kasus 1, thaharah dan shalat bagi orang sakit

19
Kasus 1: Thaharah dan Shalat bagi Orang Sakit Inilah beberapa hukum yang dikhususkan bagi orang yang sakit, dalam kaitannya dengan thaharah (bersuci) dan shalat, sebagaimana yang ditulis Fadhilatusy Syaikh Al-Utsaimin. Syaikh berkata, “Ini merupakan tulisan ringkas tentang apa yang harus dilakukang orang yang sedang sakit dalam thaharah dan shalatnya. Orang yang sakit mempunyai hukum-hukum yang khusus, dan keadaannya mendapat perhatian yang khusus pula dalam syariat Islam. Sebab Allah telah mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa kebenaran dan kelonggaran yang didasarkan kepada kemudahan. Allah berfirman: “Dia sekali-kali tidak menjadikam untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78) “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185) “Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupam kalian dan dengarlah serta taatlah.” (At-Taghabun: 16) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya agama itu adalah mudah.” Beliau juga bersabda, “Jika aku memerintahkan suatu perintah kepada kalian, maka lakukanlah menurut kesanggupan kalian.” Berdasarkan kaidah yang fundamental ini, Allah memberi keringanan dalam beribadah kepada orang-orang yang lemah, menurut kadar kelemahannya, agar mereka tetap bisa beribadah kepada Allah tanpa merasa kesulitan dan keberatan. Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin. Adapun cara bersuci bagi orang yang sakit adalah: 1. Orang yang sakit harus bersuci dengan air, wudhu dan hadats kecil dan mandi dari hadats besar. 2. Jika tidak sanggup bersuci dengan menggunakan air karena kondisinya yang memang lemah atau karena khawatir sakitnya bertambah parah atau menunda kesembuhannya, maka dia boleh bertayammum. 3. Adapun cara bertayammum: Telapak tangan ditempelkan di debu yang bersih dengan sekali tempelan, lalu ditepis- tepiskan agar debunya tidak terlalu banyak, lalu mengusap ke seluruh wajah. Kemudian menempelkan lagi di debu, lalu

Upload: rosita-kusuma-ningrum

Post on 19-Jan-2016

31 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

ini nih

TRANSCRIPT

Page 1: Kasus 1, Thaharah Dan Shalat Bagi Orang Sakit

Kasus 1: Thaharah dan Shalat bagi Orang SakitInilah beberapa hukum yang dikhususkan bagi orang yang sakit, dalam kaitannya dengan thaharah (bersuci) dan shalat, sebagaimana yang ditulis Fadhilatusy Syaikh Al-Utsaimin.Syaikh berkata, “Ini merupakan tulisan ringkas tentang apa yang harus dilakukang orang yang sedang sakit dalam thaharah dan shalatnya. Orang yang sakit mempunyai hukum-hukum yang khusus, dan keadaannya mendapat perhatian yang khusus pula dalam syariat Islam. Sebab Allah telah mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa kebenaran dan kelonggaran yang didasarkan kepada kemudahan. Allah berfirman:“Dia sekali-kali tidak menjadikam untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78)“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupam kalian dan dengarlah serta taatlah.” (At-Taghabun: 16)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Sesungguhnya agama itu adalah mudah.”Beliau juga bersabda,“Jika aku memerintahkan suatu perintah kepada kalian, maka lakukanlah menurut kesanggupan kalian.”Berdasarkan kaidah yang fundamental ini, Allah memberi keringanan dalam beribadah kepada orang-orang yang lemah, menurut kadar kelemahannya, agar mereka tetap bisa beribadah kepada Allah tanpa merasa kesulitan dan keberatan. Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin.Adapun cara bersuci bagi orang yang sakit adalah:1. Orang yang sakit harus bersuci dengan air, wudhu dan hadats kecil dan mandi dari hadats besar.2. Jika tidak sanggup bersuci dengan menggunakan air karena kondisinya yang memang lemah atau karena khawatir sakitnya bertambah parah atau menunda kesembuhannya, maka dia boleh bertayammum.3. Adapun cara bertayammum: Telapak tangan ditempelkan di debu yang bersih dengan sekali tempelan, lalu ditepis-tepiskan agar debunya tidak terlalu banyak, lalu mengusap ke seluruh wajah. Kemudian menempelkan lagi di debu, lalu saling diusapkan tangan antara yang satu dan lainnya.4. Jika dia sendiri tidak bisa wudhu atau tayammum, maka orang lain bisa mewudhukan atau menayammuminya.5. Jika di sebagian anggota thaharah terdapat luka, maka dia tetap harus membasuhinya dengan air. Namun jika terkena air, luka itu bertambah parah, maka tangannya cukup dibasahi air, lalu diusapkan di permukaan luka sekedarnya saja. Jika ini pun tidak memungkinkan, maka dia bisa bertayammum.6. Jika anggota thaharah ada yang patah, lalu ditutup perban atau digips, maka dia cukup mengusapnya dengan air dan tidak perlu bertayammum. Sebab usapan itu sudah dianggap sebagai pengganti dari mandi.7. Boleh mengusapkan tangan ke dinding saat tayammum, atau ke tempat lain yang memang suci dan juga mengandung debu. Jika dinding itu dilapisi sesuatu yang bukan dari jenis tanah, seperti dicat, maka tidak boleh tayammum padanya, kecuali memang di

