kajian yuridis terhadap putusan hakim pengadilan negeri .../kajian...pengadilan negeri bantul dalam...

93
1 Kajian yuridis terhadap putusan hakim pengadilan negeri bantul dalam tindak pidana Pemalsuan asal-usul pernikahan Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Disty Puspasari NIM : E.0004015 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008

Upload: lekhue

Post on 03-Apr-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Kajian yuridis terhadap putusan hakim pengadilan negeri bantul dalam

tindak pidana

Pemalsuan asal-usul pernikahan

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Disty Puspasari

NIM : E.0004015

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2008

2

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN

NEGERI BANTUL DALAM TINDAK PIDANA

PEMALSUAN ASAL-USUL PERNIKAHAN

Disusun oleh :

DISTY PUSPA SARI

NIM : E. 0004015

Disetujui untuk Dipertahankan

Pembimbing I Pembimbing II

ISMUNARNO,S.H.,M.Hum SABAR SLAMET,S.H

NIP 131 884 428 NIP 131 571 616

3

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN

NEGERI BANTUL DALAM TINDAK PIDANA

PEMALSUAN ASAL-USUL PERNIKAHAN

Disusun oleh :

DISTY PUSPA SARI

NIM : E. 0004015

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari :…………………………

Tanggal :…………………………

TIM PENGUJI

1. R. Ginting, S.H., M.H. :…………………………… Ketua

2. Sabar Slamet, S.H. :…………………………… Sekretaris

3. Ismunarno, S.H., M.Hum. :……………………………

Anggota

Mengetahui,

Dekan

H.Moh. Jamin,S.H.,M.Hum

NIP. 131 570 154

4

MOTTO

“………………………...dan jangan kamu berputus asa dari Rahmat Allah.

Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”

( QS. Yusuf : 87 )

“ Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-

orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

( QS. Al-Mujaadilah : 11)

Penulisan Hukum ini Kupersembahkan

Untuk :

1. Papa dan Mama, Adikku, Keluarga tercinta

2. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Angkatan 2004.

5

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subkhanahuwataalla atas

rahmat, taufiq dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Yuridis Terhadap Putusan Hakim

Pengadilan Negeri Bantul Dalam Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul

Pernikahan. “

Skripsi ini disusun dan diajukan untuk melengkapi persyaratan meraih

derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

Skripsi ini dapat selesai dengan bantuan para pihak, untuk itu penulis

menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penelitian.

2. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum. dan Bapak Sabar Slamet S.H., selaku

pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu dan tenaga serta bimbingan

dalam menyusun Skripsi ini.

3. Seluruh karyawan Pengadilan Negeri Bantul, atas segala bantuan dan telah

menyediakan data yang diperlukan oleh penulis.

4. Papa dan Mama atas segala doa restu yang sangat membantu Ananda dalam

menyelesaikan skripsi ini.

5. Adikku, Rucky Novia Arummi yang memberikan semangat dan selalu

menemaniku dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Keluarga di Klitren, Yogyakarta yang selalu memberikan dorongan dan doa

restu dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Seseorang yang ada di Malaysia yang selalu memberikan semangat dan kata-

kata bijak, walaupun hanya melalui telepon.

8. Teman-teman yang selalu bersamaku selama tiga tahun dan akan terus

bersama : Ayu Sitta Damayanti dan Andina Elok Puri Maharani.

6

9. Teman-temanku Angkatan 2004 yang telah berjuang bersama-sama selama

kuliah di Fakultas Hukum UNS.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skipsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini

bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Surakarta, 26 Januari 2008

Penulis

7

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................. iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii

ABSTRAK .......................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

B. Perumusan Masalah ...................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 5

E. Metode Penelitian ......................................................................... 6

F. Sistematika Skripsi ....................................................................... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 12

A. Kerangka Teori ............................................................................. 12

1. Tinjauan Tentang Putusan Hakim ............................................ 12

a. Definisi Putusan ................................................................... 12

b. Macam Putusan Hakim Pengadilan Negeri ......................... 12

c. Isi Surat Putusan Pemidanaan .............................................. 19

d. Proses Pengambilan Putusan ................................................ 21

2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana ............................................. 21

a. Definisi Tindak Pidana ......................................................... 21

b. Unsur Tindak Pidana ............................................................ 25

c. Jenis-jenis Tindak Pidana ..................................................... 28

d. Rumusan Tindak Pidana ...................................................... 31

e. Teori Pemidanaan ................................................................. 32

3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul

Pernikahan ................................................................................ 33

a. Definisi Pemalsuan dan Asal-Usul ....................................... 33

b. Definisi Pernikahan .............................................................. 34

8

c. Tujuan Pernikahan ................................................................ 35

d. Syarat-syarat Pernikahan ...................................................... 36

e. Surat-surat Nikah .................................................................. 38

f. Unsur Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan ...... 40

B. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 42

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 44

A. Hasil Penelitian ............................................................................ 44

1. Deskripsi Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan .... 44

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Terhadap Tindak

Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan ................................ 45

3. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Bantul Dalam

Memutus Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan .... 51

4. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bantul Tentang Tindak

Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan ................................ 58

B. Pembahasan .................................................................................. 76

1. Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul

Pernikahan Dalam Hukum Positif Indonesia ........................... 76

2. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Bantul Dalam

Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan Apakah

Telah Sesuai Dengan Ketentuan Hukum Yang Berlaku .......... 77

BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 79

A. Simpulan ....................................................................................... 79

B. Saran ............................................................................................. 80

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN : 1. Surat Keterangan Penelitian

2. Surat Ijin Penelitian dari Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

3. Surat Keterangan Aktif Kuliah

4. Putusan Pengadilan Negeri Bantul

No. 83/Pid.B/2004/PN.BTL

9

ABSTRAK

DISTY PUSPASARI NIM: E. 0004015, Fak. Hukum 2004. Skripsi dengan judul: KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI BANTUL DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN ASAL-USUL PERNIKAHAN.

Tujuan penelitian ini adalah untuk untuk memperoleh serta mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan masalah pemalsuan asal-usul pernikahan, mengetahui pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan dalam hukum positif Indonesia, dan mengetahui apakah putusan Pengadilan Negeri Bantul dalam tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif. Dengan menggunakan sifat deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan hukum secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti. Jenis penelitian adalah doktrinal/normatif dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang membahas tentang tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan, bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Jenis data sekunder yaitu yaitu data atau informasi hasil telaah dokumen penelitian yang telah ada sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal, maupun arsip-arsip yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan. Sumber data penelitian yaitu sumber data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer adalah Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bantul, bahan hukum sekunder adalah hasil penelitian pakar hukum dan bahan hukum tersier adalah kamus hukum dan internet. Teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan atau studi dokumen. Penulis menggunakan analisis data kualitatif dengan menganalisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bantul tentang tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan.

Pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan yang terdapat di dalam KUHP sebetulnya tidak hanya Pasal 263 ayat (1) saja, seperti yang disebutkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Bantul, tetapi juga diatur dalam Pasal 277 ayat (1) yang mengatur tentang perbuatan dengan sengaja menggelapkan asal-usul, Pasal 279 dan Pasal 280 yang mengatur mengenai mengadakan pernikahan sedangkan pernikahan yang sebelumnya menjadi penghalang yang sah untuk mengadakan pernikahan lagi. Dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun di dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974, tidak mengatur tentang tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan, tetapi mengatur mengenai Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang tidak melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap seseorang yang akan melangsungkan pernikahan dan diancam dengan

10

hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Putusan Pengadilan Negeri Bantul dalam menjatuhkan sanksi pidana penjara kurang tepat dan sangat ringan, seharusnya hakim dalam menjatuhkan hukuman sesuai dengan Pasal yang didakwakan terhadap terdakwa, karena melihat akibat yang ditimbulkan dari perbuatan terdakwa. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum juga kurang tepat, selain dakwaan primer yaitu Pasal 263 ayat (1) KUHP seharusnya dakwaan subsidairnya yaitu Pasal 280 KUHP mengenai mengadakan pernikahan dan dengan sengaja tidak memberitahu kepada pihak lainnya, bahwa ada penghalangnya yang sah. Saran penulis dari simpulan pembahasan tersebut, seorang Hakim dalam menjatuhkan putusan harus benar-benar memiliki keyakinan bahwa putusan yang dijatuhkan, benar-benar adil bagi terdakwa, keluarga maupun korban. Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim atas kasus pemalsuan asal-usul pernikahan yang dilakukan Burhan Fajar Priyanto kurang adil terutama untuk istri terdakwa dan korban yang dinikahi oleh terdakwa. Hukuman 6 bulan sangat ringan dan tidak seimbang dengan perbuatan terdakwa yang mengakibatkan kerugian fisik, psikis dan kehormatan bagi korban maupun istri terdakwa, mungkin hukuman 1 tahun lebih adil untuk terdakwa maupun bagi korban, karena kita tahu bahwa fungsi dari suatu hukuman adalah memberikan efek jera bagi pelakunya. Kasus pemalsuan asal-usul pernikahan ini agar lebih diperhatikan, baik bagi aparat penegak hukum, maupun oleh masyarakat sendiri karena perbuatan ini sudah termasuk tindak pidana dan harus diproses melalui jalur hukum, untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN) agar lebih teliti dalam mengeluarkan formulir pernikahan dan lebih teliti dalam mengusut asal-usul calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan, karena biasanya kasus pemalsuan asal-usul pernikahan ini baru terungkap saat pihak-pihak yang dirugikan melaporkan.

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Negara Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan atas hukum dan

bukan berdasarkan atas kekuasaaan belaka. Hal ini sebagaimana tersebut

dalam Amandemen Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang menyatakan

bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas

kekuasaan.

11

Faktor penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan

ketertiban, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, jika dalam negara

terjadi tindak pidana, maka langkah yang diambil adalah penegakan hukum

pidana dengan menindak pelakunya sesuai dengan peraturan perundangan

yang berlaku dalam hukum pidana, untuk itu sebelum terjadi suatu tindak

pidana perlu dilakukan usaha pencegahan ( preventif ). Hukum dapat

menampilkan wibawanya sebagai sarana yang mendatangkan ketertiban,

kesejahteraan dalam rangka keselarasan, keserasian, kemajuan lahiriah dan

kepuasan batiniah, serta sebagai sarana membangun masyarakat Indonesia

seluruhnya yang berkeadilan, di samping itu tindakan aparat hukum harus

berdasarkan pada aturan yang berlaku dan perlu peningkatan yang lebih

professional karena hal ini memang merupakan tuntutan zaman yang semakin

maju.

Perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini khususnya yang

menyangkut masalah sosial sangat luas sekali, semakin tinggi peradaban suatu

bangsa maka semakin maju pula ilmu pengetahuan yang berkembang dalam

bangsa tersebut.

12

Kemajuan ilmu pengetahuan tanpa dibarengi dengan semangat peri

kemanusiaan, maka dapat berakibat pada hal-hal yang negatif. Hal negatif dari

suatu kemajuan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia adalah apabila

ilmu pengetahuan penggunaannya disalahgunakan di mana perbuatan itu

merupakan salah satu dari berbagai macam tindak pidana yang menimbulkan

gangguan ketentraman, ketenangan bahkan seringkali mendatangkan kerugian

materi maupun non materi bagi masyarakat bahkan kehidupan bernegara.

Tindak pidana itu salah satunya adalah tindak pidana pemalsuan asal-usul

pernikahan, di mana tindak pidana ini sering dilakukan dan kurang mendapat

perhatian yang serius, padahal tindak pidana tersebut banyak merugikan

masyarakat dan negara, dan masih sedikit yang tersentuh oleh hukum

sehingga masih pelakunya merasa bebas.

Tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan sering terjadi dan

menimbulkan kerugian bagi para korbannya, tindak pidana ini sering

dilakukan di dalam surat pernikahan mengenai asal-usul, atau pemalsuan yang

berkaitan mengenai identitas calon mempelai di mana surat-surat pernikahan

tersebut diisi sebelum kedua mempelai melangsungkan pernikahan.

Contohnya saja mengenai pemalsuan yang dilakukan seseorang yang akan

melakukan pernikahan poligami, di mana sebelum melangsungkan

pernikahan, para pihak harus memberitahukan ke Kantor Urusan Agama

(KUA),untuk calon mempelai yang beragama Islam, dan Kantor Catatan Sipil

untuk calon mempelai yang beragama Non Islam di tempat tinggal salah satu

dari kedua belah pihak, setelah itu para pihak mengisi surat keterangan nikah

yang berasal dari Kepala Desa atau pejabat setingkat. Surat keterangan

tersebut berisi identitas calon mempelai, yaitu nama, umur, agama atau

kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah

seorang atau keduanya pernah menikah, disebutkan juga nama istri atau suami

terdahulu. Hal inilah yang dilakukan oleh seseorang yang ingin melakukan

poligami dengan cara surat keterangan tersebut diisi dengan keterangan palsu

dan dilakukan pada bagian status yang seharusnya telah menikah, tetapi

13

kemudian dipalsu menjadi perjaka karena ingin memuluskan niatnya untuk

menikah lagi.

Tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan ini terjadi di Kabupaten

Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana Burhan Fajar Priyanto

melakukan tindak pidana dengan menempatkan keterangan palsu ke dalam

sesuatu akte authentik tentang sesuatu kejadian yang kebenarannya harus

dinyatakan oleh akte itu dengan maksud akan menggunakan akte itu dan

dalam penggunaanya dapat mendatangkan kerugian, melakukan tindak pidana

yaitu telah kawin lagi sedang diketahuinya bahwa pernikahannya yang sudah

ada menjadi halangan yang syah baginya untuk menikah lagi.

Pemerintah telah menyediakan sarana yang berupa Undang-Undang,

namun kenyataannya masih banyak orang yang melakukan pemalsuan

terhadap asal-usul pernikahan. Perilaku tersebut akan menimbulkan dampak

negatif dalam masyarakat, banyaknya tindak pidana tadi ternyata disebabkan

karena ancaman sanksi pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) maupun peraturan yang lebih khusus yaitu Undang-Undang

Perkawinan No 1 Tahun 1974 maupun Peraturan Pemerintah No 9 Tahun

1975 sebagai pelaksana dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang terlalu

ringan, sehingga pelaku cenderung untuk melanggar ketentuan tersebut.

Tindak pidana tersebut banyak dilakukan oleh seseorang dengan berbagai

macam modus operandi yang terancana dan tersusun secara rapi yang tidak

mudah diketahui begitu saja sehingga sulit untuk dilacak, sedangkan hukuman

bagi pelakunya dirasa masih ringan sehingga para pelakunya tidak begitu takut

dengan ancaman tersebut. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi

penegak hukum dalam memberantas tindak pidana asal-usul pernikahan,

sebenarnya di dalam KUHP Pasal 280 telah diatur yaitu mengenai

mengadakan pernikahan di mana pernikahan sebelumnya menjadi penghalang

sah untuk itu, yang ancaman pidananya adalah 5 tahun penjara, hal ini

dilakukan agar ketertiban sosial masyarakat menjadi pulih kembali.

14

Hukum dikenal sebagai salah satu alat yang dapat memberikan

perlindungan serta pelayanan kepada masyarakat, oleh karena itu hukum harus

memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakatnya. Hal ini adalah wajar

karena Negara kita adalah Negara hukum, hukum mempunyai batas-batas

kemampuan dalam memberikan perlindungan kepentingan pada setiap

individu yang ada dalam masyarakat, karena itu hukum pidana hanya dapat

memberikan keadilan secara umum sesuai dengan sebutannya sebagai hukum

publik.

