kajian yuridis terhadap putusan hakim pengadilan negeri .../kajian...pengadilan negeri bantul dalam...
TRANSCRIPT
1
Kajian yuridis terhadap putusan hakim pengadilan negeri bantul dalam
tindak pidana
Pemalsuan asal-usul pernikahan
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Disty Puspasari
NIM : E.0004015
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN
NEGERI BANTUL DALAM TINDAK PIDANA
PEMALSUAN ASAL-USUL PERNIKAHAN
Disusun oleh :
DISTY PUSPA SARI
NIM : E. 0004015
Disetujui untuk Dipertahankan
Pembimbing I Pembimbing II
ISMUNARNO,S.H.,M.Hum SABAR SLAMET,S.H
NIP 131 884 428 NIP 131 571 616
3
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN
NEGERI BANTUL DALAM TINDAK PIDANA
PEMALSUAN ASAL-USUL PERNIKAHAN
Disusun oleh :
DISTY PUSPA SARI
NIM : E. 0004015
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari :…………………………
Tanggal :…………………………
TIM PENGUJI
1. R. Ginting, S.H., M.H. :…………………………… Ketua
2. Sabar Slamet, S.H. :…………………………… Sekretaris
3. Ismunarno, S.H., M.Hum. :……………………………
Anggota
Mengetahui,
Dekan
H.Moh. Jamin,S.H.,M.Hum
NIP. 131 570 154
4
MOTTO
“………………………...dan jangan kamu berputus asa dari Rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”
( QS. Yusuf : 87 )
“ Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
( QS. Al-Mujaadilah : 11)
Penulisan Hukum ini Kupersembahkan
Untuk :
1. Papa dan Mama, Adikku, Keluarga tercinta
2. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Angkatan 2004.
5
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subkhanahuwataalla atas
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Yuridis Terhadap Putusan Hakim
Pengadilan Negeri Bantul Dalam Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul
Pernikahan. “
Skripsi ini disusun dan diajukan untuk melengkapi persyaratan meraih
derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Skripsi ini dapat selesai dengan bantuan para pihak, untuk itu penulis
menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penelitian.
2. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum. dan Bapak Sabar Slamet S.H., selaku
pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu dan tenaga serta bimbingan
dalam menyusun Skripsi ini.
3. Seluruh karyawan Pengadilan Negeri Bantul, atas segala bantuan dan telah
menyediakan data yang diperlukan oleh penulis.
4. Papa dan Mama atas segala doa restu yang sangat membantu Ananda dalam
menyelesaikan skripsi ini.
5. Adikku, Rucky Novia Arummi yang memberikan semangat dan selalu
menemaniku dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Keluarga di Klitren, Yogyakarta yang selalu memberikan dorongan dan doa
restu dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Seseorang yang ada di Malaysia yang selalu memberikan semangat dan kata-
kata bijak, walaupun hanya melalui telepon.
8. Teman-teman yang selalu bersamaku selama tiga tahun dan akan terus
bersama : Ayu Sitta Damayanti dan Andina Elok Puri Maharani.
6
9. Teman-temanku Angkatan 2004 yang telah berjuang bersama-sama selama
kuliah di Fakultas Hukum UNS.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skipsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Surakarta, 26 Januari 2008
Penulis
7
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
ABSTRAK .......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Perumusan Masalah ...................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 5
E. Metode Penelitian ......................................................................... 6
F. Sistematika Skripsi ....................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 12
A. Kerangka Teori ............................................................................. 12
1. Tinjauan Tentang Putusan Hakim ............................................ 12
a. Definisi Putusan ................................................................... 12
b. Macam Putusan Hakim Pengadilan Negeri ......................... 12
c. Isi Surat Putusan Pemidanaan .............................................. 19
d. Proses Pengambilan Putusan ................................................ 21
2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana ............................................. 21
a. Definisi Tindak Pidana ......................................................... 21
b. Unsur Tindak Pidana ............................................................ 25
c. Jenis-jenis Tindak Pidana ..................................................... 28
d. Rumusan Tindak Pidana ...................................................... 31
e. Teori Pemidanaan ................................................................. 32
3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul
Pernikahan ................................................................................ 33
a. Definisi Pemalsuan dan Asal-Usul ....................................... 33
b. Definisi Pernikahan .............................................................. 34
8
c. Tujuan Pernikahan ................................................................ 35
d. Syarat-syarat Pernikahan ...................................................... 36
e. Surat-surat Nikah .................................................................. 38
f. Unsur Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan ...... 40
B. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 42
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 44
A. Hasil Penelitian ............................................................................ 44
1. Deskripsi Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan .... 44
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Terhadap Tindak
Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan ................................ 45
3. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Bantul Dalam
Memutus Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan .... 51
4. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bantul Tentang Tindak
Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan ................................ 58
B. Pembahasan .................................................................................. 76
1. Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul
Pernikahan Dalam Hukum Positif Indonesia ........................... 76
2. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Bantul Dalam
Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan Apakah
Telah Sesuai Dengan Ketentuan Hukum Yang Berlaku .......... 77
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 79
A. Simpulan ....................................................................................... 79
B. Saran ............................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN : 1. Surat Keterangan Penelitian
2. Surat Ijin Penelitian dari Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
3. Surat Keterangan Aktif Kuliah
4. Putusan Pengadilan Negeri Bantul
No. 83/Pid.B/2004/PN.BTL
9
ABSTRAK
DISTY PUSPASARI NIM: E. 0004015, Fak. Hukum 2004. Skripsi dengan judul: KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI BANTUL DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN ASAL-USUL PERNIKAHAN.
Tujuan penelitian ini adalah untuk untuk memperoleh serta mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan masalah pemalsuan asal-usul pernikahan, mengetahui pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan dalam hukum positif Indonesia, dan mengetahui apakah putusan Pengadilan Negeri Bantul dalam tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif. Dengan menggunakan sifat deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan hukum secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti. Jenis penelitian adalah doktrinal/normatif dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang membahas tentang tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan, bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Jenis data sekunder yaitu yaitu data atau informasi hasil telaah dokumen penelitian yang telah ada sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal, maupun arsip-arsip yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan. Sumber data penelitian yaitu sumber data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer adalah Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bantul, bahan hukum sekunder adalah hasil penelitian pakar hukum dan bahan hukum tersier adalah kamus hukum dan internet. Teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan atau studi dokumen. Penulis menggunakan analisis data kualitatif dengan menganalisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bantul tentang tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan.
Pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan yang terdapat di dalam KUHP sebetulnya tidak hanya Pasal 263 ayat (1) saja, seperti yang disebutkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Bantul, tetapi juga diatur dalam Pasal 277 ayat (1) yang mengatur tentang perbuatan dengan sengaja menggelapkan asal-usul, Pasal 279 dan Pasal 280 yang mengatur mengenai mengadakan pernikahan sedangkan pernikahan yang sebelumnya menjadi penghalang yang sah untuk mengadakan pernikahan lagi. Dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun di dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974, tidak mengatur tentang tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan, tetapi mengatur mengenai Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang tidak melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap seseorang yang akan melangsungkan pernikahan dan diancam dengan
10
hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Putusan Pengadilan Negeri Bantul dalam menjatuhkan sanksi pidana penjara kurang tepat dan sangat ringan, seharusnya hakim dalam menjatuhkan hukuman sesuai dengan Pasal yang didakwakan terhadap terdakwa, karena melihat akibat yang ditimbulkan dari perbuatan terdakwa. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum juga kurang tepat, selain dakwaan primer yaitu Pasal 263 ayat (1) KUHP seharusnya dakwaan subsidairnya yaitu Pasal 280 KUHP mengenai mengadakan pernikahan dan dengan sengaja tidak memberitahu kepada pihak lainnya, bahwa ada penghalangnya yang sah. Saran penulis dari simpulan pembahasan tersebut, seorang Hakim dalam menjatuhkan putusan harus benar-benar memiliki keyakinan bahwa putusan yang dijatuhkan, benar-benar adil bagi terdakwa, keluarga maupun korban. Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim atas kasus pemalsuan asal-usul pernikahan yang dilakukan Burhan Fajar Priyanto kurang adil terutama untuk istri terdakwa dan korban yang dinikahi oleh terdakwa. Hukuman 6 bulan sangat ringan dan tidak seimbang dengan perbuatan terdakwa yang mengakibatkan kerugian fisik, psikis dan kehormatan bagi korban maupun istri terdakwa, mungkin hukuman 1 tahun lebih adil untuk terdakwa maupun bagi korban, karena kita tahu bahwa fungsi dari suatu hukuman adalah memberikan efek jera bagi pelakunya. Kasus pemalsuan asal-usul pernikahan ini agar lebih diperhatikan, baik bagi aparat penegak hukum, maupun oleh masyarakat sendiri karena perbuatan ini sudah termasuk tindak pidana dan harus diproses melalui jalur hukum, untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN) agar lebih teliti dalam mengeluarkan formulir pernikahan dan lebih teliti dalam mengusut asal-usul calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan, karena biasanya kasus pemalsuan asal-usul pernikahan ini baru terungkap saat pihak-pihak yang dirugikan melaporkan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Negara Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan atas hukum dan
bukan berdasarkan atas kekuasaaan belaka. Hal ini sebagaimana tersebut
dalam Amandemen Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang menyatakan
bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas
kekuasaan.
11
Faktor penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan
ketertiban, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, jika dalam negara
terjadi tindak pidana, maka langkah yang diambil adalah penegakan hukum
pidana dengan menindak pelakunya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku dalam hukum pidana, untuk itu sebelum terjadi suatu tindak
pidana perlu dilakukan usaha pencegahan ( preventif ). Hukum dapat
menampilkan wibawanya sebagai sarana yang mendatangkan ketertiban,
kesejahteraan dalam rangka keselarasan, keserasian, kemajuan lahiriah dan
kepuasan batiniah, serta sebagai sarana membangun masyarakat Indonesia
seluruhnya yang berkeadilan, di samping itu tindakan aparat hukum harus
berdasarkan pada aturan yang berlaku dan perlu peningkatan yang lebih
professional karena hal ini memang merupakan tuntutan zaman yang semakin
maju.
Perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini khususnya yang
menyangkut masalah sosial sangat luas sekali, semakin tinggi peradaban suatu
bangsa maka semakin maju pula ilmu pengetahuan yang berkembang dalam
bangsa tersebut.
12
Kemajuan ilmu pengetahuan tanpa dibarengi dengan semangat peri
kemanusiaan, maka dapat berakibat pada hal-hal yang negatif. Hal negatif dari
suatu kemajuan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia adalah apabila
ilmu pengetahuan penggunaannya disalahgunakan di mana perbuatan itu
merupakan salah satu dari berbagai macam tindak pidana yang menimbulkan
gangguan ketentraman, ketenangan bahkan seringkali mendatangkan kerugian
materi maupun non materi bagi masyarakat bahkan kehidupan bernegara.
Tindak pidana itu salah satunya adalah tindak pidana pemalsuan asal-usul
pernikahan, di mana tindak pidana ini sering dilakukan dan kurang mendapat
perhatian yang serius, padahal tindak pidana tersebut banyak merugikan
masyarakat dan negara, dan masih sedikit yang tersentuh oleh hukum
sehingga masih pelakunya merasa bebas.
Tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan sering terjadi dan
menimbulkan kerugian bagi para korbannya, tindak pidana ini sering
dilakukan di dalam surat pernikahan mengenai asal-usul, atau pemalsuan yang
berkaitan mengenai identitas calon mempelai di mana surat-surat pernikahan
tersebut diisi sebelum kedua mempelai melangsungkan pernikahan.
Contohnya saja mengenai pemalsuan yang dilakukan seseorang yang akan
melakukan pernikahan poligami, di mana sebelum melangsungkan
pernikahan, para pihak harus memberitahukan ke Kantor Urusan Agama
(KUA),untuk calon mempelai yang beragama Islam, dan Kantor Catatan Sipil
untuk calon mempelai yang beragama Non Islam di tempat tinggal salah satu
dari kedua belah pihak, setelah itu para pihak mengisi surat keterangan nikah
yang berasal dari Kepala Desa atau pejabat setingkat. Surat keterangan
tersebut berisi identitas calon mempelai, yaitu nama, umur, agama atau
kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah
seorang atau keduanya pernah menikah, disebutkan juga nama istri atau suami
terdahulu. Hal inilah yang dilakukan oleh seseorang yang ingin melakukan
poligami dengan cara surat keterangan tersebut diisi dengan keterangan palsu
dan dilakukan pada bagian status yang seharusnya telah menikah, tetapi
13
kemudian dipalsu menjadi perjaka karena ingin memuluskan niatnya untuk
menikah lagi.
Tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan ini terjadi di Kabupaten
Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana Burhan Fajar Priyanto
melakukan tindak pidana dengan menempatkan keterangan palsu ke dalam
sesuatu akte authentik tentang sesuatu kejadian yang kebenarannya harus
dinyatakan oleh akte itu dengan maksud akan menggunakan akte itu dan
dalam penggunaanya dapat mendatangkan kerugian, melakukan tindak pidana
yaitu telah kawin lagi sedang diketahuinya bahwa pernikahannya yang sudah
ada menjadi halangan yang syah baginya untuk menikah lagi.
Pemerintah telah menyediakan sarana yang berupa Undang-Undang,
namun kenyataannya masih banyak orang yang melakukan pemalsuan
terhadap asal-usul pernikahan. Perilaku tersebut akan menimbulkan dampak
negatif dalam masyarakat, banyaknya tindak pidana tadi ternyata disebabkan
karena ancaman sanksi pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) maupun peraturan yang lebih khusus yaitu Undang-Undang
Perkawinan No 1 Tahun 1974 maupun Peraturan Pemerintah No 9 Tahun
1975 sebagai pelaksana dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang terlalu
ringan, sehingga pelaku cenderung untuk melanggar ketentuan tersebut.
Tindak pidana tersebut banyak dilakukan oleh seseorang dengan berbagai
macam modus operandi yang terancana dan tersusun secara rapi yang tidak
mudah diketahui begitu saja sehingga sulit untuk dilacak, sedangkan hukuman
bagi pelakunya dirasa masih ringan sehingga para pelakunya tidak begitu takut
dengan ancaman tersebut. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi
penegak hukum dalam memberantas tindak pidana asal-usul pernikahan,
sebenarnya di dalam KUHP Pasal 280 telah diatur yaitu mengenai
mengadakan pernikahan di mana pernikahan sebelumnya menjadi penghalang
sah untuk itu, yang ancaman pidananya adalah 5 tahun penjara, hal ini
dilakukan agar ketertiban sosial masyarakat menjadi pulih kembali.
14
Hukum dikenal sebagai salah satu alat yang dapat memberikan
perlindungan serta pelayanan kepada masyarakat, oleh karena itu hukum harus
memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakatnya. Hal ini adalah wajar
karena Negara kita adalah Negara hukum, hukum mempunyai batas-batas
kemampuan dalam memberikan perlindungan kepentingan pada setiap
individu yang ada dalam masyarakat, karena itu hukum pidana hanya dapat
memberikan keadilan secara umum sesuai dengan sebutannya sebagai hukum
publik.
Berlatarbelakang dari uraian tersebut diatas, maka menggugah perhatian
penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai putusan Majelis Hakim di
Pengadilan Negeri Bantul yang akan ditinjau dari sudut hukum pidana dan
selanjutnya dituangkan dalam sebuah skripsi. Dari apa yang telah terurai di
atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul :
“ KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN
NEGERI BANTUL DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN ASAL-
USUL PERNIKAHAN “
B. PERUMUSAN MASALAH
Dalam pencapaian tujuan penelitian, maka terlebih dahulu akan dilakukan
perumusan masalah yang akan diteliti dan dibahas. Adapun perumusan
masalah yang akan dibahas adalah :
1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan
dalam hukum positif Indonesia?
