
stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamisin menunjukkan efek
sinergis dengan pinisilin. Klindamisin efektif terhadap streptokokus, pneumokokus dan
stafilokokus yang resisten terhadap penisilin. Lebih khusus pemakaian klindamisin pada
infeksi polimicrobial termasuk Bacteroides sp maupun kuman anaerob lainnya pada daerah
oral.
Pada kultur didapatkan kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole, klindamisin,
carbapenem, sefoxitin, atau kombinasi penisilin dan βlactam inhibitor merupakan obat
terpilih. Metronidazole juga efektif sebagai amubisid. Aminoglikosida, quinolone atau
cefalosforin generasi ke III dapat ditambahkan jika terdapat kuman enterik gram negatif.
Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang lebih baik terhadap gram negatif
enterik. Dibanding dengan cefalosporin generasi I, generasi III kurang efektif terhadap
kokus gram positif, tapi sangat efektif terhadap Haemofillus infeluenza, Neisseria sp dan
Pneumokokus. Ceftriaxone dan cefotaxime mempunyai efektifitas terhadap streptokokus.
Ceftriaxone sangat efektif terhadap gram negatif dan Haemofillus sp, kebanyakan
Streptococcus pneumonia dan Neisseriae sp yang resisiten terhadap penesilin.
2. Evakuasi pus dalam abses
Evakuasi pus dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada
tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses.2
Gambar 4. Insisi abses submandibula
3. Pencabutan gigi causa abses mandibula
4. Pasien dirawat inap hingga gejala dan tanda infeksi reda.2
BAB 1V
KESIMPULAN
Abses submandibula di defenisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang potensial
di regio submandibula yang disertai dengan nyeri tenggorok, demam dan terbatasnya gerakan
membuka mulut. Penjalaran infeksi abses submandibula dapat terjadi dari berbagai sumber,
seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda
klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Infeksi
yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti, Prevotella,
Fusobacterium spp,.
Penanganan abses submandibula yakni dengan hospitalisasi dengan terpasangnya
infus, perbaikan keadaan umum, pemberian obat-obatan yang adequat kemudian rujuk ke
bidang spesialisasi terkait untuk memantau keadaan terkini pasien. Apabila keadaan umum
membaik dan memungkinkan dilakukan tindakan evakuasi pus dan pengambilan causa abses
(gigi impaksi).
DAFTAR PUSTAKA
1. Inggrid Hesly, Nico Lumintang, Hilman Limpeleh. PROFIL ABSES SUBMANDIBULA DI BAGIAN BEDAH RS Prof. Dr. R. D. KANDO MANADO PERIODE JUNI 2009 SAMPAI JULI 2012
2. Novialdi, Ade Asyari. Penatalaksanaan Abses Submandibula dengan Penyulit Uremia dan Infark Miokardium Lama. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang. 2010
3. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 7. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8
4. Neville, Damm, Allen and Bouquot. Oral and Maxillofacial Pathology. Third Edition. Saunders Elseveiers. 2008