kajian filosofis - isi-ska.ac.id
TRANSCRIPT
- 2 -
KAJIAN FILOSOFIS
SASTRA & BUDAYA NUSANTARA
Penulis:
Dr. Purwadi, M.Hum
Editor:
Sri Mulyani
Desain:
Damar Hafid Alhaq
ISBN: 978-979-17832-8-8
Cetakan I, Juni 2011
Penerbit:
Putra Bangsa
Jl. Gambir no. 40 Deresan, Yogyakarta
Email: [email protected]
- 3 -
KATA PENGANTAR
Kajian Filosofis Sastra & Budaya Nusantara ini
dilakukan dalam rangka untuk memperkokoh jati diri
bangsa. Semua pengkajian ilmiah terhadap sastra dan
budaya Nusantara tersebut merupakan wujud dari amalan
Bhinneka Tunggal Ika, yaitu mewujudkan keindonesiaan
yang mengakui keberagaman.
Kearifan lokal sastra dan budaya dalam lintasan
sejarah telah mewarnai kehidupan masyarakat. Butir-butir
kearifan lokal ini, menjadi persemaian yang subur bagi
pemikiran kefilsafatan dan pandangan hidup. Filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai
hakikat kebenaran.
Dalam pandangan filsafat universal, hakikat
kebenaran semata-mata berorientasi pada aktifitas olah
cipta. Berkaitan dengan hal itu, buku ini dapat digunakan
sebagai bahan referensi bagi masyarakat umum.
Yogyakarta, 20 Juni 2011
Dr. Purwadi, M.Hum
- 4 -
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I. Sastra & Masyarakat Jawa
BAB II. Konsep Tasawuf Jawa
BAB III. Filsafat Ketuhanan & Budaya Jawa
BAB IV. Paham Wahdatul Wujud Di Nusantara
BAB V. Sastra & Kebudayaan Priyayi
BAB VI. Perpustakaan & Pengembangan Budaya
BAB VII. Media Massa & Pembinaan Budaya
BAB VIII.Sastra & Kehidupan Modern
Daftar Pustaka
Biodata Penulis
- 5 -
BAB I
Sastra & Masyarakat
Jawa
Memahami Sastra
Sastra dan masyarakat memang erat kaitannya.
Demikian pula dalam kebudayaan Jawa, karya sastra
merupakan sarana untuk membentuk identitas kultural.
Di dalam karya sastra terdapat ajaran kebajikan yang
dapat digunakan untuk membina budi pekerti luhur
masyarakat Jawa.
Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk
dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia
terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga
sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium,
bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra
menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu
sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian
- 6 -
ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat,
antara masyarakat dengan orang-seorang, antar
manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin
seseorang.
Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi
bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang
dengan orang lain atau dengan masyarakat. Sederet
pernyataan di atas menunjukkan bahwa sastra tidak
jatuh begitu saja dari langit, bahwa hubungan yang ada
antara sastrawan, sastra, dan masyarakat bukanlah
sesuatu yang dicari-cari. Adalah sah apabila kita
mempermasalahkan pengaruh timbal balik antara ketiga
unsur tersebut.
Masalah itu lahir karena beberapa pertanyaan
seperti: Apakah latar belakang sosial pengarang
menentukan isi karangannya? Apakah dalam karya-
karyanya si pengarang mewakili golongannya? Apakah
karya-karya sastra yang digemari masyarakat itu sudah
dengan sendirinya tinggi mutunya? Sampai berapa
jauhkah karya sastra mencerminkan keadaan zamannya?
Apa pengaruh masyarakat yang semakin rumit organi-
sasinya ini terhadap penulisan karya sastra? Apakah
perkembangan bentuk dan isi karya sastra membuktikan
- 7 -
bahwa sastrawan mengabdi kepada selera pembacanya
dan sedaftar panjang pertanyaan lagi (Sapardi Djoko
Damono, 1979: 1).
Pengertian kesusastraan pertama-tama tergan-
tung dari konvensi sosio budaya yang berlaku dalam
masyarakat tertentu, sehingga memberikan definisi
sastra yang universal tidak mungkin (Teeuw, 1984: 9).
Obyek yang kita sebut kesusastraan adalah obyek yang
dinamiknya ditentukan oleh syarat-syarat dan norma-
norma kemasyarakatan yang berbeda-beda. Ada bebe-
rapa konsep tentang pengertian karya sastra:
Karya sastra adalah karya seni imajinatif, yang
unsur estetisnya dominan, bermedium bahasa (Rene
Wellek, 1976: 23). Karya sastra adalah suatu organisme
antara unsur-unsurnya erat terjalin, ada koherensi dan
keseluruhan yang organis. Karya sastra yaitu karya
bahasa yang bisa dinilai menurut patokan-patokan
“simbolis” yang secara umum dapat disebutkan sebagai
bentuk estetika dan makna. Karya sastra adalah
bangunan bahasa yang mendasarkan konvensi tertentu,
mengungkapkan rekaan manusia yang menandai alter-
natif terhadap kenyataan dan yang menghimbau ke
imajinasi untuk penghayatan.
- 8 -
Sastra ialah karangan bahasa mengenai masalah
sosial budaya yang oleh bentuknya mendapat penilaian
positif dari masyarakat, sehingga dipelihara. Pendapat
yang lain mengatakan karya sastra adalah ungkapan
bahasa yang paling padat informasi, semua yang tidak
semantis disemantiskan pula. Sastra merupakan sistem
pembentuk model yang sekunder atas dasar makna
kebahasaan dibina makna kesusasteraan dalam karya
sastra. Karya sastra merupakan pengungkapan baku dari
apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan,
dialami orang tentang kehidupan, direnungkan, dan
dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang
paling menarik minat secara langsung lagi kuat.
Berdasarkan pengertian di atas, maka wayang
dapat dikategorikan sebagai bentuk hasil kesusasteraan.
Wayang merupakan salah satu warisan bangsa Indonesia
yang sudah berkembang selama berabad-abad (Haryan-
to, 1992:14). Meskipun kerangka dasar cerita wayamg
bersumber dari epos India: Mahabarata dan Ramayana,
namun dalam realitas pementasannya, wayang
disesuaikan dengan karakter dan selera orang Jawa.
Cerita-cerita wayang sekarang bila dibandingkan dengan
sumber aslinya akan tampak sekali telah mengalami
- 9 -
banyak perubahan. Dengan demikian karya sastra
merupakan ungkapan jiwa yang menjelma keindahan.
Rasa Keindahan
Dari perspektif ilmu kefilsafatan, karya sastra
menjadi objek kajian yang berlimpah ruah. Karya sastra
dapat ditinjau dari segi etis dan estetis. Konsep etis
terkait dengan tata susila, konsep estetis terkait dengan
aspek keindahan.
Bagi masyarakat Jawa sastra menjadi sarana
untuk mengungkapkan rasa keindahan. Teori sastra
menyelidiki atau mempelajari prinsip-prinsip, kategori,
kriteria sastra dan sebagainya, misalnya: hakekat sastra,
konvensi sastra, jenis sastra, teori penilaian sastra, sifat
dan fungsi sastra. Kritik sastra menyelidiki karya sastra
konkrit, satu per satu atau dalam urutan kronologis. Jadi
memberikan pertimbangan baik buruk, bernilai tidaknya
karya sastra. Sejarah sastra menyelidiki seni sastra
sebagai kelompok yang sewaktu atau kelompok sastra itu
sebagai rangkaian kronologis serta menjadi bagian yang
tak terpisahkan di dalam proses sejarahnya.
Meskipun pembagian ketiganya jelas namun
metode masing-masing tidak dapat berdiri sendiri-
sendiri dalam pelaksanaannya. Ketiganya saling mem-
- 10 -
bantu dan mengisi. Misalnya untuk memberikan
penilaian karya sastra diperlukan teori penilaian dan ciri-
ciri karya sastra yang baik atau yang berbobot.
Sebaliknya teori sastra pun memerlukan kritik sastra dan
sejarah sastra, teknik dan kriteria dapat mengambil dari
kritik sastra (Soekarjo, 1993: 74).
Perkembangan estetika dapat diringkaskan seba-
gai suatu dialektika yang tesis-tesisnya dulce et utile
(Horace), artinya bahwa puisi atau sastra itu menyenang-
kan dan berguna. Keduanya harus digabung, sebab utile
dulce bukan sastra lagi dan dulce tanpa utile hanya
keenakan saja. Dan menekankan aspek manfaat ada
bahayanya, sebab faedah sastra jauh mengatasi faedah
praktid, misalnya untuk memberikan pelajaran agama,
tata susila dan sebagainya. Sastra adalah alat manusia
untuk menemukan seluk beluk eksistensinya „literature
offers the best means alat, cara for exploring the
complexities kerumitan, keruwetan of order pesanan,
urutan and meaning. Pada hakikatnya sejak lahirnya
seni itu telah lahir pula dua tujuan seni yang saling
bertentangan satu dengan lainnya.
Pertentangan tersebut hingga kini masih tampak
agak jelas. Yang pertama adalah L’art Pour L’art atau
seni untuk seni. Sedang yang kedua L’art Pour Argent
- 11 -
atau seni untuk uang, maksudnya seni yang lebih
mengutamakan tujuan-tujuan tertentu yang bersifat
menguntungkan. Di samping itu masih ada tujuan seni
yang ketiga, yang merupakan kompromi antara kedua
tujuan seni tersebut di atas ialah L’art Engagee, seni
berisi.
Adapun yang dimaksud dengan L’art Pour L’art
atau seni untuk seni, ialah seni yang memutuskan
hubungan dengan kenyataan yang terdapat dalam
kehidupan. Seni yang demikian ini dikatakan seni yang
kosong, tidak ada isinya yang berfaedah bagi perbaikan
masyarakat. Seni tersebut hanya berujud suatu
keindahan yang bersifat khayal. Meskipun demikian,
keindahan yang bersifat khayal itu dapat juga dinikmati
oleh manusia, sebab pada hakekatnya manusia memang
mempunyai hasrat berkhayal, berimaji. Sebagai contoh,
misalnya pada waktu kita melamun menikmati awan
yang sedang berkejar-kejaran ditiup angin atau daun-
daun kering yang gugur atau kucing yang sedang
bermain-main dengan anaknya (Soekardjo, 1993:1).
Sastra sebagai gejala budaya menunjukkan
paradoks yang cukup menarik, pada satu pihak sastra
adalah gejala universal yang terdapat dalam setiap
masyarakat manusia sedangkan pada pihak lain ilmu
- 12 -
sastra sampai sekarang belum berhasil merumuskan
definisi gejala sastra yang universal dan umum diterima.
Memang di mana-mana manusia secara konvensional
memakai bahasa tidak hanya untuk berkomunikasi
mengenai hal-hal dan peristiwa-peristiwa sehari-hari,
melainkan pula untuk mencoba memberi jawaban atas
masalah eksistensi paling mendasar yang dihadapinya.
Hal itu dapat dilakukan lewat pemikiran keagamaan atau
sistem filsafat, tetapi di mana-mana kita lihat pula gejala
yang disebut sastra.
Gagasan bahwa bahasa puisi adalah bahasa
purba, bahasa asli umat manusia, cukup luas tersebar
walaupun pendirian ini tidak umum diterima lagi,
namun tidak dapat disangkal bahwa sastra sebagai jalan
keempat ke kebenaran adalah pemakaian bahasa yang di
mana-mana kita dapati. Dengan jalan keempat kita
maksudkan jalan lain di samping jalan agama, jalan
filsafat dan jalan ilmu pengetahuan. Filsafat dan ilmu
pengetahuan dapat dikatakan gejala yang cukup baru
dalam sejarah kebudayaan, walaupun dalam masyarakat
tradisional juga sudah terdapat bermacam-macam hal
dan gejala yang bersamaan dengan filsafat atau ilmu
pengetahuan modern.
- 13 -
Kita teringat akan pengobatan tradisional yang di
jaman modern makin menarik perhatian lagi,
pengetahuan mengenai perbintangan yang sering kali
dimiliki oleh masyarakat tradisional, kepandaian di
bidang pelayaran, pertanian dan lain-lain; dan berfikir
secara abstrak mengenai dirinya sendiri dan dunia di
sekitarnya juga sudah termasuk kemampuan manusia
yang disebut ”primitif”. Agama, bagi kebanyakan
manusia jalan utama kebenaran, sebagai gejala budaya
tak kurang universalnya daripada sastra; tetapi sastra
menunjukkan keistimewaan yang menjadikannya
sesuatu yang khas; dalam keaneka-ragaman yang tak
terhingga manusia mempergunakan bahasa untuk
mengungkapkan hal-hal yang hakiki bagi dirinya, untuk
mengetahui dirinya dan dunia di sekitarnya, di mana
bahasa itu sendiri menjadi alat utamanya, malahan
menjadi tujuannya, baik tujuan utama maupun tujuan
sampingan.
Emosi cinta kasih dicurahkannya dalam pantun
birahi atau dalam puisi lirik modern; lewat nyanyian
pengayau dicobanya menguasai, berkat kekuasaan kata,
lawannya dan menyelamatkan dirinya; dalam mantranya
sang pawang berusaha menguasai alam, penyakit,
binatang buas dan lain-lainnya; dalam mitos suku penge-
- 14 -
tahuan yang hakiki mengenai masyarakat diturunkan,
sebagai pedoman dan penyelamatan keberlangsungan
hidup masyarakat.
- 15 -
BAB II
Konsep Tasawuf Jawa
Sastra Mistik
Mistik dan sastra memang erat hubungannya.
Negeri Mesir, Syria, Palestina, dan Persia sudah lama
mengenal ajaran filsafat Yunani. Ajaran Hindu, Buddha,
Majusi, Kristen dan mistik Neo Platonisme telah lama
dikenal di sekitar Jazirah Arab (Simuh, 1995: 69).
Dengan demikian Islam yang tersebar senantiasa
mengalami penyesuaian dengan lingkungan peradaban
dan kebudayaan setempat, sehingga keberadaan agama
Islam diterima serta tidak mengalami pergolakan.
Perkembangan Islam yang bersifat sufistik itu
berjalan sampai di kawasan yang lebih luas. Para
saudagar Islam mengalihkan usahanya ke Asia Selatan,
Asia Timur dan Asia Tenggara. Pada abad ke-13 sampai
14 daerah Gujarat, India menjadi sangat ramai (Abdullah
(ed.) 1991: 39). Pelabuhan penting di Sumatra yaitu
- 16 -
Lamuni Aceh, Barus dan Palembang, serta di Jawa yaitu
Sunda Kelapa dan Gresik telah tumbuh sejak awal abad
Masehi.
Perkembangan sastra mistik mulai Nampak
setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran
pada akhir abad 14 (Raffles, 1982: 372). Kemudian
muncul komunitas muslim di daerah Tuban, Gresik,
Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara dan Kudus
(Kartodirdjo, 1988: 28). Kota-kota ini semakin ber-
tambah kokoh dan makmur. Demak berhasil menyusun
kekuasaan yang solid, dengan rajanya yang pertama
yaitu Raden Patah. Sebelum mendirikan kerajaan
Demak, Raden Patah terlebih dahulu membina basis
pesantren (Jendra, 1986: 140). Pada jaman ini sastra
mistik dikembangkan oleh Wali Sanga. Contohnya
adalah Suluk Wujil, Suluk Sujinah dan Suluk Malaya.
Pusat-pusat peradaban Islam berdiri kokoh di
wilayah pesisir pulau Jawa. Peradaban Islam Jawa mulai
berkembang sejak berdirinya kerajaan Demak. Suatu
kenyataan bahwa mistik, bahkan mistik yang heterodoks
dan panteistik, telah mendapat tempat yang penting
dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke-
15 dan 16. Hal ini bisa dibuktikan dalam karya sastra
Jawa (Graaf dan Pigeaud, 1989: 31). Para guru agama
- 17 -
yang berkunjung ke Jawa pada abad ke-15 dan 16, adalah
kelompok mahasiswa dan sarjana yang menjelajahi
dunia Islam sambil menghimpun ilmu, dan menyebar-
kan pelajaran. Dengan menggunakan pendekatan kebu-
dayaan para guru spiritual itu berhasil menyebarkan
Islam di tanah Jawa secara aman dan damai.
Spiritualitas Kesusastraan
Sastra Jawa semacam Serat Suluk, Serat
Wulangreh dan Serat Dewaruci merupakan karya yang
mengandung nilai spiritual. Dalam hal ini spiritualitas
kesusastraan menjadi referensi bagi orang Jawa untuk
melakukan refleksi atas kehidupan.
Adat istiadat dan tradisi sangat diperhitungkan
dalam menjalankan dakwah Islamiah. Dalam perspektif
perkembangan peradaban Jawa dapat dikatakan bahwa
di istana Islam yang terdapat di sepanjang pantai Jawa,
mereka mendapat sambutan yang cukup meriah sebagai
ahli spiritual dan intelektual. Gagasan kehidupan
sufisme di nusantara dipelopori oleh para pujangga
istana. Umumnya mereka memadukan pemikiran yang
bernuansa adat dalam bingkai syariat.
Elit-elit penguasa Jawa menyambut kehadiran
Islam tersebut dengan penuh keramahan. Para penyebar
- 18 -
tarekat mempunyai hubungan yang amat luas. Mobilitas
sosial mereka yang begitu kosmopolit, pergaulan luas,
mempunyai jaringan antar bangsa, mempunyai daya
pikir, dan penuh dengan kecakapan, membuat daya tarik
pihak istana Islam. Mereka direkrut sebagai tenaga ahli,
penasihat, dan bahkan diminta untuk membantu
memimpin usaha (Graaf dan Pigeaud, 1989: 31).
Sebagian dari mereka ada yang mendirikan pusat-pusat
pendidikan Islam yang berupa pondok pesantren.
Perkembangan mistik Jawa lebih menonjol saat
muncul tokoh-tokoh yang memahami budaya asli Jawa,
Hindu, Budha dan Islam. Demikian halnya dengan
paham mistik Jawa. Pujangga Yasadipura I yang pernah
mendalami ilmu pengetahuan di pesantren di daerah
Kedu sejak usia 8 tahun–14 tahun, maka nilai-nilai luhur
agama Islam merasuk dalam pikiran, ucapan dan
tindakannya. Karya-karya Yasadipura I seperti Sêrat
Ambiya, Sêrat Ménak, dan Sêrat Bima Suci di sana
dijumpai istilah-istilah dan ajaran-ajaran yang berasal
dari konsep tasawuf Islam.