2. Apakah putusan Pengadilan Negeri Bantul dalam tindak pidana pemalsuan
asal-usul pernikahan telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku ?
15
C. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan judul skripsi ini yaitu ”KAJIAN YURIDIS TERHADAP
PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI BANTUL DALAM TINDAK
PIDANA PEMALSUAN ASAL-USUL PERNIKAHAN”, maka peneliti
dalam melakukan penelitian mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Umum :
a. Untuk memperoleh serta mengumpulkan data-data yang berhubungan
dengan masalah pemalsuan asal-usul pernikahan.
b. Mengetahui pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan
dalam hukum positif Indonesia.
c. Mengetahui apakah putusan Pengadilan Negeri Bantul dalam tindak
pidana pemalsuan asal-usul pernikahan telah sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
2. Tujuan Khusus :
a. Memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
b. Untuk menambah pengetahuan ilmu hukum, khususnya yang
berhubungan dengan masalah pemalsuan asal-usul pernikahan.
D. MANFAAT PENELITIAN
Di dalam penelitian sangat diharapkan manfaat yang dapat diambil dari
penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian
ini adalah :
1. Manfaat Teoritis:
a. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan
ilmu pengetahuan.
16
b. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta
menambah pengetahuan tentang pengetahuan hukum khususnya Hukum
Pidana.
c. Dapat digunakan untuk mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya
di samping itu sebagai pedoman penelitian yang lain.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang
dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh selama kuliah.
b. Memberikan masukan yang bermanfaat bagi aparat penegak hukum agar
dalam menyelesaikan perkara tindak pidana khususnya tindak pidana
pemalsuan asal-usul pernikahan lebih profesional dan dapat
menanggulangi hambatan-hambatan yang ada sehingga dalam
menjalankan tugas,dapat berjalan dengan baik.
D. METODE PENELITIAN
Pengertian metode sendiri adalah usaha untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana
dilakukan dengan metode ilmiah ( Sutrisno Hadi, 1994 : 4 ).
Metode penelitian adalah suatu cara untuk memecahkan suatu masalah
dengan cara mengumpulkan, menyusun serta mengimplementasikan data-data
guna menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan atau dengan kata lain metodologi penelitian merupakan sarana
dan cara yang digunakan untuk memahami obyek yang akan diteliti, yang
hasilnya akan dituangkan dalam penulisan ilmiah dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian merupakan sarana
yang paling penting guna menemukan, mengembangkan serta menguji
17
kebenaran suatu pengetahuan, oleh karena itu sebelum kita melakukan
penelitian hendaknya menentukan terlebih dahulu metode yang akan dipakai.
Guna mendapatkan data dan pengolahan data yang diperlukan dalam
kerangka penyusunan penulisan hukum ini, penyusun menggunakan metode
penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Suatu penelitian ilmiah, sangat diperlukan metode penelitian tertentu
untuk mendapatkan data yang diteliti, dengan menggunakan metode
penelititan, seorang peneliti akan dapat memecahkan masalah yang
dihadapinya yaitu dengan cara mengumpulkan data, kemudian mengolahnya
dalam rangka penyelesaian masalah tersebut.
Penelitian hukum yang diambil oleh penulis adalah jenis penelitian
doktrinal/normatif dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
yang membahas tentang tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan.
Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian
ditarik suatu kesimpulan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah
deskriptif, dengan menggunakan sifat deskriptif dimaksudkan untuk
menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi
kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan hukum secara jelas dan
rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah pendekatan
normatif/juridis. Pendekatan ini berasumsi bahwa subject matter suatu ilmu
sosial adalah amat berbeda dengan subject matter dari ilmu fisik atau alamiah
18
dan mempersyaratkan tujuan yang berbeda untuk inkuiri dan seperangkat
metode penyelidikan yang berbeda ( Lexy J Moloeng, 2007 : 32 ).
4. Jenis Data dan Sumber Data Penelitian
Pengumpulan data dalam suatu penelitian sangat diperlukan, karena
dengan data akan dapat menunjang dalam penulisan terutama sebagai bahan
penulisan. Jenis data yang diperlukan dalam penulisan hukum ini, adalah :
Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data
sekunder, yaitu data atau informasi hasil telaah dokumen penelitian yang telah
ada sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran,
majalah, jurnal, maupun arsip-arsip yang berkenaan dengan penelitian yang
dilakukan.
Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yang terdiri
dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang penulis pergunakan dalam penulisan hukum
ini adalah :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3) Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bantul
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum sekunder yang penulis pergunakan dalam hasil
penulisan hukum ini meliputi :
1) Hasil penelitian kalangan hukum yang berkaitan dengan hukum pidana
dan pemalsuan surat atau akta pernikahan
2) Hasil karya kalangan hukum baik dalam bentuk buku ataupun bentuk
literatur lainnya yang berkaitan dengan hukum pidana dan pemalsuan
surat atau akta pernikahan
19
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yang penulis pergunakan dalam hasil penulisan
hukum ini meliputi :
1) Kamus Hukum.
2) Media Internet.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang diambil oleh penulis dalam penulisan
hukum ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen. Teknik ini
merupakan teknik pengumpulan data dengan mempelajari, membaca, dan
mencatat buku-buku, literatur, catatan-catatan, peraturan perundang-
undangan, serta artikel-artikel penting dari media internet dan erat kaitannya
dengan pokok-pokok masalah yang digunakan untuk menyusun penulisan
hukum ini yang kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokan yang
tepat.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam
pola, kategori, dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexi J.
Moleong, 2000:183). Teknik analisis data adalah suatu uraian tentang cara-
cara analisis, yaitu dengan kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan
pengeditan terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan
analisis yang sifatnya kualitatif
Suatu penelitian ilmiah dapat mencapai tujuan secara sistematis, serasi dan
logis, memerlukan analisis data yang baik. Analisis data merupakan upaya
mencari dan menata secara sistematis catatan hasil dari pengumpulan data
yang telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus
yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain.
20
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pengolahan data yang pada hakekatnya untuk mengadakan sistematisasi
terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sehingga kegiatan yang dilakukan
berupa pengumpulan data, kemudian data direduksi sehingga diperoleh data
khusus yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk kemudian
dikaji dengan menggunakan norma secara materiel atau mengambil isi data
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan akhirnya diambil
kesimpulan/verifikasi sehingga akan diperoleh kebenaran obyektif..
Pada penelitian doktrinal/normatif, teknik analisisnya non statistik.
Analisis non statistik ini dilakukan dengan kualitatif. Teknik ini dilakukan
dengan menganalisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bantul tentang tindak
pidana pemalsuan asal-usul pernikahan.
Proses analisis interaktif dimulai pada waktu pengumpulan data penelitan,
peneliti membuat reduksi data dan sajian data. Setelah pengumpulan data
selesai, tahap selanjutnya peneliti mulai melakukan usaha menarik kesimpulan
dengan memferifikasi berdasarkan apa yang terdapat dalam sajian data.
Aktivitas yang dilakukan antara komponen-komponen tersebut akan didapat
data yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan masalah yang diteliti.
7. Sistematika Skripsi
Agar dapat memahami arah dan ruang lingkup dari penulisan hukum ini,
maka perlu penulis sajikan sistematika skripsi ini secara garis besarnya
sebagai berikut :
21
BAB I. Pendahuluan
Bab ini merupakan uraian pendahuluan yang memuat tentang
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, sistematika skripsi.
BAB II. Tinjauan Pustaka
Bab ini terdapat dua hal yang harus penulis bahas mengenai
kerangka teori dan kerangka pemikiran.
Di dalam kerangka teori meliputi tinjauan tentang putusan hakim,
tinjauan tentang tindak pidana, tinjauan tentang tindak pidana
pemalsuan asal-usul pernikahan.
Sedangkan di dalam kerangka pemikiran disajikan dalam bentuk
bagan atau skema yang menggambarkan kerangka logika
berpikir timbulnya suatu permasalahan dan pemecahannya.
BAB III.Hasil Penelitian dan Pembahasan
Di dalam bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang
menguraikan tentang kasus posisi, bagaimana pengaturan di
dalam Hukum Positif Indonesia terhadap tindak pidana
pemalsuan asal-usul pernikahan dan apakah Putusan Hakim
Pengadilan Negeri Bantul terhadap pelaku tindak pidana
pemalsuan asal-usul pernikahan telah sesuai atau belum
BAB IV. Simpulan dan Saran
Di dalam ini menguraikan mengenai simpulan secara singkat dan
jelas dalam menjawab rumusan masalah. Juga menguraikan
mengenai saran yang merupakan alternatif solusi atas masalah
yang ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II
22
TINJAUAN PUSTAKA
A. KERANGKA TEORI
1.Tinjauan Tentang Putusan Hakim
a. Definisi Putusan
Menurut Kamus Hukum pengertian dari putusan adalah hasil dari
pemeriksaan suatu perkara.
Definisi putusan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka
yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang
ini (Pasal 1 butir (11) KUHAP).
b. Macam Putusan Hakim Pengadilan Negeri
Macam-macam putusan hakim pidana yang diatur di dalam KUHAP,
yaitu :
1) Keputusan yang mengandung pembebasan dari segala dakwaan atau
Vrijspraak.
Keputusan yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala
dakwaan, menurut Hukum Acara Pidana putusan yang mengandung
pembebasan dapat terjadi apabila perbuatan-perbuatan yang
didakwakan atau disebutkan dalam surat dakwaan selama dalam
persidangan, apabila ada sebagian atau seluruhnya dinyatakan oleh
hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan
dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
44
Mengenai dasar hukum atau pengaturan mengenai Vrijspraak,
diatur dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP, yang berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 191 ayat (1) :
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
Pasal 191 ayat (3) :
“Dalam sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terdakwa yang ada dalam
status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga,
kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan”.
2) Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan
hukum atau Onslag van Recht vervolging
Putusan Onslag van Recht vervolging ini terjadi apabila menurut
pendapat hakim perbuatan-perbuatan yang disebutkan dalam surat
dakwaan, adalah terbukti, akan tetapi yang jelas terbukti itu bukan
merupakan suatu kejahatan ataupun pelanggran, maka terdakwa harus
dilepaskan dari segala tuntutan hukum, apabila ternyata terdakwa pada
saat itu berada dalam tahanan, maka putusan tersebut akan dijatuhkan
dengan perintah agar terdakwa seketika itu dibebaskan dari tahanan
(Pasal 191 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP).
Berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa hakim dalam hal menjatuhkan suatu putusan yang
mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum apabila
perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dalam surat
dakwaan adalah memang terbukti, akan tetapi yang terbukti itu tidak
merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran yang dapat dipidana.
45
Berdasarkan Pasal 191 ayat (3) KUHAP, bahwa bagi hakim yang
menjatuhkan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum
memerintahkan agar terdakwa yang berada dalam tahanan seketika itu
dibebaskan.
3) Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa atau
Veroordelingen
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan tugas pokok untuk
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya. Dalam melaksanakan tugasnya
tersebut akhirnya hakim memberikan atau menjatuhkan suatu putusan,
yang mana salah satu di antaranya adalah putusan yang mengandung
penghukuman bagi terdakwa.
Putusan penghukuman itu dijatuhkan oleh hakim pengadilan dalam
hal apabila ternyata terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan dalam surat dakwaan, dan hakim mempunyai
keyakinan akan kesalahan terdakawa.
Putusan yang mengadung penghukuman tidak lain dari pada suatu
resiko atau konsekuensi yang akan diterima oleh pelaku tindak pidana,
sebagai akibat perbuatan yang dilakukannya (teori pembalasan).
Berdasarkan macamnya putusan dapat berbentuk sebagai berikut:
a) Putusan yang menyatakan “tidak berwenang mengadili” dapat
berbentuk sebagai berikut :
(1) Penetapan
Setelah menerima berkas perkara dari kejaksaan, Ketua
Pengadilan Negeri segera memeriksa apakah perkara tersebut
46
termasuk wewenangnya untuk mengadili (Pasal 147
KUHAP). Jika Ketua Pengadilan berpendapat bahwa
mengadili perkara tersebut tidak termasuk wewenangnya
maka ia membuat putusan berupa penetapan. Terhadap
penetapan tersebut penuntut umum dapat mengajukan
perlawanan ke Pengadilan Negeri (Pasal 149 ayat (1)
KUHAP). Akan tetapi bila Ketua Pengadilan Negeri
berpendapat bahwa perkara itu merupakan wewenangnya
untuk mengadili maka ia menunjuk hakim yang akan
mengadili perkara. Majelis hakim atau hakim tunggal yang
ditunjuk kemudian menetapkan hari persidangan (Pasal 152
ayat (1) KUHAP).
(2) Keputusan
Majelis hakim menerbitkan surat keputusan yang
menyatakan Pengadilan Negeri yang bersidang tidak
berwenang mengadili jika setelah persidangan dimulai dan
penuntut umum telah membacakan surat dakwaan dan
terdakwa atau penasehat hukumnya kemudian mengajukan
eksepsi yang berisi bahwa pengadilan tesebut tidak
berwenang mengadili dan majelis hakim menerima eksepsi
dari penasehat hukum (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).
Apabila terdapat keberatan terhadap surat keputusan,
penuntut umum dapat mengajukan banding melalui panitera
Pengadilan Negeri (Pasal 156 ayat (3) KUHAP).
(3) Putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang
mengadili
47
Putusan diambil apabila setelah penasehat hukum
memberikan eksepsi, majelis hakim berpendapat bahwa
eksepsi baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan (Pasal
156 ayat (2) KUHAP).
b) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum
Surat dakwaan batal demi hukum apabila tidak terpenuhi
syarat-syarat yaitu :
(1) Hakim tidak melakukan tindakan sehingga mengakibatkan
terdakwa atau saksi memberikan jawaban tidak bebas.
(2) Hakim tidak menyatakan bahwa sidang terbuka untuk
umum kecuali dalam perkara kesusilaan yang
terdakwanya anak-anak (Pasal 153 ayat (4) KUHAP).
c) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima
Apabila terjadi putusan yang menyatkan bahwa dakwaan
tidak dapat diterima pada hakekatnya termasuk kekurang
cermatan penuntut umum.
Putusan tersebut dapat dijatuhkan karena :
(1) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntut tidak ada (delik
aduan).
(2) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa telah pernah
diadili (nebis in idem).
(3) Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluarsa
(verjaring).
d) Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa dilepas dari segala
tuntutan hukum
Putusan tersebut dapat dijatuhkan karena :
48
(1) Salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan tidak
cocok dengan tindak pidana.
(2) Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan
terdakwa tidak dapat dihukum.
Berdasarkan bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP “barangsiapa
melakukkan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya
cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau
terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak pidana.
Kemudian dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP “barangsiapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan
yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak
dipidana”.
e) Putusan bebas
Putusan bebas dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan di persidangan kesalahan yang
didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal
191 ayat (1) KUHAP), sedangkan yang dimaksud dengan
“perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut
penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan
alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
Putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang
dinilai oleh Majelis Hakim yang bersangkutan :
(1) Tidak Memenuhi Asas Pembuktian Menurut Undang-
Undang Secara Negatif.
49
Pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup
membuktikan kesalahan terdakwa yang tidak cukup
terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim.
