kapabilitas bangunan untuk bencana banjir dan kewaspadaan bahaya dan pengurangan risiko di nigeria

23
KAPABILITAS BANGUNAN UNTUK BENCANA BANJIR DAN KEWASPADAAN BAHAYA DAN PENGURANGAN RISIKO DI NIGERIA : DIPERLUKAN UNTUK PERENCANAAN TATA RUANG DAN PENGELOLAAN TATA GUNA LAHAN Oludare Hakeem Adedeji, Bashir Olufemi Odufuwa, and Olusegun Hezekiah Adebayo Department of Environmental Management and Toxicology, University of Agriculture, Abeokuta, Nigeria Department of Urban and Regional Planning, Olabisi Onabanjo University, Ago-Iwoye, Nigeria Department of Geography and Regional Planning, Olabisi Onabanjo University, Ago-Iwoye, Nigeria ABSTRAK Makalah ini menguji tingkat kesiapan dan kapasitas bangunan untuk mengatasi banjir perkotaan di kota-kota Nigeria. Pertama, insiden dari bahaya banjir perkotaan, penyebab dan pemerikasaan dampak. Kedua, peran urbanisasi sebagai salahsatu faktor utama penyebab besarnya risiko banjir di perkotaan harus dianalisis. Ketiga, diskusi mengenai kerentanan, kesiapsiagaan, dan strategi penanggulanagn masyarakat terhadap bahaya. Keempat, pemeriksaan peran perencanaan tata ruang, sistem drainase yang berkelanjutan dan manajemen lahan digunakan dalam kapasitas bangunan untuk mengatasi bahaya banjir harus dilakukan. Makalah ini menyimpulkan bahwa kurangnya perencanaan tata ruang yang tepat dan manajemen tata guna lahan ditambah dengan ketidakmampuan pemerintah untuk memastikan tata kelola perkotaan dengan baik memperburuk kasus banjir perkotaan di Nigeria. Sebuah perencanaan GIS berbasis perencanaan tata ruang dan manajemen tata guna lahan dapat menjadi alat serbaguna dalam membangun kapasitas untuk pengurangan bencana banjir dan kesiapan untuk memastikan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Kata kunci : Siaga bencana, Bahaya banjir, Penataan ruang, Sistem drainase berkelanjutan, Kerentanan perkotaan. PENDAHULUAN

Upload: mickalo-crown

Post on 31-Oct-2015

75 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Manajemen Risiko

TRANSCRIPT

KAPABILITAS BANGUNAN UNTUK BENCANA BANJIR DAN KEWASPADAAN BAHAYA DAN PENGURANGAN RISIKO DI NIGERIA : DIPERLUKAN UNTUK PERENCANAAN TATA RUANG DAN PENGELOLAAN TATA GUNA LAHANOludare Hakeem Adedeji, Bashir Olufemi Odufuwa, and Olusegun Hezekiah AdebayoDepartment of Environmental Management and Toxicology, University of Agriculture, Abeokuta, NigeriaDepartment of Urban and Regional Planning, Olabisi Onabanjo University, Ago-Iwoye, NigeriaDepartment of Geography and Regional Planning, Olabisi Onabanjo University, Ago-Iwoye, Nigeria

ABSTRAKMakalah ini menguji tingkat kesiapan dan kapasitas bangunan untuk mengatasi banjir perkotaan di kota-kota Nigeria. Pertama, insiden dari bahaya banjir perkotaan, penyebab dan pemerikasaan dampak. Kedua, peran urbanisasi sebagai salahsatu faktor utama penyebab besarnya risiko banjir di perkotaan harus dianalisis. Ketiga, diskusi mengenai kerentanan, kesiapsiagaan, dan strategi penanggulanagn masyarakat terhadap bahaya. Keempat, pemeriksaan peran perencanaan tata ruang, sistem drainase yang berkelanjutan dan manajemen lahan digunakan dalam kapasitas bangunan untuk mengatasi bahaya banjir harus dilakukan. Makalah ini menyimpulkan bahwa kurangnya perencanaan tata ruang yang tepat dan manajemen tata guna lahan ditambah dengan ketidakmampuan pemerintah untuk memastikan tata kelola perkotaan dengan baik memperburuk kasus banjir perkotaan di Nigeria. Sebuah perencanaan GIS berbasis perencanaan tata ruang dan manajemen tata guna lahan dapat menjadi alat serbaguna dalam membangun kapasitas untuk pengurangan bencana banjir dan kesiapan untuk memastikan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Kata kunci : Siaga bencana, Bahaya banjir, Penataan ruang, Sistem drainase berkelanjutan, Kerentanan perkotaan.

