kasus ambalat-makalah pancasila 2

30
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perbatasan wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan pelaksanaan konsepsi wawasan nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita yang menayangkan berbagai persengketaan wilayah antar Negara, mulai dari persengkataan wilayah oleh palestina dan Israel yang belum juga menemukan titik pemecahan sampai detik ini sampai masalah yang terjadi di wilayah Nusantara sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan ribuan pulau kecil, dan letaknya yang di antara dua benua dan dua samudra sangat rawan dengan akan adanya masalah perbatasan ini. Masalah perbatasan sudah 2 kali terjadi antara Indonesia dan Malaysia yaitu yang pertama persengketaan mengenai wilayah Sipadan dan Ligitan yang berujung dengan kemenangan oleh pihak Malaysia, dan kasus yang terbaru mengenai persengketaan atas wilayah Ambalat. Sebelum membahas mengenai perbatasan Ambalat dan kaitannya dengan konsep serta implementasi wawasan nusntara, ada baiknya kita kilas balik mengenai masalah Sipadan dan Ligitan sebagai acuan untuk masalah ini. 1

Upload: indahpurnamasarims

Post on 17-Dec-2015

68 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

kasus ambalat

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah perbatasan wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan pelaksanaan konsepsi wawasan nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita yang menayangkan berbagai persengketaan wilayah antar Negara, mulai dari persengkataan wilayah oleh palestina dan Israel yang belum juga menemukan titik pemecahan sampai detik ini sampai masalah yang terjadi di wilayah Nusantara sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan ribuan pulau kecil, dan letaknya yang di antara dua benua dan dua samudra sangat rawan dengan akan adanya masalah perbatasan ini. Masalah perbatasan sudah 2 kali terjadi antara Indonesia dan Malaysia yaitu yang pertama persengketaan mengenai wilayah Sipadan dan Ligitan yang berujung dengan kemenangan oleh pihak Malaysia, dan kasus yang terbaru mengenai persengketaan atas wilayah Ambalat. Sebelum membahas mengenai perbatasan Ambalat dan kaitannya dengan konsep serta implementasi wawasan nusntara, ada baiknya kita kilas balik mengenai masalah Sipadan dan Ligitan sebagai acuan untuk masalah ini.

Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan pertimbangan effectivitee, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata sebagai wujud kedaulatannya berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia hampir 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan. Pada pihak lain, Mahkamah menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur perbatasan darat dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 4 10' Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya, Mahkamah juga menolaak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).

Hampir tidak dapat dielakkan adanya rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya maksimal yang dilakukan oleh empat pemerintahan Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tidak membuahkan hasil seperti yang kita harapkan bersama. Suatu fakta penting yang perlu kita ketahui adalah UU No. 4 Tahun 1960 yang memuat peta Wawasan Nusantara kita dimana ditarik dengan garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia, kedua pulau Sipadan dan Ligitan berada diluar peta tersebut. Sementara itu perlu juga dicatat bahwa pihak Malaysia juga tidak memuat kedua pulau tersebut dalam peta-peta mereka hingga tahun 1979. Namun kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama mengajukan sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Mahkamah Internasional, yang ditandatangani pada tanggal 31 Mei 1997. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerima keputusan Mahkamah Internasional tersebut sebagai final dan mengikat.

(Pernyataan Pers Hassan Wirajuda Tentang Keputusan Kasus Sipadan dan Ligitan)

Belajar dari masalah Sipadan dan Ligitan maka diperlukan suatu pemahaman mengenai konsep kepulauan Indonesia yang lazim disebut dengan Wawasan Nusantara serta implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh yang terbentang dari ujung barat, sabang ke ujung timur, merauke.

B. Rumusan Masalah

1. Apa latar belakang ambalat menjadi rebutan Malaysia dan Indonesia?

2. Bagaimana Upaya Pemerintah Indonesia Mempertahankan Ambalat?

3. Apa Kaitan kasus Ambalat dengan Wawasan Nasional ?

4. Bagaimana Hikmah dan Solusi kasus Ambalat kaitannya dengan Implementasi Wawasan Nusantara ?

C. Tujuan

Mengetahui dan memahami tentang konflik perbatasan dan solusi penyelesaiannya serta kaitannya dengan implementasi wawasan nusantara.BAB II

PEMBAHASAN

A. Letak AmbalatAmbalat adalah blok laut seluas 15.235 Km2 yang terletak di laut Sulawesi atau Selat Makassar milik negara Indonesia sebagai negara kepulauan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penandatanganan Perjanjian Tapal Batas Kontinen Indonesia-Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang ditandatangani di Kuala Lumpur, telah diratifikasi pada tanggal 7 November 1969.[1] Hal ini kemudian menjadi dasar hukum bahwa Blok Ambalat berada di bawah kedaulatan Indonesia. Akan tetapi, letak geografis Blok Ambalat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, sehingga menimbulkan konflik perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia.