(2) Tidak Memenuhi Asas Batas Minimum Pembuktian
Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya
didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut Pasal
183, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa
harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah. Ketentuan Pasal 183 sekaligus terkandung dua
asas, yaitu
(a) Asas pembuktian menurut Undang-Undang secara
negatif, yang mengajarkan prinsip hukum pembuktian
di samping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus
pula dibarengi dengan keyakinan hakim akan kebenaran
kesalahan terdakwa.
(b) Pasal 183 juga mengandung asas batas minimum
pembuktian, yang dianggap cukup untuk membuktikan
kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah.
f) Putusan pemidanaan
Apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan maka pengadilan
menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).
Berdasarkan Pasal 10 KUHP, pemidanaan terdiri atas :
(1) Pidana pokok :
(a) Pidana mati
(b) Pidana penjara
50
(c) Kurungan
(d) Denda
(2) Pidana tambahan :
(a) Pencabutan hak-hak tertentu
(b) Perampasan barang-barang tertentu
(c) Pengumuman putusan hakim
c. Isi Surat Putusan Pemidanaan
Mengenai isi putusan ditentukan secara rinci dalam Pasal 197 ayat (1)
KUHAP yang rumusannya sebagai berikut :
1) Kepala putusan yang ditulis berbunyi, “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
2) Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.
3) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. 4) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
5) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan. 6) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan
atau tindakan dari pasal perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan memperingan terdakwa.
7) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.
8) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.
9) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
10) Ketentuan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik yang dianggap palsu.
11) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebankan.
12) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.
51
Jika terdapat kekeliruan dan kelalaian tidak mengikuti ketentuan pasal
ini maka mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2)
KUHAP). Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga
kemungkinan, yaitu:
1) Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib.
2) Putusan bebas.
3) Putusan lepas dari tuntutan hukum.
Sebelum membicarakan putusan akhir tersebut, perlu kita ketahui
bahwa pada waktu hakim menerima suatu perkara dari penuntut umum
dapat diterima, putusan mengenai hal ini bukan merupakan keputusan
akhir (vonnis), tetapi merupakan suatu ketetaapan.
Suatu putusan mengenai tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
(Niet Onvankelijk Verklaring Het Openbare Ministeris) jika berhubungan
dengan perbuatan yang didakwakan, tidak ada alasan hukum untuk
menuntut pidana, misalnya dalam hal delik aduan tidak ada surat
pengaduan dilampirkan pada berkas perkara atau aduan ditarik kembali,
atau delik itu lewat waktu (verjaard) atau alasan nebis in idem (Andi
Hamzah, 1993 : 294).
Mengenai kapan suatu putusan pemidanaan dijatuhkan diatur dalam
Pasal 193 ayat (1) KUHAP, yaitu :”jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, maka
pengadilan menjatuhkan pidana”.
Putusan bebas (vrijspraak) dijatuhkan, menurut Pasal 191 ayat (1)
KUHAP, yaitu:”jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan, menurut
KUHAP Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yaitu:”jika pengadilan berpendapat
52
bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana”.
d. Proses Pengambilan Putusan
Ketentuan Pasal 182 KUHAP tata cara pengambilan putusan adalah
sebagai berikut :
1) Setelah ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan
ditutup maka hakim mengadakan musyawarah yang dipimpin hakim
ketua majelis. Di dalam rapat para hakim anggota majelis
mengutarakan pendapat dan uraian tentang hal-hal formil dan materiil
dalam persidangan berdasarkan surat dakwaan penuntut umum (Pasal
182 ayat (2) KUHAP).
2) Setelah masing-masing hakim anggota mengutarakan pendapat
pertimbangan serta keyakinan atas perkara tersebut, maka dilakukan
musyawarah untuk mufakat, akan tetapi jika tidak tercapai kata
mufakat maka putusan diambil dengan suara terbanyak, jika suara
terbanyak tidak juga diperoleh karena hakim berbeda pendapat atau
pertimbangan maka putusan dipilih dari pendapat yang
menguntungkan terdakwa (Pasal 182 ayat (6) KUHAP).
3) Pelaksaan pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku himpunan
yang disediakan khusus untuk itu yang sifatnya rahasia (Pasal 182 ayat
(7) KUHAP).
2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana
a. Definisi Tindak Pidana
Beberapa arti dari tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar,
antara lain sebagai berikut :
53
1) Menurut Moeljatno :
Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu ( Moeljatno, 2000:54).
2) Menurut Sudarto :
Tindak pidana adalah suatu pengertian dasar dalam hukum pidana.
Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan
istilah “Perbuatan Jahat” yang biasa diartikan secara Yuridis (hukum)
atau secara kriminologis (Sudarto, 1978:40).
3) Menurut Soebekti :
Tindak Pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang
dapat dikenakan hukuman pidana (Soebekti ,2003 : 159).
4) Menurut Wirjono Projodikoro :
Tindak Pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikatakan
menjadi subyek tindak pidana (Wirjono Projodikoro,1986 : 55 ).
Sampai saat ini KUHP masih banyak yang menggunakan istilah
Belanda, sehingga istilah “ Strafbaar feit “ yang terdapat dalam KUHP
oleh para sarjana hukum kita diterjemahkan berlainan antara sarjana yang
satu dengan sarjana yang lain. Dalam Perundang-Undangan Negara kita
dijumpai istilah “ Strafbaar feit “ misalnya :
1) Peristiwa Pidana (Undang-Undang Dasar Sementara 1950 Pasal 14
ayat (1).
54
2) Perbuatan Pidana ( Undang-Undang No. 1 Tahun 1951, Undang-
Undang mengenai Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan Sipil Pasal 5 ayat
3b ).
3) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum ( Undang-Undang Darurat
No. 2 Tahun 1951, tentang : Perubahan Ordonansi tijdelkebyzondere
straf bepalingen s. 1948 dan Undang-Undang RI ( dahulu ) No. 8
Tahun 1948 Pasal 3.
4) Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman ( Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1951, tentang :
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pasal 19, 22 ).
5) Tindak Pidana ( Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1953 tentang :
Pemilu Pasal 129 ).
6) Tindak Pidana (Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang :
Pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi Pasal 1).
7) Tindak Pidana ( Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1964 tentang :
Kewajiban kerja bakti dalam rangka pemasyarakatannya bagi
terpidana yang merupakan kejahatan Pasal 1 ).
Istilah perbuatan pidana yang digunakan oleh Undang-Undang No 1
Tahun 1951, juga dipakai oleh sarjana hukum yang terkenal yaitu
Moeljatno, oleh beliau dijelaskan sebagai berikut :
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan,
larangan yang mana disertai ancaman ( sanksi ) yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan itu.
Antara larangan dan ancaman ada hubungan erat, oleh karena kejadian
dan orang yang menimbulkan kejadian tidak dapat dilarang jika yang
menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika
tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.
55
Istilah lain yang digunakan sebagai terjemahan “Strafbaar feit “ yaitu
perbuatan yang dapat dihukum, dipakai pada Undang-Undang Darurat No.
2 Tahun 1951. Secara literlijk kata “straf“ artinya pidana, “baar“ artinya
dapat atau oleh dan “feit“ adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan
istilah starfbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan dengan kata
hukum, pada hal lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata
recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak
demikian halnya.
Untuk menyatakan adanya hubungan erat itulah maka lebih tepat
digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang
menunjuk pada dua keadaan yang konkrit yaitu pertama adanya kejadian
tertentu ( perbuatan ) dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang
menimbulkan kejadian itu (Moeljatno , 1983 : 54).
Perbedaan yang ada antara teori dengan hukum positif itu sebenarnya
hanyalah bersifat semu, karena yang terpenting bagi teori itu adalah bahwa
tidak seorangpun dapat dihukum kecuali apabila tindakannya itu memang
banar-benar bersifat melanggar hukum dan telah dilakukan berdasarkan
sesuatu bentuk “schuld” yakni dengan sengaja ataupun tidak sengaja,
sedang hukum positif kita pun tidak mengenal adanya suatu “schuld”
tanpa adanya suatu “wederrechtelijkheid”. Dengan demikian sesuailah
sudah apabila pendapat menurut teori dan pendapat menurut hukum positif
kita itu, kita satukan di dalam suatu teori yang berbunyi geen straf zonder
schuld atau tidak ada sesuatu hukuman dapat diijatuhkan terhadap
seseorang tanpa adanya kesengajaan ataupun ketidaksengajaan, yang
berlaku baik bagi teori maupun bagi hukum positif.
Dari beberapa pendapat para pakar tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang memiliki
unsur-unsur :
1) Perbuatan tersebut dilakukan oleh manusia.
56
2) Bersifat melawan hukum.
3) Berhubungan dengan kesalahan.
4) Tidak adanya alasan pembenar, yaitu alasan yang dapat menghilangkan
sifat melawan hukum dari perbuatan.
5) Tidak adanya alasan pemaaf, yaitu alasan yang dapat menghilangkan
unsur kesalahan dari perbuatan.
b. Unsur Tindak Pidana
Suatu perbuatan untuk dapat disebut sebagai perbuatan pidana maka
perbuatan tersebut harus mempunyai unsur-unsur sebagai berikut, yaitu:
1) Unsur subyektif
a) Kesengajaan atau kelalaian.
b) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksudkan dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
c) Macam-macam maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan
pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
d) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam
kejahatan menurut Pasal 340 KUHP.
e) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUHP.
2) Unsur obyektif
a) Sifat melawan hukum.
b) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil
melakukan kejahatan yang diatur menurut Pasal 415 KUHP.
c) Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
Sebagaimana dikemukakan istilah “ strafbaar feit “ oleh sarjana
hukum kita yang diterjemahkan berlainan antara sarjana hukum yang satu
57
dengan sarjana hukum yang lain. Hal ini membawa pengaruh yang
berbeda pula bagi para sarjana hukum kita dalam menguraikan unsur-
unsur tindak pidana.
Para sarjana yang tergolong dalam aliran monistis menguraikan
tentang “ strafbaar feit “ dan unsur-unsurnya sebagai berikut :
Simons menerangkan, bahwa “ strafbaar feit “ adalah kelakuan
( handeling ) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum
yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggung jawab.
Unsur-unsur “ strafbaar beit “ adalah :
1) Perbuatan manusia ( positif atau negatif, berbuat atau membiarkan ).
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld ).
3) Melawan Hukum (onrechtmatig ).
4) Dilakukan dengan kesalahan ( met schuld in verband stand ).
5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Van Hamel merumuskan “ strafbaar Feit “ adalah kelakuan orang
yang dirumuskan dalam “ wet “ yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana ( strafwaarding ) dan dilakukan dengan kesalahan.
Unsur-unsurnya adalah :
1) Perbuatan tersebut dilakukan oleh manusia.
2) Dengan melawan hukum.
3) Patut dipidana.
Para sarjana yang tergolong aliran dualistis mengemukakan sebagai
berikut :
Pompe mengemukakan dalam hukum positif sifat hukum dan
kesalahan bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana. Untuk
adanya penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana akan
tetapi di samping itu harus ada orang yang dapat dipidana.
58
Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah :
1) Perbuatan ( manusia ).
2) Yang memenuhi rumusan dalam Undang-Undang ( ini merupakan
syarat formil ).
3) Bersifat melawan hukum ( ini merupakan syarat materiil ).
Menurut R.Tresna, unsur tindak pidana adalah :
1) Perbuatan atau rangkaian perbuatan ( Manusia ).
2) Yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan.
3) Diadakan tindakan penghukuman.
Unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat
pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu
diikuti dengan penghukuman ( pemidanaan ). Berbeda dengan Moeljatno,
karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan
dijatuhi pidana, walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang
bertentangan dengan Undang-Undang selalu diikuti dengan pidana, namun
dalam unsur-unsur itu terdapat kesan perihal syarat-syarat ( subyektif )
yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana.
Dari dua pendapat yaitu aliran monistis dan dualistis di atas, ternyata
di dalam menentukan unsur tindak pidana kedua pandangan itu tidak
mempunyai perbedaan yang jelas.
Bagi orang yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan
tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi orang yang
berpandangan dualistis sama sekali belum mencukupi syarat untuk dapat
dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggung jawab pidana
yang harus ada pada orang yang berbuat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa lebih baik
mengemukakan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dikemukakan oleh
aliran dualistis dengan alasan perlu diketahui bahwa pengenaan pidana itu
59
diperlukan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu harus ada dan melekat
pada perbuatan dan ada syarat yang melekat pada orangnya seperti
pendapat Moeljatno.
c. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Di Belanda dikenal 3 jenis tindak pidana yaitu misdaden ( kejahatan ), wanbedrijven ( perbuatan tercela ) dan overtredingen ( pelanggaran ), yang mendapat pengaruh dari Code Penal Perancis ( 1810 ), yang membedakan tindak pidana ke dalam 3 jenis, yakni crime ( kejahatan ), delict ( perbuatan tercela ) dan contravention ( pelanggaran ) ( Adam Chazawi, 2000 : 119 ).
Tindak pidana dapat digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu :
1) Penggolongan berdasarkan atas cara perumusan ketentuan hukum
(straafbepaling).
Menurut ketentuan hukum yang mengaturnya, tindak pidana dibagi
dalam dua jenis yaitu :
a) Tindak pidana material (materieel delict).
Dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat
tertentu tanpa merumuskan wujud dari perbuatan tersebut.
Misalnya seperti yang terdapat dalam Pasal 187, 338, 378 KUHP.
b) Tindak Pidana formal (formeel delict).
Dirumuskan sebagai wujud perbuatan, tanpa menyebutkan akibat
yang disebabkan oleh perbuatan. Misalnya seperti dalam Pasal 156,
160, 209, 210, 362 KUHP ( Wirjono Prodjodikoro, 1986:34).
2) Penggolongan berdasarkan kriteria kualitatif.
Menurut kriteria kualitatif, tindak pidana dibagi dalam :
a) Recht delict (kejahatan).
60
Perbuatan yang bertentangan dengan keadilan meskipun
peraturan perundang-undangan tidak mengancamnya dengan
pidana.
b) Wets delict (pelanggaran).
Perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai tindak
pidana karena ada peraturan yang mengaturnya.
3) Penggolongan berdasarkan kriteria kuantitatif.
Penggolongan tindak pidana ini yang digunakan di Indonesia.
Berdasarkan penggolongan ini terdiri atas :
a) Kejahatan terdapat dalam buku II KUHP.
b) Pelanggaran terdapat dalam buku III KUHP.
Ancaman pidana pada pelanggaran lebih ringan karena pelanggaran
tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana
kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih didominasi dengan
ancaman pidana penjara ( Adami Chazawi, 2002 : 120 ).
4) Penggolongan berdasarkan perbuatan yang dilakukan.
a) Delict commisionis.
Yaitu tindak pidana berupa melakukan suatu perbuatan aktif
(positif), perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk
mewujudkannya disyaratkan dengan adanya gerakan dari anggota
tubuh orang yang berbuat.
b) Delict ommisionis.
Yaitu tindak pidana yang berupa tidak melakukan sesuatu, ada
suatu kondisi tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani
kewajiban hukum untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak
melakukan (aktif) perbuatan itu, maka ia telah melanggar
kewajiban hukumnya tadi.
61
5) Penggolongan atas dasar unsur kesalahan (schuld).
a) Delik dolus (unsur kesengajaan).
Yaitu tindak pidana dengan sengaja.
b) Delik culpa (unsur kealpaan).
Yaitu tindak pidana dengan kealpaan.
6) Penggolongan berdasarkan atas tuntutannya.
a) Delik biasa.
Yaitu tindak pidana dituntut tanpa adanya aduan.
b) Delik aduan (klacht delicten).
