kasus nenek pencuri kakao

5
Ulasan Kasus Ketidaksesuaian Aplikasi Hukum Pidana di Indonesia Kasus Nenek Pencuri Kakao Aplikasi dan interprestasi asas Equality Before The Law memang tidak pernah terasa adil. Pengertian mendasar dari equality before the law adalah hak untuk mendapatkan perlakuan dan prosedur yang sama. Tapi hal ini tidak berarti hukum harus memperlakukan orang dengan sama persis. Hukum memang mendiskriminasi, kadang dengan alasan yang baik dan kadang tidak. Kadang dalam interprestasinya sendiri equality before the law selalu tidak sesuai dengan pengertian dasarnya. Proses dan prosedurnya terhadap semua warga negara di depan hukum selalu disesuaikan dengan kondisi yang melatarbelakangi jati diri dari pihak-pihak yang terkait dengan masalah atau kasus hukum yang sedang dihadapi. Ini bisa menjadi alternative alasan untuk melakukan diskriminasi dalam prosedur hukum. Para ahli sosiologi hukum memberikan perhatian yang besar terhadap hubungan antara hukum dengan perlapisan sosial ini. Mereka melihat bahwa dengan terjadinya perlapisan sosial maka hukum pun susah untuk mempertahankan netralitas atau kedudukannya yang tidak memihak. perlapisan sosial ini merupakan kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu bersifat diskriminatif, baik pada

Upload: kiki-sidharta-taha

Post on 25-Jul-2015

821 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kasus Nenek Pencuri Kakao

Ulasan Kasus Ketidaksesuaian Aplikasi Hukum Pidana di Indonesia

Kasus Nenek Pencuri Kakao

Aplikasi dan interprestasi asas Equality Before The Law memang tidak

pernah terasa adil. Pengertian mendasar dari equality before the law adalah hak

untuk mendapatkan perlakuan dan prosedur yang sama. Tapi hal ini tidak berarti

hukum harus memperlakukan orang dengan sama persis. Hukum memang

mendiskriminasi, kadang dengan alasan yang baik dan kadang tidak.

Kadang dalam interprestasinya sendiri equality before the law selalu tidak

sesuai dengan pengertian dasarnya. Proses dan prosedurnya terhadap semua warga

negara di depan hukum selalu disesuaikan dengan kondisi yang melatarbelakangi

jati diri dari pihak-pihak yang terkait dengan masalah atau kasus hukum yang

sedang dihadapi. Ini bisa menjadi alternative alasan untuk melakukan diskriminasi

dalam prosedur hukum.

Para ahli sosiologi hukum memberikan perhatian yang besar terhadap

hubungan antara hukum dengan perlapisan sosial ini. Mereka melihat bahwa

dengan terjadinya perlapisan sosial maka hukum pun susah untuk

mempertahankan netralitas atau kedudukannya yang tidak memihak. perlapisan

sosial ini merupakan kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu bersifat

diskriminatif, baik pada peraturan-peraturannya sendiri, maupun melalui

penegakkannya.1

Permasalahan penegakan hukum ini masih menjadi isu atau permasalahan

yang sangat mengakar dalam pelaksanaan hukum di Indonesia. Banyak kalangan

menilai bahwa hukum hanya berlaku untuk kalangan bawah saja. Sementara itu

kalangan atas nyaris tak tersentuh oleh hukum. Terutama untuk kasus korupsi

yang melibatkan pejabat dan pengusaha kelas atas. Kredo ini terbukti dari

beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini seperti pencurian semangka di Kediri

dan pencurian biji kakao oleh seorang nenek tua.

Nenek Minah (55), warga Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang

Banyumas Jawa Tengah dijerat pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, P.T Citra Aditya, Bandung, 2000, hal 27.

Page 2: Kasus Nenek Pencuri Kakao

tentang pencurian dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara karena

kasus pencurian tiga biji kakao yang dilaksanakannya. Padahal pada saat kejadian,

Nenek Minah telah mengembalikan biji kakao tersebut serta mengajukan

permintaan maaf pada mandor yang menangkapnya. Dalam pembelaan yang

disampaikan secara langsung dia meminta agar hakim tidak menghukumnya.

Nenek Minah menyatakan bahwa ia mencuri biji kakao untuk ditanam kembali,

oleh karena itu ia mohon pada Hakim agar ia dibebaskan. Permintaan Nenek

Minah dikabulkan majelis hakim, asalkan dalam 30 hari ke depan tidak

melakukan perbuatan yang melanggar hukum pidana.

Kasus nenek Minah ini merupakan suatu fenomena yang menarik, dimana

masyarakat sering membandingkannya dengan fenomena korupsi, kurang lebih

sering dianggap sama dengan tindak pidana pencurian, namun oleh masyarakat

kelas atas, yang mana seringkali meloloskan pelakunya dengan alasan kurang

bukti. Sedangkan pada kasus nenek Minah, simbol masyarakat kelas bawah,

hukum berlaku tegas dan Nenek Minah harus menghadapi pengadilan oleh upaya

pencurian yang tidak seberapa nilainya.

Ditinjau dari sudut pandang teori hukum, meskipun sebenarnya rasa

keadilan tidak terpenuhi, dalam hal ini tindakan yang dilakukan Nenek Minah

telah memenuhi unsur-unsur yang ada pada pasal 362 KUH Pidana, yaitu barang

sesuatu, seluruhnya atau sebagian milik orang lain dengan maksud untuk melawan

hukum. Sehingga patut diancam oleh hukuman lima tahun penjara sebagaimana

yang dinyatakan dalam pasal 362 KUH Pidana. Namun, hal ini tentu saja tidak

sesuai dengan rasa keadilan dimana nilai barang yang diperkarakan terlalu kecil,

selain itu usia pelaku yang sudah lanjut mengundang keprihatinan tersendiri.

Dalam perkara ini, Majelis Hakim bertindak bijaksana dengan memberikan

keringanan terhadap Nenek Minah, dimana Nenek Minah dibebaskan asalkan

dalam masa 30 hari tidak melakukan tindak pidana. Keputusan Majelis Hakim ini

dalam landasan teori hukum sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ronald

Dworkin. Dimana Ronald Dworkin berpendapat bahwa elemen yang terdiri dari

berbagai prinsip di dalam hukum yang dijadikan pertimbangan moral tentang apa

yang baik dan yang buruk yang dibuat hakim untuk menjustifikasi bahwa itulah

Page 3: Kasus Nenek Pencuri Kakao

elemen unsur teori hukum terbaiknya. Berkaca dari kasus Nenek Minah, Majelis

Hakim lebih mempertimbangkan unsur moral dimana Nenek Minah sudah

mengembalikan barang curian, meminta maaf kepada korban pencurian, nilai

barang yang dicuri yang tidak seberapa, dan juga pertimbangan kemanusiaan

bahwa usia nenek Minah telah lanjut. Pertimbangan ini dirasa lebih memenuhi

unsur keadilan, bukan hanya pertimbangan substansi hukum saja. Bila berpegang

pada teori yang diungkapkan Hart, dimana perangkat aturan merupakan hal yang

terpenting tanpa memperhatikan kesadaran hukum dari masyarakat untuk

menerima hukum itu secara sukarela dari dalam dirinya sendiri, maka Nenek

Minah semestinya dihukum berat karena semua unsur dalam pasal 362 KUH

Pidana terpenuhi. Namun dari terminologi Dworkin, yang mengemukakan peran

struktur hukum, maka hal tersebut semestinya tidak terjadi. Petugas hukum

semestinya memberikan rasa keadilan terhadap masyarakat sehingga lebih bebas

menginterpretasikan unsur substansi hukum. Sebenarnya banyak kritik terhadap

Dworkin yang dinilai terlalu berfokus pada sudut pandang internal dari pihak-

pihak yang ada sebagai bagian dari praktek hukum. Bahkan dinyatakan para

pengkritik bahwa Hakim dalam pandangan Dworkin adalah seperti Hercules yang

dapat melakukan apa saja. Namun dalam kasus Nenek Minah, tindakan Majelis

Hakim dapat dibenarkan berdasarkan teori Dworkin dan keputusan yang diambil

amat tepat dan memenuhi rasa keadilan bersama.

Bagaimanapun juga perlu dilaksanakan suatu langkah lebih lanjut untuk

memenuhi rasa keadilan penegakan hukum di Indonesia. Dimana hukum yang

berlaku bisa memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, bukan hanya tegas

terhadap kalangan bawah saja, akan tetapi sulit menjangkau kalangan atas, namun

berlaku secara adil untuk seluruh masyarakat Indonesia.