karakteristik pelecehan seksual pada anak dan remaja mempengaruhi perilaku seksual beresiko pada...

32
Karakteristik Pelecehan Seksual pada Anak dan Remaja Mempengaruhi Perilaku Seksual Beresiko pada Dewasa Theresa E. Senn Michael P.Carey Peter A. Vanable Patricia Coury-Doniger Marguerite Urban Abstrak Pelecehan seksual pada anak dan remaja telah dihubungkan dengan perilaku seksual beresiko ketika dewasa, namun efek-efek dari kekuatan dan tipe dari pelecehan seksual masih sedikit diketahui. Penelitian terakhir menginvestigasi hubungan antara karakteristik pelecehan seksual dan perilaku seksual beresiko selanjutnya, dan mengeksplorasi apakah jenis kelamin dari anak atau remaja berpengaruh terhadap hubungan ini. Pasien yang datang ke Klinik Penyakit Menular Seksual (PMS) mengisi survey yang menilai riwayat pelecehan seksual serta riwayat perilaku seksual sebelumnya. Partisipan dianggap mengalami pelecehan seksual bila mereka menceritakan pengalaman seksual yang (1) sebelum usia 13 dengan seseorang yang berusia 5 tahun lebih tua atau lebih, (2) saat berusia 13 tahun dan 16 tahun dengan seseorang yang berusia 10 tahun lebih tua atau lebih, atau (3) sebelum usia 17 yang disertai paksaan atau kekerasan. Partisipan yang mengalami pelecehan seksual lebih lanjut dikategorikan berdasarkan 2 karakteristik, sesuai namanya, yaitu adanya penetrasi dan kekerasan. Analisis melibatkan 1177 partisipan (n = 534 wanita, n = 643 pria). Partisipan yang mengalami pelecehan seksual dengan

Upload: yulizarizka

Post on 10-Nov-2015

35 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Karakteristik Pelecehan Seksual pada Anak dan Remaja Mempengaruhi Perilaku Seksual Beresiko pada Dewasa

TRANSCRIPT

Karakteristik Pelecehan Seksual pada Anak dan Remaja Mempengaruhi Perilaku Seksual Beresiko pada DewasaTheresa E. Senn Michael P.Carey Peter A. Vanable Patricia Coury-Doniger Marguerite Urban

Abstrak Pelecehan seksual pada anak dan remaja telah dihubungkan dengan perilaku seksual beresiko ketika dewasa, namun efek-efek dari kekuatan dan tipe dari pelecehan seksual masih sedikit diketahui. Penelitian terakhir menginvestigasi hubungan antara karakteristik pelecehan seksual dan perilaku seksual beresiko selanjutnya, dan mengeksplorasi apakah jenis kelamin dari anak atau remaja berpengaruh terhadap hubungan ini. Pasien yang datang ke Klinik Penyakit Menular Seksual (PMS) mengisi survey yang menilai riwayat pelecehan seksual serta riwayat perilaku seksual sebelumnya. Partisipan dianggap mengalami pelecehan seksual bila mereka menceritakan pengalaman seksual yang (1) sebelum usia 13 dengan seseorang yang berusia 5 tahun lebih tua atau lebih, (2) saat berusia 13 tahun dan 16 tahun dengan seseorang yang berusia 10 tahun lebih tua atau lebih, atau (3) sebelum usia 17 yang disertai paksaan atau kekerasan. Partisipan yang mengalami pelecehan seksual lebih lanjut dikategorikan berdasarkan 2 karakteristik, sesuai namanya, yaitu adanya penetrasi dan kekerasan. Analisis melibatkan 1177 partisipan (n = 534 wanita, n = 643 pria). Partisipan yang mengalami pelecehan seksual dengan melibatkan penetrasi dan atau kekerasan dilaporkan lebih banyak memiliki perilaku seksual beresiko, termasuk jumlah pasangan sebelumnya dan terdiagnosis menderita PMS sebelumnya, daripada partisipan yang mengalami pelecehan seksual tanpa kekerasan dan penetrasi. Tidak ada perbedaan signifikan perilaku seks beresiko antara partisipan yang tidak mengalami pelecehan seksual dan partisipan yang mengalami pelecehan seksual; tanpa kekerasan dan tanpa penterasi. Jenis kelamin dari anak atau remaja berpengaruh terhadap hubungan karakteristik pelecehan seksual dan perilaku seksual beresiko. Untuk pria, pelecehan seksual disertai dengan paksaan dan penetrasi dihubungkan dengan jumlah yang besar dari perdagangan sex, selain itu pada wanita, yang mengalami pelecehan seksual disertai dengan penetrasi, tanpa memperhatikan apabila pelecehan seksual tersebut melibatkan paksaan, dilaporkan dengan kejadian perdagangan seks yang paling besar. Penemuan ini mengindikasikan bahwa semakin parah kejadian pelecehan seksual yang dialami berhubungan dengan perilaku seks dewasa yang semakin beresiko.Kata Kunci: Pelecehan Seksual pada Anak/Remaja Penyakit Menular Seksual HIV Perilaku SeksualPendahuluanPelecehan seksual pada anak dan remaja berhubungan dengan berbagai gangguan kesehatan fisik dan mental. Penelitian juga menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat keparahan dari pelecehan seksual, maka akibatnya adalah semakin buruk gangguan kesehatan yang dialami. Sehingga, terjadi lebih banyak pelecehan seksual (yaitu pelecehan seksual yang meilbatkan paksaan, aktivitas-aktivitas seksual yang lebih intim, atau pelecehan seksual secara berulang) berhubungan dengan adaptasi sosial yang buruk, kepuasan hidup yang kurang, dan gejala-gejala psikologis yang semakin parah (Callahan, Price, & Hilsenroth, 2003; Carlson, McNutt, & Choi, 2003; Fassler, Amodeo, Griffin, Clay, & Ellis, 2005; Feinauer, Mitchell, Harper, & Dane, 1996). Pada meta-analisis mengenai efek-efek pelecehan seksual, Rind, Tromovitch, and Bauserman (1998) menemukan bahwa berhubungan seksual secara paksa berhubungan dengan lebih banyak reaksi negatif namun tidak berhungan dengan gejala-gejala psikologis dikemudian hari, sedangkan berhubungan seksual dengan penetrasi tidak berhubungan dengan gejala tersebut. Tingkat keparahan pelecehan seksual juga telah dihubungkan dengan perilaku seksual yang beresiko di kemudian hari, termasuk mempunyai pasangan seksual lebih banyak (Merril, Guimond, Thomsen, & Milner, 2003) dan kemungkinan melakukan hubungan seksual dengan orang yang baru ditemui menjadi lebih besar, melakukan hubungan seksual pada usia yang lebih muda, dan meningkatnya frekuensi PMS (Walser & Kern, 1996). Walaupun penelitian-penelitian ini menyebutkan bahwa semakin parah pelecehan seksual berhubungan dengan perilaku seksual yang semakin beresiko, penelitian tersebut hanya menyediakan informasi yang terbatas terkait dengan aspek spesifik dari prediksi pelecehan tersebut, seperti akibat yang ditimbulkan. Dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk menentukan apakah karakteristik dari pengalaman pelecehan (misalnya apakah terjadi paksaan secara fisik saat kejadian pelecehan tersebut dan tipe dari perbuatan seksual yang dilakukan) berkaitan dengan kesehatan seksual. Dua penelitian telah mempelajari hubungan antara pelecehan seksual secara paksa dan perilaku seksual yang beresiko di kemudian hari. Cinq, Mars, Wright, Cyr, dan McDuff (2003) menemukan bahwa remaja perempuan yang mengalami pelecehan seksual secara paksa baik saat anak-anak maupun saat remaja kemungkinan besar akan melakukan hubungan seksual secara sukarela kedepannya; sedangkan perempuan yang mengalami pelecehan seksual tanpa paksaan, kemungkinan besar akan memiliki lebih dari satu pasangan seksual per tahun serta lebih besar kemungkinannya untuk hamil. Sebagai contoh seorang lelaki yang berhubungan seksual dengan sesama jenis (MSM), Jinich et al. (1998) menyebutkan bahwa pelecehan seksual secara paksa derajat sedang atau berat dihubungkan dengan frekuensi dari seks anal yang tidak terproteksi dan prevalensi HIV yang meningkat, hal ini berhubungan dengan MSM yang mengalami pelecehan seksual dengan sukarela atau dengan paksaan yang ringan. Sehingga, di dua penelitian ini, pelecehan seksual yang melibatkan kekerasan atau paksaan berkaitan dengan perilaku seksual yang lebih beresiko. Sebaliknya, pada meta analisis, Arriola, Louden, Doldren, and Fortenberry (2005) menemukan bahwa besarnya efek relasi antara pelecehan seksual dan perilaku seksual di kemudian hari (misalnya, seks yang tidak aman, seks dengan banyak pasangan, dan pekerja seks) tidak berbeda dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, penelitian termasuk pelecehan non kontak, penelitian yang hanya memasukkan pelecehan secara kontak, dan penelitian yang memasukkan hanya pelecehan ketika penetrasi; hasil dari penelitian tersebut yaitu tipe dari aktivitas seksual selama pelecehan seksual tidak berkaitan dengan perilaku seksual masa mendatang. Bagaimanapun juga, beberapa dari kategori ini hanya terdiri dari sangat sedikit penelitian (contohnya, terdapat hanya tiga penelitian yang termasuk dalam kategori pelecehan saat penetrasi). Lagi pula, akibat yang ditimbulkan mungkin telah dimanipulasi bila penelitian-penelitian dengan definisi pelecehan seksual yang kurang spesifik termasuk banyaknya jumlah partisipan yang mengalami pelecehan seksual (secara kontak atau penetrasi) yang lebih parah. Bila disimpulkan, bukti dari penelitian yang jumlahnya sedikit tersebut menyebutkan bahwa hubungan seksual secara paksa dan hubungan seksual dengan penetrasi mungkin berhubungan dengan perilaku beresiko ketika dewasa. Pembatasan dari penelitian sebelumnya yang penting adalah sedikit penelitian telah menginvestigasi perbedaan efek dari pelecehan seksual untuk pria dan wanita. Karena wanita yang sedang berada dalam suatu hubungan heteroseksual sering memiliki kontrol atau kekuatan yang kurang terhadap hubungan seks dibandingkan dengan pria (lihat Teori Mengenai Jenis Kelamin dan Kekuatan, Connell, 1987, untuk penjelasan dari ketimpangan kekuatan antara pria dan wanita), hal ini penting untuk mempelajari hubungan jenis kelamin dengan perilaku seksual. Selain itu, penelitian yang terbatas pada topik ini menyebutkan bahwa hubungan antara pelecehan seksual dan perilaku seksual saat dewasa berbeda sesuai jenis kelamin (sebagai contoh, Futterman, Hein, Reuben, Dell, & Shaffer, 1993, Mason, Zimmerman, & Evans, 1998, Zierler et al., 1991). Hal ini memungkinkan bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap karakteristik pelecehan seksual yang membawa akibat yang berbeda pada pria dan wanita, sebuah teori yang didukung oleh penelitian pada trauma psikologis akibat pelecehan seksual. Sebagai contoh, dalam meta analisis, Rind et al. (1998) menemukan bahwa apabila pelecehan seksual yang terjadi atas dasar persetujuan kedua belah pihak dihubungkan dengan penyesuaian psikologis pada pria, bukan wanita. Beberapa penelitian telah menginvestigasi efek hubungan jenis kelamin dengan karakteristik perilaku seksual. Secara keseluruhan, penelitian-penelitian sebelumnya menginivestigasi hubungan antara karakteristik pelecehan dan perilaku seksual setelahnya, cenderung menggunakan sampel yang sedikit, atau termasuk hanya pria atau hanya wanita, sehingga menghalangi perbandingan antar jenis kelamin.Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah berhubungan seksual secara paksa dan jenis tindakan seksual dikaitkan dengan perilaku seksual berisiko pada kelompok pasien rawat jalan dari klinik penyakit menular seksual (PMS). Berdasarkan penelitian sebelumnya, terdapat hipotesis bahwa: (1) berhubungan seksual secara paksa; dan (2) pelecehan seksual yang melibatkan penetrasi akan dikaitkan dengan perilaku seksual berisiko lebih besar. Tujuan kedua dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah efek karakteristik pelecehan terhadap perilaku seksual dewasa berbeda berdasarkan jenis kelamin.

MetodePesertaPeserta penelitian ini adalah pria dan wanita yang hadir di klinik umum Penyakit Menular Seksual (PMS) di New York. Semua telah diperiksa untuk kemungkinan inklusi dalam uji coba terkontrol secara acak (RCT) yang mengevaluasi beberapa program pengurangan risiko seksual yang berbeda. Kriteria inklusi untuk RCT ialah: usia 18 atau lebih; tidak HIV positif; dan perilaku seksual (misalnya, hubungan seks tanpa kondom, seks dengan beberapa pasangan) yang menempatkan mereka pada risiko untuk tertular PMS di 3 bulan terakhir. Penelitian ini menggunakan data awal dari RCT, sebelum menerima pengobatan. Data awal yang tersedia dari 1.265 peserta yang memenuhi syarat. Data dari peserta yang menolak untuk menjawab pertanyaan pelecehan seksual (n = 12) atau demografi (n = 1), tidak konsisten dalam pelaporan perilaku seksual mereka (n = 5), adalah deviasi dari rata-rata pada perilaku seksual (n = 30; didefinisikan sebagai memiliki sebuah penghapusan secara studentized residual> 4), atau termasuk dalam kesalahan (n = 1) telah dihilangkan. Deviasi rata-rata pada data perilaku seksual termasuk kriteria eksklusi karena orang-orang ini mungkin adalah anggota dari populasi yang berisiko sangat tinggi yang menghilangkan manfaat pengobatan. (Wegener & Fabrigar, 2000).Secara keseluruhan, jumlah sampel adalah 46% perempuan (n = 557), 65% Afrika Amerika (n = 785), dan 24% Kaukasia (n = 294). Mayoritas peserta tidak bekerja (n = 620; 51%), memiliki pendidikan sekolah tinggi atau kurang (n = 762; 63%), dan memiliki pendapatan rumah tangga kurang dari $ 15.000 per tahun (n = 686; 57%). Sebagian besar peserta adalah single (tidak pernah menikah; n = 958; 79%); 75 peserta (6%) menikah, dan 183 (15%) bercerai berpisah, atau janda. Peserta rata-rata 29,2 tahun (SD = 9,7). Di antara perempuan, 504 (90%) melaporkan berhubungan seks dengan laki-laki hanya dalam 3 bulan terakhir; 53 (10%) melaporkan berhubungan seks dengan laki-laki dan perempuan. Di antara pria, 612 (93%) melaporkan berhubungan seks dengan perempuan hanya dalam 3 bulan terakhir; 31 (5%) melaporkan berhubungan seks hanya dengan laki-laki; dan 15 (2%) melaporkan berhubungan seks dengan laki-laki dan perempuan dalam 3 bulan terakhir.