Entah dari mana kata awal Ambalat. Sebab tiba-tiba muncul menjadi berita di media massa nasional dan internasional. Ibarat artis dadakan, kawasan di perbatasan Indonesia Malaysia tersebut langsung populer. Bahkan sinarnya melebihi kesohoran induknya Kabupaten Nunukan.

Ada yang memahami Ambalat adalah singkatan dari Ambang Batas Laut. Tapi ternyata dalam wikipedia bahasa Indonesia tidak disebutkan demikian. Itu berarti Ambalat adalah kata tunggal. Lagi pula ada banyak perbatasan laut Indonesia dengan negeri tetangga selain dengan Malaysia seperti Singapura, Thailand, Vietnam dan Filipina. Tapi perbatasan laut itu tidak pernah disebut dengan kata Ambalat.

Di Malaysia, rakyat, pemerintah federal dan pihak kerajaan juga memakai kata Ambalat. Malah sering dibumbui dengan kalimat daerah kontroversi yang kaya minyak. Seolah-olah Malaysia ingin mengklaim bahwa negeri itu sudah diterima masuk dalam kawasan sengketa.

Yang tidak kita ketahui; apakah kata Ambalat itu sudah didaftarkan sebagai hak paten bahasa atau nama kawasan negeri Jiran? Sehingga suatu saat kelak kalau sengketa batas negara ini muncul di pengadilan internasional kita akan gelagapan lagi seperti pada sidang Pulau Sipadan dan Ligitan.

Dalam perkembangannya, Ambalat seolah-olah nama itu adalah sebuah daerah yang berpenduduk dan bermasyarakat. Ada tokoh masyarakat memberikan komentar di pemberitaan media dengan menyebut kalimat masyarakat Ambalat, padahal sebenarnya kawasan tersebut merupakan perairan lautan Selat Makassar atau laut Sulawesi alias sebelah Utara Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan.

Hamparan air 15.235 kilometer persegi. Tapi di sinilah dua negeri jiran ini kerap adu nyali. Saling ngotot, saling gertak, saling klaim. Ambalat, perairan yang terjepit antara Sulawesi dan Kalimantan itu adalah titik paling didih dalam hubungan Indonesia dengan Malaysia beberapa tahun terakhir. Malaysia sudah mengincarnya sejak 1979. Ketika negeri jiran itu menerbitkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan sebagai basis untuk mengukur zona ekonomi eksklusif mereka. Di dalam peta mereka, Ambalat masuk Malaysia.

Terang saja pemerintah Indonesia menepis klaim Malaysia. Soalnya, dari riwayata sejarahnya saja Ambalat masuk wilayah Kesultanan Bulungan (Kalimantan Timur) yang kini menjadi bagian dari Indonesia.

Membuka lembaran hukum laut internasional atau konvensi hukum laut PBB yang telah dituangkan dalam UU No.17 tahun 1984, ternyata Ambalat juga diakui dunia Internasional sebagai wilayah Indonesia. Anehnya, Malaysia tetap ngotot. Mereka mengirim kapal perangnya untuk patroli di perairan ini. Ada nelayan Indonesia melaut ditangkap dan dipukul, juga diusir.B. Latar Belakang Terjadinya Perebutan AmbalatLatar belakang yang memunculkan konflik perbatasan Ambalat yaitu Pemberian konsesi eksplorasi pertambangan di Blok ND7 dan ND6 dalam wilayah perairan Indonesia. Tepatnya di Laut Sulawesi, perairan sebelah timur Kalimantan oleh perusahaan minyak malaysia, petronas kepada PT Shell, pada tanggal16 Februari 2005. Padahal Pertamina dan Petronas sudah lama saling mengklaim hak atas sumber minyak dan gas di Laut Sulawesi dekat Tawau, Sabah yang dikenal dengan East Ambalat. Kedua perusahaan minyak dan gas itu sama-sama menawarkan hak eksplorasi ke perusahaan asing ( Yophiandi Kurniawan, www. tempo interaktif.com). Ambalat sebenarnya merupakan konflik kepentingan rezim neo-liberalisme dan neo-imperalisme yang terwakili berbagai serikat perusahaan minyak global yang ingin mengeksploitasi sumber daya minyak di gugus perairan Ambalat (East Ambalat). Yakni antara perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan ENI (Italia) yang telah menjalin kontrak dengan pemerintah Indonesia, diwakili Pertamina melawan perusahaan SHELL (Inggris-Belanda) yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia, yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia, yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni Petronas. Dalam catatan pengamat politik Riswanda Imawan, sengketa perairan Ambalat merupakan medan "pertempuran'' kepentingan antarperusahaan kapitalis minyak di atas untuk memperebutkan sumber daya minyak dan gas yang ada di dasar perairan Ambalat. Dalam konteks demikian sebenarnya konflik Ambalat adalah pertentangan kepentingan antarperusahaan minyak global dengan memanfaatkan politik intervensi pemerintah Malaysia yang mungkin memiliki sikap berani berkonflik melawan pemerintah Indonesia, yang saat ini lemah secara politik, ekonomi dan kekuatan persenjataan karena deraan praktik korupsi serta krisis ekonomi sejak akhir kekuasaan Orde Baru.