Yaitu tindak pidana yang penuntutnya tergantung atas aduan dari
pihak yang dirugikan. Delik aduan ada dua macam, yaitu :
(1) Tindak Pidana Aduan Mutlak
Tindak pidana aduan yang setiap kejadian syarat pengaduan itu
harus ada. Contohnya Pasal 310 KUHP tentang pencemaran
nama baik.
(2) Tindak Pidana Aduan Relatif
Tindak pidana yang hanya dalam keadaan tertentu atau jika
memenuhi syarat atau unsur tertentu saja tindak pidana itu
menjadi aduan. Contohnya Pasal 367 ayat (2) jo Pasal 362
sampai Pasal 365 KUHP tentang pencurian dalam keluarga.
Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kejahatan atau pelanggaran
adalah perbuatan yang dipandang bertentangan atau menghambat akan
terlaksananya hukum dalam pergaulan masyarakat. Dipandang dari sudut
penilaian hukum (yuridis) tindak pidana adalah perbuatan yang tercela,
baik itu berbentuk pelanggaran atau kejahatan.
62
Pembagian atas macam-macam delik di sini adalah pembedaan tindak
pidana mengenai sifat yang sesunguhnya, tetapi hanya mengenai sifat
dalam perumusannya masing-masing pasal, misalnya pembedaan delik
formil dan delik materiil, dan dalam kenyataannya tidak ada pembedaan
tersebut, pembedaan ini hanya dalam tulisan yaitu dapat dilihat pada
perumusannya masing-masing.
Dikatakan ada pada perumusan formil jika yang disebut atau yang
menjadi pokoknya adalah kelakuannya, jadi penekanannya adalah pada
kelakuan yang dilarang, misalnya dalam Pasal 362 KUHP mengenai
pencurian, yang penting adalah kelakuan untuk memindahkan penguasaan
barang yang dicuri. Dalam pasal ini kelakuan dirumuskan sebagai
mengambil, sedang akibat dari pencurian itu perumusan secara formil
adalah tidak penting.
Dikatakan pada perumusan materiil jika yang menjadi pokok dalam
perumusannya adalah akibat dari perbuatannya akibat itulah yang dilarang
sedangkan cara yang menimbulkan akibat tidak begitu penting, sebagai
contoh adalah dalam perbuatan membunuh yang dilarang adalah akibatnya
yaitu mati atau sakit.
d. Rumusan Tindak Pidana
Buku II dan Buku III KUHP berisi tentang rumusan tindak pidana-
tindak pidana tertentu. Tentang bagaimana cara pembentuk Undang-
Undang dalam merumuskan tindak pidana itu pada kenyataannya memang
tidak seragam. Jika dilihat dari unsur dan norma kejahatan, ketiga rumusan
itu adalah:
63
1) Menguraikan atau menyebutkan satu per satu unsur-unsur perbuatan,
misal tindak pidana yang tersebut dalam Pasal 263 KUHP tentang
pemalsuan surat, 362 tentang pencurian dan lain-lain.
2) Hanya menyebut kualifikasi dari tindak pidana tanpa menguraikan
unsur-unsurnya, misal Pasal 184 KUHP tentang Perkelahian Tanding,
Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
3) Penggabungan cara 1 dan cara 2 yaitu di samping menyebutkan unsur-
unsurnya, juga menyebutkan perbuatan akibat, dan keadaan yang
bersangkutan, juga disebut kualifikasi dan tindak pidana. Misalnya
Pasal 372 tentang penggelapan.
e. Teori Pemidanaan
Dalam teori pemidanaan ini dibicarakan mengapa pidana itu perlu
dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Menurut Adami Chazawi ada tiga
teori tentang perlunya menjatuhkan pidana yaitu :
1) Teori absolut / mutlak / pembalasan.
Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Negara berhak
menjatuhkan pidana karena pelaku tindak pidana telah melakukan
penyerangan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat,
atau negara) yang telah dilindungi, oleh karena itu ia harus diberikan
pidana yang setimpal denagn perbuatan (berupa kejahatan) yang
dilakukannya.
2) Teori relatif / nisbi/ tujuan.
Berdasarkan teori ini, sesuatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti
dengan pidana. Pidana yang dijatuhkan harus dilihat manfaatnya bagi
pelaku itu sendiri dan bagi masyarakat. Teori relatif berpokok pangkal
pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib
(hukum) dalam masyarakat. Teori ini juga disebut teori tujuan karena
tujuan dari pidana itu sendiri adalah tata tertib masyarakat, dan untuk
menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana, disamping hanya
64
memberikan pidana agar kejahatan tersebut tidak terulang lagi. Jadi
bersifat preventif.
3) Teori Gabungan
Teori ini merupakan gabungan antara teori absolut dan teori relatif.
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan
asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
adalah menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat
dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu :
a) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi
pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu
dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib
masyarakat.
b) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak
boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
tindak pidana.
3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan
a. Definisi Pemalsuan dan Asal-Usul
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian dari pemalsuan
adalah tidak tulen, tidak sah atau membuat sesuatu menjadi tidak tulen
atau tidak benar.
65
Pengertian dari asal-usul menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah asal keturunan, silsilah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pemalsuan asal-usul pernikahan adalah
membuat secara tidak tulen atau tidak benar asal keturunan dan silsilah, di
mana dalam asal-usul pernikahan itu berisi tentang identitas dari kedua
calon mempelai dan identitas orang tua dari masing-masing kedua calon
mempelai.
b. Definisi Pernikahan
Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis
kelaminnya ( laki-laki dan perempuan ) secara alamiah mempunyai daya
tarik menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama,
atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk suatu keluarga atau
rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi. Hal ini dapat
terwujud jika ada suatu pernikahan. Definisi mengenai pernikahan ada
beberapa macam, yaitu :
1) Menurut Agama Islam.
Berdasarkan Al Quran surat An Nisa’ ayat 1, yaitu “Hai sekalian
manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan menjadikan istri daripadanya, dan dari keduanya
Allah memperkembangbiakan pria dan wanita”(Anwar Abu Bakar,
2007 : 148).
2) Menurut Agama Kristen.
Pernikahan adalah persekutuan hidup dari dua orang yang bersedia
tolong-menolong (saling melayani) secara timbal balik. Tuhan Allah
mengenali laki-laki dan melengkapi dengan memberikan seorang
penolong sebagai pasangannya. Selaku penolong perempuan akan
66
menyelamatkan laki-laki dari kesepian dan kesunyian. Keduanya tidak
lebih rendah atau lebih tinggi.
3) Menurut Agama Katholik.
Pernikahan adalah perkawinan yang menerima sakramen pernikahan
dari Gereja.
4) Menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974.
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang
Maha Esa.
5) Menurut Syamsul Rijal Hamid.
Pernikahan adalah menciptakan ikatan lahir dan batin seorang pria dan
wanita sebagai suami-istri dengan syarat dan rukun yang telah
ditetapkan ( Syamsul Rijal Hamid,1997 : 240 ).
Beberapa definisi mengenai pernikahan, kita dapat membandingkan
definisi dari sudut agama baik agama Islam, Kristen atau Katholik, dari
sudut perundang-undangan yaitu Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun
1974 dan dari pendapat pakar, sehingga kita dapat mengerti definisi
pernikahan secara menyeluruh dari berbagai aspek.
c. Tujuan Pernikahan
Tujuan dari pernikahan itu sendiri menurut Undang-Undang
Perkawinan No 1 Tahun 1974 adalah tidak hanya melihat dari segi
lahirnya saja, tapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara
suami istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah
67
tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan
kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Pernikahan juga membentuk suatu
rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal.
Hal ini dimaksudkan, bahwa perkawinan itu hendaklah berlangsung
seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja, dan pembentukan
keluarga yang bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila. Menurut agama
Islam sendiri tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu manusia dapat
memelihara statusnya sebagai makhluk yang mulia dan menyalurkan
kebutuhan biologisnya dan pernikahan merupakan satu-satunya bentuk
berpasangan yang benar dan halal.
d. Syarat-Syarat Pernikahan
Syarat pernikahan dibedakan antara syarat pernikahan menurut syariat
dan syarat pernikahan menurut peraturan perundang-undangan.
Syarat pernikahan menurut syariat, yaitu
1) Untuk calon pengantin pria adalah sebagai berikut : a) Beragama Islam. b) Terang prianya (bukan banci). c) Tidak dipaksa. d) Tidak beristri empat orang. e) Bukan mahram calon istri. f) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri. g) Mengetahui calon istri tidak haram dinikahinya. h) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
2) Untuk calon pengantin wanita a) Beragama Islam. b) Terang wanitanya (bukan banci). c) Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya. d) Tidak bersuami dan tidak dalam iddah. e) Bukan mahram calon suami. f) Belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh calon suami. g) Terang orangtuanya.
68
h) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah ( H.Z Muttaqin, 2003:21 ).
Syarat pernikahan menurut perundang-undangan yaitu menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974, diatur di dalam Pasal 6 Undang-
Undang No 1 Tahun 1974, yaitu :
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud Pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),(3),(4), Pasal ini atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), (4) Pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Menurut Pasal 7 Undang-Undang No 1 Tahun 1974, syarat-syarat
pernikahan yaitu:
1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa syarat pernikahan menurut
Pasal 6 dan Pasal 7 terdapat perbedaan, dimana dalam Pasal 6
menyebutkan syarat-syarat pernikahan tersebut secara lengkap
dibandingkan dengan Pasal 7, perbedaan umur juga menjadi suatu masalah
69
karena di dalam Pasal 6 disebutkan bahwa pernikahan dapat
dilangsungkan jika sudah berumur 21 tahun dan jika belum berumur 21
tahun harus meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua, sedangkan
dalam Pasal 7 pernikahan dapat dilangsungkan jika calon pengantin pria
berumur 19 tahun dan calon mempelai wanita berumur 16 tahun.
e. Surat-Surat Nikah
Sebelum melangsungkan suatu pernikahan setiap calon mempelai
harus melakukan beberapa persyaratan diantaranya adalah pengisian
formulir atau surat-surat pernikahan. Jenis formulir menurut Keputusan
Menteri Agama Nomor 298 Tahun 2003 ada 16 formulir pencatatan nikah
yang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu formulir pokok,
formulir pelengkap dan formulir mutasi.
1) Formulir Pokok, yaitu formulir yang secara langsung menjadi tanggung jawab dan dikerjakan pengisiannya oleh PPn, yaitu : a) Akta Nikah (model N). b) Kutipan Akta Nikah (model NA). c) Daftar Pemeriksaan Nikah (model NB). d) Pengumuman Kehendak Nikah (model NC).
Pengisian formulir tersebut dimulai dari model NB, NC kemudian model N dan yang terakhir model NA.
2) Formulir Pelengkap, yaitu formulir yang merupakan kelengkapan dari pelaksanaan pernikahan dan disiapkan sebelum pelaksanaan pernikahan. Sebagian besar formulir tersebut pengisiannya dilakukan oleh Kepala Desa, yaitu : a) Surat Keterangan Untuk Nikah ( N1 ). b) Surat Keterangan asal-usul ( N2 ). c) Surat Persetujuan Mempelai ( N3 ). d) Surat Keterangan tentang orang tua ( N4 ). e) Surat Izin orang tua ( N5 ). f) Surat Keterangan kematian suami atau istri ( N6 ). g) Pemberitahuan kehendak Nikah ( N7 ). h) Pemberitahuan adanya halangan atau kekurangan syarat ( N8 ). i) Penolakan Pernikahan ( N9 ).
3) Formulir mutasi, yaitu formulir yang dipergunakan untuk memberitahukan perubahan status seseorang, kepada PPN atau Pengadilan Agama yang sebelumnya telah mencatat perceraiannya, yaitu :
70
a) Pemberitahuan Nikah. b) Pemberitahuan Poligami ( H.Z Muttaqin, 2003:18 ).
Pengaturan penggunaan beberapa formulir nikah
1) Formulir model NB. a) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock yang
telah disediakan.
b) Digunakan mencatat sejak awal pendaftaran dan termasuk
mencatat data-data hasil pemeriksaan yang bersangkutan.
c) Dijilid dalam satu bundel untuk setiap tahun beseta surat-surat
yang berhubungan dengan pernikahan untuk mempermudah
penyimpanan dan pengontrolannya.
d) Penyimpanannya diurutkan sesuai dengan nomor urut surat akta
nikah untuk mempercepat pencariannya, bila dikemudian hari
terjadi masalah dalam perniakahan yang bersangkutan.
e) Merupakan informasi pertama dan sumber utama dalam soal
pernikahan, karena itu harus tersimpan dengan baik dan tidak boleh
ada surat yang tercecer.
2) Formulir model N (akta nikah).
a) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock yang
telah disediakan.
b) Merupakan akta dan djilid dalam buku masing-masing 50 lembar.
c) Diberi catatan pada sampulnya, ditandatangani lembar pertama dan
terakhir serta diparaf lembar-lembar lainnya oleh Kepala PPN
sebelum dikirim ke PPN.
d) Tersimpan secara tertib dan aman di kantor dan tidak boleh dibawa
ke luar kantor. Bila terjadi nikah diluar KUA atau Balai Nikah
sebagai gantinya menggunakan halaman IV model NB.
e) Dibuat rangkap dua, ditulis dengan huruf latin dan menggunakan
tinta hitam.
f) Buku pertama disimpan oleh PPN, buku kedua dikirim ke
Pengadilan Agama.
71
3) Formulir model NA
a) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock yang
disediakan.
b) Dipergunakan secara berurutan sesuai dengan seri nomornya untuk
mempermudah pengontrolan.
c) Ditulis dengan huruf kapital yang jelas, dengan menggunakan tinta
hitam.
d) Segera setelah akad nikah berlangsung kepada masing-masing
suami dan istri diberikan buku nikah yang berisi antara lain
Kutipan Akta Nikah.
e) Dibuat rangkap dua, untuk masing-masing suami dan istri.
f) Diserahkan kepada masing-masing suami istri dengan ekspedisi
khusus dengan tanda tangan penerimaan.
f. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan
Pemalsuan asal-usul pernikahan ini berhubungan dengan suatu surat
atau akta, maka unsur obyektif dari tindak pidana pemalsuan surat asal-
usul pernikahan yang terdapat dalam Pasal 263 yaitu :
1) Membuat palsu atau memalsu.
2) Memalsu terhadap :
a) Suatu tulisan atau surat yang dapat menerbitkan suatu hal.
b) Surat yang dapat menerbitkan keterangan.
c) Surat yang dapat membebaskan hutang.
d) Surat yang dapat membuktikan suatu perbuatan.
e) Pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Unsur subyektif dari membuat palsu yaitu dengan maksud untuk
mempergunakan surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan,
kemudian unsur yang kedua adalah sengaja, dari unsur-unsur tindak
pidana pemalsuan tersebut didapat pengertian-pengertian bahwa dalam
pasal tersebut terdapat unsur obyektif yaitu membuat surat palsu dan
72
memalsukan sesuatu surat, dan antara kedua istilah itu terdapat pengertian
yang berbeda, adapun perbedaannya adalah bahwa membuat surat palsu
maksudnya berarti semula surat itu belum ada, lalu ia membuat surat itu
sendiri sehingga seolah-olah sama dengan yang asli. Sedangkan pengertian
pemalsuan surat itu berarti bahwa surat itu sudah ada, kemudian surat itu
ditambah, dikurangi atau dirubah isinya, sehingga surat itu tidak lagi
sesuai dengan aslinya.
Pemalsuan asal-usul pernikahan ini dilakukan oleh pelaku karena dia
ingin melakukan pernikahan lagi padahal terdapat suatu halangan sah
untuk itu, maka unsur tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan
sesuai dengan pasal 280, yaitu:
1) Unsur obyektif.
a) Menikah.
