kandidat vaksin iradiasi streptococcus agalactiae untuk ... · subclinical mastitis (scm) is a...

104
KANDIDAT VAKSIN IRADIASI Streptococcus agalactiae UNTUK PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS PADA RUMINANSIA BOKY JEANNE TUASIKAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Upload: vuonganh

Post on 08-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KANDIDAT VAKSIN IRADIASI Streptococcus agalactiae UNTUK

PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS PADA RUMINANSIA

BOKY JEANNE TUASIKAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: “Kandidat Vaksin Iradiasi

Streptococcus agalactiae Untuk Pencegahan Mastitis Subklinis pada Ruminansia” adalah karya

saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

Boky Jeanne Tuasikal

NRP B361070021

ABSTRACT

BOKY JEANNE TUASIKAL. Streptococcus agalactiae Irradiated Vaccine Candidate for

Subclinical Mastitis Prevention in Ruminants. Under supervision of Fachriyan H. Pasaribu, Sri

Estuningsih, I Wayan T. Wibawan.

Subclinical mastitis (SCM) is a disease that often infects dairy cow, which then decline

milk production. Streptococcus agalactiae is well known as a dominant causative agent of SCM.

An experiment to obtain gamma irradiated candidates vaccine of S. agalactiae for the prevention

of subclinical mastitis in ruminants have been conducted. S. agalactiae bacteria selected for the

irradiated vaccine material was isolated from dairy cows of subclinically mastitis from dairy

farm in Bogor and Garut area. The S. agalactiae used in this experiment was group B (GBS)

type, which is uncapsulated and has haemaglutynine (Hn+) property. Based on dose irradiation

orientation, 17 Gy dose was found to weaken the GBS bacteria to have 50% lethal dose (LD50),

which therefore, utilized to manufacture live vaccine. Irradiated GBS surface protein was

characterized by SDS-PAGE and resulted to find more than 75 kDa of the protein’s molecular

weight, where minimun of antigenically substance is 10 kDa. Infecting of the irradiated GBS

using mice resulted in lack pathogenic properties of the bacteria, which is histophatology drawn

that the mammary gland alveolly of mice grouped vaccinated with irradiated GBS and

vaccinated then challenge, were remain producing milk, and significantly not different as

compare to control animal. GBS vaccine irradiation did not cause inflammation of the mammary

glands of mice tested, evidences showed that number of udder interstitial inflammatory cells

around alveolly and gland epithelial cells in vaccinated mice groups were not significantly

different as compare to the control group. Most interstitial inflammatory cells in challenged

groups are found in mice that were challenged with virulent GBS and significantly different to be

found more as compare to vaccine and control groups. Enzyme Linked Immunosorbent Assay

(ELISA) to Ig-G serum showed levels of higher immune response in mice vaccinated group

compare to control group. The overall experiment confirmed that attenuated GBS using gamma

ray irradiation capable to induce immune response. This evidences were confirmed by an

observation result in the application of GBS irradiated vaccine at Etawah dairy-goat, where

immune responses are induced in those dairy-goats, and also were showed by the evidences

found of higher concentration of Ig-G serum by ELISA in the vaccinated group than the control

group. Milk production of vaccinated goat had no effect by vaccination. In summarize,

irradiated SGB vaccine does not affect milk yield.

Keywords: Subclinical mastitis, Group-B S. agalactiae, irradiated vaccine.

RINGKASAN

BOKY JEANNE TUASIKAL. Kandidat Vaksin Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk

Pencegahan Mastitis Subklinis pada Ruminansia. Dibawah bimbingan Fachriyan H. Pasaribu, Sri

Estuningsih, I Wayan T. Wibawan.

Mastitis subklinis (MSK) adalah penyakit yang sering menyerang sapi perah sehingga

menyebabkan turunnya produksi susu. Streptococcus agalactiae dikenal sebagai bakteri dominan

yang umum menyebabkan MSK. Untuk mengantisipasi kasus ini, telah dilakukan suatu

penelitian untuk memperoleh kandidat vaksin iradiasi gamma S. agalactiae untuk pencegahan

MSK pada ruminansia. Sebanyak 65 ekor sapi perah yang terdiri dari 19 ekor berasal dari Kunak

Kabupaten Bogor, serta 25 ekor dari Cisurupan dan 21 ekor dari Bayongbong Kabupaten Garut,

telah diuji untuk MSK menggunakan reagen California Mastitis Test (CMT). Total sampel susu

yang diambil dari tiap puting sapi adalah sebanyak 240 sampel yang berasal dari Kunak (66

sampel), Cisurupan (97 sampel) dan Bayongbong (77 sampel). Hasil uji CMT menunjukkan

bahwa proporsi kejadian MSK berturut-turut dari daerah terinfeksi tertinggi ke daerah terendah

yaitu Kunak (100%), Cisurupan (94,84%) dan Bayongbong (93,50%). Dari sampel susu kasus

MSK tersebut diperoleh 57 genus Streptococcus sp. dari hasil uji Gram positif dan katalase

negatif dengan persentase kehadiran dalam sampel dari Kunak (40,90%), Cisurupan (15,22%)

dan Bayongbong (22,22%). Selanjutnya 34 isolat S. agalactiae diperoleh dengan uji keberadaan

faktor Christie, Atkins, Munch-Petersen (CAMP) pada media agar darah. Hasil pengelompokkan

dengan Streptococcal grouping kit diperoleh 14 isolat S. agalactiae group-B (SGB). Ekspresi

fenotip protein permukaan bakteri tanpa kapsul diidentifikasi dengan penanaman SGB pada

media soft agar (SA), sedangkan sifat adhesi SGB diuji dengan reaksi hemaglutinasi. Bakteri

terpilih untuk bahan vaksin iradiasi ini diperoleh dari kasus mastitis subklinis di peternakan

daerah Kunak Bogor, yaitu satu isolat S. agalactiae group-B (SGB) yang tidak berkapsul dan

memiliki sifat Hemaglutinin (Hn+). Berdasarkan orientasi dosis iradiasi gamma dengan sumber

60Co diketahui dosis sebesar 17 Gy untuk melemahkan bakteri SGB terpilih sampai taraf Lethal

dose 50% (LD50) untuk pembuatan vaksin hidup. Dosis iradiasi SGB tersebut diperoleh dari

kurva Pengaruh Iradiasi terhadap % Viabilitas SGB Hn+ dengan persamaan Y=95,414e

-0,0371X ;

R2=0,9979 (Y=%Viabilitas dan X= dosis iradiasi). Karakterisasi Protein permukaan SGB iradiasi

ini dengan metode SDS-PAGE mempunyai berat molekul lebih dari 75 KDa yang berarti

bersifat antigenik karena BM lebih dari 10 Kda (syarat BM minimal suatu protein bersifat

antigenik). Uji patogenitas dan imunitas pada hewan percobaan mencit betina jenis Balb-C,

berumur 8 minggu dengan bobot badan kira-kira 50 gram. Sebanyak 12 ekor mencit dibagi

kedalam 4 kelompok perlakuan, menjadi 3 ekor untuk tiap kelompok yaitu kelompok vaksin (V)

diberi SGB Hn+

iradiasi, kelompok vaksin dan tantang (VT) diberi vaksin iradiasi lalu ditantang

dengan SGB Hn+; kelompok tantang (T) diinfeksi dengan SGB Hn

+, dan kelompok kontrol (K)

tanpa vaksin dan tanpa tantang. Hasil perhitungan alveol produktif kelenjar mamae mencit

adalah 70,9±13,2; 77,1±13,7; 72,5±17,8; 60,4±14,0, masing-masing untuk kelompok hewan coba

K, V, VT, dan T. Hasil tersebut menunjukkan bahwa SGB iradiasi tidak patogen, terbukti dari

gambaran histopatologi (HP) bahwa sel-sel pada alveol kelenjar mamae dari kelompok yang

diberi vaksin SGB iradiasi (V) dan kelompok vaksin kemudian ditantang dengan SGB tanpa

iradiasi (VT), masih memproduksi susu dan jumlah alveol kelenjar tidak berbeda nyata

dibanding dengan kelompok kontrol (K) atau mencit normal; jumlah alveol kelenjar mamae yang

paling sedikit berproduksi ada pada kelompok mencit yang ditantang dengan SGB ganas tanpa

divaksin (T). Hasil perhitungan sel epitel terdeskuamasi dari kelenjar mamae mencit K=8,8±7,2;

V=8,1±0,7; VT=5,9±2,3; T=9,7±3,1 ; sedangkan perhitungan sel radang interstisial disekitar

kelenjar mamae mencit K=23,0±1,1; V=11,8±6,4; VT=14,5±10,7; T=41±5,9. Hasil pemeriksaan

kedua parameter tersebut menunjukkan bahwa vaksin SGB iradiasi juga tidak menimbulkan

peradangan pada kelenjar mamae mencit yang diuji, dibuktikan dari jumlah sel radang interstisial

disekitar alveol mamae dan sel epitel kelenjar yang terdeskuamasi pada kelompok mencit yang

divaksin (V) tidak berbeda nyata bahkan lebih sedikit dibanding dengan kelompok kontrol (K);

sel radang interstisial terbanyak pada kelompok mencit yang ditantang dengan SGB ganas (T),

bahkan berbeda nyata (p<0,05) dibanding kelompok vaksin (V) dan kontrol (K). Hasil

pemeriksaan Ig-G serum mencit dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

menunjukkan tingkat respon imun yang lebih tinggi pada kelompok mencit yang divaksin

dibandingkan kelompok kontrol, hal tersebut membuktikan bahwa SGB yang telah dilemahkan

dengan iradiasi sinar gamma masih mampu menimbulkan respon imun. Aplikasi vaksin SGB

iradiasi pada kambing perah peranakan Etawah-pun dapat menimbulkan respon imun yang baik,

terbukti dari hasil pemeriksaan serum dengan ELISA pada kelompok kambing yang divaksin

mempunyai konsentrasi Ig-G lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Produksi susu kambing

perah kelompok vaksin tidak mengalami penurunan sehingga dapat disimpulkan pula bahwa

pemberian vaksin iradiasi SGB tidak mengganggu produksi susu.

Kata-kata kunci: Mastitis subklinis, S. agalactiae group-B, vaksin iradiasi.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritikan, atau

tinjauan suatu masalah.

Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

KANDIDAT VAKSIN IRADIASI Streptococcus agalactiae UNTUK

PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS PADA RUMINANSIA

BOKY JEANNE TUASIKAL

B361070021

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Mayor Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

Penguji Luar Komisi Pembimbing

Ujian Tertutup:

1. Drh. Kamaluddin Zarkasie, Ph.D.

2. Dr. drh. Agustin Indrawati M.Biomed

Ujian Terbuka:

1. Drh. Enuh Rahardjo Djusa, Ph.D.

2. Dr. drh. Koekoeh Santoso

Judul disertasi : Kandidat Vaksin Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk

Pencegahan Mastitis Subklinis pada Ruminansia

Nama : Boky Jeanne Tuasikal

NRP : B361070021

Program Studi : Mayor Ilmu Biomedis Hewan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu

Ketua

Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si., APVet Prof. Dr. drh. I Wayan T. Wibawan, MS

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Mayor Ilmu Biomedis Hewan

drh. Agus Setiyono, MS. PhD.APVet Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian : 27 Juli 2012 Lulus Tanggal : 09 Agustus 2012

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke Hadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa, Maha

Pengasih dan Penyayang, atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan pendidikan pascasarjana program doktor serta melaksanakan tugas penelitian dan

penulisan disertasi ini.

Pada kesempatan yang membahagiakan ini, penulis menyampaikan penghargaan yang

sangat dalam dan hormat, serta rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat Bapak Prof.

Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu, selaku ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan

bimbingan dan pengarahan sejak penulis mempersiapkan judul disertasi, membuat proposal,

melaksanakan penelitian, dan membuat laporan berupa disertasi ini. Penghargaan yang dalam,

rasa hormat yang tinggi disertai rasa terima kasih yang tulus ditujukan pula kepada Ibu Dr. drh.

Sri Estuningsih, M.Si.APVet. dan Bapak Prof. I Wayan T. Wibawan, MS selaku anggota komisi

pembimbing atas segala bimbingan, arahan, nasihat, dan dorongan semangat yang telah

diberikan dengan penuh tanggung jawab selama penulis belajar, mempersiapkan, dan melakukan

penelitian di Institut Pertanian Bogor hingga penulisan disertasi ini selesai.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Ketua Mayor Ilmu

Biomedis Hewan, Bapak drh. Agus Setiyono, MS. PhD. APVet. dan Ketua Departemen Klinik,

Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bapak Prof. drh. Bambang Pontjo

Priosoeryanto, MS, PhD. yang telah berkenan memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti

program doktor pada Mayor Ilmu Biomedis Hewan di Departemen Klinik, Reproduksi dan

Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Kepada yang terhormat Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor beserta jajarannya,

Direktur Program Pascasarjana beserta staf, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih

serta penghargaan atas ijin dan kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan program

doktor di IPB sejak tahun 2007.

Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan

Radiasi, Bapak Dr. Hendig Winarno dan Kepala Bidang Pertanian, Bapak Dr. Sobrizal atas ijin

yang diberikan, serta Prof. Ris. Dr. Ir. Soeranto Human, APU sebagai Pembimbing Karyasiswa.

Tak lupa terima kasih saya kepada para staf peneliti dan teknisi di Kelompok Kesehatan dan

Reproduksi Ternak, Badan Tenaga Nuklir Nasional atas pengertian dan dorongan semangat

maupun bantuan secara moril dan materil yang telah diberikan kepada penulis. Demikian pula

rasa terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

IPB, Bapak drh. Srihadi Agungpriyono, PhD, PAVet., Penanggung jawab Laboratorium Terpadu

Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Penanggung jawab Laboratorium Hewan Percobaan Bagian

Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, dan Penanggungjawab Laboratorium Mikrobiologi

Medis Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas ijin dan kesempatan yang diberikan untuk

menggunakan fasilitas laboratorium selama penulis melakukan penelitian. Terima kasih penulis

sampaikan kepada semua staf pengajar, para teknisi laboratorium di lingkungan Institut Pertanian

Bogor yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini.

Penulis sampaikan pula rasa terima kasih dan penghargaan kepada Deputi Bidang

Dinamika Masyarakat selaku penanggungjawab Program Pascasarjana Kementrian Negara Riset

dan Teknologi (KMNRT) yang telah memberikan beasiswa kepada karya siswa untuk

melanjutkan Program Doktor di Pascasarjana IPB.

Kepada ayahanda (alm) dan ibunda serta kakak dan adik-adik tercinta, penulis

menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-

tingginya atas doa restu, bimbingan, didikan, serta dorongan semangat sejak lahir hingga penulis

mencapai jenjang pendidikan ini.

Terima kasih yang tulus dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada

suami dan anak-anak tercinta yang dengan setia, penuh kasih, sabar, dan penuh pengertian

mendoakan, memberikan dorongan semangat, berkorban, serta mendampingi penulis sehingga

penulis dapat menghargai waktu dan kesempatan yang diberikan dalam menyelesaikan penelitian

dan disertasi ini.

Penulis menyadari, bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, oleh sebab itu dengan

rendah hati, penulis mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan saran-saran yang

bermanfaat demi kesempurnaan karya tulis ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2012

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 1963 di Jakarta, sebagai anak kedua dari

enam bersaudara dari ayah H. Umar Tuasikal (alm) dan ibu Hj. Syarifah Hadiyati. Penulis

menikah dengan drh. Zainul Zakir pada tahun 1989 dan dikaruniai seorang putra, Muhammad

Hafizh Dewantara, S.Ked. dan seorang putri, Hanifah Septianti.

Setelah lulus SMA Negeri 2 Bandung pada tahun 1982, penulis melanjutkan pendidikan

di Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1983, penulis melanjutkan

pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan lulus sebagai Sarjana

Kedokteran Hewan pada tahun 1986. Kemudian penulis mengikuti Program Pendidikan Profesi

Dokter Hewan dan lulus sebagai Dokter Hewan pada tahun 1987. Penulis melanjutkan

pendidikan Program Magister pada bidang studi Sains Veteriner Program Pascasarjana IPB dan

lulus pada tahun 2005.

Sejak tahun 1989 hingga sekarang, penulis adalah staf peneliti di Kelompok Kesehatan

dan Reproduksi Ternak, Bidang Pertanian, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan

Tenaga Nuklir Nasional. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan program Doktor pada

bidang Ilmu Biomedis Hewan di Sekolah Pascasarjana IPB. Selama studi S3 penulis mendapat

bantuan beasiswa dari Program Pascasarjana Kementrian Negara Riset dan Teknologi

(KMNRT).

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………………………………………………… xvi

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………… xvii

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………… xviii

PENDAHULUAN ………………………………………………… 1

1. Latar Belakang ………………………………………………………….. 1

2. Perumusan Masalah ……………………………………………………... 4

3. Tujuan Penelitian ………………………………………………………... 4

4. Hipotesis ………………………………………………………………… 5

5. Manfaat Penelitian ………………………………………………………. 5

6. Kebaruan ………………………………………………………………... 6

7. Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………………. 6

TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………… 7

1. Mastitis ………………………………………………………………….. 7

2. Patogenesa Mastitis ……………………………………………………... 8

3. Mastitis Subklinis ……………………………………………………….. 9

4. Streptococcus agalactiae ………………………………………………... 11

5. Sistem Imun ……………………………………………………………... 14

6. Radiasi …………………………………………………………………... 15

7. Vaksin Iradiasi Sinar Gamma …………………………………………... 15

BAHAN DAN METODE ………………………………………… 19

1. Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………………... 19

2. Sampel Susu …………………………………………………………….. 19

3. Pemeriksaan Mastitis Subklinis Secara Tidak Langsung ……………….. 19

4. Pemeriksaan Mastitis Subklinis Secara Langsung ……………………… 20

5. Identifikasi dan Isolasi S. agalactiae…………………………………….. 20

5.1. Pemeriksaan Morfologi Koloni Bakteri ……………………………. 21

5.2. Pemeriksaan Mikroskopi …………………………………………… 21

5.3. Uji Katalase ………………………………………………………… 22

5.4. Uji Christie, Atkins and Munch-Petersen (CAMP) ..………………. 22

5.5. Uji Serogrup S. agalactiae …………………………………………. 23

5.6. Ekspresi Fenotipe SGB in vitro …………………………………….. 23

5.7. Uji Hemaglutinasi ………………………………………………….. 24

6. Orientasi Dosis Iradiasi Sinar Gamma SGB untuk LD50 ……………….. 24

7. Karakterisasi Antigenik Permukaan SGB dengan SDS PAGE …………. 25

8. Uji Patogenitas dan Imunitas dengan Hewan Model Mencit …………… 26

9. Aplikasi Kandidat Vaksin Iradiasi Terpilih pada Kambing Perah ……… 27

10. Rancangan Penelitian …………………………………………………… 27

HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………… 29

1. Kejadian Mastitis Subklinis di Daerah Pengambilan Sampel Susu …….. 29

2. Isolat SGB Terpilih sebagai Bahan Vaksin Iradiasi Mastitis Subklinis…. 33

3. Orientasi Dosis Iradiasi SGB untuk LD50 ................................................. 43

4. Hasil Uji Patogenitas dan Imunitas pada Hewan Model Mencit ……….. 45

5. Hasil Uji Respon Imun dan Produksi Susu pada Kambing Perah……….. 51

SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 55

1. Simpulan ………………………………………………………………… 55

2. Saran …………………………………………………………………….. 55

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………… 57

LAMPIRAN ……………………………………………………… 65

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kejadian MSK pada Wilayah Cisurupan, Bayongbong dan KUNAK…… 30

2. Jumlah Mikroba dalam Sampel Susu dari Uji Total Plate Count (TPC)…. 32

3. Presentasi Kehadiran Streptococcus sp. pada Susu dengan Uji Katalase… 36

4. Jumlah Isolat S. agalactiae dengan uji CAMP …………………………... 36

5. Jumlah Isolat S. agalactiae dari Uji Grouping Kit ………………………. 38

6. Pola Pertumbuhan S. agalactiae pada Media SA, SSA dan THB ……….. 39

7. Pengamatan persen viabilitas SGB akibat iradiasi sinar gamma pada

berbagai dosis untuk LD50 ………………………………………………..