( Yuli Prasetyaningsih, http://www.balipost.co.id)Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia memperluas wilayahnya sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia yang telah "dicaplok" Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi. Adapun titik awal penarikan garis batas pengakuan dimulai dari garis pantai Pulau Sebatik, Kaltim.Salah satu bukti kesewenang-wenangan Malaysia yang lain adalah mencantumkan kawasan Karang Unarang ke dalam wilayah perairan Malaysia pada peta terbaru yang dikeluarkan pemerintahan pimpinan Perdana Menteri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Padahal selama ini Karang Unarang berada di kawasan Indonesia. Pengakuan tersebut kontan ditolak Indonesia. Alasannya, Malaysia bukan negara kepulauan dan hanya berhak atas 12 mil dari garis batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Patut diketahui, konsep Wawasan Nusantara atau status Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982 (UNCLOS 1982) (Ken/ Wan,[email protected]).

Masyarakat kawasan perbatasan sendiri seperti Nunukan, Tarakan dan Bulungan, baru mengetahui ada Ambalat di dekat rumah mereka. Selama ini yang mereka ketahui adalah Karang Unarang, sebuah kawasan prairan yang sering dimasuki kapal militer Malaysia.

Para nelayan di utara Kalimantan Timur sudah hafal mana kawasan lintasan untuk perahu motor mereka, yakni kawasan yang lebih dalam. Di sana banyak terdapat gusung alias gundukan pasir yang ketika air surut akan membuat kandas perahu atau kapal yang terjebak di situ.

Ketika ada kapal berbendera Malaysia dan kapal perang militer negeri Jiran itu terlihat memasuki perairan Indonesia di Karang Unarang tersebut, para nelayan umumnya memaklumi karena kemungkinan kapal tersebut menghindari gusung dan terpaksa meliuk memasuki perairan Indonesia.

Nah, pada posisi itulah kemudian muncul ketegangan di Indonesia. Seolah-olah terjadi pelanggaran yang disengaja oleh Tentara Diraja Malaysia. Pemberitaan media massa sering pula meningkatkan tensi kemarahan, sehingga melontarkan kata-kata perang.

Dalam setiap perundingan, Malaysia tetap berkeras bahwa Blok Ambalat merupakan bagian dari teritorinya. Bahkan mereka mengirimkan salinan nota diplomatik yang intinya memprotes kehadiran kekuatan TNI di Blok Ambalat.. Perasaan sakit hati masyarakat (bangsa) Indonesia tersebut sesungguhnya merupakan akumulasi kekecewaan dan tumpukan rasa sakit hati atas berbagai kebijakan pemerintah Malaysia yang begitu antikemanusiaan dan antipenghargaan martabat bangsa lain (khususnya bangsa Indonesia). Dari kasus TKI, di mana pemerintah Malaysia lebih banyak bertindak represif dan seolah menempatkan para TKI asal Indonesia sebagai "budak belian" yang disia-siakan. Juga kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan melalui keputusan ICJ (International Court Justice) tahun 2002, menjadi inspirasi sentimen nasionalisme bangsa ini.Perkembangan kasus Ambalat sendiri, saat ini telah menaikkan ketegangan hubungan diplomatik antara Malaysia dan Indonesia, meski dalam strategi politik media di Malaysia kasus klaim Ambalat sengaja ''didinginkan'' agar publik Malaysia tidak terlibat jauh dalam sengketa politik tersebut.C. Alasan Ambalat menjadi rebutanBlok Ambalat merupakan sebuah kawasan yang kaya dengan kandungan mineral. Kandungan minyak di dalamnya diperkirakan sebesar 421,61 juta barrell dan gas alamnya sekitar 3,3 triliyun kaki kubik. Melihat kondisi alam yang menguntungkan dari Ambalat sudah barang tentu setiap negara menginginkan bahwa kawasan itu menjadi bagian dari dari negaranya.