Dengan menyembunyikan kepada pasangannya bahwa
pernikahannya yang telah ada merupakan penghalang baginya
untuk menikah lagi.
b) Pernikahan itu dinyatakan batal karena penghalang itu oleh
Pengadilan.
2) Unsur subyektif
Bahwa pernikahan yang kemudian itu dilakukan dengan sengaja.
B. KERANGKA PEMIKIRAN
73
Dari Gambar di atas dapat dijelaskan :
Surat Akta
a.KUHP b. Hukum Perkawinan
Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul
Pernikahan
Pertimbangan Hakim Dalam Memutus
Perkara
Putusan Hakim
Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul
Pernikahan
74
Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan ini dilakukan oleh
seseorang ketika hendak menikah dengan alasan terdapat suatu halangan
jika dia menikah, misalnya dia telah menikah dengan seseorang dan
pernikahan sebelumnya tersebut menjadi suatu penghalang baginya untuk
menikah lagi, oleh sebab itu dia memalsukan asal-usulnya, baik itu nama,
alamat maupun statusnya. Biasanya pemalsuan itu terdapat di dalam surat
dan akta otentik yang berupa identitas pelaku tersebut. Tindak pidana
pemalsuan asal-usul pernikahan sering terjadi di dalam masyarakat kita,
akan tetapi jarang sekali terjerat oleh hukum dan sulit dibuktikan, hal ini
terjadi karena adanya beberapa faktor yaitu minimnya bukti, perbuatan
terencana dengan matang, dan saksi kurang mengetahui sendiri perbuatan
yang dilakukan oleh si pelaku.
Hal ini menyebabkan kasus-kasus seperti ini jarang sekali yang sampai
di Pengadilan Negeri, jika kasus ini sampai ke Pengadilan Negeri di dalam
menyelesaikannya Hakim menggunakan KUHP yaitu Pasal 263, pasal 266
dan pasal 280, sedangkan untuk peraturan yang lebih khusus Hakim
biasanya menggunakan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 sehingga Hakim bisa memutus perkara
tersebut berdasarkan rasa moralitas, kepatutan dan kelayakan.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Deskripsi Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Pengadilan Negeri
Bantul, peneliti mengambil putusan dengan nomor 83/Pid.B/2004/PN.BTL
dalam hal ini terdakwa :
Nama : Burhan Fajar Priyanto
Tempat lahir : Bantul
75
Umur : 33 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Tegalayang RT 01/21 Caturharjo Pandak Bantul
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Burhan Fajar Priyanto ( terdakwa ) telah melakukan tindak pidana
pemalsuan surat atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu
hak, dengan surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan dan
mempergunakannya dapat mendatangkan kerugian sebagaimana diatur
dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP.
Burhan Fajar Priyanto telah mengambil Akte Cerai di Gudang Kantor
Urusan Agama ( KUA ) Pandak, Bantul atas nama Mariaten binti Adi
Sugito dengan Pardal bin Kardiwiyono dimana KUA tersebut merupakan
tempat Burhan Fajar Priyanto bekerja. Akte Cerai tersebut kemudian
dipalsu oleh Burhan Fajar Priyanto dengan menghapus nama asli yang
tertera dengan nama Burhan Fajar Priyanto dan nama istrinya.
79
Akte cerai palsu tersebut digunakan untuk mengajukan persyaratan
menikah di Kelurahan Caturharjo, Pandak, Bantul dan mendapatkan
formulir nikah yaitu formulir N1 (formulir keterangan untuk nikah),
formulir N2 (formulir keterangan asal-usul), dan formulir N4 (formulir
keterangan orang tua).
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan
Asal-Usul Pernikahan
Burhan Fajar Priyanto (terdakwa) diajukan oleh Penuntut Umum ke
persidangan berdasarkan surat dakwaan tanggal 9 November 2004 yang
pada pokoknya adalah Burhan Fajar Priyanto pada hari dan tanggal yang
tidak dapat ditentukan secara pasti yaitu tahun 2003 atau setidak-tidaknya
pada suatu waktu sekitar tahun 2003 bertempat di rumah terdakwa
Tegallayang RT 01/RW 21, Catur, Pandak, Bantul atau setidak-tidaknya
disuatu tempat lain yang masih termasuk di dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Bantul, terdakwa membuat surat palsu atau
memalsukan surat yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perjanjian atau
sesuatu pembebasan utang yang boleh dipergunakan sebagai keterangan
bagi suatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh
orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah asli dan tidak
dipalsukan, dan jika mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu
kerugian.
Terdakwa pada hari, tanggal dan bulan pada tahun 2003 sekitar pukul
19.30 WIB terdakwa mengambil Akte Cerai di gudang KUA Pandak,
Bantul atas nama Mariaten binti Adi Sugito dengan Pardal bin
Kardimiyono dengan seri : L, Nomor : 2750 dan Akte Cerai
134/AC/2000/PA Bantul tangal 11 April 2000 kemudian Akte Cerai
tersebut dibawa pulang kerumah terdakwa di Dusun Tegallayang RT
01/RW 21 Caturharjo, Pandak, Bantul, oleh Terdakwa Akte Cerai tersebut
79
dihapus nama asli yang tertera dalam Akte Cerai diganti dengan nama
terdakwa dan Nanik.
Pada tanggal 8 Desember 2003 Akte Cerai tersebut dibawa terdakwa
untuk mengajukan persyaratan menikah di Kelurahan Caturharjo, Pandak,
Bantul. Setelah mendapatkan persyaratan menikah di Kelurahan
Caturharjo terdakwa mendaftarkan di KUA Ngemplak, Sleman bersama
calon istrinya Sulasmi yang beralamat di Lodadi, Umbulmartani,
Ngemplak, Sleman dan pada 12 Desember 2003 jam 09.00 WIB terdakwa
melangsungkan akad nikah dengan Sulasmi di Lodadi, Umbulmartani,
Ngemplak, Sleman.
Pada hari Selasa tanggal 30 Desember 2003 sekitar pukul 12.00 WIB
Nanik sebagai istri sah terdakwa, mengecek kebenaran terdakwa menikah
lagi di KUA Ngemplak, Sleman. Setelah mengetahui Akte Cerai palsu,
pihak KUA Ngemplak Sleman melaporkan pembatalan nikah di
Pengadilan Agama Sleman dan pembatalan nikah sudah diputuskan
Pengadilan Agama tanggal 1 Maret 2004.
Melihat fakta peristiwa tersebut maka Jaksa Penuntut Umum menuntut
agar Majelis hakim memutus sebagai berikut :
1) Menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana membuat
surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu
hak, dengan surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan,
dan mempergunakannya dapat mendatangkan kerugian sebagaimana
diatur dan diancam pidana 263 ayat (1) KUHP.
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana selama 9
(sembilan) bulan.
3) Menyatakan barang bukti berupa :
a) 1 (satu) lembar foto copy N1
b) 1 (satu) lembar foto copy N2
c) 1 (satu) lembar foto copy N4
79
d) 1 (satu) lembar foto copy Akte Cerai palsu
e) 1 (satu) lembar berita acara pengambilan dan pencabutan berkas
nikah atas nama Burhan Fajar Priyanto.
Sesuai dengan Pasal 183 KUHAP, dalam menjatuhkan putusan
pemidanaan harus memiliki sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
yaitu :
1) Keterangan Saksi
Saksi-saksi yang kesemuanya setelah didengar keterangannya di
bawah sumpah menurut cara agamanya masing-masing kecuali
terhadap saksi Nanik yang tidak disumpah karena merupakan istri dari
terdakwa, saksi-saksi mana pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut :
a) Saksi Nanik
(1) Bahwa saksi adalah istri terdakwa sejak tahun 1994 sampai
sekarang yang belum dikaruniai anak.
(2) Bahwa pada bulan Desember 2003 terdakwa pernah menikah
lagi di KUA Ngemplak, Sleman.
(3) Bahwa saksi mengetahui pernikahan terdakwa tersebut karena
diberitahu Sulasmi dan saksi mengecek langsung ke KUA
Ngemplak, Sleman.
(4) Bahwa saksi tidak pernah bercerai dengan terdakwa.
(5) Bahwa dengan Akte Cerai palsu tersebut terdakwa menikah
lagi dengan Sulasmi.
(6) Bahwa kemudian pernikahan terdakwa dengan Sulasmi
tersebut dibatalkan Pengadilan Agama Sleman.
(7) Bahwa terhadap barang bukti surat Akte Cerai yang
diperlihatkan di persidangan adalah benar yang juga
diperlihatkan petugas KUA Ngemplak ketika saksi mengecek
di KUA tersebut.
79
b) Saksi Lasmidi
(1) Bahwa terdakwa pernah menikah dengan seorang penduduk
Sleman, tapi kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Agama
Sleman.
(2) Bahwa pernikahan dibatalkan karena syarat pernikahan yaitu
Akte Cerai antara terdakwa dan saksi Nanik adalah palsu
karena terdakwa belum pernah bercerai dengan saksi Nanik.
(3) Bahwa saksi tidak mengetahui siapa yang membuat Akte Cerai
palsu tersebut.
c) Saksi Mustofa
(1) Bahwa terdakwa dan saksi Nanik adalah suami istri yang belum
pernah bercerai.
(2) Bahwa pada bulan Desember 2003 saksi diberitahu oleh saksi
Nanik tentang pernikahan terdakwa dengan Sulasmi di
Ngemplak, Sleman.
(3) Bahwa kemudian saksi bersama dengan saksi Nanik mengecek
di KUA Ngemplak, Sleman dimana diketahui terdakwa dapat
menikah dengan Sulasmi karena di antara persyaratan ada Akte
Cerai dengan status terdakwa duda cerai dengan saksi Nanik.
(4) Bahwa saksi mengetahui barang bukti yang diperlihatkan di
persidangan yaitu Akte Cerai atas nama terdakwa dengan saksi
Nanik adalah yang diperlihatkan oleh petugas KUA Ngemplak,
pada saat saksi mengantar saksi Nanik mengecek ke KUA
Ngemplak.
d) Saksi Drs. Solehan Amin
(1) Bahwa saksi adalah petugas KUA Ngemplak, Sleman.
(2) Bahwa pada Bulan Desember 2003 terdakwa datang ke KUA
Ngemplak dengan membawa persyaratan nikah di antaranya
79
Akte Cerai yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bantul yang
menyatakan terdakwa adalah duda cerai dengan maksud agar
terdakwa dinikahkan dengan Sulasmi.
(3) Bahwa karena persyaratan sudah lengkap diantaranya Akte
Cerai tersebut kemudian saksi pada tanggal 12 Desember 2003
di rumah Sulasmi di Ngemplak, Sleman menikahkan antara
terdakwa dan Sulasmi.
(4) Bahwa satu bulan kemudian saksi Nanik datang ke KUA
Ngemplak dan menanyakan tentang pernikahan terdakwa, yang
kemudian saksi Nanik menyatakan pada KUA Ngemplak
bahwa Akte Cerai yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bantul
atas nama terdakwa dan saksi Nanik tersebut palsu karena saksi
Nanik belum pernah bercerai dengan terdakwa.
(5) Bahwa saksi kemudian mengecek ke Pengadilan Agama
Bantul, yang diketahui bahwa Pengadilan Agama Bantul tidak
pernah mengeluarkan Akte Cerai atas terdakwa dan saksi
Nanik.
(6) Bahwa pernikahan antara terdakwa dengan Sulasmi kemudian
dibatalkan karena didasari oleh suatu persyaratan yang palsu
dan merugikan Sulasmi maupun Nanik.
(7) Bahwa benar barang bukti yang diperlihatkan di persidangan
diantaranya adalah Akte Cerai yang diajukan terdakwa untuk
mendaftarakan nikah dengan Sulasmi.
e) Saksi Sumarjana
(1) Bahwa saksi adalah pegawai Kelurahan Caturharjo, Pandak.
(2) Bahwa saksi pernah membuatkan surat keterangan atas nama
terdakwa untukmenikah.
(3) Bahwa pada saat membuat surat keterangan untuk menikah
tersebut terdakwa membawa Akte Cerai atas nama terdakwa
dan saksi Nanik.
79
2) Surat
a) 1 (satu) lembar foto copy N1
b) 1 (satu) lembar foto copy N2
c) 1 (satu) lembar foto copy N4
d) 1 (satu) lembar foto copy Akte Cerai palsu
e) 1 (satu) lembar berita acara pengambilan dan pencabutan berkas
nikah atas nama Burhan Fajar Priyanto.
3) Keterangan Terdakwa
Dalam persidangan telah pula didengar keterangan terdakwa yang pada
pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut :
a) Bahwa terdakwa dengan saksi Nanik adalah suami istri yang belum
pernah bercerai.
b) Bahwa terdakwa pernah menikah lagi dengan Sulasmi tanggal 10
Desember 2003.
c) Bahwa terdakwa menikah lagi karena pernikahan terdakwa dengan
saksi Nanik belum juga dikaruniai anak.
d) Bahwa salah satu syarat untuk dapat menikah yang terdakwa
penuhi adalah Akte Cerai karena terdakwa mengaku duda cerai di
KUA Ngemplak.
e) Bahwa terdakwa bisa menikah dengan Sulasmi karena terdakwa
membuat Akte Cerai palsu, yaitu terdakwa memperoleh Akte Cerai
atas nama orang lain dari gudang, kemudian terdakwa ganti nama
orang yang bercerai tersebut dengan nama terdakwa dan nama
saksi Nanik atau istri terdakwa.
79
3. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Bantul Dalam Memutus
Perkara Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Perrnikahan
Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang diajukan,
harus benar-benar memiliki keyakinan bahwa putusan yang dijatuhkan
kepada terdakwa benar-benar adil bagi terdakwa, keluarga maupun bagi
masyarakat. Keyakinan ini tidak hanya berdasarkan dari keyakinan hakim
sendiri, tetapi dari beberapa faktor lain yang mendukung, yaitu keterangan
terdakwa dalam persidangan, keterangan saksi dan didukung juga dengan
alat bukti yang ada, dengan melihat fakta-fakta yang ada yang didapat
dalam persidangan tersebut, maka hakim harus mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
1) Pertimbangan peristiwanya, ialah apakah terdakwa telah melakukan
perbuatan-perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
2) Pertimbangan mengenai hukumnya, ialah apakah yang dilakukan
terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa
bersalah dan dapat dipidana.
3) Pertimbangan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat
dipidana.
Apabila dalam suatu persidangan, sesuai dengan fakta-fakta yang ada
tidak terbukti maka hakim harus memberikan putusan bebas kepada
terdakwa. Apabila terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang telah
didakwakan, dan merupakan perbuatan pidana dan terdakwa mampu untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut, maka hakim bebas
menentukan dan menjatuhkan putusan yang dianggap sesuai, meskipun
begitu hakim tetap mengacu pada Pasal 23 ayat (1) UU No 14 Tahun 1970
Jo UU No 3 Tahun 1999,yaitu hakim dalam menjatuhkan putusan, juga
harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan
atau sumber-sumber hukum lain yang dijadikan dasar untuk mengadili
sehingga putusan hakim tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
79
Kasus tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan, yang dijadikan
dasar pertimbangan putusan hakim adalah perbuatan terdakwa memenuhi
unsur-unsur yang didakwakan kepadanya, yaitu melanggar Pasal 263 ayat
1 KUHP yang unsur-unsur hukumnya sebagai berikut:
1) Barang Siapa.
2) Membuat surat palsu atau memalsukan surat.