Di daerah Sulawesi Selatan terdapat tokoh Syeh
Yusuf yang menyebarkan ajaran tasawuf dan akhlakul
karimah. Wilayah Priangan Jawa Barat dipelopori oleh
Syeh Abdul Muhyi sedangkan untuk Sumatra dapat
- 19 -
disebutkan Syeh Abdurrauf Singkili. Mereka adalah para
penyebar tasawuf yang diolah dalam bentuk sastra
mistik.
Dalam konteks reformasi peradaban kekinian,
nilai-nilai luhur itu sangat relevan, karena telah terbukti
mampu mengatasi ruang dan waktu. Kehidupan pujang-
ga Ranggawarsita berada dalam lingkungan Kraton Jawa
yang penuh dengan konsep logika, etika, dan estetika.
Menungsa ora duwe apa-apa. Duwe rasa duwe wae
ora. Perasaan tidak punya apa-apa, bahkan punya rasa
punya saja tidak. Sebuah prinsip yang dipegang oleh
kaum sufi secara universal (Wiwien Widyawati, 2010:
27). Kaum sufi sejati senantiasa melatih diri untuk
meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia.
Ungkapan yang menunjukkan keikhlasan.
- 20 -
BAB III
Filsafat Ketuhanan &
Budaya Jawa
Kembali pada Asal-muasul
Filsafat Ketuhanan dalam budaya Jawa terdapat
dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Wedhatama dan
Serat Rama. Karya pujangga ini mengandung nilai
keindahan yang tinggi dengan disertai ajaran luhur
tentang hubungan antara manusia dengan Tuhannya.
Dalam serat Jawa dikenal adanya ungkapan
manunggaling kawula gusti, sangkan paraning
dumadi, kawruh satataning panembah. Pesan tentang
asal-usul dan tujuan hidup demikian dipegang teguh oleh
Ranggawarsita. Hidup di dunia ini tidak lama, ibarat
manusia pergi ke pasar, akan segera kembali ke rumah
asalnya, karena itu jangan sampai ragu-ragu terhadap
asal-usul, agar jangan sampai salah jalan. Pesan ini
menunjukkan bahwa manusia hidup di dunia sekedar
- 21 -
mampir ngombe, karena suatu ketika akan kembali
kepada Tuhan. Tuhan adalah tumpuan sangkan
paraning dumadi.
Konsep mati sajroning ngaurip bermakna tentang
kesadaran akan makna kehidupan. Ajaran Rangga-
warsita tidak bisa dipisahkan dengan ajaran manung-
galing kawula Gusti. Perwujudan makna manunggaling
kawula Gusti dengan harapan adanya manusia yang
waskitha dan susila. Harmonitas antara suara batin
dengan laku amalannya menjadi titik sentral orientasi
dharma baktinya dalam kehidupan sosial.
Pada tipe kosmologis terdapat kecenderungan kuat
tentang olah lahir dan olah batinnya, yaitu peleburan diri
ke dalam daya “kosmos universal” dan mengeliminasi
individualitasnya. Tindakannya untuk membebaskan da-
ri belenggu alam empiris materiil, menuju pada kondisi
eksistensial transenden, sehingga tercipta kesatuan
mutlak.
Secara emanatif manusia dilukiskan sebagai
percikan cahaya dan akan kembali ke asal muasalnya,
sangkan paraning dumadi, yaitu Dzat kosmos yang
illahi adikodrati. Aku palsu yang suka melibatkan pada
soal-soal duniawi semu dilenyapkan. Akhirnya tercapai-
lah kebebasan batin patipurna. Diri materiil dimatikan
- 22 -
secara maknawiyah, mati sajroing ngaurip. Diri materiil
ditingkatkan menjadi diri mutlak yang identik dengan
ada mutlak atau kenyataan hidup (Subagyo, 1989:52).
Manunggaling kawula gusti juga tercermin
dalam ajaran Bima sewaktu berdwija dengan Dewa Ruci.
Manusia itu kecil sekali bila berhadapan dengan
kekuasaan kebijaksanaan dan keberadaan Tuhan yang
kekal transendental, sehingga manusia harus sadar un-
tuk menyembah, menyerahkan diri kepada sang Pencipta
(Soetarno, 1995: 83). Sewaktu Werkudara menyelam
mengarungi samudra, dia membunuh naga Nembur-
nyawa. Dia mati sajroning urip dengan tujuan urip
sajroning mati, suatu sikap sempurna dalam falsafah
Jawa (Magnis Suseno, 1989: 14). Dia sudah menjadi
manusia sempurna, insan kamil (Soekatno, 1992: 82).
Manusia terdiri dari bagian batiniah dan lahiriah.
Bagian batiniah yang mempunyai asal-usul dan tabiat
ilahi, sehingga batin merupakan kenyataan sejati.
Sebaliknya segi lahiriah atau materiil merupakan wadah
bagi rohnya, sehingga perlu dikuasai karena lahiriah itu
tempatnya hawa nafsu dan daya-daya ruhani. Ini
dimaksudkan agar tercapai suatu keharmonisan diri,
sebagaimana cerminan diri manusia satria pinandhita
(De Jong, 1985: 14). Begitu kagumnya kepada tokoh
- 23 -
Bima, maka tidak mengherankan kalau banyak orang
yang memajang gambar tokoh Bima dalam ruang-ruang
tamu, sebagai inspirasi berkaitan dengan keanggunan
dan keagungannya.
Pantheisme & Monisme
Pantheisme adalah paham yang mengatakan
bahwa dunia terlebur dalam Tuhan; dengan salah satu
cara dunia merupakan bagian dari hakikat-Nya. Sedang
monisme adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan
terlebur di dalam dunia, dunia merupakan ada yang
tunggal dan mutlak. Karena sifatnya yang mutlak, maka
dunia itu masih dapat disebut dengan nama Tuhan,
tetapi lepas dari sikap sujud atau agama. Pantheisme dan
Monisme pada dasarnya berakar pada pendapat bahwa
segala sesuatu tunggal dalam Adanya perbedaannya
yaitu: Pantheisme bersifat religius dengan menekankan
segala sesuatu yang berada di atas alam kebendaan.
Monisme bersifat areligius dan sering bersifat
materialistis (Zoetmulder, 1985:3). Berpijak dari penger-
tian di atas, maka dapat diambil penjelasan bahwa cerita
Dewaruci bersifat pantheistis, karena dalam hal ini
Warangka Manjing Curiga Bima masuk dalam tubuh
Dewaruci. Sedangkan cerita Bimapaksa, Bimasuci,
- 24 -
Begawan Senarodra bersifat monistis. Hal ini disebabkan
karena Dewaruci yang masuk dalam tubuh Bima atau
disebut Curiga Manjing Warangka.
Uraian dalam kepustakaan Islam kejawen, yang
menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, umum-
nya mengandung rumusan yang saling tumpang tindhih.
Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan
manusia, dalam arti insan kamil. Sebaliknya manusia
digambarkan sama dengan Tuhan. Paham semacam ini
dalam falsafah dinamakan antropomorfisme (Simuh,
1988: 299).
Tingkat tertinggi dalam hal mistik disebut dengan
rasa jati. Mistik di Jawa adalah metafisika terapan,
serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidup-
an batin yang didasarkan pada analisa intelektual atau
pengalaman. Meskipun setiap orang atau sekte mem-
punyai posisi yang agak berbeda dan menarik kesim-
pulan yang agak berbeda dari analisa yang sama, tak satu
pun yang mempersoalkan premis-premis dasar dari
analisis itu. Sebagaimana tradisi analistik Barat dari
Descartes sampai Kant, dasar pengandaian metafisika-
nya sama saja (Clifford Geertz, 1983:415).
Delapan daya yang memaparkan teori mistik
Jawa yaitu: perasaan baik-baik, senang gembira saling
- 25 -
bergantung secara inheren dan tak bisa dipisahkan
dalam kehidupan sehari-hari. Tidak seorang pun dapat
bahagia atau susah sepanjang masa, tetapi terus menerus
berada dalam keadaan dua hal ini: tujuan hidup bukan
hanya untuk inakumalisasi kebahagiaan dan minimali-
sasi kesedihan, yang pada hakikatnya tidak mungkin.
Tujuan hidup adalah mengurangi hawa nafsu, sehingga
mampu mengerti perasaan yang lebih benar. Harapan-
nya adalah tentram ing manah, kedamaian, ketenangan
dan ketentraman dalam hati.
Di balik perasaan manusiawi yang kasar, terdapat
perasaan dasar yang murni atau rasa, yang merupakan
jati diri, seorang individu dan manifestasi Gusti Allah
dalam individu itu. Kebenaran keagamaan yang dasar
dari mistikus Jawa terikat dalam persamaan: rasa = aku
= Gusti. Tujuan manusia adalah untuk tahu atau merasa-
kan. Rasa tertinggi ini dalam dirinya sendiri.
Prestasi demikian akan membawa kekuatan
spiritual. Pengakuan rasa tertinggi ini dicapai seseorang
dengan cara memiliki kehendak yang murni, harus me-
musatkan kehidupan batinnya, mengintensifkan dan
memusatkan semua sumber-sumber spiritualnya pada
suatu titik yang kecil seperti suryakanta menghasilkan
panas maksimum pada suatu titik.
- 26 -
Kecuali disiplin spiritual dan meditasi, studi
empiris terhadap kehidupan emosional, suatu psikologis
metafisik, juga menimbulkan suatu pengertian dan
pengalaman mengenai rasa. Studi semacam ini meru-
pakan suatu analisis pengalaman fenomenologis dan
dianggap sebagai teori yang menyangkut praktek
berpuasa dan kewajiban lain. Karena seseorang berbeda-
beda dalam kesanggupannya melaksanakan disiplin
spiritual, maka sangat mungkin meletakkan seseorang
pada tingkatan yang berbeda-beda menurut kesang-
gupan dan prestasi spiritualnya, sehingga ada golongan
dwija dan siswa.
Pada tingkat pengalaman dan eksistensi tertinggi,
semua orang adalah satu, sama dan tidak ada indivi-
dualitasnya, karena rasa aku dari Gusti adalah objek
abadi yang sama dalam semua orang. Kombinasi
pengertian ini dengan ide mengenai suatu hirarki yang
didasarkan atas prestasi rohamah menimbulkan suatu
etik yang menganjurkan adanya perasaan tepa selira.
Karena tujuan semua manusia untuk mengalami rasa,
maka sistem religi dan kepercayaan, seharusnya
hanyalah merupakan alat untuk mencapai tujuan itu. Hal
ini menimbulkan pandangan yang relatifistis terhadap
- 27 -
sistem-sistem serupa, sehingga adanya toleransi mutlak
diperlukan (Clifford Geertz, 1983:416).
Pengetahuan tentang rasa tertinggi merupakan
tujuan pencarian mistik dan harus menjadi tujuan
keagamaan seseorang. Tindakan pemahaman ini sering
dianggap memiliki dua tahap utama: ning harfiah berarti
hening, diam yang menunjuk kepada penenangan emosi;
dan kemudian ning kejernihan pengetahuan yang dalam,
gerak hati yang mengikuti keheningan dan yang bisa
merupakan yang sangat emosional, meskipun biasanya
dilukiskan sebagai tanpa isi sama sekali, batin yang sama
sekali kosong (Clifford Geertz, 1983:425). Untuk
mencapai keadaan mistik, seseorang harus ngesti.
Ngesti berarti menyatakan semua kekuatan
individu dan mengarahkannya langsung kepada suatu
tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan
fisiknya ke arah satu tujuan yang sempit. Hal ini
merupakan penggalian mental yang intens pencarian
pengertian yang didukung oleh kehendak yang tak
tertahankan dan suatu penggabungan ke dalam satu
keseluruhan sederhana dari berbagai kekuatan dalam
individu itu.
Semua indera, emosi bahkan kalau bisa semua
seluruh proses fisik tubuh, semuanya dibawa ke dalam
- 28 -
satu kesatuan dan dipusatkan kepada tujuan tunggal
(Clifford Geertz, 1983: 430). Ngesti atau konsentrasi
kekuatan seseorang kepada satu tujuan disebut sebagai
penggalian yang intens atau permohonan yang serius,
juga dilengkapi dengan disiplin instinktual. Di antara
disiplin instinktual yaitu puasa dan berjaga di malam
hari yang dapat menghasilkan kekuatan dan intensitas
spiritual.
Istilah mistik berasal dari bahasa Yunani: mio
berarti menyembunyikan, menutup mata atau mulut. Ini
berkaitan dengan jaman Pra-Kristiani yang bersifat
rahasia. Pada masa awal Masehi mistik berfungsi sebagai
sarana penafsiran makna alegoris ajaran Kristiani,
sehingga istilah mistik berkaitan dengan makna religius
dan doktrinal (Surahardjo, 1983: 1). Tujuan pokok dan
intisari mistik menurut Sri Mulyono adalah berada
dalam hadirat Ilahi dan memperoleh hubungan langsung
yang disadari dengan Tuhan. Pendek kata sadar akan
komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan
Tuhan (Sri Mulyono, 1983: 57).
Seorang tokoh mistik Jawa yang populer dan
kontroversial hingga saat ini adalah Syekh Siti Jenar.
Nama Syekh Siti Jenar yang lain adalah Syekh Lemah
Bang, Siti Brit dan Siti Rekta. Syekh Siti Jenar pernah
- 29 -
mendapat wejangan dari Nabi Kilir, Sunan Kalijaga, dan
Sunan Bonang (Munir Mulkhan, 1999). Konon ceritanya,
Sunan Bonang memberi wejangan kelas tinggi, ilmu
Hakikat atau ilmu kesempurnaan kepada Sunan Kalijaga.
Begitu pentingnya ilmu ini, maka dicari tempat yang
sangat sepi. Sunan Bonang memilih di atas perahu di
tengah lautan untuk mbabar kawruh ini, dengan
harapan agar dalam membeberkan ilmunya itu tidak
akan menggoncangkan dunia.
Karena perahu tadi ada bagiannya yang bocor,
maka Sunan Kalijaga menambalnya dengan tanah liat. Di
tengah-tengah kesunyian yang hening itu, Sunan Bonang
memberikan ilmu hakikatnya. Tiba-tiba ada seekor
cacing dari dalam tanah liat itu yang berubah menjadi
manusia, karena mendengarkan ilmu Sunan Bonang.
Manusia baru itu diberi nama Siti Jenar oleh Sunan
Bonang dan diakui sebagai muridnya. Syekh Siti Jenar
akhirnya menjadi tokoh yang cerdas dan terkenal
ilmunya.
Siti Jenar kemudian mendirikan peguron. Murid-
muridnya yaitu Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir dan
Pangeran Panggung. Di peguron-nya itu rupanya Syekh
Siti Jenar mengembangkan ilmu dengan aliran wahdatul
wujud atau kesatuan wujud dengan melakukan ittihad
- 30 -
atau persatuan mutlak. Ajaran kesatuan mutlak atau
ittihad itu bagaikan api dengan nyalanya, laut dengan
ombaknya, dan kembang dengan sarinya. Ajaran ini
adalah pengaruh tasawuf Ibnu Arabi 1165 – 1240 dan Al
Hallaj 858 – 922 (Simuh, 1988).
Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh
Siti Jenar disebut dengan uninong aning unong (Soesilo,
2000: 58). Ajaran Syekh Siti Jenar menarik dikaji karena
saat itu ajarannya benar-benar mengguncangkan ke-
kuasaan kesultanan Demak yang didukung oleh ahli
syariat yang tergabung dalam Dewan Wali Sanga. Paham
manunggaling kawula gusti di kalangan masyarakat
Jawa amat populer dan disukai. Setiap kali ada renungan
spiritual antar kasepuhan senantiasa membicarakan kon-
sep ini demi memperoleh ketenangan dan ketentraman.
- 31 -
BAB IV
Paham Wahdatul Wujud di
Nusantara
Theologi Kerakyatan
Paham wahdatul wujud merupakan manifes-
tasi theologi kerakyatan yang berkembang di kawasan
Nusantara. Dalam kitab-kitab tasawuf paham ini
ditulis oleh para tokoh kesusastraan mistik. Di Aceh
dikenal Hamzah Fansuri, dan di Jawa dikenal
Ranggawarsita. Mereka adalah penghayat paham ini.
Penyebaran faham wahdatul wujud dapat
dilacak dari wilayah Samudra Pasai (Arra, 1969: xiii).
Maulana Malik Ibrahim, tokoh agama Islam bangsa
Arab, pada tahun 1399 datang ke pulau Jawa (Zuhri,
1981: 231). Di antara tokoh yang terkenal adalah
Hamzah Fansuri. Dia merupakan tokoh tasawuf dari
Aceh yang membawa paham wahdatul wujud yang
dicetuskan Ibnu Arabi. Penyair pertama yang
memperkenalkan bentuk syair ke dalam sastra Melayu.
- 32 -
Ia berasal dari keluarga Fansuri, keluarga yang telah
turun-temurun berdiam di Fansur, kota pantai di
Sumatra Utara.
Ia diperkirakan telah menjadi penulis pada
masa Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin
Ri'ayat Syah Sayid al-Mukammal yang hidup antara
tahun 1589-1604. Ia banyak melakukan perjalanan,
antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India,
Persia, Irak, Mekah, dan Madinah (Ibrahim Alfian,
2000: 14). Pengembaraannya bertujuan untuk mencari
makrifat Allah SWT. Ketika pengembaraannya selesai,
ia kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya.
Mula-mula ia berdiam di Barus, lalu ke Banda
Aceh. Kemudian ia mendirikan dayah (pesantren) di
Oboh Simpangkanan, Singkel. Riwayat hidupnya yang
sedikit itu dan pengembaraannya ke banyak tempat
diketahui melalui syair-syairnya. Syair Hamzah
Fansuri merupakan syair-syair Melayu yang tertua.
Bersama-sama dengan Syekh Syamsuddin as-
Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh aliran
wujudiyyah, penganut paham wahdatul wujud. Ia
dianggap sebagai guru Syamsuddin as-Sumatrani.