Berlatarbelakang dari uraian tersebut diatas, maka menggugah perhatian

penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai putusan Majelis Hakim di

Pengadilan Negeri Bantul yang akan ditinjau dari sudut hukum pidana dan

selanjutnya dituangkan dalam sebuah skripsi. Dari apa yang telah terurai di

atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul :

“ KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN

NEGERI BANTUL DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN ASAL-

USUL PERNIKAHAN “

B. PERUMUSAN MASALAH

Dalam pencapaian tujuan penelitian, maka terlebih dahulu akan dilakukan

perumusan masalah yang akan diteliti dan dibahas. Adapun perumusan

masalah yang akan dibahas adalah :

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan

dalam hukum positif Indonesia?

2. Apakah putusan Pengadilan Negeri Bantul dalam tindak pidana pemalsuan

asal-usul pernikahan telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku ?

15

C. TUJUAN PENELITIAN

Sesuai dengan judul skripsi ini yaitu ”KAJIAN YURIDIS TERHADAP

PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI BANTUL DALAM TINDAK

PIDANA PEMALSUAN ASAL-USUL PERNIKAHAN”, maka peneliti

dalam melakukan penelitian mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Tujuan Umum :

a. Untuk memperoleh serta mengumpulkan data-data yang berhubungan

dengan masalah pemalsuan asal-usul pernikahan.

b. Mengetahui pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan

dalam hukum positif Indonesia.

c. Mengetahui apakah putusan Pengadilan Negeri Bantul dalam tindak

pidana pemalsuan asal-usul pernikahan telah sesuai dengan ketentuan

hukum yang berlaku.

2. Tujuan Khusus :

a. Memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

b. Untuk menambah pengetahuan ilmu hukum, khususnya yang

berhubungan dengan masalah pemalsuan asal-usul pernikahan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Di dalam penelitian sangat diharapkan manfaat yang dapat diambil dari

penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian

ini adalah :

1. Manfaat Teoritis:

a. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan

ilmu pengetahuan.

16

b. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta

menambah pengetahuan tentang pengetahuan hukum khususnya Hukum

Pidana.

c. Dapat digunakan untuk mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya

di samping itu sebagai pedoman penelitian yang lain.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang

dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam

menerapkan ilmu yang diperoleh selama kuliah.

b. Memberikan masukan yang bermanfaat bagi aparat penegak hukum agar

dalam menyelesaikan perkara tindak pidana khususnya tindak pidana

pemalsuan asal-usul pernikahan lebih profesional dan dapat

menanggulangi hambatan-hambatan yang ada sehingga dalam

menjalankan tugas,dapat berjalan dengan baik.

D. METODE PENELITIAN

Pengertian metode sendiri adalah usaha untuk menemukan,

mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana

dilakukan dengan metode ilmiah ( Sutrisno Hadi, 1994 : 4 ).

Metode penelitian adalah suatu cara untuk memecahkan suatu masalah

dengan cara mengumpulkan, menyusun serta mengimplementasikan data-data

guna menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu

pengetahuan atau dengan kata lain metodologi penelitian merupakan sarana

dan cara yang digunakan untuk memahami obyek yang akan diteliti, yang

hasilnya akan dituangkan dalam penulisan ilmiah dan dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian merupakan sarana

yang paling penting guna menemukan, mengembangkan serta menguji

17

kebenaran suatu pengetahuan, oleh karena itu sebelum kita melakukan

penelitian hendaknya menentukan terlebih dahulu metode yang akan dipakai.

Guna mendapatkan data dan pengolahan data yang diperlukan dalam

kerangka penyusunan penulisan hukum ini, penyusun menggunakan metode

penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Suatu penelitian ilmiah, sangat diperlukan metode penelitian tertentu

untuk mendapatkan data yang diteliti, dengan menggunakan metode

penelititan, seorang peneliti akan dapat memecahkan masalah yang

dihadapinya yaitu dengan cara mengumpulkan data, kemudian mengolahnya

dalam rangka penyelesaian masalah tersebut.

Penelitian hukum yang diambil oleh penulis adalah jenis penelitian

doktrinal/normatif dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder

yang membahas tentang tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan.

Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian

ditarik suatu kesimpulan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah

deskriptif, dengan menggunakan sifat deskriptif dimaksudkan untuk

menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi

kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan hukum secara jelas dan

rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah pendekatan

normatif/juridis. Pendekatan ini berasumsi bahwa subject matter suatu ilmu

sosial adalah amat berbeda dengan subject matter dari ilmu fisik atau alamiah

18

dan mempersyaratkan tujuan yang berbeda untuk inkuiri dan seperangkat

metode penyelidikan yang berbeda ( Lexy J Moloeng, 2007 : 32 ).

4. Jenis Data dan Sumber Data Penelitian

Pengumpulan data dalam suatu penelitian sangat diperlukan, karena

dengan data akan dapat menunjang dalam penulisan terutama sebagai bahan

penulisan. Jenis data yang diperlukan dalam penulisan hukum ini, adalah :

Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data

sekunder, yaitu data atau informasi hasil telaah dokumen penelitian yang telah

ada sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran,

majalah, jurnal, maupun arsip-arsip yang berkenaan dengan penelitian yang

dilakukan.

Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yang terdiri

dari :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang penulis pergunakan dalam penulisan hukum

ini adalah :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3) Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bantul

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum sekunder yang penulis pergunakan dalam hasil

penulisan hukum ini meliputi :

1) Hasil penelitian kalangan hukum yang berkaitan dengan hukum pidana

dan pemalsuan surat atau akta pernikahan

2) Hasil karya kalangan hukum baik dalam bentuk buku ataupun bentuk

literatur lainnya yang berkaitan dengan hukum pidana dan pemalsuan

surat atau akta pernikahan

19

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yang penulis pergunakan dalam hasil penulisan

hukum ini meliputi :

1) Kamus Hukum.

2) Media Internet.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang diambil oleh penulis dalam penulisan

hukum ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen. Teknik ini

merupakan teknik pengumpulan data dengan mempelajari, membaca, dan

mencatat buku-buku, literatur, catatan-catatan, peraturan perundang-

undangan, serta artikel-artikel penting dari media internet dan erat kaitannya

dengan pokok-pokok masalah yang digunakan untuk menyusun penulisan

hukum ini yang kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokan yang

tepat.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam

pola, kategori, dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexi J.

Moleong, 2000:183). Teknik analisis data adalah suatu uraian tentang cara-

cara analisis, yaitu dengan kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan

pengeditan terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan

analisis yang sifatnya kualitatif

Suatu penelitian ilmiah dapat mencapai tujuan secara sistematis, serasi dan

logis, memerlukan analisis data yang baik. Analisis data merupakan upaya

mencari dan menata secara sistematis catatan hasil dari pengumpulan data

yang telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus

yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain.

20

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pengolahan data yang pada hakekatnya untuk mengadakan sistematisasi

terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sehingga kegiatan yang dilakukan

berupa pengumpulan data, kemudian data direduksi sehingga diperoleh data

khusus yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk kemudian

dikaji dengan menggunakan norma secara materiel atau mengambil isi data

disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan akhirnya diambil

kesimpulan/verifikasi sehingga akan diperoleh kebenaran obyektif..

Pada penelitian doktrinal/normatif, teknik analisisnya non statistik.

Analisis non statistik ini dilakukan dengan kualitatif. Teknik ini dilakukan

dengan menganalisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bantul tentang tindak

pidana pemalsuan asal-usul pernikahan.

Proses analisis interaktif dimulai pada waktu pengumpulan data penelitan,

peneliti membuat reduksi data dan sajian data. Setelah pengumpulan data

selesai, tahap selanjutnya peneliti mulai melakukan usaha menarik kesimpulan

dengan memferifikasi berdasarkan apa yang terdapat dalam sajian data.

Aktivitas yang dilakukan antara komponen-komponen tersebut akan didapat

data yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan masalah yang diteliti.

7. Sistematika Skripsi

Agar dapat memahami arah dan ruang lingkup dari penulisan hukum ini,

maka perlu penulis sajikan sistematika skripsi ini secara garis besarnya

sebagai berikut :

21

BAB I. Pendahuluan

Bab ini merupakan uraian pendahuluan yang memuat tentang

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metode penelitian, sistematika skripsi.

BAB II. Tinjauan Pustaka

Bab ini terdapat dua hal yang harus penulis bahas mengenai

kerangka teori dan kerangka pemikiran.

Di dalam kerangka teori meliputi tinjauan tentang putusan hakim,

tinjauan tentang tindak pidana, tinjauan tentang tindak pidana

pemalsuan asal-usul pernikahan.

Sedangkan di dalam kerangka pemikiran disajikan dalam bentuk

bagan atau skema yang menggambarkan kerangka logika

berpikir timbulnya suatu permasalahan dan pemecahannya.

BAB III.Hasil Penelitian dan Pembahasan

Di dalam bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang

menguraikan tentang kasus posisi, bagaimana pengaturan di

dalam Hukum Positif Indonesia terhadap tindak pidana

pemalsuan asal-usul pernikahan dan apakah Putusan Hakim

Pengadilan Negeri Bantul terhadap pelaku tindak pidana

pemalsuan asal-usul pernikahan telah sesuai atau belum

BAB IV. Simpulan dan Saran

Di dalam ini menguraikan mengenai simpulan secara singkat dan

jelas dalam menjawab rumusan masalah. Juga menguraikan

mengenai saran yang merupakan alternatif solusi atas masalah

yang ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB II

22

TINJAUAN PUSTAKA

A. KERANGKA TEORI

1.Tinjauan Tentang Putusan Hakim

a. Definisi Putusan

Menurut Kamus Hukum pengertian dari putusan adalah hasil dari

pemeriksaan suatu perkara.

Definisi putusan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka

yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang

ini (Pasal 1 butir (11) KUHAP).

b. Macam Putusan Hakim Pengadilan Negeri

Macam-macam putusan hakim pidana yang diatur di dalam KUHAP,

yaitu :

1) Keputusan yang mengandung pembebasan dari segala dakwaan atau

Vrijspraak.

Keputusan yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala

dakwaan, menurut Hukum Acara Pidana putusan yang mengandung

pembebasan dapat terjadi apabila perbuatan-perbuatan yang

didakwakan atau disebutkan dalam surat dakwaan selama dalam

persidangan, apabila ada sebagian atau seluruhnya dinyatakan oleh

hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan

dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

44

Mengenai dasar hukum atau pengaturan mengenai Vrijspraak,

diatur dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP, yang berbunyi

sebagai berikut :

Pasal 191 ayat (1) :

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,

kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

Pasal 191 ayat (3) :

“Dalam sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terdakwa yang ada dalam

status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga,

kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan”.

2) Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan

hukum atau Onslag van Recht vervolging

Putusan Onslag van Recht vervolging ini terjadi apabila menurut

pendapat hakim perbuatan-perbuatan yang disebutkan dalam surat

dakwaan, adalah terbukti, akan tetapi yang jelas terbukti itu bukan

merupakan suatu kejahatan ataupun pelanggran, maka terdakwa harus

dilepaskan dari segala tuntutan hukum, apabila ternyata terdakwa pada

saat itu berada dalam tahanan, maka putusan tersebut akan dijatuhkan

dengan perintah agar terdakwa seketika itu dibebaskan dari tahanan

(Pasal 191 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP).

Berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP dapat diambil suatu

kesimpulan bahwa hakim dalam hal menjatuhkan suatu putusan yang

mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum apabila

perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dalam surat

dakwaan adalah memang terbukti, akan tetapi yang terbukti itu tidak

merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran yang dapat dipidana.

45

Berdasarkan Pasal 191 ayat (3) KUHAP, bahwa bagi hakim yang

menjatuhkan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum

memerintahkan agar terdakwa yang berada dalam tahanan seketika itu

dibebaskan.

3) Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa atau

Veroordelingen

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan tugas pokok untuk

menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap

perkara yang diajukan kepadanya. Dalam melaksanakan tugasnya

tersebut akhirnya hakim memberikan atau menjatuhkan suatu putusan,

yang mana salah satu di antaranya adalah putusan yang mengandung

penghukuman bagi terdakwa.

Putusan penghukuman itu dijatuhkan oleh hakim pengadilan dalam

hal apabila ternyata terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak

pidana yang didakwakan dalam surat dakwaan, dan hakim mempunyai

keyakinan akan kesalahan terdakawa.

Putusan yang mengadung penghukuman tidak lain dari pada suatu

resiko atau konsekuensi yang akan diterima oleh pelaku tindak pidana,

sebagai akibat perbuatan yang dilakukannya (teori pembalasan).

Berdasarkan macamnya putusan dapat berbentuk sebagai berikut:

a) Putusan yang menyatakan “tidak berwenang mengadili” dapat

berbentuk sebagai berikut :

(1) Penetapan

Setelah menerima berkas perkara dari kejaksaan, Ketua

Pengadilan Negeri segera memeriksa apakah perkara tersebut

46

termasuk wewenangnya untuk mengadili (Pasal 147

KUHAP). Jika Ketua Pengadilan berpendapat bahwa

mengadili perkara tersebut tidak termasuk wewenangnya

maka ia membuat putusan berupa penetapan. Terhadap

penetapan tersebut penuntut umum dapat mengajukan

perlawanan ke Pengadilan Negeri (Pasal 149 ayat (1)

KUHAP). Akan tetapi bila Ketua Pengadilan Negeri

berpendapat bahwa perkara itu merupakan wewenangnya

untuk mengadili maka ia menunjuk hakim yang akan

mengadili perkara. Majelis hakim atau hakim tunggal yang

ditunjuk kemudian menetapkan hari persidangan (Pasal 152

ayat (1) KUHAP).

(2) Keputusan

Majelis hakim menerbitkan surat keputusan yang

menyatakan Pengadilan Negeri yang bersidang tidak

berwenang mengadili jika setelah persidangan dimulai dan

penuntut umum telah membacakan surat dakwaan dan

terdakwa atau penasehat hukumnya kemudian mengajukan

eksepsi yang berisi bahwa pengadilan tesebut tidak

berwenang mengadili dan majelis hakim menerima eksepsi

dari penasehat hukum (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).

Apabila terdapat keberatan terhadap surat keputusan,

penuntut umum dapat mengajukan banding melalui panitera

Pengadilan Negeri (Pasal 156 ayat (3) KUHAP).

(3) Putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang

mengadili

47

Putusan diambil apabila setelah penasehat hukum

memberikan eksepsi, majelis hakim berpendapat bahwa

eksepsi baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan (Pasal

156 ayat (2) KUHAP).

b) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum

Surat dakwaan batal demi hukum apabila tidak terpenuhi

syarat-syarat yaitu :

(1) Hakim tidak melakukan tindakan sehingga mengakibatkan

terdakwa atau saksi memberikan jawaban tidak bebas.

(2) Hakim tidak menyatakan bahwa sidang terbuka untuk

umum kecuali dalam perkara kesusilaan yang

terdakwanya anak-anak (Pasal 153 ayat (4) KUHAP).

c) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima

Apabila terjadi putusan yang menyatkan bahwa dakwaan

tidak dapat diterima pada hakekatnya termasuk kekurang

cermatan penuntut umum.

Putusan tersebut dapat dijatuhkan karena :

(1) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntut tidak ada (delik

aduan).

(2) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa telah pernah

diadili (nebis in idem).

(3) Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluarsa

(verjaring).

d) Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa dilepas dari segala

tuntutan hukum

Putusan tersebut dapat dijatuhkan karena :

48

(1) Salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan tidak

cocok dengan tindak pidana.

(2) Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan

terdakwa tidak dapat dihukum.

Berdasarkan bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP “barangsiapa

melakukkan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya

cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau

terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak pidana.

Kemudian dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP “barangsiapa

melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan

yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak

dipidana”.

e) Putusan bebas

Putusan bebas dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat

bahwa dari hasil pemeriksaan di persidangan kesalahan yang

didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal

191 ayat (1) KUHAP), sedangkan yang dimaksud dengan

“perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut

penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan

alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

Putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang

dinilai oleh Majelis Hakim yang bersangkutan :

(1) Tidak Memenuhi Asas Pembuktian Menurut Undang-

Undang Secara Negatif.