3) Yang dapat menerbitkan sesuatu hak, suatu perjanjian, atau sesuatu
pembebasan hutang, atau yang boleh digunakan sebagai keterangan
bagi sesuatu perbuatan.
4) Dengan maksud menggunakan atau menyuruh orang lain
menggunakan surat itu seolah-olah surat itu asli atau tidak dipalsukan.
5) Kalau menggunakannya dapat menimbulkan kerugian.
Ad.1. Unsur Barang Siapa
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah
setiap orang atau manusia sebagai Subyek Hukum yang mampu
bertanggung jawab.
Menimbang, bahwa di persidangan telah dihadapkan oleh
Penuntut Umum yaitu Burhan Fajar Priyanto sebagai terdakwa
dengan segala identitasnya yang diakui dan dibenarkan oleh
terdakwa.
Menimbang, bahwa berdasarkan pengamatan Majelis Hakim di
persidangan terdakwa adalah orang yang mampu bertanggung
jawab dan mampu mengikuti persidangan dengan baik.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas maka Majelis
Hakim berkeyakinan unsur barang siapa telah terpenuhi.
79
Ad.2. Unsur Membuat Surat Palsu Atau Memalsukan Surat
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan membuat surat
palsu atau memalsukan surat adalah membuat isi dan maksud dari
surat, atau membuat surat sedemikian rupa, atau mengubah surat
sehingga menjadi tidak benar atau sehingga surat itu menjadi lain
dari aslinya.
Menimbang, bahwa terdakwa pada tanggal 10 Desember 2003
telah melangsungkan pernikahan dengan Sulasmi yang
dilaksanakan oleh KUA Ngemplak Sleman, yang salah satu
persyaratannya adalah Akte Cerai yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Agama Bantul.
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa dan saksi
serta fakta-fakta di persidangan Akte Cerai tersebut adalah atas
nama orang lain yang terdakwa dapatkan dari gudang tempat
terdakwa bekerja, kemudian oleh terdakwa nama orang tersebut
dihapus yang kemudian terdakwa ketik ulang dengan nama
terdakwa dan saksi Nanik atau istri terdakwa di atas akte tersebut
untuk menggantikan nama orang yang asli, dan dengan akte yang
sudah terdakwa rubah tersebut sehingga dapat dibaca seolah-olah
antara terdakwa dan saksi Nanik atau istri terdakwa sudah bercerai
dan asli, surat yang menyatakan perceraian orang lain telah
berubah menjadi perceraian terdakwa dan saksi Nanik.
Menimbang, bahwa keterangan terdakwa tersebut juga
bersesuaian dengan keterangan saksi-saksi dimana antara terdakwa
dan saksi Nanik memang belum pernah bercerai.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim
berpendapat unsur ini telah terbukti.
79
Ad.3. Unsur Yang Dapat Menerbitkan Sesuatu Hak, Suatu Perjanjian, atau
Sesuatu Pembebasan Hutang,atau Yang Boleh Digunakan Sebagai
Keterangan Bagi Sesuatu Perbuatan
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa dan para
saksi, terdakwa telah datang ke KUA Ngemplak untuk memenuhi
persyaratan nikah yang diantaranya dengan Akte Cerai palsu
tersebut yang oleh terdakwa telah digunakan sebagai suatu syarat
atau keterangan bagi dirinya yang menyatakan terdakwa adalah
seorang duda cerai, sehingga ia dapat melangsungkan pernikahan
dengan Sulasmi pada tanggal 10 Desember 2003 di Sleman.
Menimbang, bahwa berdasarkan sifatnya Akte Cerai yang
terdakwa rubah tersebut telah memberikan kekuatan pembuktian
pada diri terdakwa bahwa ia sebagai duda cerai yang akan menikah
lagi, sehingga KUA Ngemplak, Sleman benar-benar
melangsungkan pernikahan antara terdakwa dengan Sulasmi.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim
berpendapat unsur ini telah terbukti.
Ad.4. Unsur Dengan Maksud Atau Menyuruh Orang Lain Menggunakan
Surat itu Seolah-olah Surat itu Asli Atau Tidak Dipalsukan
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa ia
memalsu Akte Cerai orang lain tersebut dan diganti atas dirinya
karena terdakwa “mempunyai maksud lain”(bijkomend oogmerk)
yaitu dengan menggunakan Akte Cerai palsu tersebut ia akan
menikah lagi dengan wanita lain karena dalam pernikahannya saksi
Nanik belum dikaruniai anak.
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi Drs.Solehan
Amin terdakwa datang ke KUA Ngemplak mengaku sebagai duda
79
cerai yang hendak melangsungkan pernikahan dengan membawa
persyaratan nikah yang diantaranya Akte Cerai yang dikeluarkan
Pengadilan Agama Bantul atas nama terdakwa dan saksi Nanik,
yang sebelumnya telah terdakwa rubah dari nama orang lain
menjadi nama terdakwa.
Menimbang, bahwa terdakwa betul-betul melaksanakan niatnya
tersebut dan telah melangsungkan pernikahannya, Majelis Hakim
berpendapat terdakwa telah nyata-nyata, secara sengaja melakukan
perbuatan (opzetelijke delict) serta menghendaki dan mengetahui
(willens en wetens) dari perbuatan yang dilakukannya.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim
berpendapat unsur ini telah terbukti.
Ad.5. Unsur kalau Menggunakannya Dapat Menimbulkan Kerugian
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur ini adalah
kerugian yang merupakan bagian yang obyektif dari kejahatan
pemalsuan artinya apakah pelaku mengetahui atau tidak akibat dan
kerugian dari perbuatannya bukanlah menjadi masalah tapi cukup
hanya dengan kemungkinan kerugian saja yang dinilai oleh hakim
serta kerugian itu tidak hanya meliputi kerugian materiil namun
juga dari segi kemasyarakatan, kesusilaan atau kehormatan sudah
cukup untuk terbuktinya unsur ini.
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang diperoleh di
persidangan dengan merubah dan memalsu Akte Cerai orang lain
yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bantul, terdakwa dapat
melangsungkan pernikahan dengan Sulasmi dengan status duda
cerai.
79
Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat dengan
terdakwa telah menggunakan Akte Cerai palsu tersebut, terdakwa
telah merugikan kehormatan orang lain karena orang tersebut
memandang terdakwa sebagai duda cerai sehingga Sulasmi mau
menikah dengannya, terdakwa telah mengacaukan administrasi
pemerintahan yaitu administrasi KUA Ngemplak, Sleman yaitu
tentang pencatatan nikah yang menjadi tidak benar karena
perbuatan terdakwa.
Menimbang, bahwa berdassarkan uraian di atas Majelis Hakim
berpendapat unsur ini telah terbukti.
Menimbang, bahwa karena seluruh unsur hukum dari Pasal
yang didakwakan dalam dakwaan alternatif kesatu telah terpenuhi,
maka terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan pada
dakwaan alternatif kesatu.
Menimbang, bahwa karena bentuk dakwaan Penuntut Umum
adalah dakwaan alternatif sedangkan dakwaan kesatu sudah
terbukti, maka Majelis Hakim tidak akan mempertimbangkan
dakwaan lainnya.
Menimbang, bahwa dari hasil pemeriksaan di persidangan tidak
diperoleh bukti yang menunjukkan terdakwa tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan, serta tidak
ditemukan alasan pengecualian penuntutan, alasan pemaaf atau
hapusnya kesalahan.
Menimbang, bahwa dan memperhatikan Pasal 183 Jo Pasal 193
KUHAP karena terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana maka kepadanya haruslah
79
dijatuhi pidana yang adil dan setimpal dengan perbuatan yang
dilakukan.
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Penuntut Umum yang
menuntut agar kepada terdakwa dijatuhi dengan pidana selama 9
(sembilan) bulan, terhadap hal tersebut Majelis Hakim tidak
sependapat dengan lamanya pidana, karena tujuan dari pemidanaan
juga meliputi pembinaan terhadap diri terdakwa sehingga Majelis
Hakim akan menjatuhkan pidana yang lebih ringan dari yang
dituntut oleh Penuntut Umum sebagaimana yang akan disebut
dalam amar putusan.
Menimbang, bahwa selama pemeriksaan di persidangan
terhadap diri terdakwa tidak dijumpai adanya alasan penghapus
pidana baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar, oleh karena
itu haruslah ia terdakwa telah dinyatakan bersalah dan dihukum
seperti amar putusan.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim sebelum menjatuhi pidana
perlu terlebih dahulu memperhatikan hal-hal yang memberatkan
dan hal-hal yang meringankan, sebagai berikut :
Hal-hal yang memberatkan:
1) Terdakwa sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) semestinya
menjadi panutan masyarakat.
2) Terdakwa telah merugikan hak-hak istrinya.
3) Terdakwa telah mengacaukan administrasi pemerintahan di
bidang pencatatan nikah.
Hal-hal yang meringankan :
1) Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya.
2) Terdakwa sopan di persidangan.
3) Terdakwa belum pernah dihukum.
79
4. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bantul Dalam Tindak Pidana
Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan
Dalam keputusan ini Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bantul dengan
dasar pengakuan terdakwa, keterangan saksi-saksi, barang-barang bukti
serta pertimbangan di atas dipandang dari hubungan dan persesuaiannya,
maka kesalahan terdakwa telah terbukti dengan sah dan meyakinkan
menurut undang-undang, telah terbukti bersalah melakukan pemalsuan
asal-usul pernikahan dan diancam pidana Pasal 263 ayat (1) KUHP,
memutus bahwa :
1) Menyatakan terdakwa Burhan Fajar Priyanto tersebut di atas terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“PEMALSUAN SURAT”.
2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut di atas oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.
3) Memerintahkan barang bukti berupa :
a) 1 (satu) lembar fotocopy N1,N2 dan N4.
b) 1 (satu) lembar fotocopy Akte Cerai palsu.
c) 1 (satu) lembar berita acara pengambilan dan pencabutan berkas
nikah atas nama Burhan Fajar Priyanto.
Dirampas untuk dimusnahkan.
4) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp.1000 ,-
(seribu rupiah).
79
PUTUSAN
No. 83/Pid.B/2004/PN.BTL
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Pengadilan Negeri Bantul yang memeriksa dan mengadili perkara pidana
pada peradilan tingkat pertama dengan acara pemeriksaan telah menjatuhkan
putusan sebagai berikut atas nama terdakwa :
Nama : BURHAN FAJAR PRIYANTO
Tempat lahir : Bantul
Umur : 33 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal :Tegallayang RT 01/RW 21 Caturharjo Pandak
Bantul
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Terdakwa dari tingkat penyidikan sampai dengan sekarang tidak pernah
ditahan;
Terdakwa tidak didampingi Penasehat Hukum;
Pengadilan Negeri tersebut;
Telah membaca dan mempelajari berkas perkara serta surat-surat yang
berkenaan dengan perkara tersebut;
Telah mendengar keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan telah
memeriksa barang bukti di persidangan;
Telah mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum NO.REG.PERK:
PDM-15/BNTUL/10/2004 tertanggal 9 November 2004, yang pada pokoknya
menuntut agar Majelis Hakim memutus sebagai berikut :
79
1) Menyatakan terdakwa BURHAN FAJAR PRIYANTO bersalah
melakukan tindak pidana “membuat surat palsu atau memalsukan surat
yang dapat menerbitkan sesuatu hak, dengan surat itu seolah-olah surat
itu asli dan tidak dipalsukan, maka mempergunakannya dapat
mendatangkan kerugian” sebagaimana diatur dan diancam pidana
Pasal 263 ayat (1) KUHP.
2). Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa BURHAN FAJAR
PRIYANTO berupa pidana selama 9 (sembilan) bulan.
Dengan perintah segera melaksanakan penahanan.
3) Menyatakan barang bukti berupa :
a) 1 (satu) lembar foto copy N1
b) 1 (satu) lembar foto copy N2
c) 1 (satu) lembar foto copy N4
d) 1 (satu) lembar foto copy Akte Cerai palsu
e) 1 (satu) lembar berita acara pengambilan dan pencabutan berkas
nikah atas nama BURHAN FAJAR PRIYANTO
Agar dirampas untuk dimusnahkan.
4) Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp
1.000,- (seribu rupiah).
Menimbang bahwa atas tuntutan Penuntut Umum tersebut terdakwa telah
mengajukan pembelaannya yang pada pokoknya mengakui perbuatan yang
didakwakan padanya serta menyesali dan berjanji untuk tidak mengulanginya
lagi.
Menimbang bahwa terdakwa diajukan oleh Penuntut Umum ke
Persidangan berdasarkan Surat Dakwaan NO.REG.PERK:PDM-
15/BNTUL/6/2004 tanggal 7 Oktober 2004 yang pada pokonya sebagai
berikut:
79
KESATU
Bahwa ia terdakwa BURHAN FAJAR PRIYANTO pada hari dan tanggal
yang tidak dapat ditentukan secara pasti yaitu pada tahun 2003 atau setidak-
tidaknya pada suatu waktu sekitar tahun 2003 bertempat di rumah terdakwa
Tegallayang RT 02/RW 21, Caturharjo, Pandak, Bantul atau setidak-tidaknya
di suatu tempat lain yang masih termasuk di dalam daerah hukum Pengadilan
Negeri Bantul, membuat surat palsu atau sesuatu pembebasan utang yang
boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan, dengan maksud
akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat
seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakan
dapat mendatangkan sesuatu kerugian yang dilakukan terdakwa dengan cara
sebagai berikut :
Bahwa terdakwa pada hari, tanggal dan bulan pada tahun 2003 sekitar
pukul 19.30 WIB terdakwa BURHAN FAJAR PRIYANTO mengambil Akte
Cerai di gudang KUA (Kantor Urusan Agama) Pandak, Bantul atas nama
Mariaten binti Adi Sugito dengan Pardal bin Kardiwiyono dengan seri : L,
Nomor : 2750 dan Akte Cerai : 134/AC/2000/PA Btl tanggal 11 april 2000
kemudian Akte Cerai tersebut dibawa pulang ke rumah terdakwa di Dusun
Tegallayang RT 02/RW 21 Caturharjo, Pandak, Bantul oleh terdakwa Akte
Cerai tersebut dihapus nama asli yang tertera dalam Akte Cerai diganti
terdakwa dan Nanik.
Pada tanggal 8 Desember 2003 Akte Cerai tersebut dibawa terdakwa untuk
mengajukan persyaratan menikah di Kelurahan Caturharjo, Pandak, Bantul
setelah mendapatkan persyaratan menikah di Kelurahan Caturharjo, terdakwa
mendaftarakan di KUA Ngemplak, Sleman bersama calon istrinya SULASMI
yang beralamat di Lodadi, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman. Pada tanggal
12 Desember 2003 pukul 09.00 WIB terdakwa melangsungkan akad nikah
dengan SULASMI di Lodadi, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman.
79
Pada hari Selasa tanggal 30 Desember 2003 sekitar pukul 12.00 WIB
NANIK sebagai istri sah terdakwa mengecek kebenaran terdakwa menikah
lagi di KUA Ngemplak, Sleman, setelah mengetahui Akte Cerai palsu pihak
KUA Ngemplak, Sleman melaporkan pembatalan nikah di Pengadilan Agama
Sleman dan pembatalan nikah sudah diputuskan Pengadilan Agama tangggal 1
Maret 2004.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal
263 ayat (1) KUHP.