Syamsuddin kerap kali mengutip ungkapan-
ungkapan Hamzah Fansuri. Bersama dengan muridnya
- 33 -
ini, Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran
sesat oleh Nuruddin ar-Raniri, ulama yang paling ber-
pengaruh di istana Sultan Iskandar Sani (Jaelani
Harun, 2004: 23). Karya tulis Hamzah Fansuri dapat
dikatakan sebagai peletak dasar bagi peranan bahasa
Melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam setelah
bahasa Arab, Persia, dan Turki Usmani. Karya-karya
Hamzah tersebar berkat jasa Sultan Iskandar Muda
yang mengirimkan kitab-kitab Hamzah Fansuri antara
lain ke Malaka, Kedah, Sumatra Barat, Kalimantan,
Banten, Gresik, Kudus, Makassar, dan Ternate.
Karya syairnya antara lain Syair Burung Pingai,
Syair Burung Pungguk, Syair Perahu, dan Syair
Dagang. Adapun yang berbentuk prosa di antaranya
Asrar al-Arifin fi Bayan Ilm as-Suluk wa at-Tauhid atau
Keterangan Mengenai Perjalanan Ilmu Suluk dan Ke-
esaan Allah dan Syarab al-Asyiqin atau Minuman
Orang-Orang yang Cinta kepada Tuhan. Karya puisi-
nya tergabung dalam kitab Ruba'i. Karya ini kemudian
diulas oleh as-Sumatrani.
Kecuali Syair Dagang, syair-syair Hamzah Fan-
suri bersifat mistis dan melambangkan hubungan
Tuhan dengan manusia. Syair Dagang bercerita ten-
tang kesengsaraan seorang anak dagang yang hidup di
- 34 -
rantau. Syair ini menjadi contoh syair-syair dagang
yang lahir kemudian.
Syair Burung Pingai bercerita tentang burung
pingai yang melambangkan jiwa manusia dan juga
Tuhan. Dalam syair ini, Hamzah Fansuri mengangkat
satu masalah yang banyak dibahas dalam tasawuf,
yaitu hubungan satu dan banyak. Yang Esa adalah
Tuhan dengan alamnya yang beraneka. Adapun Syair
Perahu melambangkan tubuh manusia sebagai perahu
yang berlayar di laut. Pelayaran itu penuh mara
bahaya. Jika manusia kuat memegang keyakinan la
ilaha illa Allah, tiada Tuhan selain Allah, maka dapat
dicapai suatu tahap yang menunjukkan tidak adanya
perbedaan antara Tuhan dan hamba-Nya.
Prosa Asrar al-Arifn fi Baydn Ilm as-Suluk wa
at-Tauhid antara lain berisi pandangan Hamzah
Fansuri tentang makrifat Allah SWT, sifat-Nya, dan
asma-Nya. Dalam karyanya ini ia juga mengatakan
bahwa pada dasarnya syariat, hakikat, dan makrifat
adalah sama; barangsiapa yang mengenal syariat juga
akan mengenal hakikat dan makrifat sekaligus.
Syarab al-`Asyiqin juga sering disebut dengan
Asrar al-`Asyiqin yang berarti Rahasia-Rahasia Orang
yang Mencintai Tuhan dan Zinat al-Muwahhidin yang
- 35 -
berarti Perhiasan Orang-Orang yang Mengesakan
Tuhan. Buku ini berisi antara lain tentang perbuatan
syariat, perbuatan tarekat, perbuatan hakikat, per-
buatan makrifat, kenyataan zat Tuhan, dan sifat-sifat
Allah SWT. Di sini' Hamzah Fansuri memandang
Tuhan sebagai Yang Maha Sempurna, Yang Mutlak.
Dalam kesempurnaan itu, Tuhan mencakup segala-
galanya. Jika tidak mencakup segala-galanya, Tuhan
tidak dapat disebut Maha Sempurna dan Maha Mutlak.
Karena mencakup segala-galanya, maka manusia juga
termasuk dalam Tuhan.
Pandangan Hamzah Fansuri tentang Tuhan dan
makhluk inilah yang ditentang oleh Nuruddin ar-
Raniri. Hamzah Fansuri dianggap menyebarkan ajaran
panteisme. Sebenarnya, walaupun Hamzah Fansuri
kerap kali menampilkan aspek tasybih (keserupaan/
kemiripan) antara Tuhan dan alam ciptaan-Nya, dalam
karyanya ia juga menunjukkan adanya tanzih (perbe-
daan) antara Tuhan dan makhluk.
Sejak tahun 674 Masehi di pantai barat Sumatra
sudah ada koloni-koloni saudagar yang berasal dari
negeri Arab (Abdullah (ed.), 1991: 34). Batu nisan yang
menyebutkan nama wanita muslim bernama Fatimah
binti Maimun, yang meninggal tahun 1082, dengan
- 36 -
tulisan Arab tertanggal Jumat 7 Rajab 495 Hijrah atau 27
April 1102 Masehi, telah ditemukan di Seran Gresik Jawa
Timur sekitar abad ke-11 ini diperkirakan bahwa di
pantai Jawa yaitu Gresik, Tuban dan Jepara sudah ada
komunitas Islam yang merupakan pusat perekonomian,
perdagangan, pendidikan dan penyebaran agama Islam
(Abdullah (ed.), 1991: 117).
Karya sastra yang berasal dari Aceh misalnya
Hikayat Meukuta Alam. Karya ini pernah dianalisis
secara filologis oleh Imran Abdullah (1991). Pengkajian
terhadap tokoh Aceh memang perlu dilakukan.
Misalnya tokoh Abdur Rauf as-Singkili yang lahir di
Singkel, 1035 H/1615 M Banda Aceh pada tahun 1105
H/1693 M.
Sastra dan Tarekat
Kesusastraan kerap terselip ajaran-ajaran
mistik yang dimiliki oleh kelompok tarekat tertentu.
Misalnya saja ulama besar dan tokoh tasawuf dari
Aceh yang pertama kali membawa dan
mengembangkan Tarekat Syattariah di Indonesia.
Nama aslinya adalah Abdur Rauf al-Fansuri. Pada
sekitar tahun 1064 H/1643 M, ketika Kesultanan Aceh
berada dalam pemerintahan Sultanah Safiatuddin
- 37 -
Tajul Alam yang hidup antara tahun 1641-1675, Abdur
Rauf berangkat ke tanah Arab dengan tujuan mempe-
lajari agama. Ia mengunjungi pusatpusat pendidikan
dan pengajaran agama di sepanjang jalur perjalanan
haji antara Yaman dan Mekah. Ia kemudian bermukim
di Mekah dan Madinah untuk menambah pengetahuan
tentang ilmu Al-Qur'an, hadis, fikih, dan tafsir, serta
mempelajari tasawuf.
Ia mempelajari Tarekat Syattariah pada Ahmad
Qusasi yang hidup antara tahun 1583-1661, syekh
tarekat tersebut, dan Ibrahim al-Qur'ani, pengganti
Qusasi. Ia memperoleh ijazah hingga memiliki hak
untuk mengajarkan tarekat tersebut kepada orang lain.
la kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan
segera mengajarkan serta mengembangkan tarekat ini.
Tarekat yang diajarkannya bertujuan untuk membang-
kitkan kesadaran akan Allah SWT dalam batin
manusia. Hal ini dicapai melalui pengarnalan beberapa
macam zikir.
Murid yang berguru kepadanya amat banyak
dan berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Saat itu
Aceh merupakan tempat persinggahan para jemaah
haji. Ketika di Aceh, tidak sedikit jemaah haji yang
kemudian belajar agama dan tasawuf. Di antara murid-
- 38 -
muridnya banyak yang kemudian menjadi ulama
terkenal, seperti Syekh Burhanuddin dari Ulakan
Pariaman, Sumatra Barat. Ia juga banyak berkunjung
ke berbagai daerah di Sumatra dan Jawa.
Syekh Abdur Rauf menjadi mufti Kerajaan Aceh
yang ketika itu masih diperintah oleh Sultanah
Safiatuddin Tajul Alam. Dengan dukungan kerajaan ia
berhasil menghapus ajaran Salik Buta, tarekat yang
sudah ada sebelumnya dalam masyarakat Aceh. Para
salik atau pengikut tarekat yang tidak man bcrtobat
dibunuh.
Abdur Rauf memiliki sekitar 21 karya tertulis,
yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab
fikih, dan sisanya kitab tasawuf. Kitab tafsirnya yang
berjudul Turjuman al-Mustafid atau Terjemah
Pemberi Faedah merupakan kitab tafsir pertama yang
dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.
Salah satu kitab fikihnya berjudul Mir'at at-
Tullab fi Tafsil Ma`rifat Ahkam asy-Syar`iyyah li al
Malik al-Wahhab yang artinya Cermin bagi Penuntut
Ilmu Fikih pada Memudahkan Mengenal Segala
Hukum Syarak Allah. Di dalamnya dimuat berbagai
masalah fikih Mazhab 'Syafi'i yang merupakan
- 39 -
panduan bagi seorang kadi. Kitab ini ditulis atas
perintah Sultanah.
Di bidang tasawuf, karyanya antara lain
`Umdat al-Muhtajin yang artinya Tiang Orang-Orang
yang Memerlukan, Kifayat al-Muhtajin atau
Pencukup Para Pengemban Hajat, Daqaiq al-Huruf
atau Detail-Detail Huruf, dan Bayan Tajalli yang
artinya Keterangan tentang Tajali. Umdat al-Muhtajin
atau lengkapnya `Umdat al Muhtajin ila Suluk
Maslak al-Mufridin merupakan karya Abdur Rauf
yang terpenting. Buku ini terdiri atas tujuh bab,
memuat antara lain mengenai zikir, sifat-sifat Allah
SWT dan rasul-Nya, dan asal-usul ajaran mistik. Di
akhir bukunya Abdur Rauf menceritakan riwayat
hidupnya dan guru-gurunya. Di antara gurunya itu ia
sangat memuji Ahmad Qusasi. Gurunya ini disebutnya
sebagai "pembimbing spiritual dan guru di jalan
Allah".
Abdur Rauf Singkel menganut paham bahwa
satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam
ciptaan-Nya adalah wujud bayangan, yakni bayangan
dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki „Tuhan‟
berbeda dengan wujud bayangan „alam‟, terdapat
keserupaan antara kedua wujud ini. Tuhan melakukan
- 40 -
tajali atau penampakan diri dalam bentuk alam. Sifat-
sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada
manusia, dan secara relatif sempurna pada insan kamil.
Terkait dengan pemikirannya mengenai wujud
Allah SWT, dalam beberapa tulisannya mengenai
tasawuf, terlihat bahwa Abdur Rauf tidak setuju dengan
tindakan pengafiran yang dilakukan oleh Nuruddin ar-
Raniri terhadap para pengikut Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin as-Sumatrani yang berpaham wahdatul
wujud atau wujudiyyah. Menurutnya, jika tuduhan
pengafiran itu tidak benar, maka orang yang menuduh
dapat disebut kafir.
Pandangannya terhadap paham wahdatul wujud
dinyatakan dalam buku Bayan Tajalli. Buku ini juga
merupakan usahanya dalam merumuskan keyakinan
terhadap ajaran Islam. Ia mengatakan bahwa betapa-
pun asyiknya seorang hamba terhadap Allah SWT,
Khalik dan makhluk tetap memiliki arti sendiri.
Karena Syekh Abdur Rauf Singkel mengajar dan
kemudian dimakamkan di Kuala Muara Banda Aceh, ia
kemudian juga terkenal dengan nama Teungku Syiah
Kuala. Nama ini diabadikan pada perguruan tinggi yang
didirikan di Banda Aceh pada tahun 1961, Universitas
Syiah Kuala. Ia juga sering disebut sebagai Wali Tanah
- 41 -
Aceh. Makamnya dianggap tempat suci dan ramai
dikunjungi para peziarah. Karya-karya beliau cukup
tepat untuk dijadikan sebagai objek penelitian tentang
seluk-beluk theologi yang berkembang di Nusantara.
Tentang masyarakat Aceh, Ibrahim Alfian
(1973) telah menulis mengenai seluk-beluk kronika
Pasai yang ditinjau secara historis. Di antara tokoh
Aceh yang terkenal adalah Nuruddin Ar-Raniri yang
wafat pada 22 Zulhijah 1069 atau 21 September 1658.
Ia adalah seorang ulama besar, penulis, ahli fikih, dan
syekh Tarekat Rifaiah di India yang merantau dan
menetap di Aceh. Nama lengkapnya Nuruddin
Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad bin
Hamid ar-Raniri al-Quraisyi asy Syafi'i.
la lahir sekitar pertengahan kcdua abad ke-16 di
Ranir dekat Surat, Gujarat, India. Pendidikan awal
dalam masalah keagamaan, ia peroleh di tempat
kelahirannya sendiri. Kemudian ia melanjutkan pendi-
dikan ke Tarim, Arab selatan. Kota ini adalah pusat
studi ilmu agama pada masa itu. Sebelum kembali ke
India, ia menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam
Nabi SAW pada tahun 1621 atau 1030 H.
Setelah beberapa tahun mengajar agama dan
diangkat sebagai seorang syekh Tarekat Rifaiah di
- 42 -
India, ia mulai merantau ke Nusantara dengan me-
milih Aceh sebagai tempat menetap. Ia tiba di Aceh
pada tanggal 31 Mei 1637 bertepatan dengan 6
Muharam 1047. Belum dapat diketahui secara pasti
sebab-sebab yang mendorong dia merantau ke Aceh.
Diduga kedatangannya ke Aceh adalah karena Aceh
ketika itu sedang berkembang menjadi pusat perda-
gangan, kebudayaan dan politik serta pusat studi
agama Islam di kawasan Asia Tenggara, menggantikan
Malaka yang telah jatuh ke dalam kekuasaan Portugis,
mungkin juga karena ia mau mengikuti jejak paman-
nya, Syekh Muhammad Jailani bin Hasan bin
Muhammad Hamid ar-Raniri, yang telah tiba di Aceh
pada tahun 1588.
Setelah menetap di Aceh, Syekh Nuruddin ar-
Raniri dikenal sebagai seorang ulama dan penulis yang
produktif. Ia banyak menulis kitab-kitab dalam
berbagai cabang ilmu agama, seperti fikih, hadis,
akidah, sejarah, mistik, filsafat, perbandingan agama,
dan lain-lain. Yang menonjol dalam tulisan-tulisannya
adalah ia selalu menyebutkan sumber kutipan untuk
memperkuat argumen yang ia kemukakan.
Sebagai ahli fikih, buku karangannya yang
terkenal adalah as-Sirat al-Mustaqim yang artinya
- 43 -
Jalan Lurus. Buku ini membicarakan berbagai masalah
ibadah, antara lain salat, puasa, dan zakat. Syekh
Nuruddin ar-Raniri adalah salah seorang ulama yang
berjasa dalam menyebarluaskan bahasa Melayu di
kawasan Asia Tenggara. Karya-karyanya yang ditulis
dalam bahasa Melayu membuat bahasa ini semakin
populer dan menjadi bahasa Islam kedua setelah
bahasa Arab.
Bahkan, ketika itu, jalan yang paling mudah
bagi setiap orang Islam untuk mengetahui ajaran
agamanya adalah dengan belajar bahasa Melayu, agar
dapat membaca kitab-kitab agama yang tertulis dalam
bahasa tersebut. Kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh
Nuruddin ar-Raniri sangat populer dan dikenal luas
oleh umat Islam di kawasan Asia Tenggara. Bersamaan
dengan itu pula, bahasa Melayu tersebar luas sebagai
lingua franca. Sebagai cendekiawan ternama, ar-
Raniri bisa disebut sebagai pemikir reformis. Beliau
berhasil memberi tafsir baru atas pemahaman teks-
teks keagamaan.
Mengkaji ketokohan seorang cendekiawan pada
masa silam tak lepas dari hubungannya dengan
kekuasaan istana. Hubungan baik ar-Raniri dengan
Sultan Iskandar Syah di Aceh memberi peluang
- 44 -
kepadanya untuk mengembangkan ajaran dan paham
mistik yang di bawanya. Peluang itu lebih berkembang
lagi, terutama setelah ia diangkat sebagai mufti
Kerajaan Aceh. Ia menentang paham wujudiyyah,
yang berkembang di Aceh waktu itu, suatu paham yang
sebelumnya dianut dan dikembangkan oleh Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, keduanya
pengikut pemikiran dan ajaran Ibnu Arabi. Untuk
menyanggah pendapat dan paham wujudiyyah
Hamzah Fansuri, ia sengaja menulis beberapa kitab,
antara lain: Asrqr al-Arifin yang artinya Rahasia Orang
yang Mencapai Pengetahuan Sanubari, Syarab al-
`Asyiqin yang artinya Minuman Para Kekasih, dan al-
Muntahi atau Pencapai Puncak. Di samping itu ia juga
menyanggah ajaran Hamzah melalui polemik-polemik
terbuka dengan para pengikut wujudiyyah.
Pergolakan pemikiran senantiasa terjadi di
kalangan ilmuwan pada masa silam sesuai dengan
aliran yang dianutnya. Ar-Raniri menentang ajaran
wujudiyyah karena ia mengganggap ajaran tersebut
berasal dari ajaran panteisme Ibnu Arabi yang
kemudian dianut dan dikembangkan oleh Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, yaitu: kesatu-
- 45 -
an wujud Tuhan dengan makhluk, dan perbedaan
antara syariat dan hakikat.
Terhadap masalah pertama yang menyatakan ke-
esaan Tuhan dengan makhluk, Syekh Nuruddin
menjelaskan bahwa jika Tuhan dan makhluk, hakikat-
nya adalah satu, maka jadilah semua makhluk itu
adalah Tuhan, dan dengan sifat-sifat ketuhanannya ia
akan dapat mengetahui segala yang ada di langit dan di
bumi dan berbuat apa saja yang dikehendakinya.
Menurut Nuruddin, hal ini mustahil terjadi pada
manusia. Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa ajaran
yang menyatakan "Wujud Allah itu adalah wujud
makhluk dan wujud makhluk adalah wujud Allah"
mengandung empat kemungkinan yang mustahil
terjadi pada Allah SWT, yaitu:1. Intiqal, artinya wujud
Allah SWT berpindah kepada makhluk, seperti seorang
berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain, 2.
Ittihad, artinya dua wujud menjadi satu, seperti
bersatunya emas dengan tembaga, 3. Nuhil, artinya
wujud Allah SWT masuk ke dalam makhluk, seperti air
masuk ke dalam kendi, 4. Ittisal, artinya wujud Allah
SWT berhubungan dengan makhluk, seperti manusia
dengan anggotanya.