43

8. Hasil perhitungan kelenjar mamae mencit pada empat kelompok

perlakuan ………………………………………………………………….

46

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Phenomena “Gunung es” pada mastitis subklinis ………………………… 10

2. Hasil CMT memperlihatkan kekentalan yang terbentuk akibat

pencampuran susu dengan reagen uji ……………………………………...

30

3. Tampilan koloni Streptococcus sp. pada media BAP …………………...... 34

4. Pola hemolisis Streptococcus sp. pada media BAP …………………......... 34

5. Tampilan mikroskopik Streptococcus sp. Gram positif …………………... 35

6. Hasil uji CAMP positif dan negatif ……………………………………...... 37

7. Bentuk koloni S. agalactiae pada media SA dan SSA ………………......... 40

8. Perhitungan Dosis Iradiasi gamma untuk melemahkan SGB

sampai taraf LD50 ………………………………………………………….

43

9. Visualisasi pita protein SGB iradiasi 0 Gy dan 17 Gy

pada BM 75 – 225 kDa…………………………………………………….

44

10. Gambaran Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit Kelompok Kontrol…… 47

11. Gambaran Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit Kelompok Vaksin……. 47

12. Gambaran Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit Kelompok

Vaksin+Tantang …………………………………………………………..

48

13. Gambaran Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit Kelompok Tantang…... 48

14. Titer Ig-G kelompok mencit yang divaksin SGB iradiasi

dibanding kelompok mencit kontrol ………………………………………

50

15. Titer Ig-G kelompok vaksin SGB iradiasi kemudian ditantang

dibandingkan dengan kelompok kontrol …………………………………..

50

16. Konsentrasi Ig-G serum kambing yang telah divaksin

dengan SGB iradiasi dibandingkan dengan kontrol ……………………….

51

17. Produksi susu kambing pada kelompok vaksin iradiasi SGB post-partus… 52

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Identifikasi S. agalactiae Grup-B ………………………………………… 67

2. Karakterisasi SGB tanpa kapsul, keberadaan Antigen Protein dan

Hemaglutinin positif (Hn+) …………………………………………...........

68

3. Pengamatan Pertumbuhan SGB Hn+ ………………………………............ 69

4. Prosedur Orientasi Dosis Iradiasi untuk Penentuan LD50 …………………. 70

5. Iradiator Gamma Chamber dengan Sumber Isotop 60

Co …………………... 71

6. Jadwal Perlakuan dan Parameter Penelitian pada Hewan Model Mencit...... 72

7. Pembuatan Preparat Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit ………............ 73

8. Ekstraksi Antigen SGB untuk coating Ag pada ELISA …………………… 75

9. ELISA untuk Titer Antibodi Ig-G …………………………………………. 76

1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Usaha peternakan mempunyai potensi untuk dapat berkembang pesat di

Indonesia, mengingat cukupnya ketersediaan pakan dan keragaman jenis ternak yang

ada. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan konsumsi protein hewani bagi

penduduk Indonesia adalah dengan mengembangkan peternakan sapi perah, yang

telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda hingga saat ini (Subandriyo dan Adiarto

2009). Hal ini terlihat dengan meningkatnya populasi sapi perah dari tahun ke tahun,

yaitu dari 369.008 ekor pada tahun 2006 menjadi 457.577 ekor pada tahun 2008, dan

terus meningkat menjadi 597.129 ekor pada tahun 2011 (Dirjen Peternakan dan

Kesehatan Hewan 2011). Kesadaran masyarakat yang meningkat tentang nilai gizi

serta kebutuhan konsumsi akan protein hewani, khususnya susu juga turut

mendukung berkembangnya usaha peternakan rakyat. Susu merupakan sekresi yang

dihasilkan oleh kelenjar mamae mamalia termasuk manusia, dan merupakan bahan

makanan sempurna serta mempunyai nilai gizi yang tinggi. Bayi membutuhkan susu

sebagai satu-satunya bahan makanan dalam beberapa bulan di awal kehidupannya.

Hingga saat ini susu sapi masih dianggap sebagai sumber makanan utama yang dapat

menggantikan air susu ibu (ASI). Susu sapi merupakan bahan makanan istimewa bagi

manusia karena kelezatan dan komposisinya yang ideal yaitu mengandung banyak zat

yang dibutuhkan oleh tubuh seperti lemak, protein terutama casein, laktosa, vitamin,

mineral seperti kalsium, dan lain-lain (De Laval 2008, Mirdhayati dkk. 2008).

Konsumsi susu penduduk Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, yaitu

6,50 kg/ kapita/ tahun pada tahun 2004 menjadi 16,42 kg/ kapita/ tahun pada tahun

2010. Meningkatnya konsumsi susu tentu saja diikuti oleh peningkatan permintaan,

tetapi pemenuhan permintaan susu dari produksi dalam negeri hanya dapat memasok

23% saja, dan selebihnya berasal dari substitusi impor (Dirjen Peternakan dan

Kesehatan Hewan 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa produksi susu di

Indonesia masih kurang.

2

Kendala yang sering menghambat keberhasilan suatu usaha peternakan adalah

serangan penyakit. Salah satu penyakit penting yang dapat menurunkan produksi susu

pada ternak sapi perah yaitu Mastitis yang dikenal juga sebagai penyakit radang

kelenjar air susu (mamae). Penurunan produksi susu merupakan masalah bagi

peternak sapi perah Indonesia yang umumnya hanya memelihara 3-4 ekor sapi tiap

peternak. Sebagian besar peneliti setuju bahwa kerugian ekonomi akibat mastitis pada

usaha sapi perah minimal sebanyak 70% yang diakibatkan oleh penurunan produksi

susu dan dibuangnya susu yang berasal dari sapi mastitis (Bogni et al. 2011).

Penyakit mastitis secara garis besar dibagi menjadi 2 tipe, pertama yaitu mastitis

klinis yang menunjukkan gejala kesakitan pada mamae ternak maupun kerusakan

pada susu, dan kedua adalah mastitis subklinis yang tidak menampakkan gejala

peradangan pada mamae kecuali bila dilakukan pemeriksaan pada air susu dengan uji

khusus contohnya California Mastitis Test (CMT) (Dirkeswan. 2001). Sebagaimana

negara-negara lain, di Indonesia-pun kasus yang lebih banyak terjadi yaitu mastitis

subklinis (Supar 1997, Subronto 2003, Hashemi et al. 2011). Kasus mastitis terutama

mastitis subklinis di Indonesia sampai akhir tahun 2006, tercatat sekitar 75% - 83%

(Sudarwanto dkk. 2006).

Mastitis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni cara pemerahan yang

salah, sanitasi yang buruk, kandang yang kurang bersih dan lantai kandang yang tidak

memenuhi persyaratan untuk sapi perah. Penyebaran penyakit ini dapat melalui

pemerahan yang tidak mengindahkan kebersihan, alat pemerahan, kain pembersih

puting dan pencemaran dari lingkungan. Kuman penyebab mastitis dari kandang yang

kotor akan masuk ke dalam mamae melalui lubang dan kanal puting saat pemerahan

atau ketika sapi duduk di lantai kandang. Kuman yang potensial menyebabkan

mastitis adalah Streptococcus agalactiae, Streptococcus digalactiae, Steptococcus

uberis dan Staphylococcus aures (Dirkeswan. 2001). Streptococcus agalactiae

adalah salah satu agen utama penyebab mastitis subklinis pada sapi perah. Hasil studi

Estuningsih dkk. (2002) menyebutkan bahwa 83 isolat bakteri yang diisolasi dari 3

area peternakan sapi perah di pulau Jawa, seluruhnya teridentifikasi sebagai

Streptococcus agalactiae. S. agalactiae memiliki nama lain yaitu Streptococcus

3

Grup- B (SGB). S. agalactiae lebih banyak dikenal di dalam dunia kedokteran hewan

sedangkan SGB populer di kedokteran manusia. Diketahui pula bahwa S. agalactiae

grup B (SGB) merupakan bakteri utama penyebab mastitis subklinis pada sapi perah

dan merupakan parasit obligat pada mamae (Wahyuni dkk. 2006). S. agalactiae juga

dilaporkan dapat menginfeksi anjing, babi, kelinci, kuda, dan merpati. Bakteri ini

menyebabkan abortus dan servitis pada kuda dan babi, bahkan dapat menyerang ikan

(Pasaribu et al. 1993, Evans et al. 2006).

Berbagai macam antibiotik untuk mengatasi permasalahan mastitis telah

banyak digunakan seperti penisilin, streptomisin, ampisilin, kloksasilin, dan lain

sebagainya. Pengobatan mastitis dengan menggunakan antibiotik terutama ditujukan

untuk membunuh bakteri penyebab mastitis, namun dengan banyaknya macam obat

antibiotik yang dipergunakan dan cara pemberian dosis yang tidak terkontrol, maka

dikhawatirkan menimbulkan permasalahan baru berupa resistensi kuman penyebab

mastitis (Wu et al. 2007) dan terdapat residu obat pada susu yang dihasilkan. Hasil

penelitian Sudarwanto dkk. (1992) menunjukkan 32,52% susu pasteurisasi dan

31,10% susu segar di wilayah Jakarta, Bogor dan Bandung mengandung residu

antibiotik dalam jumlah yang cukup tinggi. Keberadaan residu antibiotik pada susu

yang dikonsumsi dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergis dan gangguan terhadap

mikroflora saluran pencernaan manusia yang mengkonsumsi susu tersebut. Susu yang

akan diekspor-pun diharuskan bebas dari residu antibiotik oleh negara pengimpor.

Penggunaan dan pemilihan antibiotik yang tidak tepat, ditinjau dari aspek indikasi,

dosis, waktu dimulainya dan lamanya terapi, serta penggunaan kombinasi antibiotik

dapat mempercepat terjadinya resistensi bakteri. Mastitis subklinis yang disebabkan

oleh bakteri Gram posisif semakin sulit ditangani dengan antibiotik karena bakteri ini

sudah banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik (Wibawan 1998,

Maricato et al. 2005).

Peternak sudah mengetahui cara pencegahan penyakit mastitis, yaitu sistem

pemeliharaan dan manajemen pemerahan yang baik, termasuk melakukan teat

dipping pada sapi-sapi setelah pemerahan. Namun demikian kasus mastitis subklinis

masih saja banyak terjadi di Indonesia. Keberadaan masalah resistensi bakteri

4

terhadap antibiotik dan residunya pada susu, serta masih banyaknya kejadian mastitis

subklinis, maka menjadikan perlu untuk mencari alternatif lain dalam pencegahan

penyakit ini, salah satunya dengan pembuatan vaksin. Pemanfaatan iradiasi dalam

pembuatan vaksin dimaksudkan untuk melemahkan patogenitas S. agalactiae sebagai

bakteri dominan penyebab mastitis, namun bakteri ini diharapkan masih dapat

menimbulkan respon tanggap kebal sebagai bahan vaksin iradiasi. Sumber-sumber

sinar gamma yang digunakan untuk iradiasi kandidat vaksin dihasilkan dari

radioisotop 60

Co. Penggunaan sinar gamma memiliki keunggulan dibandingkan

dengan teknik konvensional seperti pemanasan atau penggunaan zat kimia. Sinar

gamma yang menembus tidak merusak dinding sel bakteri tempat protein antigenik

sehingga mampu mempertahankan imunogenitasnya (Kochman 2006). Sel yang

terpapar radiasi gamma akan kehilangan kemampuan replikasinya di dalam tubuh

inang, namun tidak menghentikan aktivitas metaboliknya. Sel tetap mempunyai

metabolik aktif, sehingga mampu menghasilkan senyawa imunogenik untuk

menstimulasi respon imun protektif pada inang (Sanakkayala 2005).

2. Perumusan Masalah

Berbagai aspek mengenai mastitis secara umum telah banyak diteliti tetapi

belum ada cara pencegahan mastitis yang efektif diaplikasikan pada ternak sapi

perah, sehingga kasus mastitis subklinis yang merugikan masih tetap terjadi di

Indonesia. Penelitian ini mencoba turut berkontribusi dalam penyelesaian masalah

tersebut dengan pembuatan bahan vaksin iradiasi dari bakteri terpilih S. agalactiae

untuk pencegahan mastitis subklinis pada ternak ruminansia.

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kandidat vaksin guna pencegahan

mastitis subklinis pada ruminansia dengan memanfaatkan teknik radiasi terhadap

bakteri dominan penyebab mastitis subklinis S. agalactiae.

Tujuan ini dicapai dengan cara:

5

1. Mengisolasi S. agalactiae sebagai bakteri terpilih dengan sifat-sifat atau

karakter yang cocok untuk bahan vaksin iradiasi mastitis subklinis.

2. Orientasi dosis iradiasi sinar gamma untuk melemahkan S. agalactiae Group-

B sampai taraf lethal dose 50% (LD50).

3. Menguji pengaruh iradiasi SGB dengan mempelajari patogenitasnya pada

mencit.

4. Menguji imunitas hewan coba mencit dan kambing perah setelah divaksin

dengan SGB iradiasi.

4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Diperoleh isolat lokal S. agalactiae dari kasus mastitis subklinis sebagai

bakteri terpilih untuk bahan vaksin iradiasi MSK.

2. Iradiasi sinar gamma dapat melemahkan bakteri S. agalactiae Group-B

sampai taraf LD50.

3. Kandidat vaksin iradiasi SGB tidak bersifat patogen pada hewan coba mencit

namun menimbulkan kekebalan.

4. SGB iradiasi mampu menginduksi timbulnya respon imun pada hewan coba

mencit dan kambing perah.

5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini dapat memperoleh kandidat vaksin SGB terpilih dengan

karakter yang cocok sebagai bahan vaksin mastitis subklinis.

2. Teknik nuklir iradiasi sinar gamma dapat bermanfaat untuk melemahkan dan

menghilangkan patogenitas SGB tetapi masih mampu menimbulkan respon

imun pada hewan percobaan yang digunakan.

3. Hasil akhir penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pencegahan

penyakit mastitis subklinis pada ternak perah, sehingga dapat meningkatkan

6

produksi susu sebagai sumber protein hewani dalam mendukung ketahanan

pangan di Indonesia.

6. Kebaruan

Kebaruan dari penelitian dalam disertasi ini adalah aplikasi teknik nuklir

untuk vaksin iradiasi S. agalactiae dalam pencegahan mastitis subklinis.

Pemanfaatan iradiasi sinar gamma dimaksudkan untuk mengatenuasi bakteri S.

agalactiae Group-B sebagai bakteri dominan penyebab mastitis subklinis, namun

kandidat vaksin ini diharapkan masih dapat menimbulkan respon imun pada

ternak perah.

7. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian terdiri dari empat tahap. Pertama dilakukan isolasi

dan identifikasi isolat S. agalactiae yang termasuk ke dalam group-B (SGB) yang

tidak berkapsul dan memiliki sifat Hemaglutinin (Hn+). Bakteri terpilih diperoleh

dari sampel susu sapi perah yang mengalami mastitis subklinis dengan uji tapis

CMT. Tahap kedua yaitu atenuasi SGB terpilih dengan teknik iradiasi sinar

gamma dari sumber isotop Cobalt-60 (60

Co). Orientasi dosis iradiasi dilakukan

untuk melemahkan bakteri SGB sampai taraf Lethal dose 50% (LD50) dalam

pembuatan vaksin hidup. Karakterisasi Protein permukaan SGB iradiasi ini

menggunakan metode SDS-PAGE untuk mengetahui berat molekul (BM) yang

masih bersifat antigenik pada kandidat vaksin iradiasi SGB. Tahap ketiga adalah

uji patogenitas vaksin iradiasi SGB dan respon imun pada hewan coba mencit.

Tahap keempat merupakan aplikasi kandidat vaksin iradiasi SGB pada kambing

perah untuk uji respon imun dan pengaruhnya terhadap produksi susu.

7

TINJAUAN PUSTAKA

1.Mastitis

Mastitis merupakan peradangan di dalam parenkim kelenjar mamae, yang

dapat menurunkan produksi dan kualitas susu. Penyakit ini tersebar luas pada

peternakan perah di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia, sehingga mastitis

menjadi penyakit utama pada sapi perah dan sangat merugikan (Supar dan Ariyanti

2008, Rinaldi et al. 2010).

Mastitis dapat disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari trauma mekanis pada

kelenjar mamae atau puting susu, akibat mikroorganisme patogen, hingga kekurangan

unsur nutrisi pada pakan ternak. Sebagian besar kasus mastitis disebabkan oleh

mikroorganisme patogen, diantaranya Streptococcus agalactiae, S. disgalactiae, S.

uberis, S. zooepidemicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter

aerogenes, Pseudomonas aeruginosa (Dirkeswan 2001).

Berdasarkan perubahan patologi anatomi kelenjar mamae, mastitis dapat

dibedakan menjadi dua tipe, yaitu mastitis klinis (MK) dan mastitis subklinis (MSK)

(Hashemi et al. 20011). Perubahan patologi mastitis klinis dapat jelas digambarkan

dari perubahan patologi anatomis kelenjar mamae dan air susu. Kelenjar mamae

membengkak edematus berisi cairan eksudat, disertai tanda-tanda peradangan lainnya

(kemerahan, terasa panas, kesakitan dan penurunan fungsi). Perubahan penting yang

terjadi di dalam susu mencakup perubahan warna, konsistensi dan penurunan jumlah

produksi susu.

Mastitis subklinis tidak menampakkan perubahan patologi anatomis, sehingga

perlu pemeriksaan khusus. Diagnosa mastitis subklinis hingga sekarang dilakukan

berdasarkan pada pemeriksaan sampel susu serta perubahan komposisi susu untuk

mengenali tanda peradangannya (Malinowski et al. 2006, Mirdhayati dkk. 2008).

8

2. Patogenesa Mastitis

Mastitis merupakan peradangan internal mamae yang sebagian besar

disebabkan oleh mikroorganisme (80% disebabkan oleh bakteri) terutama pada kasus

mastitis subklinis (Lukman et al. 2009). Menurut Jayarao (2006) ada 3 faktor utama

yang berperan dalam terjadinya mastitis yaitu kondisi hewan/ternak, kondisi

lingkungan dan agen penyebab.

Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui

beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah

mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter),

kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang

terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada

induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukosit-

leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel

mamae. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami

multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam. Hal

ini kembali pada daya tahan tubuh ternak. Ternak yang dipengaruhi kondisi

lingkungan yang buruk dan berkembangnya mikroorganisme akan memudahkan

terjadinya mastitis.

Penularan mastitis dari mamae yang terinfeksi ke mamae yang sehat dapat

terjadi melalui peralatan pemerahan yang kotor, higiene personal yang buruk dari

pemerah dan urutan pemerahan yang salah (Jayarao, 2006).

Sori et al (2005) menyatakan bahwa saat periode kering kandang merupakan

masa awal kuman penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi

hambatan aksi fagositosis dari neutrofil pada mamae. Proses mastitis hampir selalu

dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting

(sphincter puting). Sphincter puting berfungsi untuk menahan infeksi kuman. Pada

dasarnya, kelenjar mamae atau mammae sudah dilengkapi perangkat pertahanan,

sehingga air susu tetap steril. Namun tingkat pertahanan kelenjar mammae mencapai

titik terendah saat sesudah pemerahan, karena sphincter masih terbuka beberapa

saat, sedangkan sel darah putih, antibodi serta enzim juga habis karena ikut terperah.

9

Disamping faktor-faktor mikroorganisme yang terdiri dari berbagai jenis,

jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah

tidaknya terjadi radang mamae pada sapi perah. Faktor predisposisi radang mamae

dilihat dari segi ternak, meliputi : bentuk mamae, misalnya mamae yang sangat

menggantung, atau mamae dengan lubang puting terlalu lebar (Subronto 2003).

Demikian pula bentuk puting, ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi

kejadian mastitis. Hasil penelitian Sori et al. (2005) menunjukkan bahwa prevalensi

mastitis pada puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non

pendulous mencapai 50%. Puting yang mengalami lesi memungkinkan prevalensi

mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting normal sebesar 47,74%.

Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian mastitis. Kuartir kiri belakang dan

kanan depan lebih sering mengalami mastitis daripada kedua puting lainnya. Pada

kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan depan mencapai 30,06%

(Sori et al. 2005).

Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian

mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin

mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang kendur

memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi spinchter

adalah menahan infeksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi

betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup

sempurna (Subronto 2003).

Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi

terjadinya radang mamae meliputi : pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu

kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pada ventilasi yang

buruk, mastitis mencapai 87,5%, sedangkan ventilasi yang baik mencapai 49,39%

(Sori et al. 2005).

3. Mastitis Subklinis

Definisi mastitis subklinis menurut International Dairy Federation (IDF)

adalah mastitis yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel somatik (> 400.000/ml

10

susu) dan ditemukan bakteri patogen pada susu yang berasal dari kwartir dalam masa

laktasi normal. Kejadian mastitis subklinis diperkirakan 20-50 kali kejadian mastitis

klinis. Hal ini sering digambarkan sebagai Fenomena Gunung Es atau Iceberg

Phenomena (Lukman et al. 2009).

Gambar 1. Phenomena “Gunung es” pada mastitis subklinis (Hurley and Morrin 2000).

Kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (97-98%) dan

menimbulkan banyak kerugian (Sudarwanto, 1999). Pada kejadian MSK tersebut

S.agalactiae merupakan agen penyebab yang sering ditemukan (Pasaribu et al. 1994). Hal

yang sama diiungkapkan Supar (1997) yang telah melakukan penelitian intensif pada

beberapa tempat peternakan sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah

Istimewa Yogyakarta. Diketahui prevalensi mastitis subklinis berkisar antara 37% sampai

67%, sedangkan mastitis klinis lebih rendah yaitu 5% sampai 30%. Survei yang dilakukan

oleh Supar dan Ariyanti (2008) pada mastitis subklinis juga didominasi oleh bakteri S.

agalactiae yaitu sebanyak 60,6%. Diketahui pula bahwa S. agalactiae Group B merupakan

agen kontagius patogen yang menyebabkan mastitis subklinis pada sapi perah secara umum

di dunia (Bogni et al. 2011).

11

4. Streptococcus agalactiae

S. agalactiae merupakan jenis bakteri yang termasuk ke dalam famili

Streptococcaceae dari ordo Lactobacillales. Bakteri ini berbentuk bulat (coccus) dan

tersusun seperti rantai yang panjangnya bervariasi, diameter selnya sekitar 0,6-1,2

µm. Sifatnya Gram positif yang terlihat berwarna keunguan pada pewarnaan Gram,

non motil, tidak membentuk spora, dan dapat membentuk kapsul. Sifat lainnya

adalah katalase negatif, anaerob fakultatif, oksidase negatif, dapat memfermentasikan

beberapa jenis karbohidrat namun tidak menghasilkan gas (Carter 1984, Quinn et al.

2006).

Tahun 1896 Lehman dan Naumann mengklasifikasikan bakteri ini

berdasarkan taksonomi sebagai berikut (Bruckner and Colonna 1997):

Kingdom : Bacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Lactobacillales

Famili : Streptococcaceae

Genus : Streptococcus

Spesies : S. agalactiae

Biakan S. agalactiae yang ditumbuhkan pada media agar darah terlihat

membentuk koloni-koloni halus, basah, konveks, terang tembus, dan menghemolisis

sel darah merah. Hemolisis yang ditimbulkan berupa β-hemolisis, dan beberapa tidak

menghemolisis (Daignault 2003). Strain yang menghemolisis darah hanya

mengasilkan zona hemolitik tidak lebih dari 1 mm pada agar darah, sedangkan yang

tidak menghemolisis dapat menghasilkan pigmen bewarna kehijauan pada media agar

darah.

Secara umum Streptococcus sp memiliki antigen terstruktur pada

permukaannya seperti kapsul, dinding sel, dan antigen protein. Keberadaan antigen

polisakarida pada dinding sel dijadikan sebagai dasar pengklasifikasian genus

Streptococcus sp. kedalam grup-grup. Penentuan grup-grup tersebut berdasarkan

12

serologis dari antigen polisakarida yang ditemukan oleh Lancefield pada 1933.

Terdapat sekitar 20 grup Streptococcus sp sampai saat ini yang dinamai sesuai abjad

mulai dari A-V; S. agalactiae dikelompokan kedalam grup B oleh Lancefield.

Pengelompokan ini didasari oleh substansi C polisakarida spesifik yang terdapat

pada diding sel (Cowan 2003). Secara serologis Grup ini dikelompokan lagi kedalam

serotipe-serotipe. Serotipe tersebut berdasarkan antigen polisakarida dan antigen

protein yang dihasilkan. Beberapa serotipe tersebut terdiri dari 9 serotipe yang

berbeda antara lain 1a, 1b, II, III, IV, V, VI, VII, VIII dari antigen polisakarida dan

c, R dan X berdasarkan antigen proteinnya (Henrichsen et al. 1984). Wibawan dan

Lammler (1991) menyatakan isolat S. agalactiae dapat memiliki serotipe dengan

antigen poliskarida dalam bentuk kombinasi atau hanya berdiri sendiri tanpa antigen

protein, misalnya Ia/c, II/X. Ada juga isolat yang belum bisa diklasifikasikan kedalam

serotipe yang ada disebut sebagai nontypeable (NT). Antigen protein X dominan

ditemukan pada S. agalactiae yang diisolasi dari sapi sedangkan antigen protein R

lebih banyak ditemukan pada S. agalactiae yang berasal dari manusia. Kedua antigen

ini erat hubungannya dengan patogenitas bakteri terhadap inangnya (Wibawan 1990).

Wahyuni et al. (2006) menyimpulkan dari beberapa tempat di pulau jawa S.

agalactiae yang berasal dari mamae yang menderita masititis subklinis ditemukan

sebanyak 52% didominasi oleh S. agalactiae serotipe NT dan protein antigen yang

muncul paling banyak adalah antigen protein X.

Keberhasilan bakteri melakukan infeksi terhadap sel inangnya ditentukan oleh

adanya faktor virulensi. Bakteri akan berpenetrasi dengan menggunakan faktor

virulrensi untuk mempengaruhi targetnya. Faktor virulensi yang penting bagi bakteri

antara lain adalah kapsul. Kapsul bakteri tersusun oleh asam hyaluronat seperti yang

ditemukan pada struktur dasar jaringan ikat pada mamalia. Kapsul polisakarida

sebagai antigen permukaan dan asam hyluronat sebagai produk ektraseluler akan

meningkatan kemampuan virulensi bakteri (Hayati dan Karmil 2009). Terhambatnya

kerja komplemen oleh kapsul S. agalactiae akan menghambat aktivitas fagositosis

oleh makrofag sehingga tidak dapat menfagosit bakteri. Peranan kapsul juga sebagai

antifagositik dan antigen yang tidak imunogenik.

13

Virulensi dari Streptococcus sp dipengaruhi oleh pemukaan sel, sekresi

protein yang dihasilkan dan strukturnya yang secara langsung atau tidak langsung

dapat menghambat fagositosis, terlibat dalam proses adhesi dan mengakibatkan

pelepasan sitokin proinflamasi (Timoney and Kumar 2010).

Streptococcus juga memiliki komponen nonstruktural seperti protein antigen.

Protein tersebut dihasilkan selama masa perkembangbiakan dan membantu selama

proses infeksi. Protein ini berupa enzim ekstraseluler hasil metabolisme seperti

hemolisin, streptokinase, nuklease, protease, dan hyaluronidase. Hemaglutinin

sebagai adhesin pada permukaan bakteri berperan mempengaruhi tingkat virulensi

(Wahyuni dkk. 2005).

Adhesi adalah kemampuan menempelnya bakteri pada permukaan mukosa

yang bersifat irreversibel dan stabil. Kemampuan bakteri untuk menempel (adhesi)

pada sel inang diperantarai oleh komponen adesin bakteri yang membantu perlekatan

bakteri pada reseptor spesifik dari sel inang. Sifat hidrofobitas permukaan bakteri

berperan dalam mekanisme perlekatan dengan sel inang. Sifat ini dipengaruhi oleh

jumlah protein permukaan. Semakin hidrofobik permukaan sel maka akan semakin

tinggi kemampuan adhesi pada sel inang (Lämmler et al. 1998).

Derajat hidrofobitas permukaan S. agalactiae dapat ditentukan secara

langsung dengan melihat pertumbuhan koloni pada media padat, cair dan agar lunak

(soft agar). Koloni yang tumbuh dengan permukaan yang kasar pada media agar dan

kompak pada agar lunak merupakan bakteri yang bersifat hidrofob, sedangkan bakteri

yang tumbuh difus pada media agar lunak dan permukaan mukoid pada media padat

menunjukan sifat yang hidrofil (Wibawan dan Lämmler 1992).

Hasil kajian Wibawan et al. (1993) menyebutkan bahwa S. agalactiae yang

memilki hemaglutinin mempunyai kamampuan adhesi yang lebih besar daripada yang

tidak mempunyai hemaglutinin pada sel epitel mamae. Kemampuan menempel

bakteri tampaknya lebih penting dari pada kemampuan invasi bakteri ke dalam

jaringan dalam mekanisme infeksi, sehingga tidak dijumpai perubahan yang berarti

pada jaringan mamae (Wibawan et al. 1998). Keberadaan protein hemaglutinin

dengan kemampuan adhesi sel bakteri MSK pada sel epitel mamae mencit memiliki

14

keterkaitan, oleh karena itu ada peluang untuk pembuatan suatu produk pencegahan

mastitis yang cukup besar (Dian dkk. 2010).

5.Sistem Imun

Manusia dan hewan multiseluler memiliki suatu sistem imun yang melindungi

dirinya terhadap unsur-unsur patogen yang masuk ke dalam tubuh. Respon imun

tubuh terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan sistem imun

untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan

unsur patogen, dan kemampuan dalam melakukan reaksi yang tepat untuk

menyingkirkan antigen. Kemampuan ini dimiliki oleh komponen-komponen sistem

imun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler yang letaknya tersebar di seluruh

tubuh, misalnya di dalam sumsum tulang, kelenjar limfe, thymus, sistem saluran

nafas, saluran cerna, peredaran darah dan organ-organ lain. Bila antigen masuk ke

dalam tubuh, maka dapat terjadi dua macam reaksi imun yang berlainan, yaitu imun

humoral dan imun seluler (Baratawijaya dan Rengganis 2009). Dalam reaksi imun

humoral terjadi sintesa dan masuknya antibodi berupa Imunoglobulin (Ig) ke dalam

aliran darah dan cairan tubuh lainnya (antibodi humoral). Antibodi ini akan mengikat

dan menetralisir antigen, misalnya toksin kuman atau dapat membungkus kuman

untuk persiapan fagositosis. Bila kita menyuntikkan antigen misalnya vaksin ke tubuh

hewan percobaan, maka setelah beberapa hari sampai seminggu dapat ditemukan

antibodi di dalam darah. Sel utama dalam hal ini adalah Sel-B yang diproduksi oleh

sumsum tulang. Reaksi imun seluler ditengahi oleh sel-sel limfosit dan tidak

tergantung pada antibodi. Seri reaksi yang terlibat dalam jenis imunitas ini dikaitkan

dengan reaksi-reaksi sel sasaran efektor yang terlibat, terutama yang berkaitan dengan

penolakan tumor. Pada masing-masing keadaan ini, antigen berada intraseluler atau

karena tempatnya tidak dapat dicapai, sehingga reaksi antigen-antibodi tampak secara

relatif tidak efisien. Sel utama yang berperan dalam hal ini adalah Sel-T yang

dihasilkan oleh Thymus.

Pada masa-masa akhir kebuntingan hewan, antibodi dari darah dapat dikeluarkan

dan masuk ke dalam kelenjar mamae berupa kolostrum susu. Imunoglobulin yang

15

paling banyak dalam kolostrum dari semua hewan piara adalah Ig G, yang meliputi

65-95% dari semua imunoglobulin yang ada. Sementara laktasi berkembang,

kolostrum berubah menjadi susu, perbedaan terjadi diantara jenis hewan. Pada

primata dan manusia, Ig A merupakan bagian terbanyak baik dalam kolostrum

maupun susu. Pada ruminansia, Ig G1 merupakan imunoglobulin terbanyak baik

dalam kolostrum maupun dalam susu (Tizard 1988).

6. Radiasi

Radiasi merupakan energi yang dipancarkan dalam bentuk partikel atau

gelombang. Radiasi diklasifikasikan sebagai radiasi non pengion (energi rendah) atau

pengion (energi tinggi). Jenis radiasi non pengion seperti sinar ultraviolet, cahaya

tampak, radiasi inframerah, radiasi frekuensi radio dan gelombang mikro. Radiasi

pengion dari matahari (sinar kosmik), bahan radioaktif, dan mesin X-ray. Empat jenis

utama dari radiasi pengion (1) alpha partikel. bermuatan positif terdiri dari dua

neutron dan dua proton, relatif berat dan bergerak lambat dari emisi radioaktif

lainnya, (2) partikel beta merupakan partikel bermuatan negatif terdiri dari elektron

dan lebih ringan serta cepat dibandingkan partikel alpha, (3) sinar gamma adalah

radiasi gelombang elektromagnetik pendek yang dipancarkan oleh peluruhan

radioaktif yang dipancarkan oleh atom dengan kecepatan tinggi dan mempunyai

penetrasi yang tinggi pula, dan (4) sinar X mempunyai energi lebih rendah dan

kemampuan penetrasinya kurang daripada sinar gamma. Sinar X yang dipancarkan

berasal dari proses luar inti, sementara sinar gamma berasal dari inti (Soeminto

1989).

7. Vaksin Iradiasi Sinar Gamma

Sinar gamma berupa radiasi elektromagnetik panjang gelombang pendek

yang dipancarkan oleh isotop radioaktif sebagai inti tidak stabil dan meluruh untuk

mencapai bentuk stabil. DNA merupakan target selular yang mengatur hilangnya

viabilitas setelah terpapar sinar gamma. Suatu materi hidup seperti sel, bila terkena

sinar gamma akan mengalami kerusakan secara langsung atau tidak langsung. Efek

16

langsung adalah terjadinya pemutusan ikatan senyawa-senyawa penyusun sel. Efek

tidak langsung terjadi karena materi sel terbanyak adalah air yang apabila terkena

sinar gamma akan mengalami hidrolisis dan menghasilkan radikal bebas. Radikal

bebaslah yang akan menyebabkan kerusakan materi sel. Target utama bagian sel

adalah DNA yang merupakan sumber informasi genetik sel. Perubahan genetik sel

akan berakibat pada terganggunya kinerja atau kematian sel (Alatas 2007).

Pemanfaatan sinar gamma umumnya digunakan untuk sterilisasi alat-alat

medis dari cemaran bakteri (Trampuz et al. 2006), pengawetan makanan dan

pengolahan jaringan allografts dan komponen darah, dan menghindarkan kebutuhan

suhu tinggi yang dapat merusak suatu produk. Selain itu sinar gamma juga digunakan

untuk membuat vaksin yang lebih efektif daripada pemanasan atau inaktivasi

kimiawi.

Penelitian penggunaan vaksin yang dilemahkan dengan memberikan paparan

radiasi pengion terhadap suspensi mikroorganisme dilakukan pada metaserkaria

iradiasi yang mampu mengurangi jumlah Fasciola hepatica pada anak sapi,

penggunaan radiasi sinar X pada larva stadium kedua yang menetas dari telur cacing

paru Dictyocaulus viviparus penyebab pneumoni verminosa (Tizard 1988).

Penelitian vaksin iradiasi gamma untuk Venezuelan equine encephalitis

(VEE) telah menginduksi dengan tinggi serum netralisasi dan antibodi hemaglutinin-

inhibisi pada marmut dan kelinci. Percobaan vaksin iradiasi ini pada kultur jaringan

menyebabkan sel-sel dapat bertahan hidup sampai taraf Lethal dose-50 (LD50)

terhadap virus VEE tantangan (Reitman et al. 1970).

Vaksin lain dengan teknik iradiasi yaitu Vaksin bakteri Listeria

monocytogenes iradiasi yang dapat meningkatkan respon imun dibandingkan teknik

konvensional. Bakteri diiradiasi mendorong respon pelindung dari sel sistem

kekebalan sel T (Kochman 2006). Sinar gamma juga digunakan untuk melemahkan

Plasmodium (WHO 2001).

Tanggap kebal sapi terhadap Fasciolosis akibat inokulasi metaserkaria

Fasciola gigantica iradiasi sinar gamma dosis 45 Gy telah diteliti oleh Arifin (2006).

Hasil analisis ELISA dari penelitian tersebut menunjukkan titer Ig-G lebih tinggi

17

pada sapi yang diinokulasi metaserkaria F. gigantica iradiasi dibandingkan dengan

sapi kontrol. Sinar gamma yang dimanfaatan untuk inaktivasi yaitu radiasi

elektromagnetik panjang gelombang pendek yang memiliki kemampuan penetrasi

tinggi dan memiliki karakteristik tanpa memberikan radiaoaktivitas pada materi yang

terpapar (Hall & Giaccia 2006).

Prospek vaksin iradiasi gamma untuk influenza sangat baik karena vaksin

inaktif ini dapat diproduksi dengan aman. Inaktifasi vaksin dengan dosis 10 kGy

mempunyai potensi respon imun perlindungan silang dalam melawan heterotipe virus

tantangan. Iradiasi gamma ini juga mempunyai kemampuan tinggi dalam inaktifasi

virus-virus dengan keuntungan yaitu perubahan yang sangat minim pada protein

molekuler dan struktur virus. Dengan adanya perlindungan silang, maka produksi

vaksin bisa lebih murah. (Alsharifi dan Mullbacher 2009).

Efek metode inaktifasi dengan sinar gamma pada virus influenza-A yang

dapat menginduksi perlindungan silang pada beberapa subtipe virus dan persiapan

vaksin komersial ini juga dilakukan oleh Furuya et al. (2010).

Fenomena perlindungan silang terhadap beberapa subtipe virus influenza

akibat vaksin iradiasi gamma sebagaimana tersebut di atas, kemungkinan dapat

terjadi pula pada vaksin iradiasi SGB karena sama-sama memiliki beberapa subtipe.

18

19

BAHAN DAN METODE

1. Tempat dan Waktu Penelitian

Kegiatan dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Medik, Fasilitas Kandang

Bagian Hewan Coba untuk hewan model mencit dan Laboratorium Patologi, Fakultas

Kedokteran Hewan - IPB. Perlakuan iradiasi bahan vaksin SGB dilakukan dalam

iradiator Gamma chamber dengan sumber isotop 60

Co, di Balai Iradiasi, Pusat

Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional

(BATAN), Jakarta. Aplikasi kandidat vaksin iradiasi SGB dilakukan pada peternakan

kmamae perah Bangun Dioro Farm, desa Palasari, Kabupaten Bogor.

Penelitian dilakukan sejak Januari 2010 sampai Februari 2012.

2. Sampel Susu

Sampel susu diperoleh dari kasus mastitis subklinis sapi perah di peternakan

rakyat yaitu Kawasan Usaha Ternak (KUNAK) Cibungbulang Kabupaten Bogor dan

daerah Cisurupan serta Bayongbong Kabupaten Garut. Penapisan awal menggunakan

California Mastitis Test (CMT) pada 65 ekor sapi perah dengan total sampel susu

yang diambil dari tiap puting sapi adalah sebanyak 240 sampel, yang berasal dari

Kunak (66 sampel), Cisurupan (97 sampel) dan Bayongbong (77 sampel).

3. Pemeriksaan Mastitis Subklinis Secara Tak Langsung.

Pengujian sampel susu di lapang dilakukan dengan menggunakan uji

California Mastitis Test (CMT). Setiap sampel susu yang diambil dari setiap kuartir

melalui pemerahan langsung ditempatkan pada paddle sesuai urutan kuartir. Uji CMT

dimulai setelah susu dalam paddle ditambahkan dengan pereaksi CMT dengan

perbandingan yang sama, kemudian dihomogenkan campuran susu dan reagen

dengan cara menggoyang paddle secara searah selama 20 – 30 detik. Hasil campuran

segera diamati kekentalannya maksimal dalam 30 detik (reaksi cenderung mengarah

ke arah reaksi positif jika terlalu lama), kemudian diamati dengan bantuan tusuk gigi

yaitu dengan menarik hasil campuran keatas. Ukuran kekentalan diukur dengan

20

positif I (tebentuknya lendir tipis), II (terbentuk lendir lebih kental), dan III (lendir

sangat kental seperti massa gelatin). Sampel dengan kekentalan positif I, II dan III

dipakai sebagai sampel untuk kandidat yang dikultur pada agar darah (Ruegg 2005).

4. Pemeriksaaan Mastitis Subklinis Secara Langsung

Uji dilakukan dengan metode Total Plate Count (TPC). Pemeriksaan sampel

susu terhadap jumlah total bakteri yang dapat ditemukan dalam media Plate Count

Agar (PCA). Sebanyak 1 ml sampel susu dimasukkan ke dalam pengencer NaCl

fisiologis 9 ml, kemudian dihomogenkan selama 1 menit, campuran ini merupakan

pengenceran ke-1 (10-1

). Sebanyak 1 ml pengenceran 10-1

dipindahkan ke dalam 9 ml

pengencer NaCl fisiologis pada tabung yang berbeda, dan campuran ini merupakan

pengenceran ke-2 (10-2

). Langkah ini terus dilakukan hingga pengenceran ke-6 (10-6

).

Pada penelitian ini digunakan metode hitungan cawan dengan cara tuang

(pour plate method). Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran tersebut di atas

dipupuk di dalam cawan petri steril yang telah diberi label sesuai dengan urutan

pengenceran, kemudian ditambah dengan media PCA yang telah dicairkan sebanyak

18 ml (suhu 450C). Campuran dihomogenkan dengan membuat gerakan angka 8 pada

cawan petri di tempat yang datar lalu didiamkan hingga memadat dan diinkubasi

didalam inkubator pada suhu 350C selama 24-48 jam dengan posisi terbalik.

Pencatatan terhadap pertumbuhan koloni dilakukan setelah 48 jam pada setiap cawan

yang mengandung 25-250 koloni. Langkah ini dilanjutkan dengan penghitungan

angka lempeng total dalam cawan tersebut dengan mengalikan jumlah rata-rata

koloni pada cawan sesuai dengan faktor pengenceran yang digunakan (Lay 1994).

5. Identifikasi dan Isolasi S. agalactiae

Isolasi S. agalactiae berasal dari air susu yang menunjukkan reaksi CMT

positif. Identifikasi terhadap keberadaan S. agalactiae berdasarkan morfologi koloni,

morfologi sel bakteri dengan pemeriksaan mikroskopis dan pewarnaan Gram, uji

21

katalase dan keberadaan faktor Christie, Atkins dan Muence Petersen (CAMP) pada

media agar darah (Quinn et al. 2006).

5.1. Pemeriksaan Morfologi Koloni Bakteri

Uji dilakukan pada media agar darah (Blood agar plate/ BAP. Kultur bakteri pada

media BAP dilakukan secara aseptik untuk mencegah terjadinya

pencemaran/kontaminasi pada media yang digunakan. Langkah pertama adalah

memberikan label pada cawan-cawan petri yang telah berisi media Blood Agar Plate

(BAP). Langkah berikutnya sampel susu kuartir diambil sebanyak 2 mata öse dan

digoreskan pada agar darah. Penanaman bakteri secara aseptis dilakukan dalam

kabinet laminair flow dekat nyala api bunsen. Agar darah yang telah ditanami sampel

susu kuartir, lalu diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 37˚C.

Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan koloni bakteri dan wilayah jernih di

sekitar koloni (hemolisis). Bakteri Streptococcus memiliki bentuk koloni-koloni bulat

halus, basah, cembung, terang tembus, dan menghemolisis sel darah merah.

Hemolisis yang terjadi di sekeliling koloni bakteri dapat dibedakan menjadi tiga jenis,

yaitu hemolisis alpha (α) berupa hemolisis sebagian yang ditunjukkan dengan zona

kehijauan disekitar koloni; hemolisis beta (β) berupa hemolisis komplit yang

ditunjukkan dengan zona bening di sekeliling koloni, dan hemolisis gamma (γ) yang

tidak menunjukkan perubahan warna di seputar koloni bakteri (Quinn et al. 2006).

5.2. Pemeriksaan Mikroskopi

Untuk menunjang pemeriksaan mikroskopi maka dilakukan pewarnaan Gram.

Langkah awal dari pewarnaan Gram adalah mempersiapkan preparat yang akan

diwarnai. Larutan NaCl fisiologis secukupnya diteteskan diatas gelas objek.

Kemudian koloni bakteri sebanyak 1 Öse diambil dari media Blood Agar Plate (BAP)

dan dicampurkan bersama NaCl fisiologis diatas gelas objek tadi. Pencampuran ini

dilakukan dengan cara menggerakkan Öse memutar dari arah dalam dan makin lama

22

makin keluar. Selanjutnya campuran yang terdapat diatas objek gelas tadi difiksasi

diatas bunsen yang menyala. Kemudian preparat ini diteteskan dengan zat warna

kristal violet diatas gelas objek hingga preparat tertutup, langkah ini dilakukan selama

1 menit. Setelah itu ditambahkan lugol diatas preparat tadi selama 1 menit. Preparat

kemudian dicuci dengan aquadest/air kran diatas bak pewarnaan. Pencucian

dilanjutkan dengan aceton alkohol selama 15 detik. Preparat kemudian dibilas sekali

lagi dengan aquadest/air kran hingga bersih. Pewarnaan kemudian dilanjutkan dengan

meneteskan safranin selama 15 detik pada preparat tersebut dan kemudian dibilas lagi

dengan aquadest/air kran hingga bersih. Preparat yang telah dibilas kemudian

dikeringkan, lalu ditetesi dengan minyak emersi dan siap untuk diamati dibawah

mikroskop dengan perbesaran 10x100 (Carter 1984). Koloni Streptococccus sp. akan

terlihat berbentuk bulat (coccus), bergerombol membentuk rantai, berwarna ungu.

5.3 Uji Katalase

Uji ini dilakukan sebagai acuan untuk identifikasi bakteri yang

berkarakteristik dapat memproduksi enzim katalase. Langkah yang pertama yaitu

menyiapkan gelas objek atau cawan petri yang sebelumnya telah dibersihkan dengan

alkohol 70% dan dikeringkan diatas api Bunsen. Pada gelas objek ini kemudian

diteteskan reagen H2O2 3% sebanyak 1 tetes. Langkah berikutnya yaitu mengambil

koloni bakteri yang telah tumbuh dari Blood Agar Plate (BAP) sebanyak 1 Öse dan

kemudian dicampurkan pada reagen H2O2 tadi. Reaksi memberikan hasil positif

apabila terbentuk gelembung-gelembung udara, sebaliknya reaksi memberikan hasil

negatif apabila tidak terbentuk gelembung. Bakteri Streptococcus sp. akan

memberikan hasil berupa katalase negatif (Lay 1994).

5.4. Uji Christie, Atkins, and Munch-Petersen (CAMP)

Uji CAMP dilakukan pada media agar darah. Koloni bakteri yang akan diuji

adalah koloni bakteri yang telah dikultur ulang selama satu malam. Koloni S. aureus

diambil dengan öse, digoreskan vertikal ditengah-tengah media agar darah sehingga

membagi agar darah menjadi dua bagian sama besar. Koloni Streptococcus diambil

23

dengan ose kemudian digoreskan horizontal di sebelah kanan dan kiri goresan

Staphylococcus aureus membentuk seperti garis tegak lurus. Jarak antara kedua

goresan kira-kira 0.5 cm dari goresan Staphylococcus aureus. Setelah selesai, agar

darah diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 ο

C. Uji positif akan menunjukan

zona bening seperti anak panah (arrow head) diantara kedua goresan bakteri tersebut

(Allen-Mierl et al. 2006).

5.5. Uji Serogrup S. agalactiae

S. agalctiae dari mastitis subklinis umumnya termasuk Grup-B. Identifikasi

dilakukan dengan menggunakan Streptococcal Grouping kit (Oxoid®, England). Tiap

isolat bakteri CAMP positif yang telah diremajakan pada media agar darah diambil 3-

5 koloni menggunakan öse secara aseptis, lalu dimasukan ke dalam tabung-tabung

kecil ujung lancip bertutup ukuran 1 ml yang telah berisi ekstrak enzim streptococcal

masing-masing sebanyak 200 µl. Suspensi tersebut dipanaskan di dalam penangas air

pada suhu 37 οC selama 10 menit. Setiap lima menit tabung-tabung tersebut dikocok.

Langkah berikutnya suspensi diambil dengan pipet Pasteur lalu diteteskan sebanyak

dua tetes di atas kertas latex. Tambahkan latex reagen group B pada suspensi dan

keduanya dicampurkan, dibiarkan selama 10-15 detik sambil diamati reaksi

aglutinasi yang terjadi.

5.6. Ekspresi Fenotipe SGB in vitro

Pengujian ekspresi fenotip dilakukan dengan menanam SGB pada media Soft

Agar (SA) dan media cair Todd Hewit Broth (THB) untuk diamati pola

pertumbuhannya. Isolat SGB yang telah diremajakan pada media agar darah ditanam

secara aseptis sebanyak satu öse kedalam tabung reaksi yang berisi 5 ml media brain

heart infusion (BHI) broth. Suspensi diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 οC,

kemudian biakan segar diambil dengan öse dan diencerkan dalam 10 ml larutan NaCl

0.14 M. Langkah berikutnya, batang öse ujung lurus dimasukan kira-kira nya ke

24

dalam suspensi biakan segar SGB yang telah diencerkan, lalu ditanam kedalam 10 ml

media soft agar (SA). Setiap suspensi tersebut ditanam dalam dua media SA. Salah

satu dari media SA ditambahkan serum kelinci sebanyak 200 µl (serum soft

agar/SSA) selanjutnya diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37οC. Pengujian pola

tumbuh pada media cair dilakukan dengan menanam 1 öse biakan segar SGB ke

dalam 10 ml media cair THB, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam

dan diamati pola pertumbuhannya (Wibawan and Lämmler, 1990).

5.7. Uji Hemaglutinasi

Isolat S. agalactiae Group B (SGB) selanjutnya diuji hemaglutinasi

menggunakan 1% eritrosit sapi perah dalam NaCl fisiologis. Pengujian hemaglutinasi

dilakukan dengan mencampur secara homogen 50 µl suspensi bakteri 108

sel/ml

dengan 50 µl eritrosit sapi perah ke dalam mikroplate. Reaksi hemaglutinasi dapat

dibaca jika kontrol eritrosit mengendap. Reaksi dikatakan positif apabila terjadi

aglutinasi di dasar tabung dan negatif apabila terjadi endapan seperti pada kontrol

eritrosit (Wahyuni dkk. 2005).

6. Orientasi Dosis Iradiasi Sinar Gamma SGB untuk LD50

Isolat SGB terpilih (yang mempunyai hemaglutinin positif/ Hn+) ditumbuhkan

dalam media BHI broth dan diinkubasi 37oC pada inkubator. Jika telah mencapai fase

log dengan waktu pembelahan sel tertinggi pada kurva pertumbuhan perlakuan, lalu

bakteri dicuci memakai aquades steril 3 kali dengan sentrifus 10.000 rpm. Setelah

pencucian, bakteri diencerkan menjadi 108

cfu/ml, lalu diiradiasi dengan dosis iradiasi

bertingkat dengan laju dosis 112,504 krad/ jam, di dalam iradiator Gamma chamber

di PATIR, BATAN. Selanjutnya bakteri ditanam pada media BHI agar plat dan

diinkubasi di dalam inkubator 37oC selama 1 malam, lalu keesokan harinya koloni

SGB yang tumbuh dihitung untuk menentukan nilai LD50 bakteri SGB iradiasi yang

25

masih bertahan hidup sebanyak 50% sebagaimana penelitian terdahulu (Tuasikal dkk.

2003).

7. Karakterisasi Protein Antigenik Permukaan SGB dengan SDS PAGE

Karakterisasi protein permukaan SGB iradiasi dilakukan dengan dua tahap,

yaitu persiapan protein antigenik dan teknik SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate

Polyacrylamid Gel Electrophoresis) untuk mengukur berat molekulnya (Walker JM

2002).

Protein antigenik diperoleh dari isolat SGB yang sudah ditanam dalam BHI

Broth dan diberi perlakuan iradiasi dengan dosis 0 dan 17 Gy, lalu disentrifuge

dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Pelet sel bakteri diambil kemudian

dicuci dengan NaCl fisiologis, selanjutnya diencerkan dengan NaCl fisiologis sampai

volume 1,5 ml. Suspensi sel dimasukkan ke dalam tabung sonikator untuk memecah

dinding sel dan melepas protein. Sonikasi dilakukan selama tiga menit. Sel hasil

sonikasi dipindahkan ke dalam tabung mini steril, kemudian disentrifuge pada 10.000

rpm selama 3 menit. Supernatan yang diperoleh dipisahkan dan disimpan pada suhu

0-4 oC sampai akan digunakan dalam pengukuran konsentrasi protein menggunakan

metode Bradford.

Penentuan berat molekul (BM) protein dianalisis dengan metode SDS PAGE.

Pembuatan agar akrilamid dilakukan dengan bantuan dua lempeng kaca berukuran 13

x 15,5 cm (Pharmacia - Biothec® yang telah dibersihkan dengan alkohol 70%. Kedua

lempeng kaca di himpit dan dijepit, serta diberi celah pada kedua sisi tepi bagian

dalam. Di bagian atas lempeng kaca disisipkan sisir pembuat jalur yang diisi gel

pemisah (12% poliakrilamid) sampai 1 cm di bawah ujung sisir dengan bantuan

mikropipet, lalu dibiarkan sekitar 60 menit, kemudian diisi gel pengumpul (4%

poliakrilamid) hingga mencapai permukaan lempeng kaca. Gel yang sudah dicetak

kemudian dibuka sisirnya, selanjutnya dipasang pada tangki elektroforesis, dan

ditambahkan buffer elektroforesis (Tris-glysin) sampai gel terendam. Sumuran

dibersihkan sebelum digunakan dengan menyemprotkan bufer elektroforesis ke

26

dalamnya sehingga gel-gel yang tersisa di dalam sumuran dapat keluar. Setiap

sumuran diisi dengan 10 µl campuran sampel protein dan sampel buffer yang sudah

dipersiapkan sebelumnya. Selain sampel digunakan juga marker protein sebagai

penanda. Marker protein yang digunakan mempunyai berat molekul 25 sampai 225

kDa. Visualisasi berat molekul protein antigen dilakukan dengan perangkat

elektroforesisi yang dihubungkan ke arus listrik pada tegangan 100 volt dengan arus

50 mA selama kurang lebih 3 jam sampai sampel buffer terlihat pada bagian bawah

gel (kurang lebih 1 cm di atas batas bawah gel). Elektroforesis dilakukan pada

kondisi suhu 4oC. Setelah elektroforesis berakhir, gel diangkat dari lempeng kaca dan

direndam di dalam pewarnaan Commasie Brilliant Blue selama 30 menit pada suhu

ruang sambil diagitasi perlahan. Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan

dengan merendam gel pada larutan pemucat metanol dan asam asetat sehingga gel

berwarna bening atau pita-pita protein telah terlihat jelas. Mobilitas relatif protein

dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein dari garis awal gel pemisah

dengan jarak migrasi pewarna, atau dibandingkan terhadap pewarna marker.

8. Uji Patogenitas dan Imunitas dengan Hewan Model Mencit

Hewan model yang digunakan adalah mencit betina jenis Balb-C, berumur 8

minggu dengan bobot badan kira-kira 50 gram. Sebanyak 12 ekor mencit dibagi

dalam 4 kelompok perlakuan, yaitu kelompok vaksin (V) diberi SGB Hn+

iradiasi,

kelompok vaksin dan tantang (VT) diberi vaksin SGB Hn+ iradiasi lalu ditantang

dengan SGB Hn+

tanpa iradiasi; kelompok tantang (T) diinfeksi dengan SGB Hn+

tanpa iradiasi, dan kelompok kontrol (K) tanpa vaksin dan tanpa tantang. Bakteri

yang diberikan mempunyai kepadatan 108 cfu / ml. Vaksin SGB Hn+ iradiasi

diinjeksikan dengan route intraperitoneal dengan dosis 0,3 – 0,4 cc/ ekor. Vaksin

booster diberikan setelah hari ke 7 dan ke 14, dan tantangan pada hari ke 21 (post

partus). Infeksi tantang SGB Hn+ tanpa iradiasi diberikan melalui parenteral (tetes)

pada 5 pasang putting sebanyak 50 µl/ mencit. Suspensi bakteri tantangan diteteskan

di atas orificium externa puting susu mencit secara bertahap (satu tetes sebanyak 5

27

µl), kemudian ditunggu hingga terabsorbsi. Nekropsi dilakukan sehari setelah

tantangan. Penilaian respon terhadap vaksin yang diberikan, dilakukan dengan

pemeriksaan Histopatologi jaringan kelenjar mamae yang difiksasi formalin dengan

pewarnaan hematoksilin dan eosin (HE) (Kiernan, 1990). Titer antibodi Ig-G

diperiksa dengan teknik Enzyme Linked Immunosorbent Assay secara tak langsung

(indirect ELISA) dari sampel serum darah yang dikoleksi tiap minggu (Crowther

2010).

9. Aplikasi Kandidat Vaksin Iradiasi Terpilih pada Kambing Perah

Hewan percobaan yang digunakan sebanyak 6 ekor kambing perah peranakan

etawah yang dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan, yaitu 4 ekor untuk kelompok

vaksin (V) yang diberi SGB Hn+ iradiasi secara subkutan dengan dosis 108

cfu/ml

sebanyak 2 ml/ kambing, dan 2 ekor untuk kelompok kontrol (K) yaitu hewan normal

yang tidak diberi vaksin SGB. Vaksin diberikan pada masa kering kandang dengan

pemberian booster 3 kali prepartus. Pemeriksaan konsentrasi Ig-G dilakukan dengan

teknik ELISA dari serum sampel yang dikoleksi tiap minggu (Crowther 2010).

Produksi susu postpartus dicatat setiap hari.

10. Rancangan Penelitian

Informasi tentang efektifitas bahan vaksin ini akan dilakukan dengan cara

membandingkan kondisi hewan percobaan antara yang hanya divaksin (V) yang

diberi vaksin dengan tantangan (VT), yang diberi tantangan tanpa vaksin (T); dan

hewan kontrol tanpa vaksin maupun tantangan (K). Signifikansi dari efektifitas bahan

vaksin akan ditelusuri dengan membandingkan kelompok perlakuan tersebut

menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Gambar histopatologi diambil dengan

kamera digital Electronic Eyepiece MD-130® menggunakan mikroskop cahaya.

Gambar diolah menggunakan software NIH Image-J®. Data pengamatan dianalisis

28

pada analisis ragam (ANOVA), post hoc Duncan test menggunakan software SPSS®

versi 16 untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan pada p<0,05.

29

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.Kejadian Mastitis Subklinis di Daerah Pengambilan Sampel Susu

Sampel susu yang digunakan berasal dari 3 wilayah pada 2 daerah yang berbeda

yaitu daerah Bogor dengan wilayah Kawasan Usaha Peternakan (Kunak)

Cibungbulang dan Garut dengan wilayah Kecamatn Cisurupan dan Kecamatan

Bayongbong. Sampel susu dari hewan penderita mastitis subklinis dapat diketahui

dengan CMT (California Mastitis Test). Dengan uji ini didapatkan hasil dengan

mengamati parameter derajat konsistensi kekentalan dari campuran susu dan reagen

uji yang membentuk materi gelatinous kental. Parameter ini diukur dengan melihat

kekentalan yang terjadi untuk positif I akan terbentuk lendir tipis, positif II akan

terbentuk lendir yang lebih kental, dan positif III lendir yang terbentuk sangat kental

seperti massa gelatin. CMT bekerja berdasarkan 3 prinsip yaitu jumlah leukosit akan

meningkat drastis saat jaringan mamae mengalami luka atau infeksi, leukosit

terutama polymorphonuclear leukosit (PMNs) mempunyai inti sel yang besar (DNA)

bila dibandingkan dengan sel lain atau bakteri yang terdapat didalam susu, selain itu

penyusun utama dinding sel leukosit adalah lipid (lemak). Semakin tebal gel yang

terbentuk di dalam piring uji CMT, maka semakin banyak juga sel darah putih yang

terdapat di dalam sampel susu. Peningkatan penebalan dari gel ini menandakan

terdapat peningkatan dalam hal infeksi. Reagen dari CMT merupakan suatu detergen

dengan penambahan indikator pH yang menyebabkan terbentuknya warna ungu pada

pencampuran dengan sampel susu. Saat sampel susu dan reagen MT dicampur

dengan jumlah yang setara, reagen CMT akan melarutkan dinding sel terluar dan

dinding sel nuklear dari leukosit yang penyusun utamanya adalah lemak, dimana

detergen akan melarutkan lemak. Hal ini mengakibatkan DNA lepas dari inti yang

mengarah kepada pembentukan gel oleh sesama DNA ntuk membentuk suatu massa

seperti serabut. Seiring dengan penambahan jumlah leukosit pada setiap quarter akan

berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pembentukan gel (Ruegg 2005). Hasil

dari uji ini pada ketiga wilayah dapat dilihat pada gambar 2.

30

Gambar 2. Hasil CMT memperlihatkan kekentalan (a) yang terbentuk akibat

pencampuran susu dengan reagen uji.

Berdasarkan hasil uji ini, kejadian mastitis subklinis tertinggi berada pada wilayah

Kunak, disusul Cisurupan, dan Bayongbong (Tabel 1).

Tabel 1 Kejadian mastitis subklinis pada wilayah Cisurupan, Bayongbong, dan

Kunak

Asal sampel Jumlah sampel Jumlah sampel

positif CMT

Kejadian mastitis

subklinis

Cisurupan 97 92 94.84%

Bayongbong 77 72 93.50%

Kunak 66 66 100%

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa tingkat kejadian terjadinya mastitis subklinis

di ketiga wilayah peternakan ini sangatlah tinggi, dengan presentasi kejadian pada

daerah Cisurupan, Bayongbong dan Kunak, berturut-turut sebesar 94,84%, 93,50%,

100%. Peluang terjadinya mastitis subklinis di peternakan wilayah Kunak adalah

sangat mungkin terjadi atau selalu terjadi. Data ini menggambarkan buruknya kondisi

a

31

lingkungan, rendahnya tingkat sanitasi perkandangan, dan cara pemerahan

mencerminkan higienitas personal yang buruk. Faktor manusia menjadi masalah

utama sehingga hal-hal buruk tersebut dapat terjadi.

Tingginya presentasi kejadian mastitis subklinis pada peternakan sapi perah di

ketiga daerah ini dapat dikaitkan dengan kondisi lingkungan dan pengelolaan

peternakan diantaranya yaitu sanitasi kandang dan cara pemerahan susu (Sori et al.

2005). Sanitasi kandang yang buruk, peralatan yang tidak bersih dan ditambah lagi

dengan cara pemerahan susu yang juga tidak bersih kemungkinan besar merupakan

faktor utama penyebab terjadinya mastitis subklinis pada ketiga peternakan sapi perah

tersebut.

Hasil pemeriksaan CMT positif yang lebih dari 50% pada penelitian ini

menunjukkan masih tingginya kejadian mastitis subklinis. Penelitian intensif Balai

Penelitian Veteriner di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa

Yogyakarta prevalensi mastitis subklinis berkisar antara 37 sampai 67%, sedangkan

mastitis klinis antara 5 sampai 30% (Supar 1997). Kasus mastitis terutama mastitis

subklinis di Indonesia sampai akhir tahun 2006, tercatat sekitar 75% - 83%

(Sudarwanto dkk. 2006). Sebagaimana Indonesia, di negara-negara lainpun kasus

mastitis subklinis selalu lebih tinggi dibandingkan mastitis klinis. Kejadian mastitis

subklinis di Polandia sebesar 25,35% sedangkan mastitis klinis hanya 0,41%

(Hameed et al. 2007). Prevalensi mastitis klinis dan subklinis di Iran berturut-turut

2,2 dan 42,5% (Hashemi et al. 2011). Mastitis subklinik adalah mastitis yang tidak

menampakkan perubahan fisik pada mamae dan susu yang dihasilkan, tetapi dapat

menurunkan produksi susu, ditemukannya mikroorganisme patogen dan terjadi

perubahan komposisi susu (Petrovski and Emanuel, 2006). Hal-hal tersebut di atas

dapat menyebabkan kerugian ekonomis yang cukup besar dalam usaha peternakan

sapi perah. Kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh mastitis antara lain: Penurunan

produksi susu perkwartir per hari antara 9% – 45,5% (Sudarwanto 1999); Penurunan

kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30% - 40% (Sudarwanto

dan Sudarnika 2008) dan penurunan kualitas hasil olahan susu (Hamman 2005);

32

Peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal

(Seegers et al. 2003, Shim et al. 2004).

Selain kondisi lingkungan dan pengelolaan peternakan sebagai faktor utama

penyebab mastitis subklinis di ketiga peternakan, faktor penunjang dari sisi ternak

juga berperan dalam terjadinya radang mamae ini. Kondisi kesehatan ternak yang

kurang baik, luka/lecet pada puting susu yang diakibatkan pemerahan kasar, lantai

kasar, lap yang kotor dan sikat yang keras, bentuk mamae yang sangat menggantung,

serta mamae dengan lubang puting yang terlalu lebar merupakan faktor predisposisi

terjadinya mastitis subklinis dari segi ternak. Disamping itu terdapat pula faktor

penyebab mastitis subklinis dari segi mikroorganisme penyebab, diantaranya adalah

jenis dan jumlah mikroorganisme patogen. Faktor-faktor penyebab tersebut dapat

berpengaruh terhadap kerusakan struktur dan gangguan fungsi kelenjar mamae pada

ruminansia yang terserang mastitis, sehingga berujung pada penurunan produksi susu

pada induk pasca melahirkan (Akers and Nickerson, 2011).

Kondisi lingkungan (kandang) tempat sampel susu diperoleh maupun sanitasi

saat pemerahan dapat diukur dengan menggunakan beberapa parameter diantaranya

adalah jumlah mikroba. Rata-rata jumlah mikroba dalam sampel susu yang diperoleh

dari daerah Cisurupan, Bayongbong dan Kunak disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah mikroba dalam sampel susu dari uji Total Plate Count (TPC)

Asal sampel Rata-rata jumlah mikroba (cfu/ml)

Cisurupan 1.302.893

Bayongbong 1.300.987

Kunak 1.764.613

Data dari hasil tabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata jumlah mikroba pada

setiap perwakilan sampel di ketiga wilayah sangat tinggi karena berada diatas nilai

kisaran normal total cemaran mikroba pada susu segar yaitu 106 cfu/ml sesuai dengan

SNI 01-3141-1998. Hal ini mendukung data dari hasil CMT dimana prevalensi

33

mastitis subklinis pada peternakan sapi perah di ketiga wilayah sangat tinggi, yang

dibuktikan dengan tingginya rata-rata jumlah mikroba pada sampel susu yang

dikumpulkan secara aseptis langsung ditampung dalam tabung steril. Menurut

Lukman dkk (2009) pencemaran dapat berasal dari mamae atau masuk melalui puting

susu. Jumlah mikroba bertambah dengan adanya cemaran dari tangan dan baju

pemerah, alat perah dan lingkungan kandang. Jumlah mikroba dalam susu akibat

kontaminasi melalui udara sekitar 100-1.500 koloni/ml susu, melalui kontaminasi

mamae dan sekitarnya ditemukan 300-4.000 koloni/ml. melalui sanitasi yang buruk

pertambahan mikroba mencapai 500-15.000 koloni/ml. kontaminasi dari mamae yang

sakit mencapai 25.000 koloni/ml. jumlah mikroba dalam susu akan meningkat

melalui kontaminasi dari peralatan susu sampai dengan lebih dari 1.000.000

koloni/ml (Lukman dkk. 2009).

2. Isolat S. agactiae Group B Terpilih sebagai Bahan Vaksin Iradiasi Mastitis

Subklinis

Isolasi dan identifikasi bakteri Streptococcus sp pada sampel susu yang

dinyatakan positif mastitis subklinis berdasarkan hasil CMT, dilakukan dengan

mengkultur pada media Blood Agar Plate (BAP). Media BAP ini merupakan media

diferensial yang dapat membedakan bakteri normal dan bakteri pathogen berdasarkan

kemampuannya melisiskan sel darah merah. Selain itu pada media ini dapat pula

diamati bentuk koloni dari bakteri yang tumbuh. Koloni Streptococcus sp pada

permukaan BAP akan tampak sebagai koloni yang halus, kecil, cembung, transparan

sampai putih (Gambar 3). Koloni ini akan membentuk pola hemolisis α, hemolisis β,

atau γ (tanpa hemolisis) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 (Cowan 2003).

34

Gambar 3. Tampilan koloni Streptococcus sp pada media Blood Agar Plate.

Gambar 4. Pola hemolisis Streptococcus sp pada media Blood Agar Plate.

Identifikasi bakteri dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopi dengan

pewarnaan Gram. Pemeriksaan mikroskopi ini dilakukan dengan tujuan untuk

identifikasi bakteri berdasarkan bentuk, susunan dan sifat Gram bakteri. Bakteri

Streptococcus sp dibawah mikroskop akan tampak bulat (coccus), koloninya tersusun

berpasangan atau membentuk rantai. Koloni bakteri juga tampak berwarna ungu yang

berarti bahwa bakteri ini bersifat Gram positif (Gambar 5). Pewarnaan Gram

merupakan salah satu tahap penting dalam proses perincian dan identifikasi bakteri

dan pewarnaan yang banyak digunakan dalam laboratorium mikrobiologi (Lay 1994).

Bakteri Gram positif bewarna ungu saat teramati dibawah mikroskop dengan

perbesaran tinggi karena pengaruh kompleks zat warna dari kristal violet yang tetap

dipertahankan walaupun telah diberi larutan pemucat. Pada dinding bakteri Gram

positif mengandung lipid yang rendah sehingga pada saat dilakukan pencucian

beta

a

gamma

alpha

35

dengan larutan pemucat terjadi dehidrasi dan lubang pori-porinya mengecil, itu

sebabnya zat warna tetap dipertahankan. Ditemukan juga pada dindingnya senyawa

Mg-ribonukleat yang mengikat kristal violet sehingga tidak mudah dilarutkan (Lay

1994).

Gambar 5. Tampilan mikroskopik Streptococcus sp. Gram positif menggunakan

mikroskop cahaya (perbesaran 10x100).

Untuk membedakan lebih lanjut bakteri bulat Gram positif maka dilakukan uji

katalase. Uji ini dilakukan sebagai acuan untuk identifikasi bakteri yang

berkarakteristik dapat memproduksi enzim katalase. Katalase yang diproduksi oleh

bakteri ini dapat mengubah hidrogen peroksida menjadi gas hidrogen dan air. Hasil

positif mengindikasikan adanya cytochrome oxidase (Quinn et al. 2006). Bakteri

Streptococcus sp akan memberikan hasil katalase negatif yang ditandai dengan tidak

terbentuknya gas hidrogen dan air. Hal ini menunjukkan salah satu karakteristik

bakteri tersebut yaitu tidak mempunyai enzim cytochrome oxidase. Uji katalase

positif pada Staphylococcus sp, dengan reaksi yang terjadi sebagai berikut:

H2O2 enzim katalase H2O(l) + O2(g)

Berdasarkan pada prosedur isolasi dan identifikasi bakteri yang telah

dilaksanakan maka diperoleh sejumlah sampel dari ketiga daerah yang memenuhi

kriteria sebagai Streptococcus sp penyebab mastitis subklinis. Jumlah sampel yang

36

memenuhi kriteria sifat-sifat Streptococcus sp tersebut dan presentasi kehadiran

bakteri ini dalam sampel dari tiap daerah disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Presentasi kehadiran Streptococcus sp pada susu dengan uji Katalase negatif

Asal sampel Jumlah sampel susu

CMT positif

Jumlah sampel

mengandung

Streptococcus sp

Presentasi

kehadiran

Streptococcus sp

Cisurupan 92 14 15.22%

Bayongbong 72 16 22.22%

Kunak 66 27 40.90%

Dari Tabel 3. dapat diketahui bahwa presentasi kehadiran Streptococcus sp tertinggi

terdapat pada sampel susu yang berasal dari Kunak yaitu sebesar 40.90%, disusul

oleh sampel dari Bayongbong sebesar 22.22%, dan sampel dari Cisurupan sebesar

15.22%. Streptococcus sp merupakan bakteri yang umum diduga sebagai agen

patogen penyebab penyakit pada kebanyakan hewan vertebrata (Chanter 1997).

Malinowski et al. (2006) berhasil mengisolasi Streptococcus sp. sebagai agen mastitis

terbanyak (15,7%) dari sampel susu dengan nilai Jumlah Sel Somatic (JSS) antara

200.000-2000.000 sel/ml.

Uji CAMP merupakan presumptive test dalam mengidentifikasi bakteri S.

agalactiae (Darling 1975, Facklam et al. 1979). Hasil dari 57 isolat yang diuji

dengan uji CAMP didapatkan sebanyak 34 isolat (59,6%) memperlihatkan hasil uji

CAMP positif sedangkan 23 isolat (40,4%) lainnya menunjukkan hasil uji CAMP

negatif (Tabel 4).

Tabel 4. Jumlah isolat Streptococcus agalactiae dari uji CAMP

Hasil uji CAMP Jumlah Persentase

Positif

Negatif

34

23

59,6%

40,4%

Total (n) 57 100%

37

Isolat yang menunjukkan hasil CAMP positif membentuk zona hemolisis

seperti anak panah (arrowhead) pada media BAP diantara biakan Staphylococcus

aureus dan isolat yang diuji, sedangkan hasil uji CAMP negatif tidak menunjukkan

perubahan apapun pada media BAP seperti yang terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Hasil uji CAMP positif (zona bening seperti anak panah dibagian tengah

BAP), dan CAMP negatif (tidak ada hemolisis dibagian paling atas dan

paling bawah).

Fenomena yang terjadi pada uji CAMP karena adanya interaksi antara faktor

CAMP yang dihasilkan isolat yang diuji (dalam hal ini Streptococcus agalactiae)

dengan produk ekstraseluler berupa β-lysin stpahylococcal yang dihasilkan oleh

Staphylococcus aureus β-hemolisis sehingga hemolisis pada media BAP semakin

jelas karena daya hemolisis yang ditimbulkan meningkat (Hansen and Sørensen

2003) .

Bahan vaksin yang dipilih adalah Streptococcus agalactiae karena merupakan

salah satu agen utama penyebab mastitis subklinis pada sapi perah dan dapat

menyebabkan kerugian ekonomi untuk industri susu (Keefe et al. 1997, Keefe 1997).

Hasil studi Estuningsih dkk (2002) menyebutkan bahwa 83 isolat bakteri yang

diisolasi dari 3 area di pulau Jawa, seluruhnya teridentifikasi sebagai Streptococcus

agalactiae. Sesuai dengan hasil isolasi bakteri yang dilakukan Supar dan Ariyanti

(2008) dari sampel susu kuartir di daerah Bandung, Bogor dan Sukabumi diperoleh

60,6% Streptococcus agalactiae sebagai bakteri dominan penyebab mastitis

38

subklinis. S. aureus yang digunakan dalam uji CAMP ini merupakan isolat yang

bersifat β hemolitik dan diisolasi juga dari kasus MSK.

Uji berikutnya adalah uji grouping. Sampel yang diuji adalah sampel yang

positif uji CAMP. Hasil uji grouping yang dilakukan menunjukkan dari 34 sampel

yang positif uji CAMP didapatkan 14 isolat (41,2%) diantaranya menunjukkan

aglutinasi positif terhadap latex reagen group B sedangkan 20 isolat (57,8%) lainnya

tidak terjadi aglutinasi dengan reaksi latex reagen group B (tabel 5).

Tabel 5. Jumlah isolat S. agalactiae dari uji Grouping Kit

Hasil uji grup B Jumlah Presentase

Aglutinasi

Tidak terjadi aglutinasi

14

20

41,2%

57,8%

Total sampel (n) 34 100%

Reaksi aglutinasi yang terjadi pada saat uji group merupakan reaksi dari latex

reagen group B dengan karbohidrat berupa polisakarida C. Polisakarida ini hanya

dapat ditemukan pada permukaan dinding sel bakteri S. agalactiae. 14 isolat yang

positif uji serogrouping ini merupakan murni streptococcus grup B atau S. agalactiae,

karena latex reagen group B hanya akan bereaksi aglutinasi bila direaksikan dengan

S. agalactiae.

Hasil identifikasi dari 57 isolat yang berasal dari susu sapi penderita mastitis

subklinis yang bersifat Gram positif dengan katalase negatif dapat ditemukan 14

isolat atau sekitar 24.6 % merupakan S. agalactiae Group B.

Diketahui pula bahwa S. agalactiae grup B (SGB) merupakan bakteri utama

penyebab mastitis subklinis pada sapi perah dan merupakan parasit obligat pada

mamae (Wahyuni dkk. 2006, Abubakar et al. 2006, Moatamedi et al. 2007).

Isolat S. agalactiae Group B yang telah didapatkan ditanam ke dalam media

soft agar (SA) dan serum soft agar (SSA). Pengujian ini adalah untuk melihat

39

ekspresi fenotip S. agalactiae secara in vitro. Hasil bentuk koloni dan pola

pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pola pertumbuhan S. agalactiae pada media SA, SSA dan THB

No. Kode

isolat

Bentuk koloni di media : Pertumbuhan dan Endapan

SA SSA pada media cair THB

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

CK2

EK1

EK4

M3

K2

PK1

PK2

RB4

BK2.2

BK4.1

JK3

AK4

MK1

SK2.3

Difus

Kompak

Kompak

Difus

Difus

Difus

Difus

Difus

Difus

Kompak

Kompak

Difus

Kompak

Kompak

Difus

Kompak

Kompak

Difus

Difus

Difus

Difus

Difus

Difus

Kompak

Kompak

Difus

Kompak

Kompak

Keruh tanpa endapan

Bening dengan endapan

Bening dengan endapan

Keruh tanpa endapan

Keruh tanpa endapan

Keruh tanpa endapan

Keruh tanpa endapan

Keruh tanpa endapan

Keruh tanpa endapan

Bening dengan endapan

Bening dengan endapan

Keruh tanpa endapan

Bening dengan endapan

Bening dengan endapan

Ekspresi fenotip 8 isolat pada media SA memperlihatkan pertumbuhan koloni

yang difus dan 6 isolat tumbuh dengan pertumbuhan koloni yang kompak. Hasil

pertumbuhan pada media SSA juga memperlihatkan hasil yang sama dengan koloni

yang tumbuh pada media SA terdapat 8 isolat menunjukkan bentuk koloni yang difus

dan 6 isolat lainnya berbentuk koloni kompak. Pertumbuhan SGB pada media cair

THB juga terdapat 8 isolat dengan pola pertumbuhan keruh tanpa tanpa endapan di

40

dasar tabung, dan 6 isolat dengan pola pertumbuhan bening dengan endapan di dasar

tabung.

Bentuk koloni pada media SA dan SSA dapat dilihat pada isolat PK1 dan

MK1 dalam Gambar 7. Isolat PK1 pada media SA menunjukkan bentuk koloni difus

halus, sedangkan pada media SSA terlihat bentuk koloni difus yang lebih besar.

Koloni yang tumbuh kompak dapat terlihat pada isolat MK1. Koloni MK1 pada

media SA terlihat kompak dengan koloni yang kecil, sedangkan pada media SSA

terlihat kompak dengan koloni lebih besar. Penambahan serum ke dalam media SA

dapat memperkaya media tersebut akan unsur hara yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan bakteri. Koloni dari isolat yang sama di media SA yang semula kecil

menjadi koloni yang tampak lebih jelas dan besar pada media SSA.

Gambar 7. Bentuk koloni S. agalactiae pada media SA dan SSA menunjukkan

pertumbuhan bentuk koloni difus (isolat PK1 sebelah kiri) dan

pertumbuhan bentuk koloni kompak (isolat MK1 sebelah kanan).

Media SA digunakan untuk melihat ekspresi fenotip dari komponen yang

terdapat pada permukaan bakteri, diantaranya untuk membedakan bakteri yang

membentuk kapsul dengan yang tidak membentuk kapsul pada permukaannya.

Kondisi ini akan ditunjukkan oleh pola pertumbuhan koloni yang tumbuh pada media

41

SA. S. agalactiae yang memiliki kapsul pada permukaannya akan diekspresikan

dengan pola pertumbuhan koloni yang difus di media SA sedangkan bentuk koloni

yang lebih kompak menandakan tidak adanya kapsul pada permukaan dinding sel

(Wibawan & Lämmler 1991). Kapsul sebagian besar penyusunnya merupakan

karbohidrat dalam bentuk polisakarida yang menutupi protein permukaan sel bakteri,

sehingga tidak terekspresikan pada SA yang bahan penyusunnya juga karbohidrat

(Harlina. 1999). Oleh karena itu, dalam media SA bakteri berkapsul akan

terekspresikan dengan bentuk pertumbuhan yang difus sedangkan bakteri tidak

berkapsul terekspresikan dalam bentuk kompak.

Bentuk pertumbuhan koloni pada media SA juga dapat menentukan

keberadaan antigen protein R dan X. Permukaan bakteri diselimuti oleh antigen

protein R atau X akan terekspresikan dengan tumbuh menjadi koloni yang kompak

pada media SA sedangkan yang tidak memiliki antigen protein akan tumbuh menjadi

difus pada media SA (Wibawan & Lämmler 1990).

Selain mengekspresikan bentuk pertumbuhan koloni pada media SA dapat

juga terlihat ekspresi pertumbuhan koloni yang ditanam pada media cair Todd-Hewitt

broth (THB). Penanaman pada media cair untuk menentukan ukuran panjang rantai

yang tersusun membntuk koloni. Pertumbuhan koloni yang keruh pada media cair

menggambarkan koloni dengan rantai pendek (<20 bakteri/rantai), sebaliknya koloni

yang tumbuh membentuk sedimen didasar tabung dan supernatan yang jernih

merupakan koloni dengan rantai yang lebih panjang (>40 bakteri/rantai). Sedimen

terbentuk karena koloni degan rantai panjang cenderung mengendap di dasar tabung

(Wibawan and Lämmler 1990).

Adanya antigen protein R dan X ini juga memberikan pengaruh terhadap

pertumbuhan pada media cair THB. Bakteri dengan antigen protein akan tumbuh

dengan supernatan yang jernih dan membentuk sedimen didasar tabung sedangkan

bakteri tanpa antigen protein tumbuh keruh di media cair (Wibawan and Lämmler

1990).

42

Umumnya komponen yang terdapat pada permukaan sel adalah faktor virulen

yang membantu bakteri dalam proses infeksi. Kapsul menentukan tingkat virulensi

dari S. agalactiae. Kehilangan kapsul asam sialat akan menghilangkan daya virulensi

(Wibawan & Lämmler 1991). Kapsul pada bakteri akan membantu menurunkan

penyingkiran bakteri terhadap fagositosis sel-sel polimorfonuklear (PMN) (Wibawan

& Lämmler 1991). Bahan pembangun kapsul merupakan polisakarida yang

merupakan antigen yang tidak imunogenik terhadap inang menyebabkan sel-sel PMN

tidak mengenalinya sebagai benda asing bagi tubuh. Namun, bakteri yang tidak

memliki kapsul akan memiliki daya adhesi yang lebih tinggi untuk melekat pada sel

inang dibanding yang memiliki kapsul (Utama et al. 1997). Adanya antigen protein R

atau X menimbulkan permukaan sel memiliki daya hidrofobitas yang tinggi dan

mempunyai peran penting terhadap daya adesi dari S. agalactiae untuk melekat pada

sel epitel inangnya (Wibawan and Lämmler 1991).

Hemaglutinin mempunyai peran dalam proses adhesi. Hasil kajian Wibawan

(1998) menyebutkan bahwa S. agalactiae yang memilki hemaglutinin mempunyai

kamampuan adhesi yang lebih besar daripada yang tidak mempunyai hemaglutinin

pada sel epitel mamae. Pada mastitis subklinis kemampuan adhesi mempunyai peran

lebih penting dari pada kemampuan invasi (Wahyuni, 2005). Kebanyakan strain

bakteri yang bereaksi hemaglutinin mempunyai tipe protein antigen-X pada S.

agalactiae yang diisolasi dari kasus mastitis pada sapi perah (Rainard dkk. 1991).

Lewat kemampuan adhesi ini S. agalactiae terbebas dari pengaruh pembasuhan

organ-organ sekresi, sehingga terhindar dari efek basuh aliran susu. Kondisi ini

menjawab alasan bakteri ini menyebabkan masititis subklinis.

Isolat bakteri terpilih untuk kandidat vaksin iradiasi pada penelitian ini adalah

Streptococcus agalactiae yang diperoleh dari susu asal mastitis subklinis dan

termasuk ke dalam kelompok Group-B (SGB). Sebagai bahan vaksin iradiasi telah

dipilih SGB dengan karakter mempunyai antigen protein tanpa kapsul yang tumbuh

dengan bentuk koloni kompak dalam media soft agar dan mempunyai Hemaglutinin

(Hn+).

43

3.Orientasi Dosis Iradiasi SGB untuk LD50

Dari orientasi dosis iradiasi untuk melemahkan bakteri diperoleh hasil

pengamatan koloni bakteri pada Tabel 7. Dari perlakuan tersebut diperoleh kurva

Pengaruh Iradiasi terhadap % Viabilitas bakteri dengan persamaan Y=95,414e-0,0371X

;

R2=0.9979 (Y=%Viabilitas dan X= dosis iradiasi) yang terdapat pada Gambar 10.

Dari persamaan tersebut dapat diperoleh dosis iradiasi 17,4 Gy untuk melemahkan

bakteri Streptococcus agalactiae sampai taraf LD50.

Tabel 7. Pengamatan persentasi viabilitas SGB akibat iradiasi sinar gamma

pada berbagai dosis untuk LD50.

Dosis (Gy) SGB(cfu/ml)x108 % viabilitas Keterangan

0 16,90 100 LD50 = 8,45x108

25 6,10 36,1

50 2,40 14,2

75 1,05

6,21

100 0 0

Gambar 8. Perhitungan Dosis Iradiasi gamma untuk melemahkan SGB sampai taraf

LD50

44

Berdasarkan Tabel 7 dan Gambar 8, iradiasi sinar gamma dapat

mempengaruhi jumlah sel bakteri. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang

menyatakan bahwa semakin tinggi dosis iradiasi semakin rendah jumlah populasi sel

bakteri yang dapat bertahan hidup (Tuasikal dkk. 2003).

Hasil analisis protein permukaan SGB melalui teknik SDS-PAGE (Gambar 9)

menunjukkan masih tervisualisasinya pita protein pada kedua sampel antara yang

non-iradiasi dan iradiasi 17 Gy, juga tidak tampak perbedaan pola pita protein

tersebut. Hal ini mengindikasikan tidak adanya perbedaan sifat antigenik bakteri

tersebut, yang ditunjukkan dengan berat molekul (BM) dari kedua perlakuan isolat

bakteri, yaitu berkisar antara 75 – 225 kDa, berdasarkan standar marker yang

digunakan. Telah diketahui bahwa syarat minimal BM antigen yang dapat

menimbulkan antibodi pada sistim kekebalan tubuh hewan adalah 10.000 Dalton (10

kDa) (Lindahl, et al. 2006). Keadaan ini dapat diartikan bahwa radiasi sebesar 17 Gy

tidak menyebabkan S. agalactiae kehilangan sifat antigeniknya sehingga dapat

digunakan sebagai bahan dasar vaksin iradiasi untuk penyakit Mastitis Subklinis pada

ternak ruminansia.

Gambar 9. Visualisasi pita protein SGB iradiasi 0Gy dan 17Gy pada BM 75 – 225 kDa

45

Penelitian Hughes et al. (2002) berhasil mengidentifikasi 2 macam

antigen permukaan SGB dari kasus meningitis bayi yang baru lahir. Protein

permukaan SGB tersebut adalah ornithine carbamoyltransferase dan

phosphoglycerate kinase dengan visualisasi protein masing-masing 38 kDa dan

42 kDa. Antisera terhadap kedua protein ini pada hewan model mencit dapat

melindungi hewan baru lahir terhadap infeksi S. agalactiae.

Diketahui pula bahwa protein permukaan SGB bersifat imunoreaktif

yang dapat menimbulkan respon imun berupa Ig G1 pada sapi. Diduga protein

extraseluler ini mempunyai peranang penting dalam patogenesis S. agalactiae

dalam menginduksi mastitis (Trigo et al. 2008).

Park et al. (2002) mengidentifikasi Lactoferrin-Binding Protein (LBP)

Streptococcus spp. yang diisolasi dari sapi perah mastitis. LBP ini memegang

peranan dalam patogenesis mastitis sapi. Seluruh strain S. agalactiae yang

diteliti menunjukkan LBP dengan pita-pita protein dari 70 kDa sampai 112 kDa.

LBP dengan BM yang bersifat antigenik ini juga ideal untuk menjadi kandidat

vaksin di masa depan.

4.Hasil Uji Patogenitas dan Imunitas pada Hewan Model Mencit

Hasil pemeriksaan gambaran histopatologi pada kelenjar mamae mencit yang

diuji ditunjukkan pada Tabel 8. Uji patogenitas pada hewan percobaan mencit

menunjukkan bahwa SGB iradiasi tidak patogen, terbukti dari gambaran histopatologi

(HP) menunjukkan bahwa sel-sel pada alveol kelenjar mamae dari kelompok yang

diberi vaksin SGB iradiasi dan kelompok vaksin kemudian ditantang dengan SGB

tanpa iradiasi, masih memproduksi susu dan jumlah alveol kelenjar tidak berbeda

nyata dibanding dengan kelompok kontrol (mencit normal); jumlah alveol kelenjar

mamae yang paling sedikit berproduksi ada pada kelompok mencit yang ditantang

dengan SGB ganas tanpa divaksin. Vaksin SGB iradiasi juga tidak menimbulkan

peradangan pada kelenjar mamae mencit yang diuji, dibuktikan dari jumlah sel

46

radang interstisial disekitar alveol mamae dan sel epitel kelenjar yang terdeskuamasi

pada kelompok mencit yang divaksin tidak berbeda nyata bahkan lebih sedikit

dibanding dengan kelompok kontrol. Gambaran histopatologi yang tidak berbeda

nyata antara kelompok vaksin dan kontrol menunjukkan bahwa mencit yang divaksin

masih mempunyai fungsi fisiologis yang normal, sehingga vaksin SGB iradiasi aman

untuk diaplikasikan. Sel radang interstisial terbanyak ditemukan pada kelompok

mencit yang ditantang dengan SGB ganas, bahkan berbeda nyata dibanding

kelompok vaksin dan kontrol (p<0,05), hal ini berarti telah terjadi peradangan pada

kelompok mencit tantang tanpa divaksin, dan mengindikasikan tidak ada proteksi

pada mencit kelompok tantang. Tidak ada perbedaan nyata pada histopatologis

kelompok vaksin lalu ditantang dengan kelompok kontrol menunjukkan jika mencit

yang divaksin SGB iradiasi lebih tahan terhadap infeksi SGB, dengan demikian

vaksinasi penting dilakukan.

Tabel 8. Hasil perhitungan kelenjar mamae mencit pada empat kelompok perlakuan

Kelompok Alveol

produktif

Sel radang

dalam lumen

Sel

deskuamasi

Sel radang

interstitial

K 70,9±13,2a 1,9±1,7

a 8,8±7,2

a 23,0±1,1

a

V 77,1±13,7a 2,3±1,6

a 8,1±0,7

a 11,8±6,4

a

VT 72,5±17,8a 1,5±1,1

a 5,9±2,3

a 14,5±10,7

a

T 60,4±14,0a 3,6±1,1

a 9,7±3,1

a 41±5,9

b

Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata (p<0,05). K=Kontrol; V=Vaksin; VT=Vaksin+Tantang; T=Tantang.

Mencit memiliki kesamaan dengan sapi dalam hal struktur kelenjar mamae/

mamae dan reaksi jaringan terhadap infeksi S. agalactiae, dengan demikian mencit

dapat digunakan sebagai model untuk mempelajari patogenesis mastitis subklinis

yang disebabkan oleh S. agalactiae pada sapi perah (Estuningsih 2002).

Kecocokan mencit sebagai hewan model untuk mempelajari mastitis pada sapi

juga telah dinyatakan oleh Notebaert dan Meyer (2006).

47

Gambar 10. Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok kontrol perbesaran

100X dengan alveol produktif menghasilkan susu (a).

Gambar 11. Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok vaksin perbesaran

100X epitel alveol masih utuh dan produktif menghasilkan susu (b).

a

b

48

Gambar 12. Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok vaksin+tantang

perbesaran 100X sebagian besar alveol produktif menghasilkan susu (c)

Gambar 13. Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok tantang perbesaran

100X Sel epitel alveol deskuamasi (d), epitel alveol atrofi (e), sel radang (f).

C

d

e

f

49

Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok vaksin (Gambar

10) mirip dengan kelompok kontrol (Gambar 11) yaitu mencit normal. Mencit-mencit

dari kedua kelompok perlakuan ini sama-sama mempunyai epitel alveol yang masih

utuh dan produktif menghasilkan susu. Hal tersebut membuktikan jika pemberian

vaksin iradiasi SGB masih aman dilakukan karena kelompok mencit yang divaksin

menunjukkan fungsi fisiologis normal sebagaimana kelompok mencit kontrol.

Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok vaksin kemudian

diberi tantangan dengan SGB ganas atau tidak diradiasi (Gambar 12) menunjukkan

bahwa sebagian besar alveol kelenjar masih produktif menghasilkan susu. Hal

tersebut menunjukkan bahwa mencit yang divaksin dengan SGB iradiasi dapat

menahan infeksi tantangan dan tetap memproduksi susu.

Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok yang tidak

divaksin tetapi hanya diberikan uji tantang dengan SGB ganas tanpa iradiasi (Gambar

13) memperlihatkan kerusakan berupa atrofi epitel alveol dan berdeskuamasinya sel

epitel ke dalam lumen alveol. Hal tersebut terjadi akibat peradangan yang

ditunjukkan dengan sel-sel radang yang terlihat baik di dalam lumen alveol maupun

interstisial. Keadaan patologis pada kelompok tantang ini mengakibatkan alveol tidak

dapat berproduksi dan tampak lumen alveol banyak yang tidak berisi susu.

Hasil pemeriksaan Ig-G serum mencit dengan ELISA (Gambar 14.)

menunjukkan tingkat respon imun yang lebih tinggi pada kelompok mencit yang

divaksin dibandingkan kelompok kontrol, hal tersebut membuktikan bahwa SGB

yang telah dilemahkan dengan iradiasi sinar gamma masih mampu menimbulkan

respon imun. Gambar 15 juga menunjukkan bahwa titer Ig-G pada kelompok Vaksin

dan tantang masih lebih tinggi dari pada kelompok kontrol.

Hewan model mencit dapat menunjukkan respon imun bawaan maupun

dapatan terhadap Streptococcus agalactiae penyebab mastitis (Trigo et al., 2009).

Hewan model mencit juga digunakan untuk uji vaksin rekombinan S. agalactiae dan

S. aureus dari kasus mastitis sapi. Uji ELISA serum mencit menunjukkan antibodi

dominan berasal dari subtipe Ig G1 (Xu et al. 2011).

50

Gambar 14. Titer Ig-G kelompok mencit yang divaksin (V) SGB iradiasi

dibanding kelompok mencit kontrol (K).

Gambar 15. Titer Ig-G kelompok mencit yang divaksin SGB iradiasi kemudian

ditantang dibandingkan dengan kelompok kontrol.

6543210

0.12

0.11

0.1

0.09

0.08

0.07

0.06

0.05

0.04

0.03

Waktu (minggu)

Ab

so

rba

ns

i

K

V

6543210

0.18

0.16

0.14

0.12

0.1

0.08

0.06

0.04

Waktu (minggu)

Ab

sorb

ansi

K

VT

51

5.Hasil Uji Respon Imun dan Produksi Susu pada Kambing Perah.

Aplikasi vaksin iradiasi SGB pada kambing perah Peranakan Etawah-

pun dapat menimbulkan respon imun yang baik, terbukti dari hasil pemeriksaan

serum dengan ELISA pada kelompok kambing yang divaksin mempunyai

konsentrasi Ig-G lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (Gambar 16).

Gambar 16. Konsentrasi Ig-G dari serum kambing yang telah divaksin dengan

SGB iradiasi dibandingkan dengan kontrol.

Produksi susu pada kambing percobaan yang divaksin dengan vaksin iradiasi

SGB tetap stabil (Gambar 17). Produksi susu kambing perah kelompok vaksin tidak

mengalami penurunan sehingga dapat disimpulkan pula bahwa pemberian vaksin

iradiasi SGB tidak mengganggu produksi susu.

6543210

8.5

8

7.5

7

6.5

6

5.5

5

4.5

Waktu (minggu)

[Ig

G]

Kontrol Kambing

Vaksin Kambing

52

Gambar 17. Produksi susu kambing dari kelompok perlakuan vaksin iradiasi SGB

post-partus.

7,000

7,500

8,000

8,500

9,000

9,500

10,000

10,500

11,000

1 2 3 4

Jum

lah

Pro

du

ksi S

usu

(m

l)

Waktu (minggu)

K2

7,000

7,500

8,000

8,500

9,000

9,500

10,000

1 2 3 4

Jum

lah

Pro

du

ksi S

usu

(m

l)

Waktu (minggu)

K8

7,000

8,000

9,000

10,000

11,000

12,000

13,000

14,000

15,000

1 2 3 4

Jum

lah

Pro

du

ksi S

usu

(m

l)

Waktu (minggu)

K22

53

Penanganan kasus mastitis pada kambing perah pada intinya sama dengan

pengendalian mastitis pada sapi perah. Deteksi MSK juga dilakukan dengan cara tak

langsung seperti uji dengan CMT maupun penghitungan sel somatik (Shearer and

Haris 2003). Kambing perah dapat digunakan sebagai hewan model yang paling tepat

sebelum dilakukan uji lapang pada sapi perah.

54

55

SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini telah diperoleh kandidat vaksin iradiasi S.

agalactiae yang termasuk kedalam Group-B (SGB) tanpa kapsul dengan

hemaglutinin positif (Hn+) yang dapat digunakan sebagai bahan vaksin mastitis

subklinis. Dapat disimpulkan pula bahwa iradiasi sinar gamma dosis 17 Gy dapat

melemahkan Isolat SGB bahan vaksin hidup tersebut sehingga tidak bersifat patogen

dan masih mempunyai sifat antigenik dengan berat molekul lebih besar dari 75 kDa.

Vaksin iradiasi SGB tidak bersifat patogen pada mencit dan dapat menimbulkan

respon imun yang lebih baik dibanding kelompok mencit kontrol yang tidak divaksin.

Aplikasi vaksin iradiasi SGB pada kambing perah dapat menimbulkan respon imun,

sehingga besar harapan untuk dapat membuat vaksin iradiasi SGB dalam mencegah

mastitis subklinis pada ternak ruminansia. Produksi susu kambing perah kelompok

vaksin tidak mengalami penurunan sehingga dapat disimpulkan pula bahwa

pemberian vaksin iradiasi SGB tidak mengganggu produksi susu.

2. Saran

Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan uji lapang aplikasi vaksin

SGB iradiasi pada hewan ruminansia khususnya sapi perah.

56

57

DAFTAR PUSTAKA

Alsharifi M and Mullbacher A. 2009. The γ-irradiated influenza vaccine and the

prospect of producing safe vaccines in general. Immunol Cell Biol: 1-2.

Abrar M. 2001. Isolasi, karakterisasi dan aktifitas biologi hemaglutinin

Staphylococcus aureus dalam proses adhesi pada permukaan sel epitel mamae

sapi perah. IPB. Bogor.

Abubakar M, Muhammad G, Ibrahim K. 2006. Primary and secondary response to

formalin inactivated Streptococcus agalactiae isolates in rabbits. Pakistan Vet J

26(3): 115-117.

Akers RM and Nickerson SC. 2011. Mastitis and its impact on structure and function

in the ruminant mammary gland. J Mammary Gland Biol. Neoplasia. Springer.

Publish online 04 October 2011.

Alatas Z. 2007. Efek kesehatan pajanan radiasi. Cermin Dunia Kedokteran No. 154.

Allen-Mierl D, Buxton R, Jones LK, Madl D, Mason A, Malendez J, Milligan P.

2006. http://www.microbelibrary.org/component/resource/laboratory-test/3086-

camp-test-protocols [27Juni2010]

Arifin M. 2006. Tanggap kebal sapi terhadap Fasciolosis akibat inokulasi

metaserkaria Fasciola gigantica iradiasi. J Apl Isotop dan Radiasi. 2(1): 18–29.

Baratawidjaya KG dan Rengganis I. 2009. Imunologi Dasar. Ed 8. Balai Penerbit.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Bogni, C, Ordieno L, Raspanti C, Giraudo J, Larriestra A, Reinoso E, Lasagno M,

Ferrari M, Ducrós E, Frigerio C, Bettera S, Pellegrino M, Frola I, Dieser S,

Vissio C. 2011. “War against mastitis: Current concepts on controlling bovine

mastitis pathogens.”, Science against pathogens: communicating current

research and technological advances., A. Mendez-Vilaz (Ed.) : 483 – 494,

Cordoba Argentina.

Bruckner DA and Colonna P. 1997. Nomenclatur for Aerobic and Facultative

Bacteria. Clin Infect Dis 25 : 1 – 10.

Carter GR. 1984. Diagnostic Procedures in Veterinary Bacteriology and Mycology.

Publisher Springfield. Illinois. 4th

Ed.

Chanter N. 1997. Streptococci and Enterococci as animal pathogens. J Applied

Microbiol. Symposium Supplement. 83 : 100S – 109S.

Cowan ST. 2003. Manual for The Identification of Medical Bacteria. Cambridge

University Press. Cambridge London New York Melbourne Sydney. pp: 52-66.

Crowther JR. 2010. The ELISA Guidebook, 2nd

ed., Humana Press, International

Atomic Czarnecki L. 2009. Nuclear physics. http://www.hpwt.de/Kern2e.htm.

[12 Juni 2011].

58

Daignault D. 2003. Serotype of Streptococcus agalactiae cultured from dairy milk

sample in Quebec. Can Vet J 44:217-220.

Darling CL. 1975. Standardization and evaluation of CAMP reaction for the prompt,

presumptive identification of Streptococcus agalactiae (Lancefield Group B) in

clinical material. J Clin Microbiol : 171 – 174.

De Laval, 2008, Milking Technology, www.delaval.com /.../ Milking _ Technology.

htm [27 Juni 2009].

Dian AS, Lusia W, Franky, Rosana SD, Riyan P. 2010. Karakterisasi kemampuan

adesi bakteri penyebab mastitis subklinis pada sapi perah serta peluang

pembuatan anti adesi untuk pencegahannya. J Saintifika Vol.II No.2 : 48 – 54.

[Dirjenak & Keswan]. 2011. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat

Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian Republik

Indonesia.

[Dirkeswan] 2001. Manual Penyakit Hewan Mamalia: Mastitis. Dirjen Bina Produksi

Peternakan. Direktorat Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian:175-177.

Duval J. 1997. Treating mastitis without antibiotics. Ecological Agriculture Projects.

http://www.eap.mcgill.ca/Publications/EAP69.htm. [15 Juli 2010].

Estuningsih S, Soedarmanto I, Fink K, Lämmler C, Wibawan IWT. 2002. Studies on

Streptococcus agalactiae isolated from bovine mastitis in Indonesia, J Vet Med

49 (4): 185-187.

Estuningsih S. 2002. Patogenesis mastitis subklinis pada sapi perah: Pendekatan

histopatologis mastitis subklinis akibat infeksi Streptococcus agalactiae

hemaglutinin positif pada mencit, Disertasi Doktor Pascasarjana, IPB.

Evans JJ, Pasnik DJ, Klesius PH, Al-Ablani S. 2006. First Report of Streptococcus

agalactiae and Lactococcus garvieae from a wild bottlenose dolphin (Tursiups

truncatus). J Wildlife Dis 42(3) : 561–569.

Facklam RR, Padula JF, Wortham EC, Cooksey RC, Rountree HA. 1979.

Presumptive identification of Group A, B, and D Streptococci on Agar Plate

Media. J Clin Microbiol: 665 – 672.

Furuya Y, Regner M, Lobigs M, Koskinen A, Mullbacher A, Alsharifi M. 2010.

Effect of inactivation method on the cross-protective immunity induced by

whole „killed‟ influenza A viruses and commercial vaccine preparations. J Gen

Virol (91): 1450-1460.

Hall EJ, Giaccia AJ. 2006. Radiobiology for the Radiologist. 6th

ed. Philadelphia, PA:

Lippincott Williams & Wilkins.

Hameed KGA, Sender G, Korwin-Kossakowska A. 2007. Public health hazard due to

mastitis in dairy cow. Animal Science Papers and Report vol.25, no.2: 73-85.

59

Hamman J. 2005. Diagnosis of mastitis and indicators of milk quality. Proceeding of

IDF Congress on Mastitis in Dairy Production: Current Knowledge and Future

Solutions. H. Hogeveen (Ed.). Wageningen Academic Publishers, The

Netherlands p. 89 – 90.

Hansen SM and Sørensen UBS. 2003. Method for quantitative detection and

presumptive identification of Group B Streptococci on primary platting. J Clin

Microbiol. Vol.41 No.4: 1399 – 1403.

Harlina E. 1999. Studi Patogenitas Fase Varian Streptococcus equi subsp.

Zooepidimicus. Penyebab Wabah Penyakit pada Babi di Indonesia Berdasarkan

Gambaran Patologi dan Virulensinya [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Hashemi M, Kafi M, Safdarian M. 2011. The prevalence of clinical and subclinical

mastitis in dairy cows in the central region of fars province, South of Iran.

Iranian J Vet Res, Shiraz University 12 (3) Ser. No. 36: 236 – 241.

Hayati Z, Karmil TF. 2009. Patogenitas streptokakus grup B pada mencit neonatus.

J Vet 10(4):184-188.

Henrichen G, Ferrieri P, Jelinkova J, Kohler W, Maxted WR. 1984. Nomenclature of

antigens of group B streptococci. Int J Syst Bacteriol 34:500.

Hughes MJG, Moore JC, Lane JD, Wilson R, Pribul PK, Younes ZN, Dobson RJ,

Everest P, Reason AJ, Redfern JM, Greer FM, Paxton T, Panico M, Morris

HR, Feldman RG, Santangelo JD. 2002. Infect Immun pp: 1254-1259.

Hurley WL and Morrin DE. 2000. Mastitis Lesson A. Lactation Biology, ANSCI

308, http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308 [27 Juli 2009].

Keefe GP, Dohoo IR, Spangler E. 1997. Physiology and Management: Herd

prevalence and incidence of Streptococcus agalactiae in the dairy industry of

Prince Edward island. J Dairy Sci 80 : 464 – 470.

Keefe GP. 1997. Streptococcus agalactiae mastitis: A Review. Can Vet J (38): 429-

437.

Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Method: Theory and Practice. 2nd

ed. UK. Pergenan Press.

Kochman M. 2006. Gamma radiation proves effective in vaccine development.

BioPharm Bulletin. http://biopharminternational.findpharma.com. [5 Februari

2011].

Lämmler C, Wibawan IWT, Pasaribu FH. 1998. Relation between encapsulation of

streptococci of serogical group B and adherence properties of the bacteria to

DEAE-sephacel. Media veteriner 5(4):1-5.

Lang S. and Palmer M. 2003. Characterization of Streptococcus agalactiae CAMP

Factor as a Pore-forming Toxin. J Biol Chem 278 (10): 38167 – 38173.

60

Lay BW. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: Rajawali Press

Lindahl G, Carlemalm MS, Areschoug T. 2006. Surface proteins of Streptococcus

agalactiae and related proteins in Other bacterial pathogens. Clin Microbiol Rev:

102-127.

Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latief H, Soejoedono

RR. 2009. Higiene Pangan. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian

Bogor.

Malinowski E, Lassa H, Klosowska A, Markiewicz H, Kaczmarowski M, Smulski S.

2006. Relationship between mastitis agents and Somatic Cell Count in Foremilk

Samples. Bull Vet Inst Pulawy 50 : 349 – 352.

Maricato E, Lange CC, Brito MAVP, Brito JRF, Cerqueira MMOP. 2005.

Characterization and antibiotic susceptibility patterns of catalase-negative Gram-

positive Cocci isolated from bovine mastitis in Brazil. ISAH – Warsaw Poland

Vol 1: 288-291.

Mirdhayati I, Handoko J, Putra KU. 2008. Mutu susu segar di UPT Ruminansia Besar

Dinas Peternakan Kabupaten Kampar Provinsi Riau. J Peternakan 5 (1): 14 –

21.

Moatamedi H, Shapouri, Ghorbanpoor M, Jamshidin M, Gooraninejad S. 2007. A

Polymerase Chain Reaction based study on the subclinical mastitis caused by

Streptococcus agalactiae, S. dysgalactiae and S. uberis in Cattle in Ahvaz.,

Iranian J Vet Res University of Shiraz Vol.8, No.3, Ser. No. 20: 260-265.

Notebaert S and Meyer E. 2006. Mouse models to study the pathogenesis and control

of bovine mastitis. A review. Vet Quart 28: 12 -13.

Park HM, Almeida RA, Oliver SP. 2002. Identification of Lactoferin-Binding

Proteins in Streptococcus species Isolated from Cows with Mastitis. FEMS

Microbiol Letters vol 207 Issue 1 pp:87-90.

Pasaribu FH, Wibawan IWT, Warsa UC. 1993. Distribusi tipe antigen Streptococcus

agalactiae isolat sapi dan manusia di Jakarta, Bogor dan Sekitarnya.

Disampaikan dalam KONAS Permi ke-VI di Surabaya.

Petrovski KR and Emanuel S. 2006. Milk composition changes during mastitis.

Published in http://www.milkproduction.com/Library/Articles/Milk composition

changes during mastitis [3/17/2009].

Quin PJ, Markey BK, Carter MF, Donnelly WJC, Leonard FC. 2006. Veterinary

Microbiology and Microbial Disease. Section II Pathogenic Bacteria:

Streptococci. pp: 49-54. Blackwell Science Asia Pty.Ltd. Victoria. Australia.

Reitman M, Tribble HR Jr, Green L. 1970. Gamma-irradiated Venezuelan Equine

Encephalitis Vaccines. App Microbiol: 763-767.

61

Rainard P, Lautrou Y, Sarradin P, Poutrel B. 1991. Protein X of Streptococcus

agalactiae induces opsonic antibodies in cows. J Clin Microbiol 29(9): 1842-

1846.

Rinaldi M, Li RW, Capuco AV. 2010. Mastitis associated transcriptomic disruption

in cattle. Vet Immunol and Immunopathol 138 : 267 -279.

Ruegg, P. L. 2005. California Mastitis Test (CMT) Fact Sheet 2.

http://www.uwex.edu/milkuality/PDF/Vol 3 pdf/Pg 3 16-

18_CMT_factsheet_1.pdf [28 Juli 2010].

Sanakkayala N et al. 2005. Induction of Antigen-Specific Th1 Type Immune

Responses by Gamma-Irradiated Recombinant Brucella abortus RB51. Clin

Diagn Lab Immunol 12 (12) : 1429–1436.

Seegers H, Fourichon C, Beaudeu F. 2003. Production effect related to mastitis and

mastitis economics in dairy cattle herds. Vet Res 34: 475 – 491.

Shearer JK and Harris B Jr. 2003. Mastitis in dairy goats. University of Florida, Ifas

extention. http://edis.ifas.ufl.edu. [28 Juli 2010].

Shim EH, Shanks RD, Morin DE. 2004. Milk loss and treatment cost associated with

two treatment protocols for clinical mastitis in dairy cows. J Dairy Sci 87: 2702

– 2708.

Soeminto B. 1989. Manfaat Tenaga Atom untuk kesejahteraan manusia: Radiasi.

Karya Indah: 32-36.

Sori H, Zerihum A, Abdicho S. 2005. Dairy cattle mastitis in and around Sebeta

Ethiopia. Int J Appl Res Vet Med 3 : 332-338.

Subandriyo dan Adiarto. 2009. Sejarah perkembangan peternakan sapi perah. Profil

Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor : 1 – 25.

Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta : 309 – 351.

Sudarwanto M. 1999. Usaha peningkatan produksi susu melalui program

pengendalian mastitis subklinik. Orasi Ilmiah, 22 Mei 1999. FKH – IPB.

Sudarwanto M., Latif MH, Noordin M. 2006. The Relationship of the somatic cell

counting to subclinical mastitis and to improve milk quality., 1st International

AAVS Scientific Conference. Jakarta, July 12-13, 2006.

Sudarwanto M dan Sudarnika E. 2008. Hubungan antara pH susu dengan Jumlah Sel

Somatik sebagai parameter mastitis subklinis. Media Peternakan: 107-113

Supar. 1997. Mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia: masalah dan

pendekatannya, Wartazoa 6 (2) : 48 – 52.

62

Supar, Ariyanti T. 2008. Kajian pengendalian mastitis subklinis pada sapi perah.

Pros. Semiloka Nas. Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas –

2020. PUSLITBANGNAK : 360 – 366.

Timoney JF, Kumar P. 2010. Streptococcus. Di dalam Carlton LG, JF Prescott, G

songer, Charles OT, editor. Pathogenesis Of Bacterial Infections In Animals

4th Edition. Danvers-Massachusetts USA: Blackwell Publishing. Hlm 51-74

Tizard I.1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi ke 2. Airlangga University

Press.

Trampuz A, Piper KE, Steckelberg JM, Patel R. 2006. Effect of gamma irradiation on

viability and DNA of Staphylococcus epidermidis and Escherichia coli. J

Med Microbiol 55: 1271-1275.

Trigo G, Ferreira P, Ribeiro N, Dinis M, Andrade EB, Cristino JM, Ramirez M,

Tavares D. 2008. Identifications of immunoreactive extracelluler proteins of

Streptococcus agalactiae in bovine mastitis. Canadian J Microbiol 54 (11):

899-905.

Trigo G, N, Dinis M, Franca A, Andrade EB, Rui M, da Costa G, Ferreira P, Tavares

D. 2009. Leukocyte populations and cytokine expression in the mammary gland

in a mouse model of Streptococcus agalactiae matitis. J Med Microbiol 58: 951

– 958.

Tuasikal BJ, Sugoro I, Tjiptosumirat T, Lina M. 2003. Pengaruh iradiasi sinar gamma

pada pertumbuhan Streptococcus agalactiae sebagai bahan vaksin penyakit

Mastitis pada sapi perah. J Sains Tek Nuklir Ind Vol. IV, Edisi Khusus (2): 137-

149.

Tubiana M, Dutreix J, Wambersie A. 1990. Introduction to Radiobiology. London :

Taylor & Francis.

Walker J. M. 2002. The Protein Protocols Handbook: Human Press. Second ed.

Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Wibowo MH. 2005. Karakterisasi hemaglutinin

Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus penyebab mastitis

subklinis sapi perah. J Sain Vet 23 (2): 79-86.

Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Pasaribu FH, Priosoeryanto BP. 2006. Distribusi

serotipe Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis pada sapi perah

di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. J Vet Vol 7 (1).

[WHO] World Health Organization. 2001. Malaria early warning systems – concepts,

indicators and partners. A framework for field research in Africa. Geneva : The

organization.

Wibawan IWT, Lämmler C. 1990. Properties of group B Streptococci with protein

surface antigens X and R. J Clin Microbiol 28(12):2834-2836.

63

Wibawan IWT, Lämmler C. 1991. Influence of capsuler neuramnic acid on

properties of Streptococci of serogical group B. J Gen Microbiol 137:2721-

2725.

Wibawan IWT, Lammler C, Pasaribu FH. 1992. Role of hydrophobic surface proteins

in mediating adherence of group B streptococci to epithelial cells. J Gen

Microbiol 138 (6): 1237-1242.

Wibawan IWT, Lammler C, Seleim R, Pasaribu FH. 1993. A haemaglutinin adhesin

of group B Streptococci isolated from cases of bovine mastitis mediates

adherence to Hela cells. J Gen Microbiol 139(9): 2173-2178.

Wibawan IWT. 1998. The possibility of using vaccine to control bovine subclinical

mastitis and human neonatal infection caused by group B Streptococci. Media

Veteriner 5: 1-6.

Wu J, Hu S, Cao L. 2007. Therapeutic effect of Nisin Z on subclinical mastitis in

lactating cows., Antimicrob Agents and Chemoth 51 (9) : 3131 – 3135.

Xu H, Hu C, Gong R, Chen Y, Ren N, Xiao G, Xie Q, Zhang M, Liu Q, Guo A, Chen

H. 2011. Clin Vacc Immunol 18(6): 893-900.

64

65

LAMPIRAN

66

67

Lampiran 1: Identifikasi S. agalactiae Grup-B

Bagan identifikasi SGB yang berasal dari susu sapi MSK dengan uji CMT positif,

berupa bakteri coccus Gram positif:

SGB berasal dari bakteri cocci Gram positif, tidak bereaksi pada uji Katalase

(negatif), berbentuk rantai panjang, bereaksi β hemolisis pada media agar darah dan

bereaksi positif pada uji CAMP.

68

Lampiran 2. Karakterisasi SGB tanpa kapsul, keberadaan antigen protein dan

Hemaglutinin positif (Hn+).

Karakterisasi SGB isolat no.2 dengan kode isolat EK1:

1. Karakter tanpa kapsul ditunjukkan dengan pola pertumbuhan kompak pada

media soft agar (SA) di tabung kanan.

2. SGB dengan antigen protein tumbuh dengan supernatan jernih dan

membentuk sedimen di dasar tabung pada media cair Todd Hewitt Broth.

3. Hemaglutinin SGB menunjukkan jika bersifat adhesi pada kelenjar mamae

69

Lampiran 3. Pengamatan Pertumbuhan SGB Hn+

Bagan alur prosedur pembuatan kurva tumbuh bakteri SGB Hn+ isolat no.2

Pengamatan pertumbuhan SGB Hn+ dengan pengukuran nilai absorbansi:

SGB Hn+ isolat no. 2

Waktu

(jam)

Absorbansi Max

0 0.06 0

1 0 0

2 0.03 0

3 0.13 1,46

4 0.42 1,17

5 1.05 0,91

6 1.24 0,16

7 1.25 0.008

8 1.19 0.04

9 1.03 0.14

µMax = (ln(At2) – ln(At1-1) / (t –(t – 1))

Dimana: µMax = kecepatan pertumbuhan maksimal bakteri

At1 = Absorbansi pada waktu pertama

At2 = Absorbansi pada waktu kedua

t = waktu dalam jam

Pertumbuhan SGB Hn+ dengan waktu pembelahan sel maksimal pada 3 jam.

0 0.2 0.4 0.6 0.8

1 1.2 1.4

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ab

so

rba

nsi

Waktu (jam)

S. agalactiae isolat no. 2

70

Lampiran 4. Prosedur Orientasi Dosis Iradiasi untuk Penentuan LD50

Pengaruh iradiasi terhadap pertumbuhan SGB Hn+, semakin tinggi dosis iradiasi

semakin rendah jumlah bakteri yang bertahan hidup.

Diperoleh dosis iradiasi 17 Gy untuk atenuasi SGB Hn+ sampai taraf LD50

7.5

8

8.5

9

9.5

0 0.025 0.05 0.075 0.1 0.125

Dosis Iradiasi (kGy)

Lo

g J

um

lah

Sel/m

l

71

Lampiran 5. Iradiator Gamma Chamber dengan Sumber Isotop Cobalt-60 ( 60

Co).

Iradiasi SGB Hn+ dilakukan dalam iradiator Gamma Chamber dengan sumber isotop 60

Co menggunakan fasilitas Balai Iradiasi Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan

Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Jakarta.

Perhitungan waktu paparan iradiasi untuk masing-masing dosis serap iradiasi :

Waktu = Dosis / Laju dosis

Dosis 50 Gy = 0,050 KGy = 5 Krad

Laju dosis = 112,504 Krad/jam

Waktu = 5 Krad = 0,044443 jam = 2 menit 40 detik

112,504 Krad/jam

untuk selanjutnya seperti tersaji dalam tabel berikut,

Dosis serap iradiasi Waktu paparan iradiasi

Gy menit detik

0 0 0

25 1 20

50 2 40

75 4 0

100 5 20

72

Lampiran 6. Jadwal Perlakuan dan Parameter Penelitian pada Hewan Model Mencit

Persiapan Hewan Percobaan Mencit:

Mencit yang digunakan dalam penelitian adalah mencit betina dalam keadaan

bunting. Sebelum dikawinkan, seluruh mencit diberi obat cacing (albendazole50%)

dengan dosis 10mg/kg BB dan diulang seminggu kemudian, lalu diberi antibiotik

(clavamox) dengan dosis 25mg/kg BB selama lima hari berturut-turut setelah

pemberian obat cacing yang pertama dengan jeda waktu 2 hari. Diberikan pula anti

jamur (flagyl) dengan dosis 30mg/kgBB setelah jeda dua hari dari pemberian obat

cacing yang kedua.

2 hari 5 hari 2 hari 2 hari 2 hari

albendazole clavamox albendazole flagyl kawin

Perlakuan Hewan Percobaan Mencit:

Pengamatan parameter:

1.Histopat kelenjar mamae dengan pewarnaan Haematoksilin Eosin (HE)

Alveol kelenjar produktif

Sel epitel kelenjar deskuamasi

Sel radang dalam lumen alveol kelenjar

Sel radang interstisial

2.Antibodi Ig-G dengan ELISA secara tidak lansung.

73

Lampiran 7. Pembuatan Preparat Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit

1. Kelenjar mamae yang telah difiksasi dalam BNF 10% kurang lebih dua hari

kemudian dipotong tipis. Potongan kelenjar mamae dengan ketebalan kurang

lebih 3mm dimasukkan ke dalam tissue basket dan di dehidrasi dengan

merendam sediaan secara berturut-turut pada alkohol 70%, 80%, 90%,

alkohol absolut I, alkohol absolut II, lalu dijernihkan dalam xilol I, xilol II,

dan diinfiltrasi pada parafin parafin I, dan parafin II. Masing-masing proses

perendaman dilakukan selama 2 jam dalam mesin automatic tissue processor,

Sakura (Japan).

2. Jaringan dimasukkan ke dalam pencetak berisi parafin cair dengan bentuk

blok dan disusun di tengah parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambah

kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan hingga parafin mengeras.

Selanjutnya, parafin yang berisi jaringan, dipotong menggunakan mikrotom

dengan ketebalan 5 mikron. Hasil pemotongan yang berbentuk pita diletakkan

diatas permukaan air hangat bersuhu 450celcius dengan tujuan menghilangkan

lipatan-lipatan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas obyek yang

telah diolesi larutan albumin yang berguna untuk merekatkan sediaan. Setelah

itu, preparat dikeringkan dalam inkubator bersuhu 600celcius semalam.

3. Sediaan yang telah kering dimasukkan ke dalam xilol dua kali selama 2 menit.

Kemudian sediaan direhidrasi yang dimulai dari alkohol absolut sampai

alkohol 80% dengan waktu masing-masing 2 menit. Selanjutnya sediaan

dicuci pada air mengalir dan dikeringkan.

4. Sediaan yang telah siap, diwarnai dengan pewarnaan Mayer‟s Hematoksilin

selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan

lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air lagi, dan akhirnya

diwarnai dengan pewarna eosin selama 2 menit. Untuk menghilangkan warna

eosin yang berlebihan, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan.

Kemudian sediaan dicelup ke dalam alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan,

74

alkohol absolut I 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xilol I

selama 1 menit, dan xylol II selama 2 menit.

5. Sediaan dikeringkan dahulu, lalu ditetesi dengan perekat permount dan

kemudian ditutup dengan cover glass dan dibiarkan selama beberapa menit

hingga melekat sempurna. Setelah itu, preparat siap untuk diamati dan diambil

gambar menggunakan camera mikroskop. Identifikasi dan pengambilan

gambar preparat dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik,

Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Bogor.

75

Lampiran 8. Ekstraksi Antigen SGB untuk coating Antigen pada ELISA

Metode ekstraksi untuk mempersiapkan antigen untuk coating Ag pada

ELISA mengikuti metode yang dikembangkan oleh Wibawan (1993). Ekstraksi Ag

dilakukan dengan menggunakan Asam Klorida (HCl).

1. Sebanyak 40 ml biakan SGB Hn+ yang telah ditumbuhkan dalam media BHI

broth selama 1 malam disentrifus (10000 rpm selama 10 menit, pada suhu

40C);

2. Sedimen bakteri yang terbentuk kemudian dicuci sebanyak 2 kali

menggunakan 10 ml 0,14 mol/l NaCl dengan sentrifugasi seperti metode

penyiapan Ag di atas.

3. Sedimen bakteri yang terbentuk diresuspensikan dalam 350 µl larutan 0,2

mol/l asam klorida (HCl) dan diinkubasikan dalam penangas air pada suhu

52oC, selama 2 jam.

4. Suspensi bakteri kemudian dinetralisasi oleh 1 mol/l NaOH dan diberi Phenol

Red sebagai indikator.

5. Antigen untuk coating plat ELISA dikoleksi dengan cara sentrifugasi suspensi

bakteri tersebut dengan kecepatan 13000 rpm, selama 5 menit pada suhu 4oC.

Supernatan yang terbentuk dipergunakan sebagai Antigen untuk melapisi

sumuran pada plat ELISA dengan metode tidak langsung (Indirect ELISA)..

76

Lampiran 9. ELISA untuk Titer Antibodi Ig-G

Prosedur ELISA (indirect) untuk pengukuran titer antibodi Ig-G sebagai berikut:

1. Coating plat ELISA dg Ag SGB dalam buffer carbonat bicarbonat pH 9,6

masing-masing 50 µl tiap sumur, bungkus alumunium foil, lalu simpan satu

malam dalam refreegerator 4oC

2. Cuci plat dengan PBS Tween20 (0,05%) 4 kali lalu bilas dengan aquabidest

3. Blocking dg Fetal Bovine Serum (FBS) 2% dalam PBS masing-masing 50 µl

tiap sumur , lalu inkubasi 1jam dlm inkubator 37oC

4. Cuci plat seperti langkah 2

5. Serum sampel yg sdh diinaktifasi pada penangas air 54oC selama 30 menit

dan diencerkan dgn PBS 1:30 , diisikan kedlm sumuran plat sesuai pola

nomor sampel, lalu diinkubasi 1 jam dlm inkubator 37oC

6. Cuci plat seperti langkah 2

7. Penambahan conjugate Peroxidase-Anti mouse Ig-G (1:10.000) masing-

masing 50 µl tiap sumur, lalu diinkubasi 1jam dlm inkubator 37oC

8. Cuci plat seperti langkah 2

9. Masukkan substrat TMB (dalam ruang gelap) masing-masing 50 µl tiap sumur

lalu diinkubasi dalam inkubator 37oC selama 30 menit

10. Pembacaan titer ELISA dalam microplate reader Benchmark Biorad©

dengan panjang gelombang (λ) = 655 nm.