PENDAHULUAN Dalam empat dekade terakhir, kerugian ekonomi akibat bencana alam seperti, bencana banjir telah meningkat berkali lipat dan juga telah mengakibatkan kerugian besar dalam kehidupan manusia dan hilangnya mata pencaharian, hancurnya infrastruktur ekonomi dan sosial, serta kerusakan lingkungan selama periode ini (Munich Re, 2002). Banjir berulang dan bencana lainnya telah diidentifikasi sebagai ancaman serius bagi pembangunan berkelanjutan. Banjir menyebabkan sekitar sepertiga dari kematian, sepertiga dari semua cidera dan sepertiga dari semua kerusakan dari bencana alam (Askew, 1999). Secara signifikan, bencana banjir akibat manusia diciptakan dari kerentanan manusia yang merupakan hasil interaksi kita dengan lingkungan oleh beberapa aktivitas manusia seperti merancang dan menemukan infrastruktur baru, pemanfaatan Sumber Daya Alam, konsentrasi penduduk dan seterusnya (Hualou, 2011). Kualitas ruang kota sangat penting untuk mata pencaharian yang berkelanjutan dan kesiapsiagaan bencana dan manajemen. Pembangunan berkelanjutan itu penting, dan diperkenalkan untuk memiliki makna terkait (dan sub-disiplin ilmu, sustainability science (Mollinga, 2010) yang berfokus pada sifat komunikasi dan hubungan dengan pembangunan di sekitarnya dan cara bagaimana pembangunan dapat mempertahankan diri. Kecenderungan dalam frekuensi dan intensitas bencana nasional dan internasioanl adalah karena perubahan iklim tak terduga, banjir, kebakaran, kekeringan, terorisme, epidemi, dan urbanisasi terutama di negara-negara berkembang. Salahsatu aspek yang sangat penting tetapi sering diabaikan dalam upaya penanggulangan bencana adalah penilaian risiko. Urbanisasi dan kurangnya pemerintah lokal yang baik terlah dianggap sebagai penyebab utama risiko banjir perkotaan (UN-ISDR, 2009, Darteh, 2010). Urbanisasi memperburuk kerusakan akibat banjir dengan membatasi kemana air akan pergi. Sebagian besar lahan ditutupi dengan bangunan, jalan dan trotoar, menghalangi peran saluran alam dan drainase memastikan air yang bergerak lebih cepat ke sungai dari kondisi alamiahnya. Dalam lingkungan urbanisasi, kapasitas infiltrasi berkurang oleh penggantian penutup tanah dengan permukaan perkotaan yang kedap air (Odemerho, 1988). Di pusat-pusat kota, lingkungan mengalami dampak dari perubahan iklim, baik secara langsung atau melalui perubahan arus air. Perubahan hidrologi dalam sistem sungai yang menyebabkan munculnya masalah karena peningkatan kejadian banjir secara signifikan. Di banyak kota di Nigeria memiliki kekurangan infrastruktur dimana struktur drainase yang tidak memadai, perubahan ekosistem melalui penggantian tanah penutup dengan beton, dan penggundulan hutan di bukit, memiliki efek meningkatkan kuantitas dan laju limpasan, dan melalui erosi tanah dan pendangkalan saluran drainase. Menurut ActionAid (2006) bahaya banjir adalah fenomena alam, tetapi kerusakan dankerugian akibat banjir adalah konsekuensi dari tindakan manusia. Banjie bandang / banjir perkotaan yang berpotensi mengahncurkan produk tanaman, sawah, pohon buah dan sayuran menyebabkan risiko kelaparan bagi mereka yang hidup/terlibat dalam sektor kerugian dan kerugian besar bagi mereka yang terlibat pada skala komersial (Kolawole et al, 2011). Dengan meningkatknya jumlah penduduk perkotaan di seluruh dunia, jumlah orang yang berisiko atau rentan terhadap bahaya banjir cenderung meningkat. Setiap peningkatan bencana, baik besar maupun kecil, akan mengancam kemajuan pembangunan dan menghambat pelaksanaan Millenium Development Goals (UN-ISDR, 2008). Bencana seperti menimbulkan tantangan serius bagi perekonomian suatu bangsa. Harus dicatat bahwa lingkungan ekonomi suatu negara terdiri dari sistem keuangan, kesejahteraan sosial, sektor listrik, transportasi, investasi, perdagangan, manufaktur dan konstruksi, perbankan dan lain sebagainya. Ketika terjadi suatu bencana biasanya menghasilkan rasa sakit dan kerugian besar bagi perekonomian di kebanyakan kasus, dan selalu sulit mengukur biaya aktual kerusakan dan pemulihan. Sebuah kasus seperti yang terjadi di Lagos, Nigeria pada 10 Juli 2011 benar-benar menghancurkan upaya pembangunan yang sudah berjalan bertahun-tahun. Dalam bencana banjir, muncul korban jiwa, kerusakan sarana publik dan gangguan salam sistem sehingga menimbukan ketidakpastian dan kepanikan di kalangan masyarakat. Selain itu, mengakibatkan hilangnya mata pencaharian, kerusakan lingkungan, kerugian finansial dan pengalihan sumber daya, epidemi, migrasi, kekurangan pangan dan perpindahan masyarakat yang terkena dampak. Dampak tersebut bisa sangat tinggi di wilayah perkotaan, karena daerah yang terkena cukup padat san berisi infrastruktur vital. Masalah yang lebih mengganggu adalah kurangnya perhatian terhadap peningkatan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan terutama di daerah yang rawan bencana sehingga penghancuran tidak dapat dicegah. Mencegah dan mengelola sitausi bencana secara efektif dan pembangunan daerah berkelanjutan telah menjadi sumber keprihatinan utama di kalangan akademi, insinyur, perencana, pengambil keputusan dan pemerintahan di tingkat yang berbeda. Dalam membuat perencanaan dan keputusan tentang pencegahan bencana dan pengelolaannya, banyak pertimbangan yang harus lebih diperhatikan pada fitur ruang dari bencana. Bahaya yang paling alami menurut Curtis dan Mills (2010) memiliki pola yang telah meninggalkan jejak spasial dan dalam pola-pola ini adalah tempat manusia, budaya dan interaksi. Ada hubungan yang jelas antara kerusakan lingkungan dan bencana di berbagai daerah di dunia dan itu adalah negara-negara yang paling menderita dari bencana dimana kerusakan lingkungan terjadi sangat cepat (Kotter, 2003). Selain itu, orang-orang miskin yang ternyata lebih rentan terhadap bencana. Secara terus menerus dan meningkay terjadinya peristiwa bencana dahsyat seperti banjir perkotaan sering menimbulkan bahaya substantif untuk pencapaian baik pembangunan berkelanjutan maupun inisiatif pengurangan kemiskinan (UN-ISDR, 2009). Permasalahan pengurangan bencana dan manajemen risiko harus cepat diadopsi ke dalam agenda kebijakan pemerintah yang terkena dampak serta lembaga multiteral, bilateral dan LSM. Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana (ISDR) melalui Resolusi Majelis Umum PBB 54/219 bertujuan untuk memobilisasi Pemerintah, UN-Lembaga, badan-badan regional, sektor swasta dan masyarakat sipil untuk menyatukan upaya dalam membangun ketahanan masyarakat dengan mengembangkan budaya pencegahan dan kesiapsiagaan.