- 46 -
Mengenai masalah kedua, yaitu bahwa syariat
berbeda dengan hakikat dan karena itu perbedaan
Tuhan dengan makhluk hanya dari segi syariat, bukan
dari segi hakikat, Nuruddin menolaknya dengan
mengemukakan sejumlah pandangan dari para ulama
yang menyatakan kaitan yang sangat erat antara
syariat dengan hakikat. Pengetahuan Syekh Nuruddin
ar-Raniri sangat luas dan tidak terbatas hanya dalam
pengetahuan agama. Ilmunya juga mencakup berbagai
pengetahuan umum, seperti filsafat, sejarah dan
perbandingan agama.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas,
memahami hikayat dalam sastra Indonesia merupakan
usaha untuk mewujudkan pengertian yang mendalam
atas keragaman budaya (Baroroh Baried, 1985: 26).
Mulai dari Aceh, Minangkabau, Riau, Palembang,
Jambi, Lampung, Sunda, Banjar, Goa, Talo, Bugis,
Ternate dan Tidore terdapat titik temu yang dapat
mendukung nilai kebangsaan.
- 47 -
BAB V
Sastra & Kebudayaan
Priyayi
Kehidupan Bangsawan
Kehidupan bangsawan terkait erat dengan
perkembangan sastra di Nusantara. Kebangkitan
nasional yang dipelopori oleh Dr. Soetomo dengan
organisasinya yang bernama Boedi Oetomo turut serta
mempengaruhi perkembangan prosa Jawa modern.
Kepemimpinan sosial dan politik sebelum abad 20
didominasi oleh kalangan bangsawan.
Para aristokrat tradisional merupakan patron
bagi segala lini kehidupan. Mulai dari bahasa, sastra, seni
dan budaya tak lepas dari pengaruh wibawa ningrat
lokal. Bahkan para priyayi kraton menjadi sumbu nilai
logika, etika, estetika, yang lebih dikenal dengan istilah
cipta-rasa-karsa adalah kreasi dari istana kerajaan.
- 48 -
Mobilitas vertikal karena faktor pendidikan telah
mengubah peta kehidupan dengan segala aspeknya.
Bidang sosial politik yang didominasi oleh elit tradisional
pelan-pelan digeser oleh elit pendidikan. Munculnya
organisasi Budi Utomo yang dipelopori oleh alumni
mahasiswa kedokteran stovia berdampak luas pada
kesadaran masyarakat. Mereka adalah kelas menengah
yang sudah memperoleh pencerahan. Nilai-nilai tradisi-
onal yang dikembangkan kalangan kraton tidak lagi
menjadi referensi utama. Prestasi dan kompetisi perla-
han-lahan mendapat apresiasi yang memadai.
Syarikat Dagang Islam pimpinan Haji Samanhudi
menghargai etos kerja bisnis. Muhammadiyah pimpinan
KH. Ahmad Dahlan mendukung rasionalitas dalam
beragama. Nakhdatul Ulama pimpinan KH. Hasyim
Asy‟ari mengakomodasi egalitarinisme keagamaan rakyat
pedesaan. Pendidikan Taman Siswa pimpinan Ki Hajar
Dewantara mengutamakan rasa kebangsaan, kemudian
Syarikat Islam pimpinan HOS. Cokroaminoto jelas-jelas
menggugah kesadaran politik dan kawah candradimuka
bagi pergerakan nasional. Semua proses kepemimpinan
di atas juga mempengaruhi perkembangan prosa Jawa.
Masing-masing organisasi ini membina pengarang yang
sepaham.
- 49 -
Pengarang prosa Jawa semakin leluasa untuk
mendapat patron sesuai dengan keinginan. Istana tidak
lagi menjadi penentu. Ditambah lagi munculnya orang
kaya yang turut menyokong biaya penulisan dan
penerbitan, prosa Jawa semakin semarak. Simbiosis
mutualisme antara pengarang dengan sponsor berlang-
sung dalam kurun waktu yang cukup lama. Hubungan
timbal balik yang saling menguntungkan itu menjadikan
para pengarang prosa Jawa seolah-olah mendapat ladang
subur untuk berkreativitas.
Sekitar tahun 30-an sampai dengan tahun 60-an
warna sastra Jawa banyak dipengaruhi oleh suasana
politik. Secara alamiah para pengarang tersebut
berkumpul bersama dengan rekan-rekan yang se-
ideologi dan seorganisasi. Justru di antara mereka malah
tumbuh produktivitas yang tinggi karena kompetisi.
Persaingan yang sehat malah memperkaya dinamika
prosa sastra Jawa. Pada masa itu memang banyak novel
dan cerita cekak yang diterbitkan. Judul, isi, bentuk dan
penyajiannya sungguh beragam.
Ideologi adalah corak pemikiran yang mewarnai
karya sastra. Sastra yang ditulis oleh pengarang pasti
mengandung gagasan tertentu. Ada cita-cita yang diselip-
kan dalam karya sastra, dengan harapan pembacanya
- 50 -
akan mengikuti keyakinan pengarang. Keyakinan
tersebut ada yang tersirat dan ada yang tersurat. Gagasan
beraneka rupa yang meliputi pemikiran keagamaan,
politik, sosial, ekonomi, seni, budaya, budi pekerti,
teknologi dan globalisasi. Partisipasi adalah keikut-
sertaan unsur-unsur sosial dalam melahirkan karya
sastra.
Di samping pengarang, karya sastra memerlukan
elemen masyarakat demi kelahirannya. Setelah karya
sastra diciptakan oleh pengarang, maka proses selanjut-
nya masih panjang jalannya. Perlu perusahaan yang
bersedia mencetak dan mempublikasikannya. Perusa-
haan penerbitan membutuhkan karyawan yang meliputi
juru ketik, tata letak, ahli sampul, manajemen dan tenaga
operasional cetak mencetak. Dilanjutkan dengan distri-
busi dan marketing yang melibatkan toko buku dan
pramuniaga. Barulah karya sastra sampai pada pembaca.
Mata rantai yang amat panjang tersebut mesti disadari
oleh pengarang dan industri perbukuan.
Setelah nama Ki Padmasusastra sukses menem-
bus dunia perbukuan berkat adanya industri penerbitan,
lantas muncul pengarang-pengarang lainnya. Para
penerbit terus menjalin hubungan dengan penulis dari
berbagai profesi dan latar belakang. Bagi perusahaan
- 51 -
partikelir, orientasi utama adalah keuntungan, pertim-
bangan bisnis menjadi keputusan penting untuk
menerbitkan karya sastra. Penerbit Tan Khoe Swie di
Jalan Doho Kediri termasuk produktif dalam
menerbitkan karya sastra Jawa.
Bersamaan dengan perubahan struktur sosial
politik dan ekonomi pada awal tahun 20-an, maka
perjalanan sastra Jawa pun mengalami penyesuaian.
Kaum pergerakan yang berhaluan pada ideologi nasio-
nalis menjadi sponsor penulis yang mengembangkan
rasa kebangsaan. Kaum agama juga mengembangkan
tulisan-tulisan yang menganjurkan hidup dengan nilai-
nilai syariat religius. Juga ideologi sosialis kebanyakan
mendukung sastra yang memuat nilai kerakyatan. Sastra
prosa yang dikembangkan dengan titik pokok ideologi ini
biasanya berkaitan dengan aktivitas partai. Kuntowijoyo
(2003) telah membuat analisis ideologi yang dikaitkan
dengan perkembangan sastra Jawa.
Organisasi sosial keagamaan seperti Budi Utomo,
Syarikat Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama,
Taman Siswa dan kepanduan juga mengembangkan
sastra prosa sesuai dengan visi dan misinya. Demikian
pula munculnya berbagai partai politik semacam PNI,
Masyumi, PKI, Partindo, PSI dan lain-lain ikut pula
- 52 -
berpartisipasi dalam mengembangkan karya sastra prosa
sesuai dengan cita-cita dan haluannya. Ideologi dan
partisipasi kesusastraan saling berpengaruh dan
berkaitan.
Bangsawan Terpelajar
Bangsawan terpelajar mempunyai andil yang
sangat besar terhadap perkembangan sastra Jawa.
Mereka mengusung tema dan gagasan yang sesuai
dengan kemajuan jaman. Pada umumnya karya-karya
yang diproduksi bernuansa dikdatis dan moralis.
Novel berlatar kehidupan priyayi yaitu
Ngulandara, adalah sebuah novel yang populer. Karya
novel ini cukup legendaris bagi penggemar sastra Jawa.
Pengarangnya bernama Raden Mas Margana Jaya-
atmaja. Beliau juga kelompok penulis yang berlatar
belakang kehidupan priyayi Mangkunegaran. Novel ini
bahasanya urut, patut dan memikat. Menggunakan
pengantar bahasa Jawa halus krama inggil. Novel ini
menceritakan seluk beluk kehidupan priyayi kelas bawah
setingkat camat atau asisten wedana. Settingnya berada
di kawasan Temanggung, Wonosobo, Magelang, Sema-
rang, Salatiga dan Pekalongan.
- 53 -
Banyak pembaca yang meneteskan air mata dan
merasa terharu oleh kejujuran dan keteladanan sang
tokoh yang bernama Rapingun. Dia mengabdi pada
keluarga asisten wedana dengan sepenuh hati. Kebesaran
jiwa dan semangat pengabdiannya perlu dijadikan
contoh. Boleh jadi Rapingun adalah teladan utama bagi
para abdi dan pelayan yang sangat setia. Ternyata tokoh
Rapingun itu samaran seorang bangsawan yang bernama
Raden Mas Sutanta. Wajar sekali perilakunya amat halus
dan sopan. Banyak orang yang kagum padanya.
Tokoh novel Ngulandara adalah seorang pemuda
bangsawan kraton Surakarta dan terdidik secara Eropa.
Dia menghadapi masalah pengangguran karena politik
penghematan oleh Gupermen dan sebelum mendapatkan
kerja baru tokoh utama ini lebih baik mengembara
menyamar sebagai pemuda kelas rendah, bekerja sebagai
sopir dan pembantu. Selama mengabdi kepada keluarga
priyayi, pengarang novel berkesempatan menunjukkan
perumusan ideal seorang pemuda Jawa yang tenang
jiwanya, tidak frustasi menghadapi masalah yang berat,
dan tetap berusaha mencari pekerjaan baru. Kutipan di
bawah ini kiranya dapat mencerminkan etos dinamika
dalam ketenangan itu:
- 54 -
‘Lho, kowe apa ngerti sababe olehe lunga kuwi?’
‘Manut ngandikanipun Raden Mas Subiyakta, sababipun kesah boten liya namung lingsem dening kawedalaken saking padamelan, sebab katut pangiridan menika, lajeng badhe ngulandara nuruti grenjeting karsa’
‘Ing atase wis diparingi pancen saben sasine kok dadi munyal-munyal, sing ndadekake sekele rama lan ibu. Aku ngarani pancen murang sarak.’
‘Lah inggih tiyang kok ndara. Sinten ingkang ngretos wigatosing karsa. Upami kula dados raden mas Sutanta, temtunipun inggih mboten kados makaten.’
Terjemahan:
„Apakah engkau tahu apa sebab ia pergi?‟ „Menurut Raden Mas Subiyakta, ia pergi karena
ia merasa malu dipecat dari pekerjaan, sebab gerakan penghematan, ia lalu ingin mengembara menurut kehendak dirinya.‟
„Ia kan sudah mendapat jatah rezeki tiap bulan, mengapa masih berbuat menyakitkan hati ayah-ibunya. Menurut pendapatku, dasarnya ia tidak tahu adat.‟
„Yah, itulah manusia Tuan. Siapa yang tahu apa yang ia pikir dalam hati. Seandainya saya Raden Sutanta, tentu saya tidak berbuat begitu.‟
Kutipan itu merupakan percakapan Raden Ajeng
Tien, putri priyayi yang diabdi oleh tokoh utama, dengan
Rapingun yang sebenarnya tokoh utama yang menyamar
(Sartono, 1993).
- 55 -
Rumah tangga dengan berbagai peralatan dan
perabot yang modern menurut ukuran jaman itu menun-
tut beberapa pembantu, dari pengasuh anak sampai
pengasuh kuda, tukang kebun, jongos pelayan rumah
tangga, tukang masak dan sebagainya (Sartono, 1993).
Kula inggih gumun kok bu. Ing atase sopir kok
gelem ngrangkep tukang kebon lan jongos. Terjemahan:
Saya juga heran kok bu. Ia berkedudukan
sebagai sopir, tetapi masih mau juga melakukan pekerjaan sebagai tukang kebun dan pembantu rumah tangga.
Dialog dari novel Ngulandara ini mencerminkan
bahwa tiap bagian dalam rumah tangga mempunyai
pembantu. Kebiasaan dikunjungi oleh orang lain, baik
karena rapat kerja atau adat mengundang makan karena
pengaruh Belanda, menuntut agar anggota rumah
tangga, termasuk para pembantu ini mempunyai sopan
santun. Hal ini menyebabkan masing-masing individu
dalam rumah tangga priyayi sadar akan kedudukannya
dan hubungannya yang eksklusif dengan pembantunya.
Raden Ajeng Tien, tokoh wanita dalam novel Ngulan-
- 56 -
dara, karena mabuk perjalanan oleh bibinya disuruh
duduk di muka di samping sopirnya (Sartono, 1993).
Emansipasi yang dipelopori oleh RA. Kartini
ternyata juga mempengaruhi perkembangan sastra Jawa
mutakhir. Kaum wanita mulai menuangkan buah
pikirnya dalam bentuk karya sastra. Pengarang wanita
yang turut mewarnai kehidupan sastra Jawa di antara-
nya: SK. Trimurti, Wara S. Soedirman, Dorothea Poerwa,
Soekemi Tj. Soerasa, Wara Soebingah, Wara Surachman,
Wara Darwati Rachmat, RA. Nany Soedarmodjo,
Pedjiati, Mr. Siti Soendari Hadinoto, Wara Ulfah
Santoso. Nyi Soempomo, Nyi Wirjomartono, Wara
Moechjono, Ni Suprapti, Wara S. Soepardjo, Soeyani,
Elly, Kenya Bre Tegawangi, Anggraheni, Sri Soesinah, Sri
Koesnapsiyah.
Selain mereka ada pula St. Iesmaniasita, Niniek
W, Ny. Suhartini, Asri Martini, Sri Setya Rahayu, Enny
Sumarga, Martini WS., Heruwati, Joniek, Suharsini
Wrisnu, Siti Syamsiyah, Nafsiyah Sastrosiswoyo, TS.
Argadini, Totilawati, Sri Arianti Sastrohoetomo, Astuti
Wulandari, Titah Rahayu, Sita T. Sita, Eny Koesdaliyah,
Novi Asmarantaka, Susiati Martodiwiryo, Asih Sari dan
Riri Widyastuti.
- 57 -
Nama-nama di atas perlu diberi apresiasi.
Mereka telah menuangkan buah pikirannya, sebagai
perwujudan cita-cita Kartini. Pada masa sekarang
semoga semakin banyak para penulis wanita. Para
bangsawan terpelajar mendukung kebudayaan baru yang
bertolak dari pemikiran logis. Intelektual priyayi ini
menjadi pelopor kemajuan yang melahirkan pergerakan
nasional. Bersamaan dengan ini berkembang pula
gerakan emansipasi yang mendorong kiprah perempuan
di sektor publik. Para pelopornya dapat disebutkan
seperti Kartini dan Dewi Sartika. Mereka adalah priyayi
yang berpikiran maju dan modern.
- 58 -
BAB VI
Perpustakaan &
Pengembangan Budaya
Sasana Pustaka
Perpustakaan disadari merupakan pusat doku-
mentasi yang efektif untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Misalnya perpustakaan Sasana Pustaka
menjadi rujukan untuk menggali pengetahuan mengenai
kebudayaan Jawa yang bersumber dari Kraton Sura-
karta. Di sini tersimpan beragam literatur klasik.
Kraton Surakarta Hadiningrat memiliki kekayaan
benda pusaka dan bernilai sejarah. Mulai dari Baluwarti
yang berada di dalam kompleks kraton. Sasana Pustaka
atau Perpustakaan Kraton Surakarta. Perpustakaan
tersebut didirikan atas inisiatif Paku Buwono X.
Tujuannya sebagai tempat menyimpan buku-buku babad
tentang raja-raja Surakarta dan dinasti Mataram, sejarah
- 59 -
Kraton dan pengetahuan tentang kebudayaan Kraton
serta informasi lainnya. Tidak terkecuali berbagai kitab
suci agama, seperti Al-Qur'an, Injil, Wedha, dan lainnya
disimpan rapi di Sasana Pustaka, demi pengembangan
ilmu dan tradisi penelitian.
Sebagian besar koleksi buku di Sasana Pustaka
ditulis dengan huruf dan bahasa Jawa. Ada pula koleksi
surat kabar kuno, seperti Bramarthani, beberapa buku
kuno yang telah disampul khusus yang diletakkan dalam
ruangan khusus ber-AC. Kepala Sasana Pustaka pada
umumnya adalah Putra Sunan. Sasana Pustaka terletak
di dalam Kraton Surakarta, menempati ruangan dua
lantai di sebelah selatan Sasana Handrawina. Perpus-
takaan ini dibuka dan diresmikan pada Senin Pahing, 20
Rabiulakhir tahun Jimakir 1850, Wuku Warigalung ke-7
Mangsa Palguna (7) Windu Kunthara, Lambang Kulawu
Masih Kurup Arbangiah Izrahnabi 1338 atau bertepatan
12 Januari 1920 oleh Sunan Paku Buwono (PB) X.
Kedudukan Sunan Paku Buwono X sebagai raja,
terhitung sejak dinobatkan menjadi raja, Kamis Wage 12
Ramadhan Tahun Je 1822 atau 30 Maret 1893 memiliki
peranan. Didukung kondisi masyarakat Surakarta di
bawah kepemimpinan Paku Buwono X sebagai raja
Kraton Surakarta Hadiningrat, media berperan dalam
- 60 -
pencitraan Paku Buwono X maupun masyarakat
Surakarta. Media yang terbit di Surakarta mencapai 69
buah berupa koran yang terbit harian maupun majalah
dan berkala, baik terbit dua kali sepekan maupun
mingguan serta bulanan. Demikian pula bahasa yang
dipergunakan juga beragam. Ada media yang khusus
berbahasa Jawa, campuran Jawa Melayu, Belanda, serta
Tionghoa.