49

Pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup

membuktikan kesalahan terdakwa yang tidak cukup

terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim.

(2) Tidak Memenuhi Asas Batas Minimum Pembuktian

Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya

didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut Pasal

183, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa

harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah. Ketentuan Pasal 183 sekaligus terkandung dua

asas, yaitu

(a) Asas pembuktian menurut Undang-Undang secara

negatif, yang mengajarkan prinsip hukum pembuktian

di samping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus

pula dibarengi dengan keyakinan hakim akan kebenaran

kesalahan terdakwa.

(b) Pasal 183 juga mengandung asas batas minimum

pembuktian, yang dianggap cukup untuk membuktikan

kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya

dua alat bukti yang sah.

f) Putusan pemidanaan

Apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah

melakukan tindak pidana yang didakwakan maka pengadilan

menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).

Berdasarkan Pasal 10 KUHP, pemidanaan terdiri atas :

(1) Pidana pokok :

(a) Pidana mati

(b) Pidana penjara

50

(c) Kurungan

(d) Denda

(2) Pidana tambahan :

(a) Pencabutan hak-hak tertentu

(b) Perampasan barang-barang tertentu

(c) Pengumuman putusan hakim

c. Isi Surat Putusan Pemidanaan

Mengenai isi putusan ditentukan secara rinci dalam Pasal 197 ayat (1)

KUHAP yang rumusannya sebagai berikut :

1) Kepala putusan yang ditulis berbunyi, “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

2) Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.

3) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. 4) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan

keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

5) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan. 6) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan

atau tindakan dari pasal perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan memperingan terdakwa.

7) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.

8) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

9) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.

10) Ketentuan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik yang dianggap palsu.

11) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebankan.

12) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.

51

Jika terdapat kekeliruan dan kelalaian tidak mengikuti ketentuan pasal

ini maka mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2)

KUHAP). Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga

kemungkinan, yaitu:

1) Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib.

2) Putusan bebas.

3) Putusan lepas dari tuntutan hukum.

Sebelum membicarakan putusan akhir tersebut, perlu kita ketahui

bahwa pada waktu hakim menerima suatu perkara dari penuntut umum

dapat diterima, putusan mengenai hal ini bukan merupakan keputusan

akhir (vonnis), tetapi merupakan suatu ketetaapan.

Suatu putusan mengenai tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima

(Niet Onvankelijk Verklaring Het Openbare Ministeris) jika berhubungan

dengan perbuatan yang didakwakan, tidak ada alasan hukum untuk

menuntut pidana, misalnya dalam hal delik aduan tidak ada surat

pengaduan dilampirkan pada berkas perkara atau aduan ditarik kembali,

atau delik itu lewat waktu (verjaard) atau alasan nebis in idem (Andi

Hamzah, 1993 : 294).

Mengenai kapan suatu putusan pemidanaan dijatuhkan diatur dalam

Pasal 193 ayat (1) KUHAP, yaitu :”jika pengadilan berpendapat bahwa

terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, maka

pengadilan menjatuhkan pidana”.

Putusan bebas (vrijspraak) dijatuhkan, menurut Pasal 191 ayat (1)

KUHAP, yaitu:”jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan

di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”.

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan, menurut

KUHAP Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yaitu:”jika pengadilan berpendapat

52

bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi

perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana”.

d. Proses Pengambilan Putusan

Ketentuan Pasal 182 KUHAP tata cara pengambilan putusan adalah

sebagai berikut :

1) Setelah ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan

ditutup maka hakim mengadakan musyawarah yang dipimpin hakim

ketua majelis. Di dalam rapat para hakim anggota majelis

mengutarakan pendapat dan uraian tentang hal-hal formil dan materiil

dalam persidangan berdasarkan surat dakwaan penuntut umum (Pasal

182 ayat (2) KUHAP).

2) Setelah masing-masing hakim anggota mengutarakan pendapat

pertimbangan serta keyakinan atas perkara tersebut, maka dilakukan

musyawarah untuk mufakat, akan tetapi jika tidak tercapai kata

mufakat maka putusan diambil dengan suara terbanyak, jika suara

terbanyak tidak juga diperoleh karena hakim berbeda pendapat atau

pertimbangan maka putusan dipilih dari pendapat yang

menguntungkan terdakwa (Pasal 182 ayat (6) KUHAP).

3) Pelaksaan pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku himpunan

yang disediakan khusus untuk itu yang sifatnya rahasia (Pasal 182 ayat

(7) KUHAP).

2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana

a. Definisi Tindak Pidana

Beberapa arti dari tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar,

antara lain sebagai berikut :

53

1) Menurut Moeljatno :

Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu ( Moeljatno, 2000:54).

2) Menurut Sudarto :

Tindak pidana adalah suatu pengertian dasar dalam hukum pidana.

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan

istilah “Perbuatan Jahat” yang biasa diartikan secara Yuridis (hukum)

atau secara kriminologis (Sudarto, 1978:40).

3) Menurut Soebekti :

Tindak Pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang

dapat dikenakan hukuman pidana (Soebekti ,2003 : 159).

4) Menurut Wirjono Projodikoro :

Tindak Pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikatakan

menjadi subyek tindak pidana (Wirjono Projodikoro,1986 : 55 ).

Sampai saat ini KUHP masih banyak yang menggunakan istilah

Belanda, sehingga istilah “ Strafbaar feit “ yang terdapat dalam KUHP

oleh para sarjana hukum kita diterjemahkan berlainan antara sarjana yang

satu dengan sarjana yang lain. Dalam Perundang-Undangan Negara kita

dijumpai istilah “ Strafbaar feit “ misalnya :

1) Peristiwa Pidana (Undang-Undang Dasar Sementara 1950 Pasal 14

ayat (1).

54

2) Perbuatan Pidana ( Undang-Undang No. 1 Tahun 1951, Undang-

Undang mengenai Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan

kesatuan susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan Sipil Pasal 5 ayat

3b ).

3) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum ( Undang-Undang Darurat

No. 2 Tahun 1951, tentang : Perubahan Ordonansi tijdelkebyzondere

straf bepalingen s. 1948 dan Undang-Undang RI ( dahulu ) No. 8

Tahun 1948 Pasal 3.

4) Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan yang dapat dikenakan

hukuman ( Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1951, tentang :

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pasal 19, 22 ).

5) Tindak Pidana ( Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1953 tentang :

Pemilu Pasal 129 ).

6) Tindak Pidana (Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang :

Pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi Pasal 1).

7) Tindak Pidana ( Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1964 tentang :

Kewajiban kerja bakti dalam rangka pemasyarakatannya bagi

terpidana yang merupakan kejahatan Pasal 1 ).

Istilah perbuatan pidana yang digunakan oleh Undang-Undang No 1

Tahun 1951, juga dipakai oleh sarjana hukum yang terkenal yaitu

Moeljatno, oleh beliau dijelaskan sebagai berikut :

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan,

larangan yang mana disertai ancaman ( sanksi ) yang berupa pidana

tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan itu.

Antara larangan dan ancaman ada hubungan erat, oleh karena kejadian

dan orang yang menimbulkan kejadian tidak dapat dilarang jika yang

menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika

tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.

55

Istilah lain yang digunakan sebagai terjemahan “Strafbaar feit “ yaitu

perbuatan yang dapat dihukum, dipakai pada Undang-Undang Darurat No.

2 Tahun 1951. Secara literlijk kata “straf“ artinya pidana, “baar“ artinya

dapat atau oleh dan “feit“ adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan

istilah starfbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan dengan kata

hukum, pada hal lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata

recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak

demikian halnya.

Untuk menyatakan adanya hubungan erat itulah maka lebih tepat

digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang

menunjuk pada dua keadaan yang konkrit yaitu pertama adanya kejadian

tertentu ( perbuatan ) dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang

menimbulkan kejadian itu (Moeljatno , 1983 : 54).

Perbedaan yang ada antara teori dengan hukum positif itu sebenarnya

hanyalah bersifat semu, karena yang terpenting bagi teori itu adalah bahwa

tidak seorangpun dapat dihukum kecuali apabila tindakannya itu memang

banar-benar bersifat melanggar hukum dan telah dilakukan berdasarkan

sesuatu bentuk “schuld” yakni dengan sengaja ataupun tidak sengaja,

sedang hukum positif kita pun tidak mengenal adanya suatu “schuld”

tanpa adanya suatu “wederrechtelijkheid”. Dengan demikian sesuailah

sudah apabila pendapat menurut teori dan pendapat menurut hukum positif

kita itu, kita satukan di dalam suatu teori yang berbunyi geen straf zonder

schuld atau tidak ada sesuatu hukuman dapat diijatuhkan terhadap

seseorang tanpa adanya kesengajaan ataupun ketidaksengajaan, yang

berlaku baik bagi teori maupun bagi hukum positif.

Dari beberapa pendapat para pakar tersebut di atas, dapat disimpulkan

bahwa pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang memiliki

unsur-unsur :

1) Perbuatan tersebut dilakukan oleh manusia.

56

2) Bersifat melawan hukum.

3) Berhubungan dengan kesalahan.

4) Tidak adanya alasan pembenar, yaitu alasan yang dapat menghilangkan

sifat melawan hukum dari perbuatan.

5) Tidak adanya alasan pemaaf, yaitu alasan yang dapat menghilangkan

unsur kesalahan dari perbuatan.

b. Unsur Tindak Pidana

Suatu perbuatan untuk dapat disebut sebagai perbuatan pidana maka

perbuatan tersebut harus mempunyai unsur-unsur sebagai berikut, yaitu:

1) Unsur subyektif

a) Kesengajaan atau kelalaian.

b) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang

dimaksudkan dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

c) Macam-macam maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan

pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

d) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam

kejahatan menurut Pasal 340 KUHP.

e) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana

menurut Pasal 308 KUHP.

2) Unsur obyektif

a) Sifat melawan hukum.

b) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil

melakukan kejahatan yang diatur menurut Pasal 415 KUHP.

c) Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab

dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Sebagaimana dikemukakan istilah “ strafbaar feit “ oleh sarjana

hukum kita yang diterjemahkan berlainan antara sarjana hukum yang satu

57

dengan sarjana hukum yang lain. Hal ini membawa pengaruh yang

berbeda pula bagi para sarjana hukum kita dalam menguraikan unsur-

unsur tindak pidana.

Para sarjana yang tergolong dalam aliran monistis menguraikan

tentang “ strafbaar feit “ dan unsur-unsurnya sebagai berikut :

Simons menerangkan, bahwa “ strafbaar feit “ adalah kelakuan

( handeling ) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum

yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang

mampu bertanggung jawab.

Unsur-unsur “ strafbaar beit “ adalah :

1) Perbuatan manusia ( positif atau negatif, berbuat atau membiarkan ).

2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld ).

3) Melawan Hukum (onrechtmatig ).

4) Dilakukan dengan kesalahan ( met schuld in verband stand ).

5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Van Hamel merumuskan “ strafbaar Feit “ adalah kelakuan orang

yang dirumuskan dalam “ wet “ yang bersifat melawan hukum, yang patut

dipidana ( strafwaarding ) dan dilakukan dengan kesalahan.

Unsur-unsurnya adalah :

1) Perbuatan tersebut dilakukan oleh manusia.

2) Dengan melawan hukum.

3) Patut dipidana.

Para sarjana yang tergolong aliran dualistis mengemukakan sebagai

berikut :

Pompe mengemukakan dalam hukum positif sifat hukum dan

kesalahan bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana. Untuk

adanya penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana akan

tetapi di samping itu harus ada orang yang dapat dipidana.

58

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah :

1) Perbuatan ( manusia ).

2) Yang memenuhi rumusan dalam Undang-Undang ( ini merupakan

syarat formil ).

3) Bersifat melawan hukum ( ini merupakan syarat materiil ).

Menurut R.Tresna, unsur tindak pidana adalah :

1) Perbuatan atau rangkaian perbuatan ( Manusia ).

2) Yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan.

3) Diadakan tindakan penghukuman.

Unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat

pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu

diikuti dengan penghukuman ( pemidanaan ). Berbeda dengan Moeljatno,

karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan

dijatuhi pidana, walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang

bertentangan dengan Undang-Undang selalu diikuti dengan pidana, namun

dalam unsur-unsur itu terdapat kesan perihal syarat-syarat ( subyektif )

yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana.

Dari dua pendapat yaitu aliran monistis dan dualistis di atas, ternyata

di dalam menentukan unsur tindak pidana kedua pandangan itu tidak

mempunyai perbedaan yang jelas.

Bagi orang yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan

tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi orang yang

berpandangan dualistis sama sekali belum mencukupi syarat untuk dapat

dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggung jawab pidana

yang harus ada pada orang yang berbuat.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa lebih baik

mengemukakan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dikemukakan oleh

aliran dualistis dengan alasan perlu diketahui bahwa pengenaan pidana itu

59

diperlukan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu harus ada dan melekat

pada perbuatan dan ada syarat yang melekat pada orangnya seperti

pendapat Moeljatno.

c. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Di Belanda dikenal 3 jenis tindak pidana yaitu misdaden ( kejahatan ), wanbedrijven ( perbuatan tercela ) dan overtredingen ( pelanggaran ), yang mendapat pengaruh dari Code Penal Perancis ( 1810 ), yang membedakan tindak pidana ke dalam 3 jenis, yakni crime ( kejahatan ), delict ( perbuatan tercela ) dan contravention ( pelanggaran ) ( Adam Chazawi, 2000 : 119 ).

Tindak pidana dapat digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu :

1) Penggolongan berdasarkan atas cara perumusan ketentuan hukum

(straafbepaling).

Menurut ketentuan hukum yang mengaturnya, tindak pidana dibagi

dalam dua jenis yaitu :

a) Tindak pidana material (materieel delict).

Dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat

tertentu tanpa merumuskan wujud dari perbuatan tersebut.

Misalnya seperti yang terdapat dalam Pasal 187, 338, 378 KUHP.

b) Tindak Pidana formal (formeel delict).

Dirumuskan sebagai wujud perbuatan, tanpa menyebutkan akibat

yang disebabkan oleh perbuatan. Misalnya seperti dalam Pasal 156,

160, 209, 210, 362 KUHP ( Wirjono Prodjodikoro, 1986:34).

2) Penggolongan berdasarkan kriteria kualitatif.

Menurut kriteria kualitatif, tindak pidana dibagi dalam :

a) Recht delict (kejahatan).

60

Perbuatan yang bertentangan dengan keadilan meskipun

peraturan perundang-undangan tidak mengancamnya dengan

pidana.

b) Wets delict (pelanggaran).

Perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai tindak

pidana karena ada peraturan yang mengaturnya.

3) Penggolongan berdasarkan kriteria kuantitatif.

Penggolongan tindak pidana ini yang digunakan di Indonesia.

Berdasarkan penggolongan ini terdiri atas :

a) Kejahatan terdapat dalam buku II KUHP.

b) Pelanggaran terdapat dalam buku III KUHP.

Ancaman pidana pada pelanggaran lebih ringan karena pelanggaran

tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana

kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih didominasi dengan

ancaman pidana penjara ( Adami Chazawi, 2002 : 120 ).

4) Penggolongan berdasarkan perbuatan yang dilakukan.

a) Delict commisionis.

Yaitu tindak pidana berupa melakukan suatu perbuatan aktif

(positif), perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk

mewujudkannya disyaratkan dengan adanya gerakan dari anggota

tubuh orang yang berbuat.

b) Delict ommisionis.

Yaitu tindak pidana yang berupa tidak melakukan sesuatu, ada

suatu kondisi tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani

kewajiban hukum untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak

melakukan (aktif) perbuatan itu, maka ia telah melanggar

kewajiban hukumnya tadi.

61

5) Penggolongan atas dasar unsur kesalahan (schuld).

a) Delik dolus (unsur kesengajaan).