INSIDEN BAHAYA BANJIR PERKOTAAN DI NIGERIAInsiden kejadian banjir di perkotaan Nigeria memiliki sejarah kehancuran kehidupan dan properti yang panjang. Banjir perkotaan yang luas adalah fenomena setiap musim hujan di Lagos, Maiduguri, Aba, Warri, Benin dan Ibadan. Banjir perkotaan adalah kejadian konstan dalam kota-kota yang terletak di dataran datar dan rendah terutama dengan sistem drainase yang sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali, atau drainase yang ada terhalang dengan sampah atau bahan lainnya. Dengan tingkat urbanisasi 5,5% per tahun yang merupakan tingkat tertinggi di dunia, kota-kota di Nigeria menghadapi banyak masalah seperti, urbanisasi yang cepat, kerusakan lingkungan, pembusukan perkotaan, sampah, banjir, erosi dan pencemaran (Babanyara et al, 2010; Etuonovbe, 2011). Misalnya, banjir pertama melanda Ibadan (Ibukota lama di wilayah barat, Ibukota sekarang berpindah ke Oyo) adalah pada tahun 1948. Selanjutnya, bencana banjir yang serius terjadi di Ibadan pada tahun 1963, 1978, 1980, 1985, 1987, dan 1990 menghancurkan banyak barang berharga. Kota metropolitan Lagos mencatat banjir pertama kali di awal 1970-an dan sampai kini, banjir (banjir sungai maupun banjir rob) telah menjadi acara tahunan di kota ini. Baru-baru ini sekitar 700 penduduk dari pemukiman di sepanjang Sungai Ogun di Lagos dievakuasi oleh Badan Negara ke pengungsian setelah banjir dahsyat melanda daerah ini pada 12 Oktober 2010. Bencana banjir dahsyat juga terjadi di Ibadan pada 26 Agustus 2011 menyebabkan banyak kesengsaraan pada masyarakat daerah tersebut, menghancurkan kehidupan dan properti di seluruh Apete, Idi-Ishin, Apata, Odo-Ona Elewa, Oke-Ayo, Ologuneru dan Universitas Ibadan di mana perpusatakaan Unibersitas dan Tamana Zoological terkena dampak yang buruk. Degradasi lahan basa Eleyele dipandang sebagai penyebab utama, diperparah oleh dampak antropogenik dan realitas yang muncul dari perubahan iklim. Tingkat banjir yang belum pernah terprediksi sebelumnya dalam beberapa tahun terakhir berimplikasi pada peningkatan frekuensi dan intensitas hujan badai akibat pemanasan global dan perubahan iklim. Dataran rendah pesisir seperti Lagos di Nigeria dan daerah lain seperti Ibadan dan Abeokuta dimana dataran banjir telah disalahgunakan akibat dari pembangunan fisik yang serampangan, ereksi bangunan ilegal dan struktur lain dan kebiasaan tidak sehat dari pembuangan sampah dan limbah padat lainnya dalam sistem drainase. Sementara bahaya banjir alami, pengaruh manusia dalam modifikasi perkotaan dan perubahan tata ruang kota dapat memperburuk masalah, sedangkan konsekuensi bencana tergantung pada tingkat aktivitas manusia dan hunia di daerah rawan bencana (Ogba da Utang, 2008; Postnote, 2007). Adelekan (2000) menekankan bahwa penciptaan banjir telah diidentifikasi sebagai efek terburuk dari bahaya hujan badai dan pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dan jembatan di dataran banjir sering menigkatkan besarnya banjir yang berakibat pada kerusakan properti dan kehidupan. Besarnya permukaan yang kedap air dan konsetrasi bangunan akan mengganggu sistem drainase alami dan mempercepat limpasan. Dalam banyak contoh, pola bangunan yang telah dibangun di Nigeria tidak mempertimbangkan bahaya saat ini dan di masa depan ke dalam perhitungan, sehingga skala risiko banjir menigkat.

BANTALAN KONSEPTUAL : KERENTANAN BENCANA DAN KEWASPADAANKerentanan terhadap suatu bencana menggambarkan sejauh mana suatu sistem sosio-ekonomi atau aset fisik yang baik rentan atau tahan terhadap dampak dari bahaya alam (Birkmann, 2006). UNDRO (1991) didefinisikan sebagai tingkat kerugian pada elemen tertenti pada risiko atau kelompok elemen yang berisiko akibat terjadinya fenomena alam yang kuat dan diekspresikan pada skala dari 0 (tidak ada kerusakan) sampai 1 (terjadi kerusakan total). Blaikie (1994) di sisi lain mendefinisikan kerentanan sebagai karakteristik dari seseorang atau kelompok dalam hal kapasitas mereka untuk mengantisipasi, mengatasi, melawan dan pulih dari dampak bahaya. Sedangkan UNDP (1994) mengataka bahwa kerentanan adalah kondisi manusia atau proses yang dihasilkan dari faktor fisi, sosial, ekonomi dan lingkungan , yang menentukan probablitas dan besarnya skala kerusakan dari dampak bahaya tertentu. Hal ini ditentukan oleh kombinasi dari beberapa faktor, termasuk kesadaran bahaya, kondisi pemukiman dan infrastruktur, kebijakan publik dan administrasi, kekayaan suatu masyarakat tertentu dan penyelenggaraan di semua bidang manajemen bencana dan risiko. Penelitian terbaru terutama di negara-negara maju telah menekankan pentingnya mengetahui kerentanan masyarakat terhadap bahaya, daripada mempertahankan fokus yang sempit pada bahaya itu sendiri (Mitchell (ed), 1999; Twigg & Bhatt, 1998). Hal ini sangat penting untuk mengoperasionalkan kerentanan tersebut. Selain itu, adalah sama penntingnya menyadari bahwa keseimbangan antara kerentanan dengan kemampuan ketahanan masyarakat, atau jika mereka hanya dianggap sebagai korban saja, maka masalah kerentanan akibat bencana akan bisa dihindari (Cannon, 2000). Analisis kerentanan dapat dikembangkan dengan pendektaan sosio-ekonomi terhadap bahaya dan apa yang kita sebut bencana sehari-hari (Blaikie et al, 1994; Cannon, 2000). Kerentanan sosial adalah seperangkat karakteristik kelompok atau individu dalam hal kapasitas mereka untuk mengantisipasi, mengatasi, melawan dan pulih dari dampak bencana alam. Ini melibatkan kombinasi dari faktor-faktor yang menentukan sejauh mana kehidupa seseorang berisiko oleh kejadai diskrit dan dapat diprediksi pada alam atau masyarakat (Blaikie et al, 1994). Kerentanan menurut Cannon (2000) dapat dipertimbangkan dalam lima hal komponen : Awal kesejahteraan : penilaian status gizi dan kesehata awal (baik fisik maupun mental) dari orang-orang yang dalam kehidupan sehari-hari (atau sebelum dampak bahaya). Hal ini menunjukkan kapasitas mereka untuk mengatasi penyakit dan beberapa jenis cidera akibat bahaya seperti banjir. Ketahanan Mata Pencaharian : Pengukuran dari kapasitas individu/kelompok untuk mengatasi akibat dari dampak bahaya tertentu, dan untuk mengembalikan penghasilan atau pola mata pencaharian. Ini mungkin termasuk dalam kehidupan mereka seperti melanjutkan pekerjaa, menabung, kehilangan tunjangan kesejahteraan, kehilangan dukungan anggota keluarga, kerusakan bahaya untuk aktivitas kehidupan normal mereka (misalnya kerusakan akibat banjir berupa kerusakan lahan pertanian dengan sedimen, banjir rob, limbah beracun/terkontaminasi, kehilangan tempat tinggal dan lain sebagainya). Perlindungan diri : Ini berkaitan dengan kemampuan atau kemauan (Kesiapan) dari seorang individu/kelompok (pengetahuan tentang risiko pada tingkat tertentu) untuk memberikan perlindungan diri yang memadai, atau menghindari tinggal/bekerja di tempat berbahaya. Ini akan dipengaruhi oleh pengetahuan tentang tindakan fisik dan kemampuan orang untuk menerapkannya.Perlindungan masyarakat : Ini mengacu pada kemampuan atau kemauan dari suatu