Pada masa pemerintahan Paku Buwono X antara
tahun 1900-1915, Solo merupakan tempat persemaian
dan penumbuhan spirit nasionalisme. Banyak tokoh
pergerakan kebangkitan Nasional tinggal berjuang di
kota Sala; tokoh Budi Utama paling berpengaruh dr.
Rajiman Widiodipuro, dr. Cipto Mangoenkoesoemo yang
anti “feodal” dan anti kolonial, dan tokoh radikal SI, Haji
Samanhoedi, dan kantor CSI pertama juga ada di Solo.
Orang-orang Belanda yang ada di Solo sangat Vokal
menentang cita-cita Onafhankelijkheid dari Indische
Partij. Selain itu terdapat cirikhas pergerakan di Solo;
sangat politis dan radikal.
Memasuki periode 1900-1915 di Solo menjadi
momentum penting. Sunan Paku Buwono X pun terbuka
pada peradaban modern. Atas nama kemajuan, orang-
orang Jawa mencukur rambut yang semula digelung atau
- 61 -
dikepang, orang-orang Cina memotong kuncir. Suhunan
Paku Buwono X memperbolehkan abdi dalem dan para
prajurit memotong rambut pada 1914. Sejak itu mode
pakaian para priyayi ialah jas, iket, dan cripu pada acara-
acara formal. Semua kebijakan itu dipublikasikan
melalui media massa cetak.
Dalam buku Raja, Priyayi, dan Kawula,
Kuntowijoyo (2003) mengilustrasikan sosok kepemim-
pinan dan jiwa patriotisme Paku Buwono X dalam
perspektif sejarah mentalitas. Tinjauan ilmiah secara
psikologis tentu lebih efektif dan proporsional bagi
kepribadian Paku Buwono X sebagai pemimpin dan
pembina serta pengembang adat leluhur masyarakat
Jawa. Perspektif mentlitas yang dipergunakan Kunto-
wijoyo tentu memperkaya khazanah studi sejarah dan
kebudayaan di Indonesia, mengingat metodenya juga
terhitung langka dalam penulisan historiografi
Indonesia.
Era pemerintahan Paku Buwono X sebagai
penerus tahta Paku Buwono IX serta raja-raja Surakarta
di era abag ke-18 telah mengondisikan iklim kondusif
bagi penerbitan pers. Sejarah penerbitan media cetak di
Surakarta secara umum menjadi bagian dari proses
sejarah pers di Indonesia. Yakni, yang diawali dari
- 62 -
Batavia–Jakarta dengan terbitnya surat kabar Bataviase
Nouvelles yang terbit 7 Agustus 1744, adalah surat kabar
pertama di Indonesia. Proses penerbitan media itu tidak
lepas dari pengawasan pemerintah kolonial Belanda. Hal
itu dianggap sebagai kebaikan hati Gubernur Jenderal
Van Imhoff. Pada awalnya, izin terbit hanya berlaku
selama enam bulan, kemudian diperpanjang hingga tiga
tahun. Berikutnya, menyusul terbitnya Vendu Nieuws
pada tanggal 23 Mei 1780, serta Bataviasche Koloniale
Courant pada 1810.
Pusat Pengkajian Budaya
Pusat pengkajian budaya yang berada di kota
Surakarta adalah museum Radya Pustaka. Sampai saat
ini tetap menjadi pusat aktivitas untuk menyimpan,
meneliti dan mengkaji kebudayaan Jawa klasik. Peneliti
dari beragam daerah dan mancanegara mendatangi
museum ini guna memperoleh bermacam-macam
informasi.
Museum Radya Pustaka dan Taman Sriwedari
dibangun atas perintah Raden Adipati Sosrodiningrat IV
(www.jawapalace.org). Sebelum pembukaan museum
Sanabudaya di Yogyakarta, museum Radya Pustaka
merupakan museum yang paling baik penataannya di
- 63 -
Jawa Tengah, koleksinya lengkap dan banyak yang
berusia tua. Selain barang-barang kuno, juga terdapat
buku-buku babad dan buku lainnya.
Museum Radya Pustaka didirikan pada tanggal 15
Mulud Ehe 1820 atau tanggal 28 Oktober 1890, pada
zaman Sunan Paku Buwono IX, bertempat di dalem
Kepatihan (Harjana, 1981: 151). Atas prakarsa Kanjeng
Raden Adipati Sosrodiningrat IV Ngindraprasta Pepatih
Dalem Ingkang Sinuhun Paku Buwono IX. Pada tanggal 1
Januari 1931 dipindahkan ke gedung di sebelah timur
taman Sriwedari yang dahulu merupakan rumah seorang
Belanda bernama Johanes Busslar.
Setelah didirikannya museum Radya Pustaka,
kemudian menyusul diadakan perguruan dalang berna-
ma „Padha Suka‟ atau „Pamulangan Dhalang Surakarta‟,
mulai tahun 1923 sampai 1942. Gurunya adalah Raden
Ngabehi Lebdocarito serta Raden Ngabehi Dutodiprojo.
Selain itu juga diadakan kursus memainkan gamelan dan
kursus bahasa Jawa. Pada tahun 1922 diadakan
sarasehan mengenai penyatuan tatacara penulisan Jawa,
dan hasilnya dinamakan Sriwedari Spelling dan diberi-
kan pada pemerintah.
Sebagai seorang negarawan, pepatih dalem
sangat besar minatnya terhadap ilmu pengetahuan dan
- 64 -
kebudayaan, sehingga mendorong tekad beliau mendiri-
kan lembaga ilmu pengetahuan ini. Paheman Radya
Pustaka adalah lembaga ilmu pengetahuan yang tertua
karya Bangsa Indonesia sendiri, sedangkan yang lebih
tua dari Radya Pustaka di Indonesia ini hanya
Bataviaasch Genootschap yang didirikan oleh pihak
Belanda pada tahun 1778 Masehi.
Semula Paheman Radya Pustaka bertempat di
kediaman pendirinya, yakni di Dalem Kepatihan. Lem-
baga ini berstatus otonom 100 persen, lengkap dengan
perpustakaan dan museumnya. Anggota-anggotanya
terdiri dari para guru dan para karya, yang dipandang
mempunyai keahlian di bidang ilmu pengetahuan dan
kebudayaan. Para anggota tidak dikenakan iuran, hanya
diminta kesanggupannya untuk ikut memelihara
kelangsungan lembaga, sebagai salah satu kekayaan
nasional kita. Pengurusnya dipilih oleh anggota. Sebagai
ketua yang pertama adalah RTH Joyodinigrat II dan
memangku jabatan tersebut selama 6 dari tahun 1899-
1905 (Suwito Santosa, 1990: 76).
Kegiatan Paheman Radya Pustaka pada waktu itu
ialah mengadakan musyawarah tentang ilmu dan
kesusastraan Jawa pada tiap-tiap hari Rabu bertempat di
Balai „Antisana Kepatihan‟. Perpustakaan dan museum
- 65 -
ditempatkan di balai „Pantiwibawa‟ sebelah utara,
terbuka untuk umum. Tapi karena letaknya di dalam
rumah halaman Pepatih dalem itu pengunjungnya
terbatas pada tamu beliau saja, sedangkan umum pada
waktu itu masih merasa segan. Selain Paheman Radya
Pustaka juga mempelopori penerbitan majalah bulanan
berbahasa Jawa bernama „Sasadara‟ dan „Candrakanta‟.
Juga beberapa buku kesusastraan Jawa telah diterbitkan.
Sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada
pendirinya dan untuk memperingati jasa-jasa beliau,
Paheman Radya Pustaka pada tanggal 21 Desember 1928
telah mengabadikan mendiang KRA Sosrodiningrat IV di
dalam bentuk patung hasil pahatan Ng. Wignyosuwarno,
serta ditempatkan di tengah-tengah museum Radya
Pustaka. Selain itu Paheman Radya Pustaka juga
membangun sebuah gedung untuk memperingati alm.
RTH. Joyodingrat selaku ketua pertama, terletak di
sebelah timur museum dengan nama „Walidyasana‟ dari
nama „Walidi‟ dan „Asana‟ yang diambil dari nama kecil
almarhum, sedang asana adalah tempat. Waktu itu
Walidyasana dipergunakan untuk keperluan ruang
bacaan dan pertemuan.
Setelah selama 23 tahun berada di Dalem
Kepatihan, Paheman Radya Pustaka dipindahkan tem-
- 66 -
patnya pada hari Rabu Kliwon 22 Sura Alip 1843 atau 1
Januari 1913, dari Dalem Kepatihan ke gedungnya yang
baru yaitu loji „Kadipolo‟. Gedung tersebut seterusnya
dinamakan „Museum Radya Pustaka‟ hingga sekarang.
Gedung tersebut semula milik seorang Belanda bernama
Johannes Busselaar dibeli oleh Sunan Paku Buwono X.
Ketika pindahan gedung tersebut, ketua pertama
Paheman Radya Pustaka sudah wafat, digantikan oleh
RT Joyonagoro yang memangku jabatan tersebut selama
9 tahun, 1905 sampai 1914 (Suwito Santosa, 1990: 79).
Walaupun berstaus otonom, Paheman Radya
Pustaka waktu itu memperoleh dukungan penuh dari
Pemerintah Kasunanan berupa uang subsidi dan tenaga
pegawai yang dinamakan „Garap Medana Pangarsa‟.
Sebagai pegawai diperbantukan sekaligus cikal bakal
yang mengurusi sehari-hari ialah RM Suwito yang
kemudian disebut dengan nama RMT Ranggawarsita,
yang setelah dalam masa pensiun masih sempat
mendampingi penyelenggaraan Paheman Radya Pustaka
hingga mencapai usia 100 tahun. Selain beliau juga ada
Ng. Wiropustoko atau Ki Padmasusastra. Sesudah RT
Joyonagoro jabatan Ketua Paheman Radya Pustaka
digantikan oleh RT Wuryaningrat selama 12 tahun, 1914
- 67 -
sampai 1926, dan akhirnya oleh KGPH Hadiwijaya
(Suwito Santosa, 1990: 81).
Dalam perkembangannya, pada tanggal 11
November 1951 Paheman Radya Pustaka ditingkatkan
menjadi berbentuk yayasan, nama dan tujuannya masih
tetap. Mendapat subsidi dari Pemerintah Republik
Indonesia. Kegiatan di bidang kesusastraan yang perlu
dicatat ialah: penyatuan cara menulis Jawa, berhasil
diresmikan oleh gupermen, dan kemudian terkenal
dengan nama Ejaan Sriwedari atau Sriwedari Spelling.
Ini adalah sebagai hasil musyawarah dengan pemerintah
Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran, Paku Alaman,
Departemen O & E, PGHB dan PGB pada tanggal 9
Desember 1922.
Pada tanggal 15 November 1941 mendirikan
„Paniti Basa‟ yang diketuai oleh KGPH Kusumoyudo.
Badan ini menerbitkan majalah bulanan bernama „Niti
Basa‟. Sayang, majalah ini baru terbit 5 kali sudah keburu
meletus perang dunia II. Di bidang kesenian dan ilmu
pengetahuan, Paheman Radya Pustaka menyelenggara-
kan kursus-kursus: Kursus dalang pada tahun 1924-1942
di bawah bimbingan Ng. Lebdocarito, Kursus gamelan
pada tahun 1924-1942 di bawah bimbingan Ng.
Wirowiyogo dan Ng. Sutosukaryo. Disertai penerbitan
- 68 -
buku pembimbing memukul gamelan I-II., Kursus
bahasa Kawi pada tahun 1926-1929 di bawah pimpinan
Dr. H. Kraemer dan Dr. Th Pigeaud.
Selain itu juga menyelenggarakan pagelaran-
pagelaran seperti cara membuat wayang, mengukir kayu,
membuat keris, membatik dan pada waktu peresmian
Patung Pujangga Ranggawarsita, Paheman Radya
Pustaka mengadakan pameran kitab-kitab karangan
beliau, baik yang sudah pernah dicetak maupun yang
masih berujud tulisan tangan.
Dalam rangka peringatan ulang tahun Paheman
Radya Pustaka yang ke-80, diselenggarakan lomba natah
sungging wayang kulit untuk seluruh kabupaten di
Surakarta. Dari 44 buah karya yang masuk, sekaligus
Radya Pustaka sebagai aegis kebudayaan Jawa dapat
mengetahui animo serta taraf seninya, ternyata tetap
berkembang baik. Puncak dari peringatan ialah wayang
semalam suntuk, lengkap dengan tata cara serta
ubarampenya. Dalam rangka peringatan pula, Radya
Pustaka memprakarsai penerbitan buku „verspreide
geschriften‟ KGPH Hadiwijaya di bawah judul „Mlati
Rinonce‟ (Suwito Santosa, 1990 : 82).
Selain ceramah-ceramah kebudayaan yang
diselenggarakan sekali sebulan, lembaga kebudayaan ini
- 69 -
telah mengalihaksarakan dari Jawa ke huruf latin,
ratusan buku-buku kuno karangan Sunan Paku Buwono,
Ranggawarsita, Yasadipura, Mangkunegara, dan lain
sebagainya yang tersimpan dalam perpustakaan museum
tersebut.
Sejak dulu, hiburan yang paling disukai oleh para
raja Jawa adalah Bedaya dan Srimpi. Penari bedaya
berjumlah 9 orang, sedangkan srimpi berjumlah 4 orang
(Darsiti Soeratman, 1990: 7). Penari bedaya dan srimpi
kadang masih kecil namun cantik, atau putri para
pembesar. Malahan putri raja yang belum menikah juga
sering jadi bedaya atau srimpi kalau di kraton sedang ada
acara. Jika raja sudah duduk bersama dengan para tamu,
maka ditampilkanlah tari bedaya terlebih dahulu
(Sastrakartika, 1979).
Bedaya dan srimpi sangat berbeda jika dibandi-
kan dengan tari taledhek, karena iringan tari bedaya dan
srimpi adalah gendhing ageng yaitu yang disebut
gendhing Katawang (Hadiwijoyo, 1981: 3). Sedangkan
tari taledhek menggunakan gendhing Prenes. Bedaya dan
srimpi hanya sebagai hiburan bagi raja, tidak boleh
ditarikan di luar kraton, kecuali jika mengikuti raja
berkunjung ke tempat residen atau sedang hajatan raja.
Para putri bangsawan dan putri raja yang menarikan tari
- 70 -
srimpi adalah untuk melestarikan budaya leluhur. Para
gadis dilatih tari dengan tujuan agar lebih baik dalam
bertingkah laku. Perempuan yang bertingkah laku baik
pasti membuat hati senang.
Selain bedaya dan srimpi, ada lagi kesukaan raja
seperti: wireng dhadhap, tari panji, tari lawung, cuplikan
wayang orang dan lain-lain. Yang menjadi wireng
kebanyakan adalah putra raja atau putra keponakan laki-
laki yang masih kecil, terkadang diselingi dengan
guyonan kalawija. Sunan Paku Buwono X menyempur-
nakan bentuk seni Tari Srimpi Sangapati. Tarian srimpi
ini, sebenarnya merupakan tarian karya Paku Buwono IV
dan pernah digarap oleh Paku Buwono IX. Nama Srimpi
Sangopati berasal dari kata sang apati, sebuah sebutan
bagi calon pengganti raja.
Ketika Paku Buwono IX memerintah kraton
Surakarta Hadiningrat pada tahun 1861-1893, beliau
berkenaan merubah nama Sangapati menjadi Sangupati.
Hal ini dilakukan berkaitan dengan suatu peristiwa yang
terjadi di masa pemerintahan beliau yaitu pemerintah
Kolonial Belanda memaksa kepada Paku Buwono IX agar
mau menyerahkan tanah pesisir pulau Jawa kepada
Belanda. Disaat pertemuan perundingan masalah
tersebut Paku Buwono IX menjamu para tamu Belanda
- 71 -
dengan pertunjukan tarian srimpi sangopati (Darsiti
Soeratman, 1990 : 231).
Sesungguhnya sajian tarian srimpi tersebut tidak
hanya dijadikan sebagai sebuah hiburan semata, akan
tetapi sesungguhnya sajian tersebut dimaksudkan
sebagai bekal bagi kematian Belanda, karena kata
sangopati itu berarti bekal untuk mati. Oleh sebab itu
pistol-pistol yang dipakai untuk menari sesungguhnya
diisi dengan peluru yang sebenarnya. Ini dimaksudkan
apabila kegagalan, maka para penaripun telah siap
mengorbankan jiwanya. Maka ini tampak jelas dalam
pemakaian sampir warna putih yang berarti kesucian
dan ketulusan. Paku Buwono IX terkenal sebagai raja
amat berani dalam menentang pemerintahan Kolonial
Belanda sebagai penguasa wilayah Indonesia ketika itu.
Sebetulnya sikap berani menentang Belanda
dilandaskan atas peristiwa yang menyebabkan kematian
ayahnya yaitu Paku Buwono VI (Pahlawan Nasional
Indonesia) yang meninggal akibat hukuman mati
ditembak Belanda saat menjalani hukuman dibuang
keluar pulau Jawa saat Paku Buwono VI meninggal Paku
Buwono IX yang seharusnya menggantikan menjadi raja
saat itu masih berada di dalam kandungan ibunda
prameswari GKR Ageng disebabkan masih dalam
- 72 -
kandungan usia 3 bulan maka setelah Paku Buwono ke
VI meninggal yang menjadi raja Paku Buwono VII adalah
paman Paku Buwono IX ketika Paku Buwono VII
meninggal yang menggantikan kedudukan sebagai raja
adalah paman Paku Buwono IX sebagai Paku Buwono
VII. Baru setelah Paku Buwono VIII meninggal Paku
Buwono menuruskan IX meneruskan tahta kerajaan
ayahandanya Paku Buwono VI sebagai raja yang ketika
itu beliau berusia 31 tahun.
Setelah Paku Buwono IX meninggal 1893 dalam
usia 64 tahun beliau digantikan putranya Paku Buwono
X atas kehendak Paku Buwono X inilah tarian Srimpi
Sangupati yang telah diganti nama oleh ayahanda Paku
Buwono IX menjadi srimpi Sangapati, dengan maksud
agar semua perbuatan maupun tingkah laku manusia
hendaknya selalu ditunjukkan untuk menciptakan dan
memelihara keselamatan maupun kesejahteraan bagi
kehidupan. Hal ini nampak tercermin dalam makna
simbolis dari tarian srimpi sangopati yang sesungguhnya
menggambarkan dengan jalan mengalahkan hawa nafsu
yang selalu menyertai manusia dan berusaha untuk
saling menang menguasai manusia itu sendiri.
