karakteristik dan peran kelas menengah di indonesia

18
Masyarakat Kelas Menengah Indonesia: Terkurung dalam Paradigma Kapitalisme Pinggiran Umar Abdul Aziz 12/332991/SP/25217 Pendahuluan Laporan Bank Dunia mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal tahun 2012 telah menarik perhatian banyak pihak. Laporan Bank Dunia (2012) tersebut menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia telah naik drastis, dari hanya sekitar 80 Juta (37,7%) penduduk menjadi 130 juta pada 2011 (56,5%). Kenaikan jumlah kelas menengah yang sangat signifikan ini kemudian banyak digadang-gadang akan menjadi agen perubahan ekonomi dan demokrasi di Indonesia. Beberapa pihak optimis, namun tidak sedikit pula yang meragukannya. Pada posisi inilah kemudian muncul perdebatan. Apakah kelas menengah ini benar akan menjadi kelas perubahan dalam bidang ekonomi dan demokrasi. Ataukah kelas menengah hanyalah akan menjadi kelas yang terbawa arus oleh perubahan yang digalakkan baik itu oleh kelas atas maupun revolusi kelas bawah? Pembahasan kelas menengah kali ini akan dibahas dengan menggunakan perspektif ketergantungan. Pendapat para Marxis juga akan beberapa kali dipinjam untuk mempertajam analisis. Penulisan ini juga akan banyak mengkritik perspektif modernis yang dikemukakan oleh S M Lipset. 1

Upload: umar-abdul-aziz

Post on 20-Jan-2016

450 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Papper Luar Biasa

TRANSCRIPT

Page 1: Karakteristik Dan Peran Kelas Menengah Di Indonesia

Masyarakat Kelas Menengah Indonesia: Terkurung dalam Paradigma

Kapitalisme Pinggiran

Umar Abdul Aziz

12/332991/SP/25217

Pendahuluan

Laporan Bank Dunia mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal tahun 2012

telah menarik perhatian banyak pihak. Laporan Bank Dunia (2012) tersebut

menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia telah naik drastis, dari hanya

sekitar 80 Juta (37,7%) penduduk menjadi 130 juta pada 2011 (56,5%). Kenaikan

jumlah kelas menengah yang sangat signifikan ini kemudian banyak digadang-gadang

akan menjadi agen perubahan ekonomi dan demokrasi di Indonesia. Beberapa pihak

optimis, namun tidak sedikit pula yang meragukannya. Pada posisi inilah kemudian

muncul perdebatan. Apakah kelas menengah ini benar akan menjadi kelas perubahan

dalam bidang ekonomi dan demokrasi. Ataukah kelas menengah hanyalah akan menjadi

kelas yang terbawa arus oleh perubahan yang digalakkan baik itu oleh kelas atas

maupun revolusi kelas bawah?

Pembahasan kelas menengah kali ini akan dibahas dengan menggunakan perspektif

ketergantungan. Pendapat para Marxis juga akan beberapa kali dipinjam untuk

mempertajam analisis. Penulisan ini juga akan banyak mengkritik perspektif modernis

yang dikemukakan oleh S M Lipset.

Siapa itu kelas menengah Indonesia?

Pembahasan mengenai kelas menengah Indonesia selalu diawali dengan perdebatan

siapakah penduduk yang termasuk dalam kelas ini? Perspektif Max Weber (dalam

Francisia: 2012) berpendapat bahwa ukuran kelas menengah dapat dilihat dari segi

pendapatan, pendidikan, status sosial, dan hal-hal lain yang dapat dikuantifikasi.

