kasus nenek pencuri kakao
TRANSCRIPT
Ulasan Kasus Ketidaksesuaian Aplikasi Hukum Pidana di Indonesia
Kasus Nenek Pencuri Kakao
Aplikasi dan interprestasi asas Equality Before The Law memang tidak
pernah terasa adil. Pengertian mendasar dari equality before the law adalah hak
untuk mendapatkan perlakuan dan prosedur yang sama. Tapi hal ini tidak berarti
hukum harus memperlakukan orang dengan sama persis. Hukum memang
mendiskriminasi, kadang dengan alasan yang baik dan kadang tidak.
Kadang dalam interprestasinya sendiri equality before the law selalu tidak
sesuai dengan pengertian dasarnya. Proses dan prosedurnya terhadap semua warga
negara di depan hukum selalu disesuaikan dengan kondisi yang melatarbelakangi
jati diri dari pihak-pihak yang terkait dengan masalah atau kasus hukum yang
sedang dihadapi. Ini bisa menjadi alternative alasan untuk melakukan diskriminasi
dalam prosedur hukum.
Para ahli sosiologi hukum memberikan perhatian yang besar terhadap
hubungan antara hukum dengan perlapisan sosial ini. Mereka melihat bahwa
dengan terjadinya perlapisan sosial maka hukum pun susah untuk
mempertahankan netralitas atau kedudukannya yang tidak memihak. perlapisan
sosial ini merupakan kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu bersifat
diskriminatif, baik pada peraturan-peraturannya sendiri, maupun melalui
penegakkannya.1
Permasalahan penegakan hukum ini masih menjadi isu atau permasalahan
yang sangat mengakar dalam pelaksanaan hukum di Indonesia. Banyak kalangan
menilai bahwa hukum hanya berlaku untuk kalangan bawah saja. Sementara itu
kalangan atas nyaris tak tersentuh oleh hukum. Terutama untuk kasus korupsi
yang melibatkan pejabat dan pengusaha kelas atas. Kredo ini terbukti dari
beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini seperti pencurian semangka di Kediri
dan pencurian biji kakao oleh seorang nenek tua.
Nenek Minah (55), warga Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang
Banyumas Jawa Tengah dijerat pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, P.T Citra Aditya, Bandung, 2000, hal 27.
tentang pencurian dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara karena
kasus pencurian tiga biji kakao yang dilaksanakannya. Padahal pada saat kejadian,
Nenek Minah telah mengembalikan biji kakao tersebut serta mengajukan
permintaan maaf pada mandor yang menangkapnya. Dalam pembelaan yang
disampaikan secara langsung dia meminta agar hakim tidak menghukumnya.
Nenek Minah menyatakan bahwa ia mencuri biji kakao untuk ditanam kembali,
oleh karena itu ia mohon pada Hakim agar ia dibebaskan. Permintaan Nenek
Minah dikabulkan majelis hakim, asalkan dalam 30 hari ke depan tidak
melakukan perbuatan yang melanggar hukum pidana.
Kasus nenek Minah ini merupakan suatu fenomena yang menarik, dimana
masyarakat sering membandingkannya dengan fenomena korupsi, kurang lebih
sering dianggap sama dengan tindak pidana pencurian, namun oleh masyarakat
kelas atas, yang mana seringkali meloloskan pelakunya dengan alasan kurang
bukti. Sedangkan pada kasus nenek Minah, simbol masyarakat kelas bawah,
hukum berlaku tegas dan Nenek Minah harus menghadapi pengadilan oleh upaya
pencurian yang tidak seberapa nilainya.
Ditinjau dari sudut pandang teori hukum, meskipun sebenarnya rasa
keadilan tidak terpenuhi, dalam hal ini tindakan yang dilakukan Nenek Minah
telah memenuhi unsur-unsur yang ada pada pasal 362 KUH Pidana, yaitu barang
sesuatu, seluruhnya atau sebagian milik orang lain dengan maksud untuk melawan
hukum. Sehingga patut diancam oleh hukuman lima tahun penjara sebagaimana
yang dinyatakan dalam pasal 362 KUH Pidana. Namun, hal ini tentu saja tidak
sesuai dengan rasa keadilan dimana nilai barang yang diperkarakan terlalu kecil,
selain itu usia pelaku yang sudah lanjut mengundang keprihatinan tersendiri.
Dalam perkara ini, Majelis Hakim bertindak bijaksana dengan memberikan
keringanan terhadap Nenek Minah, dimana Nenek Minah dibebaskan asalkan
dalam masa 30 hari tidak melakukan tindak pidana. Keputusan Majelis Hakim ini
dalam landasan teori hukum sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ronald
Dworkin. Dimana Ronald Dworkin berpendapat bahwa elemen yang terdiri dari
berbagai prinsip di dalam hukum yang dijadikan pertimbangan moral tentang apa
yang baik dan yang buruk yang dibuat hakim untuk menjustifikasi bahwa itulah
elemen unsur teori hukum terbaiknya. Berkaca dari kasus Nenek Minah, Majelis
Hakim lebih mempertimbangkan unsur moral dimana Nenek Minah sudah
mengembalikan barang curian, meminta maaf kepada korban pencurian, nilai
barang yang dicuri yang tidak seberapa, dan juga pertimbangan kemanusiaan
bahwa usia nenek Minah telah lanjut. Pertimbangan ini dirasa lebih memenuhi
unsur keadilan, bukan hanya pertimbangan substansi hukum saja. Bila berpegang
pada teori yang diungkapkan Hart, dimana perangkat aturan merupakan hal yang
terpenting tanpa memperhatikan kesadaran hukum dari masyarakat untuk
menerima hukum itu secara sukarela dari dalam dirinya sendiri, maka Nenek
Minah semestinya dihukum berat karena semua unsur dalam pasal 362 KUH
Pidana terpenuhi. Namun dari terminologi Dworkin, yang mengemukakan peran
struktur hukum, maka hal tersebut semestinya tidak terjadi. Petugas hukum
semestinya memberikan rasa keadilan terhadap masyarakat sehingga lebih bebas
menginterpretasikan unsur substansi hukum. Sebenarnya banyak kritik terhadap
Dworkin yang dinilai terlalu berfokus pada sudut pandang internal dari pihak-
pihak yang ada sebagai bagian dari praktek hukum. Bahkan dinyatakan para
pengkritik bahwa Hakim dalam pandangan Dworkin adalah seperti Hercules yang
dapat melakukan apa saja. Namun dalam kasus Nenek Minah, tindakan Majelis
Hakim dapat dibenarkan berdasarkan teori Dworkin dan keputusan yang diambil
amat tepat dan memenuhi rasa keadilan bersama.
Bagaimanapun juga perlu dilaksanakan suatu langkah lebih lanjut untuk
memenuhi rasa keadilan penegakan hukum di Indonesia. Dimana hukum yang
berlaku bisa memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, bukan hanya tegas
terhadap kalangan bawah saja, akan tetapi sulit menjangkau kalangan atas, namun
berlaku secara adil untuk seluruh masyarakat Indonesia.