Salah satu kekayaan Kraton kasunanan Surakarta
ini tengah diupayakan konservasinya adalah berbagai
- 73 -
jenis tarian yang sering menghiasi dan menjadi hiburan
pada berbagai acara yang digelar di lingkungan kraton.
Dari berbagai jenis tarian tersebut yang terkenal sampai
saat ini adalah tari Serimpi Sangupati. Penamaan
Sangupati sendiri ternyata merupakan salah satu bentuk
siasat dalam mengalahkan musuh.
Tarian ini sengaja di tarikan sebagai salah satu
bentuk politik untuk menggagalkan perjanjian yang akan
diadakan dengan pihak Belanda pada masa itu. Hal ini
dilakukan untuk mengantisipasi agar pihak kraton tidak
perlu melepaskan daerah pesisir pantai utara dan
beberapa hutan jati yang ada, jika perjanjian dimaksud-
kan bisa digagalkan.
Tarian Serimpi Sangaupati sendiri merupakan
tarian yang dilakukan 4 penari wanita dan di tengah-
tengah tariannya keempat penari tersebut dengan
keahliannya kemudian memberikan minuman keras
kepada pihak Belanda dengan memakai gelek inuman.
Ternyata taktik yang dipakai saat sangat efektif, setidak-
nya bisa mengakibatkan pihak Belanda tidak menyadari
kalau dirinya dikelabui. Karena terlanjur terbuai dengan
keindahan tarian ditambah lagi dengan semakin banyak-
nya minuman atau arak yang ditegak maka mereka
kemudian mabuk. Buntutnya, perjanjian yang sedianya
- 74 -
akan diadakan akhirnya berhasil digagalkan. Dengan
gagalnya perjanjian tersebut maka beberapa daerah yang
disebutkan di atas dapat diselamatkan.
Namun demikian yang perlu digarisbawahi dalam
tarian ini adalah keberanian para prajurit puteri tersebut
yang dalam hal ini diwakili oleh penari serimpi itu.
Karena jika siasat itu tercium oleh Belanda, maka yang
akan menjadi tumbal pertama adalah mereka para
penari tersebut. Boleh dibilang mereka adalah prajurit di
barisan depan yang menjadi penentu berhasil dan
tidaknya misi menggagalkan perjanjian tersebut.
Sehingga untuk mengaburkan misi sebenarnya yang ada
dalam tarian tersebut maka nama tari itu disebut dengan
Serimpi Sangaupati yang diartikan sebagai sangu pati.
Saat ini Serimpi Sangaupati masih sering
ditarikan, namun hanya berfungsi sebagai sebuah tarian
hiburan saja. Dan adegan minum arak yang ada dalam
tari tersebut masih ada namun hanya dilakukan secara
simbolis saja, tidak dengan arak yang sesungguhnya.
Perjanjian antara Kraton Kasunanan Surakarta dengan
pihak Belanda tersebut terjadi sekitar tahun 1870-
an. Pada saat itu museum Radya Pustaka benar-benar
menjadi pusat pengkajian ilmu pengetahuan sastra dan
budaya Jawa.
- 75 -
BAB VII
Media Massa & Pembinaan
Budaya
Kesadaran Berkomunikasi
Media massa menduduki peranan yang amat
strategis. Dalam konteks dunia informasi internasional,
dunia pers yang mulai tumbuh di Indonesia merupakan
bagian dari agenda kolonial bangsa Eropa. Mereka juga
sudah mulai merintis pers sejak abad ke-17. Pada awal
berseminya pers di Eropa, demikian pula di Indonesia
memasuki abad ke-18, produk media cetak disajikan
dengan sangat sederhana, baik penampilan maupun
materi pemberitaannya.
Namun, seiring waktu berjalan, surat kabar dan
majalah menjadi kebutuhan masyarakat pada masa itu.
Bahkan, para pengusaha di masa itu telah mengestimasi-
kan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan
- 76 -
lahan bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak
heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta
para jurnalis asal Belanda sejak masa awal pemerintahan
VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang
penerbitan berkala dan surat kabar di Batavia.
Selain motif mendapatkan keuntungan finansial
dan perputaran modal, penerbitan media massa pada
masa itu dipandang sebagai alat penyampaian informasi
dan pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa
yang terjadi di negeri kita yang sangat perlu diketahui
oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di
Nederlandsch Indie karena kepulauan nusantara sebagai
wilayah jajahan Belanda, serta orang-orang Belanda
pada umumnya.
Sejumlah media cetak yang mendokumentasikan
seluk-beluk Indonesia yang dikemas dalam berita antara
lain di majalah Indie, Nederlandhs Indie Oud en Nieuw,
Kromo Belanda, Jawa, berbagai laporan dibendel
sebagai Verslagen dan masih banyak lagi. Media cetak
itu menginformasikan beragam berita–mulai dari politik,
ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional
seperti musik, rupa, sastra, arsitektur, situs arkeologi,
kuliner serta segala macam peristiwa penting lainnya
yang terjadi di negeri kita.
- 77 -
Secara politis, proses penerbitan surat kabar di
Surakarta lebih bebas. Keadaan itu seiring ditetapkannya
politik kolonial Belanda pada 1854 yang relatif sudah
lebih longgar terhadap penerbitan surat kabar Indonesia.
Maka, lahirlah majalah Bromartani di Surakarta dengan
bahasa Jawa. Selanjutnya, Bromartani diperhitungkan
pula sebagai pelopor arah perkembangan pers lokal di
Indonesia.
Bromartani merupakan mingguan pertama
berbahasa Jawa yang diterbitkan sepekan sekali, setiap
hari Kamis antara 1855-1858. Pertama kali terbit,
Bromartani dipublikasikan pada 25 Januari 1855 oleh
Carel Frederik Winter Sr. bersama anaknya, Gustaaf
Winter. Keduanya fasih berbahasa Jawa. Media tersebut
dicetak oleh percetakan Hartevelt di Surakarta.
Bromartani lahir setahun sebelum Undang-
Undang Pers pada zaman kolonial Belanda diberlakukan
di Indonesia. Bromartani disajikan dalam bahasa krama
inggil, yaitu peringkat bahasa tertinggi dalam bahasa
Jawa. Dengan penggunaan bahasa Jawa sebagai alat
komunikasi, Bromartani mengawali terbitan yang
melawan arus besar. Ia terbit di tengah-tengah surat
kabar yang didominasi bahasa Belanda.
- 78 -
Media cetak Bromartani sering dijadikan refe-
rensi ilmiah para pelajar dan mahasiswa yang tengah
menempuh ilmu. Mahasiswa yang dominan mengakses
surat kabar Bromartani antara lain yang menempuh
studi di Instituut voor de Javaansche Taal. Selain itu,
mingguan tersebut juga diapresiasi dan mendapatkan
dukungan moral dari Paku Buwono VII. Selanjutnya, di
era Paku Buwono X, kepedulian beliau pada per-
kembangan pers juga ditunjukkan. Lebih-lebih, pihak
Kasunanan Surakarta sebelumnya telah menempatkan
CF Winter dan Gustaf Winter yang juga redaksi
Bromartani sebagai Javanisi, sejajar dengan pujangga
Kraton Surakarta seperti Raden Ngabehi Ranggawarsita
yang juga mengelola Bromartani. Paku Buwono X
melanjutkan misi dan prakarsa Paku Buwono IX di era
pertengahan abad ke-18 hingga ke-19, dengan sejumlah
riset dan publikasi di media masa cetak.
Bromartani berisi berita, ilmu pengetahuan
alam, pengumuman pemerintah, pertanian, cerita,
jadwal transportasi darat, serta peristiwa-peristiwa yang
terjadi di tingkat dunia internasional. Mingguan ini juga
pernah membeberkan tulisan dengan terperinci
mengenai upacara pengukuhan Raja Kraton Yogyakarta,
Sultan Hamengku Buwono VI. Tentu saja pada masa
- 79 -
abad ke-18 hingga ke-19 belum banyak ditemukan
masyarakat yang pandai baca–tulis. Lebih banyak rakyat
yang masih buta huruf. Karenanya, bukan sesuatu yang
janggal dan mengherankan bila pada masa tersebut
pelanggan tetapnya hanya sejumlah 290-an orang hingga
akhir tahun 1856. Keadaan tersebut berimplikasi pada
proses produksi. Sehingga, pada 23 Desember 1856,
redaksi Bromartani sempat mengumumkan perihal akan
berhenti terbit untuk sementara serta mencari upaya
agar dapat diterbitkan lagi.
Selang sebelas tahun kemudian, sebuah surat
kabar dengan nama Bromartani terbit, yaitu pada 1865.
Koran ini semula menggunakan nama Joeroe Martani
yaitu pada tahun 1864. Pada 1871 ada pula koran yang
menggunakan nama Bromartani yang terbit dan
bertahan hingga tahun 1932. Pada saat itu harga
langganan sebesar fl. 12 gulden, yang dianggap cukup
memberatkan bagi ekonomi keluarga masyarakat pada
masa itu.
Namun, peran sosial dan politik pers pada masa
kolonial cukup efektif. Kenyataan itu memotivasi Paku
Buwono X untuk berperan dalam pengembangan pers.
Di sisi lain secara internal, peran yang dimainkan
Bromartani, meski berbahasa Jawa juga berjalan
- 80 -
optimal. Berturut-turut setelah Bromartani terbit, peme-
rintahan kolonial membuka jaringan telegram pada
1856, pos pada 1862, dan jalur kereta api pada tahun
1867. Dalam kehidupan pers, teknologi menjadi sarana
yang lebih memudahkan perkembangan pers. Berita-
berita kian cepat dan mudah tersampaikan.
Masa efektif yang diperankan Paku Buwono X
secara optimal dalam membina kehidupan pers lokal
secara efektif berkisar pada tahun 1905-1930-an.
Sementara Kuntowijoyo mendeskripsikan peran koran
lokal dalam kesadaran dan kebangkitan generasi muda
diperkirakan pada 1900-1915. Lebih-lebih, koran yang
terbit juga memiliki target dan sasaran publik yang juga
sudah tersegmentasi secara spesifik. Koran De Niewe
Vorstenlanden yang terbit antara tahun 1858-1942 untuk
orang Belanda; Darmakandha, Jawi Kondo, Jawi
Hisworo, dan Bromartani dengan edisi terakhir 20 Maret
1856 untuk orang Jawa. Namun, pada kasus Bromartani,
akhirnya CF Winter Jr mendapatkan kongsi dagang
dengan pemilik modal dari Semarang sehingga mampu
melanjutkan misi menerbitkan Bromartani dari
Jurumartani-Semarang 1858 hingga berlanjut di era
1870-1932.
- 81 -
Penerbitan “reinkarnasi” Bromartani ini merupa-
kan pengembangan bisnis pers dari Jurumartani yang
terbit di Semarang. Jurumartani sendiri merupakan
kelompok surat kabar De Locomotief milik pengusaha
Belanda. Karena terkena delik pers, akhirnya pindah ke
Solo. Pemakaian “reinkarnasi” nama Bromartani untuk
memenuhi anjuran Paku Buwono IX. Selanjutnya,
Bromartani mampu bertahan panjang hingga 1932.
media cetak lainnya, seperti Pewarta dan Ik Po untuk
orang Cina. Keberadaan koran itu juga dimanfaatkan
Paku Buwono X untuk menyebarkan paham “nasio-
nalisme” Jawa. Di sisi lain, pengelola koran memperoleh
informasi berharga terkait dengan peristiwa kultural
simbolik sekaligus bernuansa politis yang dilakukan
Paku Buwono X di tengah-tengah kekuasaan Belanda.
Penerbitan Media Massa
Menurut sebuah riset, seperti dideskripsikan
Anindityo Wicaksono (1994), jumlah media di Solo
mencapai 110-an buah. Pada masa efektif pemerintahan
Paku Buwono X jumlahnya mencapai 69 buah–termasuk
tiga media, Woro, Pustaka Surakarta, dan Purnama
yang tidak diketahui periode tahun penerbitannya.
Majalah Bromartani yang terbit tahun 1858–1939
- 82 -
sebagai hasil “reinkarnasi” Bromartani tahun 1855-1857
merupakan kelompok bisnis Joroemartani dan De
Locomatief–Semarang.
Majalah De Nieuwe Vorstenlanden yang terbit
tahun 1858-1942, selanjutnya berganti menjadi surat
kabar De Nieuwe Sukartasche Courant dengan
pimpinan TH Reoland Landouw. Kemudian pada 1883
diganti namanya menjadi De Nieuwe Vorstenlanden,
terbit setiap hari di bawah pimpinan redaksi TH Roeland
Landouw. Harian ini pernah menjadi surat kabar paling
besar di seluruh Jawa Tengah. Pada 8 Januari 1938
pernah mengadakan peringatan 80 tahun usianya. Tetapi
empat tahun berikutnya, pada 1942 berhenti terbit
menjelang Jepang masuk Kota Solo.
Jawa Kandha yang terbit pada tahun 1891-1919
diterbitkan oleh Percetakan dan Penerbitan Albert
Rusche & Co di Solo dengan Bahasa Jawa dan Melayu.
Terbit tiap seminggu dua kali pada hari Selasa dan
Jumat. Redakturnya FL Winter. Nomor pertama terbit
pada hari Selasa Pahing tanggal 28 April 1891. Surat
kabar ini berbahasa Jawa dan dimiliki orang Belanda.
Penerbit yang sama menerbitkan juga surat kabar
berbahasa Jawa dan Melayu dengan nama Jawi Hiswara
pada periode 1891-1919. Terbit tiga kali seminggu pada
- 83 -
hari Selasa, Rabu, dan Jumat. Tiap minggu sekali diberi
lampiran yang diberi nama Cakrawarti dengan aksara
dan bahasa Jawa bergambar, empat halaman ukuran
buku. Salah seorang pengikut Raden Ranggawarsita
bernama Suwardi yang lebih dikenal sebagai Ki Padma-
susastra setelah pulang kembali ke Solo dari Belanda
pada tahun 1891 membantu redaksi Jawi Kandha dan
Jawi Hiswara. Beberapa tulisan antara lain feature
tentang laporan perjalanan dan pengalaman Ki
Padmasusastra di negeri Belanda.
Karena kesibukan Ki Padmasusastra, tahun 1900
Raden Dirja Atmaja menggantikan menjadi redaktur
Jawi Kandha, Jawi Hiswara dan Cakrawarti. Pada tahun
1902 Raden Dirja Atmaja resmi menjadi pimpinan
redaksi surat kabar tersebut. Surat kabar yang
diterbitkan Albert Rusche & Co, ini awalnya berkantor di
Kampung Musen, lalu pindah ke sebelah selatan loji
Karesidenan yang sekarang menjadi gedung Balai
Kotapraja Surakarta, kemudian pindah lagi ke Kampung
Loji-warung yang sekarang menjadi kantor Jawatan
Sosial. Tiga surat kabar ini berhenti terbit 1919.
Namun, surat kabar tersebut besar sekali jasanya
terhadap masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat
Indonesia pada umumnya untuk membimbing pener-
- 84 -
bitan ke arah kemajuan dan kebebasan berpikir. Pun di
dalam perkembangan dunia persuratkabaran swasta
nasional. Selanjutnya Raden Martodarsono menerbitkan
majalah bahasa dan aksara Jawa dengan nama Sesuluh.
Sebuah media cetak bulanan juga diterbitkan PT Sie
Dhian Hoo di Pasar Besar Solo. Media bulanan itu diberi
nama Cakrawala, dicetak seukuran buku dengan bahasa
dan aksara Jawa, memuat cerita-cerita dari luar negeri
disalin ke dalam bahasa dan aksara Jawa.
Sasadara yang muncul pada tahun 1900
diterbitkan Paheman Radya Pustaka, badan resmi
pemerintah Kraton Kasunanan Surakarta yang berkantor
di Museum Sriwedari Solo. Merupakan majalah bulanan
dengan bahasa dan aksara Jawa terbit tiap tanggal 15
bulan purnama, dengan diberi nama Sasadara. Ki
Padma-susastra menjabat sebagai Pemimpin Redaksi.
Nomor pertama terbit hari Rebo Wage tanggal 15 bulan
Jumadilakhir tahun 1830 windu sancaya atau 10 Oktober
1900, dicetak di Vogel van der Heyde & Co di Solo.
Majalah ini banyak menampung serba-serbi ilmu
pengetahuan.
Candrakanta terbit antara tahun 1901-1903.
Majalah bulanan ukuran buku ini dicetak dengan aksara
dan bahasa Jawa yang juga diterbitkan Paheman Radya
- 85 -
Pustaka yang khusus berisi pengetahuan modern. Ki
Padmasusastra juga menjadi pemimpin redaksinya.
Majalah ini terbit edisi perdana 20 Juni 1901 dicetak di
Albert Rusche & Co di Surakarta dan dapat hidup sampai
akhir tahun 1903. Pada 1904 terbit Ik Po yang
merupakan media untuk masyarakat Tionghoa.
De Niewe Vorsten Landen yang terbit pada 1900-
1919, pada periode 1900 dipimpin Vogel Van der Heyde.
Selanjutnya pada periode 1919 dikendalikan oleh H
Roeland Landauw. Selain itu ada Darmakandha yang
terbit pada 1913, diterbitkan Nieuwe Drukkerij di
Warung Pelem yang sekarang menjadi poliklinik Tiong
Hoa. Pemiliknya Tjo Tjoe Kwan, seorang letterzetter di
percetakan Albert Rusche & Co.
Surat kabar Darmakandha yang terbit pada 1914
berbahasa dan aksara Jawa serta bahasa Melayu aksara
latin. Terbit seminggu dua kali pada Senin dan Kamis.
Nomor 1 tahun ke 1 terbit pada hari Senin Kliwon tanggal
4 Januari 1914. Surat kabar ini milik Tionghoa yang kelak
dibeli Boedi Oetoemo pada tahun 1920 dan pindah ke
Kampung Kauman Carikan Jalan Secoyudan Solo.
Sarotama terbit pada 1914 berkantor di Jagalan
Kabangan, Lawiyan, Surakarta. Redaksi administrasi
dipegang oleh Raden Sostrokornia dan penanggung
- 86 -
jawab redaksi oleh Oemar Said Tjokro-aminoto yang juga
Pemimpin Umum Syarikat Indonesia. Marco Karto-
dikromo pernah menjadi pimpinan redaksi mingguan
Sarotama sekitar 1919-1920.