Ukuran ini menjadi sangat berbeda dengan para Marxis. Karl Marx sendiri pada

dasarnya tidak mengakui adanya eksistensi kelas menengah dalam dialektika antar kelas

ploretar dan kelas kapitalis. Namun menururt ilmuwan Marxis, Nicos Poulantzas (dalam

William Outhwaite: 2008) mengatakan bahwa masyarakat akan semakin terpolarisasi

1

Page 2: Karakteristik Dan Peran Kelas Menengah Di Indonesia

diantara dua kelas besar. Akan tercipta borjuis kecil yang terbentuk akibat dari

pengambilalihan faktor produksi mayoritas kapitalis oleh minoritas kapitalis, dan

ploretariat besar yang merupaan mayoritas populasi.

Farchan Bulkin (1984) pernah menuliskan sebuah jurnal tentang kelas menengah

Indonesia pra Orde Baru dengan perspektif ketergantungan, kemudian tanpa ragu pula

menyebut entitas ini sebagai golongan menengah. Menurut Farchan Bulkin golongan

menengah adalah kelompok sosial dalam masyarakat yang terdiri dari kaum intelektual,

mahasiswa, pemimpin suratkabar, kaum pengusaha, pedagang pribumi, ahli hukum dan

kelompok-kelompok profesional.

Perbedaan ontologi dari pendapat-pendapat diatas membuat timbul kebingungan dalam

pemberian istilah ini. Hal ini juga sempat membuat keraguan para peneliti majalah

Tempo yang akhirnya memutuskan menggunakan istilah kelas konsumen baru dalam

ulasannya edisi 20-26 Februari 2012. Hal ini berbeda dengan berita harian terbesar

nasional, Kompas yang secara tegas menyebut golongan masyarakat ini sebagai kelas

menengah baru. Meskipun berbeda, dan memungkinkan memiliki konsekuensi ontologi

yang tersendiri. Erij Hiarij dalam diskusi MAP Corner (2012) mengatakan bahwa

keduanya memiliki semangat, angka statis, dan objek yang sama. Berangkat dari hal-hal

diatas dapat disimpulkan bahwa persoalan istilah kelas konsumen baru, kelas menengah

baru, golongan ekonomi menengah, dll pada dasarnya dapat di sepakati atau dimaklumi

merujuk pada penduduk yang menghabiskan 2-20 $/harinya (Bank Dunia: 2012).

Bagaimana kelas menengah dapat terbentuk?

Jika meminjam hasil telaah Farchan Bulkin (1984), kelas menengah Indonesia

sebetulnya telah muncul pada tahun 1912 yang ditandai dengan kemunculan Sarekat

Dagang Islam. Mereka terdiri dari para pedagang, pelajar yang dibiayai pemerintah

kolonial, bangsawan pribumi, serta pegawai-pegawai pemerintah kolonial. Mayoritas

mereka adalah orang-orang yang mendapat banyak keuntungan dari kemitraanya

dengan para kapitalis pinggiran, yaitu perusahaan-perusahaan kolonial Belanda yang

ada di Indonesia. Istilah kapitalis pinggiran menunjukkan suatu keadaan di mana

keuntungan dan modal yang ditarik dari sistem ini tidak dikumpulkan dan dipusatkan

dalam sistem perekonomian domestik, melainkan di luar, yaitu dalam kapitalisme pusat.

2

Page 3: Karakteristik Dan Peran Kelas Menengah Di Indonesia

Tren ini kemudian tidak hilang pada Orde Baru, tidak sedikit masyarakat yang “naik

kelas” karena keterlibatan mereka bekerja pada perusahaan asing yang tumbuh subur

pada Orde Baru. Namun ada kelas menengah lain yang lahir dari cara yang berbeda.

Yaitu para elit pegawai negeri dan ABRI yang bekerja pada negara. Pada masa Orde

Baru, kesejahteraan para pegawainya sangat diperhatikan. Sehingga para pegawai

negeri dan ABRI mendapat kemakmuan sosial yang lebih. Banyak pihak yang

mengatakan bahwa para elit pegawai negeri dan ABRI ini lahir dari rahim negara.