struktur sosial dan politik atas individu/kelompok untuk menyediakan perlindungan (persiapan terutama struktural dan teknis) dari bahaya tertentu. Ini mungkin termasuk pemerintah daerah, pemerintah negara bagian, pemerintah nasional, organisasi yang relevan (misalnya pemadam kebakaran, pertahanan sipil, NEMA, LSM), atau inisiatif masyarakat. Modal sosial : Ini melibatkan keamanan lunak yang disediakan oleh kapasitas kelompok atau masyarakat untuk meningkatkan/mengurangi ketahanan seseorang. Ini termasuk tingkat kohesi/persiangan yang mungkin akan mempengaruhi penyelamatan dan pemulihan. Ada berbagai bentuk modal sosial yang dapat meningkatkan/menghambar pemulihan seperti jaringan pendukung (milik sebuah gereja atau kelompok lainnya), beberapa di antaranya dapat meberikan bantuan timbal balik di masa depan. Bagaimanapun harus dicatat bahwa masing-masing dari poin-poin ini berkaitan dengan keparahan probabilitas dampak bahaya tertentu secara krusial, mereka semua ditentukan oleh proses politik, ekonomi dan sosial. Mereka juga mengandung kemungkinan atas kerentanan dan kapabilitas, secara bervariasi dari waktu ke waktu (sebagai individu/kelompok hidup dan bersaing dalam kemungkinan mendapatkan mata pencaharian), dan terpengaruh dalam hal berbagai jenis bencana alam. Konsep kerentanan berorientasi pada persepsi risiko bencana dan memiliki berbagai interpretasi. Beberapa definisi dan kerangka konseptual yang berbeda dari setiap kerentanan ada karena beberapa kelompok memiliki pandangan yang berbeda pula (Birkmann, 2006). Untuk tujuan makalah ini, kerentanan dapat dipahami berarti potensi orang menjadi korban (meninggal, cidera atau dirugikan oleh dampak baik secara langsung maupun tidak langsung) dari suatu bencana. Menurut Laporan Bank Pembangunan Dunia, sementara tidak ada negara di dunia yang sepenuhnya aman, kurangnya kapasiras untuk membatasi dampak dari bahaya yang tetap menjadi beban besar bagi negara-negara berkembang (World Bank, 2004). Menurut PBB (2009) perbedaan dalam kerentanan terhadap bahaya alam muncul dari kesenjangan yang luas dalam akses ke sumber daya dan kapasitas untuk pengurangan risiko yang terkait dengan kemiskinan dan pengelompokan sosial budaya di masyarakat. Perempuan dan anak-anak adalah yang paling rentan pada hal macam ini dibandingkan laki-laki (Hannan, 2002). Kelompok rentan di kalangan penduduk perkotaan yang menempati ekosistem yang rapuh sering dihadapkan pada masalah lingkungan yang parah seeprti banjir (Gurenko, 2004). Kehancuran yang disebabkan oleh banjir adalah refleksi dari kurangnya kesiapan bencana nasional. Sebagian besar risiko untuk populasi perkotaan dikaitkan dengan ketidakmampuan pemerintah daerah untuk menjamin penyediaan infrastruktur dan untuk mengurangi risiko bencana dan kesiapsiagaan bencana dan kurangnya perencanaan yang tepat di daerah perkotaan. Konsekuensi dari perencanaan yang akurat di pusat-pusat perkotaan di sebagian negara-negara berkembang seperti Nigeria yang menarik bagi berbagai pemangku kepentingan, termasuk mereka yang terlibat dalam studi penelitian dan proses pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan. Hal ini membuat sebagian besar dari penduduk perkotaan sangat rentan terhadap peningkatan frekuensi atau intensitas badai, banjir, atau gelombang panas, dan peningkatan risiko penyakit, kendala pada pasokan air bersih atau kenaikan harga pangan, sedangkan orang-orang kaya dengan mudah menyesuaikan (UN-Habitat, 2003, 2010). Proses urbanisasi yang cepat yang ditunjukkan di negara-negara berkembang diyakini akan terus berlanjut di tahun-tahun dan dekade ke depan (Torrey, 1998), namun konsekuensinya lingkungan dan sosial tidak siap karena kurangnya penelitian reapan pada sistem perkotaan, dan karena intrinsik komplektisitas sistem (Barredo & Demicheli, 2003). Mempersiapkan kemungkinan terjadinya banir sangat penting untuk mengurangi dampak dari bencana dan bahaya yang muncul. Sebagian besar orang termasuk pemerintah tidak cukup siap untuk tingkat kehancuran yang biasanya menyertai kejadian banjir tersebut. Konsep kesiapsiagaan bencana telah digunakan oleh banyak para profesional dan praktisi pembangunan dari keilmuan biofisik dan sosial dengan beragam cara, tetapi secara teknis tepat (Suda, 2000; Chauhan, 2008). Ini merupakan komponen penting dari pengembangan pencegahan, namun kegunaan ditentukan oleh tingkat kesadaran masyarakat yang terkena dampak tentang potensi bahaya. Orang-orang juga harus diberdayakan untuk menanggapi secara efektif untuk berkontribusi pada pengembangan komunitas mereka sendiri secara berkelanjutan. Tingkat kesiapsiagaan bencana tergantung pada kemampuan yang ada pada tingkat individu atau institusi. Pada tingkat kelembagaan, pembentukan atau perbaikan sistem peringatan dini dapat menjamin persiapan yang cepat dan memadai dan respon terhadap bencana dipandang sebagai bagian dari strategi pembangunan pencegah. Strategi pencegahan menurut UNDP (1997) dapat dibuat lebih efektif jika kapasitas dan kemauan ada, prioritas yang benar, kerangka hukum dan kelembagaan dikembangkan, kebijakan diimplementasikan dan kegiatan yang direncanakan terkoordinasi dengan baik. Menciptakan kesadaran diantara orang-orang yang tinggal di daerah rawan bencana dari risiko besar yang akan mereka hadapi dan bagaimana cara terbaik untuk merespon ketika bencana itu terjadi dapat dilakukan melalui berbagai jalan yang dapat dikombinasikan dengan pengetahuan teknis adat untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat lokal dan memberdayakan mereka untuk bertindak ketika menghadapi kesulitan. Ini juga akan memungkinkan dan medorong peningkatan partispasi masyarakat lokal untuk mengatasi dampak dari bencana. Perlu disebutkan bahwa masalah kesiapan berakar pada kapasitas yang ada di negara ini secara keseluruhan secara efektif dalam menangani bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. The Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR, 2009), misalnya berkomitmen untuk membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi kerentanan mereka terhadap bahaya alam dan beradaptasi dengan perubahan iklim, namun hanya 15 negara di Afrika yang terlibat (Nigeria tidak termasuk). Dana ekologi yang didirikan pada tahun 1981 melalui Federation Account Act dan dimodifikasi oleh Keputusan No. 36 tahun 1984 dan 106 tahun 1992, muncul beberapa masalah yang membingungkan. Dana tersebut sebagian besar tidak memadai dan sering disalahgunakan oleh pemerintah negara bagian secara berturut-turut, yang harusnya digunakan untuk mengatasi bencana-bencana alam di tengah upaya memecahkan masalah kronis seperti tingkat pengangguran yang tinggi, neraca pembayaran fiskal yang defisit dan lain sebagainya. Tingkat kesiapan dan kemampuan untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana sangat tergantung pada tahap perkembangan suatu negara atau masyarakat dan keseimbangan antara kekuatan dan ketidaksempurnaan fungsi struktur sektor dan lembaga (Etkin et al, 2003; International Council for Science, 2008).

MENGATASI STRATEGI DALAM KOTA NIGERIAMasyarakat memiliki persepsi yang berbeda pada bencana dan mengembangkan upaya-upaya yang berbeda untuk mengatasi banjir. Kapasitas untuk mengatasi dampak bencana namin berbeda tergantung pada kelompok sosial, miskin dan kaya, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, pribumi atau non-pribumi, dan lain sebagainya. Banyak yang telah berjuang untuk pindah dari daerah yang rawan banjir ke lingkungan yang lebih baik tetapi banyak pula yang gagal karena biaya sewa yang mahal. Sebagian besar orang-orang, yang terletak di daerah rawan banjir, sudah sadar akan bahaya terkait dan mereka telah mencoba untuk melindungi dan mengatasi efek banjir. Ada banyak cara atau mekanisme penyelesaian yang dapat digunakan oleh masyarakat setempat untuk menangani dampak negatif dari banjir. Ini dapat dikelompokkan sebagai berikut : mekanisme penyelesaian ekonomi, teknologi/struktural dan sosial. Definisi mekanisme penyelesaian ekonomi melibatkan kegiatan ekonomi dan diverifikasi, termasuk strategi masyarakat terkait dengan bahan dan sumber daya, misalnya, memiliki lebih dari suatu sumber penghasilan. Mekanisme penyelesaian dengan teknologi/struktural mengacu pada kegiatan struktural digunakan oleh rumah tangga yang tinggal untuk menyelesaikan kerusakan dan kerugian di daerah rawan banjir. Misalnya masyarakat di daerah rawan banjir seperti Lagos, Ibadan dan Abeokuta telah membangun rumah mereka dengan bahan diperkuat dan beberapa rumah dengan dua lantai untuk melindungi kehidupan mereka dan sifat melawan banjir. Mekanisme penyelesaian sosial/organisasi adalah aktivitas atau hubungan sosial dan jaringan antara pemerintah dan masyarakat lokal yang dapat membantu orang untuk meminimalkan kerugian banjir dan kerusakan (misalknya pasokan bahan bantuan dan pendirian tenda-tenda pengungsian sampai banjir surut). Harus dicatat bahwa masyarakat lokal berperilaku dan mengembangkan mekanisme untuk mengatasi dampak dari bencana, bahwa jika dipahami dengan baik dapat membimbing pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengembangkan langkah-langkah kemitraan yang memadai untuk menghindari atau mengurangi kerentanan masyarakat dan memperluas kesempatan mereka untuk mengelola banjir (UNFCCC, 2007).

MEMBANGUN KAPASITAS UNTUK MENGURANGI BENCANA BANJIR PERKOTAAN : PERAN PERENCANAAN TATA RUANG DAN TATA GUNA LAHANDi seluruh dunia, negara-negara telah menyadari kebutuhan untuk merumuskan agenda regulasi yang jelas yang diperuntukkan untuk pencegahan, manajemen dan pengurangan bencana. Sejumlah langkah terlihat mengambil arah yang benar untuk meningkatkan kemampuan untuk menghadapi bencana alam seperti banjir. Peningkatan kapasitas dapat dilaksanakan pada tingkat individu, institusi dan sistemik. Kapasitas individu tergantung pada ketersediaan, pengetahuan dan keterampilan, serta kinerja sumber daya manusia. Pertanyaan kapasitas berfokus pada semua aspek dari sistem manajemen darurat pada tingkat nasional dan lokal, dan juga mencakup penilaian terhadap faktor-faktor politik, budaya, sosial, ekonomi dan lingkungan yang mempengaruhi kerentanan terhadap bencana. Pada tingkat kelembagaan, kapasitas berfokus pada kinerja organisasi secara keseluruhan dan kapasitas manajemen. Mereka termasuk, misalnya, keberadaan sebuah organisasi dengan madat khusus pada manajemen banjir. Tingkat sistemik berfokus pada penciptaan lingkungan yang kondusif, kebijakan secara keseluruhan seperti, ekonomi, peraturan, dan kerangka kerja akuntabilitas di mana organisasi dan individu beroperasi. Olowu (2010) menekankan bahwa di banyak negara berkembang terutama di Afrika, lemahnya infrastruktur Negara, tidak adanya kerangka hukum dan kebijakan yang tepat dan suumber daya terkadang tidak memadai terutama membuat mereka lebih rentan terhadap konsekuensi bencana menimbulkan korban jiwa yang banyak. Manajemen bencana masih pada tahap awal di Nigeria meskipun fakta bahwa pada tahun 1906 menandai upaya awal pada manajemen bencana di Nigeria dengan pembentukan Police Fire Brigade (sekarang bernama Federal Fire Services) dengan fungsi melampaui peran pemadam kebakaran untuk menyelamatkan kehidupan, sifat dan penyediaan layanan kemanusiaan dalam keadaan darurat. Pada tahun 1999, the National Emergency Management Agency (NEMA) didirikan melalui UU No. 12 sebagaimana direvisi dengan UU No. 50 Tahun 1999, untuk mengelola bencana di Nigeria. NEMA didirikan untuk mengatasi masalah bencana terkait melalui pembentukan struktur dan tindakan yang konkrit. Langkah-langkah seperti pendidikan masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan tingkat kesadaran dan mengurangi efek dari bencana di Nigeria. Badan tersebut telah dimasukkan ke dalam struktur tempat yang memungkinkan mendeteksi, merespon dan memerangi bencana secara tepat waktu. Pencegahan lebih baik dan lebih murah dalam manajemen bencana karena fakta bahwa jika perawatan tidak diambil, setelah ada anggaran untuk bencana dapat dialihkan untuk menampungnya. Negara pemerintah di Nigeria telah didorong untuk membangun Separate Emergency Management Agencies (SEMAs) untuk melengkapi peran agen federal di daerah mereka. Melalui SEMAs, negara akan terlihat lebih aktif terlibat dalam isu-isu manajemen bencana dan untuk mempersiapkan menjelang keadaan yang tak diinginkan. Sejauh ini, hanya sedikit negara yang mersepon positif hal ini. Selain itu, beberapa negara telah memberdayakan SEMAs secara salah dari sisi fungsional independen dan proaktif dalam melaksanakan tanggung jawab mereka. Memahami dimensi spasial dari bahaya banjir dan bencana dan langkah-langkah kesiapsiagaan untuk mengurangi dan meringankan penderitaan rakyat. Dalam beberapa penelitian telah menunjukkan fakta bahwa salahsatu cara untuk mempelajari dan memahami perilaku banjir adalah dengan menghasilkan sebuah peta tingkat risiko banjir karena peta tersebut dapat digunakan untuk perencanaan tata ruang dan tata guna lahan. Selain itu, ada juga beberapa penelitian yang berhubungan dengan GIS berbasis penilaian kerentanan suatu populasi secara terpadu untuk kelaparan, kerentanan kekeringan pertanian dan sebagainya (Wilhelmi dan Wilhite, 2002; Pradhan, 2010), dan kerentanan ekonomi dari suatu keluarga. Informasi geografi yang komprehensif sangat penting utnuk membuat keputusan penting karena yang paling mencakup bencana spasial dan fakta bahwa pekerjaan manajemen bencana biasanya melibatkan sejumlah besar lembaga yang berbeda yang bekerja di bidang yang berbeda. Hal ini memungkinkan berbagi informasi secara real-time, sehingga menghemat waktu yang telah dihabiskan untuk mengumpulkan sumber daya tersebut. Selain itu, GIS menyediakan mekanisme untuk memusatkan dan memvisualisasi informasi penting ke dalam keadaan darurat dengan menunjukkan sebuat peta risiko banjir interaktif. Pemetaan risiko banjir mendefinisikan daerah berisiko dan harus menjadi dasar untuk semua program pengurangan kerusakan banjir dan tindakan alternatif selanjutnya. Tujuan dari peta risiko banjir adalah : Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang daerah berisiko banjir. Memberikan informasi dari daerah berisiko dengan mendefiniskan zona bersiko banjir untuk memberikan masukan bagi perencanaan tata ruang. Mendukung proses memprioritaskan, membenarkan dan menargetkan investasi untuk mengurangi dan mengelola risiko kepada masyarakat, properti dan lingkungan. Perencanaan tata ruang dan tata guna lahan dapat mneyediakan berbagai alat untuk mencegah bahaya alam (Kotter, 2003). Dalam konteks bencana banjir, perencanaan tata ruang dan tata guna lahan perkotaan dapat digunakan untuk mendukung fungsi penting seperti berikut :1. Sistem peringatan dini : perencanaan tata ruang membutuhkan database yang rinci, utnuk mendapatkan informasi suara tentang perkembangan spasial. Dalam prakteknya sistem pemantauan harus disebarkan secara sistemaris untuk menginformasikan tentang risiko alam dan lingkungan (UNDP, 1997; Uitto, 1998; Samarajiva et al, 2005). Akusisi data yang efisien membutuhkan metode pengukuran khusus yang harus diselidiki dan diimplementasikan. 2. Penilaian risiko dan pemetaan : pencegahan bencana banjir membutuhkan data dan informasi yang komprehensif tentang alasan dan dampak dari bahaya. Oleh karena itu, analisis kerentanan yang komprehensif perlu dilakukan uuntuk daerah rawan bencana, menggabungkan informasi tentang peristiwa bencana di masa lalu, yang kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah yang terkena, dan struktur persediaan utama bertanggung jawab terhadap kerusakan. Penilaian risiko dan pemetaan bahaya banjir kemudian akan digunakan untuk menggambarkan daerah yang rentan terhadap bencana alam dan menentukan frekuensi, dampak, periode ulang dan data lainnya dalam kaitannya dengan setiap kategori bahaya. 3. Pencegahan dan pengurangan : perencanaan tata ruang harus menganalisis keterkaitan antara pengaruh spasial dan bencana lingkungan untuk mengurangi dampak.4. Manajemen risiko : Selama dan setelah bencana banjir, infrastruktur tertentu (rute evakuasi dan ruang) dan database yang diperlukan untuk mewujudkan rencana darurat dan manajemen risiko. 5. Rekonstruksi : ketika kerusakan terjadi, ada kebutuhan untuk merencanakan rekonstruksu infrastruktur. Perencanaan tata ruang menggunakan GIS dapat membantu upaya rekonstruksi dan juga pencegahan bencana di masa depan. GIS berbasis teknologi ruang angkasa dapat digunakan dalam fase yang berbeda dalam menangan bencana alam seperti banjir perkotaan pada fase yang meliputi : perencanaan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Pada tahap perencanaan, GIS bisa menjadi alat untuk menemukan dan mengidentifikasi masalah potensial atau daerah bencana yang merupakan persyaratan utama dalam manajemen bencana. Hal ini dapat digunakan untuk menentukan tren bahaya banjir dan mulai untuk mengevaluasi konsekuensi dari potensi peristiwa darurat atau bencana. Informasi yang diperloeh dari penginderaan jauh dan citra satelit dapat memainkan peran pentng dalam manajemen bencana banjir dan pencegahan krisis. Menurut Perwaiz (2007), Flood Preparedness Plan (FPP) yang merupakan komponen yang tak terpisahkan dari rencana pengelolaan multi-bahaya bencana adalah dokumen yang berorientasi aksi, yang merinci tindakan spesifik yang harus dilakukan sebelum banjir, yang mengatur tanah untuk pelaksanaan yang efektif dari tanggap darurat dan kegiatan pemulihan selama dan setelah banjir. Perencanaan kesiapsiagaan banjir adalah tentang menempatkan satu set pengaturan yang tepat untuk merespon banjir secara efektif. Beberapa kegiatan kesiapsiagaan banjir umumnya meliputi :a. Kesadaran masyarakat untuk emningkatkan kesiapan banjir, respon dan langkah-langkah mitigasi. b. Menyiapkan bahan-bahan bantuan darurat, seperti makanan, pakan untuk ternak, obat-obatan darurat, dan lain sebagainya untuk penampungan sementara. c. Instalasi sistem peringatan dini berbasi masyarakat untuk pengumuman peringatan banjir tepat waktu dan efektif.d. Pengelolaan daerah yang aman untuk pemindahan orang dan properti sementara dari lokasi yang terancam.e. Transportasi ke daerah yang aman/pusat evakuasi.f. Memastikan akses terhadap fasilitas sanitasi. Teknologi geospasial memiliki potensi untuk menangani situasi darurat dengan mengidentifikasi, dimana kebutuhan mitigasi dapat diatasi. Proses ini melibatkan analisis perkembangan setelah terjadinya bencana, mengevaluasi kerusakan dan menentukan fasilitas apa yang harus diperkuat untuk keperluan konstruksi dan relokasi. Memanfaatkan database yang terkait dengan fitur geografis di GIS membuat tugas pemantauan tersebut mungkin. Selanjutnya, pada tahap kesiapan GIS yang sangat penting dalam cara berikut : i. Secara akurat dapat emndukung perencanaan respon yang lebih baik di berbagai bidang seperti menentukan rute evakuasi atau mencari infrastruktur untuk bertahan hidup yang rentan dan juga mendukung perencanaan logistik untuk dapat memberikan bantuan darurat dengan menampilkan informasi yang sebelumna tersedia di jalan-jalan, jembatan, bandara, kereta api dan kondisi pelabuhan dan keterbatasan. ii. Hal ini juga memungkinkan untuk memperkirakan kuantitas seperti makanan, kantong tidur, pakaian dan obat-obatan apa yang akan diperlukan di setiap tempat penampungan berdasarkan jumlah pengungsi. iii. Selain itu GIS da[at menampilkan monitoring real-time untuk peringatan dini darurat. Ini jenis informasi dan tampilan geografis dapat disampaikan melalui internet kepada publik. Perencanaan yang memadai merupakan pusat mengelola risiko banjir, maka secara luas menyatakan bahwa manajemen drainase perkotaan harus berubah bentuk untuk mengatasi urbanisasi yang lebih besar dan perubahan iklim. Risiko dari banjir dapat sangat dikurangi dengan pengendalian banjir terpelihara dengan baik dan infrastruktur sanitasi dan tindakan kesehatan masyarakat (IPCC, 2007). Sustainable Drainage Systems (SUDS) adalah sebuah alternatif untuk drainase konvensional yang meniru drainase alam, dengan tujuan untuk mengurangi banjir dan meningkatkan kualitas air yang mengalir dari permukaan perkotaan (limpasan). SUDS dapat berupa daerah vegetasi seperti atap rumput, atau fitur penyimpanan alami air seperti kolam. Komponen SUDS sangat bervariasi, tetapi satu atau lebih dari berikut ini biasanya digunakan :a. Mendorong penyerapan air oleh tanah (infiltration).b. Mengurangi tingkat aliran puncak limpasan (attenuation).c. Mentransfer limpasan dengan cara yang tekendali ke situs lain (conveyance).d. Menangkap air langsung di situs untuk debit tersebut sehingga dapat dikendalikan (storage).SUDS juga menggunakan berbagai proses alami untuk memurnikan limpasan perkotaan. Penghapusan serapan sedimen, biofiltrasi, biodegradasi dan tanaman air, semua yang dapat membantu untuk menghilangkan polutan. Prinsip-prinsip SUDS telah dikenal selama bertahun-tahun dan secara luas digunakan di banyak negara Eropa, juga telah ada di Nigeria dan banyak negara berkembang lainnya. Manfaat dari SUDS jika dirancang dengan baik adalah :1. Sebuah risiko yang lebih rendah dari banjir karena limpasan berkurang (meskipun tidak berpengaruh ketika ada badai besar).2. Peningkatan tingkat pengisian air tanah alami. 3. Peningkatan kualitas air kembali ke badan air.4. Penyediaan lingkungan estetis-yang mendorong satwa liar pekotaan dan keanekaragaman hayati.Kerugian bencana bisa mencapai lebih dari triliunan dolar dalam satu tahun, karena itu bencana banjir yang menyajikan tantangan dan bahkan peluang bagi sektor keuangan. Langkah-langakh asuransi dapat dilihat dari perspektif pembangunan berkelanjutan sebagai risiko yang bermanfaat bagi negara berkembang bagi bencana alam ataupun bencana akibat ulah manusia. Sangat sedikit orang-orang di negara-negara berkembang yang mempunyai asuransi, terlebih orang-orang miskin, meskipun pada kenyataannya merekalah yang paling membutuhkan (perlindungan). Meskipun banjir sering digolongkan pada peristiwa tunggal, pada banyak ksemeptana kombinasi jenis banjir dan bencana alam seperti tornado, badai dan gempa bumi mungkin terjadi. Dalam keadaan ini, masalah dnegan perlindungan asuransi dapat timbul jika beberapa kejadian selesai, tetapi yang lain tidak (Collins & Simpson, 2007). Oleh karena itu penting bagi perusahaan asuransi untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik dari mata pencahatian kelompok misikin dan bagaimana bencana mempengaruhi mereka untuk memastikan mereka mendapatkan ganti rugi seperti kenaikan harga pangan, atau curah hujan di bawah rata-rata secara tepat. Menurut Konvensi (pasal 4.8) dari UNFCCC, tindakan asuransi yang terkait merupakan salahsatu dari tiga cara utama terhadap respon dampak peruabhan iklim seperti banjir yang berulang, bersama pendanaan dan transfer teknologi. Mereka dapat meningkatkan ketahanan keuangan terhadap guncangan eksternal dan memberikan kesempatan yang unik untuk menyebarkan dan mentransfer risiko. Mereka dapat memberikan insentif bagi pengirangan risiko dan pencegahan sementara yang melibatkan sektor swasta dalam respon aksi perubahan iklim. Dalam rangka membangun kapasitas untuk mengatasi dampak bencana alam dan juga mempersiapkan untuk kejadian yang tidak dapat dihindari, pemerintah harus memastikan bahwa cakupan asuransi terhadapa bencana alam yang tersedia untuk infrastruktur ekonomi dan sosial. Upaya harus dibuat sehingga harga pertanggungan asuransi tersebut tidak menjadi begitu mahal bahwa sebagian besar infrastruktur sosial dan ekonomi baik tanpa cakupan atau tidak pasti. Salahsatu manfaat dari promosi auransi terkait tindakan adalah bahwa hal tersebut dapat membantu upaya awal untuk emngukur risiko dan potensi kerugian akibat eprubahan iklim. Meminimalkan risiko dapat mengakibatkan pengurangan tarif untuk asuransi, yang dengan demikian menjadi lebih terjangkau.