Tjoendhamanik yang terbit pada 1914 adalah
surat kabar mingguan berbahasa dan aksara Jawa yang
diterbitkan Perkumpulan Kaum Buruh dan Tani yang
pimpinan redaksinya Joyosantosa. Ada pula Taman
Pewarta milik Tionghoa serta Praja Surakarta yang
terbit pada tahun yang sama.
Doenia Bergerak yang juga terbit pada 1914
merupakan surat kabar yang dirintis dari pendirian IJB
oleh Dr Cipto Mangunkusumo dan Mas Marco. Kelak
Guntur bergabung dengan media ini. Guntur yang terbit
1915, sebuah mingguan yang dipimpin oleh Darmo-
kusumo, kelak menggabungkan diri dengan Doenia
Bergerak dan namanya menjadi Guntur Bergerak.
Pada tahun 1916 terbit Medan Bergerak,
Kumandang Jawi, dan Medan Muslimin. Media bulanan
dengan penyampaian bahasa Jawa dan Melayu ini
dipimpin dan diterbitkan H Misbach di Kauman Solo
dengan pembantu utamanya Sastrosiswoyo dan
pembantu-pembantu tetap Marco Kartodikromo sebagai
redaktur Doenia Bergerak, Raden Sosrokornia redaksi
- 87 -
administrasi Sarotama, Mas Ngabehi Sastrosadargo dari
Jawi Kondo. Media ini merupakan bentuk kerja sama
surat kabar yang menjadi kebanggaan pada waktu itu.
Pada pertengahan tahun 1916 Medan Muslimin mener-
bitkan buku bahasa dan aksara Jawa dengan nama
Hidayatul Awam, pedoman Islam untuk para kaum
muslimin sebagai sisipan untuk para pembaca setia.
Medan Muslimin terbit tiap tanggal 15. Nomor pertama
tahun 1 terbit pada tanggal 15 Januari 1916. Medan
Muslimin membawakan suara-suara revolusioner dari SI
Merah, akibatnya Haji Misbach pada tahun 1925
dihukum buang ke Boven Digul. Diasuh oleh KH
Misbach dan H Fachrudin.
Islam Bergerak yang terbit pada 1917 merupakan
surat kabar dengan sebagian aksara dan bahasa Jawa
dan sebagian aksara latin bahasa Jawa. Nomor 1 tahun I
terbit di Surakarta pada hari Senin Legi tanggal 1 Januari
1917. Terbit tiga kali sebulan dengan redaktur
Joyodikromo, Tohir dan Kusen. Surat kabar Islam
Bergerak juga membawakan suara-suara revolusioner.
Pada 1919 terbit Penggoegah, surat kabar mingguan
berbahasa dan Aksara Jawa. Redaksi dan penanggung
jawab Dokter Cipto Mangunkusumo.
- 88 -
Darmo Kondho terbit pada tahun 1920, adalah
media berhaluan nasional yang terbit Rabu dan Sabtu.
Redakturnya Raden Mas Soleman. Pada tahun 1935
menjadi Pewarta Oemoem, sementara Darmo Kondho
bahasa Jawa disebut Pustaka Warti. Terbit pula Wiwara
Raya pada 1920 dan Kumandhang Theosofie pada 1921.
Kumandhang Theosofie didirikan oleh perkumpulan
theosofie Cabang Solo dalam bentuk buku biasa, bahasa
aksara Jawa dan terbit bulanan. Redaksi oleh RM
Partowiroyo, administrasi R. Ng. Hartokretarto. Sebagai-
mana dengan bulanan lain seperti Mahabharata dan
Babad Serang, dapat hidup sampai balatentara Jepang
masuk di Solo.
Pada 1922 terbit Pustaka Jawi dan Mardi Siwi,
bulanan bahasa Jawa aksara latin untuk pendidikan para
pelajar dan para muda-mudi. Diasuh oleh staf redaksi
Literair Paedagogishce Club dengan alamat Sunaryo di
Mangkunagaran dan administrasi S Sastroatmojo di
Badran Solo. Bulanan ini dapat hidup subur dan lama,
sampai akhir pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Al Islam milik Muhammadiyah Solo terbit pada
1923. pada tahun yang sama terbit pula Bintang Islam,
Mambangul Ngulum, Darah Mangkunagaran dan
Narpa Wandawa. Sementara itu pada 1925 terbit Janget
- 89 -
Kinatelon, Gentha Kekeleng dan Mawa, milik kalangan
radikal.
Pada 1925 terbit Wara Susila. AB Siti Syamsiyah
menerbitkan majalah bahasa dan aksara Jawa bentuk
buku ukuran umum yang mengutamakan kepentingan
wanita Islam, dengan pemuka redaksi S. Hadiwiyoto, staf
redaksi: 1. Sukati, 2. Sukarni, 3. Suparmini, 4. Wadining,
5. Sumartinah Danusubroto. Juga mener-bitkan majalah
bahasa Jawa dengan nama Pusaka. Berbarengan dengan
terbitnya Pusaka dan Wara Susila, atas kerja sama
dengan Muhammadiyah, AB. Siti Syamsiyah menerbit-
kan Suara Aisyiah dengan bahasa Jawa aksara latin.
Jawa Tengah terbit pada 1926, terbit bulanan berbahasa
Indonesia oleh percetakan Ang Sioe Tjing di Slompretan
4 Solo.
Pada 1927 terbit Mahabharata, diterbitkan oleh
Loge Theosofie Solo pada bulan Januari 1927 yang
merupakan bulanan dan bahasa aksara Jawa. Diasuh
oleh RM Partowiroyo. Sebagaimana dengan bulanan lain
seperti Babad Serang dan Kumandhang Theosofie,
dapat hidup sampai balatentara Jepang masuk di Solo.
Janget terbit antara tahun 1928-1929, merupakan
mingguan bahasa Jawa yang radikal dan berani
menghadapi peraturan pemerintah kolonial Hindia
- 90 -
Belanda. Setelah peristiwa atas tulisan Suprapto, tidak
lama mingguan Janget terpaksa berhenti terbit.
Darul Ulum terbit pada 1928. Diterbitkan oleh
pedagang buku dan batik AB. Siti Syamsiyah sebagai
anggota Muhammadiyah Solo yang berjasa dalam
menerbitkan buku dan majalah keislaman. Merupakan
media bulanan yang mulai terbit 25 Januari 1928 dengan
moto „majalah islamiyah yang menjadi sumbernya
sekalian ilmu atau pengajaran dan pergerakan Islam
seluruh dunia‟.
Cakrawarti yang terbit pada 1919 berkaitan
dengan Jawa Kandha-Hiswara yang diterbitkan oleh
Radya Pustaka. Sementara Woro yang terbit pada 1920
adalah media yang diusahakan sendiri oleh Ki
Padmasusastra; merupakan majalah bulanan bahasa dan
aksara Jawa, yang memuat kesusasteraan, pedoman-
pedoman hidup, pengetahuan umum, piwulang, dan
lain-lainnya.
Timbul yang terbit pada 1931 merupakan berkala
bahasa Indonesia yang diasuh Dr. Rajiman Widyodi-
ningrat dan Mr. Singgih. Selain memuat tulisan bersifat
pengetahuan dan kebudayaan, juga mengetengahkan
tulisan-tulisan yang membakar semangat jiwa per-
gerakan kebangsaan yang waktu itu banyak pemimpin
- 91 -
pergerakan kebangsaan yang ditangkapi dan dihukum
pemerintah kolonial.
AB. Siti Syamsiyah menerbitkan Risalah Islam
pada 1931, merupakan bulanan dengan bahasa dan
aksara Jawa. Pimpinan redaksi Samsu Hadiwiyoto.
Pustaka Surakarta terbit pada 1922 bersamaan dengan
Risalah Islam oleh AB. Siti Syamsiyah. Merupakan
majalah bulanan terbit sepuluh hari sekali yang berisi
Qur‟an Jawen dan tafsir hadis. Purnama yang terbit
tahun 1931 juga terbitan AB. Siti Syamsiyah yang berisi
roman picisan. Terbit bersamaan dengan Risalah Islam
dan Pustaka Surakarta. Sementara pada tahun 1931
terbit Sadya Tama, Jagad dan Hudaya. Dokumentasi-
nya terdapat di perpustakaan Mangkunegaran.
Api Rakyat terbit pada 1932-1933, diusahakan
oleh Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) cabang
Surakarta yang merupakan mingguan bahasa Jawa
aksara latin yang diasuh oleh Samino namun hanya
berusia satu tahun. Adil yang terbit pada tahun 1932
diusahakan Muhammadiyah di Solo terbit harian
berbahasa Indonesia. Nomor 1 terbit pada 1 Oktober
1932 diasuh Syamsudin Sutan Makmur dan Suyitno.
Selain isi berita-berita umum dan ajaran agama Islam,
juga sebagai terompet pergerakan kebangsaan dan
- 92 -
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjalanan Adil
mengalami suka-duka pasang surut akan tetapi terus
hidup sampai mencapai usia lima puluh tahun lebih. Adil
pernah berhenti terbit, pernah menjadi bulanan, tengah
bulanan, mingguan, dan juga pernah terbit stensilan.
Milik Muhammadiyah. Aksi yang terbit pada 1933
berkaitan dengan Adil.
Pepadanging Jagad terbit bulan Oktober 1934
bulanan aksara bahasa Jawa diasuh oleh Raden Ngabehi
Sastrosadargo dan Raden Ngabehi Jiwo-pradoto.
Bulanan ini tidak dapat berusia panjang. Suara
Kesehatan merupakan bulanan bahasa Indonesia yang
terbit Oktober 1934 oleh penerbit Kristen Uitgever
Maatschappij ‘Traju Budi’. Tujuan bulanan ini dengan
tujuan tertentu yang ternyata dapat hidup subur dan
lama sampai menjelang pendudukan balatentara Jepang.
Darmo Woro, bulanan bahasa Jawa diterbitkan
pemerintah Mangkunegaran untuk kepentingan peme-
rintahannya. Diasuh oleh RM Notosuroto. Nomor 1
diterbitkan pada November 1934. Namun tidak terbit
lama, karena RM Notosuroto kemudian ke Belanda dan
menerbitkan Opgang atau Udaya di negeri Belanda.
Terbit pula Sikap pada 1934, yang berkaitan dengan
penerbit Darmo Woro.
- 93 -
Pada bulan November 1934 terbit Bedug atas
usaha kaum buruh di Klaten, tengah bulanan bahasa
Jawa-Dipa, untuk membimbing kaum buruh menuju
kesadaran pergerakan kebangsaan. Suaranya keras,
maka berkali-kali mendapat peringatan dari yang
berwajib, dan juga pernah kena persdelict yang berakibat
ditutupnya media ini.
Rahayu terbit bulan Juli 1934 merupakan
bulanan bahasa aksara Jawa berisi pengetahuan tentang
kesempurnaan hidup, kesusasteraan, kesusilaan, dan
kebudayaan Jawa pada umumnya. Diasuh Raden Ngabe-
hi Dutodilogo dengan alamat redaksi dan administrasi di
Tamtaman Baluwarti Solo.
Untuk memenuhi kebutuhan para siswa dalang di
“Pasinaon Dalang Surakarta” yang menempati sebelah
timur gedung Museum Radya Pustaka Sriwedari
Surakarta, dan bagi para dalang pada umumnya, diter-
bitkanlah Pedalangan. Didirikan oleh Raden Ngabehi
Dutodilogo, terbit pertama 15 Juli 1935. Pada Januari
1941 digabung menjadi satu dengan Rahayu dan
berhenti tebit menjelang akhir pemerintahan kolonial
Hindia Belanda.
Bangun yang terbit pada 1935 merupakan
majalah bahasa Indonesia dan Belanda diterbitkan
- 94 -
Intelectueelen Club di Solo yang diketuai Mr. Wongso-
nagoro. Sedangkan Mahabharata Kawedar muncul
Januari 1936 oleh RM Sutarto Hajowahono di Timuran
Solo. Merupakan bulanan bahasa Jawa aksara latin
dalam bentuk buku biasa. Isi khusus mengenai cerita
wayang dari Mahabharata dengan tafsiran dan
keterangannya. Karena sangat laku, maka kemudian
disusul dan berbarengan terbitnya bulanan Mahabharata
Kawedar bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Pada masa
Jepang, majalah ini berhenti terbit dan sesudah
kemerdekaan Indonesia, Oktober 1950 diterbitkan lagi
lanjutannya. Akhirnya berhenti terbit pada 1956. pada
tahun 1937 terbit pula Pancara Siddhi dan Nusantara.
Babad Serang diterbitkan pada periode tahun
1938-1942 oleh Loge Theosofie dalam bentuk bulanan
bahasa Jawa. Sebagaimana dengan bulanan lain seperti
Mahabharata dan Kumandhang Theosofie, dapat hidup
sampai balatentara Jepang masuk di Solo. Pada tahun
1938 juga terbit Kabar Paprentahan milik Kraton
Kasunanan Surakarta dan Pawarti Surakarta.
Pusaka Indonesia terbit pertama kali pada 25
Oktober 1939 dan merupakan majalah bergambar bahasa
Indonesia yang memuat tentang perekonomian, kesusas-
teraan, dan lain-lain. Pada bulan itu juga terbit majalah
- 95 -
bahasa Jawa aksara latin dengan nama Ratna Dumilah
yang memuat khusus tentang kewanitaan. Kedua
majalah tersebut dapat hidup sampai akhir pemerin-
tahan kolonial Hindia Belanda.
Peranan Paku Buwono X tentu saja didasari motif
penumbuhan nasionalisme atau semangat kebangsaan
bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena kedudukannya
yang menjadi medium komunikasi antara Belanda
penjajah dengan rakyatnya, maka Paku Buwono X
melakukannya dengan sangat halus dan lebih banyak
secara simbolik. Era Paku Buwono X melanjutkan masa
kepemimpinan Paku Buwono IX di mana Surakarta
memasuki transisi demokrasi. Seperti bersambut gayung,
penerbitan media informasi tentu pula didasari motif
nasionalisme. Beberapa pelopor dan redaksi adalah
mereka yang berjuang di garis depan bagi penumbuhan
semangat kebangsaan.
Muhidin M Dahlan (2008) dalam Seabad Pers
Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa meng-
ilustrasikan, sebelum abad ke-20, skema perjuangan
dominan dilakukan lewat cara-cara peperangan dan adu
pasukan di medan laga. Namun, dalam dasawarsa
pertama abad ke-20, pola perjuangan memasuki titik
perubahan yang cukup signifikan. Titik perubahan itu
- 96 -
dipicu oleh sebuah kesadaran baru tentang jalan cetak
atau jalan pers. Sekaligus jalan pers ini menjadi
semacam pembeda dengan jalan nasionalisme yang
ditempuh India yang bertumpu pada hirarki kasta atau
nasionalisme Rusia yang memperjuangkan perbenturan
kelas dan melahirkan komunisme atau Inggris yang lahir
dari gilda dan pasar para borjuis.
- 97 -
BAB VIII
Sastra & Kehidupan modern
Kebebasan Pengarang
Prosa adalah salah satu jenis karya sastra yang
berbentuk bebas, tanpa terikat oleh metrum, persajakan,
guru lagu, guru wilangan dan guru gatra. Pengarang
prosa diberi kemerdekaan untuk menuangkan buah
pikirannya. Aturan-aturan baku yang harus dipenuhi
boleh diabaikan. Titik tekannya adalah komunikasi
kesastraan antara penulis dengan pembaca.
Berbeda dengan penulisan puisi yang harus
mematuhi konvensi kesastraan yang telah disepakati
bersama. Contoh karya sastra Jawa yang berbentuk puisi
adalah kakawin, macapat dan geguritan. Kakawin
ditulis dengan standar jumlah baris dan struktur
fonemisasi yang meliputi suara berat dan suara ringan.
Arjuna Wiwaha, Baratayuda, Hariwangsa, Negara
- 98 -
Kertagama, Sutasoma, dan Ramayana adalah jenis puisi
kakawin yang ditulis oleh para pujangga kraton.
Penulisan prosa Jawa mengiringi perkembangan
karya sastra Jawa yang berbentuk puisi. Kitab-kitab
parwa yang dihasilkan pada masa pemerintahan Teguh
Darmawangsa di kerajaan Medang Kahuripan ditulis
dalam bentuk prosa. Pengarang lebih menekankan isi
sastra daripada bentuk baku. Jalan cerita sastra parwa
tersebut ditulis mirip dengan bentuk novel. Plot, setting,
dan penokohan justru bisa ditampilkan lebih hidup dan
mengesankan. Poerbatjaraka (1952) mengulas seluk
beluk sastra Jawa kuno prosa.
Dominasi puisi macapat itu mulai memudar pada
awal abad 20. Pelopornya adalah Ki Padmasusastra.
Beliau merupakan murid kesayangan Pujangga Rangga-
warsita. Hanya saja keduanya mempunyai jalan hidup
yang berlainan. Raden Ngabei Ranggawarsita mengabadi
pada istana. Orientasi karangannya bersifat istana
centris, segala cipta karyanya dipersembahkan kepada
raja dan kraton. Harap maklum karena istana menjadi
patron bagi sang pujangga. Kreativitas dan produktivitas
pujangga tergantung pada kemurahan penguasa kraton.
Sedangkan Ki Padmasusastra tidak diangkat
sebagai pujangga kraton. Beliau dikenal sebagai pekerja
- 99 -
sastra atas sponsor penerbit dan perusahaan swasta.
Patron bergeser dari kraton ke industri partikelir.
Beraneka rupa perusahaan penerbitan meminta Ki
Padmasusastra untuk menulis karya sastra yang laku di
pasaran. Orientasi penulisan memang menjadi berubah,
dari cita-cita ideal menuju ekonomi komersiil. Nilai
kraton digeser oleh nilai-nilai pasar. Begitulah
perkembangan sosial ekonomi yang berpengaruh pada
kehidupan sastra. J.J Ras (1985) telah membuat iktisar
sastra Jawa mutakhir dengan cukup mengagumkan.
Perubahan sosial ekonomi ini dibaca oleh Ki
Padmasusatra. Beliau tidak merasa gundah dan cemas,
malahan dianggap sebagai peluang emas untuk mening-
katkan kualitas dan citra diri. Industri penerbitan yang
menjamur di kota-kota besar merupakan lahan empuk
untuk memperoleh kekuatan finansial. Penerbit di
Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Kediri dan Solo
bersedia menjadi sponsor Ki Padmasusastra. Dengan
demikian beliau menjalani mobilitas ekonomi secara
drastis. Dengan bangga Ki Padmasusastra menyebut
dirinya sebagai wong mardika kang nguri-uri
kasusastran Jawa. Gelar ini menunjukkan bahwa beliau
tidak lagi terikat pada satu patron. Beliau merasa sudah
menemukan eksistensi dan jati dirinya.
- 100 -
Balai Pustaka merupakan lembaga penerbitan
yang berdiri pada tanggal 22 September 1917. Pada
mulanya bernama Kantoor voor de Volkslectuur yang
bertujuan untuk memberi bacaan bagi rakyat. Bangsa
Indonesia cukup berhutang budi pada lembaga ini
karena telah menyebarkan ilmu pengetahuan yang
mendidik budi pekerti luhur.
Salah satu novel terbitan Balai Pustaka adalah
Serat Riyanta. Ditilik dari segi judulnya, novel ini jelas
terpengaruh oleh metrum sastra Jawa klasik. Mengingat
dicantumkan kata „serat‟, misalnya Serat Kalatidha.
Novel ini diciptakan oleh RB. Sulardi tahun 1920.
Pengarangnya memang aktif di istana Pura Mangku-
negara. Tak mengherankan bila karya-karyanya berlatar
belakang kehidupan bangsawan. Terlebih-lebih dia
pernah hidup lama di Wonogiri, sebab daerah ini masih
wewengkon Mangkunegaran, basis perjuangan Pangeran
Sambernyawa.
Novel lain adalah Dhendhaning Angkara. Karya
novel ini bersifat dikdatif moralis. Orang dicegah supaya
tidak berbuat kejahatan, karena akan kualat dan
mendapat balasan yang setimpal. Semua perbuatan akan
menuai buah sebagaimana hukum karmapala.
- 101 -
Harjawiraga, penulis novel ini adalah keturunan
Ki Padmasusastra, seorang murid utama Raden Ngabehi
Ranggawarsita. Asal mulanya jelas dekat dengan kehi-
dupan Kraton Surakarta Hadiningrat. Oleh karenanya,
pola pikir serta tindakannya banyak mengacu pada
pikiran pujangga istana. Darah seni terus mengalir, salah
satunya adalah budayawan terkemuka yaitu Sapto
Hudoyo. Beliau merupakan trah Harjawiraga yang
berbakat seni di era Indonesia mutakhir.
Novel lain yang patut dibicarakan adalan Kirti
Njunjung Drajat. Novel ini diterbitkan tahun 1924 berisi
tentang perjuangan untuk mencapai prestasi hidup.
kemuliaan seseorang hendaknya lebih ditekankan pada
kualitas karya dan jerih payah usahanya. Asal-usul
keturunan tetap penting, tetapi berbuat keteladanan juga
tidak kalah penting. Dengan berbekal usaha keras dan
mengabdi kepada masyarakat maka seseorang akan
meningkat harkat dan martabatnya. Novel ini diciptakan
oleh Raden Ngabehi Yasawidagda. Menilik gelarnya, dia
jelas berasal dari kalangan priyayi.
Beberapa pengarang dan karyanya yang diterbit-
kan oleh Balai Pustaka jumlahnya cukup beragam. Balai
Pustaka sungguh berjasa dalam mencerdaskan kehi-
dupan bangsa. Kehadirannya benar-benar memberi
- 102 -
pencerahan buat sekalian warga nusantara. Ibarat gelap
sayuta pinapak obor sewu. Hampir satu abad lamanya
penerbit ini terus menerus mengisi kehidupan intelek-
tual yang amat bermutu dan berguna.
Pengarang Sastra Jawa Modern
Kesusastraan Jawa mengalami perkembangan
yang cukup pesat pada tahun 1900-an. Modernisasi
diawali dengan gerakan aufklarung atau pencerahan
yang mengutamakan aspek rasionalitas. Ilmu pengeta-
huan yang bersifat empiris berkembang pesat dengan
segala cabangnya. Dari ilmu tercipta teknologi, yang
mendorong menjamurnya industri. Hasil industri
mempercepat produksi dan kapitalisasi. Dari sinilah
lantas ada pergeseran nilai. Gagasan tentang arti penting
prestasi, kompetisi, demokrasi dan inovasi menjalar ke
seluruh dunia. Dalam bidang kesusastraan Jawa pun
terkena pengaruh ini. Pada mulanya adalah pengarang
dan karya sastra Jawa pada jaman pra Balai Pustaka,
yaitu sebelum tahun 1920.
Beberapa di antaranya adalah Ki Padmasusastra
mengarang Rangsang Tuban, Kandha Bumi, Prabang-
kara, Serat Tata Sastra, Serat Urapsari, Serat Patibasa,
Serat Warnabasa dan Serat Bauwarna. Prawirasudirdja
- 103 -
mengarang Serat Panutan, Isin Ngaku Bapa dan
Cariyos Tanah Pareden Diyeng. Kuswardiarja menga-
rang Rara Kandreman dan Kartimaya.
Sementara itu Harjawisastra mengarang
Pamoring Dhusun, Wuryalocita, Trilaksita dan Gita
Gati. R.Ng. Kartasiswaya mengarang Darma Sanyata,
Sumaatmaja mengarang Serat Sadrana, R. Samuel
Martahatmaja mengarang Rukun Arja, Wiraatmaja &
Suwardi mengarang Waris Kaliyan Lalis dan Rara
Rarasati tuwin Bok Randha Setyadarma.
Karya-karya lain ditulis oleh Suradipura yaitu
Bedhahipun Karaton Nagari Ngayogyakarta, R.
Suyitna Martaatmaja mengarang Catur Tunggil,
Sindupranata menulis Lelakone Amir, R.M. Kartadirja
mengarang Tuhuning katresnan, RRA. Suryasuparta
menulis Serat Cariyos Kekesahan saking Tanah Jawi
dhateng Negari Walandi, Yitnasastra mengarang Kesah
Layaran dhateng Pulo Papuwah, Pujaarja menulis
Dongeng Cariyosipun Tiyang Sepuh ing Jaman Kino
dan R. Sulardi mengarang Serat Riyanta.
Masa kebangkitan nasional ini mendapat
sambutan yang gegap gempita dari para pengarang Jawa.
sebagai pemikir mereka merasa mendapat angin segar
dalam menyongsong era baru. Dengan menyelipkan
- 104 -
gagasan yang mengandung nilai nasionalisme dan
patriotisme, para pengarang Jawa berusaha untuk ber-
partisipasi dalam memajukan bangsanya.
Pada periode 1921-1940 wacana ideologi dan
alirannya tumbuh subur. Industri penerbitan baik yang
didanai pemerintah maupun swasta bermunculan di
mana-mana. Buku, koran, dan majalah menjadi lahan
subur bagi pengarang dan pengusaha. Karya prosa Jawa
yang terbit di antaranya: R. Suyitna Martaatmaja
mengarang Cariyosipun Pambalang Tamak dan Tau
Luk Tik lan Tan Lun Cong, R. Sastrasuganda mengarang
Kekesahan dhateng Riyo, Sastramintarja mengarang
Cariyosipun Sendhang ing Tawun, sementara RB.
Kartasmara menulis Rajameda.
S. Dayawinata juga menulis Serat Panjeblugipun
Redi Kelud, Ekajaya mengarang Bali Sacleretan.
Yasawidagda mengarang Jarot, Purasani, Kirti Njunjung
Drajat, dan Ni Wungkuk ing Bendhe Growong.
Sasraharsana mengarang Mrojol Selaning Garu dan
Banda Pusaka. Kamsa menulis Supraba lan Suminten.
Arjasaputra menulis Swarganing Budi Ayu, Marta-
yuwana mengarang Roman Arja. Suratman Sastradiarja
mengarang Sukaca dan Katresnan. Sasrasutikna
mengarang Glompong Lucu.
- 105 -
Pengarang lainnya yaitu Mukmin menulis Ki
Ageng Paker, R. Gandawardaya menulis Babad Maja lan
Babad Nglorog, Ki Mangunsuparta menulis Babad
Arungbinangun, Suwignya menulis Kyai Ageng
Pandanarang, M. Prawirasumarja menulis Tumusing
Lampahipun Tiyang Sepuh dan Ihtiyar Ngupados
Pasugihan. Jayalana menulis Pasanggrahan Parang
Tritis. Harjadisastra menulis Cariyos Redi Lawu. Kamit
Nataasmara menulis Crah Bubrah, Kucing lan Jago dan
Rasa Sasmita. Asmawinangun menulis Jejodoan
Ingkang Siyal, Saking Papa dumugi Mulya, Mungsuh
Mungging Cangklakan dan Perpisahan Pitulikur Tahun.
Sementara Suradi Wiryaharsana menulis Wisaning
Agesang dan Anteping Wanita.
Untuk periode ini perkembangan sastra Jawa
boleh disamakan dengan angkatan Balai Pustaka dan
Pujangga Baru. Perkembangan pemikiran dalam karya
sastra Jawa pada saat ini ada titik temu dengan sastra
Indonesia. Suasana jaman ternyata turut serta dalam
mewarnai gagasan pengarang.
Sesuai dengan jamannya, periode 1941-1960 amat
erat kaitannya dengan gerakan politik kebangsaan.
Ekspansi pendudukan Jepang yang mengusir Belanda
dari Indonesia menjadi bahan garapan para pengarang
- 106 -
Jawa. kemudian disusul dengan suasana revolusi perang
kemerdekaan yang penuh dengan semangat heroisme,
para pengarang prosa Jawa ikut pula berjuang
mempertahankan kemerdekaan lewat ketajaman pena-
nya. Sapardi Djoko Damono (1979) melukiskan periode
ini dengan sangat tepat. Adapun karya sastra prosa Jawa
yang terbit antara lain: Susanta Tirtapraja mengarang
Nayaka Lelana, Lum Min Nu mengarang Kereme Kapal
Brantas, Macan Setan, Urip Saburine Layar. R.
Harjawiraga mengarang Sri Kuning dan Priyana
Winduwinata mengarang Dongeng Sato Kewan.
A. Saerozi menulis Kumpule Balung Pisah,
Katresnan lan Kuwajiban. Senggana menulis Kembang
Kanthil, Wahyu Saka Kubur, Kemandang. Sri Hadijaya
menulis Jodo Kang Pinasti, Priyayi Saka Transmigrasi,
Wahyuning Wahyu Jatmika dan Napak Tilas. Satim
Kadaryana menulis Swara Ginawe Ayu, Gelang Setan,
Nebus dan Nelly Yasen.
Di samping tema-tema percintaan, perjodohan,
dan kerumahtanggaan, pada periode ini juga dominan
karya sastra dengan topik perjuangan. Ketika partai
politik sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan
kenegaraan, para pengarang pun dengan semangat
memasukkan unsur ideologi dalam buah penanya.
- 107 -
Sampai dengan tahun 60-an, prosa Jawa tetap
tumbuh subur. Namun setelah tahun 1970-an pelan-
pelan sastra Jawa mengalami kemunduran. Tahun 1980
pegiat sastra Jawa sering melakukan protes atas
kebijakan pemerintah yang kurang memihak. Baru pada
tahun 1991 diadakan Konggres Bahasa Jawa secara
besar-besaran. Bahkan setiap 5 tahun diadakan kong-
gres, sehingga secara berturut-turut konggres diadakan
pada tahun 1991, 1996, 2001 dan 2006. Kita masih
bersyukur karena masih ada saja sastra Jawa yang terbit.
Dapat disebut di sini adalah: Priyana Winduwinata
menulis Serat Jakasura Tresnawati. Purwadhie
Atmadiharja mengarang Dara Kapidara, Kedung Putri,
Ngrangsang Gumuk Sandi dan Benang-benang Teles.
Any Asmara menulis Kenya Tirta Gangga, Rante Mas,
Kumandanging Katresnan, Ida Ayu Maruti dan
Gerombolan Gagak Seta.
Widi Widayat menulis Tresna Abeya Pati,
Kapilut Godaning Setan, Kenya Katula-tula, Suduk
Gunting Tatu Loro, Godhane Prawan Ayu, Sedulur
Sinarawedi, Mertobat wis Kliwat dan Wasiyating
Biyung. Satim Kadaryana menulis Timbreng dan
Sampyuh. St. Iesmaniasita menulis Kidung Wengi ing
Gunung Gamping dan Kringet Saka Tangan Prakosa.
- 108 -
Suparta Brata menulis Trilogi Kelangan Satang (Lara
Lapane Kaum Republik, Kaduk Wani, Kena Pulut),
Kadurakan ing Kidul Dringu, Nopember Abang, Dom
Sumurup ing Banyu, Tanpa Tlacak, Emprit Abuntut
Bedug, Tretes Tintim, Jaring Kalamangga, Garuda
Putih, Lintang Panjer Sore, Dunyane Wong Culika.
Esmiet menulis Oyot Mimang, Rokok Kretek Bale
Kambang, Inspektur Kikis Mungsuh Swara Kubur,
Godhane Randha Halimah dan Tunggak-tunggak Jati.
Kesuburaan sastra Jawa pelan-pelan mulai redup
sejak tahun 1975. Penyebabnya adalah kebijakan
kurikulum yang sangat tidak menguntungkan bahasa
dan sastra Jawa. Pendidikan budaya Jawa tidak di-
perkenankan dimasukkan dalam jenjang SLTA. Mudah
diduga, pemuda Jawa mulai enggan belajar bahasa Jawa.
Otomatis prestise dan gengsi budaya Jawa menjadi
merosot. Pelajaran bahasa Jawa di SD dan SLTP cuma
formalitas dan sekedar pantas-pantasan. Sri Widati dkk
(2001) mengkritik kebijakan yang kurang menguntung-
kan ini. Untung saja kebijakan keliru tersebut segera
disadari di wilayah Propinsi Jawa Tengah dan
Yogyakarta, sejak tahun 2006 mewajibkan siswa SLTA
sederajat untuk belajar bahasa Jawa.
- 109 -
Selama 21 tahun pengalaman pahit ini menjadi
pelajaran yang sangat berharga. Para pencipta budaya
perlu mengucapkan terima kasih kepada majalah yang
selama ini gigih mempublikasikan butir-butir kearifan
lokal. Majalah itu diantaranya Jayabaya, Panyebar
Semangat, Jaka Lodhang, Mekarsari, dan Damarjati.
Semuanya punya andil besar dalam menjaga pilar-pilar
budaya Jawa.
Karya sastra Jawa prosa yang meliputi novel,
cerita cekak dan essai kebudayaan kerap dimuat dalam
majalah tersebut. Kreativitas dan produktivitas penga-
rang prosa tetap mempunyai wadah. Majalah berbahasa
Jawa itu tetap terbit sampai sekarang, karena dikelola
secara mandiri, dinamis dan profesional. Akhir-akhir ini
karya prosa yang terbit, tiba-tiba mengalami penyeder-
hanaan tema. Dibanding dengan problematika moderni-
tas yang sungguh kompleks, rupa-rupanya pegiat sastra
Jawa tidak terlibat dalam pergulatan dan perubahan.
Boleh dikatakan menjadi serba tanggung.
Nostalgia lukisan masa lalu tidak menjadi
perhatian lagi, sementara topik globalisasi juga belum
terlukiskan secara memadai. Dibanding dengan sastra
Indonesia, jelas sekali perkembangan sastra Jawa agak
tertinggal, baik dari segi kualitas, kuantitas, isi dan
- 110 -
bentuk. Untuk mengejar ketertinggalan ini para sastra-
wan Jawa perlu belajar dengan bidang lain, sehingga
muncul beragam tema dan lintas pemahaman.
- 111 -
Daftar Pustaka
Abdullah (ed.), Taufik, 1974. Islam di Indonesia
Sepintas Lalu tentang Beberapa Segi. Jakarta:
Tintamas
Anindityo Wicaksono, 1994, Perkembangan Surat Kabar di Indonesia, Jakarta: Media Pustaka.
Baroroh Baried, 1985. Memahami Hikayat dalam Sastra
Indonesia. Jakarta : Depdikbud.
Clifford Geertz, 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya
Darsiti Soeratman, 1990. Istana Sebagai Pusat
Kebudayaan Lampau dan Kini. Yogyakarta:
Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM.
Graaf, de H.J., dan Pigeaud, Th. G.Th., 1989. Kerajaan-
kerajaan Islam di Jawa. Terjemahan Javanologi,
Jakarta: Grafiti Pers
Ibrahim Alfian, 1973. Kronika Pasai: Sebuah Tinjauan Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
__________, 2000. Aceh dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Aksara Indonesia.
Imran Abdullah, 1991. Hikayat Meukuta Alam. Jakarta: Intermasa.
Jaelani Harun, 2004. Bustanus Salatin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
- 112 -
Kuntowijoyo, 2003, Raja, Priyayi, dan Kawula, Yogyakarta: Ombak.
Muhidin M Dahlan, 2008, Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa, Jakarta: Hasta Mitra.
Poerbatjaraka, R. Ng., 1952. Kapustakan Jawi. Jakarta:
Djambatan
Rene Wellek & Austin Warren, 1976. Teori
Kesusasteraan. Terjemahan Melani Budhianta,
Jakarta: Gramedia
Simuh, 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Rangga Warsita: Suatu Studi terhadap Serat Wirid Bidayat Jati, Jakarta: UI Press
_____, 1995. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang
Sapardi Joko Damono, 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud
Sastrakartika, 1979. Serat Kridha Wayangga Pakem
Beksa. Jakarta : Depdikbud
Soekarjo, 1993. Pengantar Kajian Sastra. Surakarta: Universitas Sebelas Maret
Soekatno, 1992. Wayang Kulit Purwa. Semarang: Aneka Ilmu
Sri Mulyono, 1983. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: Haji Masagung
Suwito Santosa, 1990. Urip-urip. Surakarta: Museum
Radya Pustaka.
- 113 -
Teeuw, 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Wiwien Widyawati, 2010, Serat Kalatidha, Yogyakarta: Pura Pustaka.
Zoetmulder, 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan
Website: www.jawapalace.org
- 114 -
Biodata Penulis
DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol,
Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal
16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA
diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana
diperoleh di Fakultas Sastra UGM yang ditempuh tahun
1990-1995. Kemudian melanjutkan studi pada Program
Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di
UGM diperoleh pada tahun 2001.
Kini bertugas sebagai Dosen di Jurusan Pendidikan
Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kakap Raya 36
Minomartani Yogyakarta 55581. Telp 0274-881020.