Yaitu tindak pidana dengan sengaja.

b) Delik culpa (unsur kealpaan).

Yaitu tindak pidana dengan kealpaan.

6) Penggolongan berdasarkan atas tuntutannya.

a) Delik biasa.

Yaitu tindak pidana dituntut tanpa adanya aduan.

b) Delik aduan (klacht delicten).

Yaitu tindak pidana yang penuntutnya tergantung atas aduan dari

pihak yang dirugikan. Delik aduan ada dua macam, yaitu :

(1) Tindak Pidana Aduan Mutlak

Tindak pidana aduan yang setiap kejadian syarat pengaduan itu

harus ada. Contohnya Pasal 310 KUHP tentang pencemaran

nama baik.

(2) Tindak Pidana Aduan Relatif

Tindak pidana yang hanya dalam keadaan tertentu atau jika

memenuhi syarat atau unsur tertentu saja tindak pidana itu

menjadi aduan. Contohnya Pasal 367 ayat (2) jo Pasal 362

sampai Pasal 365 KUHP tentang pencurian dalam keluarga.

Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kejahatan atau pelanggaran

adalah perbuatan yang dipandang bertentangan atau menghambat akan

terlaksananya hukum dalam pergaulan masyarakat. Dipandang dari sudut

penilaian hukum (yuridis) tindak pidana adalah perbuatan yang tercela,

baik itu berbentuk pelanggaran atau kejahatan.

62

Pembagian atas macam-macam delik di sini adalah pembedaan tindak

pidana mengenai sifat yang sesunguhnya, tetapi hanya mengenai sifat

dalam perumusannya masing-masing pasal, misalnya pembedaan delik

formil dan delik materiil, dan dalam kenyataannya tidak ada pembedaan

tersebut, pembedaan ini hanya dalam tulisan yaitu dapat dilihat pada

perumusannya masing-masing.

Dikatakan ada pada perumusan formil jika yang disebut atau yang

menjadi pokoknya adalah kelakuannya, jadi penekanannya adalah pada

kelakuan yang dilarang, misalnya dalam Pasal 362 KUHP mengenai

pencurian, yang penting adalah kelakuan untuk memindahkan penguasaan

barang yang dicuri. Dalam pasal ini kelakuan dirumuskan sebagai

mengambil, sedang akibat dari pencurian itu perumusan secara formil

adalah tidak penting.

Dikatakan pada perumusan materiil jika yang menjadi pokok dalam

perumusannya adalah akibat dari perbuatannya akibat itulah yang dilarang

sedangkan cara yang menimbulkan akibat tidak begitu penting, sebagai

contoh adalah dalam perbuatan membunuh yang dilarang adalah akibatnya

yaitu mati atau sakit.

d. Rumusan Tindak Pidana

Buku II dan Buku III KUHP berisi tentang rumusan tindak pidana-

tindak pidana tertentu. Tentang bagaimana cara pembentuk Undang-

Undang dalam merumuskan tindak pidana itu pada kenyataannya memang

tidak seragam. Jika dilihat dari unsur dan norma kejahatan, ketiga rumusan

itu adalah:

63

1) Menguraikan atau menyebutkan satu per satu unsur-unsur perbuatan,

misal tindak pidana yang tersebut dalam Pasal 263 KUHP tentang

pemalsuan surat, 362 tentang pencurian dan lain-lain.

2) Hanya menyebut kualifikasi dari tindak pidana tanpa menguraikan

unsur-unsurnya, misal Pasal 184 KUHP tentang Perkelahian Tanding,

Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

3) Penggabungan cara 1 dan cara 2 yaitu di samping menyebutkan unsur-

unsurnya, juga menyebutkan perbuatan akibat, dan keadaan yang

bersangkutan, juga disebut kualifikasi dan tindak pidana. Misalnya

Pasal 372 tentang penggelapan.

e. Teori Pemidanaan

Dalam teori pemidanaan ini dibicarakan mengapa pidana itu perlu

dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Menurut Adami Chazawi ada tiga

teori tentang perlunya menjatuhkan pidana yaitu :

1) Teori absolut / mutlak / pembalasan.

Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Negara berhak

menjatuhkan pidana karena pelaku tindak pidana telah melakukan

penyerangan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat,

atau negara) yang telah dilindungi, oleh karena itu ia harus diberikan

pidana yang setimpal denagn perbuatan (berupa kejahatan) yang

dilakukannya.

2) Teori relatif / nisbi/ tujuan.

Berdasarkan teori ini, sesuatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti

dengan pidana. Pidana yang dijatuhkan harus dilihat manfaatnya bagi

pelaku itu sendiri dan bagi masyarakat. Teori relatif berpokok pangkal

pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib

(hukum) dalam masyarakat. Teori ini juga disebut teori tujuan karena

tujuan dari pidana itu sendiri adalah tata tertib masyarakat, dan untuk

menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana, disamping hanya

64

memberikan pidana agar kejahatan tersebut tidak terulang lagi. Jadi

bersifat preventif.

3) Teori Gabungan

Teori ini merupakan gabungan antara teori absolut dan teori relatif.

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan

asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu

adalah menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat

dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu :

a) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi

pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu

dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib

masyarakat.

b) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak

boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan oleh pelaku

tindak pidana.

3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan

a. Definisi Pemalsuan dan Asal-Usul

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian dari pemalsuan

adalah tidak tulen, tidak sah atau membuat sesuatu menjadi tidak tulen

atau tidak benar.

65

Pengertian dari asal-usul menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah asal keturunan, silsilah.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pemalsuan asal-usul pernikahan adalah

membuat secara tidak tulen atau tidak benar asal keturunan dan silsilah, di

mana dalam asal-usul pernikahan itu berisi tentang identitas dari kedua

calon mempelai dan identitas orang tua dari masing-masing kedua calon

mempelai.

b. Definisi Pernikahan

Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis

kelaminnya ( laki-laki dan perempuan ) secara alamiah mempunyai daya

tarik menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama,

atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk suatu keluarga atau

rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi. Hal ini dapat

terwujud jika ada suatu pernikahan. Definisi mengenai pernikahan ada

beberapa macam, yaitu :

1) Menurut Agama Islam.

Berdasarkan Al Quran surat An Nisa’ ayat 1, yaitu “Hai sekalian

manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu

dari seorang diri, dan menjadikan istri daripadanya, dan dari keduanya

Allah memperkembangbiakan pria dan wanita”(Anwar Abu Bakar,

2007 : 148).

2) Menurut Agama Kristen.

Pernikahan adalah persekutuan hidup dari dua orang yang bersedia

tolong-menolong (saling melayani) secara timbal balik. Tuhan Allah

mengenali laki-laki dan melengkapi dengan memberikan seorang

penolong sebagai pasangannya. Selaku penolong perempuan akan

66

menyelamatkan laki-laki dari kesepian dan kesunyian. Keduanya tidak

lebih rendah atau lebih tinggi.

3) Menurut Agama Katholik.

Pernikahan adalah perkawinan yang menerima sakramen pernikahan

dari Gereja.

4) Menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974.

Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang

Maha Esa.

5) Menurut Syamsul Rijal Hamid.

Pernikahan adalah menciptakan ikatan lahir dan batin seorang pria dan

wanita sebagai suami-istri dengan syarat dan rukun yang telah

ditetapkan ( Syamsul Rijal Hamid,1997 : 240 ).

Beberapa definisi mengenai pernikahan, kita dapat membandingkan

definisi dari sudut agama baik agama Islam, Kristen atau Katholik, dari

sudut perundang-undangan yaitu Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun

1974 dan dari pendapat pakar, sehingga kita dapat mengerti definisi

pernikahan secara menyeluruh dari berbagai aspek.

c. Tujuan Pernikahan

Tujuan dari pernikahan itu sendiri menurut Undang-Undang

Perkawinan No 1 Tahun 1974 adalah tidak hanya melihat dari segi

lahirnya saja, tapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara

suami istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah

67

tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan

kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Pernikahan juga membentuk suatu

rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal.

Hal ini dimaksudkan, bahwa perkawinan itu hendaklah berlangsung

seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja, dan pembentukan

keluarga yang bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila. Menurut agama

Islam sendiri tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu manusia dapat

memelihara statusnya sebagai makhluk yang mulia dan menyalurkan

kebutuhan biologisnya dan pernikahan merupakan satu-satunya bentuk

berpasangan yang benar dan halal.

d. Syarat-Syarat Pernikahan

Syarat pernikahan dibedakan antara syarat pernikahan menurut syariat

dan syarat pernikahan menurut peraturan perundang-undangan.

Syarat pernikahan menurut syariat, yaitu

1) Untuk calon pengantin pria adalah sebagai berikut : a) Beragama Islam. b) Terang prianya (bukan banci). c) Tidak dipaksa. d) Tidak beristri empat orang. e) Bukan mahram calon istri. f) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri. g) Mengetahui calon istri tidak haram dinikahinya. h) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.

2) Untuk calon pengantin wanita a) Beragama Islam. b) Terang wanitanya (bukan banci). c) Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya. d) Tidak bersuami dan tidak dalam iddah. e) Bukan mahram calon suami. f) Belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh calon suami. g) Terang orangtuanya.

68

h) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah ( H.Z Muttaqin, 2003:21 ).

Syarat pernikahan menurut perundang-undangan yaitu menurut

Undang-Undang No 1 Tahun 1974, diatur di dalam Pasal 6 Undang-

Undang No 1 Tahun 1974, yaitu :

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai

umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia

atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud Pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),(3),(4), Pasal ini atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), (4) Pasal ini.

6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Menurut Pasal 7 Undang-Undang No 1 Tahun 1974, syarat-syarat

pernikahan yaitu:

1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa syarat pernikahan menurut

Pasal 6 dan Pasal 7 terdapat perbedaan, dimana dalam Pasal 6

menyebutkan syarat-syarat pernikahan tersebut secara lengkap

dibandingkan dengan Pasal 7, perbedaan umur juga menjadi suatu masalah

69

karena di dalam Pasal 6 disebutkan bahwa pernikahan dapat

dilangsungkan jika sudah berumur 21 tahun dan jika belum berumur 21

tahun harus meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua, sedangkan

dalam Pasal 7 pernikahan dapat dilangsungkan jika calon pengantin pria

berumur 19 tahun dan calon mempelai wanita berumur 16 tahun.

e. Surat-Surat Nikah

Sebelum melangsungkan suatu pernikahan setiap calon mempelai

harus melakukan beberapa persyaratan diantaranya adalah pengisian

formulir atau surat-surat pernikahan. Jenis formulir menurut Keputusan

Menteri Agama Nomor 298 Tahun 2003 ada 16 formulir pencatatan nikah

yang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu formulir pokok,

formulir pelengkap dan formulir mutasi.

1) Formulir Pokok, yaitu formulir yang secara langsung menjadi tanggung jawab dan dikerjakan pengisiannya oleh PPn, yaitu : a) Akta Nikah (model N). b) Kutipan Akta Nikah (model NA). c) Daftar Pemeriksaan Nikah (model NB). d) Pengumuman Kehendak Nikah (model NC).

Pengisian formulir tersebut dimulai dari model NB, NC kemudian model N dan yang terakhir model NA.

2) Formulir Pelengkap, yaitu formulir yang merupakan kelengkapan dari pelaksanaan pernikahan dan disiapkan sebelum pelaksanaan pernikahan. Sebagian besar formulir tersebut pengisiannya dilakukan oleh Kepala Desa, yaitu : a) Surat Keterangan Untuk Nikah ( N1 ). b) Surat Keterangan asal-usul ( N2 ). c) Surat Persetujuan Mempelai ( N3 ). d) Surat Keterangan tentang orang tua ( N4 ). e) Surat Izin orang tua ( N5 ). f) Surat Keterangan kematian suami atau istri ( N6 ). g) Pemberitahuan kehendak Nikah ( N7 ). h) Pemberitahuan adanya halangan atau kekurangan syarat ( N8 ). i) Penolakan Pernikahan ( N9 ).

3) Formulir mutasi, yaitu formulir yang dipergunakan untuk memberitahukan perubahan status seseorang, kepada PPN atau Pengadilan Agama yang sebelumnya telah mencatat perceraiannya, yaitu :

70

a) Pemberitahuan Nikah. b) Pemberitahuan Poligami ( H.Z Muttaqin, 2003:18 ).

Pengaturan penggunaan beberapa formulir nikah

1) Formulir model NB. a) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock yang

telah disediakan.

b) Digunakan mencatat sejak awal pendaftaran dan termasuk

mencatat data-data hasil pemeriksaan yang bersangkutan.

c) Dijilid dalam satu bundel untuk setiap tahun beseta surat-surat

yang berhubungan dengan pernikahan untuk mempermudah

penyimpanan dan pengontrolannya.

d) Penyimpanannya diurutkan sesuai dengan nomor urut surat akta

nikah untuk mempercepat pencariannya, bila dikemudian hari

terjadi masalah dalam perniakahan yang bersangkutan.

e) Merupakan informasi pertama dan sumber utama dalam soal

pernikahan, karena itu harus tersimpan dengan baik dan tidak boleh

ada surat yang tercecer.

2) Formulir model N (akta nikah).

a) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock yang

telah disediakan.

b) Merupakan akta dan djilid dalam buku masing-masing 50 lembar.

c) Diberi catatan pada sampulnya, ditandatangani lembar pertama dan

terakhir serta diparaf lembar-lembar lainnya oleh Kepala PPN

sebelum dikirim ke PPN.

d) Tersimpan secara tertib dan aman di kantor dan tidak boleh dibawa

ke luar kantor. Bila terjadi nikah diluar KUA atau Balai Nikah

sebagai gantinya menggunakan halaman IV model NB.

e) Dibuat rangkap dua, ditulis dengan huruf latin dan menggunakan

tinta hitam.

f) Buku pertama disimpan oleh PPN, buku kedua dikirim ke

Pengadilan Agama.

71

3) Formulir model NA

a) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock yang

disediakan.

b) Dipergunakan secara berurutan sesuai dengan seri nomornya untuk

mempermudah pengontrolan.

c) Ditulis dengan huruf kapital yang jelas, dengan menggunakan tinta

hitam.

d) Segera setelah akad nikah berlangsung kepada masing-masing

suami dan istri diberikan buku nikah yang berisi antara lain

Kutipan Akta Nikah.

e) Dibuat rangkap dua, untuk masing-masing suami dan istri.

f) Diserahkan kepada masing-masing suami istri dengan ekspedisi

khusus dengan tanda tangan penerimaan.

f. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan

Pemalsuan asal-usul pernikahan ini berhubungan dengan suatu surat

atau akta, maka unsur obyektif dari tindak pidana pemalsuan surat asal-

usul pernikahan yang terdapat dalam Pasal 263 yaitu :

1) Membuat palsu atau memalsu.

2) Memalsu terhadap :

a) Suatu tulisan atau surat yang dapat menerbitkan suatu hal.

b) Surat yang dapat menerbitkan keterangan.

c) Surat yang dapat membebaskan hutang.

d) Surat yang dapat membuktikan suatu perbuatan.

e) Pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Unsur subyektif dari membuat palsu yaitu dengan maksud untuk

mempergunakan surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan,

kemudian unsur yang kedua adalah sengaja, dari unsur-unsur tindak

pidana pemalsuan tersebut didapat pengertian-pengertian bahwa dalam

pasal tersebut terdapat unsur obyektif yaitu membuat surat palsu dan

72

memalsukan sesuatu surat, dan antara kedua istilah itu terdapat pengertian

yang berbeda, adapun perbedaannya adalah bahwa membuat surat palsu

maksudnya berarti semula surat itu belum ada, lalu ia membuat surat itu

sendiri sehingga seolah-olah sama dengan yang asli. Sedangkan pengertian

pemalsuan surat itu berarti bahwa surat itu sudah ada, kemudian surat itu

ditambah, dikurangi atau dirubah isinya, sehingga surat itu tidak lagi

sesuai dengan aslinya.