KESIMPULANMakalah ini telah menetapkan bahwa bencana seperti banjir dapat menghambat pembangunan di semua cabang/bidang, karena itu ada kebutuhan untuk membangun masyarakat untuk mempersiapkan, mengelola, mengurangi dan mengatasi bahaya yang terkait dengan bencana. Hal ini juga mengungkapkan bahwa bencana mengambat perkembangan dan kemajuan menuju tujuan Millenium Development (MDGs). Meskipun sangat sulit mengukur dampak dari bencana seperti banjir di daerah perkotaan, namun satu hal yang pasti adalah bahwa hal itu meningkatkan dalam jumlah individu di bawah garis kemiskinan, sehingga memperlambat upaya pembangunan berkelanjutan. Salahsatu strategi dalam promosi manajemen bencana yang berkelanjutan adalah untuk memperkuat kapasitas nasional dama pemerintahan, sektor publik, swasta dan LSM dalam rangka untuk mengurangi dampak dari bencana seperti banjir. Hal ini layak untuk dicatat bahwa pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan bencana lebih baik dari penanggulangan dan penanganan bencana. Ada kebutuhan untuk informasi pasial yang efektif dan real-time untuk memantau banjir dan efeknya sangat penting untuk program pencegahan banjir. Perencanaan tata ruang dengan menggunakan teknologi geospasial seperti GIS dan penginderaan jarak jauh menawarkan mekanisme untuk mensentralkan dan memvisualisasikan informasi kritis selama keadaan darurat. Makalah ini juga menyoroti kegunaan GIS berbasis teknologi ruang dalam fase yang berbeda berurusan dengan banjir seperti perencanaan, mitigasi dan kesiapsiagaan. GIS sangat penting untuk penyelidikan ilmiah, pengelolaan sumber daya dan perencanaan pembangunan khususnya dalam kasus bencana alam seperti banjir. Selain itu, karena ada beberapa orang dan lembaga yang terlibat dalam pencegahan, respon, dan pengelolaan bencana, GIS memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga yang terlibat dalam respon untuk berbagi informasi melalui database pada komputer yang dihasilkan peta dalam satu lokasi. GIS dapat menentukan lokasi bahaya dan tren dan mulai mengevaluasi konsekuensi potensial darurat atau bencana. Secara akurat dapat mendukung perencanaan respon yang lebih baik di berbagai bidang seperti menentukan rute evakuasi atau mencari infrastruktur rentan yang perlu penyelamatan atau dilindungi. Hal ini juga dapat digunakan untuk sistem peringatan dini, penilaian risiko dan pemetaan, manajemen risiko dan rekonstruksi. Makalah ini juga mengusulkan penerapan Sustainable Drainage Systems (SUDS) untuk menurunkan risiko banjir di pusat-pusat perkotaan. Hal ini harus dilakukan digabungkan dengan promosi asuransi terkait tindakan yang akan membantu upaya muka mengukur risiko dan potensi kerugian sehingga risiko dapat diminimalkan. Mengelola bencana menggunakan hanya segelintir pemangku kepentingan akan menjadi tidak efisien. Upaya harus dilakukan untuk mengakui bahwa kebijakan manajemen bencana perlu memperkuat ketahanan yang ada dan kapasitas dari LSM, sektor swasta dan masyarakat setempat untuk mengatasi bencana sekaligus membangun kapasitas mesin pemerintah dalam penanganan bencana. Sebagai bagian dari sarana untuk mempromosikan mata pencaharian yang berkelanjutan, Community-Based Disaster Mitigation (CBDM) adalah tingkat yang lebih besar. LSM, instansi pemerintah dan juga masyarakat yang terkena dampak sebagai salah satu pendekatan penting untuk mengurangi risiko bencana. Hal ini karena di mana dampak dari bencana ini merasa lebih di tingkat masyarakat dan juga di mana risiko dapat dikurangi oleh masyarakat sendiri. Ketika risiko berkurang melalui upaya masyarakat, mereka merasa bertanggung jawab untuk terlibat dalam proses mitigasi bencana dan ini dapat mengakibatkan mitigasi yang lebih efektif dan berkelanjutan dari bencana sehingga memberikan kontribusi untuk mencapai tujuan keseluruhan dari pembangunan berkelanjutan.Untuk pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, upaya yang lebih besar harus dilakukan sehubungan dengan manajemen banjir risiko yang lebih kuno sepanjang kebijakan Belanda yang terdiri dari tiga pilar: a. Pencegahan banjir b. Berkelanjutan, perencanaan banjir-bukti spasial dan bangunan c. Darurat manajemen dan perencanaan evakuasi Fokus kebijakan terutama pada pencegahan banjir, dengan tingkat perlindungan untuk pertahanan banjir yang diamanatkan secara hukum. Untuk Nigeria sebagai bangsa untuk mencapai pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, ada perlu meningkatkan kekuatan dan kemampuan yang melekat dari semua instansi, termasuk masyarakat untuk menghadapi situasi bencana. Hal ini membutuhkan inisiatif berkelanjutan meliputi isu-isu sosial, ekonomi dan infrastruktur. Bahkan ketika kapasitas rakyat untuk mengatasi bencana baik dibangun, itu harus dipertahankan secara terus menerus untuk menjamin mata pencaharian yang berkelanjutan. Selain itu, ada kebutuhan untuk mengarusutamakan kesiapsiagaan bencana dan manajemen ke negara inti, regional dan upaya perencanaan pembangunan nasional.