ProsedurPasien yang terdaftar untuk kunjungan klinik diundang ke ruang pemeriksaan pribadi oleh seorang asisten peneliti terlatih (RA), dan diminta untuk menjawab serangkaian pertanyaan skrining singkat. RA menjelaskan penelitian untuk pasien yang memenuhi kriteria kelayakan dan memperoleh persetujuan. Peserta kemudian menyelesaikannya dalam 45 menit, Audio Computer-Assisted Self Interview (ACASI) yang mencakup langkah-langkah dari karakteristik demografi, perilaku kesehatan dan keyakinan, dan fungsi psikososial, serta pertanyaan tentang masa pengalaman seksual dan perilaku seksual saat ini. ACASI digunakan karena mengoptimalkan privasi peserta (meningkatkan kualitas data) sementara memungkinkan orang yang tidak bisa membaca atau menulis untuk berpartisipasi (Schroder, Carey, & Vanable, 2003). Untuk penelitian ini, kami menggunakan data dari tindakan pelecehan seksual masa kanak-kanak / remaja dan perilaku seksual. Setelah pemeriksaan klinik dan konseling, peserta diberikan $20 sebagai kompensasi mereka untuk waktu mereka. Semua prosedur telah disetujui oleh IRBs dari lembaga yang berpartisipasi.PengukuranPelecehan seksual pada masa anak-anak dan remajaTiga hal, diadaptasi dari Finkelhor (1979) yang mengadakan survei yang lebih lama pada pengalaman seksual masa kanak-kanak, yang digunakan untuk menilai pelecehan seksual (lihat Lampiran A).1 Peserta yang melaporkan kontak pengalaman seksual (termasuk berciuman, belaian, memberikan seks oral, menerima oral seks, seks vaginal, atau seks anal) (1) sebelum usia 13 dengan seseorang 5 tahun atau lebih tua atau (2) antara usia 13 dan 16 dengan seseorang 10 tahun atau lebih tua, dan mereka yang terlapor (3) kontak pengalaman seksual sebelum usia 17 melibatkan kekerasan atau paksaan, diklasifikasikan sebagai pelecehan seksual; semua peserta lain diklasifikasikan sebagai tidak dilecehkan secara seksual. Mereka yang mengalami pelecehan seksual yang lebih dikategorikan berdasarkan apakah pelecehan seksual secara paksa dan / atau pelecehan seksual dengan penetrasi. Peserta yang melaporkan pengalaman seksual sebelum usia 17 tahun yang melibatkan kekerasan atau paksaan dianggap telah mengalami pelecehan seksual secara paksa. Peserta yang mengalami pelecehan melaporkan adanya oral, vagina, atau anal seks dianggap telah mengalami pelecehan seksual dengan penetrasi. Sebuah variabel yang tunggal, yang dibagi menjadi empat tingkat kategori diciptakan untuk menguji dampak dari karakteristik pelecehan berbeda pada perilaku seksual berisiko: (1) tidak ada pelecehan seksual; (2) pelecehan seksual tanpa paksaan atau penetrasi; (3) pelecehan seksual dengan penetrasi tetapi tanpa paksaan; dan (4) pelecehan seksual dengan baik secara paksa dan dengan penetrasi. Terlalu sedikit peserta melaporkan pelecehan seksual secara paksa dan tanpa penetrasi (n = 39, 5%) untuk dapat disertakan hanya dalam kategori pelecehan seksual secara paksa.Perilaku seksual saat iniPerilaku seksual berisiko dikembangkan dan diuji dalam studi sebelumnya (Carey et al., 1997, 2000, 2004). Peserta diminta untuk melaporkan: jumlah pasangan seksual pria dan wanita yang mereka miliki dalam hidup mereka dan dalam 3 bulan terakhir; berapa kali mereka bertukar hubungan seks dengan uang atau obat (seumur hidup); dan berapa kali mereka telah dirawat karena PMS (seumur hidup). Frekuensi berhubungan seksual tanpa kondom juga diselidiki. Peserta diminta untuk melaporkan jumlah frekuensi hubungan seks dalam 3 bulan terakhir bahwa mereka melakukan hubungan seks vaginal dan anal dengan dan tanpa kondom dengan mereka: (1) pasangan tetap; (2) laki-laki lain; dan (3) pasangan wanita lainnya. Tanggapan untuk hal ini digunakan untuk menghitung jumlah mutlak dan proporsi (jumlah episode hubungan seks tidak aman / jumlah episode hubungan seks dengan kondom dan tanpa kondom) episode hubungan seks tanpa kondom dalam 3 bulan terakhir.

1 Meskipun pertanyaan untuk menilai pelecehan seksual termasuk kata-kata yang kompleks, sebagian besar peserta (n = 719, 61%) mencetak 61 atau di atas (dari kemungkinan 66) dari Perkiraan Cepat Keaksaraan Orang Dewasa di Bidang Medis (REALM; Davis et al ., 1993). Skor 61 atau di atas konsisten dengan tingkat membaca SMA. Rata-rata di REALM adalah 57,9 (SD = 11,7), yang konsisten dengan ketujuh tingkat membaca kelas delapan.Table 1 Karakteristik Pelecehan Seksual menurut Jenis KelaminPria (n = 643)Wanita (n = 534)Total (n = 1177)

n% dari prian% dari wanitan% dari total

Tidak mengalami pelecehan seksual227351823440935

Pelecehan seksual tanpa paksaan dan tanpa penetrasi10016591115914

Pelecehan seksual hanya dengan penetrasi208321052031327

Pelecehan seksual secara paksa dan dengan penetrasi108171883529625

Analisis StatistikAnalisis varians (ANOVA) digunakan untuk menentukan apakah empat kategori pelecehan seksual (tidak ada pelecehan seksual, pelecehan seksual tanpa paksaan atau penetrasi, pelecehan seksual dengan penetrasi, dan pelecehan seksual dengan kedua kekuatan dan penetrasi) dikaitkan dengan perilaku seksual berisiko selanjutnya. Jika ada efek signifikan keseluruhan dari pelecehan seksual, tes Tukey dilakukan untuk menentukan secara spesifik untuk membedakan kelompok. Variabel demografis yang berbeda antara kelompok dikendalikan dalam analisis ini. Dengan demikian, ANOVA termasuk: (1) kovariat demografi dan (2) efek utama pelecehan seksual. Variabel hasil yang berkelanjutan yang tidak terdistribusi normal (yaitu, jumlah pasangan selama hidup, jumlah pasangan dalam 3 bulan terakhir, jumlah episode hubungan seks tanpa kondom dalam 3 bulan terakhir, berapa kali peserta bertukar seks dengan uang atau obat, dan jumlah diagnosis PMS sebelumnya) ditransformasikan menggunakan log10 dari (x + 1) transformasi (Tabachnick & Fidell, 2001). Kecuali dinyatakan lain, analisis terkait dengan variabel-variabel ini digunakan transformasi log. Analisis eksplorasi dilakukan untuk menyelidiki apakah jenis kelamin memoderasi hubungan antara karakteristik pelecehan seksual dan perilaku seksual pada kemudian hari. ANOVA dilakukan termasuk kovariat demografi, efek utama pelecehan, dan interaksi kekerasan dan jenis kelamin. HasilDari 1216 pasien yang menyelesaikan survei, 66% melaporkan pelecehan seksual saat masa kanak-kanak atau remaja (n = 807). Dari jumlah 807 peserta yang memenuhi kriteria untuk pelecehan seksual, 159 (20%) melaporkan pelecehan seksual tanpa paksaan dan tanpa penetrasi, 313 (39%) melaporkan pelecehan seksual dengan penetrasi, 39 (5%) melaporkan pelecehan seksual secara paksa dan tanpa penetrasi, dan 296 (37%) melaporkan pelecehan seksual dengan baik paksaan dan penetrasi. Karena beberapa peserta melaporkan pelecehan seksual secara paksa tetapi tanpa penetrasi, para peserta dikeluarkan dari analisis, sehingga total sampel akhir n = 1177. Karakteristik pelecehan seksual berdasarkan jenis kelamin dilaporkan pada Tabel 1.Perbedaan demografisAnalisis awal diperiksa apakah ada variabel demografis dikaitkan dengan karakteristik pelecehan seksual (lihat Tabel 2). Pelecehan seksual secara bermakna dikaitkan dengan jenis kelamin, ras, pendidikan, dan usia saat ini. Jadi, misalnya, peserta melaporkan riwayat pelecehan seksual lebih cenderung terjadi pada pendidikan yang kurang dan lebih mungkin berasal dari ras minoritas dibandingkan peserta yang tidak mengalami pelecehan. Yang penting, pelecehan seksual secara paksa dan dengan penetrasi lebih banyak dilaporkan oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Semua perbandingan berpasangan untuk karakteristik demografi disajikan pada Tabel 2. Karena asosiasi ini, jenis kelamin, ras, pendidikan, dan usia saat ini digunakan sebagai kovariat dalam analisis selanjutnya.Tabel 2 Karakteristik demografis dari pelecehan seksual yang digolongkan berdasar

Tidak MengalamiPelecehan Seksual a(n = 409)Pelecehan Seksual (tanpa paksaan atau penetrasi) b(n = 159)Pelecehan Seksual (penetrasi) c (n = 313)Pelecehan Seksual (paksaan dan penetrasi) d (n = 296)

Jenis Kelamin (pria)227 c,d56100 d63208 a,d66108 a,b,c36

Ras (minoritas)269 b,c,d66120 a,c75279 a,b,d89228 a,c77

Pendidikan (SMA atau lebih tinggi)212 b.c.dM52SD100 a,cM63SD244 a,b,dM78SD191 a,cM65SD

Umur (dalam tahun)28,4 d9,628,79,529,29,830,5 a9,7

a p