Namun sebetulnya argumen ini masih diperdebatkan. Sebab pada Orde Baru,

pemerintah telah menjadi “pelayan” yang baik bagi para investor asing di Indonesia.

Sehingga kelas menengah ini lahir tidak lepas hubungannya dengan para kapitalis

pinggiran di Indonesia.

Pasca reformasi, liberalisasi ekonomi di galakkan diberbagai sektor, mulai dari

pendidikan, kesehatan, transportasi, komunikasi, teknologi, pangan, franchice, dll.

Liberalisasi ini membuat investor asing semakin menjamur di Indonesia. Para investor

asing muncul dengan berbagai rupa. Mulai dari rupa yang “nyata-nyata” adalah

perusahaan asing, seperti perusahaan otomotif dengan merk Honda, BMW, Toyota,

Yamaha, ataupun perusahaan multi nasional dengan merk seperti Unilever, P&G,

Danone, Apple, BlackBerry, Samsung, dll. Ada pula perusahaan-perusahaan lokal yang

sahamnya dikuasai asing. Contohnya saja perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia,

yang kini kesemuanya dimiliki oleh Philip Morris, British Tobacco, Imperial Tobacco,

dll. Hingga BUMN seperti Telkom, Indosat, Semen Gresik, Bank Mandiri, BRI, Kimia

Farma, Bukit Asam, Garuda Nusantara, dll yang 85% sahamnya dimiliki oleh investor

asing (Beritasatu.com: 2011).

Penguasaan para kapitalis pinggiran di Indonesia dengan strategi liberalisasi

ekonominya, nyatanya cukup sukses dan berhasil meraup keuntungan kapitalis yang

besar. Bekerja menjadi pegawai rendahan apalagi enjadi direksi perusahaan asing

adalah prestise. Tidak hanya prestisem penduduk yang bekerja pada kapitalis pinggiran

ini, kemudian mendapat “tetesan” dari para kapitalis pinggiran tersebut. Dari upah

tersebut para pegawai perusahaan, profesional, lahir menjadi kelas menengah baru.

Beberapa diantaranya dapat menghabiskan upahnya mulai dari 2$/hari hingga 20$/hari.

Karakteristik Ekonomi-Politik Kelas Menengah Indonesia

3

Page 4: Karakteristik Dan Peran Kelas Menengah Di Indonesia

Para ilmuwan liberal atau ilmuwan modernis mungkin akan berbangga hati akan

semakin baiknya pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang selalu diatas 5% pada

sepuluh tahun terakhir ini. Namun para liberalis maupun modernis akan tersengat jika

melihat karakter ekonomi-politik kelas menengah ini. Hasil penelitian Litbang Kompas

(Edisi 8 Juni 2012) memaparkan bahwa kelas menengah indonesia bergerak semakin

jauh dari ideologi liberalis-demokratis. Kelas menengah di Indonesia justru tergerak

atau digerakkan untuk menjadi individu yang konservatif, pragmatis, oportunis,

konsumtif, dan intoleran.

Hal ini menjadi anti-tesis daripada argumen Lipset (2007) bahwa masyarakat yang

semakin modern dan semakin tinggi kemampuan ekonominya, maka akan semakin

mendukung terselenggaranya demokrasi yang ideal. Masyarakat kelas menengah

digerakkan untuk menghabiskan uang mereka untuk kesenangan pribadi mereka,

dibandingkan untuk memenuhi kewajiban terhadap negara, apalagi untuk disalurkan

secara suka rela kepada lembaga sosial-agama.