Pemalsuan asal-usul pernikahan ini dilakukan oleh pelaku karena dia

ingin melakukan pernikahan lagi padahal terdapat suatu halangan sah

untuk itu, maka unsur tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan

sesuai dengan pasal 280, yaitu:

1) Unsur obyektif.

a) Menikah.

Dengan menyembunyikan kepada pasangannya bahwa

pernikahannya yang telah ada merupakan penghalang baginya

untuk menikah lagi.

b) Pernikahan itu dinyatakan batal karena penghalang itu oleh

Pengadilan.

2) Unsur subyektif

Bahwa pernikahan yang kemudian itu dilakukan dengan sengaja.

B. KERANGKA PEMIKIRAN

73

Dari Gambar di atas dapat dijelaskan :

Surat Akta

a.KUHP b. Hukum Perkawinan

Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul

Pernikahan

Pertimbangan Hakim Dalam Memutus

Perkara

Putusan Hakim

Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul

Pernikahan

74

Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan ini dilakukan oleh

seseorang ketika hendak menikah dengan alasan terdapat suatu halangan

jika dia menikah, misalnya dia telah menikah dengan seseorang dan

pernikahan sebelumnya tersebut menjadi suatu penghalang baginya untuk

menikah lagi, oleh sebab itu dia memalsukan asal-usulnya, baik itu nama,

alamat maupun statusnya. Biasanya pemalsuan itu terdapat di dalam surat

dan akta otentik yang berupa identitas pelaku tersebut. Tindak pidana

pemalsuan asal-usul pernikahan sering terjadi di dalam masyarakat kita,

akan tetapi jarang sekali terjerat oleh hukum dan sulit dibuktikan, hal ini

terjadi karena adanya beberapa faktor yaitu minimnya bukti, perbuatan

terencana dengan matang, dan saksi kurang mengetahui sendiri perbuatan

yang dilakukan oleh si pelaku.

Hal ini menyebabkan kasus-kasus seperti ini jarang sekali yang sampai

di Pengadilan Negeri, jika kasus ini sampai ke Pengadilan Negeri di dalam

menyelesaikannya Hakim menggunakan KUHP yaitu Pasal 263, pasal 266

dan pasal 280, sedangkan untuk peraturan yang lebih khusus Hakim

biasanya menggunakan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Peraturan

Pemerintah No 9 Tahun 1975 sehingga Hakim bisa memutus perkara

tersebut berdasarkan rasa moralitas, kepatutan dan kelayakan.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Deskripsi Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Pengadilan Negeri

Bantul, peneliti mengambil putusan dengan nomor 83/Pid.B/2004/PN.BTL

dalam hal ini terdakwa :

Nama : Burhan Fajar Priyanto

Tempat lahir : Bantul

75

Umur : 33 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Tegalayang RT 01/21 Caturharjo Pandak Bantul

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS

Burhan Fajar Priyanto ( terdakwa ) telah melakukan tindak pidana

pemalsuan surat atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu

hak, dengan surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan dan

mempergunakannya dapat mendatangkan kerugian sebagaimana diatur

dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP.

Burhan Fajar Priyanto telah mengambil Akte Cerai di Gudang Kantor

Urusan Agama ( KUA ) Pandak, Bantul atas nama Mariaten binti Adi

Sugito dengan Pardal bin Kardiwiyono dimana KUA tersebut merupakan

tempat Burhan Fajar Priyanto bekerja. Akte Cerai tersebut kemudian

dipalsu oleh Burhan Fajar Priyanto dengan menghapus nama asli yang

tertera dengan nama Burhan Fajar Priyanto dan nama istrinya.

79

Akte cerai palsu tersebut digunakan untuk mengajukan persyaratan

menikah di Kelurahan Caturharjo, Pandak, Bantul dan mendapatkan

formulir nikah yaitu formulir N1 (formulir keterangan untuk nikah),

formulir N2 (formulir keterangan asal-usul), dan formulir N4 (formulir

keterangan orang tua).

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan

Asal-Usul Pernikahan

Burhan Fajar Priyanto (terdakwa) diajukan oleh Penuntut Umum ke

persidangan berdasarkan surat dakwaan tanggal 9 November 2004 yang

pada pokoknya adalah Burhan Fajar Priyanto pada hari dan tanggal yang

tidak dapat ditentukan secara pasti yaitu tahun 2003 atau setidak-tidaknya

pada suatu waktu sekitar tahun 2003 bertempat di rumah terdakwa

Tegallayang RT 01/RW 21, Catur, Pandak, Bantul atau setidak-tidaknya

disuatu tempat lain yang masih termasuk di dalam daerah hukum

Pengadilan Negeri Bantul, terdakwa membuat surat palsu atau

memalsukan surat yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perjanjian atau

sesuatu pembebasan utang yang boleh dipergunakan sebagai keterangan

bagi suatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh

orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah asli dan tidak

dipalsukan, dan jika mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu

kerugian.

Terdakwa pada hari, tanggal dan bulan pada tahun 2003 sekitar pukul

19.30 WIB terdakwa mengambil Akte Cerai di gudang KUA Pandak,

Bantul atas nama Mariaten binti Adi Sugito dengan Pardal bin

Kardimiyono dengan seri : L, Nomor : 2750 dan Akte Cerai

134/AC/2000/PA Bantul tangal 11 April 2000 kemudian Akte Cerai

tersebut dibawa pulang kerumah terdakwa di Dusun Tegallayang RT

01/RW 21 Caturharjo, Pandak, Bantul, oleh Terdakwa Akte Cerai tersebut

79

dihapus nama asli yang tertera dalam Akte Cerai diganti dengan nama

terdakwa dan Nanik.

Pada tanggal 8 Desember 2003 Akte Cerai tersebut dibawa terdakwa

untuk mengajukan persyaratan menikah di Kelurahan Caturharjo, Pandak,

Bantul. Setelah mendapatkan persyaratan menikah di Kelurahan

Caturharjo terdakwa mendaftarkan di KUA Ngemplak, Sleman bersama

calon istrinya Sulasmi yang beralamat di Lodadi, Umbulmartani,

Ngemplak, Sleman dan pada 12 Desember 2003 jam 09.00 WIB terdakwa

melangsungkan akad nikah dengan Sulasmi di Lodadi, Umbulmartani,

Ngemplak, Sleman.

Pada hari Selasa tanggal 30 Desember 2003 sekitar pukul 12.00 WIB

Nanik sebagai istri sah terdakwa, mengecek kebenaran terdakwa menikah

lagi di KUA Ngemplak, Sleman. Setelah mengetahui Akte Cerai palsu,

pihak KUA Ngemplak Sleman melaporkan pembatalan nikah di

Pengadilan Agama Sleman dan pembatalan nikah sudah diputuskan

Pengadilan Agama tanggal 1 Maret 2004.

Melihat fakta peristiwa tersebut maka Jaksa Penuntut Umum menuntut

agar Majelis hakim memutus sebagai berikut :

1) Menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana membuat

surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu

hak, dengan surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan,

dan mempergunakannya dapat mendatangkan kerugian sebagaimana

diatur dan diancam pidana 263 ayat (1) KUHP.

2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana selama 9

(sembilan) bulan.

3) Menyatakan barang bukti berupa :

a) 1 (satu) lembar foto copy N1

b) 1 (satu) lembar foto copy N2

c) 1 (satu) lembar foto copy N4

79

d) 1 (satu) lembar foto copy Akte Cerai palsu

e) 1 (satu) lembar berita acara pengambilan dan pencabutan berkas

nikah atas nama Burhan Fajar Priyanto.

Sesuai dengan Pasal 183 KUHAP, dalam menjatuhkan putusan

pemidanaan harus memiliki sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

yaitu :

1) Keterangan Saksi

Saksi-saksi yang kesemuanya setelah didengar keterangannya di

bawah sumpah menurut cara agamanya masing-masing kecuali

terhadap saksi Nanik yang tidak disumpah karena merupakan istri dari

terdakwa, saksi-saksi mana pada pokoknya memberikan keterangan

sebagai berikut :

a) Saksi Nanik

(1) Bahwa saksi adalah istri terdakwa sejak tahun 1994 sampai

sekarang yang belum dikaruniai anak.

(2) Bahwa pada bulan Desember 2003 terdakwa pernah menikah

lagi di KUA Ngemplak, Sleman.

(3) Bahwa saksi mengetahui pernikahan terdakwa tersebut karena

diberitahu Sulasmi dan saksi mengecek langsung ke KUA

Ngemplak, Sleman.

(4) Bahwa saksi tidak pernah bercerai dengan terdakwa.

(5) Bahwa dengan Akte Cerai palsu tersebut terdakwa menikah

lagi dengan Sulasmi.

(6) Bahwa kemudian pernikahan terdakwa dengan Sulasmi

tersebut dibatalkan Pengadilan Agama Sleman.

(7) Bahwa terhadap barang bukti surat Akte Cerai yang

diperlihatkan di persidangan adalah benar yang juga

diperlihatkan petugas KUA Ngemplak ketika saksi mengecek

di KUA tersebut.

79

b) Saksi Lasmidi

(1) Bahwa terdakwa pernah menikah dengan seorang penduduk

Sleman, tapi kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Agama

Sleman.

(2) Bahwa pernikahan dibatalkan karena syarat pernikahan yaitu

Akte Cerai antara terdakwa dan saksi Nanik adalah palsu

karena terdakwa belum pernah bercerai dengan saksi Nanik.

(3) Bahwa saksi tidak mengetahui siapa yang membuat Akte Cerai

palsu tersebut.

c) Saksi Mustofa

(1) Bahwa terdakwa dan saksi Nanik adalah suami istri yang belum

pernah bercerai.

(2) Bahwa pada bulan Desember 2003 saksi diberitahu oleh saksi

Nanik tentang pernikahan terdakwa dengan Sulasmi di

Ngemplak, Sleman.

(3) Bahwa kemudian saksi bersama dengan saksi Nanik mengecek

di KUA Ngemplak, Sleman dimana diketahui terdakwa dapat

menikah dengan Sulasmi karena di antara persyaratan ada Akte

Cerai dengan status terdakwa duda cerai dengan saksi Nanik.

(4) Bahwa saksi mengetahui barang bukti yang diperlihatkan di

persidangan yaitu Akte Cerai atas nama terdakwa dengan saksi

Nanik adalah yang diperlihatkan oleh petugas KUA Ngemplak,

pada saat saksi mengantar saksi Nanik mengecek ke KUA

Ngemplak.

d) Saksi Drs. Solehan Amin

(1) Bahwa saksi adalah petugas KUA Ngemplak, Sleman.

(2) Bahwa pada Bulan Desember 2003 terdakwa datang ke KUA

Ngemplak dengan membawa persyaratan nikah di antaranya

79

Akte Cerai yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bantul yang

menyatakan terdakwa adalah duda cerai dengan maksud agar

terdakwa dinikahkan dengan Sulasmi.

(3) Bahwa karena persyaratan sudah lengkap diantaranya Akte

Cerai tersebut kemudian saksi pada tanggal 12 Desember 2003

di rumah Sulasmi di Ngemplak, Sleman menikahkan antara

terdakwa dan Sulasmi.

(4) Bahwa satu bulan kemudian saksi Nanik datang ke KUA

Ngemplak dan menanyakan tentang pernikahan terdakwa, yang

kemudian saksi Nanik menyatakan pada KUA Ngemplak

bahwa Akte Cerai yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bantul

atas nama terdakwa dan saksi Nanik tersebut palsu karena saksi

Nanik belum pernah bercerai dengan terdakwa.

(5) Bahwa saksi kemudian mengecek ke Pengadilan Agama

Bantul, yang diketahui bahwa Pengadilan Agama Bantul tidak

pernah mengeluarkan Akte Cerai atas terdakwa dan saksi

Nanik.

(6) Bahwa pernikahan antara terdakwa dengan Sulasmi kemudian

dibatalkan karena didasari oleh suatu persyaratan yang palsu

dan merugikan Sulasmi maupun Nanik.

(7) Bahwa benar barang bukti yang diperlihatkan di persidangan

diantaranya adalah Akte Cerai yang diajukan terdakwa untuk

mendaftarakan nikah dengan Sulasmi.

e) Saksi Sumarjana

(1) Bahwa saksi adalah pegawai Kelurahan Caturharjo, Pandak.

(2) Bahwa saksi pernah membuatkan surat keterangan atas nama

terdakwa untukmenikah.

(3) Bahwa pada saat membuat surat keterangan untuk menikah

tersebut terdakwa membawa Akte Cerai atas nama terdakwa

dan saksi Nanik.

79

2) Surat

a) 1 (satu) lembar foto copy N1

b) 1 (satu) lembar foto copy N2

c) 1 (satu) lembar foto copy N4

d) 1 (satu) lembar foto copy Akte Cerai palsu

e) 1 (satu) lembar berita acara pengambilan dan pencabutan berkas

nikah atas nama Burhan Fajar Priyanto.

3) Keterangan Terdakwa

Dalam persidangan telah pula didengar keterangan terdakwa yang pada

pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut :

a) Bahwa terdakwa dengan saksi Nanik adalah suami istri yang belum

pernah bercerai.

b) Bahwa terdakwa pernah menikah lagi dengan Sulasmi tanggal 10

Desember 2003.

c) Bahwa terdakwa menikah lagi karena pernikahan terdakwa dengan

saksi Nanik belum juga dikaruniai anak.

d) Bahwa salah satu syarat untuk dapat menikah yang terdakwa

penuhi adalah Akte Cerai karena terdakwa mengaku duda cerai di

KUA Ngemplak.

e) Bahwa terdakwa bisa menikah dengan Sulasmi karena terdakwa

membuat Akte Cerai palsu, yaitu terdakwa memperoleh Akte Cerai

atas nama orang lain dari gudang, kemudian terdakwa ganti nama

orang yang bercerai tersebut dengan nama terdakwa dan nama

saksi Nanik atau istri terdakwa.

79

3. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Bantul Dalam Memutus

Perkara Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Perrnikahan

Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang diajukan,

harus benar-benar memiliki keyakinan bahwa putusan yang dijatuhkan

kepada terdakwa benar-benar adil bagi terdakwa, keluarga maupun bagi

masyarakat. Keyakinan ini tidak hanya berdasarkan dari keyakinan hakim

sendiri, tetapi dari beberapa faktor lain yang mendukung, yaitu keterangan

terdakwa dalam persidangan, keterangan saksi dan didukung juga dengan

alat bukti yang ada, dengan melihat fakta-fakta yang ada yang didapat

dalam persidangan tersebut, maka hakim harus mempertimbangkan hal-hal

sebagai berikut:

1) Pertimbangan peristiwanya, ialah apakah terdakwa telah melakukan

perbuatan-perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

2) Pertimbangan mengenai hukumnya, ialah apakah yang dilakukan

terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa

bersalah dan dapat dipidana.

3) Pertimbangan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat

dipidana.

Apabila dalam suatu persidangan, sesuai dengan fakta-fakta yang ada

tidak terbukti maka hakim harus memberikan putusan bebas kepada

terdakwa. Apabila terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang telah

didakwakan, dan merupakan perbuatan pidana dan terdakwa mampu untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut, maka hakim bebas

menentukan dan menjatuhkan putusan yang dianggap sesuai, meskipun

begitu hakim tetap mengacu pada Pasal 23 ayat (1) UU No 14 Tahun 1970

Jo UU No 3 Tahun 1999,yaitu hakim dalam menjatuhkan putusan, juga

harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan

atau sumber-sumber hukum lain yang dijadikan dasar untuk mengadili

sehingga putusan hakim tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

79

Kasus tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan, yang dijadikan

dasar pertimbangan putusan hakim adalah perbuatan terdakwa memenuhi

unsur-unsur yang didakwakan kepadanya, yaitu melanggar Pasal 263 ayat

1 KUHP yang unsur-unsur hukumnya sebagai berikut:

1) Barang Siapa.

2) Membuat surat palsu atau memalsukan surat.

3) Yang dapat menerbitkan sesuatu hak, suatu perjanjian, atau sesuatu

pembebasan hutang, atau yang boleh digunakan sebagai keterangan

bagi sesuatu perbuatan.

4) Dengan maksud menggunakan atau menyuruh orang lain

menggunakan surat itu seolah-olah surat itu asli atau tidak dipalsukan.

5) Kalau menggunakannya dapat menimbulkan kerugian.

Ad.1. Unsur Barang Siapa

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah

setiap orang atau manusia sebagai Subyek Hukum yang mampu

bertanggung jawab.

Menimbang, bahwa di persidangan telah dihadapkan oleh

Penuntut Umum yaitu Burhan Fajar Priyanto sebagai terdakwa

dengan segala identitasnya yang diakui dan dibenarkan oleh

terdakwa.

Menimbang, bahwa berdasarkan pengamatan Majelis Hakim di

persidangan terdakwa adalah orang yang mampu bertanggung

jawab dan mampu mengikuti persidangan dengan baik.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas maka Majelis

Hakim berkeyakinan unsur barang siapa telah terpenuhi.

79

Ad.2. Unsur Membuat Surat Palsu Atau Memalsukan Surat

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan membuat surat

palsu atau memalsukan surat adalah membuat isi dan maksud dari

surat, atau membuat surat sedemikian rupa, atau mengubah surat

sehingga menjadi tidak benar atau sehingga surat itu menjadi lain

dari aslinya.

Menimbang, bahwa terdakwa pada tanggal 10 Desember 2003

telah melangsungkan pernikahan dengan Sulasmi yang

dilaksanakan oleh KUA Ngemplak Sleman, yang salah satu

persyaratannya adalah Akte Cerai yang dikeluarkan oleh

Pengadilan Agama Bantul.

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa dan saksi

serta fakta-fakta di persidangan Akte Cerai tersebut adalah atas

nama orang lain yang terdakwa dapatkan dari gudang tempat

terdakwa bekerja, kemudian oleh terdakwa nama orang tersebut

dihapus yang kemudian terdakwa ketik ulang dengan nama

terdakwa dan saksi Nanik atau istri terdakwa di atas akte tersebut

untuk menggantikan nama orang yang asli, dan dengan akte yang

sudah terdakwa rubah tersebut sehingga dapat dibaca seolah-olah

antara terdakwa dan saksi Nanik atau istri terdakwa sudah bercerai

dan asli, surat yang menyatakan perceraian orang lain telah

berubah menjadi perceraian terdakwa dan saksi Nanik.

Menimbang, bahwa keterangan terdakwa tersebut juga

bersesuaian dengan keterangan saksi-saksi dimana antara terdakwa

dan saksi Nanik memang belum pernah bercerai.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim

berpendapat unsur ini telah terbukti.

79

Ad.3. Unsur Yang Dapat Menerbitkan Sesuatu Hak, Suatu Perjanjian, atau

Sesuatu Pembebasan Hutang,atau Yang Boleh Digunakan Sebagai

Keterangan Bagi Sesuatu Perbuatan

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa dan para

saksi, terdakwa telah datang ke KUA Ngemplak untuk memenuhi

persyaratan nikah yang diantaranya dengan Akte Cerai palsu

tersebut yang oleh terdakwa telah digunakan sebagai suatu syarat

atau keterangan bagi dirinya yang menyatakan terdakwa adalah

seorang duda cerai, sehingga ia dapat melangsungkan pernikahan

dengan Sulasmi pada tanggal 10 Desember 2003 di Sleman.

Menimbang, bahwa berdasarkan sifatnya Akte Cerai yang

terdakwa rubah tersebut telah memberikan kekuatan pembuktian

pada diri terdakwa bahwa ia sebagai duda cerai yang akan menikah

lagi, sehingga KUA Ngemplak, Sleman benar-benar

melangsungkan pernikahan antara terdakwa dengan Sulasmi.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim

berpendapat unsur ini telah terbukti.

Ad.4. Unsur Dengan Maksud Atau Menyuruh Orang Lain Menggunakan

Surat itu Seolah-olah Surat itu Asli Atau Tidak Dipalsukan

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa ia

memalsu Akte Cerai orang lain tersebut dan diganti atas dirinya

karena terdakwa “mempunyai maksud lain”(bijkomend oogmerk)

yaitu dengan menggunakan Akte Cerai palsu tersebut ia akan

menikah lagi dengan wanita lain karena dalam pernikahannya saksi

Nanik belum dikaruniai anak.

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi Drs.Solehan

Amin terdakwa datang ke KUA Ngemplak mengaku sebagai duda

79

cerai yang hendak melangsungkan pernikahan dengan membawa

persyaratan nikah yang diantaranya Akte Cerai yang dikeluarkan

Pengadilan Agama Bantul atas nama terdakwa dan saksi Nanik,

yang sebelumnya telah terdakwa rubah dari nama orang lain

menjadi nama terdakwa.

Menimbang, bahwa terdakwa betul-betul melaksanakan niatnya

tersebut dan telah melangsungkan pernikahannya, Majelis Hakim

berpendapat terdakwa telah nyata-nyata, secara sengaja melakukan

perbuatan (opzetelijke delict) serta menghendaki dan mengetahui

(willens en wetens) dari perbuatan yang dilakukannya.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim

berpendapat unsur ini telah terbukti.

Ad.5. Unsur kalau Menggunakannya Dapat Menimbulkan Kerugian

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur ini adalah

kerugian yang merupakan bagian yang obyektif dari kejahatan

pemalsuan artinya apakah pelaku mengetahui atau tidak akibat dan

kerugian dari perbuatannya bukanlah menjadi masalah tapi cukup

hanya dengan kemungkinan kerugian saja yang dinilai oleh hakim

serta kerugian itu tidak hanya meliputi kerugian materiil namun

juga dari segi kemasyarakatan, kesusilaan atau kehormatan sudah

cukup untuk terbuktinya unsur ini.

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang diperoleh di

persidangan dengan merubah dan memalsu Akte Cerai orang lain

yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bantul, terdakwa dapat

melangsungkan pernikahan dengan Sulasmi dengan status duda

cerai.

79

Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat dengan

terdakwa telah menggunakan Akte Cerai palsu tersebut, terdakwa

telah merugikan kehormatan orang lain karena orang tersebut

memandang terdakwa sebagai duda cerai sehingga Sulasmi mau

menikah dengannya, terdakwa telah mengacaukan administrasi

pemerintahan yaitu administrasi KUA Ngemplak, Sleman yaitu

tentang pencatatan nikah yang menjadi tidak benar karena

perbuatan terdakwa.

Menimbang, bahwa berdassarkan uraian di atas Majelis Hakim

berpendapat unsur ini telah terbukti.

Menimbang, bahwa karena seluruh unsur hukum dari Pasal

yang didakwakan dalam dakwaan alternatif kesatu telah terpenuhi,

maka terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan pada

dakwaan alternatif kesatu.

Menimbang, bahwa karena bentuk dakwaan Penuntut Umum

adalah dakwaan alternatif sedangkan dakwaan kesatu sudah

terbukti, maka Majelis Hakim tidak akan mempertimbangkan

dakwaan lainnya.

Menimbang, bahwa dari hasil pemeriksaan di persidangan tidak

diperoleh bukti yang menunjukkan terdakwa tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan, serta tidak

ditemukan alasan pengecualian penuntutan, alasan pemaaf atau

hapusnya kesalahan.

Menimbang, bahwa dan memperhatikan Pasal 183 Jo Pasal 193

KUHAP karena terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana maka kepadanya haruslah

79

dijatuhi pidana yang adil dan setimpal dengan perbuatan yang

dilakukan.

Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Penuntut Umum yang

menuntut agar kepada terdakwa dijatuhi dengan pidana selama 9

(sembilan) bulan, terhadap hal tersebut Majelis Hakim tidak

sependapat dengan lamanya pidana, karena tujuan dari pemidanaan

juga meliputi pembinaan terhadap diri terdakwa sehingga Majelis

Hakim akan menjatuhkan pidana yang lebih ringan dari yang

dituntut oleh Penuntut Umum sebagaimana yang akan disebut

dalam amar putusan.

Menimbang, bahwa selama pemeriksaan di persidangan

terhadap diri terdakwa tidak dijumpai adanya alasan penghapus

pidana baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar, oleh karena

itu haruslah ia terdakwa telah dinyatakan bersalah dan dihukum

seperti amar putusan.

Menimbang, bahwa Majelis Hakim sebelum menjatuhi pidana

perlu terlebih dahulu memperhatikan hal-hal yang memberatkan

dan hal-hal yang meringankan, sebagai berikut :

Hal-hal yang memberatkan:

1) Terdakwa sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) semestinya

menjadi panutan masyarakat.

2) Terdakwa telah merugikan hak-hak istrinya.

3) Terdakwa telah mengacaukan administrasi pemerintahan di

bidang pencatatan nikah.

Hal-hal yang meringankan :

1) Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya.

2) Terdakwa sopan di persidangan.

3) Terdakwa belum pernah dihukum.

79

4. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bantul Dalam Tindak Pidana

Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan

Dalam keputusan ini Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bantul dengan

dasar pengakuan terdakwa, keterangan saksi-saksi, barang-barang bukti

serta pertimbangan di atas dipandang dari hubungan dan persesuaiannya,

maka kesalahan terdakwa telah terbukti dengan sah dan meyakinkan

menurut undang-undang, telah terbukti bersalah melakukan pemalsuan

asal-usul pernikahan dan diancam pidana Pasal 263 ayat (1) KUHP,

memutus bahwa :

1) Menyatakan terdakwa Burhan Fajar Priyanto tersebut di atas terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“PEMALSUAN SURAT”.

2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut di atas oleh karena itu

dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.

3) Memerintahkan barang bukti berupa :

a) 1 (satu) lembar fotocopy N1,N2 dan N4.

b) 1 (satu) lembar fotocopy Akte Cerai palsu.

c) 1 (satu) lembar berita acara pengambilan dan pencabutan berkas

nikah atas nama Burhan Fajar Priyanto.

Dirampas untuk dimusnahkan.

4) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp.1000 ,-

(seribu rupiah).

79

PUTUSAN

No. 83/Pid.B/2004/PN.BTL

Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Pengadilan Negeri Bantul yang memeriksa dan mengadili perkara pidana

pada peradilan tingkat pertama dengan acara pemeriksaan telah menjatuhkan

putusan sebagai berikut atas nama terdakwa :

Nama : BURHAN FAJAR PRIYANTO

Tempat lahir : Bantul

Umur : 33 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat Tinggal :Tegallayang RT 01/RW 21 Caturharjo Pandak

Bantul

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS

Terdakwa dari tingkat penyidikan sampai dengan sekarang tidak pernah

ditahan;

Terdakwa tidak didampingi Penasehat Hukum;

Pengadilan Negeri tersebut;

Telah membaca dan mempelajari berkas perkara serta surat-surat yang

berkenaan dengan perkara tersebut;

Telah mendengar keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan telah

memeriksa barang bukti di persidangan;

Telah mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum NO.REG.PERK:

PDM-15/BNTUL/10/2004 tertanggal 9 November 2004, yang pada pokoknya

menuntut agar Majelis Hakim memutus sebagai berikut :

79

1) Menyatakan terdakwa BURHAN FAJAR PRIYANTO bersalah

melakukan tindak pidana “membuat surat palsu atau memalsukan surat

yang dapat menerbitkan sesuatu hak, dengan surat itu seolah-olah surat

itu asli dan tidak dipalsukan, maka mempergunakannya dapat

mendatangkan kerugian” sebagaimana diatur dan diancam pidana

Pasal 263 ayat (1) KUHP.

2). Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa BURHAN FAJAR

PRIYANTO berupa pidana selama 9 (sembilan) bulan.

Dengan perintah segera melaksanakan penahanan.

3) Menyatakan barang bukti berupa :

a) 1 (satu) lembar foto copy N1

b) 1 (satu) lembar foto copy N2

c) 1 (satu) lembar foto copy N4

d) 1 (satu) lembar foto copy Akte Cerai palsu

e) 1 (satu) lembar berita acara pengambilan dan pencabutan berkas

nikah atas nama BURHAN FAJAR PRIYANTO

Agar dirampas untuk dimusnahkan.

4) Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp

1.000,- (seribu rupiah).

Menimbang bahwa atas tuntutan Penuntut Umum tersebut terdakwa telah

mengajukan pembelaannya yang pada pokoknya mengakui perbuatan yang

didakwakan padanya serta menyesali dan berjanji untuk tidak mengulanginya

lagi.

Menimbang bahwa terdakwa diajukan oleh Penuntut Umum ke

Persidangan berdasarkan Surat Dakwaan NO.REG.PERK:PDM-

15/BNTUL/6/2004 tanggal 7 Oktober 2004 yang pada pokonya sebagai

berikut:

79

KESATU

Bahwa ia terdakwa BURHAN FAJAR PRIYANTO pada hari dan tanggal

yang tidak dapat ditentukan secara pasti yaitu pada tahun 2003 atau setidak-

tidaknya pada suatu waktu sekitar tahun 2003 bertempat di rumah terdakwa

Tegallayang RT 02/RW 21, Caturharjo, Pandak, Bantul atau setidak-tidaknya

di suatu tempat lain yang masih termasuk di dalam daerah hukum Pengadilan

Negeri Bantul, membuat surat palsu atau sesuatu pembebasan utang yang

boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan, dengan maksud

akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat

seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakan

dapat mendatangkan sesuatu kerugian yang dilakukan terdakwa dengan cara

sebagai berikut :

Bahwa terdakwa pada hari, tanggal dan bulan pada tahun 2003 sekitar

pukul 19.30 WIB terdakwa BURHAN FAJAR PRIYANTO mengambil Akte

Cerai di gudang KUA (Kantor Urusan Agama) Pandak, Bantul atas nama

Mariaten binti Adi Sugito dengan Pardal bin Kardiwiyono dengan seri : L,

Nomor : 2750 dan Akte Cerai : 134/AC/2000/PA Btl tanggal 11 april 2000

kemudian Akte Cerai tersebut dibawa pulang ke rumah terdakwa di Dusun

Tegallayang RT 02/RW 21 Caturharjo, Pandak, Bantul oleh terdakwa Akte

Cerai tersebut dihapus nama asli yang tertera dalam Akte Cerai diganti

terdakwa dan Nanik.

Pada tanggal 8 Desember 2003 Akte Cerai tersebut dibawa terdakwa untuk

mengajukan persyaratan menikah di Kelurahan Caturharjo, Pandak, Bantul

setelah mendapatkan persyaratan menikah di Kelurahan Caturharjo, terdakwa

mendaftarakan di KUA Ngemplak, Sleman bersama calon istrinya SULASMI

yang beralamat di Lodadi, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman. Pada tanggal

12 Desember 2003 pukul 09.00 WIB terdakwa melangsungkan akad nikah

dengan SULASMI di Lodadi, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman.

79

Pada hari Selasa tanggal 30 Desember 2003 sekitar pukul 12.00 WIB

NANIK sebagai istri sah terdakwa mengecek kebenaran terdakwa menikah

lagi di KUA Ngemplak, Sleman, setelah mengetahui Akte Cerai palsu pihak

KUA Ngemplak, Sleman melaporkan pembatalan nikah di Pengadilan Agama

Sleman dan pembatalan nikah sudah diputuskan Pengadilan Agama tangggal 1

Maret 2004.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal

263 ayat (1) KUHP.

ATAU

KEDUA

Bahwa ia terdakwa BURHAN FAJAR PRIYANTO pada hari dan tanggal

yang tidak dapat ditentukan secara pasti yaitu pada tahun 2003 atau setidak-

tidaknya pada suatu waktu sekitar tahun 2003 bertempat di rumah terdakwa

Tegallayang RT 02/RW 21, Catur, Pandak, Bantul atau setidak-tidaknya di

suatu tempat lain yang masih termasuk di dalam daerah hukum Pengadilan

Negeri Bantul, membuat surat palsu atau sesuatu pembebasan utang yang

boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan, dengan maksud

akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat

seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakan

dapat mendatangkan sesuatu kerugian yang dilakukan terdakwa dengan cara

sebagai berikut :

Bahwa terdakwa pada hari, tanggal dan bulan pada tahun 2003 sekitar

pukul 19.30 WIB terdakwa BURHAN FAJAR PRIYANTO mengambil Akte

Cerai di gudang KUA (Kantor Urusan Agama) Pandak, Bantul atas nama

Mariaten binti Adi Sugito dengan Pardal bin Kardiwiyono dengan seri : L,

Nomor : 2750 dan Akte Cerai : 134/AC/2000/PA Btl tanggal 11 april 2000

kemudian Akte Cerai tersebut dibawa pulang ke rumah terdakwa di Dusun

Tegallayang RT 02/RW 21 Caturharjo, Pandak, Bantul oleh terdakwa Akte

79

Cerai tersebut dihapus nama asli yang tertera dalam Akte Cerai diganti

terdakwa dan Nanik.

Pada tanggal 8 Desember 2003 Akte Cerai tersebut dibawa terdakwa untuk

mengajukan persyaratan menikah di Kelurahan Caturharjo, Pandak, Bantul

setelah mendapatkan persyaratan menikah di Kelurahan Caturharjo, terdakwa

mendaftarakan di KUA Ngemplak, Sleman bersama calon istrinya SULASMI

yang beralamat di Lodadi, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman. Pada tanggal

12 Desember 2003 pukul 09.00 WIB terdakwa melangsungkan akad nikah

dengan SULASMI di Lodadi, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman.

Pada hari Selasa tanggal 30 Desember 2003 sekitar pukul 12.00 WIB

NANIK sebagai istri sah terdakwa mengecek kebenaran terdakwa menikah

lagi di KUA Ngemplak, Sleman, setelah mengetahui Akte Cerai palsu pihak

KUA Ngemplak, Sleman melaporkan pembatalan nikah di Pengadilan Agama

Sleman dan pembatalan nikah sudah diputuskan Pengadilan Agama tangggal 1

Maret 2004.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal

263 ayat (2) KUHP.

Menimbang bahwa atas dakwaan Penuntut Umum tersebut terdakwa

menerangkan ia mengerti akan maksud dakwaan tersebut dan tidak akan

mengajukan keberatan dan untuk itu mohon kepada Majelis Hakim untuk

melanjutkan persidangan.

Menimbang bahwa untuk membuktikan dakwaannya di persidangan

Penuntut Umum telah mengajukan saksi-saksi yaitu :

1) NANIK

2) LASMIDI

3) MUSTOFA

4) Drs. SOLEHAN AMIN

5) SUMARJANA

79

yang masing-masing telah didengar ketrerangannya di bawah sumpah menurut

agamanya masing-masing kecuali terhadap saksi NANIK yang tidak

disumpah karena meruapakan istri dari terdakwa, saksi-saksi mana pada

pokonya memberikan keterangan sebagai berikut:

1) Saksi NANIK

a) Bahwa saksi adalah istri terdakwa sejak tahun 1994 sampai

sekarang yang belum dikaruniai anak.

b) Bahwa pada bulan Desember 2003 terdakwa pernah menikah lagi

di KUA Ngemplak, Sleman.

c) Bahwa saksi mengetahui pernikahan terdakwa tersebut karena

diberitahu Sulasmi dan saksi mengecek langsung ke KUA

Ngemplak, Sleman.

d) Bahwa saksi tidak pernah bercerai dengan terdakwa.

e) Bahwa dengan Akte Cerai palsu tersebut terdakwa menikah lagi

dengan Sulasmi.

f) Bahwa kemudian pernikahan terdakwa dengan Sulasmi tersebut

dibatalan Pengadilan Agama Sleman.

g) Bahwa terhadap barang bukti surat Akte Cerai yang diperlihatkan

di persidangan adalah benar yang juga diperlihatkan petugas KUA

Ngemplak ketika saksi mengecek di KUA tersebut.

Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkannya.

2) Saksi LASMIDI

a) Bahwa terdakwa pernah menikah dengan seorang penduduk

Sleman, tapi kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Agama Sleman.

b) Bahwa perkawinan dibatalkan karena syarat perkawinan yaitu Akte

Cerai antara terdakwa dan saksi Nanik adalah palsu karena

terdakwa belum pernah bercerai dengan saksi Nanik.

c) Bahwa saksi tidak mengetahui siapa yang membuat Akte Cerai

palsu tersebut.

79

Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkannya.

3) Saksi MUSTOFA

a) Bahwa terdakwa dan saksi Nanik adalah suami istri yang belum

pernah bercerai.

b) Bahwa pada bulan Desember 2003 saksi diberitahu oleh saksi

Nanik tentang pernikahan terdakwa dengan Sulasmi di Ngemplak,

Sleman.

c) Bahwa kemudian saksi bersama denagn saksi Nanik mengecek di

KUA Ngemplak, Sleman dimana diketahui terdakwa dapat

menikah dengan Sulasmi karena di antara persyaratan ada Akte

Cerai dengan status terdakwa duda cerai dengan saksi Nanik.

d) Bahwa saksi mengetahui barang bukti yang diperlihatkan di

persidangan yaitu Akte Cerai atas nama terdakwa dengan saksi

Nanik adalah yang diperlihatkan oleh petugas KUA Ngemplak,

pada saat saksi mengantar saksi Nanik mengecek ke KUA

Ngemplak.

Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkannya.

4) Saksi Drs. SOLEHAN AMIN

a) Bahwa saksi adalah petugas KUA Ngemplak, Sleman.

b) Bahwa pada Bulan Desember 2003 terdakwa datang ke KUA

Ngemplak dengan membawa persyaratan nikah di antaranya Akte

Cerai yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bantul yang

menyatakan terdakwa adalah duda cerai dengan maksud agar

terdakwa dinikahkan dengan Sulasmi.

c) Bahwa karena persyaratan sudah lengkap diantaranya Akte Cerai

tersebut kemudian saksi pada tanggal 12 Desember 2003 di rumah

Sulasmi di Ngemplak, Sleman menikahkan antara terdakwa dan

Sulasmi.

79

d) Bahwa satu bulan kemudian saksi Nanik datang ke KUA

Ngemplak dan menanyakan tentang pernikahan terdakwa, yang

kemudian saksi Nanik menyatakan pada KUA Ngemplak bahwa

Akte Cerai yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bantul atas nama

terdakwa dan saksi Nanik tersebut palsu karena saksi Nanik belum

pernah bercerai dengan terdakwa.

e) Bahwa saksi kemudian mengecek ke Pengadilan Agama Bantul,

yang diketahui bahwa Pengadilan Agama Bantul tidak pernah

mengeluarkan Akte Cerai atas terdakwa dan saksi Nanik.

f) Bahwa pernikahan antara terdakwa dengan Sulasmi kemudian

dibatalkan karena didasari oleh suatu persyaratan yang palsu dan

merugikan Sulasmi maupun Nanik.

g) Bahwa benar barang bukti yang diperlihatkan di persidangan

diantaranya adalah Akte Cerai yang diajukan terdakwa untuk

mendaftarakan nikah dengan Sulasmi.

Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkannya.

5) Saksi SUMARJANA

a) Bahwa saksi adalah pegawai Kelurahan Caturharjo, Pandak.

b) Bahwa saksi pernah membuatkan surat keterangan atas nama

terdakwa untuk menikah.

c) Bahwa pada saat membuat surat keterangan untuk menikah

tersebut terdakwa membawa Akte Cerai atas nama terdakwa dan

saksi Nanik.

Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkannya.

Menimbang, bahwa di persidangan telah pula didengar keterangan

terdakwa yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut :

1) Bahwa terdakwa dengan saksi Nanik adalah suami istri yang belum

pernah bercerai.

79

2) Bahwa terdakwa pernah menikah lagi dengan Sulasmi tanggal 10

Desember 2003.

3) Bahwa terdakwa menikah lagi karena pernikahan terdakwa dengan

saksi Nanik belum juga dikaruniai anak.

4) Bahwa salah satu syarat untuk dapat menikah yang terdakwa penuhi

adalah Akte Cerai karena terdakwa mengaku duda cerai di KUA

Ngemplak.

5) Bahwa terdakwa bisa menikah dengan Sulasmi karena terdakwa

membuat Akte Cerai palsu, yaitu terdakwa memperoleh Akte Cerai

atas nama orang lain dari gudang, kemudian terdakwa ganti nama

orang yang bercerai tersebut dengan nama terdakwa dan nama saksi

Nanik atau istri terdakwa.

6) Bahwa terdakwa menyesali perbuatannya.

Menimbang bahwa di persidangan juga telah diajukan barang bukti

berupa :

a) 1 (satu) lembar fotocopy N1

b) 1 (satu) lembar fotocopy N2

c) 1 (satu) lembar fotocopy N4

d) 1 (satu) lembar fotocopy Akte Cerai palsu

e) 1 (satu) lembar berita acara pengambilan dan pencabutan berkas

nikah atas nama Burhan Fajar Priyanto

Barang bukti mana dibenarkan oleh saksi-saksi dan terdakwa.

Menimbang, bahwa terhadap barang bukti yang diajukan di persidangan

tersebut, karena telah disita secara sah menurut hukum maka barang bukti

tersebut dapat digunakan untuk memperkuat pembuktian.

Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini maka segala

sesuatu yang tercatat dalam Berita Acara Persidangan dianggap telah termasuk

dan dipertimbangkan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan

ini.

79

Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa

serta barang bukti yang diajukan di persidangan setelah dihubungkan satu

dengan lainnya, maka dapat disimpulkan fakta-fakta dalam perkara ini sebagai

berikut :

1) Bahwa benar terdakwa dan saksi Nanik adalah suami istri yang sah dan

belum pernah bercerai.

2) Bahwa benar pada tanggal 10 Desember 2003 terdakwa telah

melangsungkan pernikahan dengan Sulasmi yang dilaksanakan oleh

KUA Ngemplak, Sleman.

3) Bahwa benar terdakwa dapat menikah lagi dengan memenuhi

persyaratan yang diantaranya Akte Cerai atas nama terdakwa dengan

saksi Nanik atau istri terdakwa yang dikeluarkan oleh Pengadilan

Agama Bantul.

4) Bahwa benar Akte Cerai tersebut terdakwa peroleh dari gudang tempat

terdakwa bekerja yang sebenarnya atas nama orang lain, namun nama

orang lain tersebut terdakwa hapus dan terdakwa ketik ulang dengan

menggantikan nama orang tersebut dengan nama terdakwa dan

istrinya.

5) Bahwa benar kemudian pernikahan tersebut diketahui saksi Nanik,

kemudian karena pernikahan terdakwa dengan Sulasmi salah satu

persyaratannya palsu, maka pernikahan tersebut dibatalkan.

6) Bahwa benar barang bukti yang diperlihatkan di persidangan adalah

persyaratan yang digunakan oleh terdakwa untuk menikah lagi yang

diantaranya Akte Cerai yang dipalsukan oleh terdakwa.

Menimbang, bahwa terdakwa diajukan oleh Penuntut Umum ke

persidangan dengan dakwaan alternatif yaitu kesatu melanggar Pasal 263 ayat

(1) atau Pasal 263 ayat (2) KUHP.

Menimbang, bahwa karena bentuk dakwaan Penuntut Umum adalah

alternatif maka berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh di persidangan Majelis

79

Hakim akan mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan yaitu melanggar

Pasal 263 ayat (1) KUHP yang unsur-unsur hukumnya sebagai berikut :

1) Barang Siapa.

2) Membuat suart palsu atau memalsukan surat.

3) Yang dapat menerbitkan sesuatu hak, suatu perjanjian, atau sesuatu

pembebasan hutang, atau yang boleh digunakan sebagai keterangan

bagi sesuatu perbuatan.

4) Dengan maksud menggunakan atau menyuruh orang lain

menggunakan surat itu seolah-olah surat itu asli atau tidak dipalsukan.

5) Kalau menggunakannya dapat menimbulkan kerugian.

UNSUR BARANG SIAPA

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah setiap

orang atau manusia sebagai Subyek Hukum yang mampu bertanggung jawab.

Menimbang, bahwa di persidangan telah dihadapkan oleh Penuntut Umum

yaitu Burhan Fajar Priyanto sebagai terdakwa dengan segala identitasnya yang

diakui dan dibenarkan oleh terdakwa.

Menimbang, banhwa berdasarkan pengamatan Majelis Hakim di

persidangan terdakwa adalah orang yang mampu bertanggung jawab dan

mampu mengikuti persidangan dengan baik.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas maka Majelis Hakim

berkeyakinan unsur barang siapa telah terpenuhi.

UNSUR MEMBUAT SURAT PALSU ATAU MEMALSUKAN SURAT

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan membuat surat palsu atau

memalsukan surat adalah membuat isi dan maksud dari surat, atau membuat

surat sedemikian rupa, atau mengubah surat sehingga menjadi tidak benar

sehingga surat itu menjadi lain dari aslinya.

79

Menimbang, bahwa terdakwa pada tanggal 10 Desember 2003 telah

melangsungkan pernikahan dengan Sulasmi yang dilaksanakan oleh KUA

Ngemplak, Sleman, yang salah satu persyaratannya adalah Akte Cerai yang

dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Bantul.

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa dan saksi serta

fakta-fakta di persidangan Akte Cerai tersebut adalah atas nama orang lain

yang terdakwa dapatkan dari gudang tempat terdakwa bekerja, kemudian oleh

terdakwa nama orang tersebut dihapus yang kemudian terdakwa ketik ulang

dengan nama terdakwa dan saksi Nanik atau istri terdakwa di atas akte

tersebut untuk menggantikan nama orang yang asli, dan dengan akte yang

sudah terdakwa rubah tersebut sehingga dapat dibaca seolah-olah antara

terdakwa dan saksi Nanik atau istri terdakwa sudah bercerai dan asli, surat

yang menyatakan perceraian orang lain telah berubah menjadi perceraian

terdakwa dan saksi Nanik.

Menimbang, bahwa keterangan terdakwa tersebut juga bersesuaian dengan

keterangan saksi-saksi dimana antara terdakwa dan saksi Nanik memang

belum pernah bercerai.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim berpendapat

unsur ini telah terbukti.

UNSUR YANG DAPAT MENERBITKAN SESUATU HAK, SUATU

PERJANJIAN, ATAU SESUATU PEMBEBASAN HUTANG, ATAU

YANG BOLEH DIGUNAKAN SEBAGAI KETERANGAN BAGI

SESUATU PERBUATAN

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa dan para saksi,

terdakwa telah datang ke KUA Ngemplak untuk memenuhi persyaratan nikah

yang diantaranya dengan Akte Cerai palsu terebut yang oleh terdakwa telah

digunakan sebagai suatu syarat atau keterangan bagi dirinya yang menyatakan

79

terdakwa adalah seorang duda cerai, sehingga ia dapat melangsungkan

pernikahan dengan Sulasmi pada tanggal 10 Desember 2003 di Sleman.

Menimbang, bahwa berdasarkan sifatnya Akte Cerai yang terdakwa rubah

tersebut telah memberikan kekuatan pembuktian pada diri terdakwa bahwa ia

sebagai duda cerai yang akan menikah lagi, sehingga KUA Ngemplak, Sleman

benar-benar melangsungkan pernikahan antara terdakwa dengan Sulasmi.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim berpendapat

unsur ini telah terbukti.

UNSUR DENGAN MAKSUD MENGGUNAKAN ATAU MENYURUH

ORANG LAIN MENGGUNAKAN SURAT ITU SEOLAH-OLAH SURAT

ITU ASLI ATAU TIDAK DIPALSUKAN

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa ia memalsu Akte

Cerai orang lain tersebut dan diganti atas dirinya karena terdakwa

“mempunyai maksud lain”(bijkomend oogmerk) yaitu dengan menggunakan

Akte Cerai palsu tersebut ia akan menikah lagi dengan wanita lain karena

dalam pernikahannya dengan saksi Nanik belum dikaruniai anak.

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi Drs.Solehan Amin

terdakwa datang ke KUA Ngemplak mengaku sebagai duda cerai yang hendak

melangsungkan pernikahan dengan membawa persyaratan nikah yang

diantaranya Akte Cerai yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bantul atas nama

terdakwa dan saksi Nanik, yang sebelumnya telah terdakwa rubah dari nama

orang lain menjadi nama terdakwa.

Menimbang, bahwa terdakwa betul-betul melaksanakan niatnya tersebut

dan telah melangsungkan pernikahannya, Majelis Hakim berpendapat

terdakwa telah nyata-nyata, telah secara sengaja melakukan perbuatan

(opzetelijke delict) serta menghendaki dan mengetahui (willens en wetens) dari

perbuatan yang dilakukannya.

79

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim berpendapat

unsur ini telah terbukti.

UNSUR KALAU MENGGUNAKAN DAPAT MENIMBULKAN

KERUGIAN

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur ini adalah kerugian yang

merupakan bagian yang obyektif dari kejahatan pemalsuan artinya apakah

pelaku mengetahui atau tidak akibat dan kerugian dari perbuatannya bukanlah

menjadi masalah tapi cukup hanya dengan kemungkinan kerugian saja yang

dinilai oleh hakim serta kerugian itu tidak hanya meliputi kerugian materiil

namun juga dari segi kemasyarakatan, kesusilaan atau kehormatan sudah

cukup untuk terbuktinya unsur ini.

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang diperoleh di persidangan dengan

merubah dan memalsu Akte Cerai orang lain yang dikeluarkan Pengadilan

Agama Bantul, terdakwa dapat melangsungkan pernikahan dengan Sulasmi

dengan status duda cerai.

Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat dengan terdakwa telah

menggunakan Akte Cerai palsu tersebut, terdakwa telah merugikan

kehormatan orang lain karena orang tersebut memandang terdakwa sebagai

duda cerai sehingga Sulasmi mau menikah dengannya, juga terdakwa telah

mengacaukan administrasi pemerintahan yaitu administrasi KUA Ngemplak,

Sleman yaitu tentang pencatatan nikah yang menjadi tidak benar karena

perbuatan terdakwa.

Menimbang, bahwa berdassarkan uraian di atas Majelis Hakim

berpendapat unsur ini telah terbukti.

Menimbang, bahwa karena seluruh unsur hukum dari pasal yang

didakwakan dalam dakwaan alternatif kesatu telah terpenuhi, maka terdakwa

79

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana yang didakwakan pada dakwaan alternatif kesatu.

Menimbang, bahwa karena bentuk dakwaan Penuntut Umum adalah

dakwaan alternatif sedangkan dakwaan kesatu sudah terbukti, maka Majelis

Hakim tidak akan mempertimbangkan dakwaan lainnya.

Menimbang, bahwa dari hasil pemeriksaan di persidangan tidak diperoleh

bukti yang menunjukkan terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatan yang dilakukan, serta tidak ditemukan alasan pengecualian

penuntutan, alasan pemaaf atau hapusnya kesalahan.

Menimbang, bahwa dan memperhatikan Pasal 183 Jo Pasal 193 KUHAP

karena terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana maka kepadanya haruslah dijatuhi pidana yang adil dan setimpal

dengan perbuatan yang dilakukan.

Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Penuntut Umum yang menuntut

agar kepada terdakwa dijatuhi dengan pidana selama 9 (sembilan) bulan,

terhadap hal tersebut Majelis Hakim tidak sependapat dengan lamanya pidana,

karena tujuan dari pemidanaan juga meliputi pembinaan terhadap diri

terdakwa sehingga Majelis Hakim akan menjatuhkan pidana yang lebih ringan

dari yang dituntut oleh Penuntut Umum sebagaimana yang akan disebut dalam

amar putusan ini.

Menimbang, bahwa selama pemeriksaan di persidangan terhadap diri

terdakwa tidak dijumpai adanya alasan penghapus pidana baik alasan pemaaf

maupun alasan pembenar, oleh karena itu haruslah ia terdakwa telah

dinyatakan bersalah dan dihukum seperti amar putusan di bawah ini.

Menimbang, bahwa Majelis Hakim sebelum menjatuhkan pidana perlu

terlebih dahulu memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang

meringankan, sebagai berikut :

79

Hal-hal yang memberatkan:

1) Terdakwa sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) semestinya menjadi

panutan masyarakat.

2) Terdakwa telah merugikan hak-hak istrinya.

3) Terdakwa telah mengacaukan administrasi pemerintahan di bidang

pencatatan nikah.

Hal-hal yang meringankan :

1) Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya.

2) Terdakwa sopan di persidangan.

3) Terdakwa belum pernah dihukum.

Menimbang bahwa terhadap barang bukti akan disebutkan dalam amar

putusan ini.

Menimbang bahwa karena terdakwa dinyatakan terbukti bersalah maka

kepadanya pula dibebankan untuk membayar ongkos perkara yang besarnya

akan disebutkan dalam amar putusan ini.

Mengingat Pasal 263 ayat (1) KUHP, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981,

serta peraturan-peraturan hukum lainnya.

MENGADILI :

1) Menyatakan terdakwa Burhan Fajar Priyanto tersebut di atas terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“PEMALSUAN SURAT”.

2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut di atas oleh karena itu

dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.

3) Memerintahkan barang bukti berupa :

a) 1 (satu) lembar fotocopy N1,N2 dan N4.

b) 1 (satu) lembar fotocopy Akte Cerai palsu.

79

c) 1 (satu) lembar berita acara pengambilan dan pencabutan berkas

nikah atas nama Burhan Fajar Priyanto, dirampas untuk

dimusnahkan.

4) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp.1000 ,-

(seribu rupiah).

Demikian diputus dalam suatu rapat permusyawaratan Majelis Hakim

pada hari : Senin, tanggal 13 Desember 2004 oleh kami GUNAWAN

GUSMO,S.H.,M.Hum sebagai Hakim Ketua Majelis, YOGI

ARSONO,S.H.,KN dan LINGGA SETIAWAN,S.H masing-masing sebagai

Hakim Anggota, putusan tersebut pada hari : Selasa, tanggal 14 Desember

2004 diucapkan dalam suatu sidang yang terbuka untuk umum, oleh Hakim

Ketua Majelis tersebut dengan didampingi hakim anggota, dengan dibantu

oleh : HUDAJA sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh MARIA

GORETI SUNARWATI, H Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa.

HAKIM ANGGOTA HAKIM KETUA MAJELIS

1. YOGI ARSONO,S.H.,KN GUNAWAN GUSMO,S.H.,M.Hum

2. LINGGA SETIAWAN,S.H.

PANITERA PENGGANTI

HUDAJA

79

B. PEMBAHASAN

1. Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan Dalam

Hukum Positif Indonesia

a. Pengaturan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan yang

terdapat di dalam KUHP sebetulnya tidak hanya Pasal 263 ayat (1) saja,

seperti disebutkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Bantul. Pasal 277

ayat (1) KUHP mengatur tentang perbuatan yang dengan sengaja membuat

gelap asal-usul orang dan menggelapkan asal-usul diancam penjara paling

lama enam tahun, Pasal 279 KUHP mengatur mengenai seseorang yang

mengadakan pernikahan lagi padahal mengetahui bahwa pernikahan atau

pernikahan-pernikahan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk

itu diancam penjara paling lama lima tahun.

Dalam Pasal 280 KUHP mengatur mengenai seseorang yang

mengadakan perkawinan dan tidak memberitahu kepada pihak lainnya

bahwa ada penghalang yang sah yaitu perkawinan yang telah ada diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

b. Pengaturan Dalam Hukum Pernikahan

Pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan ternyata

tidak diatur dalam hukum pernikahan baik itu di dalam UU No 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, maupun di dalam Peraturan Pemerintah No 9

Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974,

hanya saja di dalam PP No 9 Tahun 1975 Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2)

mengatur mengenai tugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan ketentuan

mengenai PPN yang tidak melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap

seseorang yang akan melangsungkan pernikahan diancam dengan

79

hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya

Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).

2. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Bantul Dalam Tindak Pidana

Pemalsuan Asal-Usul Pernikahan Apakah Telah Sesuai Dengan

Ketentuan Hukum yang Berlaku

Berdasarkan uraian kasus di atas, penulis mencoba melakukan analisa

atau mengevaluasinya :

Pertama bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa dengan

memalsukan Akte Cerai dan mengaku sebagai duda cerai, sebagai

prasyarat menikah dan sebagai syarat untuk mendapatkan formulir N1,

formulir N2 dan formulir N4 dari Kelurahan Caturharjo di mana

penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Terdakwa juga telah menyembunyikan perlakuan ini kepada pihak lain

yaitu Nanik atau istri sah terdakwa, Sulasmi atau korban dari pemalsuan

asal-usul pernikahan yang dilakukan oleh terdakwa dan pihak dari KUA

Ngemplak, Sleman tempat terdakwa dan Sulasmi mendaftarkan

pernikahannya.

Putusan Pengadilan Negeri Bantul dalam menjatuhkan sanksi pidana

penjara kurang tepat, seharusnya hakim dalam menjatuhkan pidana penjara

sesuai dengan pasal yang didakwakan terhadap terdakwa, karena melihat

akibat yang ditimbulkan dari perbuatan terdakwa. Selanjutnya apabila

penulis periksa dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Burhan Fajar

Priyanto walaupun telah terbukti dakwaan primer yaitu Pasal 263 ayat (1),

sebetulnya terhadap terdakwa dapat didakwa dengan dakwaan subsidair

yaitu Pasal 280, mengingat bahwa terdakwa telah menyembunyikan

kepada Sulasmi tentang perkawinannya dengan Nanik yang merupakan

penghalang sah untuk menikah lagi, adapun unsur-unsur yang terdapat

Pasal 280 KUHP adalah :

79

1) Unsur Obyektif

a) Menikah

Dengan menyembunyikan kepada teman hidupnya bahwa

pernikahannya yang telah ada merupakan penghalang baginya

untuk menikah lagi.

b) Pernikahan itu dinyatakan batal karena terdapat penghalang oleh

Pengadilan Agama.

2) Unsur Subyektif

Bahwa pernikahan tersebut dilakukan dengan sengaja.

BAB IV

PENUTUP

Setelah penulis mengadakan penelitian dan menganalisis kasus pemalsuan

asal-usul pernikahan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Bantul No.

83/Pid.B/2004/PN.BTL dengan terdakwa Burhan Fajar Priyanto, maka penulis

menyajikan beberapa simpulan dan saran yaitu:

A. SIMPULAN

1) Pengaturan tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan yang terdapat di

dalam KUHP sebetulnya tidak hanya Pasal 263 ayat (1) saja, seperti yang

disebutkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Bantul, tetapi juga diatur

dalam Pasal 277 ayat (1) yang mengatur tentang perbuatan dengan sengaja

menggelapkan asal-usul, Pasal 279 dan Pasal 280 yang mengatur

mengenai mengadakan pernikahan sedangkan pernikahan yang

sebelumnya menjadi penghalang yang sah untuk mengadakan pernikahan

lagi. Dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun di dalam

Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-

Undang No 1 Tahun 1974, tidak mengatur tentang tindak pidana

79

pemalsuan asal-usul pernikahan, tetapi mengatur mengenai Pegawai

Pencatat Nikah (PPN) yang tidak melakukan penelitian terlebih dahulu

terhadap seseorang yang akan melangsungkan pernikahan dan diancam

dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-

tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).

2) Putusan Pengadilan Negeri Bantul yang menjatuhkan sanksi pidana penjara

terhadap Burhan Fajar Priyanto atas kasus pemalsuan asal-usul

pernikahan, selama 6 bulan penjara tidak sesuai dan sangat ringan,

seharusnya hakim dalam menjatuhkan hukuman sesuai dengan Pasal yang

didakwakan terhadap terdakwa, karena melihat akibat yang ditimbulkan

dari perbuatan terdakwa. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum juga kurang

tepat, selain dakwaan primer yaitu Pasal 263 ayat (1) KUHP seharusnya

dakwaan subsidairnya yaitu Pasal 280 KUHP mengenai mengadakan

pernikahan dan dengan sengaja tidak memberitahu kepada pihak lainnya,

bahwa ada penghalangnya yang sah.

B. SARAN

Beberapa saran sederhana yang akan penulis sampaikan berikut dapat

menjadi masukan dan pertimbangan yang bernilai. Saran yang hendak penulis

sampaikan antara lain:

1) Seorang Hakim dalam menjatuhkan putusan harus benar-benar memiliki

keyakinan bahwa putusan yang dijatuhkan, benar-benar adil bagi

terdakwa, keluarga maupun korban. Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim

atas kasus pemalsuan asal-usul pernikahan yang dilakukan Burhan Fajar

Priyanto kurang adil terutama untuk istri terdakwa dan korban yang

dinikahi oleh terdakwa. Hukuman 6 bulan sangat ringan dan tidak

seimbang dengan perbuatan terdakwa yang mengakibatkan kerugian fisik,

psikis dan kehormatan dari korban maupun istri terdakwa, hukuman 1

tahun akan lebih adil untuk terdakwa maupun bagi korban, karena kita

tahu bahwa fungsi dari suatu sanksi pidana adalah memberikan efek jera

bagi pelakunya.

2) Kasus pemalsuan asal-usul pernikahan ini agar lebih diperhatikan, baik

bagi aparat penegak hukum, maupun oleh masyarakat sendiri karena

perbuatan ini sudah termasuk tindak pidana dan harus diproses melalui

jalur hukum, dalam kasus pemalsuan asal-usul pernikahan sebenarnya

tidak hanya terdakwa saja yang bersalah, tapi Pegawai Pencatat Nikah

(PPN) juga memiliki kesalahan dan mempunyai peran terhadap terjadinya

tindak pidana pemalsuan asal-usul pernikahan, karena PPN kurang teliti

dalam melakukan penelitian terhadap calon mempelai yang akan

melakukan pernikahan.

ii

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta : PT. Raja

Grafindo.

Anwar Abu Bakar. 2007. Al Muyassar Al Quran dan Terjemahnya.

Bandung : Sinar Baru Algesindo.

Barda Nawawi Arief. 2002. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : PT Raja

Grafindo.

C.S.T Kansil. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.

Jakarta : Balai Pustaka.

H.Z Muttaqin. 2003. Pedoman Pegawai Pencatat Nikah. Jakarta :

Departemen Agama Republik Indonesia.

H.B. Sutopo. 1992. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

J.C.T Simorangkir. 1972. Kamus Hukum. Jakarta : CV Madjapahit.

Lamintang. 1990. Delik-Delik Khusus. Bandung : Mandar Maju.

Lexi J Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika.

Moeljatno. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Muladi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung : Alumni.

iii

Soebekti. 2003. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada.

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI – Press

( Penerbit Universitas Indonesia ).

Subroto Widjojo. 1981. Problema Perkawinan. Yogyakarta : Yayasan

Kanisius.

Syamsul Rijal Hamid. 1997. Buku Pintar Agama Islam. Jakarta : Penebar

Salam.

Wirjono Prodjodikoro.1986. Asas-Asas Hukum Pidana. Bandung : Eresco.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Peraturan Pemerintah R.I Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

iv