Page 2: Kasus 1, Thaharah Dan Shalat Bagi Orang Sakit

situ ada unsur debunya.8. Jika tidak memungkinkan tayammum di tanah atau di dinding atau sesuatu yang ada debunya, maka boleh saja meletakkan tangan di sapu tangan umpamanya, yang di atasnya ditaburi debu.9. Jika dia tayammum untuk satu shalat, kemudian tetap dalam keadaan suci hingga masak waktu shalat berikutnya, maka dia bisa shalat dengan tayammum untuk shalat yang pertama. Sebab dia masih dalam keadaan suci dan tidak ada sesuatu pun yang membatalkannya.10. Orang yang sakit harus membersihkan badannya dari berbagai jenis najis selagi dia sanggup untuk melakukannya. Jika tidak bisa, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, dan tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.11. Orang yang sakit harus shalat dengan pakaian yang suci. Jika di pakaiannya ada najis, maka dia harus mencucinya atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Jika tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, dan tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.12. Orang yang sakit harus shalat di atas sesuatu atau di tempat yang suci. Jika tempatnya itu ada najisnya, maka harus dicuci atau diganti dengan yang suci atau dilapisi sesuatu yang suci. Apabila tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun dan tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.13. Orang yang sakit tidak boleh menangguhkan shalatnya dari waktunya karena alasan ketidakmampuan dalam bersuci. Dia harus bersuci menurut kesanggupannya, kemudian shalat pada waktunya, sekalipun di badan, pakaian atau tempatnya terdapat najis.Adapun cara shalatnya sebagai berikut:1. Orang yang sakit harus mendirikan shalat wajib dalam keadaan berdiri, sekalipun agak miring atau sambil bersandar ke dinding atau ke tongkat.2. Jika tidak bisa berdiri, dia bisa mendirikan shalat sambil duduk. Yang paling baik ialah duduk sambil menyilangkan kaki kiri di bawah paha kanan di tempat ruku’ dan sujud.3. Jika tidak bisa shalat sambil duduk, maka dia berbaring pada lambungnya dengan menghadap ke arah kiblat. Yang paling baik adalah pada lambung kanan. Jika tidak memungkinkan berbaring pada lambung bagian kanan dan tidak bisa menghadap ke arah kiblat, dia bisa shalat seperti apa pun keadaannya, dan tidak perlu mengulang shalatnya.4. Jika tidak bisa berbaring pada lambungnya, maka dia bisa berbaring menghadap ke atas, dan kedua kakinya menghadap ke arah kiblat. Yang paling baik ialah sedikit mengangkat kepalanya, agar bisa menghadap ke arah kiblat. Jika cara ini tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat seperti apa pun keadaannya, dan tidak perlu mengulang shalatnya.5. Orang yang sakit harus ruku’ dan sujud dalam shalatnya. Jika tidak sanggup, maka dia bisa menganggukkan kepala, dan anggukan sujud lebih rendah daripada anggukan ruku’. Jika dia bisa ruku’ dan tidak bisa sujud, maka dia harus tetap ruku’, sedangkan sujud cukup dengan menganggukkan kepala. Jika bisa sujud dan tidak bisa ruku’, maka dia harus sujud dan menganggukan kepala tatkala ruku’.6. Jika tidak bisa menganggukkan kepala tatkala ruku’ dan sujud, maka dia bisa memberi isyarat dengan matanya, dengan sedikit memejam tatkala ruku’ dan lebih banyak memejamkan mata tatkala sujud. Sedangkan memberi isyarat dengan tangan seperti yang biasa dilakukan sebagian orang adalah tidak benar, sebab memang tidak ada dasarnya di dalam Al-Qur’an, Sunnah maupun pendapat para ulama.

Page 3: Kasus 1, Thaharah Dan Shalat Bagi Orang Sakit

7. Jika tidak bisa menganggukkan kepala atau memberi isyarat dengan matanya, maka dia bisa shalat dengan hatinya. Dia niat, bertakbir, membaca, ruku’, sujud, berdiri dan duduk dengan gerakan hatinya.8. Orang yang sakit harus mengerjakan setiap shalat tepat pada waktunya dan mengerjakannya menurut kesanggupannya. Jika kesulitan melakukan shalat tepat pada waktunya, maka dia bisa menjama’ shalat zhuhur dan ashar, maghrib dan isya’, boleh jama’ taqdim dengan mengerjakan shalat ashar pada waktu shalat zhuhur dan shalat isya’ pada waktu shalat maghrib, maupun jama’ ta’khir, yaitu dengan mengerjakan dua pasangan ini pada waktu shalat yang kedua. Dia bisa memilih mana yang lebih mudah baginya. Sedangkan shalat subuh tidak bisa dijama’.9. Jika orang yang sakit dalam perjalanan, karena dia hendak berobat di luar daerahnya, maka dia bisa meng-qashar shalat yang terdiri dari empat rakaat, sehingga dia bisa shalat zhuhur, ashar dan isya’ dengan dua rakaat, hingga kembali ke daerahnya, baik masanya lama maupun sebentar.[Catatan: Kalau orang yang sakit secara tiba-tiba dalam shalat membaik, lalu bisa melakukan seluruh gerakan yang sebelumnya tidak bisa dilakukan, seperti berdiri, duduk, rukuk, sujud atau sekedar memberi isyarat, maka ia harus beralih ke cara normal untuk sisa shalatnya. -pen.]Fatwa-fatwa tentang Thaharah dan Shalatnya Orang Sakit1. Orang yang tidak mengerjakan beberapa shalat wajib, bagaimana cara mengqadha’nya?Syaikh Muhammad bin Utsaimin ditanya tentang orang sakit yang dioperasi, sehingga dia tidak sempat mengerjakan beberapa shalat. Apakah dia harus mengerjakan (mengqadha’) shalat-shalat itu semuanya setelah sembuh sekaligus, ataukah mengerjakannya sesuai dengan waktunya masing-masing? Dengan kata lain, apakah dia harus mengqadha’ shalat subuh yang tertinggal pada waktu shalat subuh setelah dia sembuh, shalat zhuhur pada waktu shalat zhuhur dan seterusnya?Syaikh menjawab, “Dia harus mengqadha’nya sekaligus pada satu waktu. Sebab tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat mengerjakan shalat ashar pada saat perang Khandaq, maka beliau mengerjakan (mengqadha’)nya sebelum shalat maghrib. Jadi, jika seseorang ketinggalan tidak mengerjakan beberapa shalat wajib, maka dia harus mengerjakannya sekaligus semuanya dan tidak bolehmenangguhkannya.”2. Thaharah dan shalat orang yang tidak kuat menahan keluarnya kencing.Syaikh berkata, “Dia tidak boleh wudhu untuk shalat kecuali setelah masuk waktu shalat. Setelah mencuci kemaluannya, dia bisa melapisi dengan sesuatu agar air kencingnya tidak mengenai pakaian dan badannya. Sesudah itu dia bisa wudhu dan shalat. Dia bisa shalat beberapa kali shalat wajib dan nafilah. Jika ingin mengerjakan shalat nafilah bukan pada waktu shalat, maka dia bisa mengerjakan cara serupa, lalu wudhu dan shalat.”3. Orang yang terus-menerus kentut, bagaimana cara bersuci dan shalatnya?Syaikh berkata, “Jika tidak memungkinkan baginya untuk menahan kentut, artinya kentut itu keluar tanpa disengaja, maka hukumnya sama dengan hukum orang yang tidak kuat menahan keluarnya kencing. Dia bisa wudhu setelah masuk waktu shalat lalu mendirikan shalat. Jika waktu kentut itu disertai keluarnya kotoran tepat pada waktu shalat, maka shalatnya tidak batal. Allah telah berfirman:“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)

Page 4: Kasus 1, Thaharah Dan Shalat Bagi Orang Sakit

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengankesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)4. Apakah wudhu menjadi batal karena pingsan?Syaikh menjawab pertanyaan ini, “Benar. Pingsan membatalkan wudhu, sebab pingsan lebih parah daripada tidur. Sementara tidur sendiri membatalkan wudhu jika terlalu lelap. Sebab orang yang tidur terlelap tidak bisa tahu andaikata ada sesuatu yang keluar darinya.”5. Jika ada di badan orang yang sakit, bisakah dia bertayammum?Syaikh menjawab pertanyaan ini, “Dia tidak boleh bertayammum dalam keadaan seperti itu. Jika memungkinkan, dia harus mencuci najis itu. Jika tidak, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun tanpa harus tayammum. Sebab tayammum tidak berpengaruh terhadap hilangnya najis. Yang dituntut darinya adalah kebersihan badannya dari najis. Jadi, sekalipun dia tayammum, toh najisnya tidak hilang dari badan dan tidak bisa menghilangkan najis dari badan.”6. Jika orang yang sakit mengalami junub, padahal dia tidak memungkinkan menggunakan air, maka apakah dia boleh tayammum?Syaikh menjawab, “Jika orang yang sakit junub, padahal dia tidak bisa menggunakan air, maka dia boleh bertayammum. Hal ini didasarkan kepada firman Allah,“Dan, jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu.” (Al-Maidah: 6)7. Qadha shalat orang yang hilang kesadarannya karena bius atau penyakit.Syaikh berkata tentang masalah ini, “Selagi kesadaran orang yang sakit itu hilang karena bius atau karena penyakitnya yang sudah akut, maka dia harus mengqadha’ semua shalatnya yang tertinggal setelah kesadarannya menjadi normal, secara berurutan dan sesegera mungkin mengerjakannya menurut kesanggupannya. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,“Barangsiapa tidur dan tidak mengerjakan shalat atau lupamengerjakannya, maka hendaklah dia mengerjakannya selagi dia mengingatnya, tidak ada kafarat bagi shalatnya itu kecuali hanya itu.”Tidak dapat diragukan, orang yang pingsan karena sakit, atau karena dibius selama sehari, dua hari, tiga hari dan seterusnya, hukumnya sama dengan hukum orang yang tidur. Dia tidak boleh menangguhkan shalat-shalat yang tertinggal itu hingga dia mengerjakan yang sama. Bahkan dia harus langsung mengerjakan (mengqadha’)nya setelah kesadarannya menjadi normal. Tak berbeda dengan orang yang tertidur setelah bangun dan orang yang lupa setelah ingat. Jika tidak bisa menggunakan air, maka dia boleh bertayammum.”8. Orang yang pingsan harus mengqadha’ shalat, jika jangka waktu pingsannya tidak lama.Syaikh Abdul Aziz diberi sebuah pertanyaan, “Sebagian orang ada yang mengalami kecelakaan mobil atau lainnya, lalu mengalami gegar otak dan tidak sadar selama tiga hari, atau boleh jadi seseorang pingsan selama itu. Apakah orang semacam ini harus mengqadha’ shalat-shalat yang tidak sempat dikerjakan jika kesadarannya sudah pulih?”Syaikh menjawab, “Jika jangka waktunya hanya sebentar, seperti tiga hari atau lebih sedikit dari itu, maka dia harus mengqadha’

Page 5: Kasus 1, Thaharah Dan Shalat Bagi Orang Sakit

shalat-shalatnya. Sebab pingsan atau tidak sadar selama jangka waktu itu bisa diserupakan dengan tidur, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengqadha’. Pernah diriwayatkan dari sejumlah shabat, bahwa mereka pernah pingsan selama kurang dari tiga hari, dan mereka mengqadha’ shalatnya.Namun jika jangka waktunya lebih dari tiga hari, maka dia tidak perlu mengqadha’. Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,“Kewajiban dibebaskan dari tiga orang, yaitu dari orang tidur hingga bangun, dari anak kecil hingga baligh, dari orang gila hingga kembali sadar.”Orang yang tidak sadar lebih dari tiga hari, diserupakan dengan orang gila yang hilang kesadarannya secara total.”9. Orang yang sakit tidak boleh menangguhkan shalatnya hingga sembuh, dengan alasan tidak mampu bersuci atau karena sulitmenghindari najis.Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata tentang masalah ini, “Sakit tidak menghalangi untuk melaksanakan shalat, dengan alasan tidak mampu bersuci, selagi ingatannya masih normal. Orang yang sakit harus shalat menurut kesanggupannya. Dia harus bersuci dengan menggunakan air selagi sanggup. Jika tidak sanggup menggunakan air, maka dia bertayammum lalu shalat. Dia juga harus menghilangkan najis dari badan dan pakaiannya waktu shalat, atau menggantinya dengan pakaian lain yang tidak ada najisnya. Jika tidak sanggup menghilangkan najis atau mengganti dengan pakaian lain yang suci, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti itu, karena Allah telah berfirman,“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)10. Sakit syaraf tidak membebaskan kewajiban, selagi kesadarannya normal.Syaikh Ibnu Utsaimin mendapat lontaran pertanyaan, “Seseorang yang mendapat gangguan syaraf setelah sekian lama menurut analisis dokter, sehingga penyakitnya itu menyebabkan berbagai masalah, seperti suka menggertak orang tuanya sendiri, takut secara berlebihan, gelisah dan hanya diam saja, apakah tidak perlu mengerjakan kewajiban-kewajiban syariat? Apakah dia berdosa karenanya? Apa nasehat Syaikh?”Syaikh menjawab, “Dia tidak terbebas dari hukum-hukum syariat selagi kesadarannya masih normal. Namun jika kesadaran dan ingatannya sudah hilang serta tidak bisa menguasai ingatannya, maka dia terbebas dari segala kewajiban. Nasehat kami, hendaklah dia banyak berdoa dan memohon ampunan kepada Allah, berlindung kepada Allah dari bisikan syetan yang terlaknat tatkala emosinya tak terkendali. Siapa tahu Allah akan menganugerahkan kesembuhan kepadanya.”11. Muntah bukan najis dan tidak membatalkan wudhu.Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang muntah, apakah ia najis dan membatalkan wudhu?Syaikh menjawab, “Yang benar, muntah itu tidak membatalkan wudhu, dan segala hal yang keluar dari badan manusia tidak membatalkan wudhu, kecuali dari dua jalan: kemaluan dan dubur. Karena memang dalil tidak ada. Lalu apakah muntah itu najis? Menurut jumhur, muntah adalah najis. Tetapi kami tidak mendapatkan satu dalil pun yang mendukung pendapat ini. Kalau begitu, pada dasarnya muntah adalah suci hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa ia adalah najis. Muntah ini tidak bisa diqiyaskan kepada kencing atau kotoran, karena ada perbedaan hakekat antara keduanya jika dilihat dari segi kotor, bau dan kebusukannya. Maka kentut yang keluar dari dubur (anus) membatalkan wudhu, sedangkan sendawa tidak membatalkan wudhu, sekalipunkedua-duanya berupa angin yang keluar dari perut. Jadi apa yang ada di dalam perut

Page 6: Kasus 1, Thaharah Dan Shalat Bagi Orang Sakit

bukanlah kotoran. Sebab kalau tidak, tidak ada perbedaan antara keduanya. Memang tidak diragukan, jika harus berhati-hati dengan menghindarinya atau mencuci pakaian atau badan yang terkena muntah.”12. Bagaimana shalatnya orang yang sakit, jika tempat tidur para pasien tidak menghadap ke arah kiblat?Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab, “Memang para penanggung jawab di rumah sakit harus menaruh perhatian hingga masalah ini. Mereka harus merancang tempat tidur pasien mengarah ke kiblat, sehingga tidak merepotkan para pasien. Jika orang yang sakit bisa mengubah tempat tidur ke arah kiblat, maka hendaklah dia melakukannya. Jika tidak dapat, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, sehingga hal ini bisa dimasukkan ke dalam keumuman firman Allah,“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115)13. Jika kasurnya empuk, sahkah orang yang sakit shalat di atasnya?Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab, “Jika kasurnya amat empuk, maka boleh saja shalat di atasnya, asalkan dilapisi sesuatu di tempat kening dan tangannya. Sebab bila dilapisi, maka permukaannya menjadi keras. Jika kening ditempelkan di kasur yang empuk, tentu letak penempelan itu tidak layak, sehingga sujudnya juga tidak sah.”14. Kapankah posisi berdiri memjadi gugur, karena keadaan yang lemah ataukah karena kesulitan berdiri?Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab, “Kedua-duanya bisa menggugurkannya. Jika seseorang tidak kuat berdiri, maka dia boleh tidak berdiri, dan jika dia kesulitan untuk berdiri, dalam pengertian kekhusyukannya akan terganggu jika berdiri, maka dia juga boleh tidak berdiri. Hal ini didasarkan kepada keumuman firman Allah,“Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.”Di samping itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,“Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu, maka dengan telentang di atas lambung.”15. Jika tidak bisa memberi isyarat dengan kepala, bolehkah memberi isyarat dengan mata?Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab, “Tidak pernah disebutkan di dalam Sunnah yang shahih, bahwa orang yang tidak bisa memberi isyarat dengan kepalanya, bisa memberi isyarat dengan matanya. Hadits yang dijadikan dalil para fuqaha mengenai hal ini adalah hadits dha’if. Maka dari itu Syaikhul Islam berpendapat, tidak perlu shalat sambil memberi isyarat dengan mata. Yang jelas, jika tidak ada dalil yang shahih, maka orang yang sakit tidak boleh memberi isyarat dengan matanya. Karena shalat itu merupakan ibadah, berarti harus ada perkenan dari syariat. Berdasarkan kaidah ini, maka dapat kami katakan, jika tidak dapat memberi isyarat dengan kepala, maka gerakan macam apa pun menjadi gugur, dan cukup hanya dengan hati saja.” [1]Footnote:[1] Berarti ada perbedaan pendapat antara pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin dengan pengarang, sebagaimana yang diuraikan sebelum ini, pent.NB: Tulisan dalam tanda [...] adalah tambahan dari admin, diambil dari buku

Page 7: Kasus 1, Thaharah Dan Shalat Bagi Orang Sakit

“Berbahagialah Wahai Orang Sakit!” karya Dr. Muhammad Al-Burkan, terbitan Pustaka At-Tibyan hal. 49.Sumber: Hiburan Bagi Orang Sakit karya Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsin (penerjemah: Kathur Suhardi), penerbit: Pustaka Al-Kautsar cet. Kelima, November 1999, hal. 191-206.

Cara Thaharah Dan Shalat Bagi Orang Sakit

Masalah ini sangat penting diketahui oleh setiap Muslim. Apalagi banyak ditemukan di masyarakat adanya kebiasaan sebagian orang tidak mau shalat lagi ketika dirinya sakit, karena mereka belum tahu caranya, atau sebab-sebab lainnya. Sehingga, ketika datang waktu ajal, mereka mengakhiri hidupnya dalam keadaan meninggalkan shalat. Lalu “ditebus” dengan fidyah beras 3 liter setiap satu shalat fardhu yang ditinggalkan, yang hal itu “ulamanya” pun tak mengemukakan dalilnya. Ini masalah yang perlu sekali dihindari. Jangan sampai kita mati kecuali dalam keadaan Islam. Artinya, tetap teguh mematuhi semua ajaran Islam semampunya.

Untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana cara-cara berthaharah (bersuci) dan shalat, di sini kami kutipkan risalah yang ditulis ulama terkemuka, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hafidhahullah. Beliau berkata: “Sesungguhnya bagi orang sakit itu ada hukumnya secara khusus dalam hal bersuci dan shalat. Karena dia dalam keadaan yang (walaupun sakit) tetap dituntut oleh syari’at Islam untuk menjaganya (menjalankan syari’at itu). Sesungguhnya Alloh Ta’ala mengutus NabiNya, Muhammad shallAllohu alaihi wasalam, dengan al-haniifiyyah as-samhaa’ (kemudahan yang longgar), yang dibangun atas (asas) kelonggaran dan kemudahan. Alloh Ta’ala berfirman, yang artinya: “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS: Al-Hajj: 78). “Alloh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS: Al-Baqarah: 185). “Maka bertaqwalah kamu kepada Alloh menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atilah.” (QS: At-Taghaabun: 16).

Dan Nabi shallAllohu alaihi wasalam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR: Al-Bukhari). Dan beliau shallAllohu alaihi wasalam bersabda, yang artinya: “Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka laksanakanlah dari-padanya semampu kalian.” (Muttafaq ‘alaih, dan Ahmad).

Berlandaskan kaidah-kaidah yang mendasar inilah maka Alloh Ta’ala telah meringankan ibadah orang-orang yang terkena udzur (halangan) sesuai dengan udzur mereka, agar mereka bisa beribadah kepada Alloh Ta’ala tanpa kesempitan dan kesulitan. Segala puji bagi Alloh.

Page 8: Kasus 1, Thaharah Dan Shalat Bagi Orang Sakit

Cara Thaharah/bersuci bagi orang sakit: Wajib atas orang yang sakit bersuci dengan air, yaitu berwudhu’ karena hadats kecil, dan mandi karena hadats besar. Kalau dia tidak bisa bersuci dengan air karena lemahnya, atau takut akan tambah sakit, atau akan memperlambat sembuhnya, maka hendaknya ia bertayammum ( baik untuk hadats kecil maupun hadats besar). Cara bertayammum, yaitu dengan menepuk bumi/debu yang suci dengan kedua tangannya satu kali tepukan, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tanganya, kemudian mengusap dua tapak tangannya secara silang (yang kanan menghadap yang kiri dan sebaliknya), yang satu terhadap yang lain. Apabila ia tidak mampu bertayammum sendirian maka ditayammumi oleh orang lain, maka orang itu menepuk bumi/ debu yang suci dengan kedua tangannya, dan mengusapkan dengan tangannya ke wajah si sakit dan kedua tapak tangan si sakit, sebagaimana kalau si sakit tidak mampu untuk berwudhu sendiri maka hendaklah diwudu’i oleh orang lain.Dan dibolehkan bertayammum dari dinding atau sesuatu yang lain yang suci lagi berdebu. Maka apabila dinding itu dicat dengan sesuatu yang bukan jenis tanah seperti cat maka jangan bertayammum darinya kecuali kalau ada debunya. Apabila tidak ada dinding dan tidak ada sesuatu lainnya yang berdebu maka tidak apa-apa kalau meletakkan debu di sapu tangan atau wadah, dan bertayammum darinya. Apabila ia bertayammum untuk shalat dan ia masih suci (belum batal) sampai waktu shalat berikutnya, maka hendaknya ia shalat dengan tayammum pertama itu tadi dan tidak usah mengulangi tayammum, karena ia masih dalam keadaan suci (belum batal), dan belum ada hal yang membatalkannya. Wajib atas si sakit membersihkan badannya dari najis-najis. Apabila ia tidak mampu, hendaklah ia shalat dalam keadaannya itu saja, dan shalatnya sah tanpa harus mengulanginya. Wajib atas orang sakit untuk menyucikan pakaiannya dari najis-najis atau mencopotnya, dan memakai pakaian yang suci. Apabila tidak mampu, hendaklah ia shalat dalam keadaannya itu saja, shalatnya sah, dan tidak ada pengulangan atasnya. Wajib atas orang sakit shalat di tempat yang suci. Kalau dia di atas tikar/ alas yang najis maka hendaklah dicuci atau diganti dengan tikar/ alas yang suci atau dilapisi di atasnya dengan sesuatu yang suci. Kalau tidak mampu maka hendaklah ia shalat di atas alas yang ia tempati itu, shalatnya sah, dan tidak ada pengulangan atasnya. Cara shalat orang sakit: Wajib atas orang sakit shalat fardhu dengan berdiri walaupun condong atau bersandar ke dinding atau tiang atau tongkat. Apabila ia tidak mampu shalat dengan berdiri maka dengan duduk, dan yang afdhal (lebih utama) hendaknya ia bersila pada posisi (yang seharusnya) berdiri dan ruku’; dan duduk iftirasy ( seperti ketika duduk tahiyyat awal) pada giliran sujud. Apabila ia tidak mampu shalat dengan duduk maka shalat dengan berbaring di atas lambungnya (tidur miring) dengan menghadap ke Qiblat, dan lambung kanan lebih utama daripada lambung kiri. Apabila ia tidak bisa menghadap ke Qiblat maka shalat ke arah

Page 9: Kasus 1, Thaharah Dan Shalat Bagi Orang Sakit

mana yang ia sedang hadapi, dan tidak ada pengulangan atasnya. Kalau ia tidak mampu shalat dengan tidur miring maka shalat dengan telentang: dua kakinya ke arah Qiblat. Dan yang afdhal (lebih utama) hendaknya ia mengangkat kepalanya sedikit untuk menghadap ke Qiblat. Apabila ia tidak mampu untuk mengarahkan kakinya ke Qiblat maka ia shalat ke arah mana (saja) sesuai dengan keadaannya tanpa harus mengulanginya. Wajib bagi si sakit agar ruku’ dan sujud. Maka apabila ia tidak mampu, hendaklah ia berisyarat ruku’ -sujud dengan kepalanya, dan menjadikan isyarat untuk sujud lebih rendah daripada ruku’. Apabila ia mampu ruku’ tapi tidak mampu sujud, maka ia ruku’ dengan keadaan ruku’ dan sujud dengan berisyarat . Dan apabila ia mampu sujud tetapi tidak mampu ruku’, maka ia sujud dengan keadaan sujud, dan ruku’ dengan isyarat. Apabila ia tidak bisa berisyarat dengan kepalanya dalam ruku’ dan sujud, maka ia berisyarat dengan matanya, memejam sedikit untuk ruku’, dan memejam lebih banyak untuk sujud. Adapun isyarat dengan jari-jari seperti yang dilakukan oleh sebagian orang-orang sakit itu maka tidak benar/ tidak shahih, dan kami tidak mengetahui adanya (sumber) asalnya itu dari Al-Quran maupun As-Sunnah, dan tidak juga dari pendapat-pendapat ahli ilmu (ulama). Apabila ia tidak mampu berisyarat dengan kepala dan tidak pula dengan mata, maka ia shalat dengan hatinya lalu berniat ruku’ dan sujud, berdiri, dan duduk dengan hatinya. Dan bagi setiap orang (tergantung) apa yang ia niatkan. Wajib atas orang sakit agar shalat pada setiap waktunya sesuai dengan kemampuannya seperti tersebut di atas perinciannya, dan tidak boleh mengakhirkan dari waktunya. Apabila ia kesulitan mengerjakan setiap shalat pada waktunya maka ia berhak menjama’ antara dhuhur dan ashar, dan antara maghrib dan isya’ dengan jama’ taqdim (Dhuhur dan ashar dilakukan pada waktu dhuhur, maghrib dan isya’ dilakukan pada waktu maghrib) atau ta’khir (sebaliknya dari taqdim, pada waktu ashar untuk dhuhur dan ashar, dan pada waktu isya’ untuk maghrib dan isya’) sesuai dengan mana yang mudah baginya; kalau ia mau maka mendahu-lukan ‘ashar beserta dhuhur, dan kalau mau ia mengakhirkan dhuhur bersama ashar, dan kalau mau ia mendahulukan isya’ bersama maghrib, dan kalau mau mengakhirkan maghrib bersama isya’. Adapun shalat fajar (shubuh) maka tidak dijama’ dengan shalat sebelumnya dan tidak pula dengan shalat sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat yang sebelumnya dan dari yang sesudahnya… Alloh Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah mata-hari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikan pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS: Al-Isra’: 78).

THAHARAH ORANG yang SAKIT

1. Orang yang sakit wajib bersuci dengan air, yaitu wudhu untuk hadats kecil, dan

mandi untuk hadats besar.

2. Apabila dia tidak dapat bersuci dengan air, karena sakit, atau khawatir sakitnya

akan bertambah parah dan lama sembuhnya bila terkena air, maka dia boleh

Page 10: Kasus 1, Thaharah Dan Shalat Bagi Orang Sakit

bertayammum.

3. Cara bertayammum adalah; menepuk tanah dengan kedua telapak tangan, lalu

diusapkan keseluruh wajah, kemudian tangan yang satu mengusap tangan yang lain

hingga pergelangan tangan.

4. Apabila orang yang sakit tidak bisa melakukan bersuci sendiri, maka dapat

diwudhu'kan, dan ditayammumkan oleh orang lain.

5. Apabila dibeberapa bagian anggota yang mesti disucikan terdapat luka, maka

cukup dibasuh dengan air, akan tetapi bila basuhannya itu membahayakan, maka cukup

diusap dengan tangan yang basah, apabila usapan itu juga membahayakan maka cukup

bertayammum.

6. Apabila pada bagian anggota badan ada yang patah, yang dibalut dengan kain

pembalut atau digips, maka bagian tersebut cukup diusap dengan air (tidak perlu

dibasuh), dan tidak perlu tayammum, karena usapan itu pengganti dari basuhan.

7. Boleh bertayammum pada tembok, atau apa saja yang suci, yang berdebu, apabila

tembok yang diusap itu dari sesuatu yang tidak sejenis tanah (misalnya cat), maka tidak

boleh dijadikan sebagai alat tayammum. Kecuali jika tembok tersebut berdebu.

8. Jika tidak memungkinkan tayammum di atas tanah, tembok atau apapun yang

berdebu, maka boleh meletakkan tangan di tempat atau di sapu tangan untuk tayammum.

9. Apabila seseorang bertayammum untuk shalat tertentu, dan tidak batal (masih

suci sampai waktu shalat yang lain) maka tidak perlu bertayammum lagi untuk shalat

yang keduanya, karena dia masih suci dan tidak ada yang membatalkan tayamumnya.

10.Orang yang sakit diwajibkan untuk membersihkan badannya dari najis. Apabila

tidak mampu (tidak mungkin), maka shalatlah apa adanya. Shalatnya tersebut sah dan

tidak perlu mengulanginya.

11.Orang yang sakit diwajibkan shalat dengan pakaian yang suci. Apabila

pakaiannya terkena najis, maka pakaian tersebut wajib dicuci atau diganti dengan pakaian

yang suci. Namun apabila tidak mampu, maka shalatlah apa adanya, shalatnya tersebut

sah dan tidak perlu mengulanginya.

Page 11: Kasus 1, Thaharah Dan Shalat Bagi Orang Sakit

12.Orang yang sakit diwajibkan shalat di atas tempat yang suci. Apabila tempatnya

terkena najis, maka alas tempat shalat itu wajib dicuci atau diganti dengan tempat lain

atau dialas dengan sesuatu yang suci, namun apabila itu semuanya tidak memungkinkan,

maka ia shalat apa adanya (sesuai dengan kemampuan), shalatnya sah dan tidak harus

mengulang.

13.Orang yang sakit tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya hanya karena

tidak mampu bersuci. Ia harus melakukan bersuci sesuai dengan kemampuannya,

kemudian shalat pada waktunya walaupun pada badannya, tempatnya, atau pakainnya

terdapat najis yang tidak mampu dihilangkan.

SHALAT ORANG yang SAKIT

1. Orang yang sakit wajib mengerjakan shalat fardhu dengan berdiri, meskipun

dengan membungkuk atau bersandar pada dinding, atau tongkat.

2. Apabila orang yang sakit tidak mampu berdiri, maka shalatlah dengan duduk, dan

diutamakan duduk bersila di tempat berdiri dan ruku’.

3. Apabila tidak mampu duduk, maka shalatlah dengan berbaring miring dan

dengan menghadap kiblat, apabila tidak bisa menghadap kiblat, maka shalatlah dengan

menghadap kemana saja, dan shalatnya dinyatakan sah dan tidak perlu diulang.

4. Apabila tidak mampu shalat dengan berbaring miring. Maka shalatlah dengan

posisi terlentang dan kaki menghadap ke arah kiblat. Dan jika tidak mampu

menghadapkan kaki ke arah kiblat, maka shalatlah sesuai dengan kemampuan, dan tidak

harus mengulang shalatnya.

5. Orang yang sakit wajib melakukan ruku’ dan sujud dalam shalatnya. Apabila

tidak mampu, maka ia memberikan isyarat dengan kepala, dan menjadikan sujud lebih

menunduk dari pada ruku’. Apabila hanya mampu ruku' tanpa sujud, maka harus ruku’

dan menggunakan isyarat untuk sujud. Apabila hanya mampu sujud tanpa ruku’, maka ia

harus sujud dan menggunakan isyarat untuk ruku’.

6. Apabila ia tidak mampu menggunakan isyarat dengan kepala dalam ruku' dan

Page 12: Kasus 1, Thaharah Dan Shalat Bagi Orang Sakit

sujudnya, maka lakukanlah isyarat dengan mata, memejam sedikit untuk ruku’ dan lebih

banyak untuk sujud. Adapun isyarat dengan jari sebagaimana yang dikerjakan selama ini

oleh sebagian orang yang sakit, hal itu tidak benar, saya tidak menemukan dasarnya dari

Al Qur’an, sunnah maupun pendapat ulama.

7. Apabila ia tidak mampu memberi isyarat dengan kepala atau mata, maka

shalatnya dengan hati dan bagi seseorang yang dalam kondisi seperti ini yang terpenting

adalah niatnya.

8. Orang yang sakit wajib melakukan shalat pada waktunya serta mengerjakan

seluruh kewajiban yang mampu dilakukannya. Jika ada kesulitan dalam mengerjakan

setiap shalat pada waktunya maka boleh ia menjamak antara Dzuhur dan Ashar, dan

antara Maghrib dan Isya’, baik jamak taqdim (melakukan shalat Ashar pada waktu shalat

Dzuhur, atau Isya’ pada waktu shalat Maghrib), maupun jamak ta'khir (melakukan shalat

Dzuhur pada waktu shalat Ashar, atau Maghrib pada waktu shalat Isya’) sesuai dengan

kemampuan yang ada, sedangkan shalat Subuh tidak boleh dijamak.

9. Dalam keadaan safar/perjalanan (untuk berobat ke negara lain), orang yang sakit

boleh mengqashar shalat yang empat raka'at, yakni mengerjakan shalat Dzuhur, Ashar,

dan Isya’ dua raka'at dua raka'at sampai kepulangannya, baik perjalanannya itu untuk

waktu yang lama maupun singkat.