Tetapi Malaysia Sesungguhnya yang mereka incar bukan hanya keinginan memperluas batas wilayah negara, di sini ada kekayaan alam yang berlimpah di sini. Bahkan menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Manusia di Ambalat ada tambahan kandungan minyak dengan produksi 30.000 40.000 barel per hari.

Mengapa Ambalat jadi rebutan? Blok Ambalat dengan luas 15.235 kilometer persegi, ditengarai mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun. Bagi masyarakat perbatasan, Ambalat adalah asset berharga karena di sana diketahui memiliki deposit minyak dan gas yang cukup besar. Kelak, jika tiba waktunya minyak dan gas tersebut bisa dieksploitasi, rakyat di sana juga yang mendapatkan dampaknya.

Ambalat memang menjadi wilayah yang disengketakan oleh Malaysia dan Indonesia. Bahkan, pada 2005 sempat terjadi ketegangan di wilayah itu karena Angkatan Laut Indonesia dan Malaysia sama-sama dalam keadaan siap tempur.

Ahli geologi memperkirakan minyak dan gas yang terkandung di Ambalat ini mencapai Rp 4.200 triliun. Pemerintah melihat potensi ini. Dua perusahaan perminyakan raksasa diizinkan beroperasi di perairan Ambalat yang terbagi dalam tiga blok, yaitu East Ambalat, Ambalat, dan Bougainvillea, itu. Yaitu Eni Sp. A dan Chevron Pacific Indonesia.

Rupanya Malaysia juga tergiur dengan isi perut Ambalat. Dua blok penghasil minyak di Ambalat itu mereka beri nama Blok Y dan Z. Belakangan Malaysia menyebutnya dengan Blok ND6 dan ND7. Negara yang berupaya mengklaim Ambalat masuk ke wilayahnya ini pun belakangan meminta Petronas Carigali Sdn Bhd, perusahaan minyak dan gas lokal Malaysia, masuk Ambalat, pada 2002.

Dua tahun berselang Malaysia menggandeng Shell, perusahaan yang bernama lengkap Royal Dutch Shell plc., masuk Ambalat. Bermarkas di Den Haag, Belanda, dan London, Inggris, ini telah ada sejak 1928. Perusahaan berada pada peringkat empat swasta minyak dan gas di dunia. Di Indonesia Shell sudah hadir sejak 2005.

Indonesia, sebagai negara ASEAN yang memiliki wilayah paling luas tidak memiliki ambisi teritorial untuk mencaplok wilayah negara lain. Hal tersebut sangat berbeda dengan Malaysia yang rakus untuk memperluas wilayahnya. Kita semua sudah tahu bahwa titik-titik perbatasan darat Indonesia Malaysia di Pulau Kalimantan selalu digeser oleh Malaysia. Wilayah kita semakin sempit sementara wilayah Malaysia semakin luas.

Ambisi teritorial Malaysia tidak hanya dilakukan terhadap Indonesia. Kita tentu ingat Sipadan dan Ligitan yang lepas dari Indonesia hanya karena Malaysia membangun kedua pulau tersebut sedangkan Indonesia yang menjunjung kejujuran dengan tidak membangun wilayah yang dipersengketakan dikalahkan oleh hakim-hakim Mahkamah Internasional. Bukan hanya Sipadan dan Ligitan yang dibangun oleh Malaysia. Kepulauan Spratley yang menjadi sengketa banyak negara (a.l. Malaysia, China, Vietnam, Philipina) juga dibangun oleh Malaysia. Mungkin Malaysia ingin mengulang kisah suksesnya dalam menganeksasi Sipadan dan Ligitan.

D. Dasar Hukum Kepemilikan Ambalat

Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan merupakan sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Hal ini dikarenakan usaha-usaha untuk memasukkan rezim kepulauan selama diadakan Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930 dan Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 selalu mengalami kegagalan. Di samping tidak adanya kesepakatan mengenai pengertian negara kepulauan, kegagalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai kepentingan antarnegara, khususnya negara-negara maritim besar yang ingin terus menancapkan hegemoninya di wilayah laut.

Mochtar Kusumaatmadja (2003) menyebutkan, sekurang-kurangnya ada empat golongan yang berkepentingan dengan prinsip-prinsip negara kepulauan, yaitu: Pertama, negara-negara tetangga, yakni anggota-anggota ASEAN dan negara-negara tetangga lainnya, termasuk Australia. Kedua, negara yang berkepentingan terhadap perikanan dan pemasangan kabel komunikasi di dasar laut, seperti Jepang yang melakukan kegiatan perikanan di Perairan Indonesia sejak sebelum perang. Ketiga, negara maritim yang berkepentingan terhadap lalu lintas pelayaran laut. Dalam golongan ini termasuk negara- negara Eropa Barat yang memiliki armada niaga besar dan maju. Keempat, negara maritim besar yang mempunyai kepentingan terhadap strategi militer, seperti Amerika Serikat dan Rusia.

Sementara itu jauh sebelum bergabungnya Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritus sebagai negara pendukung asas-asas kepulauan pada akhir tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan suatu deklarasi tentang wilayah Perairan Indonesia yang dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini mengubah batas laut teritorial Indonesia dari 3 mil berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 menjadi 12 mil. Artinya, bagian laut yang sebelumnya termasuk laut lepas (high seas), sekarang menjadi laut teritorial Indonesia, seperti Laut Jawa yang terletak antara Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa.

Untuk memperkuat Deklarasi Djuanda 1957 dan melaksanakan konsepsi Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Perpu Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang kemudian diganti oleh UndangUndang No 6/1996. Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi negara kepulauan akhirnya mendapat pengakuan pada Konvensi Hukum Laut 1982.

Dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV UNCLOS 1982 yang berisi 9 pasal, bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini memiliki arti penting karena selama 25 tahun secara terus-menerus Pemerintah Indonesia memperjuangkan asas-asas negara kepulauan. Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah yang utuh sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam TAP MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menjadi dasar bagi perwujudan kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.

Berdasarkan informasi yang berkembang, mencuatnya konflik Malaysia-Indonesia di Perairan Sulawesi disebabkan salah satunya oleh kesalahan Malaysia dalam melakukan penarikan garis pangkal (base line) pascasidang kasus Sipadan-Ligitan. Sejak beralihnya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, pihak Pemerintah Malaysia menempatkan dirinya sebagai negara kepulauan (archipelagis state), yang kemudian menggunakan garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baseline) dalam penentuan batas wilayahnya sehingga wilayah perairannya menjorok jauh ke selatan, mengambil wilayah perairan Indonesia.

Dengan dasar itu, materi yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah Malaysia merupakan negara kepulauan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UNCLOS 1982?

Secara umum, definisi yang diberikan UNCLOS 1982 terhadap negara kepulauan ialah negara-negara yang terdiri atas seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan. Selanjutnya ditentukan, bahwa yang dimaksud dengan kepulauan adalah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling bersambungan (inter-connecting water) dan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang demikian erat sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis, dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai demikian (Pasal 47). Dengan demikian, Malaysia tidak dibenarkan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan karena mereka tidak berstatus sebagai negara kepulauan.

Selain itu, klaim Malaysia juga didasarkan pada konsepsi Landasan Kontinen (continental shelf) yang merupakan kelanjutan alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratannya sampai pada ujung luar dari tepian kontinen atau sampai pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal. Ironisnya, lagi- lagi Malaysia keliru, karena Indonesia sebagai negara kepulauan yang berhak melakukan penarikan garis pangkal dari ujung luar batas pulau-pulaunya, maka batas laut teritorial bagian utara pulau Jawa berada di Lautan Sulawesi.

( Tridoyo Kusumanstanto, http://www.kompas.com) E. Hikmah dan Solusi Kasus Ambalat Kaitannya dengan Implementasi Wawasan NusantaraUntuk mencari alternatif jalan keluar bagi masalah ini, kami akan memulai dengan melihat bagaimana reaksi sangat keras muncul dari masyarakat Indonesia terhadap isu ini. Padahal di Malaysia, menurut Menlu Malaysia dalam wawancaranya dengan Gatra, masyarakatnya tenang-tenang saja dan menyerahkan persoalan sepenuhnya di tangan pemerintah. Memakai pemikiran Shriver dalam bukunya An Ethics for Enemis: Forgivenessin Politics , reaksi keras semacam ini bisa dikatakan sebagai akibat memori kolektif sejarah kekalahan Indonesia terhadap Malaysia. Memori masa konfrontasi dengan Malaysia di zaman Sukarno, dan kemudian kekalahan Indonesia dari Malaysia dalam kasus Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional, serta merta membangkitkan kemarahan kolektif juga ketika Malaysia diberitakan berulah lagi. Hal ini bisa dilihat dari porsi demikian besar yang diberikan media terhadap masalah ini. Selain itu terlihat juga melalui komentar-komentar yang dilontarkan, bukan hanya oleh masyarakat biasa, tetapi juga oleh para politisi. Banyak yang mendorong pemerintah untuk bersikap keras, bahkan Zaenal Maarif, seorang politisi dari Partai Bintang Reformasi (PBR) meminta pemerintah untuk segera menyatakan perang melawan Malaysia.

Bila ditarik lebih jauh lagi, memori kolektif kekalahan terhadap Malaysia ini bisa dikaitkan juga dengan kenyataan bahwa jutaan orang Indonesia mengadu nasib sebagai pekerja kelas rendahan di Malaysia. Rasa rendah diri sebagai bangsa bisa jadi tanda disadari telah tertanam dalam memori kolektif bangsa, sehingga ketika ada gejolak sedikit saja, rasa terinjak-injak itu begitu kuat. Namun demikian, kami menyadari juga bahwa untuk menelusuri memori kolektif ini, diperlukan penelitian lanjut yang lebih mendalam. Akan tetapi, dengan memperhatikan gejala-gejala yang ada, yaitu dalam reaksi keras masyarakat Indonesia, setiap kali terjadi persinggungan dengan Malaysia , kami berpendapat bahwa langkah awal untuk menyelesaikan masalah dengan Malaysia untuk jangka panjang adalah dengan menelusuri dan mengungkapkan memori kolektif itu. Tanpa itu dilakukan, hubungan kedua bangsa yang bertetangga dan bersaudara serumpun ini, akan terus mengalami gejolak seperti yang terjadi belakangan ini.

Selain mencermati reaksi keras masyarakat Indonesia, langkah berikutnya adalah mencermati tindakan Malaysia melakukan klaim atas blok Ambalat ini. Memang informasi yang dapat dikumpulkan tentang hal ini tidak begitu banyak, karena pemerintah Malaysia maupun media Malaysia kelihatannya tidak terlalu membicarakan hal ini dengan terbuka. Akan tetapi, kami tertarik melihat sikap Malaysia yang terlihat begitu enteng dalam melakukan klaim, dan juga begitu yakin akan posisinya.

PM Malaysia ketika ditanya tentang protes Indonesia terhadap klaim Malaysia dengan enteng menyampaikan bahwa konsesi yang diberikan Petronas kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial Malaysia. Petronas pasti mengerti bahwa wilayah itu adalah wilayah Malaysia karena jika itu wilayah orang lain, untuk apa Petronas sampai ke sana.Malaysia juga begitu yakin dengan pendiriannya menarik batas wilayah dengan memakai asas titik pulau terluar, yang berlaku bagi negara kepulauan, padahal Malaysia bukan termasuk Negara kepulauan. Bila memakai prinsip ini, maka terlihat bahwa klaim Malaysia tidak hanya akan mencakup perairan Ambalat saja, tetapi bisa jauh masuk ke dalam wilayah perairan antara Kalimatan bagian Timur dan Sulawesi Utara bagian Barat.

Sikap enteng Malaysia ini oleh beberapa pihak diduga karena Malaysia menganggap masalah ini hanya masalah sumber daya alam. Sementara bagi Indonesia sengketa Ambalat bukanlah sekadar sengketa untuk mendapatkan sumber daya alam. Blok Ambalat merupakan wujud dari wilayah kedaulatan Indonesia. Kehilangan blok Ambalat berarti kehilangan sebagian wilayah kedaulatan. Bahkan blok Ambalat bisa menjadi taruhan bagaimana Indonesia mempertahankan kedaulatannya di wilayah yang dipersengketakan oleh negara lain. Rakyat di Indonesia melihat sengketa blok Ambalat lebih sebagai masalah kedaulatan dan harga diri bangsa ketimbang sekadar perebutan potensi sumber daya alam.

Dengan mengadopsi tujuh langkah penciptaan perdamaiannya Glenn Stassen, apa yang dilakukan Malaysia ini jelas-jelas bukan langkah untuk menciptakan perdamaian. Karena itu adalah tidak ada artinya sama sekali ketika Menlu Malaysia mengatakan bahwa pihaknya siap berunding dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh klaimnya.

Langkah pertama dalam penciptaan perdamaian menurut Stassen adalah menetapkan keamanan bersama (affirm common security), dengan membangun tatanan yang damai dan adil bagi semua pihak. Penetapan batas wilayah dengan membuat peta secara sepihak, dengan memakai pertimbangan menurut pengertian sepihak, seperti yang dilakukan oleh Malaysia, adalah tindakan yang bisa dianggap kebalikan dari langkah ini. Penetapan batas wilayah seperti itu justru menggoyahkan keamanan bersama, bahkan menciptakan ancaman bagi pihak yang lain. Ketika ancaman sudah terjadi, dialog yang mau diadakan pun akan menjadi lebih sulit untuk dijalankan dengan baik. Ini terlihat dalam pertemuan teknis Malaysia-Indonesia membahas masalah Ambalat yang diadakan di Bali tanggal 22-23 Maret lalu. Pertemuan itu berakhir tanpa hasil apa-apa, karena kedua pihak tetap pada pendirian masing-masing.