ATAU
KEDUA
Bahwa ia terdakwa BURHAN FAJAR PRIYANTO pada hari dan tanggal
yang tidak dapat ditentukan secara pasti yaitu pada tahun 2003 atau setidak-
tidaknya pada suatu waktu sekitar tahun 2003 bertempat di rumah terdakwa
Tegallayang RT 02/RW 21, Catur, Pandak, Bantul atau setidak-tidaknya di
suatu tempat lain yang masih termasuk di dalam daerah hukum Pengadilan
Negeri Bantul, membuat surat palsu atau sesuatu pembebasan utang yang
boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan, dengan maksud
akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat
seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakan
dapat mendatangkan sesuatu kerugian yang dilakukan terdakwa dengan cara
sebagai berikut :
Bahwa terdakwa pada hari, tanggal dan bulan pada tahun 2003 sekitar
pukul 19.30 WIB terdakwa BURHAN FAJAR PRIYANTO mengambil Akte
Cerai di gudang KUA (Kantor Urusan Agama) Pandak, Bantul atas nama
Mariaten binti Adi Sugito dengan Pardal bin Kardiwiyono dengan seri : L,
Nomor : 2750 dan Akte Cerai : 134/AC/2000/PA Btl tanggal 11 april 2000
kemudian Akte Cerai tersebut dibawa pulang ke rumah terdakwa di Dusun
Tegallayang RT 02/RW 21 Caturharjo, Pandak, Bantul oleh terdakwa Akte
79
Cerai tersebut dihapus nama asli yang tertera dalam Akte Cerai diganti
terdakwa dan Nanik.
Pada tanggal 8 Desember 2003 Akte Cerai tersebut dibawa terdakwa untuk
mengajukan persyaratan menikah di Kelurahan Caturharjo, Pandak, Bantul
setelah mendapatkan persyaratan menikah di Kelurahan Caturharjo, terdakwa
mendaftarakan di KUA Ngemplak, Sleman bersama calon istrinya SULASMI
yang beralamat di Lodadi, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman. Pada tanggal
12 Desember 2003 pukul 09.00 WIB terdakwa melangsungkan akad nikah
dengan SULASMI di Lodadi, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman.
Pada hari Selasa tanggal 30 Desember 2003 sekitar pukul 12.00 WIB
NANIK sebagai istri sah terdakwa mengecek kebenaran terdakwa menikah
lagi di KUA Ngemplak, Sleman, setelah mengetahui Akte Cerai palsu pihak
KUA Ngemplak, Sleman melaporkan pembatalan nikah di Pengadilan Agama
Sleman dan pembatalan nikah sudah diputuskan Pengadilan Agama tangggal 1
Maret 2004.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal
263 ayat (2) KUHP.
Menimbang bahwa atas dakwaan Penuntut Umum tersebut terdakwa
menerangkan ia mengerti akan maksud dakwaan tersebut dan tidak akan
mengajukan keberatan dan untuk itu mohon kepada Majelis Hakim untuk
melanjutkan persidangan.
Menimbang bahwa untuk membuktikan dakwaannya di persidangan
Penuntut Umum telah mengajukan saksi-saksi yaitu :
1) NANIK
2) LASMIDI
3) MUSTOFA
4) Drs. SOLEHAN AMIN
5) SUMARJANA
79
yang masing-masing telah didengar ketrerangannya di bawah sumpah menurut
agamanya masing-masing kecuali terhadap saksi NANIK yang tidak
disumpah karena meruapakan istri dari terdakwa, saksi-saksi mana pada
pokonya memberikan keterangan sebagai berikut:
1) Saksi NANIK
a) Bahwa saksi adalah istri terdakwa sejak tahun 1994 sampai
sekarang yang belum dikaruniai anak.
b) Bahwa pada bulan Desember 2003 terdakwa pernah menikah lagi
di KUA Ngemplak, Sleman.
c) Bahwa saksi mengetahui pernikahan terdakwa tersebut karena
diberitahu Sulasmi dan saksi mengecek langsung ke KUA
Ngemplak, Sleman.
d) Bahwa saksi tidak pernah bercerai dengan terdakwa.
e) Bahwa dengan Akte Cerai palsu tersebut terdakwa menikah lagi
dengan Sulasmi.
f) Bahwa kemudian pernikahan terdakwa dengan Sulasmi tersebut
dibatalan Pengadilan Agama Sleman.
g) Bahwa terhadap barang bukti surat Akte Cerai yang diperlihatkan
di persidangan adalah benar yang juga diperlihatkan petugas KUA
Ngemplak ketika saksi mengecek di KUA tersebut.
Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkannya.
2) Saksi LASMIDI
a) Bahwa terdakwa pernah menikah dengan seorang penduduk
Sleman, tapi kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Agama Sleman.
b) Bahwa perkawinan dibatalkan karena syarat perkawinan yaitu Akte
Cerai antara terdakwa dan saksi Nanik adalah palsu karena
terdakwa belum pernah bercerai dengan saksi Nanik.
c) Bahwa saksi tidak mengetahui siapa yang membuat Akte Cerai
palsu tersebut.
79
Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkannya.
3) Saksi MUSTOFA
a) Bahwa terdakwa dan saksi Nanik adalah suami istri yang belum
pernah bercerai.
b) Bahwa pada bulan Desember 2003 saksi diberitahu oleh saksi
Nanik tentang pernikahan terdakwa dengan Sulasmi di Ngemplak,
Sleman.
c) Bahwa kemudian saksi bersama denagn saksi Nanik mengecek di
KUA Ngemplak, Sleman dimana diketahui terdakwa dapat
menikah dengan Sulasmi karena di antara persyaratan ada Akte
Cerai dengan status terdakwa duda cerai dengan saksi Nanik.
d) Bahwa saksi mengetahui barang bukti yang diperlihatkan di
persidangan yaitu Akte Cerai atas nama terdakwa dengan saksi
Nanik adalah yang diperlihatkan oleh petugas KUA Ngemplak,
pada saat saksi mengantar saksi Nanik mengecek ke KUA
Ngemplak.
Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkannya.
4) Saksi Drs. SOLEHAN AMIN
a) Bahwa saksi adalah petugas KUA Ngemplak, Sleman.
b) Bahwa pada Bulan Desember 2003 terdakwa datang ke KUA
Ngemplak dengan membawa persyaratan nikah di antaranya Akte
Cerai yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bantul yang
menyatakan terdakwa adalah duda cerai dengan maksud agar
terdakwa dinikahkan dengan Sulasmi.
c) Bahwa karena persyaratan sudah lengkap diantaranya Akte Cerai
tersebut kemudian saksi pada tanggal 12 Desember 2003 di rumah
Sulasmi di Ngemplak, Sleman menikahkan antara terdakwa dan
Sulasmi.
79
d) Bahwa satu bulan kemudian saksi Nanik datang ke KUA
Ngemplak dan menanyakan tentang pernikahan terdakwa, yang
kemudian saksi Nanik menyatakan pada KUA Ngemplak bahwa
Akte Cerai yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bantul atas nama
terdakwa dan saksi Nanik tersebut palsu karena saksi Nanik belum
pernah bercerai dengan terdakwa.
e) Bahwa saksi kemudian mengecek ke Pengadilan Agama Bantul,
yang diketahui bahwa Pengadilan Agama Bantul tidak pernah
mengeluarkan Akte Cerai atas terdakwa dan saksi Nanik.
f) Bahwa pernikahan antara terdakwa dengan Sulasmi kemudian
dibatalkan karena didasari oleh suatu persyaratan yang palsu dan
merugikan Sulasmi maupun Nanik.
g) Bahwa benar barang bukti yang diperlihatkan di persidangan
diantaranya adalah Akte Cerai yang diajukan terdakwa untuk
mendaftarakan nikah dengan Sulasmi.
Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkannya.
5) Saksi SUMARJANA
a) Bahwa saksi adalah pegawai Kelurahan Caturharjo, Pandak.
b) Bahwa saksi pernah membuatkan surat keterangan atas nama
terdakwa untuk menikah.
c) Bahwa pada saat membuat surat keterangan untuk menikah
tersebut terdakwa membawa Akte Cerai atas nama terdakwa dan
saksi Nanik.
Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkannya.
Menimbang, bahwa di persidangan telah pula didengar keterangan
terdakwa yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut :
1) Bahwa terdakwa dengan saksi Nanik adalah suami istri yang belum
pernah bercerai.
79
2) Bahwa terdakwa pernah menikah lagi dengan Sulasmi tanggal 10
Desember 2003.
3) Bahwa terdakwa menikah lagi karena pernikahan terdakwa dengan
saksi Nanik belum juga dikaruniai anak.
4) Bahwa salah satu syarat untuk dapat menikah yang terdakwa penuhi
adalah Akte Cerai karena terdakwa mengaku duda cerai di KUA
Ngemplak.
5) Bahwa terdakwa bisa menikah dengan Sulasmi karena terdakwa
membuat Akte Cerai palsu, yaitu terdakwa memperoleh Akte Cerai
atas nama orang lain dari gudang, kemudian terdakwa ganti nama
orang yang bercerai tersebut dengan nama terdakwa dan nama saksi
Nanik atau istri terdakwa.
6) Bahwa terdakwa menyesali perbuatannya.
Menimbang bahwa di persidangan juga telah diajukan barang bukti
berupa :
a) 1 (satu) lembar fotocopy N1
b) 1 (satu) lembar fotocopy N2
c) 1 (satu) lembar fotocopy N4
d) 1 (satu) lembar fotocopy Akte Cerai palsu
e) 1 (satu) lembar berita acara pengambilan dan pencabutan berkas
nikah atas nama Burhan Fajar Priyanto
Barang bukti mana dibenarkan oleh saksi-saksi dan terdakwa.
Menimbang, bahwa terhadap barang bukti yang diajukan di persidangan
tersebut, karena telah disita secara sah menurut hukum maka barang bukti
tersebut dapat digunakan untuk memperkuat pembuktian.
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini maka segala
sesuatu yang tercatat dalam Berita Acara Persidangan dianggap telah termasuk
dan dipertimbangkan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan
ini.
79
Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa
serta barang bukti yang diajukan di persidangan setelah dihubungkan satu
dengan lainnya, maka dapat disimpulkan fakta-fakta dalam perkara ini sebagai
berikut :
1) Bahwa benar terdakwa dan saksi Nanik adalah suami istri yang sah dan
belum pernah bercerai.
2) Bahwa benar pada tanggal 10 Desember 2003 terdakwa telah
melangsungkan pernikahan dengan Sulasmi yang dilaksanakan oleh
KUA Ngemplak, Sleman.
3) Bahwa benar terdakwa dapat menikah lagi dengan memenuhi
persyaratan yang diantaranya Akte Cerai atas nama terdakwa dengan
saksi Nanik atau istri terdakwa yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Agama Bantul.
4) Bahwa benar Akte Cerai tersebut terdakwa peroleh dari gudang tempat
terdakwa bekerja yang sebenarnya atas nama orang lain, namun nama
orang lain tersebut terdakwa hapus dan terdakwa ketik ulang dengan
menggantikan nama orang tersebut dengan nama terdakwa dan
istrinya.
5) Bahwa benar kemudian pernikahan tersebut diketahui saksi Nanik,
kemudian karena pernikahan terdakwa dengan Sulasmi salah satu
persyaratannya palsu, maka pernikahan tersebut dibatalkan.
6) Bahwa benar barang bukti yang diperlihatkan di persidangan adalah
persyaratan yang digunakan oleh terdakwa untuk menikah lagi yang
diantaranya Akte Cerai yang dipalsukan oleh terdakwa.
Menimbang, bahwa terdakwa diajukan oleh Penuntut Umum ke
persidangan dengan dakwaan alternatif yaitu kesatu melanggar Pasal 263 ayat
(1) atau Pasal 263 ayat (2) KUHP.
Menimbang, bahwa karena bentuk dakwaan Penuntut Umum adalah
alternatif maka berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh di persidangan Majelis
79
Hakim akan mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan yaitu melanggar
Pasal 263 ayat (1) KUHP yang unsur-unsur hukumnya sebagai berikut :
1) Barang Siapa.
2) Membuat suart palsu atau memalsukan surat.
3) Yang dapat menerbitkan sesuatu hak, suatu perjanjian, atau sesuatu
pembebasan hutang, atau yang boleh digunakan sebagai keterangan
bagi sesuatu perbuatan.
4) Dengan maksud menggunakan atau menyuruh orang lain
menggunakan surat itu seolah-olah surat itu asli atau tidak dipalsukan.
5) Kalau menggunakannya dapat menimbulkan kerugian.
UNSUR BARANG SIAPA
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah setiap
orang atau manusia sebagai Subyek Hukum yang mampu bertanggung jawab.
Menimbang, bahwa di persidangan telah dihadapkan oleh Penuntut Umum
yaitu Burhan Fajar Priyanto sebagai terdakwa dengan segala identitasnya yang
diakui dan dibenarkan oleh terdakwa.
Menimbang, banhwa berdasarkan pengamatan Majelis Hakim di
persidangan terdakwa adalah orang yang mampu bertanggung jawab dan
mampu mengikuti persidangan dengan baik.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas maka Majelis Hakim
berkeyakinan unsur barang siapa telah terpenuhi.
UNSUR MEMBUAT SURAT PALSU ATAU MEMALSUKAN SURAT
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan membuat surat palsu atau
memalsukan surat adalah membuat isi dan maksud dari surat, atau membuat
surat sedemikian rupa, atau mengubah surat sehingga menjadi tidak benar
sehingga surat itu menjadi lain dari aslinya.
79
Menimbang, bahwa terdakwa pada tanggal 10 Desember 2003 telah
melangsungkan pernikahan dengan Sulasmi yang dilaksanakan oleh KUA
Ngemplak, Sleman, yang salah satu persyaratannya adalah Akte Cerai yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Bantul.
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa dan saksi serta
fakta-fakta di persidangan Akte Cerai tersebut adalah atas nama orang lain
yang terdakwa dapatkan dari gudang tempat terdakwa bekerja, kemudian oleh
terdakwa nama orang tersebut dihapus yang kemudian terdakwa ketik ulang
dengan nama terdakwa dan saksi Nanik atau istri terdakwa di atas akte
tersebut untuk menggantikan nama orang yang asli, dan dengan akte yang
sudah terdakwa rubah tersebut sehingga dapat dibaca seolah-olah antara
terdakwa dan saksi Nanik atau istri terdakwa sudah bercerai dan asli, surat
yang menyatakan perceraian orang lain telah berubah menjadi perceraian
terdakwa dan saksi Nanik.
Menimbang, bahwa keterangan terdakwa tersebut juga bersesuaian dengan
keterangan saksi-saksi dimana antara terdakwa dan saksi Nanik memang
belum pernah bercerai.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim berpendapat
unsur ini telah terbukti.
UNSUR YANG DAPAT MENERBITKAN SESUATU HAK, SUATU
PERJANJIAN, ATAU SESUATU PEMBEBASAN HUTANG, ATAU
YANG BOLEH DIGUNAKAN SEBAGAI KETERANGAN BAGI
SESUATU PERBUATAN
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa dan para saksi,
terdakwa telah datang ke KUA Ngemplak untuk memenuhi persyaratan nikah
yang diantaranya dengan Akte Cerai palsu terebut yang oleh terdakwa telah
digunakan sebagai suatu syarat atau keterangan bagi dirinya yang menyatakan
79
terdakwa adalah seorang duda cerai, sehingga ia dapat melangsungkan
pernikahan dengan Sulasmi pada tanggal 10 Desember 2003 di Sleman.
Menimbang, bahwa berdasarkan sifatnya Akte Cerai yang terdakwa rubah
tersebut telah memberikan kekuatan pembuktian pada diri terdakwa bahwa ia
sebagai duda cerai yang akan menikah lagi, sehingga KUA Ngemplak, Sleman
benar-benar melangsungkan pernikahan antara terdakwa dengan Sulasmi.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim berpendapat
unsur ini telah terbukti.