Hal ini terjadi lantaran budaya yang telah menstruktur paradigma masyarakat kelas

menengah. Struktur paradigma ini terjadi akibat pengaruh media massa yang selama ini

dikuasai oleh kapitalis pinggiran. Hal ini didasari penelitian Litbang Kompas (Edisi 8

Juni 2012) juga bahwa pengaruh media massa terhadap masyarakat kelas menengah

sangatlah tinggi. Dari media massa ini terpolarisasi apa yang dianggap “keren”,

“trendi”, “membanggakan”, “valuable”, dll. Lihat saja, apa yang ada di saluran-saluran

televisi Indonesia saat ini, iklan rokok, otomotif, telekomunikasi, properti, makanan, dll

hampir semuanya adalah iklan yang kepemilikannya adalah milik asing. Bahkan yang

tidak kasat mata, acara-acara di televisi Indonesia sangat sering menunjukkan

kemegahan hidup mewah, seperti dalam sinetron, acara gossip, reality show, dll.

Paradigma itu berpengaruh pada pola konsumsi masyarakat kelas menengah. Menurut

riset Tempo yang dirilis pada edisi 20 Februari 2012, mengatakan bahwa uang

masyarakat kelas menengah habis untuk berbagai keperluan, yaitu 41,7 % untuk

keperluan pangan; 17,2% papan; 7,3% untuk produk dan pelayanan rumah tangga; 7,1%

keperluan edukasi; 5,8% hotel dan katering; 5,2% alkohol dan rokok; 3,6% transportasi;

3,6% sandang; 2,5% produk dan pelayanan kesehatan; 2,1% rekreasi; 1,7% untuk

komunikasi; dan 2,2% untuk produk dan pelayanan lain. Porsi pengeluaran untuk

4

Page 5: Karakteristik Dan Peran Kelas Menengah Di Indonesia

makanan menjadi porsi terbesar akibat pergeseran perilaku konsumsi pangan

masyarakat yang dahulu selalu memasak makanannya sendiri di rumah, namun kini ada

yang lebih sering atau bahkan selalu makan di resto/restoran/kafe. Tidak sulit

menemukan orang-orang yang penuh sesak makan di resto/restoran/kafe kelas atas

mulai dari KFC, McDonald, Solaria, Hoka-Hoka Bento, Pizza Hut, dll yang

menghabiskan mulai dari Rp 25.000 sampai dengan Rp 50.000 untuk sekali makan.

Pada sektor telekomunikasi, hasil riset Litbang Kompas (Edisi 8 Juni 2012)

menunjukkan bahwa 54,1 % mayrakat kelas menengah atas telah memiliki smartphone

seperti Blackberry, Samsung Galaxy, iPhone, dll. Bahkan 23,1% diantaranya memeiliki

lebih dari satu smartphone. Sedangkan pada masyarakat kelas menengah 31,2% telah

memiliki smartphone; 9,2% diantaranya memiliki lebih dari satu.

Pada sektor otomotif, penjualan mobil dan motor di tiap tahunnya sejak 2000-2012

adalah sebagai berikut (Gaikindo News dalam Tempo: 2012):

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 20120

1,000,000

2,000,000

3,000,000

4,000,000

5,000,000

6,000,000

7,000,000

8,000,000

9,000,000

345,653299,629317,794354,331483,317533,910318,904434,449607,805486,061764,710898,1801,028,307864,1441,575,822

2,265,4742,809,896

3,898,744

5,074,1864,428,2744,688,263

6,215,8315,881,777

7,398,6448,043,535

Mobil Motor

Jumlah penjualan mobil dan motor sangat tidak terbendung. Tidak jarang dalam kurun

waktu 13 tahun diatas seorang masyarakat kelas menengah membeli mobil maupun

motor lebih dari satu.

Hal ini tentu bertolak belakang dari pada pengeluaran yang seharusnya dikeluarkan

masyarakat kelas menengah kepada negara. Misal dalam kasus pajak, logikanya,

semakin besar jumlah masyarakat kelas menengah, seharusnya semakin banyak wajib

5

Page 6: Karakteristik Dan Peran Kelas Menengah Di Indonesia

pajak. Namun ternyata hal ini tidak terjadi di tahun 2013, dimana realisasi pajak tahun

2013 menjadi yang terburuk selama kurun waktu 3 tahun terakhir (progresive news:

2013). Penerimaan pajak yang ditargetkan sebesar Rp.1.139,32 triliun dalam APBNP,

ternyata realisasinya hanya Rp. 1.040, 32 triliun atau 91,31 % dari target

(beritasatu.com:). Direktur Jenderal Pajak  Fuad Rahmany mengungkapkan bahwa

sejak tahun 2002, Indonesia hanya 2 kali pencapaian pajak sesuai dengan target. Belum

lagi masalah rasio pajak di Indonesia yang masih minim yaitu sekitar 12%, padahal

idealnya untuk negara lower middle income country seperti Indonesia, rasio pajaknya

adalah 19-26%. Fuad Rahmany mengatakan bahwa salah satu penyebab terbesar tidak

tercapainya target pajak ini adalah sikap menghindar, ketidakjujuran, dan ketidaktaatan

wajib pajak yang terdiri dari kelas menengah bawah sampai kelas atas.

Fakta yang lebih mencengangkan lagi adalah realisasi dari potensi zakat. Potensi zakat

yang diperkirakan Baznaz (dalam Okezone: 2013) sekitar Rp 217 Triliun ternyata

realisasinya hanya Rp 2,3 Triliun yang artinya hanya 1% saja. Pada sektor BBM,

masyarakat kelas menengah juga telah membuat pemerintah kelimpungan karena selalu

ngotot menggunakan BBM bersubsidi, meskipun sudah diserukan pelarangannya

berkali-kali (meskipun memang tidak ada hukumannya). Pernyimpangan ini menurut

Menteri ESDM, Jero Wacik (dalam Kompas: 2012) menyebabkan subsidi BBM tidak

tepat sasaran, sebab sebanyak 77% dinikmati oleh masyarakat atas dan menengah atas,

15% oleh masyarakat menengah kebawah, dan hanya 8% oleh masyarakat miskin.

Data-data diatas menunjukkan begitu royalnya masyarakat kelas menengah untuk

membelanjakan kebutuhan-kebutuhan sekunder hingga tersier. Makan di restoran

mahal, memiliki smartphone dan kendaraan bermotor yang lebih dari satu. Semua

perilaku konsumtif itu, disadari maupun tidak akan bermuara pada keuntungan

perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Sebagaimana diketahui, bahwa industri

otomotif, telekomunikasi, dan francshise di Indonesia, semuanya dikuasai oleh asing.

Aliran uang dari masyarakat kelas menengah akan mengalir pada perusahaan-

perusahaan asing yang ada Indonesia. Kemudian, profit-profit segar akan mengalir deras

kepada perusahaan asing yang berada di negara-negara kapitalis. Masyarakat kelas

menengah sepertinya tidak menyadari bahwa mereka telah menghabur-haburkan uang

mereka untuk keuntungan kapitalis asing, sedangkan kewajiban mereka yang

6

Page 7: Karakteristik Dan Peran Kelas Menengah Di Indonesia

seharusnya membayar pajak, zakat, menggunakan BBM non-subsidi, ataupun

menggunakan produk dalam negeri justru tidak dilaksanakan.

Perilaku Politik Kelas Menengah: Konservatif-pragmatis, No risk

Perilaku politik kelas menengah di Indonesia dapat kita lihat track record-nya sejak

masa Orde Baru sampai dengan masa reformasi sekarang ini. Pada masa Orde Baru,

kelas menengah Indonesia saat itu merasa “adem-ayem” saja dengan berbagai tindak-

tanduk kebijakan pemerintahan Soeharto. Tidak hanya sekadar diam, tetapi tidak jarang

justru para kelas menengah saat itu menjadi kaki-tangan Orde baru sendiri. Mereka

tidak mau ambil pusing, tidak mau ambil resiko, tidak mau banyak menuntut

pemerintah, melakukan perlawanan, apalagi menjadi oposisi. Masa bodoh dengan

HAM, masa bodoh dengan keotoriteran. Selama hidup kelas menengah ini dapat

berjalan lancar, maka tidak akan ada perlawanan yang berarti. Pada tiap

penyelenggaraan Pemilu di masa Orde Baru, Golkar selalu muncul sebagai pemenang.

Presentase kemenangannyapun tidak tanggung-tanggung, rata-rata Golkar selalu

memperoleh suara/kursi sebesar 70% (data KPU dalam Budiardjo: 2007). Sikap kelas

menengah ini telah menjadi kekuatan bagi Orde Baru sehingga dapat bertahan selama

32 tahun. Namun apa yang terjadi ketika terjadi reformasi? Melihat kekuatan Orde Baru

yang semakin rapuh, kapitalis pinggiran yang jadi sasaran amukan, dan krisis ekonomi.

Kelas menengah ikut berbondong-bondong bersama kelas bawah untuk menjatuhkan

rezim 32 tahun tersebut.

Adapun partisipasi pemilih pada masa reformasi semakin lama semakin menurun

(vivanews.com: 2013), berbanding terbalik dengan jumlah kelas menengah di Indonesia.

Pada Pemilu tahun 1999, angka partisipasi pemilih cukup tinggi yaitu 92,9%. Namun

pada tahun Pemilu 2004, angka partisipasi pemilih turun menjadi hanya mencapai

84,7%. Pada tahun 2009 angka partisipasi pemilih hanya mencapai 70,99%. Pada

pemilukada 2012-2013 di berbagai provinsi, angka partisipasinya juga sangat rendah.

Tingkat partisipasi Pilgub DKI Jakarta (2012) hanya 64,6%, Pilgub Jawa Timur (2013)

hanya mencapai 58,9%, Pilgub Riau hanya 53,3%, Pilgub Jawa Tengah (2013) hanya

51,1% , bahkan pada Pilgub Sumatera Utara (2013) jumlah partisipasinya hanya

mencapai 48,2% (berbagai sumber dengan rujukan utama Merdeka.com: 2013). Fakta-

fakta diatas membuat KPU tidak berani mematok target tinggi dalam menargetkan

7

Page 8: Karakteristik Dan Peran Kelas Menengah Di Indonesia

partisipasi pemilih pada Pemilu 2014, yaitu hanya 75%. Bahkan dengan target sebesar

itu, masih banyak pihak yang meragukan, seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang

memprediksi tingkat partisipasi pemilih hanya 50% (Suarapembangunan.net: 2013).

Bukan hanya masalah kuantitas partisipasi pemilih. Namun kualitas partisipasi pemilih

juga bermasalah. Sigit Pamungkas (dalam seminar Polgov: 2013) mengungkapkan

bahwa semakin lama modus pelanggaran Pemilu semakin variatif, kuantifikasi

pelanggarannyapun semakin banyak. Data yang diperoleh dari evaluasi Bawaslu (2010)

menunjukkan pelanggaran Pemilu yang meningkat drastis. Pada tahun 1999 terjadi

sekitar 4290 laporan pelanggaran, 3199 pelanggaran administratif 1091 pelanggaran

pidana. Pada tahun 2004 terjadi sekitar 12099 laporan pelangaran, 8946 pelanggaran

administratif, 3153 pelanggaran pidana. Pada tahun 2009 diterima sekitar 21360

pelanggaran, 15341 pelanggaran administratif, dan 6019 pelanggaran pidana. Data ini

sekiranya membuktikan bahwa pelaksanaan Pemilu di Indonesia diwarnai praktik-

praktik yang tidak sehat.

Mungkin akan timbul pertanyaan, apa hubungannya partisipasi pemilih, pelanggaran

pemilu dengan teori ketergantungan? Tentu saja ada hubungannya. Para modernis bisa

mengelak bahwa keabsenan pemilih adalah bentuk dari legitimasi masyarakat yang

sudah puas terhadap pemerintah yang telah berhasil menjalankan demokrasi yang ideal

dan sehat. Tesis tersebut sangat bertentangan dengan apa yang dikatakan Rita

Abrahamsen (2002) bahwa masyarakat kelas menengah sama sekali masa bodoh dan

tidak memahami esensi dan prinsip demokrasi. Masyarakat menengah pada saat Pemilu

sekiranya terdiri dari dua bagian, kelompok satu yaitu minoritas masyarakat kelas

menengah yang memilki kepentingan pada saat Pemilu. Kelompok inilah yang rentan

melakukan pelaggaran pemilu. Kemudian kelompok lainnya adalah masyarakat

menengah yang apatis/tidak peduli terhadap pemilu. Mereka berpendapat bahwa

memilih atau tidak memilih adalah sama saja, tidak akan berpengaruh apapun terhadap

kehidupan mereka. Biasanya mereka baru mau memilih kalau diberikan money politics

dari calon/parpol tertentu. Kelompok inilah yang bersikap konservatif-pragmatis. Hal

ini juga menunjukkan demokrasi yang sama sekali tidak sehat telah terjadi di Indonesia.

Bagi para kapitalis-perusahaan asing, hal ini tentunya bukan masalah. Bahkan

sebetulnya inilah yang mereka harapkan. Para kapitalis sangat tidak menginginkan

8

Page 9: Karakteristik Dan Peran Kelas Menengah Di Indonesia

demokrasi politik yang dinamis. Sebab pertumbuhan ekonomi dan keberlangsungan

industri membutuhkan stabilitas ekonomi dan politik. Para perusahaan asing terus

berupaya mengeluarkan produk-produk baru mereka untuk menarik kesibukan dan uang

kelas menengah. Sehingga masyarakat kelas menengah akan menjadi acuh, tidak

memiliki waktu dan uang lagi untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Ruang politik

yang kosong ini kemudian akan disesaki kemudian dengan kepentingan-kepentingan

para perusahaan asing. Kapitalis pinggiran tidak akan mendapat tantangan serius dari

kelas menengah yang sudah apatis. Alhasil liberalisasi ekonomi dapat terus berjalan dan

tumbuh subur di Indonesia.

Kesimpulan

Kelahiran masyarakat kelas menengah baru yang mayoritas lahir dari kemitraannya

dengan perusahaan asing adalah awal dari masalah ini. Masyarakat akan mencurahkan

waktu dan tenanganya untuk bekerja pada perusahaan asing, mendapat penghasilan dari

perusahaan asing, membelanjakan dan menghabiskan waktu untuk membeli produk dan

layanan perusahaan asing. Siklus ini seolah menjadi “lingkaran setan”, dimana

perputaran uang, dominasi politik dikuasai oleh elit-elit atas. Masyarakat kelas

menengah hanya menjadi objek untuk terjebak dalam materialisme dan pragmatisme.

Melihat begitu sudah mengguritanya penguasaan asing terhadap masyarakat menengah.

Terlalu naif memang jika kita mengharapkan kelas masyarakat menengah dapat menjadi

indivu-individu atau kelas kolektif yang akan menjadi agen perubahan ekonomi-politik

Indonesia. Apalagi mengingat kesadaran kelas masyarakat menengah ini sangat rendah.

Terlalu naif pula apabila kita mengidam-idamkan Indonesia yang berdikari-yang bebas

dari perusahaan asing. Namun ketika masyarakat menengah menjadi sangat konsumtif,

namun mengabaikan kewajibannya terhadap negara, tentunya ada kesalahan disana.

Pemerintah perlu berperan melakukan berbagai program untuk “menyadarkan”

masyarakat dari berbagai kelas, khususnya kelas menengah untuk berkontribusi lebih

terhadap negara. Seperti, mentertibkan media yang terlalu berlebihan terhadap

komersialisasi penyiarannya. Melemparkan berbagai propaganda ke publik, bahwa

bekerja menjadi wiraswasta pribumi lebih prestise dibanding menjadi pegawai

perusahaan asing. Membuat pemasaran produk dan layanan dalam negeri yang tidak

kalah dengan produk asing. Menyadarkan pentingnya partisipasi politik secara luas,

9

Page 10: Karakteristik Dan Peran Kelas Menengah Di Indonesia

bukan hanya partisipasi politik praktis. Berbagai upaya tersebut setidaknya dapat

membuat ekonomi-politik Indonesia lebih kokoh, sehat dan independen. Apalagi

tantangan kedepannya Indonesia harus menghadapi ASEAN Community dan AFTA

2015 yang sudah terlanjur ditandatangani.

Daftar Pustaka

Enslikopedi

Outhwaite, William. 2008. Pemikiran Sosial Modern(Ed.2). Jakarta: Prenada

Media Group

Jurnal

Seda, Fransisca. 2012. Kelas Menengah Indonesia: Gambaran Umum

Konseptual. Dimuat dalam Jurnal Prisma Vol 31, No 1, 2012

Bulkin, Farchan. 1984. Kapitaliseme, Kelas Menengah dan Negara. Dimuat

dalam Jurnal Prisma No 2 1984

Laporan Resmi

Bank Dunia. 2011. Laporan Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia-

Desember 2011.

Buku

Abrahamsen, Rita. Rita Abrahamsen. 2000. Sudut Gelap Kemajuan : Relasi

Kuasa Dalam Wacana Pembangunan. Zed Books: New York

Lipset, Seymour M. 2007. Political Man. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Majalah dan Surat Kabar

Tempo. 2012. Laporan Khusus: Kelas Konsumen Baru Indonesia. No 1226

Edisi 20-26 Februari 2012

10

Page 11: Karakteristik Dan Peran Kelas Menengah Di Indonesia

Litbang Kompas. 2012. Fokus: Kelas Menengah. Kompas Edisi Jumat/8 Juni

2012

Internet

Administrator. 2013. http://suarapembangunan.net/partisipasi-politik-pemilu-

2014-akan-kurang-dari-50-persen&catid=15:politik&Itemid=11, diakes 08/01/2014 Jam

21.00 WIB

Arfi Bambani Amri. 2014. http://politik.news.viva.co.id/news/read/430115-

ketua-kpu--ada-tren-partisipasi-pemilu-menurun, diakes 08/01/2014 Jam 22.00 WIB

Erlangga Djumena . 2013.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read//Menteri.ESDM.Pengguna.BBM.Subsidi.77.Per

sen.Warga.Kelas.Atas., diakes 08/01/2014 Jam 21.00 WIB

Fajar. 2011. http://www.beritasatu.com/keuangan/16627-saham-bumn-

mayoritas-dimiliki-asing.html, diakes 08/01/2014 Jam 21.00 WIB

Hutauruk, Dina Mirayanti. 2013.

http://economy.okezone.com/read/-836244/potensi-zakat-di-indonesia-rp217-triliun,

diakes 09/01/2014 Jam 20.00 WIB

Investor Daily. 2014. http://www.beritasatu.com/makro/156627-realisasi-

penerimaan-pajak-tahun-2013-diprediksi-hanya-9131.html, diakes 09/01/2014 Jam

20.00 WIB

Lestari, Mustiana. 2013. http://www.merdeka.com/politik/sumut-paling-rendah-

tingkat-partisipasi-pemilih-di-pilkada.html, diakes 09/01/2014 Jam 20.00 WIB

Reza, Khairur. 2014. http://news.detik.com/read/115626/2462629/10/kpu-

targetkan-partisipasi-pemilih-75-di-pemilu-2014, diakes 09/01/2014 Jam 22.00 WIB

11