Karena dalam kasus ini ancaman sudah terjadi, dan tatanan yang damai dan adil digoyahkan, langkah kedua yang dianjurkan Stassen perlu diperhatikan baik-baik. Itu adalah mengambil inisiatif lebih dulu untuk perdamaian (take independent initiatives). Dalam kasus ini, pihak yang manakah yang mengambil inisiatif lebih dulu untuk menyelesaikan masalah? Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa telah mengupayakan dialog atas klaim Malaysia ini sejak lama, yaitu sejak tahun 1980, tetapi tidak mendapat tanggapan berarti, sampai kasusnya menjadi besar karena diberikannya konsesi kepada Shell oleh Petronas Malaysia. Pemerintah Malaysia melalui Menlunya mengatakan bahwa justru Indonesialah yang melakukan inisiatif provokatif, dengan membangun mercusuar di atol Karang Unarang yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya, sedangkan Malaysia selalu siap untuk berunding. Hanya pertanyaan yang diajukan pihak Indonesia adalah berunding dengan kondisi seperti apa? Apakah dengan kondisi melakukan pengakuan implisit akan klaim Malaysia lebih dulu (dengan tidak memasuki lagi wilayah yang sudah diklaim Malaysia)? Pemerintah Indonesia bersikukuh dialog dilakukan dengan tetap membangun mercusuar itu, karena itu termasuk wilayahnya. Jalan tengah yang bisa ditawarkan adalah dengan membiarkan wilayah itu menjadi wilayah tak bertuan untuk sementara, sampai ditemukan titik temu melalui dialog. Namun, melihat perkembangan yang ada sekarang. Kelihatannya pilihan status quo itu juga enggan untuk diterima.Akan tetapi, ada langkah ketiga menurut Stassen, yaitu Talk to your enemy. Bicaralah, lakukan negosiasi/perundingan, cari jalan keluar dengan memakai metode-metode penyelesaian konflik Tentang hal ini, sudah dilakukan satu kali dan belum berhasil. Namun dijanjikan untuk bertemu kembali bulan Mei, dan kita harus menunggu.Sambil menunggu, langkah keempat mungkin bisa dilakukan. Itu adalah mengutamakan hak asasi manusia dan keadilan. Penyelesaian konflik yang sudah terjadi harus mengingat hal ini. Kampanye-kampanye anti Malaysia dengan semangat berperang seperti membentuk Front Ganyang Malaysia, merekrut sukarelawan yang siap membela tanah air melawan Malaysia, harus ditinggalkan. Perang hanya akan meninggalkan kesengsaraan. Pengalaman konfrontasi berdarah di masa Soekarno seharusnya menjadi pelajaran. Banyak jiwa yang melayang dan perekonomian negara pun morat marit karenanya. Yang harus dikampanyekan adalah bagaimana menyembuhkan luka-luka bersama akibat memori kolektif tadi itu.Selain itu, satu hal lain yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia adalah meningkatkan perhatiannya terhadap wilayah-wilayah terluar Indonesia. Sudah lama wilayah-wilayah perbatasan seperti di ujung Barat Sumatera, ujung Utara Sulawesi, ujung Selatan Timor, dan ujung Timur Papua, menjadi anak terlantar. Perhatian melalui pembangunan fasilitas sosial bagi masyarakat di wilayah-wilayah ini sangat penting. Sipadan dan Ligitan ditetapkan sebagai wilayah Malaysia oleh Mahkamah Internasional di tahun 1998 juga karena kedua wilayah itu tidak pernah disentuh oleh Indonesia, namun dibangun dan dikelola oleh Malaysia.Langkah kelima dan keenam, yang menurut kami masih berkaitan erat adalah Memutus lingkaran setan kekerasan, turut serta dalam penciptaan perdamaian dan Mengakhiri propaganda saling menyalahkan, termasuk memberikan kompensasi/ganti rugi kepada yang dirugikan. Langkah-langkah ini sangat penting, dan dalam kasus Malaysia dan Indonesia, menurut saya kedua bangsa harus menoleh bersama ke belakang, sejarah konflik yang pernah terjadi antara kedua bangsa harus diungkapkan, dan kemudian mencari jalan untuk mengakhiri semua kecurigaan satu dengan yang lain .Kedua langkah ini terkait erat dengan teori Shriver, mengungkapkan untuk mengingat kejahatan yang sudah dilakukan, dan kemudian mengampuni.Kemudian langkah yang terakhir adalah bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan konflik ini dengan transparan dan terbuka. Semua upaya untuk pengungkapan masalah dilakukan dengan jujur dan terbuka untuk kedua bangsa. Kami tidak setuju dengan pendapat Menlu Malaysia yang mengatakan bahwa masalah ini hanya masalah teknis sehingga masyarakat Malaysia tidak perlu tahu. Ini hanya urusan dua pemerintahan. Proses negosiasi, kemajuan-kemajuan dan hambatan-hambatannya harus dibuat terbuka kepada publik, sehingga publik bisa turut berpartisipasi dengan menyumbangkan opininya.

Persengketaan atas wilayah Ambalat membutuhkan penyelesaian yang logis, relevan, tanpa merugikan pihak manapun apalagi sampai menimbulkan peperangan. Jika terjadi kontak senjata antar Angkatan Laut maka masing-masing negara bersengketa RI-Malaysia mengalami kerugian. Diusahakan sedapat mungkin persengketaan atas wilayah Ambalat dapat diselesaikan secara damai. Sebuah sentilan mengenai kasus sipadan, ligitan, dan yang terakhir adalah ambalat, harusnya menyadarkan kita bahwa kita telah jauh dari konsep wawasan nasional yang merupakan landasan visional bangsa dan Negara Indonesia. Berkaitan dengan masalah perbatasan ini kaitannya dengan Wawasan Nusantara, penulis menawarkan solusi untuk menilik kembali kepada diri kita masing-masing harusnya setiap warga Negara Indonesia perlu memiliki kesadaran untuk:a. Mengerti, memahami, dan menghayati hak dan kewajiban warga Negara serta hubungan warga Negara dan Negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia yang cinta tanah air berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nuasantarab. Mengerti, memahami, dan menghayati bahwa di dalam menyelenggarakan kehidupannya Negara memerlukan konsepsi wawasan nusantara, sehingga sadar sebagai warga Negara memiliki wawasan nusantara guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional

Indonesia harus lebih jeli dalam melihat setiap wilayahnya yang berbatasan dengan Negara lain, dan tentu apapun yang berkaitan dengan hal ini dibutuhkan bukti autentik. Indonesia harus belajar dari kasus Sipadan Ligitan agar wilayah Indonesia tetap merupakan satu kesatuan utuh yang berlandaskan kebhinekaanBAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Masalah perbatasan wilayah antar Negara merupakan salah satu bentuk ancaman bagi keutuhan wilayah Nusantara. Kasus ambalat harusnya menyadarkan bangsa Indonesia bahwa kita sudah jauh dari Konsep Wawasan Nusantara dan Juga kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan batas terluar kepulauan Indonesia . Selama ini wawasan nusantara hanya jadi sebuah slogan tanpa adanya implementasi yang jelas dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk mengetuk hati nurani setiap warga Negara Indonesia agar sadar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diperlukan pendekatan dengan program yang teratur, terjadwal dan terarah. Hal ini akan mewujudkan keberhasilan dan implementasi wawasan nusantara. Dengan demikian wawasan nusantara terimplementasi dalam kehidupan nasional guna mewujudkan ketahanan nasioanal dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.DAFTAR PUSTAKAAgoes, Etty, R.1988. masalah sekitar Ratifikasi dan Implementasi konvensi hukum Laut 1982. Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.Basril, Chaidir. 1992. Pengetahuan tentang Penyelenggaraan Pertahanan Keamanan Negara, CV. Chitra Delima, Jakarta.Djalal, Hasyim., 1979, Perjuangan Indonesia di bidang Hukum Laut. Bina Cipta, Bandung.Hidayat, Imam dan Mardiono., 1983. Geopolitik. Usaha Nasional, Surabaya. Ken/ Wan. 07 Maret 2005. Hari ini Presiden Yudhoyono Ke Ambalat. [email protected] Kurniawan, Yophiandi. 27 Februari 2005. Protes Indonesia atas Ambalat .Tempo Interaktif.Kusumastanto, Tridoyo. Ambalat dan Diplomasi Negara Kepulauan Republik Indonesia. http://www.kompas.comPernyataan Pers DR.N. Hassan Wirajuda, Menteri luar Negeri RI. Tentang kasus Sipadan dan Ligitan. 17 Desember 2002. Embassy of the Republic of Indonesia- Wellington.Prasetianingsih, Yuli. Membaca Sengketa Ambalat dengan Reaktualisasi Nasionalisme. http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/18/o2.html

Sumarsono, dkk., 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. PT Sun, Jakarta.Tim Dosen UGM Yogyakarta. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Paradigama, Yogyakarta.Turmudzi, Didi, Prof. Dr. H.M. Membangun Visi Negara Kepulauan. http://www.pikiran-rakyat.com10