UNSUR DENGAN MAKSUD MENGGUNAKAN ATAU MENYURUH
ORANG LAIN MENGGUNAKAN SURAT ITU SEOLAH-OLAH SURAT
ITU ASLI ATAU TIDAK DIPALSUKAN
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa ia memalsu Akte
Cerai orang lain tersebut dan diganti atas dirinya karena terdakwa
“mempunyai maksud lain”(bijkomend oogmerk) yaitu dengan menggunakan
Akte Cerai palsu tersebut ia akan menikah lagi dengan wanita lain karena
dalam pernikahannya dengan saksi Nanik belum dikaruniai anak.
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi Drs.Solehan Amin
terdakwa datang ke KUA Ngemplak mengaku sebagai duda cerai yang hendak
melangsungkan pernikahan dengan membawa persyaratan nikah yang
diantaranya Akte Cerai yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bantul atas nama
terdakwa dan saksi Nanik, yang sebelumnya telah terdakwa rubah dari nama
orang lain menjadi nama terdakwa.
Menimbang, bahwa terdakwa betul-betul melaksanakan niatnya tersebut
dan telah melangsungkan pernikahannya, Majelis Hakim berpendapat
terdakwa telah nyata-nyata, telah secara sengaja melakukan perbuatan
(opzetelijke delict) serta menghendaki dan mengetahui (willens en wetens) dari
perbuatan yang dilakukannya.
79
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim berpendapat
unsur ini telah terbukti.
UNSUR KALAU MENGGUNAKAN DAPAT MENIMBULKAN
KERUGIAN
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur ini adalah kerugian yang
merupakan bagian yang obyektif dari kejahatan pemalsuan artinya apakah
pelaku mengetahui atau tidak akibat dan kerugian dari perbuatannya bukanlah
menjadi masalah tapi cukup hanya dengan kemungkinan kerugian saja yang
dinilai oleh hakim serta kerugian itu tidak hanya meliputi kerugian materiil
namun juga dari segi kemasyarakatan, kesusilaan atau kehormatan sudah
cukup untuk terbuktinya unsur ini.
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang diperoleh di persidangan dengan
merubah dan memalsu Akte Cerai orang lain yang dikeluarkan Pengadilan
Agama Bantul, terdakwa dapat melangsungkan pernikahan dengan Sulasmi
dengan status duda cerai.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat dengan terdakwa telah
menggunakan Akte Cerai palsu tersebut, terdakwa telah merugikan
kehormatan orang lain karena orang tersebut memandang terdakwa sebagai
duda cerai sehingga Sulasmi mau menikah dengannya, juga terdakwa telah
mengacaukan administrasi pemerintahan yaitu administrasi KUA Ngemplak,
Sleman yaitu tentang pencatatan nikah yang menjadi tidak benar karena
perbuatan terdakwa.
Menimbang, bahwa berdassarkan uraian di atas Majelis Hakim
berpendapat unsur ini telah terbukti.
Menimbang, bahwa karena seluruh unsur hukum dari pasal yang
didakwakan dalam dakwaan alternatif kesatu telah terpenuhi, maka terdakwa
79
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana yang didakwakan pada dakwaan alternatif kesatu.
Menimbang, bahwa karena bentuk dakwaan Penuntut Umum adalah
dakwaan alternatif sedangkan dakwaan kesatu sudah terbukti, maka Majelis
Hakim tidak akan mempertimbangkan dakwaan lainnya.
Menimbang, bahwa dari hasil pemeriksaan di persidangan tidak diperoleh
bukti yang menunjukkan terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan yang dilakukan, serta tidak ditemukan alasan pengecualian
penuntutan, alasan pemaaf atau hapusnya kesalahan.
Menimbang, bahwa dan memperhatikan Pasal 183 Jo Pasal 193 KUHAP
karena terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana maka kepadanya haruslah dijatuhi pidana yang adil dan setimpal
dengan perbuatan yang dilakukan.
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Penuntut Umum yang menuntut
agar kepada terdakwa dijatuhi dengan pidana selama 9 (sembilan) bulan,
terhadap hal tersebut Majelis Hakim tidak sependapat dengan lamanya pidana,
karena tujuan dari pemidanaan juga meliputi pembinaan terhadap diri
terdakwa sehingga Majelis Hakim akan menjatuhkan pidana yang lebih ringan
dari yang dituntut oleh Penuntut Umum sebagaimana yang akan disebut dalam
amar putusan ini.
Menimbang, bahwa selama pemeriksaan di persidangan terhadap diri
terdakwa tidak dijumpai adanya alasan penghapus pidana baik alasan pemaaf
maupun alasan pembenar, oleh karena itu haruslah ia terdakwa telah
dinyatakan bersalah dan dihukum seperti amar putusan di bawah ini.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim sebelum menjatuhkan pidana perlu
terlebih dahulu memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan, sebagai berikut :
79
Hal-hal yang memberatkan:
1) Terdakwa sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) semestinya menjadi
panutan masyarakat.
2) Terdakwa telah merugikan hak-hak istrinya.
3) Terdakwa telah mengacaukan administrasi pemerintahan di bidang
pencatatan nikah.
Hal-hal yang meringankan :
1) Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya.
2) Terdakwa sopan di persidangan.
3) Terdakwa belum pernah dihukum.
Menimbang bahwa terhadap barang bukti akan disebutkan dalam amar
putusan ini.
Menimbang bahwa karena terdakwa dinyatakan terbukti bersalah maka
kepadanya pula dibebankan untuk membayar ongkos perkara yang besarnya
akan disebutkan dalam amar putusan ini.
Mengingat Pasal 263 ayat (1) KUHP, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981,
serta peraturan-peraturan hukum lainnya.
MENGADILI :
1) Menyatakan terdakwa Burhan Fajar Priyanto tersebut di atas terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“PEMALSUAN SURAT”.
2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut di atas oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.
3) Memerintahkan barang bukti berupa :
a) 1 (satu) lembar fotocopy N1,N2 dan N4.
b) 1 (satu) lembar fotocopy Akte Cerai palsu.
79
c) 1 (satu) lembar berita acara pengambilan dan pencabutan berkas
nikah atas nama Burhan Fajar Priyanto, dirampas untuk
dimusnahkan.
4) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp.1000 ,-
(seribu rupiah).
Demikian diputus dalam suatu rapat permusyawaratan Majelis Hakim
pada hari : Senin, tanggal 13 Desember 2004 oleh kami GUNAWAN
GUSMO,S.H.,M.Hum sebagai Hakim Ketua Majelis, YOGI
ARSONO,S.H.,KN dan LINGGA SETIAWAN,S.H masing-masing sebagai
Hakim Anggota, putusan tersebut pada hari : Selasa, tanggal 14 Desember
2004 diucapkan dalam suatu sidang yang terbuka untuk umum, oleh Hakim
Ketua Majelis tersebut dengan didampingi hakim anggota, dengan dibantu
oleh : HUDAJA sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh MARIA
GORETI SUNARWATI, H Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa.
HAKIM ANGGOTA HAKIM KETUA MAJELIS
1. YOGI ARSONO,S.H.,KN GUNAWAN GUSMO,S.H.,M.Hum
2. LINGGA SETIAWAN,S.H.
PANITERA PENGGANTI
HUDAJA
79
B. PEMBAHASAN
1. Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan Dalam
Hukum Positif Indonesia
a. Pengaturan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan yang
terdapat di dalam KUHP sebetulnya tidak hanya Pasal 263 ayat (1) saja,
seperti disebutkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Bantul. Pasal 277
ayat (1) KUHP mengatur tentang perbuatan yang dengan sengaja membuat
gelap asal-usul orang dan menggelapkan asal-usul diancam penjara paling
lama enam tahun, Pasal 279 KUHP mengatur mengenai seseorang yang
mengadakan pernikahan lagi padahal mengetahui bahwa pernikahan atau
pernikahan-pernikahan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk
itu diancam penjara paling lama lima tahun.
Dalam Pasal 280 KUHP mengatur mengenai seseorang yang
mengadakan perkawinan dan tidak memberitahu kepada pihak lainnya
bahwa ada penghalang yang sah yaitu perkawinan yang telah ada diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
b. Pengaturan Dalam Hukum Pernikahan
Pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan ternyata
tidak diatur dalam hukum pernikahan baik itu di dalam UU No 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, maupun di dalam Peraturan Pemerintah No 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974,
hanya saja di dalam PP No 9 Tahun 1975 Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2)
mengatur mengenai tugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan ketentuan
mengenai PPN yang tidak melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap
seseorang yang akan melangsungkan pernikahan diancam dengan
79
hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
2. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Bantul Dalam Tindak Pidana
Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan Apakah Telah Sesuai Dengan
Ketentuan Hukum yang Berlaku
Berdasarkan uraian kasus di atas, penulis mencoba melakukan analisa
atau mengevaluasinya :
Pertama bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa dengan
memalsukan Akte Cerai dan mengaku sebagai duda cerai, sebagai
prasyarat menikah dan sebagai syarat untuk mendapatkan formulir N1,
formulir N2 dan formulir N4 dari Kelurahan Caturharjo di mana
penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Terdakwa juga telah menyembunyikan perlakuan ini kepada pihak lain
yaitu Nanik atau istri sah terdakwa, Sulasmi atau korban dari pemalsuan
asal-usul pernikahan yang dilakukan oleh terdakwa dan pihak dari KUA
Ngemplak, Sleman tempat terdakwa dan Sulasmi mendaftarkan
pernikahannya.
Putusan Pengadilan Negeri Bantul dalam menjatuhkan sanksi pidana
penjara kurang tepat, seharusnya hakim dalam menjatuhkan pidana penjara
sesuai dengan pasal yang didakwakan terhadap terdakwa, karena melihat
akibat yang ditimbulkan dari perbuatan terdakwa. Selanjutnya apabila
penulis periksa dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Burhan Fajar
Priyanto walaupun telah terbukti dakwaan primer yaitu Pasal 263 ayat (1),
sebetulnya terhadap terdakwa dapat didakwa dengan dakwaan subsidair
yaitu Pasal 280, mengingat bahwa terdakwa telah menyembunyikan
kepada Sulasmi tentang perkawinannya dengan Nanik yang merupakan
penghalang sah untuk menikah lagi, adapun unsur-unsur yang terdapat
Pasal 280 KUHP adalah :
79
1) Unsur Obyektif
a) Menikah
Dengan menyembunyikan kepada teman hidupnya bahwa
pernikahannya yang telah ada merupakan penghalang baginya
untuk menikah lagi.
b) Pernikahan itu dinyatakan batal karena terdapat penghalang oleh
Pengadilan Agama.
2) Unsur Subyektif
Bahwa pernikahan tersebut dilakukan dengan sengaja.
BAB IV
PENUTUP
Setelah penulis mengadakan penelitian dan menganalisis kasus pemalsuan
asal-usul pernikahan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Bantul No.
83/Pid.B/2004/PN.BTL dengan terdakwa Burhan Fajar Priyanto, maka penulis
menyajikan beberapa simpulan dan saran yaitu:
A. SIMPULAN
1) Pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan yang terdapat di
dalam KUHP sebetulnya tidak hanya Pasal 263 ayat (1) saja, seperti yang
disebutkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Bantul, tetapi juga diatur
dalam Pasal 277 ayat (1) yang mengatur tentang perbuatan dengan sengaja
menggelapkan asal-usul, Pasal 279 dan Pasal 280 yang mengatur
mengenai mengadakan pernikahan sedangkan pernikahan yang
sebelumnya menjadi penghalang yang sah untuk mengadakan pernikahan
lagi. Dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun di dalam
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No 1 Tahun 1974, tidak mengatur tentang tindak pidana
79
pemalsuan asal-usul pernikahan, tetapi mengatur mengenai Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) yang tidak melakukan penelitian terlebih dahulu
terhadap seseorang yang akan melangsungkan pernikahan dan diancam
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
2) Putusan Pengadilan Negeri Bantul yang menjatuhkan sanksi pidana penjara
terhadap Burhan Fajar Priyanto atas kasus pemalsuan asal-usul
pernikahan, selama 6 bulan penjara tidak sesuai dan sangat ringan,
seharusnya hakim dalam menjatuhkan hukuman sesuai dengan Pasal yang
didakwakan terhadap terdakwa, karena melihat akibat yang ditimbulkan
dari perbuatan terdakwa. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum juga kurang
tepat, selain dakwaan primer yaitu Pasal 263 ayat (1) KUHP seharusnya
dakwaan subsidairnya yaitu Pasal 280 KUHP mengenai mengadakan
pernikahan dan dengan sengaja tidak memberitahu kepada pihak lainnya,
bahwa ada penghalangnya yang sah.
B. SARAN
Beberapa saran sederhana yang akan penulis sampaikan berikut dapat
menjadi masukan dan pertimbangan yang bernilai. Saran yang hendak penulis
sampaikan antara lain:
1) Seorang Hakim dalam menjatuhkan putusan harus benar-benar memiliki
keyakinan bahwa putusan yang dijatuhkan, benar-benar adil bagi
terdakwa, keluarga maupun korban. Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim
atas kasus pemalsuan asal-usul pernikahan yang dilakukan Burhan Fajar
Priyanto kurang adil terutama untuk istri terdakwa dan korban yang
dinikahi oleh terdakwa. Hukuman 6 bulan sangat ringan dan tidak
seimbang dengan perbuatan terdakwa yang mengakibatkan kerugian fisik,
psikis dan kehormatan dari korban maupun istri terdakwa, hukuman 1
tahun akan lebih adil untuk terdakwa maupun bagi korban, karena kita
tahu bahwa fungsi dari suatu sanksi pidana adalah memberikan efek jera
bagi pelakunya.
2) Kasus pemalsuan asal-usul pernikahan ini agar lebih diperhatikan, baik
bagi aparat penegak hukum, maupun oleh masyarakat sendiri karena
perbuatan ini sudah termasuk tindak pidana dan harus diproses melalui
jalur hukum, dalam kasus pemalsuan asal-usul pernikahan sebenarnya
tidak hanya terdakwa saja yang bersalah, tapi Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) juga memiliki kesalahan dan mempunyai peran terhadap terjadinya
tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan, karena PPN kurang teliti
dalam melakukan penelitian terhadap calon mempelai yang akan
melakukan pernikahan.
ii
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta : PT. Raja
Grafindo.
Anwar Abu Bakar. 2007. Al Muyassar Al Quran dan Terjemahnya.
Bandung : Sinar Baru Algesindo.
Barda Nawawi Arief. 2002. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : PT Raja
Grafindo.
C.S.T Kansil. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka.
H.Z Muttaqin. 2003. Pedoman Pegawai Pencatat Nikah. Jakarta :
Departemen Agama Republik Indonesia.
H.B. Sutopo. 1992. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
J.C.T Simorangkir. 1972. Kamus Hukum. Jakarta : CV Madjapahit.
Lamintang. 1990. Delik-Delik Khusus. Bandung : Mandar Maju.
Lexi J Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika.
Moeljatno. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Muladi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung : Alumni.
iii
Soebekti. 2003. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI – Press
( Penerbit Universitas Indonesia ).
Subroto Widjojo. 1981. Problema Perkawinan. Yogyakarta : Yayasan
Kanisius.
Syamsul Rijal Hamid. 1997. Buku Pintar Agama Islam. Jakarta : Penebar
Salam.
Wirjono Prodjodikoro.1986. Asas-Asas Hukum Pidana. Bandung : Eresco.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah R.I Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan