kara ha bodas case

113
Gatot Soemartono [email protected] KASUS KARAHA BODAS A. Latar Belakang 1. Para Pihak Proyek Karaha Bodas Dari hasil penelitian, ditemukan adanya 3 pihak yang terkait dengan proyek Karaha Bodas sebagai berikut: a. Karaha Bodas Company (KBC) KBC adalah Perseroan Terbatas yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum Kepulauan Cayman yang berkedudukan di gedung Plaza Aminta Suite 901, Jl. TB Simatupang, Kav. 10, Jakarta 12310, Indonesia. KBC diberi kuasa berdasarkan kontrak pengembangan proyek geo-termal (sumber panas bumi) Karaha Bodas, 51 dengan kewajiban untuk mengembangkan energi geo-termal berkapasitas 400 MW (empat ratus mega watt) dengan membangun serta menjalankan fasilitas pembangkitan tenaga listrik, yang selanjutnya menjual tenaga listrik tersebut kepada PLN atas nama Pertamina. Disebutkan dalam putusan akhir (final award) Arbitrase UNCITRAL bahwa pihak yang mewakili KBC sebagai penggugat adalah Jonathan D. Schiller (claimant, represented by Mr. Jonathan D. Schiller, Boies & Schiller, 5301 Wisconsin Avenue, NW, Suite 570, Washington DC 20015, USA). 52 b. Perusahaan Pertambangan Minyak & Gas Bumi Negara (Pertamina) Pertamina adalah suatu perusahaan minyak dan gas bumi yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum Indonesia, yang berkedudukan di Jl. Kramat Raya No. 59, Lantai 4, Jakarta 10450, Indonesia. Pertamina didirikan berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1971 dan dimiliki oleh 51 Proyek tersebut melingkupi terutama dua wilayah, yaitu: wilayah Karaha dan wilayah Telaga Bodas, di Jawa Barat, sehingga dikenal sebagai Proyek Karaha Bodas. 52 Measley’s International Arbitration Report (2001) Final Award in An Arbitration Procedure under the UNCITRAL Arbitration Rules, New Jersey: LexisNexis, Vol. 16, hlm. 1. Based on Gatot’s Research Only for Private Use 1

Upload: dediisme

Post on 11-Jan-2016

95 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Book

TRANSCRIPT

Page 1: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

KASUS KARAHA BODAS A. Latar Belakang 1. Para Pihak Proyek Karaha Bodas

Dari hasil penelitian, ditemukan adanya 3 pihak yang terkait dengan

proyek Karaha Bodas sebagai berikut:

a. Karaha Bodas Company (KBC) KBC adalah Perseroan Terbatas yang didirikan dan bergerak berdasarkan

hukum Kepulauan Cayman yang berkedudukan di gedung Plaza Aminta

Suite 901, Jl. TB Simatupang, Kav. 10, Jakarta 12310, Indonesia. KBC

diberi kuasa berdasarkan kontrak pengembangan proyek geo-termal

(sumber panas bumi) Karaha Bodas,51 dengan kewajiban untuk

mengembangkan energi geo-termal berkapasitas 400 MW (empat ratus

mega watt) dengan membangun serta menjalankan fasilitas

pembangkitan tenaga listrik, yang selanjutnya menjual tenaga listrik

tersebut kepada PLN atas nama Pertamina.

Disebutkan dalam putusan akhir (final award) Arbitrase UNCITRAL bahwa

pihak yang mewakili KBC sebagai penggugat adalah Jonathan D. Schiller

(claimant, represented by Mr. Jonathan D. Schiller, Boies & Schiller, 5301

Wisconsin Avenue, NW, Suite 570, Washington DC 20015, USA).52

b. Perusahaan Pertambangan Minyak & Gas Bumi Negara (Pertamina) Pertamina adalah suatu perusahaan minyak dan gas bumi yang didirikan

dan bergerak berdasarkan hukum Indonesia, yang berkedudukan di Jl.

Kramat Raya No. 59, Lantai 4, Jakarta 10450, Indonesia. Pertamina

didirikan berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1971 dan dimiliki oleh 51 Proyek tersebut melingkupi terutama dua wilayah, yaitu: wilayah Karaha dan wilayah Telaga Bodas, di Jawa Barat, sehingga dikenal sebagai Proyek Karaha Bodas. 52 Measley’s International Arbitration Report (2001) Final Award in An Arbitration Procedure under the UNCITRAL Arbitration Rules, New Jersey: LexisNexis, Vol. 16, hlm. 1.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

1

Page 2: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Pemerintah Republik Indonesia. Pertamina dipercaya untuk melakukan

eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber daya panas bumi dan

menghasilkan listrik di Indonesia.

Dalam putusan akhir (final award) Arbitrase UNCITRAL disebutkan pihak

yang mewakili Pertamina, yaitu: Adnan Buyung Nasution dan Edwin

Mishkin (respondent, represented by Adnan Buyung Nasution & Partners,

Wisma Danamon Aetna Life, 18th Floor, JL. Jend. Sudirman Kav. 45-46,

Jakarta 12930, Indonesia, and by Mr. Edwin Mishkin, Clearly Gottlieb &

Hamilton, One Liberty Plaza, New York, NY 1006-1470, USA).53

c. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (disingkat PLN) PLN adalah sebuah perusahaan yang didirikan dan bergerak berdasarkan

hukum Indonesia, yang berkedudukan di Jl. Trunooyo No. 135,

Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160, Indonesia. Sebagai perusahaan

negara yang tunduk pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998,

PLN adalah pemakai tenaga listrik yang mengusahakan penyediaan listrik

kepada umum di Indonesia.

Catatan: Dalam kasus ini PLN bersama-sama dengan Pertamina diwakili

oleh para pengacara dari kantor hukum yang sama.

2. Gambaran Umum Kasus Karaha Bodas

Tentang kasus karaha Bodas tersebut, dari hasil penelitian secara

kronologi dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Kontrak-kontrak Pada 28 November 1994, KBC dan Pertamina menandatangani sebuah

perjanjian, yaitu kontrak operasi bersama atau Joint Operation Contract

(JOC). Di dalam kontrak tersebut ditentukan bahwa Pertamina bertanggung

53 Ibid., hlm. 2.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

2

Page 3: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

jawab untuk mengelola pengoperasian geo-termal di dalam proyek,

sedangkan KBC bertindak sebagai kontraktor. Dalam kontrak dengan tegas

disebutkan bahwa KBC diwajibkan untuk mengembangkan enerji geo-termal

di daerah proyek, serta to build, own and operate generating facilities (untuk

membangun, memiliki, dan mengoperasikan pembangkit tenaga listrik).

Pada tanggal tersebut PLN di satu pihak dan KBC dengan Pertamina di

lain pihak juga menandatangani sebuah kontrak yaitu Energy Sales Contract

(ESC) yang isinya menentukan bahwa PLN setuju untuk membeli dari

Pertamina tenaga listrik yang berasal dari fasilitas pembangkitan tenaga listrik

yang dihasilkan oleh KBC (sebagai kontraktor dari Pertamina berdasar JOC).

b. Pelaksanaan awal proyek Sejak penanda-tanganan kontrak tersebut, khususnya antara tahun 1995 dan

1997, KBC telah mulai serta menyelesaikan sebagian program eksplorasi

dan pemboran.54 Khususnya pada 12 Agustus 1997, dalam pertemuan

Komite Bersama diputuskan bahwa KBC harus menyerahkan Notice of

Resource Confirmation (NORC) atau pemberitahuan pembenaran adanya

sumber daya alam dengan kapasitas sebesar 55 MW di wilayah Karaha pada

atau sekitar 15 September 1997, dan kapasitas sebesar 55 MW untuk Telaga

Bodas pada 1 November 1997. KBC juga diminta untuk menyerahkan Notice

of Intent to Develop (NOID) atau pemberitahuan untuk melakukan

pengembangan kapasitas listrik sebesar 110 MW pada tanggal 20

Desember 1997. Atas kewajiban-kewajiban tersebut, pada tanggal 18

September KBC telah menyerahkan kepada Pertamina NORC yang pertama

untuk kapasitas sebesar 60 MW di Karaha.

54Hal ini didasarkan pada Notulen Rapat dari beberapa pertemuan Komite Bersama yang dihadiri oleh KBC, Pertamina, dan PLN, di mana KBC menyampaikan rencana kerja dan anggaran secara teratur kepada Pertamina pada 1995, 1996, dan 1997.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

3

Page 4: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

c. Penangguhan proyek Atas saran International Monetary Fund (IMF), pada tanggal 20 September

1997, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden

Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan Proyek Pemerintah, yang

isinya: “… untuk memelihara kelangsungan ekonomi dan secara umum

kemajuan ekonomi nasional, perlu dilakukan langkah penanggulangan

fluktuasi keuangan dan akibat yang ditimbulkan.”

Dalam rangka penanggulangan masalah tersebut, Pasal 5 Keppres

menyatakan bahwa, “… perlu diambil langkah penundaan/peninjauan

kembali sejumlah proyek, sebanyak 75 proyek, termasuk proyek Karaha

Bodas.” Namun demikian, para pihak menganggap bahwa penangguhan

proyek Karaha Bodas tidak akan berlangsung lama, bahkan Pertamina dan

PLN dalam pertemuan Komite Bersama 14 Oktober 1997 menyatakan

keyakinannya bahwa status proyek akan dipulihkan kembali.

Prediksi yang mencerminkan sikap optimis tersebut akhirnya terbukti pada

1 November 1997, yaitu pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden

Nomor 47 Tahun 1997 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional yang berisi

perintah agar beberapa proyek yang tertunda termasuk proyek Karaha Bodas

dapat diteruskan lagi. Dengan adanya Keppres No. 47 Tahun 1997 tersebut,

KBC melanjutkan kembali aktivitas eksplorasi dan pengembangan proyek

Karaha Bodas tersebut.

Pada 16 Desember 1997, KBC menyerahkan NORC kepada Pertamina

yang menunjukkan kemungkinan adanya kapasitas sebesar 210 MW sumber

daya alam di wilayah Karaha dan Telaga Bodas. KBC menyampaikan

pemberitahuan tersebut dengan maksud untuk mengembangkan pembangkit

tenaga listrik sebesar jumlah tersebut, yang hal ini dilanjutkan dengan

aktivitas eksplorasi dan pengembangan oleh KBC.

Namun demikian, pada tanggal 10 Januari 1998 proyek Karaha Bodas

kembali ditunda dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

4

Page 5: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

1998 tentang Pembatalan Proyek Pemerintah. Keppres tersebut

membatalkan Keppres No. 47 Tahun 1997 dan mengkonfirmasikan

penundaan proyek Karaha Bodas.

Dengan dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 tersebut, KBC dengan

pertimbangan bahwa proyek Karaha Bodas akan tertunda untuk jangka

waktu yang tidak pasti, pada tanggal 30 April 1998 menyampaikan gugatan

arbitrase (Notice of Arbitration) kepada Pertamina, PLN dan Pemerintah

Indonesia (Departemen Pertambangan dan Energi) untuk mengadakan

proses pemeriksaan arbitrase di Jenewa, Swiss.

Antara dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 (pada 10 Januari 1998)

dan pemberitahuan untuk arbitrase (pada 30 April 1998) terdapat beberapa

peristiwa yang perlu mendapat perhatian sebagai berikut:

a. Pada Januari 1998 KBC dan Pertamina memutuskan untuk secara

bersama-sama melakukan usaha untuk meyakinkan pemerintah

Indonesia agar membebaskan proyek Karaha Bodas dari keputusan

Keppres No. 5 Tahun 1998. Atas permohonan Pertamina, KBC mengirim

surat pada tanggal 23 Januari 1998, yang isinya argumentasi untuk

mendukung pembatalan keputusan penangguhan proyek tersebut. Selain

itu, Pertamina menyampaikan kepada Kepala Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 11 Februari 1998, yang isinya

meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kelanjutan proyek

“dalam waktu dekat.”

b. Sementara itu sebelumnya, 10 Februari 1998, KBC telah mengirim

pemberitahuan kepada Pertamina dan PLN bahwa pemberlakuan

Keppres No. 5 Tahun 1998 dan No. 39 Tahun 1997 merupakan keadaan

memaksa (force majeur) berdasarkan kontrak JOC dan ESC. Untuk itu

KBC menyarankan untuk mengadakan pertemuan segera dengan pihak

Pertamina dan PLN, di mana KBC memiliki hak untuk menyampaikan

klaim.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

5

Page 6: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Catatan: Pertemuan antara tiga pihak, sebagaimana yang diminta oleh KBC

tersebut, tidak pernah berlangsung.55

c. Pada 5 Maret, KBC mengirim kepada Pertamina program kerja dan

anggaran yang telah diperbaiki untuk tahun 1998 yang memperhitungkan

penangguhan proyek didasarkan pada perkiraan bahwa pekerjaan akan

dilanjutkan pada kuartal ke-4 tahun tersebut. Pertamina menyetujui

program kerja dan anggaran yang disampaikan oleh KBC tersebut pada

11 Maret 1998, sesuai dengan perbaikan yang telah dilakukan.

d. Pada 6 Maret 1998, PLN menulis kepada Pertamina dan KBC yang isinya

adalah: “Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut di atas (No. 39/1997

dan No. 5/1998) proyek geo-termal Karaha dikategorisasikan sebagai

proyek yang ditangguhkan. Oleh sebab itu, Pertamina dan Perusahaan

sebagai pihak yang dikontrak di bawah kontrak penjualan energi (ESC)

harus tunduk kepada Keputusan Presiden tersebut. Akibatnya, seluruh

aktivitas yang telah dimulai atau dilaksanakan oleh anda yang tidak

tercantum di dalam keputusan presiden tersebut sehubungan dengan

proyek geo-termal Karaha harus menjadi tanggungan dan risiko anda.”

e. Pada 30 April 1998, KBC mengajukan pemberitahuan untuk penyelesaian

melalui Arbitrase.

d. Proses arbitrase Proses arbitrase didahului dengan membentuk majelis arbitrase pada 24 Juli

1998, dengan dipilihnya Mr. Yves Derains sebagai ketua arbitrator oleh Prof.

Piero Bernardini (yang dipilih oleh KBC sebagai arbitrator pertama pada 30

April 1998) dan Dr. Ahmed S.EL Kosheri (sebagai arbitrator kedua yang

dipilih oleh Secretary General of ICSID pada 15 Juli 1998).

55Lihat Measley’s International Arbitration Report, op. cit., hlm. 4.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

6

Page 7: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Catatan: Penunjukkan arbitrator kedua yang dipilih oleh Sekjen ICSID

tersebut disebabkan Pertamina tidak menggunakan hak pilihnya untuk

memilih arbitrator yang akan memutuskan sengketa Pertamina melawan

KBC. Meskipun demikian, Pertamina membantah telah diberitahu secara

layak untuk memilih arbitrator.56

Pemberitahuan untuk melakukan arbitrase (notice of arbitration) pada 30

April 1998 yang diajukan oleh KBC tersebut tidak hanya ditujukan kepada

Pertamina dan PLN, tetapi juga kepada Pemerintah Indonesia.

Pada tahap awal, ketiga tergugat mengajukan keberatan sehingga pada

30 September 1998 pengadilan arbitrase mengeluarkan putusan

pendahuluan sebagai berikut:

a. Pengadilan arbitrase tidak memiliki yurisdiksi terhadap Pemerintah

Indonesia. (Di sini pemerintah Indonesia dikeluarkan dalam proses

pemeriksaan selanjutnya.)

b. Keberatan Pertamina dan PLN terhadap yurisdiksi pengadilan arbitrase

ditolak.

c. KBC berhak menyampaikan gugatan, berdasarkan JOC dan ESC, melalui

prosedur arbitrase tunggal (satu dan tidak terpisah), sehingga keberatan

Pertamina dan PLN dalam hal ini ditolak. 56 Secara terpisah Simson Panjaitan, koordinator pengacara Pertamina mengatakan bahwa situasi di dalam organisasi Pertamina saat itu sangat sibuk (karena Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi), sehingga tidak ada koordinasi penanganan kasus tersebut. Lebih lanjut, menurut Simson, di kalangan Pertamina sendiri terdapat perbedaan penafsiran tentang pengertian “Notice OF Arbitratiton” yang diartikan sekedar pemberitahuan akan digunakannya lembaga arbitrase. Pemberitahuan tersebut hanya sebuah informasi untuk memperingatkan, tetapi belum masuk kepada proses pelaksanaan arbitrase sendiri. Menurutnya, jika telah masuk pada proses arbitrase maka seharusnya digunakan “Notice FOR Arbitration” (bukan OF tapi FOR). Akibatnya, Pertamina terlambat mengantisipasi dalam penunjukkan arbitrator. Simson berkesimpulan bahwa dengan tidak diangkatnya arbitrator oleh Pertamina tersebut, sebenarnya sejak awal Pertamina telah kalah 50% dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase UNCITRAL di Jenewa. (Hasil wawancara dengan penulis 21 Maret 2005 di Kantor Pertamina, Jakarta.)

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

7

Page 8: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

d. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing

diharuskan membayar sejumlah US$16,666 dan US$350,416.56 kepada

KBC. Sementara itu, KBC diharuskan membayar US$203,833.04 kepada

Pemerintah Indonesia.

e. Hal-hal yang belum ditangani di dalam putusan pendahuluan masih belum

dapat dinyatakan.

Oleh pengadilan arbitrase telah dikeluarkan Procedural Order No. 1 atau

prosedur penanganan perkara pada 19 November 1998 yang memberi KBC

waktu selama satu bulan untuk memperbaiki berkas tuntutan tertanggal 11

November 1998 sebagai tanggapan atas putusan pendahuluan tersebut.

Untuk Pertamina diberi waktu selama dua bulan untuk memberikan

tanggapan terhitung sejak diterimanya berkas perkara yang telah diperbaiki

atau diterimanya pemberitahuan dari KBC bahwa berkas perkara tidak

memerlukan perbaikan.

Pada 24 November 1999, KBC menyerahkan perbaikan berkas tuntutan

bersama dengan bukti dan pernyataan saksi. Tetapi, setelah melalui

beberapa kali surat pemberitahuan untuk minta pengunduran, penasihat

hukum Pertamina melalui surat tertanggal 9 Desember 1999 memberitahu

pengadilan arbitrase bahwa mereka belum dapat menyampaikan berkas

tanggapannya sebelum tanggal 24 Januari 2000 dan ada kemungkinan

mereka masih membutuhkan perpanjangan waktu. Bahkan Pertamina tidak

dapat memberikan jawaban mengenai tanggal pemeriksaan dan meminta

perpanjangan waktu selama sepuluh hari untuk memberi jawaban.

Melalui surat tertanggal 13 Desember 1999, penasihat hukum KBC

menyampaikan keberatannya terhadap permohonan Pertamina untuk

perpanjangan waktu. Melalui surat tertanggal 7 Januari 2000, majelis

arbitrase mewajibkan Pertamina untuk menyatakan putusan mereka

selambat-lambatnya tanggal 12 Januari 2000.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

8

Page 9: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Pada tanggal 14 Januari 2000, penasihat hukum Pertamina memberitahu

majelis arbitrase bahwa mereka memerlukan perpanjangan waktu untuk

memasukkan berkas tanggapan sampai tanggal 24 Maret 2000. (Bahkan

dengan alasan karena terjadi perubahan organisasi di dalam tubuh PLN,

mereka meminta jadwal yang baru.) Melalui surat 14 Januari 2000 majelis

arbitrase meminta KBC mengirim komentar mereka selambat-lambatnya

tanggal 18 Januari 2000.

Pada tanggal 18 Januari 2000 penasihat hukum KBC mengirim surat

kepada majelis arbitrase yang isinya menyatakan keberatan mereka terhadap

penundaan dan perpanjangan waktu yang diminta oleh Pertamina dan

menekankan bahwa “…sebagaimana majelis arbitrase meninjau kembali

permohonan perpanjangan waktu yang disampaikan oleh Pertamina, maka

KBC menyampaikan permohonan agar tanggal pemeriksaan telah dipastikan

sehingga pemeriksaan dapat selesai sebelum liburan musim panas, dan

diharapkan bahwa putusan majelis arbitrase telah keluar selambat-lambatnya

pada kuartal ke empat tahun ini”.

Di dalam Procedural Order No. 3 tertanggal 12 Januari 2000, majelis

arbitrase menyatakan bahwa:

a. Pertamina memasukkan berkas tanggapan mereka pada 24 Maret 2000.

b. KBC memasukkan berkas bantahan mereka pada 24 April 2000.

c. Pertamina memasukkan berkas replik mereka, jika ada, pada 19 Juni

2000.

Pemeriksaan berdasarkan fakta-fakta akan dilakukan di Paris dari tanggal

19 Juni sampai dengan 30 Juni 2000.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

9

Page 10: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Majelis arbitrase menekankan bahwa kecuali jika ada alasan yang kuat,

jadwal tersebut di atas tidak akan dirubah dan majelis arbitrase tidak akan

memberikan ijin bagi para pihak untuk membuat perpanjangan waktu.57

Berdasarkan kesepakatan para pihak, dan dikonfirmasikan oleh

Procedural Order No. 4 tertanggal 14 Maret 2000 jadwal prosedur telah

diperbaiki sebagai berikut:

a. Pertamina akan memasukkan Berkas Tanggapan mereka 7 April 2000.

Saksi yang diajukan KBC, penunjukan saksi dan laporan-laporan

(termasuk laporan saksi ahli) jika tidak termasuk di dalam Berkas

Tanggapan akan dimasukkan pada 14 April 2000.

b. KBC akan memasukkan Berkas Bantahan mereka jika ada, (termasuk

bukti-bukti, penunjukan saksi dan laporan) pada tanggal 8 Mei 2000.

c. Pertamina akan memasukkan Berkas Replik, jika ada (termasuk bukti-

bukti, penunjukan saksi dan laporan) pada tanggal 9 Juni 2000.

d. Pemeriksaan berdasarkan fakta yang diajukan tetap dilaksanakan pada

tanggal yang sudah ditetapkan yaitu dari tanggal 19 Juni 2000 sampai 30

Juni 2000.

Atas kesepakatan tersebut, Pertamina pada tanggal 7 April 2000

memasukkan berkas tanggapan mereka bersama dengan bukti-bukti dan

pernyataan saksi. KBC memasukkan berkas bantahan mereka pada tanggal

8 Mei 2000.

57 Kantor Hukum Clearly Gottlieb Steen & Hamilton (dengan surat tertanggal 6 Maret 2000) memberitahu majelis arbitrase dan KBC bahwa para pengacara dari kantor tersebut telah ditunjuk oleh Pertamina untuk bersama-sama Adnan Buyung Nasution & Partners menjadi penasihat hukum Arbitrase di dalam proses Arbitrase.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

10

Page 11: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Pada tanggal 31 Mei 2000, majelis arbitrase mengeluarkan Procedural

Order No. 5 yang menyatakan sebagai berikut:

a. Majelis arbitrase telah dengan seksama mempertimbangkan pembicaraan

di antara para pihak mengenai pengaturan pemeriksaan di pengadilan

yang akan dilaksanakan di Paris dari tanggal 19 Juni sampai dengan 30

Juni 2000.

b. Para pihak secara umum sepakat dan hanya beberapa masalah yang

akan diputuskan oleh majelis arbitrase.

Selama sidang pemeriksaan disepakati hal-hal sebagai berikut:

a. Para pihak menyatakan bahwa mereka membatalkan permintaan masing-

masing untuk pengadaan pemeriksaan prapersidangan.

b. KBC membatalkan keberatan mereka bagi pengajuan Putusan Sela

walaupun mereka tetap berkeyakinan bahwa pembatalan tersebut tidak

seharusnya diajukan dan menekankan bahwa seharusnyalah hal itu tidak

diperlakukan sebagai preseden.

c. KBC setuju bahwa putusan tersebut tidak lebih bernilai dari Putusan

Arbitrase lainnya, meskipun mereka menekankan pula bahwa putusan

tersebut tidak bisa dianggap remeh.

Hal-hal di atas dicantumkan di dalam Procedural Order No. 6 pada

tanggal 28 Juni 2000. Sebagai jawaban terhadap pertanyaan Ketua Majelis

Arbitrase, para pihak mengkonfirmasikan bahwa mereka tidak memiliki

keberatan terhadap pelaksanaan di dalam proses persidangan.

Di dalam Procedural Order No. 6 majelis arbitrase memutuskan bahwa:

a. Selambat-lambatnya tiga minggu setelah menerima transkrip sidang

pemeriksaan, para pihak secara bersama-sama menyerahkan surat

permohonan sehubungan dengan sidang perkara selanjutnya; perlu

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

11

Page 12: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

diperhatikan bahwa berkas permohonan tersebut tidak ditambah fakta-

fakta yang baru.

b. Permintaan masing-masing pihak untuk mengadakan pemeriksaan

prapersidangan ditarik kembali.

c. Putusan sela diberlakukan di dalam arbitrase ini dan dianggap sama

pentingnya dengan berkas putusan lainnya.

Berkas berisi fakta (sesudah pemeriksaan) akan dimasukkan selambat-

lambatnya pada 27 Agustus 2000 oleh Pertamina dan KBC. Pada tanggal 10

Agustus 2000 Pertamina mengirim surat kepada majelis arbitrase bahwa di

dalam berkas berisi fakta pemeriksaan yang dikirim oleh KBC terdapat dua

pernyataan yang salah. Melalui fax pada hari yang sama, KBC meminta

bahwa surat Pertamina tersebut dan argumen selanjutnya ditolak. Di dalam

berkas berisi fakta perkara tertanggal 7 Agustus 2000 KBC dan Pertamina

meminta untuk diberi kuasa memasukkan daftar biaya yang telah mereka

tanggung selama proses sidang perkara berlangsung.

Di dalam Procedural Order No. 7 tertanggal 31 Agustus 2000, majelis

arbitrase membuat keputusan sebagai berikut:

a. Berhubung Procedural Order No. 6 tidak lagi mencantumkan surat

Pertamina tanggal 10 Agustus 2000 dan majelis arbitrase akan

memeriksa ketepatan setiap pernyataan para pihak sehubungan dengan

keputusan ini, maka surat tersebut tidak akan dipertimbangkan oleh

majelis arbitrase.

b. Sidang perkara ditutup dan segala argumentasi atau penyerahan bukti

tidak akan diterima lagi, kecuali diijinkan atau diminta oleh majelis

arbitrase sendiri.

c. Para pihak dianjurkan untuk menyerahkan Laporan Biaya masing-masing

selama proses sidang perkara, termasuk seluruh biaya dan pengeluaran

serta ongkos pengacara selambat-lambatnya tanggal 15 September 2000

jam 6 sore waktu Paris.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

12

Page 13: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Pada tanggal 15 September 2000 para pihak menyerahkan Laporan

Biaya mereka. KBC dalam hal ini meminta sebesar US $2.510.658 (dua juta

lima ratus sepuluh ribu enam ratus lima puluh delapan) dolar ditambah

dengan US $365,244.35 (tiga ratus enam puluh lima ribu dua ratus empat

puluh empat dan tiga puluh lima sen) dolar Amerika berikut bunga sebesar

4,53% per tahun. Biaya ini mewakili biaya yang dicantumkan di dalam

putusan awal, walau belum dibuktikan kebenarannya, yaitu sebesar US $

350.415,56 (tiga ratus lima puluh ribu empat ratus lima belas dan lima puluh

enam sen) dolar. Biaya yang ditanggung oleh Pertamina adalah sebesar US

$ 2.823.621,18 (dua juta delapan ratus dua puluh tiga ribu enam ratus dua

puluh satu dan delapan belas sen) dolar.

e. Gugatan dan ringkasan putusan arbitrase Di dalam berkas gugatan yang sudah diperbaiki, tertanggal 24 November

1999, KBC menuntut ganti kerugian sebagai berikut:

1. Ganti kerugian akibat pelanggaran kontrak

a. kerugian tersebut termasuk:

1) pembayaran atas kerugian sebesar US $96 juta (sembilan puluh

enam juta) dolar;

2) kompensasi akibat kehilangan keuntungan sebesar US$512.5 juta

(lima ratus dua belas dan lima sen) juta dolar

3) sebagai alternatif untuk ganti kerugian akibat kehilangan

keuntungan, diperhitungkan jumlah pembayaran yang harus dikirim

adalah sebesar US$ 437 (empat ratus tiga puluh tujuh) juta dolar;

b. secara alternatif, pembatalan kontrak dan kerugian-kerugian; dan

c. secara alternatif, pelaksanaan secara khusus.

2. Kerugian akibat perolehan harta dengan tidak wajar/adil.

3. Bunga dan kerugian yang diderita oleh KBC sejumlah US$ 58.6 (lima

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

13

Page 14: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

puluh delapan koma enam) juta dolar Amerika pada tanggal 24

November 1999 dari denda yang harus dibayarkan kepada KBC

sejumlah US$608,5 juta dolar (US$ 96 juta + USS $ 512.5 juta) atau

secara alternatif sebesar US$51.3 juta dolar apabila majelis arbitrase

menyampaikan bahwa KBC berhak memperoleh US$532.9 juta dolar

(US$96 juta + US$437 juta dolar).

KBC menjelaskan bahwa permohonan pembatalan kontrak bukan

merupakan alternatif terhadap permohonan untuk ganti kerugian dan bahwa

KBC mengajukan permohonan atas pembatalan dan penggantian kerugian.

Di samping itu, Pertamina diminta untuk membayar biaya arbitrase.

Dalam semua berkas yang dimasukkan, Pertamina telah mengajukan

permohonan agar tuntutan KBC ditolak dan KBC dikenakan ongkos dan

biaya arbitrase.

Dalam penyelesaian melalui arbitrase ini, majelis arbitrase mengeluarkan

2 (dua) putusan yaitu putusan pendahuluan (Preliminary Award) pada 30

September 1999 dan putusan akhir (Final Award) pada 18 Desember 2000.

Dalam Preliminary Award, intinya majelis arbitrase menyatakan bahwa

arbitrase Jenewa memiliki yuridiksi terhadap Pertamina dan PLN,

berdasarkan perjanjian arbitrase dalam JOC dan ESC. Selanjutnya dalam

final award, arbitrase Jenewa menyatakan agar Pertamina dan PLN

membayar ganti rugi sebesar US$ 261.100.000 termasuk bunga sebesar 4%

pertahun, terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas.

Atas putusan arbitrase Jenewa tersebut, Pertamina dan PLN tidak

bersedia melaksanakannya. Sebagai upaya hukum Pertamina mengajukan

gugatan pembatalan putusan arbitrase Jenewa, kepada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada 14 Maret 2002. Pada 27 Agustus 2002,

majelis hakim mengeluarkan putusan yang membatalkan Preliminary Award

dan Final Award yang dihasilkan oleh Majelis Arbiatrase di Jenewa, Swiss.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

14

Page 15: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

B. Pembahasan 1. Penyelesaian Sengketa di Arbitrase UNCITRAL

Penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di Jenewa melalui persidangan

arbitrase UNCITRAL memeriksa beberapa hal terkait, yaitu pelanggaran atas

kontrak ESC dan JOC yang dilakukan oleh Pertamina, masalah pengakhiran

kontrak, perdebatan mengenai ganti kerugian atas kehilangan modal dan

hilangnya keuntungan yang diharapkan. Berdasarkan hasil pemeriksaan para

pihak yang bersengketa, majelis arbitrase memutuskan penggantian kerugian

yang timbul, disertai bunga dan biaya arbitrase.

a. Pelanggaran atas Kontrak ESC dan JOC

Dari dokumen-dokumen yang diperolah dari hasil penelitian diketahui

bahwa pertanyaan pertama yang diangkat oleh Arbitrase UNCITRAL adalah

mengenai posisi Pertamina, yaitu: “Apakah ia telah melanggar kewajiban

berdasarkan baik kontrak ESC maupun kontrak JOC?” Untuk itu sebelum

sampai pada keputusan majelis arbitrase, perlu diuraikan posisi KBC dan

Pertamina lebih dahulu sebagai berikut:

1) Posisi KBC sebagai penggugat KBC menuduh bahwa Pertamina telah melanggar beberapa kewajiban

berdasarkan kontrak ESC dan JOC dengan cara, antara lain, mencegah KBC

untuk menyelesaikan pembangunan unit-unit pembangkit tenaga listrik

dengan kapasitas maksimum 400 MW. KBC menyatakan bahwa PLN tidak

akan membeli dan Pertamina tidak akan menjual tenaga listrik yang

dihasilkan oleh KBC.

Secara khusus, KBC menekankan bahwa Pertamina melalui kontrak ESC

dan JOC setuju untuk menanggung risiko atas tindakan Pemerintah. Dengan

demikian Keputusan Presiden No. 30 Tahun 1997 dan No. 5 Tahun 1998

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

15

Page 16: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

bukan merupakan alasan untuk tidak memenuhi kontrak. Jadi Pertamina

tetap harus menjalankan kewajiban mereka dan tidak melanggarnya.58

KBC menyatakan bahwa hubungan dekat antara Pertamina dan

Pemerintah Republik Indonesia adalah alasan yang cukup untuk

pengalokasian risiko. Menurut pandangan KBC, Keputusan Presiden tidak

ada sangkut pautnya dengan pembatalan oleh Pertamina.

KBC menambahkan bahwa dengan melakukan berbagai tindakan dan

usaha untuk menghindari dan atau menolak kontrak, Pertamina telah

melanggar kewajiban untuk melaksanakan kontrak dengan itikad baik, seperti

ditentukan di dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3). KBC menganggap

sikap Pertamina tersebut sebagai penolakan secara sengaja atas

pelaksanaan kewajiban mereka yang hal ini sama dengan pelanggaran

kewajiban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik.

Selanjutnya, KBC menuduh bahwa Pertamina (dan PLN) telah melanggar

kewajiban mereka sebagaimana tercantum di dalam kontrak ESC, yaitu:

"… untuk menjalankan dan melakukan tindakan dan hal-hal lainnya, yang

diperlukan atau yang dapat memperlancar pelaksanaan ketentuan dalam

Perjanjian ini."59

2) Posisi Pertamina sebagai tergugat Pertamina telah memposisikan dirinya sebagai pihak yang tidak dapat

dipersalahkan dan sebaliknya menyatakan bahwa, KBC dengan cara yang

tidak benar telah mencoba untuk membuat Pertamina bertanggungjawab

atas tindakan yang diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia walaupun

majelis arbitrase telah mengeluarkan putusan awalnya pada 30 September

58 KBC menyimpulkan dari kontrak ESC [Pasal 9.2 (e)] dan JOC [Pasal 5.2 (e)] bahwa tindakan yang dilakukan Pemerintah merupakan suatu keadaan memaksa jika hal itu berkenaan kepada KBC saja. 59 Lihat Pasal 21.1 JOC, dan Pasal 15.1 ESC.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

16

Page 17: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

1999 bahwa “… tindakan Pemerintah tersebut bukan merupakan

pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh PLN atau Pertamina.”

Pertamina menjelaskan bahwa secara tidak jujur KBC telah membedakan

antara Keputusan Presiden dan kewajiban Pertamina untuk mentaati

Keputusan Presiden tersebut. Pertamina menekankan bahwa tidak

seorangpun di antara mereka yang bertanggungjawab terhadap keluarnya

keputusan tersebut.

Sebaliknya, Pertamina dengan itikad baik telah berusaha untuk membujuk

Pemerintah agar membebaskan proyek Karaha Bodas dari Keputusan No. 5

Tahun 1998. Berbagai upaya tersebut dilakukan oleh Pertamina sejak proyek

masih dalam taraf awal pembangunan; proyek pembangkit tenaga listrik

belum dibangun sehingga belum ada kewajiban membayar. Pertamina

menekankan bahwa usaha tersebut tetap dilanjutkan⎯bahkan setelah KBC

menghentikan pelaksanaan pekerjaannya yang sudah tercantum di dalam

kontrak⎯sebagaimana ditulis di dalam surat yang dikirim kepada Pemerintah

pada tanggal 11 Juni 1998.

Di samping itu, sebelumnya Pertamina juga berusaha untuk dapat

membatalkan Keputusan Pemerintah No. 39 Tahun 1997, dan hal itu telah

berhasil dilakukan dengan dikeluarkannya Keppres No. 47 Tahun 1997.

Kenyataan bahwa usaha Pertamina telah terbukti gagal dengan

dikeluarkannya Keputusan No. 5 Tahun 1998 memperlihatkan bahwa

tuntutan KBC tidaklah didasarkan atas perbuatan (upaya) Pertamina namun

berdasarkan keputusan itu sendiri.

Pertamina menilai KBC telah mencoba untuk mempengaruhi majelis

arbitrase agar membatalkan putusan awal, dengan menggunakan Keputusan

Presiden sebagai alasan bahwa Pertamina telah melanggar kontrak.

Tindakan ini tidak sejalan dengan prosedur yang telah ditentukan oleh majelis

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

17

Page 18: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

arbitrase sendiri yang, di dalam putusan awalnya, membatasi masalah-

masalah yang harus diselesaikan dalam waktu ini.

Menurut Pertamina, di dalam putusan awal, majelis arbitrase telah

memutuskan dengan benar bahwa keadaan memaksa yang timbul sebagai

akibat tindakan Pemerintah bukanlah tindakan pelanggaran kontrak JOC dan

ESC. Keadaan memaksa tersebut juga mengampuni KBC untuk tidak

melakukan pekerjaannya.

Pertamina menyatakan pula bahwa tindakannya dan PLN untuk menolong

KBC dengan cara mendorong Pemerintah Indonesia mengambil tindakan

merupakan bukti bahwa ia tidak memiliki kewajiban kontrak akibat tindakan

Pemerintah mengeluarkan keputusan pemberhentian proyek.

Pertamina menolak tuduhan bahwa ia telah melanggar kewajiban karena

telah memberikan jaminan kepada KBC untuk tetap melaksanakan proyek.

Sebaliknya, KBC-lah yang melanggar kewajiban karena secara sepihak

memutuskan untuk tidak meneruskan kontrak dalam waktu sebulan setelah

keputusan presiden tertanggal 10 Januari 1998 keluar.

Berlawanan dari pernyataan KBC, Pertamina tidak melanggar atau

membatalkan kontrak. Secara khusus, surat PLN tertanggal 6 Maret 1998

kepada KBC dan Pertamina yang menyatakan bahwa seluruh pihak harus

tunduk kepada Keputusan Presiden, dan jika tidak, segala tindakan masing-

masing adalah tanggungan sendiri, pada prinsipnya menyampaikan bahwa

KBC dapat terus melanjutkan proyek, namun karena penundaan tidak

diketahui akan berlangsung berapa lama, tidak jelas bentuk risiko yang harus

ditanggung. Hal ini bukanlah penolakan terhadap kontrak.

Tambahan pula, KBC tidak dapat berpatokan pada surat tanggal 6 Maret

1998 untuk menuduh PLN melanggar kontrak karena melalui surat tanggal 10

Februari 1998, KBC telah mengumumkan bahwa pihaknya tidak melanjutkan

proyek. Sebaliknya, persetujuan yang dikeluarkan Pertamina terhadap

Rencana Kerja dan Anggaran KBC yang dikeluarkan pada tanggal 11 Maret

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

18

Page 19: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

1998, menunjukkan bahwa Pertamina masih berharap proyek tersebut dapat

dilanjutkan kembali.60

Akhirnya di dalam surat tertanggal 30 April 1998 (yang menurut Bapak

Sulaiman, salah satu saksi Pertamina, sesungguhnya ditulis pada tanggal 25

Juni 1998)61 dan pada tanggal 4 Desember 1998, KBC mengkonfirmasikan

bahwa tidak terdapat konflik antara KBC dan Pertamina "pada tanggal

tersebut ataupun sebelumnya".

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Pertamina menekankan dalam

hal apapun, KBC telah gagal membuktikan bahwa pihak tersebut siap,

bermaksud dan sanggup melaksanakan perjanjian karena pihak tersebut

tidak memiliki dan tidak dapat memenuhi pembiayaan yang diwajibkan dan

tidak menunjukkan bahwa pihak tersebut sanggup membangun pembangkit

tenaga listrik berkapasitas 210 MW. Dengan demikian, pihak KBC tidak dapat

menuntut ganti kerugian atas tuduhan pelanggaran kontrak serta tidak

memiliki dasar untuk menerima pengiriman uang seperti yang diperkirakan.

3) Dasar dan putusan majelis arbitrase Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1998 pada 10

Januari 1998, maka para pihak tidak sanggup melaksanakan kewajiban

utamanya untuk melaksanakan kontrak. Ketidakmungkinan untuk

melaksanakan kontrak tersebut telah disampaikan oleh KBC melalui surat

tertanggal 10 Februari 1998 yang ditujukan kepada Pertamina dan PLN, yang

di dalamnya dicantumkan peringatan bahwa Keputusan Presiden No. 5

Tahun 1998 dan No. 39 Tahun 1997 merupakan bagian dari keadaan

memaksa (force majeure) berdasarkan perjanjian ESC dan JOC. KBC

60 Tindakan lain yang dinilai oleh Pertamina sebagai pelanggaran tersebut dilakukan setelah KBC menghentikan pelaksanaan proyek dan bahkan setelah dimulainya arbitrase. 61 Sayfi Sulaiman bersama dengan John Norris dan Assistia Semiawan adalah saksi dari Pertamina, sedangkan saksi-saksi dari KBC adalah: Christopher McCallin, Leslie Gelber, Robert McGrath, dan Barbara Bishop Gollan.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

19

Page 20: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

menyebutkan bahwa: "... keadaan memaksa seperti yang disebut di atas

telah menyebabkan ditangguhkannya perjanjian yang tercantum di dalam

ESC dan JOC, yang bersamaan dengan penangguhan waktu berdasarkan

perjanjian tersebut menyangkut juga hal-hal lain sejauh memang sudah

dicantumkan."

Namun demikian, Pertamina tidak pernah mengajukan penilaian terhadap

situasi tersebut. Sebaliknya, pada tanggal 11 Maret 1998, Pertamina

menyetujui perbaikan Rencana Kerja dan Anggaran 1998 yang disusun oleh

KBC untuk menanggulangi situasi akibat Keputusan Presiden No. 5 Tahun

1998, dan Pertamina meminta KBC untuk melakukan penyesuaian

sebagaimana diperlukan karena situasi tersebut.

Dalam kaitan itu, tidak diragukan bahwa penundaan proyek yang

menimbulkan keprihatinan di kalangan para pihak ini merupakan suatu

keputusan yang harus dihormati. Akan tetapi, konsekuensi hukum dari situasi

ini tidak sama terhadap KBC di satu pihak, dan kepada Pertamina dan PLN di

lain pihak. Para pihak maklum bahwa Keputusan Presiden untuk menunda

proyek Karaha Bodas merupakan Government Related Event sebagaimana

didefinisikan di dalam ESC dan JOC, yang menyatakan bahwa: “Kejadian-

kejadian yang disebabkan oleh keadaan memaksa mencakup, tetapi tidak

terbatas pada hal-hal: … (e) setiap tindakan yang berhubungan dengan

Pemerintah berhubungan dengan Kontraktor saja.”62

Oleh sebab itu, melalui dua kontrak tersebut dinyatakan bahwa

Keputusan Presiden adalah keadaan memaksa bagi KBC, dan bukan bagi

Pertamina dan PLN. Konsekuensi hukumnya adalah, bahwa KBC berhak

untuk memakai keputusan presiden sebagai alasan untuk tidak

melaksanakan kewajibannya, sedangkan Pertamina dan PLN tidak berhak

62 Pernyataan yang sama terdapat di dalam Pasal 9.2 (e) ESC, kata "Kontraktor” diganti dengan kata '”Company”, di mana keduanya mengacu kepada KBC.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

20

Page 21: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

untuk melakukan hal yang sama, yaitu melepaskan diri dari

tanggungjawabnya. Pernyataan sebaliknya adalah dengan tidak

melaksanakan kewajibannya, maka Pertamina telah mencoba untuk

menghindar dari kewajiban [sebagaimana tercantum di dalam Pasal 15.2 (e)

JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC yang menyatakan bahwa Government Related

Event bukanlah keadaan memaksa bagi Pertamina dan PLN].63

Mengingat Pertamina dan PLN tidak dapat menggunakan Keputusan

Presiden sebagai alasan yang sah untuk tidak melakukan kewajiban mereka

di bawah ESC dan JOC, maka tindakan Pertamina dan PLN untuk tidak

melakukan kewajiban tersebut adalah pelanggaran kontrak sehubungan

dengan tanggungjawab mereka, kecuali jika mereka dapat menunjukkan

keadaan yang dapat membebaskan mereka dari tuduhan pelanggaran

tersebut. Dalam hal ini, pernyataan Pertamina bahwa KBC telah gagal

membuktikan kesiapan dan kesanggupan dalam melaksanakan Perjanjian

Proyek dianggap tidak penting.

Kesimpulan tersebut tidak bertentangan dengan penemuan majelis

arbitrase yang dicantumkan di dalam putusan awal tertanggal 30 September

1999, yang menyatakan bahwa "Keputusan Pemerintah yang menghalangi

KBC untuk melakukan kewajibannya tidak dipertimbangkan sebagai

pelanggaran yang dilakukan Pertamina dan PLN terhadap kontrak tersebut

namun sebagai keadaan memaksa yang mendasari KBC untuk tidak

melakukan pekerjaannya." Penemuan tersebut menekankan bahwa

Pemerintah bukanlah pihak yang berkepentingan di dalam kontrak tersebut.

Berbeda dengan pandangan Pertamina, kenyataan bahwa mereka tidak

bertanggungjawab terhadap keluarnya Keputusan Presiden yang

63 Menurut Simson Panjaitan, perlu diteliti secara kronologis mengapa perjanjian (yang jelas-jelas melemahkan Pertamina) tersebut tetap ditanda-tangani. Perjanjian yang menyatakan force majeure hanya berlaku bagi KBC, dan tidak bagi Pertamina, merupakan suatu kelemahan yang nyata. Menurutnya secara substansi Keppres tersebut merupakan hal di luar kekuasaan kedua belah pihak, sehingga seharusnya force majeure berlaku pula bagi kedua belah pihak.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

21

Page 22: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

menghalangi pelaksanaan kontrak tidaklah membebaskan mereka dari

tanggungjawab jika mereka tidak melaksanakan kewajiban mereka dalam

rangka tunduk kepada keputusan tersebut. Karena Government Related

Event tidaklah termasuk keadaan memaksa bagi Pertamina dan PLN, maka

bukanlah alasan yang tepat bagi mereka untuk tidak melaksanakan kontrak,

sehingga hal ini dianggap pelanggaran kontrak.

Perbedaan penerapan tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat,

sebagaimana dinyatakan oleh Pertamina. Hal ini juga berlaku bagi setiap

pihak yang terhalang untuk melaksanakan kewajiban kontrak dikarenakan

situasi yang bukan termasuk keadaan memaksa. Misalnya, pemogokan kerja

dapat atau tidak dapat dikategorisasikan sebagai keadaan memaksa. Apabila

tidak, maka walaupun perusahaan dihalangi untuk melaksanakan

kewajibannya karena pemogokan tersebut, namun bisa saja dengan tidak

melaksanakan kewajibannya, perusahaan tersebut dapat dianggap

melanggar kontrak. Begitu pula penjual, menurut ketentuan perdagangan

(misalnya CIF; Cost Insurance Freight) tidak mempunyai alasan yang sah

untuk tidak mengirim barang dengan alasan karena adanya pembatalan ijin

ekspor; walaupun pembatalan tersebut disebabkan oleh keputusan

pemerintah dimana si penjual sesungguhnya tidak bertanggungjawab, namun

dengan tidak melakukan kewajiban mengirim barang, maka penjual sudah

melanggar kontrak.

Dengan menunjuk Pasal 15.2 (e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC, KBC

secara tepat mencantumkan perihal alokasi risiko, dan menyebutkan bahwa

konsekuensi akibat Keputuan Pemerintah yang menghalangi pelaksanaan

kontrak adalah menjadi tanggungan Pertamina dan PLN.

Majelis arbitrase tidak dapat mengerti maksud Pertamina ketika mereka

menyatakan bahwa: “KBC dapat terus melanjutkan proyek, namun karena

penundaan tidak diketahui akan berlangsung berapa lama, maka tidak jelas

bentuk risiko yang harus ditanggung." Surat tersebut menyatakan bahwa:

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

22

Page 23: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

"PLN, Pertamina dan Company (KBC) harus tunduk kepada Keputusan

Presiden," dan memperingatkan konsekuensi yang timbul jika tidak

melaksanakan kewajiban tersebut, bahwa "harus menjadi tanggungan dan

risiko anda, seluruh aktivitas yang telah dimulai atau dilaksanakan oleh anda

sehubungan dengan Proyek Geo-termal Karaha, yang tidak tercantum di

dalam Keputusan Presiden tersebut."

Bertentangan dengan pendapat Pertamina, bahwa hal itu bukan

merupakan kondisi agar KBC dapat meneruskan proyek. Namun, pernyataan

tersebut justru merupakan saran untuk tidak melaksanakan proyek dengan

mengacu pada pernyataan: "… jika saran tersebut tidak diikuti oleh KBC

dan/atau Pertamina, mereka akan menanggung risiko mereka sendiri.”64

Dalam kaitan itu pada 30 April 1998, KBC menyatakan tidak ada

perselisihan dengan Pertamina dan tidak ada hubungannya sama sekali, dan

pernyataan tersebut dikonfirmasikan lagi pada bulan Juni 1998 dan bulan

Desember 1998. Tentu saja, pernyataan ini muncul sebagai usaha untuk

memelihara hubungan baik dengan Pertamina dan mengandung

pengharapan bahwa akan ditemukan penyelesaian untuk masalah ini.

Di pihak lain dalam suratnya tertanggal 6 Maret 1998, PLN nampak

dengan jelas berusaha untuk tidak melaksanakan kewajiban kontrak, dengan

peringatan tambahan bahwa pelaksanaan kewajiban oleh KBC dan

Pertamina tidaklah dianggap sebagai bagian dari ESC dan JOC.

Berdasarkan penjelasan tersebut, PLN bermaksud untuk melanggar kontrak

dan hal ini merupakan hasutan kepada Pertamina untuk melakukan

pelanggaran yang sama. Dengan tidak adanya sikap keberatan dari

Pertamina terhadap pernyataan PLN yang tegas dan sikap setuju dengan

64 Di sini Pertamina dinilai hanya mencari alasan untuk melimpahkan risiko kepada KBC yang bertalian dengan Government Related Event; suatu risiko yang sesungguhnya hanya meliputi Pertamina dan PLN menurut kontrak.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

23

Page 24: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

instruksi PLN, maka dapat dianggap bahwa keduanya memiliki pendapat

yang sama, dan hal ini adalah pelanggaran kewajiban di bawah JOC.

Pertamina tidak meyakinkan ketika ia mengacu pada suratnya tertanggal

11 Maret 1998 yang isinya menyetujui "Rencana Kerja dan Anggaran 1998"

yang sudah diperbaiki sebagai bukti bahwa Pertamina setuju dengan

pekerjaan dan rencana KBC sehubungan dengan proyek tersebut; dengan

harapan bahwa proyek akan dilanjutkan kembali. Surat tersebut dikirim

sebagai jawaban terhadap surat KBC tertanggal 5 Maret 1998 yang isinya

menyatakan bahwa: "Karena Keputusan Presiden, KBC tidak dapat

menyelesaikan rencana sebelumnya yang pernah diajukan untuk tahun

1998."65

Pertamina menerima keputusan KBC (yang berhak menyatakan diri

berada dalam keadaan memaksa). Namun demikian Pertamina cukup

tanggap untuk mendorong KBC agar "segera melakukan penyesuaian yang

diperlukan untuk Rencana Kerja dan Anggaran 1998". Pertamina sama sekali

tidak bermaksud menyetujui KBC melanjutkan pelaksanaan proyek, namun

mendukung penangguhan proyek tersebut dan memperingatkan KBC untuk

sepenuhnya tunduk kepada Keputusan Presiden. Majelis arbitrase menilai

bahwa surat tersebut sejalan dengan instruksi yang diberikan PLN di dalam

surat tertanggal 6 Maret 1998 dan tidak dapat diartikan sebaliknya.

Kenyataan yang disampaikan Pertamina bahwa, surat PLN tertanggal 6

Maret 1998 dikirim setelah KBC memberitahu pada tanggal 10 Februari 1998

mengenai penangguhan pelaksanaan proyek, tidaklah membebaskan

Pertamina dari kewajiban-kewajibannya. Hal ini karena Keputusan Presiden

merupakan suatu keadaan memaksa bagi KBC, sehingga KBC berhak

65 Sebagaimana diketahui bahwa berkenaan dengan alasan yang sah untuk membatalkan pekerjaan, yang diberitahukan melalui surat tanggal 10 Februari 1998, KBC menyusun rencana baru dalam rangka pelaksanaan proyek tersebut untuk kuartal keempat 1998 dengan asumsi bahwa pada saat itu proyek akan dilanjutkan kembali.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

24

Page 25: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

menangguhkan aktivitas pekerjaannya. Sebaliknya, keadaan tersebut bukan

keadaan memaksa bagi PLN dan Pertamina, sehingga keduanya tidak

memiliki dasar hukum untuk melakukan penangguhan.

Tindakan dengan dasar hukum oleh pihak yang dikontrak tidak dapat

membenarkan tindakan pihak lainnya sehingga PLN dan Pertamina dapat

menjadikan pemberitahuan KBC perihal keadaan memaksa sebagai

pembenaran untuk tidak melakukan kewajibannya pada saat itu. Terlebih lagi

melalui surat tertanggal 10 Februari 1998, KBC telah meminta dengan sangat

kepada Pertamina dan PLN untuk "berusaha sebaik mungkin melanjutkan

proyek." Tetapi surat PLN tertanggal 6 Maret 1998 dan surat Pertamina 11

Maret 1998 dalam hal ini, telah membuat KBC kehilangan harapan.

Menurut majelis arbitrase, perlu dipertimbangkan mengenai tuntutan KBC

yang berkenaan dengan pelanggaran kontrak di bawah ESC Pasal 15.1

tentang ketentuan “perihal kelanjutan asuransi,” yang isinya: "Masing-masing

Pihak sepakat untuk melaksanakan dan menyerahkan perangkat-perangkat

lain, dan untuk menjalankan dan melakukan tindakan dan hal-hal lainnya,

yang diperlukan atau yang dapat memperlancar pelaksanaan ketentuan

dalam Perjanjian ini.” Dalam hal ini PLN ataupun Pertamina tidak

menyediakan KBC jaminan bahwa mereka akan memenuhi kewajiban

mereka berdasarkan ketentuan tersebut. Sebaliknya dari sikap mereka

nampak bahwa mereka tidak melaksanakan kewajiban karena mereka hanya

tunduk kepada Keputusan Presiden.

Meskipun surat Pertamina tertanggal 11 Februari 1998 kepada Bappenas

telah menunjukkan usaha yang serius pada tahap awal untuk meyakinkan

Pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan kembali kedudukannya,

kenyataannya tidak ada tindak lanjut. Khususnya, tidak ada pertemuan di

antara PLN, Pertamina dan KBC, yang dapat memberikan jaminan kepada

KBC bahwa telah dilakukan cukup usaha agar proyek dilanjutkan kembali.

Sebaliknya surat PLN 6 Maret 1998, yang ditentang oleh Pertamina,

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

25

Page 26: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

menyatakan dengan jelas bahwa tidak ada hal apapun yang telah dilakukan

atau diharapkan akan dilakukan. Di dalam pertemuan pada tanggal 8 Mei

1998, bertempat di kantor Pertamina, KBC diberitahu bahwa: "…menurut

Bappenas, langkah-langkah yang harus diambil untuk kelanjutan proyek geo-

termal diharapkan akan diputuskan pada bulan Juni 1998.”. Di dalam

pertemuan tersebut, dinyatakan pula bahwa: "Pertamina mendapatkan

prakarsa dari perusahaan industri swasta untuk mengatur suatu seminar para

pengusaha industri dan Menteri Pertambangan dan Energi yang baru dengan

tujuan memberitahu Menteri tersebut mengenai posisi dan pentingnya

industri geo-termal." Adapun waktu yang diajukan untuk pengadaan seminar

tersebut adalah bulan Oktober 1998, yang mendorong wakil KBC

memberikan tanggapan bahwa "bulan Oktober tampaknya terlalu terlambat

dan dapat membuat para investor kehilangan kesabaran."

Majelis arbitrase menghargai fakta bahwa Pertamina telah mengirim surat

pada tanggal 11 Juni 1998 kepada Direktur Jenderal Minyak dan Gas.

Meskipun demikian surat tersebut tidak memperlihatkan usaha keras untuk

membuat proyek Karaha Bodas dilanjutkan kembali. Surat tersebut

merupakan permohonan untuk mendapatkan penjelasan perihal situasi 6

bulan setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 dan 5

bulan setelah dikeluarkannya surat Pertamina tertanggal 11 Februari 1998.

Surat tersebut isinya adalah sebagai berikut:

Sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 pada tahun 1998 tertanggal 10 Januari 1998 sampai sekarang ini tidak ada tanda-tanda apapun dari Pemerintah yang menunjukkan bahwa proyek akan dilanjutkan kembali, sementara PT PLN (Persero) melalui surat Presiden Direktur bernomor n.107/037/DIRUT/1998-R/M dan n.114/037/DIRUT/1998-R/M tertanggal 6 Maret 1998 telah memberitahu seluruh kontraktor JOC bahvva seluruh risiko yang muncul akibat aktivitas pelaksanaan JOC yang tunduk pada Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 dan Nomor 5 Tahun 1998 harus ditanggung dan dipertanggungjawabkan masing-masing.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

26

Page 27: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Kondisi yang tidak dikonfirmasi ini mengakibatkan kesulitan bagi para kontraktor JOC untuk membuat rencana selanjutnya, karena menurut pernyataan PT PLN (Persero), komunikasi di dalam Forum JCM telah terhenti. Sementara itu pertemuan JCM sangatlah penting untuk mengantisipasi apa yang sebelumnya harus dilakukan, apabila proyek dilanjutkan kembali.

Lebih lanjut lagi kondisi ini memiliki dampak langsung untuk menghentikan setiap aktivitas sehubungan dengan negosiasi kontraktor proyek geo-termal yang memiliki Surat Izin Utama dari Menteri Pertambangan dan Energi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami ingin mengajukan permohonan kepada Pemerintah untuk sedini mungkin memberikan penjelasan dan bimbingan sehubungan dengan kelanjutan proyek geo-termal berdasarkan Keppres No. 39/1997 dan No. 5/1998 dan negosiasi selanjutnya JOC dan ESC yang telah memiliki Surat lzin Utama. Untuk pertimbangan anda dan peninjauan kembali, bersama ini kami lampirkan status proyek geo-termal di daerah di mana JOC dan ESC ditugaskan, dan laporan kemajuan yang telah dicapai di dalam prospek negosiasi JOC dan ESC yang sudah mendapatkan Surat Izin dari Menteri Pertambangan dan Energi.

Menurut majelis arbitrase surat tersebut menyatakan bahwa Pertamina

dalam pertemuan tanggal 8 Mei telah menyinggung mengenai KBC dan

keputusan tentang hal itu diharapkan akan diambil pada bulan Juni 1998,

sehingga hal ini seolah-olah hanya mengemukakan harapan-harapan yang

tidak ada dasarnya. Surat ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa

Pertamina tidak melakukan apa-apa sejak tanggal 10 Februari 1998 untuk

melanjutkan proyek, dan PLN masih berpegang teguh dengan isi surat

tertanggal 6 Maret 1998.

Di dalam situasi ini, majelis arbitrase berkesimpulan bahwa Pertamina

telah melanggar kewajiban masing-masing berdasarkan ESC Pasal 15.1 dan

JOC Pasal 21.1. Pelanggaran tersebut menjadi berat berdasarkan keputusan

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

27

Page 28: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

untuk tidak memenuhi kontrak sebagai akibat dari Keppres dan pelanggaran

kewajiban atas pelaksanaan kontrak dengan itikad baik. Tidak memenuhi

kontrak untuk sementara waktu karena keputusan pemerintah merupakan

satu hal yang tergantung pada alokasi risiko di antara para pihak, di mana

itikad baik tidak dipersoalkan. Akan tetapi sebaliknya, jika pihak pelanggar

kontrak lalai melakukan usaha sebaik mungkin untuk membatalkan

keputusan pemerintah, sedangkan menurut kontrak pihak itu berkewajiban

untuk melakukan usaha tersebut, serta mereka dalam kedudukan untuk ikut

campur secara efisien (sebagaimana halnya PLN dan Pertamina), maka

kegagalan atas kewajiban pemenuhan kontrak dengan itikad baik dan

kewajiban berdasarkan hukum yang harus dilaksanakan oleh pihak tersebut

membuat kedua pelanggaran tersebut sangat berhubungan.

Demikian pula, meskipun Pertamina telah melakukan usaha yang terbaik

demi kelanjutan proyek Karaha Bodas, menurut Kontrak mereka tetap telah

melakukan pelanggaran terhadap kewajiban melaksanakan kontrak, karena

Keppres tidak dapat dijadikan alasan yang sah untuk tidak melaksanakan

kewajiban mereka. Kesimpulan ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa

Pertamina selanjutnya wajib untuk menolong KBC dalam hubungannya

dengan Pemerintah.66

Dengan beberapa dasar argumentasi di atas, tanpa perlu membuat

pertimbangan atas pelanggaran lainnya dari Pertamina, majelis arbitrase

memutuskan bahwa Pertamina sebagai tergugat telah melanggar kewajiban

mereka menurut ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam ESC dan

JOC.

66Lihat Pasal 11.2 (c) dan (d) JOC; dan Pasal 4.3 ESC, sebagaimana diacu oleh majelis arbitrase melalui Putusan Awal bahwa di dalam kontrak, Pertamina dan Pemerintah Indonesia adalah dua pihak yang berbeda. Dengan tidak memenuhi tanggungjawab menolong KBC tersebut, hal ini menambah berat pelanggaran akibat kegagalan memenuhi kedua kontrak akibat dikeluarkannya Keppres.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

28

Page 29: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

b. Masalah Pengakhiran Kontrak Persoalan lainnya yang mendapatkan putusan Arbitrase UNCITRAL adalah:

“Apakah kontrak/perjanjian perjanjian jual beli energi (ESC) dan/atau

perjanjian kerja sama operasional (JOC) harus diakhiri?” Untuk itu, perlu

diketahui lebih dahulu argumentasi KBC dan posisi Pertamina dalam

kaitannya dengan pengakhiran kontrak.

1) Argumentasi KBC

Menurut KBC, tindakan Pertamina dan PLN merupakan penolakan yang

sudah dipersiapkan, terhadap kewajiban masing-masing untuk membeli dan

menjual listrik yang dihasilkan oleh KBC sesuai dengan harga berdasarkan

kontrak. Dengan mengetengahkan bukti yang disampaikan oieh saksi ahli

Bapak Dermawan yang menyatakan bahwa di dalam hukum Indonesia tidak

ada konsep "anticipatory repudiation" (penolakan pembayaran hutang yang

sebelumnya sudah direncanakan), KBC menekankan bahwa maksud

pernyataan untuk tidak lagi terikat dengan kontrak merupakan pelanggaran

terhadap kewajiban untuk melaksanakan kontrak atau perjanjian dengan

itikad baik. hukum Indonesia mengijinkan pemutusan kontrak apabila salah

satu pihak secara material telah melanggar kontrak.

KBC menunjuk isi Pasal 12.1 ESC dan Pasal 20 JOC sebagai berikut:

"Para pihak dengan ini mengabaikan ketentuan dalam Pasal 1266 dan 1267

KUHPerdata bekenaan dengan Perjanjian ini untuk memberikan keleluasaan

yang diperlukan untuk mengakhiri Perjanjian ini tanpa melalui persetujuan

Pengadilan." Sebagai alternatif dari pemutusan atau pemberhentian kontrak

tersebut, di dalam Pernyataan Tuntutan yang teiah diperbaiki tertangal 24

Nopember 1999, KBC meminta pelaksanaan perjanjian khusus.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

29

Page 30: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

2) Posisi Pertamina Pertamina tidak mengakui bahwa mereka telah menolak kontrak yang sudah

disepakati dan menekankan bahwa konsep penolakan kontrak yang sudah

diantisipasi tidak ada di dalam hukum Indonesia. Walaupun mereka

mengakui bahwa pemutusan kontrak yang berdasarkan hukum dapat saja

terjadi dalam kasus pelanggaran, akan tetapi mereka menekankan bahwa

satu pihak tidak dapat mempercepat pelaksanaan kewajiban pihak lainnya.

Selanjutnya mereka menyatakan bahwa pemutusan kontrak bukanlah

tuntutan atas tindakan yang berhubungan dengan pemerintah sesuai dengan

isi Kontrak.

3) Dasar dan putusan majelis arbitrase

Dengan membahas berbagai konsep perihal penolakan dan pemutusan

kontrak, KBC sesungguhnya telah memberikan masukan yang cukup lengkap

sehubungan dengan hal ini. Lebih jauh majelis arbitrase mengacu pada

Bapak Dermawan, saksi ahli Pertamina, bahwa berdasarkan hukum

Indonesia, konsep penolakan kontrak di dalam hukum adat tidak cocok

apabila dimasukkan di dalam hukum perdata. Sebaliknya, di dalam sistem

hukum perdata terdapat konsep pemutusan akibat pelanggaran.

Namun demikian, apabila konsep penolakan tersebut diterima di dalam

sistem hukum Indonesia, maka majelis arbitrase tetap memutuskan hahwa

PLN ataupun Pertamina sesungguhnya telah melanggar Kontrak. PLN

secara langsung, Pertamina secara tidak langsung telah menyatakan bahwa

mereka menangguhkan pelaksanaan kontrak untuk sementara waktu sebagai

akibat dari Keputusan Presiden Tahun 1998. Karena mereka tidak memiliki

alasan sah untuk melakukan hal tersebut, tindakan ini merupakan

pelanggaran kontrak. Kegagalan untuk berusaha sebaik mungkin demi

dilanjutkannya kembali proyek Karaha Bodas memperberat pelanggaran

pertama yaitu pelanggaran untuk melakukan pelaksanaan kontrak dengan

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

30

Page 31: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

itikad baik. Pelanggaran-pelanggaran tersebut memberikan hak bagi KBC

untuk memutuskan kontrak. Pelanggaran kontrak merupakan alasan yang

mendasar untuk pemutusan kontrak berdasarkan hukum Indonesia.67

Sehubungan dengan klausula-klausula yang ditulis di dalam kontrak,

majelis arbitrase memiliki kekuasaan perihal pemutusan Kontrak. Dalam

kedua kontrak para pihak telah menerima bahwa kontrak dapat diputuskan

oleh salah satu pihak tanpa melalui persetujuan pengadilan.68

Karena itu, mereka menerima bahwa pengakhiran dapat diputuskan oleh

Pengadilan Arbitrrase. Jadi meskipun tidak ada ketentuan-ketentuan di dalam

kontrak tersebut, majelis arbitrase berkuasa mengakhiri kontrak cukup

dengan menunjuk pada kesepakatan para pihak untuk mengajukan

sengketa-sengketa mereka agar diputuskan melalui arbitrase. Dengan

melakukan hal ini, para pihak telah memberikan wewenang hukum kepada

majelis arbitrase untuk memutuskan kontrak.

Majelis arbitrase berpendapat bahwa tidak ada satupun ketentuan dari

kedua Kontrak yang dapat dianggap menghalangi pemutusan kontrak. Pasal

11.3 ESC mengharuskan agar pihak yang lalai mengirim pemberitahuan

perihal kelalaian tersebut sebelum pihak lainnya memutuskan kontrak, dan

pihak yang lalai tersebut diberi "jangka waktu yang cukup untuk memperbaiki

kesalahan tersebut sesuai dengan kesepakatan bersama." Mekanisme

tersebut yang disusun berkenaan dengan pemutusan kontrak tidak dapat

diterapkan di dalam pemutusan yang dilakukan oleh majelis arbitrase. Hal ini

pada dasamya diterapkan terhadap kasus-kasus di mana para pihak setuju

67 Meskipun majelis arbitrase selalu mengacu pada peraturan hukum Indonesia, koordinator pengacara Pertamina kepada penulis (dalam wawancara 21 Maret 2005) menyatakan bahwa majelis arbitrase telah salah menerapkan hukum karena tidak menggunakan hukum Indonesia sebagai governing law; padahal pilihan hukumnya (choice of law) yaitu: hukum Indonesia telah ditentukan secara tegas di dalam perjanjian. Dikatakannya bahwa mereka justru menggunakan hukum Swiss, dan hanya hukum acaranya (procedural law) menggunakan ketentuan UNCITRAL. 68 Lihat Pasal 12.1 ESC;dan Pasal 20 JOC.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

31

Page 32: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

bahwa kelalaian dapat diperbaiki, karena mereka harus menyetujui tenggang

waktu yang diperlukan untuk memperbaiki kelalaian tersebut.

Hal ini tidak berlaku apabila salah satu pihak menyampaikan tuntutan

akibat pelanggaran pihak lain yang kemudian pihak lain tersebut tidak

mengakuinya. Di dalam kasus ini, peraturan pemutusan kontrak yang

diterapkan adalah peraturan berdasarkan hukum yang berlaku.

Selanjutnya majelis arbitrase menggarisbawahi fakta berikut ini, yaitu

enam tahun telah lewat setelah pelaksanaan kontrak dan hampir tiga tahun

sejak dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 yang memutuskan kontrak.

Karena itu, dengan menimbang bahwa Pertamina telah gagal melakukan

usaha sebaik mungkin demi diteruskannya proyek tersebut dalam waktu

dekat, tidaklah masuk akal untuk tetap mempertahankan ikatan para pihak

dengan kontrak yang juga bertolakbelakang dengan kepentingan semua

pihak, pokok dasar kontrak, dan tujuan yang sah dari masing-masing pihak

yang semuanya ini harus dihormati oleh majelis arbitrase berdasarkan Pasal

13.2 JOC dan Pasal 8.2 (h) ESC.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka majelis arbitrase menyatakan

bahwa kontrak JOC dan ESC diputuskan atau diberhentikan. Dengan

demikian tuntutan KBC terhadap pelaksanaan tertentu, yang disampaikan di

dalam alternatif, sebaiknya diabaikan.

c. Ganti Kerugian atas Kehilangan Modal Perlu digarisbawahi bahwa dalam kasus pelanggaran kontrak, pihak yang

dirugikan berhak untuk menuntut ganti kerugian. Prinsip hukum umum ini

juga merupakan bagian dari hukum Indonesia dan tidak dibantah oleh para

pihak. Jadi, Pertamina berkewajiban membayar ganti kerugian terhadap KBC

karena Pertamina telah melanggar kewajiban yang tercantum di dalam

kontrak. Namun demikian, jumlah ganti kerugian tersebut harus

diperhitungkan dan dinyatakan.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

32

Page 33: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

KBC mengajukan permohonan untuk memperoleh ganti kerugian atas

biaya yang telah dikeluarkan dan sebagai alternatif terhadap ganti kerugian

akibat kehilangan modal, KBC minta agar Pertamina secepatnya

mengirimkan sejumlah uang.

1) Argumentasi KBC

KBC terutama menuntut untuk mendapatkan ganti kerugian atas sejumlah

uang yang telah dipakai untuk modal ditambah bunga sebesar 15–16 persen

dari jumlah tersebut. Menurut KBC tuntutan ini didasarkan pada konsep

pendekatan ganti kerugian berdasarkan kontrak yang dinamakan damnum

emergens (kerugian yang sebenarnya dan bukan yang diantisipasi), yang

sesungguhnya telah diterapkan oleh berbagai arbitrase internasional.

Demikian pula berdasarkan asumsi bahwa hukum Indonesia dan prinsip yang

dipakai di dalam arbitrase internasional (yang telah diterima dengan baik)

memberikan ijin bagi KBC sebagai pengugat untuk menerima ganti kerugian

sesuai dengan prinsip keadilan.

KBC berpatokan pada bukti yang memperlihatkan bahwa ia telah

menggunakan uang sejumlah 94,6 (sembilan puluh empat koma enam) juta

dolar Amerika demi mencapai tujuan yang tercantum di dalam kontrak atau

perjanjian. KBC menyatakan bahwa berdasarkan dokumen dan kesaksian

Mr. Dan Campbell dan Mrs. Barbara Bishop Gollan, yang telah diuji di dalam

pemeriksaan silang saksi, ditetapkan bahwa ongkos yang telah dikeluarkan

oleh KBC adalah sehubungan dengan pembiayaan yang secara khusus

berhubungan dengan eksplorasi dan pembangunan proyek. Akibatnya,

jumlah 94,6 juta dolar tidak selayaknya dibantah dan harus dibayar bersama

dengan bunganya.

Sehubungan dengan hukum Indonesia yang membahas pula masalah

damnum emergens, maka menurut KBC, tidaklah menjadi masalah apabila

proyek tersebut tidak diselesaikan sesegera mungkin untuk memperoleh

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

33

Page 34: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

keuntungan; KBC tidak dapat diasumsikan sebagai pihak yang harus

menanggung biaya pelaksanaan proyek sebagai akibat dari kegagalan

pelaksanaan karena hal-hal di luar kekuasaan pihak tersebut.

KBC bersamaan dengan ini menolak argumentasi Pertamina yang

mempertanyakan kepatutan jumlah biaya KBC. Dari sudut pandang KBC,

tanpa perlu harus menetapkan kepatutan jumlah biaya yang dikeluarkan

KBC, jumlah tersebut adalah bukti pengeluaran yang dipakai untuk proyek,

bukan untuk maksud lainnya. Selanjutnya, KBC menyatakan bahwa seluruh

kesaksian para saksi dari KBC menunjukkan bahwa biaya tersebut

dikeluarkan berdasarkan keputusan yang hati-hati dan wajar.

2) Argumentasi Pertamina Karena menyangkut masalah prinsip, Pertamina menolak bahwa KBC berhak

memperoleh ganti rugi atas ongkos yang dikeluarkan untuk pembangunan

proyek. Pertamina yakin bahwa KBC sendiri mengakui dengan suratnya

kepada Pertamina tertanggal 9 September 1997 dan Laporan Keuangan,

bahwa pada saat kontrak JOC dan ESC disepakati bersama, pihak ini telah

mengasuransikan risiko yang mungkin terjadi; risiko tersebut yaitu, apabila

belum ada keuntungan yang cukup dari hasil penjualan listrik kepada PLN,

yang dapat menutupi ongkos pembiayaan, maka mereka tidak dapat

memperoleh ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan.

Pertamina tetap berkeyakinan bahwa sebagai pihak yang mengajukan

permohonan pemberhentian proyek, KBC harus menanggung sendiri

konsekuensi dari tidak adanya keuntungan yang dihasilkan untuk menutupi

biaya yang sudah dikeluarkan. Pertamina menuduh bahwa KBC telah

mengeluarkan ongkos yang sia-sia karena tidak tepat dan tidak efisien dalam

melakukan eksplorasi sehingga Pertamina sendiri tidak memperoleh

keuntungan apapun.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

34

Page 35: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Berdasarkan laporan ahli yang diajukan oleh Pertamina dinyatakan bahwa

KBC selama dua tahun melakukan eksplorasi di utara Karaha, daerah yang

tidak produktif, dan mereka tidak mendapat manfaat apa-apa dari program

penelitian geologi yang mengukur kadar konduktivitas listrik pada batu yang

apabila tidak dilakukan sesungguhnya dapat menghemat jutaan dolar. KBC

pada tahap berikutnya telah salah memilih daerah proyek yaitu daerah kawah

di Telaga Bodas, yang disinyalir mengandung zat-zat kimia yang membuat

daerah tersebut tidak aman untuk pengolahan sumber panas bumi,

akibatnya, dari segi komersialisasi usaha pembangunan tersebut tidak

praktis.

Meskipun Pertamina menyatakan bahwa tidak seharusnya ada ganti rugi

atas biaya yang dikeluarkan untuk eksplorasi dan pembangunan, Pertamina

mengajukan permohonan berikut: "putusan apapun harus dikurangi, sedikit-

dikitnya sebesar 32,2 (tigapuluh dua koma dua) Juta Dolar Amerika sebagai

biaya yang dikeluarkan sia-sia sesuai dengan dokumentasi yang diserahkan

oleh Mr. Layman."

Pertamina juga tetap berkeyakinan bahwa biaya yang diklaim KBC

termasuk jutaan dolar yang telah dikeluarkan oleh Pertamina dengan tujuan

pembangunan dan infrastruktur serta untuk pelatihan para teknisi tidak lagi

bermanfaat apa-apa sebagaimana diakui oleh KBC sendiri di dalam upaya

pendekatannya dengan pemerintah Indonesia pada September 1997.

Pertamina menyampaikan pula masalah pengeluaran tertentu yang

dikeluarkan oleh pemegang saham KBC yaitu PT Sumarah. Pengeluaran

tersebut dinyatakan sebagai "ongkos pembiayaan" dan "pengeluaran kantor

pusat” yang jumlahnya sebesar beberapa persen yang telah disetujui dari

pengeluaran total KBC. Pertamina seharusnya tidak mengganti pembayaran

kepada PT Sumarah dalam bentuk apapun yang disebutnya sebagai

"pembayaran tidak tercatat dan tidak beralasan."

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

35

Page 36: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Akhimya, Pertamina menolak dengan menyatakan bahwa putusan

apapun terhadap KBC sehubungan dengan biaya pembangunan tersebut

adalah dalam bentuk Rupiah Indonesia, dan bukan Dolar Amerika, serta

harus berdasarkan pengeluaran dalam nilai uang Rupiah sesuai dengan nilai

tukar uang pada saat biaya tersebut dikeluarkan.

Dengan mempertimbangkan turunnya nilai uang Rupiah terhadap Dolar

Amerika secara drastis setelah hampir seluruh biaya dikeluarkan, Pertamina

menyatakan bahwa sangat melampaui batas dan tidak adil apabila putusan

ganti rugi dihitung dalam Dolar Amerika.

3) Penilaian majelis arbitrase dan putusan Berdasarkan permasalahan yang dibahas di dalam Arbitrase sekarang ini,

hubungan kontrak di antara para pihak dikategorikan ke dalam Long Term

International Development Agreements (Perjanjian Pembangunan

Internasional Jangka Panjang), di mana penanam modal asing berasumsi

pada pelaksanaan awal mengenai kewajiban pokok bahwa pembiayaan,

tahap perencanaan, konstruksi, dan pengoperasian alat-alat teknologi

modern untuk membangun sarana industri dalam rangka pendayagunaan

sumber alam yang tersedia di dalam wilayah Indonesia adalah demi

kepentingan masyarakat umum. Dengan melakukan komitmen tersebut,

penanam modal asing selama ketentuan di dalam kontrak masih berlaku

yang pada akhirnya memberikan hasil kepada masyarakat umum, berhak

tidak saja memperoleh kembali modal yang ditanam pada tahap awal, namun

juga keuntungan tertentu yang telah dijamin di mana laba bersih telah

ditetapkan dan disetujui bersama di dalam analisis keuangan.

Hubungan antara hak dan kewajiban para pihak tercermin di dalam

struktur kontrak tersebut yang membawa pada kesimpulan yang logis dan

tidak dapat dihindari bahwa pada saat penanam modal terhalangi untuk

melaksanakan kontrak yang mengikat yang disebabkan oleh hal-hal di luar

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

36

Page 37: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

kekuasaannya, penanam modal tidak menanggung konsekuensinya. Di sini,

penanam modal asing berhak memperoleh ganti rugi dari seluruh modal yang

ditanam sebagai bagian penting dari kompensasi tersebut. Artinya, akibat

pembatalan atas pekerjaan yang sebelumnya telah diselesaikan, yang hal ini

telah diantisipasi di dalam kontrak, maka penanam modal harus mendapat

ganti rugi atas pengeluaran yang telah dibuktikan.

Perlu dicatat bahwa Pasal 1.1 JOC mewajibkan KBC mengatur keuangan

untuk pembiayaan “berbagai aspek” dalam rangka "pengoperasian geo-

termal” yang didefinisikan sebagai “seluruh aktivitas apapun dalam bentuk

eksplorasi, penemuan, pembangunan, dan produktivitas, pembangunan

Fasilifas Lapangan dan Pembangkit Tenaga Listrik," dan juga "pemasokan

dan penjualan Energi Geo-termal (Panas Bumi) dan Listrik yang kemudian

dihasilkan."

Sehubungan dengan pelaksanaan aktivitas tersebut di atas dan dengan

adanya pembiayaan penuh oleh KBC, sesuai dengan ketentuan Pasal 5.1,

telah diberikan kepada KBC "lisensi dan hak tersendiri dan yang tidak dapat

dibatalkan selama ketentuan kontrak berlaku untuk menggarap daerah yang

dicantumkan di dalam kontrak." Hal ini mengandung pengertian bahwa KBC

mendapatkan ijin untuk selama 30 tahun memperoleh Iaba bersih.

Bersamaan dengan jaminan dasar lainnya yang diberikan kepada KBC,

bentuk-bentuk jaminan yang tercantum di dalam Pasal 6.3 JOC adalah

berkaitan dengan "Listrik yang Dihasilkan".

Dalam kaitan dengan masalah ini, ESC yang disusun oleh PLN berisi

berbagai ketentuan yang memberikan hak dan kewajiban yang sama, dan

juga jaminan atas pembelian listrik yang dihasilkan menurut harga yang telah

dijamin yang dihitung berdasarkan ongkos dalam nilai uang yang dari awal

telah ditentukan oleh KBC; yaitu dalam Dolar Amerika (Pasal 1, 2 dan 5

ESC).

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

37

Page 38: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Terkait dengan keseluruhan masalah, majelis arbitrase terikat untuk

menghormati ketentuan yang tercantum di dalam kontrak yang

menggambarkan filosofi keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak,

khususnya berdasarkan pedoman yang disusun dan diberikan di antara para

pihak di dalam Pasal 13.2 (b) JOC dan Pasal 8.2 (b) ESC. Di dalam

peraturan telah ditentukan dengan jelas dan langsung, di satu pihak, bahwa

pemahaman dan penerapan hukum yang dipilih, yang adalah hukum

Indonesia, harus dilaksanakan dengan sikap "konsisten sesuai dengan jiwa

Kontrak dan hal-hal yang mendasari keinginan para pihak," dan sikap

pelaksanaan hukum tersebut di pihak lain mensyaratkan "harus

mencerminkan penilaian atas penafsiran yang benar atas semua ketentuan-

ketentuan yang berkaitan serta pelaksanaan yang adil dan tepat atas isi

Perjanjian sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut." Oleh sebab itu,

pemberian mandat tertinggi untuk memilih cara penyelesaian perkara

bertujuan mencapai keinginan mendasar dan keinginan sah para pihak

secara tepat, sebagaimana dimengerti melalui struktur teks secara

keseluruhan dari dokumen kontrak atau perjanjian.

Bersamaan dengan hal tersebut, perlu diperhatikan pendapat hukum yang

disampaikan oleh para ahli dari kedua pihak.69 Hal ini sehubungan dengan

fakta yang tertulis di dalam KUHPerdata Pasal 1423 - 1252, yaitu hukum

yang telah dipilih untuk diterapkan, yang memberikan hak kepada pihak yang

tidak melanggar kontrak untuk menuntut uang damnum emergens, ganti rugi

atas ongkos yang dikeluarkan untuk pelaksanaan yang tercantum di dalam

kontrak.

Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, majelis arbitrase berpendapat

bahwa KBC harus mendapatkan ganti rugi damnum emergens bersama-

sama dengan ganti rugi atas pengeluaran dalam rangka pelaksanaan kedua 69 Ahli hukum yang diminta kesaksiannya dari Pertamina adalah Didi Dermawan, sedangkan Robert Hornick adalah saksi ahli KBC.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

38

Page 39: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

kontrak yang disusun bersama Pertamina, yaitu melalui perolehan kembali

modal yang telah ditanam untuk melaksanakan kegiatan yang tercantum di

dalam JOC bersama dengan Pertamina dengan pertimbangan akan ada

keuntungan yang dihasilkan di masa mendatang sebagaimana tercantum di

dalam ESC bersama-sama dengan PLN.

Bertolakbelakang dengan keberatan yang diajukan oleh Pertamina,

karena apabila KBC meragukan haknya untuk memperoleh kembali sejumlah

uang yang telah ditanam untuk pelaksanaan proyek (yang didasarkan pada

bukti-bukti pribadi sampai pada kesimpulan), maka hal ini berarti KBC

menolak haknya dalam bentuk apapun yang tercantum di dalam kontrak atau

peraturan hukum.

Dalam bentuk pernyataan yang lebih konkrit, pandangan Pertamina dalam

hal ini tidak konsisten dengan surat KBC kepada Pertamina tertanggal 9

September 1997, maupun Laporan Keuangan atau dokumen berikutnya yang

terkait dengan pendekatan KBC terhadap Pemerintah Indonesia dan

Pemerintah Amerika Serikat. Sementara itu, KBC sendiri secara terus-

menerus telah menekankan perihal risiko yang timbul akibat perpanjangan

penangguhan proyek dalam bentuk kerugian uang serta akibat biaya yang

sebelumnya telah dikeluarkan untuk proyek.

Di bawah ini adalah jawaban terhadap argumentasi Pertamina yang

menyatakan bahwa sebesar 32,2 (tigapuluh dua koma dua) juta dolar

Amerika yang dikeluarkan oleh KBC adalah sia-sia karena program

eksplorasi yang dilakukan KBC tidak tepat dan tidak efisien sehingga tidak

memberikan manfaat apa-apa bagi Pertamina. Berdasarkan laporan ahli dari

Pertamina yang diserahkan di dalam sidang pemeriksaan, majelis arbitrase

yang bertugas setuju sepenuhnya terhadap putusan yang disampaikan oleh

majelis arbitrase dalam kasus Himpurna California Energy yang dengan jelas

menyatakan bahwa: "Di dalam kasus pelanggaran kontrak, ongkos yang

dikeluarkan oleh Penggugat adalah sia-sia jika biaya yang dikeluarkan tidak

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

39

Page 40: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

ada hubungannya sama sekali dengan apakah biaya tersebut dikeluarkan

secara bijaksana atau membawa keuntungan.”70

Tindakan Pertamina tentunya telah menjadikan biaya yang dikeluarkan

KBC kehilangan nilai. Pertamina saat ini berhak untuk meragukan kelayakan

pengeluaran tersebut karena Pertamina telah memperlakukan KBC sebagai

pihak yang tidak dapat mengambil keuntungan dari pengeluaran sehubungan

dengan pelaksanaan proyek dan tidak dapat menunjukkan secara nyata

kegunaan pengeiuaran tersebut.

Sehubungan dengan argumentasi Pertamina tersebut, menurut majelis

arbitrase KBC dinilai layak untuk mendapatkan ganti kerugian atas seluruh

ongkos yang telah dibuktikan pengeluarannya untuk pelaksanaan proyek,

tanpa ia harus mengikuti perdebatan setelah pengeluaran tersebut dilakukan,

sehubungan dengan manfaat yang diperoleh dari pemakaian uang tersebut.

Dengan kata lain, KBC berhak untuk memperoleh ganti rugi atas ongkos-

ongkos dan modal yang sudah ditanam yang secara layak telah dibuktikan

dan langsung berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan berdasarkan

Kontrak yang telah disepakati bersama dengan Pertamina.

Analisis yang sama juga diterapkan terhadap argumentasi KBC tentang

pengeluaran yang diserahkan kepada PT Sumarah selaku pemegang saham

KBC. Tidak ada dokumen yang mempertanyakan keterlibatan PT Sumarah

sebagai pemegang saham yang telah diumumkan secara publik dan

namanya tercantum di dalam Laporan Keuangan dan Laporan yang

diserahkan kepada Pertamina dan PLN. Jumlah uang yang disebut sebagai

"ongkos pembiayaan" dan "pengeluaran kantor pusat," yang diterima oleh

mitra lokal, telah diumumkan secara terbuka dan telah ditulis bersamaan

dengan laporan biaya yang juga disampaikan kepada Pertamina dan tidak

70 Lihat Mealey’s International Arbitration Report, op. cit., hlm. 33, mengutip Final Award dalam Himpurna California Energy Ltd. – Bermuda Case, hlm. 130 – 131.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

40

Page 41: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

menimbulkan keberatan dari pihak Pertamina sampai akhirnya keberatan

tersebut dinyatakan di dalam sidang pemeriksaan.

Berdasarkan fakta, pengeluaran dalam bentuk persentase yang telah

disepakati tidaklah dilakukan dalam bentuk pembayaran sembunyi-sembunyi

atau secara tidak pantas. Oleh sebab itu, majelis arbitrase tidak menemukan

dasar atas tuduhan bahwa pembayaran tersebut tidak layak dan tidak pantas,

dengan demikian majelis arbitrase menolak keberatan Pertamina untuk

memberikan ganti rugi atas pembayaran tesrebut.

Sebagaimana argumentasi yang disampaikan oleh Pertamina yang

menyatakan bahwa jumlah uang yang diberikan kepada KBC sebagai ganti

kerugian haruslah dalam bentuk rupiah dan dihitung menurut nilai tukar

rupiah terhadap dolar Amerika pada saat uang tersebut dipakai, majelis

arbitrase tidak menemukan kesulitan dalam menolak permohonan tersebut

karena tidak diragukan lagi bahwa menurut catatan yang tersedia, seluruh

pengeluaran yang dilakukan oleh KBC adalah dana yang diterima dalam nilai

dolar Amerika dari sumber dana luar negeri, terutama dari pemegang saham

Amerika Serikat sendiri, dan dimasukkan ke dalam ekonomi nasional

Indonesia untuk menutupi biaya lokal. Tidak berhubungan sama sekali

kenyataan bahwa uang dalam dolar tersebut selanjutnya ditukar dalam

bentuk rupiah Indonesia untuk menutupi biaya, karena pada mulanya modal

dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Apabila tidak dilakukan dengan sistem

tersebut maka KBC akan menderita kerugian yang secara hukum dan

keadilan tidak dapat diterima.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, majelis arbitrase,

dalam rangka menyusun perbaikan jumlah biaya modal yang telah

dikeluarkan, berpatokan pada dokumen berisi Pembiayaan Proyek oleh KBC

yang angka-angkanya dicantumkan di dalam Program Kerja dan Anggaran

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

41

Page 42: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

tahun 1995-1998 dan yang telah disetujui oleh Pertamina berdasarkan Pasal

4.3.1 JOC.71

Karena majelis arbitrase tidak melihat adanya bukti bahwa Pertamina

tidak setuju, majelis arbitrase mempertimbangkan bahwa KBC berhak

menerima ganti rugi dari pembiayaan yang telah dibuktikan dan tidak

disengketakan sebesar 8,3 (delapan koma tiga) juta dolar Amerika untuk

tahun 1995; 26,4 (duapuluh enam koma empat) juta dolar Amerika untuk

tahun 1996; 48,5 (empatpuluh delapan koma lima) juta dolar Amerika untuk

tahun 1997; dan 9,9 (sembilan koma sembilan) juta dolar Amerika untuk

tahun 1998; yang semuanya dijumlah secara total adalah sebesar 93,1

(sembilan puluh tiga koma satu) juta dolar Amerika.

Majelis arbitrase tidak memiliki dokumen yang dapat digunakan sebagai

bukti atas beberapa hal, yang termasuk di dalam klaim secara global, untuk

memeriksa akurasi atas hubungan pengeluaran pada tahun 1999 dalam

rangka pelaksanaan akhir seluruh operasi yaitu sejumlah 1,6 (satu koma

enam) juta dolar Amerika sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam

kontrak. Hal ini karena tidak ada lagi program kerja atau anggaran yang

diserahkan kepada Pertamina untuk disetujui. Oleh sebab itu, majelis

arbitrase tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi sebesar 1,6 juta dolar

Amerika, karena tidak cukup bukti-bukti yang menyatakan bahwa jumlah

tersebut telah digunakan KBC sebagai modal untuk memenuhi Kontrak.

Setelah membuat keputusan bahwa KBC berhak memperoleh ganti rugi

atas modal yang sudah ditanam, dan wajib diberikan damnum emergens

yang bersamaan dengan pelaksanaan proyek sesuai kontrak berakhir

terhitung sebesar 93,1 (sembilan puluh tiga koma satu) juta dolar Amerika,

71 Pasal tersebut isinya antara lain meminta Pertamina untuk menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuannya dalam tempo 30 hari.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

42

Page 43: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

maka majelis arbitrase sekarang harus menetapkan nilai ganti rugi akibat

kehilangan modal.

Untuk membuat keputusan yang sulit ini, majelis arbitrase harus

menggunakan satu-satunya cara penyelesaian melalui bukti yang diserahkan

oleh Professor Ruback, saksi ahli dari KBC, yaitu apa yang disebuf risk-free

rate, yaitu: tingkat bunga yang dibayarkan untuk pinjaman uang ketika risiko

bahwa bunganya tidak akan dibayarkan dipertimbangkan sebagai nol,

sebesar 5,8% per tahun, tarif saat itu yang diambil dari Surat Obligasi di

Amerika Serikat yang sudah berlaku selama 20 tahun (US Government

Bond). Penggunaan risk-free rate ini memberikan keuntungan karena ukuran

yang konservatif tersebut memungkinkan seseorang bersikap hati-hati,

dengan menempatkan jumlah tertentu dalam bentuk penanaman modal yang

terjamin, serta memperoleh hasil yang tingkat spekulatifnya paling rendah.

Dengan membuat kalkulasi berdasarkan petunjuk tersebut, jumlah total

yang diperlihatkan kepada majelis arbitrase, terhitung jumlah uang tiap akhir

tahun dari mulai dikeluarkan oleh KBC sebagai biaya pengeluaran untuk

proyek Karaha Bodas sampai berakhir pada tahun 2000, adalah nilai saat ini

yaitu jumlah uang yang dipakai sebagai modal di mana KBC pantas

memperolehnya kembali sebagai ganti rugi berdasarkan damnum emergens

seperti yang diuraikan di bawah ini:

1995 8,3 Juta Dolar Amerika + (8,3 Juta X 5,8% X 5) = 10,7 Juta

1996 26,4 Juta Dolar Amerika + (26,4 Juta X 5,8% X 4) = 32,5 Juta

1997 48,5 Juta + (48,5 Juta X 5,8% X 3) = 56,9 Juta

1998 9,9 Juta + (9,9 Juta X 5,8% X 2) = 11,0 Juta

TOTAL = 111,1 Juta

KBC mengajukan permohonan agar Pertamina dan PLN secara bersama-

sama dan masing-masing dijatuhi hukuman berupa kevvajiban membayar

ganti rugi. Dari penemuan majelis arbitrase, Pertamina dan PLN bekerja

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

43

Page 44: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

sama dalam tingkatan yang sama melakukan pelanggaran bersama terhadap

kewajiban yang terdapat di dalam kontrak. Oleh sebab itu, majelis arbitrase

menjatuhkan hukuman terhadap Pertamina dan PLN kepada KBC secara

bersama-sama dan masing-masing untuk membayar KBC sebesar 111,1

juta sebagai ganti rugi karena jumlah tersebut telah dipakai dalam rangka

pembiayaan proyek.

d. Hilangnya Keuntungan yang Diharapkan Di samping kehilangan modal yang ditanam, KBC mohon ganti kerugian jenis

kedua, yaitu kehilangan laba sehubungan dengan hilangnya kesempatan

pembangunan geo-termal.

1) Posisi KBC KBC menggarisbawahi bahwa alasan yang menyertai permohonan tersebut

tidak membuat penghitungan menjadi dua kali lipat karena perkiraan laba

tersebut merupakan dasar dari penanaman modal sebelumnya, demikian

bukti yang diajukan Professor R. Ruback dari Harvard Business School.

Selanjutnya KBC menyatakan bahwa klaim ini sah menurut hukum

Indonesia. Klaim tersebut, menyatakan sebagai salah satu pelanggaran

kontrak adalah ganti kerugian, termasuk pula kehilangan laba, sebagaimana

dibuktikan oleh saksi ahli KBC, Robert Hornick, dan yang saksi ahli

Pertamina sendiri tidak menunjukkan keberatan apapun. KBC menunjuk

pada Pasal 1246 KUHP yang membahas bahwa ganti rugi adalah termasuk

pula “kehilangan yang diderita oleh pihak yang berpiutang dan keuntungan

yang seharusnya diperoleh.”

Berdasarkan hukum Indonesia dan prinsip arbitrase internasional yang

diakui, jumlah ganti rugi dalam bentuk tersebut ditentukan berdasarkan

prinsip keadilan atau ex aequo et bono. Menurut KBC, klaim atas kehilangan

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

44

Page 45: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

laba dengan pembuktian, dipertimbangkan bukan berdasarkan ketentuan

yang absolut namun berupa perkiraan.

Bukti yang diserahkan KBC memperlihatkan bahwa dari persediaan geo-

termal dapat dibangun pembangkit tenaga listrik berkapasitas 210 MW.

Dengan demikian Pertamina telah salah menafsirkan dokumen proyek yang

menyebutkan kapasitas tenaga listrik sebesar 55MW dan 110MW.

Selanjutnya bukti memperlihatkan bahwa salah satu pemegang saham KBC,

FLP Energy, Inc., sesungguhnya akan menyediakan dana suntikan, dan

memberikan pertolongan untuk pembiayaan atau penanaman modal secara

langsung untuk pelaksanaan proyek tersebut dengan perkiraan bahwa PLN

dan Pertamina akan melaksanakan kontrak yang sudah disepakati. FLP

Energy Inc. rencananya akan memberikan bantuan pembiayaan karena,

antara lain, perusahaan ini telah menanam sebesar US$ 40 (empat puluh)

juta dolar Amerika ke dalam proyek tersebut dan karena ESC dan JOC

memakai nilai mata uang Amerika.

Kalkulasi KBC atas kehilangan laba didasarkan pada cash flow yang

diperkirakan, yaitu pendapatan yang akan diperoleh dari proyek (yang

dihitung berdasarkan jumlah listrik yang akan dipasok, yaitu 210 MW kepada

PLN) untuk ditukar dengan pembayaran kapasitas sesuai dengan kontrak

ESC. Berdasarkan ESC, pemotongan tarif harga akan dikenakan setelah

dipertimbangkan bahwa hasil penjualan listrik akan diterima selama lebih 30

tahun. Menurut Profesor Ruback, tariff tersebut adalah sebesar 8,5 persen.

Berdasarkan bukti yang dikemukakan, KBC menyatakan klaim atas

kehilangan laba adalah sebesar US $ 512,5 (lima ratus dua belas koma lima)

juta dolar amerika, sesuai dengan tingkat perolehan (rate of return) sebesar

kira-kira 16,2 persen.

KBC mengklaim bahwa “pengiriman pembayaran yang telah dihitung”

berdasarkan ESC dianggap sebagai alternatif terhadap kehilangan laba yang

dihitung dalam bentuk cash flow yang akan diperoleh. Dalam ESC, PLN

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

45

Page 46: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

diwajibkan “membayar dengan segera sejumlah uang yang telah dihitung”

apabila penggugat tidak dapat membangun pembangkit tenaga listrik sebagai

akibat dari keadaan memaksa.

Di dalam kasus ini selanjutnya pembayaran pembangunan unit akan

dikirim, yaitu kemampuan memasok listrik, dan PLN seharusnya akan terus

melaksanakan kewajibannya membayar 90% dari pembayaran “tenaga listrik”

sesuai dengan ketentuan Pasal 5.2 ESC dan 100% dari “pembayarn

kapasitas listrik” berdasarkan Pasal 5.3 ESC dengan perhitungan volume MW

dalam NOID, yaitu 210 MW. Jumlah yang dituntut oleh penggugat

berdasarkan rujukan tersebut adalah sebesar US $ 437 (empat ratus tiga

puluh tujuh) juta dolar amerika, sehubungan dengan tingkat perolehan

sebesar 15,3 persen.

2) Posisi Pertamina Pertamina tidak menyangkal bahwa menurut hukum Indonesia,

sebagaimana menurut semua sistem hukum lainnya, kehilangan laba (lucrim

cessans) merupakan suatu ganti rugi yang dapat dikenakan terhadap suatu

pihak yang melanggar kontrak, ditambah dengan biaya-biaya yang telah

dikeluarkan sebelumnya (damnum emergens). Namun demikian, di samping

menolak tanggung jawab untuk pelanggaran kontrak atau semacamnya,

Pertamina menegaskan bahwa KBC lalai membuktikan bahwa mereka itu

siap, bersedia dan sanggup untuk melaksanakan JOC dan ESC.

Secara khusus Pertamina menegaskan bahwa KBC tidak dapat

memperoleh pembiayaan yang dipersyaratkan untuk menyelesaikan proyek,

yang diperkirakan oleh KBC sendiri akan melampaui US $ 500 (lima ratus)

juta dolar. Sebagaimana diakui oleh KBC bahwa pada saat itu tidak tersedia

pembiayaan tanpa perlindungan untuk pelaksanaan proyek karena

goncangan ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia (dan bukan karena

Keputusan Presiden atau tindakan apapun dari KBC).

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

46

Page 47: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Pertamina menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah ini, KBC telah

menyatakan bahwa salah satu pemegang sahamnya, FLP Energy Inc., akan

menyediakan pembiayaan yang diperlukan untuk waktu yang tidak ditentukan

sampai kestabilan politik pulih di Indonesia dan pembiayaan proyek kembali

tersedia.

Pertamina menantang pula gagasan yang disampaikan KBC bahwa ia

telah membuktikan kemampuannya untuk membangkitkan 210 MW tenaga

listrik berdasarkan sumber panas bumi yang tersedia. Padahal sebetulnya

baru di dalam NORC yang diperbaharui pada bulan Desember 1997 dan

NOID (yang menurut pandangan Pertamina sangat mencurigakan) KBC

menyatakan bahwa ia memperkirakan dapat memproduksi lebih dari 110 MW

tenaga listrik. KBC menyatakan bahwa rencana kerja 1998 yang disiapkan

oleh KBC menunjukkan bahwa aktivitas eksplorasi 1997 membuktikan dapat

menghasilkan 55 MW kapasitas produksi dan bahwa ada rencana yang akan

memusatkan perhatiannya untuk membuktikan adanya cadangan tambahan

yang cukup untuk mengembangkan sampai pada 110 MW.

Konsultan KBC yang independen, GeothermEx, telah memberikan

rekomendasi jauh di bawah 210 MW sebagai angka kapasitas listrik yang

akan dibangun. Seluruh analisis ahli-ahli yang laporannya telah diajukan oleh

Pertamina dalam sidang perkara ini telah menegaskan bahwa perkiraan

cadangan KBC didasarkan pada perkiraan yang tidak realistis dan tidak

terbukti dan bahwa cadangan yang dieksploitasi adalah jauh di bawah angka

210 MW yang dikemukakan oleh KBC. Para ahli tersebut termasuk ahli dari

KBC yaitu GeothermEx, telah menyatakan adanya persoalan dari kandungan

kimia tertentu dari geo-termal yang akan digarap. Persoalan tersebut di

dalam pandangan Pertamina tidak mudah untuk diselesaikan dan untuk

mengatasinya diperlukan modal tambahan. Oleh sebab itu, KBC telah gagal

untuk membuktikan kesanggupannya dalam membangun pembangkit tenaga

listrik berkapasitas 210 MW.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

47

Page 48: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Sehubungan dengan teori “pengiriman pembayaran,” menurut Pertamina

ESC tidak memberikan hak kepada KBC atas pengiriman pembayaran

tersebut sampai perusahaannya membangun unit yaitu telah mencapai

tanggal operasi pertama. Selanjutnya, KBC harus mengirim faktur untuk

memperoleh pengiriman pembayaran yang seyogyanya harus dibayar setiap

bulan, namun ia tidak pernah mengirim faktur tersebut. Akhirnya ketentuan

mengenai pengiriman pembayaran tidak dapat diterapkan karena tidak ada

NOID yang sah dan tidak ada dasar sama sekali untuk menentukan

kapasitas yang dinilai per unit (sebagaimana didefinisikan oleh ESC) dari

non-existent unit (unit yang tidak ada) dari KBC.

Kalkulasi “kehilangan laba” yang dibuat KBC, berdasarkan laporan

Profesor Ruback, di dalam pandangan Pertamina tidak dapat diterima karena

didasarkan atas berbagai asumsi yang tidak realistis.

Pertama, di dalam laporannya, Profesor Ruback hanya menerima laporan

yang diberikan oleh KBC mengenai cash flow pengoperasian yang

diproyeksikan untuk masa mendatang. Cash flow tersebut memperkirakan

antara lain, bahwa KBC membangun fasilitas pembangkit tenaga listrik

berkapasitas 210 MW pada akhir 2001 dan pembangunan tersebut akan

diteruskan selama 30 tahun dengan kapasitas penuh, tanpa alternatif lainnya.

Selanjutnya, proyeksi pengoperasian cash flow dipotong oleh Profesor

Ruback menjadi nilai sekarang yang tercantum pada tanggal 10 Januari

1998, yaitu pada saat keluarnya keputusan Presiden yang ditetapkan sebagai

“tanggal pelanggaran kontrak”, dengan potongan harga 8,5%. Angka terakhir

dianggap sebagai risk-free-rate (tarif harga bebas risiko) yaitu 5,8% dan risk

premium sebesar 2,7% berdasarkan harga penjualan menurut saham

CalEnergy, yaitu perusahaan yang dinyatakan sebagai perusahaan yang

sejajar tingkatannya dengan KBC, dan Pertamina menolak pandapat ini.

Penggunaan potongan tariff sebesar 8,5% sama sekali telah mengecilkan

arti biaya modal yang sesungguhnya di tahun 1998 dan dengan demikian

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

48

Page 49: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

membesar-besarkan pengertian kehilangan laba karena bunga biaya modal

adalah sebesar 22% yaitu angka yang sama dengan hasil obligasi

pemerintah Indonesia pada saat itu.

Sebagaimana diperlihatkan oleh laporan salah satu ahli Pertamina, Mr.

Norris, proyek tersebut berada pada titik break even (titik yang menunjukkan

pendapatan = biaya) pada potongan tarif sebesar 20% walaupun telah

disetujui oleh KBC seluruh asumsi yang mendasari penerimaan cash flow

yang diproyeksikan tersebut.

Pertamina berkeyakinan bahwa berdasarkan ahli mereka dalam hal ini

Bapak Dermawan, menurut hukum Indonesia kerugian harus dibuktikan dan

jika kehilangan laba di masa akan datang tidak dapat ditunjukkan maka tidak

akan diberikan ganti rugi.

Menurut pandangan Pertamina penentuan ganti rugi tidaklah seharusnya

berdasarkan prinsip keadilan, yaitu ex aequo et bono (dan hal ini dilarang

dilakukan oleh arbitrator karena tidak disepakati oleh para pihak), seperti

ditentukan didalam Pasal 631 KUHPerdata dan Pasal 33 (1) Peraturan

UNCITRAL.

Catatan: Untuk mendapatkan kejelasan penghitungan yang dilakukan

oleh Prof. Ruback, penulis berusaha untuk mengklarifikasinya secara

langsung melalui e-mail ke Universitas Harvard yang isinya sebagaimana

tercantum di bawah:

Dear Prof. Ruback: I am pleased to write you an e-mail, and hope that it finds you well. My name is Gatot Soemartono, an 1997 LL.M. graduate of Harvard Law School and currently a senior lecturer at Tarumanagara University Law School in Jakarta, Indonesia. At present I am doing research on Karaha Bodas’s case funded by the University’s research center.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

49

Page 50: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

When exploring all the data related to the case in question, I found that you have been appointed as one of the expert witnesses by Karaha Bodas Company (KBC). Even though I already have collected sufficient data (both from Pertamina and KBC), including a published international arbitration report of LexisNexis, I was unable to have access to some documents presented during the arbitration tribunal. Therefore I would be grateful if you briefly could address the following questions:

1. What is your consideration on using the trading price for the stock of CalEnergy, a company claimed to be comparable to Pertamina?

2. Do you think it is a justifiable expectation (not merely a speculation) to provide for the recovery of lost profit for a period of consecutive 30 years?

3. How did you come up with a discount rate of 8.5% (discounted to the projected operating cash flows’ present value as of January 1998) which, according to Pertamina’s calculation, would have been equal to the Indonesian government bonds of 22% at that time? Since you may have a busy schedule of your own, please do not hesitate to respond even one of the three questions. Thank you very much in advance for your assistance, and I look forward to hearing from you at your time convenience. Sincerely, Gatot Soemartono (Di bawah adalah terjemahan atas surat di atas. Yth. Prof. Ruback, Saya menulis e-mail kepada anda, dan mudah-mudahan anda menerimanya dengan baik. Nama saya Gatot Soemartono, lulusan LL.M dari Fakultas Hukum Universitas Harvard dan saat ini adalah dosen senior (lektor kepala) di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta, Indonesia. Sekarang saya sedang melakukan penelitian mengenai kasus Karaha Bodas yang dibiayai oleh lembaga penelitian Universitas Tarumanagara. Ketika saya mencari data yang terkait dengan kasus tersebut, saya mendapati bahwa anda adalah salah satu saksi ahli dari KBC. Meskipun saya telah mengumpulkan data yang cukup (baik dari

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

50

Page 51: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Pertamina maupun KBC), termasuk publikasi internasional atas laporan arbitrase dari LexisNexis, saya tidak dapat memperoleh akses terhadap beberapa dokumen yang digunakan dalam persidangan arbitrase tersebut. Oleh karena, saya akan sangat berterima kasih jika anda dapat secara singkat menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa pertimbangan anda untuk menggunakan harga saham dari

CalEnergy, sebuah perusahaan yang dinilai sebanding dengan Pertamina?

2. Apakah menurut anda dapat dibenarkan (dan bukan hanya bersifat spekulatif): suatu perhitungan yang memberikan ganti kerugian atas hilangnya keuntungan yang diharapkan selama periode waktu 30 tahun berturut-turut?

3. Bagaimana anda dapat mengusulkan sebuah tingkat diskon sebesar 8,5% (dikaitkan dengan perkiraan aliran kas pada nilai saat ini, Januari 1998) yang, menurut perhitungan Pertamina, nilainya akan sama dengan bunga obligasi pemerintah Indonesia pada saat itu (ketika jatuh tempo)?

Karena anda sendiri mungkin memiliki jadwal yang padat, saya mohon agar anda dapat menjawab pertanyaan tersebut, meskipun hanya satu di antaranya. Terima kasih sebelumnya atas bantuan anda, dan saya menunggu jawaban anda pada waktu yang tepat. Hormat saya, Gatot Soemartono

Namun demikian, patut disayangkan bahwa sampai laporan penelitian ini

telah selesai disusun, jawaban dari Prof. Ruback tersebut tidak pernah

penulis terima (meskipun telah dikirim e-mail yang kedua untuk

mengingatkan).

3) Penilaian dan putusan majelis arbitrase Menurut majelis arbitrase, hukum Indonesia sebagaimana pelbagai peraturan

hukum lainnya mengatur pula tentang pemerolehan kembali atas laba yang

hilang (lucrum cessans) sebagai bagian dari ganti kerugian terhadap mana

pihak yang tidak bersalah berhak mendapatkannya dalam hal pelanggaran

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

51

Page 52: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

kontrak, selain bagian ganti kerugian yang lain, damnum emergens (ganti

rugi darurat).

Sebagaimana di dalam peraturan hukum lainnya, pemerolehan kembali

ganti rugi terbatas pada kerugian yang dapat diperkirakan ketika kontrak

disusun dan mendapat ganti rugi segera dan secara langsung atas

pelanggaran yang dilakukan.

Majelis arbitrase berpendapat bahwa KBC berhak memperoleh

keuntungan dari hasil tawar menawar sebagai tambahan dari pendapatan

kembali atas biaya yang telah dikeluarkan. Kehilangan kesempatan usaha

(perte de chance) adalah dasar yang diakui secara luas untuk ganti rugi

akibat kehilangan laba.

Untuk menentukan besarnya jumlah ganti rugi yang berhak diterima oleh

KBC, KBC tidak memiliki rujukan untuk dijadikan patokan sebagai dasar

alternatif untuk menentukan jumlah tersebut. Sebagaimana ditunjuk secara

tepat oleh Pertamina bahwa kewajiban melakukan pembayaran tersebut

didahului dengan perkiraan bahwa suatu unit telah dibangun, yaitu pada saat

tanggal kegiatan pertama dimulai. Selanjutnya pembayaran hanya dilakukan

apabila terdapat apa yang disebut keadaan memaksa dan selama tindakan

keadaan memaksa berlanjut. Hal demikian ini tidak dapat dijadikan dasar

untuk menentukan kehilangan laba selama 30 tahun jangka waktu

berlakunya ESC.

Pertimbangan yang paling penting untuk dicantumkan di dalam kontrak

telah disepakati bersama di antara para pihak. JOC dan ESC secara

bersama-sama merupakan jaminan bagi KBC bahwa jika tenaga listrik telah

siap untuk dijual, suatu langganan, yaitu PLN telah bersedia, yang akan

terikat menurut kontrak untuk jangka waktu tiga puluh tahun untuk membeli

seluruh produksi dengan harga yang didasarkan atas rumusan yang telah

disepakati terlebih dahulu, dan yang akan dibayar dalam dolar Amerika.

Kewajiban PLN seharusnya dijamin oleh dukungan surat dari Menteri

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

52

Page 53: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Keuangan ataupun Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia. Syarat ini

sesungguhnya ditentukan oleh sistem perbankan untuk memperoleh kembali

pinjaman atas pembiayaan yang diperlukan untuk pembangunan proyek.

Selanjutnya campur tangan apapun dari pemerintah untuk mempengaruhi

pelaksanaan kontrak adalah termasuk keadaan memaksa yang

membebaskan KBC dan bukan Pertamina dari kewajibannya.

Oleh sebab itu risiko yang paling jelas dihadapi oleh penanam modal

asing terutama yang berkecimpung di dalam proyek seperti ini, misalnya

risiko komersial terhadap persediaan pasar, fluktuasi harga, inflasi nilai tukar

uang, dan risiko campur tangan pemerintah dapat dihilangkan dengan dasar

persetujuan kontrak para pihak.

Pertamina secara benar menggarisbawahi risiko yang mungkin

mempengaruhi hasil ekonomi proyek tersebut selama pembangunan

berlangsung seperti kemungkinan penundaan pembangunan pembangkit

tenaga listrik dan pengoperasian besarnya persediaan yang telah

diperkirakan oleh KBC, meskipun pembiayaan yang sesungguhnya tersedia

untuk pembangunan proyek tersebut adalah sebesar jumlah biaya yang

disetujui.

Risiko-risiko tersebut, walaupun memang harus dipertimbangkan, tidak

terlalu penting di hadapan majelis arbitrase, dibanding risiko akibat

pengabaian perlindungan terhadap KBC.

Sehubungan dengan jumlah yang wajib diganti, KBC berhak untuk

mengirim pernyataan kepada Pertamina mengenai maksud mereka untuk

membangun Energi Geo-termal melalui penyerahan NORC, yang setelah

paling lambat 90 hari disusul dengan NOID. Menurut JOC, Pertamina dapat

“secara teknis mengevaluasi” Enerji Geo-termal di bawah NORC, yang

memungkinkan terjadinya diskusi di antara para pihak sehubungan dengan

jumlah Enerji Geo-termal dan ketepatan data teknis. Akan tetapi setelah surat

tersebut dikirim, KBC bebas mengirim NOID kepada Pertamina di mana

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

53

Page 54: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Pertamina harus memberikan surat pernyataan kepada pembeli (dalam hal

ini PLN) mengenai maksud KBC untuk melaksanakan pembangunan Enerji

Geo-termal dan pembangunan unit. Pasal 4.2 ESC menentukan bahwa

Pertamina harus berkonsultasi dengan PLN untuk menjamin bahwa

pembangunan fasilitas pembangkit tenaga listrik dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan yang selaras dengan sistem transmisi Jawa. Tidak ada ketentuan

yang dibuat dalam JOC ataupun ESC yang mendukung hak Pertamina untuk

berkeberatan atau menentang maksud KBC untuk membangun persediaan di

dalam jumlah yang dinyatakan di dalam NORC dan NOID.

Setelah menyerahkan NORC pada bulan September 1997, KBC telah

memberitahu Pertamina tentang NORC yang telah diperbaharui dan NOID

pada tanggal 16 Desember 1997, yang mengkonfirmasikan bahwa sedikit-

dikitnya persediaan enerji sebesar 210 MW telah tersedia untuk dibangun,

Pertamina telah mengkritik pemberitahuan tersebut dengan menyatakan

bahwa KBC mengirim mereka pemberitahuan tersebut tanpa mengindahkan

jangka waktu yang diberikan yaitu 90 hari dan mereka curiga karena jumlah

persediaan yang dinyatakan di dalam NORC sebelumnya (pada bulan

September) telah bertambah tanpa pembenaran dan saat itu adalah periode

ketidakmenentuan sehubungan dengan pembangunan proyek dan

berdasarkan Keputusan Presiden.

Namun demikian perlu diperhatikan bahwa hanya pada saat sidang

pemeriksaan berlangsung. Pertamina menyatakan keberatan seperti ini

terhadap NORC dan NOID yang dikirim penggugat tertanggal 16 Desember

1997.

Catatan tertulis menunjukkan adanya persetujuan para pihak yang tidak

mengindahkan periode 90 hari untuk pemberitahuan NORC dan NOID

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

54

Page 55: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Desember 1997 dan di dalam catatan tersebut nampak bahwa Pertamina

tidak bereaksi terhadap NORC dan NOID tersebut.72

Perlu juga dicatat bahwa pemberitahuan-pemberitahuan oleh KBC terjadi

selama jangka waktu pemberhentian proyek yang diperintahkan menurut

Keppres Nomor 39 Tahun 1997 tanggal 20 september 1997 yang telah

dibatalkan oleh Keppres Nomor 47 Tahun 1997 tanggal 1 Nopember 1997

karena itu keraguan Pertamina terhadap kebenaran pemberitahuan KBC

tidak berdasar sama sekali.

Walaupun demikian majelis arbitrase tidak meremehkan kemungkinan

bahwa jumlah persediaan sebesar 210 MW yang dapat didayagunakan di

wilayah kerja yang dikemukakan oleh penggugat mungkin terlalu tinggi. Hal

ini di kemudian hari akan memberatkan, khususnya sehubungan dengan

jumlah ganti rugi atas kehilangan laba.

Mengenai pembiayaan yang diperlukan dalam rangka pembangunan

proyek menurut pendapat majelis arbitrase tidaklah beralasan sama sekali

untuk meragukan kesiapan KBC dalam mengeluarkan biaya tersebut, baik

secara langsung maupun melalui para pemegang saham. NORC dan NOID

tanggal 16 Desember 1997 telah menunjukkan niat KBC untuk melanjutkan

pembangunan Energi Geo-termal dalam jumlah yang telah diumumkan dan

untuk pembangunan unit-unit yang diperlukan. Oleh sebab itu, KBC

mengajukan permohonan pada tanggal 5 Januari 1998 untuk memperoleh

izin dari Pemerintah Indonesia yang berwenang untuk menggunakan dana

alokasi fasilitas sejumlah US $ 380 (tiga ratus delapan puluh) juta dolar

Amerika.

Setelah dibatalkannya Keppres Nomor 47 Tahun 1997 melalui Keppres

Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 10 Januari 1998, KBC telah berusaha

mendesak baik melalui jalur politik maupun diplomatik untuk memperoleh 72 Hal ini didasarkan pada notulen tertanggal 14 Desember 1997 yang dibuat di dalam pertemuan Komite Bersama yang menyatakan bahwa persetujuan tersebut telah ditandatangani oleh kedua pihak.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

55

Page 56: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

dukungan atas kelanjutan kembali proyek mereka di Indonesia. KBC

mengajukan permohonan kepada Pertamina pada 23 Januari 1998 untuk

melibatkan campur tangan pejabat setempat agar proyek dilanjutkan

kembali.

Menurut pendapat majelis arbitrase sikap KBC seperti telah dibuktikan di

atas memperlihatkan keyakinan mereka bahwa proyek akan tetap dilanjutkan

dan memberikan keuntungan meskipun dihalangi oleh perkembangan politik

dan kesulitan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Secara sederhana adalah

masuk akal bahwa kesulitan tersebut dapat diatasi bersamaan dengan

berlalunya waktu dan penerimaan tindakan-tindakan yang diusulkan oleh

IMF.

Sebagaimana telah diuraikan tentang perlunya mempertimbangkan

sejumlah risiko akibat tidak adanya perlindungan yang dapat dijamin oleh

JOC dan ESC termasuk biaya modal yang lebih tinggi dari cash flow yang

telah diperkirakan KBC, penundaan pembangunan pembangkit tenaga listrik

dan pengoperasiannya, jumlah persediaan sumber geo-termal yang akan

dikelola yang ternyata lebih rendah dari yang diharapkan, dan/atau

pengelolaan modal dan ongkos operasional lebih tinggi dari cash flow yang

direncanakan.

Karena terlalu banyaknya variabel yang muncul di dalam proses

pengevaluasian tersebut, beberapa pendekatan lain perlu dilakukan dengan

tetap mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, yang ternyata dapat

mengurangi klaim penggugat atas kehilangan laba. Setelah melakukan

pertimbangan secara hati-hati atas elemen-elemen yang dapat timbul di

dalam analisis yang disebut, dan untuk menetapkan jumlah kerugian akibat

kehilangan laba berdasarkan bukti-bukti yang telah diserahkan oleh kedua

pihak maka majelis arbitrase menetapkan jumlah kehilangan laba yang

berhak diperoleh penggugat sebagai ganti rugi adalah sebesar US $ 150

(seratus lima puluh) juta dolar Amerika.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

56

Page 57: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

e. Putusan atas Bunga dan Biaya Arbitrase Tentang tingkat bunga yang harus dibayar, majelis arbitrase mempunyai

kebebasan penuh untuk menetapkan tarif bunga tersebut dengan

mempertimbangkan situasi dari masing-masing pihak dan jumlah yang

diizinkan. Untuk itu majelis arbitrase menetapkan bunga dengan tingkat 4%

per tahun dari tanggal 1 Januari 2001 hingga tanggal pelunasan penuh.

Berdasarkan Pasal 40 (1) Peraturan Arbitral UNCITRAL “biaya arbitrase

pada dasarnya ditanggung oleh pihak yang kalah dalam persidangan, akan

tetapi majelis arbitrase akan membuat seimbang penanggungan setiap

ongkos di antara para pihak apabila penyamarataan tersebut masuk akal,

dengan mempertimbangkan keadaan kasus tersebut.” Dalam hal ini

Pertamina pada dasarnya mengalami kekalahan dalam perkara ini, tetapi

tuntutan ganti kerugian KBC dalam jumlah yang cukup besar ditolak oleh

majelis arbitrase. Dalam situasi ini majelis arbitrase mempertimbangkan

adalah layak bagi Pertamina untuk menanggung 2/3 (dua per tiga) dari

ongkos dan biaya arbitrase dan KBC membayar 1/3 (sepertiganya).

Untuk itu ongkos dan biaya arbitrase di dalam tahap kedua dan terakhir

arbitrase ini telah diputuskan sebagai berikut:

Biaya Arbitrase

Yves DERAINS 146.337,00 Dolar Amerika

Piero BERNARDINI 109.752,69 Dolar Amerika

Ahmed EL KOSHERI 109.752,69 Dolar Amerika

Jumlah pembiayaan arbitrase oleh majelis arbitrase adalah US

$34.140,00 (tiga puluh empat ribu seratus empat puluh) dolar Amerika.

Secara total, ongkos dan biaya tahap kedua ini adalah US$ 399.982,38 (tiga

ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus delapan puluh dua koma

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

57

Page 58: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

tiga puluh delapan) dolar Amerika. Jumlah ini ditebus melalui pembayaran

para pihak dengan rincian Pertamina membayar US $ 199.982,38 (seratus

sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus delapan puluh dua koma tiga

puluh delapan) dolar Amerika dan KBC membayar US $ 200.000 (dua ratus

ribu) dolar Amerika, tetapi karena KBC telah diputuskan hanya membayar

sepertiga dari jumlah US $ 399.982,38 Dolar Amerika, maka Pertamina

diwajibkan untuk membayar sisa dari yang seharusnya dibayar oleh

penggugat yaitu sebesar US $ 66.654,92 (enam puluh enam ribu enam ratus

lima puluh empat dan sembilan puluh dua sen) dolar Amerika.

Pasal 40 (2) Arbitrase UNCITRAL memberikan kebebasan kepada majelis

arbitrase untuk memutuskan ongkos penasehat hukum beserta asisten

mereka. Dengan menimbang berbagai aspek di dalam kasus ini serta

berbagai klaim yang dimasukkan oleh KBC, maka majelis arbitrase

menetapkan bahwa masing-masing pihak menanggung ongkos pembiayaan

para penasehat hukum dan asisten mereka.

f. Putusan Akhir Majelis Arbitrase UNCITRAL Berdasarkan putusan-putusan yang telah dibuat tersebut, pengadilan

Arbitrase UNCITRAL, pada 18 Desember 2000 di Jenewa, membuat temuan

dan memutuskan sebagai berikut:

1. Pertamina dan PLN telah melanggar Perjanjian ESC dan Pertamina telah

melanggar kontrak JOC.

2. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi

hukuman dalam bentuk pembayaran ganti rugi sebesar US$ 111.100.000

juta (seratus sebelas juta seratus ribu) dolar Amerika untuk biaya-biaya

yang diderita kepada KBC, termasuk bunga sebesar 4% pertahun

terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas.

3. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi

hukuman pembayaran ganti rugi sebesar US$ 150 (seratus lima puluh)

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

58

Page 59: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

juta dolar Amerika untuk laba yang seharusnya diperoleh kepada KBC

termasuk bunga sebesar 4% pertahun, terhitung tanggal 1 Januari 2001

sampai lunas.

4. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi

hukuman pembayaran ganti rugi sebesar US $ 66.654,92 (enam puluh

enam ribu enam ratus lima puluh empat dan sembilan puluh dua sen)

dolar Amerika kepada KBC untuk biaya dan ongkos yang dikeluarkan

sehubungan dengan fase kedua dan terakhir dari arbitrase ini, termasuk

bunga sebesar 4% pertahun terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai

lunas.

5. Masing-masing pihak harus menanggung ongkos pembiayaan penasehat

hukum dan para asisten mereka.

6. Tuntutan lainnya dari para pihak dinyatakan dibantah atau dihapuskan.

Catatan: Atas putusan arbitrase UNCITRAL di Jenewa tersebut, Pertamina

memiliki waktu paling lama 30 hari untuk mengajukan pembatalan putusan

tersebut kepada Pengadilan di Jenewa. Pengadilan Jenewa dikategorikan

sebagai primary jurisdiction, karena putusan arbitrase diucapkan di Jenewa,

sehingga memiliki wewenang untuk membatalkan putusan arbitrase (yang

telah bersifat final dan mengikat). Tetapi anehnya sampai batas waktu 30 hari

tersebut lewat, Pertamina sama sekali tidak mengambil tindakan hukum apa

pun. Hal ini dapat diartikan bahwa Pertamina telah menerima putusan

arbitrase tersebut.73

73 Simson Panjaitan sebagai koordinator pengacara Pertamina mengakui bahwa upaya “banding” ke pengadilan di Jenewa sebenarnya telah dilakukan tetapi terlambat; artinya jangka waktu maksimum 30 hari telah terlewati. Menurutnya, peristiwa ini perlu dilakukan penyelidikan (oleh pihak internal Pertamina sendiri): mengapa sampai terjadi keterlambatan tersebut. Artinya, perlu diselidiki mengapa hal yang fatal ini dapat terjadi, apakah ada unsur kelalaian atau bahkan telah terjadi permainan “kotor” di belakang semua ini.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

59

Page 60: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

2. Proses Gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat a. Gugatan Pertamina atas Putusan Arbitrase UNCITRAL

Atas putusan majelis arbitrase UNCITRAL di Jenewa tersebut, Pertamina

melakukan upaya hukum pembatalan putusan melalui Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat. Alasan-alasan yang digunakan Pertamina untuk meminta

pembatalan putusan arbitrase luar negeri adalah, karena putusan melanggar

ketentuan-ketentuan Konvensi New York 1958 (melalui Keppres No. 34

Tahun 1981) dan Ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta klausula arbitrase yang

menjadi sumber utama wewenang majelis arbitrase yang bersangkutan.74

Menurut Pertamina, putusan arbitrase UNCITRAL 18 Desember 2000

memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:

1. Majelis arbitrase telah melampaui wewenangnya karena tidak

mempergunakan hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia merupakan

pilihan hukum (choice of law) yang harus dipergunakan. Untuk itu

Pertamina menguraikan lebih jauh, yaitu:

a. Telah disebutkan dalam hal timbul sengketa antara Pertamina dan

KBC, penyelesaiannya akan ditempuh dengan arbitrase berdasarkan

ketentuan Arbitrase UNCITRAL (UNCITRAL Arbitration Rules). Hukum

yang telah dipilih oleh Pertamina dan KBC adalah hukum Indonesia

secara berturut-turut dalam Perjanjian JOC Pasal 20, dan dalam

Perjanjian ESC Pasal 12.

b. Majelis arbitrase, berdasarkan UNCITRAL Arbitration Rules, Pasal 33

ayat (1) seharusnya mempergunakan hukum yang telah dipilih oleh

Pertamina dan KBC, yang adalah hukum Indonesia.

c. Namun ternyata majelis arbitrase di Jenewa, dalam pertimbangan

Putusan Arbitrase UNCITRAL tidak menghiraukan dan telah 74 Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST tanggal 19 Agustus 2002.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

60

Page 61: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan-ketentuan hukum

Indonesia yang seharusnya diperlukan.

d. Adapun ketentuan-ketentuan hukum Indonesia yang telah dilanggar

oleh majelis arbitrase dalam Perjanjian JOC adalah sebagai berikut:

1) Putusan Arbitrase Jenewa tidak mengindahkan dan secara keliru

menafsirkan ketentuan tentang force majeure menurut hukum

Indonesia. Beberapa argumentasi yang digunakan adalah:

a) Putusan arbitrase tertanggal 18 Desember 2000 secara keliru

mempertimbangkan bahwa menurut Pasal 15.2 (e) JOC dan

Pasal 9.2 (e) ESC maka suatu peristiwa yang berhubungan

dengan pemerintah (Government Related Event) dianggap

sebagai peristiwa force majeure (keadaan memaksa) yang

hanya berlaku terhadap KBC dan tidak berlaku bagi Pertamina.

b) Para arbitrator dalam memberikan pertimbangannya

berpendapat bahwa dikeluarkannya Keputusan Presiden RI No.

5 Tahun 1998 dianggap sebagai suatu keadaan force majeure

hanya bagi KBC sehingga KBC dibenarkan untuk tidak

melakukan dan memenuhi kewajibannya dari JOC dan ESC

sedangkan bagi Pertamina Keputusan Presiden No. 5 Tahun

1998 tidak dapat dijadikan alasan force majeure sehingga tetap

harus melaksanakan segala kewajibannya dalam JOC dan

ESC. Dalam kaitan itu, tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban

oleh Pertamina tersebut, maka Pertamina dianggap telah

melakukan wanprestasi dan karenanya dihukum untuk

membayar kerugian kepada KBC kurang lebih sebesar US$

270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta dollar Amerika

Serikat).

c) Pertimbangan putusan arbitrase tersebut adalah keliru karena

adanya keharusan untuk menangguhkan proyek PLTP Karaha

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

61

Page 62: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

(PLN Tahap I) sebagaimana ditentukan dalam Keputusan

Presiden adalah bukan karena kesalahan Pertamina tetapi

adalah suatu tindakan kebijaksanaan pemerintah untuk

mengatasi gejolak krisis moneter yang dihadapi oleh Indonesia

yang berada di luar kemampuan Pertamina untuk dapat

merubahnya.

d) Perintah penangguhan yang dikeluarkan oleh Keputusan

Presiden tersebut bersifat memaksa dan merupakan suatu

peristiwa force majeure yang berlaku baik bagi Pertamina

maupun KBC.

e) Walaupun ketentuan dalam Perjanjian JOC dan Perjanjian ESC

menyatakan bahwa suatu peristiwa yang berhubungan dengan

pemerintah dianggap sebagai suatu peristiwa force majeure

(keadaan memaksa) berkenaan dengan KBC tetapi pada

kenyataannya Pertamina sebagai BUMN harus tunduk dan

mematuhi Keputusan Presiden sehingga force majeure berlaku

juga bagi Pertamina dan KBC.

f) Berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata maka suatu persetujuan

tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di

dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat

persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau

undang-undang. Bahwa menurut rasa keadilan dan kebiasaan

dan undang-undang maka suatu peristiwa force majeure

terutama satu kebijaksanaan pemerintah berlaku terhadap

semua pihak termasuk Pertamina.

2) Adanya peristiwa force majeure menurut hukum Indonesia

membebaskan Pertamina dari kewajiban untuk membayar

penggantian biaya, kerugian, dan bunga.

3) Karena Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 tersebut

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

62

Page 63: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

merupakan suatu peristiwa force majeure maka berdasarkan Pasal

1245 KUHPerdata tidak seharusnya putusan arbitrase menghukum

Pertamina untuk membayar kerugian sebesar kurang lebih US$

270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta dollar Amerika Serikat).

2. Kelemahan lainnya adalah putusan Arbitrase UNCITRAL pelaksanaannya

harus ditolak karena bertentangan dengan ketertiban umum Republik

Indonesia. Penasihat hukum Pertamina dalam penjelasannya

menggunakan beberapa argumentasi sebagai berikut:

a. Pasal 1337 menentukan bahwa suatu causa adalah terlarang apabila

hal tersebut dilarang oleh Undang-undang atau bertentangan dengan

ketertiban umum. Bahwa sebagaimana telah dikemukakan maka

Perjanjian JOC dan Perjanjian ESC tidak dapat diteruskan

pelaksanaannya karena telah ditangguhkan oleh Keputusan Presiden

RI.

b. Sebagaimana dapat dibaca dari pertimbangan yang diberikan dalam

Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 tersebut maka dalam upaya

mengatasi gejolak moneter yang dihadapi oleh negara Indonesia yang

timbul sejak tahun 1997 dan demi untuk penghematan di semua

bidang maka pemerintah Indonesia menganggap perlu untuk

menangguhkan proyek-proyek yang membutuhkan dana yang besar

antara lain proyek PLTP Karaha (Tahap I PLN) yang diadakan

berdasarkan perjanjian JOC dan ESC.

c. Dengan demikian Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 1998 tersebut

dikeluarkan oleh Pemerintah RI demi kepentingan penyelamatan

negara dan rakyat Indonesia yang sedang menghadapi krisis ekonomi

khususnya yang diakibatkan antara lain oleh depresiasi mata uang

rupiah terhadap nilai tukar US dollar yang pada saat itu mencapai lebih

dari 30% sehingga apabila proyek PLTP tersebut diteruskan pasti

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

63

Page 64: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

akan menimbulkan beban keuangan yang sangat berat bagi negara

dan rakyat Indonesia. Oleh karenanya demi untuk menjaga ketertiban

umum maka pemerintah Indonesia memandang perlu untuk

menangguhkan proyek PLTP Karaha (Tahap PLN I) tersebut.

d. Oleh karena itu putusan arbitrase internasional tanggal 18 Desember

2000 tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan ketertiban

umum Republik Indonesia. Alasan ketertiban umum juga ditentukan

dalam Pasal 66 UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 sebagai syarat yang

harus dipenuhi oleh suatu putusan arbitrase internasional untuk dapat

dilaksanakan.

3. Perjanjian JOC dan ESC tidak mempunyai kekuatan hukum karena

pelaksanaannya mengandung suatu causa yang terlarang. Sebagai dasar

alasannya, Pertamina menyatakan bahwa:

a. Dalam rangka pelaksanaan Perjanjian JOC dan ESC, yang tetap

dilakukan KBC meskipun telah diterbitkan Keppres No. 39 Tahun 1997

dan Keppres No. 5 Tahun 1998 oleh pemerintah Republik Indonesia

yang secara tegas telah menangguhkan pelaksanaan kontrak

perjanjian JOC dan ESC, KBC ternyata telah berhasil memperoleh

putusan arbitrase internasional terhadap Pertamina. Saat ini KBC

sedang berusaha untuk melakukan sita eksekusi terhadap aset-aset

yang menurut perkiraan KBC menjadi milik Pertamina, aset mana

berupa rekening-rekening di bank yang berada dalam wilayah Amerika

Serikat; padahal perjanjian JOC dan ESC, merupakan kontrak-kontrak

yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena adanya larangan

pemerintah RI untuk meneruskan pelaksanaan kontrak melalui

Keppres No. 39 Tahun 1997 tentang penangguhan proyek pemerintah

dan Keppres No. 5 Tahun 1998.

b. Bahwa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

64

Page 65: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

untuk sahnya satu perjanjian harus dipenuhi antara lain syarat adanya

suatu sebab yang halal sedangkan menurut Pasal 1337 KUHPerdata

suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang undang-undang,

bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau dengan ketertiban

umum, dan Pasal 1335 KUHPerdata menentukan bahwa suatu

perjanjian dengan sebab yang terlarang, tidak mempunyai kekuatan

hukum.

Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas semua

bukti yang disampaikan oleh KBC tidak mempunyai kekuatan hukum

sehingga dapat dimintakan pembatalannya. Kontrak Joint Operation dan

Energy Sales Contract juga tidak dapat dilanjutkan.

4. Putusan arbitrase seharusnya ditolak karena bertentangan dengan Pasal

V (1) huruf B Konvensi New York 1958 dan dengan Pasal V (1) (D).75

Pertamina memberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:

a. Putusan arbitrase asing tidak dapat dijalankan karena Pertamina

sebagai termohon eksekusi, tidak diberi pemberitahuan yang pantas

(proper notice) tentang arbitrase ini. Pertamina sebagai termohon

eksekusi, tidak diberi kesempatan untuk mengangkat arbitrator yang

dipilihnya sesuai dengan perjanjian-perjanjian JOC dan ESC, padahal

sesuai dengan ketentuan tentang arbitrase dalam perjanjian-

perjanjian tersebut, Pertamina seharusnya diberi kesempatan

mengajukan arbitrator yang dikehendakinya, hal mana tidak terjadi

dalam hal ini.

b. Sesuai dengan ketentuan Konvensi New York 1958 Pasal V (1) (d),

75 Kedua pasal tersebut telah dilanggar, yaitu Pasal V (1) huruf B: Pertamina sebagai termohon eksekusi tidak diberitahukan secara layak tentang pengangkatan arbitrator; dan Pasal V (1) (D): susunan tim arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian JOC dan ESC.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

65

Page 66: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

susunan para arbitrator ini harus menurut prosedur yang telah

disetujui oleh para pihak dalam klausula arbitrase mereka, sedangkan

dalam perkara arbitrase a quo para arbitrator telah dipilih tanpa

adanya persetujuan atau pilihan dari Pertamina sebagai pihak dalam

prosedur arbitrase ini sehingga susunan tim arbitrase dalam perkara

arbitrase a quo bertentangan adanya dengan Pasal V (1) (d): …the

composition of the arbitral authority of the arbitral procedure was not

in accordance with the agreement of the parties.

5. Klausula arbitrase dinilai inoperating dan incapable of being performed

sesuai dengan Pasal II (3) Konvensi New York 1958 Juncto Keputusan

Presiden No. 34 Tahun 1981. Pertamina memberikan penjelasan lebih

lanjut sebagai berikut:

a. Sesuai dengan ketentuan Pasal II (3), Konvensi New York 1958 yang

melalui Keputusan Presiden No 34 Tahun 1981 telah menjadi hukum

positif bagi RI, maka perjanjian-perjanjian JOC dan ESC dihentikan

oleh pemerintah RI, dengan Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Keppres

No. 5 Tahun 1998. Dengan demikian perjanjian ini menurut hukum

Indonesia menjadi null and void, inoperative of being performed,

sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Pasal II Konvensi New

York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Luar Negeri.

b. Klausula arbitrase yang tercantum dalam perjanjian JOC dan Pasal

ESC menjadi inoperative dan incapable of being performed sesuai

dengan ketentuan hukum Indonesia karena perjanjian JOC dalam

Pasal 20 dan ESC dalam Pasal 12 telah menentukan berlakunya

hukum Indonesia. Tidak ada jalan lain, karena Keppres No. 39 Tahun

1997 dan No. 5 Tahun 1998 telah memerintahkan penghentian seluruh

proses Perjanjian JOC dan ESC termasuk juga Klausula arbitrase

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

66

Page 67: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

yang menjadi inoperative dan incapable of being performed (tidak

dapat “dijalankan” dan “tidak dapat dilaksanakan”).

c. Wewenang para arbitrator yang didasarkan atas klausula arbitrase

sebagaimana diuraikan di atas, menurut hukum Indonesia menjadi

inoperative tidak dapat dijalankan, dan seharusnya tidak dapat

dilanjutkan dengan menghasilkan putusan arbitrase a quo, yang kini

ditentang pelaksanaannya dan dimintakan pembatalan.

6. Menurut Pasal V (1) huruf A pelaksanaan putusan arbitrase Jenewa

seharusnya ditolak apabila para pihak tidak memiliki capacity berdasarkan

hukum yang berlaku bagi mereka (hukum Indonesia). Penjelasannya

adalah, menurut Pasal V (1) huruf A Konvensi New York 1958

pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase luar negeri dapat

ditolak atas permohonan termohon eksekusi hanya apabila yang

bersangkutan dapat menyerahkan kepada pengadilan pelaksana bukti

bahwa para pihak dalam perjanjian JOC dan ESC berada dalam

incapacity berdasarkan hukum Indonesia yang telah dipilih para pihak

untuk berlaku.

7. Putusan arbitrase dilakukan berdasar tipu muslihat KBC dengan tidak

mengindahkan hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku bagi JOC

dan ESC, khususnya kerugian dan kehilangan keuntungan yang menurut

majelis arbitrase telah diderita oleh KBC. Selanjutnya Pertamina

menguraikan beberapa hal, yaitu:

a. Pasal 114 e JOC menyebutkan bahwa KBC berkewajiban untuk

menyediakan semua dana yang dibutuhkan bagi operasi geo-termal

dan risiko operasi geo-termal, dengan ketentuan kewajiban KBC

menyangkut juga dana yang diperlukan untuk membangun fasilitas

lapangan dan fasilitas pembangkit tenaga listrik dan harus selalu

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

67

Page 68: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

memberikan laporan kepada Pertamina mengenai pendanaan

tersebut.

b. Namun demikian selama persidangan arbitrase berlangsung KBC tidak

dapat membuktikan dengan bukti-bukti yang sah bahwa KBC telah

siap dan sanggup untuk melaksanakan kontrak-kontrak JOC dan ESC

dengan menyediakan dana yang nyata dari sumber-sumber

pembiayaan yang bonafide, sebagaimana disyaratkan untuk

pelaksanaan proyek tersebut.

c. Di samping itu, proyek geo-termal yang harus dibangun berdasarkan

kontrak JOC untuk menjual tenaga listrik sebagaimana diatur dalam

kontrak JOC dan kontrak ESC baru mencapai tahap eksplorasi

sehingga fasilitas-fasilitas tenaga pembangkit listrik dalam proyek

tersebut belum berdiri dan sama sekali belum menghasilkan produksi

tenaga listrik dan oleh karenanya KBC belum dapat dikatakan telah

memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam JOC dan ESC.

d. Kemampuan KBC untuk menghasilkan kapasitas tenaga listrik

sebagaimana disyaratkan oleh JOC dan ESC belum teruji dan belum

terpenuhi. Oleh karena itu besarnya biaya ganti rugi, kehilangan

keuntungan dan bunga sebesar kurang lebih US$ 270 juta yang harus

dibayar oleh Pertamina berdasarkan putusan arbitrase adalah tidak

benar dan bersifat spekulatif dan fiktif tanpa disertai bukti-bukti yang

nyata tentang kecurigaan sebenarnya yang diderita oleh KBC.

e. Menurut hukum Indonesia, suatu pembayaran ganti kerugian, harus

didasarkan atas bukti-bukti kerugian yang nyata. Majelis arbitrase

dalam membuat putusan a quo telah tidak memakai hukum Indonesia

sehingga telah melampaui wewenangnya (exceeds its powers) dan

sesuai ketentuan Konvensi New York 1958 batal adanya, atau harus

dibatalkan.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

68

Page 69: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

8. Pertamina telah berusaha agar Pemerintah RI mencabut kembali perintah

penangguhan perjanjian JOC dan ESC, meskipun tanpa hasil. Upaya

Pertamina tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

a. Usaha Pertamina tersebut pada mulanya telah berhasil dengan

dikeluarkannya Keppres No. 47 Tahun 1997 yang menyatakan proyek

PLTP Karaha Bodas dapat diteruskan.

b. Namun usaha ini kemudian gagal lagi dengan dikeluarkannya Keppres

No. 5 Tahun 1998 yang memerintahkan penangguhan ulang terhadap

proyek yang sama. Namun kegagalan ini tidak berarti bahwa

Pertamina tidak sudah berusaha secara maksimal akan tetapi dalam

instansi terakhir semua juga tetap berada di luar kewenangannya.

c. Dalam keadaan demikian sangat tidak adil jika majelis arbitrase yang

kini dimohonkan pembatalan putusannya hanya memberlakukan

ketentuan force majeure terhadap KBC, tanpa memperhatikan segala

upaya Pertamina yang telah maksimal dilakukan. Di sini hukum

Indonesia yang selalu mengedepankan keseimbangan antara para

pihak telah diabaikan untuk diterapkan, dengan demikian putusan

tersebut perlu dibatalkan.

Kesimpulan dari argumentasi Pertamina adalah majelis arbitrase telah

melampaui batas wewenang dalam menjatuhkan putusan arbitrase.

Menurut hukum Indonesia seperti juga dengan lain-lain sistem hukum,

pengadilan tetap mengawasi putusan arbitrase yang dibuat sesuai

dengan hukum Indonesia. Banding tidak diperbolehkan, tetapi perlu

diawasi integritas fundamental dari proses arbitrase itu sendiri. Menurut

Pertamina, pembatalan dari suatu putusan arbitrase perlu dilakukan jika

dilampaui batas-batas wewenang yang telah disetujui para pihak dalam

perjanjian arbitrase, atau jika majelis arbitrase telah melampaui batas-

batas wewenang (excess of power) yang telah diberikan oleh para pihak

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

69

Page 70: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

atau telah terjadi “berat sebelah” dari majelis arbitrase, atau tidak

dipenuhinya suatu asas berperkara yang prinsipil seperti harus

memperlakukan para pihak secara sama dan tidak boleh berat sebelah

seperti ditentukan Pasal 15 UNCITRAL Arbitration.

Lebih jauh Pertamina berargumentasi bahwa putusan arbitrase a quo

didasarkan atas dua perjanjian:

a. Joint Operation Contract (JOC) antara Pertamina dan KBC

b. Energy Sales Contract (ESC) antara Pertamina, KBC dan PLN.

Dalam kaitan itu, KBC belum memulai konstruksi fasilitas pembangkit

listrik, tetapi tim arbitrase telah memberikan mereka ganti rugi US$ 111,1

juta untuk kerugian pembiayaan, US$ 150 juta untuk kerugian keuntungan

(lost profit), bunga 4% setahun mulai 1 Januari 2001 sampai dibayar lunas

dan US$ 687,737,48 untuk biaya arbitrase. Putusan Arbitrase ini

melampaui batas wewenang para arbitrator (exceeded the power) yang

diberikan kepada mereka menurut klausula arbitrase para pihak. Di

samping itu sebagaimana telah dikemukakan di muka, majelis arbitrase

tidak memakai hukum Indonesia dalam menafsirkan force majeure

menurut ketentuan dalam kedua kontrak (JOC dan ESC) dan menentukan

tanggung jawab Pertamina untuk kehilangan keuntungan (lost profit),

secara spekulatif (tidak berdasar). Hal ini melanggar baik klausula

arbitrase yang ditandatangani para pihak, maupun UNCITRAL Arbitration

Rules, secara merugikan Pertamina. Walaupun telah diperjanjikan dua

proses arbitrase tersendiri, satu di bawah JOC dan yang kedua menurut

ESC, tetapi tim arbitrase telah menggabungkan kedua proses arbitrase

dalam satu proses arbitrase.

Secara tegas para pihak telah sepakat dalam ESC, bahwa Pertamina

dan KBC bersama-sama harus memilih satu arbitrator menurut ESC,

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

70

Page 71: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

tetapi majelis arbitrase menyampingkannya dan memaksa Pertamina

untuk “memakai” arbitrator bersama dengan PLN dan pemerintah padahal

kewajiban Pertamina dan PLN berbeda sedangkan arbitrator sama telah

dipilih oleh majelis arbitrase untuk pemerintah RI (yang kemudian telah

dikesampingkan oleh tim arbitrase ini sebagai pihak). Dengan demikian

majelis arbitrase telah melanggar prosedur yang secara tegas telah

disepakati oleh para pihak dalam perjanjian arbitrase mereka dengan

merugikan Pertamina dan PLN.

Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa para pihak telah tidak

diperlakukan secara sama, karena suatu lembaga ICSID (International

Centre For The Settlement of Investment Disputes) telah diminta memilih

untuk tiga pihak, padahal KBC menurut perjanjian arbitrase harus

diperbolehkan memilih sendiri arbitratornya. Hal ini juga melanggar hukum

Indonesia.

Kesimpulan lainnya adalah putusan arbitrase ini juga melanggar

ketertiban umum dari Republik Indonesia, karena menghukum Pertamina

dan PLN sebagai yang bertanggung jawab untuk kepatuhan mereka

terhadap hukum Indonesia dan para arbitrator dengan demikian

melanggar tata cara berperkara yang layak (due process rights).

Sebagaimana diketahui bahwa sesungguhnya KBC telah membuat

dua perjanjian terpisah, yakni (1) JOC antara KBC dan Pertamina serta

ESC antara KBC, Pertamina dan PLN. Kontrak-kontrak ini mengatur

eksplorasi (geo-termal) untuk pembangkit tenaga listrik di area concessie

Karaha dan Telaga Bodas. Kedua kontrak ini, sekalipun ada

hubungannya, tetapi jelas mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban

masing-masing pihak yang berbeda. Kedua kontrak ini menunjuk KBC

yang harus menanggung risiko dan pembiayaan ekplorasi dan

pembangunan pabrik pembangkit tenaga listrik ini. Dan baru jika

kemudian ternyata bahwa KBC berhasil membangun sumber-sumber itu

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

71

Page 72: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

dan telah berhasil dengan membangun fasilitas yang mampu membangkit

listrik sesuai ketentuan kontrak, risiko biaya pengeluaran akan berpindah

dari KBC ke PLN. Hal ini tidak pernah terjadi.

JOC tidak meletakkan kewajiban Pertamina untuk membeli listrik dari

KBC, sebaliknya menyatakan bahwa listrik yang diproduksi oleh operasi

pembangkitan bersangkutan akan dijual kepada pembeli (PLN) sesuai

dengan ESC. Peranan Pertamina hanya sebagai agen penyaluran untuk

pembayaran antara PLN dan KBC dan terhadap JOC ini dipakai hukum

Indonesia.

Menurut ESC, PLN menyetujui untuk membeli dari Pertamina sesuai

ketentuan dan syarat dalam ESC ini semua tenaga listrik yang akan

dihasilkan oleh KBC. Juga di sini peranan Pertamina hanya sebagai agen

perantara untuk pembayaran yang akan dilakukan oleh PLN. Jadi jelas

Pertamina tidak ada kewajiban untuk membeli tenaga listrik menurut

kontrak ESC dan Pertamina juga bukan penjamin untuk kewajiban-

kewajiban PLN. Kewajiban PLN baru mulai setelah ada hasil tenaga listrik

yang dihasilkan oleh pembangkit listrik KBC.

Dalam hal terjadi sengketa melalui arbitrase, di mana PLN di satu

pihak dan KBC serta Pertamina di pihak lain, masing-masing mengangkat

satu arbitrator, yang kemudian bersama-sama akan mengangkat arbitrator

ketiga untuk bertindak sebagai ketua majelis arbitrase.

Sebagai akibat dari krisis ekonomi yang dialami pemerintah Indonesia

sejak tahun 1997, maka IMF telah memaksa pemerintah Indonesia untuk

meninjau kembali secara menyeluruh semua proyek-proyek yang

didasarkan pada kewajiban membayar dalam US dollar. Sebagai tindak

lanjut saran IMF pemerintah menerbitkan Keppres No. 39 Tahun 1997

yang mengatur proyek mana dapat diteruskan, ditinjau kembali atau

ditangguhkan, dan proyek Karaha Bodas termasuk yang ditangguhkan.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

72

Page 73: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Setelah ditandatanganinya perjanjian-perjanjian di tahun 1994, sampai

dengan ditangguhkannya proyek tersebut, KBC hanya melakukan

eksplorasi dan pada saat ditangguhkannya proyek bersangkutan, KBC

masih harus menambahkan US$ 500 juta (5 x lebih banyak daripada apa

yang sudah dikeluarkannya) sebelum ada kemungkinan menghasilkan

tenaga listrik yang diharapkan.

Tetapi pada 10 Februari 1998 KBC menyatakan telah terjadi force

majeure dan menghentikan kontrak-kontrak, serta pada 30 April 1998

KBC mengajukan gugatan arbitrase terhadap Pertamina dan PLN dengan

Notice of Claim dalam satu arbitrase berdasarkan dua kontrak JOC dan

ESC.

b. Argumentasi KBC atas Gugatan Pertamina Atas gugatan Pertamina di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, khususnya

terhadap dalil-dalil yang diajukan di dalam gugatan tersebut, KBC

menolaknya dengan memberikan alasan-alasan sebagai berikut:

1) Gugatan Pertamina tersebut tidak memiliki dasar hukum (Exceptio

Onrechmatige of Ongegrond) KBC menyatakan bahwa putusan arbitrase internasional yang telah

diputuskan di Jenewa, Swiss, pada tanggal 18 Desember 2000 sama

sekali tidak memiliki alasan-alasan serta dasar hukum untuk dapat

diajukan dan dimohonkan pembatalannya oleh Pertamina. Berdasarkan

Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa ditentukan bahwa:

Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan

pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur

sebagai berikut:

a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

73

Page 74: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat

menentukan yang disembunyikan pihak lawan; atau

c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu

pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas dinyatakan bahwa permohonan

pembatalan arbitrase internasional hanya dapat dikabulkan apabila

putusan arbitrase internasional yang telah diputuskan tersebut nyata-

nyata telah memenuhi salah satu dari ketiga unsur atau alasan

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Pertamina

dalam dalil-dalil gugatannya sama sekali tidak dapat menguraikan bahwa

putusan arbitrase internasional tersebut telah memenuhi salah satu dari

ketiga unsur yang disyaratkan oleh UU Arbitrase agar suatu putusan

arbitrase dapat dimohonkan untuk dibatalkan. Pertamina dengan sengaja

menguraikan dalil-dalil yang bukan merupakan alasan-alasan untuk

mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Hal ini jelas dimaksudkan oleh

Pertamina, demi keuntungannya sendiri, untuk mengaburkan fakta dan

ketentuan hukum yang berlaku, yang mengatur tentang syarat pengajuan

permohonan pembatalan putusan arbitrase.

Berdasarkan fakta hukum sebagaimana diuraikan di atas, dimana

permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan Pertamina tidak

memenuhi ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase, jelas gugatan yang diajukan

oleh Pertamina yaitu untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan

arbitrase internasional, sama sekali tidak memiliki dasar hukum untuk

dilakukan. Oleh karena itu majelis hakim diminta untuk menolak gugatan

yang diajukan oleh Pertamina atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan

tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

74

Page 75: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

2) Gugatan yang diajukan premature (Exciptio Prematuur) Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase secara tegas menyatakan:

“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan

arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan

permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan

dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa

alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti maka putusan

pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim

untuk mengabulkan atau menolak permohonan”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas ditentukan bahwa suatu

putusan arbitrase hanya dapat dibatalkan apabila sudah didaftarkan di

Pengadilan. Dalam perkara a quo, KBC sama sekali tidak menemukan

adanya dalil-dalil dari Pertamina ataupun fakta-fakta hukum yang ada,

yang dapat membuktikan bahwa putusan arbitrase internasional sudah

didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Di dalam UU Arbitrase, Pasal 67 merupakan satu-satunya pasal yang

mengatur mengenai pendaftaran putusan arbitrase internasional,

sedangkan terhadap pendaftaran putusan arbitrase nasional diatur dalam

Pasal 59 UU Arbitrase. Oleh karena itu, prosedur pendaftaran putusan

arbitrase internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU Arbitrase,

juga berlaku dalam hal pendaftaran putusan arbitrase internasional yang

akan diajukan oleh Pertamina untuk dimohonkan pembatalannya.

Lebih lanjut Pasal 67 Arbitrase mengatur sebagai berikut :

a) Permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan

setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbitrator atau

kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

b) Penyampaian berkas pemohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

75

Page 76: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

alam ayat (1) harus disertai dengan:

(1) lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase internasional,

sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah

terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;

(2) lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar

putusan arbitrase internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi

dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa

Indonesia; dan

(3) keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara

tempat putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang

menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik

secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik

Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase

internasional.

Berdasarkan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase, secara tegas

dinyatakan bahwa pendaftaran putusan arbitrase internasional hanya

dapat dilakukan oleh arbitrator atau kuasanya. Dalil-dalil gugatan yang

dikemukakan oleh Pertamina dalam perkara a quo sama sekali tidak

menguraikan masalah apakah putusan arbitrase internasional yang

dimohonkan oleh Pertamina untuk dibatalkan, telah didaftarkan oleh

arbitrator atau kuasanya. Pertamina jelas bukan merupakan arbitrator

yang memutuskan putusan arbitrase internasional. Akibatnya timbul

pertanyaan apakah Pertamina merupakan kuasa dari arbitrator? Jika

ditinjau dalil gugatan butir 3, halaman 2, jelas Pertamina telah mencoba

mengaburkan ketentuan Pasal 67 UU Arbitrase.

Dari dalil yang dikemukakan oleh Pertamina telah sangat jelas bahwa

Pertamina bukanlah arbitrator atau kuasa arbitrator, dengan mana

Pertamina memiiki kewenangan untuk melakukan pendaftaran

berdasarkan Pasal 67 (1) UU Arbitrase. Meskipun demikian, apabila KBC

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

76

Page 77: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

bersikeras dengan dalilnya tersebut, maka KBC mohon akta kepada

Pertamina yang dapat membuktikan bahwa Pertamina merupakan

arbitrator ataupun kuasa dari arbitrator yang menetapkan putusan

arbitrase internasional.

Di samping itu, syarat lain yang harus terpenuhi agar Pertamina dapat

mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase

internasional adalah syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 67 ayat (2)

UU Arbitrase. Pertamina dalam gugatannya sama sekali tidak dapat

mengemukakan bukti-bukti bahwa putusan arbitrase internasional yang

dimohonkan untuk dibatalkan tersebut telah memenuhi persyaratan

pendaftaran sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 67 ayat (2) UU

Arbitrase, sebagaimana yang telah diuraikan oleh KBC di atas.

Jika putusan arbitrase internasional yang diajukan oleh Pertamina

untuk dibatalkan ternyata belum didaftarkan oleh arbitrator atau kuasanya,

maka atas dasar apa Pertamina mengajukan permohonan untuk

membatalkan putusan arbitrase internasional tersebut? Pertamina

seharusnya mengetahui, bahwa sebagaimana yang dinyatakan dalam

Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase, secara tegas disebutkan bahwa

permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan

arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Oleh karena ternyata

terbukti bahwa putusan arbitrase internasional sama sekali belum

didaftarkan oleh arbitrator atau kuasanya, maka permohonan pembatalan

terhadap putusan arbitrase internasional belum dapat dilakukan oleh

Pertamina dalam perkara dan a quo jelas terlalu dini untuk diajukan, atau

dengan kata lain gugatan yang diajukan oleh Pertamina premature

(prematuur exceptio). Oleh karena itu, KBC mohon agar gugatan yang

diajukan Pertamina ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan gugatan tidak

dapat diterima.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

77

Page 78: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

3) Gugatan Pertamina kabur dan tidak jelas (Exceptio Obscurum

Libellum)

Pertamina dalam petitum gugatannya memohon kepada Majelis Hakim

yang memeriksa dan mengadili perkara a quo agar membatalkan,

menyatakan batal, menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum

dengan segala akibat hukumnya putusan arbitrase yang ditetapkan di

Jenewa, Swiss, tanggal 18 Desember 2000 berikut putusan sela

(prelimiary award) yang ditetapkan di Jenewa, tanggal 30 September

1999. Namun demikian, Pertamina dalam pokok perkara (posita)

gugatannya, justru mengemukakan dalil-dalil yang menyatakan bahwa

perjanjian kerja sama (JOC) dan perjanjian kontrak jual beli (ESC) adalah

batal demi hukum (null and void).

Selanjutnya walaupun dalam petitum gugatannya Pertamina memohon

untuk dibatalkannya putusan arbitrase internasional, namun Pertamina

dalam dalil-dalil gugatannya (posita) sama sekali tidak menguraikan

alasan-alasan yang memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan

agar putusan arbitrase internasional dapat dibatalkan. Bahkan, Pertamina

dalam posita gugatannya justru lebih banyak menguraikan dalil-dalil yang

bertujuan untuk menyatakan serta memohonkan agar JOC dan ESC

dinyatakan batal atau batal demi hukum (null and void). Akibatnya

maksud dan tujuan dari gugatan yang diajukan oleh Pertamina dalam

perkara a quo menjadi tidak jelas, apakah Pertamina menginginkan untuk

membatalkan JOC dan ESC.

4) Gugatan Pertamina sebagai perbuatan licik (Exceptio Doli Praesintis)

Pertamina dengan mengajukan gugatannya telah melakukan perbuatan

licik terhadap KBC, dengan maksud agar pokok sengketa yang terjadi

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

78

Page 79: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

antara Pertamina dan KBC diperiksa dan diadili kembali oleh Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, padahal berdasarkan ketentuan

Pasal 13.2 JOC dan Pasal 8.2 ESC Pertamina telah menyepakati untuk

menyelesaikan sengketa yang terjadi melalui arbitrase dan tempat

arbitrase tersebut adalah di Jenewa, Swiss.

Pertamina dan KBC telah menyepakati untuk menyelesaikan

persengketaan yang terjadi melalui badan arbitrase dan bukan melalui

badan peradilan umum (Pengadilan Negeri). Sebagaimana diatur dalam

Pasal 11 UU Arbitrase, secara jelas dinyatakan bahwa apabila para pihak

telah menyepakati penyelesaian sengketa dilakukan melalui forum

arbitrase, maka kesepakatan tersebut akan meniadakan hak dari

Pertamina untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat

yang termuat dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri. Atas dasar

ketentuan tersebut, sesungguhnya Pertamina (dan juga KBC) tidak lagi

berhak untuk mengajukan persengketaan ini kepada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat. Dengan demikian, gugatan yang diajukan oleh Pertamina

dalam perkara a quo dapat ditafsirkan sebagai upaya licik Pertamina

untuk menyidangkan kembali pokok persengketaan yang terjadi antara

Pertamina dan KBC. Padahal putusan yang dikeluarkan oleh majelis

arbitrase tersebut (putusan arbitrase internasional) merupakan putusan

yang terakhir dan mengikat (final and binding).

Tindakan Pertamina dengan mengajukan gugatan dalam perkara a

quo, justru mengemukakan dalil-dalil yang mengajak Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa kembali permasalahan

yang menjadi pokok persengketaan yang terjadi antara Pertamina dengan

KBC. Tindakan Pertamina tersebut jelas merupakan tindakan yang sangat

licik. Fakta ini juga telah membuktikan adanya itikad buruk dari Pertamina

yang tidak mau mematuhi putusan arbitrase internasional walaupun

Pertamina telah menyepakati untuk menyelesaikan persengketaan yang

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

79

Page 80: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

terjadi dengan KBC melalui arbitrase sebagaimana dinyatakan dalam

Pasal 13.2 JOC dan Pasal 8.2 ESC. Jika Pertamina beritikad baik dalam

melaksanakan perjanjian (JOC dan ESC), tentunya Pertamina tidak akan

memaksakan kehendaknya dengan cara mengajukan gugatan terhadap

KBC di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Jika Pertamina berniat untuk mengajukan permohonan pembatalan

putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,

apalagi dengan mendasarkan permohonannya tersebut dengan

menggunakan UU Arbitrase, maka seharusnya Pertamina harus mengikuti

persyaratan serta ketentuan yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase.

Pertamina dalam posita gugatannya semestinya cukup menguraikan

apakah putusan arbitrase internasional tersebut telah mengandung salah

satu dari ketiga unsur sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 70 UU

Arbitrase, tanpa perlu mengajak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat memeriksa serta mengadili (kembali) pokok persengketaan yang

terjadi antara Pertamina dengan KBC.

Dalam gugatannya Pertamina telah mencoba mempermasalahkan

pertimbangan majelis arbitrase dalam mengeluarkan putusan arbitrase

internasional. Tindakan Pertamina ini jelas merupakan perbuatan didasari

oleh itikad buruk dengan cara mengarahkan pandangan Majelis Hakim

agar terjadi penyimpangan dalam penerapan ketentuan hukum yang

berlaku, khususnya dalam hal pemeriksaan perkara yang tunduk pada

ketentuan arbitrase. Tentu saja perbuatan Pertamina ini dapat memicu

ketidakpastian dalam penegakan hukum di Indonesia. Dengan demikian,

apabila gugatan dikabulkan oleh Majelis Hakim yaitu dengan

membatalkan putusan arbitrase internasional walaupun nyata-nyata

permohonan yang diajukan oleh Pertamina dalam gugatannya sama

sekali tidak menunjukkan terpenuhinya syarat pembatalan putusan

arbitrase internasional sebagaimana yang ditemukan dalam Pasal 70

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

80

Page 81: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Arbitrase, maka Pertamina jelas telah mempengaruhi serta membawa

Majelis Hakim untuk memeriksa serta mengadili kembali perkara a quo,

yang merupakan suatu bentuk pelanggaran atas ketentuan atau peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan dalil-dalil sebagaimana diuraikan di atas, Pertamina telah

melakukan perbuatan licik demi tujuan agar dapat mengajukan gugatan

terhadap KBC. Bahkan Pertamina, dalam mengemukakan dalil-dalilnya

dalam gugatan, berniat dengan sengaja untuk menjebak Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa serta mengadili perkara

a quo agar ikut dalam perbuatan yang melanggar ketentuan hukum yang

dilakukan oleh Pertamina. Oleh karena itu, KBC mengajukan permohonan

kepada Majelis Hakim agar tidak terpengaruh atas dalil-dalil yang

menyesatkan dari Pertamina dengan menolak gugatan yang diajukan oleh

Pertamina atau setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat diterima (niet

ontvenkelijk verkland).

Uraian argumentasi KBC di atas dapat diperinci menjadi hal-hal sebagai

berikut:

1. Gugatan pembatalan putusan arbitrase internasional yang diajukan oleh

Pertamina sama sekali tidak memiliki dasar hukum untuk dapat diajukan

(Exceptio Onrechtmatige of Ongegrond).

2. Gugatan yang diajukan oleh Pertamina premature (Exceptio Prematuur).

3. Gugatan yang diajukan oleh Pertamina kabur dan tidak jelas (Exceptio

Obscurum Libellum).

4. Pertamina dengan mengajukan gugatannya telah melakukan perbuatan

licik (Exceptio Doli Prae Sinitis).

Berdasarkan dalil-dalil yang telah diuraikan oleh KBC di atas, KBC

menolak dengan tegas seluruh argumentasi Pertamina dalam gugatannya,

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

81

Page 82: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

kecuali dalil yang secara tegas diakui dan diterima oleh KBC. Selanjutnya,

untuk memperkuat uraiannya tersebut, KBC menyampaikan beberapa hal,

yaitu:

1. Setelah putusan arbitrase internasional dijatuhkan tidak ada surat atau

dokumen yang diakui atau dinyatakan palsu. Penjelasan mengenai hal ini

dapat disampaikan sebagai berikut:

a. Berdasarkan dalil-dalil yang diajukan oleh Pertamina dalam

gugatannya, Pertamina sama sekali tidak dapat menguraikan fakta-

fakta adanya surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan

yang diakui palsu atau dinyatakan palsu, apalagi Pertamina dalam

gugatannya tidak mengajukan dalil atau bukti apapun yang dapat

menyatakan hal tersebut. Padahal hal ini merupakan salah satu syarat

yang harus dipenuhi oleh Pertamina dalam mengajukan permohonan

pembatalan putusan arbitrase sebagaimana yang dinyatakan dalam

Pasal 70 huruf a UU Arbitrase, khususnya putusan arbitrase

internasional dalam perkara a quo.

b. Dokumen JOC dan ESC yang dipermasalahkan oleh Pertamina dan

bahkan dinyatakan oleh Pertamina batal demi hukum, bukanlah

dokumen palsu dan sama sekali tidak diakui palsu oleh Pertamina.

Dokumen berupa JOC dan ESC yang diajukan dalam pemeriksaan

arbitrase di Jenewa, Swiss tersebut merupakan dokumen asli.

2. Setelah putusan arbitrase internasional diambil tidak ditemukan adanya

dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh KBC.

Penjelasan mengenai hal ini meliputi:

a. Pertamina dalam gugatannya sama sekali tidak dapat menguraikan

fakta-fakta adanya dokumen yang bersifat menentukan yang

disembunyikan oleh KBC dalam pemeriksaan arbitrase. Padahal hal ini

merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh Pertamina

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

82

Page 83: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

dalam mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase

sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 70 huruf b UU Arbitrase.

b. Dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara Pertamina dengan

KBC telah dilakukan melalui prosedur arbitrase di Jenewa, Swiss.

Dalam persidangan perkara tersebut, tidak pernah ada bukti satupun

yang dapat menunjukkan bahwa KBC pernah menyembunyikan

dokumen yang bersifat menentukan dalam hal dikeluarkannya putusan

arbitrase internasional. Oleh karena itu, jelas syarat yang ditentukan

dalam Pasal 70 huruf b UU Arbitrase tidak terpenuhi.

3. Putusan arbitrase internasional sama sekali tidak diambil dari tipu

muslihat yang dilakukan oleh KBC dalam pemeriksaan sengketa. Dalam

pemeriksaan sengketa dapat diketahui hal-hal sebagai berikut:

a. Pertamina dalam gugatannya sama sekali tidak dapat menguraikan

fakta-fakta yang dapat membuktikan bahwa putusan arbitrase

internasional diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh KBC dalam

pemeriksaan sengketa. Adanya unsur ini merupakan salah satu syarat

yang harus dipenuhi oleh Pertamina dalam mengajukan permohonan

pembatalan putusan arbitrase sebagaimana yang dinyatakan dalam

Pasal 70 huruf c UU Arbitrase.

b. KBC menolak dengan tegas seluruh dalil gugatan yang menyatakan

bahwa putusan arbitrase diputus berdasarkan tipu muslihat KBC dan

tidak mengindahkan hukum Indonesia. Pertamina dengan licik telah

membuat judul yang dapat mengelabui Majelis Hakim ataupun pihak

lain, seolah-olah putusan arbitrase internasional telah diambil dari tipu

muslihat yang dilakukan KBC dalam pemeriksaan sengketa. Padahal

jika dibaca dan ditelaah dengan seksama, dalil-dalil gugatan yang

diajukan Pertamina sama sekali tidak menguraikan serta menjelaskan

tipu muslihat yang dilakukan KBC dalam pemeriksaan sengketa yang

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

83

Page 84: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

terjadi antara Pertamina dan KBC selama persidangan arbitrase di

Jenewa, Swiss.

c. Dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pertamina dalam gugatannya, sama

sekali bukan merupakan kondisi atau termasuk dalam konteks “tipu

muslihat” sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 70 huruf c UU

Arbitrase. Bentuk “tipu muslihat” yang dimaksudkan oleh Pertamina

bukanlah termasuk dalam kategori “tipu muslihat”, atau bahkan

termasuk dalam bentuk “tipu muslihat” yang dilakukan oleh KBC.

Pertamina dalam dalil-dalilnya tersebut hanyalah mempermasalahkan

pertimbangan yang diambil oleh Majelis Arbitrator untuk menerapkan

hukum Indonesia dengan benar dan memutuskan dengan benar

sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Hal ini tentunya bukan

merupakan tipu muslihat yang dilakukan oleh KBC.

d. Jika Pertamina menganggap bahwa pertimbangan yang diambil oleh

Majelis Arbitrator dalam mengeluarkan putusan arbitrase internasional

diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh KBC, apakah semua

pihak yang dikalahkan dalam pemeriksaan suatu perkara arbitrase

dapat menganggap bahwa pihak lawan yang menang tersebut telah

melakukan tipu muslihat?

e. Pertamina seharusnya mengerti dan menyadari bahwa setiap putusan

yang diambil dalam pemeriksaan suatu sengketa, baik oleh Majelis

Hakim ataupun oleh Majelis Arbitrator, diambil berdasarkan adanya

bukti-bukti yang otentik serta fakta-fakta dan ketentuan hukum yang

berlaku. Jadi keberatan Pertamina yang diajukan dalam dalil-dalil

gugatannya, tidak boleh hanya merupakan keberatan Pertamina

sebagai pihak yang dikalahkan dalam putusan arbitrase internasional.

Dari putusan arbitrase internasional dapat dilihat bahwa Majelis

Arbitrator telah mengeluarkan suatu putusan yang didasarkan atas

bukti-bukti yang otentik, fakta-fakta hukum yang ada serta dengan

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

84

Page 85: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

memperlakukan para pihak (Pertamina dan KBC) secara adil dan

seimbang (audi alterampertem). Jadi, dengan demikian jelas dalam

putusan arbitrase internasional, KBC sama sekali tidak melakukan tipu

muslihat apapun, baik terhadap Majeis Arbitrator maupun terhadap

Pertamina.

4. Alasan-alasan permohonan pembatalan arbitrase internasional harus

dibuktikan dengan putusan pengadilan.

a. Di samping dalil-dalil yang dikemukakan di atas, UU Arbitrase telah

secara khusus mengkategorikan secara spesifik bukti-bukti yang harus

diajukan oleh pihak yang hendak mengajukan permohonan

pembatalan suatu putusan arbitrase. Penjelasan Pasal 70 UU

Arbitrase menyatakan bahwa alasan-alasan permohonan pembatalan

yang disebut dalam pasal tersebut harus dibuktikan dengan putusan

pengadilan. Dengan demikian, suatu permohonan pembatalan atas

putusan arbitrase baru dapat dikabulkan apabila isi permohonan

tersebut dapat mengajukan suatu putusan pengadilan sebagai bukti,

putusan mana menyatakan bahwa dalam suatu proses arbitrase salah

satu atau lebih hal-hal sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 70 UU

Arbitrase, telah terjadi.

b. Dalam dalil-dalil gugatannya, Pertamina sama sekali tidak mengajukan

alasan-alasan permohonan pembatalannya yang didasarkan atas

adanya suatu bukti putusan pengadilan, yang membuktikan bahwa

KBC telah melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70

UU Arbitrase. Apabila sampai pemeriksaan perkara ini berakhir dan

Pertamina tidak dapat mengajukan suatu bukti apapun, bukti mana

harus dalam bentuk suatu putusan pengadilan, maka Majelis Hakim

semestinya menolak gugatan untuk seluruhnya, dan menyatakan

putusan arbitrase internasional tidak dapat dibatalkan dan mengikat

Pertamina, dan KBC.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

85

Page 86: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

5. Pertamina telah menerima pemberitahuan secara patut untuk proses

arbitrase dan penunjukkan majelis arbitrase sebagaimana ditentukan

dalam JOC dan ESC. Di sini KBC dengan tegas menolak dalil gugatan

yang menyatakan bahwa Pertamina tidak diberikan pemberitahuan yang

pantas (proper notice) sehubungan proses arbitrase dan penunjukkan

majelis arbitrase di Jenewa, Swiss berdasarkan alasan-alasan sebagai

berikut:

a. Pemberitahuan arbitrase telah dikirimkan kepada Pertamina pada

tanggal 30 April 1998 dan Pertamina tidak pernah membantah bahwa

Pertamina tidak menerima pemberitahuan tersebut.

b. Sehubungan dengan pengangkatan para arbitrator, dalam JOC dan

ESC telah pula diatur bahwa dalam hal para pihak gagal untuk

menunjuk arbitrator tersebut akan ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal

ICSID. Pertamina bahkan tidak mencoba untuk menunjuk arbitrator

yang dikehendakinya dalam jangka waktu 30 hari. Oleh karena itu

maka ICSID yang menentukan.

c. Berdasarkan ketentuan Pasal 8.2 ESC, tidak diperlukan adanya

persetujuan dari KBC dan Pertamina untuk secara bersama-sama

menunjuk satu arbitrator dan KBC turut menunjuk arbitrator yang

lainnya. Jadi sangat tidak masuk akal apabila Pertamina menyatakan

dirinya menderita kerugian sehubungan dengan penunjukan arbitrator

yang ditunjuk oleh KBC.

d. Seandainya, Pertamina dalam pemeriksaan serta penunjukan Majelis

Arbitrator di Jenewa, Swiss merasa tidak diberitahukan dengan

pantas, hal tersebut pun bukanlah merupakan salah satu alasan untuk

dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase

internasional sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 70 UU

Arbitrase.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

86

Page 87: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

6. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya memiliki kewenangan untuk

memeriksa apakah alasan-alasan yang diajukan oleh Pertamina telah

memenuhi syarat pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur

dalam ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase. Dalam kaitan ini, KBC menolak

dengan tegas dalil gugatan yang menyatakan bahwa pelaksanaan

putusan arbitrase harus ditolak karena bertentangan dengan ketertiban

umum. Adanya alasan “pelanggaran ketertiban umum” bukanlah

merupakan alasan bagi Pertamina untuk mengajukan pembatalan

terhadap putusan arbitrase internasional sebagaimana diatur dalam Pasal

70 UU Arbitrase. “Pelanggaran ketertiban umum” hanya dapat diajukan

untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 66 UU Arbitrase.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya oleh KBC bahwa syarat-

syarat untuk pembatalan putusan arbitrase hanyalah berdasarkan Pasal

70 UU Arbitrase, sehingga hal-hal yang dikemukakan selain yang

tercantum dalam Pasal 70 UU Arbitrase bukanlah hal-hal yang

dimaksudkan untuk pembatalan putusan arbitrase. Karena itu, KBC

menolak dengan tegas berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

a. Pelampauan batas wewenang sebagaimana dimaksudkan oleh

Pertamina dalam gugatannya bukan merupakan salah satu alasan

untuk membatalkan putusan arbitrase internasional sebagaimana

dimaksud oleh Pasal 70 UU Arbitrase. Adanya penggantian biaya

yang dikeluarkan dan keuntungan yang diharapkan yang harus

ditanggung renteng oleh Pertamina, merupakan dua unsur baku yang

dapat diajukan dalam gugatan ganti rugi, sehingga dalam hal ini,

putusan Majelis Arbitrator yang memutus permasalahan ganti kerugian

tersebut, jelas tidak melampaui wewenang mereka sebagai arbitrator.

b. Penerapan hukum Indonesia dalam menafsirkan force majeure bukan

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

87

Page 88: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

merupakan alasan yang dapat diajukan untuk membatalkan putusan

arbitrase sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 70 UU Arbitrase.

c. Majelis arbitrase telah tepat menafsirkan ketentuan hukum yang

menyatakan bahwa bilamana terjadi perselisihan di antara para pihak,

berdasarkan JOC dan ESC akan diselesaikan dalam satu proses

arbitrase, sebab klausula-klausula yang terdapat dalam JOC dan ESC

memiliki hubungan erat, terlebih lagi JOC dan ESC ditandatangani

pada hari yang sama. Hal ini dikarenakan dalam JOC secara tegas

dinyatakan bahwa ESC merupakan satu kesatuan dari JOC yang

ketentuan-ketentuan dalam ESC mengikat para pihak dan merupakan

satu kesatuan dalam JOC. Begitu pula, dalam ESC juga dinyatakan

bahwa JOC merupakan satu kesatuan dengan seluruh perjanjian yang

dibuat oleh para pihak.

d. Tindakan ICSID yang menunjuk arbitrator kedua adalah sudah tepat

dan benar. Hal ini dikarenakan Pertamina tidak menunjuk arbitrator

dalam jangka waktu 30 hari setelah adanya permintaan untuk memulai

proses arbitrase, sebagaimana yang diatur dalam JOC dan ESC.

7. Klausula arbitrase dalam perjanjian kerja sama (JOC) dan perjanjian

kontrak jual beli energi memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan dan

tidak dapat dibatalkan. Di sini KBC menolak dengan tegas dalil-dalil

gugatan yang menyatakan bahwa oleh karena ESC dan JOC tidak dapat

dilaksanakan berdasarkan keputusan Pemerintah Republik Indonesia,

maka JOC dan ESC menjadi batal demi hukum dan klausula arbitrase

yang terdapat dalam JOC dan ESC tidak dapat dijalankan. Dalil-dalil yang

dikemukakan oleh Pertamina tersebut jelas merupakan dalil yang tidak

benar, tidak beralasan serta tidak berdasar hukum, sebab:

a. Gugatan yang diajukan oleh Pertamina dalam perkara a quo

merupakan gugatan untuk mengajukan permohonan pembatalan

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

88

Page 89: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

putusan arbitrase internasional dan bukan gugatan untuk

melaksanakan atau menunda pelaksanaan dari klausul arbitrase

dalam JOC dan ESC, sehingga klausula-klausula dalam JOC dan ESC

mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan.

b. Pasal II (3), Konvensi New York 1958 yang digunakan oleh Pertamina

bukanlah merupakan salah satu alasan untuk mengajukan

permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional.

c. Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997 juncto Keputusan Presiden

No. 5 Tahun 1998 (Keppres) tidak menunjuk baik langsung maupun

tidak langsung JOC dan ESC, apalagi untuk menyatakan mengenai

pembatalannya. Walaupun Keppres tersebut menyatakan untuk

menunda pelaksanaan proyek pembangunan listrik tenaga panas bumi

(PLTP) di Karaha, hal tersebut juga tidak menyebabkan klausula

arbitrase dalam JOC dan ESC menjadi tidak dapat dilaksanakan atau

menjadi batal. Hal ini telah secara tegas ditentukan dalam Pasal 10

huruf h UU Arbitrase yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian

arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan berakhirnya

atau batalnya perjanjian pokok.”

c. Putusan atas Eksepsi KBC Eksepsi KBC yang isinya menyatakan ketidakwenangan Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat untuk memeriksa dan mengadili perkara telah ditolak oleh

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan sela-nya, pada 7 Mei 2002.

Dengan demikian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk

memeriksa dan mengadili pekara ini, dan selanjutnya KBC mengajukan

eksepsi-eksepsi lain.

KBC sebelum menjawab pokok perkaranya, telah mengajukan eksepsi

pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:

1. Gugatan pembatalan putusan arbitrase oleh Pertamina sama sekali tidak

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

89

Page 90: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

memiliki dasar hukum untuk diajukan. Dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun

1999 ditentukan terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan

permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung

unsur-unsur sebagai berikut :

a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah

putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat

menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau

c) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah

satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Di sini putusan arbitrase tidak memenuhi salah satu dari ketiga unsur atau

alasan Pasal 70 tersebut, sedangkan uraian gugatan sama sekali tidak

menguraikan alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase seperti dalam

Pasal 70.

2. Gugatan a quo premature. Bahwa permohonan pembatalan hanya dapat

diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di

Pengadilan. Dalam perkara a quo tidak menemukan adanya dalil atau

fakta hukum yang membuktikan putusan arbitrase sudah didaftarkan di

Pengadilan.

Berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999, pendaftaran

putusan arbitrase hanya dapat dilakukan oleh arbitrator atau kuasanya,

dalam gugatan tidak diketemukan putusan arbitrase telah didaftarkan oleh

arbitrator atau kuasanya. Pertamina bukan arbitrator yang memutus

putusan arbitrase internasional, sehingga tidak berwenang mendaftarkan

berdasarkan Pasal 67 (1) UU No. 30 tahun 1999 tersebut. Putusan

arbitrase internasional yang dimohonkan pembatalan oleh Pertamina

belum didaftarkan oleh arbitrator atau kuasanya sehingga permohonan

pembatalan a quo yang dilakukan oleh Pertamina premature.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

90

Page 91: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

3. Gugatan a quo kabur dan tidak jelas. Dalam gugatannya Pertamina

mohon agar Majelis membatalkan, menyatakan batal, tidak mempunyai

kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya putusan arbitrase

Jenewa Swiss tanggal 18 Desember 2000 berikut putusan sela tanggal 20

September 1999, tetapi dalam positanya mengemukakan bahwa

perjanjian kerjasama dan perjanjian kontrak jual beli energi adalah batal

demi hukum. Selain itu dalam posita tidak menguraikan alasan untuk

mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional

tersebut. Dalam gugatannya justru lebih banyak menguraikan dalil-dalil

yang bertujuan untuk menyatakan serta memohonkan agar kedua kontrak

dinyatakan batal atau batal demi hukum, akibatnya maksud gugatan a

quo menjadi tidak jelas, apakah untuk membatalkan putusan arbitrase

internasional atau menginginkan membatalkan perjanjian kerjasama dan

perjanjian kontrak jual beli energi. Bahwa petitum tidak didukung oleh

posita yang jelas tepat akurat dan benar mengakibatkan gugatan menjadi

kabur dan tidak jelas.

4. Dengan mengajukan gugatan Pertamina telah mengajukan perbuatan

licik. Dengan diajukan gugatan a quo Pertamina telah melakukan

perbuatan licik, adanya itikad buruk terhadap KBC dengan maksud agar

pokok sengketa diperiksa dan diadili kembali oleh Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, padahal berdasarkan ketentuan Pasal

13.2 JOC dan Pasal 8.2 ESC disepakati untuk menyelesaikan sengketa

melalui arbitrase dan tempatnya di Jenewa, Swiss. Jika Pertamina

berkehendak mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase

internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maka Pertamina harus

mengikuti persyaratan dalam Pasal 70 UU Arbitrase tanpa perlu mengajak

Majelis Hakim memeriksa dan mengadili kembali pokok sengketa

Pertamina dan KBC.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

91

Page 92: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Terhadap eksepsi KBC tersebut Pertamina di dalam repliknya pada

pokoknya menyatakan :

1. Bahwa gugatan pembatalan putusan arbitrase internasional oleh

Pertamina memiliki dasar hukum diajukan di hadapan Pengadilan di

Indonesia;

2. Gugatan pembatalan putusan arbitrase internasional oleh Pertamina tidak

prematur;

3. Tidak benar gugatan a quo kabur dan tidak jelas;

4. Pertamina tidak melakukan perbuatan licik.

Terhadap eksepsi KBC Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut :

1. Terhadap eksepsi yang menyatakan gugatan a quo diajukan tidak

mempunyai dasar hukum. Majelis berpendapat bahwa berdasarkan

Keppres No. 34 Tahun 1981, Indonesia telah meratifikasi New York

Convention 1958, berarti Indonesia sejak tahun 1958 hingga kini telah

mengikatkan diri pada ketentuan hukum dari Konvensi New York tersebut,

sehingga alasan pembatalan tersebut tidak saja berdasar Pasal 70 UU

No. 30 Tahun 1999 tetapi telah pula didasarkan Konvensi New York 1958

seperti dalam Pasal VI jo Pasal V ayat (2) b Konvensi New York.

2. Selain itu kontrak JOC dan ESC berdasarkan Pasal 13.2 JOC dan Pasal

8.2 ESC harus juga didasarkan pada ketentuan UNCITRAL Arbitration

Rules, karena itu permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional

oleh Pertamina berdasarkan alasan UU arbitrase, Konvensi New York dan

UNCITRAL Arbitration Rules.

3. Dalam bagian penjelasan Bagian Umum atas UU Arbitrase No. 30 Tahun

1999 dikatakan alasan untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase

antara lain berdasarkan alasan-alasan seperti pada Pasal 70. Dengan

adanya penyebutan kata “antara lain”, bukan “yaitu” dapat diartikan UU ini

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

92

Page 93: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

membolehkan menggunakan alasan-alasan selain yang diatur dalam

Pasal 70 tersebut.

4. Terhadap eksepsi yang menyatakan gugatan prematur menurut Majelis

gugatan a quo tidaklah prematur, karena seperti telah dipertimbangkan

pada putusan No. 86/PDT.G/2002/PN/JKT.PST tanggal 7 Mei 2002

sehingga dengan mengambil alih putusan tersebut, maka eksepsi pada

angka 2 telah tidak berjalan menurut hukum;

5. Eksepsi yang menyatakan gugatan kabur dan tidak jelas, setelah Majelis

mempelajari seluruh materi gugatan telah ternyata bahwa antara bagian

posita dan petitum telah diurakan secara jelas dan gamblang, sehingga

dapat dimengerti maksud gugatan a quo adalah sebagai pembatalan

putusan arbitrase internasional bukan membatalkan kontrak JOC dan

ESC.

6. Bahwa diajukan gugatan a quo adalah telah tepat bukan sebagai

perbuatan licik atau itikad buruk, karena upaya ini dalam rangka

mempertahankan hak keperdataan Pertamina yang dalam gugatannya

merasa dirugikan oleh putusan arbitrase internasional, sehingga karena

itu Pertamina mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase

internasional seperti halnya dalam perkara a quo.

Atas dasar seluruh pertimbangan di atas, eksepsi KBC dinilai telah tidak

beralasan hukum, karenanya harus ditolak.

d. Putusan Provisi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas gugatan Pertamina, pada tanggal 2 April 2002 Majelis Hakim telah

menjatuhkan putusan provisional yang isinya:

1. Mengabulkan gugatan provisi Pertamina;

2. memerintahkan kepada KBC atau siapapun yang dapat hak darinya untuk

tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan putusan

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

93

Page 94: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000,

yang bersumber kepada perjanjian kerjasama (JOC) dan kontrak jual beli

energi (ESC) kedua-duanya tanggal 28 Nopember 1994: dengan

ketentuan KBC dikenakan uang paksa US$ 500.000,00 (lima ratus ribu

US Dollar) setiap harinya jika perintah ini dilanggar, jumlah mana harus

dibayar seketika dan sekaligus kepada Pertamina; dan

3. menangguhkan putusan perihal biaya, sehingga putusan akhir.

Karena putusan provisi tersebut diucapkan sebelum memeriksa materi

pokok perkara, maka terhadap putusan tersebut apakah tetap dipertahankan

atau tidak, harus dipertimbangkan kembali dalam putusan pokok perkara a

quo.

e. Pertimbangan dan Putusan dalam Pokok Perkara Karena gugatan Pertamina dibantah oleh KBC, sesuai hukum pembuktian

kepada Pertamina dibebani untuk membuktikan gugatannya, sebaliknya

kepada KBC dibebani pula untuk membuktikan dalil sangkalannya.

Berdasarkan surat gugatan, jawaban, replik, duplik dan surat-surat bukti

yang diajukan kedua belah pihak terdapat fakta yang tidak diperselisihkan

dalam perkara ini, yaitu :

1. KBC dan Pertamina telah menandatangani Joint Operation Contract

(JOC) yang dibuat pada tahun 1994, dan antara KBC dan Pertamina telah

ditandatangani Energy Sales Contract (ESC) pada tahun 1994.

2. Dari kedua kontrak tersebut KBC telah mengajukan gugatan kepada

Pertamina melalui majelis arbitrase di Jenewa, sehingga telah keluar

putusan arbitrase internasional yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal

18 Desember 2000 dan putusan sela tanggal 30 September 1999.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

94

Page 95: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Di samping itu terdapat beberapa hal yang masih menjadi perselisihan, yaitu:

1) Menurut Pertamina a. Putusan arbitrase internasional tersebut telah bertentangan dengan

Konvensi New York 1958 maupun UU No. 30 tahun 1999;

b. Dalam perjanjian kerjasama (JOC) antara Pertamina dan KBC

disepakati dalam hal timbul sengketa diselesaikan dengan arbitrase

berdasarkan ketentuan UNCITRAL dan terhadap kontrak tersebut

berlaku hukum Indonesia;

c. Dalam kontrak jual beli energi (ESC) antara Pertamina dan KBC,

disepakati dalam hal timbul sengketa diselesaikan dengan arbitrase

berdasarkan ketentuan UNCITRAL dan dalam kontrak tersebut berlaku

hukum Indonesia;

d. Majelis Hakim Arbitrase telah melampaui wewenangnya karena tidak

mempergunakan hukum Indonesia, dalam pertimbangan majelis

arbitrase Jenewa telah mengenyampingkan dan telah melanggar

ketentuan hukum Indonesia yang seharusnya diberlakukan;

e. Putusan arbitrase tanggal 18 Desember 2000 secara keliru

menafsirkan ketentuan tentang force majeure. Menurut hukum

Indonesia peristiwa force majeure membebaskan Pertamina dari

kewajiban membayar penggantian biaya, kerugian atau bunga;

f. Putusan arbitrase tersebut bertentangan dengan ketertiban umum

Republik Indonesia dan dibuat berdasarkan tipu muslihat KBC,

putusan tersebut bertentangan dengan Konvensi New York 1958 dan

pengangkatan arbitrator tidak diberitahukan Pertamina selaku

termohon eksekusi, sehingga putusan arbitrase tersebut tidak dapat

dilaksanakan.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

95

Page 96: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

2) Menurut KBC a. Setelah putusan arbitrase internasional dijatuhkan tidak terdapat satupun

surat atau dokumen yang diajukan diakui palsu atau dinyatakan palsu,

tidak ada dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh

KBC, tidak diambil dari tipu muslihat KBC dan alasan pembatalan putusan

arbitrase harus dibuktikan dengan putusan pengadilan, dan Pertamina

telah pula menerima pembertitahuan secara patut untuk proses arbitrase,

penunjukan Majelis Arbitrator sesuai yang ditentukan dalam JOC dan

ESC;

b. Klausula arbitrase dalam JOC dan ESC memiliki kekuatan hukum untuk

dilaksanakan dan tidak dapat dibatalkan.

3) Putusan pokok perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas argumentasi Pertamina dan KBC dan perselisihan hukum tersebut

maka Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut:

a. Apakah majelis arbitrase telah melampaui wewenangnya karena tidak

mempergunakan hukum Indonesia, putusannya bertentangan dengan

ketertiban umum, berdasarkan tipu muslihat, dan keliru menafsirkan

ketentuan tentang force majeure menurut hukum Indonesia, serta telah

mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan hukum Indonesia;

b. Apakah putusan arbitrase internasional yang ditetapkan di Jenewa, Swiss

tanggal 18 Desember 2000 dan putusan sela tanggal 30 September 1999

telah bertentangan dengan Konvensi New York 1958 maupun UU No. 30

Tahun 1999, atau tidak.

Berdasarkan bukti-bukti dari putusan arbitrase tersebut, isinya adalah hal-

hal mengenai telah terjadinya suatu kesepakatan yang menghasilkan dua

kontrak kerjasama yaitu:

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

96

Page 97: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

a. Joint Operation Contract (JOC), yang menetapkan Pertamina

bertanggung jawab untuk mengoperasikan proyek geo-termal dan KBC

yang diberikan kuasa untuk mengembangkan proyek geo-termal (proyek

Karaha Bodas).

b. Energy Sales Contract (ESC), dalam kontrak ini PLN setuju untuk

membeli dari Pertamina tenaga listrik yang diproduksi dan dipasok oleh

Pembangkit Tenaga Listrik yang dibangun oleh KBC.

Dalam Pasal 20 JOC dan Pasal 12.1 ESC disebutkan “Perjanjian ini

tunduk pada hukum dan peraturan Republik Indonesia”. Dari pasal tersebut

dapat disimpulkan bahwa para pihak dalam kontrak tersebut telah

menundukkan dan memilih hukum Indonesia. Karena Kontrak JOC dan ESC

berlaku hukum Indonesia, upaya hukum dari Pertamina terhadap putusan

arbitrase internasional untuk mengajukan suatu pembatalan putusan

arbitrase adalah tepat untuk diajukan di pengadilan Indonesia dengan

mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

a. Karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 sejak tahun

1981 hingga kini maka Indonesia termasuk negara yang mengikatkan diri

pada ketentuan-ketentuan hukum yang tercantum dalam Konvensi

tersebut;

b. Meskipun Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

mengatur mengenai alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk

mengajukan pembatalan suatu putusan arbitrase internasional, akan

tetapi karena Pasal V Konvensi New York 1958 menyatakan “bahwa

terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak

atas permohonan pihak yang diminta untuk melaksanakan putusan

tersebut, namun terhadap penolakan tersebut harus dapat dibuktikan hal-

hal yang tercantum dalam Pasal V.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

97

Page 98: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Yang tercantum dalam Pasal V huruf b, d, dan e Konvensi New York 1958

ini adalah :

a. Pihak yang diminta untuk melaksanakan keputusan tidak mendapat

pemberitahuan yang wajar mengenai penunjukan para arbitrator;

b. Komposisi dari kekuasaan arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai

dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak;

c. Putusan tersebut mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak.

Pasal V ayat 2 b Konvensi New York menyatakan bahwa pengakuan dan

pelaksanaan dari suatu putusan arbitrase dapat juga ditolak jika badan yang

berwenang dari negara tempat pengakuan dan pelaksanaan putusan

dimohonkan menemukan bahwa pengakuan atau pelaksanaan putusan

arbitrase akan bertentangan dengan kepentingan umum.

Apakah Majelis Hakim Arbitrase telah melampaui kewenangannya karena

tidak mempergunakan hukum Indonesia, bertentangan dengan ketertiban

umum, berdasarkan tipu muslihat, keliru menafsirkan ketentuan tentang force

majeure menurut hukum Indonesia dan apakah dalam pertimbangan majelis

arbitrase Jenewa telah mengesampingkan dan telah melanggar ketentuan

hukum Indonesia?

Menjawab pertanyaan tersebut Majelis Hakim telah mempertimbangkan

sebagai berikut:

1. Dengan berlakunya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34

Tahun 1981, akan berlaku secara resiprositas antara negara-negara yang

telah meratifikasi Konvensi New York 1958, berarti negara Indonesia juga

dapat melaksanakan putusan arbitrase karena Indonesia juga termasuk

dalam negara yang meratifikasi Konvensi tersebut.

2. Pasal 12.1 ESC dan Pasal 20 JOC telah mengatur mengenai ketentuan

“Perjanjian ini tunduk pada hukum dan peraturan Republik Indonesia”.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

98

Page 99: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Majelis Hakim berpendapat bahwa baik dalam perjanjian JOC maupun

dalam perjanjian ESC telah menundukkan dan memilih hukum Indonesia.

3. Apakah majelis arbitrase telah melampaui wewenangnya atau tidak,

menurut pendapat Majelis Hakim jika dilihat dari Pasal V (1) Konvensi

New York 1958 dapat disimpulkan bahwa pengakuan dan pelaksanaan

putusan dapat ditolak setelah salah satu pihak menyatakan pada pihak

yang berwenang dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri karena badan

inilah yang akan melaksanakan eksekusi putusan arbitrase tersebut.

4. Dari apa yang menjadi pertimbangan di atas, majelis arbitrase telah

melampaui wewenangnya karena tidak mempergunakan hukum

Indonesia, sedangkan kontrak JOC dan ESC dengan tegas menyatakan

bahwa mereka memilih hukum arbitrase Indonesia dan bukan hukum

arbitrase Swiss dan Konvensi New York 1958 Pasal VI jo Pasal V (1) e

memperbolehkan hal tersebut.

5. “Apakah pengakuan atau pelaksanaan itu bertentangan dengan ketertiban

umum atau tidak?” Dalam Pasal V ayat 2 huruf b Konvensi New York

1958 dinyatakan bahwa pengakuan dan pelaksanaan dari putusan

arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan jika putusan itu bertentangan

dengan ketertiban umum negara itu.

Majelis Hakim mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2

Tahun 1999 yang mengatur mengenai pelaksanaan putusan arbitrase luar

negeri di Indonesia. Pasal 4 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung tersebut

menyebutkan “bahwa pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri di

Indonesia terbatas pada keputusan-keputusan yang tidak bertentangan

dengan ketertiban umum dalam seluruh sendi-sendi asasi dari seluruh sistem

hukum dan masyarakat Indonesia.”

Majelis Hakim juga mengutip pendapat Erman Rajagukguk mengenai

ketertiban umum yang kadang diartikan sebagai ketertiban, kesejahteraan

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

99

Page 100: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

dan keamanan atau disamakan dengan “ketertiban hukum ” atau disamakan

dengan “keadilan”. Dari hal tersebut, Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997

dan Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Indonesia atas permintaan IMF bertujuan untuk menyelamatkan

dan mengatasi beban negara yang sedang dalam keadaan krisis ekonomi

dan moneter, sehingga jika proyek geo-termal tersebut tetap diteruskan maka

hal itu akan semakin menyengsarakan perekonomian bangsa Indonesia.

Berdasarkan Pasal V ayat 2 huruf b Konvensi New York 1958, sudah

sepatutnya terhadap putusan arbitrase internasional tersebut harus

dinyatakan ditolak pengakuan dan pelaksanaannya karena tidak hanya

bertentangan dengan ketertiban umum akan tetapi juga bertentangan dengan

sendi-sendi asasi bangsa Indonesia.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah telah terjadi suatu kekeliruan

mengenai penafsiran ketentuan force majeure menurut hukum Indonesia?

Atas permasalahan tersebut, keadaan yang dinamakan force majeure

atau keadaan memaksa dalam putusan Arbitrase asing dinyatakan

konsekuensi hukum dari situasi ini tidak sama terhadap KBC. Di lain pihak,

para pihak telah memaklumi bahwa keputusan Presiden untuk menunda

proyek Karaha Bodas adalah “Government Related Event” sebagaimana

didefinisikan di dalam ESC dan JOC Pasal 15.2 (e) yang menyatakan: “…

kejadian-kejadian yang disebabkan oleh keadaan memaksa mencakup, tetapi

tidak terbatas pada: … (e) setiap tindakan yang berhubungan dengan

kontraktor saja”. Pernyataan yang sama pada Pasal 9.2 kata “kontraktor”

diganti dengan “company “, dimana keduanya mengacu kepada KBC.

Melalui kontrak tersebut dinyatakan bahwa Keputusan Presiden adalah

keadaan memaksa bagi KBC dan bukan bagi Pertamina dan PLN.

Konsekuensi hukumnya adalah bahwa KBC berhak untuk memakai

Keputusan Presiden sebagai alasan untuk tidak melaksanakan

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

100

Page 101: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

kewajibannya, sedangkan Pertamina dan PLN tidak berhak sejauh ini untuk

melakukan hal yang sama, dan seterusnya.

Berhubung Pertamina dan PLN tidak dapat memakai Keputusan Presiden

sebagai alasan yang sah untuk tidak melakukan kewajiban mereka di bawah

ESC dan JOC, maka tindakan tidak melakukan kewajiban tersebut adalah

pelanggaran kontrak sehubungan dengan tanggung jawab mereka.

Konsekuensi akibat Keputusan Presiden yang menghalangi pelaksanaan

kontrak adalah tanggungan Pertamina dan PLN.

Selanjutnya berdasarkan Keppres No. 39 Tahun 1997 tanggal 20

September 1997 Pemerintah Indonesia telah menunda beberapa proyek

termasuk proyek geo-termal KBC, dengan pertimbangan untuk

mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan

nasional pada umumnya. Dengan ditutupnya proyek KBC tersebut,

Pertamina telah berusaha agar proyek tersebut dikecualikan, sehingga atas

usahanya tersebut melalui Keppres No. 47 Tahun 1997 tanggal 1 November

1997, proyek KBC tersebut dapat diteruskan.

Tetapi terhadap usaha yang baru dirintis oleh Pertamina tersebut,

Pemerintah kembali mengeluarkan Keppres No. 5 Tahun 1998 tanggal 10

Januari 1998 yang isinya menangguhkan kembali proyek Karaha Bodas,

sehingga sejak lahirnya Keppres No. 5 Tahun 1998 tersebut telah menjadi

jelas baik Pertamina, maupun KBC tidak dapat melaksanakan proyek

tersebut. Dengan berhentinya proyek tersebut KBC dapat melaksanakan

ketentuan keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana Pasal 15 JOC

dan 9 ESC tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa, majelis arbitrase di Jenewa menyatakan

bahwa akibat Keputusan Presiden yang menghalangi pelaksanaan kontrak

tersebut telah menjadi tanggungan Pertamina dan PLN.

Sebaliknya majelis hakim menimbang bahwa suatu Keputusan Presiden,

khususnya atas proyek-proyek pemerintah ataupun Badan Usaha Milik

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

101

Page 102: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Negara (BUMN) mempunyai daya laku dan legitimasi sebagai peraturan

perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia. Sebagai akibat

lahirnya Keppres yang menyatakan agar proyek KBC ditangguhkan,

konsekuensinya Pertamina sebagai BUMN harus tunduk dan mematuhi

Keppres tersebut. Dengan demikian Keppres tersebut merupakan tindakan

publik yang dibenarkan menurut hukum Indonesia, sehingga Pertamina tidak

mempunyai kemampuan secara hukum (incapacity) untuk berbuat terhadap

proyek yang ditangguhkan tersebut untuk dilanjutkan kembali.

Sebagaimana diketahui bahwa lahirnya Keppres tersebut adalah untuk

mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan

nasional pada umumnya, berarti pula kepentingan publiklah yang harus

diutamakan lebih dahulu, apalagi pada saat itu (tahun 1997) bangsa

Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan, sehingga

dengan demikian kepentingan dan keteriban umumlah yang menurut hukum

Indonesia yang harus diutamakan.

Tetapi majelis arbitrase dalam pertimbangan hukumnya telah tidak

mempertimbangkan keadaan seperti tersebut, dan telah mempertimbangkan

secara sempit dengan mengacu kepada keadaan memaksa bagi KBC,

seharusnya Majelis Arbitrator dengan memperhatikan secara luas terbitnya

Keppres yang menangguhkan proyek Karaha tersebut yang nota bene

berakibat Pertamina tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat, sehingga

seharusnya pula dikategorikan sebagai keadaan memaksa. Atas dasar

pertimbangan di atas Majelis berpendapat bahwa Majelis Arbitrator telah

mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan hukum Indonesia.

Walaupun majelis arbitrase mengakui hukum Indonesia berlaku terhadap

sengketa yang timbul dari kontrak JOC dan ESC, akan tetapi arbitrator telah

tidak menggunakan ketentuan hukum Indonesia khususnya tentang keadaan

memaksa yang tidak dipertimbangkan bagi Pertamina, sedangkan telah

ternyata kedua perjanjian JOC dan ESC secara tegas menggunakan hukum

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

102

Page 103: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Indonesia. Terhadap kelalaian majelis arbitrase tersebut, Majelis Hakim

berwenang untuk memutus pembatalan atas putusan arbitrase di Jenewa,

Swiss tersebut.

KBC dalam jawabannya menyatakan bahwa gugatan a quo telah tidak

memenuhi ketentuan Pasal 70 Undang-undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999.

Menurut Pertamina dalam mengajukan gugatan pembatalan putusan

arbitrase tersebut tidak saja berdasarkan ketentuan Pasal 70 Undang-

Undang No. 30 Tahun 1999 tetapi didasarkan pula kepada Konvensi New

York 1958.

Berdasarkan Keppres No. 34 Tahun 1981, Indonesia telah meratifikasi

Konvensi New York tahun 1958. Dengan demikian Indonesia sejak tahun

1981 sampai sekarang telah mengikatkan diri kepada ketentuan-ketentuan

hukum yang tercantum dalam Konvensi New York sehingga gugatan

pembatalan putusan arbitrase internasional dapat didasarkan pada Konvensi

New York 1958 tersebut, yang hal ini sejalan dengan alasan-alasan untuk

mengajukan pembatalan putusan arbitrase asing yang antara lain adalah

alasan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 70. Karena itu dengan

adanya penyebutan kata “antara lain” dapat ditafsirkan bahwa oleh Undang-

Undang ini untuk mengajukan pembatalan dimungkinkan digunakan alasan

lain. Hal ini telah dilakukan Pertamina yaitu dengan mendasarkan kepada

Konvensi New York.

Atas dasar seluruh pertimbangan di atas, tanpa mempertimbangkan lebih

lanjut surat-surat lainnya yang diajukan oleh para pihak maka putusan

arbitrase yang diterapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desmber 2000 berikut

putusan sela (preliminary award) yang ditetapkan di Jenewa tanggal 30

September 1999, harus dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan

hukum dengan segala akibat hukumnya.

Karena putusan arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18

Desember 200 berikut putusan sela (preliminary award) yang ditetapkan di

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

103

Page 104: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Jenewa tanggal 30 September 1999, dinyatakan batal dan tidak mempunyai

kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya, maka menghukum kepada

KBC untuk taat dan patuh pada putusan tersebut.

Terhadap tuntutan provisional, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa:

1) Atas tuntutan provisi yang diajukan oleh Pertamina, Majelis Hakim telah

mempertimbangkannya yang dituangkan dalam putusan sela tanggal 1

april 2002, yang isinya antara lain mengabulkan tuntutan provisi dari

Pertamina untuk seluruhnya, dan untuk mempersingkat putusan ini segala

sesuatu yang termuat dalam putusan sela tersebut, selengkapnya

dianggap telah tercantum dalam putusan ini dan Majelis Hakim tetap

mempertahankan putusan provisi tersebut.

2) Terhadap tuntutan yang memohon agar putusan perkara ini dijalankan

lebih dulu meskipun ada banding, verzet atau kasasi, Majelis

mempertimbangkan bahwa untuk menolak ataupun mengabulkan suatu

tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, sesuai dengan

ketentuan Pasal 180 ayat 1 HR, harus memenuhi salah satu syarat

sebagaimana ditentukan dalam pasal tersebut di atas antara lain, yaitu:

ada gugatan provisional yang dikabulkan.

3) Terhadap tuntutan provisional dari Pertamina oleh Majelis Hakim telah

dikabulkan dengan putusan selanya tentang provisi, oleh karena itu

adalah layak dan beralasan hukum tuntutan Pertamina agar putusan

perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada banding,

verzet atau kasasi, patut untuk dikabulkan.

4) Karena gugatan Pertamina telah dikabulkan, maka KBC berada pada

pihak yang dikalahkan dihukum untuk membayar biaya perkara ini.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

104

Page 105: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Mengingat akan pasal-pasal dari undang-undang yang bersangkutan, dan

hasil seluruh pemeriksaan Majelis Hakim memutuskan sebagai berikut:

1. Dalam Eksepsi, menolak seluruh eksepsi KBC.

2. Dalam Provisi

a. Mengabulkan gugatan provisional dari Pertamina untuk seluruhnya;

b. Memerintahkan kepada KBC atau siapapun yang dapat hak

daripadanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk

pelaksanaan putusan arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss

tanggal 18 Desember 2000, yang bersumber pada perjanjian kerja

sama (Joint Operation Contract) dan kontrak jual beli energy (Energy

Sales Contract), keduanya dibuat pada 28 Nopember 1994, dengan

ketentuan KBC dikenakan uang paksa US$ 500.000,0 (lima ratus ribu

US Dollar) setiap harinya, jika perintah ini dilanggar, jumlah mana

harus dibayar seketika dan sekaligus kepada Pertamina

3. Dalam Pokok Perkara

a. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum putusan

arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember

2000 berikut putusan sela (preliminary award) yang ditetapkan di

Jenewa tanggal 30 September 1999, dengan segala akibat hukumnya;

b. Menghukum kepada KBC untuk taat dan patuh pada putusan tersebut;

b. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu

walaupun ada banding, verzet atau kasasi;

c. menghukum KBC untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.

539.000,- (lima ratus tiga puluh sembilan ribu rupiah).

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

105

Page 106: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

3. Proses Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam rapat Majelis Mahkamah Agung (MA) yang diadakan pada hari Senin,

8 Maret 2004 dengan dihadiri oleh Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung

sebagai ketua sidang, Paulus E. Lotulung dan Marianna Sutadi sebagai

hakim-hakim anggota, diputuskan untuk mengabulkan permohonan banding

KBC. Putusan MA tersebut diucapkan oleh ketua sidang pada hari itu juga

dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh kedua hakim

anggota tersebut, serta Shirley P. Widodo, S.H., sebagai panitera pengganti

dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.

a. Pertimbangan Putusan secara Formal Sebelum memutuskan dalam tingkat kasasi, MA mendapati bahwa tergugat

(dalam hal ini adalah KBC) berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 6

September 2002 mengajukan permohonan banding pada 9 September 2002

atas putusan pengadilan negeri yang diucapkan di dalam persidangan yang

terbuka untuk umum pada 27 Agustus 2002 (yang dihadiri oleh kuasa

penggugat, kuasa tergugat dan kuasa turut tergugat). Hal itu dapat dilihat

dalam akte permohonan banding Nomor:

82/Srt.Pdt.Kas/2002/PN.JKT.PST.Jo Nomor: 86/PDT.G/2002PN.JKS.PST

yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kemudian

disusul dengan memori banding yang memuat alasan-alasan yang diterima

oleh Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 23 September

2002.

Setelah itu Pertamina, yang pada tanggal 25 September 2002 telah

diberitahu tentang memori banding oleh KBC, mengajukan jawaban memori

banding yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

pada tanggal 7 Oktober 2002. Mengenai tambahan memori banding yang

diajukan oleh KBC, mengingat tambahan memori banding tersebut baru

diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 25

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

106

Page 107: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Oktober 2002, sedangkan permohonan banding telah diajukan pada tanggal

9 September 2002, maka tambahan memori banding tersebut telah melewati

tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal

47 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan

Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 sehingga tambahan memori banding

tersebut harus dikesampingkan.

Mempertimbangkan bahwa permohonan banding a quo beserta alasan-

alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama dalam

tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam Undang-Undang,

karena itu permohonan banding tersebut secara formal dapat diterima

b. Isi Permohonan Kasasi KBC mengajukan keberatan-keberatan dalam memori banding yang pada

pokoknya menyatakan bahwa:

a. berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang No. 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan

bahwa terhadap putusan (pembatalan) dari pengadilan negeri dapat

diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus

dalam tingkat pertama dan terakhir. Oleh karena itu, upaya hukum yang

diajukan oleh KBC terhadap putusan dengan mengajukan banding

kepada Mahkamah Agung sudah tepat dan telah sesuai dengan UU

Arbitrase;

b. karena dalam UU Arbitrase tidak terdapat ketentuan yang mengatur

mengenai batas waktu pengajuan banding dan memori banding, maka

KBC mendasarkan ketentuan hukum acara pada Pasal 47 Undang-

Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah agung yang menyatakan

bahwa pengajuan memori banding oleh pemohon banding wajib

disampaikan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah

permohonan banding dicatat dalam buku daftar register. KBC telah

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

107

Page 108: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

menyatakan banding atas putusan tersebut pada tanggal 9 September

2002, terhadap Putusan Sela I pada tanggal 16 April 2002, serta terhadap

Putusan Sela II pada tanggal 21 Mei 2002. Di sini KBC telah

mendaftarkan permohonan banding di Kantor Kepaniteraan Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari

sebagai tenggang waktu yang diperbolehkan menurut Undang-Undang;

c. berdasarkan pertimbangan hukum judex factie, Putusan

No.86/PDT.G/2002/PN.JKS.PST. tanggal 27 Agustus 2002 adalah keliru

dan tidak berdasarkan fakta dan tidak adil.

Di samping itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai tidak

berwenang untuk memeriksa gugatan pembatalan putusan Arbitrase

Internasional tanggal 18 Desember 2000 yang diputuskan di Jenewa, Swiss;

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melampaui batas

wewenang; Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah

menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; dan akhirnya Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah lalai memenuhi syarat-syarat

yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.

c. Argumentasi Hukum dari Putusan MA Mahkamah Agung sebelum membuat putusannya, telah menyampaikan

beberapa pertimbangan hukum yang isinya mendukung argumentasi KBC,

yaitu:

a. Termohon Kasasi (Pertamina) menurut hukum tidak dapat mengajukan

pembatalan terhadap Putusan Arbitrase Internasional dengan

menggunakan format “gugatan” melainkan harus dengan menggunakan

format “permohonan”. Hal ini mengingat berdasarkan ketentuan Pasal 27

ayat (4) Undang-Undang Arbitrase, keberatan atau permohonan banding

yang diajukan terhadap putusan harus diajukan langsung ke Mahkamah

Agung.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

108

Page 109: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

b. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang baik

secara kompetensi absolute maupun secara kompetensi relatif untuk

mengadili perkara a quo, karena dalam Penjelasan Pasal 70 Undang-

Undang Arbitrase secara tegas dinyatakan bahwa permohonan

pembatalan hanya dapat diajukan terhadap suatu putusan arbitrase yang

sudah didaftarkan di pengadilan. Kemudian Pasal 67 ayat (1) Undang-

Undang Arbitrase, yang merupakan satu-satunya pasal yang mengatur

mengenai pendaftaran atas putusan Arbitrase Internasional dalam

Undang-Undang Arbitrase, juga secara tegas diatur bahwa yang

berwenang untuk melakukan pendaftaran terhadap Putusan Arbitrase

Internasional di Indonesia adalah arbiter atau kuasanya.

c. Judex facti telah mengabaikan ketentuan Pasal 70 sampai dengan Pasal

72 Undang-Undang Arbitrase yang jelas-jelas telah menyatakan bahwa

pembatalan terhadap suatu putusan arbitrase diajukan dengan

menggunakan format “permohonan” serta terlebih dahulu harus

memenuhi persyaratan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Pasal 67

Undang-Undang Arbitrase. Dengan diabaikannya ketentuan Undang-

Undang (UU Arbitrase) oleh judex facti dalam mengeluarkan putusan,

jelas telah membuktikan kelalaian yang diajukan oleh judex facti dalam

memenuhi persyaratan yang diwajibkan oleh undang-undang.

d. Dari segi kompetensi absolut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak

berwenang untuk mengadili perkara ini, karena pembatalan putusan

Arbitrase Internasional hanya dapat dilakukan oleh Pengadilan Swiss.

Berdasarkan Pasal VI jo Pasal V (1) (e) Konvensi New York 1958

Pengadilan yang memiliki wewenang untuk memutus permohonan

pembatalan terhadap Putusan Arbitrase Internasional adalah hanya

Pengadilan di negara mana, atau berdasarkan hukum mana putusan

tersebut dibuat.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

109

Page 110: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

e. Dari segi kompetensi relatif, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga tidak

berwenang untuk mengadili perkara ini, karena berdasarkan ketentuan

dalam Pasal 72 dan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Arbitrase, di mana

Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara a quo

adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal

termohon (in casu tempat tinggal KBC). Oleh karena itu Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat tidak mempunyai kewenangan (kompetensi) untuk

menerima dan memeriksa gugatan pambatalan Putusan Arbitrase

Internasional a quo, sebab wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat tidak meliputi tempat tinggal Pemohon Kasasi/tergugat (KBC).

f. Gugatan Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional yang diajukan oleh

Pertamina tidak memiliki dasar hukum untuk dapat diajukan, karena

berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 70 UU

Arbitrase, jelas ditentukan bahwa suatu putusan arbitrase hanya dapat

dibatalkan apabila sudah didaftarkan di Pengadilan. Dalam perkara a quo,

Pertamina sama sekali tidak dapat mengajukan satu bukti pun yang dapat

membuktikan bahwa putusan Arbitrase Internasional tersebut sudah

didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Oleh karena Putusan

Arbitrase Internasional belum didaftarkan secara sah menurut ketentuan

hukum yang berlaku, maka sebenarnya Putusan Arbitrase Internasional

belum didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya.

Untuk memperkuat argumentasinya, Majelis MA lebih jauh menyatakan

bahwa keberatan-keberatan di atas dapat dibenarkan, karena judex facti

telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan-pertimbangan, yaitu:

a. Bahwa gugatan Pertamina pada pokoknya adalah gugatan pembatalan

putusan arbitrase yang diputuskan di Jenewa, Swiss pada tanggal 18

Desember 2000 (Final Award In An Arbitration Procedure Under The

UNCITRAL Arbitration Rules);

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

110

Page 111: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

b. Bahwa menurut Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter

perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, seperti halnya

putusan arbitrase yang dimohonkan pembatalannya oleh Pertamina

adalah Putusan Arbitrase Internasional;

c. Bahwa mengenai Arbitrase Internasional, Undang-Undang No. 30 Tahun

1999 hanya mengaturnya dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 yang

selain mengatur syarat-syarat dapat diakui dan dilaksanakannya suatu

putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, juga mengatur prosedur

permohonan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut;

d. Bahwa Pasal V ayat (1) e Konvensi New York 1958 (Convention on The

Recognition and Enforcement of Foreign arbitral Award) yang disahkan

dan dinyatakan berlaku dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981

berbunyi: “Recognition and enforcement of the award may be refused, at

the request of the party against whom it is invoked, only if …

(e) “The award has not yet become binding on the parties, or has been set

aside or suspended by a competent authorty of the country in which, or

under the law of which, that award was made”.

e. Bahwa kuasa hukum Pertamina telah mengajukan permohonan banding

terhadap putusan arbitrase yang disengketakan kepada Mahkamah

Agung Swiss sesuai dengan Undang-Undang Hukum Perdata

Internasional Negara Swiss.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

111

Page 112: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Catatan: Untuk butir e di atas, Mahkamah Agung mengacu pada asas nebis

in idem yang menyatakan bahwa untuk suatu perkara yang sama tidak dapat

diperiksa dan diadili untuk kedua kalinya.76

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan butir a – e tersebut, Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus

gugatan pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang dilakukan oleh

Pertamina.

d. Isi Putusan MA Setelah melakukan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, tanpa perlu

mempertimbangkan keberatan-keberatan lainnya, Mahkamah Agung

berpendapat bahwa telah terdapat cukup alasan untuk mengabulkan

permohonan banding dari KBC dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat tanggal 27 agustus 2002 No.86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST. Di

samping itu, Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini.

Mahkamah Agung setelah mempertimbangkan bahwa Pertamina adalah

pihak yang kalah, maka Pertamina dihukum untuk membayar biaya perkara

dalam kedua tingkat peradilan.

Sebelum membuat putusan, MA telah memperhatikan Pasal-pasal dari

Undang-Undang No. 30 tahun 1999, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985

sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004

serta Pasal-pasal lain dari undang-undang yang bersangkutan.

76 Tentang pengajuan kasus tersebut di Swiss, koordinator pengacara Pertamina membantah bahwa putusan arbitrase UNCITRAL telah diperiksa dan ditolak oleh Mahkamah Agung Swiss. Menurutnya, upaya mengajukan pembatalan putusan ke pengadilan di Jenewa terlambat dilakukan sehingga tidak sempat diperiksa dan diputuskan. Menurutnya, Mahkamah Agung RI telah salah ketika menyatakan berlakunya asas nebis in idem dalam kasus ini. Asas tersebut, yang menyatakan untuk suatu perkara yang sama tidak dapat diperiksa dan diadili untuk kedua kalinya, tidak berlaku di sini, karena kasus ini belum pernah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Swiss.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

112

Page 113: Kara Ha Bodas Case

Gatot Soemartono [email protected]

Isi putusan dari MA dibedakan menjadi 2, yaitu:

a. Putusan “mengadili” yang isinya adalah:

1) Mengabulkan permohonan banding dari pemohon banding Karaha

Bodas Company (KBC) tersebut.

2) Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 27

Agustus 2002 No.86PDT.G/2002?PN.JKS.PST.77

b. Putusan “mengadili sendiri” yang isinya adalah:

1) Dalam eksepsi: mengabulkan eksepsi tergugat, yaitu: KBC.

2) Dalam provisi dan pokok perkara: menyatakan PN Jakarta Pusat tidak

berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan Penggugat.

3) Menghukum Pertamina untuk membayar biaya perkara dalam kedua

tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ini ditetapkan sebesar

Rp500,000,- (lima ratus ribu rupiah).

Dengan adanya putusan Mahkamah Agung tersebut, telah selesailah uraian

seluruh rangkaian penyelesaian kasus Karaha Bodas, khususnya yang

melibatkan Pertamina dan Karaha Bodas Company (KBC).78 (Sebagaimana

diketahui dalam penelitian ini tidak dibahas secara khusus keterlibatan PLN

dan Pemerintah.)

77 Menurut Mulyana, pakar arbitrase dan konsultan di MKK, dalam wawancara dengan penulis melalui telepon dan korespondesi melalui e-mail, putusan MA tersebut telah tepat di dalam penerapan hukumnya. Menurutnya arbitrator dan kuasa hukum KBC tidak pernah mendaftarkan putusan arbitrase UNCITRAL di PN Jakarta Pusat, karena itu bagaimana putusan yang tidak pernah didaftarkan tersebut dapat dibatalkan. 78 Dalam wawancara dengan penulis, Simson Panjaitan sebagai koordinator pengacara Pertamina mengatakan bahwa saat ini Pertamina sedang menyiapkan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas kasus Karaha Bodas. PK saat ini sedang disusun oleh Pertamina dengan bantuan kantor pengacara Sudargo Gautama, dan akan diajukan kepada Mahkamah Agung RI untuk membatalkan putusan tersebut.

Based on Gatot’s Research Only for Private Use

113